V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 23 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Geomorfologi di Daerah Penelitian Kondisi geomorfologi daerah penelitian berkaitan erat dengan sejarah geologi yang berkembang di wilayah tersebut, dimana proses-proses geomorfologis endogen dan eksogen seperti proses-proses tektonik, vulkanik, dan denudasional mendominasi kenampakan geomorfologi di daerah penelitian. Hal ini dapat merujuk pada jenis batuan yang menyusun daerah penelitian dan kenampakan morfologi yang ada secara aktual. Berdasarkan jenis batuan dan umurnya seperti tersebut di sub-bab Kondisi Geologi dan Geomorfologi Daerah Penelitian, maka secara umum dapat dikatakan bahwa bentuklahan pegunungan yang terbentuk di bagian hulu daerah penelitian, tersusun oleh batuan vulkanik, mempunyai umur yang relatif lebih muda dibandingkan dengan bentuklahan pegunungan yang ada di bagian tengah daerah penelitian, meskipun kedua bentuklahan tersebut tersusun oleh jenis batuan yang sama, yakni batuan vulkanik Tersier. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas vulkanisme masa lalu di wilayah penelitian dan sekitarnya secara bertahap mengalami pergerakan dari Selatan ke Utara dan meninggalkan bentuklahan pegunungan yang pada saat ini telah mengalami proses denudasi yang telah lanjut. Proses yang belakangan ini ditunjukkan oleh banyaknya lembah-lembah hasil proses pengikisan erosi maupun longsor dan tidak menyisakan lagi bentuk kerucut gunungapi yang umumnya terbentuk di kompleks gunungapi Kuarter. Aspek-aspek bentuklahan dan geomorfologi daerah penelitian yang diuraikan berikut ini mencakup morfologi, morfogenesis, morfokronologi, dan litologi (batuan) Morfologi Dalam analisis morfologi terdapat dua aspek, yakni aspek morfografi dan morfometri. Morfografi merupakan aspek deskriptif dari suatu bentuklahan yang ada di permukaan bumi, sedangkan morfometri merupakan aspek kuantitatif dari suatu bentuklahan, seperti lereng (kemiringan, bentuk, panjang, arah) dan ketinggian. Morfografi daerah penelitian terdiri atas daerah dataran, perbukitan,

2 24 pegunungan, tebing, dan lembah sungai. Gambaran morfografi ini dan persebarannya dapat dilihat pada Gambar 4, yang menunjukkan bahwa morfografi perbukitan dan pegunungan tampak paling dominan. Gambaran morfometri daerah penelitian dapat dilihat dari aspek kemiringan lereng dan ketinggian bentuklahan yang masing-masing disajikan dalam bentuk peta kemiringan lereng (Gambar 5) dan peta ketinggian (Gambar 6). Berdasarkan Gambar 5 terlihat bahwa kemiringan lereng 0-3% (datar) dan 3-8% (landai) tersebar di bagian Utara dan sedikit di bagian Selatan DAS, kemiringan lereng 8-15% (agak curam) tersebar juga sedikit di bagian Utara dan Selatan DAS, sedangkan kemiringan lereng 15-30% (curam) tersebar hampir di seluruh wilayah DAS. Adapun kemiringan lereng >30% (sangat curam) tersebar di bagian tengah dan sedikit di bagian Utara DAS. Melihat persebaran kelas lereng di atas dan luasannya (Tabel 4) memastikan bahwa daerah penelitian terletak di daerah atas (upland areas) yang berupa perbukitan dan pegunungan, sehingga cukup wajar jika proses denudasi menjadi lebih dominan bekerja di atas batuan yang berumur Tersier dan tidak terdapat lagi aktivitas vulkanik yang baru. Tabel 4. Luas masing-masing kemiringan lereng di DAS Cimadur No Kemiringan Keterangan Luas Area Lereng Ha % 1 0-3% Datar , % Landai , % Agak curam , % Curam ,60 5 >30% Sangat curam ,20 Luas Total Untuk aspek ketinggian (Gambar 6), terlihat bahwa semakin ke arah Utara DAS angka ketinggian tampak semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah pegunungan dan perbukitan ini secara umum mempunyai kemiringan dari Utara ke Selatan sesuai dengan aliran sungai Cimadur yang mengalir atau bermuara ke Laut Selatan Jawa.

3 25 Samudera Indonesia Gambar 4. Gambaran morfologi DAS Cimadur dari Citra SRTM

4 Gambar 5. Peta Kemiringan Lereng DAS Cimadur 26

5 Gambar 6. Peta Ketinggian DAS Cimadur 27

6 28 Secara spasial morfologi dataran di daerah penelitian lebih banyak tersebar di bagian Utara daripada di bagian Selatan DAS, hal ini sangat menarik karena terletak di daerah hulu yang seharusnya lebih banyak mempunyai lereng yang curam. Jika dilihat lebih rinci morfologinya, maka pada daerah ini dijumpai suatu cekungan besar, berbentuk melingkar, berdiameter 8000 meter dibatasi oleh tebing, dan tersusun oleh endapan abu dan batuapung. Seperti diketahui bahwa endapan abu-batu apung merupakan hasil letusan vulkanik tipe Plinian atau letusan besar yang seringkali menghasilkan kaldera seperti kaldera Bromo- Tengger, kaldera Tambora, kaldera Sunda-Tangkuban Perahu dan sebagainya. Kaldera adalah kawah besar berdiameter lebih dari 2000 meter sebagai hasil proses runtuhan tubuh puncak gunungapi akibat kekosongan dapur magma, sehingga kaldera secara morfologis dibatasi oleh dinding yang terjal berbentuk melingkar. Berdasarkan karakteristik kaldera ini, maka dapat diduga bahwa bentuklahan tebing yang berbentuk hampir melingkar atau berbentuk huruf U (Gambar 4) dapat diinterpretasikan sebagai suatu tebing kaldera hasil letusan gunungapi pada zaman Tersier, dimana hipotesis ini diperkuat oleh adanya endapan abu-batuapung (ignimbrite) di sekitarnya atau di tengah kaldera yang membentuk morfologi dataran. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kompleks pegunungan di wilayah ini dahulunya merupakan suatu kompleks gunungapi, meskipun pada saat sekarang morfologi vulkanik seperti bentukbentuk kerucut sudah tidak ditemui lagi, hal ini disebabkan proses eksogenik denudasi telah berjalan cukup lama, sejak jaman Tersier, atau sejak terhentinya aktivitas vulkanik di wilayah ini. Berdasarkan uraian di atas, maka morfologi perbukitan yang terletak di bagian tengah DAS dapat dikatakan merupakan bagian lereng bawah dari kompleks gunungapi dimaksud, sedangkan perbukitan struktural berbatuan sedimen dimungkinkan sebagai batuan dasar (basement rock) dari tubuh-tubuh gunungapi yang tumbuh di atasnya pada zaman Tersier. Untuk morfologi dataran di bagian Selatan luasannya relatif sangat kecil merupakan bentuklahan hasil proses fluvial (deposisi) dan merupakan bentuklahan termuda karena terbentuk pada zaman Kuarter dibandingkan dengan umur morfologi-morfologi lain yang telah disebutkan sebelumnya.

