3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian"

Transkripsi

1 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu penelitian adalah dua tahun mulai pertengahan tahun 2006 hingga pertengahan tahun 2008 yang dibagi menjadi tiga periode meliputi pengumpulan data, pengolahan data, dan analisis data. Periode pengumpulan data membutuhkan waktu satu tahun dan paling lama adalah pengumpulan citra QuickBird karena menunggu saat perekaman yang bebas awan. Pengolahan data citra penginderaan jauh dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan perolehan data yaitu antara bulan Juni 2006 sampai Juni Verifikasi hasil pengolahan dan analisis sementara di lapangan dilaksanakan dalam kurun waktu 8 bulan antara bulan Februari sampai September Tahun Periode analisis data dilaksanakan dalam kurun waktu 10 bulan antara bulan Maret sampai Desember Tahun Pada bulan Januari 2008 dimulai penulisan hasil penelitian. Lokasi penelitian difokuskan pada tiga kota/kabupaten yang memiliki banyak pulau kecil agar pemilihan model dapat mewakili tiga tipe pulau beserta keragaman karakteristik biogeofisik pulau-pulau kecil di Indonesia yaitu 1) Kota/Kabupaten Batam 2) Kabupaten Sikka, dan 3) Kabupaten Sitaro. Dalam hal ini, kepulauan di Kota Batam dapat mewakili pulau kecil tipe tektonik, kepulauan di Kabupaten Sikka dapat mewakili pulau kecil tipe vulkanik dan pulau kecil tipe terumbu, dan kepulauan di Kabupaten Sitaro dapat mewakili pulau kecil tipe vulkanik. Ketiga tipe pulau ini dapat mewakili karakteristik biogeofisik secara umum untuk pulau-pulau kecil di Indonesia. Selain itu, daerah penelitian juga ditentukan untuk mewakili tiga ekosistem laut utama. Ekosistem laut yang dimaksud adalah mangrove, terumbu karang, dan lamun. Pulau kecil dengan karakteristik biogeofisik tertentu akan membentuk ekosistem laut yang spesifik pula, sehingga pemilihan setiap tipe pulau kecil sebagai model pulau juga mempertimbangkan keragaman ekosistem lautnya. Dalam hal ini, kepulauan di Kota Batam dapat mewakili pulau kecil tipe tektonik dengan ekosistem terumbu karang, mangrove, dan lamun, kepulauan di Kabupaten Sikka dapat mewakili pulau kecil dengan ekosistem terumbu karang, sedangkan kepulauan di Kabupaten Sitaro dapat mewakili pulau kecil dengan ekosistem mangrove dan lamun. Kota Batam merupakan wilayah setingkat kabupaten dimana wilayah perairannya tersusun atas pulau-pulau kecil.

2 3.1.1 Kota Batam Kota/Kabupaten Batam, Provinsi Kepulauan Riau terletak antara Lintang Utara dan Bujur Timur dengan pusat kota pada 1 07 Lintang Utara dan Bujur Timur (Gambar 6). Luas wilayah administrasi Kota Batam adalah Ha. G Gambar 6 Citra Kota/Kabupaten Batam, Landsat RGB

3 Secara administratif Kota Batam berbatasan langsung dengan Kabupaten Kepulauan Riau dan Kabupaten Karimun, yaitu: Sebelah Utara : Selat Singapura Sebelah Timur : Kecamatan Bintan Utara dan Kecamatan Bintan Selatan, Kabupaten Kepulauan Riau Sebelah Selatan : Sebelah Barat Kecamatan Senayang, Kabupaten Kepulauan Riau : Kecamatan Moro dan Kecamatan Karimun, Kabupaten Karimun Kota Batam berada di Laut Cina Selatan dan secara geografis mempunyai posisi yang strategis karena berada pada jalur pelayaran internasional dan berjarak 12,5 mil laut dengan negara Singapura. Jumlah pulau yang bernama adalah 329 buah dan beberapa pulau belum diberi nama (Lampiran 1). Pulau Nipa sebagai pulau terluar yang terancam lenyap oleh penggalian pasir dapat menimbulkan kekhawatiran menyangkut batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Luas pulau-pulau di Kota Batam adalah Ha, luas perairan Ha, dan luas total wilayahnya adalah Ha. Artinya bahwa persentase luas perairan wilayah Kota Batam adalah sekitar 59%. Sementara itu, panjang garis pantainya adalah km. Menurut atlas pengelompokan pulau kecil berdasarkan tektonogenesis untuk perencanaan tata ruang darat, laut, dan dirgantara nasional; Kota Batam termasuk dalam kelompok paparan benua dan busur belakang Kabupaten Sikka Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur berada di antara 8º05 8º40 Lintang Selatan dan 121º39 122º39 Bujur Timur. Daerah administrasi Kabupaten Sikka terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu daerah administrasi yang berada di pulau besar (Flores) dan daerah administrasi di pulau-pulau kecil (Gambar 7). Kabupaten ini merupakan bagian timur sistem Gunungapi Sunda. Aktivitas vulkanis masih berlangsung intensif pada sistem ini. Aktivitas tersebut menghasilkan deretan pulau besar dan kecil yang banyak di antaranya merupakan pulau vulkanik (Bemmelen, 1970). Menurut atlas pengelompokan pulau kecil berdasarkan tektonogenesis untuk perencanaan tata ruang darat, laut, dan dirgantara nasional; Kabupaten Sikka termasuk kelompok busur magmatik. Pulau-pulau kecil yang tercakup dalam kabupaten ini di antaranya adalah Pulau-pulau Besar, Pangabatang, Dambila, Babi, Pomana-besar, Pomana-kecil, 51

4 Sukun, Parumaan, Kondo, dan Palue. Di antara pulau-pulau kecil tersebut, pulau yang didiami adalah Pulau Palue (374,31 Ha), Pulau Parumaan (64,71 Ha), Pulau Pomana-Besar (50,9 Ha), dan Pulau Sukun (30,77 Ha). Pulau Babi (88,37 Ha) tidak didiami lagi sejak dilanda bencana tsunami tahun 1992, dan kini penduduknya tinggal di Nangahale, Pulau Flores. Meskipun sebagian dari nelayan yang berasal dari Pulau Babi masih tetap mencari ikan dan hasil laut lain di perairan sekitar Pulau Babi (Lampiran 2). Berdasarkan perhitungan dari citra Landsat, luas daratan Kabupaten Sikka adalah ,894 Ha yang meliputi luas pulau kecil ,475 Ha (9,9 %) dan luas wilayah di Pulau Flores adalah ,419 Ha (90,1 %). Luas lautan adalah ,969 Ha yang diukur dengan batas 4 mil dari garis pantai pulaupulau terluar. Dengan kata lain, wilayah lautan dua kali lebih luas dibandingkan luas daratannya. Panjang garis pantai di Kabupaten Sikka adalah ,777 meter yang meliputi pantai di Pulau Flores bagian Utara adalah ,01 meter (46,27%), di Pulau Flores bagian Selatan adalah ,168 meter (35,29%), dan di pulau-pulau kecil (Pulau-pulau Besar, Pangabatang, Dambila, Babi, Pomana-besar, Pomana-kecil, Sukun, Parumaan, Kondo, dan Palue) adalah ,599 meter (18,44%) Kabupaten Sitaro Kabupaten Sitaro, Provinsi Sulawesi Utara terletak antara Lintang Utara dan Bujur Timur dengan ibu kota kabupaten dan pusat kota di Ulu, Pulau Siau. Kabupaten Sitaro, namanya diambil dari nama pulau utama yang relatif besar yaitu Siau, Tagulandang, dan Biaro (Gambar 8). Jumlah pulaunya adalah sekitar 22 buah dan Pulau Makalehi sebagai pulau terluar berbatasan dengan Philipina (Lampiran 3). Kabupaten Sitaro resmi memisahkan dari Kabupaten Sangihe pada Tahun Berdasarkan hasil perhitungan dari citra Landsat, luas wilayah kepulauan Sitaro adalah ,96 Ha (6,76%), luas laut dengan batas 4 mil adalah ,788 Ha (93,24%), dan panjang garis pantai adalah ,675 m. Wilayah ini berbatasan dengan Kabupaten Sangihe dan Kota Manado, yaitu: Sebelah Utara : Kabupaten Sangihe Sebelah Timur : Laut Maluku Sebelah Selatan : Kota Menado Sebelah Barat : Laut Sulawesi 52

