Gambar 11. Pembagian Zona UTM Wilayah Indonesia (Sumber: kampungminers.blogspot.com)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Gambar 11. Pembagian Zona UTM Wilayah Indonesia (Sumber: kampungminers.blogspot.com)"

Transkripsi

1 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data Citra Koreksi Radiometrik dan Geometrik Penelitian ini menggunakan citra satelit ALOS AVNIR2 tahun 2007, 2009 dan 2010 di perairan Nusa Lembongan untuk memetakan sebaran lamun. Citra yang digunakan sudah terkoreksi geometrik dan radiometrik secara sistematik. Selain itu, tujuan dari koreksi geometrik ini untuk melakukan pemulihan citra (restoration) citra agar koordinat citra sesuai dengan koordinat geografi. Sistem koordinat yang digunakan dalam koreksi geometrik ini adalah proyeksi UTM (Universal Transverse Mercator) zone 50 Selatan (Gambar 11) dengan datum WGS Gambar 11. Pembagian Zona UTM Wilayah Indonesia (Sumber: kampungminers.blogspot.com) Koreksi geometrik dilakukan dengan cara memilih titik kontrol lapangan (Ground Control Point/GCP) yang tersebar merata pada citra agar memperoleh ketelitian yang lebih baik. Titik kontrol lapangan yang dipilih diutamakan merupakan titik-titik yang permanen seperti perpotongan jalan, sungai, muara 33

2 34 sungai, pulau kecil dan titik-titik lain yang dianggap tidak berubah posisi dalam jangka waktu yang lama. Penentuan GCP minimal 4 titik secara otomatis akan dapat diketahui nilai RMS (Root Mean Square) Error (Lampiran 1), sehingga dapat dilihat GCP yang memiliki nilai kesalahan terbesar dan dapat dihitung kesalahan rata-rata (RMS rata-rata) dari semua GCP. Nilai rata-rata RMS tidak boleh melebihi dari limit kesalahan maksimum. Menurut Purwadhi (2010) RMS error secara umum nilainya kurang dari 0,5 pada setiap pixel (Image cell). Sedangkan koreksi radiometrik ditujukan untuk memperbaiki nilai piksel supaya sesuai dengan yang seharusnya yang biasanya mempertimbangkan faktor gangguan atmosfer sebagai sumber kesalahan utama. Efek atmosfer menyebabkan nilai pantulan obyek dipermukaan bumi yang terekam oleh sensor menjadi bukan merupakan nilai aslinya, tetapi menjadi lebih besar oleh karena adanya hamburan atau lebih kecil karena proses serapan. Tahun 2007 Tahun 2010 Gambar 12. Posisi Ground Control Point pada Citra Pemotongan Citra (Cropping) dan Kombinasi Band Citra hasil koreksi kemudian dilakukan cropping sesuai dengan lokasi penelitian dengan tujuan memfokuskan area penelitian yang ingin dikaji. Proses pengolahan data citra, cropping untuk memfokuskan wilayah perairan di Nusa Lembongan yang secara visual terdeteksi adanya padang lamun.

3 35 Gambar 13. Cropping Citra Tahun 2007 Gambar 14. Cropping Citra Tahun 2009 Gambar 15. Cropping Citra Tahun 2010

4 36 Penampakan citra visual yang lebih tajam menggunakan komposit citra. Citra komposit warna merupakan paduan citra dari tiga saluran yang berbeda. Penyusunan citra komposit warna dimaksudkan untuk memperoleh gambaran visual yang lebih baik sehingga pengenalan obyek dan pemilihan sampel dapat dilakukan. Pembuatan citra komposit warna dilakukan dengan memberi warna dasar merah, hijau dan biru pada tiga saluran spektral yang dipilih. Citra komposit warna yang dibuat dalam penelitian ini adalah citra komposit RGB (Red-Green-Blue) dengan pemilihan kanal (band) pada citra ALOS AVNIR2. Pemilihan ketiga kanal (band) ini dilakukan karena komposit band tersebut paling sesuai untuk melihat penampakan dari tutupan lahan. Komposit red menggunakan band 3 yang sesuai untuk mendeteksi lahan/tanah kering. Semakin tinggi nilai digitalnya maka kenampakan di citra akan berwarna semakin merah. Komposit green menggunakan band 2 yang sesuai untuk mendeteksi klorofil pada vegetasi. Klorofil yang tinggi di daratan akan memberikan nilai digital pantulan yang tinggi dan ditunjukkan dengan warna hijau tua. Daerah yang berair dideteksi dengan menggunakan band 1 pada komposit blue sehingga daerah perairan digambarkan dengan warna biru. Biru muda menunjukkan perairan dangkal dengan kandungan sedimentasi yang cukup tinggi dan biru tua menunjukkan perairan yang lebih dalam dan cenderung lebih jernih (Amran 2010) Masking dan Algoritma Lyzenga Tahap awal pemrosesan citra, setelah menggabungkan tiga band citrargb (Red-Green-Blue) pada citra satelit ALOS AVNIR2 dilakukan masking. Tujuan dilakukannya masking ini untuk memisahkan batas wilayah antara darat dan laut dengan menggunakan band 4 (infrared). Masking dalam penelitian ini dilakukan secara manual dengan menggunakan file vektor. Teknik ini digunakan karena band 4 pada citra tidak tersedia. Penggunaan algoritma Lyzenga untuk mengetahui kondisi lamun yang diawali dengan pembuatan training area berjumlah minimal 30 region. Penentuan ketiga puluh region tersebut dilakukan pada obyek atau area pada citra yang secara visual dapat diduga atau diidentifikasi sebagai bagian dari ekosistem padang lamun. Hal ini memerlukan bimbingan

5 37 seorang interpreter, memiliki dasar pengetahuan interpretasi citra, juga perlu memahami sifat atau karakteristik padang lamun, terutama tentang sebarannya (Bintar dkk. 2005). Hasil dari pemilihan training area, dicari nilai ragam (varian) dan peragam (covarian) dari band 1 dan band 2. Dalam melakukan perhitungan statistik ini dapat dibantu dengan menggunakan perangkat lunak MS Excel. Kemudian, dalam mencari koefisien attenuasi untuk memperjelas hasil data citra kelas lamun (ki/kj), berdasarkan hasil perhitungan ragam dan peragam maka digunakan formula : dimana : Hasil dari proses ini didapatkan nilai rasio koefisien band 1 dan band 2 (ki/kj) dimana nilai yang diperoleh untuk setiap cropping citra (Tabel 6), antara lain : Tabel 6. Nilai Rasio Koefisien Band 1 dan Band 2 (ki/kj) No. Tahun Nilai ki/kj , , ,672 Nilai ki/kj pada cropping citra di pulau Nusa Lembongan mengalami kenaikan setiap tahunnya. Menurut Setiawan (2012) bahwa perbedaan nilai (ki/kj) tergantung terhadap panjang gelombang band dan tingkat kekeruhan airnya. Setelah mendapatkan nilai ki/kj, kemudian nilai tersebut di masukkan ke dalam formula Lyzenga. Penerapan algoritma ini dimaksudkan untuk memperoleh

6 38 gambaran visual lebih baik untuk obyek-obyek bawah permukaan air, termasuk padang lamun (Lampiran 3). Metode yang digunakan mengacu pada metode asli yang dikembangkan oleh Lyzenga (1981). Adapun formulanya sebagai berikut: Lyzenga (Y) = (log(b1))+(nilai ki/kj*log(b2)) Keterangan : b1 = band 1(biru) b2 = band 2 (hijau) ki/kj = nilai koefisien atenuasi (Lyzenga 1981) Hasil dari algoritma Lyzenga berupa tampilan citra baru yang menampakkan kelas dasar perairan dangkal. Banyaknya kelas terlihat pada histogram yang diwakili oleh puncak-puncak nilai piksel yang dominan (Lampiran 2). Citra hasil hasil transformasi disajikan dalam colour LUT Rainbow. Kunci interpretasi citra yang digunakan sebagai acuan dalam membantu mengindentifikasi fitur dan menentukan warna pada transformasi algoritma Lyzenga adalah colour LUT Rainbow. Kunci interpretasi dibagi menjadi 7 (tujuh) kelas berdasarkan transformasi yang dilakukan COREMAP (2001) yaitu : Warna Ungu gelap adalah daratan Warna biru dan ungu adalah laut Warna kuning adalah pasir Warna cyan hijau tegas adalah terumbu karang hidup Warna merah adalah karang mati Warna cyan biru menyebar adalah kekeruhan perairan Warna coklat bercak bercak atau orange adalah lamun Berdasarkan hasil algoritma Lyzenga tersebut untuk citra tahun 2007 mengalami banyak kekeliruan, warna hijau yang mengindikasikan untuk terumbu karang hidup dan warna kuning untuk pasir namun secara visual merupakan kekeruhan pada gambar citra yang ditangkap oleh satelit. Pada citra tahun 2009 terjadi kekeliruan dalam interpretasi, sebagian laut berwarna hijau dan sedikit

