BAB VII BENTUK ADAPTASI SOSIO-EKOLOGI DAERAH RAWAN LONGSOR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB VII BENTUK ADAPTASI SOSIO-EKOLOGI DAERAH RAWAN LONGSOR"

Transkripsi

1 95 BAB VII BENTUK ADAPTASI SOSIO-EKOLOGI DAERAH RAWAN LONGSOR Secara ekologis, komunitas yang hidup pada daerah rawan longsor terdapat di Desa Sukaraksa memiliki cara dan bentuk bertahan hidup yang sangat tergantung pada sumberdaya alam. Potensi sumberdaya alam dimanfaatkan secara sederhana dengan penggunaan alat dan teknologi yang juga masih tradisional. Seiring perkembangan waktu yang ditandai dengan perubahan-perubahan, baik dari manusia itu sendiri ataupun lingkungannya, maka dalam satu rentan waktu perubahan telah terjadi. Perubahan terbesar yang terjadi adalah penurunan kualitas lahan akibat peristiwa longsor yang beberapa tahun terakhir terjadi. Dengan kemampuan akal, penyesuaian yang mengarah pada pola adaptasi dibutuhkan untuk menghadapi perubahan lingkungan tersebut. Penyesuaian dapat dilakukan dengan melakukan perubahan baik secara internal dimana manusia yang melakukan perubahan serta eksternal dimana lingkungan yang diubah, atau bahkan keduanya ikut berubah, misal dengan memodifikasi sistem-tatanan yang telah ada sehingga terjadi saling penyesuaian antara manusia dan lingkungan. Perubahan mana yang menjadi pilihan tergantung pada kemampuan manusia itu sendiri. Pada bab 6, warga telah menpersepsikan keadaan lingkungannya sebagai suatu keadaan yang berbahaya sehingga perlu melakukan beberapa perubahan sosio-ekologi dan mempertahankan beberapa tatanan yang dianggap masih sejalan dengan kondisi lingkungan. Untuk mengetahui perubahan-penyesuaian sosio-ekologi yang dilakukan oleh komunitas rawan longsor di Kampung Sirnagalih maka hal mendasar yang perlu diketahui adalah (1) kondisi sumberdaya alam yang menjadi sumber penghidupan warga, serta (2) teknologi yang dikembangkan sesuai dengan kondisi sumberdaya alam saat ini. Penggunaan teknologi akan memperlihatkan kemampuan komunitas menghadapi perubahan lingkungan dalam tiap aspek kehidupan yang menjadi inti/core, yakni aspek kependudukan, kelembagaan ekonomi hingga organisasi sosial-politik. Selanjutnya perubahan dalam tiap aspek tersebut diharmoniskan

2 96 dengan aturan dan tatanan yang telah ada ataupun yang baru. Kemampuan dalam beradaptasi terhadap perubahan-perubahan tersebut menjadi tolok ukur seberapa besar eksistensi komunitas untuk hidup di daerah rawan longsor. 7.1 Potensi dan Kondisi Sumberdaya Alam Saat ini, potensi SDA yang dimiliki oleh Kampung Sirnagalih telah mengalami penurunan kualitas. Penurunan tersebut diakibatkan oleh perubahan alam itu sendiri serta beberapa campur tangan manusia, seperti yang terlihat pada tabel 26. Potensi-potensi tersebut bagi warga di Kampung Sirnagalih berfungsi untuk memenuhi seperangkat kebutuhan dasar. Pemanfaatan sumberdaya alam yang mengarah pada komersialisasi terlihat masih rendah. Berikut adalah kondisi SDA yang telah mengalami berbagai perubahan akibat penurunan kualitas lingkungan. Tabel 26. Potensi serta Pemanfaatan dan Kondisi SDA di Kampung Sirnagalih Jenis SDA Kampung Sirnagalih Pemanfaatan Kondisi 1. Lahan-Tanah a. Kering : - Pemukiman - - Kebun Campuran - - Ladang/Tegalan - b. Basah (Sawah) - 2. Air a. Tanah + b. Sungai - c. Mata Air + 3. Hutan Milik-Rakyat a. Hutan Bersama (Gunung Batu Kaca) + 4. Batu Bara + Keterangan : = masih dimanfaatkan = tidak dimanfaatkan + = baik - = buruk (rusak) Mengacu pada tabel 26, terlihat bahwa kondisi lahan ataupun tanah di Sirnagalih telah mengalami penurunan kualitas (-), baik yang dimanfaatkan sebagai pemukiman maupun sebagai lahan garapan. Namun demikian, buruknya kondisi lahan-tanah tersebut oleh warga sebagian masih dimanfaatkan ( ) meski sebagian lagi sudah tidak bisa dimanfaatkan dengan alasan keamanan. Selain lahan-tanah, sumberdaya air juga khususnya air sungai mengalami penurunan kualitas akibat sedimentasi yang ditimbulkan oleh peristiwa pergerakan tanah.

3 97 Sumberdaya alam yang masih baik kualitasnya (+) adalah hutan bersama yakni Gunung Batu Kaca dan batubara. Ke-2 sumberdaya alam tersebut meskipun memiliki kondisi yang baik namun tidak dimanfaatkan (x) dengan alasan untuk menjaga keseimbangan ekologi Sirnagalih serta mencegah terjadinya peristiwa longsor yang lebih besar. 7.2 Adaptasi Sosio-Ekologi Pasca Longsor Bentuk Pemanfaatan Teknologi Potensi sumberdaya alam yang ada di Kampung Sirnagalih menggambarkan kondisi yang beragam. Sumberdaya alam yang rusak seperti lahan garapan dan air sungai sebagian rusak sehingga menyulitkan warga untuk bisa mengoptimalkan pengelolaan lahan. Sebagian lagi seperti; batu bara, pasirbatu sungai, hutan masih dalam kondisi baik namun beresiko jika dimanfaatkan secara tidak tepat. Pada kondisi ekologi tersebut, dibutuhkan teknologi sebagai salah satu alat-metode untuk membantu mengatasi persoalan manusia dan lingkungan. Teknologi disini merupakan cara-teknik atau alat dan bantuan yang digunakan dalam menangani persoalan yang dihadapi, sehingga suatu kelompok mampu bertahan (survive) bahkan meningkatkan kualitas hidup. Penggunaan teknologi dapat menggambarkan sejauhmana kemampuan-kapasitas suatu kelompok-komunitas beradaptasi terhadap lingkungannya. Kampung Sirnagalih merupakan komunitas warga yang hidup di daerah rawan longsor dengan kondisi yang secara fisik kualitas lingkungannya mengalami penurunan, sehingga juga berdampak pada menurunnya kualitas hidup sosial-ekonomi bahkan budaya. Untuk dapat bertahan, maka komunitas rawan longsor mutlak membutuhkan teknologi. Teknologi yang diterapkan tidak lepas dari sejauhmana masyarakat mampu mengadopsi bantuan ataupun caracara yang ditawarkan oleh pihak luar. Selain itu, cara atau metode bertahan hidup lainnya yang dapat digunakan adalah hasil trial error yang didasarkan oleh pengalaman dan pengetahuan lokal terhadap lingkungan. Keberadaan teknologi dikelompokkan dalam 2 hal yakni; pertama, teknologi internal dimana alat-teknik berasal dari pengetahuan-kearifan lokal. Misalnya merubah pola tanam, jenis tanaman dan pemanfaatan lahan yang merupakan pengetahuan lokal, mempertahankan penggunaan alat

4 98 bercocoktanam yang masih tradisionil (cangkul, arit, kapak) karena dianggap masih dan lebih sesuai dengan kondisi lahan saat ini. Kedua, eksternal yakni bantuan atau teknik yang diadopsi atau diperoleh dari luar komunitas. Misalnya bangunan Huntara dan pinjaman tenda-tenda pengungsian, informasi dan sebagainya. a. Perubahan Pola Tanam sebagai Teknik Pemanfaatan Lahan Mengacu pada kondisi lahan Kampung Sirnagalih saat ini, dimana para petani masih sangat tergantung pada keberadaan lahan garapan sehingga untuk tetap dapat memanfaatkan, para petani melakukan berbagai penyesuaian. Longsor berupa tanah retak telah merusak lahan garapan yakni sawah dan kebun. Kerusakan tersebut menjadikan lahan terbagi menjadi beberapa bagian mengikuti retak tanah. Keretakan yang terjadi di kebun dan sawah memiliki dampak buruk pada tanaman padi. Keretakan di sawah menyeabkan air tidak dapat tergenang karena air yang digunakan untuk mengairi sawah jatuh mengalir ke dalam retakan. Kondisi tersebut mengakibatkan sawah-sawah menjadi kering. Tanaman padipun rusak dan para petani di Sirnagalih mengalami gagal panen. Kekeringan yang dialami sawah-sawah tersebut menyebabkan para petani mulai mengalihkan fungsi lahan garapan mereka menjadi ladang dan kebun. Para petani disini adalah mereka yang berkuasa atas kepemilikan lahan dan pengelolaannya atau dengan kata lain mereka yang berstatus sebagai petani pemilik-penyewa sekaligus penggarap. Buruh tani tidak memiliki hak atas peralihan fungsi lahan. Pengalihan fungsi tersebut menyebabkan terjadinya perubahan pola bercocoktanam dari lahan basah menjadi lahan kering. Jenis tanaman yang dipilih oleh para petani kebanyakan Singkong dan Pisang. Singkong dan Pisang merupakan alternatif pangan yang dipilih untuk menggantikan padi. Selain Singkong dan Pisang, tanaman palawija dan sayur-sayuran seperti labu, kacangkacangan juga ada. Petani memilih jenis tanaman tersebut lebih didasarkan pada kebutuhan pangan dan kesesuaian lahan. Jika dalam waktu satu bulan tanaman tidak terlihat tumbuh subur maka petani pun segera menggantinya dengan tanaman lain yang dianggap sesuai. Para petani melakukan penyesuaian tersebut berdasarkan pengetahuan dan pengalaman mereka sebagai petani.

