GAMBARAN LEUKOSIT DOMBA EKOR TIPIS YANG DIINFEKSI Haemoncus contortus HAYATULLAH FRIO MARTEN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "GAMBARAN LEUKOSIT DOMBA EKOR TIPIS YANG DIINFEKSI Haemoncus contortus HAYATULLAH FRIO MARTEN"

Transkripsi

1 GAMBARAN LEUKOSIT DOMBA EKOR TIPIS YANG DIINFEKSI Haemoncus contortus HAYATULLAH FRIO MARTEN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Gambaran Leukosit Domba Ekor Tipis yang Diinfeksi Haemoncus contortus adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2015 Hayatullah Frio Marten NIM B

4 ABSTRAK HAYATULLAH FRIO MARTEN. Gambaran Leukosit Domba Ekor Tipis yang Diinfeksi Haemonchus contortus. Dibimbing oleh YUSUF RIDWAN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh infeksi Haemonchus contortus terhadap perubahan gambaran leukosit pada domba ekor tipis. Sebanyak 20 ekor domba ekor tipis jantan dikelompokkan ke dalam lima kelompok. Satu kelompok kontrol dan empat kelompok infeksi larva infektif sebanyak 500 L3, 1000 L3, 2000 L3 dan 4000 L3. Sampel darah dan tinja diambil setiap minggu mulai sebelum sampai minggu ketiga pasca infeksi. Sampel darah diambil menggunakan venoject dari vena jugularis, sedangkan sampel tinja diambil langsung dari rektum. Sampel darah diperiksa untuk mengetahui jumlah leukosit dan diferensial leukosit, sedangkan sampel tinja untuk menghitung jumlah telur tiap gram tinja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa infeksi Haemonchus contortus menyebabkan peningkatan jumlah leukosit namun tidak berbeda nyata antar tingkat dosis infeksi (P>0.05). Tingkat dosis infeksi yang berbeda berpengaruh nyata terhadap peningkatan jumlah eosinofil (P<0.05), namun tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan jumlah limfosit, monosit, dan neutrofil (P>0.05). Jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) berkorelasi positif nyata terhadap profil jumlah eosinofil dan berkorelasi negatif yang nyata terhadap profil jumlah neutrofil (P<0.05), namun tidak berkorelasi terhadap profil jumlah leukosit, limfosit, monosit (P>0.05). Kata kunci: diferensial leukosit, domba, Haemonchus contortus, leukosit. ABSTRACT HAYATULLAH FRIO MARTEN. The White Blood Cell Profile of Infected Javanese Thin Tailed Sheep with Haemonchus contortus. Supervised by YUSUF RIDWAN. The aim of this study was to investigate the effect of Haemonchus contortus infection to white blood cell profile of Javanese thin tail sheep. Twenty males Javanese thin tailed sheep were divided into five groups, namely infected group of 500 L3, 1000 L3, 2000 L3, 4000 L3 and uninfective group as control. The blood and fecal samples were collected from rectum before and three weeks after infection. The blood samples were collected using venoject from Jugular vein. The fecal samples were collected directly from rectum. The blood samples were examined to determine total of white blood cell (leukocytes) and white blood cell differential, whereas fecal samples to determine egg per gram. The result showed that Haemonchus contortus infections cause an increased total of leukocyte but were not significantly different among of level infection doses (P>0.05). Number of eosinophils were significantly different among uninfected group (P<0.05), but were not significantly different in number of lymphocyte, monocyte, and neutrophil (P>0.05). There where positively correlated significantly between the amount of egg per gram (EPG) and profile of eosinophil (P<0.05), however were negatively correlated significantly between the amount of egg per gram (EPG) and neutrophil s profile (P<0.05). There where no correlation significantly between the

5 amount of egg per gram (EPG) and profile of white blood cell, lymphocyte, and monocyte (P>0.05). Key words: differential leukocyte, Haemonchus contortus, leukocyte, sheep.

6

7 GAMBARAN LEUKOSIT DOMBA EKOR TIPIS YANG DIINFEKSI Haemoncus contortus HAYATULLAH FRIO MARTEN Skripsi sebagai satu diantara syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

8

9 Judul Skripsi : Gambaran Leukosit Domba Ekor Tipis yang Diinfeksi Haemoncus contortus Nama : Hayatullah Frio Marten NIM : B Disetujui oleh Dr Drh Yusuf Ridwan, MSi Pembimbing Diketahui oleh Drh Agus Setiyono, MS PhD APVet Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Tanggal Lulus:

10

11 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Gambaran Leukosit Domba Ekor Tipis yang Diinfeksi Haemonchus contortus. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Drh Yusuf Ridwan, MSi selaku dosen pembimbing atas bimbingan, ilmu, waktu dan kesabaran yang diberikan selama penelitian dan penyusunan skripsi ini. Di samping itu, penulis juga berterima kasih kepada Prof Dr Drh Tutik Wresdiyati selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan nasihat selama ini. Terima kasih kepada teman-teman sepenelitian Siti Holijah Rangkuti, Eniza Rukisti dan Pika Sati Suryani. Tidak lupa penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Sulaeman dan Bapak Kosasih serta staf-staf Laboratorium Helminthologi FKH, yang telah banyak membantu selama penelitian. Ucapan terima kasih yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada orang tua Ibu Zahani, Bapak Tasnil, adik-adik Fitri Asnita dan Nadia Ulfa atas segala doa, dukungan, kasih sayang dan semangat yang diberikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada sahabat Tenti Rahmawati, Dea Astylia Vebrina, Rahayu Asmadini Rosa, Anizza Maharani dan sahabat HIMAPD tercinta dan teman-teman Acromion 47 atas segala kebersamaan. Skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, Penulis terbuka menerima kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini bermanfaat. Bogor, September 2015 Hayatullah Frio Marten

12

13 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 1 Manfaat Penelitian 1 METODE 2 Tempat dan Waktu Penelitian 2 Desain Penelitian 2 Penyiapan Larva Infektif Haemonchus contortus 2 Perhitungan Jumlah Leukosit 3 Diferensial Leukosit 3 Pemeriksaan Sampel Tinja 4 Analisis Data 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 5 Gambaran Leukosit Domba yang Diinfeksi Larva Infektif Haemonchus contortus 5 Gambaran Limfosit Domba yang Diinfeksi Larva Infektif Haemonchus contortus 7 Gambaran Monosit Domba yang Diinfeksi Larva Infektif Haemonchus contortus 9 Gambaran Neutrofil Domba yang Diinfeksi Larva Infektif Haemonchus contortus 10 Gambaran Basofil Domba yang Diinfeksi Larva Infektif Haemonchus contortus 11 Gambaran Eosinofil Domba yang Diinfeksi Larva Infektif Haemonchus contortus 12 SIMPULAN 13 SARAN 13 DAFTAR PUSTAKA 14 RIWAYAT HIDUP 16 xi xi

14 DAFTAR TABEL 1 Rataan jumlah leukosit domba per kelompok infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi 2 Rataan jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) domba per kelompok dosis infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai minggu ketiga pasca infeksi. 3 Rataan jumlah limfosit domba per kelompok infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi. 4 Rataan jumlah monosit domba per kelompok infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi 5 Rataan jumlah neutrofil domba per kelompok infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi 6 Rataan jumlah eosinofil domba per kelompok infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi DAFTAR GAMBAR 1 Rataan jumlah leukosit domba per kelompok infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi 2 Rataan jumlah limfosit domba per kelompok infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi. 3 Rataan jumlah monosit domba per kelompok infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi 4 Rataan jumlah neutrofil domba per kelompok infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi 5 Rataan jumlah eosinofil domba per kelompok infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi

15 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Domba merupakan satu diantara komoditas peternakan di Indonesia. Berdasarkan sensus pertanian tahun 2013 sebanyak ribu rumah tangga di Indonesia memelihara domba dan 2.7 juta rumah tangga memelihara kambing dengan jumlah populasi domba juta dan jumlah populasi kambing 13.5 juta. Provinsi Jawa Barat memiliki populasi domba terbanyak (71%) dan Propinsi Jawa Timur memiliki populasi kambing terbanyak (31%) dari total populasi (Direktorat Jenderal Peternakan 2013). Domba ekor tipis merupakan satu diantara jenis domba yang paling banyak diperlihara di Indonesia. Satu diantara kendala peningkatan populasi ternak domba di Indonesia disebabkan adanya infeksi cacing nematoda. Haemonchus contortus merupakan cacing nematoda yang terdapat pada abomasum domba dan kambing. Penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing Haemonchus contortus disebut haemonchosis. Kasus Haemonchosis di Indonesia cukup tinggi. Tingkat prevalensi Haemonchus contortus di Indonesia dapat mencapai rata-rata 80% (Puslitbangnak 1980). Ridwan et al. (1996) melaporkan derajat infeksi nematoda saluran pencernaan di wilayah Bogor tinggi sepanjang tahun, dengan spesies yang dominan adalah Haemonchus contortus. Blood dan Henderson (1974) melaporkan bahwa Haemonchosis merupakan penyakit yang menyebabkan kerugian di negara-negara tropis, terutama pada negara tropis dengan curah hujan yang tinggi. Kerugian tersebut dalam bentuk penurunan berat badan, daya tahan tubuh, dan bahkan dapat menimbulkan kematian (Fabiyi 1986). Haemonchus contortus merupakan jenis cacing penghisap darah. Endoparasit ini merupakan satu diantara penyebab utama perubahan gambaran darah domba (Schalm et al. 1975). Pemeriksaan sel darah merah maupun sel darah putih (leukosit) dapat memperkuat diagnosa pada hewan disamping pemeriksaan telur cacing dalam tinja. Menurut Lawhead dan Baker (2005) jumlah total dan tipe sel darah putih dalam pemeriksaan hematologi dapat digunakan untuk membantu mendiagnosa keadaan atau status infeksi pada hewan. Selama ini, laporan terkini mengenai gambaran sel darah putih domba ekor tipis dengan tingkat infeksi larva infektif berbeda masih sedikit. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh tingkat infeksi Haemonchus contortus terhadap perubahan gambaran sel darah putih pada domba ekor tipis yang menderita haemonchosis. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat infeksi Haemonchus contortus terhadap perubahan gambaran sel darah putih domba ekor tipis. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi ilmiah perubahan gambaran sel darah putih pada domba ekor tipis akibat infeksi Haemonchus contortus.

