V. HASIL & PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL & PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 19 V. HASIL & PEMBAHASAN 5.1. Hasil Keberhasilan hidup berudu Rhacophorus margaritifer Telur Hasil pengamatan terhadap sembilan selubung busa telur (clutch) menunjukkan bahwa semua telur R. margaritifer ditemukan di dalam selubung busa yang menempel pada daun-daun yang di bawahnya terdapat aliran ataupun genangan air. Posisi telur menggantung dengan sedikit bagian daun menggulung dan menutupi sebagian clutch seperti yang terlihat pada Gambar 7. Penemuan clutch telur tidak hanya di sekitar Curug Cibeureum, tetapi juga terdapat di Rawa Gayonggong (1.500 mdpl). Rawa Gayonggong merupakan rawa yang tergenang air pada musim hujan dan kering pada musim kemarau. Di sekitar rawa ini juga terdapat jenis lain yang berkerabat dekat dengan katak pohon jawa yaitu katak pohon hijau (R. reinwardtii). Berdasarkan pengamatan tersebut, berudu-berudu mulai keluar dari dalam clutch lebih kurang setelah 15 hari dan jatuh pada air yang terdapat di bawahnya. Persentase keberhasilan telur bermetamorfosis bervariasi yaitu antara 0% - 98% dengan rata-rata keberhasilan sebesar 78,2% (Tabel 2). Namun tidak semua telur berhasil menjadi berudu bahkan terjadi kegagalan total akibat telur yang membusuk. Gambar 7. Peletakkan clutch telur R. margaritifer pada daun

2 20 Tabel 2 Jumlah Telur yang Berhasil dan Gagal menjadi Berudu Tanggal penemuan Tanggal berudu turun Substrat Berhasil Gagal Persentase keberhasilan 19 April 23 April kecubung ,74 % 19 April 27 April babakoan ,18 % 2 Juni 13 Juni kecubung ,79 % 2 Juni 15 Juni kecubung ,99 % 2 Juni 13 Juni babakoan ,04 % 3 Juni 18 Juni kecubung ,74 % 14 Juli - babakoan % 27 Oktober 10 November babakoan ,94 % 3 November - kecubung % Rata-rata ,2 % Tabel 2 menunjukkan bahwa clutch-clutch telur banyak ditemukan pada tumbuh-tumbuhan air (BTNGP 2006) yaitu kecubung (Brugmansia suaveolens) dan babakoan (Eupatorium sordidum). Telur-telur katak ini tidak semuanya menjadi berudu karena terdapat dua clutch telur yang tingkat keberhasilan menjadi berudunya 0%. Hal ini terjadi karena pada saat ditemukan kondisi clutch telur kering dan beku serta telur di dalam clutch telah membusuk (Gambar 8). Berdasarkan pengecekan pada bulan Juli-Oktober, perjumpaan dengan katak pohon jawa sangat sedikit dan sangat jarang pula ditemukan clutch telur. Gambar 8 Clutch telur rusak dan telur R. margaritifer yang busuk

3 Perkembangan Berudu pada Habitat Sungai Ciwalen Hasil ujicoba translokasi di Sungai Ciwalen menunjukkan tingkat keberhasilan rendah karena penurunan jumlah individu yang sangat drastis dalam eksperimen menggunakan jaring kantong ini. Tabel 3 menunjukkan tingkat keberhasilan rata-rata telur untuk menjadi berudu adalah 96,4 %. Namun pada tahapan selanjutnya setelah berudu jatuh ke air (stage 25), banyak berudu yang mati dan hilang pada masing-masing kantong. Kantong 3 dan 4 (k3 dan k4) menunjukkan penurunan jumlah berudu yang sangat drastis dalam kurun waktu 45 hari ketika berudu-berudu masih dalam stage 25. Beberapa berudu mulai memasuki stage 26 setelah 40 hari pada kantong 1 dan 5 (k1 dan k5) namun dalam beberapa hari selanjutnya, berudu-berudu pada kedua kantong ini hanya mencapai stage 30 kemudian berudu lebih banyak ditemukan mati dan hancur. Kantong 2 (k2) menunjukkan bahwa masa survival berudu-berudu pada kantong ini lebih panjang dibandingkan kantong lainnya. Berudu-berudu ini mengalami beberapa fase stage sampai pada stage terakhir (stage 46). Beberapa berudu mulai memasuki fase stage 26 setelah lebih kurang 40 hari, sama seperti berudu-berudu pada kantong lainnya. Fase pertumbuhan kaki depan (stage 30-38) dimasuki setelah berudu dipelihara selama kurang lebih dua bulan. Selama fase berubah ini, tidak semua berudu mengalami perubahan stage sehingga masih ada berudu yang tetap pada stage 25. Beberapa bulan berikutnya jumlah berudu semakin berkurang secara drastis hingga pada tanggal 27 Oktober 2009 dan hanya menyisakan tujuh berudu yang berada pada fase stage Tabel 3 menunjukkan bahwa hanya dua berudu yang berhasil mencapai tahapan sempurna (stage 46) pada tanggal 3 Desember 2009.

4 22 Tabel 3 Perkembangan Berudu R. margaritifer pada Habitat Sungai Ciwalen No. Tanggal k1 (telur= 136) k2 (telur= 133) Jumlah k3 (telur= 101) k4 (telur= 57) k5 (telur= 110) 1 30 Apr May May May May Jun Jun Jun Jul Jul Jul Aug Aug Aug Aug Sep Sep Sep Oct Oct Oct Nov Nov Nov Nov Nov Des-09 2 keterangan: k : jaring kantong Perkembangan Berudu pada Habitat Kolam Mandalawangi Hasil eksperimen translokasi di kolam Mandalawangi menunjukkan hasil yang lebih baik daripada di Sungai Ciwalen. Jumlah total telur yang menjadi berudu adalah 124 ekor dan yang gagal berjumlah 8 ekor atau tingkat keberhasilan telur menjadi berudu sebesar 94%. Tabel 4 menunjukkan jumlah berudu yang bertahan pada setiap kelas umur pertumbuhan (stage). Berudu yang lebih banyak mati adalah pada stage 25 yang merupakan fase awal berudu berenang di air.

5 23 Tabel 4 Perkembangan Berudu R. margaritifer pada habitat kolam Mandalawangi Tanggal st 25 st st st st 46 m h st+1 m h st+1 m h st+1 m h st+1 h 12-Nov Nov Nov Dec Dec Dec Jan Jan Jan Jan Jan Jan Feb Feb Feb Mar Mar Mar Mar Mar Mar Apr Total mati Total hidup Keterangan: st : tahapan perubahan berudu (stage) m : jumlah berudu yang mati h : jumlah berudu hidup st+1 : jumlah berudu yang pindah ke kelas umur berikutnya Jumlah berudu total pada suatu kelas umur merupakan jumlah berudu yang berpindah dari kelas umur sebelumnya. Terdapat 22 berudu yang berhasil menjadi katak sempurna (stage 46) dari total berudu yang dipelihara pada habitat translokasi ini yang berjumlah 124 berudu. Hasil pengukuran SVL (Snout-Vent Length) rata-rata dari 22 katak sempurna (stage 46) pada habitat translokasi kolam Mandalawangi adalah 1,48 cm.

