METODE PERHITUNGAN CADANGAN TE-3231

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "METODE PERHITUNGAN CADANGAN TE-3231"

Transkripsi

1 DIKTAT MATA KULIAH METODE PERHITUNGAN CADANGAN TE-3231 (Edisi 1) Sinclair (2005) Disusun Oleh: Prof. Sudarto Notosiswoyo, Dr.Ir.M.Eng. Syafrizal Lilah, ST.MT. Mohamad Nur Heriawan, ST.MT. Agus Haris Widayat, ST.MT. Departemen Teknik Pertambangan Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral Institut Teknologi Bandung 2005

2 KATA PENGANTAR Diktat ini adalah sebuah pengantar dalam bahasa Indonesia untuk mempermudah mahasiswa dalam memahami metode atau cara-cara melakukan perhitungan cadangan. Dalam diktat ini metode yang dibahas lebih menekankan pada metode konvensional yang merupakan dasar dari perhitungan cadangan. Diharapkan diktat ini dapat digunakan sebagai penuntun mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan Metode Perhitungan Cadangan (TE-3231), khususnya di Departemen Teknik Pertambangan ITB. Sangat diharapkan bahwa mahasiswa tidak hanya mengacu pada diktat ini tetapi juga harus membaca dan mempelajari buku pegangan (text book) lain yang banyak tersedia untuk memperkaya pengetahuan dan pemahamannya. Diktat ini merupakan edisi pertama yang disusun dengan mengacu pada buku Applied Mineral Inventory Estimation (Sinclair and Blackwell, 2005). Disamping itu materi juga diambil dari buku-buku pilihan lainnya seperti tercantum dalam bagian Daftar Pustaka, maupun dari pengalaman dan pemahaman pribadi para penyusunnya. Masih banyak kekurangan dalam penyusunan diktat ini sehingga penambahan dan penyempurnaan materi diktat ini masih terus berlangsung. Masukan dari pembaca sangat diharapkan sehingga materi maupun bahasan dari diktat ini menjadi semakin lengkap. Penyusun: Prof. Sudarto Notosiswoyo, Dr.Ir.M.Eng. Syafrizal Lilah, ST.MT. Mohamad Nur Heriawan, ST.MT. Agus Haris Widayat, ST.MT. i

3 DAFTAR ISI halaman KATA PENGANTAR i DAFTAR ISI ii DAFTAR GAMBAR iv DAFTAR TABEL vii BAB I. PENDAHULUAN I PENDAHULUAN I PENTUNGNYA PERHITUNGAN CADANGAN... I-3 II. KONSEP DASAR PERHITUNGAN CADANGAN.. II BIJIH.... II CUTOFF GRADE..... II KONTINUITAS... II DILUSI... II VARIABEL TEREGIONAL... II SELECTIVE MINING UNIT... II AKURASI DAN KETEPATAN... II POLA EKSPLORASI... II GRID DENSITY... II-10 III. KLASIFIKASI SUMBERDAYA DAN CADANGAN.. III KLASIFIKASI STANDAR NASIONAL INDONESIA (BSN) III KLASIFIKASI DI BEBERAPA NEGARA... III-9 IV. KONTROL GEOLOGI.... IV PEMETAAN GEOLOGI... IV PEMODELAN UMUM GEOMETRI ENDAPAN.. IV KESALAHAN UMUM PEMODELAN GEOMETRI IV-7 ENDAPAN. 4.4 MINERALOGI... IV-11 V. KONSEP STATISTIK..... V PENDAHULUAN. V PARAMETER-PARAMETER STATISTIK KLASIK... V Ukuran Tendensi Sentral V Ukuran dispersi... V-4 ii

4 halaman Kovariansi... V Skewness dan Kurtosis V HISTOGRAM... V DISTRIBUSI KONTINU... V Distribusi Normal (Gaussian) V Distribusi Normal Baku. V Formula Taksiran untuk Distribusi Normal.. V Distribusi Lognormal.. V Distribusi Binomial.. V Distribusi Poisson... V DISTRIBUSI KUMULATIF. V Grafik Peluang... V KORELASI SEDERHANA. V AUTOKORELASI... V REGRESI LINIER SEDERHANA... V REGRESI REDUCE MAJOR AXIS.. V-27 VI. METODE PENAKSIRAN PARAMETER DAN VI-1 PERHITUNGAN CADANGAN PENAKSIRAN PARAMETER VI Perlunya Penaksiran.... VI Metode Penaksiran.... VI PERHITUNGAN CADANGAN.... VI Metode Penampang.. VI Metode Poligon (Area of Influences) VI Metode USGS Circular 891 (1983).. VI Metode Segitiga... VI Sistem Blok.... VI-12 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN SOAL TUGAS iii

5 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Grafik antara kadar taksiran (absis) dengan kadar sebenarnya (ordinat) pada beberapa blok (selective mining), cog (Xc) yang ditentukan untuk absis maupun ordinat sebesar 0.2% Konsep Konektivitas sebagai fungsi perubahan harga cog. Blok-blok rencana penambangan emas yang dibuat berdasar sampel diwilayah northern British Columbia Dilusi yang terjadi pada setiap tahapan proses pertambangan Ilustrasi numerik dari efek smoothing kombinasi kadar dari support kecil sampai besar (atas), hubungan umum dari dispersi kadar yang diilustrasikan dalam histogram antara sampel volume kecil dan besar Blok-blok yang dipergunakan untuk mengestimasi geometri badan bijih, blok tersebut umumnya akan dipergunakan sebagai selective mining unit Pola eksplorasi bujursangkar (a), persegi panjang (b), segitiga (c), dan rhombohedron (d) Sistem klasifikasi sumberdaya mineral dan cadangan SNI Sistem kodifikasi sumberdaya mineral dan cadangan SNI Sesar mendatar (garis putus) yang terjadi setelah proses mineralisasi akan menghasilkan zona yang mempunyai kadar mineral sangat berbeda Kerapatan dan arah rekahan dipetakan dengan baik. Terdapat mineralisasi: hitam dan abu-abu, dari kiri ke kanan menunjukkan kerapatan rekahan yang semakin turun, dari atas ke bawah menunjukkan arah dominasi yang berlawanan 4.3 Penampang model endapan molibdenit utaraselatan (A) dan timur-barat (B) Central British Columbia menunjukkan tiga fase mineralisasi pada breksi, stringer zone, dan high-grade vein Model geometri endapan tembaga-timah di tambang Neves-Corvo Portugal yang berubah-ubah sesuai halaman II-2 II-3 II-5 II-7 II-8 II-10 III-8 III-9 IV-2 IV-3 IV-4 IV-6 iv

6 Gambar halaman tambahan data geologi dan penambangan Penampang utara-selatan endapan sulfida masif IV-7 Woodlawn- Australia, menunjukkan pernedaan hasil interpretasi data bor dengan hasil penambangan Beberapa variasi model batas antara bijih dan IV-8 waste. Dari kiri ke kanan batas bijih berubah menjadi semakin gradasi, sedangkan dari atas ke bawah batas bijih berubah dari bidang sederhana menjadi lebih kompleks (tidak teratur) Pasangan data dengan jarak yang sama (dalam kasus ini 2 m) ditentukan baik untuk bijih maupun IV-9 waste dari garis batas 4.8 Hasil plot antara kadar bijih terhadap waste untuk IV-10 berbagai jarak yang sama dari batas bijih-waste. 4.9 Variasi mineralogi pada tambang sulfida masif IV-12 Woodlawn (Australia) Histogram data hipotetik, dengan memperlihatkan V-4 modus, median dan rata-ratanya. 5.2 Tiga contoh hasil analisis lubang bor yang V-6 digambarkan dengan histogram. Skewness negatif (a), simetris (b) dan skewness positif (c). Pada gambar (b) disertai dengan kurva normalnya 5.3 Ilustrasi data yang dikelompokkan secara spasial V-8 (a). Ukuran sel paling optimal diperoleh ketika kurva mean terbobot mencapai titik terendah jika data terkonsentrasi pada daerah kadar tinggi (b), demikian pula sebaliknya Kurva fungsi kepadatan peluang distribusi normal. V-10 Simetris pada nilai mean x m = 0,76 dan dispersi diukur oleh standar deviasi s = 0, Kurva distribusi normal baku..... V Kurva distribusi lognormal dari analisis lubang bor V-13 pada endapan tembaga Bougenville (Sinclair, 2005). Parameter data mentahnya m = 0,45% Cu dan s = 0, Contoh bentuk distribusi binomial... V Contoh bentuk distribusi poisoon.. V Histogram kumulatif.... V Grafik Peluang dari histogram pada gambar 5.2.c. V Grafik peluang dari histogram pada Gambar 5.2c V-20 dengan absis dalam skala logaritmik Bentuk grafik peluang dari dua populasi V-21 v

7 Gambar halaman 5.14 Diagram pencar dengan berbagai nilai koefisien V-22 korelasi Pengaruh pencilan dan trend nonlinier pada V-22 koefisien korelasi (r) Beberapa contoh korelogram... V Contoh penggunaan least square yang V-27 menunjukkan hubungan densitas dan kadar Ni Tiga model linier untuk merepresentasikan V-29 pasangan data Au AuD Contoh penaksiran metode IDW.. VI Sketsa perhitungan volume bijih dengan rumus VI-6 mean area (metode penampang) Sketsa perhitungan volume bijih dengan rumus VI-6 prismoida Sketsa perhitungan volume bijih dengan rumus VI-7 kerucut terpacung Sketsa perhitungan volume bijih dengan rumus VI-7 obelisk Metode poligon.... VI Teknik perhitungan sumberdaya batubara VI-10 berdasarkan sistem United States Geological Survey Circular 891 (1983) Cara perhitungan sumberdaya batubara dengan VI-11 kemiringan 30 0 (atas) dan kemiringan >30 0 (bawah), (USGS, 1983) Kontrol struktur pada batas sumberdaya batubara VI-12 (USGS, 1983) Perhitungan sumberdaya dengan model blok VI-13 vi

8 DAFTAR TABEL Tabel halaman II.1 Dua kategori kontinuitas dalam perhitungan cadangan II-5 III.1 Perkiraan tingkat kesalahan (error) pada masingmasing III-12 tingkat keyakinan... IV.1 Koefisien korelasi dan kontras geokimia untuk IV-11 pasangan data dengan berbagai jarak.... V.1 Rangkuman perhitungan contoh distribusi poisson... V-17 V.2 Rangkuman parameter model seperti ditunjukkan pada V-28 Gambar VI-1 Hasil perhitungan penaksiran IDW... VI-4 vii

9 BAB I, Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN The life of a mine does not start the day that production begins, but many years before, when the company sets out to explore for a mineral deposit. A good deal of time and money is spent simply looking for, locating and quantifying a promising mineral occurrence. Not many will be found and not many of the ones found will have the potential to become mines. It is not unusual to spend five to ten years searching for a mineable deposit.(anonymous). 1.1 PENDAHULUAN Investasi di bidang pertambangan memerlukan jumlah dana yang sangat besar yaitu puluhan sampai ratusan miliar dolar. Agar investasi yang akan dikeluarkan tersebut menguntungkan maka komoditas endapan mineral yang keterdapatannya masih insitu harus mempunyai kualitas maupun kuantitas yang cukup untuk mempengaruhi keputusan investasi. Sistem penambangan dan pengolahan yang digunakan untuk mengekstrak komoditas insitu tersebut harus dapat beroperasi dengan baik untuk menghasilkan pendapatan. Disamping itu semua teknologi dan pembiayaan yang direncanakan dengan matang juga dipertimbangkan terhadap aset mineral yang dimiliki. Dengan demikian perhitungan cadangan mineral harus dapat dilakukan dengan derajat kepercayaan yang dapat diterima dan dipertanggungjawabkan. Perhitungan cadangan merupakan sebuah langkah kuantifikasi formal terhadap suatu material yang keterdapatannya secara alamiah. Perhitungan dilakukan dengan berbagai metode/prosedur yang didasarkan pada pertimbangan empiris maupun teoritis. Volume, tonase, kadar, dan kuantitas mineral merupakan atribut-atribut (variabel/parameter) umum yang diperhitungkan. Perhitungan atribut tersebut harus optimal dalam arti takbias dan kesalahan acak tidak melebihi kriteria yang dapat dipertanggungjawabkan. Metode perhitungan dapat berbeda untuk endapan yang akan ditambang secara terbuka dengan endapan yang akan ditambang secara underground mine. Metode perhitungan cadangan juga berbeda sesuai dengan tujuan I-1

10 BAB I, Pendahuluan penambangan, maksudnya apakah jumlah cadangan yang diperoleh akan dipergunakan untuk perencanaan tambang jangka panjang, jangka pendek atau untuk keperluan lain. Perhitungan secara global diaplikasikan untuk memperoleh kadar rata-rata dan tonase dari sebuah volume endapan yang sangat besar. Umumnya digunakan untuk memperkirakan kontinuitas produksi tambang dalam kaitannya dengan perencanaan jangka panjang. Perhitungan ini masih bersifat insitu karena hanya berdasar pada faktor ekonomi yang masih bersifat umum. Hasil perhitungan dalam tahapan ini umumnya dikategorikan sebagai sumberdaya dan masih membutuhkan tambahan data eksplorasi. Perhitungan secara lokal dilakukan baik pada tahapan studi kelayakan maupun pada saat kegiatan penambangan sedang dilakukan. Hasil perhitungan umumnya dipakai untuk perencanaan jangka pendek atau menengah dan diklasifikasikan sebagai cadangan. Pengertian tentang sumberdaya dan cadangan selanjutnya akan dijelaskan lebih rinci pada Bab III. Perhitungan cadangan merupakan proses yang kompleks, karena itu membutuhkan ahli-ahli yang profesional. Sebuah tim yang besar dibutuhkan untuk proses ini, tidak hanya ahli eksplorasi, teknisi pertambangan dan ahli metalurgi tetapi juga melibatkan ahli ekonomi mineral, keuangan dan lain sebagainya. Pada dasarnya, perhitungan cadangan merupakan pengetahuan mengenai distribusi spasial kadar dan penentuan lokasi batuan mineral yang bernilai di atas cutoff grade (cog). Apapun tujuan dari perhitungan cadangan, proses ini harus dilakukan berdasarkan aturan-aturan yang terstruktur. Topik-topik yang berhubungan dengan proses perhitungan cadangan antara lain: 1. Pemodelan geologi 2. Dokumentasi kontinuitas, baik secara geologi dan nilai-nilainya. 3. Evaluasi data dan kualitas kontrolnya. I-2

11 BAB I, Pendahuluan 4. Evaluasi data umum seperti penggunakan ukuran kuantitatif (misalnya histogram, kecendrungan, korelasi dan lain-lain) 5. Perhitungan sumberdaya secara global 6. Sumberdaya lokal 7. Simulasi, dll Dalam diktat kuliah ini akan disampaikan tahapan dan beberapa metode yang digunakan dalam proses perhitungan cadangan bahan galian. Metode yang digunakan dalam perhitungan cadangan mencakup metode konvensioanl atau klasik dan metode non-konvensional. Metode konvensional menggunakan penaksiran 1 variabel dan perhitungan cadangan 2 yang sederhana, sedangkan metode non-konvensional menggunakan pendekatan geostatistik dalam proses penaksiran variabel maupun perhitungan cadangan. Dalam mata kuliah ini hanya akan dibahas metode konvensional, sedangkan metode nonkonvensional akan dibahas pada mata kuliah lain yaitu Geostatistik serta Pemodelan dan Evaluasi Cadangan. 1.2 PENTINGNYA PERHITUNGAN CADANGAN Semua keputusan teknis yang berhubungan dengan kegiatan penambangan sangat tergantung pada jumlah cadangan endapan. Dengan demikian perhitungan cadangan merupakan hal yang penting pada evaluasi suatu kegiatan penambangan. Harus pula diingat bahwa perhitungan cadangan menghasilkan suatu kisaran. Model cadangan yang dibuat adalah hasil pendekatan dari kondisi sebenarnya yang diharapkan berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil eksplorasi. Sehingga hasil dari perhitungan ini masih mengandung ketidakpastian. Tugas seorang ahli eksplorasi adalah meminimalkan ketidakpastian tersebut dengan menggunakan teknik-teknik perhitungan yang komprehensif. 1 Istilah penaksiran berhubungan dengan proses memperkirakan suatu nilai variabel yang belum diketahui (misalnya kadar atau ketebalan) di suatu titik berdasarkan informasi dari titiktitik di sekitarnya yang sudah diketahui nilai variabelnya. 2 Istilah perhitungan cadangan berhubungan dengan proses menghitung untuk memperoleh kuantitas (misalnya tonase atau volume bijih) dengan menggunakan data dimensi (kuantitas) dan data kualitas baik yang primer (diperoleh dari sampel) atau sekunder (diperoleh dari hasil penaksiran). I-3

12 BAB I, Pendahuluan Beberapa manfaat dari penaksiran dan perhitungan cadangan adalah sebagai berikut: 1. Memberikan hasil perhitungan kuantitas maupun kualitas (kadar) endapan 2. Memberikan perkiraan geometri 3 dimensi dari endapan serta distribusi ruang (spasial) dari nilainya. Hal ini penting untuk menentukan urutan penambangan yang pada gilirannya akan mempengaruhi pemilihan peralatan dan NPV (net present value). 3. Jumlah cadangan menentukan umur tambang, hal ini penting dalam kaitannya dengan perancangan pabrik pengolahan dan kebutuhan infrastruktur yang lain. Batas-batas kegiatan penambangan dibuat berdasarkan taksiran kadar dan perhitungan cadangan. Faktor ini harus diperhatikan dalam menentukan lokasi pembuangan tanah penutup, pabrik pengolahan, bengkel, dan infrastruktur lain. I-4

13 BAB II, Konsep Dasar Perhitungan Cadangan BAB II KONSEP DASAR PERHITUNGAN CADANGAN 2.1 BIJIH Definisi bijih telah dipublikasikan oleh banyak pengarang buku maupun lembaga. Taylor (1986) mendefinisikan bijih sebagai mineral berharga yang dicari dan kemudian diekstrak dalam kegiatan pertambangan dengan harapan (meskipun tidak selalu tercapai) mendapatkan keuntungan untuk penambang maupun untuk komunitas masyarakat. Sedangkan menurut Kamus Pertambangan Umum (PPPTM, 1997) bijih diartikan sebagai mineral yang mengandung satu logam berharga atau lebih yang dapat diolah dan diambil logamnya secara menguntungkan sesuai dengan kondisi teknologi dan ekonomi pada waktu itu. Istilah bijih diaplikasikan pada mineralisasi batuan dalam tiga pemahaman yaitu pemahaman geologi dan keilmuan (sains), kontrol kualitas pada cadangan bijih, dan bagian termineralisasi pada front tambang. Dalam perhitungan cadangan, pemahaman kedua sangat penting dalam menunjukkan perbedaan yang jelas antara bijih dan waste (overburden). 2.2 CUTOFF GRADE (COG) Pengertian dasar dari cutoff grade (cog) adalah kadar batas dimana kadar di bawahnya mempunyai kandungan logam atau mineral dalam batuan yang tidak memenuhi syarat-syarat keekonomian. Cog digunakan untuk membedakan blok-blok bijih dengan blok-blok waste dalam perhitungan cadangan. Dalam membedakan antara bijih dan waste tersebut didasarkan pada kadar taksiran yang masih mengandung beberapa kesalahan, sedangkan kadar sebenarnya belum diketahui kecuali jika sudah dilakukan penambangan. II-1

14 BAB II, Konsep Dasar Perhitungan Cadangan Pada Gambar 2.1 ditunjukkan hasil plot antara kadar taksiran dan kadar sebenarnya dari blok-blok operasi penambangan tembaga. Untuk kadar taksiran maupun kadar sebenarnya ditentukan nilai cog sebesar 0,2% sehingga menghasilkan empat kuadran. Kuadran I menunjukkan blok bijih yang diklasifikasikan sebagai bijih dengan benar, Kuadran II blok bijih yang diklasifikasikan sebagai waste dengan tidak benar, Kuadran III blok waste yang diklasifikasikan sebagai waste dengan benar, sedangkan Kuadran IV menunjukkan blok waste yang diklasifikasikan sebagai bijih dengan tidak benar. Garis regresi (R) mengindikasikan overestimasi pada kadar tinggi dan underestimasi pada kadar rendah. Sehingga dalam hal ini perhitungan cadangan yang menggunakan data kadar taksiran tidak pernah tepat terhadap hasil operasi penambangan (kadar sebenarnya). Gambar 2.1: Grafik antara kadar taksiran (absis) dengan kadar sebenarnya (ordinat) pada beberapa blok (selective mining), cog (Xc) ditentukan untuk absis maupun ordinat sebesar 0,2%. Perubahan harga cog akan mempengaruhi hasil perhitungan cadangan pada blok-blok yang telah dihitung. Apabila cog naik maka tonase bijih akan turun dan rata-rata kadar pada tonase tersebut akan naik. Dengan demikian apabila II-2