16 2 METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Helminthologi dan kandang ruminansia kecil Unit Pengelola Hewan Laboratorium (UPHL), Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung mulai bulan Juli hingga Oktober Bahan Penelitian Hewan coba yang digunakan adalah 20 ekor domba jantan lokal yang berumur 6 hingga 8 bulan, dengan berat badan sekitar kg. Sebelum digunakan untuk penelitian domba diberi anthelmintik Albendazol agar domba bebas dari infeksi cacing. Selama penelitian berlangsung semua domba dikandangkan sebanyak 4 ekor domba/kandang, di kandang ruminansia kecil milik UPHL FKH-IPB. Empat ekor domba di kandang pertama sebagai kontrol. Hewan coba tersebut diberi pakan berupa rumput gajah. Pakan diberikan sebanyak dua kali sehari dengan air minum diberikan secara ad libitum. Desain Penelitian Hewan coba dibagi secara acak menjadi lima kelompok, masing-masing terdiri dari empat ekor domba yaitu kelompok yang diinfeksi dengan dosis infeksi larva infektif masing-masing 500 L3, 1000 L3, 2000 L3, dan 4000 L3 serta kelompok yang tidak diinfeksi sebagai kontrol. Pengambilan darah dilakukan setiap satu minggu sekali untuk pemeriksaan jumlah leukosit. Pengambilan darah mulai dilakukan sehari sebelum domba diinfeksi, kemudian setiap satu minggu sekali sampai minggu ketiga pasca infeksi. Pengambilan darah dilakukan pagi hari menggunakan tabung hampa udara (venoject ) dengan antikoagulan Ethylen Diamine tetraacetic Acid (EDTA) dari vena jugularis sebanyak tiga sampai lima ml, kemudian dibawa ke Laboratorium Helminthologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penyiapan Larva Infektif (L3) Haemonchus Contortus Larva infektif yang digunakan untuk menginfeksi hewan coba diperoleh dari hasil pupukan telur cacing Haemonchus contortus. Telur cacing diperoleh dari cacing dewasa yang diambil dari abomasum domba dari rumah potong hewan, Empang, Bogor. Pemupukan telur cacing menggunakan media tinja sapi yang bebas cacing dicampur vermikulit dengan perbandingan 1:3, kemudian dibiarkan selama seminggu pada suhu kamar. Pengecekan dilakukan dua hari sekali untuk memeriksa kelembaban dan ditambahkan beberapa tetes aquades apabila diperlukan. Pengumpulan larva infektif dilakukan dengan metode Baermann. Gelas Baermann diisi dengan pupukan tinja lalu ditambahkan aquades sampai terendam dan dibiarkan selama 12 jam. Larva yang terkumpul di dasar gelas diambil dengan menggunakan pipet, kemudian disimpan dalam lemari es (4-5 o C) sampai larva

17 tersebut siap digunakan untuk infeksi. Menjelang infeksi, dilakukan penghitungan jumlah larva infektif (L3) di bawah mikroskop dengan menambahkan air suling. Larva dihitung sesuai dosis yang telah ditentukan yaitu 500L3, 1000L3, 2000L3, 4000L3 kemudian dimasukkan ke dalam kapsul gelatin. Larva cacing yang diperoleh diinfeksikan pada masing-masing domba secara peroral menggunakan sonde lambung ke dalam abomasum. Perhitungan Jumlah Leukosit Penghitungan leukosit dilakukan secara manual dengan menggunakan hemasitometer. Darah dihisap dengan aspirator sampai skala 0.5 kemudian pipet dibersihkan dari noda-noda darah yang menempel menggunakan kertas saring atau tisu, lalu ujung pipet dimasukkan ke dalam cairan pengencer turk dan dihisap sampai batas tera 11. Aspirator dilepaskan, pipet diangkat, ujungnya ditutup dengan jempol dan pangkalnya ditutup dengan jari tengah. Pipet diposisikan mendatar dan dihomogenkan dengan membuat gerakan angka 8 sebanyak tujuh kali. Setelah homogen, cairan dibuang sebanyak 3-5 tetes, setelah itu hasil pengenceran dituangkan ke dalam kamar hitung improved Neubauer dengan menyentuhkan ujung pipet secara hati-hati pada tepi dataran kaca penutup, sehingga permukaan terisi sempurna. Kamar hitung yang telah terisi didiamkan selama beberapa menit supaya selsel darah putih mengendap sempurna. Bagian datar yang terisi diletakkan di bawah meja objektif, diposisikan, kemudian dihitung jumlah leukositnya. Empat kotak yang dihitung adalah empat kotak dipojok. Hasil penghitungan terakhir adalah jumlah seluruh sel darah putih dari empat kotak tersebut (n butir) dikalikan 50 sehingga diperoleh jumlah sel darah putih per µl (mm 3 ) volume darah. Diferensial Leukosit Diferensial leukosit dilakukan pada sediaan ulas darah yang diberi pewarna Giemsa. Sediaan ulas darah dibuat dengan cara meneteskan sampel darah pada ujung gelas objek pertama kemudian permukaan gelas objek kedua ditempelkan pada tetesan darah sehingga darah menyebar merata memenuhi bagian yang ditempelkan pada gelas objek kedua. Gelas objek kedua didorong secara cepat sehingga darah menyebar sepanjang gelas objek pertama agar terbentuk ulasan darah yang tipis. Sediaan ulas darah dikeringkan pada suhu ruang dengan mengayun-ayunkannya beberapa kali di udara dan difiksasi dengan metil alkohol selama 5 menit, kemudian ulasan darah tersebut dikeringkan-udarakan. Sediaan yang telah difiksasi diwarnai dengan cara dimasukkan ke dalam larutan Giemsa selama 30 menit. Setelah selesai direndam, sediaan dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan-udarakan. Jenis sel darah putih diamati di bawah mikroskop cahaya pembesaran objektif 100 kali. Jumlah sel darah putih yang dihitung sebanyak 100 sel untuk mengetahui persentase masing-masing jenis leukosit (limfosit, monosit, basofil, neutrofil, dan eosinofil). Jumlah absolut masing-masing jenis leukosit diperoleh dengan cara mengalikan persentase setiap jenis leukosit dengan jumlah leukosit per µl darah. 3

18 4 Pemeriksaan Sampel Tinja Pemeriksaan sampel tinja dilakukan untuk mengetahui jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) dengan menggunakan metode McMaster (Hansen dan Perry 1994). Sampel tinja ditimbang sebanyak 2 gram dan ditambahkan larutan garam jenuh ke dalam gelas sebanyak 58 ml. Larutan tinja dimasukkan ke dalam kamar hitung McMaster setelah dihomogenkan terlebih dahulu, kemudian dibiarkan selama 2-3 menit, sebelum diperiksa dibawah mikroskop. Pemeriksaan dibawah mikroskop dilakukan dengan perbesaran 10x10. Jumlah TTGT cacing dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: TTGT = volume total volume hitung Analisis Data X jumlah telur berat tinja Data jumlah leukosit dan differensial leukosit yang didapatkan dari pemeriksaan laboratorium dimasukkan ke dalam data base menggunakan program Microsoft Excel. Analisis data dilakukan dengan metode Anova sederhana (Uji Duncan) dan Regresi linear menggunakan software SPSS 16.0 untuk mengetahui hubungan antara tingkat infeksi dengan jumlah dan diferensial leukosit serta korelasi antara TTGT dengan leukosit.

19 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Jumlah Leukosit Darah yang Diinfeksi Larva Infektif Haemonchus contortus Berdasarkan pengamatan dan hasil analisis (Tabel 1), rataan jumlah total leukosit pada setiap minggu menunjukkan perubahan jumlah leukosit tertinggi terdapat pada kelompok infeksi 500 larva infektif (L3), diikuti oleh kelompok infeksi 2000L3. Dosis infektif rendah mendapatkan respon kekebalan paling tinggi dan menjelaskan bahwa Haemonchus contortus dapat berkembang dengan baik sehingga mendapatkan respon kekebalan yang tinggi pada setiap minggunya. Hal ini sesuai dengan hasil pemeriksaan TTGT yang menunjukkan kelompok infeksi 500L3 memiliki jumlah TTGT atau tingkat keberhasilan infeksi paling tinggi diikuti oleh kelompok infeksi 2000L3. Tabel 1 Rataan jumlah leukosit domba per kelompok infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi. Rataan jumlah leukosit (jumlah sel per µl darah) Perlakuan minggu ke L ±1700b 15644±4840a 18300±5967a 14400±6936a 1000L3 9756±2562a 13619±4359a 11294±2439a 10606±1992a 2000L ±2344ab 13206±2751a 14369±3719a 11581±4350a 4000L3 8925±1700ab 13238±4840a 11938±5967a 9187±6936a Kontrol 10088±3202ab 10444±3297a 11769±4184a 13488±4559a Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukan nilai yang berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). Pada minggu pertama dan kedua pasca infeksi jumlah leukosit mengalami peningkatan. Peningkatan disebabkan oleh infeksi larva dan cacing dewasa yang menyebabkan peradangan pada mukosa abomasum. Hal tersebut sesuai dengan laporan Blood dan Henderson (1974) yang menyatakan bahwa larva Haemonchus contortus di dalam abomasum akan menyebabkan erosi dan ulcerasi di tempat menempelnya cacing sehingga terjadi peradangan. Peradangan pada mukosa abomasum akan menggertak pembentukan leukosit pada sumsum tulang. Leukosit yang terbentuk dimobilisasi melalui sistem pembuluh darah perifer menuju target organ. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian oleh Duncan dan Prasse (1986) yang menyatakan bahwa peningkatan jumlah total leukosit dapat terjadi karena faktor fisiologis (stres), trauma, umur hewan, efek obat kortikosteroid, infeksi peradangan akut maupun kronis, infeksi virus, dan infeksi parasit. Hal ini juga dijelaskan Arifin (1982) yang menyatakan bahwa jumlah leukosit meningkat sampai dengan hari ke 18 pasca infeksi. Pada minggu ketiga pasca infeksi jumlah leukosit mengalami penurunan, hal ini diduga karena domba mengalami proses penyembuhan akibat terbentuknya sistem kekebalan. Pada proses penyembuhan, sel leukosit keluar dalam jumlah

20 6 besar dari pembuluh darah menuju jaringan atau organ yang mengalami peradangan akibat infeksi cacing Haemonchus contortus. Secara keseluruhan infeksi cacing Haemonchus contortus dapat menyebabkan perubahan jumlah leukosit domba, namun dosis infeksi yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan jumlah leukosit pada setiap minggu pasca infeksi. Gambar 1 Rataan jumlah leukosit domba per kelompok infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi. Jumlah TTGT yang ditemukan pada pemeriksaan tinja (Tabel 2) dapat dijadikan indikator terhadap jumlah cacing pada abomasum domba. Jumlah TTGT yang tinggi menyatakan persentase dari cacing dewasa yang tinggi dan sebaliknya hasil perhitungan TTGT rendah menyatakan persentase cacing dewasa sedikit. Tabel 2 Rataan jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) domba per kelompok dosis infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi Rataan jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) Perlakuan minggu ke L ± 3484a 1925 ± 2116a 1000L ± 1350a 1060 ± 1464a 2000L ± 1819a 2050 ± 2577a 4000L ± 640a Kontrol Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). Hubungan antara TTGT dengan leukosit didapat dengan membandingkan hasil perhitungan tabel 1 dan tabel 2. Leukosit total darah mulai mengalami peningkatan pada minggu pertama pasca infeksi namun disaat yang sama belum ditemukan TTGT pada semua kelompok infeksi. Hal ini diduga karena pada minggu pertama pasca infeksi cacing belum mencapai tahap dewasa. Pada minggu kedua pasca infeksi TTGT mulai ditemukan pada kelompok infeksi 500L3, 1000L3, dan 2000L3. Hal ini menjadi indikator bahwa cacing sudah dewasa dan mampu bereproduksi. Leukosit total darah mulai mengalami penurunan pada minggu ketiga

21 pasca infeksi bertepatan dengan jumlah TTGT mengalami peningkatan tertinggi. Hal ini diduga karena leukosit yang beredar di dalam darah sudah terkonsentrasi menuju target organ yang terinfeksi Haemonchus contortus. Pada kelompok infeksi terendah 500L3 jumlah TTGT yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan infeksi lainnya. Kemudian diikuti oleh kelompok 2000L3 dan 1000L3. Respon terhadap jumlah leukosit menunjukkan pola yang sama, dimana kelompok infeksi 500L3 menghasilkan jumlah leukosit tertinggi, diikuti oleh kelompok infeksi 2000L3 dan 1000L3. Jumlah TTGT yang tinggi pada kelompok infeksi dosis rendah diduga karena cacing Haemonchus contortus dapat bertahan dan berkembang dengan baik dibandingkan kelompok infeksi dengan dosis yang lebih tinggi di dalam tubuh domba. Jumlah TTGT terendah ditemukan pada kelompok infeksi tertinggi 4000L3. Respon kelompok infeksi 4000L3 terhadap jumlah leukosit juga rendah. Bahkan pada minggu ketiga jumlah leukosit yang dihasilkan kelompok infeksi 4000L3 merupakan yang paling rendah. Hal ini diduga karena dosis infeksi yang tinggi menimbulkan respon kekebalan inang yang lebih kuat pula di awal infeksi terjadi, sehingga larva yang diinfeksikan tidak dapat bertahan dan berkembang dengan baik. Jumlah larva yang berhasil menjadi dewasa sangat sedikit sehingga jumlah TTGT yang ditemukan sedikit. Korelasi antara jumlah leukosit dengan TTGT secara statistik menunjukkan terdapat korelasi positif yang tidak nyata. Peningkatan jumlah TTGT dapat meningkatkan jumlah leukosit namun tidak signifikan. Berdasarkan hasil analisis regresi didapat korelasi postif antara TTGT dengan leukosit sebesar Respon leukosit yang jelas muncul pada keadaan patologis. Manifestasi respon leukosit berupa penurunan atau peningkatan satu diantara atau beberapa jenis sel leukosit. Informasi ini dapat memberikan petunjuk terhadap kehadiran suatu penyakit dan membantu dalam diagnosa penyakit yang diakibatkan oleh agen tertentu (Jain 1993). Gambaran Limfosit Domba Berdasarkan pengamatan dan hasil analisis (Tabel 2), secara umum kelompok infeksi dosis tinggi 4000L3 dan 2000L3 mengalami peningkatan dan menjadi dua kelompok dengan jumlah limfosit tertinggi di awal minggu pertama, namun mengalami penurunan pada minggu kedua dan ketiga pasca infeksi. Hal sebaliknya terjadi pada kelompok infeksi dosis rendah 500L3 yang mengalami penurunan jumlah limfosit pada minggu pertama dan meningkat di minggu kedua pasca infeksi, sedangkan kelompok infeksi 1000L3 meningkat di minggu ketiga pasca infeksi. Pada minggu pertama pasca infeksi, kelompok infeksi tertinggi 4000L3 dan 2000L3 mengalami peningkatan. Respon peningkatan jumlah limfosit tertinggi terjadi pada kelompok infeksi 4000L3, diduga karena dosis infeksi tinggi cenderung menggertak keluarnya limfosit lebih banyak, sehingga pada minggu pertama pasca infeksi limfosit diproduksi dan ditemukan dalam jumlah besar di dalam darah. Peningkatan jumlah limfosit pada kelompok infeksi 4000L3 diduga karena dosis infeksi yang tinggi mengandung jumlah larva infektif yang lebih banyak sehingga menimbulkan respon limfosit yang lebih kuat. Hal ini sesuai dengan laporan Tizard (1988) yang menyatakan bahwa dalam proses tanggap kebal anti parasit sel limfosit berperan sebagai tanggap kebal spesifik seluler dan humoral, sel 7

22 8 T membantu memproduksi antibodi spesifik. Antibodi yang aktif yaitu IgE dan IgM. IgE mengaktifkan sel basofil berdegranulasi melepaskan Eosinofil Chemotatic Factor A (ECF-A) yang memobilisasi produksi eosinofil. Sehingga peran limfosit adalah memberi informasi adanya infeksi parasit dalam proses awal mobilisasi sel eosinofil. Tabel 3 Rataan nilai absolut limfosit domba per kelompok dosis infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi. Rataan nilai absolut limfosit (jumlah sel per µl darah) Perlakuan minggu ke L3 4668±1568a 3654± 921a 6408±4593a 3740±2465a 1000L3 2606±1309a 3155±1660a 2751± 566a 3218±1084a 2000L3 3451± 542a 4039±1625a 4355±1729a 2878± 970a 4000L3 2646±1428a 4637±1810a 2823±1525a 2914± 842a Kontrol 3137± 968a 2552± 634a 3703±1226a 2517± 784a Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). Pada minggu kedua pasca infeksi kelompok Infeksi 500L3 dan 1000 L3 mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah limfosit pada kelompok infeksi terendah 500L3 hingga 2 kali lipat dari minggu pertama. Respon kekebalan terhadap kelompok infeksi rendah mengalami puncaknya pada minggu kedua pasca infeksi. Tingginya respon limfosit terhadap kelompok infeksi rendah diduga karena cacing dapat bertahan dan berkembang dengan baik sejak minggu pertama pasca infeksi, sehingga respon yang muncul terjadi saat cacing sudah berada di abomasum domba. Gambar 2 Rataan nilai absolut limfosit domba per kelompok dosis infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi. Hasil yang berbeda ditunjukan oleh kelompok infeksi 4000L3 dan 2000L3 dimana secara persentase keduanya mengalami penurunan. Penurunan yang terjadi pada kelompok infeksi 4000L3 diduga karena sel limfosit yang diproduksi tinggi di awal minggu pertama pasca infeksi telah mengurangi jumlah larva infektif yang

23 dapat bertahan hidup. Hal ini terbukti dari hasil pemeriksaan TTGT pada minggu kedua pasca infeksi tidak ditemukannya telur cacing pada kelompok infeksi 4000L3 dan jumlah TTGT kelompok infeksi 4000L3 menjadi yang terendah di minggu ketiga pasca infeksi dibandingkan kelompok infeksi lainnya. Berdasarkan analisis statistik tingkat infeksi yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai limfosit pada setiap minggu pasca infeksi. Korelasi antara jumlah limfosit dengan TTGT secara statistik menunjukkan korelasi positif yang tidak nyata. Peningkatan jumlah TTGT dapat meningkatkan jumlah limfosit namun tidak signifikan. Berdasarkan hasil analisis regresi didapat korelasi positif antara TTGT dengan limfosit sebesar Gambaran Monosit Domba Hasil penelitian profil monosit (Tabel 3) menunjukkan pada minggu pertama terjadi peningkatan jumlah monosit yang tinggi pada kelompok infeksi 2000L3. Dosis infeksi 2000L3 merupakan yang paling kuat menggertak respon monosit. Pada minggu kedua dan ketiga pasca infeksi, jumlah monosit dari semua kelompok infeksi cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah monosit ini disebabkan oleh adanya mobilisasi makrofag melewati pembuluh darah menuju lokasi infeksi cacing Haemonchus contortus. Secara statistik tingkat infeksi berbeda berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai monosit pada minggu pertama pasca infeksi (P<0.05), namun tidak berbeda nyata pada minggu kedua dan ketiga pasca infeksi. Tabel 4 Rataan nilai absolut monosit domba per kelompok dosis infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi. Rataan nilai absolut monosit (jumlah sel per µl darah) Perlakuan minggu ke L3 654±180b 520±208ab 706±330a 693±445a 1000L3 591±504b 549±363ab 577±146a 552±308a 2000L3 50 ± 99a 719±228b 686±278a 762±406a 4000L3 294±299b 295±185a 413±100a 379±273a Kontrol 931±393b 498±268ab 901±661a 726±320a Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan nilai berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). Fluktuatif jumlah monosit dari semua kelompok infeksi masih berada dalam kisaran normal, yaitu sekitar 3-9% dari total jumlah leukosit (Hartono 1989). Bahkan nilai absolut juga menunjukkan kisaran normal, yaitu berkisar antara per μl darah (Jain 1993). Jumlah monosit tersebut terbilang sedikit jika dibandingkan dengan jenis leukosit yang lain yang bersikulasi dalam darah. Hal ini dijelaskan oleh Reece (2006) bahwa monosit bersikulasi dalam darah kurang dari 24 jam. Kemudian monosit masuk ke dalam jaringan dan berubah menjadi makrofag dan sel dendrit untuk merangsang respon imun, membentuk protein dari satu komplemen dan mengeluarkan subtansi yang mempengaruhi terjadinya proses peradangan kronik (Swenson et. al 1993). 9

24 10 Gambar 3 Rataan nilai absolut monosit domba per kelompok dosis infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi. Korelasi antara jumlah monosit dengan TTGT secara statistik menunjukkan korelasi positif yang tidak nyata. Peningkatan jumlah TTGT dapat meningkatkan jumlah monosit namun tidak signifikan. Dari hasil analisis regresi didapat korelasi positif antara TTGT dengan monosit sebesar Gambaran Neutrofil Domba Hasil penelitian profil neutrofil (Tabel 4) menunjukkan jumlah neutrofil kelompok infeksi 500L3 merupakan yang tertinggi pada setiap minggu pasca infeksi. Pada minggu pertama pasca infeksi, kelompok infeksi 500L3 memiliki jumlah neutrofil tertinggi dan diikuti oleh kelompok infeksi 1000L3. Gambaran ini sesuai dengan hasil pemeriksaan TTGT pada minggu pertama pasca infeksi, jumlah TTGT tertinggi dimiliki kelompok infeksi 500L3 dan diikuti oleh kelompok infeksi 1000L3. Kemudian di minggu kedua nilai absolut neutrofil berfluktuasi. Pada minggu ketiga pasca infeksi profil neutrofil semua kelompok infeksi mengalami penurunan, hal sebaliknya terjadi pada jumlah TTGT yang mengalami peningkatan pada semua kelompok infeksi. Hal ini diduga pada minggu ketiga pasca infeksi sel neutrofil keluar dari pembuluh darah dalam jumlah yang besar menuju jaringan atau organ yang mengalami peradangan oleh bakteri akibat infeksi cacing Haemonchus contortus. Tabel 5 Rataan nilai absolut neutrofil domba per kelompok dosis infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi. Rataan nilai absolut neutrofil (jumlah sel per µl darah) Perlakuan minggu ke L3 9596±2834a 9798±2973a 9033±2224a 8014±3878a 1000L3 6560±2522a 9038±3801a 7287±2633a 6018±1177a 2000L3 9006±1904a 7387±1773a 7737±1189a 6774±3268a 4000L3 5985±3553a 7706±2994a 7624±4796a 5421±1134a Kontrol 6020±3202a 7394±3297a 7058±4184a 9470±4559a Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

25 Perubahan nilai profil neutrofil secara keseluruhan tidak terlalu besar jika dilihat persentase diferensial neutrofil rata-rata berada diatas 50%. Hal ini diduga sesuai dengan laporan Guyton (1986) bahwa neutrofil lebih aktif dalam memfagosit bakteri sehingga keberadaan Haemonchus contortus tidak menimbulkan respon yang berarti terhadap produksi neutrofil. Hal ini terbukti dari nilai korelasi antara TTGT dengan neutrofil merupakan yang terkecil dibandingkan jenis leukosit lain. Profil nilai neutrofil domba antar tingkat infeksi yang berbeda tidak memberikan perbedaan nyata secara statistik pada setiap minggu pasca infeksi (P>0.05). 11 Gambar 4 Rataan nilai absolut neutrofil domba per kelompok dosis infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi. Peningkatan neutrofil pada beberapa kelompok infeksi dan kontrol pada minggu tertentu diduga kuat karena kondisi stress yang dialami domba. Stress dapat meningkatkan jumlah neutrofil dalam darah (Kelly 1984). Stress dimungkinkan terjadi akibat handling yang dilakukan pada setiap pengambilan darah, jenis kelamin domba yang sama (jantan) dalam satu kandang yang memicu perkelahian, dan kondisi kandang yang sempit. Korelasi antara jumlah neutrofil dengan TTGT secara statistik menunjukkan korelasi negatif yang nyata (<0.05), perubahan jumlah TTGT berpengaruh nyata terhadap perubahan jumlah neutrofil. Peningkatan jumlah TTGT dapat menurunkan jumlah neutrofil namun tidak signifikan. Berdasarkan hasil analisis regresi didapat korelasi negatif antara TTGT dengan neutrofil sebesar Gambaran Basofil Domba Hasil pemeriksaan diferensial leukosit basofil menunjukkan tidak ditemukannya basofil dari minggu pertama hingga minggu ketiga pasca infeksi. Hal ini didukung oleh Underwood (1992) yang menyatakan bahwa jumlah absolut basofil yang bersirkulasi dalam darah normal sangat sedikit. Archer (1997) melaporkan bahwa persentase relatif sel basofil dalam leukosit sangat rendah. Lebih lanjut menurut Rothwell (1994) menyatakan bahwa tidak hubungan antara jumlah cacing atau tingkat keberhasilan infeksi dengan jumlah basofil pada domba yang diinfeksi nematoda. Tidak ditemukannya sel basofil juga diduga karena sifat dari granul basofil yang larut dalam pewarna giemsa. Pewarnaan basofil terlihat lebih baik jika dilakukan dengan ulasan wright.

26 12 Gambaran Eosinofil Domba Hasil penelitian profil eosinofil (Tabel 5) menunjukkan pada minggu sebelum diinfeksi tidak ditemukan sel eosinofil pada semua kelompok infeksi maupun kelompok kontrol. Pada minggu pertama pasca infeksi ditemukan sel eosinofil pada semua jenis kelompok infeksi. Kelompok infeksi 500L3 memiliki jumlah eosinofil paling tinggi kemudian diikuti kelompok 2000L3. Pada kelompok infeksi 500L3, eosinofil mengalami peningkatan mencapai 10% dari total persentase leukosit. Hal ini sesuai dengan laporan Faust dan Russel (1971) yang menyatakan bahwa adanya peningkatan 10% eosinofil pada penderita cacingan. Secara keseluruhan sel eosinofil mengalami peningkatan pada semua kelompok infeksi. Peningkatan jumlah eosinofil tertinggi terjadi pada minggu kedua pasca infeksi. Kelompok infeksi 500L3 memiliki jumlah eosinofil paling tinggi, diikuti oleh kelompok infeksi 2000L3. Hal ini diduga karena pada minggu kedua cacing Haemonchus contortus sudah berada di dalam abomasum dan mampu bereproduksi. Menurut laporan Jones (1993), eosinofil merupakan pertahanan tubuh yang utama melawan organisme berukuran besar seperti cacing Haemonchus contortus. Keberadaan cacing Haemonchus contortus pada abomasum menyebabkan tingginya produksi eosinofil di dalam darah. Hal ini dapat dilihat dari hasil pemeriksaan TTGT yang menunjukkan banyaknya jumlah telur cacing yang ditemukan pada kelompok infeksi 500L3, 1000L3 dan 2000L3. Tabel 6 Rataan nilai absolut eosinofil domba per kelompok dosis infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi. Rataan nilai absolut eosinofil (jumlah sel per µl darah) Perlakuan minggu ke L3 0±0 1672±1762b 2153±1978b 1953±1926a 1000L3 0±0 877± 822b 679± 386b 819± 690a 2000L3 0±0 1062± 568b 1591± 825b 1168±1207a 4000L3 0±0 599± 337b 1078± 441b 473± 267a Kontrol 0±0 0± 0a 107± 131a 774± 543a Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). Pada minggu ketiga pasca infeksi kelompok infeksi 500L3, 2000L3 dan 4000L3 mengalami penurunan jumlah eosinofil. hal ini diduga karena domba mengalami proses penyembuhan. Pada proses ini, sel eosinofil keluar dalam jumlah besar dari pembuluh darah menuju jaringan atau organ yang mengalami peradangan akibat infeksi cacing Haemonchus contortus. Hasil pemeriksaan TTGT menunjukkan peningkatan jumlah cacing di abomasum pada minggu ketiga pasca infeksi mencapai jumlah paling tinggi. Hal ini diduga menjadi pemicu keluarnya eosinofil dalam jumlah besar dari pembuluh darah menuju jaringan atau organ yang terinfeksi Haemonchus contortus. Secara keseluruhan infeksi cacing Haemonchus contortus dapat menyebabkan perubahan jumlah eosinofil domba, tingkat infeksi yang berbeda memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan jumlah eosinofil

27 pada minggu pertama dan kedua pasca infeksi terhadap kelompok kontrol (P<0.05), namun tidak berbeda nyata pada minggu ketiga pasca infeksi (P>0.05). 13 Gambar 5 Rataan nilai absolut eosinofil domba per kelompok dosis infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi. Korelasi antara jumlah eosinofil dengan TTGT secara statistik menunjukkan korelasi positif yang nyata (P<0.05), perubahan jumlah TTGT berpengaruh nyata terhadap perubahan jumlah eosinofil. Peningkatan jumlah TTGT dapat meningkatkan jumlah eosinofil. Berdasarkan hasil analisis korelasi regresi didapat korelasi antara TTGT dengan eosinofil sebesar SIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa infeksi Haemonchus contortus menyebabkan peningkatan jumlah leukosit namun tingkat dosis infeksi tidak mempengaruhi jumlah leukosit. Tingkat dosis infeksi yang berbeda berpengaruh nyata terhadap peningkatan jumlah eosinofil, namun tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan jumlah limfosit, monosit, dan neutrofil. Jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) berkorelasi positif nyata terhadap profil jumlah eosinofil dan berkorelasi negatif yang nyata terhadap profil jumlah neutrofil, namun tidak berkorelasi terhadap profil jumlah leukosit, limfosit, monosit. SARAN Data penelitian ini didapat dari hasil penelitian dalam rentang waktu tiga minggu pasca domba diinfeksi dengan tiga kali pengambilan sampel. Berdasarkan kekurangan tersebut maka perlu dilakukan penelitian lanjut dengan rentang waktu tujuh sampai delapan minggu pasca domba diinfeksi untuk mengamati dan mengetahui gambaran sel darah putih domba yang mengalami infeksi kronis cacing Haemonchus contortus.

28 14 DAFTAR PUSTAKA Archer RK, Jefcott LB, dan Lehmann H Comparative Clinical Haemathology. Oxford: Blacwell Sciencetific Publication. Arifin CS Parasit Ternak dan Cara-cara Penanggulangannya. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Blood DC, Henderson JA Veterinary Medicine. London (UK): Bailliere Tindal and Cessel Ltd. Ed ke-3. [Ditjen DEPTAN] Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian Statistik Peternakan Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian. Duncan JR, Prasse KW Effect of Lasolocid on Feedlot Performance, Energy Partitioning and Hormonal Status of Cattle. Journal Anim Sci. 53: Fabiyi JP Production Losses and Control of Helminths in Ruminants of Tropical Regions. Di dalam: Howell MJ, editor. Congress of Parasitology; Canberra (AU): Australian Academy of Science. Faus EC, Russel PF Craig and Faust s Parasitology. 8 th ed. Philadelphia (US): Lea and Febriger. Guyton AC Textbook of Medical Physiology (Buku Ajar Fisiologi Kedokteran). Jakarta: EGC. Hansen J, Perry B The Epidemiology, Diagnosis And Control of Helminth Parasites of Ruminant. Ethiopia (ET): International Livestock Centre for Africa Addis Ababa. Hartono Histologi Veteriner. Bogor (ID): Pusat antar Universitas. Jain NC Essential of Veterinary Hematology. Philadelphia (US): Lea and Febiger. Jones DG The eosinophil. Journal Comparative Pathology. 108: Kelly WR Veterinary Clinical Diagnosis. London (UK): Bailiere Tindall. Ed ke-3. Lawhead JB, Baker M Introduction to Veterinary Science. New York (US): Thomson and Learning. [PUSLITBANGNAK] Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Laporan Tahunan. Jakarta (ID): Balai Penelitian dan Pengembangan Peternakan Departemen Pertanian. Reece WO Functional Anatomy and Physiology of Domestic Animals. Ames Lowa (US): Blackwell Publishing. Ridwan Y, Kusumamihardja S, Dorny P, Vercruysse J The Epidemiology of Gastro-intestinal nematodes of Sheep in the West Java Indonesia. Journal Hemera Zoa. 78(1): Rothwell WT, Horsburgh BA, France MP Basophil leucocytes in response to parasitic infection and some other in sheep. American Journal Veterinary Science. 56: Schalm OW Veterinary Hematology. Philadelpia: Lea and Febiger Publiser. Tizard I Pengantar Imunologi Veteriner. Surabaya (ID): Airlangga University Press. Swenson JM, William RO Duke s Physiology of Domestik Animal. London (UK): Cornell University Press. Ed ke-11.

29 Underwood JCE General and Systemic Pathology. New York (US): Churchill Livingstone. 15

30 16 RIWAYAT HIDUP Hayatullah Frio Marten dilahirkan di Kampung Dalam, Pariaman pada tanggal 12 Maret 1992 dari pasangan Tasnil dan Zahani. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 1 Pariaman, Sumatera Barat dan melanjutkan ke SMA Negeri 1 Pariaman hingga selesai pada tahun Tahun 2010 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan, IPB melalui jalur USMI. Selama perkuliahan, penulis aktif pada organisasi Himpunan Minat dan Profesi Ruminansia (Himpro Ruminansia) dan Himpunan Mahasiswa Padang Pariaman (HIMAPD).

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba 3 Diferensiasi SDP dilakukan berbasis preparat ulas darah total. Darah diulas di preparat kemudian difiksasi dengan metanol selama 2 menit. Preparat ulas darah diwarnai menggunakan pewarna giemsa selama

Lebih terperinci

III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Tahap Persiapan Hewan Percobaan Aklimatisasi Domba

III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Tahap Persiapan Hewan Percobaan Aklimatisasi Domba 17 III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama delapan bulan yang dimulai pada bulan Mei sampai dengan bulan Desember 2010. Penelitian dilakukan di kandang Mitra Maju yang beralamat

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan April sampai dengan bulan Mei 2011, bertempat di kandang pemuliaan ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Oktober 2011, di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Oktober 2011, di III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Oktober 2011, di Laboratorium Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. B. Alat

Lebih terperinci

GAMBARAN SEL DARAH MERAH DOMBA EKOR TIPIS YANG DIINFEKSI LARVA INFEKTIF (L 3 ) Haemoncus contortus PIKA SATI SURYANI

GAMBARAN SEL DARAH MERAH DOMBA EKOR TIPIS YANG DIINFEKSI LARVA INFEKTIF (L 3 ) Haemoncus contortus PIKA SATI SURYANI GAMBARAN SEL DARAH MERAH DOMBA EKOR TIPIS YANG DIINFEKSI LARVA INFEKTIF (L 3 ) Haemoncus contortus PIKA SATI SURYANI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di kandang Fapet Farm dan analisis proksimat bahan pakan dan pemeriksaan darah dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan untuk pengambilan sampel darah yaitu obyek glass, cover glass, Haemicitometer, jarum suntik, pipet kapiler, mikroskop monokuler. Vitamin E

Lebih terperinci

GAMBARAN SEL DARAH PUTIH (LEUKOSIT) DOMBA LOKAL (Ovis aries) YANG DIIMMUNISASI DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SUTRISNO EKI PUTRA

GAMBARAN SEL DARAH PUTIH (LEUKOSIT) DOMBA LOKAL (Ovis aries) YANG DIIMMUNISASI DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SUTRISNO EKI PUTRA GAMBARAN SEL DARAH PUTIH (LEUKOSIT) DOMBA LOKAL (Ovis aries) YANG DIIMMUNISASI DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SUTRISNO EKI PUTRA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Peralatan Prosedur

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Peralatan Prosedur MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Domba Indocement Citeureup, Bogor selama 10 minggu. Penelitian dilakukan pada awal bulan Agustus sampai pertengahan bulan Oktober

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 10 kemudian dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan sisa zat warna lalu dikeringkan. Selanjutnya, DPX mountant diteteskan pada preparat ulas darah tersebut, ditutup dengan cover glass dan didiamkan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juli 2012. Pemeliharaan burung merpati dilakukan di Sinar Sari, Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Pengamatan profil darah

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan bulan Desember 2016 Januari Lokasi

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan bulan Desember 2016 Januari Lokasi 15 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan bulan Desember 2016 Januari 2017. Lokasi pemeliharaan ayam broiler di Peternakan milik Bapak Hadi Desa Sodong Kecamatan Mijen Kota Semarang. Analisis

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Mei 2015.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Mei 2015. 19 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Mei 2015. Penginduksian zat karsinogen dan pemberian taurin kepada hewan uji dilaksanakan di

Lebih terperinci

METODOLOGI. Waktu dan Tempat Penelitian

METODOLOGI. Waktu dan Tempat Penelitian METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada April 2014 di kandang ayam petelur Varia Agung

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada April 2014 di kandang ayam petelur Varia Agung III. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada April 2014 di kandang ayam petelur Varia Agung Jaya Farm, Desa Varia Agung, Kecamatan Seputih Mataram, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

BAB III MATERI METODE. Penelitian dengan judul Pengaruh Penambahan Kunyit dan Jahe Dalam

BAB III MATERI METODE. Penelitian dengan judul Pengaruh Penambahan Kunyit dan Jahe Dalam 17 BAB III MATERI METODE Penelitian dengan judul Pengaruh Penambahan Kunyit dan Jahe Dalam Ransum terhadap Kadar Hemoglobin, Jumlah Eritrosit dan Leukosit Puyuh Jantan dilaksanakan pada bulan Juni- Juli

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat Metode Penelitian Pembuatan Larutan Ekstrak Rumput Kebar

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat Metode Penelitian Pembuatan Larutan Ekstrak Rumput Kebar BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan dari bulan Desember 2008 sampai dengan Mei 2009. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian 3.2. Hewan Coba dan Pemeliharaannya 3.3. Alat dan Bahan

3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian 3.2. Hewan Coba dan Pemeliharaannya 3.3. Alat dan Bahan 19 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2009 sampai dengan Juni 2010 di Kandang Unit Hewan Laboratorium, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen, karena

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen, karena BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen, karena dalam penelitian ini dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek penelitian

Lebih terperinci

DENY HERMAWAN. SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan

DENY HERMAWAN. SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan ii EFEKTIFITAS EKSTRAK SAMBILOTO (Andrographis paniculata Nees) DENGAN PELARUT AIR HANGAT TANPA EVAPORASI DAN KAJIAN DIFFERENSIAL LEUKOSIT PADA AYAM YANG DIINFEKSI DENGAN Eimeria tenella DENY HERMAWAN

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol 30 PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol Sel somatik merupakan kumpulan sel yang terdiri atas kelompok sel leukosit dan runtuhan sel epitel. Sel somatik dapat ditemukan dalam

Lebih terperinci

Lampiran 1. Road-map Penelitian

Lampiran 1. Road-map Penelitian LAMPIRAN Lampiran 1. Road-map Penelitian Persiapan Penelitian Persiapan wadah dan ikan uji Bak ukuran 40x30x30cm sebanyak 4 buah dicuci, didesinfeksi, dan dikeringkan Diletakkan secara acak dan diberi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tabel 3 Jadwal penelitian Kegiatan

BAHAN DAN METODE. Tabel 3 Jadwal penelitian Kegiatan 21 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, dengan mengambil tempat di Bagian Bedah dan Radiologi sebagai tempat pengambilan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen karena

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen karena BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen karena dalam penelitian ini dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek penelitian

Lebih terperinci

STUDI PERBANDKNGAN MIKROBA RUMEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL

STUDI PERBANDKNGAN MIKROBA RUMEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL STUDI PERBANDKNGAN MIKROBA RUMEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL SKRIPSI NURLAELA PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN NWUAELA. D24101054.

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2015 di kandang peternak di

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2015 di kandang peternak di 14 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2015 di kandang peternak di Desa Kedu Temanggung dan pada bulan April 2016 di kandang unggas Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas

Lebih terperinci

SURYA AGRITAMA Volume 2 Nomor 1 Maret PROFIL DARAH KAMBING JAWARANDU PENGARUH SUBTITUSI ARAS DAUN PEPAYA (Carica Papaya Leaf)

SURYA AGRITAMA Volume 2 Nomor 1 Maret PROFIL DARAH KAMBING JAWARANDU PENGARUH SUBTITUSI ARAS DAUN PEPAYA (Carica Papaya Leaf) PROFIL DARAH KAMBING JAWARANDU PENGARUH SUBTITUSI ARAS DAUN PEPAYA (Carica Papaya Leaf) Hanung Dhidhik Arifin 1) Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Purworejo ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

METODA UJI APUNG SEBAGAI TEKNIK PEMERIKSAAN TELUR CACING NEMATODA DALAM TINJA HEWAN RUMINANSIA KECIL

METODA UJI APUNG SEBAGAI TEKNIK PEMERIKSAAN TELUR CACING NEMATODA DALAM TINJA HEWAN RUMINANSIA KECIL METODA UJI APUNG SEBAGAI TEKNIK PEMERIKSAAN TELUR CACING NEMATODA DALAM TINJA HEWAN RUMINANSIA KECIL ZAENAL KOSASIH Balai Penelitian Veteriner Jl. R.E. Martadinata 30 Bogor 16114 RINGKASAN Parasit cacing

Lebih terperinci

III. MATERI DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2011, di

III. MATERI DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2011, di III. MATERI DAN METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2011, di Laboratorium Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. B.

Lebih terperinci

GAMBARAN SEL DARAH PUTIH PADA KELINCI YANG DIVAKSIN DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SITI RUKAYAH

GAMBARAN SEL DARAH PUTIH PADA KELINCI YANG DIVAKSIN DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SITI RUKAYAH GAMBARAN SEL DARAH PUTIH PADA KELINCI YANG DIVAKSIN DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SITI RUKAYAH FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ABSTRAK SITI RUKAYAH. Gambaran Sel

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Parasitemia Hasil penelitian menunjukan bahwa semua rute inokulasi baik melalui membran korioalantois maupun kantung alantois dapat menginfeksi semua telur tertunas (TET). Namun terdapat

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Persentase Hidup dan Abnormalitas Spermatozoa Entok (Cairina moschata), telah

BAB III MATERI DAN METODE. Persentase Hidup dan Abnormalitas Spermatozoa Entok (Cairina moschata), telah 1 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dengan judul Hubungan Bobot Badan dengan Konsentrasi, Persentase Hidup dan Abnormalitas Spermatozoa Entok (Cairina moschata), telah dilaksanakan pada bulan Juli -

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 8 HASIL DAN PEMBAHASAN Persentase Parasitemia Menurut Ndungu et al. (2005), tingkat parasitemia diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat ringan (mild reaction), tingkat sedang (severe reaction),

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN YEAST PADA PEMBERIAN LAMTORO MERAH (Acacia villosa) TERHADAP HISTOPATOLOGI HATI TIKUS RATNA WULANDARI

PENGARUH PENAMBAHAN YEAST PADA PEMBERIAN LAMTORO MERAH (Acacia villosa) TERHADAP HISTOPATOLOGI HATI TIKUS RATNA WULANDARI PENGARUH PENAMBAHAN YEAST PADA PEMBERIAN LAMTORO MERAH (Acacia villosa) TERHADAP HISTOPATOLOGI HATI TIKUS RATNA WULANDARI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PENGARUH PENAMBAHAN YEAST

Lebih terperinci

PROFIL DARAH MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) YANG DIBERI PAKAN BERENERGI TINGGI PADA PERIODE OBESITAS EMPAT BULAN KEDUA

PROFIL DARAH MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) YANG DIBERI PAKAN BERENERGI TINGGI PADA PERIODE OBESITAS EMPAT BULAN KEDUA PROFIL DARAH MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) YANG DIBERI PAKAN BERENERGI TINGGI PADA PERIODE OBESITAS EMPAT BULAN KEDUA SKRIPSI DIANTI DESITA SARI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Leukosit Total Data hasil penghitungan jumlah leukosit total, diferensial leukosit, dan rasio neutrofil/limfosit (N/L) pada empat ekor kerbau lumpur betina yang dihitung

Lebih terperinci

STUDI KOMPARATIF METABOLISME NITROGEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL

STUDI KOMPARATIF METABOLISME NITROGEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL STUDI KOMPARATIF METABOLISME NITROGEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL SKRIPSI KHOERUNNISSA PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN KHOERUNNISSA.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Desember 2010 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian

Lebih terperinci

GAMBARAN DIFERENSIASI LEUKOSIT PADA IKAN MUJAIR (Oreochromis mossambicus) DI DAERAH CIAMPEA BOGOR YULIA ERIKA

GAMBARAN DIFERENSIASI LEUKOSIT PADA IKAN MUJAIR (Oreochromis mossambicus) DI DAERAH CIAMPEA BOGOR YULIA ERIKA GAMBARAN DIFERENSIASI LEUKOSIT PADA IKAN MUJAIR (Oreochromis mossambicus) DI DAERAH CIAMPEA BOGOR YULIA ERIKA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 GAMBARAN DIFERENSIASI LEUKOSIT PADA

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur kerja Kemampuan puasa ikan Tingkat konsumsi oksigen Laju ekskresi amoniak

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur kerja Kemampuan puasa ikan Tingkat konsumsi oksigen Laju ekskresi amoniak II. BAHAN DAN METODE Kegiatan penelitian ini terbagi dalam dua tahap yaitu tahap penelitian pendahuluan dan tahap utama. Penelitian pendahuluan meliputi hasil uji kapasitas serap zeolit, kapasitas serap

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. hewan coba tikus Wistar menggunakan desain post test only control group

BAB IV METODE PENELITIAN. hewan coba tikus Wistar menggunakan desain post test only control group BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Disain penelitian Penelitian ini merupakan penelitian experimental laboratoris dengan hewan coba tikus Wistar menggunakan desain post test only control group design. Tikus

Lebih terperinci

HASIL PENELITIAN UJI EFIKASI OBAT HERBAL UNTUK MENINGKATKAN KADAR HEMOGLOBIN, JUMLAH TROMBOSIT DAN ERITROSIT DALAM HEWAN UJI TIKUS PUTIH JANTAN

HASIL PENELITIAN UJI EFIKASI OBAT HERBAL UNTUK MENINGKATKAN KADAR HEMOGLOBIN, JUMLAH TROMBOSIT DAN ERITROSIT DALAM HEWAN UJI TIKUS PUTIH JANTAN HASIL PENELITIAN UJI EFIKASI OBAT HERBAL UNTUK MENINGKATKAN KADAR HEMOGLOBIN, JUMLAH TROMBOSIT DAN ERITROSIT DALAM HEWAN UJI TIKUS PUTIH JANTAN PUSAT STUDI OBAT BAHAN ALAM DEPARTEMEN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

Tujuan Praktikum Menentukan waktu beku darah (waktu koagulasi darah) dari seekor hewan/manusia.

Tujuan Praktikum Menentukan waktu beku darah (waktu koagulasi darah) dari seekor hewan/manusia. A. WAKTU BEKU DARAH Tujuan Praktikum Menentukan waktu beku darah (waktu koagulasi darah) dari seekor hewan/manusia. Prinsip Darah yang keluar dari pembuluh darah akan berubah sifatnya, ialah dari sifat

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Pemeliharaan ayam dan penampungan semen dilakukan di Kandang B, Laboratorium Lapang, Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN PROBIOTIK KAPANG TERHADAP PROFIL DARAH PUTIH AYAM BROILER YANG DIPELIHARA DALAM KONDISI PANAS SKRIPSI. Oleh

PENGARUH PEMBERIAN PROBIOTIK KAPANG TERHADAP PROFIL DARAH PUTIH AYAM BROILER YANG DIPELIHARA DALAM KONDISI PANAS SKRIPSI. Oleh PENGARUH PEMBERIAN PROBIOTIK KAPANG TERHADAP PROFIL DARAH PUTIH AYAM BROILER YANG DIPELIHARA DALAM KONDISI PANAS SKRIPSI Oleh MUHAMAD FAHREZA SULAIMAN PROGRAM STUDI S1-PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN DAN

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama sembilan bulan dari bulan April sampai dengan Desember 2011. Lokasi pemeliharaan pada penelitian ini bertempat di Laboratorium Lapang

Lebih terperinci

GAMBARAN DARAH ANJING KAMPUNG JANTAN (Canis familiaris) UMUR 3 SAMPAI 7 BULAN KRESNA NURDIN NUNU NUGRAHA

GAMBARAN DARAH ANJING KAMPUNG JANTAN (Canis familiaris) UMUR 3 SAMPAI 7 BULAN KRESNA NURDIN NUNU NUGRAHA 1 GAMBARAN DARAH ANJING KAMPUNG JANTAN (Canis familiaris) UMUR 3 SAMPAI 7 BULAN KRESNA NURDIN NUNU NUGRAHA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 2 GAMBARAN DARAH ANJING KAMPUNG

Lebih terperinci

PENGARUH DEHIDRASI DENGAN PEMBERIAN BISACODYL TERHADAP GAMBARAN HEMATOKRIT TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus)

PENGARUH DEHIDRASI DENGAN PEMBERIAN BISACODYL TERHADAP GAMBARAN HEMATOKRIT TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) PENGARUH DEHIDRASI DENGAN PEMBERIAN BISACODYL TERHADAP GAMBARAN HEMATOKRIT TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) DANI WANGSIT NARENDRA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 ABSTRAK DANI

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah ilmu farmakologi dan imunologi.

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah ilmu farmakologi dan imunologi. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah ilmu farmakologi dan imunologi. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Perawatan tikus dan pemberian perlakuan dilakukan

Lebih terperinci

PENAMPILAN DOMBA EKOR TIPIS ( Ovis aries) JANTAN YANG DIGEMUKKAN DENGAN BEBERAPA IMBANGAN KONSENTRAT DAN RUMPUT GAJAH ( Pennisetum purpureum)

PENAMPILAN DOMBA EKOR TIPIS ( Ovis aries) JANTAN YANG DIGEMUKKAN DENGAN BEBERAPA IMBANGAN KONSENTRAT DAN RUMPUT GAJAH ( Pennisetum purpureum) PENAMPILAN DOMBA EKOR TIPIS ( Ovis aries) JANTAN YANG DIGEMUKKAN DENGAN BEBERAPA IMBANGAN KONSENTRAT DAN RUMPUT GAJAH ( Pennisetum purpureum) SKRIPSI TRI MULYANINGSIH PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK

Lebih terperinci

PENGUJIAN EFEKTIVITAS DOSIS VAKSIN DNA DAN KORELASINYA TERHADAP PARAMETER HEMATOLOGI SECARA KUANTITATIF NUR AKBAR MASWAN SKRIPSI

PENGUJIAN EFEKTIVITAS DOSIS VAKSIN DNA DAN KORELASINYA TERHADAP PARAMETER HEMATOLOGI SECARA KUANTITATIF NUR AKBAR MASWAN SKRIPSI PENGUJIAN EFEKTIVITAS DOSIS VAKSIN DNA DAN KORELASINYA TERHADAP PARAMETER HEMATOLOGI SECARA KUANTITATIF NUR AKBAR MASWAN SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada kerbau lumpur betina, diperoleh jumlah rataan dan simpangan baku dari total leukosit, masing-masing jenis leukosit, serta rasio neutrofil/limfosit

Lebih terperinci

KEGIATAN 4 SISTEM KARDIOVASKULER. MENGHITUNG SEL DARAH PUTIH (leukocyte)

KEGIATAN 4 SISTEM KARDIOVASKULER. MENGHITUNG SEL DARAH PUTIH (leukocyte) KEGIATAN 4 SISTEM KARDIOVASKULER MENGHITUNG SEL DARAH PUTIH (leukocyte) A. TUJUAN PRAKTIKUM Menghitung jumlah SDP B. DASAR TEORI Sel darah putih adalah salah satu sel yang membentuk komponen darah. Sel

Lebih terperinci

IMUNITAS NON-SPESIFIK DAN SINTASAN LELE MASAMO (Clarias sp.) DENGAN APLIKASI PROBIOTIK, VITAMIN C DAN DASAR KOLAM BUATAN ABSTRAK

IMUNITAS NON-SPESIFIK DAN SINTASAN LELE MASAMO (Clarias sp.) DENGAN APLIKASI PROBIOTIK, VITAMIN C DAN DASAR KOLAM BUATAN ABSTRAK e-jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume IV No 2 Februari 2016 ISSN: 2302-3600 IMUNITAS NON-SPESIFIK DAN SINTASAN LELE MASAMO (Clarias sp.) DENGAN APLIKASI PROBIOTIK, VITAMIN C DAN DASAR

Lebih terperinci

Total dan Diferensial Leukosit Sapi Bali yang Terinfeksi Cysticercus Bovis Secara Eksperimental

Total dan Diferensial Leukosit Sapi Bali yang Terinfeksi Cysticercus Bovis Secara Eksperimental Total dan Diferensial Leukosit Sapi Bali yang Terinfeksi Cysticercus Bovis Secara Eksperimental TOTAL AND DIFFERENTIAL LEUCOCYTES OF BALI CATTLE EXPERIMENTALLY INFECTED WITH CYSTICERCUS BOVIS NI LUH PUTU

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: sapi bali, dermatofitosis, leukosit.

ABSTRAK. Kata kunci: sapi bali, dermatofitosis, leukosit. RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jember, Jawa Timur pada tanggal 17 Oktober 1992, merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan dari Bapak Bambang Eko Nurcahyono dan Ibu Dwi Wiwik Aning Rahayu,

Lebih terperinci

I. METODE PENELITIAN. Penelitian dan pembuatan preparat ulas darah serta perhitungan hematokrit sel

I. METODE PENELITIAN. Penelitian dan pembuatan preparat ulas darah serta perhitungan hematokrit sel I. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dan pembuatan preparat ulas darah serta perhitungan hematokrit sel darah merah dilakukan pada bulan Juli 2012 di Laboratorium Perikanan Jurusan

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Mei sampai dengan Juli 2016,

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Mei sampai dengan Juli 2016, 14 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Mei sampai dengan Juli 2016, pemeliharaan ayam broiler dilaksanakan selama 28 hari di Laboratorium Produksi Ternak Unggas Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODA. Kandang dan Perlengkapannya Pada penelitian ini digunakan dua kandang litter sebesar 2x3 meter yang

MATERI DAN METODA. Kandang dan Perlengkapannya Pada penelitian ini digunakan dua kandang litter sebesar 2x3 meter yang 11 MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Juni 2010 sampai dengan Juni 2011. Penelitian dilakukan di kandang FKH-IPB. Pengujian sampel dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

STUDI KASUS LEIOMIOSARKOMA PADA ANJING : POTENSIAL METASTATIK HANI FITRIANI

STUDI KASUS LEIOMIOSARKOMA PADA ANJING : POTENSIAL METASTATIK HANI FITRIANI STUDI KASUS LEIOMIOSARKOMA PADA ANJING : POTENSIAL METASTATIK HANI FITRIANI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 RINGKASAN HANI FITRIANI. Studi Kasus Leiomiosarkoma pada Anjing: Potensial

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Jumlah Leukosit Data perhitungan terhadap jumlah leukosit pada tikus yang diberikan dari perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 6. Rata-rata leukosit pada tikus dari perlakuan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang berjudul performans darah kambing peranakan ettawa dara

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang berjudul performans darah kambing peranakan ettawa dara 11 BAB III METODE PENELITIAN Penelitian yang berjudul performans darah kambing peranakan ettawa dara yang diberi ransum dengan tambahan urea yang berbeda ini telah dilaksanakan pada tanggal 1 Oktober sampai

Lebih terperinci

PROFIL SEL DARAH PUTIH (Leucocyte) SAPI BALI DI KECAMATAN BANGKINANG SEBERANG KABUPATEN KAMPAR

PROFIL SEL DARAH PUTIH (Leucocyte) SAPI BALI DI KECAMATAN BANGKINANG SEBERANG KABUPATEN KAMPAR SKRIPSI PROFIL SEL DARAH PUTIH (Leucocyte) SAPI BALI DI KECAMATAN BANGKINANG SEBERANG KABUPATEN KAMPAR Oleh : Rosnaini 10981008304 JURUSAN ILMU PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan Metode Penelitian Persiapan Wadah

III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan Metode Penelitian Persiapan Wadah III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli hingga Desember 2007. Bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dengan rancangan post test only control group design. Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. dengan rancangan post test only control group design. Penelitian 22 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode eksperimental laboratorium dengan rancangan post test only control group design. Penelitian dilakukan dengan beberapa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi dan Persentase Parasit Darah Hasil pengamatan preparat ulas darah pada enam ekor kuda yang berada di Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR FKH IPB) dapat dilihat sebagai berikut

Lebih terperinci

EVALUASI PENGGUNAAN BUBUK BAWANG PUTIH (Allium sativum) TERHADAP KANDUNGAN LEMAK DARAH AYAM KAMPUNG YANG DIINFEKSI CACING Ascaridia galli

EVALUASI PENGGUNAAN BUBUK BAWANG PUTIH (Allium sativum) TERHADAP KANDUNGAN LEMAK DARAH AYAM KAMPUNG YANG DIINFEKSI CACING Ascaridia galli EVALUASI PENGGUNAAN BUBUK BAWANG PUTIH (Allium sativum) TERHADAP KANDUNGAN LEMAK DARAH AYAM KAMPUNG YANG DIINFEKSI CACING Ascaridia galli SKRIPSI PUTRI MULYA SARI PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN

Lebih terperinci

JUMLAH LEUKOSIT DAN DIFFERENSIASI LEUKOSIT AYAM BROILER YANG DIBERI MINUM AIR REBUSAN KUNYIT (Curcuma domestica Val) SKRIPSI

JUMLAH LEUKOSIT DAN DIFFERENSIASI LEUKOSIT AYAM BROILER YANG DIBERI MINUM AIR REBUSAN KUNYIT (Curcuma domestica Val) SKRIPSI JUMLAH LEUKOSIT DAN DIFFERENSIASI LEUKOSIT AYAM BROILER YANG DIBERI MINUM AIR REBUSAN KUNYIT (Curcuma domestica Val) SKRIPSI Oleh: PRISTIWANTI NUR JANNAH PROGRAM STUDI S1 PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Hewan Percobaan Vaksin AI-ND Pakan Kandang dan Perlengkapannya

MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Hewan Percobaan Vaksin AI-ND Pakan Kandang dan Perlengkapannya 10 MATERI DAN METODA Waktu Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Terpadu FKH-IPB, Departemen Ilmu Penyakit Hewan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS MALARIA BALAI LABORATORIUM KESEHATAN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013

PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS MALARIA BALAI LABORATORIUM KESEHATAN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013 PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS MALARIA BALAI LABORATORIUM KESEHATAN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013 TUJUAN Mampu membuat, mewarnai dan melakukan pemeriksaan mikroskpis sediaan darah malaria sesuai standar : Melakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari tubuh yang jumlahnya 6-8% dari berat badan total. a. Plasma darah, merupakan bagian yang cair

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari tubuh yang jumlahnya 6-8% dari berat badan total. a. Plasma darah, merupakan bagian yang cair BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Darah 1. Definisi Darah Darah merupakan bagian penting dari sistem transport dan bagian penting dari tubuh yang jumlahnya 6-8% dari berat badan total. Darah merupakan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Road-map Penelitian

Lampiran 1. Road-map Penelitian LAMPIRAN Lampiran 1. Road-map Penelitian Persiapan Penelitian Persiapan wadah dan ikan uji (15-30 Agustus 2013) Bak ukuran 45x30x35cm sebanyak 4 buah dicuci, didesinfeksi, dan dikeringkan Diletakkan secara

Lebih terperinci

PENGARUH EKSTRAK ETANOL TEMULAWAK

PENGARUH EKSTRAK ETANOL TEMULAWAK i PENGARUH EKSTRAK ETANOL TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) TERHADAP JUMLAH TOTAL DAN DIFERENSIASI LEUKOSIT PADA AYAM PETELUR (Gallus gallus) STRAIN ISA BROWN DIMAS NUGRAHA ADIPRATAMA FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

JUMLAH ERITROSIT, KADAR HEMATOKRIT, DAN HEMOGLOBIN IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) YANG DI INFEKSI BAKTERI Aeromonas hydrophila

JUMLAH ERITROSIT, KADAR HEMATOKRIT, DAN HEMOGLOBIN IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) YANG DI INFEKSI BAKTERI Aeromonas hydrophila SKRIPSI JUMLAH ERITROSIT, KADAR HEMATOKRIT, DAN HEMOGLOBIN IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) YANG DI INFEKSI BAKTERI Aeromonas hydrophila Oleh : ADHITYA KURNIAWAN NIM 061111214 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

Lebih terperinci

Oleh Imas Sri Nurhayati B

Oleh Imas Sri Nurhayati B _.,_(,...,,.,...,,.,, '."', PENGARUH ~ E M B E ~ $ Q ~ ~ ~ ' ~ ~ ~, M E N G (Mon'nda citn'filia Linn.) TERHAD'AP: 'CAGING ~,. ~,, ~aemonchus Oleh Imas Sri Nurhayati B01496080 FARULTAS REDOKTERAN HEWAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran Jatinangor

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

GAMBARAN DARAH IKAN II (SDP, AF DAN DL)

GAMBARAN DARAH IKAN II (SDP, AF DAN DL) Laporan Praktikum ke-3 Hari/Tanggal : Jumat/ 17 Maret 2017 m.k Manajemen Kesehatan Kelompok : VII Organisme Akuatik Asisten : Niar Suryani GAMBARAN DARAH IKAN II (SDP, AF DAN DL) Disusun oleh: Nuralim

Lebih terperinci

FASCIOLASIS PADA DOMBA DAN KAMBING DI RUMAH POTONG HEWAN KOTAMADYA BOGOR W. WINARSIH, S. ESTUNINGSIH, A. SETIYONO, E. HARLINA' RINGKASAN

FASCIOLASIS PADA DOMBA DAN KAMBING DI RUMAH POTONG HEWAN KOTAMADYA BOGOR W. WINARSIH, S. ESTUNINGSIH, A. SETIYONO, E. HARLINA' RINGKASAN Me&a Veteriner. Vol. I () Kasus Klinik FASCIOLASIS PADA DOMBA DAN KAMBING DI RUMAH POTONG HEWAN KOTAMADYA BOGOR W. WINARSIH, S. ESTUNINGSIH, A. SETIYONO, E. HARLINA' RINGKASAN Telah dilakukan penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik. UNIMUS, Jl. Wonodri Sendang Raya 2A Semarang. Waktu penelitian yaitu

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik. UNIMUS, Jl. Wonodri Sendang Raya 2A Semarang. Waktu penelitian yaitu BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik. B. Tempat dan Waktu Tempat penelitian adalah dilaboratorium Klinik Analis Kesehatan UNIMUS, Jl. Wonodri Sendang

Lebih terperinci

METODELOGI PENELITIAN

METODELOGI PENELITIAN 17 METODELOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB, kandang hewan percobaan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pengadaan dan Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pengadaan dan Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti 14 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama tujuh bulan mulai dari bulan Juli 2011 hingga Februari 2012, penelitian dilakukan di Insektarium Bagian Parasitologi

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : Prevalensi, Intensitas, Leucocytozoon sp., Ayam buras, Bukit Jimbaran.

ABSTRAK. Kata kunci : Prevalensi, Intensitas, Leucocytozoon sp., Ayam buras, Bukit Jimbaran. ABSTRAK Leucocytozoonosis merupakan salah satu penyakit yang sering menyebabkan kerugian berarti dalam industri peternakan. Kejadian penyakit Leucocytozoonosis dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu umur,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2009. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan dan Laboratorium Lapangan, Departemen Budidaya

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDERS REARED IN THE SOBANGAN VILLAGE, MENGWI

Lebih terperinci

KADAR KOLESTEROL SERUM DARAH AYAM PETELUR YANG DIBERI AIR REBUSAN DAUN SIRIH SKRIPSI TEFI HARUMAN HANAFIAH

KADAR KOLESTEROL SERUM DARAH AYAM PETELUR YANG DIBERI AIR REBUSAN DAUN SIRIH SKRIPSI TEFI HARUMAN HANAFIAH KADAR KOLESTEROL SERUM DARAH AYAM PETELUR YANG DIBERI AIR REBUSAN DAUN SIRIH SKRIPSI TEFI HARUMAN HANAFIAH PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Lebih terperinci

SCREENING IBR DAN DIFERENSIAL LEUKOSIT UNTUK PENGENDALIAN GANGGUAN REPRODUKSI SAPI PO DI DAERAH INTEGRASI JAGUNG-SAPI. Bogor, 8-9 Agustus 2017

SCREENING IBR DAN DIFERENSIAL LEUKOSIT UNTUK PENGENDALIAN GANGGUAN REPRODUKSI SAPI PO DI DAERAH INTEGRASI JAGUNG-SAPI. Bogor, 8-9 Agustus 2017 SCREENING IBR DAN DIFERENSIAL LEUKOSIT UNTUK PENGENDALIAN GANGGUAN REPRODUKSI SAPI PO DI DAERAH INTEGRASI JAGUNG-SAPI Bogor, 8-9 Agustus 2017 Latar Belakang Pertambahan populasi lambat Penurunan performa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap kadar glukosa darah dan histologi pankreas tikus (Rattus norvegicus) yang diinduksi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan, mulai Maret 2010 sampai dengan Agustus 2010 di laboratorium Terpadu Bagian Mikrobiologi Medik dan laboratorium Bakteriologi

Lebih terperinci

DERAJAT HAEMONCHOSIS BERDASARKAN JUMLAH CACING DAN TELUR TIAP GRAM TINJA (TTGT) PADA DOMBA EKOR TIPIS SITI HOLIJAH RANGKUTI

DERAJAT HAEMONCHOSIS BERDASARKAN JUMLAH CACING DAN TELUR TIAP GRAM TINJA (TTGT) PADA DOMBA EKOR TIPIS SITI HOLIJAH RANGKUTI DERAJAT HAEMONCHOSIS BERDASARKAN JUMLAH CACING DAN TELUR TIAP GRAM TINJA (TTGT) PADA DOMBA EKOR TIPIS SITI HOLIJAH RANGKUTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ABSTRAK. EFEK HERBA SAMBILOTO (Andrographidis Herba) SEBAGAI IMUNOMODULATOR PADA MENCIT DENGAN DERMATITIS ALERGIKA

ABSTRAK. EFEK HERBA SAMBILOTO (Andrographidis Herba) SEBAGAI IMUNOMODULATOR PADA MENCIT DENGAN DERMATITIS ALERGIKA ABSTRAK EFEK HERBA SAMBILOTO (Andrographidis Herba) SEBAGAI IMUNOMODULATOR PADA MENCIT DENGAN DERMATITIS ALERGIKA Nevin Chandra Junarsa, 2006. Pembimbing I : Diana K. Jasaputra, dr., M.Kes. Sambiloto sebagai

Lebih terperinci

PERUBAHAN BERAT BADAN DOMBA EKOR TIPIS YANG DIINFEKSI Haemonchus contortus ENIZA RUKISTI

PERUBAHAN BERAT BADAN DOMBA EKOR TIPIS YANG DIINFEKSI Haemonchus contortus ENIZA RUKISTI PERUBAHAN BERAT BADAN DOMBA EKOR TIPIS YANG DIINFEKSI Haemonchus contortus ENIZA RUKISTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian analitik.

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian analitik. BAB III METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian analitik. 2. Tempat dan waktu penelitian Penelitian di lakukan di laboratorium klinik

Lebih terperinci

FAKTOR RISIKO MANAJEMEN PEMELIHARAAN ANJING TERHADAP KEJADIAN INFEKSI Dirofilaria immitis DI WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI RITA MARLINAWATY MANALU

FAKTOR RISIKO MANAJEMEN PEMELIHARAAN ANJING TERHADAP KEJADIAN INFEKSI Dirofilaria immitis DI WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI RITA MARLINAWATY MANALU FAKTOR RISIKO MANAJEMEN PEMELIHARAAN ANJING TERHADAP KEJADIAN INFEKSI Dirofilaria immitis DI WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI RITA MARLINAWATY MANALU FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA

DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA ITA KRISSANTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Pemeriksaan kualitatif

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah LeukositTotal Leukosit merupakan unit darah yang aktif dari sistem pertahanan tubuh dalam menghadapi serangan agen-agen patogen, zat racun, dan menyingkirkan sel-sel rusak

Lebih terperinci

GAMBARAN HISTOPATOLOGI USUS HALUS DAN SEKAL TONSIL PADA AYAM BROILER YANG TERINFEKSI MAREK DAN PENGARUH PEMBERIAN ZINK, BAWANG PUTIH DAN KUNYIT

GAMBARAN HISTOPATOLOGI USUS HALUS DAN SEKAL TONSIL PADA AYAM BROILER YANG TERINFEKSI MAREK DAN PENGARUH PEMBERIAN ZINK, BAWANG PUTIH DAN KUNYIT GAMBARAN HISTOPATOLOGI USUS HALUS DAN SEKAL TONSIL PADA AYAM BROILER YANG TERINFEKSI MAREK DAN PENGARUH PEMBERIAN ZINK, BAWANG PUTIH DAN KUNYIT SRI ULINA BR TUMANGGOR FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT

Lebih terperinci

INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING FITRIAWATI

INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING FITRIAWATI INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING FITRIAWATI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

PROFIL SEL β PULAU LANGERHANS JARINGAN PANKREAS TIKUS DIABETES MELLITUS YANG DIBERI VIRGIN COCONUT OIL (VCO) AMILIA DAYATRI URAY

PROFIL SEL β PULAU LANGERHANS JARINGAN PANKREAS TIKUS DIABETES MELLITUS YANG DIBERI VIRGIN COCONUT OIL (VCO) AMILIA DAYATRI URAY PROFIL SEL β PULAU LANGERHANS JARINGAN PANKREAS TIKUS DIABETES MELLITUS YANG DIBERI VIRGIN COCONUT OIL (VCO) AMILIA DAYATRI URAY FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 ABSTRACT AMILIA

Lebih terperinci