PERHIASAN SEBAGAI PENANDA STRATIFIKASI MASYARAKAT PADA RELIEF LALITAVISTARA CANDI BOROBUDUR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERHIASAN SEBAGAI PENANDA STRATIFIKASI MASYARAKAT PADA RELIEF LALITAVISTARA CANDI BOROBUDUR"

Transkripsi

1 PERHIASAN SEBAGAI PENANDA STRATIFIKASI MASYARAKAT PADA RELIEF LALITAVISTARA CANDI BOROBUDUR OLEH CHITRA PARAMAESTI 07/254911/SA/14100 JURUSAN ARKEOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2014

2 PERHIASAN SEBAGAI PENANDA STRATIFIKASI MASYARAKAT PADA RELIEF LALITAVISTARA CANDI BOROBUDUR OLEH CHITRA PARAMAESTI 07/254911/SA/14100 Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana dalam ilmu Arkeologi 2014

3 JEWELRY AS SOCIETY STRATIFICATION EVIDENCE ON LALITAVISTARA RELIEF OF BOROBUDUR TEMPLE BY CHITRA PARAMAESTI 07/254911/SA/14100 A Graduating Paper Submitted to The Board of Examiners in Partial Fulfillment of The Requirement for The Graduate Program in the Faculty Art and Humanities Gadjah Mada University Yogyakarta 2014

4

5

6 I would like to present this paper to my father, Suryono Utomo Diran, who couldn t see me growing as a lady. Dear Bapak, thanks for everything that you gave, I realized I could never give all the love and sacrificing like you and Ibu did, but one thing that I can do, is try being a good child as you and Ibu wish. I wish you read this and feel my happiness, I miss you and always love you Bapak, where ever you are. Sincerely, Your daughter iii

7 Fall in love with the process and the result will come, because everything is possible if you want it badly enough! -anymous- iv

8 KATA PENGANTAR Segala pujian dan rasa syukur penulis persembahkan kepada Dzat tertinggi, pencipta alam semesta, atas berkat yang diberikan sehingga skripsi yang berjudul Perhiasan Sebagai Penanda Stratifikasi Masyarakat Pada Relief Lalitavistara Candi Borobudur dapat diselesaikan dengan baik, sehingga dapat diajukan sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana pada Jurusan Arkeologi UGM. Penulis sangat menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik bantuan dalam bentuk dukungan moril maupun materil. Oleh karena itu penulis banyak terima kasih kepada: 1. Dra. DS Nugrahani, selaku dosen pembimbing skripsi yang sangat sabar dan berbaik hati seperti Sungai Nairaňjanā yang memberikan kehidupan kepada Sākyāmunī dalam proses menuju pencerahan. Beliau tiada hentinya memberikan motifasi, dukungan dan dorongan dalam setiap langkah dalam penulisan skripsi. 2. Dwi Pradnyawan S.S, selaku pembimbing skripsi dan pembimbing akademik yang selama ini banyak memberikan dorongan dan membantuk penulis selama proses perkuliahan dan penulisan skripsi. 3. Dr. Mahirta M.A, selaku ketua Jurusan Arkeologi UGM, atas segala bantuan dalam pengurusan izin penelitian dan ilmu yang diberikan selama penulis mengikuti perkuliahan. 4. Seluruh staff pengajar Jurusan Arkeologi UGM, Drs. J. Susetyo Edi Yunowo M.Si, Jujun Kurniawan S.S M.A, Andi Putanto S.S, Drs v

9 Tjahjono Prsasodjo M.A, Dr. Daud Aris Tanudirjo M.A, Prof. Dr. Sumijati Atmosudiro, Prof. Dr. Inajati Adrisjanti, Dr. Riboet Dharmosoetopo, Dra. Niken Wirasanti M.Si dan Drs. Slamet Pinardi M.Hum atas ilmu, wawasan, dan bantuan yang diberikan hingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan jenjang strata satu. 5. Seluruh staff Balai Konservasi Borobudur, terima kasih atas segala fasilitas dan bantuannya kepada penulis dalam pengumpulan data untuk skripsi ini. 6. Ir Nitra Narulita dan Ir Wentaria, kedua orang tua penulis yang tiada hentinya memberikan dukungan terbaik untuk terselesaikannya skripsi ini. 7. Cakra Karim Narendra, calon dokter pribadi di masa depan, seorang adik yang seperti Jataka kepada Lalitavistara yang selalu bersama memberikan kehidupan bagi lorong tingkatan pertama Candi Borobudur. Ia selalu memberikan dukungan, keceriaan, dan kasih sayang kepada penulis. 8. Arkeologi angkatan 2007, Andhika Arief S.S, Hane Idrus, Galih Sekar Nagari S.S, Langith Mega Puspita S.S, Dian Nisa Anna S.S, Adyanti Putri S.S, Rohmat Ali S.S, Danar Prasetyo S.S, Bagas Sukmana S.S, Fariz Rizki S.S, Tyas Adi Putra S.S, Khofif Duhari S.S, Cerry Surya S.S, Amukti Palapa Aji, Ari Hendra S.S, Willy Oktafian S.S dan teman lainnya. Para kakak yang baik hati, penyabar dan penyayang, terima kasih atas bantuan dan dukungan selama ini. Kalian semua teman baik yang memberikan banyak pelajaran dalam berkehidupan di tanah Mataram. vi

10 9. Para kakak angkatan dan adik angkatan di Arkeologi UGM, Ahmad Surya Ramadhan S.S, Daru Prakoso S.S, Ayu Dipta Kirana S.S, Damai Tegar S.S, Helmi Yanuar S.S, Yoses Tanzak S.S, Anglir Bawono, Mayang Lokahita S.S, Upiek Listiarini S.S, Ebel Bryan Paat, Fika Nuriavi dan teman-teman lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. 10. Cahya Mahendrani S.S atas segala bantuannya dalam pengerjaan dan motivasi untuk terselesaikannya skripsi ini. 11. Seluruh Anggota Perpustakaan Jurusan Arkeologi, Dian Purnamasari Lea Elvida, Luhana Martha, dan kawan-kawan, terima kasih atas segalanya. Senang sekali menjadi bagian dari petugas sirkulasi perpustakaan. 12. Seluruh anggota KAPALASASTRA, Hapsoro, Ade Fitrahul, Yeni Prameswari, Nanda Ummul, Sekar Langit, Sonia Fatmarani, Topik, Novi, Uus, dan lainnya, terimakasih sudah menjadi bagian keluarga kecil penulis di Yogyakarta. 13. Natalie Ong, teman baru yang sangat baik, atas masukan dan bantuannya selama ini. 14. Teman teman kos Prima Wahyu, Rasti Nugrahani S.Ant, Dhina Pahlawanti S.Si, Wikan Diaswara S.Psi, Riska Rahmananda, dan Ima Rahmawati yang selalu memberikan keceriaan selama tinggal di kos. 15. Sahabat-sahabat penulis, Andien Edardono, Aulia Rakhmah S.H, Yuhana Setianingrum S.S, Lana paka, Difa Adelia S.H, Khairul Anwar A.md, Hesti Aryani S.S, Renny Resabty, Titis Intan Permana, vii

11 atas dukungan yang tiada henti dan pertemanan yang indah selama ini. 16. Susanto Syambas Efendi dan Budi Prakosa S.T atas segala bantuan, dukungan dan dorongan dalam pertemanan yang sangat menyenangkan selama ini. Sangat penulis sadari bahwa tidak ada yang sempurna, namun penulis berusaha sebaik mungkin untuk menghasilkan skripsi yang baik. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar menjadi pembelajaran untuk penulis. Semoga skripsi ini dapat berguna di masa depan. Yogyakarta, Juli 2014 Penulis viii

12 DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN... i HALAMAN PENGESAHAN... ii LEMBAR PERSEMBAHAN... iii MOTTO... iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... ix DAFTAR FOTO... xi DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR TABEL... xviii DAFTAR SINGKATAN... xix BAB I. PENDAHULUAN Rumusan Masalah... 7 Tujuan Penelitian... 8 Ruang Llingkup Penelitian... 8 Keaslian Penelitian... 9 Metode Penelitian II. STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT JAWA KUNA DAN ATRIBUTNYA A. Stratifikasi Sosial A.1 Masyarakat Mataram Kuna B. Atribut Dalam Strafikasi Sosial III. HUBUNGAN ANTARA PERHIASAN DAN STRATIFIKASI SOSIAL DALAM CERITA RELIEF LALITAVISTARA A. Cerita Lalitavistara ix

13 1. Episode Menyambut Kelahiran Buddha Masa Kecil dan Remaja Pangeran Siddartha Empat Pertemuan dan Pelepasan Siddartha Tahun tahun Gautama Sebagai Pertapa dan Pengembara Pencerahan dan Pemutaran Roda Dharma Buddha B. Hubungan Perhiasan dan Stratifikasi Masyarakat C. Hubungan Perhiasan Dengan Gender IV. KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA DAFTAR ISTILAH x

14 DAFTAR FOTO Foto 3.1 Bhoddisatva dalam Relief no seri Ia Foto 3.2 Dewa dalam Relief no seri Ia Foto 3.3 Raja Śuddhodana dalam Relief no seri Ia Foto 3.4 Ratu Māyādevi dalam Relief no seri Ia Foto 3.5 Bangsawan dalam Relief no seri Ia Foto 3.6 Dayang dalam Relief no seri Ia Foto 3.7 Pengawal dalam Relief no seri Ia Foto 3.8 Rakyat dalam Relief no seri Ia Foto 3.9 Brahmā, Śiva, Vişņu dalam Relief no seri Ia Foto 3.10 Rşi dalam Relief no seri Ia Foto 3.11 Viśvāmitra dalam Relief no seri Ia Foto 3.12 Raja Śuddhodana dalam Relief no seri Ia Foto 3.13 Ratu Māyādevi dalam Relief no seri Ia Foto 3.14 Mahāprajāpatī Gautamī dalam Relief no seri Ia Foto 3.15 Pangeran Siddhārtha dalam Relief no seri Ia Foto 3.16 Dewadatta dalam Relief no seri Ia Foto 3.17 Pangeran Sakyā dalam Relief no seri Ia xi

15 Foto 3.18 Gopā dalam Relief no seri Ia Foto 3.19 Dayang dalam Relief no seri Ia Foto 3.20 Pengawal dalam Relief no seri Ia Foto 3.21 Dewa dalam Relief no seri Ia Foto 3.22 Raja Śuddhodana dalam Relief no seri Ia Foto 3.23 Pangeran Siddhārtha Relief no seri Ia Foto 3.24 Gopā dalam Relief no seri Ia Foto 3.25 Chandaka dalam Relief no seri Ia Foto 3.26 Dayang dalam Relief no seri Ia Foto 3.27 Rakyat dalam Relief no seri Ia Foto 3.28 Dewa dalam Relief no seri Ia Foto 3.29 Gautama dalam Relief no seri Ia Foto 3.30 Ārāda Kālāma dalam Relief no seri Ia Foto 3.31 Brāhmana dalam Relief no seri Ia Foto 3.32 Rudraka Rāmaputra dalam Relief no seri Ia Foto 3.33 Māra dalam Relief no seri Ia Foto 3.34 Raja Bimbisāra dalam Relief no seri Ia Foto 3.35 Bangsawan Pria dalam Relief no seri Ia xii

16 Foto 3.36 Bangsawan Wanita dalam Relief no seri Ia Foto 3.37 Buddha dalam Relief no seri Ia Foto 3.38 Dewa dalam Relief no seri Ia Foto 3.39 Petapa dalam Relief no seri Ia Foto 3.40 Raja Naga Mucilinda dalam Relief no seri Ia Foto 3.41 Bangsawan Wārānasī dalam Relief no seri Ia Foto 3.42 Dayang-dayang dalam Relief no seri Ia Foto 3.43 Rakyat dalam Relief no seri Ia xiii

17 DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Keletakan relief pada candi Borobudur... 4 Gambar 2.1 Perhiasan Pada tokoh Wanita Gambar 2.2 Perhiasan Pada Tokoh Pria Gambar 2.3 Kirita Makuta Gambar 2.4 Thoyyaham Gambar 2.5 Jamang Gambar 3.1 Bentuk Bangunan Borobudur Gambar 3.2 Denah Lokasi Relief Lalitavistara Gambar 3.3 Perhiasan Pada tokoh Bhoddhisattva Gambar 3.4 Perhiasan Pada tokoh Dewa Gambar 3.5 Perhiasan Pada tokoh Raja Gambar 3.6 Perhiasan Pada tokoh Ratu Gambar 3.7 Perhiasan Pada Tokoh Bangsawan Pria Gambar 3.8 Perhiasan Pada Tokoh Dayang-dayang Gambar 3.9 Perhiasan Pada Tokoh Pengawal Gambar 3.10 Perhiasan Pada Tokoh Rakyat Gambar 3.11 Perhiasan Pada Tokoh Dewa xiv

18 Gambar 3.12 Perhiasan Pada tokoh Rsi Gambar 3.13 Perhiasan Pada Tokoh Guru Gambar 3.14 Perhiasan Pada tokoh Raja Gambar 3.15 Perhiasan Pada Tokoh Ratu Gambar 3.16 Perhiasan Pada Tokoh Bangsawan Wanita Gambar 3.17 Perhiasan Pada Tokoh Pangeran Gambar 3.18 Perhiasan Pada Tokoh Bangsawan Pria Gambar 3.19 Perhiasan Pada Tokoh Pangeran Gambar 3.20 Perhiasan Pada Tokoh Bangsawan Wanita Gambar 3.21 Perhiasan Pada Tokoh Dayang-dayang Gambar 3.22 Perhiasan Pada Tokoh Pengawal Gambar 3.23 Perhiasan Pada tokoh Dewa Gambar 3.24 Perhiasan Pada Tokoh Raja Gambar 3.25 Perhiasan Pada Tokoh Pangeran Gambar 3.26 Perhiasan Pada Tokoh Bangsawan Wanita Gambar 3.27 Perhiasan Pada Tokoh Pengawal Gambar 3.28 Perhiasan Pada Tokoh Dayang-dayang Gambar 3.29 Perhiasan Pada Tokoh Rakyat xv

19 Gambar 3.30 Perhiasan Pada Tokoh Dewa Gambar 3.31 Perhiasan Pada Tokoh Gautama Gambar 3.32 Perhiasan Pada Tokoh Petapa Gambar 3.33 Perhiasan Pada Tokoh Brahmana Wanita Gambar 3.34 Perhiasan Pada Tokoh Petapa Gambar 3.35 Perhiasan Pada Tokoh Iblis Gambar 3.36 Perhiasan Pada Tokoh Raja Gambar 3.37 Perhiasan Pada Tokoh Bangsawan Pria Gambar 3.38 Perhiasan Pada Tokoh Bangsawan Wanita Gambar 3.39 Perhiasan Pada Tokoh Buddha Gambar 3.40 Perhiasan Pada Tokoh Dewa Gambar 3.41 Perhiasan Pada Tokoh Petapa Gambar 3.42 Perhiasan Pada Tokoh Raja Gambar 3.43 Perhiasan Pada Tokoh Bangsawan Pria Gambar 3.44 Perhiasan Pada Tokoh Dayang-dayang Gambar 3.45 Perhiasan Pada Tokoh Rakyat Gambar 3.46 Ragam Makuta Pria Gambar 3.47 Ragam Makuta Wanita xvi

20 Gambar 3.48 Perhiasan Pada Tubuh Raja Gambar 3.49 Perhiasan Pada Tubuh Ratu Gambar 3.50 Perhiasan Kepala Pada Pengawal Gambar 3.51 Perhiasan Kepala Pada Dayang-dayang Gambar 3.52 Perhiasan Pada Tubuh Pengawal Gambar 3.53 Perhiasan Pada Tubuh Dayang xvii

21 DAFTAR TABEL Tabel 3.1 perhiasan dalam relief episode I 41 Tabel 3.2 perhiasan dalam relief episode II 55 Tabel 3.3 perhiasan dalam relief episode III Tabel 3.4 perhiasan dalam relief episode IV Tabel 3.5 perhiasan dalam relief episode V 85 Tabel 3.6 hubungan perhiasan dengan stratifikasi sosial 96 xviii

22 DAFTAR SINGKATAN Ç Ditjen Dkk. EFEO HK Inc Ing JK KPG LIPI LP3ES : Çaka. : Direktoral Jendral. : dan kawan-kawan. : École Franaise d Extrême-orient. : Hong Kong. : Incorporation. : Inggris. : Jawa Kuna. : Kepustakaan Populer Gramedia. : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. : Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Ltd M No. PT Sans Th TU U.S.A Vol : Limited. : Masehi. : Nomor. : Perseroan terbatas. : Sansekerta. : Tahun. : Tarikh Umum. : United State of America. : Volume. xix

23 ABSTRAK Perhiasan Sebagai Penanda Stratifikasi Masyarakat Pada Relief Lalitavistara Candi Borobudur Penulis : Chitra Paramaesti Tahun Lulus : 2014 Pembimbing : 1. Dra Djaliati Sri Nugrahani 2. Dwi Pradnyawan S.S Topik: Studi ikonografi yang berkaitan dengan stratifikasi masyarakat yang digambarkan pada cerita relief Lalitavistara Candi Borobudur. Permasalahan: Apakah perhiasan dapat menjadi tolok ukur stratifikasi masyarakat dalam cerita Relief Lalitavistara? Tujuan: Mengetahui ragam perhiasan yang dikenakan oleh para tokoh dalam cerita Relief Lalitavistara dan kaitannya dengan stratifikasi masyarakat. Metode: Penelitian ini melakukan pendeskripsian cerita dalam relief dan tipologi perhiasan digunakan untuk mengetahui kaitan perhiasan dengan stratifikasi masyarakat. Kesimpulan: Sistem pelapisan masyarakat dalam Relief Lalitavistara, yang bersifat tertutup memiliki keistimewaan dalam hal penggunaan perhiasan. Sehubungan dengan masalah tersebut, dapat dikatakan bahwa pelapisan masyarakat yang digambarkan dalam Relief Lalitavistara, ditunjukkan pula oleh kemegahan perhiasan yang dikenakan. Selain itu, Relief Lalitavistara juga menggambarkan sistem stratifikasi terbuka, maka stratifikasi masyarakat selain mengacu pada kekuasaan dan materi, juga pada keahlian dalam menghasilkan sesuatu. Kata Kunci: Perhiasan, Ikonografi, Stratifikasi, Masyarakat, Relief, Lalitavistara, Candi, Borobudur.

24 ABSTRACT Jewelry As Society Stratification Evidence On Lalitavistara Relief Of Borobudur Temple Author : Chitra Paramaesti Year : 2014 Supervisor : 1. Dra. Djaliati Sri Nugrahani 2. Dwi Pradnyawan S.S Topic: Iconography study associated with the stratification of society depicted in the story of Lalitavistara on Borobudur reliefs. Issue: Is jewelry can be measured in a society stratified on Lalitavistara story? Objectives: To find out the variety of jewelry worn by the characters in Lalitavistara story and it s relation to the society stratification. Methods: This research was conducted in description of the reliefs story and jewelry typology to determine the association between jewelry and society stratification. Conclusion: Society stratification system in Lalitiviatara story is closed stratification system which is the society has privilege in term of wearing jewelry. Related to the issue, Jewelry could be the indicator of stratification in society. Moreover, Lalitavistara reliefs also depicted the open stratification system, therefore the stratification of society beside refers to power and materials it also refers to human expertise to generated something. Key words: Jewelry, Iconography, Stratification, Society, Relief, Lalitavistara, Temple, Borobudur.

25 BAB I PENDAHULUAN Banyak hal yang diungkapkan melalui relief. Ada yang berhubungan langsung dengan keadaan yang kini dapat ditemukan di Jawa atau di tempat lain, tetapi sebagian lainnya hanya dapat ditelusuri melalui dokumentasi foto. Hal ini menyebabkan penelitian terkait relief menjadi menarik, karena tidak hanya berhubungan dengan masa lampau, tetapi juga dengan perkembangannya hingga masa sekarang (Kempers, dalam Atmadi, 1979:13). Salah satu relief yang menarik untuk diteliti ialah relief di Candi Borobudur. JG de Casparis dalam Haryono (2011), menyatakan bahwa secara etimologis Borobudur berasal dari kamulan i Bhumi Sambhāra yang tertulis dalam prasarti Çri Kaluhunan 842 M yang bermakna sebuah bangunan permujaan untuk Kamulan (asal-usul dinasti ailendra) bernama Bhūmisambhāra. Candi Borobudur menggambarkan makrokosmos yang berkaitan dengan Buddha, yang juga dapat dihubungkan dengan konsep Tridhatu, yaitu kamadhatu, tingkat pertama, merupakan tingkat dunia manusia biasa yang masih terkait dengan nafsu. Rupadhatu, tingkat kedua, yaitu dunia manusia yang masih terkait dengan rupa namun telah mampu mencapai kesempurnaan. Tingkat ketiga yaitu Arupadhatu, merupakan tingkat dunia kedewaan yang mengandung makna tidak berbentuk (Haryono, 2011:12-13). Pada masing-masing tingkatan tersebut dihiasi sejumlah relief yang terkait dengan ajaran dan cerita tokoh-tokoh suci (Kempers, 1976:88-121), terdiri atas: 1

26 2 1. Karmawibhangga Bagian ini ditemukan di kaki candi asli yang saat ini ditutup kaki tambahan sehingga tidak dapat dilihat. Relief pada tingkatan ini menceritakan tentang hukum sebab akibat atau hukum karma manusia. Semua relief yang terdapat pada tingkatan paling bawah melambangkan kehidupan dengan dunia materi yang mementingkan aspek duniawi (lihat gambar I.I). 2. Lalitavistara Arti dari Lalitavistara ialah kisah sandiwara, yang menceritakan kehidupan Buddha di dunia yang dianggap sebagai sandiwara. Dikisahkan, kehidupan sang Buddha sejak dilahirkan kembali menjadi Pangeran Sidharthā hingga mengalami pencerahan dan menyebarkan Dharma untuk pertama kalinya. Dunia yang digambarkan dalam tingkatan ini ialah gambaran dunia yang tenang dan damai, walaupun masih terkait dengan kehidupan duniawi. Relief digambarkan di teras pertama pada dinding bagian atas (lihat gambar I.I). 3. Jataka Dalam kisah ini diceritakan peristiwa yang dialami Buddha dan kehidupan Buddha yang telah lalu. Jataka mengisahkan Buddha ketika beringkarnasi menjadi hewan. Relief terletak pada bagian atas dan bawah pagar langkan tingkat ke-1 dan tingkat ke-2 (lihat gambar I.I). 4. Avadana Kisah ini merupakan bagian dari kisah Jataka, yang menggambarkan pengorbanan orang-orang suci dalam agama Buddha. Salah satunya

27 3 kisah tentang Pangeran Sudhana dan Putri Manohara. Relief terletak pada dinding bagian bawah tingkat ke-1 (lihat gambar I.I). 5. Gandavyuha Kisah ini menceritakan Bhodhisatva dalam pengembaraannya untuk melakukan kebajikan Buddha yang dilakukan tanpa mengenal lelah agar mencapai kesempurnaan. Relief terletak pada dinding dan pagar langkan tingkat ke-3 dan pagar langkan tingkat ke-4 (lihat gambar I.I). 6. Bhadracari Kisah ini merupakan penutup kisah sang Bhodhisatva. Dikisahkan Pangeran Sudhana yang bertekat menaati ajaran Samantabadra, sebagai tokoh Buddha akhir zaman. Relief terletak pada dinding tingkat ke-4 (lihat gambar I.I). Cerita dalam relief-relief yang terdapat pada bagian candi merupakan mahakarya yang mereprentasikan kehidupan masyarakat Jawa Kuna melalui pahatan. Meskipun tema cerita pada relief bukan kisah asli dari Jawa Kuna, namun cara penggambaran sosok tubuh manusia, jenis binatang dan pepohonan serta bentuk-bentuk bangunan yang tampil dalam relief memiliki ciri Jawa yang Khas (Kusen, 1985:28). Sehubungan dengan hal keterangan di atas, relief merupakan data yang dapat digunakan sebagai petunjuk untuk mengetahui keadaan masyarakat pada masa relief tersebut dibuat. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya beberapa kemiripan antara gambar yang digambarkan dengan sumber-sumber tertulis (Astuti, 1987:133). Cara membaca relief yang terdapat di Candi Borobudur, dimulai dari gapura candi pada bagian sebelah timur, dengan cara pradaksina, yaitu

28 4 mengelilingi candi searah dengan jarum jam, sehingga bangunan ada di sebelah kanan. Cara ini merupakan salah satu cara penghormatan kepada dewa dan memiliki makna tiada awal dan tiada akhir. Hal ini berkaitan dengan hidup, kehidupan, dan kehidupan setelah kematian (Haryono, 2011:7). Relief yang ada di Borobudur berjumlah buah panil, menghiasi 1900 m² area bangunan, mulai dari bagian kaki yang tertutup di bagian Kamadhatu hingga teras dua di Rupadhatu, sedangkan di bagian Arupadhatu tidak terdapat relief. Hal tersebut dikarenakan tingkatan Arupadhatu memvisualisasikan nirwana sehingga tidak ada lagi hal-hal yang menyangkut rupa, sebagai perwujudan keduniawian (Miksic, 1991:39-42). Gambar 1.1 Peletakan relief pada Candi Borobudur (Sumber: Miksic, 1991:43) Dalam relief Borobudur, setiap tokoh yang di pahatkan mengenakan perhiasan. Ragam perhiasan yang dikenakan cukup bervariasi, mulai dari perhiasan yang sederhana hingga perhiasan yang sangat raya. Oleh karena itu, di antara sejumlah relief yang ada di Candi Borobudur, penulis tertarik untuk

29 5 menelusuri Relief Lalitavistara, khususnya pada ragam perhiasan yang dikenakan para tokoh yang ada dalam relief cerita Lalitavistara. Relief Lalitavistara menggambarkan perjalanan Boddhisatva yang diturunkan dari Swarga Tushita menjadi manusia, yang kemudian dikenal dengan sebutan Buddha Sakyamuni. Dalam kehidupannya, Ia bertugas menyebarkan kebajikan serta melepaskan samsara pada umatnya. Dikisahkan bahwa Boddhisatva dilahirkan kembali menjadi manusia, menitis pada seorang pangeran dari Kerajaan Kapilawastu, India. Ia terlahir sebagai putra Raja Śuddhodana dan Permaisuri Māyādevi dengan nama Sidharthā. Pangeran Sidharthā tumbuh menjadi manusia yang paling menonjol dalam bidang ilmu pengetahuan dan pertarungan di antara manusia lainnya. Hingga pada akhirnya, Ia memutuskan untuk melakukan sebuah perjalan mencapai pencerahan, mencari kebahagiaan dan ketenangan menuju nirvana (Joesoef, 2004: ). Cerita Lalitavistara berlatar istana, tetapi juga menggambarkan kehidupan sosial di luar istana. Hal tersebut dapat dilihat dari setting penggambaran kisahnya. Konteks adegan dalam relief menunjukkan perbedaan latar kehidupan di dalam dan di luar istana. Oleh karena itu, relief ini dipilih sebagai objek penelitian. Terkait dengan stratifikasi masyarakat, masyarakat Jawa Kuna sudah mengenalnya, sebagaimana dikutip dari De Casparis, dalam Darmosoetopo (2003), bahwa di dalam masyarakat Jawa Kuna terdapat tiga lapisan sosial, yaitu kelompok agama, bangsawan, dan penduduk biasa. Lebih lanjut Darmosoetopo (2003) menyebutkan bahwa dalam kelompok agama, terdapat para marhyang, bihāraswami, dan pamgat. Mereka adalah orang-orang yang bertugas dalam

30 6 urusan upacara dan pengelolaan bangunan keagamaan. Kelompok bangsawan adalah orang-orang yang menjabat dalam stuktur pemerintahan baik di tingkat kerajaan maupun di luar kejaraan dan mempunyai lungguh. Penduduk biasa merupakan golongan yang cakupannya luas, terdiri atas beberapa kelompok, yaitu golongan petani, pedagang, pengusaha, pengrajin, dan termasuk juga hamba atau budak. Stratifikasi masyarakat Jawa Kuna tersebut divisualisasikan dengan jelas dalam relief Lalitavistara. Visualisasinya dapat dilihat dari rangkaian cerita dan peristiwa yang diwujudkan dalam adegan-adegan pada relief. Perhiasan yang dikenakan para tokoh dalam relief ditengarai menjadi penanda yang membedakan tokoh satu dengan lainnya. Stratifikasi masyarakat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: kualitas serta keahlian, senioritas, keaslian, hubungan kekerabatan, pengaruh dan kekuasaan, pangkat, serta kekayaan (Koentjaraningrat, 2005:161). Selain itu terdapat prestige (gengsi) yang merupakan pandangan status atau kehormatan dari berbagai kelompok yang merupakan suatu dimensi penting dalam stratifikasi sosial. Gengsi tersebut ditentukan oleh sistem nilai yang berlaku pada suatu masyarakat dan keutamaan fungsional yang terlihat dari berbagai macam kedudukan dalam masyarakat tersebut (Warner, 1949:438). Untuk kepentingan tersebut, diperlukan penanda berupa benda. Benda yang memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial masyarakat ialah perhiasan. Fungsi perhiasan selain untuk pelengkap fashion juga sebagai penunjuk status sosial dan identitas. Tidak hanya itu, perhiasan merupakan bagian dari kebudayaan, juga untuk mengekpresikan media estetika seorang seniman (Drutt dalam Lufiani, 2009:261).

31 7 Keberadaan perhiasan sebagai penunjuk stratifikasi masyarakat Jawa Kuna dapat ditelusuri melalui pasĕk-pasĕk yang diberikan sebagai hadiah. Dalam upacara penetapan sima, para pejabat desa yang menghadiri upacara penetapan sima mendapatkan pasĕk-pasĕk, baik berupa pakaian, perhiasan, ataupun uang. Jumlah pasĕk yang diterima berbeda-beda antara pejabat satu dengan lainnya. Perbedaan tersebut dilatari oleh status sosial para pejabat yang menerimanya (Darmosoetopo, 2003: ). RUMUSAN MASALAH Melalui uraian di atas diketahui bahwa perhiasan memiliki peran sebagai penanda status sosial. Dalam Relief Lalitavistara di Candi Borobudur, ditemukan gambaran akan stratifikasi masyarakat. Salah satu penanda stratifikasi masyarakat tersebut adalah perhiasan yang dikenakan tokoh dalam relief. Oleh karena itu, penelitian ini mengkaji ragam perhiasan dan bagaimana keterkaitannya dengan stratifikasi masyarakat. Adapun permasalahan yang dikaji, yaitu: 1 Apa saja ragam perhiasan yang dikenakan para tokoh dalam cerita Lalitavistara? 2 Apakah perhiasan dapat menjadi tolok ukur stratifikasi masyarakat dalam cerita Lalitavistara?

32 8 TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi ragam perhiasan yang dikenakan para tokoh dalam cerita Lalitavistara. 2. Mengelompokkan perhiasan berdasarkan kedudukan tokoh yang mengenakan. 3. Mengidentifikasi perhiasan yang dapat menjadi penanda status dalam stratifikasi sosial masyarakat. RUANG LINGKUP PENELITIAN Penelitian ini memfokuskan pada perhiasan yang dikenakan oleh para tokoh dalam relief Lalitavistara. Selain menceritakan kisah lahirnya ajaran Budhis, dalam visualnya Lalitavistara menyuguhkan keragaman kehidupan sosial, yang ditunjukkan antara lain melalui banyak tokoh dan perhiasan yang dikenakan. Dalam kajian ikonografi perhiasan yang dikenakan tokoh disebut abharana, yaitu pakaian dan perhiasan yang dikenakan ikon. Lingkup kajian dalam penelitian ini ialah kajian ikonografis. Dalam cakupan besar, rangkaian pigura-pigura yang menggambarkan cerita dapat dipandang sebagai ikon dari karya sastra, baik yang disampaikan secara lisan ataupun tertulis. Dalam cakupan yang lebih kecil, cakupannya mengacu pada situasi kehidupan manusia yang mewakili kondisi pada saat pembuatan candi (Sedyawati, 1994:65). Implikasi dari penelitian ini adalah menentukan tipologi atribut perhiasan yang dikenakan oleh para tokoh dengan mengklasifikasikannya berdasarkan

33 9 tingkat keterincian bentuk dan jumlah perhiasan yang dikenakan sehingga dapat menunjukan status sosial tokoh dalam relief. KEASLIAN PENELITIAN Penelitian tentang stratifikasi dan perhiasan dengan objek relief sebenarnya sudah dilakukan. Akan tetapi, penelitian tentang perhiasan sebagai penanda stratifikasi sosial pada masyarakat berdasarkan Relief Lalitavistara, belum dilakukan. Artinya penelitian-penelitian terdahulu, baik tentang perhiasan maupun tentang stratifikasi sosial tidak saling dikaitan. Penelitian yang dilakukan Edi Sedyawati dengan judul Saiwa dan Bauddha di Masa Jawa Kuna (2009), menjelaskan perkembangan Agama Hindu dan Buddha. Di dalamnya juga memaparkan pengarcaan beserta ragam hias pada arca secara umum dan tidak spesifik. Penelitian tersebut mendeskripsikan banyak relief dan arca dari berbagai candi di Jawa, tidak terfokus pada satu cerita relief dan candi. Hasilnya tidak membuat tipologi perhiasan dalam kaitannya dengan golongan masyarakat yang tergambar pada relief. Penelitian Hendrika Tri Sumarni (2000) yang berjudul Variasi Pakaian dan Perhiasan Arca Batu Durga Mahisasuramardhini Koleksi Museum Nasional Jakarta, menghasilkan tipologi perhiasan yang dikenakan Durga dan gambaran sosial budaya pada masa tersebut. Penelitian tersebut menunjukkan variasi perhiasan, akan tetapi tidak digunakan untuk melihat stratifikasi masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Astuti (1987), dengan judul Pakaian Bangsawan Pada Masyarakat Jawa Kuna Abad XII XV Masehi Tinjauan Berdasarkan Beberapa Relief Candi di Jawa Timur, menjelaskan tipologi pakaian bangsawan pada masa Jawa Kuna. Selain pakaian, dalam penelitian tersebut

34 10 juga mengidentifikasi perhiasan sebagai pelengkap pakaian yang dikenakan bangsawan. Walaupun dalam penelitian tersebut juga dipaparkan penggolongan masyarakat, namun penelitiannya hanya terfokus pada golongan bangsawan saja. Penelitian yang dilakukan oleh Inda Citraninda Noerhadi (2012), dengan judul Busana Jawa Kuna, menghasilkan beberapa tipologi pakaian yang dikenakan masyarakat Jawa Kuna melalui Relief Karmawibhangga Candi Borobudur. Meskipun dalam penelitian tersebut disebutkan perhiasan yang menjadi salah satu tolok ukur statifikasi masyarakat, akan tetapi identifikasi perhiasan dalam penelitian tersebut bersifat permukaan dan tidak mendalam. METODE PENELITIAN Untuk menjawab permasalah yang dikemukakan dalam penelitian ini, kajian yang digunakan ialah studi Ikonografi. Ikonografi adalah kajian tentang identifikasi, deskripsi dan interpretasi ikon berdasarkan atribut yang menjadi penandanya. Salah satu bagian dari penanda ikon adalah abharana, yang terdiri atas pakaian dan perhiasan. Kemudian hasil identifikasi perhiasan dikaitkan dengan stratifikasi masyarakat yang ada dalam relief. Jenis penelitian ini adalah kualitatif, yaitu jenis penelitian yang temuantemuannya diperoleh melalui prosedur analisis non-matematis (Strauss, 2003:4-5). Dalam penelitian ini penalaran yang digunakan adalah induktif, yang didasarkan pada kajian fakta-fakta atau gejala khusus untuk disimpulkan sebagai gejala yang bersifat generalisasi empiris (Tanudirjo, 1988:34). Penalaran ini menjadi dasar penelitian yang mengutamakan pengkajian data sebagai pangkal

35 11 tolak penyimpulan. Konsep-konsep dan definisi oprasional digunakan sebagai pengarah dalam penelitian. Dengan demikian, sifat penelitian ini ialah deskriptif. Pada hakekatnya, bertujuan untuk memberikan gambaran suatu fakta atau gejala tertentu yang diperoleh dalam penelitian. Dengan demikian penelitian ini mengutamakan kajian data, yang dikaitkan dengan kerangka ruang, waktu, dan bentuk (Tanudirjo, 1988:34). Terdapat 120 panil dalam Relief Lalitavistara yang digunakan sebagai data. Akan tetapi tidak seluruh panil dalam Lalitavistara digunakan sebagai data. Data dipilih dengan menggunakan teknik Purposive Sampling (Mantra, 1989:155). Penggunaan purposive sampling dikarenakan ditemukan beberapa relief dalam kondisi yang sudah tidak baik dan juga terdapat tokoh yang sama dalam beberapa relief, maka data relief yang diambil merupakan relief dengan kondisi baik dan terdapat tokoh yang dapat mewakili keseluruhan cerita Lalitavistara. Kriteria yang digunakan untuk memilih sample adalah tokoh, yang mewakili stratifikasi masyarakat yang digambarkan dalam relief. Cerita Lalitavistara sudah teridentifikasikan sampai dengan tokoh yang digambarkan. Acuan identifikasi cerita menggunakan publikasi yang ditulis oleh Pleyte (1901) dan Leber (2011). Tokoh yang dipilih adalah yang mewakili strata masyarakat dalam cerita dan perhiasannya dapat diamati dengan jelas penggambarannya, tidak rusak atau aus. Berdasarkan metode yang digunakan, maka tahapan penelitian adalah sebagai berikut:

36 12 1. Tahap Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan terhadap data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan cara pengamatan, pengenalan dan pendokumentasian tokoh dan perhiasan yang dikenakan. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka, berupa semua informasi baik tentang perhiasan dan stratifikasi masyarakat Jawa Kuna sebagai data pendukung. 2. Tahap Pengolahan Data Dalam pengolahan data dilakukan pemilihan relief terbaik yang mewakili keseluruhan tokoh dalam cerita. Kemudian dilakukan pendeskripsian, berupa penjelasan secara naratif (Riyanto, 2000:10) terhadap panil-panil relief terpilih. Dalam prosesnya tersebut dilakukan deskripsi cerita, dengan fokus perhiasan yang dikenakan para tokoh. 3. Tahap Analisis Data Analisis data dilakukan untuk menjawab permasalahan yang ada. Analisis yang pertama ialah pembuatan tipologi perhiasan, untuk memperoleh ragam perhiasan yang dikenakan tokoh. Tipologi dikembangan dengan tujuan spesifik, salah satunya ialah melakukan penggolongan ke dalam sistem penelitian. Dalam ilmu arkeologi, tipologi dapat digunakan untuk berbagai tujuan, hal tersebut dipengaruhi oleh perumusan dan penggunaan tipologi itu sendiri. Pembuatan dan penggunaan tipologi melibatkan proses yang terpisah dari klasifikasi (menciptakan kategori) dan pemilahan (menempatkan sesuatu ke dalam kelompok tertentu) (Adams, 2008:240).

37 13 Pembuatan tipologi perhiasan yang dikenakan tokoh dalam Relief Lalitavistara dibuat berdasarkan kenampakkan morfologisnya. Melalui pengelompokan perhiasan yang digunakan oleh para tokoh, dapat diketahui variasi dan jumlah perhiasan yang dikenakan. Dengan mengetahui variasi dan jumlah perhiasan yang dikenakan setiap tokoh dalam Relief Lalitavistara, maka dapat dilihat status sosial pengguna perhiasan. Kemudian, dapat digolongkan dari strata manakah tokoh-tokoh tersebut. 4. Tahap Interpretasi Setelah mengetahui hasil dari analisis tipologi perhiasan maka dapat dilakukan pemilahan golongan dalam stratifikasi masyarakat yang tergambar dalam relief Lalitavistara, hasil dari analisis tersebut diinterpretasi untuk mencari makna dan implikasi dari hasil penelitian (Effendi, 1989:263). Oleh sebab itu, analisis tipologi menjadi interpretasi yang menghasilkan kesimpulan yang dapat menjawab seluruh permasalahan yang diajukan sebelumnya. 5. Tahap Kesimpulan Tahan interpretasi diakhiri dengan melakukan generalisasi empiris diperoleh dari hasil interpretasi, yang kemudian menjadi kesimpulan yang bersifat umum dan dapat menjawab seluruh permasalahan yang diajukan.

38 BAB II STRATIFIKASI MASYARAKAT JAWA KUNA DAN ATRIBUTNYA A. Stratifikasi Sosial Perbedaan sosial pada masyarakat yang diurutkan secara bertingkat merupakan definisi stratifikasi masyarakat. Sistem stratifikasi dapat ditemukan dalam berbagai kualifikasi sosial, sebagai contoh kelas sosial, ras, gender yang dapat dikaitkan dengan status dan pestige. Pada masyarakat modern stratifikasi menekankan pada kualitas ekonomi, sedangkan pada masyarakat tradisional, kuna dan feodal stratifikasi ditekankan pada prinsip status (Abercombie, 2010:155). Menurut Weber, dalam the religion of India (1958), status ialah sebuah unsur dalam stratifikasi sosial yang berbeda dari kelas sosial untuk menjelaskan kolektivitas tertentu yang membedakannya dari kelompok sosial lainnya di dalam sebuah masyarakat. Setiap masyarakat memiliki penilaian yang berbeda terhadap kedudukan yang ada dalam lingkungannya, baik yang sangat serderhana ataupun yang sangat kompleks. Dalam masyarakat kecil dan sederhana, pembedaan tersebut biasanya bersifat terbatas. Hal ini dikarenakan, selain jumlah masyarakat yang sedikit, orang-orang dengan kedudukan tinggi tidak banyak pula jumlahnya. Sebaliknya, dalam masyarakat kompleks, perbedaan akan kedudukan dan status sosialnya rumit. Hal tersebut dikarenakan jumlah warganya yang banyak dan orang-orang dengan berbagai kedudukan tinggi banyak pula ragamnya. Pembedaan dalam hal kedudukan dan status tersebutlah yang pada akhirnya menjadi dasar dari munculnya stratifikasi sosial (Koentjaraningrat, 1972:158). 14

39 15 Hal-hal yang dapat dilihat dari ketidaksamaan tersebut ialah sebagian anggota masyarakat memiliki kekuasaan dan sebagian lainnya dikuasai. Masyarakat pun dibeda-bedakan berdasarkan golongan yang terbentuk sendirinya. Golongan yang tercipta dalam masyarakat biasanya berdasarkan garis keturunan, kekayaan atau penghasilan, dan prestige. Pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status sosial yang dimilikinya dinamakan stratifikasi sosial (Sunarto, 1993:83). Stratifikasi sosial dalam masyarakat terbagi menjadi dua sifat, yaitu yang bersifat tertutup (closed social stratification) dan yang terbuka (open social stratification). Stratifikasi sosial yang bersifat tertutup membatasi seseorang dalam kelompoknya untuk berpindah dari lapisan yang satu ke lapisan lainnya. Dalam sistem ini, satu-satunya cara untuk masuk menjadi anggota lapisan masyarakat ialah karena keturunan. Sementara dalam sistem yang bersifat terbuka, setiap anggota masyarakat berkesempatan untuk berpindah ke lapisan lainnya, atas usahanya sendiri. Namun ada kalanya jika tidak berusaha dapat jatuh kelapisan yang lebih bawah (Arimbawa, 1999:4). Sebagai contoh dari stratifikasi yang bersifat tertutup (closed social stratification) ialah seorang anak laki-laki pertama dari seorang raja, walaupun tidak memiliki kecakapan dalam memimpin sebuah kerajaan, kelak Ia akan memimpin kerajaan untuk menggantikan posisi ayahnya. Sebaliknya, contoh dari stratifikasi yang bersifat terbuka (open social stratification) ialah seorang anak dari keluarga strata bawah mampu berpindah posisi sosial ke strata yang lebih tinggi dikarenakan kecapakannya, misalnya dalam ilmu dagang atau ilmu pengetahuan. Dalam banyak prasasti yang ditemukan di Jawa, disebutkan adanya stratifikasi sosial masyarakat berdasarkan kasta, yang terdiri dari kasta

40 16 Brahmana, Ksatrya, Waisya, dan Sudra. Akan tetapi, stratifikasi masyarakat Jawa Kuna tidak semata-mata sama dengan stratifikasi berdasarkan catur warna seperti yang dikemukakan di India. Nastiti (2009, 56-58) mengemukakan bahwa stratifikasi sosial masyarakat Jawa Kuna berdasarkan profesi, meskipun menggunakan sebutan seperti catur warna yang ada di India. Menurut Sumadio, dalam Nastiti (2009, 58) seorang kasta Brahmana, merupakan kasta tertinggi dalam masyarakat, dapat menduduki jabatan dalam struktur birokrasi di tingkat desa, tingkat watak, hingga tingkat pusat. Akan tetapi, sang pamagat tiruan yang berasal dari kasta Ksatrya menduduki jabatan keagamaan di tingkat pusat atau menjadi petapa yang tinggal di biara. Hal tersebut menunjukan ketimpangan antara fungsi dari kasta dengan aplikasinya dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, penggolongan masyarakat pada tiap zamannya memiliki perbedaan. Lebih lanjut dalam bab ini akan di paparkan gambaran stratifikasi masyarakat berdasarkan prasasti yang ditemukan pada kerajaan di wilayah Jawa. 1. Masyarakat Mataram Kuna Berdasarkan prasati-prasasti yang ditemukan, terdapat setidaknya lima golongan masyarakat yang ditengarai berdasarkan kekuasaan, sebagaimana disebutkan oleh beberapa ahli inskripsi, sebagai berikut: 1.1 Rakryan Rakryan yang secara harfiah artinya saudara tertua, merupakan gelar untuk raja, sebagaimana pada kutipan Prasasti Waharu (873M) disebutkan: tatkala sang hadyan kuluptiru kapwānakan rakryan tolobong (?) manusuk sīma lmah waharu... Artinya:

41 17 ketika sang hadyan Kuluptiru keponakan Rakryan Tolobong (?) menetapkan daerah perdikan tanah di Desa Waharu Dari kutipan prasasti di atas, Jones (1984) menjelaskan, Rakryan merupakan gelar raja yang digunakan dalam beberapa inskripsi di Jawa Tengah pada abad VIII X, akan tetapi, dalam beberapa insripsi yang ditemukannya Rakyan juga digunakan untuk menyebutkan istri raja. 1.2 Hino Hino merupakan gelar putra mahkota, sebagaimana Jones (1984) menjelaskan bahwa Hino ialah gelar orang kedua dalam kerajaan. Kelak seseorang yang bergelar Hino akan menjadi raja, sebagaimana disebutan antara lain dalam prasari Sri manggala II dan Panggumulan I. 1.3 Halu Halu merupakan golongan keturunan raja yang statusnya di bawah keluarga raja, dapat diartikan sebagai sepupu atau saudara jauh keluarga kerajaan. Jones (1984) menjelaskan dalam beberapa inskripsi di Jawa tengah Halu selalu disebutkan setelah Hino. 1.4 Sang Aden, Para Handyan dan Sang Nganden Istilah tersebut merupakan kelompok masyarakat terhormat, termasuk bangsawan namun kedudukannya di bawah keturunan raja dan samanak yang hubungan kekerabatannya lebih dekat dengan raja, hal tersebut antara lain ditunjukkan melalui Prasasti Waharu (873M): tatkala sang hadyan kuluptiru kapwānakan rakryan tolobong (?) manusuk sīma lmah waharu... Artinya: ketika sang hadyan Kuluptiru keponakan Rakryan Tolobong (?) menetapkan daerah perdikan tanah di Desa Waharu

42 18 Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa Sang Aden kemudian berubah menjadi Sang Raden, Rahardyan, atau Raden. Gelar tersebutpun masih dikenal dalam masyarakat Jawa masa kini. Dalam surat sarasilah kraton Yogyakarta, gelar raden digunakan oleh keturunan kelima dan seterusnya dalam silsilah keturunan keluarga kerajaan (Atmodjo, 1979:29). 1.5 Si Si, merupakan nama depan yang digunakan untuk menyebutkan orang kebanyakan atau orang dari golongan rendah. Dalam prasasti Tlang (903 M) dan prasasti Poh, ditemukan lebih sedikit nama-nama orang yang menggunakan Bahasa Sansekerta dan ditemukan banyak nama lokal yang berawalan Si. Dari temuan tersebut dapat dilihat bahwa orang-orang yang menggunakan nama Sansekerta ialah orang-orang yang berasal dari golongan yang lebih tinggi, sedangkan sebutan Si diperuntukkan bagi orang-orang yang golongannya lebih rendah (Atmodjo, 1979:33). B. Atribut Dalam Stratifikasi Sosial Hampir dalam semua masyarakat terdapat gejala bahwa orang yang memiliki kedudukan tertentu cenderung bergaul dengan orang-orang dengan kedudukan yang sama, sehingga terbentuk lapisan sosial. Setiap golongan sosial tersebut kemudian memiliki cara dan gaya hidup tertentu pula untuk menunjukan identiasnya. Salah satunya dengan gelar yang dimiliki serta hak-haknya dan atribut yang dikenakan dalam berkehidupan sosial (Koentjaraningrat, 2005: ). Ketentuan golongan tertentu dalam mengenakan atribut, diterangkan dalam sejumlah prasasti yang menyebutkan bahwa, orang yang dapat

43 19 menggunakan senjata dan barang perhiasan ialah orang-orang yang sudah mendapat izin raja. Izin tersebut diberikan dikarenakan dua alasan: 1. Karena jasa-jasa kepada raja atau kerajaan, maka rakyat pada suatu daerah diizinkan atas barang-barang yang ditetapkan oleh raja untuk dimiliki ataupun dikenakan. 2. Karena daerah mereka telah dijadikan daerah perdikan (Boechari, 1977: 38-40). Beberapa bait dari prasasti Humading 797 menyebutkan pembagian hak upeti dari sebidang sawah yang dijadikan sīma bangunan prāsādā di Gununghyang, sebagai berikut: (3) hārāja rakai kayuwaňi anun inaňsĕan pasak pasak wyawastha nin manusuk sīma//samgat wadihatu pu mananggih sisim pasada (4) woh 1 wrat mā 8 wdihan aňsit yu 1 tuhan 2 mirah mirah si guwar. Span si wadag sisim pasada who 2 wrat mā 8 wdihan (5) aňsit yu anun kinon milua manusuk sīma. Kuwu si agama sisim pasada woh 1 wrat mā 4 wdihan aňsit yu 1 Artinya: (3) haraja Rakai Kayuwangi. Yang diberi pisung (demi) tegaknya penetapan sīma (mereka adalah) Samngat Wadihati pu Managih (diberi) cincin pasada (4) sebuah berat 8 mā bĕbĕd angsit 1 yu. Tuhan dua (dari) mirah-mirah si Guwar (dan) si Wadag (medapat) cincin pasada 2 buat berat 8 mā bĕbĕd (5) Angsit 2 yu. Yang disuruh mengikuti menetapkan sīma kuwu si agama (mendapat) cincin pasada sebuah seberat 4 mā bĕbĕd angsit 1 yu (Darmosoetopo, 2009:285). Dari beberapa bait pada prasasti Humading 797, dapat dilihat bahwa hanya orang-orang tertentu yang medapat cincin pasada dengan berat yang berbeda sesuai dengan kedudukan mereka di watak. Hal tersebut menunjukan cincin yang merupakan bagian dari perhiasan ialah benda mewah dan termasuk dalam atribut golongan tertentu (Darmosoetopo, 2009:285). Perhiasan adalah salah satu hasil budaya yang memiliki peran dalam kehidupan manusia. Selain sebagai sarana menghiasi tubuh, perhiasan juga

44 20 berfungsi sebagai penunjuk status sosial dan identitas seseorang, serta media estetika bagi seorang seniman (Drutt dalam Lufiani, 2009:261). Dengan demikian, dapat diketahui bahwa di samping fungsinya sebagai sarana berhias, perhiasan juga memiliki nilai-nilai simbolik atau maksud-maksud tertentu yang berhubungan dengan pandangan hidup dari pemakainya ataupun penciptanya. Dengan demikian, perhiasan memiliki fungsi praktis, sosial, dan sekaligus simbolis (Marwoto, 1992:25-26). Bentuk perhiasan tidak selalu kaku, misalnya gelang yang hanya berbentuk lingkaran dan dikenakan di tangan. Namun, gelang dapat mempunyai ornamen atau motif hias tertentu. Motif hias adalah pangkal atau dasar dari sebuah kesenian dan apabila telah disusun dengan teknik tertentu akan menjadi sebuah ornamen yang bertujuan menambah nilai keindahan objek yang diberi ornamen. Seringkali ornamen juga dibuat untuk menyampaikan pesan tertentu, misalnya untuk menunjukkan status seseorang (Marwoto, 1992:24). Menurut kitab Shilpa Shastra yang di kutip dari Liebert (1976), Rao (1992), dan Sthapati (2002) perhiasan terdiri dari atas beberapa komponen, sebagaimana diidentifikasikan melalui gambar 2.1 dan gambar 2.2.

45 21 Kiritamakuta Karna Pushpa Kundala Hara Skandhamālā Cannavira Keyura Katisūtra Kankana Muktadāma Anguliya Padavalaya Padasaras Gambar 2.1 Perhiasan Pada Tokoh Wanita Sumber: Stapati (2002) dan Rao (1992)

46 22 karandamakuta Karna Pushpa Hara Graiveyaka Bhujangavalaya Upavita Udara Bandha Keyura Katisūtra Kankana Muktadāma Padavalaya Padasaras Gambar 2.2 Perhiasan Pada Tokoh Pria Sumber: Stapati (2002) dan Rao (1992)

47 23 Dari gambar 2.1 dan gambar 2.1 diketahui perhiasan yang dikenakan tokoh atau ikon wanita dan pria terdiri atas: 1. Kiritamakuta Kirita makuta adalah tata rambut yang menyerupai mahkota. Rambut disusun sedemikian rupa hingga bagian bawah berbentuk bundaran makin naik ke atas bundaran tersebut berukuran semakin kecil dan juga diberi hiasan untaian manik-manik ataupun bunga (lihat gambar 2.1). 2. Karandamakuta Karanda makuta adalah mahkota yang berbentuk seperti keranjang yang mengerucut pada bagian atasnya. Berhiaskan ukiran-ukiran floral untuk memperindah mahkota (lihat gambar 2.2). 3. Karna pushpa Karna Pushpa adalah untaian bunga yang disisipkan di atas telinga sebagai pelengkap, untuk menghiasi area kepala (lihat gambar 2.1 dan gambar 2.2). 4. Kundala Kundala ialah hiasan telinga berbentuk bulat dan bagian tengahnya dihiasi mutiara bentuk lain kundala berbentuk segitiga atau lingkaran yang masuk ke dalam lubang telinga (lihat gambar 2.1 dan gambar 2.2). 5. Hara Hara adalah kalung yang melekat ketat pada leher, dihiasi permata yang besar pada bagian tengahnya (lihat gambar 2.1 dan gambar 2.2).

48 24 6. Skandhamālā Skandhamālā adalah kelat bahu yang menghiasi bahu kanan dan kiri yang terkait dengan hara, biasanya dikenakan oleh tokoh wanita (lihat gambar 2.1). 7. Bhujangavalaya Bhujangavalaya adalah kelat bahu yang menghiasi bahu kanan dan kiri yang terkait dengan hara biasanya dikenakan oleh tokoh pria (lihat gambar 2.2). 8. Cannavira Cannavira ialah hiasan berbentuk rantai yang melingkari leher dan menyilang dada dari bagian depan hingga belakang (lihat gambar 2.1). 9. Upavita Upavita ialah selempang dada yang dikenakan dari bagian bahu kiri melingkar ke dada hingga bagian pinggang kanan. Upavita dapat berupa untaian manik-manik, pita, atau tali (lihat gambar 2.2). 10. Udara bandha Udara bandha ialah ikat pinggang, berbentuknya dapat sederhana atau dengan hiasan mutiara atau permata (lihat gambar 2.2). 11. Keyura Keyura adalah hiasan pada lengan, bentuknya bervariasi ada yang polos dan ada juga yang diberi hiasan, misalnya bunga atau mutiara yang membentuk huruf V (lihat gambar 2.1 dan gambar 2.2). 12. Kankana Gelang yang dikenakan pada pergelangan tangan dinamakan kankana. Biasanya gelang tersebut digunakan dalam jumlah ganjil, yaitu

49 25 1,3,5,7,9 atau 11 buah gelang. Bentuknya bervariasi ada yang polos ada yang diberi hiasan (lihat gamabar 2.1 dan gamabr 2.2). 13. Anguliya Anguliya adalah cicin yang berhiaskan bunga dan batu permata yang dikenakan pada seluruh jari, kecuali pada jari tengah (lihat gambar 2.1). 14. Katisūtra Katisūtra atau mekalai digunakan pada bagian pinggul, biasanya dihiasi oleh permata dan mutiara (lihat gambar 2.1 dan gambar 2.2). 15. Muktadāma Muktadāma ialah bagian dari rangkaian Katisūtra, yang merupakan pengikat antara kain dan perhiasan (lihat gambar 2.1 dan gambar 2.2). 16. Padavalaya Padavalaya adalah gelang kaki yang berbentuk lingkaran, biasanya dikenakan lebih dari satu, biasanya tiga atau lima buah pada setiap kakinya (lihat gambar 2.1 dan 2.2). 17. Padasaras Padasaras ialah gelang kaki yang berbentuk rantai (lihat gambar 2.1 dan gambar 2.2). Selain yang sudah disebutkan, terdapat beberapa perhiasan lainnya yang terdiri atas: 18. Jatamakuta Pada intinya jatamakuta adalah mahkota yang disusun dari rambut dan dibentuk seperti bentuk piramida. Tata rambut seperti ini memiliki sejumlah variasi bentuk dan hiasan yang disebut purinam. Purinam memiliki rantai, manik-manik, dan hiasan berbentuk seperti kelopak

50 26 teratai. Pada puncak hiasan rambut terdapat hiasan berbentuk teratai dengan kelopak terbuka. Untaian mutiara diikat di sekitar kepala untuk mengikat rambut. Ornamen tersebut adalah pattigai untuk menambah keindahan pada wajah. Bunga atau karna pushpa juga ditambahkan pada tingkat atas pattigai, satu di tengah dahi, dan dua lagi di atas telinga. Simpul ini ditutupi dengan deretan mutiara yang menghiasi (lihat gambar 2.3). 19. Thoyyaham Gambar 2.3 Jatamakuta (sumber: Sthapati, 2002) Thoyyaham merupakan hiasan rambut yang berbentuk liontin di ujungnya (dalam bentuk daun atau bentuk lain) terdiri atas batu mulia, yang tepiannya dihiasi mutiara yang diikat dengan rantai. Hiasan tersebut dikenakan pada dahi, dari sepanjang garis rambut hingga telinga (lihat gambar 2.4).

51 Jamang Gambar 2.4 Thoyyaham (sumber: Sthapati, 2002) Jamang merupakan hiasan kepala yang dikenakan melingkari kepala dengan motif simbar (lihat gambar 2.5). Gambar 2.5 Jamang (sumber: Astuti, 1987)

52 BAB III HUBUNGAN ANTARA PERHIASAN DAN STRATIFIKASI SOSIAL DALAM CERITA RELIEF LALITAVISTARA Bab ini berisi deskripsi dan analisis perhiasan. Dalam pendeskripsiannya, tidak hanya disebutkan jenis perhiasan akan tetapi juga tokoh yang mengenakannya. Oleh sebab itu, bab ini juga membahas konteks antara perhiasan dan tokoh dalam cerita relief Lalitavistara yang mewakili stratifikasi sosial. A. Cerita Lalitavistara Lalitavistara ialah teks cerita dari ajaran Buddha Mahayana yang menceritakan Boddhisatva yang beringkarnasi menjadi Pangeran Sidharthā untuk mendapatkan pencerahan. Cerita Lalitavistara dikisahkan dalam 120 panil pada lorong pertama candi Borobudur (Miksic, 2007:209). Candi Borobudur terletak di pusat Pulau Jawa, dengan posisinya yang menjulang dikelilingi Bukit Menoreh, yang membujur dari arah timur ke barat serta gunung-gunung berapi, Merapi dan Merbabu di sebelah timur, Sumbing dan Sindoro di sebelah barat. Borobudur terletak di wilayah Kabupaten Magelang, Jawa Tengah (Soetarno, 2003: 71). Borobudur dibangun sekitar abad VIII IX M, pada zaman keemasan Dinasti ailendra. Asumsi tersebut didasarkan pada isi Prasasti Karang Tengah (prasasti ri Kahulunan) yang berangka tahun 824 M. Prasasti tersebut menyebut bahwa pendiri Candi Borobudur adalah Samaratungga yang memerintah pada M di kerajaan Mataram (Puspitasari dkk, 2011: 1). 29

53 30 Bangunan Borobudur pada hakikatnya adalah stupa, yang didirikan di atas punden berundak berbentuk bujur sangkar. Bentuk kesemuanya ada sepuluh tingkat. Enam tingkat berbentuk bujur sangkar, tiga tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa induk sebagai puncaknya (lihat gambar 3.1). Gambar 3.1 Bentuk Bangunan Borobudur (Sumber: Puspitasari dkk, 2011:4) Secara kosmologis, Borobudur merupakan replika alam semesta yang dibagi menjadi tiga alam. Alam tertinggi ialah Arupadhatu, diwujudkan sebagai bagian tertinggi Borobudur yang diinterpretasikan sebagai alam yang abstrak dan tidak berwujud. Alam kedua ialah Rupadhatu atau alam bentuk yang tarafnya lebih tinggi dari dunia indria atau dunia kehidupan manusia biasa, manusia yang terhitung sebagai Boddhisatva yang menempati alam tersebut. Alam ketiga ialah Kamadhatu, yang merupakan tempat kehidupan manusia biasa dan hewan yang terikat dengan nafsu (Kempers dalam Soekmono, 1974: 25).

54 31 Di Candi Borobudur terdapat berbagai cerita tauladan Buddha, yang diwujudkan dalam bentuk relief. Relief tersebut dapat ditemukan padaa tingkatan Kamadhatu dan Rupadhatu (lihat gambar 3.1). Lalitavistara menceritakan perjalanan Pangeran Sidharthā Gautama yang dipahatkan pada tingkatan Rupadhatu. Riwayat hidup Sang Buddha seperti dikisahkan pada relief Candi Borobudur, sebagaimanaa dikemukakan Leber (2011), terinspirasi oleh teks Sawāstiwāda Sansekerta berjudul Lalitavistara. Teks tersebut dianggap sebagai berbahasa Tibet. salah satu teks penting dalam kitab-kitab Berdasarkan 120 panil Lalitavistara, dapat diketagorikan menjadi lima episode (lihat gambar 3.2) yaitu: 1. Menyambut kelahiran Boddhisatva 2. Masaa kecil dan remaja pangeran Siddhārtha 3. Empat pertemuan dan pelepasan Siddhārtha 4. Tahun-tahun Gautama sebagai pertapa dan pengembara 5. Pencerahan dan pemutaran roda dharma Buddha Gambar 3.2 Denah lokasi relief Lalitavistara (Sumber: Leber, 2011)

55 32 1. Episode Menyambut kelahiran Terakhir Sang Buddha Episode ini dimulai ketika Sang Bhoddhisatva berada di Swarga Tushita, memberitahukan kepada para dewa tentang waktu kelahirannya sebagai manusia setelah berkalpa-kalpa menyempurnakan diri. Para dewa pun menjelma menjadi Brāhmana, membantu persiapan untuk menyambut kedatangan makhluk Agung (Leber, 2011). Setelah dikabarkan Buddha akan turun ke dunia, kemudian ditentukannya tempat, keluarga, dan bentuk kelahiran Buddha, yaitu di wilayah Wārāas (Benares India). Para Pratyeka Buddha yang menetap disana memberi tempat bagi kedatangan Buddha. Para resi tersebut segera pergi ke nirvana. Sebelum turun ke dunia, sang Boddhisatva menyerahkan mahkotanya kepada Maitreya, calon pengganti Buddha yang akan datang. Ratu Māyādev, istri Raja Śuddhodana dari Kapilawastu, dipilih menjadi ibu untuk Buddha. Ia belum menyadari pilihan agung yang dijauhkan kepadanya. Ratu Māyādev bermimpi seekor gajah putih kecil dan bergading emas masuk ke dalam tubuhnya. Ratu Māyādev menceritakan mimpi yang dialaminya kepada Raja Śuddhodana. Ia memohon kepada suaminya untuk meminta brāhmana terpelajar menafsirkan mimpi tesebut. Brāhmana meramalkan bahwa Ratu Māyādev dan Raja Śuddhodana akan dikaruniai seorang putra, yang kelak menjadi penguasa dunia atau seorang Buddha. Bahagia dengan penafsiran mimpi tersebut Raja Śuddhodana bermurah hati memberikan penghargaan kepada para Brāhmana. Pada saat mengandung makhluk agung, Sang Ratu memiliki kekuatan spiritual untuk menyembuhkan. Ia mampu menyembuhan orang sakit. Pada saat

56 33 kehamilan Ratu Māyādev mencapai bulan terakhir, yaitu bulan ke sepuluh, lima ratus gajah putih bersujud di hadapan Sang Raja dan anak-anak singa berjalan mengelilingi kota tanpaa menyakiti siapapun. Sebuah kedamaian besar datang dan seluruh semesta bersiap menyambut kedatangan Buddha. Episode ini divisualisasikan dalam 27 panel, yaitu panil no. Ia 1-Ia 27 (lihat gambar 3.2). Dalam panil-panil tersebut terdapat sejumlah tokoh yang diidentifikasikan sebagai berikut: 1.1 Boddhisatva, penggambaran Boddhisatva dapat diidentifikasi melalui cerita pada panil no. Ia 1, yang digambarkan dengan sikap penggambarannya terletak di tengah. Ia tangan vitarka mudra dan sikap duduk vajraparyañka. Ia mengenakan perhiasan yang paling raya, yaitu jatamakuta, karna pushpa, hara, bhujangavalaya, keyura, kankana, anguliya, upavita, udara bandha, katisūtra, dan padasaras (lihat foto 3.1 dan gambar 3.3). Foto 3.1 Relief no seri Ia 1 Dokumentasi: Penulis

57 34 Makuta Karna Pushpa Hara Upavita Kankana Udara Bandha Katisūtra Gambar 3.3 Jenis perhiasan pada tokoh Boddhisattva, gambar foto no 3.1 Sumber: Pleyte, Dewa, penggambar ran dewa dapat diidentifikasikan melalui deskripsi cerita pada panil no. Ia 9, penggambarannya terletak pada bagian atas dalam panil dengan posisi melayang. Terdapat dua orang dewa mengenakan ragam perhiasan yang serupa. Perhiasan yang dikenakan ialah jatamakuta, kundala, hara, cannavira, keyura, kankana, katisūtra dan padavalaya (lihat foto 3.2 dan gambar 3.4).

58 35 Foto 3.2 Relief no seri Ia 9 Dokumentasi: Penulis jatamakuta kankana kundala keyura cannavira katisūtra padavalaya Gambar 3.4 Jenis perhiasan padaa tokoh Dewa, gambar foto no 3.2 Sumber: Pleyte, Penggambaran Raja Śuddhodana, sebagaimana diidentifikasikan melalui deskripsi pada cerita panil no. Ia 16, diapit oleh beberapa pengawal yang melindunginya dengan payung. Raja mengenakan perhiasan jatamakuta, kundala,, hara, upavita, udaraa bandha, keyura, kankana, katisūtra dan padavalaya (lihat foto 3.3 dan gambar 3.5).

59 36 Foto 3.3 Relief no seri Ia 16 Dokumentasi: Penulis jatamakuta kundala hara upavita keyura Udara bandha kankana katisūtra padavalaya Gambar 3.5 Jenis perhiasan padaa tokoh Raja, gambar foto no 3.3 Sumber: Pleyte, Ratu, penggambaran seorang ratu dapat diidentifikasikan melalui Māyādevi yang dideskripsi pada cerita panil no. Ia 17, penggambarannya duduk di atas singgasana diapit oleh dayang-dayang. Ratu mengenakan perhiasan jatamakuta, karna pushpa, cannavira, keyura, kankana, katisūtraa (lihat foto 3.4 dan gambar 3.6) ).

60 37 Foto 3.4 Relief no seri Ia 16 Dokumentasi: Penulis jatamakuta karna pushpa cannavira keyura kankana katisūtra Gambar 3.6 Jenis perhiasan pada tokoh Ratu, gambar foto no 3.4 Sumber: Pleyte, Bangsawan pria, penggambaran seorang bangsawan dapat diidentifikasikan melalui deskripsi pada cerita panil no. Ia 22, dalam panil tersebut tergambarkan dua orang bangsawan memberi sedekah. Atribut perhiasan yang serupa, terdiri dan gambar 3.7). atas kirita makuta, kundala, hara,, keyura (lihat foto 3.5

61 38 Foto 3.5 Relief no seri Ia 22 Dokumentasi: Penulis kiritamakuta kundala hara keyura Gambar 3.7 Jenis perhiasan pada tokoh Bangsawan, gambar foto no 3.5 Sumber: Pleyte, Dayang-dayang, penggambaran dayang-dayang dapat diidentifikasikan melalui deskripsi pada cerita panil no. Ia 21. Terdapat sepuluh dayang- dayang yang penggambarannyaa terletak di sisi ratu atau raja. Para dayang- dayang tersebut digambarkan memegang camara, kipas, alat musik, atau mangkukk berisi persembahan. Perhiasan yang dikenakan sama, terdiri atas thoyyaham, karna pushpa, kundala, hara, keyura dan kankana (lihat foto 3.6 dan gambar 3.8).

62 39 Foto 3.6 Relief no seri Ia 21 Dokumentasi: Penulis thoyyaham karna pushpa kundala hara keyura kankana Gambar 3.8 Jenis perhiasan pada tokoh Dayang-dayang, Pleyte, gambar foto no 3.6 Sumber: Pengawal, penggambaran pengawal dapat diidentifikasikan melalui deskripsi pada cerita panil no. Ia 25, berjumlah tiga orang. Penggambarannya berada di sisi raja atau ratu dengan atribut tongkat, perisai dan pedang. Mereka mengenakan perhiasan yang sama, terdirii atas jamang, kundala, hara, dan kankanaa (lihat foto 3.7 dan gambar 3.9).

63 40 Foto 3.7 Relief no seri Ia 25 Dokumentasi: Penulis jamang kundala hara kankana Gambar 3.9 Jenis perhiasan pada tokoh Pengawal, gambar foto no 3.7 Sumber: Pleyte, Rakyat Jelata, penggambaran rakyat jelata dapat diidentifikasikan melalui deskripsi cerita padaa panil no. Ia 23. Dalam panil tersebut terdapatt dua belas orang dengan perhiasan hampir serupa. Pada umumnya, rakyat digambarkan dengan posisi di bawah raja atau ratu, duduk dengan sikap tangan añjali mudra ke arah rajaa ataupun ratu. Perhiasan yang dikenakan jamang dan kundala (lihat foto 3..8 dan gambar 3.10).

64 41 Foto 3.8 Relief no seri Ia 23 Dokumentasi: Penulis jamang kundala Gambar 3.10 Jenis perhiasan pada tokoh Rakyat Jelata, gambar foto no 3. 8 Sumber: Pleyte, 1901

65 42 Hasil identifikasi perhiasan yang dikenakan para tokoh pada episode 1 cerita relief Lalitavistara adalah sebagai berikut : Tabel 3.1 Tabel perhiasan dalam relief episode 1 Dibuat oleh: Penulis Keterangan: : Atas : Atas bagian kanan : Ada : Kanan : Atas bagian kiri : Tidak : Kiri : Bawah bagian kanan : Tengah : Bawah bagian kiri

66 43 2. Masa Kecil dan Remaja Pangeran Sidharthā Dalam episode ini dikisahkan masa kecil hingga remaja Pangeran Sidharthā (Leber,2011). Adegan dimulai dari Ratu Māyādev berjalan di Taman Lumbin yang permai. Sebatang pohon Plākşa raksasa membungkuk di hadapan Ratu Māyādev untuk menghormati Sang Makhluk Agung yang segera dilahirkan. Saat bersalin Ratu Māyādev meraih satu cabang pohon, Boddhisatva lahir dari sisi kanan sang ibu tanpa menimbulkan rasa sakit. Saat itu juga, Sang Mahkluk Agung, dengan ingatan dan pengetahuan yang lengkap, melangkah tujuh kali ke masing-masing arah mata angin. Pada saat Ia melangkah muncul sebuah teratai disetiap langkah kakinya. Tujuh hari setelah kelahiran Pangeran Siddhārtha, Ratu Māyādev meninggal dunia. Sejak saat itu, pangeran muda diasuh oleh bibinya, Mahāprajāpat Gautam. Pangeran Siddhārtha berprestasi baik di sekolah. Sejumlah kejadian istimewa mengukuhkan dirinya sebagai makhluk sempurna, seorang Buddha. Pada usia tujuh tahun, Pangeran Siddhārtha mendapatkan pengalaman meditasi yang mendalam untuk pertama kalinya. Pengalaman ini merupakan sebuah tanda bagi Raja Śuddhodana untuk mengambil langkah pencegahan agar Pangeran Siddhārtha tidak meninggalkan istana dan melepaskan hak warisnya sebagai penerus takhta. Salah satu bentuk pencegahan yang dimaksud ialah dengan menikahkan Pangeran Siddhārtha dengan Gopā yang cantik dan menawan. Untuk mendapatkan Gopā, Pangeran Siddhārtha harus membuktikan diri melalui berbagai adu kecerdasan dan ketangkasan. Salah satunya ialah dengan

67 44 mengalahkan seluruh pangeran yang mengikuti sayembara. Putri Gopā pun dinikahi, kemudian pasangan tersebut menghabiskan beberapa tahun yang berbahagia dalam kemewahan yang terlindungin secara ketat. Episode ini divisualisasikan dalam 28 panil, yaitu panil no. Ia 28 Ia 55 (lihat gambar 3.2). Dalam panil-panil tersebut terdapat sejumlah tokoh yang diidentifikasikan sebagai berikut: 2.1 Brahmā, Śiva, dan Vişņu, penggambaran para dewa tersebut dapat diidentifikasikan melalui panil no. Ia 35 yang mengisahkan para dewa bersujud di hadapan Boddhisatva. Ketiga dewa duduk dalam sikap añjali mudra menghadap ke arah Pangeran Siddhārtha. Perhiasan yang dikenakan para dewa tersebutt serupa, terdiri atas jatamakuta, karna pushpa, kundala, hara, keyura, kankana dan katisūtra (lihat foto 3.9 dan gambar 3.11). Foto 3.9 Relief no seri Ia 35 Dokumentasi: Penulis

68 45 jatamakuta karna pushpa kundala hara keyura kankana katisūtra Gambar 3.11 Jenis perhiasan pada tokoh Dewa, gambar foto no 3.9 Sumber: Pleyte, Rşi, penggambarann Rşi dapat diidentifikasikan melalui deskripsi pada panil no. Ia 31, terdapat dua orang Rşi. Penggambarannya berjanggut, mengenakan gelung rambut dan aksamalaa yang digunakan sebagai kalung, serta kankana (lihat foto 3.10 dan gambar 3.12). Foto 3.10 Relief no seri Ia 31 Dokumentasi: Penulis

69 46 aksamala kankana Gambar 3.12 Jenis perhiasan padaa tokoh Rşi, gambar foto no 3.10 Sumber: Pleyte, Guru, Viśvāmitra merupakan guru Pangeran Siddhārtha yang digambarkan pada panil no. Ia 37 dalam posisi añjali mudra ke arah sang pangeran dan berjanggut. Dikisahkan guru tersebut kagum akan pengetahuan Pangeran Siddhārtha sehingga beliau bersujud kepadanya. Perhiasan yang dikenakan oleh Viśvāmitra hanya kundala (lihat foto 3.11 dan gambar 3.13). Foto 3.11 Relief no seri Ia 37 Dokumentasi: Penulis

70 47 kundala Gambar Jenis perhiasan pada tokoh Guru, gambar foto no 3.11 Sumber: Pleyte, Raja, penggambar ran raja dapat diidentifikasikan melalui deskripsi cerita panil no. Ia 33 yang menggambarkan Rajaa Śudhodanaa diapit oleh beberapa pengawal dan dayang-dayang. Perhiasan yang dikenakan raja terdiri atas Jatamakuta, kundala, bhujangavalaya, hara, keyura, dan kankanaa (lihat foto 3.12 dan gambar 3..14). Foto 3.12 Relief no seri Ia 33 Dokumentasi: Penulis

71 48 Jataa makuta kundala bhujangavalayaa haraa keyura kankana Gambar 3.14 Jenis perhiasan pada tokoh Raja, gambar foto no 3.12 Sumber: Pleyte, Ratu, penggambaran seorang ratu dapat diidentifikasikan melalui deskripsi cerita panil no. Ia 28 yang menggambarkan Ratu Māyādevi berdiri disertai para dayang-dayang. Perhiasan yang dikenakan terdiri atas jatamakuta, kundala, cannavira, keyura, kankana, katisūtra dan padavalaya (lihat foto 3.13 dan gambar 3..15). Foto 3.13 Relief no seri Ia 28 Dokumentasi: Penulis

72 49 jatamakuta kundala keyura keyura kankana katisūtra padavalaya Gambar 3.15 Jenis perhiasan pada tokoh Ratu, gambar foto no 3.13 Sumber: Pleyte, Bangsawan wanita, diwakili oleh penggambaran adik Ratu Māyādevi yang bernama Mahāprajāpatī Gautamī. Dikisahkan bahwa Mahāprajāpatī Gautamī adalah pengganti ibu Pangeran Siddhārtha, setelah ditinggalkan Ratu Māyādevi ke nirvana. Penggambaran dalam relief dapat diidentifikasi melalui adegan menggendongg pangeran Siddhārtha pada panil no. Ia 30. Perhiasan yang dikenakan terdiri atas kirita makuta, karna pushpa, kundala, hara, dan keyura (lihat foto 3.14 dan gambar 3.16). Foto 3.14 Relief no seri Ia 30 Dokumentasi: Penulis

73 50 kirita makuta karna pushpa kundala hara keyura Gambar 3.16 Jenis perhiasan pada tokoh Bangsawan wanita, gambar foto no 3.14 Sumber: Pleyte, Pangeran, penggambaran seorang pangeran dapat diidentifikasikan melalui deskripsi cerita dalam panil no. Ia 51 yang menggambarkan Pangeran Siddhārtha duduk di atas singgasana dikelilingi oleh para dayang-dayang. Perhiasan yang dikenakan pangeran terdiri atas jatamakuta, karna pushpa, kundala, hara, keyura, kankana, dan katisūtra (lihat foto 3.15 dan gambar 3.17). Foto 3.15 Relief no seri Ia 51 Dokumentasi: Penulis

74 51 Kirita makuta karnaa pushpa kundala hara keyura kankana katisūtra Gambar 3.17 Jenis perhiasan pada tokoh Pangeran, gambar foto no 3.15 Sumber: Pleyte, Bangsawan pria, tokoh bangsawan diwakili oleh sepupu Pangeran Siddhārtha. Dikisahkan Dewadatta yang membunuh seekor gajah putih karena cemburu kepada Pangeran Siddhārtha. Tokoh Dewadatta dapat diidentifikasikan pada cerita panil no. Ia 44. Perhiasan yang dikenakan Dewadatta terdiri atas kirita makuta, karnaa pushpa, keyura, kankana, udara bandha, dan katisūtra (lihat fotoo 3.16 dan gambar 3.18) ). Foto 3.16 Relief no seri Ia 44 Dokumentasi: Penulis

75 52 kirita makuta kankana karnaa pushpa keyura udaraa bandha katisūtra Gambar 3.18 Jenis perhiasan pada tokoh Bangsawan pria, gambar foto no 3.16 Sumber: Pleyte, Pangeran, tokoh pangeran dapat diidentifikasikan melalui deskripsi cerita pada panil no. Ia 48 yang menggambarkan para pangeran Sakyā. Terdapat 11 tokoh dengan perhiasan yang relatif sama, terdiri atas kirita makuta, kundala, hara, keyura, kankana, upavita, udara bandha, katisūtra dan padavalaya (lihat foto 3.17 dan gambar 3.19). Foto 3.17 Relief no seri Ia 48 Dokumentasi: Penulis

76 53 kirita makutaa kundala hara upavita keyura udara bandha katisūtra kankana padavalaya Gambar 3.19 Jenis perhiasan pada tokoh Pangeran, gambar foto no 3.17 Sumber: Pleyte, Bangsawan wanita, diwakili oleh Gopā,putri yang dipinang oleh Pangeran Siddhārtha. Gopāā diidentifikasikan melalui deskripsii pada panil no. Ia 50. Penggambarannya duduk di dayang-dayang. Perhiasan singgasanaa dan didampingi dayang-dayang- yang dikenakan terdiri atas thoyyaham, kundala, hara, kankana, dan katisūtra (lihat foto 3.18 dan gambar 3.20). Foto 3.18 Relief no seri Ia 50 Dokumentasi: Penulis

77 54 thoyyaham kundala hara kankana katisūtra Gambar 3.20 Jenis perhiasan pada tokoh Bangsaawan wanita, gambar foto no 3.18 Sumber: Pleyte, Dayang-dayang, penggambaran dayang-dayang dapat diidentifikasikan melalui deskripsii cerita pada panil no. Ia 55. Penggambaran dayang- digambarkan memegang camara, kipas, alat musik, atau mangkuk dayang memiliki konteks dengan ratu atau raja. Biasanya, dayang-dayang berisi persembahan. Dalam panil ini terdapat tiga dayang-dayang yang mengenakan perhiasan serupa. Perhiasan yang dikenakan terdiri atas thoyyaham, kundala, hara, kankana, dan katisūtraa (lihat fotoo 3.19 dan gambar 3.21). Foto 3.19 Relief no seri Ia 55 Dokumentasi: Penulis

78 55 thoyyaham kundala haraa kankana katisūtra Gambar 3.21 Jenis perhiasan pada tokoh Dayang-dayang, gambar foto no 3.19 Sumber: Pleyte, Pengawal, penggambaran pengawal dapat diidentifikasikan melalui deskripsi cerita pada panil no. Ia 34. Penggambarannya memiliki konteks dengan raja atau ratu. Atribut yang digunakan ialah tongkat, perisai, dan beberapa di antaranya menggengam pedang. Pengawal yang digambarkan berjumlah sebelas orang, dengan perhiasan yang berbeda. Pengawal pada barisan depan mengenakan perhiasan yang lebih raya jika dibandingka n dengan pengawal pada barisan belakang rombongan. Perhiasan yang dikenakan terdiri atas jamang, hara, kankana ( lihat foto 3.20 dan gambar 3.22)

79 56 Foto 3.20 Relief no seri Ia 34 Dokumentasi: Penulis jamang hara kankanaa Gambar 3.22 Jenis perhiasan pada tokoh Pengawal, gambar foto no 3.20 Sumber: Pleyte, 1901

80 57 Hasil identifikasi perhiasan yang dikenakan para tokoh pada episode 2 adalah cerita relief Lalitavistara sebagai berikut : Keterangan: Tabel 3.2 Tabel perhiasan dalam relief episode 2 Dibuat oleh: Penulis : Atas : Atas bagian kanan : Ada : Kanan : Atas bagian kiri : Tidak : Kiri : Bawah bagian kanan : Tengah : Bawah bagian kiri 3. Empat pertemuan dan pelepasan Siddhārtha Episode ini mengisahan hal-hal yang mengubah pandangan Pangeran Siddhārtha akan kehidupan. Pertama, Ia bertemu dengan orang tua. Kedua, bertemu dengan orang sakit, dan ketiga bertemu dengan orang mati. Pengalaman tersebut membuat pangeran menyadari adanya prinsip ketidak kekalan dalam kehidupan dan kefanaan kehidupan dunia. Peristiwa yang terakhir, yaitu pertemuan dengan seorang petapa memberikan inspirasi

81 58 Pangeran Siddhārtha untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan mencari kebenaran sejati (Leber, 2011). Episode tersebut diawali dengan adegan pelarian dramatis Pangeran Siddhārtha dari istana. Pangeran Siddhārtha meninggalkan segalanya yang Ia miliki di dalam istana. Para wanita cantik mengelilingi Pangeran Siddhārtha, mereka menampilkan musik yang merdu berserta tari-tarian dan senandung penuh rindu. Peristiwa tersebut mengingatkannya akan kehidupan-kehidupannya di masa lampau. Ketika Ia menaklukkan nafsu duniawi dalam rangka mencapai tujuan penyempurnaan diri sebagai Bodhisatva yang penuh welas asih (Leber, 2011). Menindak lanjuti ramalan Brāhmana terhadap Pangeran Siddhārtha, bahwa kelak Ia akan menjadi Buddha. Raja Śuddhodana membuat rencana mengalihkan perhatian Pangeran Siddhārtha. Segala upaya dilakukan untuk mencegah putranya meninggalkan istana. Berkaitan dengan hal tersebut Sang Raja menawarkan tiga istana megah sebagai tempat tinggal Pangeran Siddhārtha. Dalam perjalanan menuju istana baru, Raja Śuddhodana memastikan bahwa putranya dikawal ketat dan disertai para wanita cantik istana. Pangeran Siddhārtha semakin lama-semakin tidak menyukai kehidupan yang diberikan ayahnya. Ia menganggap kehidupan tersebut penuh kemalasan dan hingarbingar duniawi. Pelarian dramatis Pangeran Siddhārtha dilakukan saat malam hari, pada saat orang terlelap tidur. Pangeran Siddhārtha meninggalkan istri dan putranya. Ia hanya didampingi pelayannya yang setia, yaitu Chandaka dan kudanya Thaka. Dengan bantuan para dewa, Pangeran Siddhārtha menyebrangi Sungai Anoma

82 59 di malam hari dan menembus alam liar. Tekadnya menjadi seorang petapa pengembara. Pangeran Siddhārtha memutuskan untuk memotong rambut panjangnya yang mencirikan keluarga kerajaan. Rambut yang dipotong dilemparkan ke udara, kemudian rambut tersebut dikumpulkan para dewa dan disimpan dalam stupa di alam dewa sebagai relik istimewa untuk mengenang peristiwa pelepasan Siddhārtha dari ikatan keduniawian. Episode tersebut divisualisasikan dalam 12 panil, yaitu panil no. Ia 56-Ia 67 (lihat gambar 3.2). Dalam panil-panil tersebut terdapat sejumlah tokoh yang diidentifikasikan sebagai berikut: 3.1 Dewa, penggambaran dewa dapat diidentifikasikan melalui deskripsi cerita panil no. Ia 65, yang penggambarannya dalam posis melayang. Terdapat dua puluh lima tokoh dewa dengan variasi perhiasan yang relatif sama, rata- rata perhiasan yang dikenakan pada umumnya terdiri atas jatamakuta, karna pushpa, kundala, hara, upavita (dikenakan oleh sebagian kecil dewa), keyura, kankana, dan katisūtra (lihat foto dan gambar 3.23). Foto 3.21 Relief no seri Ia 65 Dokumentasi: Penulis

83 60 jatamakuta karna pushpa kundala hara keyura upavitaa kankana katisūtra Gambar 3.23 Jenis perhiasan pada tokoh Dewa, gambar fotoo no 3.21 Sumber: Pleyte, Raja, penggambaran seorang raja diidentifikasikan melalui deskripsi cerita panil no. Ia 61, yaitu penggambaran Raja Śuddhodana yang duduk di atas singgasana dengan posisi lebih tinggi dari tokoh lainnya dalam panil. Perhiasan yang dikenakan terdiri atas jatamakuta, karna pushpa, kundala, hara, bhujangavalaya, keyura dan kankana (lihat foto 3.22 dan gambar 3.24). Foto 3.22 Relief no seri Ia 61 Dokumentasi: Penulis

84 61 jatamakuta karna pushpa kundala hara bhujangavalay keyura kankana Gambar 3.24 Jenis perhiasan pada tokoh Raja, gambar foto no 3.22 Sumber: Pleyte, Pangeran, penggambaran pangeran dapat diidentifikasikan melalui deskripsi cerita panil no. Ia 63 yang penggambaran Pangerann Siddhārtha duduk di atas singgasana dengan dikelilingi oleh dayang-dayang-dayang-dayang. Perhiasan yang dikenakan terdiri atas jatamakuta, karna pushpa, kundala, hara, bhujangavala aya, keyura, dan kankana (lihat foto 3.23 dan gambar 3.25). Foto 3.23 Relief no seri Ia 63 Dokumentasi: Penulis

85 62 jatamakuta karna pushpa kundala hara bhujangavalayaa keyura kankana Gambar 3.25 Jenis perhiasan pada tokoh Pangeran, gambar foto no 3.23 Sumber: Pleyte, Bangsawan wanita, tokoh tersebut dapat diidentifikasikan melalui deskripsi cerita pada panil no. Ia 60 yang menggambarkan Gopā, istri dari pangeran Siddhārtha. Perhiasan yang dikenakan terdiri atas thoyyaham, kundala, hara, keyura dan kankanaa (lihat foto 3.24 dan gambar 3.26). Foto 3.24 Relief no seri Ia 60 Dokumentasi: Penulis

86 63 thoyyaham kundala hara kankana keyura Gambar 3.26 Jenis perhiasan pada tokoh Bangsawan wanita, gambar foto no 3.24 Sumber: Pleyte, Pengawal, penggambaran pengawal dapat diidentifikasi pada cerita panil no. Ia 64, melalui penggambaran Chandaka yang digambarkan dengan posisi añjali mudra menghadap Pangeran Siddhārtha. Perhiasan yang dikenakan terdiri atas kundala dan kankanaa (lihat foto 3.25 dan gambar 3.27) Foto 3.25 Relief no seri Ia 64 Dokumentasi: Penulis

87 64 kundala kankana Gambar 3.27 Jenis perhiasan pada tokoh Pengawal, gambar foto no 3.25 Sumber: Pleyte, Dayang-dayangmelalui deskripsi cerita pada panil no. Ia 62. Terdapat tujuh dayang-dayang yang dipersenjatai dengan tongkat dan enam dayang-dayang lainnya yang penggambaran dayang-dayang dapat diidentifikasikan menemani Pangeran Siddhārtha. Perhiasan yang dikenakan serupa, terdiri atas thoyyaham, kundala, hara, keyura dan kankanaa (lihat fotoo 3.26 dan gambar 3.28). Foto 3.26 Relief no seri Ia 62 Dokumentasi: Penulis

88 65 thoyyaham kundala hara keyura kankana Gambar 3.28 Jenis perhiasan pada tokoh Dayang-dayang, gambar foto no 3.26 Sumber: Pleyte, Rakyat Jelata, penggambaran rakyat jelata dapat diidentifikasi melalui cerita pada panil no. Ia 56. Posisi penggambarannya di bagian bawah sebelah kanan dan kedudukannya lebih rendah dibandingkan dengan raja dan rombongannya. Perhiasan yang dikenakan rakyat terdiri atas kundala, hara, dan kankana (lihat foto 3.27 dan gambar 3.29). Foto 3.27 Relief no seri Ia 56 Dokumentasi: Penulis

89 66 kundala hara kankana Gambar 3.29 Jenis perhiasan pada tokoh Rakyat, gambar foto no 3.27 Sumber: Pleyte, 1901 Hasil identifikasi perhiasan yang dikenakan para tokoh pada episode 3 cerita relief Lalitavistara adalah sebagai berikut : Tabel 3.3 Tabel perhiasan dalam relief episode 3 Dibuat oleh: Penulis Keterangan: : Atas : Kanan : Kiri : Tengah : Atas bagian kanan : Atas bagian kiri : Bawah bagian kanan : Bawah bagian kiri : Ada : Tidak : Tidak Jelas

90 67 4. Tahun-tahun Gautama sebagai pertapa dan pengembara Gautama adalah sebutan Pangeran Siddhārtha dalam pencariannya akan kebenaran sejati. Ia menjadi dua murid petapa masyur, seorang Brāhmana wanita dan petapa agung rāda Kālāma. Namun dari pencarian tersebut Ia tidak menemukan apa yang diinginkan. Sejak saat itu, Gautama memutuskan menempuh jalannya sendiri untuk mencapai pencerahan, Ia kemudian mengganti namanya menjadi Śākyamuni. Bersama lima petapa, Gautama yang mengubah nama menjadi Śākyamuni menjalankan enam tahun pertapaan dan penyiksaan diri yang paling sukar. Sebelum berhasil mencapai tujuannya, Śākyamuni diuji oleh Māra, iblis yang jahat, untuk mecegah Śākyamuni mencapai pencerahannya. Mara mengirim tiga putrinya untuk menggoda Śākyamuni yang sedang bertapa. Ketiga putri tersebut, Rāti, Arati, dan Trsna, bersama dayang-dayang-dayang-dayangnya dikirim untuk menggoda Śākyamuni. Namun, upaya tersebut gagal. Setelah Śākyamuni berhasil menaklukkan semua nafsu keinginan, dengan lembut Ia mengusir mereka. Episode tersebut divisualisasikan dalam 27 panel, yaitu panil no. Ia 68 - Ia 95 (lihat gambar 3.2). Dalam panil-panil tersebut terdapat sejumlah tokoh, yang diidentifikasikan sebagai berikut: 4.1 Dewa, penggambaran dewa dapat diidentifikasikan melalui deskripsi cerita panil no. Ia 79. Penggambaran dewa pada panil tersebut menemani Gautama dalam petapaannya. Terdapat lima belas dewa yang digambarkan dalam panil, mereka mengenakan perhiasan yang sedikit berbeda, terdapat beberapa dewa yang mengenakan upavita pada bagian dada akan tetapi

91 68 sebagian besar tidak mengenakan. Perhiasan lainnya yang dikenakan sama, para dewa terdiri atas jatamakuta, karna pushpa dan kundala, hara, upavita, keyura dan kankanaa (lihat foto 3.28 dan gambar 3.30) Foto 3.28 Relief no seri Ia 79 Dokumentasi: Penulis jatamakuta karna pushpa kundala haraa kankana keyura kundala Gambar 3.30 Jenis perhiasan pada tokoh Dewa, gambar fotoo no 3.28 Sumber: Pleyte, 1901

92 Biksu, penggambaran tokoh biksu diwaliki oleh Śākyamuni, dapat diidentifikasikan melalui cerita panil no. Ia 76, dengan sikap buddhapatra mudra dan padmasana. Tidak ada perhiasan yang dikenakan oleh tokoh Śākyamuni. Akan tetapi penggambaran Śākyamuni lebih tinggi jika di bandingkan dengan tokoh petapa yang lain dalam panil. Hal tersebut menujukan kedudukan Śākyamuni lebih tinggi dari yang lain (lihat foto 3.29 dan gambar 3.31). Foto 3.29 Relief no seri Ia 76 Dokumentasi: Penulis Gambar 3.31 Jenis perhiasan pada tokoh Biksu, gambar foto no 3.29 Sumber: Pleyte, 1901

93 Petapa, penggambaran tokoh petapa diwakili oleh Ārāda Kālāma yang di gambarkan pada panil no. Ia 71, petapa digambarkan dengan ciri rambut dipintal ke atas. Ia adalah guru pertama Śākyamuni. Perhiasan yang dikenakan terdiri atas kundala dan hara yang berupa untaian manik-manik (lihat foto 3.30 dan gambar 3.32). Foto 3.30 Relief no seri Ia 71 Dokumentasi: Penulis kundala haraa Gambar 3.32 Jenis perhiasan pada tokoh Petapa, gambar foto no 3.30 Sumber: Pleyte, 1901

94 Brāhmana wanita, penggambaran tokoh brāhmana wanita dapat diidentifikasikan melalui cerita pada panil no. Ia 70. Dalam panil tersebut terdapat sepuluh tokoh brāhmana yang digambarkan dengan mengenakan perhiasan serupa. Perhiasan yang dikenakan terdiri atas karna pushpa, hara yang berupa untaian manik-manik, dan keyura (lihat foto 3.31 dan gambar 3.33). Foto 3.31 Relief no seri Ia 70 Dokumentasi: Penulis Karna pushpa hara keyura Gambar 3.33 Jenis perhiasan pada tokoh Brāhmana wanita, gambar foto no 3.31 Sumber: Pleyte, 1901

95 Petapa, ada beberapa petapa yang ditemui Śākyamuni dalam perjalanannya. Salah satu diceritakan pada panil no. Ia petapa ialah Rudraka Rāmaputra, yang 75. Perhiasan yang dikenakan terdiri atas aksamala yang dikenakan sebagai hara yang berupa untaian manik-manik, keyura dan kankanaa (lihat foto 3.32 dan gambar 3.34). Foto 3.32 Relief no seri Ia 75 Dokumentasi: Penulis hara keyura kankana Gambar 3.34 Jenis perhiasan pada tokoh Petapa, gambar foto no 3.32 Sumber: Pleyte, 1901

96 Iblis, penggambaran tokoh iblis diwaliki oleh Māra ialah iblis yang menggoda dan berusaha menggagalkan Śākyamuni dalam mencapai pencerahannya, seperti digambarkan pada relief panil no. Ia 94. Iblis dapat diidentifikasikan melalui penggambarannya yang bertangann banyak dan memegang berbagai macam senjata. Perhiasan yang dikenakan terdiri atas jatamakuta, upavita, dan kankana (lihat foto 3.33 dan gambar 3..35). Foto 3.33 Relief no seri Ia 94 Dokumentasi: Penulis jatamakuta upavita kankana Gambar 3.35 Jenis perhiasan pada tokoh Iblis, gambar fotoo no 3.33 Sumber: Pleyte, 1901

97 Raja, penggambaran tokoh raja diwakilkan oleh Raja Bimbisāra yang merupakan raja di Rajagrha, yaitu salah satu kota yang dilewati Śākyamuni dalam perjalanannya mencari kesejatian, digambarkan pada panil no. Ia 73. Perhiasan yang dikenakan raja terdiri atas kirita makuta, karna pushpa, kundala, hara, upavita, keyura dan kankana, katisūtra dan padavalaya (lihat foto 3.34 dan gamabr 3.36). Foto 3.34 Relief no seri Ia 73 Dokumentasi: Penulis kirita makuta karna pushpa kundala hara upavita keyura kankana katisūtra padavalaya Gambar 3.36 Jenis perhiasan pada tokoh Raja, gambar fotoo no 3.34 Sumber: Pleyte, 1901

98 Bangsawan pria, penggamabran bangsawan pria diwakili oleh para bangsawan pria yang diceritakan pada panil no. Ia 90. Mereka merupakan tokoh yang bertemu dengan Śākyamuni dalam perjalanannya mencari pencerahan. Berjulah sepuluh orang dan mengenakan perhiasan yang serupa. Perhiasan yang dikenakan terdiri atas kirita makuta, kundala, hara, keyura, kankana, dan katisūtra (lihat foto dan gambar 3.37). Foto 3.35 Relief no seri Ia 90 Dokumentasi: Penulis kirita makuta kundala hara keyura katisūtra Gambar 3.37 Jenis perhiasan pada tokoh Bangsawann pria, gambar foto no Sumber: Pleyte, 1901

99 Bangsawan wanita, penggambaran tokoh bangsawan wanita diwakili oleh para wanita cantik yang ditemui Śākyamuni dalam perjalanannya, dikisahkan pada panil no. Ia 81. Terdiri atas enam orang wanita yang mengenakan perhiasan yang serupa. Perhiasan yang dikenakan terdiri atas thoyyaham, kundala, hara, keyura, kankana, katisūtra dan padavalaya (lihat foto 3.36 dan gambar 3.38). Foto 3.36 Relief no seri Ia 81 Dokumentasi: Penulis thoyyaham kundala hara keyura kankana katisūtra padavalaya Gambar 3.38 Jenis perhiasan pada tokoh Bangsawan wanita, gambar foto no 3.36 Sumber: Pleyte, 1901

100 77 Hasil identifikasi perhiasan yang dikenakan para tokoh pada episode 4 cerita relief Lalitavistara adalah sebagai berikut : Keterangan: Tabel 3.4 Tabel perhiasan dalam relief episode IV Dibuat oleh: Penulis : Atas : Atas bagian kanan : Ada : Kanan : Atas bagian kiri : Tidak : Kiri : Bawah bagian kanan : Tidak Jelas : Tengah : Bawah bagian kiri

101 78 5. Pencerahan dan pemutaran roda Dharmma Buddha Bagian ini merupakan episode terakhir, setelah Śākyamuni berhasil menaklukkan godaan iblis Māra. Pada saat bulan purnama sempurna, di bulan Waisak Śākyamuni mencapai pencerahan sempurna di bawah pohon Bhodhi dan menjadi Buddha, yaitu makhluk yang tercerahkan. Śākyamuni menghabiskan tujuh minggu pertama setelah pencerahannya dalam kondisi bahagia di bawah berbagai pohon berbeda, untuk merenungkan kebijaksanaan mendalam yang telah diraihnya. Para dewa mengingatkan Śākyamuni yang telah menjadi makhluk tercerahkan, bahwa masih ada tugas kemanusiaan untuk menyebarkan ilmu tertinggi kepada dunia. Walau pada awalnya Buddha enggan melakukannya, namun Buddha pada akhirnya mau mengajar semua makhluk, sesuai dengan kapasitas batin dan spiritual mereka. Maka, Ia menemui rekan-rekan pertapaannya dan membabarkan khotbah pertama di Taman Rusa, Khotbah pertama tersebut dikenal sebagai pemutaran roda Dharmma. Episode ini divisualisasikan dalam 24 panil yaitu pada panil no.ia 96 - Ia 120 (lihat gambar 3.2). Dalam panil-panil tersebut terdapat sejumlah tokoh yang diidentifikasikan sebagai berikut: 5.1 Buddha, penggambaran tokoh Buddha diidentifikasikan melalui penggamabran pada relief no Ia 105 dengan sikap Vitarka mudra dan Padmasana. Tidak terdapat perhiasan yang dikenakan oleh Buddha (lihat foto 3.37 dan 3.39).

102 79 Foto 3.37 Relief no seri Ia 105 Dokumentasi: Penulis Gambar 3.39 Jenis perhiasan pada tokoh Buddha, gambar foto no 3.37 Sumber: Pleyte, 1901

103 Dewa, penggambaran dewa dapat diidentifikasikan melalui deskripsi cerita panil no. Ia 99. Digambarkan para dewa mendampingi Buddha dalam meditasinya di bawah pohon bodhi (Ficus religiosa) ). Terdapat tiga belas dewa yang mengenakan perhiasan yang serupa. Perhiasan yang dikenakan terdiri atas jatamakuta, kundala, hara, keyura dan kankana (lihat foto 3.38 dan gambar 3.40). Foto 3.38 Relief no seri Ia 99 Dokumentasi: Penulis jatamakuta kundala hara keyura kankana Gambar 3.40 Jenis perhiasan pada tokoh Dewa, gambar fotoo no 3.38 Sumber: Pleyte, 1901

104 Petapa, penggambaran petapaa dapat diidentifikasikan melalui cerita pada panil no. Ia 177, yang menceritakan pertemuan Buddha dengan kelima mantan muridnya.. Terdapat lima orang petapa dalam panil tersebut yang dicirikan oleh janggutnya dan mengenakan perhiasan serupa. yang dikenakan terdiri atas aksamala yang dikenakan sebagai Perhiasan hara yang berupa untaian manik-manik dan keyura (lihat foto 3.39 dan gambar 3.41). Foto 3.39 Relief no seri Ia 117 Dokumentasi: Penulis hara keyura Gambar 3.41 Jenis perhiasan pada tokoh Petapa, gambar foto no 3.39 Sumber: Pleyte, 1901

105 Raja, penggambaran raja diwakili oleh Raja Naga Mucilinda yang identifikasi melalui cerita pada panil no. Ia 101. Perhiasan yang dikenakan terdiri atas makuta yang dihiasi ornamen ular pada bagian kepala, kundala, keyura, dan kankana (lihat foto 3.40 dan gambar 3.42). Foto 3.40 Relief no seri Ia 101 Dokumentasi: Penulis makuta kundala keyura kankana Gambar 3.42 Jenis perhiasan pada tokoh Raja, gambar foto no 3.40 Sumber: Pleyte, 1901

106 Bangsawan pria, penggambaran bangsawan pria dapat diidentifikasikan melalui cerita dalam panil no. Ia 144 yang mengisahkan penyambutan Buddha dalam perjalanannya menuju Wārānasī. Terdapat tiga puluh tokoh bangsawan yang mengenakan perhiasan yang serupa. Perhiasan yang dikenakan terdiri atas kirita makuta, kundala, hara, dan kankana (lihat foto 3.41 dan gambar 3.43). Foto 3.41 Relief no seri Ia 114 Dokumentasi: Penulis kirita makuta kundala hara kankana Gambar 3.43 Jenis perhiasan pada tokoh Bangsawan pria, gambar foto no 3.41 Sumber: Pleyte, 1901

107 Dayang-dayang, penggambaran dayang-dayang dapat diidentifikasikan melalui deskripsi pada panil no. Ia 112, menggambarkan para dayang- dayang yang menyuguhkan makanan dan minuman kepadaa Buddha. Terdapat enam dayang-dayang yang mengenakan perhiasan serupa. Perhiasan yang dikenakan terdiri atas thoyyaham, kundala, hara, kankana dan katisūtra (lihat foto 3.42 dan gambar 3..44). Foto 3.42 Relief no seri Ia 112 Dokumentasi: Penulis thoyyaham kundala haraa kankana katisūtra Gambar 3.44 Jenis perhiasan pada tokoh Dayang, gambar foto no 3.42 Sumber: Pleyte, 1901

108 85 6. Rakyat, penggambaran rakyat diidentifikasi melalui cerita padaa panil no. Ia 115 yang menceritakann pertemuannya dengan Buddha. Terdapat empat orang rakyat yang mengenakan perhiasan serupa. Perhiasan yang dikenakan hanyalah kundalaa (lihat foto 3.43 dan gambar 3.45). Foto 3.43 Relief no seri Ia 115 Dokumentasi: Penulis kundala Gambar 3.45 Jenis perhiasan pada tokoh Rakyat, gambar foto no 3.43 Sumber: Pleyte, 1901

109 86 Hasil identifikasi perhiasan yang dikenakan para tokoh pada episode 5 cerita relief Lalitavistara adalah sebagai berikut : Tabel 3.5 Tabel perhiasan dalam relief episode 5 Dibuat oleh: Penulis Keterangan: : Atas : Atas bagian kanan : Ada : Kanan : Atas bagian kiri : Tidak : Kiri : Bawah bagian kanan : Tidak Jelas : Tengah : Bawah bagian kiri B. Hubungan Perhiasan dan Stratifikasi Masyarakat Sebagaimana kita ketahui dalam bab sebelumnya, fungsi dari stratifikasi masyarakat ialah pelapisan masyarakat yang diurutkan secara bertingkat. Sehubungan dengan hal tersebut, stratifikasi dapat dikaitkan dengan status dan prestige. Dengan demikian, perbedaan tingkat sosial dapat menjadi pembeda antara kelompok yang satu dengan lainnya (Abercombie, 2010 dan Weber,1958).

110 87 Atas dasar keterangan tersebut, perhiasan dapat dikategorikan sebagai penanda status sosial seseorang. Diungkapkan dalam disertasi Darmosoetopo (2009) bahwa, perhiasan merupakan salah satu isi dari pasék-pasék yang terkait dengan stratifikasi masyarakat, dimana orang yang menerima pasék mendapatkan jenis dan jumlah perhiasan yang berbeda. Perbedaan pasék yang diterima didasarkan pada status sosial dan jabatan orang yang menerima. Identifikasi jenis perhiasan yang dibedakan oleh para tokoh dalam cerita Lalitavistara juga menyuguhkan hal yang sama. Hal tersebut dapat diamati dari perhiasan yang dikenakan masing-masing golongan sosial dalam masyarakat sebagaimana dalam cerita Relief Lalitavistara sebagai berikut: 1. Raja, mewakili golongan masyarakat atas, dimana seorang raja pada abad 8-10 M mendapatkan gelar Rakryan, dalam sistem kerajaan raja merupakan golongan tertinggi. Perhiasan yang dikenakan jumlahnya paling raya, terdiri atas jatamakuta, karna pushpa, kundala, bhujangavalaya, hara yang bermotif, upavita, udara bandha, keyura, kankana, katisūtra dan padavalaya. Dalam Relief Lalitavistara terdapat lebih dari tiga raja yang berbeda, akan tetapi Raja Śuddhodana mengenakan perhiasan yang paling raya, dimana hanya Raja Śuddhodana yang mengenakan bhujangavalaya (lihat tabel 3.1, tabel 3.2, tabel 3.3, tabel 3.4, dan tabel 3.5). Dari tabel , dapat kita lihat bahwa seluruh perhiasan yang ditemukan, dikenakan oleh raja. Jumlah dan jenis perhiasan yang dikenakan oleh raja juga dijumpai pada tokoh dewa, yang tidak mewakili golongan masyarakat tertentu. Dalam struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan kuna, raja ialah penguasa tertinggi. Dengan

111 88 berlandaskan kosmologis yang diyakini masyarakat pada masa tersebut, raja ialah penjelmaan dewa di dunia (Soejono, 2010:226). Hal tersebut menunjukkan bahwa raja didudukan setara dengan dewa. Kemudian Raffles (2008: ) menyebutkan bahwa, dalam masyarakat Jawa kuna raja adalah sosok yang paling diagungkan. Penghormatan yang dilakukan oleh rakyat kepada rajanya dilakukan dengan cara memberi sembah dan membungkukkan badan serendah mungkin, hal tersebut menunjukkan raja adalah sosok yang superior, tidak banyak orang yang dapat mendekatinya apa lagi menyentuhnya. 2. Ratu, mewakili golongan yang sama dengan raja. Ia mengenakan perhiasan yang jumlahnya sama dengan raja, akan tetapi dengan jenis yang berbeda, terdiri atas kirita makuta, karna pushpa, kundala, hara, keyura, kankana, cannavira, raja mengenakan upavita bukan cannavira begitu pula dengan ratu, katisūtra dan padavalaya (lihat tabel 3.1 dan tabel 3.2). Atas dasar uraian tersebut, dapat kita lihat perhiasan yang identik digunakan oleh ratu, juga dikenakan oleh sakti dari para dewa. Dalam cerita Relief Lalitavistara hanya terdapat seorang ratu yang digambarkan. Mengacu pada keterangan sebelumnya mengenai raja, yang didudukkan setara dengan dewa, begitu juga dengan ratu yakni pendamping raja yang didudukkan setara dengan sakti para dewa. hal tersebut juga menunjukkan kebesaran seorang ratu sama dengan kebesaran sakti atau pendamping dewa. 3. Pangeran, mewakili golongan yang sama dengan raja, akan tetapi stratanya di bawah raja dan ratu, dalam masyarakat Jawa Kuna

112 89 dikenal sebagai Hino. Perhiasan yang dikenakan pangeran terdiri atas kirita makuta, karna pushpa, kundala, hara, keyura, upavita, kankana, udara bandha, katisūtra dan padavalaya. Perhiasan yang dikenakan pangeran hampir serupa dengan raja. Perbedaannya terletak pada mahkota yang dikenakan. Raja mengenakan jatamakuta sedangkan pangeran mengenakan kirita makuta (lihat tabel 3.1, tabel 3.2, dan tabel 3.3). 4. Bangsawan pria dan wanita, mewakili golongan masyarakat atas, akan tetapi stratanya di bawah pangeran, biasanya kaum bangswan merupakan kerabat dekat keluarga kerajaan. Dalam masyarakat Jawa Kuna dikenal sebagai Halu. Meskipun dari golongan yang sama, tetapi jumlah dan jenis perhiasan yang dikenakan tidak sama. perhiasan yang dikenakan bangsawan pria terdiri atas kirita makuta, kundala, hara, akan tetapi tidak semua bangsawan pria mengenakan keyura dan kankana (lihat tabel 3.1, tabel 3.2, tabel 3.3, tabel 3.4, dan tabel 3.5). Bangsawan wanita, perhiasan yang dikenakan oleh bangsawan wanita terdiri atas thoyyaham, karna pushpa, kundala, keyura, kankana, dan katisūtra (lihat tabel 3.3 dan tabel 3.4). 5. Dayang-dayang, mewakili golongan menengah, kedudukannya di bawah keturunan raja dan samanak yang hubungan kekerabatannya lebih dekat dengan raja, akan tetapi Aden masih dalam ruang lingkup istana. Dalam masyarakat Jawa Kuna dikenal dengan Aden. Perhiasan yang dikenakan oleh dayang-dayang terdiri atas thoyyaham, kundala, hara, dan kankana. Perhiasan yang dikenakan

113 90 oleh dayang-dayang seluruh jenisnya sama, akan tetapi motifnya yang berbeda (lihat tabel 3.1, tabel 3.2, tabel 3.3, dan tabel 3.5). 6. Pengawal, mewakili golongan menengah, kedudukannya di bawah keturunan raja dan samanak yang hubungan kekerabatannya lebih dekat dengan raja, dalam masyarakat Jawa Kuna disebut dengan Aden, akan tetapi Aden masih dalam ruang lingkup istana. Perhiasan yang dikenakan pengawal terdiri atas jamang, kundala, hara, dan kankana. Dari seluruh pengawal yang ada, perhiasan yang dikenakan sedikit berbeda, yaitu pengawal yang letaknya berdekatan dengan raja mengenakan jamang, sedangkan yang letaknya tidak berdekatan tidak mengenakan jamang (lihat tabel 3.1, tabel 3.2, dan tabel 3.3). 7. Rakyat, mewakili golongan bawah, dalam masyarakat Jawa Kuna disebut dengan panggilan Si. Perhiasan yang dikenakan rakyat hanya segelintir orang yang mengenakan jamang dan kankana, akan tetapi semua tokoh yang digambarkan mengenakan kundala. Dari seluruh tokoh rakyat yang dijumpai dalam relief hanya sebagian kecil yang mengenakan jamang dan kundala, kemudian keletakkannya paling depan di antara tokoh rakyat lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa rakyat yang mengenakan jamang dan kundala ialah tokoh yang menonjol di antara tokoh rakyat lainnya (lihat tabel 3.1, tabel 3.3, dan tabel 3.5). Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa ragam perhiasan yang dikenakan oleh tokoh yang tinggi stratanya lebih banyak jumlah dan jenis perhiasan yang dikenakan. Oleh sebab itu, perhiasan juga termasuk sebagai

114 91 penanda status sosial seseorang. Beberapa perhiasan yang dapat menunjukkan status sosial seseorang sebagai berikut : a. Makuta atau yang lebih dikenal dengan mahkota merupakan penanda kelas atas, mahkota yang jenisnya teridiri dari jatamakuta, kiritamakuta, karandamakuta, hanya digunakan oleh raja, ratu, pangeran, dan bangsawan dalam lingkup istana. b. Bhujangavalaya merupakan penanda kelas atas, hanya digunakan oleh raja sebagai ornamen pada bahu yang menunjukkan raja sudah ditasbihkan (Liebert, 1976:41). c. Upavita dan udara bandha merupakan penanda kelas atas, hanya digunakan oleh raja, upavita sendiri sebagai penanda seorang raja sebagai pemimpin dalam sebuah kerajaan juga sebagai pemimpin dalam urusan keagamaan (Liebert, 1976:311). d. Cannavira merupakan penanda kelas atas, hanya digunakan oleh ratu, kegunaan dari cannavira serupa dengan upavita yang digunakan oleh raja. e. Thoyyaham merupakan penanda kelas atas dan menengah pada wanita, biasanya dikenakan oleh bangsawan dan dayang-dayang. f. Jamang merupakan penanda kelas menengah dan bawah pada pria, biasanya dikenakan oleh pengawal dan rakyat. Perhiasan yang dikenakan para tokoh dalam Relief Lalitavistara memiliki perbedaan antara pria dan wanita pada strata sosial yang setara, hal tersebut dapat dilihat dari beberapa perbedaan sebagai berikut:

115 92 1. Strata atas, tokoh-tokoh yang masuk dalam kelompok strata ini ialah raja, ratu, pangeran, bangsawan pria dan bangsawan wanita, adapun perbedaan perhiasan yang dikenakan antara lain: a. Perhiasan kepala pria strata atas adalah makuta, dikenakan oleh raja, pangeran dan bangsawan (lihat gambar 3.44). Gambar 3.44 (a) Raja (b) Pangeran (c) Bangsawan Sumber: Pleyte, 1901 yang dimodifikasi oleh penulis

116 93 b. Perhiasan kepala wanitaa strata atas juga makuta, dikenakan oleh ratu dan bangsawan wanita (lihat gambar 3.45). Gambar 3.45 (a) Ratu (b) Bangsawan wanita Sumber: Pleyte, 1901 yang dimodifikasi oleh penulis c. Perhiasan pada dada yang menunjukkan strata atas, dikarenakan hanya raja dan ratu yang menggunakannya, ialah upavita, udara bandha dan cannavira ( lihat gambar 3.46). Gambar 3.46 Tubuh Raja Sumber: Pleyte, 1901 yang dimodifikasi oleh penulis

117 94 Gambar 3.47 Tubuh Ratu Sumber: Pleyte, 1901 yang dimodifikasi oleh penulis Berdasarkan keterangan di atas, dapat dilihat bahwa makuta yang dikenakan pria ukurannya lebih tinggi dan makuta yang dikenakan wanita. Ornamen pada makuta wanita lebih banyak dibandingkan dengan makuta pria. Bentuk kundala yang dikenakan pria berbentuk bulat atau segitiga, sedangkan yang dikenakan wanita berbentuk seperti bunga. Pria kalangan atas mengenakan upavita dan udara bandha sedangkan wanita dari kalangan tersebut mengenakan cannavira. Keyura dan kankana yang dikenakan, pria dan wanita dari kalangan atas menunjukkan perbedaan. Keyura yang dikenakan pria tidak berornamen sedangkan yang dikenakan wanita keyura berornamen bunga. Kankana yang dikenakan pria berbentuk bulat seperti mutiara, sedangkan yang dikenakan wanita tidak berornamen atau polos. 2. Strata menengah, tokoh-tokoh yang masuk dalam kelompok strata ini ialah dayang-dayang dan pengawal. Perbedaan perhiasan yang dikenakan antara lain:

118 95 a. Perhiasan kepala pria strata menengah adalah jamang, dikenakan oleh pengawal (lihat gambar 3.47). Gambar 3.47 Pengawal Sumber: Pleyte, 1901 yang dimodifikasi oleh penulis b. Perhiasan kepala wanita strata menengah adalah thoyyaham dikenakan oleh dayang-dayang (lihat gambar 3.48). Gambar 3.48 Dayang Sumber: Pleyte, 1901 yang dimodifikasi oleh penulis c. Perhiasan tubuh pria strata menengah, terdiri atas hara dan kankana (lihat gambar 3.49).

119 96 Gambar 3.49 Tubuh Pengawal Sumber: Pleyte, 1901 yang dimodifikasi oleh penulis d. Perhiasan pada bagian tubuh wanita strata menengah, terdiri atas hara, keyura dan kankana (lihat gambar 3.50) Gambar 3.50 Tubuh Dayang Sumber: Pleyte, 1901 yang dimodifikasi oleh penulis Berdasarkan keterangan diatas, dapat dilihat bahwa perbedaan perhiasan pria strata menengah dengan perhiasan wanita strata menengah terletak pada hiasan kepala. Pria golongan ini mengenakan jamang, sedangkan wanitanya mengenakan

120 97 thoyyaham. Keyura tidak dikenakan oleh pria pada golongan ini, sedangkan wanita mengenakan keyura dan berornamen bunga. 3. Strata bawah, perhiasan yang dikenakan masyarakat golongan ini tidak berbeda antara perhiasan yang dikenakan antara pria dan wanita. Atas dasar keterangan tersebut, dapat dikatakan bahwa semakin tinggi strata seseorang semakin banyak ragam perhiasan yang dikenakanannya. Selain itu, ornamen bunga identik dengan tokoh wanita. Hal tersebut dapat dilihat pada perhiasan wanita dari strata atas dan menengah yang menggunakan ornamen bunga. Hasil identifikasi perhiasan hubungan antara perhiasan dengan stratifikasi sosial sebagai berikut: Tabel 3.6 Tabel Hubungan Perhiasan dan Stratifikasi Dibuat oleh: Penulis

121 98 Keterangan: : Atas : Atas bagian kanan : Ada : Kanan : Atas bagian kiri : Tidak : Kiri : Bawah bagian kanan : Tidak Jelas : Tengah : Bawah bagian kiri C. Hubungan Perhiasan Dengan Gender Gender merupakan konstruksi budaya dan sosial berdasarkan jenis kelamin terdiri atas, maskulin (pria) dan feminin (wanita) (Abercombie, 2010:230). Dalam stratifikasi sosial gender termasuk ke dalam pengelompokkan masyarakat yang spesifik. Dalam kajian ini, konsep gender tersebut tampak pada perhiasan yang dikenakan oleh pria dan wanita. Secara umum pria dan wanita mengenakan perhiasan yang serupa, seperti karna pushpa, kundala, hara, keyura, kankana, katisūtra dan padavalaya (lihat gambar 2.1 dan gambar 2.2). Perhiasan yang dikenakan para tokoh dalam cerita Relief Lalitavstara ada yang terkait dengan gender. Maksudnya, ada beberapa perhiasan yang dikenakan oleh pria dan wanita saja. Perhiasan yang di maksud ialah sebagai berikut: a. Makuta, dikenakan pria dan wanita dari strata atas, akan tetapi yang menjadikan makuta pria dan wanita berbeda ialah ukurannya. Makuta pada pria lebih besar dari makuta wanita. b. Upavita dan udara bandha, dikenakan pria strata atas sebagai simbol kekuasaan. c. Cannavira, dikenakan wanita strata atas sebagai simbol kekuasaan.

122 BAB IV KESIMPULAN Identifikasi tokoh-tokoh dalam Relief Lalitavistara dapat diketahui melalui rangkaian cerita yang melatarinya. Identifikasi tokoh-tokoh tersebut digunakan untuk melihat perhiasan yang dikenakannya. Dengan demikian, ragam perhiasan yang dikenakan para tokoh, memiliki kaitan dengan golongan status sosial tokoh yang digambarkan. a. Brāhmana, penggambaran kedudukannya setara dengan raja, tetapi perhiasan yang dikenakan hanyalah keyura dan kankana. Brāhmana masuk dalam strata atas dikarenakan keahliannya dalam bidang keagamaan dan filosofi kehidupan. Jika kita melihat pada panil no. Ia 18, seorang brāhmana memberikan ramalan kepada Raja Śuddhodana akan nasib anak yang sedang dikandung oleh Ratu Māyādevī dan pada panil no. Ia 54 dan Ia 55 dimana raja mengambil tindakan atas ramalan tersebut. Dari cerita panil-panil tersebut dapat kita lihat peran brāhmanayang penting karena memberikan nasehat kepada raja. Maka dari itu, walaupun brāhmana tidak mengenakan perhiasan yang raya, Ia masuk kedalam golongan atas dikarenakan perannya dalam kelangsungan kehidupan di kerajaan. b. Rakryan atau raja, penggambarannya di tengah atau lebih tinggi dari tokoh lainnya dalam relief. Perhiasan yang dikenakan raja terdiri atas jatamakuta, karna pushpa, kundala, bhujangavalaya, hara, upavita dan udara bandha, keyura, kankana, katisūtra dan padavalaya. 99

123 100 c. Rakryan atau ratu, posisi penggambarannya setara dengan raja. Perhiasan yang dikenakan ratu terdiri dari kirita makuta, karna pushpa, kundala, hara, keyura yang bermotif, kankana, cannavira, katisūtra dan padavalaya. d. Hino atau pangeran, posisi penggambaran setara dengan raja. Perhiasan yang dikenakan pangeran teridiri dari kirita makuta, karna pushpa, kundala, hara, keyura, upavita, udara bandha, katisūtra dan padavalaya. e. Halu atau bangsawan pria, posisi penggambarannya berdekatan dengan raja, ratu atau pangeran, namun posisinya lebih rendah. Perhiasan yang dikenakan bangsawan pria terdiri dari kirita makuta pada bagian kepala, kundala pada bagian telinga dan hara pada bagian leher, keyura dan kankana pada bagian lengan dan pergelangan tangan. f. Halu atau bangsawan wanita, posisi penggambarannya berdekatan dengan raja, ratu ataupun pangeran, namun posisinya lebih rendah. Perhiasan yang dikenakan oleh bangsawan wanita terdiri dari thoyyaham, karna pushpa, kundala, keyura, kankana, dan katisūtra. g. Sang aden atau dayang-dayang, penggambarannya di belakang raja, ratu atau pangeran. Jika dalam posisi duduk penggambarannya lebih rendah jika dibandingkan dengan bangsawan. Perhiasan yang dikenakan oleh dayang terdiri dari thoyyaham, kundala, hara, dan kankana. h. Sang aden atau pengawal, penggambarannya di depan dan di belakang raja akan tetapi posisinya yang lebih rendah. Perhiasan

124 101 yang dikenakan oleh pengawal terdiri dari jamang, kundala, hara, dan kankana. i. Si atau rakyat jelata, posisi penggambarannya paling rendah dari tokoh-tokoh yang telah disebutkan dan berada di bagian ujung relief. Perhiasan yang dikenakan oleh rakyat terdiri dari jamang pada, kundala dan kankana. Atas dasar uraian tersebut, dapat dikemukakan bahwa perhiasan yang dikenakan oleh berbagai tokoh, baik dari golongan atas hingga golongan rendah yaitu hara, keyura dan kankana. Akan tetapi, yang membedakan adalah motif perhiasan dari tiap-tiap golongan. Hal tersebut menunjukkan bahwa motif perhiasan juga dapat menunjukkan status sosial. Semakin tinggi status sosial seorang tokoh, motif yang digunakan pada perhiasannya semakin beragam. Sebaliknya semakin rendah status sosial motif yang digunakan untuk perhiasannya terbatas. Sehubungan dengan masalah tersebut, dapat dikatakan bahwa pelapisan masyarakat yang digambarkan dalam Relief Lalitavistara, ditunjukkan pula oleh kemegahan perhiasan yang dikenakan. Seperti yang diungkap oleh beberapa ahli sosial, stratifikasi masyarakat selain mengacu pada kekuasaan dan materi, juga pada keahlian dalam menghasilkan sesuatu. Sistem pelapisan masyarakat dalam Relief Lalitavistara, yang bersifat tertutup memiliki keistimewaan dalam hal penggunaan perhiasan. Selain itu, Relief Lalitavistara juga menggambarkan sistem stratifikasi terbuka, sebagaimana dapat dilihat pada panil no. Ia 101 yang menceritakan raja bersimpuh di hadapan Buddha. Buddha adalah mahluk yang tercerahkan, yang

125 102 memiliki tugas mengajak umat manusia lepas dari belenggu samsara yang menyiksa. Dalam hal ini, raja yang bersimpuh di hadapan Buddha bukan karena kekuasaan dan materi yang Buddha miliki, tetapi ilmu pengetahuan tentang kehidupan yang menjadikan Buddha dihormati oleh berbagai lapisan masyarakat, bahkan oleh lapisan yang tertinggi, yaitu raja.

126 103 DAFTAR PUSTAKA Adams, William Y and Ernest W. Adams Archaeological Typology and Practical Reality, a Dialectical Approach To Artifact Classification and Sorting, Cambridge University Press, New York, United States of America. Arbercrombie, Nicholas, dkk Kamus Sosiologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Arimbawa, I Gede Yasa Pengaruh Majapahit Pada Stratifikasi Sosial Masyarakat Bali, Skripsi Sarjana, Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Atmadi, Parmono Beberapa Patokan Perancangan Bangunan Candi, Suatu Penelitian Melalui Ungkapan Bangunan Pada Relief Candi Borobudur. Proyek Pelita Pemugaran Candi Borobudur, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Magelang. Atmodjo, M.M Sukarto Karto Struktur Masyarakat Jawa Kuna Pada Jaman Mataram Hindu dan Majapahit. Laporan Penelitian Proyek Peningkatan, Pengembangan Perguruan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian dan Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Astuti, Wahyu Pakaian Bangsawan Pada Masyarakat Jawa Kuna Abad XII XV Masehi Tinjauan Berdasarkan Beberapa Relief Candi di Jawa Timur, Skripsi Sarjana, Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Boechari, Epigrafi dan Sejarah Indonesia, Majalah Arkeologi, Th I No 2 : Lembaga Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta. Darmosoetopo, Riboet Sima dan Bangunan Keagamaan di Jawa Abad IX X TU, Prana Pena, Yogyakarta. Effendi, Sofian Prinsip-prinsip Analisis Data dalam Metode Penelitian Survai, Editor Masri Singarimbun, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Jakarta. Frédéric, Louis Flamarion Iconographic Guides Bhuddhism, Flamarion, Paris New York. Haryono, Timbul dkk Sendratari Mahakarya Borobudur. KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Bekerja sama dengan PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan. Joesoef, Daoed Borobudur, Penerbit Kompas, Jakarta. Jones, Antoinette M. Barrett Early Tenth Century Java from The Inscriptions a Study of Economic, social, and Administrative Conditions

127 104 in the First Quarter of The Century, Verhandelingen Van Het Koninklijk Instituut Voor Taal, Land-en Volkenkunde, Foris Publications, Dordrecht- Holland Cinnaminson-U.S.A. Kempers, A.J Bernet Ageless Borobudur, Buddhist Mystery in Stone Decay and Restoration Mendut and Pawon Folklife in Ancient Java, Wassenaar: Servire. Koentjaraningrat Beberapa Pokok Antropologi Sosial, PT Dian Rakyat, Jakarta Pengantar Antropologi, Jilid I, PT Rineka Cipta, Jakarta Pengantar Antropologi Pokok-Pokok Etnografi, Jilid II, PT Rineka Cipta, Jakarta. Kurniawan, Jati Penggambaran Wadah Keramik Pada Relief Karmawibhangga (tinjauan Atas Bentuk dan Fungsinya), Skripsi Sarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kusen Kreatifitas Dan Kemandirian Seniman Jawa Dalam Mengolah Pengaruh Budaya Asing : studi kasus tentang gaya seni relief candi Jawa antara abad IX XVI, Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Leber, Titus Lalitavistara The Buddha s Life as Told on The Borobudur. KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Bekerja sama dengan PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan. Liebert, Gösta Iconographic Dictionary of The Indian Religions in Studies in South Asian Culture, Edited for The Institute of South Asian Archaeology University of Amsterdam by J.E Van Lohuitzen-De Leeuw, E.J. Brill, Leiden. Lufiani, Alvi Menguak Makna dan Fungsi Perhiasan Tradisional Indonesia Sebagai Warisan Budaya dan Identitas Bangsa, Archaeology Art and Identity, Department of Archaeology, Faculty Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Marwoto, Herum Penerapan dan Pengembangan Ragam Hias Candi Prambanan Dalam Penciptaan Perhiasan, Tugas Akhir Program Studi Kriya Kayu, Jurusan Kriya, Fakultas Seni Rupa dan Disain, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Mantra, Ida Bagoes Penentuan Sampel Dalam Metode Penelitian Survai, Editor Masri Singarimbun, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Jakarta. Micsic, John N Borobudur The Golden Tales of Buddhas, Periplus Editions (HK) Ltd, Singapore.

128 Historical Dictionary of Ancient Southeast Asia, SCARECROW PRESS, INC, United Kingdom. Nastiti, Titi Surti Kedudukan Dan Peranan Perempuan Dalam Masyarakat Jawa Kuna (Abad VII-XV Masehi), Disertasi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Prgoram Studi Arkeologi Universitas Indonesia, Depok. Noerhadi, Inda Citraninda Busana Jawa Kuna, Komunitas Bambu, Depok. Pleyte, Cornelis Marinus Die Buddha Legende in Den Skulpturen Des Tempels Von Borobudur, Verlag Von J.H. De Bussy, Amsterdam. Puspitasari, Dian Eka dkk Kearsitekturan Candi Borobudur, Kerjasama Antara Pusat Pengembangan Sumberdaya Manusia, Badan Pengembangan sumberdaya Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dengan Balai Konservasi Peninggalan Borobudur, Magelang. Raffles, Thomas Stamford The History of Java, PT Buku Kita, Jagakarsa Jakarta. Rao, S. K. Ramachandra Pratima-Kosha Encyclopedia of Indian Iconography Vol I IX, Kalpatharu Research Academy Publication, Bangalore India. Riyanto, Arif Penggambaran Gajah Pada Relief Cerita di Candi Borobudur (Tinjauan Aspek Bentuk, Fungsi, dan Ragam Hias), Skripsi Sarjana, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sedyawati, Edi Pengarcaan Ganeśa Masa Kadiri Dan Siŋhasāri Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Universitas Leiden (RUL) bekerjasama dengan École Franaise d Extrême-orient (EFEO), Jakarta Saiwa dan Bauddha di Masa Jawa Kuna, Departemen Agama RI Ditjen Bimas Hindu, Jakarta. Soejono, R. P Sejarah Nasional Indonesia II Zaman Kuno Edisi Pemutakhiran, PT Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka, Jakarta. Soekmono, R Candi Borobudur Pusaka Budaya Umat Manusia, Dunia Pustaka, Jakarta. Soetarno, R Aneka Candi Kuno di Indonesia, Dahara Prize, Solo. Sthapati, Vijay Ganapati Indian Sclupture and Iconography Forms and Measurements, Sri Aurobindo Society, Pondicherry in association with Mapin Publishin, Ahmedabad, India. Sumarni, Tri Hendrika Variasi Pakaian dan Perhiasan Arca Batu Durga Mahisasuramardhini Koleksi Museum Nasional Jakarta, Skripsi Sarjana, Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

129 106 Sunarto, Kamanto Pengantar Sosiologi Edisi Revisi, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Strauss, Anselm Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Tanudirjo, Daud Aris Ragam Metoda Penelitian Arkeologi Dalam Skipsi Karya Mahasiswa Arkeologi Universitas Gadjah Mada. Laporan Penelitian, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada. Warner, L Social Class in America: a Manual of Procedure For The Measurement of Social Status, Harper, New York. Weber, Max The Religion of India, Glencoe, Free Press.

130 107 DAFTAR ISTILAH Abharana (Sans) Añjali Mudra (Sans) :Perhiasan. :Posisi kedua telapak tangan menyatu di depan dada, digunakan sebagai gestur pemujaan dan penghormatan. Çaka (Sans) : Perhitungan tahun dalam kebudayaan India. Fashion (Ing) :Tren popular dalam gaya berpakaian dan perhiasan. Nirvana (Sans) Tridatu (Sans) :Surga. :Lambang kesucian Tuhan dalam manifestasinya sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur. Padmasana (Sans) :Dikenal sebagai posisi duduk lotus, ditunjukkan dengan kedua kaki bertumpu pada paha yang saling bersilang dengan telapak kaki menghadap ke atas. Pasada (JK) :Cincin yang digunakan dalam pemberian Pasĕk. Pasĕk (JK) Prestige (Ing) :Pemberian dari golongan bawah ke golongan atas. :Kekaguman seseorang kepada sesuatu atas dasar persepsi prestasi atau kualitas mereka. Purinam (Sans) :Jenis perhiasan pada bagian kepala. Sample (Ing) :Sebagian kecil atau kuantitas tertentu yang dimaksudkan untuk menunjukkan keseluruhan. Samsara (Sans) Sārwāstiwāda (Sans) Setting (Ing) : siklus berulang lahir, hidup dan mati (reinkarnasi). :Kitab dalam agama Buddha. :Latar peristiwa.

131 108 Swarga Tushita (Sans) :Surga Tushita, tempat Bhodisatva sebelum bereinkarnasi menjadi Manusi Buddha. Shilpa Sastra (Sans) :Istilah umum untuk berbagai teks di India yang menggambarkan seni manual, standar untuk ikonografi, termasuk proporsi sosok yang dipahatkan, serta aturan arsitektur. Vajraparyañka (Sans) :Posisi tangan kanan di lutut kanan, telapak berbalik ke dalam, dan jari tengah menyentuh tanah. Vitaka Mudra (Sans) :Posisi ibu jari dan jari telunjuk saling bersentuhan untuk membentuk sebuah lingkaran yang melambangkan aliran konstan energi dan informasi. Lingkaran, merupakan bentuk tanpa awal atau akhir, adalah simbol dari kesempurnaan, yang diibaratkan Hukum Buddha yang abadi dan sempurna.

132

BAB I PENDAHULUAN. Banyak hal yang diungkapkan melalui relief. Ada yang berhubungan

BAB I PENDAHULUAN. Banyak hal yang diungkapkan melalui relief. Ada yang berhubungan BAB I PENDAHULUAN Banyak hal yang diungkapkan melalui relief. Ada yang berhubungan langsung dengan keadaan yang kini dapat ditemukan di Jawa atau di tempat lain, tetapi sebagian lainnya hanya dapat ditelusuri

Lebih terperinci

lebih cepat dan mudah dikenal oleh masyarakat luas daripada teks. Membaca teks

lebih cepat dan mudah dikenal oleh masyarakat luas daripada teks. Membaca teks 3 Relief menjadi media penyampaian pesan karena merupakan media yang lebih cepat dan mudah dikenal oleh masyarakat luas daripada teks. Membaca teks lebih sulit karena diperlukan pengetahuan tentang bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Masuk dan berkembangnya Kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia pada

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Masuk dan berkembangnya Kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia pada BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masuk dan berkembangnya Kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia pada sekitar abad IV sampai pada akhir abad XV M, telah meninggalkan begitu banyak peninggalan arkeologis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk bersemayam para dewa (Fontein, 1972: 14). Dalam kamus besar

BAB I PENDAHULUAN. untuk bersemayam para dewa (Fontein, 1972: 14). Dalam kamus besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Candi adalah bangunan yang menggunakan batu sebagai bahan utamanya. Bangunan ini merupakan peninggalan masa kejayaan Hindu Budha di Indonesia. Candi dibangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Indonesia merupakan salah satu negara yang sejarah kebudayaannya

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Indonesia merupakan salah satu negara yang sejarah kebudayaannya BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan salah satu negara yang sejarah kebudayaannya dipengaruhi oleh kebudayaan India. Salah satu pengaruh kebudayaan India ialah dalam aspek religi, yakni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Candi merupakan istilah untuk menyebut bangunan monumental yang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Candi merupakan istilah untuk menyebut bangunan monumental yang BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Candi merupakan istilah untuk menyebut bangunan monumental yang berlatar belakang Hindu atau Buddha di Indonesia, khususnya di Jawa. Orangorang di Jawa Timur menyebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ialah bangunan-bangunan purbakala yang biasa disebut candi. Candi-candi ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ialah bangunan-bangunan purbakala yang biasa disebut candi. Candi-candi ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pulau Jawa kaya akan peninggalan-peninggalan purbakala, di antaranya ialah bangunan-bangunan purbakala yang biasa disebut candi. Candi-candi ini tersebar di

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA TEMPAT DUDUK DALAM PENGGAMBARAN RELIEF LALITAVISTARA, CANDI BOROBUDUR : TELAAH BENTUK SERTA HUBUNGANNYA DENGAN TAHAP-TAHAP KEHIDUPAN SIDDHARTA GAUTAMA SKRIPSI diajukan untuk melengkapi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Indonesia yang strategis terletak di antara benua Asia dan Australia, sehingga menyebabkan berbagai suku bangsa telah memasuki kepulauan nusantara mulai dari

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. 245 Universitas Indonesia. Tempat duduk..., Yulie Pusvitasary, FIB UI, 2009

BAB 5 PENUTUP. 245 Universitas Indonesia. Tempat duduk..., Yulie Pusvitasary, FIB UI, 2009 BAB 5 PENUTUP Penelitian terhadap pengidentifikasian tempat duduk yang dipahatkan pada relief Lalitavistara Candi Borobudur telah dipaparkan secara sistematis pada bab sebelumnya. Bab 2 merupakan deskripsi

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM. A. Letak Geografis Kabupaten Magelang Jawa Tengah. Sedangkan luas wilayah terendah adalah Kecamatan Ngeluwar sebesar 2.

BAB IV GAMBARAN UMUM. A. Letak Geografis Kabupaten Magelang Jawa Tengah. Sedangkan luas wilayah terendah adalah Kecamatan Ngeluwar sebesar 2. 63 BAB IV GAMBARAN UMUM A. Letak Geografis Kabupaten Magelang Jawa Tengah Kabupaten Magelang merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Tengah yang terletak 110 0 01 51 dan 110 0 26 58 Bujur Timur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ilmiah tentang peninggalan masa lalu manusia. Di dalam ilmu arkeologi terdapat subsub

BAB I PENDAHULUAN. ilmiah tentang peninggalan masa lalu manusia. Di dalam ilmu arkeologi terdapat subsub BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Rekonstruksi kehidupan masa lalu manusia merupakan pekerjaan yang tidak putus bagi akademisi dan peneliti dari disiplin arkeologi. Arkeologi melakukan

Lebih terperinci

INTERAKSI KEBUDAYAAN

INTERAKSI KEBUDAYAAN Pengertian Akulturasi Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan manusia tidak dapat dilepaskan dari seni. Materi-materi yang

BAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan manusia tidak dapat dilepaskan dari seni. Materi-materi yang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan Kebudayaan manusia tidak dapat dilepaskan dari seni. Materi-materi yang dibuat atas dasar seni berupa suatu karya, memiliki kandungan yang merujuk kepada

Lebih terperinci

ABSTRAK. Fitriani Dewi Pramesti, 2012 Wayang Rumput (Wayang Suket) Universitas Pendidikan Indonesia Repository.Upi.Edu i

ABSTRAK. Fitriani Dewi Pramesti, 2012 Wayang Rumput (Wayang Suket) Universitas Pendidikan Indonesia Repository.Upi.Edu i ABSTRAK Pramesti, Fitriani Dewi. 2012. WAYANG RUMPUT (WAYANG SUKET) (Studi Visual Wayang Rumput). Jurusan : Pendidikan Seni Rupa Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni. Seni pertunjukan wayang merupakan salah

Lebih terperinci

PENINGKATAN MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI PENERAPAN METODE PEMBERIAN TUGAS DISERTAI PEMBERIAN FEEDBACK

PENINGKATAN MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI PENERAPAN METODE PEMBERIAN TUGAS DISERTAI PEMBERIAN FEEDBACK PENINGKATAN MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI PENERAPAN METODE PEMBERIAN TUGAS DISERTAI PEMBERIAN FEEDBACK (Pada Mata Pelajaran IPS Terpadu Standar Kompetensi Penyimpangan Sosial Siswa Kelas VIII

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penggambaran proses budaya masa lalu (Binford, 1972: 78-79). 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. penggambaran proses budaya masa lalu (Binford, 1972: 78-79). 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peninggalan hasil kebudayaan manusia di Indonesia sangat banyak tetapi yang dapat dijadikan sebagai data arkeologis sangat terbatas, salah satunya adalah relief yang

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN PENELITIAN

BAB 5 KESIMPULAN PENELITIAN BAB 5 KESIMPULAN PENELITIAN Para ahli yang mengemukakan pendapatnya mengenai pembagian gaya seni candi masa Majapahit maupun Jawa Timur antara lain adalah: Pitono Hardjowardojo (1981), Hariani Santiko

Lebih terperinci

PERANCANGAN MOTIF TERATAI SEBAGAI HIASAN TEPI PADA KAIN LURIK MELALUI TEKNIK BATIK LUKIS

PERANCANGAN MOTIF TERATAI SEBAGAI HIASAN TEPI PADA KAIN LURIK MELALUI TEKNIK BATIK LUKIS PERANCANGAN MOTIF TERATAI SEBAGAI HIASAN TEPI PADA KAIN LURIK MELALUI TEKNIK BATIK LUKIS TUGAS AKHIR Diajukan untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Guna Melengkapi Gelar Sarjana Desain Program Studi Kriya

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEBAGAI PENDIDIKAN KARAKTER DI SMA N 1 CANGKRINGAN KABUPATEN SLEMAN YOGYAKARTA SKRIPSI

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEBAGAI PENDIDIKAN KARAKTER DI SMA N 1 CANGKRINGAN KABUPATEN SLEMAN YOGYAKARTA SKRIPSI PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEBAGAI PENDIDIKAN KARAKTER DI SMA N 1 CANGKRINGAN KABUPATEN SLEMAN YOGYAKARTA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 5 BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Teori Sebagai bahan kajian untuk memperoleh teori dasar yang relevan guna mendukung permasalahan yang diajukan dan bisa mencapai sasaran yang diharapkan. 1. Pengertian

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/ 145 /KPTS/013/2016 TENTANG PENETAPAN HIASAN GARUDEYA DI KABUPATEN SIDOARJO SEBAGAI BENDA CAGAR BUDAYA PERINGKAT PROVINSI GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

BAB IV KAJIAN UNSUR VISUAL NAGA PADA WAYANG DAN SENGKALAN YANG DIPENGARUHI KOSMIS-MISTIS

BAB IV KAJIAN UNSUR VISUAL NAGA PADA WAYANG DAN SENGKALAN YANG DIPENGARUHI KOSMIS-MISTIS BAB IV KAJIAN UNSUR VISUAL NAGA PADA WAYANG DAN SENGKALAN YANG DIPENGARUHI KOSMIS-MISTIS IV.1 Karakteristik Kosmis-Mistis pada Masyarakat Jawa Jika ditinjau dari pemaparan para ahli tentang spiritualisme

Lebih terperinci

PENERAPAN RAGAM HIAS RELIEF CANDI PRAMBANAN SEBAGAI PERANCANGAN MOTIF TEKSTIL UNTUK CINDERAMATA

PENERAPAN RAGAM HIAS RELIEF CANDI PRAMBANAN SEBAGAI PERANCANGAN MOTIF TEKSTIL UNTUK CINDERAMATA PENERAPAN RAGAM HIAS RELIEF CANDI PRAMBANAN SEBAGAI PERANCANGAN MOTIF TEKSTIL UNTUK CINDERAMATA PENGANTAR KARYA TUGAS AKHIR Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Melengkapi Gelar Sarjana Seni

Lebih terperinci

IKLIM KOMUNIKASI, MOTIVASI DAN SEMANGAT KERJA

IKLIM KOMUNIKASI, MOTIVASI DAN SEMANGAT KERJA IKLIM KOMUNIKASI, MOTIVASI DAN SEMANGAT KERJA (Studi Korelasi Iklim Komunikasi Organisasi dan Motivasi Kerja dengan Semangat Kerja diantara karyawan Jogja TV Tahun 2013) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi

Lebih terperinci

PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN PEER LESSON

PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN PEER LESSON PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN PEER LESSON DENGAN SUPERITEM DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA UNTUK MENINGKATKAN KEAKTIFAN BELAJAR MATEMATIKA (PTK Pembelajaran Matematika Di Kelas X SMA Muhammadiyah 1 Surakarta)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing yang sangat strategis, yang terletak di tengah-tengah jalur perdagangan yang menghubungkan antara

Lebih terperinci

Kerajaan Mataram Kuno

Kerajaan Mataram Kuno Kerajaan Mataram Kuno KELOMPOK 4 : ADI AYU RANI DEYDRA BELLA A. GHANA N.P. PUSAKHA S.W.Q (01) (Notulen) (08) (Moderator) (11) (Anggota) (20) (Ketua) Kerajaan Mataram (Hindu-Buddha), sering disebut dengan

Lebih terperinci

DEWI SINTA SEBAGAI SUMBER IDE PERANCANGAN MOTIF DENGAN TEKNIK BATIK TULIS PADA KAIN SUTERA

DEWI SINTA SEBAGAI SUMBER IDE PERANCANGAN MOTIF DENGAN TEKNIK BATIK TULIS PADA KAIN SUTERA DEWI SINTA SEBAGAI SUMBER IDE PERANCANGAN MOTIF DENGAN TEKNIK BATIK TULIS PADA KAIN SUTERA PENGANTAR KARYA TUGAS AKHIR Diajukan untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Guna Melengkapi Gelar Sarjana Seni Rupa

Lebih terperinci

OBYEK WISATA RELIGIUS MAKAM RADEN NGABEHI YOSODIPURO DESA PENGGING KECAMATAN BANYUDONO KABUPATEN BOYOLALI

OBYEK WISATA RELIGIUS MAKAM RADEN NGABEHI YOSODIPURO DESA PENGGING KECAMATAN BANYUDONO KABUPATEN BOYOLALI OBYEK WISATA RELIGIUS MAKAM RADEN NGABEHI YOSODIPURO DESA PENGGING KECAMATAN BANYUDONO KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata-1 Program

Lebih terperinci

IKONOGRAFI BARABUDUR. Oleh : Edi Sedyawati Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia PENGANTAR

IKONOGRAFI BARABUDUR. Oleh : Edi Sedyawati Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia PENGANTAR Barabudur 55 IKONOGRAFI BARABUDUR Oleh : Edi Sedyawati Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia YYang selalu disebut sebagai Candi Barabudur PENGANTAR itu mungkin tidak dapat disebut

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN KHUSUS

BAB III TINJAUAN KHUSUS BAB III TINJAUAN KHUSUS 3.1 Tinjauan Tema Berikut ini merupakan tinjauan dari tema yang akan diterapkan dalam desain perencanaan dan perancangan hotel dan konvensi. 3.1.1 Arsitektur Heritage Perencanaan

Lebih terperinci

RELIEF TANTRI DI PERTAPAAN GUNUNG KAWI BEBITRA DESA BITERA, GIANYAR. I Putu Yogi Sudiana Program Studi Arkeologi

RELIEF TANTRI DI PERTAPAAN GUNUNG KAWI BEBITRA DESA BITERA, GIANYAR. I Putu Yogi Sudiana Program Studi Arkeologi 1 RELIEF TANTRI DI PERTAPAAN GUNUNG KAWI BEBITRA DESA BITERA, GIANYAR I Putu Yogi Sudiana Program Studi Arkeologi Abstrak Relief of Tantri that is located in Pertapaan Gunung Kawi Bebitra. This area located

Lebih terperinci

RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS)

RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS) RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS) Nama matakuliah Kode/SKS Status mata kuliah Deskripsi Singkat : ARKEOLOGI HINDU-BUDDHA : BDP 1107/ 2 SKS : Wajib : Pengenalan tinggalan arkeologi

Lebih terperinci

PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN DISIPLIN KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI DENGAN KEPUASAN KERJA SEBAGAI VARIABEL MODERATING

PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN DISIPLIN KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI DENGAN KEPUASAN KERJA SEBAGAI VARIABEL MODERATING PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN DISIPLIN KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI DENGAN KEPUASAN KERJA SEBAGAI VARIABEL MODERATING ( Studi kasus Pada Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur) SKRIPSI Diajukan

Lebih terperinci

Perkembangan Arsitektur 1

Perkembangan Arsitektur 1 Perkembangan Arsitektur 1 Minggu ke 5 Warisan Klasik Indonesia By: Dian P.E. Laksmiyanti, ST, MT Material Arsitektur Klasik Indonesia Dimulai dengan berdirinya bangunan candi yang terbuat dari batu maupun

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA PENINGKATAN PEMAHAMAN KONSEP DAN KEAKTIFAN SISWA DENGAN MENGGUNAKAN METODE THINK TALK WRITE (TTW) DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA (PTK di Kelas X Pj SMK Muhammadiyah 2 Wuryantoro) SKRIPSI Untuk memenuhi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMA KASIH... ABSTRAK... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... BAB I PENDAHULUAN...

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMA KASIH... ABSTRAK... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... BAB I PENDAHULUAN... DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMA KASIH... ABSTRAK... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... i ii iii v vii x BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... B. Fokus Penelitian... C. Tujuan

Lebih terperinci

PERILAKU KOMUNIKASI MAHASISWA DALAM MEMILIH PRODUK SMARTPHONE. Memilih Produk Smartphone) SKRIPSI. Diajukan Guna Melengkapi Tugas Akhir dan

PERILAKU KOMUNIKASI MAHASISWA DALAM MEMILIH PRODUK SMARTPHONE. Memilih Produk Smartphone) SKRIPSI. Diajukan Guna Melengkapi Tugas Akhir dan PERILAKU KOMUNIKASI MAHASISWA DALAM MEMILIH PRODUK SMARTPHONE (Studi Fenomenologi Tentang Perilaku Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Ponorogo Dalam

Lebih terperinci

1 Universitas Indonesia

1 Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu wilayah yang mendapat pengaruh kebudayaan India. Kebudayaan India masuk ke Indonesia membawa pengaruh terhadap kehidupan keagamaan di

Lebih terperinci

REKRUTMEN ANGGOTA PARTAI POLITIK PDIP DAN PKS DI KECAMATAN JEBRES SURAKARTA TAHUN 2012 SKRIPSI

REKRUTMEN ANGGOTA PARTAI POLITIK PDIP DAN PKS DI KECAMATAN JEBRES SURAKARTA TAHUN 2012 SKRIPSI REKRUTMEN ANGGOTA PARTAI POLITIK PDIP DAN PKS DI KECAMATAN JEBRES SURAKARTA TAHUN 2012 SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Pancasila dan

Lebih terperinci

PEMBELAJARAN AGAMA ISLAM BAGI NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II B KABUPATEN TULUNGAGUNG SKRIPSI

PEMBELAJARAN AGAMA ISLAM BAGI NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II B KABUPATEN TULUNGAGUNG SKRIPSI PEMBELAJARAN AGAMA ISLAM BAGI NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II B KABUPATEN TULUNGAGUNG SKRIPSI OLEH MEI AYU ELITA NIM. 3211113122 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU

Lebih terperinci

ABSTRAK. Oleh MUHAMMAD HALI. Rendahnya kemampuan menulis karangan narasi siswa SD Negeri 2 Batu Putu

ABSTRAK. Oleh MUHAMMAD HALI. Rendahnya kemampuan menulis karangan narasi siswa SD Negeri 2 Batu Putu ABSTRAK PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS KARANGAN NARASI MELALUI PEMANFAATAN MEDIA AUDIO VISUAL PADA SISWA KELAS V SDN 2 BATU PUTU BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2010/2011 Oleh MUHAMMAD HALI Rendahnya kemampuan

Lebih terperinci

PENINGKATAN PARTISIPASI BELAJAR IPA MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN STUDENT FASILITATOR AND EXPLAINING SISWA KELAS V SD NEGERI SAREN 1 KEC.

PENINGKATAN PARTISIPASI BELAJAR IPA MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN STUDENT FASILITATOR AND EXPLAINING SISWA KELAS V SD NEGERI SAREN 1 KEC. PENINGKATAN PARTISIPASI BELAJAR IPA MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN STUDENT FASILITATOR AND EXPLAINING SISWA KELAS V SD NEGERI SAREN 1 KEC. KALIJAMBE KAB. SRAGEN TAHUN AJARAN 2013/2014 SKRIPSI Untuk memenuhi

Lebih terperinci

PURA MANDARA GIRI SEMERU AGUNG (Suatu Kajian Antropologis, Sosiologis, dan Edukatif) SKRIPSI. Oleh. Ari Yogo Prasetya NIM

PURA MANDARA GIRI SEMERU AGUNG (Suatu Kajian Antropologis, Sosiologis, dan Edukatif) SKRIPSI. Oleh. Ari Yogo Prasetya NIM PURA MANDARA GIRI SEMERU AGUNG (Suatu Kajian Antropologis, Sosiologis, dan Edukatif) SKRIPSI Oleh Ari Yogo Prasetya NIM 060210302230 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI DEMOKRASI PADA PEMILIH PEMULA

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI DEMOKRASI PADA PEMILIH PEMULA IMPLEMENTASI NILAI-NILAI DEMOKRASI PADA PEMILIH PEMULA (Studi Kasus Pada Pemilih Pemula di Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) Kebak Kecamatan Kebakkramat Kabupaten Karanganyar Tahun 2013) SKRIPSI Untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG KUMIHIMO

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG KUMIHIMO BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG KUMIHIMO 2.1 Sejarah Kumihimo Kumihimo dikenal mulai sejak zaman Edo. Kumihimo pertama kali diciptakan oleh suatu bentuk jari loop mengepang. Kemudian alat takaida seperti

Lebih terperinci

RILIS PERS: Rekomendasi FGD Pemasangan Kembali Chattra pada Stupa Induk Candi Borobudur, Yogyakarta, 2-3 Februari 2018

RILIS PERS: Rekomendasi FGD Pemasangan Kembali Chattra pada Stupa Induk Candi Borobudur, Yogyakarta, 2-3 Februari 2018 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Konservasi Borobudur RILIS PERS: Rekomendasi FGD Pemasangan Kembali Chattra pada Stupa Induk Candi Borobudur, Yogyakarta, 2-3

Lebih terperinci

KAJIAN POLA BATIK MAGETAN

KAJIAN POLA BATIK MAGETAN KAJIAN POLA BATIK MAGETAN SKRIPSI Di ajukan untuk memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Melengkapi Gelar Sarjana Seni Rupa Program Studi Kriya Tekstil Fakultas Seni Rupa dan Desain Disusun Oleh : MARIA MANDALENA

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI NILAI KARAKTER TOKOH WERKUDARA DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH SKRIPSI. Oleh Mohammad Ikram Nugraha NIM

IMPLEMENTASI NILAI KARAKTER TOKOH WERKUDARA DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH SKRIPSI. Oleh Mohammad Ikram Nugraha NIM IMPLEMENTASI NILAI KARAKTER TOKOH WERKUDARA DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH SKRIPSI Oleh Mohammad Ikram Nugraha NIM. 100210302071 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

Lebih terperinci

TRANFORMASI FOKUS PADA TEKS TERJEMAHAN AL QURAN YANG MENGANDUNG ETIKA BERBAHASA

TRANFORMASI FOKUS PADA TEKS TERJEMAHAN AL QURAN YANG MENGANDUNG ETIKA BERBAHASA TRANFORMASI FOKUS PADA TEKS TERJEMAHAN AL QURAN YANG MENGANDUNG ETIKA BERBAHASA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Lebih terperinci

CHRISTINA INDAH PUSPITA SARI A

CHRISTINA INDAH PUSPITA SARI A PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE GROUP INVESTIGASI (GI) DALAM UPAYA PENINGKATAN AKTIVITAS BELAJAR MATEMATIKA SISWA (PTK Pada Siswa Kelas XI Semester Genap MAN Karanganyar Tahun Ajaran 2010/2011)

Lebih terperinci

Jadwal Rancangan Kegiatan Buddhist Centre

Jadwal Rancangan Kegiatan Buddhist Centre xxiv LAMPIRAN Jadwal Rancangan Buddhist Centre SENIN SELASA RABU KAMIS JUMAT SABTU MINGGU 05.00-06.00 06.00-07.00 07.00-08.00 08.00-09.00 Remaja GABI 09.00-10.00 Remaja GABI 10.00-11.00 11.00-12.00 12.00-13.00

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Candi Borobudur merupakan sebuah candi Buddha terbesar di Indonesia yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Selain sebagai tempat ibadah umat Buddha, Candi

Lebih terperinci

FUNGSI TARI BEDHAYA KETAWANG DI KERATON SURAKARTA DALAM KONTEKS JAMAN SEKARANG

FUNGSI TARI BEDHAYA KETAWANG DI KERATON SURAKARTA DALAM KONTEKS JAMAN SEKARANG FUNGSI TARI BEDHAYA KETAWANG DI KERATON SURAKARTA DALAM KONTEKS JAMAN SEKARANG Disusun Oleh : Bunga Perdana Putrianna Febrina 0301605010 JURUSAN ANTROPOLOGI FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

Lebih terperinci

SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan STUDI DESKRIPTIF MOTIVASI MAHASISWA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN DALAM MENGIKUTI UNIT KEGIATAN MAHASISWA RACANA KI/NYI AHMAD DAHLAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian

Lebih terperinci

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENCERITAKAN TOKOH IDOLA DENGAN MEDIA BONEKA PESERTA DIDIK KELAS VII A SMP NEGERI 2 GATAK KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN AJARAN

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENCERITAKAN TOKOH IDOLA DENGAN MEDIA BONEKA PESERTA DIDIK KELAS VII A SMP NEGERI 2 GATAK KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN AJARAN PENINGKATAN KEMAMPUAN MENCERITAKAN TOKOH IDOLA DENGAN MEDIA BONEKA PESERTA DIDIK KELAS VII A SMP NEGERI 2 GATAK KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN AJARAN 2010/2011 SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna

Lebih terperinci

2015 ORNAMEN MASJID AGUNG SANG CIPTA RASA

2015 ORNAMEN MASJID AGUNG SANG CIPTA RASA 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Cirebon sejak lama telah mendapat julukan sebagai Kota Wali. Julukan Kota Wali disebabkan oleh kehidupan masyarakatnya yang religius dan sejarah berdirinya

Lebih terperinci

MUATAN KARAKTER KERJA KERAS DAN SIKAP PANTANG MENYERAH PADA BUKU SEPATU DAHLAN (Analisis Isi Buku Sepatu Dahlan)

MUATAN KARAKTER KERJA KERAS DAN SIKAP PANTANG MENYERAH PADA BUKU SEPATU DAHLAN (Analisis Isi Buku Sepatu Dahlan) MUATAN KARAKTER KERJA KERAS DAN SIKAP PANTANG MENYERAH PADA BUKU SEPATU DAHLAN (Analisis Isi Buku Sepatu Dahlan) SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi

Lebih terperinci

ADAPTASI WANITA ISLAM TERHADAP KEHIDUPAN KELUARGA SUAMI STUDI KASUS PERKAWINAN AMALGAMASI WANITA ISLAM DAN PRIA HINDU DI BALI

ADAPTASI WANITA ISLAM TERHADAP KEHIDUPAN KELUARGA SUAMI STUDI KASUS PERKAWINAN AMALGAMASI WANITA ISLAM DAN PRIA HINDU DI BALI ADAPTASI WANITA ISLAM TERHADAP KEHIDUPAN KELUARGA SUAMI STUDI KASUS PERKAWINAN AMALGAMASI WANITA ISLAM DAN PRIA HINDU DI BALI Oleh: DESAK PUTU DIAH DHARMAPATNI 1001605003 PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Candi merupakan peninggalan arsitektural yang berasal dari masa klasik

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Candi merupakan peninggalan arsitektural yang berasal dari masa klasik BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Candi merupakan peninggalan arsitektural yang berasal dari masa klasik Indonesia, yaitu masa berkembangnya kebudayaan yang berlatar belakang agama Hindu-Budha, yang

Lebih terperinci

RAGAM BAHASA GAUL PADA CERPEN DALAM MAJALAH Gaul EDISI AGUSTUS 2011 SKRIPSI. Oleh. Sherly Yulita Dewi NIM

RAGAM BAHASA GAUL PADA CERPEN DALAM MAJALAH Gaul EDISI AGUSTUS 2011 SKRIPSI. Oleh. Sherly Yulita Dewi NIM RAGAM BAHASA GAUL PADA CERPEN DALAM MAJALAH Gaul EDISI AGUSTUS 2011 SKRIPSI Oleh Sherly Yulita Dewi NIM 080210402028 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

Lebih terperinci

PERANCANGAN VIDEO PROFIL MUSEUM MANUSIA PURBA KLASTER DAYU SANGIRAN

PERANCANGAN VIDEO PROFIL MUSEUM MANUSIA PURBA KLASTER DAYU SANGIRAN PENGANTAR KARYA TUGAS AKHIR PERANCANGAN VIDEO PROFIL MUSEUM MANUSIA PURBA KLASTER DAYU SANGIRAN Disusun Guna Melengkapi dan Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Seni Rupa Program Studi Desain Komunikasi

Lebih terperinci

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagaian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Matematika

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagaian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Matematika PENERAPAN PENDEKATAN SAINTIFIK BERBASIS MIND MAPPING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA (PTK Pada Siswa Kelas VII A SMP Muhammadiyah 5 Surakarta Tahun Ajaran 2014/2015) SKRIPSI Untuk

Lebih terperinci

PENERAPAN METODE PROBLEM SOLVING UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA

PENERAPAN METODE PROBLEM SOLVING UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PENERAPAN METODE PROBLEM SOLVING UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA (Studi Kasus pada Mata Pelajaran Ekonomi Standart Kompetensi Mengenal Pasar Modal Kelas XI IPS 2 SMA Negeri 3 Lumajang

Lebih terperinci

MITOS WANITA JAWA DALAM PROSA LIRIK PENGAKUAN PARIYEM KARYA LINUS SURYADI AG: Analisis Strukturalisme Claude Lévi-Strauss

MITOS WANITA JAWA DALAM PROSA LIRIK PENGAKUAN PARIYEM KARYA LINUS SURYADI AG: Analisis Strukturalisme Claude Lévi-Strauss MITOS WANITA JAWA DALAM PROSA LIRIK PENGAKUAN PARIYEM KARYA LINUS SURYADI AG: Analisis Strukturalisme Claude Lévi-Strauss SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di dunia ini banyak hal yang tidak terbaca karena selalu ada sesuatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di dunia ini banyak hal yang tidak terbaca karena selalu ada sesuatu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dunia ini banyak hal yang tidak terbaca karena selalu ada sesuatu yang tidak bisa terungkap secara kasat mata. Untuk mengungkapkan sesuatu kadang tabu untuk

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KOLEKSI BUKU DI UPT PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS SETIA BUDI SURAKARTA

PENGEMBANGAN KOLEKSI BUKU DI UPT PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS SETIA BUDI SURAKARTA PENGEMBANGAN KOLEKSI BUKU DI UPT PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS SETIA BUDI SURAKARTA TUGAS AKHIR Diajukan sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh Gelar vokasi Ahli Madya (A.Md.) dalam bidang Perpustakaan Oleh

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERCERAIAN PADA KELUARGA TENAGA KERJA WANITA (TKW) DI DESA CITEMBONG, KECAMATAN BANTARSARI, KABUPATEN CILACAP SKRIPSI

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERCERAIAN PADA KELUARGA TENAGA KERJA WANITA (TKW) DI DESA CITEMBONG, KECAMATAN BANTARSARI, KABUPATEN CILACAP SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERCERAIAN PADA KELUARGA TENAGA KERJA WANITA (TKW) DI DESA CITEMBONG, KECAMATAN BANTARSARI, KABUPATEN CILACAP SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta

Lebih terperinci

DESKRIPSI PROSES BERPIKIR SISWA SMA NEGERI AJIBARANG PADA MATERI GEOMETRI (Ditinjau Dari Teori Jerome S. Bruner)

DESKRIPSI PROSES BERPIKIR SISWA SMA NEGERI AJIBARANG PADA MATERI GEOMETRI (Ditinjau Dari Teori Jerome S. Bruner) DESKRIPSI PROSES BERPIKIR SISWA SMA NEGERI AJIBARANG PADA MATERI GEOMETRI (Ditinjau Dari Teori Jerome S. Bruner) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mencapai Derajat Sarjana Pendidikan IZZATUNNAFSI

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan. Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S-1) Program Studi Pendidikan Akuntansi

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan. Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S-1) Program Studi Pendidikan Akuntansi PENGARUH STATUS SOSIAL EKONOMI DAN LINGKUNGAN SOSIAL TERHADAP MINAT ORANG TUA MENYEKOLAHKAN ANAKNYA HINGGA JENJANG PERGURUAN TINGGI PADA WARGA KELURAHAN BUGANGIN KECAMATAN KENDAL KABUPATEN KENDAL TAHUN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jepang telah menyerap banyak gagasan dari negara-negara lain yaitu teknologi, adat-istiadat, dan bentuk-bentuk pengungkapan kebudayaan. Jepang telah mengembangkan

Lebih terperinci

BAB II ISI. oleh Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jendral Britania Raya di Jawa, yang

BAB II ISI. oleh Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jendral Britania Raya di Jawa, yang BAB II ISI 2.1 Sejarah Candi Borobudur Kata Borobudur sendiri berdasarkan bukti tertulis pertama yang ditulis oleh Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jendral Britania Raya di Jawa, yang memberi nama

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN. Kamajaya,Karkono,Kebudayaan jawa:perpaduannya dengan islam,ikapi,yogja,1995 2

BAB II PEMBAHASAN. Kamajaya,Karkono,Kebudayaan jawa:perpaduannya dengan islam,ikapi,yogja,1995 2 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pendidikan adalah upaya menggali dan mengembangkan potensi yang dimiliki oleh setiap insan. Potensi itu berupa kemampuan berbahasa, berfikir, mengingat menciptakan

Lebih terperinci

LUTHFI NUR FADHILAH A

LUTHFI NUR FADHILAH A VARIASI PENGATURAN TEMPAT DUDUK SISWA DALAM UPAYA MENINGKATKAN MINAT DAN MOTIVASI BELAJAR PADA MATA PELAJARAN IPA KELAS IV DI SD NEGERI 1 SAWAHAN TAHUN AJARAN 2014/2015 SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh. Prana Nusa Putra C KRIYA TEKSTIL SURAKARTA

SKRIPSI. Oleh. Prana Nusa Putra C KRIYA TEKSTIL SURAKARTA EKSPRESI ESTETIK KAIN NAMPAN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Melengkapi Gelar Sarjana Seni Rupa Jurusan Kriya Seni/ Tekstil Fakultas Sastra dan Seni Rupa Oleh Prana Nusa Putra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keramik Tiongkok dari dinasti Han (206 S.M 220 M). 1 Keramik di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. keramik Tiongkok dari dinasti Han (206 S.M 220 M). 1 Keramik di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan keramik asing di Indonesia dari berbagai negara sudah masuk ke Indonesia sejak jaman prasejarah, dibuktikan dengan temuan tertua berupa keramik Tiongkok

Lebih terperinci

PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN DAN PEMBERIAN MOTIVASI KEPALA SEKOLAH TERHADAP PENINGKATAN KINERJA GURU

PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN DAN PEMBERIAN MOTIVASI KEPALA SEKOLAH TERHADAP PENINGKATAN KINERJA GURU PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN DAN PEMBERIAN MOTIVASI KEPALA SEKOLAH TERHADAP PENINGKATAN KINERJA GURU (Studi Kasus pada Guru di SMAN Plus Sukowono tahun 2011) SKRIPSI Oleh: Susiyanto NIM 060210391241 PROGRAM

Lebih terperinci

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Akuntansi

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Akuntansi PERBANDINGAN ANTARA METODE MAKE A MATCH DENGAN METODE THINK PAIR SHARE TERHADAP HASIL BELAJAR MATA PELAJARAN EKONOMI SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 2 GATAK SUKOHARJO TAHUN AJARAN 2013/2014 SKRIPSI Untuk Memenuhi

Lebih terperinci

DAMPAK PENGGUNAAN SMARTPHONE PADA REMAJA TERHADAP INTERAKSI DALAM KELUARGA DI KABUPATEN SLEMAN SKRIPSI

DAMPAK PENGGUNAAN SMARTPHONE PADA REMAJA TERHADAP INTERAKSI DALAM KELUARGA DI KABUPATEN SLEMAN SKRIPSI DAMPAK PENGGUNAAN SMARTPHONE PADA REMAJA TERHADAP INTERAKSI DALAM KELUARGA DI KABUPATEN SLEMAN SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi sebagian Prasyaratan

Lebih terperinci

PENGARUH KEBIJAKAN SUNSET POLICY TERHADAP FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMAUAN MEMBAYAR PAJAK

PENGARUH KEBIJAKAN SUNSET POLICY TERHADAP FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMAUAN MEMBAYAR PAJAK PENGARUH KEBIJAKAN SUNSET POLICY TERHADAP FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMAUAN MEMBAYAR PAJAK (Studi Kasus pada Wajib Pajak Orang Pribadi di Wilayah KPP Pratama Jember) SKRIPSI Oleh Christina Susanti

Lebih terperinci

BAB 2 DESKRIPSI UMUM DAN BENTUK PENGGAMBARAN BATU BERELIEF

BAB 2 DESKRIPSI UMUM DAN BENTUK PENGGAMBARAN BATU BERELIEF BAB 2 DESKRIPSI UMUM DAN BENTUK PENGGAMBARAN BATU BERELIEF Deskripsi terhadap batu berelief dilakukan dengan cara memulai suatu adegan atau tokoh dari sisi kiri menurut batu berelief, dan apabila terdapat

Lebih terperinci

PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS WACANA EKSPOSISI DENGAN TEKNIK OBJEK LANGSUNG MELALUI PENERAPAN METODE FIELD TRIP PADA SISWA KELAS X-2 SMA NEGERI 2

PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS WACANA EKSPOSISI DENGAN TEKNIK OBJEK LANGSUNG MELALUI PENERAPAN METODE FIELD TRIP PADA SISWA KELAS X-2 SMA NEGERI 2 PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS WACANA EKSPOSISI DENGAN TEKNIK OBJEK LANGSUNG MELALUI PENERAPAN METODE FIELD TRIP PADA SISWA KELAS X-2 SMA NEGERI 2 REMBANG TAHUN AJARAN 2010/2011 SKRIPSI Untuk Memenuhi

Lebih terperinci

KAJIAN RAGAM HIAS BATIK LASEM MASA KINI

KAJIAN RAGAM HIAS BATIK LASEM MASA KINI KAJIAN RAGAM HIAS BATIK LASEM MASA KINI SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Guna Melengkapi Gelar Sarjana Seni Rupa Program Studi Kriya Seni/Tekstil Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas

Lebih terperinci

KERJA DENGAN KELELAHAN KERJA PADA PEKERJA BAGIAN DAILY CHECK

KERJA DENGAN KELELAHAN KERJA PADA PEKERJA BAGIAN DAILY CHECK HUBUNGAN SHIFT KERJA DENGAN KELELAHAN KERJA PADA PEKERJA BAGIAN DAILY CHECK DI PT. KERETA API DAERAH OPERASI VI YOGYAKARTA DIPO KERETA API SOLO BALAPAN Skripsi ini Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Syarat

Lebih terperinci

ANALISIS PENULISAN TANDA BACA, HURUF KAPITAL, DAN KATA TIDAK BAKU PADA KARANGAN SISWA KELAS VII F SMP NEGERI 2 BANYUDONO TAHUN AJARAN 2013/2014

ANALISIS PENULISAN TANDA BACA, HURUF KAPITAL, DAN KATA TIDAK BAKU PADA KARANGAN SISWA KELAS VII F SMP NEGERI 2 BANYUDONO TAHUN AJARAN 2013/2014 ANALISIS PENULISAN TANDA BACA, HURUF KAPITAL, DAN KATA TIDAK BAKU PADA KARANGAN SISWA KELAS VII F SMP NEGERI 2 BANYUDONO TAHUN AJARAN 2013/2014 SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai

Lebih terperinci

MINAT MELAKUKAN PERAWATAN WAJAH DI KLINIK KECANTIKAN PADA WANITA DEWASA MADYA DITINJAU DARI KEPERCAYAAN DIRI

MINAT MELAKUKAN PERAWATAN WAJAH DI KLINIK KECANTIKAN PADA WANITA DEWASA MADYA DITINJAU DARI KEPERCAYAAN DIRI i MINAT MELAKUKAN PERAWATAN WAJAH DI KLINIK KECANTIKAN PADA WANITA DEWASA MADYA DITINJAU DARI KEPERCAYAAN DIRI SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang untuk

Lebih terperinci

PENERAPAN METODE CIRC DALAM PENINGKATAN KEMAMPUAN MENEMUKAN GAGASAN UTAMA DALAM WACANA PADA SISWA KELAS VII A SMP NU SURUH KABUPATEN SEMARANG

PENERAPAN METODE CIRC DALAM PENINGKATAN KEMAMPUAN MENEMUKAN GAGASAN UTAMA DALAM WACANA PADA SISWA KELAS VII A SMP NU SURUH KABUPATEN SEMARANG PENERAPAN METODE CIRC DALAM PENINGKATAN KEMAMPUAN MENEMUKAN GAGASAN UTAMA DALAM WACANA PADA SISWA KELAS VII A SMP NU SURUH KABUPATEN SEMARANG TAHUN AJARAN 2010/ 2011 SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Lebih terperinci

PERKAWINAN. Diajukan. Sosial. Oleh: JURUSAN

PERKAWINAN. Diajukan. Sosial. Oleh: JURUSAN EKSISTENSI KESENIAN TRADISIONAL BEGALAN DALAM UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT DESA KEDONDONG KECAMATAN SOKARAJAA KABUPATEN BANYUMAS SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakartaa

Lebih terperinci

SKRIPSI. Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan. Guna Mencapai Derajat S-1 Pendidikan. Guru Sekolah Dasar. Oleh : ATEIN RAMADIANA A

SKRIPSI. Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan. Guna Mencapai Derajat S-1 Pendidikan. Guru Sekolah Dasar. Oleh : ATEIN RAMADIANA A PERBEDAAN STRATEGI PEMBELAJARAN LEARNING START WITH A QUESTION DAN INFORMATION SEARCH TERHADAP HASIL BELAJAR PKn DI KELAS IV SD ISLAM TERPADU JUMAPOLO KARANGANYAR TAHUN AJARAN 2010/2011 SKRIPSI Disusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang terdiri dari pulau- pulau yang membentang luas memiliki ragam suku bangsa beserta adat istiadat yang terbentuk akibat percampuran ras dan kebudayaan

Lebih terperinci

SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat Sarjana S-1. Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat Sarjana S-1. Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan MUATAN MATERI PENDIDIKAN KETERBUKAAN DAN KEADILAN DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA Analisis Isi Buku Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMK dan MAK Kelas XI Pengarang Retno Listyarti dan Setiadi serta

Lebih terperinci

SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat Sarjana S-1. Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah

SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat Sarjana S-1. Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS KARANGAN NARASI DENGAN MEDIA CATATAN HARIAN PADA PESERTA DIDIK KELAS VIIA DI SMP MUHAMMADIYAH 1 SURAKARTA TAHUN AJARAN 2010/2011 SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan

Lebih terperinci

PENINGKATAN MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI PENERAPAN STRATEGI ATTENTION, RELEVANCE, CONFIDENCE, SATISFACTION

PENINGKATAN MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI PENERAPAN STRATEGI ATTENTION, RELEVANCE, CONFIDENCE, SATISFACTION PENINGKATAN MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI PENERAPAN STRATEGI ATTENTION, RELEVANCE, CONFIDENCE, SATISFACTION (Studi Kasus Pada Siswa Kelas VIII F di SMPN 1 Pujer Bondowoso Mata Pelajaran IPS

Lebih terperinci

STRATIFIKASI SOSIAL fitri dwi lestari

STRATIFIKASI SOSIAL fitri dwi lestari STRATIFIKASI SOSIAL fitri dwi lestari Stratifikasi sosial muncul karena adanya sesuatu yang dianggap berharga dalam masyarakat. Pitirim Sorokin Sistem stratifikasi adalah pembedaan penduduk atau masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah penghasil batik banyak terdapat di pulau Jawa dan tersebar. di daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

BAB I PENDAHULUAN. Daerah penghasil batik banyak terdapat di pulau Jawa dan tersebar. di daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Batik merupakan salah satu warisan budaya Indonesia. Daerah penghasil batik banyak terdapat di pulau Jawa dan tersebar di daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan

Lebih terperinci

SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat Sarjana S-1 Pendidikan Matematika. Diajukan oleh : NOVIANA RAHMAWATI A

SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat Sarjana S-1 Pendidikan Matematika. Diajukan oleh : NOVIANA RAHMAWATI A PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN INSTRUKSI LANGSUNG UNTUK MENINGKATKAN KEAKTIFAN BELAJAR MATEMATIKA (PTK bagi Siswa Kelas VIII Semester Genap di SMP IT Nur Hidayah Surakarta Tahun Ajaran 2010/2011) SKRIPSI

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH SPANDUK MMT SEBAGAI MATERIAL DALAM PERANCANGAN PRODUK TEKSTIL PELENGKAP INTERIOR SEBAGAI PARTISI

PEMANFAATAN LIMBAH SPANDUK MMT SEBAGAI MATERIAL DALAM PERANCANGAN PRODUK TEKSTIL PELENGKAP INTERIOR SEBAGAI PARTISI PEMANFAATAN LIMBAH SPANDUK MMT SEBAGAI MATERIAL DALAM PERANCANGAN PRODUK TEKSTIL PELENGKAP INTERIOR SEBAGAI PARTISI PENGANTAR KARYA TUGAS AKHIR Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Melengkapi

Lebih terperinci

KAJIAN VISUAL POLA KRESNA PADA SERAGAM PEGAWAI NEGERI SIPIL KOTA SURAKARTA

KAJIAN VISUAL POLA KRESNA PADA SERAGAM PEGAWAI NEGERI SIPIL KOTA SURAKARTA KAJIAN VISUAL POLA KRESNA PADA SERAGAM PEGAWAI NEGERI SIPIL KOTA SURAKARTA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana Seni Rupa Jurusan Kriya Seni/Tekstil Fakultas

Lebih terperinci

PENGARUH MODAL INTELEKTUAL DAN PENGUNGKAPAN MODAL INTELEKTUAL PADA NILAI PERUSAHAAN DENGAN UKURAN PERUSAHAAN SEBAGAI VARIABEL KONTROL

PENGARUH MODAL INTELEKTUAL DAN PENGUNGKAPAN MODAL INTELEKTUAL PADA NILAI PERUSAHAAN DENGAN UKURAN PERUSAHAAN SEBAGAI VARIABEL KONTROL PENGARUH MODAL INTELEKTUAL DAN PENGUNGKAPAN MODAL INTELEKTUAL PADA NILAI PERUSAHAAN DENGAN UKURAN PERUSAHAAN SEBAGAI VARIABEL KONTROL (Studi pada Perusahaan yang Melakukan Initial Public Offering (IPO)

Lebih terperinci