BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan teknologi penyadap dan produksi data citra digital permukaan bumi telah mengalami perkembangan sejak 1960-an. Hal ini dibuktikan dengan semakin beragamnya jenis wahana, sensor, sistem, dan aplikasinya. Perkembangan teknologi penginderaan jauh yang pesat mempercepat terjadinya perubahan sistem penggunaan data citra digital. Hartono (2012) menjelaskan bahwa penginderaan jauh adalah teknologi untuk inventarisasi dan evaluasi data permukaan bumi dan sedikit bawah permukaan bumi. Dewasa ini penggunaan teknologi citra penginderaan jauh resolusi tinggi semakin meningkat. Hartono (2012) menjelaskan, bahwa citra satelit dan foto udara merupakan data produksi penginderaan jauh yang tersedia dalam berbagai resolusi spasial, spektral, dan temporal dari yang rendah hingga tinggi. Peningkatan teknologi sensor citra satelit penginderaan jauh sangat berpengaruh pada kualitas data citra yang dihasilkan. Danoedoro (2002) menjelaskan, bahwa penginderaan jauh sebagai teknologi yang memiliki keunggulan dalam pengadaan data citra satelit permukaan bumi mampu menyajikan informasi spasial yang lebih akurat. Produk data yang dihasilkan penginderaan jauh berupa citra satelit dan foto udara yang memberikan gambaran nyata permukaan bumi dan persebaran obyek secara spasial. Menurut Hartono (2010)) bahwa sensor multispektral yang digunakan penginderaan jauh saat ini telah didampingi oleh sensor hyperspektral. Hal ini menunjukkan bahwa citra satelit penginderaan jauh sensor multispektral dapat merekam nilai spektral dari suatu obyek dalam jumlah kanal yang terbatas semakin ditingkatkan kualitasnya. Sistem perolehan data penginderaan jauh semakin compatible dengan sistem informasi spasial dan memiliki mekanisme 1

2 pengamatan bumi secara real time (Hartono, 2011). Salah satu peranan penginderaan jauh adalah membantu kelangkaan data spasial dan input data dalam Sistem Informasi Geografis (Hartono, 2010). Berbagai jenis citra penginderaan jauh dalam memantau kondisi permukaan bumi dan salah satu jenis citra penginderaan jauh yang dapat mengidentifikasi obyek permukaan bumi adalah citra digital citra SPOT-4. Penginderaan jauh citra digital SPOT-4 dapat memberikan manfaat dalam bebagai bidang, seperti pemetaan wilayah, evaluasi penggunaan lahan, pemetaan sumberdaya alam, dan mengkaji fenomena potensi wilayah kepesisiran dan laut Hartono (2011). Selain teknologi penginderaan jauh, pengolahan data spasial yang semakin berkembang dengan pesat adalah sistem informasi geografis (Geographic Information System). Hartono (2011) menjelaskan bahwa teknologi penginderaan jauh digunakan bersama-sama dengan teknologi sistem informasi geografis dalam input, pemuthakhiran dan dukungan real time data. Teknologi sistem informasi geografis memiliki kemampuan dan akurasi yang tinggi dalam perolehan, pengolahan, analisis, dan penyajian data spasial. Kemampuan teknologi sistem informasi geografis dalam mengolah dan menyajikan data spasial permukaan bumi memberikan informasi tentang sebaran basis data spasial permukaan bumi dalam bentuk informasi geospasial. Keunggulan teknologi sistem informasi geografis memberikan banyak manfaat bagi pengguna, terutama yang berhubungan dengan perencanaan dan pengambilan keputusan strategik yang berkaitan dengan penataan ruang dan peruntukan lahan (Hartono, 2012). Sistem infonnasi geografis mampu menyajikan data spasial baru dengan tingkat akurasi yang tinggi melalui proses analisis spasial. Menurut Longley, et al. (2005), bahwa analisis spasial merupakan suatu analisis yang mendasarkan pada keberadaan dan posisi suatu obyek sesuai konsep keruangan dan umumnya bertitik tolak dari integrasi data keruangan obyek dengan data atribut yang menjelaskan obyek dalam keruangan. Keunggulan sistem informasi geogafis 2

3 dapat dimanfaatkan dalam berbagai kepentingan termasuk kepentingan pengadaan basis data spasial potensi lahan. Integrasi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis merupakan suatu sistem yang dapat membangun suatu model spasil potensi lahan. Pemodelan spasial potensi lahan merupakan suatu sistem berbasis spasial dan dapat membantu dalam membuat berbagai kebijakan yang terkait dengan permasalahan perencanaan pengembangan suatu wilayah termasuk pemodelan spasial potensi lahan kepesisiran (Dahuri, 2004). Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang mempertimbangkan bahwa sumberdaya alam yang beranekaragam di daratan, di lautan, dan di udara, perlu dilakukan dalam pola pembangunan yang berkelanjutan dengan mengembangkan tata ruang dalam satu kesatuan tata lingkungan yang dinamis. Penataan ruang untuk optimalisasi penggunaan lahan di wilayah kepesisiran perlu didukung oleh ketersediaan informasi aktual kondisi potensi lahan secara komprehensif. Teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis sangat memberikan kontribusi untuk menunjang proses perencanaan maupun pemanfaatan, dan pengendalian tata ruang penggunaan lahan. Penggunaan lahan di wilayah kepesisiran perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah karena banyak memunculkan permasalahan terutama degradasi potensi lahan. Degradasi potensi lahan akibat penggunaan lahan yang tidak terkendali akan berdampak pada kelangsungan hidup habitat pada wilayah kepesisiran. Berbagai permasalahan yang muncul di wilayah kepesisiran adalah kerusakan potensi lahan darat dan potensi perairan pantai. Menurut Dahuri (2001) kerusakan lingkungan sumberdaya alam pesisir dan perairan pantai di Indonesia disebabkan : (1) pencemaran (degradasi fisik habitat); (3) over-eksploitasi sumberdaya alam; (4) abrasi pantai; (5) konservasi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan; dan (6) bencana alam. Pengelolaan potensi lahan dalam konteks pembangunan di Indonesia ke depan menjadi lebih penting karena berbagai tantangan yang dihadapi semakin kompleks terutama tekanan penduduk terhadap penggunaan lahan, konservasi lahan, dan alih fungsi lahan yang dapat berakibat pada menurunnya 3

4 kualitas potensi lahan wilayah kepesisiran. Nugroho dan Dahuri (2004) mengemukakan bahwa fenomena kerusakan biofisik lingkungan pesisir dan laut mengancam kelestarian sumberdaya alam pesisir dan laut. Berkaitan dengan penggunaan lahan di wilayah kepesisiran diperlukan suatu sistem manajemen potensi lahan dalam berbagai macam kegiatan, baik kegiatan untuk kebutuhan pembangunan maupun untuk kegiatan kebutuhan masyarakat. Hasil penelitian diharapkan dapat menghsilkan pemodelan spasial potensi lahan wilayah kepesisiran. Pemodelan potensi lahan wilayah kepesisiran bertujuan untuk mengatasi dan mengurangi permasalahan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kaidah manajemen penggunaan lahan sehingga dapat berdampak pada kerusakalan potensi lahan dan potensi perairan pantai. Kaitannya dengan pemodelan spasial potensi lahan wilayah kepesisiran peranan integrasi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis diharapkan dapat memberikan solusi untuk dapat menghasilkan suatu pemodelan spasial potensi lahan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang diharapkan. Pemodelan spasial potensi lahan kepesisiran dalam penelitian ini memiliki sasaran agar arahan penggunaan potensi lahan sesuai dengan zonasi peruntukan potensi lahan dan potensi perairan pantai pada wilayah kepesisiran. Pemodelan spasial potensi lahan dan potensi perairan pantai pada wilayah kepesisiran diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pemodelan spasial potensi lahan dan perairan pantai agar dapat mengoptimalkan penggunaan lahan pada wilayah kepesisiran sesuai dengan daya dukung lingkungan fisik. Potensi lahan kepesisiran perlu pengelolaan yang terintegrasi antara pemanfaatan lahan darat dan perairan pantai. Menurut Longley, et al. (2005), bahwa pemodelan spasial sebagai alur (sequence) operasi untuk merepresentasikan pemanfaatan potensi lahan yang terintegrasi. Berdasarkan kondisi geografisnya wilayah Kabuaten Muna Barat 76 persen termasuk daerah dataran rendah dan memiliki potensi lahan untuk pengembangan lahan pertanian intinsif, perikanan tambak, perkebunan, petemakan, permukiman, perindustrian, pariwisata, persawahan, dan perdagangan (BPS, 2012). Sesuai 4

5 karakteristik wilayah Kabupaten Muna Barat secara empiris memiliki keterkaitan hubungan fungsional antar ekosistem pesisir, ekosistem perairan pantai dan pulaupulau kecil. Penggunaan lahan di wilayah kepesisiran Kabupaten Muna Barat perlu mendapat perhatian dalam pemanfaatan ruang, baik bagian lahan darat atau pesisir maupun bagian perairan pantai dan pulau-pulau kecil. Penggunaan lahan darat, perairan pantai, dan pulau-pulau kecil di wilayah Kabupaten Muna Barat perlu penataan dan pengawasan dari pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerin Daerah. Hal ini mengingat wilayah kepesisiran Kabupaten Muna Barat sangat rentan terhadap perubahan lingkungan fisik baik lingkungan internal maupun eksternal. Wilayah Kabupaten Muna Barat merupakan Daerah Otonomi Baru, sehingga permasalahan yang dihadapi adalah perubahan penggunaan lahan, yang berdampak pada perairan pantai dan pulau-pulau kecil. Kerusakan lingkungan fisik potensi lahan dan potensi perairan pantai akan berdampak pada menurunnya kualitas sumberdaya lahan. Perubahan penggunaan lahan darat yang berdampak pada perairan pantai dan kondisi pulau-pulau kecil pada wilayah kepesisiran yang berdampak pada kelangsungan potensi sumberdaya alam wilayah kepesisiran terutama potensi sumberdaya lahan dan potensi perairan pantai. Oleh karena itu, kebutuhan penggunaan lahan baik untuk pembangunan maupun untuk kebutuhan masyarakat diperlukan suatu sistem grand desain yang sesuai dengan kondisi potensi lahan agar keberkelanjutan (sustainable) dan keharmonisan spasial (spatial suitability) lingkungan fisik pemanfaatan ruang tetap terjaga kelestariannya. Peranan pemodelan spasial potensi lahan dan perairan pantai dalam penelitian ini agar dapat mengoptimalkan pengembangan dan pengelolaan pemanfaatan ruang wilayah kepesisiran sesuai dengan zonasi peruntukan potensi lahan dan perairan pantai. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 mengamanatkan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam wilayah kepesisiran dikelompokkan ke dalam tiga zonasi pemanfaatan, yaitu : (1) zona preservasi, (2) zona konservasi, dan (3) zona pemanfaatan. Penelitian pemodelan spasial potensi lahan dan perairan pantai diharapkan dapat 5

6 memberikan arah pemanfaatan ruang wilayah kepesisiran berdasarkan zonasi spasial potensi lahan dan perairan pantai. Pemodelan spasial potensi lahan dan perairan pantai di wilayah kepesisiran Kabupaten Muna Barat secara spasial diharapkan agar dalam pemanfaatan ruang perlu mempertimbangkan sebaran spasial potensi lahan dan perairan pantai. Secara makro pemanfaatan ruang wilayah kepesisiran perlu disesuaikan dengan zonasi spasial potensi lahan dan perairan pantai agar dapat mengoptimalkan pemanfaatan ruang berdasarkan arahan fungsi kawasan. Secara meso pemodelan spasial potensi lahan dan perairan pantai diarahkan pada analisis kemampuan lahan sedangkan tingkat mikro pemodelan spasial potensi lahan dan potensi perairan diarahkan pada analisis kesesuaian lahan dan kesesuaian perairan pantai, serta analisis kesesuaian potensi sosial ekonomi. Pemodelan spasial potensi lahan dan potensi perairan pantai memiliki tujuan agar pemanfaatan potensi lahan dan potensi perairan pantai sesuai dengan karakteristik biofisik lahan serta karakteristik potensi perairan pantai dan pulau-pulau kecil. Peranan pemodelan spasial potensi lahan dan perairan pantai agar dapat menghasilkan model konseptual pengembangan dan pengelolaan potensi lahan dan perairan pantai yang berkelanjutan pada wilayah kepesisiran. Urgensi pemodelan spasial potensi lahan dan perairan pantai pada wilayah kepesisiran bertujuan agar kebutuhan pemanfaatan ruang secara spasial sesuai dengan jenis peruntukan lahan berkelanjutan, baik secara ekologis maupun ekonomis secara terpadu dan berkesinambungan pada wilayah kepesisiran. Pemodelan spasial potensi lahan dan perairan pantai menggunakan integrasi data penginderaan jauh citra SPOT-4 dan sistem informasi geografis merupakan suatu sistem berbasis keruangan yang mampu menyajikan informasi secara spasial potensi lahan dan perairan pantai. Integrasi data penginderaan jauh citra SPOT-4 dan sistem informasi geografis dalam pemodelan spasial potensi lahan dan perairan pantai secara spasial sangat dibutuhkan untuk pemanfaatan penataan ruang wilayah kepesisiran secara terpadu dan terintegarsi antara pemanfaatan potensi lahan dan perairan pantai. Terintegrasinya pemanfaatan potensi lahan dengan perairan pantai secara 6

7 makro dapat menjaga keseimbangan sumberdaya alam pada wilayah kepesisiran dan secara meso pemanfaatan potensi lahan dan perairan pantai disesuaiakan dengan karakteristik lingkungan fisik untuk peruntukan potensi lahan dan perairan pantai. Secara mikro peruntukan potensi lahan dan perairan pantai pada wilayah kepesisiran harus sesuai dengan potensinya, sehingga mozaik keharmonisan penempatan kegiatan pembangunan pada wilayah kepesisiran selalu terintegrasi antara penggunaan lahan pesisir dan perairan pantai, baik secara ekologis maupun ekonomis. Aspek keruangan wilayah kepesisiran selalu bersifat dianmis, sehingga pemodelan spasial potensi lahan dan perairan pantai perlu mengoptimalkan pemanfaatan ruang dalam pengembangan dan pengelolaan wilayah kepesisiran Perumusan Masalah Kemajuan teknologi penginderaan jauh dewasa ini semakin meningkatkan kualitas informasi spasial permukaan bumi. Penginderaan jauh sebagai salah satu teknologi penyadap data dan informasi spasial memberikan gambaran nyata permukaan bumi dan persebarannya secara spasial. Citra digital SPOT-4 merupakan salah satu jenis citra penginderaan jauh yang dapat menyadap informasi spasial wilayah kepesisiran. Citra digital SPOT-4 sebagai sumber data spasial yang dapat membantu dalam perolehan data spasial wilayah kepesisiran. Selain teknologi penginderaan jauh yang berkembang dengan pesat dalam mendapatkan informasi obyek permukaan bumi, berkembang pula teknologi pengolah data spasial permukaan bumi berbasis sistem informasi geografis. Korte (2001) menjelaskan, bahwa sistem informasi geografis banyak digunakan dalam berbagai aplikasi kegiatan pemerintah yang berkaitan dengan mengatur kepentingan umum termasuk penataan pemanfaatan ruang. Integrasi teknologi penginderaan jauh dengan sistem informasi geografis menghasilkan data spasial yang memiliki akurasi data yang tinggi. Teknologi penginderaan jauh mampu memberikan data spasial yang cukup akurat dan cepat sebagai input data sistem informasi geografis. Integrasi teknologi penginderaan jauh dengan sistem informasi geografis mampu mengatasi permasalahan perolehan dan pengolahan data spasial persebaran obyek permukaan bumi. Hartanto (2000), 7

8 mengemukakan bahwa, integrasi penginderaan jauh dan sistem infonnasi geografis dapat menghasilkan data spasial permukaan bumi untuk mendukung penganibil kebijakan dan keputusan terutama pengelolaan potensi lahan. Data penginderaan jauh memberikan informasi akurat dan lengkap sedangkan sistem informasi geografis memudahkan dalam pengolahan data spasial dan analisis termasuk didalamnya data spasial dan non-spasial. Integrasi penginderaan jauh dengan sistem informasi geografis mampu menyajikan data dan informasi persebaran spasial obyek potensi lahan permukaan bumi. Kaitannya dengan pemanfaatan ruang wilayah kepesisiran, sistem informasi geografis dapat mengolah dan menyajikan data spasial dan informasi yang sangat berguna bagi proses perencanaan dan pengambilan keputusan dalam penyusunan tata ruang. Pemodelan spasial potensi lahan dan perairan pantai diharapkan dapat memberikan manfaat berkaitan dengan kebutuhan data geospasial potensi lahan dan potensi perairan pantai wilayah kepesisiran. Peranan pemodelan spasial potensi lahan dan perairan pantai berbasis spasial dapat membantu dalam pembuatan berbagai kebijakan yang terkait dengan permasalahan penggunaan lahan pada wilayah kepesisiran. Pemodelan spasial potensi lahan dan perairan pantai wilayah kepesisiran memberikan banyak manfaat terutama berkaitan dengan perencanaan dan pengambilan keputusan strategis dalam untuk mengoptimalkan pengelolaan potensi lahan dan perairan pantai sesuai dengan zonasi spasial peruntukan lahan. Pemodelan zonasi peruntukan potensi lahan dan perairan pantai pada wilayah kepesisiran memiliki peran penting dalam pengelolaan fungsi kawasan. Banyaknya anggapan bahwa kerusakan wilayah kepesisiran akibat aktivitas konversi penggunaan lahan darat menimbulkan banyak permasalahan terutama menurunnya kualitas lingkungan fisik, potensi lahan, dan perairan pantai. Permasalahan penggunaan lahan pada wilayah kepesisiran saat ini sangat kompleks dan saling terkait antara satu kegiatan dengan kegiatan yang lain, baik yang terjadi di darat maupun yang terjadi perairan pantai. Saling berinteraksi antara kegiatan penggunaan lahan yang terjadi di darat dengan kegiatan yang terjadi di perairan pantai selalu menimbulkan permasalahan, sehingga perlu ada sistem pengelolaan potensi lahan dan perairan pantai yang terintegrasi antara kegiatan di darat dan kegiatan di perairan pantai. Pengelolaan potensi lahan dan perairan 8

9 pantai pada wilayah kepesisiran perlu menjaga kelestarian sumberdaya alam lingkungan fisik, baik secara ekologis maupun secara sosial ekonomi. Pemodelan spasial potensi lahan dan perairan pantai sangat diperlukan agar kerusakan ekosistem sumberdaya alam bentanglahan kepesisiran tidak berdampak buruk pada kerusakan potensi lahan dan perairan pantai. Terjadinya degradasi dan kerusakan sumberdaya alam terutama kerusakan pontensi lahan dan perairan pantai pada wilayah kepesisiran mengindikasikan belum adanya suatu pola pemanfaatan ruang yang terintegrasi antara penggunaan lahan pesisir dan perairan pantai. Pemodelan spasial potensi lahan dan perairan pantai pada wilayah kepesisiran dilakukan dengan cara menilai indeks kesesuaian jenis penggunaan lahan pesisir dengan melakukan integrasi data penginderaan jauh citra SPOT-4 melalui analisis sistem informasi geografis. Kesesuaian jenis penggunaan lahan pesisir berimplikasi pada kualitas potensi lahan dan perairan pantai pada wilayah kepesisiran. Oleh karena itu, diperlukan suatu model spasial grand desain potensi lahan dan perairan pantai untuk mengoptimalkan pemanfaatan ruang wilayah kepesisiran yang terintegrasi antara penggunaan lahan pesisir dengan perairan pantai. Keterbatasan dan belum memadainya data geospasial sesuai tuntutan Undang-Undang Nomor 04 Tahun 2011 tentang Informasi Data Geospasial dan Peraturan Presiden Nomor 85 tahun 2007 tentang Jaringan Data Spasial Nasional menjadi kendala dalam pengembangan dan pengelolaan potensi lahan pada wilayah kepesisiran. Peraturan Perundang-undangan di Indonesia yang berkaitan dengan pengadaan data geospasial belum menyentuh akar permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan pemanfaatan ruang pada wilayah kepesisisran. Belum memadai data geospasial di setiap daerah di Indonesia, menjadi sulit untuk mengetahui potensi wilayah pada suatu daerah terutama terkait dengan potensi lahan. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang wilayah dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu, juga masih belum menyelesaikan permasalahan pengadaan dan pemanfaatan data geospasial sesuai Undang-Undang Nomor 04 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai 9

10 berikut : 1. mengapa data penginderaan jauh citra SPOT-4 dan analisis SIG dapat digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik lingkungan fisik potensi lahan? 2. mengapa parameter komponen potensi lahan hasil integrasi penginderaan jauh citra SPOT-4 dan analisis SIG dapat dijadikan sebagai komponen utama dalam menyusun basis data spasial potensi lahan? 3. bagaimana tingkat korelasi komponen parameter potensi lahan hasil integrasi penginderaan jauh citra SPOT-4 dan analisis SIG dengan masukan nilai indeks kesesuain jenis penggunaan lahan Model Fuzzy dalam menentukan sebaran spasial potensi lahan kepesisiran? 4. mengapa tingkat akurasi pemodelan spasial potensi lahan hasil integrasi penginderaan jauh citra SPOT-4 dan analisis SIG dengan masukan nilai indeks kesesuaian jenis penggunaan lahan Model Fuzzy harus 80% dalam menentukan sebaran spasial potensi lahan? 5. mengapa hasil pemodelan spasial potensi lahan hasil integrasi pengideraan jauh dan analisis SIG dengan masukan nilai indeks kesesuaian jenis penggunaan lahan Model Fuzzy dapat menyusun zonasi peruntukan potensi lahan untuk arahan fungsi kawasan wilayah kepesisiran? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasar pada latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. mengidentifikasi parameter basis data spasial potensi lahan dengan menggunakan data penginderaan jauh citra SPOT-4 dan analisis SIG. 2. menyusun basis data spasial potensi lahan dari hasil integrasi penginderaan jauh citra SPOT-4 dan analisis SIG sebagai parameter utama dalam pemodelan spasial potensi lahan kepesisiran. 3. mengkaji tingkat korelasi parameter komponen potensi lahan hasil integrasi penginderaan jauh citra SPOT-4 dan analisis SIG dengan masukan nilai indeks kesesuain jenis penggunaan lahan Model Fuzzy berdasarkan sebaran potensi 10

11 lahan untuk pemodelan spasial potensi lahan kepesisiran. 4. mengkaji tingkat akurasi pemodelan spasial potensi lahan hasil integrasi penginderaan jauh citra SPOT-4 dan analisis SIG dengan masukan nilai indeks kesesuaian jenis penggunaan lahan Model Fuzzy untuk menentukan sebaran spasial potensi lahan kepesisiran. 5. menyusun zonasi potensi lahan untuk arahan fungsi kawasan wilayah kepesisiran berdasarkan hasil pemodelan spasial potensi lahan hasil integrasi pengideraan jauh dan analisis SIG dengan masukan nilai indeks kesesuaian jenis penggunaan lahan Model Fuzzy Manfaat Penelitian Penelitian pemodelan spasial potensi lahan berdasarkan indeks kesesuaian jenis penggunaan lahan wilayah kepesisiran diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis. 1. Manfaat teoritis, untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diharapkan hasil penelitian ini memberikan manfaat wawasan keilmuan baru terkait dengan penelitian pemodelan spasial potensi lahan berdasarkan indeks kesesuaian jenis penggunaan lahan pada wilayah kepesisiran. Pemodelan spasial potensi lahan berdasarkan kesesuaian jenis penggunaan lahan pesisir dapat dijadikan dasar untuk menyusun model spasial zonasi pengelolaan penggunaan lahan pesisir dan perairan pantai sesuai dengan potensi lahan pesisir pada wilayah kepesisiran. Model spasial potensi lahan dalam berbagai jenis penggunaan lahan pesisir merupakan suatu keharmonisan antara penggunaan lahan pesisir terkait dengan pemanfaatan potensi perairan pantai. Pemodelan spasial potensi lahan pesisir pada wilayah kepesisiran merupakan salah satu altematif dalam menyusun rencana tata ruang wilayah kepesisiran. Secara empiris pemodelan spasial potensi lahan pesisir pada wilayah kepesisiran memiliki tujuan agar sistem pengelolaan penggunaan lahan pada wilayah kepesisiran tetap lestari dan berkelanjutan. Pemodelan spasial potensi lahan akan berdampak positif pada aktivitas perairan pantai sehingga pemodelan spasial potensi lahan pesisir pada wilayah kepesisiran dapat dijadikan acuan untuk memperkecil resiko kerusakan ekologis potensi 11

12 lahan dan potensi perairan pantai di wilayah kepesisiran. 2. Manfaat praktis, dari aspek pembangunan penelitian ini penting bagi pemerintah, swasta, dan masyarakat. (a) Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan rekomendasi agar penggunaan lahan pesisir pada wilayah kepesisiran sesuai dengan potensi lahan yang dimiliki. Pembangunan di wilayah kepesisiran diperlukan suatu grand desain keterpaduan pengelolaan penggunaan lahan pesisir dan perairan pantai, sesuai dengan potensi lahan yang berkelanjutan, terintegrasi, dan berwawasan lingkungan. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai acuan dalam penataan ruang wilayah kepesisiran dengan pendekatan perencanaan strategis sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang secara komprehensif, terpadu, terintegrasi, dan berwawasan lingkungan, serta menciptakan keharmonisan spasial dalam penggunaan lahan dan perairan wilayah kepesisiran dalam kerangka otonomi daerah. (b) Bagi swasta, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang pengelolaan potensi lahan yang memiliki keterkaitan dengan potensi perairan pantai wilayah kepesisiran di Kabupaten Muna Barat. (c) Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran betapa pentingnya pengelolaan potensi lahan pesisir yang terkonektifitas dengan potensi perairan pantai di wilayah kepesisiran Kabupaten Muna Barat yang secara langsung terkait dengan pemanfaatan ruang peruntukan lahan pesisir. Persamaan dan perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah : perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu dapat dilihat tiga aspek, yaitu metodologi, substansi, dan aplikasi hasil penelitian. Perbedaan metodologi penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah pada penelitian ini menghasilkan pemodelan spasial potensi lahan dengan masukan nilai indeks kesesuaian jenis penggunaan lahan Model Fuzzy. Kesesuaian jenis penggunaan lahan secara spasial memiliki peranan penting dalam pemodelan spasial potensi lahan. Keterkaitan nilai indeks kesesuaian jenis penggunaan lahan diperlukan pemodelan 12

13 13

14 14

15 spasial potensi lahan kepesisiran agar pola pengelolaan potensi lahan sesuai dengan arahan fungsi kawasan. Worosuprojo, dkk. (2007) melakukan penelitian evaluasi potensi sumberdaya lahan dengan menggunakan data biofisik lahan dengan menggunakan analisis kesesuaian lahan diperoleh pets kesesuaian potensi lahan pada skala mikro; Sanawi (2007) membangun model spasial ekologi untuk optimalisasi penggunaan lahan DAS dengan melibatkan faktor biogeofisik lahan, Arminah (2009) membangun model spasial penggunaan lahan pertanian berkelanjutan dengan melibatkan tiga faktor yakni kemampuan lahan, peningkatan produksi petani, dan pendapatan petani, Sulistyo (2011) melakukan pemodelan spasial lahan kritis dengan memanfaatkan kemampuan indeks vegetasi citra digital Landsat 7 ETM+, dengan menggunakan analisis SIG berbasis raster dan vektor; (2) persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu terletak pada aspek metode perolehan data, yaitu terkait dengan pendekatan atau cara memperoleh data penelitian, keterkaitan penelitian ini dengan penelitian terdahulu dapat dilihat Tabel 1.1. Penelitian ini maupun pada penelitian terdahulu metode perolehan data yang digunakan metode survei melelui interpretasi citra penginderaan jauh citra SPOT-4 dan analisis SIG. Sepengetahuan peneliti sampai saat ini belum ada yang melakukan penelitian tentang pemodelan spasial potensi lahan dengan masukan nilai indeks kesesuaian jenis penggunaan lahan Model Fuzzy. Secara substansi penelitian ini merupakan penelitian terapan dengan melakukan pemodelan spasial potensi lahan. Pemodelan spasial potensi lahan merupakan salah satu alternatif untuk mengoptimalisasikan pemanfaatan potensi lahan berdasarkan kesesuaian jenis penggunaan lahan. Pemodelan spasial potensi lahan secara spasial memiliki korelasi antara nilai indeks kesesuaian jenis penggunaan lahan pada setiap wilayah kepesisiran Keaslian Penelitian Telah banyak penelitian terdahulu yang terkait dengan pemodelan spasial dengan bidang kajian yang berbeda-beda serta motode yang digunakan juga berbeda antara satu peneliti dengan peneliti yang lain. Penelitian ini menggunakan data penginderaan jauh dan analisis Sistem Informasi Geogafis, namun sepengetahuan penulis pemodelan spasial potensi lahan berdasarkan nilai 15

16 indeks kesesuaian jenis penggunaan lahan pada wilayah kepesisiran belum pernah dilakukan. Penelitian terdahulu yang pemah dilakukan sebelum penelitian ini adalah sebagai berikut. Worosuprojo, dkk. (2007) melakukan penelitian evaluasi sumberdaya lahan untuk perencanaan penggunaan lahan di Yogyakarta, dengan menggunakan metode pendekatan satuan medan dengan analisis Sistem Informasi Geografis dan matching. Analisis Sistem Informasi Geografis dapat menghasilkan peta kesesuaian lahan yang memiliki akurasi yang lebih baik untuk konservasi lahan. Senawi (2007) melakukan penelitian pemodelan spasial ekologi untuk optimalisasi penggunaan lahan daerah aliran sungai Solo Hulu Jawa Tengah, dengan memanfaatkan data penginderaan jauh dan SIG dengan menggunakan metode pendekatan satuan lahan daerah aliran sungai. Analisis data yang digunakan adalah analisis spasial dengan melakukan overlay peta-peta tentatif untuk menghasilkan peta satuan lahan Daerah Aliran Sungai. Hasil dari penelitian tersebut adalah model spasial ekologi untuk optimalisasi penggunaan lahan Daerah Aliran Sungai. Arminah (2009) melakukan penelitian model spasial pengelolaan penggunaan lahan. Dalam penelitian tersebut menyajikan hubungan penggunaan lahan pertanian dan produksi tanaman, peranan penggunaan lahan pertanian terhadap pendapatan petani, dan menentukan model spasial pengelolaan penggunaan lahan pertanian yang berkelanjutan. Pendekatan yang digunakan adalah ekologikal dan keruangan dengan satuan lahan sebagai unit analisis. Hasil penelitian yang diperoleh, yaitu (1) penggunaan lahan pertanian pada daerah berlereng 40% hingga 50% memberikan hasil relatif tinggi dan (2) pengelolaan penggunaan lahan dengan pola kemitraan mempunyai peranan penting dalam peningkatan jumlah dan kualitas produksi tanaman, serta (3) model spasial merupakan model pengelolaan penggunaan lahan yang dapat diterapkan sebagai model pengelolaan penggunaan lahan berkelanjutan. Sulistyo (2011) melakukan penelitian pemodelan spasial lahan kritis berbasis raster di Daerah Aliran Sungai Merawu Kabupaten Banjarnegara melalui integrasi citra SPOT dan Sistem Informasi Geografis. Adapun tujuan penelitian adalah menyusun model spasial lahan kritis berbasis raster. Ada tiga metode analisis yang digunakan, yaitu : (1) analisis secara digital untuk data yang 16

17 mempengaruhi terjadinya lahan kristis, (2) analisis interpolasi spasial untuk perolehan data berbasis raster dan (3) untuk persentase tajuk menggunakan analisis indeks vegetasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemodelan erosi model USLE berbasis raster dengan memanfaatkan indeks berbagai vegetasi memiliki korelasi yang tinggi dengan hasil erosi aktual (r = 0,835 atau 83,50 persen). Integrasi citra SPOT dan Sistem Informasi Geografis memiliki ketelitian untuk pemodelan spasial secara absolut memiliki nilai tinggi dalam menentukan erosi model Honda dengan nilai sebesar 0,8120 atau 81,20 persen. Nilai murni indeks vegetasi tidak dapat dipergunakan secara mandiri sebagai prediktor utama dalam penentuan lahan kritis. Tahir (2015) penelitian integrasi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk pemodelan spasial potensi lahan kepesisiran di Kabupaten Muna Barat Sulawesi Tenggara dengan menggunakan metode survei melalui data penginderaan jauh citra SPOT-4 dan analisis SIG. Pendekatan yang digunakan adalah identifikasi karakteristik lingkungan biofisik lahan melalui data penginderaan jauh citra SPOt-4. Data biofisik lahan hasil interpretasi dari data penginderaan jauh citra SPOT-4 merupakan data utama untuk menentukan potensi lahan berdasarkan jenis penggunaan lahan. Analisis yang digunakan untuk mengolah dan menganalisis data penelitian adalah menggunakan analisis spasial dan analisis statistik regresi. Pemodelan spasial potensi lahan dilakukan dengan cara tumpansusun (overlay) berbagai peta tentatif potensi lahan dengan menggunakan software ENVI dan Arc view 3.3. Hasil pemodelan spasial yang diperoleh adalah model spasial potensi lahan kepesisiran berdasarkan sebaran zonasi spasial potensi lahan. Hasil pemodelan spasial potensi lahan tersebut dibuat dalam bentuk rekomendasi arahan fungsi kawasan sesuai dengan zonasi pemanfaatan ruang. Adapun tujuan penelitian ini adalah : (1) mengidentifikasi parameter basis data spasial potensi lahan dengan menggunakan data penginderaan jauh citra SPOT-4 dan analisis SIG; (2) menyusun basis data spasial potensi lahan dari hasil integrasi penginderaan jauh citra SPOT-4 dan analisis SIG sebagai parameter utama dalam pemodelan spasial potensi lahan kepesisiran; (3) mengkaji tingkat korelasi parameter komponen potensi lahan hasil integrasi penginderaan jauh citra SPOT-4 dan analisis SIG dengan masukan nilai indeks 17

18 kesesuain jenis penggunaan lahan Model Fuzzy berdasarkan sebaran potensi lahan untuk pemodelan spasial potensi lahan kepesisiran; (4) mengkaji tingkat akurasi pemodelan spasial potensi lahan hasil integrasi penginderaan jauh citra SPOT-4 dan analisis SIG dengan masukan nilai indeks kesesuaian jenis penggunaan lahan Model Fuzzy untuk menentukan sebaran spasial potensi lahan kepesisiran; dan (5) menyusun zonasi potensi lahan untuk arahan fungsi kawasan wilayah kepesisiran berdasarkan hasil pemodelan spasial potensi lahan hasil integrasi pengideraan jauh dan analisis SIG dengan masukan nilai indeks kesesuaian jenis penggunaan lahan Model Fuzzy Daerah Penelitian Lokasi penelitian ini dilaksanakan di wilayah kepesisiran Kabupaten Muna Barat yang secara geografis terletak antara 4 10'0" sampai 6 21'1" Lintang Selatan dan 122 2T0" sampai '2" Bujur Timur. Secara administrasi, lokasi penelitian mencakup 11 kecamatan dan merupakan cakupan wilayah Kabupaten Muna Barat dengan luas Ha. Alasan pemilihan lokasi penelitian didasari atas pertimbangan : 1. Kabupaten Muna Barat merupakan Daerah Otonomi Baru dan secara spasial potensi lahan Kabuapeten Muna Barat masih membutuhkan penataan ruang berdasarkan potensi lahan yang dimiki. Secara spasial wilayah Kabupaten Muna Barat meliputi sebelas kecamatan dengan topografi relatif datar dan memiliki potensi lahan yang cukup baik dan strategis untuk dapat dikembangkan. 2. Ketersediaan citra penginderaan jauh resolusi sedang yaitu citra digital SPOT-4 tahun 2012 dengan kualitas yang bagus dengan persentase tutupan swan relatif sedikit. 3. Ketersediaan data dan peta, dari berbagai instansi pemerintah, yaitu LAPAN, Bakosurtanal, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor, Bappeda Kabupaten Muna, BPS Kabupaten Muna, dan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Muna yang digunakan didalam penelitian relatif lengkap. 4. Aksesibilitas wilayah penelitian relatif baik, sehingga diharapkan penelitian dapat berjalan dengan lancar. 18

19 1.7. Kebaruan Integrasi pengenderaan jauh citra SPOT-4 dan analisis SIG merupakan salah satu cara untuk memperoleh basis data spasial potensi lahan kepesisiran. Basis data spasial yang diperoleh dari hasil integrasi penginderaan jauh citra SPOT-4 dan analisis SIG dapat dimanfaatkan untuk input pemodelan spasial potensi lahan. Keterbatasan dan belum memadainya data geospasial potensi lahan wilayah kepesisiran pada setiap daerah di Indonesia akan mempengaruhi pengembangan dan pengelolaan potensi lahan wilayah kepesisiran. Peraturan Perundang-undangan di Indonesia yang berkaitan dengan pengadaan data geospasial belum menyentuh akar permasalahan berkaitan dengan kebutuhan data geospasial pemanfaatan ruang sesuai dengan potensi lahan setiap daerah. Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang wilayah dan Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil secara terpadu, juga masih belum menyelesaiakan permasalahan pengadaan dan pemanfaatan data geospasial. Pemodelan spasial potensi lahan kepesisiran merupakan salah satu menyusun basis data spasial potensi lahan. Oleh karena itu, pemodelan spasial potensi lahan diharapkan dapat mengoptimalkan pemanfaatan ruang sesuai dengan arahan fungsi kawasan. Pemodelan spasial potensi lahan hasil integrasi penginderaan jauh citra SPOT-4 dan analisis SIG dengan masukan nilai indeks kesesuaian jenis penggunaan lahan Model Fuzzy dapat menghasilkan tingkat akurasi yang tinggi dalam menentukan sebaran spasial potensi lahan kepesisiran. Penelitian ini mengutamakan aspek keterpaduan (integrity) antara pengelolaan potensi lahan dengan pemanfaatan ruang secara terpadu. Secara empiris pemodelan spasial potensi lahan kepesisiran memiliki keterkaitan hubungan fungsional antara penggunaan lahan darat dengan pemanfaatan perairan pantai. Oleh karena itu, penggunaan lahan kepesisiran memerlukan suatu sistem yang terintegrasi antara penggunaan lahan darat dengan perairan pantai. Pemodelan spasial potensi lahan pesisir merupakan salah satu altematif untuk memberikan solusi agar penggunaan lahan darat memiliki konektifitas dengan penggunaan perairan pantai. 19

20 Pemodelan spasial potensi lahan kepesisiran hasil integrasi data penginderaan jauh citra SPOT-4 dan analisis SIG dengan masukan nilai indeks kesesuaian jenis penggunaan lahan Model Fuzzy dapat menghasilkan suatu sistem pemanfaatan ruang yang terintegrasi antara penggunaan lahan pesisir dan perairan pantai. Pemodelan spasial potensi lahan kepesisiran diharapkan dapat menghasilkan zonasi potensi lahan untuk arahan fungsi kawasan yang terintegrasi antara peruntukan lahan darat dan perairan pantai. 20

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia memiliki kurang lebih 17.508 pulau (Indonesia.go.id). Wilayah Indonesia didominasi laut dengan

Lebih terperinci

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara bahari dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity) (Polunin, 1983).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang tabel 1.1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang tabel 1.1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tegal terletak di pantai utara Jawa Tengah dengan wilayah pantai dan laut yang berbatasan dengan Kabupaten Tegal oleh Sungai Ketiwon di sebelah timur dan dengan

Lebih terperinci

KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR

KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR Oleh: TAUFIQURROHMAN L2D 004 355 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2009 KESESUAIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota besar akan mengalami perkembangan, dimana perkembangan tersebut berdampak pada daerah disekitarnya. Salah satu dampak yang terjadi adalah munculnya istilah kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha yang memanfaatkan potensi sumberdaya lahan secara maksimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang dikenal dengan sumberdaya alamnya yang sangat melimpah seperti sumberdaya lahan, hutan, air, hasil tambang, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci

ZONASI KONDISI KAWASAN HUTAN NEGARA DI DIENG DAN ARAHAN PENGELOLAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN T U G A S A K H I R. Oleh : INDIRA PUSPITA L2D

ZONASI KONDISI KAWASAN HUTAN NEGARA DI DIENG DAN ARAHAN PENGELOLAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN T U G A S A K H I R. Oleh : INDIRA PUSPITA L2D ZONASI KONDISI KAWASAN HUTAN NEGARA DI DIENG DAN ARAHAN PENGELOLAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN T U G A S A K H I R Oleh : INDIRA PUSPITA L2D 303 291 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah memiliki peranan penting dalam menunjang pembangunan nasional. Pada masa Orde baru pembangunan nasional dikendalikan oleh pemerintah pusat, sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian, pemukiman, penggembalaan serta berbagai usaha lainnya

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian, pemukiman, penggembalaan serta berbagai usaha lainnya BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan lahan semakin meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk Indonesia. Peningkatan kebutuhan akan lahan akan digunakan untuk kegiatan pertanian, pemukiman,

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk di Indonesia terus bertambah setiap tahun. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia tidak menunjukkan peningkatan, justru sebaliknya laju pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi satelit penginderaan jauh merupakan salah satu metode pendekatan penggambaran model permukaan bumi secara terintegrasi yang dapat digunakan sebagai data dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap negara mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pembangunan. Pada negara berkembang pembangunan untuk mengejar ketertinggalan dari

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan salah satu bentuk ekosistem yang secara umum terdiri dari wilayah hulu dan hilir. Wilayah hulu DAS didominasi oleh kegiatan pertanian lahan

Lebih terperinci

Mendeteksi Kebakaran Hutan Di Indonesia dari Format Data Raster

Mendeteksi Kebakaran Hutan Di Indonesia dari Format Data Raster Tugas kelompok Pengindraan jauh Mendeteksi Kebakaran Hutan Di Indonesia dari Format Data Raster Oleh Fitri Aini 0910952076 Fadilla Zennifa 0910951006 Winda Alvin 1010953048 Jurusan Teknik Elektro Fakultas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan adalah upaya perubahan dari kondisi kurang baik menjadi lebih baik. Untuk itu pemanfaatan sumber daya alam dalam proses pembangunan perlu selalu dikaitkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengaruhnya (hinterland) akan mempunyai struktur (tata) ruang tertentu dalam

BAB I PENDAHULUAN. pengaruhnya (hinterland) akan mempunyai struktur (tata) ruang tertentu dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkotaan sebagai pusat permukiman dan sekaligus pusat pelayanan (jasa) terhadap penduduk kota ma 8upun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah pengaruhnya (hinterland)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat kenyamanan permukiman di kota dipengaruhi oleh keberadaan ruang terbuka hijau dan tata kelola kota. Pada tata kelola kota yang tidak baik yang ditunjukkan dengan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5292 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI I. UMUM Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3 1. Data spasial merupakan data grafis yang mengidentifikasi kenampakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang mempunyai permasalahan dalam mengelola tata ruang. Permasalahan-permasalahan tata ruang tersebut juga timbul karena penduduk

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya merupakan modal dasar pembangunan yang perlu digali dan dimanfaatkan dengan memperhatikan karakteristiknya.

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Diketahui bahwa Papua diberi anugerah Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah. Sumberdaya tersebut dapat berupa sumberdaya hayati dan sumberdaya non-hayati. Untuk sumberdaya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau merevisi peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

BAB I PENDAHULUAN. atau merevisi peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-undang tentang Penataan Ruang Nomor 26 tahun 2007 mewajibkan setiap wilayah provinsi dan juga kabupaten/kota untuk menyusun atau merevisi peraturan daerah tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.I

BAB I PENDAHULUAN I.I BAB I PENDAHULUAN I.I Latar belakang Ketersediaan produksi pangan dunia pada saat sekarang sedang menurun. Hal ini erat kaitannya dengan adanya beberapa faktor, antara lain : konversi komoditas pangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu dari tipe ekosistem yang ada di dunia dan dicirikan melalui suatu liputan hutan yang cenderung selalu hijau disepanjang musim.

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN. Oleh : Dede Sugandi *), Jupri**)

PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN. Oleh : Dede Sugandi *), Jupri**) PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN Oleh : Dede Sugandi *), Jupri**) Abtrak Perairan Segara Anakan yang merupakan pertemuan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tual adalah salah satu kota kepulauan yang ada di Provinsi Maluku dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang cukup melimpah serta potensi pariwisata yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan tubuh alam yang menyelimuti permukaan bumi dan merupakan sumberdaya yang sangat penting bagi makhluk hidup. Tanah mempunyai kemampuan untuk mendukung

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan sumberdaya ikan berada pada kondisi akses terbuka karena adanya anggapan bahwa perairan laut sulit diberi batas atau zonasi. Selain itu, pola migrasi ikan yang

Lebih terperinci

Peranan Aplikasi GIS Dalam Perencanaan Pengembangan Pertanian

Peranan Aplikasi GIS Dalam Perencanaan Pengembangan Pertanian Peranan Aplikasi GIS Dalam Perencanaan Pengembangan Pertanian Disusun Oleh : Adhi Ginanjar Santoso (K3513002) Pendidikan Teknik Informatika dan Komputer Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan praktek model agroforestri yang mempunyai fungsi ekonomi dan ekologi, akhir-akhir ini menjadi perhatian khusus. Banyak kawasan hutan yang beralih fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Jumlah penduduk Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada tahun 1990 jumlah penduduk

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KABUPATEN BARRU

ANALISIS PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KABUPATEN BARRU ANALISIS PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KABUPATEN BARRU Abdul Malik Universitas Hasanuddin e-mail; malik9950@yahoo.co.id Abstrak Kondisi ekosistem mangrove di kabupaten Barru mengalami perubahan

Lebih terperinci

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Tempat tinggal merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan karena merupakan salah satu kebutuhan primer manusia. Tempat tinggal menjadi sarana untuk berkumpul,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan.

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan sangat diperlukan untuk kelanjutan hidup manusia. Kemajuan pembangunan di suatu wilayah sejalan dengan peningkatan jumlah pertumbuhan penduduk yang diiringi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni perolehan informasi objek di permukaan Bumi melalui hasil rekamannya (Sutanto,2013). Objek di permukaan

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) Sistem Informasi Geografis atau disingkat SIG dalam bahasa Inggris Geographic Information System (disingkat GIS) merupakan sistem informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan merupakan sumberdaya alam yang bersifat langka karena jumlahnya tidak bertambah, tetapi kebutuhan terhadap lahan selalu meningkat. Alih fungsi lahan pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di bumi terdapat kira-kira 1,3 1,4 milyar km³ air : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

Peran Data dan Informasi Geospasial Dalam Pengelolaan Pesisir dan DAS

Peran Data dan Informasi Geospasial Dalam Pengelolaan Pesisir dan DAS BADAN INFORMASI GEOSPASIAL Bersama Menata Indonesia yang Lebih Baik Peran Data dan Informasi Geospasial Dalam Pengelolaan Pesisir dan DAS Priyadi Kardono Kepala Badan Informasi Geospasial Disampaikan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang terdiri dari 13.667 pulau dan mempunyai wilayah pantai sepanjang 54.716 kilometer. Wilayah pantai (pesisir) ini banyak

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak terhingga nilainya bagi seluruh umat manusia. Sebagai anugerah, hutan mempunyai nilai filosofi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang diperlukan oleh makhluk hidup baik itu manusia, hewan maupun tumbuhan sebagai penunjang kebutuhan dasar. Oleh karena itu, keberadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kecamatan Kejajar merupakan salah satu kecamatan yang terletak di Pegunungan Dieng Kabupaten Wonosobo dengan kemiringan lereng > 40 %. Suhu udara Pegunungan Dieng

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Intensitas kegiatan manusia saat ini terus meningkat dalam pemanfaatan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun pemanfaatan sumberdaya alam ini khususnya

Lebih terperinci

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989).

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989). BAB II METODE KAJIAN 2.1. Pengertian Rekonstruksi, dari kata re : kembali, dan konstruksi : susunan, model, atau tata letak suatu bangunan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989), dalam hal ini rekonstruksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan salah satu modal utama untuk mendukung tercapainya tujuan pembangunan nasional, yaitu pemanfaatan sumber daya yang sebesar-besarnya

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) 24/09/2012 10:58 Sistem (komputer) yang mampu mengelola informasi spasial (keruangan), memiliki kemampuan memasukan (entry), menyimpan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi lahan kering untuk menunjang pembangunan pertanian di Indonesia sangat besar yaitu 148 juta ha (78%) dari total luas daratan Indonesia sebesar 188,20 juta ha

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI 3.1 IDENTIFIKASI PERMASALAHAN BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI PELAYANAN BADAN LINGKUNGAN HIDUP PROVINSI JAWA TENGAH Dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu yang semakin berkembang pada masa sekarang, cepatnya perkembangan teknologi menghasilkan berbagai macam produk penginderaan jauh yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Manusia dan lingkungan memiliki hubungan yang tidak dapat terpisahkan. Manusia sangat bergantung pada lingkungan yang memberikan sumberdaya alam untuk tetap bertahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman,

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkembangan kota yang ditunjukkan oleh pertumbuhan penduduk dan aktivitas kota menuntut pula kebutuhan lahan yang semakin besar. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya tingkat

Lebih terperinci

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.62, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan organik merupakan komponen tanah yang terbentuk dari jasad hidup (flora dan fauna) di tanah, perakaran tanaman hidup maupun mati yang sebagian terdekomposisi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. luas, yang mengkaji sifat-sifat dan organisasi di permukaan bumi dan di dalam

BAB I. PENDAHULUAN. luas, yang mengkaji sifat-sifat dan organisasi di permukaan bumi dan di dalam 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Geografi sebagai salah satu disiplin ilmu mempunyai cakupan sangat luas, yang mengkaji sifat-sifat dan organisasi di permukaan bumi dan di dalam ruang, dengan pertanyaan-pertanyaan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Pemikiran Pembangunan pulau kecil menjadi kasus khusus disebabkan keterbatasan yang dimilikinya seperti sumberdaya alam, ekonomi dan kebudayaannya. Hal

Lebih terperinci

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program Konsep Perencanaan Pengelolaan DAS Terpadu, dengan ciri-ciri sebagai berikut (1) hutan masih dominant, (2) satwa masih baik, (3) lahan pertanian masih kecil, (4) belum ada pencatat hidrometri, dan (5)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Realitas dinamika kehidupan pada masa lalu, telah meninggalkan jejak dalam bentuk nama tempat yang menggambarkan tentang kondisi tempat berdasarkan sudut filosofi,

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci