BIODELIGNIFIKASI TONGKOL JAGUNG MENGGUNAKAN FUNGI PELAPUK PUTIH (WHITE ROT FUNGI) Oleh: CUCU RINA PURWANINGRUM F

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BIODELIGNIFIKASI TONGKOL JAGUNG MENGGUNAKAN FUNGI PELAPUK PUTIH (WHITE ROT FUNGI) Oleh: CUCU RINA PURWANINGRUM F"

Transkripsi

1 BIODELIGNIFIKASI TONGKOL JAGUNG MENGGUNAKAN FUNGI PELAPUK PUTIH (WHITE ROT FUNGI) Oleh: CUCU RINA PURWANINGRUM F DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2 Cucu Rina Purwaningrum. F Biodelignifikasi Tongkol Jagung Menggunakan Fungi Pelapuk Putih (White Rot Fungi). Di bawah bimbingan Purwoko dan Liesbetini Haditjaroko. RINGKASAN Tongkol jagung merupakan salah satu limbah kegiatan industri pertanian yang merupakan sumber bahan berlignoselulosa yang potensial. Produksi jagung di Indonesia yang cukup tinggi yaitu juta ton pipilan kering pada tahun 2009 (BPS, 2010). Hal ini berkorelasi dengan limbah tongkol jagung yang dihasilkan. Jagung mengandung kurang lebih 30% tongkol jagung dan sisanya adalah biji dan kulit. Dari data tersebut dapat diperkirakan bahwa produksi limbah tongkol jagung Indonesia pada tahun 2009 adalah sebesar juta ton. Dengan kandungan selulosa 40-60% dan hemiselulosa 20-30% tongkol jagung mempunyai potensi yang besar untuk dikonversi menjadi gula sederhana seperti glukosa dan xilosa yang dapat digunakan sebagai bahan dasar untuk pembuatan berbagai produk turunan antara lain sorbitol dan xilitol. Biodelignifikasi merupakan proses degradasi lignin untuk membebaskan serat dari ikatannya dengan menggunakan mikroba seperti kapang, bakteri atau enzim. Delignifikasi perlu dilakukan karena lignin merupakan penghambat utama pada proses hidrolisis selulosa. Fungi pelapuk putih merupakan salah satu mikroorganisme yang mampu mengurai lignin secara selektif dan hanya mengurai selulosa dan hemiselulosa dalam jumlah yang sedikit (Eaton dan Hale, 1993). Beberapa jenis fungi pelapuk putih yang sering digunakan untuk delignifikasi adalah Schizophyllum commune, Phanerochaete chrysosporium dan isolat Pleurotus EB9. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan jenis Fungi Pelapuk Putih (FPP) terbaik serta untuk mendapatkan konsentrasi miselia dan konsentrasi glukosa optimum yang ditambahkan serta waktu inkubasi optimum dari fungi terbaik. Pada penelitian ini, terdapat dua tahapan penelitian yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan dilakukan karakterisasi tongkol jagung dan penentuan jenis fungi terbaik dalam mendelignifikasi tongkol jagung diantara Schizophyllum commune, Phanerochaete chrysosporium dan isolat Pleurotus EB9. Fungi terbaik ditentukan berdasarkan kemampuannya dalam menurunkan kadar lignin tongkol jagung. Penelitian utama dilakukan untuk menentukan kombinasi jumlah miselia (1, 2.5, 6.25, 10, ml) dan jumlah glukosa (0.032, 0.1, 0.2, 0.3, g) yang ditambahkan dalam 10 g substrat serta waktu inkubasi optimum (3.18, 10, 20, 30, 37.8 hari). Parameter yang diamati adalah kadar lignin, kadar holoselulosa, selulosa dan hemiselulosa. Perlakuan terbaik dari penelitian utama ditentukan berdasarkan nilai terkecil dari nisbah lignin/holoselulosa. Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian utama menggunakan Response Surface Methodology (RSM). Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa tongkol jagung memiliki kadar air 10.71% (b.b), kadar abu 1.69% (b.b), kadar lemak 2.34% (b.b), kadar protein kasar

3 0.60% (b.b) dan kadar serat kasar 79.15% (b.b). Kadar lignin awal tongkol jagung adalah 19.74%. Tongkol jagung yang telah didelignifikasi oleh fungi Phanerochaete chrysosporium mempunyai penurunan kadar lignin paling besar yaitu 26.07% yang kemudian disusul oleh Schizophyllum commune yaitu 14.15% dan isolat Pleurotus EB9 1.66%. Demikian juga untuk penurunan bobot kering, substrat yang diinkubasi dengan Phanerochaete chrysosporium mengalami penurunan terbesar yaitu 28.22%. Oleh karena itu, Phanerochaete chrysosporium merupakan fungi yang terpilih untuk digunakan pada penelitian utama. Hasil penelitian utama yaitu berdasarkan analisis response surface (permukaan respon) didapatkan hasil bahwa kondisi optimum untuk delignifikasi tongkol jagung oleh Phanerochaete chrysosporium adalah dengan waktu inkubasi hari, jumlah miselia yang ditambahkan 1.89 ml/10 g substrat dan jumlah glukosa yang ditambahkan sebesar 0.23 g/10 g substrat. Dari perlakuan tersebut diperoleh nilai nisbah kadar lignin terhadap holoselulosa sebesar g/g. Artinnya, terdapat lignin sebesar g setiap 1 g holoselulosa.

4 Cucu Rina Purwaningrum. F Concorbs Biodelignification by White Rot Fungi. Supervised by Purwoko and Liesbetini Haditjaroko. ABSTRACT Corncob has big potency to be converted become simple sugar such as glucose and xylose which turn can be used as raw material for various products for instance sorbitol and xylitol. Biodelignification is a process to remove lignin and to make fibre free from this subtance by using microorganism like mould, bacteria or enzyme. Delignification need to be done because lignin is main barrier at cellulose hydrolysis process. Some types white rot fungi often applied for delignification are Schizophyllum commune, Phanerochaete chrysosporium and isolate Pleurotus EB9. The aims of this research is to obtain the best type of white rot fungi and to get optimum concentration of mycelial and concentration of glucose which is added and optimum incubation time of chosen best fungi. The result of preliminary research that corncob delignification by fungi Phanerochaete chrysosporium had highest decreasing of lignin content that was 26.07% and degradation of dry weight that is 28.22%. Therefore, Phanerochaete chrysosporium was chosen to be used in main research. Result of main research showed that optimum condition for delignification of corncob by Phanerochaete chrysosporium was incubation time days, quantity of mycelial 1.89 ml/10 g substrate and number of glucoses added 0.23 g/10 g substrate. From this condition the value of lignin rate ratio to holocellulose was g/g. Keywords: Corncobs, Biodelignification, Schizophyllum commune, Phanerochaete chrysosporium and isolate Pleurotus EB9.

5 Cucu Rina Purwaningrum. F Concorbs Biodelignification by White Rot Fungi. Supervised by Purwoko and Liesbetini Haditjaroko. SUMMARY Corncobs is one of the agriculture waste which is a potential source of lignocellulosic material. Indonesia corn production is million tons in 2009 which is related to corncobs production. Corn contains 30% of corncobs and the others are seed and skin. Because of cellulose content 40-60% and hemicellulose 20-30%, corncob has big potency to be converted become simple sugar such as glucose and xylose which turn can be used as raw material for various products for instance sorbitol and xylitol. Biodelignification is a process to remove lignin and to make fibre free from this subtance by using microorganism like mould, bacteria or enzyme. Delignification need to be done because lignin is main barrier at cellulose hydrolysis process. White rot fungi is one of microorganism that capable to decompose lignin selectively and only decomposes cellulose and hemicellulose in a low quantity (Eaton and Hale, 1993). Some types white rot fungi often applied for delignification are Schizophyllum commune, Phanerochaete chrysosporium and isolate Pleurotus EB9. The aims of this research is to obtain the best type of white rot fungi and to get optimum concentration of mycelial and concentration of glucose which is added and optimum incubation time of chosen best fungi. There are two research steps that are preliminary research and main research. In preliminary research, characterization of corncob and determination of the best fungi type in delignification of corncob between Schizophyllum commune, Phanerochaete chrysosporium and isolate Pleurotus EB9 were done. The best Fungi was determined based on the ability in reducing corncob lignin. Main research was conducted to determine total combination of mycelial and quantity of glucoses added and optimum incubation time. Parameter observed were lignin, holocellulose, cellulose and hemicellulose content. Best treatment from main research determined by the lowest of lignin ratio to holocellulose value. Design of experiment applied at main research was Response Surface Methodology ( RSM). Result of analysis proxymate indicated that initial corncob had moisture content 10.71% (wb), ash content 1.69% (wb), fat 2.34% (wb), crude protein of 0.60% (wb) and crude fiber 79.15% (wb). Initial lignin content of corncob was 19.74%. Corncob delignificated by fungi Phanerochaete chrysosporium had highest decreasing of lignin content that was 26.07%, while by Schizophyllum commune that was 14.15% and by Pleurotus EB9 was 1.66%. The highest decreasing of dry weight was obtain by using Phanerochaete chrysosporium (28,22%). Therefore, Phanerochaete chrysosporium was chosen to be used in main research.

6 Result of main research showed that optimum condition for delignification of corncob by Phanerochaete chrysosporium was incubation time days, quantity of mycelial 1.89 ml/10 g substrate and number of glucoses added 0.23 g/10 g substrate. From this condition the value of lignin rate ratio to holocellulose was g/g.

7 PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul Biodelignifikasi Tongkol Jagung Menggunakan Fungi Pelapuk Putih (White Rot Fungi) ini merupakan hasil karya sendiri di bawah bimbingan pembimbing akademik. Semua informasi yang ada di dalam teks, yang berasal dari karya orang lain, baik yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan telah tercantum di bagian akhir tulisan ini. Bogor, 29 Agustus 2010 Pembuat pernyataan, Cucu Rina Purwaningrum F

8 BIODELIGNIFIKASI TONGKOL JAGUNG MENGGUNAKAN FUNGI PELAPUK PUTIH (WHITE ROT FUNGI) SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh: CUCU RINA PURWANINGRUM F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR i

9 Judul : BIODELIGNIFIKASI TONGKOL JAGUNG MENGGUNAKAN FUNGI PELAPUK PUTIH (WHITE ROT FUNGI) Nama : CUCU RINA PURWANINGRUM NIM : F Menyetujui, Bogor, 30 Agustus 2010 Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II (Drs. Purwoko, M. Si) (Dr. Ir. Liesbetini Haditjaroko, MS) NIP : NIP : Mengetahui Ketua Departemen, (Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti) NIP : Tanggal Lulus : 20 Agustus 2010 ii

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banyuwangi, Jawa Timur pada tanggal 12 Agustus 1988, anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Edy Purwoko dan Ibu Yuli Eka Ismarini. Penulis memulai pendidikan di TK Khadijah 41 pada tahun 1992 dan pada tahun 1994 melanjutkan di Sekolah Dasar Negeri Kedunggebang 4 dan lulus pada tahun Pada tahun 2000 penulis melanjutkan studi ke SLTPN I Muncar dan lulus pada tahun Selanjutnya penulis melanjutkan ke SMAN 1 Genteng pada tahun 2003 dan berhasil lulus pada tahun Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melaui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Instititut Pertanian Bogor. Pada tahun 2009, penulis melaksanakan praktek lapangan dengan tema Mempelajari Aspek Teknologi Proses dan Pengawasan Mutu Produk Udang Beku di PT Kelola Mina Laut, Gresik, Jawa Timur. Selain itu, selama di bangku perkuliahan, penulis pernah aktif di Forum Bina Islami Fateta (FBI-F) selama dua periode kepengurusan ( ) dan BEM Fateta tahun Untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Biodelignifikasi Tongkol Jagung Menggunakan Fungi Pelapuk Puti (White Rot Fungi) di bawah bimbingan Drs. Purwoko, M.Si dan Dr. Ir. Liesbetini Haditjaroko, MS. iii

11 KATA PENGANTAR Assalamu laikum wa rahmatullahi wa barakatuh Alhamdulillah, segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW berserta para sahabat dan keluarganya serta para pengikutnya. Penulis membuat skripsi yang berjudul Biodelignifikasi Tongkol Jagung menggunakan Fungi Pelapuk Putih (White Rot Fungi) sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian di Institut Pertanian Bogor. Penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi yang membutuhkan. Amin. Wassalamu alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh Bogor, Agustus 2010 Penulis iv

12 UCAPAN TERIMA KASIH Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan, nikmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Penelitian ini diselesaikan atas bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Kedua orang tua tercinta dan seluruh keluarga atas segala dorongan, doa dan kasih sayang yang tak pernah terputus; 2. Bapak Drs. Purwoko, M.Si dan Ibu Dr. Ir. Liesbetini Haditjaroko, MS selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan, nasihat dan arahannya dalam penyelesaian pendidikan sarjana yang ditempuh oleh penulis; 3. Dr. Ir. Elis Nina Herliyana, M.Si selaku staf dosen Departemen Silvikultur IPB atas segala kesabaran, bantuan dan bimbingannya; 4. Ir. Sugiarto, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan koreksi dalam penulisan karya ini dan beberapa arahan serta nasihat untuk perbaikan diri penulis; 5. Laboran TIN-IPB yang bersedia membantu selama penulis melaksanakan penelitian; 6. Kepada teman-teman TIN 43 dan kost Afifah, atas segala bantuan dan dukungannya selama melaksanakan penelitian; Semoga Allah Ta ala membalas kebaikan mereka semua dengan kebaikan pula. Penulis v

13 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... iv DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR LAMPIRAN... xi I. PENDAHULUAN... 1 A. LATAR BELAKANG... 1 B. TUJUAN... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA... 4 A. TONGKOL JAGUNG... 4 B. LIGNOSELULOSA Selulosa Hemiselulosa Lignin Zat Ekstraktif... 8 C. BIODELIGNIFIKASI... 8 D. FUNGI PELAPUK PUTIH Phanerochaete chrysosphorium Pleurotus spp Schizophyllum commune III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT B. METODE PENELITIAN Penelitian Pendahuluan Penelitian Utama Penentuan Pengaruh Faktor Terhadap Nisbah Lignin/Holoselulosa 23 C. ANALISIS DATA IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN Karakterisasi Tongkol Jagung vi

14 a) Analisis Proksimat b) Analisis Komponen Lignoselulosa Penentuan Fungi Terbaik B. PENELITIAN UTAMA Struktur Mikroskopis Tongkol Jagung Biodelignifikasi oleh P. chrysosporium a) Berat Kering Setelah Inkubasi b) Kadar Zat Ekstraktif c) Kadar Lignin d) Kadar Selulosa e) Kadar Hemiselulosa Pengaruh Faktor Terhadap Nisbah Kadar Lignin/Holoselulosa. 38 a) Waktu Inkubasi b) Jumlah Miselia yang ditambahkan c) Jumlah Glukosa yang Ditambahkan C. KONDISI TERBAIK PROSES BIODELIGNIFIKASI V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN B. SARAN DAFTAR PUSTAKA vii

15 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Proporsi biomassa jagung manis... 4 Tabel 2. Enzim ligninolitik yang dihasilkan white rot fungi Tabel 3. Bahan-bahan media kultur Tabel 4. Hasil analisis proksimat tongkol jagung Tabel 5. Komposisi komponen lignoselulosa tongkol jagung sebelum didelignifikasi Tabel 6. Pengaruh linier dan kuadratik faktor waktu inkubasi terhadap nisbah lignin/holoselulosa Tabel 7. Pengaruh interaksi antara waktu inkubasi dengan jumlah miselia dan jumlah glukosa yang ditambahkan terhadap nisbah lignin/holoselulosa Tabel 8. Pengaruh linier dan kuadratik faktor jumlah miselia yang ditambahkan terhadap nisbah lignin/holoselulosa... Tabel 9. Pengaruh interaksi antara jumlah miselia dengan waktu inkubasi dan jumlah glukosa yang ditambahkan terhadap nisbah lignin/holoselulosa... Tabel 10. Pengaruh linier dan kuadratik faktor jumlah glukosa yang ditambahkan terhadap nisbah lignin/holoselulosa... Tabel 11. Pengaruh interaksi antara jumlah glukosa dengan waktu inkubasi dan jumlah miselia yang ditambahkan terhadap nisbah lignin/holoselulosa... Tabel 12. Kondisi terbaik proses biodelignifikasi oleh Phanerochaete chrysosporium viii

16 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Jagung manis utuh... 4 Gambar 2. Struktur molekul selulosa... 5 Gambar 3. Struktur hemiselulosa... 7 Gambar 4. Satuan penyusun lignin... 7 Gambar 5. Ilustrasi degradasi komponen lignin... 9 Gambar 6. Kurva pertumbuhan kultur mikroba... 9 Gambar 7. Tipe karpus seksual pada Basidiomycetes Gambar 8. Pemotongan ikatan Cα-Cβ molekul lignin dan pembentukan senyawa intermediet Gambar 9. Skema pembentukan karbondioksida dari struktur aromatik lignin oleh MnP Gambar 10. Skema sistem degradasi lignin oleh Phanerochaete chrysosporium Gambar 11. Skema hidrolisis selulosa menjadi glukosa oleh Phanerochaete chrysosporium Gambar 12. Struktur mikroskopis miselia Phanerochaete chrysosporium Gambar 13. Struktur mikroskopis miselia Pleurotus Gambar 14. Struktur mikroskopis miselia S. commune Gambar 15. Tahapan pada penelitian utama Gambar 16. Presentase penurunan kadar lignin tongkol jagung Gambar 17. Presentase penurunan berat kering tongkol jagung Gambar 18. Struktur mikroskopis serat tongkol jagung (400x): tanpa polarisasi (a) sebelum didelignifikasi, (b) diinkubasi 30 hari oleh P. chrysosporium; dengan cahaya terpolarisasi; (c) sebelum didelignifikasi, (d) diinkubasi 30 hari oleh P. chrysosporium Gambar 19. Bobot kering tongkol jagung sebelum (awal) dan setelah delignifikasi Gambar 20. Penampakan pertumbuhan miselia Phanerochaete chrysosporium pada media tongkol jagung Gambar 21. Kadar Zat ekstraktif (%) yang larut dalam etanol:benzene (1:2) sebelum(awal) dan sesudah didelignifikasi Gambar 22. Kadar lignin sebelum(awal) dan sesudah didelignifikasi oleh Phanerochaete chrysosporium ix

17 Gambar 23. Kadar selulosa sebelum(awal) dan sesudah didelignifikasi oleh Phanerochaete chrysosporium Gambar 24. Kadar hemiselulosa sebelum(awal) dan sesudah didelignifikasi oleh Phanerochaete chrysosporium Gambar 25. Pengaruh waktu inkubasi (hari) terhadap nisbah kadar lignin terhadap holoselulosa; (a) Kombinasi dengan jumlah miselia yang ditambahkan (ml); (b) Kombinasi dengan jumlah glukosa (g) Gambar 26. Pengaruh jumlah miselia yang ditambahkan (ml) terhadap nisbah kadar lignin terhadap holoselulosa; (a) Kombinasi dengan waktu inkubasi (hari); (b) Kombinasi dengan jumlah glukosa (g) Gambar 27. Pengaruh jumlah glukosa (g) terhadap nisbah kadar lignin terhadap holoselulosa; Kombinasi dengan: (a) Waktu inkubasi (hari); (b) Jumlah miselia yang ditambahkan (ml) x

18 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Data hasil penelitian pendahuluan Lampiran 2. Rancangan percobaan central composide design tiga faktor Lampiran 3. Data hasil delignifikasi penelitian utama Lampiran 4. Hasil optimasi faktor waktu inkubasi, jumlah miselia dan jumlah glukosa yang ditambahkan terhadap respon nisbah lignin/holoselulosa Lampiran 5. Tahapan penelitian pendahuluan Lampiran 6. Metode analisis kimia tongkol jagung xi

19 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Tongkol jagung merupakan salah satu limbah kegiatan industri pertanian yang merupakan sumber bahan berlignoselulosa. Produksi jagung tahun 2009 sebesar juta ton pipilan kering, meningkat sebanyak 1.31 juta ton (8.04 persen) dibandingkan tahun Produksi jagung tahun 2010 diperkirakan sebesar juta ton pipilan kering, meningkat sebanyak ribu ton (2.19 persen) dibandingkan tahun 2009 (BPS, 2010). Produksi jagung di Indonesia yang cukup tinggi berkorelasi dengan limbah tongkol jagung yang dihasilkan. Jagung mengandung kurang lebih 30% tongkol jagung dan sisanya adalah biji dan kulit (Koswara, 1992). Dari data tersebut dapat diperkirakan bahwa produksi limbah tongkol jagung Indonesia pada tahun 2009 adalah sebesar juta ton. Tongkol jagung selama ini hanya dijadikan sebagai pakan ternak sapi atau hasil industri yang tidak diolah kembali menjadi sesuatu yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Menurut Iswanto (2009), tongkol jagung mempunyai kandungan lignin sebesar 15%, kadar selulosa 45% dan kadar hemiselulosa 35%. Dengan jumlah yang melimpah serta kandungan hemiselulosa dan selulosa yang tinggi, tongkol jagung mempunyai potensi yang besar untuk diolah menjadi produk-produk yang bernilai ekonomis. Selulosa merupakan polimer rantai panjang D-glukosa dengan ikatan β 1-4 glikosidik, sedangkan hemiselulosa lebih bersifat heterogen yang terdiri dari xilosa, galaktosa, manosa, arabinosa dan glukosa. Dengan hidrolisis tongkol jagung, maka akan dihasilkan gula sederhana seperti glukosa, xilosa, galaktosa, manosa dan arabinosa. Gula sederhana yang diperoleh merupakan bahan baku untuk berbagai produk olahan seperti asam karboksilat, sorbitol, xilitol, asam amino atau produk-produk lain yang lebih kompleks seperti protein sel tunggal. Sebelum dilakukan hidrolisis terhadap tongkol jagung, diperlukan perlakuan pendahuluan berupa delignifikasi atau penghilangan lignin. Delignifikasi perlu dilakukan dikarenakan lignin merupakan penghambat utama pada proses hidrolisis selulosa. Lignin yang melindungi selulosa bersifat tahan terhadap hidrolisis karena adanya ikatan aril alkil dan ikatan eter (Perez et al., 2002). Ada beberapa metode delignifikasi yang umum diterapkan, yaitu secara mekanis, kimia dan semikimia. 1

20 Namun, ketiga metode tersebut mempunyai beberapa kekurangan antara lain kebutuhan bahan kimia tinggi serta energi yang tinggi. Selain itu, limbah cair dari delignifikasi yang menggunakan bahan kimia tergolong limbah yang berbahaya karena bersifat toksik dan mencemari lingkungan (Martina, 2002). Menjawab masalah tersebut, beberapa penelitian dilakukan untuk menerapkan metode delignifikasi secara biologis yang dikenal dengan biodelignifikasi. Biodelignifikasi merupakan proses degradasi lignin untuk membebaskan serat dari ikatannya dengan menggunakan mikroba seperti fungi, bakteri atau enzim. Fungi pelapuk putih merupakan salah satu mikroba yang mampu mengurai lignin secara selektif dan hanya mengurai selulosa dan hemiselulosa dalam jumlah yang sedikit (Eaton dan Hale, 1993). Beberapa jenis fungi pelapuk putih yang sering digunakan untuk delignifikasi adalah Schizophyllum commune, Phanerochaete chrysosporium dan isolat Pleurotus EB9. Martawijaya et al. (1989) mengungkapkan salah satu fungi yang dapat merombak strukstur lignoselulosa adalah fungi S. commune. Di daerah tropis, S. commune merupakan fungi perusak kayu. P. chrysosporium merupakan mikroba ligninolitik paling efisien, selain itu fungi ini juga dapat menghasilkan enzim protease, kuinon reduktase dan selulase (Kirk, 1993). Isolat Pleurotus EB9 merupakan salah satu jenis fungi pleurotic kelompok Pleurotus asal Bogor. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Herliyana et al. (2008), isolat Pleurotus EB9 merupakan isolat yang mempunyai kemampuan menurunkan kadar lignin kayu sengon (kadar lignin awal 23%) yang cukup besar dalam waktu 14 hari yaitu sebesar 20.8 %. Proses biodelignifikasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu waktu inkubasi, jumlah miselia serta jumlah nutrisi yang ditambahkan dalam media. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Siahaan (1997) didapatkan hasil bahwa semakin banyak jumlah miselia yang ditambahkan, penurunan lignin pada kayu pembalakan cenderung meningkat. Hasil penelitian Fadilah et al. (2009) menyatakan bahwa semakin lama waktu inkubasi maka persen lignin yang terdegradasi semakin besar. Penambahan nutrisi berupa glukosa dalam media mempunyai dua keuntungan, yang pertama glukosa akan mendukung pertumbuhan fungi yang cepat pada media, dan yang kedua, glukosa adalah sumber karbon yang mudah dicerna oleh fungi 2

21 sehingga komponen selulosa yang terurai akan semakin sedikit sebab fungi akan mengurai komponen yang lebih sederhana terlebih dahulu. Ketiga jenis fungi di atas dapat melakukan proses biodelignifikasi kayu, maka pada penelitian ini akan dilakukan pengamatan mengenai kemampuan ketiga jenis fungi dalam mendelignifikasi tongkol jagung. Selain itu, pada penelitian ini juga dilakukan pengujian pengaruh faktor waktu inkubasi, jumlah miselia serta jumlah glukosa yang ditambahkan terhadap nisbah kadar lignin terhadap holoselulosa. Proses delignifikasi yang ideal adalah ketika lignin terurai dalam jumlah yang besar namun komponen holoselulosa terurai dalam jumlah yang kecil. Holoselulosa adalah bagian dari serat yang bebas dari zat ekstraktif dan lignin, terdiri dari semua komponen selulosa dan hemiselulosa (Chang dan Alan, 1971). Untuk menghitung efektifitas biodelignifikasi dihitung nisbah lignin terhadap holoselulosa. Nisbah terendah menyatakan bahwa kondisi tersebut adalah kondisi optimum untuk pertumbuhan fungi. B. TUJUAN Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendapatkan jenis Fungi Pelapuk Putih (FPP) terbaik untuk biodelignifikasi tongkol jagung. 2. Mendapatkan konsentrasi miselia terbaik yang harus ditambahkan. 3. Mendapatkan konsentrasi glukosa terbaik yang harus ditambahkan. 4. Mendapatkan waktu inkubasi optimum dari fungi terbaik yang terpilih dalam proses biodelignifikasi tongkol jagung. 3

22 II. TINJAUAN PUSTAKA A. TONGKOL JAGUNG Menurut Koswara (1992), tongkol jagung merupakan tempat pembentukan lembaga dan gudang penyimpanan makanan untuk pertumbuhan biji serta merupakan modifikasi dari cabang yang mulai berkembang pada ruas-ruas batang. Tongkol utama umumnya terdapat pada ruas batang keenam sampai kedelapan dari atas dan pada ruas-ruas di bawah biasanya terdapat lima sampai tujuh tongkol yang tidak berkembang secara sempurna. Jagung mengandung kurang lebih 30% tongkol jagung dan sisanya adalah biji dan kulit. Gambar dan proporsi jagung manis utuh dapat dilihat pada Gambar 1 dan Tabel 1. Tangkai Biji Kelobot Tongkol Rambut Gambar 1. Jagung manis utuh (Sharma, 2010) Tabel 1. Proporsi jagung manis utuh Parameter Jagung manis Bobot (gram) Persentase (%) Jagung utuh Tongkol Biji (kernel) Kelobot Tangkai Rambut ,12 31,44 25,76 3,49 2,62 Sumber : Dalem (1990) Menurut Maynard dan Loosli (1993), tongkol jagung terdiri dari serat kasar sebesar 35,5%, protein 2,5%, kalsium 0,12%, fosfor 0,04% dan zat-zat lain sisanya 4

23 38,16%. Menurut Iswanto (2009), serat kasar tongkol jagung mempunyai kandungan lignin sebesar 15%, kadar selulosa 45% dan kadar hemiselulosa 35%. Komposisi kimia tersebut membuat tongkol jagung dapat digunakan sebagai sumber energi, bahan pakan ternak dan sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan mikroba. B. LIGNOSELULOSA 1. Selulosa Menurut Sjostrom (1995), selulosa hampir tidak pernah ditemui dalam keadaan murni di alam, melainkan selalu berikatan dengan bahan lain yaitu lignin dan hemiselulosa. Serat selulosa alami terdapat di dalam dinding sel tanaman dan material vegetatif lainnya. Selulosa mengandung komponen C sebesar 44.4%, komponen H sebesar 6.2%, dan komponen O sebesar 49.3%. Rumus empiris selulosa adalah (C 6 H 10 O 5 )n, dengan banyaknya satuan glukosa yang disebut dengan derajat polimerisasi (DP), yang jumlahnya mencapai dan panjang molekul sekurang-sekurangnya nm. Struktur molekul selulosa dapat dilihat pada Gambar 2. Bobot molekul selulosa rata-rata sekitar Mikrofibril selulosa terdiri atas bagian amorf (15%) dan bagian berkristal (85%). Struktur berkristal dan adanya lignin serta hemiselulosa di sekeliling selulosa merupakan hambatan utama untuk menghidrolisis selulosa. Gambar 2. Struktur molekul selulosa (Cole dan Fort, 2007) Berdasarkan pemisahan menggunakan alkali (NaOH), selulosa dibagi menjadi tiga jenis yaitu α-selulosa, β-selulosa dan γ-selulosa. α- selulosa dalam keadaan basa ada dalam keadaan tidak larut, β-selulosa ada dalam bagian terlarut melalui katalis oleh asam, dan γ-selulosa adalah bagian yang dapat larut tanpa perlu katalis (Fengel dan Wegener, 1995). 5