6 24 Gambar 9 Katak sempurna dalam habitat translokasi kolam Mandalawangi Peluang hidup berudu Besarnya peluang hidup berudu setiap kelas umur pada habitat translokasi kolam Mandalawangi menunjukkan penurunan (Gambar 10). Peluang hidup terkecil adalah pada saat berudu berada pada tahapan terakhir yaitu saat berudu telah berhasil menjadi katak sempurna. Terdapat 22 dari 124 berudu yang berhasil menjadi katak atau bila dihitung peluangnya sebesar 0,18. Peluang kehidupan dari kelas umur I (st 25) ke kelas umur II (st 26-30) hanya sebesar 0.40 dan menurun lagi untuk mencapai kelas umur berikutnya yaitu 0.26 (stage 31-40), 0.20 (stage 41-45) dan 0.18 (stage 46). Laju kematian terbesar adalah pada saat berudu berada pada stage 25 dengan jumlah total berudu yang mati pada kelas umur ini berjumlah 74 ekor. Kemampuan hidup atau survival berudu pada tahapan awal (stage 25) menunjukkan kemampuan hidup terendah yaitu 0,40 dan semakin meningkat pada setiap kelas umur berikutnya (Gambar 11). 1, ,80 Peluang hidup 0,60 0,40 0, , ,18 0,00 st 25 st st st st 46 Kelas Umur Gambar 10 Kurva peluang hidup berudu R. margaritifer

7 25 1,00 Kemampuan hidup 0,80 0,60 0,40 0, ,64 0,78 0,88 0,00 st 25 st st st Kelas Umur Gambar 11 Kurva kemampuan hidup berudu R. margaritifer Ruang Hidup Telur dan Berudu R. margaritifer Clutch Telur Selubung busa telur (clutch) yang ditemukan selama pengamatan berjumlah sembilan buah yang terdiri dari empat clutch ditemukan pada daun babakoan dan lima clutch ditemukan pada daun kecubung. Tabel 5 menunjukkan bahwa lokasi penemuan clutch telur terbanyak adalah pada kawasan Curug Cibereum dan satu clutch ditemukan di Rawa Gayonggong. Lebar clutch telur rata-rata adalah 10,4 cm dan tinggi daun tempat clutch berada tinggi rata-rata ke badan air 91,67 cm. Tinggi clutch telur ke badan air bervariasi bahkan terdapat clutch yang langsung menempel pada badan air. Suhu udara dan suhu air yang diukur pada saat pengamatan berturut-turut adalah 15,1 C dan 15,9 C sedangkan ph air dan ph telur rata-rata adalah 6. Tipe aliran di bawah clutch telur yang ditemukan rata-rata beraliran sedang. Hanya ada satu clutch yang ditemukan pada kondisi air diam yaitu pada Rawa Gayonggong yang merupakan rawa yang berair apabila intensitas hujan tinggi.

8 26 Tabel 5 Analisis Substrat Clutch Telur R. margaritifer Tanggal Waktu Lokasi Jarak Lebar Suhu Suhu ph ph Daunair *) clutch*) udara air air telur Aliran Substrat 19-Apr 18:30 cibereum C 16 C 6 6 sedang kecubung 19-Apr 19:35 cibereum C 16 C 6 6 cepat babakoan 2-Jun 8:30 cibereum C 15 C 6 6 sedang kecubung 2-Jun 8:35 cibereum C 16 C 6 6 sedang kecubung 2-Jun 8:45 cibereum C 16 C 6 6 cepat babakoan 3-Jun 10:10 cibereum C 17 C 6 6 sedang kecubung 14-Jul 19:42 cibereum C 13 C 6 - sedang babakoan 27-Okt 19:10 cibereum C 16 C 6 6 sedang babakoan 3-Nov gayonggong C 18 C 6 6 diam kecubung Rataan 10,4 91,67 15,1 C 15,9 C 6 6 sedang *) ukuran dalam cm Karakteristik Habitat Alami Berudu Berdasarkan hasil analisis terhadap habitat alami berudu R. margaritifer dapat disimpulkan bahwa ukuran rata-rata habitat berudu adalah panjang sisi terpanjang (p) = 144,05 cm dan panjang sisi terpendek (l) = 89,05 cm sedangkan untuk kedalamannya berdasarkan pengukuran tepi (a dan c) dan tengah (b) kolam atau genangan adalah a = 8,52 cm, b = 14,19 cm, dan c = 13,71 cm. Kondisi substrat secara keseluruhan didominasi oleh lumpur (33,3%), lumut (19,05%), dan pasir (17,6%). Lumpur, pasir dan kerikil merupakan substrat penyusun yang hampir dapat ditemukan pada semua kolam atau genangan. Substrat penyusun yang hanya berada pada tempat tertentu yaitu lumut yang ditemukan pada kolam atau genangan yang sedikit dipengaruhi oleh arus dan bebatuan besar yang ditemukan pada habitat yang dipengaruhi oleh arus yang besar (Tabel 6).

9 27 Tabel 6 Analisis Habitat Kolam atau Genangan Alami Berudu R. margaritifer Plot Dimensi*) Kedalaman*) p l a b c Substrat (%) kolam camp hm lumpur(80),daun busuk(20) jembatan hm 26 (1) lumut (60), pasir (30), kerikil(10) jembatan hm 26 (2) lumut (60), pasir (30), kerikil(10) jembatan hm 26 (3) lumut (50), daun busuk(40), kerikil(10) jembatan kayu goa (1) lumpur (60),daun busuk(30), kerikil(10) jembatan kayu goa (2) lumpur(60),daun busuk(30), kerikil(10) genangan hm lumpur(90), kerikil(10) jembatan curug (1) pasir(70), lumut(20), kerikil(10) jembatan curug (2) batu besar (70), lumpur(30) jembatan curug (3) batu besar(70), lumpur(30) jembatan curug (4) batu besar(80), lumpur(20) jembatan curug (5) batu(60), lumpur(20), kerikil(10) jembatan curug (6) batu besar(70), lumpur(30) kolam curug lumut(50), lumpur(30), pasir(20) camp curug III kerikil(50), lumpur(30), pasir(20) simpang curug III pasir(50), kerikil(30),lumut(20) curug III (1) lumpur(70), daun busuk(30) curug III (2) lumpur(70), pasir(20), kerikil(10) curug III (3) lumpur(80), kerikil(20) curug III (4) pasir (50), lumut(40), kerikil(10) curug III (5) pasir (50), lumut(40), kerikil(10) Rata-rata lumpur, lumut, pasir, kerikil *) ukuran dalam cm Kepadatan Tabel 7 menunjukkan bahwa jumlah berudu pada habitat alami dan tingkat kepadatannya. Tingkat kepadatan berudu pada habitat alami sangat kecil karena jumlah berudu yang ditemukan pada masing-masing habitat sangat sedikit. Lokasi kolam camp hm 26 menunjukkan jumlah berudu yang lebih tinggi dibandingkan pada lokasi habitat alami lainnya. Tingkat kepadatan paling tinggi adalah pada lokasi curug III (1) yaitu 120 ind/m 3 dan yang terendah adalah pada kolam curug I yaitu 3 ind/m 3.

10 28 No. Tabel 7 Kepadatan Berudu R. margaritifer pada Kolam atau Genangan Alami Lokasi Pengambilan ke- (jumlah) Total berudu Kepadatan (ind/m 3 ) 1 genangan hm jembatan kayu goa (1) jembatan kayu goa (2) jembatan hm 26 (1) jembatan hm 26 (2) jembatan hm 26 (3) kolam camp hm jembatan curug I (1) jembatan curug I (2) jembatan curug I (3) jembatan curug I (4) jembatan curug I (5) jembatan curug I(6) kolam curug I camp curug III simpang curug III curug III (1) curug III (2) curug III (3) curug III (4) curug III (5)