7 Morfogenesis Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa morfogenesis bentuklahan di daerah penelitian lebih didominasi oleh proses denudasional terhadap morfologi yang dihasilkan oleh proses geomorfik sebelumnya, seperti pengangkatan, baik yang berbatuan vulkanik maupun sedimen. Oleh karena itu nama-nama bentuklahan sebagian besar berupa bentuklahan denudasional vulkanik dan sebagian yang lain berupa denudasional struktural dan bentuklahan fluvial. Bentuklahan asal proses denudasional vulkanik tersebar dari bagian tengah ke hulu daerah penelitian, sedangkan bentuklahan asal proses denudasional struktural tersebar di bagian Selatan daerah penelitian, seperti perbukitan lipatan yang telah mengalami erosi lanjut, hal ini dicirikan dengan batuan-batuan yang menyusun bentuklahan tersebut, yang terdiri dari batupasir (Anggota Batupasir), konglomerat (Anggota Konglomerat), batukapur (Limestone Member), dan batulempung (Formasi Cimanceuri). Batupasir dan konglomerat umumnya lebih resisten terhadap erosi sehingga menghasilkan bentuklahan igir-igir perbukitan, sedangkan batukapur sebagian berbentuk igir-igir atau bukit namun sebagian yang lain terlarut membentuk lembah/cekungan. Sedangkan batulempung karena lebih lunak maka cenderung membentuk morfologi lembah-lembah. Bentuklahan asal proses fluvial terdapat di bagian Selatan daerah penelitian, memiliki relief datar dengan batuan penyusun utama Aluvium, dan menempati elevasi terendah (0-300 m dpl) sebagai wilayah yang lebih didominasi oleh proses-proses deposisi Morfokronologi Berdasarkan Peta Geologi yang disajikan dalam Gambar 7, maka semua bentuklahan di daerah penelitian terbentuk pada zaman Tersier (Eosen, Oligosen, Miosen, dan Pliosen), hanya bentuklahan Lembah sungai (F) yang terbentuk pada zaman Kuarter (Holosen). Secara spasial dapat diperhatikan pula bahwa wilayah DAS bagian Utara tersusun oleh batuan vulkanik yang terbentuk pada zaman Tersier: Miosen-Pliosen, pada wilayah DAS bagian tengah tersusun oleh batuan vulkanik dan sedimen Tersier lebih tua: Eosen-Miosen, sedangkan wilayah DAS

8 Gambar 7. Peta Geologi DAS Cimadur 30

9 31 bagian selatan mempunyai batuan penyusun Kuarter: Holosen sebagai hasil proses pengendapan sungai. Dengan demikian, berdasarkan morfokronologinya dapat disimpulkan bahwa secara umum morfokronologi bentuklahan di daerah penelitian mempunyai umur lebih muda ke arah Utara seiring dengan kondisi morfometrinya berupa elevasi yang semakin meningkat Litologi (batuan) Berdasarkan Peta Geologi (Gambar 7) dan seperti diuraikan pada sub-bab Kondisi Geologi dan Geomorfologi Daerah Penelitian, jenis batuan induk di daerah penelitian terdiri dari 10 Formasi berumur Tersier, yakni: Formasi Cimapag (Tmc), Tufa Citorek (Tpv), Formasi Cikotok (Temv), Anggota Batugamping (Tojl), Formasi Cicarucup (Tet), Anggota Batupasir (Toj), Formasi Cimanceuri (Tpm), Limestone Member (Tebm), Anggota Batugamping (Tmtl), Anggota Konglomerat (Teb), dan 1 Formasi berumur Kuarter, yaitu Aluvial (Qa). Penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Formasi Cimapag (Tmc) Batuan Sedimen Miosen Awal: disusun oleh batuan sedimen klastik, breksi, koarsa yang berasal dari endapan vulkanik. 2. Tufa Citorek (Tpv) Batuan Gunungapi Pliosen: tuf, tuf berbatu apung, tuf breksi, batupasir, dan batulempung tufan. 3. Formasi Cikotok (Temv) Batuan Gunungapi Eosen-Miosen: disusun oleh batuan ektrusif intermedier, lava yang berasal dari endapan vulkanik. 4. Anggota Batugamping (Tojl) Batuan Karbonat Oligosen: berasal dari endapan sedimen yang disusun oleh batuan sedimen klastik, limestone (batukapur). 5. Formasi Cicarucup (Tet) Batuan Sedimen Eosen: batupasir kuarsa, konglomerat kuarsa, batulempung, serpih, batusabak yang berasal dari endapan sedimen. 6. Anggota Batupasir (Toj)

10 32 Batuan Sedimen Oligosen: batupasir, konglomerat, tuf dan bersisipan batulempung, berasal dari endapan sedimen. 7. Anggota Batugamping (Tmtl) Batuan Karbonat Miosen Awal: disusun oleh batuan sedimen klastik, limestone (batukapur), berasal dari endapan sedimen. 8. Anggota Konglomerat (Teb) Batuan Sedimen Eosen: batupasir kuarsa, konglomerat kuarsa, batulempung, serpih, batu sabak yang berasal dari endapan sedimen. 9. Aluvial (Qa) Batuan Sedimen Holosen: disusun oleh batuan yang berbahan aluvium yang diendapkan di lingkungan sungai. 10. Formasi Cimanceuri (Tpm) Batuan Pliosen Akhir: bercirikan sedimen klastika yang kaya akan fosil molusca, kuarsa dan konglomerat. 11. Limestone Member (Tebm) Batuan Karbonat Eosen: disusun oleh batuan sedimen klastik. 5.2 Identifikasi Bentuklahan di Daerah Penelitian Berdasarkan hasil analisis geomorfologi yang telah dikemukakan di atas dan hasil interpretasi citra, bentuklahan-bentuklahan di daerah penelitian dapat diklasifikasikan menjadi 8 macam, yakni: Lembah Sungai (F), Pegunungan denudasional vulkanik dewasa (DV1), Pegunungan denudasional vulkanik tua (DV2), Perbukitan denudasional vulkanik tua (DV3), Tebing denudasional vulkanik (DV4), Dataran vulkanik bermaterial tufa (DV5), Perbukitan denudasional struktural dewasa (DS1), dan Perbukitan denudasional struktural tua (DS2) seperti yang disajikan pada Gambar 8, sedangkan untuk gambaran dan interpretasi bentuklahan dari Citra SRTM dapat dilihat pada Gambar 9. Luas dari masing-masing bentuklahan disajikan pada Tabel 5.

11 Gambar 8. Peta Bentuklahan DAS Cimadur 33

12 34 Samudera Indonesia Gambar 9. Gambaran dan interpretasi bentuklahan DAS Cimadur dari Citra SRTM

13 35 Tabel 5. Luas masing-masing bentuklahan di DAS Cimadur No Simbol Bentuklahan Luas Area Ha % 1 F Lembah sungai 61 0,29 2 DV1 Pegunungan denudasional vulkanik dewasa ,76 3 DV2 Pegunungan denudasional vulkanik tua ,02 4 DV3 Perbukitan denudasional vulkanik tua ,56 5 DV4 Tebing denudasional vulkanik ,75 6 DV5 Dataran vulkanik bermaterial tufa ,69 7 DS1 Perbukitan denudasional struktural dewasa ,35 8 DS2 Perbukitan denudasional struktural tua ,58 Luas Total Lembah sungai (F). Bentuklahan ini terletak di bagian ujung Selatan daerah penelitian yang mempunyai morfologi lembah dengan kemiringan lereng 0-3% (datar) dan 3-8% (landai). Batuan yang menyusun bentuklahan ini adalah Aluvium (Qa), suatu batuan sedimen klastik yang diendapkan di lingkungan sungai. Bentuklahan ini merupakan bentuklahan paling muda di daerah penelitian yang terbentuk pada zaman Kuarter berumur Holosen. Bentuklahan ini mempunyai luasan 61 Ha dengan persentase 0,29% dari total luas daerah penelitian. Pegunungan denudasional vulkanik dewasa (DV1). Bentuklahan ini terletak di bagian Utara dan tengah daerah penelitian yang mempunyai morfologi pegunungan dengan kemiringan lereng 15-30% (curam) dan >30% (sangat curam). Batuan yang menyusun DV1 adalah sebagai basement rock yang terdiri dari Formasi Cimapag (Tmc), atau batuan sedimen yang terbentuk pada zaman Tersier berumur Miosen Awal dan Formasi Tufa Citorek (Tpv), batuan gunungapi zaman Tersier berumur Pliosen. Pada bentuklahan ini kerucut-kerucut gunungapi hampir tidak tampak lagi karena sudah mengalami erosi yang sangat lanjut. DV1 merupakan bentuklahan paling luas dengan total luasan sebesar Ha atau menempati 27,76% dari total luas daerah penelitian. Pegunungan denudasional vulkanik tua (DV2). Bentuklahan ini terletak di bagian tengah daerah penelitian yang mempunyai morfologi pegunungan dengan kemiringan lereng 15-30% (curam) dan >30% (sangat curam). Batuan

14 36 penyusunnya terdiri dari: Formasi Cikotok (Temv), atau batuan gunungapi zaman Tersier berumur Eosen sampai Miosen; Formasi Cicarucup (Tet) atau basement rock berbatuan sedimen zaman Tersier berumur Eosen, dan Anggota Batugamping (Tojl) yang berupa batuan karbonat zaman Tersier berumur Oligosen. Pada bentuklahan ini kerucut-kerucut gunungapi juga sudah tidak tampak lagi, hanya berupa tebing-tebing dengan lereng yang curam karena telah mengalami erosi lanjut seperti yang dibuktikan dengan banyaknya torehantorehan memanjang yang tampak pada citra SRTM. Bentuklahan ini menempati luasan sebesar Ha atau 20,02% dari total luas daerah penelitian. Perbukitan denudasional vulkanik tua (DV3). Bentuklahan ini terletak di bagian tengah daerah penelitian, tepatnya di bawah bentuklahan Pegunungan denudasional vulkanik tua (DV2) dan di atas Perbukitan denudasional struktural dewasa dan tua (DS1 dan DS2). Bentuklahan DV3 ini mempunyai morfologi perbukitan dengan kemiringan lereng 15-30% (curam) dan >30% (sangat curam). Tersusun dari Formasi Cikotok (Temv) berbatuan vulkanik dan Anggota Batugamping (Tojl) yang keduanya dari zaman Tersier berumur Eosen sampai Miosen. Bentuklahan ini mempunyai luas Ha atau menempati 12,56% dari total luas daerah penelitian. Tebing denudasional vulkanik (DV4). Bentuklahan ini terletak di bagian Utara daerah penelitian berupa tebing (kaldera) yang curam yang telah mengalami erosi lanjut dan berbentuk melingkar seperti tapal kuda atau huruf U. DV4 mengelilingi Dataran vulkanik bermaterial tufa (DV5) yang berada di bawahnya. Bentuklahan ini mempunyai kemiringan lereng 15-30% (curam) dan >30% (sangat curam) serta mempunyai batuan yang keras seperti lava atau perselingan lava dan piroklastik, namun dalam peta geologi dimasukkan ke dalam Formasi Cimapag (Tmc), terdiri dari batuan sedimen klastik, breksi, dan kuarsa yang berasal dari endapan vulkanik berumur Miosen Awal. Bentuklahan ini mempunyai luas sebesar Ha atau menempati 18,75% dari total luas daerah penelitian. Dataran vulkanik bermaterial tufa (DV5). Bentuklahan ini terletak di bagian Utara daerah penelitian, mempunyai kenampakan morfologi datar berombak seperti terlihat dari citra SRTM, atau secara umum berupa

15 37 cekungan/kawah dengan bentuk lingkaran sangat besar, berdiameter 8000 meter, dan kemiringan lereng 0-3% (datar). Formasi batuan yang menyusun bentuklahan ini adalah Tufa Citorek (Tpv), merupakan batuan gunungapi berumur Pliosen atau termuda untuk zaman Tersier. Material penyusun utama dari bentuklahan ini adalah tuf berbatuapung, atau material hasil letusan gunungapi yang besar, yang sering menghasilkan kaldera (tipe plinian). Dengan demikian dapat diduga bahwa DV5 sebenarnya merupakan dasar dari suatu kaldera gunungapi tua. Bentuklahan ini mempunyai luas Ha yang menempati 6,69% dari total luas daerah penelitian. Perbukitan denudasional struktural dewasa (DS1). Bentuklahan ini terletak di bagian Selatan daerah penelitian yang mempunyai morfologi perbukitan dengan kemiringan lereng 8-15% (agak curam) dan 15-30% (curam). DS1 sudah tidak menunjukkan lagi topografi struktur lipatan seperti tahap awal, karena telah mengalami erosi yang lanjut yang dicirikan dengan adanya kontrol struktural dan kekerasan batuan yang tercermin dari detil topografi. Batuan-batuan dengan tingkat kekerasan yang tinggi seperti batupasir dan konglomerat umumnya lebih resisten terhadap erosi menghasilkan bentuklahan igir-igir perbukitan, sedangkan batuan-batuan dengan tingkat kekerasan yang lebih rendah seperti batulempung cenderung tererosi dan membentuk bentuklahan lembah-lembah. Batukapur mempunyai kekerasan tinggi tetapi mudah larut oleh air sehingga sebagian membentuk igir dan sebagian lagi membentuk lembah atau cekungan akibat proses pelarutan oleh air hujan dan air aliran permukaan. Secara umum batuan yang menyusun bentuklahan ini terdiri dari Formasi: Anggota Batugamping (Tojl) dari zaman Tersier berumur Oligosen, Limestone Member (Tebm) Neogene berbahan batugamping terumbu yang terbentuk pada zaman Tersier berumur Miosen Akhir sampai Pliosen Awal, dan Formasi Cimanceuri (Tpm) berupa batuan sedimen klastik yang kaya akan fosil molusca, kuarsa dan konglomerat yang terbentuk pada zaman Tersier berumur Pliosen Akhir. Bentuklahan ini mempunyai luas Ha atau menempati 6,35% dari total luas daerah penelitian. Perbukitan denudasional struktural tua (DS2). Bentuklahan ini terletak di bagian Selatan daerah penelitian, mempunyai morfologi perbukitan dengan

16 38 kemiringan lereng 8-15% (agak curam) dan 15-30% (curam). Batuan yang menyusun DS2 adalah dari Formasi: Anggota Batupasir (Toj) yaitu batuan sedimen zaman Tersier berumur Oligosen, kemudian Anggota Batugamping (Tmtl) yang merupakan batuan karbonat zaman Tersier berumur Miosen Awal, dan Anggota Konglomerat (Teb) yang merupakan batuan sedimen zaman Tersier berumur Eosen yang sering dijumpai pada struktur lipatan. Bentuklahan ini mempunyai luasan Ha yang menempati 7,58% dari total luas daerah penelitian. 5.3 Identifikasi Penggunaan Lahan di Daerah Penelitian Peta penutupan/penggunaan lahan dibuat melalui perangkat lunak ArcGIS 9.3 dengan melakukan interpretasi visual terhadap citra Google Earth tahun 2011 dan citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tahun Citra yang terakhir ini berfungsi sebagai citra komposit apabila kenampakan pada citra Google Earth tertutup awan, kemudian disesuaikan dengan hasil pengamatan lapang agar memberikan tingkat ketepatan yang lebih baik terhadap peta penutupan/penggunaan lahan yang dihasilkan. Berdasarkan hasil interpretasi dan cek lapangan, penutupan/penggunaan lahan di daerah penelitian dapat diklasifikasikan menjadi 6 macam, yakni: sawah, permukiman, semak/tegalan, kebun campuran, hutan, dan tanah terbuka serta selebihnya adalah sungai. Peta penutupan/penggunaan lahan yang dihasilkan disajikan pada Gambar 10, sedangkan ilustrasi kenampakan jenis penggunaan lahan pada citra Google Earth dan kondisi di lapang dapat dilihat dalam Tabel 6.

17 Gambar 10. Peta Penutupan/Penggunaan Lahan DAS Cimadur 39

18 40 Tabel 6. Kenampakan jenis penggunaan lahan pada citra dan kondisi di lapang beserta luas tiap penggunaan lahan di DAS Cimadur No Jenis Penggunaan Kenampakan Pada Citra Kondisi di Lapang Luas (Ha) Luas (%) Lahan 1 Hutan ,65 2 Sungai 90 0,43 3 Permukiman 221 1,05 4 Sawah ,56 5 Kebun campuran ,58

19 41 6 Semak/tegal an 744 3,54 7 Tanah terbuka 40 0,19 Luas Total Hutan (H). Pada citra dicirikan oleh teksturnya yang kasar, berwarna hijau tua, dan bentuk yang homogen. Hutan tersebar di bagian Utara dan tengah daerah penelitian dengan kemiringan lereng dominan >30% (sangat curam) yang mempunyai luas sebesar Ha atau menempati 34,65% dari total luas daerah penelitian. Kebun campuran (Kc). Kenampakan dari penggunaan lahan ini pada citra dapat dilihat dari bentuknya yang bergerombol dengan pola yang tidak teratur dan memiliki warna hijau tua dengan tekstur yang agak kasar sampai kasar yang biasanya berasosiasi dengan permukiman. Penggunaan lahan ini mendominasi bagian tengah dan Selatan daerah penelitian dengan luas sebesar Ha atau menempati 42,58% dari total luas daerah penelitian. Penggunaan lahan ini secara dominan tersebar pada kemiringan lereng 15-30% (curam). Permukiman (P). Pada citra dapat dilihat dengan bentuknya yang mengelompok, tekstur halus, pola yang tidak teratur, memiliki warna merah tua, biasanya berasosiasi dengan jalan atau sungai. Permukiman tersebar di bagian Utara dan Selatan daerah penelitian yang mempunyai kemiringan lereng dominan 0-3% (datar) dengan luas sebesar 221 Ha atau 1,05% dari total luas daerah penelitian. Sawah (Sa). Penggunaan lahan ini pada citra dicirikan dengan bentuk petak-petak segi empat dan setiap petaknya dipisah oleh kenampakan garis pematang yang polanya teratur. Warna sawah terlihat hijau tua (untuk sawah yang berair atau baru tanam), hijau keabu-abuan, serta cokelat (untuk sawah yang baru

20 42 dipanen) dengan tekstur halus. Penggunaan lahan ini terletak di bagian Utara dan Selatan daerah penelitian dengan kemiringan lereng dominan 0-3% (datar). Penggunaan lahan ini mempunyai luas sebesar Ha atau menempati 17,56% dari total luas daerah penelitian. Semak/tegalan (Se). Pada citra memiliki kenampakan rona yang cerah, berwarna hijau muda dengan tekstur agak kasar sampai kasar, dan pola yang tidak teratur. Semak/tegalan tersebar di bagian Utara dan tengah daerah penelitian dengan kemiringan lereng dominan 15-30% (curam) yang mempunyai luasan 744 Ha atau menempati 3,54% dari total luas daerah penelitian. Sungai (Su). Kenampakan dari penggunaan lahan ini pada citra dicirikan dengan pola aliran yang berkelak-kelok pada wilayah yang datar, berwarna putih atau krem, serta memiliki tekstur yang halus. Penggunaan lahan ini mempunyai kemiringan lereng dominan 0-3% (datar) dengan luasan 90 Ha atau menempati 0,43% dari total luas daerah penelitian. Tanah terbuka (Tb). Pada citra dicirikan dengan kenampakan pantulan tanahnya yang berwarna cokelat dengan tekstur halus. Penggunaan lahan ini sedikit sekali penyebarannya karena daerah penelitian merupakan kawasan konservasi yang dilindungi oleh Pemerintah, dengan kemiringan lereng dominan 15-30% (curam) yang mempunyai luas sebesar 40 Ha atau menempati 0,19% dari total luas daerah penelitian. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penutupan/penggunaan lahan kebun campuran merupakan tipe yang paling dominan di DAS Cimadur dengan total luasan sebesar Ha. Fenomena ini dapat dipahami mengingat penggunaan lahan kebun campuran tidak mempunyai kendala terhadap morfologi, sehingga dapat berkembang pada berbagai bentuklahan dan kemiringan lereng, dan didukung dengan akses jalan yang ada di daerah penelitian yang memungkinkan manusia untuk mengintervensi lahan. Sebaliknya, tanah terbuka merupakan tipe penggunaan lahan terkecil atau sebesar 40 Ha, dikarenakan sebagian kawasan DAS Cimadur masuk ke dalam kawasan Taman Nasional yang dilindungi oleh Pemerintah.

21 Analisis Kelas TWI di Daerah Penelitian Analisis TWI dalam penelitian ini menghasilkan data TWI yang bersifat kontinu (continuous). Selanjutnya, data TWI direklasifikasi menjadi 3 kelas dengan interval nilai 5 untuk masing-masing kelas, yakni kelas 1 atau nilai TWI rendah jika nilai TWI <5, kelas 2 atau nilai TWI sedang jika nilai TWI antara 5 hingga 10, dan kelas 3 atau nilai TWI tinggi jika nilai TWI >10. Sistem pengkelasan ini dilakukan secara arbitrer tanpa ada referensi awal. Hal ini disebabkan oleh sangat terbatasnya acuan baku yang dapat digunakan untuk reklasifikasi. Adapun reklasifikasi ini sendiri dimaksudkan untuk memudahkan mengetahui titik-titik dugaan dari permukaan lahan yang mempunyai konsentrasi air. Dalam hal ini kelas TWI rendah (= kelas 1) menggambarkan suatu wilayah dengan potensi genangan air yang rendah, sehingga dapat diasumsikan bahwa pada wilayah ini potensi untuk menggenangkan air juga rendah. Sebaliknya kelas TWI tinggi (= kelas 3), menggambarkan suatu wilayah dengan potensi genangan air yang tinggi, sehingga dapat diasumsikan bahwa wilayah ini memiliki peluang tinggi untuk terjadinya genangan air ditinjau dari variasi topografi lokal. Adapun untuk kelas TWI sedang (= kelas 2) menggambarkan suatu potensi yang berada di antaranya, atau mengindikasikan suatu wilayah dengan potensi genangan air yang sedang, artinya jumlah genangan air pada wilayah ini masih tergolong tidak rendah dan tidak pula tinggi. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa pada wilayah ini potensi untuk menyimpan air masih dapat diharapkan. Hasil pemetaan sebaran kelas TWI untuk daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 11. Mengingat bahwa ketersediaan air sangat erat kaitannya dengan aliran permukaan (sungai), maka keterkaitan kelas TWI perlu pula dikaji hubungannya dengan order dari setiap jaringan sungai seperti yang sudah diklasifikasikan dengan menggunakan metode Strahler. Hasil klasifikasi order sungai DAS Cimadur dengan metode Strahler menunjukkan bahwa order sungai tertinggi Sungai Cimadur adalah order 6. Untuk melihat keterkaitan nilai TWI dengan order sungai, maka dalam penelitian ini order 3 ditetapkan sebagai order terendah karena mempertimbangkan banyaknya percabangan sungai di DAS Cimadur, sedangkan order 6 ditetapkan sebagai order tertinggi, artinya bahwa aliran sungai yang mengalir pada order 6 merupakan aliran sungai utama di dalam DAS

22 44 Cimadur. Gambar 12 di bawah menunjukkan hasil tumpangtindih antara kelas TWI dan order sungai di DAS Cimadur. Jika dalam Gambar 11 terlihat bahwa kelas TWI yang persebarannya paling dominan adalah kelas sedang (= kelas 2), maka pada Gambar 12 terlihat pula bahwa kelas TWI kelas sedang ini terdapat di semua sub-das order sungai, mulai dari sub-das order 3, 4, 5, hingga 6. Untuk Kelas TWI tinggi (= kelas 3) persebarannya hampir merata juga di sub-das order sungai 3, 4, 5, dan 6, namun sedikit agak dominan di sub-das order 3. Sedangkan untuk kelas TWI rendah (= kelas 1) persebarannya hanya di beberapa titik di bagian tengah, yaitu pada sub- DAS order sungai 3 dan 4, meskipun secara dominan berada di sub-das order 3. Hal ini cukup wajar yang disebabkan sub-das order 3 umumnya selalu berada pada elevasi yang lebih tinggi daripada sub-das order yang lebih besar dan umumnya mempunyai kemiringan lereng yang lebih besar pula. Namun menarik untuk disimak pula apabila dapat dilihat hubungan antara kelas TWI dengan panjang total segmen sungai dari masing-masing order (Tabel 7). Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa panjang total segmen sungai pada setiap kelas TWI yang terbesar adalah berada pada sub-das order sungai 3, hal ini mungkin disebabkan sub-das order sungai 3 ini meliputi juga sub-das order sungai-sungai yang lebih kecil, yaitu order 1 dan order 2, sehingga pada sub-das order sungai 3 ini mempunyai lebih banyak variasi kemiringan lereng.

23 Gambar 11. Peta Kelas TWI DAS Cimadur 45

24 Gambar 12. Peta Hasil Kelas TWI dan Order Sungai Cimadur 46

25 47 Tabel 7. Klasifikasi Kelas TWI dan order sungai terhadap panjang segmen sungai di DAS Cimadur No Kelas TWI Order sungai Total panjang segmen sungai (m) Gambaran yang bisa diambil pada Tabel 7 ini adalah bahwa sub-das sungai-sungai order 3 ini sesungguhnya perlu mendapat perhatian khusus atau perlu mendapat pengelolaan yang baik, karena sub-das sungai-sungai order 3 ini berpotensi tinggi untuk dapat menahan atau menyimpan air. Potensi menyimpan air yang tinggi juga dapat diartikan berpotensi melahirkan suatu gangguan atau bencana, seperti banjir atau kekeringan di daerah hilirnya atau yang terkait dengan pemanfaatan air sungai, baik di hulu maupun di hilir. Sebagai contoh, untuk kasus di daerah penelitian adalah pemanfaatan air sungai untuk pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH). Gambar 13.a berikut adalah instalasi mikrohidro yang ada di dalam DAS Cimadur, tepatnya berada di Kampung Lebak Picung, Desa Hegarmanah, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten. Lebih rincinya, mikrohidro ini digerakkan oleh aliran Sungai Ciambulawung yang mempunyai luas sub-das sebesar 554 Ha dengan penutupan/penggunaan lahan yang bervariasi di dalam sub-das tersebut, namun utamanya adalah hutan (Gambar 13.b), kebun campuran, dan sebagian digunakan sebagai areal persawahan (Gambar 13.c).

26 48 a). Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro b). Hutan c). Areal Persawahan Gambar 13. Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (a), penggunaan lahan hutan (b) dan areal persawahan (c) di Sungai Ciambulawung, Banten Debit sungai merupakan salah satu faktor utama dalam pengoperasian mikrohidro. Dengan semakin besar debit sungai yang mengalir maka semakin stabil energi yang dihasilkan untuk memutar turbin mikrohidro tersebut. Namun demikian, kendala utama dalam pengoperasian mikrohidro di wilayah ini adalah pada saat musim kemarau dimana debit aliran sungai menjadi sangat kecil (Tabel 8). Kecilnya debit pada musim kemarau ini banyak menghambat aktivitas pertanian berupa pengairan irigasi pada areal persawahan sehingga menyebabkan tanah pada areal persawahan ini menjadi kering dan berimbas pada gagalnya panen. Hal lainnya adalah matinya listrik karena tidak berfungsinya mikrohidro sehingga menghambat aktivitas sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat seharihari.

27 49 Tabel 8. Perbandingan nilai debit musim hujan dan musim kemarau di Sungai Ciambulawung berdasarkan pengukuran di lapangan Titik Koordinat Geografis Ketinggian Lebar Sungai (m) Debit Air (l/s) x y (m) Hujan Kemarau Hujan Kemarau A ,00 4,63 242,71 36,10 B ,27 3,65 153,60 28,54 C ,00 7,06 39,45 16,20 D ,40 4,09 66,15 15,96 E ,90 2,80 26,03 4,55 F ,00 4,76 39,30 13,05 G ,12 5,98 118,23 51,38 H ,70 6,05 206,10 35,21 I ,20 2,35 112,38 49,25 J ,72 1,33 30,38 104,73 K ,78-72,73 L ,50-20,83 M ,24-47,64 N ,60-47,60 Sub-DAS Ciambulawung jika dikaitkan dengan kelas TWI-nya (Gambar 11 dan 12) maka terlihat berada pada kelas sedang (= kelas 2) yang merupakan kelas TWI paling dominan di sub-das ini. Hal ini berarti bahwa pada daerah ini potensi untuk menyimpan air berada dalam kondisi cukup/sedang pada order sungai 3. Jika dilihat dari Peta Bentuklahan (Gambar 8) dan Peta Kemiringan lereng (Gambar 5), maka daerah ini terletak pada bentuklahan Pegunungan denudasional vulkanik dewasa (DV1) dan Pegunungan denudasional vulkanik tua (DV2) dengan kemiringan lereng dominan >30% (sangat curam), kondisi lereng seperti ini berimplikasi terhadap kapasitas menahan/menyimpan airnya yang rendah, sehingga pada musim-musim kemarau rentan terhadap potensi kekeringan. Oleh karena itu, untuk pembangunan instalasi mikrohidro seperti ini, selain data kelas TWI dan order sungai, diperlukan juga data penunjang lain seperti bentuklahan, kemiringan lereng, penggunaan lahan, dan data lainnya yang diperlukan untuk kelangsungan berfungsinya mikrohidro tersebut.

28 Analisis Ekologi Bentanglahan di Daerah Penelitian Salah satu yang dapat dipetik dari pengertian ekologi bentanglahan adalah kaitan antara bentanglahan dan unsur kehidupan yang berada di atasnya yang saling terkait dan ketergantungan sehingga membentuk suatu sistem kehidupan yang mempunyai karakteristik tertentu. Kondisi bentanglahan dalam hal ini lebih ditekankan pada unit geomorfologi yang direpresentasikan dalam bentuklahannya, sedangkan kehidupan dalam penelitian ini hanya dibatasi pada aktivitas manusia di atas lahan yang dicerminkan dalam bentuk penggunaan lahan yang dihasilkan. Dalam konsep ekologi bentanglahan, semua bentuk aktivitas dan parameter yang berada di atas suatu bentanglahan, seperti: penggunaan lahan, kemiringan lereng, dan kelas TWI untuk dianalisis dengan mendasarkan pada bentuklahan sebagai unit analisisnya sehingga diharapkan dapat memberikan informasi tentang karakteristik persebaran wilayah-wilayah yang mempunyai potensi untuk menyimpan air Hubungan Bentuklahan dan Penggunaan Lahan Penggunaan lahan merupakan hasil aktivitas manusia di atas bentuklahan, oleh sebab itu hubungan antara keduanya perlu dikaji lebih dalam terkait dengan potensinya dalam menyimpan air. Tabel 9 dan Gambar 14 menunjukkan luasan penggunaan lahan di atas bentuklahan yang ada di dalam DAS Cimadur. Tabel 9. Luas penggunaan lahan di atas bentuklahan di DAS Cimadur No Bentuklahan Penggunaan Lahan (Ha) Su H Kc P Sa Se Tb 1 F DV DV DV DV DV DS DS Luas Total

29 51 Gambar 14. Grafik luasan penggunaan lahan di atas bentuklahan di DAS Cimadur Pada Tabel 9 dan Gambar 14 dapat dilihat bahwa penggunaan lahan kebun campuran merupakan penggunaan lahan yang paling banyak terdapat di daerah penelitian dengan total luas Ha. Kebun campuran tersebar di semua jenis bentuklahan. Hal ini sangat wajar mengingat penggunaan lahan kebun campuran tidak mempunyai kendala morfologi pada berbagai bentuklahan. Keberadaan kebun campuran terluas adalah di atas bentuklahan Pegunungan denudasional vulkanik tua (DV2), yaitu menempati areal seluas Ha. Hal ini disebabkan oleh bentuklahan ini menempati luasan terbesar kedua di daerah penelitian dengan akses jalan yang masih memungkinkan untuk manusia dapat mengintervensi lahan. Penggunaan lahan hutan juga merupakan penggunaan lahan terluas kedua setelah kebun campuran dengan total luas Ha. Hutan tersebar di bagian Utara dan tengah daerah penelitian, menempati bentuklahan Dataran vulkanik bermaterial tufa (DV5), Pegunungan denudasional vulkanik dewasa (DV1), Pegunungan denudasional vulkanik tua (DV2), dan Tebing denudasional vulkanik (DV4). Keberadaan hutan terluas adalah di atas bentuklahan Pegunungan denudasional vulkanik dewasa (DV1), yang menempati luas Ha. Hal ini

30 52 disebabkan wilayah di atas bentuklahan ini merupakan kawasan Taman Nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai Kawasan Hutan. Penggunaan lahan sawah menempati urutan terluas ketiga setelah kebun campuran dan hutan dengan total luas Ha. Keberadaan sawah terluas terletak di atas bentuklahan Dataran vulkanik bermaterial tufa (DV5) yang mempunyai luasan 925 Ha. Hal ini sangat wajar, mengingat sawah merupakan jenis tanaman yang tumbuh dengan baik pada daerah dengan relief datar dan dialiri oleh air yang cukup. Penggunaan lahan semak/tegalan mempunyai total luasan 745 Ha dan tersebar di semua jenis bentuklahan dengan bentuklahan terluas adalah pada Tebing denudasional vulkanik (DV4) seluas 318 Ha. Penggunaan lahan semak/tegalan ini ditemui tidak mempunyai kendala morfologi pada berbagai bentuklahan. Penggunaan lahan permukiman mempunyai total luasan 221 Ha dimana keberadaannya tersebar pada morfologi dataran dan perbukitan. Hal ini sangat wajar mengingat daerah permukiman selalu berasosiasi dengan sungai dan jalan yang terletak pada relief datar sampai landai. Penggunaan lahan sungai dan tanah terbuka berturut-berturut memiliki total luasan 90 Ha dan 41 Ha Hubungan Bentuklahan dan Kemiringan Lereng Kemiringan lereng merupakan salah satu parameter yang digunakan oleh manusia untuk melakukan aktivitas di atas suatu bentuklahan. Hubungan antara bentuklahan dan kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 10 dan Gambar 15. Tabel 10. Luas kemiringan lereng di atas bentuklahan di DAS Cimadur No Bentuklahan Kemiringan Lereng (Ha) 0-3% 3-8% 8-15% 15-30% >30% 1 F DV DV DV DV DV

31 53 7 DS DS Luas Total Gambar 15. Grafik luasan kemiringan lereng di atas bentuklahan di DAS Cimadur Dalam Tabel 10 dan Gambar 15 dapat dilihat bahwa kemiringan lereng 15-30% (curam) merupakan kemiringan lereng yang paling dominan di daerah penelitian dan keberadaan terluas pada bentuklahan Pegunungan denudasional vulkanik dewasa (DV1). Kemiringan lereng >30% (sangat curam) merupakan kemiringan lereng terluas kedua yang juga menempati bentuklahan Pegunungan denudasional vulkanik dewasa (DV1). Kemiringan lereng curam dan sangat curam merupakan kemiringan lereng yang paling mendominasi di daerah penelitian, hal ini sangat wajar karena daerah penelitian merupakan bagian dari kompleks gunungapi yang mempunyai morfologi pegunungan. Selanjutnya, kemiringan lereng terluas ketiga ditempati oleh kemiringan lereng 0-3% (datar) yang berada di atas bentuklahan Dataran vulkanik bermaterial tufa (DV5). Kemiringan lereng 3-8% (landai) dan 8-15% (agak curam) menempati semua jenis bentuklahan yang ada di daerah penelitian.

32 Hubungan Bentuklahan dan Kelas TWI TWI merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk analisis bentuklahan terhadap potensi menyimpan atau genangan air. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada Bab Tinjauan Pustaka bahwa TWI ini sangat erat kaitannya dengan kemiringan lereng, karena merupakan data turunan yang dihasilkan dari data ketinggian yang relatif permanen (steady state) dengan menggunakan fungsi akumulasi aliran dan kemiringan lereng. Selain itu lereng adalah juga bagian terkecil dari permukaan bentuklahan yang relatif seragam. Oleh karena itu hubungan antara kelas TWI dan bentuklahan serta kelas TWI dan kemiringan lereng perlu dikaji lebih dalam terkait potensinya dalam menyimpan air. Tabel 11 dan Gambar 16 menunjukkan luasan kelas TWI di atas bentuklahan di DAS Cimadur. Tabel 12 dan Gambar 17 menunjukkan luasan kelas TWI dan kemiringan lereng di DAS Cimadur. Tabel 11. Luas Kelas TWI di atas bentuklahan di DAS Cimadur No Bentuklahan Kelas TWI (Ha) F DV DV DV DV DV DS DS Luas Total

33 55 Gambar 16. Grafik luasan Kelas TWI di atas bentuklahan di DAS Cimadur Tabel 12. Luas Kelas TWI dan kemiringan lereng di DAS Cimadur No Kemiringan Kelas TWI (Ha) Lereng % % % % >30% Luas Total

34 56 Gambar 17. Grafik luasan Kelas TWI dan kemiringan lereng di DAS Cimadur Pada Gambar 11 yang telah disajikan sebelumnya dalam sub-bab Analisis Kelas TWI di Daerah Penelitian, terlihat bahwa kelas TWI tinggi (= kelas 3) tersebar di bagian Utara dan Selatan daerah penelitian. Hal ini disebabkan pada daerah penelitian bagian Utara didominasi oleh bentuklahan Dataran vulkanik bermaterial tufa (DV5) dengan kemiringan lereng dominan 0-3% (datar) yang ditunjukkan dalam Tabel 11 dan 12 di atas, sedangkan pada daerah penelitian bagian Selatan didominasi oleh bentuklahan Perbukitan denudasional struktural dewasa (DS1) dengan kemiringan lereng dominan 8-15% (agak curam). Kelas TWI rendah (= kelas 1) memiliki penyebaran sangat sedikit, yakni di bagian tengah daerah penelitian, tepatnya pada bentuklahan Pegunungan denudasional vulkanik dewasa (DV1) dengan kemiringan lereng dominan 15-30% (curam). Adapun kelas TWI sedang (= kelas 2) merupakan kelas yang paling mendominasi karena menempati hampir keseluruhan daerah penelitian dari bagian Utara sampai Selatan dengan bentuklahan yang paling dominan adalah Pegunungan denudasional vulkanik dewasa (DV1) dengan luas sebesar Ha dan kemiringan lereng 15-30% (curam) yang mempunyai luas Ha. Hal ini berarti daerah penelitian masih termasuk dalam kelas TWI berpotensi genangan air kondisi aman. Namun demikian, kapasitas dalam menahan/menyimpan air

35 57 cukup rendah karena terletak pada bentuklahan pegunungan dan kemiringan lereng yang curam, sehingga saat musim hujan air mudah untuk diloloskan dan saat musim kemarau rentan terhadap potensi kekeringan.

Lampiran 1. Luas masing-masing Kelas TWI di DAS Cimadur. Lampiran 2. Luas Kelas TWI dan order Sungai Cimadur

Lampiran 1. Luas masing-masing Kelas TWI di DAS Cimadur. Lampiran 2. Luas Kelas TWI dan order Sungai Cimadur LAMPIRAN 63 64 Lampiran 1. Luas masing-masing Kelas TWI di DAS Cimadur No. Kelas TWI Luas Area Ha % 1 1 1 0,007 2 2 20987 99,830 3 3 34 0,163 Luas Total 21022 100 Lampiran 2. Luas Kelas TWI dan order Sungai

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 15 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Lokasi Kabupaten Lebak secara geografis terletak antara 6º18'-7º00' Lintang Selatan dan 105º25'-106º30' Bujur Timur, dengan luas wilayah 304.472 Ha atau 3.044,72 km².

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi 9 HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi Wilayah DAS Cileungsi meliputi wilayah tangkapan air hujan yang secara keseluruhan dialirkan melalui sungai Cileungsi. Batas DAS tersebut dapat diketahui dari

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur 11 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian DAS, Banten merupakan wilayah yang diambil sebagai daerah penelitian (Gambar 2). Analisis data dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berada pada pertemuan tiga lempeng utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng pasifik. Pertemuan tiga

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses endogen adalah

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih

Lebih terperinci

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta, BAB II Geomorfologi II.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat telah dilakukan penelitian oleh Van Bemmelen sehingga dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949 op.cit Martodjojo,

Lebih terperinci

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB 2 Tatanan Geologi Regional BAB 2 Tatanan Geologi Regional 2.1 Geologi Umum Jawa Barat 2.1.1 Fisiografi ZONA PUNGGUNGAN DEPRESI TENGAH Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949). Daerah Jawa Barat secara fisiografis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi bentanglahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi bentanglahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi bentanglahan Vink (1983) dalam Samadikun (2009) menyatakan studi bentanglahan merupakan sebuah studi yang mengaitkan hubungan erat antara ruang dan waktu diantara fenomena

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Bentuk dan Pola Umum Morfologi Daerah Penelitian Bentuk bentang alam daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal tekstur berupa perbedaan tinggi dan relief yang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Berdasarkan bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian maka diperlukan analisa geomorfologi sehingga dapat diketahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada kuasa HPH milik PT. Aya Yayang Indonesia Indonesia, yang luasnya

Lebih terperinci

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH Asmoro Widagdo*, Sachrul Iswahyudi, Rachmad Setijadi, Gentur Waluyo Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat oleh van Bemmelen (1949) pada dasarnya dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Daerah penelitian berada di Pulau Jawa bagian barat yang secara fisiografi menurut hasil penelitian van Bemmelen (1949), dibagi menjadi enam zona fisiografi

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

6.padang lava Merupakan wilayah endapan lava hasil aktivitas erupsi gunungapi. Biasanya terdapat pada lereng atas gunungapi.

6.padang lava Merupakan wilayah endapan lava hasil aktivitas erupsi gunungapi. Biasanya terdapat pada lereng atas gunungapi. BENTUK LAHAN ASAL VULKANIK 1.Dike Terbentuk oleh magma yang menerobos strata batuan sedimen dengan bentuk dinding-dinding magma yang membeku di bawah kulit bumi, kemudian muncul di permukaan bumi karena

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Daerah Jawa Barat memiliki beberapa zona fisiografi akibat pengaruh dari aktifitas geologi. Tiap-tiap zona tersebut dapat dibedakan berdasarkan morfologi

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH KLABANG

GEOLOGI DAERAH KLABANG GEOLOGI DAERAH KLABANG Geologi daerah Klabang mencakup aspek-aspek geologi daerah penelitian yang berupa: geomorfologi, stratigrafi, serta struktur geologi Daerah Klabang (daerah penelitian). 3. 1. Geomorfologi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentuk morfologi dan topografi di daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen yang bersifat destruktif dan proses endogen yang berisfat konstruktif.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian diamati dengan melakukan interpretasi pada peta topografi, citra

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian yaitu geologi daerah Ngampel dan sekitarnya. Pembahasan meliputi kondisi geomorfologi, urutan stratigrafi,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Umum Kabupaten Tanggamus 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus Secara geografis wilayah Kabupaten Tanggamus terletak pada posisi 104 0 18 105 0 12 Bujur Timur dan

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian. Sungai Oyo. Dalam satuan koordinat Universal Transverse Mercator

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian. Sungai Oyo. Dalam satuan koordinat Universal Transverse Mercator 32 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Daerah Penelitian 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian Daerah yang digunakan sebagai tempat penelitian merupakan wilayah sub DAS Pentung yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium BALAI BESAR KERAMIK Jalan Jendral A. Yani 392 Bandung. Conto yang digunakan adalah tanah liat (lempung) yang berasal dari Desa Siluman

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan proses

Lebih terperinci

BAB V SINTESIS GEOLOGI

BAB V SINTESIS GEOLOGI BAB V INTEI GEOLOGI intesis geologi merupakan kesimpulan suatu kerangka ruang dan waktu yang berkesinambungan mengenai sejarah geologi. Dalam merumuskan sintesis geologi, diperlukan semua data primer maupun

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN. Landsat (citra sejenis)

5 PEMBAHASAN. Landsat (citra sejenis) 5 PEMBAHASAN 5.1 Teknik Pengolahan Data Pulau Kecil dan Ekosistemnya 5.1.1 Pulau Kecil Pulau kecil tipe tektonik ditandai terutama oleh bentuklahan tektonik atau struktural dan di daerah penelitian didominasi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DAS (Daerah Aliran Sungai) Daerah aliran sungai adalah merupakan sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis, yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Pengamatan geomorfologi terutama ditujukan sebagai alat interpretasi awal, dengan menganalisis bentang alam dan bentukan-bentukan alam yang memberikan

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timurbarat (Van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara ke selatan meliputi: 1. Zona

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Struktur Geologi Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan Lempeng Eurasia ke daratan Asia Tenggara dan merupakan bagian dari Busur Sunda.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN Morfologi permukaan bumi merupakan hasil interaksi antara proses eksogen dan proses endogen (Thornbury, 1989). Proses eksogen merupakan

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI BENTANGLAHAN UNTUK PENENTUAN POTENSI SUMBERDAYA AIR (STUDI KASUS: DAS CIMADUR, BANTEN) IKA PUSPITA SARI A

ANALISIS EKOLOGI BENTANGLAHAN UNTUK PENENTUAN POTENSI SUMBERDAYA AIR (STUDI KASUS: DAS CIMADUR, BANTEN) IKA PUSPITA SARI A ANALISIS EKOLOGI BENTANGLAHAN UNTUK PENENTUAN POTENSI SUMBERDAYA AIR (STUDI KASUS: DAS CIMADUR, BANTEN) IKA PUSPITA SARI A14070016 DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan intepretasi peta topografi, yang kemudian dilakukan pengamatan secara langsung di

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian Morfologi muka bumi yang tampak pada saat ini merupakan hasil dari proses-proses geomorfik yang berlangsung. Proses geomorfik menurut

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi dan Geomorfologi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timur-barat ( van Bemmelen, 1949 ). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 34 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pemetaan Titik-Titik Longsor di Kabupaten Garut Pemetaan titik-titk longsor di daerah penelitian dilakukan melalui observasi langsung di lapangan. Titik-titik longsor yang

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Geomorfologi Daerah Penelitian III.1.1 Morfologi dan Kondisi Umum Daerah Penelitian Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI BAB II 2.1. Tinjauan Umum Sungai Beringin merupakan salah satu sungai yang mengalir di wilayah Semarang Barat, mulai dari Kecamatan Mijen dan Kecamatan Ngaliyan dan bermuara di Kecamatan Tugu (mengalir

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN DISKUSI

BAB V ANALISIS DAN DISKUSI BAB V ANALISIS DAN DISKUSI Pada bab ini akan dibahas beberapa aspek mengenai Sesar Lembang yang meliputi tingkat keaktifan, mekanisme pergerakan dan segmentasi. Semua aspek tadi akan dibahas dengan menggabungkan

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi mum Daerah Penelitian ecara umum morfologi daerah penelitian merupakan dataran dengan punggungan di bagian tengah daerah

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL II.1 FISIOGRAFI DAN MORFOLOGI Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah dibagi menjadi lima zona yang berarah timur-barat (van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 9 II.1 Fisiografi dan Morfologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL Area Penelitian Gambar 2-1 Pembagian zona fisiografi P. Sumatera (disederhanakan dari Van Bemmelen,1949) Pulau Sumatera merupakan salah

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN 4.1 Geomorfologi Telah sedikit dijelaskan pada bab sebelumnya, morfologi daerah penelitian memiliki beberapa bentukan khas yang di kontrol oleh litologi,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal dari peta topografi dan citra satelit,

Lebih terperinci

BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR

BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR BENTUK LAHAN MAYOR BENTUK LAHAN MINOR KETERANGAN STRUKTURAL Blok Sesar Gawir Sesar (Fault Scarp) Gawir Garis Sesar (Fault Line Scarp) Pegunungan Antiklinal Perbukitan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 15 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Sub DAS Model DAS Mikro (MDM) Barek Kisi berada di wilayah Kabupaten Blitar dan termasuk ke dalam Sub DAS Lahar. Lokasi ini terletak antara 7 59 46 LS

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Analisa geomorfologi merupakan sebuah tahapan penting dalam penyusunan peta geologi. Hasil dari analisa geomorfologi dapat memudahkan dalam pengerjaan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Regional Jawa Tengah berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Barat di sebelah barat, dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Bentuklahan ( Landform ) DAS Ciambulawung

HASIL DAN PEMBAHASAN Bentuklahan ( Landform ) DAS Ciambulawung 30 HASIL DAN PEMBAHASAN Ekologi bentanglahan di DAS Ciambulawung menggambarkan interaksi antara manusia dan berbagai komponen sumberdaya alam yang menghasilkan suatu kondisi kehidupan serta semberdaya

Lebih terperinci

KLASIFIKASI GEOMORFOLOGI. didasarkan pada kelerengan dan beda tinggi menurut van Zuidam & Cancelado (1979) (Tabel

KLASIFIKASI GEOMORFOLOGI. didasarkan pada kelerengan dan beda tinggi menurut van Zuidam & Cancelado (1979) (Tabel KLASIFIKASI GEOMORFOLOGI Satuan geomorfologi morfometri yaitu pembagian kenampakan geomorfologi yang didasarkan pada kelerengan dan beda tinggi menurut van Zuidam & Cancelado (1979) (Tabel 3.1) dan dalam

Lebih terperinci

Grup Perbukitan (H), dan Pergunungan (M)

Grup Perbukitan (H), dan Pergunungan (M) Grup Perbukitan (H), dan Pergunungan (M) Volkan (V) Grup volkan yang menyebar dari dat sampai daerah tinggi dengan tut bahan aktivitas volkanik terdiri kerucut, dataran dan plato, kaki perbukitan dan pegunungan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL 2.1. TINJAUAN UMUM Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya dibagi menjadi tiga mendala (propinsi) geologi, yang secara orogen bagian timur berumur lebih tua sedangkan bagian

Lebih terperinci

BAB IV GEOLOGI PANTAI SERUNI DAERAH TAPPANJENG. pedataran menempati sekitar wilayah Tappanjeng dan Pantai Seruni. Berdasarkan

BAB IV GEOLOGI PANTAI SERUNI DAERAH TAPPANJENG. pedataran menempati sekitar wilayah Tappanjeng dan Pantai Seruni. Berdasarkan BAB IV GEOLOGI PANTAI SERUNI DAERAH TAPPANJENG 4.1 Geologi Lokal Daerah Penelitian Berdasarkan pendekatan morfometri maka satuan bentangalam daerah penelitian merupakan satuan bentangalam pedataran. Satuan

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat

METODE. Waktu dan Tempat Dengan demikian, walaupun kondisi tanah, batuan, serta penggunaan lahan di daerah tersebut bersifat rentan terhadap proses longsor, namun jika terdapat pada lereng yang tidak miring, maka proses longsor

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK

PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK Nama Kelompok : IN AM AZIZUR ROMADHON (1514031021) MUHAMAD FAISAL (1514031013) I NENGAH SUMANA (1514031017) I PUTU MARTHA UTAMA (1514031014) Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Perumusan Masalah 15 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Daerah Bangunjiwo yang merupakan lokasi ini, merupakan salah satu desa di Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, D.I Yogyakarta. Berdasarkan Peta Geologi Lembar Yogyakarta,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI JAWA BARAT Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Lokasi penelitian berada di daerah Kancah, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung yang terletak di bagian utara Kota Bandung. Secara

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA)

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA) ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA) Nandian Mareta 1 dan Puguh Dwi Raharjo 1 1 UPT. Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Jalan Kebumen-Karangsambung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perencanaan Embung Logung Dusun Slalang, Kelurahan Tanjungrejo, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perencanaan Embung Logung Dusun Slalang, Kelurahan Tanjungrejo, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus BAB I PENDAHULUAN 1 Latar Belakang Dalam rangka peningkatan taraf hidup masyarakat dan peningkatan sektor pertanian yang menjadi roda penggerak pertumbuhan ekonomi nasional, pemerintah berupaya melaksanakan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), Jawa Timur dibagi menjadi enam zona fisiografi dengan urutan dari utara ke selatan sebagai berikut (Gambar 2.1) : Dataran Aluvial Jawa

Lebih terperinci

BENTUKLAHAN ASAL VULKANIK

BENTUKLAHAN ASAL VULKANIK BENTUKLAHAN ASAL VULKANIK Bentuklahan asal vulkanik merupakan bentuklahan yang terjadi sebagai hasil dari peristiwa vulkanisme, yaitu berbagai fenomena yang berkaitan dengan gerakan magma naik ke permukaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian Evolusi Struktur Geologi Daerah Sentolo dan Sekitarnya, Kabupaten Kulon Progo, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. I.2. Latar Belakang Proses geologi yang berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan nasional dan meminimalkan perbedaan distribusi pengembangan sumber daya air di daerahdaerah, maka Pemerintah Indonesia telah

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan pengamatan awal pada peta topografi dan pengamatan langsung

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi secara umum daerah penelitian tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur

Lebih terperinci

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL BAB II STRATIGRAFI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI JAWA TIMUR BAGIAN UTARA Cekungan Jawa Timur bagian utara secara fisiografi terletak di antara pantai Laut Jawa dan sederetan gunung api yang berarah barat-timur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 6 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi Penelitian Secara administrasi, lokasi penelitian berada di Kecamata Meureubo, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh. Sebelah utara Sebelah selatan Sebelah timur Sebelah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 76 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi atau Obyek Penelitian 1. Letak, Batas dan Luas Berdasarkan interpretasi Peta Rupa Bumi Indonesia lembar 1308-244 Kawunganten edisi 2001 dan

Lebih terperinci

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan.

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.16 Teras sungai pada daerah penelitian. Foto menghadap timur. 4.2 Tata Guna Lahan Tata guna lahan pada daerah penelitian

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI 3.1.1. Morfologi Umum Daerah Penelitian Pengamatan geomorfologi di daerah penelitian dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu metode tidak langsung

Lebih terperinci

PEMETAAN GEOLOGI METODE LINTASAN SUNGAI. Norma Adriany Mahasiswa Magister teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta

PEMETAAN GEOLOGI METODE LINTASAN SUNGAI. Norma Adriany Mahasiswa Magister teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta PEMETAAN GEOLOGI METODE LINTASAN SUNGAI Norma Adriany Mahasiswa Magister teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta ABSTRAK Daerah penelitian terletak di daerah Gunung Bahagia, Damai, Sumber Rejo, Kota Balikpapan,

Lebih terperinci

Evaluasi Ringkas Geologi Waduk Penjalin

Evaluasi Ringkas Geologi Waduk Penjalin Evaluasi Ringkas Geologi Waduk Penjalin LITOLOGI Susunan litologi disekitar Waduk Penjalin didominasi batuan hasil gunung api maupun sedimen klastik dengan perincian sebagai berikut : Gambar 1 : Peta geologi

Lebih terperinci

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949) BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat menurut van Bemmelen (1949) terbagi menjadi enam zona (Gambar 2.1), yaitu : 1. Zona Gunungapi Kuarter 2. Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI Secara morfologi, Patahan Lembang merupakan patahan dengan dinding gawir (fault scarp) menghadap ke arah utara. Hasil interpretasi kelurusan citra SPOT menunjukkan adanya kelurusan

Lebih terperinci

Oleh : Imron Bashori*, Prakosa Rachwibowo*, Dian Agus Widiarso (corresponding

Oleh : Imron Bashori*, Prakosa Rachwibowo*, Dian Agus Widiarso (corresponding ANALISIS PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENENTUKAN DAERAH BAHAYA DALAM RANGKA MENDUKUNG UPAYA MITIGASI BENCANA GUNUNGAPI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA DEM DAN LANDSAT DAERAH GUNUNG BATUR KABUPATEN BANGLI PROVINSI

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi 4 zona, yaitu: 1. Dataran Pantai Jakarta. 2. Zona Bogor 3. Zona Depresi Tengah Jawa Barat ( Zona

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi dan Morfologi Van Bemmelen (1949), membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat zona, yaitu Pegunungan selatan Jawa Barat (Southern Mountain), Zona Bandung (Central

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses yang bersifat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Lampung Selatan tepatnya secara geografis, terletak antara 5 o 5'13,535''-

II. TINJAUAN PUSTAKA. Lampung Selatan tepatnya secara geografis, terletak antara 5 o 5'13,535''- 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Lokasi Penelitian Tempat penelitian secara administratif terletak di Gunung Rajabasa, Kalianda, Lampung Selatan tepatnya secara geografis, terletak antara 5 o 5'13,535''-

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia, Pasifik dan Australia dengan ketiga lempengan ini bergerak saling menumbuk dan menghasilkan suatu

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, menurut van Bemmelen (1949) Jawa Timur dapat dibagi menjadi 7 satuan fisiografi (Gambar 2), satuan tersebut dari selatan ke utara adalah: Pegunungan

Lebih terperinci

Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4

Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Andi Panguriseng 1, Muh. Altin Massinai 1, Paharuddin 1 1 Program Studi Geofisika FMIPA Universitas Hasanuddin, Makassar 90245, Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pulau Jawa merupakan busur gunungapi memanjang barat-timur yang dihasilkan dari pertemuan lempeng Eurasia dan Hindia-Australia. Kondisi geologi Pulau Jawa ditunjukkan

Lebih terperinci