DAFTAR ISI. Halaman KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI...

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAFTAR ISI. Halaman KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI..."

Transkripsi

1

2

3

4

5 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... iii v RPI 19. SIFAT DASAR KAYU DAN BUKAN KAYU Sifat Dasar dan Kegunaan Kayu Jawa Sifat Dasar dan Kegunaan Kayu Kalimantan Sifat Dasar dan Kegunaan Kayu Sumatera Sifat Dasar dan Kegunaan Kayu Papua Sifat Dasar dan Kegunaan Rotan Sifat Dasar dan Kegunaan Bambu RPI 20. KETEKNIKAN DAN PEMANENAN HASIL HUTAN Alat Bantu Logging untuk Mengurangi Selip pada Jalan yang Licin Teknik Pemanenan dalam rangka Penyiapan Lahan dalam Implementasi SILIN Teknik Pemanenan Resin dan Getah untuk Peningkatan Produksi dan Kualitas RPI 21. PENGOLAHAN HASIL HUTAN KAYU DAN BAMBU Teknologi Pembuatan Produk Lamina Teknologi Pembuatan Papan Serat Teknologi Stabilisasi Dimensi Kayu Teknologi Pembuatan Produk Bambu Komposit Teknologi Pembuatan Produk Bambu untuk Komponen Struktur Bangunan Kajian dan Penyusunan Konsep Standar Produk Olahan Kayu RPI 22. PENGOLAHAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Jernang (Dragon's blood) untuk Peningkatan Nilai Tambah Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Tengkawang untuk Peningkatan Nilai Tambah Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Dryobalanops sp untuk Peningkatan Nilai Tambah Teknologi Pembuatan Karbon Kemurnian Tinggi sebagai Bahan Baku Nano Karbon v

6 Teknologi Produksi Ragi untuk Pembuatan Bioetanol Teknologi Pengolahan Bahan Bakar Nabati Berbasis Karbohidrat (Bio etanol) Teknologi Pengolahan Bahan Bakar Nabati Berbasis Lemak dan Minyak (Bio diesel) Teknologi Pengolahan Bahan Nabati Berbasis Selulosa dan Hemiselulosa (Bio oil) RPI 23. PEREKAYASAAN ALAT DAN SUBSTITUSI BAHAN PEMBANTU Rekayasa Mesin Penghasil Energi dari Bahan Nabati Formulasi Pereaksi Pendeteksi Gaharu vi

7

8 Program : Litbang Pengolahan Hasil Hutan Judul RPI : 19 Sifat Dasar Kayu dan Bukan Kayu Koordinator RPI : Drs. Mohammad Muslich, MSc. Judul Kegiatan : Sifat Dasar dan Kegunaan Kayu Jawa Pelaksana Kegiatan : Drs. Mohammad Muslich, M.Sc; Dra. Sri Rulliaty, M.Sc; Ir. Nurwati Hadjib, MS; Dra. Sihati Suprapti; Ir. Efrida Basri, M.Sc; Ir. M. I. Iskandar, MM; Prof. Dr. Gustan Pari, M.Si; Dr. Drs. Djarwanto, M.Si; Abdurachman, ST; Dian Anggraini, S.Hut, MM. Abstrak Lima jenis kayu Jawa, diteliti struktur anatomi dan dimensi serat, fisis dan mekanis, keawetan terhadap serangga, jamur, penggerek di laut, keterawetan, pengkaratan, pengeringan, pemesinan, venir dan kayu lapis, kimia dan destilasi kering serta pulp dan kertas. Hasil kelima jenis kayu tersebut baik digunakan untuk kayu lapis, panel, lantai, moulding, barang ukiran dan arang aktif. Kayu bungbulang dan pasang direkomendasikan untuk bangunan kelautan. Kata kunci: Sifat dasar, kayu Jawa, diversifikasi jenis, komponen kapal A. Latar Belakang RINGKASAN Penggunaan kayu kurang dikenal yang disesuaikan dengan sifatsifatnya sebagai pemasok dan penghara bahan baku industri perkayuan dapat meningkatkan diversifikasi jenis, menghemat penggunaan jenis kayu yang sudah dikenal, dan menjamin pasaran bagi pengguna. Penelitian sifat dasar kayu yang dilakukan meliputi sifat anatomi dan dimensi serat, sifat fisis dan mekanis, sifat keawetan terhadap serangga, jamur dan penggerek di laut, sifat pengkaratan, sifat keterawetan, sifat pengeringan, sifat pengerjaan dan pemesinan, sifat venir dan kayu lapis, sifat kimia dan destilasi kering, serta sifat dan pengolahan pulp untuk kertas. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian menyediakan informasi sifat dasar 5 jenis kayu Jawa sebagai dasar diversifikasi penggunaan bahan baku untuk berbagai tujuan pemakaian dalam rangka efisiensi pemanfaatan sumberdaya hutan. 1

9 Sasarannya adalah tersedianya informasi ilmiah mengenai sifat dasar dan kemungkinan penggunaan 5 jenis kayu Jawa. C. Metode Penelitian Bahan yang dipakai yaitu Bungbulang (Premna tomentosa Willd.), hamirung (Vernonia arborea Ham.), jaha (Terminalia arborea K. et V.), ki acret (Sphatodea campanulata Beauv.), dan pasang taritih (Lithocarpus elegans Blume.). Sifat-sifat yang diteliti adalah struktur anatomi dan dimensi serat, fisis dan mekanis, keawetan terhadap serangga, jamur, penggerek di laut, keterawetan, pengkaratan, pengeringan, pemesinan, venir dan kayu lapis, kimia dan destilasi kering, serta pulp dan kertas. D. Hasil yang Dicapai 1. Bungbulang (Premna tomentosa Willd. Verbinaceae Warna kayu teras krem, susah dibedakan dengan gubal, tekstur agak kasar, serat lurus, agak mengkilap, agak licin, keras. Lingkaran tumbuh jelas, diameter pembuluh mikron, parenkim tersebar. Berat jenis 0,58 kelas kuat II, tahan terhadap serangan rayap tanah, rayap kayu kering, jamur pelapuk dan penggerek di laut. Sifat pengetaman, bentukan, ampelasan, pemboran dan bubutan hasilnya baik. Keteguhan rekat kayu lapis memenuhi SNI, JAS dan DIN. Kandungan lignin 30,7%; petosan 16,06%; selulosa 57,12%, kelarutan air dingin 10,12%, air panas 11,09%, alkohol bensin 7,85%, NaOH 11,3%; air 7,75%; abu 2,18% dan silika 0,45%. Nilai kalor 6,241 kal/g. Kemungkinan kegunaan untuk bangunan, kayu lapis, pertukangan, bantalan, perkapalan, moulding. 2. Hamirung ( Vernonia arborea Ham.) Compositae Kayu teras berwarna putih krem susah dibedakan dari gubal, polos, halus, serat lurus, agak mengkilap, agak licin, agak keras. Parenkim aksial paratrakea vaskisentrik dan aliform, jaringan serat dasar dengan ceruk sederhana. Berat jenis 0,37 termasuk kelas kuat III, tidak tahan serangan rayap tanah, rayap kayu kering, jamur pelapuk dan penggerek di laut. Sifat pengetaman, bentukan, ampelasan dan bubutan dengan hasil baik, sifat pemboran sedang. Keteguhan rekat kayu lapis memenuhi SNI, JAS dan DIN. Kandungan lignin 34,38%; petosan 18,07%; selulosa 51,10%, kelarutan air dingin 3,78%, air panas 5,07%, alkohol bensin 3,61%, NaOH 10,67%; air 8,36%; abu 1,04% dan silika 0,17%. Nilai kalor kal/g. Kemungkinan kegunaan baik untuk kayu lapis, pertukangan dan moulding. 2

10 3. Jaha (Terminalia arborea K. Et V.) Combretaceae Kayu berwarna coklat muda agak kekuningan tidak dapat dibedakan dari gubal, polos, agak halus, lurus agak berpadu, agak mengkilap, agak licin, agak keras. Batas lingkar tumbuh tidak jelas, jari-jari seluruhnya satu seri, jaringan serat dasar dengan ceruk berhalaman sangat kecil, kristal dalam sel parenkim. Berat jenis 0,47, kelas kuat III, tidak tahan terhadap rayap tanah, rayap kayu kering, jamur pelapuk dan penggerek di laut. Sifat bentukan, ampelasan pemboran dan bubutan baik. Keteguhan rekat kayu lapis memenuhi SNI, JAS dan DIN. Kandungan lignin 33,18%; petosan 14,55%; selulosa 61,35%, kelarutan air dingin 5,52%, air panas 8,16%, alkohol bensin 2,25%, NaOH 15,52%; air 7,89%; abu 1,14% dan silika 0,181%. Nilai kalor kal/g. Kemungkinan kegunaan baik untuk kayu lapis, pertukangan dan moulding. 4. Ki acret (Sphatodea campanulata Beauv.)- Begoneaceae Kayu teras berwarna krem tidak dapat dibedakan dari gubal, polos, halus merata, lurus agak berpadu, agak mengkilap, agak licin, agak lunak. Batas lingkar tumbuh jelas, pembuluh semi tata lingkar, bidang perforasi sederhana, parenkim aksial paratrakea aliform, jari-jari 1-3 seri, jaringan serat dasar dengan ceruk sederhana. Berat jenis 0,20 termasuk kelas kuat IV, tidak tahan serangan rayap tanah, rayap kayu kering, jamur pelapuk dan penggerek di laut. Sifat pengampelasan baik, ketaman, bentukan, dan bubutan hasil sedang, pemboran kurang baik. Pengujian keteguhan rekat kayu lapis memenuhi SNI, JAS dan DIN. Kandungan lignin 31,73%; petosan 15,47%; selulosa 54,27%, kelarutan air dingin 4,34%, air panas 6,58%, alkohol bensin 2,13%, NaOH 6,73%; air 9,21%; abu 1,79% dan silika 0,105%. Nilai kalor kal/g. Kemungkinan kegunaan baik untuk kayu lapis, pertukangan dan moulding. 5. Pasang taritih (Lithocarpus elegans (Blume) - Fagaceae Kayu teras coklat muda keabu-abuan, kayu gubal coklat muda, polos, agak halus, lurus dan berpadu, agak kusam, agak licin, keras. Lingkaran tumbuh tidak jelas, pembuluh baur, bidang perforasi sederhana, parenkim aksial apotrakea tersebar, jari-jari 1-3 seri, jaringan serat dasar dengan ceruk sederhana. Berat jenis 0,86 termasuk kelas kuat II, tahan terhadap rayap tanah, rayap kayu kering, jamur pelapuk dan penggerek di laut. Sifat pengetaman, bentukan, ampelasan, pemboran dan bubutan dengan hasil baik. Pengujian keteguhan rekat kayu lapis memenuhi SNI, JAS dan DIN. Kandungan lignin 35,14%; petosan 16,46%; selulosa 60,19%; kelarutan air dingin 2,35%; air panas 7,32%; alkohol bensin 3,55%; NaOH 15,90%; air 8,19%; abu 0,73% 3

11 dan silika 0,502%. Nilai kalor kal/g. Kemungkinan kegunaan baik untuk konstruksi bangunan, kayu lapis, pertukangan, perkapalan dan moulding. E. Kesimpulan dan Saran 1. Kayu bungbulang, hamirung, jaha dan kiacret bagian teras dan gubal sulit dibedakan. Kayu pasang bagian teras warna gelap, gubal terang. Bungbulang punyai parenkim paratrakea aliform, hamirung dan jaha aksial paratrakea vaskisentrik, sedangkan ki acret dan pasang parenkim apotrakeal tersebar. 2. Kayu pasang, bungbulang bisa dimanfaatkan untuk kayu konstruksi, kayu hamirung dan jaha untuk konstruksi ringan dan kiacret bisa dimanfaatkan untuk barang kerajinan, panel kayu. Pengujian keteguhan rekat kayu lapis, kelima jenis kayu memenuhi SNI, JAS dan DIN. 3. Kayu pasang kemungkinan layak digunakan sebagai komponen kapal. 4. Disarankan kayu pasang dan bungbulang untuk direkomendasikan sebagai kayu substitusi yang dapat digunakan di laut. 4

12 Program : Litbang Pengolahan Hasil Hutan Judul RPI : 19 Sifat Dasar Kayu dan Bukan Kayu Koordinator RPI : Drs. Mohammad Muslich, M.Sc. Judul Kegiatan : Sifat Dasar dan Kegunaan Kayu Kalimantan Pelaksana Kegiatan : Dr. Drs. Djarwanto, M.Si; Listya Mustika Dewi, S.Hut; Drs. Muhammad Muslich, M.Sc; Dra. Jasni, M.Si; Dra. Sihati Suprapti; Prof. Dr. Gustan Pari, M.Si; Abdurachman, ST; Dian Anggraini Indrawan, S.Hut, MM; dan Ir. Efrida Basri, M.Sc. Abstrak Jenis tumbuhan yang mendominasi hutan Kalimantan adalah jenis dari suku Dipterocarpaceae. Jenis kayu dari suku Dipterocarpaceae merupakan kayu komersial yang dalam kegiatan eksploitasinya pada umumnya hanya berdasarkan pada nama kelompok saja seperti meranti merah, meranti kuning dan meranti putih. Padahal antar jenis memungkinkan adanya sifat yang berbeda. Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui sifat dasar kayu sehingga pemanfaatannya lebih efektif dan efisien. Selain itu, informasi yang diperoleh dapat dijadikan rekomendasi untuk budidaya jenis untuk tujuan sesuai sifat dan kegunaannya. Sifat dasar kayu yang diteliti meliputi sifat anatomi dan dimensi serat; fisis mekanis; kimia; keawetan kayu terhadap serangga, keawetan kayu terhadap jamur, keawetan kayu terhadap penggerek laut; keterawetan; pemesinan; pengkaratan dan pulp kertas dari 2 jenis kayu Kalimantan. Kata kunci : Kalimantan, Dipterocarpaceae, sifat dasar kayu RINGKASAN A. Latar Belakang Dipterocarpaceae merupakan unsur utama dalam hutan hujan tropis yang tersebar di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Suku Dipterocarpaceae di Indonesia terdiri dari 9 marga dan sekitar 386 jenis. Kesembilan marga tersebut adalah Anisoptera, Cotylelobium, Dipterocarpus, Dryobalanops, Hopea, Parashorea, Shorea, Upuna dan Vatica. Kalimantan mempunyai jumlah terbanyak yaitu terdiri dari 9 marga, 268 jenis, dan 27 anak jenis yang tercatat dalam Newman et al. (1999a). Jenis-jenis dalam suku 5

13 Dipterocarpaceae sebagian besar merupakan pohon penghasil kayu komersil tinggi yang digunakan sebagai bahan baku industri kayu dan non kayu. Dalam kegiatan eksploitasi pada umumnya hanya berdasarkan pada nama kelompok perdagangan saja yaitu meranti merah, meranti putih, meranti kuning, balau, dan lain-lain. Variasi jenis yang sangat banyak menyebabkan identifikasi sampai tingkat jenis sulit dilakukan di lapangan. Hal ini menyebabkan jenisjenis yang kurang dikenal ikut tereksploitasi sehingga banyak jenis Dipterocapaceae yang terancam punah dan belum diketahui sifat-sifat dasar kayunya serta masuk dalam Red List IUCN. Data yang tercatat saat ini, masih sebanyak 140 jenis belum diteliti sifat dasar kayunya secara lengkap. Diantaranya terdapat 5 jenis yang mempunyai beberapa sub species yang belum diteliti Penelitian sifat dasar kayu perlu dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mengurangi kekhawatiran adanya kehilangan jenis yang sudah terancam punah namun belum diketahui sifat dasarnya, sehingga dengan diketahuinya potensi kegunaan suatu jenis kayu dapat dijadikan dasar atau rekomendasi untuk dikembangkannya budidaya jenis tersebut. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian adalah menyediakan informasi sifat dasar dan kemungkinan penggunaan 2 jenis kayu Kalimantan sebagai dasar diversifikasi bahan baku untuk berbagai tujuan pemakaian. Sasarannya adalah tersedianya informasi ilmiah sifat dasar dan kegunaan 2 jenis kayu Kalimantan. C. Luaran 1. Laporan hasil penelitian yang berisi data dan informasi tentang sifat dasar 2 jenis kayu Kalimantan dan kemungkinan penggunaannya. 2. Draft karya tulis ilmiah. D. Hasil yang Diperoleh Jenis kayu yang diteliti pada tahun 2014 yaitu meranti merah (Parashorea smythiesii Wyatt.Sm ex P.S.Ashton) dan meranti putih (Parashorea tomentella (Sym.) Meijer.) keduanya dari famili Dipetrocarpaceae dari Kalimantan Timur. 1. Parashorea tomentella (Sym.) Meijer Dipterocarpaceae Ciri Umum Warna: coklat muda.corak: polos.tekstur: agak halus dan merata. Arah serat: lurus hingga berpadu. Kilap: kusam. Kesan raba: agak halus. Kekerasan: agak lunak. Bau: tidak ada. 6

14 2. Parashorea smythiesii Wyatt.Sm ex P.S. Ashton Ciri umum Warna: coklat kekuningan,corak: polos, pada bidang radial bercorak lurik seperti pita pendek. Tekstur: agak halus dan merata. Arah serat: lurus hingga berpadu. Kilap: kusam. Kesan raba: agak kasar. Kekerasan: agak keras. Bau: tidak ada. 3. Sifat Fisis dan Mekanis Kayu Kayu meranti putih (P. tomentella) tergolong kayu ringan, sedangkan kayu meranti merah tergolong sedang. Penyusutan meranti merah (P. smythiesii) lebih rendah dibandingkan penyusutan meranti putih, hal ini sebanding dengan beratnya kayu, dimana kayu yang lebih berat, lebih tebal dinding selnya, lebih banyak zat yang dapat mengikat dan melepaskan air (melalui ikatan hidrogen). Berdasarkan nilai rata-rata kerapatan, dan sifat mekanisnya, maka kayu meranti putih tergolong kelas kayu kelas kuat II sedangkan kayu meranti merah tergolong kayu kelas kuat III. Kayu meranti putih dapat dimanfaatkan untuk kayu konstruksi atau bahan bangunan, sedangkan meranti merah hanya sesuai untuk konstruksi ringan atau kegunaan yang tidak mensyaratkan kekuatan tinggi. 4. Pengujian Sifat Pemesinan Hasil pengujian secara umum kayu meranti merah termasuk kelas baik untuk pengerjaan pengetaman dan pemboran dengan nilai cacat sedikit, sedangkan meranti putih kelas sedang karena agak keras dan liat. Dalam pengerjaannya kayu meranti putih harus menggunakan mata pisau tertentu. 5. Sifat Keawetan Kayu Terhadap Serangga Untuk ketahanan terhadap rayap tanah kayu Meranti putih termasuk kelas ketahanan IV, sedangkan kayu Meranti merah termasuk kelas ketahanan III. Ketahanan kayu Meranti putih dan Meranti merah terhadap rayap kayu kering masing-masing termasuk kelas III. Berdasarkan penelitian lanjutan kedua jenis kayu terhadap rayap tanah maupun rayap kayu kering, kayu meranti merah lebih baik dari kayu meranti putih. 6. Sifat Keawetan Kayu Terhadap Jamur Dua jenis kayu asal Kalimantan Timur yang diteliti maka kayu Parashorea tomentella (Sym.) Meijer termasuk kelompok kayu tidak-tahan (kelas IV) dan Parashorea smythiesii Wyatt. Sm ex P.S. Ashton termasuk kelompok kayu agak-tahan (kelas III). Kedua kayu rentan secara berurutan terhadap jamur S. commune P. sanguineus, Tyromyces palustris dan Polyporus sp. 7

15 7. Sifat Keawetan Kayu Terhadap Penggerek di Laut Pengujian kedua jenis kayu di laut baru berjalan 6 bulan, ternyata kedua jenis kayu tidak tahan terhadap organisme perusak di laut atau termasuk kelas awet V dengan derajat kerusakan rata-rata 70-90%. Jenis organisme penggerek yang menyerang yaitu Martesia striata Linne. dari famili Pholadidae dan Teredo bartchi Clapp., Diccyathifer manni Wright., Bankia cieba Clench/Turner dari famili Teredinidae. 8. Sifat Keterawetan Bahan pengawet yang dipakai yaitu CCB dengan metode vakum tekan. Retensi yang dicapai pada kayu meranti merah dan meranti putih masingmasing 8,60 kg/m3 dan 6,82 kg/m 3, sedangkan penetrasinya semua jenis kayu hanya mencapai 65-85%. Kedua jenis kayu mempunyai sifat keterawetan kelas II atau termasuk sedang. Retensi dan penetrasi kelima jenis kayu tersebut sudah memenuhi standar SNI pengawetan untuk digunakan di bawah atap dan harus diawetkan secara terpisah. 9. Sifat Pengeringan Kayu Sifat pengeringan kayu meranti merah (P. smythiesii) termasuk baik sampai agak baik dan meranti putih termasuk agak baik sampai buruk. Cacat bentuk pada kayu meranti merah adalah memangkuk (cup), yaitu kayu berubah bentuk pada arah dimensi lebar. Kayu meranti putih (P. tomentella), selain berubah bentuk, juga mengalami pecah ujung, pecah di permukaan, dan pecah pada bagian dalam kayu dengan tingkat kerusakan bergantung pada kadar air kayunya. Semakin tinggi kadar air contoh uji semakin parah tingkat kerusakannya. Berdasarkan pengujian, sifat pengeringan kayu meranti merah termasuk baik sampai agak baik dan kayu meranti putih termasuk agak baik sampai buruk. Cacat bentuk pada kayu meranti putih adalah memangkuk (cup) dan menggelinjang (twisting) yang cukup parah, sehingga perlu kehati-hatian dalam menggunakan bagan pengeringan. 10. Sifat Pengkaratan Kayu Didapatkan pengkaratan sangat ringan di kepala sekrup yang di pasang pada kedua jenis kayu. Intensitas pengkaratan besi umumnya rendah (kurang dari 1%), yang ditandai oleh variasi pengurangan berat sekrup tersebut. 11. Sifat Kimia dan Nilai Kalor Kadar kelarutan kandungan zat ekstraktif Parashorea tomentella pada air panas (2,68%), NaOH 1% (12,69%) dan campuran alcohol-benzena (2,65%) lebih rendah, dan memiliki kadar selulosa lebih tinggi (59,42%); dari kandungan sejenis pada Parashorea smythiesii (berturutan 3,33; 14,16; 2,76; dan 54,01 persen). Kandungan serat yang tinggi dibutuhkan dalam pembuatan pulp/kertas untuk meningkatkan rendemen. 8

16 12. Sifat dan Pengolahan Pulp untuk Kertas Pada proses pemasakan bubur kayu untuk pulp, Parashorea tomentella memerlukan alkali lebih sedikit dibandingkan dengan Parashorea smythiesii, namun meninggalkan sisa lignin lebih banyak yang ditunjukkan besarnya bilangan Kappa yaitu 38,28% (P. tomentella) dan 21,95 (P. smythiesii). Walaupun demikian Parashorea tomentella menghasilkan rendemen pulp yaitu 35,16%, lebih tinggi hampir dua persen. E. Kesimpulan dan Saran 1. Secara mekanis kayu meranti putih tergolong kelas kayu kelas kuat II sedangkan kayu meranti merah tergolong kayu kelas kuat III. 2. Ketahanan kedua jenis kayu terhadap rayap tanah maupun rayap kayu kering, kayu meranti merah lebih baik dari kayu meranti putih, namun keduanya termasuk kelas awet III-IV, sehingga perlu diawetkan sebelum digunakan untuk keperluan bahan bangunan maupun mebel dan barang kerajinan. 3. Kayu Parashorea tomentella (Sym.) Meijer termasuk kelompok kayu tidaktahan jamur (kelas IV) dan P. smythiesii Wyatt. Sm ex P.S. Ashton termasuk kelompok kayu agak-tahan (kelas III). 4. Sifat pengeringan kayu meranti merah termasuk baik sampai agak baik sehingga dapat memakai bagan normal dan kayu untuk meranti putih perlu ektra hati-hati dalam menggunakan bagan pengeringan. 5. Parashorea smythiesii dan Parashorea tomentella termasuk jenis kayu yang mempunyai nilai kalor memenuhi standar SNI untuk arang aktif dan baik digunakan untuk pulp dan kertas. 6. Kayu Parashorea tomentella (Sym.) Meijer dan Parashorea smythiesii Wyatt. Sm ex P.S. Ashton perlu diawetkan sebelum digunakan untuk keperluan bahan bangunan maupun mebel dan barang kerajinan. 7. Kayu Parashorea tomentella (Sym.) Meijer dan Parashorea smythiesii Wyatt. Sm ex P.S. Ashton disarankan tidak dipakai di tempat yang berhubungan dengan air laut kecuali jika sebelumnya diperlakukan khusus secara benar atau diawetkan. 9

17 10

18 Program : Litbang Pengolahan Hasil Hutan Judul RPI : 19 Sifat Dasar Kayu dan Bukan Kayu Koordinator RPI : Drs. Mohammad Muslich, MSc. Judul Kegiatan : Sifat Dasar dan Kegunaan Kayu Sumatera Pelaksana Kegiatan : Dr. Krisdianto, S.Hut, MSc. Abstrak Jenis kayu kurang dikenal untuk penelitian sifat dasar kayu dari Sumatera Selatan tahun 2014 adalah jenis kayu bira-bira (Fragaea crenulata Maing. ex C.B.C.) dan mahang putih (Macaranga hypoleuca Muell.Arg.). Kayu bira-bira memiliki warna kuning cerah menyerupai ramin, namun mudah diserang jamur biru. Kayu mahang putih memiliki warna putih keabu-abuan mirip dengan kayu sengon. Berdasarkan berat jenisnya kayu bira-bira termasuk kayu kelas kuat III dan kayu mahang putih termasuk kelas kuat IV. Pengeringan kayu mahang putih termasuk kelas 3 dan 4 (agak baik sampai sedang) dan kayu bira-bira termasuk kelas 5 dan 6 (agak buruk sampai buruk). Kayu birabira termasuk kelas ketahanan II dan mahang putih termasuk kelas ketahanan V terhadap rayap tanah. Kedua jenis kayu tidak tahan terhadap penggerek di laut (kelas IV). Keterawetan kedua jenis kayu termasuk sedang (II), Nilai kalor tinggi, yaitu kal/g untuk kayu mahang putih dan kal/g untuk kayu bira-bira. Konsumsi alkali kedua jenis kayu tergolong sedang, namun bilangan kappa kayu mahang lebih tinggi dari kayu bira-bira. Kata kunci: Sifat kayu, bira-bira, mahang putih, Sumatera, kurang dikenal, komersial A. Latar Belakang RINGKASAN Data dan informasi kayu kurang dikenal yang mendukung pemanfaatan kayu adalah sifat anatomi dan kualitas serat, fisis dan mekanis, pemesinan dan pengerjaan, keawetan dan keterawetan serta kandungan kimia kayu. Data struktur anatomi kayu dan kualitas seratnya berguna untuk proses identifikasi dan prediksi kualitasnya sebagai bahan pulp dan kertas. Data sifat fisis dan mekanis berguna untuk penggunaan kayu sebagai bahan konstruksi. Data pemesinan memberikan informasi tentang kualitas pemesinan yang berhubungan dengan pengerjaan kayu tersebut seperti penggunaannya sebagai mebel. Data keawetan kayu berguna untuk memprediksi ketahanan 11

19 kayu terhadap organisme perusak tertentu, sedangkan keterawetan kayu untuk mengetahui mudah tidaknya bahan pengawet masuk ke dalam kayu. Data kandungan kimia kayu untuk pengolahan pulp dan kertas dan memprediksi ketahanan kayu terhadap serangan organisme perusak kayu. Untuk kegiatan tahun 2014, penelitian sifat dasar mengambil sampel dari Rokan Hilir, Riau yaitu jenis kayu bira-bira dan mahang putih. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian ini adalah menyediakan informasi tentang sifat dasar 2 (dua) jenis kayu Sumatera sebagai dasar pemanfaatannya untuk berbagai tujuan dalam rangka efisiensi pemanfaatan sumberdaya hutan. Sasaran penelitian ini adalah tersedianya informasi ilmiah mengenai sifat dasar dan kemungkinan penggunaan 2 (dua) jenis kayu Sumatera. C. Metode Penelitian Bahan utama yang digunakan adalah kayu bira-bira (Fragaea crenulata Maing. ex C.B.C.) dan mahang putih (Macaranga hypoleuca Muell.Arg.). Bagian kayu yang diteliti adalah bagian batang bebas cabang. Pemilihan jenis dilakukan berdasarkan potensi jenis kayu di Rokan Hilir, Riau dan belum banyak diketahui sifat dasarnya. Pengujian sifat dasar kayunya meliputi: 1. struktur anatomi dan dimensi serat kayu; 2. sifat fisis dan mekanis; 3. sifat pemesinan; 4. sifat pengeringan; 5. sifat keawetan kayu terhadap serangga; 6. sifat keawetan kayu terhadap penggerek di laut; 7. sifat keterawetan kayu; 8. sifat kimia dan nilai kalor dan 9. sifat pengolahan pulp dan kertas. D. Hasil yang Dicapai Ciri umum anatomi kayu bira-bira (Fragaea crenulata Maing. ex C.B.C.) adalah sebagai berikut: Warna kayu kuning cerah, bagian terasnya tidak dipisahkan secara jelas dengan kayu gubalnya yang berwarna lebih pucat. Corak polos. Tekstur halus sampai agak halus. Arah serat lurus, bergelombang, kadang dijumpai berpadu. Kilap kusam (tidak mengkilap). Kesan raba permukaan tangensial agak licin. Kekerasan keras. Pada saat ditebang kayu berbau kurang sedap namun hilang saat dikering anginkan. Ciri umum anatomi kayu mahang putih (Macaranga hypoleuca (Rchb.f.&Zoll.) Muell. Arg. adalah sebagai berikut: Warna kayu putih kuning keabu-abuan, tidak dipisahkan secara jelas dengnan kayu gubalnya yang berwarna lebih pucat. Corak polos. Tekstur halus dan rata, arah serat lurus, kilap kusam (tidak mengkilap), kessan raba permukaan tangensial kesat. Kekerasan lunak. 12

20 Dari ciri umum kedua jenis kayu, kenampakan kayu bira-bira berwarna kuning gading agak pucat dan mempunyai permukaan yang halus dapat digunakan sebagai pengganti kayu ramin. Kayu mahang putih hampir sama dengan kayu sengon. Berdasarkan kondisi kering oven, rata-rata berat jenis kayu bira-bira adalah 0,62, sedangkan berat jenis kayu mahang putih adalah 0,34. Berdasarkan data fisis dan mekanisnya, kayu bira-bira termasuk kelas kuat III IV sedangkan kayu mahang putih tergolong kayu kelas kuat IV. Uji coba pengeringan dengan suhu tinggi menunjukkan kayu mahang putih termasuk kelas 3 dan 4 (agak baik sampai sedang) dan kayu bira-bira termasuk kelas 5 dan 6 (agak buruk sampai buruk). Hasil pengujian sifat pemesinan menunjukkan hasil yang baik (II) kecuali pemboran kayu mahang putih termasuk kelas kualitas sedang (III). Kedua jenis kayu mengandung silika namun tidak terlalu tinggi, sehingga hasil pemesinannya relatif halus. Pengerjaan dengan mesin menunjukkan persentase cacat permukaan berupa serat berbulu, serat patah, bekas garukan yang relatif kecil. Hasil pengujian ketahanan kayu mahang putih terhadap rayap tanah (C. curvignathus) termasuk kelas V (tidak tahan), sedangkan kayu bira-bira termasuk kelas II (agak tahan). Hasil pengujian terhadap rayap kayu kering menunjukkan bahwa kayu mahang putih termasuk kelas ketahanan IV (tidak tahan) sedangkan kayu bira-bira termasuk kelas ketahanan II. Hasil pengujian di laut menunjukkan kedua jenis kayu termasuk kelas awet IV. Untuk meningkatkan umur pakai kedua jenis kayu sebaiknya diawetkan sebelum digunakan. Uji keterawetan menunjukkan kedua jenis kayu termasuk mudah diawetkan (kelas II). Hasil analisis komponen kimia kayu bira-bira adalah lignin 34,55%, pentosan 15,68%, selulosa 51,12%, kelarutan dalam air dingin 1,78%, air panas 4,95%, kelarutan dalam alkohol benzen 3,65%, NaOH 1% adalah 22,90%, kadar air 7,75%, kadar abu 0,41% dan silika 0,09%. Komponen kimia kayu mahang putih adalah lignin 35,80%, pentosan 15,48%, selulosa 48,61%, kelarutan dalam air dingin 0,68%, air panas 2,85%, kelarutan dalam alkohol benzen 4,50%, NaOH 1% adalah 14,54%, kadar air 14,42%, kadar abu 1,10% dan silika 0,455%. Nilai kalor untuk kayu bambang lanang adalah kal/g, sedangkan kayu bawang adalah kal/g. Dalam pengolahan kayu menjadi pulp, data dan informasi yang dibutuhkan meliputi konsumsi alkali dan bilangan kappa. Nilai konsumsi alkali kedua jenis kayu relatif sama, sehingga secara keseluruhan pulp yang baik untuk dibentuk lembaran berdasarkan bilangan kappa dan yang rendah dan rendemen yang tinggi adalah kayu bira-bira. Walaupun kayu bira-bira memiliki bilangan kappa yang lebih rendah dari kayu mahang putih, namun rendemen pulp dan kertas kayu bira-bira lebih tinggi dari kayu mahang putih. Untuk melihat karakteristik pulp yang baik untuk dibentuk lembaran harus diuji juga 13

21 sifat fisik lembarannya, tidak cukup hanya melihat data bilangan kappa, konsumsi alkali dan rendemennya. Kayu bira-bira termasuk kayu keras dan dapat digunakan untuk konstruksi berat. Beberapa bentuk produk kayu yang dapat dikembangkan untuk kayu bira-bira addalah tiang rumah, jembatan kayu, bangunan kapal, pagar, pintu, kusen, papan lantai, mebel dan produk bubutan. Kayu bira-bira mudah dikerjakan dengan kualitas hasil permukaan kayu yang halus dan mudah di finishing. Dalam penggunaannya dalam bentuk utuh, kelemahan kayu bira-bira adalah mudah terserang jamur biru. Untuk itu, kayu bira-bira harus diawetkan secara propilaktik setelah ditebang agar tidak terserang jamur biru. Kayu mahang putih termasuk kayu sedang sehingga tidak cocok untuk konstruksi berat. Kayu mahang putih dapat digunakan untuk konstruksi ringan dan yang bersifat tidak permanen. Kayu mahang putih dapat digunakan untuk konstruksi ringan di dalam rumah, seperti moulding dan mebel dalam rumah yang tidak berhubungan dengan tanah. Kayu mahang putih dianjurkan digunakan untuk kayu pembungkus, perahu kecil dan batang korek api, serta bahan kerajinan seperti topeng dan sandal kayu. E. Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Kayu bira-bira memiliki warna kuning cerah menyerupai kayu ramin, kayu mahang putih memiliki warna kuning merah keabu-abuan mirip dengan sengon. Kedua jenis kayu mudah terserang jamur biru, sehingga perlu diperlakukan pengawetan propilaktik. 2. Berdasarkan dimensi seratnya, kedua jenis kayu berpotensi untuk pulp dan kertas dengan kelas kualitas I. 3. Berdasarkan berat jenisnya kayu bira-bira termasuk kayu sedang dan kelas kuat III dan kayu mahang putih termasuk kayu sedang dengan kelas kuat IV. 4. Pengeringan kayu mahang putih termasuk kelas 3 dan 4 (agak baik sampai sedang) dan kayu bira-bira termasuk kelas 5 dan 6 (agak buruk sampai buruk. 5. Pemesinan kedua jenis kayu termasuk baik (II) kecuali pemboran kayu mahang putih. 6. Kayu bira-bira termasuk kelas ketahanan II dan mahang putih kelas V terhadap rayap tanah, demikian juga terhadap rayap kayu kering. 7. Kedua jenis kayu tidak tahan terhadap penggerek di laut (kelas IV). 8. Keterawetan kedua jenis kayu termasuk sedang (II). 9. Nilai kalor kedua jenis kayu tinggi, yaitu kal/g untuk kayu mahang putih dan kal/g untuk kayu bira-bira. 14

22 10. Untuk bahan kertas, konsumsi alkali kedua jenis kayu tergolong sedang, namun bilangan kappa kayu mahang lebih tinggi dari kayu bira-bira. 11. Kedua jenis kayu direkomendasikan untuk dikembangkan di Propinsi Riau terutama daerah rawa gambut karena memiliki potensi sebagai jenis andalan setempat untuk bahan baku konstruksi dan mebel. 15

23 16

24 Program : Litbang Pengolahan Hasil Hutan Judul RPI : 19 Sifat Dasar Kayu dan Bukan Kayu Koordinator RPI : Drs. Mohammad Muslich, MSc. Judul Kegiatan : Sifat Dasar dan Kegunaan Kayu Papua Pelaksana Kegiatan : Andianto, S.Hut. M.Si; Drs. Mohammad Muslich, M.Sc; Prof. Dr. Gustan Pari, Msi; Dr. Drs. Djarwanto, M.Si; Dra. Sihati Suprapti; Ir. Nurwati Hadjib, M.Si; Ir. Efrida Basri, M.Sc; Ir. Mochamad Isa Iskandar, MM; Abdurachman, ST; Dian Anggraini Indrawan, S. Hut, MM. Abstrak Informasi sifat dasar diperlukan dalam pemanfaatan suatu jenis kayu secara lebih tepat dan efisien. Telah dilakukan penelitian sifat dasar kayu asal Papua jenis Pentaphalangium parviflorum (Guttiferae) dan Mastixiodendron pachyclados (Rubiaceae). Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode standar pada masing-masing aspek sifat dasar. Hasil penelitian menunjukan bahwa struktur anatomi kayu P. parviflorum diantaranya berupa batas lingkar tumbuh tidak jelas; pembuluh baur, soliter, dan berganda radial 2-3; parenkim konfluen. Struktur anatomi kayu M. pachyclados diantaranya berupa lingkar tumbuh yang jelas, ditandai dengan perbedaan ketebalan dinding serat dan menggepeng pada kayu akhir dibandingkan serat kayu awal yang berdinding tipis; pembuluh baur, soliter, dan berganda radial 2(-3); parenkim paratrakea jarang. Kedua jenis kayu ini termasuk kelas kuat II, termasuk kelas awet II terhadap serangan rayap tanah maupun rayap kayu kering, namun memiliki sifat pengeringan agak buruk (kelas V). Intensitas serangan penggerek laut selama pengujian tiga bulan pada kayu P. parviflorum sebesar 80-90% dan pada kayu M. pachyclados sebesar 1-11%. Kayu P. parviflorum termasuk kelompok kayu tidaktahan (kelas IV), dan M. pachyclados termasuk kelompok kayu agak-tahan (kelas III) terhadap jamur pelapuk. Kandungan selulosa kayu P. parviflorum sebesar 49,83% dan kandungan lignin 24,58%, sedangkan kandungan selulosa kayu M. pachyclados sebesar 45,78% dan lignin 28,76%. Proses pengolahan pulp masingmasing jenis kayu menghasilkan rendemen 29,96% pada kayu P. parviflorum dan 26,48% pada kayu M. pachyclados. Berdasarkan persyaratan teknis, kedua jenis kayu ini dimungkinkan penggunaannya untuk pertukangan dan konstruksi berat. Kata kunci: Sifat dasar kayu, Papua, Pentaphalangium parviflorum, Mastixiodendron pachyclados 17

25 A. Latar Belakang RINGKASAN Tidak adanya informasi mengenai pengenalan maupun sifat kayu dari jenis-jenis tertentu dapat mengakibatkan kekeliruan dalam pemilahan jenis kayu yang berkualitas rendah dengan yang berkualitas baik. Hal demikian mengakibatkan penggunaan kayu menjadi tidak efisien dalam berbagai tujuan pemakaian. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian sifat dasar kayu, terutama untuk jenis-jenis kayu yang belum banyak dikenal yang juga banyak tersedia di provinsi Papua. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian adalah menyediakan informasi sifat dasar dan kemungkinan penggunaan 2 jenis kayu asal Papua sebagai dasar diversifikasi penggunaan bahan baku untuk berbagai tujuan pemakaian, sedangkan sasarannya adalah tersedianya informasi ilmiah mengenai sifat dasar dan kemungkinan penggunaan 2 jenis kayu asal Papua. C. Metoda Penelitian Bahan penelitian kayu Pentaphalangium parviflorum (Guttiferae) dan Mastixiodendron pachyclados (Rubiaceae) asal Kabupaten Manokwari, Propinsi Papua Barat. Kegiatan lapangan berupa survey keberadaan pohon, identifikasi, penebangan, pemotongan batang, penyaradan dan pengangkutan sampel kayu yang akan diteliti. Kegiatan laboratorium meliputi pembuatan, pengukuran dan pengujian sampel kayu. Hasil pengujian setiap aspek sifat dasar kayu ditabulasi, dihitung nilai rata-ratanya, diklasifikasikan sesuai dengan standar yang digunakan pada masing-masing pengujian. D. Hasil yang Dicapai 1. Struktur Anatomi dan Dimensi Serat a. Pentaphalangium parviflorum (Guttiferae) Lingkar tumbuh: batas lingkar tumbuh tidak jelas. Pembuluh: baur, soliter, dan berganda radial 2-3; persen soliter 86% (sebagian besar soliter); frekuensi 5/mm 2 (jarang); panjang 888,5 ± 40 ( ) mikron, diameter 280 ± 13 ( ); bidang perforasi sederhana; ceruk antar pembuluh selangseling bersegi banyak; diameter ceruk antar pembuluh 6,19 mikron (kecil); ceruk antar pembuluh dengan jari-jari dengan halaman yang jelas; serupa dalam ukuran dan bentuk dengan ceruk antar pembuluh. Parenkim: konfluen; 18