11 Pembahasan Keberhasilan Hidup Telur dan Berudu R. margaritifer R. margaritifer dewasa lebih banyak ditemukan pada ketinggian antara mdpl (Kusrini et al. 2005), tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa katak ini juga dapat ditemukan pada ketinggian kurang dari mdpl. Berdasarkan penelitian Lubis (2008), habitat katak pohon jawa (R. margaritifer) pada kawasan TNGP terdapat pada jalur pendakian Cibodas (Cibodas trail) yaitu berada pada ketinggian mdpl (Telaga Biru) sampai mdpl (Rawa Denok). Beberapa lokasi lain di kawasan TNGP yang pernah ditemukan jenis ini antara lain Bodogol (700 m dpl), Situ Gunung (1.025 m dpl), Salabintana (1.175 m dpl) dan Ciwalen (1.400 m dpl) (Kusrini et al. 2005). Namun jumlah terbanyak tetap ditemukan pada daerah dengan ketinggian antara mdpl. Ketinggian suatu tempat mempengaruhi penyebaran dan aktifitas amfibi. Penelitian yang dilakukan oleh Morrison & Hero (2003) membuktikan bahwa populasi amfibi pada daerah yang tinggi cenderung untuk memiliki periode aktivitas dan musim breeding yang pendek, fase larva atau berudu yang lebih panjang, masa metamorfosis atau perubahan bentuk yang lebih lama, dan masa dewasa yang lama sehingga mencapai kematangan reproduksi pada umur yang lebih tua, jumlah telur tergantung ukuran tubuh serta menghasilkan telur yang lebih besar. Penelitian yang mengambil plot pada kawasan Curug Cibereum (1.685 mdpl) ini didasarkan atas hasil penelitian Kusrini et al. (2005), Lubis (2008) dan pengamatan pendahuluan yang menunjukkan bahwa di kawasan ini banyak ditemukan katak pohon jawa dan berudunya yang juga dapat ditemukan pada tepitepi sungai ataupun genangan air. Katak pohon jawa diketahui menyimpan telurnya di dalam selubung busa (clutch) yang dihasilkan oleh katak jantan dan betina dalam proses perkawinannya dan diletakkan pada tempat yang tepat di sekitar genangan air, seperti pada jenis yang berkerabat dengan katak ini yaitu R. reindwartii di kampus IPB Dramaga (Yazid 2006). Selubung busa telur (clutch) semuanya ditemukan pada tumbuhan air yaitu kecubung (Brugmansia suaveolens) dan babakoan (Eupatorium sordidum). Beberapa faktor pemilihan lokasi peletakan sarang atau telur oleh indukan adalah kondisi genangan air, suhu dan

12 30 ada tidaknya gangguan oleh predator serta berudu jenis lain (Stebbins & Cohen 1995). Clutch telur terutama pada jenis katak pohon akan mudah ditemukan menempel pada daun dan di bawahnya terdapat genangan air ataupun aliran sungai. Proses pengeluaran busa (clutch) oleh induk betina katak dilakukan pada malam hari setelah terjadi perkawinan. Suhu udara dan aktivitas manusia sangat mempengaruhi terjadinya proses perkawinan. Berdasarkan pengamatan pada saat musim kemarau dan suhu udara yang rendah, sangat sedikit ditemukan katak pohon jawa dan clutch telurnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada kondisi tersebut sangat jarang katak yang melakukan proses perkawinan. Aktivitas manusia juga cukup mempengaruhi karena apabila katak mendeteksi keberadaan manusia, katak cenderung menjauh dan tidak melakukan proses kawin. Telur mengalami proses metamorfosis di dalam clutch mulai dari pembelahan sel telur sampai terbentuknya sistem pernafasan dan ekor (Gosner, 1960). Berudu-berudu mulai keluar dari clutch setelah lebih kurang 14 hari mengalami proses tersebut. Keberhasilan telur mengalami proses metamorfosis bervariasi yaitu antara 0% - 98% dengan rata-rata keberhasilan sebesar 78,2% (Tabel 2). Terdapat dua dari sembilan clutch telur yang ditemukan memiliki tingkat keberhasilan menjadi berudunya 0%. Hal ini terjadi karena pada saat ditemukan, kondisi clutch rusak, kering dan beku dengan busa dan telur-telur di dalamnya berwarna coklat kehitaman. Pengamatan ini dilakukan pada bulan Juli- Oktober 2009 dimana kawasan TNGP sedang mengalami musim kemarau dengan suhu udara malam hari yang diukur pada tempat pengamatan berkisar antara 11 C-13 C. Kondisi ini disimpulkan menjadi penyebab rusaknya clutch dimana bagian luar sampai dalam clutch telur kering dan beku serta apabila dipegang mudah hancur. Individu katak pohon jawa yang ditemukan dalam pengamatan selama musim kemarau juga sangat sedikit sehingga kecil kemungkinan untuk terjadinya perkawinan dan pembentukan clutch telur. Kondisi penemuan clutch telur terbanyak yaitu pada bulan April-Juni 2009 yang dapat menunjukkan bahwa katak pohon jawa melakukan aktivitas kawin lebih banyak pada musim penghujan. Menurut Duellman & Trueb (1994), aktivitas amfibi sangat bergantung pada kondisi lingkungannya termasuk dalam aktivitas kawin. Di daerah tropika basah, pada umumnya anura memiliki pola reproduksi yang terus-

13 31 menerus sepanjang tahun. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah curah hujan, termasuk intensitas dan lamanya periode curah hujan (Aichinger 1997). Umumnya jenis anura termasuk berudunya dapat hidup pada kisaran suhu 3-41 C meskipun tingkat toleransi suhu untuk setiap jenis anura berbeda-beda (Goin et al. 1978). Metode translokasi habitat dilakukan dalam pengamatan terhadap pertumbuhan berudu (metamorfosis), perkembangan dan aktifitas katak. Retallick (2002) dalam penelitiannya menggunakan enclosure sebagai habitat translokasi berudu dan katak. Penggunaan enclosure bertujuan untuk mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi penurunan populasi katak di Queensland, Australia. Melalui enclosure dapat diamati pertumbuhan berudu serta beberapa aktivitas katak yang dimasukkan ke dalamnya. Metode pentranslokasian berudu pada penelitian di TNGP dilakukan pada dua tempat yang berbeda yaitu pada jaring kantong dan jaring kotak dengan penempatan masing-masing pada tipe habitat yang berbeda. Jaring digunakan sebagai habitat translokasi karena lebih mudah dalam hal pengamatan dan faktor alami dari luar tidak terbatasi dengan penggunaan jaring ini sehingga kondisi habitat di dalam ataupun di luar jaring adalah sama. Metode pengamatan perkembangan berudu yang pertama adalah dengan menggunakan habitat translokasi berupa jaring kantong. Penempatan jaring-jaring kantong berisi berudu adalah pada aliran Sungai Ciwalen dengan bagian kantong yang terendam adalah 20 cm. Habitat terlindung dari sinar matahari langsung karena di sekitar sungai terdapat beberapa tegakan pohon dan tumbuhan bawah. Jaring kantong ini diletakkan di tepian sungai yang dipengaruhi arus dengan substrat sungai berupa pasir, kerikil, dan lumpur. Tingkat keberhasilan hidup berudu pada habitat translokasi ini sangat kecil karena hanya terdapat dua individu yang berhasil menjadi katak sempurna. Tabel 3 menunjukkan bahwa jumlah berudu terus-menerus menurun hingga tingkat keberhasilannya mencapai 0% pada empat kantong. Penurunan jumlah berudu ini berlangsung mulai bulan Juni- Oktober 2009 dalam jumlah yang besar. Hal ini disebabkan oleh kematian ataupun berudu hanyut oleh arus air. Debit air sungai yang bertambah dapat mengakibatkan jaring kantong tenggelam atau terbawa arus sehingga berudu-