5 99 Selain mengganti tanaman padi dengan tanaman pangan lainnya, ada juga petani yang menanam tanaman tahunan (Sengon). Petani yang memilih menanami sebagian lahan mereka dengan Sengon didasarkan oleh dua hal yakni sebagai investasi pada 4 sampai 5 tahun ke depan serta anggapan bahwa tanaman Sengon pasti sesuai dengan lahan karena belum ada yang menanam sengon dan tidak tumbuh (mati). Selain itu faktor efektifitas waktu dalam hal pemeliharaan juga menjadi alasan mengapa mereka memilih Sengon. Dari beberapa penyesuaian yang dilakukan oleh petani, terlihat bahwa alih fungsi lahan yang awalnya berupa sawah tadah hujan (pola A) telah berubah menjadi ladang dan kebun campuran. Pada gambar 21 memperlihatkan 2 tipe pola pemanfaatan lahan, yakni pola tanam B dengan kombinasi tanaman semusim-palawija (ladang) serta pola tanam C dengan kombinasi antara tanaman semusim dengan tanaman tahunan; kebun campuran. Gambar 21 Ilustrasi Perubahan Pola Tanam Sebelum Longsor (Pola A) dan Sesudah Longsor (Pola B & C) Singkong/Pisang Palawija Padi Pola B; Ladang Pola A; Sawah Tadah Hujan Pisang/Singkong Sengon Palawija Pola C ; Kebun Campuran Dari jumlah total 25 petani (pemilik maupun penyewa) terdapat 20 petani yang telah mengalami kerusakan lahan garapan, termasuk sawah dan kebun. Kerusakan pada kebun tidaklah merubah perlakuan petani pada lahan. Kebun yang pada dasarnya masih didominasi oleh tanaman tahunan seperti Sengon, Lame, Afrika, Puspa dan Bambu masih dapat bertahan dengan baik. Kerusakan hanya berdampak pada lahan garapan berupa sawah tadah hujan. Ke-20 petani

6 100 yang mengalami kerusakan pada sawahnya dan memilih beberapa pergantian pola tanam (Pola B dan C) berdasarkan kebutuhan dan kesesuaian lahan. Petani yang memilih pola B menganggap bahwa tanaman semusim lebih cepat panen sehingga lebih cepat juga menghasilkan. Hasil panen sebagian disimpan untuk konsumsi rumahtangga dan sebagian lagi dijual untuk dikonversi ke beras. Jenis tanaman yang dipilih dalam menerapkan pola B diantaranya adalah Singkong, Pisang, Labu, Kacang Panjang, Cabe, Tomat, dan sebagainya. Bagi yang memilih pola C alasannya hampir sama dengan yang memilih pola B hanya saja mereka juga mulai menanam tanaman tahunan seperti sengon dengan alasan tanaman sengon tidak memerlukan perhatian yang intensif sepanjang tahun sehingga waktu luang lebih banyak dan dapat digunakan untuk bekerja sebagai buruh. Pada pola C variasi jenis tanaman semusim dan tahunan lebih terlihat. Adapun persentase jumlah petani yang memilih pola tanam B dan C, terlihat pada gambar 22. Gambar 22 Distribusi Petani dalam memilih Perubahan Pola Tanam 40% 60% Pola B Pola C Sumber: Hasil Analisis Data Primer, 2012 Pada gambar 22 terlihat bahwa Petani lebih banyak memilih mengalihkan sawah mereka ke bentuk ladang (pola B) menandakan bahwa perhatian petani lebih mengarah pada pemenuhan kebutuhan yang bersifat harian atau jangka pendek. Seluruh lahan dimanfaatkan untuk jenis tanaman yang secara ekonomi dianggap lebih cepat menghasilkan. Selain untuk memenuhi kebutuhan pangan di dapur, hasil tanaman palawija juga memudahkan para petani untuk menjual agar dapat membeli beras. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa kerusakan lingkungan di Kampung Sirnagalih mengharuskan para petani untuk menjalani etika subsisten.

7 101 b. Perubahan Cara Pemanfaatan Lahan Selain merusak lahan garapan, longsor juga mengkibatkan terjadinya tanah amblas yang meruntuhkan rumah warga di Kampung Sirnagalih. Jumlah rumah yang hancur sebanyak 33 dengan kondisi rusak berat sehingga tidak lagi layak untuk dihuni. Runtuhnya rumah-rumah warga memunculkan lahan kosong. Pada gambar 23 terlihat beberapa warga yang berinsiatif memanfaatkan lahan bekas rumah sebagai kebun dan ladang. Tanaman yang banyak ditanam adalah Pisang, Singkong dan sayuran seperti labu, tomat, cabe. Gambar 23 Ilustrasi Perubahan Pemanfaatan Lahan Sebelum (Tipe A) dan Sesudah Longsor (Tipe B) Tipe A Bekas Pemukiman Tipe B Kebun campuran Pemanfaatan areal bekas pemukiman dengan menanam tanaman palawija lagi-lagi memperlihatkan pilihan warga yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan harian. Setiap peluang yang ada senantiasa dimanfaatkan untuk melakukan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan pangan harian. c. Adopsi Bantuan Di sisi lain, warga yang kehilangan tempat tinggal diungsikan ke daerah yang lebih aman. Untuk membangun tempat hunian baru dibutuhkan lahan yang cukup untuk menampung semua korban. Para korban longsor yang kehilangan tempat tinggal diungsikan ke hunian sementara (Huntara) yang dibangun di atas lahan seluas meter persegi. Pada awalnya lahan merupakan kebun campuran milik seorang warga yang kemudian disewa oleh pemerintah dan kemudian difungsikan sebagai bangunan Huntara. Saat ini warga masih berada di Huntara. Pada gambar 26 terlihat bangunan Huntara yang didesain non permanen dengan ukuran 7 x 5 m. Huntara tersebut telah 2 bulan dihuni oleh warga. Dinding terbuat dari anyaman

8 102 bambu, jendela dari bahan triplek, lantai disemen seadanya dan atap terbuat dari genteng. Kondisi bangunan Huntara yang serba terbatas kini telah mengalami beberapa masalah khususnya bagian atap yang banyak bocor. Dari pengakuan warga, beberapa bahan bangunan tidak sesuai dengan gambar. Dinding yang seharusnya dari papan hanya terbuat dari triplek dan anyaman bambu. Jendela yang seharusnya dari kaca berubah menjadi triplek. Kondisi tersebut membuat warga yang telah mengalami tekanan secara psikis juga harus mengalami tekanan fisik. Cuaca yang dingin serta binatang malam seperti nyamuk & serangga, membuat warga harus mengeluarkan dana ekstra agar terhindar dari tekanan fisik tersebut. Warga membeli terpal untuk melapisi dan menutupi dinding Huntara yang terbuat dari anyaman bambu. Warga berharap 4 bulan ke depan mereka sudah dipindahkan ke tempat yang lebih layak, namun perkembangan saat ini belum menunjukkan tanda-tanda adanya proses pembangunan seperti pembebasan lahan untuk lokasi pembangunan. Gambar 24 Bangunan Huntara Nampak Bagian Depan (kiri) dan Bagian Belakang (kanan). Dari teknik pemanfaatan dan pengelolaan SDA berdasarkan pengetahuan lokal serta bantuan yang diadopsi, menggambarkan bahwa teknologi yang digunakan oleh komunitas rawan longsor di Kampung Sirnagalih masih bersifat sederhana, tradisional serta belum terorganisir secara profesional. Sifat teknologi tersebut akan mempengaruhi 3 unsur inti (core) lainnya yakni populasi, kelembagaan ekonomi serta organisasi sosial dan politik.

9 Populasi Mengacu pada konsep Steward, salah satu unsur inti (core) yang mengalami perubahan sebagai dampak pemanfaatan teknologi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya adalah populasi. Teknologi yang menyebabkan perubahan pada aspek populasi-kependudukan di Sirnagalih adalah adopsi bantuan Huntara yang menyebabkan terjadinya perubahan pada (a) pola pemukiman dan (b) pola interaksi-gaya hidup serta perubahan pola tanam yang menyebabkan terjadinya (c) arus migrasi sirkuler. a. Pola Pemukiman Kampung Jumlah penduduk di Kampung Sirnagalih sebanyak 238 jiwa dengan jumlah keluarga sebanyak 55 KK. Dari 55 keluarga terdapat 42 KK (160 jiwa) yang kehilangan tempat tinggal dan akhirnya mengungsi ke hunian sementara (Huntara). Adapun sisanya sebanyak 13 KK masih menempati rumah masingmasing karena luput dari bencana longsor. Antara penduduk yang kehilangan tempat tinggal dengan yang tidak kehilangan tempat tinggal masih berada dalam kampung yang sama. Hanya saja dengan dibangunnya Huntara maka pola pemukiman Kampung Sirnagalih menjadi berubah. Awalnya, pola pemukiman yang ada di Sirnagalih memiliki bentuk persebaran tempat tinggal yang didasarkan oleh kondisi topografi alam dan aktivitas penduduknya sebagai petani. Kondisi topografi yang berbukit serta pekerjaan sebagai petani membentuk pola pemukiman menyebar mengikuti arah lahan garapan dengan mendirikan tempat tinggal pada lahan yang landai. Mereka yang awalnya bermukim berdasarkan pada kedekatan atau keberadaan lahan garapan, seperti kebun, ladang dan sawah kini harus bergeser dan bermukim pada lahan yang dianggap aman dan layak 8. Secara psikis, pola fikir warga kini sangat dipengaruhi oleh faktor keamanan dan kelayakan lahan untuk membangun kembali tempat tinggal. Banyak warga yang enggan untuk membangun kembali rumah mereka di tempat yang sama. Selain karena faktor ekonomi juga karena kekhawatiran terhadap keselamatan jiwa. Beberapa warga yakni 3 keluarga yang kondisi rumahnya hanya rusak ringan dan masih layak ditempati juga enggan untuk kembali ke rumah mereka. 8 Secara geologi lahan dinilai aman-layak oleh Dinas ESDM Kab. Bogor sehingga direkomendasikan untuk dijadikan pemukiman

10 104 Meninggalkan rumah untuk memilih hidup di Huntara memerlukan pengorbanan yang cukup besar. Kehidupan yang serba terbatas di Huntara, mulai dari minimnya air bersih, listrik, jarak yang jauh, bangunan yang kurang layak membuat mereka harus menjalani pilihan tersebut dengan pertimbangan masih lebih aman dibandingkan harus kembali ke rumah. Penyebaran penduduk meskipun saat ini masih bersifat temporer dimana warga kampung 68 persen (160 jiwa) berada di Huntara, namun dapat dipastikan bahwa faktor kedekatan dengan lahan garapan tidak lagi menjadi faktor utama. Warga lebih memilih faktor keamanan demi keselamatan jiwa sebagai alasan utama untuk memilih tempat tinggal baru meskipun di sisi lain beberapa warga yang bekerja sebagai petani masih berharap agar keberadaan lahan garapan tetap mudah dijangkau. Harapan warga berjalan seiring dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yakni merelokasi korban longsor ke tempat yang lebih aman dan layak untuk dijadikan tempat tinggal sementara. Pemerintah membangun hunian sementara di atas lahan yang telah direkomendasikan oleh Dinas ESDM Kab. Bogor sebagai lahan yang aman dan layak berdasarkan kondisi geologi. b. Pola Interaksi dan Gaya Hidup Pola pemukiman yang kini lebih mengutamakan faktor keamanan dan kelayakan lahan, sehingga terkonsentrasi pada satu titik berdampak pada perubahan pola hidup yakni; (1) aksesibilitas terhadap beberapa sektor publik seperti sekolah, pasar, kantor desa, posyandu-balai kesehatan dan tempattempat umum lainnya. Jarak antara pemukiman warga yang baru (Huntara) dengan sarana publik tersebut menjadi lebih jauh dengan medan yang lebih berat. Warga yang terbiasa berjalan kaki untuk mencapai jalan utama desa mengeluhkan jarak dengan kondisi jalan yang cukup terjal. Anak-anak yang masih sekolah pun mengeluh dan sering memilih jalan alternatif dengan melewati kebun milik warga meskipun kondisi jalan cukup membahayakan terlebih ketika jalan menjadi licin karena hujan. (2) Selain persoalan aksesibilitas yang semakin jauh, dampak lain dari terkonsentrasinya warga di Huntara adalah perubahan pola interaksi antar sesama tetangga yang kini senasib dan harus tinggal bersama. Pola interaksi tersebut berdampak pada perubahan sikap dan perilaku. Misalnya, perubahan