7 39 warna kuning karena secara visual juga terjadi kekeruhan pada citra. Sedangkan pada citra tahun 2010 tidak terjadi banyak kekeliruan dalam interpretasi hanya saja terdapat awan yang ditunjukkan warna ungu gelap sehingga dapat mempengaruhi nilai spektral saat identifikasi citra terhadap warna daratan. Keterbatasan penggunaan metode algoritma Lyzenga menurut Green et al. (2000) adalah adanya kekeruhan pada citra, awan dan juga bayangan awan akan mempengaruhi nilai spektral citra. Namun, dimana sifat air cukup konstan, metode algoritma Lyzenga sangat baik untuk meningkatkan interpretasi visual citra dan akurasi pada saat klasifikasi Klasifikasi Citra Proses pengklasifikasian diolah dengan software ER Mapper yang didasarkan pada algoritma Lyzenga sebagai kunci interpretasi. Kelas yang dihasilkan pada unsupervised classification adalah kelas spektral yaitu kelas didasarkan pada nilai natural spektral citra (Lampiran 3). Setiap kelas habitat dasar perairan memiliki nilai spektral yang berbeda. Klasifikasi citra dibagi menjadi 100 kelas agar lebih memudahkan dalam penggabungan kelas mengingat jumlah kelas yang dihasilkan cukup banyak dan warna yang ditampilkan terlalu beragam yang selanjutnya di reclass menjadi 6 kelas yaitu kelas lamun, pasir, karang hidup, karang mati, darat dan laut dalam sesuai kunci interpretasi yang digunakan COREMAP (2001) (Lampiran 4). Proses klasifikasi juga di reclass kembali untuk menggabungan kelas yang sama dengan menggunakan ArcToolbox dengan ekstensi Reclassify pada Software Arc GIS 9.3 berdasarkan nilai-nilai data raster citra. Hasil reklasifikasi dilakukan pengeditan warna dan interpretasi kelas serta diberi label. Pengeditan dilakukan untuk memperbaiki keakuratan perhitungan luasan dan menghilangkan fitur yang tidak diinginkan setelah diidentifikasi seperti awan dan kekeruhan (Lampiran 5). Hasil tersebut masih perlu diakurasikan keakuratannya dengan survei lapangan sehingga hasil klasifikasi dapat disajikan dalam bentuk peta tematik sebagai informasi sebaran lamun di perairan Nusa Lembongan. Dalam penelitian ini survei lapangan sebagai validasi pada klasifikasi citra tahun 2007, 2009 dan 2010.

8 Survei Lapangan (Ground Check) Kegiatan survei lapangan pada penelitian ini dilakukan di sekitar perairan Nusa Lembongan selama 3 hari (12,13,14 April 2013). Pengamatan kondisi lamun dengan transek kuadrat dan pengukuran parameter lingkungan perairan dilakukan pada sore hari ketika air laut sudah surut agar mempermudah dalam pengambilan data survei lapangan. Survei lapangan dilakukan untuk melengkapi dan membuktikan hasil interpretasi citra satelit yang masih meragukan. Survei yang dilakukan dengan memilih beberapa titik sampel secara acak dan perlu dibuktikan kebenarannya dan melakukan pengukuran mengenai posisi objek dengan menggunakan GPS (Global Positioning System), kemudian hasil dari survei lapangan untuk melihat kesesuaian hasil pengecekan dilapangan dengan hasil interpretasi dari citra satelit ALOS AVNIR2 yang dituliskan pada form validasi data (Lampiran 5). Karakteristik citra ALOS AVNIR2 dengan resolusi spasial 10 meter cukup akurat dalam mendeteksi geomorfologi padang lamun dengan baik. Lokasi penelitian terbagi dalam lima stasiun yang menyebar diseluruh daerah perairan Nusa Lembongan, titik stasiun I (08 o 39'48.8'' LS dan 115 o 27'21.5'' BT), titik stasiun II (8 41'27.4" LS dan 115 o 27'11.8'' BT), titik stasiun III (8 41'40.5" LS dan 115 o 26'15.3'' BT), titik stasiun IV (08 o 40'57.7'' LS dan 115 o 25'58.3'' BT) dan titik stasiun V (08 o 40'45.4'' LS dan 115 o 26'43.9'' BT). Berdasarkan pengamatan lapangan selama penelitian, Nusa Lembongan memiliki karakteristik pantai yang beragam, diantaranya: 1. Pantai berpasir halus yang merupakan perairan pantai dangkal dan relatif tenang. 2. Pantai berpasir bercampur pecahan karang (coral rubble) yang merupakan daerah yang perairan pantainya mendapatkan aksi gelombang yang besar sehingga mengakibatkan pecahan-pecahan karang. 3. Pantai bertebing terjal merupakan dasar perairan pantai yang dalam, tidak dipengaruhi oleh pasang surut dan mendapatkan aksi gelombang yang besar. 4. Pantai bermangrove merupakan pantai dangkal dan landai yang dipengaruhi oleh pasang surut.

9 Suhu Perairan ( o C) Karakteristik Fisik dan Kimia Perairan Parameter fisik kimia suatu perairan memegang peranan yang penting dalam menunjang kehidupan organisme di suatu perairan, terutama ekosistem lamun karena kondisi parameter fisik kimia perairan secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi segala bentuk kehidupan organisme perairan. Karakteristik fisik kimia pada suatu habitat akan mendukung suatu struktur komunitas biota yang hidup di dalamnya. Berdasarkan hal tersebut maka pengukuran parameter fisika kimia perairan dilakukan untuk mengetahui bagaimana kondisi perairan yang ditumbuhi ekosistem lamun di perairan Nusa Lembongan (Tabel 7). Tabel 7. Hasil Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Perairan No. Parameter Stasiun I II III IV V 1 Suhu ( o C) 25,5 26,3 26,6 27,2 27,1 2 Kecerahan (%) Kecepatan Arus (m/det) 0,043 0,057 0,051 0,086 0,077 4 Kedalaman (cm) 44,4 58,7 62,1 83,3 76,5 5 Salinitas ( o / oo ) ph 7,91 8,34 8,23 8,21 8, Suhu Suhu Perairan 24.5 Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V Gambar 16. Diagram Suhu Perairan

10 42 Berdasarkan hasil pengukuran suhu pada kelima stasiun pengamatan diperoleh nilai yang berkisar antara o C. Suhu daerah tersebut tergolong dengan temperatur yang cukup rendah dikarenakan pengamatan dilakukan pada bulan April yang merupakan musim peralihan dari musim Barat ke musim Timur. Nilai-nilai tersebut terlihat bahwa suhu perairan di setiap lokasi pengamatan relatif sama dan berada dalam kisaran yang normal di perairan tropis. Suhu terendah terjadi pada stasiun I, yaitu 25,5 o C dan suhu tertinggi pada stasiun IV, yaitu 27,2 o C. Kondisi suhu di perairan pesisir pada umumnya selalu berfluktuasi karena dipengaruh oleh faktor oseanografi lautan. Pada saat terjadi surut suhu perairan relatif lebih tinggi dibanding pada saat pasang, sebaliknya pada saat air pasang suhu perairan pesisir relatif lebih rendah (Alhanif 1996) Kecerahan Hasil pengukuran kecerahan perairan pada kelima stasiun lokasi pengamatan menunjukkan nilai kecerahan mencapai 100 % karena perairan relatif dangkal berkisar antara 44,4-83,3 cm dan dapat memberikan informasi yang lebih tepat. Menurut Sunnudin (2012), kecerahan mempengaruhi pertumbuhan lamun, kecerahan mempengaruhi intensitas cahaya yang masuk ke perairan. Lamun dapat beradaptasi dengan perairan keruh selama masih terdapat sinar matahari masih mencukupi untuk kelangsungan hidupnya. Kerusakan lamun dapat terjadi karena kekurangan cahaya akibat terjadinya kekeruhan atau banyaknya sedimen sehingga menyebabkan lamun sulit untuk berfotosintesis Kecepatan Arus Arus air daerah tubir (daerah yang dalam di laut) sampai ke tengah di sekitar perairan Nusa Lembongan relatif keras karena berkaitan dengan letak geografis perairan dalam Indonesia di sebelah utara. Faktor yang cukup dominan yang mempengaruhi gerak arus adalah angin dan gelombang. Disamping itu, dangkalnya perairan dan keberadaan komunitas lamun juga mempunyai pengaruh yang besar dalam memperlambat gerak arus (Hamid 1996).

