BEDAH SINUS ENDOSKOPI FUNGSIONAL DENGAN DAN TANPA PENDEKATAN EKSTERNAL PADA POTT S PUFFY TUMOR (Laporan Kasus)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BEDAH SINUS ENDOSKOPI FUNGSIONAL DENGAN DAN TANPA PENDEKATAN EKSTERNAL PADA POTT S PUFFY TUMOR (Laporan Kasus)"

Transkripsi

1 Bedah Sinus... (Tri Hedianto, Irwan Kristyono) BEDAH SINUS ENDOSKOPI FUNGSIONAL DENGAN DAN TANPA PENDEKATAN EKSTERNAL PADA POTT S PUFFY TUMOR (Laporan Kasus) Tri Hedianto, Irwan Kristyono Dep/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo Surabaya PENDAHULUAN Pott s Puffy Tumor (PPT) adalah osteomielitis tulang frontal yang disebabkan komplikasi rinosinusitis frontal atau bisa disebabkan trauma langsung pada tulang frontal. Sir Percival Pottmendiskripsikan Pott s Puffy Tumor pertama kali pada tahun Angka prevalensi rinosinusitis kronik (RSK) pada penduduk dewasa Amerika Serikat diperkirakan 16,8 % pertahun atau sekitar 32 juta penduduk. Di Eropa, rinosinusitis diperkirakan mengenai 10% 30% populasi,sehingga RSK menjadi salah satu penyakit kronik yang paling sering diderita. Dampak yang diakibatkan rinosinusitis kronik meliputi berbagai aspek, antara lain aspek kualitas hidup dan aspek sosioekonomi. 3 Kasus rinosinusitis frontal dan sfenoid lebih jarang dibanding rinosinusitis maksila dan etmoid. Pott s Puffy Tumor mempunyai angka prevalensi yang jarang. Younis yang dikutip oleh Collet S, et al. melaporkan kasus PPT sekitar 82 penderita dalam 14 tahun. Adame yang dikutip oleh Collet S, et al.juga melaporkan 4 kasus PPT dalam 4 tahun dari 142 penderita anak dengan rinosinusitis. 3 Sebelum ditemukan antibiotik, PPTmempunyai angka mortalitas yang tinggi. 4-6 Parkalay O, et al. melaporkan angka mortalitas PPT setelah ditemukan antibiotik sekitar 5-17%. 5 Bichofberger W dan Bordley JE melaporkan 28 penderita dengan osteomielitis frontal dari tahun 1952 sampai dengan Terapi PPT meliputi terapi medik dan pembedahan. Pendekatan operasi dapat dilakukan secara eksternal tergantung dari lokasi luasnya infeksi. Macam pendekatan eksternal sinus frontal antara lain obliterasi sinus frontal, trepanasi dan kraniotomi. 4 Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) dalam beberapa dekade terakhir mengalami banyak perkembangan. Senior, et al. yang dikutip oleh Patel A, et al. melaporkan 66 penderita dari 72 penderita yang telah dilakukan BSEF dan diikuti sekitar 7 tahun mempunyai kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan sebelum dilakukan BSEF. 8 Gabungan pendekatan eksternal dan BSEF juga dapat dikerjakan dengan pertimbangan pada masing-masing kasus. 4 Dilaporkan 3 kasus PPTyang dilakukan drainase dengan 2 kasus melalui pendekatan eksternal danbsef, 1 kasus hanya dengan pendekatan BSEF. LAPORAN KASUS Kasus 1 Laki-laki berusia 40 tahun datang ke Instalasi Rawat Darurat THT-KL RSUD Dr. Soetomo tanggal 25 Mei 2012 dengan keluhan benjolan di dahi sejak 5 hari sebelumnya.penderita mengeluh benjolan di dahi yang semakin besar dengan cepat sejak 5 hari sebelumnya.nyeri pada dahi sudah dirasakan 2 minggu sebelumnya.tidak ada keluhan demam, pandangan mata kabur atau ganda.riwayat trauma, buntu hidung, mimisan, pilek, hidung gatal, bersin, dan hidung bau tidak didapatkan. Didapatkan nyeri tekan pada benjolan, terasa panas, warna kemerahan, dan dan bertambah besar sampai di atas mata kiri (Gambar 1). Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum cukup, tidak didapatkandemam.tanda vital dalam batas normal.status lokal telinga, hidung, dan tenggorok dalam batas normal.pada regio frontal didapatkan penonjolan, hiperemi, dan pada perabaan batas tidak jelas, fluktuasi, hangat, dan 80

2 Jurnal THT - KL Vol.7, No.2, Mei - Agustus 2014, hlm Gambar 1. Keadaan penderita sebelum dilakukan operasi.tampak benjolan pada dahi nyeri tekan. Penderita dikonsultasikan ke Instalasi Rawat Jalan (IRJ) Ilmu Penyakit Mata.Pemeriksaan fisik mata didapatkan kedua mata udem palpebra, pergerakan mata kesan terbatas minimal ke atas, proptosis dan tensi okuli normal.pemeriksaan funduskopi dengan hasil normal. Kesimpulan pemeriksaan di bidang mata didapatkan okuli dekstra sinistra udim palpebra dengan diagnosis banding selulitis preseptal. Penderita dikonsultasikan ke IRJ Ilmu Penyakit Saraf karena dugaan trombosis sinus kavernosus, dengan kesimpulan tidak didapatkan tanda-tanda trombosis sinus cavernosus. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu Pemeriksaan leukosit dengan hasil 10,4x 103/uL. Foto polos Waters tanggal 25 Mei 2012 dengan kesimpulan sinusitis frontal, etmoid dan maksila bilateral. Foto CT-scan fokus sinus paranasal tanggal 25 Mei 2012 dengan kesimpulan mengesankan abses di scalp regio frontal kanan kiri hingga ke kavum orbita kiri sisi atas yang mengakibatkan proptosis kiri dan pendesakan bulbus okuli kiri ke bawah dengan diagnosis banding softtissue tumor regio frontal kanan kiri dan pansinusitis bilateral (Gambar 2). Penderita menjalani rawat inap di ruang THT-KL RSUD Dr.Soetomo dan diberi antibiotik intravenaseftriakson 1gram 2 kali sehari, metronidazol 500 mg 3 kali sehari, dan analgetik intravena ketorolak 10 mg 3 kali sehari. Penderita direncanakan operasi BSEFtanggal 28 Mei Operasi BSEF dilakukan pada tanggal 28 Mei 2012, didapatkan didapatkan konka media kiri polipoid, meatus medius sempit, dan tampak pus.pada kavum nasi kanan didapatkan meatus medius cukup lapang. Dilakukan unsinektomi, bulektomi, etmoidektomi anterior bilateral dilanjutkan probing pada ostium sinus maksila dan resesus frontal. Hasil operasi pada kavum nasi kiri tidak didapatkan sekret, pus atau polip pada saat bulektomi dan etmoidektomi anterior.didapatkan pus keluar dari ostium sinus maksila pada saat probing ostium sinus maksila, tampak resesus frontal tertutup dan didapatkan pus pada saat probing resesus frontal dilanjutkanpelebaran resesus frontal dengan suction Gambar 2. Foto CT-scan kepala fokus sinonasal irisan aksial, sagital dan koronal dengan dan tanpa kontras mengesankan abses di scalp regio frontal kanan kiri hingga ke kavum orbita kiri sisi atas yang mengakibatkan proptosis kiri dan pendesakan bulbus okuli kiri. 81

3 Bedah Sinus... (Tri Hedianto, Irwan Kristyono) Penderita rutin kontrol, dan pada 6 bulan pasca operasi tidak didapatkan keluhan keluar cairan dari hidung, dan keluhan nyeri dahi (gambar 3). Gambar 3. Foto penderita 6 bulan pasca operasi BSEF lengkung. Pada kavum nasi kanan tidak didapatkan sekret, pus atau polip pada saat bulektomi, etmoidektomi anterior, probing ostium sinus maksila, tampak resesus frontal terbuka dan tidak didapatkan pus pada saat probing resesus frontal. Pendarahan dirawat dengan memasang tampon pita kemisetin di kavum nasi kanan dan kiri. Antibiotik seftriakson diberikan secara intravena dengan dosis 1gram 2 kali sehari, metronidazol 500 mg 3 kali sehari, analgetik intravena yaitu ketorolak 10 mg 3 kali seharidan ditambah anti inflamasi, yaitu metil prednison 125 mg diberikan hanya 1 hari pasca operasi. Pemeriksaan labotarium tanggal 29 Mei 2012 didapatkan penurunan leukosit menjadi 8,48 x 10 3 /ul. Tiga hari pasca operasi, penderita dipulangkan dengan terapi siprofloksasin 2x500 mg, metronidazol 3x500 mg, kalium diklofenak 2x25 mg dan nasal spray dengan larutan garam fisiologis. Pada kavum nasi kanan tidak didapatkan krusta dan sekret,meatusmedius lebar,resesus frontalsulit dievaluasi karena penderita kesakitan.pada kavum nasi kiri tidak didapatkan krusta dan sekret, meatus medius lebar, resesus frontal terbuka dan tidak didapatkan pus dan polip. Dilakukan pemeriksaan CT-scan6 bulan pasca operasidengan kesimpulan tampak defek pada tabula eksterna regio midfrontal disertai masih adanya penebalan mukosa pada sinus frontal kanan kiri, etmoid kanan kiri orbita. Sinus sfenoid dan maksila kanan kiri tampak normal (gambar 4). Kasus 2 Laki-laki berusia 50 tahun dirujuk dari Poli Onkologi Satu Atap (POSA) Mata dengan dugaan tumor retrobulber datang ke POSA THT- KL RSUD Dr. Soetomo pada 6 Februatri 2013.Penderita dengan keluhan utama mata kanan bengkak dalam 2 minggu, terkadang nyeri daerah alis mata kanan. Nyeri kepala 2 bulan terus menerus. Penderita merasa mata kanan terasa semakin menonjol dalam 2 minggu ini (gambar 5). Gambar 4. Foto CT-scan kepala fokus sinonasal irisan aksial, sagital dan koronal dengan dan tanpa kontras 6 bulan pasca BSEF 82

4 Jurnal THT - KL Vol.7, No.2, Mei - Agustus 2014, hlm Gambar 5. Keadaan penderitasebelum operasi, mata kanan tampak menonjol. Tidak ada keluhan hidung buntu atau pilek berbau. Didapatkan pilek pagi hari sejak 30 tahun lalu dan bersin lebih dari lima kali berturutan apabila terkena debu. Tidak didapatkan keluhan demam, mimisan, muka terasa tebal, nyeri pada muka, mual muntah, pandangan kabur atau dobel, dan trauma kepala sebelumnya. Penderita dilakukan alihrawat oleh THT-KL RSUD Dr. Soetomo. Pemeriksaan tanggal 14 Februari 2013 didapatkan keadaan umum cukup, tidak ada febris.tanda vital dalam batas normal.status lokal telinga, tenggorok dan leher dalam batas normal.dilakukan pemeriksaan nasoendoskopi didapatkan pada kavum nasi kanan didapatkan sekret mukopus di meatus medius mukosa konka medius udim, kavum nasi kiri sekret meatus medius minimal, mukosa konka medius udim (Gambar 6). Gambar 6. Pemeriksaan nasoendoskopi kavum nasi kanan tampak sekret di meatus medius. Regio frontal didapatkan penonjolan tampak udim, tidak hiperemi, dan pada palpasi ukuran 4x3x2 soliter padat keras, didapatkan nyeri tekan, tidak hiperemi, tidak ada ulkus. Transiluminasi sinus maksila kanan gelap dan sebelah kiri terang. Penderita dikonsultasikan ke IRJ Ilmu Penyakit Mata.Pemeriksaan visus dan tekanan bola mata kanan dan kiri dalam batas normal.pergerakan mata kesan terbatas minimal ke atas. Didapatkan palpebra kanan udem, kiri normal, pergerakan mata kanan berkurang kearah kiri atas dan kanan atas, pergerakan mata kiri normal. Funduskopi dalam batas normal.kesimpulan pemeriksaan di bidang mata didapatkan selulitis preseptal okuli dekstra. Pemeriksaan laboratorium sebelum operasi didapatkan peningkatan leukosit 16,9x 103/uL. Foto CT-scan kepala fokus sinusparanasal tanggal 8 Januari 2013 dengan kesimpulan heterogenous enhancing mass ukuran 3x3,1x2,6 cm di sinus frontal kanan dan kiri, yang mendekstruksi tulang infra orbital kanan serta mengisi kavum orbita kanan dan menempel pada bulbus okuli kanan sehingga menyebabkan pendorongan bulbus okuli kanan ke inferior, massa meluas juga ke sinus etmoidalis dan sinus sphenoidalis kanan, didapatkan juga sinusitis maksila kanan (Gambar 7). Operasi BSEF dilakukan pada tanggal 18 Februari Hasil evaluasi pada kavum nasi kanan sempit, konka media menempel dengan dinding lateral. Konka media dekstra dipotong, dilanjutkanunsinektomi, perdarahan banyak sehingga dilanjutkan etmoidektomi anterior.ostium sinus maksila kanan diperlebar, dilanjutkan dengan membuka resesus frontal kanan, perdarahan banyak.untuk menjangkau seluruh sinus frontal dilakukan pendekatan eksternal dengan insisi pada fronto orbital. Daerah frontal kanan ditatah didapatkan jaringan mukopus dan jaringan lunak kekuningan, jaringan dan pus dibersihkan. Dilakukan evaluasi daerah sinus frontal didapatkan destruksi pada sinus frontal kanan basal mata dengan ukuran sekitar 1cm, ada kemungkinan fistel ke sinus frontal kiri, kemudian dijahit lapis demi lapis.dilakukan antroskopi melalui meatus 83

5 Bedah Sinus... (Tri Hedianto, Irwan Kristyono) Gambar 7. Foto CT-scan kepala fokus daerah sinonasal. A) Potongan aksialdidapatkan juga sinusitis maksila kananb) Potongan koronal tampak heterogenous enhancing mass di sinus frontal kanan dan kiri, yang mendekstruksi tulang infra orbital kanan serta mengisi cavummeluas juga ke sinus etmoidalis dan sinus sphenoidalis kanan. C) Potongan sagital tampak dekstruksi tulang infra orbital kanan serta mengisi cavum orbita kanan dan menempel pada bulbus okuli kanan inferior kanan, pada evaluasi didapatkan jaringan polipoid di daerah inferior dan posterior sinus maksila kanan, jaringan polipoid diekstraksi. Lapangan operasi menuju sinus sfenoid sulit dievaluasi karena banyaknya perdarahan dan jaringan yang udem sehingga operasi dihentikan. Kavum nasi dipasang tampon pita kemisetin. Kavum nasi kiri dilakukan unsinektomi dilanjutkan membuka resesus frontal didapatkan cairan mukopus dan dibersihkan.kavum nasi kiri dipasang tampon pita kemicetin. Penderita akan direncanakan kembali operasi BSEF tahap ke-2. Jaringan dari sinus frontal dan etmoid dilakukan pemeriksaan patologi anatomi dan kultur pus. Perawatan selanjutnya dengan pemberian antibiotik intravena, yaitu seftriakson 1gram 2 kali sehari, metronidazol 500 mg 3 kali sehari, analgetik intravena yaitu ketorolak 10 mg 3 kali sehari,dan ditambah anti inflamasi, yaitu metil prednison 125 mg diberikan hanya 1 hari pasca operasi. Tiga hari pasca operasi (gambar 8), penderita dipulangkan dengan terapi siprofloksasin 2 x 500 mg, metronidazol 3 x 500 mg, kalium diklofenak 25 mg 2 x 1 dan nasal spraydengan larutan garam fisiologis. Penderita kontrol 1 minggu pasca operasi dengan keluhan nyeri kepala sudah hilang. Penderita terkadang mengeluh nyeri pada dahi dan keluar darah kental dari hidung kanan, keluhan buntu hidung tidak didapatkan. Pada nasoendoskopi tampak sekret meatus medius warna kecoklatan. Gambar 8. Keadaan penderita tiga hari pasca operasi, tampak mata kanan tidak tampak menonjol Penderita direncanakan kontrol kembali 1 bulan lagi dengan terapi berupa semprot nasal larutan garam fisiologis dan kortikosteroid semprot hidung. Hasilkulturpus tidak didapatkan pertumbuhan kuman aerob. Hasil patologi anatomi dengan kesimpulan proses radang supuratif. Penderita rutin kontrol dan kontrol kembali tanggal 7 Mei Cairan dari hidung, nyeri dahi terkadang muncul, pada pemeriksaan nasoendoskopi didapatkan gambaran sinekia konka medius kanan dengan konka inferior kanan, pada kavum nasi kanan tidak didapatkan krusta dan sekret di meatus medius. Hasil CT-scan kedua tanggal 8 Mei 2013 tampak 84

6 Jurnal THT - KL Vol.7, No.2, Mei - Agustus 2014, hlm Gambar 9. CT-scan kepala leher fokus daerah sinonasal 8 Mei A) Potongan axial; B) Potongan koronal; C) Potongan sagital lesi hiperdens pada sinus maksila kanan dan sinus etmoid kanan, tampak lesi densitas cairan di sinus frontal kanan dan kiri (gambar 9).Penderita direncanakan untukpersiapan BSEF ke-2, tetapi penderita menolak kontrol lebih lanjut. nyeri.tidak didapatkan keluhan tenggorok.riwayat penyakit dahulu tidak didapatkan riwayat alergi, hipertensi dan diabetes melitus.riwayat pasang gromet telinga kiri 10 tahun lalu. Saatdilakukan anamnesa melalui telepon, penderita merasakan nyeri pada dahi terkadang muncul tetapi lebih baik dibanding sebelum dilakukan operasi, penderita juga tidak mengeluh nyeri kepala maupun hidung buntu. Penderita sudah mengerti resiko terburuk yang akan dihadapi apabila terlambat dalam penanganan kasus ini. Kasus 3 Wanitaberusia 50 tahun dengan keluhan utama mata kiri menonjol sejak 6 bulan lalu. Mata kiri menonjol dirasakan menetap, tidak nyeri, dan tidak ada keluhan pandangan mata kabur atau dobel (gambar 10).Sakit kepala sebelah kiri sejak 1 tahun yang lalu, terkadang kambuh dan dapat membaik dengan obat, tidak ada keluhan panas badan, pandangan ganda.hidung kiri buntu sejak 3 hari yang lalu, terasa ada lendir di dalam hidung tapi tidak bisa keluar.keluhan pilek berbau, pipi kemeng, mimisan, maupun ingus campur darah disangkal. Telinga kiri grebeg-grebeg disertai pendengaran menurun sejak 6 bulan lalu, tidak ada keluhan keluar cairan dari telinga.penderita juga mengeluh timbul benjolan didepan telinga kanan sejak 5 tahun lalu, tidak bertambah besar, tidak Gambar 10. Foto penderita sebelum operasi, tampak mata kiri menonjol. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, tidak demam. Mata kiri proptosis, pada kantus medial tampak massa mendesak bola mata ke lateral, palpasi tidak ada nyeri tekan. Telinga kanan dan kiri meatus akustikus eksternus dalam batas normal, membran timpani kanan dan kiri intak, reflek cahaya normal, didapatkan massa preaurikular kanan, solid, mobile, diameter 2x2x1 cm, tidak ada nyeri tekan. Rinoskopi anterior kavum nasi kanan dan kiri tidak tampak massa, sekret kavum nasi kiri minimal, kesan fistel di konka media kiri, fenomena palatum molle kanan dan kiri positif. Tenggorok dalam batas 85

7 Bedah Sinus... (Tri Hedianto, Irwan Kristyono) normal, tidak ada deviasi lidah.kepala dan leher tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah bening. Pemeriksaan saraf kranialis dalam batas normal. Pemeriksaan laboratorium dalam batas normal. Pemeriksaan nasoendoskopi pada kavum nasi kiri tampak defek pada konka media kesan tidak rapuh, sekret meatus medius minimal, konka udem warna pucat, komplek osteomeatal udem, tidak tampak adanya mass.dilakukan biopsi pada defek konka media (gambar 11). Hasil patologi anatomi menunjukkan potongan jaringan berbentuk polipoid sebagian dilapisi epitel respirasi, dibawahnya tampak jaringan ikat fibrous longgar dengan sebukan sel radang limfosit, sel plasma, netrofil, beberapa eosinofil. Tampak pula kelenjar seromukous dan area perdarahan.tidak tampak tanda keganasan dengan kesimpulan biopsi kavum nasi kiri inflamatory polyp. Gambar 11. Pemeriksaan nasoendoskopi kavumnasi kiri, tampak defek pada konka media. Dilakukanpemeriksaan penunjang CTscan kepala irisan axial reformatted coronal, dan sagital (gambar 12) dengan dan tanpa kontras pada 3 April 2013 tampak lesi solid (35,5 HU) yang mengisi sinus frontal kanan kiri yang dengan pemberian kontras tampak kontras enhancement (52,2 HU). Massa tampak meluas ke inferior masuk sinus etmoid kanan kiri (dominan kiri), mendestruksi dinding inferolateral sinus frontal kiri masuk ke dalam cavum orbita kiri, melekat dan mendesak musculi rektus medialis kiri, dan mendorong orbita kiri ke anterior.tampak densitas cairan (16 HU) di sinus maksila kiri. Pemeriksaan fine needle aspiration biopsy(fnab) preaurikuler kananmengesankan suatu chronic sialodenitis. Operasi BSEF evaluasi kavum nasi kiri, tonjolan massa pada meatus medius di posterior prosesus unsinatus melebar ke medial konka media kiri belakang. Tampak massa, ditembus tengan forcep lurus keluar pus lalu dibersihkan. Dilakukan etmoidektomi anterior dan posterior.dilakukan pembersihan pada resesus frontal, keluar pus dari arah sinus frontal.untuk menjangkau seluruh sinus frontal kiri dilakukan insisi pada fronto etmoid dibawah alis sekitar 2 cm, diperdalam hingga tulang kemudian ditatah dan diperlebar 2cm. Sinus frontal dibersihkan, dinding sinus frontal intak kemudian dipasang tampon anterior. Perawatan selanjutnya dengan pemberian antibiotik intravena, yaitu seftriakson 1000 mg 2 kali sehari, metronidazol 500 mg 3 kali sehari, analgetik intravena yaitu ketorolak 10 mg 3 kali Gambar 12. CT-scan kepala irisan axial reformatted coronal, dan sagital 86

8 Jurnal THT - KL Vol.7, No.2, Mei - Agustus 2014, hlm sehari danditambahanti inflamasi,yaitu metilprednison 125 mg diberikan hanya 1 hari pasca operasi. Pemeriksaan labotarium tanggal 29 Mei 2012 didapatkan hasil dalam batas normal.tiga hari pasca operasi, penderita dipulangkan dengan terapi siprofloksasin 2 x 500 mg, metronidazol 3 x 500 mg, kalium diklofenak 25 mg 2 x 1 dan nasal spraydengan larutan garam fisiologis. Penderita pada saat kontol ke-8 bulan ke- 5 post BSEF. Penderita tidak ada keluhan nyeri kepala maupun hidung.pada pemeriksaan nasoendoskopi didapatkan sinekia konka medius, kemudiansinekia dilepaskan, ostiummeatus medius terbuka, tidak ada sekret meatus medius.terapi kortikosteroid intranasal dilanjutkan. PEMBAHASAN Dilaporkan tiga kasus rinosinusitis dengan komplikasi sinus frontalberupa PPT di IRJ THT-KL RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada dewasayang ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan THT- KL, serta penunjang CT scan.tiga kasus yang telah dibahas didapatkan usia dan jenis kelamin penderita kasus 1 laki-laki usia 40 tahun, kasus 2 laki-laki usia 50 tahun dan kasus 3 wanita usia 50 tahun. Tsai yang dikutip oleh Parlakay O, et al.melaporkan perbandingan PPT antara laki-laki dan wanita 5:1. 5 Pott s Puffy Tumor dapat terjadi pada semua kelompok umur mulai usia 2 sampai 83 tahun. McClean, et al.melaporkan prevalensi PPT laki-laki di bawah usia 30 tahun sekitar 70%, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan sekitar 9:1. 1 Rinosinusitis kronik dalam makalah EP3OS tahun 2012 merupakan suatu inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung selama dua belas minggu atau lebih disertai dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa buntu hidung (nasalblockage/obstruction/ congestion)atau hidung beringus (anterior/posterior nasal drip), ± nyeri/rasa tertekan pada wajah, ± penurunan/hilangnya daya penciuman yang didukung oleh pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan endoskopi terdapat polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus medius dan atau odem mukosa meatus medius dan atau pemeriksaan CT scan yang menunjukkan perubahan mukosa pada kompleks ostiomeatal dan atau sinus paranasal. 3 Keluhan utama dari tiga kasus yang telah dibahas didapatkan keluhan yang hampir sama yaitu keluhan benjolan di dahi, mata yang menonjol, nyeri tekan pada benjolan dan sakit kepala. Gambaran klinis Pott s Puffy Tumor berupa pembengkakan lokal di daerah dahi, disertai tandatanda radang, serta nyeri dan bengkak di permukaan kulit, hal ini terjadi akibat penyebaran infeksi pada tulang frontal dari sinus frontal. 12 Pada tiga kasus yang telah dibahas masing-masing penderita mempunyai lama perjalanan penyakit yang berbeda dan menyadari saat mengalami komplikasi PPT. Rinosinusitis frontal secara klinis tidak terdeteksi, sehingga penderita sering tidak tahu kapan awal menderita penyakit tersebut. 1 Gambaran klinis rinosinusitis kasus 1 tidak didapatkan pilek maupun hidung buntu tetapi didapatkan nyeri tekan pada dahi. Kasus 2 didapatkan penderita mengeluhkan buntu hidung, pilek, riwayat alergi, dan nyeri tekan pada dahi dan pada kasus 3 didapatkan pilek dan buntu hidung. Riwayat trauma, mimisan, dan hidung bau tidak didapatkan pada ketiga kasus yang dibahas. Pott s Puffy Tumor mempunyai gejala tidak spesifik sepertinyeri kepala, rinore dan demam. 1 Tidak ada keluhan panas badan, keluhan pandangan mata kabur atau pandangan ganda dari tiga kasus tersebut dan tidak ada riwayat trauma kepala pada tiga kasus ini. McClean KL,et al. melaporkan 13dari 35 kasus PPT tidak didapatkan demam. 1 Cates,et al. melaporkan demam pada 5dari 11 kasus PPT. 2 Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan didapatkan peningkatan leukosit pada kasus 2 dan hasil laboratorium yang normal pada kasus 1 dan 3. Parlakay O, et al. melaporkan penderita 13 tahun dengan PPT didapatkan leukositosis. 4 McClean KL,et al. melaporkan kasus wanita 58 tahun dengan PPT tanpa ada leukositosis. 1 CT-scan dilakukan untuk menggambarkan sinus paranasalis mana saja yang terinfeksi, mengkonfirmasi deviasi septum, menentukan adakah keterlibatan infeksi pada tulang frontal penderita, juga untuk menyingkirkan adanya komplikasi intrakranial, pemeriksaan sinus paranasalis dan kepala. 8 Pemeriksaan penunjang CT-scanpada ketiga kasus yang dibahas didapatkan gambaran destruksi tulang sekitar sinus frontal, 87

9 Bedah Sinus... (Tri Hedianto, Irwan Kristyono) pendesakan massa kearah orbita yang secara klinis tampak proptosis pada mata penderita. Selain daerah frontal pada ketiga kasus yang dibahas juga tampak adanya kelainan pada sinus etmoid, maksila maupun sfenoid.ct-scan dapat mendeteksi osteomielitis dan komplikasi PPT lebih lanjut berupa abses epiduralabses subdural, abses serebri, selulitis orbita, trombosis sinus kavernosus dan meningitis. Christina A, et al. melaporkan pemeriksaan sinusitis frontal dengan PPT didapatkan gambaran enhancement kontras pada daerah abses. Gambaran ekstrakranial abses didapatkan batas abses yang tegas. CT-scan adalah pemeriksaan penunjang baku emas untuk mengetahui kondisi orbita dan tulang, dan pemeriksaan MRI merupakan pemeriksaan penunjang sekunder. 9 Kasus 3 dilakukanpemeriksaan FNAB preaurikuler kanan dengan kesimpulan sialodenitis kronis. Sehingga penderita pada kasus 3 mempunyai penyakit penyerta selain PPT yaitu otitis media efusi dan sialodenitis kronis. Pemeriksaan nasoendoskopi sebelum BSEF dilakukan pada kasus 2 dan 3. Kasus 2 didapatkan kavum nasi kanan sekret mukopus di meatus medius, mukosa konka medius udim, kavum nasi kiri sekret meatus medius minimal, mukosa konka medius udim. Pada kasus 3 tampak defekkavum nasi kiri, konka mediakesan tidak rapuh, sekret di meatus medius minimal, konka udem warna pucat, komplek osteomeatal udem, tidak tampak adanya massa. Dilakukan biopsi pada defek konka media, hasil patologi anatomi menunjukkan potongan jaringan berbentuk polipoid sebagian dilapisi epitel respirasi.dibawahnya tampak jaringan ikat fibrous longgar dengan sebukan sel radang limfosit, sel plasma, netrofil, beberapa eosinofil.tampak kelenjar seromukous dan area perdarahan.tidak tampak tanda keganasan dengan kesimpulan biopsi kavum nasi kiri inflammatory polyp. Kasus 1 dan 2 dikonsulkan ke IRJ Ilmu Penyakit Mata. Kasus 1 didapatkan kedua mata udem palpebra, pergerakan mata kiri kesan terbatas minimal ke atas. Pada kasus 1 didapatkan okuli dekstra sinistra udim palpebra. Kasus 2 didapatkan palpebra kanan udem, kiri normal, pergerakan mata kiri kesan terbatas minimal ke atas. Dari 2 kasus diatas tampak adanya gangguan pergerakan mata kiri akibat pendesakan massa ke arah okuli sinistra.nisa et al. melaporkan 42 penderita dari 35 artikel PPT dengan komplikasi mata, yaitu udim palpebra dan atau udimperiorbita sebesar 98% (41/42 kasus), proptosis sebesar 24% (10/42 kasus), diplopia dan gerakan bola mata yang terbatas masing-masing sebesar 12% (2-3/42 kasus). 13 Pada kasus 1 dikonsulkan ke IRJ Ilmu Penyakit Syaraf dan tidak didapatkan tanda-tanda trombosis sinus kavernosus. Tiga pilihan terapi untuk PPT adalah insisi drainase, pendekatan endoskopi, dan pendekatan eksternal. Indikasi insisi drainase pada PPT pascatrauma yang terisolasi, atau sebagai drainase untuk endoskopi pada kasus PPT yang diakibatkan rinosinusitis akut (gambar 13). Pendekatan endoskopi dengan sinusotomifrontal dan drainase abses melalui resesus frontal. Prosedur endoskopi lebih dikembangkan selama 10 tahun terakhir dengan keunggulan morbiditas yang terbatas, tidak adanya jaringan parut wajah. 3 Dilakukan pendekatan BSEF pada kasus 1 dan gabungan pendekatan eksternal dengan BSEF pada kasus 2 dan 3. Jung J, et al. melaporkan terapi BSEF pada PPT mendapatkan hasil yang baik. 15 Laguna DA, et al.melaporkan pendekatan gabungan eksternal dan BSEF pada PPT jugamendapatkan hasil yang baik karena dapat mengevaluasi seluruh sinus frontal sehingga dapat membuang seluruh jaringan mukosa yang patologis dan mudah melakuakan obliterasi sinus frontal. 4 BSEF yang diakukan pada 3 kasus yang dibahas didapatkan jaringan polipoid pada kasus 1 dan 2 kemudian dilakukan unsinektomi, bulektomi, dan etmoidektomi anterior. Pada kasus 3 evaluasi kavum nasi kiri, tonjolan massa pada meatus medius di posterior posesus unsinatus melebar ke medial konka media kiri belakang. Massaditembus tengan forsep lurus, keluar pus lalu dibersihkan dan dilakukan etmoidektomi anterior dan posterior. Kasus 1 kavum nasi kiri didapatkan pus keluar dari ostium sinus maksila pada saat probing ostium sinus maksila, tampak resesus frontal tertutup dan didapatkan pus pada saat probing resesus frontal dilanjutkan pelebaran resesus frontal. Kasus 2 dan kasus 3dilakukan pendekatan eksternal 88

10 Jurnal THT - KL Vol.7, No.2, Mei - Agustus 2014, hlm dengan insisi pada frontoetmoid dengan tujuan untuk menjangkau seluruh sinus frontal. Bor adalah alat yang biasa digunakan untuk pendekatan eksternal sinus frontal, apabila dibutuhkan identifikasi duktus nasofrontal dapat menggunakan teleskop 0 o atau 30 o. 12 Pada kasus 2 dan 3 dibuat lubang akses menuju sinus frontal menggunakan tatah karena keterbatasan alat. Pendekatan eksternal adalah pendekatan standar dalam pengobatan PPT. 1,4,15 Indikasi dilakukan pendekatan eksternal diperuntukan pada penderita yang memiliki gangguan pada wilayah frontonasal yang tidak dapat dijangkau endoskopi. 12,15 Tiga kasus yang telah dibahas didapatkan pus keluar yang berasal dari sinus frontal. Pada kasus 1 dilakukan kultur darah dengan hasil tidak didapatkan pertumbuhan kuman aerob dan anaerob. Pada kasus 2 dilakukan pemeriksaan patologi anatomi jaringan dari sinus frontal dan etmoid dan kultur pus, dengan hasil tidak didapatkan pertumbuhan kuman. Tina Q et al. melaporkan dari 24 kasus PPT sekitar 18 kasus (75%) menunjukan hasil positif. Bakteri yang mendominasi kultur adalah Streptokokus Viridan, SterptokokusGrup C, Streptokokus Grup F, bakteri oral anaerob dan Stafilokokus Spesies. 10 Robert skomro et al. Melaporkan 36 kasus PPT dengan hasil kultur 17 (47%) Streptococcus Spesies, 8 (22%) Staphylococcus aureus, 4 tanpa tanda pertumbukan kuman. 1 Terapi setelah BSEF semua diberikan antibiotikintravena, yaitu seftriakson 1000 mg 2 kali sehari, metronidazol 500 mg 3 kali sehari, analgetik intravena yaitu ketorolak 10 mg 3 kali sehari,dan ditambah anti inflamasi, yaitu metil prednison 125 mg diberikan hanya 1 hari pasca operasi.seftriakson adalah antibiotika spektrum luas terutama untuk gram negatif dan gram positif yang diharapkan dapat menangani kuman gram negatif yang kebanyakan menjadi penyebab rinosinusitis kronik. Metronidazol ditambahkan berdasarkan pada keadaan kronik dan campuran kuman anaerob yang sering ditemukan. Kortikosteroid merupakan terapi efektif untuk membantu membuka sumbatan hidung. Pemberian dalam jangka waktu pendek tidak memberi efek samping imunosupresi pada penderita. 3 Tiga hari pasca operasi, penderita dipulangkan dengan terapi siprofloksasin 2 x 500 mg, metronidazol 3 x 500 mg, kalium diklofenak 25 mg 2 x 1 dan irigasi nasal dengan larutan garam fisiologis. Laguna DA, et al. menggunakan siprofloksasin oral merupakan terapi antibiotik broadspectrumyang digunankan untuk PPT pasca operasi dan mendapatkan hasil yang baik. 4 Seluruh penderita kontrol rutin pasca operasi, pada kasus 1 penderita datang kontrol 6 bulan pasca operasi sudah tidak mengeluhkan keluar cairan dari hidung, dan keluhan nyeri dahi. Pada kavum nasi kiri tidak didapatkan krusta dan sekret, meatus medius lebar, resesus frontal kiri terbuka dan tidak didapatkan pus dan polip. Kasus 2 Pemeriksaan saat kontrol terakhir tidak didapatkan keluhan keluar cairan dari hidung, nyeri dahi terkadang muncul dan pada kavum nasi tidak didapatkan krusta, sekret, meatus medius kanan sinekia. Kasus 3 penderita kontrol bulan ke-5 post BSEF, tidak ada keluhan nyeri kepala maupun hidung. Pada pemeriksaan nasoendoskopi didapatkan sinekia konka medius kemudian, sinekia dilepaskan, ostiummeatus medius terbuka, tidak ada sekret meatus medius. CT-scanevaluasi dilakukanpada kasus 1 dan 2 dengan hasil kasus 1 tampak defek pada tabula eksterna regio midfrontal disertai masih adanya penebalan mukosa pada sinus frontal kanan kiri, etmoid kanan kiri. Orbita, sinus sfenoid dan maksila kanan kiri tampak normal. CT-scan kasus 2 tampak lesi hiperdens pada sinus maksilaris kanan dan sinus etmoid kanan, tampak lesi densitas cairan di sinus frontal kanan dan kiri. Penderita direncanakan operasi tahap ke-2 tetapi tidak dapat melanjutkan tindakan selanjutnya dengan alasan pindah dinas keluar kota dan penderita sudah mengerti resiko terburuk yang akan dihadapi apabila terlambat dalam penanganan kasus ini. Pada kasus 2 masih ada kemungkinan berjalannya PPT hingga menyebabkan komplikasi intrakranial. 89

11 Bedah Sinus... (Tri Hedianto, Irwan Kristyono) KESIMPULAN Telah dilaporkan 3 kasus sepanjang tahun di IRJ THT-KL RSUD Dr. Soetomo Surabaya dengan Pott s Puffy Tumor. 1 Kasus PPT dilakukan BSEF mempunyai hasil yang baik. Dua kasus PPT dilakukan gabungan BSEF dengan pendekatan eksternal dengan hasil 1 kasus mendapatkan hasil yang baik dan 1 kasus harus dilakukan operasi tahap ke-2. Prognosis PPT baik apabila dilakukan tindakan drainase abses, secara BSEF, dengan dan tanpa pendekatan eksternal. Hal ini dapat dilihat pada kasus 1 dan 3 yang tidak didapatkan keluhan pasca operasi. Pada kasus 2, penderitamenolak dilakukan operasi tahap ke-2, sehingga masih ada kemungkinan komplikasi intrakranial. 90

12 Jurnal THT - KL Vol.7, No.2, Mei - Agustus 2014, hlm DAFTAR PUSTAKA 1. McClean KL, Skomro R. Frontal osteomyelitis (Pott s puffy tumour) associated with Pasteurella multocida A case report and review of the literature. Can J Infect Dis 1998;9(2): Cates KL, Cementina AM, Feder HM,. Pott s puffy tumor: a serious occult infection. Pediatrics 1987;79: Bertrand B, Collet S, Eloy P, Grulois V, Rombaux P. A Pott s puffy tumour as a late complication of a frontal sinus reconstruction: case report and literature review. Rhinology 2009; 47: Laguna DA, Morales SP, Figueres AMT, Senra MIV, Reigada MCO. Pott's puffy tumour, a rare complication of frontal sinusitis. An Pediatr2003; 10: Parlakay O, Kara A, Cengiz AB, Ceyhan M. Puffy frontal edema: a serious life-threatening finding of Pott s Puffy tumor: case report. Turkiye Klinikleri J Med Sci 2012; 32(3): Bischofberger W, Bordley JE. Osteomyelitis of the frontal bone. Laryngoscope 1967;77: Bachret C, Fokken W, Lund V, Mullol J,. European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps. Rhinology2012; 50 (suppl 23): Patel A, Meyers AD, Functional Endoscopic Sinus Surgery Available from:emedicine.medscape.com/article/ overview Accessed July 3 rd, LeBedis CA, Sakai O. Nontraumatic Orbital Conditions: Diagnosis with CT and MR Imaging in the Emergent Setting Available from: /F1.expansion.htmlAccessed June 20 th, Tan TQ. Pott's Puffy Tumor: A Disease Making a Comeback Available from: ogram/paper35057.htmlaccessed July 3 th, Adame N, Hedlund G, Byington C. Sinogenic Intracranialempyema in children. Pediatrics 2005; 116(3): e Krishna P, Meyers AD. Acute Frontal Sinusitis Surgery - Medscape Reference Available from: emedicine.medscape.com/article/ overviewaccessed July 3 th, Nisa L, Landis BN, Giger R. Orbital involvement in Pott s puffy tumor: a systematic review of published cases. Am J Rhinol Allergy 2012;26:e63-e Ketenci I, Ünlü Y, Tucer B, Vural A. The Pott s puffy tumor: a dangerous sign for intracranial complications. Eur Arch Otolaryngol 2011; 264(12): Jung J, Lee HC, Park I, Lee HM. Endoscopic endonasal treatment of a Pott's puffy tumor. Clin Exp Otorhinolaryngol 2012;5(2):

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinusitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Sinusitis juga dapat disebut rinosinusitis, menurut hasil beberapa diskusi pakar yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis) 2012 adalah inflamasi hidung dan sinus paranasal

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai 8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis Sinusitis adalah proses peradangan atau infeksi dari satu atau lebih pada membran mukosa sinus paranasal dan terjadi obstruksi dari mekanisme drainase normal. 9,15

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) 2012, rinosinusitis kronis didefinisikan sebagai suatu radang hidung dan sinus paranasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EP3OS) tahun 2012, rinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung dan sinus paranasalis

Lebih terperinci

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,

Lebih terperinci

Laporan Kasus Besar. Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE

Laporan Kasus Besar. Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE Laporan Kasus Besar Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE 406117055 IDENTITAS PASIEN PEMERIKSAAN SUBJEKTIF AUTOANAMNESIS Rabu, 25 April jam 09.00 1. Keluhan Utama Benjolan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinosinusitis kronis (RSK) adalah penyakit inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Pengobatan RSK sering belum bisa optimal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis. Setiap rongga sinus ini

Lebih terperinci

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang 77 Artikel Penelitian Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang Hesty Trihastuti, Bestari Jaka Budiman, Edison 3 Abstrak Rinosinusitis kronik adalah inflamasi kronik

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Poliklinik THT-KL RSUD Karanganyar, Poliklinik THT-KL RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya adalah bersin, hidung beringus (rhinorrhea), dan hidung tersumbat. 1 Dapat juga disertai

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penelitian dilakukan sampai jumlah sampel terpenuhi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual Dari hasil tinjauan kepustakaan serta kerangka teori tersebut serta masalah penelitian yang telah dirumuskan tersebut, maka dikembangkan suatu kerangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung selama minimal 12 minggu berturut-turut. Rinosinusitis kronis

Lebih terperinci

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014 1 GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014 Oleh: Sari Wulan Dwi Sutanegara 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik yang menarik untuk dipelajari. Sinus paranasalis dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyak kendala yang sering dijumpai dalam menentukan diagnosis peradangan sinus paranasal. Gejala dan tandanya sangat mirip dengan gejala dan tanda akibat infeksi saluran

Lebih terperinci

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS Pembimbing: drg. Ernani Indrawati. Sp.Ort Disusun Oleh : Oktiyasari Puji Nurwati 206.12.10005 LABORATORIUM GIGI DAN MULUT RSUD KANJURUHAN KEPANJEN FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

memfasilitasi sampel dari bagian tengah telinga, sebuah otoscope, jarum tulang belakang, dan jarum suntik yang sama-sama membantu. 4.

memfasilitasi sampel dari bagian tengah telinga, sebuah otoscope, jarum tulang belakang, dan jarum suntik yang sama-sama membantu. 4. KONSEP MEDIK A. Pengertian Mastoiditis Mastoiditis adalah inflamasi mastoid yang diakibatkan oleh suatu infeksi pada telinga tengah, jika tak diobati dapat terjadi osteomielitis. Mastoiditis adalah segala

Lebih terperinci

LAPORAN KASUS (CASE REPORT)

LAPORAN KASUS (CASE REPORT) LAPORAN KASUS (CASE REPORT) I. Identitas Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Alamat : Amelia : 15 Tahun : Perempuan : Siswa : Bumi Jawa Baru II. Anamnesa (alloanamnesa) Keluhan Utama : - Nyeri ketika Menelan

Lebih terperinci

Author : Edi Susanto, S.Ked. Faculty of Medicine University of Riau. Pekanbaru, Riau. 0 Files of DrsMed FK UNRI (http://www.files-of-drsmed.

Author : Edi Susanto, S.Ked. Faculty of Medicine University of Riau. Pekanbaru, Riau. 0 Files of DrsMed FK UNRI (http://www.files-of-drsmed. Author : Edi Susanto, S.Ked Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau 2009 0 Files of DrsMed FK UNRI (http://www.files-of-drsmed.tk PENDAHULUAN Sinus paranasal merupakan ruang udara yang berada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

12/3/2010. Nasal asessory sinuses Rongga dalam tulang kepala berisi udara. Sinus maksila Sinus frontal Sinus etmoid Sinus sfenoid

12/3/2010. Nasal asessory sinuses Rongga dalam tulang kepala berisi udara. Sinus maksila Sinus frontal Sinus etmoid Sinus sfenoid SINUSITIS AKUT DAN KRONIS Dr. dr. Delfitri Munir Sp.THT-KL(K) Sub-devisi Rinologi Dept. Ilmu Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Sinus para-nasal Nasal asessory sinuses

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit infeksi saluran nafas atas akut yang sering terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Menurut laporan

Lebih terperinci

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah satu penyakit THT, Sinusitis adalah peradangan pada membran

Lebih terperinci

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada BAB II Landasan Teori A. Penyesuaian Sosial 1. Pengertian Penyesuaian Sosial Hurlock (1999) menjelaskan bahwa penyesuaian sosial diartikan sebagai keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinosinusitis Kronis 2.1.1. Definisi Berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012 (EPOS 2012), RSK didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus atau lebih dikenal dengan sinus paranasal merupakan rongga di dalam tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi 2.1.1. Anatomi Hidung Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah yaitu: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum nasi kanan dan

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, RSUD Karanganyar, RSUD Sukoharjo, dan RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pharmaceutical Care adalah salah satu elemen penting dalam pelayanan kesehatan dan selalu berhubungan dengan elemen lain dalam bidang kesehatan. Farmasi dalam kaitannya

Lebih terperinci

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM TRAUMA MUKA DAN HIDUNG DEPT. THT FK USU / RSHAM PENDAHULUAN Hidung sering fraktur Fraktur tulang rawan septum sering tidak diketahui / diagnosis hematom septum Pemeriksaan dapat dilakukan dengan palpasi

Lebih terperinci

Pendekatan eksternal dan endonasal dengan atau tanpa endoskopi pada mukosil sinus frontal

Pendekatan eksternal dan endonasal dengan atau tanpa endoskopi pada mukosil sinus frontal Serial Kasus Pendekatan eksternal dan endonasal dengan atau tanpa endoskopi pada mukosil sinus frontal Abdul Qadar Punagi, Ervina Mariani Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok- Bedah Kepala

Lebih terperinci

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016 BENDA ASING HIDUNG Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016 Benda asing pada hidung salah satu kasus yang banyak

Lebih terperinci

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas Rhinosinusitis Bey Putra Binekas Anatomi Fisiologi Sebagai pengatur kondisi udara Sebagai penahan suhu Membantu keseimbangan kepala Membantu resonansi suara Sebagai peredam perubahan tekanan udara Membantu

Lebih terperinci

BAB I KONSEP DASAR. Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan

BAB I KONSEP DASAR. Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan 1 BAB I KONSEP DASAR A. Pengertian Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan jaringan subkutan biasanya disebabkan oleh invasi bakteri melalui suatu area yang robek pada kulit,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumor rongga hidung dan sinus paranasal atau disebut juga tumor sinonasal adalah tumor yang dimulai dari dalam rongga hidung atau sinus paranasal di sekitar hidung.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sikap yang biasa saja oleh penderita, oleh karena tidak memberikan keluhan

I. PENDAHULUAN. sikap yang biasa saja oleh penderita, oleh karena tidak memberikan keluhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembesaran kelenjar (nodul) tiroid atau struma, sering dihadapi dengan sikap yang biasa saja oleh penderita, oleh karena tidak memberikan keluhan yang begitu berarti

Lebih terperinci

LAPORAN KASUS. Epistaksis. Oleh : Nanny Herwanto, S.Ked ( ) Pembimbing : dr. Ahmad Dian Wahyudiono, Sp.THT-KL

LAPORAN KASUS. Epistaksis. Oleh : Nanny Herwanto, S.Ked ( ) Pembimbing : dr. Ahmad Dian Wahyudiono, Sp.THT-KL LAPORAN KASUS Epistaksis Oleh : Nanny Herwanto, S.Ked (0610710092) Pembimbing : dr. Ahmad Dian Wahyudiono, Sp.THTKL Laboratorium Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Lebih terperinci

BAB II KONSEP DASAR. Sinusitis adalah peradangan pada sinus paranasal (Smeltzer, 2001). Sedangkan

BAB II KONSEP DASAR. Sinusitis adalah peradangan pada sinus paranasal (Smeltzer, 2001). Sedangkan BAB II KONSEP DASAR A. Pengertian Sinusitis adalah peradangan pada sinus paranasal (Smeltzer, 2001). Sedangkan menurut (Long, 1996). Sinusitis adalah peradangan pada membrane mukosa sinus. Sinusitis juga

Lebih terperinci

Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay

Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay Laporan Penelitian Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay Jeanny Bubun, Aminuddin Azis, Amsyar Akil, Fadjar Perkasa Bagian Ilmu Kesehatan Telinga

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang berbatasan langsung dengan rongga hidung. Bagian lateralnya merupakan sinus maksila (antrum) dan sel-sel

Lebih terperinci

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal. HIDUNG Hidung adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar atau sesuatu dari aroma yang dihasilkan. Kita mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan yang masih segar

Lebih terperinci

Diagnosa banding MATA MERAH

Diagnosa banding MATA MERAH Diagnosa banding MATA MERAH Konjungtivitis Keratitis Uveitis Anterior Glaukoma Kongestif Akut Visus Normal Tergantung letak infiltrat Menurun perlahan, tergantung Menurun ak letak radang Hiperemi konjungtiva

Lebih terperinci

Maksilektomi medial endoskopik

Maksilektomi medial endoskopik Laporan Kasus Abdul Qadar Punagi Departemen Telinga Hidung Tenggorok - Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin/Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar ABSTRAK Latar belakang:

Lebih terperinci

SCLINICAL PATHWAY SMF THT RSU DAERAH Dr. PIRNGADI KOTA MEDAN

SCLINICAL PATHWAY SMF THT RSU DAERAH Dr. PIRNGADI KOTA MEDAN SCLINICAL PATHWAY SMF THT RSU DAERAH Dr. PIRNGADI KOTA MEDAN (NAMA PENYAKIT) Nama Pasien : BB : No. RM : Jenis Kelamin : TB : Umur/Tanggal Lahir : Tgl. Masuk RS Jam : Diagnosa Masuk RS : Tonsilitis Kronis

Lebih terperinci

Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Dengan Polip Nasi

Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Dengan Polip Nasi Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Dengan Polip Nasi Bestari j Budiman, Ade Asyari Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Abstrak Rinosinusitis merupakan masalah yang penting

Lebih terperinci

Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K)

Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K) TUMOR HIDUNG DAN SINUS PARANASAL Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K) Tumor jinak sering ditemukan, sedangkan tumor ganas jarang ± 3% dari tumor kepala leher & 1% dari seluruh keganasan. Gejala klinis tumor

Lebih terperinci

SINUSISTIS MAKSILARIS EC HEMATOSINUS EC FRAKTUR LE FORT I. Lukluk Purbaningrum FKIK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta RSUD Salatiga

SINUSISTIS MAKSILARIS EC HEMATOSINUS EC FRAKTUR LE FORT I. Lukluk Purbaningrum FKIK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta RSUD Salatiga SINUSISTIS MAKSILARIS EC HEMATOSINUS EC FRAKTUR LE FORT I Lukluk Purbaningrum 20070310087 FKIK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta RSUD Salatiga IDENTITAS PASIEN Nama : Ny. R Umur : 53 tahun Alamat : Jl.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial yang terletak di antara fasia leher dalam, sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinosinusitis merupakan penyakit inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban ekonomi yang tinggi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit inflamasi yang melibatkan mukosa hidung dan sinus paranasal, dapat mengenai satu

Lebih terperinci

SURVEI KESEHATAN HIDUNG MASYARAKAT DI DESA TINOOR 2

SURVEI KESEHATAN HIDUNG MASYARAKAT DI DESA TINOOR 2 SURVEI KESEHATAN HIDUNG MASYARAKAT DI DESA TINOOR 2 1 Windy S. Ishak 2 Olivia Pelealu 2 R.E.C Tumbel 1 Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado 2 Bagian Telinga Hidung Tenggorok-Bedah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus 2.1.1. Sinus Frontalis Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi, dan seringkali juga sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus pasangannya. Ukuran

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung terdiri dari bagian internal dan eksternal. Bagian eksternal menonjol dari wajah dan disangga oleh tulang hidung dan kartilago. Lubang hidung merupakan ostium

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN SINUSITIS

LAPORAN PENDAHULUAN SINUSITIS LAPORAN PENDAHULUAN SINUSITIS DEFINISI : Sinusitis adalah : merupakan penyakit infeksi sinus yang disebabkan oleh kuman atau virus. ETIOLOGI a. Rinogen Obstruksi dari ostium Sinus (maksilaris/paranasalis)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sekitar 5%-10% dari seluruh kunjungan di Instalasi Rawat Darurat bagian pediatri merupakan kasus nyeri akut abdomen, sepertiga kasus yang dicurigai apendisitis didiagnosis

Lebih terperinci

Gambar. Klasifikasi ukuran tonsil

Gambar. Klasifikasi ukuran tonsil TONSILEKTOMI 1. Definisi Tonsilektomi adalah tindakan mengangkat tonsil palatina seutuhnya bersama jaringan patologis lainnya, sehingga fossa tonsilaris bersih tanpa meninggalkan trauma yang berarti pada

Lebih terperinci

PENGERTIAN Peradangan mukosa hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi / ransangan antigen

PENGERTIAN Peradangan mukosa hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi / ransangan antigen RSU. HAJI MAKASSAR RINITIS ALERGI PENGERTIAN Peradangan mukosa hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi / ransangan antigen TUJUAN Menembalikan fungsi hidung dengan cara menghindari allergen penyebab,

Lebih terperinci

Anita's Personal Blog Glaukoma Copyright anita handayani

Anita's Personal Blog Glaukoma Copyright anita handayani Glaukoma Penyakit glaukoma disebabkan oleh saluran cairan yang keluar dari bola mata terhambat sehingga bola mata akan membesar dan kemudian menekan saraf mata yang berada di belakang bola mata yang akhirnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

Lebih terperinci

Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Revisi Pada Rinosinusitis Kronis

Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Revisi Pada Rinosinusitis Kronis Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Revisi Pada Rinosinusitis Kronis Bestari Jaka Budiman, Rossy Rosalinda Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/RSUP Dr.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beraktivitas, dan adanya kemungkinan terjadinya kecacatan karena proses

BAB I PENDAHULUAN. beraktivitas, dan adanya kemungkinan terjadinya kecacatan karena proses BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Osteomielitis kronis telah menjadi masalah yang sulit bagi pasien dan dokter yang merawat. Seringnya angka kekambuhan menyebabkan pasien sering memerlukan perawatan

Lebih terperinci

IDENTITAS I.1. IDENTITAS RESPONDEN

IDENTITAS I.1. IDENTITAS RESPONDEN 66 Lampiran 1 STATUS PENELITIAN No. I. IDENTITAS I.1. IDENTITAS RESPONDEN Nama :... Tanggal lahir :... Jenis Kelamin :... Alamat :... Telepon :... No. M R :... Anak ke/dari :... Jumlah orang yang tinggal

Lebih terperinci

OSTEOMIELITIS. Rachmanissa

OSTEOMIELITIS. Rachmanissa OSTEOMIELITIS Rachmanissa 1301-1208-0028 DEFINISI Osteomielitis adalah Infeksi pada tulang Page 2 KLASIFIKASI Hematogeous osteomyelitis (20%) bakteremia menyebar ke tulang - Akut - kronik Contigous osteomyelitis

Lebih terperinci

BAB II. Kepustakaan. 2.1 Anatomi telinga luar

BAB II. Kepustakaan. 2.1 Anatomi telinga luar BAB II Kepustakaan 2.1 Anatomi telinga luar Secara anatomi, telinga dibagi atas 3 yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Telinga luar berfungsi mengumpulkan dan menghantarkan gelombang bunyi

Lebih terperinci

Laporan Operasi Tonsilektomi

Laporan Operasi Tonsilektomi Laporan Operasi Tonsilektomi Oleh: Ahmad Riza Faisal Herze 1110103000034 Pembimbing: dr. Heditya Damayanti, Sp.THT-KL KEPANITERAAN KLINIK THT RSUP FATMAWATI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis Kronik

Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis Kronik Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis Kronik Vimala Acala, Kartono Sudarman, Anton Christanto, Slamet Widodo Bagian Telinga Hidung dan Tenggorok Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pada wanita dengan penyakit payudara. Insidensi benjolan payudara yang

I. PENDAHULUAN. pada wanita dengan penyakit payudara. Insidensi benjolan payudara yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Benjolan pada payudara merupakan keluhan yang paling sering ditemui pada wanita dengan penyakit payudara. Insidensi benjolan payudara yang bersifat jinak mengalami peningkatan

Lebih terperinci

LAPORAN KASUS. Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Kudus Periode 17 Oktober November 2016

LAPORAN KASUS. Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Kudus Periode 17 Oktober November 2016 LAPORAN KASUS Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Kudus Periode 17 Oktober 2016 12 November 2016 MENIERE S DISEASE Pembimbing: dr. Agus Sudarwi, Sp. THT-KL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningitis adalah kumpulan gejala demam, sakit kepala dan meningismus akibat

BAB I PENDAHULUAN. Meningitis adalah kumpulan gejala demam, sakit kepala dan meningismus akibat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meningitis adalah kumpulan gejala demam, sakit kepala dan meningismus akibat inflamasi pada ruang subarachnoid yang dibuktikan dengan pleositosis cairan serebrospinalis

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

Polip Nasi Pada Anak. Bestari Jaka Budiman/Aci Mayang Sari. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/RS Dr.M.Djamil Padang

Polip Nasi Pada Anak. Bestari Jaka Budiman/Aci Mayang Sari. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/RS Dr.M.Djamil Padang Polip Nasi Pada Anak Bestari Jaka Budiman/Aci Mayang Sari Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Abstrak Polip nasi merupakan massa polip yang timbul terutama dari selaput lendir hidung

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL. Selama penelitian diambil sampel sebanyak 50 pasien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kelainan siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak terkendali (pembelahan sel melebihi

Lebih terperinci

RINOSINUSITIS KRONIS

RINOSINUSITIS KRONIS RINOSINUSITIS KRONIS Muhammad Amir Zakwan (07/25648/KU/12239) Dokter Muda Periode 2-25 Januari 2013 Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP

Lebih terperinci

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Bab 4 Batuk dan Kesulitan Bernapas Kasus II. Catatan Fasilitator. Rangkuman Kasus:

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Bab 4 Batuk dan Kesulitan Bernapas Kasus II. Catatan Fasilitator. Rangkuman Kasus: Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Bab 4 Batuk dan Kesulitan Bernapas Kasus II Catatan Fasilitator Rangkuman Kasus: Agus, bayi laki-laki berusia 16 bulan dibawa ke Rumah Sakit Kabupaten dari sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah telinga, hidung, dan tenggorokan merupakan masalah yang sering terjadi pada anak anak, misal otitis media akut (OMA) merupakan penyakit kedua tersering pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur kondisi udara dengan mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru-paru,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. muka sekitar 40%. Lokasi hidung di tengah dan kedudukan di bagian anterior

BAB 1 PENDAHULUAN. muka sekitar 40%. Lokasi hidung di tengah dan kedudukan di bagian anterior BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fraktur os nasal merupakan fraktur paling sering ditemui pada trauma muka sekitar 40%. Lokasi hidung di tengah dan kedudukan di bagian anterior wajah merupakan faktor

Lebih terperinci

GAMBARAN TRANSILUMINASI TERHADAP PENDERITA SINUSITIS MAKSILARIS DAN SINUSITIS FRONTALIS DI POLI THT RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN

GAMBARAN TRANSILUMINASI TERHADAP PENDERITA SINUSITIS MAKSILARIS DAN SINUSITIS FRONTALIS DI POLI THT RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN GAMBARAN TRANSILUMINASI TERHADAP PENDERITA SINUSITIS MAKSILARIS DAN SINUSITIS FRONTALIS DI POLI THT RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN Teuku Husni Abstrak. Sinusitis adalah proses peradangan pada ruang sinus. Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Penyakit Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang bagian paru, namun tak

Lebih terperinci

BAHAN AJAR V ARTERITIS TEMPORALIS. kedokteran. : menerapkan ilmu kedokteran klinik pada sistem neuropsikiatri

BAHAN AJAR V ARTERITIS TEMPORALIS. kedokteran. : menerapkan ilmu kedokteran klinik pada sistem neuropsikiatri BAHAN AJAR V ARTERITIS TEMPORALIS Nama Mata Kuliah/Bobot SKS Standar Kompetensi Kompetensi Dasar : Sistem Neuropsikiatri / 8 SKS : area kompetensi 5: landasan ilmiah kedokteran : menerapkan ilmu kedokteran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. inflamasi kronik telinga tengah yang ditandai dengan perforasi membran timpani

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. inflamasi kronik telinga tengah yang ditandai dengan perforasi membran timpani BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan salah satu penyakit inflamasi kronik telinga tengah yang ditandai dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar

Lebih terperinci

Gambar klasifikasi Le Fort secara sistematis

Gambar klasifikasi Le Fort secara sistematis Fraktur Le Fort terjadi pada 10-20% dari fraktur wajah. Fraktur ini terjadi karena terpajan kekuatan yang cukup. Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama, penyebab lain yang mungkin yaitu

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN TRAUMA PADA KORNEA DI RUANG MATA RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA. Trauma Mata Pada Kornea

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN TRAUMA PADA KORNEA DI RUANG MATA RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA. Trauma Mata Pada Kornea ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN TRAUMA PADA KORNEA DI RUANG MATA RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA I. Pengertian Ulkus kornea adalah hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian jaringan kornea. Sedang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hidung 2.1.1 Anatomi Hidung 2.1.1.1 Anatomi Hidung Luar Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum

Lebih terperinci

Penatalaksanan deviasi septum dengan septoplasti endoskopik metode open book

Penatalaksanan deviasi septum dengan septoplasti endoskopik metode open book Laporan Kasus Penatalaksanan deviasi septum dengan septoplasti endoskopik metode open book Bestari Jaka Budiman, Muhammad Rusli Pulungan Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala & Leher

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar tidak saja di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Selain virus sebagai penyebabnya,

Lebih terperinci

LAMPIRAN. : Peserta PPDS Ilmu Kesehatan Anak FK USU. RSUP. H. Adam Malik, Medan

LAMPIRAN. : Peserta PPDS Ilmu Kesehatan Anak FK USU. RSUP. H. Adam Malik, Medan LAMPIRAN 1. Personil Penelitian 1. Ketua penelitian Nama Jabatan : dr. Soewira Sastra : Peserta PPDS Ilmu Kesehatan Anak FK USU RSUP. H. Adam Malik, Medan 2. Supervisor penelitian 1. Prof. dr. H. M. Sjabaroeddin

Lebih terperinci

BAB 2 OSTEOMIELITIS KRONIS PADA RAHANG. infeksi yang terjadi dapat disebabkan oleh infeksi odontogenik. Osteomielitis dibagi

BAB 2 OSTEOMIELITIS KRONIS PADA RAHANG. infeksi yang terjadi dapat disebabkan oleh infeksi odontogenik. Osteomielitis dibagi BAB 2 OSTEOMIELITIS KRONIS PADA RAHANG Osteomielitis adalah inflamasi yang terjadi pada tulang dan sumsum tulang, infeksi yang terjadi dapat disebabkan oleh infeksi odontogenik. Osteomielitis dibagi menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paranasaldengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah

BAB I PENDAHULUAN. paranasaldengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang (RSK) merupakaninflamasi mukosa hidung dan sinus paranasaldengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung tersumbat

Lebih terperinci

Gambar 1. Anatomi Palatum 12

Gambar 1. Anatomi Palatum 12 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Palatum 2.1.1 Anatomi Palatum Palatum adalah sebuah dinding atau pembatas yang membatasi antara rongga mulut dengan rongga hidung sehingga membentuk atap bagi rongga mulut. Palatum

Lebih terperinci

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung BILATERAL RECURRENT NASAL POLYPS STADIUM 1 IN MEN WITH ALLERGIC RHINITIS Pratama M 1) 1) Medical Faculty of Lampung University Abstract Background. Nasal polyps are soft period that contains a lot of fluid

Lebih terperinci