11 105 sikap dalam hal berbagi fasilitas umum seperti kamar mandi. Warga dilatih untuk memiliki sifat toleransi yang lebih tinggi. Warga juga belajar cara menghemat penggunaan air dan listrik. Sikap disiplin pada diri anak-anak yang sedang bersekolah juga terlihat. Setiap pukul 4 dinihari anak-anak sudah harus bangun dan antri untuk mandi. Selain berbagi fasilitas umum, warga juga belajar untuk melatih diri berbagi ketenangan dan kenyamanan. Sebagian warga yang terbiasa dengan suara musik keras dan menggangu ketenangan dipaksa untuk mau menghargai hak orang lain. Persoalan kebersihan juga menjadi kebutuhan umum sehingga beberapa warga muncul sebagai sukarelawan yang secara rutin membersihkan fasilitas umum seperti kamar mandi atau membakar sampah milik warga. Peran-peran sosial yang didalamnya terdapat hak dan kewajiban muncul tanpa disadari, meskipun dinamika kehidupan sosial di Huntara tidaklah berjalan mulus. Ada saja warga yang belum bisa menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Tidak tanggap dengan keberadaan hak dan kewajibannya sebagai sesama penghuni Huntara. Tanpa disadari sanksi sosial seperti teguran hingga menjadi bahan gunjingan terjadi. Proses tersebut masih dan akan terus berjalan hingga batas waktu yang belum diketahui. (3) Dampak lainnya adalah beberapa kebutuhan warga menjadi berubah akibat perubahan fisik tempat tinggal. Diantaranya adalah pembelian listrik dengan menggunakan voucher elektrik. Di tempat tinggal sebelumnya warga masih menggunakan listrik secara manual (meteran). Di Huntara, listrik disediakan melalui penggunaan voucher elektrik. Perubahan tersebut berdampak pada perubahan konsumsi terhadap listrik. Warga menggunakan listrik secara hemat karena terpaksa, akibat kesulitan memperoleh voucher. Beberapa tindakan penghematan lainnya juga terlihat dari penggunaan alat-alat listrik. Banyak peralatan listrik yang tadinya digunakan sehari-hari kini dibatasi penggunaannya bahkan sebagian warga mamilih untuk tidak lagi menggunakan. Peralatan listrik yang paling banyak digunakan oleh warga adalah lampu dan alat masak rice cooker namun manfaat dari rice cooker hanya digunakan untuk memasak nasi sedangkan fungsi untuk menghangatkan tidak digunakan. Beberapa warga juga ada yang menggunakan TV namun pemakaiannya dibatasi. TV lebih dimanfaatkan oleh anak-anak sebagai alat hiburan. Para orangtua memilih untuk membatasi jam nontonnya. Bahkan

12 106 sebagian warga memilih untuk tidak menggunakan TV meskpun alat penunjang seperti antena parabola telah mereka miliki. Sebagian lagi membatasi alat hiburannya dengan cukup mendengarkan musik dari pemutar CD. Hanya 2 warga yang menggunakan kulkas dengan alasan untuk menjual minuman dingin. Tidak sedikit warga yang pada akhirnya memilih tidak menggunakan peralatan listrik demi melakukan penghematan. Selain persoalan listrik, perubahan lainnya yang terjadi akibat perubahan fisik tempat tinggal (Huntara) yang berbahan baku dari kayu dan anyaman bambu, adalah perubahan cara memasak. Awalnya semua warga menggunakan tungku dan kayu bakar sebagai media untuk memasak. Kini sebagian warga mulai beralih menggunakan kompor gas dan rice cooker. Warga khawatir jika menggunakan kayu bakar akan membahayakan tempat tinggal mereka. Selain itu, asap pembakarannya pun cukup mengganggu. Meskipun sebagian warga masih ada yang tetap memasak menggunakan kayu bakar dengan dalih tidak pandai menggunakan kompor gas maupun rice cooker namun mereka menjadi lebih bersikap waspada dan berhati-hati. Warga tidak berani meninggalkan tungku jika sedang memasak dan memastikan bara api benar-benar padam ketika selesai memasak. (4) Akibat distribusi penduduk yang tidak menyebar (terkonsentrasi pada satu tempat) juga mengakibatkan pemanfaatan sumberdaya air menjadi tidak seimbang. Banyaknya warga (160 jiwa) yang hidup di Huntara menyebabkan kebutuhan terhadap air bersih meningkat. Fasilitas penyediaan air berupa air sumur yang dialirkan menggunakan mesin tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar warga (Gambar 25, Kanan). Air bersih pun menjadi barang mahal. Kondisi tersebut menyebabkan warga harus mencari sumber air lainnya yang mampu memenuhi kebutuhan dasar untuk minum, masak, mencuci dan mandi. Kebutuhan air untuk dikonsumsi langsung masih dipenuhi dari air bersih yang dialirkan ke Huntara, sedangkan untuk kebutuhan membersihkan seperti mandi dan mencuci terpaksa dipenuhi dengan cara memanfaatkan air dari persawahan. Jauhnya jarak antara Huntara dan sumber mata air lainnya yang masih bersih dan layak untuk dikonsumsi membuat warga lebih memilih untuk memanfaatkan air persawahan yang jaraknya lebih dekat.

13 107 Sebagian warga malah memanfaatkan sebagai tempat untuk keperluan membuang hajat. Kondisi tersebut memaksa warga menjalani gaya hidup yang tidak sehat. Pada awalnya warga merasa tidak nyaman dengan kondisi air persawahan (Gambar 25, Kiri). Namun lama kelamaan mereka pun akhirnya terbiasa dan kini sudah menjadi hal yang biasa. Apa yang dikatakan Bell, dkk. bahwa salah satu efek dari adaptasi adalah menurunnya batas toleransi sehingga menjadi terbiasa terlihat benar. Gambar 25 Sumur dan kamar mandi di Huntara (gambar kiri), Salah satu lokasi pancuran di areal persawahan (gambar kanan). Selain pemukiman penduduk yang terkonsentrasi di Huntara, populasi ternak seperti ayam dan kambing juga ikut menyatu dengan Huntara warga. Pada awalnya hewan ternak ditempatkan di sekitar pekarangan rumah dengan posisi yang tidak tentu. Ada yang dibuatkan kandang, ada juga yang hanya ditambat di pohon. Warga yang memiliki pekarangan bebas menempatkan ternak mereka di bagian depan, samping, atau belakang rumah. Semenjak warga tinggal di Huntara, hewan ternak merekapun ikut pindah. Demi kenyamanan bersama, mereka yang memiliki ternak seperti kambing dan ayam harus membuat kandang dan menposisikan kandang-kandang tersebut di bagian belakang Huntara. Ternak mereka pun tidak lagi dikeluarkan dari kandang karena keterbatasan tempat dan dianggap dapat mengganggu kenyamanan para penghuni Huntara. Selain interaksi antara sesama penghuni Huntara, hubungan dengan warga lain yang tidak tinggal di Huntara juga tetap terjalin melalui aktivitas pengajian yang secara rutin diadakan. Tidak ada perubahan mendasar yang

14 108 terjadi dari hubungan sosial yang telah terbina. Sikap empati dan simpatik justru diperlihatkan oleh warga di luar Huntara. Salah satunya adalah memindahkan tempat pengajian ke mushalla Huntara dengan pertimbangan warga lebih banyak yang tinggal di Huntara. Sikap empati lainnya adalah ketika debit air di sumur Huntara berkurang, maka warga di Huntara dipersilahkan untuk mengambil air bersih dari sumur warga lainnya. Berbagai kondisi di atas memperlihatkan bahwa telah terjadi berbagai bentuk penyesuaian baik yang bersifat internal individu ataupun kolektif. Bentukbentuk penyesuaian tersebut merupakan adaptasi yang dilakukan oleh para warga untuk mencapai kenyamanan meskipun dalam kondisi yang sebenarnya tidak layak. Dalam ketidaklayakan tersebut, mereka telah memilih cara-cara bertahan hidup yang dianggap paling pantas dan paling memungkinkan untuk dijalankan agar keselarasan dalam berinteraksi terhadap sesama penghuni Huntara dapat tercipta. c. Arus Migrasi Penurunan kualitas lingkungan akibat longsor menyebabkan salah satu potensi alam yakni sumberdaya lahan menjadi tidak produktif. Ketidakproduktifan tersebut terjadi pada lahan yang tadinya berfungsi dengan baik sebagai lahan garapan serta pemukiman. Akibatnya, beberapa kepala rumahtangga mulai mencoba untuk mencari pekerjaan di luar kampung seperti merantau ke tempat lain (kota). Untuk saat ini, kota yang banyak menjadi sasaran warga adalah Bogor dan Jakarta. Mereka yang merantau adalah para buruh tani yang tidak memiliki lahan namun merasakan dampak dari kerusakan lahan garapan. Penurunan produktivitas membuat para pemilik lahan yang mempekerjakan buruh tani merasa kesulitan untuk memberi upah. Hasil yang diperoleh tidak lagi maksimal sehingga nasib para buruh tani pun menjadi terkatung-katung. Dalam 3 bulan terakhir setelah terjadi longsor beberapa buruh tani (7 orang dari 18 orang) mulai mengadu nasib dengan bekerja di sektor jasa. Ada 4 orang bekerja sebagai buruh tumbuk di Kecamatan Nanggung dan 3 orang ke Jakarta menjadi kuli bangunan. Jumlah buruh tani yang melakukan migrasi memang hanya 39 persen namun realita tersebut menggambarkan bahwa mencari kerja dengan keluar dari

15 109 kampung merupakan salah satu alternatif warga untuk bertahan hidup. Menurunnya daya dukung daerah asal menjadi faktor utama yang mendorong terjadinya migrasi meski saat ini masih bersifat non permanen (sirkuler) 9. Mereka merantau bukan dalam waktu yang lama. Bagi yang merantau ke Bogor, mereka meninggalkan rumah hanya dalam hitungan hari. Dalam seminggu mereka pasti menyempatkan diri untuk balik, sedangkan yang di Jakarta lebih lama. Mereka balik sebulan sekali. Mereka kembali ke kampung biasanya karena pekerjaan di luar sedang tidak ada atau memang telah selesai, sebab pekerjaan yang mereka lakukan sebagai buruh hanya bersifat temporer. Jika kembali ke kampung, mereka menggarap lahan lagi jika ada yang membutuhkan. Jika tidak dibutuhkan mereka lebih memilih untuk mencari kayu bakar di pinggir hutan Batu Kaca. Faktor lain yang membuat mereka melakukan migrasi sementara (non permanen) adalah masih kuatnya ikatan batin dengan istri-anak serta kampung halaman yang ditinggalkan. Mereka semua menyatakan bahwa merantau hanyalah untuk mencari penghasilan tambahan agar dapat bertahan hidup bukan untuk mengejar kekayaan. Penghasilan yang mereka peroleh dari hasil merantau benar-benar digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari saja. Jika melihat kondisi lingkungan serta kepadatan penduduk baik secara geografis maupun agraris di Kampung Sirnagalih, pilihan sebagian warga untuk melakukan migrasi pada prinsipnya adalah tepat. Jumlah penduduk Kampung Sirnagalih sebanyak 226 Jiwa dengan jumlah rumahtangga sebanyak 55 KK. Dari hasil pengolahan data primer, gambar 28 menyajikan data geografis kepadatan penduduk di Kampung Sirnagalih sebanyak 15 jiwa/ha, dan data agraris kepadatan penduduk sebanyak 3 sampai 4 petani/ha. Kepadatan tersebut termasuk tinggi dengan kondisi lingkungan yang mengalami penurunan kualitas. Gambar 26 Kepadatan Penduduk Berdasarkan Satuan Geografis dan Agraris Kampung Sirnagalih Kepadatan Penduduk (KP) Geografis = 15, 07 Jiwa/Ha Kepadatan Penduduk (KP) Agraris = 3, 54 Petani/Ha Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer dan Sekunder, Gerak penduduk dari satu wilayah menuju ke wilayah lain tanpa ada niatan menetap di daerah tujuan (Mantra 2009)

