ANALISIS POLA SPASIAL KEMISKINAN, PEMBANGUNAN MANUSIA/SOSIAL, DAN AKTIVITAS EKONOMI, SERTA KETERKAITANNYA DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOVITA SALIM

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS POLA SPASIAL KEMISKINAN, PEMBANGUNAN MANUSIA/SOSIAL, DAN AKTIVITAS EKONOMI, SERTA KETERKAITANNYA DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOVITA SALIM"

Transkripsi

1 ANALISIS POLA SPASIAL KEMISKINAN, PEMBANGUNAN MANUSIA/SOSIAL, DAN AKTIVITAS EKONOMI, SERTA KETERKAITANNYA DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOVITA SALIM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Pola Spasial Kemiskinan, Pembangunan Manusia/Sosial dan Aktivitas Ekonomi, serta Keterkaitannya di Provinsi Kalimantan Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Maret 2011 Novita Salim NRP A

4 4 ABSTRACT NOVITA SALIM. An Analysis of Spatial Patterns of Poverty, Human/Social Development, and Economic Activities, and Their Linkages in West Kalimantan Province. Under direction of SANTUN R.P. SITORUS and FREDIAN TONNY This research uses the secondary data set of 175 sub-districts of disricts in West Kalimantan Province to know the spatial patterns of poverty, human/social development and economic activities and to analyze their linkages. The Principal Component Analysis (PCA), Cluster and Discriminant Analysis are used to obtain the characteristic of poverty, human/social development, and economic activities, and input the result to GIS operation system (ArcGIS 9.3) to show the spatial patterns. The results of PCA used to analyze the linkage of poverty, human/social development and economic activities by weighted multiple regression to formulate the Spatial Durbin Model. The study found that the pockets of poverty located in mainly areas and few in border areas. Most of areas have found low human/social development and economic activities, especially in the centre areas. The parameters of region itself could decline the poverty are the maize production and the number of leather home industries. The parameters of related region affected are number of poor people (the pre-prosperous and first prosperous families), number of teachers of primary up to senior high school, number of preschool, senior high school and university, and the maize, rubber and oil palm productions. Keywords : poverty, human/social development, economic activities, spatial pattern, lingkage, West Kalimantan Province

5 RINGKASAN NOVITA SALIM. Analisis Pola Spasial Kemiskinan, Pembangunan Manusia/Sosial, dan Aktivitas Ekonomi, serta Keterkaitannya di Provinsi Kalimantan Barat. Dibimbing oleh SANTUN RP SITORUS dan FREDIAN TONNY. Masalah fundamental yang dihadapi Indonesia secara umum pada saat ini adalah tingginya tingkat kemiskinan baik di tingkat nasional maupun regional. Dari data BPS pada bulan Maret 2008 tercatat jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 34,96 juta orang (15,42%) yang 1,46%-nya berada di Kalimantan Barat yakni sekitar 508,8 ribu jiwa atau sekitar 11,07% dari total jumlah penduduk di Kalimantan Barat. Persentase penduduk miskin yang tinggi di tingkat kabupaten/kota akan dijumpai pada wilayah-wilayah yang aktivitasnya berbasis sektor pertanian. Tingginya persentase penduduk miskin ini juga berkaitan dengan tingkat pembangunan manusia di kabupaten/kota. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola spasial kemiskinan, pembangunan manusia/sosial dan aktivitas ekonomi, serta keterkaitannya. Dari hasil analisis pola spasial dan analisis keterkaitan, penelitian ini juga bertujuan menyusun arahan kebijakan penanganan kemiskinan di Provinsi Kalimatan Barat. Analisis pola spasial dalam penelitian ini dibangun dari konfigurasi penciri wilayah yang dihasilkan dari teknik Principal Component Analysis (PCA). Kabupaten/kota dikelompokkan berdasarkan kesamaan penciri dengan teknik Cluster Analysis dan Discriminant Analysis, dan untuk melihat pola kemiskinan, pembangunan manusia/sosial, dan aktivitas ekonomi digunakan analisis kuadran. Penciri yang dihasilkan dari PCA juga dimanfaatkan untuk menganalisis keterkaitan antara variabel-variabel pembangunan manusia/sosial dan aktivitas ekonomi dengan kemiskinan. Fungsi keterkaitan ini dibuat dengan membangun Spatial Durbin Model. Model tersebut merupakan bentuk dari regresi bobot berganda (weighted multiple regression) yang memanfaatkan keterbalikan jarak (ketetanggaan) sebagai pembobotnya. Hasilnya adalah varibel-variabel pembangunan manusia/sosial dan aktivitas ekonomi yang berpengaruh nyata menurunkan atau meningkatkan kemiskinan, baik di wilayah sendiri maupun di wilayah terkait. Hasil dari pola spasial dimanfaatkan untuk menyusun tipologi pola spasial kemiskinan, pembangunan manusia/sosial, dan aktivitas ekonomi sebagai arahan penanganan kemiskinan di kabupaten/kota. Variabel-variabel yang signifikan menurunkan jumlah keluarga miskin, direkomendasikan sebagai strategi penanganan kemiskinan di Provinsi Kalimantan Barat. Analisis pola spasial kemiskinan membentuk empat pola wilayah, yaitu: a) wilayah dengan sebaran keluarga miskin dan sebaran penduduk tinggi adalah Kota Pontianak dan Kubu Raya; b) wilayah dengan sebaran keluarga miskin rendah dan sebaran penduduk tinggi adalah Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sambas, dan Kota Singkawang; c) wilayah dengan sebaran keluarga miskin dan sebaran penduduk rendah adalah Kabupaten Kayong Utara, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sekadau dan Kabupaten Ketapang; dan d) wilayah dengan pola sebaran keluarga miskin tinggi dan sebaran

6 6 penduduk rendah adalah Kabupaten Sintang, Kabupaten Landak, Kabupaten Melawi, dan Kabupaten Pontianak. Analisis pola spasial pembangunan manusia/sosial di Kalimantan Barat membentuk tiga pola wilayah, yaitu: a) wilayah dengan tingkat pembangunan manusia rendah dan pembangunan sosial tinggi adalah Kabupaten Sintang, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Landak, Kabupaten Melawi, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Sanggau, dan Kabupaten Kapuas Hulu; b) wilayah dengan tingkat pembangunan manusia dan pembangunan sosial rendah adalah Kabupaten Sambas, Kabupaten Pontianak, dan Kabupaten Kayong Utara; dan c) wilayah dengan tingkat pembangunan manusia tinggi dan pembangunan sosial rendah adalah Kota Pontianak, Kota Singkawang dan Kabupaten Kubu Raya. Analisis pola spasial aktivitas ekonomi di Kalimantan Barat membentuk empat pola wilayah, yaitu: a) wilayah dengan aktivitas sektor pertanian dan sektor industri/perdagangan tinggi adalah Kabupaten Pontianak; b) wilayah dengan aktivitas sektor pertanian rendah dan sektor industri/perdagangan tinggi adalah Kota Pontianak dan Kota Singkawang; c) wilayah dengan aktivitas sektor pertanian dan sektor industri/perdagangan rendah adalah Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Sintang, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kapuas Hulu, dan Kabupaten Melawi; dan d) wilayah dengan aktivitas sektor pertanian rendah dan sektor industri/perdagangan tinggi adalah Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Sambas dan Kabupaten Kayong Utara. Variabel-variabel pembangunan manusia/sosial dan aktivitas ekonomi yang p-levelnya kurang dari level nyata (α = 0,05) digunakan untuk menghasilkan Spatial Durbin Model. Dengan koefisien determinasi 92,46% dan intersep sebesar 0,0387, persamaan yang terbentuk menunjukkan bahwa: a) variabel-variabel dari wilayah sendiri yang berpengaruh menurunkan jumlah keluarga miskin adalah jumlah produksi jagung dan jumlah industri kecil/rumah tangga berbahan baku kulit; dan b) variabel-variabel pada wilayah terkait yang menurunkan jumlah keluarga miskin yaitu jumlah keluarga miskin di wilayah sekitarnya, jumlah tenaga guru SD sampai SLTA, jumlah TK Negeri, jumlah SMU/SMK dan Perguruan Tinggi Negeri, produksi jagung, karet dan kelapa sawit. Pola spasial kemiskinan, pembangunan manusia/sosial, dan aktivitas ekonomi membentuk empat tipologi berdasarkan persamaan keragaman tingkatan pencapaian dari pola spasial. Arahan penanganan kemiskinan yang sesuai dengan pola empat tipologi wilayah tersebut, yaitu: a) peningkatan kemampuan individu/rumah tangga miskin untuk memenuhi kebutuhan makan-minum, kesehatan, dan pendidikan melalui pendekatan social safety net di seluruh wilayah kabupaten/kota; b) penataan lokasi pemukiman kumuh dan tempat tinggal keluarga miskin yang diprioritaskan pada kecamatan-kecamatan yang ditemukan adanya kantong-kantong kemiskinan yang terdapat di Kabupaten Sintang, Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau, dan Kota Pontianak; c) peningkatan ketersediaan tenaga kesehatan dan pendidikan dengan memperhatikan tingkat kebutuhan dan keterkaitan antar wilayah khususnya di Kabupaten Sintang, Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Melawi, Kabupaten Kayong Utara, dan Kabupaten Bengkayang; d) peningkatan fasilitas kesehatan dan pendidikan

7 dengan memperhatikan tingkat kebutuhan dan akses penduduk terhadap fasilitas tersebut di Kabupaten Sintang, Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Melawi, Kabupaten Kayong Utara, dan Kabupaten Bengkayang; e) peningkatan produksi hasil pertanian, khususnya pertanian skala kecil (smallholding farm) di Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Melawi, Kabupaten Kayong Utara, dan Kabupaten Bengkayang; f) peningkatan aktivitas sektor industri skala kecil/rumah tangga dan peningkatan nilai tambah hasil pertanian melalui peningkatan keterkaitan dengan sektor perekonomian lainnya pada suatu rangkaian wilayah yang saling terkait di Kabupaten Sintang, Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Melawi, Kabupaten Kayong Utara, dan Kabupaten Bengkayang; g) pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru di wilayah tertinggal guna mendorong peningkatan perekonomian wilayah yang diharapkan dapat mengurangi tekanan urbanisasi di wilayah perkotaan dan ketimpangan pembangunan antar wilayah pengembangan yang dikhususkan di Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Melawi, Kabupaten Kayong Utara, dan Kabupaten Bengkayang. Kata Kunci : kemiskinan, pembangunan manusia/sosial, aktivitas ekonomi, analisis pola spasial, keterkaitan, Provinsi Kalimantan Barat

8 8 Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.

9 ANALISIS POLA SPASIAL KEMISKINAN, PEMBANGUNAN MANUSIA/SOSIAL, DAN AKTIVITAS EKONOMI, SERTA KETERKAITANNYA DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOVITA SALIM Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

10 10 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si

11 Judul Tesis Nama NRP : Analisis Pola Spasial Kemiskinan, Pembangunan Manusia/ Sosial, dan Aktivitas Ekonomi, serta Keterkaitannya di Provinsi Kalimantan Barat : Novita Salim : A Disetujui Komisi Pembimbing Prof.Dr.Ir. Santun R.P. Sitorus Ketua Ir. Fredian Tonny, MS Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Dekan Sekolah Pascasarjana Dr.Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Dr.Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr Tanggal Ujian : 24 Maret 2011 Tanggal Lulus :

12 12 Kupersembahkan Karya ini Kepada: Kedua Almarhum orang tua tercinta : Ayahanda A.Salim Bani dan Ibunda Mantasia. Suamiku tercinta Iwan Susetiyo & Kedua putraku tersayang: Ibnu Fadhil Hadyan & Naufal Hadi Rasikhin, Serta Kakak dan Adik-adikku yang telah mendukung selama ini

13 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkat dan rahmat-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2010 ini adalah Analisis Pola Spasial Kemiskinan, Pembangunan Manusia/Sosial, dan Aktivitas Ekonomi, serta Keterkaitannya di Provinsi Kalimantan Barat. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Ir. Fredian Tonny, M.S selaku anggota komisi pembimbing atas segala motivasi, arahan dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hinga penyelesaian tesis ini, serta kepada penguji luar komisi Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si, yang telah memberikan koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini. Di samping itu, penghargaan dan terima kasih penulis haturkan kepada Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB dan Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB beserta segenap staf pengajar dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB, Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Barat yang telah memberikan izin dan bantuan kepada penulis untuk mengikuti program tugas belajar ini, Kepala Pusbindiklatren Bappenas beserta jajarannya atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis, sahabat-sahabat terbaikku Hadijah Siregar, Yulita, Mira Sofia, dan Susanto, serta rekan-rekan PWL kelas Bappenas angkatan 2009 atas segala do a, dukungan dan kebersamaannya selama proses belajar hingga selesai, dan pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini. Akhirnya ucapan terima kasih yang setinggi-tinginya juga disampaikan kepada suami dan kedua anakku beserta seluruh keluarga, atas segala do a, dukungan, pengertian dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Maret 2011 Novita Salim

14 14 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Pontianak pada tanggal 12 November 1973 dari pasangan A. Salim Bani dan Mantasia. Penulis merupakan putri kedua dari lima bersaudara. Pendidikan SD dan SMA diselesaikan di kota Pontianak, SMP di Kota Singkawang, sedangkan pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Ilmu Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Hassanuddin di Makassar dan lulus tahun Penulis menikah dengan Iwan Susetiyo pada tahun 2002, dan telah dianugrahi dua orang putra, Ibnu Fadhil Hadyan dan Naufal Hadi Rasikhin. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2009 dan diterima pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah melalui beasiswa pendidikan dari Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Pada tahun 2003 penulis diangkat sebagai pegawai negeri sipil di lingkungan pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dan bertugas sebagai staf Dinas Pertanian Provinsi Kalimantan Barat.

15 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... vii ix I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 7 II. TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan Daerah/Wilayah Kinerja Pembangunan Daerah Indikator Pembangunan Daerah Pembangunan Ekonomi dan Pertumbuhan Penduduk Pembangunan Manusia dan Indikatornya Kemiskinan Kemiskinan Absolut dan Relatif Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan Ukuran Kemiskinan Kriteria Keluarga Miskin Interaksi Spasial Kemiskinan, Pembangunan Manusia/Sosial dan Aktivitas Ekonomi Principal Component Analysis (PCA) Cluster Analysis Discriminant Analysis III. METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Lokasi Penelitian Jenis Data Kerangka Alir Penelitian Teknik Analisis Data Pemetaan Pola Spasial Kemiskinan Pemetaan Pola Spasial Pembangunan Manusia/Sosial Pemetaan Pola Spasial Aktivitas Ekonomi Analisis Keterkaitan Kemiskinan, Pembangunan Manusia/Sosial dan Aktivitas Ekonomi Model Regresi Berganda Spatial Durbin Model Arahan Kebijakan Penanganan Kemiskinan... 44

16 ii IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Umum Provinsi Kalimantan Barat Kondisi Demografi Aktivitas Ekonomi Pembangunan Manusia/Sosial Kemiskinan V. POLA SPASIAL KEMISKINAN, PEMBANGUNAN MANUSIA/SOSIAL, DAN AKTIVITAS EKONOMI DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT Pola Spasial Kemiskinan Konfigurasi Sebaran Keluarga Miskin Konfigurasi Sebaran Penduduk Pola Kuadran Sebaran Keluarga Miskin terhadap Sebaran Penduduk Pola Spasial Pembangunan Manusia/Sosial Konfigurasi Pembangunan Bidang Kesehatan Konfigurasi Pembangunan Bidang Pendidikan Konfigurasi Pembangunan Bidang Sosial Pola Kuadran Pembangunan Manusia terhadap Pembangunan Sosial Pola Spasial Aktivitas Ekonomi Konfigurasi Sebaran Aktivitas Sektor Pertanian Konfigurasi Sebaran Aktivitas Sektor Industri/ Perdagangan Pola Kuadran Sebaran Aktivitas Sektor Pertanian terhadap Sektor Industri/Perdagangan Tipologi Wilayah Berdasarkan Pola Spasial Kemiskinan, Pembangunan Manusia/Sosial, dan Aktivitas Ekonomi VI. PEMBANGUNAN MANUSIA/SOSIAL DAN AKTIVITAS EKONOMI DALAM MENGURANGI KEMISKINAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT Keterkaitan Variabel-variabel Pembangunan Manusia/Sosial dan Aktivitas Ekonomi, dengan Kemiskinan Arahan Penanganan Kemiskinan di Kalimantan Barat VII. SIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

17 DAFTAR TABEL Halaman 1 Perbandingan Tingkat Kemiskinan, IPM dan Pendapatan per kapita antar provinsi di Kalimantan Tahun Indeks Pembangunan Manusia beserta kompositnya di Kabupaten/ Kota se-kalimantan Barat Tahun Persen rumahtangga pertanian, share sektor-sektor unggulan dan jumlah penduduk miskin pada kabupaten/kota di Kalimantan Barat Tahun Jenis, sumber data yang digunakan, teknik analisis data dan output yang diharapkan Bobot Klaster pada pola spasial tipologi kemiskinan Bobot Klaster pada pola spasial tipologi pembangunan manusia/sosial 39 7 Bobot Klaster pada pola spasial tipologi aktivitas ekonomi Luas dan Persentase luas wilayah kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat Tahun Jumlah penduduk dan persentase, laju pertumbuhan dan kepadatan penduduk menurut kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat Tahun Jumlah Penduduk Usia diatas 15 tahun yang bekerja dan pengangguran terbuka di Provinsi Kalimantan Barat, Tahun Produk Domestik Regional Bruto Berdasarkan Harga Berlaku, Kontribusi Sektoral, Pertumbuhan Ekonomi, dan Pendapatan Per Kapita pada Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Barat, Tahun Jumlah Penduduk Usia diatas 15 tahun yang bekerja menurut Tingkat Pendidikan yang ditamatkan di Provinsi Kalimantan Barat Tahun AngkaHarapan Hidup, Angka Kematian Ibu dan Anak menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Barat Besaran IPM dan komponennya menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Barat, Tahun

18 iv 15 Jumlah Penduduk Miskin, Persentase Penduduk Miskin, P1, P2 dan Garis Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Barat, Tahun Persentase Rumah Tangga yang Menggunakan Air Bersih, Jamban sendiri dan Luas Lantai Rumah kurang dari 19 m 2 pada Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Barat, Tahun Persentase Pengeluaran untuk Makanan pada rumah tangga pada Kabupaten/Kota di Kalimantan Barat, Tahun Sebaran Penduduk Miskin 15 tahun ke atas berdasarkan tingkat pendidikan pada Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Barat, Tahun 2008 (Persen) Sebaran Penduduk Miskin 15 tahun ke atas berdasarkan status pekerjaan pada Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Barat, Tahun 2008 (Persen) Muatan faktor (factor loading) variabel dari penciri konfigurasi sebaran keluarga miskin Kategori pembeda utama pada konfigurasi sebaran keluarga miskin Distribusi kategori sebaran keluarga miskin pada kabupaten/kota Muatan faktor (factor loading) variabel dari penciri konfigurasi sebaran jumlah penduduk Kategori pembeda utama pada konfigurasi sebaran penduduk Distribusi kategori sebaran penduduk pada kabupaten/kota Plot bobot konfigurasi pada Pola Spasial Kemiskinan di kabupaten/ kota pada analisis kuadran Muatan faktor (factor loading) variabel dari penciri konfigurasi pembangunan bidang kesehatan Kategori pembeda utama pada konfigurasi pembangunan bidang kesehatan Distribusi kategori tingkatan pembangunan kesehatan pada kabupaten/kota Muatan faktor (factor loading) variabel dari penciri konfigurasi pembangunan bidang pendidikan... 81

19 v 31 Kategori pembeda pada konfigurasi pembangunan bidang pendidikan Distribusi kategori tingkatan pembangunan pendidikan pada kabupaten/kota Muatan faktor variabel dari penciri konfigurasi pembangunan bidang sosial Kategori Penciri pada tipologi pembangunan bidang sosial Distribusi kecamatan dengan kategori tingkat pembangunan sosial di kabupaten/kota Plot Bobot Konfigurasi pada Pola Spasial Pembangunan Manusia/Sosial di Kabupaten/Kota pada Analisis Kuadran Muatan faktor variabel dari penciri konfigurasi sektor pertanian Kategori penciri pada konfigurasi aktivitas sektor pertanian Distribusi kecamatan dengan kategori sebaran aktivitas sektor pertanian di kabupaten/kota Muatan faktor penciri dari konfigurasi sebaran aktivitas sektor industri/perdagangan Kategori pembeda pada konfigurasi aktivitas sektor industri/ perdagangan Distribusi kecamatan dengan kategori sebaran aktivitas sektor industri/perdagangan di kabupaten/kota Plot Bobot Konfigurasi pada Pola Spasial tipologi Aktivitas Ekonomi di Kabupaten/Kota pada Analisis Kuadran Tipologi wilayah berdasarkan kategori tingkat kemiskinan, pembangunan manusia/sosial dan aktivitas ekonomi Tabel Keterkaitan Kemiskinan, Pembangunan Manusia/Sosial dan Aktifitas Ekonomi Arahan Kebijakan Penanganan Kemiskinan pada Prioritas Wilayah Tipologi Pemetaan Arahan Kebijakan Penanganan Kemiskinan di Provinsi Kalimantan Barat

20 vi

21 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Perubahan PDRB per kapita dan perubahan persentase penduduk miskin pada tahun di kabupaten/kota Sistematika penyusunan konsep-konsep indikator kinerja pembangunan wilayah Kerangka Pemikiran Bagan Alir Penelitian Proses pemetaan pola spasial tipologi kemiskinan Proses pemetaan pola spasial tipologi pembangunan manusia/sosial Proses pemetaan pola spasial tipologi aktivitas ekonomi Peta Administrasi Provinsi Kalimantan Barat Distribusi PDRB sektoral berdasarkan harga berlaku pada setiap kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat, Tahun Pendapatan per kapita berdasarkan harga berlaku pada kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat, Tahun Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) penciri konfigurasi sebaran keluarga miskin Peta Konfigurasi Sebaran Keluarga Miskin di Provinsi Kalimantan Barat Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) penciri konfigurasi sebaran penduduk Peta konfigurasi sebaran penduduk di Provinsi Kalimantan Barat Kuadran pola spasial kemiskinan di Provinsi Kalimantan Barat Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) penciri konfigurasi pembangunan bidang kesehatan Peta konfigurasi spasial pembangunan bidang kesehatan Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) penciri konfigurasi pembangunan bidang pendidikan Peta konfigurasi pembangunan bidang pendidikan... 86

22 viii 20 Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) variabel konfigurasi pembangunan bidang sosial Peta konfigurasi pembangunan bidang sosial Kuadran pola spasial pembangunan manusia/sosial di Provinsi Kalimantan Barat Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) penciri konfigurasi sebaran aktivitas sektor pertanian Peta konfigurasi aktivitas sektor pertanian di Provinsi Kalimantan Barat Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) penciri konfigutasi sebaran aktivitas sektor perdagangan dan industri Peta konfigurasi aktivitas sektor industri/perdagangan di Provinsi Kalimantan Barat Pola spasial tipologi aktivitas ekonomi di Provinsi Kalimantan Barat Proses klasterisasi tipologi wilayah berdasarkan pola spasial kemiskinan, pembangunan manusia/sosial, dan aktivitas ekonomi di Provinsi Kalimantan Barat Tipologi wilayah berdasarkan pola spasial kemiskinan, pembangunan manusia/sosial, dan aktivitas ekonomi di Provinsi Kalimantan Barat Model keterkaitan pembangunan manusia/sosial dan aktivitas ekonomi dengan kemiskinan di Provinsi Kalimantan Barat Peta Arahan Penanganan Kemiskinan di Provinsi Kalimantan Barat

23 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Variabel penyusun indeks komposit hasil Analisis Komponen Utama Factor score untuk penciri konfigurasi sebaran keluarga miskin Distribusi klaster konfigurasi sebaran keluarga miskin di tingkat kecamatan Factor score untuk penciri konfigurasi sebaran jumlah penduduk Distribusi klaster konfigurasi sebaran jumlah penduduk di tingkat kecamatan Factor score untuk penciri konfigurasi pembangunan bidang kesehatan Distribusi klaster pembangunan bidang kesehatan di tingkat kecamatan Factor score untuk penciri konfigurasi pembangunan bidang pendidikan Distribusi klaster konfigurasi pembangunan bidang pendidikan di tingkat kecamatan Factor score untuk penciri konfigurasi pembangunan bidang sosial Distribusi Klaster pembangunan bidang sosial di tingkat kecamatan Factor score penciri konfigurasi aktivitas sektor pertanian Distribusi klaster aktivitas sektor pertanian di tingkat kecamatan Factor score penciri konfigurasi aktivitas sektor industri/ perdagangan Distribusi klaster aktivitas sektor perdagangan dan industri di tingkat kecamatan Hasil Olahan Regressi Berganda untuk Spatial Durbin Model

24 x

25 1 II. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu orientasi pembangunan berubah dan berkembang pada setiap urutan waktu yang berbeda. Setelah Perang Dunia Kedua (PDII), pembangunan ditujukan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pertumbuhan ekonomi menjadi satu-satunya indikator keberhasilan pembangunan di suatu negara. Beberapa negara berhasil meletakkan landasan pembangunan dengan pertumbuhan yang tinggi termasuk Indonesia. Tetapi keberhasilan ini tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, sehingga isu pembangunan pada periode 1980-an bergeser dengan memasukkan unsur kesejahteraan sebagai tujuan dari pembangunan. Todaro (1989) menjelaskan pembangunan sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Masuknya kesejahteraan dalam pemaknaan pembangunan terus bergulir di antara beberapa pakar pembangunan, hingga mencapai puncak dengan lahirnya Deklarasi Millenium hasil kesepakatan 189 kepala negara dan pemerintahan anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di bulan September 2000 (Hulme, 2003). Millenium Development Goals (MDGs) adalah tujuan pembangunan global yang mengedepankan kesejahteraan rakyat baik untuk generasi sekarang maupun generasi akan datang, yang kemudian diadopsi oleh negara-negara anggota PBB (Gentilini & Webb, 2008). MDGs Indonesia menargetkan penurunan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya dibawah US $1 per hari menjadi setengahnya dalam rentang waktu Target pencapaian ini belum menunjukkan hasil yang baik, sehingga kemiskinan masih menjadi masalah fundamental di Indonesia. Pada rentang tahun 1990 hingga 2008, tim laporan pencapaian MDGs Indonesia (2007) dan BPS (2009) mencatat proporsi penduduk miskin di Indonesia belum menunjukkan penurunan, bahkan sedikit lebih tinggi. Jika tahun 1990 proporsi penduduk miskin Indonesia sebesar 15,10%, di tahun

26 proporsinya menjadi 15,42%. Pada periode yang sama penurunan penduduk miskin di Provinsi Kalimantan Barat lebih baik dibandingkan tingkat nasional, dimana penurunan proporsi penduduk miskin telah melebihi setengahnya dari 27,60% menjadi 11,07%. meskipun dibandingkan wilayah lain di Kalimantan, jumlah dan persentase penduduk miskin Kalimantan Barat masih lebih tinggi, seperti yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Provinsi Perbandingan tingkat kemiskinan, IPM dan pendapatan per kapita antar provinsi di Kalimantan Tahun 2008 Jumlah Penduduk Miskin (000 orang) Kota Desa Kota+ Desa Persentase Penduduk Miskin (%) Kota Desa Kota+ Desa IPM PDRB per kapita (Rp juta/kap) Kalbar 127,5 381,3 508,8 9,98 11,49 11,07 68,17 6,52 Kalteng 45,3 154,6 200,0 5,81 10,20 8,71 73,88 8,13 Kalsel 81,1 137,8 218,9 5,79 6,97 6,48 68,72 7,99 Kaltim 110,4 176,1 286,4 5,89 15,47 9,51 74,52 33,34 Indonesia , , ,3 11,65 18,93 15,42 71,17 21,70 Sumber : BPS (2009) (diolah) Upaya pengurangan kemiskinan dapat dilakukan dengan membangun kapabilitas penduduk miskin agar mampu bersaing mendapatkan kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan (Sumodiningrat, 2009). Strategi melalui pembangunan pendidikan dan kesehatan diukur melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Tingginya tingkat kemiskinan di Kalimantan Barat berkorelasi dengan rendahnya IPM di wilayah ini yang sebesar 68,17, yang juga menunjukkan IPM terendah di wilayah Kalimantan. Pada tingkat kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat, besaran IPM menunjukkan korelasi yang cukup kuat dengan persentase penduduk miskin. Pada Tabel 2, Kabupaten Sambas dengan IPM terendah yang sebesar 63,73, persentase penduduk miskinnya mendekati persentase penduduk miskin di tingkat provinsi. Hal yang sama tampak pada data Kabupaten Landak dengan proporsi penduduk miskinnya tertinggi, yaitu 18,65%, IPM-nya menunjukkan pencapaian dibawah provinsi. Hanya Kota Pontianak yang menunjukkan IPM lebih tinggi dan persentase penduduk miskin yang lebih rendah dibandingkan di tingkat provinsi.

27 3 Hal ini menunjukkan bahwa investasi di bidang pembangunan manusia di provinsi ini masih terkonsentrasi di Kota Pontianak sebagai ibukota provinsi. Tabel 2 Indeks Pembangunan Manusia beserta kompositnya dan persentase penduduk miskin di kabupaten/kota pada Provinsi Kalimantan Barat, Tahun 2008 Kabupaten/Kota Usia Harapan Hidup (tahun) Angka Melek Huruf (%) Rata-rata Lama Sekolah (tahun) Pengeluaran per Kapita (Rp000.00/ kap/bul) IPM Persentase penduduk miskin (%) Kab. Sambas 60,70 89,50 5,90 614,92 63,73 11,51 Kab. Bengkayang 68,57 88,68 6,03 599,30 66,81 9,41 Kab. Landak 64,98 91,45 6,86 608,21 66,74 18,65 Kab. Pontianak 67,12 89,40 6,48 617,52 67,90 7,03 Kab. Sanggau 67,99 89,92 6,40 609,95 67,86 6,25 Kab. Ketapang 67,02 88,87 6,22 608,43 66,84 15,21 Kab. Sintang 67,91 90,41 6,58 602,01 67,44 13,61 Kab. Kapuas Hulu 66,39 92,55 7,10 627,31 69,41 11,44 Kab. Sekadau 67,27 88,98 6,06 598,62 66,13 7,66 Kab. Melawi 67,63 92,32 7,20 598,62 67,91 14,80 Kab. Kayong Utara 65,33 88,20 5,60 600,67 64,69 14,50 Kab. Kubu Raya 66,17 85,83 6,16 617,00 66,31 - Kota Pontianak 66,86 93,59 9,11 636,18 72,08 9,29 Kota Singkawang 66,95 89,62 7,30 611,76 68,02 7,89 Sumber : BPS Kalbar (2009) (diolah) BPS Kalbar (2009) mencatat jumlah penduduk miskin di Kalimantan Barat pada tahun 2008 mencapai jiwa, dengan jumlah tertinggi di Kabupaten Ketapang sebesar orang dan persentase tertinggi di Kabupaten Landak sebesar 18,65%. Kabupaten Ketapang yang menghasilkan total output wilayah (PDRB) ketiga terbesar di Provinsi Kalimantan Barat menunjukkan bahwa pendapatan wilayah yang tinggi belum mampu berperan untuk menekan tingkat kemiskinan di wilayahnya. Berbeda dengan Kabupaten Landak yang menempati urutan kesembilan penyumbang PDRB provinsi, persentase penduduk miskin terkait dengan persentase rumahtangga sebesar 91,91% adalah rumahtangga pertanian yang juga ditunjukkan dengan share sektor pertanian yang sangat tinggi, yaitu sebesar 51,94% (Tabel 3). Sektor pertanian yang merupakan sektor yang padat tenaga kerja, dengan produktivitas dan tingkat keterampilan sumber daya manusia yang rendah, serta memiliki struktur penduduk berusia tua dan berpendidikan rendah, berkontribusi terhadap peningkatan proporsi penduduk miskin (Yudhoyono dan Harniati, 2004). Keterkaitan ini memberikan gambaran bahwa konsentrasi penduduk miskin di Kalimantan Barat secara umum dijumpai di wilayah perdesaan yang aktivitas utamanya adalah pertanian.

28 4 Tabel 3 Persen rumahtangga pertanian, share sektor-sektor unggulan dan jumlah penduduk miskin pada kabupaten/kota di Kalimantan Barat, Tahun 2008 Rumah Share sektor (%) penduduk miskin Kabupaten/ kota tangga tani (juta Pertanian Industri Dagang Jasa (%) orang) (%) Kab. Sambas 81, Kab. Bengkayang 87, Kab. Landak 91, Kab. Pontianak 71, Kab. Sanggau 84, Kab. Ketapang 80, Kab. Sintang 85, Kab. Kapuas Hulu 85, Kab. Sekadau 83, Kab. Melawi 87, Kab. Kayong Utara 85, Kab. Kubu Raya 80, Kota Pontianak 2, Kota Singkawang 53, Kalimantan Barat 75, Sumber : BPS Kalbar (2009) (diolah) Selain di wilayah dengan basis pertanian, pola kemiskinan di provinsi ini juga menunjukkan bahwa Kota Pontianak sebagai ibukota provinsi harus menghadapi desakan atas pergeseran kemiskinan di perdesaan. Estimasi untuk meningkatkan pendapatan di perkotaan bagi penduduk perdesaan mengakibatkan Kota Pontianak harus menanggung beban penduduk dengan pendidikan dan keterampilan rendah yang menekuni sektor-sektor informal dengan upah yang rendah. Dampak nyata pergeseran penduduk ke perkotaan ini adalah banyak dijumpai pemukiman kumuh di pinggiran Kota Pontianak. Kondisi ini memunculkan bentuk lain dari gambaran kemiskinan di provinsi Kalimantan Barat. Adam (2004) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa perubahan satu persen PDRB per kapita akan menurunkan 0,252% jumlah penduduk miskin. Di tahun 2008, seluruh wilayah kabupaten telah melampaui estimasi dari penelitian tersebut. Berbeda dengan Kota Pontianak dan Kota Singkawang, dimana kenaikan PDRB per kapita meningkatkan pula jumlah penduduk miskin dengan persentase yang besar (Gambar 1). Dengan pola seperti ini menunjukkan tingginya daya tarik wilayah kota karena pendapatan wilayah yang tinggi yang justru menimbulkan bias ibukota (first city bias).

29 Kab. Sambas Kab. Bengkayang Kab. Landak Kab. Pontianak Kab. Sanggau Kab. Ketapang Kab. Sintang Kab. Kapuas Hulu Kab. Sekadau Kab. Melawi Kab. Kayong Utara Kab. Kubu Raya Kota Pontianak Kota Singkawang % perubahan PDRB per kapita % perubahan jumlah penduduk miskin estimasi % perubahan jumlah penduduk miskin Gambar 1 Perubahan PDRB per kapita dan perubahan persentase penduduk miskin pada tahun di kabupaten/kota. 1.2 Perumusan Masalah Kemiskinan masih menjadi permasalahan penting bagi pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Barat. Data statistik di tahun 2008 menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di provinsi ini mencapai orang, yaitu 11,07% dari total penduduk Provinsi Kalimantan Barat. Proporsi ini turun 4,39% dibandingkan proporsi penduduk miskin Kalimantan Barat di tahun 2002, dan jika dirata-ratakan penurunannya mencapai 0,73% per tahunnya. Adam (2004) mensyaratkan perubahan 1,00% pertumbuhan ekonomi untuk dapat menurunkan 0,252% jumlah penduduk miskin di negara-negara berkembang. Di Provinsi Kalimantan Barat, dalam rentang tahun , rata-rata pertumbuhan ekonomi mencapai 4,48%, sehingga estimasi dari perhitungan ini diharapkan penurunan penduduk miskin dapat mencapai 1,13% per tahunnya. Angka ini masih lebih tinggi dibandingkan prestasi penurunan proporsi penduduk miskin di Provinsi Kalimantan Barat pada periode yang sama. Kondisi ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup sebagai prasyarat mengurangi kemiskinan, terlebih lagi jika wilayah tersebut menunjukkan keragaman yang tinggi baik etnik, geografi, ekologi dan demografi (Kalwija dan Verschoorb, 2007). Provinsi Kalimantan Barat yang terdiri atas 14 kabupaten/kota menunjukkan keragaman pola pencapaian indikator kinerja pembangunan daerah. Tingkat kemiskinan sebagai salah satu indikator

30 6 pembangunan menunjukkan pola hubungan yang berbeda-beda dengan indikator pembangunan lainnya, seperti total output wilayah yang diukur dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Kabupaten Ketapang sebagai salah satu wilayah berbasis sektor pertanian dan penyumbang ketiga terbesar total PDRB provinsi, jumlah penduduk miskinnya adalah yang tertinggi di Provinsi Kalimantan Barat. Demikian halnya dengan Kota Pontianak dengan basis ekonomi daerah adalah sektor sekunder dan tersier, juga menunjukkan jumlah penduduk miskin tertinggi kelima di provinsi ini. Oleh karena itu, keterkaitan antara pola aktivitas ekonomi dengan kemiskinan berbeda antar satu daerah dengan daerah lainnya. Strategi pembangunan manusia dalam ukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang diharapkan sebagai senjata lain untuk mengatasi kemiskinan, juga belum cukup mampu menjelaskan pola kemiskinan di suatu wilayah, sebagaimana yang ditunjukkan di Provinsi Kalimantan Barat. Pola hubungan antara tingkatan pembangunan manusia dengan tingkat kemiskinan yang berbeda-beda antar kabupaten/kota menunjukan bahwa untuk mengatasi kemiskinan, memerlukan strategi yang sesuai dengan pola masing-masing wilayah. Oleh karena itu, mengetahui karakteristik pembangunan di masingmasing kabupaten/kota diperlukan untuk mengelola dan mengembangkan strategi penanganan kemiskinan di suatu wilayah. Karakteristik wilayah sebagaimana dimaksud, tentunya terkait pula dengan pola interaksi antar wilayah terdekat (ketetanggaan). Wilayah yang berdekatan akan saling mempengaruhi, dan untuk hal-hal tertentu dimana interaksinya tinggi, wilayah yang berdekatan memiliki kesamaan atau kemiripan pola aktivitasnya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana pola spasial kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat? 2. Bagaimana pola spasial pembangunan manusia/sosial kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat? 3. Bagaimana pola spasial aktivitas ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat?

31 7 4. Bagaimana hubungan antara pembangunan manusia dan aktivitas ekonomi dengan kemiskinan di Provinsi Kalimantan Barat? 5. Bagaimana arah kebijakan penanganan kemiskinan yang diperlukan pada kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat? 1.3 Tujuan Penelitian Untuk menjawab pertanyaan penelitian, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Memetakan pola spasial kemiskinan di Provinsi Kalimantan Barat. 2. Memetakan pola spasial pembangunan manusia/sosial di Provinsi Kalimantan Barat. 3. Memetakan pola spasial aktivitas ekonomi di Provinsi Kalimantan Barat. 4. Menganalisis keterkaitan variabel-variabel pembangunan manusia/sosial dan aktivitas ekonomi dengan kemiskinan di Provinsi Kalimantan Barat. 5. Menyusun arahan kebijakan penanganan kemiskinan di Provinsi Kalimantan Barat. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Sebagai bahan informasi dan sumbangan pemikiran bagi pemerintah daerah dalam upaya menyusun strategi penanggulangan kemiskinan; 2. Sebagai bahan masukan dalam perumusan kebijakan pembangunan daerah; 3. Sebagai bahan pembelajaran dan pengembangan perencanaan wilayah dengan isu sentralnya adalah penanggulangan kemiskinan melalui pembangunan ekonomi dan pembangunan manusia/sosial.

32 8

33 9 III. TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Pembangunan Daerah/Wilayah Riyadi dan Bratakusumah (2004) menjelaskan secara sederhana, pembangunan sebagai suatu upaya untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik dan tidak jarang pembangunan diasumsikan sebagai pertumbuhan. Pembangunan adalah suatu proses yang dilakukan dengan sadar dan terencana, artinya bahwa suatu perubahan dapat dikatakan pembangunan manakala proses perencanaan memberikan kontribusi penting terhadap perubahan tersebut, sehingga perubahan tanpa perencanaan tidak dapat dikatakan sebagai pembangunan. Rustiadi et al. (2009) berpendapat bahwa secara filosofis suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan, untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan (Todaro, 1989). Menurut Sumardjo et al. (2009), pembangunan pada hakekatnya adalah perubahan progresif yang berkelanjutan untuk mempertahankan kepentingan individu maupun komunitas melalui pengembangan, intensifikasi, dan penyesuaian terhadap pemanfaatan sumber daya. Demikian halnya Kartasasmita mengemukaan proses pembangunan daerah sebagai upaya mengurangi kesenjangan ekonomi antar daerah dengan memanfaatkan sumber daya pembangunan dan lokasi kegiatan di daerah (Kartasasmita 1979 dalam Riyadi dan Bratasukuma, 2004). Pembangunan merupakan proses yang kontinyu, dan jika dipisahkan dari konsep pertumbuhan maka pembangunan merupakan konsep yang lebih luas dan simultan melibatkan aspek sosial, lingkungan dan ekonomi untuk meningkatkan taraf hidup. Rustiadi et al. (2009) menjelaskan tiga tujuan pembangunan, yakni:

34 10 (1) produktivitas, efisiensi dan pertumbuhan (growth), (2) pemerataan keadilan dan keberimbangan (equity), dan (3) keberlanjutan (sustainability). Ketiga indikator tersebut akan bermuara kepada tercapainya perubahan yang berkelanjutan sebagai upaya peningkatan taraf hidup ke arah yang lebih baik. Jika pembangunan dipandang sebagai suatu proses dimana terdapat saling keterkaitan dan saling mempengaruhi antara faktor-faktor yang dapat mewujudkan peningkatan taraf kesejahteraan masyarakat dalam suatu wilayah, maka pembangunan wilayah merupakan instrumen potensial untuk integrasi dan promosi dari usaha pengembangan sosial dan ekonomi. Dalam kerangka pembangunan Nasional di Indonesia, pada GBHN 1993, pembangunan daerah diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran serta masyarakat serta meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu. Pemerataan dan keberimbangan dapat diwujudkan melalui pembangunan daerah yang mampu mengembangkan potensi-potensi pembangunan sesuai kapasitasnya, sebagaimana diamanatkan dalam Undangundang Nomor 32 Tahun Kinerja Pembangunan Daerah Proses pembangunan bukanlah sekedar fenomena yang mengejar pertumbuhan ekonomi. Dimensi sosial yang terabaikan dalam perspektif pertumbuhan menjadi strategis dalam pembahasan tentang kinerja pembangunan daerah. Rustiadi et al. (2009) menjelaskan jika pertumbuhan perekonomian yang pesat, disertai munculnya berbagai masalah berupa penurunan distribusi pendapatan, peningkatan jumlah pengangguran, peningkatan jumlah keluarga di bawah garis kemiskinan, serta kerusakan sumber daya alam akan berdampak paradoks dan mengarah pada kemunduran pembangunan itu sendiri. Pembangunan merupakan proses dimana pendapatan per kapita suatu negara meningkat selama kurun waktu yang panjang, dengan catatan bahwa jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan absolute tidak meningkat dan distribusi pendapatan tidak semakin timpang (Meier, 1995 dalam Kuncoro, 2006). Penjelasan ini mengungkapkan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan prasyarat bagi tercapainya pembangunan manusia, karena didalamnya terdapat

35 11 peningkatan produktivitas dan pendapatan melalui penciptaan kesempatan kerja. Dengan demikian terdapat hubungan timbal balik antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia, dimana pertumbuhan ekonomi mempengaruhi pembangunan manusia, walaupun secara empiris tidak selalu otomatis (Rustiadi et al., 2009). Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia dapat berlangsung dua jalur. Pertama melalui kebijaksanaan pengeluaran pemerintah di bidang sosial seperti pendidikan dan kesehatan dasar. Kedua yaitu melalui besaran dan komposisi pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan dasar serta pemenuhan nutrisi anggota keluarga, untuk biaya pelayanan kesehatan dan pendidikan dasar, serta untuk kegiatan lain yang serupa (Rustiadi et al., 2009). Disebutkan pula bahwa selain kedua jalur tersebut, keberlangsungan interaksi kedua variabel tersebut berlangsung melalui penciptaan lapangan kerja Indikator Pembangunan Daerah Indikator adalah ukuran kuantitatif dan/atau kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan maupun tahap setelah kegiatan selesai dan berfungsi. Secara umum, indikator kinerja memiliki fungsi untuk (1) memperjelas tentang apa, berapa dan kapan suatu kegiatan dilaksanakan, (2) menciptakan konsensus yang dibangun oleh berbagai pihak terkait untuk menghindari kesalahan interpretasi selama pelaksanaan kebijakan/program/kegiatan dan dalam menilai kinerjanya, dan (3) membangun dasar bagi pengukuran, analisis, dan evaluasi kinerja organisasi/unit kerja (Rustiadi et al., 2009). Kuncoro (2006) membagi indikator pembangunan dalam dua garis besar, yakni indikator ekonomi dan indikator sosial. Indikator ekonomi yang dapat digunakan diantaranya GDP per kapita, laju pertumbuhan ekonomi, dan lainnya. Sedangkan indikator sosial pada umumnya beberapa Negara menggunakan Human Development Index (HDI) dan Physical Quality Life Index (PQLI). Rustiadi et al. (2009) membagi tiga kelompok cara dalam menetapkan indikator pembangunan, yakni: (1) indikator berbasis tujuan pembangunan, (2) indikator

36 12 berbasis kapasitas sumber daya, dan (3) indikator berbasis proses pembangunan (Gambar 2). Indikator berdasarkan Tujuan pembangunan Growth (Produktifitas, Efisiensi dan Pertumbuhan) Equity (Pemerataan, Keadilan dan Keberimbangan) Sustainability (Keberlanjutan) Indikator Kinerja Pembangunan Daerah Indikator berdasarkan Kapasitas Sumberdaya Pembangunan Sumberdaya Alam Sumberdaya Manusia Sumberdaya Buatan Sumberdaya Sosial Sumber Rustiadi et al. (2009) Indikator berdasarkan Proses pembangunan Input Implementasi/Proses Output Outcome Benefit Impact Gambar 2 Sistematika penyusunan konsep-konsep indikator kinerja pembangunan wilayah. Indikator berbasis tujuan pembangunan merupakan sekumpulan cara mengukur tingkat kinerja pembangunan dengan mengembangkan berbagai ukuran operasional berdasarkan tujuan-tujuan pembangunan. Dari berbagai pendekatan, dapat disimpulkan tiga tujuan pembangunan, yakni: (1) produktivitas, efisiensi dan pertumbuhan (growth), (2) pemerataan keadilan dan keberimbangan (equity), dan (3) keberlanjutan (sustainability) (Rustiadi et al., 2009). Pembangunan juga harus dilihat sebagai suatu upaya secara terus- menerus untuk meningkatkan dan mempertahankan kapasitas sumber daya pembangunan, sehingga kapasitas sumber daya pembangunan sering menjadi indikator yang penting dalam pembangunan. Sumber daya adalah segala sesuatu yang dapat menghasilkan utilitas (kemanfaatan) baik melalui proses produksi atau penyediaan barang dan jasa maupun tidak. Dalam perspektif ekonomi sumber daya, sumber daya juga diartikan sebagai segala sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi. Terdapat berbagai cara mengelompokkan atau mengklasifikasikan sumber daya. Salah satu cara mengklasifikasikan sumber daya yang paling umum

37 13 menurut Rustiadi et al. (2009) adalah dengan memilah sumber daya atas sumber daya yang dapat diperbarui (renewable resources) dan sumber daya yang tidak dapat diperbarui (non renewable resources). Pendekatan lain dalam klasifikasi sumber daya adalah dengan memilah atas: (1) sumber daya alam (natural resources), (2) sumber daya manusia (human resource), (3) sumber daya fisik buatan (man-made resources), mencakup prasarana dan sarana wilayah, dan (4) sumber daya sosial. Masing-masing sumber daya memiliki sifat kelangkaan dan berbagai bentuk karakteristik unik yang menyebabkan pengelolaannya memerlukan pendekatan yang berbeda-beda. Pembangunan adalah suatu proses, yang kinerja pembangunannya tetap perlu dievaluasi proses dari pembangunan. Penilaian kinerja proses pembangunan setidaknya dapat dilihat dari input yang digunakan untuk menghasilkan output dari proses pembangunan. Input yang digunakan setidaknya akan menentukan kelanjutan dari pembangunan pada tahapan selanjutnya. Akan tetapi seringkali evaluasi atau kinerja pembangunan hanya dilakukan pada tujuan jangka pendek, yaitu keberhasilan dari suatu proyek pembangunan jangka pendek (tahunan) yang tidak bersifat esensial atau mendasar. Akibatnya tidak menghasilkan manfaatmanfaat jangka panjang atau bahkan merugikan akibat akumulasi dampak yang bersifat jangka panjang. Oleh karenanya, pencapaian output jangka pendek belum memberi jaminan tercapainya tujuan-tujuan jangka panjang yang lebih hakiki. 1.2 Pembangunan Ekonomi dan Pertumbuhan Penduduk Dalam beberapa varian pemikiran, pembangunan diidentikkan dengan pertumbuhan ekonomi melalui pembentukan modal. Oleh karena itu, setelah Perang Dunia II, strategi pembangunan yang ditempuh di beberapa negara adalah akselerasi pertumbuhan ekonomi dengan mengundang modal asing dan melakukan industrialisasi. Dalam teorinya Adam Smith (Skousen, 2006) menjelaskan bahwa akumulasi modal dan investasi dalam pembangunan sebagai prasyarat pertumbuhan ekonomi tergantung dari kemampuan masyarakat menguasai dan mengeksplorasi sumber daya yang ada. Mobilisasi sumber daya ekonomi adalah upaya penggalian dan pemanfatan sumber daya alam, sumber daya manusia, teknologi, modal dan sumber daya sosial bagi mereka yang memerlukannya.

38 14 Mobilisasi ini akan menjadi masalah jika menimbulkan ketimpangan kesejahteraan karena penguasaan yang didominasi oleh kelompok tertentu. Untuk menghilangkan inefisiensi dan membuka akses masyarakat terhadap sumber daya tersebut dapat dilakukan melalui mobilisasi sumber daya melalui redistribusi asset (Rustiadi et al., 2009). Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu wujud redistribusi asset dalam mengelola dan mengeksplorasi sumber daya untuk kepentingan pertumbuhan wilayah. Menurut Arsyad (1999) pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Pendapatan wilayah merupakan gambaran pendapatan masyarakat di suatu wilayah. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah ukuran produktivitas wilayah yang paling umum diterima secara luas sebagai standar ukuran pembangunan dalam skala wilayah. PDRB pada dasarnya adalah total produksi kotor dari suatu wilayah, yakni total nilai tambah dari semua barang dan jasa yang diproduksi di suatu Negara atau wilayah dalam periode satu tahun. Artinya PDRB menunjukkan nilai tambah dari aktivitas manusia. PDRB yang dibagi dengan jumlah penduduk akan menunjukkan pendapatan per kapita masyarakat di suatu wilayah (Rustiadi et al., 2009). Pendapatan per kapita yang tinggi di suatu wilayah akan menjadi daya tarik penduduk untuk berimigrasi ke wilayah tersebut. Tingkat imigrasi yang tinggi akan menyebabkan tingginya pertumbuhan penduduk (social increase), selain faktor kelahiran dan kematian (natural increase). Sehingga pembangunan ekonomi wilayah yang tinggi, juga menjadi penyebab tingginya pertumbuhan penduduk di wilayah tersebut. Menurut Todaro dan Smith (2003), pertumbuhan penduduk bukanlah masalah kependudukan semata. Ada masalah lain yang terkait, dibalik pertumbuhan itu sendiri. Pembangunan ekonomi wilayah yang tinggi secara otomatis mampu mengontrol pertumbuhan dan penyebaran penduduk. Jika pembangunan ekonomi di suatu wilayah rendah, maka penduduknya akan

39 15 mempertahankan pola keluarga besar sebagai sumber jaminan sosial di masa mendatang. Pertumbuhan penduduk yang tinggi juga menyebabkan degradasi sumber daya alam dan penyusutannya. Kerusakan ini justru mengakibatkan pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut akan meluruh. Daya dukung dan kerusakan sumber daya alam akan diperparah dengan penyebaran penduduk yang tidak merata. Permasalahan lain dari pertumbuhan penduduk ini, justru terkait dengan rendahnya pembangunan ekonomi di suatu wilayah. Pembangunan ekonomi yang rendah menjadi penyebab tingginya insiden kemiskinan, sehingga untuk mengatasinya selain mengurangi laju pertumbuhan penduduk, diperlukan pula strategi yang dapat meningkatkan pembangunan ekonomi wilayah. Selain itu, jumlah penduduk yang rendah akan membantu mengurangi alokasi pembangunan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, sehingga porsi untuk investasi peningkatan aktivitas ekonomi justru akan meningkat. 1.3 Pembangunan Manusia/Sosial Konteks kesejahteraan dalam pembangunan, tidak hanya dimaknai sebagai kecukupan, pertumbuhan dan produktivitas ekonomi yang tinggi, tetapi juga menunjukkan kemajuan sosial budaya, interaksi sosial dan akses masyarakat pada pendidikan, kesehatan, dan politik. UNDP mendefinisikan pembangunan manusia sebagai suatu proses yang ditujukan untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk ( a process of enlarging people choices). Dalam konsep tersebut, penduduk ditempatkan sebagai tujuan akhir, bukan alat, cara atau instrument pembangunan (Rustiadi et al., 2009). Pembangunan manusia adalah perpaduan antara pembangunan sosial ekonomi dan pengorganisasian masyarakat. Pembangunan sektor sosial ekonomi masyarakat perlu diwujudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang didukung oleh organisasi dan partisipasi masyarakat yang memiliki kapasitas, kapabilitas, dan kinerja yang secara terus menerus tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat (Rustiadi et al., 2009). Dari pandangan tersebut, cita-cita pembangunan manusia mencakupi semua komponen pembangunan yang tujuan akhirnya ialah kesejahteraan masyarakat. Masyarakat sejahtera adalah masyarakat yang dapat menikmati kemakmuran secara utuh,

40 16 tidak miskin, tidak menderita kelaparan, menikmati pelayanan pendidikan secara layak, mampu mengimplementasikan kesetaraan gender, dan merasakan fasilitas kesehatan secara merata. Pembangunan manusia pada dasarnya adalah suatu upaya terstruktur untuk meningkatkan kapabilitas modal manusia (human capital) sehingga memiliki peluang meningkatkan kesejahteraan melalui pembangunan kesehatan dan pendidikan. Kesehatan merupakan inti dari kesejahteraan, dan pendidikan merupakan hal pokok untuk menggapai kehidupan yang memuaskan dan berharga (Todaro dan Smith 2003). Pendidikan memainkan peran kunci untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan kapasitas sumber daya manusia untuk menyerap teknologi dalam aktivitas pembangunan. Kesehatan merupakan prasyarat untuk peningkatan produktivitas penduduk dan sebagai tumpuan atas keberhasilan pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan dan kesehatan menjadi penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, sebagai modal peningkatan kesejahteraan masyarakat. Rustiadi et al. (2009) menjelaskan bahwa untuk mencapai cita-cita dari pembangunan manusia, empat hal yang perlu diperhatikan dalam pembangunan manusia yaitu produktivitas, pemerataan, keberlanjutan dan pemberdayaan. Perhatian pembangunan manusia tidak hanya pada upaya meningkatkan kapabilitas manusia, tetapi juga upaya pemanfaatan kapabilitas tersebut secara penuh. Dengan demikian terdapat dua sisi paradigma pembangunan manusia, yaitu sisi pertama adalah formasi kapabilitas manusia seperti perbaikan taraf kesehatan, pendidikan dan keterampilan, dan sisi keduanya adalah pemanfaatan kapabilitas mereka untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat produktif, kultural, sosial dan politik. Selain modal manusia, dalam pembangunan diperlukan pula adanya modal sosial (social capital) yang berfungsi sebagai katalisator dalam mencapai tujuan pembangunan. Modal sosial adalah serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok masyarakat dan memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka (Fukuyama, 2002).

41 17 Pembangunan sosial sebagai proses pembangunan yang memanfaatkan modal sosial dengan memperhatikan tiga komponennya, yaitu: norma, jaringan, dan kepercayaan. Norma sebagai serangkaian nilai yang disepakati bersama, jaringan menggambarkan adanya ikatan dari segolongan atau sekelompok masyarakat, dan kepercayaan adalah nilai yang menghasilkan tingkatan ikatan antar masyarakat atau golongan. Ketiga komponen tersebut bersifat spesifik, sehingga akan berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya karena perbedaan pola karakteristik sosial kelompok atau masyarakat (Fukuyama, 2002). 1.4 Kemiskinan Secara ekonomi kemiskinan diidentikkan dengan permasalahan pendapatan. Akan tetapi pendekatan ini tidak mampu menjelaskan masalah kemiskinan secara tuntas. Karenanya kemiskinan harus didefinisikan secara plural, dimana kemiskinan adalah suatu kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan dasar (esensial) individu sebagai manusia. Menggambarkan kemiskinan, terutama di pedesaan, ada lima karakteristik yang saling terkait: kemiskinan material, kelemahan fisik, keterkucilan dan keterpencilan, kerentanan, dan ketidakberdayaan. Kerentanan tersebut dapat dilihat dari ketidakmampuan keluarga miskin untuk menyediakan sesuatu guna menghadapi situasi darurat seperti datangnya bencana alam, kegagalan panen, atau penyakit yang tiba-tiba menimpa keluarga miskin itu (Chambers, 1983 dalam Kuncoro, 2006). Keluarga miskin pada umumnya selalu lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga seringkali makin tertinggal jauh dari masyarakat lain yang memiliki potensi lebih tinggi. Rustiadi et al. (2009) mendefinisikan kemiskinan sebagai keadaan di mana tingkat pendapatan seseorang mengakibatkan dirinya tidak dapat mengikuti tata nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: 1. Kemiskinan Natural atau alamiah, yakni, kemiskinan yang timbul sebagai akibat terbatasnya jumlah sumber daya dan/atau karena tingkat perkembangan teknologi yang sangat rendah. Artinya faktor-faktor yang menyebabkan suatu masyarakat menjadi miskin terjadi secara alami memang ada, dan bukan karena adanya kelompok atau individu di dalam masyarakat tersebut lebih

42 18 kaya atau miskin dari yang lain. Mungkin saja dalam keadaan kemiskinan alamiah tersebut akan terdapat perbedaan-perbedaan kekayaan, tetapi dampak perbedaan tersebut akan diperlunak atau dieliminasi oleh adanya pranatapranata tradisional, seperti pola hubungan patron-client, jiwa gotong royong dan sejenisnya yang secara fungsional untuk meredam kemungkinan timbulnya kecemburuan sosial (Kuncorojakti, 1986). 2. Kemiskinan struktural, yakni kemiskinan yang terjadi karena struktur sosial yang ada membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata. Dengan demikian sebagian anggota masyarakat tetap miskin walaupun sebenarnya jumlah total produksi yang dihasilkan oleh masyarakat tersebut bila dibagi rata dapat membebaskan semua anggota masyarakat dari kemiskinan. Kemiskinan struktural ini dapat diartikan sebagai suasana kemiskinan yang dialami oleh suatu masyarakat yang penyebab utamanya bersumber dari strukur sosial yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri. Oleh karena struktur sosial yang berlaku menggolongkan mereka dalam golongan miskin tampak tidak berdaya untuk mengubah nasibnya dan tidak mampu memperbaiki hidupnya. Struktur sosial yang berlaku telah mengurung mereka kedalam suasana kemiskinan secara turun temurun selama bertahun-tahun. Mereka hanya mungkin keluar dari penjara kemelaratan melalui suatu proses perubahan struktur yang mendasar. Kemiskinan struktural, biasanya terjadi dalam suatu masyarakat di mana terdapat perbedaan yang tajam antara mereka yang hidup melarat dengan mereka yang hidup dalam kemewahan dan kaya raya. Walaupun mereka merupakan mayoritas terbesar dari masyarakat, dalam realita tidak mempunyai kekuatan apa-apa untuk mampu memperbaiki nasib hidupnya. Sementara minoritas kecil mayarakat yang kaya raya biasanya berhasil memonopoli dan mengontrol berbagai kehidupan, terutama segi ekonomi dan politik. Selama golongan kecil yang kaya raya itu masih menguasai berbagai kehidupan masyarakat, selama itu pula diperkirakan struktur sosial yang berlaku akan bertahan. Akibatnya terjadilah apa yang disebut dengan kemiskinan struktural.

43 19 Ciri utama dari kemiskinan struktural ialah tidak terjadinya - kalaupun terjadi sifatnya lamban sekali - apa yang disebut sebagai mobilitas sosial vertikal. Struktur sosial yang berlaku telah melahirkan berbagai corak rintangan yang menghalangi mereka untuk maju. Ciri lain dari kemiskinan struktural adalah timbulnya ketergantungan yang kuat antara pihak si miskin terhadap kelas sosial-ekonomi di atasnya (Kuncorojakti, 1986). 3. Kemiskinan Kultural Kemiskinan kultural merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian, bukan berasal dari kebodohan dan ketidakmampuan fisik, tetapi lebih kepada sikap apatis dan pasrah dalam menerima kondisi kemiskinan yang dimilikinya yang kemudian diturunkan dari generasi ke generasi, sehingga seringkali kita dapat dapat menemui kemiskinan ini pada masyarakat strata sosial yang lebih rendah, masyarakat terasing, dan warga urban yang berasal dari buruh tani yang tidak memiliki tanah Kemiskinan Absolut dan Relatif Kemiskinan absolut dan relatif adalah konsep kemiskinan yang mengacu pada kepemilikan materi dikaitkan dengan standar kelayakan hidup seseorang/keluarga. Kedua istilah itu merujuk pada perbedaan sosial (social distinction) yang ada dalam masyarakat berangkat dari distribusi pendapatan. Perbedaannya adalah pada kemiskinan absolut ukurannya sudah terlebih dahulu ditentukan dengan angka-angka nyata dan atau indikator atau kriteria yang digunakan, sementara pada kemiskinan relatif, kategorisasi kemiskinan ditentukan berdasarkan perbandingan relatif tingkat kesejahteraan antar penduduk. Kategori ini dapat digunakan untuk mengukur kemiskinan konsumsi maupun kemiskinan keterbelakangan yang bersifat multidimensi. Dalam kemiskinan absolut, standar kemiskinan dihitung berdasarkan nilai uang yang dibutuhkan untuk membayar jumlah kalori minimal yang dibutuhkan untuk hidup sehat dan kebutuhan non-makanan tertentu; Tingkat pendidikan yang dianggap tertinggal ditetapkan berdasarkan kemampuan membaca/menulis (melek huruf) atau kelulusan dari sekolah dasar. Standar-standar ini tidak akan berubah meskipun tingkat kemakmuran masyarakat berubah. Standar kemiskinan absolut digunakan untuk menganalisis angka kemiskinan. Badan Pusat Statistik (BPS)

44 20 menetapkan garis kemiskinan sebagai ukuran minimal memenuhi kebutuhan makanannya setara dengan 2100 kalori per kapita per hari. Bank dunia menetapkan garis kemiskinan USD 1.00 per orang per hari di negara kategori pendapatan rendah, USD per hari di negara maju dan USD 2.00 per hari di negara pendapatan sedang. Kemiskinan relatif memandang kemiskinan berdasarkan kondisi riil tingkat kemakmuran masyarakat. Kemiskinan ini menggunakan garis kemiskinan yang berbeda antar wilayah, berdasarkan tingkat kemakmuran masyarakat di wilayah tersebut (GAPRI,2003) Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan Secara kuantitatif, Kedalaman kemiskinan berarti mengukur secara rata-rata seberapa jauh jarak orang miskin dari garis kemiskinan. Secara singkat, pengukuran ini melihat seberapa miskinnya si miskin. Jika secara rata-rata konsumsi orang miskin hanya sedikit di bawah garis kemiskinan, maka kedalaman kemiskinan lebih kecil daripada jika rata-rata konsumsi orang miskin jauh di bawah garis kemiskinan. Indeks dalam pengukuran kedalaman kemiskinan ini dapat mengestimasi jarak/perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan, yang dinyatakan dalam rasio dari garis kemiskinan. Secara kualitatif, kedalaman kemiskinan juga dapat ditunjukkan dengan gap antara klasifikasi kaum termiskin dengan kelompok-kelompok diatasnya. Keparahan kemiskinan, secara kuantitatif dapat mengukur ketimpangan distribusi di antara orang miskin (GAPRI,2003). Jika indeks dari Kedalaman Kemiskinan tidak sensitif terhadap distribusi pendapatan diantara penduduk miskin, maka indeks dari keparahan kemiskinan mampu memberikan gambaran ketimpangan distribusi pendapatan dalam kelompok miskin. Penggabungan indikator kemiskinan dengan ukuran ketimpangan mempertajam dan memperkaya gambaran mengenai sebaran permasalahan kemiskinan, sekaligus perilaku kaum miskin itu sendiri Ukuran Kemiskinan Rustiadi et al. (2009) menggunakan beberapa kategori dalam merumuskan pengukuran kemiskinan. Kategori tolok ukur tersebut dapat dilihat berdasarkan: a. Rasio barang dan jasa yang dikonsumsi (Good-Service Ratio, GSR).

45 21 Konsep ini berdasarkan fakta bahwa semakin tinggi kesejahteraan seseorang maka semakin besar persentase pendapatan (income) yang digunakan untuk jasa. b. Persentase/ratio pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan. Semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin tinggi kesempatan mengkonsumsi komoditi selain makanan. Dengan demikian semakin tinggi persentase pengeluaran untuk bukan-makanan terhadap total pendapatan seseorang, semakin tinggi tingkat kesejahteraannya. c. Pendapatan setara beras. Kebutuhan setara beras dihitung untuk kebutuhan kalori orang per hari. Pendapatan yang diperoleh seseorang jika dapat melebihi pemenuhan kebutuhan kalori per harinya, maka tingkat kesejahteraannya semakin baik. d. Pemenuhan kebutuhan pokok. Pengukuran kesejahteraan seseorang yang didasarkan pada pemenuhan kebutuhan sembilan bahan pokok, yang apabila dapat terpenuhi, maka tingkat kesejahteraannya akan lebih baik Kriteria Keluarga Miskin Indikator Keluarga Sejahtera pada dasarnya berangkat dari pokok pikiran yang terkandung didalam undang-undang nomor 10 Tahun 1992 disertai asumsi bahwa kesejahteraan merupakan variabel komposit yang terdiri atas berbagai indikator yang spesifik dan operasional. Indikator dan kriteria keluarga miskin adalah adalah keluarga Pra Sejahtera alasan ekonomi dan KS - I karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi : a. Paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging/ikan/telor. b. Setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru. c. Luas lantai rumah paling kurang 8 M2 untuk tiap penghuni. Selain keluarga miskin, disusun pula kriteria untuk keluarga miskin sekali, yakni keluarga Pra Sejahtera alasan ekonomi dan KS - I karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi : a. Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 kali sehari atau lebih.

46 22 b. Anggota keluarga memiliki pakaian berbeda untuk dirumah, bekerja/sekolah dan bepergian. c. Bagian lantai yang terluas bukan dari tanah. Karena penetapan keluarga miskin dan miskin sekali berdasar pada kriteria keluarga pra sejahtera dan sejahtera I, maka indikator bagi keluarga sejahtera I dan pra sejahtera adalah sebagai berikut : a. Keluarga Pra Sejahtera adalah keluarga yang belum dapat memenuhi salah satu atau lebih dari 5 kebutuhan dasarnya (basic needs) sebagai keluarga Sejahtera I, seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, papan, sandang dan kesehatan. b. Keluarga Sejahtera Tahap I adalah keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal yaitu : 1) Melaksanakan ibadah menurut agama oleh masing-masing anggota keluarga. 2) Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 (dua) kali sehari atau lebih. 3) Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian. 4) Bagian yang terluas dari lantai rumah bukan dari tanah. 5) Bila anak sakit atau pasangan usia subur ingin ber KB dibawa kesarana/petugas kesehatan. 2.5 Interaksi Spasial Interaksi spasial menggambarkan pola hubungan antar wilayah yang berdekatan karena adanya sifat kontiguitas spasial (spatial contiguity) dan spatial compactness. Sifat spatial contiguity menggambarkan kecendrungan dua wilayah yang bersebelahan akan saling mempengaruhi, sementara spatial compactness menggambarkan bahwa dua wilayah yang bersebelahan akan saling berinteraksi dan memiliki keterkaitan spasial. Keterkaitan untuk saling mempengaruhi dan berinteraksi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan efesiensi dalam proses pembangunan wilayah (Rustiadi et al., 2009). Dalam interaksi spasial, pembangunan dapat diterjemahkan sebagai alokasi sumber daya menurut ruang (spatial order) dan interaksi spasial dalam mencapai

47 23 sasaran pembangunan dan memecahkan permasalahan sosial ekonomi dengan menekankan pada apa yang menjadi masalah (what) dan mengapa masalah itu terjadi (why) dalam suatu wilayah. Menggabungkan aspek geografi dan sosialekonomi untuk memecahkan permasalahan yang ada dalam suatu wilayah telah dikembangkan dengan pendekatan spatial econometrics yang didukung perkembangan teknologi komputer untuk menyajikan informasi spasial seperti Sistem Informasi Geografis (SIG). 2.6 Kemiskinan, Pembangunan Manusia/Sosial dan Aktivitas Ekonomi Pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia merupakan dua sisi mata uang yang harus beriringan dalam pembangunan di suatu wilayah, beberapa penelitian telah mengembangkan argumentasi tersebut, diantaranya Brata (2002) dalam tulisannya pada Jurnal Ekonomi Pembangunan yang berjudul Pembangunan Manusia dan Kinerja Ekonomi Regional, adanya hubungan dua arah antara pembangunan manusia dan pembangunan ekonomi regional di Indonesia, termasuk di masa krisis. Pembangunan manusia yang berkualitas mendukung pembangunan ekonomi dan sebaliknya kinerja ekonomi yang baik mendukung pembangunan manusia. Masing-masing hubungan ini ditunjukkan dengan berperannya variabel-variabel, seperti variabel PDRB, lama pendidikan sekolah perempuan, yang terbukti sangat signifikan pengaruhnya terhadap tingkat pembangunan manusia jika dilihat dari IPM. Studi yang dikembangkan oleh Adam (2004) mengenai keterkaitan pertumbuhan ekonomi, ketimpangan dan kemiskinan di beberapa Dunia Berkembang menunjukkan bahwa elastisitas kemiskinan lebih tinggi ketika pertumbuhan yang dimaksud adalah perubahan pendapatan rata-rata rumah tangga per kapita dibandingkan dengan pertumbuhan GDP per kapita. Setiap aktivitas yang mampu mendorong peningkatan pendapatan penduduk miskin akan signifikan menurunkan angka kemiskinan, sehingga penting melihat kemiskinan pada skala aktivitas mikro. Dalam Makalah berjudul Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin yang ditulis oleh Siregar et al. (2007) menjelaskan bahwa output suatu daerah dipengaruhi oleh teknologi, modal fisik dan tenaga kerja. Semakin baik pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan output,

48 24 dan mengindikasikan semakin banyak orang yang bekerja, sehingga dapat mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Tetapi kondisi ini tidak selalu tercapai karena banyaknya faktor-faktor pertumbuhan ekonomi berpengaruh pada tingkatan berbeda terhadap pengurangan kemiskinan dan pengangguran. Dari hasil analisis yang dilakukannya menyimpulkan bahwa pertumbuhan berpengaruh tidak signifikan mengurangi kemiskinan, demikian halnya pengaruh inflasi dan jumlah penduduk. Faktor yang signifikan menurunkan tingkat kemiskinan dan pengangguran adalah peningkatan share sektor pertanian dan industri, serta tingkat pendidikan. Dalam makalah yang lain, Siregar (2006) menyebutkan peningkatan ekonomi sebagai syarat keharusan dalam mengurangi kemiskinan dan pengangguran yang dibangun melalui investasi dan pengembangan sektor-sektor padat karya baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Investasi publik atau pemerintah dikembangkan melalui infrastruktur perekonomian, kualitas SDM, kualitas pelayanan publik yang merata. Investasi swasta dikembangkan melalui pengembangan pertanian dan industri pertanian, serta mendukung pengembangan UKM. Pengalaman China menangani kemiskinan yang diangkat oleh Ravallion dan Chen (2005) menekankan penanganan kemiskinan di pedesaan. Dengan melakukan pemetaan kemiskinan dan mempelajari penyebab munculnya kemiskinan, maka China mengembangkan kebijakan reformasi agraria dengan melakukan de-kolektivitas pertanian dari kelompok menjadi pengelolaan rumah tangga dan memperluas pertanian tanaman pangan sehingga mampu meningkatkan produksi, dan akhirnya berdampak pada menurunnya harga pasar bahan pangan. Dampak tak langsung dari kebijakan ini, pendapatan petani meningkat dan daya beli pangan oleh penduduk miskin juga meningkat. Kebijakan ini mampu menurunkan jumlah penduduk miskin, sehingga China memandang bahwa pertanian dan kemiskinan di pedesaan adalah sasaran yang effektif meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Pro Poor Growth) bagi negaranegara berkembang. Pengalaman Bolivia justru berbeda dengan China, dimana Bolivia mengembangkan pengelolaan komunal dalam mengelola sumber daya alam yang

49 25 sejalan dengan penelitian Grooter dan Narayan (2004). Penelitian ini mampu menjelaskan bahwa dampak penguatan sumber daya sosial 2,5 kali lebih besar daripada penguatan sumber daya manusia dalam meningkatkan pendapatan. Jika meningkatkan 25% pengeluaran rumah tangga di bidang pendidikan mampu meningkatkan pendapatan 4,2%, maka dengan investasi yang sama besar pada sumber daya sosial, maka pendapatan akan meningkat 9-10,5%, sehingga disimpulkan bahwa pendekatan pembangunan sosial adalah akselerator penurunan kemiskinan. Dalam menganalisis keterkaitan kemiskinan dan aktivitas ekonomi di Provinsi Riau, dalam tesisnya, Hajiji (2010) menyimpulkan bahwa sektor-sektor yang berpengaruh dalam pengentasan kemiskinan adalah sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor angkutan dan komunikasi, dan sektor keuangan, persewaan dan jawa perusahaan. Sementara peningkatan sektor pertanian, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih justru meningkatkan kemiskinan. Pola interaksi spasial dalam keterkaitan pembangunan manusia/sosial dan aktivitas ekonomi, dengan kemiskinan dijelaskan oleh Arman (2009) dalam tesisnya yang berjudul Peran Pembangunan Manusia/Sosial dan Interaksi Spasial dalam Penanggulangan Kemiskinan dan Pengangguran. Penelitiannya menunjukkan bahwa interaksi spasial antar kecamatan di Kabupaten Bogor sangat kuat berpengaruh terhadap penurunan angka kemiskinan. Kerjasama antar kecamatan dapat mengefesiensikan biaya. Hal tersebut dipengaruhi oleh pemanfaatan infrastruktur, alokasi anggaran, ketersediaan sumber daya alam seperti lahan produksi pertanian dan sumber daya manusia seperti tenaga guru di beberapa lembaga pendidikan, dan ketersediaan lapangan pekerjaan, kecamatan yang berdekatan cenderung dapat memanfaatkan fasilitas dan sumber daya tersebut secara bersama. Untuk itu pemerataan pembangunan manusia dalam suatu wilayah perlu dikaji dalam kacamata pembangunan daerah yang berimbang. Interaksi spasial dalam menangani kemiskinan oleh Crandall dan Weber (2004) juga menyatakan bahwa pertumbuhan kesempatan kerja dan pembangunan manusia/sosial mampu menurunkan tingkat kemiskinan pada wilayah yang saling terkait (ketetanggaan). Penguatan modal sosial dan peningkatan kesempatan kerja

50 26 pada wilayah yang keterkaitannya tinggi lebih efektif menangangani kemiskinan dibandingkan pada wilayah yang keterkaitannya rendah. Dampak penurunan kemiskinan bersifat spillover pada serentetan wilayah dengan kemiskinan yang tinggi. 2.7 Principal Component Analysis (PCA) Principal Component Analysis (PCA) atau Analisis Komponen Utama digunakan untuk mengelompokkan variabel-variabel penentu tingkat perkembangan wilayah menjadi beberapa faktor-faktor utama yang lebih sedikit dari jumlah variabel awalnya, namun masih memuat sebagian besar varian/informasi dari data aslinya. Data yang digunakan dalam analisis ini bersifat kuantitatif melalui proses rasionalisasi yaitu variabel-variabel yang dapat mencirikan tipologi wilayah. Untuk melakukan perhitungan dengan metode ini digunakan aplikasi statistica. Adapun maksud dari analisis ini adalah untuk mengelompokkan beberapa variabel yang memiliki kemiripan untuk dijadikan satu faktor, sehingga dimungkinkan dari beberapa atribut yang mempengaruhi suatu komponen variabel dapat diringkas menjadi beberapa faktor utama yang jumlahnya lebih sedikit. Menurut Saefulhakim (2006) ada dua tujuan dasar dari PCA, yaitu: 1. Ortogonalisasi Variabel: mentransformasikan suatu struktur data dengan variabel-variabel yang saling berkorelasi menjadi struktur data baru dengan variabel-variabel baru (yang disebut sebagai Komponen Utama atau Faktor) yang tidak saling berkorelasi. 2. Penyederhanaan Variabel: banyaknya variabel baru yang dihasilkan, jauh lebih sedikit dari pada variabel asalnya, tetapi total kandungan informasinya (total ragamnya) relatif tidak berubah. Teknik ekstraksi data dengan PCA pada dasarnya adalah dengan memaksimalkan keragaman dalam 1 (satu) variabel/faktor yang baru dan meminimalkan keragaman dengan variabel/faktor yang lain, menjadi variabel yang saling bebas (independent).

51 27 Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis ini adalah : 1. Ortogonalisasi Variabel Tujuannya adalah membuat variabel baru Z (=1,2,...,qp) yang memiliki karakteristik: 1) satu sama lain tidak saling berkorelasi, yakni: r = 0, 2) nilai rataan masing-masing, tetap sama dengan nol, dan 3) nilai ragam masing-masing Z sama dengan 0, dimana = p. 2. Penyederhanaan jumlah variabel Mengurutkan masing-masing faktor/komponen utama (F) yang dihasilkan, dari yang memiliki eigenvalue (λ) tertinggi hingga terendah, yakni : a. Memilih faktor-faktor atau komponen-komponen utama yang memiliki 1, artinya faktor atau komponen utama yang memiliki kandungan informasi (ragam) setara dengan informasi yang terkandung dalam satu variabel asal. b. Membuang faktor atau komponen utama yang mempunyai eigenvalue antar dua faktor atau komponen utama yang berdekatan/tidak begitu signifikan, jika (-( - 1))<1. Sebagai alternatif lain digunakan juga metode The Scree Test yang diperkenalkan oleh Catell dimana dari hasil scree plot yang dipilih adalah yang paling curam. c. Menentukan faktor-faktor atau komponen-komponen utama yang memiliki koefisien korelasi nyata minimal satu variabel asal. Kriteria yang digunakan adalah rj 0.7 Hal ini dimaksudkan agar setiap faktor atau komponen utama yang terpilih, paling tidak memiliki satu penciri dominan dari variabel asalnya. Hasil PCA antara lain: Akar ciri (eigen value) merupakan suatu nilai yang menunjukkan keragaman dari peubah komponen utama yang dihasilkan dari analisis, semakin besar nilai eigen value, maka semakin besar pula keragaman data awal yang mampu dijelaskan oleh data baru. Component/factor score adalah nilai yang menggambarkan besarnya titik-titik data baru dari hasil komponen utama dan digunakan setelah PCA. Factor loading menggambarkan besarnya korelasi antar variabel awal dengan komponen ke-i. PC scores ini yang digunakan jika terjadi analisis lanjutan

52 28 setelah PCA. Factor Loadings (L) adalah sama dengan Factor Score Coefficients (C) kali Eigenvalue Faktor atau Komponen Utamanya. 2.8 ClusterAnalysis Cluster Analysis atau analisis gerombol pada prinsipnya digunakan untuk mengelompokkan obyek atau merupakan proses untuk meringkas sejumlah obyek menjadi lebih sedikit dan menamakannya sebagai klaster. Dalam analisis klaster tidak ada variabel bebas maupun variabel tergantung. Dasar pengelompokan yang digunakan dalam analisis klaster adalah kesamaan (similarity) atau jarak (distance) ketidaksamaan (dissimilarity). Obyek yang berada dalam satu klaster relatif memiliki kemiripan dibandingkan dengan obyek yang berada pada klaster yang lain. Analisis klaster juga sering disebut analisis klasifikasi (classification analysis). Hasil analisis klaster yang diharapkan adalah adanya perbedaan yang tinggi antara satu klaster dengan klaster yang lain, sehingga jelas adanya perbedaan karakteristik antar klaster yang terbentuk, dan memiliki kesamaan yang tinggi antar anggota dalam satu klaster, sehingga dalam satu klaster akan berisi obyek yang sama (Saefulhakim, 2006). Secara umum terdapat dua metode pengelompokan dalam analisis klaster (gerombol) yaitu: (1) metode berhirarki dan (2) metode tak berhirarki (Saefulhakim 2006). Metode tak berhirarki merupakan metode pengelompokan dimana jumlah kelompok yang terbentuk sudah diketahui sebelumnya. Misalnya orde pembangunan wilayah secara umum diketahui berjumlah 5 (lima), yaitu: sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah, atau 3 (tiga) yaitu: tinggi, sedang dan rendah. Pengklasifikasian selanjutnya akan dilakukan berdasarkan jumlah yang kita inginkan tersebut. Unit-unit analisis yang dikelompokkan akan bergerombol sesuai dengan kedekatan/kemiripan karakteristiknya masing-masing. Salah satu metode tak berhirarki yang sering digunakan adalah K-Mean Cluster. Sedangkan pada klaster berhirarki jumlah kelompok yang terbentuk belum diketahui. Pengelompokan selanjutnya dilakukan terhadap seluruh unit berdasarkan seluruh karakteristik yang diamati. Selanjutnya berdasarkan kenampakan hasil pengklasteran/penggerombolan ditentukan pemotongan seberapa banyak klaster yang akan digunakan (Saefulhakim, 2006).

53 29 Sebelum melakukan penggabungan data perlu dihitung terlebih dahulu jarak antara dua data atau jarak antara dua klaster data dengan ciri yang serupa. Untuk dapat melakukan penggerombolan diperlukan suatu skala pengukuran yang sama. Jika skala data tidak sama maka data perlu ditransformasikan dalam suatu bentuk skor tertentu yang disebut jarak baku. Dalam analisis klaster terdapat beberapa ukuran jarak antara lain: jarak mahalanobis, jarak eucledian, jarak kuadrat eucledian, jarak manhattan (city-block), jarak chebycev, power distance, dan percent disagreement. Ukuran jarak yang sering digunakan adalah jarak eucledian (euclidean distance). Persamaan penghitungan jarak eucledian antara dua titik atau dua klaster atau gerombol adalah: D ={ 2 } 1/2 Nilai D merupakan jarak antara titik data/ gerombol X dan Y. Makin kecil nilai D makin besar kemiripan data X dan Y. Asumsi yang harus dipenuhi dalam penggunaan jarak eucledian ini adalah bahwa antar variabel tidak terjadi multicollinearity atau variabel-variabel yang ada saling tegak lurus (ortogonal). Berhubung pengkelasan suatu wilayah pada umumnya didasarkan pada karakteristik (variabel) dalam jumlah cukup besar, maka kemungkinan terjadinya multicollinearity cukup besar. Oleh karena itu, perlu dilakukan teknik antara dengan menghilangkan kondisi tersebut melalui transformasi PCA. Dengan transformasi PCA tersebut variabel-variabel yang digunakan akan saling ortogonal satu dengan yang lain. Pada tahap selanjutnya, dalam teknik penggerombolan, dilakukan amalgamasi antar gerombol sesuai dengan kedekatan jaraknya. Terdapat banyak teknik amalgamasi diantaranya: single linkage, complete linkage, unweighted pair group-average, weighted pair-group average, unweighted pair-group centroid, weighted pair-group centroid, dan ward s. Dalam penelitian ini digunakan metode Ward s. Penggabungan antara dua klaster atau gerombol data berdasarkan Metode Ward s dilakukan berdasarkan penghitungan jumlah kuadrat jarak dari kedua klaster hipotetis tersebut. Metode ini sangat efisien, namun demikian, umumnya metode ini cenderung membentuk ukuran gerombol yang kecil. Dalam penelitian ini, analisis klaster bertujuan mengelompokan wilayah berdasarkan faktor-faktor utama yang mempengaruhi tingkat perkembangan

54 30 wilayah. Pengelompokan wilayah-wilayah menjadi beberapa kelompok didasarkan pada pengukuran variabel-variabel yang diamati, sehingga diperoleh kemiripan wilayah dalam kelompok yang sama dibandingkan antara wilayah dari kelompok yang berbeda. 2.9 Discriminant Analysis Discriminant Analysis atau analisis diskriminan merupakan salah satu analisis multivariabel untuk menentukan variabel mana yang membedakan secara nyata dengan kelompok-kelompok yang telah ada secara alami, sehingga digunakan untuk menentukan variabel mana yang merupakan penduga terbaik dari pembagian kelompok-kelompok yang ada. Pada prinsipnya, penentuan dalam analisis diskriminan ini berbalikan dengan metode analisis klaster. Jika analisis klaster (khususnya klaster unit) menentukan klaster dari ciri-ciri yang diduga mirip, maka analisis diskriminan menentukan dengan kelompok yang sudah tentu yang terbentuk secara alamiah ingin ditentukan variabel yang mana yang sebenarnya secara nyata membedakan kelompok-kelompok tersebut. Selain itu, analisis diskriminan juga dapat dilakukan untuk menguji ketepatan pengelompokan wilayah hasil analisis pengelompokan yang lain, yaitu pengelompokan berdasarkan hasil analisis tipologi Klassen. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam analisis diskriminan antara lain adalah (Saefulhakim, 2006): a. Data contoh merupakan data multivariabel yang menyebar normal. Walaupun demikian, jika syarat penyebaran normal ini tidak dipenuhi, perbedaan hasil pengujian tidak fatal. Artinya hasil pengujian masih layak untuk dipercaya; b. Matriks ragam (variances) atau peragam (covariances) variabel antar kelompok bersifat homogen. Jika terdapat deviasi kecil masih bisa diterima. Oleh karena itu, akan lebih baik jika sebelum menggunakan hasil pengujian terlebih dahulu dilihat lagi nilai korelasi dan ragam variabel dalam setiap kelompoknya; c. Tidak terdapat korelasi antara nilai tengah variabel antar kelompok dengan nilai ragam atau standar deviasinya;

55 31 d. Variabel yang digunakan tidak bersifat redundant. Jika kondisi ini tidak terpenuhi maka matrik tersebut disebut ill-condition. Matriks yang illconditioned tidak dapat diinverskan; e. Nilai toleransi seharusnya tidak mendekati 0. Dalam analisis diskriminan akan dilakukan pengujian terhadap keadaan redundant yang diharapkan tidak terjadi. Pengujian ini disebut dengan pengujian nilai toleransi. Nilai toleransi ini dihitung dengan persaman 1-R2. Jika kondisi redundant terjadi, maka nilai toleransi akan mendekati nol. Fungsi yang terbentuk sebenarnya mirip dengan fungsi regresi. Dalam hal ini variabel bebas (Y) adalah resultan skor klasifikasi. Variabel tak bebasnya (X) adalah variabel-variabel yang digunakan sebagai penduga. Skor = a +b 1 X 1 + b 2 X b n X n Variabel dengan nilai koefisien regresi terbesar merupakan variabel yang mempunyai peranan terbesar dalam membedakan kelompok-kelompok yang ada. Hasil pengolahan statistik ini (hasil analisis multivariat yang meliputi analisis PCA, cluster dan discriminant analysis) akan menghasilkan tipologi wilayah yang kemudian dibuat peta tipologinya.

56 32

57 33 IV. METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Berdasarkan perumusan masalah, tujuan dan manfaat, penelitian ini dibangun atas dasar kerangka pemikiran bahwa kemiskinan merupakan masalah multidimensi yang sangat kompleks. Kondisi, sifat dan konteks kemiskinan yang menjadi penyebab kemiskinan antara wilayah yang satu dengan wilayah lain akan berbeda. Karakteristik tersebut menjadi faktor penentu timbulnya kemiskinan disuatu wilayah, diantaranya karakteristik struktur dan aktivitas ekonomi, karakteristik ruang, dan sumber daya (alam, manusia, buatan dan sosial), serta pengaruh wilayah lain di sekitarnya. Oleh karena itu dalam mengatasi kemiskinan di suatu wilayah, tidak dapat dilihat dalam kacamata agregat wilayah, tetapi lebih kepada pendekatan pembangunan daerah/regional baik melalui pembangunan ekonomi maupun pembangunan manusia/sosial. Pembangunan ekonomi sebagai upaya untuk mengumpulkan modal melalui aktivitas ekonomi yang mendorong pertumbuhan ekonomi khususnya yang signifikan mengatasi kemiskinan di suatu wilayah. Pertumbuhan ekonomi yang berpengaruh menurunkan kemiskinan merupakan modal dalam pembangunan manusia, dapat dikembangkan melalui kebijakan pengeluaran. Kebijakan tersebut dapat dilakukan melalui investasi di bidang sosial seperti pendidikan dan kesehatan dasar, besaran dan komposisi pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan dasar, dan pemenuhan nutrisi anggota keluarga, serta untuk kegiatan lain yang serupa. Pembangunan manusia akan bermuara pada peningkatan kualitas hidup manusia untuk dapat hidup normal dalam memenuhi kebutuhannya yang berimplikasi kepada penurunan jumlah penduduk miskin di suatu wilayah. Dengan demikian pola pembangunan ekonomi dan pembangunan manusia/sosial bersama-sama berpengaruh terhadap pola kemiskinan di suatu wilayah. Pola aktivitas ekonomi dan pembangunan manusia/sosial yang signifikan berpengaruh terhadap tingkat penurunan kemiskinan dapat dijadikan dasar kebijakan bagi pemerintah daerah dalam mengembangkan strategi penanganan

58 34 kemiskinan. Alur atau kerangka pemikiran dari penelitian ini ditunjukkan pada alur kerangka pemikiran penelitian yang ditunjukkan pada Gambar 3. Pembangunan Daerah Karakteristik Kemiskinan Pembangunan Ekonomi Dukungan Sumberdaya Sd Manusia Sd Alam Sd Sosial Sd Buatan Interaksi antar wilayah Karakteristik sumber daya Karakteristik struktur ekonomi Karakteristik struktur sosial Karakteristik ruang Aktivitas Ekonomi Pembangunan Manusia Profil Kemiskinan 3.2 Lokasi Penelitian Gambar 3 Kerangka Pemikiran. Lokasi penelitian adalah Provinsi Kalimantan Barat yang terletak di posisi antara 2 o 08 Lintang Utara sampai dengan 3 o 05 Lintang Selatan dan 1 o o 10 Bujur Timur, dengan unit penelitian adalah pada 175 kecamatan. 3.3 Jenis Data Jenis data terdiri atas data sekunder yang dikumpulkan melalui literatur dari Dinas/Badan/Lembaga terkait seperti BPS, Bappeda, P4W dan lainnya, serta perpustakaan. Jenis data yang dikumpulkan disesuaikan dengan tujuan penelitian sebagaimana ditunjukkan pada Tabel Kerangka Alir Penelitian Data yang dikumpulkan diklasifikasikan sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu Kemiskinan, Pembangunan Manusia/Sosial, dan Aktivitas Ekonomi. Pada setiap tujuan, data yang homogen diubah menjadi variabel dengan software excel, sehingga variabel dapat dihadirkan dalam dua bentuk olahan data dasar, yakni berupa variabel pangsa dan/atau rasio. Arahan Kebijakan Penanganan Kemiskinan

59 35 Tabel 4 Jenis, sumber data yang digunakan, teknik analisis data dan output yang diharapkan No. Tujuan Jenis Data 1. Memetakan pola spasial kemiskinan. 2. Memetakan pola spasial Pembangunan Manusia/Sosial 3. Memetakan pola spasial Aktivitas Ekonomi. 4. Menganalisis Keterkaitan Variabel Pembangunan Manusia/Sosial dan aktivitas ekonomi dengan kemiskinan. 5. Menyusun arahan kebijakan penanganan kemiskinan Jumlah keluarga pra-sejahtera dan Sejahtera I per Kecamatan, jumlah penduduk miskin di bantaran sungai, dibawah jaringan SUTET, lokasi terisolasi dan di pemukiman kumuh, peta. Jumlah penduduk (laki-laki/perempuan, cacat, kelahiran, kematian, keluar/ masuk, PUS dan akseptor KB), jumlah tenaga pendidik dan fasilitas pendidikan, jumlah tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan, jumlah peserta ASKESKIN, jumlah surat miskin, jumlah penderita wabah penyakit dan yang meninggal, Jumlah aparat desa dan keamanan, Fasilitas Ibadah, Intensitas Konflik, peta. Luas panen padi, produksi tanaman pangan lain, produksi hasil perkebunan, populasi ternak besar, kecil dan unggas, jumlah dan jenis industri, koperasi, perdagangan dan hotel, jumlah surat izin industri dan perdagangan yang dikeluarkan, intensitas bencana dan luasan penggunaan lahan, peta. - Indeks Komposit Kemiskinan, pembangunan manusia/sosial dan aktivitas ekonomi - Jarak ketetanggaan - Pola Spasial Tipologi Kemiskinan, pembangunan manusia/sosial dan aktivitas ekonomi. - Data-data statistik dan hasil analisis penelitian terkait. Sumber Data PODES BPS PODES BPS PODES BPS Hasil analisis 1, 2 dan 3 BAPPEDA Hasil analisis 1, 2,3 dan 4. Teknik Analisis Data Principal Component Analysis Cluster Analysis Discriminant Analysis Analisis Kuadran Principal Component Analysis Cluster Analysis Discriminant Analysis Analisis Kuadran Principal Component Analysis Cluster Analysis Discriminant Analysis Analisis Kuadran Multiple regression Spatial Durbin Model Cluster Analysis Analisis Deskriptif Output yang diharapkan Peta konfigurasi sebaran kemiskinan dan penduduk, dan pola spasial tipologi kemiskinan Peta Konfigurasi tingkatan Pembangunan Kesehatan, Pendidikan dan Sosial, serta Pola Spasial tipologi Pembangunan Manusia/Sosial Peta konfigurasi sebaran aktivitas sektor pertanian dan industri/perdagangan, dan pola spasial tipologi Hubungan fungsional antara kemiskinan dengan variabelvariabel Pembangunan Manusia/Sosial dan aktivitas ekonomi Susunan arahan penanganan kemiskinan 35

60 36 Pangsa data dihitung dengan persamaan berikut : PA i = A i A tot Keterangan: PA i = pangsa data aktivitas i A i = jumlah aktivitas di wilayah i = jumlah aktivitas di total wilayah agregat A tot Rasio data dihitung dengan persamaan berikut : rasa i = A i Pd i Keterangan: rasa i = rasio data aktivitas i A i = jumlah aktivitas di wilayah i Pd i = jumlah penduduk di wilayah i Variabel pangsa/rasio diortogonalisasi dengan menggunakan teknik Principal Component Analysis (PCA) menjadi variabel yang saling lepas dan menjadi penciri wilayah (Lampiran 1). Penciri utama adalah faktor dengan eigenvalue-nya satu atau lebih dan variabel yang terkait dengan penciri utama adalah variabel yang factor loading-nya lebih dari 0,7. Penciri wilayah dimanfaatkan untuk mengelompokkan (klaster) wilayah berdasarkan kedekatan jarak (Euclidean distance) penciri menggunakan Cluster Analysis dengan tiga klasifikasi penciri (tinggi, sedang, rendah). Hasil klasifikasi menjadi atribut untuk menghasilkan peta konfigurasi dengan memanfaatkan ArcGIS 9.3, dimana warna hijau menjelaskan penciri dengan tingkatan pencapaian baik, warna kuning untuk penciri dengan pencapaian sedang, dan warna merah untuk pencapaian buruk. Pembeda dari klaster ditentukan dengan Discriminant Analysis, dimana pembeda yang paling signifikan adalah penciri dengan p-level yang kurang dari 0,01. Konfigurasi wilayah yang dihasilkan dari formasi penciri di tingkat kecamatan menjadi pembobot untuk kabupaten/kota, dimana bobot tersebut digunakan untuk membangun pola spasial kabupaten/kota dengan teknik analisis kuadran. Pola spasial kelompok analisis dalam penelitian ini terdiri atas: 1) konfigurasi sebaran keluarga miskin dengan sebaran penduduk yang membentuk pola spasial tipologi kemiskinan; 2) konfigurasi pembangunan manusia dengan pembangunan sosial membentuk pola spasial tipologi pembangunan manusia/sosial; dan 3) konfigurasi aktivitas sektor pertanian dengan sektor industri/perdagangan membentuk pola spasial tipologi aktivitas ekonomi.

61 37 Penciri-penciri yang dihasilkan dari Analisis Komponen Utama dimanfaatkan pula untuk menganalisis keterkaitan antara variabel-variabel pembangunan manusia/sosial dan aktivitas ekonomi dengan kemiskinan melalui analisis regresi bobot berganda yang membentuk Spatial Durbin Model. Model yang terbentuk dengan koefisien korelasi berganda (R) dan koefisien determinasi (R 2 ) mendekati satu adalah model yang lebih tepat menggambarkan keterkaitan. Bobot dari setiap kabupaten/kota berikutnya dianalisis untuk menjadi dasar penyusunan tipologi wilayah kabupaten/kota berdasarkan pola spasial kemiskinan, pembangunan manusia/sosial, dan aktivitas ekonomi. Tipologi kabupaten/kota dan variabel-variabel yang terkait secara fungsional dijadikan dasar arahan penanganan kemiskinan dan didukung analisis deskriptif dari teori-teori yang terkait permasalahan pembangunan. Hasil-hasil penelitian sebelumnya dimanfaatkan untuk memperkuat arahan yang disusun. Keseluruhan analisis dalam penelitian ini ditampilkan pada Gambar 4. Gambar 4 Bagan Alir Penelitian.

62 Teknik Analisis Data Pemetaan Pola Spasial Kemiskinan Variabel-variabel yang terkait dengan kemiskinan diortoganalisasi untuk mendapatkan penciri utamanya yang diperlukan untuk membentuk dua konfigurasi, yaitu konfigurasi sebaran keluarga miskin dan konfigurasi sebaran jumlah penduduk. Factor score dari penciri konfigurasi sebaran keluarga miskin dan konfigurasi sebaran penduduk diklaster dengan teknik Cluster Analysis dan untuk mendapatkan pembeda pada setiap klaster konfigurasi digunakan teknik Discriminant Analysis. Wilayah kecamatan (unit analisis) dikelompokkan berdasarkan tingkat capaian setiap pembeda, hingga diperoleh kategori tinggi, sedang, dan rendah. Penciri menjadi atribut unit analisis dan ditampilkan secara spasial untuk menghasilkan konfigurasi spasialnya. Sebaran keluarga miskin dan sebaran penduduk tinggi menggunakan tampilan warna merah, sebaran sedang dengan tampilan kuning, dan sebaran rendah dengan tampilan hijau. Persentase kecamatan yang ada pada setiap klaster di tingkat kabupaten/kota dikalikan bobot klaster untuk menghasilkan bobot tipologi spasial tingkat kabupaten/kota sebagai nilai yang akan di-plot dalam analisis kuadran. Bobot klaster konfigurasi ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5 Bobot Klaster pada pola spasial tipologi kemiskinan Bobot Klaster Konfigurasi Tinggi Sedang Rendah Konfigurasi sebaran keluarga miskin Konfigurasi sebaran penduduk Dari konfigurasi sebaran keluarga miskin dan sebaran penduduk membentuk empat pola spasial, yaitu: 1) di kuadran pertama untuk wilayah dengan pola sebaran keluarga miskin dan sebaran jumlah penduduk tinggi; 2) di kuadran kedua untuk wilayah dengan pola sebaran keluarga miskin rendah dan sebaran jumlah penduduk tinggi; 3) di kuadran ketiga untuk wilayah dengan pola sebaran keluarga miskin dan sebaran jumlah penduduk rendah; dan 4) di kuadran keempat untuk wilayah dengan pola sebaran keluarga miskin tinggi dan sebaran jumlah penduduk rendah. Keseluruhan alur analisis pemetaan pola spasial tipologi kemiskinan ditunjukkan pada Gambar 5.

63 39 Kemiskinan Sebaran keluarga miskin Sebaran penduduk Orthogonalisasi, clustering dan discrimant function Konfigurasi sebaran keluarga miskin Orthogonalisasi, clustering dan discrimant function Konfigurasi sebaran penduduk Analisis Kuadran Gambar 5 Proses pemetaan pola spasial tipologi kemiskinan Pemetaan Pola Spasial Pembangunan Manusia/Sosial Variabel-variabel yang terkait dengan pembangunan manusia/sosial diortoganalisasi untuk mendapatkan penciri utamanya yang diperlukan untuk membentuk tiga konfigurasi, yaitu konfigurasi tingkatan pembangunan di bidang kesehatan, bidang pendidikan dan bidang sosial. Factor score penciri masingmasing konfigurasi diklaster dengan teknik Cluster Analysis dan untuk mendapatkan pembeda dari tiap pola konfigurasi digunakan teknik Discriminant Analysis. Penciri ditampilkan secara spasial dan menghasilkan konfigurasi spasialnya. Tingkatan pembangunan yang tinggi ditunjukkan dengan warna hijau, tingkatan sedang dengan tampilan warna kuning, dan tingkatan rendah dengan tampilan warna merah. Pola spasial kemiskinan Persentase kecamatan yang ada pada setiap klaster di kabupaten/kota dikalikan skala bobot klaster menghasilkan bobot kabupaten/kota yang akan diplot dalam analisis kuadran. Bobot klaster konfigurasi pada pola spasial tipologi pembangunan manusia/sosial ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6 Bobot Klaster pada pola spasial tipologi pembangunan manusia/sosial Bobot Klaster Konfigurasi Tinggi Sedang Rendah Konfigurasi pembangunan bidang kesehatan Konfigurasi pembangunan bidang pendidikan Konfigurasi pembangunan bidang sosial 3 2 1

64 40 Pola spasial yang dibangun adalah konfigurasi tingkatan pembangunan manusia (komposit dari pembangunan kesehatan dan pendidikan) terhadap konfigurasi tingkatan pembangunan sosial. Pola spasial membentuk empat kuadran, yaitu: 1) kuadran pertama untuk wilayah dengan tingkatan pembangunan manusia dan pembangunan sosial tinggi; 2) kuadran kedua untuk wilayah dengan tingkatan pembangunan manusia rendah dan pembangunan sosial tinggi; 3) kuadran ketiga untuk wilayah dengan tingkatan pembangunan manusia dan pembangunan sosial rendah; dan 4) kuadran keempat untuk wilayah dengan tingkatan pembangunan manusia tinggi dan pembangunan sosial rendah. Keseluruhan alur analisis pemetaan pola spasial tipologi pembangunan manusia/sosial ditunjukkan pada Gambar 6. Gambar 6 Proses pemetaan pola spasial tipologi pembangunan manusia/sosial Pemetaan Pola Spasial Aktivitas Ekonomi Variabel-variabel yang terkait dengan aktivitas ekonomi diortoganalisasi untuk mendapatkan penciri utama yang diperlukan untuk membentuk dua konfigurasi, yaitu konfigurasi sebaran aktivitas sektor pertanian dan konfigurasi sebaran aktivitas sektor industri/perdagangan. Factor score penciri konfigurasi sebaran aktivitas sektor pertanian dan konfigurasi sebaran aktivitas sektor

65 41 industri/perdagangan digunakan dalam teknik Cluster Analysis dan untuk mendapatkan pembeda dari tiap pola konfigurasi digunakan teknik Discriminant Analysis. Wilayah kecamatan (unit analisis) dikelompokkan berdasarkan tingkat capaian setiap pembeda, hingga diperoleh kategori tinggi, sedang, dan rendah. Penciri menjadi atribut unit analisis dan ditampilkan secara spasial untuk menghasilkan konfigurasi spasialnya. Sebaran aktivitas ekonomi yang tinggi ditampilkan dengan warna hijau, sebaran sedang dengan tampilan warna kuning, dan sebaran rendah dengan tampilan warna merah. Persentase kecamatan pada setiap klaster di kabupaten/kota dikalikan skala bobot klaster untuk menghasilkan bobot spasial kabupaten/kota sebagai nilai yang akan di-plot dalam analisis kuadran. Bobot klaster konfigurasi pada pola spasial tipologi aktivitas ekonomi ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7 Bobot Klaster pada pola spasial tipologi aktivitas ekonomi Bobot Klaster Konfigurasi Tinggi Sedang Rendah Konfigurasi sebaran aktivitas sektor pertanian Konfigurasi sebaran aktivitas sektor industri/perdagangan Konfigurasi spasial yang menggunakan atribut di tingkat kecamatan, akan digunakan untuk menentukan pola spasial tipologi aktivitas ekonomi di tingkat kabupaten/kota dengan pendekatan kuadran, yaitu pemetaan kabupaten kota berdasarkan pola sebaran aktivitas sektor pertanian terhadap pola sebaran aktivitas sektor industri/perdagangan. Pola spasial membentuk empat kuadran, yaitu: 1) kuadran pertama untuk wilayah dengan sebaran aktivitas sektor pertanian dan sebaran industri/perdagangan tinggi; 2) kuadran kedua untuk wilayah dengan sebaran aktivitas sektor pertanian rendah dan sebaran industri/perdagangan tinggi; 3) kuadran ketiga untuk wilayah dengan sebaran aktivitas sektor pertanian dan sebaran industri/perdagangan rendah; dan 4) kuadran keempat untuk wilayah dengan sebaran aktivitas sektor pertanian tinggi dan sebaran industri/perdagangan rendah. Alur analisis pemetaan pola spasial tipologi aktivitas ekonomi secara keseluruhan ditunjukkan pada Gambar 7.

66 42 Gambar 7 Proses pemetaan pola spasial tipologi aktivitas ekonomi Analisis Keterkaitan Variabel-variabel Pembangunan Manusia/Sosial dan Aktivitas Ekonomi, dengan Kemiskinan. Analisis ini menggunakan analisis fungsional untuk melihat seberapa besar variable-variabel utama dari aktivitas ekonomi dan pembangunan manusia/sosial berperan dalam menentukan jumlah penduduk miskin baik di wilayahnya maupun pengaruh dari wilayah lain. Untuk mengatasi multikolinieritas, maka dalam analisis ini digunakan indeks komposit dari setiap kelompok variabel. Analisis ini didasarkan pemikiran bahwa untuk dapat menekan tingginya tingkat kemiskinan perlu meningkatkan aktivitas ekonomi daerah dan upaya pembangunan manusia. Indeks komposit dari variabel-variabel pada aktivitas ekonomi dan pembangunan manusia/sosial menjadi variabel independen (X), sedangkan jumlah penduduk miskin yang merupakan variabel dependen (Y). Analisis hubungan fungsional ini menggunakan komponen utama masingmasing variabel dan data jarak antar kecamatan yang kemudian dianalisis dengan spatial econometric. Kedekatan dan keterkaitan antar lokasi menyebabkan munculnya autokorelasi spasial, yang menunjukkan bahwa tingkat perkembangan di suatu wilayah selain dipengaruhi oleh variabel bebas, juga dipengaruhi oleh hubungan spasial.

67 43 Spatial econometric hampir sama dengan regresi berbobot. Untuk perhitungan pembobotan spasial didasarkan pada dua aspek, yaitu : Ketetanggaan Kebalikan jarak Model Regresi Berganda Model regresi berganda digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan dalam suatu wilayah sendiri tanpa melihat pengaruh daerah lain. Variabel-variabel dari komponen utama yang dihasilkan dari PCA pada variabel keadaan diregresikan dengan terhadap variabel tujuan yaitu jumlah penduduk miskin pada suatu wilayah. Variabel yang berpengaruh signifikan dalam menekan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, direkomendasikan kepada pemerintah sebagai bahan pertimbangan strategi pembangunan daerah dalam mengatasi kemiskinan. Rumus dari model regresi berganda : Y r = α + βx r + ε r dimana : Y r adalah variabel tujuan (sebaran keluarga miskin), α dan β adalah koefisien fungsi regresi, X r adalah variabel bebas pembangunan manusia/sosial dan aktivitas ekonomi, dan ε r adalah error Spatial Durbin Model Teknik ini digunakan untuk apakah melihat kemiskinan dalam suatu wilayah disebabkan oleh kemiskinan daerah lainnya yang berdekatan dan memiliki keterkaitan, dan dipengaruhi pula oleh variabel-variabel dari komponen utama pada indikator pembangunan ekonomi dan pembangunan manusia di wilayahnya dan diwilayah lain. Jika jarak antar daerah sangat mempengaruhi interaksi antar daerah, maka dapat dilihat parameter apa saja pada daerah lain yang memberi pengaruh terhadap penurunan tingkat kemiskinan di daerah tersebut, dan seberapa besar pengaruhnya. Variabel-variabel dari komponen utama dari pembangunan ekonomi dan pembangunan di wilayahnya dan di wilayah lain yang dihasilkan dari PCA akan digunakan sebagai variabel bebas (X r ), dan jumlah penduduk miskin wilayah lain dan di wilayahnya sendiri menjadi variabel tujuan (Y r ). Prinsip dasarnya adalah

68 44 sama dengan regresi berbobot (weighted regression) dengan faktor pembobot adalah faktor lokasi. Kedekatan dan keterkaitan antar lokasi ini memunculkan fenomena autokorelasi spasial, sehingga dapat melihat kemiskinan dalam suatu wilayah selain disebabkan oleh variabel bebas juga disebabkan oleh interaksi spasial. Variabel bebas diperoleh dari hasil analisis PCA, sedangkan faktor lokasi dalam bentuk matriks jarak. Model dari Spatial Durbin : Y r = α + 1.k. 1.k. + βx r + ε r dimana : Y r adalah variabel tujuan (sebaran keluarga miskin), α, β dan ρ adalah koefisien fungsi regresi, W k adalah matriks pembobot spasial antar wilayah, Xr adalah variabel bebas dari pembangunan manusia/sosial dan aktivitas ekonomi, dan ε r adalah error Arahan Kebijakan Penanganan Kemiskinan Kebijakan penanganan kemiskinan di Kalimantan Barat diarahkan secara deskriptif dengan menggunakan hasil-hasil dari analisis pola spasial dan analisis keterkaitan. Arahan prioritas penanganan di kabupaten/kota menggunakan analisis klaster dari bobot kabupaten/kota pada pola spasial kemiskinan, pembangunan manusia/sosial dan aktivitas ekonomi untuk menghasilkan pemetaan wilayah arahan penanganan kemiskinan seperti yang dikembangkan Hyman et al. (2005). Variabel-variabel yang signifikan menurunkan kemiskinan menjadi arahan strategi penanganan kemiskinan serta memperhatikan potensi-potensi yang dimiliki masing-masing wilayah. Hasil dari penelitian sebelumnya, baik di wilayah Kalimantan Barat ataupun wilayah lainnya, dengan pola kemiskinan, pembangunan manusia/sosial dan aktivitas ekonomi yang sama, menjadi rujukan yang memperkuat analisis ini.

69 45 V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Provinsi Kalimantan Barat Provinsi Kalimantan Barat dengan luas wilayah km 2 terletak di bagian barat pulau Kalimantan, yakni di antara garis 2 o 08 LU dan 3 o 05 LS serta di antara 108 o o 08 BT seperti yang terlihat pada peta administrasi Provinsi Kalimantan Barat (Gambar 8). Dari posisi geografis ini, daerah Kalimantan Barat dilalui oleh garis Khatulistiwa yang tepat di atas Kota Pontianak. Secara lengkap batas wilayah provinsi adalah: - Utara : Sarawak (Malaysia) - Selatan : Laut Jawa dan Kalimantan Tengah - Timur : Kalimantan Timur - Barat : Laut Natuna dan Selat Karimata Terdapat 14 kecamatan pada 5 kabupaten dibagian utara Provinsi Kalimantan Barat yang berbatasan darat langsung dengan Serawak, Malaysia seperti terlihat pada peta administrasi Provinsi Kalimantan Barat (Gambar 8). Akses ke negara tetangga diantaranya telah terhubung secara langsung melalui jalan keluar masuk baik resmi maupun jalur tikus. Pintu resmi Pos Pemeriksaan Lintas Batas yang berada di Kecamatan Entikong dapat ditempuh melalui jalur Pontianak-Entikong sepanjang 400 km atau sekitar enam sampai delapan jam perjalanan. Gambar 8 Peta Administrasi Provinsi Kalimantan Barat.

70 46 Provinsi Kalimantan Barat yang menjadi daerah otonom tingkat provinsi sejak tahun 1957 yang telah mengalami pemekaran wilayah kabupaten/kota secara bertahap, dan pada saat ini telah terbagi menjadi 14 (empat belas) kabupaten/kota. Kabupaten Ketapang yang berada di bagian paling selatan merupakan wilayah terluas dengan luas ,74 km 2 (21,28%) dan Kota Pontianak dengan luas terkecil yakni 107,80 km 2 (0,07%) yang juga merupakan pusat kota di Provinsi Kalimantan Barat (Tabel 8). Tabel 8 Luas dan Persentase luas wilayah kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat, Tahun 2008 Kabupaten/Kota Luas Wilayah Persentase (Km 2 ) (%) Kabupaten Sambas Kabupaten Bengkayang Kabupaten Landak Kabupaten Pontianak Kabupaten Sanggau Kabupaten Ketapang Kabupaten Sintang Kabupaten Kapuas Hulu Kabupaten Sekadau Kabupaten Melawi Kabupaten Kayong Utara Kabupaten Kubu Raya Kota Pontianak Kota Singkawang 6 394, , , , , , , , , , , ,20 107,80 504,00 4,36 3,68 6,75 0,87 8,76 21,28 14,74 20,33 3,71 7,25 3,11 4,75 0,07 0,34 Sumber : BPS Provinsi Kalimantan Barat (2009) (diolah) Dalam konsep pengembangan wilayah, Kalimantan Barat dibagi kedalam 4 (empat) Wilayah Pengembangan (WP) yang meliputi WP Tengah, WP Pesisir, WP Antar Provinsi, dan WP Antar Negara, sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Daerah Kalimantan Barat Nomor 7 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah WP Tengah terdiri atas 3 (tiga) kabupaten, yakni Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sekadau, dan Kabupaten Landak. - WP Pesisir terdiri atas 3 (tiga) kabupaten, yaitu Kabupaten Pontianak, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sambas, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kayong Utara, Kabupaten Kubu Raya, Kota Pontianak dan Kota Singkawang. - WP Antar Provinsi meliputi Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Melawi, dan Kabupaten Ketapang.

71 47 - WP Antar Negara mencukup 5 (lima) kabupaten yang meliputi Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sintang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Bengkayang dan Kabupaten Sambas. 4.2 Kondisi Demografi Penduduk yang merupakan penggerak dan pelaksana pembangunan merupakan modal utama untuk mengoptimalkan pembangunan di suatu wilayah. Dengan wilayah yang luas, pada tahun 2008 Provinsi Kalimantan Barat berpenduduk 4,25 juta jiwa dengan kepadatan 28,94 jiwa/km 2 (Tabel 9). Penyebaran penduduk yang tidak merata seperti terlihat di Kota Pontianak yang luas wilayahnya 0,07% dari luas total provinsi memiliki kepadatan penduduk tertinggi mencapai 4 838,30 jiwa/km 2, sedangkan Kabupaten Kapuas Hulu yang merupakan wilayah terluas hanya memiliki kepadatan 7,33 jiwa/km 2. Dengan kepadatan yang tinggi mengakibatkan Kota Pontianak harus menampung 12,7% penduduk Provinsi Kalimantan Barat, sedangkan Kabupaten Kayong Utara sebagai salah satu kabupaten termuda penyebaran penduduknya hanya sebesar 2,15% dari seluruh jumlah penduduk di Provinsi Kalimantan Barat. Tabel 9 Jumlah Penduduk dan Persentase, Laju Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Barat, Tahun 2008 Jumlah Persen LP* Kepadatan Kabupaten/Kota Kabupaten Sambas Kabupaten Bengkayang Kabupaten Landak Kabupaten Pontianak Kabupaten Sanggau Kabupaten Ketapang Kabupaten Sintang Kabupaten Kapuas Hulu Kabupaten Sekadau Kabupaten Melawi Kabupaten Kayong Utara Kabupaten Kubu Raya Kota Pontianak Kota Singkawang Penduduk (%) 11,56 4,84 7,65 5,14 9,15 9,61 8,59 5,15 4,21 3,96 2,15 11,61 12,27 4,12 (%) 1,16 2,02 2,01 1,53 1,65 2,16 2,12 2,36 1,48 1,58 1,58 1,63 1,35 1,23 (jiwa/km 2 ) 76,79 38,11 32,80 171,10 30,25 13,08 16,87 7,33 32,72 15,81 19,96 70, ,30 347,62 Kalimantan Barat ,00 1,46 28,95 Catatan : * Laju Pertumbuhan Penduduk Sumber : BPS Provinsi Kalimantan Barat (2009) (diolah) Dengan laju pertumbuhan penduduk tahun sebesar 1,46%, struktur umur penduduk Kalimantan Barat pada tahun 2008 sebesar 50,77% untuk

72 48 usia produktif (usia tahun), usia 0 14 tahun sebesar 31,19%, usia tahun sebesar 12,46% dan usia di atas 60 tahun 5,59%. Dengan komposisi usia produktif yang melebihi separuh jumlah penduduk, menjadi modal bagi Kalimantan Barat untuk membangun wilayahnya, akan tetapi dari jumlah usia produktif tahun yang bekerja adalah sebesar 69,12%, penduduk usia tahun yang bekerja adalah 81,69%-nya, dan pada penduduk usia lebih dari 60 tahun yang bekerja 49,41%-nya (Tabel 10). Tabel 10 Jumlah Penduduk Usia diatas 15 tahun yang bekerja dan pengangguran terbuka di Provinsi Kalimantan Barat, Tahun 2008 Pengangguran Jumlah Bekerja Lain-lain Kelompok Umur Terbuka Penduduk (%) (%) (%) Usia Usia Usia Sumber : BPS Provinsi Kalimantan Barat (2009) (diolah) 4.3 Aktivitas Ekonomi 69,12 81,69 49,41 5,18 0,65 0,66 25,70 17,66 49,93 Indikator yang disepakati dalam mengukur aktivitas ekonomi adalah Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) baik berdasarkan Harga Berlaku maupun Harga Konstan. Pada tahun 2008, PDRB Kalimantan Barat berdasarkan harga berlaku mencapai Rp45,96 trilyun, dengan pertumbuhan tahun sebesar 5,11%. Kontribusi terbesar disumbangkan oleh sektor pertanian yang mencapai 27,80%. Sektor pertanian menjadi sektor unggulan di beberapa kabupaten/kota, yang ditunjukkan dengan kontribusi sektor pertanian pada 10 kabupaten yang melebihi proporsi sektor pertanian di tingkat provinsi, 4 wilayah lainnya share sektor pertaniannya dibawah persentase provinsi. Hal tersebut menggambarkan pertanian menjadi penyumbang terbesar baik di tingkat kabupaten/kota maupun di tingkat provinsi. Pada Gambar 9 akan terlihat proporsi PDRB pada masing-masing kabupaten/kota. Di sektor industri, Kabupaten Kubu Raya menunjukkan distribusi sumbangan sektor ini sangat besar. Setelah mekar dari Kabupaten Pontianak, beberapa pusat industri, khususnya di daerah kecamatan Sungai Raya yang menjadi kawasan industri, masuk dalam kawasan pemekaran Kabupaten Kubu Raya. Selain sektor industri, sektor pertanian di wilayah ini juga menunjukkan proporsi yang cukup besar, sumbangan 6 kecamatan dari 9 kecamatan yang ada.

73 49 Kabupaten Pontianak sebagai kabupaten induk dari Kabupaten Kubu Raya, sumbangan sektor pertaniannya masih cukup tinggi meskipun tidak melebihi tingkat provinsi. Ketersediaan sarana prasarana sebagai kabupaten induk, menjadikan aktivitas jasa di Kabupaten Pontianak tergolong tinggi, sedangkan sektor industrinya lebih rendah dibanding kabupaten pecahannya. 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Jasa-jasa Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Pengangkutan dan Komunikasi Perdagangan, Hotel dan Restoran Bangunan Listrik, Gas dan Air Bersih Kab. Sambas Kab. Bengkayang Kab. Landak Kab. Pontianak Kab. Sanggau Kab. Ketapang Kab. Sintang Kab. Kapuas Hulu Kab. Sekadau Kab. Melawi Kab. Kayong Utara Kab. Kubu Raya Kota Pontianak Kota Singkawang Kalimantan Barat Industri Pengolahan Pertambangan dan Penggalian Pertanian Gambar 9 Distribusi PDRB sektoral berdasarkan harga berlaku pada setiap kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat, Tahun Aktivitas sektor sekunder dan tersier di Kota Pontianak sangat menonjol. Kabupaten lain seperti Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang dan Kabupaten Melawi, kontribusi sektor perdagangannya melebihi di tingkat provinsi. Sementara kabupaten dengan sektor jasa yang lebih tinggi dibandingkan di tingkat provinsi, diantaranya adalah Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Kapuas Hulu. Akan tetapi kedua kabupaten ini masih menunjukkan bahwa sektor pertanian masih menjadi penyumbang utama perekonomian daerah seperti yang ditunjukkan pada Tabel 11. Terdapat sepuluh kabupaten yang share sektor pertaniannya melampaui provinsi. Oleh karena itu, sektor pertanian masih menjadi sektor unggulan perekonomian daerah Provinsi Kalimantan Barat.

74 50 Tabel 11 Produk Domestik Regional Bruto Berdasarkan Harga Berlaku, Kontribusi Sektoral, Pertumbuhan Ekonomi, dan Pendapatan Per Kapita pada Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Barat, Tahun 2008 Kab/Kota Kab. Sambas Kab. Bengkayang Kab. Landak Kab. Pontianak Kab. Sanggau Kab. Ketapang Kab. Sintang Kab. Kapuas Hulu Kab. Sekadau Kab. Melawi Kab. Kayong Utara Kab. Kubu Raya Kota Pontianak Kota Singkawang PDRB Harga Berlaku (Juta Rupiah) , , , , , , , , , , , , , ,82 Pertanian 43,41 43,32 51,94 25,61 37,71 35,63 42,17 38,25 46,22 38,76 48,41 19,66 1,64 13,58 Pertambangan dan penggalian 0,21 1,85 1,65 0,23 1,18 9,45 3,61 1,34 2,50 3,90 2,03 0,41 0,00 1,94 Kontribusi Sektor (%) Industri Pengolahan 10,40 5,10 11,18 14,85 25,05 18,74 9,17 4,59 12,58 10,30 19,01 48,09 7,65 7,44 Perdagangan, Hotel dan Restoran 29,12 27,80 20,08 18,47 19,00 19,43 23,27 15,71 20,89 31,63 14,27 17,93 22,32 40,75 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 5,02 4,33 4,68 4,44 2,45 3,60 3,07 5,47 4,12 2,37 3,29 2,30 10,36 5,97 Jasa- Jasa 4,86 7,54 5,07 26,49 8,25 7,39 9,10 11,00 4,64 6,87 5,36 3,59 20,78 13,58 Laju Pertumbuhan Ekonomi (%) 5,56 5,57 4,19 6,09 3,49 7,13 4,69 3,55 5,76 5,11 5,84 5,02 5,05 5,02 PDRB per Kapita (Rp 000/ Jiwa) 9 554, , , , , , , , , , , , , ,12 Kalimantan Barat ,67 27,80 1,83 17,41 22,33 5,14 10,58 5, ,70 Sumber : BPS Provinsi Kalimantan Barat (2009) (diolah) 50

75 51 51 Dilihat dari pertumbuhan ekonomi di tingkat kabupaten/kota menunjukkan perbedaan tingkat pertumbuhan yang cukup nyata. Hal tersebut dapat dilihat dari pertumbuhan Kabupaten Ketapang yang tinggi sebesar 7,13%, sementara Kabupaten Kapuas Hulu dengan pertumbuhan terendah sebesar 3,55%. Ukuran perkembangan ekonomi lainnya, seperti besarnya pendapata per kapita pada masing-masing wilayah secara makro memberikan gambaran kemajuan perekonomian suatu daerah. Rata-rata pendapatan per kapita Kalimantan Barat pada tahun 2008 sebesar Rp10,81 juta per kapita, dengan pendapatan tertinggi di Kota Pontianak sebesar Rp18,28 juta per kapita dan terendah adalah kabupaten Melawi yang hanya sebesar Rp4,60 juta per kapita (Gambar 10). 20,000,000 18,000,000 16,000,000 14,000,000 12,000,000 10,000,000 8,000,000 6,000,000 4,000,000 2,000,000 - Kab. Sambas Kab. Bengkayang Kab. Landak Kab. Pontianak Kab. Sanggau Kab. Ketapang Kab. Sintang Kab. Kapuas Hulu Kab. Sekadau Kab. Melawi Kab. Kayong Utara Kab. Kubu Raya Kota Pontianak Kota Singkawang Kalimantan Barat Gambar 10 Pendapatan per kapita berdasarkan harga berlaku pada kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat, Tahun Pembangunan Manusia/Sosial PDRB per kapita (Rp/Kap) Strategi peningkatan kapabilitas sumber daya manusia diantaranya melalui pendidikan. Tingkat pendidikan yang tinggi, terutama pada usia produktif akan menciptakan pembangunan yang berkualitas. Pada Tabel 12 menunjukkan tingkat pendidikan penduduk umur diatas 15 tahun di Provinsi Kalimantan Barat pada tahun 2008, dimana penduduk yang bekerja dan tidak pernah mengenyam pendidikan mencapai 8,37%, yang bekerja dengan pendidikan minimal 9 tahun

76 52 (SMTP/sederajat) sebesar 37,24%, dan 35,84% adalah pekerja dengan pendidikan hanya sampai dengan Sekolah Dasar. Proporsi penduduk usia produktif yang bekerja dengan pendidikan akademi dan universitas hanya sebesar 4,13% atau jika dilihat dari seluruh jumlah penduduk Kalimantan Barat hanya 1,99% penduduk berpendidikan hingga perguruan tinggi. Tabel 12 Jumlah Penduduk Usia diatas 15 tahun yang bekerja menurut Tingkat Pendidikan yang ditamatkan di Provinsi Kalimantan Barat, Tahun 2008 Jumlah Persentase Akumulasi Tingkat Pendidikan (Orang) (%) (%) 1. Tidak/Belum Pernah Sekolah 2. Tidak/Belum Tamat SD 3. Sekolah Dasar 4. SMTP/Sederajat 5. SMTA/Sederaja 6. Akademi dan Universitas ,37 18,55 35,84 17,09 16,02 4,13 Jumlah Sumber : BPS Provinsi Kalimantan Barat (2009) (diolah) 8,37 26,92 62,76 79,85 95,87 100,00 Selain pendidikan, pengembangan kualitas hidup manusia dilakukan melalui pembangunan di bidang kesehatan. Dari data statistik mencatat bahwa di Provinsi Kalimantan Barat pada tahun 2008 Angka Harapan Hidup terendah adalah Kabupaten Sambas sebesar 60,70 tahun, dan tertinggi adalah Kabupaten Bengkayang sebesar 68,57 tahun. Sementara besarnya Angka Kematian Ibu pada tahun 2004 tertinggi adalah Kabupaten Kapuas Hulu sebesar 668 orang ibu per kelahiran hidup dan terendah adalah Kabupaten Landak yang mencapai 428 orang ibu per kelahiran hidup. Untuk Angka Kematian bayi tertinggi tahun 2006 adalah Kabupaten Bengkayang 42,72 bayi per kelahiran hidup dan terendah adalah Kabupaten Kota Pontianak yaitu 30,77 bayi per 1000 kelahiran hidup (Tabel 13). Jika dilihat dari target pembangunan kesehatan di Indonesia untuk angka kematian bayi sebesar 40 bayi per kelahiran hidup maka hanya dua kabupaten yang masih diatas target tersebut, yaitu Kabupaten Sambas dan Kabupaten Bengkayang. Angka-angka yang ditampilkan dari aktivitas pembangunan bidang kesehatan secara makro tidak cukup menjadi pembeda antara kota dan non-kota. Penggunaan indikator angka harapan hidup tidak dapat dijadikan ukuran langsung kemajuan aktivitas bidang kesehatan di suatu wilayah, karena tidak selalu berkorelasi dengan aktivitas kesehatan yang lainnya. Tiga indikator yang

77 53 ditampilkan pada Tabel 13 perlu dicermati dari sisi suplai, yaitu tingkatan investasi pemerintah daerah di bidang kesehatan, seperti ketersediaan fasilitas, tenaga kesehatan dan jenis pelayanan kesehatan lainnya, khususnya pelayanan kepada masyarakat miskin. Tabel 13 AngkaHarapan Hidup, Angka Kematian Ibu dan Anak menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Barat Kab/Kota Angka Harapan Hidup 2008 Angka Kematian Ibu 2004 Angka Kematian Bayi 2006 Kabupaten Sambas Kabupaten Bengkayang Kabupaten Landak Kabupaten Pontianak Kabupaten Sanggau Kabupaten Ketapang Kabupaten Sintang Kabupaten Kapuas Hulu Kabupaten Sekadau Kabupaten Melawi Kabupaten Kayong Utara Kabupaten Kubu Raya Kota Pontianak Kota Singkawang 60,70 68,57 64,98 67,12 67,99 67,02 67,91 66,39 67,27 67,63 65,33 66,17 66,86 66, ,73 42,72 39,07 36,76 31,77 37,74 38,07 37,24 32,76 35, ,77 33,76 Kalimantan Barat 66, ,41 Keterangan : (-) Data tergabung dengan kabupaten induk. Sumber : BPS Provinsi Kalimantan Barat (2009) Indikator IPM yang merupakan komposit dari Angka Harapan Hidup, Angka Melek Huruf, Rata-rata Lama Sekolah dan Pengeluaran per Kapita, BPS mencatat pada tahun 2008 IPM tertinggi di Provinsi Kalimantan Barat adalah Kota Pontianak dengan Indeks mencapai 72,08 dan yang terendah adalah Kabupaten Sambas sebesar 63,73 seperti yang ditunjukkan pada Tabel 14. Tingginya IPM di Kota Pontianak menunjukkan investasi pembangunan manusia di Kalimantan Barat masih terpusat pada kota utama. Faktor-faktor penentu diantaranya tingginya aktivitas di daerah perkotaan yang secara langsung menjadi penyebab meningkatnya jumlah penduduk, dan sebaliknya (first city bias). Gejalagejala tersebut juga menjadi pemicu terbentuknya slum area dan meningkatkan proporsi penduduk miskin di perkotaan. Pada Tabel 14, masing-masing komponen IPM menunjukkan tingkat pencapaian yang berbeda antar kabupaten/kota, dimana komponen angka harapan hidup tertinggi adalah Kabupaten Bengkayang dan terendah adalah Kabupaten

78 54 Sambas, komponen angka melek huruf tertinggi dicapai Kota Pontianak dan terendah adalah Kabupaten Kubu Raya, komponen rata-rata lama sekolah tertinggi dicapai Kota Pontianak dan terendah adalah Kabupaten Sambas, dan untuk pengeluran per kapita tertinggi adalah Kota Pontianak dan terendah adalah Kabupaten Sekadau dan Kabupaten Melawi. Tabel 14 Besaran IPM dan komponennya menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2008 Angka Angka Rata-rata Pengeluaran Harapan Melek Lama Kab/Kota per Kapita IPM Hidup Huruf Sekolah (Rp000) (tahun) (%) (tahun) Kabupaten Sambas Kab Bengkayang Kabupaten Landak Kabupaten Pontianak Kabupaten Sanggau Kabupaten Ketapang Kabupaten Sintang Kab Kapuas Hulu Kabupaten Sekadau Kabupaten Melawi Kab Kayong Utara Kab Kubu Raya Kota Pontianak Kota Singkawang 60,70 68,57 64,98 67,12 67,99 67,02 67,91 66,39 67,27 67,63 65,33 66,17 66,86 66,95 89,50 88,68 91,45 89,40 89,92 88,87 90,41 92,55 88,98 92,32 88,20 85,83 93,59 89,62 5,90 6,03 6,86 6,48 6,40 6,22 6,58 7,10 6,06 7,20 5,60 6,16 9,11 7,30 614,92 599,30 608,21 617,52 609,95 608,43 602,01 627,31 598,62 598,62 600,67 617,00 636,18 611,76 63,73 66,81 66,74 67,90 67,86 66,84 67,44 69,41 66,13 67,91 64,69 66,31 72,08 68,02 Kalimantan Barat 66,30 89,40 6,70 624,74 68,17 Sumber : BPS (2009) 4.5 Kemiskinan Implikasi dari tingginya aktivitas ekonomi dan pembangunan manusia/sosial adalah meningkatnya kualitas hidup manusia yang kemudian akan mampu menurunkan tingkat kemiskinan di wilayah tersebut. Indikator yang digunakan untuk dapat membandingkan kemiskinan antar satu wilayah dengan wilayah lainnya adalah jumlah penduduk miskin berdasarkan ukuran kemiskinan absolut standar BPS. Dengan garis kemiskinan Kalimantan Barat pada tahun 2008 sebesar Rp /kap/bulan, jumlah penduduk miskin mencapai 10,87%. Kabupaten dengan persentase penduduk miskin (P 0 ) terbesar adalah Kabupaten Landak yang mencapai 18,65% dan terendah adalah Kabupaten Sanggau yang hanya sebesar 6,25%. Jika P 0 hanya melihat secara umum jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan, maka untuk lebih jauh indikator yang digunakan untuk melihat

79 55 seberapa dalam miskinnya penduduk miskin tersebut dari garis kemiskinan yang dapat dilihat dari tingkat kedalaman kemiskinan (P 1 ) dan bagaimana ketimpangan dari kelompok miskin dengan melihat indikator keparahan kemiskinan (P 2 ), maka P 1 dan P 2 yang tertinggi adalah Kabupaten Melawi yang sebesar 6,04 dan 2,54, sedangkan terendah adalah Kabupaten Pontianak yang sebesar 1,16 dan 0,28. Semakin tinggi angka yang ditampilkan menunjukkan wilayah dengan kategori tingkat kemiskinan yang semakin buruk (Tabel 15). Tabel 15 Jumlah Penduduk Miskin, Persentase Penduduk Miskin, P1, P2 dan Garis Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota di Kalimantan Barat Tahun 2008 Kab/Kota Kab. Sambas Kab. Bengkayang Kab. Landak Kab. Pontianak Kab. Sanggau Kab. Ketapang Kab. Sintang Kab. Kapuas Hulu Kab. Sekadau Kab. Melawi Kab. Kayong Utara Kab. Kubu Raya Kota Pontianak Kota Singkawang Jumlah Penduduk Miskin (000 orang) 61,50 21,10 66,00 54,50 26,50 67,70 54,10 27,30 14,80 27,10 14,40-52,80 15,10 Persentase Penduduk Miskin (%) 11,51 9,41 18,65 7,03 6,25 15,21 13,61 11,44 7,66 14,80 14,50-9,29 7,89 P 1 P 2 2,19 1,80 3,85 1,16 1,39 3,47 3,26 2,21 2,05 6,04 3,48-1,94 1,33 0,67 0,46 1,14 0,28 0,37 1,02 0,93 0,66 0,69 2,54 1,04-0,64 0,31 Garis Kemiskinan (Rp/Kap/bl) Kalimantan Barat 50,80 10,87 2,38 0, Keterangan : (-) Data tergabung dengan kabupaten induk. Sumber : BPS (2009) Gambaran lain dari kemiskinan di kabupaten/kota dapat pula dilihat dari kemampuan rumah tangga memenuhi standar hidup minimal yang sehat, seperti penggunaan air bersih, jamban pribadi dan luasan lantai rumah. Dari data BPS (2009) persentase rumah tangga yang mendapat suplai air bersih terendah adalah Kabupaten Sambas dan tertinggi adalah Kota Singkawang. Sementara persentase rumah tangga yang menggunakan jamban sendiri yang paling rendah adalah Kabupaten Melawi dan tertinggi adalah Kota Pontianak yang lengkapnya ditampilkan pada Tabel 16. Wilayah yang persentase penduduk dengan pelayanan air bersih dan penggunaan jamban sendiri dalam jumlah kecil, menunjukkan rendahnya kesejahteraan penduduk di wilayah tersebut.

80 56 Untuk ukuran luas lantai yang dianggap layak adalah minimal 8 m 2. Pada Tabel 16 menunjukkan persentase rumah tangga yang tinggal dengan luasan lantai rumah yang kurang dari 8 m 2 tertinggi adalah Kabupaten Kapuas Hulu dan terendah adalah Kabupaten Landak. Indikator ini menunjukkan bahwa ukuran tempat tinggal kurang dari 8 m 2 dikelompokkan kedalam rumah tangga miskin, dengan demikian semakin tinggi persentase rumah tangga yang tinggal dengan ukuran luas lantai kurang dari 8 m 2, maka kesejahteraan rumah tangga di wilayah tersebut dikategorikan rendah. Tabel 16 Persentase Rumah Tangga yang Menggunakan Air Bersih, Jamban sendiri dan Luas Lantai Rumah kurang dari 8 m 2 pada Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Barat, Tahun 2008 Persentase Rumah Tangga (%) Kab/Kota Menggunakan Air Bersih Menggunakan Jamban Sendiri Luas Lantai Rumah < 8 m 2 Kab. Sambas Kab. Bengkayang Kab. Landak Kab. Pontianak Kab. Sanggau Kab. Ketapang Kab. Sintang Kab. Kapuas Hulu Kab. Sekadau Kab. Melawi Kab. Kayong Utara Kab. Kubu Raya Kota Pontianak Kota Singkawang 2,51 19,09 8,04 7,13 3,45 27,14 19,99 27,34 16,72 31,52 19,25-21,98 53,33 71,42 56,50 38,18 69,09 47,24 60,51 63,02 57,60 52,61 44,02 48,69-98,67 89,49 1,95 2,34 0,49 1,98 1,81 4,39 1,84 5,10 3,03 3,61 3,13-3,50 2,73 Kalimantan Barat 19,13 67,15 2,62 Keterangan : (-) Data tergabung dengan kabupaten induk. Sumber : BPS (2009) Kemiskinan rumah tangga dapat pula dilihat dari persentase pendapatan yang dikeluarkan untuk makanan dalam rumah tangga. Semakin tinggi persentase pendapatan dikeluarkan untuk makanan, semakin rendah kualitas hidupnya, karena tidak tercukupi alokasi pembiayaan untuk keperluan lain, seperti pendidikan, kesehatan dan jasa, dengan kata lain semakin dikategorikan rumah tangga kurang sejahtera. Pada tahun 2008, penduduk miskin dengan persentase pengeluaran untuk makanan tertinggi ada di Kabupaten Landak, yakni sebesar 75,88%, dan terendah adalah Kota Singkawang (63,86%). Secara keseluruhan, porsi pengeluaran untuk makanan penduduk Kalimantan Barat adalah sebesar 64,43% (Tabel 17).

81 57 Tabel 17 Persentase Pengeluaran untuk Makanan pada rumah tangga di Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2008 Persentase Pengeluaran untuk makanan pada rumah tangga (%) Kab/Kota Miskin + Miskin Tidak Miskin Tidak miskin Kab. Sambas Kab. Bengkayang Kab. Landak Kab. Pontianak Kab. Sanggau Kab. Ketapang Kab. Sintang Kab. Kapuas Hulu Kab. Sekadau Kab. Melawi Kab. Kayong Utara Kab. Kubu Raya Kota Pontianak Kota Singkawang 71,24 71,50 75,88 70,61 71,24 72,10 68,48 76,29 73,43 71,23 72,92-64,01 63,86 64,17 66,89 69,02 63,51 64,33 63,94 67,85 70,37 65,43 65,71 69,53-54,56 54,91 64,97 67,32 70,30 64,02 64,76 65,18 67,94 71,06 66,04 66,52 70,01-55,40 55,60 Kalimantan Barat 70,94 63,64 64,43 Keterangan : (-) Data tergabung dengan kabupaten induk. Sumber : BPS (2009) Investasi yang besar dalam meningkatkan kualitas hidup manusia dapat dikembangkan melalui peningkatan pendidikan. Masyarakat miskin identik dengan tingkat pendidikan rendah. Semakin rendah tingkat pendidikan masyarakat miskin semakin rendah kualitas hidup dan produktivitasnya, sehingga semakin sulit orang tersebut untuk keluar dari kemiskinannya. Untuk gambaran pendidikan penduduk miskin di Kalimantan Barat dapat dilihat pada Tabel 18, dimana 51,44% masyarakat miskin berpendidikan kurang dari atau tidak menamatkan pendidikan di Sekolah Dasar. Persentase penduduk miskin yang kurang dari atau tidak menamatkan pendidikan Sekolah dasar terbesar adalah Kabupaten Kayong Utara yang mencapai 69,58% dan terendah adalah Kabupaten Kapuas Hulu sebesar 36,15%. Semakin rendah akses pendidikan keluarga miskin di suatu wilayah terhadap pendidikan dasar, maka kemiskinan di wilayah tersebut akan semakin sulit ditekan. Dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, menjadi modal bagi penduduk miskin untuk mencapai masa depan dengan diperolehnya pekerjaan yang lebih baik. Pendidikan di tingkat SLTA ke atas menunjukkan, persentase penduduk miskin yang berpartisipasi tertinggi adalah Kota Pontianak dan terendah adalah Kabupaten Sekadau.

82 58 Tabel 18 Sebaran Penduduk Miskin 15 tahun ke atas berdasarkan tingkat pendidikan pada Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Barat, Tahun 2008 Persentase penduduk miskin (%) Kab/Kota Tamat < SD SD/SLTP SLTA+ Kab. Sambas Kab. Bengkayang Kab. Landak Kab. Pontianak Kab. Sanggau Kab. Ketapang Kab. Sintang Kab. Kapuas Hulu Kab. Sekadau Kab. Melawi Kab. Kayong Utara Kab. Kubu Raya Kota Pontianak Kota Singkawang Kalimantan Barat Keterangan : (-) Data tergabung dengan kabupaten induk. Sumber : BPS (2009) Hal lain yang juga akan mempersulit keluarnya penduduk miskin dari kemiskinannya, apabila tidak memiliki penghasilan. Dari Tabel 19, penduduk miskin usia diatas 15 tahun yang tidak bekerja di Kalimantan Barat pada tahun 2008 sebesar 4,16%, persentase tertinggi adalah Kota Pontianak yang mencapai 13,95%. Penyebabnya adalah tingginya jumlah penduduk yang ada di Kota Pontianak karena arus urbanisasi, terutama pendatang dari desa dengan tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah. Dampaknya adalah adanya kelompok masyarakat miskin tanpa pekerjaan yang tinggal di perkotaan. Adapun ciri lain dari kelompok masyarakat miskin yang bekerja tampak dari konsentrasi penduduk miskin yang bekerja di Kalimantan Barat pada sektor informal dan sektor pertanian, yakni berturut-turut 78,15% dan 72,94%, untuk sektor informal konsentrasi tertinggi di Kabupaten Kapuas Hulu, dan konsentrasi tertinggi penduduk miskin yang bekerja di sektor pertanian ada di Kabupaten Landak. Semakin tingginya aktivitas sektor informal dan sektor pertanian yang berkembang di suatu wilayah, semakin tinggi insiden kemiskinan di wilayah tersebut, karena tingginya demand terhadap tenaga kerja massal dengan upah rendah yang menjadi ciri dari pekerja dari kelompok masyarakat miskin. Persentase tertinggi keluarga miskin yang bekerja di sektor informal pada

83 59 Kabupaten Kapuas Hulu sebesar 95,09%, terendah di Kota Pontianak 31,41%. Untuk sektor pertanian, persentase pekerja penduduk miskin tertinggi ada pada Kabupaten Sintang sebesar 93,47% dan terendah pada Kota Pontianak sebesar 6,98%. Adanya pekerja sektor pertanian di Kota Pontianak dijumpai pada lahanlahan terbuka di perkotaan yang tidak termanfaatkan untuk aktivitas sektor perkotaan, utamanya di area pinggiran (suburban area). Tabel 19 Sebaran Penduduk Miskin 15 tahun ke atas berdasarkan status pekerjaan pada Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2008 Kab/Kota Kab. Sambas Kab. Bengkayang Kab. Landak Kab. Pontianak Kab. Sanggau Kab. Ketapang Kab. Sintang Kab. Kapuas Hulu Kab. Sekadau Kab. Melawi Kab. Kayong Utara Kab. Kubu Raya Kota Pontianak Kota Singkawang Tidak Bekerja Persentaase penduduk miskin (%) Bekerja di Sektor InFormal Bekerja di Sektor formal Bekerja di sektor Pertanian Bekerja Bukan di sektor Pertanian Kalimantan Barat Keterangan : (-) Data tergabung dengan kabupaten induk. Sumber : BPS (2009)

84 60

85 61 V. POLA SPASIAL KEMISKINAN, PEMBANGUNAN MANUSIA/SOSIAL, DAN AKTIVITAS EKONOMI DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT 5.1. Pola Spasial Kemiskinan Gambaran kemiskinan di Kalimantan Barat dalam analisis ini menggunakan dua pendekatan konfigurasi, yaitu konfigurasi sebaran keluarga miskin dan konfigurasi sebaran penduduk. Sebaran keluarga miskin menggunakan indikator jumlah keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) dan lokasi tempat tinggal keluarga miskin (lokasi tinggal di bantaran sungai, di bawah jaringan SUTET, di pemukiman kumuh dan lokasi yang sulit dijangkau) Konfigurasi Sebaran Keluarga Miskin Kemiskinan dipersepsikan dalam konteks ketidakcukupan pendapatan dan kepemilikan uang serta aset dalam dimensi ekonomi. Keluarga miskin pada umumnya selalu lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga seringkali makin tertinggal jauh dari masyarakat lain yang memiliki kemampuan lebih tinggi (Cotter, 2002). Dua variabel yang digunakan untuk menunjukkan penciri jumlah keluarga miskin pada konfigurasi ini adalah adalah jumlah keluarga prasejahtera dan sejahtera I. Data yang diambil dari 175 kecamatan se-kalimantan Barat membentuk satu komponen utama dengan keragaman 52,46% kecamatan di Kalimantan Barat berkorelasi dengan pangsa keluarga sejahtera I dan pra Sejahtera. Pada Tabel 20 menunjukkan keterkaitan variabel dengan komponen utama masing-masing sebesar 0,72 yang artinya peningkatan satu unit komponen utama berkorelasi dengan kenaikan pangsa keluarga prasejahtera dan sejahtera I masing-masing sebesar 0,72 unit. Berhubung sebagian besar konsentrasi penduduk miskin pada 175 kecamatan ditemukan di empat lokasi, maka empat variabel lokasi tinggal keluarga miskin, yaitu di bantaran sungai, pemukiman kumuh, jaringan SUTET, dan lokasi yang sulit dijangkau dimanfaatkan dan membentuk dua komponen atau penciri utama dengan keragaman 84,71%. Pada Tabel 20, komponen pertama lokasi tinggal keluarga miskin (Idx_kelmiskf1) menunjukkan 58,92% kecamatan di Provinsi Kalimantan Barat terkait dengan variabel pangsa keluarga miskin yang

86 62 tinggal di bantaran sungai, pangsa keluarga miskin yang tinggal di pemukiman kumuh dan pangsa keluarga miskin di pemukiman yang sulit terjangkau. Kenaikan satu unit nilai dari indeks ini terkait dengan kenaikan variabel berturutturut sebesar 0,92, 0,89 dan 0,80 unit. Untuk komponen/penciri kedua (Idx_kelmiskf2) terkait dengan lokasi tinggal keluarga miskin di sekitar jaringan SUTET, menunjukkan keragaman 25,79% di seluruh kecamatan. Untuk kenaikan satu unit nilai dari indeks ini merupakan kenaikan 0,98 unit pangsa keluarga miskin yang tinggal dibawah jaringan SUTET. Tabel 20 Muatan faktor (factor loading) variabel dari penciri konfigurasi sebaran keluarga miskin Kelompok Penciri Penciri Utama Muatan Keterangan (% varian) (% varian) faktor Keluarga miskin Idx_Miskf1 Pangsa Keluarga Prasejahtera 0,72(+) (52,46) (52,46) Pangsa Keluarga Sejahtera I 0,72(+) Pangsa Keluarga Miskin yang tinggal di bantaran Sungai 0,92(+) Idx_Kelmiskf1 Pangsa Keluarga Miskin yang tinggal 0,89(+) Lokasi tinggal (58,92) di pemukiman kumuh keluarga miskin Pangsa Keluarga Miskin yang tinggal 0,80(+) (84,71) di pemukiman sulit dijangkau Idx_Kelmiskf2 (25,79) Pangsa Keluarga Miskin yang tinggal di bawah jaringan SUTET 0,98(+) Penciri pada Tabel 20 digunakan dalam mengklasifikasikan kecamatan dengan analisis klaster (cluster analysis) yaitu dengan memanfaatkan kedekatan jarak antar penciri (euclidean distance) dari factor score dari setiap kecamatan (Lampiran 2). Ketiga penciri signifikan menjadi pembeda sehingga membentuk 3 klaster (tinggi, rendah, dan sedang) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 11. nilai tengah Nilai Tengah Penciri Konfigurasi Sebaran Keluarga Miskin Idx_Miskf1 Idx_Kelmiskf2 Idx_Kelmiskf1 Penciri Klaster Klaster 1 Klaster 2 Klaster 3 Gambar 11 Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) penciri konfigurasi sebaran keluarga miskin.

87 63 Melalui analisis diskriminan ketiga penciri tersebut menjadi pembeda tiga klaster yang terbentuk, dengan besarnya kemampuan klasifikasi 97,71%. Masingmasing kelompok tersebut memiliki kategori seperti yang ditunjukkan pada Tabel 21. Tabel 21 Kategori pembeda utama pada konfigurasi sebaran keluarga miskin Penciri Keterangan Kategori I II III Idx_Kelmiskf2 Pangsa Keluarga Miskin yang tinggal Sedang Tinggi Rendah di bawah jaringan SUTET Idx_Miskf1 Pangsa Keluarga Prasejahtera Tinggi Sedang Rendah Pangsa Keluarga Sejahtera I Tinggi Sedang Rendah Pangsa Keluarga Miskin yang tinggal di bantaran Sungai Tinggi Sedang Rendah Idx_Kelmiskf1 Pangsa Keluarga Miskin yang tinggal Tinggi Sedang Rendah di pemukiman kumuh Pangsa Keluarga Miskin yang tinggal di pemukiman sulit dijangkau Tinggi Sedang Rendah Dengan kategori yang tersusun, dari 175 kecamatan, klaster 1 terdiri atas 25 kecamatan (14,29%), klaster 2 terdiri atas 3 kecamatan (1,71%) dan klaster 3 terdiri atas 147 kecamatan (84,00%). Distribusi konfigurasi di tingkat kecamatan ditunjukkan pada Lampiran 3. Dari analisis ini mengindikasikan bahwa klaster 1 adalah wilayah dengan kategori sebaran keluarga miskin yang tinggi, klaster 2 dengan sebaran keluarga miskin sedang, dan klaster 3 dengan sebaran keluarga miskin rendah. Tampilan tematik dari konfigurasi sebaran keluarga miskin pada Gambar 12, menunjukkan kantong-kantong kemiskinan (warna merah) banyak ditemukan di kecamatankecamatan pada wilayah tengah dan di perbatasan baik perbatasan antar negara maupun antar provinsi. Lebih dari separuh wilayah Kabupaten Sintang dijumpai area merah yang menyebar mulai dari utara hingga selatan wilayahnya. Di area berwarna hijau menunjukkan penyebaran keluarga miskin yang rendah, dimana pada wilayah tersebut insiden kemiskinan dijumpai dengan jumlah yang relatif lebih rendah dibandingkan wilayah lainnya. Area ini meliputi sebagian besar wilayah di Provinsi Kalimantan Barat dan dari peta konfigurasi menunjukkan bahwa Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang dan Kayong Utara adalah kabupaten yang tidak dijumpai spot merah atau kecamatan dengan sebaran keluarga miskin yang tinggi.

88 64 Gambar 12 Peta Konfigurasi Sebaran Keluarga Miskin di Provinsi Kalimantan Barat. Distribusi kecamatan di kabupaten/kota pada tiap klasternya ditunjukkan pada Tabel 22, dimana kabupaten dengan kecamatan yang terkategori sebaran keluarga miskin tinggi terbanyak ditemukan di Kabupaten Sintang yaitu sebanyak 7 dari 14 kecamatan. Lebih dari sepertiga kecamatan di Kabupaten Landak dan Kota Pontianak juga ditemukan kantong-kantong kemiskinan, sementara wilayah lainnya dibawah 20%. Tabel 22 Distribusi kategori sebaran keluarga miskin pada kabupaten/kota Kabupaten/Kota Distribusi kategori sebaran (persen) Tinggi Sedang Rendah Kabupaten Sambas 0,00 0,00 100,00 Kabupaten Bengkayang 0,00 0,00 100,00 Kabupaten Landak 38,46 0,00 61,54 Kabupaten Pontianak 11,11 11,11 77,78 Kabupaten Sanggau 6,67 0,00 93,33 Kabupaten Ketapang 10,00 0,00 90,00 Kabupaten Sintang 50,00 0,00 50,00 Kabupaten Kapuas Hulu 12,00 0,00 88,00 Kabupaten Sekadau 14,29 0,00 85,71 Kabupaten Melawi 18,18 0,00 81,82 Kabupaten Kayong Utara 0,00 0,00 100,00 Kabupaten Kubu Raya 11,11 11,11 77,78 Kota Pontianak 33,33 16,67 50,00 Kota Singkawang 0,00 0,00 100,00 Identifikasi kantong-kantong kemiskinan sangat penting dilakukan agar target utama penanganan kemiskinan lebih terarah sebagaimana yang dikembangkan di Kenya dalam Kenya s Interim Poverti Reduction Strategy Paper

89 65 (Swallow, 2005) yang membantu pemerintah Kenya memetakan lokasi kantongkantong kemiskinan dalam penanganan kemiskinan Konfigurasi Sebaran Penduduk Indikator-indikator yang digunakan dalam membuat konfigurasi sebaran penduduk adalah jumlah penduduk, pertumbuhan dan penunjang pertumbuhan penduduk dan jumlah penduduk cacat. Variabel dari indikator jumlah penduduk adalah jumlah penduduk laki-laki dan perempuan yang membentuk satu komponen utama dan mewakili 99,95% keragaman dari data yang ada. Pada Tabel 23, variabel jumlah penduduk laki-laki dan perempuan berkorelasi positif dengan keterkaitan terhadap komponen utama (Idx_SDMJP) masing-masing sebesar 0,99, yang artinya peningkatan satu unit penciri menggambarkan kenaikan pangsa penduduk laki-laki dan perempuan masing-masing sebesar 0,99 unit. Tabel 23 Muatan faktor (factor loading) variabel dari penciri konfigurasi sebaran jumlah penduduk Kelompok Penciri (% varian) Jumlah Penduduk (99,95) Pertumbuhan Penduduk (81,95) Penunjang Pertumbuhan Penduduk (65,71) Penduduk Cacat (54,47) Penciri Utama (% varian) Idx_SDMJP (99,95) Idx_SDMPf1 (81,95) Idx_SDMPPf1 (65,71) Idx_SDMCf1 (42,66) Idx_SDMCf2 (11,81) Variabel Faktor Loading Pangsa Penduduk Laki-Laki 0,99(+) Pangsa Penduduk Perempuan 0,99(+) Pangsa kelahiran Laki-Laki 0,92( ) Pangsa kelahiran Perempuan 0,92( ) Pangsa kematian Laki-Laki 0,93( ) Pangsa kematian Perempuan 0,89( ) Pangsa imigran 0,88( ) Pangsa emigran 0,89( ) Pangsa Pasangan Usia Subur 0,97(+) Pangsa Peserta KB 0,98(+) Pangsa lokal penduduk Tuna Wicara 0,79(+) Pangsa lokal penduduk Tuna Daksa 0,88(+) Pangsa lokal penduduk Tuna Mental 0,82(+) Pangsa lokal penduduk cacat ekskusta 0,93(+) Pola pertumbuhan penduduk di suatu wilayah, akan menjadi salah satu faktor penyebab sebaran jumlah penduduk. Dari 175 kecamatan, dengan enam variabel, yaitu pangsa kelahiran laki-laki, pangsa kelahiran perempuan, pangsa kematian laki-laki, pangsa kematian perempuan, pangsa penduduk masuk dan pangsa penduduk keluar wilayah, membentuk satu penciri utama. Hasil analisis

90 66 menunjukkan bahwa penciri tersebut (Idx_SDMJP) menggambarkan 81,95% keragaman data dari seluruh wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Kenaikan satu unit nilai dari indeks tersebut terkait dengan penurunan variabel masing-masing sebesar 0,92, 0,92, 0,93, 0,89, 0,88 dan 0,89. Pertumbuhan penduduk selain terkait dengan kelahiran, kematian dan penduduk keluar masuk, dipengaruhi pula adanya tiga variabel yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan penduduk digunakan, yakni pangsa penduduk liar, pangsa pasangan usia subur dan pangsa peserta Keluarga Berencana (KB). Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 175 kecamatan membentuk satu komponen/penciri utama (Idx_SDMPPf1) yang mewakili 65,71% keragaman wilayah di Kalimantan Barat. Kenaikan satu unit nilai dari indeks komposit tersebut terkait dengan kenaikan variabel pangsa pasangan usia subur dan pangsa peserta Keluarga Berencana masing-masing sebesar 0,97 dan 0,98. Jumlah penduduk cacat merupakan satu komponen yang mempengaruhi besarnya beban untuk menanggung penduduk cacat per penduduk di suatu wilayah. Hal tersebut terkait pula dengan produktifitas penduduk, semakin tinggi jumlah penduduk cacat di suatu wilayah, maka pangsa penduduk produktif menurun, serta beban pemerintah untuk mengalokasikan pembiayaan pembinaan penduduk cacat akan tinggi pula. Dari data jumlah penduduk cacat dikelompokkan dalam sembilan kategori. Analisis menghasilkan dua komponen/penciri utama yang menggambarkan 54,47% keragaman data dari 175 unit analisis. Penciri pertama (Idx_SDMCf1) menggambarkan 42,66% keragaman data yang terkait dengan variabel pangsa lokal penduduk tuna wicara, pangsa lokal penduduk tuna daksa, dan pangsa lokal penduduk cacat mental. Kenaikan satu unit penciri pertama terkait dengan kenaikan dari masing-masing variabel sebesar 0,79, 0,88 dan 0,82. Untuk komponen kedua (Idx_SDMCf2) menggambarkan keragaman 11,81% yang terkait dengan pangsa lokal penduduk cacat eks-kusta. Naiknya satu unit indeks kedua berkorelasi dengan kenaikan 0,93 unit pangsa lokal penduduk cacat eks-kusta. Penciri-penciri konfigurasi sebaran penduduk digunakan untuk mengklasifikasikan kecamatan dengan pendekatan jarak terdekat antar penciri

91 67 (euclidean distance) pada analisis klaster (cluster analysis) yang memanfaatkan factor score unit analisis (wilayah kecamatan) seperti yang ditunjukkan pada Lampiran 4. Tiga penciri signifikan menjadi pembeda tiga klaster (tinggi, rendah, dan sedang), yaitu jumlah penduduk, pertumbuhan penduduk, dan penunjang pertumbuhan penduduk seperti yang ditunjukkan pada Gambar 13. nilai tengah Gambar 13 Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) penciri konfigurasi sebaran penduduk. Dari analisis ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk berkorelasi kuat dengan pola pertumbuhan penduduk. Klaster 1 dengan jumlah penduduk yang tinggi menunjukkan pola pertumbuhan penduduk yang tinggi pula. Demikian halnya dengan klaster 2 dan klaster 3 juga menunjukkan korelasi searah. Karenanya klaster 1 menunjukkan jumlah dan pertumbuhan penduduk yang tinggi, klaster 2 dengan kategori sedang, dan klaster 3 dengan kategori rendah (Tabel 24). Nilai Tengah Penciri Konfigurasi Sebaran Penduduk Idx_SDMPf1 Idx_SDMCf1 Idx_JP Idx_SDMPPf1 Idx_SDMCf2 Penciri Klaster Klaster 1 Klaster 2 Klaster 3 Tabel 24 Kategori pembeda utama pada konfigurasi sebaran penduduk Penciri Keterangan Kategori I II III Idx_JP Pangsa Penduduk Laki-Laki Tinggi Sedang Rendah Pangsa Penduduk Perempuan Tinggi Sedang Rendah Pangsa kelahiran Laki-Laki Tinggi Sedang Rendah Pangsa kelahiran Perempuan Tinggi Sedang Rendah Idx_SDMPf1 Pangsa kematian Laki-Laki Tinggi Sedang Rendah Pangsa kematian Perempuan Tinggi Sedang Rendah Pangsa imigran Tinggi Sedang Rendah Pangsa emigran Tinggi Sedang Rendah Idx_SDMPPf1 Pangsa Pasangan Usia Subur Tinggi Sedang Rendah Pangsa Peserta KB Tinggi Sedang Rendah

92 68 Melalui analisis diskriminan, tiga indeks yang signifikan menjadi penciri/ pembeda dari tiga kelompok dengan besarnya kemampuan klasifikasi 98,85%. Klasifikasi pada 175 kecamatan menghasilkan klaster 1 yang terdiri atas 27 kecamatan (15,43%), klaster 2 terdiri dengan 1 kecamatan (0,57%) dan klaster 3 terdiri atas 147 kecamatan (84,00%). Secara umum jumlah penduduk dan pertumbuhan penduduk di Provinsi Kalimantan Barat terkategori rendah dan distribusi sebaran kecamatan pada setiap klaster ditunjukkan pada Lampiran 5. Tampilan tematik dari konfigurasi sebaran jumlah pada Gambar 14, menunjukkan konsentrasi penduduk yang tinggi (warna merah) ditemukan di kecamatan-kecamatan pada wilayah tengah dan pesisir. Pada wilayah perbatasan antar negara dan antara provinsi, sebaran penduduk terkategori rendah yang tampak dari tampilan warna hijau. Secara keseluruhan wilayah di Provinsi Kalimantan Barat lebih menunjukkan ke arah pola sebaran penduduk rendah dan hanya satu spot dengan sebaran sedang (kuning), yaitu Kota Singkawang. Gambar 14 Peta konfigurasi sebaran penduduk di Provinsi Kalimantan Barat. Distribusi kecamatan di kabupaten/kota pada tiap klasternya ditunjukkan pada Tabel 25, dimana kabupaten dengan kecamatan yang terkategori sebaran penduduk tinggi terbanyak ditemukan di Kota Pontianak yang mencapai 83,33%. Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Kapuas Hulu dan Kabupaten Kayong Utara adalah seluruh kecamatannya dengan sebaran penduduk terkategori rendah.

93 69 Tabel 25 Distribusi kategori sebaran penduduk pada kabupaten/kota Distribusi kecamtan dengan kategori Kabupaten/Kota sebaran penduduk (persen) Tinggi Sedang Rendah Kabupaten Sambas 26,32 0,00 73,68 Kabupaten Bengkayang 0,00 0,00 100,00 Kabupaten Landak 15,38 0,00 84,62 Kabupaten Pontianak 11,11 0,00 88,89 Kabupaten Sanggau 26,67 0,00 73,33 Kabupaten Ketapang 5,00 0,00 95,00 Kabupaten Sintang 14,29 0,00 85,71 Kabupaten Kapuas Hulu 0,00 0,00 100,00 Kabupaten Sekadau 14,29 0,00 85,71 Kabupaten Melawi 9,09 0,00 90,91 Kabupaten Kayong Utara 0,00 0,00 100,00 Kabupaten Kubu Raya 33,33 0,00 66,67 Kota Pontianak 83,33 0,00 16,67 Kota Singkawang 40,00 20,00 40, Pola Kuadran Sebaran Keluarga Miskin terhadap Sebaran Penduduk Pola spasial tipologi kemiskinan adalah pola yang menunjukkan keterkaitan konfigurasi sebaran keluarga miskin dengan konfigurasi sebaran penduduk miskin. Empat pola kuadran dihasilkan dari plot bobot masing-masing konfigurasi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 26. Tabel 26 Plot bobot konfigurasi pada Pola Spasial Kemiskinan di kabupaten/ kota pada analisis kuadran Kabupaten/kota Bobot Konfigurasi Plot pada Sebaran keluarga Sebaran Kuadran miskin penduduk Kota Pontianak 0,3056 0,4444 I Kabupaten Kubu Raya 0,2222 0,2778 I Kabupaten Sanggau 0,1889 0,2556 II Kota Singkawang 0,1667 0,3333 II Kabupaten Sambas 0,1667 0,2544 II Kabupaten Bengkayang 0,1667 0,1667 III Kabupaten Kayong Utara 0,1667 0,1667 III Kabupaten Ketapang 0,2000 0,1833 III Kabupaten Sekadau 0,2143 0,2143 III Kabupaten Kapuas Hulu 0,2067 0,1667 III Kabupaten Sintang 0,3333 0,2143 IV Kabupaten Landak 0,2949 0,2179 IV Kabupaten Melawi 0,2273 0,1970 IV Kabupaten Pontianak 0,2222 0,2037 IV Dari pola spasial tipologi kemiskinan di Kalimantan Barat, lokasi kantong kemiskinan teralokasi di Kuadran I dan IV. Pada Kuadran I, sebaran keluarga miskin tinggi terkait dengan sebaran penduduk yang tinggi, yaitu di Kota

94 70 Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya (Gambar 15). Pada kuadran I menjelaskan bahwa terbentuknya kantong kemiskinan di perkotaan sebagai akibat tingginya daya tarik (pull factor) kota bagi penduduk di luar wilayah perkotaan yang mengakibatkan tingginya arus urbanisasi. Terpusatnya penduduk di perkotaan akan menurunkan daya tampung kota dan berdampak pada tingginya pengangguran dan kemiskinan di perkotaan (Rustiadi et al. 2009). Dari data BPS Kalbar (2009), sebaran penduduk Kota Pontianak di tahun 2008 mencapai 12,27% dari total jumlah penduduk di Kalimantan Barat, sedangkan luasan wilayahnya hanya sebesar 0,07% dari total luas provinsi. Jumlah penduduk miskin di Kota Pontianak adalah sebesar jiwa dengan kepadatan penduduk miskinnya tertinggi di Provinsi Kalimantan Barat yang mencapai 0,49 jiwa /km 2, artinya pada setiap km 2 luas wilayah di Kota Pontianak ditemukan 0,49 orang miskin. Kabupaten Kubu Raya yang berbatasan langsung di sebelah barat, selatan dan timur Kota Pontianak, mengalami interaksi yang kurang menguntungkan bagi wilayahnya (backwash linkage). Kabupaten Kubu Raya yang merupakan salah satu sentra padi dan tanaman pangan lainnya di Kalimantan Barat, serta memiliki sentra-sentra industri yang dapat dilihat dari tingginya PDRB sektor pertanian dan sektor industri dengan total PDRB Kabupaten Kubu Raya di Tahun 2008 sebesar Rp6,89 trilyun, dalam analisis kabupaten ini tergolong dalam kuadran dengan pola sebaran keluarga miskin yang tinggi di wilayah yang berpenduduk tinggi. Pola Spasial Tipologi Kemiskinan Sebaran Keluarga Miskin 2,5 Kuadran IV SINTANG Kuadran I 2,0 KOTA PONTIANA 1,5 LANDAK 1,0 0,5 MELAWI PONTIANAK 0,0 KAPUAS HULU SEKADAU KUBU RAYA KETAPANG -0,5 SANGGAU KAYONG BENGKAYANG UTARA SAMBAS SINGKAWANG -1,0 Kuadran III -1,5-1,5-1,0-0,5 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 Sebaran Penduduk Kuadran II Gambar 15 Kuadran pola spasial kemiskinan di Provinsi Kalimantan Barat.

95 71 Selain di Kuadran I, lokasi kantong kemiskinan ditemukan pula di Kabupaten yang ada pada Kuadran IV. Pola yang ditunjukkan pada Kuadran ini adalah wilayah dengan sebaran penduduk rendah, tetapi sebaran keluarga miskinnya tinggi yang ditemukan di Kabupaten Sintang, Kabupaten Melawi, Kabupaten Landak, dan Kabupaten Pontianak. Untuk tiga kabupaten pertama, dari data statistik, persentase penduduk miskinnya diatas persentase di tingkat provinsi, yaitu berturut-turut 13,61%, 18,65, dan 14,80%, sedangkan Kabupaten Pontianak persentase penduduk miskinnya hanya sebesar 7,03%, tetapi kepadatan penduduk miskinnya kedua tertinggi setelah Kota Pontianak, yaitu mencapai 0,04 jiwa penduduk miskin/km 2 luas wilayah. Diduga kabupaten pada kuadran ini, tingginya insiden kemiskinan terkait pola pembangunan yang rendah ataupun karakteristik sumber daya yang terbatas. Untuk Kuadran II dan III, sebaran penduduk miskinnya relatif lebih rendah dibandingkan kabupaten/kota pada Kuadran I dan IV. Kabupaten Sanggau, Kota Singkawang, dan Kabupaten Sambas adalah wilayah dengan sebaran penduduk tinggi, tetapi tidak ditemukan kantong kemiskinan, sebaran keluarga miskinnya relatif lebih rendah dibandingkan wilyah lainnya. Data BPS Kalbar (2009) menunjukkan persentase penduduk miskin ketiga wilayah kabupaten/kota tersebut berturut-turut adalah 6,25%, 7.89% dan 11,51%. Pada Kabupaten Sanggau dan Kota Singkawang, sebaran keluarga miskin yang rendah berkaitan dengan proporsi penduduk miskinnya yang rendah, sementara Kabupaten Sambas sebaran keluarga miskin yang rendah disebabkan sebaran penduduknya lebih rendah dibandingkan Kota Singkawang. Jika dilihat dari sebaran penduduk di Kalimantan Barat, persentase penduduk Kabupaten Sambas sebesar 11,56%, lebih tinggi dibandingkan penduduk Kabupaten Sanggau dan Kota Singkawang yang sebesar 4,12%. Artinya, meskipun persentase penduduk miskin di Kabupaten Sambas tinggi, akan tetapi sebaran keluarga miskinnya relatif lebih menyebar atau tidak membentuk spot-spot keluarga miskin. Di Kabupaten Sekadau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kayong Utara dan Bengkayang adalah wilayah dengan sebaran keluarga miskin dan sebaran penduduk rendah. Persentase penduduk miskin di wilayah tersebut berkisar antara 4-5% dari total penduduk di Kalimantan Barat.

96 72 Adanya sebaran kemiskinan pada wilayah ini, relatif lebih rendah dibandingkan wilayah pada kuadran I dan IV. Demikian halnya dengan proporsi penduduk miskin di wilayah ini. Dari Data BPS Kalbar (2009), pada tahun 2008, proporsi keempat kabupaten/kota pada wilayah ini berkisar 9,41-15,21%. Pemetaan kabupaten/kota pada empat kuadran yang dihasilkan dari pola spasial tipologi kemiskinan menunjukkan bahwa Kota Pontianak, Kabupaten Sintang, dan Kabupaten Landak adalah kabupaten/kota yang secara nyata menunjukkan kategori sebaran keluarga miskin yang jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya. Kabupaten Pontianak, Kabupaten Melawi dan Kabupaten Kubu Raya menunjukkan pola sebaran keluarga miskin dan sebaran penduduknya cenderung mendekati titik tengah nol, yang artinya pola sebarannya relatif lebih rendah dibandingkan Kota Pontianak, Kabupaten Sintang, dan Kabupaten Landak. 5.2 Pola Spasial Pembangunan Manusia/Sosial Pembangunan merupakan proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan (Todaro dan Smith, 2003). Dalam konteks ini, sasaran pembangunan adalah peningkatan kapabilitas manusia untuk dapat meningkatkan kualitasnya, sehingga mampu memenuhi norma-norma yang berlaku di masyarakat. Tingginya upaya yang dikembangkan dalam meningkatkan sumber daya manusia diharapkan berdampak pada peningkatan kesejahteraan penduduk di suatu wilayah tersebut. Pembangunan manusia/sosial adalah salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pembangunan manusia merupakan upaya pembangunan modal manusia (human capital development), sedangkan pembangunan sosial merupakan upaya pembangunan modal sosial (social capital development). Investasi dalam bidang kesehatan dan pendidikan menyatu dalam pendekatan modal manusia, kesehatan merupakan inti dari kesejahteraan, dan pendidikan adalah hal pokok untuk menggapai kehidupan yang lebih memuaskan dan berharga.

97 73 Selain pembangunan modal manusia, pembangunan sosial sebagai perwujudan pembangunan modal sosial perlu memperhatikan tiga komponen pembangunan sosial, yaitu norm, network, dan trust (Fukuyama, 2004). Ikatan sosial antar anggota kelompok tertentu (bonding social capital) yang menyerap ketiga komponen pembangunan sosial tersebut, merupakan salah satu unsur dalam pembangunan sosial, selain bridging dan linking social capital (Rustiadi et al., 2009). Untuk menggambarkan pola spasial pembangunan manusia/sosial yang berkembang di Kalimantan Barat, indikator-indikator yang menjelaskannya dikelompokkan dalam tiga konfigurasi, yakni konfigurasi pembangunan bidang kesehatan, pembangunan bidang pendidikan dan pembangunan bidang sosial Konfigurasi Pembangunan Bidang Kesehatan Pembangunan bidang kesehatan adalah upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesehatan penduduk di suatu wilayah yang berimplikasi kepada peningkatan produktivitas penduduknya serta kinerja pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut. Semakin tinggi beban penyakit yang ditanggung oleh seseorang, maka produktivitas untuk bekerja akan rendah dan alokasi pembiayaan untuk peningkatan kesejahteraan menjadi berkurang pula. Penduduk yang produktivitasnya rendah, memiliki kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang baik menjadi berkurang. Hal ini akan berdampak pada orang miskin yang sakit akan semakin miskin dan sulit meningkatkan status sosialnya (Todaro dan Smith, 2003). Indikator-indikator yang digunakan dalam konfigurasi pembangunan kesehatan dikelompokkan dalam lima bagian, yaitu ketersediaan tenaga kesehatan, ketersediaan fasilitas kesehatan, pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin, intensitas kejadian wabah penyakit dan penderita wabah penyakit yang meninggal. Komponen utama sebaran tenaga kesehatan merupakan penggabungan dari enam variabel, yaitu pangsa jumlah dokter laki-laki, dokter perempuan, dokter gigi, bidan, tenaga kesehatan lainnya dan dukun bayi. Enam varibel ini membentuk dua komponen utama yang mewakili 77,24% keragaman dari data yang ada. Pada Tabel 27, kompenen/penciri pertama (Idx_SDSTKesf1) menunjukkan 58,41% keragaman yang terkait dengan pangsa lokal dokter laki-

98 74 laki, dokter perempuan, dokter gigi, dan bidan. Masing-masing variabel berkorelasi positif dengan penciri pertama berturut-turut 0,94, 0,93, 0,90 dan 0,79 yang menunjukkan peningkatan satu unit indeks berkorelasi dengan kenaikan pangsa lokal variabelnya masing-masing sebesar muatan faktornya. Penciri pertama ini menunjukkan ketersediaan tenaga kesehatan bagi kecamatan yang pelayanan kesehatannya relatif lebih berkembang. Komponen kedua yang menggambarkan 18,83% keragaman data terkait dengan pangsa lokal jumlah dukun bayi dengan muatan faktor 0,89. Satu unit kenaikan komponen/penciri kedua (Idx_SDSTKesf2) berkaitan dengan peningkatan 0,89 unit pangsa lokal dukun bayi. Penciri ini menggambarkan tenaga kesehatan yang tersedia relatif tertinggal, karena pelayanan kesehatan yang lebih ditentukan oleh keberadaan tenaga kesehatan non formal. Tabel 27 Muatan faktor (factor loading) variabel dari penciri konfigurasi pembangunan bidang kesehatan Kelompok Penciri Penciri Faktor Keterangan (% varian) (% varian) Loading Pangsa Dokter Laki-laki 0,94(+) Idx_SDSTKesf1 Pangsa Dokter Perempuan 0,93(+) Penderita Wabah (58.41) Pangsa Dokter Gigi 0,90(+) Penyakit Pangsa Bidan 0,79(+) (63,35) Idx_SDSTKesf2 Pangsa Dukun Bayi 0,89(+) Fasilitas Kesehatan (66,37) Pelayanan Kesehatan pada Masyarakat Miskin (74,80) Penderita Wabah Penyakit (63,35) Penderita Wabah Penyakit yang Meninggal (62,76) (18.83) Idx_SDSFKesf1 (38,92) Idx_SDSFKesf2 (27,45) Idx_SDSAskes (74,80) Idx_SDSWf1 (36.21) Idx_SDSWf2 (14.21) Idx_SDSWf3 (12.93) Idx_SDSWWf1 (30.88) Idx_SDSWWf2 (17.59) Idx_SDSWWf3 (14.29) Pangsa Apotik 0,90(+) Pangsa Toko Obat 0,89(+) Pangsa Polindes 0,88(+) Pangsa Surat Miskin yang dikeluarkan 0,86(+) Pangsa Peserta ASKESKIN 0,86(+) Pangsa penderita Malaria 0.76(+) Pangsa penderita wabah lainnya 0.89(+) Pangsa penderita Campak 0.74(+) Pangsa penderita TBC 0.72(+) Pangsa penderita ISPA 0.69(+) Pangsa penderita wafat karena Diare 0.85(+) Pangsa penderita wafat karena Campak 0.87(+) Pangsa penderita wafat karena wabah lainnya 0.81(+) Pangsa penderita wafat karena DBD 0.76(+) Pangsa penderita wafat karena Malaria 0.71(+) Penciri utama dari fasilitas kesehatan merupakan komposit dari lima variabel fasilitas kesehatan tersedia, yakni pangsa lokal jumlah pos kesehatan desa, poliklinik desa, pos pelayanan terpadu, apotik dan toko obat/jamu yang

99 75 membentuk dua penciri. Lima penciri hasil analisis mewakili 66,37% keragaman data yang ada. Penciri pertama (Idx_SDSTKesf1) menunjukkan 38,92% keragaman yang terkait dengan pangsa lokal jumlah apotik dan toko obat. Masing-masing variabel berkorelasi positif dengan penciri pertama masingmasing 0,90 dan 0,89, yang artinya peningkatan satu unit penciri pertama berkorelasi dengan kenaikan pangsa lokal variabelnya sebesar muatan faktornya. Kedua fasilitas ini menunjukkan ketersediaan fasilitas daerah urban atau daerah yang relatif lebih berkembang. Untuk penciri kedua yang menggambarkan 27,44% keragaman data yang terkait dengan pangsa lokal jumlah poliklinik desa dengan muatan faktor 0,88, dimana kenaikan satu unit penciri kedua (Idx_SDSTKesf2) menunjukkan peningkatan 0,88 unit pangsa jumlah poliklinik desa. Dari keterkaitan ini menunjukkan bahwa komponen kedua mencerminkan ketersediaan fasilitas rural area atau wilayah yang relatif tertinggal. Dua variabel yang digunakan untuk mengukur pelayanan kesehatan untuk penduduk miskin adalah pangsa lokal surat miskin yang dikeluarkan dan keluarga miskin yang menerima ASKESKIN. Analisis ini menghasilkan satu komponen utama yang mewakili 74,80% keragaman dari data yang ada. Dua variabel yang berkorelasi positif dengan komponen/penciri utama (Idx_SDMJP) masing-masing 0,86 yang artinya peningkatan satu unit penciri menggambarkan kenaikan pangsa lokal surat miskin yang dikeluarkan dan keluarga miskin peserta ASKESKIN sebesar 0,86 unit. Kejadian wabah penyakit yang diidentifikasikan dengan jumlah penderitanya dibangun dari delapan kejadian di Kalimantan Barat, yakni pangsa lokal penderita diare, demam berdarah, campak, ISPA, malaria, flu burung, TBC dan wabah lainnya. Kejadian membentuk tiga indeks komposit yang mewakili 63,35% keragaman dari data yang ada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komponen pertama (Idx_SDSWf1) menunjukkan 36,21% keragaman yang terkait dengan pangsa lokal penderita malaria dan pangsa lokal penderita wabah lainnya. Setiap variabel berkorelasi positif dengan pencirinya masing-masing sebesar 0,76 dan 0,89 yang artinya peningkatan satu unit penciri pertama menggambarkan kenaikan pangsa lokal variabelnya sebesar muatan faktornya. Untuk penciri kedua (Idx_SDSWf2) menggambarkan 14,21% keragaman data yang terkait dengan

100 76 pangsa lokal penderita campak dan TBC dengan muatan faktor 0,74 dan 0,72 yang menunjukkan kenaikan satu unit penciri kedua meningkatkan variabelnya masing-masing sebesar muatan faktornya. Penciri lainnya, yaitu penciri ketiga menggambarkan 12,93% keragaman data yang terkait dengan pangsa lokal penderita ISPA dengan muatan faktor 0,69, dimana kenaikan satu unit faktor ketiga (Idx_SDSWf3) menunjukkan peningkatan pangsa lokal penderita ISPA sebesar muatan 0,69 unit. Insiden pasien yang meninggal karena wabah penyakit di Kalimantan Barat, yaitu pangsa lokal penderita diare, demam berdarah, campak, ISPA, malaria, flu burung, TBC dan wabah lainnya, digunakan untuk mengindikasikan tingkat pelayanan kesehatan. Semakin tinggi pasien wabah penyakit tertentu yang meninggal di daerah tertentu, maka kinerja pelayanan kesehatan dianggap masih rendah. Delapan variabel membentuk tiga penciri, yang mewakili 62,76% keragaman dari data yang ada, yang artinya ditemukan 62,76% kejadian pasien yang meninggal karena wabah penyakit. Pada penciri pertama (Idx_SDSWWf1) menunjukkan 30,88% keragaman yang terkait dengan pangsa lokal penderita diare dan pangsa lokal penderita campak, yang artinya 30,88% wilayah di Kalimantan Barat terindikasi adanya penderita diare dan campak yang meninggal. Masingmasing variabel berkorelasi positif dengan pencirinya masing-masing sebesar 0,85 dan 0,87 yang artinya peningkatan satu unit faktor pertama menggambarkan kenaikan pangsa lokal variabel sebesar muatan faktornya. Untuk penciri kedua yang menggambarkan 17,59% keragaman data yang terkait dengan pangsa lokal penderita wabah lainnya dengan muatan faktor 0,81, dimana kenaikan satu unit penciri kedua (Idx_SDSWWf2) berkorelasi dengan peningkatan 0,81 unit pangsa penderita meninggal karena wabah penyakit-penyakit lain. Indikasi dari penciri kedua ini adalah 17,59% wilayah di Kalimantan Barat terdapat kejadian orang meninggal karena wabah penyakit tertentu. Penciri lainnya yang menggambarkan 14,29% keragaman data yang terkait dengan pangsa lokal penderita DBD dan malaria dengan muatan faktor 0,76 dan 0,71 dimana kenaikan satu unit penciri ketiga (Idx_SDSWWf3) menunjukkan peningkatan variabelnya sebesar muatan faktornya masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian DBD dan malaria

101 77 merupakan wabah penyakit yang menimbulkan kejadian meninggalnya penderita pada 14,29% wilayah di Kalimantan Barat. Seluruh kecamatan di Provinsi Kalimantan Barat diklasifikasikan berdasarkan kedekatan jarak antar penciri (euclidean distance) dengan teknik analisis klaster (cluster analysis) yang memanfaatkan factor score (Lampiran 6). Kesebelas penciri signifikan menjadi pembeda klaster dengan tiga kategori yaitu tinggi, rendah, dan sedang, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 16. 3,5 Nilai Tengah Penciri Konfigurasi Pembangunan Kesehatan 3,0 2,5 2,0 nilai tengah 1,5 1,0 0,5 0,0-0,5-1,0-1,5 Gambar 16 Idx_SDSTKesf2 Idx_SDSWf1 Idx_SDSWWf2 Idx_SDSFKesf2 Idx_SDSWf3 Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) penciri konfigurasi pembangunan bidang kesehatan. Melalui analisis diskriminan kesebelas penciri menjadi pembeda tiga klaster dengan besarnya kemampuan klasifikasi 96,57%. Masing-masing klaster memiliki kategori tinggi, sedang, dan rendah untuk setiap penciri, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 28. Klasifikasi 175 kecamatan menghasilkan klaster 1 yang terdiri atas 130 kecamatan (74,29%), klaster 2 terdiri atas 27 kecamatan (15,43%) dan klaster 3 terdiri atas 18 kecamatan (10,27%) dan distribusi konfigurasi kecamatan ditunjukkan pada Lampiran 7. Penciri Klaster 1 Klaster 2 Klaster 3 Pada klaster pertama, kategori pada pencirinya mengindikasikan wilayah yang tertinggal dengan ketersediaan tenaga medis/paramedis yang rendah, tenaga kesehatan non formal (dukun bayi) yang rendah, kejadian wabah penyakit yang rendah. Munculnya penciri pangsa penderita wafat karena wabah penyakit yang sedang, menunjukkan kejadian ini muncul lebih dikarenakan rendahnya jumlah

102 78 penduduk yang menyebabkan rendahnya ketersediaan tenaga kesehatan dan pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin. Tabel 28 Kategori pembeda utama pada konfigurasi pembangunan bidang kesehatan Indeks Komposit Penciri/Pembeda Kategori I II III Pangsa Dokter Laki-laki Rendah Sedang Tinggi Idx_SDSTKesf1 Pangsa Dokter Perempuan Rendah Sedang Tinggi Pangsa Dokter Gigi Rendah Sedang Tinggi Pangsa Bidan Rendah Sedang Tinggi Idx_SDSTKesf2 Pangsa Dukun Bayi Rendah Tinggi Sedang Idx_SDSWf2 Pangsa penderita Campak Rendah Tinggi Sedang Pangsa penderita TBC Rendah Tinggi Sedang Idx_SDSWWf2 Pangsa penderita wafat karena wabah Sedang Tinggi Rendah lainnya Idx_SDSWWf3 Pangsa penderita wafat karena DBD Rendah Tinggi Sedang Pangsa penderita wafat karena Malaria Rendah Tinggi Sedang Idx_SDSFKesf2 Pangsa Polindes Rendah Tinggi Sedang Idx_SDSAskes Pangsa Surat Miskin yang dikeluarkan Rendah Tinggi Sedang Pangsa Peserta ASKESKIN Rendah Tinggi Sedang Idx_SDSWWf1 Pangsa penderita wafat karena Diare Sedang Tinggi Rendah Pangsa penderita wafat karena Campak Sedang Tinggi Rendah Pada klaster kedua, pencirinya dalam kategori sedang untuk jumlah tenaga medis/paramedis, tinggi untuk intensitas kejadian wabah penyakit, penderita wabah yang meninggal, pelayanan keluarga miskin dan jumlah polindes. Wilayah pada klaster ini diidentifikasi sebagai wilayah kantong kemiskinan atau wilayah tertinggal yang berpenduduk cukup tinggi. Di klaster ketiga, pencirinya adalah jumlah tenaga medis/paramedis yang tinggi, jumlah penderita wabah penyakit dan penderita wafat yang rendah, jumlah dukun bayi dan polindes yang sedang, pangsa pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin yang sedang, menunjukkan bahwa wilayah pada tipologi ini adalah wilayah yang relatif lebih berkembang dengan jumlah penduduk yang lebih tinggi dibandingkan klaster pertama dan kedua. Pada wilayah ini, ditemukan pula pangsa keluarga miskin, akan tetapi jumlahnya lebih rendah dibandingkan klaster kedua. Dari ketiga klaster ini, klaster ketiga dapat dikategorikan sebagai wilayah dengan pembangunan bidang kesehatan yang paling tinggi, sedangkan klaster pertama menjadi wilayah dengan kategori pembangunan bidang kesehatan yang rendah, dan klaster kedua dengan kategori sedang. Klasifikasi klaster ditampilkan secara tematik pada peta konfigurasi pembangunan kesehatan di Provinsi Kalimantan Barat yang ditunjukkan pada Gambar 17, menunjukkan bahwa lebih

103 79 dari separuh wilayah tingkatan pembangunan kesehatannya terkategori rendah (warna merah). Dalam jumlah kecil wilayah berwarna hijau yang menunjukkan tingkatan pembangunan kesehatan yang tinggi, yaitu di Kota Singkawang, Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Sintang, dan Kabupaten Melawi. Hanya Kota Pontianak dengan spot hijau yang meliputi seluruh wilayahnya, sedangkan keseluruhan wilayah di Kabupaten Kapuas Hulu tidak dijumpai area berwarna hijau. Gambar 17 Peta konfigurasi spasial pembangunan bidang kesehatan. Distribusi kecamatan di kabupaten/kota pada tiap klasternya ditunjukkan pada Tabel 29, dimana kabupaten dengan kecamatan yang terkategori pembangunan kesehatan tinggi terbanyak ditemukan di Kota Pontianak yang mencapai 83,33%, tigabelas kabupaten/kota lainnya lebih menunjukkan kecamatannya pada tingkatan pembangunan kesehatan yang rendah, dengan distribusi kecamatan melebihi 50% wilayah. Keseluruhan sebaran aktivitas pembangunan manusia di bidang kesehatan, menunjukkan bahwa pembangunan kesehatan masih difokuskan di Kota Pontianak sebagai kota utama, sementara pada wilayah lainnya pembangunan kesehatan kurang dikembangkan.

104 80 Todaro dan Smith (2003) memaparkan karakteristik pembangunan kota di negara-negara berkembang, dimana investasi publik di ibu kota yang lebih besar dibandingkan kota kedua atau wilayah lainnya. Kondisi tersebut juga terlihat di Provinsi Kalimantan Barat, dimana Kota Pontianak sebagai ibukota provinsi, mendapatkan investasi publik yang lebih baik dibandingkan kabupaten/kota lainnya. Investasi yang tinggi di bidang kesehatan ini berimplikasi pula pada tingginya pertumbuhan penduduk, sehingga secara demografi memungkinkan adanya ledakan penduduk di wilayah tersebut. Tabel 29 Distribusi kategori tingkatan pembangunan kesehatan pada kabupaten/kota Distribusi kecamatan dengan kategori Kabupaten/Kota pembangunan kesehatan (persen) Rendah Sedang Tinggi Kabupaten Sambas 63,16 26,32 10,53 Kabupaten Bengkayang 94,12 0,00 5,88 Kabupaten Landak 76,92 23,08 0,00 Kabupaten Pontianak 88,89 0,00 11,11 Kabupaten Sanggau 66,67 26,67 6,67 Kabupaten Ketapang 75,00 20,00 5,00 Kabupaten Sintang 57,14 35,71 7,14 Kabupaten Kapuas Hulu 88,00 8,00 4,00 Kabupaten Sekadau 85,71 0,00 14,29 Kabupaten Melawi 81,82 9,09 9,09 Kabupaten Kayong Utara 80,00 20,00 0,00 Kabupaten Kubu Raya 66,67 22,22 11,11 Kota Pontianak 16,67 0,00 83,33 Kota Singkawang 60,00 0,00 40, Konfigurasi Pembangunan Bidang Pendidikan Pembangunan pendidikan merupakan bagian dari pembangunan manusia, dengan harapan meningkatnya kualitas sumber daya manusianya dan berimplikasi pada penurunan tingkat kemiskinan. Melalui pendidikan yang memadai memungkinkan masyarakat memiliki daya untuk meningkatkan taraf hidupnya (Lichter et al., 1993). Dalam konteks pembangunan di wilayah tertinggal, hampir keseluruhan investasi jasa dan sarana pendidikan menjadi tugas pemerintah, sehingga ketersediaan berupa jumlah, tenaga guru, dan lembaga pendidikan/keterampilan masih sangat bergantung kepada kebijakan pemerintah daerah dalam bidang pendidikan. Dalam analisis ini, indikator yang digunakan untuk menggambarkan pembangunan pendidikan dikelompokkan ke dalam lima kelompok penciri, yakni ketersediaan tenaga dan fasilitas pendidikan, fasilitas pendidikan sendiri

105 81 dibedakan atas pendidikan prasekolah dan sekolah dasar, pendidikan menengah atas dan tinggi, pendidikan formal lainnya dan lembaga keterampilan. Ketersediaan tenaga guru TK sampai dengan SMA/SMK membentuk satu komponen/penciri (Idx_SDSTDik) yang menggambarkan 83,78% keragaman ketersediaan tenaga guru. Pada Tabel 30, penciri tenaga pendidikan berkorelasi negatif dengan masing-masing variabel sebesar 0,92, 0,92, 0,93, 0,92 dan 0,88 yang artinya peningkatan satu unit penciri berkorelasi dengan penurunan variabel penyusunnya sebesar muatan faktornya. Tabel 30 Muatan faktor (factor loading) variabel dari penciri konfigurasi pembangunan bidang pendidikan Kelompok Penciri (% varian) Tenaga Pendidik (83,78) Fasilitas Pendidikan Prasekolah, Dasar dan Menengah Pertama (74,88) Fasilitas Pendidikan Menengah Atas dan PendidikanTinggi (74,72) Fasilitas Pendidikan lainnya (68,03) Lembaga Pendidikan/ keterampilan (72,46) Penciri Utama (% varian) Idx_SDSTDik (83,78) Idx_SDSFDDf1 (58,09) Idx_SDSFDDf2 (16,78) Idx_SDSFDMTf1 (53,23) Idx_SDSFDMTf2 (21,49) Idx_SDSFDFLf1 (44,36) Idx_SDSFDFLf2 (21,67) Idx_SDSLPf1 (55,63) Idx_SDSLPf2 (16,83) Keterangan Faktor Loading Pangsa Guru TK 0,92( ) Pangsa Guru SD 0,92( ) Pangsa Guru SLTP 0,93( ) Pangsa Guru SMA 0,92( ) Pangsa Guru SMK 0,88( ) Pangsa TK Swasta 0,82(+) Pangsa SD Negeri 0,74(+) Pangsa SD Swasta 0,80(+) Pangsa SLTP Negeri 0,72(+) Pangsa SLTP Swasta 0,92(+) Pangsa TK Negeri 0,94(+) Pangsa SMU Swasta 0,89(+) Pangsa SMK Swasta 0,84(+) Pangsa Perguruan Tinggi Swasta 0,83(+) Pangsa SMU Negeri 0,76(+) Pangsa SMK Negeri 0,90(+) Pangsa Perguruan Tinggi Negeri 0,82(+) Pangsa SLB Swasta 0,79(+) Pangsa Pesantren 0,93(+) Pangsa Madrasah Ibtidaiyah Swasta 0,82(+) Pangsa Sekolah Seminari Swasta 0,73(+) Pangsa Lembaga Pendidikan/Ketrampilan Komputer Pangsa Lembaga Pendidikan/Ketrampilan Menjahit Pangsa Lembaga Pendidikan/Ketrampilan Kecantikan Pangsa Lembaga Pendidikan/Ketrampilan Montir Pangsa Lembaga Pendidikan/Ketrampilan Elektronik Pangsa Lembaga Pendidikan/Ketrampilan lainnya 0,70(+) 0,75(+) 0,84(+) 0,84(+) 0,91(+) 0,92(+)

106 82 Pendidikan dasar dalam analisis ini adalah pendidikan pra sekolah, sekolah dasar dan menengah pertama. Variabel ketersediaan fasilitas pendidikan dasar membentuk dua komponen/penciri yang mewakili 74,88% keragaman data dari 175 kecamatan. Penciri pertama (Idx_SDSFDDf1) dengan keragaman 58,09% berkorelasi positif dengan pangsa lokal jumlah TK Swasta, SD negeri, SD Swasta, SLTP Negeri dan SLTP Swasta masing-masing 0,82, 0,74, 0,80, 0,72 dan 0,92 yang artinya peningkatan satu unit indeks menggambarkan peningkatan variabel penyusunnya sebesar muatan faktornya. Indeks ini menunjukkan 58,09% kecamatan di Kalimantan Barat telah memenuhi kebutuhan fasiltias pendidikan dasar. Penciri kedua dari pendidikan dasar (Idx_SDSFDDf2) menunjukkan keragaman 16,78% yang berkorelasi positif dengan pangsa lokal jumlah TK Negeri. Peningkatan satu unit penciri menggambarkan peningkatan 0,94 unit pangsa lokal jumlah TK Negeri. Untuk fasilitas pendidikan menengah atas dan tinggi diwakili oleh enam variabel, yakni Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri, SMU Swasta, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri, SMK Swasta, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Swasta (PTS). Enam variabel membentuk dua penciri yang mewakili 74,72% keragaman data dari kecamatan yang ada. Penciri pertama (Idx_SDSFDMTf1) dengan keragaman 53,23% berkorelasi positif dengan pangsa lokal jumlah SMU Swasta, SMK Swasta dan Perguruan Tinggi Swasta masingmasing 0,89, 0,84, dan 0,83 yang artinya peningkatan satu unit penciri berkaitan dengan peningkatan variabel penyusunnya sebesar muatan faktornya. Dilihat dari variabel terkait, maka penciri ini mendekati ciri wilayah yang relatif lebih berkembang atau urban area. Untuk komponen/penciri kedua (Idx_SDSFDMTf2) dengan keragaman 21,49% berkorelasi positif dengan pangsa lokal jumlah SMU Negeri, SMK Negeri dan Perguruan Tinggi Negeri, dimana peningkatan satu unit penciri kedua menggambarkan peningkatan 0,76, 0,90 dan 0,82 unit masingmasing variabel penyusun. Ketersediaan fasilitas pendidikan negeri, menunjukkan gambaran wilayah pada umumnya yang memiliki fasilitas dasar untuk pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Ketersediaan fasilitas formal lainnya seperti Sekolah Luar Biasa, Pesantren, Madrasah Ibtidaiyah dan Seminari menjadi variabel ketersediaan fasilitas

107 83 pendidikan formal lainnya yang membentuk dua penciri mewakili 66,03% keragaman data yang ada. Penciri pertama (Idx_SDSFDFLf1) dengan keragaman 44,36% berkorelasi positif pangsa lokal jumlah SLB Swasta, Pesantren dan Madrasah Ibtidaiah Swasta masing-masing 0,79, 0,93, dan 0,82 yang artinya peningkatan satu unit penciri menggambarkan peningkatan variabel penyusunnya sebesar muatan faktornya. Untuk penciri kedua (Idx_SDSFDFLf2) dengan keragaman 21,67% berkorelasi positif dengan pangsa lokal jumlah sekolah Seminari Swasta, dimana peningkatan satu unit penciri kedua menggambarkan kenaikan 0,73 unit variabel tersebut. Ketersediaan lembaga pendidikan dan keterampilan di Kalimantan Barat membentuk tujuh variabel, yang dianalisis menghasilkan dua komponen utama mewakili 72,46% keragaman data yang ada, yang artinya 72,46% wilayah di Provinsi Kalimantan Barat menunjukkan ketersediaan lembaga pendidikan/keterampilan non formal yang lebih dikembangkan di wilayahwilayah tertinggal dan dibutuhkan oleh penduduk dengan rata-rata tingkat pendidikan menengah ke bawah. Penciri pertama (Idx_SDSFDLPf1) dengan keragaman 55,63% berkorelasi positif pangsa lokal jumlah lembaga pendidikan/keterampilan komputer, menjahit, kecantikan, montir dan elektronik masing-masing 0,70, 0,75, 0,84, 0,84 dan 0,91 yang artinya peningkatan satu unit penciri pertama menggambarkan peningkatan variabel penyusunnya sebesar muatan faktor. Untuk penciri kedua (Idx_SDSFDLPf2) dengan keragaman 16,83% berkorelasi positif dengan pangsa lokal jumlah lembaga pendidikan dan formal lainnya. Peningkatan satu unit faktor kedua menggambarkan peningkatan 0,91 unit variabel tersebut. Penciri-penciri pada konfigurasi pembangunan pendidikan digunakan dalam mengklasifikasikan kecamatan berdasarkan kedekatan jarak antar penciri (euclidean distance) dengan teknik analisis klaster (cluster analysis) yang memanfaatkan factor score (Lampiran 8) unit analisis. Ketiga penciri signifikan menjadi pembeda tiga klaster dengan kategori tinggi, rendah, dan sedang, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 18. Melalui analisis diskriminan lima faktor yang signifikan menjadi penciri/pembeda dari tiga kelompok yang terbentuk dengan besarnya kemampuan klasifikasi 98,86%.

108 84 nilai tengah Gambar 18 Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) penciri konfigurasi pembangunan bidang pendidikan. Masing-masing kelompok penciri/pembeda utama konfigurasi pembangunan pendidikan memiliki kategori seperti yang ditunjukkan pada Tabel 31. Idx_SDSTDik Nilai Tengah Penciri Konfigurasi Pembangunan Pendidikan Idx_SDSFDDf1 Idx_SDSFDDf2 Idx_SDSFDMTf1 Tabel 31 Kategori pembeda pada konfigurasi pembangunan bidang pendidikan Pembeda Keterangan Kategori I II III Pangsa Lembaga Pendidikan/ Rendah Sedang Tinggi Ketrampilan Komputer Pangsa Lembaga Pendidikan/ Ketrampilan Menjahit Rendah Sedang Tinggi Idx_SDSLPf1 Pangsa Lembaga Pendidikan/ Rendah Sedang Tinggi Ketrampilan Kecantikan Pangsa Lembaga Pendidikan/ Rendah Sedang Tinggi Ketrampilan Montir Pangsa Lembaga Pendidikan/ Rendah Sedang Tinggi Ketrampilan Elektronik Idx_SDSFLf2 Pangsa Sekolah Seminari Swasta Sedang Tinggi Rendah Idx_SDSLPf2 Pangsa Lembaga Tinggi Sedang Rendah Pendidikan/Ketrampilan lainnya Pangsa SMU Swasta Tinggi Sedang Rendah Idx_SDSMTf1 Pangsa SMK Swasta Tinggi Sedang Rendah Pangsa Perguruan Tinggi Swasta Tinggi Sedang Rendah Idx_SDSDDf2 Pangsa TK Negeri Sedang Tinggi Rendah Klasifikasi 175 kecamatan menghasilkan klaster 1 yang terdiri atas 7 kecamatan (4,00%), klaster 2 terdiri atas 14 kecamatan (8,00%) dan klaster 3 terdiri atas 154 kecamatan (88,00%). Distribusi konfigurasi di tingkat kecamatan ditunjukkan pada Lampiran 9. Idx_SDSFDMTf2 Penciri Idx_SDSFDFLf1 Idx_SDSFDFLf2 Idx_SDSFDLPf1 Idx_SDSFDLPf2 Klaster 1 Klaster 2 Klaster 3

109 85 Dilihat dari sebaran pada tiap klaster, menunjukkan bahwa klaster pertama memiliki penciri dengan kategori lembaga pendidikan keterampilan (montir, menjahit, dan lainnya) yang rendah, sekolah seminari dan TK Negeri yang sedang, sementara lembaga keterampilan lainnya seperti bahasa dan pangsa SMU/SMK dan PT swasta yang tinggi menunjukkan bahwa tingkatan pembangunan pendidikan pada klaster ini mencirikan wilayah yang lebih maju. Klaster kedua dengan penciri lembaga pendidikan keterampilan (montir, menjahit, dan lainnya) yang sedang, lembaga keterampilan lainnya seperti bahasa dan pangsa SMU/SMK dan PT swasta yang tinggi, dan sekolah seminari dan TK Negeri yang tinggi menunjukkan bahwa klaster ini lebih mencirikan bentuk daerah yang cukup berkembang. Klaster ketiga dengan ciri lembaga pendidikan keterampilan (montir, menjahit, dan lainnya) yang tinggi, lembaga keterampilan lainnya seperti bahasa dan pangsa SMU/SMK dan PT swasta, sekolah seminari dan TK Negeri yang rendah menunjukkan bahwa klaster ini mencirikan karakteristik daerah yang kurang berkembang (rural area), Ketersediaan lembaga keterampilan teknis (montir, kecantikan, dan lainnya) adalah upaya pemerintah meningkatkan keterampilan angkatan kerja berpendidikan rendah di wilayahnya dan di wilayah sekitarnya. Dari ketiga klaster, hasil analisis kategori pembangunan bidang pendidikan, klaster pertama menggambarkan wilayah dengan kategori pembangunan bidang pendidikan yang tinggi, klaster kedua dengan kategori sedang dan klaster ketiga dengan kategori rendah. Secara spasial spot-spot pada setiap klaster ditunjukkan pada Gambar 20. Tampilan yang dihasilkan dari peta konfigurasi pembangunan bidang pendidikan menunjukkan bahwa secara umum tingkat pembangunan bidang pendidikan di Provinsi Kalimantan Barat terkategori dengan tingkatan rendah yang ditandai dengan warna merah. Hanya sedikit spot hijau yang tampak pada peta yaitu 7 dari 175 kecamatan yang tingkat pembangunan bidang pendidikannya tinggi. Demikian halnya dengan spot kuning yang menunjukkan tingkat pembangunan bidang pendidikan sedang, hanya terlihat dalam beberapa titik kecamatan.

110 86 Gambar 20 Peta konfigurasi pembangunan bidang pendidikan Distribusi kecamatan di kabupaten/kota pada tiap klasternya yang ditunjukkan pada Tabel 32, dimana kabupaten dengan kecamatan yang terkategori pembangunan pendidikan tinggi terbanyak ditemukan di Kota Pontianak yang mencapai 50%, tigabelas kabupaten/kota lainnya lebih menunjukkan kecamatannya pada tingkatan pembangunan pendidikan yang rendah, dengan distribusi kecamatan berkisar % wilayah. Sebaran ini menunjukkan bahwa pembangunan pendidikan masih terfokus di Kota Pontianak sebagai kota utama, sementara pada wilayah lainnya pembangunan pendidikan kurang dikembangkan. Tabel 32 Distribusi kategori tingkatan pembangunan pendidikan pada kabupaten/kota Distribusi kecamatan dengan kategori Kabupaten/Kota pembangunan kesehatan (persen) Tinggi Sedang Rendah Kabupaten Sambas 0,00 10,53 89,47 Kabupaten Bengkayang 0,00 5,88 94,12 Kabupaten Landak 0,00 7,69 92,31 Kabupaten Pontianak 0,00 11,11 88,89 Kabupaten Sanggau 6,67 0,00 93,33 Kabupaten Ketapang 0,00 10,00 90,00 Kabupaten Sintang 7,14 0,00 92,86 Kabupaten Kapuas Hulu 0,00 0,00 100,00 Kabupaten Sekadau 0,00 14,29 85,71 Kabupaten Melawi 0,00 9,09 90,91 Kabupaten Kayong Utara 0,00 0,00 100,00 Kabupaten Kubu Raya 11,11 11,11 77,78 Kota Pontianak 50,00 33,33 16,67 Kota Singkawang 20,00 40,00 40,00

111 Konfigurasi Pembangunan Bidang Sosial Dalam konteks pembangunan wilayah, modal sosial memegang peranan cukup penting yang berupa gambaran sosial untuk bertindak bersama mencapai tujuan. Modal sosial diartikan sebagai faktor produksi yang mampu menurunkan ongkos produksi. Pendekatan yang digunakan dalam pembangunan modal sosial melalui tiga komponennya, yaitu Norm, Trust dan Network. Norm adalah nilainilai yang membuat individu mau berinvestasi pada aktivitas kolektif, trust menumbuhkan rasa saling percaya sehingga membangun kerjasama dengan orang lain, dan network adalah keterikatan yang terbangun karena adanya norma dan rasa saling percaya antar masyarakat. Indikator yang digunakan pada pembangunan sosial dikelompokkan dalam empat bagian, yakni intensitas konflik, ketersediaan aparat keamanan, aparat pemerintah desa dan fasilitas ibadah. Ketersediaan aparat pemerintah desa, dibangun dari empat variabel, yaitu rasio Kepala Desa, Sekretaris Desa, ketua BPD dan Ketua LPMD terhadap jumlah penduduk desa. Keempat variabel tersebut membentuk satu komponen/penciri (Idx_SDSAPD), yang menggambarkan 82,33% keragaman data dan berkorelasi dengan penurunan 0,97, 0,91, 0,96 dan 0,78 dari empat variabel penyusunnya berturut-turut (Tabel 33), Antara variabel dengan penciri berkorelasi positif, artinya kenaikan satu unit penciri menggambarkan kenaikan variabel sebesar muatan faktornya masingmasing. Dari ketersediaan aparat keamanan desa terbangun dua penciri yang mewakili 77,89% keragaman dari data yang ada. Penciri pertama (Idx_SDSapkamf1) dengan keragaman 44,43% berkorelasi positif dengan rasio jumlah Babinsa dan jumlah Polisi Pelayanan Masyarakat terhadap jumlah penduduk masing-masing dengan muatan faktor sebesar 0,84 dan 0,77 yang artinya peningkatan satu unit penciri berkaitan dengan peningkatan variabel penyusunnya sebesar muatan faktornya. Untuk penciri kedua (Idx_SDSApkamf2) dengan keragaman 33,46% berkorelasi negatif dengan rasio jumlah Hansip/Linmas terhadap jumlah penduduk. Peningkatan satu unit indeks kedua berkorelasi dengan penurunan 0,97 unit variabel tersebut. Kedua komponen yang

112 88 terbangun menunjukkan bahwa ketersediaan aparat keamanaan desa telah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat pada 77,89% kecamatan yang ada. Tabel 33 Muatan faktor variabel dari penciri konfigurasi pembangunan bidang sosial Kelompok Penciri Penciri Faktor Keterangan (% varian) (% varian) Loading Aparat Pemerintahan Desa (82,33) Aparat Keamanan Desa (77,89) Fasilitas Ibadah (64,99) Intensitas Konflik (36,08) Idx_SDSAPD (82,33) Idx_SDSApkamf1 (44,43) Idx_SDSApkamf2 (33,46) Idx_SDSFIf1 (37,02) Idx_SDSFIf2 (27,97) Idx_SDSKf1 (30,94) Idx_SDSKf2 (25,14) Ratio kepala desa per penduduk 0,97( ) Ratio sekretaris desa per penduduk 0,91( ) Ratio ketua BPD per penduduk 0,96( ) Ratio ketua LPMD per penduduk 0,78( ) Ratio Bantuan Bintara Desa (Babinsa) per pernduduk Ratio Polisi Pelayanan Masyarakat per penduduk 0,84(+) 0,77(+) Ratio Hansip/Linmas per penduduk 0,97(-) Pangsa Mesjid 0,89(+) Pangsa Surau 0,92(+) Pangsa Gereja Kristen 0,89(+) Pangsa Gereja Katolik 0,90(+) Pangsa lokal konflik antar warga 0,78(+) Pangsa lokal konflik warga antar desa 0,78(+) Pangsa lokal konflik antar warga dengan 0,71(-) aparat keamanan Pangsa lokal konflik warga lainnya 0,71(+) Ketersediaan Fasilitas Ibadah di setiap kecamatan diwakili oleh enam variabel ketersediaan fasilitas ibadah. Enam variabel direduksi menjadi dua penciri yang mewakili 74,99% keragaman dari data yang ada. Penciri pertama (Idx_SDSFIf1) dengan keragaman 37,02% berkorelasi positif pangsa lokal jumlah Mesjid dan Surau dengan masing-masing 0,89 dan 0,92 yang artinya peningkatan satu unit penciri ini menggambarkan peningkatan variabel penyusunnya sebesar muatan faktornya. Penciri keduanya (Idx_SDSFIf2) dengan keragaman 27,97% berkorelasi positif dengan pangsa lokal jumlah Gereja Kristen dan Gereja Katolik. Peningkatan satu unit penciri kedua menggambarkan peningkatan 0,89 dan 0,90 unit variabel penyusunnya. Tujuh data intensitas konflik merupakan variabel intensitas konflik yang membentuk dua penciri yang mewakili 56,08% keragaman dari data yang ada. Penciri pertama (Idx_SDSKf1) dengan keragaman 30,94% berkorelasi positif dengan intensitas konflik antar warga dan konflik warga antar desa dengan muatan faktor masing-masing 0,78 yang artinya peningkatan satu unit penciri menggambarkan peningkatan variabel penyusunnya sebesar 0,78 unit masingmasing variabel. Untuk penciri kedua (Idx_SDSKf2) dengan keragaman 25,14%

113 89 berkorelasi negatif dengan intensitas konflik warga dengan aparat keamanan sebesar 0,71 dan berkorelasi positif dengan intensitas konflik lainnya sebesar 0,71. Dengan demikian peningkatan satu unit penciri kedua berkorelasi dengan menurunnya 0,71 unit intensitas konflik warga dengan aparat dan menaikkan 0,71 unit intensitas bentuk konflik yang lainnya. Penciri-penciri yang dihasilkan dari analisis PCA digunakan untuk mengklasifikasikan kecamatan dengan memanfaatkan factor score (Lampiran 10) melalui analisis klaster (cluster analysis) berdasarkan kedekatan jarak antar penciri (euclidean distance). Ketujuh penciri yang signifikan menjadi pembeda tiga klaster dengan kategori tinggi, rendah, dan sedang seperti yang ditunjukkan pada Gambar Nilai Tengah Penciri Konfigurasi Pembangunan Sosial 3 nilai tengah Gambar 20 Idx_SDSAPD Idx_SDSFIf1 Idx_SDSKf1 Idx_SDSAK Idx_SDSFIf2 Idx_SDSKf2 Penciri Klaster 1 Klaster 2 Klaster 3 Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) variabel konfigurasi pembangunan bidang sosial. Melalui analisis diskriminan lima penciri signifikan menjadi penciri/pembeda, dengan besarnya kemampuan klasifikasi 95,67%. Masingmasing kelompok tersebut memiliki kategori yang ditunjukkan pada Tabel 34. Klasifikasi pada 175 kecamatan menghasilkan klaster 1 yang terdiri atas 105 kecamatan (60,00%), klaster 2 terdiri atas 56 kecamatan (32,00%), dan klaster 3 terdiri atas 14 kecamatan (8,00%). Keterkaitan penciri keberadaan aparat pemerintah desa dan aparat keamanan berkorelasi terbalik. Distribusi konfigurasi di tingkat kecamatan ditunjukkan pada Lampiran 11.

114 90 Tabel 34 Kategori Penciri pada tipologi pembangunan bidang sosial Indeks Komposit Penciri/Pembeda Kategori I II III Idx_SDSKf1 Pangsa lokal konflik antar warga Rendah Tinggi Sedang Pangsa lokal konflik warga antar desa Rendah Tinggi Sedang Idx_SDSFIf1 Pangsa Mesjid Rendah Tinggi Sedang Pangsa Surau Rendah Tinggi Sedang Idx_SDSFIf2 Pangsa Gereja Kristen Tinggi Rendah Sedang Pangsa Gereja Katolik Tinggi Rendah Sedang Ratio kepala desa per penduduk Tinggi Rendah Sedang Idx_SDSAPD Ratio sekretaris desa per penduduk Tinggi Rendah Sedang Ratio ketua BPD per penduduk Tinggi Rendah Sedang Ratio ketua LPMD per penduduk Tinggi Rendah Sedang Idx_SDSApkamf2 Ratio Hansip/Linmas per penduduk Tinggi Rendah Sedang Untuk klaster pertama, rendahnya intensitas konflik disertai dengan tingginya ketersediaan aparat keamanan dan aparat pemerintahan desa, dan sebaliknya, dimana tingginya intensitas konflik di karenakan rendahnya rasio aparat keamanan dan aparat desa. Di klaster ketiga intensitas konflik sedang, karena rasio aparat pemerintah desa dan keamanan yang memadai. Dari ketiga klaster ini, kategori untuk klaster pertama adalah wilayah dengan ikatan sosial yang tinggi, klaster kedua untuk kategori rendah dan klaster ketiga dengan kategori sedang. Secara spasial spot-spot pada setiap klaster ditunjukkan pada Gambar 21. Gambar 21 Peta konfigurasi pembangunan bidang sosial.

115 91 Gambar 21 menunjukkan bahwa enam wilayah dengan tingkatan pembangunan sosial yang rendah adalah wilayah di sepanjang pesisir Provinsi Kalimantan Barat. Tingginya interaksi dengan wilayah di luar provinsi dibandingkan wilayah tengah dan pesisir, mengakibatkan tingginya keragaman penduduk. Keragaman yang tinggi menjadi faktor resiko bagi pembangunan sosial, karena semakin tinggi keragaman diduga berdampak pada rendahnya ikatan sosial masyarakat (bonding social capital). Proses menuju miniaturisasi komunitas terbangun pada wilayah dengan tingkat keragaman penduduk yang tinggi, karena keterikatan norma dan kepercayaan yang berbeda (Fukuyama, 2002). Distribusi kecamatan di kabupaten/kota pada tiap klasternya ditunjukkan pada Tabel 35, dimana kabupaten dengan kecamatan pada kabupaten/kota dengan kategori pembangunan sosial yang tinggi mencapai persentase 5,26-96,00%. Tiga wilayah dengan sebaran kecamatan lebih dari 50% yang pembangunan sosialnya rendah adalah Kabupaten Sambas, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Kayong Utara, Kabupaten Kubu Raya, Kota Pontianak dan Kota Singkawang. Kabupaten yang berada di bagian tengah provinsi seperti Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sekadau, dan Kabupaten Melawi lebih dari 70% kecamatannya terkategori tingkatan pembangunan sosial yang tinggi. Tabel 35 Distribusi kecamatan dengan kategori tingkat pembangunan sosial di kabupaten/kota Distribusi kecamatan dengan kategori Kabupaten/Kota pembangunan sosial (persen) Tinggi Rendah Sedang Kabupaten Sambas 5,26 73,68 21,05 Kabupaten Bengkayang 70,59 23,53 5,88 Kabupaten Landak 76,92 0,00 23,08 Kabupaten Pontianak 22,22 77,78 0,00 Kabupaten Sanggau 86,67 0,00 13,33 Kabupaten Ketapang 70,00 30,00 0,00 Kabupaten Sintang 78,57 14,29 7,14 Kabupaten Kapuas Hulu 96,00 4,00 0,00 Kabupaten Sekadau 85,71 14,29 0,00 Kabupaten Melawi 81,82 0,00 18,18 Kabupaten Kayong Utara 40,00 60,00 0,00 Kabupaten Kubu Raya 11,11 88,89 0,00 Kota Pontianak 0,00 83,33 16,67 Kota Singkawang 0,00 100,00 0,00

116 Pola Kuadran Pembangunan Manusia terhadap Pembangunan Sosial Pola spasial pembangunan manusia/sosial adalah pola yang menunjukkan pola konfigurasi pembangunan manusia dengan pembangunan sosial, pembangunan manusia merupakan komposit dari pembangunan pendidikan dan kesehatan. Empat pola kuadran dihasilkan dari plot bobot masing-masing konfigurasi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 36. Dari hasil analisis ini menunjukkan tidak satupun wilayah kabupaten/kota yang berada pada kuadran I. Tabel 36 Plot bobot konfigurasi pada Pola Spasial Pembangunan Manusia/Sosial Kabupaten/Kota pada analisis kuadran Bobot Konfigurasi Pembangunan manusia Plot pada Kabupaten/kota Pembangunan Pembangunan Pembangunan Kuadran Komposit sosial kesehatan pendidikan Kabupaten Sintang 0,2500 0,1905 0, ,4405 II Kabupaten Sanggau 0,2333 0,1889 0, ,4778 II Kabupaten Ketapang 0,2167 0,1833 0, ,4000 II Kabupaten Sekadau 0,2143 0,1905 0, ,4524 II Kabupaten Melawi 0,2121 0,1818 0, ,4697 II Kabupaten Landak 0,2051 0,1795 0, ,4615 II Kabupaten Kapuas Hulu 0,1933 0,1667 0, ,4867 II Kabupaten Bengkayang 0,1863 0,1765 0, ,4118 II Kabupaten Sambas 0,2456 0,1842 0, ,2193 III Kabupaten Pontianak 0,2037 0,1852 0, ,2407 III Kabupaten Kayong Utara 0,2000 0,1667 0, ,3000 III Kota Pontianak 0,4444 0,3889 0, ,1944 IV Kota Singkawang 0,3000 0,3000 0, ,1667 IV Kabupaten Kubu Raya 0,2407 0,2222 0, ,2037 IV Dari pola spasial pembangunan manusia/sosial di Kalimantan Barat menunjukkan bahwa sebelas wilayah kabupaten yang berada pada tingkatan pembangunan manusia yang rendah (kuadran II dan III), dan enam wilayah dengan tingkat pembangunan sosialnya yang rendah (kuadran III dan IV). Tidak satupun wilayah yang berada pada kuadran I, yaitu wilayah dengan tingkat pembangunan manusia dan sosial yang tinggi (Gambar 22). Kota Pontianak, Kota Singkawang dan Kabupaten Kubu Raya menunjukkan pola pembangunan manusia yang tinggi, tetapi pembangunan sosialnya rendah. Kabupaten Kubu Raya adalah wilayah pemekaran dari Kabupaten Pontianak yang berbatasan di sebelah barat, selatan maupun timur Kota Pontianak. Ketetanggaan ini membuat kedua wilayah ini, memiliki kemiripan pola pembangunan manusia/sosial. Kota Singkawang juga menunjukkan tingginya tingkat pembangunan manusianya karena sejarah terbentuknya Kota Singkawang sebagai pecahan dari Kabupaten Sambas pada tahun 2003, yang menjadikan Kota

117 93 Singkawang sebagai ibukota kabupaten. Posisi first city di tingkat kabupaten menjadi keuntungan bagi Kota Singkawang, karena investasi pembangunan pendidikan dan kesehatan yang terpusat di wilayah ini. Setelah pemekaran menjadi wilayah administrasi kota, Kota Singkawang mewarisi infrastruktur dan sarana prasarana sebelumnya. 3,5 3,0 Pola Spasial Pembangunan Manusia/Sosial KOTA PONTIANAK Kuadran IV Kuadran I Pembangunan Manusia 2,5 2,0 1,5 SINGKAWANG 1,0 0,5 0,0-0,5 KUBU RAYA SAMBAS PONTIANAK KAYONG UTARA Kuadran III Kuadran II SINTANG SANGGAU KETAPANG SEKADAU BENGKAYANG LANDAK MELAWI KAPUAS HUL -1,0-1,8-1,6-1,4-1,2-1,0-0,8-0,6-0,4-0,2 0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2 Pembangunan Sosial Gambar 22 Kuadran pola spasial pembangunan manusia/sosial di Provinsi Kalimantan Barat. Kabupaten Sambas, Kabupaten Pontianak, dan Kabupaten Kayong Utara adalah tiga wilayah yang berada di Kuadran III. Ketiga kota ini memiliki kemiripan sejarah, yaitu sebagai wilayah induk pemekaran. Kabupaten Sambas mengalami dua kali pemekaran, pemekaran pertama menjadi Kabupaten Sambas dan Kabupaten Bengkayang, yang kemudian terbentuk lagi wilayah admistrasi baru yaitu Kota Singkawang. Untuk Kabupaten Pontianak mengalami pemekaran menjadi Kabupaten Kubu Raya, khususnya wilayah-wilayah kecamatan yang bertetangga langsung di bagian barat, selatan dan timur Kota Pontianak. Berbeda dengan Kabupaten Sambas dan Kabupaten Pontianak, Kabupaten Kayong Utara adalah hasil pemekaran Kabupaten Ketapang di tahun Kesamaan sejarah sebagai wilayah pemekaran merupakan faktor yang menempatkan investasi pendidikan dan kesehatan di ketiga kabupaten ini masih terkategori rendah. Di kudran II adalah wilayah dengan tingkat pembangunan manusia rendah, sedangkan pembangunan sosialnya terkategori tinggi, yaitu Kabupaten Sintang,

118 94 Kabupaten Sanggau, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Melawi, Kabupaten Landak, Kabupaten Kapuas Hulu dan Kabupaten Bengkayang. Wilayah pada kuadran ini berada di wilayah tengah Provinsi Kalimantan Barat, hanya sebagian kecil dari Kabupaten Bengkayang yang berada di wilayah pesisir. Keterbatasan investasi pendidikan dan kesehatan di wilayah ini disebabkan banyaknya kecamatan-kecamatan yang terisolasi karena rendahnya akses jalan ke wilayah-wilayah tersebut dan kepadatan penduduk yang rendah yang berkisar 7-30 jiwa/km 2. Wilayah pada kuadran ini, dapat dikategorikan sebagai wilayah-wilayah yang cukup terbelakang, sehingga dimungkinkan memiliki tingkat resiko munculnya kejadian kemiskinan. 5.3 Pola Spasial Aktivitas Ekonomi Peningkatan aktivitas ekonomi berbasis sumber daya lokal adalah upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebagai syarat keharusan dan kecukupan dalam mengurangi kemiskinan (Siregar, 2006). Oleh karena itu, pola spasial tipologi aktivitas ekonomi dibangun dari konfigurasi sektor pertanian dan sektor industri/perdagangan sebagai sektor penggerak utama perekonomian. Dalam analisis ini, pemetaan sektor-sektor perkotaan dan sektor perdesaan juga akan muncul dari analisis ini, yaitu dengan terpolarisasinya wilayah kabupaten/kota terhadap dua sektor ini Konfigurasi Sebaran Aktivitas Sektor Pertanian Pada kelompok indikator aktivitas sektor pertanian dibagi kembali dalam aktivitas pertanian padi, tanaman pangan lain, perkebunan, peternakan besar/kecil dan peternakan unggas. Masing-masing indikator akan membangun penciri utama wilayah untuk masing-masing aktivitas di sektor pertanian tersebut. Penciri utama adalah faktor yang memiliki eigenvalue satu atau lebih, yang menggambarkan faktor yang paling representatif mewakili keseluruhan data yang ditampilkan dalam analisis ini. Dua variabel yakni pangsa lokal luas panen padi sawah dan padi ladang membentuk satu penciri luasan panen tanaman padi (Idx_AEPadi) dengan keragaman 50,61% yang berkorelasi positif dengan pangsa luasan panen padi sawah dan padi ladang masing-masing sebesar 0,71 (Tabel 37). Peningkatan satu unit penciri berkorelasi dengan kenaikan variabel sebesar muatan faktornya.

119 95 Tabel 37 Muatan faktor variabel dari penciri konfigurasi sektor pertanian Kelompok Penciri Penciri Faktor Keterangan (% varian) (% varian) Loading Luas Panen Padi Idx_AEPadi Pangsa lokal luas panen padi sawah 0,71(+) (50,61) (50,61) Pangsa lokal luas panen padi ladang 0,71(+) Idx_AEPangf1 Produksi Tanaman (27,12) Pangsa produksi Ubi Kayu 0,85(+) Pangan Idx_AEPangf2 bukan-padi (19,47) Pangsa produksi Kacang Hijau 0,78(+) (64,00) Idx_AEPangf3 (17,42) Pangsa produksi Jagung 0,88(+) Produksi Hasil Perkebunan (68,35) Populasi Ternak Besar/Kecil (62,21) Populas ternak Unggas (66,55) Penggunaan Lahan (71,22) Idx_AEBunf1 (20,55) Idx_AEBunf2 (18,40) Idx_AEBunf3 (15,16) Idx_AEBunf4 (14,24) Idx_AETBf1 (36,67) Idx_AETBf2 (25,54) Idx_AETUf1 (40,07) Idx_AETUf2 (26,48) Idx_AELahf1 (42,93) Idx_AELahf2 (28,29) Pangsa lokal produksi kopi 0,72(+) Pangsa lokal produksi tanaman 0,88(+) perkebunan lainnya Pangsa lokal produksi karet 0,79(+) Pangsa lokal produksi kelapa sawit 0,72(+) Pangsa lokal produksi lada 0,81(+) Pangsa lokal produksi kakao 0,84(+) Pangsa lokal produksi kelapa hybrida 0,83(+) Pangsa lokal populasi ternak sapi 0,84(+) Pangsa lokal populasi ternak babi 0,89(+) Pangsa lokal populasi ayam telur 0,90(+) Pangsa lokal populasi itik 0,89(+) Pangsa luasan sawah beririgasi teknis 0,83(+) Pangsa luasan sawah beririgasi nonteknis 0,87(+) Pangsa luasan lahan pertanian non sawah 0,87(+) Pangsa luasan lahan non pertanian 0,91(+) Subsektor pertanian tanaman pangan selain padi, di Kalimantan Barat, dijumpai pula adanya aktivitas pertanian tanaman pangan lain, seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau dan kacang kedelei. Keenam komoditas tersebut digunakan sebagai variabel penyusun penciri utama aktivitas tanaman pangan bukan-padi. Variabel-variabel tersebut membentuk tiga penciri yang mewakili 64,00% keragaman data. Penciri pertama (Idx_AEPangf1) menunjukkan keragaman 27,12% yang berkorelasi positif dengan pangsa lokal produksi ubi kayu dengan muatan faktor 0,85, yang artinya kenaikan satu unit penciri pertama menunjukkan kenaikan 0,85 unit pangsa produksi ubi kayu. Penciri ini sekaligus menunjukkan sentra-sentra produksi ubi kayu di Kalimantan Barat. Penciri kedua dari kelompok tanaman pangan bukan-padi (Idx_AEPangf2) menunjukkan keragaman 19,46% yang berkorelasi positif dengan pangsa lokal produksi kacang hijau dengan muatan faktor 0,78. Kenaikan satu unit penciri

120 96 kedua menunjukkan kenaikan kenaikan 0,78 unit pangsa produksi kacang hijau. Besaran ini menunjukkan 19,46% wilayah di Kalimantan Barat akan didapati produksi kacang hijau. Penciri ketiga (Idx_AEPangf3) pada kelompok ini menunjukkan keragaman 17,42% yang berkorelasi positif dengan pangsa lokal produksi jagung dengan muatan faktor 0,88, yang artinya kenaikan satu unit penciri ketiga menunjukkan kenaikan kenaikan 0,88 unit pangsa produksi jagung. Gambaran dari penciri ini adalah 17,42% wilayah kecamatan di Kalimantan Barat mengembangkan produksi tanaman jagung. Aktifitas perkebunan mencatat enam komoditas utama, dan beberapa komoditas perkebunan lainnya. Komoditas-komoditas tersebut membentuk tujuh variabel yang akan dianalisis, yakni pangsa lokal produksi karet, kelapa dalam, kelapa hybrida, kelapa sawit, lada, kopi, kakao dan tanaman perkebunan lainnya. Tujuh variabel direduksi membentuk empat penciri utama yang mewakili 68,35% keragaman data, yang artinya 68,35% wilayah kecamatan di Kalimantan Barat dijumpai adanya aktivitas sub sektor perkebunan. Penciri pertama (Idx_AEBunf1) memiliki keragaman 20,55% yang berkorelasi positif dengan pangsa lokal produksi kopi dan tanaman perkebunan lainnya dengan muatan faktor berturutturut 0,72 dan 0,88. Kenaikan satu unit penciri pertama berkorelasi dengan kenaikan variabel penyusunnya sebesar muatan faktornya. Penciri ini sekaligus menggambarkan bahwa 20,55% kecamatan menunjukkan adanya aktivitas perkebunan kopi dan hasil perkebunan lainnya. Pada penciri kedua (Idx_AEBunf2) menunjukkan keragaman 18,40% yang berkorelasi positif dengan pangsa lokal produksi karet dan kelapa sawit dengan muatan faktor berturut-turut 0,79 dan 0,72. Kenaikan satu unit penciri kedua berkorelasi dengan kenaikan variabel penyusunnya sebesar muatan faktornya. Dengan demikian karet dan kelapa sawit merupakan komoditas yang dikembangkan pada 18,40% wilayah kecamatan di Kalimantan Barat. Untuk penciri ketiga (Idx_AEBunf3) menunjukkan keragaman 15,16% yang berkorelasi positif dengan pangsa lokal produksi lada dan kakao dengan muatan faktor berturut-turut 0,81 dan 0,84. Kenaikan satu unit penciri ketiga menunjukkan kenaikan variabel penyusunnya sebesar muatan faktornya. Penciri lainnya, yaitu penciri keempat (Idx_AEBunf4) menunjukkan keragaman 14,23% yang berkorelasi positif dengan pangsa lokal

121 97 produksi Kelapa hybrida dengan muatan faktor 0,83. Kenaikan satu unit penciri keempat berkorelasi dengan kenaikan 0,83 pangsa lokal kelapa hybrida. Dalam sebaran aktifitas peternakan ternak besar dan kecil, ada empat komoditas ternak yang membentuk empat variabel yang akan dianalisis, yakni pangsa lokal populasi sapi, kerbau, babi dan kambing. Keempat variabel membentuk dua penciri yang mewakili 62,20% keragaman data, yang menunjukkan adanya aktivitas peternakan pada 62,20% wilayah kecamatan di Provinsi Kalimantan Barat. Penciri pertama (Idx_AETBf1) menunjukkan keragaman 30,67% yang berkorelasi positif dengan pangsa lokal populasi ternak sapi dengan muatan faktor 0,84. Kenaikan satu unit penciri pertama menunjukkan kenaikan 0,84 unit pangsa lokal populasi ternak sapi. Penciri pertama ini, sekaligus memberikan gambaran ditemuinya aktivitas peternakan sapi pada 30,67% kecamatan di Kalimantan Barat. Pada penciri kedua (Idx_AETBf2) menunjukkan keragaman 25,54%, menunjukkan adanya aktivitas peternakan babi, dimana pangsa lokal populasi babi berkorelasi positif dengan pangsa lokal populasi ternak babi dengan muatan faktor 0,89. Kenaikan satu unit penciri kedua berkaitan dengan kenaikan 0,89 unit pangsa lokal populasi ternak babi. Pada aktifitas peternakan unggas, empat komoditas utama membentuk empat variabel yang akan dianalisis, yakni pangsa lokal populasi ayam daging, ayam telur, ayam buras dan itik. Keempat variabel direduksi membentuk dua penciri yang mewakili 66,55% keragaman data, atau dapat dikatakan 66,55% wilayah kecamatan di Provinsi Kalimantan Barat mengembangkan peternakan unggas. Penciri pertama (Idx_AETUf1) merupakan gambaran dari keragaman 40,07% wilayah kecamatan yang berkorelasi positif dengan pangsa lokal populasi ayam petelur dengan muatan faktor 0,90, dimana kenaikan satu unit penciri pertama menunjukkan kenaikan 0,90 unit pangsa lokal populasi ayam petelur. Untuk penciri kedua (Idx_AETUf2) menunjukkan keragaman 26,48% yang berkorelasi positif dengan pangsa lokal populasi ternak itik dengan muatan faktor 0,89. Kenaikan satu unit penciri kedua terkait dengan kenaikan 0,89 unit pangsa lokal populasi ternak itik. Penciri ini sekaligus menggambarkan 26,48% wilayah kecamatan di Provinsi Kalimantan Barat ditemui adanya aktivitas peternakan itik.

122 98 Berlangsungnya suatu aktivitas tidak terlepas dari ketersediaan lahan untuk aktivitas tersebut. Semakin tinggi alokasi penggunaan lahan untuk melakukan suatu kegiatan, dimungkinkan kegiatan tersebut akan semakin berkembang. Demikian halnya dengan aktivitas ekonomi yang berkembang di Provinsi Kalimantan Barat, secara umum masih berbasis ketersediaan dan daya dukung lahan. Dari lima kategori alokasi penggunaan lahan dibangun menjadi variabel penggunaan lahan yang direduksi menjadi dua penciri penggunaan lahan yang mewakili keragaman 71,22% wilayah dengan gambaran ketersediaan penggunaan lahan. Penciri pertama menunjukkan keragaman 42,93% berkorelasi positif dengan pangsa luasan sawah beririgasi teknis dan non teknis. Setiap kenaikan satu unit penciri pertama berkorelasi dengan kenaikan 0,83 unit pangsa luasan sawah berigasi teknis dan 0,87 unit pangsa sawah beririgasi non teknis. Penciri ini menggambarkan bahwa 42,93% wilayah di Kalimantan Barat masih didukung oleh ketersediaan lahan untuk penggunaan sawah. Untuk penciri kedua memiliki total keragaman 28,29% yang berkorelasi positif dengan pangsa luasan lahan pertanian non sawah dan luasan lahan non pertanian. Kenaikan satu unit penciri kedua berkaitan dengan kenaikan 0,87 unit pangsa luasan lahan pertanian non sawah dan 0,91 luasan lahan non pertanian. Penciri-penciri yang dihasilkan dari PCA dimanfaatkan untuk mengklasifikasikan kecamatan berdasarkan kedekatan jarak antar penciri (euclidean distance) dengan teknik analisis klaster (cluster analysis) dengan memanfaatkan factor score unit analisis (Lampiran 12). Nilai tengah penciri menjadi kategori pada tiap klaster seperti yang ditunjukkan pada Gambar 23. Melalui analisis diskriminan sepuluh penciri signifikan menjadi pembeda dari tiga kelompok yang terbentuk dengan besarnya kemampuan klasifikasi 98,86%, artinya hanya 1,14% wilayah kecamatan yang berpeluang dikelompokkan pada kelompok lain. Setiap klaster menunjukkan tingkat kategori penciri yang beragam, bahkan klasterisasi jenis aktivitas sektor pertanian terpetakan dari analisis ini. Apabila aktivitas pertanian berbasis lahan merupakan penciri pada klaster 2, maka pada klaster 3 lebih menunjukkan wilayah dengan penciri utamanya adalah berbasis aktivitas peternakan.

123 99 2,5 Nilai Tengah Penciri Konfigurasi Sebaran Aktivitas Pertanian 2,0 1,5 nilai tengah 1,0 0,5 0,0-0,5-1,0 Gambar 23-1,5 Idx_AEPangf1 Idx_AEBunf2 Idx_AETBf2 Idx_AELahf2 Idx_AEPangf3 Idx_AEBunf4 Idx_AETUf2 Penciri Klaster 1 Klaster 2 Klaster 3 Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) penciri konfigurasi sebaran aktivitas sektor pertanian. Dengan kategori yang tersusun, pada 175 kecamatan, untuk klaster 1 terdiri atas 132 kecamatan (75,43%), klaster 2 terdiri atas 18 kecamatan (10,29%) dan klaster 3 terdiri atas 25 kecamatan (14,29%). Distribusi konfigurasi di tingkat kecamatan ditunjukkan pada Lampiran 13. Klasifikasi penciri menunjukkan bahwa klaster pertama menggambarkan wilayah dengan produksi kelapa hybrida, lada, kakao, populasi itik, sapi, dan babi, serta produksi padi yang rendah, sedangkan produksi ubi kayu, jagung dan kacang hijau terkategori sedang. Penciri untuk klaster kedua menunjukkan produksi kelapa hybrida, populasi itik, sapi, babi, dan ayam petelur terkategori sedang, aktivitas pertanian padi, ubi kayu, jagung, lada dan kakao terkategori tinggi, sedangkan produksi kacang hijau terkategori rendah. Pada klaster ketiga dijumpai tingginya aktivitas sektor perkebunan kelapa hybrida, populasi itik, ayam petelur, sapi dan babi, budidaya kacang hijau. Luas panen padi sawah dan padi ladang, produksi lada dan kakao terkategori sedang, sedangkan penanaman ubi kayu dan jagung terkategori rendah (Tabel 38). Dari pencirian masing-masing klaster, klaster pertama dapat dikategorikan sebagai wilayah dengan aktivitas sektor pertanian yang rendah, klaster kedua berkategori sedang dan klaster ketiga dengan kategori tinggi. Secara spasial, konfigurasi sebaran aktivitas sektor pertanian ditampilkan pada Gambar 24.

124 100 Tabel 38 Kategori Penciri pada tipologi aktivitas sektor pertanian Indeks Komposit Penciri/Pembeda Kategori I II III Idx_AEBunf4 Pangsa lokal produksi kelapa hybrida Rendah Sedang Tinggi Idx_AETUf2 Pangsa lokal populasi itik Rendah Sedang Tinggi Idx_AEPangf1 Pangsa produksi Ubi Kayu Sedang Tinggi Rendah Idx_AEPangf3 Pangsa produksi Jagung Sedang Tinggi Rendah Idx_AETBf1 Pangsa lokal populasi ternak sapi Rendah Sedang Tinggi Idx_AETBf2 Pangsa lokal populasi ternak babi Rendah Sedang Tinggi Idx_AEPadi Pangsa lokal luas panen padi sawah Rendah Tinggi Sedang Pangsa lokal luas panen padi ladang Rendah Tinggi Sedang Idx_AETUf1 Pangsa lokal populasi ayam telur Rendah Sedang Tinggi Idx_AEPangf2 Pangsa produksi Kacang Hijau Sedang Rendah Tinggi Idx_AEBunf3 Pangsa lokal produksi lada Rendah Tinggi Sedang Pangsa lokal produksi kakao Rendah Tinggi Sedang Sebaran spasial dari tipologi ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh kecamatan tergolong kecamatan dengan kategori yang memiliki aktifitas pertanian yang rendah. Pada wilayah dalam klaster 2 dan klaster 3 aktifitas ekonomi pertanian cukup tinggi pada beberapa bidang yang berbeda. Gambaran ini menunjukkan bahwa aktifitas sektor pertanian di Kalimantan Barat, masih belum berimbang perkembangannya, meskipun sumbangan sektor pertanian secara regional merupakan sektor basis perekonomian daerah. Gambar 24 Peta konfigurasi aktivitas sektor pertanian di Provinsi Kalimantan Barat.

125 101 Pada Tabel 39 menunjukkan ada dua kabupaten dengan kecamatan yang sebaran aktivitas sektor pertaniannya tinggi melebih separuh jumlah kecamatan yang ada, yaitu Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya, sedangkan pada 7 wilayah kabupaten/kota yang tidak satupun kecamatannya masuk kategori sebaran aktivitas tinggi, yaitu Kabupaten Bengkayang, Kaupaten Sanggau, Kabupaten Sintang, Kabupaten Kayong Utara, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Melawi, dan Kota Pontianak. Bahkan untuk tiga wilayah terakhir, yaitu Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Melawi, dan Kota Pontianak, keseluruhan kecamatan di wilayahnya terkategori aktivitas sektor pertanian rendah. Kota Pontianak yang merupakan wilayah perkotaan yang aktivitas ekonominya tidak relevan dengan sektor pertanian. Rendahnya aktivitas sektor pertanian di Kabupaten Kapuas Hulu dan Kabupaten Melawi disebabkan karena kondisi fisik wilayah yang teralokasi untuk lahan pertanian hanya sebesar 6% dan 4% dari total luas wilayahnya masing-masing (BPS, 2009). Untuk Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya, lebih dari separuh kecamatan terkategori sebaran sektor pertanian sedang. Tabel 39 Distribusi kecamatan dengan kategori sebaran aktivitas sektor pertanian di tingkat kabupaten/kota Distribusi kecamatan dengan kategori sebaran Kabupaten/Kota aktivitas sektor pertanian (persen) Rendah Sedang Tinggi Kabupaten Sambas 57,89 5,26 36,84 Kabupaten Bengkayang 82,35 17,65 0,00 Kabupaten Landak 46,15 46,15 7,69 Kabupaten Pontianak 33,33 0,00 66,67 Kabupaten Sanggau 60,00 40,00 0,00 Kabupaten Ketapang 90,00 0,00 10,00 Kabupaten Sintang 92,86 7,14 0,00 Kabupaten Kapuas Hulu 100,00 0,00 0,00 Kabupaten Sekadau 71,43 0,00 28,57 Kabupaten Melawi 100,00 0,00 0,00 Kabupaten Kayong Utara 80,00 20,00 0,00 Kabupaten Kubu Raya 33,33 0,00 66,67 Kota Pontianak 100,00 0,00 0,00 Kota Singkawang 80,00 0,00 20, Konfigurasi Sebaran Aktivitas Sektor Industri/Perdagangan Sektor perdagangan dan industri merupakan sektor ekonomi yang memberikan kontribusi kedua terbesar di Kalimantan Barat. Aktivitas di sektor ini dikelompokkan dalam industri kecil/rumah tangga, perdagangan, hotel dan restoran, koperasi, perdagangan/ industri berizin.

126 102 Aktifitas ekonomi di sektor industri khususnya industri kecil/rumah tangga menampilkan delapan kategori aktifitas industri yang membangun variabel industri kecil/rumah tangga, yakni pangsa lokal jumlah industri berbahan baku kulit, berbahan baku kayu, berbahan baku logam, pengrajin anyaman, pengrajin keramik, kain tenun, industri makanan dan minuman, serta industri kecil lainnya. Variabel-variabel tersebut membentuk tiga penciri yang menggambarkan 53,60% wilayah dijumpai aktivitas industri kecil/rumah tangga. Pada Tabel 40, penciri pertama (Idx_AEIRTf1) menunjukkan keragaman 24,03% yang berkorelasi positif dengan pangsa lokal industri kecil makanan dan minuman dan industri lainnya dengan muatan faktor masing-masing 0,87 dan 0,90 dimana kenaikan satu unit penciri pertama menunjukkan kenaikan variabel penyusunnya sebesar muatan faktornya masing-masing. Penciri keduanya (Idx_AEIRTf2) menunjukkan keragaman 16,41% yang berkorelasi positif dengan pangsa lokal industri kecil berbahan baku kayu dan logam dengan muatan faktor masing-masing 0,72 dan 0,75. Kenaikan satu unit penciri kedua berkorelasi dengan kenaikan variabel penyusunnya sebesar muatan faktornya masing-masing. Penciri ketiga (Idx_AEIRTf3) menunjukkan keragaman 13,16% yang berkorelasi negatif dengan pangsa lokal industri kecil berbahan baku kulit dengan muatan faktor 0,87. Untuk kenaikan satu unit penciri ketiga menunjukkan penurunan variabel penyusunnya sebesar 0,87 pangsa lokal kerajinan rumah tangga berbahan baku kulit. Aktifitas ekonomi di sektor perdagangan, hotel dan restoran menampilkan sembilan model aktifitas yang membangun variabel perdagangan, hotel dan restoran, yakni pangsa lokal jumlah kios tani KUD, kios tani non-kud, pasar tradisional, minimarket, restoran, kedai makan, toko kelontong, hotel dan motel. Variabel-variabel tersebut membangun tiga penciri yang menggambarkan 69,18% wilayah terkait dengan aktivitas perdagangan, hotel dan restoran. Penciri pertama (Idx_AEDHRf1) menunjukkan keragaman 42,59% yang berkorelasi positif dengan pangsa lokal jumlah pasar tradisional, minimarket dan restoran dengan muatan faktor masing-masing 0,72, 0,85 dan 0,86. Kenaikan satu unit penciri pertama menunjukkan kenaikan variabel penyusunnya sebesar muatan faktornya masing-masing. Penciri ini akan terkait dengan aktivitas perdagangan pada wilayah yang lebih berkembang. Penciri keduanya (Idx_AEDHRf2) menunjukkan

127 103 keragaman 13,66% yang berkorelasi positif dengan pangsa lokal jumlah motel/penginapan lainnya dengan muatan faktor 0,76. Kenaikan satu unit penciri kedua menunjukkan kenaikan variabel penyusunnya sebesar 0,76 pangsa lokal jumlah motel/penginapan lain. Penciri lainnya, yaitu penciri ketiga (Idx_AEDHRf3) menunjukkan keragaman 12,96% yang berkorelasi positif dengan pangsa lokal jumlah kios tani dengan muatan faktor 0,88. Kenaikan satu unit penciri ketiga menunjukkan kenaikan variabel penyusunnya sebesar 0,88 pangsa lokal jumlah kios tani. Penciri ini terkait dengan fasilitas industri/perdagangan di pedesaan. Tabel 40 Muatan faktor penciri dari konfigurasi sebaran aktivitas sektor industri/perdagangan Kelompok Penciri Penciri Faktor Keterangan (% varian) (% varian) Loading Pangsa lokal Industri makanan dan 0,87(+) Idx_AEIRTf1 (24,03) minuman Pangsa lokal Industri kecil/ rumah tangga 0,90(+) lainnya Industri Kecil/ Pangsa lokal kerajinan rumah tangga 0,72(+) Rumah tangga Idx_AEIRTf2 berbahan kayu (53,60) (16,41) Pangsa lokal kerajinan rumah tangga 0,75(+) berbahan logam Idx_AEIRTf3 (13,16) Pangsa lokal kerajinan rumah tangga berbahan kulit 0,87(-) Pangsa lokal pasar tradisional 0,72(+) Idx_AEDHRf1 Pangsa lokal minimarket 0,85(+) (42,56) Pangsa lokal restoran 0,86(+) Perdagangan, Hotel, dan Rumah Makan (69,18) Kelembagaan Koperasi (36,98) Izin Industri/ Perdagangan (59,05) Idx_AEDHRf2 (13,66) Idx_AEDHRf3 (12,96) Idx_AEKopr (36,98) Idx_AEIUD (59,05) Pangsa lokal motel/penginapan lain 0,76(+) Pangsa lokal kios tani non KUD 0,88(+) Pangsa lokal koperasi non KUD 0,79(-) Pangsa lokal Perdagangan Besar 0,90(+) Pangsa lokal Perdagangan Kecil 0,91(+) Aktifitas ekonomi oleh koperasi menampilkan empat model kelembagaan koperasi yang membangun variabel kelembagaan koperasi, yakni pangsa lokal jumlah KUD, Kopinkra, Koperasi Simpan Pinjam dan Koperasi non-kud. Dari empat variabel tersebut direduksi membentuk satu komponen utama yang mewakili 36,98% keragaman data yang ada dan berkorelasi negatif dengan pangsa lokal jumlah lembaga koperasi non-kud dengan muatan faktor 0,79.

128 104 Kenaikan satu unit penciri menunjukkan penurunan variabel penyusunnya sebesar 0,79 unit pangsa lokal lembaga koperasi non-kud. Aktifitas ekonomi di sektor perdagangan dan industri secara formal dapat pula ditampilkan dari jumlah surat izin usaha yang dikeluarkan, dan menampilkan empat variabel aktifitas industri/perdagangan, yakni pangsa lokal jumlah industri/perdagangan besar, menengah dan kecil. Dari tiga variabel tersebut membentuk satu penciri yang menunjukkan adanya aktivitas industri/perdagangan pada 59,05% wilayah dan berkorelasi positif dengan pangsa lokal jumlah perdagangan besar dan kecil dengan muatan faktor masing-masing 0,90 dan 0,91. Kenaikan satu unit penciri menunjukkan peningkatan variabel penyusunnya sebesar muatan faktornya masing-masing. Penciri-penciri hasil PCA digunakan dalam mengklasifikasikan kecamatan dengan memanfaatkan factor score (Lampiran 14) berdasarkan kedekatan jarak antar penciri (euclidean distance) melalui analisis klaster (cluster analysis). Kedelapan penciri signifikan menjadi pembeda tiga klaster dengan kategori tinggi, rendah, dan sedang seperti yang ditunjukkan pada Gambar Nilai Tengah Penciri Konfigurasi Aktivitas Sektor Industri/Perdagangan 4 3 nilai tengah Gambar 25 Idx_AEIRTf1 Idx_AEIRTf3 Idx_AEDHRf2 Idx_AEKopr Idx_AEIRTf2 Idx_AEDHRf1 Idx_AEDHRf3 Idx_AEIUD Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) penciri konfigurasi aktivitas sektor industri/perdagangan. Melalui analisis diskriminan enam penciri signifikan menjadi penciri/pembeda dari tiga kelompok yang terbentuk dengan besarnya kemampuan klasifikasi 100,00%. Masing-masing kelompok tersebut memiliki kategori seperti yang diuraikan pada Tabel 41. Penciri Klaster 1 Klaster 2 Klaster 3

129 105 Tabel 41 Kategori pembeda pada konfigurasi aktivitas sektor industri/ perdagangan Penciri Keterangan Kategori I II III Idx_AEIUD Pangsa lokal Perdagangan Besar Tinggi Rendah Sedang Pangsa lokal Perdagangan Kecil Tinggi Rendah Sedang Idx_AEDHRf3 Pangsa lokal kios tani non KUD Rendah Sedang Tinggi Pangsa lokal pasar tradisional Sedang Rendah Tinggi Idx_AEDHRf1 Pangsa lokal minimarket Sedang Rendah Tinggi Pangsa lokal restoran Sedang Rendah Tinggi Idx_AEDHRf2 Pangsa lokal motel/penginapan lain Tinggi Sedang Rendah Pangsa lokal Industri makanan dan Sedang Rendah Tinggi Idx_AEIRTf1 minuman Pangsa lokal Industri kecil/ rumah Sedang Rendah Tinggi tangga lainnya Idx_AEKopr Pangsa lokal koperasi non KUD Sedang Rendah Tinggi Klasifikasi pada 175 kecamatan menghasilkan klaster 1 terdiri atas 17 kecamatan (9,71%), tipologi II terdiri atas 153 kecamatan (87,43%) dan tipologi 3 terdiri atas 5 kecamatan (2,86%). Distribusi konfigurasi di tingkat kecamatan ditunjukkan pada Lampiran 15. Dari hasil klasifikasi, penciri dari kategori pertama menunjukkan tingginya aktivitas perdagangan/industri besar dan kecil yang terdaftar, dan pangsa lokal penginapan kecil/motel. Sementara untuk jumlah kios tani non KUD dengan kategori rendah, dan sebaran yang sedang untuk pangsa lokal pasar tradisional, minimarket dan restoran, serta aktivitas sektor industri kecil/rumah tangga dan koperasi non KUD. Untuk klaster kedua dicirikan dengan rendahnya aktivitas perdagangan/industri besar dan kecil yang terdaftar, pangsa lokal pasar tradisional, minimarket dan restoran, dan koperasi non KUD, serta aktivitas sektor industri kecil/rumah tangga. Kategori sedang untuk pangsa kios tani non KUD dan pangsa lokal penginapan kecil/motel. Di klaster ketiga pencirinya adalah pangsa lokal pasar tradisional, minimarket dan restoran, sektor industri kecil/rumah tangga dan pangsa koperasi non KUD yang tinggi. Kategori aktivitas yang sedang untuk pangsa kios tani non KUD yang tinggi serta aktivitas kategori sedang untuk aktivitas perdagangan/industri besar dan kecil yang terdaftar dan rendah untuk pangsa lokal penginapan kecil/motel.

130 106 Secara umum, masing-masing klaster dapat dikategorikan dengan aktivitas tinggi pada klaster pertama, kategori rendah untuk klaster kedua dan sedang untuk klaster ketiga. Dari Gambar 26, tampak bahwa wilayah di Provinsi Kalimantan Barat dominan berada pada tipologi ketiga, yang mencerminkan rendahnya aktivitas sektor perdagangan dan industri. Aktivitas sektor ini hanya berkembang pada sebagian kecil kecamatan. Kondisi ini tentunya berdampak pula pada terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia untuk menampung tenaga kerja non pertanian. Dampak nyata dari keterbatasan lapangan pekerjaan ini dapat menjadi pemicu tingginya insiden kemiskinan pada suatu wilayah. Gambar 26 Peta konfigurasi aktivitas sektor industri/perdagangan di Provinsi Kalimantan Barat. Kabupaten yang dijumpai adanya kecamatan dengan kategori sebaran aktivitas industri/perdagangan tinggi adalah Kabupaten Sintang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Melawi, Kabupaten Landak, Kabupaten Sambas, Kabupaten Ketapang, Kota Singkawang, dan Kota Pontianak. Kota Pontianak sebagai kota utama di provinsi ini menunjukkan seluruh kecamatannya terkategori sebaran aktivitas industri/perdangan yang tinggi. Kabupaten Bengkayang, dan Kabupaten Kapuas Hulu, meskipun PDRB-nya di tahun 2008 termasuk tinggi, akan tetapi tidak satupun kecamatan di wilayahnya terkategori sebaran aktivitas sektor industri/perdagangan tinggi. Untuk Kabupaten Kayong

131 107 Utara sebagai kabupaten kedua termuda, belum mampu mendorong aktivitas industri/perdagangan di wilayah ini berkembang, terlihat dari rendahnya kontribusi PDRB wilayahnya terhadap PDRB provinsi, dalam analisis ini juga menunjukkan bahwa keseluruhan kecamatan terkategori sebaran aktivitas sektor industri dan perdagangan tinggi. Distribusi kecamatan di kabupaten/kota pada tiap klasternya ditunjukkan pada Tabel 42. Gambaran distribusi ini menunjukkan, di Provinsi Kalimantan Barat aktivitas sektor industri/perdagangannya belum berkembang baik di wilayah kabupaten/kota selain Kota Pontianak. Tabel 42 Distribusi kecamatan dengan kategori sebaran aktivitas sektor industri/perdagangan di kabupaten/kota Distribusi kecamatan dengan kategori Kabupaten/Kota aktivitas sektor industri/perdagangan (persen) Tinggi Rendah Sedang Kabupaten Sambas 5,26 78,95 15,79 Kabupaten Bengkayang 0,00 100,00 0,00 Kabupaten Landak 7,69 92,31 0,00 Kabupaten Pontianak 22,22 77,78 0,00 Kabupaten Sanggau 6,67 93,33 0,00 Kabupaten Ketapang 5,00 95,00 0,00 Kabupaten Sintang 7,14 92,86 0,00 Kabupaten Kapuas Hulu 0,00 100,00 0,00 Kabupaten Sekadau 14,29 85,71 0,00 Kabupaten Melawi 9,09 90,91 0,00 Kabupaten Kayong Utara 0,00 100,00 0,00 Kabupaten Kubu Raya 0,00 77,78 22,22 Kota Pontianak 100,00 0,00 0,00 Kota Singkawang 40,00 60,00 0, Pola Kuadran Sebaran Aktivitas Sektor Pertanian terhadap Sektor Industri/Perdagangan Pola spasial aktivitas ekonomi adalah pola yang menunjukkan pola konfigurasi sebaran aktivitas sektor pertanian terhadap sektor industri/ perdagangan. Empat pola kuadran dihasilkan dari plot bobot masing-masing konfigurasi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 43. Dari pola spasial tipologi aktivitas ekonomi di Provinsi Kalimantan Barat juga menunjukkan polarisasi tipologi wilayah desa-kota pada kabupaten/kota dalam kuadran. Kota Pontianak dan Kota Singkawang ada dalam kuadran II yang menunjukkan tingginya aktivitas sektor industri/perdagangan tinggi, sedangkan aktivitas sektor pertanian terkategori rendah.

132 108 Tabel 43 Plot Bobot Konfigurasi pada Pola Spasial tipologi Aktivitas Ekonomi di Kabupaten/Kota pada Analisis Kuadran Kabupaten/kota Bobot Konfigurasi Plot pada Aktivitas sektor Aktivitas sektor Kuadran pertanian industri/perdagangan Kota Singkawang 0,2000 0,3000 II Kota Pontianak 0,1667 0,5000 II Kabupaten Bengkayang 0,2255 0,1667 III Kabupaten Ketapang 0,1833 0,1833 III Kabupaten Sintang 0,1905 0,1905 III Kabupaten Kapuas Hulu 0,1667 0,1667 III Kabupaten Sekadau 0,2143 0,2143 III Kabupaten Melawi 0,1667 0,1970 III Kabupaten Landak 0,3333 0,1923 IV Kabupaten Sanggau 0,3000 0,1889 IV Kabupaten Pontianak 0,2778 0,2407 IV Kabupaten Kubu Raya 0,2778 0,2037 IV Kabupaten Sambas 0,2456 0,2105 IV Kabupaten Kayong Utara 0,2333 0,1667 IV Kuadran IV yang terdiri atas Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Sambas dan Kabupaten Kayong Utara merupakan wilayah yang aktivitas sektor pertaniannya tinggi, sedangkan sektor industri/perdagangan rendah. Untuk Kabupaten Sambas dan Kabupaten Landak, tingginya intensitasi aktivitas di wilayah ini sejalan dengan kontribusi sektor pertanian di wilayahnya masing-masing yang berturut-turut sebesar 43,41% dan 51,94% dengan besaran PDRB sektor pertaniannya sebesar Rp1,99 trilyun dan Rp1,26 trilyun. Untuk Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Kubu Raya yang berada di kuadran ini, kontribusi sektor pertanian tidak sebesar dua kabupaten yang disebutkan tadi, tetapi magnitude-nya menunjukkan besaran yang relevan dengan pola spasialnya, dimana PDRB sektor pertanian tahun 2008 berdasarkan harga berlaku tahun 2000, Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Kubu Raya masing-masing sebesar Rp1,60 dan Rp1,4 trilyun. Kondisi yang sangat berbeda pada Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Kayong Utara, dimana meskipun pola spasial sebaran aktivitas sektor pertaniannya terkategori tinggi, tetapi PDRB sektor pertaniannya jauh lebih rendah dibandingkan kabupaten lain yang berada di kuadran yang sama yang hanya mencapai Rp0,51 trilyun dan Rp0,32 trilyun. Diduga pada wilayah ini, pengelolaan sektor pertaniannya tidak efisien, meskipun intensitas aktivitas tinggi, tetapi dimungkinkan komoditas yang berkembang tidak memiliki nilai tukar tinggi dibandingkan wilayah lain seperti

133 109 pada Kabupaten Sambas, Kabupaten Sanggau, dan Kabupaten Landak yang memiliki komoditas unggulan karet dan kelapa sawit. Dari data statistik 2008, menunjukkan intensitas produk pertanian di Kabupaten Pontianak yang unggul adalah ayam potong yang populasinya mencapai 3,51 juta ekor atau sebesar 26,81% dari populasi ayam potong yang ada di Provinsi Kalimantan Barat. Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Sintang, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kapuas Hulu dan Kabupaten Melawi yang berada di Kuadran III, dengan pola sebaran sektor pertanian dan industri/perdagangan rendah sejalan dengan PDRB wilayahnya yang berada pada besaran dibawah Rp 1,00 trilyun. Pola spasial aktivitas ekonomi yang dihasilkan dari analisis ini terlihat pada Gambar 27. 2,5 2,0 Kuadran IV LANDAK Pola Spasial Aktivitas Ekonomi Kuadran I 1,5 SANGGAU Sektor Pertanian 1,0 KUBU RAYA PONTIANAK 0,5 SAMBAS KAYONG UTARA BENGKAYANG 0,0 SEKADAU -0,5 SINTANG KETAPANG -1,0KAPUAS HULU MELAWI SINGKAWANG KOTA PONTIANAK -1,5 Kuadran III Kuadran II -1,0-0,5 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 Sektor Industri/Perdagangan Gambar 27 Pola spasial tipologi aktivitas ekonomi di Provinsi Kalimantan Barat. 5.4 Tipologi Wilayah Berdasarkan Pola Spasial Kemiskinan, Pembangunan Manusia/Sosial, dan Aktivitas Ekonomi Analisis pola spasial kemiskinan, pembangunan manusia/sosial, dan aktivitas ekonomi yang dibangun dari komponen konfigurasinya membentuk tipologi wilayah kabupaten/kota dengan memanfaatkan prinsip tree clustering, dimana wilayah akan dikelompokkan berdasarkan kemiripan nilai tengah (euclidean distance) dari bobot kabupaten/kota. Enam konfigurasi wilayah kabupaten/kota, yaitu konfigurasi tingkat sebaran keluarga miskin (Misk), sebaran penduduk (Demog), tingkatan pembangunan manusia (PM), tingkatan pembangunan sosial (PS), sebaran aktivitas sektor

134 110 pertanian (Tani), dan sebaran aktivitas sektor industri/perdagangan (Indag) membangun 4 tipologi berdasarkan empat tahapan pengelompokkan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 28. Tahapan pertama wilayah dikelompokkan berdasarkan kesamaan jarak nilai tengah dari bobot konfigurasi sebaran aktivitas industri/perdagangan, tingkat pembangunan manusia, dan sebaran penduduk. Tahapan kedua dan ketiga adalah berturut-turut kesamaan atas dasar tingkat pembangunan sosial dan sebaran penduduk miskin. Tahapan keempat pengelompokkan atas dasar kesamaan sebaran aktivitas pertanian. 12 Proses Klasterisasi 6 variabel Ward`s method Euclidean distances 10 Linkage Distance Indag PM Demog Tani Sosial Misk Gambar 28 Proses klasterisasi tipologi wilayah berdasarkan pola spasial kemiskinan, pembangunan manusia/sosial, dan aktivitas ekonomi di Provinsi Kalimantan Barat. Dari keempat tahapan klasterisasi, wilayah dikelompokkan dengan teknik K-means clustering untuk mengetahui tipologi wilayah dengan tingkatan variabelnya masing-masing seperti yang ditunjukkan pada Gambar 29. Ukuran tinggi dan rendah dari nilai tengah variabel dilihat pada posisi nilai tengah di atas atau di bawah sumbu nol, yaitu: a) tipologi 1 adalah wilayah dengan sebaran keluarga miskin tinggi, sebaran penduduk rendah, tingkat pembangunan manusia rendah, tingkat pembangunan sosial tinggi, sebaran aktivitas sektor pertanian tinggi, dan sebaran aktivitas sektor industri/perdagangan rendah; b) tipologi 2 adalah wilayah dengan sebaran keluarga miskin tinggi, sebaran penduduk tinggi, tingkat pembangunan manusia tinggi, tingkat pembangunan sosial rendah, sebaran aktivitas sektor pertanian rendah, dan sebaran aktivitas sektor

135 111 industri/perdagangan tinggi; c) tipologi 3 adalah wilayah dengan sebaran keluarga miskin rendah, sebaran penduduk tinggi, tingkat pembangunan manusia tinggi, tingkat pembangunan sosial rendah, sebaran aktivitas sektor pertanian tinggi, dan sebaran aktivitas sektor industri/perdagangan tinggi; dan d) tipologi 4 adalah wilayah dengan sebaran keluarga miskin rendah, sebaran penduduk rendah, tingkat pembangunan manusia rendah, tingkat pembangunan sosial tinggi, sebaran aktivitas sektor pertanian rendah, dan sebaran aktivitas sektor industri/perdagangan rendah; 5 TIPOLOGI TINGKAT KABUPATEN Misk Demog PM Sosial Tani Indag INDIKATOR Tipologi 1 Tipologi 2 Tipologi 3 Tipologi 4 Gambar 29 Tipologi wilayah berdasarkan pola spasial kemiskinan, pembangunan manusia/sosial, dan aktivitas ekonomi di Provinsi Kalimantan Barat. Tipologi yang dihasilkan dari kompilasi enam konfigurasi tersebut menghasilkan empat tipologi, dengan susunan kabupaten/kota sebagai berikut: a) tipologi 1 terdiri atas tiga kabupaten yaitu Kabupaten Sintang, Kabupaten Landak, dan Kabupaten Sanggau; b) tipologi 2 yaitu Kota Pontianak; c) tipologi 3 terdiri atas empat kabupaten/kota yaitu Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Sambas, dan Kota Singkawang; dan d) tipologi 4 terdiri atas enam kabupaten yaitu Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Melawi, Kabupaten Kayong Utara, dan Kabupaten Bengkayang. Hasil klasterisasi kabupaten/kota berdasarkan tingkat sebaran keluarga miskin, sebaran penduduk, pembangunan manusia, pembangunan sosial, aktivitas sektor pertanian dan sektor industri/perdagangan ditampilkan pada Tabel 44.

136 112 Tabel 44 Tipologi wilayah berdasarkan kategori tingkat kemiskinan, pembangunan manusia/sosial dan aktivitas ekonomi Kabupaten/ Kota Kategori tingkatan pada konfigurasi* Tipo- Misk Demog PM PS Tani Indag logi Kab. Sintang Tinggi Rendah Rendah Tinggi Tinggi Rendah 1 Kab. Landak Tinggi Rendah Rendah Tinggi Tinggi Rendah 1 Kab. Sanggau Tinggi Rendah Rendah Tinggi Tinggi Rendah 1 Kota Pontianak Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Rendah Tinggi 2 Kab. Kubu Raya Rendah Tinggi Tinggi Rendah Tinggi Tinggi 3 Kab. Pontianak Rendah Tinggi Tinggi Rendah Tinggi Tinggi 3 Kota Singkawang Rendah Tinggi Tinggi Rendah Tinggi Tinggi 3 Kab. Sambas Rendah Tinggi Tinggi Rendah Tinggi Tinggi 3 Kab. Ketapang Rendah Rendah Rendah Tinggi Rendah Rendah 4 Kab. Kapuas Hulu Rendah Rendah Rendah Tinggi Rendah Rendah 4 Kab. Sekadau Rendah Rendah Rendah Tinggi Rendah Rendah 4 Kab. Melawi Rendah Rendah Rendah Tinggi Rendah Rendah 4 Kab. Kayong Utara Rendah Rendah Rendah Tinggi Rendah Rendah 4 Kab. Bengkayang Rendah Rendah Rendah Tinggi Rendah Rendah 4 Keterangan : Konfigurasi* : Misk = Tingkat Sebaran Keluarga Miskin Demog = Tingkat Sebaran Penduduk PM = Tingkat Pembangunan Manusia PS = Tingkat Pembangunan Sosial Tani = Tingkat Sebaran Aktivitas Sektor Pertanian Indag = Tingkat Sebaran Aktivitas Sektor Industri/Perdagangan Wilayah pada tipologi 1 adalah wilayah berbasis pertanian dengan tingkat kemiskinan tinggi. Dengan jumlah penduduk rendah menandakan wilayah ini kepadatan keluarga miskinnya tinggi. Data statistik tahun 2008 mencatat jumlah penduduk miskin di Kabupaten Sintang sebesar 66 ribu orang, dan Kabupaten Landak sebesar 54 ribu orang. Jumlah ini melebihi 10% dari total jumlah penduduk miskin di Kalimantan Barat. Sedangkan di Kabupaten Sanggau, jumlah penduduk miskinnya hanya berkisar 5% dari total penduduk miskin di Kalimantan Barat. Diduga tingginya sebaran keluarga miskin di Kabupaten Sanggau terkait dengan ukuran keluarga miskin yang relatif lebih kecil dibandingkan dua kabupaten pada tipologi yang sama. Wilayah pada tipologi 1 memiliki tingkat resiko terus meningkatnya jumlah penduduk/keluarga miskin, terkait tingkat pembangunan manusianya yang rendah. Dengan aktivitas ekonomi berbasis pertanian yang memiliki karakteristik sumber daya manusia berpendidikan rendah dan produktivitas tenaga kerja yang rendah, membuat kelompok miskin terutama keluarga yang bekerja di sektor pertanian, sulit untuk keluar dari kemiskinannya.

137 113 Pada tipologi 2, merupakan bentuk kemiskinan di perkotaan, dimana tingginya jumlah penduduk miskin terkait dengan jumlah penduduk yang tinggi. Tingginya investasi di perkotaan, yang ditunjukkan dengan tingkat pembangunan manusia dan aktivitas sektor industri/perdagangan yang tinggi, memunculkan bias pembangunan perkotaan. Tingginya tekanan arus urbanisasi dapat menurunkan daya dukung perkotaan terhadap jumlah penduduk, khususnya ketersediaan lapangan kerja. Terlebih lagi, urbanisasi diikuti oleh rendahnya kualitas penduduk yang memasuki wilayah perkotaan, khususnya dari perdesaan yang memperparah kemiskinan di perkotaan. Dampak urbanisasi yang paling nyata timbul di perkotaan adalah tingginya pemukiman kumuh seperti di Kecamatan Pontianak Barat dan juga pinggiran kota, Kecamatan Pontianak Utara dan Kecamatan Pontianak Timur, sehingga menjadikan tiga kecamatan ini sebagai kantong kemiskinan di Kalimantan Barat. Untuk wilayah di tipologi 3 adalah wilayah yang memiliki karakteristik penduduk miskin rendah dengan sebaran penduduk tinggi, pembangunan manusia dan aktivitas ekonomi tinggi. Tingkat kemiskinan pada wilayah ini relatif lebih baik dibandingkan dua tipologi sebelumnya. Dari tipologi ini menunjukkan bahwa investasi yang tinggi terhadap kualitas manusia melalui pembangunan manusia dibidang kesehatan dan pendidikan, akan mampu meningkatkan kapabilitas penduduknya untuk hidup lebih baik dan keluar dari lingkaran kemiskinan. Sumber daya yang baik tentunya menjadi modal manusia untuk mengembangkan wilayahnya melalui pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Data statistik menunjukkan pada tahun 2008 laju pertumbuhan ekonomi empat wilayah ini diatas 5%, lebih tinggi dibandingkan tiga kabupaten pada tipologi pertama yang pertumbuhannya dibawah 5%. Tipologi ini dikategorikan sebagai wilayah yang paling memungkinkan untuk keluar dari permasalahan kemiskinanannya sebagaimana langkah pemetaan rumah tangga yang berada di 35 desa sebelah Utara India. Hasilnya didapatkan rumah tangga mana saja yang tetap atau dapat keluar dari kemiskinannya (Khrisna, 2003). Di tipologi 4, pola yang muncul adalah tingkat kemiskinan yang rendah dengan jumlah penduduk yang rendah, serta pembangunan manusia dan aktivitas ekonomi yang rendah pula. Data Statistik tahun 2008 menunjukkan bahwa

138 114 Kabupaten Sekadau, Kabupaten Kayong Utara, Kabupaten Melawi, Kabupaten Kapuas Hulu, dan Kabupaten Bengkayang sebaran penduduk miskinnya relatif rendah dibandingkan wilayah lainnya, dengan jumlah penduduk miskin yang berkisar 2-5% dari total penduduk miskin di provinsi. Berbeda dengan Kabupaten Ketapang, dari sumber data yang sama, menunjukkan jumlah penduduk miskinnya mencapai 67,7 ribu orang atau berkisar 13,47% dari total penduduk miskin di Provinsi Kalimantan Barat. Tingkat kemiskinan di kabupaten ini lebih tinggi dibandingkan wilayah lain pada tipologi yang sama. Sebaran rendah untuk keluarga miskin di Kabupaten Ketapang menunjukkan bahwa size atau ukuran rumah tangga miskin yang berada di Kabupaten Ketapang cukup tinggi, yaitu sebesar 2,06 orang pada setiap satu rumah tangga miskin. Selain Kabupaten Ketapang, wilayah lain pada tipologi ini dengan size atau ukuran rumah tangga terkategori tinggi adalah Kabupaten Bengkayang dan Kabupaten Kayong Utara yang berturut-turut sebesar 2,45 dan 3,12 orang per rumah tangga miskin. Tingkat pembangunan manusia di wilayah pada tipologi 4 menunjukkan tingkat pembangunan manusia dan aktivitas ekonomi yang rendah, baik aktivitas sektor pertanian maupun sektor industri/perdagangan. Tingkat kemiskinan di tipologi ini tergolong lebih baik dibandingkan tipologi 1, akan tetapi wilayah pada tipologi ini juga relatif rentan akan peningkatan insiden kemiskinan. Rendahnya investasi di bidang pembangunan manusia, akan berakibat rendahnya pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut. Pada tahun 2008, tiga kabupaten pada tipologi keempat yaitu Kabupaten Sekadau, Kabupaten Melawi, dan Kabupaten Kayong Utara adalah kabupaten dengan PDRB tiga terendah di Kalimantan Barat dengan besaran kurang dari Rp1,00 trilyun. Apabila pemerintah daerah tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, maka pembangunan pada tiga wilayah ini akan semakin tertinggal dan beresiko tinggi akan meningkatnya insiden kemiskinan. Timbulnya resiko kemiskinan di wilayah ini, akan diperparah apabila sumber daya yang dimiliki terbatas untuk diakses yang kemudian akan ditinggal oleh penduduk di wilayah tersebut, sedangkan ketersediaan sumber daya manusia menjadi modal penggerak aktivitas ekonomi. Kondisi yang berbeda dengan Kabupaten Bengkayang dan Kabupaten Kapuas Hulu yang pendapatan wilayahnya masing-masing sebesar Rp1,90 trilyun

139 115 dan Kabupaten Ketapang yang sebesar Rp4,29 trilyun. PDRB yang tinggi di kabupaten ini disebabkan akumulasi aktivitas ekonomi dari masing-masing kecamatan di wilayahnya masing-masing, dimana tiga wilayah ini memiliki unit kecamatan terbanyak dibandingkan kabupaten/kota lainnya. Meskipun intensitas aktivitas ekonomi baik pertanian maupun industri/perdagangan pada tiap-tiap kecamatan terkategori rendah, dengan banyaknya jumlah kecamatan akan menghasilkan total output yang besar di tingkat kabupaten. Tingginya total output kedua kabupaten ini tidak diikuti oleh prestasi pembangunan manusia di kedua wilayah, diduga terjadinya kebocoran wilayah (regional leakages) yang jika tidak diantisipasi dengan kebijakan pemerintah yang tepat mengakibatkan wilayah ini akan terus tertinggal. Modal yang cukup menguntungkan bagi kabupaten pada tipologi 4 adalah tingginya tingkat pembangunan sosial, sebagaimana wilayah pada tipologi 1, yang memungkinkan bagi pemerintah daerah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, karena dukungan kondisi sosial yang relatif kondusif. Peningkatan sarana prasarana masih sangat diperlukan untuk membangun wilayah pada tipologi 4, yang diharapkan dapat mendorong perkembangan sektor jasa, atau melalui kebijakan pengembangan pusat pertumbuhan baru di wilayah pada tipologi ini agar tidak ditinggalkan oleh penduduk keluar dari wilayah tersebut.

140 116

141 117 VI. PEMBANGUNAN MANUSIA/SOSIAL DAN AKTIVITAS EKONOMI DALAM MENGURANGI KEMISKINAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT 6.1 Keterkaitan Variabel-variabel Pembangunan Manusia/Sosial dan Aktivitas Ekonomi, dengan Kemiskinan. Untuk mengetahui sejauhmana setiap variabel-variabel yang mewakili aktivitas Pembangunan Manusia/sosial dan aktivitas ekonomi berpengaruh terhadap jumlah keluarga miskin, dikembangkan analisis keterkaitan antara variabel-variabel tersebut yang diwakili oleh indeks kompositnya dengan variabel kemiskinan. Pengamatan perlu dikembangkan dengan melihat pula adanya pengaruh faktor spasial yang mempengaruhi keterkaitan tersebut dengan menggunakan Spatial Durbin Model (Lampiran 16). Model yang dihasilkan dalam analisis ini menggunakan variabel-variabel yang p-levelnya lebih kecil dari level nyata (α = 0,05), yang berarti setiap variabel dalam persamaan berpengaruh signifikan terhadap perubahan jumlah keluarga miskin, dengan koefisien determinasi 92,46% dan intersep sebesar 0,0387. Variabel-variabel yang berpengaruh baik di wilayah sendiri maupun di wilayah terkait, dan arah pengaruhnya disajikan dalam Tabel 45. Tabel 45 Tabel Keterkaitan Kemiskinan, Pembangunan Manusia/Sosial dan Aktifitas Ekonomi Variabel Kelompok Keterangan Parameter Keadaan Parameter instrumen daerah sendiri Idx_SDMCf2 Idx_SDSFDF Lf1 Idx_SDSFDF Lf2 Idx_SDS Apkamf1 Idx_SDSFIf2 Idx_AEPang f3 Pangsa penduduk cacat ekskusta Pangsa SLB Swasta Pangsa Pesantren Pangsa Madrasah Ibtidaiyah Swasta Pangsa Sekolah Seminari Swasta Ratio Bantuan Bintara Desa (Babinsa) per pernduduk Ratio Polisi Pelayanan Masyarakat per penduduk Pangsa Gereja Kristen Pangsa Gereja Katolik Pangsa produksi Jagung Sangat nyata, tidak elastis Nyata, tidak elastis Nyata, tidak elastis Sangat nyata, tidak elastis Sangat nyata, Elastis Sangat nyata, tidak elastis Arah Pengaruh Meningkat Meningkat Meningkat Menurun Meningkat Menurun

142 118 Tabel 45 (lanjutan) Kelompok Parameter instrumen daerah terkait Variabel Keadaan Idx_AETUf2 Idx_AEIRTf2 Idx_AEIRTf3 Idx_AEDHRf 2 Idx_AEDHR f3 Idx_AEIUD WIdx_Miskf1 WIdx_SDM JP W Idx_SDMCf2 W Idx_SDSWW f2 W Idx_SDSTDik W Idx_SDSFDD f2 W Idx_SDSFD MTf2 W Idx_SDMFD FLf2 W Idx_SDMFD LPf2 Keterangan Pangsa lokal populasi itik Pangsa lokal kerajinan rumah tangga berbahan kayu Pangsa lokal kerajinan rumah tangga berbahan logam Pangsa lokal kerajinan rumah tangga berbahan kulit Pangsa lokal motel/penginapan lain Pangsa lokal kios tani non KUD Pangsa lokal jumlah perdagangan besar Pangsa lokal jumlah perdagangan menengah Pangsa lokal jumlah perdagangan kecil Pangsa lokal jumlah keluarga prasejahtera Pangsa lokal jumlah keluarga sejahtera I Pangsa lokal jumlah penduduk laki-laki Pangsa lokal jumlah penduduk perempuan Pangsa penduduk cacat ekskusta Pangsa lokal jumlah penderita wabah penyakit lainnya yang meninggal Pangsa lokal jumlah Guru TK Pangsa lokal jumlah Guru SD Pangsa lokal jumlah Guru SLTP Pangsa lokal jumlah Guru SMA Pangsa lokal jumlah Guru SMK Pangsa TK Negeri Pangsa SMU Negeri Pangsa SMK Negeri Pangsa Perguruan Tinggi Negeri Pangsa Sekolah Seminari Swasta Pangsa Lembaga Pendidikan/Ketrampilan lainnya Parameter Nyata, tidak elastis Nyata, tidak elastis Sangat nyata, tidak elastis Sangat nyata, tidak elastis Nyata, tidak elastis Nyata, tidak elastis Sangat nyata, elastis Nyata, elastis Nyata, elastis Nyata, tidak elastis Sangat nyata, elastis Nyata, elastis Nyata, elastis Sangat nyata, elastis Nyata, tidak elastis Arah Pengaruh Meningkat Meningkat Menurun Meningkat Meningkat Meningkat Menurun Meningkat Meningkat Menurun Menurun Menurun Menurun Meningkat Meningkat

143 119 Tabel 45 (lanjutan) Kelompok Variabel Keadaan W Idx_SDSFIf2 W Idx_AEPang f3 W Idx_AEBunf2 W Idx_AETUf2 W Idx_AEIRTf2 W Idx_AEDHR f2 W Idx_AEDHR f3 Keterangan Pangsa Gereja Kristen Pangsa Gereja Katolik Pangsa produksi Jagung Pangsa lokal produksi karet Pangsa lokal produksi kelapa sawit Pangsa lokal populasi itik Pangsa lokal kerajinan rumah tangga berbahan kayu Pangsa lokal kerajinan rumah tangga berbahan logam Pangsa lokal motel/penginapan lain Pangsa lokal kios tani non KUD Parameter Sangat nyata, elastis Nyata, tidak elastis Nyata, elastis Nyata, elastis Nyata, tidak elastis Nyata, elastis Nyata, tidak elastis Pangsa lokal jumlah perdagangan besar W Idx_AEIUD Pangsa lokal jumlah perdagangan menengah Pangsa lokal jumlah perdagangan kecil Pangsa luasan lahan pertanian non W sawah Idx_AELahf2 Pangsa luasan lahan non pertanian Sumber : Hasil olahan Spatial Durbin Model Keterangan : diduga dengan regresi berganda Nyata P-level kurang dari 0.05, sangat nyata kurang dari 0.01 Elastis jika koefisien > dari 1 Nyata, elastis Sangat nyata, elastis Arah Pengaruh Meningkat Menurun Menurun Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat Dari hasil model spasial durbin yang dihasilkan pada analisis keterkaitan ini, variabel-variabel yang signifikan secara nyata berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di Kalimantan Barat adalah: 1. Dari interaksi spasial menunjukkan korelasi negatif dari pangsa keluarga miskin antar wilayah yang berinteraksi. Perubahan kemiskinan di wilayah yang berinteraksi tinggi, berkorelasi sangat nyata negatif dengan pengaruh yang elastis, dimana perubahan satu persen keluarga miskin di suatu wilayah yang berinteraksi tinggi, akan menurunkan 1,34% keluarga miskin di wilayah penelitian. Indikasi ini menunjukkan bahwa, kemiskinan sangat terkait antar wilayah, dimana interaksi wilayah yang berdekatan

144 120 menyebabkan tingginya mobilitas antar penduduk, demikian halnya dengan mobilitas penduduk keluarga miskin. Pergerakan penduduk adalah upaya untuk meningkatkan penghasilan dengan mencari sumber penghasilan di tempat yang berbeda. Kerjasama antar pemerintah daerah kabupaten/kota diperlukan agar program penanganan kemiskinan dapat terlaksana sebagaimana Crandall dan Weber (2004) menjelaskan bagaimana dampak penurunan kemiskinan bersifat spillover di serentetan wilayah pada kantong-kantong kemiskinan. Jika wilayah disekitar program penanganan kemiskinan, tingkat kemiskinannya tinggi, maka program penanganan kemiskinan menjadi tidak berhasil. 2. Peningkatan jumlah penduduk di wilayah yang saling berinteraksi, memberikan dampak yang kurang baik. Peningkatan satu persen jumlah penduduk di wilayah terkait, akan meningkatkan 6,56% penambahan jumlah keluarga miskin di wilayah penelitian. Keterkaitan ini menunjukkan bahwa penanganan kemiskinan di suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh perkembangan jumlah penduduk di wilayah sekitarnya. Dalam studi Todaro dan Smith (2003), pertumbuhan penduduk, bukan permasalahan pertumbuhan penduduk itu sendiri, tetapi lebih terkait kepada tingginya mobilisasi penduduk dari wilayah yang tertinggal dan berpenduduk padat ke wilayah yang lebih maju. Dampak ikutan dari mobilisasi ini akan mendorong pula mobilisasi penduduk miskin mencari sumber pendapatan baru. Perpindahan penduduk miskin ini yang akan membentuk area miskin baru di tempat yang baru. Oleh karena itu, pertumbuhan penduduk bukanlah permasalahan inti di lingkup wilayah tertentu, tetapi lebih kepada bagaimana membangun keberimbangan pembangunan antar wilayah. 3. Keberadaan penduduk cacat eks-kusta juga berpengaruh siginifikan terhadap perubahan tingkat kemiskinan baik di wilayahnya sendiri maupun terhadap wilayah terkait. Keterkaitan ini menunjukkan bahwa penduduk cacat eks-kusta akan dijumpai pada wilayah dengan tingkat insiden kemiskinan yang tinggi. Perubahan satu persen penduduk cacat eks-kusta pada wilayahnya akan meningkatkan 0,57% jumlah penduduk miskin. Jika perubahan satu persennya ada pada wilayah terkait akan meningkatkan

145 121 1,27% jumlah penduduk miskin di wilayah penelitian. Untuk itu, program pemberdayaan penduduk cacat eks-kusta memerlukan kerjasama antar wilayah, terutama wilayah kantong penduduk cacat eks-kusta seperti di Singkawang Selatan, maka penting bagi pemerintah Kabupaten Singkawang dan Kabupaten Bengkayang mengembangkan lembaga pemberdayaan bagi penduduk cacat eks-kusta. 4. Jumlah penderita wabah penyakit yang meninggal karena wabah penyakit tertentu di wilayah terkait nyata menurunkan kemiskinan di wilayah penelitian. Satu persen perubahan penderita wabah penyakit meninggal akan mengurangi 0,64% keluarga miskin. Keterkaitan ini lebih menggambarkan bahwa jumlah penderita wabah penyakit yang meninggal dijumpai pada wilayah-wilayah berpenduduk tinggi. Tingginya jumlah penduduk menunjukkan bahwa wilayah tersebut relatif lebih maju dibandingkan wilayah yang berpenduduk rendah, sehingga hasil analisis ini tidak dikategorikan sebagai variabel yang berpengaruh nyata menurunkan, tetapi lebih sebagai gambaran rendahnya keluarga miskin yang dijumpai di unit analisis. 5. Pengaruh jumlah tenaga pendidik lebih nyata menurunkan tingkat kemiskinan antar wilayah terkait. Satu persen perubahan jumlah tenaga pendidikan di wilayah terkait akan menurunkan 5,92% jumlah keluarga miskin. Interaksi yang kuat antar wilayah berdekatan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan akan mengurangi kemiskinan di wilayahnya dengan nyata dan elastis. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dikembangkan oleh Brata (2002) dimana pembangunan manusia diantaranya melalui pendidikan dengan memanfaatkan variabel lama pendidikan berkorelasi dengan peningkatan kesejahteraan. Artinya secara tidak langsung berdampak pula pada penekanan jumlah atau insiden kemiskinan yang terjadi di wilayah tersebut. untuk itu penting bagi pemerintah daerah melakukan pemetaan jumlah tenaga pendidik bagi daerah yang saling terkait. 6. Perubahan pangsa Taman Kanak-kanak Negeri (TKN) antar wilayah terkait nyata elastis menurunkan kemiskinan. Peningkatan satu persen jumlah TK

146 122 Negeri di wilayah terkait akan menurunkan 1,58% jumlah keluarga miskin di wilayah penelitian. Indikasi ini menunjukkan bahwa keberadaan lembaga pendidikan Taman Kanak-kanak masih berkonsentrasi pada wilayah dengan kemiskinan rendah atau sedang. Kelompok keluarga miskin masih memiliki akses yang rendah terhadap pendidikan di tingkat pra sekolah. Dalam mengembangkan pendidikan pra sekolah bagi keluarga tidak mampu masih memerlukan intervensi yang tinggi dari pemerintah. 7. Peran pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Kalimantan Barat masih sangat tinggi. Dalam analisis ini juga menunjukkan bahwa pangsa jumlah Sekolah tingkat menengah dan tinggi di wilayah terkait akan menurunkan tingkat kemiskinan di wilayah penelitian. Satu persen perubahan pangsa jumlah sekolah menengah dan tinggi negeri akan menurunkan 1,19% jumlah keluarga miskin di wilayah terkait. Pendidikan menengah atas dan tinggi dapat diakses oleh masyarakat pada wilayahwilayah dengan tingkat kemiskinan rendah, serta di wilayah sekitarnya. Untuk meningkatkan akses penduduk miskin kepada pendidikan menengah atas dan tinggi, diperlukan pemetaan penyediaan fasilitas pendidikan tersebut, dengan memperhatikan radius yang dapat diakses oleh masyarakat. 8. Fasilitas pendidikan lain yang berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan adalah adanya fasilitas formal lainnya, seperti Sekolah Luar Biasa (SLB), Madrasah Ibtidaiyah, Pesantren dan Seminari. Fasilitas-fasilitas ini menunjukkan korelasi yang positif, menandakan bahwa keberadaannya lebih ditemukan di wilayah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. SLB menunjukkan rendahnya kualitas penduduk yang berimplikasi tingginya insiden kemiskinan di wilayah tersebut. Pesantren, Madrasah Ibtidaiyah dan Sekolah Seminari menunjukkan bahwa pada wilayah dengan fasilitas tersebut, investasi pendidikan dari pemerintah masih rendah, sehingga lembaga pendidikan pesantren, madrasah ibtidaiyah, dan seminari yang mengisi kekosongan tersebut. 9. Keberadaan aparat keamanan menunjukkan korelasi negatif dengan tingkat kemiskinan di wilayah penelitian itu sendiri. Peningkatan satu persen rasio Babinsa dan Polisi Pelayanan Masyarakat terhadap jumlah penduduk di

147 123 wilayah penelitian, akan nyata menurunkan 0,32% kemiskinan di wilayahnya sendiri. Hasil analisis ini hanya memberikan gambaran bahwa keberadaan aparat keamanan lebih banyak dijumpai pada wilayah yang relatif maju. Wilayah yang jumlah keluarga miskinnya tinggi lebih banyak didapati di wilayah tertinggal, sehingga konsentrasi aparat keamanan di wilayah ini sangat kecil. Oleh karena itu, variabel keberadaan aparat keamanan bukanlah variabel yang berpengaruh menurunkan jumlah keluarga miskin, tetapi hanya sebagai gambaran wilayah dengan tingkat kemiskinan yang rendah. 10. Untuk aktivitas ekonomi, keterkaitannya dengan kemiskinan melibatkan limabelas variabel. Terkait dengan pertanian tanaman pangan, variabel yang dianalisis adalah pangsa lokal produksi jagung. Perubahan satu persen variabel ini berpengaruh nyata menurunkan 0,40% jumlah keluarga miskin di wilayahnya, sementara satu persen perubahan di wilayah terkait menurunkan 1,20% kemiskinan di wilayah penelitian. Korelasi ini menunjukkan bahwa aktivitas budidaya berhubungan dengan aktivitas penduduk secara luas. Budidaya jagung tidak didominasi oleh pemilik atau perusahaan besar, tetapi lebih berakar kepada aktivitas masyarakat kecil, sehingga diduga mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. Dan implikasinya adalah tingkat kemiskinan yang rendah di wilayah tersebut. Interaksi spasial variabel ini juga menunjukkan keterkaitan, dimana aktivitas budidaya jagung meningkat, tingkat kemiskinan akan rendah pula baik di wilayahnya sendiri maupun di wilayah sekitar. Aktivitas perkebunan karet dan kelapa sawit juga menunjukkan korelasi negatif antar wilayah terkait, dimana perubahan satu persen perubahan pangsa lokal produksi karet dan kelapa sawit menurunkan 1,27% pangsa keluarga miskin di wilayah penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa, aktivitas perkebunan karet dan kelapa sawit berdampak luas terhadap wilayah sekitarnya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Dari hasil analisis ini, pemerintah dapat menyusun program pengembangan dua komoditas perkebunan ini, dengan memperhatikan spektrum dampak peningkatan pendapatan masyarakat dari lokasi perkebunan. Studi yang dikembangkan oleh Adam

148 124 (2004) mengenai keterkaitan pertumbuhan ekonomi, ketimpangan dan kemiskinan di beberapa Dunia Berkembang menunjukkan bahwa elastisitas kemiskinan lebih tinggi ketika pertumbuhan yang dimaksud adalah perubahan pendapatan rata-rata rumah tangga per kapita dibandingkan dengan pertumbuhan GDP per kapita. Setiap aktivitas yang mampu mendorong peningkatan pendapatan penduduk miskin akan signifikan menurunkan angka kemiskinan. 11. Berbeda dengan aktivitas budidaya jagung, perkebunan karet dan kelapa sawit, populasi itik yang tinggi mengindikasikan tingginya tingkat kemiskinan baik di wilayahnya sendiri maupun di wilayah terkait. Perubahan satu persen pangsa populasi ternak itik di wilayahnya sendiri meningkatkan kemiskinan 0,52%, sementara perubahan satu persen di wilayah terkait meningkatkan kemiskinan 1,79% kemiskinan di wilayah sekitarnya. Gambaran kemiskinan yang muncul dari analisis ini adalah, kegiatan budidaya itik belum berorientasi pada peningkatan pendapatan atau hanya untuk pemenuhan kebutuhan subsisten. Dari data Ditjennak Kementrian Pertanian RI mencatat bahwa pada tahun 2008 populasi total itik di Provinsi Kalimantan Barat adalah sebesar ekor. Jumlah ini 10 kali lebih rendah dibanding Provinsi Kalimantan Selatan yang telah mampu menjadikan daging itik sebagai komoditas unggul dan menjadi sumber pendapatan masyarakat dan wilayahnya. Oleh karena itu, variabel populasi itik lebih menggambarkan wilayah yang jumlah keluarga miskinnya tinggi. 12. Untuk kegiatan industri, keterkaitan variabelnya dengan kemiskinan adalah pangsa lokal kerajinan rumah tangga berbahan baku kayu, logam dan kulit. Perubahan satu persen pangsa lokal kerajinan rumah tangga berbahan baku kayu dan logam di wilayahnya sendiri meningkatkan kemiskinan 0,32% di wilayah penelitian dan satu persen perubahannya pada wilayah terkait meningkatkan kemiskinan 0,61% kemiskinan di wilayah penelitian. Indikasinya adalah aktivitas kerajinan berbahan kayu dan logam akan ditemukan tinggi pada wilayah-wilayah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Gambaran keterkaitan ini menunjukkan bahwa lokalisasi keluarga

149 125 miskin di Kalimantan Barat ditemukan di sekitar pusat-pusat industri berbahan baku kayu atau logam. Menurut Todaro dan Smith (2003), kantong-kantong kemiskinan sering dijumpai di sekitar kawasan industri pada negara-negara berkembang, karena tenaga kerja yang dimanfaatkan di sektor industri ini adalah tenaga kerja berpendidikan rendah dengan upah yang rendah, sehingga sektor ini menjadi target pekerjaan bagi kelompok miskin yang memiliki karakteristik berpendidikan dan berketerampilan rendah. 13. Perubahan satu persen aktivitas kerajinan berbahan baku kulit di wilayahnya sendiri, berpengaruh nyata menurunkan 0,28% pangsa keluarga miskin di wilayah penelitian. Artinya industri ini memiliki kemampuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat pelaku industri kecil/rumah tangga. Sejalan dengan hasil analisis Siregar et al. (2007) yang menunjukkan peningkatan industri kecil berpengaruh nyata menurunkan kemiskinan. Untuk itu penting bagi pemerintah, dalam hal ini dinas terkait, memperhatikan pengembangan industri kecil berbahan baku kulit, baik dalam bentuk permodalan maupun pengembangan pasar hasil industri. 14. Untuk aktivitas perdagangan, hotel dan restoran, pangsa motel/ penginapan kecil lainnya berpengaruh positif, dimana perubahan satu persen pangsa lokal jumlah motel/penginapan lainnya di wilayah terkait meningkatkan kemiskinan 0,88% jumlah keluarga miskin dan satu persen perubahan jumlah motel/penginapan kecil lainnya di daerah terkait meningkatkan 1,19% jumlah keluarga miskin. Artinya, keberadaan motel/penginapan kecil lainnya dijumpai di wilayah pinggiran yang kurang berkembang. Identifikasi kantong kemiskinan juga didapatkan dari hasil analisis keterkaitan ini. 15. Pangsa lokal jumlah kios tani non KUD berkorelasi positif dengan tingkat kemiskinan baik dipengaruhi oleh wilayahnya sendiri maupun pengaruh wilayah terkait. Perubahan satu persen jumlah kios tani non KUD di wilayahnya sendiri meningkatkan kemiskinan 0,34% kemiskinan di wilayah penelitian dan perubahan satu persen pangsa lokal kios tani di wilayah terkait meningkatkan kemiskinan 0,96% kemiskinan di wilayah penelitian.

150 126 Hasil analisis ini menunjukkan bahwa kios tani non KUD berkembang di wilayah-wilayah perdesaan dimana masyarakat memenuhi kebutuhan untuk aktivitas pertanian pada kios-kios tani Non KUD. Untuk itu pemerintah perlu memperhatikan ketersediaan kios-kios tani dengan pengembangan fasilitas kios tani yang berbasis koperasi atau dengan meningkatkan subsidi untuk bahan pertanian. Keuntungan dari strategi ini adalah petani akan mampu meningkatkan pendapatan dari usaha tani yang dikembangkan karena mampu menekan biaya produksi. Peningkatan laba ini diharapkan mampu menekan jumlah penduduk miskin pada wilayah tersebut. 16. Untuk izin usaha perdagangan/industri yang dikeluarkan berkorelasi positif dengan tingkat kemiskinan. Satu persen perubahan pangsa izin usaha yang dikeluarkan untuk perdagangan besar dan kecil pada wilayahnya sendiri meningkatkan 0,62% kemiskinan di wilayah penelitian, sementara perubahan satu persen pangsa lokal izin usaha perdagangan besar dan kecil yang dikeluarkan pada wilayah terkait meningkatkan kemiskinan 2,01% pada wilayah penelitian. Keterkaitan ini menggambarkan, bahwa perdagangan besar dan kecil yang berkembang di suatu wilayah tidak mampu mendorong peningkatan pendapatan keluarga miskin. Pertumbuhan pendapatan hanya pada kelompok menengah dan atas, sehingga angka kemiskinan belum berubah secara signifikan. Aktivitas perdagangan hanya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah, tanpa berpengaruh baik terhadap pertumbuhan pendapatan kelompok keluarga miskin. 17. Terkait dengan sumber daya alam, perubahan pangsa luasan lahan pertanian non sawah dan lahan non pertanian pada wilayah terkait sebesar satu persen meningkatkan kemiskinan 1,13% kemiskinan di wilayah penelitian. Keterkaitan ini menunjukkan bahwa konsentrasi penduduk miskin di Kalimantan Barat adalah wilayah dengan luasan lahan pertanian non sawah dan lahan non pertanian. Analisis ini, lebih menunjukkan bahwa ketersediaan lahan sawah ada dalam jumlah yang sangat terbatas, mayoritas lahan yang ada termanfaatkan untuk kegiatan pertanian non sawah dan non pertanian.

151 127 Keterkaitan keseluruhan variabel-variabel pembangunan manusia dan aktivitas ekonomi dengan kemiskinan dan seberapa besar keterkaitannya dapat dilihat pada Gambar 30. Idx_SDMCf2 Idx_SDMJP WIdx_Miskf1 WIdx_SDMCf Idx_SDSFDFLf WIdx_SDSWWf2 Idx_SDSFDFLf WIdx_SDSTdik Idx_SDSApkamf WIdx_SDSFDDf2 Idx_AEIRTf WIdx_SDSFDMTf2 Idx_AEPangf WIdx_SDSFDFLf2 Idx_AETUf Idx_Miskf WIdx_SDSFDLPf2 Idx_AEIRTf WIdx_AEPangf3 Idx_AEDHRTf WIdx_AEBunf2 Idx_AEDHRTf WIdx_AETUf2 WIdx_AEDHRf WIdx_AEIRTf Idx_AEIUD WIdx_AELahf2 WIdx_AEIUD WIdx_AEDHRf3 Gambar 30 Model keterkaitan pembangunan manusia/sosial dan aktivitas ekonomi dengan kemiskinan di Provinsi Kalimantan Barat. 6.2 Arahan Penanganan Kemiskinan di Kalimantan Barat Penanganan kemiskinan di Indonesia secara umum dilakukan dengan dua model pendekatan, yaitu social safety net dan community development (Yudhoyono dan Harniati 2004). Pendekatan social safety net merupakan upaya peningkatan kemampuan akses individu/keluarga miskin untuk memenuhi kebutuhannya secara langsung, sedangkan pendekatan community development

152 128 adalah pendekatan peningkatan kapabilitas individu/keluarga miskin melalui penguatan di tingkat komunitas. Dua pendekatan tersebut belum cukup menjawab permasalahan kemiskinan di Indonesia, khususnya di Provinsi Kalimantan Barat. Hasil penelitian Suriyanto (2009) di Noyan Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat menyebutkan bahwa pendekatan community development seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) tidak nyata menurunkan kemiskinan di wilayah tersebut. Kemiskinan di wilayah ini lebih disebabkan pembangunan sosial dan ekonomi yang belum menyentuh langsung ke masyarakat miskin. Oleh karena itu, sebelum menentukan pola penanganan kemiskinan di suatu wilayah, perlu mengetahui faktor penyebab kemiskinan dalam dimensi regional. Dalam analisis ini, identifikasi permasalahan di tingkat kabupaten/kota telah dikembangkan, sehingga arahan kebijakan penanganan kemiskinan perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Penangan kemiskinan diproritaskan pada wilayah kantong-kantong kemiskinan, baik jumlah maupun proporsi penduduk miskin yang tinggi. Terkait dengan Model Spatial Durbin dari analisis ini, menunjukkan bahwa wilayah terkait akan saling berinteraksi dan mempengaruhi. Jumlah penduduk miskin di wilayah terkait merupakan parameter yang berpengaruh signifikan terhadap jumlah penduduk miskin di wilayah tertentu. Artinya, jika ditemukan insiden kemiskinan yang tinggi di suatu wilayah, maka kemiskinan di wilayah sekitarnya akan meningkat. Oleh karena itu, jika pengurangan kemiskinan dilakukan di kantong-kantong kemiskinan, selain penduduk miskin di wilayah tersebut berkurang, maka dampak pengurangan kemiskinan akan bersifat spillover di serentetan wilayah di sekitar kantong-kantong kemiskinan. 2. Pada tipologi di tingkat kabupaten/kota yang dihasilkan dari keseluruhan pencapaian tingkatan indikator kemiskinan, pembangunan manusia/sosial, dan aktivitas ekonomi menunjukkan bahwa pembangunan manusia lebih berperan nyata menurunkan tingkat kemiskinan. Hal tersebut tampak dari pola yang dihasilkan dari tipologi 1 dan 3. Di tipologi 1, dimana pembangunan manusianya rendah, tingkat kemiskinannya akan tinggi. Demikian sebaliknya pada tipologi ketiga, dimana tingkat pembangunan manusianya tinggi, maka

153 129 tingkat kemiskinannya rendah. Secara rinci, variabel pembangunan manusia yang paling berperan menurunkan tingkat kemiskinan baik di wilayah sendiri maupun di wilayah terkait adalah variabel-variabel yang berkenaan dengan aktivitas pembangunan di bidang pendidikan, seperti jumlah guru dan akses penduduk terhadapa fasilitas pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. 3. Pada tipologi 1 nampak bahwa kemiskinan berada pada wilayah yang aktivitas ekonominya berbasis sektor pertanian. Melihat dari hasil model spatial durbin, maka di tiga wilayah ini perlu memperhatikan pengembangan aktivitas pertanian seperti produksi tanaman jagung, karet dan kelapa sawit yang signifikan menurunkan kemiskinan, mengingat kontribusi produksi karet dan kelapa sawit di kabupaten-kabupaten pada tipologi ini cukup signifikan. 4. Pada tipologi 4 nampak bahwa wilayah pada tipologi ini tergolong wilayah tertinggal, karena rendahnya aktivitas ekonomi dan berdampak pada rendahnya modal pemerintah daerah untuk meningkatkan investasi pembangunan manusia. Rendahnya tingkat pembangunan manusia juga berpengaruh sebaliknya terhadap tingkatan aktivitas ekonomi di wilayah tersebut. Rendahnya aktivitas ekonomi dan pembangunan manusia akan menyebabkan wilayah ini semakin tertinggal, terlebih lagi dengan rendahnya jumlah penduduk di wilayah tersebut. Meskipun kemiskinan di tipologi ini terkategori rendah, tetapi resiko munculnya kemiskinan tetap tinggi, karena kemampuan sumber daya manusia yang rendah untuk meningkatkan investasi di wilayah tersebut (The Vicious Circles). 5. Pada tipologi 2 merupakan pola kemiskinan perkotaan, yaitu kemiskinan karena tingginya jumlah penduduk. Pertumbuhan penduduk yang tinggi karena urbanisasi menjadi ciri perkotaan. Aktivitas ekonomi yang tinggi, serta ketersediaan sarana prasarana, khususnya pendidikan dan kesehatan menjadi daya tarik kota (pull factor) bagi penduduk desa yang ingin meningkatkan pendapatan di sektor-sektor perkotaan. Hal ini mengakibatkan tingginya aktivitas sektor informal yang didominasi oleh penduduk dari kalangan berpenghasilan dan berpendidikan rendah, dan akan memunculkan kantongkantong kemiskinan di perkotaan. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Barat untuk memperhatikan keberimbangan

154 130 pembangunan antar kota-desa, baik pengembangan aktivitas ekonomi maupun aktivitas pembangunan manusia. 6. Parameter pada wilayah terkait lebih banyak berpengaruh nyata menurunkan kemiskinan, hal ini menunjukkan bahwa interaksi antar wilayah di Provinsi Kalimantan Barat sangat tinggi. Oleh karena itu, penanganan kemiskinan melalui pendekatan community development dan regional development memerlukan kerjasama antar wilayah kabupaten/kota. Dengan memperhatikan peluang dan permasalahan setiap wilayah untuk mengatasi kemiskinan, maka arahan penanganan kemiskinan dan prioritas pada setiap wilayah di Provinsi Kalimantan Barat dapat dilihat pada Tabel 46. Tabel 46 Arahan kebijakan penanganan kemiskinan pada prioritas wilayah tipologi Prioritas Wilayah No. Arahan Kebijakan Sasaran (Tipologi) 1. Peningkatan kemampuan individu/rumah tangga miskin untuk memenuhi kebutuhan makan-minum, kesehatan, dan pendidikan melalui subsidi atau fasilitasi modal usaha secara langsung (pendekatan social safety net). 2. Penataan lokasi pemukiman kumuh dan tempat tinggal keluarga miskin, seperti akses air bersih dan fasilitas jamban keluarga yang diprioritaskan pada kantong-kantong kemiskinan. 3. Peningkatan ketersediaan tenaga kesehatan dan pendidikan dengan memperhatikan tingkat kebutuhan dan keterkaitan antar wilayah. 4. Peningkatan akses penduduk terhadap fasilitas kesehatan dan pendidikan. 5. Pembinaan petani skala kecil untuk meningkatkan hasil produksi pertanian seperti jagung, kelapa sawit dan karet. 6. Pembinaan pelaku industri kecil/rumah tangga berbahan baku kulit, berupa permodalan dan pengembangan skala usaha. 7. Peningkatan nilai tambah hasil-hasil pertanian melalui peningkatan keterkaitan dengan sektor perekonomian lainnya pada suatu rangkaian wilayah yang saling terkait. 8. Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru di wilayah tertinggal guna mendorong peningkatan perekonomian wilayah, yang diharapkan dapat mengurangi tekanan urbanisasi ke wilayah perkotaan. 1,2,3, dan 4 1 dan 2 1 dan 4 1 dan dan 4 1 dan 4 Arahan kebijakan penanganan kemiskinan ditampilkan secara spasial pada Gambar 31. Kabupaten di wilayah pesisir yang berwarna hijau, pembangunan wilayahnya relatif lebih baik dibanding wilayah tengah dan perbatasan, arahan kebijakan yang diperlukan adalah melalui pendekatan sosial safety net. Kondisi 4

155 131 ini mengindikasikan bahwa permasalahan kemiskinan dan pembangunan di wilayah ini tidak terlalu memprihatinkan. Hal yang berbeda dapat dilihat pada wilayah tengah dan perbatasan antar provinsi dan antar negara (warna merah dan orange), dimana hampir keseluruhan arahan penanganan ditujukan di wilayah tersebut. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pada wilayah ini, permasalahan kemiskinan dan pembangunan masih menjadi permasalahan yang krusial untuk ditindaklanjuti ke arah yang lebih baik. Untuk permasalahan kemiskinan di wilayah perkotaan (warna kuning) adalah sebagai ekses dari ketimpangan pembangunan antara kota dan desa, sehingga pendekatan penanganan yang diperlukan adalah mendorong pembangunan yang berimbang antara kota dan desa, atau melalui pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru di wilayah yang tertinggal dan jauh dari pusat kota di Provinsi Kalimantan Barat. Arahan Penanganan : 1. Pendekatan Social Safety Net. 2. Penataan lokasi tinggal keluarga miskin di kantongkantong kemiskinan. 3. Peningkatan ketersediaan tenaga kesehatan dan pendidikan. 4. Peningkatan akses penduduk terhadap fasilitas pendidikan dan kesehatan. 5. Pembinaan petani skala kecil untuk peningkatan hasil produksi pertanian. 6. Pembinaan pelaku industri kecil/rumah tangga, berupa permodalan dan pengembangan skala usaha. 7. Peningkatan nilai tambah hasil pertanian dengan membangun keterkaitan dengan sektor lainnya. 8. Mendorong pusat-pusat pertumbuhan baru. Gambar 30 Peta Arahan Penanganan Kemiskinan di Provinsi Kalimantan Barat. Secara terperinci arahan kebijakan penanganan kemiskinan di tingkat kabupaten/kota dapat dilihat pada Tabel 47. Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Sambas, Kabupaten Pontianak, dan Kota Singkawang adalah kabupaten/kota yang akses ke Kota Pontianak terkategori lebih baik dibandingkan wilayah lainnya.

II. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 II. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu orientasi pembangunan berubah dan berkembang pada setiap urutan waktu yang berbeda. Setelah Perang Dunia Kedua (PDII), pembangunan ditujukan untuk mengejar pertumbuhan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 45 V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Provinsi Kalimantan Barat Provinsi Kalimantan Barat dengan luas wilayah 146 807 km 2 terletak di bagian barat pulau Kalimantan, yakni di antara garis

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 33 IV. METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Berdasarkan perumusan masalah, tujuan dan manfaat, penelitian ini dibangun atas dasar kerangka pemikiran bahwa kemiskinan merupakan masalah multidimensi

Lebih terperinci

KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS

KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS Studi Kasus Kawasan Kedungsapur di Provinsi Jawa Tengah DYAH KUSUMAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

Angka Kemiskinan Kabupaten Sekadau 2016

Angka Kemiskinan Kabupaten Sekadau 2016 Angka Kabupaten Sekadau 2016 No. 01/06/6109/Th. III, 6 Juni 2017 BERITA RESMI STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN SEKADAU Angka Kabupaten Sekadau 2016 Angka kemiskinan Kabupaten Sekadau pada periode

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN EKONOMI KOTA PONTIANAK DENGAN METODE LOCATION QUOTIENT, SHIFT SHARE DAN GRAVITASI

ANALISIS PERTUMBUHAN EKONOMI KOTA PONTIANAK DENGAN METODE LOCATION QUOTIENT, SHIFT SHARE DAN GRAVITASI Buletin Ilmiah Mat. Stat. dan Terapannya (Bimaster) Volume 05, No. 1 (2016), hal 19 24. ANALISIS PERTUMBUHAN EKONOMI KOTA PONTIANAK DENGAN METODE LOCATION QUOTIENT, SHIFT SHARE DAN GRAVITASI Evi Julianti,

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN

STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN (Studi Kasus di Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau) RAHMAT PARULIAN

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Analisis pertumbuhan ekonomi wilayah ini bertujuan untuk melihat pola atau klasifikasi perkembangan keterkaitan antara tingkat pertumbuhan

Lebih terperinci

Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Sekadau 2016

Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Sekadau 2016 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Sekadau 2016 No. 02/07/6109/Th. III, 31 Juli 2017 BERITA RESMI STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN SEKADAU Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Sekadau 2016 sebesar 5,93 persen,

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) SEKADAU TAHUN 2014

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) SEKADAU TAHUN 2014 BPS KABUPATEN SEKADAU No.02/11/6109/Th. I, 30 November 2015 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) SEKADAU TAHUN 2014 IPM KABUPATEN SEKADAU TAHUN 2014 SEBESAR 61,98 MENINGKAT SELAMA LIMA TAHUN TERAKHIR IPM pertama

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBYEK PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBYEK PENELITIAN BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBYEK PENELITIAN A. Kondisi Umum Provinsi Kalimantan Barat Provinsi Kalimantan Barat terletak di bagian barat pulau Kalimantan atau di antara garis 2 0 08 LU serta 3 0 02 LS serta

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH DALAM KAITANNYA DENGAN DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI KABUPATEN PURWAKARTA AI MAHBUBAH

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH DALAM KAITANNYA DENGAN DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI KABUPATEN PURWAKARTA AI MAHBUBAH STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH DALAM KAITANNYA DENGAN DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI KABUPATEN PURWAKARTA AI MAHBUBAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbedaan karakteristik alam, ekonomi, sosial dan budaya. Wilayah-wilayah dengan

BAB I PENDAHULUAN. perbedaan karakteristik alam, ekonomi, sosial dan budaya. Wilayah-wilayah dengan BAB I A. Latar Belakang PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu Negara berkembang yang memiliki keragaman antar daerah yang tinggi, keragaman tersebut merupakan hasil yang nyata dari perbedaan karakteristik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada sebuah ketidakseimbangan awal dapat menyebabkan perubahan pada sistem

BAB I PENDAHULUAN. pada sebuah ketidakseimbangan awal dapat menyebabkan perubahan pada sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perencanaan merupakan sebuah upaya untuk mengantisipasi ketidak seimbangan yang terjadi yang bersifat akumulatif, artinya perubahan yang terjadi pada sebuah ketidakseimbangan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN KEMISKINAN KABUPATEN BENGKAYANG MARET 2014 MARET 2016

PERKEMBANGAN KEMISKINAN KABUPATEN BENGKAYANG MARET 2014 MARET 2016 No. 01/06/Th. XVII, Juni 2017 PERKEMBANGAN KEMISKINAN KABUPATEN BENGKAYANG MARET 2014 MARET 2016 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN KABUPATEN BENGKAYANG MENINGKAT Pada bulan Maret 2016, jumlah penduduk miskin

Lebih terperinci

Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo. Herwin Mopangga SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo. Herwin Mopangga SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 i Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo Herwin Mopangga SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

KONDISI KETENAGAKERJAAN SEKADAU TAHUN 2015

KONDISI KETENAGAKERJAAN SEKADAU TAHUN 2015 BPS KABUPATEN SEKADAU No.06/11/6109/Th. II, 17 November 2016 KONDISI KETENAGAKERJAAN SEKADAU TAHUN 2015 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA (TPT) KABUPATEN SEKADAU TAHUN 2015 SEBESAR 2,97 PERSEN Persentase angkatan

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembantuan yang dilaksanakan secara bersama-sama. Dengan demikian penerapan

BAB I PENDAHULUAN. pembantuan yang dilaksanakan secara bersama-sama. Dengan demikian penerapan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Otonomi daerah yang telah berjalan saat ini telah memberi hak serta wewenang kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

Lebih terperinci

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan adalah proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu proses multidimensional

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu proses multidimensional BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016 BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 28 / 05/ 61/ Th XX, 05 Mei 2017 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016 IPM Kalimantan Barat Tahun 2016 Pembangunan manusia di Kalimantan Barat pada tahun 2016 terus

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

ANALISIS PELAKSANAAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEMERATAAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH

ANALISIS PELAKSANAAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEMERATAAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH ANALISIS PELAKSANAAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEMERATAAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH (Studi Kasus Kabupaten/Kota Di Provinsi Banten) DUDI HERMAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multidimensional yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah dalam pembangunan.

Lebih terperinci

EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING DAN ARAHAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG KOTA TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT

EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING DAN ARAHAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG KOTA TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING DAN ARAHAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG KOTA TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT NINA RESTINA 1i SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN ii iii iv PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 4 Tujuan Penelitian... 9 Pengertian dan Ruang Lingkup Penelitian... 9 Manfaat

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 39/ 06/ 61/ Th XIX, 1 Juli 2016 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 IPM Kalimantan Barat Tahun 2015 Pembangunan manusia di Kalimantan Barat pada tahun 2015 terus

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Per Kapita dan Struktur Ekonomi Tingkat pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam lima tahun terakhir

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH

ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH (Studi Kasus Kota Batu Provinsi Jawa Timur) FATCHURRAHMAN ASSIDIQQI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 66/11/61/Th. XVII, 5 Nopember 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT AGUSTUS 2014 Agustus 2014 : Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Sebesar 4,04 Persen

Lebih terperinci

ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H

ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H14101038 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KALIMANTAN BARAT BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KALIMANTAN BARAT Seuntai Kata Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap 10 (sepuluh) tahun

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT AGUSTUS 2013 No. 65/11/61/Th. XVI, 6 Nopember 2013 Agustus 2013 : Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Sebesar 4,03 Persen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusiinstitusi

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusiinstitusi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses menuju perubahan yang diupayakan suatu negara secara terus menerus dalam rangka mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf

Lebih terperinci

ANALISIS KESENJANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH PEMBANGUNAN DI KABUPATEN ALOR YUNUS ADIFA

ANALISIS KESENJANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH PEMBANGUNAN DI KABUPATEN ALOR YUNUS ADIFA ANALISIS KESENJANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH PEMBANGUNAN DI KABUPATEN ALOR YUNUS ADIFA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK YUNUS ADIFA. Analisis Kesenjangan Pembangunan antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu

BAB I PENDAHULUAN. suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam memperkuat suatu perekonomian agar dapat berkelanjutan perlu adanya suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu negara sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbedaaan kondisi demografi yang terdapat pada daerah masing-masing.

BAB I PENDAHULUAN. perbedaaan kondisi demografi yang terdapat pada daerah masing-masing. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Disparitas perekonomian antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Disparitas ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Hasil Pendaftaran (Listing) Usaha/Perusahaan Sensus Ekonomi 2016 No. 30/05/61/Th. XX, 24 Mei 2017 BERITA RESMI STATISTIK PROVINSI KALIMANTAN BARAT Hasil Pendaftaran (Listing) Usaha/Perusahaan Sensus Ekonomi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. satu dari 14 Kabupaten/Kota yang berada di Provinsi Kalimantan Barat. Provinsi

BAB III METODE PENELITIAN. satu dari 14 Kabupaten/Kota yang berada di Provinsi Kalimantan Barat. Provinsi BAB III METODE PENELITIAN A. Objek Penelitian Penelitian ini dilakukan pada daerah Kabupaten Kubu Raya, yang merupakan satu dari 14 Kabupaten/Kota yang berada di Provinsi Kalimantan Barat. Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan I.PENDAHULUAN A.Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan ekonomi, hal ini disebabkan karena terjadinya keterbelakangan ekonomi. Pembangunan di bidang ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam proses pembangunan ekonomi, industrialisasi merupakan salah satu tahap perkembangan yang dianggap penting untuk dapat mempercepat kemajuan ekonomi suatu bangsa.

Lebih terperinci

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS A. Tinjauan Penelitian Terdahulu Kuncoro (2014), dalam jurnal Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat Pengangguran dan Pendidikan terhadap Tingkat Kemiskinan

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBERADAAN SITU (STUDI KASUS KOTA DEPOK) ROSNILA

PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBERADAAN SITU (STUDI KASUS KOTA DEPOK) ROSNILA PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBERADAAN SITU (STUDI KASUS KOTA DEPOK) Oleh : ROSNILA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R 2 0 0 4 ABSTRAK Rosnila. Perubahan Penggunaan

Lebih terperinci

PENENTUAN LOKASI PASAR INDUK KABUPATEN BOGOR BERDASARKAN PERKEMBANGAN WILAYAH DAN AKSESIBILITAS E L I Y A N I

PENENTUAN LOKASI PASAR INDUK KABUPATEN BOGOR BERDASARKAN PERKEMBANGAN WILAYAH DAN AKSESIBILITAS E L I Y A N I PENENTUAN LOKASI PASAR INDUK KABUPATEN BOGOR BERDASARKAN PERKEMBANGAN WILAYAH DAN AKSESIBILITAS E L I Y A N I SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan serta penanganan ketimpangan pendapatan. dunia. Bahkan dari delapan butir Millenium Development Goals (MDGs) yang

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan serta penanganan ketimpangan pendapatan. dunia. Bahkan dari delapan butir Millenium Development Goals (MDGs) yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan kualitas sumberdaya manusia di Indonesia masih perlu mendapat prioritas dalam pembangunan nasional. Berdasarkan laporan United Nation for Development Programme

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN ALOKASI ANGGARAN DAN SEKTOR UNGGULAN DALAM MENGOPTIMALKAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN BOGOR FERDINAN SUKATENDEL

ANALISIS KETERKAITAN ALOKASI ANGGARAN DAN SEKTOR UNGGULAN DALAM MENGOPTIMALKAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN BOGOR FERDINAN SUKATENDEL ANALISIS KETERKAITAN ALOKASI ANGGARAN DAN SEKTOR UNGGULAN DALAM MENGOPTIMALKAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN BOGOR FERDINAN SUKATENDEL SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program pencapaian pembangunan. Dalam skala internasional dikenal tujuan pembangunan milenium (Millenium

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 61/11/61/Th. XIV, 7 November 2011 KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT AGUSTUS 2011 Agustus 2011 : Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Sebesar 3,88 Persen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan pada era 1950-an hanya berfokus pada bagaimana

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan pada era 1950-an hanya berfokus pada bagaimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan pembangunan pada era 1950-an hanya berfokus pada bagaimana suatu negara dapat meningkatkan pendapatannya guna mencapai target pertumbuhan. Hal ini sesuai

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH A. Kondisi Umum Provinsi Kalimantan Barat Setelah era reformasi yang menghasilkan adanya otonomi daerah, maka daerah administrasi di Provinsi Kalimantan Barat yang telah mengalami

Lebih terperinci

MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG

MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini

Lebih terperinci

Hasil Pendaftaran (Listing) Usaha/Perusahaan Sensus Ekonomi 2016

Hasil Pendaftaran (Listing) Usaha/Perusahaan Sensus Ekonomi 2016 Hasil Pendaftaran (Listing) Usaha/Perusahaan Sensus Ekonomi 2016 No. 01/07/Th. I, 15 Juli 2017 KABUPATEN KETAPANG Hasil Pendaftaran (Listing) Usaha/Perusahaan Sensus Ekonomi 2016 Hasil pendaftaran usaha/perusahan

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA

SEKOLAH PASCASARJANA ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN TANAH TERHADAP LINGKUNGAN DI KABUPATEN TANGERANG Oleh: Sri Martini PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 ANALISIS DAMPAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di suatu negara, maka dibutuhkan pembangunan. Pada September tahun 2000, mulai dijalankannya Millennium Development

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan nasional merupakan gambaran umum yang memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies) dalam rangka menyeimbangkan pembangunan

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN PENDUDUK, PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDIDIKAN DAN PENGANGGURAN TERHADAP KEMISKINAN DI JAWA TENGAH TAHUN SKRIPSI

ANALISIS PERTUMBUHAN PENDUDUK, PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDIDIKAN DAN PENGANGGURAN TERHADAP KEMISKINAN DI JAWA TENGAH TAHUN SKRIPSI ANALISIS PERTUMBUHAN PENDUDUK, PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDIDIKAN DAN PENGANGGURAN TERHADAP KEMISKINAN DI JAWA TENGAH TAHUN 2008-2015 SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Provinsi Kalimantan Barat Propinsi Kalimantan Barat terdiri atas 12 kabupaten dan 2 kota di mana dari 12 kabupaten tersebut, 5 diantaranya berada pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fisik/fasilitas fisik (Rustiadi, 2009). Meier dan Stiglitz dalam Kuncoro (2010)

BAB I PENDAHULUAN. fisik/fasilitas fisik (Rustiadi, 2009). Meier dan Stiglitz dalam Kuncoro (2010) BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Pembangunan merupakan proses perubahan untuk mengalami kemajuan ke arah yang lebih baik. Pembangunan di berbagai negara berkembang dan di Indonesia seringkali diartikan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN ANDALAN PROBOLINGGO- PASURUAN-LUMAJANG MELALUI PENDEKATAN PENINGKATAN EFISIENSI

PENGEMBANGAN KAWASAN ANDALAN PROBOLINGGO- PASURUAN-LUMAJANG MELALUI PENDEKATAN PENINGKATAN EFISIENSI TUGAS AKHIR RP09-1333 1 PENGEMBANGAN KAWASAN ANDALAN PROBOLINGGO- PASURUAN-LUMAJANG MELALUI PENDEKATAN PENINGKATAN EFISIENSI REZA PURBA ADHI NRP 3608 100 050 Dosen Pembimbing Dr. Ir. Eko Budi Santoso,

Lebih terperinci

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan prasyarat utama untuk memperbaiki derajat kesejahteraan rakyat.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan prasyarat utama untuk memperbaiki derajat kesejahteraan rakyat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan kualitas manusia sebagai sumberdaya pembangunan merupakan prasyarat utama untuk memperbaiki derajat kesejahteraan rakyat. Indonesia pada September tahun

Lebih terperinci

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN PROVINSI GORONTALO : IDENTIFIKASI SEKTOR-SEKTOR UNGGULAN DWI MUSLIANTI H

PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN PROVINSI GORONTALO : IDENTIFIKASI SEKTOR-SEKTOR UNGGULAN DWI MUSLIANTI H PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN PROVINSI GORONTALO 2001-2008: IDENTIFIKASI SEKTOR-SEKTOR UNGGULAN DWI MUSLIANTI H 14094014 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. institusi nasional tanpa mengesampingkan tujuan awal yaitu pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. institusi nasional tanpa mengesampingkan tujuan awal yaitu pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan adalah upaya multidimensional yang meliputi perubahan pada berbagai aspek termasuk di dalamnya struktur sosial, sikap masyarakat, serta institusi

Lebih terperinci

SKRIPSI. Disusun Oleh: MAS AD DEPARTEMEN STATISTIKA FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2016

SKRIPSI. Disusun Oleh: MAS AD DEPARTEMEN STATISTIKA FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2016 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERSENTASE PENDUDUK MISKIN DI JAWA TENGAH DENGAN METODE GEOGRAPHICALLY WEIGHTED PRINCIPAL COMPONENTS ANALYSIS (GWPCA) ADAPTIVE BANDWIDTH SKRIPSI Disusun Oleh: MAS

Lebih terperinci

ANALISIS EKONOMI SEKTOR INFORMAL DI KOTA TANGERANG :STRATEGI BERTAHAN HIDUP DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENDAPATAN MIGRAN

ANALISIS EKONOMI SEKTOR INFORMAL DI KOTA TANGERANG :STRATEGI BERTAHAN HIDUP DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENDAPATAN MIGRAN ANALISIS EKONOMI SEKTOR INFORMAL DI KOTA TANGERANG :STRATEGI BERTAHAN HIDUP DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENDAPATAN MIGRAN NURJANNAH YUSUF SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

Lebih terperinci

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. multidimensi, yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek. hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi.

BAB I PENDAHULUAN. multidimensi, yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek. hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang bersifat multidimensi, yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya. Kemiskinan juga didefinisikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (self balance), ketidakseimbangan regional (disequilibrium), ketergantungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (self balance), ketidakseimbangan regional (disequilibrium), ketergantungan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesenjangan Antar Daerah Menurul Cornelis Lay dalam Lia (1995), keterbelakangan dan kesenjangan daerah ini dapat dibagi atas empat pemikiran utama yaitu keseimbangan regional

Lebih terperinci

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYERAPAN TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYERAPAN TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYERAPAN TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2010-2014 TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Magister Ekonomi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai teori yang menjadi dasar dari pokok permasalahan yang diamati. Teori yang dibahas dalam bab ini terdiri dari pengertian pembangunan ekonomi,

Lebih terperinci

ANALISIS KUALITAS PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI MALUKU UTARA TAHUN OLEH ACHMAD SOBARI H

ANALISIS KUALITAS PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI MALUKU UTARA TAHUN OLEH ACHMAD SOBARI H ANALISIS KUALITAS PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI MALUKU UTARA TAHUN 2000-2008 OLEH ACHMAD SOBARI H14094015 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 RINGKASAN ACHMAD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang

BAB I PENDAHULUAN. yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebuah negara tidak akan pernah bisa lepas dari berbagai permasalahan yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan besar dalam struktur sosial, sikap-sikap mental yang sudah terbiasa

I. PENDAHULUAN. perubahan besar dalam struktur sosial, sikap-sikap mental yang sudah terbiasa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan proses multidimensional yang melibatkan perubahan besar dalam struktur sosial, sikap-sikap mental yang sudah terbiasa dan lembaga nasional

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pertumbuhan Ekonomi 2.1.1 Pengertian Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi adalah proses perubahan kondisi perekonomian suatu negara secara berkesinambungan menuju keadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesejahteraan masyarakat merupakan salah satu tujuan dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Kesejahteraan masyarakat merupakan salah satu tujuan dari pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesejahteraan masyarakat merupakan salah satu tujuan dari pembangunan ekonomi nasional yang dapat dicapai melalui pembenahan taraf hidup masyarakat, perluasan lapangan

Lebih terperinci

MODEL PENGEMBANGAN WILAYAH DENGAN PENDEKATAN AGROPOLITAN (STUDI KASUS KABUPATEN BANYUMAS ) SULISTIONO

MODEL PENGEMBANGAN WILAYAH DENGAN PENDEKATAN AGROPOLITAN (STUDI KASUS KABUPATEN BANYUMAS ) SULISTIONO MODEL PENGEMBANGAN WILAYAH DENGAN PENDEKATAN AGROPOLITAN (STUDI KASUS KABUPATEN BANYUMAS ) SULISTIONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci