Efektifitas Modifikasi Rumpon Cumi sebagai Media Penempelan Telur Cumi Bangka (Loligo chinensis)
|
|
- Susanto Halim
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 EFEKTIFITAS MODIFIKASI RUMPON CUMI SEBAGAI MEDIA PENEMPELAN TELUR CUMI BANGKA (Loligo Effectiveness of Squid Modification As a Media of Attachment Squid Eggs Bangka Indra Ambalika Syari 1) 1) Staff Pengajar Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan FPPB Universitas Bangka Belitung; iambalikasyari@yahoo.com ABSTRAK Indonesia merupakan negara pengekspor cumi-cumi dengan nilai tertinggi kedua untuk komoditi non ikan setelah udang. Harga cumi-cumi di pasaran cukup tinggi dan stabil. Di beberapa daerah cumi-cumi mulai sulit didapat khususnya untuk ukuran panjang mantel lebih dari 20 cm. Jumlah armada dan modernisasi alat tangkap tidak diiringi dengan program pengkayaan stok cumi-cumi. Rumpon cumi merupakan salahsatu teknologi tepat guna untuk pengembangan program pengkayaan stok cumi di masa yang akan datang. Bentuk dan bahan pembuat rumpon cumi saat ini kurang aplikatif dengan kondisi nelayan kecil dan di daerah terpencil. Karenanya perlu dirancang modifikasi model rumpon cumi yang lebih sederhana dengan menggunakan bahan yang relatif murah dan mudah diperolah sesuai dengan potensi lokal di daerah. Penelitian efektifitas modifikasi rumpon cumi sebagai media penempelan telur cumi-cumi menjadi sangat penting untuk dilakukan agar menjadi rekomendasi bahwa hasil modifikasi rumpon cumi ini dapat diterapkan kepada masyarakat nelayan pesisir dan pulau-pulau kecil. Penelitian ini dilakukan di Perairan Tuing Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada bulan Oktober Desember 2012 dengan menggunakan 18 unit rumpon. Rumpon cumi yang digunakan terbagi menjadi dua jenis yaitu bentuk kotak dari bahan kayu dan bentuk silindris (tabung) dari bahan drum bekas dengan jumlah masing-masing tiap jenis sembilan unit. Tiap rumpon dipasang pemikat (atraktor) dari tali berbahan ijuk sebanyak enam buah tali sebagai tempat penempelan telur cumicumi. Penenggelaman rumpon dilakukan pada tanggal 15 Oktober 2012 dan monitoring dilakukan pada tanggal 18 November dan 8 Desember Penengelaman rumpon dilakukan pada satu kawasan perairan di tiga kedalaman berbeda yaitu 3, 5 dan 7 meter yang masing-masing terdiri atas tiga rumpon model balok dan silindristiap kedalaman. Dari hasil pengecekan pertama dan kedua diperoleh bahwa tidak ada telur cumi-cumi Bangka (Loligo yang menempel pada rumpon bentuk kotak. Pada rumpon cumi bentuk silindris dari bahan drum bekas ditemukan telur cumi pada kedalaman 3, 5 dan 7 meter secara berurutan 221 kapsul, 428 kapsul dan kapsul dengan perkiraan jumlah telur secara berurutan 884, dan telur (tiap kapsul terdiri dari 3 6 telur). Indeks efektifitas rumpon cumi bentuk silindris pada pengecekan pertama dan kedua adalah 77,78% dan 88,89% dengan kategori sangat efektif. Hasil ini menunjukkan bahwa rumpon cumi bentuk silindris sangat efektif sebagai temapt penempelan telur Loligo chinensis dengan jumlah rata-rata tiap rumpon berisi 234 kapsul atau sekitar 936 telur cumi. Rumpon cumi bentuk kotak perlu dilakukan penyempurnaan yaitu dengan membuatnya lebih terlindung sehingga diharapkan Loligo chinensis akan lebih tertarik untuk menempelkan telurnya pada rumpon cumi bentuk kotak. Kata kunci : Loligo chinensis, rumpon cumi, telur cumi PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara pengekspor cumi-cumi dengan nilai tertinggi kedua untuk komoditi non ikan setelah udang. Harga cumi-cumi di pasaran cukup tinggi dan stabil. Saat musim cumi-cumi melimpah, komoditi ini dapat diolah menjadi produk olahan seperti cumi kering, cumi asin, kerupuk cumi dan makanan olahan lainnya dengan harga jual yang lebih tinggi dan dapat digunakan hingga jangka waktu yang lebih lama. Cumi-cumi belum dibudidayakan karena masih dari hasil tangkapan di alam sehingga jumlahnya sangat bergantung dengan kondisi alam. Di beberapa daerah cumi-cumi mulai sulit didapat khususnya untuk ukuran panjang mantel lebih dari 20 cm yang merupakan standar ekspor. Jumlah armada dan modernisasi alat tangkap tidak diiringi dengan program pengkayaan stok cumi-cumi. Selain itu, tingginya laju degradasi habitat pemijahan dan pembesaran cumi-cumi di daerah pesisir akibat pencemaran, penangkapan tidak ramah lingkunungan, sedimentasi, konversi lahan untuk pemukiman dan kawasan budidaya. Rumpon cumi merupakan salahsatu teknologi tepat guna untuk Volume 9. Nomor. 1. Tahun 2015 HALAMAN - 25
