DERAJAT HAEMONCHOSIS BERDASARKAN JUMLAH CACING DAN TELUR TIAP GRAM TINJA (TTGT) PADA DOMBA EKOR TIPIS SITI HOLIJAH RANGKUTI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DERAJAT HAEMONCHOSIS BERDASARKAN JUMLAH CACING DAN TELUR TIAP GRAM TINJA (TTGT) PADA DOMBA EKOR TIPIS SITI HOLIJAH RANGKUTI"

Transkripsi

1 DERAJAT HAEMONCHOSIS BERDASARKAN JUMLAH CACING DAN TELUR TIAP GRAM TINJA (TTGT) PADA DOMBA EKOR TIPIS SITI HOLIJAH RANGKUTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Derajat Haemonchosis Berdasarkan Jumlah Cacing dan Telur Tiap Gram Tinja (TTGT) pada Domba Ekor Tipis adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2014 Siti Holijah Rangkuti NIM B

4 ABSTRAK SITI HOLIJAH RANGKUTI. Derajat Haemonchosis Berdasarkan Jumlah Cacing dan Telur Tiap Gram Tinja (TTGT) pada Domba Ekor Tipis. Dibimbing oleh YUSUF RIDWAN dan FADJAR SATRIJA. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari derajat infeksi kecacingan akibat Haemonchus contortus berdasarkan jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) pada domba ekor tipis. Sampel tinja diambil dari 20 ekor domba yang diinfeksi oleh Haemonchus contortus dengan dosis infeksi 500, 1000, 2000, 4000 larva infektif dan kelompok non infeksi sebagai kontrol. Cacing dewasa dikoleksi dari domba infeksi pada akhir percobaan pada minggu kedelapan setelah infeksi. Hasil penelitian menunjukkan establishment tertinggi terjadi pada kelompok dosis 500, 1000, 2000 dan 4000 dengan persentase 50.1%, 14.6%, 6.1% dan 3.6%. Analisis regresi linear menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara jumlah TTGT dan jumlah cacing Haemonchus contortus. Derajat infeksi dikategorikan berdasarkan jumlah cacing terlihat infeksi ringan dengan ekor cacing menghasilkan TTGT sebanyak telur, infeksi sedang dengan ekor cacing menghasilkan TTGT sebanyak telur dan infeksi tinggi dengan >500 ekor cacing menghasilkan TTGT >8000 telur. Kata Kunci : derajat infeksi, Estabilishment, Haemonchus contortus, TTGT ABSTRACT SITI HOLIJAH RANGKUTI. Degree of Haemonchosis based on the number of worm and worm egg per gram (EPG) of faeces on thin tail sheep. Supervised by YUSUF RIDWAN and FADJAR SATRIJA. The aim of this experiment was to study the degree of helminth infection caused by Haemonchus contortus based on the number of worm and egg per gram of faeces (EPG) on thin tail sheep. Faecal samples were collected from 20 sheeps infected by Haemonchus contortus with the doses of 500, 1000, 2000, 4000 infected larva and non infected group as control. Adult worms were collected from the experimental sheeps at the end of experiment. In eighth week after infection, the results showed the highest establishment occurred on the infected groups of 500, 1000,2000 and 4000 larvae with the percentage of 50.1%, 14.6%, 6.1% and 3.6%, repectively.. Linear regression analysis showed strong relationship between the number of EPG and the number of worms of Haemonchus contortus. Degree infection were categorized based on the number of worms showed a mild infection with worms produced as many as EPG, medium infection with worms produced as many as EPG and heavy infection with >500 worms produced >8000 EPG. Key words : degree infection, Estabilshment, Haemonchus contortus, EGP

5 DERAJAT HAEMONCHOSIS BERDASARKAN JUMLAH CACING DAN TELUR TIAP GRAM TINJA (TTGT) PADA DOMBA EKOR TIPIS SITI HOLIJAH RANGKUTI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

6

7

8

9 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2014 ini ialah infeksi Haemonchus contortus dengan judul Derajat Haemonchosis Berdasarkan Jumlah Cacing dan Telur Tiap Gram Tinja (TTGT) pada Domba Ekor Tipis. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Drh Yusuf Ridwan MSi dan Drh Fadjar Satrija MSc, PhD selaku pembimbing, serta Bayu Febram Prasetyo, SSi, Apt selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberi saran. Penghargaan tidak lupa penulis sampaikan kepada Bapak Eman, Bapak Kosasih dan rekan sepenelitian yaitu Eniza Rukisti, Pika Sati S dan Hayatullah Frio M yang telah banyak membantu selama penelitian serta ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ira, Wiwit, Laras dan teman-teman ACROMION 47 yang telah memberikan semangat. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, Aisyah, Nuraini dan Fauzi atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Desember 2014 Siti Holijah Rangkuti

10 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vii DAFTAR GAMBAR vii PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 1 Manfaat Penelitian 1 TINJAUAN PUSTAKA 2 METODE 4 Tempat dan Waktu Penelitian 4 Hewan Coba 4 Prosedur Penelitian 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 6 SIMPULAN 9 DAFTAR PUSTAKA 9 RIWAYAT HIDUP 11

11 DAFTAR TABEL 1 Data jumlah cacing jantan dan betina dan persentase estabilishment 7 2 Jumlah telur tiap gram tinja berdasarkan derajat infeksi 8 DAFTAR GAMBAR 1 Organ reproduksi cacing dewasa Haemonchus contortus 3 2 Grafik hubungan jumlah cacing dengan TTGT 7

12

13 PENDAHULUAN Latar Belakang Domba merupakan ternak ruminansia yang banyak dipelihara di Indonesia. Domba merupakan komoditi ternak penting dalam usaha peternakan rakyat dan mempunyai peran strategis bagi kehidupan ekonomi masyarakat di pedesaan. Peternak umumnya memelihara domba secara semi intensif dengan jumlah ternak antara 3-5 ekor. Domba digembalakan pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari. Pakan domba berupa rumput diambil dengan mengandalkan alam sekitar (Sudarmono dan Sugeng 2005). Pemeliharaan domba dengan cara digembalakan dan pakan seadanya menyebabkan domba mudah terserang oleh berbagai penyakit. Penyakit penting yang umumnya mengganggu kesehatan ternak domba adalah orf, skabies dan penyakit akibat parasit yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas ternak. Penyakit parasitik yang penting pada ternak domba adalah haemonchosis. Hemonchosis disebabkan oleh cacing Haemonchus contortus yang mempunyai kebiasaan menghisap darah. Kebiasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya anemia yang ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit dan Packed Cell Volume (PCV). Infeksi kronis yang disertai dengan rendahnya asupan nutrisi ternak dapat berakibat terjadi penurunan protein dan penurunan berat badan (Lastuti et al. 2006). Kerugian ekonomi dapat pula terjadi seperti penurunan produksi daging, susu dan wol baik secara kuantitatif maupun kualitatif serta dapat menyebabkan kematian ternak (Lastuti et al. 2006). Derajat keparahan infeksi dipengaruhi oleh jumlah cacing yang menginfeksi yang dapat didiagnosis melalui pemeriksaan tinja untuk mengetahui jumlah telur tiap gram tinja (TTGT). Selama ini, standar penentuan derajat infeksi yang digunakan berdasarkan data TTGT berasal dari penelitian luar negeri. Hal ini yang mendorong dilakukannya penelitian mengenai derajat infeksi cacing pada domba ekor tipis yang mengalami haemonchosis, sehingga dapat diketahui derajat haemonchosis melalui pemeriksaan tinja. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tingkat keberhasilan larva infekti (L 3 ) menjadi cacing dewasa, korelasi antara jumlah cacing dengan TTGT serta derajat infeksi kecacingan yang diinfeksi oleh L 3 H. contortus pada domba ekor tipis. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi atau acuan mengenai derajat infeksi H. contortus melalui pemeriksaan TTGT pada domba ekor tipis.