16 110 Menjadi persoalan bagi daerah tujuan seperti Jakarta dan Bogor jika pilihan warga untuk bermigrasi secara permanen dalam hal ini urbanisasi dimana tingkat kepadatan penduduk di kota-kota besar sudah tinggi sedangkan para urban tidak memiliki skill dan keahlian yang memadai. Solusi untuk keluar dari persoalan bencana pun terkesan hanya berpindah tempat meskipun dengan jenis persoalan yang berbeda Kelembagaan Ekonomi Konsep Steward yang mengatakan bahwa salah satu unsur inti (core) lainnya akan mengalami perubahan sebagai dampak pemanfaatan teknologi yakni perubahan pada beberapa aspek kelembagaan ekonomi. Perubahan teknik pemanfaatan lahan telah menyebabkan terjadinya (a) perubahan sistem nafkah dan berpotensi merubah (b) pola produksi-distribusi para petani di Sirnagalih. Selain itu, adopsi bantuan berupa Huntara juga telah menyebabkan munculnya (c) pasar jalan yang berfungsi sebagai wadah untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. a. Sistem Nafkah sebagai Basis Penghidupan Sistem ekonomi komunitas rawan longsor di Kampung Sirnagalih tidak lepas dari persoalan pemenuhan kebutuhan hidup warga yang kini menjadi subsisten. Mayoritas mata pencaharian warga adalah bertani. Bertani disini diartikan sebagai pekerjaan yang berhubungan dengan menggarap lahan baik itu lahan basah (sawah) maupun lahan kering (kebun-ladang), dengan status sebagai petani. Potensi lahan lebih dimanfaatkan untuk menanam jenis tanaman yang dapat dijadikan sebagai sumber-bahan pangan serta tanaman tahunan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga lainnya. Pergeseran aktivitas ekonomi warga mulai berubah setelah terjadi perubahan lingkungan yang mengakibatkan sumber-sumber perekonomian warga menyusut. Petani yang masih memiliki lahan dan exis bertahan hidup sebagai petani sawah mulai bergeser menjadi petani ladang. Tanaman palawija seperti Singkong, Pisang dan Sayuran serta tanaman tahunan seperti Sengon merupakan jenis tanaman yang dipersiapkan untuk menggantikan tanaman padi. Pergeseran tersebut disebabkan oleh rusaknya sawah sehingga tidak lagi produktif menghasilkan padi. Pola hidup berladang sangat berbeda dengan bertani sawah. Petani menjadi aktif menanami ladang mereka dengan jenis

17 111 tanaman pangan lainnya sebagai pengganti beras. Di sisi lain petani juga jadi memiliki waktu yang lebih luang karena perlakuan untuk pemeliharaan tanaman palawija dan tahunan tidak seintensif tanaman padi. Kekosongan waktu tersebut dimanfaatkan oleh beberapa petani khususnya para buruh tani untuk mencari pekerjaan sampingan. Mereka tidak lagi menjadikan lahan garapan sebagai satu-satunya sumber perekonomian dan penghidupan. Mereka mencari pekerjaan lain (tidak berbasis lahan) untuk menghasilkan uang agar tetap dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, khususnya kebutuhan pangan. Berangkat dari kebutuhan yang mendasar dengan kondisi lingkungan yang tidak lagi memadai, dorongan dalam diri masyarakat mulai terlihat dengan membuka diri dan mau mencoba pekerjaan baru yang dianggap menghasilkan. Pergeseran struktur nafkah menyebabkan pola hubungan patron-client juga berubah. Warga yang awalnya bekerja sebagai petani buruh dan hanya bergantung pada kemurahan hati pemilik lahan, kini mulai mencari dan membangun jaringan informasi tentang sumber-sumber mata pencaharian lainnya. Si patron pun tidak keberatan sebab di satu sisi beban patron pun berkurang. Hubungan patron-client tidaklah seperti yang digambarkan oleh Scott dimana seluruh keperluan hidup client dapat dipenuhi oleh patron. Buruh sawah hanya mendapatkan hak atas pekerjaannya berupa pembagian hasil panen sebesar 40 persen, sedangkan buruh kebun mendapatkan hak berupa upah sebesar Rp /hari. Nasib (status ekonomi) antara patron dan client di Kampung Sirnagalih tidak berbeda jauh, meskipun si patron sebagai pemilik lahan. Minimnya lahan garapan yang harus dikerjakan oleh beberapa petani lebih didasarkan atas rasa empati dan solidaritas antar warga yang notabene masih terikat hubungan kerabat. Kondisi petani Sirnagalih menggambarkan konsep Geertz tentang shared of poverty. Para petani khususnya mereka para buruh tani kini mulai mencari kesempatan kerja yang tidak berbasis lahan meski harus keluar dari desa. Jaringan informasi yang dibangun warga hanya mengandalkan informasi dari mulut ke mulut yang datang dari para warga yang telah bekerja. Warga lebih mudah percaya dan tergiur jika mendengar dan menyaksikan langsung hasil yang diperoleh dari temannya yang telah mengalami. Warga lain yang ingin

18 112 bergabung dan ikut biasanya akan meminta bantuan dari temannya tersebut karena dianggap telah berpengalaman. Salah satu jenis mata pencaharian yang saat ini marak dilakukan oleh warga Sirnagalih adalah menjadi buruh tumbuk di lokasi penambangan emas yang berada di Kecamatan Nanggung 10. Untuk bekerja sebagai buruh tumbuk, warga harus mendaftar ke salah satu Bos agar diperkenankan ikut menumbuk. Bos akan memberikan biaya makan, rokok dan biaya transport jika hasil tumbukan mengandung emas. Mereka bekerja secara llegal. Hasil yang diperoleh tidak dapat dipastikan (Rp /hari/beban) 11. Jika beruntung, maka hasil yang diperoleh akan menguntungkan. Biasanya warga memperoleh Rp sampai Rp /hari. Jika fisik kuat maka warga bisa menumbuk sebanyak 20 beban dan menghasilkan Rp /hari. Satu bos biasanya menanggung hingga 100 orang pekerja. Sistem kerjanya sederhana, warga membawa sendiri peralatannya dan Bos hanya menadah hasil tumbukan yang mengandung emas. Warga yang sudah bekerja sebagai buruh tumbuk sebanyak 20 orang. Perubahan lain yang berkaitan dengan perubahan struktur nafkah adalah diferensiasi mata pencaharian di sektor jasa-transportasi yakni menjadi tukang ojek dadakan. Pengaruh aksesibilitas serta sarana infrastruktur jalan kampung yang belum memadai membuat sebagian warga memaksa diri untuk membeli kendaraan roda 2 (motor) dengan membayar secara kredit. Di tengah himpitan ekonomi, kehadiran motor menjadi kebutuhan alternatif bagi warga setempat. Beberapa kebutuhan tidak dapat diperoleh dari dalam kampung sehingga warga harus keluar dari kampung untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan. Meskipun frekuensi warga ke luar kampung untuk berbelanja tidaklah tinggi, namun beberapa pemuda melihat peluang tersebut dan menjadikannya sebagai mata pencaharian tambahan di sektor jasa dengan menjadi tukang ojek dadakan. 10 Nanggung merupakan kecamatan yang berbatasan langsung dengan Desa Sukaraksa. Nanggung memang terkenal dengan hasil tambang emasnya sehingga menjadi daya tarik masyarakat luar untuk datang mencari kerja. Salah satu pekerjaan yang banyak dilirik adalah sebagai buruh tumbuk. Mereka menumbuk batu yang diperkirakan mengandung emas di dalamnya. 11 Beban merupakan bongkahan batu yang ditaksir mengandung emas. Satu bongkahan berbedabeda ukurannya serta berbeda-beda tingkat kepadatannya (keras-lunak).

19 113 Selain itu, pola fikir untuk mulai berinvestasi meskipun hanya untuk jangka waktu pendek juga mulai muncul. Sebagian warga mulai berfikir dan melakukan aktivitas ekonomi lainnya seperti menjadi tukang ojek dadakan, beternak kambing, dan ikut arisan kampung. Berbeda dengan warga yang memelihara kambing dan ikut arisan di kampung lain, mereka menganggap bahwa untuk situasi darurat, menjual kambing atau menggunakan dana arisan adalah cara yang cepat dan efektif untuk mendapatkan dana. Adapun kegiatan berinvestasi dengan cara menanam pohon tanaman keras tetap dilakukan meskipun kondisi lahan mereka sebagian telah rusak. Hal tersebut terlihat dari aktivitas para petani yang tetap melakukan pengayaan dan permudaan kebun-hutan dari bekas penebangan. b. Pola Produksi-Distribusi Mengacu pada perubahan teknologi yakni perubahan pada teknik dan pola tanam pada lahan garapan yang tadinya sebagai sawah tadah hujan (monokultur) lalu berubah menjadi ladang dan kebun campuran, maka terjadi penurunan hasil produksi bahkan berpotensi melenyapkan sawah karena kerusakan yang terjadi. Jarak waktu antara peristiwa longsor yang merusak lahan garapan para petani hingga terjadinya perubahan pola tanam memang belum lama. Para petani masih berharap dapat menikmati panen meskipun hasilnya sangat rendah, sehingga pergantian pola tanampun tidak serta merta dilakukan. Perubahan pola tanam dilakukan secara perlahan dan hingga kini alih fungsi lahan tersebut telah dilakukan namun belum sampai pada masa panen. Meski demikian para Petani telah mampu menggambarkan seperti apa mekanisme hasil produksi selanjutnya, seperti yang terlihat pada gambar 27. Gambar 27 Perubahan Pola Distribusi-Konsumsi Tanaman Pangan Produksi (Jenis tanaman; padi & palawija) Konsumsi (semua untuk kebutuhan pangan harian) PRA LONGSOR Produksi (Jenis tanaman palawija) Distribusi (Dijual tanpa perantara) Konsumsi (sebagian u/ kebutuhan harian, sebagian dijual u/dikonversi ke beras ) PASCA LONGSOR