15 BAB II, Konsep Dasar Perhitungan Cadangan cog naik maka juga akan menaikkan harga stripping ratio (SR, volume waste yang harus digali untuk mendapatkan 1 ton bijih). Oleh karena itu dalam perhitungan cadangan sebaiknya dibuat dengan memperhatikan kisaran harga cog untuk memudahkan optimasi dalam membuat skenario penambangan. Konsep cog juga berhubungan dengan konektivitas blok-blok penambangan yang diklasifikasikan sebagai bijih pada tahap produksi. Apabila cog naik maka volume bijih akan turun dan akan membuat blok kadar rendah semakin besar, disamping itu blok-blok bijih akan terpisahkan. Gambar 2.2 menunjukkan blok bijih akan semakin turun dan terpencil dengan semakin naiknya cog. Blok bijih yang semakin terpisah tersebut juga akan mempengaruhi sistem penambangan menjadi sistem selective mining yang akan semakin menurunkan pula jumlah cadangan. Gambar 2.2: Konsep konektivitas sebagai fungsi perubahan harga cog. Blok-blok rencana penambangan emas yang dibuat berdasar sampel di wilayah northern British Columbia (Sinclair & Blackwell, 2005, h. 6). Cog merepresentasikan batas ekonomis untuk membuat deliniasi zona kadar mineral atau logam yang potensial untuk ditambang. Pembatasan zona bijih dan waste tersebut dapat berupa kontur cog atau blok-blok taksiran. Meskipun cog merupakan nilai yang diperoleh dari banyak faktor yang kompleks, secara sederhana cog juga dapat diperoleh dengan formula yang II-3

16 BAB II, Konsep Dasar Perhitungan Cadangan disederhanakan. Berikut adalah perhitungan cog secara sederhana (John, 1985; dalam Sinclair & Blackwell, 2005): OC = FC + ( SR + 1) MC (1.1) dimana: FC SR MC = fixed cost per ton yang diolah = stripping ratio = mining cost per ton yang ditambang Untuk logam tunggal maka cog dapat diperoleh yaitu: cog = OC / p (1.2) dimana: OC p = operating cost per ton yang diolah = harga logam terealisasi per unit kadar 2.3 KONTINUITAS Istilah kontinuitas dalam endapan mineral diartikan menjadi dua yaitu untuk mendeskripsikan bentuk fisik dari komponen geologi yang mengontrol proses mineralisasi. Disamping itu istilah kontinuitas juga dapat diartikan sebagai kemenerusan nilai kadar endapan. Tabel II.1 memberikan definisi dan contoh dari dua makna kontinuitas dalam pengertian endapan mineral. Kontinuitas geologi selanjutnya akan dibahas secara detil dalam Bab IV, sedangkan kontinuitas nilai akan diperdalam pada mata kuliah Geostatistik. II-4

17 BAB II, Konsep Dasar Perhitungan Cadangan Tabel II.1: Dua kategori kontinuitas dalam perhitungan cadangan. Kontinuitas geologi Bentuk fisik geometri secara spasial dari komponen geologi seperti endapan mineral dan fenomenanya. Primer: urat, shear fracture yang termineralisasi, perlapisan yang termineralisasi Sekunder: perlipatan atau pergeseran badan endapan mineral Kontinuitas nilai Distribusi spasial ukuran kualitas atau kondisi fisik endapan seperti kualitas, ketebalan dalam zona kontinuitas geologi. Dalam hal ini besaran yang ditentukan adalah nugget effect dan jarak pengaruh yang ditunjukkan dalam variogram berbagai arah. 2.4 DILUSI Dilusi adalah hasil pencampuran dari material bukan bijih (waste) ke dalam material bijih dalam rangkaian kegiatan pertambangan yang akan menaikkan tonase dan menurunkan secara relatif rata-rata kadar. Dilusi tidak hanya terjadi pada tahap eksplorasi saja melainkan terjadi hingga proses pengolahan mineral. Ilustrasi mengenai dilusi pada tiap tahapan pertambangan dapat dilihat pada Gambar 2.3. Gambar 2.3: Dilusi yang terjadi pada setiap tahapan proses pertambangan. Dilusi dapat dibedakan menjadi dua yaitu dilusi internal dan eksternal. Dilusi internal adalah apabila material kadar rendah terletak di dalam material kadar tinggi, sedangkan dilusi eksternal adalah apabila material kadar rendah terpisah dengan material kadar tinggi. Lebih jauh lagi, dilusi internal dapat dibagi menjadi dua, pertama material kadar rendah mempunyai batas yang jelas dengan material kadar tinggi (dilusi geometri) dan kedua material kadar rendah II-5

18 BAB II, Konsep Dasar Perhitungan Cadangan tidak mempunyai batas yang jelas dengan kadar tinggi (dilusi inheren). Dilusi internal geometri hadir sebagai waste yang dibedakan dengan jelas di dalam endapan bijih, misalnya barren dike yang menerobos zona bijih. Dilusi internal inheren dapat terjadi karena bertambahnya ukuran blok yang digunakan untuk memisahkan bijih terhadap waste. Dilusi eksternal terjadi karena reruntuhan dinding, kesulitan teknis mengambil batas bijih dalam open pit, atau kurang hati-hatinya pemisahan batas bijih dan waste. Dilusi tersebut juga bisa terjadi dalam hal membuka stope dimana lebar bijih kurang dari lebar minimum penambangan. Dilusi eksternal akan semakin kurang berarti pada endapan yang besar dengan batas bijih dan waste yang bergradasi karena jumlah dilusi akan menjadi bagian kecil dari tonase penambangan. 2.5 VARIABEL TEREGIONAL Variabel teregional adalah variabel yang terdistribusi dalam ruang yang mempunyai struktur teratur sedemikian rupa sehingga terdapat autokorelasi 1 dalam variabel tersebut. Sifat-sifat terstruktur disebut regionalisasi dan dicirikan bahwa sampel-sampel yang dekat lebih mempunyai nilai yang mirip daripada sampel-sampel yang terletak lebih berjauhan. Umumnya variabel-variabel yang berhubungan dengan endapan mineral adalah variabel yang teregional misalnya tebal urat, kadar, kerapatan rekahan, dll. Secara umum variabel teregional setidaknya terdiri dari dua komponen yaitu komponen acak dan komponen terstruktur. Komponen acak umumnya menyertai komponen terstruktur dengan semakin jauhnya jarak antar titik informasi. Fungsi matematis autokorelasi dapat dipergunakan untuk mengkarakterisasi variabel teregional dan kemudian diaplikasikan dalam perhitungan cadangan. Sebaliknya, statistik variabel acak (independen) mengabaikan efek spasial korelasi sehingga tidak akan sepenuhnya bermanfaat dalam perhitungan cadangan. 1 Autokorelasi adalah hubungan korelasi yang terjadi pada satu variabel dimana nilai-nilai dalam variabel tersebut tidak saling bebas. II-6

19 BAB II, Konsep Dasar Perhitungan Cadangan Variabel teregional seperti kadar juga mempunyai hubungan erat dengan support sampel. Dalam hal ini support merupakan besaran massa, bentuk, dan arah dari volume sampel yang dianalisis kadar mineral berharganya. Sampel inti bor vertikal sepanjang 1 m merepresentasikan variabel teregional dengan support yang uniform. Jika panjang inti bor bertambah misalnya 2 m maka akan terdefinisi variabel teregional baru dari support yang berbeda. Efek smoothing (menurunkan variabilitas) terhadap suatu nilai, atau disebut juga regularisasi, umumnya disertai dengan meningkatkan support. Hal ini diilustrasikan secara numerik dan grafik seperti dalam Gambar 2.4. Gambar 2.4: Ilustrasi numerik dari efek smoothing kombinasi kadar dari support kecil sampai besar (atas), hubungan umum dari dispersi kadar yang diilustrasikan dalam histogram antara sampel volume kecil dan besar. 2.6 SELECTIVE MINING UNIT Selective mining unit (SMU) adalah blok terkecil dimana penentuan bijih dan waste umumnya dibuat. Ukuran dari SMU ditentukan berdasarkan metode penambangan dan juga skala operasi yang akan dilakukan. Untuk tujuan perencanaan, endapan mineral dapat dibuat menjadi blok-blok 3 dimensi seperti pada Gambar 2.5. Masing-masing blok ditentukan harga kadar logam atau parameter yang lain. Penentuan SMU merupakan hal yang sangat kritis II-7

20 BAB II, Konsep Dasar Perhitungan Cadangan dalam kaitannya dengan perhitungan cadangan karena SMU akan menjadi dasar untuk menentukan klasifikasi sumberdaya (terukur, terindikasi, atau tereka) dan cadangan (terbukti dan terkira). Gambar 2.5: Blok-blok yang dipergunakan untuk mengestimasi geometri badan bijih, blok tersebut umumnya akan dipergunakan sebagai selective mining unit (SMU). Blok-blok perhitungan cadangan umumnya akan dipergunakan sebagai SMU, oleh karena itu dimensi blok harus ditentukan dengan cermat. Dalam menentukan dimensi tersebut harus memperhatikan faktor-faktor seperti: spasi lubang peledakan, spesifikasi alat tambang, tinggi bench dan juga karakteristik peledakan. 2.7 AKURASI DAN KETEPATAN Akurasi adalah kedekatan dengan kenyataan, ketidakakuratan yang signifikan akan menghasilkan bias (nilai yang menjauhi dari sebenarnya). Presisi adalah ukuran kemampuan untuk mereproduksi (reproduksibilitas) hasil dengan percobaan yang berulang. Dalam suatu hal mungkin mempunyai reproduksibilitas yang baik tetapi akurasi yang kurang bagus, dengan demikian keduanya harus diperhatikan dengan detil. Terdapat beberapa penyebab kesalahan dalam perhitungan cadangan diantaranya: 1. Kesalahan pengambilan sampel (sampling error) 2. Kesalahan analisis termasuk kesalahan reduksi sampel II-8

21 BAB II, Konsep Dasar Perhitungan Cadangan 3. Kesalahan penaksiran, yaitu kesalahan yang terjadi ketika mengekstensikan kadar titik sampel menjadi suatu volum. 4. Kesalahan asumsi bulk density (semua bagian endapan dianggap mempunyai bulk density yang seragam). 5. Kesalahan geologi, yaitu kesalahan dalam mengasumsikan kontinuitas bijih dan geometri endapan. 6. Metode penambangan yang tidak sesuai dengan geometri endapan, yaitu pemisahan antara bijih dan waste yang tidak optimal. 7. Dilusi variabel dari batuan dinding di sekitarnya. 8. Kesalahan manusia, misalnya plot data yang kurang tepat, penentuan ketelitian desimal, dll. Faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan penaksiran menjadi tidak akurat maupun tidak presisi. Hasil yang tidak akurat dapat diperoleh walaupun dengan presisi yang baik, misalnya jika bias (kesalahan sistematis) terjadi pada prosedur sampling, metode analisis, atau prosedur pemilihan data. Meskipun metode analisis atau penaksiran sudah dilakukan dengan akurat akan selalu terdapat kesalahan acak pada data atau penaksiran. Kesalahan-kesalahan dalam perhitungan cadangan tidak semuanya dapat dikuantifikasi. Terdapat beberapa kesalahan penaksiran akibat terlalu kecilnya sampel untuk menaksir suatu volume yang besar. Selain itu terdapat kesalahan yang besar sebagai akibat ketidakpastian interpretasi geologi mengenai geometri dan kontinuitas internal bijih. 2.8 POLA EKSPLORASI Secara umum pola dasar eksplorasi adalah bekerja dari lokasi yang sudah diketahui menuju lokasi yang belum diketahui. Akibat adanya faktor mineralisasi dan kondisi topografi, maka bentuk pola-pola eksplorasi dapat berbeda sesuai dengan kondisinya, antara lain: 1. Pola bujursangkar, digunakan untuk jenis endapan yang mempunyai penyebaran isotrop (mineralisasi homogen) dan topografi landai. II-9

22 BAB II, Konsep Dasar Perhitungan Cadangan 2. Pola persegi panjang, digunakan untuk jenis endapan yang mempunyai penyebaran mineralisasi dengan variasi bijih atau kadar ke arah tertentu lebih besar daripada variasi kadar ke arah lain dimana kondisi topografi landai. 3. Pola segitiga (acak), digunakan untuk endapan-endapan yang mempunyai penyebaran mineralisasi yang tidak homogen dimana topografi cenderung bergelombang. 4. Pola rhombohedron, umumnya digunakan untuk kondisi mineralisasi sebagaimana dijelaskan pada Poin 1 dan 2 dimana kondisi di lapangan tidak memungkinkan membentuk pola bujursangkar atau persegi panjang. Gambar 2.6: Pola eksplorasi bujursangkar (a), persegi panjang (b), segitiga (c), dan rhombohedron (d). Pola bujursangkar merupakan pola awal dalam eksplorasi dengan asumsi bahwa penyebaran mineralisasi ke semua arah cederung sama. Apabila informasi tentang penyebaran mineralisasi telah diperoleh dengan lebih detil maka pola bujursangkar tersebut dapat berubah menjadi pola-pola lain sesuai dengan kebutuhan untuk memperjelas geometri dan dimensi endapan bahan galian. 2.9 GRID DENSITY Derajat kerapatan antar titik observasi di dalam pola eksplorasi disebut dengan grid density. Terdapat dua hal dalam pembahasan grid density yaitu: II-10

23 BAB II, Konsep Dasar Perhitungan Cadangan 1. Apabila mineralisasi mempunyai tingkat kemenerusan yang tinggi maka jarak atau interval antar titik observasi besar. Dalam hal ini disebut dengan grid density rendah. 2. Apabila mineralisasi mempunyai tingkat kemenerusan yang rendah maka jarak atau interval antar titik observasi kecil. Dalam hal ini disebut dengan grid density tinggi. Peningkatan grid density ini perlu dilakukan untuk mengantisipasi adanya struktur dan perbedaan kondisi mineralisasi antara titik pengamatan. Begitu juga dengan meningkatnya tahapan eksplorasi maka grid density juga akan bertambah besar. Semakin tinggi grid density pada suatu endapan yang sama maka semakin meningkat pula tingkat kepercayaan dan ketelitian eksplorasi PERSYARATAN PERHITUNGAN CADANGAN Dalam melakukan perhitungan sumberdaya harus memperhatikan persyaratan tertentu, antara lain : 1. Suatu taksiran sumberdaya harus mencerminkan secara tepat kondisi geologi dan karakter/sifat dari endapan bahan galian. 2. Selain itu harus sesuai dengan tujuan evaluasi. Suatu model sumberdaya yang akan digunakan untuk perancangan tambang harus konsisten dengan metode penambangan dan teknik perencanaan tambang yang akan diterapkan. 3. Taksiran yang baik harus didasarkan pada data aktual yang diolah/ diperlakukan secara objektif. Keputusan dipakai-tidaknya suatu data dalam penaksiran harus diambil dengan pedoman yang jelas dan konsisten. Tidak boleh ada pembobotan data yang berbeda dan harus dilakukan dengan dasar yang kuat. Metode perhitungan yang digunakan harus memberikan hasil yang dapat diuji ulang atau diverifikasi. Tahap pertama setelah perhitungan sumberdaya selesai, adalah memeriksa atau mengecek taksiran kualitas blok (unit penambangan terkecil). Hal ini dilakukan dengan menggunakan data pemboran yang ada di sekitarnya. Setelah penambangan dimulai, taksiran kadar dari II-11

24 BAB II, Konsep Dasar Perhitungan Cadangan model sumberdaya harus dicek ulang dengan kualitas dan tonase hasil penambangan yang sesungguhnya. II-12

25 BAB III, Sistem Klasifikasi Sumberdaya dan Cadangan BAB III KLASIFIKASI SUMBERDAYA DAN CADANGAN Endapan mineral merupakan kekayaan alam yang berpengaruh dalam perekonomian sebuah negara khususnya di Indonesia. Oleh karena itu upaya untuk mengetahui kuantitas dan kualitas endapan mineral harus selalu diusahakan dengan tingkat kepastian yang lebih tinggi seiring dengan pentahapan eksplorasinya. Semakin lanjut tahapan eksplorasi maka semakin besar pula tingkat keyakinan akan kuantitas dan kualitas sumberdaya mineral dan cadangan. Berdasarkan tahapan eksplorasi yang menggambarkan pula tingkat keyakinan akan potensinya dilakukan usaha pengelompokan atau klasifikasi sumberdaya mineral dan cadangan. Dasar atau kriteria klasifikasi di sejumlah negara terutama adalah tingkat keyakinan geologi dan kelayakan ekonomi. Hal ini dipelopori oleh US Bureau of Mines (USBM) dan US Geological Survey (USGS) yang hingga sekarang masih dianut oleh negara-negara dengan industri tambang yang penting seperti Australia, Kanada, dll. Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) dalam hal ini Dewan Ekonomi dan Sosial (Economic and Social Council) telah menyusun usulan klasifikasi cadangan dan sumberdaya mineral yang sederhana dan mudah dimengerti oleh semua pihak. Selain kriteria tersebut di atas, PBB juga menggunakan ekonomi pasar (market economy) sebagai salah satu kriterianya. Di Indonesia telah dibuat sebuah klasifikasi sumberdaya dan cadangan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) pada tahun 1998 dengan kode SNI Sistem klasifikasi oleh BSN tersebut mengacu kepada standar industri pertambangan yang telah ada di beberapa negara. III-1

26 BAB III, Sistem Klasifikasi Sumberdaya dan Cadangan 3.1 KLASIFIKASI STANDAR NASIONAL INDONESIA (BSN) Sebelum membahas tentang klasifikasi sumberdaya dan cadangan terlebih dahulu akan dijelaskan beberapa definisi istilah yang dibuat oleh BSN yang berhubungan dengan sistem klasifikasi tersebut. Dalam sub-bab ini akan dijelaskan sistem klasifikasi SNI (Amandemen 1, 1999). Klasifikasi Sumberdaya Mineral dan Cadangan adalah suatu proses pengumpulan, penyaringan, serta pengolahan data dan informasi dari suatu endapan mineral untuk memperoleh gambaran yang ringkas mengenai endapan itu berdasarkan kriteria keyakinan geologi dan kelayakan tambang. Kriteria keyakinan geologi didasarkan pada tahap eksplorasi yang meliputi survei tinjau, prospeksi, eksplorasi umum, dan eksplorasi rinci. Kriteria kelayakan tambang didasarkan pada faktor-faktor ekonomi, teknologi, peraturan perundang-undangan, lingkungan, dan sosial (economic, technological, legal, environment, and social factor). Sumberdaya Mineral (Mineral Resource) adalah endapan mineral yang diharapkan dapat dimanfaatkan secara nyata. Sumebrdaya mineral dengan keyakinan geologi tertentu dapat berubah menjadi cadangan setelah dilakukan pengkajian kelayakan tambang dan memenuhi kriteria layak tambang. Cadangan (Reserve) adalah endapan mineral yang telah diketahui ukuran, bentuk, sebaran, kuantitas, dan kualitasnya dan yang secara ekonomis, teknis, hukum, lingkungan, dan sosial dapat ditambang pada saat perhitungan dilakukan. Keterdapatan Mineral (Mineral Occurence) adalah suatu indikasi pemineralan (mineralization) yang dinilai untuk dieksplorasi lebih jauh. Istilah keterdapatan mineral tidak ada hubungannya dengan ukuran III-2

27 BAB III, Sistem Klasifikasi Sumberdaya dan Cadangan volum/tonase atau kadar/kualitas, dengan demikian bukan bagian dari suatu sumberdaya mineral. Endapan Mineral (Mineral Deposit) adalah longgokan (akumulasi) bahan tambang berupa mineral atau batuan yang terdapat di kerak bumi yang terbentuk oleh proses geologi tertentu dan dapat bernilai ekonomi. Keyakinan Geologi (Geological Assurance) adalah tingkat keyakinan mengenai endapan mineral yang meliputi bentuk, sebaran, kuantitas, dan kualitasnya sesuai dengan tahap eksplorasinya. Tingkat Kesalahan (Error Tolerance) adalah penyimpangan kesalahan baik kuantitas maupun kualitas sumberdaya mineral dan cadangan yang masih bisa diterima sesuai dengan tahap eksplorasi. Kelayakan Tambang (Mine Feasibility) adalah tingkat kelayakan tambang dari suatu endapan mineral apakah layak tambang atau tidak berdasarkan kondisi ekonomi, teknologi, lingkungan, sosial, serta peraturan/perundang-undangan atau kondisi lain yang berhubungan pada saat itu. Tahap Eksplorasi (Exploration Stages) adalah urutan penyelidikan geologi yang umumnya dilaksanakan melalui 4 tahap sebagai berikut: Survei Tinjau, Prospeksi, Eksplorasi Umum, dan Eksplorasi Rinci. Tujuan penyelidikan geologi ini adalah untuk mengidentifikasi pemineralan, menentukan ukuran, bentuk, sebaran, kuantitas, dan kualitas dari suatu endapan mineral untuk kemudian dapat dilakukan analisa/kajian kemungkinan dilakukannya investasi. Survei Tinjau (Reconnaissance) adalah tahap eksplorasi untuk mengidentifikasi daerah-daerah yang berpotensi bagi keterdapatan mineral pada skala regional terutama berdasarkan hasil studi geologi regional, diantaranya pemetaan geologi regional, pemotretan udara, dan metode tidak langsung lainnya, serta inspeksi lapangan pendahuluan III-3

28 BAB III, Sistem Klasifikasi Sumberdaya dan Cadangan yang penarikan kesimpulannya berdasarkan ekstrapolasi. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi daerah-daerah anomali atau mineralisasi yang prospektif untuk diselidiki lebih lanjut. Perkiraan kuantitas sebaiknya hanya dilakukan apabila datanya cukup tersedia atau ada kemiripan dengan endapan lain yang mempunyai kondisi geologi yang sama. Prospeksi (Prospecting) adalah tahap eksplorasi dengan jalan mempersempit daerah yang mengandung endapan mineral yang potensial. Metode yang digunakan adalah pemetaan geologi untuk mengidentifikasi singkapan dan metode tidak langsung seperti geokimia dan geofisika. Paritan yang terbatas, pengeboran dan pemercontoan mungkin juga dilaksanakan. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi suatu endapan mineral yang akan menjadi target eksplorasi selanjutnya. Estimasi kuantitas dihitung berdasarkan interpretasi data geologi, geokimia, dan geofisika. Eksplorasi Umum (General Exploration) adalah tahap eksplorasi yang merupakan deliniasi awal dari suatu endapan yang teridentifikasi. Metode yang digunakan termasuk pemetaan geologi, pemercontoan dengan jarak yang lebar, membuat paritan dan pengeboran untuk evaluasi pendahuluan kuantitas dan kualitas dari suatu endapan. Interpolasi bisa dilakukan secara terbatas berdasarkan metode penyelidikan tidak langsung. Tujuannya adalah untuk menentukan gambaran geologi suatu endapan mineral berdasarkan indikasi penyebaran, perkiraan awal mengenai ukuran, bentuk, sebaran, kuantitas, dan kualitasnya. Tingkat ketelitian sebaiknya dapat digunakan untuk menentukan apakah studi kelayakan tambang dan eksplorasi rinci diperlukan. Eksplorasi Rinci (Detailed Exploration) adalah tahap eksplorasi untuk mendeliniasi secara rinci dalam 3-dimensi terhadap endapan mineral yang telah diketahui dari pemercontoan singkapan, paritan, lubang bor, shafts, dan terowongan. Jarak pemercontoan sedemikian rapat III-4

29 BAB III, Sistem Klasifikasi Sumberdaya dan Cadangan sehingga ukuran, bentuk, sebaran, kuantitas, dan kualitas serta ciri-ciri yang lain dari endapan mineral tersebut dapat ditentukan dengan tingkat ketelitian yang tinggi. Uji pengolahan dari pemercontoan ruah (bulk sampling) mungkin diperlukan. Studi Kelayakan Tambang (Mine Feasibility Study) adalah pengkajian mengenai aspek teknik dan prospek ekonomik dari suatu proyek penambangan dan merupakan dasar untuk penentuan keputusan investasi. Kajian ini merupakan dokumen yang memenuhi syarat dan dapat diterima untuk keperluan analisa bank (bankable document) dalam kaitannya dengan pelaksanaan investasi atau pembiayaan proyek. Studi ini meliputi pemeriksaan seluruh informasi geologi berdasarkan laporan eksplorasi dan faktor-faktor ekonomi, penambangan, pengolahan, pemasaran, hukum/perundang-undangan, lingkungan, sosial, serta faktor lain yang terkait. Layak Tambang adalah keadaan yang menunjukkan bahwa berdasarkan faktor-faktor dalam studi kelayakan tambang telah memungkinkan endapan mineral dapat ditambang secara ekonomis. Belum Layak Tambang adalah keadaan yang menunjukkan bahwa salah satu atau beberapa faktor dalam studi kelayakan tambang belum mendukung dilakukannya penambangan. Bila faktor tersebut telah mendukungnya, maka sumberdaya mineral dapat berubah menjadi cadangan. Sumberdaya Mineral Hipotetik (Hypothetical Mineral Resource) adalah sumberdaya mineral yang kuantitas dan kualitasnya diperoleh berdasarkan perkiraan pada tahap Survei Tinjau. Sumberdaya Mineral Tereka (Inferred Mineral Resource) adalah sumberdaya mineral yang kuantitas dan kualitasnya diperoleh berdasarkan perkiraan pada tahap Prospeksi. III-5

30 BAB III, Sistem Klasifikasi Sumberdaya dan Cadangan Sumberdaya Mineral Terunjuk (Indicated Mineral Resource) adalah sumberdaya mineral yang kuantitas dan kualitasnya diperoleh berdasarkan perkiraan pada tahap Eksplorasi Umum. Sumberdaya Mineral Pra-Kelayakan (Prefeasibility Mineral Resource) adalah sumberdaya mineral yang dinyatakan berpotensi ekonomis dari hasil Studi Pra-Kelayakan yang biasanya dilaksanakan di daerah Eksplorasi Rinci dan Eksplorasi Umum. Sumberdaya Mineral Kelayakan (Feasibility Mineral Resource) adalah sumberdaya mineral yang dinyatakan berpotensi ekonomis dari hasil Studi Kelayakan atau suatu kegiatan penambangan sebelumnya yang biasanya dilaksanakan di daerah Eksplorasi Rinci. Sumberdaya Mineral Terukur (Measured Mineral Resource) adalah sumberdaya mineral yang kuantitas dan kualitasnya diperoleh berdasarkan perkiraan pada tahap Eksplorasi Rinci. Cadangan Terkira (Probable Reserve) adalah sumberdaya mineral terunjuk dan sebagian sumberdaya mineral terukur yang tingkat keyakinan geologinya masih lebih rendah, yang berdasarkan studi kelayakan tambang semua faktor yang terkait telah terpenuhi, sehingga penambangan dapat dilakukan secara ekonomis. Cadangan Terbukti (Proved Reserve) adalah sumberdaya mineral terukur yang berdasarkan studi kelayakan tambang semua faktor yang terkait telah terpenuhi, sehingga penambangan dapat dilakukan secara ekonomis. Klasifikasi sumberdaya dan cadangan berdasarkan dua kriteria, pertama tingkat keyakinan geologi yang ditentukan oleh empat tahap eksplorasi (Survei Tinjau, Prospeksi, Eksplorasi Umum, dan Eksplorasi Rinci). Dari survei tinjau ke eksplorasi rinci menunjukkan semakin rincinya penyelidikan sehingga tingkat keyakinan geologinya semakin tinggi dan tingkat kesalahannya semakin III-6

31 BAB III, Sistem Klasifikasi Sumberdaya dan Cadangan rendah. Kedua berdasarkan pengkajian layak tambang dengan penjelasan lebih lanjut sebagai berikut: 1. Pengkajian layak tambang meliputi faktor-faktor ekonomi, penambangan, pemasaran, lingkungan, sosial, dan hukum (perundang-undangan). Untuk endapan mineral bijih, metalurgi juga merupakan faktor pengkajian layak tambang. 2. Pengkajian layak tambang akan menentukan apakah sumberdaya mineral akan berubah menjadi cadangan atau tidak. 3. Berdasarkan pengkajian ini bagian sumberdaya mineral yang layak tambang berubah statusnya menjadi cadangan, sedangkan yang belum layak tambang tetap menjadi sumberdaya mineral. Sistem kodifikasi klasifikasi sumberdaya dan cadangan dibuat dengan tiga angka berdasarkan fungsi tiga sumbu yaitu: E, F, dan G, dimana: E = Sumbu Ekonomis (Economic Axis) F = Sumbu Kelayakan (Feasibility Axis) G = Sumbu Geologi (Geological Axis) Angka pertama adalah menunjukkan Sumbu Ekonomis terdiri dari tiga angka: Angka 1 menyatakan Ekonomis Angka 2 menyatakan Berpotensi Ekonomis Angka 3 menyatakan Berintrinsik Ekonomis Angka kedua adalah menunjukkan Sumbu Kelayakan terdiri dari tiga angka: Angka 1 menyatakan Studi Kelayakan atau Laporan Penambangan Angka 2 menyatakan Studi Pra Kelayakan Angka 3 menyatakan Studi Geologi Angka ketiga adalah menunjukkan Sumbu Geologi terdiri dari empat angka: Angka 1 menyatakan Eksplorasi Rinci Angka 2 menyatakan Eksplorasi Umum Angka 3 menyatakan Prospeksi Angka 4 menyatakan Survei Tinjau III-7

32 BAB III, Sistem Klasifikasi Sumberdaya dan Cadangan Tahap Eksplorasi Eksplorasi Rinci (Detailed Exploration) Eksplorasi Umum (General Exploration) Prospeksi (Prospecting) Survei Tinjau (Reconnaissance) Studi Kelayakan dan atau Laporan Penambangan 1. Cadangan Mineral Terbukti (Proved Mineral Reserve) {111} 2. Sumberdaya Mineral Kelayakan (Feasibility Mineral Resource) {211} 1. Cadangan Mineral Terkira (Probable Mineral Reserve) {121} + {122} Studi Pra Kelayakan 2. Sumberdaya Mineral Pra Kelayakan (Prefeasibility Mineral Resource) {221} + {222} Studi Geologi 1-2. Sumberdaya Mineral Terukur (Measured Mineral Resource) {331} 1-2. Sumberdaya Mineral Terunjuk (Indicated Mineral Resource) {332} 1-2. Sumberdaya Mineral Tereka (Inferred Mineral Resource) {333}?. Sumberdaya Mineral Hipotetik (Reconnaissance Mineral Resource) {334} tinggi Tingkat keyakinan geologi rendah Kategori Ekonomis : 1 = Ekonomis 1-2 = Ekonomis ke berpotensi ekonomis (berintrinsik ekonomis) 2 = Berpotensi ekonomis? = Tidak ditentukan Kelayakan didasarkan pada kajian faktor-faktor: ekonomi, pemasaran, penambangan, pengolahan, lingkungan sosial, hukum/perundang-undangan, dan kebijakan pemerintah Gambar 3.1: Sistem klasifikasi sumberdaya mineral dan cadangan SNI III-8

33 BAB III, Sistem Klasifikasi Sumberdaya dan Cadangan Gambar 3.2: Sistem kodifikasi sumberdaya mineral dan cadangan SNI KLASIFIKASI DI BEBERAPA NEGARA III-9

34 BAB III, Sistem Klasifikasi Sumberdaya dan Cadangan Total resources Identified Undiscovered Demonstrated Measured indicated Inferred Hypothetical (known distict) Speculative (undiscovered distict) Reserves Paramarginal resources Submarginal Increasing geological confidance Klasifikasi untuk mengidentifikasi mineral resources dan reserve US Bereau of Mines (USBM) & US Geological Survey (USGS), 1980 III-10

35 BAB III, Sistem Klasifikasi Sumberdaya dan Cadangan Menurut Valee (1986), perkiraan tingkat kesalahan pada masing-masing tingkat keyakinan pada klasifikasi sumberdaya dan cadangan seperti terihat pada Tabel III.1. III-11

36 BAB III, Sistem Klasifikasi Sumberdaya dan Cadangan Tabel III.1: Perkiraan Tingkat Kesalahan (Error) Pada Masing-Masing Tingkat Keyakinan (Dimodifikasi dari Valee,1986). Measured Indicated Inferred Kategori Proven Probable Possible Kondisi Data Saat Development: Mineralisasi/bijih tersingkap dan telah dilakukan sampling dengan volume & intensitas yang cukup melalui pemboran detil Pada Program Pemboran Detil: Kondisi dan kemenerusan Bijih & Mineralisasi pada semua tempat telah diidentifikasikan dengan pemboran Class I : Kondisi dan kemenerusan Bijih & Mineralisasi regular menerus telah diidentifikasikan dengan pemboran, namun dengan jarak yang relatif masih jauh Class II : Kondisi dan kemenerusan Bijih & Mineralisasi irregular fluktuatif telah diidentifikasikan dengan pemboran, namun dengan jarak yang relatif masih jauh Mineralisasi diinterpretasikan berdasarkan sifat kemenerusan dari titik-titk yang telah diketahui, pemboran masih acak Perkiraan Error 0-10 % 5-20 % % % % III-12

37 BAB IV, Kontrol Geologi BAB IV KONTROL GEOLOGI... computation formed only part, and perhaps not the most important part, of ore reserve estimation;... the estimate in situ should be seen primarily as a facet of ore geology. (King et al., 1985) Geologi merupakan ilmu bumi yang mencakup mineralogi, petrologi, struktur, stratigrafi, geokimia, hidrogeologi, dll. Pengaruh aspek geologi pada perhitungan cadangan antara lain terletak pada topik sebagai berikut: 1. Pemetaan geologi dan sejarah geologi 2. Pemodelan 3 dimensi (bentuk geometri endapan) 3. Model genetik endapan bijih 4. Sifat-sifat mineralogi 5. Kemenerusan 4.1 PEMETAAN GEOLOGI Informasi fakta geologi merupakan dasar untuk membuat model 3 dimensi dari endapan mineral. Informasi geologi diperoleh dari batuan yang tersingkap di permukaan, paritan, sumur, dan pengeboran serta kegiatan bawah tanah. Sumber-sumber informasi tersebut memberikan pengamatan langsung terhadap batuan dan mineral tetapi hanya merepresentasikan sebagian sedikit dari semua tubuh batuan atau endapan mineral. Walaupun diperoleh informasi geologi dari proses pemercontoan yang benar tetapi conto yang diperoleh hanya merupakan sepersejuta dari seluruh volume endapan. Dengan demikian dibutuhkan komponen interpretasi untuk membangun model 3 dimensi endapan mineral dan batuan sampingnya. Komponen interpretasi tersebut meliputi interpolasi unsur-unsur geologi di antara titik-titik informasi dan ekstrapolasi ke arah luar wilayah titik-titik informasi. Proses interpretasi juga dibantu oleh data-data dari survei tak langsung geofisika maupun geokimia untuk mengetahui secara spesifik unsur- IV-1

38 BAB IV, Kontrol Geologi unsur geologi seperti patahan atau jenis batuan, meningkatkan kepercayaan pada kemenerusan bijih, dan memberikan perbandingan informasi kadar terhadap hasil taksiran. Unsur-unsur geologi yang diperoleh dari pengamatan dan hasil interpretasi diplot dalam sebuah peta dan penampang dengan skala yang representatif. Jenis-jenis informasi yang harus dimasukkan dalam peta dan penampang diantaranya adalah: 1. Jenis batuan, komposisi batuan mempengaruhi reaktivitas terhadap larutan pembawa mineral dan mengontrol proses mineralisasi. Jenis batuan merupakan informasi geologi yang paling penting dimana sifat-sifat fisik maupun kimia serta umur batuan akan memberikan pemahaman mengenai sejarah geologi di daerah penyelidikan. 2. Patahan (sesar), salah satu unsur struktur geologi yang mengganggu susunan litologi. Umur patahan sangat penting dalam melakukan interpretasi kemenerusan endapan mineral. Gambar 4.1: Sesar mendatar (garis putus) yang terjadi setelah proses mineralisasi akan menghasilkan dua zona yang mempunyai kadar mineral sangat berbeda. 3. Lipatan, sebagaimana sesar, lipatan dapat membuat geometri endapan mineral menjadi lebih kompleks. 4. Kerapatan dan arah rekahan atau urat. 5. Porositas dan permeabilitas, permeabilitas penting untuk penyebaran fluida pembawa mineral, dikontrol oleh struktur (misalnya rekahan) dan karakteristik litologi (misalnya lapisan karbonat reaktif yang mempunyai porositas dan permeabilitas). IV-2

39 BAB IV, Kontrol Geologi Gambar 4.2: Kerapatan dan arah rekahan dapat dipetakan dengan baik sebagaimana gambar di samping. Terdapat 2 mineralisasi: hitam dan abuabu, dari kiri ke kanan menunjukkan kerapatan rekahan yang semakin turun, dari atas ke bawah menunjukkan arah dominasi yang berlawanan. 6. Urutan fase mineralisasi (paragenesa), banyak endapan merupakan hasil dari beberapa fase mineralisasi. Memilah-milah fase mineralisasi secara spasial berguna dalam perhitungan cadangan. Gambar 4.1 menunjukkan pengaruh struktur geologi (sesar) dalam proses penaksiran kadar. Apabila belum diketahui keberadaan sesar di daerah tersebut maka hasil penaksiran kadar pada titik x akan cenderung overestimate karena pengaruh titik sampel yang mempunyai kadar tinggi pada daerah di sebelah kanan. Dengan diketahuinya keberadaan sesar maka daerah ini terbagi menjadi dua blok yang dipisahkan oleh sesar yaitu blok yang mengandung mineralisasi tinggi di sebelah kanan dan blok yang mengandung mineralisasi rendah di sebelah kiri sesar. Dalam kasus ini harus dilakukan penaksiran yang terpisah antara dua daerah tersebut karena dibatasi oleh bidang ketidakmenerusan yaitu bidang sesar. Gambar 4.3 menunjukkan tiga jenis mineralisasi endapan molibdenit pada breksi, stringer zone, dan high grade vein. Masing-masing jenis mieralisasi mempunyai karakteristik kemenerusan bijih yang berbeda sehingga dalam penaksiran cadangan harus dilakukan secara terpisah pula. Informasi geologi yang mempengaruhi prosedur perhitungan cadangan dan perencanaan tambang pada open pit diantaranya: 1. Kedalaman dan karakter overburden 2. Penyebaran mineralisasi yang meliputi dimensi geometri dan kedalaman 3. Batas endapan alamiah (gradasi, tajam, lurus, berkelok, bergerigi, dll) IV-3

40 BAB IV, Kontrol Geologi 4. Karakter kemenerusan bijih 5. Kekerasan batuan dalam hubungannya dengan kemampugaruan dan kemudahan untuk dibuat lubang bor (drillability) 6. Karakteristik peledakan 7. Kemantapan lereng 8. Penyebaran jenis batuan (dalam kaitannya dengan dilusi internal dan eksternal) 9. Karakteristik hidrologi dan hidrogeologi Gambar 4.3: Penampang model endapan molibdenit utara-selatan (A) dan timur-barat (B) central British Columbia menunjukkan tiga fase mineralisasi pada breksi, stringer zone, dan high-grade vein (Sinclair & Blackwell, 2005). Informasi geologi yang mempengaruhi prosedur perhitungan cadangan dan perencanaan tambang pada underground mine diantaranya: IV-4

41 BAB IV, Kontrol Geologi 1. Dimensi geometri endapan 2. Jenis batuan 3. Perlapisan meliputi ketebalan, jurus, dan kemiringan 4. Lipatan dan patahan 5. Kontak geologi 6. Rekahan, belahan, dan kekerasan 7. Karakteristik dinding 8. Karakteristik hidrogeologi Faktor geologi sangat penting pada keseluruhan proses eksplorasi, evaluasi, development, dan penambangan endapan mineral. Pada awalnya informasi geologi diperoleh dari observasi langsung yang hanya merepresentasikan bagian kecil dari keseluruhan tubuh endapan sehingga interpretasi sangat diperlukan. Hasil interpretasi dapat berubah seiring dengan semakin banyaknya informasi geologi selama proses penambangan berlangsung. Dengan demikian informasi faktual harus dimasukkan untuk mereview hasil interpretasi yang telah dilakukan secara periodik selama proses penambangan. Hal ini juga akan menyebabkan perubahan terhadap hasil perhitungan cadangan yang telah dilakukan (perhitungan cadangan bersifat dinamis 1 ). 4.2 PEMODELAN UMUM GEOMETRI ENDAPAN Secara praktis geometri zona mineralisasi dan batuan yang berasosiasi diilustrasikan dalam rangkaian penampang atau peta secara sistematis. Penampang dapat langsung dibuat tepat melewati penampang lubang bor, tetapi dalam beberapa kasus penampang juga bisa dibuat sebagai hasil interpolasi di antara penampang-penampang lubang bor. Penampang umumnya dibuat tegak lurus terhadap arah kemenerusan atau penyebaran endapan bijih. Peta dibuat pada berbagai elevasi (level) dengan cara mentransfer informasi dari penampang-penampang yang telah ada, kemudian melakukan interpolasi pada daerah antar penampang. 1 Pengertian dinamis pada perhitungan cadangan tidak hanya menyangkut aspek geologi, tetapi juga dalam aspek ekonomi yang dinyakan dengan nilai cog yang berubah sesuai dengan kondisi perekonomian, teknologi, lingkungan, dan politik. IV-5

42 BAB IV, Kontrol Geologi Pemodelan geometri endapan juga dapat dilakukan secara tiga dimensi dengan bantuan komputer. Pemodelan dengan cara ini akan memudahkan dalam berbagai hal diantaranya manajemen data, visualisasi, perhitungan cadangan, perencanaan tambang, dll. Disamping kemudahan-kemudahan tersebut pemodelan ini juga dapat dilakukan dalam waktu yang lebih singkat dan lebih fleksibel apabila ada perubahan atau penambahan data. Sebagaimana bahasan terakhir dari sub-bab sebelumnya, pemodelan geometri endapan bersifat dinamis tergantung informasi-informasi geologi tambahan yang diperoleh. Pada Gambar 4.4 ditunjukkan pemodelan geometri endapan yang selalu berubah dengan semakin banyaknya informasi geologi yang diperoleh. Model (a) merupakan hasil interpretasi dari data lubang bor, model (b) lebih kompleks setelah terdapat tambahan data tambang underground, dan model (c) jauh lebih kompleks setelah diperoleh tambahan data endapan yang semakin banyak dari proses penambangan underground. Gambar 4.4: Model geometri endapan tembaga-timah di tambang Neves-Corvo Portugal yang berubah-ubah sesuai tambahan data geologi dan penambangan (Sinclair & Blackwell, 2005). IV-6

43 BAB IV, Kontrol Geologi 4.3 KESALAHAN UMUM PEMODELAN GEOMETRI ENDAPAN Dalam perhitungan cadangan sangat dituntut keakuratan yang tinggi khususnya dalam penentuan batas luar zona bijih yang akan sangat berpengaruh terhadap tahapan perancangan tambang. Kelemahan dalam penentuan lokasi dan batas endapan akan menyebabkan ketidakpastian dalam mengevaluasi endapan dan kemungkinan permasalahan pada tahapan produksi. Ketidakpastian disebabkan oleh beberapa kesalahan yang dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Ketidakakuratan terhadap data sebenarnya, misalnya kesalahan penentuan lokasi bor, kesalahan asumsi kemenerusan, dll. 2. Kesalahan sampling dan analitik, misalnya ketidakpastian batas bijih karena tidak presisinya penaksiran kadar. 3. Kesalahan karena variasi alamiah, misalnya batas bijih yang tidak rata dan berkelok-kelok. 4. Kesalahan dalam entri data, misalnya kesalahan memasukkan informasi dalam database. 5. Kesalahan komputer, misalnya ketidakpastian yang berhubungan dengan paket software yang masih mengandung bug yang belum teridentifikasi atau tidak fleksibelnya software karena kasus yang khusus. Gambar 4.5: Penampang utara-selatan endapan sulfida masif Woodlawn-Australia, menunjukkan perbedaan hasil interpretasi data bor dengan hasil penambangan underground (Sinclair & Blackwell, 2005). Ketidakakuratan terhadap data sebenarnya dapat diminimalkan dengan karakteristik endapan yang akan semakin dapat diketahui secara detil dengan IV-7

44 BAB IV, Kontrol Geologi se makin rincinya kegiatan eksplorasi atau perolehan data selama proses penambangan. Dalam melakukan interpolasi, model geologi diasumsikan mempunyai kemenerusan yang smooth di antara dua titik informasi. Semakin banyak informasi geologi yang diperoleh maka semakin kecil kesalahan yang ditimbulkan oleh interpretasi kemenerusan smooth (Gambar 4.4 dan Gambar 4.5). Gambar 4.6: Beberapa variasi model batas antara bijih dan waste. Dari kiri ke kanan batas bijih berubah menjadi semakin gradasi, sedangkan dari atas ke bawah batas bijih beruba h dari bidang sederhana menjadi lebih kompleks (tidak teratur). Kedua fenomena tersebut (tajam/gradasi dan sederhana/tidak teratur) merupakan fungsi skala. Batas bijih semakin kompleks apabila besaran d semakin tebal relatif terhadap tebal bijih (Sinclair & Blackwell, 2005). K esalahan sampling dan analitik dapat diminimalkan dengan memetakan fakta la pangan dengan lebih lengkap, pemilihan prosedur sampling yang tepat, serta program kontrol kualitas yang baik. Informasi geologi yang kurang tepat pada b atas antara bijih dan waste dapat menyebabkan kesalahan inheren dalam konstruksi model geometri endapan dan perhitungan cadangan. Oleh karena itu pada tahap eksplorasi harus dilakukan pengamatan yang detil pada daerah IV-8

45 BAB IV, Kontrol Geologi batas antara bijih dan waste baik dari pengamatan permukaan maupun underground. Pemodelan geometri endapan akan lebih akurat apabila mempunyai model batas yang sederhana. Batas antara bijih dan waste dapat ditentukan dengan tingkat keyakinan yang tinggi. Namun apabila diperoleh model batas yang bergradasi maka akurasi model geometri endapan akan berkurang dengan tingkat kesalahan tertentu. Tingkat kesalahan tersebut dapat diperhitungkan terhadap zona gradasi model batas tersebut. Sinclair & Blackwell (2005) memperkenalkan sebuah metode untuk menentukan zona gradasi berdasarkan karakteristik autokorelasi antara sampel yang dipisahkan oleh batas bijih/waste yang telah ditentukan. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat pasangan data dengan jarak yang konstan untuk bagian bijih maupun waste. Selanjutnya pasangan data tersebut di-plot ke dalam diagram pencar x-y. Gambar 4.6: Pasangan data dengan jarak yang sama (dalam kasus ini 2 m) ditentukan baik untuk bijih maupun waste dari garis batas. Sebagai studi kasus dipergunakan data untuk endapan emas epitermal yang mempunyai dimensi cukup besar dan batas bijih yang bergradasi. Hasil plot pasangan data dapat dilihat pada diagram pencar Gambar 4.7. Dari diagram ini akan diperoleh parameter kuantitatif misalnya koefisien korelasi (r) seperti terlihat dalam Tabel IV.1. Metode yang hampir sama juga diperkenalkan oleh IV-9

46 BAB IV, Kontrol Geologi Sinclair & Postolski (1999) dengan menggunakan tingkat kontras geokimia. Kontras tersebut dapat ditentukan dengan formula sebagai berikut: Cg = m ( h) / m ( h) (4.1) o w dimana: Cg = kontras geokimia m o (h) = rata-rata kadar dari n jumlah data yang berjarak h dari batas bijih m w (h) = rata-rata kadar dari n jumlah data yang berjarak h dari batas waste Gambar 4.7: Hasil plot antara kadar bijih terhadap waste untuk berbagai jarak yang sama dari batas bijih-waste (Sinclair & Blackwell, 2005). Harga kontras geokimia dapat diperlihatkan dalam Tabel IV.1. Dalam kasus ini tebal zona gradasi dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi dan kontras geokimia. Diinterpretasikan zona gradasi pada daerah batas adalah 4 m yaitu 2 m ke arah bijih dan 2 m ke arah waste. Dengan demikian data yang terdapat IV-10

47 BAB IV, Kontrol Geologi dalam zona gradasi tersebut seharusnya tidak dipergunakan dalam perhitungan cadangan. Tabel IV.1: Koefisien korelasi dan kontras geokimia untuk pasangan data dengan berbagai jarak. 4.4 MINERALOGI Studi mineralogi detil memberikan gambaran kelimpahan mineral-mineral spasial jenis mineralisasi, distribusi ukuran butir, hubungan antar yang ada, variasi butir (tekstur), variasi batuan samping, dll. Hasil dari studi mineralogi juga merupakan hal penting dalam menentukan pola zona mineral bijih dan gangue, perolehan logam (metal recovery), kehadiran mineral yang berbahaya, distribusi oksida-sulfida, kemungkinan produk samping (by product), dll. Semua hal tersebut penting dalam perhitungan cadangan karena mempengaruhi perolehan logam dan keuntungan operasional. Variasi mineralogi yang signifikan harus dipertimbangkan dalam proses perhitungan cadangan. Sebagai contoh kasus pengaruh studi mineralogi sangat berpengaruh pada endapan sulfida masif Woodlawn (Australia) dimana produksi logam tidak pernah sesuai dengan hasil perhitungan cadangan. Hal ini disebabkan tidak dilakukannya studi mineralogi pada tahap studi kelayakan tambang tersebut. Gambar 4. 8 menunjukkan variasi mineralogi yang ditekankan pada daerah bijih kompleks dan daerah kaya tembaga pada bench Tipe bijih bergradasi dari yang kaya talk sampai yang miskin talk, dari yang kaya pirit sampai moderat. Variasi yang bergradasi tersebut tidak diperhatikan selama perhitungan cadangan kaitannya dengan proses pengolahan. Perolehan logam lebih rendah dari yang diharapkan dan kontaminasi yang cukup besar karena adanya masalah pada tahapan IV-11

48 BAB IV, Kontrol Geologi penggilingan (milling). Produksi tambang dari hari-ke-hari tidak menunjukkan produksi rata-rata tetapi bervariasi tergantung dari variasi mineralogi lokal. Gambar 4.8: Variasi mineralogi pada tambang sulfida masif (Sinclair & Blackwell, 2005). Woodlawn (Australia) Keuntungan lain yang dapat diperoleh dari studi mineralogi pada endapan emas diantaranya: 1. Mengenali kehadiran mineral sianida seperti pirotit yang bereaksi dengan larutan sianida sehingga menambah kebutuhan zat kimia dalam proses konsentrasi. 2. Mengenali mineral Au yang sulit larut dalam larutan sianida (misalnya Au teluride, elektrum kaya Ag) sehingga tidak dapat diperoleh dengan perlakuan sianidasi. 3. Mengenali kehadiran mineral karbon yang mengabsorbsi larutan sianida dalam jumlah yang signifikan. IV-12

49 BAB V, Konsep Statistik BAB V KONSEP STATISTIK Statistics should not be involved in ore reserve estimation until all other factor such as geological continuity and contact, loss core, representativeness, sampling and assay error have been identified, examined and assessed. (King et al., 1982) 5.1 PENDAHULUAN Terminologi dan metode statistik telah digunakan dalam penentuan karakteristik bijih sejak tahun 1945 (Sinclair and Blackwell, 2005). Perhitungan kadar logam atau perhitungan karakteristik cadangan lainnya berhubungan dengan bagianbagian ilmu statistik seperti ukuran tendensi sentral, ukuran dispersi, bentukbentuk fungsi kepadatan peluang, histogram, korelasi sederhana, autokorelasi, hubungan antar dua kelompok data, dll. Metode statistik yang tradisional ini digunakan juga dalam prosedur perhitungan cadangan mineral. Para ahli statistik berbicara mengenai populasi (yaitu seluruh objek yang dipelajari, contohnya endapan). Populasi atau deposit ini dikarakterisasi menjadi variabel, contohnya kadar, dengan parameter-parameter yang unik (seperti mean, standar deviasi), dan pola penyebaran nilai-nilai terhadap meannya (probability density function) yang unik pula. Tujuan umum dari ilmu statistik adalah mengetahui parameter-parameter atau karakteristik populasi endapan dari sampel yang diambil. Ada dua definisi sampel yang berbeda yaitu: dalam bidang statistik sampel diartikan sebagai kumpulan dari n buah nilai-nilai individual, dalam bidang pertambangan sampel diartikan sebagai sejumlah batu/material yang dapat merepresentasikan dan dapat dianalisis sehingga menghasilkan ukuran-ukuran kualitas (seperti kadar). Dalam evaluasi penambangan, sampel tidak ditentukan secara acak tetapi mempunyai pola tertentu. Pola pengambilan sampel bervariasi dari yang sangat beraturan sampai dengan yang sangat tidak beraturan. V-1

50 BAB V, Konsep Statistik 5.2 PARAMETER-PARAMETER STATISTIK KLASIK Ukuran Tendensi Sentral Tendensi sentral merupakan teknik pengelompokan nilai yang paling banyak digunakan. Ukuran yang sering digunakan adalah rata-rata (m) yang diperoleh dari persamaan: xi m = (5.1) n Jika n nilai diambil secara acak dari populasi maka rata-rata sampel adalah taksiran takbias dari mean populasi. Nilai mean ini juga diartikan sebagai ekspektasi pengambilan secara acak dari populasi. Pada perhitungan cadangan, persoalan yang dihadapi adalah memperkirakan mean kadar populasi dari kadar-kadar sampel yang terbatas dan ukuran sampel yang berbeda-beda. Misalnya terdapat dua lubang bor dengan panjang inti bor yang berbeda. Mean dari dua sampel tersebut dapat ditentukan dengan pembobotan mean masing-masing dengan bobot yang proporsional terhadap volume atau massa sampel. Mean kombinasi dua sampel tersebut dihitung dengan persamaan: m dengan w = 1 (5.2) w = wi xi Dimana x i adalah nilai-nilai yang akan dirata-ratakan dan w i adalah bobotbobotnya. Persamaan w i = 1 disebut kondisi takbias yang membuat kombinasi mean kedua sampel takbias. Contoh perhitungan mean kombinasi adalah sebagai berikut: misalkan hasil analisis tembaga dari inti bor dengan panjang 3 m dan 1 m adalah 1,5% dan 0,5%. Jika diasumsikan densitas dua sampel tersebut identik maka rata-ratanya adalah (1,5 x ¾ + 0,5 x ¼) = 1,25%. Sedangkan jika densitasnya tidak identik, misalkan 3,3 dan 2,5 g/ml, maka ratarata-nya adalah sebesar: m w = = ( ) ( ) = l id i xi wi xi ( l id i ) [( 1,5 3 3,3) + ( 0,5 1 2,7) ] [( 3 3,3 ) + ( 1 2,7 )] = (14,85 + 1,35)/(9,9 + 2,7) = 1,29 i (5.3) V-2

51 ( Diktat TE-3231, Metode Perhitungan Cadangan BAB V, Konsep Statistik dimana wi = l idi / l idi ) dan l i dan di menyatakan panjang dan densitas sampel ke-i. Pada perhitungan cadangan, pembobotan densitas sangat penting tetapi tidak umum digunakan pada berbagai keperluan. Hal ini disebabkan penambahan waktu dan biaya untuk mendapatkan nilai densitas setiap sampel. Dalam analisis statistik data kadar biasanya dibuat beberapa subgrup kadar, misalnya grup kadar yang di atas cog dan di bawahnya. Selain itu setiap sampel umumnya juga dianalisis oleh dua laboratorium yang berbeda. Apabila akan memperbandingkan grup kadar di atas cog untuk dua hasil analisis dari laboratorium yang berbeda maka kedua hasil analisis tersebut harus dipisahkan terhadap kadar di bawah cog. Jika kadar di bawah cog tersebut tidak dipisahkan maka akan menyebabkan analisis statistik akan bias. Misalnya akan memperbandingkan nilai rata-rata dari dua populasi tersebut maka terdapat dua cara yaitu: 1. Dengan mencari kadar rata-rata (di atas cog) untuk Populasi 1 dan Populasi Dengan mencari kadar rata-rata populasi dengan formula sebagai berikut: m w = p m ( m (5.4) p) 2 dimana m w adalah rata-rata hasil pembobotan, m 1 dan m 2 adalah rata-rata masing-masing populasi, p adalah proporsi untuk Populasi 1. Median, salah satu ukuran tendensi sentral (biasanya digunakan untuk data yang terdistribusi tidak normal). Median yaitu nilai pertengahan data yang telah disusun dari yang besar ke yang kecil atau sebaliknya. Dengan kata lain 50% data bernilai di bawah median dan 50% lagi bernilai di atas median. Untuk jumlah data yang kecil, median menjadi taksiran yang baik untuk tendensi sentral dibandingkan dengan mean. Modus adalah (interval) data yang lebih sering terjadi dibandingkan dengan (interval) data lainnya (dengan kata lain modus adalah puncak dari sebuah histogram). Walaupun nilai modus juga bisa menjadi mean atau median, tetapi V-3

52 BAB V, Konsep Statistik ketiga ukuran tendensi sentral ini berbeda (Gambar 5.1). Untuk kasus distribusi normal, modus, mean, dan median akan bernilai sama. Gambar 5.1: Histogram data hipotetik, dengan memperlihatkan modus, median dan rata-ratanya. Modus sangat berperan untuk mengetahui distribusi kompleks dari dua atau lebih sub-populasi (Sinclair, 1976) dan juga dalam pemahaman tentang pencilan (outliers), khususnya nilai yang ekstrim tinggi Ukuran Dispersi Dispersi adalah ukuran penyebaran nilai data. Ukuran yang sering digunakan adalah jangkauan (range) yaitu perbedaan antara nilai maksimum dan minimum. Jangkauan tidak cocok untuk menjelaskan penyebaran data karena sangat sensitif terhadap adanya nilai yang ekstrim. Ukuran yang sering digunakan untuk mengukur penyebaran data adalah variansi, s 2, yang didefinisikan sebagai: s 2 = n ( xi m) ( 1) 2 (5.5) dimana x i adalah nilai data, m adalah mean data dan n adalah jumlah data. Nilai n-1 sering disebut dengan derajat kebebasan. Variansi sampel (s 2 ) digunakan untuk menaksir variansi populasi (σ 2 ). Pembagi (n-1) digunakan agar s 2 takbias jika digunakan untuk menaksir σ 2 pada jumlah data yang kecil (n<30). V-4

53 BAB V, Konsep Statistik Akar dari variansi sering disebut standar deviasi, merupakan ukuran dispersi yang lebih sering digunakan karena satuannya sama dengan variabel, dibandingkan dengan variansi yang satuannya kuadrat. Jika nilai mean, m, dan nilai dispersi, s, telah diperoleh dari n buah data, maka variansi error (disebut juga standar error of mean, s e ) dihitung dengan persamaan: ( s n) 1 s n s e = = (5.6) artinya jika mean populasi dihitung dari beberapa sampel berukuran n, maka mean tersebut akan mempunyai dispersi (s) yang ditaksir oleh s e. Pada perhitungan cadangan, sulit membedakan antara variansi dengan variansi error. Variansi (atau standar deviasi) adalah ukuran penyebaran nilai sedangkan variansi error (standard error of mean) adalah taksiran rata-rata error yang dibuat ketika menaksir mean populasi dengan menggunakan ratarata sampel. Weighted variance diperoleh dengan persamaan: s 2 w 2 [ wi ( xi mw ) ] = Variansi dari gabungan dua populasi diperoleh dengan persamaan: 2 w 2 1 w i 2 ( 1 p) + p( 1 p)( m m ) (5.7) σ = p σ + σ (5.8) dimana m menyatakan mean, subscript 1 dan 2 menyatakan Populasi 1 dan 2 sedangkan p menyatakan proporsi Populasi 1. Persentil (atau kuantil) adalah nilai di bawah batas proporsi tertentu dari sebuah data set. Median adalah persenti ke-50. Pada beberapa kasus, persentil juga digunakan untuk mengukur penyebaran data. Persentil yang sering digunakan adalah: P 10, P 90 nilai data yang ke 10% dan 90% dari keseluruhan data P 25, P 75 nilai data yang ke 25% dan 75% dari keseluruhan data P 50 nilai data yang ke 50% dari keseluruhan data, yaitu median. V-5

54 BAB V, Konsep Statistik Kovariansi Kovariansi (s xy ) adalah ukuran variasi yang terjadi antara dua variabel (x dan y). Kovariansi dihitung dengan persamaan: [( x m )( y m )] n sxy = i x i y (5.9) dimana m x dan m y menyatakan mean dari variabel x dan y yang akan dibandingkan. Kovariansi akan bernilai positif jika nilai x berbanding lurus dengan nilai y dan demikian pula sebaliknya. Jika variabel x dan y saling bebas, maka kovariansinya akan bernilai 0, tetapi tidak berlaku sebaliknya, kovariansi dua variabel bisa bernilai 0 tetapi variabel tersebut tidak saling bebas Skewness dan Kurtosis Skewness adalah kecenderungan terdapatnya ekor dari kumpulan data. Distribusi skewness positif mempunyai ekor di sekitar nilai-nilai yang tinggi, sedangkan distribusi skewness negatif mempuyai ekor pada nilai-nilai yang rendah (Gambar 5.2). (a) (b) (c) Gambar 5.2: Tiga contoh hasil analisis lubang bor yang digambarkan dengan histogram. Skewness negatif (a), simetris (b) dan skewness positif (c). Pada gambar (b) disertai dengan kurva normalnya. V-6

55 BAB V, Konsep Statistik Kurtosis adalah ukuran untuk menunjukkan kecenderungan keruncingan puncak data. Skewness dan kurtosis ini jarang digunakan dalam perhitungan cadangan secara mendalam. Ukuran ini digunakan untuk menunjukkan apakah data terdistribusi normal atau tidak. Secara praktis umumnya koefisien korelasi (CV) digunakan untuk mengetahui tipe distribusi data. CV = s / m (5.10) Jika CV kurang dari 0,5 umumnya lebih mendekati distribusi normal sedangkan jika lebih dari 0,5 umumnya data terdistribusi dengan skewness. 5.3 HISTOGRAM Histogram adalah grafik yang menampilkan frekuensi variabel dalam interval nilai tertentu (biasanya interval seragam). Histogram merupakan metode yang sederhana dan efektif untuk menampilkan beberapa atribut dari nilai-nilai kadar. Bentuk-bentuk distribusi (skewness negatif, simetris atau skewness positif) dapat terbaca langsung dari histogram. Demikian juga dengan ukuran-ukuran kualitatif seperti pemusatan data, adanya satu atau lebih modus, dll. Bentuk-bentuk distribusi data sangat penting dalam mendeteksi kesalahan sampling dan analisis, menentukan kadar dan tonase di atas cog serta untuk uji-uji statistik lainnya. Histogram adalah alat yang sering digunakan dalam perhitungan cadangan untuk menampilkan informasi-informasi tersebut. Interval nilai pada histogram harus dibuat seragam (1/4 atau 1/2 standar deviasi) dan frekuensi data tidak ditampilkan dalam bentuk angka tetapi dalam bentuk persentase (dengan tujuan untuk pembandingan histogram jika jumlah data berbeda). Setiap histogram harus dilengkapi dengan informasi mengenai jumlah data, interval kelas, mean dan standar deviasi. Histogram juga dapat menunjukkan pembiasan spasial (lokasi) pada sekelompok data yang dikarenakan oleh metode sampling yang subyektif. Pembiasan ini umumnya disebabkan sampel lebih sering diambil pada zonazona mineralisasi (misalnya urat) sedangkan pada zona kadar rendah cenderung lebih jarang. Dengan demikian histogram akan cenderung V-7

56 BAB V, Konsep Statistik mempunyai skewness negatif. Hal ini bisa diantisipasi dengan melakukan pengambilan sampel seobyektif mungkin dan pencatatan informasi sampel selengkap mungkin. Gambar 5.3: Ilustrasi data yang dikelompokkan secara spasial (a). Ukuran sel paling optimal diperoleh ketika kurva mean terbobot mencapai titik terendah jika data terkonsentrasi pada daerah kadar tinggi (b), demikian pula sebaliknya. (Sinclair & Blackwell, 2005). Salah satu cara lain untuk menghindari bias spasial ini adalah dengan memberikan proporsi bobot nilai-nilai kadar sampel terhadap daerah poligon. Metode yang sering digunakan adalah membuat sel yang seragam (2 dimensi atau 3 dimensi sesuai kebutuhan) pada seluruh daerah sedemikian rupa sehingga tiap-tiap sel memuat satu atau lebih data (Gambar 5.3). Sampel diberi proporsi bobot relatif terhadap jumlah total sampel yang terdapat di dalam sel (dengan kata lain tiap-tiap sel mempunyai bobot yang sama berapa pun jumlah data yang terdapat di dalamnya, tetapi bobot masing-masing sampel bervariasi tergantung berapa banyak data sampel dalam selnya). Prosedur ini tidak dianjurkan karena akan menghasilkan histogram dari data sekunder yang mewakili tiap-tiap sel atau akan mereduksi bobot apabila dalam satu sel terdapat beberapa sampel. V-8