14 2 TINJAUAN PUSTAKA Domba di Indonesia Domba merupakan ruminansia kecil hasil domestikasi yang diklasifikasikan pada sub famili Caprinae dan genus Ovis aries. Devendra dan McLeroy (1982), Tillman (1981) dan Manson (1978) melaporkan bahwa jenis-jenis domba yang banyak diternakkan di Indonesia adalah domba ekor tipis, domba ekor gemuk (domba gibas) dan domba priangan. Domba ekor tipis merupakan domba asli Indonesia yang tersebar luas di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah (Shodiq dan Abidin 2008). Ciri-ciri dari domba ekor tipis adalah berwarna dominan putih dengan warna hitam di sekitar mata, hidung dan beberapa bagian tubuh lainnya. Domba jantan mempunyai tanduk kecil dan melingkar, sedangkan domba betina tidak memiliki tanduk. Ciri lainnya memiliki ekor tipis dan tidak berlemak. Keunggulan domba ekor tipis adalah mempunyai sifat prolifik yaitu mampu melahirkan anakan kembar. Domba ini dapat melahirkan 2-5 anak setiap kelahiran. Menurut penelitian Krisnayana (2011) domba ekor tipis memiliki kekebalan terhadap infeksi Haemonchus contortus. Domba ekor tipis memiliki gen yang dapat terekspresi dan berpengaruh terhadap mekanisme ketahanannya terhadap infeksi Haemonchus contortus. Domba yang berasal dari Indonesia seperti domba sumatera dan domba persilangan antara domba Sumatera dengan domba ekor gemuk dilaporkan tidak memiliki ketahanan terhadap infeksi Haemonchus contortus (Romjali et al. 1996). Klasifikasi dan morfologi H. contortus Haemonchus contortus adalah cacing dari kelas Nematoda, Ordo Strongylida dan super famili Trichostrongyloidea. Cacing dewasa hidup di dalam abomasum ruminansia kecil termasuk domba dan kambing. Cacing jantan panjangnya mm dan betina mm. Cacing jantan dan betina dapat dibedakan melalui pengamatan morfologi organ reproduksi (Urquhart et al. 1987). Cacing betina berwarna merah, mempunyai pola spiral merah dan ukurannya lebih besar dari pada cacing jantan. Sedangkan cacing jantan tidak mempunyai pola spiral merah dan ukurannya kecil. Organ reproduksi cacing betina terdiri dari ovarium, oviduct, uterus dan diakhiri dengan vagina pendek yang bermuara pada vulva. Uterus dan vagina dihubungkan dengan ovijector. Cacing betina mempunyai vulva flap yang berfungsi dalam proses kopulasi dan pengeluaran telur. Setiap ekor cacing betina dewasa dapat bertelur sampai butir perhari. Cacing jantan mempunyai organ reproduksi yang terdiri dari testis tunggal yang memanjang dan vas deferens berujung di duktus ejakulatori. Terdapat organ asesoris yang terdiri dari sepasang spikulum dan gubernakulum. Pada ujung posterior tubuh ditemukan pelebaran kutikula yang disebut bursa kopulatriks. Organ ini berfungsi membantu proses pelekatan cacing jantan dan betina pada saat kopulasi.

15 3 A B C V S BK G Gambar 1 Organ reproduksi cacing dewasa H. contortus A. Betina dan Jantan, B. Betina, C. Jantan, V. Vulva flap, BK. Bursa kopulatriks, S. Spikulum dan G. Gubernakulum. (Sumber : [BVA] British Veterinary Association 2010) Siklus hidup, Patogenesis, Gejala klinis, dan Diagnosa Haemonchosis Siklus hidup Haemonchus contortus bersifat langsung, tidak membutuhkan inang antara, terdiri dari fase pre-parasitik (hidup bebas) diluar tubuh induk semang, dan fase parasitik didalam tubuh inangnya. Cacing dewasa hidup di abomasum. Cacing betina dalam abomasum memproduksi telur yang keluar bersama pengeluaran tinja. Pada suhu dan kelembaban optimal telur akan menetas mengeluarkan larva stadium 1 (L 1 ). Setelah melalui dua kali molting, L 1 berkembang menjadi L 2 dan selanjutnya menjadi L 3 yang merupakan stadium infektif dalam waktu 4 sampai 6 hari. Larva infektif menempel pada rumputrumputan atau batang semak. Domba akan terinfeksi jika memakan rumput yang mengandung L 3. Didalam tubuh inang L 3 tumbuh dan berkembang menjadi L 4 atau disebut tahap pradewasa. Selanjutnya L 4 berkembang menjadi L 5 atau tahap dewasa yang siap bertelur pada hari ke-15 sampai hari ke-20 setelah infeksi (Urquhart et al. 1987). Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan infeksi diantaranya status kekebalan individu, umur hewan, kejadian penyakit seperti diare dan anemia dan kejadian kronis pada hewan yang pernah terinfeksi H. contortus. Patogenesis dari haemonchosis dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain umur domba, ukuran dan berat badan, lama infeksi dan status nutrisi. Infeksi H. contortus menyebabkan hewan mengalami anemia dan hipoproteinemia. Patogenitas dipengaruhi oleh jumlah cacing yang menginfeksi. McKenna (1987) mengelompokkan derajat infeksi berdasarkan hasil penghitungan telur tiap gram tinja (TTGT) ke dalam tiga kelompok yaitu kategori rendah dengan infeksi telur 500, infeksi sedang telur dan infeksi tinggi >2000 telur pada domba berumur kurang dari 12 bulan. Gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi cacing H. contortus pada domba yaitu domba mengalami anemia dan penurunan Packed Cell Volume (PCV), diare, dehidrasi dan terjadinya akumulasi cairan pada jaringan sub mandibular (bottle jaw), abdomen, rongga thoraks dan dinding usus. Infeksi cacing ini juga dapat menyebabkan tingkat pertumbuhan domba yang lebih rendah, mengurangi kinerja reproduksi yang terlihat nyata, memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap paparan penyakit dan menyebabkan kematian (Browning 2006).

16 4 Diagnosis haemonchosis dapat dilihat berdasarkan gejala klinis yang ditimbulkan. Selain itu, dapat pula ditentukan dengan mengidentifikasi telur-telur cacing di bawah mikroskop. Bedah bangkai pada ternak yang mati juga akan membantu dalam penetapan diagnosis penyakit ini. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian H. contortus pada domba Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian infeksi cacing Haemonchus contortus pada domba dikawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia diantaranya faktor lingkungan akibat suhu tinggi, kelembaban dan curah hujan. Pada musim hujan, derajat infeksi cacing parasit lebih tinggi dibandingkan pada musim kemarau. Genetik juga merupakan salah satu faktor yang membuat domba rentan terhadap infeksi cacing ini. Faktor lainnya yaitu berkembangnya populasi parasit yang resistensi terhadap anthelmintik akibat penggunaan yang berlebihan (Browning 2006). Faktor lain yang dapat mempengaruhi diantaranya adalah kepadatan ternak, lamanya ternak merumput, masa selama menyapih sampai beranak kembali, disatukannya berbagai jenis ternak yang merumput bersama dan perbandingan antara jumlah ternak muda dan dewasa. METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Helmintologi dan kandang ruminansia kecil Unit Pengelola Hewan Laboratorium (UPHL), Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung mulai bulan Juli hingga Oktober Hewan Coba Hewan yang digunakan adalah domba jantan berumur antara 6 hingga 8 bulan digunakan dalam penelitian ini. Berat badan domba yang digunakan berkisar antara Kg pada awal penelitian. Sebelum digunakan untuk penelitian domba diberi anthelmintik Albendazol agar domba bebas dari infeksi cacing yang dibuktikan dengan tidak ditemukan telur cacing pada pemeriksaan tinja. Desain Penelitian Sebanyak 20 ekor domba jantan dengan umur 6 hingga 8 bulan dibagi menjadi 5 kelompok, masing-masing terdiri dari 4 ekor domba. Kelompok pertama merupakan kelompok kontrol tidak diinfeksi, kelompok kedua sampai lima merupakan kelompok domba yang diinfeksi masing-masing dengan dosis 500, 1000, 2000 dan 4000 larva H. contortus. Sampel tinja diambil dari setiap domba percobaan untuk diperiksa dan memastikan domba tidak terinfeksi sebelum domba diinfeksi. Pada minggu kedelapan setelah diinfeksi, tinja kembali diperiksa untuk mengetahui jumlah TTGT, kemudian domba disembelih dan dihitung jumlah cacing H. contortus yang terdapat dalam abomasum domba. Data

17 jumlah cacing dan TTGT di analisis untuk mengetahui korelasinya serta untuk menentukan kategori derajat infeksinya. Prosedur Penelitian Penyiapan Larva Infektif (L 3 ) Haemonchus contortus Larva infektif yang digunakan untuk menginfeksi hewan percobaan diperoleh dari hasil pupukan telur cacing H. contortus. Telur cacing diperoleh dari cacing H. contortus betina yang diisolasi dari abomasum yang diperoleh dari tempat pemotongan hewan di Empang. Cacing betina dewasa yang diperoleh dari abomasum digerus menggunakan gerusan hypofise agar telur cacing dapat keluar. Telur cacing yang diperoleh ditambahkan beberapa tetes aquades dicampur dengan tinja sapi yang bebas cacing dan dicampur dengan bahan penambah vermikulit dengan perbandingan 1:3. Pupukan diaduk dan jika terlalu kering ditambahkan dengan aquades beberapa tetes. Pupukan diinkubasi selama 7 hari pada suhu ruangan agar semua larva menjadi larva infektif. Pemupukan dilakukan setiap hari sampai diperoleh jumlah larva infektif yang diperlukan. Pengumpulan larva dilakukan menggunakan metode Baermann. Gelas Baermann yang diisi dengan pupukan tinja lalu ditambah dengan aquades sampai terendam dan dibiarkan selama 1 hari. Prosedur Infeksi Buatan Larva yang telah terkumpul kemudian dihitung sesuai dosis yang telah ditentukan yaitu 500, 1000, 2000 dan 4000 larva infektif. Masing-masing dosis dimasukkan ke dalam kapsul gelatin, kemudian diinfeksi secara peroral menggunakan aplikator kapsul ke dalam abomasum domba. Penghitungan Telur Tiap Gram Tinja (TTGT) Jumlah telur cacing tiap gram tinja (TTGT) diperiksa pada minggu kedelapan pasca infeksi dengan melakukan pemeriksaan sampel tinja. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan metode McMaster. Sebanyak 2 gram sampel tinja dimasukkan ke dalam gelas. Tambahkan larutan gula jenuh sebanyak 58 ml sehingga volume seluruhnya menjadi 60 ml, lalu diaduk dan disaring menggunakan saringan teh. Suspensi tinja diambil menggunakan pipet lalu segera dimasukkan ke dalam kamar hitung McMaster. Diamkan 2-3 menit kemudian diperiksa dibawah mikroskop dengan perbesaran 40 kali. Telur cacing H. contortus yang ditemukan dihitung untuk mengetahui jumlah TTGT. Jumlah TTGT dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : 5 Keterangan : n BT V total V kamar hitung TTGT = n x x = Jumlah telur = Berat tinja (gr) = Volume total (ml) = Volume kamar hitung (ml)

18 6 Penghitungan Jumlah Cacing Dewasa Domba disembelih pada minggu kedelapan akhir percobaan untuk dihitung jumlah cacing H. contortus dewasa yang terdapat di dalam abomasum. Abomasum dibuka pada bagian curvatura mayor, isi Abomasum di tampung di dalam ember plastik. Abomasum kemudian dicuci menggunakan air dan ditampung di dalam nampan. Cacing dikoleksi dengan menggunakan alat khusus seperti sonde untuk mempermudah dalam mengambil cacing yang terlihat. Cacing yang diperoleh dari isi lumen abomasum dan yang terdapat pada bilasan dikumpulkan di dalam cawan yang berisi NaCl fisiologis untuk mengetahui jumlah cacing jantan dan cacing betina. Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan laboratorium di tabulasikan menggunakan program Microsoft Excel. Data TTGT dan jumlah cacing dewasa H. contortus dianalisis dengan metode Anova sederhana dan dilanjutkan dengan metode regresi linear menggunakan software SPSS 16.0 untuk mengetahui hubungan antara TTGT dengan jumlah cacing dewasa. HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah cacing Haemonchus contortus dan establishment Data rata-rata jumlah cacing jantan dan betina H. contortus dapat dilihat pada Table 1. Rata-rata jumlah cacing betina lebih banyak dibandingkan dengan rata-rata jumlah cacing jantan dengan perbandingan antara cacing jantan dan betina adalah 1 : Hal ini menunjukkan bahwa cacing betina lebih dominan dari pada cacing jantan. Telur cacing merupakan produk biologis yang dihasilkan cacing betina produktif. Jumlah telur cacing yang dikeluarkan bersama tinja mencerminkan jumlah cacing yang ada di dalam tubuh inang. Jumlah telur yang keluar melalui tinja domba yang terinfeksi H. contotus biasanya tergantung pada jumlah cacing dan perbandingan antara jumlah cacing jantan dan betina dalam abomasum domba (Roberts and Swan 1981). Hasil penelitian berupa jumlah cacing dan persentase establishment disajikan pada Tabel 1. Persentase establishment atau keberhasilan perkembangan larva menjadi cacing dewasa antar kelompok dosis infeksi berbeda nyata (p<0.05). Keberhasilan perkembangan larva menjadi cacing dewasa tetinggi terdapat pada dosis infeksi 500 L 3 dengan persentase 50.1 %, diikuti dosis 1000 L 3, 2000 L 3 dan 4000 L 3 dengan persentase establishment masing-masing kelompok sebesar 14.6 %, 6.1 % dan 3.6 % (Tabel 1). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hendrayani (2000) yang menyatakan bahwa semakin kecil dosis larva infektif yang diberikan maka semakin besar persentase establishment. Dosis infeksi yang tinggi menyebabkan respon imun atau kekebalan tubuh inang semakin tinggi. Larva infektif yang masuk ke dalam tubuh inang dapat merangsang kekebalan sehingga terbentuk reaksi tanggap kebal yang dapat menghambat perkembangan larva menjadi cacing dewasa (Hendrayani

19 2000). Hal ini dapat dilihat dari hasil persentase establishment yang rendah pada dosis infeksi yang tinggi pada penelitian ini. Tabel 1 Data rata-rata jumlah cacing dan persentase establishment Kelompok Jumlah cacing (ekor) Establishment dosis (L 3 ) Jantan Betina Total (%) ± ± ± % ± ± ± % ± ± ± % ± ± ± % Hubungan Jumlah Cacing dan TTGT Hasil analisis regresi menunjukkan hubungan yang kuat (P<0.05) antara TTGT dan jumlah cacing. Jumlah TTGT berbanding lurus dengan jumlah cacing dan mempunyai garis linear yang semakin ke kanan semakin besar. Berdasarkan hasil analisis tersebut terlihat bahwa hubungan antara TTGT dan jumlah cacing pada Gambar 2 (B) lebih akurat dengan nilai R yang lebih besar (R = 0.948) dibandingkan hubungan antara TTGT dengan jumlah cacing pada Gambar 2 (A) (R = 0.851). 7 A B TTGT (telur) TTGT (telur) Y= X Y= X Cacing betina (ekor) Cacing jantan dan betina (ekor) Gambar 2 Grafik Hubungan antara jumlah cacing dengan TTGT Keterangan : A. jumlah cacing betina (R = 0.851) B. jumlah cacing jantan dan betina (R = 0.948) Jumlah cacing yang ditemukan pada akhir penelitian ini paling sedikit terdapat 6 cacing dan paling banyak 630 cacing. Hal ini menunjukkan tingkat infeksi H. contortus pada domba termasuk ke dalam infeksi mulai dari ringan hingga berat. Domba yang terinfeksi cacing ekor termasuk dalam kategori infeksi ringan, ekor termasuk dalam kategori sedang dan kategori berat apabila terdapat lebih dari >500 ekor cacing (Kusumamihardja et al. 1990). Berdasarkan hasil analisis regresi didapatkan rumus persamaan Y =

20 X, maka data TTGT berdasarkan derajat infeksi jumlah cacing melalui penghitungan rumus tersebut diperoleh data seperti pada Tabel 2. Tabel 2 Jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) berdasarkan derajat infeksi Derajat Infeksi Cacing TTGT Ringan telur Sedang telur Tinggi >500 > 8000 telur Berdasarkan jumlah cacing pada Tabel 2, maka derajat infeksi dapat dikatagorikan derajat ringan apabila jumlah TTGT sebanyak telur, infeksi sedang dengan jumlah TTGT sebanyak telur dan domba yang mengalami infeksi tinggi dengan TTGT sebanyak > 8000 telur. Walaupun sampai saat ini penghitungan TTGT merupakan penduga derajat infeksi, namun keakuratannya dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kepadatan atau kosistensi tinja yang semakin padat tinja maka nilai TTGT semakin kecil, jumlah tinja yang dikeluarkan tiap hari, distribusi telur dalam tinja tidak selalu merata, perbandingan antara cacing jantan dan betina dan reaksi immunologik dari cacing terhadap inang. Derajat infeksi H. contortus akan mempengaruhi perubahan patologi anatomi (PA) dan gejala klinis pada domba yang mengalami haemonchosis. Domba yang terinfeksi ringan dapat mengakibatkan terhentinya pertumbuhan tubuh atau bobot badan, infeksi sedang dapat mengakibatkan penurunan berat badan dan infeksi berat dapat menyebabkan kematian (Kusumamihardja et al. 1990). Domba yang menderita haemonchosis dapat mengalami anemia akibat kekurangan darah. Gejala klinis anemia dapat muncul mulai dari derajat infeksi ringan. Menurut Symon (1989) Kehilangan darah sebanyak 5 50 ml perhari dapat menyebabkan gejala klinis seperti kepucatan selaput lendir, anoreksia dan oedema. Derajat infeksi berat yaitu dengan jumlah > 500 ekor cacing maka inang dapat kehilangan darah sebanyak 25 ml darah/hari. Hal tersebut dapat menimbulkan anemia. Haemonchus contortus merupakan cacing penghisap darah. Cacing dewasa yang melekat pada abomasum dapat menghisap darah sebanyak 0.05 ml/ekor cacing/hari. Beberapa menit setelah cacing hisapannya perdarahan pada abomasum tetap terjadi (Soulsby 1982). Faktor yang dapat mempengaruhi derajat anemia tergantung dari banyaknya cacing yang terdapat dalam tubuh inang dan jumlah sel darah merah yang hilang akibat hisapan cacing (Symons 1989). Semakin tinggi derajat infeksi maka semakin parah anemia yang ditimbulkan. Terdapat tiga tahap anemia yang terjadi pada domba yang mengalami haemonchosis. Tahap pertama disebut dengan haemonchosis akut, kejadian ini berlangsung 7-25 hari setelah infeksi. Domba akan kehilangan sebagian besar darah sebelum sistem eritropoietiknya mampu menghasilkan darah pengganti (Dargie dan Allonby 1975). Kehilangan darah ini diikuti dengan menurunnya sel darah merah, PCV dan kadar haemoglobin pada tubuh inang. Anemia tahap kedua terjadi antara hari ke-6 hingga hari ke-14 sesudah infeksi. Kehilangan darah pada tahap ini dapat diimbangi dengan peningkatan eritropoiesis, sehingga terjadi keseimbangan antara kehilangan dan produksi sel darah merah, nilai PCV akan stabil meskipun berada pada angka dibawah normal. Anemia tahap ketiga akan

21 terjadi kelelahan sistem eritropoiesis akibat kurangnya zat besi dan protein. Menurut Abbot et al. (1986) kekurangan zat besi dan protein dapat disebabkan akibat domba mengalami penurunan nafsu makan. 9 SIMPULAN Persentase establishment cacing Haemonchus contortus dipengaruhi oleh dosis infeksi. Semakin kecil dosis larva infektif yang diberikan maka semakin besar persentase establishment. Terdapat hubungan positif yang kuat antara TTGT dengan jumlah cacing. Berdasarkan jumlah cacing, derajat infeksi ringan dengan jumlah cacing ekor menghasilkan TTGT sebanyak telur, infeksi sedang dengan jumlah cacing ekor menghasilkan TTGT sebanyak telur dan domba yang mengalami infeksi tinggi dengan jumlah cacing > 500 ekor menghasilkan TTGT sebanyak > 8000 telur. DAFTAR PUSTAKA Abbot EM, Parkins JJ, Holmes PH The effect of dietary protein on the pathophysiology of acute haemonchosis. Veterinary Parasitology. 20: [BVA] British Veterinary Association Towards a Vaccine Against H. contortus. Journal of The British Veterinary Association. [Internet]. [diunduh 2014 Mei 13] : 166:5 doi : /vr.b5621. Tersedia pada: Browning MLL Haemonchus contortus (Barber Pole Worm) Infestation in Goats. Extension Animal Scientist. Brazil (US): Alabama A & M University. Coadwell WJ, Ward PFV The use of faecal egg counts for estimating worm burdens in sheep infected with Haemonchus contortus. Parasitology. 85: Dargie JD, Allonby EW Pathophysiology of single infection of Haemonchus contortus in Merino sheep : Study on red cells kinetics and self cure phenomenon. International Journal for Parasitology. 81: Devendra C, McLeroy GB Goat and Sheep Production in the Tropics. New York (US): Longman. Hendrayani N Fluktuasi Produksi Telur Cacing dan Fekunditas Cacing Haemonchus contortus (Rudolphi 1803) pada Domba Lokal [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Krisnayana PMI Pengaruh Infeksi Larva-3 Haemonchus contortus terhadap Potensi Kekebalan dan Gambaran Darah domba Ekor Tipis [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kusumamihardja S, L Zalizar, EB Retnani, R Tiuria Hubungan antara Jumlah Telur Cacing Haemonchus contortus Tiap Gram Tinja dengan Kesakitan pada Domba Jantan Lokal [Laporan Penelitian]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Lastuti NDR et al Deteksi protein Haemonchus sp pada domba dan kambing dengan uji dot blot menggunakan antibodi poliklonal protein

22 10 ekskresi dan sekresi Haemonchus contortus. Media Kedokteran Hewan. 22(3):162. Manson IL Sheep in Java. World Animal Review. 27: McKenna PB The estimation of gastrointestinal strongyle worm burdens in young sheep flocks: a new approach to the interpretation of faecal egg counts. New Zealand Veterinary Journal. 35: Roberts JL, Swan RA Quantitative studies of ovine haemonchosis relationship between feacal egg counts and total worm counts. Veterinary Parasitology. 8: Romjali E, Mariyono Comparison of resistance of four genotypes of rams to experimental infection with Haemonchus contortus. Veterinary Parasitology. 65: Sodiq A, Abidin Z Sukses Menggemukkan Domba. Jakarta (ID): Agro Media Pustaka. Soulsby EJL Helmints, Artropods, and Protozoa of Doesticated Animals (Monnig). Ed Ke-7. New York (US) and London (GB): Academic Press. Sudarmono AS, Sugeng YB Beternak Domba Seri Agribisnis. Edisi Revisi. Jakarta (ID): Penebat Swadaya. Symons LEA Pathophysiology of Endoparasitic Infection Compared with Ectoparasitic Infestation and Microbial Infection. Australia (AU): Academic Press. Tillman AD Animal Agriculture in Indonesia. Ed ke-1. Arkansas (US): Winrock International. Urquhart AH, Alderson JC Longman Scientific and Technical. Ed ke-1. New York (US): Churchill Livingstone Inc.

23 11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 05 Maret 1992 dari pasangan Bapak H. Syahbudin Rangkuti dan Ibu Hj. Sarianun Nasution. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan sekolah dasar pada tahun 2004 di SD Rimba Putra Bogor dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke Madrasah Tsanawiyah (MTS) Al- Ghazaly Bogor hingga lulus pada tahun Pendidikan sekolah menengah umum diselesaikan pada tahun 2010 di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Bogor. Pada tahun yang sama penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Semasa menjadi mahasiswa FKH IPB penulis aktif dalam kegiatan eksternal dan internal kampus yaitu sebagai anggota Himpunan Minat dan Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik Eksotik (HKSA) FKH IPB serta mengikuti kegiatan PKM dan berbagai kepanitiaan di dalam dan di luar kampus.

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba 3 Diferensiasi SDP dilakukan berbasis preparat ulas darah total. Darah diulas di preparat kemudian difiksasi dengan metanol selama 2 menit. Preparat ulas darah diwarnai menggunakan pewarna giemsa selama

Lebih terperinci

GAMBARAN SEL DARAH MERAH DOMBA EKOR TIPIS YANG DIINFEKSI LARVA INFEKTIF (L 3 ) Haemoncus contortus PIKA SATI SURYANI

GAMBARAN SEL DARAH MERAH DOMBA EKOR TIPIS YANG DIINFEKSI LARVA INFEKTIF (L 3 ) Haemoncus contortus PIKA SATI SURYANI GAMBARAN SEL DARAH MERAH DOMBA EKOR TIPIS YANG DIINFEKSI LARVA INFEKTIF (L 3 ) Haemoncus contortus PIKA SATI SURYANI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

Lebih terperinci

PERUBAHAN BERAT BADAN DOMBA EKOR TIPIS YANG DIINFEKSI Haemonchus contortus ENIZA RUKISTI

PERUBAHAN BERAT BADAN DOMBA EKOR TIPIS YANG DIINFEKSI Haemonchus contortus ENIZA RUKISTI PERUBAHAN BERAT BADAN DOMBA EKOR TIPIS YANG DIINFEKSI Haemonchus contortus ENIZA RUKISTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

Gambar 12 Kondisi tinja unta punuk satu memperlihatkan bentuk dan dan tekstur yang normal atau tidak diare.

Gambar 12 Kondisi tinja unta punuk satu memperlihatkan bentuk dan dan tekstur yang normal atau tidak diare. HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel tinja unta punuk satu yang didapatkan memiliki struktur seperti tinja hewan ruminansia pada umumnya. Tinja ini mempunyai tekstur yang kasar dan berwarna hijau kecoklatan. Pada

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Desember 2010 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul dan Klasifikasi Domba Bangsa Domba di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul dan Klasifikasi Domba Bangsa Domba di Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul dan Klasifikasi Domba Domestikasi domba diperkirakan terjadi di daerah pegunungan Asia Barat sekitar 9.000 11.000 tahun lalu. Sebanyak tujuh jenis domba liar yang dikenal terbagi

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

HUBUNGAN KECACINGAN PADA TERNAK SAPI DI SEKITAR TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS DENGAN KEMUNGKINAN KEJADIAN KECACINGAN PADA BADAK SUMATERA

HUBUNGAN KECACINGAN PADA TERNAK SAPI DI SEKITAR TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS DENGAN KEMUNGKINAN KEJADIAN KECACINGAN PADA BADAK SUMATERA HUBUNGAN KECACINGAN PADA TERNAK SAPI DI SEKITAR TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS DENGAN KEMUNGKINAN KEJADIAN KECACINGAN PADA BADAK SUMATERA (Dicerorhinus sumatrensis) DI SUAKA RHINO SUMATERA RIZQI PUTRATAMA FAKULTAS

Lebih terperinci

METODA UJI APUNG SEBAGAI TEKNIK PEMERIKSAAN TELUR CACING NEMATODA DALAM TINJA HEWAN RUMINANSIA KECIL

METODA UJI APUNG SEBAGAI TEKNIK PEMERIKSAAN TELUR CACING NEMATODA DALAM TINJA HEWAN RUMINANSIA KECIL METODA UJI APUNG SEBAGAI TEKNIK PEMERIKSAAN TELUR CACING NEMATODA DALAM TINJA HEWAN RUMINANSIA KECIL ZAENAL KOSASIH Balai Penelitian Veteriner Jl. R.E. Martadinata 30 Bogor 16114 RINGKASAN Parasit cacing

Lebih terperinci

Oleh Imas Sri Nurhayati B

Oleh Imas Sri Nurhayati B _.,_(,...,,.,...,,.,, '."', PENGARUH ~ E M B E ~ $ Q ~ ~ ~ ' ~ ~ ~, M E N G (Mon'nda citn'filia Linn.) TERHAD'AP: 'CAGING ~,. ~,, ~aemonchus Oleh Imas Sri Nurhayati B01496080 FARULTAS REDOKTERAN HEWAN

Lebih terperinci

GAMBARAN LEUKOSIT DOMBA EKOR TIPIS YANG DIINFEKSI Haemoncus contortus HAYATULLAH FRIO MARTEN

GAMBARAN LEUKOSIT DOMBA EKOR TIPIS YANG DIINFEKSI Haemoncus contortus HAYATULLAH FRIO MARTEN GAMBARAN LEUKOSIT DOMBA EKOR TIPIS YANG DIINFEKSI Haemoncus contortus HAYATULLAH FRIO MARTEN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Pemeriksaan kualitatif

Lebih terperinci

STUDI PERBANDKNGAN MIKROBA RUMEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL

STUDI PERBANDKNGAN MIKROBA RUMEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL STUDI PERBANDKNGAN MIKROBA RUMEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL SKRIPSI NURLAELA PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN NWUAELA. D24101054.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Pendataan dan Identifikasi Domba Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Pendataan dan Identifikasi Domba Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Unit Pendidikan, Penelitian dan Peternakan Jonggol Institut Pertanian Bogor (UP3J-IPB) Desa Singasari Kecamatan Jonggol Kabupaten Bogor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Menurut Williamson dan Payne (1993),

Lebih terperinci

GAMBARAN KALSIUM DARAH PADA PERIODE KEBUNTINGAN DAN KANDUNGAN KALSIUM DALAM SUSU PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH CANDRA ELISSAR YAFIZHAM

GAMBARAN KALSIUM DARAH PADA PERIODE KEBUNTINGAN DAN KANDUNGAN KALSIUM DALAM SUSU PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH CANDRA ELISSAR YAFIZHAM GAMBARAN KALSIUM DARAH PADA PERIODE KEBUNTINGAN DAN KANDUNGAN KALSIUM DALAM SUSU PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH CANDRA ELISSAR YAFIZHAM DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat Metode Penelitian Pembuatan Larutan Ekstrak Rumput Kebar

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat Metode Penelitian Pembuatan Larutan Ekstrak Rumput Kebar BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan dari bulan Desember 2008 sampai dengan Mei 2009. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. eksperimental dengan Rancangan Acak Terkontrol. Desain ini melibatkan 5

METODOLOGI PENELITIAN. eksperimental dengan Rancangan Acak Terkontrol. Desain ini melibatkan 5 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan Rancangan Acak Terkontrol. Desain ini melibatkan 5 (lima) kelompok

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan salah satu ternak ruminansia kecil yang memiliki potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan sudah sangat umum dibudidayakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit 39 BAB III METODE PENELITIAN A. JENIS PENELITIAN Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Pemeriksaan kualitatif

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan April sampai dengan bulan Mei 2011, bertempat di kandang pemuliaan ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,

Lebih terperinci

DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA

DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA ITA KRISSANTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

STUDI KOMPARATIF METABOLISME NITROGEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL

STUDI KOMPARATIF METABOLISME NITROGEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL STUDI KOMPARATIF METABOLISME NITROGEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL SKRIPSI KHOERUNNISSA PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN KHOERUNNISSA.

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua 6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Klasifikasi Domba Berdasarkan taksonominya, domba merupakan hewan ruminansia yang berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua domba termasuk kedalam

Lebih terperinci

GAMBARAN DARAH ANJING KAMPUNG JANTAN (Canis familiaris) UMUR 3 SAMPAI 7 BULAN KRESNA NURDIN NUNU NUGRAHA

GAMBARAN DARAH ANJING KAMPUNG JANTAN (Canis familiaris) UMUR 3 SAMPAI 7 BULAN KRESNA NURDIN NUNU NUGRAHA 1 GAMBARAN DARAH ANJING KAMPUNG JANTAN (Canis familiaris) UMUR 3 SAMPAI 7 BULAN KRESNA NURDIN NUNU NUGRAHA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 2 GAMBARAN DARAH ANJING KAMPUNG

Lebih terperinci

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah.

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah. 1. Penyakit Parasit Cacing pada Ruminansia Walaupun penyakit cacingan tidak langsung menyebabkan kematian, akan tetapi kerugian dari segi ekonomi dikatakan sangat besar, sehingga penyakit parasit cacing

Lebih terperinci

UKURAN DAN BENTUK SERTA PENDUGAAN BOBOT BADAN BERDASARKAN UKURAN TUBUH DOMBA SILANGAN LOKAL GARUT JANTAN DI KABUPATEN TASIKMALAYA

UKURAN DAN BENTUK SERTA PENDUGAAN BOBOT BADAN BERDASARKAN UKURAN TUBUH DOMBA SILANGAN LOKAL GARUT JANTAN DI KABUPATEN TASIKMALAYA UKURAN DAN BENTUK SERTA PENDUGAAN BOBOT BADAN BERDASARKAN UKURAN TUBUH DOMBA SILANGAN LOKAL GARUT JANTAN DI KABUPATEN TASIKMALAYA SKRIPSI MUHAMMAD VAMY HANIBAL PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS

Lebih terperinci

FAKTOR RISIKO MANAJEMEN PEMELIHARAAN ANJING TERHADAP KEJADIAN INFEKSI Dirofilaria immitis DI WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI RITA MARLINAWATY MANALU

FAKTOR RISIKO MANAJEMEN PEMELIHARAAN ANJING TERHADAP KEJADIAN INFEKSI Dirofilaria immitis DI WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI RITA MARLINAWATY MANALU FAKTOR RISIKO MANAJEMEN PEMELIHARAAN ANJING TERHADAP KEJADIAN INFEKSI Dirofilaria immitis DI WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI RITA MARLINAWATY MANALU FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pengadaan dan Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pengadaan dan Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti 14 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama tujuh bulan mulai dari bulan Juli 2011 hingga Februari 2012, penelitian dilakukan di Insektarium Bagian Parasitologi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemeliharaan Induk Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk terlebih dahulu di kolam pemeliharaan induk yang ada di BBII. Induk dipelihara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Karakteristik Domba Lokal di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Karakteristik Domba Lokal di Indonesia II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah dan Karakteristik Domba Lokal di Indonesia Ternak atau sering juga dikenal sebagai ternak ruminansia kecil, merupakan ternak herbivora yang sangat populer di kalangan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Domba Lokal Domba Ekor Tipis

TINJAUAN PUSTAKA Domba Lokal Domba Ekor Tipis TINJAUAN PUSTAKA Domba Lokal Domba lokal dapat didefinisikan sebagai domba hasil perkawinan murni atau silangan yang mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi iklim tropis dan diketahui sangat produktif

Lebih terperinci

III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Tahap Persiapan Hewan Percobaan Aklimatisasi Domba

III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Tahap Persiapan Hewan Percobaan Aklimatisasi Domba 17 III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama delapan bulan yang dimulai pada bulan Mei sampai dengan bulan Desember 2010. Penelitian dilakukan di kandang Mitra Maju yang beralamat

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Kambing yang terdapat di Desa Amplas

Gambar 2.1. Kambing yang terdapat di Desa Amplas 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Kambing merupakan binatang memamah biak yang berukuran sedang. Kambing ternak (Capra aegagrus hircus) adalah sub spesies kambing liar yang secara alami tersebar di

Lebih terperinci

ABSTRAK. PENGARUH SARI BUAH MERAH (Pandanus conoideus Lam.) TERHADAP PARASITEMIA PADA MENCIT JANTAN STRAIN BALB/c YANG DIINOKULASI Plasmodium berghei

ABSTRAK. PENGARUH SARI BUAH MERAH (Pandanus conoideus Lam.) TERHADAP PARASITEMIA PADA MENCIT JANTAN STRAIN BALB/c YANG DIINOKULASI Plasmodium berghei ABSTRAK PENGARUH SARI BUAH MERAH (Pandanus conoideus Lam.) TERHADAP PARASITEMIA PADA MENCIT JANTAN STRAIN BALB/c YANG DIINOKULASI Plasmodium berghei Lisa Marisa, 2009 Pembimbing I : Dr. Susy Tjahjani,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Ettawa (asal india) dengan Kambing Kacang yang telah terjadi beberapa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Ettawa (asal india) dengan Kambing Kacang yang telah terjadi beberapa 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing Peranakan Ettawa (PE) merupakan hasil persilangan antara Kambing Ettawa (asal india) dengan Kambing Kacang yang telah terjadi beberapa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Cacing Tambang Pada umumnya prevalensi cacing tambang berkisar 30 50 % di perbagai daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan seperti di

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat 8 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat di Balai Pembibitan dan Budidaya Ternak Non Ruminansia (BPBTNR) Provinsi Jawa Tengah di Kota Surakarta.

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Trichuris trichiura Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak terdapat pada manusia. Diperkirakan sekitar 900 juta orang pernah terinfeksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Boer Jawa (Borja) Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan antara kambing Afrika lokal tipe kaki panjang dengan kambing yang berasal

Lebih terperinci

GAMBARAN SEL DARAH PUTIH (LEUKOSIT) DOMBA LOKAL (Ovis aries) YANG DIIMMUNISASI DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SUTRISNO EKI PUTRA

GAMBARAN SEL DARAH PUTIH (LEUKOSIT) DOMBA LOKAL (Ovis aries) YANG DIIMMUNISASI DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SUTRISNO EKI PUTRA GAMBARAN SEL DARAH PUTIH (LEUKOSIT) DOMBA LOKAL (Ovis aries) YANG DIIMMUNISASI DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SUTRISNO EKI PUTRA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba merupakan salah satu jenis ternak ruminansia yang banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba merupakan salah satu jenis ternak ruminansia yang banyak 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Ekor Tipis Domba merupakan salah satu jenis ternak ruminansia yang banyak dipelihara sebagai ternak penghasil daging oleh sebagian peternak di Indonesia. Domba didomestikasi

Lebih terperinci

5 KINERJA REPRODUKSI

5 KINERJA REPRODUKSI 5 KINERJA REPRODUKSI Pendahuluan Dengan meningkatnya permintaan terhadap daging tikus ekor putih sejalan dengan laju pertambahan penduduk, yang diikuti pula dengan makin berkurangnya kawasan hutan yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

TEKNIK PENGOLAHAN UMB (Urea Molases Blok) UNTUK TERNAK RUMINANSIA Catur Prasetiyono LOKA PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN KEPRI

TEKNIK PENGOLAHAN UMB (Urea Molases Blok) UNTUK TERNAK RUMINANSIA Catur Prasetiyono LOKA PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN KEPRI TEKNIK PENGOLAHAN UMB (Urea Molases Blok) UNTUK TERNAK RUMINANSIA Catur Prasetiyono LOKA PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN KEPRI I. Pendahuluan Ternak ruminansia diklasifikasikan sebagai hewan herbivora karena

Lebih terperinci

INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING FITRIAWATI

INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING FITRIAWATI INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING FITRIAWATI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths 1. Pengertian Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan penularannya melalui tanah. Di Indonesia terdapat lima species cacing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi potong pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sapi lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi potong merupakan

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Indonesia masih sangat jarang. Secara umum, ada beberapa rumpun domba yang

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Indonesia masih sangat jarang. Secara umum, ada beberapa rumpun domba yang II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Rumpun Domba Rumpun adalah segolongan hewan dari suatu jenis yang mempunyai bentuk dan sifat keturunan yang sama. Jenis domba di Indonesia biasanya diarahkan sebagai domba pedaging

Lebih terperinci

SIFAT FISIK DAGING DOMBA EKOR TIPIS JANTAN YANG DIBERI RANSUM DENGAN BERBAGAI LEVEL PENAMBAHAN KULIT SINGKONG SKRIPSI ADE IRMA SURYANI HARAHAP

SIFAT FISIK DAGING DOMBA EKOR TIPIS JANTAN YANG DIBERI RANSUM DENGAN BERBAGAI LEVEL PENAMBAHAN KULIT SINGKONG SKRIPSI ADE IRMA SURYANI HARAHAP SIFAT FISIK DAGING DOMBA EKOR TIPIS JANTAN YANG DIBERI RANSUM DENGAN BERBAGAI LEVEL PENAMBAHAN KULIT SINGKONG SKRIPSI ADE IRMA SURYANI HARAHAP DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Persentase Hidup dan Abnormalitas Spermatozoa Entok (Cairina moschata), telah

BAB III MATERI DAN METODE. Persentase Hidup dan Abnormalitas Spermatozoa Entok (Cairina moschata), telah 1 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dengan judul Hubungan Bobot Badan dengan Konsentrasi, Persentase Hidup dan Abnormalitas Spermatozoa Entok (Cairina moschata), telah dilaksanakan pada bulan Juli -

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan

I. PENDAHULUAN. Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan telur terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. (BALITTAS) Karangploso Malang pada bulan Maret sampai Mei 2014.

BAB III METODE PENELITIAN. (BALITTAS) Karangploso Malang pada bulan Maret sampai Mei 2014. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (BALITTAS) Karangploso Malang pada bulan Maret sampai Mei 2014. 3.2 Alat dan Bahan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh pemberian tepung keong mas (Pomacea

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh pemberian tepung keong mas (Pomacea 50 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang pengaruh pemberian tepung keong mas (Pomacea canaliculata) dan tepung paku air (Azolla pinnata) terfermentasi terhadap produktivitas,

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Pemeliharaan ayam dan penampungan semen dilakukan di Kandang B, Laboratorium Lapang, Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Batur Domba Batur merupakan salah satu domba lokal yang ada di Jawa Tengah tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba Batur sangat

Lebih terperinci

TINJAUAN KEPUSTAKAAN. merupakan ruminansia yang berasal dari Asia dan pertama kali di domestikasi

TINJAUAN KEPUSTAKAAN. merupakan ruminansia yang berasal dari Asia dan pertama kali di domestikasi II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Perkembangan Domba Asia merupakan pusat domestikasi domba. Diperkirakan domba merupakan ruminansia yang berasal dari Asia dan pertama kali di domestikasi oleh manusia kira-kira

Lebih terperinci

Siklus kelamin poliestrus (birahi) g jantan dan betina

Siklus kelamin poliestrus (birahi) g jantan dan betina Lama bunting Kawin sesudah beranak Umur sapih Umur dewasa kelamin Umur dikawinkan Siklus kelamin poliestrus (birahi) Lama estrus Saat perkawinan Berat lahir Berat dewasa Jumlah anak perkelahiran Kecepatan

Lebih terperinci

3 MATERI DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Nyamuk Uji 3.3 Metode Penelitian

3 MATERI DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Nyamuk Uji 3.3 Metode Penelitian 3 MATERI DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Insektarium, Laboratorium Entomologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat

Lebih terperinci

Key words: Ascaridia galli, embrionated eggs, larvae

Key words: Ascaridia galli, embrionated eggs, larvae 16 KAJIAN PERKEMBANGAN L 1, L 2, DAN L 3 Ascaridia galli PADA AYAM PETELUR ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan perkembangan populasi L 3 Ascaridia galli pada usus halus ayam petelur.

Lebih terperinci

RESPON AYAM LOKAL DI BALI DAN LOHMAN BROWN TERHADAP INFEKSI Ascaridia galli

RESPON AYAM LOKAL DI BALI DAN LOHMAN BROWN TERHADAP INFEKSI Ascaridia galli TESIS RESPON AYAM LOKAL DI BALI DAN LOHMAN BROWN TERHADAP INFEKSI Ascaridia galli ANAK AGUNG ISTRI AGUNG MIRAH DWIJA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016 TESIS RESPON AYAM LOKAL DI BALI

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : Prevalensi, Intensitas, Leucocytozoon sp., Ayam buras, Bukit Jimbaran.

ABSTRAK. Kata kunci : Prevalensi, Intensitas, Leucocytozoon sp., Ayam buras, Bukit Jimbaran. ABSTRAK Leucocytozoonosis merupakan salah satu penyakit yang sering menyebabkan kerugian berarti dalam industri peternakan. Kejadian penyakit Leucocytozoonosis dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu umur,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang, kambing Peranakan Etawa (PE) dan kambing Kejobong

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang, kambing Peranakan Etawa (PE) dan kambing Kejobong BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Kacang Kambing Kacang, kambing Peranakan Etawa (PE) dan kambing Kejobong merupakan bangsa-bangsa kambing yang terdapat di wilayah Jawa Tengah (Dinas Peternakan Brebes

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal Indonesia Domba Ekor Tipis

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba  Domba Lokal Indonesia Domba Ekor Tipis TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Menurut Tomaszewska et al. (1993) domba berasal dari Asia, yang terdiri atas 40 varietas. Domba-domba tersebut menyebar hampir di setiap negara. Ternak domba merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Unit Pendidikan, Penelitian dan Peternakan Jonggol (UP3J) merupakan areal peternakan domba milik Institut Pertanian Bogor (IPB) yang terletak di desa Singasari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk yang secara turun-temurun dikembangkan masyarakat di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk yang secara turun-temurun dikembangkan masyarakat di BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Wonosobo Domba Wonosobo merupakan domba hasil persilangan antara domba Texel yang didatangkan pada tahun 1957 dengan Domba Ekor Tipis dan atau Domba Ekor Gemuk yang secara

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Induk 3.3 Metode Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Induk 3.3 Metode Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009 sampai dengan Februari 2010 di Stasiun Lapangan Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, Departemen

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDING CENTER SOBANGAN VILLAGE, DISTRICT MENGWI, BADUNG

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE PENELITIAN MATERI DAN METODE PENELITIAN Waktu dan tempat penelitian Penelitian ini dilaksakan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Perlakuan

Lebih terperinci

Respon Seleksi Domba Garut... Erwin Jatnika Priyadi RESPON SELEKSI BOBOT LAHIR DOMBA GARUT PADA INTENSITAS OPTIMUM DI UPTD BPPTD MARGAWATI GARUT

Respon Seleksi Domba Garut... Erwin Jatnika Priyadi RESPON SELEKSI BOBOT LAHIR DOMBA GARUT PADA INTENSITAS OPTIMUM DI UPTD BPPTD MARGAWATI GARUT RESPON SELEKSI BOBOT LAHIR DOMBA GARUT PADA INTENSITAS OPTIMUM DI UPTD BPPTD MARGAWATI GARUT Erwin Jatnika Priyadi*, Sri Bandiati Komar Prajoga, dan Deni Andrian Universitas Padjadjaran *Alumni Fakultas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ternak Itik Itik ( Anas sp.) merupakan unggas air yang cukup dikenal masyarakat. Nenek moyangnya berasal dari Amerika Utara dan merupakan itik liar ( Anas moscha) atau Wild

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2015 di kandang peternak di

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2015 di kandang peternak di 14 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2015 di kandang peternak di Desa Kedu Temanggung dan pada bulan April 2016 di kandang unggas Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ayam dan telur bukanlah jenis makanan yang asing bagi penduduk indonesia. Kedua jenis makanan tersebut sangat mudah dijumpai dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Bahkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminth Soil Transmitted Helminth adalah Nematoda Intestinal yang berhabitat di saluran pencernaan, dan siklus hidupnya untuk mencapai stadium infektif dan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA VOLUME AMBING, LAMA MASSAGE DAN LAMA PEMERAHAN TERHADAP PRODUKSI SUSU KAMBING PERANAKAN ETTAWA SKRIPSI.

HUBUNGAN ANTARA VOLUME AMBING, LAMA MASSAGE DAN LAMA PEMERAHAN TERHADAP PRODUKSI SUSU KAMBING PERANAKAN ETTAWA SKRIPSI. HUBUNGAN ANTARA VOLUME AMBING, LAMA MASSAGE DAN LAMA PEMERAHAN TERHADAP PRODUKSI SUSU KAMBING PERANAKAN ETTAWA SKRIPSI Oleh: ILHAM HABIB FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA

ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA LANDASAN TEORI Organisme yang akan digunakan sebagai materi percobaan genetika perlu memiliki beberapa sifat yang menguntungkan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Suzuki Metode Suzuki adalah suatu metode yang digunakan untuk pemeriksaan telur Soil Transmitted Helmints dalam tanah. Metode ini menggunakan Sulfas Magnesium yang didasarkan

Lebih terperinci

GAMBARAN HISTOPATOLOGI USUS HALUS DAN SEKAL TONSIL PADA AYAM BROILER YANG TERINFEKSI MAREK DAN PENGARUH PEMBERIAN ZINK, BAWANG PUTIH DAN KUNYIT

GAMBARAN HISTOPATOLOGI USUS HALUS DAN SEKAL TONSIL PADA AYAM BROILER YANG TERINFEKSI MAREK DAN PENGARUH PEMBERIAN ZINK, BAWANG PUTIH DAN KUNYIT GAMBARAN HISTOPATOLOGI USUS HALUS DAN SEKAL TONSIL PADA AYAM BROILER YANG TERINFEKSI MAREK DAN PENGARUH PEMBERIAN ZINK, BAWANG PUTIH DAN KUNYIT SRI ULINA BR TUMANGGOR FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT

Lebih terperinci

KOMPOSISI FISIK POTONGAN KOMERSIAL KARKAS DOMBA LOKAL JANTAN DENGAN RASIO PEMBERIAN PAKAN YANG BERBEDA SELAMA DUA BULAN PENGGEMUKAN

KOMPOSISI FISIK POTONGAN KOMERSIAL KARKAS DOMBA LOKAL JANTAN DENGAN RASIO PEMBERIAN PAKAN YANG BERBEDA SELAMA DUA BULAN PENGGEMUKAN KOMPOSISI FISIK POTONGAN KOMERSIAL KARKAS DOMBA LOKAL JANTAN DENGAN RASIO PEMBERIAN PAKAN YANG BERBEDA SELAMA DUA BULAN PENGGEMUKAN SKRIPSI NURMALASARI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS

Lebih terperinci

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Tempat Penelitian 4.1.1. Sejarah UPTD BPPTD Margawati Garut Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba atau disingkat UPTD BPPTD yaitu

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Laboratorium Kimia untuk pembuatan ekstrak Myrmecodia pendens Merr. &

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Laboratorium Kimia untuk pembuatan ekstrak Myrmecodia pendens Merr. & 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1. Tempat Penelitian BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi untuk pengaklimatisasian hewan uji serta

Lebih terperinci

METODE. Materi. Pakan Pakan yang diberikan selama pemeliharaan yaitu rumput Brachiaria humidicola, kulit ubi jalar dan konsentrat.

METODE. Materi. Pakan Pakan yang diberikan selama pemeliharaan yaitu rumput Brachiaria humidicola, kulit ubi jalar dan konsentrat. METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapangan IPT Ruminansia Kecil serta Laboratorium IPT Ruminansia Besar, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. ayam broiler terhadap kadar protein, lemak dan bobot telur ayam arab ini bersifat

BAB III METODE PENELITIAN. ayam broiler terhadap kadar protein, lemak dan bobot telur ayam arab ini bersifat BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Percobaan Penelitian tentang peran pemberian metionin dan linoleat pada tepung kaki ayam broiler terhadap kadar protein, lemak dan bobot telur ayam arab

Lebih terperinci

KAJIAN PUSTAKA. (Ovis amon) yang berasal dari Asia Tenggara, serta Urial (Ovis vignei) yang

KAJIAN PUSTAKA. (Ovis amon) yang berasal dari Asia Tenggara, serta Urial (Ovis vignei) yang II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Asal-Usul dan Klasifikasi Domba Domba yang dijumpai saat ini merupakan hasil domestikasi yang dilakukan manusia. Pada awalnya domba diturunkan dari 3 jenis domba liar, yaitu Mouflon

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Sapi Penggolongan sapi ke dalam suatu Genera berdasarkan pada persamaan karakteristik yang dimilikinya. Karakteristik yang dimiliki tersebut akan diturunkan ke generasi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2009 hingga Februari 2010. Penelitian dilakukan di kandang pemeliharaan hewan coba Fakultas Kedokteran Hewan Institut

Lebih terperinci

PENGUJIAN TOKSISITAS AKUT LETHAL DOSE 50 (LD50) EKSTRAK ETANOL BUAH BELIMBING WULUH ( Averrhoa bilimbi L.) PADA MENCIT (Mus musculus albinus)

PENGUJIAN TOKSISITAS AKUT LETHAL DOSE 50 (LD50) EKSTRAK ETANOL BUAH BELIMBING WULUH ( Averrhoa bilimbi L.) PADA MENCIT (Mus musculus albinus) PENGUJIAN TOKSISITAS AKUT LETHAL DOSE 50 (LD50) EKSTRAK ETANOL BUAH BELIMBING WULUH ( Averrhoa bilimbi L.) PADA MENCIT (Mus musculus albinus) Raden Enen Rosi Manggung FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT

Lebih terperinci

GAMBARAN KLINIS SAPI BALI YANG TERINFEKSI. CACING Fasciola spp SKRIPSI

GAMBARAN KLINIS SAPI BALI YANG TERINFEKSI. CACING Fasciola spp SKRIPSI GAMBARAN KLINIS SAPI BALI YANG TERINFEKSI CACING Fasciola spp SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas Tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai GelarSarjanaKedokteranHewan Diajukan Oleh EkaWidyana

Lebih terperinci

Kata kunci: Fascioliosis, total eritrosit, kadar hemoglobin,pakced cell voleme, Sapi Bali

Kata kunci: Fascioliosis, total eritrosit, kadar hemoglobin,pakced cell voleme, Sapi Bali ABSTRAK Fascioliosis pada sapi di Indonesia disebabkan oleh cacing Fasciola gigantica yang berpredileksi di saluran empedu dan hati. Infeksi cacing ini menyebabkan gangguan fungsi hati dan kerusakan saluran

Lebih terperinci

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) BAB II TIJAUAN PUSTAKA A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) Enterobiasis/penyakit cacing kremi adalah infeksi usus pada manusia yang disebabkan oleh cacing E. vermicularis. Enterobiasis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PPI Muara Angke, Jakarta Utara dari bulan Januaribulan Maret 2010. Analisis aspek reproduksi dilakukan di Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh 14 Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2009. Lokasi pengambilan ikan contoh adalah tempat pendaratan ikan (TPI) Palabuhanratu. Analisis contoh dilakukan di Laboratorium Ekobiologi,

Lebih terperinci

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan industri Olahannya sebagai Pakan Ternak PENGARUH PENYAKIT CACING TERHADAP PRODUKTIVITAS

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan industri Olahannya sebagai Pakan Ternak PENGARUH PENYAKIT CACING TERHADAP PRODUKTIVITAS OPTIMALISASI PENGGUNAAN PAKAN BERBASIS LIMBAH SAWIT MELALUI MANAJEMEN PENGENDALIAN NEMATODIASIS DI KALIMANTAN TIMUR WAFIATININGSIH dan NR. BARIROH Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi lokal. Sapi ini tahan terhadap iklim tropis dengan musim kemaraunya (Yulianto

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Mei 2012. Pengamatan berat telur, indeks bentuk telur, kedalaman kantung udara, ketebalan kerabang, berat kerabang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 12,692,213 ekor atau meningkat. sebesar 1,11 persen dibandingkan dengan tahun 2012.

PENDAHULUAN. Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 12,692,213 ekor atau meningkat. sebesar 1,11 persen dibandingkan dengan tahun 2012. I 1.1 Latar Belakang PENDAHULUAN Peternakan puyuh di Indonesia saat ini cukup berkembang, hal ini karena semakin banyaknya usaha peternakan puyuh baik sebagai usaha sampingan maupun usaha utama untuk memenuhi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya protein hewani untuk memenuhi kebutuhan gizi, permintaan masyarakat akan produkproduk peternakan

Lebih terperinci