PENGGUNAAN CELAH PELOLOSAN PADA BUBU TAMBUN TERHADAP HASIL TANGKAPAN KERAPU KOKO DI PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU DIDIN KOMARUDIN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGGUNAAN CELAH PELOLOSAN PADA BUBU TAMBUN TERHADAP HASIL TANGKAPAN KERAPU KOKO DI PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU DIDIN KOMARUDIN"

Transkripsi

1 PENGGUNAAN CELAH PELOLOSAN PADA BUBU TAMBUN TERHADAP HASIL TANGKAPAN KERAPU KOKO DI PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU DIDIN KOMARUDIN MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Penggunaan Celah Pelolosan Pada Bubu Tambun Terhadap Hasil Tangkapan Kerapu Koko di Pulau Panggang Kepulauan Seribu adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Mei 2009 Didin Komarudin

3 ABSTRAK DIDIN KOMARUDIN, C Penggunaan Celah Pelolosan Pada Bubu Tambun Terhadap Hasil Tangkapan Kerapu Koko di Pulau Panggang Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh MOKHAMAD DAHRI ISKANDAR. Bubu tambun merupakan salah satu alat tangkap yang dominan digunakan oleh nelayan di Pulau Panggang Kepulauan Seribu. Bubu ini dioperasikan di perairan karang pada kedalaman 0,5 3 meter. Hasil tangkapan bubu tambun adalah berbagai macam ikan karang, salah satunya adalah kerapu koko (Epinephelus quoyanus). Kerapu koko yang tertangkap pada bubu tambun mulai dari ukuran kecil sampai ukuran besar. Tertangkapnya kerapu koko yang berukuran kecil ternyata merugikan secara ekonomis dan biologis. Secara ekonomis, kerapu koko yang tidak sesuai ukuran pasar diolah menjadi ikan asin dan dijual dengan harga relatif murah yaitu sekitar Rp ,00 per kg. Secara biologis, tertangkapnya kerapu koko yang masih kecil akan mengurangi laju recruitment ikan tersebut. Maka diperlukan mekanisme untuk meloloskan kerapu koko yang berukuran kecil. Salah satunya adalah dengan menggunakan celah pelolosan (escape gap). Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan jumlah, ukuran, dan komposisi kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada bubu yang menggunakan celah pelolosan (escape gap) dan bubu tanpa celah pelolosan (nonescape gap). Escape gap yang digunakan berbentuk lingkaran dengan diameter 4 cm. Metode penelitian yang digunakan adalah experimental fishing dengan 10 kali setting. Bubu tambun dipasang dengan sistem tunggal. Ikan dari famili Serranidae yang tertangkap pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non escape gap) diantaranya adalah kerapu koko (Ephinephelus quoyanus) sebanyak 31 ekor atau 4,78 % dari total hasil tangkapan pada bubu non escape gap serta setara dengan 4,53 kg, kerapu hitam (Epinephelus ongus) 21 ekor atau 3,24 % dari total hasil tangkapan pada bubu non escape gap serta setara dengan 2,9 kg, dan lain sebagainya. Adapun ikan dari famili Serranidae yang tertangkap pada bubu berescape gap diantaranya adalah kerapu koko (Ephinephelus quoyanus) sebanyak 20 ekor atau 4,46 % dari total hasil tangkapan pada bubu ber escape gap serta setara dengan 3,68 kg, kerapu hitam (Epinephelus ongus) 16 ekor atau 3,57 % dari total hasil tangkapan pada bubu ber escape gap serta setara dengan 2,97 kg, dan lain sebagainya. Rata rata panjang total, body girth, dan berat kerapu koko yang tertangkap pada bubu non escape gap masing masing adalah 20,55 cm; 13,76 cm; dan 146,03 gram. Adapun rata rata panjang total, body girth, dan berat kerapu koko yang tertangkap pada bubu escape gap masing masing adalah 22,03 cm; 15,20 cm; dan 183,75 gram. Kata kunci : bubu tambun, escape gap, celah pelolosan, Epinephelus quoyanus

4 PENGGUNAAN CELAH PELOLOSAN PADA BUBUTAMBUN TERHADAP HASIL TANGKAPAN KERAPU KOKO DI PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU DIDIN KOMARUDIN Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

5 Judul Skripsi : Penggunaan Celah Pelolosan Pada Bubu Tambun Terhadap Hasil Tangkapan Kerapu Koko di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu Nama Mahasiswa NRP Mayor : Didin Komarudin : C : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap Disetujui: Pembimbing Ir. Mokhamad Dahri Iskandar, M.Si. NIP: Diketahui: Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. NIP: Tanggal lulus : 4 Juni 2009

6 KATA PENGANTAR Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juli 2008 ini adalah Penggunaan Celah Pelolosan Pada Bubu Tambun Terhadap Hasil Tangkapan Kerapu Koko di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada: 1. Ir. Mokhamad Dahri Iskandar, M.Si sebagai Komisi Pembimbing atas segala saran dan bimbingannya selama penyusunan skripsi ini; 2. Dr. Ir. Muhammad Imron, M.Si sebagai wakil komisi pendidikan Departemen PSP atas saran sarannya terhadap skripsi ini; 3. Dr. Ir. Gondo Puspito, M.Sc yang telah berkenan menjadi penguji pada sidang skripsi ini dan atas segala saran dan masukkannya. 4. Ir. Zulkarnain, M.Si yang telah berkenan menjadi penguji pada sidang skripsi ini dan atas segala saran dan masukkannya. 5. Ayahanda Engkos dan Ibunda Esih; 6. Bapak Asep dan keluarga Bapak Toton yang menyediakan tempat dan membantu selama penelitian di Pulau Panggang; 7. Yuliana Widya Hadi dan Andhika Prima Prasetyo yang telah banyak membantu dan menjadi rekan selama penelitian; 8. Rekan rekan PSP angkatan 42 (Budi, Arif W, Fifi, Asep, Bram, Ziah, Adis, Hendri, Nisa, Arif M, Ema, Nia, Irna, Yiyi, Intan, Anja, Gina, Mira, Kimursih, Dika, Winy, Hanno, Vera, Imam, Noer, Putri, Ummi, Septa, Dian, Ferty, Fati, Oce, Adi, Leo, Dhenis, Nano, Dilla, Haryo, Hafinuddin, Zasuli, Anggi, Fery, Sahat, Ima, Eko, Meida, Hendro, Rio, Novel, Yosep, Reny, Ozan, Mayrita, Mirza). 9. Pihak terkait yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca. Bogor, Mei 2009 Didin Komarudin

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sumedang pada tanggal 06 Pebruari 1986 dari Bapak Engkos dan Ibu Esih. Penulis merupakan putra ke tiga dari tiga bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri Conggeang, Sumedang pada tahun 2005 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Teknologi Alat Penangkapan Ikan (TAPI) pada tahun ajaran 2007/ /2009, serta mata kuliah Metodelogi Penelitian pada tahun ajaran 2008/2009. Pada tahun 2005 penulis memenangi Lomba Ceramah keagamaan tingkat TPB sebagai juara III dan Lomba Ceramah keagamaan tingkat Asrama TPB sebagai juara I. Pada tahun 2008 penulis memenangi lomba membuat perencaan bisnis dengan tema Make the Real Bussiness Plan sebagai juara I. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (HIMAFARIN) sebagai staf Departemen Penelitian, Pengembangan, dan Keprofesian periode 2006/2007 dan menjadi Ketua Departemen Penelitian, Pengembangan, dan Keprofesian periode 2007/2008. Dalam rangka menyelesaikan tugas akhir, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul Pengaruh Celah Pelolosan Pada Bubu Tambun Terhadap Hasil Tangkapan Kerapu Koko di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu.

8 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... i DAFTAR GAMBAR... ii DAFTAR LAMPIRAN... iv 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Kerapu Koko (Epinephelus quoyanus) Klasifikasi dan morfologi Siklus hidup Habitat Tingkah laku Musim Penangkapan Alat Tangkap Bubu Deskripsi dan klasifikasi Konstruksi bubu a) Bentuk b) Bahan c) Mulut bubu Umpan Jenis umpan Ukuran dan bobot umpan Posisi pemasangan umpan Celah Pelolosan (Escape Gap) Bentuk Ukuran Posisi dan jumlah Hasil Tangkapan Bubu Metode Penangkapan Bubu Daerah Penangkapan Ikan Armada Penangkapan Nelayan METODOLOGI Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian Metode pengumpulan data Konstruksi celah pelolosan Metode Pengoperasian Bubu Tambun Analisis Data

9 4. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Keadaan geografis dan perairan Musim Unit penangkapan Alat penangkapan ikan Armada penangkapan Nelayan Produksi ikan Daerah penangkapan ikan HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Total jumlah hasil tangkapan bubu Jumlah dan komposisi hasil tangkapan yang tertangkap pada bubu non escape gap dan bubu escape gap Keragaman spesies hasil tangkapan Keragaman spesies untuk seluruh hasil Tangkapan Keragaman spesies hasil tangkapan dominan Jumlah hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) Distribusi ukuran kerapu koko (Epinephelus quoyanus) a. total b. Body girth.. 66 c. Berat Hubungan antara panjang total dengan body girth Hubungan antara berat dengan body girth Hubungan antara panjang total dengan berat Pembahasan Komposisi hasil tangkapan Distribusi ukuran hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA 83 LAMPIRAN

10 i DAFTAR TABEL Halaman 1 Perkembangan larva ikan kerapu 7 2 Spesifikasi teknis bubu tambun Detail luas pulau yang termasuk dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang dan peruntukannya Jenis dan jumlah alat tangkap di Kelurahan Pulau Panggang Jenis dan jumlah armada penangkapan di Kelurahan Pulau Panggang Jumlah nelayan di Kelurahan Pulau Panggang 48 7 Jenis dan jumlah unit budidaya di Kelurahan Pulau Panggang 49 8 Data produksi perikanan di Kabupaten Kepulauan Seribu pada tahun Jumlah dan persentase spesies seluruh hasil tangkapan... 52

11 ii DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerapu Koko (Epinephelus quoyanus) Perkembangan bentuk larva ikan kerapu. 6 3 Bagian bagian bubu Macam macam bentuk mulut bubu Gambar teknis alat tangkap bubu tambun Posisi pemasangan bubu di perairan Bubu ber escape gap berbentuk lingkaran Proses pemasangan umpan berupa bulu babi Proses pemasangan (setting) bubu Proses pengangkatan (hauling) bubu Komposisi total jumlah hasil tangkapan Rata rata hasil tangkapan tiap bubu per trip dan jumlah hasil tangkapan per trip Komposisi jumlah hasil tangkapan pada bubu non escape gap Komposisi jumlah hasil tangkapan pada bubu escape gap Jumlah spesies dominan pada bubu escape gap dan non escape gap Rata rata hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) per bubu per trip Sebaran panjang total kerapu koko (Epinephelus quoyanus) Distribusi panjang total kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada bubu non escape gap dan bubu dengan escape gap total rata rata dan standar deviasi ikan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) Sebaran body girth kerapu koko (Epinephelus quoyanus) Distribusi body girth kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada bubu non escape gap dan bubu dengan escape gap Ukuran body girth rata rata dan standar deviasi ikan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) Sebaran berat kerapu koko (Epinephelus quoyanus) 69

12 iii Halaman 24 Distribusi berat kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada bubu non escape gap dan bubu dengan escape gap Berat rata rata dan standar deviasi ikan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) Hubungan antara panjang total dengan body girth seluruh hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) Hubungan antara berat dengan body girth seluruh hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) Hubungan antara panjang total dengan berat seluruh hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) Ikan keluar melalui escape gap Kepala ikan dalam keadaan terluka.. 80

13 iv DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Lokasi penelitian dan basis penangkapan bubu Bahan dan alat yang digunakan pada penelitian Hasil tangkapan bubu tambun selama penelitian Jenis dan jumlah hasil tangkapan yang diperoleh pada tiap lokasi penangkapan pada tiap trip Komposisi hasil tangkapan bubu non escape gap Komposisi hasil tangkapan bubu escape gap Hasil perhitungan dengan uji Mann Whitney Index Shannon Wiener seluruh hasil tangkapan Index Shannon Wiener hasil tangkapan dominan Ukuran kerapu koko (Epinephelus quoyanus) pada bubu non escape gap Ukuran kerapu koko (Epinephelus quoyanus) pada bubu escape gap 140

14 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan salah satu sentra perikanan di Indonesia. Salah satu komoditi ikan yang dihasilkannya adalah ikan ikan karang, karena kepulauan seribu terdiri dari gugusan pulau yang memiliki daerah karang yang sangat luas. Pulau Panggang merupakan salah satu bagian dari gugusan pulau seribu yang dihuni oleh masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Alat tangkap yang cukup dominan digunakan oleh nelayan setempat adalah bubu. Bubu adalah suatu alat tangkap dengan bentuk dan ukuran yang bervariasi yang dipasang secara pasif dan dibuat sedemikian rupa sehingga memungkinkan ikan masuk ke dalamnya dan sukar untuk keluar (Subani dan Barus, 1988). Menurut Von Brandt (1984), Bubu merupakan alat tangkap yang umumnya berbentuk kurungan. Ikan dapat masuk dengan mudah tanpa ada paksaan, tetapi ikan tersebut akan sukar keluar karena terhalang pintu masuk yang berbentuk corong (non return device). Daerah operasional bubu beranekaragam, salah satunya adalah daerah karang, sehingga target dari bubu tersebut adalah ikan karang. Bubu yang digunakan nelayan di Pulau Panggang adalah bubu tambun. Bubu tambun dioperasikan di perairan karang. Target penangkapan bubu tambun adalah berbagai jenis ikan karang seperti kerapu (Epinephelus sp.), ekor kuning (Caesio spp.), lencam (Lethiurus spp.), baronang (Siganus sp.), kakaktua (Scarus spp.), kambing kambing (Parupeneus barberinus), kepe kepe, jarang gigi, sersan mayor, swanggi, kepiting, dan lain lain (Nugraha, 2008). Ikan kerapu merupakan salah satu jenis ikan karang yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Oleh karena itu intensitas penangkapan terhadap jenis ikan ini terus meningkat seiring dengan meningkatnya harga ikan kerapu di pasaran. Menurut nelayan di pulau Panggang, operasi penangkapan terhadap kerapu dilakukan sepanjang tahun dan tanpa mempertimbangkan ukuran kerapu yang tertangkap oleh bubu. Kerapu yang belum memiliki nilai ekonomis juga turut tertangkap oleh bubu. Walaupun ukurannya kecil, ikan tersebut tetap dikonsumsi oleh nelayan sebagai bahan baku

15 2 ikan asin. Ditinjau dari segi harga, ikan kerapu yang berukuran kecil mempunyai nilai jual yang rendah, selain itu apabila ikan kerapu yang berukuran kecil banyak ditangkap maka laju recruitment menjadi berkurang. Kondisi ini tentu saja tidak menguntungkan bagi nelayan. Salah satu solusi agar ikan yang tertangkap dapat memiliki nilai komersial adalah dengan cara memasang celah pelolosan (escape gap) pada bubu. Pemasangan celah pelolosan ini diharapkan dapat menjadi suatu mekanisme untuk menangkap ikan kerapu yang secara ekonomis layak jual di pasar, serta mengurangi hasil tangkapan kerapu yang berukuran kecil. Celah pelolosan (escape gap) merupakan celah yang dibuat pada bubu dengan letak, bentuk, dan ukuran tertentu. Escape gap berfungsi sebagai tempat keluar ikan yang tidak menjadi target tangkapan karena ukurannya dibawah ukuran pasar (Iskandar, 2006). Menurut beberapa peneliti, escape gap berpengaruh besar dalam menentukan menentukan hasil tangkapan yang layak tangkap ditinjau dari segi biologis maupun ekonomis. Namun hingga saat ini escape gap belum digunakan di Indonesia. Peran escape gap untuk menangkap target spesies yang layak tangkap diteliti oleh banyak peneliti di berbagai negara. Namun, penelitian sejenis masih jarang dilakukan di Indonesia. Lastari (2007) melakukan penelitian untuk meloloskan rajungan yang berukuran dibawah 6 cm. Escape gap yang digunakan berukuran panjang 5,2 cm dan lebar 3,8 cm, escape gap ini dipasang di sisi bubu. Hasil yang diperoleh adalah ukuran lebar dan panjang karapas rajungan yang tertangkap pada bubu dengan escape gap cenderung lebih besar dibanding bubu tanpa escape gap, masing masing dengan rata rata 12,14 cm dan 5,96 cm. Adapun pada bubu tanpa escape gap rata rata lebar dan panjang karapas sebesar 8,03 cm dan 4,045 cm. Irawati (2002), menggunakan escape gap berbentuk bulat untuk mempelajari tingkah laku pelolosan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) pada bubu yang ber escape gap. Oleh karena pentingnya peranan escape gap untuk menangkap ikan kerapu yang secara ekonomis layak tangkap, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini.

16 3 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menentukan jumlah dan ukuran kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada bubu yang menggunakan celah pelolosan (escape gap) dan bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non escape gap); 2. Menentukan komposisi spesies yang tertangkap pada bubu yang menggunakan celah pelolosan (escape gap) dan bubu tanpa celah pelolosan (non escape gap). 1.3 Manfaat Penelitian Manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Mengurangi hasil tangkapan sampingan berupa ikan ikan kecil yang belum layak tangkap pada operasi penangkapan menggunakan bubu tambun; 2. Mengurangi waktu untuk menyortir hasil tangkapan sampingan; 3. Dalam jangka panjang diharapkan dapat bermanfaat untuk meningkatkan laju recruitment bagi spesies yang menjadi target tangkapan.

17 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Kerapu Koko (Epinephelus quoyanus) Klasifikasi dan morfologi Ikan kerapu merupakan anggota dari keluarga serranidae. Nama internasional kerapu koko (Epinephelus quoyanus) adalah longfin grouper. Ikan jenis ini memiliki sifat solitaire atau penyendiri. Sebagian besar ikan kerapu mendiami laut hangat, pada area pantai yang berbatu batu dan batu karang. Ikan kerapu merupakan ikan predator yang berburu ketika akan makan (Schultz, 2000). Menurut Randall dan Heemstra (1993), kerapu koko diklasifikasikan sebagai berikut: Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Class : Osteichtyes Subclass : Actinopterigi Ordo : Percomorphi Subordo : Percoidea Family : Serranidae Subfamily : Epinephelinae Genus : Epinephelus quoyanus Ikan kerapu koko memiliki berbagai macam nama lokal, diantaranya adalah Long finned rock cod (Australia), moyohata (Jepang), dan di Hongkong disebut fah gau paan, dan fah tau mui (FAO, ). Ikan kerapu memiliki ciri morfologi sebagai berikut, yaitu bentuk tubuhnya agak rendah, moncong panjang memipih dan menajam, maxillarry lebar diluar mata, gigi pada bagian sisi dentary 3 atau 4 baris, terdapat bintik putih coklat pada kepala, badan dan sirip, bintik hitam pada bagian dorsal dan posterior (Tarwiyah, 2001). Profil bagian belakang kepala kerapu koko berkelok dan sirip ekor membundar. Warna putih pada bagian kepala dan badan terlihat dengan jelas, dan terdapat bintik bintik coklat. Bintik bintik pada bagian dorsal berbentuk heksagonal, sirip caudal, anal, dan pelvic dilingkari oleh bintik bintik berbentuk oval. Sedangkan pada sirip dada bagian atas bintikbintik coklat tidak terlihat jelas, namun pada sirip dada bagian bawah terdapat

18 5 bintik yang besar. Ikan ini memijah pada ukuran panjang total 24 cm dan ukuran maksimalnya 40 cm (Grant, 2000). Kerapu koko yang menjadi target spesies pada penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Sumber: FAO, Gambar 1 Kerapu koko (Epinephelus quoyanus) Siklus hidup Kerapu termasuk ikan yang "hermaprodit protogyni", yaitu pada kehidupan awal belum ditentukan jenis kelaminnya. Sel kelamin betina terbentuk setelah berumur 2 tahun dengan panjang 50 cm dan berat 5 kg. Sel kelamin betina berubah menjadi sel kelamin jantan pada umur 4 tahun dengan panjang tubuh sekitar 70 cm dan berat 11 kg. Pada kenyataannya lebih banyak ditemukan ikan kerapu jantan (Tarwiyah, 2001). Menurut Junianto (2003), ikan kerapu memiliki fase hidup induk, telur, larva, benih, dan dewasa. Secara lebih terperinci, fase fase tersebut dijelaskan di bawah ini: a. Stadia induk, adalah ikan yang memiliki kemampuan untuk bereproduksi. Pada stadia induk memiliki ciri ciri sebagai berikut: Alat kelamin induk betina umumnya berupa lubang, dan jantan berupa tonjolan; Perut induk betina buncit dan terasa lembek bila diraba, jantan ramping; dan

19 6 Pada beberapa spesies, induk jantan memiliki ciri dan warna khas, misal dahi lebih menonjol, sirip punggung lebih panjang, warna dan pola warna lebih cemerlang dan menarik, gerakan lebih aktif dan galak. b. Telur, bersifat pelagis. c. Larva, berukuran sangat kecil dan belum memiliki bentuk morfologi yang definitif (seperti induknya). Larva belum memiliki organ tubuh yang lengkap, bahkan ada yang masih bersifat sederhana sehingga belum berfungsi maksimal. Morfologi, anatomi, dan fisiologinya masih sederhana dan terus berkembang menuju kesempurnaan. Menurut Tarwiyah (2001), larva yang baru menetas terlihat transparan, melayang melayang dan gerakannya tidak aktif serta tampak kuning telur dan oil globule nya. Larva akan berubah bentuk menyerupai kerapu dewasa setelah berumur 31 hari. Perkembangan larva ikan kerapu dapat dilihat pada Gambar 2. Larva baru menetas (D1) Larva berumur 3 hari (D3) Larva umur hari Larva umur hari Sumber: Tarwiyah, 2001 Gambar 2 Perkembangan bentuk larva ikan kerapu.

20 7 Adapun perkembangan larva ikan kerapu dari umur 1 hari (D1) sampai umur 31 hari (D31) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Perkembangan larva ikan kerapu Hari ke Tahap Perkembangan (mm) D1 Larva baru menetas transparan, melayang dan tidak aktif. D3 Timbul bintik hitam di kepala dan pangkal perut. D7 8 Timbul calon sirip punggung yang keras dan panjang. D9 11 Timbul calon sirip punggung yang keras dan panjang. D15 17 Duri memutih, bagian ujung agak kehitaman. D23 26 Sebagian duri mengalami reformasi dan patah, pada bagian ujung tumbuh sirip awal lunak. D29 31 Sebagian larva yang pertumbuhannya capat telah berubah menjadi burayak (juvenil), bentuk dan warnanya telah menyerupai ikan dewasa. Sumber: Tarwiyah, ,89 2,11 2,14 2,44 7,98 8,96 15,88 17,24 17,2 18,6 20,31 22,64 22,40 23,42 Larva kerapu yang baru menetas mempunyai cadangan makanan berupa kuning telur. Kuning telur tersebut akan habis pada hari ke 3 (D3). Masa kritis dijumpai pada waktu larva berumur 8 hari (D8) memasuki umur 9 hari (D9), dimana pada saat itu mulai terjadi perubahan bentuk tubuh yang sangat panjang dan spesifik (Tarwiyah, 2001). d. Benih, memiliki bentuk morfologi tubuh sudah definitif seperti induknya. Benih berbeda dengan induknya dalam ukuran dan tingkah laku reproduksinya. e. Juvenil, bentuk tubuh seperti induknya tetapi lebih kecil dan organ reproduksinya masih dalam perkembangan sehingga belum berfungsi. f. Dewasa, organ reproduksi dewasa sudah berfungsi sehingga berpotensi melakukan aktivitas reproduksi Habitat Ikan kerapu koko merupakan spesies yang berada di bagian barat pasifik, tersebar di selatan Jepang hingga Australia termasuk Taiwan, Cina, Hongkong, Filipina, Vietnam, Thailand, Indonesia, New Guinea, dan pulau pulau

21 8 disekitarnya hingga pesisir utara Australia. Spesies ini tidak ditemukan di perairan sekitar pulau Micronesia, Melanisia, dan Pasifik bagian tengah. Pada umumnya ikan ini banyak dijumpai di daerah karang dekat pantai dan ditemukan hingga kedalaman 50 m (FAO, ). Habitat benih ikan kerapu adalah pantai yang banyak ditumbuhi algae jenis reticulata dan Gracilaria sp., setelah dewasa hidup di perairan yang lebih dalam dengan dasar terdiri dari pasir berlumpur (Tarwiyah, 2001). Ikan kerapu mendiami air laut dengan kadar garam ppt (part per thousand ). Suhu perairan di Indonesia tidak menjadi masalah karena perubahan suhu, baik harian maupun tahunan sangat kecil ( 27 o C 32 o C). Kadar oksigen dari habitat ikan kerapu adalah sebesar ± 4 ppm. Untuk kadar keasaman (ph) air laut yang menjadi habitat ikan kerapu adalah 7,6 7,8. Adapun besarnya kecepatan arus air yang ideal adalah sekitar 20 sampai 40 cm/detik (Arifin, ) Tingkah laku Tipe pemangsa yang paling banyak di terumbu karang adalah ikan karnivora, 50% 70%. Ikan herbivora dan pemakan karang merupakan kelompok besar kedua yaitu 15%, dan didominasi oleh famili Scaridae dan Acanthuridae. Sisanya diklasifikasikan sebagai omnivora dan multivora, yaitu ikan dari famili Pomacentride, Chaetodontidae, Pomacanthidae, Monachantidae, Ostraciontidae, dan Tetradontidae. Ikan pemakan zooplanton memiliki ukuran tubuh yang kecil, yaitu ikan dari famili Clupeidae (Nybakken, 1992). Ikan kerapu (Epinephelus spp) merupakan jenis ikan karnivora yang dikenal pula sebagai ikan predator utama dan cenderung solitaire atau tidak bergerombol pada suatu ekosistem karang (Randall dan Heemsta, 1993). Morato, Santos, dan Andrade (2000), melakukan percobaan yang bertujuan untuk mengetahui jenis makanan dari ikan famili Serranidae. Komposisi isi lambung ikan dari 422 ekor ikan yang termasuk famili Serranidae diamati. Ikan dan krustasea adalah makanan yang dominan terdapat di lambung ikan tersebut, sedangkan gastropoda, bilvalvia, dan salp hanya terdapat sedikit. Menurut Tarwiyah (2001), makanan yang paling disukai oleh kerapu adalah jenis

22 9 krustasea (rebon, dogol dan krosok), selain itu jenis ikan ikan kecil (tembang, teri dan belanak). Berdasarkan periode aktif mencarai makan, ikan karang dikelompokkan menjadi 3 golongan, yaitu aktif mencari makan pada malam hari (nokturnal), aktif mencari makan pada siang hari (diurnal), dan aktif mencari makan diantara siang dan malam atau pada waktu remang remang (crepuscular). Ikan dari famili Serranidae (kerapu) merupakan ikan yang aktif pada waktu remang remang (crepuscular) (Anonim, 2004). Menurut pengamatan pada percobaan yang dilakukan oleh Tarwiyah (2001), ikan betina dewasa yang telah siap memijah akan berenang mendekati ikan jantan. Jika waktu memijah sudah tiba ikan kerapu jantan dan betina akan berenang bersama sama di daerah permukaan air. Peristiwa ini umumnya terjadi pada malam hari. Jumlah telur yang dihasilkan tergantung dari berat tubuh betina, semakin berat maka telur yang dihasilkan semakin banyak. 2.2 Musim Penangkapan Musim penangkapan suatu alat tangkap disetiap daerah bermacam macam. Biasanya nelayan mengoperasikan alat tangkap tergantung dari keberadaan ikan yang menjadi target tangkapan setiap musimnya. Hal ini biasa dilakukan untuk alat tangkap yang menangkap ikan secara spesifik. Namun, karena Indonesia memiliki jenis ikan yang multispesies, maka sebagian besar alat tangkap dioperasikan sepanjang tahun. Menurut LON LIPI (1977) vide Mawardi (2001), di perairan Indonesia khususnya Kepulauan Seribu kegiatan penangkapan dipengaruhi oleh 3 musim, yaitu: 1) Musim Barat Musim ini terjadi pada bulan Desember sampai pertengahan bulan Maret. Keadaan angin bervariasi dari arah Barat Daya sampai Barat Laut dengan kecepatan 7 20 knot. Dalam periode bulan Desember sampai Februari sering terjadi angin kencang dengan kecepatan lebih dari 20 knot, gelombang besar dan arus kuat, sehingga dalam bulan ini kegiatan nelayan nyaris terhenti. Keadaan alam yang buruk inilah salah satu penyebab hasil ikan laut pada akhir

23 10 maupun awal tahun menurun. Alat tangkap yang memberikan hasil terbaik pada musim ini adalah payang, gill net, dan bagan. 2) Musim Timur Musim ini terjadi pada bulan Juni hingga September, angin bervariasi dari arah Timur Laut sampai Tenggara dengan kecepatan 7 15 knot. Keadaan ombak relatif sedang, sehingga semua alat penangkapan dapat bekerja dengan hasil tangkap cukup baik. Alat tangkap yang hasil tangkapannya baik adalah payang, gill net, muroami, bagan, dan bubu. 3) Musim Pancaroba Musim ini terjadi pada bulan April hingga Mei dan Oktober hingga November. Arah angin umumnya bervariasi dengan kecepatan lemah. Semua alat penangkapan dapat bekerja aktif dengan hasil cukup bagus, terutama alat tangkap gill net, muroami, payang, bagan, bubu, dan hand line. Menurut Furqon (2008), musim ikan yang biasa terjadi di Kepulauan Seribu adalah sebagai berikut : 1) Musim Ikan Tongkol Ikan tongkol merupakan jenis pelagis yang melakukan migrasi melintasi perairan Laut Jawa. Musim migrasi terjadi pada bulan Oktober hingga April. Pada masa ini nelayan dapat menangkap ikan tongkol dalam jumlah besar. Namun, melimpahnya jumlah ikan tongkol pada musim ini mengakibatkan harga menjadi turun, ditambah pembeli yang terbatas. 2) Musim Ikan Tenggiri Ikan ini juga merupakan jenis pelagis yang menjadi primadona nelayan karena harga jual yang tinggi. Ikan ini banyak dijumpai di perairan Kepulauan Seribu pada bulan bulan November dan Desember. 3) Musim Ikan Baronang Ikan baronang meruapakan salah satu ikan laut yang berharga mahal. Ikan ini banyak dijumpai pada bulan Februari hingga Maret dan November hingga Desember. 4) Musim Ikan Kerapu, Ekor Kuning, dan Cumi cumi Ketiga jenis ikan ini terdapat di perairan Kepulauan Seribu sepanjang tahun. Namun keberadaannya berfluktuasi sesuai dengan siklus hidup ketiga jenis

24 11 ikan tersebut. musim puncak terjadi ketika mencapai stadia dewasa. Menurut Laapo (2004), secara umum penangkapan terhadap kerapu dilakukan sepanjang tahun. Musim puncak atau musim surplus ikan umumnya berlangsung selama 7 bulan yaitu mulai bulan September atau Oktober sampai April atau Mei. Sedangkan musim paceklik atau kekurangan ikan umumnya berlangsung selama 5 bulan yaitu bulan Mei atau Juni sampai Agustus atau September. 5) Musim Ikan Cucut Ikan ini banyak dijumpai pada bulan Mei hingga Juli. Pada umumnya nelayan berlomba lomba untuk menangkap jenis ikan ini karena harga cucut muda sangat mahal. Cucut muda biasanya dimanfaatkan para penggemar atau kolektor ikan menjadi ikan hias di aquariumnya. 6) Musim Teripang dan Udang Pengko Musim teripang terjadi dua kali yaitu bulan Maret hingga April dan Oktober hingga November. Jenis teripang merupakan barang komoditi yang sudah langka. Pada saat bersamaan, nelayan juga memanfaatkannya untuk mencari udang pengko sejenis udang yang hidup di dasar perairan dangkal sekitar pulau pulau. Udang ini bersarang dengan menggali lubang di lamun lamun dan karang yang berpasir. Cara menangkap udang ini, masyarakat setempat menyebutnya dengan memengko. Oleh karena itu, udang ini diberi nama udang pengko. Udang ini memiliki nilai ekonomi cukup tinggi dan cukup digemari. 2.3 Alat Tangkap Bubu Bubu adalah alat tangkap yang dipasang secara pasif dan memiliki ciri khusus pada mulutnya yaitu memudahkan ikan untuk masuk namun membuat ikan sukar keluar. Menurut Brandt (1984), bubu digolongkan ke dalam kelompok perangkap (trap). Subani dan Barus (1988) mendefinisikan perangkap adalah semua alat penangkap yang berupa jebakan atau penghadang ikan. Menurut Baskoro (2006), perangkap adalah salah satu alat penangkap yang bersifat statis yang umumnya berbentuk kurungan, berupa jebakan dimana ikan akan mudah masuk tanpa adanya paksaan dan sulit untuk keluar atau lolos karena dihalangi dengan berbagai cara. Keefektifan alat perangkap ini tergantung dari pola migrasi ikan dan tingkah laku renang ikan.

25 12 Smith dan Slack (2001) membuat terminologi mengenai bubu yang sedikit berbeda dibanding Brand (1984). Smith dan Slack membedakan terminologi antara perangkap (trap) dengan bubu (pot). Perangkap merupakan alat tangkap yang bersifat pasif dan menetap, yang memudahkan ikan untuk masuk dan sulit untuk keluar. Pada beberapa konstruksi perangkap, terdapat bagian yang berfungsi mengarahkan ikan agar masuk ke dalam perangkap. Perangkap bersifat menetap sehingga tidak dapat dipindah pindahkan karena konstruksi dan ukurannya yang besar. Beberapa macam perangkap diantaranya adalah sero, barrier atau penghadang yang terbuat dari tumpukan batu, fyke, dan lain lain. Adapun bubu berbentuk lebih sederhana dan ukurannya lebih kecil, sehingga mudah untuk dipindah pindahkan. Namun prinsip kerjanya sama dengan perangkap, yaitu memudahkan ikan untuk masuk dan sukar untuk keluar. Tipe bubu yang ada di luar negeri diantaranya adalah bubu berbentuk lingkaran yang berasal dari Australia, bubu Z yang berasal dari Karibia, dan bubu berbentuk drum yang berasal dari Jerman. Tipe bubu di Indonesia diantaranya adalah bubu paralon, bubu gurita, bubu lobster, bubu pakaja, dan bubu kakap merah. Bubu bersifat pasif menunggu ikan atau hewan laut lainnya masuk ke dalam perangkap dan mencegah ikan atau hewan laut lainnya keluar dari perangkap. Pemasangannya didasarkan atas pengetahuan tentang lintasan lintasan yang merupakan daerah ruaya ikan ataupun yang berhubungan erat dengan ruaya ikan ke arah pantai pada waktu waktu tertentu (Gunarso, 1985). Menurut Martasuganda (2003), ada beberapa alasan utama pemakaian bubu di suatu daerah penangkapan, yaitu: 1) Adanya larangan pengoperasian alat tangkap selain bubu; 2) Topografi daerah penangkapan yang tidak mendukung alat tangkap lain untuk dioperasikan; 3) Kedalaman daerah penangkapan yang tidak memungkinkan alat tangkap lain untuk dioperasikan; 4) Biaya pembuatan alat tangkap bubu murah; 5) Pembuatan dan pengoperasian alat tangkap bubu tergolong mudah; 6) Hasil tangkapan dalam keadaan hidup; 7) Kualitas hasil tangkapan baik;

26 13 8) Hasil tangkapan umumnya bernilai ekonomis tinggi, dan pertimbangan lainnya. Menurut Tiku (2004), ada beberapa alasan ikan atau hewan laut lainnya masuk ke dalam bubu, yaitu: a. Sifat dasar ikan atau hewan laut lainnya yang selalu mencari tempat untuk berlindung; b. Ikan atau hewan laut lainnya masuk karena tertarik oleh umpan yang berada di dalam perangkap; c. Ikan terkejut karena ditakuti sehingga mencari tempat berlindung; dan d. Ikan masuk karena digiring oleh nelayan Deskripsi dan klasifikasi Secara umum, bubu terdiri dari mulut dan badan bubu. Adapun tempat umpan dan pintu khusus untuk mengeluarkan hasil tangkapan tidak terdapat pada setiap bubu. Schlack dan Smith (2001) menyatakan bahwa bubu terdiri dari: a) Rangka Rangka dibuat dari material yang kuat dan dapat mempertahankan bentuk bubu ketika dioperasikan dan disimpan. Pada umumnya rangka bubu dibuat dari besi atau baja. Namun demikian dibeberapa tempat rangka bubu dibuat dari papan atau kayu. Salah satunya di Barat laut Brazil, nelayan tradisional setempat menggunakan kayu mangrove sebagai rangka pada bubu rock lobster. Lain halnya dengan nelayan tradisional di Kanada dan Barat laut Amerika Serikat, rangka bubu lobster yang semula dibuat dari kayu, kini digantikan dengan material yang terbuat dari plastik. Rangka beberapa jenis bubu dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dilipat ketika bubu tersebut tidak dioperasikan. Hal ini bertujuan untuk mempermudah ketika bubu tersebut disimpan di atas kapal. Beberapa jenis bahan seperti bambu digunakan sebagai rangka pada bubu loster (Brandt, 1984). Di Indonesia bubu untuk menangkap ikan karang sebagian besar terbuat dari besi, karena biasanya untuk menangkap ikan karang diperlukan bubu dengan ukuran besar. Di Kepulauan Seribu bubu untuk menangkap ikan karang menggunakan rangka yang terbuat dari bambu dan

27 14 besi, bahkan untuk bubu tambun, hampir seluruhnya terbuat dari bambu (Susanti, 2005). b) Badan Badan pada bubu modern biasanya terbuat dari kawat, nylon, baja, bahkan plastik. Pemilihan material badan bubu tergantung dari kebudayaan atau kebiasaaan masyarakat setempat, kemampuan pembuat dan ketersediaan material, serta biaya dalam pembuatan. Selain itu, pemilihan material tergantung pula pada target hasil tangkapan dan kondisi daerah penangkapan. Dibeberapa tempat masih dijumpai badan bubu yang terbuat dari anyaman rotan dan bambu. c) Mulut Salah satu bentuk mulut pada bubu adalah corong. Lubang corong bagian dalam biasanya mengarah ke bawah dan dipersempit untuk menyulitkan ikan keluar dari bubu. Jumlah mulut bubu bervariasi ada yang hanya satu buah dan ada pula yang lebih dari satu. d) Tempat umpan Tempat umpan pada umumnya terletak di dalam bubu. Umpan terdiri dari dua macam yaitu umpan yang dicacah menjadi potongan potongan kecil dan umpan yang tidak dicacah. Untuk umpan yang dicaca biasanya dibungkus menggunakan tempat umpan yang terbuat dari kawat atau plastik. Sedangkan untuk umpan yang tidak dicacah biasanya umpan tersebut hanya diikatkan pada tempat umpan dengan menggunakan kawat atau tali. Tempat umpan tidak terdapat pada semua jenis bubu, misalnya pada bubu gurita dan beberapa bubu ikan karang. e) Pintu untuk mengeluarkan hasil tangkapan f) Celah pelolosan Celah pelolosan dibuat agar ikan ikan yang belum layak tangkap dari segi ukuran dapat keluar dari bubu. Pada beberapa negara seperti Australia, New Zealand, dan Kuba, celah pelolosan digunakan pada bubu rock lobster untuk meloloskan lobster yang masih juvenil. Di Australia dan New Zealand, rock lobster dengan ukuran lebar karapas kurang dari 76 mm tidak boleh ditangkap.

28 15 g) Pemberat Pemberat dipasang pada bubu untuk mengatasi pengaruh pasang surut, arus laut, dan gelombang, sehingga posisi bubu tidak berpindah pindah dari tempat setting semula. Pemberat diperlukan terutama untuk bubu yang terbuat dari kayu dan material ringan lainnya. Pemberat pada bubu bisa terbuat dari besi, baja, batu bata, dan jenis jenis batuan lainnya. Pemasangan pemberat juga berfungsi untuk memastikan bubu mendarat di dasar perairan secara benar. Bagian bagian bubu secara detail dapat dilihat pada Gambar 3. Pintu untuk mengeluarkan hasil tangkapan Tempat umpan Rangka Celah pelolosan Mulut Sumber: Schlack dan Smith, 2001 Gambar 3 Bagian bagian bubu. Ciri khas bubu adalah mempunyai satu atau lebih catching chambers dan apabila ikan atau hewan laut lainnya sudah masuk, maka sukar bagi hewan tersebut untuk keluar. Jadi pada dasarnya alat ini dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dapat mencegah atau mempersulit hewan tersebut untuk keluar (Tiku, 2004). Modifikasi yang dilakukan untuk mempersulit ikan keluar pada umumnya dilakukan pada bagian mulut bubu. Letak dan bentuk mulut bubu disesuaikan dengan tingkah laku dan habitat ikan yang menjadi target hasil tangkapan. Alat tangkap bubu banyak digunakan oleh nelayan Indonesia, baik oleh nelayan skala kecil, menengah, dan skala besar. Perikanan bubu skala kecil

29 16 umumnya ditujukan untuk menangkap kepiting, udang, keong, dan ikan dasar di perairan yang tidak begitu dalam. Adapun untuk perikanan bubu skala menengah dan skala besar biasanya dilakukan di lepas pantai yang ditujukan untuk menangkap ikan dasar, kepiting, atau udang pada kedalaman 200 m sampai 700 m (Martasuganda, 2003). Subani dan Barus (1988), membagi bubu ke dalam tiga golongan, yaitu bubu dasar (ground fishpot), bubu apung (floating fishpot), dan bubu hanyut (drifting fishpot). 1) Bubu Dasar (ground fishpot) Bubu dasar merupakan bubu yang diopersikan di dasar perairan. Ukuran bubu dasar bervariasi dan dibuat berdasarkan kebutuhan. Menurut ukurannya, bubu dasar digolongkan kedalam dua kelompok, yaitu bubu kecil dan bubu besar. Bubu kecil umumnya berukuran panjang 1 m, lebar m, dan tinggi antara m. Adapun bubu besar dapat mencapai ukuran panjang 3.5 m, lebar 2 m, dan tinggi m. Bubu dasar dioperasikan di perairan karang, berpasir atau berlumpur. Nelayan biasanya melengkapi bubu dengan pelampung tanda. Hal ini bertujuan untuk memudahkan menemukan bubu ketika akan dilakukan hauling. Pengambilan hasil tangkapan dilakukan 2 3 hari setelah bubu dipasang, kadang bahkan sampai beberapa hari setelah dipasang. 2) Bubu Apung (Floating Fishpot) Bentuk bubu apung ada yang silindris dan ada pula yang berbentuk seperti kurung kurung. Bubu apung dilengkapi dengan pelampung dari bambu. Dalam pengoperasiannya ada pula bubu yang diikatkan pada rakit bambu, kemudian rakit bambu tersebut dirangkai dan diikatkan pada jangkar. tali jangkar tergantung dari kedalaman perairan, namun panjang tali pada umumnya 1.5 kali dalam perairan. 3) Bubu Hanyut (Drifting Fishpot) Dalam operasional penangkapannya bubu ini dihanyutkan, sehingga dinamakan bubu hanyut. Bubu hanyut yang umumnya dikenal dengan sebutan pakaja, luka, atau patorani. Pakaja atau luka artinya sama yaitu bubu, sedangkan patorani karena ia dipergunakan untuk menangkap ikan torani, tuing tuing, atau ikan terbang (flying fish). Pakaja merupakan bubu

30 17 ukuran kecil, berbentuk silindris dengan panjang 0.75 m. Pada saat operasi penangkapan dilakukan, bubu ini disatukan menjadi beberapa kelompok. Menurut lokasi pemasangannya, bubu dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu bubu yang dipasang di dekat pantai (inshore potting) dan bubu yang dipasang jauh dari pantai (offshore potting) (Sainsbury, 1996). a. Bubu yang dipasang di dekat pantai (inshore potting) Lokasi pemasangan bubu biasanya di daerah estuari, pantai, dan teluk. Kedalaman perairan tempat bubu ini dipasang berkisar antara 1.8 m hingga 75. Karakteristik bubu inshore potting adalah berukuran kecil dan ringan sehingga dapat dioperasikan menggunakan kapal yang berukuran kecil pula. Begitupun nelayan yang mengoperasikannya hanya berjumlah 1 sampai 2 orang. b. Bubu yang dipasang jauh dari pantai (offshore potting) Bubu yang termasuk offshore potting berukuran lebih besar dan lebih berat jika dibandingkan dengan bubu inshore potting. Kapal yang digunakan berukuran besar dan dilengkapi dengan perlengkapan yang mendukung operasi penangkapan di laut lepas. Bubu yang termasuk ke dalam kelompok ini dioperasikan hingga kedalaman 900 m atau lebih. Sainsbury (1996) menambahkan bahwa menurut metode pengoperasiannya, bubu digolongkan menjadi dua, yaitu sistem tunggal dan sistem rawai. a. Sistem tunggal Pada pengoperasian bubu dengan sistem tunggal, bubu dipasang satu per satu serta tidak hanyut di dasar perairan. Agar posisi bubu tepat ketika berada di dasar perairan, maka bubu tersebut biasanya diberi pemberat. Setiap bubu dilengkapi dengan pelampung tanda yang dihubungkan dengan tali. Menurut Martasuganda (2003), salah satu bubu yang dipasang dengan sistem tunggal adalah bubu pintur. Bubu ini dioperasikan di daerah pantai dengan target hasil tangkapan berupa kepiting dan udang. Susanti (2005) menambahkan selain bubu pintur, bubu yang dipasang dengan sistem tunggal adalah bubu tambun. Adapun target hasil tangkapan bubu tambun adalah ikan karang. b. Sistem rawai Pengoperasian bubu dengan sistem rawai dilakukan dengan cara merangkai bubu yang satu dengan lainnya dengan menggunakan tali utama. Jarak antar

31 18 bubu disesuaikan dengan kebutuhan dan jumlah bubu. Pemasangan bubu dengan sistem rawai diawali dengan menurunkan jangkar, tali pelampung, dan pelampung tanda. Kemudian dilanjutkan dengan penurunan tali utama dan bubu yang diikatkan pada tali tersebut. Selanjutnya bubu yang diikat pada tali utama diturunkan ke dalam perairan. Setelah seluruh bubu selesai diturunkan, selanjutnya diikuti dengan penurunan jangkar dan pelampung tanda terakhir. Contoh bubu yang dipasang dengan sistem rawai adalah bubu rajungan (Prakoso, 2005). Martasuganda (2003) menambahkan bahwa bubu paralon adalah salah satu jenis bubu yang dipasang dengan sistem rawai. Bubu ini dibuat dari paralon dengan diameter antara cm dan panjang antara cm. Pada kedua sisi paralon dipasang mulut bubu yang terbuat dari plastik atau bambu. Hasil tangkapan utama dari bubu ini adalah belut laut Konstruksi bubu Konstruksi bubu yang digunakan oleh nelayan merupakan warisan turun temurun. Selain itu, ada juga kontruksi yang merupakan hasil introduksi dari nelayan asing. Konstruksi ini disesuaikan dengan karakteristik daerah penangkapan dan tingkah laku ikan yang menjadi target tangkapan. a) Bentuk Menurut Monintja dan Martasuganda (1991), bentuk bubu bermacammacam, diantaranya berbentuk kerucut, kubus, balok, silindris, dan ada pula yang berbentu kurungan. Cyr dan Marie (1994) menyatakan bahwa salah satu bentuk bubu yang digunakan di Jepang adalah berbentuk kerucut. Ukuran bubu ini memiliki tinggi 0.65 m, diameter lingkaran bawah 1.2 m, dan diameter lingkaran atas 0.7 m. Rangka terbuat dari besi dan badan bubu terbuat dari jaring. Bubu ini digunakan untuk menangkap kepiting. Di Indonesia variasi bentuk bubu juga tidak kalah dengan yang digunakan oleh nelayan mancanegara. Untuk menangkap udang barong digunakan bubu berbentuk kubah, prisma segitiga, dan berbentuk silindris. Walaupun berbeda bentuk, ketiga bubu ini digunakan untuk menangkap udang barong sehingga bubu ini dinamakan bubu udang barong. Untuk bubu yang berbentuk kubah, mulut

32 19 bubu terletak pada bagian atas bubu. Adapun untuk bubu yang berbentuk prisma segitiga dan silindris, mulut bubu terletak pada sisi bubu (Subani dan Barus, 1988). Di perairan Kronjo nelayan menggunakan bubu yang berbentuk kotak untuk menangkap rajungan (Lastari, 2007). Nelayan di sekitar kepulauan Karimunjawa menggunakan bubu berbentuk balok untuk menangkap kakap merah. Bubu ini dikenal dengan nama bubu kakap merah. Rangka bubu ini terbuat dari gabungan besi dan kayu, sedangkan badannya terbuat dari kawat (Nurhidayat, 2002). Bubu lipat dengan bentuk balok digunakan oleh nelayan Kecamatan Kubu Kabupaten Pontianak untuk menangkap kepiting bakau (Tiku, 2004). Adapun sebagian besar nelayan di Kepulauan Seribu menggunakan bubu tambun untuk menangkap ikan karang. Bubu tambun adalah bubu berbentuk kurungan yang terbuat dari anyaman bambu, dengan mulut berbentuk corong. Penamaan bubu tambun oleh nelayan karena pada saat pengoperasiannya bubu tersebut ditambun oleh batu karang, dengan maksud agar ikan tertarik untuk masuk ke dalam bubu. b) Bahan Bahan yang digunakan oleh nelayan untuk membuat badan bubu sangat tergantung pada ketersediaan bahan pembuat di lokasi pemukiman nelayan. Di Indonesia bubu masih banyak yang terbuat dari bahan alami seperti bambu, kayu, maupun rotan. Hal ini terlihat pada bubu tambun yang bahan utamanya adalah bambu (Nugraha, 2008). Selain bahan alami, bahan sisntetis juga digunakan dalam membuat bubu. Badan bubu banyak yang terbuat dari jaring, kawat yang dianyam, bahkan ada yang terbuat dari plastik. Adapun rangka bubu umumnya terbuat dari baja atau besi (Sainsbury, 1996). Bubu yang terbuat dari kawat pada umumnya berukuran relatif lebih besar jika dibandingkan dengan bubu yang terbuat dari jaring. Hal ini dikarenakan target tangkapan bubu ini merupakan ikan ikan dasar yang berukuran besar yang ada di daerah karang. Salah satunya adalah bubu kawat yang ada di Kepulauan Seribu yang digunakan untuk menangkap ikan ikan karang. Baskoro (2006) menambahkan bahwa banyak jenis bahan atau material yang digunakan untuk membuat bubu, hal ini tergantung dari tujuan penangkapan dan juga dimana perangkap tersebut akan dioperasikan. Bahan atau material yang

33 20 umum digunakan untuk membuat bubu adalah bambu, rotan, kawat, jaring, tanah liat, plastik dan lain sebagainya. Untuk bubu laut dalam biasanya digunakan rangka berupa besi masif (kokoh). Hal ini bertujuan agar bubu dapat bertahan dengan baik selama dioperasikan di dalam air. Karena sebagaimana kita ketahui keadaan arus di dasar perairan relatif lebih kuat dari pada di perrmukaan. Dewasa ini, penggunaan material bubu yang ramah lingkungan sangat dianjurkan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi resiko ghost fishing akibat hilangnya alat tangkap ketika dioperasikan. c) Mulut bubu Posisi dan bentuk mulut bubu berbeda beda sesuai tingkah laku ikan yang menjadi target tangkapan. Untuk menangkap lobster, nelayan di Brittany, Perancis menggunakan bubu berbentuk kubah dengan posisi mulut di bagian atas dan berbentuk lingkaran. Lain halnya dengan nelayan Autralia, untuk menangkap rock lobster nelayan setempat menggunakan bubu berbentuk trapesium dengan posisi mulut di bagian atas dan berbentuk kotak. Selain menggunakan bubu diatas, nelayan Australia menggunakan bubu dengan bentuk mulut persegi panjang dan menyempit pada bagian samping bubu. Dengan demikian jelas bahwa walaupun target tangkapan sama, namun konstruksi mulut bubu yang digunakan belum tentu sama. Untuk menangkap king crab, nelyan di Barat laut Pasifik dan disebelah Timur Laut Bering menggunakan bubu dengan mulut yang berbentuk persegi panjang yang mengerucut dengan rangka mulut terbuat dari baja dan badan dari mulut bubu tersebut menggunakan bahan jaring Polypropylene (PP). Mulut bubu king crab ini terletak pada bagian samping bubu (Schlack dan Smith, 2001). Schlack dan Smith (2001) menambahkan bahwa jumlah mulut pada bubu bermacam macam. Untuk menangkap kepiting lumpur, nelayan di Australia menggunakan bubu yang memiliki dua buah mulut yang berbentuk corong. Bahkan ada pula bubu yang memiliki tiga buah pintu masuk, yaitu bubu yang dinamankan round trap. Hasil tangkapan utama bubu ini adalah snappers (Lutjanidae), emperors (Lethrinidae) and kerapu (Epinephlidae).

34 21 Miller (1990) melakukan penelitian dengan menggunakan tiga jenis bubu untuk menangkap lobster. Bubu yang pertama memiliki dua buah mulut dengan umpan diletakkan di tengah bubu. Bubu yang kedua memiliki dua mulut dengan dua umpan yang masing masing diletakkan di dekat mulut bubu. Adapun bubu yang ketiga memiliki tiga mulut dengan umpan diletakkan di tengah bubu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bubu dengan tiga mulut mendapatkan hasil yang lebih baik dibanding yang lainnya. Hal ini disebabkan karena, semakin banyak jumlah mulut bubu, diperkirakan akan meningkatkan peluang rajungan untuk masuk ke dalam bubu. Beberapa jenis bentuk mulut bubu dapat dilihat pada Gambar 4. Sumber: Schlack dan Smith, 2001 Gambar 4 Macam macam bentuk mulut bubu. 2.4 Umpan Bubu merupakan alat tangkap yang bersifat pasif. Dengan demikian keberhasilan penangkapan menggunakan bubu sangat bergantung pada kemauan ikan untuk masuk ke dalam bubu. Salah satu daya tarik ikan untuk masuk ke dalam bubu adalah keberadaan umpan. Menurut Gunarso (1985), salah satu cara untuk menarik perhatian ikan adalah dengan menggunakan rangsangan kimiawi. Rangsangan kimiawi ini dapat dilakukan dengan menggunakan umpan. Ikan akan memberikan respon terhadap lingkungan sekelilingnya melalui indera penciuman dan penglihatan. Tertariknya ikan terhadap umpan disebabkan oleh rangsangan berupa rasa, bau, bentuk, gerakan, dan warna. Kebanyakan ikan akan memberikan reaksi jika benda yang dilihat bergerak, mempunyai bentuk, warna, dan bau. Lebih lanjut Gunarso (1985)

35 22 menjelaskan bahwa pengetahuan tentang berbagai jenis makanan yang biasa dimakan ikan sangat berguna untuk usaha penangkapan ikan. Pada usaha perikanan tertentu seperti pada perikanan tuna dan cod, besarnya hasil tangkapan yang dikehendaki bergantung pada terpenuhi atau tidaknya umpan hidup atau umpan mati dalam jumlah atau kualitas tertentu. Menurut Yudha (2006), Penggunaan alat bantu penangkapan, seperti umpan (bait), pada bubu dasar atau bubu karang merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan efektivitas penangkapan dan sekaligus dapat mencegah masalah kerusakan terumbu karang. Beberapa ahli perikanan sependapat bahwa umpan merupakan alat bantu perangsang yang mampu memikat sasaran penangkapan dan sangat berpengaruh untuk meningkatkan efektivitas alat tangkap. Menurut Leksono (1983), beberapa pertimbangan dalam menentukan alternatif jenis ikan sebagai umpan adalah sebagai berikut: 1) Umpan harus dapat digunakan pada alat tangkap yang telah ada; 2) Umpan harus dapat memenuhi selera ikan yang menjadi tujuan utama penagkapan; 3) Umpan mudah didapat dalam jumlah banyak serta kontinuitas yang baik; 4) Lokasi sumberdaya relatif dekat serta mudah penanganannya; dan 5) Biaya pengadaan relatif murah. Menurut Djatikusumo (1975) vide Riyanto (2008), umpan yang baik harus memenuhi syarat syarat sebagai berikut: 1) Tahan lama (tidak cepat busuk); 2) Mempunyai warna yang mengkilap sehingga mudah terlihat dan menarik bagi ikan yang yang menjadi tujuan penangkapan; 3) Mempunyai bau yang spesifik sehingga merangsang ikan datang; 4) Harga terjangkau; 5) Mempunyai ukuran memadai; dan 6) Disenangi oleh ikan yang menjadi tujuan penangkapan. Schlack dan Smith (2001) menyatakan syarat umpan yang baik adalah sebagai berikut: 1) Efektif untuk menarik ikan target; 2) Mudah dipasang pada berbagai posisi di dalam bubu;

36 23 3) Tahan lama; 4) Mudah diperoleh; 5) Harga murah; dan 6) Mudah disimpan dan diangkut Jenis umpan Berdasarkan kondisinya, umpan dapat dibedakan sebagai umpan hidup (live bait) dan umpan mati (dead bait). Menurut penggunaannya, umpan dibedakan sebagai umpan yang dipasang pada alat tangkap dan umpan yang tidak dipasang pada alat tangkap. Adapun menurut sifat asalnya, umpan dibedakan sebagai umpan alami (natural bait) dan umpan buatan (atificial bait) (Leksono, 1983). Salah satu pakan alami kerapu adalah artemia. Artemia merupakan sejenis udang udangan primitif. Beberapa contoh jenis Artemia antara lain Artemia fransiscana, A. tunisana, A. urmiana, A. persimilis, A. monica, A. odessensis, adapun artemia yang tanpa kawin adalah Artemia partogenetica (Anonim, 2008). Sopati (2005) melakukan penelitian untuk menemukan umpan yang paling baik dari 3 umpan buatan yang digunakan. Ketiga umpan tersebut diantaranya adalah umpan dari kanikil, kepala ikan kembung, dan keong mas. Alat tangkap yang digunakan adalah jaring krendet untuk menangkap lobster. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umpan buatan dengan bahan kanikil mendapatkan hasil tangkapan lebih banyak dibanding umpan buatan lainnya Ukuran dan bobot umpan Ukuran dan bobot umpan mempengaruhi hasil tangkapan. Karena menurut Gunarso (1985), indra penglihatan dan penciuman ikan merupakan indra yang digunakan dalam aktifitas keseharian ikan. Salah satunya adalah aktifitas makan. Semakin besar ukuran bobot umpan, maka akan semakin mudah terlihat oleh ikan dan semakin banyak bau yang dilepaskan oleh umpan. Sehingga ikan akan mudah untuk menemukan umpan tersebut. Umpan yang padat seperti ikan utuh, tulang hewan, biasanya diletakan secara langsung pada bagian dalam bubu. Adapun untuk umpan yang berukuran

37 24 kecil, misalnya ikan rucah, biasanya diletakan pada tempat umpanyang terbuat dari kain nilon, plastik, atau logam (Schlack dan Smith, 2001) Posisi pemasangan umpan Letak dan posisi pemasangan umpan sangat berpengaruh dalam keberhasilan penangkapan. Umpan harus diletakan pada posisi yang strategis sehingga membuat ikan masuk untuk memakan umpan tersebut. Posisi umpan yang dipasang pada bubu sebaiknya mempermudah ikan untuk menemukan pintu masuk. Posisi pemasangan umpan yang tepat tergantung dari tingkah laku ikan yang menjadi target tangkapan (Schlack dan Smith, 2001). Menurut Miller (1990) jumlah hasil tangkapan kepiting (Cancer irronatus) pada bubu yang memakai umpan lebih baik jika dibandingkan dengan bubu tanpa umpan. Bau umpan yang menyebar di perairan akan menarik kepiting (Cancer magister) untuk mendatangi bubu dan kemudian mengarahkannya untuk masuk ke dalam bubu. Menurut hasil penelitiannya, bubu yang paling optimal menangkap kepiting (Cancer irronatus) adalah bubu yang posisi mulut dan umpannya searah dengan arus perairan. Archdale et al (2003) melakukan penelitian dengan membandingkan antara bubu berbentuk kotak dengan bubu berbentuk kubah, yang mana masing masing bubu mempunyai teknik pemasangan umpan yang berbeda. Pada bubu kotak, umpan dimasukkan ke dalam kotak umpan kemudian diletakkan pada dasar bagian tengah bubu. Adapun untuk bubu kubah, umpan tidak dimasukkan ke dalam kotak umpan namun umpan ditusukkan pada kawat dan kemudian dilengkungkan berhadapan dengan pintu masuk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik peletakan umpan pada bubu kotak kurang baik, karena posisi pemasangan umpan pada dasar bagian tengah bubu menyesatkan kepiting. Kebanyakan kepiting berusaha meraih umpan dari bagian samping ataupun dari bagian bawah bubu. Penempatan umpan pada bubu kubah lebih unggul karena mengarahkan kepiting secara langsung ke dalam pintu masuk yang berbentuk corong yang tidak dapat dicapai dari beberapa tempat lainnya. Sopati (2005) melakukan penelitian untuk mencari posisi umpan yang tepat pada jaring krendet. Umpan dipasang pada 0 cm, 10 cm, dan 20 cm. Hasil

38 25 penelitian menunjukkan umpan yang dipasang pada posisi 0 cm memperoleh hasil tangkapan yang lebih banyak jika dibandingkan yang lainnya. 2.5 Celah Pelolosan (Escape Gap) Indonesia dikenal dengan jenis ikan yang multispesies, sehingga dalam operasi penangkapan banyak menghasilkan tangkapan sampingan. Banyaknya ikan nontarget yang tertangkap akan menambah sorting time (waktu penyortiran) ketika di atas kapal. Hasil tangkapan sampingan ini dapat berupa ikan ikan spesies non target dan ikan ikan yang menjadi target penangkapan tetapi masih berukuran kecil (undersize). Menurut Chopin dan Arimoto (1994), tertangkapnya ikan yang masih kecil (undersize) dapat dikontrol dengan melarang secara tegas penggunaan alat tangkap yang memiliki kemungkinan besar menangkap ikan ikan yang ukurannya masih kecil (unde size). Dalam konteks selektivitas, alat tangkap yang digunakan harus dapat meminimalkan hasil tangkapan yang terluka, sehingga hasil tangkapan sampingan yang diperoleh ketika dilepas di perairan memiliki daya hidup yang tinggi. Untuk mengurangi hasil tangkapan sampingan pada bubu maka salah satu mekanisme yang digunakan adalah dengan memasang celah pelolosan (escape gap). Celah pelolosan (escape gap) ini telah terbukti dapat mengurangi hasil tangkapan sampingan beberapa spesies di beberapa negara (Iskandar, 2006). Menurut Iskandar (2006), celah pelolosan (escape gap) adalah celah yang dibuat pada salah satu sisi atau beberapa sisi bubu dengan bentuk segi empat, bulat atau persegi panjang untuk meloloskan ikan dan biota lainnya yang belum layak tangkap. Bahan yang digunakan untuk membuat escape gap sangat bervariasi. Beberapa nelayan menggunakan bahan dari plastik, besi, maupun papan. Namun pada saat ini penggunaan escape gap dari bahan yang mudah terurai atau yang mudah rusak sangat dianjurkan. Penggunaan escape gap dari bahan yang mudah terurai maupun corrosive material saat ini memang lebih dianjurkan untuk mencegah kemungkinan terjadinya ghost fishing. Ghosh fishing adalah fenomena dimana alat tangkap terlepas dari kendali nelayan dan terus melakukan proses penangkapan.

39 26 Agar celah pelolosan (escape gap) dapat berfungsi secara optimal maka beberapa faktor harus diperhatikan seperti bentuk, ukuran, posisi pemasangan, dan jumlah Bentuk Bentuk escape gap untuk meloloskan non target spesies cukup bervariasi disesuaikan dengan non target spesies yang ingin diloloskan. Beberapa bentuk escape gap yang digunakan untuk meloloskan nontarget spesies adalah empat persegi panjang, Krouse (1978) melakukan penelitian untuk mendapat escape gap yang efektif untuk mengurangi hasil tangkapan sampingan dari lobster dan kepiting Cancer borealis serta Cancer irroratus. karapas lobster yang boleh ditangkap adalah > 81 mm. Adapun lebar karapas kepiting yang boleh ditangkap adalah > 90 mm. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa escape gap yang berbentuk lingkaran dengan diameter 58 mm dan empat persegi panjang dengan ukuran 44.5 x152.4 mm paling efektif menangkap lobster dan kepiting yang layak tangkap. Treble et al. (1998) melakukan penelitian untuk memperoleh tipe escape gap yang efektif untuk melepeas undersize lobster di perairan Teluk Apollo, Victoria Australia. Di Victoria, ukuran rock lobster (Jasus edwardsi) yang layak tangkap minimal harus mempunyai panjang 105 mm untuk lobster betina dan 110 mm untuk lobster jantan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa escape gap berbentuk lingkaran dengan diameter 60 mm merupakan ukuran yang efektif untuk menangkap lobster layak tangkap (legal size lobster) Ukuran Ukuran escape gap tergantung dari besar kecilnya ikan yang dijadikan terget penangkapan. Dalam menentukan ukuran escape gap pada umumnya didasarkan pada beberapa hal, yaitu tingkat matang gonad ikan, nilai ekonomis ikan, dan peraturan pemerintah terkait escape gap. Brown (1982) menyatakan bahwa ukuran minimal kepiting dan lobster yang diperbolehkan ditangkap menurut di wilayah Inggris masing masing adalah

40 mm dan 80 mm. Kemudian Brown melakukan penelitian yang bertujuan untuk menemukan ukuran dan bentuk escape gap pada bubu yang dapat menangkap kepiting dan lobster yang layak tangkap dan meloloskan kepiting dan lobster yang belum layak tangkap. Untuk kepiting, Brown menggunakan escape gap berbentuk segi empat dengan ukuran: 38 mm x 74 mm, 38 mm x 115 mm, dan 42 mm x 74 mm. Adapun untuk lobster, Brown menggunakan escape gap dengan ukuran 42 mm x 100 mm, dan 42 mm x 74 mm. Hasil penelitian menunjukkan semua ukuran escape gap dapat menurunkan secara signifikan tertangkapnya kepiting dan lobster yang belum layak tangkap. Namun, untuk lobster escape gap yang terbaik adalah yang berukuran 38 mm x 74 mm, escape gap dengan ukuran ini dapat mengurangi kepiting yang tidak layak tangkap hingga 34% dan meningkatkan hasil tangkapan kepiting yang layak tangkap hingga 125%. Adapun untuk lobster, escape gap yang terbaik adalah yang berukuran 42 mm x 100 mm, escape gap dengan ukuran ini mendapat hasil tangkapan lobster yang tidak layak tangkap sangat sedikit, sedangkan hasil tangkapan lobster yang layak tangkap naik hingga 350%. Pada perikanan lobster dan kepiting, escape gap yang paling tepat adalah yang berukuran 42 mm x 72 mm. Begitupun Eldridge et al. (1979) vide Iskandar (2006) melakukan suatu penelitian berseri menggunakan escape gap untuk mendapatkan konfigurasi escape gap yang terbaik untuk menangkap blue crab (Callinectes sapidus). Pada fase pertama yang dilakukan pada tahun 1977 ditujukan untuk mendapatkan ukuran dan jumlah escape gap berbetuk empat persegi panjang yang efektif untuk mengurangi hasil tangkapan blue crab yang belum layak tangkap di pantai Charleston South Carolina. Di daerah tersebut blue crab dengan ukuran karapas <127 mm disebut sublegal (belum layak tangkap). Percobaan dengan mengguankan escape gap yang berukuran 1.75 mm x 1.5 mm, 2.0 mm x 1.5 mm, mm x 1.5 mm, 2.25 mm x 1.5 mm, dan 2.5 mm x 1.5 mm, menunjukan bahwa escape gap dengan ukuran 1.5 mm x mm dan 1.5 mm x 2.25 mm mengurangi hasl tangkapan blue crab yang belum layak tangkap (sublegal size) sebanyak % dan 58.91%.

41 Posisi dan jumlah Jirapunpipat et al. (2008) melakukan penelitian dengan menggunakan escape gap berbentuk kotak. Jumlah escape gap yang dipasang pada masingmasing bubu adalah 5 buah. Kelima escape gap ini dipasang pada lokasi berbeda, pertama dibagian sudut sisi miring pintu masuk, kedua dipasang di sisi bagian atas, ketiga dipasang di sisi bagian bawah, keempat dipasang di atas bagian tengah, dan kelima dipasang di tengah sisi miring pintu masuk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepiting lebih banyak keluar dari escape gap yang dipasang pada sisi bagian bawah. Selain itu, semakin banyak jumlah escape gap, akan memberikan peluang yang lebih besar bagi kepiting untuk keluar. Hal ini dikarenakan kepiting akan lebih mudah menemukan escape gap. 2.6 Hasil Tangkapan Bubu Jenis ikan yang menjadi hasil tangkapan bubu tergantung dari lokasi bubu itu dioperasikan. Menurut Subani dan Barus (1988), hasil tangkapan utama bubu dasar adalah Hasil tangkapan utama yang menjadi target dari bubu ini adalah ikan kwe (Caranx spp), baronang (Siganus spp), kerapu (Epinephelus spp), kakap (Lutjanus spp), kakaktua (Scarus spp), ekor kuning (Caesio spp), kaji (Diagramma spp), lencam (Lethiunus spp), udang peneide, udang barong, dan lain lain. Hasil tangkapan utama bubu apung adalah ikan tembang, japuh, julungjulung, torani, malalugis, kembung, selar, dan lain lain. Adapun hasil tangkapan utama bubu hanyut adalah ikan terbang. 2.7 Metode Penangkapan Bubu Pengoperasian bubu dapat dilakukan secara tunggal (single trap) maupun dengan sistem rawai (longline trap). Pemasangan bubu dengan sistem tunggal biasanya digunakan untuk menangkap ikan karang maupun bubu yang dioperasikan di hutan hutan bakau untuk menangkap kepiting bakau. Hal ini karena lokasi penangkapan yang tidak memungkinkan pemasangan bubu dengan sistem rawai. Pemasangan bubu dengan sistem rawai (longline trap) sering digunakan pada penangkapan rajungan.

42 29 Menurut Susanti (2005), metode pengoperasian bubu tambun adalah sebagai berikut: 1) Persiapan Tahap persiapan dilakukan sebelum menuju daerah peletakan bubu. Tahap ini meliputi persiapan perbekalan, persiapan alat tangkap, persiapan alat bantu penangkapan, dan persiapan perahu. Persiapan alat tangkap meliputi persiapan bubu dan rautan bambu untuk perbaikan bubu jika ada bubu yang rusak. Alat bantu penangkapan yang disiapkan berupa kaca mata selam, ganco, dan ember. Jika semua persiapan sudah selesai dilakukan, maka selanjutnya pergi ke fishing ground. 2) Pemasangan bubu (setting) Pemasangan bubu dilakukan dengan cara ditambun menggunakan batu karang, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Penambunan akan dihentikan jika bubu telah tertutupi oleh karang. Tahap akhir dari pemasangan bubu adalah pembuatan jalan ikan pada daerah sekitar mulut bubu. Benda benda yang menghalangi mulut bubu akan disingkirkan sehingga ikan akan mudah masuk ke dalam bubu. 3) Perendaman bubu (soaking) Perendaman bubu dilakukan kurang lebih selama 24 jam. 4) Pengangkatan bubu (hauling) Proses pengangkatan bubu diawali dengan menyingkirkan batu karang yang digunakan untuk menimbun bubu. Pengangkatan bubu dibantu dengan alat ganco untuk memudahkan pada proses pengangkatan. Seletah diangkat, selanjutnya pintu bubu dibuka untuk mengeluarkan hasil tangkapan. 2.8 Daerah Penangkapan Ikan Perairan tropis dicirikan dengan perairan dengan kandungan nutrien yang relatif rendah. Tetapi tetap merupakan daerah yang paling produktif dan memiliki keanekaragaman komunitas yang tinggi seperti daerah terumbu karang, lamun, dan bakau. Perairan dangkal laut tropis dicirikan dengan adanya tiga ekosistem yang saling berkaitan satu sama lain, yakni hutan bakau, padang lamun, dan terumbu karang. Keterkaitan antar tiga ekosistem ini sangat erat yakni dalam

43 30 kehidupan hewan hewan dan sumber nutriens. Hutan bakau merupakan daerah pembesaran bagi ikan ikan terumbu karang. Pergerakan air laut membawa nutriens yang dihasilkan di hutan bakau sehingga memperkaya nutrien di padang lamun dan terumbu karang (LIPI, 2007). Daerah terumbu karang, hutan bakau, dan padang lamun merupakan daerah operasi penangkapan ikan yang tepat termasuk untuk alat tangkap bubu. Namun alat tangkap yang digunakan harus tepat, misalnya jangan menangkap ikan di hutan bakau, karena daerah tersebut merupakan daerah pembesaran bagi ikan ikan karang. Pada dasarnya, pemasangan bubu dilakukan di daerah yang sudah diperkirakan terdapat ikan. Bubu tambun yang ada di Kepulauan Seribu, dioperasikan di daerah karang. Lain halnya dengan bubu kepiting bakau, yang mana bubu tersebut dioperasikan di hutan bakau. Menurut Subani dan Barus (1988) bubu ambai dan bubu apolo dioperasikan 1 2 mil dari garis pantai. Bahkan ada pula bubu yang dioperasikan di laut dalam dan permukaan laut. 2.9 Armada Penangkapan Kapal merupakan alat yang berfungsi untuk membawa nelayan dan alat tangkap menuju fishing ground dan selanjutnya membawa nelayan, alat tangkap (jika dibawa kembali pulang), dan hasil tangkapan kembali menuju fishing base. Dalam perikanan bubu pada umumnya nelayan banyak yang menggunakan kapal kayu, namun ada pula yang menggunakan kapal dari bahan fiber. Besar kecilnya kapal yang digunakan tergantung alat tangkap dan daerah penangkapan ikannya. Kapal yang digunakan oleh nelayan bubu yang mengoperasikan bubu di daerah pantai biasanya memiliki panjang antara 5 6 m. Kapal ini hanya menggunakan mesin tempel. Sedangkan untuk kapal yang digunakan oleh bubu yang dioperasikan di lepas pantai pada umumnya berukuran lebih besar. Kapal ini memiliki panjang antara m (Sainsbury, 1996). Menurut Susanti (2005), ada dua macam kapal yang digunakan nelayan bubu tambun, yaitu kapal motor dan kapal tanpa motor. Motor pada kapal nelayan bubu, membantu nelayan untuk mencapai fishing ground yang lebih jauh.

44 Nelayan Nelayan adalah orang yang bermata pecaharian sebagai penangkap ikan di laut. Nelayan merupakan operator dari alat tangkap yang akan digunakan dalam operasi penangkapan ikan. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1997), nelayan dikelompokkan menjadi 3, yaitu: 1) Nelayan penuh Nelayan penuh adalah nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air lainnya. 2) Nelayan sambilan utama Nelayan sambilan utama adalah nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan atau binatag air lainnya atau tanaman air lainnya. 3) Nelayan sambilan tambahan Nelayan sambilan tambahan adalah nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air lainnya. Dalam operasi penangkapan ikan menggunakan alat tangkap bubu, jumlah nelayan yang mengoperasikannya berbervariasi, sesuai dengan jenis bubu yang dioperasikan dan tingkat kesulitannya. Untuk bubu keong macan dari waring, jumlah nelayan yang mengoperasikannya sebanyak 2 3 orang. Untuk bubu gurita, jumlah nelayan yang mengoperasikannya sebanyak 1 2 orang. Adapun untuk bubu kakap merah, nelayan yang mengoperasikannya sebanyak 5 10 orang (Martasuganda, 2003). Adapun untuk bubu tambun, pada umumnya bubu ini hanya dioperasikan oleh 1 orang nelayan (Susanti, 2005).

45 32 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2008, dengan lokasi penelitian diperairan Pulau Kotok Kecil, Pulau Kotok Besar, Pulau Gosong Pandan, dan Pulau Karang Congkak, yang masuk dalam gugusan Kepulauan Seribu. Basis penangkapan bubu tersebut berada di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Lokasi penelitian dan basis penangkapan bubu disajikan pada Lampiran Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah: 1. Bulu babi (Diadema setosum) yang digunakan sebagai umpan. 2. Bantal raja (Culcita novaguineae) yang digunakan sebagai umpan. Alat yang digunakan pada kegiatan penelitian adalah: 1. Bubu sebanyak 20 unit, sebanyak 10 unit menggunakan celah pelolosan dan 10 unit yang lain tidak menggunakan celah pelolosan. 2. Ganco untuk mengangkat dan menimbun bubu. 3. Dongdang untuk membawa hasil tangkapan. 4. Satu unit kapal motor dengan dimensi panjang 7 meter, lebar 1.85 meter, dalam 1.6 meter, dan mesin yang digunakan adalah Yanmar TS Masker dan snorkel untuk menyelam ketika proses pemasangan dan pengangkatan bubu. 6. Jangka sorong untuk mengukur lebar hasil tangkapan. 7. Penggaris kain untuk mengukur body girth hasil tangkapan. 8. Timbangan untuk mengukur massa hasil tangkapan. 9. Papan pengukur ikan (measuring board) untuk mengukur panjang hasil tangkapan. 10. Kamera digital 11. Alat tulis Bahan dan alat yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 2.

46 Metode Penelitian Metode pengumpulan data Data yang dikumpulkan pada penelitian ini meliputi data primer dan sekunder. Data primer yang dikumpulkan meliputi: jumlah dan jenis hasil tangkapan, panjang total, panjang cagak, body girth, dan berat hasil tangkapan. Data primer ini diperoleh melalui operasi penangkapan di laut. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data keadaaan wilayah kelurahan pulau panggang, kependudukan, alat penangkapan ikan, keadaan ekonomi dan mata pencaharian penduduk, jumlah armada, alat tangkap yang dioperasikan, dan hasil tangkapan alat tangkap. Data tersebut diperoleh dari kelurahan pulau Panggang Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Penelitian ini adalah eksperimental fishing, yakni data diperoleh dengan melakukan operasi penangkapan di laut menggunakan serangkaian bubu yang bercelah (escape gap) dan tanpa celah (non escape gap). Bubu yang digunakan adalah jenis bubu tambun. Bubu ini secara keseluruhan terbuat dari bambu dengan dimensi p x l x t : 66 x 51 x 20 cm. Secara detail bubu tambun yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5. Bentuk mulut yang digunakan pada bubu tambun adalah corong dengan diameter mulut bagian luar 30 cm dan mulut bagian dalam berbentuk elips dengan diameter 20 cm. Secara lebih detail spesifikasi teknis bubu yang digunakan pada penelitian disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Spesifikasi teknis bubu tambun No. Spesifikasi Teknis Bubu Tambun 1 Bahan Bambu 2 Ukuran (66x51x20) cm 3 Mesh size 3 cm 4 Umur teknis 3 bulan 5 Sistem pemasangan Tunggal 6 Kedalaman pemasangan 0,5 3 meter

47 34 30 cm 3 cm 50 cm 20 cm cm 30 cm 20 cm (a) Bubu tampak depan (b) Ukuran mata bubu 66 cm 51 cm 9 cm 20 cm (c) Bubu tampak atas (d) Dimensi mulut bubu bagian dalam Gambar 5 Gambar teknis alat tangkap bubu tambun.

48 35 Bubu yang digunakan pada penelitian ini adalah bubu baru. Untuk mengurangi bau bambu yang keluar saat operasi penangkapan, maka sebelum digunakan bubu tersebut terlebih dahulu direndam di air laut selama 2 minggu. Bau ini dipercaya oleh nelayan dapat mengurangi hasil tangkapan. Pada Penelitian ini bubu dioperasikan dengan sistem tunggal pada kedalaman m. Bubu diletakkan secara berselang seling antara bubu yang bercelah dan tanpa celah. Maksud pemasangan ini adalah untuk memberikan peluang yang sama terhadap tertangkapnya ikan pada bubu. Jarak pemasangan antar bubu adalah 8 10 m. Secara keseluruhan posisi mulut bubu dipasang menghadap ke arah daratan. Hal ini dimaksudkan agar ikan yang melakukan migrasi pada saat pasang surut bisa terperangkap oleh bubu. Posisi pemasangan bubu disajikan pada Gambar 6. A Keterangan: A = Bubu escape gap B = Bubu non escape gap B A B A B Gambar 6 Posisi pemasangan bubu di perairan. Berbeda dengan bubu lainnya bubu tambun ketika dioperasikan di laut tidak dilengkapi dengan pelampung tanda. Untuk mendapatkan lokasi penangkapan

49 36 yang telah dipasang bubu, nelayan menggunakan tanda tanda alam seperti gundukan batu dan lain lain Konstruksi celah pelolosan Celah pelolosan yang digunakan pada penelitian ini berbentuk bulat. Pertimbangan penggunaan celah pelolosan berbentuk bulat adalah untuk memudahkan pelolosan hasil tangkapan berupa ikan (Irawati, 2002). Celah pelolosan (escape gap) yang dibuat berbentuk bulat, dengan diameter 4 cm. Ukuran ini didasarkan atas wawancara dengan nelayan, bahwa ikan kerapu koko yang layak jual memiliki body gird (lingkar tubuh) minimal 4 cm. setiap satu bubu, dipasang escape gap serjumlah 4 buah dan ditempatkan pada sisi kiri dan kanan bubu. Jumlah escape gap 4 buah pada setiap bubu bertujuan agar memudahkan ikan melihat keberadaan escape gap ini. Escape gap dibuat dari bahan bambu yang dilingkarkan, dan diikat dengan menggunakan tali. Pemasangan escape gap pada bubu dapat dilihat pada Gambar 7. Escape gap 4 cm Diameter escape gap Gambar 7 Bubu ber escape gap berbentuk lingkaran.

50 Metode Pengoperasian Bubu Tambun Metode pengoperasian bubu tambun di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu adalah sebagai berikut: 1) Persiapan Pada tahap ini dilakukan persiapan meliputi persiapan alat tangkap, persiapan alat bantu penangkapan, persiapan kapal perikanan, dan persiapan perbekalan. Persiapan alat tangkap diataranya menyiapkan bubu yang akan dioperasikan dan rautan bambu yang berfungsi untuk menambal bubu ketika terjadi kerusakan saat bubu dioperasikan. Persiapan alat bantu penangkapan dilakukan dengan menyiapkan alat bantu penangkapan berupa kaca mata renang, ganco, dan dongdang. Persiapan kapal perikanan meliputi pembelian bahan bakar kapal dan pengecekan kondisi kapal. Adapun persiapan perbekalan meliputi persiapan makanan dan minuman yang diperlukan selama operasi penangkapan dilakukan. Setelah tahap persiapan dilakukan, selanjutnya pergi ke fishing ground. 2) Pemasangan umpan Pemasangan umpan dilakukan setelah tiba di fishing ground. Umpan yang digunakan ada 2 macam, yaitu bantal raja (Culcita novaguineae) dan bulu babi (Diadema setosum). Bantal raja merupakan biota laut sejenis bintang laut. Bantal raja yang digunakan biasanya yang sudah mati dan dibiarkan beberapa hari di atas kapal sehingga kondisinya sudah busuk dan berbau menyengat. Hal ini dimaksudkan agar dapat menarik ikan untuk masuk ke dalam bubu. Selanjutnya bantal raja dipotong potong menjadi sekitar 5 bagian, kemudian diletakkan di dasar bubu. Adapun bulu babi yang digunakan merupakan bulu babi yang ada di sekitar fishing ground. Sebelum dimasukkan ke dalam bubu, bulu babi tersebut dihancurkan menggunakan ganco. Setelah bulu babi dalam keadaan hancur selanjutnya diletakkan secara sembarang di dasar bubu. Proses pemasangan umpan dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8 Proses pemasangan umpan berupa bulu babi.

51 38 3) Pemasangan bubu (setting) Bubu diletakkan di dasar perairan tanpa menggunakan pelampung tanda. Pemasangan bubu dilakukan dengan cara menimbun bagian sisi sisi bubu menggunakan batu karang. Hal ini dimasudkan agar ikan menganggap bahwa bubu tersebut merupakan gugusan karang, sehingga ikan tertarik untuk masuk ke dalam bubu. Posisi mulut bubu ketika dipasang menghadap ke arah daratan. Hal ini bertujuan agar ikan yang melakukan ruaya pasang surut dapat masuk ke dalam bubu. Bubu tambun dipasang pada kedalam 0,5 3,0 meter dan pemasangan bubu dilakukan pada pagi hari. Pemasangan bubu berlangsung selama kurang lebih 3 5 menit per bubu. Proses pemasangan bubu menggunakan alat bantu ganco. Ganco berfungsi sebagai alat bantu untuk memindahkan batu karang ketika proses penimbunan dilakukan. Proses pemasangan (setting) bubu disajikan pada Gambar 9. Gambar 9 Proses pemasangan (setting) bubu. 4) Perendaman bubu (soaking) Perendaman bubu dilakukan kurang lebih selama 24 jam. Selama proses perendaman, bubu tersebut ditinggalkan di perairan. Selanjutnya nelayan kembali ke fishing base untuk beristirahat di rumah atau melakukan operasi penangkapan menggunakan jaring gebur untuk menangkap ikan hias. Selain itu, bagi nelayan yang memiliki tambak kerapu, setelah pulang memasang bubu biasanya nelayan tersebut memberi makan ikan kerapu. 5) Pengangkatan bubu (hauling) Pengangkatan bubu dilakukan pada pagi hari setelah bubu direndam selama sehari semalam. Proses pengangkatan bubu diawali dengan menyingkirkan batu karang yang digunakan untuk menimbun bubu. Proses pengangkatan bubu

52 39 berlangsung selama kurang lebih 3 5 menit per bubu. Pengangkatan bubu dibantu dengan alat bantu ganco. Setelah bubu diangkat, kemudian pintu bubu dibuka untuk mengeluarkan hasil tangkapan. Hasil tangkapan kemudian dimasukkan ke dalam dongdang. Hal ini bertujuan agar hasil tangkapan tersebut dalam kondisi hidup ketika tiba di fishing base. Setelah bubu selesai diangkat kemudian diberi umpan dan dipasang kembali. Proses pengangkatan (hauling) bubu disajikan pada Gambar 10. Gambar 10 Proses pengangkatan (hauling) bubu. 3.5 Analisis Data Data hasil tangkapan berupa kompisisi spesies akan dianalisis dengan menggunakan index Shanon Wiener untuk melihat keragaman spesies. Rumus untuk mencari keragaman spesies menggunakan index Shanon Wiener adalah sebagai berikut (Winarni, 2005): Keterangan : H : Index diversitas Shanon Wiener Pi : Proporsi spesies terhadap total hasil tangkapan s : Jumlah Spesies Jika : H mendekati 0 maka spesies tidak bervariasi (ada dominansi) H Mendekati 1 maka spesies bervariasi (tidak ada dominansi) Data berupa ukuran hasil tangkapan yang meliputi jumlah total hasil tangkapan, jumlah tangkapan kerapu koko, panjang total kerapu koko, body girth kerapu koko, dan berat kerapu koko akan dihitung dengan menggunakan uji statistik non parametrik: Mann Whitney U test.

53 40 Mann Whitney U test digunakan untuk menguji hipotesis komparatif dua sampel independen bila datanya berbentuk ordinal. Jika data dalam suatu sampel berbentuk interval, maka perlu dirubah terlebih dahulu ke dalam bentuk ordinal. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut: a. Ho : n = 0, artinya tidak terdapat perbedaan antara dua kelompok populasi b. Ha : n 0, artinya terdapat perbedaan antara dua kelompok populasi keterangan: n = jumlah sampel Rumus yang digunakan untuk pengujian sampel adalah sebagai berikut: (Sugiyono, 2003) n Keterangan: n1 : Jumlah sampel 1 n2 : Jumlah sampel 2 U1 : Jumlah peringkat 1 / U hitung 1 U2 : Jumlah peringkat 2 / U hitung 2 R1 : Jumlah rangking pada sampel n1 R2 : Jumlah rangking pada sampel n2 Nilai U hitung yang terkecil antara U1 dan U2 akan digunakan untuk pengujian dan dibandingkan dengan U tabel. Kaidah pengambilan keputusan adalah sebagai berikut: a. Jika U hitung < U tabel, maka tolak Ho dan Ha diterima b. Jika U hitung > U tabel, maka terima Ho dan Ha ditolak Pengujian statistik non parametrik Mann Whitney dapat dilakukan pula dengan menggunakan software SPSS (Statistical Product and Service Solution). Langkah langkahnya adalah sebagai berikut (Santoso, 1999): a. Buka lembar kerja/file Man Whitney, b. Dari baris menu pilih meni Statistics, kemudian pilih submenu Non parametric Test, c. Kemudian pilih 2 Independent Sampel untuk menguji dua sampel yang bebas, d. Test Variable List atau variabel yang akan diuji,

54 41 e. Grouping Variable atau variabel grup, f. Define Group, g. Untuk Test Type atau tipe uji, klik pilihan Mann Whitney, dan h. Klik Ok untuk mengakhiri pengisian prosedur analisis. Kemudian akan muncul output SPSS.

55 42 4. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis dan Perairan Wilayah Administrasi Kabupaten Kepulauan Seribu meliputi dua Kecamatan yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Wilayah pemerintahan dan pemukiman di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara terdiri dari tiga Kelurahan, yaitu Kelurahan Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Kelapa, dan Kelurahan Pulau Harapan. Secara geografis Kelurahan Pulau Panggang terletak antara 05 o o LS hingga 05 o o LS dan antara 106 o o BT. Adapun batas batas wilayah Kelurahan Pulau Panggang adalah sebagai berikut: Sebelah Utara : berbatasan dengan wilayah perairan Kelurahan Pulau Kelapa; Sebelah Timur : berbatasan dengan wilayah perairan Laut Jawa; Sebelah Barat : berbatasan dengan wilayah perairan Laut Jawa; dan Sebelah Selatan : berbatasan dengan wilayah perairan Kelurahan Pulau Tidung. Pada mulanya berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta, jumlah pulau yang ada di Kelurahan Pulau Panggang sebanyak 16 pulau. Namun akibat abrasi air laut, jumlah Pulau di Kelurahan Pulau Panggang tinggal 13 buah pulau. Selanjutnya jumlah pulau yang ada di Kelurahan Pulau Panggang dituangkan dalam SK Gubernur DKI Jakarta dengan nomor: 1986/2000 tanggal 27 Juli 2000 yang menyatakan bahwa wilayah Kelurahan Pulau Panggang terdiri dari 13 pulau dengan luas pulau Ha. Pulau yang ada di wilayah Kelurahan Pulau Panggang memiliki fungsi maupun peruntukan yang berbeda beda, ada yang digunakan sebagai perkantoran, tempat peristirahatan, pemukiman, tempat pemakaman umum (TPU), penyempurnaan hijau umum (PHU), dan lain sebagainya. Penyempurnaan hijau umum (PHU) adalah wilayah yang ditumbuhi tanam tanaman berupa hutan, perkebunan binaan, atau penghijauan yang berfungsi untuk perlindungan ekosistem setempat dan di dalamnya tidak diperkenankan mendirikan bangunan kecuali untuk sarana perlindungan

56 43 lingkungan tersebut. Adapun pulau yang digunakan untuk pemukiman adalah Pulau Panggang dan Pulau Pramuka. Secara terperinci, pulau pulau yang termasuk dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang Kecamatan Kepulauan Seribu Utara beserta luasnya disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3 Detail luas pulau yang termasuk dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang dan peruntukannya No. Nama pulau Luas Peruntukan Pulau Panggang Pulau Pramuka Pulau Karya Pulau Peniki Pulau Karang Bongkok Pulau Karang Congkak Pulau Kotok Besar Pulau Air Besar Pulau Gosong Sekati Pulau Semak Daun Pulau Gosong Pandan Pulau Opak Kecil Pulau Kotok Kecil Jumlah 9.00 Ha Ha 6.00 Ha 3.00 Ha 0.50 Ha 0.60 Ha Ha 2.90 Ha 0.20 Ha 0.75 Ha 1.10 Ha 1.30 Ha Ha Pemukiman Pemukiman Perkantoran / TPU Navigasi Peristirahatan Peristirahatan Pariwisata Peristirahatan Peristirahatan PHU Peristirahatan Peristirahatan PHU Sumber: Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 2008 Topografi Kepulauan Seribu rata rata landai dengan kemiringan berkisar antara 0 15% dengan ketinggian 0 2 m di atas permukaan laut. Luas daratan masing masing pulau terpengaruh oleh adanya pasang surut. Jenis tanah di daratan berupa pasir koral yang merupakan hasil pelapukan dari batu gamping terumbu koral. Ketebalan pasir koral ini umumnya kurang dari 1 m, namun di beberapa tempat dapat mencapai ketebalan 5 m. Pasir koral merupakan hancuran detrital (salah satu jenis koral) yang berwarna putih keabu abuan. Pada beberapa pulau khususnya pada daratan pantai sering ditumbuhi oleh pohon bakau sehingga dijumpai lapisan tanah organik yang sangat lunak. Lapisan tanah organik ini

57 44 berasal dari pelapukan tumbuh tumbuhan serta material yang terbawa oleh arus laut dan tertahan pada akar pohon bakau. Pada umumnya keadaan geologi Kepulauan Seribu terbentuk dari batuan kapur, karang, pasir, dan sedimen yang berasal dari Pulau Jawa dan Laut Jawa. Pada bagian atas batuan dasar diendapkan sedimen epiklasik, batu gamping, dan batu lempung. Endapan batuan tersebut merupakan dasar tempat pertumbuhan gamping terumbu karang. Sebagian besar terumbu karang yang ada di Kepulauan Seribu masih mengalami pertumbuhan. Pada wilayah Kepulauan Seribu tidak dijumpai sumber hidrologi permukaan seperti sungai dan mata air. Kondisi air tanah sangat tergantung pada kepadatan vegetasinya. Untuk pulau pulau yang mempunyai vegetasi yang padat dan mempunyai lapisan tanah yang cukup tebal, maka kondisi air tanah akan mempunyai kualitas baik yaitu tawar. Hal tersebut karena vegetasi dan lapisan tanah tersebut menyimpan air tanah yang berasal dari hujan. Secara umum keadaan laut mempunyai kedalaman yang berbeda beda yakni berkisar antara 0 40 meter. Pada wilayah Kepulauan Seribu terdapat tiga tempat yang mempunyai kedalaman perairan yang lebih dari 40 meter, yaitu sekitar Pulau Payung, Pulau Tikus, dan Pulau Pari. Suhu udara rata rata antara C dengan suhu udara maksimum tahunan C dan minimum C. Kelembaban rata rata berkisar antara 75 99% dan tekanan udara rata rata berkisar antara milibar (mb). Kecepatan maksimum arus permukaan laut pada musim barat dan musim timur adalah 0.5 m/detik. Arah arus permukaan pada musim barat adalah arah Timur sampai Tenggara. Gelombang laut yang terdapat pada musim barat mempunyai ketinggian antara m dan musim timur m. Suhu permukaan di Kepulauan Seribu pada musim barat berkisar antara C. Adapun pada musim timur suhu permukaan antara C. Salinitas permukaan berkisar antara 30 34% pada musim barat maupun pada musim timur. 4.2 Musim Tipe iklim pada sebelas pulau yang ada di Kepulauan Seribu adalah tropika panas dengan suhu maksimum 32 C dan suhu minimum 21.6 C. Adapun suhu

58 45 rata rata adalah 27 C dan kelembaban udara 80%. Pada bulan Maret, April, dan Mei keadaan cuaca di Kepulauan Seribu dalam kondisi baik. Curah hujan di Kepulauan seribu berkisar antara mm. Adapun curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari, sehingga bulan Januari dikatakan sebagai bulan basah. Adapun bulan kering terjadi pada bulan Juni hingga September. Musim yang terdapat di Kepulauan Seribu adalah musim barat dan musim timur. Pada musim barat, angin bertiup dari Barat disertai dengan hujan lebat. Adapun pada musim timur, angin bertiup dari Timur serta kering. Angin barat terjadi pada bulan Desember hingga Maret dan angin timur terjadi antara bulan Juni hingga September. Musim pancaroba terjadi antara bulan April hingga Mei dan bulan Oktober hingga Nopember. Kecepatan angin berkisar antara 7 20 knot, biasanya terjadi pada bulan Desember hingga Pebruari. Pada musim timur kecepatan angin berkisar antara 7 15 knot yang bertiup dari arah Timur Laut sampai Tenggara. Musim hujan di Kepulauan Seribu biasanya terjadi antara bulan Nopember hingga April dengan jumlah hari hujan antara hari/bulan. Curah hujan terbesar terjadi pada bulan Januari. Curah hujan tahunan berjumlah sekitar mm. Pada musim kemarau kadang kadang terjadi hujan dengan jumlah hari hujan antara 4 10 hari/bulan. Curah hujan terkecil pada umumnya terjadi pada bulan Agustus. 4.3 Unit Penangkapan Ikan Unit penangkapan ikan merupakan keseluruhan komponen penangkapan ikan. Unit penangkapan ikan terdiri dari alat penangkapan, armada penangkapan, dan nelayan Alat penangkapan ikan Alat tangkap merupakan alat yang digunakan untuk menangkap ikan. Konstruksi alat tangkap ini biasanya disesuaikan dengan tingkah laku ikan yang menjadi target penangkapan dan habitatnya. Alat tangkap yang digunakan nelayan di Kelurahan Pulau Panggang bervariasi, diantaranya adalah payang, jaring dasar, jaring gebur (bottom gillnet), bubu, pancing, dan muroami. Alat tangkap pancing merupakan alat tangkap yang paling banyak digunakan oleh nelayan. Jumlah pemilik alat tangkap pancing berjumlah 444 orang dan jumlah keseluruhan

59 46 pancing adalah 532 unit. Jumlah alat tangkap terbesar ke dua adalah bubu. Jumlah nelayan yang mengoperasikan bubu sebanyak 27 orang dan jumlah alat tangkap bubu sebanyak 220 unit bubu. Jenis dan jumlah alat tangkap yang dioperasikan di wilayah Kelurahan Pulau Panggang selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Jenis dan jumlah alat tangkap di Kelurahan Pulau Panggang No. Jenis alat Jumlah pemilik Jumlah alat Payang Jaring dasar Jaring gebur Bubu besar Bubu kecil Pancing Muroami Jumlah Sumber: Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 2008 Jumlah alat tangkap pancing mendominasi jenis alat tangkap yang ada di Kelurahan Pulau Panggang. Hal ini disebabkan karena alat tangkap pancing memiliki harga yang relatif lebih murah dibanding alat tangkap lain. Selain itu, alat tangkap pancing mudah dalam pembuatannya. Alat tangkap bubu merupakan alat tangkap terbesar ke dua setelah pancing. Hal ini disebabkan bubu merupakan alat tangkap yang mudah dioperasikan di perairan berkarang. Selain itu hasil tangkapan bubu berada dalam kondisi hidup, sehingga hasil tangkapan masih dalam kondisi segar. Kondisi ini menguntungkan apabila bubu digunakan untuk menangkap ikan hias Armada penangkapan Kapal perikanan merupakan alat yang bisa mengapung di atas air dan memiliki ruang yang digunakan untuk membawa nelayan dan alat tangkap ke daerah penangkapan serta membawa kembali nelayan, alat tangkap, dan hasil tangkapan ke fishing base. Kapal perikanan sering disebut juga armada penangkapan. Armada penangkapan yang ada di Kelurahan Pulau Panggang

60 47 terbagi menjadi 4 kelompok, yaitu kapal motor, perahu motor, perahu layar (perahu tanpa mesin), dan speedboat. Selain digunakan untuk melakukan operasi penangkapan, beberapa jenis kapal ada yang digunakan sebagai sarana transportasi dan rekreasi. Speed boat merupakan salah satu kapal perikanan yang lebih banyak digunakan sebagai sarana transortasi dan rekreasi. Jenis dan jumlah armada penangkapan yang ada di Kelurahan Pulau Panggang disajikan dalam Tabel 5. Tabel 5 Jenis dan jumlah armada penangkapan di Kelurahan Pulau Panggang No. Jenis armada Jumlah Kapal Motor Perahu Motor Perahu Layar (perahu tanpa motor) Speedboat Jumlah Total 430 Sumber: Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 2008 Jangkauan daerah penangkapan ikan tergantung oleh ukuran kapal yang digunakan oleh nelayan. Jangkauan operasi penangkapan perahu motor bisa mencapai daerah penangkapan yang mempunyai jarak selama 1 3 jam perjalanan. Semakin besar ukuran kapal maka semakin jauh daerah penangkapan ikan yang bisa dicapai. Adapun perahu layar merupakan armada penangkapan dengan jangkauan daerah penangkapan yang paling dekat. Perahu layar merupakan perahu tanpa mesin. Tenaga penggerak utamanya adalah layar dengan dibantu oleh dayung. Agar perahu layar dapat mencapai daerah penangkapan yang lebih jauh, maka nelayan biasanya meminta bantuan perahu motor atau kapal motor yang searah dengan tujuan perahu layar untuk menarik hingga tiba di daerah penangkapan ikan. Perahu layar tersebut ditarik oleh kapal motor dengan menggunakan tambang yang diikat pada bagian tiang wheel house atau tiang yang biasa digunakan kapal motor ketika kapal tersebut ditambatkan di dermaga.

