BAB III STUDI FORMASI NGRAYONG. Analisis biostratigrafi dilakukan dengan mengamati kemunculan awal atau akhir

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III STUDI FORMASI NGRAYONG. Analisis biostratigrafi dilakukan dengan mengamati kemunculan awal atau akhir"

Transkripsi

1 BAB III STUDI FORMASI NGRAYONG 3. 1 Biostratigrafi Analisis biostratigrafi dilakukan dengan mengamati kemunculan awal atau akhir dari suatu fosil foraminifera planktonik, untuk selanjutnya berdasarkan kemunculan awal atau akhir fosil-fosil tersebut akan dikelompokkan zona foraminifera planktonik. Blow (1979) telah membagi-bagi satuan umur geologi ke dalam zona-zona berdasarkan kemunculan awal dan akhir dari suatu foraminifera planktonik yang khas, seperti terlihat pada Tabel Data yang dipergunakan pada analisis biostratigrafi ini adalah data lumpur pemboran, sehingga perlu dilakukan koreksi terlebih dahulu terhadap kemungkinan masuknya fosil-fosil yang berumur lebih muda ke dalam fosil-fosil yang berumur lebih tua. Kemungkinan ini disebabkan karena terjadinya jatuhan sampel di dalam sumur pada saat pengambilan sampel lumpur pemboran. Koreksi dilakukan dengan mengorelasikan titik-titik kemunculan awal atau akhir dari fosil yang sama, antara sumur yang satu dengan yang lain. Berdasarkan tabel rentang umur dari fosil-fosil yang dibuat oleh Blow (1979), korelasi fosil-fosil tersebut harus menunjukkan garis korelasi dari muda ke tua dengan tidak berpotongan. Setelah posisi kemunculan awal atau akhir fosil-fosil tersebut telah tersusun melalui korelasi, maka dapat diasumsikan bahwa fosilfosil yang berada di bawah posisi tersebut adalah hasil jatuhan dan tidak digunakan. Titik kemunculan awal atau akhir dari fosil-fosil foraminifera planktonik yang ditemukan jika dijumpai di semua sumur dapat dijadikan suatu biomarker. Biomarker 19

2 Tabel 3. 1 Pengelompokan zona kisaran umur beserta foraminifera planktonik penunjuknya ( Blow, 1979 dalam Van Gorsel 1988) 20

3 ini dapat dijadikan suatu biodatum pada saat melakukan korelasi, karena dianggap bahwa saat kemunculan awal atau akhir suatu organisme di semua tempat adalah berbarengan. Biomarker tersebut dapat juga diikatkan pada sumur-sumur yang tidak memiliki data biostratigrafi. Pengikatan marker tersebut pada sumur yang tidak memiliki data biostratigrafi dilakukan penelusuran dengan menggunakan data seismik Zona Foraminifera Planktonik Analisis biostratigrafi telah dilakukan terhadap tiga sumur, yaitu Cepu-1, Cepu-5 dan Cepu-6. Analisis biostratigrafi dilakukan pada interval meter untuk sumur Cepu-1, interval meter untuk sumur Cepu-5 dan interval meter untuk sumur Cepu-6, seperti ditampilkan pada Gambar Secara lengkap mengenai analisis biostratigrafi ini ditampilkan pada Lampiran A C. Pada sumur Cepu-2 dan Cepu-4 terdapat pula data hasil penelitian biostratigrafi yang dilakukan terhadap beberapa sampel side wall core, dimana menunjukkan beberapa zona foraminifera planktonik (Lampiran 2 dan 4) yang dapat dipakai untuk membantu melakukan korelasi. Berdasarkan analisis pada sumur Cepu-1, Cepu-5 dan Cepu-6, telah ditentukan lima zona foraminifera planktonik. Korelasi biostratigrafi pada sumur Cepu-1, Cepu-5 dan Cepu-6 ditampilkan pada Gambar Adapun kelima zona tersebut adalah sebagai berikut : Zona Orbulina suturalis Globorotalia peripheroacuta Batas bawah zona ini ditandai oleh kemunculan awal fosil Orbulina suturalis pada kedalaman 1440 meter di sumur Cepu-1 dan batas atas oleh kemunculan awal fosil Globorotalia peripheroacuta pada kedalaman 1823 meter di sumur Cepu-6. 21

4 Keterdapatan fosil Orbulina suturalis dan Globorotalia peripheroacuta di bawah kedalaman tersebut diasumsikan sebagai hasil jatuhan pada saat pengambilan sampel lumpur pemboran. Zona Orbulina suturalis Globorotalia peripheroacuta ini masuk ke dalam zona N9 (Blow, 1979). Di dalam zona ini, dapat ditentukan kemunculan awal fosil Orbulina universa, yaitu pada kedalaman 1430 m di sumur Cepu-1, 1247 m di sumur Cepu-5 dan 2163 m di sumur Cepu-6. Kemunculan awal fosil tersebut dapat dijadikan biodatum untuk mengorelasikan ketiga sumur tersebut. Zona Globorotalia peripheroacuta Globorotalia praefohsi Tedapat pada sumur Cepu-6, dimana ditandai batas bawah oleh kemunculan awal fosil Globorotalia peripheroacuta pada kedalaman 1823 meter dan batas atas oleh kemunculan awal fosil Globorotalia praefohsi pada kedalaman 1703 meter. Sedangkan pada sumur Cepu-5 ditemukan kemunculan awal Globorotalia praefohsi pada kedalaman 1094 meter sebagai batas atas zona ini. Keterdapatan fosil Globorotalia peripheroacuta dan Globorotalia praefohsi di bawah kedalaman tersebut diasumsikan sebagai hasil jatuhan pada saat pengambilan sampel lumpur pemboran. Zona Globorotalia peripheroacuta Globorotalia praefohsi ini masuk ke dalam zona N10 (Blow, 1979). Di dalam zona ini, dapat ditentukan kemunculan awal fosil Sphaeroidinellopsis semminulina kochi, yaitu pada kedalaman 700 m di sumur Cepu-1, 1130 m di sumur Cepu-5 dan 1724 m di sumur Cepu-6. Kemunculan awal fosil tersebut dapat dijadikan biodatum untuk mengorelasikan ketiga sumur tersebut. Zona Globorotalia praefohsi Globorotalia fohsi 22

5 Terdapat pada sumur Cepu-5 dan Cepu-6, dimana ditandai batas bawah oleh kemunculan awal fosil Globorotalia praefohsi pada kedalaman 1094 meter di sumur Cepu-5 serta kedalaman 1703 meter di sumur Cepu-6 dan batas atas oleh kemunculan awal fosil Globorotalia fohsi pada kedalaman 1007 meter di sumur Cepu-5 serta kedalaman 1693 meter di sumur Cepu-6. Keterdapatan fosil Globorotalia praefohsi dan Globorotalia fohsi di bawah kedalaman tersebut diasumsikan sebagai hasil jatuhan pada saat pengambilan sampel lumpur pemboran. Zona Globorotalia praefohsi Globorotalia fohsi ini masuk ke dalam zona N11 (Blow, 1979). Di dalam zona ini, dapat ditentukan kemunculan awal fosil Globorotalia cultrata, yaitu pada kedalaman 580 m di sumur Cepu-1, 1055 m di sumur Cepu-5 dan 1693 m di sumur Cepu-6. Kemunculan awal fosil tersebut dapat dijadikan biodatum untuk mengorelasikan ketiga sumur tersebut. Zona Globorotalia fohsi Sphaeroidinellopsis subdehiscens Terdapat pada sumur Cepu-5 dan Cepu-6, dimana ditandai batas bawah oleh kemunculan awal fosil Globorotalia fohsi pada kedalaman 1007 meter di sumur Cepu-5 serta kedalaman 1693 meter di sumur Cepu-6 dan batas atas oleh kemunculan awal fosil Sphaeroidinellopsis subdehiscens pada kedalaman 890 meter di sumur Cepu-5 serta kedalaman 1613 meter di sumur Cepu-6. Pada sumur Cepu-1 ditemukan kemunculan awal Sphaeroidinellopsis subdehiscens pada kedalaman 420 meter sebagai batas atas Globorotalia fohsi Sphaeroidinellopsis subdehiscens, namun batas bawahnya tidak dapat ditentukan. Keterdapatan fosil Globorotalia fohsi dan Sphaeroidinellopsis subdehiscens di bawah kedalaman tersebut diasumsikan sebagai hasil jatuhan pada saat pengambilan sampel lumpur 23

6 pemboran. Zona Globorotalia fohsi Sphaeroidinellopsis subdehiscens ini masuk ke dalam zona N12 (Blow, 1979). Zona Sphaeroidinellopsis subdehiscens Globigerina nepenthes Terdapat pada sumur Cepu-5, dimana ditandai batas bawah oleh kemunculan awal fosil Sphaeroidinellopsis subdehiscens pada kedalaman 890 meter dan batas atas oleh kemunculan awal fosil Globigerina nepenthes pada kedalaman 687 meter. Pada sumur Cepu-6, batas atas interval penelitian masuk ke dalam zona ini, sedangkan pada sumur Cepu-1 tidak ditemukan fosil Globigerina nepenthes, sehingga batas atas zona ini tidak dapat ditentukan. Keterdapatan fosil Sphaeroidinellopsis subdehiscens dan Globigerina nepenthes di bawah kedalaman tersebut diasumsikan sebagai hasil jatuhan pada saat pengambilan sampel lumpur pemboran. Zona Sphaeroidinellopsis subdehiscens Globigerina nepenthes ini masuk ke dalam zona N13 (Blow, 1979) Biomarker dan Biostratigrafi Formasi Ngrayong Berdasarkan analisis biostratigrafi yang dilakukan pada sumur Cepu-1, Cepu-5 dan Cepu-6, dapat ditentukan tiga biomarker, dimana ketiganya dapat dijumpai di ketiga sumur yang dilakukan analisis biostratigrafi. Ketiga biomarker tersebut adalah sebagai berikut : Kemunculan awal fosil Sphaeroidinellopsis subdehiscens, pada sumur Cepu-1 dijumpai pada kedalaman 420 meter, pada sumur Cepu-5 pada kedalaman 890 meter dan pada sumur Cepu-6 pada kedalaman 1613 meter. Kemunculan awal fosil Sphaeroidinellopsis subdehiscens juga merupakan batas atas dari zona N12. 24

7 Kemunculan awal fosil Globorotalia cultrata, pada sumur Cepu-1 dijumpai pada kedalaman 580 meter, pada sumur Cepu-5 pada kedalaman 1054 meter dan pada sumur Cepu-6 pada kedalaman 1693 meter. Kemunculan awal fosil Globorotalia cultrata berada pada zona N11. Kemunculan awal fosil Sphaeroidinellopsis semminulina kochi, pada sumur Cepu-1 dijumpai pada kedalaman 700 meter, pada sumur Cepu-5 pada kedalaman 1130 meter dan pada sumur Cepu-6 pada kedalaman 1723 meter. Kemunculan awal fosil Sphaeroidinellopsis semminulina kochi berada pada awal N10. Korelasi juga dilakukan terhadap sumur-sumur yang tidak dilakukan analisis biostratigrafi, yaitu sumur Cepu-2, Cepu-3 dan Cepu-4. Biomarker yang ditemukan di sumur Cepu-1, Cepu-5 dan Cepu-6, ditelusuri dengan menggunakan seismik menuju sumur Cepu-2, Cepu-3 dan Cepu-5 (Lampiran D E). Konversi dari satuan waktu ke meter pada masing-masing sumur dilakukan dengan menggunakan kurva waktu kedalaman. Hasil penelusuran biomarker dengan menggunakan seismik ditampilkan pada Tabel Tabel 3. 2 Konversi waktu ke kedalaman marker pada tiap-tiap sumur Sumur Cepu-1 Cepu-2 Cepu-3 Cepu-4 Cepu-5 Cepu-6 Marker Time (ms) Depth (m) Time (ms) Depth (m) Time (ms) Depth (m) Time (ms) Depth (m) Time (ms) Depth (m) Time (ms) Depth (m) Sphs Subdehiscens 158,12 420,00 291, ,54 603,91 223,96 487,15 880,21 890, , ,00 Top Ngrayong 175,99 443,20 291, ,54 603,91 223,96 487,15 880,21 890, , ,00 Gt Cultrata 281,16 580,00 381,94 768,8 406,25 692,03 281,25 539, , , , ,00 Kochi 373,10 700,00 513,89 887,42 479,17 757,90 343,75 619, , , , ,00 Top Tawun 395,87 731,08 527,78 909,99 520,83 810,87 437,50 665, , ,36 25

8 Formation 0.00 GR MSFL ILD RHOB NPHI 0.00 Lithology MD Wonocolo Bulu Ngrayong Tawun Tuban CEPU KETERANGAN : 1-10 ; ; ; o > 100 Deskripsi SRPH, abumuda, gampingan. BTGP, abu muda, pasiran. BTPS, pth abu, psrsdg hls, pemilahan sdg - brk, sudut tg, gmpgn, glaukonit, fosil. BTGP, abu muda, bioklastik, kalkarenit, glaukonit, fosil. BTPS, putih bening, psrhls - sdg, pemilahan sdg, bundar tg suduttg, kuarsa, glaukonit, gampingan. SRPH, abu, gampingan, karbon. BTGP, abu muda, pasiran. BTPS, putih bening, psrhls - sdg, pemilahan sdg, bundar tg sudut tg, glaukonit, pirit. BTGP, abu muda, bioklastik, kalkarenit, glaukonit. SRPH, abu, gampingan BTGP, abu, pasiran, psrhls - sdg. SRPH, abu, gampingan BTGP, abu, pasiran, psrhls - sdg. SRPH, abu, gampingan. BTPS, abu, psrhls, bundar tg, pemilahan baik, gampingan, glaukonit Foraminifera Planktonik Foraminifera Bentonik Gampingan For Bent Pasir Kedalaman Orb universa Gt cultrata Gt menardii Gt acostaensis Biorb bilobata Sphs subdehiscens Sphs smnl kochi Ges subquadratus Orb suturalis Praeorb circularis Cibi praecintus Dentalina sp. Gyro soldanii Nodosaria sp. Uvig asperula Elph crispum Elph macellum Bolivina sp. Anom colligera Ammo beccarii Anom rostrata Bulimina sp. Pyrgo sp. Dorothia bradyana Haplophragimoides sp Bathysiphon sp. Ammobaculites sp. Lepi (N) parva Lepi (N) inflata Cyclo indopacificus Lepi (N) ferreroi Lepi (N) sp. Cycloclypeus eidae Lepi sp. (B. form) Lepi (P) luxurious Lepi (N) sumatrensis Lepi (B. form) acuta Foraminifera Besar Biostratigrafi (Iman, 2008) Fosil Indeks Foraminifera Fosil Indeks Foraminifera Bentonik Planktonik Rasio P/ B (Grimsdale & Markhoven, 1955) Litoral pinggir tengah luar Bathyal atas % Dentalina sp(7%), Gyroidina soldanii(18%), Haplophraginoides sp. Nodosaria sp.(11%), Bolovina sp.(7%) 1% Elphidium crispum 5% 59% 220 o 51% o 61% 240 o Ga. acostaensis 42% Elphidium macellum 7% o 37% 260 o 64% Ga menardii Dentalina sp. 7% Gyroidina soldanii 18% 46% % Gs subquadratus 37% % Nodosaria sp. 11% Dorothia bradyana 4% 39% % 19% Cibicides praecintus (36%), Anomalinela rostrata (5%) Cibicides praecintus 36% Anomalinella rostrata 5% % 16% % 21% % Gyroidina soldanii(12%), Nodosaria sp(18%), Bolivina sp(18%) 18% % 38% % Sphs subdehiscens Cibicides praecintus 55% 37% Elphidium crispum(7%), Elphidium macellum(21%), Anomalinela coligera(7%) % 10% % 24% % 0% % % % 33% 560 0% Ga cultrata 36% 580 0% 19% % 0% % 0% 640 7% 0% 660 0% Sphs semminulina kochi 17% 680 0% 0% 700 4% 9% % 22% % 0% 760 0% 25% % 23% 800 9% 9% % 0% 840 0% 0% 860 0% 33% 880 0% 33% % 25% % 13% % 9% % 33% 980 8% 0% % 0% % 45% % 46% % 18% % 0% % 71% % 17% % 38% % 40% % Zona Kisaran N16 N13 - N15 Cibicides praecintus(20%), Anomalinela rostrata(10%), Pyrgo sp.(10%) Cibicides praecintus 20% Anomalinella rostrata 10% Pyrgo sp. 10% crispum(25%), Elphidium macellum(13%), Anomalinela coligera(13%) Elphidium 25% Elphidium macellum Anomalia coligera 13% Nodosaria sp. 38% Gyroidina soldanii 13% Cibicides praecintus(8%), Anomalinela rostrata(8%), Pyrgo sp.(17%) Cibicides praecintus 8% Anomalinella rostrata 8% Pyrgo sp. 17% Elphidium crispum(32%), Elphidium macellum(11%), Anomalinela coligera(8%) Anomalia coligera 4% Cibicides praecintus 35% Pyrgo sp. 1% Bolivina sp. 7% Bolivina sp. 18% Gyro soldanii 12% Dentalina sp. 24% Nodosaria sp. 18% Elphidium crispum 7% Anomalia coligera 7% Elphidium macellum 21% Ammonia beccarii 10% Elphidium crispum 32% Elphidium macellum 11% Anomalia coligera 8% Cibicides praecintus 20% Anomalinella rostrata 8% 50% % 36% % dwentalina sp.(12%), Gyroidina soldanii(10%), Nodosaria sp(5%), Uvigerina asperula(2%), Bolivina sp(5%), 23% % Bulimina sp.(2%) 43% Praeorbulina glomerosa Dentalina sp. 12% Gyroidina soldanii 10% Nodosaria sp. 5% % circularis 50% % Uvigerina asperula 2% Bulimina sp. 5% Bolivina sp. 2% 42% % 50% % 40% % 50% % 46% % 60% % 56% % Orb suturalis 55% % Biorb bilobata, 29% 1460 Orb universa 48% 67% % 15% Gambar 3. 1 Analisis biostratigrafi dan batimetri pada sumur Cepu-1 (Lemigas, 1990), penyederhanaan dari lampiran A N10 - N12 N8 Pyrgo sp. 3% Dentalina sp. 3% Bolivina sp. 2% Nodosaria sp. 1% Gyroidina soldanii 3% Ammonia beccarii 19%Elphidium crispum 6% Elphidium macellum 3% Cibicides praecintus 44% Nodosaria sp. 9% Bolivina sp. 9% Gyroidina soldanii 6% Ammonia beccarii 13% Haplophraginoides sp. 5% Elphidium crispum 18% Elphidium macellum 5% Anomalia coligera 5% Cibicides praecintus 42% Gyroidina soldanii 3% Nodosaria sp. 3% Bolivina sp. 3% Supralitoral Litoral dalam tengah luar Bathyal atasl Batimetri luar tengah luar Ner tgh dalam tengah dalam tengah dalam tengah luar tengah

9 MDFormation0.00 GR IMPH IDPH RHO B 2.70 Litholog 0.60 NPH I o o 650 LEDOK WONOCOLO 900 BULU TAWUN 1150 CEPU 5 Wonocolo Tawun [ ] Deskripsi BTPS, abu, psrhls -sdg, gmpngn, glaukonit BTGP, pth, pasiran, glaukonit. SRPH, abu, gampingan BTGP, abu muda, pasiran, hls - sgthls, kalsit, glaukonit, foram. BTGP, abumuda, pasiran, hls - sgthls, kalsit, glaukonit, foram. SRPH, abu, gampingan BTGP, abu muda, bioklastik, kalkarenit, glaukonit, fosil. BTLN, abu, gampingan SRPH, abu, gampingan BTLN, abu, gampingan BTLN, abu, gampingan BTLN, abu, gampingan SRPH, abu, gampingan Foraminifera Planktonik Foraminifera Bentonik Kedalaman Orb universa Gt cultrata Ga nephentes Sphs subdehiscens Gt menardii Orb bilobata Sphs smnln kochi Gt peripheroacuta Gt fohsi robusta Gt prafohsi Gt fohsi fohsi Gt peripheroronda Gt fohsi lobata Nodosaria sp. Elphidium sp. Melonispampiloides Eponides umbonatus Anomalina sp. Sigmoilopsis schlumb Bolivina sp. Pyrgo sp. Bulimina sp. Dentalina sp. Eponides sp. Gyroidina soldanii Cassidulina sp. Haplophagnoides sp. Hoeglundina elegans Amphistegina lessonii Ammonia becearii Bathysiphon sp. Cyclamina cancelata Lepidocyclina sp. Buliminella sp. Ammobaculites sp. 600 o o o o 610 o o o 620 o o o o o 630 o o o 640 o o o 650 o o 660 o o o 670 o o o 680 o o o o 687 o o o 694 o o o o 700 o o 707 o o 714 o 720 o o 730 o 740 o 750 o o o 760 o o 770 o o 780 o o 790 o o o 820 o 830 o 840 o o 850 o o 860 o 870 o o 880 o 890 o o 900 o o o o o 910 o o o 920 o o o o o 930 o o o o o o 940 o o o o o 947 o o o o o o 954 o o o o o 960 o o o o o 967 o o o o o 974 o o o o o o o o o 980 o o o o o 990 o o o o o 1000 o o o o o 1007 o o o o o o 1014 o o o o 1020 o o o 1027 o o o 1034 o o o o 1040 o o o o 1047 o o o 1054 o o o 1060 o o o 1065 o o o 1070 o o o 1075 o o o o 1080 o 1087 o o o 1094 o o 1100 o o o 1110 o o o 1120 o o o 1130 o o 1140 o o 1150 o 1160 o o Globigerina nepenthes Foraminifera Planktonik Globorotalia menardii Gs. subguadrat us; Gt. mayeri; Gt. peripheroacuta; Gt. praemenardii Globorotalia fohsi robusta Globorotalia praefohsi Globorotalia fohsi fohsi Sphaerodinellopsis subdehiscens Globorotalia pepheroronda Globorotalia Fohsi Globigerina decoraperta Globorotalia fohsi robusta, Globorotalia fohsi fohsi Globorotalia cultrata Globorotalia praefohsi Sphaeroidinellopsis semminulina kochi Zona Kisaran N14 - N15 N13 N 12 N 11 Rasio P/ B (Grimsdale & Markhoven, 1955) Biostratigrafi (Iman 2008) Foraminifera Bentonik Litoral pinggir tengah luar Bathyal atas Ammonia becearii 1% Anomalina sp. 1% Amphistegina lessonii 4% Nodosaria sp. 6% Eponides umbonatus 14% Sigmoilopsis schlumbergerii 8% Gyroidina soldanii 13% Hoeglundina elegans 4% Cyclamina cancelata 42% Ammonia becearii 1% Elphidium sp. 15% Anomalina sp. 3% Eponides sp. 1% Amphistegina lessonii 1% Nodosaria sp. 23% Eponides umbonatus 1% Bolivina sp. 29% Dentalina sp. 4% Melonispampiloides 1% Gyroidina soldanii 1% Hoeglundina elegans 1% Sigmoilopsis schlumbergerii 5% Cyclamina cancelata 13% Bathysiphon sp. 4% Cyclamina cancelata 38% Sigmoilopsis schlumbergerii 13% 13% Nodosaria sp. 25% Epononides umbonatus Haplophagnoides sp. 13% Anomalina sp. 17% Nodosaria sp. 17% Sigmoilopsis schlumbergerii 17% Melonispampiloides 13% Cyclamina cancelata 13% Gyroidina soldanii 13% Pyrgo sp. 1% Haplophagnoides sp. 4% Anomalina sp. 9% Amphistegina lessonii 5% sp. 5% Bolivina sp. Lepidocyclina 1% Eponides umbonatus 7% Nodosaria sp. 28% Dentalina sp. 10% Gyroidina soldanii 4% Melonispampiloides 8% Cyclamina cancelata 8% Sigmoilopsis schlumbergerii 9% Bathysiphon sp. 4% Ammonia becearii 1% Ammobaculites Haplophagnoides sp. 7% sp. 2% Buliminella sp. 1% Anomalina 7% sp. 8% Pyrgo sp. Eponides sp. 3% Amphistegina lessonii 2% Lepidocyclina sp. 3% Nodosaria sp. 13% Eponides umbonatus 5% Bolivina sp. 2% Bulimina sp. 1% Dentalina sp. 7% Melonispampiloides 5% Sigmoilopsis schlumbergerii 9% Gyroidina soldanii 6% Cyclamina cancelata 9% Bathysiphon sp. 9% Sublitoral Litoral pinggir tengah luar Bathyal atas Batimetri Bathyal atas luar Bathyal atas luar Bathyal atas luar Bathyal atas BTLN, abu, gampingan BTGP, abu muda, pasiran, glaukonit. KETERANGAN : 1 ; 2-3 ; 4-10 ; o o o 1190 o 1200 o 1210 o 1220 o 1230 o o 1240 o 1247 o 1254 o 1260 o 1267 o 1274 o 1280 o 1285 o 1290 o 1295 o 1300 o Orbulina universa, Biorbulina bilobata Gambar 3. 2 Analisis biostratigrafi dan batimetri pada sumur Cepu-5 (Lemigas, 2003), penyederhanaan dari lampiran B N 8 - N 10 TAWUN

10 Formation 0.00 GR MSF L LLD LLS Lithology MD Wonocolo CEPU-6 Deskripsi SERPIH, abu, gampingan NAPAL, abu, gampingan BATULANAU, abu, gampingan BATULANAU, abu, gampingan SERPIH, abu, gampingan Foraminifera Planktonik Foram bentonik gampingan Bentonik Pasiran Kedalaman (m) Globorotalia menardi Orbulina universa Sphs semminulina ko Sphs subdehiscens Globorotalia cultrata Biorbulina bilobata Gt peripheroacuta Gs subquadratus Globorotalia praefohs Gt praemenardii Globorotalia fohsi Gt peripheroronda Cibicides praecinctus Ammonia beccarii Elphidium sp Elphidium adventum Bolivina sp Lenticulina spp Elphidium crispum Hoeglundina elegans Pseudorotalia gaimard Uvigerina asperula Elphidium macellum Nodosaria spp Anomalia colligera Anomalia sp Uvigerina schwageri Gyroidina soldanii Dentalina sp Bulimina sp Anomalinella ostrata Pyrgo sp Sigmoilopsis schlumbe Cyclammina cancellata Haplophragmoides sp Trochammina sp Bathysiphon sp 1401 o 1413 o 1423 o 1433 o 1443 o 1453 o 1463 o 1473 o 1483 o 1493 o 1503 o 1513 o o o o Fosil Indeks Foraminifera Planktonik Gs. Subquadratus; Gt. Praemenardii Glloborotalia praefohsi Globorotalia menardii Sphs subdehiscens Gt. peripheroronda o 1693 Gt. fohsi, Gt. cultrata 1703 Gt. praefohsi Sphs semminulina kochi 1743 Zona Kisaran N 13 N 12 Rasio P/ B (Grimsdale & Markhoven, 1955) Litoral pinggir Biostratigrafi (Iman, 2008) tengah luar Bathyal atas Fosil IndeksForaminifera Bentonik Uvigerina asperula 8% Nodosaria spp 31% Cyclammina cancellata 38% Bolivina sp 4% Lenticulina spp 28% Nodosaria spp 24% Dentalina sp 4% Uvigerina asperula 4% Gyroidina soldanii 8% Uvigerina schwageri 4% Uvigerina schwageri 11% Gyroidina soldanii 11% Cycl cancellata 11% Haplophragmoides sp 15% Anomalia colligera 5% Lenticulina spp 35% Nodosaria spp 30% Dentalina sp 5% Bulimina sp 3% Gyroidina soldanii 3% Cyclammina cancellata 3% Haplophragmoides sp 3% Trochammina sp 8% Cibicides praecinctus 8% Dentalina sp 3% Bolivina sp 13% Lenticulina spp 8% Nodosaria spp 8% Hoeglundina elegans 13% Cyclamina cancellata 15% Gyro soldanii 38% Bolivina sp 10% Lenticulina spp 20% Bulimina sp 10% Dentalina sp 10% Sublitoral Litoral pinggir tengah luar Bathyal atas Batimetri Bathyal atas luar Bathyal atas luar Bathyal atas luar 1763 N Haplophragmoides sp 15% Anomalia colligera 7% Anomalia sp 4% 1800 SERPIH, abu, gampingan g o Gt. Peripheroacuta Lenticulina spp 7% Uvigerina asperula 4% Nodosaria spp 4% Dentalina sp 7% Uvigerina schwageri 15% Gyroidina soldanii 7% Cyclammina cancellata 30% Bathyal atas 1900 Tawun BATULANAU, abu, gampingan Gs. Diminutus Haplophragmoides sp 5% Uvigerina asperula 20% Dentalina sp 20% Nodosaria spp 50% Bulimina sp 5% luar 1963 SERPIH, abu, gampingan SERPIH, abu, gampingan o o Orbulina universa Biorbulina bilobata N 8 N9 Haplophragmoides sp 14% Trochammina sp 1% Elphidium sp 1% Anomalia colligera 1% Cibicides praecinctus 13% Dentalina sp 2% Bolivina sp 2% Lenticulina spp 4% Nodosaria spp 5% Bulimina sp 1% Uvigerina asperula 5% Uvigerina schwageri 22% Gyroidina soldanii 23% Cyclamina cancellata 7% Bathyal atas KETERANGAN : 1-4 ; 5-10 ; ; o ; x Gambar 3. 3 Analisis biostratigrafi dan batimetri pada sumur Cepu-6 (Lemigas, 2000), penyederhanaan dari lampiran C

11 s a MD 390 BNGP1 [MD] Formation 0.00 GR Lithology 0.20 MSFL ILD RHOB NPHI 0.00 Age 0.00 Grafik Batimetri Grafik Batimetri 6.00 MD 860 MTSP1 [MD] Formation 0.00 GR Lithology 0.20 IMPH IDPH RHOB NPHI 0.00 Age 0.00 Grafik Batimetri Grafik Batimetri 6.00 MD 1583 i KTBP1 [MD] Formation 0.00 GR Lithology 0.20 MSFL LLD LLS RHOB NPHI 0.00 Age 0.00 Grafik Batimetri Grafik Batimetri N10 - N12 Ngrayong Bulu Wonoc N13 N N15N N8 - N10 Tawun Bulu Wonocolo WONOCOLO Tawun N10 N12 N13 Sp Gt. Gt. Cu Gt. Ko TAWUN NGRAYONG BULU WONOCOLO N N 1 2 Pinggir Tengah Pinggir Tengah Pinggir Luar N 8 - N 1 0 TAWUN BULU N N111 1 N12N 1 2 N13N 1 3 Bathyal Atas Luar Bathyal Atas N 8 - N 9 TAWUN N 1 0 N 1 2 N

12 3. 2 Litostratigrafi Berdasarkan pengamatan interval Formasi Ngrayong pada sumur-sumur di daerah penelitian, Formasi Ngrayong tersusun atas litologi batupasir, batugamping dan serpih, dimana dibatasi pada bagian atas oleh kontak dengan batugamping Formasi Bulu dan pada bagian oleh kontak dengan batugamping Formasi Tawun. Batugamping Formasi Bulu tersusun atas batugamping putih, bioklastik, berjenis kalkarenit dan mengandung fosil foraminifera, sedangkan batugamping Formasi Tawun tersusun atas batugamping berwarna abumuda, bioklastik, berjenis kalkarenit dan mengandung fosil foraminifera. Dari enam sumur yang terdapat pada daerah penelitian (Gambar 3. 5) hanya empat sumur yang berkembang Formasi Ngrayong, yaitu pada sumur Cepu-1, Cepu-2, Cepu-3 dan Cepu-4. Pada sumur Cepu-5 dan Cepu-6 tidak berkembang endapan batupasir sehingga dapat disimpulkan Formasi Ngrayong pada sumur tersebut tidak berkembang. Setelah pengendapan Formasi Tawun langsung diendapkan diatasnya Formasi Bulu. Secara lengkap, kolom stratigrafi sumur Cepu-1, Cepu-2, Cepu-3, Cepu- 4, Cepu-5 dan Cepu-6 ditampilkan pada Lampiran 1-6. Analisis petrografi dilakukan pada sampel di sumur Cepu-3, interval dari sampel yang dilakukan analisis petrografi dapat dilihat pada Lampiran 3, sedangkan secara lengkap mengenai hasil analisis petrografi dapat dilihat pada Lampiran Pengambilan sampel batuan inti dilakukan pada sumur Cepu-2 di interval meter, deskripsi sampel batuan inti ditampilkan pada Lampiran 7. 30

13 Gambar 3. 5 Peta dasar daerah penelitian, menampilkan posisi sumur dan lintasan seismik Fasies Formasi Ngrayong Fasies adalah tubuh batuan yang secara koposisi fisik, kimia dan biologi dapat dibedakan dengan sekitarnya (Walker, 1992). Pada penelitian ini, analisis fasies dilakukan dengan menggunakan data deskripsi lumpur pemboran dari setiap sumur di daerah penelitian dan didukung oleh data biostratigrafi. Setelah dilakukan analisis fasies pada setiap sumur, selanjutnya dilakukan korelasi fasies antar sumur untuk pengetahui bagaimana penyebarannya pada daerah penelitian. Berdasarkan deskripsi lumpur pemboran, Formasi Ngrayong di daerah penelitian terdiri dari tiga kelompok fasies, yaitu : a. Fasies batupasir b. Fasies batugamping 31

14 c. Fasies serpih Fasies batupasir Formasi Ngrayong terdiri dari batupasir berwarna putih, berukuran pasir halus sedang, pemilahan sedang, kebundaran menyudut tanggung - membundar tanggung, mengandung kuarsa serta gampingan. Berdasarkan analisis petrografi yang dilakukan oleh Lemigas (1993) pada sumur Cepu-2, batupasir Formasi Ngrayong termasuk batupasir subarkose. Butiran batupasir berukuran halus (0,13 0,18 mm), pemilahan sedang, kebundaran menyudut tanggung membulat tanggung. Butiran batupasir didominasi oleh butiran kuarsa monokristalin (39 44%) dan feldspar (5 7%), sisanya terdiri dari fragmen batuan dan pecahan cangkang foraminifera. Matrik terdiri dari serpih (3 16%), sedangkan semen tersusun atas lempung autogenik, pirit, silika dan karbonat. Fasies batugamping Formasi Ngrayong terdiri dari batugamping berwarna abumuda, pasiran dengan ukuran halus - sedang, bentuk butir membulat tanggung, pemilahan baik dan mengandung kalsir. Berdasarkan analisis petrografi yang dilakukan oleh Lemigas pada sumur Cepu- 2, batugamping Formasi Ngrayong termasuk batugamping packstone grainstone. Batugamping packstone tersusun atas butiran foraminifera besar Lepidocyclina sp. (48 67%), mengandung butiran kuarsa monokristalin (5-16%) dan feldspar (1-5%). Matriks tersusun atas lempung karbonat (2-5%), serta semen tersusun atas pirit (2-5%) dan siderit (5%). Butiran berukuran 0,08 0,12 mm dan 1 3 mm untuk butiran foraminifera, pemilahan sedang, kebundaran menyudut tanggung membundar tanggung. Batugamping grainstone tersusun atas butiran foraminifera besar Lepidocyclina sp. (51%), foraminifera bentonik (6%), foraminifera planktonik (1%), alga merah 32

15 (10%), echinoid (<1%), mengandung kuarsa monokristalin berbutir halus (9%), feldspar (3%) dan fragmen batuan (<1%). Semen tersusun atas pirit (1%). Butiran berukuran 2 3 mm, pemilahan sedang, kebundaran membundar tanggung. Fasies serpih Formasi Ngrayong terdiri dari serpih berwarna abu dan gampingan. Berdasarkan analisis petrografi yang dilakukan oleh Lemigas pada sumur Cepu-2, serpih Formasi Ngrayong tersusun atas matriks berukuran lempung (65%), mengandung butiran globigerinida (12%), bivalve (8%), kuarsa monokristalin dan feldspar (8%) Distribusi Penyebaran Formasi Ngrayong Dari keenam sumur yang berada di daerah penelitian, Formasi Ngrayong paling tebal berada di sumur yang paling utara, yaitu sumur Cepu-1 dengan tebal 288 meter, ini dimungkinkan karena sumur Cepu-1 paling dekat dengan sumber material dari Formasi Ngrayong yang berada di utara. Semakin ke selatan, ketebalan Formasi Ngrayong semakin menipis. Formasi Ngrayong mempunyai ketebalan 222 meter di sumur Cepu-2, 195 meter di sumur Cepu-3 dan 167 meter di sumur Cepu-4. Pada sumur Cepu-5 dan Cepu-6 tidak dijumpai Formasi Ngrayong. Penampang berarah utara selatan (Gambar 3. 6), dengan marker Sphaeroidinellopsis subdehiscens disejajarkan, menunjukkan bahwa interval Formasi Ngrayong semakin ke selatan semakin menipis. Setelah sumur Cepu-3, endapan batupasir dan batugamping Formasi Ngrayong menghilang, berubah menjadi endapan batulanau dan serpih pada sumur Cepu-6. Adanya sesar-sesar naik, seperti yang terlihat pada penampang seismik arah utara selatan (Lampiran D), tidak terlalu memberikan pengaruh terhadap perubahan ketebalan Formasi Ngrayong yang semakin tipis ke arah selatan. Penipisan Formasi Ngrayong ke arah selatan lebih diakibatkan oleh semakin 33

16 sedikitnya suplai sedimen kasar yang bisa menjangkau bagian selatan daerah penelitian. Penampang berarah barat timur (Gambar 3. 7), dengan marker Sphaeroidinellopsis subdehiscens disejajarkan, menampakkan variasi ketebalan Formasi Ngrayong yang berubah-ubah. Gambar 3. 8 menunjukkan peta struktur waktu Formasi Ngrayong dan pola-pola sesar yang berada di daerah penelitian. Sesar-sesar yang berkembang di daerah penelitian adalah sesar naik relatif berarah barat-timur, dimana sesar-sesar tersebut memberikan pengaruh terhadap ketebalan yang berubah-ubah dari Formasi Ngrayong pada sumur-sumur tersebut. Penampang seismik arah barat timur (Lampiran E) menunjukkan pengaruh dari sesar-sesar naik yang berkembang terhadap ketebalan Formasi Ngrayong pada sumur Cepu-5, Cepu-4, Cepu-2 dan Cepu-3. 34

17

18

19 Gambar 3. 8 Pola-pola sesar di daerah penelitian, dengan dilewati lintasan penampang seismik (Pertamina, 2007) 3. 3 Batimetri dan Lingkungan Pengendapan Penentuan zona batimetri ditentukan berdasarkan keberadaan fosil-fosil foraminifera bentonik yang menjadi penunjuk masing-masing zona dengan mempertimbangkan pula nilai rasio fosil foraminifera planktonik bentonik. Penentuan zona batimetri mengacu pada pembagian zona batimetri berdasarkan modifikasi Tipsword (1996) dan Ingle (1980), seperti yang terlihat pada Gambar

20 Perhitungan rasio fosil foraminifera planktonik bentonik dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut ΣP Rasio P/ B = 100% ΣP + ΣB P = Jumlah populasi fosil foraminifera planktonik B = Jumlah populasi fosil foraminifera bentonik Gambar 3. 9 Pembagian zona batimetri beserta kedalamannya, modifikasi Tipsword (1996) dan Ingle (1980) 38

21 Analisis zona batimetri telah dilakukan pada sumur Cepu-1, Cepu-5 dan Cepu-6. Pada sumur Cepu-2 dan Cepu-4 terdapat pula data hasil penelitian zona batimetri yang dilakukan terhadap beberapa sampel side wall core (Lampiran 2 dan 4). Korelasi zona batimetri pada sumur Cepu-1, Cepu-5 dan Cepu-6 ditampilkan pada Gambar Berdasarkan analisis batimetri, Formasi Ngrayong pada sumur Cepu-1 diendapkan pada lingkungan neritik pinggir neritik tengah dengan rasio foraminifera planktonik bentonik berkisar 0 36% (Lampiran 1), pada sumur Cepu-2 diendapkan pada lingkungan neritik pinggir neritik (Lampiran 2) dan pada sumur Cepu-4 diendapkan pada lingkungan neritik tengah neritik luar (Lampiran 4). Pada sumur Cepu-3 tidak dilakukan analisis foraminifera, namun berdasarkan analisis terhadap batuan inti pada interval meter didapat kesimpulan bahwa interval tersebut diendapkan pada lingkungan paparan (Lampiran 7). Pada sumur Cepu-5 dan Cepu-6 tidak berkembang Formasi Ngrayong, namun pada interval N12 N9 diendapkan pada lingkungan neritik luar - bathyal atas dengan rasio planktonik 45 88% (Lampiran 5 dan 6). Secara umum Formasi Ngrayong diendapkan pada lingkungan paparan. Pengendapan Formasi Ngrayong ditafsirkan berhenti pada lingkungan paparan m atau zona neritik luar, setelah itu berkembang endapan batulanau dan serpih Formasi Tawun hingga lingkungan bathyal (Gambar 3. 11). Pada sumur Cepu-1, Formasi Ngrayong diendapkan pada lingkungan neritik pinggir atau sekitar 5 20 meter, kemudian berangsur-angsur ke selatan, lingkungan pengendapan Formasi Ngrayong menjadi semakin dalam, yaitu mencapai neritik tengah atau meter pada sumur Cepu-2 dan mencapai neritik luar atau meter pada sumur Cepu-4. 39

22 s a MD 390 Formation 0.00 GR Lithology 0.20 MSFL ILD RHOB NPHI 0.00 i Sphs Subdehiscens Gt. Cultrata Sphs kochi BNGP1 [MD] Age 0.00 Grafik Batimetri Grafik Batimetri 6.00 MD 860 MTSP1 [MD] Formation 0.00 GR Lithology 0.20 IMPH IDPH RHOB NPHI 0.00 Age 0.00 Grafik Batimetri Grafik Batimetri 6.00 MD 1583 KTBP1 [MD] Formation 0.00 GR Lithology 0.20 MSFL RHOB 2.70 Age 0.20 LLD NPHI LLS Grafik Batimetri Grafik Batimetri 6.00 Sp Gt. Gt. Cu Gt. Ko Sphs kochi Gt. Cultrata Sphs Subdehiscens N10 - N12 Ngrayong Bulu Wonoc TAWUN NGRAYONG BULU WONOCOLO N N 1 2 N13 N N15N 1 5 Pinggir Tengah Pinggir Tengah Pinggir Luar N8 - N10 N 8 - N 1 0 Tawun Bulu TAWUN BULU N N111 1 N12N 1 2 Wonocolo WONOCOLO N13N 1 3 Bathyal Atas Luar Bathyal Atas Tawun N 8 - N 9 TAWUN N10 N 1 0 N12 N 1 2 N13 N 1 3 Luar Bathyal Atas Bathyal Atas Luar Luar 40

23 Perhitungan rasio batupasir serpih dilakukan pada interval Formasi Ngrayong, sumur Cepu-1 menunjukkan nilai rasio batupasir serpih 47%, Cepu-2 menunjukkan nilai rasio batupasir serpih 32 %, Cepu-3 menunjukkan nilai rasio batupasir serpih 14 % dan Cepu-4 menunjukkan nilai rasio batupasir serpih 29 %. Pada sumur Cepu-5 dan 6 masing-masing menunjukkan nilai rasio batupasir serpih 0 %, karena pada sumur-sumur tersebut tidak berkembang Formasi Ngrayong. Berdasarkan nilai-nilai tersebut, terlihat bahwa rasio batupasir serpih semakin menurun seiring dengan perubahan zona batimetri ke arah yang lebih dalam. Kaitan antara nilai rasio batupasir serpih dengan perubahan batimetri ditampilkan pada Gambar Percampuran fosil foraminifera planktonik pada sumur Cepu-1, dimana terdapat fosil laut dalam, menunjukkan adanya suatu proses pengendapan tertentu yang membawa fosil-fosil dari laut yang lebih dalam ke zona yang lebih dangkal. Pada sumur Cepu-1, hasil analisis batimetri menunjukkan lingkungan paling dangkal adalah neritik pinggir, yaitu pada interval kedalaman m, m dan m. Ketiga interval tersebut didominasi oleh fosil-fosil penunjuk zona neritik pinggir, namun terdapat pula fosil-fosil penunjuk zona neritik luar. Perbandingan jumlah fosilfosil tersebut ditampilkan pada Tabel

24 Gambar Overlay nilai rasio batupasir serpih dalam persen (kontur) dengan lingkungan batimetri (warna) pada Formasi Ngrayong di daerah Cepu 42

25 Tabel 3. 3 Perbandingan fosil-fosil penunjuk neritik pinggir dengan fosil-fosil penunjuk neritik luar pada interval zona batimetri neritik pinggir di sumur Cepu-1 Fosil Lingkungan m m m Ammonia becarii Litoral 10% 10% 10% 10% Elphidium crispum 7% 25% 32% Elphidium macellum pinggir 21% 35% 13% 51% 11% 51% Anomalia coligera 7% 13% 8% Cibicides praecintus 28% 20% Anomalinella rostrata tengah 7% 35% 8% 31% Pyrgo sp. 3% Dentalina sp. 3% 3% Gyroidina soldanii 3% 13% 3% luar 19% 51% Nodosaria sp. 3% 38% 1% 9% Bolivina sp. 10% 2% Pada interval m, fosil penunjuk neritik pinggir mendominasi dengan 35 % dari jumlah keseluruhan dengan keragaman 3 spesies, sedangkan fosil penunjuk neritik luar hanya 19 % dari jumlah keseluruhan. Pada interval m, fosil penunjuk neritik pinggir mendominasi dengan 51 % dari jumlah keseluruhan dengan keragaman 3 spesies, sedangkan fosil penunjuk neritik luar hanya 51 % dari jumlah keseluruhan dengan keragaman 2 spesies. Pada interval m, fosil penunjuk neritik pinggir mendominasi dengan 51 % dari jumlah keseluruhan dengan keragaman 3 spesies, sedangkan fosil penunjuk neritik luar hanya 9 % dari jumlah keseluruhan. Dominasi fosil laut dangkal terhadap fosil laut dalam pada sumur Cepu-1 mengindikasikan bahwa telah terjadi proses badai pada pengendapan Formasi Ngrayong. Hasil analisis petrografi dari sumur Cepu-2 pada sampel batupasir ikut memperkuat indikasi bahwa Formasi Ngrayong pada lingkungan paparan ini dipengaruhi oleh proses badai. Pemilahan sedang, terdapatnya pecahan-pecahan 43

26 cangkang foraminifera besar serta komposisi matrik yang lebih besar dari 15 % menunjukkan bahwa batupasir Formasi Ngrayong di lingkungan paparan ini dipengaruhi oleh suatu arus yang dapat mencampur adukkan komponen-komponen itu semua, arus yang dimaksud diinterpretasikan sebagai arus badai. Sedangkan pada sumur Cepu-5 dan Cepu-6, dimana secara biostratigrafi setara dengan Formasi Ngrayong di sumur Cepu-1 (N12 N9), endapan diendapkan pada lingkungan bathyal atas dengan dominasi fosil-fosil laut dalam. Interval batimetri bathyal atas pada sumur Cepu-5 ada pada m, sedangkan pada sumur Cepu-6 ada pada m, m dan m. Perbandingan jumlah fosilfosil tersebut pada sumur Cepu-5 dan Cepu-6 ditampilkan pada Tabel 3. 4 dan Pada sumur Cepu-5 interval m, fosil penunjuk bathyal atas mendominasi dengan 29 % dari jumlah keseluruhan, sedangkan fosil penunjuk litoral hanya 10 % dari jumlah keseluruhan. Pada sumur Cepu-6 interval m, fosil penunjuk bathyal atas mendominasi dengan 66 % adri jumlah keseluruhan, sedangkan fosil penunjuk litoral hanya 11 % dari jumlah keseluruhan. Pada sumur Cepu-6 interval m, fosil penunjuk bathyal atas mendominasi dengan 52 % adri jumlah keseluruhan, sedangkan fosil penunjuk litoral hanya 15 % dari jumlah keseluruhan. Pada sumur Cepu-6 interval m, fosil penunjuk bathyal atas mendominasi dengan 52 % adri jumlah keseluruhan, sedangkan fosil penunjuk litoral hanya 16 % dari jumlah keseluruhan. Adanya fosil-fosil laut dangkal yang bercampur dengan fosil-fosil laut dalam tersebut, mengindikasikan telah terjadi proses turbidit pada saat pengendapannya. Walaupun secara biostratigrafi, umur endapan bathyal atas tersebut sama dengan umur Formasi Ngrayong yang terdapat di sumur Cepu-1 (N12 N9), namun secara litologi 44

27 tidak dapat disamakan dengan Formasi Ngrayong. Endapan bathyal atas tersebut masuk ke dalam Formasi Tawun. Tabel 3. 4 Perbandingan fosil-fosil penunjuk bathyal atas dengan fosil-fosil penunjuk litoral pada interval zona batimetri neritik pinggir di sumur Cepu-5 Fosil Lingkungan m Haplophagnoides sp. 7% Ammonia becarii Litoral 1% 10% Ammobaculites sp. 2% Anomalia sp. 8% Pyrgo sp. 7% Eponides sp. 3% tengah Amphistegina lesonii 2% 24% Lepidocyclina sp. 3% Buliminella sp. 1% Nodosaria sp. 13% Eponides umbonatus 5% Bolivina sp. luar 2% 28% Bulimina sp. 1% Dentalina sp. 7% Melonispampiloides sp. 5% Sigmoilopsis schlumbergerii 9% Bathyal atas Gyroidina soldanii 6% 29% Cyclamina cancelata 9% Bathysiphon sp. Bathyal bawah 9% 9% 45

28 Tabel 3. 5 Perbandingan fosil-fosil penunjuk bathyal atas dengan fosil-fosil penunjuk litoral pada interval zona batimetri neritik pinggir di sumur Cepu-6 Fosil Lingkungan m m m Haplophagnoides sp. 3% 15% 14% Trochammina sp. Litoral 8% 11% 15% 1% 16% Elphidium sp. 1% Anomalia coligera pinggir 7% 7% 1% 1% Anomalia sp. 4% tengah 8% 4% Cibicides praecintus 8% 13% 13% Lenticulina sp. 8% 7% 4% Uvigerina asperula 4% 5% Nodosaria sp. 8% 4% 5% luar 32% 22% Dentalina sp. 3% 7% 16% Bolivina sp. 13% Bulimina sp. 2% Uvigerina schwageri 15% 22% Hoeglundina elegans 13% Bathyal atas 66% 52% Cyclamina cancelata 15% 30% 7% 52% Gyroidina soldanii 38% 7% 23% 46

Adanya cangkang-cangkang mikro moluska laut yang ditemukan pada sampel dari lokasi SD9 dan NG11, menunjukkan lingkungan dangkal dekat pantai.

