BAB 1 PENDAHULUAN. mengenai collaborative governance pada penyelenggaraan pelayanan

Transkripsi

1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian ini dikembangkan untuk memahami secara mendalam mengenai collaborative governance pada penyelenggaraan pelayanan terhadap kasus kekerasan perempuan dan anak di Kota Surakarta. Penelitian ini penting mengingat kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak di Indonesia tergolong tinggi, khususnya Kota Surakarta. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat pada tahun 2015 terdapat kasus kekerasan terhadap perempuan (bbc.com, 2016). Dalam catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, pada tahun yang sama, terdapat 1698 pengaduan kekerasan terhadap anak, 53% diantaranya ialah kasus kekerasan seksual. Sisanya, yakni sebanyak 40,7% adalah penelantaran, penganiayaan, eksploitasi seksual, dan berbagai bentuk kekerasan lainnya (Umi Kudori, 2017). Surakarta sendiri setidaknya sejak Januari hingga November 2015 terdapat 20 kasus yang diproses dipersidangan yakni 3 (15%) kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), sedangkan kasus lain adalah kekerasan terhadap anak yang meliputi; 6 kasus pencabulan (35,3%), 5 kasus persetubuhan (29,4%), dan 3 kasus kekerasan fisik pada anak (SPEK-HAM, 2015). Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa sebagian besar kasus didominasi oleh kasus pemerkosaan dan atau pencabulan yang melibatkan 1

2 2 anak secara khusus. Pada umumnya, kasus KDRT tidak banyak diproses lebih lanjut karena adanya pencabutan gugatan maupun adanya proses damai. Berbeda dengan kasus kekerasan pada anak yang dari proses awal hingga masuk ke pengadilannya sudah lebih baik. Tabel 1.1 Laporan Kekerasan Perempuan dan Anak dari Unit PPA Polres Surakarta Periode Januari hingga November 2015 No Perkara Jumlah 1 Kekerasan seksual anak 26% 2 Kekerasan fisik 20% 3 Eksploitasi Anak 4% 4 Kekerasan Psikis 33% 5 Lain-lain 17% Total 100% Sumber: Lembar Fakta SPEK-HAM 2015 Dari tabel 1.1 di atas dapat diketahui bahwa perempuan dan anak masih saja menjadi korban kejahatan, khususnya kejahatan seksual. Bahkan, jumlah presentasi korban usia anak masih menunjukkan angka yang lebih tinggi daripada korban perempuan usia dewasa. Data yang diperoleh di

3 3 Pengadilan Surakarta, terdapat 17 kasus kekerasan pada anak dari total 20 kasus yang menimpa perempuan dan anak. Artinya, 85% kasus yang masuk dan diproses di pengadilan didominasi oleh perilaku yang salah kepada anak khususnya kejahatan kekerasan seksual. Jumlah kasus yang menimpa anak lebih tinggi bila dibandingkan dengan jumlah kasus yang menimpa perempuan.tidak dapat dipungkiri bahwa kasus kekerasan khususnya kekerasan seksual terhadap anak terus meningkat (suaramerdeka.com, 2013). Bahkan tindakan tersebut seringkali dilakukan oleh pelaku yang memiliki status atau kedudukan yang terpandang. Kasus terakhir yang sempat menggemparkan kota Surakarta ialah dugaan kasus perdagangan anak dan pelecehan seksual anak pada tahun 2015 lalu oleh Raja Keraton Surakarta, Pakubuwono XIII, pewaris tahta Dinasti Mataram (Susanto, 2015). Padahal Kota Surakarta termasuk kota yang sedang gencargencarnya mengejar predikat sebagai Kota Layak Anak (koranjitu.com, 2016) namun ternyata dalam aspek tindakan kekerasan pada anak dan kekerasan seksual pada anak masih seringkali terjadi, ditambah hal ini dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa memandang kedudukan atau posisi yang dimiliki. Dalam hal ini, pelaku dapat berasal dari orang terdekat yang dikenal korban atau bahkan orang asing yang sama sekali belum pernah dikenal korban. Hal ini masuk dalam lingkup perlindungan anak dimana pemerintah seharusnya bertanggungjawab secara langsung. Pada pasal 20 Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak telah dikatakan bahwa Negara, Pemerintah, Pemerintah

4 4 Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua atau Wali berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak sehingga untuk masalah-masalah sosial yang terjadi termasuk masalah kekerasan seksual anak, bukan lagi hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga menjadi tanggung jawab stakeholders terkait. Walaupun tetap harus dipertanyakan mengapa birokrasi justru tampak lemah dalam hal ini. Dwiyanto (2004:17) menyebutkan fenomena munculnya aktor nonpemerintah dalam akivitas pembangunan negara atau biasa disebut dengan fenomena governance bodies mulai berkembang di Indonesia sejak era orde baru berakhir. Aktor non-negara inilah yang sebenarnya juga berperan menjadi perantara antara publik dengan birokrasi termasuk dalam kasus kekerasan pada perempuan dan anak. Begitu juga dengan topik mengenai collaborative governance yang beberapa waktu ini tampak sedang hangat untuk dibicarakan. Kemunculan collaborative governance dinilai sebagai bentuk perkembangan pemerintahan baru yang tentunya mencoba untuk memperbaiki bentuk pemerintahan sebelumnya. Menurut Adrian Devine et al (2011:35) kolaborasi saat ini menjadi bagian penting daripada manajemen sektor publik. Collaborative governance sendiri berkaitan penuh dengan pengambilan suatu kebijakan dimana ada proses penyatuan antar stakeholders. Ansell dan Gash (2008:3) menyebutkan bahwa baik satu atau lebih daripada organisasi publik, organisasi non-negara, dan masyarakat terlibat langsung dalam poses pengambilan satu kebijakan yang berorientasi

5 5 pada konsensus. Termasuk dalam hal kekerasan pada perempuan dan anak yang terjadi di Kota Surakarta. Pemerintah seharusnya menjadi pihak yang paling bertanggung jawab dalam memecahkan permasalahan kekerasan perempuan dan anak, secara khusus kekerasan seksual pada anak nyatanya masih condong hanya kepada pembuatan instrumen hukum. Padahal melalui instrumen hukum pun tidak menjamin permasalahan serta merta segera diselesaikan. Perlu pemahaman dan komitmen yang sungguh-sungguh dari berbagai elemen untuk menangani masalah tersebut. Pada tahun 2004 sesuai dengan SK Walikota No 462/74-A/1/2004 terbentuklah suatu Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Kota Surakarta atau yang biasa dikenal dengan PTPAS (Republika.co.id). PTPAS merupakan suatu bentuk daripada collaborative governance. PTPAS dikoordinasi oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Bapermas PPPA KB). Sampai saat ini PTPAS sendiri memiliki 48 institusi yang terlibat di antaranya, Dinas Kesehatan Kota (DKK), Bappeda, Nongovernment Organization (NGO), Rumah Sakit, Kepolisian, dan LSM-LSM seperti Yayasan KAKAK yang fokus pada masalah tentang anak dan LSM SPEK-HAM yang fokus pada perempuan (timlo.net, 2014). Kemunculan sebuah tempat pelayanan bernama PTPAS beberapa tahun silam ini cukup menjelaskan bahwa dalam menyelenggarakan pelayanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan seksual di Kota Surakarta, birokrasi tampak tidak mampu bekerja sendiri. Kolaborasi tersebut berdasar pada kesepakatan bersama antara Menteri

6 6 Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Korban Kekerasan yang terbentuk pada tahun 2002 sehingga PTPAS telah berdiri jauh sebelum terbentuknya Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 3 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak. Seiring dengan berjalannya waktu dari tahun ke tahun tingkat kesadaran lapor masyarakat mengenai kasus kekerasan baik pada perempuan maupun anak pun cenderung meningkat. Berikut ini data yang berhasil penulis himpun mengenai kasus kekerasan baik pada perempuan maupun anak.

7 7 Tabel 1.2 Data Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Tahun Jumlah Kasus Jumlah Kasus (%) ,60 % ,86 % ,42 % ,97 % ,44 % ,23 % ,45 % Sumber: bangun-pelayanan-terpadu-perempuan-dan-anak-korban- kekerasan diakses pada tanggal 16 Maret 2017 WIB Data di atas menunjukkan bahwa sebelum tahun 2004 tingkat kekerasan yang terjadi baik pada perempuan maupun anak sangat tinggi dan cenderung naik sebesar 12,82 %. Setelah PTPAS terbentuk,terjadi penurunan angka kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak walaupun sampai sekarang jumlah kasus yang terjadi masih fluktuatif. Tentu berbeda dengan sebelum terbentuknya Pusat Pelayanan Terpadu. Adanya PTPAS ini justru dinilai efektif dalam memberikan pelayanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan di Kota Surakarta karena undang-undang dalam wujud Perda pun tidak dapat terlaksana dengan baik bila stakeholders yang ada bekerja secara sendiri-sendiri, overlapping, dan

8 8 lemah. Birokrasi pun nyatanya membutuhkan kolaborasi dengan aktor di luar birokrasi sendiri, sama halnya dengan lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi berbasis masyarakat yang juga membutuhkan dukungan dari pemerintah. Oleh sebab itu, PTPAS hadir dengan menawarkan program kolaborasi antara lembaga publik dan aktor nonnegara yang terlibat langsung dalam penyelenggaran pelayanan bagi anak dan perempuan korban kekerasan di Kota Surakarta. Pada pelaksanaan pelayanan khusus bagi perempuan dan anak korban kekerasan, PTPAS dibantu oleh Yayasan KAKAK dan Yayasan ATMA. Sekretariat PTPAS masih berada di kantor Bapermas PP PA KB karena belum ada kantor khusus bagi PTPAS. Bentuk kolaborasi dalam penyelenggaraan pelayanan PTPAS lebih berupa jejaring. Walaupun demikian, PTPAS dinilai mempunyai proses penyelenggaraan pelayanan yang cepat dan memiliki mekanisme yang efektif. Pelayanan yang diberikan berupa pelayanan medis, psikologis/mental, dan ekonomi sesuai dengan apa yang diatur dalam Undang-undang. Pendampingan tersebut diberikan dari awal sampai selesai dengan tuntas hingga keadaan korban sendiri dapat kembali dengan baik kepada masyarakat tanpa adanya tekanan dari pihak manapun. Segala biaya yang ditimbulkan dari adanya pendampingan tersebut tidak ditanggungkan kepada korban. Kemudian segala sesuatu yang menyangkut kebutuhan korban diberikan secara gratis. PTPAS juga memberikan layanan holistic bagi anak yang tersangkut masalah hukum berupa pendampingan hukum, rehabilitasi fisik, dan mental anak. Oleh sebab itu, kehadiran PTPAS sering

9 9 kali dijadikan percontohan bagi Pusat Pelayanan Terpadu di kota lain. BAPERMAS PPPA KB sebagai koordinator pelaksana PTPAS sejak tahun 2012 juga telah membentuk Pos Pelayanan Terpadu (PPT) sebagai bagian dari PTPAS yang tersebar di 51 Kelurahan di Kota Surakarta. PPT terdiri dari tokoh masyarakat dan perwakilan kelembagaan di masyarakat. Harapannya, PPT dapat menjadi gerbang awal dalam merespon permasalahan perempuan dan anak khususnya anak dan perempuan korban kekerasan di Kota Surakarta. Dari pemaparan mengenai fenomena di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap proses collaborative governance pada PTPAS terhadap penanganan masalah kekerasan pada perempuan dan anak hingga PTPAS mampu memberikan penyelenggarakan pelayanan yang efektif. Penelitian ini juga mencurigai adanya faktor-faktor pendukung lain yang menyebabkan PTPAS tetap eksis dan efektif dalam penanganan masalah kekerasan seksual anak di Kota Surakarta ataupun faktor-faktor yang menghambat tercapainya tujuan dari awal PTPAS ini dibentuk Rumusan Masalah 1. Bagaimana proses collaborative governance pada PTPAS dalam menyelenggarakan pelayanan yang efektif bagi perempuan dan anak korban kekerasan di Kota Surakarta? 2. Apa faktor-faktor yang mendukung atau menghambat proses collaborative governance PTPAS?

10 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui implementasi proses collaborative governance dalam penyelenggaraan pelayanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan di Kota Surakarta yang dilakukan oleh PTPAS. 2. Menganalis faktor-faktor apa yang mendukung dan menghambat keefektifan collaborative governance dalam PTPAS Manfaat Penelitian Manfaat daripada penelitian ini adalah : 1. Bagi birokrasi terkait, antara lain; Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (BAPERMAS PP PA KB), Rumah Sakit, Dinas Pendidikan, Sekolahsekolah dan Unit PPA Polresta Surakarta, diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi karena perannya terhadap kasus kekerasan seksual anak di Kota Surakarta masih dinilai lemah sekaligus menjadi masukan supaya collaborative governance yang sudah terbetuk dapat menciptakan iklim kerjasama yang baik dalam upaya penanganan masalah kekerasan seksual anak dan memberikan pelayanan kepada anak korban kekerasan seksual. 2. Bagi pembaca, diharapkan melalui karya ini dapat memberikan pengetahuan tentang fenomena kekerasan pada anak khususnya kekerasan seksual yang setiap tahunnya mengalami peningkatan dan tidak sebatas itu, melainkan dapat mengetuk pintu hati setiap pembaca

11 11 supaya menjadi lebih peka terhadap fenomena yang ada bahkan memberikan solusi atau jalan keluar dalam penanganannya. 3. Bagi penulis, melalui karya ini diharapkan semakin melatih kepekaan penulis dalam menemukan permasalahan sosial dalam masyarakat. Karya ini juga merupakan bentuk kepedulian terhadap masyarakat korban kekerasan khususnya anak-anak yang mengalami kekerasan seksual.