ANALISIS EKOLOGI BENTANGLAHAN UNTUK PENENTUAN POTENSI SUMBERDAYA AIR (STUDI KASUS: DAS CIMADUR, BANTEN) IKA PUSPITA SARI A

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS EKOLOGI BENTANGLAHAN UNTUK PENENTUAN POTENSI SUMBERDAYA AIR (STUDI KASUS: DAS CIMADUR, BANTEN) IKA PUSPITA SARI A"

Transkripsi

1 ANALISIS EKOLOGI BENTANGLAHAN UNTUK PENENTUAN POTENSI SUMBERDAYA AIR (STUDI KASUS: DAS CIMADUR, BANTEN) IKA PUSPITA SARI A DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 RINGKASAN IKA PUSPITA SARI. A Analisis Ekologi Bentanglahan untuk Penentuan Potensi Sumberdaya Air (Studi Kasus: DAS Cimadur, Banten). Dibimbing oleh BOEDI TJAHJONO dan BAMBANG H. TRISASONGKO. Indonesia diprediksi akan mengalami krisis air pada tahun 2025 dalam World Water Forum II di Den Haag pada bulan Maret 2000, yang disebabkan oleh kelemahan dalam pengelolaan air. Kajian tentang air dan pemanfaatannya sangat terkait dengan bentuk dan karakteristik fisik suatu wilayah. Faktor topografi mempunyai peranan penting dalam menentukan pola spasial terhadap areal-areal jenuh air. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui pola sebaran spasial zona kejenuhan air permukaan adalah Topographic Wetness Index (TWI). Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimadur merupakan salah satu DAS utama di Kabupaten Lebak, Banten yang turut berkontribusi dalam kejadian-kejadian banjir. Kajian mengenai TWI di DAS Cimadur menjadi cukup penting karena dapat menunjukkan sebaran titik-titik dugaan konsentrasi air yang dapat digunakan untuk menentukan daerah-daerah yang berpotensi tergenang atau daerah-daerah yang berpotensi untuk menyimpan air di DAS tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengidentifikasi jenis-jenis bentuklahan, penggunaan lahan, dan kemiringan lereng dengan menggunakan data penginderaan jauh (citra Google Earth, citra ALOS AVNIR-2, dan citra SRTM), (2) Melakukan analisis TWI untuk mengetahui pola sebaran spasial zona kejenuhan air permukaan, dan (3) Melakukan analisis ekologi bentanglahan (bentuklahan, penggunaan lahan, kemiringan lereng, dan kelas TWI) dengan bentuklahan sebagai unit analisis untuk penentuan daerah yang potensial menyimpan air. Hasil analisis ekologi bentanglahan menunjukkan bahwa DAS Cimadur didominasi oleh bentuklahan pegunungan denudasional vulkanik Tersier (DV1 dan DV2) seluas Ha, penggunaan lahan kebun campuran seluas Ha, kemiringan lereng 15-30% (curam) seluas Ha, dan kelas TWI sedang (= kelas 2) seluas Ha. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi ekologi daerah penelitian masih dalam ambang batas aman terkait dengan potensi menyimpan air, namun cukup rentan terhadap perubahan iklim atau penutupan/penggunaan lahan, karena dinamika aliran air di daerah penelitian cukup tinggi sehingga pada saat musim hujan air mudah untuk diloloskan namun pada saat musim kemarau akan berpotensi untuk mengalami kekeringan. Kata kunci: Banten, Bentuklahan, Cimadur, Daerah Aliran Sungai, Ekologi Bentanglahan, Topographic Wetness Index

3 SUMMARY IKA PUSPITA SARI. A Landscape Ecology Analysis for Determination of Potential Water Resources (Case Study: Cimadur Watershed, Banten). Supervised by BOEDI TJAHJONO and BAMBANG H. TRISASONGKO. Indonesia was predicted would have water crisis in 2025 in the World Water Forum II in the Hague in March Most of the cause has been by the weaknesses in water management. Study of water and its high demand has been associated with shapes and physical characteristics of an area. Topographic factors play an important role in determining spatial pattern water resources. In this research, Topographic Wetness Index (TWI) is implemented to determine spatial pattern of surface water saturation zone. Cimadur watershed was selected as one of main watersheds in Lebak, Banten which has been contributing on flood hazard. Study on TWI in Cimadur watershed has became important because it could show distribution points containing concentration of water and therefore useful for determining potential inundation as well as areas potentially storing water in the watershed. This research aims to: (1) Identify types of landform, land use, and slopes using remote sensing data (Google Earth imagery, ALOS AVNIR-2 imagery, and SRTM imagery), (2) Conduct analysis of TWI to obtain the distribution of spatial pattern of surface water saturation zones, and (3) Conduct an analysis of the landscape ecology (landform, land use, slope, and grade TWI) using landform as unit of analysis for determination of potential water storage. Landscape ecological analysis shows that Cimadur watershed is dominated by Tertiary denudational volcanic landforms (DV1 and DV2), which covers Ha, mixed-use garden covers Ha, the slope of 15-30% (steep) covers Ha, and middle TWI class (= grade 2) covers Ha. It shows that ecological conditions in test site are still at safe water saving, however, the area is fairly vulnerable to climate change or land cover/land use change. These are due to dynamics of water flow in the area during rainy and dry seasons. Key word: Banten, Cimadur, Landform, Landscape Ecology, Topographic Wetness Index, Watershed

4 ANALISIS EKOLOGI BENTANGLAHAN UNTUK PENENTUAN POTENSI SUMBERDAYA AIR (STUDI KASUS: DAS CIMADUR, BANTEN) IKA PUSPITA SARI A SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

5 LEMBAR PENGESAHAN Judul Penelitian Nama Mahasiswa Nomor Pokok : Analisis Ekologi Bentanglahan untuk Penentuan Potensi Sumberdaya Air (Studi Kasus: DAS Cimadur, Banten) : Ika Puspita Sari : A Menyetujui, Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Dr. Boedi Tjahjono NIP Ir. Bambang H. Trisasongko, M.Sc NIP Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc NIP Tanggal Lulus:

6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Yanuar dan Nur Hasanah pada tanggal 18 Januari 1990 di Bandar Lampung. Penulis menyelesaikan pendidikan formal di TK Dewi Surabaya ( ), SDN 01 Arcamanik Endah Bandung ( ), SDN 02 Palapa Bandar Lampung ( ), SLTPN 04 Bandar Lampung ( ), dan SMAN 03 Bandar Lampung ( ). Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam beberapa organisasi kemahasiswaan, diantaranya Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Lampung, BEM Fakultas Pertanian, dan Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (HMIT). Penulis juga aktif sebagai asisten praktikum mata kuliah Geomorfologi dan Analisis Lanskap, Sistem Informasi Geografis dan Kartografi, Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra, serta Pengantar Ilmu Tanah.

7 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Ekologi Bentanglahan untuk Penentuan Potensi Sumberdaya Air (Studi Kasus: DAS Cimadur, Banten). Penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada Bapak Dr. Boedi Tjahjono dan Ir. Bambang H. Trisasongko, M.Sc selaku pembimbing skripsi yang senantiasa mengarahkan, memberikan bimbingan, saran, kritik, nasehat, dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih kepada Bapak Dr. Ir Komarsa Gandasasmita, M.Sc selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan dalam perbaikan skripsi ini. Terima kasih sebesar-besarnya kepada Ayah Yanuar dan Ibu Nur Hasanah sebagai orang tua yang senantiasa memberikan doa, kasih sayang, semangat, nasehat, dan menjadi sumber motivasi bagi penulis, juga kepada adik-adikku (Dicky dan Rizqo) yang selalu memberi dukungan bagi penulis. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Kukuh Murtilaksono, Mas Tovan, Pak Misjaya, Teh Yuyun, serta keluarga besar kampung adat Lebakpicung yang telah memberikan kesempatan dan membantu penulis dalam proses pengambilan data lapang di Sungai Ciambulawung, Banten. Tidak lupa ucapan terima kasih kepada Reyna Prachmayandini, Deuis Nurpadilah, Herdian Priambodo, dan Roma Purnanto atas kerjasama maupun dukungan selama kegiatan survei lapang dan penelitian. Terima kasih kepada Annisa, Mia, Rini, Citra, Lili, Adiz, Esti, Heni, Eni, Pipit, Hera, Rima, Nurus, dan keluarga besar Soilscaper 44 untuk hiburan, motivasi, kritik, saran, dan persahabatan yang sangat berarti bagi penulis. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi yang berguna bagi berbagai pihak. Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih kurang sempurna, oleh karena itu diharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga karya ilmiah ini bisa bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Bogor, Juni 2012 Ika Puspita Sari

8 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL...x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xii I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Manfaat Penelitian...3 II. TINJAUAN PUSTAKA Ekologi bentanglahan Bentuklahan (Landform) Penutup/Penggunaan Lahan Topographic Wetness Index (TWI) Digital Elevation Model (DEM) Daerah Aliran Sungai (DAS)...9 III. METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Penelitian Tahapan Penelitian Tahap Persiapan dan Pengumpulan Data Tahap Interpretasi Citra Tahap Pengecekan Lapang Tahap Analisis Data Tahap Penyajian Hasil...17 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis Daerah Penelitian (DAS Cimadur, Banten) Kondisi Topografi Daerah Penelitian Kondisi Iklim Daerah Penelitian Kondisi Hidrologi Daerah Penelitian Kondisi Demografi, Sosial, dan Ekonomi Daerah Penelitian...21

9 ix 4.6 Kondisi Geologi dan Geomorfologi Daerah Penelitian Penutupan/Penggunaan Lahan Daerah Penelitian...22 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geomorfologi di Daerah Penelitian Morfologi Morfogenesis Morfokronologi Litologi (batuan) Identifikasi Bentuklahan di Daerah Penelitian Identifikasi Penggunaan Lahan di Daerah Penelitian Analisis Kelas TWI di Daerah Penelitian Analisis Ekologi Bentanglahan di Daerah Penelitian Hubungan Bentuklahan dan Penggunaan Lahan Hubungan Bentuklahan dan Kemiringan Lereng Hubungan Bentuklahan dan Kelas TWI...54 VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran...59 VII. DAFTAR PUSTAKA...60 LAMPIRAN...63

10 x DAFTAR TABEL No. Halaman 1. Jenis Data Penelitian dan Sumbernya Tujuan Penelitian, Jenis Data, Teknik Analisis, dan Keluaran Perangkat Lunak yang digunakan untuk Analisis 14 Data Luas masing-masing kemiringan lereng di DAS Cimadur Luas masing-masing bentuklahan di DAS Cimadur Kenampakan jenis penggunaan lahan pada citra dan kondisi di 40 lapang beserta luas tiap penggunaan lahan di DAS Cimadur Klasifikasi kelas TWI dan order sungai terhadap panjang segmen 47 sungai di DAS Cimadur Perbandingan nilai debit musim hujan dan musim kemarau di Sungai Ciambulawung berdasarkan pengukuran di lapangan Luas penggunaan lahan di atas bentuklahan di DAS 50 Cimadur Luas kemiringan lereng di atas bentuklahan di DAS 52 Cimadur Luas kelas TWI di atas bentuklahan di DAS Cimadur Luas kelas TWI dan kemiringan lereng di DAS Cimadur... 55

11 xi DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1. Klasifikasi Order Sungai Menurut Strahler Peta Batas DAS Cimadur Diagram Alir Penelitian Gambaran morfologi DAS Cimadur dari Citra SRTM Peta Kemiringan Lereng DAS Cimadur Peta Ketinggian DAS Cimadur Peta Geologi DAS Cimadur Peta Bentuklahan DAS Cimadur Gambaran dan interpretasi bentuklahan DAS Cimadur dari Citra 34 SRTM Peta Penutupan/Penggunaan Lahan DAS Cimadur Peta Kelas TWI DAS Cimadur Peta Hasil Tumpangtindih Kelas TWI dan Order Sungai 46 Cimadur Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro, Penggunaan lahan 48 hutan, dan areal persawahan di Sungai Ciambulawung, Banten Grafik luasan penggunaan lahan di atas bentuklahan di DAS 51 Cimadur Grafik luasan kemiringan lereng di atas bentuklahan di DAS 53 Cimadur Grafik luasan Kelas TWI di atas bentuklahan di DAS 55 Cimadur Grafik luasan Kelas TWI dan kemiringan lereng di DAS Cimadur... 56

12 xii DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1. Luas masing-masing Kelas TWI di DAS Cimadur Luas Kelas TWI dan order Sungai Cimadur Luas kelas ketinggian di DAS Cimadur Luas kemiringan lereng pada masing-masing penggunaan lahan 65 di DAS Cimadur Hubungan Kelas TWI dan penggunaan lahan di DAS 65 Cimadur Penjelasan lanjutan batuan di DAS Cimadur... 65

13 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dan mutlak diperlukan bagi kehidupan manusia di muka bumi. Tingkat pemanfaatan sumberdaya air dari waktu ke waktu mengalami peningkatan, seiring dengan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat setiap tahunnya. Indonesia diprediksi akan mengalami krisis air pada tahun 2025 dalam World Water Forum II di Den Haag pada bulan Maret 2000, yang disebabkan oleh kelemahan dalam pengelolaan air (Sosiawan dan Subagyono 2007). Pemanfaatan air secara nasional telah mencapai sekitar 80 miliar m 3 /tahun, dimana pemanfaatan tertinggi berada di Jawa dan Bali, yaitu sekitar 60% (Suara Pembaruan 2006). Tingkat pemanfaatan air yang tinggi ini tidak diimbangi dengan pengelolaan air yang baik, sehingga menyebabkan meningkatnya potensi kekurangan air, terutama air bersih. Hal ini diperburuk dengan pencemaran air permukaan oleh kegiatan industri dan pertanian di berbagai wilayah. Kajian tentang air dan pemanfaatannya sesungguhnya sangat terkait dengan bentuk dan karakteristik fisik suatu wilayah. Menurut Grabs et al. (2009), topografi berperan penting dalam menentukan pola spasial area jenuh air. Pola aliran ini dapat menjadi kunci untuk memahami proses-proses hidrologi yang terjadi dalam sebuah Daerah Aliran Sungai (DAS). Namun demikian, kajian proses hidrologi yang terkait dengan topografi masih belum banyak dilakukan. Data turunan yang umum digunakan untuk memahami proses hidrologi yang terkait dengan topografi adalah kemiringan dan aspek lereng. Topographic Wetness Index (TWI) merupakan salah satu data turunan yang dihasilkan dari data ketinggian yang relatif permanen (steady state) dengan menggunakan fungsi akumulasi aliran dan kemiringan lereng. Dengan demikian TWI bermanfaat untuk menilai kondisi kebasahan suatu lahan di dalam suatu DAS dengan asumsi bahwa tinggi muka air tanah mengikuti gradien permukaannya. Namun demikian, TWI sangat langka ditemui di literatur, terutama yang berada di wilayah tropika basah. Kabupaten Lebak merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Banten yang banyak mengalami bencana banjir di antara kabupaten-kabupaten lain,

14 2 seperti Pandeglang, Serang, Cilegon, dan Tangerang. DAS Cimadur merupakan salah satu DAS utama di Kabupaten ini yang turut berkontribusi terhadap kejadian banjir. DAS merupakan suatu sistem hidrologis, sehingga kejadian-kejadian banjir atau permasalahan hidrologis lainnya dapat ditelaah melalui analisis bentanglahan dan kondisi ekologis yang terjadi secara aktual di dalam DAS. Dalam kaitannya dengan analisis ekologi bentanglahan (landscape ecology), telaah TWI dapat dimanfaatkan untuk identifikasi terhadap titik-titik dugaan konsentrasi air yang dapat digunakan untuk menentukan wilayah-wilayah yang berpotensi tergenang atau berpotensi untuk menyimpan air di dalam DAS tersebut. Berkaitan dengan itu, maka metode TWI diharapkan dapat memberikan hasil untuk mengetahui pola sebaran spasial zona kejenuhan air permukaan di DAS Cimadur. Beberapa permasalahan hidrologis di DAS Cimadur yang ada saat ini antara lain adalah ketidakseimbangan ketersediaan air. Permasalahan ini tercermin dari adanya kejadian kekeringan di musim kemarau yang dirasakan mengganggu aktivitas pertanian (persawahan) dan juga aktivitas lain seperti terhentinya mikrohidro yang berfungsi sebagai pembangkit listrik. Mikrohidro yang ada di DAS Cimadur terletak di Kampung Lebakpicung, suatu kampung terpencil di Desa Cibeber, Kabupaten Lebak. Penduduk kampung ini belum lama telah mendapat aliran listrik secara merata berkat dibangunnya mikrohidro di kampungnya oleh suatu kerjasama antara CSR-Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB pada tahun 2009 (PPLH 2010). Mikrohidro telah berjalan dengan baik selama ini, digerakkan oleh aliran Sungai Ciambulawung (anak Sungai Cimadur), dan listrik yang dihasilkan dirasa banyak membantu menyejahterakan penduduk setempat. Namun belakangan ini debit Sungai Ciambulawung menurun di musim kemarau dan menjadi salah satu kendala bagi kehidupan penduduk setempat, sehingga masalah debit ini perlu mendapat perhatian lebih lanjut. 1.2 Tujuan Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, penelitian ini bertujuan untuk :

15 3 1. Mengidentifikasi jenis-jenis bentuklahan, penggunaan lahan, dan kemiringan lereng dengan menggunakan data penginderaan jauh (citra Google Earth, citra ALOS AVNIR-2, dan citra SRTM). 2. Melakukan analisis TWI untuk mengetahui pola sebaran spasial zona kejenuhan air permukaan. 3. Melakukan analisis ekologi bentanglahan (bentuklahan, penggunaan lahan, kemiringan lereng, dan kelas TWI) dengan bentuklahan sebagai unit analisis untuk penentuan daerah yang potensial menyimpan air. 1.3 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai hubungan keterkaitan antara konsep ekologi bentanglahan dengan TWI sebagai dasar untuk mengetahui pola sebaran spasial zona kejenuhan air di wilayah kajian, serta dapat memberikan informasi dasar untuk analisis banjir.

16 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi bentanglahan Vink (1983) dalam Samadikun (2009) menyatakan studi bentanglahan merupakan sebuah studi yang mengaitkan hubungan erat antara ruang dan waktu diantara fenomena dan proses-proses di bentanglahan atau geosfer, termasuk komunitas tanaman, hewan dan manusia. Istilah ekologi bentanglahan (landscape ecology) diperkenalkan pertama kali oleh ahli geografi Jerman bernama Carl Troll, yang kemudian digunakan istilah geo-ekologi, merupakan gabungan antara geografi (bentanglahan) dan biologi (ekologi) yang secara keseluruhan membentuk satu kesatuan yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, meliputi: iklim, geologi, geomorfologi, air, tanah, vegetasi dan manusia. Verstappen (1989) dalam Samadikun (2009) mengemukakan bahwa dalam mempelajari geomorfologi selalu ditekankan pada bentuklahan, proses dan asal mulanya (genesis) serta kaitannya dengan lingkungan sekitar, atau lebih dikenal dengan ekologi bentanglahan. Zonneveld (1989) mengemukakan bahwa konsep ekologi bentanglahan melibatkan sistem sumberdaya alam dan sistem sumberdaya manusia dalam suatu wilayah, kedua sistem sumberdaya tersebut membentuk sistem sumberdaya wilayah. Interaksi antara sistem sumberdaya alam dan sistem sumberdaya manusia tersebut dalam suatu wilayah/daerah/tempat tertentu menjadi suatu tipe penggunaan lahan (land utilization type) tertentu. Sinaga et al. (1994) mengemukakan bahwa salah satu hal yang dapat dipetik dari pengertian ekologi bentanglahan adalah kaitan antara bentanglahan dan kehidupan yang berada di atasnya yang saling ketergantungan. Kondisi bentanglahan dalam hal ini lebih ditekankan pada unit geomorfologi ataupun unit bentuklahan, sedang kehidupan dalam hal ini meliputi kehidupan manusia, tanaman dan hewan. Konsep ekologi bentanglahan dapat digunakan untuk menjelaskan setiap unit geomorfologi ataupun unit bentuklahan yang dikaitkan dengan semua kehidupan yang berada di atasnya, yang telah, sedang dan akan terjadi. Dalam konsep bentanglahan ini, kehidupan yang berupa tanaman dan aktivitas manusia di atas lahan dicerminkan dalam bentuk penggunaan lahan.

17 5 2.2 Bentuklahan (Landform) Bentuklahan adalah suatu bagian dari bentuk permukaan bumi yang mempunyai karakteristik tertentu dan dihasilkan dari satu atau gabungan beberapa proses geomorfik dalam kurun waktu tertentu (Asriningrum 2002). Geomorfologi merupakan salah satu cabang ilmu kebumian (earth sciences) yang mempelajari tentang bentuk permukaan bumi atau bentuklahan. Menurut van Zuidam (1985) geomorfologi adalah studi yang mendeskripsikan bentuklahan dan proses-proses geomorfik yang menghasilkan bentuklahan serta menyelidiki hubungan timbalbalik antara bentuklahan dan proses-proses tersebut dalam susunan keruangannya. Kajian geomorfologi merupakan suatu deskripsi dan penjelasan bentuklahan yang mencakup aspek-aspek morfologi (morfografi dan morfometri), morfogenesis (proses endogen dan eksogen), morfokronologi (dalam ruang dan waktu) serta batuan (lithology) penyusunnya. Aspek morfologi mencakup dua aspek, yaitu morfografi dan morfometri. Morfografi mendeskripsikan bentuk permukaan bumi, baik yang berukuran besar seperti pegunungan, gunungapi, dataran maupun yang berukuran kecil seperti bukit, lembah, dan kipas aluvial. Morfometri membahas tentang ukuran-ukuran bentuklahan seperti kemiringan lereng, elevasi, arah lereng, dan yang lainnya. Aspek morfogenesis mencakup kajian terhadap proses geomorfik atau proses geomorfologis yang terjadi di masa lampau dan masa sekarang yang membentuk bentuklahan aktual. Aspek morfokronologi menyangkut kronologi waktu dan tahapan pembentukan berbagai bentuklahan dan proses yang terjadi di dalamnya, sedangkan aspek batuan mengkaji mengenai struktur geologi/materialmaterial/jenis batuan penyusun bentuk permukaan bumi (Dwiyanti 2009). Dalam mempelajari bentuklahan, proses geomorfik mempunyai peran penting karena melalui proses ini dapat menyingkap sejarah terbentuknya bentuklahan aktual. Proses geomorfik dipahami sebagai semua perubahan baik fisik maupun kimia yang mempengaruhi perubahan bentuk muka bumi. Adapun perubahan bentuk muka bumi itu sendiri tidak terlepas dari peran agen geomorfik, yaitu semua media alami yang mampu memantapkan dan mengangkut bahan bumi (Wiradisastra et al. 2002).

18 6 Analisis geomorfologi diperlukan untuk mengetahui sebaran bentuklahan (landform) dari suatu bentanglahan (landscape), seperti dataran, bukit, pegunungan, lembah, dan sebagainya sehingga dapat memberikan pemahaman mengenai karakteristik alam dan pembentukannya dari bentanglahan tersebut. Karakteristik bentuklahan umumnya banyak berkorelasi dengan tipe penggunaan lahan karena jenis penutup/penggunaan lahan umumnya menyesuaikan dengan karakteristik bentuklahan. Jika suatu penggunaan lahan dipaksakan untuk diterapkan padahal tidak sesuai dengan daya dukung dan karakteristik bentuklahannya, maka dapat menyebabkan ketidakseimbangan ekologis yang dapat melahirkan bencana, seperti banjir, kekeringan, longsor, dan sebagainya. Dengan demikian, peranan geomorfologi untuk kajian potensi sumberdaya alam, termasuk sumberdaya air sangat penting, khususnya untuk mengkaji wilayah yang berpotensi dalam menyimpan air melalui karakteristik bentuklahannya Kelompok Utama Bentuklahan Jenis-jenis bentuklahan berdasarkan morfogenesisnya dapat dibagi menjadi 9 jenis (van Zuidam 1985), yakni: 1. Bentuklahan asal proses struktural (S) Bentuklahan yang terbentuk akibat dari adanya proses endogenetik (tenaga/gerakan dari dalam bumi). Contoh: patahan, pegunungan lipatan. 2. Bentuklahan asal proses vulkanik (V) Bentuklahan yang terbentuk akibat terjadinya proses endogenetik dan aktifitas hydrothermal. Contoh: kerucut gunungapi, kaldera. 3. Bentuklahan asal proses denudasional (D) Denudasi berasal dari kata dasar nude yang berarti telanjang, sehingga denudasi berarti proses penelanjangan permukaan bumi. Denudasi cenderung akan menurunkan bagian permukaan bumi yang positif hingga mencapai bentuk permukaan bumi yang hampir datar (peneplains). Bentuklahan ini terbentuk akibat oleh proses eksogenetik (pelapukan, erosi, dan sedimentasi). Contoh: plateau, pegunungan/perbukitan yang telah mengalami erosi. 4. Bentuklahan asal proses marin (M)

19 7 Bentuklahan yang terbentuk akibat pengaruh gelombang laut, arus sepanjang pantai, dan proses pasang-surut air laut. Contoh: laguna, teluk. 5. Bentuklahan asal proses fluvial (F) Bentuklahan yang terbentuk akibat adanya aktifitas aliran air. Contoh: dataran banjir, kipas aluvial. 6. Bentuklahan asal proses gleitser (G) Bentuklahan yang terbentuk sebagai akibat dari aktifitas di puncak pegunungan atau es kontinental. 7. Bentuklahan asal proses aeolian (A) Bentuklahan yang terjadi akibat hembusan angin yang mengikis batuanbatuan dan memindahkan hasil kikisannya ke tempat lain. Contoh: sand dunes. 8. Bentuklahan asal proses pelarutan atau karst (K) Bentuklahan yang terbentuk akibat adanya proses pelarutan oleh air terhadap batuan yang mudah larut. Contoh: sinkhole, conical karst. 9. Bentuklahan asal proses biologik (B) Bentuklahan yang terbentuk akibat proses biologis dan aktivitas organisme. Contoh: lahan gambut, koral. 2.3 Penutupan/Penggunaan Lahan Istilah penutupan lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi, sedangkan penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tersebut (Lillesand dan Kiefer 1990). Informasi tentang penutupan lahan pada umumnya dapat dikenali dengan mudah pada citra penginderaan jauh. Untuk menafsir penggunaan lahan pada citra penginderaan jauh dapat didasarkan pada informasi penutupan lahannya (Fakultas Geografi UGM-Bakosurtanal 2000). Contoh penutupan/penggunaan lahan adalah hutan, semak belukar, persawahan, permukiman, dan lain sebagainya. Klasifikasi penutupan/penggunaan lahan adalah upaya pengelompokkan penutupan/penggunaan lahan melalui citra penginderaan jauh untuk disajikan dalam bentuk spasial. Menurut Suharyadi (1996), secara teoritis klasifikasi penutupan/penggunaan lahan yang dibangun harus mempertimbangkan beberapa

20 8 kriteria, yaitu tujuan survei, skala peta, dan kualitas data penginderaan jauh yang digunakan sebagai sumber utama dalam pemetaannya. 2.4 Topographic Wetness Index (TWI) Sorensen dan Seibert (2007) mengemukakan bahwa Topographic Wetness Index (TWI) pertama kali diperkenalkan oleh Beven dan Kirkby pada tahun 1979 sebagai bagian dari model runoff TOPMODEL dan mungkin merupakan indeks topografi yang paling sering diterapkan. TWI diformulasikan sebagai ln (α/tan β), dimana tan β adalah lereng dari dasar permukaan dan α disebut specific upslope area yang dihitung dengan rumus α = A/L, dimana A [m 2 ] adalah upslope area dan L [m] adalah panjang lereng. Dengan demikian, suatu lokasi yang mempunyai lereng yang curam akan mempunyai nilai indeks TWI yang rendah, sehingga mudah untuk meloloskan air dan potensinya rendah dalam menggenangkan air. Sebaliknya, suatu lokasi yang mempunyai lereng yang landai akan mempunyai nilai indeks TWI yang tinggi, sehingga berpotensi tinggi untuk menampung dan menyimpan air atau potensinya untuk menggenangkan air. TWI menghitung tingkat akumulasi air dalam sebuah area tangkapan (DAS). Area tangkapan (DAS) menghitung area dari lahan tangkapan air ke suatu tempat dimana kemiringan lereng mengindikasikan kemampuan dari tempat itu untuk menyimpan/menggenangkan air. Faktor lain yang mempengaruhi akumulasi air (penggunaan lahan dan tanah di area tangkapan) dan nilai simpanan/genangan air (transmisivitas tanah), sehingga indeks ini hanya mengukur komponen topografi dari variasi spasial dalam kebasahan. Nilai-nilai TWI umumnya berkisar mulai dari <5 pada bagian atas lereng sampai >20 pada bagian-bagian yang datar/cekungan (Yesilnacar and Suzen 2006). TWI dapat dipahami sebagai pengukuran relatif kondisi hidrologis pada suatu tempat dari suatu bentanglahan. Nilai TWI didasarkan pada beberapa asumsi, dimana lereng permukaan diasumsikan mewakili kemiringan muka air tanah, sementara konduktivitas hidrolik tanah dan presipitasi diasumsikan seragam dalam suatu bentanglahan. Nilai indeks TWI yang kecil biasanya ditemukan di bagian atas lereng, sedangkan nilai indeks TWI yang besar biasanya terdapat di

21 9 daerah cekungan yang berasosiasi dengan tanah yang mempunyai konduktivitas hidrolik rendah. Indeks topografi biasanya dihitung dari data grid elevasi dengan mempertimbangkan resolusi gridnya karena besarnya grid mempengaruhi hasil nilai indeks yang dihitung. Wolock dan Prince (1994) menyatakan bahwa ketika dua resolusi dibandingkan, antara grid 30 m dan grid 90 m, maka rata-rata dari upslope area terpengaruh. Ini disebabkan oleh perbedaan dalam ukuran grid dan isi informasi dalam DEM. Zhang dan Montgomery (1994) berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa untuk bentanglahan dengan ukuran grid 10 m cukup baik untuk pemodelan hidrologi, namun demikian jika resolusi ditingkatkan misalnya menjadi 2-4 m, maka ternyata hasilnya tidak memberikan informasi tambahan yang berarti. 2.5 Digital Elevation Model (DEM) Digital Elevation Model (DEM) adalah data digital yang menggambarkan geometri dari bentuk permukaan bumi atau bagiannya yang terdiri dari himpunan titik-titik koordinat hasil sampling dari permukaan dengan algoritma yang mendefinisikan permukaan tersebut menggunakan himpunan koordinat. DEM khususnya digunakan untuk menggambarkan relief medan (terrain). DEM merupakan gambaran relief permukaan bumi tiga dimensi yang menyerupai keadaan sebenarnya di dunia nyata divisualisasikan dengan bantuan teknologi komputer grafis dan teknologi virtual reality. Sehingga DEM merupakan suatu sistem, model, metode, dan alat dalam mengumpulkan, memproses, dan menyajikan informasi suatu medan. Susunan nilai-nilai digital yang mewakili distribusi spasial dari karakteristik medan diwakili oleh nilai-nilai pada sistem koordinat horizontal XY, sedangkan karakteristik medan diwakili oleh ketinggian medan dalam sistem koordinat Z (Rosytha dan Taufik 2011). 2.6 Daerah Aliran Sungai (DAS) Secara umum, Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung (igir-igir) yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian

22 10 menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Faktor-faktor yang mempengaruhi DAS adalah iklim, jenis tanah, topografi, geologi, morfologi, dan tata guna lahan (Asdak 2010). DAS sebagai suatu sistem hidrologi dalam satuan wilayah dapat dikenali melalui bentuk dan ukuran luasnya secara geografis, sehingga bentuk dan ukuran DAS dapat berbeda antara DAS yang satu dengan DAS lainnya. Strahler mengklasifikasikan sungai berdasarkan tingkat percabangan anakanak sungainya (Gambar 1). Gambar 1. Klasifikasi Order Sungai Menurut Strahler Jaringan sungai yang tidak memiliki anak sungai disebut order 1, jaringan sungai yang menerima aliran dari dua sungai order 1 disebut order 2, jaringan sungai yang menerima aliran dari dua sungai order 2 disebut order 3, dan begitu seterusnya, sehingga setiap jaringan sungai yang memiliki order sama dan bertemu maka akan menghasilkan order baru untuk aliran di bawahnya dengan urutan angka setingkat di atas order yang lama. Dengan demikian, semakin besar urutan order sungai maka akan semakin luas wilayah tangkapannya (DAS) dan juga akan semakin banyak percabangan sungai di atasnya (Agustina 2007). Sub-DAS adalah bagian dari DAS yang berukuran lebih besar dimana air hujan yang diterima akan dialirkan melalui anak sungai menuju ke sungai utama, sehingga setiap DAS terbagi ke dalam masing-masing sub-das. Keterkaitan antara sub-das satu dengan lainnya akan membentuk sebuah sistem yang terdiri dari anak-anak sungai yang dapat dianggap sebagai sebuah kesatuan yang disebut ekosistem DAS (Manan 1979).

23 11 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian DAS Cimadur, Banten merupakan wilayah yang diambil sebagai daerah penelitian (Gambar 2). Analisis data dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung dari bulan Februari 2011 hingga Maret 2012, sedangkan pengamatan lapang dilakukan pada bulan Februari dan Juli 2011 di Sungai Ciambulawung yang merupakan salah satu anak Sungai Cimadur. Pengamatan lapang difokuskan pada pengukuran debit sungai, observasi terhadap jenis-jenis bentuklahan, dan obyek-obyek di atasnya, seperti penggunaan lahan dan lereng. Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur 3.2 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian beserta sumbernya disajikan pada Tabel 1. Data yang digunakan adalah data spasial berupa kontur dan jaringan

24 12 sungai yang diperoleh dari peta digital RBI (Rupa Bumi Indonesia) digital skala 1:25.000, peta geologi digital skala 1: , citra Google Earth tahun 2011, citra ALOS AVNIR-2 tahun 2009, dan citra SRTM tahun Tabel 1. Jenis Data Penelitian dan Sumbernya No. Data Sumber Data Keterangan 1 Peta Kontur digital RBI skala 1: Bakosurtanal Untuk membuat batas DAS Cimadur, Banten 2 Peta Jaringan Sungai digital RBI 1: Bakosurtanal Untuk membuat batas DAS Cimadur, Banten 3 Citra Google Earth tahun 2011 Google Earth Untuk membuat peta penggunaan lahan DAS Cimadur, Banten 4 Citra ALOS AVNIR- 2 tahun 2009 Japan Aerospace Exploration Agency Sebagai citra komposit apabila citra Google Earth tertutup awan (JAXA)-ALOS PP2 IPB 5 Peta Geologi digital skala 1: Puslitbang Geologi Untuk membuat peta bentuklahan DAS Cimadur, Banten 6 Citra SRTM tahun 2000 CGIAR SRTM Untuk membuat peta bentuklahan DAS Cimadur, Banten 3.3 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap. Tahapan-tahapan penelitian secara umum terdiri dari: (1) tahap persiapan dan pengumpulan data, (2) tahap interpretasi citra, (3) tahap pengecekan lapang, (4) tahap analisis data, dan (5) tahap penyajian hasil. Tahapan-tahapan penelitian berdasarkan tujuan, jenis data, teknik analisis data, dan keluaran disajikan pada Tabel 2. Keluaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah teridentifikasinya bentuklahan, penggunaan lahan, kemiringan lereng, dan kelas TWI yang ada di DAS Cimadur terkait dengan potensinya dalam menyimpan air. Program yang digunakan untuk mengolah data spasial adalah ArcView 3.3 dengan tools tambahan Terrain Analysis, ArcGIS 9.3, ENVI 4.5, dan Global Mapper v.12, sedangkan untuk mengolah data atribut digunakan Ms. Office Excel 2007 (Tabel 3).

25 13 Tabel 2. Tujuan Penelitian, Jenis Data, Teknik Analisis, dan Keluaran No Tujuan Penelitan 1 Mengidentifikasi satuan bentuklahan DAS Cimadur 2 Mengidentifikasi penggunaan lahan DAS Cimadur 3 Mengidentifikasi kemiringan lereng DAS Cimadur 4 Menganalisis TWI DAS Cimadur 5 Menganalisis ekologi bentanglahan DAS Cimadur Jenis Data Teknik Analisis Keluaran - Citra SRTM - Tumpangtindih citra SRTM, Peta - Peta Batas DAS peta batas DAS, peta kontur, Bentuklahan Cimadur dan peta geologi DAS DAS - Peta Kontur DAS Cimadur Cimadur Cimadur - Interpretasi visual dan - Peta Geologi DAS digitasi citra untuk jenis Cimadur bentuklahan - Tabulasi data luas tiap bentuklahan - Citra Google Earth - Interpretasi visual dan Peta - Citra ALOS AVNIR- digitasi citra untuk jenis Penggunaan 2 penggunaan lahan lahan DAS - Peta Batas DAS - Tabulasi data luas tiap Cimadur Cimadur penggunaan lahan - Peta Batas DAS - Konversi peta kontur ke Peta Cimadur TIN Kemiringan - Peta Kontur DAS - Klasifikasi kelas kemiringan Lereng DAS Cimadur lereng Cimadur - Peta Kontur DAS - Konversi data kontur ke Peta Kelas Cimadur data titik tinggi TWI DAS - Peta Batas DAS - Interpolasi IDW Cimadur Cimadur - Klasifikasi kelas TWI - Peta Sungai Cimadur - Tabulasi data panjang - Peta Batas sub-das segmen sungai Cimadur - Peta Kemiringan - Tumpangtindih peta Penentuan Lereng DAS kemiringan lereng dan Potensi Cimadur bentuklahan DAS Cimadur Sumberdaya - Peta Bentuklahan - Tumpangtindih peta Air DAS DAS Cimadur penggunaan lahan dan Cimadur - Peta Penggunaan bentuklahan DAS Cimadur lahan DAS Cimadur - Tumpangtindih peta kelas - Peta Kelas TWI DAS TWI dan bentuklahan DAS Cimadur Cimadur

26 14 Tabel 3. Perangkat Lunak yang digunakan untuk Analisis Data No Perangkat Lunak Keterangan 1 ArcView 3.3 dengan tools tambahan Mengolah data spasial (analisis TWI) Terrain Analysis 2 ArcGIS 9.3 Mengolah data spasial (Peta dan Citra) 3 ENVI 4.5 Mengolah data spasial (Peta dan Citra) 4 Global Mapper v.12 Mengolah data spasial (Peta dan Citra) 5 Google Earth Mengolah data spasial (Peta dan Citra) 6 Ms. Office Excel 2007 Tabulasi data 3.4 Tahapan Penelitian Tahap Persiapan dan Pengumpulan Data Pada tahap persiapan dilakukan studi pustaka dan pengumpulan data, baik yang berasal dari penelitian sebelumnya maupun data penunjang untuk memahami metode yang telah berkembang berkaitan dengan penelitian ini. Data penunjang yang diperlukan antara lain: berbagai jurnal ilmiah, prosiding seminar, artikel ilmiah, dan buku teks yang berkaitan dengan penelitian. Selain itu, dilakukan eksplorasi perangkat lunak seperti: ArcGIS 9.3, Global Mapper v.12, Envi 4.5, dan Google Earth Tahap Interpretasi Citra Pembuatan Peta Batas DAS Cimadur Peta batas DAS Cimadur dibuat dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS 9.3 dengan mempertimbangkan garis-garis kontur dan sungai utama serta anak-anak sungainya yang mengalir pada wilayah DAS Cimadur. Melalui polapola garis kontur, diperhatikan batas-batas topografi yang terdapat di sekitar sungai utama tersebut. Hal tersebut dilakukan sesuai dengan definisi DAS yang merupakan suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau (Asdak 2010).

27 15 Peta batas dari tiap sub-das yang ada di dalam DAS Cimadur juga dibuat dengan menggunakan ArcGIS 9.3 dengan terlebih dahulu dilakukan klasifikasi terhadap order sungai yang mengalir di DAS tersebut, yaitu dimulai dari order 3, 4, dan seterusnya hingga order terbesar untuk Sungai Cimadur. Klasifikasi order sungai yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada klasifikasi Strahler, seperti yang telah diuraikan sebelumnya pada Bab Tinjauan Pustaka. Selanjutnya, peta batas sub-das yang dihasilkan digunakan untuk analisis hubungan antara order sungai dan kelas TWI Pembuatan Peta Penggunaan Lahan DAS Cimadur Peta penggunaan lahan dibuat dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS 9.3 dengan melakukan interpretasi visual dan digitasi terhadap citra Google Earth, sedangkan citra ALOS AVNIR-2 berfungsi sebagai citra komposit apabila kenampakan pada citra Google Earth tertutup awan. Hasil klasifikasi yang dilakukan dari digitasi citra tersebut kemudian dicek di lapang agar memberikan ketepatan antara kenampakan yang ada pada citra dan kondisi yang sebenarnya di lapangan Pembuatan Peta Bentuklahan DAS Cimadur Peta bentuklahan DAS Cimadur dibuat dengan menggunakan perangkat lunak Global Mapper v.12 dan ArcGIS 9.3. Citra SRTM Provinsi Banten yang telah dibuka menggunakan Global Mapper v.12 ditumpangtindihkan (overlay) dengan peta batas DAS Cimadur sebagai batas wilayah penelitian. Perangkat lunak Global Mapper v.12 digunakan untuk menampilkan citra secara 3 dimensi, sehingga morfologi permukaan bumi dapat terlihat dengan jelas, untuk memudahkan menginterpretasi bentuklahan. Sebelum memulai identifikasi bentuklahan, hal yang harus diperhatikan adalah melihat keadaan di sekitar wilayah penelitian, baik dari aspek morfologi, morfogenesis, morfokronologi, maupun litologinya. Kondisi morfologi wilayah penelitian yang tampak pada citra, kemudian didelineasi sesuai dengan bentuk morfologi termasuk kerapatan kontur, serta kondisi geologi yang menyusun wilayah penelitian. Klasifikasi umum

28 16 bentuklahan ditentukan berdasarkan kriteria geomorfologi yang dikemukakan oleh van Zuidam (1985) Pembuatan Peta Kemiringan Lereng DAS Cimadur Peta kemiringan lereng DAS Cimadur dibuat dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS 9.3. Peta kontur digital RBI skala 1: dikonversi ke TIN (Triangulated Irregular Network). TIN adalah struktur data vektor tiga dimensi yang mempresentasikan permukaan bumi dengan membangun jejaring segitiga. Selanjutnya, data TIN dikonversi ke data raster. Data yang dihasilkan dari proses ini adalah data elevasi digital dalam format raster yang berisi sel-sel dengan ukuran tertentu dimana setiap nilai sel menunjukkan angka ketinggian. Setelah itu, dilakukan konversi dari data ketinggian menjadi data kemiringan lereng yang ada pada menu 3D Analyst. Data yang dihasilkan dari proses ini adalah data dalam format raster yang belum diklasifikasi. Peta kemiringan lereng biasanya dinyatakan dalam interval kelas, sehingga langkah selanjutnya adalah melakukan klasifikasi kelas lereng Tahap Pengecekan Lapang Tahap pengecekan lapang dilakukan 2 kali, yakni di bulan Februari dan Juli tahun Pada tahap ini dilakukan pengambilan beberapa lokasi piksel/titik (x,y) untuk menentukan daerah kajian penelitian dengan menggunakan perangkat GPS. Pengamatan lapang difokuskan pada pengukuran debit sungai, observasi terhadap jenis-jenis bentuklahan dan obyek-obyek di atasnya, yakni penggunaan lahan dan lereng Tahap Analisis Data Analisis Topographic Wetness Index (TWI) DAS Cimadur Analisis TWI dibuat dengan menggunakan perangkat lunak ArcView 3.3 dengan tools tambahan Terrain Analysis. Data dasar untuk analisis TWI adalah Peta kontur digital RBI skala 1: Peta ini kemudian dipotong dengan peta batas DAS Cimadur dan diubah menjadi titik-titik ketinggian untuk selanjutnya dilakukan interpolasi. Interpolasi merupakan proses estimasi nilai pada wilayah

29 17 yang tidak diukur, sehingga dapat dihasilkan sebaran nilai pada seluruh wilayah. Dalam penelitian ini digunakan metode interpolasi Inverse Distance Weighted (IDW). Metode IDW merupakan metode deterministik yang sederhana dengan mempertimbangkan titik di sekitarnya. Asumsi dari metode ini adalah bahwa nilai interpolasi akan lebih mirip pada data sampel yang dekat daripada yang lebih jauh. Bobot (weight) akan berubah secara linier sesuai dengan jaraknya terhadap data sampel. Dalam proses ini data yang dihasilkan merupakan data baru dalam bentuk grid (raster), sehingga data ini dapat digunakan untuk analisis TWI. Data dalam bentuk grid ini menghasilkan 9 data TWI yang bersifat kontinu (continuous). Selanjutnya, data TWI direklasifikasi menjadi 3 kelas dengan interval nilai 5 untuk masing-masing kelas, yakni kelas TWI rendah (= kelas 1) dengan selang kelas nilai TWI <5, kelas TWI sedang (= kelas 2) dengan selang kelas nilai TWI 5-10, dan kelas TWI tinggi (= kelas 3) dengan selang kelas nilai TWI >10. Sistem pengkelasan ini dilakukan secara arbitrer tanpa referensi awal mengingat terbatasnya acuan baku yang dapat digunakan. Pengkelasan ini digunakan untuk memudahkan mengetahui titik-titik dugaan konsentrasi air. Langkah selanjutnya adalah dengan melakukan delineasi masing-masing kelas TWI yang sudah diklasifikasi agar keluaran akhir yang dihasilkan berbentuk data vektor Analisis Ekologi Bentanglahan DAS Cimadur Analisis ekologi bentanglahan dimulai dengan melihat hubungan antara komponen-komponen bentanglahan, seperti penggunaan lahan, kemiringan lereng, dan kelas TWI yang kemudian dianalisis berdasarkan bentuklahan sebagai unit analisisnya untuk menentukan daerah yang berpotensi menyimpan air. Analisis dilakukan dengan metode tumpangtindih (overlay) dengan perangkat lunak ArcGIS 9.3 atau ArcView Tahap Penyajian Hasil Penyajian hasil adalah penyajian secara tertulis tentang hasil klasifikasi dan analisis (peta dan citra), serta penyajiannya dalam bentuk peta-peta sehingga

30 18 terbentuk sebuah laporan yang disajikan dalam bentuk skripsi. Rangkaian metode penelitian ini disajikan dalam bentuk diagram alir seperti pada Gambar 3.

31 19 Citra SRTM, Peta Geologi digital 1: DEM Peta Topografi digital 1: Peta titik tinggi Citra Google Earth, Citra ALOS AVNIR-2, cek lapang Peta Kemiringan lereng Cimadur Peta Batas DAS Cimadur Interpolasi IDW Peta Penggunaan lahan Cimadur Peta Bentuklahan Cimadur Klasifikasi order sungai (metode Strahler) Peta Batas sub-das Cimadur Peta Kelas TWI Cimadur Analisis ekologi bentanglahan untuk penentuan Gambar daerah 3. Diagram yang potensial Alir Penelitian menyimpan air Gambar 3. Diagram Alir Penelitian

32 20 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Daerah Penelitian (DAS Cimadur, Banten) Kabupaten Lebak merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di provinsi Banten dengan Ibukota di Rangkasbitung. Secara geografis, Kabupaten Lebak terletak antara Lintang Selatan dan Bujur Timur, dengan luas wilayah Ha (3.044,72 Km 2 ) yang terdiri dari 28 Kecamatan dengan 340 desa dan 5 kelurahan. Berikut merupakan batas administratif Kabupaten Lebak: Sebelah Utara : Kabupaten Serang dan Tangerang Sebelah Selatan : Samudera Hindia Sebelah Barat : Kabupaten Pandeglang Sebelah Timur : Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi DAS Cimadur merupakan salah satu DAS utama yang mengalir di Kabupaten Lebak. DAS ini terletak antara Lintang Selatan dan Bujur Timur yang mempunyai luas kurang lebih Ha. 4.2 Kondisi Topografi Daerah Penelitian Kabupaten Lebak secara topografi memiliki 3 (tiga) karakteristik ketinggian dari permukaan laut, yaitu: meter, untuk wilayah sepanjang Pantai Selatan meter, untuk wilayah Lebak Tengah 3. >500 meter, untuk wilayah Lebak Timur dengan puncaknya yaitu Gn. Sanggabuana dan Gn. Halimun DAS Cimadur terletak mulai dari wilayah Lebak Timur sampai Lebak Selatan. Pada DAS bagian Utara didominasi oleh topografi pegunungan dengan ketinggian hingga 1500 m dpl, pada DAS bagian tengah didominasi oleh topografi pegunungan dan perbukitan yang mempunyai ketinggian antara m dpl, sedangkan untuk DAS bagian Selatan didominasi oleh topografi perbukitan dan lembah dengan ketinggian mulai dari m dpl. Mengingat topografi DAS Cimadur lebih didominasi oleh pegunungan dan perbukitan, maka daerah ini memiliki kemiringan lereng dari datar hingga sangat curam.

33 Kondisi Iklim Daerah Penelitian Iklim di wilayah Lebak dipengaruhi oleh Angin Monsoon dan gelombang La Nina. Cuaca didominasi oleh Angin Barat dari Samudera Indonesia dan Angin Asia di musim penghujan, serta Angin Timur pada musim kemarau. Curah hujan rata-rata per tahun mencapai mm, dengan suhu udara berkisar antara 24.5 C-29.9 C ( Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt dan Ferguson, DAS Cimadur termasuk dalam kategori iklim C yang mempunyai nilai rasio Q berkisar antara 33,3-60%, dengan ciri mempunyai hutan berdaun lebar/jarum, cenderung homogen, intensitas penyinaran sedang ( kuningan.web.id). 4.4 Kondisi Hidrologi Daerah Penelitian DAS Cimadur merupakan salah satu sungai utama yang mengalir dari kompleks Gunung Salak-Halimun ke Samudera Hindia dengan arah aliran secara umum mengalir dari Utara ke Selatan. DAS ini mempunyai pola aliran paralel di bagian Utara dengan anak-anak sungai saling sejajar atau hampir sejajar yang bermuara pada sungai utama, hal ini sangat erat kaitannya dengan letaknya atau berkembang di atas morfologi tebing dengan lereng curam. Pola aliran trellis mendominasi wilayah DAS bagian Selatan, terlihat dari bentuk percabangan anak sungai dan sungai utama yang hampir tegak lurus karena tersusun oleh batuan yang berselang-seling antara batuan lunak (batuliat) dan resisten (batupasir) serta struktur geologi lipatan. Pola aliran yang mendominasi DAS bagian tengah adalah pola dendritik, dengan bentuk menyerupai percabangan pohon, tidak teratur, dengan arah dan sudut yang beragam. Hal ini disebabkan karena sungai yang berkembang di wilayah ini tersusun oleh batuan yang relatif homogen, yakni batuan yang berasal dari proses vulkanik. 4.5 Kondisi Demografi, Sosial, dan Ekonomi Daerah Penelitian Kabupaten Lebak terdiri dari 28 kecamatan, dua diantaranya yakni: Kecamatan Bayah dan Cibeber terliput di dalam DAS Cimadur. Jumlah penduduk yang menempati dua Kecamatan ini adalah orang atau 7,84% dari total populasi Kabupaten Lebak ( orang). Di kabupaten ini sektor pertanian

34 22 merupakan sektor utama yang menunjang perekonomian kabupaten dengan jumlah persentase tertinggi, yakni sebesar 55,31% dibandingkan dengan sektorsektor lain, seperti perdagangan, jasa, dan industri ( 4.6 Kondisi Geologi dan Geomorfologi Daerah Penelitian Daerah penelitian (DAS Cimadur) tersusun oleh beberapa Formasi geologi berdasarkan Peta Geologi Digital yang diperoleh dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Formasi yang dimaksud adalah Formasi Cimapag (Tmc) dan Formasi Tufa Citorek (Tpv) berumur Miosen hingga Pliosen yang tersebar di DAS bagian Utara, membentuk geomorfologi pegunungan yang telah mengalami denudasi. Di bagian tengah DAS tersusun oleh Formasi Cikotok (Temv), Formasi Cicarucup (Tet), dan Formasi Anggota Batugamping (Tojl) dengan kisaran umur Eosen sampai Miosen. Pada bagian tengah ini, geomorfologi yang terbentuk berupa pegunungan yang tampak terdenudasi lebih lanjut. Di bagian Selatan DAS, umumnya disusun oleh Formasi Limestone Member (Tebm), Formasi Anggota Batugamping (Tojl), dan Formasi Anggota Konglomerat (Teb) dengan umur berkisar Eosen sampai Miosen, membentuk geomorfologi perbukitan struktural yang telah mengalami denudasi lanjut. 4.7 Penutupan/Penggunaan Lahan Daerah Penelitian Pada daerah penelitian, penggunaan lahan yang umum dijumpai adalah kebun campuran, hutan, dan sawah. Penggunaan lahan kebun campuran terletak menyebar di seluruh bagian DAS mulai dari bagian Utara sampai Selatan DAS. Penggunaan lahan hutan tersebar di DAS bagian Utara dan tengah. Persawahan terletak sedikit di bagian Utara dan Selatan DAS terutama pada kemiringan lereng yang landai, sedangkan untuk penggunaan lahan permukiman terletak menyebar, namun secara dominan lokasinya mengikuti alur sungai dan pada lereng yang datar.

35 23 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Geomorfologi di Daerah Penelitian Kondisi geomorfologi daerah penelitian berkaitan erat dengan sejarah geologi yang berkembang di wilayah tersebut, dimana proses-proses geomorfologis endogen dan eksogen seperti proses-proses tektonik, vulkanik, dan denudasional mendominasi kenampakan geomorfologi di daerah penelitian. Hal ini dapat merujuk pada jenis batuan yang menyusun daerah penelitian dan kenampakan morfologi yang ada secara aktual. Berdasarkan jenis batuan dan umurnya seperti tersebut di sub-bab Kondisi Geologi dan Geomorfologi Daerah Penelitian, maka secara umum dapat dikatakan bahwa bentuklahan pegunungan yang terbentuk di bagian hulu daerah penelitian, tersusun oleh batuan vulkanik, mempunyai umur yang relatif lebih muda dibandingkan dengan bentuklahan pegunungan yang ada di bagian tengah daerah penelitian, meskipun kedua bentuklahan tersebut tersusun oleh jenis batuan yang sama, yakni batuan vulkanik Tersier. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas vulkanisme masa lalu di wilayah penelitian dan sekitarnya secara bertahap mengalami pergerakan dari Selatan ke Utara dan meninggalkan bentuklahan pegunungan yang pada saat ini telah mengalami proses denudasi yang telah lanjut. Proses yang belakangan ini ditunjukkan oleh banyaknya lembah-lembah hasil proses pengikisan erosi maupun longsor dan tidak menyisakan lagi bentuk kerucut gunungapi yang umumnya terbentuk di kompleks gunungapi Kuarter. Aspek-aspek bentuklahan dan geomorfologi daerah penelitian yang diuraikan berikut ini mencakup morfologi, morfogenesis, morfokronologi, dan litologi (batuan) Morfologi Dalam analisis morfologi terdapat dua aspek, yakni aspek morfografi dan morfometri. Morfografi merupakan aspek deskriptif dari suatu bentuklahan yang ada di permukaan bumi, sedangkan morfometri merupakan aspek kuantitatif dari suatu bentuklahan, seperti lereng (kemiringan, bentuk, panjang, arah) dan ketinggian. Morfografi daerah penelitian terdiri atas daerah dataran, perbukitan,

36 24 pegunungan, tebing, dan lembah sungai. Gambaran morfografi ini dan persebarannya dapat dilihat pada Gambar 4, yang menunjukkan bahwa morfografi perbukitan dan pegunungan tampak paling dominan. Gambaran morfometri daerah penelitian dapat dilihat dari aspek kemiringan lereng dan ketinggian bentuklahan yang masing-masing disajikan dalam bentuk peta kemiringan lereng (Gambar 5) dan peta ketinggian (Gambar 6). Berdasarkan Gambar 5 terlihat bahwa kemiringan lereng 0-3% (datar) dan 3-8% (landai) tersebar di bagian Utara dan sedikit di bagian Selatan DAS, kemiringan lereng 8-15% (agak curam) tersebar juga sedikit di bagian Utara dan Selatan DAS, sedangkan kemiringan lereng 15-30% (curam) tersebar hampir di seluruh wilayah DAS. Adapun kemiringan lereng >30% (sangat curam) tersebar di bagian tengah dan sedikit di bagian Utara DAS. Melihat persebaran kelas lereng di atas dan luasannya (Tabel 4) memastikan bahwa daerah penelitian terletak di daerah atas (upland areas) yang berupa perbukitan dan pegunungan, sehingga cukup wajar jika proses denudasi menjadi lebih dominan bekerja di atas batuan yang berumur Tersier dan tidak terdapat lagi aktivitas vulkanik yang baru. Tabel 4. Luas masing-masing kemiringan lereng di DAS Cimadur No Kemiringan Keterangan Luas Area Lereng Ha % 1 0-3% Datar , % Landai , % Agak curam , % Curam ,60 5 >30% Sangat curam ,20 Luas Total Untuk aspek ketinggian (Gambar 6), terlihat bahwa semakin ke arah Utara DAS angka ketinggian tampak semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah pegunungan dan perbukitan ini secara umum mempunyai kemiringan dari Utara ke Selatan sesuai dengan aliran sungai Cimadur yang mengalir atau bermuara ke Laut Selatan Jawa.

37 25 Samudera Indonesia Gambar 4. Gambaran morfologi DAS Cimadur dari Citra SRTM

38 Gambar 5. Peta Kemiringan Lereng DAS Cimadur 26

39 Gambar 6. Peta Ketinggian DAS Cimadur 27

40 28 Secara spasial morfologi dataran di daerah penelitian lebih banyak tersebar di bagian Utara daripada di bagian Selatan DAS, hal ini sangat menarik karena terletak di daerah hulu yang seharusnya lebih banyak mempunyai lereng yang curam. Jika dilihat lebih rinci morfologinya, maka pada daerah ini dijumpai suatu cekungan besar, berbentuk melingkar, berdiameter 8000 meter dibatasi oleh tebing, dan tersusun oleh endapan abu dan batuapung. Seperti diketahui bahwa endapan abu-batu apung merupakan hasil letusan vulkanik tipe Plinian atau letusan besar yang seringkali menghasilkan kaldera seperti kaldera Bromo- Tengger, kaldera Tambora, kaldera Sunda-Tangkuban Perahu dan sebagainya. Kaldera adalah kawah besar berdiameter lebih dari 2000 meter sebagai hasil proses runtuhan tubuh puncak gunungapi akibat kekosongan dapur magma, sehingga kaldera secara morfologis dibatasi oleh dinding yang terjal berbentuk melingkar. Berdasarkan karakteristik kaldera ini, maka dapat diduga bahwa bentuklahan tebing yang berbentuk hampir melingkar atau berbentuk huruf U (Gambar 4) dapat diinterpretasikan sebagai suatu tebing kaldera hasil letusan gunungapi pada zaman Tersier, dimana hipotesis ini diperkuat oleh adanya endapan abu-batuapung (ignimbrite) di sekitarnya atau di tengah kaldera yang membentuk morfologi dataran. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kompleks pegunungan di wilayah ini dahulunya merupakan suatu kompleks gunungapi, meskipun pada saat sekarang morfologi vulkanik seperti bentukbentuk kerucut sudah tidak ditemui lagi, hal ini disebabkan proses eksogenik denudasi telah berjalan cukup lama, sejak jaman Tersier, atau sejak terhentinya aktivitas vulkanik di wilayah ini. Berdasarkan uraian di atas, maka morfologi perbukitan yang terletak di bagian tengah DAS dapat dikatakan merupakan bagian lereng bawah dari kompleks gunungapi dimaksud, sedangkan perbukitan struktural berbatuan sedimen dimungkinkan sebagai batuan dasar (basement rock) dari tubuh-tubuh gunungapi yang tumbuh di atasnya pada zaman Tersier. Untuk morfologi dataran di bagian Selatan luasannya relatif sangat kecil merupakan bentuklahan hasil proses fluvial (deposisi) dan merupakan bentuklahan termuda karena terbentuk pada zaman Kuarter dibandingkan dengan umur morfologi-morfologi lain yang telah disebutkan sebelumnya.

41 Morfogenesis Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa morfogenesis bentuklahan di daerah penelitian lebih didominasi oleh proses denudasional terhadap morfologi yang dihasilkan oleh proses geomorfik sebelumnya, seperti pengangkatan, baik yang berbatuan vulkanik maupun sedimen. Oleh karena itu nama-nama bentuklahan sebagian besar berupa bentuklahan denudasional vulkanik dan sebagian yang lain berupa denudasional struktural dan bentuklahan fluvial. Bentuklahan asal proses denudasional vulkanik tersebar dari bagian tengah ke hulu daerah penelitian, sedangkan bentuklahan asal proses denudasional struktural tersebar di bagian Selatan daerah penelitian, seperti perbukitan lipatan yang telah mengalami erosi lanjut, hal ini dicirikan dengan batuan-batuan yang menyusun bentuklahan tersebut, yang terdiri dari batupasir (Anggota Batupasir), konglomerat (Anggota Konglomerat), batukapur (Limestone Member), dan batulempung (Formasi Cimanceuri). Batupasir dan konglomerat umumnya lebih resisten terhadap erosi sehingga menghasilkan bentuklahan igir-igir perbukitan, sedangkan batukapur sebagian berbentuk igir-igir atau bukit namun sebagian yang lain terlarut membentuk lembah/cekungan. Sedangkan batulempung karena lebih lunak maka cenderung membentuk morfologi lembah-lembah. Bentuklahan asal proses fluvial terdapat di bagian Selatan daerah penelitian, memiliki relief datar dengan batuan penyusun utama Aluvium, dan menempati elevasi terendah (0-300 m dpl) sebagai wilayah yang lebih didominasi oleh proses-proses deposisi Morfokronologi Berdasarkan Peta Geologi yang disajikan dalam Gambar 7, maka semua bentuklahan di daerah penelitian terbentuk pada zaman Tersier (Eosen, Oligosen, Miosen, dan Pliosen), hanya bentuklahan Lembah sungai (F) yang terbentuk pada zaman Kuarter (Holosen). Secara spasial dapat diperhatikan pula bahwa wilayah DAS bagian Utara tersusun oleh batuan vulkanik yang terbentuk pada zaman Tersier: Miosen-Pliosen, pada wilayah DAS bagian tengah tersusun oleh batuan vulkanik dan sedimen Tersier lebih tua: Eosen-Miosen, sedangkan wilayah DAS

42 Gambar 7. Peta Geologi DAS Cimadur 30

43 31 bagian selatan mempunyai batuan penyusun Kuarter: Holosen sebagai hasil proses pengendapan sungai. Dengan demikian, berdasarkan morfokronologinya dapat disimpulkan bahwa secara umum morfokronologi bentuklahan di daerah penelitian mempunyai umur lebih muda ke arah Utara seiring dengan kondisi morfometrinya berupa elevasi yang semakin meningkat Litologi (batuan) Berdasarkan Peta Geologi (Gambar 7) dan seperti diuraikan pada sub-bab Kondisi Geologi dan Geomorfologi Daerah Penelitian, jenis batuan induk di daerah penelitian terdiri dari 10 Formasi berumur Tersier, yakni: Formasi Cimapag (Tmc), Tufa Citorek (Tpv), Formasi Cikotok (Temv), Anggota Batugamping (Tojl), Formasi Cicarucup (Tet), Anggota Batupasir (Toj), Formasi Cimanceuri (Tpm), Limestone Member (Tebm), Anggota Batugamping (Tmtl), Anggota Konglomerat (Teb), dan 1 Formasi berumur Kuarter, yaitu Aluvial (Qa). Penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Formasi Cimapag (Tmc) Batuan Sedimen Miosen Awal: disusun oleh batuan sedimen klastik, breksi, koarsa yang berasal dari endapan vulkanik. 2. Tufa Citorek (Tpv) Batuan Gunungapi Pliosen: tuf, tuf berbatu apung, tuf breksi, batupasir, dan batulempung tufan. 3. Formasi Cikotok (Temv) Batuan Gunungapi Eosen-Miosen: disusun oleh batuan ektrusif intermedier, lava yang berasal dari endapan vulkanik. 4. Anggota Batugamping (Tojl) Batuan Karbonat Oligosen: berasal dari endapan sedimen yang disusun oleh batuan sedimen klastik, limestone (batukapur). 5. Formasi Cicarucup (Tet) Batuan Sedimen Eosen: batupasir kuarsa, konglomerat kuarsa, batulempung, serpih, batusabak yang berasal dari endapan sedimen. 6. Anggota Batupasir (Toj)

44 32 Batuan Sedimen Oligosen: batupasir, konglomerat, tuf dan bersisipan batulempung, berasal dari endapan sedimen. 7. Anggota Batugamping (Tmtl) Batuan Karbonat Miosen Awal: disusun oleh batuan sedimen klastik, limestone (batukapur), berasal dari endapan sedimen. 8. Anggota Konglomerat (Teb) Batuan Sedimen Eosen: batupasir kuarsa, konglomerat kuarsa, batulempung, serpih, batu sabak yang berasal dari endapan sedimen. 9. Aluvial (Qa) Batuan Sedimen Holosen: disusun oleh batuan yang berbahan aluvium yang diendapkan di lingkungan sungai. 10. Formasi Cimanceuri (Tpm) Batuan Pliosen Akhir: bercirikan sedimen klastika yang kaya akan fosil molusca, kuarsa dan konglomerat. 11. Limestone Member (Tebm) Batuan Karbonat Eosen: disusun oleh batuan sedimen klastik. 5.2 Identifikasi Bentuklahan di Daerah Penelitian Berdasarkan hasil analisis geomorfologi yang telah dikemukakan di atas dan hasil interpretasi citra, bentuklahan-bentuklahan di daerah penelitian dapat diklasifikasikan menjadi 8 macam, yakni: Lembah Sungai (F), Pegunungan denudasional vulkanik dewasa (DV1), Pegunungan denudasional vulkanik tua (DV2), Perbukitan denudasional vulkanik tua (DV3), Tebing denudasional vulkanik (DV4), Dataran vulkanik bermaterial tufa (DV5), Perbukitan denudasional struktural dewasa (DS1), dan Perbukitan denudasional struktural tua (DS2) seperti yang disajikan pada Gambar 8, sedangkan untuk gambaran dan interpretasi bentuklahan dari Citra SRTM dapat dilihat pada Gambar 9. Luas dari masing-masing bentuklahan disajikan pada Tabel 5.

45 Gambar 8. Peta Bentuklahan DAS Cimadur 33

46 34 Samudera Indonesia Gambar 9. Gambaran dan interpretasi bentuklahan DAS Cimadur dari Citra SRTM

47 35 Tabel 5. Luas masing-masing bentuklahan di DAS Cimadur No Simbol Bentuklahan Luas Area Ha % 1 F Lembah sungai 61 0,29 2 DV1 Pegunungan denudasional vulkanik dewasa ,76 3 DV2 Pegunungan denudasional vulkanik tua ,02 4 DV3 Perbukitan denudasional vulkanik tua ,56 5 DV4 Tebing denudasional vulkanik ,75 6 DV5 Dataran vulkanik bermaterial tufa ,69 7 DS1 Perbukitan denudasional struktural dewasa ,35 8 DS2 Perbukitan denudasional struktural tua ,58 Luas Total Lembah sungai (F). Bentuklahan ini terletak di bagian ujung Selatan daerah penelitian yang mempunyai morfologi lembah dengan kemiringan lereng 0-3% (datar) dan 3-8% (landai). Batuan yang menyusun bentuklahan ini adalah Aluvium (Qa), suatu batuan sedimen klastik yang diendapkan di lingkungan sungai. Bentuklahan ini merupakan bentuklahan paling muda di daerah penelitian yang terbentuk pada zaman Kuarter berumur Holosen. Bentuklahan ini mempunyai luasan 61 Ha dengan persentase 0,29% dari total luas daerah penelitian. Pegunungan denudasional vulkanik dewasa (DV1). Bentuklahan ini terletak di bagian Utara dan tengah daerah penelitian yang mempunyai morfologi pegunungan dengan kemiringan lereng 15-30% (curam) dan >30% (sangat curam). Batuan yang menyusun DV1 adalah sebagai basement rock yang terdiri dari Formasi Cimapag (Tmc), atau batuan sedimen yang terbentuk pada zaman Tersier berumur Miosen Awal dan Formasi Tufa Citorek (Tpv), batuan gunungapi zaman Tersier berumur Pliosen. Pada bentuklahan ini kerucut-kerucut gunungapi hampir tidak tampak lagi karena sudah mengalami erosi yang sangat lanjut. DV1 merupakan bentuklahan paling luas dengan total luasan sebesar Ha atau menempati 27,76% dari total luas daerah penelitian. Pegunungan denudasional vulkanik tua (DV2). Bentuklahan ini terletak di bagian tengah daerah penelitian yang mempunyai morfologi pegunungan dengan kemiringan lereng 15-30% (curam) dan >30% (sangat curam). Batuan

48 36 penyusunnya terdiri dari: Formasi Cikotok (Temv), atau batuan gunungapi zaman Tersier berumur Eosen sampai Miosen; Formasi Cicarucup (Tet) atau basement rock berbatuan sedimen zaman Tersier berumur Eosen, dan Anggota Batugamping (Tojl) yang berupa batuan karbonat zaman Tersier berumur Oligosen. Pada bentuklahan ini kerucut-kerucut gunungapi juga sudah tidak tampak lagi, hanya berupa tebing-tebing dengan lereng yang curam karena telah mengalami erosi lanjut seperti yang dibuktikan dengan banyaknya torehantorehan memanjang yang tampak pada citra SRTM. Bentuklahan ini menempati luasan sebesar Ha atau 20,02% dari total luas daerah penelitian. Perbukitan denudasional vulkanik tua (DV3). Bentuklahan ini terletak di bagian tengah daerah penelitian, tepatnya di bawah bentuklahan Pegunungan denudasional vulkanik tua (DV2) dan di atas Perbukitan denudasional struktural dewasa dan tua (DS1 dan DS2). Bentuklahan DV3 ini mempunyai morfologi perbukitan dengan kemiringan lereng 15-30% (curam) dan >30% (sangat curam). Tersusun dari Formasi Cikotok (Temv) berbatuan vulkanik dan Anggota Batugamping (Tojl) yang keduanya dari zaman Tersier berumur Eosen sampai Miosen. Bentuklahan ini mempunyai luas Ha atau menempati 12,56% dari total luas daerah penelitian. Tebing denudasional vulkanik (DV4). Bentuklahan ini terletak di bagian Utara daerah penelitian berupa tebing (kaldera) yang curam yang telah mengalami erosi lanjut dan berbentuk melingkar seperti tapal kuda atau huruf U. DV4 mengelilingi Dataran vulkanik bermaterial tufa (DV5) yang berada di bawahnya. Bentuklahan ini mempunyai kemiringan lereng 15-30% (curam) dan >30% (sangat curam) serta mempunyai batuan yang keras seperti lava atau perselingan lava dan piroklastik, namun dalam peta geologi dimasukkan ke dalam Formasi Cimapag (Tmc), terdiri dari batuan sedimen klastik, breksi, dan kuarsa yang berasal dari endapan vulkanik berumur Miosen Awal. Bentuklahan ini mempunyai luas sebesar Ha atau menempati 18,75% dari total luas daerah penelitian. Dataran vulkanik bermaterial tufa (DV5). Bentuklahan ini terletak di bagian Utara daerah penelitian, mempunyai kenampakan morfologi datar berombak seperti terlihat dari citra SRTM, atau secara umum berupa

49 37 cekungan/kawah dengan bentuk lingkaran sangat besar, berdiameter 8000 meter, dan kemiringan lereng 0-3% (datar). Formasi batuan yang menyusun bentuklahan ini adalah Tufa Citorek (Tpv), merupakan batuan gunungapi berumur Pliosen atau termuda untuk zaman Tersier. Material penyusun utama dari bentuklahan ini adalah tuf berbatuapung, atau material hasil letusan gunungapi yang besar, yang sering menghasilkan kaldera (tipe plinian). Dengan demikian dapat diduga bahwa DV5 sebenarnya merupakan dasar dari suatu kaldera gunungapi tua. Bentuklahan ini mempunyai luas Ha yang menempati 6,69% dari total luas daerah penelitian. Perbukitan denudasional struktural dewasa (DS1). Bentuklahan ini terletak di bagian Selatan daerah penelitian yang mempunyai morfologi perbukitan dengan kemiringan lereng 8-15% (agak curam) dan 15-30% (curam). DS1 sudah tidak menunjukkan lagi topografi struktur lipatan seperti tahap awal, karena telah mengalami erosi yang lanjut yang dicirikan dengan adanya kontrol struktural dan kekerasan batuan yang tercermin dari detil topografi. Batuan-batuan dengan tingkat kekerasan yang tinggi seperti batupasir dan konglomerat umumnya lebih resisten terhadap erosi menghasilkan bentuklahan igir-igir perbukitan, sedangkan batuan-batuan dengan tingkat kekerasan yang lebih rendah seperti batulempung cenderung tererosi dan membentuk bentuklahan lembah-lembah. Batukapur mempunyai kekerasan tinggi tetapi mudah larut oleh air sehingga sebagian membentuk igir dan sebagian lagi membentuk lembah atau cekungan akibat proses pelarutan oleh air hujan dan air aliran permukaan. Secara umum batuan yang menyusun bentuklahan ini terdiri dari Formasi: Anggota Batugamping (Tojl) dari zaman Tersier berumur Oligosen, Limestone Member (Tebm) Neogene berbahan batugamping terumbu yang terbentuk pada zaman Tersier berumur Miosen Akhir sampai Pliosen Awal, dan Formasi Cimanceuri (Tpm) berupa batuan sedimen klastik yang kaya akan fosil molusca, kuarsa dan konglomerat yang terbentuk pada zaman Tersier berumur Pliosen Akhir. Bentuklahan ini mempunyai luas Ha atau menempati 6,35% dari total luas daerah penelitian. Perbukitan denudasional struktural tua (DS2). Bentuklahan ini terletak di bagian Selatan daerah penelitian, mempunyai morfologi perbukitan dengan

50 38 kemiringan lereng 8-15% (agak curam) dan 15-30% (curam). Batuan yang menyusun DS2 adalah dari Formasi: Anggota Batupasir (Toj) yaitu batuan sedimen zaman Tersier berumur Oligosen, kemudian Anggota Batugamping (Tmtl) yang merupakan batuan karbonat zaman Tersier berumur Miosen Awal, dan Anggota Konglomerat (Teb) yang merupakan batuan sedimen zaman Tersier berumur Eosen yang sering dijumpai pada struktur lipatan. Bentuklahan ini mempunyai luasan Ha yang menempati 7,58% dari total luas daerah penelitian. 5.3 Identifikasi Penggunaan Lahan di Daerah Penelitian Peta penutupan/penggunaan lahan dibuat melalui perangkat lunak ArcGIS 9.3 dengan melakukan interpretasi visual terhadap citra Google Earth tahun 2011 dan citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tahun Citra yang terakhir ini berfungsi sebagai citra komposit apabila kenampakan pada citra Google Earth tertutup awan, kemudian disesuaikan dengan hasil pengamatan lapang agar memberikan tingkat ketepatan yang lebih baik terhadap peta penutupan/penggunaan lahan yang dihasilkan. Berdasarkan hasil interpretasi dan cek lapangan, penutupan/penggunaan lahan di daerah penelitian dapat diklasifikasikan menjadi 6 macam, yakni: sawah, permukiman, semak/tegalan, kebun campuran, hutan, dan tanah terbuka serta selebihnya adalah sungai. Peta penutupan/penggunaan lahan yang dihasilkan disajikan pada Gambar 10, sedangkan ilustrasi kenampakan jenis penggunaan lahan pada citra Google Earth dan kondisi di lapang dapat dilihat dalam Tabel 6.

51 Gambar 10. Peta Penutupan/Penggunaan Lahan DAS Cimadur 39

52 40 Tabel 6. Kenampakan jenis penggunaan lahan pada citra dan kondisi di lapang beserta luas tiap penggunaan lahan di DAS Cimadur No Jenis Penggunaan Kenampakan Pada Citra Kondisi di Lapang Luas (Ha) Luas (%) Lahan 1 Hutan ,65 2 Sungai 90 0,43 3 Permukiman 221 1,05 4 Sawah ,56 5 Kebun campuran ,58

53 41 6 Semak/tegal an 744 3,54 7 Tanah terbuka 40 0,19 Luas Total Hutan (H). Pada citra dicirikan oleh teksturnya yang kasar, berwarna hijau tua, dan bentuk yang homogen. Hutan tersebar di bagian Utara dan tengah daerah penelitian dengan kemiringan lereng dominan >30% (sangat curam) yang mempunyai luas sebesar Ha atau menempati 34,65% dari total luas daerah penelitian. Kebun campuran (Kc). Kenampakan dari penggunaan lahan ini pada citra dapat dilihat dari bentuknya yang bergerombol dengan pola yang tidak teratur dan memiliki warna hijau tua dengan tekstur yang agak kasar sampai kasar yang biasanya berasosiasi dengan permukiman. Penggunaan lahan ini mendominasi bagian tengah dan Selatan daerah penelitian dengan luas sebesar Ha atau menempati 42,58% dari total luas daerah penelitian. Penggunaan lahan ini secara dominan tersebar pada kemiringan lereng 15-30% (curam). Permukiman (P). Pada citra dapat dilihat dengan bentuknya yang mengelompok, tekstur halus, pola yang tidak teratur, memiliki warna merah tua, biasanya berasosiasi dengan jalan atau sungai. Permukiman tersebar di bagian Utara dan Selatan daerah penelitian yang mempunyai kemiringan lereng dominan 0-3% (datar) dengan luas sebesar 221 Ha atau 1,05% dari total luas daerah penelitian. Sawah (Sa). Penggunaan lahan ini pada citra dicirikan dengan bentuk petak-petak segi empat dan setiap petaknya dipisah oleh kenampakan garis pematang yang polanya teratur. Warna sawah terlihat hijau tua (untuk sawah yang berair atau baru tanam), hijau keabu-abuan, serta cokelat (untuk sawah yang baru

54 42 dipanen) dengan tekstur halus. Penggunaan lahan ini terletak di bagian Utara dan Selatan daerah penelitian dengan kemiringan lereng dominan 0-3% (datar). Penggunaan lahan ini mempunyai luas sebesar Ha atau menempati 17,56% dari total luas daerah penelitian. Semak/tegalan (Se). Pada citra memiliki kenampakan rona yang cerah, berwarna hijau muda dengan tekstur agak kasar sampai kasar, dan pola yang tidak teratur. Semak/tegalan tersebar di bagian Utara dan tengah daerah penelitian dengan kemiringan lereng dominan 15-30% (curam) yang mempunyai luasan 744 Ha atau menempati 3,54% dari total luas daerah penelitian. Sungai (Su). Kenampakan dari penggunaan lahan ini pada citra dicirikan dengan pola aliran yang berkelak-kelok pada wilayah yang datar, berwarna putih atau krem, serta memiliki tekstur yang halus. Penggunaan lahan ini mempunyai kemiringan lereng dominan 0-3% (datar) dengan luasan 90 Ha atau menempati 0,43% dari total luas daerah penelitian. Tanah terbuka (Tb). Pada citra dicirikan dengan kenampakan pantulan tanahnya yang berwarna cokelat dengan tekstur halus. Penggunaan lahan ini sedikit sekali penyebarannya karena daerah penelitian merupakan kawasan konservasi yang dilindungi oleh Pemerintah, dengan kemiringan lereng dominan 15-30% (curam) yang mempunyai luas sebesar 40 Ha atau menempati 0,19% dari total luas daerah penelitian. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penutupan/penggunaan lahan kebun campuran merupakan tipe yang paling dominan di DAS Cimadur dengan total luasan sebesar Ha. Fenomena ini dapat dipahami mengingat penggunaan lahan kebun campuran tidak mempunyai kendala terhadap morfologi, sehingga dapat berkembang pada berbagai bentuklahan dan kemiringan lereng, dan didukung dengan akses jalan yang ada di daerah penelitian yang memungkinkan manusia untuk mengintervensi lahan. Sebaliknya, tanah terbuka merupakan tipe penggunaan lahan terkecil atau sebesar 40 Ha, dikarenakan sebagian kawasan DAS Cimadur masuk ke dalam kawasan Taman Nasional yang dilindungi oleh Pemerintah.

55 Analisis Kelas TWI di Daerah Penelitian Analisis TWI dalam penelitian ini menghasilkan data TWI yang bersifat kontinu (continuous). Selanjutnya, data TWI direklasifikasi menjadi 3 kelas dengan interval nilai 5 untuk masing-masing kelas, yakni kelas 1 atau nilai TWI rendah jika nilai TWI <5, kelas 2 atau nilai TWI sedang jika nilai TWI antara 5 hingga 10, dan kelas 3 atau nilai TWI tinggi jika nilai TWI >10. Sistem pengkelasan ini dilakukan secara arbitrer tanpa ada referensi awal. Hal ini disebabkan oleh sangat terbatasnya acuan baku yang dapat digunakan untuk reklasifikasi. Adapun reklasifikasi ini sendiri dimaksudkan untuk memudahkan mengetahui titik-titik dugaan dari permukaan lahan yang mempunyai konsentrasi air. Dalam hal ini kelas TWI rendah (= kelas 1) menggambarkan suatu wilayah dengan potensi genangan air yang rendah, sehingga dapat diasumsikan bahwa pada wilayah ini potensi untuk menggenangkan air juga rendah. Sebaliknya kelas TWI tinggi (= kelas 3), menggambarkan suatu wilayah dengan potensi genangan air yang tinggi, sehingga dapat diasumsikan bahwa wilayah ini memiliki peluang tinggi untuk terjadinya genangan air ditinjau dari variasi topografi lokal. Adapun untuk kelas TWI sedang (= kelas 2) menggambarkan suatu potensi yang berada di antaranya, atau mengindikasikan suatu wilayah dengan potensi genangan air yang sedang, artinya jumlah genangan air pada wilayah ini masih tergolong tidak rendah dan tidak pula tinggi. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa pada wilayah ini potensi untuk menyimpan air masih dapat diharapkan. Hasil pemetaan sebaran kelas TWI untuk daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 11. Mengingat bahwa ketersediaan air sangat erat kaitannya dengan aliran permukaan (sungai), maka keterkaitan kelas TWI perlu pula dikaji hubungannya dengan order dari setiap jaringan sungai seperti yang sudah diklasifikasikan dengan menggunakan metode Strahler. Hasil klasifikasi order sungai DAS Cimadur dengan metode Strahler menunjukkan bahwa order sungai tertinggi Sungai Cimadur adalah order 6. Untuk melihat keterkaitan nilai TWI dengan order sungai, maka dalam penelitian ini order 3 ditetapkan sebagai order terendah karena mempertimbangkan banyaknya percabangan sungai di DAS Cimadur, sedangkan order 6 ditetapkan sebagai order tertinggi, artinya bahwa aliran sungai yang mengalir pada order 6 merupakan aliran sungai utama di dalam DAS

56 44 Cimadur. Gambar 12 di bawah menunjukkan hasil tumpangtindih antara kelas TWI dan order sungai di DAS Cimadur. Jika dalam Gambar 11 terlihat bahwa kelas TWI yang persebarannya paling dominan adalah kelas sedang (= kelas 2), maka pada Gambar 12 terlihat pula bahwa kelas TWI kelas sedang ini terdapat di semua sub-das order sungai, mulai dari sub-das order 3, 4, 5, hingga 6. Untuk Kelas TWI tinggi (= kelas 3) persebarannya hampir merata juga di sub-das order sungai 3, 4, 5, dan 6, namun sedikit agak dominan di sub-das order 3. Sedangkan untuk kelas TWI rendah (= kelas 1) persebarannya hanya di beberapa titik di bagian tengah, yaitu pada sub- DAS order sungai 3 dan 4, meskipun secara dominan berada di sub-das order 3. Hal ini cukup wajar yang disebabkan sub-das order 3 umumnya selalu berada pada elevasi yang lebih tinggi daripada sub-das order yang lebih besar dan umumnya mempunyai kemiringan lereng yang lebih besar pula. Namun menarik untuk disimak pula apabila dapat dilihat hubungan antara kelas TWI dengan panjang total segmen sungai dari masing-masing order (Tabel 7). Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa panjang total segmen sungai pada setiap kelas TWI yang terbesar adalah berada pada sub-das order sungai 3, hal ini mungkin disebabkan sub-das order sungai 3 ini meliputi juga sub-das order sungai-sungai yang lebih kecil, yaitu order 1 dan order 2, sehingga pada sub-das order sungai 3 ini mempunyai lebih banyak variasi kemiringan lereng.

57 Gambar 11. Peta Kelas TWI DAS Cimadur 45

58 Gambar 12. Peta Hasil Kelas TWI dan Order Sungai Cimadur 46

59 47 Tabel 7. Klasifikasi Kelas TWI dan order sungai terhadap panjang segmen sungai di DAS Cimadur No Kelas TWI Order sungai Total panjang segmen sungai (m) Gambaran yang bisa diambil pada Tabel 7 ini adalah bahwa sub-das sungai-sungai order 3 ini sesungguhnya perlu mendapat perhatian khusus atau perlu mendapat pengelolaan yang baik, karena sub-das sungai-sungai order 3 ini berpotensi tinggi untuk dapat menahan atau menyimpan air. Potensi menyimpan air yang tinggi juga dapat diartikan berpotensi melahirkan suatu gangguan atau bencana, seperti banjir atau kekeringan di daerah hilirnya atau yang terkait dengan pemanfaatan air sungai, baik di hulu maupun di hilir. Sebagai contoh, untuk kasus di daerah penelitian adalah pemanfaatan air sungai untuk pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH). Gambar 13.a berikut adalah instalasi mikrohidro yang ada di dalam DAS Cimadur, tepatnya berada di Kampung Lebak Picung, Desa Hegarmanah, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten. Lebih rincinya, mikrohidro ini digerakkan oleh aliran Sungai Ciambulawung yang mempunyai luas sub-das sebesar 554 Ha dengan penutupan/penggunaan lahan yang bervariasi di dalam sub-das tersebut, namun utamanya adalah hutan (Gambar 13.b), kebun campuran, dan sebagian digunakan sebagai areal persawahan (Gambar 13.c).

60 48 a). Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro b). Hutan c). Areal Persawahan Gambar 13. Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (a), penggunaan lahan hutan (b) dan areal persawahan (c) di Sungai Ciambulawung, Banten Debit sungai merupakan salah satu faktor utama dalam pengoperasian mikrohidro. Dengan semakin besar debit sungai yang mengalir maka semakin stabil energi yang dihasilkan untuk memutar turbin mikrohidro tersebut. Namun demikian, kendala utama dalam pengoperasian mikrohidro di wilayah ini adalah pada saat musim kemarau dimana debit aliran sungai menjadi sangat kecil (Tabel 8). Kecilnya debit pada musim kemarau ini banyak menghambat aktivitas pertanian berupa pengairan irigasi pada areal persawahan sehingga menyebabkan tanah pada areal persawahan ini menjadi kering dan berimbas pada gagalnya panen. Hal lainnya adalah matinya listrik karena tidak berfungsinya mikrohidro sehingga menghambat aktivitas sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat seharihari.

61 49 Tabel 8. Perbandingan nilai debit musim hujan dan musim kemarau di Sungai Ciambulawung berdasarkan pengukuran di lapangan Titik Koordinat Geografis Ketinggian Lebar Sungai (m) Debit Air (l/s) x y (m) Hujan Kemarau Hujan Kemarau A ,00 4,63 242,71 36,10 B ,27 3,65 153,60 28,54 C ,00 7,06 39,45 16,20 D ,40 4,09 66,15 15,96 E ,90 2,80 26,03 4,55 F ,00 4,76 39,30 13,05 G ,12 5,98 118,23 51,38 H ,70 6,05 206,10 35,21 I ,20 2,35 112,38 49,25 J ,72 1,33 30,38 104,73 K ,78-72,73 L ,50-20,83 M ,24-47,64 N ,60-47,60 Sub-DAS Ciambulawung jika dikaitkan dengan kelas TWI-nya (Gambar 11 dan 12) maka terlihat berada pada kelas sedang (= kelas 2) yang merupakan kelas TWI paling dominan di sub-das ini. Hal ini berarti bahwa pada daerah ini potensi untuk menyimpan air berada dalam kondisi cukup/sedang pada order sungai 3. Jika dilihat dari Peta Bentuklahan (Gambar 8) dan Peta Kemiringan lereng (Gambar 5), maka daerah ini terletak pada bentuklahan Pegunungan denudasional vulkanik dewasa (DV1) dan Pegunungan denudasional vulkanik tua (DV2) dengan kemiringan lereng dominan >30% (sangat curam), kondisi lereng seperti ini berimplikasi terhadap kapasitas menahan/menyimpan airnya yang rendah, sehingga pada musim-musim kemarau rentan terhadap potensi kekeringan. Oleh karena itu, untuk pembangunan instalasi mikrohidro seperti ini, selain data kelas TWI dan order sungai, diperlukan juga data penunjang lain seperti bentuklahan, kemiringan lereng, penggunaan lahan, dan data lainnya yang diperlukan untuk kelangsungan berfungsinya mikrohidro tersebut.

62 Analisis Ekologi Bentanglahan di Daerah Penelitian Salah satu yang dapat dipetik dari pengertian ekologi bentanglahan adalah kaitan antara bentanglahan dan unsur kehidupan yang berada di atasnya yang saling terkait dan ketergantungan sehingga membentuk suatu sistem kehidupan yang mempunyai karakteristik tertentu. Kondisi bentanglahan dalam hal ini lebih ditekankan pada unit geomorfologi yang direpresentasikan dalam bentuklahannya, sedangkan kehidupan dalam penelitian ini hanya dibatasi pada aktivitas manusia di atas lahan yang dicerminkan dalam bentuk penggunaan lahan yang dihasilkan. Dalam konsep ekologi bentanglahan, semua bentuk aktivitas dan parameter yang berada di atas suatu bentanglahan, seperti: penggunaan lahan, kemiringan lereng, dan kelas TWI untuk dianalisis dengan mendasarkan pada bentuklahan sebagai unit analisisnya sehingga diharapkan dapat memberikan informasi tentang karakteristik persebaran wilayah-wilayah yang mempunyai potensi untuk menyimpan air Hubungan Bentuklahan dan Penggunaan Lahan Penggunaan lahan merupakan hasil aktivitas manusia di atas bentuklahan, oleh sebab itu hubungan antara keduanya perlu dikaji lebih dalam terkait dengan potensinya dalam menyimpan air. Tabel 9 dan Gambar 14 menunjukkan luasan penggunaan lahan di atas bentuklahan yang ada di dalam DAS Cimadur. Tabel 9. Luas penggunaan lahan di atas bentuklahan di DAS Cimadur No Bentuklahan Penggunaan Lahan (Ha) Su H Kc P Sa Se Tb 1 F DV DV DV DV DV DS DS Luas Total

63 51 Gambar 14. Grafik luasan penggunaan lahan di atas bentuklahan di DAS Cimadur Pada Tabel 9 dan Gambar 14 dapat dilihat bahwa penggunaan lahan kebun campuran merupakan penggunaan lahan yang paling banyak terdapat di daerah penelitian dengan total luas Ha. Kebun campuran tersebar di semua jenis bentuklahan. Hal ini sangat wajar mengingat penggunaan lahan kebun campuran tidak mempunyai kendala morfologi pada berbagai bentuklahan. Keberadaan kebun campuran terluas adalah di atas bentuklahan Pegunungan denudasional vulkanik tua (DV2), yaitu menempati areal seluas Ha. Hal ini disebabkan oleh bentuklahan ini menempati luasan terbesar kedua di daerah penelitian dengan akses jalan yang masih memungkinkan untuk manusia dapat mengintervensi lahan. Penggunaan lahan hutan juga merupakan penggunaan lahan terluas kedua setelah kebun campuran dengan total luas Ha. Hutan tersebar di bagian Utara dan tengah daerah penelitian, menempati bentuklahan Dataran vulkanik bermaterial tufa (DV5), Pegunungan denudasional vulkanik dewasa (DV1), Pegunungan denudasional vulkanik tua (DV2), dan Tebing denudasional vulkanik (DV4). Keberadaan hutan terluas adalah di atas bentuklahan Pegunungan denudasional vulkanik dewasa (DV1), yang menempati luas Ha. Hal ini

64 52 disebabkan wilayah di atas bentuklahan ini merupakan kawasan Taman Nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai Kawasan Hutan. Penggunaan lahan sawah menempati urutan terluas ketiga setelah kebun campuran dan hutan dengan total luas Ha. Keberadaan sawah terluas terletak di atas bentuklahan Dataran vulkanik bermaterial tufa (DV5) yang mempunyai luasan 925 Ha. Hal ini sangat wajar, mengingat sawah merupakan jenis tanaman yang tumbuh dengan baik pada daerah dengan relief datar dan dialiri oleh air yang cukup. Penggunaan lahan semak/tegalan mempunyai total luasan 745 Ha dan tersebar di semua jenis bentuklahan dengan bentuklahan terluas adalah pada Tebing denudasional vulkanik (DV4) seluas 318 Ha. Penggunaan lahan semak/tegalan ini ditemui tidak mempunyai kendala morfologi pada berbagai bentuklahan. Penggunaan lahan permukiman mempunyai total luasan 221 Ha dimana keberadaannya tersebar pada morfologi dataran dan perbukitan. Hal ini sangat wajar mengingat daerah permukiman selalu berasosiasi dengan sungai dan jalan yang terletak pada relief datar sampai landai. Penggunaan lahan sungai dan tanah terbuka berturut-berturut memiliki total luasan 90 Ha dan 41 Ha Hubungan Bentuklahan dan Kemiringan Lereng Kemiringan lereng merupakan salah satu parameter yang digunakan oleh manusia untuk melakukan aktivitas di atas suatu bentuklahan. Hubungan antara bentuklahan dan kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 10 dan Gambar 15. Tabel 10. Luas kemiringan lereng di atas bentuklahan di DAS Cimadur No Bentuklahan Kemiringan Lereng (Ha) 0-3% 3-8% 8-15% 15-30% >30% 1 F DV DV DV DV DV

65 53 7 DS DS Luas Total Gambar 15. Grafik luasan kemiringan lereng di atas bentuklahan di DAS Cimadur Dalam Tabel 10 dan Gambar 15 dapat dilihat bahwa kemiringan lereng 15-30% (curam) merupakan kemiringan lereng yang paling dominan di daerah penelitian dan keberadaan terluas pada bentuklahan Pegunungan denudasional vulkanik dewasa (DV1). Kemiringan lereng >30% (sangat curam) merupakan kemiringan lereng terluas kedua yang juga menempati bentuklahan Pegunungan denudasional vulkanik dewasa (DV1). Kemiringan lereng curam dan sangat curam merupakan kemiringan lereng yang paling mendominasi di daerah penelitian, hal ini sangat wajar karena daerah penelitian merupakan bagian dari kompleks gunungapi yang mempunyai morfologi pegunungan. Selanjutnya, kemiringan lereng terluas ketiga ditempati oleh kemiringan lereng 0-3% (datar) yang berada di atas bentuklahan Dataran vulkanik bermaterial tufa (DV5). Kemiringan lereng 3-8% (landai) dan 8-15% (agak curam) menempati semua jenis bentuklahan yang ada di daerah penelitian.

66 Hubungan Bentuklahan dan Kelas TWI TWI merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk analisis bentuklahan terhadap potensi menyimpan atau genangan air. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada Bab Tinjauan Pustaka bahwa TWI ini sangat erat kaitannya dengan kemiringan lereng, karena merupakan data turunan yang dihasilkan dari data ketinggian yang relatif permanen (steady state) dengan menggunakan fungsi akumulasi aliran dan kemiringan lereng. Selain itu lereng adalah juga bagian terkecil dari permukaan bentuklahan yang relatif seragam. Oleh karena itu hubungan antara kelas TWI dan bentuklahan serta kelas TWI dan kemiringan lereng perlu dikaji lebih dalam terkait potensinya dalam menyimpan air. Tabel 11 dan Gambar 16 menunjukkan luasan kelas TWI di atas bentuklahan di DAS Cimadur. Tabel 12 dan Gambar 17 menunjukkan luasan kelas TWI dan kemiringan lereng di DAS Cimadur. Tabel 11. Luas Kelas TWI di atas bentuklahan di DAS Cimadur No Bentuklahan Kelas TWI (Ha) F DV DV DV DV DV DS DS Luas Total

67 55 Gambar 16. Grafik luasan Kelas TWI di atas bentuklahan di DAS Cimadur Tabel 12. Luas Kelas TWI dan kemiringan lereng di DAS Cimadur No Kemiringan Kelas TWI (Ha) Lereng % % % % >30% Luas Total

68 56 Gambar 17. Grafik luasan Kelas TWI dan kemiringan lereng di DAS Cimadur Pada Gambar 11 yang telah disajikan sebelumnya dalam sub-bab Analisis Kelas TWI di Daerah Penelitian, terlihat bahwa kelas TWI tinggi (= kelas 3) tersebar di bagian Utara dan Selatan daerah penelitian. Hal ini disebabkan pada daerah penelitian bagian Utara didominasi oleh bentuklahan Dataran vulkanik bermaterial tufa (DV5) dengan kemiringan lereng dominan 0-3% (datar) yang ditunjukkan dalam Tabel 11 dan 12 di atas, sedangkan pada daerah penelitian bagian Selatan didominasi oleh bentuklahan Perbukitan denudasional struktural dewasa (DS1) dengan kemiringan lereng dominan 8-15% (agak curam). Kelas TWI rendah (= kelas 1) memiliki penyebaran sangat sedikit, yakni di bagian tengah daerah penelitian, tepatnya pada bentuklahan Pegunungan denudasional vulkanik dewasa (DV1) dengan kemiringan lereng dominan 15-30% (curam). Adapun kelas TWI sedang (= kelas 2) merupakan kelas yang paling mendominasi karena menempati hampir keseluruhan daerah penelitian dari bagian Utara sampai Selatan dengan bentuklahan yang paling dominan adalah Pegunungan denudasional vulkanik dewasa (DV1) dengan luas sebesar Ha dan kemiringan lereng 15-30% (curam) yang mempunyai luas Ha. Hal ini berarti daerah penelitian masih termasuk dalam kelas TWI berpotensi genangan air kondisi aman. Namun demikian, kapasitas dalam menahan/menyimpan air

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi bentanglahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi bentanglahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi bentanglahan Vink (1983) dalam Samadikun (2009) menyatakan studi bentanglahan merupakan sebuah studi yang mengaitkan hubungan erat antara ruang dan waktu diantara fenomena

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur 11 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian DAS, Banten merupakan wilayah yang diambil sebagai daerah penelitian (Gambar 2). Analisis data dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 23 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Geomorfologi di Daerah Penelitian Kondisi geomorfologi daerah penelitian berkaitan erat dengan sejarah geologi yang berkembang di wilayah tersebut, dimana proses-proses

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 15 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Lokasi Kabupaten Lebak secara geografis terletak antara 6º18'-7º00' Lintang Selatan dan 105º25'-106º30' Bujur Timur, dengan luas wilayah 304.472 Ha atau 3.044,72 km².

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi 9 HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi Wilayah DAS Cileungsi meliputi wilayah tangkapan air hujan yang secara keseluruhan dialirkan melalui sungai Cileungsi. Batas DAS tersebut dapat diketahui dari

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat

METODE. Waktu dan Tempat Dengan demikian, walaupun kondisi tanah, batuan, serta penggunaan lahan di daerah tersebut bersifat rentan terhadap proses longsor, namun jika terdapat pada lereng yang tidak miring, maka proses longsor

Lebih terperinci

BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI

BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI 3.1 Konsep Dasar Penetapan Ekoregion Provinsi Konsep dasar dalam penetapan dan pemetaan ekoregion Provinsi Banten adalah mengacu pada Undang-Undang No.32/2009,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Hidrologi sebagai cabang ilmu yang basisnya adalah pengukuran Fenomena Alam, dihadapkan pada tantangan bagaimana memodelkan atau memprediksi proses hidrologi pada

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Lokasi dan waktu Bahan dan Alat

METODE PENELITIAN Lokasi dan waktu Bahan dan Alat 22 METODE PENELITIAN Lokasi dan waktu Lokasi penelitian berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciambulawung yang secara administratif terletak di Desa Hegarmanah, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi

Lebih terperinci

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan.

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.16 Teras sungai pada daerah penelitian. Foto menghadap timur. 4.2 Tata Guna Lahan Tata guna lahan pada daerah penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DAS (Daerah Aliran Sungai) Daerah aliran sungai adalah merupakan sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis, yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 23 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilakukan pada bulan Mei hingga September 2010 dan mengambil lokasi di wilayah DAS Ciliwung Hulu, Bogor. Pengolahan data dan analisis

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar refleksi fenomena alam yang secara geografis sangat khas untuk wilayah tanah air kita. Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berada pada pertemuan tiga lempeng utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng pasifik. Pertemuan tiga

Lebih terperinci

Konsentrasi Sistem Informasi Geografis,Teknik Informatika, Fakultas Teknik Komputer Universitas Cokroaminoto Palopo

Konsentrasi Sistem Informasi Geografis,Teknik Informatika, Fakultas Teknik Komputer Universitas Cokroaminoto Palopo DATA DEM DALAM ANALISIS MORFOMETRI (Aryadi Nurfalaq, S.Si., M.T) 3.1 Morfometri Morfometri merupakan penilaian kuantitatif terhadap bentuk lahan, sebagai aspek pendukung morfografi dan morfogenetik, sehingga

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA .1 PETA TOPOGRAFI..2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA . Peta Topografi.1 Peta Topografi Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk permukaan bumi melalui garis garis ketinggian. Gambaran ini,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 1. Karakteristik morfometri DAS Bulano dan DAS Paleleh yang meliputi. sungai; kerapatan pengaliran; dan pola pengaliran.

BAB III METODE PENELITIAN. 1. Karakteristik morfometri DAS Bulano dan DAS Paleleh yang meliputi. sungai; kerapatan pengaliran; dan pola pengaliran. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Dalam kegiatan penelitian ini, objek yang diteliti dan dikaji adalah sebagai berikut. 1. Karakteristik morfometri DAS Bulano dan DAS Paleleh yang meliputi

Lebih terperinci

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya 5. Peta Topografi 5.1 Peta Topografi Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk permukaan bumi melalui garis garis ketinggian. Gambaran ini, disamping tinggi rendahnya permukaan dari pandangan

Lebih terperinci

PERUBAHAN PENGGUNAAN TANAH DI UNIT GEOMORFOLOGI DAERAH ALIRAN (DA) CI MANDIRI, SUKABUMI TAHUN

PERUBAHAN PENGGUNAAN TANAH DI UNIT GEOMORFOLOGI DAERAH ALIRAN (DA) CI MANDIRI, SUKABUMI TAHUN PERUBAHAN PENGGUNAAN TANAH DI UNIT GEOMORFOLOGI DAERAH ALIRAN (DA) CI MANDIRI, SUKABUMI TAHUN 1989 2014 Amalia Fathiningrum 1, Supriatna 2 dan Hari Kartono 3 123 Departemen Geografi, FMIPA UI, Kampus Universitas

Lebih terperinci

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta, BAB II Geomorfologi II.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat telah dilakukan penelitian oleh Van Bemmelen sehingga dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949 op.cit Martodjojo,

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN 4.1 Geomorfologi Telah sedikit dijelaskan pada bab sebelumnya, morfologi daerah penelitian memiliki beberapa bentukan khas yang di kontrol oleh litologi,

Lebih terperinci

HUBUNGAN GEOMORFOMETRI DENGAN BENTUKLAHAN DAN PENGGUNAAN LAHAN (STUDI KASUS: DAS CILEUNGSI-CITEUREUP, KABUPATEN BOGOR) FATRIANI LUKMAN

HUBUNGAN GEOMORFOMETRI DENGAN BENTUKLAHAN DAN PENGGUNAAN LAHAN (STUDI KASUS: DAS CILEUNGSI-CITEUREUP, KABUPATEN BOGOR) FATRIANI LUKMAN HUBUNGAN GEOMORFOMETRI DENGAN BENTUKLAHAN DAN PENGGUNAAN LAHAN (STUDI KASUS: DAS CILEUNGSI-CITEUREUP, KABUPATEN BOGOR) FATRIANI LUKMAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan hubungan dengan kelingkungan (Versatappen, 1983 dalam Suwarno 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan hubungan dengan kelingkungan (Versatappen, 1983 dalam Suwarno 2009). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Geomorfologi Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari bentuklahan yang menyusun permukaan bumi, baik diatas maupun dibawah permukaan air laut dan menekankan pada asal mula

Lebih terperinci

Gambar 7. Lokasi Penelitian

Gambar 7. Lokasi Penelitian III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6 56'49''-7 45'00'' Lintang Selatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geomorfologi Geomorfologi adalah studi yang mendiskripsikan bentuklahan, proses-proses yang bekerja padanya dan menyelidiki kaitan antara bentuklahan dan prosesproses tersebut

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Bentuk dan Pola Umum Morfologi Daerah Penelitian Bentuk bentang alam daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal tekstur berupa perbedaan tinggi dan relief yang

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

ABSTRAK PENDAHULUAN. Desi Etika Sari 1, Sigit Heru Murti 2 1 D3 PJ dan SIG Fakultas Geografi UGM.

ABSTRAK PENDAHULUAN. Desi Etika Sari 1, Sigit Heru Murti 2 1 D3 PJ dan SIG Fakultas Geografi UGM. APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI UNTUK PEMETAAN ZONA RAWAN BANJIR DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI CELENG KECAMATAN IMOGIRI KABUPATEN BANTUL Desi Etika Sari 1, Sigit Heru Murti 2 1 D3

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus di Kabupaten Bogor, Jawa Barat) RANI YUDARWATI PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH KLABANG

GEOLOGI DAERAH KLABANG GEOLOGI DAERAH KLABANG Geologi daerah Klabang mencakup aspek-aspek geologi daerah penelitian yang berupa: geomorfologi, stratigrafi, serta struktur geologi Daerah Klabang (daerah penelitian). 3. 1. Geomorfologi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Wilayah Letak dan Batas Letak suatu wilayah adalah lokasi atau posisi suatu tempat yang terdapat di permukaan bumi. Letak suatu wilayah merupakan faktor yang sangat

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

KLASIFIKASI GEOMORFOLOGI. didasarkan pada kelerengan dan beda tinggi menurut van Zuidam & Cancelado (1979) (Tabel

KLASIFIKASI GEOMORFOLOGI. didasarkan pada kelerengan dan beda tinggi menurut van Zuidam & Cancelado (1979) (Tabel KLASIFIKASI GEOMORFOLOGI Satuan geomorfologi morfometri yaitu pembagian kenampakan geomorfologi yang didasarkan pada kelerengan dan beda tinggi menurut van Zuidam & Cancelado (1979) (Tabel 3.1) dan dalam

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bagian bentang alam (landscape) yang mencakup komponen fisik yang terdiri dari iklim, topografi (relief), hidrologi dan keadaan vegetasi alami (natural

Lebih terperinci

PENGGUNAAN DATA PENGINDERAAN JAUH DALAM ANALISIS BENTUKAN LAHAN. Abstrak

PENGGUNAAN DATA PENGINDERAAN JAUH DALAM ANALISIS BENTUKAN LAHAN. Abstrak PENGGUNAAN DATA PENGINDERAAN JAUH DALAM ANALISIS BENTUKAN LAHAN ASAL PROSES FLUVIAL DI WILAYAH KARANGSAMBUNG Puguh Dwi Raharjo Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Karangsambung LIPI Abstrak Obyek kajian

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 13 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2010 sampai Februari 2011 yang berlokasi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Umum Kabupaten Tanggamus 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus Secara geografis wilayah Kabupaten Tanggamus terletak pada posisi 104 0 18 105 0 12 Bujur Timur dan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

Ilmu yang menguraikan tentang bentuk bumi, dengan sasaran utama relief permukaan bumi. Geomorphology is the study which describes landforms and the

Ilmu yang menguraikan tentang bentuk bumi, dengan sasaran utama relief permukaan bumi. Geomorphology is the study which describes landforms and the Geo Morpho Logos Ilmu yang menguraikan tentang bentuk bumi, dengan sasaran utama relief permukaan bumi. Zuidam and Cancelado (1979, 1985) Geomorphology is the study which describes landforms and the processes

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas DAS/ Sub DAS Stasiun Pengamatan Arus Sungai (SPAS) yang dijadikan objek penelitian adalah Stasiun Pengamatan Jedong yang terletak di titik 7 59

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Kawasan Bandung Utara terbentuk oleh proses vulkanik Gunung Sunda dan Gunung Tangkuban Perahu pada kala Plistosen-Holosen. Hal tersebut menyebabkan kawasan ini tersusun

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 15 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Sub DAS Model DAS Mikro (MDM) Barek Kisi berada di wilayah Kabupaten Blitar dan termasuk ke dalam Sub DAS Lahar. Lokasi ini terletak antara 7 59 46 LS

Lebih terperinci

PETA SATUAN MEDAN. TUJUAN 1. Membuat peta satuan medan

PETA SATUAN MEDAN. TUJUAN 1. Membuat peta satuan medan PETA SATUAN MEDAN TUJUAN 1. Membuat peta satuan medan ALAT DAN BAHAN 1. Peta Rupa Bumi Skala 1 : 25.000 2. Peta Geologi skala 1 : 100.000 3. Peta tanah semi detil 4. Alat tulis dan gambar 5. alat hitung

Lebih terperinci

DAERAH ALIRAN CIMANDIRI

DAERAH ALIRAN CIMANDIRI DAERAH ALIRAN CIMANDIRI Oleh : Alfaris, 0606071166 Departemen Geografi- FMIPA UI Pendahuluan Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan wilayah yang dibatasi oleh topografi dimana iar yang berada di wilayah

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN A. Konsep Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu untuk mengetahui potensi terjadinya banjir di suatu wilayah dengan memanfaatkan sistem informasi geografi

Lebih terperinci

ACARA IV POLA PENGALIRAN

ACARA IV POLA PENGALIRAN ACARA IV POLA PENGALIRAN 4.1 Maksud dan Tujuan Maksud acara pola pengaliran adalah: 1. Mengenalkan macam-macam jenis pola pengaliran dasar dan ubahannya. 2. Mengenalkan cara analisis pola pengaliran pada

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3 1. Data spasial merupakan data grafis yang mengidentifikasi kenampakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009, DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4

Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Andi Panguriseng 1, Muh. Altin Massinai 1, Paharuddin 1 1 Program Studi Geofisika FMIPA Universitas Hasanuddin, Makassar 90245, Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permukaan bumi yang tidak rata membuat para pengguna SIG (Sistem Informasi Geografis) ingin memodelkan berbagai macam model permukaan bumi. Pembuat peta memikirkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Gerakan konstan air dan perubahan dalam keadaan fisik di planet ini disebut siklus air, juga dikenal sebagai sifat kincir air, atau siklus hidrologi. Kata Siklus

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Bentuklahan ( Landform ) DAS Ciambulawung

HASIL DAN PEMBAHASAN Bentuklahan ( Landform ) DAS Ciambulawung 30 HASIL DAN PEMBAHASAN Ekologi bentanglahan di DAS Ciambulawung menggambarkan interaksi antara manusia dan berbagai komponen sumberdaya alam yang menghasilkan suatu kondisi kehidupan serta semberdaya

Lebih terperinci

Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Andi Panguriseng 1, Muh. Altin Massinai 1, Paharuddin 1 1

Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Andi Panguriseng 1, Muh. Altin Massinai 1, Paharuddin 1 1 Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Andi Panguriseng 1, Muh. Altin Massinai 1, Paharuddin 1 1 Program Studi Geofisika FMIPA Universitas Hasanuddin, Makassar 90245, Indonesia

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA)

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA) ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA) Nandian Mareta 1 dan Puguh Dwi Raharjo 1 1 UPT. Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Jalan Kebumen-Karangsambung

Lebih terperinci

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 Prosedur analisis citra untuk penggunaan tanah 1. Pra-pengolahan data atau pengolahan awal yang merupakan restorasi citra 2. Pemotongan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daerah penelitian ini secara fisiografi menurut van Bemmelen (1949)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daerah penelitian ini secara fisiografi menurut van Bemmelen (1949) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Daerah Penelitian Daerah penelitian ini secara fisiografi menurut van Bemmelen (1949) merupakan sebagian dari Zona Bogor bagian Timur (Gambar 2.1). Zona Bogor merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Tempuran (KST); Sub DAS Kali Madiun, DAS Solo. Sebagian besar Sub-sub DAS KST secara administratif

Lebih terperinci

PENGARUH PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP DEBIT PUNCAK PADA SUBDAS BEDOG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. R. Muhammad Isa

PENGARUH PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP DEBIT PUNCAK PADA SUBDAS BEDOG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. R. Muhammad Isa PENGARUH PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP DEBIT PUNCAK PADA SUBDAS BEDOG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA R. Muhammad Isa r.muhammad.isa@gmail.com Slamet Suprayogi ssuprayogi@ugm.ac.id Abstract Settlement

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses endogen adalah

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian meliputi wilayah Kota Bogor yang terletak di antara 106 0 43 30 106 0 51 00 Bujur Timur dan 6 0 30 30 6 0 41 00 Lintang Selatan.

Lebih terperinci

KLASIFIKASI BENTUKLAHAN

KLASIFIKASI BENTUKLAHAN Analisis Lansekap Terpadu 21/03/2011 Klasifikasi Bentuklahan KLASIFIKASI BENTUKLAHAN PENDAHULUAN Dalam membahas klasifikasi bentuklahan ada beberapa istilah yang kadang-kadang membingungkan: - Fisiografi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan geologi Papua diawali sejak evolusi tektonik Kenozoikum

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan geologi Papua diawali sejak evolusi tektonik Kenozoikum BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perkembangan geologi Papua diawali sejak evolusi tektonik Kenozoikum New Guinea yakni adanya konvergensi oblique antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Pasifik (Hamilton,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian. Sungai Oyo. Dalam satuan koordinat Universal Transverse Mercator

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian. Sungai Oyo. Dalam satuan koordinat Universal Transverse Mercator 32 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Daerah Penelitian 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian Daerah yang digunakan sebagai tempat penelitian merupakan wilayah sub DAS Pentung yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan makhluk hidup khususnya manusia, antara lain untuk kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri dan tenaga

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat 4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN. Landsat (citra sejenis)

5 PEMBAHASAN. Landsat (citra sejenis) 5 PEMBAHASAN 5.1 Teknik Pengolahan Data Pulau Kecil dan Ekosistemnya 5.1.1 Pulau Kecil Pulau kecil tipe tektonik ditandai terutama oleh bentuklahan tektonik atau struktural dan di daerah penelitian didominasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Longsorlahan Longsorlahan adalah salah satu bentuk dari gerak masa tanah, batuan dan runtuhan batu/tanah yang terjadi seketika bergerak menuju lereng bawah yang dikendalikan

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIS PERUBAHAN KUALITAS AIR SUNGAI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CISADANE. Oleh NURLEYLA HATALA F

MODEL MATEMATIS PERUBAHAN KUALITAS AIR SUNGAI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CISADANE. Oleh NURLEYLA HATALA F MODEL MATEMATIS PERUBAHAN KUALITAS AIR SUNGAI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CISADANE Oleh NURLEYLA HATALA F14103004 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Lokasi CV. Jayabaya Batu Persada secara administratif terletak pada koordinat 106 O 0 51,73 BT dan -6 O 45 57,74 LS di Desa Sukatani Malingping Utara

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Gambar 1. Peta DAS penelitian

Gambar 1. Peta DAS penelitian Gambar 1. Peta DAS penelitian 1 1.1. Proses Penentuan Model Kemiringan Lereng Kemiringan lereng ditentukan berdasarkan informasi ketinggian dan jarak pada data DEM yang berbasis raster (piksel). Besarnya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN Morfologi permukaan bumi merupakan hasil interaksi antara proses eksogen dan proses endogen (Thornbury, 1989). Proses eksogen merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Dalam konteksnya sebagai sistem hidrologi, Daerah Aliran Sungai didefinisikan sebagai kawasan yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Geologi Daerah Beruak dan Sekitarnya, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur

BAB I PENDAHULUAN. Geologi Daerah Beruak dan Sekitarnya, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Batubara merupakan salah satu sumber energi yang telah lama digunakan dan memegang peranan penting saat ini. Peranannya semakin meningkat seiring dengan perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota besar akan mengalami perkembangan, dimana perkembangan tersebut berdampak pada daerah disekitarnya. Salah satu dampak yang terjadi adalah munculnya istilah kota

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1343, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Daerah. Aliran Sungai. Penetapan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.59/MENHUT-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara 4.1.1 Kondisi Geografis Propinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) terletak di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi, terletak di bagian selatan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG TATA CARA INVENTARISASI DAN PENETAPAN FUNGSI EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Definisi tanah dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, baik dari geologi, geomorfologi, pertanian, peternakan, ataupun keteknikan. Tanah dari sudut pandang geomorfologi

Lebih terperinci

RINGKASAN BAKHTIAR SANTRI AJI.

RINGKASAN BAKHTIAR SANTRI AJI. PEMETAAN PENYEBARAN POLUTAN SEBAGAI BAHAN PERTIMBANGAN PEMBANGUNAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI KOTA CILEGON BAKHTIAR SANTRI AJI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 76 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi atau Obyek Penelitian 1. Letak, Batas dan Luas Berdasarkan interpretasi Peta Rupa Bumi Indonesia lembar 1308-244 Kawunganten edisi 2001 dan

Lebih terperinci

Geologi dan Analisis Struktur Daerah Cikatomas dan Sekitarnya, Kabupaten Lebak, Banten. BAB I PENDAHULUAN

Geologi dan Analisis Struktur Daerah Cikatomas dan Sekitarnya, Kabupaten Lebak, Banten. BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas Akhir adalah matakuliah wajib dalam kurikulum pendidikan sarjana strata satu di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian 23 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini difokuskan pada lahan sagu yang ada di sekitar Danau Sentani dengan lokasi penelitian mencakup 5 distrik dan 16 kampung di Kabupaten Jayapura.

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F14104021 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 1 PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG BAB 3 GEOLOGI SEMARANG 3.1 Geomorfologi Daerah Semarang bagian utara, dekat pantai, didominasi oleh dataran aluvial pantai yang tersebar dengan arah barat timur dengan ketinggian antara 1 hingga 5 meter.

Lebih terperinci

Jurnal Geografi. Media Informasi Pengembangan Ilmu dan Profesi Kegeografian

Jurnal Geografi. Media Informasi Pengembangan Ilmu dan Profesi Kegeografian Jurnal Geografi Media Informasi Pengembangan Ilmu dan Profesi Kegeografian PENGGUNAAN DATA PENGINDERAAN JAUH DALAM ANALISIS BENTUKAN LAHAN ASAL PROSES FLUVIAL DI WILAYAH KARANGSAMBUNG Puguh Dwi Raharjo¹

Lebih terperinci

: ROSMAWATI SITOMPUL / MANAJEMEN HUTAN

: ROSMAWATI SITOMPUL / MANAJEMEN HUTAN PERMODELAN SPASIAL DAERAH RAWAN BANJIR DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DELI DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN ANALITYCAL HIERARCHY PROCESS SKRIPSI Oleh : ROSMAWATI SITOMPUL 041201016/ MANAJEMEN

Lebih terperinci

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Citra ALOS AVNIR Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR tahun 2006 seperti yang tampak pada Gambar 13. Adapun kombinasi band yang digunakan

Lebih terperinci