BAB VI PERSEPSI TERHADAP LINGKUNGAN DAN KEMAMPUAN DIRI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB VI PERSEPSI TERHADAP LINGKUNGAN DAN KEMAMPUAN DIRI"

Transkripsi

1 75 BAB VI PERSEPSI TERHADAP LINGKUNGAN DAN KEMAMPUAN DIRI Tingginya homogenitas warga dalam hal pendidikan, agama bahkan suku dan budaya tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap persepsi warga mengenai keadaan lingkungannya. Bahkan dalam beberapa hal, persepsi antar warga nampak sama. Perbedaan persepsi sedikit nampak mengenai perubahan pola pemanfaatan dan pengelolaan lahan yang didasarkan oleh mata pencaharian serta penguasaan lahan. Persepsi warga terhadap lingkungan disajikan dalam bentuk tabulasi angka dan persentase yang menunjukkan popularitas jawaban responden. Seberapa besar responden memberikan pandangan yang sama terhadap lingkungan akan merepresentasikan kondisi lingkungan mereka saat ini. 6.1 Persepsi terhadap Lingkungan Pengukuran persepsi terhadap lingkungan dilakukan kepada warga Kampung Sirnagalih yang secara riil merupakan korban longsor yang telah mengalami kerugian secara materiil. Lebih dari 60 persen warga mengalami kerusakan tempat tinggal bahkan kehilangan rumah dan mereka yang bekerja sebagai petani terancam kehilangan mata pencaharian sebab lahan garapan juga mengalami kerusakan. Persepsi para warga terhadap lingkungan merupakan titik awal mengetahui sejauhmana mereka memahami kondisi lingkungan yang telah diklaim sebagai daerah rawan longsor. Indikator persepsi warga terhadap lingkungan terbagi dalam 3 kategori yakni penyebab longsor, kondisi lingkungan (kualitas fisik kampung; iklim, tanah, sungai, hutan), serta dampak yang ditimbulkan oleh longsor Penyebab Longsor Secara teknis dan keilmuan, penyebab longsor di kedua kampung telah banyak dianalisis oleh para pihak seperti Dinas ESDM, ahli kehutanan IPB dan pakar geologi ITB. Secara non teknis, berdasarkan pengalaman dan kedekatan terhadap lingkungan sekitar, faktor penyebab longsor juga dapat diketahui melalui persepsi warga.

2 76 Hasil pengukuran persepsi lingkungan menunjukkan bahwa berbagai faktor utama yang diprediksi oleh berbagai ahli/pakar geologi sebagai faktor penyebab terjadinya longsor di Kampung Sirnagalih, sebagian besar juga dipahami oleh warga. Dari berbagai pilihan yang disediakan pada kuesioner, mayoritas warga memilih bahwa kondisi tanah merupakan faktor utama terjadinya longsor di kampung mereka. Beberapa warga mengatakan bahwa kampung mereka dulu aman-aman saja tapi sekarang tanahnya memang sudah tidak baik. Pengetahuan warga tentang kondisi tanah yang tidak baik diperoleh dari hasil pengamatan warga sehari-hari yang menyaksikan pergeseran tanah. Selain itu, hasil kajian dari pihak Dinas ESDM Kab. Bogor yang ditransformasikan ke warga semakin memperkuat pandangan warga terhadap kondisi lahan di kampung mereka. Pada tabel 15 terlihat bahwa, selain faktor tanah, warga setuju bahwa realitas longsor di Sirnagalih juga disebabkan oleh beberapa faktor penyebab lainnya. Hal tersebut terlihat dari variasi jawaban responden yang juga memilih faktor lain, sehingga dapat dikatakan bahwa longsor tidak disebabkan oleh faktor tunggal namun oleh banyak faktor. Tabel 16 Persepsi Warga tentang Faktor Penyebab Longsor (n=55) No. Faktor Penyebab Longsor Faktor lain yang dipilih oleh warga sebagai aktivitas yang ikut menjadi penyebab terjadinya longsor adalah bercocoktanam di lahan miring. Meski kondisi riil di Kampung Sirnagalih pemanfaatan lahan miring masih tergolong baik sebab jenis tanaman yang banyak ditanam adalah tanaman tahunan seperti Sengon dan Puspa. Pemanfaatan lahan miring lainnya adalah sebagai sawah tadah hujan dengan sistem terasering. Terasering merupakan salah satu cara pengelolaan lahan yang cocok untuk daerah miring. Pemahaman warga tentang pemanfaatan lahan miring sebagai lahan garapan cukup memadai. Distribusi Responden (%) Ya Tidak 1. Kondisi tanah yang tidak baik Bercocoktanam di lahan miring Hujan deras (iklim) Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai Membangun rumah di perbukitan Kerusakan Hutan Takdir Tuhan 55 45

3 77 Faktor lainnya adalah pemanfaatan lahan yang tidak sesuai. Warga memilih jawaban bahwa pemanfaatan lahan tidak sesuai di kampung mereka sehingga menyebabkan longsor. Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai tersebut adalah pemanfaatan lahan sebagai rumah-tempat tinggal. Hal ini sesuai dengan faktor penyebab longsor lainnya yakni dibangunnya rumah di areal perbukitan. Dari beberapa faktor teknis yang dianggap sebagai penyebab longsor, terdapat faktor non teknis yang juga dipilih oleh sebagian warga sebagai faktor mutlak penyebab terjadinya longsor, yakni tingginya curah hujan dan takdir Tuhan. Peristiwa longsor yang terjadi kerap diiringi oleh hujan deras. Kondisi tersebut dianggap warga sebagai faktor penyebab longsor yang sulit untuk dihindari, demikian halnya dengan Takdir Tuhan. Sebagai makhluk beragama, warga meyakini bahwa setiap peristiwa terjadi karena ijin Tuhan, meski di sisi lain sebagian besar responden juga setuju bahwa faktor teknis seperti kondisi tanah, kesalahan dalam pemanfaatan dan pengolahan lahan serta kerusakan hutan ikut menjadi faktor penyebab terjadinya longsor. Kerusakan hutan juga menjadi salah satu faktor yang dipilih warga sebagai penyebab terjadinya longsor. Hutan yang dimaksud di sini adalah hutan rakyat (kebun campuran/talun) yang dikelola dan dimanfaatkan secara pribadi. Hutan rakyat di Kampung Sirnagalih ada 2 bentuk yakni hutan bersama yang dikeramatkan disebut Gunung Batu Kaca serta hutan rakyat berupa kebun talun. Kondisi kedua jenis hutan tersebut berbeda. Hutan Gunung Batu Kaca masih terjaga kelestariannya bahkan masih virgin. Berbeda dengan kondisi kebun talun, meski masih terlihat hijau namun kerapatannya sudah renggang. Kerapatan antar pohon berkurang akibat penebangan yang dilakukan. Meskipun penebangan dilakukan masih berskala kecil karena masih mempertimbangkan usia pohon dan kebutuhan namun diameter pohon pengganti tidak lagi sebesar pohon-pohon sebelumnya. Pohon tua sudah tidak banyak dibandingkan pohon muda. Perubahan tersebut dianggap oleh warga bahwa kondisi hutan di kampung mereka sudah tidak sebaik dulu. Sebagian kecil masih terdapat responden yang memilih menjawab bahwa kerusakan hutan tidaklah menjadi penyebab longsor (25 persen) dengan alasan bahwa mereka masih melihat kampung Sirnagalih masih hijau. Secara ekologis kondisi Sirnagalih sebenarnya masih dikelilingi oleh tanaman bambu dan

4 78 berbagai jenis tanaman tahunan lainnya (seperti Sengon, Puspa, Lame dan Afrika) meski secara kualitas dan kuantitas telah mengalami penurunan. Seberapa jauh dampak dari kerusakan hutan tersebut juga terlihat dari gejala-gejala fisik lingkungan seperti yang terlihat pada tabel 16. Sebagian besar responden menjawab bahwa tanda-tanda kerusakan hutan telah mereka rasakan yakni ketersediaan air di musim kemarau menjadi berkurang, sebagian tanah terlihat kering dan agak retak, di musim hujan air sungai berubah warna menjadi keruh, jumlah pohon (kerapatan) pun mulai berkurang sehingga nampak renggang karena pohon-pohon yang ada sekarang memiliki diameter yang kecil (lebih banyak pohon baru). Tabel 16 Persepsi Warga tentang Tanda-tanda Kerusakan Hutan di Leuweung Titipan (n=55) No. Tanda-tanda Kerusakan Hutan (Leuweung Titipan) Distribusi Responden (%) Ya Tidak 1. Persediaan air berkurang di musim kemarau Tanah kering dan retak di musim kemarau Air sungai keruh-coklat di musim hujan Jumlah pohon berkurang 95 5 Pada tabel 17, lebih jauh menggali tentang penyebab kerusakan hutan di leuweung titipan. Kerusakan hutan titipan disebabkan karena adanya kebutuhan terhadap kayu oleh warga itu sendiri. Sebagian besar responden menjawab bahwa pemilik lahan menebang pohon mereka untuk kebutuhan membangun rumah. Selain itu, pohon dengan jenis kayu-kayuan yang ditanam juga dijadikan sebagai alat investasi yang bisa dijual untuk kebutuhan yang mendesak. Ketika warga mengalami kesulitan perekonomian maka pohon yang mereka miliki menjadi sumber nafkah lainnya. Kondisi tersebut biasanya terjadi jika warga benar-benar membutuhkan biaya dan tidak dapat diperoleh dari sumber lainnya. Pemilik tanaman akan memilih pohon yang akan ditebang berdasarkan usia. Biasanya usia pohon yang ditebang paling rendah 4 sampai 5 tahun. Tanaman yang paling sering diambil adalah tanaman Bambu dan Jenjeng (Sengon). Selain tuntutan kebutuhan, faktor lain yang menyebabkan kerusakan hutan adalah hujan deras dan angin kencang, meskipun bencana alam tersebut tidak sampai menimbulkan kerusakan besar. Sebagian kecil responden juga menjawab bahwa pencurian kayu pernah menjadi penyebab rusaknya hutan

5 79 mereka, namun sebagian besar responden menjawab bahwa pencurian kayu terjadi di waktu lampau dan dilakukan oleh orang luar. Pada rentang waktu 5 sampai 7 tahun terakhir sudah tidak ada lagi pencurian kayu di kampung mereka. Tabel 17 Persepsi Warga tentang Faktor Penyebab Kerusakan Hutan di Leuweung Titipan (n=55) No. Faktor Penyebab Kerusakan Hutan ( Leuweung Titipan) Distribusi Responden (%) Ya Tidak 1. Pengambilan kayu untuk membangun rumah Pengambilan kayu untuk dijual Bencana alam (hujan deras dan angin kencang) Pencurian kayu (illegal loging) oleh orang luar Mengacu pada tabel 18 di atas, maka ke-4 faktor penyebab terjadinya kerusakan hutan tersebut dapat dikelompokkan menjadi 2 kategori. Pertama, faktor internal dimana penyebab kerusakan hutan disebabkan oleh perilaku warga dari Kampung Sirnagalih sendiri. Kedua, faktor eksternal dimana penyebabnya berasal bukan dari perilaku warga Sirnagalih melainkan karena alam dan karena perilaku orang luar (illegal loging) Kondisi Lingkungan sebagai Daerah Rawan Longsor Indikator lain tentang persepsi warga terhadap lingkungan adalah pandangan warga tentang kondisi lingkungan mereka secara umum. Khususnya aspek-aspek yang dianggap sebagai faktor penyebab terjadinya longsor di daerah mereka. (1) Kondisi Hutan Rakyat (Leuweung Tutupan dan Leuweung Titipan) Peristiwa longsor merupakan fenomena alam yang tidak mengenal batas administrasi. Secara geografis, kerusakan ekosistem akan mempengaruhi unsurunsur kehidupan lainnya, seperti kerusakan hutan yang akan berdampak pada berkurangnya debit air, hilangnya kekuatan tanah, dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut maka secara umum perlu diketahui bagaimana pandangan warga terhadap seluruh kondisi hutan yang ada di desa mereka dan di sekitarnya. Pada gambar 14 terlihat sebagian besar responden setuju bahwa kondisi hutan di sekitar mereka sebagian telah rusak namun sebagian lagi masih bagus (sedang). Responden yang memilih setuju bahwa hutan mereka masih bagus

6 80 adalah hutan bersama yakni Gunung Batu Kaca yang merupakan hutan keramat yang dijaga dan dilindungi. Meskipun status hutan tersebut adalah hutan milik bersama (hutan wakaf) desa yang memungkinkan warga untuk mengakses dan memanfaatkannya namun warga tidak berani memanfaatkan isi hutan tersebut apalagi merusaknya. Gambar 14 Persepsi warga tentang Kondisi Hutan di Desa Sukaraksa dan sekitarnya 24% 25% 51% Bagus Rusak Sedang (2) Kondisi (Struktur) Tanah Faktor penyebab utama terjadinya longsor yang dipilih oleh warga adalah kondisi tanah yang memang tidak baik, labil dan rapuh. Secara teknis, warga memang tidak mengerti unsur-unsur yang terkandung dalam tanah di kampung mereka, namun warga telah banyak mendapatkan informasi dari berbagai pihak yang ahli di bidangnya, yang menyatakan bahwa tanah di daerah mereka tergolong labil sehingga mudah longsor. Informasi tersebut diterima karena sesuai dengan kondisi yang ada yakni tanah retak yang terjadi di rumah dan lahan garapan mereka. Diterimanya informasi tersebut oleh warga terlihat jelas dari gambar 15 dimana 54 responden menjawab bahwa kondisi tanah termasuk labil (mudah longsor). Gambar 15 Persepsi Warga tentang Kondisi (Struktur) Tanah Mudah Longsor 2% 98% Mudah Longsor Tidak Mudah Longsor

7 81 (3) Kesesuaian Pemanfaatan Lahan di Dalam Kampung Faktor penyebab longsor lainnya yang dipilih oleh responden terkait dengan kondisi tanah yang tidak baik adalah pemanfaatan lahan di dalam kampung. Lahan di dalam kampung sebagian besar dipergunakan untuk pemukiman, sawah, kebun campuran (talun), serta ada sebagian kecil yang pernah dimanfaatkan sebagai lahan penambangan batubara. Pada tabel 18, sebagian besar warga setuju bahwa peruntukan lahan sebagai kebun-tegalan masih cocok. Alasan responden berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwa lahan yang ditanami pohon justru membantu mencegah longsor besar, ada yang mengatakan jika berubah menjadi lahan kering (bukan sawah) masih cocok, ada juga yang mengatakan bahwa lahan mereka dari dulu adalah hutan dan kebun sehingga masih sesuai dengan kondisi tanah. Hanya sebagian kecil responden yang setuju bahwa pemukiman, persawahan dan penambangan batu bara masih sesuai di kampung mereka. Tabel 18 Persepsi Warga tentang Kesesuaian Pemanfaatan-Penggunaan Lahan di Dalam Kampung (n=55) No. Pemanfaatan-Penggunaan Lahan Keterangan : S = Sesuai TS = Tidak Sesuai Mengacu pada tabel 18, semakin menegaskan bahwa bagi warga, lahan (leuweung titipan) pada kampung mereka sebenarnya tidak lagi sesuai untuk dijadikan sebagai pemukiman, sawah dan areal penambangan. Mereka menganggap bahwa kerusakan lahan yang menimbukan retakan-retakan tanah, tidak lagi kondusif untuk dijadikan sebagai tempat tinggal begitupun dengan menerapkan pola lahan basah (sawah), terlebih lagi dengan melakukan penambangan batu bara. Distribusi Responden (%) S TS 1. Pemukiman Persawahan Kebun & Tegalan Penambangan batu bara 5 95 (4) Kondisi Iklim (Curah Hujan) Tingginya curah hujan di beberapa tempat disinyalir menjadi salah satu pemicu terjadinya bencana longsor. Desa Sukaraksa memiliki curah hujan yang

8 82 cukup tinggi, namun sejauhmana warga memahami kondisi tersebut sebagai suatu penyebab terjadinya longsor cukup penting untuk diketahui. Peristiwa longsor dan tingginya curah hujan di Desa Sukaraksa merupakan satu mata rantai hubungan sebab akibat yang tidak dapat dibantah. Para responden memberikan gambaran yang tidak jauh berbeda tentang curah hujan (3.000 mm 3 setiap tahun) di daerah mereka. Pengetahuan warga tentang iklim atau curah hujan terlihat pada gambar 16. Mayoritas responden setuju bahwa curah hujan di daerah mereka termasuk tinggi sehingga menyebabkan terjadinya longsor. Hal tersebut mereka pahami sebab peristiwa longsor yang terjadi selalu diawali dengan hujan deras. Sebagian kecil menjawab curah hujan termasuk sedang dengan asumsi bahwa dari dulu hingga sekarang curah hujan di tempat mereka tidak mengalami perubahan, sehingga mereka menganggap curah hujan di kampung mereka adalah curah hujan yang biasa saja-sedang. Sebagian lagi ada yang menjawab curah hujan rendah karena dalam waktu-waktu tertentu (musim kemarau) hujan tidak ada. Artinya, kehadiran hujan di daerah mereka dengan daerah yang lain tidak jauh berbeda, tetap berdasarkan musim. Gambar 16 Persepsi Warga tentang Iklim (Curah Hujan) 9% 9% 82% Tinggi Sedang Rendah Dampak Bencana Longsor Aspek lain yang sangat penting untuk diketahui adalah bagaimana masyarakat setempat melihat longsor sebagai suatu fenomena alam yang membahayakan. Seluruh responden setuju bahwa longsor sebagai peristiwa yang membahayakan karena beberapa dampak yang ditimbulkan oleh longsor. Mereka setuju bahwa longsor berbahaya sebab dapat menyebabkan kematian,

9 83 merusak tempat tinggal, merusak lahan dan tanaman, hingga menimbulkan trauma (tabel 19). Pada tabel 19, terlihat bahwa kerusakan rumah, lahan garapan, dan tanaman merupakan kerusakan yang bersifat materil yang menggambarkan tingginya keprihatinan dan kekhawatiran warga terhadap harta benda mereka. Warga menganggap bahwa kerusakan harta benda tersebut akan mengganggu kestabilan kondisi perekonomian mereka. Saat ini, bahaya tersebut lebih diartikan oleh warga sebagai bahaya yang mengancam harta benda dan sumber penghidupan mereka. Tabel 19 Persepsi warga tentang Dampak Longsor (n=55) No. Dampak Longsor Distribusi Responden (%) 1. Menyebabkan kematian Merusak rumah Merusak lahan garapan Merusak tanaman Menimbulkan trauma Persepsi terhadap Kemampuan Diri Setelah melihat bagaimana persepsi warga terhadap lingkungan yang secara kualitas telah mengalami penurunan, maka hal penting berikutnya adalah mengetahui bagaimana warga melihat dan menilai kelayakan kampung mereka untuk tetap dihuni dan dijadikan sebagai tempat untuk bergantung hidup. Penilaian tersebut akan berdampak pada optimisme warga (self efficacy) dalam mengukur kapasitas mereka, sanggup atau tidak bertahan hidup serta mampukah melakukan upaya-upaya (adaptasi) yang dapat memperbaiki kondisi lahan di kampung mereka. Pada gambar 17 memperlihatkan bahwa mayoritas responden menjawab kampung mereka sudah tidak layak untuk dihuni. Alasan mereka hampir sama bahwa kondisi kampung tidak lagi memberikan keleluasaan untuk berinteraksi, baik kepada sesama warga maupun kepada lingkungan. Artinya, bahwa kondisi warga yang sebagian besar tinggal di hunian sementara (Huntara) menyulitkan mereka untuk beraktivitas seperti dulu. Berbagai fasilitas peribadi yang biasa dinikmati kini harus dibagi dan dinikmati bersama, seperti air bersih, kamar mandi bahkan ketenangan. Aktivitas terhadap lingkungan seperti menggarap lahanpun Ya Tidak

10 84 mulai berubah karena kerusakan yang ditimbulkan oleh longsor. Warga menganggap kesulitan-kesulitan tersebut sebagai ukuran bahwa kampung mereka tidak lagi memberikan kenyamanan sehingga tidak lagi layak untuk ditempati seperti kampung-kampung lainnya. Gambar 17 Persepsi Warga tentang Kelayakan Kampung untuk Tetap Dihuni 15% 85% Layak Tidak layak Kemampuan Bertahan Hidup Banyaknya warga yang setuju bahwa kampung mereka tadak lagi layak dijadikan sebagai tempat tinggal bukan berarti dengan serta merta mereka pergi mencari tempat baru dan meninggalkan kampung serta lahan garapan mereka. Hingga saat ini belum ada satupun warga yang telah menyatakan diri pindah ke tempat lain dengan alasan mencari tempat yang lebih aman. Tabel 20 menggambarkan berbagai faktor penyebab yang masih menjadi pertimbangan warga sehingga masih tetap bertahan meskipun telah mengetahui kondisi kampung yang tidak lagi layak untuk dihuni. Mayoritas memilih alasan bertahan karena mereka tidak memiliki lahan lain. Sebagian lagi menjawab karena lahan-tanah yang mereka tempati adalah tanah (warisan) leluhur. Hanya sebagian kecil yang setuju bahwa kampung mereka masih nyaman dan aman. Pilihan responden bahwa lahan mereka masih subur juga rendah. Pilihan jawaban para responden tersebut sangat beragam karena alasan mereka yang juga berbeda-beda. Warga yang merasa nyaman karena mereka warga telah akrab dan mengenal kampung mereka sejak kecil. Secara psikologis, ikatan emosional telah terbangun. Sebagian lagi ada yang menganggap masih aman terlebih setelah mereka diungsikan ke tenda dan Huntara meskipun hanya bersifat sementara. Jawaban lain yang kurang menjadi alasan warga adalah karena lahan mereka mengandung batu bara, sering

11 85 mendapat bantuan dari pihak lain serta tidak memiliki kerabat yang dapat menolong. Berbagai pertimbangan tersebut menjadi alasan warga mengapa masih bertahan. Namun jika ditanya lebih jauh tentang faktor yang paling sulit untuk mereka atasi adalah tidak adanya lahan lain untuk pindah. Beberapa responden yang kebetulan memiliki lahan lain juga merasa enggan pindah karena merasa bahwa di tempat baru nanti mereka belum tentu memiliki nasib yang lebih baik. Tabel 20 Penyebab Warga Bertahan Hidup di Daerah Rawan Longsor (n=55) No. Faktor Penyebab Distribusi Responden (%) Ya Tidak 1. Tidak memiliki lahan lain Masih merasa nyaman Masih merasa aman Tidak memiliki keluarga di luar kampung-desa Warisan leluhur Kesuburan lahan Sering mendapat bantuan dari pihak luar Tanah mengandung batubara 5 95 Dengan berbagai jawaban tersebut, secara riil warga memang tetap bertahan. Mereka menganggap bahwa saat ini mereka tidak memiliki pilihan hidup yang lebih baik untuk bisa keluar dari kampung. Sebelum pilihan hidup yang lebih baik ada maka pilihan untuk tetap bertahan dengan kondisi yang sulit menjadi konsekwensi warga untuk mampu bertahan. Dari seluruh responden, sebagian besar warga memilih menjawab bahwa mereka masih sanggup untuk bertahan menjalani aktivitas hidup sehari-hari di kampung. Sebagaimana terlihat pada gambar 18. Meskipun di sisi lain sebagian warga menjawab bahwa mereka sudah tidak mampu lagi untuk bertahan namun pada akhirnya tetap memaksakan diri untuk surive di kampung dengan kondisi yang sulit. Hal tersebut semakin memperkuat keadaan warga yang memang tidak memiliki alternatif penghidupan lain yang lebih baik.