20 114 Menurunnya hasil produksi sawah menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan dengan tujuan lahan garapan para petani tetap produktif meski dengan hasil yang berbeda. Beralihnya pilihan petani menjadi kebun menyebabkan mereka harus menjual sebagian besar hasil panen untuk dikonversi menjadi beras. Ke depan, para petani tidak lagi dapat menyimpan hasil lahan garapan berupa padi. Hasi tanaman pengganti padi (palawija) sebagian harus melewati proses distribusi agar dapat dikonversi menjadi beras. Perubahan tersebut sangat terasa bagi para petani yang awalnya selalu menikmati langsung hasil garapan mereka berupa beras. Para petani telah menprediksikan bahwa secara kuantitas hasil penjualan tanaman palawija yang dikonversi ke beras tidak akan memadai (kurang). Harga jual tanaman palawija, Singkong ataupun Pisang tidak sama (lebih murah) dibandingkan harga beli beras di pasar. Untuk menutupi kekurangan pangan rumahtangga para petani, maka mereka tidak menjual seluruh hasil garapan namun sebagian disimpan untuk dikonsumsi sehari-hari sebagai makanan pendamping. Para petani yang memang telah terbiasa dengan menyediakan Pisang- Singkong sebagai cemilan di rumah mengatakan bahwa bisa jadi mereka akan lebih banyak mengkonsumsi Pisang dan Singkong jika persediaan beras lebih sedikit. Saat inipun, meski para petani belum ada yang melakukan panen terhadap tanaman yang baru ditanam namun minimnya hasil panen sawah telah membuat mereka mulai mengkonsumsi Pisang dan Singkong lebih banyak dari biasanya. Tidak semua petani telah melakukan perubahan pola makan tersebut, namun beberapa petani memilih merubah pola makan sebagai salah satu strategi untuk tetap bertahan hidup. Meskipun perubahan pola makan tersebut belum teratur secara sistematis namun pengurangan dalam mengkonsumsi nasi sudah terlihat dalam kehidupan sehari-hari sebagian warga. c. Pasar Jalan Persoalan ekonomi lainnya terkait dengan pemenuhan kebutuhan adalah aksesibilitas warga terhadap pasar. Pasar disini merupakan sarana-tempat yang secara fisik menyediakan berbagai kebutuhan warga, khususnya kebutuhan

21 115 sandang dan pangan. Untuk memenuhi kebutuhan harian warga maka diciptakan pasar jalan yakni para pedagang (penjual) mendatangi pembeli dengan jenis jualan yang beragam. Jauhnya lokasi pemukiman (Huntara) menjadi peluang bagi beberapa pedagang kecil untuk menjajakan jualannya ke Kampung Sirnagalih. Para penghuni Huntara pun secara aktif menyetujui kehadiran para penjual dan mempersilahkan agar para penjual mengunjungi mereka secara bergiliran. Jadwal jualan dibuat agar tidak terjadi konflik antara penjual. Warga menyetujui penjadwalan tersebut dengan melakukan pesanan barang sesuai dengan jadwal kunjungan. Misalnya, Bu Ros (usia 38 Th) saat itu membutuhkan barang dan memesannya kepada salah satu penjual yakni Mas Joko (usia 42 Th). Jadwal Mas Joko berjualan setiap hari rabu, maka Bu Ros harus konsisten menunggu Mas Joko membawakan barangnya meskipun sebelum Mas Joko ada penjual lain yang datang membawa barang yang sama. Berdasarkan jenis barang yang dijual maka para pedagang dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama adalah pedagang sayuran, ikan dan bumbu dapur terdiri atas 2 orang dengan jadwal berdagang setiap hari. Pedagang sayuran tersebut saling bergiliran mengunjungi kampung Sirnagalih. Kelompok kedua adalah pedagang yang menjual perabotan rumah-dapur, bahan makanan seperti minyak, terigu, gula, dan lain-lain. Kelompok ini juga ada 2 orang dan beroperasi secara bergantian pada hari Senin, Selasa dan Kamis. Khusus hari Kamis, salah satu pedagang juga membawa barang lain untuk dijual yakni pakaian. Kelompok ketiga adalah pedagang yang menjual obat-obatan dan vitamin. Pedagang yang terlibat hanya satu orang dan khusus datang setiap hari Jumat. Jenis kebutuhan lain yang tidak terpenuhi dari para pedagang tersebut, seperti beras harus diperoleh dengan membeli ke kios yang ada di pusat desa. Kebutuhan terhadap beras dipenuhi jika sumber pangan yang berasal dari sawah dan kebun (Singkong dan Pisang) sudah habis. Diantara penghuni Huntara sebenarnya ada yang membuka kios namun jenis yang dijual lebih banyak untuk dikonsumsi anak-anak seperti permen, es lilin, kerupuk, dan sebagainya. Barang rumahtangga yang dijual hanya berupa pasta gigi, sabun cuci dan sabun mandi.

22 116 Kehadiran pasar jalan tersebut tidak menguntungkan satu pihak saja (para penjual) namun juga warga yang menghuni Huntara (mutualisme). Sifat mutualisme tersebut yang memperlihatkan bahwa terbangun relasi ekonomi yang bersifat sederhana. Penjual diuntungkan karena mendapat tempat dan pelanggan sedangkan pembeli (warga Huntara) diuntungkan karena tidak perlu turun gunung untuk memenuhi kebutuhan sehingga tenaga, biaya transportasi dan waktu menjadi lebih efisien. Selain itu, warga juga dapat mengambil barang terlebih dahulu jika tidak memiliki uang (utang). Warga Huntara bisa saja memilih untuk turun gunung pada waktu-waktu tertentu secara periodik untuk membeli kebutuhan rumahtangga, namun mereka tidak melakukannya. Mereka lebih memilih untuk membangun dan menjaga ikatan sosial kepada para penjual di pasar jalan karena lebih merasa nyaman dengan kemudahan-kemudahan yang diperoleh. Dari seluruh uraian tentang kelembagaan ekonomi yang terbangun pada komunitas rawan longsor di Kampung Sirnagalih, mulai dari perubahan struktur nafkah, perubahan pola produksi-distribusi hingga kehadiran pasar jalan, menggambarkan bahwa pilihan-pilihan warga merupakan bentuk adaptasi terhadap upaya pemenuhan kebutuhan hidup pada kondisi yang sulit. Mengacu pada kelembagaan ekonomi Steward, maka dapat dikatakan bahwa hampir seluruh warga di Sirnagalih melakukan tindakan rasional dengan asumsi bahwa pilihan-pilihan atau perubahan-perubahan yang mereka lakukan adalah yang paling efisien dan memungkinkan untuk mereka lakukan agar tetap survive dalam kondisi yang rentan. Sistem ekonomi komunitas rawan longsor, kini tidak dapat lepas dari persoalan pemenuhan kebutuhan hidup yang masih bersifat subsisten, yakni pemenuhan kebutuhan hidup lebih kepada pemenuhan kebutuhan dasar harian bukan untuk keperluan komersil ataupun untuk kebutuhan jangka panjang. Ciri ini seperti pada masyarakat pra kapitalis umumnya yang jika melakukan pertukaran (kegiatan ekonomi) tidak ditujukan untuk pasar dan tidak untuk menghasilkan laba. Ciri tersebut menggambarkan kehidupan subsisten para keluarga di Kampung Sirnagalih adalah self-sufficient system yakni sistem dimana barangbarang diproduksi dan disimpan oleh anggota keluarga untuk digunakan sendiri. Andaipun sebagian produksi dijual bukan ditujukan sebagai tambahan modal

23 117 atau pengembangan perekonomian keluarga melainkan untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya yang tidak dapat diproduksi sendiri Organisasi Sosial-Politik Selain populasi dan aspek-aspek kelembagaan ekonomi, konsep Steward juga mengatakan bahwa unsur inti (core) lainnya yang akan mengalami perubahan adalah kehadiran organisasi sosial-politik. Organisasi sosial-politik disini merupakan suatu bentuk adaptasi terhadap perubahan sosial-politik yang menghadirkan fungsi dan peran baru, baik secara formal maupun informal dalam rangka penanganan dan penanggulangan bencana longsor. Secara non formal, komunitas di Kampung Sirnagalih telah menciptakan satu mekanisme peringatan dini yang dilakukan secara sederhana. Kelembagaan Tagana (Tanggap Bencana) yang dibangun memang bersifat sederhana. Kelembagaan tersebut merupakan bentuk organisasi sosial yang ditujukan untuk mengantisipasi jatuhnya korban longsor. Pada gambar 28 dan gambar 29 terlihat model kelembagaan Tagana yang dibangun berdasarkan 2 peristiwa-fenomena alam, yakni hujan deras dan retak tanah. Gejala alam : (1) Hujan deras Kepala Desa Ketua RT handphone Warga Warga Warga Gambar 28 Skema Kelembagaan Tanggap Bencana (Tagana) Daerah Rawan Longsor Kampung Sirnagalih Untuk Peristiwa Hujan Deras Pertama, ketika terjadi hujan deras di Sirnagalih maka para warga berinsiatif untuk saling mengingatkan. Kepala Desa yang berada jauh dari Kampung Sirnagalih secara rutin memberikan warning melalui media telephone ke Ketua RT untuk waspada. Secara pribadi, Ketua RT pun melakukan pengawasan dan peringatan sederhana terhadap warganya untuk tetap mawas diri. Bentuk Tagana pada peristiwa hujan deras terlihat bahwa upaya peringatan dini yang dilakukan lebih didasarkan pada kesadaran diri (insiatif) masing-masing

24 118 pihak dan kemudian ditularkan ke pihak lain sehingga terbentuk mekanisme peringatan dini. Gejala alam : (2) Retak tanah KaDes / SekDes handphone Dinas ESDM / BPBD Kab.Bogor Ketua RT Warga Warga Warga Gambar 29 Skema Kelembagaan Tanggap Bencana (Tagana) Daerah Rawan Longsor Kampung Sirnagalih Untuk Peristiwa Retak Tanah Kedua, peristiwa tanah retak yang biasanya muncul setelah hujan deras juga menjadi fenomena alam yang diwaspadai oleh warga. Biasanya warga segera ke kebun, sawah untuk melihat apakah kondisi lahan mereka masih aman atau mengalami keretakan. Sesama warga akan saling memberikan informasi jika terjadi retak tanah yang baru. Informasi akan disampaikan ke Ketua RT dan dilanjutkan ke Kepala Desa. Kepala Desa akan melanjutkan informasi tersebut kepada Dinas ESDM Kab. Bogor sebagai bahan laporan untuk ditindaklanjuti. Pada peristiwa retak tanah, kelembagaan Tagana yang dibangun juga lebih didasarkan pada kesadaran diri masing-masing pihak khususnya para warga. Pengetahuan mereka terhadap munculnya tanah retak baru harus segera disampaikan ke pihak lain untuk ditindaklanjuti. Kelembagaan Tagana di sini telah melibatkan pihak luar yakni Dinas ESDM/BPBD Kab. Bogor. Keterlibatan pihak luar dianggap penting untuk melakukan evaluasi teknis yang lebih mendalam terhadap kondisi tanah di Sirnagalih. Secara formal, penanganan para korban longsor juga merupakan bagian dari tanggungjawab Pemerintah. Realitas longsor berupa pergerakan (retak) tanah di Kampung Sirnagalih mengakibatkan kampung tersebut masuk dalam daftar penanganan bencana yang diprioritaskan oleh Pemerintah Daerah maupun Pusat. Bukan hanya Pemerintah, beberapa pihak juga mengambil bagian dalam penanganan bencana di kampung tersebut dengan memberikan

25 119 bantuan. Penyaluran bantuan oleh para pihak dikelola langsung oleh Pemerintah Desa dibantu ketua RT. Dari berbagai bantuan baik dari Pemerintah maupun pihak lain (Parpol dan Lembaga Pendidikan) lebih bersifat fisik. Para korban longsor Sirnagalih lebih dipandang sebagai korban yang membutuhkan barang yang bersifat materiil. Pihak pendonor selain pemerintah lebih membarikan bantuan berupa makanan dan obat-obatan, sedangkan pemerintah yang melihat warga Kampung Sirnagalih sebagai korban yang kehilangan tempat tinggal (bukan kehilangan kesempatan untuk hidup lebih layak) memberikan bantuan berupa tenda dan Huntara. Pemerintah pun memberikan bantuan fisik yang dibagi dalam 3 tahap. Pertama penanganan yang lebih bersifat tanggap darurat, diawali dengan pemberian bantuan tenda dan bahan makanan. Kedua, penanggulangan yang bersifat jangka pendek yakni korban longsor mendapatkan tempat hunian semetara yang bersifat temporer. Dalam penanganan bencana, Huntara hanya diperuntukkan selama 6 bulan. Ketiga, pemerintah bertanggungjawab memindahkan warga ke tempat yang lebih aman dengan bangunan fisik yang juga lebih layak. Dalam proses pemberian bantuan tersebut ditemukan berbagai masalah dan kendala yang melibatkan beberapa aktor. Aktor-aktor tersebut antara lain; Pemerintah Daerah mulai dari tingkat Desa (Pemerintahan Desa) yang bertugas melakukan pendataan dan menginventarisir kerusakan yang diakibatkan bencana longsor, Pemerintahan Kecamatan (Camat) yang menerima secara formal laporan dari Desa dan meneruskan ke Pemerintah Kabupatan (Bupati) untuk ditindaklanjuti oleh satker yang terkait dengan penanganan bencana dalam hal ini Dinas Sosial. Selain Pemerintah Daerah terlibat juga lembaga formal lainnya yakni Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kab. Bogor yang bertugas untuk terus memantau perkembangan di lapangan dan mempersiapkan aksi-aksi tanggap darurat selama proses evakuasi warga mulai dari tenda pengungsian ke Huntara hingga ke tempat tinggal yang permanen. Untuk merealisasikan program bantuan tersebut setidaknya dibutuhkan 2 hal yang harus dipenuhi yakni lahan dan jaminan keamanan atas lahan tersebut. Jaminan keamanan atas lahan diperoleh dari hasil identifikasi pihak Dinas ESDM

BAB VI PERSEPSI TERHADAP LINGKUNGAN DAN KEMAMPUAN DIRI

BAB VI PERSEPSI TERHADAP LINGKUNGAN DAN KEMAMPUAN DIRI 75 BAB VI PERSEPSI TERHADAP LINGKUNGAN DAN KEMAMPUAN DIRI Tingginya homogenitas warga dalam hal pendidikan, agama bahkan suku dan budaya tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap persepsi warga

Lebih terperinci

BAB V REALITAS BENCANA ALAM (LONGSOR)

BAB V REALITAS BENCANA ALAM (LONGSOR) 57 BAB V REALITAS BENCANA ALAM (LONGSOR) Secara faktual, Kampung Sirnagalih telah mengalami kejadian longsor (pergerakan tanah) sejak Tahun 2009. Desa Sukaraksa sebagai daerah rawan longsor juga telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masyarakat lereng Gunung Merapi. Banyaknya korban jiwa, harta benda dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masyarakat lereng Gunung Merapi. Banyaknya korban jiwa, harta benda dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Erupsi Merapi yang terjadi dua tahun lalu masih terngiang di telinga masyarakat lereng Gunung Merapi. Banyaknya korban jiwa, harta benda dan kehilangan mata

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT SEBELUM DAN SESUDAH TERJADINYA KONVERSI LAHAN

BAB VI STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT SEBELUM DAN SESUDAH TERJADINYA KONVERSI LAHAN BAB VI STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT SEBELUM DAN SESUDAH TERJADINYA KONVERSI LAHAN 6.1. Strategi Nafkah Sebelum Konversi Lahan Strategi nafkah suatu rumahtangga dibangun dengan mengkombinasikan aset-aset

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh orang dewasa. Hal ini disebabkan oleh anak-anak yang dianggap masih

BAB I PENDAHULUAN. oleh orang dewasa. Hal ini disebabkan oleh anak-anak yang dianggap masih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak-anak pada dasarnya merupakan kaum lemah yang harus dilindungi oleh orang dewasa. Hal ini disebabkan oleh anak-anak yang dianggap masih membutuhkan bimbingan orang

Lebih terperinci

BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN

BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN 23 Gambaran penelitian yang dimuat dalam bab ini merupakan karakteristik dari sistem pertanian yang ada di Desa Cipeuteuy. Informasi mengenai pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber daya alam yang terdapat pada suatu wilayah pada dasarnya merupakan modal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber daya alam yang terdapat pada suatu wilayah pada dasarnya merupakan modal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber daya alam yang terdapat pada suatu wilayah pada dasarnya merupakan modal dasar pembangunan yang perlu digali dan dimanfaatkan secara tepat dengan memperhatikan

Lebih terperinci

BAB IV PROFIL DESA. Secara geografis, Desa Sukaraksa berada di hulu 2 wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) yakni DAS Cisadane dan Sub DAS Cidurian.

BAB IV PROFIL DESA. Secara geografis, Desa Sukaraksa berada di hulu 2 wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) yakni DAS Cisadane dan Sub DAS Cidurian. 35 BAB IV PROFIL DESA Gambaran umum Desa Sukaraksa memotret 2 keadaan yakni aspek fisik dan aspek kemasyarakatan. Aspek fisik digambarkan untuk menjelaskan kondisi alam Desa Sukaraksa mulai dari topografi,

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. keadaan responden berdasarkan umur pada tabel 12 berikut ini:

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. keadaan responden berdasarkan umur pada tabel 12 berikut ini: 50 BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Umur Responden Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan alat pengumpul data wawancara langsung kepada responden

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang khusus oleh pemerintah seperti halnya sektor industri dan jasa.

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang khusus oleh pemerintah seperti halnya sektor industri dan jasa. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Di Indonesia sektor pertanian mempunyai peran yang sangat penting dalam pertumbuhan perekonomian. Banyaknya tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. Desa Lulut secara administratif terletak di Kecamatan Klapanunggal,

V. GAMBARAN UMUM. Desa Lulut secara administratif terletak di Kecamatan Klapanunggal, V. GAMBARAN UMUM 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Lulut secara administratif terletak di Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Desa ini berbatasan dengan Desa Bantarjati

Lebih terperinci

JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN III (TIGA) ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) LINGKUNGAN ALAM DAN BUATAN

JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN III (TIGA) ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) LINGKUNGAN ALAM DAN BUATAN JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SD III (TIGA) ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) LINGKUNGAN ALAM DAN BUATAN A. Ketampakan Lingkungan Alam dan Buatan Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 18 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Desa Gorowong Desa Gorowong merupakan salah satu desa yang termasuk dalam Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Desa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara

BAB I PENDAHULUAN. daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan merupakan salah satu daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara geografis berada di pesisir

Lebih terperinci

BAB III USULAN PENSOLUSIAN MASALAH

BAB III USULAN PENSOLUSIAN MASALAH BAB III USULAN PENSOLUSIAN MASALAH Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai saran-saran dan motivasi bagi keluarga dampingan dalam memecahkan permasalahan yang terdapat dalam keluarga dampingan bersangkutan.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hubungan antara manusia dengan lingkungan adalah sirkuler. Perubahan pada lingkungan pada gilirannya akan mempengaruhi manusia. Interaksi antara manusia dengan lingkungannya

Lebih terperinci

BAB I GAMBARAN UMUM KELUARGA DAMPINGAN

BAB I GAMBARAN UMUM KELUARGA DAMPINGAN BAB I GAMBARAN UMUM KELUARGA DAMPINGAN Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN PPM) merupakan bentuk pendidikan yang berbasis kemasyarakatan dengan tujuan untuk melatih mahasiswa untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena pertanian berhubungan langsung dengan ketersediaan pangan. Pangan yang dikonsumsi oleh individu terdapat komponen-komponen

Lebih terperinci

BAB VII RENCANA. 7.1 Mekanisme Pembangunan Rusunawa Tahapan Pembangunan Rusunawa

BAB VII RENCANA. 7.1 Mekanisme Pembangunan Rusunawa Tahapan Pembangunan Rusunawa BAB VII RENCANA 7.1 Mekanisme Pembangunan Rusunawa 7.1.1 Tahapan Pembangunan Rusunawa Agar perencanaan rumah susun berjalan dengan baik, maka harus disusun tahapan pembangunan yang baik pula, dimulai dari

Lebih terperinci

BAB IV PELAKSANAAN, HASIL DAN KENDALA PENDAMPINGAN KELUARGA

BAB IV PELAKSANAAN, HASIL DAN KENDALA PENDAMPINGAN KELUARGA BAB IV PELAKSANAAN, HASIL DAN KENDALA PENDAMPINGAN KELUARGA 4.1 Pelaksanaan Pendampingan Keluarga 4.1.1 Kunjungan 1 Hari/Tanggal : Jumat, 29 Juli 2016 Jenis Kegiatan : Perkenalan dan sosialisasi dengan

Lebih terperinci

AKU & BUMIKU: BANJIR & LONGSOR

AKU & BUMIKU: BANJIR & LONGSOR AKU & BUMIKU: BANJIR & LONGSOR AKU & BUMIKU: BANJIR & LONGSOR Cetakan ke-1, 2012 Hak cipta dilindungi undang-undang IAARD Press, 2012 Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi. Selain itu juga Indonesia merupakan negara agraris

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara signifikan yang pada akhirnya menimbulkan dampak dampak negatif

BAB I PENDAHULUAN. secara signifikan yang pada akhirnya menimbulkan dampak dampak negatif BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wacana tentang perubahan iklim merupakan isu global yang dianggap penting untuk dikaji. Kemajuan pesat pembangunan ekonomi memberi dampak yang serius terhadap iklim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor-faktor

BAB I PENDAHULUAN. laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor-faktor BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kota-kota besar di negara-negara berkembang umumnya mengalami laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor-faktor alami yaitu kelahiran

Lebih terperinci

V. KONDISI WILAYAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK PERILAKU RUMAHTANGGA PETANI

V. KONDISI WILAYAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK PERILAKU RUMAHTANGGA PETANI 54 V. KONDISI WILAYAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK PERILAKU RUMAHTANGGA PETANI 5. by Kondisi Umum Wilayah Penelitian 5. Kondisi Geografis Wilayah Penelitian Wilayah Kecamatan Sadang memiliki luas 5.7212,8

Lebih terperinci

BUKU DATA STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA SURABAYA 2012 DAFTAR TABEL

BUKU DATA STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA SURABAYA 2012 DAFTAR TABEL DAFTAR TABEL Tabel SD-1. Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama... 1 Tabel SD-1A. Perubahan Luas Wilayah Menurut Penggunaan lahan Utama Tahun 2009 2011... 2 Tabel SD-1B. Topografi Kota Surabaya...

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian BAB V KESIMPULAN Bagian kesimpulan ini menyampaikan empat hal. Pertama, mekanisme ekstraksi surplus yang terjadi dalam relasi sosial produksi pertanian padi dan posisi perempuan buruh tani di dalamnya.

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis kemukakan pada bab

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis kemukakan pada bab 134 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis kemukakan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Persepsi masyarakat terhadap

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMBERIAN BANTUAN KORBAN BENCANA

PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMBERIAN BANTUAN KORBAN BENCANA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMBERIAN BANTUAN KORBAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARAWANG, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam melakukan kegiatan sehingga juga akan mempengaruhi banyaknya

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam melakukan kegiatan sehingga juga akan mempengaruhi banyaknya V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Responden 1. Umur Umur merupakan suatu ukuran lamanya hidup seseorang dalam satuan tahun. Umur akan berhubungan dengan kemampuan dan aktivitas seseorang dalam melakukan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Marga dan Hutan Rakyat 1. Hutan Marga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia telah mencapai 240 juta jiwa (BPS, 2011). Hal ini merupakan sumber daya

I. PENDAHULUAN. Indonesia telah mencapai 240 juta jiwa (BPS, 2011). Hal ini merupakan sumber daya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris dan maritim memiliki sumber kekayaan alam yang berlimpah dan memiliki jumlah penduduk nomor empat di dunia. Saat ini penduduk Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan kawasan kawasan permukiman kumuh. Pada kota kota yang

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan kawasan kawasan permukiman kumuh. Pada kota kota yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembangunan perkotaan yang begitu cepat, memberikan dampak terhadap pemanfaatan ruang kota oleh masyarakat yang tidak mengacu pada tata ruang kota yang

Lebih terperinci

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa AY 12 TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa tanah ke tempat yang relatif lebih rendah. Longsoran

Lebih terperinci

KAJIAN DAYA TAHAN SEKTOR PERTANIAN TERHADAP GANGGUAN FAKTOR EKSTERNAL DAN KEBIJAKAN YANG DIPERLUKAN. Bambang Sayaka

KAJIAN DAYA TAHAN SEKTOR PERTANIAN TERHADAP GANGGUAN FAKTOR EKSTERNAL DAN KEBIJAKAN YANG DIPERLUKAN. Bambang Sayaka KAJIAN DAYA TAHAN SEKTOR PERTANIAN TERHADAP GANGGUAN FAKTOR EKSTERNAL DAN KEBIJAKAN YANG DIPERLUKAN PENDAHULUAN Bambang Sayaka Gangguan (shocks) faktor-faktor eksternal yang meliputi bencana alam, perubahan

Lebih terperinci

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 28 TAHUN 2013 TENTANG INDIKATOR KELUARGA MISKIN DI KABUPATEN BANYUWANGI

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 28 TAHUN 2013 TENTANG INDIKATOR KELUARGA MISKIN DI KABUPATEN BANYUWANGI 1 BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 28 TAHUN 2013 TENTANG INDIKATOR KELUARGA MISKIN DI KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI, Menimbang : a.

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Indonesia adalah negara agraris dimana mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Berbagai hasil pertanian diunggulkan sebagai penguat

Lebih terperinci

Tabel 1.1 Profil keluarga Dampingan No Nama Stataus Umur Pendidikan Pekerjaan Keterangan 1 I Nyoman Suami & 62 Tidak Buruh Pekerja

Tabel 1.1 Profil keluarga Dampingan No Nama Stataus Umur Pendidikan Pekerjaan Keterangan 1 I Nyoman Suami & 62 Tidak Buruh Pekerja BAB I GAMBARAN UMUM KELUARGA DAMPINGAN 1.1 Profil Keluarga Dampingan Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN RM) merupakan bentuk pendidikan yang berbasis kemasyarakatan dengan tujuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki lahan pertanian yang sangat luas dan sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Jawa Barat merupakan

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. mempengaruhi kehidupan petani karet, karena pada musim hujan petani karet

BAB IV KESIMPULAN. mempengaruhi kehidupan petani karet, karena pada musim hujan petani karet BAB IV KESIMPULAN 4.1 Kesimpulan Mayoritas masyarakat Nagari Lubuk Tarok bermata pencaharian sebagai petani karet. Pada pertanian karet itulah mereka menggantungkan kehidupannya. Pertanian karet bukanlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan di Jambi telah menjadi suatu fenomena yang terjadi setiap tahun, baik dalam cakupan luasan yang besar maupun kecil. Kejadian kebakaran tersebut tersebar dan melanda

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang mempunyai

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang mempunyai BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang mempunyai karakteristik alam yang beragam. Indonesia memiliki karakteristik geografis sebagai Negara maritim,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang banyak memberikan sumber kehidupan bagi rakyat Indonesia dan penting dalam pertumbuhan perekonomian. Hal tersebut

Lebih terperinci

BAB V STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT LOKAL DESA GOROWONG. 5.1 Strategi Nafkah Kampung Ater dan Kampung Ciawian

BAB V STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT LOKAL DESA GOROWONG. 5.1 Strategi Nafkah Kampung Ater dan Kampung Ciawian 28 BAB V STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT LOKAL DESA GOROWONG 5.1 Strategi Nafkah Kampung Ater dan Kampung Ciawian Strategi nafkah dalam kehidupan sehari-hari direprensentasikan oleh keterlibatan individu-individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilakukannya penelitian ini terkait dengan permasalahan-permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. dilakukannya penelitian ini terkait dengan permasalahan-permasalahan BAB I PENDAHULUAN Pada bab pendahuluan akan dipaparkan mengenai latar belakang dilakukannya penelitian ini terkait dengan permasalahan-permasalahan infrastruktur permukiman kumuh di Kecamatan Denpasar

Lebih terperinci

BAB I. KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA

BAB I. KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA DAFTAR TABEL Daftar Tabel... i BAB I. KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA A. LAHAN DAN HUTAN Tabel SD-1. Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan/Tutupan Lahan. l 1 Tabel SD-1A. Perubahan Luas Wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan dengan pertambahan aktivitas yang ada di kota, yaitu khususnya dalam kegiatan sosial-ekonomi. Pertumbuhan

Lebih terperinci

TABEL FREKUENSI DAN HASIL UJI CROSSTABS

TABEL FREKUENSI DAN HASIL UJI CROSSTABS LAMPIRAN 89 TABEL FREKUENSI DAN HASIL UJI CROSSTABS Tabel Frekuensi Distribusi Penguasaan Lahan Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid Rendah 24 60.0 60.0 60.0 Sedang 11 27.5 27.5 87.5

Lebih terperinci

BAB III USULAN PENSOLUSIAN MASALAH

BAB III USULAN PENSOLUSIAN MASALAH BAB III USULAN PENSOLUSIAN MASALAH 3.1 Program Berdasarkan permasalahan yang telah diidentifikasi, selanjutnya ditindaklanjuti dengan berupaya memberikan solusi atau pemecahan masalah sesuai dengan kemampuan

Lebih terperinci

BAB I. Persiapan Matang untuk Desain yang Spektakuler

BAB I. Persiapan Matang untuk Desain yang Spektakuler BAB I Persiapan Matang untuk Desain yang Spektakuler Kampung Hamdan merupakan salah satu daerah di Kota Medan yang termasuk sebagai daerah kumuh. Hal ini dilihat dari ketidak beraturannya permukiman warga

Lebih terperinci

PROFIL KECAMATAN TOMONI 1. KEADAAN GEOGRAFIS

PROFIL KECAMATAN TOMONI 1. KEADAAN GEOGRAFIS PROFIL KECAMATAN TOMONI 1. KEADAAN GEOGRAFIS Kecamatan Tomoni memiliki luas wilayah 230,09 km2 atau sekitar 3,31 persen dari total luas wilayah Kabupaten Luwu Timur. Kecamatan yang terletak di sebelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Deskripsi Wilayah. 1. Kelurahan/Desa. Desa Giripanggung merupakan salah satu desa yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Deskripsi Wilayah. 1. Kelurahan/Desa. Desa Giripanggung merupakan salah satu desa yang BAB I PENDAHULUAN A. Deskripsi Wilayah 1. Kelurahan/Desa Desa Giripanggung merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunung Kidul dengan luas wilayah...hektar. Berdasarkan Data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Oleh karena itu,bukan suatu pandangan yang aneh bila kota kota besar di

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Oleh karena itu,bukan suatu pandangan yang aneh bila kota kota besar di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota di Indonesia merupakan sumber pengembangan manusia atau merupakan sumber konflik sosial yang mampu mengubah kehidupan dalam pola hubungan antara lapisan

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG KELUARGA DAMPINGAN

BAB I LATAR BELAKANG KELUARGA DAMPINGAN BAB I LATAR BELAKANG KELUARGA DAMPINGAN Keluarga yang dijadikan keluarga dampingan selama pelaksanaan KKN PPM XIII Universitas Udayana Tahun 2016 ini bertempat tinggal di Desa Abuan, Kintamani, Kabupaten

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi kesejahteraan manusia. Keberadaan sumber daya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mendorong peran dan membangun komitmen yang menjadi bagian integral

BAB I PENDAHULUAN. untuk mendorong peran dan membangun komitmen yang menjadi bagian integral BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Strategi kebijakan pelaksanaan pengendalian lingkungan sehat diarahkan untuk mendorong peran dan membangun komitmen yang menjadi bagian integral dalam pembangunan kesehatan

Lebih terperinci

BAB 1 KONDISI KAWASAN KAMPUNG HAMDAN

BAB 1 KONDISI KAWASAN KAMPUNG HAMDAN BAB 1 KONDISI KAWASAN KAMPUNG HAMDAN Daerah pemukiman perkotaan yang dikategorikan kumuh di Indonesia terus meningkat dengan pesat setiap tahunnya. Jumlah daerah kumuh ini bertambah dengan kecepatan sekitar

Lebih terperinci

Dampak Kenaikan Harga BBM bagi Golongan Termiskin di Dua Desa

Dampak Kenaikan Harga BBM bagi Golongan Termiskin di Dua Desa Dampak Kenaikan Harga BBM bagi Golongan Termiskin di Dua Desa Arief Budiman * PADA akhirnya, harga BBM dinaikkan juga pada tanggal 12 Januari 1984. banyak orang kemudian berkomentar, bahwa kenaikan ini

Lebih terperinci

POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati

POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati Ringkasan Penelitian ini dilakukan terhadap anggota Kelompok Tani

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil penelitian diperoleh dari survei primer dan sekunder terhadap ketersediaan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil penelitian diperoleh dari survei primer dan sekunder terhadap ketersediaan 66 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Hasil penelitian diperoleh dari survei primer dan sekunder terhadap ketersediaan dan kebutuhan prasarana dan sarana transportasi perkotaan di empat kelurahan di wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. juga rohani. Ketika mahluk hidup ingin memenuhi kebutuhannya tersebut, mereka

BAB I PENDAHULUAN. juga rohani. Ketika mahluk hidup ingin memenuhi kebutuhannya tersebut, mereka BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hakekat mahluk hidup adalah terpenuhinya kebutuhan secara jasmani dan juga rohani. Ketika mahluk hidup ingin memenuhi kebutuhannya tersebut, mereka sangat

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM 4.1. Gambaran Umum Desa

BAB IV GAMBARAN UMUM 4.1. Gambaran Umum Desa BAB IV GAMBARAN UMUM 4.1. Gambaran Umum Desa Desa Dramaga merupakan salah satu dari sepuluh desa yang termasuk wilayah administratif Kecamatan Dramaga. Desa ini bukan termasuk desa pesisir karena memiliki

Lebih terperinci

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam yang memiliki fungsi yang sangat luas dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Di lihat dari sisi ekonomi, lahan merupakan input

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106 0 45 50 Bujur Timur dan 106 0 45 10 Bujur Timur, 6 0 49 29 Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

PROGRAM KREATIFITAS MAHASISWA

PROGRAM KREATIFITAS MAHASISWA PROGRAM KREATIFITAS MAHASISWA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PETANI KECIL KUKUK SUMPUNG, KECAMATAN RUMPIN, BOGOR MELALUI PEMBUATAN SUMUR BOR SEBAGAI SUMBER AIR PERTANIAN PKM ARTIKEL ILMIAH Oleh : Harry Anggoman

Lebih terperinci

V. KEMISKINAN 5.1 Kemiskinan di Desa Sitemu

V. KEMISKINAN 5.1 Kemiskinan di Desa Sitemu V. KEMISKINAN 5.1 Kemiskinan di Desa Sitemu Berdasarkan hasil pendataan sosial ekonomi penduduk (PSEP) yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2005 diketahui jumlah keluarga miskin di Desa Sitemu 340 KK. Kriteria

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jangka Menengah untuk pencapaian program perbaikan gizi 20%, maupun target

BAB I PENDAHULUAN. Jangka Menengah untuk pencapaian program perbaikan gizi 20%, maupun target BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia prevalensi balita gizi buruk adalah 4,9% dan gizi kurang sebesar 13,0% atau secara nasional prevalensi balita gizi buruk dan gizi kurang adalah sebesar

Lebih terperinci

Seorang diri, Sadiman memerdekakan desanya dari kekeringan

Seorang diri, Sadiman memerdekakan desanya dari kekeringan Rappler.com Seorang diri, Sadiman memerdekakan desanya dari kekeringan Ari Susanto Published 12:00 PM, August 23, 2015 Updated 4:48 AM, Aug 24, 2015 Selama 20 tahun, Sadiman mengeluarkan uangnya sendiri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim yang lautannya lebih luas daripada daratan. Luas lautan Indonesia 2/3 dari luas Indonesia. Daratan Indonesia subur dengan didukung

Lebih terperinci

BAB II RANCANGAN PELAKSANAAN KEGIATAN PLPBK

BAB II RANCANGAN PELAKSANAAN KEGIATAN PLPBK BAB II RANCANGAN PELAKSANAAN KEGIATAN PLPBK 2.1 KONDISI AWAL KAWASAN PRIORITAS 2.1.1 Delineasi Kawasan Prioritas Berdasarkan 4 (empat) indikator yang telah ditetapkan selanjutnya dilakukan kembali rembug

Lebih terperinci

BAB VII STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY

BAB VII STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY 117 BAB VII STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY Desa Cipeuteuy merupakan desa baru pengembangan dari Desa Kabandungan tahun 1985 yang pada awalnya adalah komunitas pendatang yang berasal dari beberapa daerah,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia kaya akan potensi sumberdaya alam, tanah yang subur dan didukung

I. PENDAHULUAN. Indonesia kaya akan potensi sumberdaya alam, tanah yang subur dan didukung 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia kaya akan potensi sumberdaya alam, tanah yang subur dan didukung oleh ketersediaannya air yang cukup merupakan faktor fisik pendukung majunya potensi

Lebih terperinci

BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN

BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN 29 Bab perubahan struktur agraria ini berisi tentang penjelasan mengenai rezim pengelolaan TNGHS, sistem zonasi hutan konservasi TNGHS, serta kaitan antara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Permukiman menunjukkan tempat bermukim manusia dan bertempat tinggal menetap dan

I. PENDAHULUAN. Permukiman menunjukkan tempat bermukim manusia dan bertempat tinggal menetap dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permukiman menunjukkan tempat bermukim manusia dan bertempat tinggal menetap dan melakukan kegiatan/aktivitas sehari-harinya. Permukiman dapat diartikan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia banyak sekali daerah yang,mengalami longsoran tanah yang tersebar di daerah-daerah pegunngan di Indonesia. Gerakan tanah atau biasa di sebut tanah longsor

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1046, 2014 KEMENPERA. Bencana Alam. Mitigasi. Perumahan. Pemukiman. Pedoman. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam 1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana

Lebih terperinci

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1.1.1.Sampah Plastik Perkembangan teknologi membuat kehidupan masyarakat menjadi lebih baik, salah satu aspeknya adalah pada produk konsumsi sehari-hari. Berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendukung statusnya sebagai negara agraris, dengan sebagian besar masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. mendukung statusnya sebagai negara agraris, dengan sebagian besar masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki potensi alam melimpah ruah yang mendukung statusnya sebagai negara agraris, dengan sebagian besar masyarakat bermukim di pedesaan

Lebih terperinci

2015 KONDISI MASYARAKAT KORBAN BENCANA GERAKAN TANAH SEBELUM DAN SETELAH RELOKASI PEMUKIMAN DI KECAMATAN MALAUSMA KABUPATEN MAJALENGKA

2015 KONDISI MASYARAKAT KORBAN BENCANA GERAKAN TANAH SEBELUM DAN SETELAH RELOKASI PEMUKIMAN DI KECAMATAN MALAUSMA KABUPATEN MAJALENGKA 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang rawan bencana dilihat dari aspek geografis, klimatologis dan demografis. Letak geografis Indonesia di antara dua benua dan dua samudera

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Umum Agroforestri di Lokasi Penelitian Lahan agroforestri di Desa Bangunjaya pada umumnya didominasi dengan jenis tanaman buah, yaitu: Durian (Durio zibethinus),

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu penggerak utama dari roda. perekonomian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu penggerak utama dari roda. perekonomian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu penggerak utama dari roda perekonomian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian merupakan basis utama perekonomian nasional.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan wanita untuk bekerja adalah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. a. Letak, Luas, dan Batas Wilayah. dengan batas-batas administratif sebagai berikut:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. a. Letak, Luas, dan Batas Wilayah. dengan batas-batas administratif sebagai berikut: 35 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Daerah Penelitian 1. Kondisi Fisik a. Letak, Luas, dan Batas Wilayah Desa Argomulyo merupakan salah satu desa di Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Gambaran Umum Desa Negara Saka Kabupaten Pesawaran. 1. Kondisi Umum Desa Negara Saka Kabupaten Pesawaran

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Gambaran Umum Desa Negara Saka Kabupaten Pesawaran. 1. Kondisi Umum Desa Negara Saka Kabupaten Pesawaran 50 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Gambaran Umum Desa Negara Saka Kabupaten Pesawaran 1. Kondisi Umum Desa Negara Saka Kabupaten Pesawaran Dinamika pembangunan masyarakat Desa Negara Saka Kabupaten

Lebih terperinci

BAB III MENELUSURI WILAYAH DAN MASYARAKAT DESA RENDENG. berbatasan dengan Desa Tileng, Sebelah Timur Desa Malo dan sebelah barat

BAB III MENELUSURI WILAYAH DAN MASYARAKAT DESA RENDENG. berbatasan dengan Desa Tileng, Sebelah Timur Desa Malo dan sebelah barat BAB III MENELUSURI WILAYAH DAN MASYARAKAT DESA RENDENG A. Kondisi Geografis Desa Rendeng Secara Administrasi Desa Rendeng terletak sekitar 1 Km dari Kecamatan Malo, kurang lebih 18 Km dari Kabupaten Bojonegoro,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kaya yang dikenal sebagai negara kepulauan. Negara ini

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kaya yang dikenal sebagai negara kepulauan. Negara ini BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kaya yang dikenal sebagai negara kepulauan. Negara ini memiliki banyak wilayah pesisir dan lautan yang terdapat beragam sumberdaya alam. Wilayah

Lebih terperinci

BAB V PERAN USAHA KAYU RAKYAT DALAM STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI

BAB V PERAN USAHA KAYU RAKYAT DALAM STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI BAB V PERAN USAHA KAYU RAKYAT DALAM STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI 5.1 Strategi Nafkah Petani Petani di Desa Curug melakukan pilihan terhadap strategi nafkah yang berbeda-beda untuk menghidupi keluarganya.

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI LOKASI DAN SAMPEL PENELITIAN. Kelurahan Kamal Muara merupakan wilayah pecahan dari Kelurahan

V. DESKRIPSI LOKASI DAN SAMPEL PENELITIAN. Kelurahan Kamal Muara merupakan wilayah pecahan dari Kelurahan V. DESKRIPSI LOKASI DAN SAMPEL PENELITIAN Kelurahan Kamal Muara merupakan wilayah pecahan dari Kelurahan Kapuk, Kelurahan Kamal dan Kelurahan Tegal Alur, dengan luas wilayah 1 053 Ha. Terdiri dari 4 Rukun

Lebih terperinci

BAB VII DAMPAK KONVERSI LAHAN TERHADAP KEBERLANJUTAN EKOLOGI

BAB VII DAMPAK KONVERSI LAHAN TERHADAP KEBERLANJUTAN EKOLOGI 63 BAB VII DAMPAK KONVERSI LAHAN TERHADAP KEBERLANJUTAN EKOLOGI 7.1 Dampak Ekologi Konversi lahan pertanian ke pemukiman sangat berdampak negatif terhadap ekologi. Secara ekologis, perubahan telah terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG BANTUAN SOSIAL BAGI KORBAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG BANTUAN SOSIAL BAGI KORBAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG BANTUAN SOSIAL BAGI KORBAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. keadaan penduduk, keadaan sarana dan prasana, keadaan pertanian, dan

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. keadaan penduduk, keadaan sarana dan prasana, keadaan pertanian, dan IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran umum lokasi penelitian bertujuan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan lokasi penelitan berdasarkan pada keadaan topografi dan geografi, keadaan penduduk,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan papan merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar bagi setiap individu manusia pasti

Lebih terperinci