BAB V KESIMPULAN. Masyarakat Jepang pada masa Tokugawa merupakan masyarakat yang

Transkripsi

1 BAB V KESIMPULAN Masyarakat Jepang pada masa Tokugawa merupakan masyarakat yang bersifat feodalisme Hal itu dapat dilihat dengan adanya pembagian status sosial menurut mata pencahariannya yakni golongan militer (Shi), petani (No), pekerja (Ko) dan pedagang (Sho). Tujuan Tokugawa membentuk pelapisan sosial ini tidak terlepas dari adanya kepentingan politik yakni untuk mempertahankan kekuasaannya. Shogun memiliki peranan yang sangat penting dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Mulai dari pengaturan kehidupan masyarakat kecil, para daimyo bahkan kaisar. Contoh peranan shogun dalam kehidupan masyarakat kecil dapat dilihat dari kebijakannya seperti pemberlakuan pajak, melarang pernikahan di luar status yang sudah ditentukan dan dilarangnya seseorang untuk berpindahpindah tempat tinggal. Untuk para daimyo, shogun memberlakukan kebijakan Sankin Kotai dan Bukke Shuhatto. Kebijakan tersebut merupakan salah satu politik yang digunakan oleh shogun untuk memantapkan diri sebagai penguasa tertinggi. Kedua kebijakan tersebut memiliki tujuan agar para daimyo patuh dan setia terhadap Shogun, sehingga kesempatan untuk menggulingkan Shogun oleh para daimyo menjadi lebih kecil Peranan shogun dalam kehidupan kekaisaran dapat dilihat dari kebijakannya yakni Kinchu Narabini Kuge Shohatto. yaitu peraturan yang berisi larangan bagi kaisar untuk terjun ke dunia politik praktis. Kegiatan kaisar 71

2 dianjurkan berkarya di bidang kebudayaan seni seperti menulis puisi dan kegiatan seremonial keagamaan Dalam hal ini, kedudukan kaisar dan keluarganya dipertahankan sebagai lambang ideologi persatuan dan lebih ditekankan penghormatan kepada kaisar sebagai keturunan Dewa Matahari, bukan sebagai pemimpin negara dan rakyat. Dari kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh shogun dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan tertinggi dalam masyarakat Jepang berada di tangan shogun, sedangkan kaisar tidak memiliki kekuasaan apa-apa hanya sebagai legitimasi politik bagi shogun Mayoritas penduduk Jepang pada masa shogun Tokugawa adalah petani. Menurut ajaran Confucianisme petani seharusnya menempati golongan kedua atau golongan di bawah militer akan tetapi dalam prakteknya golongan ini merupakan golongan yang paling rendah tingkat kesejahteraannya di antara ketiga golongan lainnya karena kelas petani ini dibebani oleh pajak yang sangat tinggi oleh pihak penguasa, baik pusat maupun daerah. Adanya beban pajak yang dianggap menekan terhadap petani ini menjadi salah satu faktor yang menentukan munculnya pemberontakan Shimabara. Munculnya pemberontakan Shimabara tidak hanya diakibatkan oleh adanya beban pajak yang tinggi akan tetapi diakibatkan juga oleh adanya ajaran Kristen yang telah diikuti oleh sebagian masyarakat Jepang terutama di wilayah Shimabara dan pulau Amakusa. Ajaran tersebut dilarang oleh pihak pemerintah karena dianggap mengancam terhadap norma-norma yang berlaku Melihat penjelasan di atas, sepertinya alasan normatif menjadi salah satu faktor penyebab 72

3 diskriminasi agama Kristen oleh pemerintah Jepang akan tetapi penulis memandang bahwa alasan politis jauh lebih dapat diterima daripada alasan norma. Alasan politis dapat dilihat dari adanya kekhawatiran shogun Tokugawa terhadap masyarakat Jepang yang beragama Kristen. Hal itu terjadi karena kesetiaan dan kepatuhan dalam ajaran Kristen tidak ditujukan bagi shogun akan tetapi bagi Paus di Roma. Hal itu cukup menjadi alasan bagi Tokugawa untuk melarang ajaran tersebut karena kekhawatiran akan berkuasanya pengaruh asing di Jepang yang akan menggantikan posisi Tokugawa sebagai puncak pimpinan. Alasan munculnya pemberontakan Shimabara selain diskriminasi agama Kristen adalah adanya tekanan siksaan dan penindasan yang ditujukan oleh daimyo terhadap para petani khususnya petani yang beragama Kristen. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Scoot yang melakukan penelitian gerakan petani di Indo Cina yang melaporkan bahwa perlawanan yang mereka lakukan diakibatkan oleh adanya tekanan dan paksaan para tuan tanah dan pemerintah untuk menerapkan cara produksi pertanian baru yang mereka pandang akan mengancam kelangsungan hidup mereka. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Scoot, gerakan sosial yang terjadi di Jepang disebabkan oleh adanya tekanan, siksaan dan penindasan yang dilakukan oleh pihak penguasa(daimyo) terutama dalam hal pemberlakuan pajak terhadap petani.. Dari penjelasan di atas, latar belakang munculnya pemberontakan tidak sebatas pada masalah keagamaan saja akan tetapi masalah ekonomi, politik dan sosial juga berpengaruh terhadap munculnya gerakan sosial petani Jepang 73

4 Pemberontakan Shimabara mampu bertahan sekitar enam bulan. Hal itu terjadi karena adanya sosok pemimpin yang mampu memobilisasi para pengikutnya. Pemimpin tersebut yakni Amakusa Shiro seorang tokoh kharismatik yang dianggap sebagai juru selamat dan memiliki kemampuan mistik. Ada dua alasan para pengikutnya patuh terhadap Amakusa Shirou. Pertama, Amakusa Shiro merupakan seseorang yang dianggap sebagai tokoh yang akan menyelamatkan masyarakat Jepang Kristen dari segala penderitaan, tekanan, penindasan dari pihak penguasa. Hal ini sesuai dengan apa yang diramalkan oleh Francisus Xavier yang mengatakan akan munculnya seorang juru selamat yang akan menyelamatkan orang-orang Kristen Jepang dari kesengsaraan.. Kedua, prinsip Amakusa Shiro yang berdasarkan pada kebebasan dan persamaan. Kehidupan orang-orang Jepang Kristen pada masa Tokugawa berada dalam ketidakadilan, diskriminasi agama, penindasan dan penyiksaan. Munculnya Amakusa Shiro yang menjanjikan tentang persamaan dan kebebasan terhadap masyarakat Jepang Kristen merupakan suatu bentuk harapan baru agar terbebas dari segala bentuk penjajahan oleh pihak penguasa. Dampak yang ditimbulkan setelah pemberontakan Shimabara dapat dilihat dalam dua bagian yakni dampak internal dan eksternal. Dampak internal merupakan dampak yang berakibat pada kehidupan dalam negeri Jepang. Hal ini dapat dilihat dari semakin pesatnya perdagangan dalam negeri Jepang. Sedangkan dampak eksternal merupakan dampak yang berakibat pada hubungan luar negeri Jepang. Dampak eksternal yang sangat besar setelah berakhirnya pemberontakan Shimabara adalah politik Sokaku atau isolasi. Politik ini bertujuan untuk menutup 74

5 negara Jepang dari segala bentuk pengaruh budaya asing. Politik isolasi ini tidaklah tepat digunakan karena, meskipun Jepang menutup negaranya dari pihak asing, akan tetapi hubungan dengan pihak luar masih tetap berlangsung, contohnya adalah hubungan perdagangan antara Jepang dengan Belanda dan Cina 75