61 Nelayan Mayoritas masyarakat Pulau Panggang bermatapencaharian sebagai nelayan. Nelayan merupakan orang yang bermatapencaharian menangkap ikan di laut. Sebagian besar nelayan yang ada di Pulau Panggang merupakan nelayan pendatang dari berbagai daerah. Nelayan di Kelurahan Pulau Panggang dibedakan menjadi nelayan tetap dan nelayan musiman. Nelayan tetap adalah nelayan yang melakukan aktifitas penangkapan sepanjang tahun, baik pada musim ikan maupun pada musim paceklik. Adapun nelayan musiman adalah nelayan yang hanya melakukan aktifitas penangkapan hanya pada musim ikan saja (LIPI, 2006). Jumlah nelayan yang ada di Kelurahan Pulau Panggang disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6 Jumlah nelayan di Kelurahan Pulau Panggang Lokasi a. Pulau Panggang b. Pulau Pramuka Jenis nelayan Tetap Musiman Sumber: Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 2006 Total Selain berprofesi sebagai nelayan, masyarakat yang ada di Kelurahan Pulau Panggang ada pula yang berprofesi sebagai pembudidaya ikan dan rumput laut. Mayoritas usaha budidaya di Kelurahan Pulau Panggang adalah budidaya kerapu dengan jumlah 150 unit. Nelayan di Kelurahan Pulau Panggang ada pula yang merangkap menjadi pembudidaya kerapu. Nelayan yang merangkap ini memiliki keuntungan tersendiri yakni dapat menghemat pembelian pakan. Hal ini disebabkan pakan berupa ikan bisa disediakan dari hasil tangkapannya sendiri di laut. Pakan yang biasanya digunakan sebagai umpan pada budidaya kerapu adalah ikan betok hitam (Neoglyphidodon crossi). Ikan ini biasanya merupakan hasil tangkapan sampingan alat tangkap bubu tambun. Selain betok hitam (Neoglyphidodon crossi), ikan yang biasa digunakan sebagai umpan pada budidaya kerapu adalah ikan menggilalat (Siganus doliatus). Jenis budidaya dan jumlah unit budidaya yang ada di Kelurahan Pulau Panggang secara detil disajikan pada Tabel 7.

62 49 Tabel 7 Jenis dan jumlah unit budidaya di Kelurahan Pulau Panggang No. Jenis Budidaya Jumlah (unit) Pengelola Budidaya Rumput Laut Budidaya Bandeng Budidaya Kerapu Budidaya Transplantasi Karang Masyarakat Swasta/Masyarakat Swasta/Masyarakat Swasta/Masyarakat Jumlah 285 Sumber: Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Produksi Ikan Produksi ikan dari sektor perikanan tangkap di Kabupaten Kepulauan Seribu cukup besar. Menurut data dari Suku Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kota Jakarta, total produksi perikanan tangkap pada tahun 2006 mencapai kg. Produksi tersebut dihasilkan oleh nelayan dengan menggunakan beberapa jenis alat tangkap. Alat tangkap yang memberikan kontribusi terbesar terhadap produksi perikanan tangkap di Kepulauan Seribu adalah payang dengan jumlah produksi sebesar kg. Kemudian diikuti oleh alat tangkap pancing, yaitu sebesar kg. Data jumlah produksi perikanan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu pada tahun 2006 disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Data produksi perikanan di Kabupaten Kepulauan Seribu pada tahun 2006 No. Jenis alat tangkap Jumlah produksi (kg) % Pancing Payang Muroami Bubu Jaring Lainnya Jumlah Sumber: Suku Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kota Jakarta Utara (2006)

63 50 Kontribusi terhadap produksi perikanan tangkap dihasilkan oleh alat tangkap lain. Yang dimaksud dengan alat tangkap lain pada tulisan ini diantaranya adalah bagan perahu, sero, dan lain lain. Adapun alat tangkap jaring diantaranya adalah jaring dasar, jaring gebur, dan lain lain. 4.5 Daerah Penangkapan Ikan Daerah operasi penangkapan merupakan daerah yang diperkirakan banyak terdapat ikan sehingga operasi penangkapan dapat dilakukan di tempat tersebut. Daerah penangkapan nelayan Pulau Panggang diantaranya adalah Pulau Kotok Kecil, Pulau Kotok Besar, Pulau Karang Congkak, Pulau Gosong Pandan, Pulau Gosong Keroya, Pulau Semak Daun, Pulau Karya, Pulau Air, dan lain sebagainya. Sebagian besar wilayah tersebut merupakan daerah yang subur, karena wilayahnya merupakan daerah karang yang merupakan habitat berbagai jenis ikan karang. Selain daerah karang lokasi tersebut juga merupakan daerah padang lamun yang merupakan salah satu tempat bagi ikan karang untuk mencari makan.

64 51 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Total jumlah hasil tangkapan bubu Bubu tambun yang digunakan dalam penelitian berjumlah 20 buah, yang terdiri dari bubu yang menggunakan celah pelolosan (escape gap) sebanyak 10 buah dan bubu tanpa celah pelolosan (non escape gap) sebanyak 10 buah. Jumlah total hasil tangkapan yang diperoleh selama 10 hari pengambilan data adalah sebanyak ekor dengan berat total hasil tangkapan sebesar 81,51 kg. Jumlah seluruh spesies yang tertangkap adalah 63 spesies. Spesies yang dominan tertangkap pada penelitian ini adalah betok hitam (Neoglyphidodon crossi) dengan proporsi 16,5% dari total hasil tangkapan. Jumlah betok hitam yang tertangkap adalah 181 ekor atau setara dengan 11,72 kg. Betok hitam (Neoglyphidodon crossi) termasuk dalam famili Pomacentridae. Selain hasil tangkapan betok hitam (Neoglyphidodon crossi), hasil tangkapan bubu tambun yang cukup dominan adalah strip delapan/kepe kepe (Chaetodon octofasciatus) dengan jumlah 93 ekor atau 8,48% dari total hasil tangkapan serta setara dengan 2,01 kg. Strip delapan/kepe kepe (Chaetodon octofasciatus) merupakan kelompok dari famili Chaetodontidae. Hasil tangkapan dominan berikutnya adalah kupas kupas (Balistes viridescense) yang merupakan kelompok famili Monachantidae dengan jumlah 76 ekor atau 6,93% dari total hasil tangkapan serta setara dengan 2,14 kg. Adapun hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) berjumlah 51 ekor atau 4,65% dari total hasil tangkapan serta setara dengan 8,21 kg. Secara detail hasil tangkapan yang diperoleh dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 9. Dalam bentuk grafik proporsi spesies yang tertangkap dikelompokkan dalam kategori famili disajikan pada Gambar 11.

65 52 Tabel 9 Jumlah dan persentase spesies seluruh hasil tangkapan No. Famili Nama Lokal Spesies Nama Internasional Jumlah % Total 1 Pomacentridae 2 Serranidae 3 Scaridae 4 Labridae 5 Monachantidae 6 Chaetodontidae 7 Nemipteridae 8 Haemulidae Betok belang **** Dischistodus prosopotaenia Honeyhead damsel 1 0,09 Betok hitam **** Neoglyphidodon crossi Orange damsel ,50 Betok hitam tanda **** Dischistodus pseudochrysopoecilus Monarch Damsel 59 5,38 Betok lobang **** Dischistodus melanotus Black vent damsel 7 0,64 Betok putih **** Dischitodus perspicillatus White damsel 33 3,01 Betok ronggeng**** Abudeduf septemfasciatus Banded sergeant 34 3,10 Sersan mayor ** Abudeduf bengalensis Bengal sergeant 15 1,37 Kerapu hitam * Epinephelus ongus Speckled fin grouper 37 3,37 Kerapu koko * Ephinephelus quoyanus Long fined rock code 51 4,65 Kerapu lada * Ephinephelus merra Honey comb cod 3 0,27 Kerapu lodi * Plectropomus leopardus Leopard coral grouper 5 0,46 Kerapu lokal * Ephinephelus sexfasciatus Six band rock cod 13 1,19 Kerapu merah * Ephinephelus Fasciatus Black tipped cod 5 0,46 Kakatua * Scarus prasiognatos 39 3,56 Kakatua hitam *** Scarus niger Dasky parrotfis 2 0,18 Kakatua ijo *** Scarus quoyi Green blotched parrotfish 10 0,91 Kakatua merah *** Scarus niger Dusky parrotfish 3 0,27 Kakatua putih * Scarus rivulatus Surf parrotfish 2 0,18 Bayeman * Halichoeres marginatus Moluccan Seaperch 1 0,09 Lape * Halicoeres trimaculatus Three spot wrasse 1 0,09 Lape putih * Halicoeres sp. 2 0,18 Kenari * Chelinus sp. 23 2,10 Kenari merah *** Cheilinus fasciatus Scarlet breasted maori wrasse 9 0,82 Kenari panjang * Epibulus sp. 2 0,18 Kenari terompet * Epibulus insidiator Slingjaw wrasse 17 1,55 Jarang gigi * Choerodon anchorago White belly Tuskfish 33 3,01 Kupas kupas **** Balistes viridescense Titan tiggerfish 76 6,93 Kupas kupas hitam **** Marmut ** Strip delapan/kepkepe **** Chantherhines fronticinctus Chaetodontoplus mesoleucus Spectacled Filefish 2 0,18 Vermiculate angelfish 30 2,73 Chaetodon octofasciatus Eight banded butterflyfish 93 8,48 Pasir * Pentapodus trivittatus Striped whiptail 63 5,74 Serak * Scolopsis lineatus Striped Spinecheek 21 1,91 Lencam * Lethrinus sp. 18 1,64 Lencam burik * Lethrinus sp. 1 0,09 9 Siganidae Menggilalat * Siganus doliatus Doublebar Spinefoot 25 2, Holocentridae Swanggi * Sargocentron rubrum Red Squirrelfish 13 1, Mulidae Janggut * Parupeneus macronema Long barbel Goatfish 9 0,

66 53 No. Famili Nama Lokal Spesies Nama Internasional Jumlah % Total 12 Apogocentridae 11 Lain lain Siriding * Apogon guamencis Guam cardinalfish 14 1,28 16 Siriding hitam * Apogon melas Black cardinalfish 2 0,18 Bawalan *** Parachaetodon ocellatus Ocellate coral fish 3 0, Bungawaru *** Plectorhinchus lineatus Oblique banded sweetlips 3 0,27 Buntal diodon **** Diodon sp. 1 0,09 Buntal tetraodon **** Arohtron mappa Scribbled Pufferfish 2 0,18 Cucut toke ** Atelomycterus marmoratus Coral catshark 1 0,09 Ekor kuning * Caesio cuning Redbelly yellowtail fusilier 2 0,18 Kakap tanda * Lutjanus rufolineatus Yellow striped snapper 1 0,09 Kamba * 1 0,09 Keling ijo * Halichoerus chloropterus Green wrasse 1 0,09 Kepiting batik **** Carpilus convexus Reef crab 2 0,18 Kepiting batu **** Atergratis floridus Reef crab 24 2,19 Kepiting bulan * Carpilius maculatus Reef crab 4 0,36 Kepiting pasir * Portonus hastatoides Swimming crab 51 4,65 Kerondong *** Gymnothorax javanicus Giant moray 1 0,09 Kumang **** Dardanus megis Hermit crab 11 1,00 Lepu angin **** Scorpaeana gutata 2 0,18 Lepu tembaga **** Synanceia horrida Estuarin stonefish 1 0,09 Macanan *** Plectorhincus picus 1 0,09 Mata belo * Clupea kanagurta 1 0,09 Menggaru * Lutjanus decussatus Checkered snapper 10 0,91 Pelo * Halichoeres hortulatus 7 0,64 Pelo sabun * Halichoeres prosopeion 3 0,27 Semadang * 5 0,46 Tikusan * Halichoeres hortulanus Fourspot 4 0,36 Keterangan: * : Ikan konsumsi *** : Ikan konsumsi dan hias ** : Ikan hias **** : Ikan non konsumsi dan non hias Apogoncentrid ae 1,46% Gambar 11 Komposisi total jumlah hasil tangkapan.

67 54 Ikan ekonomis penting yang dominan tertangkap adalah ikan dari famili Serranidae yakni sebanyak 114 ekor. Spesies ikan dari famili Serranidae yang tertangkap oleh bubu tersebut diantaranya adalah kerapu hitam (Epinephelus ongus), kerapu koko (Ephinephelus quoyanus), kerapu lada (Ephinephelus merra), kerapu lodi (Plectropomus leopardus), kerapu lokal (Ephinephelus sexfasciatus), dan kerapu merah (Ephinephelus fasciatus). Adapun ikan ekonomis penting yang dominan tertangkap setelah famili Serranidae adalah famili Labridae yakni sebanyak 87 ekor. Spesies ikan dari famili Labridae yang banyak tertangkap adalah lape (Halicoeres trimaculatus), lape putih (Halicoeres sp.), kenari (Epibulus sp.), kenari merah (Cheilinus fasciatus), kenari panjang (Epibulus sp.), kenari terompet (Epibulus insidiator), dan jarang gigi (Choerodon anchorago). Kerapu koko (Epinephelus quayanus) merupakan ikan target penangkapan yang mempunyai nilai jual cukup tinggi. Harga kerapu koko (Epinephelus quayanus) yang berukuran diatas 250 gram untuk tiap kilogram adalah adalah Rp ,00. Adapun kebanyakan ukuran kerapu koko (Epinephelus quayanus) yang tertangkap oleh nelayan berukuran antara gram. Sebelum dijual kerapu koko (Epinephelus quayanus) dengan ukuran ini harus diolah terlebih dahulu menjadi ikan asin dan memiliki nilai jual Rp ,00 per kg. Selain mempunyai nilai jual yang rendah, ikan dengan ukuran tersebut juga belum penah mengalami kematangan gonad, sehingga ditinjau dari sudut biologis pun akan dapat merugikan kelangsungan hidup ikan tersebut. Ikan betok merupakan jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis yang relatif lebih rendah. Hal ini karena harga jualnya berkisar antara Rp 3.000,00 Rp 4.000,00 per kg untuk semua ukuran. Ikan betok pada umumnya digunakan sebagai bahan baku pakan alami ikan kerapu yang dipelihara di keramba milik nelayan. Selain digunakan sebagai bahan baku pakan alami, ikan betok juga digunakan sebagai bahan baku ikan asin. Adapun ikan non target yang dominan tertangkap adalah strip delapan/kepekepe (Chaetodon octofasciatus) dan kupas kupas (Balistes viridescense). Kedua jenis ikan ini jika tertangkap, langsung dibuang kembali ke laut dan sebagian besar dalam kondisi mati.

68 55 Beberapa jenis ikan seperti ikan bayeman, betok belang (Dischistodus prosopotaenia), cucut toke (Atelomycterus marmoratus), buntal diodon (Diodon sp.), lepu tembaga (Synanceia horrida), lepu angin (Scorpaeana gutata), keling ijo (Halichoerus chloropterus), kakap tanda (Lutjanus rufolineatus), dan lain lain merupakan incidental catch artinya ikan yang hanya tertangkap secara tidak sengaja dengan jumlah relatif kecil yakni 1 ekor. Operasi penangkapan dilakukan di empat lokasi yaitu di Pulau Kotok Kecil, Pulau Gosong Pandan, Pulau Kotok Besar, dan Pulau Karang Congkak. Operasi penangkapan di Pulau Kotok Kecil dilakukan pada trip ke 1 dan ke 2, di Pulau Gosong Pandan dilakukan pada trip ke 3, ke 4 dan ke 5, serta di Pulau Karang Congkak dilakukan pada trip ke 6 sampai ke 10. Pada trip ke 5, operasi penangkapan dilakukan di dua lokasi yaitu di Pulau Gosong Pandan dan Pulau Kotok Besar. Jenis dan jumlah hasil tangkapan yang diperoleh pada tiap lokasi penangkapan pada tiap trip dapat dilihat pada Lampiran 4. Rata rata total hasil tangkapan yang diperoleh tiap bubu pada setiap trip penangkapan berkisar antara 3,5 7,7 ekor. Hasil tangkapan terendah terjadi pada trip ke 4 ketika melakukan operasi penangkapan di Pulau Gosong Pandan yaitu sebesar 70 ekor. Adapun hasil tangakapan tertinggi terjadi pada trip ke 7 ketika melakukan operasi penangkapan di Pulau Karang Congkak yaitu 154 ekor. Rata rata hasil tangkapan yang diperoleh pada setiap trip penangkapan adalah 111 ekor. Secara detail rata rata hasil tangkapan tiap bubu per trip dan jumlah hasil tangkapan per trip disajikan pada Gambar 12. Jumlah hasil tangkapan Rata rata hasil tangkapan per bubu Gambar 12 Rata rata hasil tangkapan tiap bubu per trip dan jumlah hasil tangkapan per trip.

69 Jumlah dan komposisi hasil tangkapan yang tertangkap pada bubu non escape gap dan bubu escape gap Jumlah spesies yang tertangkap pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non escape gap) adalah 62 spesies. Komposisi hasil tangkapan bubu non escape gap digolongkan ke dalam 10 famili, diantaranya famili Serranidae (kerapu), Pomacentridae (betok), Scaridae (kakatua), Labridae (kenari), dan lain sebagainya (Lampiran 5). Komposisi jumlah hasil tangkapan pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non escape gap) dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 13 Komposisi jumlah hasil tangkapan pada bubu non escape gap. Hasil tangkapan dominan dari segi jumlah pada bubu non escape gap adalah ikan dari famili Pomacentridae yaitu sebesar 201 ekor atau 30,97 % dari total hasil tangkapan pada bubu non escape gap serta setara dengan 10,19 kg, Chaetodontidae sebesar 73 ekor atau 11,25 % dari total hasil tangkapan pada bubu non escape gap serta setara dengan 1,95 kg, Serranidae sebesar 73 ekor atau 11,25% dari total hasil tangkapan pada bubu non escape gap serta setara dengan 9,86 kg, Monachantidae sebesar 51 ekor atau 7,89 % dari total hasil tangkapan pada bubu non escape gap serta setara dengan 1,31 kg, Labridae sebesar 49 ekor atau 7,55% dari total hasil tangkapan pada bubu non escape gap serta setara dengan 3,97 kg, Nemipteridae sebesar 38 ekor atau 5,86 % dari total hasil tangkapan pada bubu non escape gap serta setara dengan 3,17 kg, dan Scaridae

70 57 sebesar 35 ekor atau 5,39 % dari total hasil tangkapan pada bubu non escape gap serta setara dengan 2,39 kg. Secara terperinci, ikan dari famili Serranidae yang tertangkap pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non escape gap) diantaranya adalah kerapu koko (Ephinephelus quoyanus) sebanyak 31 ekor atau 4,78 % dari total hasil tangkapan pada bubu non escape gap serta setara dengan 4,53 kg, kerapu hitam (Epinephelus ongus) 21 ekor atau 3,24 % dari total hasil tangkapan pada bubu non escape gap serta setara dengan 2,9 kg, kerapu lada (Ephinephelus merra) 3 ekor atau 0,46 % dari total hasil tangkapan pada bubu non escape gap serta setara dengan 0,43 kg, kerapu lodi (Plectropomus leopardus) 4 ekor atau 0,62 % dari total hasil tangkapan pada bubu non escape gap serta setara dengan 0,73 kg, kerapu lokal (Ephinephelus sexfasciatus) 9 ekor atau 1,39 % dari total hasil tangkapan pada bubu non escape gap serta setara dengan 0,71 kg, dan kerapu merah (Ephinephelus fasciatus) 5 ekor atau 0,77 % dari total hasil tangkapan pada bubu non escape gap serta setara dengan 0,72 kg (Lampiran 5). Jumlah spesies yang tertangkap pada bubu yang menggunakan celah pelolosan (escape gap) berjumlah 41 spesies. Komposisi hasil tangkapan pada bubu yang menggunakan escape gap digolongkan ke dalam 12 famili, diantaranya famili Serranidae (kerapu), Pomacentridae (betok), Scaridae (kakatua), Labridae (kenari), dan lain sebagainya (Lampran 6). Komposisi jumlah hasil tangkapan pada bubu yang menggunakan celah pelolosan (escape gap) disajikan pada Gambar 14. Gambar 14 Komposisi jumlah hasil tangkapan pada bubu escape gap.

71 58 Hasil tangkapan dominan dari segi jumlah pada bubu yang menggunakan celah pelolosan (escape gap) adalah ikan dari famili Pomacentridae yakni sebesar 119 ekor atau 28,75 % dari total hasil tangkapan pada bubu ber escape gap serta setara dengan 8,38 kg, Chaetodontidae yakni sebesar 50 ekor atau 11,16 % dari total hasil tangkapan pada bubu ber escape gap serta setara dengan 1,39 kg, Nemipteridae yakni sebesar 46 ekor atau 10,27 % dari total hasil tangkapan pada bubu ber escape gap serta setara dengan 4,13 kg, Serranidae yakni sebesar 41 ekor atau 9,15 % dari total hasil tangkapan pada bubu ber escape gap serta setara dengan 7,33 kg, dan Labridae yakni sebesar 38 ekor atau 8,48 % dari total hasil tangkapan pada bubu ber escape gap serta setara dengan 3,41 kg. Ikan dari famili Serranidae yang tertangkap pada bubu ber escape gap diantaranya adalah kerapu koko (Ephinephelus quoyanus) sebanyak 20 ekor atau 4,46 % dari total hasil tangkapan pada bubu ber escape gap serta setara dengan 3,68 kg, kerapu hitam (Epinephelus ongus) 16 ekor atau 3,57 % dari total hasil tangkapan pada bubu ber escape gap serta setara dengan 2,97 kg, kerapu lodi (Plectropomus leopardus) 1 ekor yakni 0,22 % dari total hasil tangkapan pada bubu ber escape gap serta setara dengan 0,11 kg, dan kerapu lokal (Ephinephelus sexfasciatus) 4 ekor yakni 0,89 % dari total hasil tangkapan pada bubu ber escape gap serta setara dengan 0,36 kg (Lampiran 6). Total hasil tangkapan pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non escape gap) relatif lebih banyak dibanding dengan bubu yang menggunakan celah pelolosan (escape gap). Selanjutnya berdasarkan uji Mann Whitney total jumlah hasil tangkapan pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (nonescape gap) dan bubu yang menggunakan celah pelolosan (escape gap) memperoleh nilai probabilitas 0,034 (Lampiran 7). Pada taraf kepercayaan 95%, nilai probabilitas tersebut lebih kecil dibandingkan dengan nilai probabilitas Mann Whitney yakni 0,05. Hal ini berarti terdapat perbedaan yang nyata antara jumlah hasil tangkapan pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non escape gap) dan bubu yang menggunakan celah pelolosan (escape gap).

72 Keragaman spesies hasil tangkapan Selektivitas sebuah alat tangkap didefinisikan sebagai kemampuan alat tangkap untuk menangkap spesies tertentu pada ukuran tertentu (Kitahara, 1970 vide Iskandar, 2006). Selektivitas sebuah alat tangkap dapat dievaluasi berdasarkan selektivitas terhadap spesies tertentu dan selektivtas terhadap ukuran tertentu. Ikan yang ada di perairan Indonesia terdiri dari multispesies. Dengan demikian alat tangkap dituntut untuk memiliki mekanisme sehingga memiliki tingkat selektivitas yang tinggi. Untuk menduga selektivitas sebuah alat tangkap terhadap spesies (species selectivity) maka dilakukan dengan menggunakan Index Shannon Wiener (H ). Apabila nilai indeks keragaman Shanon Wiener pada alat tangkap yang diuji lebih kecil dibandingkan dengan alat tangkap kontrol maka berarti selektivitas terhadap spesies (species selectivity) pada alat tangkap yang diuji relatif lebih baik Keragaman spesies untuk seluruh hasil tangkapan Total spesies yang tertangkap pada bubu selama operasi penangkapan sebanyak 63 spesies. Jumlah spesies yang tertangkap dengan menggunakan bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non escape gap) adalah 62 spesies, sedangkan jumlah spesies yang tertangkap dengan bubu yang menggunakan celah pelolosan (escape gap) adalah 41 spesies. Berdasarkan hasil analisis keragaman menggunakan indeks Shannon Wiener nilai indeks keragaman pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (nonescape gap) adalah 3,38404, sedangkan nilai indeks keragaman pada bubu yang menggunakan celah pelolosan (escape gap) adalah 3, Secara lebih detil perhitungan terhadap keragaman spesies dengan menggunakan index Shannon Wiener dapat dilihat pada Lampiran 8. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, maka nilai index Shannon Wiener yang diperoleh pada bubu yang menggunakan celah pelolosan (escape gap) relatif lebih kecil dibandingkan dengan nilai index Shannon Wiener pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non escape gap). Hal ini berarti bahwa nilai indeks keragaman pada bubu yang menggunakan celah pelolosan (escape gap) relatif lebih baik dibandingkan dengan nilai indeks keragaman pada bubu yang tidak menggunakan

73 60 celah pelolosan (non escape gap). Nilai index Shannon Wiener yang lebih kecil menunjukkan bahwa selektivitas celah pelolosan (escape gap) terhadap spesies yang tertangkap pada bubu yang menggunakan celah pelolosan (escape gap) relatif lebih baik dibandingkan dengan bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non escape gap). Penggunaan escape gap pada bubu tambun terbukti dapat mengurangi jumlah spesies yang tertangkap. Pengurangan jumlah spesies yang tertangkap pada bubu tambun berarti mengurangi peluang dibuangnya hasil tangkapan sampingan (by catch) yang tidak bernilai ekonomis, misalnya ikan strip delapan/kepe kepe (Chaetodon octofasciatus), kupas kupas (Balistes viridescense), dan lain lain Keragaman spesies hasil tangkapan dominan Hasil tangkapan yang dominan pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non escape gap) dan yang menggunakan celah pelolosan (escape gap) diantaranya adalah kerapu koko (Ephinephelus quoyanus), kerapu hitam (Epinephelus ongus), kerapu lokal (Ephinephelus sexfasciatus), betok hitam (Neoglyphidodon crossi), strip delapan/kea kea (Chaetodon octofasciatus), dan kupas kupas (Balistes viridescense). Keragaman spesies yang dominan tertangkap pada bubu dianalisis menggunakan index Shannon Wiener (H ) (Lampiran 9). Hasil perhitungan menunjukkan nilai index Shannon Wiener (H ) terhadap keragaman hasil tangkapan yang dominan pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non escape gap) adalah sebesar 1,7359. Adapun untuk bubu yang menggunakan celah pelolosan (escape gap) diperoleh nilai index Shannon Wiener (H ) sebesar 1,5865. Nilai index Shannon Wiener yang diperoleh pada bubu yang menggunakan celah pelolosan (escape gap) relatif lebih kecil dibandingkan dengan nilai index Shannon Wiener pada bubu tidak menggunakan celah pelolosan (non escape gap). Hal ini berarti bahwa nilai indeks keragaman pada bubu yang menggunakan celah pelolosan relatif lebih baik dibandingkan dengan nilai indeks keragaman pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan. Nilai index Shannon wiener hasil tangkapan dominan pada bubu tambun menunjukkan bahwa bubu tambun yang menggunakan celah pelolosan

74 61 (escape gap) memiliki slektivitas terhadap spesies (species selectivity) yang lebih baik dibandingkan bubu tambun tanpa celah pelolosan (non escape gap). Hasil tangkapan dominan pada bubu escape gap relatif lebih sedikit dibandingkan hasil tangkapan dominan pada bubu non escape gap (Gambar 15). Gambar 15 Jumlah spesies dominan pada bubu escape gap dan non escape gap. Namun hal ini tidak menunjukkan bahwa bubu non escape gap lebih baik dibanding bubu escape gap karena hasil tangkapan dominan seperti strip delapan/kepe kepe, kupas kupas, dan betok hitam bukan termasuk ikan ekonomis penting Jumlah hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) Jumlah total hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) selama penelitian sebanyak 51 ekor. Ikan kerapu koko tersebut tertangkap pada beberapa daerah penangkapan ikan, yaitu Pulau Kotok kecil, Pulau Gosong Pandan, dan Pulau Karang Congkak. Rata rata jumlah hasil tangkapan kerapu koko pada tiap bubu per trip berkisar antara 0,05 0,45 ekor. Hasil tangkapan kerapu koko tertinggi diperoleh pada trip ke 7, yakni ketika bubu tambun dioperasikan di perairan Pulau Karang Congkak. Daerah Karang Congkak merupakan daerah yang memiliki batu karang dengan kondisi relatif baik, sehingga merupakan habitat yang sesuai bagi kerapu koko. Selain itu, di perairan Karang Congkak terdapat padang lamun. Menurut PBC (2009), lamun memiliki fungsi sebagai

75 62 tempat pembesaran (nursery area), tempat mencari makan (feeding area), dan habitat krustesea yang merupakan salah satu jenis makanan kerapu. Oleh karena itu pada lokasi tersebut diduga memiliki kelimpahan kerapu koko yang relatif lebih banyak dibanding lokasi lainnya. Hasil tangkapan kerapu koko terendah diperoleh pada trip ke 5, yakni ketika bubu dioperasikan di Pulau Busung Pandan dan Pulau Kotok Besar. Kondisi terumbu karang di Pulau Busung relatif lebih jelek jika dibanding dengan kondisi terumbu karang di Pulau Kotok Besar. Pada saat pemasangan bubu pada trip ke 5, diduga ada nelayan lain yang menggunakan potasium pada lokasi tersebut, sehingga hasil tangkapan kerapu koko yang diperoleh pada trip ke 5 sedikit. Selanjutnya berdasarkan uji Mann Whitney total jumlah hasil tangkapan kerapu koko pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non escape gap) dan bubu yang menggunakan celah pelolosan (escape gap) memperoleh nilai probabilitas 0,131 (Lampiran 7). Pada taraf kepercayaan 95%, nilai probabilitas tersebut lebih besar dibandingkan dengan nilai probabilitas Mann Whitney yakni 0,05. Hal ini berarti tidak terdapat perbedaan yang nyata antara jumlah hasil tangkapan kerapu koko pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (nonescape gap) dan bubu yang menggunakan celah pelolosan (escape gap). Maka penggunaan escape gap tidak mengurangi produktifitas bubu terhadap hasil tangkapan kerapu koko. Secara detil rata rata hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) tiap bubu per trip dan jumlah hasil tangkapan per trip disajikan pada Gambar Gambar 16 Rata rata hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) per bubu per trip.

76 Distribusi ukuran kerapu koko (Epinephelus quoyanus) Distribusi ukuran kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang diperoleh pada penelitian ini meliputi distribusi ukuran panjang total, body girth, dan berat. a. total total kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada penelitian ini berkisar antara 14,1 28,9 cm. Ukuran panjang kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang paling banyak tertangkap adalah pada kisaran cm dengan frekuensi 35.29% dari total hasil tangkapan kerapu, sedangkan yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran cm dengan frekuensi 7,84 % dari total hasil tangkapan kerapu. Secara lebih jelas sebaran panjang total kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap selama penelitian disajikan pada Gambar n = 51 ekor total Gambar 17 Sebaran panjang total kerapu koko (Epinephelus quoyanus). kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada bubu dengan menggunakan celah pelolosan (escape gap) berkisar antara 17,1 28,6 cm. Ukuran panjang kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang paling banyak tertangkap pada bubu escape gap adalah pada kisaran cm dengan frekuensi 40 % dari seluruh hasil tangkapan kerapu koko pada bubu dengan escape gap. Adapun ukuran yang paling sedikit tertangkap pada bubu escape gap berkisar antara cm dengan frekuensi 15 % dari seluruh hasil tangkapan kerapu koko pada bubu dengan escape gap. kerapu koko (Epinephelus

77 64 quoyanus) yang tertangkap pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non escape gap) berkisar antara 14,1 27,5 cm. Frekuensi ukuran panjang total yang paling banyak tertangkap pada bubu non escape gap adalah cm dengan jumlah 38,71 % dari seluruh hasil tangkapan kerapu koko pada bubu nonescape gap. Adapun ukuran panjang total kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap dengan frekuensi terendah berada pada kisaran cm dengan jumlah 6.45 % dari seluruh hasil tangkapan kerapu koko pada bubu nonescape gap. Distribusi panjang total kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada bubu non escape gap dan bubu dengan escape gap disajikan pada Gambar 18. Escape gap n = 20 ekor 35 % (Layak tangkap) total Non escape gap 16,13 % n = 31 ekor (Layak tangkap) total Gambar 18 Distribusi panjang total kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada bubu non escape gap dan bubu dengan escape gap.

78 65 Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan statistik deskriptif, rata rata ukuran panjang kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada bubu yang menggunakan celah pelolosan (escape gap) relatif lebih panjang dibanding ukuran panjang kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non escape gap). Rata rata ukuran panjang kerapu koko yang tertangkap pada bubu yang menggunakan escape gap adalah 22,03 cm, sedangkan ukuran panjang kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non escape gap) adalah 20,55 cm (Gambar 14). Berdasarkan analisis terhadap data panjang total kerapu koko yang tertangkap dengan menggunakan bubu yang menggunakan celah pelolosan (ecape gap) dan bubu yang tidal menggunakan celah pelolosan (non escape gap) maka diperoleh nilai probabilitas 0,21 (Lampiran 7). Nilai ini lebih besar dibanding dengan taraf uji yang ditetapkan sebesar 0,05 (P > 0,05). Hal ini berarti tidak terdapat perbedaan yang nyata antara panjang kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada bubu yang menggunakan celah pelolosan (escape gap) dan bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non escape gap). Rata rata panjang total dan standar deviasi ikan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) disajikan pada Gambar SD : 3,48 cm 24 SD : 3,14 cm total Escape gap Non escape gap Jenis bubu Rata rata Total Gambar 19 total rata rata dan standar deviasi ikan kerapu koko (Epinephelus quoyanus).

79 66 b. Body girth Body girth kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada penelitian ini berkisar antara 10,2 20,5 cm. Ukuran body girth kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang paling banyak tertangkap adalah pada kisaran cm dengan frekuensi 35,29 % dari total hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus), sedangkan yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran cm dengan frekuensi 3,92 % dari total hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus). Secara lebih jelas sebaran body girth kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap selama penelitian disajikan pada Gambar n = 51 ekor Body girth Gambar 20 Sebaran body girth kerapu koko (Epinephelus quoyanus). Body girth koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada bubu dengan menggunakan celah pelolosan (escape gap) berkisar antara 11,6 20,5 cm. Ukuran body girth koko (Epinephelus quoyanus) yang paling banyak tertangkap pada bubu escape gap adalah pada kisaran cm dengan frekuensi 50 % dari total hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) pada bubu escape gap. Adapun ukuran yang paling sedikit tertangkap pada bubu escape gap berkisar antara cm dengan frekuensi 5 % dari total hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) pada bubu escape gap. Body girth kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non escape gap) berkisar antara 10,2 19,8 cm. Frekuensi

80 67 ukuran body girth yang paling banyak tertangkap pada bubu non escape gap adalah cm dengan jumlah 41,94 % dari total hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) pada bubu non escape gap. Adapun ukuran body girth kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap dengan frekuensi terendah berada pada kisaran cm dengan jumlah 3.23 % dari total hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) pada bubu non escape gap. Distribusi Body girth kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada bubu non escape gap dan bubu dengan escape gap disajikan pada Gambar 21. Escape gap n = 20 ekor 30 % (Layak tangkap) Body girth Non escape gap 41,94 n = 31 ekor 19,35 25,81 12,91 % (Layak tangkap) Body girth Gambar 21 Distribusi body girth kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada bubu non escape gap dan bubu dengan escape gap. Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan statistik deskriptif, rata rata ukuran body girth kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada

81 68 bubu yang menggunakan celah pelolosan (escape gap) relatif lebih besar dibanding ukuran body girth kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non escape gap). Rata rata ukuran body girth kerapu koko yang tertangkap pada bubu yang menggunakan escape gap adalah 15,20 cm, sedangkan ukuran body girth kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non escape gap) adalah 13,76 cm (Gambar 14). Berdasarkan analisis terhadap data body girth kerapu koko yang tertangkap dengan menggunakan bubu yang menggunakan celah pelolosan (ecape gap) dan bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non escape gap) maka diperoleh nilai probabilitas 0,032 (Lampiran 7). Nilai ini lebih kecil dibanding dengan taraf uji yang ditetapkan sebesar 0,05 (P < 0,05). Hal ini berarti terdapat perbedaan yang nyata antara body girth kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada bubu yang menggunakan celah pelolosan (escape gap) dan bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non escape gap). Ukuran rata rata body girth dan standar deviasi ikan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) disajikan pada Gambar SD : 2,52 Body girth SD : 2, Escape gap Non escape gap Jenis bubu Rata rata body gird Gambar 22 Ukuran body girth rata rata dan standar deviasi ikan kerapu koko (Epinephelus quoyanus).

82 69 c. Berat Berat kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada penelitian ini berkisar antara gram. Ukuran berat kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang paling banyak tertangkap adalah pada kisaran cm dengan frekuensi 49,02 % dari total hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus), sedangkan yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran cm dengan frekuensi 1,96 % dari total hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus). Secara lebih jelas sebaran berat kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap selama penelitian disajikan pada Gambar n = 51 ekor Berat (gram) Gambar 23 Sebaran berat kerapu koko (Epinephelus quoyanus). Berat kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada bubu dengan menggunakan celah pelolosan (escape gap) berkisar antara gram. Ukuran berat kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang paling banyak tertangkap pada bubu escape gap adalah pada kisaran cm dengan frekuensi 45 % dari total hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) pada bubu escape gap. Adapun ukuran yang paling sedikit tertangkap pada bubu escape gap berkisar antara gram dan gram dengan masing masing frekuensi 5 % dari total hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) pada bubu escape gap. Berat kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non escape gap)

83 70 berkisar antara gram. Frekuensi ukuran berat yang paling banyak tertangkap pada bubu non escape gap adalah gram dengan jumlah 51,61 % dari total hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) pada bubu non escape gap. Adapun ukuran berat kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap dengan frekuensi terendah berada pada kisaran cm dengan jumlah 6.45 % dari total hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) pada bubu non escape gap. Distribusi berat kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada bubu non escape gap dan bubu dengan escape gap disajikan pada Gambar 24. Escape gap n = 20 ekor 20 % (Layak tangkap) Berat (gram) 60 Non escape gap 50 n = 31 ekor ,68 % (Layak tangkap) Berat (gram) Gambar 24 Distribusi berat kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada bubu non escape gap dan bubu dengan escape gap.

84 71 Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan statistik deskriptif, rata rata ukuran berat kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada bubu yang menggunakan celah pelolosan (escape gap) relatif lebih besar dibanding ukuran berat kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non escape gap). Rata rata ukuran berat kerapu koko yang tertangkap pada bubu yang menggunakan escape gap adalah 183,75 gram, sedangkan ukuran berat kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non escape gap) adalah 146,03 cm (Gambar 15). Berdasarkan analisis terhadap data berat kerapu koko tang tertangkap dengan menggunakan bubu yang menggunakan celah pelolosan (ecape gap) dan bubu yang tidal menggunakan celah pelolosan (non escape gap) maka diperoleh nilai probabilitas 0,089 (Lampiran 7). Nilai ini lebih besar dibanding dengan taraf uji yang ditetapkan sebesar 0,05 (P > 0,05). Hal ini berarti tidak terdapat perbedaan yang nyata antara berat kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada bubu yang menggunakan celah pelolosan (escape gap) dan bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non escape gap). Ukuran rata rata berat dan standar deviasi ikan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) disajikan pada Gambar SD : 93,07 gram 250 SD : 72,25 gram Berat (g) Escape gap Non escape gap Jenis bubu Rata rata berat (g) Gambar 25 Berat rata rata dan standar deviasi ikan kerapu koko (Epinephelus quoyanus).

85 Hubungan antara panjang total dengan body girth Berdasarkan analisis regresi terhadap panjang total dan body girth diperoleh persamaan sebagai berikut: y = 0,682x 0,08 R 2 = 0,84; r = 0,91 (y=body girth, x= total) Persamaan tersebut dapat diinterpretasikan bahwa setiap penambahan panjang total (nilai x) sebesar satu satuan akan meningkatkan body girth sebesar 0,682 satuan. Nilai koefisien determinasi (R 2 ) pada persamaan ini sebesar 0,84. Hal ini berarti bahwa model tersebut sangat mempu menjelaskan perilaku Y (body girth) karena berada pada kisaran 70 90%. Nilai koefisien korelasi (r) pada persamaan tersebut sebesar 0,91. Nilai tersebut berarti bahwa hubungan antara panjang total dengan body girth sangat erat sekali karena berada pada kisaran 91 99%. Hubungan antara panjang total dengan body girth kerapu koko (Epinephelus quoyanus) disajikan pada Gambar 26. y = 0,682x + 0,08 R 2 = 0,835 r = 0,91 Gambar 26 Hubungan antara panjang total dengan body girth seluruh hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) Hubungan antara berat dengan body girth Berdasarkan analisis regresi terhadap berat dan body girth diperoleh persamaan sebagai berikut: y = 0,027x + 8,982

86 73 R 2 = 0,84; r = 0.92 (y=body girth, x= berat) Persamaan tersebut dapat diinterpretasikan bahwa setiap penambahan berat (nilai x) sebesar satu satuan akan meningkatkan body girth sebesar 0,027 satuan. Nilai koefisien determinasi (R 2 ) pada persamaan ini sebesar 0,84. Hal ini berarti bahwa model tersebut sangat mempu menjelaskan perilaku Y (body girth) karena berada pada kisaran 70 90%. Nilai koefisien korelasi (r) pada persamaan tersebut sebesar 0,92. Nilai tersebut berarti bahwa hubungan antara panjang total dengan body girth sangat erat sekali karena berada pada kisaran 91 99%. Hubungan antara panjang total dengan body girth kerapu koko (Epinephelus quoyanus) disajikan pada Gambar 27. r = 0,916 y = 0,027x + 9,892 R 2 = 0,839 r = 0,913 Gambar 27 Hubungan antara berat dengan body girth seluruh hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) Hubungan antara panjang total dengan berat Berdasarkan analisis regresi terhadap panjang total dan berat kerapu koko (Epinephelus quoyanus) diperoleh persamaan sebagai berikut: y = 0,038x + 14,93 R 2 = 0,91; r = 0.95 (y = panjang total; x = berat) Persamaan tersebut dapat diinterpretasikan bahwa setiap penambahan berat (nilai x) sebesar satu satuan (gram) akan meningkatkan panjang total sebesar 0,038

87 74 satuan. Nilai koefisien determinasi (R 2 ) pada persamaan ini sebesar 0,91. Hal ini berarti bahwa model tersebut sangat mempu sekali menjelaskan perilaku Y (panjang total) karena berada pada kisaran 91 99%. Nilai koefisien korelasi (r) pada persamaan tersebut sebesar 0,95. Nilai tersebut berarti bahwa hubungan antara panjang total dengan berat sangat erat sekali karena berada pada kisaran 91 99%. Hubungan antara panjang total dengan berat kerapu koko (Epinephelus quoyanus) disajikan pada Gambar 28. y = 0,038x + 14,93 R 2 = 0,907 r = 0,952 Gambar 28 Hubungan antara panjang total dengan berat seluruh hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus).

88 Pembahasan Komposisi hasil tangkapan Jumlah hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian adalah ekor dengan jumlah spesies 63 jenis. Hasil tangkapan tersebut diantaranya adalah ikan kerapu koko (Epinephelus quayanus), kakatua (Scarus prasiognatos), betok hitam (Neoglyphidodon crossi), jarang gigi (Choerodon anchorago), marmut (Chaetodontoplus mesoleucus), dan lain sebagainya. Keseluruhan hasil tangkapan merupakan ikan yang habitatnya di perairan karang. Hal ini disebabkan alat tangkap yang digunakan adalah bubu tambun. Menurut Susanti (2005) bubu tambun merupakan alat tangkap yang dioperasikan di perairan karang, sehingga hasil tangkapannya berupa ikan ikan karang. Dari keseluruhan hasil tangkapan, hasil tangkapan ikan lencam burik (Lethrinus sp.), cucut toke (Atelomycterus marmoratus), keling ijo (Halichoerus chloropterus), lepu tembaga (Synanceia horrida), macanan (Plectorhincus picus), kakap tanda (Lutjanus rufolineatus), dan lain sebagainya, merupakan incidental catch atau ikan yang secara tidak sengaja tertangkap karena jumlahnya hanya 1 ekor. Hasil tangkapan yang paling banyak adalah jenis ikan dari famili Pomacentridae, yaitu betok hitam (Neoglyphidodon crossi). Jumlah betok hitam (Neoglyphidodon crossi) yang tertangkap selama 10 kali trip adalah 181 ekor. Hal ini karena habitat ikan betok adalah perairan karang yang kondisi karangnya mati (Allen, 1991). Menurut nelayan pulau Panggang, kebiasaan nelayan terdahulu sangat buruk memperlakukan terumbu karang. Kegiatan penangkapan ikan tidak jarang dilakukan dengan cara merusak terumbu karang. Untuk mempermudah mendapatkan ikan, nelayan kepulauan seribu ada yang menggunakan peledak dan potasium untuk meracuni ikan. Kegiatan penangkapan seperti ini tentu saja dapat merusak terumbu karang yang merupakan habitat dari ikan. Selain bahan peledak dan potasium, pengoperasian alat tangkap bubu tambun pun dapat merusak terumbu karang jika tidak dilakukan secara tepat. Untuk mengurangi dampak kerusakan yang ditimbulkan bubu tambun, dewasa ini nelayan pulau Panggang hanya menggunakan batu karang mati untuk menimbun bubu. Daerah operasi penangkapan dilakukan di empat tempat, yaitu Pulau Kotok Kecil, Pulau Kotok Besar, Pulau Busung Pandan, dan Pulau Karang Congkak.

89 76 Dari keempat daerah penangkapan tersebut, Pulau Karang Congkak merupakan daerah penangkapan yang paling baik dibanding Pulau Kotok Kecil, Pulau Kotok Besar, dan Pulau Busung Pandan. Rata rata hasil tangkapan setiap trip yang diperoleh di Pulau Karang Congkak adalah 123 ekor. Hal ini disebabkan karena perairan pulau Karang Congkak merupakan perairan yang kondisi karangnya relatif lebih baik dibanding daerah penangkapan yang lain, sehingga perairan Pulau Karang Congkak merupakan habitat yang sesuai bagi ikan ikan karang. Selain itu, banyaknya ikan yang tertangkap di Pulau Karang Congkak diduga karena terdapatnya padang lamun di perairan tersebut. Menurut PBC (2009), padang lamun memiliki fungsi ekologis yang menguntungkan bagi ikan. Adapun fungsi padang lamun diantaranya adalah tempat pembesaran, tempat mencari makan, dan habitat dari krustasea. Selain itu, padang lamun dapat meningkatkan kejernihan perairan karena akar padang lamun dapat mengikat sedimen di perairan. Perairan yang bersih diduga merupakan habitat yang disukai ikan ikan karang. Selain itu, faktor lain yang menyebabkan tingginya hasil tangkapan di pulau Karang Congkak diduga karena pada saat operasi penangkapan dilakukan, tidak banyak nelayan lain yang melakukan operasi penangkapan di daerah tersebut. Menurut Lokkerberg and Bjordal (1992) vide Iskandar (2006), tingginya hasil tangkapan yang diperoleh tergantung pada daerah operasi penangkapan. Variasi jenis ikan yang tertangkap sangat tergantung pada kelimpahan, habitat, distribusi ikan, dan jenis alat tangkap. Hasil Uji Mann Whitney terhadap jumlah total hasil tangkapan memperoleh nilai probabilitas 0,034 (P < 0,05), yang menunjukkan bahwa jumlah total hasil tangkapan pada bubu yang menggunakan celah pelolosan (escape gap) berbeda nyata dengan jumlah total hasil tangkapan yang tidak menggunakan celah pelolosan (non escape gap). Jumlah total hasil tangkapan pada bubu escape gap relatif lebih sedikit dibanding hasil tangkapan pada bubu non escape gap. Hal ini dikarenakan ikan ikan yang ukurannya lebih kecil dari ukuran escape gap diduga dapat keluar dari dalam bubu. Dengan demikian jumlah ikan yang tertangkap pada bubu yang menggunakan escape gap relatif lebih sedikit jika dibanding dengan jumlah ikan yang tertangkap pada bubu non escape gap, karena bubu yang menggunakan escape gap hanya menangkap ikan ikan yang ukurannya relatif

90 77 besar. Adapun bubu yang tidak memiliki celah pelolosan (non escape gap) memberikan peluang yang sangat kecil bagi ikan yang berukuran kecil untuk dapat keluar dari bubu, sehingga ikan dengan ukuran kecil dapat tertangkap. Oleh karena itu, jumlah ikan yang tertangkap pada bubu non escape gap relatif lebih banyak karena bubu tersebut menangkap ikan yang ukurannya kecil relatif lebih banyak dibanding bubu yang menggunakan escape gap. Ikan karang yang ada di Kepulauan Seribu memiliki spesies yang bermacam macam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah spesies yang tertangkap pada bubu yang menggunakan celah pelolosan (escape gap) relatif lebih sedikit jika dibandingkan dengan bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (escape gap). Dengan demikian, hasil tersebut menunjukkan bahwa penggunaan escape gap pada bubu dapat mengurangi spesies hasil tangkapan sehingga keragaman spesies ikan yang tertangkap pada bubu escape gap relatif lebih kecil dibanding bubu non escape gap. Miller (1995) menyatakan bahwa pengguanaan escape gap dapat mengurangi jumlah spesies yang belum layak tangkap pada bubu. Hasil tangkapan dominan bubu tambun yang tidak menggunakan escape gap dan yang menggunakan escape gap diantaranya adalah kerapu koko (Ephinephelus quoyanus), kerapu hitam (Epinephelus ongus), kerapu lokal (Ephinephelus sexfasciatus), betok hitam (Neoglyphidodon crossi), strip delapan/kea kea (Chaetodon octofasciatus), dan kupas kupas (Balistes viridescense). Jumlah hasil tangkapan spesies dominan pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (non escape gap) relatif lebih banyak dibandingkan bubu yang menggunakan celah pelolosan (escape gap). Hasil uji Mann Whitney juga menunjukkan bahwa total hasil tangkapan pada bubu non escape gap secara signifikan berbeda ( P < 0,05 ). Namun jumlah hasil tangkapan yang yang secara signifikan lebih banyak pada bubu tambun nonescape gap tidak berarti bahwa bubu tersebut lebih baik dibanding bubu tambun dengan escape gap. Hasil tangkapan dominan yang banyak tertangkap pada bubu non escape gap adalah ikan ikan yang tidak termasuk ke dalam ekonomis penting, seperti ikan kupas kupas, strip delapan/kepe kepe, maupun betok hitam. Ikan tersebut memiliki nilai jual yang sangat rendah bahkan sering kali dibuang ke laut

91 78 karena tidak dapat dikonsumsi. Secara ekologis apabila ikan ikan tersebut banyak tertangkap dan dibuang maka dapat mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang, karena setiap ikan karang pasti mempunyai fungsi ekologis diperairan. Secara ekonimis juga akan mengakibatkan waktu untuk menyortir target dan non target spesies menjadi lebih lama, yang berakibat pada meningkatnya biaya tenaga kerja. Jumlah hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) pada bubu tambun yang menggunakan escape gap dan non escape gap secara signifikan tidak berbeda (P > 0,05). Hal ini berarti bahwa pemasangan escape gap tidak akan mengurangi hasil tangkapan target spesies. Selama ini nelayan mengkhawatirkan bahwa pemasangan escape gap akan menurunkan hasil tangkapan target spesies. Dengan demikian secara ekonomis pendapatan nelayan pun tidak akan berkurang dengan pemasangan escape gap. Kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang ukurannya diatas 250 gram jika dijual langsung setelah ditangkap memiliki nilai jual yang tinggi, yaitu sekitar Rp ,00. Tetapi jika ukurannya dibawah ukuran pasar atau kurang dari 250 gram harganya hanya Rp ,00. Bubu yang menggunakan escape gap dapat memberikan peluang meloloskan diri bagi ikan yang ukuran tubuhnya lebih kecil dari diameter escape gap. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan tingkat recruitmen bagi ikan yang dapat lolos tersebut. Menurut Brown and Caputi (1986) escape gap dapat mengurangi hasil tangkapan sampingan dan dapat meningkatkan kelangsungan hidup ikan non target untuk kembali lepas ke perairan. Escape gap dapat berperan sebagai celah untuk meloloskan maupun sebagai pintu masuk ikan yang berukuran kecil. Apabila escape gap berperan sebagai pintu masuk ke dalam bubu maka jumlah kerapu koko yang berukuran kecil banyak tertangkap pada bubu tambun yang menggunakan escape gap. Jika ikan yang berukuran kecil tertangkap pada bubu yang menggunakan escape gap, hal ini diduga karena ikan ikan tersebut menjadikan bubu sebagai shelter atau tempat berlindung.

92 Distribusi ukuran hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) Penggunaan escape gap secara signifikan dapat meningkatkan ukuran hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang secara ekonomis layak untuk dijual. Ukuran panjang total dan bodi girth kerapu koko yang layak tangkap pada bubu tambun non escape gap masing masing hanya 16,13 % dan 12,91 %. Sementara pada bubu yang menggunakan escape gap ukuran panjang total dan body girth ikan kerapu koko yang layak tangkap masing masing adalah 35 % dan 30 %, atau naik 100 % lebih. Beberapa peneliti memperoleh hasil yang baik ketika menggunakan escape gap untuk mengurangi hasil tangkapan yang belum layak tangkap. Brown (1981) berhasil mengurangi kepiting (Cancer pagurus) yang belum layak tangkap sebesar 34 % dan berhasi meningkatkan hasil tangkapan lobster (Homarus gammarus) yang layak tangkap hingga 125 %. Treble et al. (1998) berhasil mengurangi hasil tangkapan lobster (Jasus edwardsii) yang belum layak tangkap sebesar 65 %. Jirapunpipat et al. (2008) berhasil mengurangi hasil tangkapan kepiting lumpur (Scylla olivaceae) yang belum layak tangkap sebesar 19 49,7%. Iakandar dan Lastari (2008) berhasil meningkatkan hasil tangkapan rajungan yang layak tangkap secara ekonomis dengan menggunakan bubu yang dilengkapi escape gap berbentuk kotak. Mekanisme lolosnya ikan melalui celah pelolosan diantaranya adalah ikan di dalam bubu berputar putar dan menyusuri dinding bubu kemudian keluar setelah menemukan celah pelolosan. Selain itu ada pula ikan yang setelah masuk ke dalam bubu langsung keluar menuju celah pelolosan karena ikan tersebut diduga langsung menemukan celah pelolosan (Irawati, 2002). Ikan yang keluar melalui escape gap disajikan pada Gambar 29.

93 80 Gambar 29 Ikan keluar melalui escape gap. Berdasarkan pengamatan, ikan akan keluar melalui celah pelolosan ketika melihat celah atau lubang yang dapat digunakan untuk meloloskan diri. Ketika ikan melihat lubang yang dapat digunakan untuk meloloskan diri maka mereka akan berusaha untuk memasukkan bagian tubuhnya dan mendorongnya ke luar, sehingga terkadang ikan mengalami luka ketika berusaha untuk meloloskan diri. Ikan tidak akan berusaha meloloskan diri ketika tidak menjumpai lubang celah pelolosan. Upaya ikan untuk meloloskan diri melalui lubang mata bubu juga menyebabkan bagian kepala ikan mengalami luka luka (Gambar 30). Gambar 30 Kepala ikan dalam keadaan terluka. Escape gap merupakan mekanisme yang dapat digunakan untuk mengurangi hasil tangkapan yang belum layak tangkap. Namun escape gap masih

94 81 belum banyak digunakan oleh nelayan sebagai mekanisme untuk meloloskan ukuran ikan yang belum layak tangkap. Untuk itu diperlukan upaya dan sosialisasi dari segenap stakeholder untuk memasyarakatkan penggunaan escape gap.

95 82 6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Keragaman spesies yang tertangkap pada bubu escape gap relatif lebih kecil dibandingkan dengan bubu non escape gap. Jumlah spesies yang tertangkap pada bubu non escape gap relatif lebih banyak dibandingkan yang tertangkap pada bubu escape gap; 2. Hasil uji mann whitney menunjukkan bahwa jumlah total ikan yang tertangkap pada bubu escape gap dan bubu non escape gap berbeda nyata (P < 0,05); 3. Hasil uji mann whitney menunjukkan bahwa jumlah total kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada bubu escape gap dan bubu nonescape gap berbeda nyata (P < 0,05); 4. Hasil uji mann whitney menunjukkan bahwa ukuran body girth kerapu koko yang tertangkap pada bubu escape gap dan non escape gap berbeda nyata (P < 0,05). Body girth ikan yang tertangkap pada bubu escape gap relatif lebih besar dibandingkan yang tertangkap pada bubu non escape gap. 6.2 Saran Untuk menindak lanjuti hasil yang telah diperoleh pada penelitian ini maka perlu dilakukan: 1. Penelitian lanjutan untuk mengetahui selektivitas celah pelolosan (escape gap) terhadap hasil tangkapan dominan bubu tambun; 2. Penelitian lanjutan untuk mengetahui bentuk, jumlah, dan ukuran celah pelolosan (escape gap) pada bubu tambun yang efektif untuk menangkap ikan yang layak tangkap; 3. Penelitian lanjutan untuk mengetahui length at first maturity (panjang tubuh ikan ketika pertama kali memijah) pada kerapu koko (Epinephelus quoyanus) di Kepulauan Seribu.

96 83 DAFTAR PUSTAKA [Anonim] Panduan Dasar Untuk Pengenalan Ikan Karang Secara Visual Indonesia. [terhubung berkala]. [08 Juli 2008]. [Anonim] Artemia, Pakan Alami Berkualitas Untuk Ikan dan Udang. [terhubung tidak berkala]. /2008/01/artemia pakan alami berkualitas untuk.html. [24 Maret 2009]. Allen G R Dischistodus pseudochrysopoecilus. [terhubung berkala]. org/ Summary/SpeciesSummary. [8 May 2009]. Archdale, M. V, K Anraku, T Yamamoto, and N Higashitani Behaviour of The Japanese Rock Crab Ishigani Charybdis japanica Towards Two Collapsible Baited Pots: Evaluation of Capture Effectivness. Marine Fisheries Research journal. No. 69: Arifin, Jaenal.. Pengontrolan Temperatur Menggunakan Metode Kontrol PIDBerbasis Mikrokontroler AT90S8515. [terhubung tidak berkala]. 43k. [04 September 2008]. Baskoro M S Alat Penangkap ikan yang berwawasan lingkungan. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. No. 16: Brandt A V Fishing Catching Methods of The World. England: Fishing News Books Ltd. Brown C G The Effect of Escape gap on Trap Selectivity in The United Kingdom Crab (Cancer pagurus L.) and Lobster (Homarus gammarus L.) Fisheries. Marine Fisheries Research journal. No. 40: Chopin F S, Arimoto T The Cindition of Fish Escaping From Fishing Gears a Review. Marine Fisheries Research journal. No. 21: Cyr, Charly dan Marie B S Catch of Japanese Carab Traps in Relation to Bait Quantity And Ahielding. Marine Fisheries Research journal. No. 24: Direktorat Jenderal Perikanan Statistik Perikanan Indonesia (Fisheries Statictic of Indonesia). Jakarta: Departemen Pertanian. Djatikusumo E W Dinamika Populasi Ikan. Bahan Kuliah. Jakarta: Akademi Usaha Perikanan. Eldridge P J, V G Burrell, and Steele G Develovment of a Self Culling Blue Crab Pot. J. Const. int. Explor. Mer

97 84 [FAO].. Groupers of the World. [terhubung berkala]. [28 Februari 2008]. Furqon Kenali Musim Angin di Kepulauan Seribu. [terhubung tidak berkala]. [27 Pebruari 2009]. Gunarso W Tingkah Laku Ikan Dalam Hubungannya dengan Alat, Metode, dan Teknik Penangkapan. Bogor: IPB Press. Grant E M Epinephelus quoyanus. [terhubung berkala]. _quoyanus.pdf. [28 Desember 2008]. Hendrotomo M Studi Analisis Hasil Tangkapan Dengan Menggunakan Umpan yang Berbeda Pada Rawai Cucut (Hiu) Permukaan Pelabuhan Ratu [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Irawati R Studi Tingkah Laku Pelolosan Kerapu Macan (Epinphelus fuscoguttatus) Pada Bubu Yang Dilengkapi Dengan Celah Pelolosan (Escaping gaps) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Iskandar M D Selektivitas bubu: Sebuah review. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. No. 16: Jirapunpipat et al The Effect of Escape Vents in Collapsible Pots on Catch And Size of The Mud Crab Scylla olivacea. Marine Fisheries Research journal. No. 94: Junianto Teknik Penanganan Ikan. Jakarta : Penebar Swadaya. Krouse J S. (1978). Effectiveness escape vent shape in traps for catching lagalsized lobster, Homarus americanus, and harvestable sized crabss, Cancer borealis and Cancer irronatus. Marine Fisheries Research journal. No. 76: Laapo A Model ekonomi Sumberdaya Perikanan Tangkap Yang Berkelanjutan di Perairan Kabupaten Morowali. [terhubung tidak berkala]. [26 februari 2009]. Lastari L Perbandingan Hasil Tangkapan Bubu Lipat Bubu Bercelah (Escape Gap) Dan Tanpa Celah (Non escape Gap) di Perairan Kronjo [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Leksono U Suatu Studi Tentang Penggunaan Umpan Ikan Lemuru Sebagai Umpan Pada Perikanan Rawai Tuna di PT. Perikanan Samudera Besar, Benoa, Bali [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor.

98 85 LIPI Studi Baseline Ekologi Kecamatan Kalmas Kabupaten Pangkep. [terhubung berkala]. Pangkep_2007.pdf. [24 Maret 2009]. Martasuganda, Sulaeman Bubu (Traps). Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, Institut Pertanian Bogor. Mawardi M. Ilyas Pengaruh Penggunaan Jenis Umpan Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Karang Pada Alat Tangkap Bubu (Trap) di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Miller R J Effectiveness of Crab and Lobster Trap. Marine Fisheries Research journal. No. 47: Miller R J Option for Reducing By Catch in Lobster and Crab Pots. Solving By Catch. Consideration for Today and Tomorrow. PP: Monintja D R dan Martasuganda S Teknologi Pemanfaatan Sumberdaya Hayati Laut II. Bogor: IPB Press. Morato, T. Santos, R. S. Andrade, J. P Feeding Next Term Habits, Seasonal and Ontogenetic Diet Shift of Blacktail Comber, Serranus atricauda (Pisces: Serranidae), From The Azores, North Eastern Atlantic. Marine Fisheries Research journal. No. 49: Nugraha A Efektivitas Penangkapan Ikan Karang Konsumsi Menggunakan Bubu Dengan Umpan yang Berbeda di Kepulauan Seribu [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Nurhidayat Pengaruh Kedalaman Pemasangan Bubu Terhadap Hasil Tangkapan Kakap Merah (Lutjanus sanguineus) di Perairan Sekitar Kepulauan Karimunjawa [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Nybakken, J. W Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan oleh M. Eidman, Koesoebiono, D. G. Bengen, Hutomo, dan Sukardjo, 1982, Marine Biology An Ecological Approach. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. [PBC] Palm Beach County Seagrasses. Florida. [terhubung tidak berkala]. net/ article.php/seagrasses. [28 Februari 2009]. Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu Data Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Jakarta: Pemkab Kepulauan Seribu.

99 86 Pemerintah Kelurahan Pulau Panggang Laporan Tahunan Jakarta: Pemerintah Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Prakoso, Gilar Pengaruh Attractor Dalam Pengoperasian Alat Tangkap Bubu Rajungan di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Istitut Pertanian Bogor. Randall, J. E. dan James Heemstra Grouper of The World (Family Serranidae Sub Family Epinephelinae). FAO Fisheries Sinopsis. [terhubung berkala]. [1 Desember 2008]. Ramdani D Perbandingan Hasil Tangkapan Rajungan Pada Bubu Lipat Dengan Menggunakan Umpan Yang Berbeda [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Istitut Pertanian Bogor. Riyanto M Respons Penciuman Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) Terhadap Umpan Buatan [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian bogor. Sainsbury J C Commercial Fishing Methods. An IIntroduction to Vessel and Gears. 3 rd Edition. London: Fishing News Books. Santoso S SPSS (Statistical Product and Service Solution). Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia. Schultz, Ken Fishing Encyclopedia. Canada: Wiley. Slack R J, Smith Fishing With Traps and Pots. FAO Training Series. Italy: FAO. Sopati E Penentuan Jenis dan Peletakan Umpan Pada Jaring Krendet dan Pengaruhnya Terhadap Hasil Tangkapan Lobster Di Teluk Pelabuhanratu, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Subani, W dan Barus, H.R Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Edisi Khusus. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Sugiono Statistik Untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta. Susanti Y Pengoperasian Bubu Tambun dan Kerusakan Terumbu Karang Yang Diakibatkannya di pulau Harapan, Kepulauan Seribu [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

100 87 Tarwitah Pembenihan Kerapu Macan (Epinephelus fiscoguttatus). Jakarta: Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Tiku, Mathius Pengaruh Jenis Umpan dan Waktu Pengoperasian Bubu Lipat Terhadap Hasil Tangkapan Kepiting Bakau (Sylla serrata) di Kecamatan Kubu, Kabupaten Pontianak [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian bogor. Treble R J, Russell B M, Terence I W Size selektivity of Lobster Pots With Escape gap: Application of The SELECT Method To The Southerm Rock Lobster (Jasus edwardsii) Fishery in Victoria, Australia. Fishery Research. Vol. 34: Von Brandt A Fish Catching Methods of the World. England : Fishing News Book Ltd. Widodo, Johanes, dan Suadi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Winarni N L Analisis Sederhana Dalam Kehidupan Liar. Pelatihan Survey Biodiversitas. Way Canguk. [terhubung tidak berkala]. [26 Maret 2009]. Yudha I G Pengaruh Jumlah Umpan Terhadap Hasil Tangkapan Bubu Karang (Coral Trap) di Perairan Pulau Puhawang, Lampung Selatan. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Hal: 26 27

101 LAMPIRAN

102 Lampiran 1 Lokasi penelitian dan basis penangkapan bubu Pulau Kotok Kecil (Lokasi Penangkapan) Pulau Kotok Besar (Lokasi Penangkapan) U Pulau Gosong Pandan& Pulau Karang Congkak (Lokasi Penangkapan) Pulau Panggang (Fishing base) Skala 1 :

103 90 Lampiran 2 Bahan dan alat yang digunakan pada penelitian. (1) Bulu babi, sebagai umpan (2) Bantal raja, sebagai umpan (3) Bubu tambun (4) Bubu ber escape gap (5) Dongdang (6) Kapal bubu

104 91 Lanjutan Lampiran 2. (7) Jangka sorong (8) Measuring board (9) Meteran kain (10) Masker dan snorkel (11) Ganco (11) Timbangan

105 92 Lampiran 3 Hasil tangkapan bubu tambun selama penelitian. Nama Nama lokal : Bawalan Nama internasional : Ocellate Coral Fish Nama latin : Parachaetodon ocellatus Nama lokal : Bayeman Nama internasional : Moluccan Seaperch Lutjanus boutton Nama latin : Halichoeres marginatus Nama lokal : Betok Belang Nama Ilternasional : Honeyhead Damsel Nama latin : Dischistodus prosopotaenia Gambar Nama lokal : Betok hitam Nama internasional : Orange Damsel Nama latin : Neoglyphidodon crossi Nama lokal : Betok hitam tanda Nama Internasional : Monarch Damsel Nama latin : Dischistodus pseudochrysopoecilus Nama lokal : Betok Lobang Nama internasional : Black vent damsel Nama latin : Dischistodus melanotus Nama lokal : Betok putih Nama internasional : White damsel Nama latin : Dischitodus perspicillatus Nama lokal : Betok ronggeng Nama Internasional : Banded sergeant Nama latin : Abudefduf septemfasciatus Nama lokal : Bungawaru Nama internasional : Oblique banded Sweetlips Nama latin : Plectorhinchus lineatus

106 93 Lanjutan Lampiran 3. Nama Gambar Nama lokal : Buntal Tetraodon Nama internasional : Scribbled Pufferfish Nama latin : Arohtron mappa Nama lokal : Cucut Toke Nama internasional : Coral catshark Nama latin : Atelomycterus marmoratus Nama lokal : Buntal Nama latin : Diodon Sp. Nama lokal : Ekor Kuning Nama internasional : Redbelly yellowtail fusilier Nama latin : Caesio cuning Nama lokal : Janggut Nama internasional : Long barbel Goatfish Nama latin : Parupeneus macronema Nama lokal : Jarang gigi Nama Internasional : White belly Tuskfish Nama latin : Choerodon anchorago Nama lokal : Kakatua Nama latin : Scarus prasiognatos Nama lokal : Kakatua Ijo Nama internasional : Green blotched parrotfish Nama latin : Scarus quoyi Nama lokal : Kakatua Putih Nama Internasional : Surf parrotfish Nama latin : Scarus rivulatus (female) Nama lokal : Kakatau merah Nama internasional : Dusky Parrotfish Nama latin : Scarus niger

107 94 Lanjutan Lampiran 3. Nama Nama lokal : Kakap Tanda Nama internasional : Yellow striped Snapper Nama latin: Lutjanus rufolineatus Nama lokal : Kenari merah Nama internasional : Scarlet breasted maori wrasse Nama latin : Cheilinus fasciatus Nama lokal : Kenari terompet Nama internasional : Slingjaw wrasse Nama latin : Epibulus insidiator Gambar Nama lokal : Kepiting Nama internasional : Swimming Crabs Nama lokal : Kepiting Batik Nama internasional : Reef Crab Nama latin : Carpilus convexus Nama lokal : Kepiting batu Nama internasional : Reef Crab Nama latin : Atergratis floridus Nama lokal : Kepiting bulan Nama internasional : Reef Crab Nama latin : Carpilius maculatus Nama lokal : Kepiting pasir

108 95 Lanjutan Lampiran 3. Nama Nama lokal : Kerapu Hitam Nama inetrnasional : Tomato Rock Cod Nama latin : Chepalopholis sonnerati Nama lokal : Kerapu koko Nama internasional : Long Fined Rock Code Nama latin : Ephinephelus quoyamus Gambar Nama lokal : Kerapu Lada Nama internasional : Honey comb cod Nama latin : Ephinephelus merra Nama lokal : Kerapu Lokal Nama internasional : Six band Rock Cod Nama latin : Ephinephelus sexfasciatus Nama lokal : Kerapu Merah Nama internasional : Black tipped cod Nama latin : Ephinephelus Fasciatus Nama lokal : Kerondong Nama Internasional : Giant Moray Nama latin : Gymnothorax javanicus Nama lokal : Kumang Nama internasional : Hermit Crab Nama latin : Dardanus megistos Nama lokal : Kupas kupas Nama internasional : Spectacled Filefish Nama latin :Cantherhines fronticinctus Nama lokal : Kupas kupas Hitam Nama internasional : Titan tiggerfish Nama latin : Balistes viridescense

109 96 Lanjutan Lampiran 3. Nama Gambar Nama lokal : Lepu Angin Nama latin : Scorpaeana gutata Nama lokal : Lepu Tembaga Nama internasional : Estuarin Stonefish Nama latin : Synanceia horrida Nama lokal : Marmut Nama internasional : Vermiculate angelfish Nama latin : Chaetodontoplus mesoleucus Nama lokal : Menggilalat Nama internasional : Doublebar Spinefoot Nama latin : Siganus doliatus Nama lokal : Pasir Nama internasional : Striped whiptail Nama latin : Pentapodus trivittatus Nama lokal : Pelo Nama latin : Halichoeres hortulatus Nama lokal : Pelo Sabun Nama latin : Halichoeres prosopeion Nama lokal : Serak Nama internasional : Striped Spinecheek Nama latin : Scolopsis lineatus Nama lokal : Sersan mayor Nama internasional : Bengal Sergeant Nama latin : Abudeduf bengalensis Nama lokal : Siriding Nama internasional : Guam Cardinalfish Nama latin : Apogon guamencis

110 97 Lanjutan Lampiran 3. Nama Gambar Nama lokal : Siriding hitam Nama internasional : Black cardinalfish Nama latin : Apogon melas Nama lokal : Strip delapan/kepe kepe Nama internasional : Eight banded butterflyfish Nama latin : Chaetodon octofasciatus Nama lokal : Swanggi Nama internasional : Red Squirrelfish Nama latin : Sargocentron rubrum Nama lokal : Tikusan Nama internasional : Fourspot Nama latin : Halichoeres hortulanus

PENGGUNAAN CELAH PELOLOSAN PADA BUBU TAMBUN TERHADAP HASIL TANGKAPAN KERAPU KOKO DI PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU DIDIN KOMARUDIN

PENGGUNAAN CELAH PELOLOSAN PADA BUBU TAMBUN TERHADAP HASIL TANGKAPAN KERAPU KOKO DI PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU DIDIN KOMARUDIN PENGGUNAAN CELAH PELOLOSAN PADA BUBU TAMBUN TERHADAP HASIL TANGKAPAN KERAPU KOKO DI PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU DIDIN KOMARUDIN MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN

Lebih terperinci

TINGKAT KEAKURATAN KONSTRUKSI GADING-GADING KAPAL KAYU GALANGAN KAPAL UD. SEMANGAT UNTUNG DI DESA TANAH BERU, BULUKUMBA, SULAWESI SELATAN

TINGKAT KEAKURATAN KONSTRUKSI GADING-GADING KAPAL KAYU GALANGAN KAPAL UD. SEMANGAT UNTUNG DI DESA TANAH BERU, BULUKUMBA, SULAWESI SELATAN TINGKAT KEAKURATAN KONSTRUKSI GADING-GADING KAPAL KAYU GALANGAN KAPAL UD. SEMANGAT UNTUNG DI DESA TANAH BERU, BULUKUMBA, SULAWESI SELATAN ANISA FATHIR RAHMAN MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG Oleh: DONNA NP BUTARBUTAR C05400027 PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Karang 2.2 Habitat Ikan Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Karang 2.2 Habitat Ikan Karang 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Karang Ikan karang merupakan organisme laut yang sangat mencolok di ekosistem terumbu karang, sehingga sering dijumpai dengan jumlah yang besar dan mengisi daerah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luas terumbu karang Indonesia kurang lebih 50.000 km 2. Ekosistem tersebut berada di wilayah pesisir dan lautan di seluruh perairan Indonesia. Potensi lestari sumberdaya

Lebih terperinci

POTENSI PENGEMBANGAN USAHA PENANGKAPAN IKAN DI KABUPATEN PANDEGLANG DAN DUKUNGAN PPP LABUAN WINY IRHAMNI

POTENSI PENGEMBANGAN USAHA PENANGKAPAN IKAN DI KABUPATEN PANDEGLANG DAN DUKUNGAN PPP LABUAN WINY IRHAMNI POTENSI PENGEMBANGAN USAHA PENANGKAPAN IKAN DI KABUPATEN PANDEGLANG DAN DUKUNGAN PPP LABUAN WINY IRHAMNI MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Bubu ( Traps

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Bubu ( Traps 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Bubu (Traps) Bubu merupakan alat penangkapan ikan yang pasif (pasif gear). Alat tangkap ini memanfaatkan tingkah laku ikan yang mencari tempat persembunyian maupun

Lebih terperinci

SELEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE VENT) TERHADAP IKAN KUPAS-KUPAS (Cantherhines fronticinctus)

SELEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE VENT) TERHADAP IKAN KUPAS-KUPAS (Cantherhines fronticinctus) BULETIN PSP ISSN: 0251-286X Volume 20 No. 2 Edisi April 2012 Hal 167-179 SELEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE VENT) TERHADAP IKAN KUPAS-KUPAS (Cantherhines fronticinctus) Oleh: Dahri Iskandar 1*, Didin

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan 6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan Daerah penangkapan ikan kakap (Lutjanus sp.) oleh nelayan di Kabupaten Kupang tersebar diberbagai lokasi jalur penangkapan.

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Penangkapan 2.2 Alat Tangkap Perangkap ( Traps

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Penangkapan 2.2 Alat Tangkap Perangkap ( Traps 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Penangkapan Teknologi penangkapan ikan yang akan dikembangkan setidaknya harus memenuhi empat aspek pengkajian bio-techniko-socio-economic-approach yaitu: (1) Bila ditinjau

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Analisis Komparasi

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Analisis Komparasi 6 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisis Komparasi Kabupaten Klungkung, kecamatan Nusa Penida terdapat 16 desa yang mempunyai potensi baik sekali untuk dikembangkan, terutama nusa Lembongan dan Jungutbatu. Kabupaten

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Kepulauan Selayar merupakan wilayah yang memiliki ciri khas kehidupan pesisir dengan segenap potensi baharinya seperti terumbu karang tropis yang terdapat di

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Letak dan Kondisi Penelitian Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan kerapu macan (Ephinephelus fuscoguttatus) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan kerapu macan (Ephinephelus fuscoguttatus) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6488.1-2000 Standar Nasional Indonesia Induk ikan kerapu macan (Ephinephelus fuscoguttatus) kelas induk pokok (Parent Stock) Prakata Standar ini diterbitkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN)

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE GAP) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR UNTUK MENUNJANG KELESTARIAN SUMBERDAYA IKAN

EFEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE GAP) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR UNTUK MENUNJANG KELESTARIAN SUMBERDAYA IKAN EFEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE GAP) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR UNTUK MENUNJANG KELESTARIAN SUMBERDAYA IKAN Silka Tria Rezeki 1), Irwandy Syofyan 2), Isnaniah 2) Email : silkarezeki@gmail.com 1) Mahasiswa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih TINJAUAN PUSTAKA Alat Tangkap Jaring Insang (Gill net) Jaring insang (gill net) yang umum berlaku di Indonesia adalah salah satu jenis alat penangkapan ikan dari bahan jaring yang bentuknya empat persegi

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Pramuka secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan 50 5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan bubu di Kecamatan Mempawah Hilir, Kabupaten Pontianak ditujukan untuk menangkap ikan kakap merah (Lutjanus sanguineus),

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Perairan Palabuhanratu terletak di sebelah selatan Jawa Barat, daerah ini merupakan salah satu daerah perikanan yang potensial di Jawa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Lokasi Penelitian Cirebon merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Barat tepatnya diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL)

METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL) METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL) KLASIFIKASI ALAT / METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL) Alat penangkap yang terdiri dari dua komponen utama, yaitu; tali (line) dan mata

Lebih terperinci

Efektifitas Modifikasi Rumpon Cumi sebagai Media Penempelan Telur Cumi Bangka (Loligo chinensis)

Efektifitas Modifikasi Rumpon Cumi sebagai Media Penempelan Telur Cumi Bangka (Loligo chinensis) EFEKTIFITAS MODIFIKASI RUMPON CUMI SEBAGAI MEDIA PENEMPELAN TELUR CUMI BANGKA (Loligo Effectiveness of Squid Modification As a Media of Attachment Squid Eggs Bangka Indra Ambalika Syari 1) 1) Staff Pengajar

Lebih terperinci

Ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis, Valenciences) - Bagian 1: Induk

Ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis, Valenciences) - Bagian 1: Induk Standar Nasional Indonesia Ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis, Valenciences) - Bagian 1: Induk ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional BSN 2011 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang menyalin

Lebih terperinci

UJICOBA BEBERAPA WARNA UMPAN TIRUAN PADA PENANGKAPAN IKAN DENGAN HUHATE DI PERAIRAN BONE-BONE, KOTA BAU-BAU, SULAWESI TENGGARA HENDRAWAN SYAFRIE

UJICOBA BEBERAPA WARNA UMPAN TIRUAN PADA PENANGKAPAN IKAN DENGAN HUHATE DI PERAIRAN BONE-BONE, KOTA BAU-BAU, SULAWESI TENGGARA HENDRAWAN SYAFRIE UJICOBA BEBERAPA WARNA UMPAN TIRUAN PADA PENANGKAPAN IKAN DENGAN HUHATE DI PERAIRAN BONE-BONE, KOTA BAU-BAU, SULAWESI TENGGARA HENDRAWAN SYAFRIE SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Jumlah tangkapan; struktur ukuran; jenis umpan; ikan demersal dan rawai dasar

ABSTRAK. Kata kunci: Jumlah tangkapan; struktur ukuran; jenis umpan; ikan demersal dan rawai dasar RESPON IKAN DEMERSAL DENGAN JENIS UMPAN BERBEDA TERHADAP HASIL TANGKAPAN PADA PERIKANAN RAWAI DASAR Wayan Kantun 1), Harianti 1) dan Sahrul Harijo 2) 1) Sekolah Tinggi Teknologi Kelautan (STITEK) Balik

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Performa Fyke Net Modifikasi

5 PEMBAHASAN 5.1 Performa Fyke Net Modifikasi 5 PEMBAHASAN 5.1 Performa Fyke Net Modifikasi Fyke net yang didisain selama penelitian terdiri atas rangka yang terbuat dari besi, bahan jaring Polyetilene. Bobot yang berat di air dan material yang sangat

Lebih terperinci

Jaring Angkat

Jaring Angkat a. Jermal Jermal ialah perangkap yang terbuat dari jaring berbentuk kantong dan dipasang semi permanen, menantang atau berlawanlan dengan arus pasang surut. Beberapa jenis ikan, seperti beronang biasanya

Lebih terperinci

KLASIFIKASI ALAT / METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL)

KLASIFIKASI ALAT / METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL) KLASIFIKASI ALAT / METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL) PANCING Alat penangkap yang terdiri dari dua komponen utama, yaitu; tali (line) dan mata pancing (hook). Sedangkan bahan, ukuran tali

Lebih terperinci

PEMBENIHAN IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)

PEMBENIHAN IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) PEMBENIHAN IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) 1. PENDAHULUAN Ikan Kerapu (Epinephelus sp) umumnya dikenal dengan istilah "groupers" dan merupakan salah satu komoditas perikanan yang mempunyai

Lebih terperinci

Metode Menarik Perhatian Ikan (Fish Attraction) Muhammad Arif Rahman, S.Pi

Metode Menarik Perhatian Ikan (Fish Attraction) Muhammad Arif Rahman, S.Pi Metode Menarik Perhatian Ikan (Fish Attraction) Muhammad Arif Rahman, S.Pi Prinsip dari metode ini adalah mengumpulkan ikan dalam ruang lingkup suatu alat tangkap. Dalam menarik perhatian ikan, digunakan

Lebih terperinci

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T No.714, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN KP. Larangan. Pengeluaran. Ikan. Ke Luar. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/PERMEN-KP/2014 TENTANG LARANGAN

Lebih terperinci

EFISIENSI TEKNIS UNIT PENANGKAPAN MUROAMI DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGANNYA DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

EFISIENSI TEKNIS UNIT PENANGKAPAN MUROAMI DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGANNYA DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU EFISIENSI TEKNIS UNIT PENANGKAPAN MUROAMI DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGANNYA DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU PUSPITA SKRIPSI PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Budidaya laut (marinecultur) merupakan bagian dari sektor kelautan dan perikanan yang mempunyai kontribusi penting dalam memenuhi target produksi perikanan. Walaupun

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

PENGKAJIAN HASIL TANGKAPAN MUROAMI DI KEPULAUAN SERIBU RIBKA PUJI RASPATI SKRIPSI

PENGKAJIAN HASIL TANGKAPAN MUROAMI DI KEPULAUAN SERIBU RIBKA PUJI RASPATI SKRIPSI PENGKAJIAN HASIL TANGKAPAN MUROAMI DI KEPULAUAN SERIBU RIBKA PUJI RASPATI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 30 PERNYATAAN

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 33 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ukuran Mata Jaring Lintasan Masuk Bubu Hasil pengamatan terhadap tingkah laku kepiting bakau saat melewati bidang lintasan masuk menunjukkan bahwa kepiting bakau cenderung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ikan kerapu macan di pasaran internasional dikenal dengan nama flower

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ikan kerapu macan di pasaran internasional dikenal dengan nama flower BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) Ikan kerapu macan di pasaran internasional dikenal dengan nama flower atau carped cod, nama lokal (Gorontalo)

Lebih terperinci

RESPON PENCIUMAN IKAN KERAPU MACAN (Ephinephelus fuscoguttatus) TERHADAP UMPAN : PENGUJIAN SKALA LABORATORIUM. Deka Berkah Sejati SKRIPSI

RESPON PENCIUMAN IKAN KERAPU MACAN (Ephinephelus fuscoguttatus) TERHADAP UMPAN : PENGUJIAN SKALA LABORATORIUM. Deka Berkah Sejati SKRIPSI RESPON PENCIUMAN IKAN KERAPU MACAN (Ephinephelus fuscoguttatus) TERHADAP UMPAN : PENGUJIAN SKALA LABORATORIUM Deka Berkah Sejati SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Daerah Penelitian Kabupaten Kupang merupakan kabupaten yang paling selatan di negara Republik Indonesia. Kabupaten ini memiliki 27 buah pulau, dan 19 buah pulau

Lebih terperinci

PENGARUH BENTUK DAN LETAK CELAH PELOLOSAN (Escape Gap) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR TERHADAP KELESTARIANSUMBERDAYA IKAN

PENGARUH BENTUK DAN LETAK CELAH PELOLOSAN (Escape Gap) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR TERHADAP KELESTARIANSUMBERDAYA IKAN PENGARUH BENTUK DAN LETAK CELAH PELOLOSAN (Escape Gap) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR TERHADAP KELESTARIANSUMBERDAYA IKAN Hadiah Witarani Puspa 1), T. Ersti Yulika Sari 2), Irwandy Syofyan 2) Email : hadiahwpuspa@gmail.com

Lebih terperinci

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi ikan adalah adalah pergerakan perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain yang mempunyai arti penyesuaian terhadap kondisi alam yang menguntungkan

Lebih terperinci

7 EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN

7 EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN 7 EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN 7.1 Pendahuluan Bubu merupakan alat tangkap yang bersifat pasif. Secara umum, menangkap ikan dengan bubu adalah agar ikan berkeinginan masuk ke dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Penangkapan Ikan. Ayodhyoa (1981) mengatakan bahwa penangkapan ikan adalah suatu usaha

II. TINJAUAN PUSTAKA Penangkapan Ikan. Ayodhyoa (1981) mengatakan bahwa penangkapan ikan adalah suatu usaha II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penangkapan Ikan Ayodhyoa (1981) mengatakan bahwa penangkapan ikan adalah suatu usaha manusia untuk menghasilkan ikan dan organisme lainnya di perairan, keberhasilan usaha penangkapan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jenis Hasil Tangkapan Hasil tangkapan pancing ulur selama penelitian terdiri dari 11 famili, 12 genus dengan total 14 jenis ikan yang tertangkap (Lampiran 6). Sebanyak 6

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemberlakuan Otonomi Daerah yang diamanatkan melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang termaktub pada pasal 117, yang berbunyi : "Ibukota Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

STUDY ON THE PVC TRAP FOR ELL (Monopterus albus)

STUDY ON THE PVC TRAP FOR ELL (Monopterus albus) STUDY ON THE PVC TRAP FOR ELL (Monopterus albus) By Dedi yandra ) Nofrizal 2) and IrwandySyofyan 2) Abstract For purpose to examine and compare efectiveness of the PVC and traditional trap for catching

Lebih terperinci

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang 4.1.1 Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang Produksi ikan terbang (IT) di daerah ini dihasilkan dari beberapa kabupaten yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perikanan Tangkap di Cirebon Armada penangkapan ikan di kota Cirebon terdiri dari motor tempel dan kapal motor. Jumlah armada penangkapan ikan dikota Cirebon

Lebih terperinci

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR 5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR 5.1 Sumberdaya Ikan Sumberdaya ikan (SDI) digolongkan oleh Mallawa (2006) ke dalam dua kategori, yaitu SDI konsumsi dan SDI non konsumsi. Sumberdaya ikan konsumsi

Lebih terperinci

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Kabupaten Luwu Timur merupakan kabupaten paling timur di Propinsi Sulawesi Selatan dengan Malili sebagai ibukota kabupaten. Secara geografis Kabupaten Luwu Timur terletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rajungan merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia. Berdasarkan data ekspor impor Dinas Kelautan dan Perikanan Indonesia (2007), rajungan menempati urutan ke

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM. 4.1 Letak Geografis

KEADAAN UMUM. 4.1 Letak Geografis III. KEADAAN UMUM 4.1 Letak Geografis Kabupaten Bangka Selatan, secara yuridis formal dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Bangka

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

Lift Net & Traps. Ledhyane Ika Harlyan. Dept. of Fisheries Resources Utilization and Marine Science Fisheries Faculty, Brawijaya University 1

Lift Net & Traps. Ledhyane Ika Harlyan. Dept. of Fisheries Resources Utilization and Marine Science Fisheries Faculty, Brawijaya University 1 Lift Net & Traps Ledhyane Ika Harlyan Dept. of Fisheries Resources Utilization and Marine Science Fisheries Faculty, Brawijaya University 1 Tujuan Instruksional Khusus Mahasiswa yg mengikuti materi ini

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian di lapang dilaksanakan pada Bulan Mei sampai Juni 2009. Penelitian dilaksanakan di Perairan Pulau Karang Beras, Kepulauan Seribu (Lampiran

Lebih terperinci

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA Prosiding Seminar Antarabangsa Ke 8: Ekologi, Habitat Manusia dan Perubahan Persekitaran 2015 7 POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN

Lebih terperinci

Jl. Raya Jakarta Serang Km. 04 Pakupatan, Serang, Banten * ) Korespondensi: ABSTRAK

Jl. Raya Jakarta Serang Km. 04 Pakupatan, Serang, Banten * ) Korespondensi: ABSTRAK Jurnal Perikanan dan Kelautan p ISSN 289 3469 Volume 6 Nomor 2. Desember 216 e ISSN 254 9484 Halaman : 95 13 Efektifitas Celah Pelolosan Pada Bubu Lipat Terhadap Hasil Tangkapan Rajungan di Teluk Banten

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PENGARUH POSISI UMPAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN BUBU LIPAT (Effect of bait position on catch of collapsible pot)

PENGARUH POSISI UMPAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN BUBU LIPAT (Effect of bait position on catch of collapsible pot) BULETIN PSP ISSN: 0251-286X Volume 21 No. 1 Edisi April 2013 Hal 1-9 PENGARUH POSISI UMPAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN BUBU LIPAT (Effect of bait position on catch of collapsible pot) Oleh: Dahri Iskandar

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi penelitian mengambil tempat di pulau Pramuka Kepulauan Seribu, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Propinsi DKI Jakarta (Peta Lokasi Lampiran

Lebih terperinci

V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 40 V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1. Kondisi Fisik Geografis Wilayah Kota Ternate memiliki luas wilayah 5795,4 Km 2 terdiri dari luas Perairan 5.544,55 Km 2 atau 95,7 % dan Daratan 250,85 Km 2 atau

Lebih terperinci

Budidaya Nila Merah. Written by admin Tuesday, 08 March 2011 10:22

Budidaya Nila Merah. Written by admin Tuesday, 08 March 2011 10:22 Dikenal sebagai nila merah taiwan atau hibrid antara 0. homorum dengan 0. mossombicus yang diberi nama ikan nila merah florida. Ada yang menduga bahwa nila merah merupakan mutan dari ikan mujair. Ikan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Hasil Tangkapan Jaring Kejer Hasil tangkapan jaring kejer selama penelitian menunjukkan bahwa proporsi jumlah rajungan tertangkap adalah 42,07% dari total hasil

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Bubu Lipat

5 PEMBAHASAN 5.1 Bubu Lipat 5 PEMBAHASAN 5.1 Bubu Lipat Bubu lipat modifikasi pintu samping dan bubu lipat pintu atas dengan penambahan pintu jebakan bentuk kisi-kisi merupakan desain dan konstruksi yang pertama kali dibuat. Cacing

Lebih terperinci

PENGARUH ARUS LISTRIK TERHADAP WAKTU PINGSAN DAN PULIH IKAN PATIN IRVAN HIDAYAT SKRIPSI

PENGARUH ARUS LISTRIK TERHADAP WAKTU PINGSAN DAN PULIH IKAN PATIN IRVAN HIDAYAT SKRIPSI i PENGARUH ARUS LISTRIK TERHADAP WAKTU PINGSAN DAN PULIH IKAN PATIN IRVAN HIDAYAT SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing).

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia cukup besar, baik sumberdaya perikanan tangkap maupun budidaya. Sumberdaya perikanan tersebut merupakan salah satu aset nasional

Lebih terperinci

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN SIDAT DENGAN MENGGUNAKAN BUBU DI DAERAH ALIRAN SUNGAI POSO SULAWESI TENGAH

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN SIDAT DENGAN MENGGUNAKAN BUBU DI DAERAH ALIRAN SUNGAI POSO SULAWESI TENGAH Teknik Penangkapan Ikan Sidat..di Daerah Aliran Sungai Poso Sulawesi Tengah (Muryanto, T & D. Sumarno) TEKNIK PENANGKAPAN IKAN SIDAT DENGAN MENGGUNAKAN BUBU DI DAERAH ALIRAN SUNGAI POSO SULAWESI TENGAH

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian penangkapan rajungan dengan menggunakan jaring kejer dilakukan di perairan Gebang Kabupaten Cirebon, Jawa Barat (Lampiran 1 dan Lampiran 2). Penelitian

Lebih terperinci

PROPORSI HASIL TANGKAP SAMPINGAN JARING ARAD (MINI TRAWL) YANG BERBASIS DI PESISIR UTARA, KOTA CIREBON. Oleh: Asep Khaerudin C

PROPORSI HASIL TANGKAP SAMPINGAN JARING ARAD (MINI TRAWL) YANG BERBASIS DI PESISIR UTARA, KOTA CIREBON. Oleh: Asep Khaerudin C PROPORSI HASIL TANGKAP SAMPINGAN JARING ARAD (MINI TRAWL) YANG BERBASIS DI PESISIR UTARA, KOTA CIREBON Oleh: Asep Khaerudin C54102009 PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

SWAMP EELS (Synbranchus sp.) JENIS YANG BARU TERCATAT (NEW RECORD SPECIES) DI DANAU MATANO SULAWESI SELATAN *)

SWAMP EELS (Synbranchus sp.) JENIS YANG BARU TERCATAT (NEW RECORD SPECIES) DI DANAU MATANO SULAWESI SELATAN *) Swamp Eels (Synbranchus sp.) Jenis... di Danau Matano Sulawesi Selatan (Makmur, S., et al.) SWAMP EELS (Synbranchus sp.) JENIS YANG BARU TERCATAT (NEW RECORD SPECIES) DI DANAU MATANO SULAWESI SELATAN *)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Visi

I. PENDAHULUAN Visi I. PENDAHULUAN 1.1. Visi Cahaya merupakan salah satu faktor keberhasilan dalam kegiatan penangkapan ikan yang memiliki sifat fototaksis positif. Penggunaan cahaya, terutama cahaya listrik dalam kegiatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DENGAN BUBU MENGGUNAKAN UMPAN BUATAN. I. Pendahuluan

EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DENGAN BUBU MENGGUNAKAN UMPAN BUATAN. I. Pendahuluan EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DENGAN BUBU MENGGUNAKAN UMPAN BUATAN Mochammad Riyanto 1), Ari Purbayanto 1), dan Budy Wiryawan 1) 1) Staf Pengajar Departemen Pemanfaatan

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS UMPAN BUATAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN BUBU TALI DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU

PENGARUH JENIS UMPAN BUATAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN BUBU TALI DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU PENGARUH JENIS UMPAN BUATAN TERHADAP HASIL TANGKAPANN BUBU TALI DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU MIRA NURYAWATI MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANANN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANANN

Lebih terperinci

STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG DI PALABUHANRATU PADA SAAT MEMBAWA HASIL TANGKAPAN MAKSIMUM NENI MARTIYANI SKRIPSI

STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG DI PALABUHANRATU PADA SAAT MEMBAWA HASIL TANGKAPAN MAKSIMUM NENI MARTIYANI SKRIPSI STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG DI PALABUHANRATU PADA SAAT MEMBAWA HASIL TANGKAPAN MAKSIMUM NENI MARTIYANI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

IKAN HARUAN DI PERAIRAN RAWA KALIMANTAN SELATAN. Untung Bijaksana C / AIR

IKAN HARUAN DI PERAIRAN RAWA KALIMANTAN SELATAN. Untung Bijaksana C / AIR @ 2004 Untung Bijaksana Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS 702) Sekolah Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor September 2004 Dosen : Prof. Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng IKAN HARUAN DI PERAIRAN KALIMANTAN

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

KERAGAMAN DAN KEBERADAAN PENYAKIT BAKTERIAL DAN PARASITIK BENIH KERAPU MACAN

KERAGAMAN DAN KEBERADAAN PENYAKIT BAKTERIAL DAN PARASITIK BENIH KERAPU MACAN KERAGAMAN DAN KEBERADAAN PENYAKIT BAKTERIAL DAN PARASITIK BENIH KERAPU MACAN Epinephelus fuscoguttatus DI KARAMBA JARING APUNG BALAI SEA FARMING KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA AGNIS MURTI RAHAYU DEPARTEMEN

Lebih terperinci

RIKA PUJIYANI SKRIPSI

RIKA PUJIYANI SKRIPSI KONDISI PERIKANANN TANGKAP DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI LEMPASING, BANDAR LAMPUNG RIKA PUJIYANI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. jenis merupakan sumber ekonomi penting (Partosuwiryo, 2008).

TINJAUAN PUSTAKA. jenis merupakan sumber ekonomi penting (Partosuwiryo, 2008). TINJAUAN PUSTAKA Sumberdaya Perikanan Indonesia terletak di titik puncak ragam jenis ikan laut dari perairan tropis Indo-Pasifik yang merupakan sistem ekologi bumi terbesar yang terbentang dari pantai

Lebih terperinci

(Jaring Insang) Riza Rahman Hakim, S.Pi

(Jaring Insang) Riza Rahman Hakim, S.Pi GILL NET (Jaring Insang) Riza Rahman Hakim, S.Pi Pendahuluan Gill net (jaring insang) adalah jaring yang berbentuk empat persegi panjang yang dilengkapi dengan pemberat pada tali ris bawahnya dan pelampung

Lebih terperinci

Karya sederhana ini kupersembahkan kepada kedua orang tziaku sebagai ungkapan terima kasih yang tak terhingga atas segala pengorbanannya demi

Karya sederhana ini kupersembahkan kepada kedua orang tziaku sebagai ungkapan terima kasih yang tak terhingga atas segala pengorbanannya demi Karya sederhana ini kupersembahkan kepada kedua orang tziaku sebagai ungkapan terima kasih yang tak terhingga atas segala pengorbanannya demi keberhasilankzr ggpj, PENGARUH KEDALAMAN POSISI MATA PANCING

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN MATA PANCING GANDA PADA RAWAI TEGAK TERHADAP HASIL TANGKAPAN LAYUR

PENGARUH PENGGUNAAN MATA PANCING GANDA PADA RAWAI TEGAK TERHADAP HASIL TANGKAPAN LAYUR Pengaruh Penggunaan Mata Pancing.. terhadap Hasil Tangkapan Layur (Anggawangsa, R.F., et al.) PENGARUH PENGGUNAAN MATA PANCNG GANDA PADA RAWA TEGAK TERHADAP HASL TANGKAPAN LAYUR ABSTRAK Regi Fiji Anggawangsa

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Posisi Geografis dan Kondisi Perairan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terdiri atas dua kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL Oleh : Nurul Dhewani dan Suharsono Lokakarya Muatan Lokal, Seaworld, Jakarta, 30 Juni 2002 EKOSISTEM LAUT DANGKAL Hutan Bakau Padang Lamun Terumbu Karang 1 Hutan Mangrove/Bakau Kata

Lebih terperinci

Ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis, Valenciences) - Bagian 2: Benih

Ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis, Valenciences) - Bagian 2: Benih Standar Nasional Indonesia Ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis, Valenciences) - Bagian 2: Benih ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional BSN 2011 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang menyalin

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 27 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis, Topografis dan Luas Wilayah Kabupaten Ciamis merupakan salah satu kota yang berada di selatan pulau Jawa Barat, yang jaraknya dari ibu kota Propinsi

Lebih terperinci

Upaya, Laju Tangkap, dan Analisis... Sungai Banyuasin, Sumatera Selatan (Rupawan dan Emmy Dharyati)

Upaya, Laju Tangkap, dan Analisis... Sungai Banyuasin, Sumatera Selatan (Rupawan dan Emmy Dharyati) Upaya, Laju Tangkap, dan Analisis... Sungai Banyuasin, Sumatera Selatan (Rupawan dan Emmy Dharyati) UPAYA, LAJU TANGKAP, DAN ANALISIS USAHA PENANGKAPAN UDANG PEPEH (Metapenaeus ensis) DENGAN TUGUK BARIS

Lebih terperinci

PENGARUH WARNA UMPAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN IKAN NILA (Oreochromis niloticus) DI KOLAM PEMANCINGAN ILHAM SAHZALI SKRIPSI

PENGARUH WARNA UMPAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN IKAN NILA (Oreochromis niloticus) DI KOLAM PEMANCINGAN ILHAM SAHZALI SKRIPSI PENGARUH WARNA UMPAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN IKAN NILA (Oreochromis niloticus) DI KOLAM PEMANCINGAN ILHAM SAHZALI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

PENGENDALIAN SUMBERDAYA IKAN PERIKANAN PERAIRAN UMUM PENANGKAPAN DAN PENGUMPULAN GLASS ELL (SIDAT) DI MUARA SUNGAI CIMANDIRI

PENGENDALIAN SUMBERDAYA IKAN PERIKANAN PERAIRAN UMUM PENANGKAPAN DAN PENGUMPULAN GLASS ELL (SIDAT) DI MUARA SUNGAI CIMANDIRI PENGENDALIAN SUMBERDAYA IKAN PERIKANAN PERAIRAN UMUM PENANGKAPAN DAN PENGUMPULAN GLASS ELL (SIDAT) DI MUARA SUNGAI CIMANDIRI Oleh : Tedi Koswara, SP., MM. I. PENDAHULUAN Dalam Peraturan Bupati Nomor 71

Lebih terperinci

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA Pengamatan Aspek Operasional Penangkapan...di Selat Malaka (Yahya, Mohammad Fadli) PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA Mohammad Fadli Yahya Teknisi pada Balai

Lebih terperinci

mungkin akan lebih parah bila tidak ada penanganan yang serius dan tersistem. Bukan tidak mungkin hal tersebut akan mengakibatkan tekanan yang luar

mungkin akan lebih parah bila tidak ada penanganan yang serius dan tersistem. Bukan tidak mungkin hal tersebut akan mengakibatkan tekanan yang luar 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Secara geografis propinsi Bali terletak pada posisi 8º 03 40-8º 50 48 LS dan 144º 50 48 BT. Luas propinsi Bali meliputi areal daratan sekitar 5.632,66 km² termasuk keseluruhan

Lebih terperinci