12 86 Gambar 18 Persepsi Warga tentang Kemampuan Diri untuk Bertahan Hidup 4% 96% Mampu Tidak Mampu Pilihan untuk tetap bertahan dan kesanggupan diri untuk tidak meninggalkan kampung berdampak pada munculnya beberapa alternatif cara bertahan hidup. Secara praktis, warga memahami dasar bertahan hidup yang paling utama adalah pemenuhan kebutuhan dasar sehari-hari yakni pangan. Pada tabel 21, terlihat beberapa cara bertahan hidup yang dipilih oleh warga. Seluruh responden memilih jawaban tentang perlunya mencari tambahan pendapatan dari pekerjaan lain. Sebagian juga memilih untuk merubah cara bercocok tanam dari lahan basah menjadi lahan kering. Mayoritas warga di kedua kampung masih tergantung dengan keberadaan lahan. Jawaban lain yang dipilih adalah meminta bantuan. Peristiwa longsor yang membawa kerusakan ekologis mengancam sumber nafkah sehingga warga mulai berfikir untuk mengupayakan cara-cara sebagai bentuk survive. Pertama, mencari alternatif nafkah lainnya yang tidak berbasis lahan. Sebagian warga mulai beternak kambing meskipun masih dalam jumlah yang kecil. Sebagian lagi menganggap bahwa pekerjaan di sektor jasa seperti menjadi tukang ojek, berdagang hingga mencari pekerjaan ke kampung-desa tetangga merupakan alternatif mata pencaharian yang paling memungkinkan untuk dilakukan, mengingat minimnya lapangan kerja yang tersedia di dalam desa. Kedua, merubah pola bercocoktanam dengan menyesuaikan kondisi lahan saat ini. Hal tersebut dilakukan oleh warga khususnya mereka yang bekerja sebagai petani sekaligus sebagai pemilik lahan dimana lahan garapan telah mengalami kerusakan. Selain pola bercocoktanam, pemilihan jenis tanaman juga disesuaikan berdasarkan kebutuhan pangan dan kondisi tanah. Mereka yang menjadikan perubahan pola bercocoktanam sebagai strategi bertahan hidup adalah mereka yang bergantung hidup dari lahan (bertani). Pada umumnya mereka adalah para petani yang berkuasa atas lahan garapan (pemilik dan

13 87 penyewa). Meski demikian, tidak semua petani (buruh tani) merasa sanggup merubah pola bercocoktanam sebab mereka bukan sebagai pemilik lahan sehingga tidak mempunyai wewenang untuk melakukan perubahan. Ketiga, meminta bantuan dari pihak lain juga menjadi salah satu alternatif strategi bertahan, yakni kepada pemerintah dan keluarga. Banyak warga yang memilih cara ini karena mereka menyadari bahwa permasalahan yang mereka hadapi tidak dapat diselesaikan sendiri. Warga membedakan jenis bantuan yang diharapkan. Kepada pemerintah warga lebih berharap bantuan yang bersifat materiil dan non materiil yang sustainable. Materiil disini berupa bantuan untuk pembangunan tempat tinggal yang lebih layak di lahan yang aman, sedangkan non materiil berupa pengembangan kapasitas warga berupa transformasi pengetahuan melalui penyuluhan serta membuka lapangan kerja yang tidak berbasis lahan. Kepada kerabat keluarga, warga lebih memilih meminta bantuan yang bersifat temporer pada kondisi darurat, sedangkan kepada sesama tetangga warga lebih membangun kekuatan dan kerjasama (toleransi) dalam menghadapi perubahan lingkungan. Tabel 21 Persepsi Warga tentang Cara Bertahan Hidup di Daerah Rawan Longsor (n=55) No. Cara Bertahan Kemampuan Mencegah Longsor Distribusi Responden (%) 1. Mencari pekerjaan tambahan Selain kemampuan diri untuk tetap bertahan, kemampuan lain yang tak kalah pentingnya adalah melihat kemampuan warga melakukan tindakantindakan untuk mencegah longsor. Pada penjelasan sebelumnya, secara eksplisit, mayoritas responden menyatakan ketidaksanggupan mereka untuk mencegah longsor susulan disebabkan oleh pemahaman warga yang menganggap bahwa penyebab longsor lebih kepada faktor non teknis yakni takdir Tuhan serta faktor teknis yakni kondisi tanah, iklim dan seterusnya. Ketidaksanggupan tersebut sebenarnya merupakan gambaran warga yang lebih menilai longsor sebagai peristiwa alam yang tidak dapat dihindarkan jika Tuhan telah berkehendak. Namun secara implisit, sikap dan perilaku warga serta Ya Tidak 2. Merubah pola bercocoktanam Meminta bantuan dari pihak lain (Pemerintah, Keluarga dan sesama Tetangga) 64 36

14 88 keinginan warga untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik sangat terlihat. Hal tersebut terlihat pada gambar 19. Gambar 19 Persepsi Warga tentang Kemampuan Diri untuk Mencegah Longsor 20% 80% Mampu Tidak Mampu Alasan sebagian kecil responden yang menyatakan ketidaksanggupannya lebih kepada rendahnya pendidikan serta kemampuan finansial. Warga menganggap ke-2 alasan tersebut merupakan kendala yang membuat warga merasa tidak mempunyai daya untuk mencegah longsor. namun demikian, kemampuan warga mencegah longsor tidak dapat dipahami secara eksplisit. Cara-tindakan dan keseharian warga dalam berinteraksi dengan lingkungan tanpa mereka sadari sebenarnya merupakan bentuk-upaya warga untuk mencegah terjadinya longsor atau minimal dapat meminimalisir tingkat kerugian yang ditimbulkan oleh bencana longsor. Pada tabel 22 terlihat bentuk-bentuk upaya warga untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat memperparah kondisi fisik lingkungan dan tetap mempertahankan pola perilaku yang dianggap masih relevan dengan kondisi lahan merupakan bentuk upaya pencegahan terjadinya lonsor. Sebagian perilaku merupakan bentuk tindakan adaptasi dan adjusment yang telah ada selama ini, seperti tetap melestarikan hutan Gunung Batu Kaca, mempertahankan tanaman bambu serta menanam kembali setelah melakukan penebangan. Adapun bentuk pencegahan lainnya seperti melaksanakan pola tanam kering, tidak mendirikan rumah di titik longsor, dan lain-lain adalah cara baru yang mucul dan diyakini oleh warga dapat mencegah atau setidaknya dapat meminimalisir frekwensi bahaya longsor. Beberapa adaptasi ekologi telah dilakukan oleh warga untuk mencegah terjadinya longsor besar dan berharap dapat memperpanjang usia kampung mereka. Beberapa tindakan yang telah dilakukan dan akan tetap dipertahankan adalah tidak melakukan penebangan pohon sebelum masa panen (termasuk menjaga kampung mereka dari aktivitas illegal loging yang pernah terjadi), setiap

15 89 pohon yang tiba masa panen boleh ditebang dengan melakukan kembali penanaman ulang, tetap mempertahankan habitat bambu, mengganti pola tanam basah ke pola tanam kering agar tanah tidak jenuh, tidak lagi membangun rumah di titik longsor, selain untuk keamanan juga untuk menghindari terjadinya kelebihan beban terhadap tanah yang rawan, serta membuat aliran air di sekitar tempat tinggal untuk menjaga terjadinya genangan air yang dapat membuat tanah semakin jenuh. Tabel 22 Persepsi Warga tentang Cara (Mekanisme) Pencegahan Longsor (n=55) No. Cara Pencegahan Untuk mendukung perubahan yang dilakukan oleh warga, maka pada tabel 23 memperlihatkan beberapa faktor yang dianggap oleh warga sebagai pendukung keberhasilan perubahan tersebut. Warga setuju bahwa tindakan yang mereka lakukan hanya mampu berhasil jika upaya-upaya tersebut dipahami dan disadari bersama melalui partisipasi serta kerjasama warga. Perihal lainnya yang juga penting adalah dibuatnya aturan-aturan beserta sanksi yang menjadi kesepakatan bersama antar warga. Aturan tersebut dianggap penting agar dapat mengikat menjadi kontrol para warga dalam menjaga kelestarian kampung mereka. Upaya tersebut merupakan faktor internal yang menjadi dasar utama terbangunnya kelembagaan lokal untuk menanggulangi longsor. Tabel 23 memperlihatkan faktor pendukung yang secara internal harus dibangun antar warga. Distribusi Responden (%) Ya Tidak 1. Tidak menebang pohon sembarangan Mempertahankan tanaman berakar kuat (bambu) Melakukan penanaman ulang Melaksanakan pola lahan kering Tidak mendirikan rumah di titik longsor Membuat drainase (aliran air) 93 7

16 90 Tabel 23 Persepsi Warga tentang Faktor Pendukung Keberhasilan Mencegah- Menanggulangi Longsor (n=55) No. Faktor Pendukung Keberhasilan Pencegahan- Penanggulangan Longsor Distribusi Responden (%) 1. Peningkatan kesadaran dan partisipasi warga Kerjasama antar warga Membuat aturan tentang upaya penanggulangan longsor 4. Memberikan sanksi bagi warga yang melanggar aturan tentang penanggulangan longsor Ya 98 2 Tidak 91 9 Mengacu pada tabel 23 terlihat bahwa pemberian sanksi kepada warga yang melanggar aturan lebih rendah dibandingkan ke-3 unsur pendukung lainnya. Hal tersebut disebabkan karena masih tingginya toleransi warga terhadap sesama dan lebih memilih untuk memperkuat ke-3 unsur lainnya yakni meningkatkan kesadaran dan partisipasi, membangun kerjasama serta membuat aturan penanggulangan longsor. Secara internal, warga Sirnagalih akhirnya memahami bahwa mereka mampu melakukan upaya pencegahan terhadap bencana longsor. Selanjutnya, pada tabel 24 warga juga setuju bahwa faktor eksternal sangat dibutuhkan. Sebagian warga setuju dan berharap adanya dukungan dari pemerintah sebagai pihak yang memiliki kekuasaan, keahlian dan kemampuan yang lebih baik. Selain pemerintah, keluarga-kerabat juga menjadi pilihan untuk meminta bantuan dalam keadaan terdesak. Satu faktor lain yang dipilih oleh seluruh responden sebagai satu kekuatan yang sangat besar adalah kehendak Tuhan untuk tidak memberikan bencana longsor di kampung mereka. Warga yakin bahwa sebesar apapun usaha yang mereka lakukan hanya dapat berhasil jika Tuhan berkehendak. Keyakinan tersebut merupakan satu bentuk pemahaman warga terhadap ajaran agama Islam yang dianut yakni manusia wajib mempercayai adanya takdir baik dan takdir buruk. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa warga benar-benar menyadari peristiwa longsor sebagai peristiwa yang juga disebabkan oleh kondisi alam dan mereka tidak memiliki alternatif penghidupan lainnya sehingga hanya bisa berserah diri dan mengharapkan pertolongan kepada Tuhan.

17 91 Tabel 24 Persepsi Warga tentang Pihak yang Dianggap Mampu Membantu Pencegahan-Penanggulangan Longsor (n=55) No. Pihak yang Dianggap Mampu Membantu Distribusi Responden (%) Ya Tidak 1. Warga Kampung Pihak lain (Pemerintah & Keluarga) Tuhan Dari seluruh uraian di atas, terlihat bahwa sebagian besar responden setuju dalam memberikan pandangan yang sama terhadap lingkungan. Kesamaan tersebut merepresentasikan kondisi lingkungan mereka saat ini. Persepsi lingkungan yang dikemukakan oleh Bell, dkk sangat terlihat dari hasil pengukuran persepsi warga di Kampung Sirnagalih. Persepsi warga terhadap lingkungannya memperlihatkan bahwa kondisi daerah yang rawan longsor telah menyebabkan lingkungan sekitar mereka menjadi tidak seimbang (homeo statis). Akibatnya, muncul tekanan yang menyebabkan perasaan tidak aman dan tidak nyaman. Dalam ketidaknyamanan tersebut, sebagai makhluk adaptif, warga melakukan berbagai upaya penyesuaian (coping) yang mengarah pada adaptasi dimana terjadi perubahan sikap dan perilaku. Persepsi warga terhadap kemampuan diri untuk bertahan dan mencegah longsor, akan menjadi representasi warga terhadap kapasitas mereka untuk melakukan tindakantindakan adaptif. Begitupun sebaliknya, tindakan adaptasi yang muncul dan perlahan membentuk suatu pola akan menggambarkan representasi sosial warga terhadap daya adaptasi dan kemampuan untuk membentuk suatu tatanan norma-nilai yang menjadi panduan baru dalam menghadapi perubahan lingkungan. Begitupun persepsi terhadap kemampuan diri untuk bertahan dan mencegah longsor, akan menjadi representasi warga terhadap kapasitas mereka untuk melakukan tindakan-tindakan adaptif. 6.3 Ikhtisar Pemahaman warga tentang bahaya longsor, kualitas lingkungan, bentuk adaptasi yang dipahami sebagai cara bertahan hidup dan kemampuan diri untuk bertahan, merupakan konsep yang telah melahirkan pemahaman dan

18 92 pemaknaan bersama. Hampir semua warga memberikan pandangan yang serupa dalam beberapa hal, sehingga tingkat homogenitas jawaban responden pada akhirnya memperlihatkan persepsi mereka secara nyata berdasarkan keeratan hubungan terhadap lingkungan sekitar. Persentase persepsi warga dalam memaknai bersama terhadap bahaya longsor sangat tinggi. Begitupun dengan persepsi warga tentang kondisi kampung mereka yang telah rusak. Pada gambar 20 memperlihatkan tingginya grafik kesamaan persepsi dalam memaknai bahaya longsor. Persepsi tersebut seiring dengan tingginya kesamaan warga mempersepsikan kemampuan mereka untuk bertahan dan melakukan tindakan adaptasi. Tingkat kesamaan warga dalam menpersepsikan lingkungan dan kemampuan diri, merepresentasikan kemampuan warga dalam mengenali perubahan lingkungan serta mengenali kapasitas mereka dalam menciptakan pola adaptasi atas perubahan lingkungan yang terjadi. Tingginya tingkat kesamaan cara pandang (persepsi) para warga menjadi modal dasar untuk menciptakan penanganan-penanggulangan bencana, baik oleh masyarakat itu sendiri maupun oleh pihak luar, seperti pemerintah dan pihak pemerhati bencana lainnya. Peran dan partisipasi aktif masyarakat untuk saling melindungi dan bersikap toleran lebih mudah dilakukan dibandingkan jika persepsi antar warga terhadap keadaan lingkungan saling berbeda. Gambar 20 Tingkat Keragaman Persepsi Masyarakat Sirnagalih Bahaya Longsor Kerusakan Lingkungan Kemampuan Bertahan & Mencegah Longsor Tinggi Sedang Rendah Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer, Tahun 2012 Kesamaan cara pandang dapat menjadi pintu masuk untuk melakukan perubahan secara bersama-sama. Tentunya perubahan yang dimaksud adalah perubahan yang mengarah pada tindakan adaptasi yang mampu

19 93 menyeimbangkan kehidupan-aktivitas warga terhadap perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan yang mengalami penurunan kualitas seyogyanya mendapatkan perlakuan yang berbeda agar sustainabilitas kehidupan masyarakat di Kampung Sirnagalih bisa bertahan lebih lama tanpa menanggung resiko tinggi. Pada akhirnya, cara pandang (persepsi) yang sama juga akan memudahkan terbentuknya kesepakatan-kesepakatan (konsensus) yang diakui bersama. Kesepakatan atau konsensus secara tidak langsung akan merangsang munculnya kontrol sosial dalam masyarakat, baik norma yang telah terinternalisasi ataupun sekedar nilai-etika yang harus ditaati bersama, demi keberlangsungan hidup manusia dan lingkungannya.

BAB V REALITAS BENCANA ALAM (LONGSOR)

BAB V REALITAS BENCANA ALAM (LONGSOR) 57 BAB V REALITAS BENCANA ALAM (LONGSOR) Secara faktual, Kampung Sirnagalih telah mengalami kejadian longsor (pergerakan tanah) sejak Tahun 2009. Desa Sukaraksa sebagai daerah rawan longsor juga telah

Lebih terperinci

BAB VII BENTUK ADAPTASI SOSIO-EKOLOGI DAERAH RAWAN LONGSOR

BAB VII BENTUK ADAPTASI SOSIO-EKOLOGI DAERAH RAWAN LONGSOR 95 BAB VII BENTUK ADAPTASI SOSIO-EKOLOGI DAERAH RAWAN LONGSOR Secara ekologis, komunitas yang hidup pada daerah rawan longsor terdapat di Desa Sukaraksa memiliki cara dan bentuk bertahan hidup yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam merupakan fenomena yang terjadi sepanjang sejarah kehidupan manusia di berbagai belahan bumi. Peristiwa bencana muncul dalam berbagai bentuk dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia banyak sekali daerah yang,mengalami longsoran tanah yang tersebar di daerah-daerah pegunngan di Indonesia. Gerakan tanah atau biasa di sebut tanah longsor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan manusia tidak terlepas dari pengaruh dan fenomena alam yang

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan manusia tidak terlepas dari pengaruh dan fenomena alam yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan manusia tidak terlepas dari pengaruh dan fenomena alam yang ada, berbagai macam aktifitas manusia pasti berhubungan dengan lingkungan. Salah atu kelebihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 6 ayat (1), disebutkan bahwa Penataan Ruang di selenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah

Lebih terperinci

BAB IV PROFIL DESA. Secara geografis, Desa Sukaraksa berada di hulu 2 wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) yakni DAS Cisadane dan Sub DAS Cidurian.

BAB IV PROFIL DESA. Secara geografis, Desa Sukaraksa berada di hulu 2 wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) yakni DAS Cisadane dan Sub DAS Cidurian. 35 BAB IV PROFIL DESA Gambaran umum Desa Sukaraksa memotret 2 keadaan yakni aspek fisik dan aspek kemasyarakatan. Aspek fisik digambarkan untuk menjelaskan kondisi alam Desa Sukaraksa mulai dari topografi,

Lebih terperinci

AKU & BUMIKU: BANJIR & LONGSOR

AKU & BUMIKU: BANJIR & LONGSOR AKU & BUMIKU: BANJIR & LONGSOR AKU & BUMIKU: BANJIR & LONGSOR Cetakan ke-1, 2012 Hak cipta dilindungi undang-undang IAARD Press, 2012 Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku

Lebih terperinci

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN 5.1 Aksesibilitas Masyarakat terhadap Hutan 5.1.1 Sebelum Penunjukan Areal Konservasi Keberadaan masyarakat Desa Cirompang dimulai dengan adanya pembukaan lahan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara signifikan yang pada akhirnya menimbulkan dampak dampak negatif

BAB I PENDAHULUAN. secara signifikan yang pada akhirnya menimbulkan dampak dampak negatif BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wacana tentang perubahan iklim merupakan isu global yang dianggap penting untuk dikaji. Kemajuan pesat pembangunan ekonomi memberi dampak yang serius terhadap iklim

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi kesejahteraan manusia. Keberadaan sumber daya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bencana banjir dan longsor (Fadli, 2009). Indonesia yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bencana banjir dan longsor (Fadli, 2009). Indonesia yang berada di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana longsor merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia. Potensi longsor di Indonesia sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2008, tercatat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia terletak di daerah khatulistiwa dengan morfologi yang beragam, dari daratan sampai pegunungan serta lautan. Keragaman ini dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. keadaan responden berdasarkan umur pada tabel 12 berikut ini:

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. keadaan responden berdasarkan umur pada tabel 12 berikut ini: 50 BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Umur Responden Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan alat pengumpul data wawancara langsung kepada responden

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang banyak memberikan sumber kehidupan bagi rakyat Indonesia dan penting dalam pertumbuhan perekonomian. Hal tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber daya alam yang terdapat pada suatu wilayah pada dasarnya merupakan modal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber daya alam yang terdapat pada suatu wilayah pada dasarnya merupakan modal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber daya alam yang terdapat pada suatu wilayah pada dasarnya merupakan modal dasar pembangunan yang perlu digali dan dimanfaatkan secara tepat dengan memperhatikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang khusus oleh pemerintah seperti halnya sektor industri dan jasa.

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang khusus oleh pemerintah seperti halnya sektor industri dan jasa. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Di Indonesia sektor pertanian mempunyai peran yang sangat penting dalam pertumbuhan perekonomian. Banyaknya tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Indonesia adalah negara agraris dimana mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Berbagai hasil pertanian diunggulkan sebagai penguat

Lebih terperinci

GERAKAN TANAH DI KAMPUNG BOJONGSARI, DESA SEDAPAINGAN, KECAMATAN PANAWANGAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT

GERAKAN TANAH DI KAMPUNG BOJONGSARI, DESA SEDAPAINGAN, KECAMATAN PANAWANGAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT GERAKAN TANAH DI KAMPUNG BOJONGSARI, DESA SEDAPAINGAN, KECAMATAN PANAWANGAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT RACHMAN SOBARNA Penyelidik Bumi Madya pada Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Sari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permukaan bumi yang luasnya 510 juta km 2, oleh karena itu persediaan air di

BAB I PENDAHULUAN. permukaan bumi yang luasnya 510 juta km 2, oleh karena itu persediaan air di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara maritim dimana sebagian besar wilayahnya terdiri dari wilayah perairan kurang lebih 70,8 % dari luas permukaan bumi yang luasnya

Lebih terperinci

BAB VII DAMPAK KONVERSI LAHAN TERHADAP KEBERLANJUTAN EKOLOGI

BAB VII DAMPAK KONVERSI LAHAN TERHADAP KEBERLANJUTAN EKOLOGI 63 BAB VII DAMPAK KONVERSI LAHAN TERHADAP KEBERLANJUTAN EKOLOGI 7.1 Dampak Ekologi Konversi lahan pertanian ke pemukiman sangat berdampak negatif terhadap ekologi. Secara ekologis, perubahan telah terjadi

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 18 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Desa Gorowong Desa Gorowong merupakan salah satu desa yang termasuk dalam Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Desa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan negara sebagaimana dimuat dalam pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 antara lain adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komunitas Kasatuan Adat Banten Kidul merupakan sekelompok masyarakat yang mendiami kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Merupakan bagian dari etnik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banjir merupakan fenomena lingkungan yang sering dibicarakan. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Banjir merupakan fenomena lingkungan yang sering dibicarakan. Hal ini 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Banjir merupakan fenomena lingkungan yang sering dibicarakan. Hal ini tentu saja dikarenakan banyak wilayah di Indonesia pada saat musim hujan sering dilanda

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Luas hutan Indonesia sebesar 137.090.468 hektar. Hutan terluas berada di Kalimantan (36 juta hektar), Papua (32 juta hektar), Sulawesi (10 juta hektar) Sumatera (22 juta

Lebih terperinci

BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN

BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN 29 Bab perubahan struktur agraria ini berisi tentang penjelasan mengenai rezim pengelolaan TNGHS, sistem zonasi hutan konservasi TNGHS, serta kaitan antara

Lebih terperinci

BENCANA GERAKAN TANAH DI INDONESIA

BENCANA GERAKAN TANAH DI INDONESIA BENCANA GERAKAN TANAH DI INDONESIA Disampaikan pada Workshop Mitigasi dan Penanganan Gerakan Tanah di Indonesia 24 Januari 2008 oleh: Gatot M Soedradjat PUSAT VULKANOLOGI DAN MITIGASI BENCANA GEOLOGI Jln.

Lebih terperinci

PERTANIAN PERIKANAN DAN PETERNAKAN KEHUTANAN DAN PERTAMBANGAN PERINDUSTRIAN, TRANSPORTASI, PERDAGANGAN, PARIWISATA, DAN INDUSTRI JASA

PERTANIAN PERIKANAN DAN PETERNAKAN KEHUTANAN DAN PERTAMBANGAN PERINDUSTRIAN, TRANSPORTASI, PERDAGANGAN, PARIWISATA, DAN INDUSTRI JASA PERTANIAN PERIKANAN DAN PETERNAKAN KEHUTANAN DAN PERTAMBANGAN PERINDUSTRIAN, TRANSPORTASI, PERDAGANGAN, PARIWISATA, DAN INDUSTRI JASA Hingga saat ini Mata pencaharian penduduk Indonesia sebagian besar

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Lokasi dan Kondisi Geografis Desa Citapen Lokasi penelitian tepatnya berada di Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Berdasarkan data Dinas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan di Jambi telah menjadi suatu fenomena yang terjadi setiap tahun, baik dalam cakupan luasan yang besar maupun kecil. Kejadian kebakaran tersebut tersebar dan melanda

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Karakteristik Wilayah Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Desa Gunung Malang, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor. Desa Gunung Malang merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Air merupakan kebutuhan vital setiap makhluk hidup. Dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Air merupakan kebutuhan vital setiap makhluk hidup. Dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air merupakan kebutuhan vital setiap makhluk hidup. Dalam kehidupan manusia, air tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik saja, yaitu digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI JALAN DIPONEGORO NO. 57 BANDUNG 40122 JALAN JEND. GATOT SUBROTO KAV. 49 JAKARTA 12950 Telepon: 022-7212834, 5228424, 021-5228371

Lebih terperinci

OPINI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN SUNGAI DI DAERAH HILIR SUNGAI BERINGIN KOTA SEMARANG

OPINI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN SUNGAI DI DAERAH HILIR SUNGAI BERINGIN KOTA SEMARANG OPINI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN SUNGAI DI DAERAH HILIR SUNGAI BERINGIN KOTA SEMARANG (Studi Kasus: Kelurahan Mangunharjo dan Kelurahan Mangkang Wetan) T U G A S A K H I R Oleh : LYSA DEWI

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran K-13 Kelas X Geografi MITIGASI BENCANA ALAM II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami banjir. 2. Memahami gelombang pasang.

Lebih terperinci

BAB II KONDISI DESA BELIK KECAMATAN BELIK KABUPATEN PEMALANG. melakukan berbagai bidang termasuk bidang sosial.

BAB II KONDISI DESA BELIK KECAMATAN BELIK KABUPATEN PEMALANG. melakukan berbagai bidang termasuk bidang sosial. 18 BAB II KONDISI DESA BELIK KECAMATAN BELIK KABUPATEN PEMALANG A. Keadaan Geografis 1. Letak, Batas, dan Luas Wilayah Letak geografis yaitu letak suatu wilayah atau tempat dipermukaan bumi yang berkenaan

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM 5.1. Kondisi Wilayah

BAB V GAMBARAN UMUM 5.1. Kondisi Wilayah BAB V GAMBARAN UMUM 5.1. Kondisi Wilayah Penelitian dilakukan di Kecamatan Panumbangan, Sindangkasih dan Cihaurbeuti. Tiga kecamatan ini berada di daerah Kabupaten Ciamis sebelah utara yang berbatasan

Lebih terperinci

Pengertian lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar manusia yang memengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik langsung maupun tidak

Pengertian lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar manusia yang memengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik langsung maupun tidak Geografi Pengertian lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar manusia yang memengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung. Lingkungan bisa dibedakan menjadi lingkungan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN 7 Latar Belakang Tekanan terhadap sumberdaya hutan menyebabkan terjadinya eksploitasi yang berlebihan, sehingga sumberdaya hutan tidak mampu lagi memberikan manfaat yang optimal. Tekanan yang

Lebih terperinci

BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 36 BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN A. Keadaan Geografi Letak dan Batas Wilayah Kabupaten Ngawi secara geografis terletak pada koordinat 7º 21 7º 31 LS dan 110º 10 111º 40 BT. Batas wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30). Dikemukakan juga oleh Sumadi (2003:1) dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30). Dikemukakan juga oleh Sumadi (2003:1) dalam II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Geografi Dari asal katanya, geografi berasal dari kata geo yang berarti bumi, dan graphein yang berarti lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30).

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA TERHADAP BAHAYA LONGSOR (Studi kasus di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat)

MITIGASI BENCANA TERHADAP BAHAYA LONGSOR (Studi kasus di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat) MITIGASI BENCANA TERHADAP BAHAYA LONGSOR (Studi kasus di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat) Nur Ainun Jariyah dan Syahrul Donie Peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS, Surakarta

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis kemukakan pada bab

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis kemukakan pada bab 134 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis kemukakan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Persepsi masyarakat terhadap

Lebih terperinci

LOKASI PENELITIAN. Desa Negera Ratu dan Negeri Ratu merupakan salah dua Desa yang berada

LOKASI PENELITIAN. Desa Negera Ratu dan Negeri Ratu merupakan salah dua Desa yang berada IV. LOKASI PENELITIAN A. Desa Negera Ratu dan Negeri Ratu Desa Negera Ratu dan Negeri Ratu merupakan salah dua Desa yang berada dinaungan Kecamatan Sungkai Utara Kabupaten Lampung Utara Berdasarkan Perda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam, bumi, air, udara serta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam, bumi, air, udara serta 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam, bumi, air, udara serta ribuan pulau oleh Tuhan Yang Maha Esa, yang mana salah satunya adalah hutan. Hutan merupakan sesuatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih

Lebih terperinci

2015 KONDISI MASYARAKAT KORBAN BENCANA GERAKAN TANAH SEBELUM DAN SETELAH RELOKASI PEMUKIMAN DI KECAMATAN MALAUSMA KABUPATEN MAJALENGKA

2015 KONDISI MASYARAKAT KORBAN BENCANA GERAKAN TANAH SEBELUM DAN SETELAH RELOKASI PEMUKIMAN DI KECAMATAN MALAUSMA KABUPATEN MAJALENGKA 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang rawan bencana dilihat dari aspek geografis, klimatologis dan demografis. Letak geografis Indonesia di antara dua benua dan dua samudera

Lebih terperinci

3. Pelestarian makhluk hidup dapat memberikan keuntungan ekonomi kepada masyarakat berupa

3. Pelestarian makhluk hidup dapat memberikan keuntungan ekonomi kepada masyarakat berupa SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 10. PELESTARIAN LINGKUNGANLatihan soal 10.2 1. Tempat pelestarian hewan langka orang hutan di Tanjung Puting bertujuan agar Tidak merusak pertanian dan mampu berkembangbiak

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Pulosari Hasil analisis yang dilakukan terhadap citra Landsat 7 liputan tahun, kondisi tutupan lahan Gunung Pulosari terdiri dari

Lebih terperinci

BAB IV KARAKTERISTIK PENDUDUK

BAB IV KARAKTERISTIK PENDUDUK BAB IV KARAKTERISTIK PENDUDUK 4.1 Lama Tinggal Pada umumnya, penduduk bertempat tinggal di suatu daerah mulai dari lahir sampai dewasa. Akan tetapi ada juga penduduk yang tinggal dari lahir sampai setelah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. pemahaman bahwa perempuan berada dalam posisi yang kuat. Perempuan

BAB V KESIMPULAN. pemahaman bahwa perempuan berada dalam posisi yang kuat. Perempuan BAB V KESIMPULAN Matrilineal seperti yang telah banyak kita fahami, membawa kepada pemahaman bahwa perempuan berada dalam posisi yang kuat. Perempuan memiliki posisi tawar yang baik dalam pengambilan keputusan,

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Letak dan Keadaan Geografi Daerah Penelitian Desa Perbawati merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Sukabumi, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Batas-batas

Lebih terperinci

POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati

POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati Ringkasan Penelitian ini dilakukan terhadap anggota Kelompok Tani

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. transportasi, Wisata air, olah raga dan perdagangan. Karena kondisi lahan dengan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. transportasi, Wisata air, olah raga dan perdagangan. Karena kondisi lahan dengan 252 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Perairan Sagara Anakan memiliki potensi yang besar untuk dikelola, karena berfungsi sebagai tempat pemijahan biota laut, lapangan kerja, transportasi,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian mengenai Faktor-faktor Penyebab Penurunan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian mengenai Faktor-faktor Penyebab Penurunan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan hasil penelitian mengenai Faktor-faktor Penyebab Penurunan Produktsi Budidaya Akarwangi di Kecamatan Leles Kabupaten Garut dan cara Menanggulanginya maka sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan salah satu isu yang paling hangat dibicarakan secara global belakangan ini. Meningkatnya gas rumah kaca di atmosfer adalah pertanda iklim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia, Pasifik dan Australia dengan ketiga lempengan ini bergerak saling menumbuk dan menghasilkan suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan berada di jalur cincin api (ring of fire). Indonesia berada di kawasan dengan

I. PENDAHULUAN. dan berada di jalur cincin api (ring of fire). Indonesia berada di kawasan dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan kepulauan Indonesia merupakan daerah pertemuan lempeng bumi dan berada di jalur cincin api (ring of fire). Indonesia berada di kawasan dengan curah hujan yang relatif

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat beberapa hal pokok yang akan ditegaskan sebagai inti pemahaman masyarakat Tunua tentang fakta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan sumber daya alam yang strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian,

Lebih terperinci

Vulnerability. (Kerentanan) Praktikum Lapangan Gunung Merapi Mata Kuliah Mitigasi Bencana

Vulnerability. (Kerentanan) Praktikum Lapangan Gunung Merapi Mata Kuliah Mitigasi Bencana Vulnerability (Kerentanan) Praktikum Lapangan Gunung Merapi Mata Kuliah Mitigasi Bencana Aria Gumilar Rachmat Arie Prabowo M. Kurniawan Rama Irawan Program Studi Kependudukan dan Lingkungan Hidup Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana sosial

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana sosial BAB I PENDAHULUAN.. Latar Belakang Menurut undang-undang Nomor 24 Tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banjir bukanlah fenomena baru di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Sudah menjadi pemandangan rutin tahunan di Ibu Kota dan beberapa kota di Indonesia ketika musim

Lebih terperinci

LAMPIRANSURAT UJI VALIDITAS SD MANGUNSARI 05 SALATIGA

LAMPIRANSURAT UJI VALIDITAS SD MANGUNSARI 05 SALATIGA LAMPIRAN 99 LAMPIRAN SURAT 100 LAMPIRANSURAT UJI VALIDITAS SD MANGUNSARI 05 SALATIGA 101 102 103 LAMPIRAN SURAT VALIDASI PAKAR 104 105 106 107 108 109 110 LAMPIRAN SURAT SD PANGUDI LUHUR AMBARAWA 111 112

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Cianjur terletak di kaki Gunung Gede dengan ketinggian sekitar 450 meter diatas permukaan laut dan terendah sekitar 7 meter di atas permukaan laut. Bagian

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. ternyata tidak pilih kasih. Artinya, ia tidak saja melanda daerah-daerah yang

BAB V PENUTUP. ternyata tidak pilih kasih. Artinya, ia tidak saja melanda daerah-daerah yang BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Kondisi sosial ekonomi masyarakat Gunungkidul dapat dilihat dari tata guna tanah atau penggunaan tanah oleh petani. Penggunaan tanah oleh petani tidak hanya terbatas pada satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya alam tersebut tersebar di seluruh propinsi yang ada di

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya alam tersebut tersebar di seluruh propinsi yang ada di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang cukup banyak. Di sektor pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, pertambangan dan energi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang selalu bergerak dan saling menumbuk.

Lebih terperinci

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan 122 Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan IV.1 Kondisi/Status Luas Lahan Sawah dan Perubahannya Lahan pertanian secara umum terdiri atas lahan kering (non sawah)

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Masyarakat Tangguh Bencana Berdasarkan PERKA BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana, yang dimaksud dengan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana adalah

Lebih terperinci

KEBAHAGIAAN (HAPPINESS) PADA REMAJA DI DAERAH ABRASI

KEBAHAGIAAN (HAPPINESS) PADA REMAJA DI DAERAH ABRASI KEBAHAGIAAN (HAPPINESS) PADA REMAJA DI DAERAH ABRASI SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi Disusun oleh : DENI HERBYANTI F 100 050 123 FAKULTAS PSIKOLOGI

Lebih terperinci

Tabel 4.1. Zona agroklimat di Indonesia menurut Oldeman

Tabel 4.1. Zona agroklimat di Indonesia menurut Oldeman IV. Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan HPT Jenis, produksi dan mutu hasil suatu tumbuhan yang dapat hidup di suatu daerah dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu: Iklim Tanah Spesies Pengelolaan

Lebih terperinci

penghidupan masyarakat (Risdianto, dkk., 2012).

penghidupan masyarakat (Risdianto, dkk., 2012). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan menganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor

Lebih terperinci

STUDI PREFERENSI MIGRASI MASYARAKAT KOTA SEMARANG SEBAGAI AKIBAT PERUBAHAN IKLIM GLOBAL JANGKA MENENGAH TUGAS AKHIR

STUDI PREFERENSI MIGRASI MASYARAKAT KOTA SEMARANG SEBAGAI AKIBAT PERUBAHAN IKLIM GLOBAL JANGKA MENENGAH TUGAS AKHIR STUDI PREFERENSI MIGRASI MASYARAKAT KOTA SEMARANG SEBAGAI AKIBAT PERUBAHAN IKLIM GLOBAL JANGKA MENENGAH TUGAS AKHIR Oleh: NUR HIDAYAH L2D 005 387 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang terdapat di permukaan bumi, meliputi gejala-gejala yang terdapat pada lapisan air, tanah,

Lebih terperinci

BAB VI PERSEPSI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN TERHADAP PHBM

BAB VI PERSEPSI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN TERHADAP PHBM BAB VI PERSEPSI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN TERHADAP PHBM 6.1 Kelemahan Sumber Daya Manusia Dari hasil survei dapat digambarkan karakteristik responden sebagai berikut : anggota kelompok tani hutan (KTH)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam menimbulkan resiko atau bahaya terhadap kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam menimbulkan resiko atau bahaya terhadap kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bencana alam menimbulkan resiko atau bahaya terhadap kehidupan manusia, baik kerugian harta benda maupun korban jiwa manusia. Hal ini mendorong masyarakat disekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tindakan dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana.

BAB I PENDAHULUAN. tindakan dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Ilmu tentang bencana semakin berkembang dari tahun ke tahun seiring semakin banyaknya kejadian bencana. Berawal dengan kegiatan penanggulangan bencana mulai berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alam baik itu berupa sumber daya tanah, air, udara dan sumber daya alam lainnya

BAB I PENDAHULUAN. alam baik itu berupa sumber daya tanah, air, udara dan sumber daya alam lainnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan sumber daya alam baik itu berupa sumber daya tanah, air, udara dan sumber daya alam lainnya yang termasuk ke dalam

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT SEBELUM DAN SESUDAH TERJADINYA KONVERSI LAHAN

BAB VI STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT SEBELUM DAN SESUDAH TERJADINYA KONVERSI LAHAN BAB VI STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT SEBELUM DAN SESUDAH TERJADINYA KONVERSI LAHAN 6.1. Strategi Nafkah Sebelum Konversi Lahan Strategi nafkah suatu rumahtangga dibangun dengan mengkombinasikan aset-aset

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perilaku pemukim di bantaran sungai Jakarta merupakan perilaku yang merugikan dan memiliki sejumlah alasan kuat untuk dirubah karena berdampak buruk pada kerusakan lingkungan,

Lebih terperinci

BAB III PENGENDALIAN LONGSOR Identifikasi dan Delineasi Daerah Rawan Longsor

BAB III PENGENDALIAN LONGSOR Identifikasi dan Delineasi Daerah Rawan Longsor BAB III PENGENDALIAN LONGSOR Daerah rawan longsor harus dijadikan areal konservasi, sehingga bebas dari kegiatan pertanian, pembangunan perumahan dan infrastruktur. Apabila lahan digunakan untuk perumahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian, kehutanan, perikanan,

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum dan Geografis Penelitian dilakukan di Desa Lebak Muncang, Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung. Desa Lebak Muncang ini memiliki potensi yang baik dalam

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Persetujuan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Peta... Abstact...

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Persetujuan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Peta... Abstact... DAFTAR ISI Halaman Judul... Halaman Persetujuan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Peta... Intisari... Abstact... i ii ii iv x xi xvi xviii xix BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

LAPORAN EVALUASI AWAL BENCANA TANAH LONGSOR DESA BANARAN, KECAMATAN PULUNG, KABUPATEN PONOROGO

LAPORAN EVALUASI AWAL BENCANA TANAH LONGSOR DESA BANARAN, KECAMATAN PULUNG, KABUPATEN PONOROGO LAPORAN EVALUASI AWAL BENCANA TANAH LONGSOR DESA BANARAN, KECAMATAN PULUNG, KABUPATEN PONOROGO 1. Gambaran Umum a) Secara geografi Desa Banaran, Kecamatan Pulung terletak di lereng Gunung Wilis sebelah

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Gambaran Umum Lahan Kering Tantangan penyediaan pangan semakin hari semakin berat. Degradasi lahan dan lingkungan, baik oleh gangguan manusia maupun

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2 1. Berikut ini yang tidak termasuk kegiatan yang menyebabkan gundulnya hutan adalah Kebakaran hutan karena puntung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beberapa pulau utama dan ribuan pulau kecil disekelilingnya. Dengan 17.508 pulau, Indonesia menjadi negara

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena pertanian berhubungan langsung dengan ketersediaan pangan. Pangan yang dikonsumsi oleh individu terdapat komponen-komponen

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci