BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Disfungsi tuba auditiva akibat karsinoma nasofaring (KNF) dapat

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Disfungsi tuba auditiva akibat karsinoma nasofaring (KNF) dapat"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disfungsi tuba auditiva akibat karsinoma nasofaring (KNF) dapat menyebabkan keluhan telinga terasa tersumbat. Keluhan tersebut merupakan hasil dari tekanan telinga tengah negatif, meskipun belum tentu menyebabkan efusi telinga tengah. Pasien dengan KNF memiliki rata-rata tekanan telinga tengah negatif lebih tinggi dibandingkan orang normal (Low, 1995; Low & Rangabashyam, 2012). KNF terdapat pada nasofaring, dimana terdapat struktur muara tuba auditiva. Huang et al. (2012) menyebutkan bahwa penutupan muara tuba auditiva akibat tumor atau jaringan adenoid dapat menyebabkan otitis media efusi. Diketahui bahwa apabila terdapat pasien dewasa dengan otitis media efusi resiko terhadap KNF akan meningkat sebanyak 11 kali (Huang et al., 2012). Terdapat beberapa literatur yang menghubungkan antara otitis media efusi dengan KNF. Penurunan pendengaran atau keluhan telinga terasa penuh karena otitis media efusi merupakan gejala yang penting pada keganasan ini, yang dapat berguna bagi dokter untuk menegakkan diagnosis dini KNF (Weiss et al., 1994). KNF biasanya dapat menyebabkan efusi telinga tengah sebagai hasil dari disfungsi tuba auditiva. Terdapat beberapa penelitian yang membahas tentang efusi telinga tengah pada pasien dengan KNF, namun penelitian yang mengevaluasi tekanan telinga tengah masih sedikit (Low, 1995). 1

2 2 KNF merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan KNF, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase rendah (Roezin & Adham, 2008). KNF menempati urutan keempat kanker tersering setelah kanker serviks, kanker payudara, dan kanker kulit di Indonesia. Insidensi KNF di Indonesia diperkirakan sebanyak 6,2/ atau sekitar kasus per tahun (Adham et al., 2012). Tanda dan gejala KNF yang paling sering adalah masalah pada telinga unilateral yaitu sebanyak 60,6%. Urutan kedua dan ketiga paling sering adalah sumbatan hidung persisten dan sekret campur darah dari hidung (Adham et al., 2012; Cahyadi & Dewi, 2014). Berdasarkan uraian di atas, penelitian mengenai tekanan telinga tengah yang dihubungkan dengan volume tumor KNF belum pernah diteliti. Peneliti merasa perlu untuk dilakukan penelitian tersebut untuk membantu dalam mendeteksi perubahan tekanan telinga tengah akibat adanya tumor pada nasofaring yang menyebabkan gangguan pendengaran.

3 3 B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa hal sebagai berikut : 1. KNF merupakan salah satu keganasan kepala dan leher dengan lokasi awal tumor terbanyak pada nasofaring (Fossa Rosenműller). 2. Infiltrasi tumor ke tuba auditva dapat menyebabkan disfungsi tuba. 3. Disfungsi tuba auditiva dapat menyebabkan perubahan tekanan telinga tengah. 4. Hubungan antara tekanan telinga tengah dengan volume tumor KNF belum banyak diteliti. C. Pertanyaan Penelitian Apakah terdapat hubungan antara tekanan telinga tengah dengan volume tumor karsinoma nasofaring? D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara tekanan telinga tengah dengan volume tumor karsinoma nasofaring. E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat melihat kegunaan pemeriksaan tekanan telinga tengah disertai pengukuran volume tumor nasofaring pada penderita KNF yang dapat membantu untuk deteksi dini disfungsi tuba auditiva yang dapat menyebabkan penurunan pendengaran Manfaat klinis dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prognosis kondisi telinga tengah paska terapi KNF.

4 4 F. Keaslian Penelitian Penelitian oleh Hidayat et al (2009) dengan judul hubungan antara gambaran timpanometri dengan letak dan stadium tumor pada penderita karsinoma nasofaring di departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan. Hasil penelitian tersebut adalah terdapat hubungan bermakna antara gambaran timpanometri dengan letak tumor pada penderita karsinoma nasofaring, dan tidak terdapat hubungan bermakna antara gambaran timpanometri dengan stadium tumor pada penderita karsinoma nasofaring. Penelitian oleh Karya et al (2007) dengan judul hubungan antara letak dan ukuran tumor dengan gambaran timpanometri pada penderita yang baru terdiagnosa karsinoma nasofaring dengan hasil penelitian yaitu terdapat hubungan yang bermakna antara letak dan ukuran tumor dengan gambaran timpanometri pada 40 penderita yang baru terdiagnosa sebagai karsinoma nasofaring.

5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tekanan Telinga Tengah 1. Anatomi Telinga Tengah Ruang telinga tengah terbentuk dari bagian distal endoderm kantong faringeal pertama yang memanjang untuk membentuk resesus tubotimpani (Oliver & Kesser, 2013). Telinga tengah merupakan ruang irregular yang berisi udara yang terletak di dalam bagian petrosa tulang temporal, diantara kanalis auditori eksternus dan telinga dalam. Terdapat beberapa kompartemen pada kavitas ini, yaitu epitimpani (pada batas superior membran timpani), mesotimpani (pada batas membran timpani), dan hipotimpani (pada batas di bawah membran timpani). Telinga tengah normalnya terisi udara dan terdapat rantai tulang pendengaran (maleus, inkus, dan stapes) (Gambar 1) (Khwaja, 2006). Gambar 1. Anatomi telinga tengah. Terdapat tiga kompartemen yaitu epitimpani, mesotimpani, dan hipotimpani (Khwaja, 2006) 5

6 6 Telinga tengah dilapisi oleh mukosa tipis yang terutama berepitel kuboid tak bersilia melapisi periosteum, termasuk tulang pendengaran dan ligament-ligamen. Pada daerah mesotimpani mukosa ini kaya akan sel goblet dan kelenjar musin. Pada bagian membran timpani mukosanya berepitel selapis gepeng, sedangkan pada tuba auditiva mukosanya dilapisi oleh epitel berlapis semu (pseudostratified epithelium), yang mengandung sel bersilia, sel goblet, sel basal serta sel endokrin (Helmi, 2005). Membran mukosa telinga tengah dan mastoid merupakan kelanjutan dari membran mukosa pada nasofaring melalui tuba auditiva. Sel pada membran mukosa dalam kavum timpani bervariasi dari sel tinggi, sel kolumner dengan sel goblet yang tersebar, sampai sel kuboid pendek pada bagian posterior promontorium dan aditus ad antrum (Bluestone, 1999). 2. Anatomi Tuba Auditiva Tuba auditiva adalah saluran yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring dan membantu dalam menjaga tekanan dikedua kompartemen tersebut agar seimbang. (Danner, 2006). Struktur anatomi tuba auditiva sangat kompleks. Katup dan lumen tuba dikelilingi oleh beberapa otot, kartilago, elemen jaringan lemak dan diikat oleh jaringan mukosa (Yañez et al., 2011). Tuba auditiva terdiri atas tulang rawan pada dua pertiga kearah nasofaring dan sepertiganya terdiri atas tulang. Pada anak, tuba lebih pendek, lebih lebar dan kedudukannya lebih horizontal dari tuba orang dewasa. Panjang tuba orang dewasa 37,5 mm dan pada anak di bawah 9 bulan adalah 17,5 mm (Djaafar et al., 2008).

7 7 Tuba auditiva dibagi menjadi tiga bagian secara anatomi : kartilago, osseus, dan pertemuan antara kedua bagian tersebut. Berbentuk S terbalik dan melengkung. Lumen tuba dilapisi oleh epitel kolumner pseudostratified bersilia, yang berfungsi untuk membantu pembersihan material ke nasofaring. Lapisan mukosa tuba bagian inferior memiliki lipatan, dan kelenjar yang dapat menebal yang dapat menyebabkan obstruksi tuba (Smith et al., 2016). Empat otot yang berhubungan dengan tuba auditiva : tensor veli palatina, levator veli palatina, tensor timpani, dan salfingofaringeus (Gambar 2). Otot tensor veli palatina memiliki peran utama pada pembukaan lumen tuba (Smith et al., 2016). Gambar 2. Skema potongan transversa tuba auditiva. Warna hitam : lumen tuba auditiva yang kolaps. ML: Lamina Medial kartilago, LL: Lamina Lateral, OFP: Ostmann fat pad, TVPM: Otot Tensor Veli Palatina, AL: antero-lateral, PM: postero-medial (Smith et al., 2016) Tuba auditiva memiliki tiga fungsi utama, yang bersama-sama memfasilitasi kondisi keseimbangan telinga tengah dan transmisi suara dari

8 8 membran timpani ke koklea. Fungsi pertama adalah menyeimbangkan tekanan telinga tengah dengan tekanan atmosfer : dibutuhkan karena adanya fluktuasi tekanan eksternal dan pertukaran gas mukosa. Fungsi kedua adalah sebagai jalur drainase pembersihan mukosilier sekresi telinga tengah. Fungsi ketiga adalah mencegah retrograde suara saat bicara dan mencegah refluks sekret dari nasofaring yang mengandung patogen. Kegagalan fungsi-fungsi diatas disebut sebagai disfungsi tuba auditiva (De Ru & Grote, 2004; Sapci et al., 2008; Smith et al., 2016). Dari ketiga fungsi fisiologis tuba auditiva tersebut, fungsi yang paling penting adalah fungsi ventilasi, dalam keadaan tekanan telinga tengah yang seimbang dengan tekanan atmosfer, fungsi pendengaran akan optimal (Borangiu, 2014). Adanya fungsi ventilasi tuba ini dapat dapat dibuktikan dengan melakukan perasat Valsava dan perasat Toynbee (Djaafar et al., 2008). Tuba biasanya dalam keadaan tertutup dan baru terbuka apabila oksigen diperlukan masuk ke telinga tengah atau pada saat mengunyah, menelan, dan menguap. Pembukaan tuba dibantu oleh otot tensor veli palatina apabila perbedaan tekanan berbeda antara mmhg (Djaafar, 2008). Kontraksi otot tensor veli palatina memiliki peran utama dalam pembukaan tuba auditiva untuk ventilasi telinga tengah (Takasaki, 2002). Pembukaan tuba auditiva sangat singkat yaitu sekitar 0,25 detik, dan berhubungan dengan biomekanisme otot perituba. Dalam satu hari tuba membuka sebanyak kali, atau 30 kali per jam (Prades et al., 1998).

9 9 Ketika tuba auditiva terbuka, volume pertukaran gas sekitar 1 μl setiap gerakan menelan pada kondisi normal (Danner, 2006). Penutupan tuba diatur oleh permukaan mukosa yang berfungsi seperti katup, jaringan submukosa, lemak, otot, dan kartilago. serta dihubungkan dengan gerakan pasif dari dinding tuba oleh pergerakan serat elastik di dalam kartilago tuba (Yañez et al., 2011). Katup tersebut panjangnya kira-kira 5 mm dan terletak pada bagian kartilago 10 mm distal dari muara tuba di nasofaring (Poe, 2007). Apabila otot tensor veli palatina terpotong atau paralisis, dapat terjadi penurunan tekanan di dalam telinga tengah, yang diikuti dengan otitis media efusi. Diketahui pula otot tensor veli palatina dapat terinvasi oleh tumor yang mengakibatkan disfungsi tuba (Sapci et al., 2008). Terkadang tuba auditiva dapat mengalami hipofungsi, yang mengakibatkan penurunan proporsi ventilasi telinga tengah, sehingga menghasilkan tekanan negatif (mukosa telinga tengah menyerap nitrogen dari udara di dalam telinga tengah) (Danner, 2006). Terbentuknya tekanan negatif di dalam telinga tengah, menimbulkan transudasi cairan dan respon proinflamasi (Sproat et al., 2014). Obstruksi tuba dapat terjadi oleh berbagai kondisi, seperti peradangan di nasofaring, peradangan adenoid atau tumor nasofaring. Gejala klinik awal yang timbul pada penyumbatan tuba oleh tumor adalah terbentuknya cairan pada telinga tengah (otitis media serosa). Oleh karena itu setiap pasien dewasa dengan otitis media serosa kronik unilateral harus dipikirkan kemungkinan

10 10 adanya KNF. Sumbatan mulut tuba di nasofaring juga dapat terjadi oleh tampon posterior hidung (Bellocq tampon) atau oleh sikatriks yang terjadi akibat trauma operasi (adenoidektomi) (Djaafar et al., 2008). Telah diketahui bahwa disfungsi tuba sebelum radiasi pada pasien dengan KNF disebabkan karena gangguan fungsi tuba auditiva (Yi-Ho et al., 1997). Sumbatan tuba auditiva dapat terjadi secara sekunder oleh tumor yang terdapat pada ostium tuba auditiva, menyebabkan kelainan sirkulasi pada tekanan telinga tengah. Akibat perubahan anatomi tersebut, pasien akan mengeluhkan masalah telinga seperti tinnitus, telinga terasa penuh, dan penurunan pendengaran (Wu et al., 2016). Lesi seperti KNF atau pembengkakan mukosa hiperplasi dapat menyebabkan disfungsi tuba auditiva, sehingga fungsi fisiologis terbatas (fungsi ventilasi, drainase sekresi telinga tengah, dan proteksi dari tekanan suara yang berlebih serta adanya perubahan tekanan), pada akhirnya akan menurunkan kemampuan mendengar, infeksi atau penyakit telinga tengah (Lükens et al., 2012). 3. Regulasi Tekanan Telinga Tengah Secara fisiologis jalur pertukaran udara di telinga tengah melalui beberapa jalur (Gambar 3), yaitu: (1) Kavum timpani - antrum - mastoid; (2) Telinga tengah - mukosa telinga tengah - pembuluh darah; dan (3) Kavum timpani - tuba auditiva nasofaring (Pitoyo et al., 2011).

11 11 Gambar 3. Regulasi tekanan telinga tengah. A. Sistem pertukaran udara, B. Fungsi tuba auditiva, C. Gerakan membran timpani (Pitoyo et al., 2011) Kavum timpani dan mastoid saling berhubungan melalui rongga udara, maka perbedaan tekanan total yang terjadi secara cepat dapat disamakan dan perbedaan tekanan udara parsial akan turun dengan cepat. Pertukaran udara di dalam telinga tengah - mukosa telinga tengah - pembuluh darah, merupakan suatu proses difus yang tergantung pada perbedaan tekanan parsial yang ada dan pertukaran tetap spesifik dari udara yang ada. Pertukaran udara melalui jalur ini relatif lambat, sehingga hanya mempunyai pengaruh yang sedikit pada regulasi tekanan telinga tengah selama perubahan tekanan lingkungan. Sebaliknya, pertukaran udara melalui tuba auditiva terjadi secara cepat antara nasofaring dan kavum timpani. Oleh karena itu jalur kavum timpani tuba auditiva nasofaring mempunyai pengaruh yang besar untuk regulasi tekanan telinga tengah selama perubahan tekanan lingkungan. Udara tidak akan masuk ke telinga tengah secara spontan, tuba auditiva harus dibuka dengan gerakan

12 12 menguap atau perasat lain yang sering terjadi tanpa disadari, yang terjadi setiap menit atau lebih sering. (Pitoyo et al., 2011). 4. Pengukuran Tekanan Telinga Tengah Secara klinis efusi telinga tengah terlihat saat pemeriksaan otoskopi tampak adanya cairan di belakang membran timpani, dan pada pemeriksaan audiometri nada murni terdapat jarak antara hantaran udara dan hantaran tulang sebanyak 10 db atau lebih. Penegakan diagnosis klinis dapat dilengkapi dengan pemeriksaan timpanometri (Kew, 1999). Timpanometri merupakan cara pengukuran bagaimana sistem vibrasi telinga tengah imitan akustik mengatur perubahan tekanan udara telinga dan menyeimbangkan terhadap perubahan tekanan udara di kanalis auditori eksterna. Transmisi suara melalui mekanisme telinga tengah akan maksimal ketika tekanan udara sama pada kedua sisi membran timpani. Pada telinga normal transmisi suara maksimal terjadi pada kondisi tekanan telinga tengah menyamai tekanan atmosfer (Stach, 2010). Timpanometri merupakan metode pemeriksaan objektif dan noninvasif, yang dapat memfasilitasi evaluasi lengkap patensi tuba auditiva, pengukuran tekanan telinga tengah dan kelenturan membran timpani. Selain itu dapat mengindikasikan adanya tekanan telinga tengah yang negatif atau efusi (Sproat et al., 2014). Kepentingan pemeriksaan ini secara klinik dapat menilai fungsi tuba pada penderita KNF dengan gangguan telinga (oklusi tuba atau OME) (Antono, 1998). Ketika membran timpani intak, fungsi tuba dapat dinilai dengan timpanometri mengukur tekanan telinga tengah pada kelenturan maksimal.

13 13 Tekanan telinga tengah dapat diukur dengan satuan tekanan mm H2O atau unit deka paskal (dapa) (tekanan 1 mm H2O = 1,02 unit deka Pascal). Nilai normal tekanan telinga tengah yang disepakati internasional adalah +100 mm H2O (Ghosh & Kumar, 2002). Timpanometri diketahui lebih terpercaya dan merupakan tes yang cukup sensitif (sensitifitas 83% dan spesifisitas 63%) dibandingkan dengan audiometri konduksi udara dan pemeriksaan otoskopi untuk mendeteksi efusi telinga tengah (Kew, 1999). Nilai klinis timpanometri untuk kelainan telinga tengah dapat dinilai dari beberapa pola bentuk timpanometri. Menurut Jerger (Stach, 2010), sistem klasifikasi konvensional terdapat lima tipe timpanogram yaitu : 1. Tipe A : Terdapat puncak yang tajam di 0 dapa, merupakan kondisi normal (Gambar 4). Gambar 4. Timpanogram tipe A, fungsi telinga tengah normal (Stach, 2010)

14 14 2. Tipe B : Apabila ruang telinga tengah terisi dengan cairan, seperti otitis media dengan efusi, timpanogram akan kehilangan gambaran puncak yang tajam dan relatif datar atau bulat (Gambar 5). Gambar 5. Timpanogram tipe B, kelainan telinga tengah berupa penambahan massa di dalam sistem telinga tengah (Stach, 2010) 3. Tipe C : apabila terdapat puncak yang tajam di daerah tekanan negatif (Gambar 6). Gambar 6. Timpanogram tipe C (Stach, 2010)

15 15 4. Tipe As : apabila terdapat puncak tekanan di atau dekat 0 dapa, dan tinggi puncak tersebut lebih rendah dari normal. Menggambarkan kekakuan tulang pendengaran, biasanya terdapat pada kasus otosklerosis (Gambar 7). Gambar 7. Timpanogram tipe As (Stach, 2010) 5. Tipe Ad : apabila terdapat puncak tekanan di atau dekat 0 dapa, dan tinggi puncak tersebut lebih tinggi signifikan dari normal. Menggambarkan diskontinuitas tulang pendengaran (Gambar 8). Gambar 8. Timpanogram tipe Ad (Stach, 2010)

16 16 Terdapat pula klasifikasi timpanogram berdasarkan Jerger et al.(1974) meliputi: (1) Tipe A, puncak di antara +200 dapa sampai -99 dapa; (2) Tipe B, tidak terdapat puncak antara +200 dapa sampai -600 dapa; (3) Tipe C1, puncak antara -100 dapa sampai -199 dapa; (4) Tipe C2, puncak antara -200 dapa sampai -399 dapa; (5) Tipe C3, puncak antara -400 dapa sampai -600 dapa (Haggard, 1999). Pada penelitian terbaru, terdapat empat parameter untuk mengevaluasi fungsi tuba auditiva pada pasien dengan KNF, antara lain : (1) Tekanan tuba saat membuka, yang mengindikasikan fungsi tuba auditiva saat pembukaan pasif, (2) Tes tekanan positif dan (3) tekanan negatif, yang mengindikasikan fungsi dinamik dari tuba auditiva, (4) Waktu klirens, yang mengindikasikan fungsi klirens dari tuba auditiva (Young & Hsieh, 1992). Sumber lain menyebutkan bahwa rata-rata tekanan telinga tengah normal anak-anak adalah sebesar -29,5 mmh2o, dengan rentang +80 sampai mmh2o. Rata-rata tekanan telinga tengah normal orang dewasa adalah sebesar -4,2 mmh2o, dengan rentang +30 sampai -80 mmh2o (Baylander et al., 1981). B. Karsinoma Nasofaring 1. Anatomi Nasofaring Nasofaring merupakan ruang berbentuk trapezius yang terletak pada posterior koana. Batas superior dibentuk oleh basis sfenoid dan basis oksiput. Batas posterior nasofaring dibentuk oleh fasia prevertebra tulang atlas dan axis (Jeyakumar, 2006). Area nasofaring dimulai dari posterior koana

17 17 (anterior) dan berlanjut sepanjang jalur pernapasan sampai batas palatum molle. Dasar nasofaring adalah permukaan superior palatum molle. Batas posterior nasofaring adalah orifisium koana (Greene et al., 2002). Dimensi rata-rata nasofaring orang dewasa adalah tinggi 4 cm, lebar 4 cm, dan panjang 3 cm. Dinding posterior terletak sekitar 8 cm dari apertura piriformis sepanjang dasar kavum nasi. Bagian atas dinding posterior terletak di depan arkus anterior atlas dengan mukosa yang mengandung jaringan limfoid (tonsil faringeal atau adenoid). Fasia prevertebra dan otot memisahkan adenoid dari vertebra. Dinding lateral didominasi dengan orifisium tuba dari tuba auditiva yang terletak pada bagian tengah dinding, sekitar 1,5 cm dari atap. Torus tubarius dibentuk oleh kartilago elastin tuba auditiva, yang merupakan komponen dominan pada bagian atas dan posterior. Terdapat resesus faringeal lateral atau disebut fossa Rosenműller diantara bagian belakang batas posterior torus dan dinding posterior nasofaring. (Chew, 1997). Nasofaring merupakan bagian paling superior dari faring yang terletak di belakang kavum nasi sering disebut sebagai post nasal space (Gambar 9). Daerah paling banyak permulaan munculnya KNF adalah fossa Rosenműller (Gambar 10) (Khoo & Pua, 2013).

18 18 Gambar 9. Nasofaring dengan endoskopi fiberoptik. Nasofaring normal, panah: fossa Rosenműller (Khoo & Pua, 2013). Gambar 10. Karsinoma nasofaring dengan endoskopi fiberoptik. Panah: karsinoma nasofaring (Khoo & Pua, 2013) Saat lahir, nasofaring dilapisi epitel respirasi yaitu epitel pseudostratified columnar yang merupakan epitel dominan. Setelah 10 tahun kehidupan, epitel tersebut perlahan berubah menjadi dominan epitel nonkeratinizing stratified squamous, kecuali pada beberapa area (zona transisi) (Jeyakumar, 2006). Chew (1997) menyebutkan bahwa sekitar 60% dari seluruh epitel permukaan nasofaring dilapisi oleh epitel skuamous berlapis. Mukosa pada perbatasan koana dan atap nasofaring dilapisi oleh sebaran epitel skuamous

19 19 bersilia, dengan bagian tipe sel transisional atau intermediet, yang melapisi dinding atap dan dinding lateral nasofaring. Dinding posterior didominasi oleh lapisan epitel skuamous. Mukosa nasofaring dibedakan dari traktus respirasi bagian atas dalam hal jaringan ikat subepitelialnya yang kaya akan jaringan limfoid (Chew, 1997). 2. Epidemiologi KNF merupakan penyakit keganasan dengan angka kejadian tertinggi dan menjadi salah satu penyebab kematian utama di bidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Bedah Kepala dan Leher (THT-KL) baik di Indonesia maupun di Asia Tenggara. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher adalah KNF, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), tumor ganas rongga mulut, tonsil, tiroid, dan hipofaring dalam persentase yang lebih rendah. Perbandingan penderita lakilaki dan perempuan di Indonesia berkisar antara 2-3 berbanding 1, dengan frekuensi terbanyak pada umur tahun (Widiastuti, 2011). Berdasarkan data Laboratorium Patologi Anatomi, tumor ganas nasofaring sendiri selalu berada dalam kedudukan lima besar dari tumor ganas tubuh manusia bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit (Roezin & Adham, 2008). Insidensi KNF meningkat dengan bertambahnya usia, dengan puncak pada rentang usia tahun (Wu et al., 2016).

20 20 3. Perluasan Tumor pada Nasofaring Pertumbuhan tumor terbanyak berasal dari dinding lateral nasofaring, terutama fossa Rosenműller. Kebanyakan tumor eksofitik (sekitar 75 %), terdapat gambaran ulserasi (sekitar 10%) (Thompson, 2007). Distribusi tumor primer ditemukan pada (diurutkan berdasarkan frekuensi paling banyak: (1) Dinding lateral, terutama pada fossa Rosenműller dan sekitar muara tuba auditiva, (2) Dinding supero-posterior, (3) Lebih dari satu dinding, (4) Dinding anterior. Lebih dari 80 % tumor unilateral. Sisi kanan maupun kiri sama frekuensinya (Chew, 1997). KNF dapat meluas ke anterior (kavum nasi), inferior ke orofaring, superior ke basis kranii, lateral ke ruang parafaring dan posterior ke ruang retrofaring (Gambar 11) (Khoo & Pua, 2013). Gambar 11. Rute penyebaran lokal karsinoma nasofaring. 1:Nasofaring, 2: Fossa rosenműller, 3: Ruang Retrofaring, 4: Ruang parafaring, NC: kavum nasi, RPS: Ruang retrofaring, PPS: Ruang parafaring, SphS: Sinus sfenoid, SB: Basis kranii, OP: orofaring, : asal tumor paling sering (Khoo & Pua, 2013) KNF dapat menginfiltrasi organ sekitarnya seperti telinga tengah, ruang parafaring, dan fosa infratemporal. Kadang-kadang sumbatan tuba

21 21 auditiva dapat menghasilkan transudat. Proptosis merupakan akibat perluasan langsung dari tumor ke orbita dari fosa nasal posterior melalui selulae mastoid atau dari sinus kavernosa melalui fisura orbita superior. Nyeri kepala pada region temporal dan oksipital dapat terjadi ketika tumor meluas ke basis kranii, terdapat 20 % kasus nyeri kepala yang membutuhkan penanganan medis (Wu et al., 2016). Tumor nasofaring dapat meluas ke dalam telinga tengah, perluasan tumor dapat sampai mukosa atau submukosa (Korkut et al., 2011). KNF juga dapat memenuhi ruang telinga tengah. Rute penyebaran KNF ke telinga tengah adalah melalui tuba auditiva. Insidensi invasi KNF ke telinga tengah kemungkinan lebih tinggi daripada yang pernah dilaporkan (Low & Rangabashyam, 2012). Penelitian yang dilakukan Yang et al (2004) melaporkan bahwa terdapat kasus KNF yang meluas di sepanjang tuba auditiva yang terlihat dari tampilan pencitraan CT-scan dan MRI. Didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh King et al (1999), yang menyebutkan temuan MRI pasien dengan KNF yang menggambarkan muara tuba auditiva, otot levator veli palatina, ruang parafaring, dan otot tensor veli palatina merupakan struktur yang paling banyak terinfiltrasi oleh tumor (Korkut et al., 2011). KNF dapat bermetastasis ke limfonodi servikal, dan bermetastasis jauh (hematogen) ke tulang, paru-paru, mediastinum, dan hepar (meskipun metastasis ke hepar sangat jarang terjadi) (Brennan, 2006).

22 22 4. Etiologi dan Faktor Predisposisi Terdapat beberapa faktor etiologi yang mempengaruhi kemungkinan timbulnya KNF, seperti letak geografis, rasial, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman atau virus (Roezin & Adham, 2008). Banyak faktor lingkungan yang berperan penting terhadap berkembangnya KNF. Ikan asin dikeringkan yang merupakan makanan masyarakat Indonesia telah dilaporkan penyebab KNF karena terdapat kandungan nitrosamin. Paparan kronis dan asupan karsinogen kimiawi seperti formalin dan forboleter yang banyak digunakan di Indonesia diperkirakan juga menjadi faktor resiko penting (Adham et al., 2012). KNF 100% berhubungan dengan infeksi virus Epstein Barr (EBV), terutama karsinoma nasofaring tipe undifferentiated (WHO tipe III) (Adham et al., 2012). Telah dibuktikan dari beberapa penelitian bahwa terdapat kandungan DNA EBV pada sel KNF (Satyanarayana, 2003). 5. Penegakkan Diagnosis Gejala KNF dapat dibagi dalam 4 kelompok. Gejala tersebut berhubungan dengan lokasi tumor primer, infiltrasi tumor ke struktur sekitar nasofaring, atau metastasis ke nodus limfatikus servikalis. Apabila ada bagian tumor yang berupa ulkus, pasien dapat mengeluhkan epistaksis. Jumlah perdaharan pada epistaksis biasanya sedikit, dan bercampur dengan lendir, terjadi terutama pada pagi hari. Oleh karena itu nasofaring harus diperiksa

23 23 dengan cermat, bila perlu dengan menggunakan nasofaringoskop (Roezin & Adham, 2008; Wei & Chua, 2014). Gejala kelompok pertama adalah gejala pada hidung seperti epistaksis, obstruksi hidung dan keluar lendir dari hidung yang berkaitan dengan adanya masa tumor di nasofaring. Kelompok gejala kedua adalah gejala telinga seperti ketulian dan tinnitus yang berhubungan dengan disfungsi tuba auditiva yang diakibatkan oleh perluasan tumor ke latero-posterior yaitu ke ruang paranasofaring. Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat muara tuba auditiva (Fossa Rosenműller) (Roezin & Adham, 2008). Kelompok gejala ketiga adalah parese nervus kranialis, biasanya nervus ke 5 dan 6, yang berhubungan dengan perluasan tumor ke superior, yang mengawali erosi basis kranii. Pasien biasanya mengeluhkan nyeri kepala, diplopia, nyeri wajah, dan rasa tebal pada wajah. Kelompok gejala keempat adalah benjolan di leher, biasanya terdapat pada leher bagian atas. Gejala umum seperti anoreksia dan penurunan berat badan dapat terlihat pada pasien KNF, dan metastasis jauh harus dicurigai apabila terdapat gejala ini (Wei & Kwong, 2010). Berdasarkan Brennan (2006) penegakan diagnosis KNF meliputi: (1) Evaluasi klinis dari ukuran dan lokasi limfonodi servikal, (2) Nasofaringoskopi indirek, untuk menilai tumor primer, (3) Pemeriksaan neurologi untuk menilai nervus kranialis, (4) Pencitraan CT-scan/ MRI area kepala dan leher sampai batas bawah klavikula, dapat digunakan juga untuk menilai erosi basis kranii, (5) Pemeriksaan radiologis thoraks (anteroposterior

24 24 dan lateral) untuk menilai adakah metastasis ke paru-paru, (6) Scintigrafi tulang dengan Tc 99 difosfonat untuk menilai adakah metastasis ke tulang, (7) Pemeriksaan hitung darah lengkap, (8) Pemeriksaan ureum, elektrolit, kreatinin, fungsi hepar, Ca, PO4, alkali fosfat, (9) Antigen kapsul virus EBV dan DNA EBV, (10) Biopsi limfonodi atau tumor primer untuk pemeriksaan histologi (Brennan, 2006). 6. Histopatologi WHO mendefinisikan KNF sebagai suatu karsinoma yang tumbuh pada mukosa nasofaring yang memiliki bukti diferensiasi skuamous dari pemeriksaan mikroskop cahaya atau ultrastruktur (Thompson, 2007). Klasifikasi karsinoma nasofaring terbagi menjadi tiga tipe yaitu karsinoma sel skuamosa berkeratin, karsinoma berdiferensiasi tidak berkeratin dan karsinoma tidak terdiferensiasi. 7. Stadium Stadium untuk KNF berdasarkan sistem stadium dari American Joint Committee on Cancer tahun 1997 (Wei & Chua, 2014) seperti pada tabel 1 dan tabel 2.

25 25 Tabel 1. Kriteria TNM AJCC 1997 untuk Karsinoma Nasofaring Tumor Primer (T) Tx Tumor primer tidak dapat dinilai T0 Tidak ada bukti adanya tumor primer Tis Karsinoma insitu T1 Tumor terbatas nasofaring T2a Tumor meluas ke orofaring dan/atau kavum nasi tanpa perluasan ke parafaring* T2b Tumor dengan perluasan ke parafaring* T3 Tumor yang meluas ke struktur tulang dan/atau sinus paranasal T4 Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau melibatkan nervus kranialis, fosa infratemporal, hipofaring, orbit, atau ruang mastikator * Perluasan parafaring adalah infiltrasi posterolateral tumor melebihi fasia faringobasiler Limfonodi (N) Nx Limfonodi regional tidak dapat dinilai N0 Tidak ada metastasis limfonodi regional N1 Metastasis satu atau lebih limfonodi unilateral, 6 cm, di atas fosa supraklavikula N2 Metastasis satu atau lebih limfonodi bilateral, 6 cm, di atas fosa supraklavikula N3a Metastasis satu atau lebih limfonodi, > 6 cm N3b Metastasis satu atau lebih limfonodi, > 6 cm, dan perluasan pada fosa supraklavikula Metastasis (M) M0 Tidak ada metastasis jauh M1 Ada metastasis jauh Tabel 2. Kriteria Stadium AJCC 1997 untuk Karsinoma Nasofaring Stadium Karsinoma Nasofaring 0 TisN0M0 I T1N0M0 IIA T2aN0M0 IIB T1-2N1M0 atau T2aN1M0 atau T2bN-1M0 III T1-2bN2M0 atau T3N0-2M0 IVA T4N0-2M0 IVB Any T N3M0 IVC Any T Any N M1

26 26 8. Volume Tumor KNF Sze et al. menemukan bahwa dengan penambahan volume tumor 1 cm 3, diperkirakan terdapat resiko kegagalan lokal paska terapi sebesar 1%. Tumor yang berukuran besar akan kekurangan oksigen, sel tumor yang mengalami hipoksia tersebut memiliki reaksi yang buruk terhadap radiasi dibandingkan dengan sel tumor yang kaya akan oksigen. Oleh karena itu jika volume tumor semakin besar, memerlukan dosis radiasi yang semakin besar juga, dan prognosis nya juga semakin buruk (He et al., 2016). Sejauh ini volume tumor belum dimasukkan ke dalam penegakan stadium KNF, namun penelitian klinis menunjukkan bahwa pada pasien yang mendapatkan radioterapi konvensional atau intensity modulated radiotherapy (IMRT), volume tumor sangat berhubungan dengan prognosis KNF. Saat ini memang belum ada konsensus untuk menentukan berapa cut-off nilai volume tumor yang dapat memprediksi prognosis buruk, terlihat dari beberapa hasil penelitian yang tidak konsisten. Hal ini yang menjadi alasan utama mengapa volume tumor belum dipertimbangkan untuk masuk ke dalam penentuan stadium klinis KNF. Hasil penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa volume tumor >50-60 ml, berhubungan dengan prognosis buruk. Dalam menentukan prognosis diketahui pula bahwa volume tumor lebih superior dibandingkan dengan ukuran tumor (T) (He et al., 2016).

27 27 C. Hubungan Tekanan Telinga Tengah dengan Tumor pada Nasofaring Beberapa pasien KNF mengeluhkan masalah pada telinga. Keluhan yang paling sering adalah otitis media dengan efusi, disertai penurunan pendengaran konduksi, telinga terasa tidak nyaman, dan tersumbat. KNF menyebabkan obstruksi mekanik atau fungsional pada tuba auditiva sehingga terbentuknya otitis media efusi (Chung-Feng et al., 2005). Terdapat teori lama yang dikenal dengan nama teori ex vacuo yang menyebutkan bahwa terjadinya otitis media efusi dimulai dari obstruksi mekanik aliran udara yang melewati tuba auditiva, yang menyebabkan telinga tengah dalam kondisi terisolasi, dengan tetap berlanjutnya proses penyerapan oksigen oleh jaringan, akan terbentuk tekanan negatif, pada akhirnya terbentuk efusi dan terakumulasi pada telinga tengah (De Ru & Grote, 2004). Tuba auditiva mempunyai peran penting pada penyebaran keganasan seperti KNF (Smith et al., 2016). Namun Korkut et al. (2011) menyebutkan bahwa keterlibatan telinga tengah pada pasien dengan KNF sangat jarang, dan hanya beberapa kasus saja (lima kasus) yang bermetastasis ke telinga tengah. Efusi telinga tengah terjadi pada lebih dari 38% pasien dengan KNF pada saat terdiagnosis, dan telah dilaporkan bahwa terdapat hubungan dengan perluasan tumor ke parafaring (Kew, 1999). Pasien yang menderita keganasan kepala dan leher dapat mengalami otitis media dengan efusi (OME), yang merupakan penyakit primer, timbul pasca terapi, atau kombinasi keduanya. Beberapa mekanisme telah diteliti, tumor dapat menginvasi atau menekan tuba auditiva. Tumor faring atau kavum oris atau

28 28 pembedahan pada daerah tersebut dapat mengganggu fungsi otot yang mengontrol tuba auditiva, terutama tensor veli palatina (Weiss et al., 1994). Salah satu penjelasan mekanisme terjadinya otitis media pada pasien dewasa yang menderita KNF kemungkinan karena sumbatan mekanik, tumor dapat menginvasi langsung dengan menekan tuba auditiva, atau mengganggu fungsi otot yang mengontrol tuba auditiva yaitu otot tensor veli palatina. Sehingga dapat menyumbat aliran udara yang melalui tuba auditiva, sehingga menyebabkan tekanan negatif di dalam telinga tengah yang diikuti dengan terbentuknya efusi. Dapat disimpulkan otitis media mungkin merupakan manifestasi klinis awal terjadinya KNF (Huang et al., 2012). Dengan adanya kondisi tuba auditiva yang tidak dapat terbuka, dapat dianalisa bahwa terdapat abnormalitas lokal seperti KNF, pembengkakan mukosa maksila dan sfenoid serta adanya cairan dari kavitas mastoid (Lükens et al., 2012). KNF stadium awal pada fossa Rosenműller dapat menginvasi torus tubarius secara langsung dan menginduksi otitis media tanpa melibatkan otot tensor veli palatina, otot levator veli palatina, dan saraf. Sedangkan pada KNF stadium lanjut, tumor dapat merusak jaringan secara luas, tidak hanya otot dan kartilago tuba auditiva, saraf dan ujung saraf juga dapat mengalami kerusakan. Pasien dengan kerusakan tuba auditiva yang luas akan sulit diperbaiki fungsinya meskipun setelah terapi selesai (Chung-Feng et al., 2005). Tumor yang berukuran kecil pada fossa Rosenműller seharusnya tidak mengganggu fungsi tuba auditiva, namun pada KNF keterlibatan fossa Rosenműller dapat terjadi disfungsi tuba (Young & Hsieh, 1992). Tumor dapat

29 29 menyebar melalui jaringan mukosa dan submukosa, atau sepanjang otot didalam jaringan lemak fibrosa atau sepanjang jalur neuro-vaskula. Terdapat beberapa teori tentang terjadinya disfungsi tuba auditiva pada kasus KNF (Low & Rangabashyam, 2012). Teori pertama adalah teori infiltrasi tumor ke otot. Pada studi post mortem, telah dilakukan pemeriksaan histologi pada tuba auditiva pasien dengan KNF. Ditemukan bahwa terkadang tumor menginfiltrasi lapisan submukosa tuba auditiva sehingga menyebabkan obstruksi, tumor juga menginfiltrasi ke otot tuba, namun tumor tidak menyumbat muara dan lumen tuba secara langsung (Low & Rangabashyam, 2012). Sade (1994) menyebutkan bahwa polip hidung yang meluas sampai koana mengisi kavitas nasofaring lebih besar dibandingkan dengan ukuran tumor, namun tidak berhubungan dengan kejadian efusi telinga tengah. Kemungkinan kejadian efusi telinga tengah tersebut dihubungkan dengan infiltrasi tumor pada otot. Oleh karena itu kejadian efusi telinga tengah pada pasien dengan KNF terjadi akibat gangguan aliran udara antara telinga tengah dengan nasofaring melewati tuba auditiva karena otot tuba yang sudah mengalami gangguan, bukan karena muara tuba auditiva tertutup oleh masa tumor (Sade, 1994). Teori kedua adalah teori neurogenik. Sue et al. (1993) melakukan penelitian dengan elektromiogenik (EMG) pada otot tensor veli palatina dan levator veli palatina pada pasien KNF. Pola gelombang abnormal ditemukan pada otot tensor veli palatina terdapat pada telinga yang mengalami keluhan telinga, sedangkan telinga tanpa keluhan pola gelombang normal. Kesimpulan dari

30 30 penelitian tersebut adalah paralisis neurogenik dari otot tensor veli palatina pada sisi yang terdapat lesi tumor mempunyai peran penting untuk pathogenesis obstruksi fungsional tuba auditiva yang menyebabkan efusi telinga tengah (Low & Rangabashyam, 2012). Teori ketiga adalah teori erosi kartilago. Low (1997) telah melakukan penelitian pemeriksaan MRI pada pasien KNF yang berhubungan dengan efusi telinga tengah dan terdapat kecenderungan bahwa kartilago tuba auditiva tererosi oleh tumor (Low & Rangabashyam, 2012). Gambaran timpanogram pada penderita KNF yang mempunyai gejala gangguan pada telinga adalah tipe C, terjadinya oklusi tuba karena penekanan tumor lumen tuba atau infiltrasi sel-sel tumor pada otot tensor veli palatina, dan bila proses berlanjut akan menjadi otitis media dengan efusi (OME) dengan gambaran timpanogram tipe B (Antono, 1998). Penambahan volume cairan di dalam telinga tengah dihubungkan dengan grafik timpanogram yang mendatar. Berkurangnya tekanan telinga tengah dan meningkatnya volume cairan di dalam telinga tengah dapat dihubungkan dengan gangguan ambang dengar (Dempster & Mackenzie, 1991). Dari penelitian tentang tekanan telinga tengah pada pasien dengan KNF yang dilakukan oleh Low (1995) diketahui bahwa sebanyak 66,7% telinga pasien menderita efusi telinga tengah pasca radioterapi. Pasien tersebut memiliki tekanan telinga tengah pre radioterapi setidaknya -45 mm H2O. Dapat disimpulkan bahwa timpanometri sebelum radioterapi terbukti berguna untuk mengidentifikasi telinga

31 31 dengan resiko tinggi akan mengalami efusi telinga tengah pasca radioterapi (Low & Rangabashyam, 2012). Tekanan telinga tengah yang negatif pada pasien dengan KNF kemungkinan disebabkan oleh paling sedikit tiga mekanisme : (1) Tekanan telinga tengah yang negatif merupakan hasil dari efek tidak langsung dari tumor yang menyebabkan perubahan aliran udara pada ruang di belakang hidung. Suatu massa tumor dengan posisi asimetris yang berlokasi di ruang belakang hidung dapat menimbulkan turbulensi aliran udara akibat aliran udara asimetrsi dari kedua lubang hidung. Hal ini menghasilkan tekanan telinga tengah sedikit negatif, biasanya pada rentang -20 sampai -40 mmh2o, dan ditambah dengan disfungsi sekunder tuba auditiva karena efek tuba auditiva yang kering, reaksi inflamasi sekunder terhadap deposisi partikel dan gangguan ventilasi akibat mekanisme refleks, (2) Sumbatan tuba auditiva oleh invasi tumor secara langsung atau kegagalan pembukaan tuba auditiva akibat invasi tumor ke otot tensor veli palatina, sehingga dapat menghasilkan tekanan telinga tengah negatif, (3) Telah diketahui bahwa tekanan telinga tengah yang sangat negatif yang cukup untuk menyebabkan efusi telinga tengah dapat diinduksi dari mengendus (sniffing), ketika terdapat kegagalan penutupan tuba auditiva. Terdapat bukti bahwa erosi kartilago tuba auditiva secara langsung oleh tumor mempunyai peran penting dalam patogenesis efusi telinga tengah pada KNF karena kegagalan mekanisme penutupan tuba auditiva (Low, 1995).

32 32 D. Kerangka Teori Karsinoma nasofaring Volume Tumor Infiltrasi tumor ke otot tuba auditiva Erosi kartilago tuba auditiva Disfungsi tuba auditiva Penurunan tekanan telinga tengah Efusi telinga tengah Penurunan konduksi pendengaran

33 33 E. Kerangka Konsep Karsinoma Nasofaring Volume Tumor Infiltrasi Tumor Disfungsi Tuba Auditiva Penurunan Tekanan Telinga Tengah F. Hipotesis Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka di atas, maka dapat dibuat suatu hipotesis yaitu : Terdapat hubungan antara tekanan telinga tengah dengan volume tumor karsinoma nasofaring.

KARSINOMA DEPT. ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK-KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN-USU RS. H. ADAM MALIK 2009

KARSINOMA DEPT. ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK-KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN-USU RS. H. ADAM MALIK 2009 KARSINOMA NASOFARING DEPT. ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK-KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN-USU RS. H. ADAM MALIK 2009 Tumor ganas kepala dan leher yang terbanyak di Indonesia Banyak terjadi di dunia, insidens

Lebih terperinci

KARSINOMA NASOFARING

KARSINOMA NASOFARING KARSINOMA NASOFARING DEPT. ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK-KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN-USU RS. H. ADAM MALIK 2009 Tumor ganas kepala dan leher yang terbanyak di Indonesia Banyak terjadi di dunia, insidens

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang cenderung didiagnosis pada stadium lanjut dan merupakan penyakit dengan angka kejadian tertinggi serta menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker adalah pertumbuhan dan penyebaran sel secara tidak terkendali, sering menyerang jaringan sekitar dan dapat bermetastasis atau menyebar ke organ lain (World Health

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ganas hidung dan sinus paranasal (18 %), laring (16%), dan tumor ganas. rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah.

BAB I PENDAHULUAN. ganas hidung dan sinus paranasal (18 %), laring (16%), dan tumor ganas. rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60 % tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. lebih dari setengahnya terdapat di negara berkembang, sebagian besar dari

BAB 1 PENDAHULUAN. lebih dari setengahnya terdapat di negara berkembang, sebagian besar dari BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini jumlah penderita kanker di seluruh dunia semakin meningkat. Dari kasus kanker baru yang jumlahnya diperkirakan sembilan juta setiap tahun lebih dari setengahnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Karsinoma laring adalah keganasan pada laring yang berasal dari sel epitel laring.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Karsinoma laring adalah keganasan pada laring yang berasal dari sel epitel laring. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma laring adalah keganasan pada laring yang berasal dari sel epitel laring. Lebih dari 90% penderita karsinoma laring memiliki gambaran histopatologi karsinoma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keganasan yang berasal dari sel epitel yang melapisi daerah nasofaring (bagian. atas tenggorok di belakang hidung) (KPKN, 2015).

BAB I PENDAHULUAN. keganasan yang berasal dari sel epitel yang melapisi daerah nasofaring (bagian. atas tenggorok di belakang hidung) (KPKN, 2015). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker masih menjadi masalah serius bagi dunia kesehatan. Hal ini terbukti dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas akibat kanker di seluruh dunia. Terdapat 14

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumor rongga hidung dan sinus paranasal atau disebut juga tumor sinonasal adalah tumor yang dimulai dari dalam rongga hidung atau sinus paranasal di sekitar hidung.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kelainan siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak terkendali (pembelahan sel melebihi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Nasofaring merupakan ruang berbentuk trapezoid yang dilapisi epitel

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Nasofaring merupakan ruang berbentuk trapezoid yang dilapisi epitel BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring Nasofaring merupakan ruang berbentuk trapezoid yang dilapisi epitel pseudostratified columnar tipe pernafasan dan epitel non keratinizing stratified squamous

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas epitel nasofaring. Etiologi tumor ganas ini bersifat multifaktorial, faktor etnik dan geografi mempengaruhi risiko

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma Nasofarings (KNF) merupakan subtipe yang berbeda dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma Nasofarings (KNF) merupakan subtipe yang berbeda dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karsinoma Nasofarings (KNF) merupakan subtipe yang berbeda dari Kanker Kepala Leher (KKL) dalam hal epidemiologi, karakteristik klinis, etiologi, dan histopatologi (Ruiz

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller. Kesulitan diagnosis dini pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Epstein-Barr Virus (EBV) menginfeksi lebih dari. 90% populasi dunia. Di negara berkembang, infeksi

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Epstein-Barr Virus (EBV) menginfeksi lebih dari. 90% populasi dunia. Di negara berkembang, infeksi BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Epstein-Barr Virus (EBV) menginfeksi lebih dari 90% populasi dunia. Di negara berkembang, infeksi primer terjadi pada awal masa anak-anak dan umumnya asimptomatik.