24 Degradasi selulosa merupakan proses pemecahan polimer anhidroglukosa menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana. Proses tersebut akan menghasilkan oligosakarida, disakarida atau trisakarida seperti selobiosa, glukosa monomer atau produk degradasinya. Produk utama degradasi selulosa adalah glukosa dan selobiosa (Judoamidjojo et al., 1989). Hasil degradasi tersebut selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan pembuat produk yang lebih bernilai ekonomis seperti asam amino dan asam karboksilat. 2. Hemiselulosa Hemiselulosa adalah jenis polisakarida selulosik yang berfungsi sebagai bahan/matrik dalam serat kayu, memiliki bobot molekul lebih kecil daripada selulosa, molekulnya lebih mudah menyerap air, bersifat plastis dan mempunyai permukaan kontrol antar molekul yang lebih luas dibandingkan selulosa sehingga dapat memperbaiki ikatan antar serat pada pembuatan kertas. Unit gula (gula anhidro) yang membentuk hemiselulosa dapat dibagi menjadi kelompok seperti pentosa, heksosa, asam heksuronat dan deoksi-heksosa. Rantai utama hemiselulosa dapat terdiri atas satu unit (homopolimer), misalnya xilan atau terdiri atas dua unit atau lebih (heteropolimer), misalnya glukomanan (Fengel dan Wegener, 1995). Sjostrom (1995) menyatakan bahwa hemiselulosa relatif lebih mudah dihidrolisis oleh asam menjadi komponen monomernya yang terdiri dari D- glukosa, D-manosa, D-galaktosa, D-xilosa dan L-arabinosa dan sejumlah kecil L- ramnosa disamping asam D-glukoronat, asam 4-O-metil-glukoronat dan asam D- galakturonat. Menurut Fengel dan Wegener (1995) monomer-monomer tersebut, misalnya xilosa dan manosa selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan xilitol dan manitol melalui hidrogenasi secara katalitik. Xilosa dengan perlakuan asam dapat menghasilkan furfural yang selanjutnya dapat dipergunakan sebagai bahan baku pembuatan furfuril alkohol. Struktur hemiselulosa dapat dilihat pada Gambar 3. 6

25 Gambar 3. Struktur hemiselulosa (Cole dan Fort, 2007) 3. Lignin Secara morfologi lignin merupakan senyawa amorf yang terdapat dalam lamela tengah majemuk maupun dalam dinding sekunder. Selama perkembangan sel, lignin dimasukkan sebagai komponen terakhir di dalam dinding sel, menembus di antara fibril-fibril sehingga memperkuat dinding sel (Fengel dan Wegener, 1995). Lignin terbentuk melalui polimerasi tiga dimensi turunan dari sinamil alkohol terutama ρ-kumaril, koniferil dan sinapil alkohol dengan bobot molekul mencapai Lignin yang melindungi selulosa bersifat tahan terhadap hidrolisis karena adanya ikatan arilalkil dan ikatan eter (Perez et al., 2002). Lignin dapat dibagi menjadi beberapa kelas menurut unsur-unsur strukturnya. Lignin yang terdapat di hampir semua kayu lunak disebut dengan lignin guaiasil di mana sebagian besar merupakan produk polimerisasi dari koniferil alkohol. Adapun lignin khas kayu keras adalah lignin guaiasil-siringil yang merupakan kopolimer dari koniferil dan sinapil alkohol, dengan nisbah bervariasi dari 4:1 hingga 1:2 untuk kedua unit monomer (Sjostrom, 1995). Satuan penyusun lignin dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Satuan penyusun lignin (Eaton dan Hale, 1993) 7

26 Lignin bersifat tahan terhadap degradasi oleh sebagian besar mikroba. Lignin sulit didegradasi karena strukturnya yang kompleks dan heterogen yang berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa dalam jaringan tanaman. Lebih dari 30 persen tanaman tersusun atas lignin yang memberikan bentuk yang kokoh dan memberikan proteksi terhadap serangga dan patogen (Orth et al., 1993). Meski demikian, fungi tertentu mampu menguraikan lignin secara selektif. 4. Zat Ekstraktif Beraneka ragam komponen bahan berlignoselulosa, ada beberapa komponen yang biasanya merupakan bagian kecil, larut dalam pelarut organik netral atau air, komponen tersebut disebut sebagai zat ekstraktif. Menurut Sjostrom (1995), zat ekstraktif sebagian terdiri atas senyawa-senyawa tunggal tipe lipofil maupun hidrofil. Biasanya, bagian-bagian yang berbeda dari pohon, yaitu batang, cabang, akar, kulit kayu, dan tugi, berbeda dalam jumlah maupun komposisi ekstraktifnya. Tipe-tipe ekstraktif yang berbeda adalah perlu untuk mempertahankan fungsi biologis pohon yang bermacam-macam. Sebagai contoh, lemak merupakan sumber energi sel kayu, sedangkan terpenoid-terpenoid rendah, asam-asam resin dan senyawa-senyawa fenol melindungi kayu terhadap kerusakan secara mikrobiologi atau serangan serangga. Isolasi ekstraktif dapat dilakukan dengan cara ekstraksi dengan menggunakan campuran pelarut netral dan/atau dengan pelarut tunggal secara berurutan. Ekstraksi dengan pelarut dapat dilakukan dengan pelarut seperti eter, aseton, benzena, etanol, diklorometana atau campuran dari pelarut-pelarut tersebut (Fengel dan Wegener, 1995). C. BIODELIGNIFIKASI Menurut Singh dan Roymoulik (1993), biodelignifikasi merupakan bagian dari biopulping, yaitu perombakan lignin atau senyawa-senyawa sejenisnya untuk membebaskan serat-serat dari ikatannya dengan menggunakan mikroba seperti fungi, bakteri atau enzim. Biodelignifikasi terjadi karena enzim-enzim ekstraseluler yang diproduksi oleh mikroba perombak lignin pada kayu. 8

27 Degradasi yang paling efisien harus dapat membebaskan struktur kristal selulosa dengan memperluas daerah amorf serta membebaskan dari lapisan lignin. Ilustrasi degradasi komponen lignin dari bahan berlignoselulosa dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Ilustrasi degradasi komponen lignin (Mosier et al., 2005) Secara biokimiawi, proses perombakan lignin diawali dengan pertumbuhan fungi yang kemudian memasuki fase stasioner. Fungi secara aktif mengambil dan memanfaatkan karbohidrat selama masa pertumbuhannya untuk mempertahankan metabolisme primernya (fase logaritmik). Metabolisme fungi akan mengalami penurunan jika ketersediaan nitrogen dalam substrat menjadi terbatas, miselia memasuki fase metabolisme sekunder (fase stasioner) dan sistem degradasi lignin dimulai (Eaton dan Hale, 1993). Pertumbuhan mikroba di dalam suatu kultur mempunyai kurva pertumbuhan seperti terlihat pada Gambar 6. Log10 dari Jumlah Sel hidup Fase Fase Fase Fase Adaptasi Logaritmik Stasioner Kematian Waktu Gambar 6. Kurva pertumbuhan kultur mikroba (Fardiaz, 1992) 9

28 Menurut Subhash dan Gopichand (1990), proses pelapukan kayu oleh fungi terjadi karena hifa melakukan penetrasi ke dalam jaringan kayu, kemudian enzim yang dihasilkan bereaksi secara kimiawi dalam penyusutan kayu. Penetrasi ini terjadi melalui dua cara, yaitu fungi tumbuh dan menyebar di dinding sel dengan cara memanfaatkan pori-pori pada dinding sel kayu, selanjutnya enzim yang dikeluarkan oleh fungi tersebut membantu reaksi kimia di dinding sel. Enzim pendegradasi lignin ini secara umum terdiri dari dua kelompok utama yaitu laccase (Lac) dan peroksidase yang terdiri dari lignin peroksidase (LiP) dan manganese peroksidase (MnP). Ketiga enzim ini bertanggung jawab terhadap pemecahan awal polimer lignin dan menghasilkan produk dengan bobot molekul rendah pada fungi pelapuk putih. Tidak semua fungi pelapuk putih menghasilkan ketiga jenis enzim sekaligus (Perez et al., 2002). D. FUNGI PELAPUK PUTIH Fungi yang menyebabkan kerusakan atau pelapukan kayu terdiri dari tiga macam yaitu: soft rot fungi, brown rot fungi dan white rot fungi. Soft rot fungi termasuk golongan Ascomyycetes atau fungi-imperfecti, yang memiliki kemampuan enzimatik pelapukan kayu hanya terbatas pada selulosa dan pentosan. Soft rot fungi terutama hanya terdapat pada daerah dengan lingkungan yang ekstrim seperti lingkungan yang terlalu basah atau terlalu kering (Blanchette et al., 1991). Sedangkan brown root fungi dari golongan Basidiomycetes yang memiliki kemampuan enzimatis melapukkan kayu dengan cara menyerang holoselulosa (Eaton dan Hale, 1993). White rot fungi atau fungi pelapuk putih (FPP) juga termasuk golongan Basidiomycetes tetapi berkemampuan mendegradasi lignin dan polisakarida (selulosa dan hemiselulosa) (Eaton dan Hale, 1993). Menurut Gandjar et al. (2006), karakteristik golongan Basidiomycetes adalah balistokonidia, hifa dikariotik, adanya clamp conections, teliospora, dan basidium (holobasidium atau phragmobasidium). Basidium merupakan karpus seksual pada Basidiomycetes. Tipe karpus seksual pada Basidiomycetes dapat dilihat pada Gambar 7. 10

29 Holobasidium (tidak berseptum) Phragmobasidium (berseptum lebih dari satu) Gambar 7. Tipe karpus seksual pada Basidiomycetes (Gandjar et al., 2006) Beberapa fungi pelapuk putih memiliki kemampuan mengurai lignin secara selektif dan hanya mengurai selulosa dan hemiselulosa dalam jumlah yang sedikit. Fungi ini dapat mendegradasi lignin secara lebih cepat dan ekstensif dibanding mikroba lain. Substrat bagi pertumbuhan mikroba ini adalah selulosa dan hemiselulosa. Degradasi lignin terjadi pada akhir pertumbuhan primer melalui metabolisme sekunder dalam kondisi defisiensi nutrien seperti nitrogen, karbon atau sulfur (Hatakka, 2001). Enzim ligninolitik yang dihasilkan oleh white rot fungi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Enzim ligninolitik yang dihasilkan white rot fungi Enzim Tipe Enzim Peran dalam Degradasi Bekerja sama dengan LiP Peroksidase Degradasi unit nonfenolik H 2 O 2 MnP Peroksidase Degradasi unit fenolik dan H 2 O 2 dan Lipid nonfenolik dengan lipid Laccase Lignin Oksidase O 2 dan mediator : 3- Hidroksibenzotriazol Lain-lain Sumber: Hatakka (2001) Oksidasi unit fenolik dan unit nonfenolik dengan mediator Oksidase Produksi H 2 O 2 Peroksidase Penghasil H 2 O 2 Menurut Hatakka (2001), LiP mengoksidasi unit non fenolik lignin melalui pelepasan satu elektron dan membentuk radikal kation yang kemudian terurai secara kimiawi. LiP dapat memutus ikatan Cα-Cβ molekul lignin dan mampu membuka cincin lignin dan reaksi lain (Gambar 8). Dalam melakukan fungsinya, baik enzim LiP maupun MnP diaktivasi oleh H 2 O 2. 11

30 : Pemutusan ikatan Cα-Cβ molekul lignin Pembentukan veratil dehid Pembentukan veratil alkohol Gambar 8. Pemotongan ikatan Cα-Cβ molekul lignin dan pembentukan senyawa antara (Srebotnik et al., 1994) MnP mengoksidasi Mn 2+ menjadi Mn 3+. Sifat reaktif Mn 3+ yang tinggi selanjutnya mengoksidasi cincin fenolik lignin menjadi radikal bebas tak stabil dan diikuti dengan dekomposisi lignin secara spontan (Hatakka, 2001). Skema pembentukan CO 2 dari struktur aromatik lignin oleh MnP dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9. Skema pembentukan karbondioksida dari struktur aromatik lignin oleh MnP (Hofrichter, 2002) Laccase merupakan fenol oksidase yang mengandung tembaga yang tidak membutuhkan H 2 O 2 tetapi menggunakan molekul oksigen. Enzim ini juga ditemukan pada fungi, khamir dan bakteri (Thurston, 1994). Laccase mereduksi O 2 menjadi 12

31 H 2 O dalam substrat fenolik melalui reaksi satu elektron membentuk radikal bebas yang dapat disamakan dengan radikal kation yang terbentuk pada reaksi MnP. White rot fungi menghasilkan berbagai jenis enzim yang terlibat dalam proses degradasi lignin (Tabel 2), juga menghasilkan selulase, xilanase dan hemiselulase (Hatakka, 2001). Berikut ini merupakan ketiga jenis fungi yang termasuk dalam golongan white rot fungi: 1. Phanerochaete chrysosporium Beberapa fungi, diantaranya P. chrysosporium dapat mendegradasi lignin dan berbagai polutan aromatik selama fase pertumbuhan stasioner yang dipicu oleh kekeurangan nutrisi dalam substrat. Fungi ini menghasilkan dua peroksidase, yaitu Lignin Peroksidase (LiP) dan Manganesse Peroksidase (MnP) yang mempunyai peranan penting dalam proses perombakan lignin (Srebotnik et al., 1994). Skema sistem degradasi lignin oleh P. chrysosporium dapat dilihat pada Gambar 10. Gambar 10. Skema sistem degradasi lignin oleh Phanerochaete chrysosporium (Akhtar et al., 1997) LiP merupakan katalis utama dalam proses ligninolisis oleh fungi karena mampu memecah unit non fenolik yang menyusun sekitar 90 persen struktur lignin (Srebotnik et al., 1994). LiP dan MnP mempunyai mekanisme yang 13

32 berbeda dalam proses ligninolisis (Gambar 10). MnP mengoksidasi Mn 2+ menjadi Mn 3+ yang berperan dalam pemutusan unit fenolik lignin. LiP mengkatalis oksidasi senyawa aromatik non fenolik (Broda et al., 1996). Selain mendegradasi komponen lignin, fungi P. chrysosporium juga menyebabkan terjadinya degradasi selulosa. Skema hidrolisis selulosa menjadi glukosa oleh P. chrysosporium dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar 11. Skema hidrolisis selulosa menjadi glukosa oleh P. chrysosporium (Lynd et al., 2002) Menurut Lynd et al. (2002) degradasi selulosa oleh fungi merupakan hasil kerja sekelompok enzim selulolitik yang bekerja secara sinergis. Sistem enzim selulolitik terdiri dari tiga kelompok utama yaitu endoglucanases, exoglucanases dan β-glucosidases. Endoglucanases menghidrolisis secara acak bagian amorf selulosa menghasilkan oligosakarida dengan panjang yang berbeda dan terbentuknya ujung rantai baru. Exoglucanases bekerja terhadap ujung pereduksi (CHBI) dan non-pereduksi (CHBII) rantai polisakarida selulosa dan membebaskan glukosa. Hidrolisis bagian berkristal selulosa hanya dilakukan secara efisien oleh enzim exoglucanases. Hasil kerja sinergis endoglucanases dan 14

33 exoglucanases menghasilkan selobiosa. β-glucosidases memecah selobiosa menjadi 2 molekul glukosa. Menurut Howard et al. (2003), P. chrysosporium mempunyai suhu pertumbuhan optimum 40 o C, ph 4-7, dan bersifat aerob. Dibandingkan dengan lainnya, fungi pelapuk putih merupakan jenis yang paling aktif mendegradasi lignin dan menyebabkan warna kayu lebih muda. Fungi pelapuk putih memerlukan sumber karbon sebagai energi tambahan atau nutrisinya agar kandungan polisakarida dalam kayu tidak didegradasi. Struktur mikroskopis miselia P. chrysosporium dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar 12. Struktur mikroskopis miselia P. chrysosporium (Michel, 1999) Klasifikasi fungi P. chrysosporium menurut Howard et al. (2003) adalah sebagai berikut: Kingdom : Fungi Divisi : Eumycota SubDivisi : Basidiomycotania Class : Hymonomycetes Sub Class : Holobasidiomycetidae Genus : Sporotrichum (Phanerochaete) Spesies : chrysosporium 2. Pleurotus spp. Hutan tropis Indonesia kaya akan jenis fungi (Mushroom). Keragaman ini merupakan faktor pendorong perlunya dilakukan usaha pengidentifikasian dari fungi-fungi yang ada, salah satunya Pleurotus spp.. Pleurotus spp. berpotensi sebagai bahan makanan dan bahan obat. Pleurotus spp. merupakan 15