11 Kecepatan Arus Perairan (m/det) Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V Kecepatan Arus Perairan Gambar 17. Diagram Kecepatan Arus Perairan Hasil pengukuran kecepatan arus pada kelima lokasi stasiun pengamatan menunjukkan nilai dengan kisaran antara 0,043-0,086 m/det. Kecepatan arus terendah pada stasiun I, yaitu 0,043 m/det. Sedangkan kecepatan arus pada stasiun IV lebih tinggi dibandingkan keempat stasiun lainnya. Hal ini terjadi disebabkan karena lokasi stasiun IV merupakan daerah yang langsung menghadap ke selat Badung yang memisahkan Pulau Nusa Penida dengan Nusa Lembongan. Berdasarkan penelitian Alhanif (1996) bahwa selat Badung memiliki arus yang sangat kuat terutama pada saat terjadi perubahan air dari pasang menjadi surut atau sebaliknya. Bagi padang lamun, kecepatan arus mempunyai pengaruh nyata terutama tinggi rendahnya produktivitas padang lamun. Turtle grass mempunyai kemampuan maksimal menghasilkan biomassa pada saat kecepatan arus sekitar 0,5 m/det (Berwick 1983) Kedalaman Kedalaman perairan pesisir sangat berkaitan dengan fenomena pasang surut. Berdasarkan hasil pengukuran kedalaman saat survei lapangan diperoleh kedalaman rata-rata dibawah 1 m. Kedalaman perairan lokasi penelitian berturutturut dari stasiun I sampai V diantaranya 44,4 cm; 58,7 cm; 62,1 cm; 83,3 cm dan

12 Salinitas Perairan ( o / oo ) Kedalaman Perairan (cm) 44 76,5 cm. Menurut Sitania (1998), kisaran kedalaman tersebut merupakan kedalaman ideal untuk pertumbuhan vegetasi lamun karena komunitas lamun berada di antara batas terendah daerah pasang surut sampai kedalaman tertentu dimana cahaya matahari masih dapat mencapai dasar laut. Pengukuran kedalaman dilakukan ketika keadaan surut, yaitu sore hari yang bertujuan agar perhitungan persentase tutupan dan jumlah tegakan lamun dapat dilakukan dengan mudah Kedalaman Perairan Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V Gambar 18. Diagram Kedalaman Perairan Salinitas Salinitas Perairan Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V Gambar 19. Diagram Salinitas Perairan

13 45 Nilai salinitas optimum untuk lamun adalah 35 o / oo (Berwick 1983). Penurunan salinitas menyebabkan penurunan laju fotosintesis dan pertumbuhan (Berwick 1983). Hasil pengukuran salinitas pada kelima stasiun pengamatan diperoleh nilai masing-masing 30 o / oo, 31 o / oo, 31 o / oo, 34 o / oo dan 32 o / oo. Berdasarkan nilai-nilai tersebut terlihat bahwa fluktuasi salinitas tidak terlalu besar dan merupakan kisaran yang menunjang laju pertumbuhan pada lamun. Salinitas di perairan dipengaruhi oleh penguapan dan jumlah curah hujan. Salinitas tinggi terjadi jika curah hujan yang turun di suatu perairan rendah yang menyebabkan penguapan tinggi. Sebaliknya, jika curah hujan tinggi maka penguapan berkurang dan salinitas menjadi rendah (Berwick 1983). Kegiatan survei lapangan di Nusa Lembongan dilakukan saat curah hujan cukup tinggi sehingga mengakibatkan nilai pengukuran salinitas pada kelima stasiun cukup rendah Derajat Keasaman (ph) Nilai derajat keasaman (ph) pada suatu perairan sering kali dijadikan acuan untuk menyatakan baik buruknya suatu perairan karena memiliki pengaruh yang besar terhadap organisme perairan. Air laut mempunyai kemampuan untuk menyangga (buffer) yang sangat besar untuk mencegah perubahan ph. Perubahan ph dari ph alami akan menyebabkan terganggunya sistem penyangga, hal ini dapat menimbulkan perubahan dan ketidakseimbangan kadar CO 2 yang dapat membahayakan kehidupan biota laut (Fardiaz 1992). Nilai derajat keasaman (ph) yang terdapat pada lima stasiun pengamatan berkisar antara 7,90-8,34. Nilai tersebut menunjukkan bahwa ph perairan cenderung bersifat basa dan termasuk kisaran normal bagi ph air laut di Indonesia yang pada umumnya bervariasi antara 6,0-8,5 (Fardiaz 1992). Pada kisaran ph tersebut dapat disimpulkan bahwa perairan yang menjadi lokasi pengamatan termasuk dalam nilai ph yang optimum untuk pertumbuhan lamun.

14 Derajat Keasaman Perairan Derajat Keasaman Perairan 7.6 Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V Gambar 20. Diagram Derajat Keasaman Perairan 4.4 Karakteristik Substrat Padang lamun mampu tumbuh pada hampir seluruh tipe substrat mulai dari substrat lumpur sampai substrat keras seperti batuan dan karang, namun pada umumnya jenis-jenis tertentu hanya dapat tumbuh dengan baik pada satu tipe substrat saja (Irfania 2009). Berdasarkan hasil analisis besar butir substrat yang terdapat pada kelima stasiun pengamatan yang kemudian diolah dengan software Kummod dapat dilihat pada Tabel 8 berikut. Tabel 8. Analisis Besar Butir Substrat dengan Software Kummod Stasiun Kerikil Pasir Lanau Lempung (%) (%) (%) (%) Tipe Substrat I 8,2 91,8 0,0 0,0 Pasir kerikilan II 1,6 98,4 0,0 0,0 Pasir sedikit kerikilan III 8,2 91,8 0,0 0,0 Pasir kerikilan IV 2,5 97,5 0,0 0,0 Pasir sedikit kerikilan V 14,1 85,9 0,0 0,0 Pasir kerikilan Tipe substrat pada kelima stasiun pengamatan di perairan Nusa Lembongan sebagian besar terdiri dari pasir. Secara umum seluruh stasiun memiliki komposisi pasir yang besar, yaitu sekitar 85,9 % - 98,4 % dan sedikit komposisi kerikil yang berkisar antara 1,6 % - 14,1 %. Pada kelima stasiun

15 47 pengamatan tidak terdapat komposisi lanau dan lempung. Klasifikasi tipe substrat seperti berbatu, berpasir, pasir berkerikil dan kerikil berpasir dan lainnya didasari oleh komposisi partikel yang terkandung pada substrat. 4.5 Sebaran Lamun di Perairan Nusa Lembongan Penyebaran lamun di Perairan Nusa Lembongan dalam penelitian ini berupa peta tematik dari hasil interpretasi citra lamun dan klasifikasi lainnya. Peta tematik digunakan untuk mewakili informasi tertentu mengenai suatu daerah, peta tematik yang dihasilkan berupa peta klasifikasi dasar perairan dangkal tahun 2007, 2009 dan 2010 (Gambar 21-23). Tabel 9. Luas Perubahan Kelas di Nusa Lembongan Tahun Kelas Area (Ha) Area Perubahan Ha % Lamun 177,7 130,9 46,8 26,3 - Karang Hidup 49,2 37,4 11,8 23,9 - Karang Mati 37,8 68,7 30,9 81,7 + Pasir 139,7 167,4 27,7 19,8 + Keterangan : (+) peningkatan; (-) penurunan Luasan citra yang terklasifikasi tahun 2007 sampai tahun 2010 mengalami perubahan luasan, baik peningkatan dan penurunan. Pada kelas lamun dan karang hidup terjadi penurunan luasan sedangkan kelas karang mati dan pasir mengalami peningkatan luasan. Hasil klasifikasi dan interpretasi citra didapatkan luasan padang lamun di perairan Nusa Lembongan pada tahun 2007 mencapai 177,7 ha sedangkan pada tahun 2010 mengalami penurunan menjadi 130,9 ha. Dari hasil analisis area perubahan, dapat dilihat bahwa penurunan luasan padang lamun sebesar 46,8 ha atau terjadi penurunan persentasenya sebesar 26,3 %. Perubahan luasan padang lamun pada peta akibat terdegradasinya lamun menjadi karang hidup, karang mati atau pasir dan begitu juga sebaliknya. Hasil dari peta wilayah keberadaan jenis ekosistem di harapkan dapat digunakan sebagai langkah awal acuan sebagai penentuan kawasan konservasi.

16 48 Gambar 21. Peta Sebaran Lamun Tahun 2007 Gambar 22. Peta Sebaran Lamun Tahun 2009

17 49 Gambar 23. Peta Sebaran Lamun Tahun 2010 Perubahan padang lamun yang disebabkan baik oleh aktivitas manusia disekitar tumbuhnya lamun di perairan Nusa lembongan seperti jalur navigasi, budidaya rumput laut dan kegiatan lainnya maupun akibat perubahan kondisi alam yang menyebabkan penurunan produktivitas sumberdaya ekosistem dan keanekaragaman hayati yang dikandungnya. Oleh sebab itu perlu dilakukan deteksi perubahan padang lamun dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh yang memiliki fungsi untuk merekam data dan informasi secara luas, berulang dan lebih terinci dalam mendeteksi perubahan suatu ekosistem. Deteksi perubahan padang lamun yang terjadi di perairan Nusa Lembongan dapat dilihat secara visual dengan melakukan perbandingan peta sebaran lamun antara tahun 2007, 2009 dan 2010 (Gambar 21-23). Ekosistem padang lamun terdapat mengelompok di utara dan barat Nusa Lembongan. Keberadaan padang lamun berkaitan erat dengan keberadaan substrat dasar pasir,

18 50 karena pada umumnya lamun tumbuh pada perairan dengan substrat pasir halus (Kiswara dan Hutomo 1985). Perubahan padang lamun di perairan Nusa Lembongan dari tahun 2007 sampai tahun 2010 mengalami perubahan klasifikasi dengan kelas lain. Pada peta terlihat perubahan luasan lamun, disebelah selatan akibat terdegradasinya lamun sehingga menjadi tempat terbentuknya terumbu karang, baik karang mati maupun karang hidup. Terdegradasinya ekosistem lamun yang tergambar pada peta hanya menunjukkan pasir/substrat dasar perairan. Adapun hilangnya karang hidup dan karang mati yang disebabkan oleh faktor fisik dan kimia suatu perairan yang tidak mendukung pertumbuhan terumbu karang sehingga menjadi tempat yang baik untuk pertumbuhan lamun. Terdegradasinya ekosistem lamun yang terdapat pada peta sehingga menjadi tempat pertumbuhan terumbu karang sangat tidak memungkinkan dalam periode waktu 2 tahun karena pembentukan karang memerlukan proses yang cukup lama dan kompleks. Hal tersebut kemungkinan karena kesalahan klasifikasi pada citra yang diakibatkan karena adanya kekeruhan pada citra, awan dan juga bayangan awan yang mempengaruhi nilai spektral citra. Perubahan ilmiah yang memungkinkan apabila sebaran pasir/substrat dasar perairan ditumbuhi oleh ekosistem lamun yang menunjukkan adanya pertumbuhan lamun maupun sebaliknya. Penerapan algoritma ini sangat terbatas untuk perairan yang memiliki daya tembus rendah, sehingga hasil dari transformasi citra masih mengalami kekeliruan (Setiawan 2012). Padang lamun pada peta sebaran lamun di Nusa Lembongan menyebar hampir diseluruh perairan tetapi sangat sedikit dan semakin berkurang bahkan menghilang disebelah timur yang berdekatan dengan tumbuhnya padang mangrove. Hal ini diduga lokasi tersebut merupakan lokasi endapan lumpur yang kaya akan bahan organik yang terdapat di dalam tanah, terutama berasal dari sisa tumbuhan yang diproduksi oleh mangrove. Kondisi tanah seperti ini sangat baik untuk tumbuhnya padang mangrove tetapi tidak untuk lamun karena dari endapan lumpur dan adanya bahan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan organik yang berupa plankton dan

19 51 mikroorganisme lain mengakibatkan kekeruhan air. Kekeruhan air juga mengurangi intensitas cahaya yang masuk sehingga akan menghambat proses fotosintesis oleh tumbuhan air yang berakibat turunnya produktivitas primer pada ekosistem lamun. 4.6 Komunitas Lamun Komposisi Jenis Tabel 10. Jenis-jenis Lamun pada Tiap Stasiun Pengamatan No. Jenis Lamun Stasiun I II III IV V 1 Thalassia hemprichii * - * * * 2 Enhalus acoroides * * 3 Halophila ovalis * * * * - 4 Cymodocea serrulata * - 5 Halodule pinifolia * 6 Syringodium isoetifolium * * 7 Halodule uninervis * Keterangan : (*) Ada; (-) Tidak Ada Berdasarkan hasil pengamatan pada kelima lokasi stasiun, ditemukan tujuh spesies lamun yang termasuk dalam dua famili, yaitu Hydrocharitaceae terdapat tiga spesies diantaranya Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis sedangkan dari famili Potamogetonaceae terdapat empat spesies diantaranya Cymodocea serrulata, Halodule pinifolia, Syringodium isoetifolium dan Halodule uninervis. Penyebaran ketujuh spesies tersebut tidak merata dan tidak terdapat pada semua stasiun pengamatan, hanya jenis Thalassia hemprichii dan Halophila ovalis saja yang ditemukan pada empat stasiun pengamatan. Sedangkan spesies lamun yang jarang dijumpai adalah Cymodocea serrulata dan Halodule uninervis yang hanya ditemukan pada satu lokasi pengamatan saja. Meskipun secara keseluruhan pada kelima stasiun ditemukan tujuh spesies, akan tetapi pada tiap plot transek memiliki komposisi kombinasi spesies yang berbeda-beda. Misalnya apabila antar transek dijumpai jumlah spesies yang sama, yaitu dua atau tiga spesies, tetapi jenisnya belum tentu sama. Dapat dilihat pada kelima stasiun, variasi spesies pada stasiun empat paling beragam dibanding

20 52 keempat stasiun lainnya sedangkan pada stasiun dua hanya ditemukan satu spesies saja. Keberadaan tiap spesies lamun sangat erat kaitannya dengan kondisi lingkungan terutama substrat dasar perairannya. Substrat memegang peranan yang penting, dan berdasarkan pengamatan survei lapangan ditemukan beberapa jenis lamun tidak mampu tumbuh dengan baik pada substrat yang tidak sesuai. Beberapa faktor lingkungan dan aktivitas manusiapun sangat mempengaruhi terhadap keberadaan lamun pada tiap stasiunnya (Arthana 2004) Kerapatan Lamun Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh kerapatan jenis lamun (Tabel 11) dengan tipe daun normal (Thalassia hemprichii) umumnya memiliki kerapatan tinggi pada setiap transeknya. Jenis ini ditemukan pada empat stasiun pengamatan mempunyai kerapatan paling tinggi pada stasiun III dengan kisaran kerapatan ind/m 2. Spesies Enhalus acoroides dengan tipe daun berbentuk pita besar ditemukan dengan kerapatan yang cukup kecil pada plot transek yang hanya ditemukan pada stasiun I dan V, yaitu 1-40 ind/m 2. Kerapatan jenis lamun berdaun kecil (Halophila ovalis) ditemukan pada stasiun I - IV dengan kisaran ind/m 2. Jenis ini merupakan satu-satunya lamun yang ditemukan pada stasiun II. Spesies lamun Cymodocea serrulata dan Halodule pinifolia hanya ditemukan pada stasiun IV dengan kerapatan bervariasi, yaitu ind/m 2. Syringodium isoetifolium yang mempunyai tipe daun kecil panjang memiliki kerapatan cukup tinggi, yaitu ind/m 2. Jenis Halodule uninervis hanya ditemukan pada stasiun V, yaitu ind/m 2. Kerapatan lamun per satuan luas sangat bervariasi bergantung kepada tipe substrat dan jenis lamun, karena jenis-jenis lamun mempunyai morfologi daun yang berbeda. Misalnya, jenis lamun yang mempunyai morfologi daun berbentuk pita besar, daun berbentuk pita ukuran sedang, daun berbentuk pita kecil dan bentuk daun normal (Nienhuis et al dalam Kiswara 1994).

21 Kerapatan (ind/m 2 ) 53 Tabel 11. Kerapatan Lamun pada Tiap Stasiun Pengamatan No. Jenis Stasiun I II III IV V 1 Thalassia hemprichii Enhalus acoroides Halophila ovalis Cymodocea serrulata Halodule pinifolia Syringodium isoetifolium Halodule uninervis Total Thalassia hemprichii Enhalus acoroides Halophila ovalis 100 Cymodocea serrulata 50 0 Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V Halodule pinifolia Syringodium isoetifolium Gambar 24. Diagram Kerapatan Jenis-jenis Lamun pada Tiap Stasiun Pengamatan Pengamatan pada stasiun I ditemukan 3 spesies lamun dengan kerapatan total 298 ind/m 2. Jenis Thalassia hemprichii merupakan jenis yang memiliki kerapatan tertinggi, yaitu 266 ind/m 2. Jenis Enhalus acoroides dan Halophila ovalis memiliki kerapatan yang cukup rendah, yaitu masing-masing sebesar 9 ind/m 2 dan 23 ind/m 2. Total kerapatan lamun pada stasiun II diperoleh sebesar 109 ind/m 2 yang hanya terdapat satu spesies lamun saja, yaitu Halophila ovalis. Hal tersebut disebabkan karena pada stasiun ini telah dilakukan pembersihan daerah yang ditumbuhi ekosistem lamun yang mengganggu kegiatan budidaya rumput laut.

22 54 Pada stasiun III memiliki kerapatan lamun sebesar 292 ind/m 2 yang terdiri dari dua spesies, yaitu Thalassia hemprichii dan Halophila ovalis. Thalassia hemprichii memiliki kerapatan yang sangat tinggi, yaitu sebesar 274 ind/m 2 dibandingkan dengan jenis Halophila ovalis sebesar 18 ind/m 2. Tingginya jenis Thalassia hemprichii karena memiliki kemampuan bertoleransi dalam kondisi lingkungan yang cukup drastis yang memungkinkan jenis ini dapat tumbuh dengan baik meskipun hanya mampu bertahan dalam waktu singkat. Pada stasiun IV merupakan nilai kerapatan tertinggi dibandingkan dengan kelima stasiun pengamatan lainnya, yaitu sebesar 414 ind/m 2, dan pada stasiun ini terdapat spesies terbanyak yaitu lima spesies diantaranya Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Cymodocea serrulata, Halodule pinifolia dan Syringodium isoetifolium. Tingginya kerapatan lamun pada stasiun IV dan keanekaragaman jenis yang banyak karena didukung oleh kondisi lingkungan yang cocok bagi tumbuhan lamun dan juga masih sedikitnya aktivitas manusia seperti budidaya rumput laut dan aktivitas wisata setempat maupun untuk pariwisata. Suhu pada stasiun ini, yaitu 27,2 o C dan salinitas nya sebesar 34 o / oo yang merupakan suhu dan salinitas optimum bagi lamun untuk melakukan proses fotosintesis. Interaksi antara parameter fisik kimia terhadap padang lamun di stasiun ini menyebabkan lamun dapat bertoleransi dengan baik. Menurut Supriyadi (2009) bahwa kondisi perairan dan lingkungan sangat mempengaruhi bagi pertumbuhan lamun, seperti suhu yang mempengaruhi proses metabolisme bagi lamun, salinitas yang mempengaruhi kerapatan dan produktivitas lamun serta kondisi perairan dan lingkungan lainnya yang cocok bagi lamun untuk tumbuh. Jenis lamun yang ditemukan pada stasiun V adalah Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Syringodium isoetifolium dan Halodule uninervis dengan kerapatan total 370 ind/m 2. Jenis Syringodium isoetifolium dengan kerapatan 265 ind/m 2. Total kerapatan lamun dan tingginya keanekaragaman jenis pada stasiun V hampir sama dengan stasiun IV, hal ini disebabkan karena karakteristik kondisi fisik dan kimia (Tabel 7) perairan pada kedua stasiun relatif sama yang mendukung tumbuhnya lamun. Sunnudin (2012) menyatakan bahwa beberapa

23 Persentase tutupan (%) 55 faktor Lingkungan fisik kimia yang mempengaruhi pertumbuhan lamun adalah suhu, kecerahan, salinitas, substrat, arus, kedalaman, nutrien dan gelombang Persentase Tutupan Lamun Penutupan menggambarkan tingkat penutupan ruang oleh komunitas lamun. Persentase tutupan komunitas lamun pada lokasi penelitian relatif tinggi dengan kisaran penutupan % dari keseluruhan area yang potensial ditumbuhi lamun. Penutupan tertinggi terdapat pada stasiun IV dan V (90 %) dan penutupan terendah terdapat pada stasiun II (47 %). Hasil pengamatan nilai persentase penutupan masing-masing jenis lamun pada lima stasiun dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Persentase Tutupan Lamun pada Tiap Stasiun Pengamatan No. Jenis Stasiun I II III IV V 1 Thalassia hemprichii 75,86-75,87 33,69 1,52 2 Enhalus acoroides 2, ,69 3 Halophila ovalis 5, ,13 22,16-4 Cymodocea serrulata ,42-5 Halodule pinifolia ,29-6 Syringodium isoetifolium , Halodule uninervis ,79 Total Thalassia hemprichii 50 Enhalus acoroides 40 Halophila ovalis Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V Cymodocea serrulata Halodule pinifolia Syringodium isoetifolium Gambar 25. Diagram Persentase Tutupan Jenis-jenis Lamun pada Tiap Stasiun Pengamatan

24 56 Persentase tutupan total lamun pada stasiun I adalah 84 % yang didominasi oleh jenis Thalassia hemprichii, yaitu sebesar 75,86 %. Kondisi tutupan lamun pada stasiun I cukup merata dan menyebar karena kegiatan budidaya rumput laut masih sedikit dan tidak mengganggu keberadaan komunitas lamun tersebut. Pada stasiun ini dengan kedalaman perairan 44,4 cm, intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan sangat memungkinkan sehingga sangat membantu dalam proses fotosintesis lamun serta kecepatan arus pada stasiun ini tergolong paling rendah, yaitu sebesar 0,043 m/det sehingga tidak banyak lamun yang rusak akibat gelombang atau arus dari laut. Di stasiun II diperoleh nilai persentase tutupan sebesar 47 % yang hanya terdapat satu spesies lamun saja, yaitu Halophila ovalis. Persentase tutupan lamun di stasiun II yang relatif kecil disebabkan karena terus-menerusnya kegiatan budidaya rumput laut di daerah ini yang cukup meluas. Kondisi perairan di stasiun ini cukup dangkal, dengan kedalaman 58,7 cm dan kondisi arus lautnya yang rendah, yaitu 0,057 m/det sehingga sangat mendukung untuk aktivitas budidaya rumput laut. Beberapa masyarakat beranggapan bahwa lamun merupakan alangalang yang menjadi penghalang bagi tumbuhnya budidaya rumput laut disekitarnya sehingga dilakukan pengerukan agar tidak mengganggu pertumbuhan rumput laut. Tujuan lain dikeruknya dasar perairan adalah untuk mendapatkan kedalaman optimal agar rumput laut tumbuh dengan baik dan mencegah kekeringan pada saat surut. Lamun jenis Halophila ovalis ini dibiarkan tumbuh karena ukurannya yang sangat kecil dan menempel pada substrat sehingga para masyarakat budidaya rumput laut beranggapan bahwa jenis ini tidak mengganggu aktivitas budidaya rumput laut. Persentase tutupan pada stasiun III mencapai 83 % yang didominasi oleh jenis Thalassia hemprichii sebesar 75,87 % seperti yang terdapat pada stasiun I. Bagian 17 % yang tidak tertutupi lamun adalah pasir dan kerikil yang menjadi substrat tumbuhnya lamun pada stasiun ini. Kondisi lamun pada stasiun ini cukup mendapat perhatian karena aktivitas para masyarakat pesisir budidaya rumput laut dan menambatkan perahunya baik menangkap ikan maupun mengambil hasil budidaya rumput laut.

25 57 Sedangkan pada stasiun IV dan V merupakan persentase tutupan terbesar yang mencapai 90 %. Pada stasiun IV terdapat lima spesies lamun sedangkan stasiun V terdapat empat spesies lamun. Kesamaan total persentase penutupan pada kedua stasiun ini dimungkinkan karena kondisi fisik dan kimia (Tabel 7) yang hampir sama hanya saja komunitas lamun pada stasiun IV lebih menyebar luas. Kelima stasiun tersebut sangat jarang bahkan hampir tidak ada ditemukannya jenis Enhalus acoroides karena jenis ini tumbuh pada substrat berlumpur dari perairan keruh dan dapat membentuk jenis tunggal, atau mendominasi komunitas padang lamun. Begitu juga pada jenis Halophila ovalis yang berdaun kecil-kecil memiliki penyebaran yang sama dengan Enhalus acoroides, namun keberadaannya hanya terbatas pada bagian perairan dangkal, sehingga bila ada proses kekeruhan, sebagian penetrasi cahaya masih dapat mencapai dasar perairan yang tetap memberikan kesempatan lamun jenis ini untuk tumbuh dan berfotosintesis. Komposisi penutupan pada jenis-jenis lamun memiliki tingkat penutupan yang berbeda-beda pada tiap stasiun, hal tersebut dikarenakan penyebaran tiap spesies yang terbatas pada kondisi substrat dan aktivitas manusia yang merusak keberadaan ekosistem lamun tersebut. Komposisi jenis, luas tutupan dan sebaran lamun dapat juga dipengaruhi ketersediaan nutrien pada substrat yang tidak merata sehingga lamun hanya tumbuh pada titik tertentu (Dahuri 2003). 4.7 Status Kondisi Padang lamun Penelitian ini memberikan analisis skala kondisi (skoring) sementara mengenai keadaan komunitas padang lamun dari komponen ekosistemnya seperti jumlah jenis/kerapatan jenis dan persentase tutupan lamunnya yang sangat bermanfaat dalam memetakan kesehatan ekosistem lamun di perairan Nusa Lembongan.

26 58 Tabel 13. Skala Kondisi Padang Lamun berdasarkan Kerapatan di Perairan Nusa Lembongan Stasiun Skala Kerapatan (ind/m 2 ) Kondisi I Sangat rapat II Rapat III Sangat rapat IV Sangat rapat V Sangat Rapat Tabel 14. Skala Kondisi Padang Lamun berdasarkan Persentase Tutupan di Perairan Nusa Lembongan Stasiun Skala Persentase Tutupan (%) Kondisi I 5 84 Sangat bagus II 3 47 Agak bagus III 5 83 Sangat bagus IV 5 90 Sangat bagus V 5 90 Sangat bagus Berdasarkan tabel skala (Tabel 13-14) kondisi padang lamun baik berdasarkan kerapatan maupun persentase Tutupan menunjukkan bahwa kondisi padang lamun di perairan Nusa Lembongan berada pada stasiun I, III, IV dan V memiliki tingkat kerapatan > 175 ind/m 2 yang masuk dalam kategori "sangat rapat" dan persentase tutupan > 75 % dengan kategori "sangat bagus". Sedangkan kondisi lamun pada stasiun II memiliki tingkat kerapatan 109 ind/m 2 yang masuk dalam kategori "rapat" dan persentase tutupan 47 % yang termasuk dalam kategori "agak bagus". Kategori "sangat bagus" dengan pengertian bahwa keanekaragaman jenis, persentase tutupan dan tingkat kerapatan relatif masih tinggi Informasi data spasial yang diperoleh dapat dilakukan identfikasi awal calon yang dapat diusulkan untuk kepentingan perlindungan lamun dan biota asosiasinya. Skala kondisi lamun pada stasiun I dan IV merupakan lokasi yang cocok untuk penetuan kawasan konservasi ekosistem lamun karena didukung kondisi perairan dan masih sedikitnya aktivitas masyarakat yang merusak keberadaan lamun. Penelitian yang dilakukan oleh Amran (2010) menyatakan bahwa, peta kondisi sebaran lamun di perairan Nusa Lembongan dapat digunakan sebagai dokumen status dan pengujian terhadap perubahan padang lamun dalam jangka panjang terutama perubahan luas, keragaman dan sebaran jenisnya. Penilaian

27 59 kondisi ekosistem lamun yang dilakukan dengan metode skoring ini diterapkan untuk penentuan calon lokasi konservasi. Hasil penelitian mengenai kondisi lamun dan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 200 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun, maka perlu dilakukan penzonaan ekosistem lamun di perairan Nusa Lembongan agar dapat dipertahankan kelestariannya mengingat pentingnya keberadaan ekosistem lamun ini sebagai produsen primer organik utama dibandingkan dengan ekositem perairan dangkal lainnya dan semakin menurunnya luasan ekosistem lamun yang semakin terdegradasi akibat aktivitas manusia, terutama kegiatan budidaya rumput laut dan pengerukan pantai untuk pembangunan yang digunakan sebagai daerah pariwisata. Kegiatan budidaya lamun yang dapat dilakukan adalah transplantasi lamun dengan tujuan untuk restorasi habitat. Mengingat adanya kegagalan dan keberhasilan transplantasi lamun memerlukan beberapa tahap penelitian pendahuluan untuk memperkecil kemungkinan gagalnya proyek transplantasi. Hal-hal yang perlu dipelajari antara lain adalah karakteristik perairan, tipe substrat, kecepatan tumbuh spesies dan berbagai parameter lain yang harus dipelajari.

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel. Lampiran 1. Praproses Citra 1. Perbaikan Citra Satelit Landsat Perbaikan ini dilakukan untuk menutupi citra satelit landsat yang rusak dengan data citra yang lainnya, pada penelitian ini dilakukan penggabungan

Lebih terperinci

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan waktu Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April 2013. Lokasi penelitian dilakukan di Perairan Nusa Lembongan, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Sebaran Lamun Pemetaan sebaran lamun dihasilkan dari pengolahan data citra satelit menggunakan klasifikasi unsupervised dan klasifikasi Lyzenga. Klasifikasi tersebut

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei sampai September 2010. Lokasi penelitian di sekitar Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

Jatinangor, 10 Juli Matius Oliver Prawira

Jatinangor, 10 Juli Matius Oliver Prawira KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas segala berkat dan rahmatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik yang berjudul Dinamika Karakteristik

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Ponelo merupakan Desa yang terletak di wilayah administrasi Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi Pengamatan Desa Otiola merupakan pemekaran dari Desa Ponelo dimana pemekaran tersebut terjadi pada Bulan Januari tahun 2010. Nama Desa Otiola diambil

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau datar yang melintang di barat daya Laut Jawa dan memiliki ekosistem terumbu karang, mangrove dan padang

Lebih terperinci

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, Nomor 2, September 2013 Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara 1,2 Nurtin Y.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati membuat laut Indonesia dijuluki Marine Mega-

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati membuat laut Indonesia dijuluki Marine Mega- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan kekayaan alamnya yang melimpah. Tidak terkecuali dalam hal kelautan. Lautnya yang kaya akan keanekaragaman hayati membuat

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Menurut Den Hartog (1976) in Azkab (2006)

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS)

KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS) KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS) Gautama Wisnubudi 1 dan Endang Wahyuningsih 1 1 Fakultas Biologi Universitas

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

Analisa Kondisi Ekosistem Mangrove Menggunakan Data Citra Satelit Multitemporal dan Multilevel (Studi Kasus: Pesisir Utara Surabaya)

Analisa Kondisi Ekosistem Mangrove Menggunakan Data Citra Satelit Multitemporal dan Multilevel (Studi Kasus: Pesisir Utara Surabaya) A554 Analisa Kondisi Ekosistem Mangrove Menggunakan Data Citra Satelit Multitemporal dan Multilevel (Studi Kasus: Pesisir Utara Surabaya) Deni Ratnasari dan Bangun Muljo Sukojo Departemen Teknik Geomatika,

Lebih terperinci

REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI

REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI Kerjasama TNC-WWF Wakatobi Program dengan Balai Taman Nasional Wakatobi Wakatobi, Juni 2008 1 DAFTAR ISI LATAR BELAKANG...

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Batimetri 4.1.1. Pemilihan Model Dugaan Dengan Nilai Digital Asli Citra hasil transformasi pada Gambar 7 menunjukkan nilai reflektansi hasil transformasi ln (V-V S

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Pulau Nusa Lembongan Nusa Lembongan merupakan salah satu dari tiga pulau di Kecamatan Nusa Penida dan pulau terbesar kedua setelah Pulau Nusa Penida. Letak Nusa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perairan Pulau Pramuka terletak di Kepulauan Seribu yang secara administratif termasuk wilayah Jakarta Utara. Di Pulau Pramuka terdapat tiga ekosistem yaitu, ekosistem

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Maret sampai bulan November 2009. Objek penelitian difokuskan pada wilayah Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan

Lebih terperinci

Evaluasi Kesesuaian Tutupan Lahan Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 Tahun 2009 Dengan Peta RTRW Kabupaten Sidoarjo Tahun 2007

Evaluasi Kesesuaian Tutupan Lahan Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 Tahun 2009 Dengan Peta RTRW Kabupaten Sidoarjo Tahun 2007 JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (Oktober, 2013) ISSN: 2301-9271 Evaluasi Kesesuaian Tutupan Lahan Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 Tahun 2009 Dengan Peta RTRW Kabupaten Sidoarjo Tahun 2007 Latri Wartika

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Fisika Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi pengambilan data (Lampiran 2), didapatkan hasil seperti tercantum

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki sekitar 13.000 pulau yang menyebar dari Sabang hingga Merauke dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km yang dilalui

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan suatu habitat yang sering dijumpai antara pantai berpasir atau daerah mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berada di daerah

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 2, (2017) ISSN: ( Print) A-572

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 2, (2017) ISSN: ( Print) A-572 JURNAL TEKNIK ITS Vol., No., (01) ISSN: 33-353 (301-1 Print) A-5 Analisa Kondisi Ekosistem Mangrove Menggunakan Data Citra Satelit Multitemporal dan Multilevel (Studi Kasus: Pesisir Utara Surabaya) Deni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki jumlah pulau yang sangat banyak dan dilintasi garis khatulistiwa. Wilayah Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu adalah serangkaian struktur kapur yang keras dan padat yang berada di dalam atau dekat permukaan air. Sedangkan karang adalah salah satu organisme laut yang tidak

Lebih terperinci

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Oleh : Indra Ambalika Syari C64101078 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

KEPADATAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii PADA BERBAGAI RASIO C:N:P SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

KEPADATAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii PADA BERBAGAI RASIO C:N:P SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU KEPADATAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii PADA BERBAGAI RASIO C:N:P SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU SEMINAR KOMPREHENSIF Dibawah Bimbingan : -Dr. Sunarto, S.Pi., M.Si (Ketua Pembimbing)

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan algoritma empiris klorofil-a Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10 dibawah ini adalah percobaan pembuatan algoritma empiris dibuat dari data stasiun nomor ganjil, sedangkan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Posisi Geografis dan Kondisi Perairan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terdiri atas dua kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrass) adalah tanaman air yang berbunga (Angiospermae) dan

2. TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrass) adalah tanaman air yang berbunga (Angiospermae) dan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lamun (Seagrass) Lamun (seagrass) adalah tanaman air yang berbunga (Angiospermae) dan mempunyai kemampuan beradaptasi untuk hidup dan tumbuh di lingkungan laut. Secara sepintas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA YUSTIN DUWIRI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Lebih terperinci

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA Nirmalasari Idha Wijaya 1, Inggriyana Risa Damayanti 2, Ety Patwati 3, Syifa Wismayanti Adawiah 4 1 Dosen Jurusan Oseanografi, Universitas

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR). Berdasarkan administrasi pemerintahan Provinsi Lampung kawasan ini berada

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

Komposisi Jenis, Kerapatan Dan Tingkat Kemerataan Lamun Di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara

Komposisi Jenis, Kerapatan Dan Tingkat Kemerataan Lamun Di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, Nomor 3, Desember 2013 Komposisi Jenis, Kerapatan Dan Tingkat Kemerataan Lamun Di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara

Lebih terperinci

Struktur Vegetasi Lamun di Perairan Pulau Saronde, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

Struktur Vegetasi Lamun di Perairan Pulau Saronde, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara Struktur Vegetasi Lamun di Perairan Pulau Saronde, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara 1.2 Siti Rahmi A.R. Nusi, 2 Abdul Hafidz Olii, dan 2 Syamsuddin 1 s.rahmi.nusi@gmail.com 2 Jurusan

Lebih terperinci

Fluktuasi Biomassa Lamun di Pulau Barranglompo Makassar

Fluktuasi Biomassa Lamun di Pulau Barranglompo Makassar Fluktuasi Biomassa Lamun di Pulau Barranglompo Makassar Supriadi Mashoreng Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 10 Tamalanrea Makassar E-mail : supriadi112@yahoo.com

Lebih terperinci

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS Oleh : Tyas Eka Kusumaningrum 3509 100 001 LATAR BELAKANG Kawasan Pesisir Kota

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN

PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN Drs. Dede Sugandi, M.Si. Drs. Jupri, MT. Nanin Trianawati Sugito, ST., MT. Jurusan Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 Prosedur analisis citra untuk penggunaan tanah 1. Pra-pengolahan data atau pengolahan awal yang merupakan restorasi citra 2. Pemotongan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

3. METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juni 2004 sampai bulan Desember 2006. Lokasi yang dipilih untuk studi kasus adalah Gugus Pulau Pari, Kepulauan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way

III. METODE PENELITIAN. berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way 13 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni sampai dengan September 2012 yang berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way Kambas

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penutupan Lahan Tahun 2003 2008 4.1.1 Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi penutupan lahan yang dilakukan pada penelitian ini dimaksudkan untuk membedakan penutupan/penggunaan

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Platax Vol. I-1, September 2012 ISSN:

Jurnal Ilmiah Platax Vol. I-1, September 2012 ISSN: STRUKTUR KOMUNITAS DAN BIOMASSA RUMPUT LAUT (SEAGRASS) DI PERAIRAN DESA TUMBAK KECAMATAN PUSOMAEN 1 Idris Baba 2, Ferdinand F Tilaar 3, Victor NR Watung 3 ABSTRACT Seagrass community structure is the basic

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisika dan Kimia Perairan Kondisi parameter fiskia-kimia perairan secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi segala bentuk kehidupan organisme perairan.

Lebih terperinci

SEBARAN DAN BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA MALANG RAPAT DAN TELUK BAKAU KABUPATEN BINTAN KEPULAUAN RIAU RUTH DIAN LASTRY ULI SIMAMORA

SEBARAN DAN BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA MALANG RAPAT DAN TELUK BAKAU KABUPATEN BINTAN KEPULAUAN RIAU RUTH DIAN LASTRY ULI SIMAMORA 1 SEBARAN DAN BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA MALANG RAPAT DAN TELUK BAKAU KABUPATEN BINTAN KEPULAUAN RIAU RUTH DIAN LASTRY ULI SIMAMORA ABSTRAK Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga Juni

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 17 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2008-Mei 2009 di Lokasi Rehabilitasi Lamun PKSPL-IPB Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua, Kepulauan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Bintan merupakan salah satu bagian dari gugusan pulau yang berada di wilayah Provinsi Kepulauan Riau.Wilayah administrasi gugus Pulau

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013. Lokasi penelitian dilaksanakan di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Gambar 1. Lokasi Penelitian 11 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Analisis citra dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada bulan Maret 2013. Identifikasi makrozoobentos dan pengukuran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki peranan penting sebagai wilayah tropik perairan Iaut pesisir, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

Lebih terperinci

STUDI TENTANG DINAMIKA MANGROVE KAWASAN PESISIR SELATAN KABUPATEN PAMEKASAN PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN DATA PENGINDERAAN JAUH

STUDI TENTANG DINAMIKA MANGROVE KAWASAN PESISIR SELATAN KABUPATEN PAMEKASAN PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN DATA PENGINDERAAN JAUH STUDI TENTANG DINAMIKA MANGROVE KAWASAN PESISIR SELATAN KABUPATEN PAMEKASAN PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN DATA PENGINDERAAN JAUH Bambang Suprakto Staf Pengajar Akademi Perikanan Sidoarjo Abstrak Pesisir selatan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian tugas akhir ini. Proses ini sangat berpengaruh terhadap hasil akhir penellitan. Pada tahap ini dilakukan

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi dan Peranan Lamun 2.1.1 Biologi Lamun Lamun (seagrass) termasuk dalam sub kelas monocotyledonae dan merupakan tumbuhan berbunga (kelas Angiospermae) (Yulianda 2002).

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS Oleh : Dwi Ayu Retnaning Anggreyni 3507.100.017 Dosen Pembimbing: Prof.Dr.Ir. Bangun M S, DEA, DESS Lalu Muhammad Jaelani, ST, MSc

Lebih terperinci

Oleh: HAZMI C SKRlPSl Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Fakultas Perikanan Dan llmu Kelautan

Oleh: HAZMI C SKRlPSl Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Fakultas Perikanan Dan llmu Kelautan or4 APLlKASl SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DAN PENGINDERAAN JAUH DALAM PENENTUAN WILAYAH POTENSIAL WISATA BAHARI TERUMBU KARANG Dl PULAU SATONDA, DOMPU, NUSA TENGGARA BARAT HAZMI C06498017 PROGRAM STUD1

Lebih terperinci

PENYUSUN Marindah Yulia Iswari, Udhi Eko Hernawan, Nurul D. M. Sjafrie, Indarto H. Supriyadi, Suyarso, Kasih Anggraini, Rahmat

PENYUSUN Marindah Yulia Iswari, Udhi Eko Hernawan, Nurul D. M. Sjafrie, Indarto H. Supriyadi, Suyarso, Kasih Anggraini, Rahmat PENYUSUN Marindah Yulia Iswari, Udhi Eko Hernawan, Nurul D. M. Sjafrie, Indarto H. Supriyadi, Suyarso, Kasih Anggraini, Rahmat Album Peta Lamun 2017 Pusat Penelitian Oseanografi PENYUSUN Marindah Yulia

Lebih terperinci

BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA BERAKIT KECAMATAN TELUK SEBONG KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA BERAKIT KECAMATAN TELUK SEBONG KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 1 BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA BERAKIT KECAMATAN TELUK SEBONG KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU Rudini, rudini1990@gmail.com Mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan FIKP-UMRAH Arief Pratomo, ST, M.Si

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

Identifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+

Identifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+ Identifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+ M. IRSYAD DIRAQ P. 3509100033 Dosen Pembimbing Prof. Dr. Ir. Bangun Muljo Sukojo, DEA, DESS 1 PENDAHULUAN

Lebih terperinci

ANALISA PENENTUAN LOKASI BUDIDAYA RUMPUT LAUT DENGAN PARAMETER FISIKA MAUPUN KIMIA MENGGUNAKAN CITRA TERRA MODIS DI DAERAH SELAT MADURA

ANALISA PENENTUAN LOKASI BUDIDAYA RUMPUT LAUT DENGAN PARAMETER FISIKA MAUPUN KIMIA MENGGUNAKAN CITRA TERRA MODIS DI DAERAH SELAT MADURA ANALISA PENENTUAN LOKASI BUDIDAYA RUMPUT LAUT DENGAN PARAMETER FISIKA MAUPUN KIMIA MENGGUNAKAN CITRA TERRA MODIS DI DAERAH SELAT MADURA Astrolabe Sian Prasetya 1, Bangun Muljo Sukojo 2, dan Hepi Hapsari

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu yang semakin berkembang pada masa sekarang, cepatnya perkembangan teknologi menghasilkan berbagai macam produk penginderaan jauh yang

Lebih terperinci

Analisa Kesehatan Mangrove Berdasarkan Nilai Normalized Difference Vegetation Index Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2

Analisa Kesehatan Mangrove Berdasarkan Nilai Normalized Difference Vegetation Index Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 Analisa Kesehatan Mangrove Berdasarkan Nilai Normalized Difference Vegetation Index Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 Tyas Eka Kusumaningrum 1) dan Bangun Muljo Sukojo 2) Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI IV.1 Gambaran Umum Kepulauan Seribu terletak di sebelah utara Jakarta dan secara administrasi Pulau Pramuka termasuk ke dalam Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut ini berada di Teluk Cikunyinyi, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 200 TAHUN 2004 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN DAN PEDOMAN PENENTUAN STATUS PADANG LAMUN

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 200 TAHUN 2004 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN DAN PEDOMAN PENENTUAN STATUS PADANG LAMUN SALINAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 200 TAHUN 2004 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN DAN PEDOMAN PENENTUAN STATUS PADANG LAMUN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah beriklim tropis dan merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya perairan. Laut tropis

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam

Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam Arif Roziqin 1 dan Oktavianto Gustin 2 Program Studi Teknik Geomatika, Politeknik Negeri Batam, Batam 29461 E-mail : arifroziqin@polibatam.ac.id

Lebih terperinci

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM 69 4. DESKRIPSI SISTEM SOSIAL EKOLOGI KAWASAN PENELITIAN 4.1 Kondisi Ekologi Lokasi studi dilakukan pada pesisir Ratatotok terletak di pantai selatan Sulawesi Utara yang termasuk dalam wilayah administrasi

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL Nam dapibus, nisi sit amet pharetra consequat, enim leo tincidunt nisi, eget sagittis mi tortor quis ipsum. PENYUSUNAN BASELINE PULAU-PULAU

Lebih terperinci

III. METODOLOGIPENELITIAN Waktu dan Tempat. Penelitian ini telah dilakukan tepatnya pada Agustus 2008, namun penyusunan

III. METODOLOGIPENELITIAN Waktu dan Tempat. Penelitian ini telah dilakukan tepatnya pada Agustus 2008, namun penyusunan III. METODOLOGIPENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilakukan tepatnya pada Agustus 2008, namun penyusunan laporan kembali dilakukan pada bulan Agustus hingga September 2009. Pengamatan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Pulau Barrang Lompo adalah salah satu pulau di kawasan Kepulauan Spermonde, yang berada pada posisi 119 o 19 48 BT dan 05 o 02 48 LS dan merupakan salah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kandungan air kanopi (Canopy Water Content) sangat erat kaitannya dalam kajian untuk mengetahui kondisi vegetasi maupun kondisi ekosistem terestrial pada umumnya. Pada

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. 1. BAKOSURTANAL, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Buku Tahunan. Bogor.

DAFTAR PUSTAKA. 1. BAKOSURTANAL, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Buku Tahunan. Bogor. DAFTAR PUSTAKA 1. BAKOSURTANAL, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut. 2006. Buku Tahunan. Bogor. 2. Dahuri, Rokhmin. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Gap Filling Citra Gap Filling citra merupakan metode yang dilakukan untuk mengisi garisgaris yang kosong pada citra Landsat TM hasil download yang mengalami SLCoff, sehingga

Lebih terperinci