BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN. penarikan kesimpulan dari keseluruhan paparan mengenai gambaran umum, mengenai collaborative governance pada PTPAS.

Transkripsi

1 BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini adalah penutup dari penulisan skripsi berjudul Collaborative Governance dalam Penyelenggaraan Pelayanan kepada Perempuan dan Anak Korban Kekerasan (Studi Kasus pada PTPAS). Bab ini merupakan penarikan kesimpulan dari keseluruhan paparan mengenai gambaran umum, proses kolaborasi serta faktor-faktor yang mempengaruhi proses kolaborasi PTPAS. Penulis juga memberikan beberapa saran dan rekomendasi mengenai collaborative governance pada PTPAS Kesimpulan Kesimpulan penelitian ini terbagi ke dalam beberapa poin. Pertama adalah bahwa Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Kota Surakarta (PTPAS) adalah sebagai bentuk dari collaborative governance karena memenuhi 6 kriteria dari collaborative governance menurut Ansel dan Gash (2008). Walaupun pada kriteria inisiasi forum, bukan pemerintah yang terlebih dahulu menginisiasi, tetapi pada dasarnya pelaksanaan PTPAS merupakan suatu bentuk kolaborasi yaitu gabungan dari berbagai elemen; lembaga publik, lembaga non-negara hingga masyarakat yang sangat mengandalkan kekuatan pada jaringan komunikasi dan interaksinya. Kedua yaitu mengenai proses kolaborasi. Proses kolaborasi pada PTPAS sudah terlaksana hingga tahapan implementasi. Proses kolaborasi PTPAS tergolong baik hingga menjadi model percontohan bagi pusat 111

2 112 pelayanan di kota-kota lain karena dari tahapan penilaian hingga implementasi, sudah sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Morse dan Stephens (2012). Hal tersebut diawali dari keinginan disertai komitmen yang kuat anggota-anggota PTPAS untuk dapat memberikan dan menyediakan pelayanan yang efektif bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Kemudian dengan bentuk organisasi yang berupa jaringan/konsorsium dan telah terikat oleh Nota kesepakatan bersama pun dinilai juga mendorong terciptanya kerjasama yang efektif sebab batas-batas kerjasama yang sebelumnya ada menjadi tidak ada dan para anggota PTPAS dapat langsung terhubung satu sama lain tanpa ada birokrasi yang identik dengan berbelit-belit.dalam hal perluasan dukungan, PTPAS unggul sebab mampu melibatkan dan memberdayakan masyarakat dalam menjalankan PPT di 51 kelurahan di Kota Surakarta. Namun dalam aspek monitoring belum berjalan secara maksimal karena PTPAS tidak memiliki agenda khusus untuk melakukan monitoring dan evaluasi. Ketiga yaitu mengenai faktor-faktor atau determinan yang mempengaruhi proses kolaborasi. Pada proses kolaborasi, kinerja PTPAS dinilai efektif. Hal tersebut terjadi bukan hanya karena proses pada kolaborasinya saja tetapi terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi seperti kondisi awal, kepemimpinan fasilitatif dan desain institusi. Pada temuan di lapangan, ternyata beberapa faktor tersebut memang mempengaruhi tahapan proses kolaborasi seperti faktor kondisi awal yang mempengaruhi tahapan penilaian yaitu untuk mendorong urgensi serta

3 113 kebutuhan untuk membentuk Pusat Pelayanan Terpadu. Kondisi awal juga mempengaruhi tahap inisiasi yaitu mendorong proses pembentukan PTPAS dengan cepat. Kemudian pengaruh yang juga diberikan kepada tahap inisiasi adalah terciptanya komitmen untuk menciptakan pelayanan yang efektif. Sedangkan pada tahapan implementasi, kondisi awal mempengaruhi adanya pembagian tugas dan fungsi kepada masing-masing lembaga. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa faktor kondisi awal yang telah penulis tetapkan mendukung proses kolaborasi PTPAS. Kemudian, faktor kedua yang mempengaruhi proses kolaborasi pada PTPAS adalah kepemimpinan yang fasilitatif. Kepemimpinan ini tidak mempengaruhi tahap penilaian sebab pada waktu itu, belum ada sosok pemimpin yang fasilitatif. Faktor kepemimpinan mulai mempengaruhi tahapan inisiasi yaitu ketika birokrasi mulai berperan sebagai penanggungjawab terbentuknya PTPAS yaitu DPPPAKB dengan dibantu oleh Dinas Sosial dan Polresta. Kemudian pada tahap musyawarah, peran koordinator utama dan fasilitator dipegang oleh Bapermas PP PA KB yaitu sebagai penyelenggara rapat dan fasilitator berjalannya audiensi. Sedangkan pada tahap implementasi, kepemimpinan fasilitatif mempengaruhi dan mendorong Bapermas sebagai penghubung lembaga satu dengan lembaga lainnya yang berkaitan dengan penangaan kasus. Untuk desain institusi sendiri, ternyata tidak mempengaruhi tahap penilaian dan inisiasi. Desain institusi baru mempengaruhi tahap musyawarah karena desain pada PTPAS yang berupa jejaring

4 114 mempermudah proses audiensi. sedangkan untuk tahapan implementasi, desain institusi PTPAS mendorong terciptanya penyelenggaraan pelayanan PTPAS yang efektif. Meskipun beberapa faktor tidak mempengaruhi tahapan proses kolaborasi, namun tidak dapat dipungkiri bahwa faktor-faktor yang Ansel dan Gash gunakan tetap dinilai mendukung proses kolaborasi pada PTPAS walaupun sebenarnya faktor terkuat yang mendorong PTPAS efektif adalah pada kekuatan jaringannya. Penelitian tentang Collaborative Governance penting karena dalam menyediakan pelayanan publik, pemerintah, swasta, NGO bahkan masyarakat perlu bekerjasama karena setiap elemen yaitu pemerintah maupun swasta pasti memiliki keterbatasan apabila hanya bekerja dalam lingkup organisasinya masing-masing Saran Saran Praktis 1) Sementara ini, kantor sekretariat PTPAS masih berada di Kantor BAPERMAS PP PA KB di komplek kantor Walikota Surakarta dan PPT di tingkat kelurahan masih bergabung dengan kantor kelurahan. Oleh sebab itu, penting bagi PTPAS untuk memiliki kantor kesekretariatan khusus supaya mempermudah proses administrasi. Selama ini, dokumen-dokumen dan informasi mengenai penanganan kasus kurang teradministrasi dengan baik, salah

5 115 satunya karena kantor sekretariat PTPAS yang masih menjadi satu dengan BAPERMAS. Hal ini lah yang menyebabkan tidak adanya data untuk monitoring dan evaluasi sehingga berakibat kepada penyelengaraan pelayanan oleh PTPAS hanya berdasarkan laporan korban/temuan di lapangan yang terbatas, padahal seharusnya PTPAS mampu mengerti kebutuhan Kota Surakarta tentang masalah perempuan dan anak. 2) Selama ini penanganan dan pemberian pelayanan oleh PTPAS masih sebatas laporan korban/temuan di lapangan. PTPAS tampak belum mampu mengerti kebutuhan paling penting bagi perempuan dan anak di Kota Surakarta. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya monitoring dan evaluasi yang teragendakan. Walaupun beberapa LSM sudah melakukan evaluasi kasus per kasus, namun hal tersebut terbukti belum efektif sehingga adanya proses monitoring dan evaluasi perlu diagendakan secara rutin didalam PTPAS Saran Akademis Dengan adanya penelitian ini, penulis melihat bahwa aspek monitoring pada konsep Morse dan Stephens (2012) seharusnya berada pada tahapan musyawarah karena pada collaborative governance khususnya dengan banyak anggota seperti PTPAS, monitoring dan evaluasi akan lebih efektif bila dilakukan ketika musyawarah/audiensi. Penulis juga menyarankan kepada peneliti lain yang mengadakan penelitian dengan topik yang sama untuk lebih

6 116 dapat melihat collaborative governance dalam teori lain yang tidak digunakan dalam penelitian ini. Kemudian peneliti juga harus melihat masalah dari berbagai sisi.