26 panjang untai delapan (5-8) sel per untai. Jari-jari: heteroseluler; umumnya dengan 2-4 jalur sel tegak atau sel bujur sangkar marjinal, dengan > 4 jalur sel tegak atau bujur sangkar marjinal; lebar jari-jari besar umumnya 4-10 seri. Serat: serat dengan ceruk sederhana sampai berhalaman sangat kecil; serat bersekat dijumpai; dinding serat tipis sampai tebal; panjang 2727 ± 60 ( ) mikron; diameter lumen 8,47 ± 0,54 (7,93-9,01) mikron; tebal dinding 10,11 ± 0,75 (9,36-10,86) mikron. Inklusi mineral: kristal prismatik dijumpai dalam sel baring, dan dalam parenkim aksial tak berbilik. b. Mastixiodendron pachyclados (Rubiaceae) Lingkar tumbuh: jelas ditandai dengan perbedaan ketebalan dinding serat dan menggepeng pada kayu akhir dibandingkan serat kayu awal yang berdinding tipis. Pembuluh: baur, soliter, dan berganda radial 2(-3); persen soliter 67,28%; frekuensi 19/mm 2 (agak banyak); panjang 1063 ± 56 ( ) mikron, diameter 136 ± 4 ( ); bidang perforasi sederhana; ceruk antar pembuluh selang-seling; diameter ceruk antar pembuluh 3,33 mikron (sangat kecil); ceruk antar pembuluh berumbai; ceruk antar pembuluh dengan jari-jari dengan halaman yang jelas; serupa dalam ukuran dan bentuk dengan ceruk antar pembuluh. Parenkim: paratrakea jarang; empat (3-4) sel per untai. Jarijari: heteroselular; dengan 1 jalur sel tegak dan atau sel bujur sangkar marginal; lebar 1-3 seri. Serat: serat dengan ceruk sederhana sampai berhalaman sangat kecil; serat bersekat dijumpai; dinding serat tipis sampai tebal; panjang 1872 ± 73 ( ) mikron; diameter lumen 19,77 ± 1,08 (18,69-20,85) mikron; tebal dinding 7,39 ± 0,5 (6,89-7,89) mikron. Inklusi mineral: kristal prismatik dijumpai dalam sel tegak berbilik. Nilai perbandingan runkel 2,38; daya tenun 95; perbandingan muhlstep 91%; perbandingan flexibilitas 0,29; dan koefisien kekakuan sebesar 0,35 untuk P. parviflorum. Sedangkan M. pachyclados memiliki nilai perbandingan runkel 0,74; daya tenun 54; perbandingan muhlstep 67%; perbandingan flexibilitas 0,57; dan koefisien kekakuan 0,21. Berdasarkan kriteria serat kayu untuk bahan baku pulp dan kertas (Rachman dan Siagian, 1976), serat kayu kedua jenis ini termasuk dalam kelas mutu II. 2. Sifat Fisis dan Mekanis Kadar air (KA) segar kayu P. parviflorum 74,55% dan M. pachyclados 65,23%, KA kering udara P. parviflorum 13,36% dan M. pachyclados 12,86%. BJ kayu P. parviflorum 0,73 dengan penyusutan tangensial 5,97%. BJ kayu M. pachyclados 0,79 dengan penyusutan tangensial 4,26%. Kedua jenis kayu tergolong kayu kelas kuat II (Oey, 1990). Kemungkinan pemanfaatan kedua jenis kayu untuk pertukangan dan konstruksi berat. 19

27 3. Sifat Pengerjaan/Pemesinan Kayu P. parviflorum memiliki kualitas II untuk pemboran dan pembubutan, sedangkan untuk pengetaman, pembentukan, dan pengampelasan kualitas I. Kayu M. pachyclados berkualitas II untuk pengetaman, sedangkan untuk pembentukan, pengampelasan, pemboran, dan pembubutan memiliki kualitas I. 4. Sifat Keawetan Kedua jenis kayu termasuk kelas II (serangan rayap tanah dan rayap kayu kering). Uji kubur (3 bulan) terlihat serangan rayap tanah pada salah satu contoh uji kayu P. parviflorum yang tidak di awetkan, namun pada semua contoh uji kayu M. pachyclados tidak ada serangan sama sekali. Kayu P. parviflorum termasuk kelompok kelas IV, dan M. pachyclados termasuk kelompok kelas III terhadap serangan jamur pelapuk. Kehilangan berat tertinggi didapatkan pada kayu P. parviflorum oleh serangan jamur P. sanguineus. Kehilangan berat terendah terjadi pada kayu M. pachyclados akibat serangan jamur Polyporus sp. Setelah 3 bulan pemasangan di perairan, terlihat intensitas serangan penggerek laut pada kayu P. parviflorum sebesar 80-90%, sedangkan pada kayu M. pachyclados sebesar 1-11%. 5. Sifat Pengeringan Kedua jenis tersebut mengalami pecah pemukaan dan perubahan bentuk pada pengeringan suhu tinggi, terutama pada kayu M. pachyclados. Perubahan bentuk kayu P. parviflorum menggelinjang (twist) dan mewajik (diamond), serta menggelinjang dan memangkuk (cup) pada kayu M. pachyclados. Sifat pengeringan kedua jenis tersebut termasuk kelas 5 (agak buruk). 6. Sifat Pengkaratan Kayu Kelunturan warna sekrup logam di permukaan kayu selama masa inkubasi 12 minggu tidak ditemukan pada ke dua jenis kayu tersebut. Perubahan warna pada kepala sekrup dari putih menjadi coklat kotor ditemukan pada kayu M. pachyclados dengan intensitas pengkaratan sangat sedikit. Pada kayu P. parviflorum belum terlihat adanya proses pengkaratan. 7. Sifat Kimia Kandungan selulosa kayu P. parviflorum sebesar 49,83%, sedangkan M. pachyclados sebesar 45,78%. Kedua jenis ini memiliki kandungan lignin sebesar 24,58% (P. parviflorum) dan 28,76% (M. pachyclados). Nilai kalor kedua jenis kayu 4 Kal/gr, sedangkan kadar abu dan silika masing-masing sebesar 1,33% 20

28 dan 0,147% untuk P. parviflorum serta 0,55% dan 0,071% untuk M. pachyclados. Kelarutan dalam air dingin dan air panas masing-masing sebesar 2,89% dan 6,56% untuk P. parviflorum serta 5,32% dan 9,04% untuk M. pachyclados. 8. Sifat dan Pengolahan Pulp dan Kertas Rendemen pulp kayu P. parviflorum sebesar 29,96%, konsumsi alkali 12,88 dan bilangan kappa 31,84. Kayu M. pachyclados memiliki rendemen pulp 26,48%, konsumsi alkali 13,92 dan bilangan kappa 31,82. Keduanya kurang baik untuk dijadikan bahan baku kertas. 9. Sifat Perekatan Kayu Daya rekat pada kondisi basah maupun kering kayu P. parviflorum lebih baik dibandingkan kayu M. pachyclados. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rata-rata keteguhan tarik sejajar serat lebih tinggi pada kayu P. parviflorum. 10. Sifat Keterawetan Kayu P. parviflorum dan M. pachyclados memiliki kelas keterawetan I (mudah diawetkan). Hal ini terlihat dengan daya penembusan bahan pengawet yang mencapai 100% dengan masing-masing retensi sebesar 11, 97 gr/cm 3 untuk P. parviflorum dan 6,70 gr/cm 3 untuk M. pachyclados. E. Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Struktur anatomi P. parviflorum di antaranya berupa pembuluh berganda radial 2-3; parenkim konfluen; kristal prismatik dijumpai dalam sel baring, dan dalam parenkim aksial tak berbilik. Struktur anatomi M. pachyclados diantaranya berupa pembuluh berganda radial 2(-3); parenkim paratrakea jarang; kristal prismatik dijumpai dalam sel tegak berbilik. 2. Kedua jenis kayu termasuk kelas awet II terhadap serangan rayap tanah dan kayu kering. Uji kubur selama 3 bulan terjadi serangan rayap tanah pada salah satu contoh uji kayu P. parviflorum yang tidak di awetkan dan sama sekali tidak terdapat serangan pada kayu M. pachyclados. Intensitas serangan penggerek laut selama tiga bulan pada kayu P. parviflorum 80-90%, sedangkan kayu M. pachyclados 1-11%. Kayu P. parviflorum termasuk kelompok kayu kelas IV dan M. pachyclados termasuk kelas III terhadap ketahanan serangan jamur pelapuk. Masa inkubasi 12 minggu, kelunturan warna sekrup logam di permukaan kayu tidak ditemukan pada ke dua jenis kayu tersebut. 21

29 3. Kayu P. parviflorum dan M. pachyclados memiliki kelas keterawetan I (mudah diawetkan). Sifat pengeringan kedua jenis tersebut termasuk kelas 5 (agak buruk). 4. Kandungan selulosa kayu P. parviflorum sebesar 49,83%, sedangkan M. pachyclados sebesar 45,78%. Kandungan lignin sebesar 24,58% (P. parviflorum) dan 28,76% (M. pachyclados). Rendemen pulp 29,96%, konsumsi alkali 12,88 dan bilangan kappa 31,84 pada kayu P. parviflorum, rendemen pulp 26,48%, konsumsi alkali 13,92 dan bilangan kappa 31,82 pada kayu M. pachyclados. 5. Kayu P. parviflorum dan M. pachyclados memiliki sifat pengerjaan/ pemesinan baik hingga sangat baik. Kayu P. parviflorum memiliki daya rekat yang lebih baik dibandingkan kayu M. pachyclados. 6. Kayu P. parviflorum tergolong kayu agak berat (BJ 0,73) dan kayu M. pachyclados tergolong berat (BJ 0,79). Keduanya tergolong kayu kelas kuat II, kemungkinan pemanfaatannya untuk kayu pertukangan dan konstruksi berat. 7. Kayu P. parviflorum dan M. pachyclados dapat dimungkinkan sebagai substitusi jensi-jenis kayu komersial untuk tujuan penggunaan konstruksi berat dan pertukangan. Intensitas serangan penggerek laut selama pengujian tiga bulan pada kayu P. parviflorum sebesar 80-90% (sangat rentan/sangat buruk), sehingga tidak sesuai untuk bahan perkapalan pada bagian yang terkena air laut meskipun memiliki kelas Kuat dan awet II terhadap serangan rayap kayu kering dan rayap tanah. 22

30 Program : Litbang Pengolahan Hasil Hutan Judul RPI : 19 Sifat Dasar Kayu dan Bukan Kayu Koordinator RPI : Drs. Mohammad Muslich, MSc. Judul Kegiatan : Sifat Dasar dan Kegunaan Rotan Pelaksana Kegiatan : Dra. Jasni, M.Si; Dra. Titik Kalima, M.Si; Dr. Kisdianto,S.Hut. M.Sc; Abdurachman, ST; Prof. Dr. Gustan Pari, M.Si. Abstrak Pusat pertumbuhan rotan paling banyak ditemui di Asia Selatan. Di wilayah ini terdapat sekitari 614 jenis rotan, yang berasal dari 8 genera. Di Indonesia tercatat 8 genera dengan 314 spesies rotan. Dari jumlah tersebut sekitar 51 sudah dikenal dalam perdagangan (komersial), sedangkan yang lain belum dimanfaatkan. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya rotan dari jenis-jenis rotan yang belum digunakan. Sasaran kegiatan ini adalah memperoleh data dan informasi sifat-sifat rotan sebagai dasar pemanfaatannya. Dalam penelitian ini adalah sifat dasar rotan, anatomi, kimia, fisis-mekanis, ketahanan dan pelengkungan serta pembuatan produk. Jenis rotan yang dipelajari 4 jenis rotan, yaitu: rotan calamus sp2 (Calamus rugosus Beccari), calamus 5 (Calamus spectatissimus Furtado), calamus 1 (Daemonorops verticillaris (Griff.) Mart) dan calamus sp (Daemonorops longipes (Griff.) Mart). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat jenis rotan calamus sp2, calamus 5, calamus 1 dan calamus sp baik digunakan sebagai bahan baku pembuatan komponen mebel, keranjang dan anyaman. Kata kunci: Rotan, sifat dasar, kegunaan, mebel A. Latar Belakang RINGKASAN Indonesia memiliki kurang lebih 314 jenis rotan, tetapi baru 51 jenis yang merupakan jenis komersial atau laku diperdagangkan karena sifatnya sudah dikenal, namun beberapa jenis komersial potensinya sudah menurun dan mulai langka. Sementara itu, dari jenis-jenis lain yang non komersial (belum dikenal) mungkin ada yang memiliki sifat baik dan jumlahnya cukup tersedia di hutan. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian dan pengembangan yang komprehensif dan holistic bagi rotan yang belum dikenal, sehingga dapat 23

31 dimanfaatkan. Penelitian akan mencakup penyebaran botani, sifat dasar (anatomi, fisis mekanis, kimia dan keawetan), pelengkungan, dan pembuatan produk sehingga dapat diketahui peruntukkan dan kualitas secara lebih tepat untuk setiap jenis rotan. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian ini menyediakan informasi sifat dasar dan kemungkinan penggunaan 4 jenis rotan sebagai dasar diversifikasi penggunaan bahan baku untuk berbagai tujuan. Sasarannya adalah tersedianya informasi ilmiah mengenai sifat dasar dan kemungkinan penggunaan 4 jenis rotan. C. Metodologi 1. Lapangan Pemilihan rotan yang masak tebang dari jenis-jenis rotan yang belum dimanfaatkan. 2. Laboratorium Rotan yang sudah dipanen kemudian di bawa ke laboratorium untuk dilakukan pengujian, untuk mengetahui nama ilmiah, sifat dasar meliputi sifat anatomi, sifat fisis-mekanis, sifat kimia, ketahanan terhadap rayap tanah (Coptotermes curvignathus), dan sifat pelengkungan. 3. Proses pembuatan komponen produk Rotan dibuat produk sesuai dengan peralatan yang ada dan jenis produk yang akan dibuat disesuaikan dengan sarana dan prasarana industri. D. Hasil yang Dicapai Hasil penelitian yang dilakukan didapat 4 jenis rotan, yaitu calamus sp2 (Calamus rugosus Becc.), rotan calamus 5 (Calamus spectatissimus Furtado), rotan calamus 1 (Daemonorops veticillaris (Griff.) Mart) dan rotan calamus sp (Daemonorops lingipes (Griff.) Mart). Diameter batang ke empat jenis rotan berkisar 6 24 mm, dan panjang ruas berkisar 8 25 cm. Tinggi buku berkisar 0,5 2,0 mm, keempat rotan ini mempunyai tinggi buku yang rendah, tinggi buku pada rotan ini hampir seragam. Struktur anatomi ke empat jenis rotan, tebal dinding sel serabut terendah rotan calamus 5 (3,6 μm) dan tertinggi rotan calamus 1 (4,2 μm), kemudian rotan calamus sp (3,9 µm) dan calamus sp2 (3,7 µm). Sifat fisis mekanis dari empat jenis rotan, berat jenis (BJ), rotan calamus sp2 (0,72), rotan calamus sp (0,68), rotan calamus 5 (0,57) dan rotan calamus 1 (0,54). Komponen kimia dari 4 jenis rotan, kandungan selulosa rotan calamus sp2 (46,51%), rotan calamus 5 (49,54 %), calamus 1 (50,59%) sedangkan rotan calamus sp (54,66%). Kandungan lignin rotan calamus sp2 (27,15%), rotan 24

32 calamus 5 (23,78 %), calamus 1 (25,31%) dan rotan calamus sp (25,81%). Kandungan pati tertinggi terdapat pada rotan calamus sp (20,17%), kemudian calamus 1 (18,56%), rotan calamus sp2 dan calamus 5 (18,32). Untuk ketahanan rayap tanah, rotan calamus 1 dan calamus sp termasuk kelas I, sedangkan calamus sp 2 dan calamus 5 termasuk kelas II. Berdasarkan proses pelengkungan, calamus sp2, calamus 5 dan calamus1 dapat dilengkungkan dengan pelengkungan menghasilkan radius lengkung yang berkisar 7,00 9,50 cm termasuk mudah dilengkungkan (kelas 1). Pada pembuatan contoh produk, keempat jenis rotan ini dapat disetarakan dengan rotan komersial. Produk mebel yang dihasilkan dari salah satu jenis yang dipelajari atau digabungkan dengan rotan yang sudah ada dipasaran, juga dapat menarik pembeli. Hal ini menggambarkan bahwa keempat jenis rotan yang dipelajari dapat pengganti rotan komersial. Beberapa contoh hasil produk dtampilkan pada gambar dibawah ini. E. Kesimpulan dan Saran Gambar. Contoh produk rotan 1. Sifat-sifat dasar keempat jenis rotan yang dipelajari mirip dengan rotan komersial, ditinjau dari sifat anatomi, kimia fisis mekanis, keawetan dan pelengkungan. 2. Ketahanan rotan terhadap rayap tanah, rotan calamus sp2 dan calamus 5 termasuk kelas ketahanan II, rotan calamus 1 dan rotan calamus sp termasuk kelas ketahanan I. 3. Pelengkungan 4 jenis rotan yang diteliti calamus sp2, calamus 5, calamus 1 dan calamus sp termasuk dalam kelompok sangat baik dilengkungkan dengan radius lengkung dibawan 10 cm dan termasuk kelas I. 4. Produk dari keempat jenis rotan (calamus sp2, calamus 5, calamus 1 dan calamus sp) termasuk mudah dikerjakan dan dapat disetarakan dengan rotan tohiti (Calmus inops Becc. Ex.Heyne), lambang (Camus ornatus var celebicus Becc.), seel (Daemonorops malanochaetes Becc.), batang batang 25

33 susu (Daemonorops macroptera Becc.), manau (Calamus manan Miq.) dan jernang (Darmonorops draco Bl.). 5. Jenis rotan ini dapat digunakan untuk produk mebel, barang kerajinan atau anyaman, dapat disosialisasikan kepada pengguna karena sifat-sifat ini mirip rotan komersial, sehingga jenis rotan ini dapat digunakan pengganti rotan komersial yang sudah langka dilapangan, seperti manau, batang, lambang, tohiti dan sega. 26

34 Program : Litbang Pengolahan Hasil Hutan Judul RPI : 19 Sifat Dasar Kayu dan Bukan Kayu Koordinator RPI : Drs. Mohammad Muslich, MSc. Judul Kegiatan : Sifat Dasar dan Kegunaan Bambu Pelaksana Kegiatan : Dra. Sri Rulliaty S., M.Sc; Ir. Nurwati Hadjib, MS; Prof. Dr. Gustan Pari, M.Si; Drs. Mohammad Muslich, M.Sc; Dra. Jasni, M.Si; Dr. Ir. I.M. Sulastiningsih, M.Sc; Dra. Sri Komarayati; Dra. Sihati Suprapti; Abdurahman, ST; Ir. Efrida Basri, M.Sc. Abstrak Jumlah jenis bambu Indonesia semula tercatat hanya 64 jenis, sekarang telah bertambah menjadi 120 jenis lebih, yang potensial 56 jenis. Sejumlah 13 jenis yang ada di Indonesia telah banyak ditanam oleh masyarakat pedesaan di Jawa. Digunakan 2 jenis bambu yaitu Bambu duri (Bambusa blumeana Bl. Ex Schult. F.) atau dengan nama daerah pring ori dan bambu temen (Gigantochloa verticillata Munro). Hasilnya menunjukkan bambu duri memiliki ketahanan lebih baik terhadap rayap kayu kering daripada rayap tanah, dan memiliki kadar silika lebih besar. Bambu temen memiliki kadar kelarutan (ekstraktif) dalam air dingin, air panas, alkohol benzene, dan NaOH (1%), kadar selulosa dan kadar pentosan lebih besar. Kegunaannya disarankan untuk bahan baku pulp dan kertas, bahan baku alat rumah tangga, bahan kontruksi ringan, asap cairnya dapat digunakan sebagai bio pestida, dan pemacu pertumbuhan. Kata kunci: Bambu, sifat dasar, pengolahan, pemanfaatan, bambu duri, bambu temen A. Latar Belakang RINGKASAN Jumlah jenis bambu di Indonesia yang semula tercatat hanya 65 jenis, saat ini telah bertambah menjadi 120 jenis lebih dimana 56 jenis memiliki potensi ekonomi (Widjaja dkk.,1994), 13 jenis diantaranya telah banyak ditanam oleh masyarakat pedesaan terutama di Jawa yaitu untuk jenis-jenis yang termasuk dalam marga Gigantochloa, Bambusa, dan Dendrocalamus (Verhoef, 1957 dalam Sulthoni, 1994). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk sifat dasar bambu, tetapi tidak lengkap. Oleh karena itu diperlukan 27

35 penelitian sifat dasarnya secara menyeluruh dan tuntas, sehingga pemanfaatan batangnya akan lebih maksimal dan effisien. B. Tujuan dan Sasaran Mendapatkan data sifat anatomis, fisis mekanis, kimia, keawetan, keterawetan, perekatan, pengeringan dan lainnya yang terkait dari jenis-jenis bambu di Indonesia yang belum pernah diteliti sebelumnya. Tersedianya informasi ilmiah mengenai sifat dasar (kimia, anatomi, fisis mekanis, keawetan dan keterawetan), sifat perekatan dan pengeringan jenis bambu Indonesia. C. Metode Penelitian 1. Bahan dan Peralatan Bahan yang digunakan adalah 2 jenis bambu yaitu bambu duri (B. blumeana Bl. Ex Schult. F.) dan bambu temen (G. verticillata Munro). Bambu yang diambil mempunyai umur 3-4 tahun. 2. Prosedur Kerja a. Persiapan bahan baku bambu b. Pengujian sifat dasar: Struktur anatomi dan dimensi serat, sifat fisis dan mekanis, keawetan, sifat kimia, pengujian asap cair, sifat pengeringan, sifat perekatan, keterawetan, sifat pemesinan, dan analisis data. D. Hasil yang Dicapai Permukaan bambu duri berwarna hijau kusam, kesat, tidak memiliki banyak rambut atau bulu-bulu gatal, pada buku bagian pangkal sampai ketinggian sekitar 3 meter tampak juluran cabang yang berduri. Permukaan batang bambu temen berwarna hijau mengkilap, tidak memiliki banyak rambut atau bulu-bulu gatal, pada buku bagian pangkal sampai ketinggian sekitar 3 meter tidak tampak seludang menempel. Ikatan pembuluh bambu duri dan temen termasuk tipe III dan IV. Diameter rata-rata berkas pembuluh bambu duri di bagian tepi 571,30 mikron, di bagian sentral 895,72 mikron; pembuluh metaksilem di bagian tepi 69,88 mikron dan di bagian sentral 198,75 mikron. Diameter rata-rata berkas pembuluh bambu temen di bagian tepi 554,16 mikron, di bagian sentral 604,83 mikron; pembuluh metaksilem di bagian tepi 62,99 mikron dan di bagian sentral 153,98 mikron. Perbedaan jenis berpengaruh nyata terhadap kadar air kering udara dan berat jenis. Keberadaan buku atau ruas tidak mempengaruhi kadar air, berat jenis dan penyusutan bambu. Sifat mekanis bambu temen lebih baik dari bambu duri baik pada bagian ruas maupun bagian batang bambu yang memiliki buku. 28

36 Bambu duri memiliki ketahanan lebih baik terhadap rayap kayu kering daripada rayap tanah, pengujian dengan jamur termasuk kelompok tidaktahan (kelas IV). Bambu temen memiliki kadar kelarutan (ekstraktif) dalam air dingin, air panas, alkohol benzene, dan NaOH (1%), kadar selulosa dan kadar pentosan lebih besar dibandingkan bambu duri. Bambu duri memiliki kadar silika lebih besar. Sifat pengeringan bagian pangkal sampai tengah termasuk sangat baik sampai baik, dengan suhu C. Perbedaan kadar air pada bagian pangkal dan tengah relatif kecil (sekitar 7-10%). Dari indikator tersebut, menunjukkan kedua jenis bambu yang diteliti termasuk sudah tua atau sudah memenuhi persyaratan umur panen. Sifat perekatan bambu duri dan bambu temen terhadap perekat urea formaldehida (UF) sangat baik, nilai rata-rata keteguhan geser blok lebih dari 55 kg/cm 2 dan persentase kerusakan bambunya lebih dari 70%. Retensi tertinggi pada bagian pangkal bambu dan terendah terdapat pada bagian ujung, penetrasi bagian pangkal, tengah dan ujung 100%, kedua jenis bambu mempunyai sifat keterawetan kelas I atau sangat mudah diawetkan melalui metode modifikasi Boucherie. Bambu duri termasuk kelas II dengan mutu/kualitas baik, untuk sifat pengetaman, pengampelasan, pemboran, sedangkan bambu temen termasuk kelas I untuk sifat pengetaman dan pengampelasan dengan mutu/kualitas sangat baik, sedangkan untuk sifat pemboran pada bambu temen termasuk kelas II dengan mutu /kualitas baik. Hasil pengujian ph, dan transparency bambu yang diuji memenuhi standar mutu cuka kayu Jepang, sedangkan untuk berat jenis dan warna belum memenuhi. Análisis komponen kimia bambu duri memiliki kadar lignin lebih tinggi daripada bambu temen. D. Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Ketahanan bambu duri terhadap rayap kayu kering lebih baik daripada terhadap rayap tanah, bambu duri termasuk kelompok tidak tahan terhadap jamur (kelas IV), lebih tahan terhadap jamur Pycnoporus sanguineus daripada terhadap jamur Tyromyces palustris. 2. Kadar lignin, zat pati, abu dan silika pada bambu duri lebih besar, yang akan berpengaruh terhadap kadar phenol asap cair dan sifat pemesinan dengan kelas pemesinan yang lebih rendah. 3. Estimasi suhu minimum dam maksimum bambu duri sama dengan bambu temen yaitu C dan kelas mutu pengeringannya termasuk sangat baik. 29

37 4. Sifat perekatan bambu duri terhadap perekat urea formaldehida sangat baik. 5. Bambu duri dan temen lebih mudah diawetkan, kedua jenis bambu untuk digunakan di bawah dan di luar atap. 6. Bambu duri mempunyai sifat pengetaman, pengampelasan dan pemboran baik dengan kelas pemesinan II. Bambu temen klas pemesinan I. 7. Hasil pengujian ph, dan transparency memenuhi standar mutu cuka kayu Jepang, sedangkan untuk berat jenis dan warna belum memenuhi. Kandungan asam asetat, metanol dan total phenol lebih besar daripada bambu temen. 8. Bambu duri maupun bambu temen dapat dimanfaatkan untuk konstruksi ringan, bambu temen lebih cocok sebagai bahan mebeler, dengan diawetkan dapat digunakan di bawah dan di luar atap. 30

38

39 Program : Litbang Pengolahan Hasil Hutan Judul RPI : 20 Keteknikan dan Pemanenan Hasil Hutan Koordinator RPI : Prof. Ir. Dulsalam, MM Judul Kegiatan : Alat Bantu Logging untuk Mengurangi Selip pada Jalan yang Licin Pelaksana Kegiatan : Yuniawati, S.TP, M.Si; Prof. Ir. Dulsalam, MM; Dr. Ir. Maman Mansyur Idris, MS; Sukadaryati, S.Hut, MP; Ir. Sona Suhartana Abstrak Kegiatan pengangkutan kayu membutuhkan kelancaran kerja sehingga kayu dapat digunakan bagi industri. Salah satu hambatan dalam pengangkutan kayu adalah terjadinya selip. Selip berakibat pada rendahnya produktivitas pengangkutan kayu dengan biaya produksi yang tinggi dan terjadinya kerusakan tanah. Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2014 di RPH Ciogong, KPH Cianjur dan bulan Oktober 2014 di RPH Maribaya, KPH Bogor, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Tujuan penelitian untuk mendapatkan data dan informasi alat bantu berupa sarung roda alat angkutan dari rantai besi pada kegiatan logging. Sasaran penelitian adalah tersedianya alat bantu berupa sarung roda alat angkutan dari rantai besi menyilang dan lurus pada kegiatan logging. Metode penelitian berupa perancangan dan pembuatan alat bantu truk logging yang berupa sarung roda alat angkutan dari rantai besi menyilang dan lurus serta uji coba dan pengumpulan data di lapangan. Data yang dikumpulkan adalah produktivitas dan biaya pengangkutan kayu, selip, koefisien traksi dan kerusakan tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1). Menggunakan alat bantu dari sarung roda alat angkutan dari rantai besi lurus pada tekstur tanah lempung berpasir dan tekstur tanah lempung dengan kelas kelerengan 0-8%, 9-15% dan 16-25% dapat meminimalkan terjadinya selip sehingga meningkatkan produktivitas pengangkutan kayu dengan biaya produksi pengangkutan yang rendah dan meminimalkan kerusakan tanah; 2). Alat bantu dari sarung roda alat angkutan dari rantai besi lurus paling efisien dan efektif. Kata Kunci: Sarung roda, selip, produktivitas, biaya, kerusakan tanah 31

40 A. Latar Belakang RINGKASAN Agar kayu dapat dimanfaatkan dan bernilai ekonomis sangat dibutuhkan kegiatan pengangkutan kayu. Tujuan pengangkutan kayu adalah agar kayu dapat sampai di tempat tujuan dengan waktu yang tepat dengan biaya minimal. Kayu akan turun kualitasnya jika terlalu lama dibiarkan di dalam hutan. Pengangkutan kayu di hutan tanaman lahan kering menggunakan truk. Truk menggunakan ban karet seringkali memiliki kendala selip terutama jika dioperasionalkan di jalan tanah yang licin. Jika terjadi selip pada salah satu roda truk, maka roda yang lainnya tidak dapat berputar sehingga truk tidak dapat berjalan. Agar truk dapat berjalan lagi maka harus diberi traksi sehingga tenaga dari mesin akan tersalur ke kedua roda truk. Mengerem roda truk secara manual memiliki kelemahan yaitu intensitas pengereman selalu dilakukan saat selip. (Widodo dan Gesang, 2003). Kondisi selip mengakibatkan laju truk mengalami hambatan, sehingga produktivitas pengangkutan menjadi menurun. Ban truk yang terus menerus menggesek permukaan tanah yang disebabkan oleh selip dapat menyebabkan ban truk cepat menjadi aus, pemborosan bahan bakar dan oli serta mengurangi masa pakai truk, hal tersebut mengakibatkan biaya produksi menjadi tinggi. Selain itu terjadi kerusakan tanah yang membentuk lubang seperti parit dan terkadang dapat membentuk lubang yang sangat dalam sehingga membahayakan truk dan pengguna jalan lainnya. Oleh karena itu diperlukan hasil penelitian berupa alat bantu logging untuk mengurangi selip pada jalan yang licin. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memperlancar kegiatan pengangkutan sehingga dapat meningkatkan produktivitas, menurunkan biaya produksi dan kerusakan tanah. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan untuk mendapatkan data dan informasi alat bantu berupa sarung roda alat angkutan dari rantai besi pada kegiatan logging. Sasaran adalah tersedianya alat bantu berupa sarung roda alat angkutan dari rantai besi menyilang dan lurus pada kegiatan logging. C. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian a. Penelitian pertama dilaksanakan pada bulan April 2014 di RPH Ciogong, BKPH Tanggeung, KPH Cianjur, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat & Banten. 32

41 b. Penelitian kedua di laksanakan pada bulan Oktober 2014 di RPH Maribaya, BKPH Parung Panjang, KPH Bogor, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat & Banten. 2. Bahan dan Peralatan Bahan utama dalam penelitian ini adalah rantai besi ukuran diameter cincin besi 15 mm, panjang cincin rantai 50 mm, lebar cincin rantai 30 mm, panjang alat bantu 5000 mm, besi siku ukuran 3 cm x 3 cm x 3 cm, kawat las, sackel, tambang plastik, baut, tinner, cat kayu, cat besi, meni besi, kuas. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah meteran, alat pengukur waktu, truk angkutan kayu. 3. Prosedur Kerja a. Merancang dan membuat alat bantu logging b. Menghitung biaya pembuatan alat c. Uji coba alat bantu Tahapannya adalah: 1) Menetapkan petak ukur terpilih dilakukan dengan cara purposif,yang mewakili kondisi licin dan kelerengan yang ditetapkan. 2) Menetapkan perlakuan yaitu : penggunaan alat bantu logging dan kelerengan 0-8%, 9-15% dan 16-25%. 3) Masing-masing perlakuan dengan 5 ulangan pada kondisi truk bermuatan dan tidak bermuatan. 4) Melaksanakan pengamatan dan pengukuran selip pada roda truk. 5) Pengukuran parameter meliputi selip roda, koefisien traksi roda, produktivitas pengangkutan, biaya produksi pengangkutan dan kerusakan tanah. 6) Pengumpulan data sekunder meliputi: keadaan umum lapangan, keadaan umum perusahaan dan data penunjang lainnya yang dikutip dari perusahaan dan wawancara dengan karyawan. 4. Analisis Data Data lapangan berupa selip roda truk, produktivitas, koefisien traksi dan kerusakan tanah diolah dengan alat analisis adalah rata-rata. Biaya produksi pengangkutan dihitung dengan rumus dari Nugroho (2002) dan analisis statistik menggunakan rancangan faktorial dalam Rancangan Acak Lengkap atau Faktorial RAL. D. Hasil yang Dicapai 1. Menggunakan alat bantu dari sarung roda alat angkutan dari rantai besi lurus pada tekstur tanah lempung berpasir dengan kelas kelerengan 0-8%, 9-15% dan 16-25% dapat menghasilkan; 1) Pengurangan selip masingmasing sebesar 0,97%, 1,98%, 1,3%; 2)Peningkatan koefisien traksi 33

42 sebesar 11,94%, 18,52% dan 20%; 3) Peningkatan produktivitas pengangkutan kayu sebesar 9,55%, 6,45% dan 8,32%; 4) Penurunan biaya produksi pengangkutan kayu sebesar 9,45%, 6,45% dan 8,33%; dan 5) Penurunan kerusakan tanah sebesar 59,37%, 30,58% dan 27,29%. 2. Menggunakan alat bantu dari sarung roda alat angkutan dari rantai besi lurus pada tekstur tanah lempung dengan kelas kelerengan 0-8%, 9-15% dan 16-25% dapat menghasilkan; 1) Pengurangan selip masing-masing sebesar 0,87%, 0,54% dan 1,26%; 2) Peningkatan koefisien traksi sebesar 12,5%, 20% dan 15,60%; 3) Peningkatan produktivitas pengangkutan kayu sebesar 24,02%, 17,10% dan 11,96%; 4) Penurunan biaya produksi pengangkutan kayu sebesar 24%, 17,11% dan 11,98%; dan 5) Penurunan kerusakan tanah sebesar 68,21%, 62,02% dan 62,81%. 3. Alat bantu dari sarung roda alat angkutan dari rantai besi lurus paling efisien dan efektif. E. Kesimpulan dan Rekomendasi Penggunaan alat bantu dari sarung roda alat angkutan dari rantai besi lurus dapat menjadi pilihan untuk mengurangi selip, meningkatkan produktivitas pengangkutan kayu dan meminimalkan biaya produksi serta kerusakan tanah. 34

43 Program : Litbang Pengolahan Hasil Hutan Judul RPI : 20 Keteknikan dan Pemanenan Hasil Hutan Koordinator RPI : Prof. Ir. Dulsalam, MM Judul Kegiatan : Teknik Pemanenan Dalam Rangka Penyiapan Lahan dalam Implementasi SILIN Pelaksana Kegiatan : Prof. Ir. Dulsalam, MM; Dr. Ir. Maman Mansyur Idris, MS; Ir. Sona Suhartana; Ir. Soenarno, M.Si; Ir. Zakaria Basari, BSc. F. Abstrak Teknik penebangan pohon dan penyaradan kayu yang efisien dan efektif serta berdampak minimal dalam rangka penyiapan lahan teknik SILIN telah dilakukan di PT Barito Putera dan PT Dasa Intiga di Kalimantan Tengah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan data dan informasi teknik pengeluaran kayu dengan sistem kabel layang dalam rangka penyiapan lahan dalam implementasi teknik SILIN sedangkan sasarannya adalah tersedianya data dan informasi teknik pengeluaran kayu dengan sistem kabel layang. Data produktivitas, efisiensi dan biaya penebangan dan penyaradan, data kerusakan tegakan tinggal dan pergeseran tanah akibat kegiatan penebangan dan penyaradan dikumpulkan. Kata kunci: Pengeluaran kayu, sistem kabel, teknik SILIN, produktivitas, biaya A. Latar Belakang RINGKASAN Teknik pengeluaran kayu dengan sistem kabel layang yang efisien dan efektif serta berdampak minimal sangat diperlukan dalam rangka penyiapan lahan teknik SILIN. Untuk itu teknik pemanenan dalam rangka penyiapan lahan dalam implementasi SILIN perlu diteliti. Yang dimaksud dengan pemanenan berdampak minimal adalah keadaan sekeliling di mana organisasi pemanenan kayu beroperasi tidak megalami gangguan yang berarti. Pada tahun 2011 telah diteliti teknik penebangan berdampak minimal dalam penyiapan lahan teknik SILIN. Pada tahun 2012 telah diteliti teknik penyaradan berdampak minimal dalam penyiapan lahan teknik silin. Pada tahun 2013 telah diteliti teknik penebangan pada jalur tanam dalam penyiapan lahan teknik SILIN. Pada tahun 2014, rencananya akan diteliti teknik pengeluaran kayu dengan sistem kabel layang. Sehubungan dengan kendala 35

44 lokasi penelitian, pelaksanaan kegiatan penelitian baru sampai pada modifikasi alat pengeluaran kayu dengan sistem kabel layang. B. Tujuan dan Sasaran Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi teknik pengeluaran kayu dengan sistem kabel layang yang berdampak negatif rendah terhadap lingkungan dalam rangka penyiapan lahan dalam implementasi teknik SILIN. Sasarannya adalah tersedianya data dan informasi teknik pengeluaran kayu dengan sistem kabel layang yang tepat guna. C. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Bogor dan Kalimantan Tengah 2. Bahan dan Peralatan Bahan dalam kajian ini adalah kayu hasil tebangan yang ada pada rencana jalur tanam, cat kayu, tambang plastik. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan lapangan yang meliputi meteran, alat pengukur waktu, parang dan chainsaw dan yarder P3HH30 beserta peralatan perlengkapannya. Yarder P3HH30 bertenaga motor 30 tenaga kuda. Kabel yang digunaka adalah kabel berdiameter 18 mm untuk kebel layang, kabel berdiameter 12 mm untuk kabel utama dan kabel berdiameter 8 mm untuk kabel penarik. Kayu yang akan dikeluarkan berdiameter lebih besar 15 cm dan lebih kecil 40 cm. 3. Prosedur Kerja Desain penelitian adalah deskriptif yaitu mengikuti kegiatan transportasi kayu di petak tebangan. Pengambilan contoh lokasi dilakukan secara purposif dengan pertimbangan kemudahan lokasi/mudah dijangkau dan demi tercapainya tujuan penelitian. Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Akan tetapi berhubung adanya kendala lokasi penelitian maka pengumpulan data di langan tidak dapat dilakukan. 4. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan analisis rata-rata, Standar deviasi, Koefisien variasi dan Uji t. D. Hasil yang Dicapai 1. Modifikasi Alat Yarder yang semula berbentuk kereta dimodifikasi menjadi berbentuk sampan. Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil bentuk alat sehingga dalam pengangkutannya alat tersebut tidak memerlukan ruangan yang besar. 36

45 Gambar alat yang dimodifikasi disajikan pada Gambar 1 dengan spesifikasi sebagai berikut: a. Panjang alat: mm b. Lebar alat: mm c. Tinggi alat: mm d. Diameter drum penggulung kabel utama: 125 mm e. Diameter drum penggulung kabel penarik muatan: 140 mm f. Diameter drum penggulung kabel penarik kosong: 140 mm g. Kerangka: Besi stall (Besi kotak ) ukuran 4 cm x 6 cm h. Mesin: - Type: Diesel - Tenaga: 30 HP, 2200 RPM - Buatan : china - Tahun : Berat: 180 kg. i. Ukuran kabel: - Kabel layang: 18 mm - Kabel utama: 12 mm - Kabel penarik muatan: 8 mm - Kabel penarik kosong: 8 mm j. Perlengkapan kabel a. Kabel layang: diameter 18 mm, panjang 500 m b. Kabel utama: diameter 12 mm panjang 500 m c. Kabel penarik muatan: diameter 8 mm, panjang 250 m d. Kabel penarik kosong: diameter 8 mm, panjang 500 m 11. Transmisi: rantai gigi, gear, roda gigi, gear box, reduksi 12. Gir (gear): RS Rantai gigi: RS Gear box: Ratio 1:2,5 15. Kereta: - Panjang: 800 mm - Lebar: body: 60 mm, keseluruhan: 120 mm - Tinggi: 355 mm. Sketsa yarder yang telah dimodifigasi dapat dilihat pada Gambar 1 (pandangan atas), Gambar 2 (pandangan samping), Gambar 3 (foto pandangan depan dan pandangan samping). 37

46 2100 mm 1100 mm Gambar 1: Sketsa yarder pandangan atas Keterangan 1. Kerangka 2. Drum kabel pengangkat 3. Drum penarik kereta bermuatan (PKK) 4. Drum penarik kereta kosong (PKB) 5. Rantai drum PKB 6. Rantai drum pengangkat 7. Rantai drum PKK 8. Gigi bpenyambung drum PKB berikut tuasnya 9. Gigi bpenyambung drum pengangkat dan tuasnya 10..Gigi penyambung drum PKK berikut tuasnya 11. As penggerak drum 12. Rantai penggerak 13. Gear box 14. Panel handel gas, rem kabel PKK, kabel pengangkat dan kabel PKB 15. Tempat duduk operator 16.Gigi reduksi 17. Mesin 1450 mm 1100 mm Keterangan: 2100 mm 1. Kerangka 2. Drum kabel pengangkat 3. Dudukan drum kabel pengangkat 4. Dudukan drum kabel penarik bermuatan dan kabel penarik kosong 5. Rantai drum kabel pengangkat 6. Rantai drum kabel PKB dan PKK 7. Gigi penghubung 8. Dudukan gigi penghubung 9. As penggerak 10. Dudukan as penggerak 11. Rantai penggerak dari gear box 12. Gear box 13. Panel kabel gas dan rem 14. Tuas gear box 15. Dudukan gear box 16. Gigi reduksi 17. Rantai penggerak dari msin 18. Mesin 19. Dudukan mesin Gambar 2. Sketsa yarder pandangan samping 38

47 A B Gambar 3. Foto Yarder pandangan depan (A) dan pandangan samping (B) 2. Uji Coba Alat Pengumpulan data pengeluaran kayu dengan alat modifikasi dalam rangka penyiapan lahan dalam implementasi teknik SILIN tidak dapat dilaksanakan karena beberapa kendala sebagai berikut: a. Aksesibilitas untuk transportasi alat penelitian cukup sulit sehingga tidak memungkinkan alat sampai ke tempat tujuan dalam waktu sperti yang diharapkan. b. Komponen peralatan penelitian cukup banyak dan seluruhnya terbuat dari besi serta mempunyai ukuran yang bervariasi sehingga menyulitkan dalam pengirimannya. c. Perusahaan yang mempunyai areal kerja untuk uji coba alat tidak memberi tanggapan atas permintaan sebagai lokasi untuk uji coba alat. D. Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Alat sistem kebel layang P3HH 30 yang telah dimodifikasi berpotensi digunakan untuk pengeluaran kayu di areal pengusahaan hutan yang melaksanakan teknik SILIN. 2. Teknik pengeluaran kayu dengan kabel layang dalam implementasi teknik SILIN direkomendasikan untuk digunakan sebagai upaya mengurangi potensi kerusakan tegakan tinggal. 3. Pengguna Hasil Penelitian: Perusahaan hutan yang melaksanakan teknik SILIN. 39

48 40

49 Program : Litbang Pengolahan Hasil Hutan Judul RPI : 20 Keteknikan dan Pemanenan Hasil Hutan Koordinator RPI : Prof. Ir. Dulsalam, MM Judul Kegiatan : Teknik Pemanenan Resin dan Getah untuk Peningkatan Produksi dan Kualitas Pelaksana Kegiatan : Sukadaryati, S.Hut., MP Abstrak Ekploitasi pemanenan getah untuk memenuhi tuntutan ekonomi dan kebutuhan pasar getah menjadi salah satu indikasi tidak terjaminnya kelestarian pengelolaan sehingga perlu diterapkan teknik pemanenan getah yang ramah lingkungan sekaligus menjamin kelestarian. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan teknik penyadapan getah jelutung dan kemenyan dengan menggunakan stimulan organik. Teknik sadapan ½ spiral dan bentuk V diterapkan dalam penyadapan jelutung, sedang 3 jenis stimulan organik (cuka kayu, lengkuas dan jeruk nipis) diujicobakan pada penyadapan jelutung dan kemenyan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan stimulan organik berbahan dasar cuka kayu, lengkuas dan jeruk nipis pada penyadapan jelutung dapat meningkatkan produksi getah, dengan rata-rata peningkatan getah jelutung yang dihasilkan masing-masing sebesar 155,58%; 128,11% dan 175,48%. Teknik sadapan berbentuk V menghasilkan getah jelutung lebih tinggi dibandingkan sadapan ½ spiral. Kadar pengotor di dalam getah jelutung berkisar 0,45% 0,70%. Stimulan jeruk nipis atau cuka kayu cenderung dapat meningkatkan produksi getah kemenyan serta meningkatkan kandungan asam sinamat sebesar 33% dibandingkan tanpa stimulan. Untuk meningkatkan produktivitas getah, penyadapan jelutung dan kemenyan dapat menggunakan stimulan organik. Perlu inovasi penyadapan lebih lanjut agar proses perlukaan batang dan pemberian stimulan dapat dilakukan lebih efisien dan efektif. Kata kunci: Getah, jelutung, kemenyan, stimulan organik, inovasi A. Latar Belakang RINGKASAN Implementasi stimulan organik terus dilakukan dengan tujuan tidak hanya untuk meningkatkan produksi getah/resinnya tetapi juga untuk menjamin kelestarian hasil dan pohon penghasilnya selain lingkungan di sekitarnya. Selama ini pemanenan getah jelutung dan kemenyan tidak pernah 41

50 menggunakan stimulan untuk meningkatkan produktivitas getah. Sementara itu di sisi lain, penggunaan stimulan dalam penyadapan eksudat pohon terbukti dapat meningkatkan produksi getah. Oleh karena itu perlu diterapkan teknik pemanenan resin dan getah dengan menggunakan stimulan organik, yaitu lengkuas, cuka kayu dan jeruk nipis untuk meningkatkan produksi getah jelutung dan kemenyan sekaligus menjamin kelestarian produk getah dan sumber penghasil getahnya. Pada tahun 2014 ini, penelitian difokuskan pada kegiatan penyadapan jelutung dan penyadapan kemenyan dengan menggunakan stimulan organik. Penggunaan stimulan organik yang ramah lingkungan dalam pemanenan resin dan getah diharapkan dapat meningkatkan produksi serta menjamin kelestarian produk dan sumber penghasil resin dan getah. B. Tujuan dan Sasaran Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan teknik penyadapan getah jelutung dan kemenyan dengan menggunakan stimulan organik. Sasaran penelitian ini tersedianya informasi ilmiah tentang teknik penyadapan getah kemenyan dan jelutung dengan menggunakan stimulan organik. C. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian Ujicoba stimulan organik pada penyadapan pohon jelutung dilakukan di KHDTK Tumbang Nusa dan sekitarnya dengan waktu pelaksanaan pada bulan Mei Juni. Areal KHDTK Tumbang Nusa dikelola oleh BPK Banjarbaru dan arealnya terletak di desa Tumbang Nusa, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Palangkaraya. Pelaksanaan penelitian ujicoba stimulan organik pada penyadapan pohon kemenyan dilakukan bulan Oktober November di areal hutan rakyat di kecamatan Polung, Kabupaten Hasundutan dengan ibu kota kabupaten di Dolok Sanggul. 2. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah: pohon jelutung (Dyera, spp) dan pohon kemenyan (Styrax, sp) siap sadap, lengkuas (Alpinia galanga), cuka kayu dan jeruk nipis (Citrus aurantifolia Swingle). Alatalat yang digunakan adalah pita ukur, pembersih kulit (bark shaver), pisau sadap (freshening knife), kampak, penampung getah, plastik putih, alat ukur berat/timbangan, alat tulis, parang, batu asah, palu dan paku penahan tampungan getah. 42

51 3. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian dalam penyadapan jelutung adalah RAL faktorial dengan perlakuan 1) teknik sadapan, yaitu T1=sadapan ½ spiral dan T2=sadapan V; 2) jenis stimulan (S), yaitu S1=lengkuas, S2=jeruk nipis, S3=cuka kayu dan K=kontrol, dengan ulangan 10 pohon. Dengan demikian jumlah sample total adalah 4 x 2 x 10 = 80 pohon. Sementara itu dalam penyadapan kemenyan juga diujicoba penggunaan stimulan S1, S2, S3 dan kontrol dengan ulangan masing-masing 10 pohon (4 x 10 =40 pohon). Komposisi stimulan dalam penelitian ini adalah : S1 = lengkuas : aqua = 1 : 1 S2 = jeruk nipis : aqua = 1 : 1 S3 = cuka kayu : asam palmitat = 1 : 1 4. Analisis Data Hasil produksi getah berdasarkan perlakuan dianalisa dengan ANOVA dan untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang nyata atau tidak antar setiap kombinasi perlakuan dilakukan uji Beda Nyata Terkecil (BNT). D. Hasil yang Dicapai 1. Getah Jelutung Tabel 1. Rata-rata hasil getah jelutung sesuai perlakuan Jenis stimulan Teknik penyadapan 1/2 spiral Bentuk V Rerata Lengkuas 19,10 g 21,87 g 20,49 g Jeruk nipis 15,97 g 20,20 g 18,09 g Cuka kayu 16,77 g 25,10 g 20,94 g Kontrol 11,83 g 10,23 g 11,03 g Rerata: 15,92 g 19,35 g Tabel 1 menunjukkan bahwa getah jelutung yang dihasilkan dipengaruhi oleh teknik penyadapan dan jenis stimulan yang digunakan. Teknik penyadapan berbentuk V cenderung menghasilkan getah lebih banyak jika dibandingkan dengan ½ spiral. Penggunaan stimulan organik lengkuas, jeruk nipis dan cuka kayu dalam penyadapan pohon jelutung akan menghasilkan getah jelutung lebih banyak dibandingkan tanpa stimulan (kontrol). Pemberian jenis stimulan cuka kayu menaikkan produksi getah jelutung paling tinggi dibanding stimulan lengkuas dan jeruk nipis. Rata-rata getah jelutung yang dihasilkan jika menggunakan stimulan cuka kayu, lengkuas dan jeruk nipis masing-masing sebesar 20,94 g; 20,49 g dan 18,09 g. 43

52 Tabel 2. Hasil pengujian kadar pengotor getah jelutung Jenis stimulan Kadar kotoran (%) Lengkuas 0,6969 Jeruk nipis 0,5432 Cuka kayu 0,4508 Kontrol 0,6954 Tabel 2 menunjukkan bahwa kadar pengotor yang terdapat dalam getah jelutung bervariasi namun tidak dipengaruhi oleh jenis stimulan yang diberikan. Pengotor yang ditemukan di dalam getah berupa potongan kecil sisa kulit batang pohon jelutung yang disadap. 2. Getah Kemenyan Pemanenan getah kemenyan dilakukan 1 bulan setelah perlukaan batang kemenyan. Getah yang diperoleh masih menempel di kulit. Pemisahan getah kemenyan dilakukan setelah getah diangin-anginkan selama 5-8 hari. Getah dipisahkan secara manual menggunakan pinset sehingga diperoleh getah bersih. Hasil penimbangan getah bersih kemenyan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Getah kemenyan yang dihasilkan berdasarkan jenis stimulan Perihal Hasil getah dengan menggunakan stimulan (g) Lengkuas Jeruk nipis Cuka kayu kontrol Kisaran 0,02 0,28 0,10 2, ,85 0,22 1,42 Rerata 0,177 1,051 0,953 0,857 Penggunaan stimulan jeruk nipis atau cuka kayu cenderung menaikkan produksi getah kemenyan meskipun tidak signifikan. Rata-rata produksi getah kemenyan jika menggunakan stimulan jeruk nipis atau cuka kayu masingmasing sebesar 1,051 g atau 0,953 g, sedangkan kontrol 0,847 g (Tabel 3). Sebagai gambaran pemanenan getah kemenyan biasanya dilakukan setelah 3 4 bulan setelah pohon kemenyan dilukai (FAO, 2001; Jayusman, 2014) dan getah kemenyan yang dihasilkan dari satu batang pohon kemenyan rata-rata sebanyak 0,1 0,5 kg per tahun tanpa stimulan. Tabel 4. Kandungan asam sinamat getah kemenyan berdasarkan jenis stimulan yang digunakan Kandungan sinamat (%) Ulangan Lengkuas Jeruk nipis Cuka kayu Kontrol Rerata 14,079 35,568 35,568 26,676 44

53 Rata-rata kandungan sinamat getah kemenyan bervariasi antara 14,079 35,568% tergantung jenis stimulan yang digunakan (Tabel 4). Penggunaan stimulan jeruk nipis atau cuka kayu dapat menaikkan kandungan asam sinamat sebesar 33%. Menurut SNI 7940:2013 disebutkan bahwa kandungan asam sinamat getah kemenyan terdiri dari 3 kategori, yaitu mutu A ( 30%); mutu B (21 29%) dan mutu C ( 20%). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, getah kemenyan yang dihasilkan jika menggunakan stimulan jeruk nipis atau cuka kayu mengandung asam sinamat mutu A, sedang tanpa stimulan akan menghasilkan getah kemenyan dengan mutu B. E. Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Stimulan berbahan dasar cuka kayu dapat menaikkan produksi getah jelutung lebih tinggi dibandingkan stimulan lengkuas dan jeruk nipis, yaitu masing-masing sebesar 21,07 g; 20,07 g dan 17,45 g. Teknik penyadapan berbentuk V menghasilkan getah jelutung lebih banyak dibandingkan ½ spiral. 2. Stimulan organik berbahan dasar jeruk nipis atau cuka kayu cenderung dapat digunakan untuk meningkatkan produksi getah kemenyan jika dibandingkan dengan kontrol (tanpa stimulan). Penggunaan stimulan jeruk nipis atau cuka kayu menghasilkan getah kemenyan dengan kandungan asam sinamat lebih tinggi termasuk mutu A. 3. Perlu inovasi penyadapan lebih lanjut agar proses perlukaan batang dan pemberian stimulan dapat dilakukan lebih efisien dan efektif. 45

54

55 Program : Litbang Pengolahan Hasil Hutan Judul RPI : 21 Pengolahan Hasil Hutan Kayu dan Bambu Koordinator RPI : Prof. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si. Judul Kegiatan : Teknologi Pembuatan Produk Lamina Pelaksana Kegiatan : Ir. Nurwati H., M.S, dan Drs. D. Martono Abstrak Kayu mahoni dan jabon saat ini telah banyak dikembangkan dan hanya dimanfaatkan sebagai bahan furnitur dan konstruksi yang tidak memikul beban struktur berat, demikian pula kayu ketapang yang belum dimanfaatkan secara luas. Melalui teknologi kayu laminasi ketiga jenis kayu tersebut dibuat balok laminasi yang dapat digunakan sebagai bahan struktur rangka atap berupa balok lurus maupun lengkung. Efisiensi pembuatan balok dari ketiga jenis kayu tersebut dengan melihat kekuatannya yang diuji dengan menggunakan mesin UTM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa glulam mahoni-ketapang mempunyai nilai MOE yang tidak berbeda nyata dengan mahoni-mahoni, sehingga posisi mahoni pada lapisan bagian dalam dapat digantikan oleh ketapang, sehingga memungkinkan untuk menurunkan harga glulamnya. Pelengkungan glulam menurunkan kekuatan glulam. Efisiensi pembuatan glulam lengkung ditunjukkan oleh nilai perbandingan kekuatan antara glulam lengkung terhadap glulam lurusnya. Perbandingan nilai kekuatan glulam lengkung terhadap glulam lutrus yang diteliti berkisar antara 0,40-0,87 dengan rata-rata 0,62, nilai tertinggi terdapat pada glulam mahoni-mahoni diikuti mahoni-jabon. Nilai delaminasi glulam yang dibuat memenuhi standar JAS (2007). Nilai springback glulam berkisar antara 2,98-14,47% dengan rata-rata 10,34%. Glulam jabon yang diawetkan mempunyai nilai rata-rata springback yang terendah. Kata kunci: Peningkatan teknologi pemanfaatan, glulam, sifat fisis, mekanis, kayu struktural A. Latar Belakang RINGKASAN Rendahnya karakteristik sifat fisik dan mekanik pada kayu yang diperoleh dari hutan tanaman akan menjadi masalah serius dalam pengolahan dan pengguna produk bagi industri kayu. Di samping masalah penurunan sifat fisik dan mekanik, kayu dari hutan tanaman umumnya memiliki sifat keawetan 47

56 dan stabilitas dimensi yang lebih rendah dibandingkan dengan kayu sejenis dari hutan alam (Martawijaya, 1990). Penyempurnaan karakteristik inferior pada kayu dari hutan tanaman dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti pembuatan balok komposit meliputi glulam, kayu lapis, cross laminated timber/clt dan blok grider) atau membuat produk kayu buatan (reconstituted wood). Perlakuan ini mampu memodifikasi kayu, yang diikuti dengan perbaikan karakteristik sifat fisik, mekanik dan efesiensi pemanfaatannya. Mengingat masih terbatasnya ketersediaan data dan informasi mengenai pemanfaatan serta peningkatan kualitas jenis kayu hutan tanaman untuk produk kayu pertukangan terutama produk kayu rekatan untuk bahan bangunan, maka penelitian tentang peningkatan pemanfaatan jenis kayu hutan tanaman berupa produk kayu komposit untuk pertukangan dan bangunan perlu dilakukan. Kegiatan penelitian tahun 2014 ini adalah pembuatan glulam berstruktur lengkung menggunakan jenis kayu dari hutan tanaman dan hutan rakyat. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian untuk mendapatkan teknologi pembuatan produk kayu lamina berupa balok dari kayu mahoni, jabon dan ketapang yang dapat digunakan untuk kayu pertukangan khususnya komponen bangunan berupa kuda-kuda dan kusen lengkung. Sasarannya adalah tersedianya data dan informasi sifat fisis, mekanis produk kayu lamina mahoni, jabon dan ketapang untuk komponen kayu bangunan berupa kuda-kuda dan kusen lengkung. C. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian Pengambilan dan pengumpulan bahan utama dan data penunjang dilakukan di Jawa Barat dan Banten. Pembuatan contoh uji dan pengujian produk di Laboratorium Pemanfaatan Hasil Hutan, Pustekolah Bogor dan Laboratorium Pengujian Bahan, Fakultas Kehutanan IPB, Darmaga Bogor. 2. Bahan dan Peralatan a. Bahan utama yang digunakan adalah kayu gergajian mahoni (Swietenia macrophylla King), jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) dan ketapang (Termilania catappa L). Bahan kimia yang digunakan adalah perekat Isocyanat (Water Based Isocyanate Polymer/WBIP) dengan hardenernya dan bahan pengawet CCB (Copper Chrome Boron). Bahan gelas/kaca antara lain beaker glass dan pengaduk. Bahan penunjang meliputi ampelas roll, klem, bilah gergaji pita, masker dan meteran. 48

57 b. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah gegaji belah, gergaji potong, mesin serut, moulder, alat pres, tangki pengawet, tungku pengeringan, timbangan, oven, deflektometer, kaliper, alat ukur panjang dan alat uji mekanis (UTM). 3. Prosedur Kerja a. Pengumpulan bahan kayu sesuai jenis dan ukuran yang diperlukan diambil dari Jawa Barat dan Banten. b. Pembuatan papan/sortimen tebal 2,3 cm untuk memperoleh ukuran akhir 2 cm dan lebar 6,3 cm untuk memperoleh ukuran akhir 6 cm. c. Pengeringan dalam dapur pengering kombinasi tenanga surya dan tungku sampai kadar air kering udara (14%). d. Kayu yang telah dikeringkan diawetkan dengan bahan pengawet CCB dengan metode vakum tekan (SNI No ). e. Pembuatan kayu lamina/glulam lengkung 1) Kayu gergajian masing-masing jenis dan ukuran yang telah dikeringkan dan diawetkan, selanjutnya dibuat produk kayu lamina untuk bahan bangunan. Glulam lengkung dibuat dari papan yang tidak dan sudah diawetkan dengan pengaturan lapisan berdasarkan nilai kekakuannya. Produk yang dibuat berupa balok lamina 6 lapis campuran jenis kayu mahoni-jabon (MJ), mahoni-ketapang (MK) serta tidak dicampur (sejenis) mahoni-mahoni (MM), jabon-jabon (JJ) dan ketapang-ketapang (KK) dengan penempatan 2 lapisan mahoni pada bagian terluar atas dan bawah, sedangkan jabon dan ketapang 2 lapisan pada bagian dalam. 2) Papan laminasi diseleksi menurut kekakuannya (E). Kemudian disusun berdasarkan urutan nilai E pada masing-masing jenis kayu. Setelah papan lamina tersusun, dilaburi perekat isosianat dengan pengeras/hardener 15%, kemudian direkat dan dikempa secara bersamaan pada mesin kempa dingin selama 24 jam, di atas alat pres dengan tekanan tergantung pada jenis dan jumlah lapis glulam yang dibuat. Glulam yang dibuat berupa glulam lurus dan glulam lengkung. Balok lamina lengkung yang dibuat terdiri dari 3 lapis bilah sambung sehingga membentuk balok lengkung berpenampang 6 x 12 cm. 3) Glulam lengkung yang sudah dibuka dari mesin kempa dibiarkan (conditioning) di bawah naungan selama 1 minggu untuk pematangan perekat. f. Pengujian sifat kekuatan dan kekakuan lentur dilakukan dengan 2 tahap yaitu pengujian tidak merusak memakai mesin pemilah kayu (panter) untuk menguji MOE dan pengujian dengan menggunakan 49

58 mesin uji UTM unuk menguji MOE, MOR dan keteguhan tekan sejajar serat. Pengujian kekuatan balok lengkung setelah pengkondisian selama seminggu dilakukan berdasarkan loading test satu titik beban (center point loading) dengan cara memberikan bebas statis ditengah bentang dan diukur defleksinya setiap minggu. Parameter yang diamati adalah keteguhan lentur statis, keteguhan tekan sejajar serat dan keteguhan geser sejajar serat. Selain itu dilakukan pula pengujian sifat fisis seperti kerapatan, dan keteguhan dasar rekat dari tiap komponen penyusun kayu komposit tersebut yang mengacu kepada JAS (2007). g. Analisis data sifat fisis dan mekanis produk kayu yang dihasilkan ditabulasi dan dihitung rata-rata, simpangan baku dan efisiensinya serta dianalisis secara stastik. D. Hasil yang Dicapai Hasil penelitian meliputi hasil pengujian laboratorium yaitu retensi, sifat fisis, mekanis dan nilai springback. 1. Retensi Untuk mengawetkan 200 lembar papan mahoni, jabon dan ketapang berukuran 300 x 8,5 x 2 cm diperlukan 612 liter bahan pengawet CKB dengan konsentrasi 10%. Sehingga hasil retensi = 5,1 kg/m 3 untuk semua papan contoh kayu laminasi. Berdasarkan anonim (2006), nilai ini cukup untuk pengawetan bahan bangunan yang tidak terpapar kelembaban tinggi. 2. Sifat Fisis Kayu mahoni, jabon dan ketapang tergolong kayu yang kurang awet. Hasil pengawetan menggunakan CKB 10%, diharapkan umur pakainya meningkat. Kerapatan kayu yang diawetkan meningkat, walaupun secara statistik pengawetan tidak mempengaruhi sifat kayunya. Hasil perbandingan nilai tengah perlakuan juga menunjukkan bahwa pembuatan glulam campur tidak mempengaruhi kerapatan glulam sejenis, sehingga dapat disarankan penggantian kayu mahoni dengan jenis lain yang mempunyai kerapatan lebih rendah pada bagian tengah glulam. Kadar air glulam yang diteliti berkisar antara 12,7 16,5% dengan rata-rata 15,1%. Berdasarkan JAS (2007), glulam yang dibuat pada umumnya memenuhi syarat untuk keperluan kontruksi (<15%). 3. Sifat Mekanis Nilai MOE (non destructive test) glulam lurus pada posisi berdiri lebih tinggi dibandingakan pada posisi tidur. Perlakuan pengawetan menurunkan nilai MOE, walaupun secara statistik penurunan tersebut tidak nyata. Hal ini 50

59 disebabkan karena bahan pengawet hanya mengisi rongga sel, sehingga tidak mempengaruhi kekuatan kayu. Glulam mahoni-ketapang mempunyai nilai MOE yang tidak berbeda nyata dengan mahoni-mahoni, sehingga posisi mahoni pada lapisan bagian dalam dapat digantikan oleh ketapang, sehingga memungkinkan untuk menurunkan harga glulam. Perbandingan antara tebal dan radius pelengkungan kayu untuk keperluan konstruksi disyaratkan lebih rendah dari 0,01. Keteguhan geser rekat glulam yang diteliti berkisar antara 37,88-114,96 kg/cm 2 dengan rata-rata 78,85 kg/cm 2. Mengacu kepada standard JAS (2007), maka glulam yang dibuat dari kombinasi mahoni-jabon yang diawetkan tidak memenuhi syarat untuk konstruksi karena nilai keteguhan rekatnya lebih rendah dari 54 kg/cm 2. Hal ini kemungkinan besar karena penambahan bahan pengawet pada kayu jabon yang berkerapatan rendah, menyebabkan peningkatan kandungan air di dalam kayu, sehingga mempengaruhi perekatan. Dengan demikian glulam yang dibuat memenuhi standar internasional (ISO, 2008) tetapi tidak memenuhi standar jepang (JAS). Walaupun demikian nilai tersebut berada pada rata-rata keteguhan rekat glulam kayu Indonesia (Tjondro dan Ferdianto, 2009), kecuali glulam jabon. Berdasarkan nilai rata-rata keteguhan rekat antara lapisan kayu penyusun glulam, maka nilai keteguhan rekatnya lebih tinggi dibandingkan (Tjondro dan Ferdianto, 2009). Nilai delaminasi glulam menunjukkan bahwa umumnya memenuhi syarat (JAS 2007). Lengkungan balok kayu menyebabkan penurunan kekuatan kayu berkisar antara 0,70-12,6% dengan rata-rata 28%. Efesiensi pelengkungan terbaik apabila nilai perbandingan kekuatanya>0.8 (Surjoatmono dan Bukhari, 2010). Nilai perbandingan kekuatan glulam lengkung terhadap glulam lurus besar berkisar antara 0,40-0,87. Nilai rasio kekuatan lengkung terhadap glulam lurus tertinggi terdapat pada glulam yang dibuat dari campuran mahoni dan jabon. Dengan demikian dapat direkomendasikan untuk pembuatan glulam lengkung dengan mencampur mahoni dengan jabon. Hasil analisis keragaman pengaruh pelengkungan glulam menunjukkan bahwa komposisi glulam dan pembuatan pelengkungan, memberikan pengaruh nyata terhadap kekuatan glulam. Dari uji beda yang dilakukan terlihat bahwa pelengkungan menurunkan kekuatan kayu. Kekuatan glulam dari berbagai komposisi jenis penyusun glulam menunjukan perbedaan yang nyata. Kekuatan glulam dari mahoni-mahoni berbeda nyata dan lebih tinggi dibandingkan komposisi jenis yang lain. Jenis mahoni-ketapang tidak berbeda nyata dengan jenis ketapang-ketapang dan lebih tinggi daripada jenis mahonijabon dan jabon-jabon. Berdasarkan nilai penurunan kekuatan dan perbandingan kekuatan glulam lengkung terhadap glulam lurus, maka glulam lengkung terbaik adalah 51

60 glulam yang dibuat dari mahoni-mahoni dan campuran mahoni ketapang atau jabon. Karena kayu-kayu mahoni, jabon dan ketapang tergolong kayu yang kurang awet (Martawijaya et al., 1990) serta berdasarkan hasil analisis sidik ragam yang menunjukkan bahwa pengawetan tidak berpengaruh nyata terhadap kekuatan glulam, maka di sarankan untuk mengawetkan kayu-kayu tersebut sebelum dibuat glulam. 4. Springback Nilai Springback glulam berkisar antara 3-14% dengan rata-rata 10%. Glulam jabon yang diawetkan mempunyai nilai rata-rata springback yang terendah, hal ini karena jabon mempunyai kerapatan terendah, dengan dinding sel yang lebih tipis, pemasukan bahan pengawet pada rongga antar sel dan isi sel kayu jabon terjadi fixasi yang meningkatkan stabilitasi kayu. Keadaan ini didukung dengan sidik ragam pengaruh jenis kayu penyusun glulam dan perlakuan pengawetan, yang menunjukkan bahwa jenis kayu menunjukkan perbedaan yang nyata, dan berdasarkan perbandingan nilai tengah hanya glulam jabon yang berbeda nyata terhadap perlakuan lainnya. E. Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Retensi bahan pengawet CKB pada kayu pelapis glulam 5,1 kg/m 3. Hasil pengawetan tidak mempengaruhi sifat kayu. 2. Hasil perbandingan nilai tengah perlakuan juga menunjukkan bahwa pembuatan glulam campuran tidak mempengaruhi kerapatan glulam sejenis. 3. Glulam mahoni-ketapang mempunyai nilai MOE yang tidak berbeda nyata dengan mahoni-mahoni, sehingga posisi mahoni pada lapisan bagian dalam dapat di gantikan oleh ketapang, sehingga memungkinkan untuk menurunkan harga glulamnya. 4. Pelengkungan glulam menurunkan kekuatan glulam. Efesiensi pembuatan glulam lengkungan ditunjukkan oleh nilai perbandingan kekuatan antara glulam lengkung terhadap glulam lurusnya. Yang di teliti berkisar antara 0, dengan rata-rata 0,62, tertinggi terdapat pada glulam mahonimahoni diikuti mahoni-jabon. 5. Nilai delaminasi glulam yang dibuat memenuhi standard JAS (2007). 6. Nilai springback glulam berkisar antara 3-14% dengan rata-rata 10%. Glulam jabon yang diawetkan ternyata mempunyai nilai rata-rata springback yang terendah. 7. Glulam yang dibuat dari kayu cepat tumbuh, terutama mahoni dan ketapang yang diawetkan dengan CKB dan di rekat dengan perekat isosianat KR 256, dan kempa dingin menghasilkan glulam yang memenuhi syarat untuk struktural. 52

61 8. Kayu jabon dan ketapang dapat di gunakan sebagai pencampur pembuatan glulam dari mahoni untuk kayu struktural. 9. Untuk pelengkungan glulam dengan radius 2,70 m, penggunaan kayu jabon lebih di utamakan karena mempunyai nilai springback yang lebih rendah dibandingkan ketapang maupun mahoni. 53

62 Lampiran : Foto 1. Glulam lurus Foto 2. Glulam lengkung untuk kusen pintu Foto 3. Glulam lengkung untuk kuda-kuda Foto 4. Pengukuran nilai E dengan Panter 54

63 Program : Litbang Pengolahan Hasil Hutan Judul RPI : 21 Pengolahan Hasil Hutan Kayu dan Bambu Koordinator RPI : Prof. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si. Judul Kegiatan : Teknik Pembuatan Papan Serat Pelaksana Kegiatan : Dian Anggraini Indrawan, S.Hut, MM; Dr. Ir. Han Roliadi, M.Sc; Rossi Margareth Tampubolon, S.Si; Prof. Riset. Dr. Gustan Pari, M.Si; Prof. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si dan Muhammad Iqbal, S.Hut, M.Si. Abstrak Pembuatan papan serat tipe hardboard berskala laboratorium dilakukan tahun ini (2014) dengan tujuan menyempurnakan mutu hardboard hasil percobaan Hardboard tersebut dibentuk dari campuran serat (bentuk pulp) berupa pulp rumput gelagah (RG) + pulp tandan kosong kelapa sawit (TKKS) + pulp bambu (andong dan betung). Bahan aditif yang digunakan (tahun 2013 tersebut) berkomposisi pereka tanin formaldehida (TF) + alum + emulsi lilin. Berdasarkan sifat fisis-mekanisnya, hardbord tahun 2013 tersebut tidak banyak memenuhi persyaratan JIS dan ISO. Usaha penyempurnaan tersebut mencakup modifikasi campuran bahan serat (penggunaan pulp RG dan pulp bambu andong masing hasil pemasakan berkonsentrasi alkali lebih tinggi (10.5%); dan juga pulp TKKS pada konsentrasi 12%), perubahan macam/ komposisi aditif (perekat tanin-resorsinol foramldehida (TRF) + alum + arang aktif), dan kemungkinan substitusi serat bambu andong melalui introduksi serat bambu betung dan serat sisal. Hasil penyempurnaan mengindikasikan campuran pulp RG (50%) + pulp TKKS (50%) yang paling berprospek untuk hardboard; sedangkan sebagai prospek kedua, ketiga, dan keempat berturut-turut adalah hardboard dari pulp RG (100%), campuran pulp RG (50%) + bambu andong (50%), dan campuran pulp RG (50%) + pulp bambu betung (50%). Ini berindikasi pula prospek bambu betung sedikit/masih di bawah bambu andong. Prospek serat sisal untuk hardboard juga di bawah bambu andong. Pada hardboard yang melibatkan serat sisal, mutu (prospek) terbaik terindikasi dari campuran pulp TKKS (50%) + pulp sisal (50%). Mutu hardboard hasil penyempurnaan (tahun 2014) terindikasi pula jauh lebih baik dari hasil tahun 2013, karena hardboard tahun 2014 jauh lebih banyak memenuhi persyaratan JIS/ISO (terutama dari campuran pulp RG + pulp TKKS + pulp bambu andong, dengan prioritas kesatu, kedua, ketiga tersebut). Serat yang masih kurang prospektif (bambu betung dan sisal) diharapkan dapat diperbaiki diantaranya menggunakan pulp sisal 55

64 dari pemasakan berkonsentrasi alkali lebih rendah (< 9.0%), perekat TRF berporsi lebih banyak, arang aktif berukuran nano, dan cross-linking agent. Kata kunci: papan serat tipe hardboard, kayu (bahan baku serat lignoselulosa konvensional), serat alternatif berlignoselulosa non kayu, teknologi penyempurnaan hardboard, persyaratan standar A. Latar Belakang RINGKASAN Kayu adalah bahan baku umum papan serat (termasuk hardboard). Namun demikian, kayu hutan tropis alam sebagai bahan baku konvensional hardboard potensinya semakin terbatas. Fakta ini mendorong penggunaan bahan berlignoselulosa lain yang potensinnya berlimpah dan belum banyak dimanfaatkan, seperti rumput gelagah (RG), tandan kosong kelapa sawit (TKKS), bambu, dan sisal. Pemanfaatan bahan serat untuk papan serat tipe hardboard telah dilakukan menggunakan campuran bahan serat alternatif yaitu RG, TKKS, bambu andong, pada berbagai proporsi. Ternyata produk hardboard yang dihasilkan, sebagian besar tidak memenuhi persyaratan standar (JIS dan ISO). Terakit dengan itu telah dilakukan usaha penyempuirnaan sifat hardboard melalui teknologi modifikasi yang diharpkan tepat dan cermat. Bahan serat yang digunakan selain ketiga macam bahan serat tersebut, juga diintrodusir bambu andong dan sisal. Di samping itu dilakukan perubahan macam/ komposisi bahan aditif, yang mencakup perekat TRF (tanin resorsinol formaldehida), alum, dan arang aktif. Hasilnya diuraikan secara ringkas berikut ini. B. Tujuan dan Sasaran Kegiatan penelitian bertujuan mendapatkan data dan informasi teknologi penyempurnaan sifat papan serat tipe hardboard menggunakan bahan baku serat alternatif non-kayu berupa RG, TKKS, bambu dan sisal. Sasarannya adalah tersedianya informasi teknologi penyempurnaan sifat papan serat tipe hardboard dari RG, TKKS, bambu dan sisal. C. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Serat, Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Bogor. 56

65 2. Bahan dan Alat Bahan utama penelitian adalah rumput gelagah (RG), tandan kosong kelapa sawit (TKKS), bambu (andong dan betung), dan sisal. Alat yang digunakan mencakup ketel pemasak skala pilot, Hollander beater, deckle box, stock chest. Alat pengujian antara lain universal testing machine (UTM), X-ray diffraction (XRD), dan scanning-electrone microscope (SEM). 3. Tahapan Pelaksanaan dan Prosedur Kerja a. Pemeriksaan sifat dasar bahan baku Pemeriksaan mencakup kadar air, kerapatan, dan komposisi kimia bahan serat yang dilakukan dengan Standar TAPPI (Anonim, 2006); dimensi serat dan nilai turunannya yang dilakukan dengan Prosedur Lembaga Penelitian Hasil Hasil Hutan (Silitonga, et al., 1972; Apriani et al., 2010), dan analisa komponen kimia yang dilakukan menurut Standar TAPPI (Anonim, 2007). b. Pembuatan pulp dari RG, TKKS, bambu, dan sisal Pengolahan pulp terhadap masing-masing individu serat dilakukan dengan proses semi-kimia soda panas terbuka. Pulp yang terbentuk lalu diuji sifat pengolahannya juga menurut standar TAPPI (Anonim, 2007). Selanjutnya pulp tersebut saling dicampur dengan komposisi dan proporsi tertentu, untuk kemudian dibentuk menjadi lembaran hardboard. Komposisi, proporsi bahan serat, dan bahan aditif untuk pembentukan hardboard RG, TKKS, bambu andong dan bambu betung adalah: 100%+0%+0%, 50%+50%+0%, 50%+0%+50% (Bambu Andong), 50%+0%+50% (Bambu Betung). Konsentrasi alkali yang yang digunakan untuk pulping bahan serat: 10,5% (RG dan bambu), dan 12% (TKKS), dan aditif berupa alum (3%) + perekat TRF (5%) + arang aktif (4%), untuk kontrol (aditif) tetap digunakan alum (3%). Sedangkan komposisi, proporsi bahan serat, dan bahan aditif untuk pembentukan hardboard RG, TKKS, dan sisal adalah: 0%+0%+100%, 50%+0%+50%, 0%+50%+50% dan 33,33%+33,33%+33,33%. Konsentrasi alkali yang digunakan ada 2 yaitu 9% dan 10,5%, dan bahan aditif berupa alum (3%) + perekat TF (4%) + emulsi lilin (5%), dan kontrol tanpa aditif. Proporsi campuran berdasarkan berat (kering oven) masing-masing bahan serat. c. Pembentukan lembaran hardboard Hardboard dari campuran bahan serat dibentuk dengan target kerapatan 1 gram/cm 3, dan selanjutnya diuji sifat fisis-mekanisnya menurut standar JIS (Anonim, 2003) dan ISO (Anonim, 2013). 57

66 d. Evaluasi/pencermatan pada skala nano Evaluasi/pencermatan ini dilakukan terhadap bahan baku serat (rumput gelagah, TKKS, bambu, dan sisal) dan produk jadi (hardboard) sebagai tambahan atau pelengkap data/informasi yang diperoleh dari hasil pengujian secara konvensional, dengan menggunakan instrumen berskala nano (XRD dan SEM). D. Hasil yang Dicapai 1. Sifat Dasar Bahan Baku a. Kadar air, berat jenis, dan komposisi kimia Data kadar air, kerapatan, dan komposisi kimia bahan serat (TKKS, bambu dan rumput gelagah) menunjukkan variasi. Kerapatan & Komposisi kimia masing-masing bahan serat alternatif memiliki nilai-nilai sifat tertentu baik yang dikehendaki atau tidak dikehendaki untuk hardboard dibobot sama untuk penentuan total skor (TS) hasil manipulasi uji F & uji BNJ. Berdasarkan pencermatan sifat dasar tsb (Kerapatan & komposisi kimia), urutan prospek bahan serat untuk hardboard, berindikasi: Sisal > Bambu andong > TKKS > Rumput gelagah & Bambu betung. b. Dimensi serat nilai turunannya Dimensi serat dan nilai turunannya menunjukkan variasi. Dimensi serat & Nilai turunannya masing-masing bahan serat alternatif memiliki nilai-nilai sifat tertentu baik yang dikehendaki atau tidak dikehendaki untuk hardboard, dibobot sama untuk penentuan total skor (TS) hasil manipulasi uji F & uji BNJ. Berdasarkan pencermatan sifat dasar tsb (dimensi serat & nilai turunannya), urutan prospek bahan serat untuk hardboard, berindikasi: Rumput gelagah tertinggi dan Sisal terendah 2. Sifat Pengolahan Pulp Sifat pengolahan kelima macam bahan serat juga menunjukkan variasi. Pulp RG (pada konsentrasi alkali 10,5%) paling berprospek (TS = 16,5), indikasi aspek sifat dasar tertentu RG & sifat pengolahan pulp rumput gelagah yang dikehendaki (+) untuk hardboard mengalahkan aspek sifat dasar/sifat pengolahan pulp lain yang tak-dikehendaki (-). Pulp sisal (pada konsentrasi alkali = 9,0%) paling tidak berprospek (TS = 11.5) indikasi aspek sifat dasar tertentu sisal & sifat pengolahan pulp sisal yang tak dikehendaki (-) untuk hardboard mengalahkan aspek sifat dasar/sifat pengolahan pulp lain yang dikehendaki (+). 58

67 3. Sifat Fisis-Mekanis Hardboard Sifat fisis mekanis hardboard dari campuran bahan serat berupa pulp RG + pulp TKKS + pulp bambu (andong/betung), sebagai usaha penyempurnaan hasil percobaan sebelumnya (tahun 2013),menunjukkan variasi. Ternyata hasil penyempurnaan berindikasi efektif, hal ini dapat dilihat pada porsi produk hardboard yang lebih banyak memenuhi syarat dibandingkan porsi produk tahun Sedangkan sifat fisis mekanis hardboard dari campuran bahan serat berupa pulp RG + pulp TKKS + pulp sisal pada berbagai proporsi menunjukkan variasi. Pencermatan tersebut dilakukan untuk menelah performa serat sisal yang dilibatkan pada campuran bahan serat untuk hardboard, dan kemungkinan sebagai substitusi bambu. Ternyata performa sisal sebagai campuran serat dengan pulp RG + pulp TKKS tidak banyak porsinya yang memenuhi persyaratan JIS dan ISO. Lebih lanjut, diindikasikan pula bahwa porsi serat sisal untuk hardboard yang memenuhi persyaratan tersebut lebih rendah dibandingkan porsi serat bambu untuk hardboard. Ini memperkuat indikasi bahwa prospek serat sisal sebagai substitusi bambu rendah Berdasarkan hasil pencermatan skala nano (kristalinitas), urutan kekuatan individu bahan serat adalah berturut-turut sisal, diikuti oleh bambu betung, akan tetapi berbeda dengan hasil analisis diskriminan. Ini berindikasi aspek non-nano bahan serat (sifat dasar, sifat pengolahan pulp, sifat produk hardboard) mengungguli aspek nanonya. E. Kesimpulan dan Saran 1. Pulp RG (50%) + pulp TKKS (50%) paling berprospek untuk hardboard. 2. Perfoma aditif (perekat TRF + alum + arang aktif) lebih baik dibandingkan aditif sebelumnya (perekat TF + alum + emulsi lilin). Pelibatan arang aktif dicurigai menurunkan sifat kekuatan hardboard, sebaliknya peniadaan emulsi lilin berindikasi meningkatkan sifat tersebut. 3. Mutu hardboard hasil percobaan penyempurnaan berindikasi lebih baik dari mutu hasil percobaan sebelumnya. 4. Mutu hardboard tertinggi (yang melibatkan serat sisal tersebut) terindikasi pada campuran pulp TKKS (50%) + pulp sisal (50%), Akan tetapi ecara keseluruhan mutu tersebut masih di bawah mutu hardboard dari campuran pulp RG + pulp TKKS + pulp bambu andong. 5. Pelibatan emulsi lilin berindikasikan menurunkan mutu hardboard (terutama kekuatannya). 6. Secara keseluruhan prospek bahan serat secara individu untuk hardboard mulai dari yang tertinggi hingga terendah adalah TKKS, RG, bambu andong, bambu betung, dan sisal 59

68 7. Untuk memperbaiki performa serat yang kurang prospektif untuk hardboard (bambu betung, dan serat sisal), disarankan antara lain menggunakan pulp sisal dari pemasakan berkonsentrasi alkali lebih rendah (< 9.0%), perekat TRF berporsi lebih banyak, arang aktif berukuran nano, dan cross-linking agent. 8. Guna menjaga atau memperbaiki mutu/kualitas harboard hasil percobaan, perlu usaha yang mengarah perbaikan sifatnya dengan urutan prioritas mula-mula MOR, lalu berturut-turut MOE, kerapatan, IB, daya hantar panas, ketahanan panas, pengembangan tebal, kadar air, dan akhirnya penyerapan air. 60

69 Program : Litbang Pengolahan Hasil Hutan Judul RPI : 21 Pengolahan Hasil Hutan Kayu dan Bambu Koordinator RPI : Prof. Dr. Drs. Adi Santoso, MS. Judul Kegiatan : Teknologi Stabilisasi Dimensi Kayu Pelaksana Kegiatan : Ir. Efrida Basri, M.Sc; Ir. Jamal Balfas, M.Sc; Listiya Mustika Dewi, S.Hut; Dra. Jasni, M.Si; Abdurahman, ST. Abstrak Kayu yang berasal dari hutan tanaman cenderung memiliki dimensi yang kurang stabil, sehingga penggunaannya sangat terbatas. Upaya untuk menstabilkan dimensi serta memperbaiki sifat-sifat kayu dapat dilakukan melalui densifikasi (pemadatan). Pemadatan kayu secara kimia bisa dengan perlakuan impregnasi menggunakan resin organik. Pada impregnasi, rongga kayu diisi dengan berbagai zat yang akan menyebabkan struktur kayu menjadi lebih padat. Tujuan penelitian tahun 2014 adalah mendapatkan data stabilisasi dimensi dan kualitas kayu jati cepat tumbuh dan kayu jabon untuk bahan mebel melalui perlakuan impregnasi, menggunakan ekstrak kayu jati tua dengan resin akrilik dan polivinil asetat (larut dalam air) serta resorsinol teknis. Contoh uji dibuat dalam beberapa ukuran, bergantung pada tujuan pengujian. Khusus untuk contoh uji stabilisasi dimensi dibuat dalam 2 ukuran, yaitu 1cm (T) x 1cm (L) x 10 cm (R) dan 1 cm (R) x 1 cm (L) x 10 cm (T). Sebelum diimpregnasi semua contoh uji dikeringkan pada suhu 63 o C sampai mencapai kadar air 10%. Impregnasi dilakukan dengan menggunakan metode vakumtekan. Pengembangan tebal dan sifat kayu yang lain diamati dan diuji. Kata kunci: Ekstrak kayu jati, resin, stabilisasi dimensi kayu, kualitas kayu A. Latar Belakang RINGKASAN Salah satu perlakuan untuk menstabilkan dimensi dan perbaikan kualitas kayu adalah pemadatan (densifikasi). Pemadatan kayu dapat dilakukan secara fisika, kimia, maupun kombinasi keduanya. Kayu yang dipadatkan penggunaannya akan lebih luas, bisa untuk keperluan mebel dan bahan lantai. Dalam penelitian ini dipilih kayu jati cepat tumbuh dan kayu jabon karena kedua jenis tersebut dikembangkan untuk bahan mebel (Margono, 2010;ACIAR, 2013) namun kualitasnya rendah, sehingga pemanfaatannya belum optimal. Penggunaan ekstrak limbah kayu jati tua dalam campuran 61

70 bahan impregnasi diharapkan dapat menstabilkan dimensi dan memperbaiki sifat kedua jenis kayu tersebut sehingga kualitasnya setara dengan kualitas kayu jati konvensional. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian mendapatkan data dan informasi teknik stabilisasi dimensi dan peningkatan kualitas kayu melalui impregnasi pada kayu jati cepat tumbuh (JCT) dan kayu jabon. Sasaran penelitian adalah diperolehnya data dan informasi teknologi impregnasi yang sesuai untuk stabilisasi dimensi dan peningkatan kualitas (a.l. sifat mekanis, anatomi, keawetan, dan perbaikan permukaan fisik) kayu JCT dan jabon. C. Metode Penelitian Bahan kayu yang digunakan adalah jati cepat tumbuh umur 5 tahun dan jabon umur 5 tahun yang diambil di Jawa Barat. Serbuk kayu jati umur 60 tahun untuk bahan utama impregnasi diambil di Cepu (Jawa Tengah). Tiga bahan impregnasi yang digunakan adalah campuran ekstrak jati dan polivinil asetat konsentrasi 8%, 10%, dan 12%, vinil akrilik konsentrasi 8%, 10%, dan 12%, dan resorsinol teknis dengan 2 komposisi (ER1 dan ER2), sebagai berikut: - Komposisi ER1: 0,5 kg resorsinol padatan + 0,5 liter formalin kadar 37%. - Komposisi ER2: 0,5 kg resorsinol padatan + 0,5 liter formalin kadar 37% + 0,05 kg NaOH padatan. Contoh uji untuk pengujian stabilisasi dimensi 1cm (T) x 1cm (L) x 10 cm (R) dan 1cm (R) x 1cm (L) x 10 cm (T); keteguhan tekan tegak lurus serat 2 cm (T) x 2 cm (R) x 6 (L); tekan sejajar serat 2 cm (T) x 2 cm (R) x 9 cm (L); sifat keawetan kayu terhadap rayap kayu kering 2 cm (T) x 2 cm (R) x 5 cm (L) dan rayap tanah 2,5 cm (T) x 0,5 cm (R) dan 2,5 cm (L). Pengujian stabilisasi dimensi kayu mengacu pada Mantanis (1994), keteguhan tekan kayu pada ASTM D (ASTM, 1995), dan keawetan kayu pada SNI (BSN, 2006). Semua contoh uji diimpregnasi dengan tekanan 12 kg/cm 2 selama satu jam pada suhu kamar. Berikutnya, contoh uji ditimbang berat dan dikeringkan sampai kadar air 10%, kemudian diuji penyerapan air, stabilisasi dimensi (pengembangan) dan sifat-sifat kayu yang lain. D. Hasil yang Dicapai Nilai ASE pada kayu JCT yang diberi perlakuan dengan campuran akrilik 12% bisa mencapai 49,06%, sedangkan pada kayu jabon bisa lebih dari 90%. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan impregnasi dengan campuran ekstrak jati dan akrilik hanya efektif meningkatkan stabilitas dimensi pada kayu jabon. 62

71 Perlakuan impregnasi dengan menggunakan campuran ekstrak jati dan polivinil asetat memberikan pengaruh peningkatan stabilitas dimensi yang lebih baik pada kedua jenis kayu dibandingkan dengan perlakuan menggunakan campuran ekstrak jati dan akrilik. Penambahan polivinil asetat sebanyak 8% pada ekstrak jati mampu meningkatkan nilai ASE hingga 74% pada kayu JCT dan 98% pada kayu jabon. Nilai stabilitas dimensi kayu JCT dan jabon mengalami peningkatan secara nyata (p>95%) dengan penambahan konsentrasi polivinil asetat dari 8% hingga 12%. Perlakuan impregnasi yang menunjukkan nilai ASE yang tinggi adalah perlakuan kedua jenis kayu dengan campuran ekstrak jati dan resorsinol teknis. Nilai ASE pada kayu JCT dapat mencapai lebih dari 100% dan pada kayu jabon lebih dari 170%. Efektifitas yang tinggi pada perlakuan ini dibandingkan dengan perlakuan menggunakan resin akrilik ataupun polivinil asetat (resin larut air) mungkin disebabkan oleh perbedaan reaksi yang bersifat lebih hidrofobik antara struktur kayu dengan resorsinol teknis, dibandingkan dengan kedua resin tersebut. Perlakuan impregnasi dengan menggunakan ekstrak jati dan campuran resin akrilik ataupun polivinil asetat tidak menambah keteguhan tekan pada kayu JCT maupun jabon. Namun, impregnasi dengan larutan campuran ekstrak jati dan resorsinol teknis (baik dengan atau tanpa penambahan NaOH) secara nyata meningkatkan nilai keteguhan tekan pada kedua jenis kayu dengan pertambahan hingga 10% pada kayu JCT dan 15% pada kayu jabon serta memberikan kesan warna kedua kayu tersebut mendekati warna jati konvensional (jati tua). Impregnasi ekstrak jati dengan berbagai impregnan ke dalam struktur kayu jati cepat tumbuh dan kayu jabon dapat meningkatkan ketahanan kedua jenis kayu tersebut terhadap rayap kayu kering dari kelas IV menjadi kelas III. Dari sifat keawetannya terhadap rayap kayu kering, menunjukkan kedua jenis tersebut sudah memenuhi persyaratan kayu untuk bahan baku mebel menurut SNI (BSN, 1989). Perlakuan impregnasi kayu JCT dan jabon dengan campuran ekstrak jati dan resorsinol teknis (baik dengan atau tanpa penambahan NaOH), menunjukkan pengaruh sangat nyata pada peningkatan sifat keawetannya terhadap rayap tanah. Pada percobaan ini, ketahanan kayu JCT meningkat dari kelas IV (kontrol) menjadi kelas I dan kayu jabon dari kelas IV (kontrol) menjadi Kelas II. E. Kesimpulan dan Saran 1. Penyempurnaan sifat stabilisasi dimensi dan keteguhan tekan kayu JCT dan kayu jabon terbaik diperoleh pada penggunaan larutan ekstrak jati dengan resorsinol teknis (baik dengan atau tanpa penambahan NaOH). Pada perlakuan ini nilai efisiensi anti pengembangan (ASE) kayu JCT 63

72 mencapai lebih dari 100% dan kayu jabon lebih dari 170%, sementara keteguhan tekannya meningkat sampai 10% pada kayu JCT dan 15% pada kayu jabon. 2. Permukaan kayu yang diimpregnasi dengan formula impregnan pada butir a menjadi keras dengan warna menjadi lebih gelap kecoklatan mendekati warna kayu jati tua. 3. Sifat keawetan kayu yang diimpregnasi dengan formula impregnan pada butir a juga meningkat secara nyata terhadap rayap tanah, yaitu dari kelas IV (kontrol) menjadi kelas I untuk kayu JCT dan kelas II untuk kayu jabon, sedangkan terhadap rayap kayu kering meningkat dari kelas IV (kontrol) menjadi kelas III untuk kedua jenis kayu. 4. Berdasarkan analisis finansial, biaya untuk memproduksi bahan impregnan dari campuran ekstrak jati dengan resin resorsinol teknis (RT) lebih mahal dibandingkan biaya untuk memproduksi bahan impregnan dari campuran ekstrak jati dengan resin akrilik atau polivinil asetat, namun untuk aplikasi disarankan menggunakan campuran ekstrak jati dengan resin resorsinol teknis (tanpa penambahan NaOH) karena sudah memberi pengaruh penyempurnaan sifat kayu yang lebih baik pada berbagai aspek, baik stabilisasi dimensi, keteguhan tekan maupun sifat keawetan pada kedua jenis kayu. 64

73 Program : Litbang Pengolahan Hasil Hutan Judul RPI : 21 Pengolahan Hasil Hutan Kayu dan Bambu Koordinator RPI : Prof. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si. Judul Kegiatan : Teknik Pembuatan Produk Bambu Komposit Pelaksana Kegiatan : Dr. Ir. I.M. Sulastiningsih, M.Sc; Prof. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si; Dr. Krisdianto Abstrak Bambu komposit merupakan hasil pengolahan bambu yang dapat digunakan sebagai substitusi kayu pertukangan. Bambu komposit berupa bambu lamina yang elemen penyusunnya direkat dengan arah sejajar serat memiliki kecenderungan melengkung sehingga menyulitkan dalam penggunaannya. Untuk mengatasi masalah tersebut maka komposisi dan arah lapisan penyusunnya perlu diatur. Penelitian ini bertujuan untuk menyempurnakan teknik pembuatan produk bambu komposit dengan sistem laminasi silang, dengan sasaran tersedianya data dan informasi teknis mengenai pembuatan bambu komposit dengan sistem laminasi silang yang sesuai untuk bahan mebel. Penyempurnaan teknik pembuatan produk bambu komposit dengan sistem laminasi silang dilakukan dengan menerapkan sistem perekatan bilah bambu secara tegak sehingga dimensi lebar bilah bambu menjadi dimensi tebal bilah bambu dan lapisan dalam bambu komposit disusun tegak lurus atau menyilang terhadap lapisan luar. Bambu komposit 3 lapis berupa balok tebal 6 cm dibuat dengan 6 variasi komposisi lapisan yang terdiri atas bambu semua atau kombinasi dengan kayu untuk lapisan dalam. Bambu komposit 3 lapis dengan berbagai perlakuan yang dibuat dari bambu andong maupun bambu mayan dan direkat dengan perekat isosianat memiliki kualitas perekatan cukup baik. Penggunaan lapisan silang pada lapisan dalam bambu komposit menurunkan nilai keteguhan lentur dan keteguhan tekan bambu komposit tetapi meningkatkan kestabilan dimensi bambu komposit yang dihasilkan. Secara keseluruhan bambu komposit 3 lapis dari bambu andong maupun bambu mayan dengan berbagai komposisi lapisan dan semua lapisannya disusun sejajar serat setara dengan kayu kelas kuat II, sedangkan yang lapisan dalam disusun menyilang terhadap lapisan luar setara dengan kayu kelas kuat III dan masih memenuhi persyaratan sebagai bahan baku untuk mebel. Kata kunci: Bambu komposit, substitusi kayu, komposisi lapisan, laminasi silang, mebel. 65

74 A. Latar Belakang RINGKASAN Komponen mebel tertentu berupa kaki untuk meja, kursi, almari atau tempat tidur yang dalam pembuatannya melalui proses pembubutan, memerlukan dimensi bahan yang cukup tebal seperti balok kayu. Bambu komposit yang akan digunakan untuk membuat komponen mebel tersebut tebalnya harus lebih dari 4 cm. Oleh karena itu pada tahun 2014 penelitian penyempurnaan teknologi pembuatan bambu komposit (bambu lamina) dengan sistem laminasi silang diterapkan dalam pembuatan bambu komposit dengan target ketebalan 6 cm dan sistem perekatan bilah bambu dilakukan secara tegak agar diperoleh teknologi yang tepat. Di samping itu untuk mendapatkan bambu komposit yang datar dengan ukuran yang cukup tebal, lebar dan panjang (seperti balok kayu) serta biaya produksi yang relatif murah maka komposisi dan arah lapisan bambu komposit perlu diatur dan dikombinasikan dengan kayu. Bilah bambu yang memiliki kekuatan tinggi serta bersifat fancy harus ditempatkan pada lapisan luar (lapisan atas dan lapisan bawah) dalam produk bambu komposit yang komposisi lapisannya dikombinasikan dengan kayu. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan kegiatan penelitian ini adalah penyempurnaan teknik pembuatan produk bambu komposit dengan sistem laminasi silang. Sedangkan sasaran kegiatan penelitian ini adalah tersedianya data dan informasi teknis mengenai pembuatan bambu komposit dengan sistem laminasi silang yang sesuai untuk bahan mebel. C. Metode Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinacea) bambu mayan (Gigantochloa robusta), kayu sengon (Paraserianthes falcataria), kayu manii (Maesopsis eminii), perekat Isosianat, dan larutan boron (campuran boraks dan asam borat). Bambu dipotong dengan panjang 1,25 m kemudian dibuat bilah. Bilah bambu selanjutnya diserut pada kedua permukaannya dan diawetkan dengan larutan boron 7% dengan cara rendaman dingin 4 jam kemudian dikeringkan hingga kadar airnya 12%. Bilah bambu andong dan mayan tebal sekitar 4 mm dipotong dengan ukuran panjang 125 cm dan 16 cm. Bilah bambu sebagai lapisan silang memiliki panjang 16 cm Papan bambu sebagai lapisan penyusun bambu komposit memiliki ukuran 125 cm x 16 cm x 2 cm. Papan bambu sebagai lapisan penyusun balok 66

75 bambu komposit dibuat dengan merekatkan bilah bambu secara tegak. Ukuran papan bambu yang diperoleh dengan merekatkan beberapa bilah bambu secara tegak adalah 125 cm x 16 cm x 2 cm (pxlxt), perekatan dilakukan dengan menggunakan perekat isosianat dengan berat labur 250 g/m 2 dan waktu kempa selama 1 jam. Papan kayu sengon dan manii yang digunakan sebagai lapisan dalam balok bambu komposit adalah 125 cm x 16 cm x 2 cm (pxlxt). Papan tersebut diawetkan dengan larutan boron 7% secara rendaman dingin dengan target retensi 6 kg/m 3 kemudian dikeringkan hingga kadar airnya mencapai ± 12%. Balok bambu komposit dibuat dengan target dimensi 125 cm x 16 cm x 6 cm (p x l x t) dengan 6 variasi komposisi dan arah lapisan (K) yaitu: bambu komposit 3 lapis, masing masing lapisan berupa papan bambu susun tegak dan semua lapisan disusun sejajar serat (K1); komposisi lapisan seperti K1 tetapi lapisan 2 disusun menyilang terhadap lapisan lainnya (K2); komposisi seperti K1 tetapi lapisan dalam dari kayu sengon (K3); komposisi lapisan seperti K3 tetapi lapisan 2 disusun menyilang terhadap lapisan lainnya (K4); komposisi seperti K1 tetapi lapisan dalam dari kayu manii (K5); komposisi lapisan seperti K5 tetapi lapisan 2 disusun menyilang terhadap lapisan lainnya (K6). Bambu komposit dibuat dengan menggunakan perekat isosianat dengan berat labur 250 g/m 2 dan dikempa dingin/diklem selama 1 jam. Untuk masing-masing perlakuan dibuat bambu komposit sebanyak 3 buah. Bambu komposit yang sudah jadi kemudian dikondisikan selama minimum 1 minggu kemudian diuji sifat fisis dan mekanisnya. Pengujian sifat fisis bambu komposit dilakukan menurut Standar Amerika (ASTM D , ASTM 1995), sedangkan pengujian keteguhan tekan dilakukan menurut Standar Amerika (ASTM D , ASTM 1995). Pengujian delaminasi, keteguhan rekat dan keteguhan lentur dilakukan menurut Standar Jepang untuk kayu lamina (JAS, MAFF, Notification No. 234, JPIC 2003). Data hasil pengujian sifat fisis dan mekanis bambu komposit dianalisis secara statistik menggunakan rancangan percobaan acak lengkap berblok (Sudjana, 1980). Sebagai blok adalah jenis bambu (andong dan mayan), sebagai perlakuan adalah komposisi lapisan penyusun bambu komposit (6 macam). Banyaknya ulangan 3 buah. D. Hasil yang Dicapai Kadar air dan kerapatan rata-rata bambu komposit yang dibuat dari bambu andong dan bambu mayan dengan berbagai komposisi lapisan dan direkat dengan perekat isosianat berturut-turut adalah 11,13 % dan 0,64 g/cm 3, sedangkan pengembangan tebal dan pengembangan linier berturutturut berkisar antara 1,49% sampai 2,64% dengan rata-rata 1,98%, dan berkisar antara 1,28% sampai 2,58% dengan rata-rata 1,88%. 67

76 Pengembangan tebal dan pengembangan lebar rata-rata bambu komposit dari bambu andong berturut turut adalah 2,09% dan 1,99%, sedangkan yang dibuat dari bambu mayan adalah 1,88% dan 1,78%. Komposisi lapisan sangat berpengaruh terhadap pengembangan lebar bambu komposit. Bambu komposit yang lapisan tengahnya disusun tegak lurus terhadap lapisan luar memiliki nilai pengembangan lebar lebih kecil dibanding dengan yang lapisan tengahnya disusun sejajar dengan lapisan luar. Bambu komposit 3 lapis dengan berbagai komposisi lapisan penyusun dan direkat menggunakan perekat isosianat, memiliki kualitas perekatan cukup baik dengan nilai keteguhan rekat dan persentase kerusakan bambu rata-rata 63,1 kg/cm 2 dan 90%. Keteguhan lentur bambu komposit yang dibuat dengan berbagai perlakuan berkisar antara 429,1 kg/cm 2 hingga 958,3 kg/cm 2 dengan rata-rata 684,8 kg/cm 2. Komposisi lapisan penyusun bambu komposit berpengaruh nyata terhadap keteguhan lentur bambu komposit. Bambu komposit dengan lapisan tengah tegak lurus terhadap lapisan luar memiliki nilai keteguhan lentur lebih rendah dibanding dengan bambu komposit yang lapisan tengahnya disusun sejajar terhadap lapisan luar. Adanya lapisan kayu sebagai elemen penyusun bambu komposit menurunkan nilai keteguhan lentur bambu komposit yang dihasilkan. Bambu komposit yang semua lapisannya disusun sejajar serat baik semua lapisannya bambu maupun lapisan tengahnya kayu, setara dengan kayu kelas kuat II, kecuali bambu komposit dari bambu mayan dengan lapisan tengah kayu sengon setara dengan kayu kelas kuat III. Keteguhan tekan bambu komposit yang dibuat dengan berbagai komposisi lapisan berkisar antara 388,1 kg/cm 2 hingga 646,8 kg/cm 2 dengan rata-rata 482,3 kg/cm 2. Keteguhan tekan bambu komposit sangat dipengaruhi oleh komposisi lapisan penyusun bambu komposit. Bambu komposit 3 lapis dengan bilah bambu disusun secara tegak dan semua lapisannya disusun sejajar serat memiliki keteguhan tekan lebih tinggi (546,1 kg/cm 2 ) dibanding bambu komposit dengan lapisan tengah disusun menyilang terhadap lapisan luar (418,4 kg/cm 2 ). Balok bambu komposit 3 lapis dari bambu andong dengan bilah bambu disusun secara tegak dengan berbagai komposisi dan arah lapisan memiliki nilai keteguhan tekan setara dengan kayu kelas kuat II. Balok bambu komposit yang dibuat dari bambu mayan dengan berbagai komposisi lapisan baik semua lapisannya bambu maupun kombinasi dengan kayu dan semua lapisan disusun sejajar memiliki nilai keteguhan tekan setara dengan kayu kelas kuat II, sedangkan yang lapisan tengahnya disusun tegak lurus terhadap lapisan luar memiliki nilai keteguhan tekan setara dengan kayu kelas kuat III dan memenuhi persyaratan kayu untuk mebel 68

77 E. Simpulan dan Rekomendasi 1. Penyempurnaan teknik pembuatan produk bambu komposit dengan sistem laminasi silang dilakukan dengan menerapkan sistem perekatan bilah bambu secara tegak dan lapisan dalam atau lapisan tengah bambu komposit disusun menyilang terhadap lapisan luar. 2. Bambu komposit 3 lapis dengan berbagai komposisi lapisan penyusun yang dibuat dari bambu andong maupun bambu mayan dengan bilah disusun secara tegak dan direkat menggunakan perekat isosianat, memiliki kualitas perekatan cukup baik dengan nilai keteguhan rekat dan persentase kerusakan bambu rata-rata 63,1 kg/cm 2 dan 90%. 3. Penggunaan lapisan silang pada lapisan dalam bambu komposit menurunkan nilai keteguhan lentur dan keteguhan tekan bambu komposit tetapi meningkatkan kestabilan dimensi bambu komposit yang dihasilkan. Secara keseluruhan bambu komposit 3 lapis dari bambu andong maupun bambu mayan dengan berbagai komposisi lapisan dan semua lapisannya disusun sejajar serat setara dengan kayu kelas kuat II, sedangkan yang lapisan dalam atau lapisan tengahnya disusun tegak lurus serat terhadap lapisan luar setara dengan kayu kelas kuat III dan masih memenuhi persyaratan sebagai bahan baku untuk mebel. 4. Pembuatan produk bambu komposit perlu dikembangkan lebih lanjut dengan memanfaatkan jenis-jenis kayu cepat tumbuh yang ada sebagai kombinasi lapisan penyusun bambu komposit. 5. Pengembangan industri bambu komposit di Indonesia perlu terus disosialisasikan dan ditingkatkan khususnya di daerah yang memiliki potensi tanaman bambu cukup besar. Produk mebel dan komponen bangunan (daun dan kusen jendela, daun dan kusen pintu) yang dibuat dari bambu komposit perlu terus disosialisakan kepada masyarakat luas karena produk ini merupakan produk baru sehingga masih belum dikenal di masyarakat. 69

78 70

79 Program : Litbang Pengolahan Hasil Hutan Judul RPI : 21 Pengolahan Hasil Hutan Kayu dan Bambu Koordinator RPI : Prof. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si. Judul Kegiatan : Teknologi Pembuatan Produk Bambu Untuk Komponen Struktur Bangunan Pelaksana Kegiatan : Abdurachman, ST; Ir. Jamal Balfas, M.Sc; Ir. Nurwati H., MS; Prof. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si. Abstrak Penelitian penggunaan bambu komposit untuk komponen struktur rangka atap telah dilakukan dengan menggunakan jenis-jenis bambu yang mudah diperoleh di daerah setempat yang potensinya banyak, antara lain bambu petung dan andong. Komponen struktur rangka atap yang dibuat berupa balok/tiang komposit bambu dengan kayu mahoni menggunakan perekat sintetis waterbase polymer isocyanate. Tipe produk terdiri dari dua tipe yaitu balok komposit dengan kayu yang ditempatkan pada lapisan terluar dan lapisan tengah dengan prinsip tegangan terlentur dimana porsi bambu lebih banyak daripada kayu. Ukuran penampang balok komposit adalah 6/12 cm, tiap bidang rekat dibedakan atas tiga tingkat kekasaran permukaan yaitu halus, sedang dan kasar. Proses pembuatan balok komposit dimulai dari pembuatan pelupuh dan papan lamina kayu mahoni, pengawetan, pengeringan, pengempaan dengan cara kempa dingin dan pengujian produk. Pengujian produk berdasarkan JAS 1996 meliputi pengujian kerapatan, kadar air, delaminasi, keteguhan lentur statik, keteguhan tekan sejajar laminasi dan keteguhan rekat sejajar laminasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa perlakuan, jenis bambu, tipe laminasi dan kekasaran permukaan balok komposit pelupuh bambu tidak berpengaruh terhadap sifat fisis dan berpengaruh terhadap beberapa sifat mekanis yang diteliti. Berdasarkan mutu kayu bangunan, balok komposit J1T1A1 merupakan yang terbaik dari komposisi lainnya. Kata kunci: Bambu, kayu mahoni, komposit bambu, komponen struktur, rangka atap 71

80 A. Latar Belakang RINGKASAN Penggunaan bambu sebagai bahan bangunan pada umumnya berbentuk solid (utuh) sehingga ukuran penampangnya masing-masing berbeda satu sama lain dan dapat menyebabkan konstruksi tidak stabil ketika beban bekerja pada setiap komponen struktur bangunan. Beberapa kelemahan yang ditemukan dalam penggunaan bambu sebagai bahan bangunan antara lain tidak awet dan dimensinya tidak seragam dari pangkal hingga ujung batang. Keadaan tersebut mempersulit dalam pemasangan tiang, balok dan komponen rangka atap. Teknologi pembuatan bambu komposit dapat dijadikan pilihan untuk mengatasi permasalahan yang ada saat ini. Bambu komposit adalah produk hasil pengolahan bambu yang terbentuk dari kombinasi beberapa jenis bambu atau kayu, direkat dengan jenis perekat yang sesuai dengan penggunaannya serta dikempa dingin sehingga menghasilkan produk komposit berupa balok atau tiang. Dalam penelitian ini telah dibuat produk komposit bambu dengan kayu menggunakan perekat sintetis waterbase polymer isocyanate (isosianat) dengan cara kempa dingin. Jenis bambu yang dipilih adalah bambu petung dan andong, sedangkan jenis kayu yang digunakan adalah mahoni. Rangka atap adalah bagian dari struktur bangunan yang menerima beban di atasnya yaitu beban mati (penutup atap, reng, kaso dan gording), beban hidup (beban orang yang bekerja), beban angin, beban air hujan dan beban salju. Berdasarkan pengalaman, bambu solid agak sulit dirangkai jika digunakan sebagai struktur rangka, balok dan tiang sehingga menghasilkan konstruksi yang kurang stabil karena penyebaran gaya bambu solid pada struktur tidak merata meskipun momen inersianya lebih tinggi dari material kayu. Teknologi komposit memiliki bentuk penampang persegi dan ukurannya bisa seragam sehingga analisis stabilitas konstruksi dapat dilakukan sama dengan kayu solid. B. Tujuan dan Sasaran Penelitian ini bertujuan mendapatkan teknik pembuatan balok komposit bambu petung dan andong serta kayu mahoni, menggunakan perekat sintetis waterbase polymer isocyanate (isosianat) untuk komponen struktur rangka atap. Sasarannya adalah tersedianya data teknis dan informasi teknologi pembuatan komponen struktur rangka dari komposit bambu dan kayu serta informasi hasil uji coba. 72

81 C. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian Pengambilan dan pengumpulan bahan utama dan data penunjang dilakukan di Jawa Barat. Pembuatan contoh uji dan pengujian bahan di Pustekolah Bogor dan Fakultas Kehutanan IPB. 2. Bahan dan Peralatan a. Bahan utama: dua jenis bambu yaitu bambu petung (Dendrocalamus asper (Schult. F.) Backer ex Heyne), bambu andong (Gigantochloa pseudo arundinaceae (Steud) Widjaja) dan kayu mahoni (Swietenia macrophylla King) berumur sekitar 8 tahun. b. Bahan kimia: perekat Isosianat, pengawet asam borik dan borak serta bahan additif. c. Bahan Penunjang meliputi ampelas roll, klem, dan lain-lain. d. Peralatan yang dipergunakan: mesin gergaji, mesin serut, mesin ampelas, timbangan digital, oven dan mesin uji universal, UTM. 3. Prosedur Kerja a. Pengkulitan dan pembuatan pelupuh, pengeringan dan pengawetan pelupuh bambu menggunakan asam borak dan borik pada konsentrasi 7% dengan metoda rendaman dingin selama 24 jam. b. Pembuatan balok komposit yang terdiri dari 2 Jenis bambu dicampur kayu mahoni, 2 tipe laminasi dan 3 macam kekasaran permukaan. c. Pengujian bahan dan produk bambu komposit. D. Hasil yang Dicapai 1. Sifat Fisis Kerapatan balok komposit bambu untuk semua perlakuan berkisar antara 0,574-0,717 g/cm 3 dengan rata-rata 0,644 g/cm 3 pada kadar air 12,64-16,61%. Kerapatan tertinggi 0,717 (J2T1A2) dan terendah 0,574 (J1T2A3), Nilai kerapatan tersebut hampir menyamai kerapatan bambu solid petung, andong dan kayu mahoni yaitu berturut-turut 0,742 g/cm 3, 0,682 g/cm 3 dan 0,512 g/cm 3. Delaminasi total balok komposit pelupuh bambu tergolong sangat tinggi sampai mencapai 36,24% (J1T2A1) dan tidak memenuhi standar Jepang (JAS, 1996). 2. Sifat Mekanis Kekakuan lentur (MOE) dan kekuatan lentur (MOR) tertinggi dicapai oleh balok komposit (J1T1A1), sedangkan MOE terendah balok J2T2A1, MOR terendah balok J2T1A2. Keteguhan tekan paling tinggi ialah balok J1T2A1 dan terendah balok J2T2A3. 73

82 E. Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Susunan laminasi pelupuh bambu petung atau andong lebih baik ditempatkan pada bagian sisi dan papan kayu mahoni pada bagian tengah penampang balok. 2. Berdasarkan nilai MOE, MOR, kekuatan tekan sejajar laminasi dan kerapatan balok komposit, bambu petung lebih baik dari bambu andong, tipe laminasi T1 (papan mahoni ditempatkan di tengah) lebih baik dari T2 (papan mahoni tempatkan di bagian sisi). 3. Kekasaran permukaan berpengaruh terhadap nilai kekuatan tekan sejajar laminasi dan MOE. 4. Berdasarkan bahan penutup atap, gording, usuk dan reng yang digunakan, struktur kuda-kuda yang terbuat dari balok komposit hasil penelitian hanya dapat diterapkan pada struktur ringan berbentang pendek. 5. Dari keempat simpulan tersebut balok komposit yang terbuat dari pelupuh bambu petung atau andong dicampur papan kayu mahoni dapat direkomendasikan untuk ditetapkan pada perancangan struktur rangka atap struktur ringan berbentang pendek. 74

83 Lampiran : Foto 1. Bambu dan kayu sebagai bahan bambu komposit Foto 2. Pelupuh dan penampang balok bambu komposit Foto 3. Balok komposit bambu dan pengujian bambu komposit 75

84 76

85 Program : Litbang Pengolahan Hasil Hutan Judul RPI : 21 Pengolahan Hasil Hutan Kayu dan Bambu Koordinator RPI : Prof. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si. Judul Kegiatan : Kajian dan Penyusunan Konsep Standar Produk Olahan Kayu Pelaksana Kegiatan : Ir. M.I. Iskandar, MM; Prof. Dr. Drs. Adi Santoso, MS dan Drs. Achmad Supriadi, MM Abstrak Dalam rangka pengendalian mutu dan pemasaran produk kayu perlu standar mutu produk kayu. Saat ini produk kayu yang belum ada standar mutunya di Indonesia antara lain papan partikel bermuka kertas. Untuk penyusunan standar tersebut diperlukan beberapa tahap kegiatan penelitian, antara lain: mempelajari beberapa standar dari negara lain, membuat perbandingan persyaratan produk kayu tersebut berdasarkan standar negara lain, mengumpulkan data primer dan sekunder di pabrik serta mengambil contoh produk papan partikel bermuka kertas tersebut, menguji mutu produk papan partikel bermuka kertas tersebut di laboratorium dan menyusun konsep Standar Nasional Indonesia (SNI) mengenai papan partikel bermuka kertas. Tahun pertama (2010) kegiatan bertujuan untuk membuat konsep SNI kayu lapis bermuka polivinil klorida, tahun kedua (2011) kegiatan bertujuan untuk membuat konsep SNI kayu lapis bermuka poliuretan, tahun ketiga (2012) kegiatan bertujuan untuk membuat konsep SNI kayu lapis dan papan blok bermuka bahan pewarna, tahun keempat (2013) kegiatan bertujuan untuk membuat konsep SNI papan partikel indah dan tahun kelima (2014) kegiatan bertujuan untuk membuat SNI papan partikel bermuka kertas. Hasil penelitian tersebut telah disusun dalam bentuk konsep SNI mengenai papan partikel bermuka kertas. Persyaratan yang layak untuk dijadikan standar adalah: mutu penampilan, panjang, lebar, tebal, diagonal, kadar air, delaminasi, ketahanan terhadap asam, ketahanan terhadap basa dan ketahanan terhadap pengencer. Kata kunci: Polivinil klorida, poliuretan, bahan pewarna, indah, bermuka kertas. A. Latar Belakang RINGKASAN Industri kayu termasuk industri papan partikel bermuka kertas merupakan industri kehutanan yang penting dalam rangka pemanfaatan 77

86 sumberdaya hutan. Nilai ekspor industri kayu pada tahun 2012 sebesar US $ atau 38,45 % dari nilai ekspor hasil pertanian dan kehutanan atau 7,81 % dari seluruh nilai ekspor (Anonim, 2013). Industri kayu penghasil devisa tersebut antara lain kayu lapis penggunaan umum, kayu lapis bermuka bahan pewarna, papan blok bermuka bahan pewarna, papan partikel indah, papan partikel bermuka kertas, kayu olahan, pulp, komponen furniture, dan furniture. Beberapa kebijakan pemerintah telah mendorong perkembangan industri kayu sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa mulai tahun 1985 ekspor kayu bundar dilarang, sehingga ekspor kayu lapis, kayu lapis bermuka bahan pewarna, papan blok bermuka bahan pewarna, papan partikel bermuka kertas, kayu gergajian pulp, komponen furniture dan mebel furniture cukup pesat. Pada tahun 1989 keluar peraturan mengenai kenaikan pajak ekspor kayu gergajian sehingga mulai tahun 1990 ekspor kayu gergajian turun sekali tetapi ekspor kayu olahan dan produk kayu lapis papan partikel bermuka kertas terus meningkat. Disamping terjadi peningkatan jumlah industri juga terjadi peningkatan keragaman (diversifikasi) produk industri baik secara horizontal maupun vertikal atau pengolahan yang lebih hilir (Sutigno, 2009). Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa semula produk papan partikel bermuka kertas belum berkembang di Indonesia, kini produk tersebut telah berkembang dan telah di ekspor. Dalam hal bentuk papan partikel bermuka kertas dapat bervariasi baik ukuran maupun ketebalan (Bharata, 2013). Dalam rangka pengendalian mutu dan pemasaran produk papan partikel bermuka kertas diperlukan antara lain standar mutu produk papan partikel bermuka kertas yang bersangkutan. Umumnya standar mutu yang digunakan adalah standar dari negara pembeli misalnya Jepang (Japanese Agriculture Standard atau JAS dan Japanese Industrial Standard atau JIS). Sementara itu di Indonesia belum tersedianya SNI untuk produk papan partikel bermuka kertas. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan kegiatan ini adalah membuat konsep Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang papan partikel bermuka kertas. Sasarannya adalah tersedianya konsep SNI tentang papan partikel bermuka kertas. C. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Semarang, Jawa Tengah, dan Sukabumi, Jawa Barat. 78

87 2. Bahan dan Peralatan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu papan partikel bermuka kertas yang diambil dari pabrik PT Rimba Partikel Indonesia dan PT Pres Board di Semarang, Jawa Tengah dan PT Paparti Pertama di Sukabumi, Jawa Barat. Alat yang digunakan adalah meteran, kaliper, timbangan, oven, gergaji mesin dan penangas. 3. Prosedur Kerja a. Di lapangan 1) Mempelajari proses produksi papan partikel bermuka kertas di Semarang Jawa Tengah dan di Sukabumi, Jawa Barat. 2) Mempelajari spesifikasi dan pengujian papan partikel bermuka kertas. 3) Pengambilan contoh produk papan partikel bermuka kertas buatan pabrik untuk bahan penelitian dan diuji di laboratorium. 4) Pengujian visual meliputi panjang, lebar, tebal, diagonal dan mutu penampilan. b. Di laboratorium 1) Membuat contoh uji produk papan partikel bermuka kertas Pembuatan potongan uji sebagai berikut: Dari setiap lembar papan partikel bermuka kertas contoh dibuat 5 buah potongan uji yang tersebar merata menurut garis diagonal dengan ukuran 300 mm x 300 mm (lihat Gambar berikut): A B C Papan partikel bermuka kertas (satu panel utuh) D E Keterangan: A, B, C, D dan E adalah potongan uji ukuran 300 mm x 300 mm Dari potongan uji berukuran 300 mm x 300 mm kemudian dibuat contoh uji kadar air berukuran 100 mm x 100 mm, delaminasi berukuran 75 mm x 75 mm, pengujian terhadap asam, basa dan pengencer masing-masing contoh ujinya berukuran 100 mm x 100 mm. 2) Melakukan pengujian sifat papan partikel bermuka kertas, yaitu: pengujian kadar air, uji delaminasi, uji ketahanan terhadap asam, uji 79

88 ketahanan terhadap basa, dan uji ketahanan terhadap pengencer (thinner). c. Analisis Data Data pengujian mutu, dimensi, kadar air, kerapatan, uji delaminasi, uji ketahanan terhadap asam, uji ketahanan terhadap basa dan uji ketahanan terhadap pengencer (thinner), dihitung rata-ratanya kemudian dibandingkan dengan standar pembeli dari Jepang. D. Hasil yang Dicapai Hasil pengujian visual menunjukkan bahwa mutu penampilan papan partikel bermuka kertas yang diuji termasuk mutu A, menurut standar pembeli dari Jepang, karena tidak ada cacat pada permukaan papan partikel bermuka kertas seperti pertikel kasar dipermukaan panel, noda serbuk, noda minyak, noda perekat dan rusak tepi. Nilai tebal rata-rata 12,0 mm, panjang mm, lebar mm untuk papan partikel bermuka kertas dan diagonal mm. Nilai tersebut bila dibandingkan dengan standar pembeli dari Jepang, memenuhi persyaratan standar karena toleransi untuk tebal + 0,3 mm, panjang + 3,0 mm, lebar + 3 mm dan diagonal selisih dua diagonal tidak lebih dari 25 mm dari diagonal terpendek. Nilai ini bila dibandingkan dengan hasil pengujian papan partikel bermuka kertas yang dilakukan oleh Suparto (2013), Sugeng (2013) dan Dody (2013) hasilnya hampir sama dan sama-sama memenuhi syarat standar pembeli dari Jepang. Berdasarkan hasil pengujian laboratoris meliputi kadar air, delaminasi, ketahanan terhadap asam, ketahanan terhadap basa dan ketahanan terhadap pengencer papan partikel bermuka kertas menunjukkan nilai rata-rata kadar air 9,30%, delaminasi 0 mm, ketahanan terhadap asam ketahanan terhadap basa dan ketahanan terhadap pengencer hasil pengujian ketiga sifat tersebut adalah tidak ada yang mengelupas, melepuh pecah dan pelunakan. Hasil pengujian tersebut bila dibandingkan dengan standar pembeli dari Jepang semuanya memenuhi syarat karena kadar air tidak lebih dari 14%, delaminasi kurang dari 25 mm, pengujian ketahanan terhadap asam, ketahanan terhadap basa dan ketahanan terhadap pengencer memenuhi syarat karena tidak ada yang mengelupas, melepuh, pecah dan pelunakan. Menurut Suparto (2013), Sugeng (2013) dan Dody (2013) yang menguji ke empat sifat papan partikel bermuka kertas hasilnya tidak jauh beda dan sama-sama memenuhi syarat pembeli dari Jepang. Berdasarkan data tersebut telah disusun konsep Standar Nasional Indonesia papan partikel bermuka kertas. 80

89 E. Simpulan dan Rekomendasi 1. Hasil pengujian sampel berupa uji visual, papan partikel bermuka kertas termasuk ke dalam mutu A, hasil pengukuran panjang, lebar, tebal dan diagonal memenuhi syarat standar pembeli dari Jepang. 2. Hasil pengujian sampel berupa uji laboratoris meliputi kadar air, delaminasi, ketahanan terhadap asam, ketahanan terhadap basa dan ketahanan terhadap pengencer memenuhi syarat standar dari Jepang. 3. Konsep Standar Nasional Indonesia papan partikel bermuka kertas disusun dengan mengacu pada hasil pengujian sampel beberapa pabrik papan partikel bermuka kertas. 4. Konsep SNI papan partikel bermuka kertas dapat diusulkan melalui Pusat Standardisasi dan Lingkungan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Badan Standardisasi Nasional untuk diproses menjadi Standar Nasional Indonesia (SNI) papan partikel bermuka kertas. 81

90 82

91

92 Program : Litbang Pengolahan Hasil Hutan Judul RPI : 22 Pengolahan Hasil Hutan Bukan Kayu Koordinator RPI : Ir. Totok Kartono Waluyo, M.Si. Judul Kegiatan : Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Jernang (Dragon s blood) untuk Peningkatan Nilai Tambah Pelaksana Kegiatan : Ir. Totok Kartono Waluyo, M.Si; Gunawan Pasaribu, S.Hut. M.Si; Dr. Muhammad Nasir Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi pembuatan matriks serat nano dan karakteristiknya sebagai media pemanfaatan ekstrak jernang untuk penyembuh luka serta mendapatkan informasi potensi ekstrak jernang sebagai antikanker melalui uji sitotoksik/toksisitas. Metode uji untuk mengetahui karakteristik matriks menggunakan alat SEM-EDS, FTIR, X-Ray. Sedangkan untuk uji sitotoksik ekstrak jernang menggunakan metode Brine Shrimb Lethality Test (BSLT). Hasil penelitian menunjukkan matriks serat nano PVDF (Polyvinylidene Fluoride) berubah sifat-sifatnya dengan penambahan ekstrak jernang. Terdapat perubahan persentase unsur yang terkandung didalam nanoserat. Persentase unsur carbon (C), oksigen (O) meningkat dan unsur fluorine (F) menurun. Disamping itu juga terjadi penurunan kristalinitas matriks serat nano. Ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol 2 jenis jernang (rambai dan kalamuai) berpotensi sebagai obat antikanker. Kata kunci: Jernang, ekstraksi, matriks, toksisitas, antikanker A. Latar Belakang RINGKASAN Jernang (dragon s blood) merupakan resin berwarna merah hasil sekresi buat rotan jernang. Kegunaan jernang adalah sebagai bahan pewarna alami, obat-obatan, dan lain-lain (Sumadiwangsa, 1973). Salah satu kegunaan jernang sebagai obat adalah sebagai antikoagulasi darah. Hal ini dinyatakan oleh Yi, et al. (2011) yaitu dengan menguji secara in vitro antikoagulasi 2 obat herbal jernang (dragon s blood) yang berasal dari China. Disamping sebagai antikoagulasi, ternyata jernang dapat juga berfungsi sebagai prokoagulasi darah. Sifat prokoagulasi jernang tersebut dibuktikan oleh suku anak dalam yaitu dengan menaburkan serbuk jernang pada luka agar luka cepat sembuh/kering. Hasil penelitian Waluyo, dkk (2012) menyebutkan bahwa ekstrak etil asetat jernang bersifat prokoagulasi. 83

93 Jernang berwarna merah karena adanya senyawa dracorhodin yang merupakan komponen utama jernang. Senyawa tersebut merupakan turunan senyawa flavonoid antosianin (Shi, et.al.,2009). Amin dan Mousa (2007) mengemukakan bahwa senyawa golongan antosianin cenderung memiliki aktivitas antikanker. Berkaitan dengan tersebut di atas, perlu dilakukan penelitian toksisitas ekstrak jernang yang selanjutnya dikaitkan dengan aktivitas antikanker dari ekstrak tersebut dan karakteristik matriks serat nano sebagai matriks obat penyembuh luka. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi pembuatan matriks serat nano dan karakteristiknya sebagai media ekstrak jernang untuk penyembuh luka dan mendapatkan informasi potensi ekstrak jernang sebagai antikanker melalui uji sitotoksik. Sasarannya adalah tersedianya data dan informasi sifat-sifat matriks serat nano sebagai media ekstrak jernang untuk penyembuh luka dan daya sitotoksik ekstrak jernang. C. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian Kegiatan dilakukan di laboratorium HHBK Pustekolah, Bogor. dan di Puslitbang Kimia LIPI, Bandung. 2. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah 2 jenis resin jernang (jernang rambai/ Daemonorops draco dan jernang kalamuai/daemonorops melanochaetes), larva udang (Artemia salina Leach), etil asetat, metanol, n-heksana, aseton, khloroform, DMSO (Dimetil sulfoksida), polimer PVDF (Polyvinylidene Fluoride), N.N. Dimetyl acetamide, dan lain-lain. Alat yang digunakan adalah mikropipet, neraca analitik, oven, penguap putar, GC-MS, spektrofotometer inframerah transformasi Fourier (FTIR), electrospinning, magnetic stirrer, SEM- EDX, X-Ray, dan lain-lain. 3. Prosedur Kerja a. Karakteristik matriks serat nano (Nanofibers) melalui tahapan berikut: 1) Pembuatan larutan matriks 2) Pembuatan matriks dengan menggunakan alat electrospinning 3) Pembuatan matriks yang mengandung ekstrak jernang Untuk memasukkan ekstrak jernang ke dalam matrik, ekstrak jernang dilarutkan dalam etil asetat dengan konsentrasi 5% dan 10% disuntikkan ke matriks. 4) Pengujian karakteristik matriks 84

94 Pengujian menggunakan SEM-EDS, X-Ray dan FTIR. b. Uji Toksisitas Ekstrak Jernang Uji toksisitas ekstrak metanol dan etil asetat jernang menggunakan metode Brine Shrimb Lethality Test (BSLT). 4. Analisis Data a. Karakteristik matriks serat nano Hasil pengamatan dan pengujian matriks sebelum dan setelah diisi ekstrak dengan menggunakan SEM-EDS, FTIR dan X-Ray dianalisis deskriptif. b. Toksisitas terhadap A. salina Lech Nilai konsentrasi mematikan ekstrak jernang 50% (LC 50) ditentukan dari kurva hubungan antara konsentrasi ekstrak (sumbu x) dan rata-rata persen kematian larva udang (sumbu y). Selanjutnya, toksisitas ekstrak/bahan dapat dikaitkan dengan sifat anti kanker, apabila nilai LC 50 nya di bawah 1000 ppm. D. Hasil yang Dicapai 1. Karakteristik Matriks Serat Nano a. SEM-EDX (Scanning Electron Microscope-Energy Dispersive X-ray) Matriks serat nano tanpa penambahan ekstrak jernang tampak jelas serat-serat pembentuk matriks, sedangkan matriks yang ditambahkan/diberi larutan ekstrak jernang 5% serat-serat tidak tampak jelas hanya berupa lekukan-lekukan permukaan serat. Ekstrak jernang mengisi celah-celah diantara serat. Matriks dengan penambahan larutan ekstrak jernang 10% serat-serat sudah tertutup sepenuhnya oleh ekstrak. Berdasarkan analisa EDX, matriks tanpa penambahan ekstrak jernang terdapat 3 unsur (Carbon/C, Fluorine/F dan Gold/Au). Unsur C dan F merupakan unsur yang terdapat pada polimer sebagai bahan pembuatan matriks serat nano, sedangkan unsur Au (emas) merupakan bahan coating pada preparat matriks sebelum di uji dengan EDX. Matriks dengan penambahan ekstrak jernang 5% dan 10% mengakibatkan meningkatnya persentase unsur C dan O. Hal ini disebabkan salah satu kandungan ekstrak jernang adalah dracorhodin. b. X-Ray Hasil analisis difraktogram sinar-x matriks serat nano, penambahan ekstrak jernang menunjukkan adanya perubahan puncak, hal ini menunjukkan adanya perubahan struktur pada matriks. Masuknya ekstrak jernang 5% dan 10% pada matriks menyebabkan terjadi sedikit penurunan derajat kristalinitas dari 53,71% menjadi 41,22% dan 38,16%. 85

95 c. FTIR (Fourier Transform Infrared) Hasil analisis FTIR muncul spektrum baru dibilangan 1086 cm -1 dengan adanya penambahan ekstrak jernang pada matriks serat nano. Puncak tersebut menunjukkan adanya ikatan C-O dari ekstrak jernang. 2. Uji Toksisitas Ekstrak Jernang Uji toksisitas dengan metode Brine Shrimb Lethality Test (BSLT) digunakan untuk mencari senyawa bioaktif baru dari bahan alam (Mukhtar, et al.,2007). Bioaktif yang digunakan adalah berasal dari resin jernang. Hasil uji toksisitas dengan metode BSLT ekstrak jernang rambai dan kalamuai seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Toksisitas LC 50 ekstrak jernang No Jenis jernang Jernang rambai Jernang kalamuai Toksisitas LC50 (ppm) Ekstrak etil asetat Ekstrak metanol Berdasarkan hasil uji toksisitas (Tabel 1), nilai LC 50 terkecil tersebut mempunyai sifat toksik tertinggi dibanding ekstrak lainnya. Menurut Colgate dan Molyneux (2008), suatu ekstrak dikatakan memiliki potensi antikanker apabila nilai LC 50 di bawah 1000 ppm. Dengan demikian, ekstrak metanol dan ekstrak etil asetat kedua jenis jernang dapat dikategorikan memiliki potetensi antikanker. Sifat toksik yang tinggi dari suatu bahan diperkirakan akan mampu menghambat pertumbuhan bahkan mungkin dapat membunuh sel-sel kanker (Mukhtar, et al., 2007). E. Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Matriks nanoserat PVDF (Polyvinylidene Fluoride) berubah sifat-sifatnya dengan penambahan ekstrak jernang. Terdapat perubahan persentase unsur yang terkandung didalam nanoserat. Persentase unsur carbon (C), oksigen (O) meningkat dan unsur fluorine (F) menurun. Disamping itu juga terjadi penurunan kristalinitas matriks serat nano. 2. Matrik serat nano PVDF dapat dijadikan media ekstrak jernang sebagai obat penyembuh luka. 3. Toksisitas ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol jernang rambai LC ppm dan LC ppm, sedangkan jernang kalamuai LC ppm dan LC ppm. Semua ekstrak 2 jenis jernang tersebut berpotensi sebagai obat antikanker 4. Ekstrak etil asetat dan metanol jernang perlu diuji lebih lanjut secara in vitro dengan menggunakan sel kanker untuk memastikan estrak tersebut bermanfaat sebagai antikanker. 86

96 Program : Litbang Pengolahan Hasil Hutan Judul RPI : 22 Pengolahan Hasil Hutan Bukan Kayu Koordinator RPI : Ir. Totok Kartono Waluyo, M.Si. Judul Kegiatan : Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Tengkawang Untuk Peningkatan Nilai Tambah Pelaksana Kegiatan : R. Esa Pangersa G, S.Hut; Dra. Zulnely; Ir. Totok K. Waluyo, M.Si. Abstrak Buah tengkawang dapat diolah menjadi bentuk lemak yang bernilai ekonomi tinggi. Hal ini dikarenakan sifatnya yang hampir menyerupai lemak kakao sehingga banyak digunakan sebagai Coccoa Butter Subtiutes (CBS) pada berbagai produk berbahan baku lemak kakao, salah satunya produk kosmetik berupa lipstik. Pembuatan lipstik dengan bahan dasar lemak tengkawang telah dilakukan. Uji efficacy dan usability terhadap lipstik berbahan lemak tengkawang telah dilakukan. Namun, Untuk memastikan sebuah produk kosmetika aman dalam pemakaian, maka perlu dilakukan uji safety dan stability. Analisis ini mengikuti prosedur Standar Nasional Indonesia salah satunya yaitu uji cemaran mikroba. Keberadaan mikroba dalam sediaan lipstik tidak diinginkan keberadaannya. Selain menyebabkan kerusakan lipstik, juga dapat menimbulkan dampak negatif terhadap penggunanya. Selain itu, dilakukan pula uji iritasi sederhana terhadap mencit dan analisis biaya produksi lipstik. Hasil menujukkan tidak ditemukan adanya keberadaan mikroba dalam sediaan lipstik. Uji iritasi sederhana menunjukkan tidak adanya gejala iritasi yang timbul setelah pengamatan selama 24, 48, 36 dan 168 jam. Analisis biaya produksi lipstik diperoleh harga produksi (hanya dari bahan saja belum termasuk biaya energi, alat dan lain-lain) sebesar Rp ,35/buah. Kata kunci : Lemak tengkawang, lipstik, keamanan, mutu. A. Latar Belakang RINGKASAN Kegiatan sebelumnya telah dilakukan formulasi lemak tengkawang sebagai bahan dasar pembuatan lipstik. Pengujian awal terhadap sediaan lipstik telah dilakukan meliputi uji kekerasan dan titik leleh serta uji organoleptik. Untuk meyakinkan pengguna akan keamanan aplikasi lipstik berbahan dasar lemak tengkawang ini maka perlu dilakukan uji keamanan produk. 87

97 Untuk menilai tingkat keamanan sebuah produk lipstik, Standar Nasional Indonesia (SNI, 1998) tentang lipstik mensyaratkan mutu sediaan lipstik harus terbebas dari cemaran mikroba. Adanya mikroba dalam jumlah tertentu didalam lipstik selain dapat menimbulkan kerusakan pada lipstik, juga dapat menimbulkan efek yang tidak baik bagi kesehatan manusia. Efek yang ditimbukan diantaranya alergi, asma hingga dapat menimbulkan kanker. Kegiatan kali ini yaitu menguji keamanan produk lipstik berbahan dasar lemak tengkawang meliputi uji cemaran mikroba dan uji iritasi untuk mengetahui efek samping yang terjadi akibat pemakaian sediaan lipstik. Diharapkan dari kegiatan ini diperoleh informasi formulasi lipstik dengan tingkat keamanan yang paling baik. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan informasi keamanan produk lipstik berbahan dasar lemak tengkawang. Sasaran dari penelitian ini adalah tersedianya keamanan produk lipstik berbahan dasar lemak tengkawang. C. Metode Penelitian 1. Bahan dan Peralatan Bahan utama yang digunakan adalah sediaan lipstik berbahan dasar lemak tengkawang dari jenis S. pinanga. Bahan yang digunakan dalam uji cemaran mikroba adalah media Nutrient Agar (NA), Potato Dextrose Agar (PDA), Lactose Broth (LB), Mannitol Salt Agar (MSA) dan mencit sebagai hewan coba. 2. Prosedur Kerja Lipstik berbahan dasar lemak tengkawang dibuat menggunakan formula hasil penelitian sebelumnya dan modifikasi lain sebagai varian. Kemudian lipstik ini dianalisis melalui beberapa pengujian, diantaranya uji organoleptik untuk mengukur tingkat kesukaan, uji cemaran mikroba dan uji iritasi untuk mengetahui tingkat keamanan produk, serta analisis biaya produksi lipstik. Lipstik komersial dan data SNI masing-masing digunakan sebagai pembanding pada masing-masing pengujian. Tahap-tahap pengujian secara lengkap adalah sebagai berikut: a. Uji organoleptik Lipstik yang dihasilkan dilakukan uji kesukaan (hedonic test) berupa uji organoleptik. Parameter yang diuji meliputi tekstur, kilap, bau, warna dan daya oles lipstik. Uji ini menggunakan sistem skoring dari beberapa responden. 88

98 b. Uji cemaran mikroba Uji cemaran mikroba meliputi Angka Lempeng Total (ALT), jamur, koliform dan S. aureus. Produk lipstik yang dihasilkan dibagi menjadi dua bagian, bagian pertama dilakukan uji cemaran mikroba (I), bagian sisanya disimpan selama 4 bulan kemudian dilakukan uji cemaran mikroba setelah masa penyimpanan (II) untuk melihat ada tidaknya perubahan pada produk. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan membandingkan hasil cemaran mikroba antara produk lipstik sebelum dan sesudah penyimpanan selama 4 bulan, lipstik komersial sebagai kontrol serta persyaratan mutu berdasarkan SNI (1998). c. Uji iritasi sederhana Uji iritasi sedehana dilakukan pada mencit dengan metode Draize. Perlakuan yang diberikan yaitu bulu mencit dicukur dengan ukuran luas tertentu. Setelah 24 jam, plester dan perban dibuka lalu diamati. Hal yang sama dilakukan pada pengamatan 46, 72 dan 168 jam. Parameter uji iritasi yang diukur berupa adanya bintik-bintik kemerahan dan pembentukan kerak luka. Sistem penilaian menggunakan skoring. d. Analisis biaya produksi Analisis biaya produksi yang diukur yaitu harga pokok produksi (HPP). Biaya ini mencakup bahan baku hingga kemasan (packaging) per satuan produk dilihat berdasarkan formula lipstik yang digunakan. Perhitungannya adalh sebagai berikut : HPP = harga bahan (Rp) + kemasan (Rp) kebutuhan bahan per satuan produk 3. Analisis Data Analisis data uji organoleptik lipstik diolah menggunakan statistik dengan metode Kruskall-Wallis. Analisis uji cemaran mikroba dilakukan secara deskriptif dengan membandingkan hasil cemaran mikroba pada lipstik hasil penelitian sebelum dan sesudah masa penyimpanan, lipstik komersial sebagai pembanding dan standar lipstik yang berlaku (SNI , 1998). D. Hasil yang Dicapai 1. Analisa Organoleptik Lipstik Responden dalam kegiatan ini berjumlah 34 orang dengan umur dan latar belakang pekerjaan yang beragam. Formulasi lipstik secara lengkap disajikan pada Tabel berikut : 89

99 Bahan M3 M5 M3i M5i Minyak Jarak Candelila wax Malam lebah Carnauba wax Lemak tengkawang Paraffin liquid BHT 0,5 0,5 0,5 0,5 Titanium Dioksida 0,5 0,5 0,5 0,5 Metyl paraben 0,1 0,1 0,1 0,1 Warna Parfum secukupnya a. Tekstur Hasil analisa menunjukkan bahwa responden menilai tekstur yang dihasilkan oleh lipstik jenis M5, M3 dan M3i lebih baik dibandingkan lipstik komersial sebagai control maupun jenis M5i. Jenis lipstik M5 merupakan yang paling disukai oleh responden dalam hal tekstur. b. Kilap Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa responden menilai kilap paling baik dihasilkan oleh lipstik jenis M5. Meskipun berada pada level yang sama dengan lipstik komersial sebagai control, namun lipstik jenis M5 sedikit lebih disukai dalam hal kilap. c. Warna Hasil uji organoleptik meunjukkan dalam hal warna, lipstik jenis M5 merupakan yang paling mendekati lipstik komersial. d. Bau Hasil uji organoleptik menunjukkan penilaian responden terhadap lipstik berada pada tingkat keharuman (bau) lipstik yang cukup. Dari semua jenis lipstik, responden menilai jenis M5 merupakan jenis dengan tingkat keharuman yang paling disukai. e. Daya oles Hasil uji organoleptik menunjukkan penilaian responden bahwa sebagian besar lipstik memiliki tingkat daya oles cukup kecuali formula M3i. Nilai daya oles tertinggi terdapat pada lipstik dengan formula M5i. Analisis statistik menunjukkan bahwa persepi responden yang menyatakan formulasi lipstik memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap beberapa parameter seperti tekstur, kilap dan warna. Responden juga berpendapat bahwa formulasi yang diberikan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap bau dan daya oles. 90

100 2. Analisa Cemaran Mikroba Pada Sediaan Lipstik Hasil menunjukkan bahwa baik pada kontrol (lipstik komersial) maupun pada lipstik dengan lemak tengkawang pada berbagai perlakuan tidak terdapat cemaran mikroba baik sebelum maupun setelah penyimpanan. 3. Uji Iritasi Sediaan Lisptik Hasil pengamatan menunjukkan secara umum pada semua jenis perlakuan lipstik tidak ditemukan gejala iritasi pada kulit mencit. Terdapat satu indikasi gejala iritasi yaitu pada jenis lipstik M3i dengan lama waktu pengamatan 48 jam. Bentuk gejala iritasi nya yaitu berbentuk bintik kecil. Namun setelah diamati keesokan harinya, gejala tersebut sudah tidak terlihat lagi. Berdasarkan hasil pengamatan ini, dapat dinyatakan bahwa lipstik dengan lemak tengkawang memiliki tingkat keamanan dari iritasi tergolong baik. 4. Analisa Biaya Produksi Lipstik Hasil analisa biaya produksi menunjukkan bahwa dalam satu kali proses produksi lipstik sebesar 9,33 g diperlukan biaya produksi sebesar Rp ,7. Dari satu kali proses produksi ini dapat dibuat menjadi 2 buah lipstik dengan harga tiap wadah mencapai Rp Sehingga dari satu kali produksi didapatkan 2 buah lipstik (masing-masing 4,5 g) siap pakai dengan harga produksi Rp ,35/pcs. Analisa biaya ini belum mencakup biaya energi, peralatan dan lain sebagainya. E. Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Lipstik berbahan dasar lemak tengkawang aman digunakan karena tidak mengandung cemaran mikroba sesuai SNI kosmetikadan tidak mengakibatkan iritasi pada kulit. 2. Analisis organoleptik menunjukkan tingkat kesukaan responden terhadap lipstik dengan formulasi M5 lebih tinggi dibandingkan formula lainnya. Formulasi M5 mencakup minyak jarak 50%, candelila wax 10%, carnauba wax 1%, lemak tengkawang 3%, malam lebah 10%, parafin liquid 9%, titanium dioksida 1%, BHT 0,5%, warna 1% dan parfum secukupnya. 3. Analisa biaya produksi menunjukkan bahwa dalam satu kali proses produksi menghabiskan biaya produksi sebesar Rp ,7. Dari satu kali proses produksi tersebut dapat diperoleh dua buah lipstik siap pakai dengan harga produksi termasuk wadah (packaging) sebesar Rp ,35 per buah. Analisa biaya ini belum mencakup biaya energi, peralatan dan lain sebagainya. 91

101 92

102 Program : Litbang Pengolahan Hasil Hutan Judul RPI : 22 Pengolahan Hasil Hutan Bukan Kayu Koordinator RPI : Ir. Totok Kartono Waluyo, M.Si. Judul Kegiatan : Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Dryobalanops sp. untuk Peningkatan Nilai Tambah Pelaksana Kegiatan : Gunawan Pasaribu, S.Hut, M.Si Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan teknik pemanfaatan minyak Dryobalanops untuk produk kosmetik, dengan sasaran pada pembuatan lilin aromaterapi, sabun antijerawat dan informasi hasil uji. Hasilnya menunjukkan bahwa teknik pemanfaatan minyak Dryobalanops untuk kosmetik adalah melalui teknik formulasi lilin aromaterapi dan sabun antijerawat. Formulasi lilin aromaterapi yang dibuat berupa parafin, stearin, odoran, pewarna minyak Dryobalanops dan nilam. Terdapat perbedaan yang sangat nyata tentang kesukaan sebelum lilin dibakar antar formulasi yang dibuat. Formula yang paling disukai adalah formula 1. Terhadap lilin yang sudah dibakar, tidak terlihat perbedaan yang nyata antar formulasi yang dibuat. Akan tetapi terlihat kecenderungan bahwa lilin dengan formula 2 lebih disukai. Demikian halnya tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap tingkat efek aromaterapi pada formula yang dibuat. Formulasi lilin aromaterapi nomor 1 merupakan formulasi yang memberi efek positif pada responden. Aktivitas antibakteri Propionibacterium acnes yang ditunjukkan dengan nilai MIC tidak menunjukkan adanya aktivitas antibakteri, dimana nilai MIC semua sampel lebih besar dari 2.0 mg/ml. Dengan nilai aktivitas MIC yang rendah, sehingga tidak dapat dihitung nilai MBC-nya. Hasil penelitian aktivitas antioksidan pada minyak, kristal dan sabun menunjukkan bahwa semua sampel memiliki aktivitas antioksidan yang rendah karena semua sampel memiliki nilai IC 50 > ppm. Analisis komponen kimia menunjukkan adanya senyawa borneol dalam hal ini sebagai senyawa penciri dari Dryobalanops aromatica dalam bentuk endo borneol. Kata kunci : Dryobalanops, produk, kosmetik 93

103 A. Latar Belakang RINGKASAN Dryobalanops spp merupakan jenis yang termasuk ke dalam suku Dipterocarpaceae. Penyebarannya mulai dari Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau dan seluruh Kalimantan. Beberapa jenis Dryoblanops seperti aromatica, terkenal sebagai penghasil barus atau kamper. Pemanfaatan produk turunan minyak kamper belum banyak dilakukan di Indonesia, padahal pengembangan produk berbahan minyak kamper akan mampu meningkatkan nilai tambah. Bahan aktif utama minyak kamper berupa borneol mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi dan sangat dibutuhkan dalam pengembangan produk kosmetika dan obat. Borneol banyak dicari sekarang, terutama yang berasal dari pohon Dryobalanops, karena manfaatnya sebagai bio medicine untuk mencegah pengentalan dan pembekuan darah (Duke, 2005). Terobosan pemanfaatan yang lebih luas yang mampu meningkatkan nilai tambah perlu dilakukan secara terus menerus. Pemanfaatan minyak Dryobalanops sebagai lilin aromaterapi, antijerawat dan antioksidan akan dikaji dalam penelitian ini. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian adalah mendapatkan teknik pemanfaatan minyak Dryobalanops untuk produk kosmetik. Sedangkan sasaran yang ingin dicapai yaitu tersedianya informasi teknik pemanfaatan minyak Dryobalanops untuk produk kosmetik berupa lilin aromaterapi, sabun antijerawat dan informasi hasil uji. C. Metode Penelitian 1. Formulasi Lilin Aromaterapi Lilin aromaterapi dibuat sesuai standar formula pembuatan lilin aromaterapi yang sudah baku. Formulasinya berupa parafin, stearin, odoran, pewarna minyak Dryobalanops dan nilam. Dicobakan variasi penambahan minyak Dryobalanops (2%, 4% dan 6%) dalam formulasinya. 2. Pembuatan dan Pengujian Sabun Antijerawat Pembuatan sabun antijerawat mengikuti standar pembuatan sabun pada umumnya dengan variasi penambahan minyak Dryobalanops. Bahan dasar pembuatannya adalah based sabun, odorant, pewarna dan minyak Dryobalanops dengan variasi 1%, 2% dan 3%. 94

104 3. Uji antibakteri Propionibacterium acnes Aktivitas antijerawat ditentukan dengan menentukan aktivitas antimikrob terhadap Propionibacterium acnes. Indikator aktivitas antimikrob ditentukan dari konsentrasi hambat minimum (MIC = minimum inhibition concentration) dan konsentrasi bunuh minimum (MBC = minimum bactericidal concentration) (Batubara et al. 2009). 4. Pengujian aktivitas antioksidan Pengujian antioksidan dilakukan pada minyak dan produk sabun. Menggunakan metode dari Blois (1958) yaitu Metode Diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH). 5. Uji organoleptik Uji organoleptik dilakukan pada produk lilin aromaterapi. Jumlah responden sebanyak 30 orang dari berbagai tingkat umur remaja sampai dewasa pada kisaran tahun. Parameter yang diukur meliputi kesukaan aroma lilin sebelum dibakar, kesukaan aroma lilin setelah dibakar dan efek terapi yang dirasakan. 6. Analisis Data Data kuantitatif hasil pengujian organoleptik dianalisa secara statistika non parametrik dengan uji Kruskall Wallis (Steel and Torrie, 1995). Analisis kualitatif pada pengujian organoleptik untuk mengetahui kualitas lilin aromaterapi dilakukan dengan cara pengujian skoring dengan skala skoring yang digunakan adalah 5 dan 12. D. Hasil yang Dicapai 1. Formulasi Lilin Aromaterapi dan Uji Organoleptik Formulasi lilin aromaterapi yang dibuat berupa parafin, stearin, odoran, pewarna minyak Dryobalanops dan nilam. a. Kesukaan aroma sebelum dibakar Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan yang sangat nyata tentang kesukaan sebelum lilin dibakar antar formulasi yang dibuat. Formula yang paling disukai adalah formula 1 (konsentrasi minyak D. aromatica yang rendah). Tidak terdapat pengaruh tingkat umur dan perbedaan jenis kelamin terhadap kesukaan aroma lilin sebelum dibakar. b. Kesukaan aroma setelah dibakar Tingkat kesukaan lilin aromaterapi setelah lilin dibakar tidak terlihat perbedaan yang nyata antar formulasi yang dibuat. Akan tetapi terlihat kecenderungan bahwa lilin dengan formula 2 (konsentrasi minyak D. aromatica yang sedang) lebih disukai. Pengaruh tingkat umur terlihat dimana kelompok umur tahun lebih menyukai formula 2. Berbeda dengan tingkat umur tahun dan lebih besar dari 50 tahun lebih 95

105 menyukai formula 1. Tidak terdapat perbedaan preferensi berdasarkan jenis kelamin terhadap kesukaan terhadap aroma lilin setelah dibakar. c. Efek aromaterapi Hasil analisis statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap tingkat efek aromaterapi pada formula yang dibuat. Formulasi lilin aromaterapi nomor 1 merupakan formulasi yang memberi efek positif pada responden (konsentrasi minyak D. aromatica yang paling rendah). Berdasarkan tingkat umur dan perbedaan jenis kelamin terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan efek aromaterapi yang dirasakan. 2. Pembuatan dan Pengujian Sabun Antijerawat a. Uji Aktivitas Terhadap Propionibacterium acnes Hasil pengujian sampel tidak menunjukkan adanya aktivitas antibakteri, dimana nilai MIC semua sampel lebih besar dari 2.0 mg/ml. Sementara, kontrol positif yang digunakan yaitu tetrasiklin dan kloramfenikol dengan MIC lebih kecil 0,016 mg/ml sedangkan sampel tidak memberikan nilai MIC yang lebih rendah dari kontrol positif tersebut. Dengan nilai aktivitas MIC yang rendah, sehingga tidak dapat dihitung nilai MBC-nya. b. Uji Aktivitas Antioksidan Hasil penelitian aktivitas antioksidan pada minyak, kristal dan sabun menunjukkan bahwa semua sampel memiliki aktivitas antioksidan yang rendah karena semua sampel memiliki nilai IC 50 > ppm. Nilai antioksidan yang tergolong baik adalah berada pada nilai IC 50 < 200 ppm. c. Hal ini berbeda dengan nilai antioksidan ekstrak bagian kayu Dryobalanops aromatica, dimana ekstrak daun dan kulit berturut-turut memiliki nilai IC 50 sebesar 6,54 ppm dan 16,05 ppm. 3. Analisis Komponen Kimia Ditemukan senyawa borneol sebagai senyawa penciri dari Dryobalanops aromatica dalam bentuk endo borneol. Senyawa lainnya seperti Caryophylene, ALPHA.-PINENE, (-)-, alpha.-humulene, ALPHA. TERPINEOL dan dl-limonene. E. Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Teknik pemanfaatan minyak Dryobalanops untuk kosmetik adalah melalui teknik formulasi lilin aromaterapi dan sabun antijerawat. 2. Formulasi lilin aromaterapi yang dibuat berupa parafin, stearin, odoran, pewarna minyak Dryobalanops dan nilam. 3. Terdapat perbedaan yang sangat nyata tentang kesukaan sebelum lilin dibakar antar formulasi yang dibuat dan formula dengan konsentrasi minyak Dryobalanops paling rendah yang paling disukai. 96

106 4. Tidak terlihat perbedaan yang nyata antar formulasi yang dibuat pada penilaian lilin setelah dibakar. Akan tetapi terlihat kecenderungan bahwa lilin dengan formula 2 (tingkat konsentrasi minyak Dryobalanops sedang) lebih disukai. 5. Tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap tingkat efek aromaterapi pada formula yang dibuat. Formulasi lilin aromaterapi dengan konsentrasi minyak Dryobalanops paling rendah memberi efek positif pada responden. 6. Aktivitas antibakteri Propionibacterium acnes yang ditunjukkan dengan nilai MIC tidak menunjukkan adanya aktivitas antibakteri. Dengan nilai aktivitas MIC yang rendah, sehingga tidak dapat dihitung nilai MBC-nya. 7. Hasil penelitian aktivitas antioksidan pada minyak, kristal dan sabun menunjukkan bahwa semua sampel memiliki aktivitas antioksidan yang rendah karena semua sampel memiliki nilai IC 50 > ppm. 8. Ditemukan senyawa borneol dalam hal ini sebagai senyawa penciri dari Dryobalanops aromatica dalam bentuk endo borneol. 9. Dari hasil penelitian ini dapat dikembangkan berbagai produk kosmetik dan kesehatan dengan berbagai variasi formula yang lebih disukai konsumen. Produk sabun antiseptik merupakan produk yang paling potensial dikembangkan. 97

107 98

108 Program : Litbang Pengolahan Hasil Hutan Judul RPI : 22 Pengolahan Hasil Hutan Bukan Kayu Koordinator RPI : Ir. Totok Kartono Waluyo, M.Si. Judul Kegiatan : Teknologi Pembuatan Karbon Kemurnian Tinggi sebagai Bahan Baku Nano Karbon Pelaksana Kegiatan : Prof. Dr. Gustan Pari, M.Si; Prof. Buchari: Prof.Dr.Drs. Adi Santoso, M.Si; Djeni Hendra, M.Si, Dr. Akhirudin Maddu, MS; Dr. Mamat Rahmat, Dr. Muji Harsini; Teddi Haryanto, MT; Dr. Saptadi Darmawan, dan Novitri Hastuti, M.Sc. Abstrak Teknologi nano adalah teknologi yang memanipulasi suatu bahan berukuran nano meter yang mempunyai fungsi sangat efisien bagi kehidupan di masa depan. Di bidang hasil hutan, teknologi nano yang dapat dikembangkan di antaranya adalah nano karbon yang banyak digunakan dalam industri elektronik, biosensor, dan energi. Unsur utamanya adalah atom karbon yang berasal dari arang hasil karbonisasi lignoselulosa. Bahan baku yang digunakan adalah jati yang dikarbonisasi pada suhu 400 o C, arang yang dihasilkan direndam dengan KOH 15% selama 24 jam yang dilanjutkan dengan aktivasi pada suhu 850 o C selama 120 menit dengan uap air. Arang hasil aktivasi di interkalasi dengan Nikel (1:5) dan dipanaskan kembali pada suhu 900 o C selama 60 menit Proses selanjutnya dilakukan sintering pada suhu 1300 o C dengan SPS. Nano karbon yang dihasilkan diujicobakan untuk biosensor melamin dan fruktosa dengan sistem MIP berbasis elektroda pasta karbon. Mutu arang dan arang aktif yang terdiri dari kadar air, abu, zat terbang dan kadar karbon memenuhi standar Indonesia. Luas permukaan arang aktif berkisar antara 242, ,28 m 2 /g. Derajat kristalinitas antara 24,83-91,44%; resitensi 1,1-5,94 Ω dan konduktivitas antara 118,78 >2733,3 s/m. Nano karbon dari lignoselulosa dapat dibuat biosensor berbasis elektroda potensiometri dengan sistem MIP dan dapat digunakan sebagai sensor untuk mendekteksi fruktosa dalam madu dan melamin dalam susu. Kata kunci : Nano karbon, sintering, plasma, lignoselulosa, biosensor 99

109 A. Latar Belakang RINGKASAN Perkembangan teknologi pada abad ini dan yang akan datang sudah memasuki teknologi nano, suatu lompatan teknologi yang memanfaatkan atau memanipulasi suatu bahan berukuran nano meter (satu per satu miliar meter) yang mempunyai fungsi sangat efisien bagi kehidupan di masa depan. Pada prinsipnya teknologi nano ini mengembangkan atau mengoptimalkan kemampuan dirinya sendiri (self assembly) berdasarkan reaksi kimia maupun interaksi dengan komponen bahan lainnya yang juga berskala nano berdasarkan atom pembentuknya. Beberapa karakteristik keunggulan utama nano teknologi dengan ukurannya yang kecil dengan munculnya fungsi material baru pada skala nano. Di bidang hasil hutan, teknologi nano yang dapat dikembangkan di antaranya adalah nano karbon, teknologi yang banyak digunakan dalam industri elektronik, komputer, biosensor dan bioenergy yang bahan baku utamanya atom karbon yang berasal dari arang hasil karbonisasi lignoselulosa dan tabung nano serat karbon suatu molekul karbon berbentuk pipa yang berstruktur unik dan mempunyai sifat yang dapat merubah cahaya menjadi arus listrik, yang banyak digunakan pada layar beresolusi tinggi. Bahan baku karbon yang selama ini digunakan untuk keperluan tersebut di atas adalah grafit yang berasal dari bahan mineral tambang alam yang terbentuk jutaan tahun dan berisfat tidak renewable. Dalam perkembangannya molecularly imprinted polymer (MIP) telah digunakan untuk ekstraksi melamin, misalnya penggunaan MIP sebagai sorben pada solid phase extraction (SPE). Selain itu, terdapat penelitian yang menggunakan MIP sebagai sensor potensiometri untuk pengukuran melamin. Pada penelitian yg dilakukan oleh Qin et al. (2009) ini, MIP digunakan sebagai elektroda tipe tabung. Pembuatan elektroda tipe ini relatif lebih rumit. Pengembangan MIP untuk jenis transduksi potensiometri masih belum banyak diteliti (Blanco et al, 2004). Dalam penelitian ini biosensor berbasis pasta karbon akan diujicobakan untuk mendeteksi melamin dalam susu mengingat pernah terjadi adanya pencemaran melamin dalam susu yang beredar dipasaran dan deteksi kandungan fruktosa dalam madu untuk menilai tingkat keaslian madu. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian adalah (1) menyempurnakan teknologi pembuatan biosensor (2) menguji kelayakan biosensor untuk mendeteksi fruktosa dan melamin dan (3) mengetahui prospek pemanfaatan biosensor. Sasaran penelitian adalah tersedianya informasi teknologi pembuatan nano karbon 100

110 kemurnian tinggi dari lignoselulosasebagai bahan baku nano karbon yang dapat digunakan sebagai bahan biosensor melamin dan fruktosa. C. Metode Penelitian Bahan baku jati diarangkan dalam kiln yang terbuat dari drum yang dimodifikasi pada suhu karbonisasi C. Arang yang dihasilkan dimurnikan dan diaktivasi dengan jalan direndam dalam larutan KOH 15% selama 24 jam, selanjutnya dipanaskan pada suhu C selama 120 menit. Arang hasil aktivasi di interkalasi dengan Ni dan 1:5 dan dipanaskan kembali pada suhu C selama 60 menit, selanjutnya disintering pada suhu C dengan sistem plasma untuk meningkatkan konduktifitas. Karbon yang dihasilkan di uji sktuktur dan sifatnya menggunakan Py-GCMS, SEM, XRD, dan sifat elektrik serta uji potesi menggunakan I-V meter dan potensiometri. Nano karbon yang dihasilkan diujicobakan untuk biosensor melamin dan fruktosa dengan sistem MIP berbasis elektroda pasta karbon. D. Hasil yang Dicapai Hasil penelitian menunjukkan: mutu dan sifat arang aktif yang terbaik adalah arang yang diaktivasi dengan cara kombinasi kimia dan fisik (KOH steam) menghasilkan rendemen 49,0%; kadar air 6,16%; abu 10,23%; zat terbang 6,06%; kadar karbon 83,71%, luas permukaan 242, ,28 m 2 /g; derajat kristalinitas antara 24,83-91,44%; resistensi anrtara 1,1-5,94 ohm; konduktivitas antara 118,78->2733 s/m Khusus mengenai daya jerap terhadap iodium yang memenuhi syarat Standar Indonesia hanya hanya arang aktif jati dan bambu yang diaktivasi dengan cara di aliri uap air dan KOH steam karena daya serap iodiumnya lebih dari 750 mg/g dan besarnya kadar abu disebabkan oleh adanya kalium yang menempel pada permukaan arang aktif. Hasil pengujian sebagai biosensor terhadap fruktosa di dalam madu dan melamin pada susu menunjukkan hasil bahwa pasta karbon pada elektroda dengan metode MIP sangat potensial sebagai biosensor karena hasilnya sangat selektif. Uji biosensor melamin susu dengan metode spiked (diperkaya) menunjukkan hasil seperti Tabel 1. Tabel 1. Hasil uji biosensor cemaran melamin pada susu No. Melamin yang ditambahkan (M) Konsentrasi melamin terukur (M) Akurasi (%R) ,586 x , ,775 x , ,866 x ,6 101

111 Berdasarkan besarnya persen akurasi yang ditunjukkan pada Tabel 1, maka elektroda pasta karbon secara potensiometri dapat digunakan sebagai alternatif pilihan metode yang baik dalam penentuan cemaran melamin dalam susu menggunakan metode spiked dengan memperbaiki preparasi sampel susu yang akan dianalisis. Besarnya nilai akurasi (% perolehan kembali: % recovery) pengukuran melamin dalam susu pada konsentrasi 10-2 M yang diukur dengan elektroda pasta karbon/mip menggunakan metode spiked adalah sebesar 86,6%. Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya mengenai penentuan analisis kandungan melamin dalam susu berdasarkan sensor MIP secara potensiometri (Qin et al. 2009) didapatkan besarnya akurasi (%R) sebesar %. Apabila hasil tersebut dibandingkan dengan hasil penelitian ini, maka hasil yang diperoleh pada penelitian belum optimal. Untuk meningkatkan persen akurasi pengukuran analat, selain dapat menggunakan elektroda dengan sistem membran tipe tabung dan suhu sintering nano karbon perlu ditingkatkan di atas 1300 o C untuk lebih meningkatkan derajat kristalinitas. Penentuan kadar fruktosa diawali dengan penentuan koefisien selektifitas. Penentuan dilakukan dengan mengukur potensial larutan pengganggu sukrosa dan glukosa konsentrasi 10-3 M. Hasil perhitungan koefisien selektifitas larutan sukrosa adalah sebesar 2,98 x 10-5 dan untuk glukosa adalah sebesar 2,48 x Koefisien selektifitas ini menunjukkan bahwa elektroda berbasis karbon nanopori/mip memiliki selektifitas yang sangat baik, dimana jika terdapat 10-5 pengganggu dan hanya terdapat 1 analit, analit tersebut masih dapat terukur oleh elektroda. Koefisien selektifitas yang nilainya kurang dari 10-3 menunjukkan bahwa elektroda tersebut selektif terhadap fruktosa, melebihi sukrosa dan glukosa. Data dan perhitungan menunjukkan bahwa kadar fruktosa dalam madu adalah sebesar 29,80 % b/b, sementara menurut literatur kadar fruktosa dalam madu adalah sebesar 38% (White dan Doner, 1980). Selama ini sensor yang digunakan adalah untuk mengukur kandungan glukosa. Tabel 2. Koefisien selektifitas pengukuran Pengganggu Koefisien selektifitas Sukrosa 2,98 x 10-5 Glukosa 2,48 x 10-5 E. Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Penyempurnaan teknologi pembuatan biosensor ditunjukkan dengan peningkatan luas permukaan melalui penambahan suhu dan waktu aktivasi dan peningkatan mutu arang aktif yang terdiri dari kadar air, abu, zat terbang dan kadar karbon memenuhi standar Indonesia dengan luas 102

112 permukaan antara 242, ,28 m 2 /g. Derajat kristalinitas arang aktif antara 24,83-91,44% dengan resitensi 1,1-5,94 Ω dan konduktivitas antara 118, ,3 s/m. 2. Biosensor layak untuk mendeteksi melamin dalam susu dengan tingkat akurasi 86,6% dan kandungan fruktosa dalam madu dengan koefisen selektifitas kurang dari 10-3 M. 3. Nano karbon dari lignoselulosa sangat prospektif untuk diproduksi menjadi biosensor dengan sistem elektroda pasta karbon berbasis moleculary imprinted polimer. 4. Untuk aplikasi dilapangan, biosensor yang dihasilkan memerlukan tambahan alat instrumen potensiometer yang portable dan elektroda referen. 103

113 Lampiran : Gambar 1. Topografi permukaan arang aktif Gambar 8. Pola X-Ray arang jati yang diaktivasi KOH & HOH 104

114 Program : Litbang Pengolahan Hasil Hutan Judul RPI : 22 Pengolahan Hasil Hutan Bukan Kayu Koordinator RPI : Ir. Totok Kartono Waluyo, M.Si. Judul Kegiatan : Teknologi Produksi Ragi untuk Pembuatan Bioetanol Pelaksana Kegiatan : Dra. Sri Komarayati; Dr. Drs. Djarwanto, M.Si; Dr. Ina Winarni, S.Hut, M.Sc. Abstrak Bioetanol dapat dihasilkan dengan menggunakan bahan kimia atau mikroba seperti jamur/cendawan. Pada penelitian ini digunakan bahan ligoselulosa berupa kayu sengon, untuk proses sakarifikasi digunakan enzim selulase dan beta glukosidase yang lebih ramah lingkungan dari pada bahan kimia. Untuk proses fermentasi menggunakan ragi racikan yang merupakan campuran Aspergillus oryzae; Saccharomyces cerevisae; Rhyzopus oryzae dan sebagai pembanding digunakan ragi komersil (Sacharomyces serevisae), dengan konsentrasi ragi bervariasi antara 3-9%. Tujuan penelitian yaitu untuk memperoleh ragi racikan yang efektif dalam fermentasi untuk pembuatan bioetanol dari ligno-selulosa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ragi racikan dengan konsentrasi 7% efektif untuk digunakan pada fermentasi lignoselulosa. Ragi racikan 7% dapat menghasilkan kadar etanol sebesar 1,569% dan ragi komersil 7% hanya menghasilkan kadar etanol sebesar 0,652%. Konsentrasi ragi racikan 7% merupakan konsentrasi optimum. Kata kunci: Ragi racikan, kayu sengon, sakarifikasi, fermentasi, etanol. A. Latar Belakang RINGKASAN Bahan baku yang banyak digunakan untuk pembuatan bio-etanol antara lain singkong, jagung, tetes tebu dan sagu. Akan tetapi rendemen yang dihasilkan masih kecil, untuk itu perlu diupayakan meningkatkan rendemen bioetanol melalui perbaikan tahap hidrolisis dan fermentasi serta pembuatan ragi lokal yang spesifik pada sagu sehingga diperoleh bioetanol dengan rendemen yang lebih baik. Saat ini jamur ragi untuk keperluan tersebut didapatkan di pasaran dan masih tergantung pada produk impor. Oleh karena itu perlu dicari upaya agar diperoleh jamur ragi lokal yang dapat dipakai untuk menghidrolisis karbohidrat dan turunannya sehingga dapat dipakai dalam pembuatan bio-etanol. Pada tahun telah dilakukan pembuatan 105

115 ragi racikan, yang kemudian di uji coba pada pembuatan bioetanol dari sagu aren, sagu kirai dan juga serbuk gergaji kayu. Namun belum dapat menghasilkan produksi bio-etanol yang tinggi dan memenuhi syarat. Pada tahun 2014, penelitian dilanjutkan dengan memperbanyak dan mengisolasi ragi racikan hasil penelitian tahun sebelumnya yang akan diuji coba pada pembuatan bioetanol dari bahan yang mengandung lignoselulosa yaitu kayu sengon. B. Tujuan dan Sasaran Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh ragi racikan yang efektif dalam fermentasi untuk pembuatan bio-etanol dari lignoselulosa. Sasarannya yaitu diperolehnya data dan informasi kinerja ragi yang efektif untuk fermentasi lignoselulosa dalam pembuatan bio-etanol. C. Metodologi Penelitian 1. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikologi, Laboratorium Pengolahan Kimia dan Energi Hasil Hutan, Laboratorium Hasil Hutan Bukan Kayu, Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan di Bogor. 2. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan adalah kayu sengon (Paraserianthes falcataria) dan ragi racikan yang terdiri dari Saccharomyces cerevisae; Rhyzopus oryzae dan Aspergillus oryzae. Sebagai pembanding digunakan ragi komersil (Saccharomyces serevisae). Alat yang digunakan antara lain timbangan, distilator, pengaduk, blender, alkoholmeter, brixmeter, magnetic stirrer, GC, Spektrophotometer, destilator, penangas air, oven dan hot plate, cawan petri, autoklaf, incubator, jarum ose, tabung reaksi, kassa, kapas steril, pengaduk kaca dan lain-lain. 3. Metode Penelitian a. Pembuatan ragi racikan terdiri dari persiapan biakan murni mikroba, peracikan bahan pengisi, pencampuran ragi dan pengujian efektivitas awal. b. Perlakuan awal terhadap bahan baku kayu (lignoselulosa) : Kayu sengon dibuat serpih dan dikeringkan sampai kering udara, kemudian di masak (dibuat pulp) dengan campuran alkali (NaOH 20%) pada suhu pemasakan C selama 150 menit. Pulp dicuci dengan NaOH 1% dan air, disaring, dibiarkan sampai kering udara hingga dihasilkan pulp kering udara sebagai bahan baku (substrat) yang siap dilanjutkan ke tahap sakarifikasi dan fermentasi. Pulp dilarutkan ke dalam air sebanyak 15% (w/v). 106

116 c. Sakarifikasi menggunakan campuran enzim selulase dan β-glukosidase (5 : 1), konsentrasi enzim 10 fpu. Sampel/pulp sengon seberat 15 gr, larutan buffer dan surfaktan dimasukkan ke dalam erlemeyer, lalu simpan dalam waterbath shaker yang ber goyang pada suhu 50 o C selama 48 jam. Setelah selesai sakarifikasi, dilanjutkan proses fermentasi. Sebelum dan sesudah fermentasi dilakukan analisa gula pereduksi. d. Analisa kadar gula pereduksi dilakukan dengan metode DNS (Miller, 1959) e. Penetapan gula pereduksi: 1 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambah 3 ml pereaksi DNS. Larutan dibiarkan dalam air mendidih selama 5 menit, biarkan sampai dingin pada suhu ruang, selanjutnya dilakukan pengukuran absorbansi dengan alat Spektrophotometer. f. Fermentasi: sampel yang telah disakarifikasi ditambah NPK 1% dan Urea 3%. Selanjutnya ditambah ragi racikan yang terdiri dari campuran Aspergillus oryzae, Rhyzopus oryzae dan Saccharomyces serevisae, sebagai pembanding digunakan ragi komersiil yaitu Saccharomyces serevisae dengan konsentrasi ragi racikan dan ragi komersil sebanyak 3, 5, 7 dan 9% (w/w) setiap perlakuan. Proses fermentasi dilakukan selama jam, pada suhu C. g. Distilasi menggunakan destilator dan hot plate untuk memisahkan produk etanol dari komponen lainnya. Analisa kandungan etanol menggunakan alat GC. 4. Analisa Data Penelitian dilakukan dengan metode Rancangan Acak Lengkap desain faktorial 1 x 2 x 4 yaitu konsentrasi enzim, jenis ragi (racikan dan komersil), konsentrasi ragi 3, 5, 7 dan 9% dengan dua kali ulangan. D. Hasil yang Dicapai 1. Analisis Komponen Kimia Kayu Sengon Dari hasil analisis diketahui bahwa kadar lignin, selulosa dari kayu sengon sebelum dan setelah dibuat pulp. Kadar lignin kayu sengon 26,32%, setelah dibuat pulp kadar lignin turun menjadi 6,16% atau terjadi penurunan sekitar 76,59%. Hal ini sangat baik karena keberadaan lignin sangat menghambat proses degradasi selulosa dan hemiselulosa menjadi glukosa. Diharapkan dengan terjadinya penurunan kadar lignin, proses sakarifikasi dan fermentasi dapat berjalan sempurna sehingga dapat menghasilkan kadar etanol tinggi. Degradasi lignin dalam produksi bioetanol sangat berperan penting, karena lignin menghambat proses hidrolisis selulosa (Risanto, et al., 2012). 107

117 2. Proses Pembuatan dan Produksi Bioetanol Pada proses pembuatan bioetanol harus melalui beberapa tahapan antara lain : perlakuan pendahuluan, sakarifikasi atau hidrolisis selulosa menjadi gula-gula sederhana dan fermentasi gula tersebut menjadi etanol. Perlakuan pendahuluan dengan cara memasak kayu sengon menjadi pulp dengan bahan kimia NaOH 20%. Selanjutnya dilakukan metode sakarifikasi - fermentasi secara simultan. Sakarifikasi menggunakan enzim lebih disukai karena lebih ramah lingkungan, dapat dilakukan pada suhu ruang dan tekanan rendah. Akan tetapi ada kelemahannya yaitu rendahnya laju hidrolisis akibat rendahnya aksesibilitas selulosa oleh selulase (Irawati et al., 2013). Fungsi enzim pada sakarifikasi yaitu untuk menghasilkan gula pereduksi yang merupakan golongan gula yang dapat mereduksi senyawa-senyawa penerima elektron, contoh : glukosa dan fruktosa. Setelah proses sakarifikasi dan menghasilkan glukosa maka proses dilanjutkan dengan fermentasi, selanjutnya dilakukan proses distilasi untuk memproduksi etanol. Dari uji beda nyata, ternyata gula pereduksi ragi racikan lebih kecil daripada ragi komersil. Untuk variasi konsentrasi ragi racikan maupun komersil, menunjukkan bahwa peningkatan ragi dari 3-7%, menyebabkan peningkatan kadar gula pereduksi. Akan tetapi peningkatan konsentrasi ragi dari 7-9%, kadar pula pereduksi menurun, berarti konsentrasi optimum konsentrasi ragi adalah 7%. Peranan surfaktan terhadap gula pereduksi sangat besar yaitu kadar gula pereduksi pada sampel tanpa surfaktan lebih kecil daripada sampel yang diberi surfaktan. Kadar gula pereduksi sebelum fermentasi lebih tinggi daripada setelah fermentasi, ini disebabkan pada proses fermentasi gula dirubah menjadi alkohol. Konsentrasi ragi racikan maupun ragi komersil dapat meningkatkan produksi bioetanol mulai dari konsentrasi 3-7%, akan tetapi setelah konsentrasi 7% terjadi penurunan produksi. Perlakuan pemberian surfaktan pada sampel dapat mempengaruhi produksi bioetanol. Kadar etanol tertinggi dihasilkan dari ragi racikan 7% dengan penambahan surfaktan yaitu sebesar 1,569% dan kadar terendah dihasilkan dari ragi komersil 7% dengan penambahan surfaktan yaitu sebesar 0,631%. E. Kesimpulan 1. Ragi racikan yang efektif dalam fermentasi untuk pembuatan bioetanol dari lignoselulosa adalah ragi racikan 7% menghasilkan kadar etanol sebesar 1,569%. 2. Komposisi ragi racikan terdiri dari Aspergillus oryzae, Rhyzopus oryzae, Sacharomyces serevisae, tepung beras, pati, tepung garlic, cabe alas, lada bubuk, laos bubuk, sukrosa, yeast extract dan malt-extract. 108

118 Program : Litbang Pengolahan Hasil Hutan Judul RPI : 22 Pengolahan Hasil Hutan Bukan Kayu Koordinator RPI : Ir. Totok Kartono Waluyo, M.Si. Judul Kegiatan : Teknologi Pengolahan Bahan Bakar Nabati Berbasis Karbohidrat (Bio-etanol) Pelaksana Kegiatan : Dr. Ina Winarni, S.Hut, M.Si; Dra. Sri Komarayati; Dian Anggraeni, S.Hut, MM; Teuku Beuna Bardant, S.T, M.Sc. Abstrak Biomassa merupakan salah satu alternatif bahan baku yang potensial untuk produksi biofuel atau bioetanol. Penelitian ini bertujuan mengetahui informasi pembuatan bioetanol dari bahan lignoselulosa, yaitu limbah batang kelapa sawit. Batang sawit dibagi menjadi tiga bagian, yaitu parenkim (P), vaskular bundel (VB) dan campuran keduanya (PVB). Pretreatment lignoselulosa berupa delignifikasi dengan metode alkaline pulping sebelum hidrolisa bertujuan agar enzim selulase dapat bekerja secara maksimal, dan penambahan surfaktan diharapkan dapat membantu meningkatkan kerja selulase. Hasil penelitian menunjukkan, kadar gula pereduksi sebelum fermentasi semua perlakuan lebih tinggi daripada sampel tanpa penambahan surfaktan (kontrol) pada konsentrasi selulase 10 dan 15 FPU/g substrat. Kadar etanol tertinggi (1.63%) berasal dari parenkim dengan konsentrasi selulase 15 FPU/g substrat. Kata kunci: Lignoselulosa, batang sawit, hidrolisis, selulase, etanol. A. Latar Belakang RINGKASAN Produksi kelapa sawit akan menghasilkan limbah berbahan selulosalignin yang sangat besar dari lapangan yaitu batang dan pelepah sawit. Sedangkan limbah tandan kosong kelapa sawit, cangkang, dan serat dihasilkan dari proses di dalam pabrik (Singh et al., 2011). Peremajaan pohon kelapa sawit untuk produksi minyak sawit dilakukan setiap tahun untuk menjaga produktivitas minyak sawit (Yamada et al., 2010). Pada saat peremajaan, pohon sawit tua ditebang dan biasanya batang sawit yang telah menjadi limbah tersebut dibiarkan membusuk atau dibakar. Sehingga, diperlukan peningkatan pemanfaatan limbah batang sawit untuk meningkatkan pertambahan nilai batang sawit. 109

119 Lim (1986) memperkirakan bahwa peremajaan 1 ha pohon sawit akan menghasilkan sekitar 80.4 ton biomas (berat kering), dimana 66 ton adalah batang sawit dan 14.4 ton bagian pelepah sawit. Menurut Kasugi et al. (2010) batang kelapa sawit dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan bioetanol karena banyak mengandung pati/gula dan kurang lebih 30% (b/b) selulosa setelah proses pengepresan batang kelapa sawit tanpa kulit (Mohd. Noor et al.,1999). Hal ini mengindikasikan bahwa batang kelapa sawit memiliki potensi yang cukup tinggi sebagai bahan baku bioetanol. Secara morofologi, limbah batang sawit terdiri dari parenchyma dan vascular bundle yang tersebar tidak merata pada arah vertikal dan horizontal. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi pembuatan bioetanol dari limbah batang sawit. Sasarannya adalah diperolehnya informasi kadar etanol dari limbah batang sawit. C. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah batang sawit yang berasal dari Banten, Jawa Barat. Data dan informasi tentang kebun sawit diperoleh dari Lampung dan data serta pengujian diperoleh dari Bandung, Jawa Barat. 2. Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah batang sawit yang dibagi menjadi 3 bagian (parenkim, vaskular bundel dan campuran parenkim dan vaskular bundel). Bahan kimia yang digunakan adalah enzim alpha-amilase, glukoamilase, selulase dan beta-glukosidase, ragi Sacharomyces cerevisiae dari merk komersial Fermipan, zeolit, kapur, urea, NPK, Peralatan yang digunakan antara lain alat hidrolisis, reaktor fermentasi, unit distilator, alat pengaduk, neraca, hot plate, buret, brix meter, ph meter, alat gelas / kaca dan lain-lain. 3. Prosedur Kerja Tahapan kerja yang dilakukan adalah sebagai berikut : a. Uji proksimat b. Persiapan bahan baku Batang kelapa sawit dipisah menjadi 3 bagian, yaitu : parenkim, vaskular bundel dan campuran parenkim dan vaskular bundel. 110

120 c. Proses sakarifikasi Proses sakarifikasi menggunakan enzim selulase (15 dan 15 FPU/g substrat) dan 10% surfaktan Tween 20. Kontrol disiapkan tanpa penambahan surfaktan. Kemudian dimasukkan substrat dan dihidrolisa pada suhu ruangan selama 48 jam.. d. Proses fermentasi Gula yang dihasilkan diambil sedikit dan dianalisa kadar gula pereduksi dengan metode DNS (Miller, 1959). Sedangkan sisanya difermentasi dengan penambahan urea, NPK dan ragi (Saccharomyces cerevisae). Fermentasi berlangsung selama 3-4 hari. e. Analisa kandungan etanol Analisa kandungan etanol pada sampel menggunakan mesin Gas Chromatography (GC) dengan kondisi kolom OV 17; FID detektor; suhu initial 85 C; suhu final 100 C, suhu injek 150 C dan suhu detektor 200 C dengan pembawa gas nitrogen dan hidrogen. 4. Analisis Data Rancangan penelitian yang dilakukan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 3 Percobaan Faktorial. D. Hasil yang Dicapai Parenkim menunjukkan nilai kadar abu, ekstraktif,kelarutan dalam air dingin,alkohol benzena,kadar lignin, selulosa dan pati yang lebih tinggi dibanding bagian lainnya (VB dan PVB). Parenkim merupakan bagian dalam batang yang masih banyak mengandung pati (22.8%). Kadar lignin batang sawit pada semua bagian menunjukkan nilai yang sama tinggi antara 26-28%, oleh karena itu perlu adanya delignifikasi untuk mengurangi kadar lignin dalam sampel sebelum hidrolisis. konsentrasi enzim 10 FPU/g substrat menunjukkan semua perlakuan (P,VB, dan PVB) menggunakan surfaktan menghasilkan gula pereduksi sebelum fermentasi yang lebih besar dibandingkan tanpa surfaktan (kontrol). Bagian VB menghasilkan gula pereduksi tertinggi (63.1 g/l) dibandingkan dua lainnya. Nilai gula pereduksi sebelum fermentasi atau besarnya glukosa yang dihasilkan selama proses hidrolisis sangat dipengaruhi oleh konsentrasi enzim yang digunakan dan bagian batang yang digunakan sebagai substrat untuk dihidrolisis. Beradasarkan analisa statistik (Lampiran 1) pengaruh perlakuan (pembagian batang sawit menjadi P, VB dan PVB) berpengaruh sangat nyata terhadap kadar gula pereduksi sebelum fermentasi (10FPU/g substrat), sedangkan pengaruh kadar gula sebelum fermentasi berpengaruh tidak nyata terhadap kadar gula pereduksi setelah fermentasi. Penggunaan konsentrasi enzim 15 FPU/g substrat menunjukkan semua perlakuan (P,VB, dan PVB) menggunakan surfaktan menghasilkan gula 111

121 pereduksi sebelum fermentasi yang lebih besar dibandingkan tanpa surfaktan (kontrol). Sedangkan dengan konsentrasi enzim 15 FPU/g substrat, PVB menghasilkan gula pereduksi tertinggi (59.8 g/l) dibandingkan dua lainnya. Berdasarkan analisa statistik yang ditunjukkan pada lampiran 2. Perbedaan perlakuan pada pembagian batang sawit (p,vb, dan PVB) berpengaruh sangat nyata terhadap nilai kadar pereduksi sebelum fermentasi (Pr F = ). Dan nilai kadar gula pereduksi awal juga berpengaruh nyata terhadap kadar gula pereduksi setelah fermentasi. Kadar etanol sampel 10 dan 15 FPU/g menunjukkan bahwa semua perlakuan sampel menggunakan surfaktan, menghasilkan kadar etanol yang lebih besar dari tanpa penambahan surfaktan (kontrol). Bagian vaskular bundel (VB) dari batang sawit menghasilkan kadar etanol tertinggi dibanding dua yang lainnya (0.91% dan 1.63%), pada kedua konsentrasi enzim (10 & 15 FPU/g substrat). Meskipun nilai tersebut masih lebih kecil dari kadar etanol kontrol gula yang diukur (6.85%). Kadar etanol dengan konsentrasi enzim 15 FPU/g substrat menghasilkan nilai yang cukup signifikan dibanding dengan10 FPU/g substrat, kecuali pada PVB. Hal ini kemungkinan dikarenakan terjadi kesalahan pada waktu proses fermentasi. E. Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Bagian vaskular bundel (VB) menunjukkan nilai kadar etanol tertinggi (1.63%) dibanding bagian batang lainnya. 2. Penambahan surfaktan menunjukkan hasil kadar gula pereduksi dan kadar etanol yang lebih tinggi dibandingkan dengan. Kadar gula pereduksi sebelum (10 dan 15 FPU/g substrat) semua perlakuan pemisahan bagian batang sawit lebih tinggi ( g/l) dan ( g/l) dibandingkan kontrol (tanpa penambahan surfaktan) ( g/l) dan ( g/l). 3. Semakin tinggi konsentrasi enzim yang diberikan pada saat hidrolisis, semakin tinggi kadar etanol yang dihasilkan setelah fermentasi. 4. Sebaiknya semua bagian batang dilberikan perlakuan pretreatment, bahan-bahan yang mengandung pati, meskipun sudah berupa limbah sebelum digunakan sebagai substrat pada proses hidrolisis. 5. Substrat yang dimasukkan pada saat hidrolisis diberikan pada jumlah yang lebih banyak (high loading substrat), dan tidak dengan penambahan jumlah enzim. Sehingga kadar etanol yang dihasilkan akan meningkat. 6. Matrik serat nano PVDF dapat dijadikan media ekstrak jernang sebagai obat penyembuh luka. 7. Ekstrak etil asetat dan metanol jernang perlu diuji lebih lanjut secara in vitro dengan menggunakan sel kanker untuk memastikan estrak tersebut bermanfaat sebagai antikanker. 112

122 Program : Litbang Pengolahan Hasil Hutan Judul RPI : 22 Pengolahan Hasil Hutan Bukan Kayu Koordinator RPI : Ir. Totok Kartono Waluyo, M.Si. Judul Kegiatan : Teknologi Pengolahan Bahan Bakar Nabati Berbsis Lemak dan Minyak (Bio-diesel) Pelaksana Kegiatan : Djeni Hendra. M.Si; Santiyo Wibowo, STP, M.Si; Novitri Hastuti, S.Hut, M.Sc; Heru S. Wibisono, S.Hut. Abstrak Dengan semakin menurun potensi minyak bumi sedang konsumsinya terus menerus meningkat, banyak negara di dunia mulai mengembangkan biodiesel. Biodiesel adalah minyak solar yang dibuat dari minyak nabati berbagai macam tumbuhan diantaranya dari tanaman hutan. Tujuan penelitian adalah penyempurnaan proses pembuatan bio-diesel dari biji nyamplung (Callophyllum inophyllum), malapari (Pongamia pinnata), dan bintaro (Carbera manghas). Pada penelitian ini beberapa perlakuan yang dilakukan adalah : 1). Perlakuan awal pada bahan baku 2). Teknik degumming dengan penambahan katalis asam fosfat, dan dilanjutkan dengan penambahan bentonit 3). Proses esterifikasi dengan katalis metanol asam, yang dilanjutkan dengan penambahan zeolit 4). Proses transesterifikasi dengan katalis metanol basa, 5). Pengujian sifat fisiko-kimia bio-diesel sesuai dengan standar SNI Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan campuran metanol 15% dan katalis KOH 0,4% menurunkan bilangan asam nyamplung menjadi 0,76 mg basa/g. Bilangan asam malapari mengalami penurunan terbaik pada perlakuan kombinasi metanol 20% dan KOH 0,6%. Perlakuan ini menurunkan bilangan asam menjadi 0,73 mg basa/g sedangkan perlakuan terbaik untuk menurunkan bilangan asam bintaro terjadi pada perlakuan kombinasi antara metanol 20% dengan KOH 0,6% yang dapat menurunkan bilangan asam menjadi 0,47 mg basa/g.hasil ini sebagai acuan pada pembuatan biodisel semi pilot. Kata kunci: Nyamplung, malapari, bintaro, minyak biodiesel. 113

123 A. Latar Belakang RINGKASAN Krisis energi yang melanda dunia telah membangunkan kesadaran banyak negara untuk memikirkan jalan keluar dalam mengatasi sumber energi bahan bakar fosil (BBF). Berdasarkan laporan dari Congresssional Research Service (CRS) kepada komisi energi, jika tidak ada perubahan pola konsumsi, cadangan minyak bumi hanya cukup untuk tahun lagi. Untuk menekan pertumbuhan konsumsi BBF domestik, pemerintah menerbitkan instruksi presiden No.1 tahun 2006 tanggal 25 Januari 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai alternatif bahan bakar. Kebutuhan solar Indonesia dari tahun ke tahun terus naik, pada tahun 1995 : 15,84 juta kiloliter (ton), tahun 2000 : 21,39 juta kiloliter, tahun 2005 : 27,05 juta kiloliter dan pada tahun 2010 diperkirakan 34,71 juta kiloliter. Pada tahun 2001, impor solar 34% dari kebutuhan nasional dan pada tahun 2020 mendatang, diperkirakan Indonesia akan menjadi negara importir bahan bakar minyak (BBM) Sehubungan dengan itu, penelitian tentang pemanfaatan jenis-jenis pohon dari hutan tanaman yang bijinya menghasilkan minyak sebagai bahan baku pembuatan biodiesel perlu terus dilakukan dan ditingkatkan. Biodiesel adalah BBM sejenis solar sebagai bahan bakar mesin diesel, mobil atau otomotif lainnya yang dibuat dari bahan nabati berupa minyak yang dalam penelitian ini bahan bakunya adalah minyak dari biji tanaman nyamplung, malapari, dan bintaro. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian adalah menyempurnakan teknik pembuatan biodiesel dari minyak biji nyamplung, malapari dan bintaro. Sasarannya adalah dihasilkannya informasi hasil pengolahan biodiesel dari biji buah nyamplung, malapari dan bintaro. C. Metode Penelitian 1. Bahan dan Peralatan Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji buah nyamplung, malapari dan bintaro. Bahan kimia yang digunakan antara lain metanol teknis, etanol pa, asam klorida teknis, air suling, asam asetat, natrium tio sulfat, kalium yodida, natrium hidroksida, kalium hidroksida, phenol phtaelin (PP) dan lain-lain. Peralatan yang digunakan antara lain mesin pengepres biji sistem semi kontinyu dan pres hidrolik manual, alat destilasi, kompor listrik, pengaduk 114

124 (stirer), desikator, penangas air, labu ukur, ph meter, piknometer, erlenmeyer asah, timbangan kasar, neraca sartorius, oven, pendingin tegak, pipet, corong pemisah, viscometer. 2. Prosedur Kerja a. Ekstraksi minyak Ada 2 cara ekstraksi biji untuk memperoleh minyak yaitu dengan cara biji yang telah dikupas, dikukus, dikeringkan dan digiling halus kemudian di pres menggunakan mesin kempa hidrolik (manual) kapasitas 8 kg dan jika bahan baku banyak dapat menggunakan mesin pres sistem ekstruder semi kontinyu dengan kapasitas 50 kg/jam. b. Perlakuan degumming Perlakuan degumming I yaitu mereaksikan minyak mentah (crude oil) dengan larutan H 3PO 4 pada konsentrasi 0,50%, 1,0% dan 1,5% (v/v), dipanaskan pada suhu antara 60 0 C-70 0 C selama 30 menit sambil diaduk, dilanjutkan perlakuan degumming II yaitu minyak bersih (refined oil) ditambahkan dengan bentonit 1% ;1,5% dan 2,5%. c. Proses esterifikasi - Proses esterifikasi menggunakan campuran metanol teknis dengan katalis HCl, lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer leher tiga kapasitas 2000 ml yang berisi minyak. Erlenmeyer leher tiga dilengkapi dengan kondensor untuk mengkondensasi uap metanol agar masuk kembali ke dalam erlenmeyer, sehingga minyak dengan katalis metanol asam akan bereaksi dengan sempurna. - Campuran direaksikan pada suhu 60 o C selama 1 jam - Campuran dipisahkan, kemudian ditambahkan zeolit dengan konsentrasi 0,5% ; 1% dan 1,5%. - Selanjutnya campuran tersebut dimasukkan ke dalam wadah sentrifugal dan diputar selama 5 menit dengan kecepatan 800 rpm, dan selanjutnya minyak dipisahkan dari endapannya. d. Proses transesterifikasi - Proses transesterifikasi digunakan campuran metanol teknis dengan katalis KOH dimasukan ke dalam erlenmeyer leher tiga kapasitas 2000 ml yang berisi minyak dengan waktu reaksi selama 30 menit pada suhu 60 0 C. - Setelah reaksi transesterifikasi selesai, biodiesel yang terbentuk dimasukkan ke dalam wadah sentrifugal dan selanjutnya diputar selama 5 menit dengan kecepatan 800 rpm. e. Pencucian dan pemurnian minyak biodiesel - Minyak biodiesel dicuci menggunakan larutan asam asetat 0,5% (jika larutan terlalu basa), dilanjutkan pencucian dengan menggunakan air hangat sebanyak 30% dari minyak biodiesel (metil ester). 115

125 - Minyak biodiesel dimurnikan dengan cara dipanaskan pada suhu C sampai penampakan minyak jernih dan tidak ada busa diatas permukaan minyak. D. Hasil yang Dicapai 1. Pembuatan Biodiesel Skala Laboratorium Pembuatan biodiesel skala laboratorium dilakukan untuk menentukan konsentrasi katalis yang akan dipergunakan untuk produksi biodiesel pada skala semi pilot. Adapun hasil analisisnya tersaji pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan data analisis biodiesel nyamplung, malapari dan bintaro dengan SNI Komponen Bilangan asam (mg basa/g) Densitas (kg/m 3 ) Kadar air (%) Bilangan iod (g I 2/100g) Viskositas (cst) Kadar ester alkil (mg KOH/g) Bilangan penyabunan (mg KOH/g) Bilangan setana Nyamplung ** 0,76 887, ,25 5,64 99,74 145,29 71,21 Malapari ** 0, ,24 53,30 4,81 97,25 219,35 59,18 Bintaro ** 0, ,22 78,45 3,30 102,45 178,95 59,15 Batas SNI biodiesel *) Maks. 0, Maks. 0,05 Maks ,3-6,0 Min. 96,5 - Min. 51 Keterangan : *) = SNI Biodiesel ; ** = Hasil analisis minyak biodiesel terbaik. 2. Pembuatan Biodiesel Skala Semi Pilot Berdasarkan hasil penelitian skala laboratorium dapat diterapkan dan dijadikan acuan pada proses penyempurnaan pembuatan biodiesel skala semi pilot dari bahan baku nyamplung, malapari dan bintaro adalah sebagai berikut: Tabel 2. Sifat fisiko kimia biodiesel dari minyak biji nyamplung, malapari dan bintaro No Parameter Satuan Nyamplung Malapari Bintaro 1. Densitas Kg/m Viskositas mm 2 /s (cst) 4,90 4,72 3,25 kinematik pada 40 o C 3. Kadar air dan % volume 0,05 0,04 0,04 sedimen 4. Kadar ester alkil % massa 100,12 98,05 101,96 5. Kadar abu tersulfatkan % massa 0,02 0,08 0,05 116

126 No Parameter Satuan Nyamplung Malapari Bintaro 6. Bilangan asam mg basa/g 0,74 0,76 0,58 7. Bilangan mg basa/g 158,47 221,42 198,75 penyabunan 8. Bilangan iodium g I2/100 g 56,95 56,45 77,62 9. Bilangan setana - 67,93 58,25 56,30 E. Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Teknik pengolahan biodiesel terdahulu disempurnakan melalui penambahan bentonit pada proses degumming dan zeolit pada proses esterifikasi. 2. Berdasarkan hasil ujicoba penerapan teknik pengolahan biodiesel dengan penambahan bentonit dan zeolit memberikan perbaikan karakteristik minyak biji nyamplung, biji malapari dan biji bintaro yang telah memiliki mutu yang sesuai dengan persyaratan standar biodiesel (SNI ). 3. Bilangan asam biodiesel nyamplung, malapari dan bintaro hasil laboratorium berturut-turut adalah 0,76 mg basa/g, bilangan asam 0,73 mg basa/g dan bilangan asam 0,47 mg basa/g. Hasil ini menghasilkan bilangan asam skala semi-pilot sebesar: 0,74 mg basa/g untuk nyamplung; 0,76 mg basa/g untuk malapari; dan 0,58 mg basa/g untuk bintaro. 4. Untuk penyempurnaan proses pembuatan minyak biodiesel khususnya nyamplung dan malapari disarankan pada proses degumming terlebih dahulu dipanaskan pada suhu tinggi, selama 1,5-2 jam pada suhu konstan, kemudian diturunkan hingga suhu 60 0 C dan pada proses pemurnian, minyak biodiesel harus dengan kadar air dibawah standar SNI yaitu sebesar 0,05%, agar minyak biodiesel tahan lama dalam penyimpanan. 117

127 118

128 Program : Litbang Pengolahan Hasil Hutan Judul RPI : 22 Pengolahan Hasil Hutan Bukan Kayu Koordinator RPI : Ir. Totok Kartono Waluyo, M.Si. Judul Kegiatan : Teknologi Pengolahan Bahan Bakar Nabati Berbasis Selulosa dan Hemiselulosa (Bio-oil) Pelaksana Kegiatan : Santiyo Wibowo, S.TP, M.Si; Djeni Hendra, M.Si dan Rossi Margaretha Tampubolon, S.Si. Abstrak Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan informasi teknik pembuatan bio-oil dengan bahan baku rumput gelagah (Saccharum spontaneum). Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah suhu pirolisis dan ukuran bahan. Sasaran dari kegiatan penelitian ini adalah tersedianya informasi pembuatan bio-oil dari rumput gelagah dan sifat fisiko kimianya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen liquid tertinggi diperoleh dari rumput gelagah pada ukuran 40 mesh dengan suhu 550 o C yang menghasilkan liquid lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, dengan karakteristik sebagai berikut; rendemen liquid 30,88%, kadar fenol 7,58%, ph 2,62, bobot jenis 1,1108 g/cm 3, nilai kalor 25,29 MJ/kg dan daya nyala lambat. Bio-oil yang dihasilkan didominasi oleh asam asetat, fenol dan 1-hydroxy 2-propanone. Kata kunci: Bio-oil, lignoselulosa, rumput gelagah, free fall pyrolysis, BBN. A. Latar Belakang RINGKASAN Kebutuhan bahan bakar minyak Indonesia dari tahun ke tahun terus naik, pada tahun 2000 : 21,39 juta kilo litter, tahun 2005 : 27,05 juta kilo liter dan pada tahun 2011 sebesar 39,23 juta kiloliter (BPPT, 2011). Pada tahun 2001, impor solar 34% dari kebutuhan nasional dan pada tahun 2020 mendatang, diperkirakan Indonesia akan menjadi negara importir bahan bakar minyak (BBM) secara besar-besaran (Reksowardoyo, 2005). Permasalahan pemakaian BBM minyak bumi adalah karena sifatnya yang tidak dapat dipulihkan (non renewable), oleh karena itu perlu disubstitusi oleh bahan bakar yang dapat dipulihkan antara lain yang berasal dari tanaman pertanian atau kehutanan. Program nasional diversifikasi energi adalah pengkayaan produksi jenis-jenis bahan energi baru yang dapat dipulihkan, di antaranya bahan bakar pengganti solar dari minyak nabati (Krause, 2001). Bio- 119

129 oil atau dikenal juga sebagai pyrolysis oil adalah BBM sejenis solar yang memiliki berat jenis tinggi sebagai penggunaannya disesuaikan yaitu sebagai bahan bakar boiler atau dibakar langsung untuk keperluan pengeringan. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian adalah mendapatkan teknik pengolahan bio-oil dengan bahan baku rumput gelagah. Sasaran dari penelitian ini adalah tersedianya informasi teknik pengolahan bio-oil rumput gelagah dan informasi sifat fisiko kimianya. C. Prosedur Penelitian 1. Persiapan bahan: Rumput gelagah dikeringkan diseragamkan ukurannya yaitu 20, 40 dan 60 mesh. 2. Pembuatan bio-oil: Penelitian pembuatan bio-oil dilakukan pada suhu reaksi 550 dan 600 o C dengan ukuran serbuk 20, 40 dan 60 mesh. 3. Pengujian: Pengujian dilakukan terhadap sifat fisiko-kimia, yaitu: rendemen (arang, cairan/liquid - bio-oil, dan gas), berat jenis, ph, kadar fenol, nilai kalor, daya nyala dan sifat kimia menggunakan GCMS. 4. Analisis data: Analisis data disajikan secara deskriptif dan tabulasi. 5. Pengujian statistik menggunakan rancangan percobaan acak lengkap faktorial 3 kali ulangan. D. Hasil yang Dicapai 1. Analisa Proksimat Rumput Gelagah Hasil pengukuran menunjukkan bahwa rumput gelagah yang digunakan dalam penelitian ini cukup kering dengan kadar air 8,12%. Kadar holoselulosa adalah 51,32%, hasil ini lebih kecil dari polisakarida kayu pada umumnya yang berkisar antara 65-75% dan tempurung nyamplung sebesar 87,64% (Fengel dan Wegener 1995; Wibowo, 2009). Alpha selulosa rumput gelagah adalah sebesar 33,22% dan kadar hemiselulosa yang ditentukan sebagai pentosan sebesar 18,10%. Ekstraktif rumput gelagah yang larut dalam alkohol benzena adalah 6,59%. Kadar lignin dalam rumput gelagah adalah 23,78%. Kadar lignin tersebut masuk dalam rentang kadar lignin kayu pada umumnya yang berkisar antara 20 25%. 2. Penelitian Utama a. Rendemen Dari hasil penelitian diperoleh liquid atau cairan berkisar antara 23,81-30,88%. Rendemen terbesar diperoleh dari serbuk rumput gelagah pada perlakuan suhu 550 o C dengan ukuran 40 mesh yaitu sebesar 30,88% dan yang 120

130 terkecil dihasilkan dari sampel rumput gelagah pada ukuran 60 mesh dengan suhu 600 o C. Rendemen arang berkisar antara 21,78-31,87%, dengan rendemen terbesar berasal dari sampel 20 mesh suhu 550 o C dan terkecil pada ukuran 60 mesh 600 o C dan rendemen gas berkisar antara 40,98-54,4% dengan rendemen terbesar diperoleh pada dari ukuran 60 mesh dan suhu 600 o C dan terkecil diperoleh dari sampel 20 mesh dan suhu 550 o C. b. Kadar fenol Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar fenol bio-oil rumput gelagah adalah 4,96-8,11% (Tabel 1). Fenol terendah diperoleh pada sampel rumput gelagah ukuran 20 mesh dengan suhu 550 o C yaitu 4,96% dan kadar fenol tertinggi diperoleh pada sampel serbuk kayu dengan ukuran 60 mesh suhu 600 o C. Tabel 1. Karakteristik bio-oil rumput gelagah Ukuran Parameter Suhu bahan Fenol Bobot jenis ( o ph C) baku (%) g/cm 3 Nilai kalor MJ/kg Daya nyala ,96 2,69 1, ,88 lambat 40 7,58 2,62 1, ,29 lambat 60 7,65 2,5 1, ,83 lambat ,73 2,58 1, ,24 lambat 40 7,96 2,51 1, ,04 lambat 60 8,11 2,49 1, ,66 lambat c. ph bio-oil Bio-oil rumput gelagah mempunyai kadar ph antara 2,49-2,69. ph terendah diperoleh pada suhu 600 o C dengan ukuran serbuk sebesar 60 mesh yaitu sebesar 2,49 dan ph tertinggi diperoleh pada sampel dengan ukuran 20 pada suhu 550 o C yaitu sebesar 2,69. d. Bobot jenis Hasil pengujian bobot jenis atau densitas bio-oil yang diperoleh dari sampel serbuk rumput gelagah pada ukuran 20,40 dan 60 dan suhu o C berkisar antara 1,0988-1,1166 g/cm 3. e. Nilai kalor Nilai kalor bio-oil dari serbuk rumput gelagah yaitu 20,66 dan 25,29 MJ/kg. Nilai kalor tertinggi diperoleh pada sampel 40 mesh 550 o C dan terendah pada sampel 60 mesh 600 o C. 121

131 f. Daya nyala Semua sampel mempunyai katagori lambat. Hal ini disebabkan masih dominannya senyawa asam asetat dan fenol di dalam liquid hasil pirolisis free fall. Biooil atau pirolitic oil tidak sama dengan bahan bakar minyak pada umumnya yang mempunyai kemampuan daya nyala yang cepat terbakar. Hal ini disebabkan oleh tingginya kandungan air (cuka kayu) yang terdapat di dalam sampel bio-oil tersebut. g. Hasil GCMS (Gas Chromatography Mass Spectrometry) Hasil pengujian GCMS menunjukkan bahwa komponen kimia bio-oil serbuk rumput gelagah ukuran 20 mesh pada suhu 550 o C terdeteksi 20 komponen dan untuk ukuran 20 mesh pada suhu 600 o C, terdeteksi 34 komponen. Ukuran 40 mesh, suhu 550 o C dan suhu 600 o C terdapat 38 komponen. Ukuran 60 mesh pada suhu 550 o C terdapat 33 komponen, dan pada suhu 600 o C terdeteksi sebanyak 45 komponen. Secara umum komponen bio-oil didominasi oleh asam asetat, golongan phenol, golongan 1-hydroxy 2- propanone atau aseton, butanedial dan toluen. Suhu yang tinggi menyebabkan komponen kimia terpecah menjadi komponen lainnya sehingga jumlah komponen bertambah. E. Kesimpulan dan Saran 1. Pembuatan bio-oil dari rumput gelagah dilakukan dengan teknik pirolisis free fall pyrolysis pada suhu 550 dan 600 o C dengan ukuran 20, 40 dan 60 mesh, diperoleh sifat fisiko kimia yaitu rendemen liquid berkisar antara 23,81 30,88%, kadar fenol 4,96. 8,11%, ph 2,49 2,69, bobot jenis 1,0988 1,1166 g/cm 3, daya nyala di atas 6 detik, dan nilai kalor 20,66-25,29 MJ/kg. Bio-oil yang dihasilkan didominasi oleh asam-asam terutama asam asetat, dan fenol serta terdapat beberapa komponen zat yang mudah terbakar yaitu aseton, benzene, dan toluen. 2. Biomassa rumput gelagah dengan ukuran lolos ayakan 40 mesh menghasilkan liquid lebih baik pada suhu 550 o C dengan karakteristik; rendemen liquid 30,88%, kadar fenol 7,58%, ph 2,62, bobot jenis 1,1108 g/cm 3, nilai kalor 25,29 MJ/kg dan daya nyala di atas 6 detik (lambat). 3. Hasil samping pengolahan bio-oil adalah arang dengan rendemen berkisar antara 21,78-31,87%, dapat dimanfaatkan sebagai energi alternatif arang briket dan pellet serta arang aktif yang perpotensi meningkatkan nilai tambah. Sedangkan hasil samping gas dengan rendemen antara 40,98-54,4% masih belum dimanfaatkan. Untuk meningkatkan mutu bio-oil sebagai bahan bakar mesin perlu dilakukan penelitian upgrading bio-oil melalui teknik cracking yaitu pemecahan senyawa organik rantai panjang menjadi dua atau lebih senyawa organik rantai lebih pendek. 122

132

133 Program : Litbang Pengolahan Hasil Hutan Judul RPI : 23 Perekayasaan Alat dan Substitusi Bahan Pembantu Koordinator RPI : Wesman Endom, M.Sc. Judul Kegiatan : Rekayasa Mesin Penghasil Energi dari Bahan Nabati Pelaksana Kegiatan : Djeni Hendra, M.Si; Dra. Sri Komarayati, Heru S. Wibisono, S.Hut. Abstrak Meningkatnya konsumsi bahan bakar fosil sedangkan cadangannya semakin menurun menyebabkan terjadinya krisis energi. Hal ini memicu penggalian energi alternatif sebagai pengganti energi fosil tersebut. Bioetanol merupakan salah satu energi elternatif yang berasal dari bahan nabati. Penelitian ini bertujuan membuat alat/mesin pengolah bioetanol dari bahan nira nipah. Penelitian ini diawali dengan membuat rekayasa alat pengolah bioetanol kemudian diujicoba dengan bahan baku nira nipah. Alat rekayasa yang dibuat terdiri dari 2 buah reaktor. Reaktor I berfungsi sebagai alat pasteurisasi, sakarifikasi dan fermentasi. Reaktor II berfungsi sebagai alat destilasi. Keunggulan alat ini terdapat pada penggunaan teknik SSF (Simultaneous Sacarification and Fermentation) dimana proses pasteurisasi dan fermentasi dapat dilakukan pada satu reaktor. Kelemahan alat ini adalah laju alir uap bioetanol masih berlangsung lambat. Rendemen nira nipah hasil ujicoba sebesar 13,5% dan kadar bioetanol berkisar antara 70-94,5% dengan rata-rata sebesar 84,8%. Hasil destilasi bioetanol dapat ditingkatkan melalui proses dehidrasi. Melalui proses dehidrasi kadar bioetanol 94,5% dapat meningkat menjadi 98,5%. Kata kunci : Rekayasa alat, bioetanol,nira nipah,bahan bakar nabati. A. Latar Belakang RINGKASAN Terjadinya krisis energi yang melanda dunia khususnya bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbaharui telahmemacu dicarinya energi alternatif pengganti bahan bakar fosil. Konsumsi bahan bakar fosil diperkirakan akan meningkat 57% dari tahun 2002 hingga Sedangkan cadangan minyak bumi semakin berkurang akibat eksploitasi dan pemakaian oleh industri yang semakin berkembang. Berdasarkan laporan dari Congresssional Research (CRS) kepada komisi energi, jika tidak ada perubahan pola konsumsi, cadangan minyak bumi hanya cukup untuk tahun lagi (Prihandana dan Hendroko, 2007). 123

134 Untuk menghadapi semakin berkurangnya cadangan minyak bumi dan semakin tingginya konsumsi bahan bakar minyak pemerintah Indonesia menerbitkan instruksi presiden No 1 tahun 2006 tanggal 25 Januari 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai alternatif bahan bakar. Salah satu bahan bakar alternatif adalah bioetanol yang merupakan bahan bakar nabati berasal dari tanaman kehutanan, perkebunan dan pertanian yang dapat digunakan sebagai bahan bakar mesin 4 langkah. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan kegiatan ini adalah membuat alat/mesin pengolah bioetanol dari bahan nira nipah. Sasarannya adalah tersedianya alat/mesin pengolah bioetanol dari nira nipah. C. Metode Penelitian 1. Bahan dan Peralatan Bahan yang digunakan dalam rekayasa alat pengolah bioetanol ini adalah 2 tabung stainless steel SS 304 dengan tebal 1,5 mm, band heater, thermocouple, temperatur control, kabel listrik dan kawat katoda stainless steel untuk las listrik, sedangkan untuk bahan uji coba dalam penelitian ini adalah nira dari pohon nipah. Peralatan diantaranya adalah mesin potong besi, mesin las listrik, mesin bubut, mesin bor, timbangan analitik, timbangan kasar, gelas ukur 100 ml, 250 ml dan 1000 ml, erlemeyer, alat ukur kadar gula (brix meter), alat ukur kadar alkohol (alcohol meter), thermometer, dan lain-lain. 2. Prosedur Kerja a. Rancang bangun reaktor untuk proses pasteurisasi, sakarisasi dan juga dapat dipergunakan sebagai alat untuk proses fermentasi bahan baku bioetanol. b. Rancang bangun reaktor dentilasi dan dua kondensor untuk mendinginkan uap etanol menjadi cairan. c. Pengerjaan pengelasan dan perakitan rangka meja reaktor untuk pemasakan (pasteurisasi), dan reaktor untuk destilasi dan pembuatan dua alat pendingin (condensor). d. Pengerjaan pembentukkan 2 plat stainless steell menjadi bentuk tabung, tabung bagian dalam dengan ukuran Ø 380 mm, tinggi 600 mm yang dililit oleh band heater dan tabung luar dengan ukuran Ø 440 mm, tinggi 600 mm. e. Pengerjaan pengelasan tutup atas reaktor, pemasangan kran pada corong masuknya bahan baku, pemasangan kran untuk mengeluarkan bahan baku dan perakitan dudukan electromotor untuk pengadukkan bahan baku. 124

135 f. Pengerjaan pembentukkan 2 plat stainless steell menjadi bentuk tabung dalam dengan ukuran Ø 380 mm, tinggi 600 mm dan tabung luar dengan ukuran Ø 500 mm, tinggi 600 mm sesuai dengan gambar rancang bangun g. Pengerjaan dan pemasangan electric heater dibagian dinding bawah tabung. h. Pembuatan, pengerjaan pengelasan dan perakitan 2 tabung pendingin uap etanol panas (condensor) yang dilengkapi dengan temperatur controler di tabung ke 1. D. Hasil yang Dicapai 1. Rancang bangun prototipe alat pemasak (fermentor), terdiri dari: a. Corong pemasukan bahan b. Pengaduk ((Elektromotor ¼ HP 3 phase ) c. Balng-baling pengaduk d. As pengaduk e. Inverter f. Thermocontrol g. Band heater a b c d g e f Gambar 1. Reaktor 1 untuk pemasakan bahan baku bioetanol 125

136 2. Rancang bangun prototipe reaktor 2 dengan dua pendingin (condensor) destilasi, terdiri dari: 1. Corong pemasukan bahan 2. Thermometer reaktor 3. Pengeluaran uap air panas 4. Jacket air 5. Level control air panas 6. Pengeluaran sisa destilasi etanol 7. Box panel 8. Kran untuk mengeluarkan air pemanas 9. Tabung bagian dalam 10. Pipa laju alir uap etanol ke condensor Gambar 2. Reaktor 2 untuk destilasi bahan bioetanol Dua tabung pendingin (condensor) terdiri dari: 1. Themometer kontrol 2. Pipa skat bentuk spiral untuk pendingin berisi air di condensor 1 3. Pipa skat bentuk spiral untuk laju alir uap bioetanol 4. Pipa input uap etanol 5. Pipa pemasukan air untuk mendinginkan uap etanol di condensor 1 6. Pipa pengeluaran air pada condensor 2 7. Pipa pengeluaran air pada condensor 1 8. Pipa pemasukan air pada condensor 2 9. Pipa output etanol yang dihasilkan 126

137 Gambar 3. Dua tabung pendingin (condensor) E. Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Alat rekayasa pengolah bioetanol terdiri dari 2 reaktor. Reaktor I berfungsi sebagai alat fermentasi, sakarifikasi dan pasteurisasi sedangkan reaktor II berfungsi sebagai alat destilasi. 2. Reaktor I menggunakan teknik SSF (Simultaneous Sacarification and Fermen-tation) sehingga proses pasteurisasi, sakarifikasi dan fermentasi dapat dilakukan pada 1 reaktor. 3. Reaktor II dilengkapi dengan 2 pendingin (condensor) yang masing-masing fungsinya berbeda. pendingin 1 berfungsi sebagai pemisah antara uap air dan uap etanol. Sedangkan pendingin 2 berfungsi untuk mendinginkan uap etanol yang masuk ke dalam pipa penyekat menjadi etanol cair dengan kadar tinggi. 4. Uji coba alat rekayasa dapat memproduksi kadar bioetanol nira nipah sebesar 70-94,5%, nira aren sebesar 60-85% dan nira kelapa sebesar 83-95%. Rendemen yang dihasilkan nira nipah sebesar 13,5% sedangkan nira kelapa dan aren sebesar 15%. 5. Perlu dibuat alat dehidrasi untuk meningkatkan kadar bioetanol, sehingga kadar bioetanol 99,5%, dapat dipergunakan sebagai bahan substitusi bensin premium. 6. Perlu dibuat beberapa alat fermentor agar proses destilasi bioetanol bisa kontinyu. 7. Perlu diuji cobakan dengan bahan baku berbentuk padat (bahan berlignoselulosa) agar kinerja alat hasil rekayasa dapat terukur

138 128

139 Program : Litbang Pengolahan Hasil Hutan Judul RPI : 23 Perekayasaan Alat dan Substitusi Bahan Pembantu Koordinator RPI : Wesman Endom, M.Sc. Judul Kegiatan : Formulasi Pereaksi Pendeteksi Gaharu Pelaksana Kegiatan : Ir. Totok Kartono Waluyo, M.Si; Gunawan Pasaribu, S.Hut, M.Si, Prof. Dr. Gustan Pari, M.Si. Abstrak Gaharu merupakan salah satu produk hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang bernilai ekonomi tinggi. Gaharu adalah resin yang terdapat pada kayu dari famili Thymeliaceae. Gaharu yang berasal dari alam saat ini sangat langka sehingga pemerintah beserta masyarakat banyak membudidayakan jenis tersebut. Untuk menghasilkan gaharu, tanaman budidaya tersebut diinduksi dengan jamur. Keberhasilan induksi untuk menghasilkan gaharu sebaiknya dapat diketahui sejak dini, maka dari itu dilakukan penelitian untuk mendapatkan informasi pereaksi untuk mendeteksi secara kualitatif senyawa seskuiterpena dan kromon. Metode yang digunakan adalah mengisolasi senyawa seskuiterpena. Identifikasi senyawa seskuiterpena menggunakan pereaksi uji terpena, diterpena dan triterpena yang dapat menimbulkan warna yang khas dan konstan. Sedangkan uji senyawa kromon menggunakan metode Kromatografi lapis tipis (KLT). Hasil uji kualitatif dicocokkan dengan hasil analisis GC-MS untuk mengetahui keakuratan uji tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa senyawa seskuiterpena dapat dideteksi dengan pereaksi khloroform dan H 2SO 4. Senyawa turunan khromon dapat dideteksi dengan KLT yang menimbulkan garis/pita warna kuning. Hasil uji kualitatif tersebut sesuai dengan hasil analisa GC-MS tentang adanya senyawa seskuiterpena dan turunan khromon pada gaharu. Gaharu yang diteliti jenis Gyrinops dan Aquilaria (alam dan inokulasi) terdeteksi adanya kedua senyawa tersebut, sedangkan gaharu buaya jenis Aetoxylon dan Gonystilus tidak terdeteksi adanya senyawa turunan khromon. Kata kunci : Gaharu, gaharu buaya, seskuiterpena, khromon 129

140 A. Latar Belakang RINGKASAN Gaharu adalah produk tanaman berkayu umumnya berasal dari genus Aquilaria dan Gyrinops (famili Thymelaeceae) yang terbentuk akibat masuknya organisme ke dalam jaringan tanaman (umumnya jaringan kayu) melalui perlukaan. Luka dapat terjadi secara alami akibat patahnya dahan atau kulit terkelupas atau sengaja melalui pengeboran, penggergajian dan lain-lain. Masuknya organisme berakibat jaringan tanaman (kayu) bereaksi sehingga menghasilkan senyawa yang disebut fitoaleksin, berfungsi sebagai pertahanan tanaman tanaman tersebut. Bila mikroorganisme dapat mengalahkan sistem pertahanan tersebut, maka gaharu tak akan terbentuk. Gaharu banyak digunakan untuk parfum dan obat-obatan tradisional di Asia (Eurling, et.al. 2010). Gaharu dikenal juga dengan sebutan agarwoods, aloeswood, agaloch, eaglewood dalam istilah Inggris, jinkoh dalam istilah Jepang (Ueda, et.al, 2006) dan chenxiang dalam istilah china (Wang et al., 2010). Gaharu sebagai kelompok resin merupakan salah satu produk hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang bernilai ekonomi tinggi (Departemen Kehutanan, 2007). Pengelompokkan tersebut dikarenakan pemanfaatan gaharu merupakan endapan resin yang terakumulasi pada jaringan kayu sebagai reaksi pohon terhadap pelukaan ataupun infeksi oleh patogen sebagaimana diuraikan sebelumnya (Sumadiwangsa dan Harbagung, 2000). Pembagian kelas mutu gaharu pada umumnya berdasarkan kadar kandungan resin/damar wangi yang terdapat pada kayu gaharu. Pada waktu ini pembagian kelas mutu gaharu bersifat subjektif yaitu berdasarkan ukuran, warna, aroma, bentuk dan berat, kepadatan dan mudah terbakar (Gun, B.V et al., 2004). Demikian juga Standar Nasional Indonesia tentang gaharu (SNI 7631:2011) yang diterbitkan oleh Badan Standardisasi Nasional pembagian mutu gaharu ternyata masih bersifat subjektif. Pembagian tersebut berdasarkan ada 3 klasifikasi (gubal gaharu, kamedangan dan serbuk gaharu). Pada masing-masing hasil klasifikasi mutu gaharu tersebut, mutu gaharu masih dibagi lagi berdasarkan warna, bobot dan aroma yang tercium jika dibakar. Pembagian mutu tersebut di atas akan berbeda antara negara satu dengan lainnya (Gun, B.V. et al., 2004), dan di Indonesia sendiri juga akan berbeda antar satu daerah dengan daerah lainnya. Meningkatnya perdagangan gaharu sejak tiga dasawarsa terakhir telah menimbulkan kelangkaan produksi gaharu. Jenis-jenis pohon penghasil gaharu (Aquilaria dan Gyrinops ) saat ini tergolong langka dan masuk dalam lampiran Convention on International Trade on Endangered Species of Flora and Fauna (Appendix II CITES). Untuk mengatasi hal tersebut di atas, maka saat ini dilakukan secara besar-besaran penanaman jenis pohon penghasil gaharu oleh 130

141 pemerintah maupun masyarakat. Disamping itu juga sudah banyak hasil penelitian yang menemukan cara induksi agar pohon menghasilkan gaharu. Hingga tahun 2010 telah ditanam sebanyak pohon gaharu yang tersebar di 25 propinsi di Indonesia (Siran, 2011). Dengan maraknya penanaman pohon gaharu yang nantinya diinduksi agar pohon tersebut menghasilkan gaharu maka diperlukan cara deteksi dini apakah pohon tersebut sudah menghasilkan gaharu atau belum. Untuk itu dilakukan penelitian formulasi pereaksi pendeteksi gaharu. B. Tujuan dan Sasaran Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formula pereaksi pendeteksi gaharu. Sasarannya adalah tersedianya formula pereaksi pendeteksi gaharu dan informasi hasil uji coba. C. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian Pengumpulan bahan penelitian berupa gaharu berasal Kalimantan Barat dan NTB. Uji pereaksi gaharu di laboratorium pengolahan hasil hutan, Pustekolah, Bogor. 2. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah sampel kayu gaharu (9 kualitas), lead acetate (CH 3COO) 2Pb.3H 2O, etanol, pereaksi Limbermann-Burchard, copper asetat, pereaksi Salkowski, petroleum eter, etil asetat, khloroform. Alat yang digunakan adalah soxhlet, rotary vacuum evaporator (RVE), dan lain-lain. 3. Prosedur Kerja a. Ekstraksi seskuiterpena Sampel kayu gaharu yang digunakan 9 kualitas yang diperoleh dari pasar/pedagang gaharu. Masing-masing kualitas diekstraksi untuk mendapatkan senyawa seskuiterpena. 50 g serbuk gaharu ukuran 80 mesh direndam dalam 1 liter khloroform selama 1 hari. Selanjutnya filtrat diuapkan dengan RVE hingga menjadi serbuk/endapan/residu. Residu dilarutkan dalam 250 ml larutan lead acetat (4% w/v) dan 250 ml etanol. Selanjutnya filtrat diuapkan dengan RVE dan residu yang dihasilkan tersebut adalah kumpulan senyawa seskuiterpena (Sonawane, et.al., 2011). b. Uji pereaksi Senyawa seskuiterpena yang terkandung dalam gaharu merupakan salah satu bagian dari senyawa kelompok terpena. Disamping senyawa seskuiterpena, ada senyawa diterpena, triterpena yang termasuk kelompok terpena. Pereaksi untuk uji senyawa terpena, diterpena dan 131

142 triterpena sudah ada yaitu pereaksi Limberman Burchard/tes terpena; copper asetat test/ tes diterpena dan Salkowski s test/tes triterpena (Tiwari, et al., 2011; Sharma dan Singh, 2012). Sedangkan identifikasi senyawa seskuiterpena belum ada, untuk itu dicoba dengan menggunakan pereaksi-pereaksi tersebut di atas dengan berbagai komposisi hingga menimbulkan warna yang khas dan konstan. c. Uji senyawa khromon Senyawa khromon dan/atau turunannya merupakan bagian dari senyawa seskuiterpena. Aroma wangi gaharu disebabkan adanya senyawa seskuiterpena dan senyawa kromon atau turunannya. Adanya senyawa khromon atau turunannya dalam gaharu menandakan gaharu tersebut makin tinggi kualitasnya. Sebagai contoh, gaharu kamedangan hanya mengandung senyawa sekuiterpena sedangkan gaharu kualitas di atas kamedangan mengandung seskuiterpena dan khromon atau turunannya (Waluyo dan Pari, 2011). Untuk mengetahui ada tidaknya senyawa khromon dilakukan dengan uji kertas lapis tipis (KLT) yang dikembangkan oleh Waghmare et al. (2011). 50 g serbuk gaharu diekstrak dengan cara maserasi dengan pelarut metanol dan kemudian disaring. Ekstrak dipekatkan dengan RVE. Ekstrak pekat dilarutkan dengan khloroform dalam labu pemisah dan dibiarkan khloroform menguap sepenuhnya. Larutan ekstrak khloroform ditotolkan pada lempeng kertas lapis tipis (KLT) dan dikembangkan/dielusi dengan pelarut etil asetat, khloroform dan benzena dengan nisbah 5 : 1 : 4. Senyawa khromon akan terlihat warna garis kuning pada KLT dan dapat dilihat jelas dengan bantuan dibawah cahaya/lampu ultra violet (UV). d. Analisis GC MS Resin gaharu hasil ekstraksi yang berupa ekstrak senyawa seskuiterpena di atas dianalisis menggunakan GCMS untuk mengetahui komposisi jenisjenis senyawa seskuiterpena. Proses analisis dengan GC-MS menggunakan metode ionisasi serangan elektron (EI) pada kromatografi gas GC-17A (Shimadzu) yang ditandem dengan spektrometer massa MS QP 5050A; kolom kapiler DB-5 ms (J&W) (silika 30 m 250 µm 0.25 µm); suhu kolom 50 C (0 menit) hingga 290 C pada laju 15 C/menit; gas pembawa helium pada tekanan tetap 7,6411 psi. 4. Analisis Data a. Rendemen ekstrak senyawa seskuiterpena Rendemen dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : B0 B1 Rendemen ekstrak = B0 X 100% Di mana : B0 = berat serbuk gaharu (g); B1 = berat residu (g) 132

143 b. Hasil uji berbagai komposisi pereaksi untuk mendeteksi senyawa seskuiterpena dicatat dan ditabulasi. Selanjutnya dari tabulasi tersebut dinarasikan. c. Uji senyawa khromon Setiap kualitas gaharu (9 kualitas) dicatat ada tidaknya senyawa khromon yang berasal dari ekstrak seskuiterpena dan selanjutnya dinarasikan. d. Hasil analisa GC-MS Hasil analisa GC-MS berupa khromatogram diamati dan ditabulasi adalah senyawa-senyawa seskuiterpena apa saja yang terdapat pada setiap kualitas gaharu. 5. Analisis Biaya Uji Kualitatif Gaharu Perhitungan biaya yang diperlukan khususnya biaya bahan kimia untuk mendeteksi gaharu per sampel dilakukan dengan mengetahui harga beli setiap bahan pereaksi per satuan volume. Selanjutnya mengetahui/menghitung volume setiap bahan pereaksi yang diaplikasikan untuk mendeteksi gaharu per sampel. Dengan demikian dapat dihitung biaya pengujian/deteksi gaharu sebagai berikut: Biaya produksi per sampel = di mana: X = volume pereaksi yang digunakan (ml); W = volume pereaksi (ml) dengan harga H (Rp.); H = harga pereaksi dengan volume W (Rp.) Biaya produksi merupakan jumlah biaya produksi untuk setiap bahan pereaksi yang digunakan. D. Hasil yang Dicapai 1. Kualitas Gaharu Contoh gaharu yang diuji ada 4 jenis yaitu Gyrinops versteghii asal NTB dan Aquilaria malaccensis, Aetoxylon spp dan Gonystilus spp. asal Pontianak, Kalbar (Tabel 1 dan Gambar 1). X W x H 133

144 Tabel 1. Jenis, kualitas dan asal gaharu yang diuji No Jenis gaharu Kualitas Asal gaharu Gaharu alam/budidaya 1. Gyrinops versteghii Kupingan Mataram, NTB Alam 2. Gyrinops versteghii Kamedangan Mataram, NTB Budidaya 3. Gyrinops versteghii Terian Mataram, NTB Alam 4. Gyrinops versteghii Stick Mataram, NTB Budidaya 5. Aquilaria Kamedangan Sukabumi Budidaya/6 bln malaccensis 6. Aquilaria Kamedangan Sukabumi Budidaya/9 bln malaccensis 7. Aetoxylon spp. Gaharu buaya/jarijari Pontianak Alam halus 8. Aetoxylon spp. Gaharu buaya/jarijari Pontianak Alam kasar 9. Gonystilus spp. Gaharu buaya Pontianak Alam (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) Gambar 1. Gaharu jenis G. versteghii (1,2,3, 4), A. malaccensis (5,6), Aetoxylon spp. (7, 8) dan Gonystilus spp. (9). 134

145 Kualitas-kualitas gaharu (alam dan budidaya) tersebut di atas yang digunakan dalam penelitian ditentukan menurut pedagang di Mataram dan Pontianak. Khusus gaharu buaya (Aetoxylon dan Gonystilus), gaharu ini sangat murah harganya sekitar Rp ,-/kg dan boleh dikatakan tidak laku di pasaran, padahal bila dibakar juga menghasilkan aroma wangi. Hal ini sangat menarik untuk diteliti khususnya komponen kimia yang terkandung dalam gaharu buaya tersebut. Pada saat ini, gaharu buaya mulai laku di pasaran dengan harga ditingkat pedagang besar/eksportir Pontianak Rp ,- s/d Rp ,-/kg. Gaharu tersebut banyak diekspor ke India dan Pakistan. 2. Rendemen Ekstrak Senyawa Seskuiterpena Hasil isolasi senyawa seskuiterpene gaharu dengan cara ekstraksi menggunakan khloroform, dilanjutkan dengan larutan lead acetate dan etanol menghasilkan ekstrak senyawa seskuiterpena dengan rendemen seperti pada Tabel 2. Gaharu jenis Gyrinops, rendemen senyawa seskuiterpena terendah dari gaharu kualitas rendah (kamedangan) 6,67%, selanjutnya meningkat rendemennya seiring meningkatnya kualitas gaharu. Hal yang sama berlaku juga pada gaharu jenis Aquilaria hasil budidaya/inokulasi. Rendemen senyawa seskuiterpena gaharu inokulasi umur 6 bulan lebih rendah dibanding gaharu inokulasi umur 9 bulan meskipun keduanya masih termasuk kualitas kamedangan. Gaharu buaya jenis Aetoxylon kualitas jari-jari kasar rendemen senyawa seskuiterpena (17,85%) lebih tinggi kualitas jari-jari halus (15,64%). Tabel 2. Rendemen ekstrak senyawa seskuiterpena No Jenis gaharu Kualitas Rendemen senyawa seskuiterpena (%) 1. Gyrinops versteghii Kupingan 18,51 2. Gyrinops versteghii Kamedangan 6,67 3. Gyrinops versteghii Terian 15,22 4. Gyrinops versteghii Stick 18,16 5. Aquilaria malaccensis Kamedangan 19,03 6. Aquilaria malaccensis Kamedangan 22,75 7. Aetoxylon spp. Gaharu buaya/jari-jari 15,64 halus 8. Aetoxylon spp. Gaharu buaya/jari-jari 17,85 kasar 9. Gonystilus spp. Gaharu buaya 20,67 135

146 3. Uji Pereaksi Seskuiterpena Uji pereaksi larutan 2 ml khloroform dan 3 ml H 2SO 4 pada ekstrak suatu bahan menghasilkan larutan berwarna coklat kemerahan, hal ini menandakan ekstrak tersebut mengandung senyawa terpena (Sharma dan Singh, 2012). Hasil uji pereaksi tersebut pada ekstrak senyawa seskuiterpena gaharu menghasilkan warna coklat kemerahan yang konstan (Gambar 2). Senyawa seskuiterpena merupakan salah satu kelompok dari senyawa terpena (Breitmeier, 2006), sehingga pereaksi yang digunakan untuk mengidentifikasi senyawa terpena dapat juga digunakan untuk mengidentifikasi senyawa seskuiterpena. Gambar 2. Uji pereaksi khloroform dan H 2SO 4 4. Uji Senyawa Khromon Salah satu ciri senyawa yang terdapat pada gaharu adalah senyawa khromon yang berupa turunannya (Naef, 2011; Chen, et al., 2012). Hasil uji kualitatif senyawa turunan khromon dari 9 kualitas gaharu dengan menggunakan KLT (kromatografi lapis tipis) yaitu semua gaharu dari jenis Gyrinops dan Aquilaria alam maupun inokulasi mengandung senyawa turunan khromon. Gaharu buaya jenis Aetoxylon dan Gonystilus tidak mengandung senyawa turunan khromon. Adanya senyawa turunan khromon ditandai pada KLT terdapat garis/pita berwarna kuning yang dapat dilihat di bawah sinar lampu ultra violet. 5. Analisis GC-MS Analisis dengan menggunakan alat GC-MS untuk memastikan ada tidaknya atau tepat tidaknya uji kualitatif senyawa seskuiterpena dan senyawa khromon atau turunannya pada gaharu yang di uji. Hasil analisis menunjukkan bahwa semua gaharu jenis Gyrinops, Aquilaria, Aetoxylon dan Gonystilus mengandung senyawa seskuiterpena, tetapi seskuiterpena yang terdapat pada gaharu buaya (Aetoxylon dan Gonystilus) berupa turunan seskuiterpena. (Tabel 3). 136

147 Senyawa turunan khromon terdapat pada gaharu jenis Gyrynops dan Aquilaria, sedangkan gaharu buaya tidak mengandung senyawa turunan kromon (Tabel 3). Senyawa turunan khromon ini yang membedakan gaharu dengan gaharu buaya disamping senyawa seskuiterpenenya berupa turunan sehingga hal tersebut yang mungkin menyebabkan gaharu buaya kurang diminati pasar atau harganya relatif murah. Tabel 3. Komponen kimia gaharu No. Jenis gaharu Kualitas Komponen kimia 1. Gyrinops versteghii Kupingan (Alam) - Gurjunen - Eremophilene - 1a,2,5,5-Tetramethyl-cis- 1a,4a,5,6,7,8-hexahydro-gamma- Chromone - Valerenol - Azulane - Valencene - Aromadendrene - Ledane 2. Gyrinops versteghii Kamedangan (Inokulasi) 3. Gyrinops versteghii Terian (Alam) 4. Gyrinops versteghii Stick (Inokulasi) 5. Aquilaria malaccensis Inokulasi umur 6 bulan 6. Aquilaria malaccensis Inokulasi umur 9 bulan - Spinacene - Humulene - Eudesmol - 5-hydroxy-6-6-methoxy-7H-furo(3,2-6)chromen-7-one - Azulane - Naphtalene - Vatirenene - Azulane - Longofolene - Mayurone - Valencene - Valeremol - 2-(2-phenylethyl)chromone - Gurjunene - Aciphyllene - Aromadendrene - Valencene - Vulgatol - 2-(2-phenyiethyl)chromone - Furanone - Azulane - Aromadendrene - α Longipinen - 8-methoxyflindersiachromone - Longicyclene - Stigmasterol - Valerenal - Baimuxinal - Vulgarol - Vatirenene 137

148 No. Jenis gaharu Kualitas Komponen kimia - Aromadendrene - Ledene - 2-(2-phenylethyl)chromone 7. Aetoxylon spp. Gaharu buaya/jari-jari halus 8. Aetoxylon spp. Gaharu buaya/jari-jari kasar - 3,4-dihydro-2H-pyran - 7-beta-hydroxy-himachal-2-ene - 5-hydroxy-4.7-dimethoxyflavanone - 6-(4-methoxybenzyloxy-8-nitroepidine - (4R,6R,7R,9R)-4,7-epoxy-5(11)- megastigmen-9-ol dihydropyran (1) bicycloelemene - 5-hydroxy-4.7-dimethoxyflavanone - (4R,6R,7R,9R)-4,7-epoxy-5(11)- megastigmen-9-ol - 5-N-butyl-1,2,3,4-tetrahydronaphtalene - 6-(4-methoxybenzyloxy-8-nitroepidine 9. Gonystilus spp. Gaharu buaya dihydropyran (1) bicycloelemene - 5-hydroxy-4.7-dimethoxyflavanone - (4R,6R,7R,9R)-4,7-epoxy-5(11)- megastigmen-9-ol - 1-(1-cyclopentene-1-yl)-pyrolidine - bycycloelemene - 6. Analisis Biaya Uji Kualitatif Gaharu a. Uji kualitatif senyawa seskuiterpena Rincian biaya analisis kualitatif senyawa seskuiterpena untuk setiap sampel gaharu adalah sebagai berikut : Khloroform 102 ml (Rp /2,5 L) Rp ,48 Lead acetate 1 gr (Rp /kg) Rp ,00 Etanol 25 ml (Rp /2,5 L) Rp ,00 H 2SO 4 3 ml (Rp /L) Rp. 751,50 Jumlah: Rp ,98 b. Uji kualitatif senyawa khromon Rincian biaya analisis kualitatif senyawa khromon untuk setiap sampel gaharu adalah sebagai berikut : Metanol 100 ml (Rp /2,5 L) Rp 9.112,00 Khloroform 51 ml (Rp /2,5 L) Rp 5.214,24 Kertas lapis tipis 1 potong (Rp /20 potong) Rp ,00 Etil asetat 5 ml (Rp /2,5 L) Rp 830,80 Benzene 4 ml (Rp /1 L) Rp 6.346,00 Jumlah: Rp ,04 138

149 Jumlah biaya yang diperlukan untuk uji kualitatif senyawa seskuiterpena dan khromon setiap sampel gaharu Rp ,98 + Rp ,04 = Rp ,02 (dibulatkan menjadi Rp ,-) E. Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Formula pereaksi pendeteksi gaharu untuk senyawa sekuiterpena adalah campuran dari 3 ml khloroform dan 2 ml H 2SO 4 yang menimbulkan warna coklat kemerahan pada larutan tersebut. 2. Formula pereaksi pendeteksi senyawa turunan khromon menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT) dengan larutan pengembang etil asetat, khloroform dan benzena dengan nisbah 5 : 1 : 4. Senyawa khromon atau turunannya ditandai adanya garis/pita warna kuning pada KLT. 3. Senyawa seskuiterpena dan turunan khromon terdapat pada gaharu alam maupun induksi jenis Gyrinops spp. dan Aquilari spp. Gaharu buaya hanya mengandung senyawa turunan seskuiterpena dan tidak mengandung senyara khromon atau turunannya. 4. Biaya uji kualitatif senyawa seskuiterpena dan khromon atau turunannya yang terdapat pada gaharu Rp ,-/sampel. 5. Formula pereaksi pendeteksi gaharu secara kualitatif dapat digunakan untuk mendeteksi dengan cepat keberhasilan gaharu buatan/induksi sejak dini, sehingga diharapkan dapat diterapkan oleh pedagang atau praktisi gaharu di lapangan. 139

150

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil identifikasi herbarium yang dilakukan mempertegas bahwa ketiga jenis kayu yang diteliti adalah benar burmanii Blume, C. parthenoxylon Meissn., dan C. subavenium Miq. 4.1

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Bungbulang (Premna tomentosa Willd).- Verbenaceae

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Bungbulang (Premna tomentosa Willd).- Verbenaceae BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Contoh Kayu yang Diuji 1. Bungbulang (Premna tomentosa Willd).- Verbenaceae Gambar 1. Bungbulang (Premna tomentosa Willd). 28 2. Hamirung (Vernonia arborea Ham.)- Compositae

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Bogor, Januari 2015 Kepala Pusat, Dr. Ir. Rufi ie, M.Sc. NIP iii

KATA PENGANTAR. Bogor, Januari 2015 Kepala Pusat, Dr. Ir. Rufi ie, M.Sc. NIP iii KATA PENGANTAR Sintesis Rencana Penelitian Integratif (RPI) 2011-2014 Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah) merupakan sintesis hasil penelitian

Lebih terperinci

TEKNIK PEMBUATAN BAMBU LAMINASI BERSILANG SEBAGAI BAHAN MEBEL DAN BANGUNAN

TEKNIK PEMBUATAN BAMBU LAMINASI BERSILANG SEBAGAI BAHAN MEBEL DAN BANGUNAN TEKNIK PEMBUATAN BAMBU LAMINASI BERSILANG SEBAGAI BAHAN MEBEL DAN BANGUNAN PENDAHULUAN Pasokan kayu sebagai bahan mebel dan bangunan belum mencukupi kebutuhan yang ada Bambu (multiguna, cepat tumbuh, tersebar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun taksonomi tanaman kelapa sawit menurut Syakir et al. (2010) Nama Elaeis guineensis diberikan oleh Jacquin pada tahun 1763

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun taksonomi tanaman kelapa sawit menurut Syakir et al. (2010) Nama Elaeis guineensis diberikan oleh Jacquin pada tahun 1763 16 TINJAUAN PUSTAKA A. Kelapa sawit Adapun taksonomi tanaman kelapa sawit menurut Syakir et al. (2010) adalah sebagai berikut: Kingdom Divisi Subdivisi Kelas Ordo Famili Sub famili Genus Spesies : Plantae

Lebih terperinci

SIFAT DASAR DAN KEGUNAAN KAYU KALIMANTAN

SIFAT DASAR DAN KEGUNAAN KAYU KALIMANTAN SIFAT DASAR DAN KEGUNAAN KAYU KALIMANTAN 1. Dr. Djarwanto, M.Si 2. Listya Mustika Dewi, S.Hut. 3. Drs. Muhammad Muslich, M.Sc. 4. Dra. Jasni, M.Si. 5. Dra. Sihati Suprapti 6. Prof. Dr. Gustan Pari, MS.

Lebih terperinci

RPI 8 PENGOLAHAN HASIL HUTAN. Koordinator : Ir. Jamal Balfas, MSc. Wakil : Dra. Sri Rulliaty, MSc. Pembina : Prof. Riset. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si.

RPI 8 PENGOLAHAN HASIL HUTAN. Koordinator : Ir. Jamal Balfas, MSc. Wakil : Dra. Sri Rulliaty, MSc. Pembina : Prof. Riset. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si. RPI 8 PENGOLAHAN HASIL HUTAN Koordinator : Ir. Jamal Balfas, MSc. Wakil : Dra. Sri Rulliaty, MSc. Pembina : Prof. Riset. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si. LATAR BELAKANG - Keterbatasan informasi dasar - Pengolahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (waferboard) yang terbuat dari limbah kayu yang ditemukan oleh ilmuwan Amerika

TINJAUAN PUSTAKA. (waferboard) yang terbuat dari limbah kayu yang ditemukan oleh ilmuwan Amerika TINJAUAN PUSTAKA Oriented Strand Board (OSB) Awalnya produk OSB merupakan pengembangan dari papan wafer (waferboard) yang terbuat dari limbah kayu yang ditemukan oleh ilmuwan Amerika pada tahun 1954. Limbah-limbah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan TINJAUAN PUSTAKA Papan Partikel Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan papan yang terbuat dari bahan berlignoselulosa yang dibuat dalam bentuk partikel dengan menggunakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan diameternya mencapai 1 m. Bunga dan buahnya berupa tandan,

TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan diameternya mencapai 1 m. Bunga dan buahnya berupa tandan, [ TINJAUAN PUSTAKA Batang Kelapa Sawit Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan tumbuhan tropis yang berasal dari Nigeria (Afrika Barat). Tinggi kelapa sawit dapat mencapai 24 m sedangkan diameternya

Lebih terperinci

SIFAT DASAR DAN KEGUNAAN KAYU PAPUA. Oleh:

SIFAT DASAR DAN KEGUNAAN KAYU PAPUA. Oleh: SIFAT DASAR DAN KEGUNAAN KAYU PAPUA Oleh: Andianto, M. Muslich, Gustan P., Djarwanto, Sihati S., Nurwati H., Efrida B., M.I.Iskandar, Abdurachman, Dian A.I., Abstrak Informasi sifat dasar diperlukan dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cross Laminated Timber (CLT) 1) Definisi 2) Manfaat dan Keunggulan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cross Laminated Timber (CLT) 1) Definisi 2) Manfaat dan Keunggulan 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cross Laminated Timber (CLT) 1) Definisi Cross laminated timber (CLT) merupakan salah satu produk kayu rekayasa yang dibentuk dengan cara menyusun sejumlah lapisan kayu yang

Lebih terperinci

V. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM

V. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM Wang X, Ren H, Zhang B, Fei B, Burgert I. 2011. Cell wall structure and formation of maturing fibres of moso bamboo (Phyllostachys pubescens) increase buckling resistance. J R Soc Interface. V. PEMBAHASAN

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Tabel 1 Jenis-jenis pohon sebagai bahan penelitian. Asal Tempat Tumbuh. Nama Daerah Setempat

III. METODOLOGI. Tabel 1 Jenis-jenis pohon sebagai bahan penelitian. Asal Tempat Tumbuh. Nama Daerah Setempat III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini berlangsung dari bulan Pebruari hingga Juni 2009. Identifikasi herbarium dilakukan di Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam Bogor, sementara pengamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk memenuhi kebutuhan industri perkayuan yang sekarang ini semakin

BAB I PENDAHULUAN. Untuk memenuhi kebutuhan industri perkayuan yang sekarang ini semakin BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Untuk memenuhi kebutuhan industri perkayuan yang sekarang ini semakin berkurang pasokan kayunya dari hutan alam, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia melaksanakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA.1 Volume Pohon Secara alami, volume kayu dapat dibedakan menurut berbagai macam klasifikasi sortimen. Beberapa jenis volume kayu yang paling lazim dipakai sebagai dasar penaksiran,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kayu Lapis Tsoumis (1991) mengemukakan bahwa, kayu lapis (plywood) adalah sebuah produk panel yang terbuat dengan merekatkan sejumlah lembaran vinir atau merekatkan lembaran

Lebih terperinci

Jenis-jenis kayu untuk konstruksi Bangunan

Jenis-jenis kayu untuk konstruksi Bangunan Jenis-jenis kayu untuk konstruksi Bangunan Jenis-jenis kayu untuk konstruksi di proyek- Pada kesempatan ini saya akan berbagi informasi tentang Jenis-jenis kayu untuk konstruksi Bangunan Kayu adalah material

Lebih terperinci

SIFAT DASAR DAN KEGUNAAN KAYU SUMATERA

SIFAT DASAR DAN KEGUNAAN KAYU SUMATERA SIFAT DASAR DAN KEGUNAAN KAYU SUMATERA 1. Dr. Krisdianto, S.Hut., M.Sc 2. Dra. Jasni, M.Si 3. Prof. Dr. Gustan Pari, MSi. 4. Ir. Nurwati Hadjib, M.Si 5. Ir. Efrida Basri, M.Sc. 6. Drs. Mohammad. Muslich.,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jati Tectona grandis Linn. f. atau jati merupakan salah satu tumbuhan yang masuk dalam anggota famili Verbenaceae. Di Indonesia dikenal juga dengan nama deleg, dodolan, jate,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Produksi Kayu Gergajian dan Perkiraan Jumlah Limbah. Produksi Limbah, 50 %

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Produksi Kayu Gergajian dan Perkiraan Jumlah Limbah. Produksi Limbah, 50 % TINJAUAN PUSTAKA Limbah Penggergajian Eko (2007) menyatakan bahwa limbah utama dari industri kayu adalah potongan - potongan kecil dan serpihan kayu dari hasil penggergajian serta debu dan serbuk gergaji.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Karakterisitik makroskopis pada enam potongan kayu yang diteliti

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Karakterisitik makroskopis pada enam potongan kayu yang diteliti 4.1 Sifat Makroskopis BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan makroskopis meliputi warna, corak, tekstur dan arah serat kayu disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Karakterisitik makroskopis pada enam potongan

Lebih terperinci

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BOGOR, 2015

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BOGOR, 2015 PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BOGOR, 2015 SINTESIS ANTARA RPPI 8 PENGOLAHAN HASIL HUTAN SINTESIS RENCANA

Lebih terperinci

PENGAWETAN ROTAN KURANG DIKENAL SEBAGAI BAHAN BAKU MEBEL MENGGUNAKAN RENDAMAN DINGIN

PENGAWETAN ROTAN KURANG DIKENAL SEBAGAI BAHAN BAKU MEBEL MENGGUNAKAN RENDAMAN DINGIN PENGAWETAN ROTAN KURANG DIKENAL SEBAGAI BAHAN BAKU MEBEL MENGGUNAKAN RENDAMAN DINGIN The Preservation of Lesser Known Species Rattan as Raw Material Furniture by Cold Soaking Saibatul Hamdi *) *) Teknisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. dikelompokkan sebagai tanaman berkayu. Bambu tersebar di beberapa belahan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. dikelompokkan sebagai tanaman berkayu. Bambu tersebar di beberapa belahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bambu merupakan anggota dari famili Graminae, subfamili Bambuscideae dan suku Bambuseae. Bambu memiliki sifat seperti pohon dan dapat dikelompokkan sebagai tanaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kayu juga merupakan komoditi ekspor, penghasil devisa, maka kualitas kayu

I. PENDAHULUAN. kayu juga merupakan komoditi ekspor, penghasil devisa, maka kualitas kayu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hasil kekayaan hutan adalah kayu. Kayu banyak dimanfaatkan di bidang properti, seperti rumah dan meubel. Disamping komoditi dalam negeri, kayu juga merupakan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bambu merupakan tanaman dari famili rerumputan (Graminae) yang banyak dijumpai dalam kehidupan manusia, termasuk di Indonesia. Secara tradisional bambu dimanfaatkan untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. perabot rumah tangga, rak, lemari, penyekat dinding, laci, lantai dasar, plafon, dan

TINJAUAN PUSTAKA. perabot rumah tangga, rak, lemari, penyekat dinding, laci, lantai dasar, plafon, dan TINJAUAN PUSTAKA A. Papan Partikel A.1. Definisi papan partikel Kayu komposit merupakan kayu yang biasa digunakan dalam penggunaan perabot rumah tangga, rak, lemari, penyekat dinding, laci, lantai dasar,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSATAKA

BAB II TINJAUAN PUSATAKA BAB II TINJAUAN PUSATAKA 2.1 Sambungan Kayu Tujuan penyambungan kayu adalah untuk memperoleh panjang yang diinginkan atau membentuk suatu konstruksi rangka batang sesuai dengan yang kita inginkan. Sebuah

Lebih terperinci

Jenis, sifat dan kegunaan rotan

Jenis, sifat dan kegunaan rotan Standar Nasional Indonesia Jenis, sifat dan kegunaan rotan ICS 65.020.99 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Istilah dan definisi... 1 3 Lambang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jembatan yang memiliki peran sebagai sarana transportasi yang sangat penting bagi kelancaran pergerakan lalu lintas. Dimana jembatan berfungsi untuk menghubungkan rute/lintasan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Venir Bambu Lamina Venir lamina (Laminated Veneer Lumber atau LVL) adalah suatu produk yang diperoleh dengan cara menyusun sejajar serat lembaran venir yang diikat dengan perekat.

Lebih terperinci

KAJIAN SIFAT FISIS KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) PADA BERBAGAI BAGIAN DAN POSISI BATANG

KAJIAN SIFAT FISIS KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) PADA BERBAGAI BAGIAN DAN POSISI BATANG KAJIAN SIFAT FISIS KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) PADA BERBAGAI BAGIAN DAN POSISI BATANG Oleh Iwan Risnasari, S.Hut, M.Si UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN Iwan Risnasari : Kajian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Djapilus dan Suhaendi (1978) dalam Utomo (2008) E. urophylla

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Djapilus dan Suhaendi (1978) dalam Utomo (2008) E. urophylla TINJAUAN PUSTAKA Kayu Eucalyptus urophylla Menurut Djapilus dan Suhaendi (1978) dalam Utomo (2008) E. urophylla termasuk dalam famili Myrtaceae, terdiri atas 500 jenis dan 138 varietas. Pohon ekaliptus

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kehilangan Berat (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keawetan Alami Hasil perhitungan kehilangan berat ke empat jenis kayu yang diteliti disajikan pada Gambar 4. Data hasil pengukuran disajikan pada Lampiran

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. sesuai dengan SNI no. 03 tahun 2002 untuk masing-masing pengujian. Kayu tersebut diambil

BAB III METODE PENELITIAN. sesuai dengan SNI no. 03 tahun 2002 untuk masing-masing pengujian. Kayu tersebut diambil BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Persiapan Penelitian Jenis kayu yang dipakai dalam penelitian ini adalah kayu rambung dengan ukuran sesuai dengan SNI no. 03 tahun 2002 untuk masing-masing pengujian. Kayu

Lebih terperinci

PENGOLAHAN KAYU (WOOD PROCESSING) Abdurachman. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan

PENGOLAHAN KAYU (WOOD PROCESSING) Abdurachman. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan PENGOLAHAN KAYU (WOOD PROCESSING) Abdurachman Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No. 5. Bogor 16610. Telp/fax : 0251 8633378/0251 86333413

Lebih terperinci

Oleh: Merryana Kiding Allo

Oleh: Merryana Kiding Allo Corak Indah Kayu Eboni (Diospyros celebica Bakh.) CORAK INDAH KAYU EBONI (Diospyros celebica Bakh.) Oleh: Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jl. Perintis Kemerdekaan Km.16 Makassar, 90243, telp. (0411)

Lebih terperinci

PENGETAHUAN DASAR KAYU SEBAGAI BAHAN BANGUNAN

PENGETAHUAN DASAR KAYU SEBAGAI BAHAN BANGUNAN PENGETAHUAN DASAR KAYU SEBAGAI BAHAN BANGUNAN Pilihan suatu bahan bangunan tergantung dari sifat-sifat teknis, ekonomis, dan dari keindahan. Perlu suatu bahan diketahui sifat-sifat sepenuhnya. Sifat Utama

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. (a) (b) (c) Gambar 10 (a) Bambu tali bagian pangkal, (b) Bambu tali bagian tengah, dan (c) Bambu tali bagian ujung.

BAB IV PEMBAHASAN. (a) (b) (c) Gambar 10 (a) Bambu tali bagian pangkal, (b) Bambu tali bagian tengah, dan (c) Bambu tali bagian ujung. 22 BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Sifat Anatomi Bambu 4.1.1 Bentuk Batang Bambu Bambu memiliki bentuk batang yang tidak silindris. Selain itu, bambu juga memiliki buku (node) yang memisahkan antara 2 ruas (internode).

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengujian Empat Jenis Kayu Rakyat berdasarkan Persentase Kehilangan Bobot Kayu Nilai rata-rata kehilangan bobot (weight loss) pada contoh uji kayu sengon, karet, tusam,

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH BATANG SAWIT UNTUK PRODUK SOLID DAN PANIL KAYU LAPIS. Jamal Balfas

PEMANFAATAN LIMBAH BATANG SAWIT UNTUK PRODUK SOLID DAN PANIL KAYU LAPIS. Jamal Balfas PEMANFAATAN LIMBAH BATANG SAWIT UNTUK PRODUK SOLID DAN PANIL KAYU LAPIS Jamal Balfas LATAR BELAKANG Defisit kayu nasional, pabrik KL < 15%, WW < 30% Produksi HTI dan Hutan Rakyat tidak memadai Impor kayu

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Fakultas Kehutanan Univesitas Sumatera Utara Medan. mekanis kayu terdiri dari MOE dan MOR, kerapatan, WL (Weight loss) dan RS (

METODE PENELITIAN. Fakultas Kehutanan Univesitas Sumatera Utara Medan. mekanis kayu terdiri dari MOE dan MOR, kerapatan, WL (Weight loss) dan RS ( 12 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2017 - Juni 2017. Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, dan Workshop Fakultas

Lebih terperinci

Kayu lapis untuk kapal dan perahu

Kayu lapis untuk kapal dan perahu Standar Nasional Indonesia Kayu lapis untuk kapal dan perahu ICS 79.060.10 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3 Istilah, definisi,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sifat Dasar dan Keawetan Alami Kayu Sentang A.1. Anatomi kayu Struktur anatomi kayu mencirikan macam sel penyusun kayu berikut bentuk dan ukurannya. Sebagaimana jenis kayu daun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bambu tergolong keluarga Graminiae (rumput-rumputan) disebut juga Giant Grass

I. PENDAHULUAN. Bambu tergolong keluarga Graminiae (rumput-rumputan) disebut juga Giant Grass 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bambu tergolong keluarga Graminiae (rumput-rumputan) disebut juga Giant Grass (rumput raksasa), berumpun dan terdiri dari sejumlah batang (buluh) yang tumbuh secara bertahap,

Lebih terperinci

24 Media Bina Ilmiah ISSN No

24 Media Bina Ilmiah ISSN No 24 Media Bina Ilmiah ISSN No. 1978-3787 SIFAT FISIKA EMPAT JENIS BAMBU LOKAL DI KABUPATEN SUMBAWA BARAT oleh Febriana Tri Wulandari Prodi Kehutanan Faperta UNRAM Abstrak : Bambu dikenal oleh masyarakat

Lebih terperinci

10 JENIS BAMBU. Informasi Sifat Dasar dan Kemungkinan nan Penggunaan. Seri Paket Iptek

10 JENIS BAMBU. Informasi Sifat Dasar dan Kemungkinan nan Penggunaan. Seri Paket Iptek Seri Paket Iptek Informasi Sifat Dasar dan Kemungkinan nan Penggunaan PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

SIFAT ANATOMI DAN KUALITAS SERAT JENIS KAYU SANGAT KURANG DIKENAL: SUKU CAPPARIDACEAE, CAPRIFOLIACEAE, CHLORANTHACEAE DAN COMPOSITAE

SIFAT ANATOMI DAN KUALITAS SERAT JENIS KAYU SANGAT KURANG DIKENAL: SUKU CAPPARIDACEAE, CAPRIFOLIACEAE, CHLORANTHACEAE DAN COMPOSITAE Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 341-354 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 443/AU2/P2MI-LIPI/08/2012 SIFAT ANATOMI DAN KUALITAS SERAT JENIS KAYU SANGAT KURANG DIKENAL: SUKU CAPPARIDACEAE,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jadikan sumber pendapatan baik bagi negara ataupun masyarakat. Kayu dapat

BAB I PENDAHULUAN. jadikan sumber pendapatan baik bagi negara ataupun masyarakat. Kayu dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kayu merupakan hasil sumber daya yang berasal dari hutan yang dapat di jadikan sumber pendapatan baik bagi negara ataupun masyarakat. Kayu dapat dijadikan bahan baku

Lebih terperinci

ANALISA EKONOMIS PERBANDINGAN KAPAL KAYU SISTEM LAMINASI DENGAN SISTEM KONVENSIONAL

ANALISA EKONOMIS PERBANDINGAN KAPAL KAYU SISTEM LAMINASI DENGAN SISTEM KONVENSIONAL ANALISA EKONOMIS PERBANDINGAN KAPAL KAYU SISTEM LAMINASI DENGAN SISTEM KONVENSIONAL Syahrizal & Johny Custer Teknik Perkapalan Politeknik Bengkalis Jl. Bathin Alam, Sei-Alam, Bengkalis-Riau djalls@polbeng.ac.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Hampir setiap produk menggunakan plastik sebagai kemasan atau

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Hampir setiap produk menggunakan plastik sebagai kemasan atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan teknologi plastik membuat aktivitas produksi plastik terus meningkat. Hampir setiap produk menggunakan plastik sebagai kemasan atau bahan dasar. Material plastik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kayu merupakan bahan alami yang bersifat higroskopis. Hal ini berarti kayu mempunyai kemampuan untuk menarik atau mengeluarkan air dari udara atau dari dalam tergantung pada

Lebih terperinci

Potensi Tanaman Bambu di Tasikmalaya

Potensi Tanaman Bambu di Tasikmalaya Potensi Tanaman Bambu di Tasikmalaya Pendahuluan Bambu adalah salah satu jenis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang potensial untuk mensubstitusi kayu bagi industri berbasis bahan baku kayu. Dengan adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hasil hutan tidak hanya sekadar kayu tetapi juga menghasilkan buahbuahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hasil hutan tidak hanya sekadar kayu tetapi juga menghasilkan buahbuahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hasil hutan tidak hanya sekadar kayu tetapi juga menghasilkan buahbuahan dan obat-obatan.namun demikian, hasil hutan yang banyak dikenal penduduk adalah sebagai sumber

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 4.1. Sifat Fisis IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat fisis papan laminasi pada dasarnya dipengaruhi oleh sifat bahan dasar kayu yang digunakan. Sifat fisis yang dibahas dalam penelitian ini diantaranya adalah

Lebih terperinci

Uji ketahanan kayu dan produk kayu terhadap organisme perusak kayu

Uji ketahanan kayu dan produk kayu terhadap organisme perusak kayu SNI 01-7207-2006 Standar Nasional Indonesia Uji ketahanan kayu dan produk kayu terhadap organisme perusak kayu ICS 79.020 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup...1

Lebih terperinci

MORFOLOGI DAN POTENSI. Bagian-Bagian Kayu - Kulit kayu - Kambium - Kayu gubal - Kayu teras - Hati - Lingkaran tahun - Jari-jari

MORFOLOGI DAN POTENSI. Bagian-Bagian Kayu - Kulit kayu - Kambium - Kayu gubal - Kayu teras - Hati - Lingkaran tahun - Jari-jari Kayu Definisi Suatu bahan yang diperoleh dari hasil pemungutan pohon-pohon di hutan, yang merupakan bagian dari pohon tersebut setelah diperhitungkan bagian-bagian mana yang lebih banyak dimanfaatkan untuk

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biomassa BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Biomassa meliputi semua bahan yang bersifat organik ( semua makhluk yang hidup atau mengalami pertumbuhan dan juga residunya ) (Elbassan dan Megard, 2004). Biomassa

Lebih terperinci

PENGANTAR TENTANG KAYU

PENGANTAR TENTANG KAYU Kelompok 9 Anggota Kelompok : 1. Sugi Suryanto 20130110121 2. Badzli Zaki Tamami 20130110123 3. Ega Arief Anggriawan 20130110110 4. M Dede Dimas Wahyu 20130110125 5. Yusli Pandi 20130110112 6. Tanaka Dynasty

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Batang kelapa sawit mempunyai sifat yang berbeda antara bagian pangkal

TINJAUAN PUSTAKA. Batang kelapa sawit mempunyai sifat yang berbeda antara bagian pangkal TINJAUAN PUSTAKA Kelapa Sawit Menurut Hadi (2004), klasifikasi botani kelapa sawit dapat diuraikan sebagai berikut: Kingdom Divisi Kelas Ordo Familia Genus Spesies : Plantae : Magnoliophyta : Liliopsida

Lebih terperinci

JENIS KAYU DARI HUTAN RAKYAT UNTUK MEBEL DAN KERAJINAN

JENIS KAYU DARI HUTAN RAKYAT UNTUK MEBEL DAN KERAJINAN JENIS KAYU DARI HUTAN RAKYAT UNTUK MEBEL DAN KERAJINAN Oleh: Kasmudjo* Abstrak Jenis kayu dari hutan rakyat jumlahnya cukup banyak. Terdiri dari jenis kayu yang sudah dikenal maupun belum dengan potensi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit memiliki umur ekonomis 25 tahun, setelah umur 26 tahun

TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit memiliki umur ekonomis 25 tahun, setelah umur 26 tahun TINJAUAN PUSTAKA Kelapa sawit memiliki umur ekonomis 25 tahun, setelah umur 26 tahun sebaiknya diremajakan karena pohon sudah tua dan terlalu tinggi atau lebih dari 13 meter sehingga menyulitkan untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kayu yang harus diketahui dalam penggunaan kayu adalah berat jenis atau

TINJAUAN PUSTAKA. kayu yang harus diketahui dalam penggunaan kayu adalah berat jenis atau TINJAUAN PUSTAKA Sifat Fisis Kayu Sifat fisis kayu perlu diperhatikan untuk pengembangan penggunaan kayu secara optimal, baik dari segi kekuatan maupun keindahan. Beberapa sifat fisis kayu yang harus diketahui

Lebih terperinci

BALOK LAMINASI DARI KAYU KELAPA (Cocos nucifera L)

BALOK LAMINASI DARI KAYU KELAPA (Cocos nucifera L) Jurnal Riset Industri Hasil Hutan Vol., No., Desember 00 : 7 BALOK LAMINASI DARI KAYU KELAPA (Cocos nucifera L) LAMINATED BEAMS FROM COCONUT WOOD (Cocos nucifera L) Djoko Purwanto *) *) Peneliti Baristand

Lebih terperinci

Lampiran 1. Sifat Fisika dan Mekanika Kayu. Lampiran 2. Pengujian Sifat Keawetan terhadap rayap tanah (Captotermes curvignathus Holmgreen.

Lampiran 1. Sifat Fisika dan Mekanika Kayu. Lampiran 2. Pengujian Sifat Keawetan terhadap rayap tanah (Captotermes curvignathus Holmgreen. LAMPIRAN 123 124 Lampiran 1. Sifat Fisika dan Mekanika Kayu Pengujian sifat fisik mengikuti standar ASTM 2007 D 143-94 (Reapproved 2007) mengenai Standard Test Methods for Small Clear Specimens of Timber

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Bambu Tali. kayu dengan masa panen 3-6 tahun. Bahan berlignoselulosa pada umumnya dapat

TINJAUAN PUSTAKA. Bambu Tali. kayu dengan masa panen 3-6 tahun. Bahan berlignoselulosa pada umumnya dapat TINJAUAN PUSTAKA Bambu Tali Bambu sebagai salah satu hasil hutan bukan kayu yang memiliki kandungan lignoselulosa melimpah di Indonesia dan berpotensi besar untuk dijadikan sebagai bahan pengganti kayu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelapa Sawit dan Tandan Kosong Sawit Kelapa sawit (Elaeis quineensis, Jacq) dari family Araceae merupakan salah satu tanaman perkebunan sebagai sumber minyak nabati, dan merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kapal Ikan Tradisional Menurut Nomura dan Yamazaki (1975) dalam Prasetyo (2008), kapal ikan merupakan kapal yang digunakan dalam kegiatan perikanan, mencakup aktivitas penangkapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan target luas lahan yang ditanam sebesar hektar (Atmosuseno,

BAB I PENDAHULUAN. dengan target luas lahan yang ditanam sebesar hektar (Atmosuseno, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sengon merupakan salah satu tanaman cepat tumbuh yang dipilih dalam program pembangunan hutan tanaman industri (HTI) karena memiliki produktivitas yang tinggi dengan

Lebih terperinci

PERLAKUAN KIMIA DAN FISIK EMPAT JENIS ROTAN SESUDAH PENEBANGAN CHEMICAL AND PHYSICAL TREATMENT OF FOUR RATTAN SPECIES AFTER FELLING

PERLAKUAN KIMIA DAN FISIK EMPAT JENIS ROTAN SESUDAH PENEBANGAN CHEMICAL AND PHYSICAL TREATMENT OF FOUR RATTAN SPECIES AFTER FELLING PERLAKUAN KIMIA DAN FISIK EMPAT JENIS ROTAN SESUDAH PENEBANGAN CHEMICAL AND PHYSICAL TREATMENT OF FOUR RATTAN SPECIES AFTER FELLING Prof.Dr.Ir.Djamal Sanusi Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Jl.Perintis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bambu Bambu adalah tumbuhan yang batangnya berbentuk buluh, beruas-ruas, berbuku-buku, berongga, mempunyai cabang berimpang dan mempunyai daun buluh yang menonjol (Heyne 1987).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sengon atau dengan nama ilmiah Falcataria moluccana (Miq.) Barneby &

BAB I PENDAHULUAN. Sengon atau dengan nama ilmiah Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sengon atau dengan nama ilmiah Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & J.W. Grimes) termasuk kedalam famili Leguminosae yang tergolong jenis pohon cepat tumbuh (fast

Lebih terperinci

PENGOLAHAN ROTAN untuk BAHAN BAKU MEBEL DAN KERAJINAN

PENGOLAHAN ROTAN untuk BAHAN BAKU MEBEL DAN KERAJINAN PENGOLAHAN ROTAN untuk BAHAN BAKU MEBEL DAN KERAJINAN oleh: Sahwalita Balai Penelitian Kehutanan Palembang Jl. Kol. H. Burlian Km. 6,5 Punti Kayu e-mail: sahwalita@yahoo.co.id I. PENDAHULUAN Mengetahui

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1 cm SNI JIS. 1 cm. Gambar 4 Miselium yang menempel pada kayu contoh uji sengon longitudinal.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1 cm SNI JIS. 1 cm. Gambar 4 Miselium yang menempel pada kayu contoh uji sengon longitudinal. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengamatan Visual Kayu Pengamatan visual kayu merupakan pengamatan yang dilakukan untuk melihat dampak akibat serangan jamur pelapuk P. ostreatus terhadap contoh uji kayu

Lebih terperinci

PELUANG BENUANG BINI (Octomeles sumatrana Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

PELUANG BENUANG BINI (Octomeles sumatrana Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP PELUANG BENUANG BINI (Octomeles sumatrana Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP The Potential of Benuang Bini (Octomeles sumatrana Miq) as Raw Material for Pulp Nurmawati Siregar Balai Penelitian Teknologi Perbenihan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis 4.1.1 Kadar air BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Rata-rata nilai kadar air (KA) kayu surian kondisi kering udara pada masing-masing bagian (pangkal, tengah dan ujung) disajikan pada Tabel 1.

Lebih terperinci

BABII TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini berisi tentang teori dari beberapa sumber buku seperti buku - buku

BABII TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini berisi tentang teori dari beberapa sumber buku seperti buku - buku BABII TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi tentang teori dari beberapa sumber buku seperti buku - buku laporan tugas akhir dan makalah seminar yang digunakan sebagai inspirasi untuk menyusun konsep penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kayu sebagai bahan konstruksi sudah sejak dulu dikenal orang. Dahulu menggunakan kayu sebagai bahan konstruksi hanya didasarkan pada pengalaman dan intuisi. Berkat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tampilan Kayu Pemadatan kayu menghasilkan warna yang berbeda dengan warna aslinya, dimana warnanya menjadi sedikit lebih gelap sebagai akibat dari pengaruh suhu pengeringan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pohon Mindi (M. azedarach L.) merupakan jenis pohon cepat tumbuh.

TINJAUAN PUSTAKA. Pohon Mindi (M. azedarach L.) merupakan jenis pohon cepat tumbuh. TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Kayu a. Taksonomi Pohon Mindi (M. azedarach L.) merupakan jenis pohon cepat tumbuh. Pohon Mindi menyukai cahaya, agak tahan kekeringan, agak toleran dan tahan terhadap salinitas

Lebih terperinci

Rotan. Sifat Dasar dan Kegunaan. Seri Paket Iptek

Rotan. Sifat Dasar dan Kegunaan. Seri Paket Iptek Seri Paket Iptek Sifat Dasar dan Kegunaan Rotan PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN Dra.Jasni, M.Si. Dra.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Rotan adalah salah satu jenis tumbuhan berbiji tunggal (monokotil) yang memiliki peranan ekonomi yang sangat penting (FAO 1997). Sampai saat ini rotan telah dimanfaatkan sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tandan Kosong Sawit Jumlah produksi kelapa sawit di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, pada tahun 2010 mencapai 21.958.120 ton dan pada tahun 2011 mencapai

Lebih terperinci

PENGARUH PERBEDAAN JENIS DAN UMUR BAMBU TERHADAP KUALITASNYA SEBAGAI BAHAN MEBEL DAN KERAJINAN

PENGARUH PERBEDAAN JENIS DAN UMUR BAMBU TERHADAP KUALITASNYA SEBAGAI BAHAN MEBEL DAN KERAJINAN PENGARUH PERBEDAAN JENIS DAN UMUR BAMBU TERHADAP KUALITASNYA SEBAGAI BAHAN MEBEL DAN KERAJINAN Zumas Riza Ahmad 1, Kasmudjo 2, Rini Pujiarti 2 & Sigit Sunarta 2 1 Alumni Fakultas Kehutanan, Universitas

Lebih terperinci

8. PEMBAHASAN UMUM DAN REKOMENDASI Pembahasan Umum

8. PEMBAHASAN UMUM DAN REKOMENDASI Pembahasan Umum 8. PEMBAHASAN UMUM DAN REKOMENDASI 8.1. Pembahasan Umum Penggunaan bambu sebagai bahan bangunan bukan merupakan hal yang baru, tetapi pemanfaatannya pada umumnya hanya dilakukan berdasarkan pengalaman

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 24 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Data hasil pengujian sifat fisis kayu jabon disajikan pada Tabel 4 sementara itu untuk analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95% ditampilkan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1 perbandingan bahan Sifat Beton Baja Kayu. Homogen / Heterogen Homogen Homogen Isotrop / Anisotrop Isotrop Isotrop Anisotrop

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1 perbandingan bahan Sifat Beton Baja Kayu. Homogen / Heterogen Homogen Homogen Isotrop / Anisotrop Isotrop Isotrop Anisotrop BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Dunia konstruksi di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Saat ini, di berbagai tempat dibangun gedung-gedung betingkat, jembatan layang, jalan, dan

Lebih terperinci

II. DESKRIPSI PROSES

II. DESKRIPSI PROSES II. DESKRIPSI PROSES A. Jenis-Jenis Proses Proses pembuatan pulp adalah pemisahan lignin untuk memperoleh serat (selulosa) dari bahan berserat. Oleh karena itu selulosa harus bersih dari lignin supaya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cross Laminated Timber 2.1.1 Definisi Cross Laminated Timber (CLT) pertama dikembangkan di Swiss pada tahun 1970-an. Produk ini merupakan perpanjangan dari teknologi rekayasa

Lebih terperinci

PENGARUH PENYUSUNAN DAN JUMLAH LAPISAN VINIR TERHADAP STABILITAS DIMENSI KAYU LAPIS (PLYWOOD)

PENGARUH PENYUSUNAN DAN JUMLAH LAPISAN VINIR TERHADAP STABILITAS DIMENSI KAYU LAPIS (PLYWOOD) PENGARUH PENYUSUNAN DAN JUMLAH LAPISAN VINIR ERHADAP SABILIAS DIMENSI KAYU LAPIS (PLYWOOD) Oleh Iwan Risnasari, S.Hut, M.Si UNIVERSIAS SUMAERA UARA MEDAN 2008 DAFAR ISI Halaman Kata Pengantar.. i Daftar

Lebih terperinci

Kayu. Umum. TKS 4406 Material Technology I. (wood or timber)

Kayu. Umum. TKS 4406 Material Technology I. (wood or timber) TKS 4406 Material Technology I Kayu (wood or timber) Dr.Eng. Achfas Zacoeb, ST., MT. Department of Civil Engineering Faculty of Engineering University of Brawijaya Umum Kayu merupakan hasil hutan dari

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Mutu Kekakuan Lamina BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penyusunan lamina diawali dengan melakukan penentuan mutu pada tiap ketebalan lamina menggunakan uji non destructive test. Data hasil pengujian NDT

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Bahan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Bahan HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Bahan Serat Sisal (Agave sisalana Perr.) Serat sisal yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari serat sisal kontrol dan serat sisal yang mendapatkan perlakuan mekanis

Lebih terperinci

DIKTAT PENGERINGAN KAYU. Oleh: Efrida Basri

DIKTAT PENGERINGAN KAYU. Oleh: Efrida Basri 1 DIKTAT PENGERINGAN KAYU Oleh: Efrida Basri I. Konsep Dasar Pengeringan Kayu Pengeringan kayu adalah suatu proses pengeluaran air dari dalam kayu hingga mencapai kadar air yang seimbang dengan lingkungan

Lebih terperinci

Perlakuan Kimia dan Fisik Empat Jenis Rotan sesudah Penebangan (Chemical and Physical Treatments of Four Rattan Species after Felling)

Perlakuan Kimia dan Fisik Empat Jenis Rotan sesudah Penebangan (Chemical and Physical Treatments of Four Rattan Species after Felling) Perlakuan Kimia dan Fisik Empat Jenis Rotan sesudah Penebangan (Chemical and Physical Treatments of Four Rattan Species after Felling) Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Jl.Perintis Kemerdekaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Papan partikel merupakan salah satu jenis produk komposit atau panel

TINJAUAN PUSTAKA. Papan partikel merupakan salah satu jenis produk komposit atau panel TINJAUAN PUSTAKA Papan Partikel Papan partikel merupakan salah satu jenis produk komposit atau panel kayu yang terbuat dari partikel-partikel kayu atau bahan berlignoselulosa lainnya, yang diikat menggunakan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM Perubahan Sifat-sifat Kayu Terdensifikasi secara Parsial

PEMBAHASAN UMUM Perubahan Sifat-sifat Kayu Terdensifikasi secara Parsial PEMBAHASAN UMUM Perubahan Sifat-sifat Kayu Terdensifikasi secara Parsial Densifikasi parsial, baik kompresi maupun impregnasi, terbukti dapat meningkatkan sifat-sifat kayu Agatis maupun Mangium. Dari hasil

Lebih terperinci

PEMBUATAN PRODUK BAMBU KOMPOSIT. 1. Dr. Ir. IM Sulastiningsih, M.Sc 2. Prof. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si 3. Dr. Krisdianto, S.Hut., M.

PEMBUATAN PRODUK BAMBU KOMPOSIT. 1. Dr. Ir. IM Sulastiningsih, M.Sc 2. Prof. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si 3. Dr. Krisdianto, S.Hut., M. PEMBUATAN PRODUK BAMBU KOMPOSIT 1. Dr. Ir. IM Sulastiningsih, M.Sc 2. Prof. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si 3. Dr. Krisdianto, S.Hut., M.Sc PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN

Lebih terperinci