BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meningioma merupakan neoplasma intracranial extraaxial yang paling banyak

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Meningioma merupakan neoplasma intracranial extraaxial yang paling banyak ditemukan. Pada populasi dewasa sekitar 30% dari tumor sistem saraf pusat, sedangkan pada anak-anak dan remaja cukup jarang (0,4%-4,6%). Insidensi meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan menunjukkan dominasi pada wanita khususnya pada dasawarsa ketiga sampai keenam. Rasio pada perempuan dibanding laki-laki adalah 2 : 1. Di Amerika Serikat sering terdeteksi secara kebetulan (incidentaloma), pada otopsi jenazah pasien berusia lebih dari 60 tahun ditemukan 3%. Meningioma intracranial (98% dari seluruh ) dapat tumbuh di manapun dengan manifestasi klinis yang beragam. Lebih dari 60% berlokasi di regio parasagital, permukaan otak, tuberculum sellae, dan processus sphenoidalis. Lebih sedikit lagi berlokasi di sulcus olfactorius, falx, ventriculus lateralis, tentorium, fossa media, dan orbita. Metastasis jauh sangat jarang (Fathi & Roelcke, 2013). Meningioma merupakan tumor yang berasal dari sel meningothelial yang menyelubungi otak. Meningioma tumbuh dari sel-sel arachnoid cap pada arachnoid villi di sinus venosus dan vena-vena dural dengan pertumbuhan yang lambat (Whittle et al., 2004; Fathi & Roelcke, 2013). 1

2 Diagnosis semakin baik dengan tersedianya modalitas pencitraan modern yaitu computed tomography (CT) scan dan magnetic resonance imaging (MRI). Dibanding CT scan, MRI lebih unggul dalam imejing jaringan lunak termasuk tumor ini, namun saat ini CT scan lebih banyak tersedia. Pada CT scan klasik tampak sebagai massa hiperdens berbatas tegas dengan kalsifikasi (20-25%), sering pula ditemukan hiperostosis, destruksi tulang, dan edema di sekitar tumor. Setelah pemberian zat kontras tumor menunjukkan penyangatan yang homogen (O Leary et al., 2007). Ada sebuah tanda dalam pencitraan yang sangat populer yaitu dural tail sign (DTS), adalah penebalan dura yang berdekatan dengan suatu kelainan intracranial. Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Wilms pada tahun Tanda ini lebih nyata terlihat pada MRI sekuensi T1WI dengan injeksi bahan kontras. DTS tidak patognomonis untuk namun memiliki sensitivitas 58,6% dan spesifisitas 94,02% dalam diagnosis (Sotoudeh & Yazdi, 2010). Pembedahan adalah terapi pilihan untuk. Sebagian besar termasuk neoplasma jinak yang dapat ditangani dengan pembedahan, akan tetapi tidak semua kasus dapat dilakukan reseksi secara total karena sangat tergantung pada lokasi tumor tersebut (Alexiou et al., 2010). DTS adalah penebalan dura yang berdekatan dengan suatu neoplasma intracranial yang memenuhi 3 kriteria dari Goldsher, yaitu (1) Tampak pada sedikitnya dua irisan berbeda bidang yang melalui tumor; (2) Bagian paling tebal ada di aspek yang berdekatan dengan tumor dan makin menjauhi tumor makin menipis ; 2

3 (3) Penyangatannya lebih jelas dibanding tumornya (Sotoudeh & Yazdi, 2010). Sebagian penulis berpendapat bahwa dural tail secara mikroskopis merupakan konglomerasi sel tumor yang berdekatan dengan yang kelak menjadi penyebab rekurensi apabila tidak dilakukan reseksi total (Guermazi et al., 2005). Wilms et al. melaporkan bahwa penebalan duramater menunjukkan infiltrasi neoplasma ke dalam atau di permukaan dura pada 3 kasus dengan DTS dan menjelaskan bahwa DTS mengindikasikan invasi tumor (Sotoudeh & Yazdi, 2010). Secara histopatologis varian dikelompokkan oleh WHO menjadi derajat 1 (benigna), derajat 2 (atipikal), dan derajat 3 (maligna/anaplastik). Meningioma derajat 1 WHO agresivitas pertumbuhan rendah, risiko rekurensi 5%, terdiri atas sub tipe meningothelial, fibrous (fibroblastic), transitional (mixed), psammomatous, angiomatous, microcystic, secretory, lymphoplasmacyte-rich, dan metaplastic. Meningioma derajat 2 WHO agresivitas pertumbuhan tinggi, risiko rekurensi 40%, terdiri atas sub tipe atypical, clear-cell dan chordoid. Meningioma derajat 3 WHO agresivitas pertumbuhan tinggi, risiko rekurensi 50-80%, terdiri atas sub tipe anaplastic (malignant), rhabdoid, papillary, dan berbagai tipe dan derajat dengan indeks proliferasi tinggi dan atau invasi ke otak (Riemenschneider et al., 2006). 3

4 Perumusan Masalah 1. Meningioma dapat didiagnosis dengan pencitraan CT scan, namun CT scan memiliki keterbatasan tidak dapat menentukan tipe-tipe yang berkaitan dengan derajat histopatologisnya. 2. Derajat histopatologis menentukan prognosis, tingkat rekurensi, dan penatalaksanaan. 3. Dural tail berkaitan dengan invasi tumor ke dura. Pembedahan eksisi total mencakup pengangkatan tumor disertai perlekatan dura dan tulang abnormal dapat meminimalkan rekurensi, oleh sebab itu pembacaan CT scan perlu mencantumkan ada tidaknya DTS, dan kelainan tulang yang ditemui (hiperostosis), agar pasien mendapat penatalaksanaan yang optimal dengan komplikasi pembedahan minimal. B. Pertanyaan Penelitian Adakah korelasi yang kuat antara temuan DTS pada pemeriksaan CT kepala dengan derajat histopatologis menurut WHO? 4

5 C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya korelasi antara temuan DTS pada pemeriksaan CT kepala dengan derajat histopatologis menurut WHO. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi pelayanan kesehatan Diharapkan penelitian ini apabila terbukti dural tail sign berkorelasi dengan tingkat keganasan dapat bermanfaat bagi dokter spesialis radiologi dan klinisi khususnya dokter spesialis bedah saraf untuk mempertajam diagnosis dan merencanakan penatalaksanaan dan evaluasi pasien. 2. Bagi masyarakat umum Apabila ada korelasi antara temuan DTS pada pemeriksaan CT scan kepala dengan derajat histopatologis menurut WHO maka masyarakat akan mendapat informasi dan pelayanan kasus yang lebih baik. 3. Bagi peneliti Penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan peneliti dalam pemeriksaan CT kepala khususnya mengenai temuan DTS dan hubungannya dengan derajat histopatologis menurut WHO. 5

6 4. Bagi Pendidikan Penelitian ini merupakan sarana proses pendidikan khususnya dalam melatih cara berfikir dan meneliti. 5. Bagi pengembangan penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu data dasar maupun acuan pustaka untuk melakukan penelitian selanjutnya. E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai korelasi antara temuan DTS pada pemeriksaan CT kepala dengan derajat histopatologis menurut WHO sepanjang pengetahuan penulis belum pernah dilakukan di Instalasi Radiologi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Ada beberapa penelitian mengenai temuan DTS yang digunakan penulis sebagai acuan pustaka, di antaranya dapat dilihat pada Tabel 1. Penelitian ini dilaksanakan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta menggunakan alat multislice computed tomography (MSCT) 64 slice merek Philips Briliance. 6

7 Tabel 1. Penelitian-penelitian mengenai temuan DTS. Peneliti (Tahun) Alorainy (2006) Mujagić et al. (2011) Qi et al. (2012) Tempat Subjek Topik Hasil Perbedaan/ Kebaruan Riyadh, 7 Saudi pasien Arabia Tuzla, Bosnia & Herzegovina Guangzhou, China 96 pasien 179 pasien Asosiasi DTS dengan spinal pada MRI Menentukan prevalensi DTS pada, glioblastoma, metastasis, pituitari adenoma, acusticus neuroma pada MRI, dan untuk mengungkap apakah DTS spesifik untuk Tipe-tipe DTS pada MRI DTS umum ditemukan pada spinal sebagaimana intracranial DTS adalah tanda umum namun tidak patognomonis (sensitivitas = 68,8%, spesifisitas = 88,5%) DTS tipe noduler pada MRI berhubungan dengan bukan derajat 1 WHO - Modalitas pencitraan dan subjek - Tidak dihubungkan dengan histopatologis - Modalitas pencitraan dan subjek - Tidak dihubungkan dengan histopatologis Modalitas pencitraan dan subjek 7