Lebih terperinci

Laporan Kasus Besar. Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE

Laporan Kasus Besar. Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE Laporan Kasus Besar Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE 406117055 IDENTITAS PASIEN PEMERIKSAAN SUBJEKTIF AUTOANAMNESIS Rabu, 25 April jam 09.00 1. Keluhan Utama Benjolan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Nasofaring Nasofaring merupakan ruang atau rongga berbentuk kubus yang terletak di belakang rongga hidung atau koana, tepat di bawah dasar tengkorak yang berhubungan

Lebih terperinci

TUMOR NASOFARING. Tumor benigna - Angiofibroma belia Tumor maligna - Karsinoma nasofaring (KNF)

TUMOR NASOFARING. Tumor benigna - Angiofibroma belia Tumor maligna - Karsinoma nasofaring (KNF) TUMOR NASOFARING TUMOR NASOFARING Tumor benigna - Angiofibroma belia Tumor maligna - Karsinoma nasofaring (KNF) - Limfoma non Hogdkin - Karsinoma kistik adenoid - Adenocarcinoma & tumor kel. ludah minor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kepala leher dan paling sering ditemukan di Indonesia dan sampai saat ini belum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kepala leher dan paling sering ditemukan di Indonesia dan sampai saat ini belum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karsinoma nasofarings (KNF) merupakan keganasan yang menyerang daerah kepala leher dan paling sering ditemukan di Indonesia dan sampai saat ini belum diketahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otitis media supuratif kronis (OMSK) merupakan peradangan dan infeksi kronis pada telinga tengah dan rongga mastoid yang ditandai dengan adanya sekret yang keluar terus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kepala dan leher adalah penyebab kematian akibat kanker tersering

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kepala dan leher adalah penyebab kematian akibat kanker tersering 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kanker kepala dan leher adalah penyebab kematian akibat kanker tersering kedelapan di seluruh dunia. Insiden penyakit ini memiliki variasi pada wilayah dan ras yang

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 DATA SAMPEL PENELITIAN

LAMPIRAN 1 DATA SAMPEL PENELITIAN LAMPIRAN 1 DATA SAMPEL PENELITIAN NO NAMA MR UMUR SEX SUKU STADIUM PA (TIPE) EKSPRESI LMP1 1 IH 350582 43 LK BATAK IVC 3 0 2 K 405691 59 LK ACEH IVB 3 3 3 DP 351293 37 LK BATAK III 2 3 4 NS 352005 85 LK

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. berhubungan dengan orofaring. Nasofaring di bagian anterior berbatasan dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. berhubungan dengan orofaring. Nasofaring di bagian anterior berbatasan dengan 5 2.1 Anatomi Nasofaring BAB II KAJIAN PUSTAKA Nasofaring merupakan ruang atau rongga berbentuk kubus yang terletak di belakang rongga hidung atau koana, tepat di bawah dasar tengkorak yang berhubungan

Lebih terperinci

OSTEOSARCOMA PADA RAHANG

OSTEOSARCOMA PADA RAHANG OSTEOSARCOMA PADA RAHANG SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran gigi Oleh : AFRINA ARIA NINGSIH NIM : 040600056 FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K)

Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K) TUMOR HIDUNG DAN SINUS PARANASAL Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K) Tumor jinak sering ditemukan, sedangkan tumor ganas jarang ± 3% dari tumor kepala leher & 1% dari seluruh keganasan. Gejala klinis tumor

Lebih terperinci

Anatomi dan fisiologi tenggorokan Anatomi Tenggorokan 8

Anatomi dan fisiologi tenggorokan Anatomi Tenggorokan 8 Anatomi dan fisiologi tenggorokan 2.3.1 Anatomi Tenggorokan 8 Tenggorokan merupakan bagian dari leher depan dan kolumna vertebra, terdiri dari faring dan laring. Bagian terpenting dari tenggorokan adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada umumnya tumor ganas THT-KL ditemukan pada rongga mulut, orofaring,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada umumnya tumor ganas THT-KL ditemukan pada rongga mulut, orofaring, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Kepala dan Leher Pada umumnya tumor ganas THT-KL ditemukan pada rongga mulut, orofaring, nasofaring, hidung dan sinus paranasal, hipofaring, laring dan telinga. Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. inflamasi kronik telinga tengah yang ditandai dengan perforasi membran timpani

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. inflamasi kronik telinga tengah yang ditandai dengan perforasi membran timpani BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan salah satu penyakit inflamasi kronik telinga tengah yang ditandai dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor

LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor A. DEFINISI Jaringan lunak adalah bagian dari tubuh yang terletak antara kulit dan tulang serta organ tubuh bagian dalam. Yang tergolong jaringan lunak antara lain

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mencapai stadium lanjut dan mempunyai prognosis yang jelek. 1,2

BAB 1 PENDAHULUAN. mencapai stadium lanjut dan mempunyai prognosis yang jelek. 1,2 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Osteosarkoma adalah keganasan pada tulang yang sering dijumpai pada anak-anak dan dewasa. Ketepatan diagnosis pada keganasan tulang sangat penting karena

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Telinga Tengah Rongga yang terdapat antara membran timpani dengan tulang labirin yang terdapat ditulang petrosus berisi antara lain rantai osikuler, tuba eustachius dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker adalah pertumbuhan dan penyebaran sel secara tidak terkendali, sering menyerang jaringan disekitarnya dan dapat bermetastatis atau menyebar keorgan lain (WHO,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang WHO (World Health Organization) menyatakan bahwa lima besar karsinoma di dunia adalah karsinoma paru-paru, karsinoma mamae, karsinoma usus besar dan karsinoma lambung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keganasan epitel tersebut berupa Karsinoma Sel Skuamosa Kepala dan Leher (KSSKL)

BAB I PENDAHULUAN. keganasan epitel tersebut berupa Karsinoma Sel Skuamosa Kepala dan Leher (KSSKL) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma kepala dan leher merupakan istilah luas yang mengacu kepada keganasan epitel sinus paranasalis, rongga hidung, rongga mulut, faring, dan laring. Hampir seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma epitel skuamosa yang timbul

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma epitel skuamosa yang timbul BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma epitel skuamosa yang timbul dari permukaan dinding lateral nasofaring (Zeng and Zeng, 2010; Tulalamba and Janvilisri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kanker adalah penyakit keganasan yang ditandai dengan pembelahan sel

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kanker adalah penyakit keganasan yang ditandai dengan pembelahan sel BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kanker adalah penyakit keganasan yang ditandai dengan pembelahan sel yang tak terkendali dan kemampuan sel-sel tersebut untuk menyerang jaringan lainnya, baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Paradigma mengenai kanker bagi masyarakat umum. merupakan penyakit yang mengerikan.

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Paradigma mengenai kanker bagi masyarakat umum. merupakan penyakit yang mengerikan. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Paradigma mengenai kanker bagi masyarakat umum merupakan penyakit yang mengerikan. Banyak orang yang merasa putus harapan dengan kehidupannya setelah terdiagnosis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mukosa rongga mulut. Beberapa merupakan penyakit infeksius seperti sifilis,

BAB 1 PENDAHULUAN. mukosa rongga mulut. Beberapa merupakan penyakit infeksius seperti sifilis, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejumlah penyakit penting dan serius dapat bermanifestasi sebagai ulser di mukosa rongga mulut. Beberapa merupakan penyakit infeksius seperti sifilis, tuberkulosis,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinusitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Sinusitis juga dapat disebut rinosinusitis, menurut hasil beberapa diskusi pakar yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju terlebih lagi bagi negara berkembang. Angka kematian akibat

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju terlebih lagi bagi negara berkembang. Angka kematian akibat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Karsinoma rongga mulut merupakan ancaman besar bagi kesehatan masyarakat di negara maju terlebih lagi bagi negara berkembang. Angka kematian akibat kanker terus meningkat

Lebih terperinci

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,

Lebih terperinci

Kanker Paru-Paru. (Terima kasih kepada Dr SH LO, Konsultan, Departemen Onkologi Klinis, Rumah Sakit Tuen Mun, Cluster Barat New Territories) 26/9

Kanker Paru-Paru. (Terima kasih kepada Dr SH LO, Konsultan, Departemen Onkologi Klinis, Rumah Sakit Tuen Mun, Cluster Barat New Territories) 26/9 Kanker Paru-Paru Kanker paru-paru merupakan kanker pembunuh nomor satu di Hong Kong. Ada lebih dari 4.000 kasus baru kanker paru-paru dan sekitar 3.600 kematian yang diakibatkan oleh penyakit ini setiap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB 2 TUMOR GANAS PADA 2/3 WAJAH. Tumor ganas yang sering terjadi pada wajah terdiri atas dua jenis yaitu: basal

BAB 2 TUMOR GANAS PADA 2/3 WAJAH. Tumor ganas yang sering terjadi pada wajah terdiri atas dua jenis yaitu: basal BAB 2 TUMOR GANAS PADA 2/3 WAJAH Tumor ganas yang sering terjadi pada wajah terdiri atas dua jenis yaitu: basal sel karsinoma dan skuamous sel karsinoma. Tumor ganas yang sering terjadi pada bagian bibir,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel nasofaring (Brennan, 2006). Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang relatif jarang ditemukan

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN RADIOGRAFI KALSIFIKASI ARTERI KAROTID. Tindakan membaca foto roentgen haruslah didasari dengan kemampuan

BAB 3 GAMBARAN RADIOGRAFI KALSIFIKASI ARTERI KAROTID. Tindakan membaca foto roentgen haruslah didasari dengan kemampuan BAB 3 GAMBARAN RADIOGRAFI KALSIFIKASI ARTERI KAROTID Tindakan membaca foto roentgen haruslah didasari dengan kemampuan seorang dokter gigi untuk mengenali anatomi normal rongga mulut, sehingga jika ditemukan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai 8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis Sinusitis adalah proses peradangan atau infeksi dari satu atau lebih pada membran mukosa sinus paranasal dan terjadi obstruksi dari mekanisme drainase normal. 9,15

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring merupakan neoplasma yang berasal dari lapisan

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring merupakan neoplasma yang berasal dari lapisan BAB I PENDAHULUAN Karsinoma nasofaring merupakan neoplasma yang berasal dari lapisan epitel mukosa nasofaring, dan merupakan tumor paling umum yang mengenai nasofaring. Karsinoma nasofaring dikenal sebagai

Lebih terperinci

KESINTASAN PENDERITA KARSINOMA NASOFARING DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN

KESINTASAN PENDERITA KARSINOMA NASOFARING DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN KESINTASAN PENDERITA KARSINOMA NASOFARING DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN Oleh Riska Adriana 131421100503 TESIS Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Guna Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

ABSTRAK. Etiopatogenesis Karsinoma Nasofaring (KNF) Rabbinu Rangga Pribadi, Pembimbing: dr. Freddy Tumewu A., M.S.

ABSTRAK. Etiopatogenesis Karsinoma Nasofaring (KNF) Rabbinu Rangga Pribadi, Pembimbing: dr. Freddy Tumewu A., M.S. ABSTRAK Etiopatogenesis Karsinoma Nasofaring (KNF) Rabbinu Rangga Pribadi, 2005. Pembimbing: dr. Freddy Tumewu A., M.S. Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas kepala dan leher yang paling banyak

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL. Korelasi stadium..., Nurul Nadia H.W.L., FK UI., Universitas Indonesia

BAB 4 HASIL. Korelasi stadium..., Nurul Nadia H.W.L., FK UI., Universitas Indonesia BAB 4 HASIL 4.1 Pengambilan Data Data didapatkan dari rekam medik penderita kanker serviks Departemen Patologi Anatomi RSCM pada tahun 2007. Data yang didapatkan adalah sebanyak 675 kasus. Setelah disaring

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pharynx merupakan suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pharynx merupakan suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Pharynx Pharynx merupakan suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti corong yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Pharynx terletak di belakang

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN 31 BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan leher 4.2. Rancangan Penelitian Desain penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kulit terbagi 2 kelompok yaitu melanoma dan kelompok non

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kulit terbagi 2 kelompok yaitu melanoma dan kelompok non 15 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker kulit terbagi 2 kelompok yaitu melanoma dan kelompok non melanoma. Kelompok non melanoma dibedakan atas karsinoma sel basal (KSB), karsinoma sel skuamosa

Lebih terperinci

Membahas bio-akustik berarti berusaha mengurai keterkaitan antara bunyi. gelombang bunyi, getaran dan sumber bunyi dengan kesehatan.

Membahas bio-akustik berarti berusaha mengurai keterkaitan antara bunyi. gelombang bunyi, getaran dan sumber bunyi dengan kesehatan. _Bio Akustik_01 Membahas bio-akustik berarti berusaha mengurai keterkaitan antara bunyi gelombang bunyi, getaran dan sumber bunyi dengan kesehatan. Apa sih yang dimaksud gelombang itu? dan apa hubungannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan sekret yang keluar terus-menerus atau hilang timbul yang terjadi lebih dari 3

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan sekret yang keluar terus-menerus atau hilang timbul yang terjadi lebih dari 3 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan salah satu penyakit inflamasi kronik telinga tengah yang ditandai dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL DAN BAHASAN. adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT

BAB 5 HASIL DAN BAHASAN. adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT 32 BAB 5 HASIL DAN BAHASAN 5.1 Gambaran Umum Sejak Agustus 2009 sampai Desember 2009 terdapat 32 anak adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT RSUP Dr. Kariadi Semarang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma servik merupakan penyakit kedua terbanyak pada perempuan

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma servik merupakan penyakit kedua terbanyak pada perempuan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma servik merupakan penyakit kedua terbanyak pada perempuan dengan usia rata-rata 55 tahun (Stoler, 2014). Diperkirakan terdapat 500.000 kasus baru setiap

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan

BAB 6 PEMBAHASAN. tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan BAB 6 PEMBAHASAN 6.1. Karakteristik subyek penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata usia sampel penelitian 47,2 tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan penelitian

Lebih terperinci

Telinga Luar. Dalam kulit kanal auditorius eksterna. Glandula seminurosa. Sekresi substansi lilin. serumen. tertimbun. Kanalis eksternus.

Telinga Luar. Dalam kulit kanal auditorius eksterna. Glandula seminurosa. Sekresi substansi lilin. serumen. tertimbun. Kanalis eksternus. Gangguan pendengaran Kelainan telinga dapat menyebabkan tuli konduktif, tuli sensorineural/saraf/perseptif, atau tuli campur. 1. Tuli konduktif disebabkan kelainan di telinga luar atau telinga tengah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan kedua tersering pada keganasan daerah kepala leher di beberapa Negara Eropa (Chu dan Kim 2008). Rata-rata

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian pada 45 penderita karsinoma epidermoid serviks uteri

BAB 6 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian pada 45 penderita karsinoma epidermoid serviks uteri 78 BAB 6 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian pada 45 penderita karsinoma epidermoid serviks uteri stadium lanjut yaitu stadium IIB dan IIIB. Pada penelitian dijumpai penderita dengan stadium IIIB adalah

Lebih terperinci

Jaringan Tubuh. 1. Jaringan Epitel. 2. Jaringan Otot. 3. Jaringan ikat/penghubung. 4. Jaringan Saraf

Jaringan Tubuh. 1. Jaringan Epitel. 2. Jaringan Otot. 3. Jaringan ikat/penghubung. 4. Jaringan Saraf Jaringan Tubuh 1. Jaringan Epitel 2. Jaringan Otot 3. Jaringan ikat/penghubung 4. Jaringan Saraf Jaringan Epitel Tersusun atas lapisan-lapisan sel yang menutup permukaan saluran pencernaan, saluran pada

Lebih terperinci

2.3 Patofisiologi. 2.5 Penatalaksanaan

2.3 Patofisiologi. 2.5 Penatalaksanaan 2.3 Patofisiologi Otitis media dengan efusi (OME) dapat terjadi selama resolusi otitis media akut (OMA) sekali peradangan akut telah teratasi. Di antara anak-anak yang telah memiliki sebuah episode dari

Lebih terperinci

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Prostat Kanker prostat merupakan tumor ganas yang paling umum ditemukan pada populasi pria di Amerika Serikat, dan juga merupakan kanker pembunuh ke-5 populasi pria di Hong Kong. Jumlah pasien telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah telinga, hidung, dan tenggorokan merupakan masalah yang sering terjadi pada anak anak, misal otitis media akut (OMA) merupakan penyakit kedua tersering pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung selama minimal 12 minggu berturut-turut. Rinosinusitis kronis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker atau karsinoma merupakan istilah untuk pertumbuhan sel abnormal dengan kecepatan pertumbuhan melebihi normal dan tidak terkontrol. (World Health Organization,

Lebih terperinci

11/29/2013 PENGINDERAAN ADALAH ORGAN- ORGAN AKHIR YANG DIKHUSUSKAN UNTUK MENERIMA JENIS RANGSANGAN TERTENTU

11/29/2013 PENGINDERAAN ADALAH ORGAN- ORGAN AKHIR YANG DIKHUSUSKAN UNTUK MENERIMA JENIS RANGSANGAN TERTENTU ANATOMI FISIOLOGI SISTEM PENGINDERAAN PENGINDERAAN ADALAH ORGAN- ORGAN AKHIR YANG DIKHUSUSKAN UNTUK MENERIMA JENIS RANGSANGAN TERTENTU BEBERAPA KESAN TIMBUL DARI LUAR YANG MENCAKUP PENGLIHATAN, PENDENGARAN,

Lebih terperinci

CA TONSIL 1. DEFINISI CA TONSIL

CA TONSIL 1. DEFINISI CA TONSIL CA TONSIL 1. DEFINISI CA TONSIL Kanker tonsil andalah indikasi keganasan pada tonsil. Penyakit tonsil dan adenoid merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi dalam masyarakat. Nyeri tenggorokan, infeksi,

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA An. N DENGAN POST OPERASI TONSILEKTOMI DI BANGSAL ANGGREK RSUD SUKOHARJO

ASUHAN KEPERAWATAN PADA An. N DENGAN POST OPERASI TONSILEKTOMI DI BANGSAL ANGGREK RSUD SUKOHARJO 42 ASUHAN KEPERAWATAN PADA An. N DENGAN POST OPERASI TONSILEKTOMI DI BANGSAL ANGGREK RSUD SUKOHARJO KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Mendapatkan Gelar Ahli Madya Keperawatan ( Di Susun

Lebih terperinci

BAB I TINJAUAN PUSTAKA

BAB I TINJAUAN PUSTAKA 1 BAB I TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Kanker Paru Kanker paru adalah tumor ganas paru primer yang berasal dari saluran napas atau epitel bronkus. Terjadinya kanker ditandai dengan pertumbuhan sel yang tidak normal,

Lebih terperinci

Penyebab, Gejala, dan Pengobatan Kanker Payudara Thursday, 14 August :15

Penyebab, Gejala, dan Pengobatan Kanker Payudara Thursday, 14 August :15 Kanker payudara adalah penyakit dimana selsel kanker tumbuh di dalam jaringan payudara, biasanya pada ductus (saluran yang mengalirkan ASI ke puting) dan lobulus (kelenjar yang membuat susu). Kanker atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyak kendala yang sering dijumpai dalam menentukan diagnosis peradangan sinus paranasal. Gejala dan tandanya sangat mirip dengan gejala dan tanda akibat infeksi saluran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2006). Kanker leher kepala telah tercatat sebanyak 10% dari kanker ganas di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2006). Kanker leher kepala telah tercatat sebanyak 10% dari kanker ganas di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kanker leher kepala merupakan kanker yang terdapat pada permukaan mukosa bagian dalam hidung dan nasofaring sampai trakhea dan esophagus, juga sering melibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan mendengar dan berkomunikasi dengan orang lain. Gangguan

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan mendengar dan berkomunikasi dengan orang lain. Gangguan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Telinga adalah organ penginderaan yang berfungsi ganda untuk pendengaran dan keseimbangan dengan anatomi yang kompleks. Indera pendengaran berperan penting dalam

Lebih terperinci

Yani Mulyani, M.Si, Apt STFB

Yani Mulyani, M.Si, Apt STFB Yani Mulyani, M.Si, Apt STFB Kegiatan menginhalasi dan mengekshalasi udara dengan tujuan mempertukarkan oksigen dengan CO2 = bernafas/ventilasi Proses metabolisme selular dimana O2 dihirup, bahan2 dioksidasi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sikap yang biasa saja oleh penderita, oleh karena tidak memberikan keluhan

I. PENDAHULUAN. sikap yang biasa saja oleh penderita, oleh karena tidak memberikan keluhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembesaran kelenjar (nodul) tiroid atau struma, sering dihadapi dengan sikap yang biasa saja oleh penderita, oleh karena tidak memberikan keluhan yang begitu berarti

Lebih terperinci

LAMPIRAN. VEG F HY L 42 Melayu III NK SCC 2 2. No MR Nama Sex Usia Suku Std PA. Adeno P 22. Jawa. Jawa. Adenoid P 70

LAMPIRAN. VEG F HY L 42 Melayu III NK SCC 2 2. No MR Nama Sex Usia Suku Std PA. Adeno P 22. Jawa. Jawa. Adenoid P 70 Lampiran 1 Data Sampel Penelitian LAMPIRAN No MR Nama Sex Usia Suku Std PA VEG F 1 7.57.97 HY L 42 Melayu III NK SCC 2 2 7.72.01 SD Jawa Adeno P 22 IVb 8.4.47 SS Jawa Adenoid P 70 IVb cystic 4 8.46.18

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karsinoma Nasofaring 2.1.1. Defenisi Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi difosa Rosenmuller dan atap nasofaring.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Karsinoma Nasofaring 2.2.1 Anatomi nasofaring Nasofaring merupakan ruang berbentuk trapezoid dengan ukuran tinggi 4 cm, lebar 4 cm dan anteroposterior 3 cm. Dinding anterior

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis. Setiap rongga sinus ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikalangan wanita sedunia, meliputi 16% dari semua jenis kanker yang diderita

BAB I PENDAHULUAN. dikalangan wanita sedunia, meliputi 16% dari semua jenis kanker yang diderita 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kanker payudara merupakan jenis kanker yang paling sering ditemui dikalangan wanita sedunia, meliputi 16% dari semua jenis kanker yang diderita oleh kaum wanita dan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB 4 HASIL PENELITIAN 20 BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Pengambilan Data Data didapatkan dari rekam medik penderita kanker serviks Departemen Patologi Anatomi RSCM Jakarta periode tahun 2004. Data yang didapatkan adalah sebanyak

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Insiden dan Patogenesis Adenotonsilitis Kronik

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Insiden dan Patogenesis Adenotonsilitis Kronik 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Adenotonsilitis Kronik 2.1.1 Insiden dan Patogenesis Adenotonsilitis Kronik Radang kronik pada adenoid (tonsila nasofaringea) dan tonsil (tonsila palatina) masih menjadi problem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meluas ke rongga mulut. Penyakit-penyakit didalam rongga mulut telah menjadi perhatian

BAB I PENDAHULUAN. meluas ke rongga mulut. Penyakit-penyakit didalam rongga mulut telah menjadi perhatian BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Masalah kesehatan gigi dewasa ini tidak hanya membahas gigi geligi saja, tetapi telah meluas ke rongga mulut. Penyakit-penyakit didalam rongga mulut telah menjadi

Lebih terperinci

BAB 2 SENDI TEMPOROMANDIBULA. Temporomandibula merupakan sendi yang paling kompleks yang dapat

BAB 2 SENDI TEMPOROMANDIBULA. Temporomandibula merupakan sendi yang paling kompleks yang dapat BAB 2 SENDI TEMPOROMANDIBULA Temporomandibula merupakan sendi yang paling kompleks yang dapat melakukan gerakan meluncur dan rotasi pada saat mandibula berfungsi. Sendi ini dibentuk oleh kondilus mandibula

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Fisik Anjing Lokal Hewan yang digunakan adalah anjing lokal berjumlah 2 ekor berjenis kelamin betina dengan umur 6 bulan. Pemilihan anjing betina bukan suatu perlakuan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL. Grafik 4.1. Frekuensi Pasien Berdasarkan Diagnosis. 20 Universitas Indonesia. Karakteristik pasien...,eylin, FK UI.

BAB 4 HASIL. Grafik 4.1. Frekuensi Pasien Berdasarkan Diagnosis. 20 Universitas Indonesia. Karakteristik pasien...,eylin, FK UI. BAB 4 HASIL Dalam penelitian ini digunakan 782 kasus yang diperiksa secara histopatologi dan didiagnosis sebagai apendisitis, baik akut, akut perforasi, dan kronis pada Departemen Patologi Anatomi FKUI

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penelitian dilakukan sampai jumlah sampel terpenuhi.

Lebih terperinci

Gambar. Klasifikasi ukuran tonsil

Gambar. Klasifikasi ukuran tonsil TONSILEKTOMI 1. Definisi Tonsilektomi adalah tindakan mengangkat tonsil palatina seutuhnya bersama jaringan patologis lainnya, sehingga fossa tonsilaris bersih tanpa meninggalkan trauma yang berarti pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinosinusitis kronis (RSK) adalah penyakit inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Pengobatan RSK sering belum bisa optimal

Lebih terperinci

BAB 2 RADIOTERAPI KARSINOMA TIROID. termasuk untuk penyakit kanker kepala dan leher seperti karsinoma tiroid.

BAB 2 RADIOTERAPI KARSINOMA TIROID. termasuk untuk penyakit kanker kepala dan leher seperti karsinoma tiroid. BAB 2 RADIOTERAPI KARSINOMA TIROID Dalam dunia medis, radioterapi sudah menjadi perawatan yang sangat umum digunakan. Penggunaannya pun dilakukan untuk berbagai macam penyakit kanker termasuk untuk penyakit

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN RADIOTERAPI PADA KARSINOMA NASOFARING

PENATALAKSANAAN RADIOTERAPI PADA KARSINOMA NASOFARING PENATALAKSANAAN RADIOTERAPI PADA KARSINOMA NASOFARING HARRY A. ASROEL Fakultas Kedokteran Bagian Tenggorokan Hidung dantelinga Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN Karsinoma nasofaring merupakan tumor

Lebih terperinci

Gambar 1. Anatomi Palatum 12

Gambar 1. Anatomi Palatum 12 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Palatum 2.1.1 Anatomi Palatum Palatum adalah sebuah dinding atau pembatas yang membatasi antara rongga mulut dengan rongga hidung sehingga membentuk atap bagi rongga mulut. Palatum

Lebih terperinci

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan Bronkitis pada Anak 1. Pengertian Secara harfiah bronkitis adalah suatu penyakit yang ditanda oleh inflamasi bronkus. Secara klinis pada ahli mengartikan bronkitis sebagai suatu penyakit atau gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kolorektal merupakan keganasan ketiga terbanyak dari seluruh

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kolorektal merupakan keganasan ketiga terbanyak dari seluruh 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker kolorektal merupakan keganasan ketiga terbanyak dari seluruh penderita kanker dan penyebab kematian keempat dari seluruh kematian pada pasien kanker di dunia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan. yang berasal dari lapisan epitel nasofaring. Karsinoma

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan. yang berasal dari lapisan epitel nasofaring. Karsinoma BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan yang berasal dari lapisan epitel nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan neoplasma yang jarang terjadi di sebagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB II ISI

BAB I PENDAHULUAN BAB II ISI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum kanker serviks diartikan sebagai suatu kondisi patologis, dimana terjadi pertumbuhan jaringan yang tidak terkontrol pada leher rahim yang dapat menyebabkan

Lebih terperinci

2.8 Diagnosis Kanker Nasofaring Penggolongan Stadium pada Kanker Nasofaring...17

2.8 Diagnosis Kanker Nasofaring Penggolongan Stadium pada Kanker Nasofaring...17 DAFTAR ISI SAMPUL DALAM... i PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iii PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN...iv KATA PENGANTAR...v ABSTRAK...vi ABSTRACT...vii RINGKASAN...viii SUMMARY...ix

Lebih terperinci