57 BAB V, Konsep Statistik Besarnya ukuran sel sangat berpengaruh dalam menaksir mean, standar deviasi dan bentuk distribusi. Jika ukuran sel terlalu kecil, sehingga tiap sel hanya memuat satu data, maka rata-rata terbobot (weighted average) akan sama dengan meannya, sedangkan jika ukuran sel terlalu besar sehingga semua data berada pada satu sel, maka rata-rata terbobot juga akan sama dengan meannya. Ukuran sel yang cocok akan menghasilkan rata-rata terbobot lebih kecil dari mean data mentah jika sampel terkonsentrasi pada daerah berkadar tinggi, sedangkan jika sampel terkonsentrasi pada daerah berkadar rendah maka rata-rata terbobot yang dihasilkan akan lebih besar dari mean data mentah. Ukuran sel optimum akan menghasilkan rata-rata terbobot yang minimum ketika data mengelompok pada zona berkadar tinggi dan rata-rata terbobot yang maksimum ketika data mengelompok pada zona berkadar rendah. Ketika data terkonsentrasi tidak beraturan pada kedua zona, maka pola sederhana sebelumnya tidak bisa diharapkan. Oleh sebab itu sangat penting untuk membuat sel overlay dengan ukuran berbeda sehingga menghasilkan histogram yang takbias. 5.4 DISTRIBUSI KONTINU Fungsi kepadatan peluang (probability density function, PDF) adalah model matematis yang menggambarkan peluang-peluang terjadinya kejadian dalam populasi yang didefinisikan dengan sebuah fungsi dengan spesifikasi tertentu. Histogram takbias dapat dipandang sama dengan fungsi kepadatan peluang untuk kasus diskrit. Kesamaannya dapat terlihat jika ditarik kurva mulus pada puncak-puncak interval histogram (Gambar 5.2b). Variabel-variabel pada perhitungan cadangan seperti kadar, ketebalan dll dapat diterangkan dengan beberapa fungsi kepadatan peluang. Pada umumnya berupa model distribusi normal, lognormal, gabungan keduanya, atau modelmodel lainnya. V-9

58 BAB V, Konsep Statistik Distribusi Normal (Gaussian) Fungsi kepadatan peluang distribusi normal berbentuk lonceng yang simetris pada nilai meannya. Distribusi normal didefinisikan dengan persamaan: y = s ( m) x i 1 2s e 2π 2 2 (5.11) dimana m adalah taksiran mean, x i adalah hasil pengukuran, dan s 2 adalah taksiran variansi populasi. Bentuk distribusi normal terlihat pada Gambar 5.5. Kurva normal dapat digabungkan dengan histogram takbias untuk memperlihatkan bahwa variabel tersebut terdistribusi normal. Gambar 5.5: Kurva fungsi kepadatan peluang distribusi normal. Simetris pada nilai mean x m = 0,76 dan dispersi diukur oleh standar deviasi s = 0,28. Distribusi normal sering digunakan untuk mengatasi beberapa tipe error, seperti error analisis dan error sampling Distribusi Normal Baku Semua variabel yang terdistribusi normal dapat diubah menjadi normal baku dengan transformasi sebagai berikut: z i ( xi m) = (5.12) s Transformasi ini menghasilkan nilai z yang terdistribusi normal baku dengan mean sama dengan 0 dan variansi 1. Fungsi kepadatan peluangnya menjadi: y = 1 e 2π z 2 2 (5.13) V-10

59 BAB V, Konsep Statistik Bentuk distribusi normal baku seperti tampak pada Gambar 5.6. Tabel-tabel statistik yang sering digunakan menggunakan distribusi normal baku. Distribusi normal baku merupakan basis pada konsep peluang dan batas kepercayaan. Gambar 5.6: Kurva distribusi normal baku Formula Taksiran untuk Distribusi Normal Terdapat beberapa kasus yang berhubungan dengan distribusi normal yaitu ingin mengetahui proporsi yang berada di bawah atau di atas suatu nilai. Contohnya, pada kasus perhitungan kadar tembaga yang terdistribusi normal, sangat penting untuk mengetahui besarnya proporsi kadar yang di atas cog. Untuk menyelesaikan masalah ini harus dilakukan transformasi nilai cog menjadi nilai z. Dari tabel normal (yang terdapat pada beberapa buku statistik dasar) dapat diketahui nilai P <z yang menyatakan proporsi daerah di bawah kurva normal dari - sampai z. Proporsi kadar tembaga yang ingin diketahui adalah 1- P <z. Pada beberapa kasus, penggunaan tabel sangat merepotkan. Formula yang dikenalkan oleh David (1997) dapat digunakan untuk menaksir proporsi tanpa menggunakan tabel (jika z positif): atau P z 2 [ 1+ { 1 exp( 2 π )} ] < = 0,5 z (5.14) P > z = 1 P< z dimana P <z adalah proporsi populasi di bawah nilai z positif dan P >z adalah proporsi populasi di atas nilai z positif. Untuk z negatif, nilai P <z menjadi proporsi populasi di atas nilai z. Formula ini dapat digunakan untuk distribusi lognormal jika datanya ditransformasikan menjadi logaritma yang terdistribusi normal. V-11

60 BAB V, Konsep Statistik Contoh perhitungan formula ini adalah sebagai berikut: misalkan terdapat sampel dari ton bijih potensial yang mempunyai rata-rata kandungan Cu sebesar m = 0,76% Cu dan kadarnya terdistribusi normal dengan variansi s 2 = 0,08, s = 0,28. Untuk cog sebesar 0,4%, nilai z yang diperoleh adalah (0,4 0,76) / 0,28 = -1,286. Dengan nilai z = -1,286 menghasilkan nilai P <z = 0,903 atau 90,3%. Artinya 90,3% dari tonase (kira-kira ton) mempunyai kadar Cu di atas 0,4%. Selain mengetahui proporsi di atas cog, sangat berguna juga jika mengetahui kadar rata-rata material di atas (atau di bawah) cog. Kadar rata-rata material antara A dan B dihitung dengan persamaan: [( A m) s] Z[ ( B m) s] [( B m) s] Φ[ ( A m) s] s Z E [ x ] A B = m + Φ (5.15) dimana: A adalah nilai pemotongan bawah B adalah nilai pemotongan atas m adalah mean dari distribusi normal s adalah standar deviasi dari distribusi normal Z[z] = (2) -1/2 exp(-z 2 / 2) Φ[z] adalah proporsi daerah di bawah kurva normal baku dari - sampai z. Untuk pemotongan bawah A dan tidak ada pemotongan atas, maka persamaan di atas menjadi: [( A m) s] [( A m) s] s Z E[ x> A ] = m + 1 Φ (5.16) Contoh perhitungan kasus ini adalah dengan menggunakan data pada perhitungan sebelumnya, atau dengan kata lain A= 0,4% Cu dan parameter distribusi normal adalah m = 0,76 dan s =0,28. Maka, Z[(0,4 0,76) / 0,28] = Z[-1,286] = 0,1745. Nilai Φ[-1,286] dilihat pada tabel = 0,903. Substitusikan hasil ini pada persamaan di atas, maka diperoleh mean kadar Cu di atas cog adalah E[X > 0,4 ] = 0,84% Cu. V-12

61 BAB V, Konsep Statistik Contoh selanjutnya adalah jika cog = 0,90% (lebih besar dari mean), diperoleh Z[(0,9 0,76) / 0,28] = Z[0,5] = 0,35 dan Φ[0,5] = 0,69. Substitusikan nilai-nilai ini pada persamaan di atas maka E[x >0,9 ]= 0,76 + 0,28(0,35/0,31) = 1,075%. Perhitungan-perhitungan ini sangat diperlukan dalam konsep perhitungan cadangan Distribusi Lognormal Jika variabel x ditransformasikan menjadi logaritma (t = ln(x)) dan nilai-nilainya mempunyai distribusi normal, maka variabel x disebut terdistribusi lognormal. Data mentah (data yang belum ditransformasikan) dari distribusi lognormal adalah skewness positif, tetapi tidak semua distribusi skewness positif adalah lognormal (Gambar 5.7). Distribusi skewness negatif juga bisa menjadi distribusi lognormal dengan transformasi t = ln (C - x), dimana tidak ada nilai x yang lebih besar dari konstanta C. Perkalian dua variabel yang terdistribusi lognormal akan terdistribusi lognormal juga. Gambar 5.7: Kurva distribusi lognormal dari analisis lubang bor pada endapan tembaga Bougenville (Sinclair, 2005). Parameter data mentahnya m = 0,45% Cu dan s = 0,218 (Sinclair & Blackwell, 2005). Pada beberapa kasus, data yang skewness positif yang tidak terdistribusi lognormal dapat diubah menjadi terdistribusi lognormal, yaitu ditransformasikan dengan menambahkan konstanta, persamaan transformasinya: t = ln( x k) (5.17) i i + Taksiran nilai k akan dibahas pada sub bab berikutnya. Ketika transformasi di atas digunakan pada perhitungan cadangan, taksiran awal harus V-13

62 BAB V, Konsep Statistik ditransformasikan kembali (dengan kata lain nilai k harus dikurangkan dari taksiran awal agar menghasilkan taksiran yang benar). Variasi nilai k umumnya tidak akan mempengaruhi nilai taksiran titik, tetapi perubahan pada nilai k akan mengakibatkan perubahan pada besarnya variansi sebesar 50% (Clark, 1987). Distribusi lognormal banyak digunakan dalam perhitungan cadangan, tetapi evaluasi yang detil mengenai fungsi kepadatan peluang dari variabel kadar harus dilakukan terlebih dahulu. Pada variabel kadar yang terdistribusi lognormal, persamaan untuk mengetahui proporsi tonase (P >c ) di atas cog tertentu adalah: P> c = 1 Φ{ ln( xc m) d + d 2} (5.18) dimana d adalah standar deviasi dari data yang telah ditranformasi menjadi log, x c adalah cog (data awal) dan m adalah mean distribusi (data awal) dan Φ[z] adalah fungsi distribusi kumulatif normal baku dari - sampai z. Logam terperoleh, R >c (proporsi metal yang terkandung dalam tonase di atas cog) dihitung dengan persamaan: R> c = 1 Φ{ ln( xc m) d d 2} (5.19) Kadar rata-rata proporsi material di atas cog dihitung dengan persamaan: x m R> c P> c = (5.20) Persamaan di atas banyak digunakan pada perhitungan cadangan karena distribusi lognormal atau hampiran distribusi lognormal relatif lebih sering digunakan untuk kadar logam Distribusi Binomial Distribusi binomial adalah distribusi untuk variabel diskrit. Untuk jumlah data n yang besar, distribusi ini dapat dihampiri oleh ditribusi normal dengan meannya sama dengan np dan variansi npq dimana n menyatakan jumlah data, p adalah proporsi data mempunyai karakteristik tertentu dan q adalah proporsi data tidak mempunyai karakteristik tersebut (p = 1 q). Sebagai contoh, dari 100 kali pelemparan koin takbias, diharapkan muncul kepala sebanyak 50 kali dan ekor sebanyak 50 kali (p = q = 0,5). V-14

63 BAB V, Konsep Statistik Uji ketakbiasan suatu koin dapat dilakukan sebagai berikut: dengan pelemparan sebanyak 100 kali dan untuk α = 0,05 (selang kepercayaan 95%), jumlah kepala yang muncul harus berada pada selang np+2(npq) 1/2 yaitu 50±10. Jika kemunculan kepala di luar selang tersebut maka koin tersebut bias. Gambar 5.8. Contoh bentuk distribusi binomial. Contoh bentuk distribusi binomial seperti pada Gambar 5.8 yang menunjukkan frekuensi (dalam %) terhadap jumlah butir mineral berat dimana setiap sampel terdiri dari butir. Dalam gambar tersebut terlihat mean adalah 15% dan menunjukkan, sebagai contoh, terdapat peluang lebih dari 7% sampel mempunyai butir mineral berat kurang dari 10 sedangkan yang diharapkan adalah Distribusi Poisson Percobaan poisson adalah percobaan yang menghasilkan peubah acak x dengan jumlah kejadian sukses tertentu pada suatu interval waktu atau pada suatu daerah tertentu. Beberapa contohnya adalah jumlah telepon yang diterima oleh kantor setiap jam, jumlah nugget pada sebuah sampel bijih emas, dll. Percobaan poisson mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: V-15

64 BAB V, Konsep Statistik 1. Jumlah sukses yang terjadi dalam suatu selang waktu atau daerah tertentu tidak terpengaruh oleh (bebas dari) apa yang terjadi pada selang waktu atau daerah lain. 2. Peluang terjadinya suatu sukses (tunggal) dalam selang waktu yang amat pendek atau dalam daerah yang kecil sebanding (proporsional terhadap) dengan panjang waktu atau besarnya daerah, dan tidak bergantung pada banyaknya sukses yang terjadi di luar selang atau daerah tersebut. 3. Peluang terjadinya lebih dari satu sukses dalam selang waktu yang pendek atau daerah yang sempit tersebut dapat diabaikan. Peluang terjadinya x kali sukses pada percobaan poisson, dihitung dengan persamaan: μ x e μ P( x; μ) = untuk x = 0,1,2,3,... (5.21) x! dimana µ adalah rata-rata banyaknya sukses terjadi dalam selang waktu tertentu atau daerah tertentu, e = 2, Mean dan variansi distribusi poisson sama yaitu µ. Distibusi poisson adalah bentuk khusus dari distribusi binomial ketika n menuju tak hingga dan np konstan. Oleh sebab itu, distribusi poisson dapat digunakan untuk menaksir distribusi binomial ketika p sangat kecil dan n sangat besar. Pada perhitungan cadangan distribusi poisson digunakan untuk tipe endapan yang dicirikan dengan butir mineral yang jarang tetapi cukup bernilai misalnya endapan emas atau intan. Contoh aplikasinya adalah misalkan 500 g sampel pasir aluvial yang mengandung rata-rata dua butir emas. Asumsikan ukuran butir sama (misalnya berdiameter 2 mm). Hal ini ekivalen dengan emas (Au) 320 gpt (gram per ton). Dengan Persamaan 5.21, dapat diketahui bahwa peluang tidak ditemukannya grain emas dari 500 g sampel yang diambil secara acak (zero grain of gold) adalah 0,27 (kira-kira seperempat dari jumlah sampel, walaupun kadar rata-ratanya tinggi). Variansi distribusi poisson sama dengan meannya atau 2 σ = μ dan koefisien variasi (CV) dalam persen dihitung dengan persamaan: V-16

65 BAB V, Konsep Statistik CV % = 100σ μ (5.22) Jika presisi (P) didefinisikan sebagai dua kali koefisien variasi, maka: 1 2 P = 2CV % = 200σ μ = 200 μ (5.23) dimana µ adalah rata-rata jumlah butir dalam sampel. Presisi ini digunakan untuk mengetahui jumlah butir yang berukuran seragam yang terdapat dalam sampel. Gambar 5.9: Contoh bentuk distribusi poisson. Dalam Gambar 5.9 ditunjukkan contoh bentuk distribusi poisson dimana setiap sampel mempunyai jumlah butir emas rata-rata dua. Diagram tersebut dibuat dengan menggunakan Persamaan 5.21, rangkuman perhitungan seperti terlihat pada Tabel V.1. Sebagai contoh terdapat peluang 13% dimana sampel dengan jumlah butir tidak mempunyai butir emas. Tabel V.1: Rangkuman perhitungan contoh distribusi poisson. 5.5 DISTRIBUSI KUMULATIF Pengelompokan data menjadi kelas interval pada saat membuat histogram dapat juga digunakan untuk melihat persentase kumulatif untuk kelas interval. V-17

66 BAB V, Konsep Statistik Histogram dapat dibuat kumulatif dari rendah ke tinggi (Gambar 5.10) maupun sebaliknya. Walaupun histogram kumulatif mudah dipahami dan sering dipergunakan, jenis distribusi ini masih mengandung ambigu jika dievaluasi hanya dengan melihat tampilan. Grafik lain yang banyak digunakan untuk melihat persentase kumulatif data adalah grafik peluang (probability graphs). Gambar 5.10: Histogram kumulatif Grafik Peluang Grafik peluang adalah grafik yang digunakan untuk mengevaluasi bentuk distribusi kumulatif dari data. Kertas peluang dibuat dimana ordinatnya adalah interval yang seragam atau logaritmik tergantung kebutuhan (apakah berhubungan dengan distribusi normal atau lognormal). Sedangkan absisnya adalah variabel dengan skala yang diatur sehingga plot distribusi kumulatif akan berupa garis lurus. Dalam Gambar 5.11 terlihat grafik peluang dari histogram Gambar 5.2bc. Distribusi yang mendekati normal dari MoS 2 dapat dihampiri dengan garis lurus. Histogram Cu yang terdistribusi dengan skewness positif yang tinggi akan membentuk kurva konkaf menghadap ke atas. Demikian pula jika mempunyai skewness negatif yang tinggi akan membentuk kurva konkaf menghadap ke bawah. Rata-rata dan standar deviasi taksiran dari distribusi V-18

67 B B Diktat TE-3231, Metode Perhitungan Cadangan BAB V, Konsep Statistik normal dapat langsung diketahui dari garis lurus: m = 0,453; s = (P97,5-P2,5)/4 = (0,84-0,092)/4 = 0,187. Hasil ini dapat dibandingkan dengan nilai yang sudah diketahui m = 0,455 dan s = 0,189. Pada Gambar 5.12 ordinatnya berupa skala logaritma, titik-titik kumulatif yang membentuk garis lurus juga terdistribusi lognormal. Histogram Cu yang mempunyai skewness positif tinggi ditampilkan sebagai plot kumulatif dengan ordinat berupa skala logaritmik. Dengan demikian kurva konkaf pada Gambar 5.10 akan menjadi garis lurus seperti pada Gambar Nilai mean yang dapat ditaksir dengan persentil ke-50 pada garis lurus merupakan mean geometri dan merupakan taksiran yang underestimasi terhadap data mentahnya. Jika data terdiri dari gabungan dua variabel terdistribusi normal (atau lognormal) dengan mean berbeda dan jangkauan yang beririsan, maka plot kumulatif data akan berbentuk sigmoidal (Gambar 5.13). Kurva pada gambar tersebut menunjukkan campuran 20% populasi lognormal A dengan 80% populasi lognormal B. Setiap titik pada garis lengkung kurva ditentukan oleh persamaan: dimana: P m P A P B f A f B P m = f P + f P (5.24) A A B B = persentase kumulatif dari populasi campuran = persentase kumulatif populasi A = persentase kumulatif populasi B = fraksi populasi A dalam campuran = fraksi populasi B dalam campuran = 1 - f A Pada perhitungan cadangan, grafik probabilitas lebih cocok digunakan untuk menampilkan distribusi kumulatif, khususnya sebagai alat justifikasi subjektif jika terdapat dua atau lebih parameter yang terdistribusi lognormal. V-19

68 BAB V, Konsep Statistik Gambar 5.11: Grafik peluang dari histrogram pada Gambar 5.2bc. Gambar 5.12: Grafik peluang dari histogram pada Gambar 5.2c dengan absis dalam skala logaritmik. V-20

69 BAB V, Konsep Statistik Gambar 5.13: Bentuk grafik peluang dari dua populasi. 5.6 KORELASI SEDERHANA Korelasi adalah ukuran kesamaan (similarity) antar variabel (contohnya sampel). Korelasi R-mode menggambarkan hubungan kesamaan antar pasangan variabel, sedangkan korelasi Q-mode menggambarkan kesamaan antar pasangan sampel. Koefisien korelasi linier sederhana dihitung dengan persamaan: r = s s s (5.25) xy ( ) x y dimana r = adalah koefisien korelasi linier sederhana ( -1 < r < 1) s xy s x s y = adalah kovariansi x dan y = adalah standar deviasi x = adalah standar deviasi y r = 1 berarti terdapat hubungan yang kuat antara variabel x dan y r = -1 berarti terdapat hubungan terbalik yang kuat r = 0 berarti tidak ada hubungan antara variabel x dan y (Gambar 5.14) V-21

70 BAB V, Konsep Statistik Gambar 5.14: Diagram pencar dengan berbagai nilai koefisien korelasi. Adanya pencilan atau trend nonlinier akan menyebabkan nilai korelasi menjadi salah (Gambar 5.15). Gambar 5.15: Pengaruh pencilan dan trend nonlinier pada koefisien korelasi (r). Pada perhitungan cadangan, koefisien korelasi digunakan untuk: (i) Kesalahan penaksiran kadar yang diperoleh dari penaksiran terpisah untuk ketebalan dan akumulasi. (ii) Pembentukan fungsi autokorelasi korelogram. (iii) Membuat model suatu variabel dan hubungannya dengan variabel lain. (iv) Menguji hubungan antar variabel. (v) Menyelidiki adanya distribusi zonal antara beberapa variabel mineral V-22

71 BAB V, Konsep Statistik 5.7 AUTOKORELASI Autokorelasi adalah korelasi variabel dengan dirinya sendiri, pasangan nilai dalam variabel tersebut tidak saling bebas dan diperoleh dari tempat dan waktu yang berbeda. Misalkan terdapat urutan pasangan data yang diperoleh dari titik-titik dalam sebuah garis yang dipisahkan oleh jarak lag (h) yang sama (misalnya titik x i dengan x i+h ). Maka autokorelasi variabel dapat dihitung dengan persamaan: 2 r Cov( xi, xi+ h ) sx = (5.26) Proses ini dapat dilanjutkan untuk pasangan-pasangan yang dipisahkan oleh jarak 2h, 3h, dan seterusnya. Semua nilai koefisien korelasi yang diperoleh dapat diplot terhadap jarak lag masing-masing sehingga menghasilkan korelogram (Gambar 5.16). Gambar 5.16: Beberapa contoh korelogram (Sinclair & Blackwell, 2005). Dalam Gambar 5.16 ditunjukkan beberapa contoh korelogram yaitu plot antara koefisien korelasi (r) dengan jarak lag (h) masing-masing. Gambar (A) merupakan contoh korelogram teoritis, gambar (B) adalah korelogram untuk 118 titik kadar Zn yang dibawa oleh mineralisasi sfalerit (Pulacayo, Bolivia), dan gambar (C) menunjukkan korelogram untuk 129 titik kadar Ti dari mineralisasi V-23

72 BAB V, Konsep Statistik anortosit komplek (Black Cargo, California). Pola umum dari ketiga korelogram tersebut mengindikasikan sampel yang lebih dekat akan lebih mirip (berkorelasi) daripada sampel yang terpisah lebih jauh. Pada berbagai endapan mineral, pasangan sampel yang diperoleh dari jarak yang dekat hampir mirip, sedangkan semakin jauh jaraknya semakin jelas perbedaannya. Akibatnya bentuk umum dari korelogram akan mempunyai nilai r yang tinggi pada bagian sampel yang berjarak dekat dan nilai r akan kecil untuk sampel dari jarak yang berjauhan. Semua nilai r yang dihitung dapat diuji secara statistik apakah tidak sama dengan nol. Jika suatu sampel yang terpisah mempunyai autokorelasi tidak sama dengan nol (setelah diuji), maka sampel tersebut masih terletak dalam range (atau jarak pengaruh dari sampel). Oleh sebab itu autokorelasi adalah atribut kadar yang penting dalam mengetahui rata-rata jarak pengaruh sampel. Range dan bentuk korelogram dapat bervariasi tergantung pada karakteristik geologi mineral yang akan dianalisis (misalnya pada formasi yang mengandung besi, autokorelasi kadar Fe yang sejajar dengan perlapisan tidak harus sama dengan autolorelasi kadar Fe yang tegak lurus dengan perlapisan). Autokorelasi adalah vektor yang mungkin saja bersifat anisotropik yang dikontrol oleh geologi. Secara umum tingkat autokorelasi akan menurun seiring dengan kenaikan jarak sampel pada semua arah. Alat lain untuk melihat autokorelasi adalah kovariogram dan variogram (semivariogram). Keduanya tidak akan dibahas dalam diktat ini tetapi akan dibahas pada mata kuliah Geostatistik. Untuk variabel yang terdistribusi lognormal, koefisien (auto)korelasi data yang sudah ditransformasikan dihitung dengan persamaan: r normal 2 2 log = {[ 1+ E ] r 1} E (5.27) dengan E adalah koefisien variansi data yang sudah ditransformasikan (E = s lognormal / x lognormal ). V-24

73 BAB V, Konsep Statistik 5.8 REGRESI LINIER SEDERHANA Pada beberapa kasus diperlukan sekali suatu garis lurus pada kelompok pasangan data. Pada penjelasan korelasi sebelumnya disebutkan bahwa tampilan geometri dari koefisien korelasi adalah ukuran relatif sebaik mana variabel mendekati garis lurus pada grafik x-y. Model liniernya dapat dilihat dari persamaan: y b + b x ± e = 0 1 (5.28) dimana x variabel bebas dan y adalah variabel tak bebas, b 1 adalah kemiringan garis (gradien), b 0 adalah perpotongannya pada sumbu y, dan e adalah dispersi acak titik-titik di sekitar garis lurus. Prosedur yang umumnya digunakan untuk menghasilkan model linier yang optimum adalah dengan meminimasi kuadrat error e. Prosedur ini sama dengan menyelesaikan dua persamaan : yi nb0 b1 xi = yi xi b0 xi b1 0 x 2 i (5.29) = 0 Dimana semua penjumlahan dapat diketahui dari kelompok pasangan data. Persamaan di atas harus diselesaikan untuk menentukan nilai b 0 dan b 1 yang akan meminimasi error paralel dengan arah y: b b 1 0 = xi y x 2 i = y b x 1 i ( yi )( xi ) 2 ( xi ) n n (5.30) Sebaran garis paralel terhadap sumbu y dapat dihitung dengan persamaan: s s 2 d 2 d 2 = [ yi b0 yi b1 xi yi ] 2 2 = σ ( 1 r ) y n (5.31) Nilai 2 s d ini digunakan untuk menentukan batas kepercayaan nilai y taksiran. Hubungan linier sederhana ini sangat dibutuhkan dalam praktek geostatistik. Pada penyelidikan yang mendalam tentang hubungan antara analisis sampel dan kadar blok pada endapan emas di Witwatersrand, Krige(1951) memberikan V-25

74 BAB V, Konsep Statistik hubungan linier antara kadar panel taksiran dengan rata-rata kadar dalam sampel adalah sebagai berikut: y = m + b1 ( x m (5.32) b b ) dimana y b adalah kadar blok khusus, m adalah mean blok dan sampel, dan x b adalah kadar rata-rata sampel di dalam blok. Hasil dari penelitian Krige menyimpulkan bahwa penentuan hubungan secara empiris akan menghasilkan hasil yang berbeda dari garis y = x (hasil yang diharapkan). Perbedaan inilah yang disebut conditional bias. Krige membuktikan bahwa taksiran kadar tinggi rata-rata akan menghasilkan nilai yang lebih tinggi dari kadar sebenarnya, sedangkan taksiran kadar rendah akan menghasilkan taksiran yang lebih rendah dari kadar sebenarnya. Nilai koefisien persamaan di atas adalah sebagai berikut (Matheron, 1971): 1 = r b b 1 1 = ( σ x σ y ) r( σ σ ) = σ 2 y y 2 x x σ < 1 Kemiringan (gradien) kurang dari 1 akan menjamin jika terjadi overestimasi nilainya tidak akan lebih besar dari mean, sedangkan jika terjadi underestimasi, nilainya akan lebih kecil dari mean. Pada beberapa kasus, terdapat hubungan yang non linier antara dua variabel. Untuk kasus tersebut, dapat dibuat taksiran hubungan linier dengan cara mentransformasikan salah satu variabel. Gambar 5.14 menunjukkan karakter linier yang inheren dari pasangan variabel yang dicirikan oleh nilai koefisien korelasi absolut yang tinggi. Gambar 5.17 menunjukkan contoh penggunaan hubungan least square, baik yang linier dan kuadratik, yang menghubungkan densitas bijih (D) dengan kadar nikel (Ni). Persamaan least square yang diperoleh adalah D = 2, ,297Ni dan D = 2,88 + 0,238Ni + 0,013Ni 2. Model least square tradisional ini menempatkan semua error pada variabel D karena diasumsikan Ni diketahui secara pasti untuk mencari taksiran densitas. Pada kasus ini penggunaan persamaan kuadrat pada data tidak akan mempengaruhi hubungan linier secara signifikan. V-26

75 BAB V, Konsep Statistik Model least square ini digunakan pada kasus-kasus dimana satu variabel digunakan untuk menaksir variabel lainnya. Gambar 5.17: Contoh penggunaan least square yang menunjukkan hubungan densitas dan kadar Ni. 5.9 REGRESI REDUCED MAJOR AXIS (RMA) Regresi RMA digunakan apabila ingin melihat hubungan antara dua variabel dengan mempertimbangkan error yang terjadi pada dua variabel tersebut. Bentuk umum garis RMA diberikan oleh persamaan: y b + b x ± e = 0 1 dengan x dan y adalah pasangan nilai, b 0 adalah perpotongan sumbu y dengan model linier RMA, b 1 adalah kemiringan (gradien) model, dan e adalah pemencaran di sekitar garis. Taksiran nilai b adalah: b = 1 s y s x dimana s y dan s x adalah standar deviasi x dan y, dan b 0 ditaksir dengan persamaan: b0 = y b1 x dimana y dan x adalah nilai mean y dan x. Jika garis tidak melewati titik pusat (0,0) maka pasti terjadi bias. V-27

76 BAB V, Konsep Statistik Error pada perpotongan sumbu y, s 0, dihitung dengan persamaan: s 2 {([ 1 r] n) ( 2 + [ x s ] [ r] )} = s y x 1+ dengan r adalah koefisien korelasi antara x dan y. Error pada kemiringan (gradien) dihitung dengan persamaan: s sl = 2 ( s s )[ ( 1 r ] n) 1 2 y x Dispersi di sekitar RMA adalah rma 2 2 { ( 1 r)( s s )} 1 2 s = + 2 x y dimana s x dan s y adalah standar deviasi x dan y, x adalah variabel bebas, sedangkan y adalah variabel tak bebas. Dispersi disekitar RMA dapat digunakan untuk: (1) Pembanding hasil beberapa pengulangan yang dikeluarkan oleh satu laboratorium dengan hasil beberapa pengulangan yang dikeluarkan oleh laboratorium lain dengan standar yang sama. (2) Pembanding hasil analisis duplo dalam satu laboratorium (contoh Gambar 5.18). Tabel V.2: Rangkuman parameter model seperti ditunjukkan pada Gambar V-28

77 BAB V, Konsep Statistik Gambar 5.18: Tiga model linier untuk merepresentasikan pasangan data Au AuD. Dalam Gambar 5.18 menunjukkan plot hasil analisis untuk sampel emas (Au) terhadap analisis untuk sampel emas duplikatnya (AuD). Tiga model linier diaplikasikan untuk merepresentasikan hasil plot tersebut: (1) semua error diasumsikan pada Au, (2) RMA, dan (3) semua error diasumsikan pada AuD. Parameter ketiga model ditunjukkan pada Tabel V.2. V-29

78 BAB VI, Metode Penaksiran dan Perhitungan BAB VI METODE PENAKSIRAN PARAMETER DAN PERHITUNGAN CADANGAN Pada bab-bab sebelumnya telah dibahas tentang konsep-konsep dalam perhitungan cadangan, klasifikasi sumberdaya/cadangan, kontrol geologi, konsep statistik, dan evaluasi data eksplorasi. Pada bab ini data yang diperoleh dari kegiatan eksplorasi dan sudah dievaluasi digunakan untuk menaksir parameter dan menghitung sumberdaya/cadangan. Metode yang dibahas dalam diktat ini terbatas pada metode konvensional saja, sedangkan metode non-konvensional yang menerapkan konsep geostatistik akan dibahas pada mata kuliah Geostatistik. 6.1 PENAKSIRAN PARAMETER 61.1 Perlunya Penaksiran Dalam merencanakan kegiatan eksplorasi tak lepas dari pola dan kerapatan titik informasi yang akan dilakukan atau lebih dikenal dengan desain eksplorasi. Pola pengambilan sampel telah dijelaskan pada Bab 2 yang meliputi pola bujursangkar, persegi panjang, segitiga, dan rombohedron. Pelaksanaan di lapangan pada kenyataannya sulit melaksanakan eksplorasi sesuai dengan desain yang telah direncanakan. Hal ini bisa terjadi karena batasan kondisi alam di lapangan seperti bentuk lahan (gunung, lembah, lereng, dll), jenis tanah (gambut, tanah lapuk, batuan keras, dll). Disamping itu juga terdapat batasan lain seperti administrasi (batas konsesi, batas wilayah, dll), lingkungan, sosial budaya (keberadaan situs purbakala, daerah larangan, dll), politik, dll. Dengan kondisi seperti tersebut di atas maka sangat mungkin beberapa titik informasi yang telah direncanakan tidak bisa diambil sampelnya sehingga mendapatkan daerah yang tidak diketahui kisaran besaran paramaternya. Parameter yang dimaksud dalam hal ini seperti kadar, ketebalan, densitas, dll. VI-1

79 BAB VI, Metode Penaksiran dan Perhitungan Dengan demikian perlu adanya penaksiran terhadap parameter di suatu titik yang tidak diketahui. Penaksiran tersebut didasarkan pada titik-titik di sekitarnya dengan memperhatikan kondisi geologi sebagai batasan yang dapat dipertimbangkan. Disamping itu penaksiran parameter juga diperlukan jika akan melakukan perhitungan sumberdaya/cadangan dengan sistem blok. Daerah yang akan dihitung terlebih dahulu dibagi menjadi blok-blok teratur dimana parameter seluruh luasan/volume dalam blok tersebut diwakili oleh parameter di titik tertentu dalam blok tersebut (misalnya titik tengah). Untuk tujuan ini maka harus dilakukan penaksiran titik-titik tengah setiap blok dengan menggunakan titik-titik informasi di sekitarnya. Dengan demikian akan diperoleh sebaran titik informasi yang teratur sesuai dimensi blok Metode Penaksiran Penaksiran parameter blok dapat menggunakan metode nearest point, inverse distance, segitiga, dan kriging (metode kriging tidak dibahas dalam diktat ini). Metode NNP menggunakan nilai titik terdekat sebagai nilai pada titik yang ditaksir, dengan kata lain lebih mempercayai titik yang terdekat daripada titik yang lebih jauh. Umumnya metode panaksiran ini dipergunakan untuk tipe parameter yang mempunyai kemenerusan tinggi seperti ketebalan dan kandungan abu batubara, endapan plaser pantai, dll. Metoda inverse distance weighting (IDW, jarak terbalik) merupakan suatu cara penaksiran dengan telah memperhitungkan adanya hubungan letak ruang (jarak), merupakan kombinasi linier atau harga rata-rata terbobot (weighted average) dari titik-titik data yang ada di sekitarnya. Suatu cara penaksiran di mana harga rata-rata suatu titik yang ditaksir merupakan kombinasi linier atau harga rata-rata terbobot (weighted average) dari data-data lubang bor di sekitar titik tersebut. Data di dekat titik VI-2

80 BAB VI, Metode Penaksiran dan Perhitungan yang ditaksir memperoleh bobot lebih besar, sedangkan data yang jauh dari titik yang ditaksir bobotnya lebih kecil. Bobot ini berbanding terbalik dengan jarak data dari titik yang ditaksir. Untuk mendapatkan efek penghalusan (pemerataan) data dilakukan faktor pangkat. Pilihan dari pangkat yang digunakan (ID 1, ID 2, ID 3, ) berpengaruh terhadap hasil taksiran. Semakin tinggi pangkat yang digunakan, hasilnya akan semakin mendekati metode NNP. Merupakan metode yang masih umum dipakai. Jika d adalah jarak antara titik yang ditaksir, z, dengan titik data, maka faktor pembobotan w adalah: Untuk ID pangkat satu Untuk ID pangkat dua Untuk ID pangkat n dj 2 w = d n j j d j w = j 1 j j w j = d 1 j i= 1 i 1 2 i= 1d i n i= 1di Maka hasil taksiran z : Z * = w. j i= 1 i z i Metoda seperjarak ini mempunyai batasan yaitu hanya memperhatikan jarak saja dan belum memperhatikan efek pengelompokan data, sehingga data dengan jarak yang sama namun mempunyai pola sebaran yang berbeda masih akan memberikan hasil yang sama (tidak bisa menggambarkan anisotropisme). Atau dengan kata lain metode ini belum memberikan korelasi ruang antara titik data dengan titik data yang lain. Pada Gambar 6.1 ditunjukkan contoh penaksiran dengan menggunakan metode IDW. Dalam contoh kasus tersebut ditentukan radius pencarian data maksimum 200 m untuk menentukan kadar pada blok B atau blok B. Dengan demikian titik-titik data yang berada dalam lingkaran dengan radius tersebut yang akan dipergunakan untuk menaksir blok tersebut. Hasil perhitungan penaksiran IDW seperti terlihat pada Tabel VI.1. VI-3

81 BAB VI, Metode Penaksiran dan Perhitungan Gambar 6.1: Contoh penaksiran metode IDW. Tabel VI.1: Hasil perhitungan penaksiran IDW. Penaksiran dengan menggunakan metode NNP untuk Gambar 6.1 menghasilkan nilai kadar 0,90% (titik G4), sedangkan jika menggunakan ratarata kadar 5 titik terdekat menghasilkan nilai kadar 0,72%. Dalam Tabel VII.1 terlihat dengan semakin bertambahnya bilangan pangkat dalam penaksiran IDW akan semakin mendekati hasil penaksiran NNP. Apabila pangkat IDW sangat besar atau tak hingga maka hasil penaksiran tersebut akan sama dengan hasil penaksiran NNP. VI-4

82 BAB VI, Metode Penaksiran dan Perhitungan Metode segitiga digunakan untuk menaksir sebuah titik di tengah (atau daerah segitiga) dengan menggunakan tiga titik data yang melingkupinya. Metode ini lebih baik dari pada metode NNP dalam hal jumlah titik penaksirnya. Metode segitiga memperhatikan tiga titik untuk dirata-ratakan sedangkan NNP hanya memperhatikan satu titik terdekatnya. Beberapa kelemahan metode ini seperti tidak diperhatikannya sifat anisotropisme, unit yang diestimasi tidak berbentuk blok yang teratur, dan metode pembobotan kurang optimal. 6.2 PERHITUNGAN CADANGAN Metode Penampang Metode penampang lebih cocok digunakan untuk tipe endapan yang mempunyai kontak tajam seperti bentuk tabular (perlapisan atau vein). Pola eksplorasi (bor) umumnya teratur yang terletak sepanjang garis penampang, namun untuk kasus endapan yang akan ditambang secara underground umumnya mempunyai pola bor yang kurang teratur (misalnya sistem pengeboran kipas). Kadar rata-rata terbobot pada penampang akan diekstensikan menjadi volume sampai setengah jarak antar penampang. Metode ini dapat diaplikasikan baik secara horisontal (isoline) untuk endapan yang penyebarannya secara vertikal seperti tubuh intrusi, batugamping terumbu, dll. Disamping itu juga bisa diaplikasikan secara vertikal (penampang) untuk endapan yang penyebarannya cenderung horisontal seperti tubuh sill, endapan berlapis, dll. Keuntungan dari metode ini adalah proses perhitungannya tidak rumit dan sekaligus dapat dipergunakan untuk menyajikan hasil interpretasi model dalam sebuah penampang atau irisan horisontal. Sedangkan kekurangan metode penampang adalah tidak bisa dipergunakan untuk tipe endapan dengan mineralisasi yang kompleks. Disamping itu hasil perhitungan secara konvensional ini dapat dipakai sebagai alat pembanding untuk mengecek hasil perhitungan yang lebih canggih misalnya dengan sistem blok. VI-5

83 BAB VI, Metode Penaksiran dan Perhitungan Rumus luas rata-rata (mean area) Rumus luas rata-rata dipakai untuk endapan yang mempunyai penampang yang uniform. V = L ( S + S ) S 1 S 2 L S 1,S 2 = luas penampang endapan L = jarak antar penampang V = volume cadangan Gambar 6.2: Sketsa perhitungan volume bijih dengan rumus mean area (metode penampang). Sedangkan untuk menghitung tonase bijih digunakan rumus : T = V x BJ dimana : T = tonase bijih (ton) V = volume bijih (m 3 ) BJ = berat jenis bijih (ton/m 3 ). Rumus prismoida V = ( S 1 + 4M + S 2 ) L 6 S 2 S 1,S 2 = luas penampang ujung M = luas penampang tengah L = jarak antara S 1 dan S 2 V = volume cadangan M Gambar 6.3: Sketsa perhitungan volume bijih dengan rumus prismoida. L S 1 1/2 L VI-6

84 BAB VI, Metode Penaksiran dan Perhitungan Rumus kerucut terpancung S 1 L L V = 3 ( S + S + S S ) 1 2 S 1 = luas penampang atas S 2 = luas penampang alas L = jarak antar S 1 dan S 2 V = volume cadangan 1 2 S 2 Gambar 6.4: Sketsa perhitungan volume bijih dengan rumus kerucut terpancung. Rumus obelisk Rumus obelisk dipakai untuk bentuk endapan yang membaji, merupakan suatu modifikasi dari rumus prismoida dengan mensubstitusi: M = ( a + a ) ( b + b ) a 2 S 2 Gambar 6.5: Sketsa b perhitungan volume bijih 2 dengan rumus obelisk. S 1 b 1 a 1 L V = ( S + 4M + S ) = 6 L 6 1 S ( a + a )( b + b ) S 2 VI-7

85 = L 3 S + S ( a + b )( a + b ) Diktat TE-3231, Metode Perhitungan Cadangan BAB VI, Metode Penaksiran dan Perhitungan Metode Poligon (Area of Influence) Metoda ini umum diterapkan pada endapan-endapan yang relatif homogen dan mempunyai geometri yang sederhana. Kadar pada suatu luasan di dalam poligon ditaksir dengan nilai data yang berada di tengah-tengah poligon sehingga metoda ini sering disebut dengan metoda poligon daerah pengaruh (area of influence). Daerah pengaruh dibuat dengan membagi dua jarak antara dua titik conto dengan satu garis sumbu (lihat Gambar 6.6) = TITIK BOR/SUMUR UJI 10 = DAERAH PENGARUH Gambar 6.6: Metode poligon (area of influence). Andaikan ketebalan bijih pada titik 1 adalah t 1 dan luas daerah pengaruhnya adalah S 1 maka volume (V) = S 1 x t 1 (volume pengaruh). Bila specific gravity dari bijih = ρ, maka tonase bijih = S 1 x t 1 x ρ ton. Untuk data yang sedikit metoda poligon ini mempunyai kelemahan, antara lain : Belum memperhitungkan tata letak (ruang) nilai data di sekitar poligon, Tidak ada batasan yang pasti sejauh mana nilai conto mempengaruhi distribusi ruang. VI-8

86 BAB VI, Metode Penaksiran dan Perhitungan Metode USGS Circular 891 (1983) Sistem United States Geological Survey (USGS, 1983) merupakan pengembangan dari sistem blok dan perhitungan volume biasa. Sistem USGS ini dianggap sesuai untuk diterapkan dalam perhitungan sumberdaya batubara, karena sistem ini ditujukan pada pengukuran bahan galian yang berbentuk perlapisan (tabular) yang memiliki ketebalan dan kemiringan lapisan yang relatif konsisten. Sumberdaya yang dihitung terdiri dari sumberdaya terukur (measured coal) dan sumberdaya terunjuk (indicated coal), yang keduanya termasuk ke dalam jenis sumberdaya demonstrated coal. Prosedur atau teknik perhitungan dalam sistem USGS adalah dengan membuat lingkaran-lingkaran (setengah lingkaran) pada setiap titik informasi endapan batubara, yaitu singkapan batubara dan lokasi titik pengeboran. Daerah dalam radius lingkaran m adalah untuk perhitungan sumberdaya terukur dan daerah radius m adalah untuk perhitungan sumberdaya terunjuk (USGS/Wood dkk., 1983) (lihat Gambar 6.7). Teknik perhitungan seperti di atas hanya berlaku untuk kemiringan lapisan lebih kecil atau sama dengan 30 0 ( 30 0 ). Sedangkan untuk batubara dengan kemiringan lapisan lebih besar dari 30 0 (>30 0 ) caranya adalah mencari harga proyeksi radius lingkaran-lingkaran tersebut ke permukaan terlebih dahulu (lihat Gambar 6.8). Selain itu aspek-aspek geologi daerah penelitian seperti perlipatan, sesar, intrusi dan singkapan batubara di permukaan, ikut mengontrol perhitungan sumberdaya batubara (Gambar 6.9) Metode Segitiga Disamping digunakan untuk menaksir parameter, metode segitiga juga sekaligus digunakan untuk menghitung sumberdaya/cadangan. Rumus perhitungan hampir sama dengan metode poligon hanya saja dalam metode segitiga tiga titik data digunakan untuk mewakili parameter seluruh area VI-9

87 BAB VI, Metode Penaksiran dan Perhitungan segitiga, sedangan metode poligon menggunakan titik data yang berada di tengah luasan poligon. Gambar 6.7: Teknik perhitungan sumberdaya batubara berdasarkan sistem United States Geological Survey Circular 891 (1983). VI-10

88 BAB VI, Metode Penaksiran dan Perhitungan Gambar 6.8: Cara perhitungan sumberdaya batubara dengan kemiringan 30 0 (atas) dan kemiringan >30 0 (bawah), (USGS, 1983). VI-11

89 BAB VI, Metode Penaksiran dan Perhitungan Gambar 6.9: Kontrol struktur pada batas sumberdaya batubara (USGS, 1983) Sistem Blok Pemodelan dengan komputer untuk merepresentasikan endapan bahan galian umumnya dilakukan dengan model blok (block model). Dimensi block model dibuat sesuai dengan disain penambangannya, yaitu mempunyai ukuran yang sama dengan tinggi jenjang. Semua parameter seperti jenis batuan, kualitas batubara, dan topografi dapat dimodelkan dalam bentuk blok. Parameter yang mewakili setiap blok yang teratur diperoleh dengan menggunakan metode penaksiran yang umum yaitu NNP, IDW, atau kriging. Dalam kerangka model blok, dikenal jenis penaksiran poligon dengan jarak titik terdekat (rule of nearest point), yaitu nilai hasil penaksiran hanya dipengaruhi VI-12

90 BAB VI, Metode Penaksiran dan Perhitungan oleh nilai conto yang terdekat atau dengan kata lain titik (blok) terdekat memberikan nilai pembobotan satu untuk titik yang ditaksir, sedangkan titik (blok) yang lebih jauh memberikan nilai pembobotan nol (tidak mempunyai pengaruh). Gambar 6.10: Perhitungan sumberdaya dengan model blok. VI-13

Klasifikasi Sumberdaya Mineral dan Cadangan

Klasifikasi Sumberdaya Mineral dan Cadangan STANDAR NASIONAL INDONESIA AMANDEMEN 1 - SNI 13-4726-1998 ICS 73.020 Klasifikasi Sumberdaya Mineral dan Cadangan BADAN STANDARDISASI NASIONAL-BSN Latar Belakang Endapan mineral (bahan tambang ) merupakan

Lebih terperinci

Metode Perhitungan Cadangan. Konsep Dasar

Metode Perhitungan Cadangan. Konsep Dasar Metode Perhitungan Cadangan Konsep Dasar Konversi Unit 1 inch = 2,54 cm 1 karat = 200 mgram 1 m = 3,281 feet 1 mile = 1.609 km 1 ha = 10.000 m 2 1 acre = 0,404686 ha 1 cc = 0,061 cinch 1 kg = 2,2046 pound

Lebih terperinci

MAKALAH MANAJEMEN TAMBANG KLASIFIKASI SUMBERDAYA DAN CADANGAN MINERAL

MAKALAH MANAJEMEN TAMBANG KLASIFIKASI SUMBERDAYA DAN CADANGAN MINERAL MAKALAH MANAJEMEN TAMBANG KLASIFIKASI SUMBERDAYA DAN CADANGAN MINERAL Oleh: KELOMPOK IV 1. Edi Setiawan (1102405/2011) 2. Butet Sesmita (1102414/2011) 3. Irpan Johari (1102419/2011) 4. Reynold Montana

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN DAN INTERPRETASI

BAB V PEMBAHASAN DAN INTERPRETASI BAB V PEMBAHASAN DAN INTERPRETASI Hasil pengolahan data yang didapat akan dibahas dan dianalisis pada bab ini. Analisis dilakukan untuk mengetahui kondisi bawah permukaan secara geometri yang berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Investasi di bidang pertambangan memerlukan jumlah dana yang sangat besar. Agar investasi yang akan dikeluarkan tersebut menguntungkan, maka komoditas endapan bahan

Lebih terperinci

KONSEP PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PELAPORAN BAHAN GALIAN LAIN DAN MINERAL IKUTAN. Oleh : Tim Penyusun

KONSEP PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PELAPORAN BAHAN GALIAN LAIN DAN MINERAL IKUTAN. Oleh : Tim Penyusun KONSEP PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PELAPORAN BAHAN GALIAN LAIN DAN MINERAL IKUTAN Oleh : Tim Penyusun 1. PENDAHULUAN Kegiatan usaha pertambangan harus dilakukan secara optimal, diantaranya termasuk melakukan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Estimasi Sumber Daya Bijih Besi Eksplorasi adalah suatu rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mencari sumberdaya bahan galian atau endapan mineral berharga dengan meliputi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sistem penambangan adalah suatu cara atau teknik yang dilakukan untuk membebaskan atau mengambil endapan bahan galian yang mempunyai arti ekonomis dari batuan induknya

Lebih terperinci

Pedoman pelaporan, sumberdaya, dan cadangan mineral

Pedoman pelaporan, sumberdaya, dan cadangan mineral Standar Nasional Indonesia Pedoman pelaporan, sumberdaya, dan cadangan mineral ICS 07.060 Badan Standardisasi Nasional BSN 2011 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang menyalin atau menggandakan sebagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Investasi di bidang pertambangan memerlukan jumlah dana yang sangat besar agar investasi yang akan dikeluarkan tersebut menguntungkan. Komoditas endapan mineral yang

Lebih terperinci

PENYELIDIKAN EKSPLORASI BAHAN GALIAN

PENYELIDIKAN EKSPLORASI BAHAN GALIAN PENYELIDIKAN EKSPLORASI BAHAN GALIAN ISTILAH DAN DEFINISI Beberapa istilah dan definisi yang digunakan diambil dari acuan-acuan, yang dimodifikasi sesuai kebutuhan, yaitu : Bahan galian, segala jenis bahan

Lebih terperinci

Modul Responsi. TE-3231, Metode Perhitungan Cadangan. Asisten: Agus Haris W, ST

Modul Responsi. TE-3231, Metode Perhitungan Cadangan. Asisten: Agus Haris W, ST Modul Responsi TE-323, Metode Perhitungan Cadangan Asisten: Agus Haris W, ST DEPARTEMEN TEKNIK PERTAMBANGAN FAKULTAS ILMU KEBUMIAN DAN TEKNOLOGI MINERAL INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2005 I. PENDAHULUAN Perhitungan

Lebih terperinci

PENYUSUNAN PEDOMAN TEKNIS EKSPLORASI BIJIH BESI PRIMER. Badan Geologi Pusat Sumber Daya Geologi

PENYUSUNAN PEDOMAN TEKNIS EKSPLORASI BIJIH BESI PRIMER. Badan Geologi Pusat Sumber Daya Geologi PENYUSUNAN PEDOMAN TEKNIS EKSPLORASI BIJIH BESI PRIMER Badan Geologi Pusat Sumber Daya Geologi Latar Belakang Besi. merupakan bahan logam penting yang banyak memberikan sumbangan pada perkembangan peradaban

Lebih terperinci

KCMI ( Kode Cadangan Mineral Indonesia )

KCMI ( Kode Cadangan Mineral Indonesia ) KCMI ( Kode Cadangan Mineral Indonesia ) Perkembangan dunia menuntut adanya transparansi, standarisasi dan accountability termasuk di dalam dunia eksplorasi dan pertambangan mineral dan batubara di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Penyusunan Basis Data Assay

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Penyusunan Basis Data Assay BAB V PEMBAHASAN 5.1 Penyusunan Basis Data Assay Basis data Assay dan data informasi geologi adalah data data dasar di dalam proses permodelan dan estimasi sumberdaya bijih. Prosedur awal setelah data

Lebih terperinci

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN:

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN: Prosiding Teknik Pertambangan ISSN: 2460-6499 Inventarisasi Potensi Bahan Tambang di Wilayah Kecamatan Dukupuntang dan Kecamatan Gempol, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Inventory of Mining Potential

Lebih terperinci

SNI Standar Nasional Indonesia. Tata cara umum penyusunan laporan eksplorasi bahan galian BSN. ICS Badan Standardisasi Nasional

SNI Standar Nasional Indonesia. Tata cara umum penyusunan laporan eksplorasi bahan galian BSN. ICS Badan Standardisasi Nasional SNI 13-6606-2001 Standar Nasional Indonesia Tata cara umum penyusunan laporan eksplorasi bahan galian ICS 73.020 Badan Standardisasi Nasional BSN Daftar isi Prakata.. Pendahuluan. 1. Ruang Lingkup 2. Acuan...

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Endapan Batubara Penyebaran endapan batubara ditinjau dari sudut geologi sangat erat hubungannya dengan penyebaran formasi sedimen yang berumur Tersier yang terdapat secara luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proses ini berlangsung selama jutaan tahun dimulai ketika batuan ultramafik

BAB I PENDAHULUAN. Proses ini berlangsung selama jutaan tahun dimulai ketika batuan ultramafik 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Nikel laterit adalah produk residual pelapukan kimia pada batuan ultramafik. Proses ini berlangsung selama jutaan tahun dimulai ketika batuan ultramafik

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Klasifikasi Sumberdaya Dan Cadangan Batubara Badan Standarisasi Nasional (BSN) telah menetapkan pembakuan mengenai Klasifikasi Sumberdaya Mineral dan Cadangan SNI No. 13-6011-1999.

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Endapan nikel laterit di Pulau Gee terbentuk akibat dari proses pelindian pada batuan ultrabasa. Air hujan yang mengandung CO 2 dari udara meresap ke bawah sampai ke

Lebih terperinci

Oleh: Uyu Saismana 1 ABSTRAK. Kata Kunci : Cadangan Terbukti, Batugamping, Blok Model, Olistolit, Formasi.

Oleh: Uyu Saismana 1 ABSTRAK. Kata Kunci : Cadangan Terbukti, Batugamping, Blok Model, Olistolit, Formasi. PERHITUNGAN CADANGAN TERBUKTI DAN PENJADWALAN PENAMBANGAN BATUGAMPING MENGGUNAKAN METODE BLOK MODEL PADA CV. ANNISA PERMAI KECAMATAN HALONG KABUPATEN BALANGAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN Oleh: Uyu Saismana

Lebih terperinci

KONSEP PEDOMAN TEKNIS INVENTARISASI BAHAN GALIAN TERTINGGAL DAN BAHAN GALIAN BERPOTENSI TERBUANG PADA WILAYAH USAHA PERTAMBANGAN. Oleh : Tim Penyusun

KONSEP PEDOMAN TEKNIS INVENTARISASI BAHAN GALIAN TERTINGGAL DAN BAHAN GALIAN BERPOTENSI TERBUANG PADA WILAYAH USAHA PERTAMBANGAN. Oleh : Tim Penyusun KONSEP PEDOMAN TEKNIS INVENTARISASI BAHAN GALIAN TERTINGGAL DAN BAHAN GALIAN BERPOTENSI TERBUANG PADA WILAYAH USAHA PERTAMBANGAN Oleh : Tim Penyusun 1. PENDAHULUAN Pemanfaatan bahan galian sebagai sumber

Lebih terperinci

PEMODELAN KADAR NIKEL LATERIT DAERAH PULAU OBI DENGAN PENDEKATAN METODA ESTIMASI ORDINARI KRIGING

PEMODELAN KADAR NIKEL LATERIT DAERAH PULAU OBI DENGAN PENDEKATAN METODA ESTIMASI ORDINARI KRIGING PEMODELAN KADAR NIKEL LATERIT DAERAH PULAU OBI DENGAN PENDEKATAN METODA ESTIMASI ORDINARI KRIGING Wawan A.K. Conoras Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Maluku Utara Ternate Email: wawanmine01@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Eksplorasiadalah suatu kegiatan lanjutan dari prospeksi yang meliputi pekerjaan-pekerjaan untuk mengetahui ukuran,bentuk, posisi, kadar rata-rata dan besarnya cadangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan pertambangan merupakan suatu aktifitas untuk mengambil

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan pertambangan merupakan suatu aktifitas untuk mengambil BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kegiatan pertambangan merupakan suatu aktifitas untuk mengambil bahan galian berharga dari lapisan bumi. Perkembangan dan peningkatan teknologi cukup besar, baik dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan Maksud Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan Maksud Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan berbagai macam bahan galian, yang kemudian bahan galian tersebut dimanfaatkan oleh industry pertambangan untuk memnuhi kebutuhan

Lebih terperinci

TA5212 Eksplorasi Cebakan Mineral. Pengenalan Eksplorasi Geokimia

TA5212 Eksplorasi Cebakan Mineral. Pengenalan Eksplorasi Geokimia TA5212 Eksplorasi Cebakan Mineral Pengenalan Eksplorasi Geokimia Pendahuluan Awalnya geokimia digunakan dalam program eksplorasi hanya untuk menentukan kadar dari material yang akan ditambang. Pada akhirnya

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM

BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM Tujuan utama analisis variogram yang merupakan salah satu metode geostatistik dalam penentuan hubungan spasial terutama pada pemodelan karakterisasi

Lebih terperinci

SNI Standar Nasional Indonesia. Pengawasan eksplorasi bahan galian BSN. ICS Badan Standardisasi Nasional

SNI Standar Nasional Indonesia. Pengawasan eksplorasi bahan galian BSN. ICS Badan Standardisasi Nasional SNI 13-6675-2002 Standar Nasional Indonesia Pengawasan eksplorasi bahan galian ICS 73.020 Badan Standardisasi Nasional BSN Daftar Isi Daftar Isi... i Prakata... iii Pendahuluan... iv 1 Ruang lingkup...

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGOLAHAN DATA Data yang digunakan merupakan data dari PT. XYZ, berupa peta topografi dan data pemboran 86 titik. Dari data tersebut dilakukan pengolahan sebagai berikut : 4.1 Analisis Statistik

Lebih terperinci

PERMODELAN DAN PERHITUNGAN CADANGAN BATUBARA PADA PIT 2 BLOK 31 PT. PQRS SUMBER SUPLAI BATUBARA PLTU ASAM-ASAM KALIMANTAN SELATAN

PERMODELAN DAN PERHITUNGAN CADANGAN BATUBARA PADA PIT 2 BLOK 31 PT. PQRS SUMBER SUPLAI BATUBARA PLTU ASAM-ASAM KALIMANTAN SELATAN PERMODELAN DAN PERHITUNGAN CADANGAN BATUBARA PADA PIT 2 BLOK 31 PT. PQRS SUMBER SUPLAI BATUBARA PLTU ASAM-ASAM KALIMANTAN SELATAN RISWAN 1, UYU SAISMANA 2 1,2 Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik, Universitas

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN

Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Batubara merupakan salah satu sumber energi alternative disamping minyak dan gas bumi. Dipilihnya batubara sebagai sumber energi karena batubara relatif lebih murah

Lebih terperinci

Tugas 1. Metoda Perhitungan Cadangan (TA3113)

Tugas 1. Metoda Perhitungan Cadangan (TA3113) Tugas 1 Metoda Perhitungan Cadangan (TA3113) Komparasi antara Klasifikasi SNI dan JORC Kelompok 11 : Dean Andreas Simorangkir (12109003) Ahmad Nazaruddin (12109037) Rahma Fitrian (12109059) Yolanda Efelin

Lebih terperinci

Klasifikasi sumber daya mineral dan cadangan

Klasifikasi sumber daya mineral dan cadangan SNI 134726-1 9981 Amd 1 : 1999 Standar Nasional Indonesia Klasifikasi sumber daya mineral dan cadangan ICS 73.020 Badan Standardisari Naoional Latar Belakang Endapan mineral (bahan tambang) merupakan salah

Lebih terperinci

PERANCANGAN SEQUENCE PENAMBANGAN BATUBARA UNTUK MEMENUHI TARGET PRODUKSI BULANAN (Studi Kasus: Bara 14 Seam C PT. Fajar Bumi Sakti, Kalimantan Timur)

PERANCANGAN SEQUENCE PENAMBANGAN BATUBARA UNTUK MEMENUHI TARGET PRODUKSI BULANAN (Studi Kasus: Bara 14 Seam C PT. Fajar Bumi Sakti, Kalimantan Timur) PERANCANGAN SEQUENCE PENAMBANGAN BATUBARA UNTUK MEMENUHI TARGET PRODUKSI BULANAN (Studi Kasus: Bara 14 Seam C PT. Fajar Bumi Sakti, Kalimantan Timur) Dadang Aryanda*, Muhammad Ramli*, H. Djamaluddin* *)

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS INVENTARISASI SUMBER DAYA MINERAL DAN ENERGI

PEDOMAN TEKNIS INVENTARISASI SUMBER DAYA MINERAL DAN ENERGI LAMPIRAN I KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 1452 K/10/MEM/2000 TANGGAL : 3 November 2000 PEDOMAN TEKNIS INVENTARISASI SUMBER DAYA MINERAL DAN ENERGI I. PENDAHULUAN 1. Data dan informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penambangan (mining) dapat dilakukan dengan menguntungkan bila sudah jelas

BAB I PENDAHULUAN. Penambangan (mining) dapat dilakukan dengan menguntungkan bila sudah jelas BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penambangan (mining) dapat dilakukan dengan menguntungkan bila sudah jelas diketahui berapa besar cadangan mineral (mineral reserves) yang ditemukan. Cadangan ini

Lebih terperinci

3.1 KLASIFIKASI SUMBERDAYA DAN CADANGAN BATUBARA

3.1 KLASIFIKASI SUMBERDAYA DAN CADANGAN BATUBARA BAB III DASAR TEORI 3.1 KLASIFIKASI SUMBERDAYA DAN CADANGAN BATUBARA Klasifikasi sumberdaya dan cadangan batubara berdasarkan BSN, 1999 : Sumberdaya batubara hipotetik (hypothetical coal resource): jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang berhubungan dengan ilmu Geologi. terhadap infrastruktur, morfologi, kesampaian daerah, dan hal hal lainnya yang

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang berhubungan dengan ilmu Geologi. terhadap infrastruktur, morfologi, kesampaian daerah, dan hal hal lainnya yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Maksud dan Tujuan Maksud penyusunan skripsi ini adalah untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar kesarjanaan di Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik Mineral, Universitas Trisakti,

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Pentingnya Permodelan dan Estimasi Sumberdaya Permodelan merupakan tahap awal untuk melakukan estimasi kadar yang berlanjut ke estimasi sumberdaya. Hasil dari estimasi sumberdaya

Lebih terperinci

Bab IV Analisis Statistik dan Distribusi Lubang Bor

Bab IV Analisis Statistik dan Distribusi Lubang Bor Bab IV Analisis Statistik dan Distribusi Lubang Bor 4.1. Analisis Statistik Analisis statistik dan geostatistik dalam penelitian ini hanya dilakukan pada saprolit dan limonit dari profil nikel laterit.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertambangan, khususnya batubara merupakan salah satu komoditas yang penting untuk memenuhi kebutuhan energi yang semakin meningkat. Batubara saat ini menjadi

Lebih terperinci

Tambang Terbuka (013)

Tambang Terbuka (013) Tambang Terbuka (013) Abdullah 13.31.1.350 Fakultas Teknik Jurusan Teknik Pertambangan Universitas Pejuang Republik Indonesia Makassar 2013 Pendahuluan Aturan utama dari eksploitasi tambang adalah memilih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya mineral merupakan komoditas yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Hal inilah yang melatarbelakangi adanya pencarian lokasi sumber mineral baru. Setelah adanya

Lebih terperinci

BAB I TAHAPAN EKSPLORASI BATUBARA

BAB I TAHAPAN EKSPLORASI BATUBARA BAB I TAHAPAN EKSPLORASI BATUBARA Tahapan Eksplorasi Kegiatan eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk dimensi,

Lebih terperinci

METODA-METODA DALAM PERHITUNGAN CADANGAN BATUBARA

METODA-METODA DALAM PERHITUNGAN CADANGAN BATUBARA METODA-METODA DALAM PERHITUNGAN CADANGAN BATUBARA Cadangan batubara (coal reserves) merupakan hal penting dalam menentukan penambangan endapan dengan ekonomis. Tingkat kepastian cadangan terestimasi menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Kiprah dan perjalanan PT. Chevron Pacific Indonesia yang telah cukup lama ini secara perlahan diikuti oleh penurunan produksi minyak dan semakin kecilnya

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Statistik Univarian

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Statistik Univarian BAB V PEMBAHASAN 5.1 Analisis Statistik Univarian Analisis statistik yang dilakukan yaitu analisis statistik univarian untuk ketebalan batubara. Analisis statistik ini dilakukan untuk melihat variasi ketebalan

Lebih terperinci

Survei Polarisasi Terimbas (IP) Dan Geomagnet Daerah Parit Tebu Kabupaten Belitung Timur, Provinsi Bangka-Belitung

Survei Polarisasi Terimbas (IP) Dan Geomagnet Daerah Parit Tebu Kabupaten Belitung Timur, Provinsi Bangka-Belitung Survei Polarisasi Terimbas (IP) Dan Geomagnet Daerah Parit Tebu Kabupaten Belitung Timur, Provinsi Bangka-Belitung Oleh : Yudi Aziz Muttaqin Kelompok Penyelidikan Bawah Permukaan Pusat Sumber Daya Geologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perhitungan cadangan merupakan sebuah langkah kuantifikasi terhadap suatu sumberdaya alam. Perhitungan dilakukan dengan berbagai prosedur/metode yang didasarkan pada

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. IV. HASIL PENELITIAN Batas Wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) vii

DAFTAR ISI. IV. HASIL PENELITIAN Batas Wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) vii DAFTAR ISI RINGKASAN... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR TABEL... x DAFTAR LAMPIRAN... xi BAB I. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Tujuan Penelitian...

Lebih terperinci

KLASIFIKASI SUMBERDAYA DAN CADANGAN BATUBARA DAN MINERAL MENURUT SNI

KLASIFIKASI SUMBERDAYA DAN CADANGAN BATUBARA DAN MINERAL MENURUT SNI KLASIFIKASI SUMBERDAYA DAN CADANGAN BATUBARA DAN MINERAL MENURUT SNI Klasifikasi Sumberdaya dan Cadangan Batubara Klasifikasi sumberdaya mineral dan batubara merupakan standar pelaporan hasil eksplorasi

Lebih terperinci

GEOSTATISTIKA. Peranan Geostatistik dalam Kegiatan Eksplorasi Sumber Daya Alam

GEOSTATISTIKA. Peranan Geostatistik dalam Kegiatan Eksplorasi Sumber Daya Alam GEOSTATISTIKA Peranan Geostatistik dalam Kegiatan Eksplorasi Sumber Daya Alam Oleh : Ristio Efendi 270110120047 Geologi E FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN Peranan Geostatistik dalam Kegiatan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Penentuan dan Pemilihan Pit Potensial Penentuan dan pemilihan pit potensial merupakan langkah awal dalam melakukan evaluasi cadangan batubara. Penentuan pit potensial ini diperlukan

Lebih terperinci

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN:

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN: Prosiding Teknik Pertambangan ISSN: 2460-6499 Estimasi Sumberdaya Batubara Blok D dan Blok E di Wilayah Konsesi Iup PT. Andhika Yoga Pratama, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi Coal Resource

Lebih terperinci

Perencanaan dan Manajemen Eksplorasi

Perencanaan dan Manajemen Eksplorasi Pekerjaan eksplorasi dengan tujuan untuk mendapatkan data mengenai endapan (bentuk, penyebaran, letak, posisi, kadar/kualitas, jumlah endapan, serta kondisikondisi geologi) harus dilakukan sebelum rencana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tugas Akhir adalah mata kuliah wajib dalam kurikulum pendidikan tingkat sarjana (S1) di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut

Lebih terperinci

BAB II STUDI LITERATUR

BAB II STUDI LITERATUR BAB II STUDI LITERATUR.1 Studi Literatur tentang Beberapa Metode Perhitungan Sumberdaya atau Cadangan Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mengembangkan metode perhitungan sumberdaya atau cadangan.

Lebih terperinci

FORMULIR ISIAN BASIS DATA SUMBER DAYA MINERAL LOGAM

FORMULIR ISIAN BASIS DATA SUMBER DAYA MINERAL LOGAM FORMULIR ISIAN BASIS DATA SUMBER DAYA MINERAL LOGAM No. Record : Judul Laporan : DATA UMUM Instansi Pelapor : Penyelidik : Penulis Laporan : Tahun Laporan : Sumber Data : Digital Hardcopy Provinsi : Kabupaten

Lebih terperinci

BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN. Tabel V.1 Batasan Kadar Zona Endapan Nikel Laterit. % berat Ni % berat Fe % berat Mg. Max Min Max Min Max Min

BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN. Tabel V.1 Batasan Kadar Zona Endapan Nikel Laterit. % berat Ni % berat Fe % berat Mg. Max Min Max Min Max Min BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN 5.1. Penentuan Zona Endapan Nikel Laterit Penentuan zona endapan nikel laterit dilakukan setelah preparasi data selesai dimana zona dikonstruksi berdasarkan parameter yang

Lebih terperinci

Pemodelan Sintetik Gaya Berat Mikro Selang Waktu Lubang Bor. Menggunakan BHGM AP2009 Sebagai Studi Kelayakan Untuk Keperluan

Pemodelan Sintetik Gaya Berat Mikro Selang Waktu Lubang Bor. Menggunakan BHGM AP2009 Sebagai Studi Kelayakan Untuk Keperluan Pemodelan Sintetik Gaya Berat Mikro Selang Waktu Lubang Bor Menggunakan BHGM AP2009 Sebagai Studi Kelayakan Untuk Keperluan Monitoring dan Eksplorasi Hidrokarbon Oleh : Andika Perbawa 1), Indah Hermansyah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu kegiatan yang penting dilakukan oleh suatu perusahaan, karena untuk

BAB I PENDAHULUAN. suatu kegiatan yang penting dilakukan oleh suatu perusahaan, karena untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan pertambangan memiliki cakupan yang sangat luas, yaitu dimulai dari tahapan eksplorasi, kajian kelayakan, pengembangan dan perencanaan tambang, penambangan,

Lebih terperinci

3. SNI Amandemen 1, , baru menyentuh klasifikasi berdasarkan tipe endapan batubara di Indonesia. Hanya saja karena terlalu banyaknya klas

3. SNI Amandemen 1, , baru menyentuh klasifikasi berdasarkan tipe endapan batubara di Indonesia. Hanya saja karena terlalu banyaknya klas PEDOMAN PELAPORAN DAN ESTIMASI SUMBERDAYA DAN CADANGAN BATUBARA Disusun oleh Tim Direktorat Inventarisasi Sumberdaya Mineral (Sekarang Pusat Sumber daya Geologi) 2003 PENDAHULUAN 1. Sesuai dengan perturan

Lebih terperinci

BAB IV PENYUSUNAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENYUSUNAN DAN PENGOLAHAN DATA BAB IV PENYUSUNAN DAN PENGOLAHAN DATA Dalam studi penelitian Permodelan dan Estimasi Sumberdaya Nikel Laterit di Pulau Gee, Halmahera Timur Propinsi Maluku Utara ini data awal yang digunakan berasal dari

Lebih terperinci

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA 3.1 Kebutuhan Peta dan Informasi Tinggi yang Teliti dalam Pekerjaan Eksplorasi Tambang Batubara Seperti yang telah dijelaskan dalam BAB

Lebih terperinci

STUDI KELAYAKAN PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN GEOLOGI Oleh : Asep Bahtiar P, ST. MT

STUDI KELAYAKAN PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN GEOLOGI Oleh : Asep Bahtiar P, ST. MT STUDI KELAYAKAN PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN GEOLOGI 2010 Oleh : Asep Bahtiar P, ST. MT Dasar Hukum Pasal 8 UU Kepmen Esdm 1453 K/29/MEM/ 2000, Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan Pasal 9 Kepmen Esdm

Lebih terperinci

Klasifikasi Potensi Energi Panas Bumi di Indonesia

Klasifikasi Potensi Energi Panas Bumi di Indonesia STANDAR NASIONAL INDONESIA SNI 13-5012-1998 ICS 73.020 Klasifikasi Potensi Energi Panas Bumi di Indonesia BADAN STANDARDISASI NASIONAL-BSN LATAR BELAKANG Indonesia secara geologis terletak pada pertemuan

Lebih terperinci

MineScape Mine Planning and Design Software

MineScape Mine Planning and Design Software MineScape Mine Planning and Design Software MineScape dikembangkan untuk memenuhi berbagai tuntutan dalam industri pertambangan dan digunakan oleh lebih dari 100 perusahaan pertambangan di Indonesia. Minescape

Lebih terperinci

Bab IV Pengolahan dan Analisis Data

Bab IV Pengolahan dan Analisis Data BAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA 4.1 Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan terdiri atas dua data, yaitu data primer yang meliputi data mentah sebagai data utama dalam pengolahan data, sedangkan data

Lebih terperinci

STUDI PERBANDINGAN ANTARA METODE POLIGON DAN INVERSE DISTANCE PADA PERHITUNGAN CADANGAN Ni PT. CIPTA MANDIRI PUTRA PERKASA KABUPATEN MOROWALI

STUDI PERBANDINGAN ANTARA METODE POLIGON DAN INVERSE DISTANCE PADA PERHITUNGAN CADANGAN Ni PT. CIPTA MANDIRI PUTRA PERKASA KABUPATEN MOROWALI STUDI PERBANDINGAN ANTARA METODE POLIGON DAN INVERSE DISTANCE PADA PERHITUNGAN CADANGAN Ni PT. CIPTA MANDIRI PUTRA PERKASA KABUPATEN MOROWALI Sri Widodo 1, Anshariah 2, Fajar Astaman Masulili 2 1. P ro

Lebih terperinci

Metode Geofisika untuk Eksplorasi Panasbumi

Metode Geofisika untuk Eksplorasi Panasbumi 1 Metode Geofisika untuk Eksplorasi Panasbumi Pendahuluan 2 Pendahuluan (1) Metoda geofisika menyelidiki gejala fisika bumi dengan mengukur parameter-parameter fisik yang berkaitan. Beberapa metode geofisika

Lebih terperinci

SARI ABSTRACT PENDAHULUAN

SARI ABSTRACT PENDAHULUAN ESTIMASI SUMBERDAYA NIKEL LATERIT DENGAN METODE INVERSE DISTANCE WEIGHTING (IDW) PADA PT. VALE INDONESIA, Tbk. KECAMATAN NUHA PROVINSI SULAWESI SELATAN Rima Mustika 1, Sri Widodo 2, Nurliah Jafar 1 1.

Lebih terperinci

EKSPLORASI ENDAPAN BIJIH NIKEL LATERIT

EKSPLORASI ENDAPAN BIJIH NIKEL LATERIT EKSPLORASI ENDAPAN BIJIH NIKEL LATERIT I. PENDAHULUAN Latar Belakang Bahan galian merupakan salah satu sumber daya alam non hayati yang keterjadiannya disebabkan oleh proses proses geologi. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. PT. PACIFIC GLOBAL UTAMA (PT. PGU) bermaksud untuk. membuka tambang batubara baru di Desa Pulau Panggung dan Desa

BAB I PENDAHULUAN. PT. PACIFIC GLOBAL UTAMA (PT. PGU) bermaksud untuk. membuka tambang batubara baru di Desa Pulau Panggung dan Desa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang PT. PACIFIC GLOBAL UTAMA (PT. PGU) bermaksud untuk membuka tambang batubara baru di Desa Pulau Panggung dan Desa Tanjung Lalang, Kecamatan Tanjung Agung Kabupaten

Lebih terperinci

Sertifikasi Cadangan Migas Wahyu Djatmiko PPPTMGB LEMIGAS

Sertifikasi Cadangan Migas Wahyu Djatmiko PPPTMGB LEMIGAS Sertifikasi Cadangan Migas Wahyu Djatmiko PPPTMGB LEMIGAS Pentingnya Sertifikasi Cadangan Di industri perminyakan baik di dunia maupun di Indonesia, jumlah cadangan migas merupakan salah satu parameter

Lebih terperinci

BAB VI KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING

BAB VI KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING BAB VI KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING 6. 1 Pendahuluan Menurut Nelson (1985), sistem rekahan khususnya spasi rekahan dipengaruhi oleh komposisi batuan, ukuran butir, porositas, ketebalan lapisan,

Lebih terperinci

Bab V Pembahasan. Hasil perhitungan cadangan dengan menggunakan masing-masing metode dapat di lihat pada tabel 5.1 (lampiran B)

Bab V Pembahasan. Hasil perhitungan cadangan dengan menggunakan masing-masing metode dapat di lihat pada tabel 5.1 (lampiran B) Bab V Pembahasan 5.1 Perhitungan Cadangan Perhitungan cadangan nikel laterit ini dibatasi dengan Cut of Grade (Cog) untuk nikel limonit kadar Ni 1,2 % dan kadar Fe 25 %, densitas 1,6 kg/m 3 dan saprolit

Lebih terperinci

Gophering Adalah metode penambangan yang tidak sistematis, umumnya dilakukan secara tradisional / manual. Dipakai untuk endapan tersebar dengan nilai

Gophering Adalah metode penambangan yang tidak sistematis, umumnya dilakukan secara tradisional / manual. Dipakai untuk endapan tersebar dengan nilai Gophering Adalah metode penambangan yang tidak sistematis, umumnya dilakukan secara tradisional / manual. Dipakai untuk endapan tersebar dengan nilai sedang-tinggi Bijih dan batuan samping cukup kuat,

Lebih terperinci

Bab V Pembahasan V.1 Data Eksplorasi Batubara V.2 Pemetaan Topografi

Bab V Pembahasan V.1 Data Eksplorasi Batubara V.2 Pemetaan Topografi Bab V Pembahasan V.1 Data Eksplorasi Batubara Kegiatan eksplorasi batubara dilakukan di Daerah Pondok Labu Kabupaten Kutai Kartanegara Propinsi Kalimantan Timur. Data yang dihasilkan dari kegiatan tersebut

Lebih terperinci

TENTANG UTS. Penentuan Cadangan, hal. 1

TENTANG UTS. Penentuan Cadangan, hal. 1 TENTANG UTS Soal 1: Jawaban umumnya tidak fokus atau straight ke pertanyaan/ masalah yang diajukan. Key words dalam pertanyaan di atas tekanan saturasi, sedangkan dalam banyak jawaban di bawah tekanan

Lebih terperinci

Bab II. Kriteria Geologi dalam Eksplorasi

Bab II. Kriteria Geologi dalam Eksplorasi Bab II. Kriteria Geologi dalam Eksplorasi II.1. Kriteria Geologi Kriteria geologi merupakan gejala yang mengendalikan terdapatnya endapan mineral dan pengetahuan ini bertujuan melokalisir daerah yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak terkait oleh mineralisasi endapan hidrotermal-magmatik. Dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. banyak terkait oleh mineralisasi endapan hidrotermal-magmatik. Dalam berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan sumberdaya mineral di Indonesia khususnya di pulau Jawa banyak terkait oleh mineralisasi endapan hidrotermal-magmatik. Dalam berbagai penyelidikan yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal 1

BAB I PENDAHULUAN. Hal 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Batubara adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, berasal dari tumbuhtumbuhan (komposisi utamanya karbon, hidrogen, dan oksigen), berwarna coklat sampai hitam, sejak

Lebih terperinci

BAB III DATA DAN PENGOLAHAN DATA

BAB III DATA DAN PENGOLAHAN DATA BAB III DATA DAN PENGOLAHAN DATA Penentuan pit optimal dalam simulasi perencanaan tambang Bab 3 berikut akan dibantu software NPV Scheduler dan datamine studio dengan tujuan akhir yaitu mendapatkan suatu

Lebih terperinci

Asri P.H. dan Waterman Sulistyana B. Magister Teknik PertambanganUPN Veteran Yogyakarta

Asri P.H. dan Waterman Sulistyana B. Magister Teknik PertambanganUPN Veteran Yogyakarta APLIKASI PERMODELAN 3D SECARA GEOSTATISTIK PADA CEBAKAN NIKEL LATERIT (Application of geostatistical 3D modeling of laterite nickel deposit) Asri P.H. dan Waterman Sulistyana B. Magister Teknik PertambanganUPN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meilani Magdalena/

BAB I PENDAHULUAN. Meilani Magdalena/ BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sistem porfiri merupakan suatu endapan hipotermal yang dicirikan oleh stockwork yang tersebar (disseminated) dalam massa batuan yang besar yang berhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Perubahan perekonomian secara global dapat mempengaruhi kondisi ekonomi pada suatu negara. Salah satunya adalah nilai tukar uang yang tidak stabil, hal tersebut dapat

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1. Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1. Latar Belakang Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Perhitungan sumberdaya batubara dapat menggunakan metode poligon, atau penampang melintang (cross section). Metode tersebut tidak menyatakan elemen geometri endapan

Lebih terperinci

Istilah-istilah dalam Tambang Bawah Tanah

Istilah-istilah dalam Tambang Bawah Tanah Istilah-istilah dalam Tambang Bawah Tanah 1.Shaft Shaft adalah suatu lubang bukaan vertical atau miring yang menghubungkan tambang bawah tanah dengan permukaan bumi dan berfungsi sebagai jalan pengangkutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Emas (Au) telah dimanfaatkan sejak era prasejarah sebagai mineral ekonomis yang bernilai tinggi. Mineral emas dianggap berharga karena kilauan cahaya yang dipantulkan

Lebih terperinci

PEMETAAN GEOLOGI. A. Peta Geologi. B. Pemetaan Geologi

PEMETAAN GEOLOGI. A. Peta Geologi. B. Pemetaan Geologi PEMETAAN GEOLOGI A. Peta Geologi Peta geologi merupakan suatu sarana untuk menggambarkan tubuh batuan, penyebaran batuan, kedudukan unsur struktur geologi dan hubungan antar satuan batuan serta merangkum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karakteristik dari suatu endapan mineral dipengaruhi oleh kondisi pembentukannya yang berhubungan dengan sumber panas, aktivitas hidrotermal, karakteristik

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Hal LEMBAR PENGESAHAN... ABSTRAK... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR FOTO...

DAFTAR ISI. Hal LEMBAR PENGESAHAN... ABSTRAK... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR FOTO... DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN... ABSTRAK...... KATA PENGANTAR... i ii iv DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR FOTO... ix x xi DAFTAR LAMPIRAN... xii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar

Lebih terperinci

KODE PELAPORAN HASIL EKSPLORASI, SUMBERDAYA MINERAL DAN CADANGAN BIJIH INDONESIA KOMITE CADANGAN MINERAL INDONESIA. Kode-KCMI 2011

KODE PELAPORAN HASIL EKSPLORASI, SUMBERDAYA MINERAL DAN CADANGAN BIJIH INDONESIA KOMITE CADANGAN MINERAL INDONESIA. Kode-KCMI 2011 KODE PELAPORAN HASIL EKSPLORASI, SUMBERDAYA MINERAL DAN CADANGAN BIJIH INDONESIA KOMITE CADANGAN MINERAL INDONESIA Kode-KCMI 2011 Disusun oleh: Komite Bersama Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) dan Perhimpunan

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN 5.1 ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA Analisis Pengawetan Struktur Jaringan dan Derajat Gelifikasi

BAB V PEMBAHASAN 5.1 ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA Analisis Pengawetan Struktur Jaringan dan Derajat Gelifikasi BAB V PEMBAHASAN 5.1 ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA Dalam menentukan lingkungan pengendapan batubara di Pit J daerah Pinang dilakukan dengan menganalisis komposisi maseral batubara. Sampel batubara

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai salah satu negara yang mempunyai sumber daya alam yang sangat besar, Indonesia mempunyai kesempatan untuk mengembangkan segala potensi yang ada yang seyogyanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Penelitian Emas termasuk bahan galian mineral logam mulia yang harganya sangat tinggi sehingga keberadaannya perlu diteliti secara detail. Oleh karena itu penelitian

Lebih terperinci

BAB IV PEMODELAN PETROFISIKA RESERVOIR

BAB IV PEMODELAN PETROFISIKA RESERVOIR BAB IV PEMODELAN PETROFISIKA RESERVOIR Pemodelan petrofisika reservoir meliputi pemodelan Vshale dan porositas. Pendekatan geostatistik terutama analisis variogram, simulasi sekuensial berbasis grid (Sequential

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN KOMPOSIT ZONA, ANALISIS STATISTIK DAN PENYAJIAN DATA HASIL OLAHAN Konstruksi Zona Endapan dan Optimasi Zona

BAB IV PENGOLAHAN KOMPOSIT ZONA, ANALISIS STATISTIK DAN PENYAJIAN DATA HASIL OLAHAN Konstruksi Zona Endapan dan Optimasi Zona BAB IV PENGOLAHAN KOMPOSIT ZONA, ANALISIS STATISTIK DAN PENYAJIAN DATA HASIL OLAHAN 4.1. Konstruksi Zona Endapan dan Optimasi Zona Penentuan zana endapan dilakukan setelah data dianalisis secara statistik

Lebih terperinci