BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 76 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi atau Obyek Penelitian 1. Letak, Batas dan Luas Berdasarkan interpretasi Peta Rupa Bumi Indonesia lembar Kawunganten edisi 2001 dan lembar Pengolahan edisi 1999 secara astronomis, Kecamatan Kawunganten yang merupakan lokasi penelitian terletak antara BT BT dan LS LS atau mt dan mu. Kecamatan Kawunganten masuk dalam satuan administrasi Kabupaten Cilacap dan berada di sebelah barat Kabupaten Cilacap. Secara Administrasi Kecamatan Kawungaten terdiri dari 12 desa, yaitu Desa Sarwadadi, Kawunganten, Babakan, Ujungmanik, Grugu, Bringkeng, Bojong, Mentasan, Kawunganten Lor, Kalijeruk, Kubangkangkung dan Sidaurip. Berikut ini batas-batas administrasi Kecamatan Kawunganten, yaitu: - Sebelah Utara : Kecamatan Bantarsari - Sebelah Selatan : Kecamatan Kampung Laut - Sebelah Timur : Kecamatan Jeruklegi dan Kecamatan Cilacap Tengah - Sebelah Barat : Kecamatan Bantarsari Luas Kecamatan Kawunganten diperoleh dengan melakukan analisis dan pengolahan data dalam software ArcView GIS 3.3 yaitu seluas ,99 ha. Berikut ini dapat disajikan luasan daerah Kecamatan Kawunganten secara administratif per desa pada Tabel

2 Tabel 4.1. Persentase Luasan Administrasi Per Desa di Kecamatan Kawunganten Tahun 2013 No. Desa Luas Ha % 1 Sarwadadi 2.309,32 17,97 2 Kawunganten 900,94 7,01 3 Babakan 559,80 4,36 4 Ujungmanik 1.272,10 9,90 5 Grugu 480,43 3,74 6 Bringkeng 618,69 4,81 7 Bojong 1.854,75 14,43 8 Mentasan 1.439,13 11,20 9 Kawunganten Lor 388,02 3,02 10 Kalijeruk 448,81 3,50 11 Kubangkangkung 2.066,48 16,08 12 Sidaurip 511,51 3,98 Jumlah ,99 100,00 (Sumber: Hasil Perhitungan, 2013) Berdasarkan Tabel 4.1 dapat diketahui bahwa desa di Kecamatan Kawunganten yang memiliki luasan terbesar adalah Desa Sarwadadi dengan luas 2.309,32 ha dan menempati sekitar 17,97% dari total luas wilayah Kecamatan Kawunganten. Sedangkan untuk desa di Kecamatan Kawunganten yang memiliki luasan terkecil adalah Desa Kawunganten Lor dengan luas 388,02 ha dan menempati sekitar 3,02% dari total luas wilayah Kecamatan Kawunganten. Penjelasan lebih detail mengenai letak, batas dan luas daerah penelitian dapat diinterpretasikan melalui Peta Administrasi Kecamatan Kawunganten (Peta 2). 77

3 78

4 79 2. Iklim Iklim dalam konsep dasar merupakan rata-rata kondisi atau keadaan cuaca dalam waktu yang lama di suatu wilayah. Menurut Kartasapoetra (1987: 18) Iklim adalah rata-rata keadaan cuaca dalam jangka waktu yang cukup lama minimal 30 tahun sifatnya tetap, sedangkan cuaca adalah suatu keadaan atau kelakukan atmosfer pada waktu tertentu yang sifatnya dapat berubah sewaktuwaktu. Penentuan iklim disuatu wilayah ditentukan berdasarkan beberapa unsur seperti, radiasi matahari, temperatur, kelembapan dan awan (angin). Berdasarkan penjelasan tersebut, maka besarnya curah hujan di suatu wilayah ikut menetukan iklim di wilayah tersebut. Curah hujan merupakan jumlah air yang jatuh dipermukaan bumi pada periode tertentu. Curah hujan memiliki peran yang sangat penting pada kejadian bencana banjir di beberapa daerah termasuk di Kecamatan Kawunganten. Namun, beberapa spekulasi menjelaskan bahwa kejadian banjir di suatu medan tergantung pada bagaimana medan tersebut mengelola air hujan. Akan tetapi seberapa baik medan tersebut mengelola air hujan jika curah hujan dan intensitas hujan di medan tersebut tinggi, tetap akan menimbulkan titik jenuh atau titik batas kemampuan medan tersebut untuk menampung dan mengelola air hujan. Sehingga curah hujan dalam kajian ini memiliki peran yang cukup penting. Penentuan tipe curah hujan di Kecamatan Kawunganten pada penelitian ini menggunakan metode menurut Schmidt dan Ferguson. Pengklasifikasian tipe curah hujan pada metode ini menggunakan perbandingan rata-rata bulan kering dan rata-rata bulan basah yang nantinya akan menunjukan nilai Q (Quotient). Penentuan bulan basah dan bulan kering berdasarkan besarnya curah hujan dalam satu bulan dan untuk menentukannya peneliti menggunakan klasifikasi Mohr dalam Kartasapoetra (1987: 27), yaitu:

5 80 a. Bulan basah yaitu suatu bulan yang memiliki rata-rata curah hujan lebih dari 100 mm (>100 mm). b. Bulan lembab yaitu suatu bulan yang memiliki rata-rata curah hujan antara mm. c. Bulan kering yaitu suatu bulan yang memiliki rata-rata curah hujan kurang dari 60 mm (<60 mm). Berikut ini merupakan rumus perhitungan nilai Q, yaitu: (Sumber: Schmidt dan Ferguson dalam Kartasapoetra, 1987: 27) Berdasarkan perolehan nilai Q, maka dapat diklasifikasikan tipe iklim berdasarkan curah hujan dengan kriteria yang disajikan pada Tabel 4.2. Tabel 4.2. Tipe Curah Hujan Menurut Schmidt dan Ferguson Tipe Nilai Q (%) Sifat A 0 Q < 14,3 Sangat basah B 14,3 Q < 33,3 Basah C 33,3 Q < 60,0 Agak Basah D 60,0 Q < 100 Sedang E 100 Q < 167 Agak kering F 167 Q < 300 Kering G 300 Q < 700 Sangat kering H 700 Q < - - Luar biasa kering (Sumber: Kartasapoetra, 1987: 29) Berikut ini merupakan daftar jumlah curah hujan per bulan dengan jangka waktu sepuluh tahun yaitu mulai tahun 2003 hingga 2012 di Kecamatan Kawunganten berdasarkan pengumpulan data curah hujan dibeberapa stasiun pengamatan cuaca di Kecamatan Kawunganten dan BPS Kabupaten Cilacap yang dapat disajikan pada Tabel 4.3.

6 81 Tabel 4.3. Curah Hujan Kecamatan Kawunganten Tahun No Tahun Jumlah Rata-Rata Bulan CH CH CH CH CH CH CH CH CH CH CH (mm) CH (mm) 1 Januari ,1 2 Februari ,9 3 Maret ,8 4 April ,2 5 Mei ,2 6 Juni ,4 7 Juli ,7 8 Agustus ,4 9 September Oktober ,3 11 November ,2 12 Desember ,7 Jumlah CH 1 Tahun ,7 Bulan Basah ,4 Bulan Lembab ,7 Bulan Kering ,9 (Sumber: Pengumpulan data curah hujan dibeberapa stasiun pengamatan cuaca di Kecamatan Kawunganten dan BPS Kabupaten Cilacap) (BB) : Bulan Basah BK : Bulan Kering (BL) : Bulan Lembab 0 : Tidak ada nilai

7 82 Berdasarkan tabel 4.3 dapat diketahui jumlah curah hujan tertinggi terjadi ditahun 2010 yaitu sebanyak mm/tahun dan curah hujan terendah terjadi ditahun 2006 yaitu mm/tahun. Bulan basah paling banyak terjadi pada tahun 2010 yaitu sebanyak 9 bulan, sedangkan jumlah bulan kering paling banyak terjadi pada tahun 2003, 2007 dan 2009 yaitu maing-masing sebanyak 6 bulan. Berdasarkan tabel 4.3 dapat pula dihitung nilai Q (Quotient), yaitu: Berdasarkan perhitungan tersebut diketahui nilai Q adalah 76,56%, yang artinya tipe iklim di Kecamatan Kawunganten masuk dalam tipe D dan daerah dengan tipe iklim ini memiliki sifat sedang. Pengklasifikasian iklim menurut Schmidt dan Ferguson dapat digambarkan pada diagram dibawah ini: y Q Q (x;y) = (6,4 ; 4,9) x Gambar 4.1. Tipe Iklim Berdasarkan Curah Hujan di Kecamatan Kawunganten Tahun Menurut Schmidt dan Ferguson

8 83 3. Geologi Batuan memiliki peran yang sangat penting terhadap pembentukan morfologi suatu medan. Menurut Kodoatie (2012: 5) Batuan memberikan kontribusi terhadap air permukaan yang salah satunya berpengaruh terhadap sistem fluvial. Pengaruhnya yaitu adanya perbahan morfologi sungai yaitu terjadinya meander atau braided, perubahan kemiringan, perubahan bentuk DAS baik dalam skala waktu (time) maupun skala ruang (space). Batuan juga merupakan bahan intuk pembentukan tanah disuatu medan. Beberapa kombinasi batuan dengan unsur fisik di suatu medan menyebabkan pembentukan tanah di tiap medan dapat berbeda karakteristiknya. Hal ini akan berpengaruh terhadap kemampuan tanah dalam meloloskan air juga berbeda. Berdasarkan Hasil interpretasi Peta Geologi Bersistem Jawa Edisi Tahun 1992, skala 1: lembar Pangandaran menunjukan bahwa Kecamatan Kawunganten terdiri dari tiga formasi batuan, yaitu: a. Formasi Kumbang (Tpks) Formasi kumbang (Tpks) merupakan batuan sedimen berumur tersier yang terjadi pada masa Pliosen. Formasi ini tersusun atas perselingan breksi gunungapi, lava dengan batupasir dan konglomerat dengan sisipan napal. Berdasarkan formasi penyusunnya, maka dapat diindikasikan bahwa tanah yang terbentuk dari formasi ini memiliki tingkat kelolosan air yang cukup baik. Secara administratif formasi ini berada di Desa Sarwadadi dengan luas 361,71 ha atau sebesar 48,44%, Desa Mentasan dengan luas 385,26 ha atau sebesar 51,56%, dan Desa Kalijeruk dengan luas 0,74 ha atau 0,10% dari keseluruhan luas formasi kumbang. Formasi ini menempati 746,71 ha atau sebesar 5,81% dari luas total Kecamatan Kawunganten b. Endapan Alluvial (Qa) Alluvium (Qa) merupakan endapan baru yang berumur kuarter dan proses pengendapan masih berlangsung hingga saat ini. Formasi geologi

9 84 endapan alluvial terdiri dari lumpur, pasir dan kerikil. Formasi ini biasanya terdapat pada wilayah sungai, dataran banjir, rawa dan delta. Endapan ini menghasilkan tanah yang cocok tanaman padi, sehingga penggunaan lahan yang dominan berupa sawah dengan tingkat peresapan air yang buruk dan menjadi sumbangan besar untuk banjir di daerah penelitian. Secara administratif formasi ini berada di beberapa daerah Kecamatan Kawunganten dan dapat disajikan pada Tabel 4.4. Tabel 4.4. Persentase Luasan Formasi Geologi Endapan Alluvial (Qa) di Kecamatan Kawunganten Tahun 2013 No. Desa Luas Ha % 1 Sarwadadi 515,91 11,18 2 Kawunganten 900,22 19,51 3 Babakan 562,33 12,19 4 Ujungmanik 376,84 8,17 5 Grugu 480,38 10,41 6 Bringkeng 418,40 9,07 7 Bojong 577,51 12,52 8 Mentasan 138,47 3,00 9 Kawunganten Lor 385,33 8,35 10 Kalijeruk 259,04 5,61 Jumlah ,00 (Sumber: Peta Geologi Bersistem Jawa Edisi Tahun 1992, skala 1: lembar Pangandaran dan Hasil Perhitungan Tahun 2013) Berdasarkan Tabel 4.4, maka dapat dianalisis bahwa luasan formasi geologi endapan alluvial (Qa) di Kecamatan Kawunganten yaitu 4.614,43 ha atau sekitar 35,91% dari total luas daerah Kecamatan Kawunganten. c. Formasi Halang (Tmph) Formasi halang (Tmph) merupakan batuan sedimen berumur tersier yang terjadi pada masa Miosen hingga Pliosen. Formasi ini juga biasa disebut

10 dengan endapan turbit yang terdiri dari perselingan napal, kalkarenit, batupasir sela, batulempung, konglomerat dengan sisipan batu gamping dan batupasir kerikil dibagian bawah, napal semakin dominan di bagian atas. Dilihat dari proses terbentuknya, maka formasi halang merupakan batuan sedimen jenis turbidit yang memiliki struktur sedimen yang jelas seperti perlapisan bersusun. Batuan penyusun formasi ini menghasilkan tanah dengan tingkat unsur hara mulai rendah hingga sedang dan memiliki tingkat peresapan air sedang hingga buruk. Sehingga pengaruh terhadap banjir pada medan dengan sebaran formasi ini akan berbeda-beda sesuai dengan karakteristik fisik lainnya yang terbentuk. Secara administratif formasi ini berada di beberapa daerah Kecamatan Kawunganten dan dapat disajikan pada Tabel 4.5. Tabel 4.5. Persentase Luasan Formasi Geologi Halang (Tmph) di Kecamatan Kawunganten Tahun 2013 No. Desa Luas Ha % 1 Sarwadadi 1.430,60 19,10 2 Kubangkangkung 2.063,35 27,55 3 Sidaurip 513,19 6,85 4 Ujungmanik 898,05 12,00 5 Bringkeng 200,14 2,67 6 Bojong 1.276,09 17,04 7 Mentasan 916,29 12,24 8 Kalijeruk ,55 Jumlah 7.488,85 100,00 (Sumber: Peta Geologi Bersistem Jawa Edisi Tahun 1992 Skala 1: Lembar Pangandaran dan Hasil Perhitungan Tahun 2013) Berdasarkan Tabel 4.5, maka dapat dianalisis bahwa luasan formasi geologi halang (Tmph) di Kecamatan Kawunganten yaitu 7.488,85 ha atau sekitar 58,28% dari total luas daerah Kecamatan Kawunganten. Sebaran geologi di Kecamatan Kawunganten dapat disajikan pada Peta 3. 85

11 86

12 87 4. Tanah Berdasarkan interpretasi peta tanah skala tinjau Kabupaten Cilacap, maka dapat dianalisis macam tanah di Kecamatan Kawungaten, yaitu: a. Aluvial Kelabu Tua Bahan induk tanah ini yaitu sedimen pasir dan lempung. Tanah ini mendominasi wilayah yang memiliki kondisi topografi dataran atau cekungan, dengan perkembangan tanah dan kedalaman sangat dangkal. Tanah ini memiliki tekstur geluh lempung dan remah, sehingga memiliki tingkat permeabilitas lambat dan drainase jelek (Mangunsukarjo, 1984: 122). Oleh karena itu, medan dengan macam tanah ini banyak dimanfaatkan untuk penggunaan lahan persawahan. Pada dasarnya tanah aluvial terjadi pada bagian yang bertopografi rendah dengan sifat-sifat tanah ditentukan oleh asal material induknya yang berbeda-beda, sebagai contoh yaitu tanah glei terjadi karena air tanahnya sangat dangkal, drainase jelek sehingga terjadi gleisasi kontinu (Mangunsukarjo, 1984: 63). Secara administratif sebaran macam tanah ini mendominasi lebih dari setengah luas Kecamatan Kawunganten yang tersebar hampir diseluruh desa kecuali Desa Sidaurip. b. Latosol Coklat Menurut Mangunsukarjo (1984: 64) tanah latosol berasal dari batuan yang jauh mengalami pelapukan dan menunjukan perkembangan profil tanah yang jelas, drainase baik, mengalami pencucian yang kuat tanpa diferensiasi horizon yang tegas, kandungan mineral primer dan bahan organik rendah, selain itu tanah ini mempunyai stabilitas agregat yang tinggi, terutama tanah atasan (top soil) berstruktur menyerupai pasir yang tahan terhadap erosi. Khusus untuk tanah latosol coklat, bahan induk pembentukannya berasal dari tufa volkan intermedier, menempati medan dengan topografi daratan tinggi dan daerah volkan, penggunaan lahan yang mendominasi berupa

13 88 hutan atau perkebunan, memiliki tekstur lempung, struktur gumpal sedang, tingkat permeabilitas sedang hingga baik dan memiliki kandungan unsur hara sedang (Mangunsukarjo, 1984: 122). Secara administratif macam tanah ini tersebar dibeberapa desa seperti Desa Sarwadadi, Ujungmanik, Bojong, Mentasan, Kalijeruk, Kubangkangkung dan Desa Sidaurip. c. Latosol Coklat Kemerahan Bahan induk tanah latosol coklat kemerahan adalah tufa volkan intermedier, menempati relief dataran tinggi dan pegungungan lipatan maupun wilayah volkan, penggunaan lahan yang mendominasi kebun atau tegalan, dengan tekstur tanah lempung geluh dan struktur remah gumpal, memiliki tingkat permeabilitas sedang, drainase baik hingga sedang, kandungan unsur hara rendah hingga miskin (Mangunsukarjo, 1984: 122). Secara administratif macam tanah ini tersebar dibeberapa desa seperti Desa Sarwadadi, Mentasan, Kubangkangkung dan Desa Sidaurip. Tabel 4.6. Luas Macam Tanah Kecamatan Kawunganten Tahun 2013 No. Macam Tanah Luas Ha % 1 Aluvial Kelabu Tua 7.604,52 59,18 2 Latosol Coklat 4.148,10 32,28 3 Latosol Coklat Kemerahan 1.097,37 8,54 Jumlah ,99 100,00 (Sumber: Peta Macam Tanah Kabupaten Cilacap Tahun 2011 Skala 1 : dan Hasil Perhitungan Tahun 2013) Sesuai dengan penjelasan tersebut, maka peneliti menyajikan informasi sebaran macam tanah di Kecamatan Kawunganten tahun 2013 pada Peta 4.

14 89

15 90 5. Penggunaan Lahan Sebaran penggunaan lahan di Kecamatan Kawunganten diperoleh dengan melakukan interpretasi Citra Ikonos dari Google Eearth yang diperkuat dengan survey lapangan. Berikut ini beberapa jenis penggunaan lahan yang terdapat di daerah penelitian, yaitu: a. Permukiman Permukiman adalah suatu kawasan tempat tinggal atau hunian beberapa penduduk, yang artinya tidak hanya terdapat satu atau dua tempat tinggal namun terdiri dari beberapa kompleks hunian. Permukiman dianggap sebagai salah satu faktor penyumbang banjir. Hal ini dikarenakan permukiman terdiri dari berbagai macam jenis bangunan yang mengakibatkan tanah sulit untuk meloloskan air. Oleh karena itu permukiman diasumsikan memiliki sistem drainase yang buruk dan kurang memiliki derah resapan. Permukiman di Kecamatan Kawunganten memiliki pola linier yaitu memanjang jalan raya, rel kereta api dan tubuh sungai. Pada studi kerentanan banjir pola permukiman linier sepanjang tubuh sungai inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab banjir di Kecamatan Kawunganten. Hal ini dikarenakan pembangunan permukiman di sepanjang tubuh sungai secara langsung akan mempersempit tubuh sungai sehingga saat debit air sungai meningkat, sungai tidak dapat menampung air secara maksimal dan akibatnya menimbulkan banjir. Luas permukiman di Kecamatan Kawunganten adalah 3700,02 ha atau 28,79% dari keseluruhan luas daerah penelitian. b. Tegalan Penggunaan lahan tegalan merupakan salah satu jenis pertanian kering. Di Kecamatan Kawunganten tegalan dimanfaatkan untuk menghasilkan banyak komoditi seperti tanaman palawija, buah-buahan dan tanaman obat. Tegalan diasumsikan memiliki kondisi tanah dengan tingkat jenuh dalam kurun waktu yang cepat. Hal ini dikarenakan umur tanaman yang ditanam relatif singkat

16 91 sehingga pengolahan tanah untuk menanam tanaman yang baru sering dilakukan. Akibat proses tersebut tanah cepat mencapai titik jenuh dan kemampuan tanah untuk meloloskan air menjadi rendah. Luas tegalan di Kecamatan Kawunganten adalah 561,95 ha atau 4,37% dari keseluruhan luas daerah penelitian. c. Perkebunan Pada dasarnya perkebunan difungsikan untuk berbagai kepentingan komersil atau produksi dan vegetasi yang ditanam dapat berupa jenis tanaman keras atau tanaman tahunan. Perkebunan di Kecamatan Kawunganten dikelola oleh suatu perusahaan swasta dan jenis tanaman yang ditanam yaitu perkebunan karet, jati dan albiso. Penggunaan lahan ini terletak pada ketinggian dpl dan berdasarkan letaknya maka dapat diidentifikasi bahwa kedalaman air tanah freatik cukup dalam yaitu sekitar meter, sehingga tanah memiliki kemampuan yang baik untuk menampung dan meloloskan air. Luas perkebunan di Kecamatan Kawunganten adalah 3594,35 ha atau 27,97% dari keseluruhan luas daerah penelitian. d. Sawah Irigasi Sawah merupakan salah satu lahan pertanian basah yang dikhususkan untuk menghasilkan padi. Penggunaan lahan sawah di Kecamatan Kawunganten didominasi jenis sawah irigasi, hal ini dapat ditandai dengan adanya saluran-saluran irigasi di areal pertanian. Umumnya tanah pada penggunaan lahan sawah memiliki kecenderungan sulit meloloskan air. Hal ini dikarenakan tekstur dan struktur tanah mengalami kerusakan akibat pengolahan tanah terjadi saat basah dan proses pembajakan dilakukan pada kedalaman yang sama, sehingga mengakibatkan pori-pori tanah tersumbat liat dan debu dan gerakan air ke bawah biasanya terdepresi, akibatnya tanah sulit meloloskan air (Arsyad, 2010: 64). Luas sawah irigasi di Kecamatan Kawunganten adalah 4125,48 ha atau 32,10% dari keseluruhan luas daerah penelitian.

17 92 e. Rawa Rawa merupakan areal dengan penggenangan permanen yang dangkal tetapi belum cukup/terlalu dangkal untuk ditumbuhi tumbuhan besar, sehingga pada umumnya ditumbuhi rerumputan/tanaman khas rawa (Saribun, 2007: 10). Penggenangan permanen pada rawa terjadi akibat kedalaman air tanah freatik yang sangat dangkal dan materi penyusun tanah didominasi lempung (glei) sehingga kemampuan tanah untuk meloloskan air sangat rendah. Di Kecamatan Kawunganten penggunaan lahan ini banyak dimanfaatkan sebagai lahan pertanian jika musim kemarau dapat ditanami beberapa tanaman palawija dan padi, namun saat musim penghujan sama sekali tidak dapat dimanfaatkan untuk pertanian karena seluruh tubuh rawa akan tergenang air. Bahkan jika curah hujan sedang tinggi, genangan tersebut sampai di permukiman, hal inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab dan memperparah banjir di Kecamatan Kawunganten. Berikut ini merupakan gambaran penggunaan lahan rawa saat musim kemarau dan musim penghujan. Musim Kemarau Musim Hujan Gambar 4.2. Penggunaan Lahan Rawa (F.4) Tahun 2013 (Diambil pada tanggal 20 Desember 2013, koordinat mt dan mu, Desa Kawunganten) (Sumber: Hasil Dokumentasi Penulis) Luas penggunaan lahan rawa di Kecamatan Kawunganten adalah 277,89 ha atau 2.16% dari keseluruhan luas daerah penelitian.

18 93 f. Tambak Penggunaan lahan tambak di Kecamatan Kawunganten terletak di wilayah hutan mangrove dan digunakan untuk budidaya ikan maupun udang. Penggunaan lahan ini erat kaitannya dengan kelangsungan hutan mangrove, yaitu jika terjadi perluasan penggunaan lahan ini maka secara tidak langsung akan mengurangi luasan hutan mangrove dan hal ini akan memperparah kejadian banjir rob di Kecamatan Kawunganten. Luas penggunaan lahan tambak di Kecamatan Kawunganten adalah 70,51 ha atau 0,55% dari keseluruhan luas daerah penelitian. g. Mangrove Mangrove merupakan suatu lingkungan ekosistem yang hidup di air payau dan artinya wilayah ini masih dipengaruhi pasang surut air laut. Mangrove di Kecamatan Kawunganten dapat ditandai berdasarkan letaknya yaitu berada di hilir sungai. Materi penyusun tanah di wilayah ini terdiri dari pasir yang terbawa gelombang air laut dan didominasi hasil sedimentasi marterial-material erosi dari wilayah hulu seperti lempung dan lumpur dengan tekstur halus, sehingga tanah cenderung sulit untuk meloloskan air. Apabila wilayah ini tidak dijaga kelestariaannya maka kemungkinan terbesar bencana yang terjadi adalah banjir rob dan ketika curah hujan di wilayah hulu sedang tinggi bersamaan dengan pasangnya air laut maka ketinggiaan banjir akan meningkat dan luas wilayah yang terkena banjir juga meluas. Luas wilayah mangrove di Kecamatan Kawunganten seluas 304, 36 ha atau sekitar 2,37% dari keseluruhan luas daerah penelitian. h. Hutan Pada umumnya, berdasarkan jenis vegetasinya hutan dibedakan menjadi dua yaitu heterogen dan homogen. Hutan dengan vegetasi heterogen terdiri dari beberapa jenis tanaman dan biasanya disebut dengan hutan alami, karena vegetasi yang tumbuh merupakan vegetasi identik wilayah tersebut.

19 94 Hutan dengan vegetasi homogen terdiri dari satu jenis tanaman dan biasanya disebut dengan hutan produksi, karena tanaman tersebut sengaja ditanaman dan untuk keperluan produksi. Penggunaan lahan hutan cenderung memiliki kemampuan yang baik untuk meloloskan air, hal ini dikarenakan vegetasi yang tumbuh pada penggunaan lahan ini biasanya memiliki perakaran yang kuat sehingga mampu memecah bongkahan tanah menjadi agregat kecil yang akibatnya membentuk pori-pori tanah yang banyak (Wijayanto, 2013: 75). Jenis vegatasi yang banyak ditemui pada penggunaan lahan hutan di Kecamatan Kawunganten yaitu pinus. Luas hutan di Kecamatan Kawunganten adalah 215,43 ha atau 1,68% dari keseluruhan luas daerah penelitian. Berikut ini dapat disajikan perbandingan masing-masing luas dan persentase penggunaan lahan yang dapat disajikan pada Gambar 4.3 dan Tabel ,16% 0,55% 2,37% 27,97% Permukiman 28,79% Tegalan 32,10% Perkebunan Sawah Irigasi 27,97% Rawa Tambak Hutan Mangrove Hutan Gambar 4.3. Diagram Perbandingan Persentase Luas Penggunaan Lahan di Kecamatan Kawunganten Tahun 2013 (Sumber: Interpretasi Citra Ikonos dari Google Earth, Hasil Pengolahan dan Perhitungan Tahun 2013)

20 95 Tabel 4.7. Luas dan Persentase Penggunaan Lahan Di Kecamatan Kawunganten Tahun 2013 No. Penggunaan Lahan Luas Ha % 1 Permukiman 3.700,02 28,79 2 Tegalan 561,95 4,37 3 Perkebunan 3.594,35 27,97 4 Sawah Irigasi 4.125,48 32,10 5 Rawa 277,89 2,16 6 Tambak 70,51 0,55 7 Hutan Mangrove 304,36 2,37 8 Hutan 215,43 1,68 Jumlah ,00 (Sumber: Interpretasi Citra Ikonos dari Google Earth, Hasil Pengolahan dan Perhitungan Tahun 2013) Lebih lanjut lagi, untuk mengetahui sebaran penggunaan lahan di Kecamatan Kawunganten tahun 2013, dapat disajikan pada Peta 5.

21 96

22 97 6. Geomorfologi Kondisi geomorfologi di Kecamatan Kawunganten dapat dijelaskan berdasarkan kenampakan bentuklahan dan kemiringan lereng, sehingga menghasilkan suatu satuan medan (terrain unit) yang mewakili karakteristik masing-masing medan di wilayah penelitian. a. Bentuklahan Bentuklahan di daerah penelitian yaitu Kecamatan Kawunganten diperoleh interpretasi Citra Ikonos dari Google Earth, Peta RBI lembar Kawunganten tahun 2001 dan lembar Pengolahan skala 1: Tahun 1999, Peta Geologi Lembar Pangandaran Jawa Skala 1: yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung serta diperkuat dengan menggunakan data kerapatan kontur dan pola aliran sungai. Bentuklahan utama yang ada pada daerah penelitian yaitu: 1) Bentuklahan asal proses marine Bentuklahan asal marine terjadi akibat pengaruh aktivitas laut. Pada bentuklahan ini sering terjadi kombinasi dengan bentuklahan asal fluvial yang disebut proses fluvio-marine, hal ini terjadi di wilayah yang memiliki sungai dan bermuara di laut, sehingga terjadi kombinasi pada kedua bentuklahan ini. Di Kecamatan Kawunganten terdapat satu bentuklahan mikro dari proses marine, yaitu rataan pasang surut bervegetasi (M.9). Bentuklahan ini masih dipengaruhi pasang surut air laut dan ditumbuhi vegetasi mangrove dengan sifat air payau, sehingga sering disebut dengan hutan payau/mangrove. Dianalisis dari sifat airnya yang payau dan posisinya yang berada di muara sungai, maka diperkirakan bentuklahan ini mengalami kombinasi dengan proses fluvialtil. Pada bentuklahan ini, banjir yang terjadi adalah banjir rob. Namun saat curah hujan didaerah hulu tinggi dan air laut sedang pasang, maka ketinggian dan luas wilayah yang tergenang banjir dapat

23 98 mencapai dua kali lipat. Hal ini dikarenakan debit air yang keluar dari muara sungai yang tinggi tertahan oleh air laut yang sedang pasang, sehingga terjadi limpasan dan menggenangi wilayah disekitarnya. Berikut merupakan kenampakan bentuklahan rataan pasang surut bervegetasi (M.9) dalam Citra Ikonos dari Google Earth dan kondisi lapangan yang dapat disajikan pada Gambar 4.4. Google Earth Gambar 4.4. Kenampakan Bentuklahan Rataan Pasang Surut Bervegetasi (M.9) dalam Google Earth dan Kondisi Di Lapangan (Diambil pada tanggal 21 Desember 2013, koordinat mt dan mu, Desa Babakan) (Sumber: Citra Ikonos dari Google Earth dan Hasil Dokumentasi Penulis) 2) Bentuklahan asal proses fluvial. Kondisi Lapangan Bentuklahan ini terbentuk akibat proses fluvialtil atau aktivitas sungai. bentuklahan ini dapat diinterpretasi berdasarkan pola aliran sungai. Terdapat dua pola aliran sungai di daerah penelitian, yaitu pola sungai meander dan sungai yang sedang mengalami pelurusan. Terdapat enam bentukanlahan mikro asal proses fluvial di Kecamatan Kawunganten. Berikut ini penjelasan masing-masing bentuklahan mikro tersebut, yaitu:

24 99 a) Dataran alluvial (F.1) Google Earth Kondisi Lapangan Gambar 4.5. Kenampakan Bentuklahan Dataran Alluvial (F.1) dalam Google Earth dan Kondisi Di Lapangan (Diambil pada tanggal 21 Desember 2013, koordinat mt dan mu, Desa Kubangkangkung) (Sumber: Citra Ikonos dari Google Earth dan Hasil Dokumentasi Penulis) Gambar 4.4 merupakan kenampakan bentuklahan dataran alluvial (F.1) dalam Citra Ikonos dari Google Earth dan kondisi di lapangan. Dataran alluvial merupakan salah satu bentuklahan asal proses fluvialtil yang terbentuk akibat hasil endapan material-material yang diangkut oleh sungai yang terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama dan sangat sedikit mengalami pergantian material penyusun. Selain itu, medan dengan bentuklahan ini masih dapat tergenang banjir namun dalam periode yang cukup lama, sesuai dengan kondisi fisik dan curah hujan pada medan tersebut. b) Rawa (F.4) Rawa merupakan areal dengan penggenangan permanen yang dangkal tetapi belum cukup/terlalu dangkal untuk ditumbuhi tumbuhan besar, sehingga umumnya ditumbuhi rerumputan atau tanaman khas rawa (Saribun, 2007: 10). Penggenangan permanen pada rawa terjadi akibat

25 100 kedalaman air tanah freatik yang sangat dangkal dan materi penyusun tanah didominasi lempung (glei) sehingga kemampuan tanah untuk meloloskan air sangat rendah. Meskipun letaknya tidak terlalu jauh dengan hutan mangrove yang besifat payau, namun air rawa di Kecamatan Kawunganten bersifat tawar dan bersumber dari air hujan. Pada musim kemarau, bentuklahan ini digunakan untuk lahan pertanian tanaman palawija. Saat musim penghujan hampir seluruh tubuh rawa dipenuhi air, bahkan seringkali menggenangi permukiman dan ketinggian genangan tergantung pada banyaknya curah hujan. Berikut ini merupakan kenampakan bentuklahan rawa (F.4) dalam Citra Ikonos dari Google Earth dan kondisi di lapangan yang disajikan pada Gambar 4.6. Google Earth Kondisi Lapangan Gambar 4.6. Kenampakan Bentuklahan Rawa (F.4) dalam Google Earth dan Kondisi Di Lapangan (Diambil pada tanggal 21 Desember 2013, koordinat mt dan mu, Desa Kawunganten) (Sumber: Citra Ikonos dari Google Earth dan Hasil Dokumentasi Penulis) c) Saluran atau sungai mati (F.6) Saluran atau sungai mati merupakan bentuklahan yang terjadi pada sungai bermeander. Bentuklahan ini terbentuk akibat adanya pelurusan sungai secara alami. Pelurusan sungai ini dipengaruhi oleh

26 101 debit yang tinggi sehingga air meluber melewati tebing sungai dan hal ini terjadi terus menerus, sehingga kelokan sungai terputus dan tidak mendapat pasokan air dari sungai utama serta hanya mendapat pasokan air dari air hujan. Berikut ini merupakan kenampakan bentuklahan saluran atau sungai mati (F.6) dalam Citra Ikonos dari Google Earth yang dapat disajikan pada Gambar 4.7. Gambar 4.7. Kenampakan Bentuklahan Saluran atau Sungai Mati (F.6) dalam Google Earth dan Kondisi Di Lapangan d) Dataran banjir (F.7) (Sumber: Citra Ikonos dari Google Earth) Dataran banjir merupakan bentuklahan yang memiliki timbunan material lepas (unconsolidated) yang berasal dari sedimen yang diangkut sungai di dekatnya dan memiliki topografi datar dan merupakan daerah yang sering tergenang air banjir dengan periode ulang antara satu hingga dua tahun bahkan (Suharsono, 1988: 14). Bentuklahan ini seringkali mengalami pergantian material penyusun, dikarenakan posisinya yang dekat dengan tubuh sungai. Saat material yang diangkut sungai tersedimentasi, material pada bagian atas dapat hilang atau tergantikan oleh material baru yang terbawa atau terangkut air banjir atau debit air Google Earth

27 102 sungai disekitarnya. Berikut ini merupakan gambaran kenampakan bentuklahan dataran banjir (F.7) dalam Citra Ikonos dari Google Earth dengan kondisi di lapangan yang disajikan pada Gambar 4.8. Google Earth Kondisi Lapangan Gambar 4.8. Kenampakan Bentuklahan Dataran Banjir (F.7) dalam Google Earth dan Kondisi di Lapangan (Diambil pada tanggal 21 Desember 2013, koordinat mt dan mu, Desa Kawunganten) (Sumber: Citra Ikonos dari Google Earth dan Hasil Dokumentasi Penulis) e) Gosong sungai lengkung dalam (F.12) dan gosong sungai (F.13) Gosong sungai lengkung dalam dan gosong sungai merupakan bentuklahan yang diakibatkan adanya sedimentasi akibat materialmaterial erosi yang terangkut dari daerah hulu sungai. Gosong sungai lengkung dalam dan gosong sungai memiliki bentuk yang hampir sama namun penempatannya berbeda. Gosong sungai lengkung dalam berada pada tengah-tengah lengkungan sungai bermeander sedangkan gosong sungai berada pada pinggiran-pinggiran sungai. Ukuran kedua bentuklahan ini berbeda-beda sesuai dengan tingkat sedimentasi yang terbentuk. Semakin besar dan tinggi (menumpuk) maka semakin mudah diamati. Berikut ini merupakan kenampakan bentuklahan gosong sungai lengkung dalam (F.12) dan gosong sungai (F.13) dalam Citra Ikonos dari

28 103 Google Earth dengan kondisi di lapangan yang dapat disajikan pada Gambar 4.9. Gosong Sungai Lengkung Dalam Gosong Sungai Google Earth Kondisi Lapangan Gambar 4.9. Kenampakan Bentuklahan Gosong Sungai Lengkung Dalam (F.12) dan Gosong Sungai (F.13) dalam Google Earth dan Kondisi Di Lapangan (Diambil pada tanggal 21 Desember 2013 [Gosong sungai lengkung dalam: koordinat mt dan mu, Desa Kalijeruk], [Gosong Sungai: koordinat mt dan mu, Desa Kawunganten]) (Sumber: Citra Ikonos dari Google Earth dan Hasil Dokumentasi Penulis) Bentuklahan ini mengalami pergantian material penyusun yang cepat, selain itu kedua bentuklahan ini dapat sewaktu-waktu hilang, hal

29 104 ini dikarenakan pengaruh dari debit dan besarnya aliran air sungai. Apabila debit dan aliran air sungai tinggi maka ada kemungkinan bentuklahan ini mengecil atau hilang karena material penyusunnya terbawa airan air sungai dan kemudian di endapkan di daerah aliran sungai lainnya. 3) Bentuklahan asal proses struktural Bentuklahan asal proses struktural terbentuk karena adanya proses endogen yang disebut proses tektonik atau diatropisme yang meliputi pengangkatan, penurunan, dan pelipatan kerak bumi sehingga terbentuk struktur geologi tertentu (Suharsono, 1988: 6). Bentuklahan asal proses struktural di Kecamatan Kawunganten didominasi oleh struktur lipatan sinklinal. Hal ini diperoleh berdasarkan interpretasi Citra Ikonos dari Google Earth, Peta RBI lembar Kawunganten tahun 2001 dan lembar Pengolahan skala 1: Tahun 1999, serta diperkuat dengan menggunakan data kerapatan kontur dan pola aliran sungai. Selain itu, peneliti juga menggunakan Peta Geologi Lembar Pangandaran Jawa Skala 1: yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung karena struktur geologi merupakan faktor pengontrol yang cukup penting dalam perkembangan dan pembentukan permukaan bumi. Peta geologi yang digunakan menunjukan adanya struktur lipatan sinklinal. Van Zuidam (1979: 108) a syncline is a fold in rocks in which the strata dip inward from both sides towards the axis. Sinklinal pada umumnya merupakan lembah suatu lipatan yang kemiringan dua sisi atau sayapnya membentuk cekungan (concave) dan mengarah keatas. Di Kecamatan Kawunganten terdapat beberapa bentukanlahan mikro dari bentuklahan asal proses struktural, yaitu perbukitan sinklinal dan lembah sinklinal. Pada dasarnya kedua bentuklahan tersebut tersusun dari batuan plastis yang terdiri atas lembah-lembah lipatan dan untuk membedakannya

30 105 peneliti menggunakan kondisi topografi dari data titik tinggi dan pola aliran sungai. Berikut ini merupakan kenampakan bentuklahan perbukitan sinklinal (S.7) dan lembah sinklinal (S.17) dalam Citra Ikonos dari Google Earth dan dengan kondisi di lapangan dapat disajikan pada Gambar S. 7 S. 17 S. 7 Google Earth S. 17 S. 7 S. 17 Kondisi Lapangan Gambar Kenampakan Bentuklahan Perbukitan Sinklinal (S.7) dan Lembah Sinklinal (S.17) dalam Google Earth dan Kondisi Di Lapangan (Diambil pada tanggal 21 Desember 2013, Desa Sarwadadi [S.7 : koordinat mt dan mu], [S.17: koordinat mt dan mu]) (Sumber: Citra Ikonos dari Google Earth dan Hasil Dokumentasi Penulis)

31 Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disajikan luasan atau sebaran bentuklahan utama di Kecamatan Kawunganten pada Tabel 4.8 dan Peta 6. Tabel 4.8. Persentase Luasan Bentuklahan Utama di Kecamatan Kawunganten Tahun No. Bentuklahan Utama Luas Ha % 1 Marine 481,74 3,75 2 Fluvial 7.285,07 56,69 3 Struktural 5.083,18 39,56 Jumlah ,99 100,00 (Sumber: Hasil Perhitungan, 2013)

32 107

33 108 b. Kemiringan Lereng Kemiringan lereng biasanya digunakan untuk mencirikan kondisi topografi suatu medan. Hal ini dikarenakan lereng terbentuk akibat prosesproses geomorfologi yang terjadi di medan tersebut, baik akibat tenaga eksogen maupun endogen. Kemiringan lereng digunakan dalam studi kerentanan banjir karena kemiringan lereng mempengaruhi besarnya aliran permukaan dan juga menentukan kedalaman air tanah (groundwater). Medan dengan kemiringan lereng berbukit hingga curam diasumsikan memiliki kedalaman air tanah yang cukup dalam dan tingkat kerentanan banjir yang kecil, hal ini menunjukan bahwa medan tersebut mampu menampung air dalam kapasitas besar dan memiliki aliran permukaan yang kecil karena air yang ditampung akan mengalir ke tempat yang lebih rendah. Sedangkan wilayah dengan kemiringan lereng datar hingga berombak memiliki kedaman air tanah dangkal serta memiliki aliran permukaan yang besar, karena tanah cepat mencapai titik jenuh dan menjadi tempat penampungan air dari hulu. Hal ini menyebabkan tanah sukar atau sulit mengalirkan air sehingga menyebabkan genangan. Kemiringan lereng di Kecamatan Kawunganten diperoleh dari interpretasi data garis kontur dan Peta Rupa Bumi Indonesia lembar Kawunganten tahun 2001 dan lembar Pengolahan skala 1: Tahun 1999 yang dianalisis dan diproses menggunakan Digital Analisis Model (DEM) dalam software Arc View. Berikut ini merupakan kelas kemiringan lereng di Kecamatan Kawunganten Tahun 2013 dengan menggunakan klasifikasi menurut Van Zuidam (1979:12), yaitu: 1) Datar atau Hampir Datar Kelas kemiringan lereng datar atau hampir datar merupakan medan dengan kemiringan lereng 0 2% atau atau memiliki beda tinggi < 5 meter. Kelas kemiringan lereng ini menempati 54,26% dari total luas wilayah. Medan dengan kelas kemiringan lereng datar atau hampir datar banyak

34 ditemui bentuklahan asal proses fluvialtil yaitu dataran banjir. Selain itu, medan ini biasanya dimanfaatkan untuk penggunaan lahan sawah, permukiman, tegalan dan tambak. Secara administratif, sebaran kelas kemiringan lereng ini disajikan pada Tabel 4.9. Tabel 4.9. Persentase Luasan Kelas Lereng Datar atau Hampir Datar di Kecamatan Kawunganten Tahun No. Desa Luas Ha % 1 Sarwadadi 535,05 7,67 2 Kawunganten 689,71 9,89 3 Babakan 559,80 8,03 4 Ujungmanik 928,53 13,32 5 Grugu 480,43 6,89 6 Bringkeng 618,69 8,87 7 Bojong 1.387,92 19,91 8 Mentasan 317,45 4,55 9 Kawunganten Lor 327,90 4,70 10 Kalijeruk 146,79 2,11 11 Kubangkangkung 978,11 14,03 12 Sidaurip 2,25 0,03 Jumlah 6.972,64 100,00 (Sumber: Interpretasi data garis kontur dan Peta RBI lembar dan , Pengolahah DEM dan Perhitungan Arc View Tahun 2013) 2) Landai Kelas kemiringan lereng landai merupakan medan dengan kemiringan lereng 3 7% atau atau memiliki beda tinggi 5 25 meter. Kelas kemiringan lereng ini menempati 30,49% dari total luas wilayah. Medan dengan kelas kemiringan lereng landai di Kecamatan Kawunganten ditempati bentuklahan dataran alluvial dan lembah sinklinal serta dimanfaatkan untuk penggunaan lahan permukiman, sawah, tambak, tegalan dan perkebunan. Secara administratif, hampir keseluruhan desa berada pada

35 110 kelas kemiringan lereng landai, kecuali tiga desa yaitu Desa Grugu, Bringkeng dan Babakan. 3) Miring Kelas kemiringan lereng miring merupakan medan dengan kemiringan lereng 8 13% atau atau memiliki beda tinggi meter. Kelas kemiringan lereng ini menempati 6,01% dari total luas wilayah. Medan dengan kelas kemiringa lereng miring di Kecamatan Kawunganten ditempati bentuklahan perbukitan sinklinal dan dimanfaatkan untuk permukiman, tegalan dan perkebunan. Secara administratif, desa yang berada pada kelas kemiringan lereng ini yaitu Desa Sarwadadi, Mentasan dan Kalijeruk. 4) Agak Curam Kelas kemiringan lereng agak curam merupakan medan dengan kemiringan lereng 14 20% atau atau memiliki beda tinggi meter. Kelas kemiringan lereng ini menempati 9,24% dari total luas wilayah. Medan dengan kelas kemiringan lereng agak curam di Kecamatan Kawunganten ditempati bentuklahan perbukitan sinklinal dan dimanfaatkan untuk perkebunan dan hutan. Secara administratif, desa yang berada pada kelas kemiringan lereng ini yaitu Desa Sarwadadi, Mentasan dan Kalijeruk.

36 Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disajikan luasan atau sebaran bentuklahan utama di Kecamatan Kawunganten pada Tabel 4.10 dan Peta7. Tabel Persentase Luasan Kelas Kemiringan Lereng di Kecamatan Kawunganten Tahun No. Kelas Kemiringan Lereng Luas Ha % 1 Datar atau Hampir Datar 6.972,64 54,26 2 Landai 3.917,52 30,49 3 Miring 772,25 6,01 4 Agak Curam 1.187, Jumlah ,99 100,00 (Sumber: Interpretasi data garis kontur dan Peta Rupa Bumi Indonesia lembar dan , Pengolahah Digital Analisis Model [DEM] dan Perhitungan dalam Software Arc View Tahun 2013)

37 112

38 113 c. Satuan Medan (Terrain unit) Van Zuidam (1979: 3) menjelaskan bahwa medan merupakan suatu bidang lahan yang berhubungan dengan sifat-sifat fisik permukaan dan dekat permukaan yang kompleks dan penting bagi manusia. Medan erat kaitannya dengan proses geomorfologi yang terjadi di medan tersebut dan proses geomorfologi yang terjadi dapat dilihat dari bentuklahan yang terbentuk. Way (1973) dalam Van Zuidam (1979: 3) menjelaskan bahwa fitur medan yang terbentuk oleh proses alami yang memiliki komposisi khusus dan berbagai karakteristik fisik dan visual yang terjadi dimanapun bentuklahan ditemukan. Lebih lanjut Van Zuidam (1979: 3) mengemukaan bahwa satuan medan merupakan kelas medan yang menunjukan suatu bentuklahan atau kompleks betuklahan yang sejenis dalam hubungannya dengan karakteristik medan dan komponen-komponen medan yang utama. Oleh karena itu, satuan medan di Kecamatan Kawunganten ditentukan oleh bentuklahan yang terbentuk. Berdasarkan hal tersebut, maka di Kecamatan Kawunganten terdapat tujuh satuan medan (terrain unit) yaitu, rataan pasang surut bervegetasi (M.9), dataran alluvial (F.1), rawa (F.4), dataran banjir (F.7), perbukitan sinklinal (S.7) dan lembah sinklinal (S.17). Khusus untuk bentuklahan asal proses fluvial, seperti dataran banjir, saluran atau sungai mati, gosong sungai lengkung dalam dan gosong sungai tidak dimasukan dalam terrain unit, hal ini dikarenakan luasan bentuklahan tersebut yang sangat kecil. Selain itu, bentuklahan tersebut sering tergenang banjir dan seringkali mengalami pergantian material penyusun, sehingga dikelompokan dalam bentuklahan dataran banjir. Analisis dan klasifikasi satuan medan melibatkan relief, proses geomorfologi yang terjadi di masa lampau dan sekarang, jenis batuan dan strukturnya, tanah, hidrologi, vegetasi dan penggunaan lahan (Van Zuidam, 1979: 7). Selain itu, dalam analisis dan klasifikasi medan terdapat evaluasi medan, yaitu proses pelaksanaan penilaian medan untuk keperluan tertentu

39 114 meliputi interpretasi hasil survey dan studi mengenai relief, tanah, batuan, proses geomorfologi, hidrologi, vegetasi, dan penggunaan lahan dalam rangka mengidentifikasi dan membandingkan kemungkinan penggunaan lahan yang sesuai dengan tujuan evaluasi (Van Zuidam, 1979: 7). Oleh sebab itu, analisis, klasifikasi dan evalusai satuan medan di Kecamatan Kawunganten melibatkan beberapa kondisi fisik medan yang disesuiakan dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui tingkat kerentanan banjir tiap medan di Kecamatan Kawunganten. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka analisis, klasifikasi dan evaluasi satuan medan (terrain unit) di Kecamatan Kawunganten dapat disajikan pada Tabel 4.11.

40 115 Tabel Karakteristik Fisik Tiap Satuan Medan (Terrain Unit) Di Kecamatan Kawunganten Tahun Code Nama Karakteristik Terrain Relief - Morfologi Proses Tipe Batuan Tanah Kondisi Hidrologi Vegetasi/Land Use M.9 Rataan pasang surut bervegetasi - Medan dengan relief datar dengan ketinggian 0-1 meter dpl. - Berada di muara sungai, sehingga pada medan ini biasanya terbentuk bentuklahan fluvio-marin. Terbentuk akibat sedimentasi material yang diangkut air sungai dari hulu dan bercampur dengan hasil sedimentasi material yang terangkut atau terbawa ombak air laut. - Tersusun atau terbentuk akibat hasil proses sedimentasi. - Masih terpengaruh pasang surut air laut, sehingga lapisan atas sering mengalami pergantian material penyusun. - Terdiri dari lempung, pasir dan lumpur. - Tekstur agak halus. - Drainase sangat buruk. - Permeabilitas lambat. - Berada di muara sungai, sehingga medan ini memiliki sifat air payau. - Kedalam air tanah freatik sangat dangkal yaitu < 3 meter. - Tanaman mangrove atau bakau. - Dimanfaatkan untuk penggunaan lahan tambak udang dan ikan. F.1 Dataran alluvial Medan dengan relief landai dengan ketinggian 5-25 meter dpl. Terbentuk akibat hasil endapan material-material yang diangkut oleh sungai yang terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama dan sangat sedikit mengalami pergantian material penyusun. Gabungan material klastik yang telah tersedimentasi dalam kurun waktu yang cukup lama. - Terdiri dari lempung dan pasir. - Tekstur sedang. - Drainase buruk. - Permeabilitas lambat. Kedalam air tanah freatik agak dangkal yaitu 5-7 meter. Dimanfaatkan untuk penggunaan lahan permukiman, sawah irigasi dan tegalan.

41 116 F.4 Rawa Medan dengan relief datar atau hampir datar dengan ketinggian 1-2 meter dpl. Terbentuk akibat adanya aktifitas sungai, yaitu terjadi cekungan atau pada daerah bekas aliran yang terpotong akibat proses meandering sungai yang kemudian diisi oleh air hujan. Gabungan material klastik yang telah tersedimentasi dalam kurun waktu yang cukup lama. - Terdiri dari lempung dan lumpur. - Tekstur agak halus. - Drainase sangat buruk. - Permeabilitas lambat. Kedalam air tanah freatik sangat dangkal yaitu < 1 meter. - Saat musim kemarau digunakan untuk lahan pertanian tanaman palawija dan sawah. - Saat musim penghujan hampir seluruh tubuh sungai tergenang air. F.7 Dataran banjir Medan dengan relief datar atau hampir datar dengan ketinggian < 5 meter dpl. Terbentuk akibat hasil endapan material-material yang diangkut oleh sungai yang terjadi dalam kurun waktu yang cukup singkat dan sangat sering mengalami pergantian material penyusun. Pada dasarnya, lapisan atas tersusun atas material pasir dan lumpur. Karena sering tergenang banjir maka saluran yang ditinggalkan akan diisi lempung dan lumpur tersebut. Intinya merupakan gabungan material klastis namun sering mengalami pergantian material penyusun. - Terdiri dari lempung, pasir dan lumpur. - Tekstur agak halus. - Drainase buruk. - Permeabilitas lambat. Kedalam air tanah freatik dangkal yaitu 1-3 meter. Seharusnya medan ini bebas dari segala aktifitas manusia, namun seringkali medan ini digunakan untuk lahan pertanian sawah, tegalan dan permukiman.

42 117 S.7 Perbukitan sinklinal S.17 Lembah sinklinal Medan dengan relief miring hingga agak curam dengan ketinggian meter dpl. Medan dengan relief landai hingga miring dengan ketinggian meter dpl. Terjadi akibat adanya tenaga tektonik yang menyebabkan terbentuknya lipatan. Lipatan tersebut membentuk topografi negatif. yaitu kemiringan dua sisi atau sayapnya membentuk cekungan (concave) dan mengarah keatas. - Tersusun dari batuan plastis yang terdiri atas lembah-lembah lipatan. - Kemiringan lapisan batuan mengarah meuju pusat bentuklahan. - Tekstur sedang. - Drainase agak buruk. - Permeabilitas sedang lambat. - Tekstur sedang. - Drainase agak buruk. - Permeabilitas sedang lambat. - Kedalam air tanah freatik agak dalam yaitu > 10 meter. - Pola aliran sungai dendritik - Kedalam air tanah freatik sedang yaitu 8-10 meter. - Pola aliran sungai dendritik Dimanfaatkan untuk penggunaan lahan perkebunan dan hutan alami. Dimanfaatkan untuk penggunaan lahan sawan, permukiman, tegalan dan perkebunan. (Sumber: Hasil Analisis Penulis)

43 Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disajikan luasan atau sebaran satuan medan di Kecamatan Kawunganten pada Tabel 4.12, gambar 3D pada Gambar 4.11 dan Peta 8. Tabel Persentase Luasan Satuan Medan (Terrain unit) di Kecamatan Kawunganten Tahun Code Terrain unit Luas Ha % M.9 Rataan Pasang Surut Bervegetasi 481,74 3,75 F.1 Dataran Alluvial 5.547,77 43,17 F.4 Rawa 472,12 3,67 F.7 Dataran Banjir 1.265,18 9,85 S.7 Perbukitan Sinklinal 2.569,71 20,00 S.17 Lembah Sinklinal 2.513,47 19,56 (Sumber: Hasil Perhitungan, 2013) Jumlah ,99 100,00

44 119 S.7 S.7 S.17 F.1 F.7 F.1 S.17 S.7 F.4 S.17 F.7 F.1 M.9 Gambar Kenampakan Satuan Medan (Unit Terrain) di Kecamatan Kawunganten Tahun 2013 dalam Bentuk 3D (Sumber: Hasil Pengolahan Data Titik Tinggi)

45 120

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian. Sungai Oyo. Dalam satuan koordinat Universal Transverse Mercator

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian. Sungai Oyo. Dalam satuan koordinat Universal Transverse Mercator 32 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Daerah Penelitian 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian Daerah yang digunakan sebagai tempat penelitian merupakan wilayah sub DAS Pentung yang

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

KONDISI UMUM BANJARMASIN

KONDISI UMUM BANJARMASIN KONDISI UMUM BANJARMASIN Fisik Geografis Kota Banjarmasin merupakan salah satu kota dari 11 kota dan kabupaten yang berada dalam wilayah propinsi Kalimantan Selatan. Kota Banjarmasin secara astronomis

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN 163 BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan oleh penulis, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat enam terrain

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 50 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Fisik Kawasan Perkotaan Purwokerto Kawasan perkotaan Purwokerto terletak di kaki Gunung Slamet dan berada pada posisi geografis 109 11 22-109 15 55 BT dan 7 22

Lebih terperinci

KONDISI W I L A Y A H

KONDISI W I L A Y A H KONDISI W I L A Y A H A. Letak Geografis Barito Utara adalah salah satu Kabupaten di Propinsi Kalimantan Tengah, berada di pedalaman Kalimantan dan terletak di daerah khatulistiwa yaitu pada posisi 4 o

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. terletak di Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah. Kecamatan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. terletak di Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah. Kecamatan BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Daerah Penelitian 1. Kondisi Fisik a. Letak, Luas, dan Batas Kecamatan Wuryantoro merupakan salah satu kecamatan yang terletak di Kabupaten Wonogiri,

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan hubungan dengan kelingkungan (Versatappen, 1983 dalam Suwarno 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan hubungan dengan kelingkungan (Versatappen, 1983 dalam Suwarno 2009). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Geomorfologi Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari bentuklahan yang menyusun permukaan bumi, baik diatas maupun dibawah permukaan air laut dan menekankan pada asal mula

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan makhluk hidup khususnya manusia, antara lain untuk kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri dan tenaga

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. IV. GAMBARAN UMUM A. Kondisi Umum Kabupaten Lampung Tengah Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. Luas wilayah Kabupaten Lampung Tengah sebesar 13,57 % dari Total Luas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. adanya dan mengungkapkan fakta-fakta yang ada, walaupun kadang-kadang

BAB III METODE PENELITIAN. adanya dan mengungkapkan fakta-fakta yang ada, walaupun kadang-kadang BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif lebih mengarah pada pengungkapan suatu masalah atau keadaan sebagaimana adanya dan mengungkapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berada pada pertemuan tiga lempeng utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng pasifik. Pertemuan tiga

Lebih terperinci

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI II-1 BAB II 2.1 Kondisi Alam 2.1.1 Topografi Morfologi Daerah Aliran Sungai (DAS) Pemali secara umum di bagian hulu adalah daerah pegunungan dengan topografi bergelombang dan membentuk cekungan dibeberapa

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 15 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Sub DAS Model DAS Mikro (MDM) Barek Kisi berada di wilayah Kabupaten Blitar dan termasuk ke dalam Sub DAS Lahar. Lokasi ini terletak antara 7 59 46 LS

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 23 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis dan Batas Wilayah Kabupaten Tabalong merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Kalimantan Selatan dengan ibukota Tanjung yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geomorfologi Geomorfologi adalah studi yang mendiskripsikan bentuklahan, proses-proses yang bekerja padanya dan menyelidiki kaitan antara bentuklahan dan prosesproses tersebut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium BALAI BESAR KERAMIK Jalan Jendral A. Yani 392 Bandung. Conto yang digunakan adalah tanah liat (lempung) yang berasal dari Desa Siluman

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG BAB 3 GEOLOGI SEMARANG 3.1 Geomorfologi Daerah Semarang bagian utara, dekat pantai, didominasi oleh dataran aluvial pantai yang tersebar dengan arah barat timur dengan ketinggian antara 1 hingga 5 meter.

Lebih terperinci

HIDROSFER I. Tujuan Pembelajaran

HIDROSFER I. Tujuan Pembelajaran KTSP & K-13 Kelas X Geografi HIDROSFER I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami pengertian hidrosfer dan siklus hidrologi.

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 21 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Kondisi Umum Fisik Wilayah Geomorfologi Wilayah pesisir Kabupaten Karawang sebagian besar daratannya terdiri dari dataran aluvial yang terbentuk karena banyaknya sungai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi 9 HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi Wilayah DAS Cileungsi meliputi wilayah tangkapan air hujan yang secara keseluruhan dialirkan melalui sungai Cileungsi. Batas DAS tersebut dapat diketahui dari

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak Geografis. Daerah penelitian terletak pada BT dan

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak Geografis. Daerah penelitian terletak pada BT dan KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak Geografis Daerah penelitian terletak pada 15 7 55.5 BT - 15 8 2.4 dan 5 17 1.6 LS - 5 17 27.6 LS. Secara administratif lokasi penelitian termasuk ke dalam wilayah Desa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 I-1 BAB I 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) Pemali merupakan bagian dari Satuan Wilayah Sungai (SWS) Pemali-Comal yang secara administratif berada di wilayah Kabupaten Brebes Provinsi Jawa

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas DAS/ Sub DAS Stasiun Pengamatan Arus Sungai (SPAS) yang dijadikan objek penelitian adalah Stasiun Pengamatan Jedong yang terletak di titik 7 59

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 15 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Lokasi Kabupaten Lebak secara geografis terletak antara 6º18'-7º00' Lintang Selatan dan 105º25'-106º30' Bujur Timur, dengan luas wilayah 304.472 Ha atau 3.044,72 km².

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Setelah dilakukan penelitian dengan mengumpulkan data skunder dari instansi terkait, dan data primer hasil observasi dan wawancara maka dapat diperoleh

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6 SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6 1. Komponen tanah yang baik yang dibutuhkan tanaman adalah.... bahan mineral, air, dan udara bahan mineral dan bahan organik

Lebih terperinci

PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK

PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK Nama Kelompok : IN AM AZIZUR ROMADHON (1514031021) MUHAMAD FAISAL (1514031013) I NENGAH SUMANA (1514031017) I PUTU MARTHA UTAMA (1514031014) Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan menegaskan bahwa air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih

Lebih terperinci

KONDISI UMUM. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 12. Peta Adminstratif Kecamatan Beji, Kota Depok

KONDISI UMUM. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 12. Peta Adminstratif Kecamatan Beji, Kota Depok IV. KONDISI UMUM 4.1 Lokasi Administratif Kecamatan Beji Secara geografis Kecamatan Beji terletak pada koordinat 6 21 13-6 24 00 Lintang Selatan dan 106 47 40-106 50 30 Bujur Timur. Kecamatan Beji memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Profil Perusahaan PT. Cipta Kridatama didirikan 8 April 1997 sebagai pengembangan dari jasa penyewaan dan penggunaan alat berat PT. Trakindo Utama. Industri tambang Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir (coast) dan pantai (shore) merupakan bagian dari wilayah kepesisiran (Gunawan et al. 2005). Sedangkan menurut Kodoatie (2010) pesisir (coast) dan pantai (shore)

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Bentuk dan Pola Umum Morfologi Daerah Penelitian Bentuk bentang alam daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal tekstur berupa perbedaan tinggi dan relief yang

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI BAB II 2.1. Tinjauan Umum Sungai Beringin merupakan salah satu sungai yang mengalir di wilayah Semarang Barat, mulai dari Kecamatan Mijen dan Kecamatan Ngaliyan dan bermuara di Kecamatan Tugu (mengalir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Geografi merupakan ilmu yang berusaha menemukan dan memahami persamaan-persamaan dan perbedaan yang ada dalam ruang muka bumi (Sandy, 1988: 6). Persamaan dan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 23 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Geomorfologi di Daerah Penelitian Kondisi geomorfologi daerah penelitian berkaitan erat dengan sejarah geologi yang berkembang di wilayah tersebut, dimana proses-proses

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM WILAYAH

GAMBARAN UMUM WILAYAH 3 GAMBARAN UMUM WILAYAH 3.1. Batas Administrasi dan Luas Wilayah Kabupaten Sumba Tengah merupakan pemekaran dari Kabupaten Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dibentuk berdasarkan UU no.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Umum Kabupaten Tanggamus 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus Secara geografis wilayah Kabupaten Tanggamus terletak pada posisi 104 0 18 105 0 12 Bujur Timur dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 6 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi Penelitian Secara administrasi, lokasi penelitian berada di Kecamata Meureubo, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh. Sebelah utara Sebelah selatan Sebelah timur Sebelah

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27 Lintang Selatan dan 110º12'34 - 110º31'08 Bujur Timur. Di IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai lima Kabupaten dan satu Kotamadya, salah satu kabupaten tersebut adalah Kabupaten Bantul. Secara geografis,

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu. 25 IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak dan luas DAS Cisadane segmen Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane secara keseluruhan terletak antara 106º17-107º BT dan 6º02-6º54 LS. DAS Cisadane segmen hulu berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perencanaan Embung Logung Dusun Slalang, Kelurahan Tanjungrejo, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perencanaan Embung Logung Dusun Slalang, Kelurahan Tanjungrejo, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus BAB I PENDAHULUAN 1 Latar Belakang Dalam rangka peningkatan taraf hidup masyarakat dan peningkatan sektor pertanian yang menjadi roda penggerak pertumbuhan ekonomi nasional, pemerintah berupaya melaksanakan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Konservasi Lahan Sub DAS Lesti Erni Yulianti PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Erni Yulianti Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Lokasi Kabupaten Pidie. Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sjarief R dan Robert J, 2005 )

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Lokasi Kabupaten Pidie. Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sjarief R dan Robert J, 2005 ) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus Hidrologi Pada umumnya ketersediaan air terpenuhi dari hujan. Hujan merupakan hasil dari proses penguapan. Proses-proses yang terjadi pada peralihan uap air dari laut ke

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Situasi Wilayah Letak Geografi Secara geografis Kabupaten Tapin terletak antara 2 o 11 40 LS 3 o 11 50 LS dan 114 o 4 27 BT 115 o 3 20 BT. Dengan tinggi dari permukaan laut

Lebih terperinci

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR ORISINALITAS... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL...

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR ORISINALITAS... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR ORISINALITAS... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xvii BAB I

Lebih terperinci

LEMBAR KERJA SISWA. No Jenis Tanah Jenis tanaman Pemanfaatannya

LEMBAR KERJA SISWA. No Jenis Tanah Jenis tanaman Pemanfaatannya LEMBAR KERJA SISWA KELOMPOK :. Nama Anggota / No. Abs 1. ALFINA ROSYIDA (01\8.6) 2.. 3. 4. 1. Diskusikan tabel berikut dengan anggota kelompok masing-masing! Petunjuk : a. Isilah kolom dibawah ini dengan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Berdasarkan bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian maka diperlukan analisa geomorfologi sehingga dapat diketahui bagaimana

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah aliran sungai (DAS) Cilamaya secara geografis terletak pada 107 0 31 107 0 41 BT dan 06 0 12-06 0 44 LS. Sub DAS Cilamaya mempunyai luas sebesar ± 33591.29

Lebih terperinci

Jumlah desa, dusun dan luas Kabupaten Bantul per kecamatan dapat

Jumlah desa, dusun dan luas Kabupaten Bantul per kecamatan dapat BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Daerah Penelitian 1. Letak dan Luas Daerah Penelitian Secara astronomis Kabupaten Bantul terletak antara 07 0 44 04-08 0 00 27 LS dan 110 0 12 34 110 0 31 08 BT.

Lebih terperinci

KAJIAN KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN SLOGOHIMO KABUPATEN WONOGIRI

KAJIAN KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN SLOGOHIMO KABUPATEN WONOGIRI KAJIAN KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN SLOGOHIMO KABUPATEN WONOGIRI SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Mencapai derajat Sarjana S-1 Fakultas Geografi Oleh : JUMIYATI NIRM: 5.6.16.91.5.15

Lebih terperinci

PETA SATUAN MEDAN. TUJUAN 1. Membuat peta satuan medan

PETA SATUAN MEDAN. TUJUAN 1. Membuat peta satuan medan PETA SATUAN MEDAN TUJUAN 1. Membuat peta satuan medan ALAT DAN BAHAN 1. Peta Rupa Bumi Skala 1 : 25.000 2. Peta Geologi skala 1 : 100.000 3. Peta tanah semi detil 4. Alat tulis dan gambar 5. alat hitung

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan intepretasi peta topografi, yang kemudian dilakukan pengamatan secara langsung di

Lebih terperinci

PEDOSFER BAHAN AJAR GEOGRAFI KELAS X SEMESTER GENAP

PEDOSFER BAHAN AJAR GEOGRAFI KELAS X SEMESTER GENAP PEDOSFER BAHAN AJAR GEOGRAFI KELAS X SEMESTER GENAP PENGERTIAN TANAH Pedosfer berasal dari bahasa latin yaitu pedos = tanah, dan sphera = lapisan. Pedosfer yaitu lapisan kulit bumi yang tipis yang letaknya

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 20 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Profil Singkat Perum Perhutani dan KPH Banyumas Barat Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berbasis sumberdaya hutan yang diberi tugas dan

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Geomorfologi Daerah Penelitian III.1.1 Morfologi dan Kondisi Umum Daerah Penelitian Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses

Lebih terperinci

2 KONDISI UMUM 2.1 Letak dan Luas 2.2 Kondisi Fisik Geologi dan Tanah

2 KONDISI UMUM 2.1 Letak dan Luas 2.2 Kondisi Fisik Geologi dan Tanah 2 KONDISI UMUM 2.1 Letak dan Luas Taman Nasional Manupeu Tanahdaru (TNMT) secara geografi terletak di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur pada 119º27-119º55 BT dan 09º29`-09º54` LS sedangkan secara administratif

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM 3.1 Lokasi, Administrasi, dan Transportasi 3.2 Geologi dan Bahan Induk

KEADAAN UMUM 3.1 Lokasi, Administrasi, dan Transportasi 3.2 Geologi dan Bahan Induk 11 KEADAAN UMUM 3.1 Lokasi, Administrasi, dan Transportasi Desa Lamajang terletak di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat. Desa ini memiliki luas wilayah 1474 ha dengan batas desa

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian Morfologi muka bumi yang tampak pada saat ini merupakan hasil dari proses-proses geomorfik yang berlangsung. Proses geomorfik menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah yaitu : Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air,

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN 4.1 Geomorfologi Telah sedikit dijelaskan pada bab sebelumnya, morfologi daerah penelitian memiliki beberapa bentukan khas yang di kontrol oleh litologi,

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian. Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dengan luas

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian. Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dengan luas III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dengan luas wilayah Kabupaten Kuningan secara keseluruhan mencapai 1.195,71

Lebih terperinci

BENCANA GERAKAN TANAH AKIBAT GEMPABUMI JAWA BARAT, 2 SEPTEMBER 2009 DI DESA CIKANGKARENG, KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT

BENCANA GERAKAN TANAH AKIBAT GEMPABUMI JAWA BARAT, 2 SEPTEMBER 2009 DI DESA CIKANGKARENG, KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT BENCANA GERAKAN TANAH AKIBAT GEMPABUMI JAWA BARAT, 2 SEPTEMBER 2009 DI DESA CIKANGKARENG, KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT Suranta Sari Bencana gerakan tanah terjadi beberapa

Lebih terperinci

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec BAB III KONDISI UMUM LOKASI Lokasi penelitian bertempat di Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH KLABANG

GEOLOGI DAERAH KLABANG GEOLOGI DAERAH KLABANG Geologi daerah Klabang mencakup aspek-aspek geologi daerah penelitian yang berupa: geomorfologi, stratigrafi, serta struktur geologi Daerah Klabang (daerah penelitian). 3. 1. Geomorfologi

Lebih terperinci

BAB 5: GEOGRAFI DINAMIKA HIDROSFER

BAB 5: GEOGRAFI DINAMIKA HIDROSFER www.bimbinganalumniui.com 1. Proses penguapan air yang ada di permukaan bumi secara langsung melalui proses pemanasan muka bumi disebut a. Transpirasi b. Transformasi c. Evaporasi d. Evapotranspirasi e.

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak 1. Luas DTA (Daerah Tangkapan Air) Opak Dari hasil pengukuran menggunakan aplikasi ArcGis 10.1 menunjukan bahwa luas

Lebih terperinci

PEMETAAN GEOLOGI METODE LINTASAN SUNGAI. Norma Adriany Mahasiswa Magister teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta

PEMETAAN GEOLOGI METODE LINTASAN SUNGAI. Norma Adriany Mahasiswa Magister teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta PEMETAAN GEOLOGI METODE LINTASAN SUNGAI Norma Adriany Mahasiswa Magister teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta ABSTRAK Daerah penelitian terletak di daerah Gunung Bahagia, Damai, Sumber Rejo, Kota Balikpapan,

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi Kesampaian Daerah Daerah penelitian secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kampung Seibanbam II, Kecamatan Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu, Propinsi Kalimantan Selatan.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi secara umum daerah penelitian tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

Geomorfologi Terapan INTERPRETASI GEOMORFOLOGI CITRA SATELIT SEBAGAI DASAR ANALISIS POTENSI FISIK WILAYAH SELATAN YOGYAKARTA

Geomorfologi Terapan INTERPRETASI GEOMORFOLOGI CITRA SATELIT SEBAGAI DASAR ANALISIS POTENSI FISIK WILAYAH SELATAN YOGYAKARTA Geomorfologi Terapan INTERPRETASI GEOMORFOLOGI CITRA SATELIT SEBAGAI DASAR ANALISIS POTENSI FISIK WILAYAH SELATAN YOGYAKARTA A. Pendahuluan Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bentuk muka

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR

BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR BENTUK LAHAN MAYOR BENTUK LAHAN MINOR KETERANGAN STRUKTURAL Blok Sesar Gawir Sesar (Fault Scarp) Gawir Garis Sesar (Fault Line Scarp) Pegunungan Antiklinal Perbukitan

Lebih terperinci

Stadia Sungai. Daerah Aliran Sungai (DAS)

Stadia Sungai. Daerah Aliran Sungai (DAS) Stadia Sungai Sungai adalah aliran air di permukaan tanah yang mengalir ke laut. Dalam Bahasa Indonesia, kita hanya mengenal satu kata sungai. Sedangkan dalam Bahasa Inggris dikenal kata stream dan river.

Lebih terperinci

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 Prosedur analisis citra untuk penggunaan tanah 1. Pra-pengolahan data atau pengolahan awal yang merupakan restorasi citra 2. Pemotongan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PERTANIAN LAHAN KERING SEBAGAI PENDORONG EROSI DI DAERAH ALIRAN CI KAWUNG

PERKEMBANGAN PERTANIAN LAHAN KERING SEBAGAI PENDORONG EROSI DI DAERAH ALIRAN CI KAWUNG PERKEMBANGAN PERTANIAN LAHAN KERING SEBAGAI PENDORONG EROSI DI DAERAH ALIRAN CI KAWUNG M. YULIANTO F. SITI HARDIYANTI PURWADHI EKO KUSRATMOKO I. PENDAHULUAN Makin sempitnya perairan laguna Segara Anakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK DAS Citarum merupakan DAS terpanjang terbesar di Jawa Barat dengan area pengairan meliputi Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Bekasi, Cianjur, Indramayu,

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 40 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis dan Administrasi Lokasi penelitian berada di Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok seluas 462 ha. Secara geografis daerah penelitian terletak

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI. Gambaran Umum Kabupaten Cirebon

KONDISI UMUM LOKASI. Gambaran Umum Kabupaten Cirebon KONDISI UMUM LOKASI Gambaran Umum Kabupaten Cirebon Letak Administrasi Kabupaten Cirebon Kabupaten Cirebon merupakan salah satu wilayah yang terletak di bagian timur Propinsi Jawa Barat. Selain itu, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta, BAB II Geomorfologi II.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat telah dilakukan penelitian oleh Van Bemmelen sehingga dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949 op.cit Martodjojo,

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 27 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1. Kota Banjarmasin Secara geografis Kota Banjarmasin terletak pada posisi antara 3 15 LS 3 22 LS dan 114 52 LS - 114 98 LS. Adapun jika ditinjau secara administratif Kota

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN LOKASI

BAB III TINJAUAN LOKASI BAB III TINJAUAN LOKASI 3.1 Gambaran Umum Kota Surakarta 3.1.1 Kondisi Geografis dan Administratif Wilayah Kota Surakarta secara geografis terletak antara 110 o 45 15 dan 110 o 45 35 Bujur Timur dan antara

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Wilayah Letak dan Batas Letak suatu wilayah adalah lokasi atau posisi suatu tempat yang terdapat di permukaan bumi. Letak suatu wilayah merupakan faktor yang sangat

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 26 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 4.1 Kota Yogyakarta (Daerah Istimewa Yogyakarta 4.1.1 Letak Geografis dan Administrasi Secara geografis DI. Yogyakarta terletak antara 7º 30' - 8º 15' lintang selatan dan

Lebih terperinci

KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN NGUNTORONADI KABUPATEN WONOGIRI SKRIPSI

KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN NGUNTORONADI KABUPATEN WONOGIRI SKRIPSI KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN NGUNTORONADI KABUPATEN WONOGIRI SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Geografi Oleh : DWI SEPTIC SETIANA NIRM :

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi mum Daerah Penelitian ecara umum morfologi daerah penelitian merupakan dataran dengan punggungan di bagian tengah daerah

Lebih terperinci

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Sub DAS pada DAS Bekasi Hulu Berdasarkan pola aliran sungai, DAS Bekasi Hulu terdiri dari dua Sub-DAS yaitu DAS Cikeas dan DAS Cileungsi. Penentuan batas hilir dari DAS Bekasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Embung merupakan bangunan air yang menampung, mengalirkan air menuju hilir embung. Embung menerima sedimen yang terjadi akibat erosi lahan dari wilayah tangkapan airnya

Lebih terperinci