Umur dan Lingkungan Pengendapan Umur Satuan Batupasir-Batulempung berdasarkan hasil analisis foraminifera kecil yaitu N17-N20 atau Miosen

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Umur dan Lingkungan Pengendapan Umur Satuan Batupasir-Batulempung berdasarkan hasil analisis foraminifera kecil yaitu N17-N20 atau Miosen"

Transkripsi

1 Umur dan Lingkungan Pengendapan Umur Satuan Batupasir-Batulempung berdasarkan hasil analisis foraminifera kecil yaitu N17-N20 atau Miosen Akhir-Pliosen Tengah bagian bawah (Lampiran B). Sampel yang dianalisis terdiri dari lima sampel, berurutan dari tua ke muda yaitu sampel H.3.10, H.7.1, H.7.8, H.11.11, dan H.5.3. Pada sampel H.3.10 dijumpai kehadiran Globorotalia humerosa yang diketahui kemunculan awalnya (FAD) adalah pada umur N17 (Blow, 1969). Pada sampel H.7.1 dijumpai kemunculan akhir Globigerina venezuelana dan kemunculan awal Sphaeroidinella dehiscens. Berdasarkan Blow (1969) diketahui bahwa kemunculan akhir (LAD) Globigerina venezuelana adalah pada umur N19 dan kemunculan awal (FAD) Sphaeroidinella dehiscens pada umur N19. Maka, umur sampel H.7.1 adalah N19. Oleh karena umur sampel H.7.1 tidak lebih tua daripada N19, maka umur sampel H.3.10 adalah N17-N18. Selanjutnya pada sampel H.7.8, H dan H.5.3, tidak dijumpai kehadiran biomarker, tetapi pada sampel H.3.6b yang secara posisi stratigrafi di lapangan adalah lebih muda daripada sampel H.5.3, dijumpai kemunculan awal Globorotalia tosaensis tosaensis. Kemunculan awal (FAD) Globorotalia tosaensis tosaensis adalah pada umur N21 (Blow, 1969). Oleh karena umur sampel H.3.6b tidak lebih tua daripada umur N21 dan pada sampel H.7.8, H dan H.5.3 tidak dijumpai kehadiran Globorotalia tosaensis tosaensis, maka umur untuk sampel H.7.8, H dan H.5.3 adalah N20. Lingkungan pengendapan yang didapatkan untuk semua sampel yang dianalisis adalah neritik tengah bagian dalam (Rauwenda, dkk., 1985, Lampiran B). Pada sampel H.3.10 dijumpai asosiasi foraminifera benthonik berupa Nodosaria spp., Lenticulina sp., Lagena sp., Hyalinea balthica, Elphidium spp., Oolina sp., Bolivina sp., Amphistegina lesonii, Cassidulina sp., Dentalina sp., dengan rasio plantonik sebesar 40%, sehingga dapat disimpulkan lingkungan pengendapannya adalah neritik tengah bagian dalam dengan kedalaman m. Pada sampel H.7.1dijumpai kehadiran asosiasi foraminifera benthonik berupa Bulimina sp., Lagena sp., Eggerela sp., dengan rasio planktonik sebesar 50%, sehingga dapat disimpulkan lingkungan pengendapannya adalah neritik tengah bagian dalam dengan kedalaman m. Pada sampel H.7.8 dijumpai 29

2 kehadiran asosiasi foraminifera benthonik berupa Uvigerina sp., Bulimina sp., Lenticulina sp., Stillostomella sp., Elphidium spp., Astrononion sp., dengan rasio plantonik sebesar 40%, sehingga dapat disimpulkan lingkungan pengendapannya adalah neritik tengah bagian dalam dengan kedalaman m. Pada sampel H dijumpai kehadiran asosiasi foraminifera benthonik berupa Nodosaria sp., Lenticulina sp., Lagena sp., Astrononion sp., dengan rasio planktonik 45%, sehingga dapat disimpulkan lingkungan pengendapannya adalah neritik tengah bagian dalam dengan kedalaman m. Pada sampel H.5.3 dijumpai kehadiran asosiasi foraminifera benthonik berupa Nodosaria sp., Uvigerina sp., Ammonia spp., Quinqueloculina sp., Lenticulina sp., Elphidium spp., Bolivina sp., Amphistegina lesonii, dengan rasio planktonik sebesar 40%, sehingga dapat disimpulkan lingkungan pengendapannya adalah neritik tengah bagian dalam dengan kedalaman m. Dari hasil analisis lima sampel yang telah dijelaskan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa lingkungan pengendapan untuk Satuan Batupasir- Batulempung Formasi Tapak adalah neritik tengah bagian dalam dengan kedalaman m (Lampiran B) Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi Berdasarkan penyebaran litologi dan hubungan stratigrafi berdasarkan stratigrafi regional menurut Djuri, dkk. (1996) pada peta geologi regional maka Satuan Batupasir-Batulempung ini disetarakan dengan Formasi Tapak. Setelah dilakukan analisis foraminifera kecil didapatkan revisi umur Satuan Batupasir- Batulempung yaitu Miosen Tengah-Pliosen Awal (Djuri, dkk., 1996) menjadi Miosen Akhir-Pliosen Tengah bagian bawah (N17-N20). Hubungan satuan batuan ini dengan satuan batuan di bawahnya tidak dapat diketahui karena tidak tersingkap di daerah penelitian. Menurut Djuri, dkk. (1996), hubungan satuan batuan ini dengan satuan batuan di bawahnya (Formasi Kumbang) adalah tidak selaras. Berdasarkan posisi stratigrafi daerah penelitian, Satuan Batupasir- Batulempung ini merupakan satuan batuan yang berumur paling tua. 30

3 3.2.2 Satuan Batulempung Formasi Kalibiuk Penyebaran dan Ketebalan Satuan Batulempung Formasi Kalibiuk menempati bagian tengah yang menyebar hingga ke barat dan timur daerah penelitian. Satuan batuan ini menempati sekitar 45% luas daerah penelitian, pada peta geologi berwarna hijau. Satuan batuan ini tersingkap baik di daerah Karangasem, Kaliwotan, Kali Kuning, dengan jurus lapisan umumnya berarah barat-timur dan kemiringan lapisan berarah selatan, sedangkan di daerah lain singkapan ini ditemukan dengan kondisi masif tanpa jurus dan kemiringan dan dengan kondisi lapuk. Ketebalan satuan batuan ini berdasarkan rekonstruksi penampang geologi sekitar 1000 m. Foto 3.17 Perselingan Batulempung-Batupasir (Lokasi H.9.2) 31

4 Foto 3.18 Fosil dalam Batulempung (Lokasi H.4.8) Foto 3.19 Singkapan Batulempung (Lokasi H.4.12) Ciri Litologi Satuan Batulempung Formasi Kalibiuk ini terdiri dari batulempung, perselingan batulempung-batupasir dan batulempung sisipan batupasir. Batulempung yang ditemukan dalam satuan ini berwarna abu-abu sampai abu-abu tua kebiruan, karbonatan, banyak mengandung fosil baik pecahan cangkang moluska maupun fosil foraminifera (Foto 3.17 dan Foto 3.19). Pada satu lokasi yaitu lokasi H.4.8 ditemukan fosil Asteroidea? di dalam batulempung (Foto 3.18). 32

5 Batupasir yang terdapat di dalam satuan ini memiliki ciri berwarna abuabu sampai abu-abu tua, karbonatan, pemilahan sedang, kemas tertutup, porositas sedang, besar butir pasir halus, kompak. Berdasarkan pengamatan pada analisis petrografi didapatkan jenis batupasir pada satuan ini adalah Feldsphatic Wacke (Gilbert, 1982, Lampiran A6) dengan komposisi butiran terdiri dari mineral fosil, plagioklas, kuarsa, hornblende, biotit, fragmen batuan, spinel dan glaukonit dengan komposisi matriks 17% Umur dan Lingkungan Pengendapan Umur Satuan Batulempung dari hasil analisis foraminifera kecil yaitu N21 bagian bawah atau Pliosen Tengah bagian atas (Lampiran B). Sampel yang dianalisis berjumlah empat buah, berurutan dari tua ke muda secara posisi stratigrafi di lapangan yaitu H.3.6b, H.4.12, H.4.10 dan H.4.7. Pada sampel H.3.6b dijumpai kemunculan awal Globorotalia tosaensis tosaensis. Menurut Blow (1969), kemunculan awal (FAD) Globorotalia tosaensis tosaensis adalah pada umur N21. Pada tiga sampel lainnya yaitu sampel H.4.12, H.4.10 dan H.4.7 tidak dijumpai kehadiran biomarker-biomarker penunjuk umur yang lebih muda daripada N21. Oleh karena itu umur Satuan Batulempung ini adalah N21 bagian bawah atau Pliosen Tengah bagian atas (Blow, 1969). Lingkungan pengendapan yang didapatkan dari hasil analisis mikropaleontologi empat sampel di atas adalah neritik tengah bagian dalamdangkal (Rauwenda, dkk., 1985, Lampiran B). Pada sampel H.3.6b dijumpai kehadiran foraminifera benthonik berupa Nodosaria spp., Uvigerina sp., Bulimina sp., Ammonia spp., Quinqueloculina sp., Lagena sp., Oolina sp., Amphistegina lesonii, dengan rasio planktonik sebesar 45%, sehingga dapat disimpulkan lingkungan pengendapannya adalah neritik tengah bagian dalam dengan kedalaman m. Pada sampel H.4.12 dijumpai kehadiran foraminifera benthonik berupa Ammonia spp., Lenticulina sp., Hyalinea balthica, dengan rasio planktonik sebesar 20%, sehingga dapat disimpulkan lingkungan pengendapannya adalah neritik tengah bagian dangkal dengan kedalaman m. Pada sampel H.4.10 dijumpai kehadiran foraminifera benthonik berupa Nonion sp., Uvigerina sp., Bulimina sp., Ammonia spp., Quinqueloculina sp., Stillostomela sp., 33

6 Amphicorina scalaris, Hyalinea balthica, dengan rasio planktonik sebesar 30%, sehingga dapat disimpulkan lingkungan pengendapannya adalah neritik tengah bagian dangkal dengan kedalaman m. Pada sampel H.4.7 dijumpai kehadiran foraminifera benthonik berupa Nodosaria spp., Nonion sp., Ammonia spp., Quinqueloculina sp., Lagena sp., Oolina sp., Amphistegina lesonii, dengan rasio planktonik sebesar 30%, sehingga dapat disimpulkan lingkungan pengendapannya adalah neritik tengah bagian dangkal m. Dari hasil analisis empat sampel yang telah dijelaskan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa lingkungan pengendapan untuk Satuan Batulempung Formasi Kalibiuk adalah neritik tengah bagian dalam-dangkal dengan kedalaman m (Lampiran B) Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi Hubungan satuan batuan ini dengan satuan batuan di bawahnya bersifat selaras yang ditunjukkan dengan kemiringan lapisan yang relatif sama dan tidak adanya selang waktu pengendapan pada kedua satuan yang dibuktikan dengan analisis mikropaleontologi. Berdasarkan posisi stratigrafi dan ciri litologi yang khas dari satuan ini yang dapat dibedakan dengan satuan lain, maka satuan ini dapat disetarakan dengan Formasi Kalibiuk (Djuri, dkk., 1996) Satuan Batupasir Formasi Kalibiuk Penyebaran dan Ketebalan Satuan Batupasir Formasi Kalibiuk ini menempati bagian selatan yang menyebar hingga ke barat dan timur daerah penelitian. Satuan batuan ini menempati sekitar 12% luas daerah penelitian, pada peta geologi berwarna kuning muda. Satuan batuan ini tersingkap baik di Kali Tambra bagian selatan, Kali Wotan bagian selatan, pertemuan Kali Tambra dan Kali Wotan (Sidarame), dengan jurus lapisan umumnya berarah barat-timur dan kemiringan lapisan berarah utara dan selatan. Hal ini dikarenakan adanya struktur lipatan berupa sinklin yang menyebabkan kemiringan lapisan berarah utara dan selatan. Ketebalan satuan batuan ini berdasarkan rekonstruksi penampang geologi sekitar 312,5 m. 34

7 Ciri Litologi Satuan Batupasir Formasi Kalibiuk terdiri dari batupasir dan batupasir sisipan batulempung. dimana batupasir pada satuan ini umumnya masif tanpa kedudukan jurus dan kemiringan lapisan. Ketebalan batupasir pada batupasir sisipan batulempung sekitar cm, sedangkan ketebalan batulempung sekitar 5-10 cm (Foto 3.22). Pada Satuan Batupasir ini, pada batupasir dan batulempungnya mengandung banyak cangkang moluska, baik yang masih utuh maupun yang sudah pecah dan fosil foraminifera (Foto 3.24). Pada beberapa tempat terdapat bioturbasi (Foto 3.23). Hal inilah yang menjadi pembeda Satuan Batupasir ini dengan Satuan Batupasir-Batulempung di bagian utara. Foto 3.20 Singkapan Batupasir (Menghadap ke Barat) (Lokasi H.6.1) 35

8 Foto 3.21 Singkapan Perselingan Batupasir-Batulempung (Lokasi H.8.2) Foto 3.22 Bioturbasi Pada Batupasir (Menghadap ke Selatan) (Lokasi H.8.2) 36

9 Foto 3.23 Singkapan Batupasir Mengandung Cangkang Moluska (Lokasi H.8.2) Batupasir bewarna abu-abu sampai abu-abu tua, karbonatan, mengandung banyak cangkang moluska, baik yang masih utuh ataupun sudah pecah, pemilahan buruk, kemas terbuka, porositas sedang, kompak, besar butir pasir sedang-pasir halus. Di beberapa lokasi terdapat bioturbasi. Berdasarkan analisis petrografi, diketahui bahwa batupasir pada satuan ini merupakan Tuff Kristal (Schmid, 1981, Lampiran A7) dengan komposisi hornblenda, plagioklas, kuarsa, biotit, dengan persentase matriks sebesar 38% Umur dan Lingkungan Pengendapan Umur Satuan Batupasir dari hasil analisis foraminifera kecil yaitu N21 bagian atas atau Pliosen Akhir (Lampiran B). Sampel yang dianalisis berjumlah lima buah, berurutan dari tua ke muda secara posisi stratigrafi di lapangan yaitu H.6.1, H.8.1, H.8.6, H.10.3 dan H.8.2. Pada sampel H.6.1, H.10.3 dan H.8.2 dijumpai kehadiran Globigerinoides obliquus extremus. Oleh karena kemunculan akhir (LAD) dari Globigerinoides 37

10 obliquus extremus adalah pada umur N21 (Blow, 1969), dapat disimpulkan bahwa sampel H.6.1, H.8.1, H.8.6, H.10.3 dan H.8.2 berumur N21 bagian atas. Lingkungan pengendapan Satuan Batupasir dari hasil analisis lima sampel di atas adalah neritik tengah bagian dangkal dengan kedalaman m (Rauwenda, dkk., 1985, Lampiran B). Pada sampel H.6.1 dijumpai kehadiran foraminifera benthonik Uvigerina sp., Bulimina sp., Ammonia spp., Lagena sp., dengan rasio planktonik 30% sehingga dapat disimpulkan lingkungan pengendapannya adalah neritik tengah bagian dangkal dengan kedalaman m. Pada sampel H.8.1 dijumpai kehadiran foraminiferabenthonik berupa Nonion sp., Ammonia spp. (melimpah), dengan rasio planktonik sebesar 30%, sehingga dapat disimpulkan lingkungan pengendapannya adalah neritik tengah bagian dangkal dengan kedalaman m. Pada sampel H.8.6 dijumpai kehadiran foraminifera benthonik berupa Nonion sp., Uvigerina sp., Ammonia spp. (melimpah), Quinqueloculina sp., Lagena sp., Stillostomella sp., dengan rasio planktonik sebesar 25%, sehingga dapat disimpulkan lingkungan pengendapannya adalah neritik tengah bagian dangkal dengan kedalaman m. Pada sampel H.10.3 dijumpai kehadiran foraminifera benthonik berupa Nonion sp., Bulimina sp., Ammonia spp. (melimpah), Quinqueloculina sp., Lenticulina sp., Brizalina sp. (melimpah), dengan rasio planktonik sebesar 25%, sehingga dapat disimpulkan lingkungan pengendapannya adalah neritik tengah bagian dangkal dengan kedalaman m. Pada sampel H.8.2 dijumpai kehadiran foraminifera benthonik berupa Nodosaria spp., Nonion sp., Uvigerina sp., Bulimina sp., Ammonia spp., dengan rasio planktonik sebesar 25%, sehingga dapat disimpulkan lingkungan pengendapannya adalah neritik tengah bagian dangkal dengan kedalaman m. Dari hasil analisis lima sampel yang telah dijelaskan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa lingkungan pengendapan untuk Satuan Batupasir Formasi Kalibiuk adalah neritik tengah bagian dangkal dengan kedalaman m (Lampiran B). 38

11 Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi Hubungan satuan batuan ini dengan satuan batuan di bawahnya bersifat selaras yang ditunjukkan dengan kemiringan lapisan yang relatif sama dan tidak adanya selang waktu pengendapan pada kedua satuan batuan yang dibuktikan dengan analisis mikropaleontologi. Berdasarkan posisi stratigrafi dan penyebaran litologi pada peta geologi regional (Djuri, dkk., 1996) maka Satuan Batupasir ini dapat disetarakan dengan Formasi Kalibiuk Satuan Endapan Undak Sungai (Teras Sungai) Penyebaran dan Ketebalan Endapan Teras Sungai atau Undak Sungai merupakan Endapan Aluvial yang telah mengalami pengangkatan dan proses erosi sehingga berada pada suatu ketinggian tertentu. Endapan ini terdiri dari fragmen batuan seperti andesit, batupasir, batulempung dan fragmen batuan lain dan sebagian dari material tersebut telah mengalami pelapukan dan berubah menjadi paleosoil. Pada umumnya endapan ini berada di ketinggian sekitar m di atas permukaan laut dengan ketebalan 2-3 m. Penyebaran dari Endapan Teras Sungai ini sama halnya dengan Endapan Aluvial yaitu di sepanjang pinggir-pinggir sungai utama atau sungai besar, namun pada ketinggian yang berbeda (berada pada ketinggian yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan Endapan Aluvial biasa) dengan penyebaran sekitar 3% dari luas Satuan Endapan Aluvial. Satuan ini pada peta geologi (Lampiran E3) tidak ada, karena satuan ini tidak terpetakan di lapangan Ciri Litologi Satuan ini berupa endapan sungai dengan material-material penyusun yang tertanam dalam paleosoil, sudah lebih terkonsolidasi daripada Satuan Endapan Aluvial. Material ini berukuran kerikil sampai bongkah berupa fragmen batuan seperti andesit, batupasir, batulempung dan fragmen batuan lain dan sebagian dari material tersebut telah mengalami pelapukan dan berubah menjadi paleosoil. Kebundaran material ini sangat baik, yang menunjukkan bahwa material ini telah tertransport jauh dari sumbernya. Kemungkinan sumber dari material-material ini berasal dari Formasi Kumbang yang berada di sebelah utara daerah penelitian. 39

12 Umur, Lingkungan Pengendapan dan Hubungan Stratigrafi Satuan ini diperkirakan berumur Holosen Awal. Hal ini berdasarkan proses tektonik, yang melibatkan terjadinya pengangkatan daratan, yang terjadi pada Pliosen Akhir-Plistosen. Oleh karena endapan ini diasumsikan merupakan hasil dari proses pengangkatan yang terjadi, maka endapan ini terbentuk pasca Plistosen. Satuan Endapan Undak Sungai ini diendapkan pada lingkungan pengendapan darat dan merupakan hasil endapan sungai serta diendapkan secara tidak selaras di atas satuan batuan yang lebih tua Satuan Endapan Aluvial Penyebaran dan Ketebalan Satuan Endapan Aluvial tersebar di sepanjang pinggir-pinggir sungai utama atau sungai besar, seperti halnya Kali Tambra. Satuan ini menempati sekitar 8% luas daerah penelitian, ditandai dengan warna abu-abu pada peta geologi. Sebagian satuan ini ada yang telah terbentuk sebagai undak sungai atau teras sungai Ciri Litologi Satuan ini berupa endapan sungai yang belum terkonsolidasi. Satuan ini terdiri dari material-material lepas berukuran kerikil sampai bongkah berupa batuan beku andesit, batupasir, dan batulempung. Material-material lepas ini memiliki kebundaran yang sangat baik yang menunjukkan bahwa material ini telah tertransport jauh dari sumbernya. Kemungkinan sumber dari material lepas ini berasal dari Formasi Kumbang yang berada di sebelah utara daerah penelitian Umur, Lingkungan Pengendapan dan Hubungan Stratigrafi Satuan ini berumur Holosen Akhir. Hal ini diketahui dari adanya proses pengendapan yang masih terus berlangsung sampai sekarang. Satuan ini diendapkan pada lingkungan pengendapan darat dan merupakan hasil endapan sungai dan diendapkan secara tidak selaras di atas satuan yang lebih tua. 40

13 Foto 3.24 Hubungan Stratigrafi Antara Satuan Endapan Aluvial dengan Satuan Yang Berumur Lebih Tua. 41

14 Gambar 3.2 Kolom Stratigrafi Daerah Penelitian 42

15 3.3 Struktur Geologi Daerah Penelitian Analisis struktur daerah penelitian didasarkan pada interpretasi peta topografi dan pengamatan langsung di lapangan mengenai indikasi struktur geologi di daerah penelitian. Pengamatan indikasi struktur geologi yang ditemukan di lapangan berupa shear fracture, zona hancuran atau longsoran dan adanya perubahan kedudukan lapisan yang mencolok. Struktur geologi yang terdapat pada daerah penelitian berupa struktur lipatan dan struktur sesar. Gejala-gejala struktur lipatan yang dapat diamati di lapangan berupa perubahan kedudukan perlapisan batuan yang berlawanan, sedangkan struktur sesar dapat diamati di lapangan dengan gejala-gejala shear fracture dan zona hancuran atau longsoran. Penamaan struktur diambil dari nama sungai, desa atau bukit tempat didapatkannya atau dilaluinya struktur tersebut. Peta penyebaran struktur geologi ditunjukkan dalam peta geologi (Lampiran E-3). Dalam interpretasi awal struktur geologi pada daerah penelitian, hal pertama yang dilakukan adalah menganalisis kelurusan-kelurusan pada daerah penelitian pada peta topografi (Gambar 3.3). Berdasarkan analisis kelurusan yang berupa diagram bunga atau roset diagram (Gambar 3.4), didapatkan dua arah struktur geologi yang dominan yaitu berarah NNE-SSW dan E-W. Kelurusan berarah NNE-SSW ini kemungkinan dikontrol oleh struktur sesar sedangkan kelurusan E- W kemungkingan dikontrol oleh perlapisan (jurus dan kemiringan) di daerah penelitian. 43

16 109 O O O O Gambar 3.3 Kelurusan Pada Peta Topografi Daerah Penelitian Gambar 3.4 Diagram Roset Kelurusan di daerah Penelitian 44

17 3.3.1 Struktur Lipatan (Sinklin Sidamulya) Struktur lipatan berupa sinklin yang terdapat di daerah penelitian dapat dikenali berdasarkan adanya perubahan kedudukan lapisan. Pola jurus perlapisan batuan pada daerah penelitian umumnya berarah barat-timur dengan pola kemiringan perlapisan berarah utara dan selatan. Kemiringan perlapisan pada daerah penelitian bervariasi yaitu berkisar antara 16 o -60 o. Struktur lipatan berupa sinklin yang ditemukan memiliki sumbu lipatan relatif berarah barat-timur. Pada daerah penelitian ditemui satu struktur lipatan yaitu Sinklin Sidamulya. Hasil analisis struktur geologi (Lampiran C) memperlihatkan gaya yang menyebabkan terbentuknya lipatan adalah gaya kompresi yang berarah relatif utara-selatan. Satuan batuan termuda yang terlibat dalam struktur lipatan ini adalah Satuan Batupasir yang berumur Pliosen Akhir (N21 bagian atas) sehingga dapat disimpulkan bahwa lipatan-lipatan tersebut mulai terbentuk pasca pengendapan Satuan Batupasir (setelah Pliosen Akhir). Berdasarkan interpretasi pada peta geologi dari perubahan kedudukan lapisan di lapangan, diketahui bahwa sumbu Sinklin Sidamulya berarah relatif barat-timur. Sayap-sayap lipatan ini memiliki kemiringan sekitar 54 o -60 o pada sayap utara dan 17 o -20 o pada sayap selatan. Berdasarkan hasil analisis struktur, sumbu sinklin berarah 18 o, N355 o E, pitch sebesar 4 o dan kedudukan bidang sumbu N85 o E/71 o SE. Berdasarkan ketiga variabel tersebut (kedudukan bidang sumbu lipatan, pitch dan plunge sumbu lipatan) maka lipatan ini merupakan horizontal fold (Klasifikasi Rickard, 1971 op.cit. Harsolumakso, 2008) Struktur Sesar (Sesar Kaliwotan) Struktur sesar yang ditemukan di daerah penelitian setelah dianalisis didapatkan hasil berupa sesar mendatar dengan pergerakan mengiri turun. Data struktur diambil di Kali Wotan (S07 o E109 o ). Data sesar yang ditemukan hanya shear fracture, sedangkan gores garis yang ada bersifat minor, sehingga arah kedudukan bidang sesar ditentukan berdasarkan arah dominan kelurusan pada daerah yang diperkirakan dilalui sesar tersebut. Berdasarkan analisis geometri bidang sesar dan struktur penyerta dari 45

18 sesar tersebut didapatkan hasil Sesar Kaliwotan adalah Sesar mendatar dengan pergerakan mengiri turun dengan kedudukan bidang sesar N26 o E/60 o. Foto 3.25 Zona Hancuran (Lokasi Pengambilan Data Struktur) Foto 3.26 Shear Fracture dalam Batulempung (Lokasi Pengambilan Data Struktur) 46

19 3.3.3 Proses Pembentukan Struktur Geologi Pada Daerah Penelitian Berdasarkan analisis kinematika data struktur di daerah penelitian, didapatkan dua struktur geologi yaitu (lipatan) sinklin dan sesar mendatar dengan pergerakan mengiri turun. Data struktur yang digunakan adalah shear fracture yang terekam dalam batulempung. struktur geologi yang lebih dahulu terbentuk adalah lipatan lalu kemudian terbentuk sesar. Hal ini diketahui berdasarkan adanya pergesaran sumbu lipatan akibat terpotong oleh sesar mendatar. Sesar mendatar ini diasumsikan terjadi akibat proses terjadinya lipatan yang telah melewati batas elastisitas. Gambar 3.5 Model Pure Shear (Thomas, dkk., 1973 op. cit. Twiss and Moores, 1992) Analisis tegasan berdasarkan model pure shear (Gambar 3.5), arah tegasan yang menyebabkan terbentuknya lipatan yang relatif berarah barat-timur (Sinklin Sidamulya) dan sesar mendatar mengiri turun yang relatif berarah timur laut-barat daya (Sesar Kaliwotan) diinterpretasikan relatif berarah utara-selatan. Pola struktur berupa lipatan sinklin melibatkan satuan batuan termuda di daerah penelitian yaitu Satuan Batupasir yang berumur Pliosen Tengah-Pliosen Akhir. Bukti di lapangan menunjukkan adanya pembalikan kedudukan lapisan batuan, sehingga diperkirakan bahwa tegasan yang relatif berarah utara-selatan 47

20 tersebut berumur pasca Pliosen Akhir. Selanjutnya dengan tegasan yang sama terbentuk struktur sesar mendatar mengiri turun (Sesar Kaliwotan). Sesar mendatar ini juga melibatkan satuan batuan termuda di daerah penelitian, yaitu Satuan Batupasir, sehingga dapat diasumsikan juga struktur sesar mendatar ini juga terbentuk pasca Pliosen Akhir. Berdasarkan peta geologi regional daerah penelitian (Djuri, dkk., 1996), struktur geologi yang terdapat di daerah penelitian diasumsikan berumur Plistosen, hal ini dikarenakan struktur geologi ini melibatkan satuan batuan termuda pada peta geologi regional (Formasi Ligung). Gambar 3.6 Urutan Struktur di Pulau Jawa berdasarkan Konsep Wrench fault Tectonics (Situmorang dkk, 1976) Berdasarkan arah sumbu lipatan dan tren arah bidang sesar dapat disimpulkan bahwa rezim tektonik yang berlangsung di daerah penelitian bersifat kompresi dengan arah utara-selatan dan merupakan struktur orde pertama (Gambar 3.6) berdasarkan konsep Wrench Fault Tectonics (Situmorang, dkk., 1976) yang mengakibatkan terbentuknya struktur geologi yang memiliki Pola Jawa. Arah tegasan yang relatif utara-selatan ini diasumsikan berasal dari subduksi Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Mikro Sunda. 48

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan intepretasi peta topografi, yang kemudian dilakukan pengamatan secara langsung di

Lebih terperinci

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan 3.2.3 Satuan Batulempung A. Penyebaran dan Ketebalan Satuan batulempung ditandai dengan warna hijau pada Peta Geologi (Lampiran C-3). Satuan ini tersingkap di bagian tengah dan selatan daerah penelitian,

Lebih terperinci

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Foto 3.7. Singkapan Batupasir Batulempung A. SD 15 B. SD 11 C. STG 7 Struktur sedimen laminasi sejajar D. STG 3 Struktur sedimen Graded Bedding 3.2.2.3 Umur Satuan ini memiliki umur N6 N7 zonasi Blow (1969)

Lebih terperinci

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya)

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) 3.2.2.1 Penyebaran Satuan batuan ini menempati 2% luas keseluruhan dari daerah

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

dalam Zonasi Bolli & Saunders (1985), berdasarkan kandungan plangton tersebut maka kisaran umur satuan batuan ini adalah N21 atau Pliosen Atas.

dalam Zonasi Bolli & Saunders (1985), berdasarkan kandungan plangton tersebut maka kisaran umur satuan batuan ini adalah N21 atau Pliosen Atas. dalam Zonasi Bolli & Saunders (1985), berdasarkan kandungan plangton tersebut maka kisaran umur satuan batuan ini adalah N21 atau Pliosen Atas. III.2.1.5 Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi Hubungan

Lebih terperinci

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi 3.2.2.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Penentuan umur pada satuan ini mengacu pada referensi. Satuan ini diendapkan pada lingkungan kipas aluvial. Analisa lingkungan pengendapan ini diinterpretasikan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal dari peta topografi dan citra satelit,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentang alam dan morfologi suatu daerah terbentuk melalui proses pembentukan secara geologi. Proses geologi itu disebut dengan proses geomorfologi. Bentang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Proses geomorfik adalah seluruh perubahan fisika dan kimiawi yang mempengaruhi bentuk dari suatu permukaan bumi (Thornbury, 1969). Terbentuknya

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan pengamatan awal pada peta topografi dan pengamatan langsung

Lebih terperinci

Batupasir. Batugamping. Batupasir. Batugamping. Batupasir

Batupasir. Batugamping. Batupasir. Batugamping. Batupasir nama Anggota Tawun Formasi Tuban. Van Bemmelen (1949 dalam Kadar dan Sudijono, 1994) menggunakan nama Lower Orbitoiden-Kalk (Lower OK) dan dimasukkan dalam apa yang disebut Rembang Beds. Selanjutnya, oleh

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

A. Perlapisan batupasir batulempung dengan ketebalan yang homogen B. Antara batupasir dan batu lempung memperlihatkan kontak tegas

A. Perlapisan batupasir batulempung dengan ketebalan yang homogen B. Antara batupasir dan batu lempung memperlihatkan kontak tegas 3.2.4 Satuan Batupasir-Batulempung 3.2.4.1 Penyebaran Satuan Batupasir-Batulempung menempati bagian selatan daerah penelitian (Gambar 3.6), meliputi + 10% dari luas daerah penelitian (warna hijaupada peta

Lebih terperinci

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono Batulempung, hadir sebagai sisipan dalam batupasir, berwarna abu-abu, bersifat non karbonatan dan secara gradasi batulempung ini berubah menjadi batuserpih karbonan-coally shale. Batubara, berwarna hitam,

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Analisis geomorfologi dilakukan untuk mempelajari proses bentang alam terbentuk secara konstruksional (yang diakibatkan oleh gaya endogen),

Lebih terperinci

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Nodul siderite Laminasi sejajar A B Foto 11. (A) Nodul siderite dan (B) struktur sedimen laminasi sejajar pada Satuan Batulempung Bernodul. 3.3.1.3. Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan Stratigrafi regional Pegunungan Selatan dibentuk oleh endapan yang berumur Eosen-Pliosen (Gambar 3.1). Menurut Toha, et al. (2000) endapan

Lebih terperinci

BAB 3 Tatanan Geologi Daerah Penelitian

BAB 3 Tatanan Geologi Daerah Penelitian BAB 3 Tatanan Geologi Daerah Penelitian 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Analisis morfologi yang dilakukan pada daerah penelitian berdasarkan pengamatan tekstur yang tercermin dalam perbedaan ketinggian,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentuk morfologi dan topografi di daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen yang bersifat destruktif dan proses endogen yang berisfat konstruktif.

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Foto 24. A memperlihatkan bongkah exotic blocks di lereng gunung Sekerat. Berdasarkan pengamatan profil singkapan batugamping ini, (Gambar 12) didapatkan litologi wackestone-packestone yang dicirikan oleh

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 GEOMORFOLOGI III.1.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Pengamatan geomorfologi daerah penelitian dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu pengamatan geomorfologi

Lebih terperinci

// - Nikol X - Nikol 1mm

// - Nikol X - Nikol 1mm S S A B B C Foto 3.14 Satuan breksi vulkanik dengan sisipan batupasir-batulempung. Breksi polimik ( B), Monomik (A) dan litologi batupasir-batulempung (bawah,c) Pengambilan sampel untuk sisipan batupasir

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian yaitu geologi daerah Ngampel dan sekitarnya. Pembahasan meliputi kondisi geomorfologi, urutan stratigrafi,

Lebih terperinci

Geologi Daerah Penelitian. III Hubungan Stratigrafi

Geologi Daerah Penelitian. III Hubungan Stratigrafi 30 Geologi Daerah Penelitian III.2.2.3. Hubungan Stratigrafi Dilihat dari arah kemiringan lapisan yang sama yaitu berarah ke timur dan pengendapan yang menerus, maka diperkirakan hubungan stratigrafi dengan

Lebih terperinci

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8).

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8). dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8). Gambar 3.7 Struktur sedimen pada sekuen Bouma (1962). Gambar 3.8 Model progradasi kipas bawah laut

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. GEOMORFOLOGI Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses eksogen dan endogen yang membentuk

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Pengamatan geomorfologi di daerah penelitian dilakukan dengan dua tahap, yaitu dengan pengamatan menggunakan SRTM dan juga peta kontur yang dibuat dari

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Geomorfologi daerah penelitian dapat dianalisis dengan menggunakan beberapa media, yaitu peta kontur, citra satelit, dan citra Digital Elevation Model

Lebih terperinci

Gambar 3.6 Model progradasi kipas laut dalam (Walker, R. G., 1978).

Gambar 3.6 Model progradasi kipas laut dalam (Walker, R. G., 1978). (Satuan Breksi-Batupasir) adalah hubungan selaras dilihat dari kemenerusan umur satuan dan kesamaan kedudukan lapisan batuannya. Gambar 3.5 Struktur sedimen pada sekuen Bouma (Bouma, A. H., 1962). Gambar

Lebih terperinci

Adanya cangkang-cangkang mikro moluska laut yang ditemukan pada sampel dari lokasi SD9 dan NG11, menunjukkan lingkungan dangkal dekat pantai.

Adanya cangkang-cangkang mikro moluska laut yang ditemukan pada sampel dari lokasi SD9 dan NG11, menunjukkan lingkungan dangkal dekat pantai. BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.2.2.3 Umur Berdasarkan data analisis mikrofosil pada sampel yang diambil dari lokasi BG4 (Lampiran B), spesies-spesies yang ditemukan antara lain adalah Globigerinoides

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi secara umum daerah penelitian tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian Morfologi muka bumi yang tampak pada saat ini merupakan hasil dari proses-proses geomorfik yang berlangsung. Proses geomorfik menurut

Lebih terperinci

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan Gambar 3.8 Korelasi Stratigrafi Satuan Batupasir terhadap Lingkungan Delta 3.2.3 Satuan Batulempung-Batupasir Persebaran (dominasi sungai) Satuan ini menempati 20% dari luas daerah penelitian dan berada

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Geomorfologi adalah ilmu tentang bentang alam, proses-proses yang terjadi dan pembentukannya, baik dari dalam (endogen) maupun di luar (eksogen). Geomorfologi

Lebih terperinci

Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi

Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi 3.2.3.3 Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Berdasarkan data analisis mikrofosil pada batupasir (lampiran B), maka diperoleh umur dari Satuan Breksi yaitu N8 (Akhir Miosen Awal) dengan ditemukannya

Lebih terperinci

Foto III-11. T.abc sekuen Bouma pada Satuan Batupasir-Batulempung (CKG 11) Foto III-12. T.abc sekuen Bouma pada Satuan Batupasir-Batulempung (CKG 12)

Foto III-11. T.abc sekuen Bouma pada Satuan Batupasir-Batulempung (CKG 11) Foto III-12. T.abc sekuen Bouma pada Satuan Batupasir-Batulempung (CKG 12) Batupasir pada satuan ini memiliki ketebalan 5-100cm, berwarna abu-abu, berukuran pasir halus-kasar, tufaan, bentuk butir menyudut hingga menyudut tanggung kemas tertutup, terpilah sedang, porositas sedang,

Lebih terperinci

Subsatuan Punggungan Homoklin

Subsatuan Punggungan Homoklin Foto 3.6. Subsatuan Lembah Sinklin (foto ke arah utara dari daerah Pejaten). Foto 3.7. Subsatuan Lembah Sinklin (foto ke arah utara dari daerah Bulu). Subsatuan Punggungan Homoklin Subsatuan Punggungan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Menurut Lobeck (1939), faktor utama yang mempengaruhi bentuk bentangan alam adalah struktur, proses, dan tahapan. Struktur memberikan informasi mengenai

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 34 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 34 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / Pada sayatan tipis (Lampiran C) memiliki ciri-ciri kristalin, terdiri dari dolomit 75% berukuran 0,2-1,4 mm, menyudut-menyudut tanggung. Matriks lumpur karbonat 10%, semen kalsit 14% Porositas 1% interkristalin.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Struktur sesar yang dijumpai di daerah penelitian adalah Sesar Naik Gunungguruh, Sesar Mendatar Gunungguruh, Sesar Mendatar Cimandiri dan Sesar Mendatar

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Morfologi permukaan bumi merupakan hasil interaksi antara proses eksogen dan proses endogen (Thornbury, 1989). Proses eksogen merupakan proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Menurut Lobeck (1939), faktor utama yang mempengaruhi bentuk bentangan alam adalah struktur, proses, dan tahapan. Struktur memberikan informasi mengenai

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN Geomorfologi pada daerah penelitian diamati dengan melakukan pengamatan langsung di lapangan yang kemudian diintegrasikan dengan interpretasi

Lebih terperinci

S U KE 06. Gambar 3.8 Sketsa Penampang Lintasan E

S U KE 06. Gambar 3.8 Sketsa Penampang Lintasan E Batupasir, berwarna coklat kusam, kondisi agak lapuk ukuran butir pasir sedang, sub rounded, pemilahan baik, kemas tertutup, porositas baik, non karbonatan. Batulempung, abu abu gelap, karbonatan. 3.2.5

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH PAPRINGAN DAN SEKITARNYA KECAMATAN TEMAYANG KABUPATEN BOJONEGORO JAWA TIMUR

GEOLOGI DAERAH PAPRINGAN DAN SEKITARNYA KECAMATAN TEMAYANG KABUPATEN BOJONEGORO JAWA TIMUR GEOLOGI DAERAH PAPRINGAN DAN SEKITARNYA KECAMATAN TEMAYANG KABUPATEN BOJONEGORO JAWA TIMUR Oleh : Rizal Arief Hasyim 1), Singgih Irianto 2), dan Mohammad Syaiful 3) Abstrak Dalam penelitian ini untuk mengetahui

Lebih terperinci

Batupasir. Batulanau. Foto 3.15 Bagian dari Singkapan Peselingan Batulanau dengan Batupasir pada Lokasi Sdm.5 di Desa Sungapan

Batupasir. Batulanau. Foto 3.15 Bagian dari Singkapan Peselingan Batulanau dengan Batupasir pada Lokasi Sdm.5 di Desa Sungapan B T Batupasir Batulanau Foto 3.15 Bagian dari Singkapan Peselingan Batulanau dengan Batupasir pada Lokasi Sdm.5 di Desa Sungapan Lokasi pengamatan untuk singkapan breksi volkanik berada pada lokasi Sdm.1

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Analisis struktur sesar di daerah penelitian dilakukan dengan melakukan pengolahan data berupa kekar gerus, breksiasi, posisi stratigrafi, dan kelurusan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Propinsi Jawa Tengah secara geografis terletak diantara 108 30-111 30 BT dan 5 40-8 30 LS dengan batas batas sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI 3.1.1 Geomorfologi Umum Daerah Penelitian Pengamatan geomorfologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan pengamatan awal pada peta topografi, pengamatan

Lebih terperinci

Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi

Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi 3.2.3.5 Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi Berdasarkan ciri litologi pada satuan batuan ini, maka satuan batulempung disetarakan dengan Formasi Sangkarewang (Koesoemadinata dan Matasak, 1981). Hubungan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat (Gambar 2.1), berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya dibagi menjadi empat bagian (Van Bemmelen, 1949 op. cit. Martodjojo, 1984),

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi 3.1.1. Morfologi Umum Daerah Penelitian Pengamatan geomorfologi di daerah penelitian dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu metode tidak langsung

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Regional Jawa Tengah berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Barat di sebelah barat, dan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1. Struktur Sesar Analisis struktur sesar di daerah penelitian dilakukan dengan melakukan pengolahan data berupa kekar gerus, breksiasi, posisi stratigrafi, dan kelurusan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Pengamatan geomorfologi terutama ditujukan sebagai alat interpretasi awal, dengan menganalisis bentang alam dan bentukan-bentukan alam yang memberikan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Metoda yang dilakukan dalam analisis geomorfologi adalah dengan analisis citra SRTM dan analisis peta topografi, sehingga didapatkan kelurusan lereng,

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Geomorfologi Daerah Penelitian III.1.1 Morfologi dan Kondisi Umum Daerah Penelitian Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada kuasa HPH milik PT. Aya Yayang Indonesia Indonesia, yang luasnya

Lebih terperinci

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur Umur Analisis mikropaleontologi dilakukan pada contoh batuan pada lokasi NA805 dan NA 803. Hasil analisis mikroplaeontologi tersebut menunjukkan bahwa pada contoh batuan tersebut tidak ditemukan adanya

Lebih terperinci

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS 4.1 Pendahuluan Untuk studi sedimentasi pada Formasi Tapak Bagian Atas dilakukan melalui observasi urutan vertikal terhadap singkapan batuan yang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses yang bersifat

Lebih terperinci

Foto 3.6 Singkapan perselingan breksi dan batupasir. (Foto diambil di Csp-11, mengarah kehilir).

Foto 3.6 Singkapan perselingan breksi dan batupasir. (Foto diambil di Csp-11, mengarah kehilir). Apabila diperhatikan, hasil analisis petrografi dari sayatan batupasir kasar dan sayatan matriks breksi diperoleh penamaan yang sama. Hal ini diperkirakan terjadi karena yang menjadi matriks pada breksi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH BANTARGADUNG

BAB III GEOLOGI DAERAH BANTARGADUNG BAB III GEOLOGI DAERAH BANTARGADUNG 3.1 GEOMORFOLOGI Metode yang dilakukan dalam analisis geomorfologi ini adalah dengan analisa peta topografi dan citra satelit, sehingga didapatkan kelurusan lereng,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian diamati dengan melakukan interpretasi pada peta topografi, citra

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Perolehan Data dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian pada Peta Geologi Lembar Cianjur skala 1 : 100.000 terletak di Formasi Rajamandala (kotak kuning pada Gambar

Lebih terperinci

Geologi Daerah Sirnajaya dan Sekitarnya, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 27

Geologi Daerah Sirnajaya dan Sekitarnya, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 27 memiliki ciri-ciri berwarna abu-abu gelap, struktur vesikuler, tekstur afanitik porfiritik, holokristalin, dengan mineral terdiri dari plagioklas (25%) dan piroksen (5%) yang berbentuk subhedral hingga

Lebih terperinci

Gambar 3.5 Klasifikasi Batugamping berdasarkan Dunham, 1964 ( Loucks et. Al, 2003)

Gambar 3.5 Klasifikasi Batugamping berdasarkan Dunham, 1964 ( Loucks et. Al, 2003) Gambar 3.5 Klasifikasi Batugamping berdasarkan Dunham, 1964 ( Loucks et. Al, 2003) Foto 3.5 Singkapan batugamping di lapangan pada titik pengamatan: A.GH-10, B. GHB - 2 C. SCT -3 D. GHB-4 20 3.2.3 Satuan

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Melalui interpretasi peta topografi dan citra udara serta analisis pola kerapatan kontur yang didasarkan pada klasifikasi van Zuidam, 1985, tatanan umum

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI 3.1.1. Morfologi Umum Daerah Penelitian Pengamatan geomorfologi di daerah penelitian dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu metode tidak langsung

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Analisis geomorfologi daerah penelitian dilakukan dengan cara pengamatan peta topografi dan pengamatan di lapangan. Berdasarkan peta

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian terdiri dari sesar sesar anjak berarah WNW - ESE, sesar-sesar geser berarah NE - SW. Bukti-bukti

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat oleh van Bemmelen (1949) pada dasarnya dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

Bab III Geologi Daerah Penelitian

Bab III Geologi Daerah Penelitian Bab III Geologi Daerah Penelitian Foto 3.4 Satuan Geomorfologi Perbukitan Blok Patahan dilihat dari Desa Mappu ke arah utara. Foto 3.5 Lembah Salu Malekko yang memperlihatkan bentuk V; foto menghadap ke

Lebih terperinci

Batulempung (Gambar 3.20), abu abu kehijauan, lapuk, karbonan, setempat terdapat sisipan karbon yang berwarna hitam, tebal ± 5 30 cm.

Batulempung (Gambar 3.20), abu abu kehijauan, lapuk, karbonan, setempat terdapat sisipan karbon yang berwarna hitam, tebal ± 5 30 cm. Gambar 3.17. Foto singkapan konglomerat, lokasi GGR-9 Gambar 3.18. Foto singkapan konglomerat, menunjukkan fragmen kuarsa dan litik, lokasi GGR-9 Secara megaskopis, ciri litologi batupasir berwarna putih

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. GEOMORFOLOGI Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses yang bersifat

Lebih terperinci

Ciri Litologi

Ciri Litologi Kedudukan perlapisan umum satuan ini berarah barat laut-tenggara dengan kemiringan berkisar antara 60 o hingga 84 o (Lampiran F. Peta Lintasan). Satuan batuan ini diperkirakan mengalami proses deformasi

Lebih terperinci

batupasir batulempung Geologi dan Analisis Struktur Daerah Cikatomas dan Sekitarnya, Kabupaten Lebak, Banten.

batupasir batulempung Geologi dan Analisis Struktur Daerah Cikatomas dan Sekitarnya, Kabupaten Lebak, Banten. Batulempung hadir bersama batupasir di bagian atas membentuk struktur perlapisan. Batulempung berwarna abu-abu gelap, bersifat karbonatan. Pada singkapan memiliki tebal 10 50 cm. batupasir batulempung

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Bentuk dan Pola Umum Morfologi Daerah Penelitian Bentuk bentang alam daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal tekstur berupa perbedaan tinggi dan relief yang

Lebih terperinci

hancuran yang muncul sebagai breksiasi. Tebal batulempung dalam perselingan sangat bervariasi, dari 20 cm hingga 30 cm.

hancuran yang muncul sebagai breksiasi. Tebal batulempung dalam perselingan sangat bervariasi, dari 20 cm hingga 30 cm. hancuran yang muncul sebagai breksiasi. Tebal batulempung dalam perselingan sangat bervariasi, dari 20 cm hingga 30 cm. Adapun sisipan tebal konglomerat dicirikan dengan warna abu-abu kecoklatan, fragmen

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses yang bersifat

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS FASIES ENDAPAN TURBIDIT

BAB IV ANALISIS FASIES ENDAPAN TURBIDIT BAB IV ANALISIS FASIES ENDAPAN TURBIDIT 4.1 Fasies Turbidit adalah suatu sedimen yang diendapkan oleh mekanisme arus turbid (turbidity current), sedangkan arus turbid itu sendiri adalah suatu arus yang

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH PAJENG DAN SEKITARNYA KECAMATAN GONDANG KABUPATEN BOJONEGORO JAWA TIMUR

GEOLOGI DAERAH PAJENG DAN SEKITARNYA KECAMATAN GONDANG KABUPATEN BOJONEGORO JAWA TIMUR GEOLOGI DAERAH PAJENG DAN SEKITARNYA KECAMATAN GONDANG KABUPATEN BOJONEGORO JAWA TIMUR Oleh : Rizwan Arief Hasan 1), Singgih Irianto 2), dan Mohammad Syaiful 3) Abstrak Lokasi pemetaan berada di daerah

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Stratigrafi Daerah Nanga Kantu Stratigrafi Formasi Kantu terdiri dari 4 satuan tidak resmi. Urutan satuan tersebut dari tua ke muda (Gambar 3.1) adalah Satuan Bancuh

Lebih terperinci

BAB IV SEJARAH GEOLOGI

BAB IV SEJARAH GEOLOGI BAB IV SEJARAH GEOLOGI Sejarah geologi daerah penelitian dapat disintesakan berdasarkan ciri litologi, umur, lingkungan pengendapan, hubungan stratigrafi, mekanisme pembentukan batuan dan pola strukturnya.

Lebih terperinci

Foto 3.12 Lokasi Singkapan batulempung B (DRM 3)

Foto 3.12 Lokasi Singkapan batulempung B (DRM 3) 3.2.3 Satuan Batulempung B Satuan ini menempati 10% luas daerah penelitian, terletak berada dibagian selatan daerah penelitian dan penyebarannya memanjang baratlaut tenggara Pada peta geologi satuan ini

Lebih terperinci

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN 4.1 Litofasies Menurut Walker dan James pada 1992, litofasies adalah suatu rekaman stratigrafi pada batuan sedimen yang menunjukkan karakteristik fisika, kimia, dan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah oleh van Bemmelen, (1949) dibagi menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: Dataran Aluvial Jawa Utara, Gunungapi Kuarter,

Lebih terperinci

BAB IV STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV STRUKTUR GEOLOGI BAB IV STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Struktur sesar (Gambar 4.1) yang berkembang di daerah penelitian terdiri dari sesar naik berarah relatif WNW-ESE, sesar geser berarah relatif utara-selatan dan

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

IV.2 Pola Kelurusan Daerah Penelitian

IV.2 Pola Kelurusan Daerah Penelitian Pola struktur yang berkembang pada daerah penelitian sebagian besar dipengaruhi oleh pola Jawa dengan kompresi berarah utara-selatan karena terbentuk pola struktur dan kelurusan yang berarah relatif barat-timur.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 METODA PENELITIAN Analisis struktur geologi terhadap daerah penelitian dilakukan melalui tiga tahap penelitian. Tahap pertama merupakan pendekatan tidak langsung, yaitu

Lebih terperinci