34 dekomposer bahan organik utama dan diketahui mempunyai daya delignifikasi yang selektif dibanding Pleurotus chrysosporium (Kerem et al., 1992). Terdapat lebih kurang 67 spesies kelompok Pleurotus yang berhasil dikumpulkan dan dilaporkan oleh para peneliti seluruh dunia, sejak Roussel pada tahun 1805 pertama kali memberi nama Pleurotus. Sampai saat ini penelitian mengenai fungi pleurotoid kelompok Pleurotus asal Indonesia masih sangat terbatas meskipun fungi ini sudah dikenal dan dikumpulkan serta dimanfaatkan masyarakat untuk berbagai keperluan (Herliyana, 2008). Struktur mikroskopis miselia Pleurotus spp. dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 13. Struktur mikroskopis Pleurotus spp. (Michel, 1999) Klasifikasi dari Pleurotus spp. menurut Alexopoulos et al. (1996) adalah sebagai berikut: Kingdom : Fungi Divisi : Eumycota Subdivisi : Basidiomycotina Class : Hymenomycetes Subclass : Holobasidiomycetidae Genus : Pleurotus Spesies : Pleurotus spp. Eaton dan Hale (1993) menyatakan bahwa suhu optimum untuk pertumbuhan Pleurotus spp. yaitu 27 o C. Sedangkan Chang dan Miles (1989) menyatakan bahwa kisaran ph optimal untuk pertumbuhan miselia Pleurotus spp. adalah

35 Sannia et al. (1991) menemukan bahwa pada fungi pelapuk putih Pleurotus terdapat aktivitas enzim laccase. Chang dan Quimio (1982) menyatakan bahwa selain menghasilkan enzim pendegradasi lignin, fungi kelompok Pleurotus juga menghasilkan enzim lain, diantaranya selulase, protease, hemiselulase, dan aminopeptidase. 3. Schizophyllum commune S. commune merupakan jenis fungi yang keberadaannya tersebar luas di seluruh benua (kecuali antartika) dan menggunakan kayu sebagai substrat untuk pertumbuhannya. Jenis fungi ini merupakan jenis yang dapat dimakan dan tergolong ke dalam keluarga Schizophyllaceae. S. commune tumbuh pada media PDA yang telah ditambah 50 g/l NaCl pada suhu optimumnya yaitu o C, tetapi miselia akan dorman pada suhu 45 o C. Fungi dapat tumbuh baik dalam media PDA pada kisaran ph 5 6 (Dikin, 2004). Struktur mikroskopis miselia S. commune dapat dilihat pada Gambar 14. Gambar 14. Struktur mikroskopis S. commune (Buzina et al., 2001) Klasifikasi dari S. commune menurut Alexopoulos et al. (1996) adalah sebagai berikut: Kingdom : Fungi Division : Eumycota Subdivision : Basidiomycotina Class : Hymenomycetes Subclass : Holobasidiomycetidae Genus : Schizophyllum Spesies : commune 17

36 Martawijaya (1989), mengungkapkan salah satu fungi yang dapat merombak struktur lignoselulosa adalah fungi S. commune. Di daerah tropis, S. commune merupakan fungi perusak kayu. Menurut Ohm et al. (2010) pada S. commune terdapat aktivitas beberapa enzim perusak kayu antara lain lacasse yang berperan dalam degradasi komponen lignin, akan tetapi aktivitas enzim peroksidase tidak ditemukan. Selain itu juga ditemukan aktivitas enzim cellobiose dehydrogenases. 18

37 III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan baku utama dalam penelitian ini adalah tongkol jagung manis kering dari daerah Leuwiliang, Bogor. Sedangkan fungi pelapuk putih yang digunakan adalah Schizophyllum commune, Phanerochaete chrysosporium dan isolat Pleurotus EB9 yang diperoleh dari laboratorium Patologi, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB. Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian berupa tween 80, glukosa, PDA (Potato Dextrose Agar), PDB (Potato Dextrose Broth), air steril, dan media kultur yang meliputi KH 2 PO 4, MgSO 4.7H 2 O, CaCl 2.H 2 O, FeCl 3.6H 2 O, ZnSO 4.7H 2 O, CuSO 4.5H 2 O. Sedangkan bahan untuk analisis hasil delignifikasi adalah air destilata, natrium hipoklorit (NaClO 2 ), CH 3 COOH, etanol, benzena, HNO 3, NaOH, Na 2 SO 3, H2SO 4, kapas, petroleum eter, aseton, katalis campuran (CuSO 4.5H 2 O + Na 2 SO 4 ), batu didih, dan kertas saring. 2. Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah botol kaca diameter 6 cm, tutup botol kaca, plastik wrap, otoklaf, inkubator, jarum Ose, hammer mills, disc milling cutter, neraca analitik, penyaring mesh, oven, tabung reaksi, cawan petri, labu ukur, waterbath, aluminium foil, labu Erlenmeyer, kertas saring, sudip, pengaduk kaca, penyaring kain, penjepit, magnetic stirrer, pembakar bunsen, pompa vakum dan labu lemak. Peralatan yang digunakan untuk analisis dalam penelitian adalah gelas filter 2G3, desikator, tabung Soxhlet, labu didih, gelas kimia, pipet, alat destilasi, alat destruksi, alat destilasi protein, cawan porselen, desikator, cawan alumunium, muffle furnace, penangas air, gelas ukur, labu destruksi, labu penyuling, dan corong Buchner. 19

38 B. METODE PENELITIAN 1. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan untuk karakterisasi tongkol jagung dan pemilihan fungi terbaik dalam mendegradasi komponen lignin tongkol jagung. Terdapat beberapa tahapan yang dilakukan yaitu: a. Karakterisasi Tongkol Jagung Pada tahap ini, bahan yang berupa tongkol jagung dikecilkan ukurannya menggunakan Hammer Mill hingga ±20 mesh dan dilanjutkan dengan disc milling cutter hingga ±40 mesh. Hasil pengecilan dikeringkan menggunakan oven pada suhu 50 o C (hingga kelembaban akhir 10%). Pada tahap ini uji yang dilakukan adalah uji proksimat, yaitu uji kadar air, abu, lemak kasar, protein, dan serat kasar. Selain itu juga dilakukan analisis komponen serat yaitu ekstraktif, holoselulosa, selulosa, hemiselulosa dan lignin. Metode analisis kimia tongkol jagung dapat dilihat pada Lampiran 6. b. Pemilihan Jenis Fungi Terbaik Tahap ini bertujuan untuk memperoleh jenis FPP terbaik diantara ketiga jenis FPP yaitu Schizophyllum commune, Phanerochaete chrysosporium dan isolat Pleurotus EB9. Adapun tahapan-tahapannya adalah: 1. Peremajaan Isolat Untuk menyegarkan dan menumbuhkan isolat fungi yang telah disimpan beberapa lama sebagai stok kultur dalam tabung reaksi maka perlu dilakukan peremajaan isolat. Fungi diremajakan pada Potato- Dextrose Broth (PDB) yang sebelumnya telah disterilisasi pada suhu 121 o C selama 15 menit dalam otoklaf selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang selama 5-10 hari. Untuk melihat pertumbuhan fungi pada media cukup melakukan pengamatan secara visual karena penampakan miselia pada media sangat khas yaitu seperti serat kapas berbentuk kipas dan berwarna kuning keputihan. 20

39 2. Penyiapan Media Kultur Bahan-bahan yang digunakan dalam penyiapan media kultur dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Bahan-bahan media kultur Bahan Jumlah KH 2 PO g MgSO 4.7H 2 O 1.5 g CaCl 2.H 2 O 0.3 g FeCl 3.6H 2 O g ZnSO 4.7H 2 O 0.023g CuSO 4.5H 2 O g MnSO 4.H 2 O 0.03 g Aquades 150 ml Sumber: Fadilah (2009) 3. Pembuatan Suspensi Fungi Suspensi fungi dibuat dengan cara memisahkan miselia fungi dari media cair dengan dengan penyaringan menggunakan kertas saring steril, kemudian dicampur dengan 20 ml larutan tween % dalam labu ukur 50 ml dan diencerkan dengan air steril sampai volume 50 ml. 4. Penyiapan Media dan Inkubasi Sebanyak 10 gram serbuk tongkol jagung 40 mesh dimasukkan dalam botol kaca diameter 6 cm, ditambahkan 0.01 gram glukosa dan diaduk sampai rata. Kemudian sebanyak 15 ml larutan media kultur ditambahkan. Media disterilisasi dalam otoklaf pada suhu 121 o C selama 15 menit, didinginkan dan diinokulasi dengan menambahkan 2.5 ml suspensi fungi. Kemudian media diinkubasi dalam inkubator selama 30 hari pada suhu 30 o C. Fungi terbaik dipilih berdasarkan kemampuannya dalam mendegradasi lignin. Diagram tahapan penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Lampiran Penelitian Utama Kegiatan yang dilakukan pada penelitian utama yaitu peremajaan isolat, penyiapan media kultur, pembuatan suspensi fungi, penyiapan media, inkubasi fungi pelapuk putih dan pengamatan hasil degradasi lignin. 21

40 1. Peremajaan Isolat Fungi diremajakan pada Potato Dextrose Broth (PDB) yang sebelumnya telah disterilisasi pada suhu 121 o C selama 30 menit dalam otoklaf selanjutnya dilakukan pengocokan dengan shaker selama inkubasi pada suhu ruang ± 5-10 hari. Pengocokan dilakukan untuk memperkecil ukuran miselia agar lebih mudah untuk diambil. 2. Penyiapan Media Kultur 3. Pembuatan Suspensi Fungi 4. Penyiapan Media dan Inkubasi Fungi Pelapuk Putih Tahap ini bertujuan untuk memperoleh konsentrasi fungi, konsentrasi glukosa serta waktu inkubasi optimum dari fungi yang didapatkan dari penelitian pendahuluan. Sebanyak 10 gram serbuk limbah tongkol jagung 40 mesh dimasukkan dalam botol kaca diameter 6 cm, ditambahkan glukosa sesuai dengan kombinasi yang ditentukan dan diaduk sampai rata. Kemudian sebanyak 15 ml larutan media kultur ditambahkan. Media disterilisasi dalam otoklaf pada suhu 121 o C selama 15 menit, didinginkan dan diinokulasi dengan menambahkan suspensi fungi. Kemudian media diinkubasi dalam inkubator suhu 30 o C. Tahapan yang dilakukan pada penelitian utama disajikan pada Gambar Pengamatan Hasil Degradasi Lignin Parameter yang diamati adalah persentase penurunan bobot kering, kadar zat ekstraktif, kadar lignin, kadar holoselulosa, selulosa dan hemiselulosa. Metode analisis kimia tongkol jagung dapat dilihat pada Lampiran 6. Selain itu juga dilakukan penentuan bobot kering miselia/ml suspensi fungi serta pengamatan secara mikroskopis struktur tongkol jagung sebelum dan sesudah didelignifikasi oleh fungi. 22

41 Fungi terbaik Peremajaan isolat pada media cair Penyiapan media kultur Pembuatan suspensi fungi Penyiapan media Inkubasi 1. Penentuan bobot kering miselia/ml suspensi miselia 2. Pengamatan mikroskopis 3. Analisis: Persentase penurunan bobot kering Kadar zat ekstraktif Kadar lignin Kadar holoselulosa Kadar selulosa Kadar Gambar hemiselulosa 15. Tahapan pada penelitian utama Gambar 15. Tahapan pada penelitian utama 3. Penentuan Pengaruh Faktor Terhadap Nisbah Lignin/Holoselulosa Penelitian ini melibatkan tiga faktor, jumlah glukosa (0.032, 0.1, 0.2, 0.3, 0.368) gram/10 g substrat, jumlah miselia yang ditambahkan (1, 2.5, 6.25, 10, 12.56) ml/10 g substrat dan waktu inkubasi (3.18, 10, 20, 30, 37.8) hari. Jumlah penambahan glukosa dan waktu inkubasi tertinggi (30 hari) mengacu pada penelitian Fadilah et al. (2009), sedangkan jumlah miselia yang ditambahkan mengacu pada penelitian Siahaan (1997). Pada tahap ini dilakukan penentuan pengaruh faktor jumlah glukosa, jumlah miselia yang ditambahkan dan waktu inkubasi terhadap nisbah lignin/holoselulosa. Adapun rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan 2 3 Full Factorial Central Composide Design (CCD) dengan rancangan nilai tinggi dan nilai rendah untuk masing-masing faktor. Rancangan ini menghasilkan 19 kombinasi yang harus dilakukan (Lampiran 2) dengan 8 titik faktorial, 6 titik aksial, dan 5 titik pusat. Dengan rancangan ini dihasilkan persamaan respon yang berbentuk: 23

42 LH N * = β 0 + β 1 x 1 + β 2 x 2 + β 3 x 3 + β 11 x β 22 x β 33 x β 12 x 12 + β 13 x 13 + β 23 x 23...(1) Notasi LH * N adalah nisbah kadar lignin terhadap holoselulosa (g/g), x 1 adalah waktu inkubasi (hari), x 2 adalah jumlah miselia yang ditambahkan(ml), dan x 3 adalah jumlah glukosa yang ditambahkan (g), sedangkan β adalah koefisien. Metode untuk pembentukan persamaan, teori-teori yang berkaitan dengan CCD, dan beberapa analisis statistika yang dapat dilakukan pada rancangan tersebut telah dijelaskan oleh Myers (1971). C. ANALISIS DATA Data kadar lignin dan holoselulosa yang didapatkan dari analisis kimia kemudian dianalisis secara statistik untuk mengetahui faktor waktu inkubasi, penambahan jumlah miselia dan glukosa terhadap nisbah lignin/holoselulosa. Analisis data dan penentuan kondisi terbaik pada proses delignifikasi dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Software Analysis Statistic (SAS) version 9.1. Untuk mendapatkan citraan tiga dimensi dari permukaan respon digunakan software MINITAB

43 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN 1. Karakterisasi Tongkol Jagung a. Analisis Proksimat Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kondisi awal tongkol jagung. Hasil analisis proksimat disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil analisis proksimat tongkol jagung Komponen % b.b % b.k Air Abu Protein Lemak Serat Kasar Karbohidrat (by difference) Keterangan: % b.b = Persentase berdasarkan bobot basah % b.k = Persentase berdasarkan bobot kering Kadar air merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi daya simpan bahan selama menunggu proses pengolahan. Hasil analisis kadar air tongkol jagung awal yaitu 10.71%, menunjukkan bahwa tongkol jagung yang digunakan memiliki kadar air yang rendah. Kadar air yang rendah menyebabkan bahan lebih tahan terhadap serangan mikroba selama penyimpanan. Tongkol jagung memiliki kadar abu sebesar 1.69% (b.b) dan 1.89% (b.k). Kadar abu menunjukkan besarnya kandungan bahan anorganik dan kandungan unsur mineral dalam suatu bahan. Menurut Chang dan Miles (1989), mineral merupakan komponen yang penting bagi pertumbuhan fungi. Mineral utama yang dibutuhkan bagi pertumbuhan fungi yaitu fosfor, kalsium dan magnesium. Kadar protein tongkol jagung menunjukkan hasil yang sangat kecil, yaitu 0.60% (b.b). Hal ini menunjukkan bahwa tongkol jagung yang 25

44 digunakan memiliki kandungan nutrisi (protein) yang kurang mencukupi khususnya jika akan dipergunakan langsung untuk bahan pakan ternak. Tongkol jagung memiliki kadar lemak sebesar 2.34% (b.b) dan 2.62% (b.k). Lemak merupakan zat ekstraktif yang larut dalam pelarut organik seperti eter, aseton, dan lain-lain (Fengel dan Wegener, 1995). Serat kasar merupakan residu dari bahan makanan atau pertanian setelah diperlakukan dengan asam dan alkali mendidih dan terdiri dari selulosa dengan sedikit lignin dan pentosan (Apriyantono et al., 1989). Kadar serat kasar tongkol jagung yang tinggi, yaitu 79.15% (b.b) menunjukkan bahwa bahan tersebut merupakan sumber karbon yang baik yang berguna sebagai nutrisi bagi pertumbuhan mikroba, khususnya bagi mikroba yang dapat menguraikan komponen serat (ligninolitik dan selulolitik). Hasil analisis karbohidrat (by difference) menunjukkan bahwa tongkol jagung memiliki kandungan karbohidrat sebesar 5.51% (b.b) dan 6.18% (b.k). Kandungan karbohidrat tongkol jagung yang cukup tinggi memiliki peluang yang cukup besar sebagai sumber karbon (C) bagi pertumbuhan mikroba. b. Analisis Komponen Lignoselulosa Lignoselulosa merupakan komponen utama tanaman yang menggambarkan jumlah sumber bahan organik yang dapat diperbaharui (Sjostrom, 1995). Lignoselulosa terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin dan beberapa bahan ekstraktif lain. Semua komponen lignoselulosa terdapat pada dinding sel tanaman. Hasil analisis komponen lignoselulosa awal tongkol jagung manis yang digunakan pada penelitian ini menunjukkan hasil kadar lignin 19.74%, kadar selulosa 41.45% dan hemiselulosa 33.91%. Sedangkan tongkol jagung yang digunakan oleh Iswanto (2009) mempunyai kandungan lignin sebesar 15%, kadar selulosa 45% dan kadar hemiselulosa 35%. Hal tersebut menunjukan bahwa setiap jenis tongkol jagung mempunyai komposisi komponen lignoselulosa yang berbeda. Perbedaan komposisi kimia tongkol jagung tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain perbedaan varietas, tempat tumbuh, kelembaban dan cuaca saat pemanenan (Shofiyanto, 26

45 2008). Hasil analisis komponen lignoselulosa tongkol jagung sebelum didelignifikasi dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Komposisi komponen lignoselulosa tongkol jagung sebelum didelignifikasi Komponen % b.k Zat Ekstraktif 4.92 Lignin Selulosa Hemiselulosa Keterangan: % b.k = Persentase berdasarkan bobot kering Bagian terpenting dan yang terbanyak dalam lignocellulosic material adalah polisakarida khususnya selulosa dan hemiselulosa yang terbungkus oleh lignin dengan ikatan yang cukup kuat. Dalam kaitan konversi biomassa, bagian yang terpenting adalah polisakarida. Karena polisakarida tersebut yang akan dihidrolisis menjadi monosakarida seperti glukosa, sukrosa, xilosa, arabinosa dan lain-lain sebelum dikonversi menjadi produk turunannya. Berdasarkan hasil analisis kandungan komponen lignoselulosa, dapat dikatakan bahwa lignin yang terkandung dalam tongkol jagung cukup tinggi. Lignin merupakan senyawa yang heterogen dengan berbagai tipe ikatan sehingga tidak dapat diuraikan oleh enzim hidrolisis (Hofrichter, 2002). Lignin dapat didegradasi oleh fungi pelapuk kayu tetapi hanya dapat didegradasi secara sempurna oleh fungi pelapuk putih (white rot fungi). Fungi ini dapat mendegradasi polimer selulosa, hemiselulosa dan lignin dengan bantuan enzim ekstraseluler yang terdiri atas selulase, xilanase, hemiselulase, serta enzim pendegradasi lignin yaitu laccase (Lac) dan peroksidase yang terdiri dari lignin peroksidase (LiP) dan mangan peroksidase (MnP). 27

46 2. Penentuan Fungi Terbaik Parameter utama yang digunakan untuk penilaian jenis fungi pelapuk putih terbaik yang akan terpilih dari ketiga jenis fungi yaitu Schizophyllum commune, Phanerochaete chrysosporium dan isolat Pleurotus EB9 berdasarkan kemampuan fungi dalam mendegradasi lignin paling tinggi pada tongkol jagung selama 30 hari inkubasi. Persentase penurunan kadar lignin oleh masing-masing fungi selama 30 hari inkubasi dapat dilihat pada Gambar % 14.15% 1.66% Gambar 16. Persentase penurunan kadar lignin tongkol jagung (PC*: Phanerochaete chrysosporium, SC*: Schizophyllum commune, EB9*: isolat Pleurotus EB9) Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan bobot lignin awal dan bobot lignin setelah perlakuan inkubasi fungi pada tongkol jagung telah terjadi penurunan lignin (Gambar 16). Setelah 30 hari inkubasi, tongkol jagung yang diinkubasi dengan P. chrysosporium mengalami penurunan kadar lignin paling tinggi diantara ketiga jenis fungi lainnya, yaitu 26.07% (Gambar 16 dan Lampiran 1). Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Fadilah (2008), selama inkubasi pada suhu 38 o C selama 30 hari, P. chrysosporium mampu menurunkan kadar lignin batang jagung sebesar 81.4 %. Hasil penurunan kadar lignin yang kecil pada penelitian ini diduga terjadi karena P. chrysosporium tidak diinkubasi pada suhu optimumnya yang berkisar antara o C. Penurunan kadar lignin oleh isolat Pleurotus EB9 setelah diinkubasi selama 30 hari sangat kecil yaitu 1.66%. Tidak seperti pada P. chrysosporium 28

47 yang dapat menghasilkan enzim pendegradasi komponen fenolik (MnP) dan komponen non fenolik (LiP) sekaligus, Pleurotus EB9 hanya menghasilkan satu jenis enzim pendegradasi lignin yaitu enzim laccase. Menurut Kimura et al. (1990), usaha untuk mendeteksi aktivitas enzim lignin peroksidase pada P.ostreatus di bawah beberapa kondisi kultur tidak menunjukkan hasil yang positif. Sannia et al. (1991) menemukan bahwa pada fungi pelapuk putih Pleurotus terdapat aktivitas enzim laccase. Laccase merupakan fenol oksidase yang mengandung tembaga yang tidak membutuhkan H 2 O 2 tetapi menggunakan molekul oksigen (Thurston, 1994). Laccase dapat mengoksidasi komponen non fenolik jika terdapat mediator seperti ABTS (2,2- azinobis (3-etilbenzthiazolin-6-sulfonat)) atau HBT (hidroksibenzotriazol) (Bourbonnais dan Paice, 1990). Padahal sekitar 90% struktur lignin tersusun atas unit non fenolik (Srebotnik et al., 1994). Hal inilah yang menyebabkan kecilnya persentase penurunan lignin pada substrat yang diinkubasi oleh Pleurotus dibandingkan substrat yang diinkubasi oleh P. chrysosporium. Seperti halnya pada Pleurotus, fungi S. commune diketahui dalam mendegradasi lignin fungi ini hanya menghasilkan enzim laccase. Lebih rendahnya bobot lignin akhir yang dialami oleh substrat setelah diinkubasi dengan S. commune disebabkan oleh lebih besarnya penurunan bobot kering yang dialami oleh substrat tersebut. Namun pada Lampiran 1 dapat dilihat bahwa persentase kadar lignin substrat yang diinkubasi selama 30 hari oleh kedua jenis fungi tersebut hampir sama yaitu 22.55% pada S. commune dan 22.36% pada isolat Pleurotus EB9. Menurut Herliyana (1997), setelah 6 minggu inkubasi pada media padat dengan kondisi diberi aerasi, pemberian S. commune dapat menurunkan kadar lignin pada pulp kayu Acacia mangium sebesar 69.3% dan pada pulp kayu Pinus merkusii sebesar 10%. Berdasarkan kondisi tersebut dapat dikatakan bahwa kemampuan S. commune dalam mendegradasi lignin pada masingmasing substrat berbeda-beda, termasuk pada substrat tongkol jagung. Hal ini terjadi karena perbedaan komposisi kimia dari substrat tersebut. 29

48 Lignin merupakan senyawa polimer aromatik yang sulit didegradasi dan hanya sedikit organisme yang mampu mendegradasi lignin, diantaranya fungi pelapuk putih. Fungi mendegradasi lignin menjadi produk yang larut dalam air dan CO 2 (Boyle et al., 1992). P. chrysosporium mempunyai kemampuan mendegradasi komponen lignin tongkol jagung paling besar diantara yang lain. Oleh karena itu, P. chrysosporium digunakan sebagai fungi terpilih untuk mendelignifikasi tongkol jagung pada penelitian utama. Selain penurunan kadar lignin, tongkol jagung setelah diinkubasi dengan fungi juga mengalami penurunan bobot kering. Seperti halnya penurunan lignin, tongkol yang diinkubasi dengan P. chrysosporium memiliki tingkat penurunan bobot kering paling tinggi yaitu 28.22% (Gambar 17) % 27.32% 15.79% Gambar 17. Persentase penurunan bobot kering tongkol jagung (PC*: Phanerochaete chrysosporium, SC*: Schizophyllum commune, EB9*: isolat Pleurotus EB9) Persentase penurunan bobot kering tongkol jagung merupakan salah satu ukuran adanya biodegradasi oleh fungi. Berdasarkan Gambar 15 dapat diketahui bahwa P. chrysosporium mempunyai kemampuan menurunkan bobot kering tongkol jagung terbesar diantara ketiga jenis fungi. Terjadinya penurunan bobot kering selama waktu inkubasi diduga karena adanya degradasi tongkol jagung oleh enzim yang dikeluarkan oleh fungi. Menurut Hatakka (2001), white-rot fungi menghasilkan berbagai jenis enzim yang terlibat dalam proses degradasi lignin, juga menghasilkan selulase, xilanase dan hemiselulase. 30

49 B. PENELITIAN UTAMA 1. Struktur Mikroskopis Tongkol Jagung Struktur mikroskopis serat tongkol jagung awal dengan struktur serat tongkol jagung yang telah diinkubasi dengan P. chrysosporium dapat dilihat pada Gambar 18. (a) (b) (c) (d) Gambar 18. Struktur mikroskopis serat tongkol jagung (perbesaran 400x): tanpa polarisasi (a) sebelum didelignifikasi, (b) diinkubasi 30 hari oleh P. chrysosporium; dengan cahaya terpolarisasi; (c) sebelum didelignifikasi, (d) diinkubasi 30 hari oleh P. chrysosporium Pada Gambar 18 tampak struktur seperti benang yang disebut fibril. Fibril merupakan kumpulan molekul-molekul selulosa dan mengandung bagian yang teratur dan kurang teratur. Struktur tongkol jagung awal Gambar 18 (a) tampak struktur fibril yang masih tersusun lurus. Namun, setelah inkubasi 30 hari (Gambar 18 (b) ) dapat dilihat bahwa struktur serat tampak lebih renggang. Hal ini terjadi karena selama waktu inkubasi terjadi degradasi oleh enzim yang dikeluarkan oleh fungi, sehingga menyebabkan dinding-dinding sel semakin lama semakin keropos dan menghasilkan struktur sarang lebah. Zona lisis fibril selulosa tidak terlindungi dan melonggar (Fengel dan Wegener, 1995). Pada penampakan tongkol jagung dengan cahaya yang terpolarisasi (Gambar 18 (c), (d) ), terdapat warna kebiruan yang menunjukkan struktur 31

50 kristalin selulosa. Pada struktur tongkol jagung awal (sebelum didelignifikasi), tampak struktur kristalin selulosa yang ditandai dengan warna kebiruan. Pada inkubasi 30 hari warna kebiruan pada cahaya terpolarisasi semakin sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa lignin yang dikandung semakin sedikit dengan semakin lamanya waktu inkubasi. Menurut Knauf dan Moniruzzaman (2004), perubahan yang terjadi pada struktur lignoselulosa yang telah diberi perlakuan awal dapat berupa pemisahan antara selulosa dengan materi yang melindunginya (hemiselulosa dan lignin). Perubahan struktur selulosa yang pada awalnya berbentuk kristal menjadi amorf, sehingga mudah untuk dihidrolisis. 2. Biodelignifikasi oleh P. chrysosporium a. Bobot Kering Setelah Inkubasi Perlakuan inkubasi fungi P. chrysosporium pada tongkol jagung telah menyebabkan penurunan dan kenaikan bobot kering. Hasil perhitungan bobot kering tongkol jagung sebelum dan sesudah delignifikasi dapat dilihat pada Gambar 19 dan Lampiran 3. Bobot kering (g) Gambar 19. Bobot kering tongkol jagung sebelum (awal) dan setelah delignifikasi (*Urutan berdasarkan rancangan percobaan dapat dilihat pada Lampiran 2.) Degradasi komponen lignoselulosa tongkol jagung ditandai oleh penurunan bobot kering bahan. Enzim yang dikeluarkan oleh fungi mampu mengkatalis reaksi biokimia pada media lignoselulosa, sehingga holoselulosa dan lignin dapat dirombak menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. 32

51 Senyawa-senyawa ini selanjutnya dapat diabsorpsi dan dimetabolisme oleh fungi (Herliyana, 1997). Akan tetapi, dari hasil yang didapatkan terjadi peningkatan bobot kering pada dua perlakuan. Kenaikan ini terjadi karena adanya pertumbuhan komponen miselia fungi yang cepat. Menurut Fadilah (2009), penambahan nutrisi berupa glukosa dalam media mempunyai dua keuntungan, salah satunya adalah pertumbuhan fungi yang cepat pada media. Oleh karena adanya penambahan komponen miselia fungi, terjadilah kenaikan bobot kering substrat setelah delignifikasi. Penampakan pertumbuhan miselia P. chrysosporium pada media tongkol jagung dapat dilihat pada Gambar 20. Gambar 20. Penampakan pertumbuhan miselia Phanerochaete chrysosporium pada media tongkol jagung b. Kadar Zat Ekstraktif Zat ekstraktif terdiri dari beberapa komponen senyawa organik seperti asam, resin, asam lemak, terpena dan alkaloid (Sjostrom, 1995). Zat ekstraktif memiliki bobot molekul yang bervariasi. Zat ini terdapat pada bahan berlignoselulosa tetapi tidak menyusun dinding sel. Kemampuan P. chrysosporium mendegradasi komponen ekstraktif tongkol jagung dipengaruhi oleh sifat ekstraktif yang terkandung. Menurut Lewin dan Goldstein (1991), pada beberapa spesies kayu terdapat zat ekstraktif yang merupakan racun yang menghambat pertumbuhan mikroba, sehingga meningkatkan ketahanan kayu. Bahan dengan kandungan zat ekstraktif tinggi, degradasinya akan berlangsung lebih lambat. Pada tongkol jagung terdapat komponen ekstraktif berupa lemak 0.7% dan asam uronat sebesar 3.36% (Parajo et al., 2003). 33

52 Pemberian fungi pada serbuk tongkol jagung menyebabkan turunnya kadar zat ekstraktif. Kadar zat ekstraktif merupakan bobot zat ekstraktif per bobot keing oven substrat (BKO). Hasil perhitungan kadar zat ekstraktif yang larut dalam etanol:benzene (1:2) sebelum (awal) dan sesudah didelignifikasi dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Gambar 21. Zat ekstraktif pada tongkol jagung setelah perlakuan mengalami penurunan yang bervariasi. Penurunan terbesar terjadi pada sampel dengan nomor percobaan 7 yaitu dari (g/g BKO) menjadi (g/g BKO) atau sekitar 86.75% (Lampiran 3). Menurut Rayner dan Boddy (1995) keberadaan zat ekstraktif pada kayu dapat mempengaruhi pertumbuhan fungi, yaitu berperan sebagai sumber karbon, sebagai stimulan pertumbuhan dan sebagai penghambat pertumbuhan. Penurunan zat ekstraktif pada tongkol jagung diperkirakan zat ekstraktif yang terkandung dalam tongkol jagung tersebut dipergunakan sebagai sumber karbon oleh fungi. Gambar 21. Kadar zat ekstraktif (g/g) yang larut dalam etanol:benzene (1:2) sebelum (awal) dan sesudah didelignifikasi(*urutan berdasarkan rancangan percobaan dapat dilihat pada Lampiran 2.) c. Kadar Lignin Biodegradasi lignin dapat terjadi jika fungi pelapuk putih menghasilkan enzim degradasi lignin ekstraselular, yaitu lignin peroksidase dan Mn peroksidase yang disebut sebagai keadaan ligninolitik. Lignin peroksidase dan Mn peroksidase diketahui merupakan ekstraselular enzim yang mengkatalisis oksidasi suatu senyawa aromatik. Keadaan ligninolitik P. 34

53 chrysosporium akan teraktivasi saat metabolisme sekunder pertumbuhan fungi dan diatur oleh tersediaanya nutrisi, oksigen, trace logam, dan ph (Fadilah, 2009). Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu inkubasi 37.8 hari (No. Percobaan 10) menyebabkan penurunan kadar lignin yang paling tinggi yaitu dari (g/g BKO) menjadi 0,136 (g/g BKO) % (Lampiran 3). Dari data juga diperoleh bahwa semakin lama waktu inkubasi, maka penurunan kadar lignin tongkol jagung semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa fungi P. chrysosporium memang merupakan organisme ligninolitik yang efisien. Kadar lignin sebelum (awal) dan sesudah didelignifikasi oleh P. chrysosporium dapat dilihat pada Gambar 22. Gambar 22. Kadar lignin (g/g) sebelum (awal) dan sesudah didelignifikasi oleh Phanerochaete chrysosporium (*Urutan berdasarkan rancangan percobaan dapat dilihat pada Lampiran 2.) Tingginya laju degradasi lignin pada hari ke 37.8 mungkin disebabkan oleh masih cukupnya nutrisi untuk pertumbuhan fungi. Dalam percobaan ini ditambahkan glukosa sebagai nutrisi tambahan bagi fungi. d. Kadar Selulosa Selain mendegradasi komponen lignin, fungi P. chrysosporium juga menyebabkan terjadinya degradasi selulosa. Degradasi selulosa oleh fungi merupakan hasil kerja sekelompok enzim selulolitik yang bekerja secara sinergis. Fungi P. chrysosporium menghasilkan enzim selulase dengan aktivitas menyerupai endogluconases (EGs) dan exocellobiohydrolases 35

54 (CBHs) tergantung sumber karbon yang tersedia (Broda et al., 1996). Enzim endoglucanases menghidrolisis secara acak bagian amorf selulosa serat menghasilkan oligosakarida dengan panjang yang berbeda dan terbentuknya unjung rantai baru. Enzim Exoglucanases bekerja terhadap ujung pereduksi dan nonpereduksi rantai polisakarida selulosa dan membebaskan glukosa yang dilakukan oleh enzim glucanohydrolases atau selobiosa yang dilakukan oleh enzim cellobiohydrolases sebagai produk utama (Lynd et al., 2002). Pada Gambar 23 dapat dilihat bahwa kadar selulosa mengalami penurunan selama inkubasi oleh fungi P. chrysosporium. Penurunan ini membuktikan bahwa selama waktu inkubasi fungi P. chrysosporium telah melakukan degradasi komponen selulosa oleh enzim-enzim selulolitik yang dihasilkan. Kadar selulosa (g/g BKO) sebelum (awal) dan setelah delignifikasi dapat dilihat pada Gambar 23 dan Lampiran 3. Gambar 23. Kadar selulosa (g/g) sebelum (awal) dan setelah perlakuan inkubasi oleh Phanerochaete chrysosporium (*Urutan berdasarkan rancangan percobaan dapat dilihat pada Lampiran 2.) Selulosa akan diuraikan oleh fungi menjadi senyawa yang sederhana yang dipergunakan sebagai nutrisi untuk pertumbuhannya. Selanjutnya, senyawa yang lebih sederhana tersebut akan dipergunakan fungi dalam siklus metabolismenya. Penambahan nutrisi berupa glukosa merupakan faktor yang memperkecil degradasi selulosa oleh fungi. Semakin banyak glukosa yang ditambahkan, laju degradasi selulosa semakin kecil. Hal ini dikarenakan fungi akan mengkonsumsi glukosa terlebih dahulu sebelum merombak 36

55 struktur selulosa menjadi gula yang lebih sederhana untuk kebutuhan hidupnya. e. Kadar Hemiselulosa Hemiselulosa mengalami biodegradasi menjadi monomer gula dan asam asetat dengan bantuan enzim hemiselulase. Hemiselulase seperti kebanyakan enzim lainnya yang dapat menghidrolisis dinding sel tanaman merupakan protein multi-domain. Xilan merupakan karbohidrat utama penyusun hemiselulosa dan Xilanase merupakan hemiselulase utama yang menghidrolisis ikatan β-1,4 rantai xilan. Fungi P. chrysosporium menghasilkan endoxylanase yang berperan dalam pemecahan xilan menjadi oligosakarida (Perez et al., 2002). Dari Gambar 24 dapat dilihat bahwa beberapa sampel mengalami peristiwa kenaikan jumlah komponen hemiselulosa. Peningkatan kandungan hemiselulosa pada substrat dapat diakibatkan oleh ikut terhitungnya komponen miselia fungi sebagai bagian dari hemiselulosa. Hal ini kemungkinan terjadi karena pada beberapa sampel kecepatan pertumbuhan miselia lebih tinggi daripada kecepatan degradasi komponen lignoselulosa. Menurut Chang dan Miles (1989), rata-rata miselia fungi memiliki kandungan serat mulai 7.4%-24.6%. Gambar 24. Kadar hemiselulosa (g/g) sebelum (awal) dan setelah perlakuan inkubasi oleh Phanerochaete chrysosporium (*Urutan berdasarkan rancangan percobaan dapat dilihat pada Lampiran 2.) 37

56 3. Pengaruh Faktor Terhadap Nisbah Kadar Lignin/Holoselulosa Proses biodelignifikasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu waktu inkubasi dan jumlah miselia yang ditambahkan dalam media. Faktor-faktor tersebut dapat dioptimalkan, sehingga dapat meningkatkan efektifitas delignifikasi. Peningkatan efektifitas delignifikasi ini dapat dilihat dari tingkat degradasi lignin oleh P. chrysosporium. Selain mendegradasi lignin, P. chrysosporium juga melakukan degradasi komponen holoselulosa (selulosa dan hemiselulosa). Hal ini dilakukan karena fungi tersebut memerlukan gula yang lebih sederhana untuk pemenuhan nutrisinya. Oleh karena itu perlu dilakukan penambahan gula sederhana (glukosa) pada media untuk mengurangi tingkat degradasi komponen polisakaridanya. Proses delignifikasi yang ideal adalah ketika lignin terurai dalam jumlah yang besar namun komponen holoselulosa terurai dalam jumlah yang kecil. Holoselulosa adalah bagian dari serat yang bebas dari zat ekstraktif dan lignin, terdiri dari semua komponen selulosa dan hemiselulosa (Chang dan Alan, 1971). Oleh karena itu, parameter utama untuk menilai efektifitas delignifikasi adalah dari penurunan kadar lignin dan kadar holoselulosa tongkol jagung. Menurut Goenadi et al. (1996), untuk menghitung efektifitas biodelignifikasi dihitung nisbah lignin/holoselulosa. Nisbah terendah menyatakan bahwa kondisi tersebut adalah kondisi optimum untuk pertumbuhan fungi. Pada penelitian ini dilakukan pengujian pengaruh faktor waktu inkubasi, jumlah miselia yang ditambahkan serta jumlah glukosa yang ditambahkan terhadap nisbah lignin/holoselulosa serta interaksi ketiga faktor terhadap nisbah lignin/holoselulosa. Hubungan faktor reaksi terhadap respon dapat diketahui melalui serangkaian percobaan yang sistematis yang diuji melalui analisis statistik. a. Waktu Inkubasi Hasil analisis statistik (Tabel 6) menunjukkan bahwa baik efek linier maupun kuadratik dari waktu inkubasi memberikan pengaruh yang nyata terhadap nisbah lignin/holoselulosa. 38

57 Tabel 6. Pengaruh linier dan kuadratik faktor waktu inkubasi terhadap nisbah lignin/holoselulosa Sumber* Peluang nilai p > F Keterangan x 1 <.0001 Nyata x 1 * x 1 <.0001 Nyata Notasi x 1 : Efek linier waktu inkubasi; x 1 * x 1 : Efek kuadratik waktu inkubasi Gambar 25. Pengaruh waktu inkubasi (hari) terhadap nisbah kadar lignin terhadap holoselulosa; (a) Kombinasi dengan jumlah miselia yang ditambahkan (ml/10 g substrat); (b) Kombinasi dengan jumlah glukosa (g/10 g substrat). Gambar 25 (a) dab (b) menunjukkan bahwa sampai sekitar hari ke-24 respon terus mengalami penurunan. Akan tetapi setelahnya, terlihat bahwa telah terjadi kenaikan nilai nisbah lignin/holoselulosa. Nilai nisbah lignin/holoselulosa yang semakin menurun dapat disebabkan terdegradasinya lignin yang nilainya lebih tinggi dari tingkat degradasi komponen holoselulosanya. Hal ini dikarenkan masih tersedianya glukosa pada media sehingga fungi akan mengkonsumsi glukosa tersebut terlebih dahulu sampai 39

58 glukosa yang tersedia habis. Setelah hari ke 24 nisbah lignin/holoselulosa cenderung naik. Kenaikan tersebut dapat terjadi karena cadangan glukosa pada media kemungkinan telah habis, sehingga fungi melakukan degradasi holoselulosa menjadi gula yang lebih sederhana untuk pemenuhan nutrisinya. Adanya degradasi komponen holoselulosa tersebut membuat kandungan holoselulosa menurun, sehingga nisbah lignin/holoselulosa akan cenderung naik. Meskipun faktor waktu inkubasi berpengaruh nyata terhadap nisbah lignin/holoselulosa, namun pengaruh interaksi antara waktu inkubasi dengan jumlah miselia dan jumlah glukosa yang ditambahkan tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap nilai nisbah lignin/holoselulosa. Hal ini dapat dilihat dari bentuk permukaan respon (Gambar 25 a dan b) yang cenderung tidak berubah pada berbagai kombinasi antara waktu inkubasi dengan faktor penambahan miselia dan glukosa. Hal ini dikuatkan oleh peluang nilai p > F dari hasil analisis yang menunjukkan pengaruh interaksi tersebut tidak nyata (Tabel 7). Tabel 7. Pengaruh interaksi antara waktu inkubasi dengan jumlah miselia dan jumlah glukosa yang ditambahkan terhadap nisbah lignin/holoselulosa Sumber* Peluang nilai p > F Keterangan x 1 -x Tidak Nyata x 1 -x Tidak Nyata Notasi x 1 -x 2 berarti interaksi waktu inkubasi dengan jumlah miselia yang ditambahkan dan seterusnya. b. Jumlah Miselia yang Ditambahkan Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa bobot kering miselia Fungi P. chrysosporium adalah 0.03 g/ml suspensi yang ditambahkan. Siahaan (1997) menyatakan bahwa semakin banyak penambahan jumlah isolat FFP pada sampel, terjadi kecenderungan penurunan lignin yang meningkat. Namun, pada penelitian ini penambahan jumlah miselia (x 2 ) dalam proses 40

59 delignifikasi menunjukkan bahwa penambahan jumlah miselia tidak menurunkan nisbah kadar lignin terhadap holoselulosa secara nyata. Tabel 8. Pengaruh linier dan kuadratik faktor jumlah miselia yang ditambahkan terhadap nisbah lignin/holoselulosa Sumber* Peluang nilai p > F Keterangan x Tidak nyata x 2* x Tidak Nyata Notasi x 2 : Efek linier jumlah miselia yang ditambahkan; x * 2 x 2 : Efek kuadratik jumlah miselia yang ditambahkan. Gambar 26. Pengaruh jumlah miselia yang ditambahkan (ml/10 g substrat) terhadap nisbah kadar lignin terhadap holoselulosa; (a) Kombinasi dengan waktu inkubasi (hari); (b) Kombinasi dengan jumlah glukosa (g/10 g substrat). Penambahan jumlah miselia (x 2 ) dalam proses delignifikasi menghasilkan grafik respon nisbah lignin/holoselulosa pada Gambar 26 (a) dan (b). Grafik yang cenderung datar tersebut menunjukkan bahwa penambahan jumlah miselia tidak menurunkan nisbah kadar lignin terhadap 41

60 holoselulosa secara nyata. Hal ini diperkuat dengan hasil analisis efek linier dan kuadratik (Tabel 8) yang menunjukkan bahwa penambahan jumlah miselia memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap respon. Ini berarti bahwa penambahan jumlah miselia paling rendah (2.5 ml/10 g substrat) telah memenuhi kebutuhan proses delignifikasi. Pengaruh interaksi antara jumlah miselia dengan waktu inkubasi dan jumlah glukosa yang ditambahkan pada proses yang diamati tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap nilai nisbah lignin/holoselulosa. Ini dapat dilihat dari bentuk permukaan respon (Gambar 26 a dan b) yang cenderung tidak berubah pada berbagai kombinasi dengan faktor lain dan dikuatkan oleh peluang nilai p > F dari hasil analisis yang menunjukkan pengaruh interaksi tersebut tidak berpengaruh nyata (Tabel 9). Tabel 9. Pengaruh interaksi antara jumlah miselia dengan waktu inkubasi dan jumlah glukosa yang ditambahkan terhadap nisbah lignin/holoselulosa Sumber* Peluang nilai p > F Keterangan x 2 - x Tidak Nyata x 2 - x Tidak Nyata Notasi x 2 -x 1 berarti interaksi waktu inkubasi dengan jumlah miselia yang ditambahkan dan seterusnya. c. Jumlah Glukosa yang Ditambahkan Penambahan glukosa pada media (x 3 ) yang diamati menghasilkan grafik respon nisbah kadar lignin terhadap holoselulosa pada gambar 27 (a) dan (b). Meskipun tampak dari grafik (b) bahwa nisbah kadar lignin terhadap holoselulosa mengalami sedikit penurunan seiring dengan bertambahnya jumlah glukosa yang ditambahkan, tetapi dari analisis efek linier maupun kuadratik menunjukkan bahwa pengaruh faktor jumlah glukosa adalah tidak nyata terhadap respon (Tabel 10). 42

61 Tabel 10. Pengaruh linier dan kuadratik faktor jumlah glukosa yang ditambahkan terhadap nisbah lignin/holoselulosa Sumber* Peluang nilai p > F Keterangan x Tidak nyata x 3* x Tidak nyata Notasi x 3 : Efek linier jumlah glukosa yang ditambahkan; x * 3 kuadratik jumlah glukosa yang ditambahkan. x 3 : Efek Gambar 27. Pengaruh jumlah glukosa (g/10 g substrat) terhadap nisbah kadar lignin terhadap holoselulosa kombinasi dengan: (a) Waktu inkubasi (hari); (b) Jumlah miselia yang ditambahkan (ml/10 g substrat). Pengaruh interaksi antara jumlah glukosa yang ditambahkan dengan waktu inkubasi dan jumlah miselia yang ditambahkan pada proses yang diamati tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap nilai nisbah lignin/holoselulosa. Ini dapat dilihat dari bentuk permukaan respon (Gambar 27) yang cenderung tidak berubah pada berbagai kombinasi dengan faktor lain. Hal ini dikuatkan oleh peluang nilai p > F dari hasil analisis yang menunjukkan pengaruh interaksi tersebut tidak berpengaruh nyata (Tabel 11). 43

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. TONGKOL JAGUNG Menurut Koswara (1992), tongkol jagung merupakan tempat pembentukan lembaga dan gudang penyimpanan makanan untuk pertumbuhan biji serta merupakan modifikasi dari

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN 1. Karakterisasi Tongkol Jagung a. Analisis Proksimat Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kondisi awal tongkol jagung. Hasil analisis proksimat

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan baku utama dalam penelitian ini adalah tongkol jagung manis kering yang diperoleh dari daerah Leuwiliang, Bogor. Kapang yang digunakan untuk

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT Limbah tanaman jagung (LTJ) yang digunakan dalam penelitian ini adalah varietas Bisi 2 yang komponen utamanya berupa batang, tongkol, klobot, dan daun berasal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. JAGUNG B. LIGNOSELULOSA

II. TINJAUAN PUSTAKA A. JAGUNG B. LIGNOSELULOSA II. TINJAUAN PUSTAKA A. JAGUNG Tanaman jagung merupakan tanaman berumpun, tegak, tinggi ± 1,5 m. batang bulat massif, tidak bercabang, pangkal batang berakar, berwarna kuning atau jingga. Daun tunggal,

Lebih terperinci

PRETREATMENT DENGAN Phanerochaete chrysosporium DALAM HIDROLISIS ASAM ENCER SLUDGE KERTAS AI ROSAH AISAH

PRETREATMENT DENGAN Phanerochaete chrysosporium DALAM HIDROLISIS ASAM ENCER SLUDGE KERTAS AI ROSAH AISAH PRETREATMENT DENGAN Phanerochaete chrysosporium DALAM HIDROLISIS ASAM ENCER SLUDGE KERTAS AI ROSAH AISAH DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PRETREATMENT DENGAN Phanerochaete

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 46 HASIL DAN PEMBAHASAN Komponen Non Struktural Sifat Kimia Bahan Baku Kelarutan dalam air dingin dinyatakan dalam banyaknya komponen yang larut di dalamnya, yang meliputi garam anorganik, gula, gum, pektin,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Pahan (2008) nama latin pelepah sawit yaitu Elaeis guineensis,

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Pahan (2008) nama latin pelepah sawit yaitu Elaeis guineensis, II. TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Pelepah Sawit Menurut Pahan (2008) nama latin pelepah sawit yaitu Elaeis guineensis, berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu elaia yang berarti zaitun, karena buahnya mengandung

Lebih terperinci

II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT

II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati sagu (Metroxylon sp.) yang diperoleh dari industri pati sagu rakyat di daerah Cimahpar, Bogor. Khamir yang digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyaknya kegunaan kayu sengon menyebabkan limbah kayu dalam bentuk serbuk gergaji semakin meningkat. Limbah serbuk gergaji kayu menimbulkan masalah dalam penanganannya,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Jagung digunakan sebagai salah satu makanan pokok di berbagai daerah di Indonesia sebagai tumbuhan yang kaya akan karbohidrat. Potensi jagung telah banyak dikembangkan menjadi berbagai

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu 1. Analisis Kadar Air (Apriyantono et al., 1989) Cawan Alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi sebanyak 2 g contoh lalu ditimbang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai bulan November 2009

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai bulan November 2009 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai bulan November 2009 yang bertempat di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia, Fakultas

Lebih terperinci

Gambar 7. Alat pirolisis dan kondensor

Gambar 7. Alat pirolisis dan kondensor III. METODOLOGI PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN 1. Alat Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah alat pirolisis, kondensor, plastik, nampan, cawan aluminium, oven, timbangan, cawan porselen, parang,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor pertama adalah variasi

BAB III METODE PENELITIAN. lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor pertama adalah variasi BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor pertama adalah variasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. variasi suhu yang terdiri dari tiga taraf yaitu 40 C, 50 C, dan 60 C. Faktor kedua

BAB III METODE PENELITIAN. variasi suhu yang terdiri dari tiga taraf yaitu 40 C, 50 C, dan 60 C. Faktor kedua BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor pertama adalah variasi

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Hasil analisis proksimat bahan uji sebelum dan sesudah diinkubasi disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis proksimat pakan uji ditunjukkan pada Tabel 3. Sementara kecernaan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bioetanol merupakan salah satu alternatif energi pengganti minyak bumi

BAB I PENDAHULUAN. Bioetanol merupakan salah satu alternatif energi pengganti minyak bumi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bioetanol merupakan salah satu alternatif energi pengganti minyak bumi yang ramah lingkungan. Selain dapat mengurangi polusi, penggunaan bioetanol juga dapat menghemat

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH POD KAKAO UNTUK MENGHASILKAN ETANOL SEBAGAI SUMBER ENERGI TERBARUKAN

PEMANFAATAN LIMBAH POD KAKAO UNTUK MENGHASILKAN ETANOL SEBAGAI SUMBER ENERGI TERBARUKAN PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PEMANFAATAN LIMBAH POD KAKAO UNTUK MENGHASILKAN ETANOL SEBAGAI SUMBER ENERGI TERBARUKAN BIDANG KEGIATAN : PKM-GT DIUSULKAN OLEH : LILY KURNIATY SYAM F34052110 (2005) JIHAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan salah satu faktor penentu utama yang mempengaruhi produksi

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan salah satu faktor penentu utama yang mempengaruhi produksi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pakan merupakan salah satu faktor penentu utama yang mempengaruhi produksi ternak ruminansia. Pakan ruminansia sebagian besar berupa hijauan, namun persediaan hijauan semakin

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. LIGNOSELULOSA Lignoselulosa merupakan bahan penyusun dinding sel tanaman yang komponen utamanya terdiri atas selulosa, hemiselulosa, dan lignin (Demirbas, 2005). Selulosa adalah

Lebih terperinci

PENURUNAN KADAR LIGNIN DARI TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS) DAN PEMECAHAN MATERIAL SELULOSA UNTUK PEMBENTUKAN GLUKOSA DENGAN PROSES FUNGAL TREATMENT

PENURUNAN KADAR LIGNIN DARI TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS) DAN PEMECAHAN MATERIAL SELULOSA UNTUK PEMBENTUKAN GLUKOSA DENGAN PROSES FUNGAL TREATMENT PENURUNAN KADAR LIGNIN DARI TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS) DAN PEMECAHAN MATERIAL SELULOSA UNTUK PEMBENTUKAN GLUKOSA DENGAN PROSES FUNGAL TREATMENT Fanandy Kristianto / 2309 100 064 Aldino Jalu Gumilang

Lebih terperinci

Lampiran 1. Tatacara analisis kimia limbah tanaman jagung. Kadar Air (%) = (W1-W2) x 100% W1. Kadar Abu (%) = (C-A) x 100% B

Lampiran 1. Tatacara analisis kimia limbah tanaman jagung. Kadar Air (%) = (W1-W2) x 100% W1. Kadar Abu (%) = (C-A) x 100% B LAMPIRAN Lampiran 1. Tatacara analisis kimia limbah tanaman jagung a. Analisis Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Cawan alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi sebanyak 2 g sampel lalu

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini sudah dilaksanakan dari bulan Februari sampai bulan Juli 2013 di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini sudah dilaksanakan dari bulan Februari sampai bulan Juli 2013 di 24 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini sudah dilaksanakan dari bulan Februari sampai bulan Juli 2013 di Laboratorium Instrumentasi dan Biokimia Jurusan Kimia FMIPA

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan November 2006 sampai dengan Januari 2008. Penelitian bertempat di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan industri kelapa sawit yang cukup potensial sebagai penghasil devisa negara menyebabkan luas areal dan produksi kelapa sawit di Indonesia semakin meningkat. Sampai

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2013 di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2013 di 25 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2013 di Laboratorium Instrumentasi dan Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-November 2012 di

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-November 2012 di digilib.uns.ac.id BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-November 2012 di Laboratorium Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan selama ± 2 bulan (Mei - Juni) bertempat di

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan selama ± 2 bulan (Mei - Juni) bertempat di 18 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian ini dilakukan selama ± 2 bulan (Mei - Juni) bertempat di Laboratorium Kimia, Jurusan Pendidikan Kimia dan Laboratorium Mikrobiologi

Lebih terperinci

BAB IV Pemilihan Jamur untuk Produksi Lakase

BAB IV Pemilihan Jamur untuk Produksi Lakase BAB IV Pemilihan Jamur untuk Produksi Lakase Abstrak Jamur pelapuk putih merupakan mikroorganisme yang mampu mendegradasi lignin pada proses pelapukan kayu. Degradasi lignin melibatkan aktivitas enzim

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. banyak jumlahnya. Menurut Basse (2000) jumlah kulit pisang adalah 1/3 dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. banyak jumlahnya. Menurut Basse (2000) jumlah kulit pisang adalah 1/3 dari 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kulit Pisang Kulit pisang merupakan bahan buangan (limbah buah pisang) yang cukup banyak jumlahnya. Menurut Basse (2000) jumlah kulit pisang adalah 1/3 dari buah pisang yang belum

Lebih terperinci

Lampiran 1. Tatacara karakterisasi limbah tanaman jagung

Lampiran 1. Tatacara karakterisasi limbah tanaman jagung Lampiran 1. Tatacara karakterisasi limbah tanaman jagung a. Kadar Air Cawan kosong (ukuran medium) diletakkan dalam oven sehari atau minimal 3 jam sebelum pengujian. Masukkan cawan kosong tersebut dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Limbah Tanaman Jagung Limbah tanaman jagung merupakan limbah lignoselulosik yang terdiri atas sebagian besar selulosa, lignin, dan hemiselulosa. Fungsi lignin adalah mengikat sel-sel

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Alat dan Bahan Dalam pembuatan dan analisis kualitas keju cottage digunakan peralatan waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph meter,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya adalah padi dan singkong. Indonesia dengan luas area panen ha

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya adalah padi dan singkong. Indonesia dengan luas area panen ha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai Negara agraris memiliki produk pertanian yang melimpah, diantaranya adalah padi dan singkong. Indonesia dengan luas area panen 13.769.913 ha dan produktivitas

Lebih terperinci

BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil uji Somogyi-Nelson pada substrat kulit buah kakao

BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil uji Somogyi-Nelson pada substrat kulit buah kakao BAB 1V A. Hasil Uji Pendahuluan HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Pengukuran Kadar Gula Pereduksi Berdasarkan hasil uji Somogyi-Nelson pada substrat kulit buah kakao sebelum dan sesudah hidrolisis diperoleh

Lebih terperinci

PRODUKSI GULA REDUKSI DARI BAGASSE TEBU MELALUI HIDROLISIS ENZIMATIK MENGGUNAKAN CRUDE ENZYME SELULASE DAN XYLANASE

PRODUKSI GULA REDUKSI DARI BAGASSE TEBU MELALUI HIDROLISIS ENZIMATIK MENGGUNAKAN CRUDE ENZYME SELULASE DAN XYLANASE PRODUKSI GULA REDUKSI DARI BAGASSE TEBU MELALUI HIDROLISIS ENZIMATIK MENGGUNAKAN CRUDE ENZYME SELULASE DAN XYLANASE Penyusun: Charlin Inova Sitasari (2310 100 076) Yunus Imam Prasetyo (2310 100 092) Dosen

Lebih terperinci

HIDROLISIS TONGKOL JAGUNG OLEH BAKTERI SELULOLITIK UNTUK PRODUKSI BIOETANOL DALAM KULTUR CAMPURAN

HIDROLISIS TONGKOL JAGUNG OLEH BAKTERI SELULOLITIK UNTUK PRODUKSI BIOETANOL DALAM KULTUR CAMPURAN HIDROLISIS TONGKOL JAGUNG OLEH BAKTERI SELULOLITIK UNTUK PRODUKSI BIOETANOL DALAM KULTUR CAMPURAN Oleh : M. EDY SHOFIYANTO F34104118 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR HIDROLISIS

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Juli sampai September 2012,

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Juli sampai September 2012, III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Juli sampai September 2012, bertempat di Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Biologi dan Laboratorium Biokimia, Departemen Kimia Fakultas Sains dan

BAB III METODE PENELITIAN. Biologi dan Laboratorium Biokimia, Departemen Kimia Fakultas Sains dan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi dan Laboratorium Biokimia, Departemen Kimia Fakultas Sains dan Teknologi,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Tepung Empulur Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Tepung Empulur Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Tepung Empulur Sagu 1. Analisa Proksimat a. Kadar Air (AOAC 1999) Sampel sebanyak 2 g ditimbang dan ditaruh di dalam cawan aluminium yang telah diketahui

Lebih terperinci

setelah pengeringan beku) lalu dimasukan ke dalam gelas tertutup dan ditambahkan enzim I dan enzim II masing-masing sebanyak 1 ml dan aquadest 8

setelah pengeringan beku) lalu dimasukan ke dalam gelas tertutup dan ditambahkan enzim I dan enzim II masing-masing sebanyak 1 ml dan aquadest 8 40 setelah pengeringan beku) lalu dimasukan ke dalam gelas tertutup dan ditambahkan enzim I dan enzim II masing-masing sebanyak 1 ml dan aquadest 8 ml. Reaksi enzimatik dibiarkan berlangsung selama 8 jam

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini di laksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi

METODE PENELITIAN. Penelitian ini di laksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini di laksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung dari bulan Juni 2011 sampai dengan Januari 2012

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Substrat 1. Karakterisasi Limbah Tanaman Jagung Limbah tanaman jagung merupakan bagian dari tanaman jagung selain biji yang pemanfaatannya masih terbatas. Limbah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Industri yang menghasilkan limbah logam berat banyak dijumpai saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Industri yang menghasilkan limbah logam berat banyak dijumpai saat ini. Industri yang menghasilkan limbah logam berat banyak dijumpai saat ini. Berbagai macam industri yang dimaksud seperti pelapisan logam, peralatan listrik, cat, pestisida dan lainnya. Kegiatan tersebut dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu bahan pakan alternatif yang potensial dimanfaatkan sebagai

I. PENDAHULUAN. Salah satu bahan pakan alternatif yang potensial dimanfaatkan sebagai I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bahan pakan alternatif yang potensial dimanfaatkan sebagai pakan berasal dari limbah perkebunan kelapa sawit. Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2011. Pelaksanaan penelitian di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisa Proksimat Batang Sawit Tahapan awal penelitian, didahului dengan melakukan analisa proksimat atau analisa sifat-sifat kimia seperti kadar air, abu, ekstraktif, selulosa

Lebih terperinci

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g)

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g) Lampiran 1. Metode analisis proksimat a. Analisis kadar air (SNI 01-2891-1992) Kadar air sampel tapioka dianalisis dengan menggunakan metode gravimetri. Cawan aluminium dikeringkan dengan oven pada suhu

Lebih terperinci

Peralatan dan Metoda

Peralatan dan Metoda Bab III Peralatan dan Metoda III.1 Metodologi Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa tujuan utama penelitian ini adalah mempersiapkan selulosa dari biomassa (tanaman lignoselulosa) agar dapat lebih

Lebih terperinci

Lampiran 1. Penentuan kadar ADF (Acid Detergent Fiber) (Apriyantono et al., 1989)

Lampiran 1. Penentuan kadar ADF (Acid Detergent Fiber) (Apriyantono et al., 1989) LAMPIRAN Lampiran 1. Penentuan kadar ADF (Acid Detergent Fiber) (Apriyantono et al., 1989) Pereaksi 1. Larutan ADF Larutkan 20 g setil trimetil amonium bromida dalam 1 liter H 2 SO 4 1 N 2. Aseton Cara

Lebih terperinci

Bab III Bahan dan Metode

Bab III Bahan dan Metode Bab III Bahan dan Metode A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2012 di daerah budidaya rumput laut pada dua lokasi perairan Teluk Kupang yaitu di perairan Tablolong

Lebih terperinci

BAB 4. METODE PENELITIAN

BAB 4. METODE PENELITIAN BAB 4. METODE PENELITIAN Pada Tahun I penelitian ini dilakukan 3 tahap percobaan sebagai berikut: 1. Percobaan 1 : Penentuan bahan baku pupuk organik Tujuan percobaan adalah untuk mendapatkan komposisi

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN Pleurotus spp. PADA MEDIA SERBUK GERGAJIAN KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria) ALWIAH

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN Pleurotus spp. PADA MEDIA SERBUK GERGAJIAN KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria) ALWIAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN Pleurotus spp. PADA MEDIA SERBUK GERGAJIAN KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria) ALWIAH DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan salah satu sentra produksi pisang nasional.

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan salah satu sentra produksi pisang nasional. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Provinsi Lampung merupakan salah satu sentra produksi pisang nasional. Produksi pisang Provinsi Lampung sebesar 697.140 ton pada tahun 2011 dengan luas areal

Lebih terperinci

7 HIDROLISIS ENZIMATIS DAN ASAM-GELOMBANG MIKRO BAMBU BETUNG SETELAH KOMBINASI PRA-PERLAKUAN SECARA BIOLOGIS- GELOMBANG MIKRO

7 HIDROLISIS ENZIMATIS DAN ASAM-GELOMBANG MIKRO BAMBU BETUNG SETELAH KOMBINASI PRA-PERLAKUAN SECARA BIOLOGIS- GELOMBANG MIKRO 75 7 HIDROLISIS ENZIMATIS DAN ASAM-GELOMBANG MIKRO BAMBU BETUNG SETELAH KOMBINASI PRA-PERLAKUAN SECARA BIOLOGIS- GELOMBANG MIKRO 7.1 Pendahuluan Aplikasi pra-perlakuan tunggal (biologis ataupun gelombang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fungi kelompok tertentu yang memiliki kemampuan enzimatik sehingga. kekuatan kayu dan mengakibatkan kehancuran (Zabel, 1992).

TINJAUAN PUSTAKA. fungi kelompok tertentu yang memiliki kemampuan enzimatik sehingga. kekuatan kayu dan mengakibatkan kehancuran (Zabel, 1992). TINJAUAN PUSTAKA Proses Pelapukan Pelapukan dan perubahan warna pada kayu disebabkan oleh fungi dan bakteri. Fungi dan bakteri adalah sumber kerugian utama pada produksi kayu dan penggunaannya. Pelapukan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. blender, ukuran partikel yang digunakan adalah ±40 mesh, atau 0,4 mm.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. blender, ukuran partikel yang digunakan adalah ±40 mesh, atau 0,4 mm. 30 4.1.Perlakuan Pendahuluan 4.1.1. Preparasi Sampel BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Proses perlakuan pendahuluan yag dilakukan yaitu, pengecilan ukuran sampel, pengecilan sampel batang jagung dilakukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Selama fermentasi berlangsung terjadi perubahan terhadap komposisi kimia substrat yaitu asam amino, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral, selain itu juga

Lebih terperinci

Air Panas. Isolat Murni Bakteri. Isolat Bakteri Selulolitik. Isolat Terpilih Bakteri Selulolitik. Kuantitatif

Air Panas. Isolat Murni Bakteri. Isolat Bakteri Selulolitik. Isolat Terpilih Bakteri Selulolitik. Kuantitatif 75 Lampiran 1. Metode Kerja L.1.1 Bagan kerja Air Panas - Isolasi dan Seleksi Bakteri Pemurnian Bakteri Isolat Murni Bakteri Uji Bakteri Penghasil Selulase Secara Kualitatif Isolat Bakteri Selulolitik

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. laboratorium jurusan pendidikan biologi Universitas Negeri Gorontalo. Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. laboratorium jurusan pendidikan biologi Universitas Negeri Gorontalo. Penelitian 25 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium jurusan pendidikan kimia dan laboratorium jurusan pendidikan biologi Universitas Negeri Gorontalo.

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2012 sampai bulan Desember 2012 di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2012 sampai bulan Desember 2012 di 23 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2012 sampai bulan Desember 2012 di Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai bulan Juli 2011. Pengujian dilaksanakan di Laboratorium Mekanisasi Proses, Laboratorium Bioteknologi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PRODUKSI INOKULUM 1. Karakteristik Substrat Inokulum Substrat yang digunakan terdiri dari onggok (ampas tapioka), bekatul, bungkil kacang tanah dan ampas tahu. Substrat tersebut

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biogas merupakan gas yang mudah terbakar (flammable), dihasilkan dari

TINJAUAN PUSTAKA. Biogas merupakan gas yang mudah terbakar (flammable), dihasilkan dari 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biogas Biogas merupakan gas yang mudah terbakar (flammable), dihasilkan dari perombakan bahan organik oleh mikroba dalam kondisi tanpa oksigen (anaerob). Bahan organik dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam berbagai industri seperti makanan, minuman, kosmetik, kimia dan

BAB I PENDAHULUAN. dalam berbagai industri seperti makanan, minuman, kosmetik, kimia dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Asam laktat merupakan senyawa asam organik yang telah digunakan dalam berbagai industri seperti makanan, minuman, kosmetik, kimia dan farmasi. Asam laktat dapat dipolimerisasi

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Pekanbaru. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Mei sampai September

MATERI DAN METODE. Pekanbaru. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Mei sampai September III. MATERI DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Patologi, Entomologi, dan Mikrobiologi (PEM) Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga pada bulan Januari-Mei

Lebih terperinci

METODE. Bahan dan Alat

METODE. Bahan dan Alat 22 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan mulai bulan September sampai November 2010. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan serta Laboratorium

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) mulai Maret 2011 sampai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. industri minyak bumi serta sebagai senyawa intermediet pada pembuatan bahan

I. PENDAHULUAN. industri minyak bumi serta sebagai senyawa intermediet pada pembuatan bahan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Furfural merupakan salah satu senyawa kimia yang memiliki banyak manfaat, yaitu sebagai pelarut dalam memisahkan senyawa jenuh dan tidak jenuh pada industri minyak bumi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 2.4 BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan untuk preparasi media fermentasi semi padat adalah limbah pertanian berupa kulit durian, kulit jeruk Siam, kulit jeruk Medan, dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membuat kita perlu mencari bahan ransum alternatif yang tersedia secara

I. PENDAHULUAN. membuat kita perlu mencari bahan ransum alternatif yang tersedia secara I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ayam broiler merupakan salah satu ternak yang penting dalam memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat. Ransum merupakan faktor yang penting dalam peningkatan produksi

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober 2011 sampai Oktober 2012. Sampel gubal dan daun gaharu diambil di Desa Pulo Aro, Kecamatan Tabir Ulu, Kabupaten

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah TINJAUAN PUSTAKA Ampas Sagu Pemanfaatan limbah sebagai bahan pakan ternak merupakan alternatif dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah mempunyai proporsi pemanfaatan yang besar

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 21 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Ubi kayu merupakan salah satu hasil pertanian dengan kandungan karbohidrat yang cukup tinggi sehingga berpotensi sebagai bahan baku pembuatan etanol. Penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara agraris (agriculture country) yang mempunyai berbagai keragaman hasil pertanian mulai dari padi, ubi kayu, sayursayuran, jagung

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam pembuatan dan analisis kualitas keju cottage digunakan peralatan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam pembuatan dan analisis kualitas keju cottage digunakan peralatan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Alat dan Bahan 3.1.1 Alat Dalam pembuatan dan analisis kualitas keju cottage digunakan peralatan antara lain : oven, autoklap, ph meter, spatula, saringan, shaker waterbath,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan energi dunia saat ini telah bergeser dari sisi penawaran ke sisi

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan energi dunia saat ini telah bergeser dari sisi penawaran ke sisi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan energi dunia saat ini telah bergeser dari sisi penawaran ke sisi permintaan. Artinya, kebijakan energi tidak lagi mengandalkan pada ketersediaan pasokan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengujikan L. plantarum dan L. fermentum terhadap silase rumput Kalanjana.

BAB III METODE PENELITIAN. mengujikan L. plantarum dan L. fermentum terhadap silase rumput Kalanjana. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Percobaan Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yaitu dengan cara mengujikan L. plantarum dan L. fermentum terhadap silase rumput Kalanjana. Rancangan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengujikan kemampuan Bacillus mycoides dalam memfermentasi onggok untuk

BAB III METODE PENELITIAN. mengujikan kemampuan Bacillus mycoides dalam memfermentasi onggok untuk BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Percobaan Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang bertujuan mengujikan kemampuan Bacillus mycoides dalam memfermentasi onggok untuk menurunkan serat

Lebih terperinci

APPENDIKS A PROSEDUR KERJA DAN ANALISA

APPENDIKS A PROSEDUR KERJA DAN ANALISA APPENDIKS A PROSEDUR KERJA DAN ANALISA 1. Pembuatan sodium Sitrat (C 6 H 5 Na 3 O 7 2H 2 O) 0,1 M 1. Mengambil dan menimbang sodium sitrat seberat 29.4 gr. 2. Melarutkan dengan aquades hingga volume 1000

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan

BAB III METODE PENELITIAN. yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 6 ulangan,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet, dan bahan pembantu berupa metanol, HCl dan NaOH teknis. Selain bahan-bahan di atas,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. samping itu, tingkat pencemaran udara dari gas buangan hasil pembakaran bahan

BAB I PENDAHULUAN. samping itu, tingkat pencemaran udara dari gas buangan hasil pembakaran bahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan energi berupa bahan bakar minyak (BBM) berbasis fosil seperti solar, bensin dan minyak tanah pada berbagai sektor ekonomi makin meningkat, sedangkan ketersediaan

Lebih terperinci

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Produk pertanian yang melimpah menyediakan limbah hasil pertanian yang melimpah pula. Umumnya limbah hasil pertanian ini masih mengandung sejumlah nutrien,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kulit kacang hijau dan pecahan-pecahan tauge kacang hijau (Christiana, 2012). Tauge

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kulit kacang hijau dan pecahan-pecahan tauge kacang hijau (Christiana, 2012). Tauge 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Limbah Tauge Kacang Hijau Limbah tauge kacang hijau merupakan sisa produksi tauge yang terdiri dari kulit kacang hijau dan pecahan-pecahan tauge kacang hijau (Christiana,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Tepung Onggok Karakterisasi tepung onggok dapat dilakukan dengan menganalisa kandungan atau komponen tepung onggok melalui uji proximat. Analisis proximat adalah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi dan Seleksi Mikrob pada A. malaccensis Populasi bakteri dan fungi diketahui dari hasil isolasi dari pohon yang sudah menghasilkan gaharu. Sampel yang diambil merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. baik dalam bentuk segar maupun kering, pemanfaatan jerami jagung adalah sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. baik dalam bentuk segar maupun kering, pemanfaatan jerami jagung adalah sebagai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jerami Jagung Jerami jagung merupakan sisa dari tanaman jagung setelah buahnya dipanen dikurangi akar dan sebagian batang yang tersisa dan dapat diberikan kepada ternak, baik

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT Penelitian dilaksanakan mulai 1 Agustus 2009 sampai dengan 18 Januari 2010 di Laboratorium SBRC (Surfactant and Bioenergy Research Center) LPPM IPB dan Laboratorium

Lebih terperinci

Rancangan Penelitian

Rancangan Penelitian Bab III Rancangan Penelitian Pada bagian ini dijelaskan tentang penelitian yang dilaksanakan meliputi metodologi penelitian, bahan dan alat yang digunakan, alur penelitian dan analisis yang dilakukan.

Lebih terperinci

III. METODE A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

III. METODE A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN III. METODE A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di Lab. Bioindustri dan Lab. Teknik Kimia Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fateta IPB. Penelitian dimulai pada bulan Oktober 2009

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu 1. Bentuk Granula Suspensi pati, untuk pengamatan dibawah mikroskop polarisasi cahaya, disiapkan dengan mencampur butir pati dengan air destilasi, kemudian

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah bubuk susu kedelai bubuk komersial, isolat protein kedelai, glucono delta lactone (GDL), sodium trpolifosfat

Lebih terperinci

PEMANFAATAN SERBUK KAYU UNTUK PRODUKSI ETANOL DENNY IRAWATI

PEMANFAATAN SERBUK KAYU UNTUK PRODUKSI ETANOL DENNY IRAWATI PEMANFAATAN SERBUK KAYU UNTUK PRODUKSI ETANOL DENNY IRAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK DENNY IRAWATI. Pemanfaatan Serbuk Kayu Untuk Produksi Etanol. Dibimbing oleh

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian a. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jamur yang memiliki tubuh buah, serasah daun, ranting, kayu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peternakan, karena lebih dari separuh biaya produksi digunakan untuk memenuhi

I. PENDAHULUAN. peternakan, karena lebih dari separuh biaya produksi digunakan untuk memenuhi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha peternakan, karena lebih dari separuh biaya produksi digunakan untuk memenuhi kebutuhan pakan. Oleh karena

Lebih terperinci