2 pengembangan program pengkayaan stok cumi di masa yang akan datang. Namun, bentuk dan bahan pembuat rumpon cumi saat ini belum aplikatif dengan kondisi nelayan kecil dan di daerah terpencil. Karenanya perlu dirancang modifikasi bentuk rumpon cumi yang lebih sederhana dengan menggunakan bahan yang relatif murah dan mudah diperolah sesuai dengan potensi lokal di daerah. Penelitian efektifitas modifikasi rumpon cumi sebagai media penempelan telur cumi-cumi menjadi sangat penting untuk dilakukan agar menjadi rekomendasi bahwa hasil modifikasi rumpon cumi ini dapat diterapkan kepada masyarakat nelayan pesisir dan pulau-pulau kecil. 1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengkaji efektifitas rumpon cumi berdasarkan kondisi perairan. 2. Mengkaji kedalaman yang disukai oleh cumi-cumi untuk menempelkan telurnya. Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai : 1. Rumpon cumi yang dapat berfungsi untuk penempelan telur cumi-cumi sehingga dapat digunakan sebagai sarana pengkayaan stok cumi-cumi. 2. Memberikan informasi kedalaman yang paling disukai oleh cumi-cumi untuk menempelkan telurnya. METODE PENELITIAN 2.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Perairan Tuing Kecamatan Riau Silip Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung selama tiga bulan yaitu dari bulan Oktober Desember Secara geografis, lokasi ini terletak pada 01 o 35.4 LS dan 106 o 01,8 BT. Kegiatan penelitian di lapangan dibagi menjadi dua tahap dimana bulan pertama adalah survey dan persiapan termasuk pembuatan rumpon cumi dan penenggelaman. Tahap kedua yaitu monitoring hasil rumpon yang telah ditenggelamkan. Tahap ketiga adalah analisa data. Gambar 1. Peta lokasi penelitian (ditunjukkan pada titik merah) 2.2 Alat dan Bahan Penelitian Bahan utama penelitian ini adalah rumpon cumi yang telah dimodifikasi. Jenis modifikasi rumpon cumi terdiri dari 2 jenis yaitu rumpon cumi bentuk balok dengan ukuran 75 x 50 x 35 cm 3 dengan kerangka dari bahan kayu. Biasanya, rumpon cumi menggunakan rangka besi namun bagi nelayan di daerah terpencil seperti Dusun Tuing sangat sulit harganya relative mahal untuk memperoleh bahan tersebut. Karenanya, rangka berbahan kayu merupakan salah satu alternatif yang dapat dijadikan sebagai bahan pengganti karena jumlahnya masih relatif banyak terdapat di lokasi penelitian. Rumpon cumi model balok ini menggunakan penutup waring. Jenis kedua adalah dari drum bekas yang dirancang menjadi rumpon cumi. Drumdrum ini adalah bekas dari aspal yang biasanya digunakan untuk pembuatan jalan raya. Setiap jenis rumpon cumi akan diberikan 6 buah pemikat (atraktor) dari bahan tali sabut agar cumi-cumi tertarik meletakkan telurnya di dalam rumpon cumi yang telah ditenggelamkan dari bahan tali. Desain dari modifikasi rumpon cumi sederhana dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3.. Gambar 3. Desain rumpon silindris dari jenis drum bekas aspal Volume 9. Nomor. 1. Tahun 2015 HALAMAN - 26
3 2.3 Penentuan Lokasi Penelitian Lokasi pengambilan contoh data terdiri dari 3 (tiga) titik penenggelaman dimana setiap titik terdiri dari 6 rumpon cumi dengan tiga unit tiap jenis rumpon cumi sehingga total rumpon cumi sebanyak 18 unit. Titik 1 pada kedalaman sekitar 3 meter, titik 2 pada kedalaman sekitar 5 meter dan titk ketiga pada kedalaman sekitar 7 meter saat surut terendah. Ketiga titik berada pada satu kawasan perairan dengan asumsi kondisi perairan yang tidak jauh berbeda tiap titik. Setiap titik, rumpon akan dipasang secara berkelompok sesuai jenis rumpon. Tujuan pengelompokan ini adalah agar dapat dilihat tingkat keberhasilan rumpon cumi dari penempelan telur cumi sesuai dengan jenis rumpon cumi. Setiap unit rumpon cumi sejenis berjarak sekitar 3 meter disusun dengan jenis yang sama dan 5 meter dengan jenis lainnya. Tiap rumpon cumi terhubung oleh tali dan sebuah jangkar untuk memudahkan dalam monitoring. Agar lebih mudah, penyusunan rumpon cumi pada setiap titik digambarkan pada Gambar 5 dibawah. 2.4 Penenggelaman Rumpon Cumi Rumpon cumi tidak ditempatkan di permukaan dan di kolom perairan karena berdasarkan hasil penelitian Tallo (2006) di Perairan Teluk Mutiara Kabupaten Alor Nusa Tenggara Timur menunjukkan bahwa tidak ada cumi yang menempelkan telurnya pada bagian tersebut. Telur cumi-cumi yang menempel pada rumpon cumi hanya ditemukan pada bagian dasar perairan. Setiap rumpon cumi ditenggelamkan dengan pemberat sekitar 10 kg untuk memudahkan proses penenggelaman dan rumpon cumi tidak mudah berpindah tempat karena terbawa arus. Penenggelaman akan dilakukan pada tiga kedalaman yaitu pada kedalaman 3, 5 dan 7 meter pada saat air surut dan perairan tenang sehingga memudahkan untuk melakukan proses penenggelaman. Semua kegiatan penenggelaman rumpon cumi dilaukan di satu kawasan perairan yang dibedakan sesuai kedalaman masing-masing. Setiap titik penenggelaman akan disimpan titik koordinantnya untuk memudahkan dalam proses monitoring. 2.5 Monitoring Monitoring data dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada Tanggal 18 November (monitoring 1) dan 8 Desembe 2012 (monitoring 2). Sebenarnya monitoring dapat dilakukan seminggu setelah penenggelaman, namun pada penelitian ini akan dilakukan pada minggu keempat dengan pertimbangan agar rumpon cumi telah dikenal atau siap digunakan oleh biota laut. Periode monitoring dilakukan tiga minggu dengan pertimbangan telur cumi telah menetas atau berubah menjadi larva pada selang waktu jarak antar periode tersebut sehingga meminimalisir terjadinya perhitungan ganda. Monitoring dilakukan saat air laut surut dan arus lemah sehingga memudahkan dalam pelaksanaan kegiatan. Data yang diambil adalah jumlah dan jenis telur cumi-cumi yang menempel pada rumpon cumi yang ditenggelamkan Pengambilan Data Telur Cumi Data telur yang dicatat adalah telur yang menempel pada rumpon cumi baik yang menempel pada pemikat (atraktor) maupun pada bagian yang lain. Data telur cumi-cumi diambil dengan mencatat jumlah kantong telur (kapsul) per masing-masing jenis. Nilai ini kemudian dibandingkan antara kepadatan telur yang melekat pada masing-masing jenis rumpon cumi dan komposisi jenis telur. Dalam penelitian ini, telur cumi tetap dibiarkan sampai menetas di rumpon dan tidak akan diambil karena penghitungan jumlah telur dilakukan dengan visual langsung dan fotografi underwater untuk dokumentasi dan identivikasi jenis telur Analisa Data Tingkat Keefektifan Rumpon Cumi Tingkat keefektifan rumpon cumi dianalisa dengan menghitung tingkat keberhasilan rumpon dalam mengumpulkan cumi-cumi. Indikator tingkat keefektian adalah dengan menghitung prosentase jumlah rumpon (EA) yang terdapat telur cumi-cumi dengan menggunakan formula berdasar (Baskoro, 2006): Volume 9. Nomor. 1. Tahun 2015 HALAMAN - 27
4 Dimana : EA > 60% = sangat efektif 30% < EA < 60% = efektif EA < 30% = kurang efektif HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Titik Penenggelaman Rumpon Cumi Penenggelaman rumpon cumi dilakukan di perairan tuing kecamatan riau silip kabupaten bangka provinsi kepulauan bangka belitung pada kedalaman 3, 5 dan 7 meter yang diukur saat surut terendah. Penenggelaman dilakukan pada satu kawasan perairan dengan jarak sekitar 50 meter tiap titiknya. Lokasi penenggelaman berada diantara tanjung pelabuh dalem dan Pulau Punggur dengan jarak sekitar 300 meter dari pantai. Kedalaman 3 meter berada pada titik koordinat 01 o 35 42,9 LS dan 106 o 02 20,7 BT, kedalaman 5 meter pada titik koordinat 01 o 35 40,7 LS dan 106 o 02 19,3 BT, dan kedalaman 7 meter pada titik koordinat 01 o 35 40,6 LS dan 106 o 02 21,8 BT. Lokasi penenggelaman merupakan kawasan pantai bersubstrat pasir putih dan halus. Penenggelaman rumpon cumi dilakukan pada tanggal 15 Oktober 2012 dimana kondisi perairan di lokasi penelitian cukup tenang dengan jarak pandang perairan sekitar 8 meter. Gambar 5. Penenggelaman Rumpon Cumi pada 15 Oktober Penempelan Telur Cumi-cumi Hasil monitoring yang dilakukan pada tanggal 18 November dan 8 Desember 2012 diperoleh hasil bahwa telur cumi-cumi hanya ditemukan menempel pada rumpon jenis silindris dari bahan drum bekas saja. Telur cumi ditemukan menempel disemua kedalaman dengan jumlah terbanyak pada kedalaman 3 meter dan yang paling sedikit pada kedalaman 7 meter untuk monitoring 1 namun sebaliknya pada monitoring 2 yaitu terbanyak pada kedalaman 7 meter dan paling sedikit pada kedalaman 3 meter. Hasil penempelan telur cumi tersaji pada tabel dibawah. Tabel 1. Jumlah penempelan telur cumi pada monitoring 18 November 2012 Jenis Rumpon Jumlah penempelan telur cumi-cumi 7 m 5 m 3 m 18 Nov Des Nov Des Nov 8 Des Model Kotak (kayu) Model Silindris (drum bekas) Total kapsul Perkiraan telur* Keterangan * : diasumsikan satu kapsul terdiri dari 4 telur Data diatas menunjukkan bahwa semakin dalam perairan jumlah telur cumi yang menempel semakin sedikit untuk monitoring 1. Namun pada monitoring 2 ditemukan kecenderungan sebaliknya. Hal ini disebabkan karena pada perhitungan telur cumi monitoring kedua, masih ditemukan telur-telur lama yang masih belum hancur yang telah dihitung pada monitoring pertama sehingga daerah untuk penempelan telur cumi yang tersisa hanya sedikit pada kedalaman yang lebih dangkal. Hal ini menunjukkan bahwa periode monitoring sebaiknya dilakukan lebih dari tiga minggu. Telur cumi yang ditemukan adalah jenis Loligo chinensis atau yang lebih dikenal dengan nama dagang Cumi Bangka. Cumi ini memiliki panjang mantel rata-rata 20 cm dan merupakan jenis cumi yang di ekspor. Secara vertikal Loligo chinensis hidup mulai dari perairan pantai hingga kedalaman 170 meter. Cumi ini tersebar mulai dari perairan bagian barat Samudera Pasifik hingga bagian timur perairan Australia. Loligo chinensis banyak menjadi tangkapan nelayan Thailand, Hongkong dan China (Norman, 2003). Setiap satu kapsul terdiri dari 3 6 telur cumi. Rumpon model balok tidak ditemukan penempelan telur cumi. Hal ini diperkirakan karena pada rumpon model ini lebih terbuka (kurang terlindung) sehingga Volume 9. Nomor. 1. Tahun 2015 HALAMAN - 28
5 langsung terkena arus dan cumi kurang menyukai untuk menempelkan telurnya. Pelindung pada model ini hanya pada bagian atas saja dengan menggunakan bahan waring. Berbeda halnya pada model silindris dari drum bekas yang terlindung pada hampir semua sisinya. Hal inilah yang membuat cumi merasa lebih terlindung dalam menempelkan telur-telurnya. Gambar 6. Rumpon cumi model balok yang tidak ditempeli telur cumi 3.3 Efektifitas Rumpon Cumi Berdasarkan hasil monitoring 1 tanggal 18 November 2012 dan dan monitoring 2 pada tanggal 8 Desember 2012 diperoleh data Indeks efektifitas rumpon cumi rata-rata untuk bentuk silindris secara berurutan adalah 77,78% dan 88,89% dengan kategori sangat efektif. Indeks efektifitas rumpon cumi pada hasil monitoring tersaji pada tabel dibawah : Tabel 2. Indeks Keefektifan Modifikasi Rumpon Cumi Jenis Rumpon Model Kotak (kayu) Model Silindris (drum bekas) Monitoring (%) 18 Nov 8 Des 3 m m m m m 66, m 66,67 66,67 hasil ini menunjukkan bahwa rumpon cumi bentuk silindris dari bahan drum bekas aspal sangat efektif sebagai tempat penempelan telur Loligo chinensis dengan jumlah ratarata tiap rumpon berisi 234 kapsul atau sekitar 936 telur cumi. KESIMPULAN DAN SARAN Rumpon cumi bentuk silindris sangat efektif sebagai tempat penempelan telur Loligo chinensis dengan jumlah rata-rata tiap rumpon berisi 234 kapsul atau sekitar 936 telur cumi dan Indeks efektifitas rumpon cumi pada hasil pengecekan pertama dan kedua adalah 77,78% dan 88,89%. Rumpon cumi bentuk kotak perlu dilakukan penyempurnaan yaitu dengan membuatnya lebih terlindung sehingga diharapkan Loligo chinensis akan lebih tertarik untuk menempelkan telurnya pada rumpon cumi bentuk kotak. Daerah Perairan Tuing Kecamatan Riau Silip Kabupaten Bangka pada musim peralihan Timur Barat merupakan daerah pemijahan (spawning ground) cumi-cumi bangka. Gambar 7. Kapsul telur cumi yang menempel pada rumpon model silindris dari bahan drum bekas pada monitoring 1 (atas) dan monitoring 2 (bawah) Volume 9. Nomor. 1. Tahun 2015 HALAMAN - 29
6 DAFTAR PUSTAKA Baskoro, M.S, Purwangka F, Suherman A Rumpon Cumi-cumi. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. Baskoro, M.S, Mustaruddin Rumpon Cumi-cumi: Teknologi Potensial Dan Tepat Guna Untuk Pengembangan Kawasan Pantai Terpadu. Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap, Dep. PSP FPIK IPB. Bogor Norman, M.D Cephalopods a World Guide. CSIRO Publishing and the Gould League of Victoria, Melbourne, 96 pp. Tallo Ismawan Efektifitas Atraktor Cumi-cumi di Perairan Alor Nusa Tenggara Timur. [Tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 51 hal. Volume 9. Nomor. 1. Tahun 2015 HALAMAN - 30
INTERAKSI FUNGSIONAL PENEMPELAN TELUR CUMI (Loligo chinensis. Gray, 1849) PADA MODIFIKASI RUMPON ATRAKTOR CUMI DI PERAIRAN TUING KABUPATEN BANGKA
INTERAKSI FUNGSIONAL PENEMPELAN TELUR CUMI (Loligo chinensis. Gray, 1849) PADA MODIFIKASI RUMPON ATRAKTOR CUMI DI PERAIRAN TUING KABUPATEN BANGKA INDRA AMBALIKA SYARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN
Lebih terperinci3 METODOLOGI PENELITIAN
3 METODOLOGI PENELITIAN 3. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan Teluk Mutiara Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur. Peta lokasi penelitian ditampilkan pada Gambar
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN Latar Belakang
1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang merupakan salah satu sumberdaya hayati laut bernilai ekonomis tinggi karena memiliki daging yang gurih dan lezat, hampir 80 % bagian tubuhnya merupakan bagian yang dapat
Lebih terperinciPEMANFAATAN PELEPAH SAWIT SEBAGAI RUMPON DI PERAIRAN TUING KABUPATEN BANGKA
AKUATIK. Jurnal Sumberdaya Perairan 57 ISSN 1978-1652 PEMANFAATAN PELEPAH SAWIT SEBAGAI RUMPON DI PERAIRAN TUING KABUPATEN BANGKA Kurniawan, S.Pi., M.Si 1) dan Indra Ambalika Syari, S.Pi., M.Si 2) awal.rizka@yahoo.com
Lebih terperinciPEGARUH RUMPON ATRAKTOR CUMI TERHADAP HASIL TANGKAPAN CUMI- CUMI DI PERAIRAN TUING, BANGKA
AKUATIK- Jurnal Sumberdaya Perairan Volume 9. Nomor. 2. Tahun 2015 ISSN 1978-1652 PEGARUH RUMPON ATRAKTOR CUMI TERHADAP HASIL TANGKAPAN CUMI- CUMI DI PERAIRAN TUING, BANGKA 1) Wede Mitra, 2) Eva Utami,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Tingginya dinamika sumberdaya ikan tidak terlepas dari kompleksitas ekosistem
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya dinamika sumberdaya ikan tidak terlepas dari kompleksitas ekosistem tropis (tropical ecosystem complexities) yang telah menjadi salah satu ciri dari ekosistem
Lebih terperinciI PENDAHULUAN Latar Belakang
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (biotik) dan komponen nir-hayati (abiotik) yang dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan
Lebih terperinci6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan
6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan Daerah penangkapan ikan kakap (Lutjanus sp.) oleh nelayan di Kabupaten Kupang tersebar diberbagai lokasi jalur penangkapan.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan
Lebih terperinci4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang
4 HASIL PENELITIAN 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang 4.1.1 Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang Produksi ikan terbang (IT) di daerah ini dihasilkan dari beberapa kabupaten yang
Lebih terperinciBAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan
29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda
Lebih terperinciTUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti
TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan
Lebih terperinciPENGARUH ATRAKTOR CUMI TERHADAP HASIL TANGKAPAN ALAT TANGKAP BAGAN TANCAP DI PERAIRAN JEPARA
Available online at Indonesian Journal of Fisheries Science and Technology (IJFST) Website: http://ejournal.undip.ac.id/index.php/saintek Jurnal Saintek Perikanan Vol.11 No.2: 134-139, Februari 2016 PENGARUH
Lebih terperinci4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas
26 4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi 4.1.1 Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas Menurut DKP Kabupaten Banyuwangi (2010) luas wilayah Kabupaten Banyuwangi
Lebih terperinci4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Perairan Palabuhanratu terletak di sebelah selatan Jawa Barat, daerah ini merupakan salah satu daerah perikanan yang potensial di Jawa
Lebih terperinciKimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap
Lebih terperinci92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM
ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM Indonesia diposisi silang samudera dan benua 92 pulau terluar overfishing PENCEMARAN KEMISKINAN Ancaman kerusakan sumberdaya 12 bioekoregion 11 WPP PETA TINGKAT EKSPLORASI
Lebih terperinciPENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh
Lebih terperinciABSTRAK. Kata kunci: Jumlah tangkapan; struktur ukuran; jenis umpan; ikan demersal dan rawai dasar
RESPON IKAN DEMERSAL DENGAN JENIS UMPAN BERBEDA TERHADAP HASIL TANGKAPAN PADA PERIKANAN RAWAI DASAR Wayan Kantun 1), Harianti 1) dan Sahrul Harijo 2) 1) Sekolah Tinggi Teknologi Kelautan (STITEK) Balik
Lebih terperinciI PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla spp.) tergolong dalam famili Portunidae dari suku Brachyura. Kepiting bakau hidup di hampir seluruh perairan pantai terutama pada pantai yang ditumbuhi
Lebih terperinciSEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II
ISBN : 978-62-97522--5 PROSEDING SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II Konstribusi Sains Untuk Pengembangan Pendidikan, Biodiversitas dan Metigasi Bencana Pada Daerah Kepulauan SCIENTIFIC COMMITTEE: Prof.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Budidaya laut (marinecultur) merupakan bagian dari sektor kelautan dan perikanan yang mempunyai kontribusi penting dalam memenuhi target produksi perikanan. Walaupun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1.
BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara maritim dengan luas wilayah laut
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut
1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu
Lebih terperinciKARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR
KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 0 I. PENDAHULUAN
Lebih terperinci3. METODE PENELITIAN
3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September 2011 hingga Desember 2011 bertempat di Gosong Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dengan koordinat
Lebih terperinci4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Perikanan Tangkap 4.1.1 Armada Kapal Perikanan Kapal penangkapan ikan merupakan salah satu faktor pendukung utama dalam melakukan kegiatan penangkapan
Lebih terperinciBEBERAPA JENIS PANCING (HANDLINE) IKAN PELAGIS BESAR YANG DIGUNAKAN NELAYAN DI PPI HAMADI (JAYAPURA)
Tersedia online di: http://ejournal-balitbang.kkp.go.id/index.php/btl e-mail:btl.puslitbangkan@gmail.com BULETINTEKNIKLITKAYASA Volume 15 Nomor 2 Desember 2017 e-issn: 2541-2450 BEBERAPA JENIS PANCING
Lebih terperinciPemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Kupang adalah salah satu kabupaten dengan ekosistem kepulauan. Wilayah ini terdiri dari 27 pulau dimana diantaranya masih terdapat 8 pulau yang belum memiliki
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai
Lebih terperinciKARAKTERISTIK SUBSTRAT UNTUK PENEMPELAN TELUR CUMI-CUMI DI PULAU PUTE ANGING KABUPATEN BARRU
Jurnal Galung Tropika, 5 (1) April 2016, hlmn. 1-7 ISSN Online 2407-6279 ISSN Cetak 2302-4178 KARAKTERISTIK SUBSTRAT UNTUK PENEMPELAN TELUR CUMI-CUMI DI PULAU PUTE ANGING KABUPATEN BARRU The Characteristics
Lebih terperinci3. METODE PENELITIAN
22 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Karya, Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Pulau Seribu Utara, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Stasiun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti perikanan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) merupakan salah satu provinsi yang masih relatif muda. Perjuangan keras Babel untuk menjadi provinsi yang telah dirintis sejak
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.
Lebih terperinciINVENTORY SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR KELURAHAN FATUBESI KEC. KOTA LAMA KOTA KUPANG - NUSA TENGGARA TIMUR
INVENTORY SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR KELURAHAN FATUBESI KEC. KOTA LAMA KOTA KUPANG - NUSA TENGGARA TIMUR 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Kelurahan Fatubesi merupakan salah satu dari 10 kelurahan yang
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki
Lebih terperinciBIOREEFTEK UNTUK KONSERVASI TERUMBU KARANG DI KECAMATAN SUNGAI RAYA KEPULAUAN KABUPATEN BENGKAYANG.
BIOREEFTEK UNTUK KONSERVASI TERUMBU KARANG DI KECAMATAN SUNGAI RAYA KEPULAUAN KABUPATEN BENGKAYANG Frangky Fransiskus Tumion 1), Sadri 1), Lukas Wikbowo Sasongko 3) 1 Jurusan Ilmu Kelautan dan Perikanan,
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau
Lebih terperinciI PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis
Lebih terperinciAnalisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya
1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu
Lebih terperinciPotensi Terumbu Karang Luwu Timur
Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Kabupaten Luwu Timur merupakan kabupaten paling timur di Propinsi Sulawesi Selatan dengan Malili sebagai ibukota kabupaten. Secara geografis Kabupaten Luwu Timur terletak
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Terumbu karang adalah bangunan ribuan hewan yang menjadi tempat hidup berbagai ikan dan makhluk laut lainnya. Terumbu karang yang sehat dengan luas 1 km 2 dapat menghasilkan
Lebih terperinci5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum Kota Serang Kota Serang adalah ibukota Provinsi Banten yang berjarak kurang lebih 70 km dari Jakarta. Suhu udara rata-rata di Kota Serang pada tahun 2009
Lebih terperinci5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR
5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR 5.1 Sumberdaya Ikan Sumberdaya ikan (SDI) digolongkan oleh Mallawa (2006) ke dalam dua kategori, yaitu SDI konsumsi dan SDI non konsumsi. Sumberdaya ikan konsumsi
Lebih terperinci4. GAMBARAN UMUM WILAYAH
4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Letak Geografis Kabupaten Sukabumi yang beribukota Palabuhanratu termasuk kedalam wilayah administrasi propinsi Jawa Barat. Wilayah yang seluas 4.128 Km 2, berbatasan dengan
Lebih terperinci3. METODE PENELITIAN
15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Situ Gede. Situ Gede terletak di sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor-Darmaga, Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat,
Lebih terperinci4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN
4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Kondisi Geografis Kota Makassar secara geografi terletak pada koordinat 119 o 24 17,38 BT dan 5 o 8 6,19 LS dengan ketinggian yang bervariasi antara 1-25 meter dari
Lebih terperinciBUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG
BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks
Lebih terperinci3 METODOLOGI PENELITIAN
3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitan Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei hingga Oktober 2012, pengumpulan data dilakukan selama 2 minggu pada bulan Juli 2012. Lokasi penelitian
Lebih terperinciJENIS SEDIMEN PERMUKAAN DI EKOSISTEM TERUMBU KARANG PULAU GILI LABAK KABUPATEN SUMENEP
JENIS SEDIMEN PERMUKAAN DI EKOSISTEM TERUMBU KARANG PULAU GILI LABAK KABUPATEN SUMENEP Septian Dwi Suryantya Putra 1, Aries Dwi Siswanto 2, Insafitri 2 1 Mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan, Universitas Trunojoyo
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan
Lebih terperinci4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Daerah Penelitian Kabupaten Kupang merupakan kabupaten yang paling selatan di negara Republik Indonesia. Kabupaten ini memiliki 27 buah pulau, dan 19 buah pulau
Lebih terperinciGambar 1. Diagram TS
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak
Lebih terperinciKANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA
KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA Umroh 1, Aries Dwi Siswanto 2, Ary Giri Dwi Kartika 2 1 Dosen Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian,Perikanan
Lebih terperinciANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON
ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON OLEH : CAROLUS NIRAHUA NRP : 000 PROGRAM PASCASARJANA BIDANG KEAHLIAN TEKNIK MANAJEMEN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam
Lebih terperinciBEST PRACTICE MARICULTURE OPTIMALISASI PENGELOLAAN DAN PEMANFAAATAN SUMBERDAYA LAUT DAN PESISIR SECARA TERPADU Dengan MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT GUNA
BEST PRACTICE MARICULTURE OPTIMALISASI PENGELOLAAN DAN PEMANFAAATAN SUMBERDAYA LAUT DAN PESISIR SECARA TERPADU Dengan MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT GUNA MENINGKATKAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR KOTA PANGKALPINANG
Lebih terperinciSTUDI KESESUAIAN PANTAI LAGUNA DESA MERPAS KECAMATAN NASAL KABUPATEN KAUR SEBAGAI DAERAH PENGEMBANGAN PARIWISATA DAN KONSERVASI
STUDI KESESUAIAN PANTAI LAGUNA DESA MERPAS KECAMATAN NASAL KABUPATEN KAUR SEBAGAI DAERAH PENGEMBANGAN PARIWISATA DAN KONSERVASI Oleh Gesten Hazeri 1, Dede Hartono 1* dan Indra Cahyadinata 2 1 Program Studi
Lebih terperinci4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
27 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis, Topografis dan Luas Wilayah Kabupaten Ciamis merupakan salah satu kota yang berada di selatan pulau Jawa Barat, yang jaraknya dari ibu kota Propinsi
Lebih terperinci4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN
4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian Wilayah Banten berada pada batas astronomi 5º7 50-7º1 11 Lintang Selatan dan 105º1 11-106º7 12 Bujur Timur. Luas wilayah Banten adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar
Lebih terperinciDAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...
Lebih terperinciSTUDI JUVENIL KARANG YANG MENEMPEL PADA RUMPON BUATAN DI PERAIRAN PULAU MANDANGIN, KECAMATAN SAMPANG, KABUPATEN SAMPANG JAWA TIMUR
STUDI JUVENIL KARANG YANG MENEMPEL PADA RUMPON BUATAN DI PERAIRAN PULAU MANDANGIN, KECAMATAN SAMPANG, KABUPATEN SAMPANG JAWA TIMUR Mahmud, Oktiyas Muzaki Luthfi Program Studi Ilmu kelautan, Fakultas Perikanan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan
BAB I BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari 17.000 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000 km atau dua kali keliling bumi melalui khatulistiwa.
Lebih terperinciKAJIAN MATA PENCAHARIAN ALTERNATIF MASYARAKAT NELAYAN KECAMATAN KAMPUNG LAUT KABUPATEN CILACAP TUGAS AKHIR
KAJIAN MATA PENCAHARIAN ALTERNATIF MASYARAKAT NELAYAN KECAMATAN KAMPUNG LAUT KABUPATEN CILACAP TUGAS AKHIR Oleh: PROJO ARIEF BUDIMAN L2D 003 368 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi berdasarkan sumber Badan Pusat Statistik sebesar 1,49% pada tahun 2015 dengan
Lebih terperinciIV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320
28 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas Kepulauan Krakatau terletak di Selat Sunda, yaitu antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Luas daratannya sekitar 3.090 ha terdiri dari Pulau Sertung
Lebih terperinciPENDAMPINGAN DESA ALO ALO MELALUI KEGIATAN REHABILITASI MANGROVE DAN PENYUSUNAN PERATURAN DESA
PENDAMPINGAN DESA ALO ALO MELALUI KEGIATAN REHABILITASI MANGROVE DAN PENYUSUNAN PERATURAN DESA Eddy Hamka 1, Fajriah 2, Laode Mansyur 3 1 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Muhammadiyah Kendari,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perairan Pulau Pramuka terletak di Kepulauan Seribu yang secara administratif termasuk wilayah Jakarta Utara. Di Pulau Pramuka terdapat tiga ekosistem yaitu, ekosistem
Lebih terperinciG U B E R N U R SUMATERA BARAT
No. Urut: 11, 2016 G U B E R N U R SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PEMASANGAN DAN PEMANFAATAN RUMPON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 3. Lembaran Negara Republik
Lebih terperinciVI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI
55 VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI 6.1 Analisis DPSIR Analisis DPSIR dilakukan dalam rangka memberikan informasi yang jelas dan spesifik mengenai faktor pemicu (Driving force), tekanan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya
I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, wilayah daratan Indonesia ( 1,9 juta km 2 ) tersebar pada sekitar 17.500 pulau yang disatukan oleh laut yang sangat luas sekitar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan
Lebih terperincimemiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,
Lebih terperinciBAB III BAHAN DAN METODE
BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian penangkapan ikan dengan menggunakan jaring arad yang telah dilakukan di perairan pantai Cirebon, daerah Kecamatan Gebang, Jawa Barat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara umum pantai merupakan daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi dan surut terendah.garis pantai adalah batas pertemuan
Lebih terperinciProduksi dan produktivitas hasil tangkapan kapal tuna hand line yang berpangkalan di Kelurahan Mawali, Kecamatan Lembeh Utara, Kota Bitung
Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap 2(6): 205-211, Desember 2017 ISSN 2337-4306 dan produktivitas hasil tangkapan kapal tuna hand line yang berpangkalan di Kelurahan Mawali, Kecamatan Lembeh Utara,
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi penelitian
BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di perairan Pulau Bintan Timur, Kepulauan Riau dengan tiga titik stasiun pengamatan pada bulan Januari-Mei 2013. Pengolahan data dilakukan
Lebih terperinci4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Indramayu Kabupaten Indramayu secara geografis berada pada 107 52'-108 36' BT dan 6 15'-6 40' LS. Berdasarkan topografinya sebagian besar merupakan
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perikanan Tangkap di Cirebon Armada penangkapan ikan di kota Cirebon terdiri dari motor tempel dan kapal motor. Jumlah armada penangkapan ikan dikota Cirebon
Lebih terperincikumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing).
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia cukup besar, baik sumberdaya perikanan tangkap maupun budidaya. Sumberdaya perikanan tersebut merupakan salah satu aset nasional
Lebih terperinciAspek Biologi Ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurta) Sebagai Landasan Pengelolaan Teknologi Penangkapan Ikan di Kabupaten Kendal
Aspek Biologi Ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurta) Sebagai Landasan Pengelolaan Teknologi Penangkapan Ikan di Kabupaten Kendal Nadia Adlina 1, *, Herry Boesono 2, Aristi Dian Purnama Fitri 2 1
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau
I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,
Lebih terperinciDeteksi Perubahan Garis Pantai Pulau Gili Ketapang Kabupaten Probolinggo
Deteksi Perubahan Garis Pantai Pulau Gili Ketapang Kabupaten Probolinggo Nurin Hidayati 1, Hery Setiawan Purnawali 2 1 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya Malang Email: nurin_hiday@ub.ac.id
Lebih terperinciASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C
ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Oleh : Indra Ambalika Syari C64101078 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sungai Asahan secara geografis terletak pada ,2 LU dan ,4
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai Asahan secara geografis terletak pada 2 0 56 46,2 LU dan 99 0 51 51,4 BT. Sungai Asahan merupakan salah satu sungai terbesar di Sumatera Utara, Indonesia. Sungai
Lebih terperinciV. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT
V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT 5.1 Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut Keberhasilan suatu kegiatan budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh faktor lahan perairan, oleh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang sangat kaya raya akan keberagaman alam hayatinya. Keberagaman fauna dan flora dari dataran tinggi hingga tepi pantai pun tidak jarang
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan
Lebih terperinciTINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA
TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA Tito Latif Indra, SSi, MSi Departemen Geografi FMIPA UI
Lebih terperinciPENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai lebih dari 81.000
Lebih terperinciIV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
40 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Kondisi Lokasi Penelitian Kabupaten Bima sebagai bagian dari Propinsi Nusa Tenggara Barat yang terletak di ujung Timur Pulau Sumbawa secara geografis terletak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN km. Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya laut yang menimpah baik dari
BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terdiri dari 17,508 buah pulau yang besar dan yang kecil secara keseluruhan memiliki panjang garis pantai sekitar
Lebih terperinci