Adanya cangkang-cangkang mikro moluska laut yang ditemukan pada sampel dari lokasi SD9 dan NG11, menunjukkan lingkungan dangkal dekat pantai. BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.2.2.3 Umur Berdasarkan data analisis mikrofosil pada sampel yang diambil dari lokasi BG4 (Lampiran B), spesies-spesies yang ditemukan antara lain adalah Globigerinoides

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Subjek penelitian adalah studi biostratigrafi dan lingkungan pengendapan

BAB I PENDAHULUAN. Subjek penelitian adalah studi biostratigrafi dan lingkungan pengendapan BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Subjek dan Objek Penelitian Subjek penelitian adalah studi biostratigrafi dan lingkungan pengendapan Formasi Ngrayong di daerah Cepu (Gambar 1. 1). Penelitian meliputi definisi Formasi

Lebih terperinci

Subsatuan Punggungan Homoklin

Subsatuan Punggungan Homoklin Foto 3.6. Subsatuan Lembah Sinklin (foto ke arah utara dari daerah Pejaten). Foto 3.7. Subsatuan Lembah Sinklin (foto ke arah utara dari daerah Bulu). Subsatuan Punggungan Homoklin Subsatuan Punggungan

Lebih terperinci

BIOSTRATIGRAFI DAN STUDI LINGKUNGAN PENGENDAPAN FORMASI NGRAYONG DI DAERAH CEPU TESIS

BIOSTRATIGRAFI DAN STUDI LINGKUNGAN PENGENDAPAN FORMASI NGRAYONG DI DAERAH CEPU TESIS BIOSTRATIGRAFI DAN STUDI LINGKUNGAN PENGENDAPAN FORMASI NGRAYONG DI DAERAH CEPU TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung Oleh IMAN FIRMAN

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL. dimana memisahkannya dengan Cekungan Jawa Barat Utara, di sebelah selatan dibatasi

BAB II GEOLOGI REGIONAL. dimana memisahkannya dengan Cekungan Jawa Barat Utara, di sebelah selatan dibatasi BAB II GEOLOGI REGIONAL 2. 1 Cekungan Jawa Timur Utara Cekungan Jawa Timur Utara sebelah barat dibatasi oleh Busur Karimunjawa dimana memisahkannya dengan Cekungan Jawa Barat Utara, di sebelah selatan

Lebih terperinci

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Nodul siderite Laminasi sejajar A B Foto 11. (A) Nodul siderite dan (B) struktur sedimen laminasi sejajar pada Satuan Batulempung Bernodul. 3.3.1.3. Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Berdasarkan

Lebih terperinci

: Batugamping Kalsilutit-Batulempung : Mudstone (Dunham, 1962)/Batugamping Kalsilutit

: Batugamping Kalsilutit-Batulempung : Mudstone (Dunham, 1962)/Batugamping Kalsilutit : 09AS117 : Batugamping Kalsilutit-Batulempung : Mudstone (Dunham, 1962)/Batugamping Kalsilutit Sayatan batugamping Mudstone, butiran 8%) terdiri dari komponen cangkang biota (85%) berupa foraminifera

Lebih terperinci

BAB IV STUDI PASIR NGRAYONG

BAB IV STUDI PASIR NGRAYONG BAB IV STUDI PASIR NGRAYONG 4.2 Latar belakang Studi Ngrayong telah lama mengundang perdebatan bagi para geolog yang pernah bekerja di Cekungan Jawa Timur. Perbedaan tersebut adalah mengenai lingkungan

Lebih terperinci

BAB IV STUDI BATUPASIR NGRAYONG

BAB IV STUDI BATUPASIR NGRAYONG BAB IV STUDI BATUPASIR NGRAYONG 4. 1 Latar Belakang Studi Ngrayong merupakan Formasi pada Cekungan Jawa Timur yang masih mengundang perdebatan di kalangan ahli geologi. Perdebatan tersebut menyangkut lingkungan

Lebih terperinci

Umur dan Lingkungan Pengendapan Umur Satuan Batupasir-Batulempung berdasarkan hasil analisis foraminifera kecil yaitu N17-N20 atau Miosen

Umur dan Lingkungan Pengendapan Umur Satuan Batupasir-Batulempung berdasarkan hasil analisis foraminifera kecil yaitu N17-N20 atau Miosen 3.2.1.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Umur Satuan Batupasir-Batulempung berdasarkan hasil analisis foraminifera kecil yaitu N17-N20 atau Miosen Akhir-Pliosen Tengah bagian bawah (Lampiran B). Sampel

Lebih terperinci

Batupasir. Batugamping. Batupasir. Batugamping. Batupasir

Batupasir. Batugamping. Batupasir. Batugamping. Batupasir nama Anggota Tawun Formasi Tuban. Van Bemmelen (1949 dalam Kadar dan Sudijono, 1994) menggunakan nama Lower Orbitoiden-Kalk (Lower OK) dan dimasukkan dalam apa yang disebut Rembang Beds. Selanjutnya, oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada Sungai Kedawung. Secara geologi, menurut Pringgoprawiro (1982) formasi

BAB I PENDAHULUAN. pada Sungai Kedawung. Secara geologi, menurut Pringgoprawiro (1982) formasi BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Daerah penelitian ini terletak di Kecamatan Mondokan, Sragen tepatnya pada Sungai Kedawung. Secara geologi, menurut Pringgoprawiro (1982) formasi pada lokasi

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III ISSN: X Yogyakarta, 3 November 2012

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III ISSN: X Yogyakarta, 3 November 2012 BIOZONASI FORAMINIFERA PLANKTONIK FORMASI LEDOK, DAERAH SINGANEGARA, KAB. BLORA PROVINSI JAWA TENGAH Mahap Maha 1, Siti Umiyatun Ch 2 1,2 Program Studi T. Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, UPN Veteran

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS BIOSTRATIGRAFI DAN STRATIGRAFI SEKUEN

BAB IV ANALISIS BIOSTRATIGRAFI DAN STRATIGRAFI SEKUEN BAB IV ANALISIS BIOSTRATIGRAFI DAN STRATIGRAFI SEKUEN IV.1. Metode Analisis Pada penelitian kali ini data yang digunakan berupa data batuan inti Sumur RST-1887, Sumur RST-3686, dan Sumur RST-3697. Sumur

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal dari peta topografi dan citra satelit,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian yaitu geologi daerah Ngampel dan sekitarnya. Pembahasan meliputi kondisi geomorfologi, urutan stratigrafi,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH CANDI DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH CANDI DAN SEKITARNYA BAB III GEOLOGI DAERAH CANDI DAN SEKITARNYA Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian yaitu geologi daerah Candi dan sekitarnya. Pembahasan meliputi kondisi geomorfologi, susunan stratigrafi,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH LEPAS PANTAI UTARA MADURA

BAB III GEOLOGI DAERAH LEPAS PANTAI UTARA MADURA BAB III GEOLOGI DAERAH LEPAS PANTAI UTARA MADURA Lapangan ini berada beberapa kilometer ke arah pantai utara Madura dan merupakan bagian dari North Madura Platform yang membentuk paparan karbonat selama

Lebih terperinci

// - Nikol X - Nikol 1mm

// - Nikol X - Nikol 1mm S S A B B C Foto 3.14 Satuan breksi vulkanik dengan sisipan batupasir-batulempung. Breksi polimik ( B), Monomik (A) dan litologi batupasir-batulempung (bawah,c) Pengambilan sampel untuk sisipan batupasir

Lebih terperinci

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN 4.1 Litofasies Menurut Walker dan James pada 1992, litofasies adalah suatu rekaman stratigrafi pada batuan sedimen yang menunjukkan karakteristik fisika, kimia, dan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Perolehan Data dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian pada Peta Geologi Lembar Cianjur skala 1 : 100.000 terletak di Formasi Rajamandala (kotak kuning pada Gambar

Lebih terperinci

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan 3.2.3 Satuan Batulempung A. Penyebaran dan Ketebalan Satuan batulempung ditandai dengan warna hijau pada Peta Geologi (Lampiran C-3). Satuan ini tersingkap di bagian tengah dan selatan daerah penelitian,

Lebih terperinci

dalam Zonasi Bolli & Saunders (1985), berdasarkan kandungan plangton tersebut maka kisaran umur satuan batuan ini adalah N21 atau Pliosen Atas.

dalam Zonasi Bolli & Saunders (1985), berdasarkan kandungan plangton tersebut maka kisaran umur satuan batuan ini adalah N21 atau Pliosen Atas. dalam Zonasi Bolli & Saunders (1985), berdasarkan kandungan plangton tersebut maka kisaran umur satuan batuan ini adalah N21 atau Pliosen Atas. III.2.1.5 Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi Hubungan

Lebih terperinci

BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN

BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN Fasies adalah suatu tubuh batuan yang dicirikan oleh kombinasi ciri litologi, ciri fisik dan biologi yang membedakannya dengan tubuh batuan yang berdekatan (Walker,

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Pengamatan geomorfologi daerah penelitian dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu pengamatan geomorfologi

Lebih terperinci

Foto III-11. T.abc sekuen Bouma pada Satuan Batupasir-Batulempung (CKG 11) Foto III-12. T.abc sekuen Bouma pada Satuan Batupasir-Batulempung (CKG 12)

Foto III-11. T.abc sekuen Bouma pada Satuan Batupasir-Batulempung (CKG 11) Foto III-12. T.abc sekuen Bouma pada Satuan Batupasir-Batulempung (CKG 12) Batupasir pada satuan ini memiliki ketebalan 5-100cm, berwarna abu-abu, berukuran pasir halus-kasar, tufaan, bentuk butir menyudut hingga menyudut tanggung kemas tertutup, terpilah sedang, porositas sedang,

Lebih terperinci

BAB III Perolehan dan Analisis Data

BAB III Perolehan dan Analisis Data BAB III Perolehan dan Analisis Data BAB III PEROLEHAN DAN ANALISIS DATA Lokasi penelitian, pada Peta Geologi Lembar Cianjur skala 1 : 100.000, terletak di Formasi Rajamandala. Penelitian lapangan berupa

Lebih terperinci

Gambar 1. Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Arpandi dan Padmosukismo, 1975)

Gambar 1. Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Arpandi dan Padmosukismo, 1975) STRATIGRAFI CEKUNGAN JAWA BARAT BAGIAN UTARA Sedimentasi Cekungan Jawa Barat Utara mempunyai kisaran umur dari kala Eosen Tengah sampai Kuarter. Deposit tertua adalah pada Eosen Tengah, yaitu pada Formasi

Lebih terperinci

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi 3.2.2.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Penentuan umur pada satuan ini mengacu pada referensi. Satuan ini diendapkan pada lingkungan kipas aluvial. Analisa lingkungan pengendapan ini diinterpretasikan

Lebih terperinci

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan Stratigrafi regional Pegunungan Selatan dibentuk oleh endapan yang berumur Eosen-Pliosen (Gambar 3.1). Menurut Toha, et al. (2000) endapan

Lebih terperinci

Gambar 4.5. Peta Isopach Net Sand Unit Reservoir Z dengan Interval Kontur 5 Kaki

Gambar 4.5. Peta Isopach Net Sand Unit Reservoir Z dengan Interval Kontur 5 Kaki Gambar 4.5. Peta Isopach Net Sand Unit Reservoir Z dengan Interval Kontur 5 Kaki Fasies Pengendapan Reservoir Z Berdasarkan komposisi dan susunan litofasies, maka unit reservoir Z merupakan fasies tidal

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 GEOMORFOLOGI III.1.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS FASIES ENDAPAN TURBIDIT

BAB IV ANALISIS FASIES ENDAPAN TURBIDIT BAB IV ANALISIS FASIES ENDAPAN TURBIDIT 4.1 Fasies Turbidit adalah suatu sedimen yang diendapkan oleh mekanisme arus turbid (turbidity current), sedangkan arus turbid itu sendiri adalah suatu arus yang

Lebih terperinci

Lokasi : G.Walang Nama Batuan : Tuf Gelas

Lokasi : G.Walang Nama Batuan : Tuf Gelas LAMPIRAN A ANALISIS PETROGRAFI No. Conto : WLG 03 Satuan Batuan : Tuf Lokasi : G.Walang Nama Batuan : Tuf Gelas Tekstur Butiran Matriks : Terpilah baik, kemas terbuka, menyudut tanggung menyudut, : 22%;

Lebih terperinci

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS 4.1 Pendahuluan Untuk studi sedimentasi pada Formasi Tapak Bagian Atas dilakukan melalui observasi urutan vertikal terhadap singkapan batuan yang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Pengamatan geomorfologi di daerah penelitian dilakukan dengan dua tahap, yaitu dengan pengamatan menggunakan SRTM dan juga peta kontur yang dibuat dari

Lebih terperinci

BAB IV UNIT RESERVOIR

BAB IV UNIT RESERVOIR BAB IV UNIT RESERVOIR 4.1. Batasan Zona Reservoir Dengan Non-Reservoir Batasan yang dipakai untuk menentukan zona reservoir adalah perpotongan (cross over) antara kurva Log Bulk Density (RHOB) dengan Log

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 34 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 34 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / Pada sayatan tipis (Lampiran C) memiliki ciri-ciri kristalin, terdiri dari dolomit 75% berukuran 0,2-1,4 mm, menyudut-menyudut tanggung. Matriks lumpur karbonat 10%, semen kalsit 14% Porositas 1% interkristalin.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentang alam dan morfologi suatu daerah terbentuk melalui proses pembentukan secara geologi. Proses geologi itu disebut dengan proses geomorfologi. Bentang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI 3.1.1 Geomorfologi Umum Daerah Penelitian Pengamatan geomorfologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan pengamatan awal pada peta topografi, pengamatan

Lebih terperinci

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8).

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8). dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8). Gambar 3.7 Struktur sedimen pada sekuen Bouma (1962). Gambar 3.8 Model progradasi kipas bawah laut

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Singkapan Stadion baru PON Samarinda Singkapan batuan pada torehan bukit yang dikerjakan untuk jalan baru menuju stadion baru PON XVI Samarinda. Singkapan tersebut

Lebih terperinci

Ciri Litologi

Ciri Litologi Kedudukan perlapisan umum satuan ini berarah barat laut-tenggara dengan kemiringan berkisar antara 60 o hingga 84 o (Lampiran F. Peta Lintasan). Satuan batuan ini diperkirakan mengalami proses deformasi

Lebih terperinci

Geologi Daerah Penelitian. III Hubungan Stratigrafi

Geologi Daerah Penelitian. III Hubungan Stratigrafi 30 Geologi Daerah Penelitian III.2.2.3. Hubungan Stratigrafi Dilihat dari arah kemiringan lapisan yang sama yaitu berarah ke timur dan pengendapan yang menerus, maka diperkirakan hubungan stratigrafi dengan

Lebih terperinci

A. Perlapisan batupasir batulempung dengan ketebalan yang homogen B. Antara batupasir dan batu lempung memperlihatkan kontak tegas

A. Perlapisan batupasir batulempung dengan ketebalan yang homogen B. Antara batupasir dan batu lempung memperlihatkan kontak tegas 3.2.4 Satuan Batupasir-Batulempung 3.2.4.1 Penyebaran Satuan Batupasir-Batulempung menempati bagian selatan daerah penelitian (Gambar 3.6), meliputi + 10% dari luas daerah penelitian (warna hijaupada peta

Lebih terperinci

BAB IV SEJARAH GEOLOGI

BAB IV SEJARAH GEOLOGI BAB IV SEJARAH GEOLOGI Berdasarkan data-data geologi primer yang meliputi data lapangan, data sekunder yang terdiri dari ciri litologi, umur dan lingkungan pengendapan, serta pola struktur dan mekanisme

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

BAB III DATA DAN PENGOLAHAN DATA

BAB III DATA DAN PENGOLAHAN DATA BAB III DATA DAN PENGOLAHAN DATA 3.1 Pendahuluan Analisis tektonostratigrafi dan pola sedimentasi interval Formasi Talang Akar dan Baturaja dilakukan dengan mengintegrasikan data geologi dan data geofisika

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, menurut van Bemmelen (1949) Jawa Timur dapat dibagi menjadi 7 satuan fisiografi (Gambar 2), satuan tersebut dari selatan ke utara adalah: Pegunungan

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Analisis geomorfologi dilakukan untuk mempelajari proses bentang alam terbentuk secara konstruksional (yang diakibatkan oleh gaya endogen),

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Regional Stuktur DNF terletak kurang lebih 160 kilometer di sebelah barat kota Palembang. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN PENENTUAN UMUR DAN UNGKUNGAN PENGENDAPAN. BATU GAWPING DI DAERAR GUNUNG TUGU-BAYAT SEBAGAIi PELENGKAP PENELITIAN PETROGRAFIS

LAPORAN PENELITIAN PENENTUAN UMUR DAN UNGKUNGAN PENGENDAPAN. BATU GAWPING DI DAERAR GUNUNG TUGU-BAYAT SEBAGAIi PELENGKAP PENELITIAN PETROGRAFIS LAPORAN PENELITIAN PENENTUAN UMUR DAN UNGKUNGAN PENGENDAPAN BATU GAWPING DI DAERAR GUNUNG TUGU-BAYAT SEBAGAIi PELENGKAP PENELITIAN PETROGRAFIS BERHUBUNGAN DENGAN PENTEBAB KEBOCORAN DAM Nomer 7/131 PROYEK

Lebih terperinci

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya)

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) 3.2.2.1 Penyebaran Satuan batuan ini menempati 2% luas keseluruhan dari daerah

Lebih terperinci

Gambar 3.6 Model progradasi kipas laut dalam (Walker, R. G., 1978).

Gambar 3.6 Model progradasi kipas laut dalam (Walker, R. G., 1978). (Satuan Breksi-Batupasir) adalah hubungan selaras dilihat dari kemenerusan umur satuan dan kesamaan kedudukan lapisan batuannya. Gambar 3.5 Struktur sedimen pada sekuen Bouma (Bouma, A. H., 1962). Gambar

Lebih terperinci

BAB IV SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR

BAB IV SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR BAB IV SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR 4.1 Pendahuluan Kajian terhadap siklus sedimentasi pada Satuan Batupasir dilakukan dengan analisis urutan secara vertikal terhadap singkapan yang mewakili

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Geomorfologi adalah ilmu tentang bentang alam, proses-proses yang terjadi dan pembentukannya, baik dari dalam (endogen) maupun di luar (eksogen). Geomorfologi

Lebih terperinci

BAB IV DISTRIBUSI FASIES BATUGAMPING

BAB IV DISTRIBUSI FASIES BATUGAMPING BAB IV DISTRIBUSI FASIES BATUGAMPING IV.1 Pendahuluan Batuan Karbonat Klastik Terrigenous Sedimen yang global dan tak terbatas dengan iklim. Suplai sedimen berasal dari kontinen dan laut. Ukuran dari butiran

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan pengamatan awal pada peta topografi dan pengamatan langsung

Lebih terperinci

3.1. Penentuan Batas Atas dan Bawah Formasi Parigi

3.1. Penentuan Batas Atas dan Bawah Formasi Parigi Selain dari data-data di atas, data lain yang dijadikan rujukan dalam penelitian ini adalah review biostratigrafi sumur Asri-2 (PT. Core Laboratories), review laporan evaluasi batuan induk (PT. Robertson

Lebih terperinci

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan BAB IV KAJIAN SEDIMENTASI DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis urutan vertikal terhadap singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili. Analisis

Lebih terperinci

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan Gambar 3.8 Korelasi Stratigrafi Satuan Batupasir terhadap Lingkungan Delta 3.2.3 Satuan Batulempung-Batupasir Persebaran (dominasi sungai) Satuan ini menempati 20% dari luas daerah penelitian dan berada

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Daerah penelitian ini telah banyak dikaji oleh peneliti-peneliti pendahulu, baik meneliti secara regional maupun skala lokal. Berikut ini adalah adalah ringkasan tinjauan literatur

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Penafsiran Kondisi Geomorfologi Daerah Penelitian Daerah penelitian di Ds. Nglegi, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki

Lebih terperinci

BAB III GEOMETRI DAN KARAKTERISASI UNIT RESERVOIR

BAB III GEOMETRI DAN KARAKTERISASI UNIT RESERVOIR BAB III GEOMETRI DAN KARAKTERISASI UNIT RESERVOIR III.1. Analisis Biostratigrafi Pada penelitian ini, analisis biostratigrafi dilakukan oleh PT Geoservices berdasarkan data yang diambil dari sumur PL-01

Lebih terperinci

batupasir batulempung Geologi dan Analisis Struktur Daerah Cikatomas dan Sekitarnya, Kabupaten Lebak, Banten.

batupasir batulempung Geologi dan Analisis Struktur Daerah Cikatomas dan Sekitarnya, Kabupaten Lebak, Banten. Batulempung hadir bersama batupasir di bagian atas membentuk struktur perlapisan. Batulempung berwarna abu-abu gelap, bersifat karbonatan. Pada singkapan memiliki tebal 10 50 cm. batupasir batulempung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah OCO terdapat pada Sub-Cekungan Jatibarang yang merupakan bagian dari Cekungan Jawa Barat Utara yang sudah terbukti menghasilkan hidrokarbon di Indonesia. Formasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Karangsambung merupakan lokasi tempat tersingkapnya batuan-batuan campuran hasil dari proses subduksi yang terjadi pada umur Kapur Akhir sampai Paleosen. Batuan tertua

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Struktur Regional Terdapat 4 pola struktur yang dominan terdapat di Pulau Jawa (Martodjojo, 1984) (gambar 2.1), yaitu : Pola Meratus, yang berarah Timurlaut-Baratdaya. Pola Meratus

Lebih terperinci

BAB IV RESERVOIR KUJUNG I

BAB IV RESERVOIR KUJUNG I BAB IV RESERVOIR KUJUNG I Studi geologi yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui geometri dan potensi reservoir, meliputi interpretasi lingkungan pengendapan dan perhitungan serta pemodelan tiga dimensi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Stratigrafi Daerah Nanga Kantu Stratigrafi Formasi Kantu terdiri dari 4 satuan tidak resmi. Urutan satuan tersebut dari tua ke muda (Gambar 3.1) adalah Satuan Bancuh

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Geomorfologi daerah penelitian dapat dianalisis dengan menggunakan beberapa media, yaitu peta kontur, citra satelit, dan citra Digital Elevation Model

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Geografis Daerah Penelitian Wilayah konsesi tahap eksplorasi bahan galian batubara dengan Kode wilayah KW 64 PP 2007 yang akan ditingkatkan ke tahap ekploitasi secara administratif

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Menurut Lobeck (1939), faktor utama yang mempengaruhi bentuk bentangan alam adalah struktur, proses, dan tahapan. Struktur memberikan informasi mengenai

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

TINJAUAN ULANG TERHADAP POSISI STRATIGRAFI FORMASI PELANG

TINJAUAN ULANG TERHADAP POSISI STRATIGRAFI FORMASI PELANG TINJAUAN ULANG TERHADAP POSISI STRATIGRAFI FORMASI PELANG Hari Irwanto 1*, Satrio Esti Hapsoro 1,2, Gneiss Desika Zoenir 1, Mahap Maha 1, Jatmika Setiawan 1 1 Universitas Pembangunan Veteran Yogyakarta

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Menurut Lobeck (1939), faktor utama yang mempengaruhi bentuk bentangan alam adalah struktur, proses, dan tahapan. Struktur memberikan informasi mengenai

Lebih terperinci

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL BAB II STRATIGRAFI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI JAWA TIMUR BAGIAN UTARA Cekungan Jawa Timur bagian utara secara fisiografi terletak di antara pantai Laut Jawa dan sederetan gunung api yang berarah barat-timur

Lebih terperinci

BIOZONASI FORAMINIFERA PLANKTONIK DI LINTASAN SUNGAI CIPAMINGKIS, DAERAH JONGGOL, PROVINSI JAWA BARAT

BIOZONASI FORAMINIFERA PLANKTONIK DI LINTASAN SUNGAI CIPAMINGKIS, DAERAH JONGGOL, PROVINSI JAWA BARAT BIOZONASI FORAMINIFERA PLANKTONIK DI LINTASAN SUNGAI CIPAMINGKIS, DAERAH JONGGOL, PROVINSI JAWA BARAT Mohamad Solihin 1), Abdurrokhim 2), Lia Jurnaliah 3) 1 PT. Bumi Parahiyangan Energy 2. Lab Sedimentologi,

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Geomorfologi Daerah Penelitian III.1.1 Morfologi dan Kondisi Umum Daerah Penelitian Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses

Lebih terperinci

FORAMINIFERA SEBAGAI PENCIRI PALED ENVIRONMENT: STUDI KASUS PADA LINTASAN KALI BENTUR, NGAWENAN, BLORA ABSTRACT ABSTRAK

FORAMINIFERA SEBAGAI PENCIRI PALED ENVIRONMENT: STUDI KASUS PADA LINTASAN KALI BENTUR, NGAWENAN, BLORA ABSTRACT ABSTRAK FORAMINIFERA SEBAGAI PENCIRI PALED ENVIRONMENT: STUDI KASUS PADA LINTASAN KALI BENTUR, NGAWENAN, BLORA Lili Fauzielly Lab. Paleontologi, Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran ABSTRACT Foraminifera

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS GEOMETRI DAN KUALITAS RESERVOIR

BAB III ANALISIS GEOMETRI DAN KUALITAS RESERVOIR BAB III ANALISIS GEOMETRI DAN KUALITAS RESERVOIR 3.1 Metodologi Penelitian Analisis geometri dan kualitas reservoir dilakukan untuk memberikan informasi geologi yang realistis dari suatu reservoir. Informasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Berdasarkan penelitian terdahulu urutan sedimentasi Tersier di Cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi dua tahap pengendapan, yaitu tahap genang laut dan tahap

Lebih terperinci

BAB 4 KARAKTERISTIK RESERVOIR

BAB 4 KARAKTERISTIK RESERVOIR BAB 4 KARAKTERISTIK RESERVOIR Pada interval Formasi Talangakar Bawah didapat 2 interval reservoir yaitu reservoir 1 dan reservoir 2 yang ditunjukan oleh adanya separasi antara log neutron dan densitas.

Lebih terperinci

PALEOSEANOGRAFI FORMASI TONASA BERDASARKAN KANDUNGAN FORAMINIFERA DAERAH BARRU, SULAWESI SELATAN

PALEOSEANOGRAFI FORMASI TONASA BERDASARKAN KANDUNGAN FORAMINIFERA DAERAH BARRU, SULAWESI SELATAN PALEOSEANOGRAFI FORMASI TONASA BERDASARKAN KANDUNGAN FORAMINIFERA DAERAH BARRU, SULAWESI SELATAN Meutia Farida 1 *, Fauzi Arifin 1, Ratna Husain 1, Ilham Alimuddin 1 1 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah penelitian secara umum tersusun atas bentang alam yang cukup kompleks yaitu, perbukitan, lembah dan dataran rendah. Interval ketinggian

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentuk morfologi dan topografi di daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen yang bersifat destruktif dan proses endogen yang berisfat konstruktif.

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS FASIES PENGENDAPAN FORMASI TALANG AKAR

BAB III ANALISIS FASIES PENGENDAPAN FORMASI TALANG AKAR BAB III ANALISIS FASIES PENGENDAPAN FORMASI TALANG AKAR 3.1. Litofasies Menurut Walker (1992), fasies merupakan kenampakan suatu tubuh batuan yang dikarekteristikan oleh kombinasi dari litologi, struktur

Lebih terperinci

hancuran yang muncul sebagai breksiasi. Tebal batulempung dalam perselingan sangat bervariasi, dari 20 cm hingga 30 cm.

hancuran yang muncul sebagai breksiasi. Tebal batulempung dalam perselingan sangat bervariasi, dari 20 cm hingga 30 cm. hancuran yang muncul sebagai breksiasi. Tebal batulempung dalam perselingan sangat bervariasi, dari 20 cm hingga 30 cm. Adapun sisipan tebal konglomerat dicirikan dengan warna abu-abu kecoklatan, fragmen

Lebih terperinci

Gambar 1.1. Lokasi Penelitian di Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah

Gambar 1.1. Lokasi Penelitian di Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Penelitian ini dilakukan di daerah Bayat, Klaten, Jawa Tengah. Lokasi ini dipilih karena secara geologi lokasi ini sangat menarik. Pada lokasi ini banyak dijumpainya

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

PENENTUAN FORMASI BATUAN SUMBER GUNUNGLUMPUR DI SEKITAR PURWODADI BERDASARKAN KANDUNGAN FOSIL FORAMINIFERA

PENENTUAN FORMASI BATUAN SUMBER GUNUNGLUMPUR DI SEKITAR PURWODADI BERDASARKAN KANDUNGAN FOSIL FORAMINIFERA PENENTUAN FORMASI BATUAN SUMBER GUNUNGLUMPUR DI SEKITAR PURWODADI BERDASARKAN KANDUNGAN FOSIL FORAMINIFERA Moch. Indra Novian, Peter Pratistha Utama dan Salahuddin Husein Jurusan Teknik Geologi, FT-UGM

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Jawa bagian timur dan Madura menjadi tujuh zona fisiografi (Gambar 2.1), dari selatan ke utara berturut-turut: Zona Pegunungan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM

BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM Tujuan utama analisis variogram yang merupakan salah satu metode geostatistik dalam penentuan hubungan spasial terutama pada pemodelan karakterisasi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Jawa bagian timur dan Madura terbagi menjadi tujuh zona fisiografi, dari selatan hingga utara berturut-turut yaitu Zona Pegunungan Selatan Bagian Timur,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI

BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis urutan vertikal terhadap singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili. Analisis urutan vertikal ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Pengamatan geomorfologi terutama ditujukan sebagai alat interpretasi awal, dengan menganalisis bentang alam dan bentukan-bentukan alam yang memberikan

Lebih terperinci