14 32 berudu pun dapat hanyut terbawa air. Sebagian bangkai berudu dapat ditemukan sedangkan sisanya hancur atau terbawa arus. Jumlah berudu total yang ditranslokasikan pada jaring kantong adalah 539 berudu dan yang berhasil menjadi katak sempurna hanya berjumlah dua individu. Hal ini menunjukkan laju mortalitas tinggi pada metode yang dilakukan. Faktor yang mempengaruhi tingginya laju mortalitas yaitu luasan jaring dan kepadatan individu. Ruang hidup berudu berupa genangan air yang terbatas pada jaring kantong berperan dalam penyedia pakan bagi kehidupan berudu yaitu berupa bahan-bahan terlarut dalam air seperti lumpur dan mikroorganisme. Kondisi yang terjadi pada jaring kantong menunjukkan ruang hidup bagi berudu yang kecil sehingga tidak mampu mendukung kehidupan semua berudu. Persaingan dalam mendapatkan pakan terlarut di dalam air semakin besar. Individu-individu yang lemah akan kalah bersaing dan mati sehingga peluang hidupnya akan semakin kecil. Faktor lain yang turut mempengaruhi habitat berupa genangan yang dipengaruhi arus adalah ketinggian air dan debit air sungai. Debit air yang besar membuat ketinggian air dan arus sungai meningkat sehingga dapat menyebabkan jaring kantong dapat tenggelam ataupun terbawa arus sehingga berudu hilang ataupun mati terbawa arus. Arus sungai yang besar juga mengakibatkan tergerusnya lumpur atau substrat lain pada habitat translokasi sehingga pakan bagi berudu semakin sedikit. Genangan air yang luas dan kedalaman air memungkinkan untuk menampung jumlah individu berudu dalam jumlah yang besar (Heinen & Abdela 2004). Penggunaan jaring kantong menunjukkan keterbatasan ruang berpengaruh terhadap besarnya peluang hidup berudu yang ditranslokasikan ke dalamnya. Gambar 12 Jaring kantong sebagai habitat pentranslokasian berudu

15 33 Habitat pentranslokasian yang kedua adalah pada jaring kotak dengan penempatannya pada kolam Mandalawangi. Kolam ini terletak pada tempat yang tidak ternaungi, memiliki substrat berupa lumpur dan lumut dengan ph air 6 serta kualitas air yang sedikit keruh dan agak berbau. Menurut Boyd (1982), kekeruhan dipengaruhi oleh bahan-bahan tersuspensi seperti lumpur, bahan organik dan anorganik, plankton dan organisme mikroskopik lainnya. Bahan-bahan ini merupakan sumber pakan alami bagi berudu. Air di dalam kolam dan ketinggian air kolam cenderung akan bertambah akibat hujan. Hal ini tidak berpengaruh karena terdapat saluran yang mengalirkan air keluar kolam sehingga ketinggian air kolam relatif stabil. Kolam ini juga tidak dipengaruhi oleh aliran ataupun arus air sehingga cenderung diam. Peluang hidup berudu R. margaritifer pada metode dengan jaring kotak lebih tinggi dibandingkan dengan jaring kantong karena terdapat 22 berudu yang berhasil menjadi katak sempurna. Hal ini dipengaruhi oleh ruang hidup yang memadai bagi berudu. Ukuran jaring yang relatif besar memberikan ruang gerak yang lebih besar kepada berudu-berudu untuk memperoleh pakan dan udara sehingga mempengaruhi pertumbuhan tubuhnya. Selain itu, pakan berudu yang berupa lumut, bahan organik dan anorganik, plankton, dan organisme mikroskopik lainnya cenderung lebih banyak karena kondisi kolam yang tidak dipengaruhi aliran ataupun arus sehingga cenderung tidak terjadi penggerusan bahan-bahan tersuspensi tersebut. Gambar 10 menunjukkan bahwa peluang hidup berudu R. margaritifer pada kelas umur I (st 25) menuju kelas umur II (st 26-30) hanya sebesar 0,4 dan terus menurun pada kelas umur berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa fase awal pertumbuhan berudu merupakan fase yang rentan akan kematian. Menurut Duellman & Trueb (1994), fase awal pertumbuhan berudu merupakan fase adaptasi terhadap habitat dimana individu-individu yang tidak mampu beradaptasi dengan baik akan mengalami kematian lebih cepat. Selain itu, pada fase ini terjadi persaingan yang tinggi dalam mendapatkan sumberdaya seperti pakan, ruang, dan oksigen terlarut yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tubuh berudu. Gambar 11 menunjukkan bahwa kemampuan hidup akan bertambah dengan bertambahnya kelas umur. Kemampuan hidup berudu semakin besar karena jumlah berudu yang

16 34 mati pada fase awal pertumbuhan lebih banyak sehingga persaingan dalam mendapatkan sumberdaya semakin kecil. Gambar 13 Jaring kotak sebagai habitat pentranslokasian berudu Beberapa faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan berudu adalah panas matahari dan suhu udara. Bennett (1999) menyatakan bahwa panas matahari berpengaruh terhadap pertumbuhan berudu tetapi panas matahari yang mengenai tubuh berudu tidak boleh terlalu banyak intensitasnya. Hal ini akan menyebabkan kematian berudu dalam hitungan menit akibat pemanasan yang tinggi. Suhu air sangat berperan dalam proses perkembangan tubuh berudu untuk bermetamorfosis menjadi katak dewasa dan suhu yang hangat akan mengoptimalkan pertumbuhan berudu (Duelman & Trueb, 1994). Sinar matahari yang langsung mengenai permukaan air dapat meningkatkan suhu di permukaan air sehingga suhu air juga menjadi cenderung meningkat pula. Menurut Wardhana (1995), semakin tinggi kenaikan suhu air maka oksigen yang dapat terlarut dalam air semakin sedikit. Oksigen yang terlarut dalam air berasal dari udara yang secara lambat terdifusi ke dalam air. Organisme air yang hidup pada genangan air atau kolam berkadar oksigen rendah, kebutuhan oksigennya diperoleh dari udara di atas permukaan air. Peristiwa ini pada berudu disebut dengan perilaku air gulping. Kadar oksigen terlarut yang minim akan meningkatkan intensitas perilaku air gulping tersebut (Duellman & Trueb 1994, Dickman & Durtsche 2000). Perbandingan jumlah berudu yang dipelihara pada kedua habitat translokasi berbeda. Berudu-berudu pada habitat translokasi Ciwalen berasal dari lima clutch telur sedangkan pada kolam Mandalawangi hanya berasal dari satu clutch telur. Hal ini memberikan kemungkinan bahwa hasil pengamatan peluang hidup berudu

17 35 pada kolam Mandalawangi belum dapat menggambarkan peluang hidup berudu katak pohon jawa pada habitatnya. Namun dari hasil yang didapatkan pada kedua metode pentranslokasian tersebut dapat diketahui bahwa beberapa faktor turut mempengaruhi besarnya peluang hidup berudu antara lain ruang gerak, kepadatan berudu, pakan, dan udara Ruang Hidup Telur dan Berudu R. margaritifer Selubung busa (clutch) telur memiliki komposisi yang terdiri atas air dan lendir. Kondisi ini memungkinkan telur-telur yang terdapat di dalamnya terlindungi dari predator dan mendapatkan nutrisi sehingga dapat mengalami proses metamorfosis. Clutch telur R. margaritifer dalam penelitian ini semuanya ditemukan pada daun-daun tumbuhan air yaitu kecubung (lima clutch) dan babakoan (empat clutch). Beberapa jenis tumbuhan air lainnya yang dapat ditemui di sekitar lokasi ini antara lain pacar tere (Impatiens platypetala) dan selada air (Nasturtium microphyllum). Peletakan clutch dipengaruhi oleh wilayah jelajah katak pohon jawa yang sebagian besar terlihat di sekitar tumbuhan ini sehingga setelah mengalami proses perkawinan, induk betina mengeluarkan telurnya pada daun. Kondisi clutch terletak pada daun dengan sedikit bagian daun menutupi clutch dan posisinya tergantung di atas permukaan air sungai ataupun genangan. Tabel 4 menunjukkan bahwa tinggi daun ke permukaan air bervariasi dari 0 cm hingga 155 cm dengan rata-rata tinggi daun ke permukaan air adalah 91,67 cm dan semua clutch ditemukan berada di atas permukaan air. Hal ini menunjukkan bahwa ketinggian telur terhadap muka air tidak mempengaruhi tetapi keberadaan clutch telur harus di atas air yang menggenang atau mengalir sehingga apabila telur telah berubah menjadi berudu, berudu akan langsung jatuh ke air. Suhu udara dan suhu air pada saat penemuan clutch berkisar antara 15 C-16 C dengan tingkat keasaman air dan clutch yaitu 6. Keadaan ini menunjukkan suhu rata-rata normal di sekitar lokasi penemuan clutch telur. Kondisi ekstrim yaitu pada suhu rendah juga mempengaruhi kondisi clutch. Terdapat dua selubung busa telur ditemukan dalam keadaan beku dan rusak karena suhu yang rendah yaitu berkisar antara 10 C-12 C pada saat penemuan keduanya.

18 36 Habitat alami berudu R. margaritifer di kawasan TNGP yang diamati dalam penelitian ini berada pada ketinggian 1685 mdpl (sekitar Curug Cibereum) yaitu pada kolam temporer, genangan ataupun tepi-tepi sungai berair jernih. Pengamatan dilakukan pada 21 titik (plot) yang di dalamnya terdapat berudu R. margaritifer. Tingkat ketahanan hidup berudu didasarkan pula atas ketersediaan pakan pada habitatnya karena pakan merupakan aspek penting dalam perkembangbiakan berudu. Schiesari et al. (2006) menggunakan metode pentranslokasian berudu pada kolam-kolam tertutup dengan perlakuan berbeda dimana terdapat kolam yang kaya akan pakan alami berudu seperti detritus, fitoplankton, dan periphyton sedangkan kolam yang lainnya miskin pakan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada habitat buatan yang lebih banyak pakan, pertumbuhan berudu dapat lebih cepat dibandingkan pada habitat yang sedikit pakan. Substrat sungai sebagai penyedia pakan bagi berudu R. margaritifer bervariasi pada 21 titik pengamatan yakni berupa lumpur, lumut, kerikil, dan pasir. Lumpur dan lumut adalah dua komponen utama yang paling banyak ditemukan pada habitat alami ini. Gambar 14 Kolam dan tepian sungai sebagai habitat alami berudu Persediaan sumberdaya kehidupan bagi berudu dipengaruhi oleh luasan genangan, kedalaman air, dan substrat di dalam genangan tersebut. Genangan air yang luas memungkinkan individu untuk bergerak lebih bebas dan memperoleh sumberdaya yang berada di dalam air, demikian pula dengan kedalaman air. Hal ini dapat mengurangi kemungkinan persaingan intraspesifik dan perilaku memakan sesama berudu atau perilaku kanibalisme antar sesama berudu. Perilaku kanibalisme dapat terjadi akibat persediaan pakan yang sedikit dan pengaruh

19 37 genangan air (Loman & Claesson 2003). Genangan air yang luas dengan kedalaman yang rendah mengalami laju penguapan yang lebih cepat sehingga berudu-berudu dapat mati sebelum bermetamorfosis menjadi katak dewasa. Berudu-berudu pada tipe genangan seperti ini memiliki perilaku adaptasi yang unik yaitu mempersingkat masa metamorfosisnya menjadi katak dewasa (Loman 1999) yaitu dengan meningkatkan aktivitas makan sehingga pertumbuhan tubuhnya menjadi lebih cepat (Dickman & Durtsche 2000). Kepadatan berudu pada habitat alami menunjukkan besarnya daya dukung lingkungan yang terdapat pada habitat tersebut. Tabel 6 menunjukkan bahwa tidak semua kolam ataupun genangan memiliki berudu. Hal ini dipengaruhi oleh arus sungai yang pada musim penghujan kecepatannya lebih besar dibandingkan pada musim kemarau. Tidak menutup kemungkinan berudu-berudu terbawa arus sungai dan berhenti pada tepian-tepian sungai yang arusnya tidak deras. Habitat kolam jembatan hm 26 merupakan kolam temporer yang menampung air hujan dan jembatan curug I (Cibereum) merupakan cekungan sungai yang menyimpan air sungai ketika arus sungai tidak deras sehingga di beberapa tempat dapat ditemukan berudu R. margaritifer. Ketika musim penghujan, arus sungai dan debit air pada kolam meningkat sehingga tidak satupun berudu ada pada habitat ini. Kolam camp hm 26 merupakan kolam yang memiliki jumlah berudu terbanyak.. Kolam ini merupakan kolam temporer yang hanya berisi pada musim penghujan dan kolam ini tidak dipengaruhi oleh aliran sungai. Berudu-berudu dapat ditemukan dalam kolam ini dalam beberapa pengamatan yang menunjukkan bahwa habitat ini cocok untuk berudu R. margaritifer. Substrat kolam ini berupa lumut dan lumpur serta sangat ternaungi dari sinar matahari. Sedangkan habitat berudu di curug III (I) memiliki kepadatan tertinggi. Habitat berudu ini merupakan cekungan yang terdapat pada tepi-tepi sungai yang memiliki substrat berupa lumpur, pasir, dan di sekitarnya terdapat tumbuhan air. Habitat ini sangat sedikit memiliki berudu dikarenakan cekungan-cekungan pada tepian sungai tersebut dipengaruhi oleh arus. Semakin kencang arus, semakin besar peluang berudu untuk terbawa arus sampai pada tempat yang jauh.

II. TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Telur

II. TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Telur 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekologi Telur Katak betina dewasa menentukan tempat peletakan telur setelah terjadi pembuahan dan untuk kebanyakan katak pohon telur tersebut terselubung dalam busa. Hal ini

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 9 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan dalam sebelas bulan, dimulai pada bulan April 2009 sampai bulan Maret 2010. Pengambilan data clutch telur dan berudu dilakukan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Karakteristik morfologi dan intensitas katak berbiak Aktivitas berbiak katak pohon Jawa ditandai dengan ciri berkumpulnya pejantan siap berbiak dan katak betina

Lebih terperinci

PELUANG HIDUP TELUR DAN BERUDU KATAK POHON. JAWA Rhacophorus margaritifer Schlegel 1837 DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE-PANGRANGO PROVINSI JAWA BARAT

PELUANG HIDUP TELUR DAN BERUDU KATAK POHON. JAWA Rhacophorus margaritifer Schlegel 1837 DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE-PANGRANGO PROVINSI JAWA BARAT PELUANG HIDUP TELUR DAN BERUDU KATAK POHON JAWA Rhacophorus margaritifer Schlegel 1837 DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE-PANGRANGO PROVINSI JAWA BARAT SALOMO JULIVAN ARITONANG DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Katak pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer Schlegel, 1837) yang memiliki sinonim Rhacophorus barbouri Ahl, 1927 dan Rhacophorus javanus Boettger 1893) merupakan famili

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian pendahuluan dilakukan pada bulan November sampai Desember 2008 di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Penelitian pendahuluan ini untuk

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 21 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Pemilihan Bahan Spool Track Hasil pemilihan bahan untuk memperoleh bobot alat yang sesuai dengan bobot tubuh R. margaritifer menunjukkan bahwa selongsong plastik

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.. Parameter Curah Hujan model REMO Data curah hujan dalam keluaran model REMO terdiri dari 2 jenis, yaitu curah hujan stratiform dengan kode C42 dan curah hujan konvektif dengan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Klasifikasi ilmiah dari Katak Pohon Bergaris (P. Leucomystax Gravenhorst 1829 ) menurut Irawan (2008) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia, Phyllum: Chordata,

Lebih terperinci

IV. PEMBAHASAN. 4.1 Neraca Air Lahan

IV. PEMBAHASAN. 4.1 Neraca Air Lahan 3.3.2 Pengolahan Data Pengolahan data terdiri dari dua tahap, yaitu pendugaan data suhu Cikajang dengan menggunakan persamaan Braak (Djaenuddin, 1997) dan penentuan evapotranspirasi dengan persamaan Thornthwaite

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Umum El Nino El Nino adalah fenomena perubahan iklim secara global yang diakibatkan oleh memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL 4.1. Analisis Curah Hujan 4.1.1. Ketersediaan Data Curah Hujan Untuk mendapatkan hasil yang memiliki akurasi tinggi, dibutuhkan ketersediaan data yang secara kuantitas dan kualitas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1.1 Lokasi Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Lokasi penelitian dilaksanakan di Sungai Bone. Alasan peneliti melakukan penelitian di Sungai Bone, karena dilatar belakangi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Tabir terletak di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin. Sungai Tabir

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Tabir terletak di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin. Sungai Tabir BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian Sungai Tabir terletak di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin. Sungai Tabir memiliki lebar maksimal 20 meter dan kedalaman maksimal 10 meter.

Lebih terperinci

BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus)

BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus) BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus) 1. PENDAHULUAN Kata Belut merupakan kata yang sudah akrab bagi masyarakat. Jenis ikan ini dengan mudah dapat ditemukan dikawasan pesawahan. Ikan ini ada kesamaan dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Kondisi Wilayah Kabupaten Gorontalo Kabupaten Gorontalo terletak antara 0 0 30 0 0 54 Lintang Utara dan 122 0 07 123 0 44 Bujur Timur. Pada tahun 2010 kabupaten ini terbagi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Alami Ikan Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangbiakan ikan baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Fungsi utama

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id di alternatif usaha budidaya ikan air tawar. Pemeliharaan ikan di sungai memiliki BUDIDAYA IKAN DALAM KERAMBA DI PERAIRAN MENGALIR

bio.unsoed.ac.id di alternatif usaha budidaya ikan air tawar. Pemeliharaan ikan di sungai memiliki BUDIDAYA IKAN DALAM KERAMBA DI PERAIRAN MENGALIR BUDIDAYA IKAN DALAM KERAMBA DI PERAIRAN MENGALIR Oleh: Dr. Endang Widyastuti, M.S. Fakultas Biologi Unsoed PENDAHULUAN Ikan merupakan salah satu sumberdaya hayati yang dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perbandingan Evapotranspirasi Tanaman Acuan Persyaratan air tanaman bervariasi selama masa pertumbuhan tanaman, terutama variasi tanaman dan iklim yang terkait dalam metode

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Jenis Kelamin Belut Belut sawah merupakan hermaprodit protogini, berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa pada ukuran panjang kurang dari 40 cm belut berada pada

Lebih terperinci

MANAJEMEN KUALITAS AIR PADA BUDIDAYA IKAN NILA (Orechromis niloticus) DI KOLAM AIR DERAS

MANAJEMEN KUALITAS AIR PADA BUDIDAYA IKAN NILA (Orechromis niloticus) DI KOLAM AIR DERAS MANAJEMEN KUALITAS AIR PADA BUDIDAYA IKAN NILA (Orechromis niloticus) DI KOLAM AIR DERAS DISUSUN OLEH: KELOMPOK 6 ADI SAPUTRA FAUZI ISLAHUL RIDHO ILHAM NENCY MAHARANI DWI PUJI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI AKUAKULTUR

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB I PENDAHULUAN Pengaruh pemanasan global yang sering didengungkan tidak dapat dihindari dari wilayah Kalimantan Selatan khususnya daerah Banjarbaru. Sebagai stasiun klimatologi maka kegiatan observasi

Lebih terperinci

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan ( 12070 ) Telp: (021) 7353018 / Fax: 7355262, Tromol Pos. 7019 / Jks KL, E-mail

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS BERUDU ANURA DI SUNGAI CIBEUREUM TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO, JAWA BARAT

STRUKTUR KOMUNITAS BERUDU ANURA DI SUNGAI CIBEUREUM TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO, JAWA BARAT Media Konservasi Vol. 18, No. 1 April 2013 : 10 17 STRUKTUR KOMUNITAS BERUDU ANURA DI SUNGAI CIBEUREUM TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO, JAWA BARAT (Anura Tadpoles Community Structure in Cibeureum

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kalimantan Selatan sebagai salah satu wilayah Indonesia yang memiliki letak geografis di daerah ekuator memiliki pola cuaca yang sangat dipengaruhi oleh aktifitas monsoon,

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Lokasi Penelitian Secara umum RW 3 dan RW 4 Kelurahan Pasir Kuda memiliki pemukiman yang padat dan jumlah penduduk yang cukup tinggi. Jumlah sampel rumah yang diambil

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PEMIJAHAN, PENETASAN TELUR DAN PERAWATAN LARVA Pemijahan merupakan proses perkawinan antara induk jantan dengan induk betina. Pembuahan ikan dilakukan di luar tubuh. Masing-masing

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 3.1 Lokasi dan Waktu BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Kawasan Lindung Sungai Lesan. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 31 Juli sampai 19 Agustus 2010 di Kawasan Lindung Sungai

Lebih terperinci

AKTIVITAS GUNUNGAPI SEMERU PADA NOVEMBER 2007

AKTIVITAS GUNUNGAPI SEMERU PADA NOVEMBER 2007 AKTIVITAS GUNUNGAPI SEMERU PADA NOVEMBER 27 UMAR ROSADI Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Sari Pada bulan Oktober akhir hingga November 27 terjadi perubahan aktivitas vulkanik G. Semeru. Jumlah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Habitat air tawar dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu perairan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Habitat air tawar dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu perairan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Habitat air tawar dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu perairan mengalir (lotik) dan perairan menggenang (lentik). Perairan mengalir bergerak terus menerus kearah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan budidaya perikanan saat ini mengalami kendala dalam. perkembangannya, terutama dalam usaha pembenihan ikan.

I. PENDAHULUAN. Kegiatan budidaya perikanan saat ini mengalami kendala dalam. perkembangannya, terutama dalam usaha pembenihan ikan. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan budidaya perikanan saat ini mengalami kendala dalam perkembangannya, terutama dalam usaha pembenihan ikan. Permasalahan yang sering dihadapi adalah tingginya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekositem aquatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah di sekitarnya,

Lebih terperinci

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa Metamorfosis Kecoa 1. Stadium Telur Proses metamorfosis kecoa diawali dengan stadium telur. Telur kecoa diperoleh dari hasil pembuahan sel telur betina oleh sel spermatozoa kecoa jantan. Induk betina kecoa

Lebih terperinci

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi 4 2.2. Morfologi Ikan Tambakan (H. temminckii) Ikan tambakan memiliki tubuh berbentuk pipih vertikal. Sirip punggung dan sirip analnya memiliki bentuk dan ukuran yang hampir serupa. Sirip ekornya sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber irigasi, sumber air minum, sarana rekreasi, dsb. Telaga Jongge ini

BAB I PENDAHULUAN. sumber irigasi, sumber air minum, sarana rekreasi, dsb. Telaga Jongge ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Telaga merupakan wilayah tampungan air yang sangat vital bagi kelestarian lingkungan. Telaga merupakan salah satu penyedia sumber air bagi kehidupan organisme atau makhluk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. larva. Kolam pemijahan yang digunakan yaitu terbuat dari tembok sehingga

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. larva. Kolam pemijahan yang digunakan yaitu terbuat dari tembok sehingga BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Persiapan Kolam Pemijahan Kolam pemijahan dibuat terpisah dengan kolam penetasan dan perawatan larva. Kolam pemijahan yang digunakan yaitu terbuat dari tembok sehingga mudah

Lebih terperinci

Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya

Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya 1. Faktor Genetik : Faktor dalam yang sifatnya turun temurun + 2. Faktor lingkungan: - Tanah - Air - Lingkungan - udara (iklim) Iklim-------- sifat/peradaban

Lebih terperinci

5/4/2015. Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya

5/4/2015. Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya 1. Faktor Genetik : Faktor dalam yang sifatnya turun temurun + 2. Faktor lingkungan: - Tanah - Air - Lingkungan - udara (iklim) Iklim-------- sifat/peradaban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Air merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup seluruh makhluk, terutama manusia. Dua pertiga wilayah bumi terdiri dari lautan

Lebih terperinci

X. WATER AND IRRIGATION. Acquaah, George Horticulture. Principles and Practices. Chapter 23, 24

X. WATER AND IRRIGATION. Acquaah, George Horticulture. Principles and Practices. Chapter 23, 24 X. WATER AND IRRIGATION Acquaah, George. 2005. Horticulture. Principles and Practices. Chapter 23, 24 AIR DAN TANAMAN Air : bahan dasar semua aktivitas metabolik tanaman Air berperan penting dalam : respirasi,

Lebih terperinci

BMKG PRESS RELEASE BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BMKG PRESS RELEASE BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG PRESS RELEASE BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG OUTLINE I. GEMPABUMI TSUNAMI KEPULAUAN MENTAWAI (25 - oktober 2010); Komponen Tsunami Warning System (TWS) : Komponen Structure : oleh

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kepadatan 5 kijing, persentase penurunan total nitrogen air di akhir perlakuan sebesar 57%, sedangkan untuk kepadatan 10 kijing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Struktur Komunitas Struktur komunitas merupakan suatu konsep yang mempelajari sususan atau komposisi spesies dan kelimpahannya dalam suatu komunitas. Secara umum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. upaya untuk meningkatkan produksi perikanan adalah melalui budidaya (Karya

BAB I PENDAHULUAN. upaya untuk meningkatkan produksi perikanan adalah melalui budidaya (Karya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan merupakan salah satu sumber makanan yang sangat digemari masyarakat karena mengandung protein yang cukup tinggi dan dibutuhkan oleh manusia untuk pertumbuhan.

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

Tz 1 = (28,4 0,59 x h ) o C

Tz 1 = (28,4 0,59 x h ) o C Kriteria yang digunakan dalam penentuan bulan kering, bulan lembab dan bulan basah adalah sebagai berikut: Bulan kering (BK): Bulan dengan C

Lebih terperinci

STATISTIKA. Tabel dan Grafik

STATISTIKA. Tabel dan Grafik STATISTIKA Organisasi Data Koleksi data statistik perlu disusun (diorganisir) sedemikian hingga dapat dibaca dengan jelas. Salah satu pengorganisasian data statistik adalah dengan: tabel grafik Organisasi

Lebih terperinci

RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN)

RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN) 1 RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN) Angga Yudhistira, Dwi Rian Antono, Hendriyanto Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

The stress interaction index SX = (1-CDX/100) (1-CWX/100) (1- HDX/100) (1-HWX/100) dimana ;

The stress interaction index SX = (1-CDX/100) (1-CWX/100) (1- HDX/100) (1-HWX/100) dimana ; 5 yang telah tersedia di dalam model Climex. 3.3.3 Penentuan Input Iklim untuk model Climex Compare Location memiliki 2 input file yaitu data letak geografis (.LOC) dan data iklim rata-rata bulanan Kabupaten

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Diagram Alir pola perhitungan dimensi hidrolis spillway serbaguna

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Diagram Alir pola perhitungan dimensi hidrolis spillway serbaguna BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Diagram Alur Diagram Alir pola perhitungan dimensi hidrolis spillway serbaguna Bendungan Selorejo : III-1 3.2 Lokasi Penelitian Lokasi yang menjadi tempat penelitian ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cacing sutra (Tubifex. sp) merupakan pakan alami yang rata-rata berukuran panjang 1-3 cm. Ukurannya yang kecil membuat pembudidaya memilih cacing sutra sebagai pakan ikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lokasi Penelitian Secara geografis, kabupaten Ngada terletak di antara 120 48 36 BT - 121 11 7 BT dan 8 20 32 LS - 8 57 25 LS. Dengan batas wilayah Utara adalah Laut Flores,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS PEMBAHASAN 4.1. Perencanaan Pengelompokan Area Kelurahan Kedung Lumbu memiliki luasan wilayah sebesar 55 Ha. Secara administratif kelurahan terbagi dalam 7 wilayah Rukun Warga (RW) yang

Lebih terperinci

Klasifikasi Iklim. Klimatologi. Meteorology for better life

Klasifikasi Iklim. Klimatologi. Meteorology for better life Klasifikasi Iklim Klimatologi Klasifikasi?? Unsur-unsur iklim tidak berdiri sendiri tetapi saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Terdapat kecenderungan dan pola yang serupa apabila faktor utama

Lebih terperinci

KONDISI UMUM BANJARMASIN

KONDISI UMUM BANJARMASIN KONDISI UMUM BANJARMASIN Fisik Geografis Kota Banjarmasin merupakan salah satu kota dari 11 kota dan kabupaten yang berada dalam wilayah propinsi Kalimantan Selatan. Kota Banjarmasin secara astronomis

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

BATUAN PEMBENTUK PERMUKAAN TANAH

BATUAN PEMBENTUK PERMUKAAN TANAH BATUAN PEMBENTUK PERMUKAAN TANAH Proses Pembentukan Tanah. Tanah merupakan lapisan paling atas pada permukaan bumi. Manusia, hewan, dan tumbuhan memerlukan tanah untuk tempat hidup. Tumbuh-tumbuhan tidak

Lebih terperinci

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi ikan adalah adalah pergerakan perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain yang mempunyai arti penyesuaian terhadap kondisi alam yang menguntungkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

1. Berdasarkan warnanya, tingkat kesuburan tanah dapat diketahui ketika warnanya. a. lebih hitam b. lebih terang c. abu-abu d.

1. Berdasarkan warnanya, tingkat kesuburan tanah dapat diketahui ketika warnanya. a. lebih hitam b. lebih terang c. abu-abu d. Lampiran 1 SOAL UJI VALIDITAS PRETES DAN POSTES MATERI : Proses Pembentukan Tanah Sekolah : SD N Salatiga 02 Waktu : 40 menit Nama : Kelas : No : I. Berilah tanda silang (x) pada huruf a, b, c atau d didepan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di

I. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Plankton adalah organisme mikroskopis yang hidup melayang bebas di perairan. Plankton dibagi menjadi fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton adalah organisme berklorofil

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae. Pertambahan bobot (gram) BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae. Pengambilan data pertambahan biomassa cacing tanah dilakukan

Lebih terperinci

Lumut/Bryophyta. Alat perkembangbiakan lumut hati

Lumut/Bryophyta. Alat perkembangbiakan lumut hati Lumut/Bryophyta 1. Ciri-ciri dan sifat lumut Pada umumnya kita menyebut "lumut" untuk semua tumbuhan yang hidup di permukaan tanah, batu, tembok atau pohon yang basah, bahkan yang hidup di air. Padahal

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP Buletin Prakiraan Musim Kemarau 2016 i KATA PENGANTAR Penyajian prakiraan musim kemarau 2016 di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diterbitkan untuk memberikan informasi kepada masyarakat disamping publikasi

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Tipe Pangkasan

PEMBAHASAN. Tipe Pangkasan 8 PEMBAHASAN Tanaman teh dibudidayakan untuk mendapatkan hasil produksi dalam bentuk daun (vegetatif). Fase vegetatif harus dipertahankan selama mungkin untuk mendapatkan hasil produksi yang tinggi dan

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Data Jumlah Curah Hujan (milimeter) di Stasiun Onan Runggu Periode Tahun

LAMPIRAN. Lampiran 1. Data Jumlah Curah Hujan (milimeter) di Stasiun Onan Runggu Periode Tahun LAMPIRAN Lampiran 1. Data Jumlah Curah Hujan (milimeter) di Stasiun Onan Runggu Periode Tahun 20002009 Bln Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des THN 2000 47 99 147 114 65 19 56 64 220 32 225

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR PERHITUNGAN DEBIT ANDALAN SEBAGAI. Dosen Pembimbing : Dr. Ali Masduqi, ST. MT. Nohanamian Tambun

TUGAS AKHIR PERHITUNGAN DEBIT ANDALAN SEBAGAI. Dosen Pembimbing : Dr. Ali Masduqi, ST. MT. Nohanamian Tambun TUGAS AKHIR PERHITUNGAN DEBIT ANDALAN SEBAGAI SUMBER AIR BERSIH PDAM JAYAPURA Dosen Pembimbing : Dr. Ali Masduqi, ST. MT Nohanamian Tambun 3306 100 018 Latar Belakang Pembangunan yang semakin berkembang

Lebih terperinci

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T No.714, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN KP. Larangan. Pengeluaran. Ikan. Ke Luar. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/PERMEN-KP/2014 TENTANG LARANGAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsep Pemupukan (4T) BPE Jenis Pupuk

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsep Pemupukan (4T) BPE Jenis Pupuk 62 HASIL DAN PEMBAHASAN Konsep Pemupukan (4T) BPE Pemupukan bertujuan untuk meningkatkan kandungan dan menjaga keseimbangan hara di dalam tanah. Upaya peningkatan efisiensi pemupukan dapat dilakukan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi

I. PENDAHULUAN. Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi air tawar yang kaya akan mineral dengan ph sekitar 6. Kondisi permukaan air tidak selalu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani

TINJAUAN PUSTAKA Botani 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman mentimun berasal dari kaki pegunungan Himalaya. Domestikasi dari tanaman liar ini berasal dari India utara dan mencapai Mediterania pada 600 SM. Tanaman ini dapat tumbuh

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta wilayah Kelurahan Situgede, Kec. Bogor Barat, Kota Bogor LOKASI PENGAMATAN

Lampiran 1. Peta wilayah Kelurahan Situgede, Kec. Bogor Barat, Kota Bogor LOKASI PENGAMATAN L A M P I R A N Lampiran 1. Peta wilayah Kelurahan Situgede, Kec. Bogor Barat, Kota Bogor LOKASI PENGAMATAN 50 Lampiran 2. Struktur Lahan Sawah Menurut Koga (1992), struktur lahan sawah terdiri dari: 1.

Lebih terperinci

CH BULANAN. Gambar 3. Curah hujan bulanan selama percobaan lapang

CH BULANAN. Gambar 3. Curah hujan bulanan selama percobaan lapang BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Agroklimat Wilayah Penelitian Dari hasil analisis tanah yang dilakukan pada awal penelitian menunjukan bahwa tanah pada lokasi penelitian kekurangan unsur hara

Lebih terperinci

FASE-FASE BULAN DAN JARAK BUMI-BULAN PADA TAHUN 2014

FASE-FASE BULAN DAN JARAK BUMI-BULAN PADA TAHUN 2014 FASE-FASE BULAN DAN JARAK BUMI-BULAN PADA TAHUN 2014 Bulan mengelilingi Bumi dalam bentuk orbit ellips sehingga pada suatu saat Bulan akan berada pada posisi terdekat dari Bumi, yang disebut perigee, dan

Lebih terperinci

BAGAIMANA MEMPREDIKSI KARST. Tjahyo Nugroho Adji Karst Research Group Fak. Geografi UGM

BAGAIMANA MEMPREDIKSI KARST. Tjahyo Nugroho Adji Karst Research Group Fak. Geografi UGM BAGAIMANA MEMPREDIKSI KERUSAKAN SUMBERDAYA AIR KARST Tjahyo Nugroho Adji Karst Research Group Fak. Geografi UGM KERUSAKAN 1. Kuantitas/debit apa..? (misal: turunnya debit)..kapan..?..berapa banyak..? Adakah

Lebih terperinci

Magister Pengelolaan Air dan Air Limbah Universitas Gadjah Mada. 18-Aug-17. Statistika Teknik.

Magister Pengelolaan Air dan Air Limbah Universitas Gadjah Mada. 18-Aug-17.  Statistika Teknik. Magister Pengelolaan Air dan Air Limbah Universitas Gadjah Mada Statistika Teknik Tabel dan Grafik Organisasi Data Koleksi data statistik perlu disusun (diorganisir) sedemikian hingga dapat dibaca dengan

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id II.KUALITAS FAKTOR FISIK PERAIRAN KOLAM IKAN KUALITAS FAKTOR FISIK PERAIRAN KOLAM IKAN I.PENDAHULUAN

bio.unsoed.ac.id II.KUALITAS FAKTOR FISIK PERAIRAN KOLAM IKAN KUALITAS FAKTOR FISIK PERAIRAN KOLAM IKAN I.PENDAHULUAN KUALITAS FAKTOR FISIK PERAIRAN KOLAM IKAN Oleh: Dra.Erie Kolya Nasution.M.Si I.PENDAHULUAN Jumlah wilayah desa dan kota di Indonesia di dominasi oleh desa, namun masyarakat pedesaan lebih tertinggal dari

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI HEWAN

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI HEWAN (Menentukan Kisaran Preferensi terhadap Kondisi Suhu Lingkungan dan Kecenderungan Makanan) LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI HEWAN 2015-2016 Asisten Koordinator : Rusnia J. Robo Disusun Oleh : Nama : Rynda Dismayana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Relung Ekologi Relung (niche) menunjukkan peranan fungsional dan posisi suatu organisme dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi juga

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

METODE PENELITIAN. Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitan ini dilaksanakan pada bulan November 2014 sampai bulan Januari 2015 bertempat di Desa Toto Katon, Kecamatan Punggur, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi

Lebih terperinci

3. FUNDAMENTAL OF PLANTS CULTIVATION

3. FUNDAMENTAL OF PLANTS CULTIVATION 3. FUNDAMENTAL OF PLANTS CULTIVATION Reddy, K.R. and H.F. Hodges. 2000. Climate Change and Global Crop Productivity. Chapter 2. p. 2 10. Awan 1. Climate 2. Altitude Rta Rd RI Rpd 3. Land suitability 4.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemeliharaan Induk Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk terlebih dahulu di kolam pemeliharaan induk yang ada di BBII. Induk dipelihara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkaya (mega biodiversity). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. terkaya (mega biodiversity). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiversity). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

pemakaian air bersih untuk menghitung persentase pemenuhannya.

pemakaian air bersih untuk menghitung persentase pemenuhannya. 5 3.2.1.3 Metode Pengumpulan Data Luas Atap Bangunan Kampus IPB Data luas atap bangunan yang dikeluarkan oleh Direktorat Fasilitas dan Properti IPB digunakan untuk perhitungan. Sebagian lagi, data luas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai merupakan suatu perairan yang airnya berasal dari air tanah dan air hujan, yang mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran tersebut dapat

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja...

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.4 1. ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... Klorofil Kloroplas Hormon Enzim Salah satu faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Botani Tanaman Bayam Bayam (Amaranthus sp.) merupakan tanaman semusim dan tergolong sebagai tumbuhan C4 yang mampu mengikat gas CO 2 secara efisien sehingga memiliki daya adaptasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumberdaya air bersifat dinamis dalam kualitas dan kuantitas, serta dalam

BAB I PENDAHULUAN. Sumberdaya air bersifat dinamis dalam kualitas dan kuantitas, serta dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Selain sebagai air minum, air juga dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan keperluan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan 5 TINJAUAN PUSTAKA Estuari Estuari merupakan suatu komponen ekosistem pesisir yang dikenal sangat produktif dan paling mudah terganggu oleh tekanan lingkungan yang diakibatkan kegiatan manusia maupun oleh

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit TINJAUAN PUSTAKA Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit semula merupakan tanaman yang tumbuh liar di hutan-hutan maupun daerah semak belukar tetapi kemudian dibudidayakan. Sebagai tanaman

Lebih terperinci

ISBN /SEMARANG OKTOBER PROCEEDINGS

ISBN /SEMARANG OKTOBER PROCEEDINGS /SEMARANG 19-21 OKTOBER 2016 PROCEEDINGS Rancang Bangun Teknologi Pengatur Kualitas Air pada Pembudidayaan Ikan Lele Mohamad Agung Prawira Negara Jurusan Teknik Elektro Universitas Jember Jember, Indonesia

Lebih terperinci