HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 11 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penggunaan Lahan Hutan Pinus Penggunaan lahan hutan pinus menempati bagian lahan dengan lereng yang cukup curam. Tumbuhan penutup tanah (basal cover) pada hutan ini didominasi oleh rerumputan dan tumbuhan liar lainnya, seperti Harendong. Sisa tumbuhan penutup tanah (basal cover) dan pohon pinus menjadi sumber bahan organik yang dimanfaatkan oleh organisme tanah. Hutan Pinus ini terkadang dilalui oleh petani atau warga yang memanfaatkan pohon pinus untuk diambil getahnya sehingga pada beberapa tempat tanah pada hutan ini mengalami pemadatan. Gambar 2. Penggunaan lahan hutan pinus. Kebun Sayuran Komoditas yang ditanam pada kebun sayuran di desa ini cukup beragam, seperti wortel, caisin, tomat, kol, brokoli, jagung, dan kacang-kacangan. Di beberapa lahan ditemukan penanaman berbagai komoditas pada bedeng yang berbeda pada ladang yang sama. Pada lahan ini dilakukan pengolahan tanah yang cukup intensif, yakni tiap 1-4 bulan tergantung komoditas yang ditanam. Gambar 3. Penggunaan lahan kebun sayuran.

2 12 Kebun Cabai Penggunaan lahan sebagai kebun cabai dibedakan dengan kebun sayuran. Hal ini karena karakteristik kebun yang sedikit berbeda. Pada penggunaan lahan sebagai kebun cabai pengolahan tanah relatif lebih jarang. Tanaman cabai dipanen beberapa kali hingga usia tanaman sekitar delapan bulan. Selama rentang waktu awal tanam hingga panen terakhir, pengolahan tanahnya tergolong minimum. Gambar 4. Penggunaan lahan kebun cabai. Lahan Berumput Wilayah yang ditutupi rumput umumnya merupakan lahan yang tidak dimanfaatkan. Pada beberapa bagian, rumput tumbuh cukup rapat menutupi permukaan tanah. Sedangkan pada bagian lainnya, intensitas tutupan rumput lebih jarang dan keadaan rumput relatif kering. Wilayah ini terkadang dilalui oleh petani atau warga sehingga cenderung agak terganggu. Perakaran rumput berupa akar serabut. Akar serabut cukup banyak menempati pori tanah. Pada kedalaman 0-20 cm tanah lahan berumput ditemui makrofauna tanah, yakni semut. Gambar 5. Penggunaan lahan berumput. Pemukiman Pembangunan pemukiman dibuat berjajar di salah satu sisi lereng bukit dan tidak dominan dibanding lahan pertanian. Penggunaan lahan sebagai pemukiman di wilayah ini sebagian besar dibangun dengan halaman rumah yang sangat

3 13 minimum. Jarak antar satu rumah dengan rumah yang lain hanya dibatasi dengan dinding tembok rumah itu sendiri. Adapun halaman yang cukup luas umumnya digunakan sebagai tempat parkir atau tempat singgah kendaraan dan aktivitas manusia sehingga permukaan tanah relatif padat. Permukaan tanah juga ditumbuhi lumut sehingga pori permukaan tanah tertutup dan relatif kedap. Gambar 6. Penggunaan lahan pemukiman. Sifat Fisik Tanah pada Berbagai Penggunaan Lahan Bobot Isi Bobot isi tanah pada kelima penggunaan lahan pada kedalaman 0-20 cm secara berurutan dari nilai tertinggi yakni 1,14 g/cm 3 (pemukiman), 0,95 g/cm 3 (hutan pinus), 0,89 g/cm 3 (lahan berumput), 0,83 g/cm 3 (kebun sayuran), dan 0,80 g/cm 3 (kebun cabai). Pada kedalaman cm, bobot isi tanah masingmasing penggunaan lahan bernilai 0,96 g/cm 3 (pemukiman), 0,94 g/cm 3 (lahan berumput), 0,93 g/cm 3 (kebun cabai), 0,90 g/cm 3 (hutan pinus) dan 0,80 g/cm 3 (kebun sayuran). Perbandingan bobot isi tanah pada lapisan atas (kedalaman tanah 0-20 cm) dan lapisan di bawahnya (kedalaman cm) pada kelima penggunaan tanah disajikan pada Gambar 7. Bobot isi (g/cm 3 ) 1,20 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 0,00 0,95 Hutan Pinus 0,83 0,89 0,80 0,90 0,80 0,93 Kebun Sayuran Kebun Cabai Rumput 0,94 1,14 0,96 Pemukiman Kedalaman 0-20 cm Kedalaman cm Gambar 7. Bobot isi tanah pada berbagai penggunaan lahan.

4 14 Hutan Pinus Berdasarkan Gambar 7 diketahui bahwa bobot isi tanah hutan pinus sebesar 0,95 g/cm 3 (kedalaman 0-20 cm ) dan 0,90 g/cm 3 (pada kedalaman cm). Menurut Hanafiah (2005), bobot isi tanah hutan pinus pada kedua kedalaman tanah termasuk ringan. Adanya aktifitas vegetasi dan flora-fauna tanah yang didukung pula oleh pasokan bahan organik yang tersedia menyebabkan bobot isi relatif ringan. Akar tumbuhan dan flora-fauna tanah menciptakan biopori sehingga tanah tidak menjadi padat. Bahan organik yang terdapat pada lahan ini berperan sebagai pemicu aktivitas mikroorganisme yang kemudian membantu penggemburan tanah dan penciptaan biopori. Namun, Hutan Pinus ini terkadang dilalui oleh petani atau warga yang menyebabkan terjadinya pemadatan tanah pada lapisan teratas sehingga bobot isi pada kedalaman 0-20 cm lebih tinggi dibandingkan bobot isi tanah pada kedalaman cm. Lahan Berumput Bobot isi tanah lahan berumput sebesar 0,89 g/cm 3 pada kedalaman 0-20 cm dan sebesar 0,94 g/cm 3 pada kedalaman cm (Gambar 7) dan keduanya tergolong ringan. Dibandingkan bobot isi tanah Hutan Pinus, bobot isi tanah lahan berumput pada kedalaman 0-20 cm lebih rendah 5,75 %. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas flora dan fauna habitat rerumputan mampu menggemburkan lapisan tanah teratas secara nyata. Sedangkan pada kedalaman cm, bobot isi tanah lahan berumput 3,90 % lebih tinggi dibandingkan bobot isi tanah hutan pinus. Bobot isi yang tinggi dipengaruhi oleh gangguan aktifitas manusia yang menyebabkan pemadatan tanah. Selain itu, lahan berumput yang diamati diduga merupakan lapisan bagian dalam tanah yang telah disingkap melalui penterasan yang kemudian belum sempat dimanfaatkan sehingga bobot isi tanah tinggi. Kebun Sayuran Bobot isi tanah kebun sayuran pada kedalaman 0-20 cm senilai 0,83 g/cm 3 dan 0,80 g/cm 3 pada kedalaman cm (Gambar 7). Menurut klasifikasi Hanafiah (2005), bobot isi tanah kebun sayuran tersebut termasuk ringan. Pada kedalaman 0-20 cm, bobot isi tanah kebun sayuran 12,11 % lebih rendah daripada

5 15 bobot isi tanah Hutan Pinus. Sedangkan pada kedalaman cm, bobot isi tanah kebun sayuran 11,63 % lebih rendah dibandingkan bobot isi Hutan Pinus. Berdasarkan Tan (2009), rendahnya bobot isi tanah merupakan dampak dari pengolahan tanah dan penambahan pupuk kandang. Kebun Cabai Bobot isi tanah kebun cabai bernilai 0,80 g/cm 3 pada kedalaman 0-20 cm dan 0,93 g/cm 3 pada kedalaman cm (Gambar 7). Berdasarkan klasifikasi Hanafiah (2005), bobot isi tanah kebun cabai tersebut termasuk ringan. Dibandingkan bobot isi tanah Hutan Pinus, bobot isi tanah kebun cabai pada kedalaman 0-20 cm lebih rendah 15,02 %. Sedangkan pada kedalaman cm, bobot isi tanah kebun cabai 2,79% lebih tinggi dibandingkan bobot isi tanah Hutan Pinus. Tanah pada kebun sayuran dan kebun cabai mengalami proses pengolahan tanah. Tanah sengaja digemburkan sehingga bobot isi tanah menjadi ringan (Tan, 2009). Selain itu, pada tanah kebun sayuran dan kebun cabai dilakukan penambahan pupuk kandang sehingga bobot isi tanah lebih rendah daripada bobot isi tanah Hutan Pinus. Lahan Pemukiman Hasil pengamatan bobot isi menunjukkan bahwa tanah pada penggunaan lahan pemukiman memiliki bobot isi lebih tinggi dibandingkan bobot isi tanah hutan pinus, kebun sayuran, kebun cabai maupun tanah lahan berumput (Gambar 7). Nilai bobot isi tanah lahan pemukiman pada kedalaman 0-20 cm sebesar 1,14 g/cm 3 dan 0,96 g /cm 3 pada kedalaman cm. Menurut klasifikasi Hanafiah (2005), nilai bobot isi tanah pemukiman pada kedua kedalaman tergolong ringan. Dibandingkan bobot isi tanah hutan pinus, bobot isi tanah pemukiman lebih tinggi 20,14 % pada kedalaman 0-20 cm dan lebih tinggi 6,29 % pada kedalaman cm. Faktor utama penyebab tingginya bobot isi tanah pada tanah pemukiman adalah pemadatan tanah (soil compaction). Adanya intensitas aktivitas manusia dan kendaraan pada permukaan tanah lahan ini menyebabkan agregat tanah dan termampatkan pori-pori tanah sehingga tanah menjadi padat. Pemadatan ini

6 16 berpengaruh langsung terhadap lapisan 0-20 cm. Sedangkan lapisan cm terlindungi oleh lapisan diatasnya sehingga tidak terlalu terpadatkan. Namun, bobot isi pada lapisan cm akan menjadi lebih tinggi lagi jika intensitas lalu lalang manusia dan kendaraan semakin intensif dan dalam jangka waktu yang lama. Total Ruang Pori Hasil pengamatan total ruang pori pada kedalaman 0-20 cm menunjukkan urutan total ruang pori dari total ruang pori tertinggi yakni 56,71 % (kebun cabai), 55,23 (kebun sayuran), 51,99 % (lahan berumput), 49,06 % (hutan pinus) dan 38,80 % (pemukiman). Pada kedalaman cm, urutan total ruang pori pada masing-masing penggunaan lahan yakni 57,00 % (kebun sayuran), 51,34 % (hutan pinus), 49,98 % (kebun cabai), 49,43 % (lahan berumput) dan 48,28 % (pemukiman). Nilai total ruang pori pada berbagai penggunaan lahan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Total ruang pori tanah pada berbagai penggunaan lahan Penggunaan lahan Kedalaman tanah (cm) Total ruang pori tanah (% bobot) Hutan Pinus , ,34 Kebun Sayuran , ,00 Kebun Cabai , ,98 Lahan berumput , ,43 Pemukiman , ,28 Hutan Pinus Tanah pada penggunaan lahan hutan pinus memeiliki total ruang pori senilai 49,06 % (kedalaman 0-20 cm) dan 52,34 % (kedalaman cm) (Tabel 3). Pada penggunaan lahan hutan pinus, pori-pori tanah terbentuk sebagai akibat adanya aktivitas perakaran dan organisme tanah. Aktivitas mikroorganisme tanah dan perakaran pinus serta tanaman penutup tanah lainnya membantu pembentukan pori-pori tanah. Total ruang pori tanah pada kedalaman 0-20 cm lebih rendah

7 17 daripada total ruang pori tanah pada kedalaman cm. Hal ini terjadi akibat adanya pemadatan tanah pada lapisan teratas. Lahan Berumput Pada lahan berumput, total ruang pori tanah pada kedalaman 0-20 cm adalah 51,99 % dan pada kedalaman cm adalah 49,43 % (Tabel 3). Aktivitas perakaran rumput dan organisme tanah seperti semut meningkatkan ruang pori total tanah pada lapisan atas lahan berumput. Total ruang pori tanah pada lahan berumput lebih rendah dibandingkan dengan total ruang pori tanah pada kebun sayuran dan cabai. Hal ini terjadi karena lahan berumput digunakan sebagai tempat aktivitas manusia sehingga relatif lebih padat. Kebun Sayuran Penggunaan lahan kebun sayuran memiliki total ruang pori tanah sebesar 55,23 % pada kedalaman 0-20 cm dan 57,00 % pada kedalaman cm (Tabel 3). Tanah pada penggunaan lahan ini mengalami pengolahan tanah. Proses pengolahan tanah menyebabkan tanah pada lahan ini lebih gembur dibandingkan tanah pada pemukiman, lahan berumput, dan hutan pinus. Dengan demikian, total ruang pori tanah kebun sayuran lebih tinggi dibandingkan total ruang pori lahan pemukiman, lahan berumput dan hutan pinus. Kebun Cabai Total ruang pori tanah pada penggunaan lahan kebun cabai adalah 56,71 % pada kedalaman 0-20 cm dan 49,98 % pada kedalam cm (Tabel 3). Pengolahan tanah yang dilakukan berpengaruh terhadap tingginya total ruang pori kebun cabai. Penggemburan tanah melalui pencangkulan dan penambahan pupuk kandang menyebabkan total ruang pori tanah kebun cabai lebih tinggi daripada total ruang pori lahan pemukiman, lahan berumput dan hutan pinus. Lahan Pemukiman Dari Tabel 3 diketahui bahwa tanah pada penggunaan lahan pemukiman memiliki total ruang pori paling rendah dibandingkan total ruang pori tanah pada penggunaan lahan lainnya. Pada kedalaman 0-20 cm, toal ruang pori tanah lahan pemukiman adalah 38,80 %. Sedangkan pada kedalaman cm, total ruang pori tanah lahan pemukiman adalah 48,28 %. Faktor utama rendahnya total ruang

8 18 pori tanah pada penggunaan lahan pemukiman adalah faktor pemadatan tanah. Permukaan tanah pada penggunaan lahan pemukiman mengalami tekanan yang cukup besar dari aktivitas manusia dan lalu-lintas kendaraan. Distribusi Pori Hasil pengamatan distribusi pori pada kedalaman 0-20 cm menunjukkan urutan total pori drainase tertinggi hingga terendah sebagai berikut; 21,81 % (kebun cabai), 19,85 % (hutan pinus), 17,55 % (lahan berumput), 10,28 % (kebun sayuran) dan 4,24 % (pemukiman). Pada kedalaman %, urutan total pori drainase tertinggi hingga terendah adalah 20,21 % (kebun sayuran), 19,53 % (kebun cabai), 19,29 % (hutan pinus), 15,93 % (lahan berumput) dan 14,95 % (pemukiman) (Tabel 4). Tabel 4. Distribusi pori pada berbagai penggunaan lahan Penggunaan lahan Hutan Pinus Kebun Sayuran Kebun Cabai Lahan berumput Pemukiman KT (cm) TRP PDSC PDC PDL TPD PK PH.....% volume ,56 2,30 6, ,73 24, ,34 4,62 2, ,76 23, ,66 4,61 2, ,88 25, ,20 2,49 0, ,15 19, ,17 3,78 0, ,45 17, ,59 1,39 1, ,89 23, ,79 0,86 1, ,85 22, ,47 3,05 1, ,23 24, ,37 0,61 3, ,32 35, ,63 1,39 3, ,71 30,75 KT : Kedalaman tanah PDL : Pori drainase lambat TRP : Total ruang pori TPD : Total pori drainase PDSC : Pori drainase sangat cepat PK : Pori kapiler PDC : Pori drainase cepat PH : Pori higroskopis

9 19 Pori kapiler pada kedalaman 0-20 cm secara berurutan dari tertinggi hingga terendah adalah 9,88 % (kebun sayuran), 6,45 % (kebun cabai), 5,85 % (lahan berumput), 4,32 % (pemukiman) dan 1,73 % (hutan pinus). Pada kedalaman cm, urutan pori kapiler tertinggi hingga terendah adalah 6,23 % (pemukiman), 6,15 % (kebun cabai), 3,89 % (lahan berumput), 3,76 % (kebun sayuran) dan 0,71 % (hutan pinus) (Tabel 4). Urutan pori higroskopis tertinggi hingga terendah pada kedalaman 0-20 cm yakni 35,57 % (pemukiman), 25,78 % (kebun sayuran), 24,86 % (hutan pinus), 22,98 % (lahan berumput) dan 17,35 % (kebun cabai). Pada kedalaman cm, urutan pori higroskopis tertinggi hingga terendah adalah 30,75 % (pemukiman), 24,29 % (lahan berumput), 23,38 % (hutan pinus), 23,04 % (kebun cabai) dan 19,19 (kebun sayuran) (Tabel 4). Kurva pf untuk masing-masing penggunaan lahan disajikan pada Gambar 8, 9, 10, 11 dan 12. Gambar 8. Kurva pf penggunaan lahan hutan pinus. Gambar 9. Kurva pf penggunaan lahan kebun sayuran.

10 20 Gambar 10. Kurva pf penggunaan lahan kebun cabai. Gambar 11. Kurva pf penggunaan lahan berumput. Gambar 12. Kurva pf penggunaan lahan pemukiman. Hutan Pinus Distribusi pori tanah pada penggunaan lahan hutan pinus yakni 10,56 % pori drainase sangat cepat, 2,30 % pori drainase cepat, 6,99 % pori drainase lambat, 1,73 % pori kapilar dan 24,86 % pori higroskopis (kedalaman 0-20 cm). Sedangkan pada kedalaman cm, pori sangat cepat mencapai 12,34 %, pori

11 21 cepat 4,62 %, pori lambat 2,33 %, pori kapilar 3,76 % dan pori higroskopis 23,38 % (Tabel 4). Komposisi ini merupakan hasil interaksi antara aktifitas berbagai organisme pada tanah hutan pinus. Mulai dari perakaran pinus yang dapat membentuk pori drainase sangat cepat, hingga mikroorganisme yang dapat membentuk pori kapilar. Adanya bahan organik meningkatkan aktifitas organisme tanah sehingga jumlah pori drainase tanah tinggi (Jury, Gardner dan Gardner, 1991). Lahan Berumput Pada kedalaman 0-20 cm, distribusi pori tanah pada lahan berumput menunjukkan jumlah pori drainase sangat cepat 14,79 %, pori drainase cepat 0,86 %, pori drainase lambat 1,90%, pori kapiler 5,85 % dan pori higrokopis 22,98 % (Tabel 4). Distribusi pori menunjukkan jumlah pori drainase sangat cepat sebanyak 11,47 %, pori drainase cepat sebanyak 3,05%, pori drainase lambat sebanyak 1,41 %, pori kapilar 6.23 %, dan pori higroskopis 24,29 % (Tabel 4). Tanah pada lahan berumput memiliki pori drainase lebih banyak dari pada pori drainase tanah pada lahan pemukiman. Hal ini terjadi karena pada lahan berumput terdapat aktivitas perakaran dan organisme tanah. Aktivitas organisme tanah, terutama semut, menghasilkan pori drainase (Hamblin, 1985 dalam Lal dan Shukla, 2004) dan akar rumput yang mati menyebabkan pori-pori tanah menjadi kosong. Selain itu, gangguan akibat aktivitas manusia dan kendaraan pada lahan berumput lebih ringan dibandingkan aktivitas manusia dan kendaraan pada lahan pemukiman. Gangguan aktivitas ringan ini pulalah yang menyebabkan pori drainase lahan berumput lebih rendah dibanding kebun sayuran, kebun cabai dan hutan pinus. Kebun Sayuran Jumlah pori drainase sangat cepat pada tanah kebun sayuran mencapai 3,66 %, pori drainase cepat 4,61 %, pori drainase lambat 2, 01 %, 9,88 % pori kapiler dan 25,78 % pori higroskopis. Pada kedalaman cm, pori drainase sangat cepat mencapai 17,20 %, pori drainase cepat 2,49 %, pori drainase lambat 0,52% pori kapilar 6,15% dan pori higroskopis sebesar 19,19 % (Tabel 4).

12 22 Rendahnya pori drainase sangat cepat pada kedalaman 0-20 cm diakibatkan oleh intensitas pengolahan tanah yang cukup tinggi. Pada penggunaan lahan kebun sayuran dilakukan pengolahan tanah. Perlakuan ini menyebabkan penurunan bobot isi dan pori drainase sangat cepat. Akan tetapi, seiring pertumbuhan tanaman, aktifitas akar, bahan organik dan organisme tanah terjadi perbaikan sifat fisik tanah, diantaranya pori-pori tanah. Kebun Cabai Lahan kebun cabai mengalami pengolahan tanah yang lebih jarang dibandingkan lahan kebun sayuran. Pada saat pengamatan, lahan cabai mencapai masa tanam sekitar lebih dari enam bulan. Hal ini berarti, hampir selama enam bulan terakhir lahan tersebut tidak dikenai pencangkulan. Dengan demikian, poripori tanah relatif memiliki waktu lebih lama untuk peningkatan jumlah pori. Pori drainase sangat cepat tanah kebun cabai mencapai 17,17% pada kedalaman 0-20 cm dan 16,59 % pada kedalaman cm (Tabel 4). Pada kedalaman 0-20 cm, tanah kebun cabai memiliki 3,78% pori drainase cepat, 0,87 % pori drainase lambat, 6,45 % pori kapilar dan 17,35% pori higroskopis. Sedangkan pada kedalaman cm tanah kebun cabai memiliki 1,39 % pori drainase cepat, 1,55 % pori drainase lambat,, 3,89 % pori kapilar dan 23,04 % pori higroskopis (Tabel 4). Pori drainase sangat cepat kebun cabai lebih banyak dibandingkan pori drainase sangat cepat pada tanah kebun sayuran. Hal ini disebabkan pengolahan tanah pada tanah kebun cabai lebih jarang dibandingkan pengolahan tanah pada kebun sayuran. Lahan Pemukiman Distribusi pori pada tanah pemukiman pada kedalaman 0-20 cm terdiri dari 0,37 % pori drainase sangat cepat, 0,61% pori drainase cepat, 3,26 % pori drainase lambat, 4,32 % pori kapilar dan 35,57% pori higroskopis. Pada kedalaman cm, distribusi pori tanah pemukiman terdiri dari 9,63 % pori drainase sangat cepat, 1,39 % pori drainase cepat, 3,92 % pori drainase lambat dan 0,71 % pori kapilar dan 30,75 % pori higroskopis (Tabel 4). Pori-pori yang dominan pada tanah pemukiman adalah pori higroskopis. Jumlah pori ini mencapai 39,89 % (90,39% dari total ruang pori tanah) pada

13 23 kedalaman 0-20 cm dan 31,46 % (67,79 % dari total ruang pori tanah) pada kedalaman cm (Tabel 4). Dominasi pori higroskopis terjadi akibat adanya pemadatan tanah. Lalu-lalang kendaraan dan manusia pada permukaan tanah menyebabkan agregat tanah termampatkan dan jumlah pori drainase menurun. Laju Infiltrasi pada Berbagai Penggunaan Lahan Laju infiltrasi rata-rata konstan tanah hutan pinus merupakan laju infiltrasi rata-rata konstan tertinggi, yakni sebesar 660 mm/jam. Dalam klasifikasi laju infiltrasi Kohnke (1968), laju infiltrasi konstan tersebut termasuk sangat cepat. Laju infiltrasi konstan dengan nilai tersebut diklasifikasikan sebagai laju sedanglambat. Nilai rata-rata laju infiltrasi konstan pada kelima penggunaan lahan disajikan pada Tabel 5. Rata-rata laju peresapan konstan air tanah pada kebun cabai sebesar 180 mm/jam. Laju infiltrasi konstan pada penggunaan lahan kebun sayuran sebesar 140 mm/jam. Kedua laju infiltrasi termasuk laju infiltrasi konstan cepat. Demikian pula pada penggunaan lahan berumput, laju infiltrasi konstan tergolong cepat dengan nilai rata-rata sebesar 136 mm/jam. Adapun pada penggunaan lahan pemukiman, laju infiltrasi rata-rata konstan hanya sebesar 7,33 mm/jam Tabel 5. Rata-rata laju infiltrasi konstan pada berbagai penggunaan lahan Penggunaan lahan Rataan laju infiltrasi Klasifikasi laju infiltrasi konstan (mm/jam) Kohnke (1968) Hutan Pinus 660 Sangat cepat Kebun Cabai 180 Cepat Kebun Sayuran 140 Cepat Lahan berumput 136 Cepat Pemukiman 7,33 Sedang-lambat Perbandingan laju infiltrasi pada kelima penggunaan lahan disajikan pada Gambar 13. Terlihat bahwa laju infiltrasi dari berbagai penggunaan lahan di awal waktu memperlihatkan perbedaan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan ketika mencapai laju infiltrasi konstan dimana perbedaannya mengecil. Pada awal waktu laju infiltrasi lebih ditentukan oleh pori drainase, sedangkan ketika mendekati konstan, laju infiltrasi lebih dikendalikan oleh pori yang berukuran lebih kecil yaitu pori kapiler dan higroskopis.

14 24 Gambar 13. Laju infiltrasi pada berbagai penggunaan lahan. Hutan Pinus Laju infiltrasi tanah maksimum dan laju infiltrasi konstan pada penggunaan lahan hutan pinus merupakan laju infiltrasi tertinggi (Gambar 13). Tingginya laju infiltrasi pada penggunaan lahan hutan pinus dipengaruhi oleh jumlah pori drainase. Distribusi pori tanah hutan pinus menunjukkan jumlah pori drainase sebanyak 19,85 % pada kedalaman 0-20 cm dan 19,29 % pada kedalaman cm (Tabel 4). Selain itu, vegetasi hutan dan kontinuitas biopori tanah yang terbentuk secara alami juga berpengaruh besar terhadap tingginya infiltrasi tanah. Tanaman membentuk saluran air di dalam tanah melalui sisa-sisa akar yang membusuk sehingga air meresap lebih mudah (Sofyan, 2006). Lahan Berumput Laju infiltrasi lahan berumput lebih rendah dibandingkan laju infiltrasi tanah hutan pinus (Gambar 13). Meskipun lahan berumput memiliki bobot isi lebih rendah dan pori total yang lebih tinggi dibandingkan hutan pinus, namun total pori drainase tanah lahan berumput lebih rendah daripada total pori drainase hutan pinus. Selain itu, pada lahan berumput, perakaran rumput hanya lebat pada lapisan atas (0-20 cm) saja, dan berkurang pada lapisan tanah kedalaman cm. Selain itu, lahan berumput diduga merupakan bekas lapisan bagian dalam tanah yang telah disingkap melalui penterasan yang kemudian belum sempat dimanfaatkan dan ditumbuhi rumput sehingga baru lapisan atasnya saja yang telah mengalami penggemburan akibat perakaran rerumputan sehingga aliran air agak terhambat dibanding hutan pinus.

15 25 Kebun Sayuran Penggunaan lahan kebun sayuran memiliki laju infiltrasi yang lebih rendah dibandingkan laju infiltrasi hutan pinus (Gambar 13). Pada kedalaman 0-20 cm, total ruang pori tanah pada kebun sayuran (55,23 %) lebih tinggi daripada total ruang pori hutan pinus (49,06 %) (Tabel 3). Meskipun demikian, total pori drainase hutan pinus lebih tinggi dibandingkan total pori drainase kebun sayuran (Tabel 3). Selain itu, tutupan tajuk vegetasi pada kebun sayuran lebih jarang dibandingkan tutupan tajuk vegetasi hutan pinus. Hal ini mengakibatkan terjadinya efek pukulan air hujan pada kebun sayuran yang mengakibatkan pori tanah tertutup sehingga menurunkan laju infiltrasi. Kebun Cabai Penggunaan lahan kebun cabai memiliki laju infiltrasi tanah yang lebih tinggi dibandingkan laju infiltrasi kebun sayuran (Gambar 13). Pada kedalaman 0-20 cm, total ruang pori tanah kebun cabai (56,71 %) lebih tinggi daripada total ruang pori tanah kebun sayuran (55,23 %) (Tabel 3). Selain itu, jumlah pori drainase kebun sayuran pada kedalaman 0-20 cm lebih rendah daripada jumlah pori drainase kebun cabai (Tabel 4). Rata-rata laju infiltrasi konstan pada penggunaan lahan kebun cabai lebih tinggi daripada rata-rata laju infiltrasi konstan pada penggunaan lahan kebun sayuran (Gambar 13). Total ruang pori tanah kebun cabai lebih tinggi daripada total ruang pori tanah kebun sayuran. Jumlah pori drainase kebun cabai ( 17,17 %) pada kedalaman 0-20 cm lebih tinggi daripada jumlah pori drainase kebun sayuran (10,28 %) (Tabel 4). Hal ini terjadi karena pengolahan tanah kebun sayuran lebih intensif daripada pengolahan tanah di kebun cabai. Dengan demikian, laju infiltrasi tanah kebun cabai lebih tinggi daripada laju infiltrasi tanah kebun sayuran. Lahan Pemukiman Tanah pada lahan pemukiman memiliki laju infiltrasi konstan paling rendah dibanding laju infiltrasi konstan penggunaan lahan hutan pinus, kebun sayuran, kebun cabai dan lahan berumput (Gambar 13). Faktor utama rendahnya laju infiltrasi maksimum dan laju infiltrasi konstan tanah pada tanah pemukiman

16 26 adalah adanya pemadatan tanah. Aktivitas lalu lintas kendaraan dan manusia menyebabkan tanah menjadi padat. Adanya pemadatan menyebabkan bobot isi tanah menjadi tinggi, yakni senilai 1,14 g/cm 3 pada kedalaman 0-20 cm (Gambar 7) dengan total pori total tanah terendah, yaitu 38,80 (% bobot). Akibat lain dari pemadatan adalah susunan dan distribusi pori didominasi pori higroskopis sebesar 35,57% (Tabel 4) atau sekitar 80,61 % dari total ruang pori tanah. Minimnya pori drainase tanah pemukiman, yakni hanya sebesar 0,37 %, menyebabkan air sulit meresap. Selain itu, tumbuhnya lumut pada permukaan tanah dan menutupi pori permukaan tanah turut memperlambat laju infiltrasi. Dengan demikian laju infiltrasi pada penggunaan lahan pemukiman menjadi paling rendah dibandingkan laju infiltrasi pada penggunaan lahan lainnya. Model Infiltrasi Pemodelan infiltrasi digunakan untuk membuat kurva laju infiltrasi yang baik (curve fit). Dengan berkembangnya teknologi komputer, kurva laju infiltrasi dapat dibuat tanpa harus menggunakan pemodelan infiltrasi, akan tetapi pemodelan infiltrasi tetap dapat dimanfaatkan yakni untuk menduga karakteristik infiltrasi menggunakan variabel-variabel tertentu tanpa pengukuran lapang. Salah satu pemodelan infiltrasi adalah persamaan infiltrasi Horton. Horton merupakan salah satu pioner yang mempelajari laju infiltrasi di lapangan dan mengembangkan persamaan laju infiltrasi dan kapasitas infiltrasi. Model infiltrasi Horton dipercaya dapat menjelaskan proses infiltrasi pada berbagai jenis tanah dan konsisten terhadap proses infiltrasi itu sendiri (Lal dan Shukla, 2004). Persamaan laju infiltrasi Horton dan persamaan infiltrasi lapang untuk tiap penggunaan lahan ditampilkan pada Tabel 6. Tabel 6. Persamaan laju infiltrasi Horton dan persamaan infiltrasi lapang pada berbagai penggunaan lahan Penggunaan lahan Persamaan laju infiltrasi Persamaan laju infiltrasi Horton lapang Hutan Pinus e t -343 ln(t) ,9 Kebun Sayuran ,01 e -0,019t -279,8 ln(t) ,7 Kebun Cabai ,99 e -0,057t -413,4 ln(t) ,8 Lahan Berumput ,55 e -0,031t -193,3 ln(t) Pemukiman 15+43,51e -0,07t -14,89 ln(t) + 73,38

17 27 Pada Gambar 14 ditunjukkan kurva infiltrasi lapang dan kurva infiltrasi hasil Persamaan Horton pada penggunaan lahan hutan pinus. Dari gambar tersebut diketahui laju infiltrasi awal pada infiltrasi lapang lebih rendah daripada laju infiltrasi awal hasil perhitungan menggunakan Persamaan Horton. Namun, laju infiltrasi konstan hasil perhitungan menggunakan Persamaan Horton lebih rendah dibanding laju infiltrasi konstan pada infiltrasi lapang. Gambar 14. Kurva laju infiltrasi lapang dan laju infiltrasi Horton pada penggunaan lahan hutan pinus. Laju infiltrasi awal pada infiltrasi lapang penggunaan lahan kebun sayuran lebih tinggi dibandingkan dengan laju infiltrasi awal infiltrasi Horton. Sedangkan laju infiltrasi konstan berdasarkan pengukuran di lapang lebih kecil daripada laju infiltrasi konstan perhitungan Persamaan Horton (Gambar 15). Gambar 15. Kurva laju infiltrasi lapang dan laju infiltrasi Horton pada penggunaan lahan kebun sayuran. Dari Gambar 16 diketahui, laju infiltrasi awal penggunaan lahan hasil pengukuran lapang lebih tinggi daripada laju infiltrasi awal hasil perhitungan

18 28 menggunakan Persamaan Horton. Namun, laju infiltrasi konstan pada infiltrasi lapang dan pemodelan infiltrasi Horton menunjukkan nilai yang sama. Gambar 16. Kurva laju infiltrasi lapang dan laju infiltrasi Horton pada penggunaan lahan kebun cabai. Pada Gambar 17 dapat dilihat laju infiltrasi awal penggunaan lahan berumput hasil pengukuran langsung di lapang lebih tinggi dibandingkan laju infiltrasi awal hasil pemodelan infiltrasi Horton. Sebaliknya, laju infiltrasi konstan hasil pemodelan infiltrasi Horton lebih tinggi dibandingkan laju infiltrasi konstan hasil pengukuran lapang. Gambar 17. Kurva laju infiltrasi lapang dan laju infiltrasi Horton pada penggunaan lahan berumput. Laju infiltrasi awal hasil pengukuran lapang pada penggunaan lahan pemukiman lebih tinggi dibandingkan laju ifiltrasi awal hasil pemodelan infiltrasi menggunakan Persamaan Horton. Namun, laju infiltrasi konstan hasil pengukuran lapang dan hasil pemodelan infiltrasi Horton menunjukkan nilai yang sama (Gambar 18).

19 29 Gambar 18. Kurva laju infiltrasi lapang dan laju infiltrasi Horton pada penggunaan lahan pemukiman. Dengan demikian, dari kelima tipe penggunaan lahan pada penelitian ini, persamaan Horton dapat digunakan untuk permodelan dengan hasil yang sangat baik untuk kebun sayuran, kebun cabai dan lahan berumput serta cukup baik untuk hutan pinus dan permukiman.

TINJAUAN PUSTAKA Infiltrasi

TINJAUAN PUSTAKA Infiltrasi 2 TINJAUAN PUSTAKA Infiltrasi Infiltrasi didefinisikan sebagai proses masuknya air ke dalam tanah melalui permukaan tanah. Umumnya, infiltrasi yang dimaksud adalah infiltrasi vertikal, yaitu gerakan ke

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK INFILTRASI TANAH PADA PENGGUNAAN LAHAN PERTANIAN DAN PEMUKIMAN DI DESA SUKARESMI, KECAMATAN MEGAMENDUNG, KABUPATEN BOGOR

KARAKTERISTIK INFILTRASI TANAH PADA PENGGUNAAN LAHAN PERTANIAN DAN PEMUKIMAN DI DESA SUKARESMI, KECAMATAN MEGAMENDUNG, KABUPATEN BOGOR i KARAKTERISTIK INFILTRASI TANAH PADA PENGGUNAAN LAHAN PERTANIAN DAN PEMUKIMAN DI DESA SUKARESMI, KECAMATAN MEGAMENDUNG, KABUPATEN BOGOR MAWAR KUSUMAWARDANI A14063015 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

Gambar 1. Lahan pertanian intensif

Gambar 1. Lahan pertanian intensif 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Penggunaan Lahan Seluruh tipe penggunaan lahan yang merupakan objek penelitian berada di sekitar Kebun Percobaan Cikabayan, University Farm, IPB - Bogor. Deskripsi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Letak dan Ciri-ciri Lintasan Sepeda Gunung Letak lintasan sepeda gunung di HPGW disajikan dalam Gambar 5. Ciricirinya disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9 Keadaan plot penelitian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Daerah Aliran sungai (DAS) Ciujung terletak di provinsi Banten. Terbagi menjadi sub DAS Ciujung Hulu, Ciujung Tengah, dan Ciujung Hilir. Secara geografis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sampah dan Jenis Sampah Sampah merupakan sesuatu yang dianggap tidak berharga oleh masyarakat. Menurut Hadiwiyoto

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sampah dan Jenis Sampah Sampah merupakan sesuatu yang dianggap tidak berharga oleh masyarakat. Menurut Hadiwiyoto 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sampah dan Jenis Sampah Sampah merupakan sesuatu yang dianggap tidak berharga oleh masyarakat. Menurut Hadiwiyoto (1983), sampah adalah sisa-sisa bahan yang mengalami perlakuan-perlakuan,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI Kerangka Pemikiran

III. METODOLOGI Kerangka Pemikiran III. METODOLOGI 11 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2008 sampai Agustus 2009. Penelitian dilakukan di lapang dan di laboratorium konservasi tanah dan air. Pada penelitian

Lebih terperinci

BKM IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter dan Kurva Infiltrasi

BKM IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter dan Kurva Infiltrasi % liat = [ H,( T 68),] BKM % debu = 1 % liat % pasir 1% Semua analisis sifat fisik tanah dibutuhkan untuk mengetahui karakteristik tanah dalam mempengaruhi infiltrasi. 3. 3... pf pf ialah logaritma dari

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Mulsa terhadap Bobot Isi Pengamatan bobot isi dilakukan setelah pemanenan tanaman kacang tanah. Pengaruh pemberian mulsa terhadap nilai bobot isi tanah disajikan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kadar Air Tanah Air merupakan salah satu komponen penting yang dibutuhkan oleh tanaman baik pohon maupun tanaman semusim untuk tumbuh, berkembang dan berproduksi. Air yang

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis dan perhitungan laju infiltrasi pada berbagai

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis dan perhitungan laju infiltrasi pada berbagai 199 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan perhitungan laju infiltrasi pada berbagai karakteristik lahan pada bab sebelumnya, maka penelitian Hubungan Karakteristik

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Pertanaman Sayuran Lahan sayuran merupakan penggunaan lahan dominan di Desa Sukaresmi Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. Tanaman sayuran yang diusahakan antara lain

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4.1. Karakteristik Fisik Tanah di Sekitar Lubang Resapan Biopori 4.1.1. Bobot Isi Tanah Hantaran hidrolik merupakan parameter sifat fisik tanah yang berperan dalam pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam mengatur tata air, mengurangi erosi dan banjir. Hutan mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. dalam mengatur tata air, mengurangi erosi dan banjir. Hutan mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan sebagai komunitas tumbuhan juga memiliki fungsi hidrologis dalam mengatur tata air, mengurangi erosi dan banjir. Hutan mempunyai peran yang sangat penting dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gambir (Uncaria gambir Roxb.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi serta memiliki prospek yang baik bagi petani maupun

Lebih terperinci

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB VI. PERSIAPAN LAHAN Rizka Novi Sesanti KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di lahan sawah terus berkurang seiring perkembangan dan pembangunan di

I. PENDAHULUAN. di lahan sawah terus berkurang seiring perkembangan dan pembangunan di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Padi merupakan bahan pangan terpenting di Indonesia mengingat makanan pokok penduduk Indonesia sebagian besar adalah beras. Sementara itu, areal pertanian

Lebih terperinci

KONDISI BEBERAPA KOMPONEN HIDROLOGI PADA TEGAKAN SENGON WURI HANDAYANI DAN EDY JUNAIDI

KONDISI BEBERAPA KOMPONEN HIDROLOGI PADA TEGAKAN SENGON WURI HANDAYANI DAN EDY JUNAIDI KONDISI BEBERAPA KOMPONEN HIDROLOGI PADA TEGAKAN SENGON WURI HANDAYANI DAN EDY JUNAIDI Pendahuluan Sengon merupakan jenis tanaman kayu yang banyak dijumpai di Jawa Barat. Sebagai jenis tanaman kayu fast

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Infiltrasi Menurut Munaljid dkk. (2015) infiltrasi adalah proses masuknya air dari atas (surface) kedalam tanah. Gerak air di dalam tanah melalui pori pori tanah dipengaruhi

Lebih terperinci

DISTRIBUSI PORI DAN PERMEABILITAS ULTISOL PADA BEBERAPA UMUR PERTANAMAN

DISTRIBUSI PORI DAN PERMEABILITAS ULTISOL PADA BEBERAPA UMUR PERTANAMAN DISTRIBUSI PORI DAN PERMEABILITAS ULTISOL PADA BEBERAPA UMUR PERTANAMAN Zurhalena dan Yulfita Farni 1 ABSTRACT Type of plant impact on soil pore distribution and permeability variously. The objectives

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 14 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Pemberian Mulsa Vertikal terhadap Sifat Fisik Tanah 4.1.1 Infiltrasi Kumulatif Hasil analisis sidik ragam menunjukan pemberian mulsa vertikal tidak berbeda nyata

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. C-organik Tanah Andosol Dusun Arca 4.1.1. Lahan Hutan Hasil pengukuran kadar C-organik tanah total, bebas, terikat liat, dan terikat seskuioksida pada tanah Andosol dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. siklus hidrologi. Siklus air adalah rangkaian peristiwa yang terjadi pada air

BAB I PENDAHULUAN. siklus hidrologi. Siklus air adalah rangkaian peristiwa yang terjadi pada air BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air mengalami siklus yang sering kita kenal sebagai siklus air atau siklus hidrologi. Siklus air adalah rangkaian peristiwa yang terjadi pada air dari saat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Bobot isi tanah pada berbagai dosis pemberian mulsa.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Bobot isi tanah pada berbagai dosis pemberian mulsa. 38 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Mulsa Terhadap Sifat Fisik Tanah 4.1.1. Bobot Isi Pengaruh pemberian sisa tanaman jagung sebagai mulsa terhadap bobot isi tanah adalah seperti tertera pada Tabel

Lebih terperinci

Tabel 1. Deskripsi Profil di Lokasi Penelitian Horison Kedalaman Uraian

Tabel 1. Deskripsi Profil di Lokasi Penelitian Horison Kedalaman Uraian 14 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Tanah Deskripsi profil dan hasil analisis tekstur tiap kedalaman horison disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1. Deskripsi Profil di Lokasi Penelitian

Lebih terperinci

BAB I: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Genangan merupakan dampak dari ketidakmampuan saluran drainase menampung limpasan hujan. Tingginya limpasan hujan sangat dipengaruhi oleh jenis tutupan lahan pada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan nitrogen tanah bervariasi dari satu tempat ke tempat lainnya. Variasi kandungan nitrogen dalam tanah terjadi akibat perubahan topografi, di samping pengaruh iklim, jumlah

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Terdapat 11 profil tanah yang diamati dari lahan reklamasi berumur 0, 5, 9, 13 tahun dan lahan hutan. Pada lahan reklamasi berumur 0 tahun dan lahan hutan, masingmasing hanya dibuat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Parameter Infiltrasi Metode Horton Tabel hasil pengukuran laju infiltrasi double ring infiltrometer pada masingmasing lokasi dapat dilihat pada Lampiran A. Grafik

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian Parameter pertumbuhan yang diamati pada penelitian ini adalah diameter batang setinggi dada ( DBH), tinggi total, tinggi bebas cabang (TBC), dan diameter tajuk.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sifat Umum Latosol

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sifat Umum Latosol 27 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sifat Umum Latosol Tanah Latosol tergolong tanah yang subur. Tanah Latosol merupakan tanah yang umum terbentuk di daerah tropika basah sehingga dapat digunakan untuk pertanian

Lebih terperinci

BAB II METODOLOGI PENELITIAN

BAB II METODOLOGI PENELITIAN BAB II METODOLOGI PENELITIAN Flow Chart Pengerjaan Tugas Akhir PERMASALAHAN Perlunya kajian mengenai permasalahan terkait dengan perubahan tata guna lahan, berkurangnya volume air tanah dan permasalahan

Lebih terperinci

PEMULSAAN ( MULCHING ) Pemulsaan (mulching) merupakan penambahan bahan organik mentah dipermukaan tanah. Dalam usaha konservasi air pemberian mulsa

PEMULSAAN ( MULCHING ) Pemulsaan (mulching) merupakan penambahan bahan organik mentah dipermukaan tanah. Dalam usaha konservasi air pemberian mulsa Apakah mulsa itu? Mulsa adalah sisa tanaman, lembaran plastik, atau susunan batu yang disebar di permukaan tanah. Mulsa berguna untuk melindungi permukaan tanah dari terpaan hujan, erosi, dan menjaga kelembaban,

Lebih terperinci

Olah Tanah Konservasi (olah tanah minimum dan tanpa olah tanah)

Olah Tanah Konservasi (olah tanah minimum dan tanpa olah tanah) hierra Blog mahasiswa Universitas Brawijaya Home about sang penulis (DESI HERAWATI) Type and h Olah Tanah Konservasi (olah tanah minimum dan tanpa olah tanah) Posted by Desi Herawati Mar 28 Pengolahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman kacang hijau (Vigna radiata L.) sampai saat ini masih merupakan

I. PENDAHULUAN. Tanaman kacang hijau (Vigna radiata L.) sampai saat ini masih merupakan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman kacang hijau (Vigna radiata L.) sampai saat ini masih merupakan komoditas strategis kacang-kacangan yang banyak dibudidayakan setelah kedelai dan

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Erosi adalah proses terkikis dan terangkutnya tanah atau bagian bagian tanah oleh media alami yang berupa air. Tanah dan bagian bagian tanah yang terangkut dari suatu

Lebih terperinci

geografi Kelas X PEDOSFER III KTSP & K-13 H. SIFAT KIMIA TANAH a. Derajat Keasaman Tanah (ph)

geografi Kelas X PEDOSFER III KTSP & K-13 H. SIFAT KIMIA TANAH a. Derajat Keasaman Tanah (ph) KTSP & K-13 Kelas X geografi PEDOSFER III Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami sifat kimia tanah. 2. Memahami vegetasi tanah. 3. Memahami

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman perkebunan yang

I. PENDAHULUAN. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman perkebunan yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman perkebunan yang penting sebagai penghasil gula. Lebih dari setengah produksi gula berasal dari tanaman

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat

II. TINJAUAN PUSTAKA. sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Jagung Jagung merupakan tanaman yang dapat hidup di daerah yang beriklim sedang sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat membutuhkan sinar matahari

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Sifat Fisik Awal Tanah Latosol yang di ambil dari lahan percobaan IPB Cikabayan Darmaga memiliki bobot isi 0,86 gram cm -3, pori air tersedia < 20%, pori drainase

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Desa Sukagalih terletak di Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. Desa tersebut merupakan salah satu wilayah penghasil budidaya sayuran organik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 14 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hubungan Laju Infiltrasi Dengan Penggunaan Lahan Penggunaan lahan hutan menempati tingkat yang paling dominan di lokasi penelitian. Sebagian besar termasuk ke dalam kawasan

Lebih terperinci

EROSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OLEH: MUH. ANSAR SARTIKA LABAN

EROSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OLEH: MUH. ANSAR SARTIKA LABAN EROSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OLEH: MUH. ANSAR SARTIKA LABAN Quis 1. Jelaskan pengertian erosi. 2. Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi erosi. 3. Apakah erosi perlu dicegah/dikendalikan?

Lebih terperinci

ANALISIS INFILTRASI TANAH PADA BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN DI KEBUN PERCOBAAN CIKABAYAN, DRAMAGA NUR AUFAH KURNIA

ANALISIS INFILTRASI TANAH PADA BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN DI KEBUN PERCOBAAN CIKABAYAN, DRAMAGA NUR AUFAH KURNIA ANALISIS INFILTRASI TANAH PADA BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN DI KEBUN PERCOBAAN CIKABAYAN, DRAMAGA NUR AUFAH KURNIA DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS HUBUNGAN TUTUPAN TAJUK, CURAH HUJAN, DAN SIFAT TANAH DENGAN ALIRAN PERMUKAAN DAN EROSI NURUL HANIFAH

ANALISIS HUBUNGAN TUTUPAN TAJUK, CURAH HUJAN, DAN SIFAT TANAH DENGAN ALIRAN PERMUKAAN DAN EROSI NURUL HANIFAH ANALISIS HUBUNGAN TUTUPAN TAJUK, CURAH HUJAN, DAN SIFAT TANAH DENGAN ALIRAN PERMUKAAN DAN EROSI NURUL HANIFAH DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 18 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kepadatan Populasi Fauna Tanah Populasi fauna tanah diamati pada 2 lokasi, yaitu pada lahan yang ditanami padi gogo dengan kemiringan 5% dan lahan dengan kemiringan 15%.

Lebih terperinci

DAFTAR ISTILAH Air lebih: Bahan pembenah tanah ( soil conditioner Bangunan terjunan: Bedengan: Berat isi tanah: Budidaya lorong ( alley cropping

DAFTAR ISTILAH Air lebih: Bahan pembenah tanah ( soil conditioner Bangunan terjunan: Bedengan: Berat isi tanah: Budidaya lorong ( alley cropping DAFTAR ISTILAH Air lebih: Air yang tidak dapat dipegang atau ditahan oleh butir-butir tanah dan memenuhi atau menjenuhi pori-pori tanah Bahan pembenah tanah (soil conditioner): Bahan-bahan yang mampu memperbaiki

Lebih terperinci

PENYIAPAN LAHAN. Oleh : Juwariyah BP3K Garum

PENYIAPAN LAHAN. Oleh : Juwariyah BP3K Garum PENYIAPAN LAHAN Oleh : Juwariyah BP3K Garum Indikator Keberhasilan : Setelah selesai berlatih peserta diharapkan mampu : a. Menjelaskan kembali tentang pembersihan lahan tanaman bawang merah dengan baik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hantaran Hidrolik

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hantaran Hidrolik II. TINJAUAN PUSTAKA 3 2.1. Hantaran Hidrolik Hantaran hidrolik adalah salah satu sifat fisik tanah yang penting untuk diperhatikan dalam penggunaan dan pengelolaan tanah. Hantaran hidrolik berperan penting

Lebih terperinci

II. PERMASALAHAN USAHA TANI DI KAWASAN MEGABIODIVERSITAS TROPIKA BASAH

II. PERMASALAHAN USAHA TANI DI KAWASAN MEGABIODIVERSITAS TROPIKA BASAH 5 II. PERMASALAHAN USAHA TANI DI KAWASAN MEGABIODIVERSITAS TROPIKA BASAH 2.1. Karakteristik tanah tropika basah Indonesia merupakan salah satu negara megabiodiversitas di kawasan tropika basah, tetapi

Lebih terperinci

VI RISIKO PRODUKSI SAYURAN ORGANIK

VI RISIKO PRODUKSI SAYURAN ORGANIK VI RISIKO PRODUKSI SAYURAN ORGANIK 6.1. Analisis Risiko Produksi Risiko produksi menyebabkan tingkat produktivitas tanaman sayuran organik mengalami fluktuasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa perusahaan

Lebih terperinci

Rate Infiltration Evaluation on Several Land Uses Using Infiltration Method of Horton at Sub DAS Coban Rondo Kecamatan Pujon Kabupaten Malang

Rate Infiltration Evaluation on Several Land Uses Using Infiltration Method of Horton at Sub DAS Coban Rondo Kecamatan Pujon Kabupaten Malang Evaluasi Laju Infiltrasi Horton di Sub DAS Coban Rondo (Wirosoedarmo dkk) EVALUASI LAJU INFILTRASI PADA BEBERAPA PENGGUNAAN LAHAN MENGGUNAKAN METODE INFILTRASI HORTON DI SUB DAS COBAN RONDO KECAMATAN PUJON

Lebih terperinci

TEKNOLOGI BIOPORI UNTUK MENGURANGI BANJIR DAN TUMPUKAN SAMPAH ORGANIK

TEKNOLOGI BIOPORI UNTUK MENGURANGI BANJIR DAN TUMPUKAN SAMPAH ORGANIK TEKNOLOGI BIOPORI UNTUK MENGURANGI BANJIR DAN TUMPUKAN SAMPAH ORGANIK Oleh : Ir. Nurhenu Karuniastuti, M.Si. ABSTRAK Permasalahan banjir yang melanda sebagian wilayah di Indonesia dewasa ini, lebih banyak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. profil tanah. Gerakan air ke bawah di dalam profil tanah disebut perkolasi

TINJAUAN PUSTAKA. profil tanah. Gerakan air ke bawah di dalam profil tanah disebut perkolasi 12 TINJAUAN PUSTAKA Infiltrasi Infiltrasi didefinisikan sebagai peristiwa masuknya air ke dalam tanah. Jika cukup air, maka air infiltrasi akan bergerak terus ke bawah yaitu ke dalam profil tanah. Gerakan

Lebih terperinci

MODEL USAHATANI SAYURAN DATARAN TINGGI BERBASIS KONSERVASI DI DAERAH HULU SUNGAI CIKAPUNDUNG

MODEL USAHATANI SAYURAN DATARAN TINGGI BERBASIS KONSERVASI DI DAERAH HULU SUNGAI CIKAPUNDUNG MODEL USAHATANI SAYURAN DATARAN TINGGI BERBASIS KONSERVASI DI DAERAH HULU SUNGAI CIKAPUNDUNG (Studi Kasus: Lahan Pertanian Berlereng di Hulu Sub DAS Cikapundung, Kawasan Bandung Utara) Hendi Supriyadi

Lebih terperinci

BAB V ARAHAN RELOKASI

BAB V ARAHAN RELOKASI BAB V ARAHAN RELOKASI 5.1 Arahan Relokasi Permukiman Arahan relokasi permukiman kawasan rawan bencana longsor di Kecamatan Pasirjambu di dasarkan analisa bab IV, Berdasarkan gambaran hasil analisis fisik,

Lebih terperinci

dan penggunaan sumber daya alam secara tidak efisien.

dan penggunaan sumber daya alam secara tidak efisien. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan komponen penting bagi proses kehidupan di bumi karena semua organisme hidup membutuhkan air dan merupakan senyawa yang paling berlimpah di dalam sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di tahun 2006 menjadi lebih dari 268,407 juta ton di tahun 2015 (Anonim, 2015).

BAB I PENDAHULUAN. di tahun 2006 menjadi lebih dari 268,407 juta ton di tahun 2015 (Anonim, 2015). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hasil tambang merupakan salah satu kekayaan alam yang sangat potensial. Penambangan telah menjadi kontributor terbesar dalam pembangunan ekonomi Indonesia selama lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara disebut Mega Biodiversity setelah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara disebut Mega Biodiversity setelah 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara disebut Mega Biodiversity setelah Brazil dan Madagaskar. Diperkirakan 25% aneka spesies dunia berada di Indonesia (Rahmawaty,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan sifat dan ciri yang bervariasi, dan di dalam tanah terjadi kompetisi antara

BAB I PENDAHULUAN. dengan sifat dan ciri yang bervariasi, dan di dalam tanah terjadi kompetisi antara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah merupakan habitat yang komplek untuk organisme. Dibandingkan dengan media kultur murni di laboratorium, tanah sangat berbeda karena dua hal utama yaitu pada kondisi

Lebih terperinci

EVALUASI ALIH FUNGSI TANAMAN BUDIDAYA TERHADAP POTENSI DAERAH RESAPAN AIRTANAH DI DAERAH CISALAK KABUPATEN SUBANG

EVALUASI ALIH FUNGSI TANAMAN BUDIDAYA TERHADAP POTENSI DAERAH RESAPAN AIRTANAH DI DAERAH CISALAK KABUPATEN SUBANG EVALUASI ALIH FUNGSI TANAMAN BUDIDAYA TERHADAP POTENSI DAERAH RESAPAN AIRTANAH DI DAERAH CISALAK KABUPATEN SUBANG Abstrak Rizka Maria 1, Hilda Lestiana 1, dan Sukristiyanti 1 1 Puslit Geoteknologi LIPI,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Vegetasi Hutan Hutan merupakan ekosistem alamiah yang sangat kompleks mengandung berbagai spesies tumbuhan yang tumbuh rapat mulai dari jenis tumbuhan yang kecil hingga berukuran

Lebih terperinci

KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik

KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik Latar Belakang: Penghutan kembali atau reboisasi telah banyak dilakukan oleh multipihak untuk menyukseskan

Lebih terperinci

Morfologi tanah adalah sifat-sifat tanah yang dapat diamati dan dipelajari di

Morfologi tanah adalah sifat-sifat tanah yang dapat diamati dan dipelajari di 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi Tanah Morfologi tanah adalah sifat-sifat tanah yang dapat diamati dan dipelajari di lapang. Pengamatan sebaiknya dilakukan pada profil tanah yang baru dibuat. Pengamatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sifat Umum Latosol

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sifat Umum Latosol 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sifat Umum Latosol Tanah Latosol adalah tipe tanah yang terbentuk melalui proses latosolisasi. Proses latosolisasi memiliki tiga proses utama, yaitu (1) pelapukan intensif yang

Lebih terperinci

PENDAHULLUAN. Latar Belakang

PENDAHULLUAN. Latar Belakang PENDAHULLUAN Latar Belakang Tanaman kakao sebagai salah satu komoditas andalan subsektor perkebunan Propinsi Sulawesi Tenggara banyak dikembangkan pada topografi berlereng. Hal ini sulit dihindari karena

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanah dan Air Secara Umum Tanah merupakan suatu sistem mekanik yang kompleks terdiri dari bahan padat, cair dan gas. Tanah yang ideal terdiri dari sekitar 50% padatan, 25% cairan,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air Kondisi Saat ini Perhitungan neraca kebutuhan dan ketersediaan air di DAS Waeruhu dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanah terdiri atas bahan padat dan ruang pori di antara bahan padat,

BAB I PENDAHULUAN. Tanah terdiri atas bahan padat dan ruang pori di antara bahan padat, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah terdiri atas bahan padat dan ruang pori di antara bahan padat, dalam berbagai bentuk dan ukuran. Bahan padat terdiri atas bahan organic pada berbagai tingkat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini di lakukan di pertanaman jagung milik petani yang berlokasi

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini di lakukan di pertanaman jagung milik petani yang berlokasi 17 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini di lakukan di pertanaman jagung milik petani yang berlokasi di Keluarahan Wonggaditi Kecamatan Kota Utara Kota Gorontalo. Pelaksanaan

Lebih terperinci

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan Latar Belakang Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang utama memegang posisi penting dalam kelestarian lingkungan. Kemerosotan kemampuan tanah yang ditunjukkan dengan meningkatnya laju erosi dari

Lebih terperinci

125 permukaan dan perhitungan erosi berasal dari data pengukuran hujan sebanyak 9 kejadian hujan. Perbandingan pada data hasil tersebut dilakukan deng

125 permukaan dan perhitungan erosi berasal dari data pengukuran hujan sebanyak 9 kejadian hujan. Perbandingan pada data hasil tersebut dilakukan deng 124 Bab VI Kesimpulan Lokasi penelitian, berupa lahan pertanian dengan kondisi baru diolah, tanah memiliki struktur tanah yang remah lepas dan jenis tanah lempung berlanau dengan persentase partikel tanah

Lebih terperinci

BAB II TI JAUA PUSTAKA

BAB II TI JAUA PUSTAKA BAB II TI JAUA PUSTAKA A. TA AH Istilah tanah (soil) berasal dari kata latin solum yang berarti bagian teratas dari kerak bumi yang dipengaruhi oleh proses pembentukan tanah. Tanah dapat diartikan sebagai

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Tanaman. Hasil sidik ragam 5% terhadap tinggi tanaman menunjukkan bahwa

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Tanaman. Hasil sidik ragam 5% terhadap tinggi tanaman menunjukkan bahwa 1. Tinggi tanaman IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pertumbuhan Tanaman Hasil sidik ragam 5% terhadap tinggi tanaman menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Hasil Uji

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sifat dan Ciri Tanah Ultisol. Ultisol di Indonesia merupakan bagian terluas dari lahan kering yang

TINJAUAN PUSTAKA. Sifat dan Ciri Tanah Ultisol. Ultisol di Indonesia merupakan bagian terluas dari lahan kering yang TINJAUAN PUSTAKA Sifat dan Ciri Tanah Ultisol Ultisol di Indonesia merupakan bagian terluas dari lahan kering yang tersebar luas di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya serta sebagian kecil di pulau

Lebih terperinci

ANALISIS HANTARAN HIDROLIK JENUH TANAH DAN KETERKAITANNYA DENGAN KARAKTERISTIK TANAH DI SEKITAR KAMPUS IPB DRAMAGA BOGOR MIRNA FEBRIANA

ANALISIS HANTARAN HIDROLIK JENUH TANAH DAN KETERKAITANNYA DENGAN KARAKTERISTIK TANAH DI SEKITAR KAMPUS IPB DRAMAGA BOGOR MIRNA FEBRIANA ANALISIS HANTARAN HIDROLIK JENUH TANAH DAN KETERKAITANNYA DENGAN KARAKTERISTIK TANAH DI SEKITAR KAMPUS IPB DRAMAGA BOGOR MIRNA FEBRIANA DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

PENGARUH OLAH TANAH DAN MULSA JERAMI PADI TERHADAP AGREGAT TANAH DAN PERTUMBUHAN SERTA HASIL JAGUNG

PENGARUH OLAH TANAH DAN MULSA JERAMI PADI TERHADAP AGREGAT TANAH DAN PERTUMBUHAN SERTA HASIL JAGUNG PENGARUH OLAH TANAH DAN MULSA JERAMI PADI TERHADAP AGREGAT TANAH DAN PERTUMBUHAN SERTA HASIL JAGUNG Elita Agus Manalu 1), Arsyad 2), dan Suryanto 2) Fakultas Pertanian Universitas Jambi elitamanalu115@gmail.com

Lebih terperinci

KEMANTAPAN AGREGAT ULTISOL PADA BEBERAPA PENGGUNAAN LAHAN DAN KEMIRINGAN LERENG

KEMANTAPAN AGREGAT ULTISOL PADA BEBERAPA PENGGUNAAN LAHAN DAN KEMIRINGAN LERENG KEMANTAPAN AGREGAT ULTISOL PADA BEBERAPA PENGGUNAAN LAHAN DAN KEMIRINGAN LERENG Refliaty 1 dan Erawati Junita Marpaung 2 ABSTRACT The aggregate stability of Ultisol at several land uses and slopes. The

Lebih terperinci

Manfaat Penelitian. Ruang Lingkup Penelitian

Manfaat Penelitian. Ruang Lingkup Penelitian 2 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian adalah sebagai berikut : 1. Menjadi panduan untuk petani dalam pengelolaan air hujan dan aliran permukaan di kebun pala untuk menekan penurunan hasil akibat kekurangan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo provinsi DIY. Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia

METODE PENELITIAN. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo provinsi DIY. Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada lahan bekas tambang PT. Aneka Tambang Tbk (ANTAM), Kecamatan Kutoarjo, Kabupaten Purworejo, Jawa tengah pada bulan Maret

Lebih terperinci

Dampak pada Tanah, Lahan dan Ruang Dampak pada Komponen Udara Dampak pada Kualitas Udara Dampak pada Komponen Iklim Dampak pada Fauna dan Flora

Dampak pada Tanah, Lahan dan Ruang Dampak pada Komponen Udara Dampak pada Kualitas Udara Dampak pada Komponen Iklim Dampak pada Fauna dan Flora AMDAL (AGR77) Dampak pada Tanah, Lahan dan Ruang Dampak pada Komponen Udara Dampak pada Kualitas Udara Dampak pada Komponen Iklim Dampak pada Fauna dan Flora Dampak pada Komponen Iklim Dampak pada Hidroorologis

Lebih terperinci

LHP KAJIAN MITIGASI TANAH LONGSOR DALAM PENGELOLAAN DAS TAHUN ANGGARAN 2012 ( )

LHP KAJIAN MITIGASI TANAH LONGSOR DALAM PENGELOLAAN DAS TAHUN ANGGARAN 2012 ( ) LHP KAJIAN MITIGASI TANAH LONGSOR DALAM PENGELOLAAN DAS TAHUN ANGGARAN 2012 (15.1.2.12) OLEH : IR. BENY HARJADI. MSC DRS AGUS WURYANTA, MSC JOHANES GUNAWAN EDI SULASMIKO AGUS SUGIANTO BALAI PENELITIAN

Lebih terperinci

PANDUAN PRAKTIKUM INFILTRASI. Oleh: Dr. Badaruddin,S.Hut,MP

PANDUAN PRAKTIKUM INFILTRASI. Oleh: Dr. Badaruddin,S.Hut,MP PANDUAN PRAKTIKUM INFILTRASI Oleh: Dr. Badaruddin,S.Hut,MP FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARBARU 2017 PRAKATA Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT. karena dengan rahmat,

Lebih terperinci

mencapai pinggang orang dewasa, kira-kira 110 cm. Awalnya hanya warga yang

mencapai pinggang orang dewasa, kira-kira 110 cm. Awalnya hanya warga yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banjir selalu menjadi musuh bagi warga di berbgai daerah. Saat pembangunan pemukiman dan prasarana lainnya sebagian permukaan lahan dipadatkan akibat perataan tanah.

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Gebernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 202 tahun Hutan Kota

IV. GAMBARAN UMUM. Gebernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 202 tahun Hutan Kota 23 IV. GAMBARAN UMUM A. Status Hukum Kawasan Kawasan Hutan Kota Srengseng ditetapkan berdasarkan surat keputusan Gebernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 202 tahun 1995. Hutan Kota Srengseng dalam surat keputusan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR PERNYATAAN... iii LEMBAR PERSEMBAHAN... iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi INTISARI... xiii ABSTRACT...

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan Curah hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu (Arsyad, 2010). Menurut Tjasyono (2004), curah hujan yaitu jumlah air hujan yang turun pada

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di kebun percobaan Cikabayan Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Desa Babakan, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor,

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak Geografis dan Iklim Daerah aliran sungai (DAS) Siulak di hulu DAS Merao mempunyai luas 4296.18 ha, secara geografis terletak antara 101 0 11 50-101 0 15 44 BT dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity setelah Brazil dan Madagaskar. Keanekaragaman sumber daya hayati Indonesia termasuk dalam golongan

Lebih terperinci

KEMAMPUAN LAHAN UNTUK MENYIMPAN AIR DI KOTA AMBON

KEMAMPUAN LAHAN UNTUK MENYIMPAN AIR DI KOTA AMBON KEMAMPUAN LAHAN UNTUK MENYIMPAN AIR DI KOTA AMBON Christy C.V. Suhendy Dosen Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon e-mail: cherrzie@yahoo.com ABSTRACT Changes in land use affects water availability

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih

Lebih terperinci

PERUBAHAN SIFAT FISIKA ULTISOL AKIBAT KONVERSI HUTAN MENJADI LAHAN PERTANIAN

PERUBAHAN SIFAT FISIKA ULTISOL AKIBAT KONVERSI HUTAN MENJADI LAHAN PERTANIAN PERUBAHAN SIFAT FISIKA ULTISOL AKIBAT KONVERSI HUTAN MENJADI LAHAN PERTANIAN Heri Junedi 1 ABSTRACT The aim of this research is to study the effect of forest conversion to arable land on changes of soil

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang mendapat sebutan Mega Biodiversity setelah Brazil dan Madagaskar. Diperkirakan 25% aneka spesies dunia berada di Indonesia,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pemadatan Tanah

TINJAUAN PUSTAKA. Pemadatan Tanah 3 TINJAUAN PUSTAKA Pemadatan Tanah Hillel (1998) menyatakan bahwa tanah yang padat memiliki ruang pori yang rendah sehingga menghambat aerasi, penetrasi akar, dan drainase. Menurut Maryamah (2010) pemadatan

Lebih terperinci