5 Gambar 7 Citra Kabupaten Sikka, Landsat RGB

6 Gambar 8 Citra Kabupaten Sitaro, Landsat RGB 542. Kabupaten Sitaro merupakan bagian timur sistem Gunungapi Sunda. Aktivitas vulkanis masih berlangsung intensif dan menghasilkan deretan pulau besar dan kecil yang banyak di antaranya merupakan pulau vulkanik (Bemmelen, 1970). Menurut atlas pengelompokan pulau kecil berdasarkan tektonogenesis untuk perencanaan tata ruang darat, laut, dan dirgantara nasional; Kabupaten Sitaro termasuk kelompok busur magmatik. Kabupaten Sitaro mempunyai dua gunungapi aktif yaitu Gunung Karangetang di Pulau Siau dan Gunung Ruang di Pulau Ruang. 54

7 3.2 Data dan Peralatan Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Citra Landsat ETM +, Kota Batam, P/R 125/59 tanggal 11 Mei 1996, 15 April 2001, dan 8 Agustus 2002, kanal 1, 2, 3, 4, 5, 7 dan 8, (2) Citra Landsat ETM +, Kabupaten Sikka, Path/Row 112/066, tanggal 1 Juni 2002, kanal 1, 2, 3, 4, 5, 7 dan 8, (3) Citra Landsat ETM +, Kabupaten Sitaro, Path/Row 111/58, tanggal 18 Mei 2002 dan Path/Row 111/59, tanggal 7 September 2002, kanal 1, 2, 3, 4, 5, 7 dan 8, (4) SPOT-4, daerah Sitaro, tanggal 15 Januari 2007 dan daerah Batam, tanggal 12 Mei 2006, kanal 1, 2, 3, 4 dan SWIR, (5) SPOT-5, daerah Batam bagian utara, tanggal 7 April 2003, Pansharpen, (6) Citra QuickBird, Pulau Bokor dan Pulau Mentiang, Kota Batam tanggal 25 Mei 2006, Pansharpen, (7) Citra QuickBird, Pulau Babi, Kabupaten Sikka tanggal 19 Mei 2005, kanal 1, 2, 3, 4 dan 5, (8) Citra QuickBird, Pulau Pomana, Kabupaten Sikka tanggal 25 Mei 2007, kanal 1, 2, 3, 4 dan 5, (9) Citra QuickBird, Pulau Ruang dan Pulau Pasighe, Kabupaten Sitaro tanggal 2 Agustus 2005, kanal 1, 2, 3, 4 dan 5. (10) Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) lembar Tanjungpinang dan lembar Tahuna skala 1: diterbitkan oleh Bakosurtanal, (11) Peta Rupa Bumi Indonesia: skala 1:25.000, tahun 1999: lembar Uwa (Pulau Palue), lembar Nebe (Pulau Babi), lembar Koja Besar dan 522 (Pulau Besar, Pulau Parumaan, dan Pulau Kondo), dan lembar Pomana (Pulau Pomana) diterbitkan oleh Bakosurtanal, (12) Peta Geologi skala 1: , lembar Tanjungpinang oleh Kusnama, dkk, tahun 2004, lembar Ende, Nusa Tenggara Timur oleh N. Suwarna, dkk., tahun 1989, dan lembar Sangihe dan Siau, Sulawesi oleh Hanang Samodra, tahun 1994, diterbitkan oleh Puslitbang Geologi, Bandung, (13) Peta Lingkungan Pantai, skala 1: diterbitkan oleh Bakosurtanal, (14) Peta Pulau-pulau Riau dan Air Pelayaran Sekitarnya skala 1: tahun 2001 dan Pulau-pulau Riau Selat Bulan skala 1:50.000, tahun 55

8 1999, Peta Laut Sulawesi, Pulau-pulau Sangihe, skala 1: , 1:50.000, dan 1:25.000; Peta Air Pelayaran dan Tempat Berlabuh sekitar Flores Pantai Utara, Nusa Tenggara, Lembar II, skala 1: , 1:50.000, dan 1: tahun 2001; diterbitkan oleh Jawatan Hidro- Oseanografi, (15) Atlas pengelompokan pulau kecil berdasarkan tektonogenesis untuk perencanaan tata ruang darat, laut, dan dirgantara nasional, skala 1: diterbitkan oleh Pusat Survei Geologi, Bandung, (16) Data ikan karang daerah Batam untuk mewakli tipe pulau tektonik dan daerah Sikka untuk mewakili tipe pulau vulkanik dan tipe pulau terumbu, (17) Data geomorfologi dan penutup lahan pulau-pulau model di Batam, Sikka, dan Sitaro hasil survei lapangan, dan (18) Data perikanan dari Dinas Perikanan terkait dan wawancara langsung dengan nelayan. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: (1) Komputer jenis PC, IBM compatible dengan sistem operasi Microsoft Windows XP, (2) Software ER-Mapper versi 6.4, (3) Arc-Info 3.5, Arc-View versi 3.1, (4) Adobe Photoshop versi 6.0, dan (5) Peralatan cek lapangan berupa citra, kamera, GPS, peta, kompas geologi, notebook, dan peralatan selam. 3.3 Pengumpulan Data Data pulau kecil dan ekosistem laut Pengumpulan data pulau kecil dan ekosistem laut dimaksudkan sebagai pengumpulan data selain citra yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu di laboratorium dan di lapangan. Kegiatan di laboratorium meliputi pengumpulan data berupa peta-peta dan data sekunder lain. Pengumpulan data di lapangan dilakukan melalui kegiatan pra-survei dan survei yang bertujuan untuk pengamatan dan verifikasi hasil interpretasi. Jenis dan sumber data yang dikumpulkan seperti diuraikan pada sub bab 3.2. Peta Geologi dan Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) dengan skala 1: relatif tidak sebanding dengan citra Landsat, sehingga dengan kesenjangan ini peran data lapangan jadi meningkat. Peta Air Pelayaran memiliki skala bervariasi dan terdapat 56

9 skala detail untuk daerah-daerah tertentu yang berupa pelabuhan. Dari Peta RBI dikumpulkan data topografis berupa relief, ketinggian, dan kontur; sedangkan dari Peta Geologi dikumpulkan data geologis berupa jenis dan struktur batuan. Peta Air Pelayaran digunakan untuk mengetahui kondisi batimetri perairan laut dangkal di sekitar pulau. Data lapangan dikumpulkan sebagai dasar verifikasi akhir identifikasi tipe pulau dan ekosistem laut sehingga bersifat sebagai pengecekan hasil analisis di laboratorium. Metode pengumpulan data geomorfologi di lapangan dilakukan menurut unit lahan (landunit) untuk mewakili karakter biogeofisik lahan pulau kecil dan ekosistem lautnya. Pengumpulan data lapangan meliputi karakteristik bentuklahan (landforms) dan kualitas lahan, proses geomorfologi (erosi dan banjir/aliran lava dan piroklastik), tipe batuan, karakteristik tanah, karakteristik air permukaan dan air tanah, dan vegetasi alami dan lahan budidaya. Data hasil pengamatan ini disajikan di Lampiran 10. Kegiatan di lapangan dilakukan dalam dua tahap, yaitu pra-survei dan survei, yang keduanya dilakukan pada pulau kecil yang dipilih sebagai daerah model. Pra-survei dilakukan untuk validasi dan penentuan model pulau kecil yang mewakili tiga tipe dan tiga ekosistem laut utama, sedangkan survei dilakukan untuk verifikasi dan validasi hasil identifikasi parameter-parameter penelitian yang dilakukan di laboratorium. Survei ini selain mengumpulkan bukti-bukti kebenaran atau ketidakbenaran hasil interpretasi di laboratorium juga untuk melakukan analisis secara rinci di lapangan, terutama untuk obyek-obyek yang sulit diinterpretasi dan diidentifikasi di laboratorium. Data pulau kecil dikumpulkan untuk mewakili tiga tipe pulau yang berbeda yang digunakan sebagai model tipe pulau kecil untuk diteliti lebih rinci dan detail. Pulau kecil sebagai model tipe pulau memerlukan data morfologi, morfogenesis, jenis batuan, struktur batuan, dan relief. Dalam hal ini, pertimbangan aspek morfogenesis menjadi pertimbangan utama, karena aspek ini mewakili prosesproses geomorfik yang membentuk keragaman tipe pulau kecil di Indonesia. Selain itu, setiap tipe pulau kecil dipilih beberapa pulau sejenis sebagai verifikasi yang digunakan untuk membandingkan tingkat akurasi pengolahan dan analisis. Hal ini dilakukan karena adanya kemungkinan variasi proses geomorfologis dan kondisi penutup lahan di atas pulau kecil yang setipe di daerah penelitian. Dengan demikian setiap tipe pulau kecil memiliki pasangan pulau kecil model dan pulau kecil verifikasi yang sejenis. 57

10 Setiap tipe pulau yang dikumpulkan datanya digunakan juga sebagai model yang mewakili variasi ekosistem laut. Model pulau kecil tipe tektonik dipilih dari lokasi yang berlainan untuk memperoleh variasi kondisi ekosistem laut. Model pulau kecil tipe vulkanik dipilih berdasarkan perbedaan tingkat aktivitas vulkanik yaitu pulau kecil dengan gunungapi aktif sampai dengan pulau kecil tipe vulkanik tidak aktif yang terdenudasi lanjut. Sementara itu, model pulau kecil tipe terumbu dipilih berdasarkan perbedaan ukuran pulau. Secara garis besar, pulau-pulau kecil yang dipilih sebagai model diseleksi berdasarkan pada 1) tipe pulau, 2) kelengkapan data yaitu citra penginderaan jauh dan peta, 3) variasi proses geomorfologis yang berlangsung, dan 4) keragaman ekosistem laut. Pengumpulan data pulau kecil tipe tektonik di Kota/Kabupaten Batam dikelompokkan menjadi lima yaitu model 1 terdiri atas Pulau Bokor dan Pulau Mentiang; model 2 meliputi Pulau Jandaberhias dan Pulau Lengkang; model 3 mencakup Pulau Dangsi dan Pulau Calang; model 4 terdiri atas Pulau Awi dan Pulau Ngenang; dan model 5 adalah Pulau Hantu, dan Pulau Ranu (Gambar 6). Pengumpulan data pulau kecil tipe vulkanik di Kabupaten Sitaro terdiri atas Pulau Tagulandang, Pulau Pasighe, dan Pulau Ruang (Gambar 7), dan di Kabupaten Sikka terdiri atas Pulau Besar, Pulau Palue, Pulau Babi, Pulau Parumaan, dan Pulau Kondo (Gambar 8). Pengumpulan data pulau kecil tipe terumbu di Kabupaten Sikka terdiri atas Pulau Pomana-besar dan Pulau Pomana-kecil (Gambar 8) Data perikanan pantai Pengumpulan data perikanan pantai dimaksudkan untuk verifikasi hasil identifikasi karakteristik biogeofisik substrat dasar perairan laut dangkal dari analisis geomorfologi daratan. Verifikasi ditempuh dengan menganalisis kaitan antara karakteristik biogeofisik pulau kecil dengan kesehatan perikanan pantai. Data ikan dikumpulkan melalui penyelaman dengan metode pengukuran visual (visual measurement assesment), wawancara dengan nelayan dan karyawan Dinas Perikanan setempat dan instansi terkait, dan dari database atau hasil laporan. Pengamatan langsung di lapangan melalui penyelaman dengan mencatat jenis spesies, jumlah tiap spesies, dan ukuran spesies yang dijumpai pada kedalaman 3 m dan 10 m sepanjang 50 m (Tabel 11).. Ukuran species dibedakan menjadi empat macam yaitu A: 0-10 cm; B: cm; C: cm, dan D> 30 cm. Kedalaman penyelaman dibedakan berdasarkan intensitas sinar matahari yaitu 3 m 58

11 atau pada bagian lereng atas terumbu atau gudus (reef crest) dan 10 m atau pada bagian lereng bawah terumbu atau tubir (reef slope) (English and Baker, 1997) untuk mewakili pertumbuhan terumbu yang baik dan yang kurang baik. Cakupan daerah pengambilan data menurut jarak lebar pandang penyelam. Hasil pengumpulan data ikan karang disajikan di Lampiran 11. Tabel 11 Pengumpulan data ikan Komposisi ikan Lokasi Cara perolehan a. jenis spesies b. jumlah spesies c. ukuran spesies Di tiga tipe pulau dengan kondisi karakteristik biogeofisik berbeda Penyelaman dan wawancara Stasiun pengambilan sampel ikan dipilih di tiga tipe pulau di Kabupaten Sikka yaitu pulau tipe vulkanik, pulau tipe terumbu, dan pulau tipe atol, dengan jenis bentuklahan berbeda yang berarti pada kondisi karakteristik biogeofisik berbeda. Stasiun pengambilan sampel ikan untuk pulau kecil tipe vulkanik dipilih di Pulau Palue dan Pulau Babi. Pulau Palue adalah pulau kecil tipe vulkanik ekstrusif dengan gunungapi aktif. Stasiun Pulau Palue-Timur berada di pantai yang relatif lebih rendah dari gangguan endapan piroklastik dan sampel diambil hanya pada kedalaman 10 meter karena keterbatasan waktu. Pulau Babi adalah pulau kecil tipe vulkanik yang dikelilingi oleh bentuklahan terumbu pinggiran bergoba. Stasiun Pulau Babi Selatan berhadapan dengan bentuklahan terumbu pinggiran yang sempit dengan pengaruh bentuklahan rawa payau dan bentuklahan rataan pasang surut. Stasiun Pulau Babi Utara berhadapan dengan bentuklahan terumbu pinggiran yang lebih lebar (Gambar 9 a dan b). Stasiun pengambilan sampel ikan untuk pulau tipe terumbu dipilih di Pulau Pomana-besar di bagian selatan dan barat. Stasiun Pulau Pomana-besar Selatan berhadapan dengan bentuklahan terumbu pinggiran yang mewakili perkembangan terumbu tahap awal, sedangkan stasiun Pulau Pomana-besar Barat berhadapan dengan bentuklahan terumbu paparan bergoba yang mewakili perkembangan terumbu tahap lanjut (Gambar 9 c). Stasiun pengambilan sampel ikan untuk pulau tipe atol dipilih di Pulau Gunung-sari pada dua lokasi. Stasiun Gunung-sari Dalam yaitu berada di bagian dalam terumbu cincin (atol) dan stasiun Gunung-sari Luar yaitu berada di bagian luar terumbu cincin. Di bagian dalam terumbu cincin, terumbu karang 59

12 berkembang berbentuk karung terbuka menghadap ke atas dengan kedalaman sekitar 30 m, sedangkan di bagian luar terumbu cincin, terumbu karang berkembang membentuk lereng terjal (Gambar 9 d). a) Pulau Palue b) Pulau Babi d) Pulau c) Pulau Pomana-besar Gunung-sari Gambar 9 Lokasi stasiun pengambilan sampel ikan di Kabupaten Sikka. Lokasi stasiun Citra penginderaan jauh satelit Jenis data penginderaan jauh satelit yang dikumpulkan meliputi citra resolusi menengah yaitu Landsat dan SPOT-4 diperoleh dari LAPAN, serta citra resolusi tinggi yaitu SPOT-5 dan QuickBird dipesan dari agennya. Citra Landsat dipilih pada kanal multispektral yaitu kanal-kanal 1, 2, 3, 4, 5, dan 7, dengan resolusi spasial 30 m dan kanal pankromatik yaitu kanal 8 dengan resolusi spasial 15 m. Citra SPOT-4 dipilih kanal 1, 2, 3, 4 dengan resolusi spasial 20 meter, sedangkan citra berupa pansharpen dengan resolusi spasial 5 meter. Citra QuickBird digunakan seluruh kanal yaitu kanal multispektral yaitu kanal-kanal 1, 2, 3, dan 4 dengan resolusi spasial 2,44 m dan kanal pankromatik yaitu kanal 5 dengan resolusi spasial 0,6 m. Penggunaan citra SPOT-5 difungsikan untuk mendukung analisis visual, sedangkan citra QuickBird difungsikan untuk validasi dan verifikasi terhadap citra Landsat karena kedua citra ini memiliki kisaran panjang gelombang yang sama. Pengumpulan citra diupayakan dengan persentase liputan awan serendah mungkin dan kendala ini diselesaikan dengan cara menyeleksi citra dari beberapa tanggal perekaman yang tersedia. Pemilihan tanggal citra atau waktu perekaman tidak menjadi pertimbangan utama dalam analisis berbasis geomorfologi karena 60

13 analisisnya memanfaatkan obyek-obyek di permukaan yang relatif statis. Hal ini berbeda dengan obyek penutup/penggunaan lahan yang relatif dapat berubah lebih dinamis. Pulau-pulau kecil dan ekosistem laut yang dipilih sebagai model adalah daerah dimana citranya tanpa awan agar hasil pengolahan citra dapat mencerminkan nilai spektral obyek yang sebenarnya. Data tersebut dikumpulkan dengan pemotongan (cropping) citra dan disimpan dalam bentuk data set untuk citra kanal multispektral dan citra kanal pankromatik. Dengan demikian terdapat tiga kelompok data set citra meliputi pulau tipe tektonik, vulkanik, dan terumbu termasuk di dalamnya ekosistem laut utama yaitu mangrove, terumbu karang, dan lamun. Tiap daerah model disimpan dalam bentuk data set yang dipisahkan antara kanal-kanal yang memiliki resolusi spasial berbeda, yaitu untuk data Landsat akan diperoleh satu set data kanal-kanal 1, 2, 3, 4, 5, dan 7, dengan resolusi spasial 30 meter, dan satu set data kanal 8 yang mempunyai resolusi spasial 15 meter. Bentuk data set serupa juga dibuat untuk citra SPOT dan QuickBird. Data set daerah model digunakan untuk permodelan pengolahan data yaitu fusi dan penajaman serta untuk analisis karakteristik biogeofisik pulau kecil dan ekosistem laut. 3.4 Pengolahan Data Fusi multispektral Fusi dimaksudkan sebagai penggabungan beberapa kanal yang terdapat pada citra Landsat ETM +, SPOT-4, dan QuickBird untuk mendapatkan tampilan citra yang tajam. Fusi dilakukan dalam dua bentuk, yaitu fusi multispektral dan fusi multispasial. Fusi multispektral adalah penggabungan antar kanal dengan resolusi spasial sama. Dalam hal ini, untuk citra Landsat menggunakan kanal-kanal 1, 2, 3, 4, 5, dan 7 yang masing-masing memiliki resolusi spasial 30 m. Fusi yang sama dilakukan pada citra SPOT-4 menggunakan kanal-kanal 1, 2, 3, dan SWIR dengan resolusi spasial 20 m, sedangkan citra QuickBird menggunakan kanal-kanal 1, 2, 3, dan 4 dengan resolusi spasial 2,44 m. Fusi multispektral terbaik diseleksi menggunakan algoritma Optimum Index Factor (OIF) seperti pada persamaan 1 berikut: keterangan: S k : standar deviasi nilai-nilai spektral pada kanal (1) 61

14 Abs (r j ): nilai absolut koefisien korelasi antara tiap dua dari tiga kanal. Citra Landsat dengan 6 kanal dapat diperoleh kombinasi 3 (tiga) kanal 6 sebanyak C 3 = 6! / (3!) (6-3)! = 20. Menurut Jensen (1986) dari 20 kombinasi tersebut hasil yang terbaik untuk interpretasi citra adalah yang memiliki nilai OIF tinggi. Namun Danoedoro (1996) mengemukakan bahwa bentuk kombinasi yang memakai kanal 1 atau spektrum biru sebaiknya tidak digunakan untuk tujuan interpretasi obyek, karena kanal 1 mengandung hamburan yang tinggi sehingga dapat meningkatkan variasi nilai spektral atau meningkatkan nilai OIF. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka pada penelitian ini dilakukan perhitungan OIF untuk enam kanal citra Landsat, dan dipilih kombinasi yang mempunyai nilai OIF tertinggi selain kombinasi dengan kanal 1. Kombinasi dengan nilai tertinggi ini dapat menyajikan keragaman warna paling banyak sehingga informasi obyek-obyek dapat diidentifikasi secara optimal. Keragaman warna terbanyak dari tiga kanal, untuk resolusi radiometrik 8 bit, adalah sebesar (2 8 ) 3 = warna. Kombinasi tiga kanal yang terpilih digunakan untuk membuat citra komposit warna dengan memasukkan setiap kanal ke dalam filter merah, hijau, dan biru. 3 Dari kombinasi 3 kanal terpilih, didapatkan P 3 = 3! / (3-3)! = 6 kemungkinan tampilan citra komposit berwarna. Keenam tampilan citra komposit ini berbeda dalam warna, tetapi jumlah warna atau jumlah kisaran nilai digitalnya tetap sama. Dengan kata lain, tingkat kedetailan informasi keenam citra komposit adalah sama. Dalam hal ini, pada dasarnya kombinasi kanal yang optimal ditentukan oleh terain, iklim, dan sasaran interpretasi (Sabin, 1997) Penajaman Penajaman citra dilakukan sebagai tahap lanjutan setelah diperoleh fusi multispektral terseleksi. Penajaman citra meliputi semua operasi yang menghasilkan citra baru dengan kenampakan visual dan karakteristik spektral berbeda (Danoedoro, 1996). Pada tahap ini beberapa jenis penajaman dianalisis dan kemudian dipilih jenis penajaman terbaik. Kisaran nilai digital setiap obyek diketahui pada saat proses penajaman citra dikerjakan. Pada pengolahan data penginderaan jauh dikenal dua jenis penajaman, yaitu penajaman spektral atau kontras dan penajaman spasial atau filtering. Penajaman spektral adalah manipulasi citra dengan merentangkan histogram untuk mendapatkan kecerahan citra. Cara ini disebut juga operasi titik, karena di dalam 62

15 pemrosesan citra, operasi transformasi warna atau kecerahan dipakai pada setiap piksel (titik) dari suatu set data independen untuk diaplikasikan pada seluruh piksel lainnya. Proses penajaman spektral dilakukan dengan memakai model penajaman yang ada pada perangkat lunak ER-MAPPER 6.4., yang meliputi transformasi linier, transformasi autoclip, transformasi level-slice, equalisasi histogram, equalisasi gaussian, transformasi logaritmik, transformasi exponential, dan transformasi nilai aktual. Setiap transformasi ini menghilangkan 0,5% di kanan dan kiri histogram. Proses penajaman spasial atau filtering dibagi jadi tiga jenis, meliputi low pass filter, high pass filter, dan edge detection filter. Filter yang pertama digunakan untuk menghaluskan kenampakan citra dan filter yang kedua digunakan untuk menonjolkan perbedaan antar obyek atau perbedaan nilai, kondisi, atau sifat antar obyek (Danoerdoro, 1996). Filter yang kedua ini biasa digunakan untuk menajamkan detail tanpa berpengaruh pada bagian frekuensi rendah dari citra. Adapun filter yang ketiga dipakai untuk menajamkan obyek-obyek yang terletak di sekitar tepi pada citra (ER-MAPPER 5.5, 1997). Untuk penajaman spasial low pass filter, dipakai tiga jenis yaitu average 7 x 7, average 3 x 3, dan average diagram. Untuk penajaman spasial high pass filter dipilih tiga algoritma yaitu sharpen-2, sharpen-11, sharpedge, sedangkan untuk penajaman spasial edge detection filter dipilih tiga bentuk algoritma yaitu different, gradien in the x direction, dan gradien in the y direction. Algoritma-algoritma yang ada pada ketiga jenis penajaman spasial tersebut kemudian diterapkan pada model-model penajaman spektral yang telah diseleksi sebelumnya. Hasil dari proses-proses penajaman ini kemudian diseleksi dan dipilih satu yang memiliki tampilan visual paling jelas untuk setiap model pulau kecil. Data SPOT-4 dan QuickBird diolah untuk mendapatkan citra komposit dengan proses penajaman seperti yang dilakukan pada citra Landsat. Citranya digunakan sebagai pendukung dan pembanding analisis obyek-obyek di pulau kecil dan ekosistem laut Fusi multispasial Fusi multispasial merupakan penggabungan kanal-kanal yang memiliki resolusi spasial berbeda. Pada penelitian ini dilakukan penggabungan antara komposit kanal multispektral dengan kanal pankromatik. Pengolahan ini disebut juga sebagai penajaman yaitu dengan meningkatkan resolusi spasial. Pada citra Landsat ETM + dilakukan penggabungan kanal-kanal 1, 2, 3, 4, 5, dan 7 resolusi 63

16 spasial 30 m dengan kanal 8 resolusi spasial 15 m. Pada citra QuickBird dilakukan penggabungan antara kanal-kanal 1, 2, 3, dan 4 resolusi spasial 2,44 m dengan kanal 5 resolusi spasial 0,6 m. Pada penggabungan ini, kanal 8 dan kanal 5 (pankromatik) ditempatkan pada bagian intensity, sehingga diperoleh suatu kombinasi Red Green Blue Intensity atau disingkat RGBI (ER-MAPPER 5.5, 1997). Citra SPOT-4 tidak diperoleh kanal pankromatik sehingga tidak dilakukan fusi multispasial. Demikian halnya untuk citra SPOT-5 dan citra QuickBird daerah Batam karena citra yang diperoleh telah diolah (bukan data asli) atau disebut citra pansharpen. 3.5 Analisis Data Pulau kecil Karakteristik biogeofisik pulau kecil dan ekosistem laut diinterpretasi dari tampilan citra komposit dari hasil pengolahan citra terseleksi. Tahapan interpretasi dan analisis adalah identifikasi, delimitasi, dan delineasi bentuklahan. Identifikasi adalah mengenali bentuklahan atau obyek dan memberikan nama bentuklahan atau obyek. Delimitasi adalah mencari dan mengenali batas antar bentuklahan atau obyek pada citra yang diasumsikan mendekati keadaan sebenarnya di lapangan, sedangkan delineasi adalah menarik garis batas antar bentuklahan atau obyek tersebut (sebagai hasil delimitasi) untuk disajikan ke dalam bentuk peta bentuklahan dan menjadi suatu unit dalam deskripsi karakteristik biogeofisik. Satu unit bentuklahan berupa satu poligon. Analisis pulau kecil berbasis geomorfologi menggunakan aspek-aspek morfologi, morfogenesis, morfokronologi, dan morfoarrangement. Analisis ini untuk mendapatkan kelas bentuklahan pada pulau-pulau kecil dan bentuklahan terumbu yang dilakukan dengan pendekatan bentang lahan (landscape). Cara pendekatan ini lebih sesuai karena berdasarkan pada prinsip geomorfologi yang menggunakan bentuklahan, litologi, dan genesis (proses masa kini dan masa lalu) (Zuidam, 1985). Metode klasifikasi bentuklahan dilakukan menurut kelas-kelas pada skala 1: sesuai dengan pedoman teknis pemetaan tematik dasar Ekosistem laut Mangrove Analisis data mangrove dilakukan secara visual menggunakan unsur-unsur interpretasi dengan pendekatan analisis geomorfologi, sedangkan analisis digital 64

17 adalah untuk mendapatkan informasi kualitasnya melalui tingkat kerapatan vegetasi. Metode analisis geomorfologi untuk mengenali mangrove dari aspek morfologi adalah dari bentuk topografi pulau kecil yang berupa dataran. Bentuklahan yang sesuai untuk pertumbuhan mangrove antara lain bentukan asal marin dan fluvio-marin. Dari aspek morfoarrangement, mangrove tumbuh pada atau dekat dengan bentuklahan yang memungkinkan terbentuk air payau, seperti bentuklahan-bentuklahan delta, rataan pasang surut, dataran pantai, dan dataran aluvial pantai. Sebaliknya pada bentuklahan cliff dan beting gisik, mangrove jarang dijumpai. Analisis menggunakan aspek morfoarrangement pulau kecil memberikan informasi mengenai kemungkinan tumbuh atau tidaknya mangrove di suatu pesisir. Sementara itu, tipe pulau kecil memberikan informasi morfogenesis perkembangan mangrove. Vegetasi mangrove dikenali dari citra komposit RGB kanal terseleksi untuk mendapatkan perbedaan warna yang tegas antara vegetasi mangrove dengan vegetasi non mangrove. Kanal yang digunakan adalah kanal 3 (merah) dan kanal 4 (infra merah) dari citra Landsat dan QuickBird. Kanal 3 dan kanal 4 masingmasing bekerja pada panjang gelombang 0,63 0,69 µm dan 0,76 0,90 µm dimana pada selang panjang gelombang tersebut perbedaan kurva pantulan dari obyek vegetasi dan tanah sangat besar sehingga berguna untuk identifikasi mangrove. Perbedaan tingkat kerapatan mangrove dapat dilakukan melalui analisis indeks vegetasi, dengan menggunakan citra yang areanya telah diidentifikasi sebagai obyek mangrove. Hal ini penting dilakukan agar indeks kerapatan yang dihasilkan betul-betul berasal dari vegetasi mangrove. Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) merupakan salah satu cara algoritma yang sering digunakan untuk menggambarkan kondisi vegetasi di antaranya kerapatan. Indeks vegetasi ditentukan dengan rumus: (IR R) NDVI = (IR + R) keterangan: NDVI = Normalized Difference Vegetation Index IR = Nilai digital pada kanal infra merah dekat R = Nilai digital pada kanal merah (2) 65

18 Nilai NDVI semakin besar menunjukkan bahwa nilai kehijauan vegetasi permukaan semakin tinggi. Dalam analisis indeks vegetasi, nilai kerapatan vegetasi ditentukan dengan melakukan pengklasifikasian ulang (reclassification) dari nilai hasil perhitungan NDVI dengan mempertimbangkan nilai histogram dan standar deviasinya. Nilai-nilai tersebut kemudian diklasifikasikan sebagaimana disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Klasifikasi kerapatan vegetasi berdasarkan indeks vegetasi Kelas Kisaran NDVI Keterangan 0 < 0.01 dan > 0.07 tidak bervegetasi 1 0,01 < 0,18 sangat jarang 2 0,18 < 0,32 jarang 3 0,01 < 0,42 sedang 4 0,42 < 0,42 lebat 5 0,49 < 0,70 sangat lebat Sumber : Danoedoro, 1996 Terumbu karang dan lamun Terumbu karang dan lamun merupakan obyek yang ada di bawah permukaan air laut. Analisis geomorfologi terumbu dan lamun dilakukan melalui interpretasi obyek-obyek secara visual menggunakan unsur-unsur interpretasi. Metode analisis secara geomorfologis dilakukan dengan pendekatan bentang lahan dengan aspek-aspek morfologi, morfogenesis, morfokronologi, dan morfoarrangement. Tampilan terumbu karang dan lamun pada citra satelit seringkali sulit dibedakan dengan substrat dasar perairan laut dangkal, kedalaman air, kekeruhan, dan pergerakan permukaan air, karena informasi yang didapat dari citra awalnya masih tercampur dengan informasi lain. Dari analisis geomorfologis terumbu bermanfaat untuk memandu analisis ekologisnya. Analisis ekologis terumbu karang dilakukan untuk mendapatkan informasi kondisi ekologis terumbu karang, berupa karang mati dan karang hidup serta kondisi lamun. Analisis ekologis yang dimaksud menggunakan algoritma Lyzengga (1981) yang dilakukan secara digital menggunakan metode yang didasari oleh Model Pengurangan Eksponensial (Exponential Attenuation 66

19 Model). Algoritms ini menghilangkan efek kolom air untuk ekstraksi informasi obyek dasar laut dengan persamaan sebagai berikut: Lyz = Liˆ + (0,54 Lib - Liˆ) exp -2 kiz (3) keterangan: Li = radiasi pada panjang gelombang i Liˆ = radiasi yang diukur pada laut dalam Lib = radiasi dasar perairan (0 m), panjang gelombang i z = kedalaman perairan (m) ki = koefisien atenuasi dari air pada panjang gelombang i Persamaan ini telah diturunkan dan diperoleh persamaan sebagai berikut: [ ln( TM1) ] ki ( ln( TM 2 Y = )) (4) kj di mana: Y : Hasil klasifikasi algoritma Lyzengga TM1 dan TM2 : kanal 1 dan kanal 2 Ladsat. Koefisien k i dan k j diperoleh dengan cara: k i k a = j = a + a 2 +1 [ VarTM1 VarTM 2 ] ( Co var ) 2 TM1TM 2 Pada prakteknya, algoritma pada Formula 4 diubah dari tanda negatif ( - ) menjadi positif ( + ) untuk menghasilkan variasi warna lebih banyak, sehingga dapat mengenali variasi terumbu karang secara tegas. Operasi algoritma Lyzengga ditampilkan dalam bentuk tingkat gradasi warna keabuan (gray scale), dan hasilnya ditampilkan dalam bentuk tingkat gradasi warna pseudo (pseudo colour ) pada kisaran nilai digital antara Gambaran ringkas keseluruhan proses pengolahan data dan analisis data penginderaan jauh satelit secara skematik ditunjukkan pada Gambar Perikanan pantai Analisis perikanan pantai dimaksudkan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik biogeofisik pulau kecil dengan kondisi perikanan pantai. Data ikan 67

20 dikumpulkan di beberapa stasiun yang mewakili variasi karakteristik biogeofisik pulau kecil, seperti diuraikan pada sub-bab Analisis menggunakan indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi (Odum, 1992), adalah untuk membuktikan korelasi antara proses degradasi pada suatu bentuklahan di daratan pulau kecil, bentuklahan terumbu, dan kondisi perikanan pantai. Analisis Indeks Keanekaragaman (H ) Analisis ini digunakan untuk mengetahui keanekaragaman jenis biota perairan. Indeks ini juga untuk mengetahui kesehatan perikanan. Persamaan yang digunakan untuk indeks ini adalah persamaan Shannon-Wiener. s H = - i= 1 Pi = ni/n Pi ln Pi H = indeks keanekaragaman Shannon-Wiener...(5) H < 1 = stabilitas komunitas biota dalam kondisi tidak stabil atau kualitas air tercemar berat 1 < H < 3 = stabilitas komunitas biota dalam kondisi sedang atau kualitas air tercemar sedang H > 3 = komunitas biota dalam kondisi stabil (air bersih) Analisis Indeks Keseragaman (E) Indeks ini menunjukkan pola sebaran biota ikan yaitu seragam atau tidak seragam. Jika nilai indeks relatif tinggi maka keberadaan setiap jenis biota di perairan dalam kondisi seragam. Nilai indeks berkisar antara 0-1. Persamaan yang digunakan untuk menghitung indeks ini adalah persamaan Shannon- Wiener. E = H H ' maks E = indeks keseragaman Shannon-Wiener..(6) H maks = ln s (s adalah jumlah spesies) Nilai indeks: 0 1 H = indeks keanekaragaman E = 0 berarti keseragaman rendah Analisis Indeks Dominansi (C) Menurut Odum (1971) untuk mengetahui adanya dominansi jenis ikan tertentu di perairan dapat digunakan indeks dominansi Simpson s C = i= 1 ni N 2 Nilai indeks: 0 1 C ni N = indeks dominansi Simpson...(7) = jumlah individu jenis ke-i = jumlah total individu, S = jumlah genera 68

21 Citra: 1.Landsat 2.SPOT 3.QuickBird Peta : 1. RBI 2. Geologi 3. Pelayaran Cek Lapangan Input Analisis visual multitingkat Penentuan model pulau kecil Pulau tektonik Pulau vulkanik Pulau terumbu Algoritma Lyzengga Algoritma NDVI Uji fusi multispektral Kelas: karang hidup, karang mati, lamun Tingkat kerapatan mangrove Penajaman Uji multispasial Pemfilteran Teknik pengolahan citra terseleksi Analisis geomorfologi pulau dan ekosistem laut Analisis kondisi ekosistem laut (terumbu karang, lamun, mangrove) Kondisi biofisik/ bentuklahan pulau Analisis kaitan bentuklahan Kondisi biofisik/ bentuklahan ekosistem laut Proses Output Identifikasi ekosistem laut berdasarkan tipe pulau Pengelompokan pulau kecil Gambar 10 Diagram alir pengolahan dan analisis data penginderaan jauh satelit. 69

5 PEMBAHASAN. Landsat (citra sejenis)

5 PEMBAHASAN. Landsat (citra sejenis) 5 PEMBAHASAN 5.1 Teknik Pengolahan Data Pulau Kecil dan Ekosistemnya 5.1.1 Pulau Kecil Pulau kecil tipe tektonik ditandai terutama oleh bentuklahan tektonik atau struktural dan di daerah penelitian didominasi

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH DENGAN NILAI INDEKS FAKTOR UNTUK IDENTIFIKASI MANGROVE DI BATAM (Studi Kasus Gugusan Pulau Jandaberhias)

PENGINDERAAN JAUH DENGAN NILAI INDEKS FAKTOR UNTUK IDENTIFIKASI MANGROVE DI BATAM (Studi Kasus Gugusan Pulau Jandaberhias) Berita Dirgantara Vol. 12 No. 3 September 2011:104-109 PENGINDERAAN JAUH DENGAN NILAI INDEKS FAKTOR UNTUK IDENTIFIKASI MANGROVE DI BATAM (Studi Kasus Gugusan Pulau Jandaberhias) Susanto, Wikanti Asriningrum

Lebih terperinci

4 HASIL PENELITIAN 4.1 Pulau Kecil dan Ekosistemnya Tipe Tektonik Bentuklahan model pulau kecil

4 HASIL PENELITIAN 4.1 Pulau Kecil dan Ekosistemnya Tipe Tektonik Bentuklahan model pulau kecil 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Pulau Kecil dan Ekosistemnya 4.1.1 Tipe Tektonik Hasil analisis geomorfologi di daerah model, diketahui bahwa pulau-pulau kecil tipe tektonik dapat diidentifikasi terutama dari aspek

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan sumberdaya ikan berada pada kondisi akses terbuka karena adanya anggapan bahwa perairan laut sulit diberi batas atau zonasi. Selain itu, pola migrasi ikan yang

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei sampai September 2010. Lokasi penelitian di sekitar Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian meliputi wilayah Kota Bogor yang terletak di antara 106 0 43 30 106 0 51 00 Bujur Timur dan 6 0 30 30 6 0 41 00 Lintang Selatan.

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat

METODE. Waktu dan Tempat Dengan demikian, walaupun kondisi tanah, batuan, serta penggunaan lahan di daerah tersebut bersifat rentan terhadap proses longsor, namun jika terdapat pada lereng yang tidak miring, maka proses longsor

Lebih terperinci

ANALISIS PENENTUAN EKOSISTEM LAUT PULAU- PULAU KECIL DENGAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT RESOLUSI TINGGI STUDY KASUS : PULAU BOKOR

ANALISIS PENENTUAN EKOSISTEM LAUT PULAU- PULAU KECIL DENGAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT RESOLUSI TINGGI STUDY KASUS : PULAU BOKOR ANALISIS PENENTUAN EKOSISTEM LAUT PULAU- PULAU KECIL DENGAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT RESOLUSI TINGGI STUDY KASUS : PULAU BOKOR Muchlisin Arief Peneliti Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 22 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai analisis data Landsat 7 untuk estimasi umur tanaman kelapa sawit mengambil daerah studi kasus di areal perkebunan PTPN VIII

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL Nam dapibus, nisi sit amet pharetra consequat, enim leo tincidunt nisi, eget sagittis mi tortor quis ipsum. PENYUSUNAN BASELINE PULAU-PULAU

Lebih terperinci

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA Nirmalasari Idha Wijaya 1, Inggriyana Risa Damayanti 2, Ety Patwati 3, Syifa Wismayanti Adawiah 4 1 Dosen Jurusan Oseanografi, Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisi tentang latar belakang, tujuan, dan sistematika penulisan. BAB II KAJIAN LITERATUR

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisi tentang latar belakang, tujuan, dan sistematika penulisan. BAB II KAJIAN LITERATUR BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Citra yang direkam oleh satelit, memanfaatkan variasi daya, gelombang bunyi atau energi elektromagnetik. Selain itu juga dipengaruhi oleh cuaca dan keadaan atmosfer

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Gap Filling Citra Gap Filling citra merupakan metode yang dilakukan untuk mengisi garisgaris yang kosong pada citra Landsat TM hasil download yang mengalami SLCoff, sehingga

Lebih terperinci

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan.

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.16 Teras sungai pada daerah penelitian. Foto menghadap timur. 4.2 Tata Guna Lahan Tata guna lahan pada daerah penelitian

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal

2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal Data kedalaman merupakan salah satu data dari survei hidrografi yang biasa digunakan untuk memetakan dasar lautan, hal

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Batimetri 4.1.1. Pemilihan Model Dugaan Dengan Nilai Digital Asli Citra hasil transformasi pada Gambar 7 menunjukkan nilai reflektansi hasil transformasi ln (V-V S

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI SALAH SATU SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR (STUDI KASUS DI DELTA SUNGAI WULAN KABUPATEN DEMAK) Septiana Fathurrohmah 1, Karina Bunga Hati

Lebih terperinci

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel. Lampiran 1. Praproses Citra 1. Perbaikan Citra Satelit Landsat Perbaikan ini dilakukan untuk menutupi citra satelit landsat yang rusak dengan data citra yang lainnya, pada penelitian ini dilakukan penggabungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kandungan air kanopi (Canopy Water Content) sangat erat kaitannya dalam kajian untuk mengetahui kondisi vegetasi maupun kondisi ekosistem terestrial pada umumnya. Pada

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus: Desa Bulu

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI

BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI 3.1 Konsep Dasar Penetapan Ekoregion Provinsi Konsep dasar dalam penetapan dan pemetaan ekoregion Provinsi Banten adalah mengacu pada Undang-Undang No.32/2009,

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012 LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012 JUDUL KEGIATAN: PENGUATAN KAPASITAS DAERAH DAN SINERGITAS PEMANFAATAN DATA INDERAJA UNTUK EKSTRAKSI INFORMASI KUALITAS DANAU BAGI KESESUAIAN BUDIDAYA PERIKANAN DARAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

Analisa Kondisi Ekosistem Mangrove Menggunakan Data Citra Satelit Multitemporal dan Multilevel (Studi Kasus: Pesisir Utara Surabaya)

Analisa Kondisi Ekosistem Mangrove Menggunakan Data Citra Satelit Multitemporal dan Multilevel (Studi Kasus: Pesisir Utara Surabaya) A554 Analisa Kondisi Ekosistem Mangrove Menggunakan Data Citra Satelit Multitemporal dan Multilevel (Studi Kasus: Pesisir Utara Surabaya) Deni Ratnasari dan Bangun Muljo Sukojo Departemen Teknik Geomatika,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan organik merupakan komponen tanah yang terbentuk dari jasad hidup (flora dan fauna) di tanah, perakaran tanaman hidup maupun mati yang sebagian terdekomposisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu yang semakin berkembang pada masa sekarang, cepatnya perkembangan teknologi menghasilkan berbagai macam produk penginderaan jauh yang

Lebih terperinci

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Sumber Energi Resolusi (Spasial, Spektral, Radiometrik, Temporal) Wahana Metode (visual, digital, otomatisasi) Penginderaan jauh adalah ilmu pengetahuan dan

Lebih terperinci

Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam

Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam Arif Roziqin 1 dan Oktavianto Gustin 2 Program Studi Teknik Geomatika, Politeknik Negeri Batam, Batam 29461 E-mail : arifroziqin@polibatam.ac.id

Lebih terperinci

Oleh: Wikanti Asriningrum. C /PSL

Oleh: Wikanti Asriningrum. C /PSL 2004 Wikanti Asriningrum Posted 28 February 2004 Makalah pribadi Pengantar ke Falsafah Sains (PPS702) Sekolah Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor Pebruari 2004 Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

STUDI IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK TERUMBU KARANG UNTUK PENGELOLAAN DAN PENENTUAN PULAU KECIL MENGGUNAKAN DATA LANDSAT

STUDI IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK TERUMBU KARANG UNTUK PENGELOLAAN DAN PENENTUAN PULAU KECIL MENGGUNAKAN DATA LANDSAT 2004 Sekolah Pasca Sarjana IPB Posted 22 January 2004 Makalah Diskusi, Kelompok 1 Pengantar Ke Falsafah Sains (PPS702) Sekolah Pasca Sarjana, Program S3/TKL Institut Pertanian Bogor Januari 2004 Dosen:

Lebih terperinci

III. METODOLOGIPENELITIAN Waktu dan Tempat. Penelitian ini telah dilakukan tepatnya pada Agustus 2008, namun penyusunan

III. METODOLOGIPENELITIAN Waktu dan Tempat. Penelitian ini telah dilakukan tepatnya pada Agustus 2008, namun penyusunan III. METODOLOGIPENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilakukan tepatnya pada Agustus 2008, namun penyusunan laporan kembali dilakukan pada bulan Agustus hingga September 2009. Pengamatan

Lebih terperinci

DAFTAR TABEL. No. Tabel Judul Tabel No. Hal.

DAFTAR TABEL. No. Tabel Judul Tabel No. Hal. DAFTAR ISI Halaman Judul... No Hal. Intisari... i ABSTRACT... iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi BAB I... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2.

Lebih terperinci

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 Prosedur analisis citra untuk penggunaan tanah 1. Pra-pengolahan data atau pengolahan awal yang merupakan restorasi citra 2. Pemotongan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian tugas akhir ini. Proses ini sangat berpengaruh terhadap hasil akhir penellitan. Pada tahap ini dilakukan

Lebih terperinci

label 1. Karakteristik Sensor Landsat TM (Sulastri, 2002) 2.3. Pantai

label 1. Karakteristik Sensor Landsat TM (Sulastri, 2002) 2.3. Pantai H. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh didefmisikan sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

Ringkasan Materi Pelajaran

Ringkasan Materi Pelajaran Standar Kompetensi : 5. Memahami hubungan manusia dengan bumi Kompetensi Dasar 5.1 Menginterpretasi peta tentang pola dan bentuk-bentuk muka bumi 5.2 Mendeskripsikan keterkaitan unsur-unsur geografis dan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK Penelitian tentang karakter morfologi pantai pulau-pulau kecil dalam suatu unit gugusan Pulau Pari telah dilakukan pada

Lebih terperinci

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS Oleh : Tyas Eka Kusumaningrum 3509 100 001 LATAR BELAKANG Kawasan Pesisir Kota

Lebih terperinci

Oleh: HAZMI C SKRlPSl Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Fakultas Perikanan Dan llmu Kelautan

Oleh: HAZMI C SKRlPSl Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Fakultas Perikanan Dan llmu Kelautan or4 APLlKASl SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DAN PENGINDERAAN JAUH DALAM PENENTUAN WILAYAH POTENSIAL WISATA BAHARI TERUMBU KARANG Dl PULAU SATONDA, DOMPU, NUSA TENGGARA BARAT HAZMI C06498017 PROGRAM STUD1

Lebih terperinci

Perubahan Garis Pantai Di Kabupaten Indramayu Dengan Menggunakan Citra Satelit Landsat Multi Temporal

Perubahan Garis Pantai Di Kabupaten Indramayu Dengan Menggunakan Citra Satelit Landsat Multi Temporal The Journal of Fisheries Development, Juli 2015 Volume 2, Nomor 3 Hal : 61-70 Perubahan Garis Pantai Di Kabupaten Indramayu Dengan Menggunakan Citra Satelit Landsat Multi Temporal Yudi Prayitno 1 dan Imam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

Gambar 11. Pembagian Zona UTM Wilayah Indonesia (Sumber: kampungminers.blogspot.com)

Gambar 11. Pembagian Zona UTM Wilayah Indonesia (Sumber: kampungminers.blogspot.com) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data Citra 4.1.1 Koreksi Radiometrik dan Geometrik Penelitian ini menggunakan citra satelit ALOS AVNIR2 tahun 2007, 2009 dan 2010 di perairan Nusa Lembongan untuk

Lebih terperinci

PENENTUAN KERAPATAN MANGROVE DI PESISIR PANTAI KABUPATEN LANGKAT DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT 5 TM DAN 7 ETM. Rita Juliani Rahmatsyah.

PENENTUAN KERAPATAN MANGROVE DI PESISIR PANTAI KABUPATEN LANGKAT DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT 5 TM DAN 7 ETM. Rita Juliani Rahmatsyah. 62 PENENTUAN KERAPATAN MANGROVE DI PESISIR PANTAI KABUPATEN LANGKAT DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT 5 TM DAN 7 ETM Rita Juliani Rahmatsyah Bill Cklinton Simanjuntak Abstrak Telah dilakukan penentuan kerapatanmangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

Lebih terperinci

DINAMIKA PANTAI (Geologi, Geomorfologi dan Oseanografi Kawasan Pesisir)

DINAMIKA PANTAI (Geologi, Geomorfologi dan Oseanografi Kawasan Pesisir) DINAMIKA PANTAI (Geologi, Geomorfologi dan Oseanografi Kawasan Pesisir) Adipandang Yudono 12 GEOLOGI LAUT Geologi (geology) adalah ilmu tentang (yang mempelajari mengenai) bumi termasuk aspekaspek geologi

Lebih terperinci

Oleh : Hernandi Kustandyo ( ) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Oleh : Hernandi Kustandyo ( ) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Oleh : Hernandi Kustandyo (3508100001) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Ekosistem mangrove adalah salah satu obyek yang bisa diidentifikasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah perairan Kepulauan Karimunjawa. Secara geografis lokasi penelitian terletak antara 5 0 40 39-5 0 55 00 LS dan

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Kerinci Seblat, tepatnya di Resort Batang Suliti, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah IV, Provinsi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. analisa Indeks Keanekaragaman (H ) Shannon Wienner, Indeks Dominansi (D)

BAB III METODE PENELITIAN. analisa Indeks Keanekaragaman (H ) Shannon Wienner, Indeks Dominansi (D) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Pengambilan data sampel yaitu dengan pengamatan secara langsung. Perameter yang diukur dalam penelitian adalah

Lebih terperinci

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989).

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989). BAB II METODE KAJIAN 2.1. Pengertian Rekonstruksi, dari kata re : kembali, dan konstruksi : susunan, model, atau tata letak suatu bangunan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989), dalam hal ini rekonstruksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi 9 HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi Wilayah DAS Cileungsi meliputi wilayah tangkapan air hujan yang secara keseluruhan dialirkan melalui sungai Cileungsi. Batas DAS tersebut dapat diketahui dari

Lebih terperinci

PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENANGANAN KAWASAN BENCANA ALAM DI PANTAI SELATAN JAWA TENGAH

PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENANGANAN KAWASAN BENCANA ALAM DI PANTAI SELATAN JAWA TENGAH PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENANGANAN KAWASAN BENCANA ALAM DI PANTAI SELATAN JAWA TENGAH Totok Gunawan dkk Balitbang Prov. Jateng bekerjasama dengan Fakultas Gegrafi UGM Jl. Imam Bonjol 190 Semarang RINGKASAN

Lebih terperinci

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh telah menjadi sarana umum untuk mendapatkan data spasial dengan akurasi yang baik. Data dari penginderaan jauh dihasilkan dalam waktu yang relatif

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Maret sampai bulan November 2009. Objek penelitian difokuskan pada wilayah Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan teknologi penyadap dan produksi data citra digital permukaan bumi telah mengalami perkembangan sejak 1960-an. Hal ini dibuktikan dengan

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN 4.1 Geomorfologi Telah sedikit dijelaskan pada bab sebelumnya, morfologi daerah penelitian memiliki beberapa bentukan khas yang di kontrol oleh litologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder. Ada beberapa data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu data angin serta

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

PEDOMAN PEMANTAUAN PERUBAHAN LUAS PERMUKAAN AIR DANAU MENGGUNAKAN DATA SATELIT PENGINDERAAN JAUH

PEDOMAN PEMANTAUAN PERUBAHAN LUAS PERMUKAAN AIR DANAU MENGGUNAKAN DATA SATELIT PENGINDERAAN JAUH 2015 PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH LAPAN Danau Rawa Pening, Provinsi Jawa Tengah PEDOMAN PEMANTAUAN PERUBAHAN LUAS PERMUKAAN AIR DANAU MENGGUNAKAN DATA SATELIT PENGINDERAAN JAUH LI1020010101 PEDOMAN

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur 11 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian DAS, Banten merupakan wilayah yang diambil sebagai daerah penelitian (Gambar 2). Analisis data dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PERMEN-KP/2016 TENTANG PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan merupakan sumberdaya alam yang bersifat langka karena jumlahnya tidak bertambah, tetapi kebutuhan terhadap lahan selalu meningkat. Alih fungsi lahan pertanian

Lebih terperinci

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan waktu Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April 2013. Lokasi penelitian dilakukan di Perairan Nusa Lembongan, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.113, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. WILAYAH. NASIONAL. Pantai. Batas Sempadan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

KAJIAN MORFODINAMIKA PESISIR KABUPATEN KENDAL MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH MULTI SPEKTRAL DAN MULTI WAKTU

KAJIAN MORFODINAMIKA PESISIR KABUPATEN KENDAL MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH MULTI SPEKTRAL DAN MULTI WAKTU KAJIAN MORFODINAMIKA PESISIR KABUPATEN KENDAL MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH MULTI SPEKTRAL DAN MULTI WAKTU Tjaturahono Budi Sanjoto Mahasiswa Program Doktor Manajemen Sumberdaya Pantai UNDIP

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 2, (2017) ISSN: ( Print) A-572

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 2, (2017) ISSN: ( Print) A-572 JURNAL TEKNIK ITS Vol., No., (01) ISSN: 33-353 (301-1 Print) A-5 Analisa Kondisi Ekosistem Mangrove Menggunakan Data Citra Satelit Multitemporal dan Multilevel (Studi Kasus: Pesisir Utara Surabaya) Deni

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan jenis deskriptif kuantitatif dengan pengambilan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan jenis deskriptif kuantitatif dengan pengambilan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis deskriptif kuantitatif dengan pengambilan data primer. Pengambilan data dilakukan dengan pengamatan secara langsung. Perameter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk yang bermata pencaharian

Lebih terperinci

Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4

Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Andi Panguriseng 1, Muh. Altin Massinai 1, Paharuddin 1 1 Program Studi Geofisika FMIPA Universitas Hasanuddin, Makassar 90245, Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN

PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN Drs. Dede Sugandi, M.Si. Drs. Jupri, MT. Nanin Trianawati Sugito, ST., MT. Jurusan Pendidikan

Lebih terperinci

Gambar 1. Peta DAS penelitian

Gambar 1. Peta DAS penelitian Gambar 1. Peta DAS penelitian 1 1.1. Proses Penentuan Model Kemiringan Lereng Kemiringan lereng ditentukan berdasarkan informasi ketinggian dan jarak pada data DEM yang berbasis raster (piksel). Besarnya

Lebih terperinci

BAHAN DAN MET ODE. Waktu dan Lokasi

BAHAN DAN MET ODE. Waktu dan Lokasi " y~~~, ~~., _"., ~ _~" 0 _ o ~~ ~.~ ".... _... -.-. BAHAN DAN MET ODE Waktu dan Lokasi Kajian dan pengambilan data lapangan dilakukan bulan Juni 2008 sampai dengan bulan September 2008. Lahan sawah yang

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Disusun Oleh: Sediyo Adi Nugroho NIM:

Lebih terperinci

Gambar 1. Peta Kota Dumai

Gambar 1. Peta Kota Dumai 15 m. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Agustus 2009. Pengolahan dan analisa citra dilakukan di Fakultas Pertanian Universitas Riau dan uji lapangan

Lebih terperinci

Norida Maryantika 1, Lalu Muhammad Jaelani 1, Andie Setiyoko 2.

Norida Maryantika 1, Lalu Muhammad Jaelani 1, Andie Setiyoko 2. ANALISA PERUBAHAN VEGETASI DITINJAU DARI TINGKAT KETINGGIAN DAN KEMIRINGAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT LANDSAT DAN SPOT 4 (STUDI KASUS KABUPATEN PASURUAN) rida Maryantika 1, Lalu Muhammad Jaelani 1,

Lebih terperinci

BAB II METODE PENELITIAN

BAB II METODE PENELITIAN BAB II METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam analisis tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian yaitu dengan menggunakan metode analisis data sekunder yang dilengkapi dengan

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

SAMPLING DAN KUANTISASI

SAMPLING DAN KUANTISASI SAMPLING DAN KUANTISASI Budi Setiyono 1 3/14/2013 Citra Suatu citra adalah fungsi intensitas 2 dimensi f(x, y), dimana x dan y adalahkoordinat spasial dan f pada titik (x, y) merupakan tingkat kecerahan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Sebaran Lamun Pemetaan sebaran lamun dihasilkan dari pengolahan data citra satelit menggunakan klasifikasi unsupervised dan klasifikasi Lyzenga. Klasifikasi tersebut

Lebih terperinci

Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Andi Panguriseng 1, Muh. Altin Massinai 1, Paharuddin 1 1

Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Andi Panguriseng 1, Muh. Altin Massinai 1, Paharuddin 1 1 Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Andi Panguriseng 1, Muh. Altin Massinai 1, Paharuddin 1 1 Program Studi Geofisika FMIPA Universitas Hasanuddin, Makassar 90245, Indonesia

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-November Penelitian ini

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-November Penelitian ini METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-November 2012. Penelitian ini dilaksanakan di lahan sebaran agroforestri yaitu di Kecamatan Sei Bingai, Kecamatan Bahorok,

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci