5. PERUBAHAN KARAKTERISTIK DEBIT, VOLUME DAN SEDIMEN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "5. PERUBAHAN KARAKTERISTIK DEBIT, VOLUME DAN SEDIMEN"

Transkripsi

1 5. PERUBAHAN KARAKTERISTIK DEBIT, VOLUME DAN SEDIMEN 5.1. Latar Belakang Perubahan tataguna lahan di wilayah hulu dari 15 SWS di Jawa dan Madura (Departemen Pekerjaan Umum dan Prasarana Wilayah, 21) telah menyebabkan kondisi kritis bagi penyediaan air baik dalam aspek kuantitas, kualitas maupun kontinuitas dan mengalami defisit air yang serius pada musim kemarau. Keadaan tersebut juga menyebabkan terjadinya erosi, sedimentasi dan pencemaran kimia air sungai atau waduk. Hal ini berdampak pada pendangkalan waduk, korosivitas pada peralatan produksi PLTA dan PDAM dan kerugian bagi pengguna air di wilayah hilir. Perubahan penutup lahan DAS Citarum di wilayah hulu (up-stream) akan menyebabkan perubahan pada karakteristik hidrologi wilayah tengah (in-stream) dan wilayah hilir (down-stream). Perubahan karakteristik tersebut meliputi defisit, volume dan sedimentasi. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui perubahan karakteristik hidrologis DAS Citarum Wilayah Hulu Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian perubahan karakteristik hidrologis (debit, volume dan sedimen) dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder di beberapa Bagian Lingkungan Kantor UBP Saguling, PJB - UP Cirata dan Perum Jasa Tirta II. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Sumberdaya Air, Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan April 26 sampai bulan Juli Bahan dan Metode Analisis Perubahan Fungsi Hidrologis DAS Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang dikumpulkan dari seluruh data dan informasi historis (historical data). Bahanbahan tersebut terdiri dari :

2 99 1. Data curah hujan harian, bulanan dan tahunan periode Sub DAS Saguling, Sub DAS Cirata dan Sub DAS Jatiluhur. Data curah hujan tersebut diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) dan laporan hasil pengukuran UBP Saguling. 2. Data evaporasi harian diperoleh dari laporan hasil pengukuran UBP Saguling ( ). 3. Data debit dan volume (air masuk dan keluar) diperoleh dari laporan hasil pengukuran PLTA Saguling, PLTA Cirata dan PLTA Jatiluhur ( ). 4. Data sedimentasi diperoleh dari laporan hasil pemeruman Waduk Saguling ( ), Waduk Cirata ( ) dan Waduk Jatiluhur (1987-2). Analisis terhadap data-data sekunder tersebut dilakukan dengan menggunakan metode regresi linear. Pendugaan perubahan karakteristik debit dan volume dan sedimentasi antara tahun dilakukan simulasi dengan menggunakan software GR4J Analisis Perubahan Debit dan Volume Pada Dua Sistem Penggunaaan Lahan. Analisis perubahan karakteristik hidrologis DAS dilakukan berdasarkan aplikasi model prediksi debit harian GR4J (Perrin, 23). Model ini merupakan pengembangan lebih lanjut model GR3J yang dikembangkan oleh CEMAGREF, Perancis. Struktur model seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5 (Bab 2). Untuk mensimulasi debit harian, model GR4J membutuhkan input data hujan, evapotranspirasi potensial (ETP) dan debit harian serta 4 parameter model yang dibangkitkan saat validasi. Keempat parameter tersebut adalah : 1. X 1 ; kapasitas maksimum simpanan produksi (maximum capacity of the production store). 2. X 2 ; koefisien tukar air (water exchange coefficient). 3. X 3 ; kapasitas maksimum simpanan pengalihan (maximum capacity of the routing store). 4. X 4 ; waktu dasar hidrograf satuan (time base of unit hydrograph).

3 1 Dalam penelitian ini debit air terdiri dari 3 jenis yaitu debit air masuk (DAM), debit air keluar (DAK) dan debit air masuk lokal (DAML). Debit air masuk adalah debit air yang bersumber dan mengalir dari wilayah hulu masingmasing Sub DAS dan memasuki badan air (sungai utama dan waduk). Debit air keluar adalah debit air yang keluar dari outlet masing-masing PLTA untuk menggerakkan turbin. Debit air masuk lokal adalah debit air masuk yang bersumber dari anak sungai dan mengalir dari wilayah hulu masing-masing Sub DAS dan tidak termasuk debit air masuk yang bersumber dari debit air keluar PLTA yang berada di wilayah hulu (sungai utama Citarum). Dengan demikian DAK PLTA Saguling tidak merupakan DAML bagi PLTA Cirata dan DAK PLTA Cirata tidak merupakan DAML bagi PLTA Jatilihur. Karena citra satelit (foto) yang digunakan dalam penelitian ini dibuat pada November 1992 maka untuk menduga pengaruh perubahan penutup lahan (kondisi biofisik) DAS Citarum Wilayah Hulu ( ) terhadap karakteristik hidrologis maka data yang digunakan dalam simulasi model GR4J adalah curah hujan (CH), evaporasi waduk (ETP) dan debit air masuk lokal (DAML) harian dari tahun Pada Tabel 14 disajikan hasil simulasi dengan tahapan pemodelan software GR4J adalah : a. Menentukan parameter simulasi (X 1, X 2, X 3 dan X 4 ) dengan memasukkan input data CH, ETP dan DAML harian tahun inisial (1993) dengan hasil Q1. Parameter default (standar) yang digunakan menurut Perrin (23) adalah X 1 = 5,9, X 2 = 2,, X 3 = 4,5 dan X 4 =,2. b. Validasi parameter tahun inisial 1993 dengan meng-input nilai parameter baku ke dalam fungsi tranfer dan melakukan solver. Validasi terhadap parameter tersebut menghasilkan nilai kemiripan (koefisien Nash) dengan besaran antara -1. Model dinyatakan valid apabila koefisien Nash memiliki nilai yang lebih besar dari 5. c. Parameter hasil validasi digunakan untuk mensimulasi tahun selanjutnya dengan input data tahun tersebut tanpa melakukan solver.

4 11 d. Besaran parameter tersebut digunakan untuk simulasi debit dengan input data curah hujan pada tahun selanjutnya (1994) dengan hasil sebesar Q2, tahun 1995 sebesar Q3, dan seterusnya sampai tahun 23 sebesar Q11. e. Nilai Q2 sampai dengan Q11 hasil simulasi dibandingkan dengan Q1 hasil validasi. f. Perbedaan nilai-nilai (dq) tersebut diduga merupakan pengaruh perlakuan (perubahan penutup lahan) DAS terhadap debit. Tabel 14. Hasil simulasi debit dengan aplikasi model GR4J. Parameter Kondisi Penutup Lahan simulasi x1 q1.1 q1.2 q1.3 q1.4 q1.5 q1.6 q1.7 q1.8 q1.9 q1.1 q1.11 x2 q2.1 q2.2 q2.3 q2.4 q2.5 q2.6 q2.7 q2.8 q2.9 q2.1 q2.11 x3 q3.1 q3.2 q3.3 q3.4 q3.5 q3.6 q3.7 q3.8 q3.9 q3.1 q3.11 x4 q4.1 q4.2 q4.3 q4.4 q4.5 q4.6 q4.7 q4.8 q4.9 q4.1 q4.11 Hasil Q1 Q2 Q3 Q4 Q5 Q6 Q7 Q8 Q9 Q1 Q11 dq1 dq1 Q1-Q2 sampai dengan Q1-Q11 Validasi Q Q Aktual Kalibrasi Parameter Standar Perrin (23) dan Koefisien Nash Sebagaimana diuraikan tedahulu bahwa untuk menganalisis adanya perubahan karakteristik debit akibat perubahan kondisi biofisiknya, terlebih dahulu model GR4J divalidasi dengan menggunakan input data tahun inisial, yang dianggap merepresentasikan kondisi biofisik DAS saat belum mengalami perubahan (1992). Setelah validasi, akan didapatkan parameter model pada tahun inisial, yang selanjutnya parameter tersebut digunakan untuk simulasi debit dengan menggunakan input data pada tahun selanjutnya yang diduga merepresentasikan kondisi biofisik DAS yang telah berubah (22). Dengan membandingkan debit pengukuran dengan debit simulasi melalui analisis neraca air DAS, tingkat perubahan aliran sungai akibat perubahan kondisi biofisik DAS dapat diketahui. Permodelan GR4J telah diformulasikan dalam bahasa excel tahun 23 oleh CEMAGREF Perancis. Hasil simulasi debit harian akan digunakan untuk menghitung volume air harian dan tahunan. Regresi linear digunakan dalam pengujian hubungan CH, debit dan volume air hasil simulasi dengan nilai hasil pengukuran.

5 Pendugaan Sedimentasi Perilaku sedimen dipelajari dari dua hal yaitu berdasarkan data hasil pemeruman yang pernah dilakukan di ketiga waduk dan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus sedimen. Pemeruman adalah pengukuran tingkat (perkembangan) sedimentasi yang terjadi di dasar waduk terutama pada kapasitas tampung mati (dead storage). Jumlah sedimen yang terdapat di sungai atau waduk atau kolam penampungan juga dapat diprediksi melalui persamaan regresi berganda dengan 4 variabel yaitu erosi lahan (Ep), volume aliran permukaan (Ro), faktor tanaman dan konservasi (CP), dan luas Sub DAS (A), pada tingkat akurasi 86,4% (Sa ad, 22) dengan persamaan sebagai berikut : Y = bo. Ep b1. Ro b2. CP b3. A b4 ; Keterangan : Y = sedimen sungai (ton ha ¹) Ep = erosi permukaan dari soilpan (ton ha ¹) Ro = volume aliran permukaan satu periode hujan (m³) CP = faktor tanaman (tindakan konservasi tanah) A = luas Sub DAS (ha) bo, b1, b2, b3, b4 = konstanta Dalam penelitian ini beberapa asumsi yang digunakan adalah : 1. Erosi permukaan pada soil pan (Ep) (Sa ad, 22) sama dengan erosi lahan yang besarnya berdasarkan penelitian Sutono et. al (23) di DAS Citarum. 2. Volume air permukaan satu periode hujan (Ro) (Sa ad, 22) sama dengan volume air masuk lokal (VAML) hasil simulasi model GR4J. 3. Faktor tanaman dan konservasi tanah (CP) (Sa ad, 22), besarnya didasarkan pada hasil penelitian Abdurahman et. al (1984), Ambar dan Syafrudin (1979) dalam Asdak (24) dan Amarjan (23) khusus pada nilai CP permukiman. 4. Luas Sub DAS (A) sama dengan luas masing-masing Sub DAS sesuai dengan hasil pengolahan digitasi peta tataguna lahan dan citra satelit 1992 dan 22. Penggunaan GIS dalam pendugaan sedimentasi waduk dengan penggunaan model telah digunakan di Thailand sebagaimana dilaporkan Lorsirirat (1997).

6 Hasil dan Pembahasan Sifat hujan dan hubungannya dengan DAML dan VAML a. Curah Hujan Jumlah dan distribusi aliran permukaan di DAS Citarum Wilayah Hulu ditentukan oleh beberapa faktor antara lain curah hujan, karakteristik biofisik dan manajemen DAS. Hasil pengolahan data curah hujan (CH) harian periode didapatkan informasi bahwa curah hujan tahunan rata-rata di Sub DAS Saguling adalah 2.25,48 mm, Sub DAS Cirata sebesar 3.495,46 mm, Sub DAS Jatiluhur sebesar 2.637,5 mm dan DAS Citarum Wilayah Hulu sebesar 2.186,62 mm per tahun. Pada periode pengamatan , walaupun CH tahunan di sub DAS Saguling mengalami kenaikan rata-rata 2,39 mm/th, namun secara keseluruhan DAS Citarum Wilayah Hulu mengalami penurunan jumlah CH yang cukup tinggi yaitu rata-rata sebesar 8,21 mm/th. Penurunan jumlah CH tersebut sesuai dengan hasil penelitian Pawitan (24) yang menyatakan bahwa di DAS Citarum telah terjadi penurunan CH tahunan sebesar 1 mm/th selama periode pengamatan dan akan menurunkan ketersediaan air untuk berbagai penggunaan di wilayah tersebut. Hal tersebut juga sesuai dengan Boer et.al (24) yang menyatakan bahwa penurunan curah hujan tahunan di wilayah DAS Citarum sebesar 6 mm/th. Secara umum pada periode musim kemarau (April- September) di wilayah DAS Citarum Wilayah Hulu memiliki CH bulanan ratarata sebesar 118,35 mm dengan simpangan baku 45,8 mm, dan musim hujan (Oktober-Maret), CH bulanan rata-rata sebesar 246,9 mm dengan simpangan baku 43,85 mm. Pada Tabel 15 ditampilkan Keragaman CH di DAS Citarum Wilayah Hulu pada periode

7 14 Tabel 15. Keragaman CH di DAS Citarum Wilayah Hulu pada periode Wilayah CH Bulanan (mm) Musim mean-stdev mean mean+stdev stdev Sub DAS Saguling MK 95,39 132,96 17,53 37,57 MH 198,2 242,12 286,22 44,1 Sub DAS Cirata MK 151,3 215,77 28,51 64,74 MH 33,89 366,8 429,72 62,92 Sub DAS Jatiluhur MK 152,13 24,85 329,57 88,72 MH 286,59 365,4 444,21 78,81 DAS Citarum Wil. Hulu MK 73,27 118,35 163,43 45,8 MH 22,24 246,9 289,94 43,85 Keterangan : MK=musim kemarau (April-September), MH=musim hujan (Oktober-Maret), meanstdev=rerata dikurangi simpangan baku, mean=rerata, mean+stdev=rerata ditambah simpangan baku, stdev=simpangan baku. Secara grafis, keragaman CH bulanan yang terjadi di wilayah masingmasing Sub DAS disajikan pada Gambar 18. Dari Tabel 15 dan Gambar 18 diperoleh gambaran bahwa secara kuantitas (jumlah) CH bulanan rata-rata DAS Citarum Wilayah Hulu relatif kecil yaitu sebesar 118,35 mm (MK) dengan keragaman yang cukup besar 45,8 mm dan 246,9 mm (MH) dengan keragaman 43,85 mm. Hal ini menunjukkan bahwa pada musim kemarau cenderung semakin kering (keragaman besar) dan pada musim hujan cenderung semakin basah (keragaman kecil). Keadaan tersebut sesuai dengan hasil penelitian Boer et.al (24) yang menyatakan bahwa ada kecenderungan CH musim hujan di wilayah selatan Indonesia khususnya Lampung, Jawa dan sebagaian kawasan Indonesia timur akan semakin basah, sebaliknya CH musim kemarau akan semakin kering. Sebaliknya, untuk Indonesia bagian utara (Sulawesi Utara, Kalimantan Utara, dan Sumatera bagian utara) CH musim hujan akan semakin berkurang sedangkan CH musim kemarau akan semakin basah. Kondisi seperti hal tersebut mengindikasikan telah terjadi perubahan iklim di Indonesia (Boer et.al, 24).

8 15 Keragaman CH Bulanan DAS Citarum Wil. Hulu CH Bulanan (mm/bln) mean+stdev mean mean-stdev MK MH MK MH MK MH MK MH Saguling Cirata Jatiluhur Citarum Gambar 18. Keragaman CH di DAS Citarum Wilayah Hulu pada periode (Keterangan : MK = musim kemarau (April-September), MH = musim hujan (Oktober-Maret), mean-stdev = rerata dikurangi simpangan baku, mean = rerata, mean+stdev = rerata ditambah simpangan baku, stdev = simpangan baku). b. Debit dan Volume Air Masuk Lokal Debit air masuk lokal (DAML) adalah debit air masuk yang semata-mata bersumber dari anak sungai dan mengalir dari wilayah hulu masing-masing Sub DAS dan tidak termasuk debit air masuk yang bersumber dari air keluar PLTA yang berada di wilayah hulu. DAML harian rata-rata DAS Citarum Wilayah Hulu adalah sebesar 151,98 m³/dt (MK) dengan simpangan baku sebesar 44,45 m³/dt dan 265,4 m³/dt (MH) dengan simpangan baku sebesar 61,64 m³/dt dan secara rinci di ketiga Sub DAS disajikan pada Tabel 16. Besarnya keragaman debit dapat memberikan gambaran bahwa telah terjadi fluktuasi DAML terutama yang berubah menjadi debit aliran (run-off). Peningkatan keragaman debit aliran menunjukkan bahwa luas penutup lahan di wilayah DAS hulu semakin menurun dan fraksi CH yamg berubah menjadi aliran permukaan semakin besar (Boer et.al, 24). Peningkatan luas penutup lahan di wilayah hulu sangat penting artinya bagi penurunan perbedaan debit aliran musim hujan dan musim kemarau, sehingga dapat menekan resiko banjir dan kekeringan. Akan tetapi Pawitan (24) menyatakan bahwa pengamatan di Inggris dan Afrika Selatan menunjukkan bahwa penghutanan kembali padang rumput dengan pohon

9 16 pinus tidak hanya menurunkan aliran sungai sejumlah 44 mm/th, tetapi juga menurunkan aliran rendah sebesar 15 mm/th. Sehingga disimpulkan bahwa pengaruh hutan terhadap aliran rendah sangat site spesific dan tidak ada jaminan penghutanan akan meningkatkan aliran rendah pada musim kemarau. Tabel 16. Keragaman DAML harian DAS Citarum Wilayah Hulu periode Wilayah DAML harian (m³/dt) Musim mean-stdev mean mean+stdev stdev Sub DAS Saguling MK 42,62 65,15 87,68 22,53 MH 92,15 117,2 142,25 25,5 Sub DAS Cirata MK 47,11 6,25 73,39 13,14 MH 84,3 17,88 131,46 23,58 Sub DAS Jatiluhur MK 3,86 26,58 49,29 22,71 MH 11,92 4,32 68,72 28,4 DAS Citarum Wil. Hulu MK 17,53 151,98 196,42 44,45 MH 23,76 265,4 327,4 61,64 Keterangan : MK=musim kemarau (April-September), MH=musim hujan (Oktober-Maret), meanstdev=rerata dikurangi simpangan baku, mean=rerata, mean+stdev=rerata ditambah simpangan baku, stdev=simpangan baku. Dari Tabel 16 dan Gambar 19 diperoleh informasi bahwa keragaman debit MK dan MH Sub DAS Cirata lebih kecil dibandingkan dengan Sub DAS Saguling dan Sub DAS Jatiluhur. Hal ini menunjukkan bahwa proporsi luas hutan di wilayah Sub DAS Cirata (27,61%) bagian hulu lebih besar dibandingkan dengan Sub DAS Saguling (25,61%) dan sub DAS Jatiluhur (11,82%). Untuk mengetahui degradasi lingkungan di wilayah hulu DAS, karakteristik CH dan DAML serta hubungan keduanya dapat digunakan. Hasil pengolahan data bahwa proporsi curah hujan yang berubah menjadi debit semakin meningkat dari tahun ke tahun selama periode pengamatan ( ), yaitu pada musim kemarau, CH harian yang berubah menjadi DAML harian adalah sebesar 1,2 mm (25,8%) dengan laju peningkatan per tahun 4,4%, pada musim hujan, CH harian yang berubah menjadi DAML harian adalah sebesar 3,47 mm (42,4%) dengan laju peningkatan per tahun 2,4%. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan fraksi CH menjadi DAML. Kondisi seperti ini mengindikasikan adanya degradasi penutup lahan di wilayah hulu DAS. Dari Gambar 2, diperoleh

10 17 gambaran bahwa waktu yang diperlukan hujan untuk berubah menjadi debit aliran semakin kecil (singkat). Hal ini juga merupakan indikator adanya kerusakan ekosistem di wilayah hulu DAS terutama penurunan luas penutup lahan hutan. Secara grafis, hubungan antara CH harian dan DAML harian DAS Citarum Wilayah Hulu tahun 1993 disajikan pada Gambar 21. Hasil pengolahan data sekunder menunjukan bahwa rata-rata DAML harian Sub DAS Saguling sebesar 9,78 m³/dt, Sub DAS Cirata 85,37 m³/dt, Sub DAS Jatiluhur 34,4 m³/dt dan DAS Citarum Wilayah Hulu 21,55 m³/dt. Laju penurunan DAML harian selama periode di Sub DAS Saguling adalah 5,15% (4.67 m³/dt), Sub DAS Cirata 4,19% (3,57 m³/dt), Sub DAS Jatiluhur 21,43% (7,37 m³/dt) dan DAS Citarum Wilayah Hulu 7,42% (15,62 m³/dt). Untuk mengetahui pengaruh CH terhadap DAML dilakukan uji-t sebagaimana pada Tabel 17. Keragaman DAML DAS Citarum Wil. Hulu DAML (m3/dt) 2 15 mean-stdev mean mean+stdev MK MH MK MH MK MH MK MH Saguling Cirata Jatiluhur Citarum Gambar 19. Keragaman DAML harian DAS Citarum Wilayah Hulu periode (Keterangan : MK = musim kemarau (April-September), MH = musim hujan (Oktober-Maret), mean-stdev = rerata dikurangi simpangan baku, mean = rerata, mean+stdev = rerata ditambah simpangan baku, stdev = simpangan baku).

11 Karakteristik CH dan DAML sub DAS Saguling Tahun ch daml Karakteristik CH dan DAML DAS Citarum tahun ch daml (mm) hari Karakteristik CH dan DAML sub DAS Cirata Tahun ch daml 5 4 (mm) hari Karakteristik CH dan DAML sub DAS Jatiluhur Tahun ch daml 5 4 (mm) hari (mm) hari Gambar 2. Karakteristik CH dan DAML harian DAS Citarum Wilayah Hulu pada tahun 1993

12 19 Hub. CH dan DAML sub DAS Saguling Tahun 1993 Hub. CH dan DAML sub DAS Cirata Tahun Series1 Linear (Series1) 6. Series1 Linear (Series1) DAML (mm) y =.2612x R 2 =.227 DAML (mm) y =.488x R 2 = CH (mm) Hub. CH dan DAML sub DAS Jatiluhur Tahun CH (mm) Hub. CH dan DAML DAS Citarum Tahun Series1 Linear (Series1) 3. Series1 Linear (Series1) DAML (mm) y =.1162x R 2 =.294 DAML (mm) y =.3611x R 2 = CH (mm) CH (mm) Gambar 21. Hubungan CH dan DAML harian DAS Citarum Wilayah Hulu pada tahun Tabel 17. Uji-t pengaruh CH harian terhadap DAML harian periode No Parameter Sub DAS DAS Citarum Saguling Cirata Jatiluhur Wil. Hulu 1. Korelasi,727,544,45,73 2. R kuadrat,529,295,23, Konstanta 3,768 52, 16,442 77, Koefisien,322,138,62,54 5. Nilai t 11,978* 7,327* 5,72* 11,183* 6. Signifikansi,,,, Keterangan : *berpengaruh nyata pada signifikansi,5 t-tabel = 1,96. Dari hasil uji-t tersebut dapat diketahui bahwa curah hujan mempunyai hubungan yang kuat dan berpengaruh signifikan baik di masing-masing Sub DAS maupun DAS Citarum Wilayah Hulu. Hal ini ditunjukkan dengan nilai t-hitung lebih besar dari t-tabel (1,96). Koefisien regresi menunjukkan tingkat pengaruh curah hujan terhadap DAML. Setiap penambahan curah hujan harian 1 mm, akan menyebabkan peningkatan DAML harian sebesar,322 m³/dt (Sub DAS

13 11 Saguling),,138 m³/dt (Sub DAS Cirata),,62 m³/dt (Sub DAS Jatiluhur) dan,54 m³/dt (DAS Citarum Wilayah Hulu). Pada Tabel 18 disajikan perkembangan VAML di DAS Citarum Wilayah Hulu. Volume air masuk lokal (VAML) rata-rata tahunan adalah sebesar 2.865,29 juta m³ (Sub DAS Saguling), 2.639,85 juta m³ (Sub DAS Cirata), 1.48,66 juta m³ (Sub DAS Jatiluhur) dan 6.553,8 juta m³ (DAS Citarum Wilayah Hulu). Tabel 18. Rata-rata volume air masuk lokal tahunan DAS Citarum Wilayah Hulu. Tahun Sub DAS/DAS (juta m³) Saguling Cirata Jatiluhur Citarum Hulu ,4 3.75, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,1 564, , , ,14 352, , , ,23 256, , , ,68 492, , , 2.43,4 692, , , ,33 321, ,94 Rata-Rata 2.865, , , ,8 Sumber : Hasil pengolahan data. Laju penurunan per tahun VAML berturut-turut adalah sebesar 5,36% (153,51 juta m³), 4,27% (112,69 juta m³), 22,17% (232,45 juta m³), dan 7,61% (498,66 juta m³). Berdasarkan hasil analisa regresi (Tabel 19) dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara DAML harian dengan VAML tahunan, ditunjukkan dengan angka korelasi sebesar,998 (Sub DAS Saguling),,997 (Sub DAS Cirata),,998 (Sub DAS Jatiluhur) dan,997 (DAS Citarum Wilayah Hulu). Variabel DAML berpengaruh nyata terhadap VAML di semua wilayah Sub DAS dan DAS Citarum Wilayah Hulu. Hal ini dibuktikan dengan nilai t- hitung yang lebih besar dari t-tabel (1,96). Pengaruh DAML harian terhadap VAML tahunan adalah sebesar (Sub DAS Saguling), (Sub DAS Cirata), (Sub DAS Jatiluhur) dan (DAS Citarum Wilayah Hulu). Dengan kata lain, setiap peningkatan 1 m³/dt DAML harian akan menyebabkan peningkatan VAML tahunan sebesar m³ (Sub DAS Saguling), m³ (Sub DAS Cirata), Saguling), m³ (Sub DAS Cirata), m³ (Sub DAS

14 111 Jatiluhur) dan m³ (DAS Citarum Wilayah Hulu). Grafik hubungan CH tahunan, DAML harian dan VAML tahunan disajikan pada Gambar 22 (Sub DAS Saguling), Gambar 23 (Sub DAS Cirata) dan Gambar 24 (Sub DAS Jatiluhur). Tabel 19. Uji-t pengaruh DAML harian terhadap VAML tahunan. No Parameter Sub DAS DAS Citarum Saguling Cirata Jatiluhur Wil. Hulu 1. Korelasi,998,997,998, R kuadrat,996,994,996, Konstanta , , Koefisien Nilai t 18,5* 147,58* 181,384* 139,434* 6. Signifikansi,,,, Keterangan : *berpengaruh nyata pada signifikansi,5 t tabel = 1,96. CH_DAML_VAML Saguling CH (mm/th) DAML (m3/dt/hr) VOL (juta m3/th) tahun Gambar 22. Grafik curah hujan tahunan, debit air masuk lokal (DAML) harian, dan volume air masuk lokal (VAML) tahunan Sub DAS Saguling. Hasil analisis data dan kecenderugan diperoleh informasi bahwa CH, DAML dan VAML memiliki karakteristik yang hampir seragam (homogen) kecuali pada: 1. Tahun di Sub DAS Saguling, dengan tingkat CH yang relatif sama dengan tahun sebelumnya menghasilkan DAML dan VAML yang lebih tinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh semakin tingginya kerusakan lahan di wilayah hulu Sub DAS Saguling, sehingga memperbesar porsi CH yang langsung menjadi aliran debit (run off)

15 112 CH_DAML_VAML_Cirata CH (mm/th) DAML (m3/dt/hr) VOL (juta m3/th) tahun Gambar 23. Grafik curah hujan tahunan, debit air masuk lokal (DAML) harian, dan volume air masuk lokal (VAML) tahunan Sub DAS Cirata. 2. Tahun di Sub DAS Jatiluhur, dengan CH yang tinggi menghasilkan DAML dan VAML yang relatif kecil. Hal ini kemungkinan disebabkan tingginya pemakaian air oleh petani untuk sawah tadah hujan baru di wilayah hulu (laju pertumbuhan sawah tadah hujan 17,94% dalam periode ). CH_DAML_VAML Jatiluhur CH (mm/th) DAML (m3/dt/hr) VOL (juta m3/th) tahun Gambar 24. Grafik curah hujan tahunan, debit air masuk lokal (DAML) harian, dan volume air masuk lokal (VAML) tahunan Sub DAS Jatiluhur.

16 113 c. Fluktuasi Debit Perbandingan (fluktuasi) antara debit air masuk lokal maksimum dengan debit air masuk lokal minimum (rasio Qmax-min) juga merupakan ukuran indikator kondisi ekosistem dan lingkungan wilayah hulu DAS. Dari pengolahan data diperoleh rata-rata rasio Qmax-min Sub DAS Saguling sebesar 63,26 (laju kenaikan 5,19%), Sub DAS Cirata 178,66 (laju kenaikan 8,6%) dan Sub DAS Jatiluhur 153,9 (laju kenaikan 3,91%). Nilai rasio Qmax-min yang tinggi (lebih besar dari 4) mengindikasikan wilayah hulu Sub DAS berada pada kondisi yang kritis (Boer, 24). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kondisi ekosistem DAS Citarum Wilayah Hulu termasuk kritis (buruk). Secara rinci perkembangan rasio Qmax-min dari tahun ke tahun disajikan pada Tabel 2. Pada Gambar 25 disajikan perkembangan rasio Q max-min masing-masing Sub DAS dan DAS Citarum Wilayah Hulu Dari Gambar 25 tersebut dapat disimpulkan bahwa rasio Q max-min meningkat dari tahun ke tahun terutama pada periode Hal ini menunjukan bahwa laju kerusakan ekosistem DAS Citarum Wilayah Hulu pada periode tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan periode sebelumnya ( ). Tabel 2. Rasio Qmax-min ( ). No Tahun Sub DAS Saguling Cirata Jatiluhur ,84 167,91 118, ,8 185,24 168, ,18 21,7 12, ,16 139,78 199, ,12 167,25 172, ,85 81,85 114, ,84 131,75 138, ,51 152,9 163, ,36 221,91 164, ,57 194,9 174, ,65 311,89 178,13 Rata-rata 63,26 178,66 153,9

17 114 Rasio Qmax-min Qmax-min Tahun Saguling Cirata Jatiluhur Gambar 25. Grafik rasio Qmax-min tahun Karakteristik Air Keluar a. Debit dan Volume Air Keluar Debit air keluar (DAK) dan volume air keluar (VAK) waduk merupakan gambaran besarnya volume air yang dibutuhkan untuk mengoperasikan turbin PLTA sesuai dengan rencana operasi. Secara umum dari hasil pengolahan data diketahui bahwa pada periode DAK rata-rata harian PLTA Saguling adalah 83,59 m 3 /dt, PLTA Cirata 164,65 m 3 /dt, PLTA Jatiluhur 178,42 m 3 /dt dan total 3 PLTA sebesar 426,67 m 3 /dt, dengan laju penurunan berturut-turut adalah 4,2% (3,51 m 3 /dt), 4,5% (6,66 m 3 /dt), 5,86% (1,45 m 3 /dt) dan 4,83% (2,62 m 3 /dt) setiap tahun. Pada Tabel 21 disajikan keragaman DAK harian DAS Citarum Wilayah Hulu musim hujan dan musim kemarau serta secara grafis pada Gambar 26. DAK harian di 3 waduk memiliki keragaman yang relatif sama antara MK dengan MH yaitu keragaman DAK harian di waduk Saguling adalah 3,21% atau 22,16 m³/dt (MK), 21,3% atau 19,21 m³/dt (MH), waduk Cirata 23,1% atau 34,37 m³/dt (MK), 2,79% (MH) atau 36,26 m³/dt dan waduk Jatiluhur 2,25% atau 35,32 m³/dt (MK) serta 18,74% atau 33,56 m³/dt (MH). Keadaan tersebut memperlihatkan bahwa keragaman DAK harian pada musim kemarau lebih besar

18 115 daripada musim hujan. Dengan kata lain, dapat mengindikasikan adanya keragaman yang sama pada DAML dan CH. Tabel 21. Keragaman DAK harian DAS Citarum Wilayah Hulu periode Waduk DAK harian (m³/dt) Musim mean-stdev mean' mean+stdev stdev Saguling MK MH Cirata MK MH Jatiluhur MK MH Keterangan : MK=musim kemarau (April-September), MH=musim hujan (Oktober-Maret), meanstdev=rerata dikurangi simpangan baku, mean=rerata, mean+stdev=rerata ditambah simpangan baku, stdev=simpangan baku. Selain itu, keragaman DAK harian juga dipengaruhi oleh keputusan manajemen PJT II yang mengelola ketiga waduk, terutama bila dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan air untuk irigasi sawah di daerah hilir. Namun demikian, kecilnya keragaman DAK harian dalam musim mengindikasikan bahwa kebutuhan air untuk pertanian padi di wilayah hilir masih dapat dipasok melalui outlet turbin. Keragaman DAK 3 Waduk di DAS Citarum Wil. Hulu 25 2 mean-stdev mean mean+stdev DAK(m3/dt) MK MH MK MH MK MH Saguling Cirata Jatiluhur Gambar 26. Keragaman DAK harian DAS Citarum Wilayah Hulu periode (Keterangan : MK = musim kemarau (April-September), MH = musim hujan (Oktober-Maret), mean-stdev = rerata dikurangi simpangan baku, mean = rerata, mean+stdev = rerata ditambah simpangan baku, stdev = simpangan baku).

19 116 Tabel 22. Rata-rata VAK tahunan dan perubahannya di 3 PLTA ( ). Tahun PLTA (juta m³) Total Saguling Cirata Jatiluhur (juta m³) , , ,2 1612, , , , , , ,79 615, , , , , , , ,2 4285, , ,2 638, , , , , , , ,1 5,55,4 521, , , ,95 619, , ,8 57, , , ,5 3711, , ,33 Rata-rata 259,57 592,34 552, ,7 Persentase 19,62 38,57 41,81 1, Dari Tabel 22 diketahui bahwa VAK yang digunakan untuk memutar turbin pada masing-masing PLTA adalah 259,57 juta m 3 (PLTA Saguling), 592,34 juta m 3 (PLTA Cirata), 552,16 juta m 3 (PLTA Jatiluhur) dan total 3 PLTA 1323,7 juta m 3, dengan laju penurunan VAK berturut-turut 4,27% (11,6 juta m 3 ), 4,13% (21,13 juta m 3 ), 5,97% (329,45 juta m 3 ) dan 4,92% (65,18 juta m 3 ) setiap tahun. Dari hasil sidik ragam (anova) sebagaimana pada Tabel 23 dapat disimpulkan bahwa VAK di PLTA Jatiluhur berbeda nyata dengan PLTA lainnya. Berdasarkan hasil uji-t (Tabel 23) dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara DAK dengan VAK, ditunjukkan dengan angka korelasi sebesar,997 (PLTA Saguling),,997 (PLTA Cirata) dan,997 (PLTA Jatiluhur). Variabel DAK berpengaruh nyata terhadap VAK di semua PLTA. Hal ini dibuktikan dengan nilai t-hitung yang lebih besar dari t-tabel (1.96). Pengaruh DAK terhadap VAK adalah sebesar (PLTA Saguling), (PLTA Cirata), (PLTA Jatiluhur) dan (3 PLTA). Dengan kata lain, setiap peningkatan 1 m³/dt DAK akan menyebabkan peningkatan VAK sebesar m³ (PLTA Saguling), m³ (PLTA Cirata), m³ (PLTA Jatiluhur) dan m³ (3 PLTA). Grafik hubungan antara CH, DAK dan VAK di ketiga PLTA disajikan pada Gambar 27, 28 dan 29.

20 117 Tabel 23. Uji-t pengaruh DAK terhadap VAK 3 PLTA. No Parameter PLTA Saguling Cirata Jatiluhur 3 PLTA 1. Korelasi,997,997,997, R kuadrat,995,994,994, Konstanta E+7 4. Koefisien Nilai t 156,35* 145,84* 142,972* 13,595* 6. Signifikansi,,,, Keterangan : *berpengaruh nyata pada signifikansi,5. t tabel = CH_DAK_VAK PLTA Saguling CH (mm/th) DAK (m3/dt/hr) VOL (juta m3/th) tahun Gambar 27. Grafik curah hujan, debit air keluar (DAK), dan volume air keluar (VAK) PLTA Saguling. Secara umum dapat disimpulkan bahwa hubungan CH, DAK dan VAK di ketiga PLTA memiliki karakteristik yang relatif homogen. Hal ini dapat terjadi disebabkan DAK dan VAK yang keluar dari outlet turbin (yang dipergunakan untuk memutar turbin) diatur dan direncanakan sesuai dengan kapasitas sumberdaya air yang tersedia dalam waduk dan keputusan direksi pengelola (PJT II).

21 118 CH_DAK_VAK PLTA Cirata CH (mm/th) DAK (m3/dt/hr) VOL (juta m3/th) tahun Gambar 28. Grafik curah hujan, debit air keluar (DAK), dan volume air keluar (VAK) PLTA Cirata. CH_DAK_VAK PLTA Jatiluhur CH (mm/th) DAK (m3/dt/hr) VOL (juta m3/th) tahun Gambar 29. Grafik curah hujan, debit air keluar (DAK), dan volume air keluar (VAK) PLTA Jatiluhur. b. Tinggi Duga Muka Air Volume air dalam waduk dapat juga dihitung berdasarkan tinggi duga muka air (DMA) dan volume air dipengaruhi oleh dead storage (kapasitas tampungan mati) dan effective atau life storage (kapasitas tampungan efektif). Semakin tinggi DMA semakin besar volume air yang tersimpan di dalam waduk

22 119 dengan asumsi laju sedimentasi sangat rendah. Pada Tabel 24 disajikan DMA pada ketiga waduk. Tabel 24. Rata-rata tinggi DMA Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Tahun DMA Waduk (m dpl) Saguling Cirata Jatiluhur ,36 215,64 18, ,6 215,91 11, ,61 216,65 1, ,76 213,81 11, ,67 21,67 93, ,95 214,6 97, ,67 214,61 99, ,58 213,2 98, ,56 215,4 12, ,4 213,65 1, ,58 29,3 85,82 Rata-Rata 636,35 213,892 98,988 Dari tabel tersebut terlihat bahwa tinggi DMA di ketiga waduk mengalami penurunan per tahun yang bervariasi yaitu Waduk Saguling,678 m, Waduk Cirata,661 m dan Waduk Jatiluhur 2,273 m. Penurunan DMA sebesar itu perlu diwaspadai mengingat perbedaan antara DMA rata-rata dengan DMA batas operasi ketiga waduk tidak besar (7,792 m 23,988 m). Apabila penurunan DMA tersebut terus berlangsung dikhawatirkan DMA batas operasi akan tercapai dan menghentikan fungsi waduk sebagai pembangkit energi listrik. Apabila diasumsikan laju sedimentasi waduk sangat rendah, maka dalam waktu yang singkat DMA batas operasi akan tercapai (Waduk Saguling 14,8 tahun, Waduk Cirata 11,78 tahun dan Waduk Jatiluhur 1,55 tahun) sebagai akibat penurunan volume air dalam waduk yang terus berlangsung, walaupun perencanaan tingkat produksi listrik disesuaikan dengan ketersediaan air dalam waduk dan keputusan manajemen Indonesia Power. Pengaturan tingkat produksi energi listrik tersebut sangat diperlukan mengingat ketiga waduk merupakan waduk seri (cascade) dan banyaknya jenis penggunaan air terutama untuk memenuhi kebutuhan irigasi pertanian, kebutuhan industri, PDAM dan lain sebagainya di wilayah hilir seperti Kabupaten Karawang, Bekasi, Subang, Indramayu dan DKI Jakarta. Keadaan

23 12 kritis tersebut telah menyebabkan kurang maksimalnya PLTA berproduksi bahkan tidak beroperasi sama sekali, terutama pada musim kemarau. Frekuensi terjadinya DMA kritis di ketiga waduk disajikan pada Tabel 25, dan secara grafis pada Gambar 3. Tabel 25. Frekuensi Terjadinya DMA Kritis No Tahun Produksi Jumlah Hari Frekuensi DMA harian/tahun Saguling Cirata Jatiluhur Kali (%) Kali (%) Kali (%) ,3,, ,67 1,27, ,84,, ,37,, ,97 8 2,19, ,,, ,,, ,37,, ,1,, ,96,, ,86,, 26 9 (Keterangan : Batas bawah operasi Waduk Saguling + 626, m, Waduk Cirata + 26,1 m, dan Waduk Jatiluhur + 75, m di atas permukaan laut). Dari Tabel 25 tersebut, diketahui bahwa selama periode , PLTA Saguling mengalami 26 kali (frekuensi) tidak beroperasi maksimal dan pada tahun 1997 dan 22 merupakan kejadian tertinggi (51 dan 4 kali) dalam setahun, disusul oleh PLTA Cirata sebanyak 9 kali ( 8 kali pada tahun 1997). Tingginya frekuensi tidak beroperasinya PLTA secara maksimal pada tahun 1997 disebabkan rendahnya volume air waduk (rendahnya CH pada tahun dimaksud) karena merupakan tahun terjadinya El-Nino. Disisi lain, PLTA Jatiluhur tidak mengalami DMA kritis. Hal ini terjadi dikarenakan pengelolaan 3 waduk merupakan cascade (seri) yang kewenangan pengelolaannya diberikan kepada PJT II dan posisinya berada pada paling bawah. PJT II dapat meminta kepada PLTA Saguling dan PLTA Cirata untuk mengirimkan air baik untuk kebutuhan PLTA Jatiluhur sendiri maupun terutama untuk memenuhi kebutuhan irigasi pertanian di wilayah hilir.

24 121 (m dpl) DMA Saguling DMA DMA Minimum DMA Efektif Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Bulan DMA Cirata DMA DMA Minimum 225. DMA Efektif Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov (m dpl) Dec Bulan DMA Jatiluhur DMA DMA Minimum DMA Efektif Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug (m dpl) Sep Oct Nov Dec Bulan Gambar 3. Grafik DMA rata-rata bulanan pada musim kemarau (April- September) dan musim hujan (Oktober-Maret) di ketiga waduk pada periode (Keterangan : Batas bawah operasi Waduk Saguling + 626, m, Waduk Cirata + 26,1 m, dan Waduk Jatiluhur + 75, m di atas permukaan laut). Dari Gambar 3 diketahui pula bahwa PLTA Saguling mengalami DMA diatas batas operasi (DMA banjir) yang terjadi pada bulan Maret Mei. Pengelola Waduk Saguling mengeluarkan air dengan membuka saluran pengeluaran

25 122 (spillway) baik diminta oleh PJT II maupun tidak. Akan tetapi, PLTA Saguling mengalami masalah DMA kritis pada bulan Oktober November setiap tahun selama periode pengamatan ( ). Pada pertengahan bulan Juni Agustus merupakan masa DMA kritis bagi PLTA Cirata, karena pada bulan-bulan tersebut PLTA Cirata tidak dapat beroperasi secara maksimal bahkan tidak dapat beroperasi. Naiknya DMA Waduk Cirata pada menjelang September (bulan kemarau) disebabkan adanya kiriman air dari Waduk Saguling. Rendahnya DMA operasi Waduk Jatiluhur pada musim hujan dan musim kemarau lebih disebabkan adanya kebijakan PJT II untuk mengutamakan pemenuhan irigasi pertanian padi sawah di wilayah hilir (musim tanam rendeng dan gadu). Walaupun secara umum ketiga waduk pada periode pengamatan masih berada pada selang batas operasi, namum kecenderungan penurunan tinggi DMA dari waktu ke waktu terus berlangsung. Kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan keberlanjutan produksi energi listrik di masa-masa yang akan datang Pendugaan Perubahan Debit dan Volume Air Akibat Perubahan Penutup Lahan Dengan Simulasi GR4J. a. Validasi model GR4J tahun 1993 dan tahun 23 Karakteristik hidrologis dapat dipelajari lebih lanjut dengan prediksi melalui aplikasi model simulasi GR4J. Untuk mendapatkan parameter model dilakukan validasi dengan menggunakan data tahun Data yang dibutuhkan meliputi data curah hujan, evaporasi (ETP) harian dan debit air masuk lokal (DAML) harian. Data ETP diambil dari hasil pengukuran UBP Saguling terhadap waduk Saguling, curah hujan dan debit diambil dari hasil pengukuran masingmasing Sub DAS (secara rinci dapat dilihat pada Bab 5.3.1). Hasil validasi parameter model tahun 1993 dan 23 Sub DAS Saguling dan DAS Citarum Wilayah Hulu memiliki koefisien Nash lebih besar dari 5%. Untuk membandingkan dua DAS (DAS inisial 1993 dengan DAS simulasi 23), koefisien kemiripan (Nash) sering digunakan (Andresian et.al, 23). Menurut Perrin et.al (23), wilayah DAS yang memiliki Koefisien Nash lebih besar dari 5% dapat menggambarkan kemiripan antara data pengukuran dan hasil simulasi.

26 123 Dengan kata lain, model yang dibangun dapat menjelaskan keadaan nyata (fakta). Parameter model hasil validasi disajikan pada Tabel 26. Tabel 26. Parameter model hasil validasi berdasarkan data Sub DAS Saguling dan DAS Citarum Wilayah Hulu DAS Citarum Wilayah No Parameter Satuan Sub DAS Saguling Hulu X1 Kapasitas maksimum simpanan produksi mm 84,14 227, ,87 285,28 2. X2 Koefisien tukar air mm 7,23 1,15 6,47 1, 3. X3 Kapasitas maksimum simpanan pengalihan mm 256,59 61,71 198,81 48,49 4. X4 Waktu dasar hidrograf satuan hari 1,41 2,13,51 1,17 Dari hasil simulasi GR4J diperoleh informasi bahwa DAML Sub DAS Saguling mengalami penurunan per tahun sebesar 2,62 m 3 /dt, sub DAS Cirata naik,24 m 3 /dt, sub DAS Jatiluhur naik,12 m 3 /dt dan DAS Citarum Wilayah Hulu naik sebesar 1,48 m 3 /dt selama 1 tahun ( ), atau -2,62 m 3 /dt (Sub DAS Saguling) dan 1,48 m 3 /dt (DAS Citarum Wilayah Hulu) per tahun. Penurunan DAML tersebut kemungkinan disebabkan oleh perubahan kondisi penutup lahan (biofisik) di wilayah yang bersangkutan. Hasil simulasi terhadap DAML di DAS disajikan pada Tabel 27. Hasil analisis uji-t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara debit pengukuran dengan debit hasil simulasi di Sub DAS Saguling. (t-hit < t tab 1,96). Hal ini berarti bahwa hasil pengukuran debit dengan simulasi menyerupai hasil pengukuran secara langsung di waduk Saguling. Demikian pula di DAS Citarum Wilayah Hulu, analisis menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata antara debit pengukuran dengan debit hasil simulasi. Hal ini dapat dilihat dari nilai t-hit < t tab (-,72 < 1,96). Dengan kata lain hasil pengukuran debit dengan simulasi menyerupai hasil pengukuran secara langsung. Karakteristik DAML simulasi DAS Citarum Wilayah Hulu disajikan pada Gambar 31.

27 124 Tabel 27. Perbandingan antara debit pengukuran dan simulasi Sub DAS Saguling dan DAS Citarum Wilayah Hulu. NO DP Debit pengukuran dan debit simulasi (m³/dt) Saguling Cirata Jatiluhur DAS Citarum DS DS- DP DP DS 1 11,3 1,2-9,83 97,52 1,18 2,67 84, 86,39 2,39 291,25 295,4 3, ,19 96,6-1,59 95,75 91,3-4,45 61,63 65,83 4,19 255,37 262,99 7, ,2 94,24 1,23 91,5 91,15,1 35,36 34,12-1,24 219,31 221,33 2,2 4 95,26 95,38,12 89,25 93,94 4,69 46,64 45,99 -,65 23,99 235,67 4, ,94 51,56-2,38 57,55 57,71,16 53,8 52,86 -,22 164,39 166,65 2, ,66 128,58,92 97,29 98,66 1,38 17,97 18,35,38 242,86 239,5-3, ,67 86,53,87 83,72 83,71 -,1 11,21 11,62,41 18,55 185,36 4, ,61 81,28 1,66 69,21 69,9 -,11 8,21 7,6 -,61 157, 155,35-1, ,27 85,58-24,68 1,89 97,75-3,14 15,68 15,35 -,34 226,79 221,27-5, ,89 78,79 1,9 77,7 78,36 1,29 22,3 2,82-1,22 175,91 173,63-2, ,13 68,15 3,2 61,78 61,85,7 1,24 8,5-1,74 137,11 14,96 3,84 Ratarata 9,51 87,9-2,62 83,73 83,97,24 33,28 33,4,12 27,41 28,89 1,48 Jumlah QS-QP -31,39 2,88 1,49 17,7 Keterangan : DP=debit pengamatan. DS=debit simulasi DS- DP DP DS DS- DP DP DS DS- DP Pada Gambar 32 disajikan grafik hubungan DAML simulasi 1993 dengan simulasi 23 DAS Citarum Wilayah Hulu. Dari Gambar 3 tersebut dapat disimpulkan bahwa DAML simulasi tahun 1993 memiliki karakter yang relatif homogen dengan simulasi tahun 23 dan DAML 1993 lebih besar daripada DAML 23. Hal ini menunjukkan terjadinya penurunan DAML selama periode pengamatan ( ), yang diduga disebabkan oleh degradasi kualitas lingkungan wilayah hulu DAS Citarum. Sedangkan dari Gambar 32 diperoleh informasi bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat antara DAML simulasi tahun 1993 dengan 23 yang dibuktikan dengan nilai korelasi (R²) yang di atas 5% kecuali sub DAS Jatiluhur.

28 125 Karakteristik DAML Simulasi Sub DAS Saguling Tahun 1993 dan 23 3 DAML 1993 DAML DAML(mm) Hari Karakteristik DAML Simulasi Sub DAS Cirata Tahun 1993 dan DAML 1993 DAML DAML(mm) Hari Karakteristik DAML Simulasi Sub DAS Jatiluhur Tahun 1993 dan DAML 1993 DAML 23 5 DAML(mm) Hari Karakteristik DAML Simulasi DAS Citarum Tahun 1993 dan DAML 1993 DAML DAML(mm) Hari Gambar 31. Karakteristik DAML DAS Citarum Wilayah Hulu pada simulasi GR4J dengan menggunakan parameter model hasil validasi tahun 1993 dan 23.

29 126 Hubungan DAML Sub DAS Saguling tahun 1993 dan 23 hasil simulasi Hubungan DAML Sub DAS Cirata tahun 1993 dan 23 hasil simulasi 3 25 Series1 Linear (Series1) Series1 Linear (Series1) y = x R 2 = DAML (mm) 15 y =.3574x R 2 =.737 DAML (mm) Hubungan DAML Sub DAS Jatiluhur tahun 1993 dan 23 hasil simulasi Hubungan DAML DAS Citarum tahun 1993 dan 23 hasil simulasi 7 6 Series1 Linear (Series1) 45 4 Series1 Linear (Series1) y =.8933x R 2 =.8437 DAML (mm) 4 3 y =.4861x R 2 =.368 DAML (mm) Gambar 32. Hubungan DAML Simulasi DAS Citarum Wilayah Hulu Tahun 1993 dan 23. b. Neraca Air DAS Citarum Wilayah Hulu Hasil Simulasi Untuk menduga volume air yang terdapat di DAS Citarum Wilayah Hulu, dilakukan simulasi terhadap debit pengukuran maupun debit simulasi dikali luas masing-masing wilayah. VAML hasil simulasi adalah 7,426 milyar m³ atau 658,746 juta m³ (DAS Citarum Wilayah Hulu) dan 3,49 milyar m 3 atau 97,32 juta m 3 (Sub DAS Saguling) per tahun. Jumlah selisih QS-QP Sub DAS Saguling adalah sebesar 97,32 juta m 3 dan DAS Citarum Wilayah Hulu 511,82 juta m 3. Penurunan DAML dan VAML tersebut diduga disebabkan adanya perubahan kondisi penutup lahan (biofisik) di wilayah hulu DAS Citarum Wilayah Hulu. Hasil simulasi tersebut disajikan pada Tabel 28.

30 127 Tabel 28. Hasil simulasi VAML Sub DAS Saguling dan DAS Citarum Wilayah Hulu. No Tahun Sub DAS Saguling ( juta m³) DAS Citarum Wil. Hulu (juta m³) QP QS QS-QP QP QS QS-QP , ,79-39, , 9.34,3 119, , ,31-5, , ,6 24, , ,5 38, , ,87 63, ,24 3.8,4 3, , ,18 147, , , -75, , ,62 71, , ,83 28, , ,79-15, , ,83 27, , ,56 151, , ,12 52, , ,25-51, , , -778, , ,12-173, , ,59 59, , ,61-71, , ,25 95, , ,18 121,24 Jumlah , ,8-97, , ,7 511,82 Rata-Rata 2.854, ,98-82, , ,46 46,53 Keterangan : QP = VAML pengukuran, QS = VAML simulasi. Hasil analisis statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara volume pengukuran dengan volume hasil simulasi di Sub DAS Saguling. Hal ini dapat dilihat dari nilai t-hitung < t-tabel (,3 < 1,96). Hal ini menunjukkan bahwa hasil pengukuran volume dengan volume simulasi menyerupai hasil pengukuran secara langsung di waduk Saguling. Hasil analisis menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara volume pengukuran dengan volume hasil simulasi di DAS Citarum Wilayah Hulu. Hal ini dapat dilihat dari nilai t-hitung < t-tabel (-,72 < 1,96). Dengan demikian hasil pengukuran volume dengan volume simulasi menyerupai hasil pengukuran secara langsung. Melalui uji statistik tersebut diketahui bahwa nilai DAML dan VAML pengukuran dan simulasi menyerupai hasil pengukuran langsung di lapangan. Dengan demikian, simulasi yang dibangkitkan berdasarkan validasi parameter model tahun 1993 (inisial) mampu menjelaskan parameter model tahun 23 (simulasi). Perbedaan (selisih) DAML dan VAML antara 23 dan 1993 diduga disebabkan oleh perubahan kondisi penutup lahan di wilayah hulu DAS. Grafik volume air hasil simulasi ditampilkan pada Gambar 33.

31 128 5, VAML Simulasi (juta m3) 4, 3, 2, 1, QP SGL QS SGL QP CRT QS CRT QP JTL QS JTL Tahun Gambar 33. Grafik volume air berdasarkan hasil simulasi GR4J (QS93 QP3) Volume Sedimen a. Berdasarkan hasil pemeruman (pengukuran) Tingkat sedimentasi pada badan air (sungai dan waduk) dapat dijadikan ukuran kondisi biofisik lahan di wilayah hulu terutama penutup lahannya (land coverage). Pengolahan data terhadap laju sedimentasi dari hasil pemeruman di waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur disajikan pada Tabel 29 dan Gambar 34. Sedimentasi merupakan proses alam yang mengendapkan butiran atau partikel tanah atau batuan sebagai akibat terjadinya erosi. Laju sedimentasi dapat diperoleh dengan menghitung total volume sedimen dibagi dengan luas Sub DAS dibagi jumlah tahun. Dari ketiga Tabel tersebut diketahui bahwa laju sedimentasi waduk Saguling sejak tahun 1985 s/d 24 rata-rata sebesar 1,286 mm/th, waduk Cirata sejak tahun 1987 s/d 22 rata-rata sebesar 1,67 mm/th dan waduk Jatiluhur sejak tahun 1987 s/d 2 rata-rata sebesar,361 mm/th.

32 129 Tabel 29. Perkembangan volume sedimen di tiga waduk. No Tahun Akumulasi volume sedimen waduk (juta m³)* Saguling Selisih Cirata Selisih Jatiluhur Selisih Total Selisih ,57 4,16 21,93 6,39 487,5 12,25 535, 22, ,73 4,18 28,32, 499,75 12,25 557,8 16, ,91 4,17 28,32 6,39 512, 2, 574,23 12, ,8 4,1 34,71 12,78 514, 2, 586,79 18, ,18 4,14 47,49 5,11 516, 2, 65,67 11, ,32 4,14 52,6 5,11 518, 2, 616,92 11, ,45 4,69 57,71 5,11 52, 2, 628,16 11, ,14 4,3 62,82 5,87 522, 2, 639,96 12, ,44 4,19 68,69 3,23 524, 2, 652,13 9, ,63 3,81 71,92 5, 526, 2, 661,55 2, ,44-76,92-528, - 663,55 - Rata-rata/th ,19 5,13 5,5 515,2 4,5 611,7 12,86 Keterangan : * Pengolahan data sedimen hasil pemeruman (pengukuran). Laju sedimentasi waduk Jatiluhur periode sangat tinggi (3,811 mm/th) disebabkan belum beroperasinya waduk Saguling dan Cirata (Saguling beroperasi 1987 dan Cirata beroperasi tahun 1988), secara drastis menurun 1987 s/d 1995 menjadi,83 mm/th dan,56 mm/th pada atau,361 mm/th (1987-2). Akumulasi Sedimen 75 Sedimen (juta m3) Saguling Cirata Jatiluhur Total Tahun Gambar 34. Perkembangan volume sedimen waduk hasil pemeruman tahun Keterangan : Sedimen Citarum Wilayah Hulu = total sedimen di 3 waduk. (data merupakan hasil pengolahan)

33 13 Tingkat laju sedimentasi yang terjadi di waduk Saguling berada di atas ambang batas perencanaan waduk (1, mm/th), waduk Cirata mendekati ambang batas (1,78 mm/th) dan waduk Jatiluhur di bawah ambang batas (1, mm/th). Tingginya laju sedimentasi pada waduk akan menyebabkan penurunan umur pakai (service life) dari bendungan dan menurunkan produktivitas operasional turbin PLTA. Basiran (199) menyatakan bahwa umur pakai bendungan Jatiluhur bertambah 96 tahun (menjadi 277,5 tahun) dari perencanaan semula, disebabkan telah beroperasinya waduk Saguling dan Cirata. Kedua waduk tersebut telah berfungsi sebagai penangkap sedimen (sedimen trap) sehingga memperpanjang umur pakai waduk. Umur pakai waduk diukur dari lamanya waktu yang diperlukan untuk mengisi zona tampungan mati (dead storage) bendungan. b. Berdasarkan hasil simulasi Sedimen pada sungai (waduk) dapat diduga dengan menggunakan volume air hasil simulasi model GR4J, dengan beberapa asumsi sebagaimana pada Tabel 3. Hasil dugaan sedimen di tiga Sub DAS yang ada di DAS Citarum wilayah hulu dan perkembangannya dari ditampilkan pada Tabel 31. Tabel 3. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam memperkirakan volume sedimen di DAS Citarum Wilayah Hulu. No Penggunaan Lahan Ep EP EP Ep Saguling Cirata Jatiluhur Citarum CP SDR 1 Hutan,13,24,14,17,1,32 2 Sawah Tadah Hujan,33,4 1,45,62,2,32 3 Sawah Irigasi,33,4 1,45,59,2,32 4 Permukiman,3,2,15,5,,32 5 Kebun/Perkebunan 8,4 15,4 36,86 18,66,12,32 6 Tegalan 22,2 61,31 4,5 34,76,23,32 Sumber : 1. Erosi permukaan pada soil pan (Ep) sama dengan erosi permukaan lapang, berdasarkan penelitian Sutono et. al (23) di DAS Citarum. 2. Volume air permukaan satu periode hujan (Ro) sama dengan volume air masuk lokal hasil simulasi model GR4J. 3. Faktor tanaman dan konservasi tanah (CP), berdasarkan hasil penelitian Abdurahman et. al (1984), Ambar dan Syafrudin (1979) serta EXSA dan ECI (1989) dalam Asdak (24) dan Amarjan (23). 4. Luas Sub DAS (A) sama dengan luas masing-masing Sub DAS atau luas per penggunaan lahan sesuai dengan hasil interpretasi peta.

7. PERUBAHAN PRODUKSI

7. PERUBAHAN PRODUKSI 7. PERUBAHAN PRODUKSI 7.1. Latar Belakang Faktor utama yang mempengaruhi produksi energi listrik PLTA dan air minum PDAM adalah ketersedian sumberdaya air baik dalam kuantitas maupun kualitas. Kuantitas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah pantai utara (Pantura)

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

BAB VI. POLA KECENDERUNGAN DAN WATAK DEBIT SUNGAI

BAB VI. POLA KECENDERUNGAN DAN WATAK DEBIT SUNGAI BAB VI. POLA KECENDERUNGAN DAN WATAK DEBIT SUNGAI Metode Mann-Kendall merupakan salah satu model statistik yang banyak digunakan dalam analisis perhitungan pola kecenderungan (trend) dari parameter alam

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

V. SIMULASI LUAS HUTAN TERHADAP HASIL AIR

V. SIMULASI LUAS HUTAN TERHADAP HASIL AIR V. SIMULASI LUAS HUTAN TERHADAP HASIL AIR 5.1. Simulasi di Sub DAS Cisadane Hulu Validasi model dilakukan dengan menggunakan data debit sungai harian tahun 2008 2010. Selanjutnya disusun 10 alternatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sejalan dengan hujan yang tidak merata sepanjang tahun menyebabkan persediaan air yang berlebihan dimusim penghujan dan kekurangan dimusim kemarau. Hal ini menimbulkan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 23 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini memanfaatkan data sekunder yang tersedia pada Perum Jasa Tirta II Jatiluhur dan BPDAS Citarum-Ciliwung untuk data seri dari tahun 2002 s/d

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 44 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Paninggahan Berdasarkan analisis penggunaan lahan tahun 1984, 1992, 22 dan 27 diketahui bahwa penurunan luas lahan terjadi pada penggunaan lahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Curah Hujan Daerah Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Curah Hujan Daerah Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Curah Hujan Daerah Penelitian Kondisi curah hujan di DAS Citarum Hulu dan daerah Pantura dalam kurun waktu 20 tahun terakhir (1990-2009) dapat dilihat pada Gambar 6 dan Gambar

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hubungan Curah Hujan dengan Koefisien Regim Sungai (KRS) DAS Ciliwung Hulu Penggunaan indikator koefisien regim sungai pada penelitian ini hanya digunakan untuk DAS Ciliwung

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penutupan Lahan dan Penggunaan Lahan Berkaitan dengan evaluasi karakteristik hidrologi DAS yang mendukung suplai air untuk irigasi maka wilayah DAS Citarum dibagi menjadi

Lebih terperinci

PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA

PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 217 ISBN: 978 62 361 72-3 PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA Esa Bagus Nugrahanto Balai Penelitian dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Data 5.1.1 Analisis Curah Hujan Hasil pengolahan data curah hujan di lokasi penelitian Sub-DAS Cibengang sangat berfluktuasi dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I = PCB

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I = PCB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum memiliki peranan yang sangat penting dan strategis bagi Provinsi Jawa Barat pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. DAS Citarum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan kegiatan memperbaiki, memelihara, dan melindungi keadaan DAS, agar dapat menghasilkan barang dan jasa khususnya, baik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK DAS Citarum merupakan DAS terpanjang terbesar di Jawa Barat dengan area pengairan meliputi Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Bekasi, Cianjur, Indramayu,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1.1 Lokasi Geografis Penelitian ini dilaksanakan di waduk Bili-Bili, Kecamatan Bili-bili, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Waduk ini dibangun

Lebih terperinci

Bab IV Analisis Data

Bab IV Analisis Data Bab IV Analisis Data IV.1. Neraca Air Hasil perhitungan neraca air dengan debit andalan Q 8 menghasilkan tidak terpenuhi kebutuhan air irigasi, yaitu hanya 1. ha pada musim tanam I (Nopember-Februari)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin

I. PENDAHULUAN. Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin lama semakin meningkat telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan. Salah satu permasalahan lingkungan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta Penutupan Lahan tahun 1990

Lampiran 1. Peta Penutupan Lahan tahun 1990 LAMPIRAN 49 Lampiran 1. Peta Penutupan Lahan tahun 1990 50 Lampiran 2. Peta Penutupan Lahan tahun 2001 51 Lampiran 3. Peta Penggunaan Lahan tahun 2010 52 53 Lampiran 4. Penampakan citra landsat untuk masing-masing

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah aliran sungai (DAS) Cilamaya secara geografis terletak pada 107 0 31 107 0 41 BT dan 06 0 12-06 0 44 LS. Sub DAS Cilamaya mempunyai luas sebesar ± 33591.29

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan. memenuhi ketersediaan kebutuhan penduduk. Keterbatasan lahan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan. memenuhi ketersediaan kebutuhan penduduk. Keterbatasan lahan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan berpengaruh pada pemanfaatan sumberdaya lahan dalam jumlah besar untuk memenuhi ketersediaan kebutuhan

Lebih terperinci

Aspek Perubahan Lahan terhadap Kondisi Tata Air Sub DAS Cisangkuy-DAS Citarum

Aspek Perubahan Lahan terhadap Kondisi Tata Air Sub DAS Cisangkuy-DAS Citarum Aspek Perubahan Lahan terhadap Kondisi Tata Air Sub DAS Cisangkuy-DAS Citarum Oleh Idung Risdiyanto, Nana Mulyana, F.S. Beny, Sudharsono 1. Analisis perubahan penutupan lahan Dinamika perubahan penggunaan

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Diagram Alir Studi

Gambar 2.1. Diagram Alir Studi 2.1. Alur Studi Alur studi kegiatan Kajian Tingkat Kerentanan Penyediaan Air Bersih Tirta Albantani Kabupaten Serang, Provinsi Banten terlihat dalam Gambar 2.1. Gambar 2.1. Diagram Alir Studi II - 1 2.2.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 3.1 Diagram Alir Penyusunan Tugas Akhir

BAB III METODOLOGI. Gambar 3.1 Diagram Alir Penyusunan Tugas Akhir III-1 BAB III METODOLOGI 3.1. Tinjauan Umum Metodologi yang digunakan dalam penyusunan Tugas Akhir dapat dilihat pada Gambar 3.1. Gambar 3.1 Diagram Alir Penyusunan Tugas Akhir III-2 Metodologi dalam perencanaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas ribu kilometer persegi. Curah

I. PENDAHULUAN. di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas ribu kilometer persegi. Curah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) Citarum merupakan salah satu DAS terbesar di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas 11.44 ribu kilometer persegi. Curah hujan tahunan 3 ribu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung yang meliputi area tangkapan (catchment area) seluas 142,11 Km2 atau 14.211 Ha (Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air

Lebih terperinci

Tabel 4.31 Kebutuhan Air Tanaman Padi

Tabel 4.31 Kebutuhan Air Tanaman Padi Tabel 4.31 Kebutuhan Air Tanaman Padi Kebutuhan Tanaman Padi UNIT JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULI AGST SEPT OKT NOV DES Evapotranspirasi (Eto) mm/hr 3,53 3,42 3,55 3,42 3,46 2,91 2,94 3,33 3,57 3,75 3,51

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondisi iklim di bumi tidak pernah statis, tapi berbeda-beda dan berfluktuasi dalam jangka waktu yang lama. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, yang

Lebih terperinci

Tujuan: Peserta mengetahui metode estimasi Koefisien Aliran (Tahunan) dalam monev kinerja DAS

Tujuan: Peserta mengetahui metode estimasi Koefisien Aliran (Tahunan) dalam monev kinerja DAS MONEV TATA AIR DAS ESTIMASI KOEFISIEN ALIRAN Oleh: Agung B. Supangat Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS Jl. A.Yani-Pabelan PO Box 295 Surakarta Telp./fax. (0271)716709, email: maz_goenk@yahoo.com

Lebih terperinci

TEKNOLOGI HUJAN BUATAN DALAM SISTEM PENGELOLAAN WADUK IR. JUANDA, DAS CITARUM. JAWA BARAT

TEKNOLOGI HUJAN BUATAN DALAM SISTEM PENGELOLAAN WADUK IR. JUANDA, DAS CITARUM. JAWA BARAT TEKNOLOGI HUJAN BUATAN DALAM SISTEM PENGELOLAAN WADUK IR. JUANDA, DAS CITARUM. JAWA BARAT Oleh : Sri Lestari *) Abstrak Dengan adanya kemajuan bidang industri dan bertambahnya jumlah penduduk mengakibatkan

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Daerah Aliran Sungai 1. Wilayah Administrasi Sub-DAS Serayu untuk bendungan ini mencakup wilayah yang cukup luas, meliputi sub-das kali Klawing, kali Merawu, Kali Tulis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan Danau Singkarak terletak di dua kabupaten yaitu KabupatenSolok dan Tanah Datar. Kedua kabupaten ini adalah daerah penghasil berasdan menjadi lumbung beras bagi Provinsi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Banjaran merupakan anak sungai Logawa yang mengalir dari arah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Banjaran merupakan anak sungai Logawa yang mengalir dari arah BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Lokasi Studi Sungai Banjaran merupakan anak sungai Logawa yang mengalir dari arah Utara ke arah Selatan dan bermuara pada sungai Serayu di daerah Patikraja dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berdasarkan penelitian dari Nippon Koei (2007), Bendungan Serbaguna

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berdasarkan penelitian dari Nippon Koei (2007), Bendungan Serbaguna BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan penelitian dari Nippon Koei (2007), Bendungan Serbaguna Wonogiri merupakan satu - satunya bendungan besar di sungai utama Bengawan Solo yang merupakan sungai

Lebih terperinci

STUDI SIMULASI POLA OPERASI WADUK UNTUK AIR BAKU DAN AIR IRIGASI PADA WADUK DARMA KABUPATEN KUNINGAN JAWA BARAT (221A)

STUDI SIMULASI POLA OPERASI WADUK UNTUK AIR BAKU DAN AIR IRIGASI PADA WADUK DARMA KABUPATEN KUNINGAN JAWA BARAT (221A) STUDI SIMULASI POLA OPERASI WADUK UNTUK AIR BAKU DAN AIR IRIGASI PADA WADUK DARMA KABUPATEN KUNINGAN JAWA BARAT (221A) Yedida Yosananto 1, Rini Ratnayanti 2 1 Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Nasional,

Lebih terperinci

Gambar 8. Pola Hubungan Curah Hujan Rata-rata Harian RegCM3(Sebelum dan Sesudah Koreksi) dengan Observasi

Gambar 8. Pola Hubungan Curah Hujan Rata-rata Harian RegCM3(Sebelum dan Sesudah Koreksi) dengan Observasi BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Koreksi Bias Data Curah Hujan dan Suhu Luaran Model RegCM3 Data luaran RegCM3 merupakan hasil simulasi kondisi iklim yang memiliki resolusi spasial yang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban.

BAB III METODOLOGI. dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban. BAB III METODOLOGI 3.1 Umum Metodologi merupakan suatu penyelidikan yang sistematis untuk meningkatkan sejumlah pengetahuan, juga merupakan suatu usaha yang sistematis dan terorganisasi untuk menyelidiki

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis pengaruh ENSO dan IOD terhadap curah hujan Pola hujan di Jawa Barat adalah Monsunal dimana memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim

Lebih terperinci

KAT (mm) KL (mm) ETA (mm) Jan APWL. Jan Jan

KAT (mm) KL (mm) ETA (mm) Jan APWL. Jan Jan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kerentanan Produktifitas Tanaman Padi Analisis potensi kerentanan produksi tanaman padi dilakukan dengan pendekatan model neraca air tanaman dan analisis indeks kecukupan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 24 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Curah Hujan Data curah hujan yang terekam pada alat di SPAS Cikadu diolah menjadi data kejadian hujan harian sebagai jumlah akumulasi curah hujan harian dengan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Diagram Alir pola perhitungan dimensi hidrolis spillway serbaguna

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Diagram Alir pola perhitungan dimensi hidrolis spillway serbaguna BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Diagram Alur Diagram Alir pola perhitungan dimensi hidrolis spillway serbaguna Bendungan Selorejo : III-1 3.2 Lokasi Penelitian Lokasi yang menjadi tempat penelitian ini

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 40 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis dan Administrasi Lokasi penelitian berada di Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok seluas 462 ha. Secara geografis daerah penelitian terletak

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB 4 ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN BAB 4 ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 4.1. Data Penelitian ini menggunakan data curah hujan, data evapotranspirasi, dan peta DAS Bah Bolon. Data curah hujan yang digunakan yaitu data curah hujan tahun 2000-2012.

Lebih terperinci

TINJAUAN HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI DAS KALI BRANTAS HULU 1

TINJAUAN HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI DAS KALI BRANTAS HULU 1 TINJAUAN HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI DAS KALI BRANTAS HULU 1 Perusahaan Umum (Perum) Jasa Tirta I Jl. Surabaya 2 A, Malang Indonesia 65115 Telp. 62-341-551976, Fax. 62-341-551976 http://www.jasatirta1.go.id

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.. Parameter Curah Hujan model REMO Data curah hujan dalam keluaran model REMO terdiri dari 2 jenis, yaitu curah hujan stratiform dengan kode C42 dan curah hujan konvektif dengan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL 4.1. Analisis Curah Hujan 4.1.1. Ketersediaan Data Curah Hujan Untuk mendapatkan hasil yang memiliki akurasi tinggi, dibutuhkan ketersediaan data yang secara kuantitas dan kualitas

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Curah Hujan Curah hujan diukur setiap hari dengan interval pengukuran dua puluh empat jam dengan satuan mm/hari. Pengukuran curah hujan dilakukan oleh Automatic

Lebih terperinci

Misal dgn andalan 90% diperoleh debit andalan 100 m 3 /det. Berarti akan dihadapi adanya debit-debit yg sama atau lebih besar dari 100 m 3 /det

Misal dgn andalan 90% diperoleh debit andalan 100 m 3 /det. Berarti akan dihadapi adanya debit-debit yg sama atau lebih besar dari 100 m 3 /det DEBIT ANDALAN Debit Andalan (dependable discharge) : debit yang berhubungan dgn probabilitas atau nilai kemungkinan terjadinya. Merupakan debit yg kemungkinan terjadinya sama atau melampaui dari yg diharapkan.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Model CCHE-2D merupakan model yang dapat digunakan untuk melakukan simulasi numerik hidrodinamika dan transpor sedimen. Model ini mempunyai kemampuan untuk melakukan simulasi

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

PENGURANGAN RESIKO BANJIR IBUKOTA DENGAN PENGEMBANGAN DAM PARIT DI DAS CILIWUNG HULU

PENGURANGAN RESIKO BANJIR IBUKOTA DENGAN PENGEMBANGAN DAM PARIT DI DAS CILIWUNG HULU ISSN 197-877 Terbit sekali 2 bulan Volume Nomor. Juni 29 PENGURANGAN RESIKO BANJIR IBUKOTA DENGAN PENGEMBANGAN DAM PARIT DI DAS CILIWUNG HULU Curah hujan tinggi yang terjadi dalam waktu singkat menyebabkan

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional INACID Mei 2014, Palembang Sumatera Selatan

Prosiding Seminar Nasional INACID Mei 2014, Palembang Sumatera Selatan No Makalah : 1.17 EROSI LAHAN DI DAERAH TANGKAPAN HUJAN DAN DAMPAKNYA PADA UMUR WADUK WAY JEPARA Dyah I. Kusumastuti 1), Nengah Sudiane 2), Yudha Mediawan 3) 1) Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DINAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR Jl. Madukoro Blok.AA-BB Telp. (024) , , , S E M A R A N

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DINAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR Jl. Madukoro Blok.AA-BB Telp. (024) , , , S E M A R A N PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DINAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR Jl. Madukoro Blok.AA-BB Telp. (024) 7608201,7608342, 7608621, 7608408 S E M A R A N G 5 0 1 4 4 Website : www.psda.jatengprov..gp.id Email

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Solehudin, 2015 Kajian Tingkat Bahaya Erosi Permukaandi Sub Daerah Aliran Sungai Cirompang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Solehudin, 2015 Kajian Tingkat Bahaya Erosi Permukaandi Sub Daerah Aliran Sungai Cirompang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jumlah manusia yang menghuni permukaan bumi kian hari kian meningkat, tetapi kondisi tersebut berlaku sebaliknya dengan habitat hidup manusia, yaitu lahan.

Lebih terperinci

2014 KAJIAN KUALITAS AIR TANAH DI SEKITAR KAWASAN BUDIDAYA IKAN PADA KERAMBA JARING APUNG DI WADUK JATILUHUR KABUPATEN PURWAKARTA

2014 KAJIAN KUALITAS AIR TANAH DI SEKITAR KAWASAN BUDIDAYA IKAN PADA KERAMBA JARING APUNG DI WADUK JATILUHUR KABUPATEN PURWAKARTA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air merupakan komponen pokok dan mendasar dalam memenuhi kebutuhan seluruh makhluk hidup di bumi. Menurut Indarto (2012) : Air adalah substansi yang paling melimpah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah maupun masyarakat mengandung pengertian yang mendalam, bukan hanya berarti penambahan pembangunan

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN KARAKTERISTIK HIDROLOGI DAN LAJU EROSI SEBAGAI FUNGSI PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN

EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN KARAKTERISTIK HIDROLOGI DAN LAJU EROSI SEBAGAI FUNGSI PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN KARAKTERISTIK HIDROLOGI DAN LAJU EROSI SEBAGAI FUNGSI PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN DESEMBER, 2014 KATA PENGANTAR Sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 21/PRT/M/2010

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan suatu wilayah di permukaan bumi yang meliputi semua benda penyusun biosfer (atmosfer, tanah dan batuan induk, topografi, air, tumbuhtumbuhan dan binatang),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1)

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1) A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) Cisangkuy merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum hulu yang terletak di Kabupaten Bandung, Sub DAS ini

Lebih terperinci

Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN

Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya air merupakan salah satu unsur utama untuk kelangsungan hidup manusia, disamping itu air juga mempunyai arti penting dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BMKG PRESS RELEASE BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BMKG PRESS RELEASE BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG PRESS RELEASE BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG OUTLINE I. GEMPABUMI TSUNAMI KEPULAUAN MENTAWAI (25 - oktober 2010); Komponen Tsunami Warning System (TWS) : Komponen Structure : oleh

Lebih terperinci

IV. PEMBAHASAN. 4.1 Neraca Air Lahan

IV. PEMBAHASAN. 4.1 Neraca Air Lahan 3.3.2 Pengolahan Data Pengolahan data terdiri dari dua tahap, yaitu pendugaan data suhu Cikajang dengan menggunakan persamaan Braak (Djaenuddin, 1997) dan penentuan evapotranspirasi dengan persamaan Thornthwaite

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu kesatuan aspek fisik, sosial dan ekosistem yang di dalamnya mengandung berbagai permasalahan yang komplek, seperti degradasi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan Pendahuluan 1.1 Umum Sungai Brantas adalah sungai utama yang airnya mengalir melewati sebagian kota-kota besar di Jawa Timur seperti Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya. Sungai

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Daerah Irigasi Banjaran merupakan Daerah Irigasi terluas ketiga di

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Daerah Irigasi Banjaran merupakan Daerah Irigasi terluas ketiga di BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Diskripsi Lokasi Studi Daerah Irigasi Banjaran merupakan Daerah Irigasi terluas ketiga di wilayah Kabupaten Banyumas dengan luas areal potensial 1432 ha. Dengan sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air (SDA) bertujuan mewujudkan kemanfaatan sumberdaya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar

Lebih terperinci

PENERAPAN TEORI RUN UNTUK MENENTUKAN INDEKS KEKERINGAN DI KECAMATAN ENTIKONG

PENERAPAN TEORI RUN UNTUK MENENTUKAN INDEKS KEKERINGAN DI KECAMATAN ENTIKONG Abstrak PENERAPAN TEORI RUN UNTUK MENENTUKAN INDEKS KEKERINGAN DI KECAMATAN ENTIKONG Basillius Retno Santoso 1) Kekeringan mempunyai peranan yang cukup penting dalam perencanaan maupun pengelolaan sumber

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hampir pada setiap musim penghujan di berbagai provinsi di Indonesia terjadi banjir yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat. Salah satu wilayah yang selalu mengalami banjir

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Neraca Air

TINJAUAN PUSTAKA. Neraca Air TINJAUAN PUSTAKA Neraca Air Neraca air adalah model hubungan kuantitatif antara jumlah air yang tersedia di atas dan di dalam tanah dengan jumlah curah hujan yang jatuh pada luasan dan kurun waktu tertentu.

Lebih terperinci

Pengaruh Pergeseran Jadwal Tanam Terhadap Produktivitas Padi di Daerah Irigasi Krueng Aceh

Pengaruh Pergeseran Jadwal Tanam Terhadap Produktivitas Padi di Daerah Irigasi Krueng Aceh 386 Pengaruh Pergeseran Jadwal Tanam Terhadap Produktivitas Padi di Daerah Irigasi Krueng Aceh Meylis 1*, Sarah 1, A. Munir 2, Dirwan 1, Azmeri 1, dan Masimin 1 1 Universitas Syiah Kuala 2 Ranting Dinas

Lebih terperinci

8. ANALISIS PERUBAHAN BIAYA LINGKUNGAN

8. ANALISIS PERUBAHAN BIAYA LINGKUNGAN 8. ANALISIS PERUBAHAN BIAYA LINGKUNGAN 8.1. Latar Belakang Perubahan karakteristik hidrologis DAS Citarum Wilayah Hulu terutama debit, volume, sedimentasi dan pencemaran kimiawi air menyebabkan hilangnya

Lebih terperinci

Tommy Tiny Mananoma, Lambertus Tanudjaja Universitas Sam Ratulangi Fakultas Teknik Jurusan Sipil Manado

Tommy Tiny Mananoma, Lambertus Tanudjaja Universitas Sam Ratulangi Fakultas Teknik Jurusan Sipil Manado Analisis Debit Banjir Di Sungai Tondano Berdasarkan Simulasi Tommy Tiny Mananoma, Lambertus Tanudjaja Universitas Sam Ratulangi Fakultas Teknik Jurusan Sipil Manado Email:tommy11091992@gmail.com ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air BAB I PENDAHULUAN I. Umum Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah dan sebagainya.

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 16 5.1 Hasil 5.1.1 Pola curah hujan di Riau BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan bulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan

Lebih terperinci

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat. 11 yang akan datang, yang cenderung mengalami perubahan dilakukan dengan memanfaatkan keluaran model iklim. Hasil antara kondisi iklim saat ini dan yang akan datang dilakukan analisis dan kemudian dilakukan

Lebih terperinci

Optimasi Pola Tanam Menggunakan Program Linier (Waduk Batu Tegi, Das Way Sekampung, Lampung)

Optimasi Pola Tanam Menggunakan Program Linier (Waduk Batu Tegi, Das Way Sekampung, Lampung) JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 1, (2017) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) D-1 Optimasi Pola Tanam Menggunakan Program Linier (Waduk Batu Tegi, Das Way Sekampung, Lampung) Anindita Hanalestari Setiawan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Daerah Irigasi Lambunu Daerah irigasi (D.I.) Lambunu merupakan salah satu daerah irigasi yang diunggulkan Propinsi Sulawesi Tengah dalam rangka mencapai target mengkontribusi

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI III.1 LETAK DAN KONDISI WADUK CIRATA Waduk Cirata merupakan salah satu waduk dari kaskade tiga waduk DAS Citarum. Waduk Cirata terletak diantara dua waduk lainnya, yaitu

Lebih terperinci

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu BAB I PENDAHULUAN Pembangunan pertanian merupakan bagian integral daripada pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur (Ditjen Tanaman Pangan, 1989). Agar pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hidrologi Hidrologi adalah ilmu yang mempelajari tentang terjadinya, pergerakan dan distribusi air di bumi, baik di atas maupun di bawah permukaan bumi, tentang sifat fisik,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Dalam konteksnya sebagai sistem hidrologi, Daerah Aliran Sungai didefinisikan sebagai kawasan yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air Kondisi Saat ini Perhitungan neraca kebutuhan dan ketersediaan air di DAS Waeruhu dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologis di Sub Daerah Aliran Ci Karo, maka penulis dapat menarik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun 1621, 1654 dan 1918, kemudian pada tahun 1976, 1997, 2002 dan 2007. Banjir di Jakarta yang terjadi

Lebih terperinci

kebutuhannya, masyarakat merambah hutan untuk dikonversi menjadi lahan pertanian. Konversi hutan dan lahan juga dilakukan oleh kegiatan pembangunan

kebutuhannya, masyarakat merambah hutan untuk dikonversi menjadi lahan pertanian. Konversi hutan dan lahan juga dilakukan oleh kegiatan pembangunan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan yang dominan disebabkan oleh berubahnya kondisi tutupan lahan hutan akibat pemanfaatan lahan oleh aktivitas manusia yang tidak sesuai dengan peruntukannya.

Lebih terperinci

STUDI PENGARUH SEDIMENTASI KALI BRANTAS TERHADAP KAPASITAS DAN USIA RENCANA WADUK SUTAMI MALANG

STUDI PENGARUH SEDIMENTASI KALI BRANTAS TERHADAP KAPASITAS DAN USIA RENCANA WADUK SUTAMI MALANG STUDI PENGARUH SEDIMENTASI KALI BRANTAS TERHADAP KAPASITAS DAN USIA RENCANA WADUK SUTAMI MALANG Suroso, M. Ruslin Anwar dan Mohammad Candra Rahmanto Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Brawijaya

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak 1. Luas DTA (Daerah Tangkapan Air) Opak Dari hasil pengukuran menggunakan aplikasi ArcGis 10.1 menunjukan bahwa luas

Lebih terperinci

PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA PENGGUNAAN LAHAN DI DAS CISADANE HULU: MAMPUKAH MEMPERBAIKI FUNGSI HIDROLOGI DAS? Oleh : Edy Junaidi ABSTRAK

PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA PENGGUNAAN LAHAN DI DAS CISADANE HULU: MAMPUKAH MEMPERBAIKI FUNGSI HIDROLOGI DAS? Oleh : Edy Junaidi ABSTRAK PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA PENGGUNAAN LAHAN DI DAS CISADANE HULU: MAMPUKAH MEMPERBAIKI FUNGSI HIDROLOGI DAS? Oleh : Edy Junaidi ABSTRAK DAS Cisadane Hulu merupakan salah satu sub DAS Cisadane yang

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS SEDIMEN DAN VOLUME KEHILANGAN AIR PADA EMBUNG

BAB V ANALISIS SEDIMEN DAN VOLUME KEHILANGAN AIR PADA EMBUNG V-1 BAB V ANALISIS SEDIMEN DAN VOLUME KEHILANGAN AIR PADA EMBUNG 5.1. Analisis Sedimen dengan Metode USLE Untuk memperkirakan laju sedimentasi pada DAS S. Grubugan digunakan metode Wischmeier dan Smith

Lebih terperinci

Analisis Program Rehabilitasi DTA Saguling

Analisis Program Rehabilitasi DTA Saguling Analisis Program Rehabilitasi DTA Saguling Oleh : Idung Risdiyanto Permasalahan utama DTA Waduk Saguling adalah tingkat sedimentasi, limpasan permukaan yang tinggi dan kondisi neraca air DAS yang defisit.

Lebih terperinci

REKAYASA SUMBERDAYA AIR (WATER RESOURCES ENGINEERING ) OPERASI WADUK

REKAYASA SUMBERDAYA AIR (WATER RESOURCES ENGINEERING ) OPERASI WADUK REKAYASA SUMBERDAYA AIR (WATER RESOURCES ENGINEERING ) OPERASI WADUK KULIAH -7 [Operasi Waduk] Today s Subject Overview Operasi Waduk Pengantar Operasi Waduk Karakteristik Operasi Waduk Lingkup Operasi

Lebih terperinci

Kebutuhan Informasi Perencanaan Sumberdaya Air dan Keandalan Ketersediaan Air yang Berkelanjutan di Kawasan Perdesaan

Kebutuhan Informasi Perencanaan Sumberdaya Air dan Keandalan Ketersediaan Air yang Berkelanjutan di Kawasan Perdesaan Kebutuhan Informasi Perencanaan Sumberdaya Air dan Keandalan Ketersediaan Air yang Berkelanjutan di Kawasan Perdesaan M. Yanuar J. Purwanto a dan Sutoyo b Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas

Lebih terperinci

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1267, 2014 KEMENHUT. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Evaluasi. Monitoring. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 61 /Menhut-II/2014 TENTANG MONITORING

Lebih terperinci