IDENTIFIKASI, KAJIAN BIOLOGI DAN KETAHANAN TANAMAN TERHADAP NEMATODA SISTA KENTANG (Globodera spp.) INDONESIA LISNAWITA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IDENTIFIKASI, KAJIAN BIOLOGI DAN KETAHANAN TANAMAN TERHADAP NEMATODA SISTA KENTANG (Globodera spp.) INDONESIA LISNAWITA"

Transkripsi

1 IDENTIFIKASI, KAJIAN BIOLOGI DAN KETAHANAN TANAMAN TERHADAP NEMATODA SISTA KENTANG (Globodera spp.) INDONESIA LISNAWITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Identifikasi, Kajian Biologi dan Ketahanan Tanaman terhadap Nematoda Sista Kentang (Globodera spp.) Indonesia adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, September 2007 Lisnawita NIM A

3 RINGKASAN LISNAWITA. Identifikasi, Kajian Biologi dan Ketahanan Tanaman terhadap Nematoda Sista Kentang (Globodera spp.) Indonesia. Dibimbing oleh MEITY SURADJI SINAGA, GUSTAF ADOLF WATTIMENA, SUPRAMANA dan GEDE SUASTIKA. Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan tanaman pangan utama dunia yang menempati urutan keempat sesudah padi, gandum dan jagung. Beberapa faktor pembatas produksi kentang adalah gangguan hama dan penyakit, iklim, teknik budidaya, pembibitan (mutu bibit) dan kesuburan tanah. Penyakit tanaman dapat disebabkan oleh berbagai bakteri, cendawan, fitoplasma, oomisetes, nematoda, viroids, and virus. Salah satu nematoda parasit yang saat ini sangat meresahkan petani kentang di Indonesia adalah potato cyst nematode atau nematoda sista kentang (Globodera spp./nsk). Di Indonesia, NSK merupakan patogen baru, dan pertama kali dilaporkan menyerang pertanaman kentang di dusun Sumber Brantas, Jawa Timur. Oleh karena itu pengetahuan tentang NSK Indonesia masih sangat terbatas. Informasi tentang spesies, patotipe, faktor biologis dan karakter molekuler belum pernah dilaporkan. Padahal informasi ini sangat diperlukan untuk dapat menyusun strategi pengendalian yang tepat dan efektif. Berdasarkan hal itu dilakukan penelitian dengan tujuan : (1) mendapatkan sebaran geografi NSK di sentra pertanaman kentang di Pulau Jawa, (2) mendapatkan informasi spesies dan patotipe NSK Indonesia, (3) mempelajari biologi, pascaembriogenik dan siklus hidup NSK dan (4) mengevaluasi ketahanan tanaman kentang serta kisaran inang NSK. Hasil survei menunjukkan bahwa NSK telah tersebar luas di beberapa wilayah di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan kepadatan populasi bervariasi dari rendah hingga tinggi. Kisaran populasi NSK di tiga lokasi di Desa Tulung Rejo (Kabupaten Kota Batu, Jawa Timur) adalah 21, 44 dan 675 sista per 100 ml tanah. Untuk Jawa Tengah, kisaran populasi dari yang tertinggi terdapat di Desa Pawuhan (Kabupaten Banjarnegara) yaitu 400 sista, diikuti berturut-turut oleh Desa Karangtengah (Kabupaten Banjarnegara), yaitu 270 sista, Desa Kepakisan (Kabupaten Banjarnegara) dengan 21 sista dan Desa Petak Bateng (Kabupaten Wonosobo) dengan 2 sista per 100 ml tanah. Sedangkan kepadatan populasi untuk Jawa Barat adalah 28 sista, 19 sista, 17 sista dan 2 sista per 100 ml tanah, berturut-turut untuk Desa Sukamanah (Kabupaten Bandung), Desa Sukamanah (Kabupaten Bandung), Desa Mekarsari Sindangkerta (Kabupaten Bandung) dan Desa Sukamanah (Kabupaten Bandung). Identifikasi spesies berdasarkan karakter morfologi ditemukan spesies tunggal G. rostochiensis. Dengan teknik Polymerase Chain Reaction hasil yang diberikan lebih cermat dengan terdeteksinya campuran spesies dari populasi NSK Jawa Tengah. Sedangkan populasi NSK Jawa Timur dan Jawa Barat hanya terdeteksi satu spesies yaitu G. rostochiensis. Berdasarkan analisis keragaman genetik dengan program Clustal W-1,83 diperoleh bahwa isolat Indonesia berada pada kelompok yang berbeda dengan isolat NSK negara lain yang ada di GeneBank. Isolat Indonesia terbagi dalam dua kelompok, yaitu isolat Jawa Timur berada dalam satu kelompok, dan isolat Jawa Tengah berada dalam satu kelompok

4 lain. Pengujian patotipe dengan klon diferensial menghasilkan populasi NSK Jawa Timur menujukkan G. rostochiensis dengan patotipe baru spesifik Indonesia, sedangkan populasi NSK Jawa Tengah merupakan G. rostochiensis patotipe Ro1. Temperatur optimum untuk menghasilkan sista baru, faktor reproduksi, daya tahan hidup, keperidian dan perbanyakan NSK yang tinggi adalah 15-21ºC, dengan pola persamaan kuadratik. Setiap faktor biologi berkorelasi positif sangat nyata dengan faktor biologi yang lain. Nematoda sista kentang melengkapi siklus hidupnya dari sista hingga menghasilkan sista lagi dalam hari. Evaluasi ketahanan kultivar kentang terhadap isolat S1 yang dilakukan di rumah kassa, didapat tiga tipe ketahanan pada kultivar kentang uji yaitu : peka (Desiree, Atlantik, hps 7/67 klon 160 dan tps 340 klon 149), agak tahan (Astarte, Elkana, Granola dan Desiree transgenik ) dan resisten (Solanum stoloniferum). Pada pengujian kisaran inang NSK di peroleh tomat varietas Dona, Money Maker, dan Maestro berpotensi sebagai tanaman perangkap NSK. Kata kunci : Identifikasi, kajian biologi, evaluasi ketahanan tanaman, nematoda sista kentang, Globodera rostochiensis, G. pallida

5 SUMMARY LISNAWITA. Ïdentification, Study of Biology and Plant Resistance for Indonesian Potato Cyst Nematode (Globodera spp.). Supervised by MEITY SURADJI SINAGA, GUSTAF ADOLF WATTIMENA, SUPRAMANA and GEDE SUASTIKA. Potato (Solanum tuberosum L.) is the fourth most important crop in the world after rice, wheat and maize. Some factors that may constrain potato production in Indonesia are pests, diseases, climate, seed quality, soil fertility, and cultural methods. Plant diseases can be caused by bacteria, fungi, oomycetes, phytoplasma, nematodes, viroids, and virus. One parasite nematode, potato cyst nematode (PCN) (Globodera spp.), is a major threat to Indonesian potato production. In Indonesia, PCN was only first recognized in 2003 when it was found destroying a potato plantation in Sumber Brantas (East Java). Therefore, knowledge of PCN in Indonesia is limited and there has been no detail studied of species, pathotypes, biology and genetic diversity of Indonesian populations. This information is needed to develop appropriate and effective control strategies. The objectives of this study were to (1) obtain geographical distribution of PCN in the centre of potato plantation in Java, (2) obtain information of Indonesian PCN s species and pathotypes, (3) study biological aspects, postembryonic and life cycle of PCN and (4) evaluate potato cultivars resistance and host range of PCN, in Indonesia. Survey in some areas in Java showed that PCN was already existed in East Java, Central Java and West Java, with population densities ranging from low to high. The population of PCN at three locations in Desa Tulung Rejo (Batu District, East Java) were 21, 44 and cysts per 100 ml soil. In Central Java, the highest population was found in Pawuhan (Banjarnegara District), with 400 cysts per 100 ml soil, followed by Desa Karangtengah (Banjarnegara District), Desa Kepakisan (Banjarnegara District), and Desa Petak Bateng (Wonosobo District) with 270, 21, and 2 cysts per 100 ml soil, respectively. Population densities of PCN in West Java were 28 cysts in Desa Sukamanah (Bandung District, 19 cysts in Desa Sukamanah (Bandung District), 17 cysts in Desa Mekarsari (Bandung District), and 2 cysts in Desa Sukamanah (Bandung District) per 100 ml soil. Based on morphological characters, a single species, G. rostochiensis was identified from East Java, Central Java and West Java specimens. However, PCRs using specific primers for G. rostochiensis and G. pallida, showed mix species, were present in some samples from Central Java. Genetic character analysis with Clustal-W 1.83 program found that Indonesian isolates had low similarity compared to PCN species lodged in GeneBank. Indonesian population were separated into two groups, i.e. East Java population and Central Java population. Clone differential test showed that the PCN population from East Java was G. rostochiensis with Indonesian specific pathotype, while PCN population from Central Java was G. rostochiensis similar to Ro1 pathotype. Study of the effect of temperature (12, 15, 18, 21, and 24ºC) on growth, behavior, and life cycle of PCN was carried out in growth chamber. Observation was conducted on number of cysts, reproduction factor (Rf), survival, fecundity, multiplication, postembryonic, and PCN life cycle. The results showed that the

6 optimum temperature to produce new cysts with highest Rf, survival, fecundity, multiplication was 15-21ºC, with quadratic relationship. Every biological factor had a positive correlation with other biological factors. PCN completed its life cycle within days. Study of plant resistance and host range of Indonesian PCN on S1 isolates were carried out in a screen house. This study showed that there were three potato resistance types, i.e. susceptible (Desiree, Atlantic, hps 7/67 clone 160 and tps 340 clone 149), medium resistance (Astarte, Elkana, Granola and Desiree transgenic ), and resistant (Solanum stoloniferum). The potential Solanaceae cultivars that might be used as PCN trap crops were tomato cultivars Dona, Money maker, and Maestro, because many second stage juveniles of PCN were found to invade these cultivars. Key words: identification, biology study, evalution of plant resistance, potato cyst nematode, Globodera rostochiensis, G. pallida

7 Hak cipta milik IPB, tahun 2007 Hak cipta dilindungi 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tujuan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

8 IDENTIFIKASI, KAJIAN BIOLOGI DAN KETAHANAN TANAMAN TERHADAP NEMATODA SISTA KENTANG (Globodera spp.) INDONESIA LISNAWITA Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Entomologi dan Fitopatologi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

9 Judul Disertasi : IDENTIFIKASI, KAJIAN BIOLOGI DAN KETAHANAN TANAMAN TERHADAP NEMATODA SISTA KENTANG (Globodera spp.) INDONESIA Nama NIM : Lisnawita : A Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, M.Sc Ketua Prof. Dr. Ir. G.A. Wattimena, M.Sc Anggota Dr. Ir. Supramana, M.Si Anggota Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc Anggota Diketahui Ketua Program Studi Entomologi dan Fitopatologi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Lulus : 6 September 2007 Tanggal Ujian : 3 September 2007

10 Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Ika Mustika, SU, APU Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Muchjidin Rahmat, MS 2. Dr. Ir. Abdul Munif, M.Si

11 PRAKATA Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunianya kepada penulis, sehingga penulisan disertasi yang berjudul Identifikasi, Kajian Biologi dan Ketahanan Tanaman terhadap Nematoda Sista Kentang (Globodera spp.) Indonesia dapat diselesaikan. Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tidak terhingga kepada Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, M.Sc, Prof. Dr. Ir. G.A. Wattimena, M.Sc, Dr. Ir. Supramana, M.Si, Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc, atas bimbingan, kesabaran, pengkayaan wawasan, kritik, saran dan dukungan moril yang sangat besar peranannya dalam penyelesaian penulisan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan Dr. Ir. Ika Mustika, SU, APU yang bersedia menjadi Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup. Dr. Ir. Muchjidin Rahmat, MS dan Dr. Ir. Abdul Munif, M.Si yang bersedia menjadi Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka. Dr. Richard Janssen dari Plant Research International, Wageningen, The Netherlands atas bantuan satu set klon diferensial NSK. Rektor USU, Dekan Faperta USU dan Ketua Departemen Proteksi Tanaman Faperta USU yang telah memberi ijin untuk mengikuti program doktor di program studi Entomologi dan Fitopatologi Sekolah Pascasarjana IPB. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua dan seluruh staf pengajar program studi Entomologi dan Fitopatologi, Ketua dan seluruh staf pengajar dan administrasi Departemen Proteksi Tanaman Faperta IPB atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program doktor di IPB. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada tim manajemen Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS), Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan dukungan dana untuk mengikuti program doktor. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Research Grant Program Hibah Kompetisi-B, Departemen Proteksi Tanaman, Faperta, IPB, tahun anggaran 2005/2006 yang telah membantu sebagian dana penelitian Disertasi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada temanteman di Laboratorium Nematologi, Dr. Ir. Adnan Muin, M.Si, Pak Gatut, Mbak Rita, Dona dan Edu yang telah banyak memberi bantuan selama penelitian dan

12 penulisan disertasi ini. Terima kasih kepada Dian dan keluarga dan mang Maman atas bantuan pemeliharaan tanaman di rumah kassa. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Nia, Sarah dan pak Asep atas bantuan perbanyakan tanaman kultur jaringan. Juga kepada sahabat-sahabat saya Dr. Ian Riley, Dr. Ir. Andi Khaeruni, M.Si dan keluarga, Dr. Ir. Muhammaad Taufik, M.Si, Dr. Ir. Eliza S. Rusli, M.Si, Dr. Ir. Noor Aidawati, M.Si, mbak Tuti, mbak Yunik, mbak Hiasinta J. Matulo, Pak Rai atas persahabatan dan kerjasamanya. Kepada temanteman kos, tetangga kamar mbak Sukendah, Ria, mbak Niken, Yati, Diana dan Rafli atas kebersamaan dalam suka dan duka. Terima kasih yang setulusnya penulis ucapan kepada teman-teman di Medan, Nissa dan keluarga, Kak Mida dan keluarga, Irda dan keluarga, Bu Cyccu, atas persahabatan, perhatian dan dorongan semangat selama ini. Rasa hormat yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta, ayahanda H. Abdul Muis (alm) dan ibunda Hj. Rohana Samin yang telah mencurahkan kasih sayang, bimbingan, doá, dan selalu memberikan yang terbaik buat putra-putrinya. Semoga Allah SWT selalu memberikan ampunan dan maghfirahnya, Amien. Ucapan terima kasih yang tidak terhingga juga penulis ucapkan kepada semua kakanda dan kakak ipar, Mayjend (inf) M. Noer Muis dan keluarga, M. Irawan Muis, BA dan keluarga, M. Arwien Muis, SE dan keluarga, M. Ramli Araby, SE dan keluarga, Nunu Hendrawanto, SE dan keluarga, M. Arman Muis, SE dan keluarga, dan M. Arnis Muis dan keluarga atas dorongan semangat, pengertian dan bantuan material selama ini. Akhir kata terima kasih yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, semoga Allah SWT yang membalas semua kebaikan yang Bapak/Ibu dan teman-teman berikan kepada penulis. Amin. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat untuk kepentingan umat manusia dan ilmu pengetahuan. Bogor, September 2007 Lisnawita

13 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kualasimpang, 5 Oktober Penulis merupakan anak ke delapan dari delapan bersaudara dari anak pasangan H. Abdul Muis (Alm) dan Hj. Rohana Samin. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri 7 Kualasimpang pada tahun 1982, pendidikan menengah di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Kualasimpang pada tahun 1985, dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Negeri 1 Kualasimpang pada tahun Gelar Sarjana Strata 1 penulis raih dari Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan pada tahun 1993 dan Sarjana Strata 2 dari Program Studi Entomologi dan Fitopatologi Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun Sejak tahun 2002 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Doktor (S3) pada Program Studi Entomologi dan Fitopatologi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sejak tahun 1994 penulis diangkat sebagai staf pengajar tetap Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan. Sebagian dari disertasi ini telah dipublikasikan dengan judul artikel : (1). Species Identification of Indonesian Potato Cyst Nematode Using Polymerase Chain Reaction (PCR) Technique, pada Journal of ISSAAS Vol. 11, No. 3, December 2005 (Supplement), (2). Identification of Potato Cyst Nematode Populations Prevailing in East and Central Java, Indonesia, Based on Morphometric and Morphological Characteristics, pada Journal of ISSAAS Vol.13, No.1, June Diterbitkan oleh The International Society for Southeast Asian Agricultural Sciences. Poster terbaik pada The 1 st International Conference of Crop Security 2005, Malang September 2005 dengan judul : Polymerase Chain Reaction to Identify Species of Potato Cyst Nematode in Indonesia dan dipresentasikan pada The Third Asian Conference on Plant Pathology, Yogyakarta August 2007 dengan judul : Geographical Distribution and Species Identification of Indonesian Potato Cyst Nematode (PCN) Using DNA Finger Printing Technique.

14 xiii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xvi xviii I II PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Sejarah NSK di Dunia dan di Indonesia... 2 Biologi dan Siklus Hidup NSK... 3 Identifikasi dan Pengujian Patotipe NSK... 5 Strategi Pengendalian... 7 Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian SURVEI DAN SEBARAN GEOGRAFI NEMATODA SISTA KENTANG INDONESIA Abstrak Abstract Pendahuluan Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Pembahasan Simpulan... 23

15 xiv III IV V IDENTIFIKASI DAN KARAKTERISASI NEMATODA SISTA KENTANG INDONESIA MENGGUNAKAN KARAKTER MORFOLOGI, MOLEKULER DAN KLON DIFERENSIAL Abstrak Abstract Pendahuluan Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Pembahasan Simpulan KAJIAN BIOLOGI NEMATODA SISTA KENTANG INDONESIA Abstrak Abstract Pendahuluan Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Pembahasan Simpulan EVALUASI KETAHANAN TANAMAN DAN KISARAN INANG NEMATODA SISTA KENTANG INDONESIA Abstrak Abstract Pendahuluan Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Pembahasan Simpulan VI PEMBAHASAN UMUM VII SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA... 97

16 xv DAFTAR TABEL Halaman 2.1 Daerah sebar NSK dan kode isolat Lokasi geografi, nomor asesi sekuen NSK pada GeneBank Skema Internasional untuk patotipe G. rostochiensis (Kort et al. 1977; Canto Saenz & de Scurrah 1977) dengan klon komersil Ukuran sista, juvenil, betina, jantan dan telur NSK isolat S1 (Jawa Timur lokasi 1), S2 (Jawa Timur lokasi 2), S3 (Jawa Timur lokasi 3) dan S4 (Pawuhan Jawa Tengah) (μm) Ukuran sista, juvenil, betina, jantan dan telur NSK berdasarkan wilayah Jawa Timur (S1, S2 dan S3) dan Jawa Tengah (S4) (μm) Analisis patotipe isolat S1, S2, S3 (Jawa Timur) dan S4 (Pawuhan Jawa Tengah) pada klon diferensial komersil Korelasi antara jumlah sista, faktor reproduksi, daya tahan hidup, keperidian dan perbanyakan NSK Indonesia Tipe ketahanan kultivar kentang Tipe ketahanan sembilan kultivar kentang terhadap infeksi nematoda sista kentang Pengaruh inokulasi NSK terhadap jumlah sista dan juvenil stadia-2 (J2) pada berbagai spesies Solanaceae... 83

17 xvi DAFTAR GAMBAR Halaman 1.1 Diagram alur penelitian Gejala NSK di lapangan : Spot-spot kerdil dan daun kekuningan (a dan b), (c). Sista pada permukaan akar dan umbi (tanda panah) Lokasi pengambilan sampel tanah pada pemetaan dan penyebaran NSK di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat Daerah anterior (A-D) dan ekor (E-H) juvenile stadia-2 (J2) serta telur (I-L) nematoda sista kentang Indonesia. A, E, I). S1 (Jawa Timur lokasi 1). B, F, J). S2 (Jawa Timur lokasi 2). C, G, K). S3 (Jawa Timur lokasi 3). D, H, L). S4 (Pawuhan Jawa Tengah (S4) Karakter morfologi nematoda sista kentang Indonesia. Sista (A-D) dan sidik pantat (perineal pattern) (E-H). A, E). S1 (Jawa Timur lokasi 1). B, F). S2 (isolat Jawa Timur lokasi 2). C, G). S3 (Jawa Timur lokasi 3). D, H). S4 (Pawuhan Jawa Tengah). (vb = vulval basin, cr = cutcular ridges, a=anus,gr besar dari 3,2) Hasil amplifikasi DNA beberapa isolat NSK dengan PCR menggunakan primer spesifik G. rostochiensis dan primer universal (Muholland et al 1988). M=marker 100 bp ladder Invitogen, 1-3. NSK S1, S2 dan S3 (Jawa Timur), 4-7. NSK S4, S5, S6 dan S7(Jawa Tengah), NSK S8, S9, S10 dan S11(Jawa Barat) Hasil amplifikasi DNA beberapa isolat NSK dengan PCR menggunakan primer spesifik G. pallida dan primer universal (Muholland et al 1988) NSK S4, S5, S6 dan S7 (Jawa Tengah) M=marker 100 bp ladder Invitogen Perbandingan hasil perunutan nukleotida5 isolat `NSK spesies G. rostochiensis Indonesia. GR1-JT1 = S1, GR2-JT2 = S2, GR3-JT3 = S3, GR4-JTH = S4, dan GR6-JTH = S6. *) Menunjukkan nukleotida yang sama Dendogram isolat-isolat NSK asal Indonesia terhadap NSK dari lokasi geografi lain yang ada di GeneBank (AFO16873 ; AFO ; AFO ; AFO ; AFO ; AFO ; AFO ; AFO 16872) berdasarkan analisis menggunakan program Cluster-W 1,

18 xvii 4.1 Metode multiplikasi nematoda sista kentang di laboratorium A. tanaman kentang di dalam pot plastik B. sista-sista NSK di sepanjang permukaan akar (tanda panah) Gejala tanaman yang terinfeksi NSK di growth chamber. A. Tanaman sehat, B.15 setelah inokulasi (hsi), C. 25 hsi, D. Tanaman mati 50 hsi Pengaruh temperatur terhadap jumlah sista NSK Indonesia A.S1 (Jawa Timur lokasi 1), B. S2 (Jawa Timur lokasi 2), C. S3 (Jawa Timur lokasi 3) dan D. S4 (Pawuhan Jawa Tengah) Pengaruh temperatur terhadap faktor reproduksi NSK Indonesia A. S1 (Jawa Timur lokasi 1), B. S2 (Jawa Timur lokasi 2), C. S3 (Jawa Timur lokasi 3) dan D. S4 (Pawuhan Jawa Tengah) Pengaruh temperatur terhadap daya tahan hidup NSK Indonesia A. S1 (Jawa Timur lokasi 1), B. S2 (Jawa Timur lokasi 2), C. S3 (Jawa Timur lokasi 3) dan D. S4 (Pawuhan Jawa Tengah) Pengaruh temperatur terhadap keperidian NSK Indonesia A. S1 (Jawa Timur lokasi 1), B. S2 (Jawa Timur lokasi 2), C. S3 (Jawa Timur lokasi 3) dan D. S4 (Pawuhan Jawa Tengah) Pengaruh temperatur terhadap perbanyakan NSK Indonesia A. S1 (Jawa Timur lokasi 1), B. S2 (Jawa Timur lokasi 2), C. S3 ( Jawa Timur lokasi 3) dan D. S4 (Pawuhan Jawa Tengah) Perkembangan pascaembriogenik nematoda sista kentang. A. Telur dan J1. (B). J2 menetas dari telur. C. J2 di dalam jaringan akar. (D). Fase akhir J Perkembangan pascaembriogenik nematoda sista kentang. A. J3. (B). J4. (C). Betina. (D). Jantan. (E). Sista Siklus hidup nematoda sista kentang... 69

19 xviii DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Media MS Skema Internasional untuk patotipe G. rostochiensis dan G. pallida pada klon diferensial Tingkat kesamaan populasi G. rostochiensis yang berasal dari geogafi yang berbeda berdasarkan sekuen gen ITS Tanaman Leunca

20 I. PENDAHULUAN Latar Belakang Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan tanaman pangan utama dunia yang menempati urutan keempat sesudah padi, gandum dan jagung (Rubatzky & Yamaguchi 1998 ; Tjitrosoepomo 1997). Kentang awalnya diintroduksi dari dataran tinggi Andes, Amerika Selatan ke Spanyol sekitar tahun Penerimaan masyarakat Spanyol menyebabkan pertumbuhan dan distribusi kentang meningkat dan mulai dibudidayakan secara besar-besaran (Hawkes 1994 ; Wattimena et al. 2002). Kentang dibawa ke sejumlah negara di Eropa dan dalam waktu kurang dari 100 tahun, tanaman ini telah ditanam cukup luas. Penyebaran di luar Eropa dimulai tahun 1620 ke India, tahun 1700 ke Cina dan ke berbagai wilayah di daerah Asia lainnya (Rubatzky & Yamaguchi 1998). Di Indonesia, kentang pertama kali masuk di wilayah Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada tahun 1794 dan mulai dibudidayakan di daerah dataran tinggi lainnya sejak tahun 1804 yaitu di Bukit Tinggi (Sumatera Barat), Tanah Karo (Sumatera Utara) sampai ke pegunungan Arfak (Irian Jaya) (Wattimena 2000). Saat ini kentang sudah dibudidayakan di 20 propinsi di Indonesia, yang tersebar di Sumatera, Jawa, Sulawesi, Maluku dan Papua (AVRDC1991 ; Daryanto 2003). Kebutuhan kentang dari tahun ke tahun semakin bertambah sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan semakin tingginya kesadaran masyarakat akan gizi (Rukmana 1997). Perubahan pada konsumsi masyarakat Indonesia dewasa ini juga turut berperan dalam memacu peningkatan kebutuhan kentang. Di kota-kota besar mulai terlihat adanya pergeseran ke arah pemanfaatan kentang sebagai sumber alternatif karbohidrat. Walaupun permintaan kentang semakin meningkat, tetapi produksi kentang belum memenuhi tingkat kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia (BPS 2005). Hal ini terlihat dari penurunan produksi kentang setiap tahunnya. Pada tahun 2005 produksi kentang mengalami penurunan sebesar ton, yaitu dari produksi ton pada tahun 2004 menjadi ton pada tahun Luas panen kentang tahun 2005 sebesar Ha, sedangkan tahun

21 sebesar Ha. Beberapa faktor yang menyebabkan penurunan produksi kentang adalah gangguan hama dan penyakit, iklim, teknik budidaya, pembibitan (mutu bibit) dan kesuburan tanah. Di antara faktor-faktor tersebut, gangguan hama dan penyakit merupakan penyebab utama penurunan produksi kentang di Indonesia. Penyakit penting yang menyebabkan penurunan produksi kentang di Indonesia adalah penyakit tanaman yang disebabkan oleh berbagai bakteri, cendawan, fitoplasma, oomisetes, nematoda, viroids, dan virus dengan intensitas serangan yang sangat tinggi. Salah satu nematoda parasit yang saat ini sangat meresahkan petani kentang di Indonesia adalah potato cyst nematode (PCN) atau nematoda sista kentang (NSK) (Globodera spp.). Nematoda ini merupakan organisme pengganggu tanaman penting karena kemampuan merusak dan mematikan pada tanaman kentang yang sangat besar. Nematoda menyebar luas secara pasif melalui tanah atau umbi atau bahan pembiakan vegetatif yang lain. Sejarah NSK di Dunia dan di Indonesia Nematoda sista kentang berasal dari wilayah di sekitar Danau Titicaca pegunungan Andes Amerika Selatan, dekat perbatasan Peru dan Bolivia (Evans & Turner 1998). Impor tanaman kentang yang berasal dari Amerika Selatan oleh negara-negara di Eropa untuk keperluan pemuliaan demi menghasilkan varietas kentang resisten terhadap Phytophthora infestans, merupakan awal dari penyebaran NSK di Benua Eropa (Evans & Turner 1998). CABI (2002) telah mencatat daerah sebar NSK di Benua Eropa, Asia, Afrika, Amerika dan Kepulauan Oceania (Kepulauan Norfolk New Zealand Australia). Ternyata pola sebar NSK mengikuti pola sebar tanaman kentang dan hampir seluruh sentra pertanaman kentang di dunia telah dicemari oleh kehadiran NSK (Hadisoeganda 2004). Sampai tahun 1923, NSK tergolong sebagai strain kentang dari nematoda sista bit gula (Heterodera schachtii (Schmidt). Pada tahun itu, Wollenweber mengklassifikasi strain kentang ini sebagai Heterodera rostochiensis (Woll.). Pada tahun tujuh puluhan, Stone (1973b) mengidentifikasi dan mendiskripsikan spesies NSK yang kedua yaitu Heterodera pallida. Nama-nama ini kemudian

22 3 diganti menjadi Globodera rostochiensis (nematoda sista kuning atau golden potato cyts nematode) dan G. pallida (nematoda sista putih atau pale potato cyts nematode) (Stevenson et al. 2001). Di Indonesia, NSK merupakan patogen baru, dan pertamakali dilaporkan menyerang pertanaman kentang di dusun Sumber Brantas Desa Tulung Rejo, Kecamatan Bumi Aji Kota Batu Jawa Timur (Daryanto 2003). Lebih lanjut Daryanto (2003) melaporkan, dari hasil wawancara langsung dengan petani kentang di Kecamatan Bumi Aji, Jawa Timur terjadi penurunan produksi kentang pada tanaman yang terserang ringan yaitu dari produksi normal 24 ton menjadi 14 ton bahkan ada yang hanya 7 ton pada lahan seluas 1,5 ha, yang berarti terjadi penurunan produksi antara 32-71%. Awalnya nematoda tersebut termasuk Organisme Pengganggu Tanaman Karantina (OPTK) kelas A1 yang berarti OPT yang belum terdapat di Indonesia dan harus diawasi agar tidak masuk ke wilayah Republik Indonesia. Saat ini, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor 38/Kpts/HK.060/1/ 2006, tanggal 27 Januari 2006, tentang jenis-jenis organisme pengganggu tumbuhan karantina golongan I kategori A1 dan A2, golongan II kategori A1 dan A2, tanaman inang, media pembawa dan daerah sebarnya status NSK berubah, NSK termasuk sebagai OPTK kelas A2 yaitu OPTK yang sudah berada di dalam wilayah tertentu di Republik Indonesia, tetapi masih terbatas penyebarannya dan dalam pengendalian. Keberadaan nematoda ini selain dapat menimbulkan kerusakan tanaman kentang yang cukup besar, juga ekspor kentang dari suatu negara yang diketahui pertanaman kentangnya terinfeksi NSK akan terhambat (Brodie et al. 1993). Berdasarkan informasi tersebut, NSK berpotensi menjadi faktor pembatas utama pada produksi kentang di Indonesia pada masa-masa yang akan datang. Biologi dan Siklus Hidup NSK Nematoda sista kentang mempunyai struktur untuk mempertahankan diri di dalam tanah yang disebut sista. Sista merupakan tubuh betina yang telah mati, yang di dalamnya berisi telur (Mulder & Van der Wal 1997). Ketika tidak ada tanaman kentang, sista tetap tinggal di dalam tanah, sebagian dari sista akan

23 4 menetas secara alami untuk mengurangi kepadatan populasi, dan sebagian sista lagi akan tetap berada di dalam tanah untuk waktu yang lama tanpa inang. Kemampuan bertahan hidup, reproduksi dan dinamika populasi NSK sangat dipengaruhi oleh temperatur, kelembaban, panjang hari dan faktor lingkungan di sekitarnya. Bagian yang aktif dari siklus hidup dimulai ketika juvenil stadia kedua (J2) menetas dari telur. Penetasan terjadi bila temperatur tanah cukup hangat (di atas 10 C) (Ferris 1959) dan ada rangsangan senyawa kimia yang dikeluarkan oleh ujung akar tanaman inang (Clark & Hennessy 1984 ; Rawsthorne & Brodie 1986). Rangsangan ini bersifat spesifik yaitu hanya terjadi pada tanaman dari famili Solanaceae seperti kentang, tomat, terung dan S. dulcamara (sejenis gulma). Menurut Devine & Jones (2000), sedikitnya ada sembilan senyawa kimia yang disebut faktor penetasan (hatching factors) yang berperan dalam penetasan telur NSK. Beberapa dari senyawa ini telah diidentifikasi dan dikarakterisasi, salah satunya adalah solanoeclepin A (Mulder et al. 1997). Rangsangan eksudat akar menyebabkan 60 80% telur menetas, sekitar 5% penetasan terjadi di dalam air dan 30% penetasan terjadi secara spontan tanpa inang (Fenwick 1949). Bila kondisi lingkungan tidak mendukung dan tidak ada rangsangan untuk menetas, telur berada dalam kondisi dorman di dalam sista. Pada stadia dorman, nematoda lebih resisten terhadap nematisida (Spears 1968). Nematoda mempunyai empat stadia juvenil dan stadia dewasa (jantan dan betina). J2 yang menetas dari telur, keluar dari sista, dan melakukan penetrasi pada ujung akar tanaman inang. Selanjutnya J2 masuk ke dalam akar di dekat titik tumbuh atau akar-akar lateral dengan menusukkan stiletnya pada sel epidermis, masuk dan bergerak dalam akar secara intraselluler dan akhirnya menetap dan memulai makan di perisikel, korteks atau endodermis. Tusukan stilet menyebabkan masuknya saliva ke dalam sel dan merangsang pembentukan sinsitium yang dikelilingi oleh satu lapisan sel hiperplastik yang berguna untuk mentransfer nutrisi ke nematoda (Jones & Nortconte 1972). Interaksi inang-parasit mempengaruhi perkembangan juvenil stadia empat (J4) untuk menjadi betina atau jantan. Jenis kelamin ditentukan oleh kecukupan nutrisi. Nutrisi yang kurang akan menghasilkan NSK jantan, sebaliknya jika

24 5 nutrisi cukup tersedia akan menghasilkam betina. Pada saat terjadi infeksi berat, NSK jantan menjadi lebih dominan, dan sebaliknya. Proses pelukaan terjadi pada saat NSK betina membengkak, memecah korteks akar, dan mengeluarkan bagian vulva, sedangkan bagian kepala dan leher masih tetap berada di dalam akar. Dalam perkembangannya, NSK jantan melingkar di dalam kutikula larva J4 dan memecah kutikula, kemudian keluar dari akar. Jantan dewasa berbentuk cacing (vermiform), keluar dari sinsitium dan masuk ke dalam tanah (Evans & Turner 1998). Reproduksi NSK terjadi secara seksual. Nematoda betina menghasilkan feromon untuk memikat atau menarik jantan yang berada di dalam tanah. Perkawinan segera terjadi beberapa saat kemudian. Setelah kawin, setiap betina menghasilkan sekitar telur, kemudian betina mati dan dinding tubuhnya akan membungkus telur dan membentuk sista. Perkembangan embrio terjadi di dalam telur hingga stadia kedua. Penetasan kembali terjadi bila ada rangsangan yang dihasilkan oleh akar tanaman inang dan kondisi lingkungan yang sesuai dan siklus hidup akan berulang kembali. NSK akan melengkapi siklus hidupnya selama hari bergantung kepada temperatur tanah (Chitwood & Buhrer 1945). Identifikasi dan Pengujian Patotipe NSK Identifikasi spesies dan patotipe NSK adalah salah satu langkah awal yang harus dilakukan untuk mendapatkan metode pengendalian yang tepat. Sampai saat ini metode identifikasi konvensional yaitu dengan pengamatan dan pengukuran morfologi masih digunakan. Secara morfologi dan morfometri kedua spesies NSK, G. rostochiensis dan G. pallida mempunyai banyak persamaan, sehingga sulit dibedakan. Sista merupakan salah satu indikator penting untuk membedakan kedua spesies, dari sini dapat dilakukan pengamatan daerah perineal seperti jumlah tonjolan-tonjolan kutikula (cuticular ridges) antara vulva dan anus dan pengukuran rasio granek. Selain sista, morfologi betina, telur, juvenil stadia kedua (J2), jantan dan daerah posterior (vulva dan anus) digunakan untuk identifikasi spesies Globodera. Berdasarkan morfologi, G. pallida umumnya mempunyai

25 6 ukuran lebih besar atau lebih panjang dib&ingkan G. rostochiensis (CABI 2002 ; Stone 1973a ; Stone 1973b). Seiring dengan perkembangan bidang molekuler, maka telah dikembangkan pengujian yang didasari dengan perbedaan di dalam protein, lemak, karbohidrat dan asam deoksiribonukleat (DNA) untuk metode identifikasi NSK, yaitu metode PCR (polymerase chain reaction). Teknik PCR dapat mengatasi masalah jumlah DNA yang rendah per individu. Fragmen DNA genom nematoda yang menjadi sasaran analisa diamplifikasi terlebih dahulu dengan PCR. Dari analisis genom nematoda, diperoleh informasi bahwa bagian internal transcribed spacer (ITS) dari rdna merupakan daerah variabel sebagai k&idat yang baik untuk studi taksonomi molekuler dan filogenik sehingga sering digunakan untuk analisa patotipe suatu populasi nematoda (Thiery & Mugniery 1996). Dalam bidang fitopatologi, teknik PCR banyak digunakan untuk tujuan deteksi patogen, identifikasi patogen, karekterisasi keanekaragaman patogen maupun untuk diferensiasi patogen tumbuhan. Dengan demikian bersama-sama dengan teknik konvensional, prosedur yang berdasarkan analisis DNA dan protein secara kontinyu dikembangkan untuk mengidentifikasi NSK sehingga dapat ditemukan metode pengendalian yang tepat. Istilah patotipe digunakan pertama kali oleh Kort et al. (1977) dalam the International PCN Pathotype Scheme. Setiap spesies NSK dibedakan atas patotipe-patotipe berdasarkan kemampuan mereka untuk memperbanyak diri pada klon-klon Solanum dengan gen-gen ketahanan yang berbeda. Sampai saat ini diketahui ada delapan patotipe yang dikenal di Eropa, lima masuk dalam spesies G. rostochiensis (Ro1, Ro2, Ro3, Ro4 dan Ro5) dan tiga masuk dalam spesies G. pallida (Pa1, Pa2 dan Pa3) (Kort et al. 1977) sedangkan di Amerika Selatan dikenal sepuluh patotipe yang terdiri dari empat masuk dalam spesies G. rostochiensis (Ra1, Rb1, Ra2 dan Ra3) dan enam masuk dalam spesies G. pallida (Pa1, Pb1, Pa2, Pa3, Pa4 dan Pa5) (Canto Saenz & de Scurrah 1977) (Lampiran 2). Patotipe-patotipe asal Eropa dibuat berdasarkan laju reproduksi pada 6 klon diferensial yaitu : S. tuberosum spp. &igena CPC 1673, S. kurtzianum hibrid , S. verrnei GLKS /4, dan MPI /19 dan S. multidissectum hibrid P55/7 (Dunnett 1961). Biasanya nilai Pf/Pi ditentukan

26 7 dengan pengujian klon diferensial di pot, kemudian diinokulasi dengan 25 sista (Pi). Pada akhir penelitian jumlah sista baru (Pf) dib&ingkan dengan jumlah sista awal (Foot 1977). Patotipe dibagi menjadi virulen atau avirulen. Virulen jika Pf/Pi >1 atau avirulen jika Pf/Pi 1. Strategi Pengendalian NSK merupakan salah satu patogen tanaman yang sulit dikendalikan, karena kemampuannya bertahan hidup yang sangat tinggi. Pada populasi rendah kehadiran nematoda sulit dideteksi, sebaliknya pada tingkat populasi yang tinggi dapat menyebabkan kehilangan hasil yang sangat tinggi. Untuk itu perlu diupayakan pengelolaan secara terpadu, yaitu dengan pencegahan introduksi baru dari luar negeri, pembatasan penyebaran ke sentra-sentra produksi kentang yang masih bebas NSK, dan pengendalian di wilayah yang sudah terinfestasi. Beberapa teknik pengendalian NSK yang mungkin dapat dilakukan adalah : (1) rotasi tanaman, (2) penggunaan kultivar kentang tahan, (3) tanaman perangkap, (4) pengendalian biologi, (5) penggunaan nematisida dan (6) pengendalian terpadu. Penggunaan rotasi tanaman untuk mengendalikan NSK seringkali sulit dilakukan karena untuk memperoleh hasil yang nyata rotasi tanaman membutuhkan waktu yang lama, yaitu sekitar 6-7 tahun (Urwin et al. 2001). Selain itu umumnya tanaman yang digunakan untuk rotasi mempunyai nilai ekonomi yang lebih rendah dibandingkan kentang, sehingga petani tidak tertarik untuk melakukan rotasi tanaman, untuk itu perlu dicari strategi pengendalian lain (Schomaker & Been 1999). Penggunaan varietas resisten merupakan cara yang efektif dan ekonomis dalam mengendalikan nematoda parasit tanaman. Walaupun demikian tidak mudah untuk mendapatkan varietas resisten NSK. Hal ini disebabkan karena NSK dikendalikan oleh beberapa gen virulen, dimana gen-gen virulen tersebut ada yang bersifat monogenik dan ada yang bersifak poligenik sehingga sulit untuk merakit varietas kentang dengan beberapa gen tahan sekaligus. Oleh karena itu walaupun pemuliaan tanaman telah berhasil mendapatkan beberapa varietas kentang resisten tetapi tidak menyelesaikan masalah NSK secara permanen. Tanaman perangkap (trap crop) adalah tanaman yang digunakan untuk

27 8 merangsang penetasan telur dari sista dengan eksudat yang dikeluarkan akar, tetapi mencegah terjadinya siklus hidup lengkap sehingga dapat menurunkan populasi nematoda di lapangan (Anonimus 2007c). Halford et al. (1999) ; Lamondia & Brodie (1986) mengemukakan bahwa dengan penggunaan tanaman perangkap dapat menurunkan populasi NSK di lapangan lebih dari 87%. Scholte (2000a) melaporkan bahwa tanaman kentang sendiri dapat digunakan, tetapi tidak ideal sebagai tanaman perangkap. Beberapa penelitian di Eropa menemukan bahwa penggunaan Solanaceae yang tidak menghasilkan umbi sebagai tanaman perangkap ternyata lebih efektif dibandingkan Solanaceae yang menghasilkan umbi. Hal ini disebabkan karena pada tanaman yang menghasilkan umbi, tanaman masih dapat tumbuh kembali walaupun umbi telah diambil. Setelah dilakukan skrining untuk waktu yang lama, didapat satu spesies Solanaceae yang efektif untuk mengendalikan NSK di Eropa yaitu Solanum sisymbriifolium (Lam.) (Scholte 2000b). S. sisymbriifolium mampu menurunkan populasi NSK sebesar 50-80% (Scholte 2000c ; Scholte & Vos 2000). Walaupun beberapa cendawan telah berhasil diisolasi dari Globodera spp., tetapi keberhasilan pengendalian NSK secara biologi masih kecil. Khan (1988), melaporkan parasit telur Paecilomyces lilacinus mampu mengendalikan G. rostochiensis seefektif nematisida aldicard. Goswami & Rumpehorst (1978) berhasil mengisolasi cendawan dari telur NSK di Jerman dan efektif menginfeksi 70% telur G. rostochiensis dan G. pallida. Keberhasilan penggunaan agens biokontrol untuk pengendalian biologi sangat dipengaruhi oleh seleksi isolat agens biokontrol yang akan digunakan dan faktor-faktor yang mempengaruhi epidemiologi agens biokontrol dan nematoda itu sendiri (Stirling 1991). Untuk beberapa dekade, pengendalian nematoda yang efektif sangat tergantung pada penggunaan nematisida (Hague & Gowen 1987). Nematisida yang bersifat fumigan maupun yang non fumigan dapat digunakan untuk mengendalikan nematoda. Fumigasi tanah telah digunakan sejak lama dan dapat menurunkan populasi NSK secara cepat (Brodie & Mai 1989). Lebbink et al. (1989) melaporkan penggunaan fumigasi tanah (1,3-dikhloropropene, methyl isothiocyanate) di bawah kondisi yang optimum dapat menurunkan populasi

28 9 nematoda parasit tanaman hingga 80%, sehingga memungkinkan mempersingkat waktu rotasi tanaman. Hal ini yang menyebabkan penggunaan fumigasi tanah menjadi komponen kunci dalam pengenadian NSK di Amerika hingga tahun Namun penggunaan fumigasi tanah harus benar-benar diperhatikan, karena fumigasi tanah dapat bersifat fitotoksik dan dapat membunuh semua organisme di dalam tanah termasuk nematoda, cendawan, bakteri dan serangga (Lebbink et al. 1989). Nematisida yang bersifat non fumigasi digunakan untuk melindungi tanaman kentang dari kerusakan dan kehilangan hasil karena serangan nematoda. Nematisida non fumigasi seperti aldicarb [2-methyl-2-(methylthio) propionaldehyde O-(methylcarbamoyl) oxime] dan oxamyl {methyl N,N - dimethyl-n-[(methylcarbamoyl)oxy]-1-thiooxamimidate} efektif mengendalikan NSK. Nematisida ini diaplikasikan pada permukaan tanah sebelum kentang ditanam (Whitehead 1986) atau diaplikasikan pada bibit pada waktu tanam (Brodie 1984). Walaupun nematisida efisien dan memberikan hasil dalam waktu yang cepat, tetapi penggunaan nematisida membutuhkan biaya yang sangat besar. Selain itu nematisida bersifat persisten sehingga dapat menyebabkan kontaminasi air tanah, lingkungan dan kesehatan (Brodie & Mai 1989). Beberapa peneliti melaporkan nematisida juga bersifat bioremediasi, yang berarti beberapa nematisida dapat menjadi sumber nutrisi bagi bakteri tanah sehingga pemberian nematisida tidak berefek apapun pada nematoda yang akan dikendalikan. Keterbatasan dari setiap teknik pengendalian jika digunakan secara tunggal untuk mengendalikan NSK, menjadi dasar pemikiran untuk memadukan beberapa teknik pengendalian sekaligus. Aplikasi nematisida non fumigan yang dikombinasikan dengan penggunaan kultivar kentang resisten dan fumigasi tanah telah menghambat penyebaran G. rostochiensis di Amerika (Evans & Brodie 1980). Di Belanda, dichloropropene dan methyl sodium digunakan secara intensif pada pengendalian terpadu NSK (Trudgill et al. 1987). Pengendalian NSK dengan strategi pengendalian terpadu dapat menurunkan resiko seleksi patotipe yang virulen secara cepat. Mengingat bahwa NSK adalah nematoda introduksi dari belahan dunia lain dan keberadaannya di Indonesia baru terdeteksi beberapa tahun yang lalu,

29 10 maka tidak mengherankan bila banyak hal belum terungkap. Oleh karena itu, salah satu aspek yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah pemetaan sebaran geografi NSK di Pulau Jawa (Bab II). Masuknya bibit kentang dari berbagai negara ke sentra-sentra pertanaman kentang di Indonesia memungkinkan terdapatnya kedua spesies NSK (G. rostochiensis dan G. pallida) dengan berbagai patotipe di Indonesia, bahkan tidak tertutup kemungkinan ada patotipe baru spesifik Indonesia. Persilangan antar NSK negara asal benih dan tekanan lingkungan baru yaitu iklim tropis Indonesia, serta adanya pengaruh faktor lingkungan seperti temperatur tanah dan lain-lain menyebabkan hanya individuindividu yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya saja yang akan membentuk populasi (baca: isolat) di daerah baru. Di samping itu, proses seleksi dan suksesi alami ini tentu menciptakan koloni-koloni NSK baru di Indonesia yang mungkin sangat berbeda dari tetuanya. Oleh karena itu, untuk kepentingan pengendalian maka perlu diketahui karakter detail tentang biologi dan siklus hidup NSK (Bab. IV), spesies dan patotipe NSK di Indonesia serta penelitian lebih mendalam tentang asam nukleat, sekuen nukleotida dan hubungan kekerabatan NSK isolat Indonesia dan isolat dari belahan dunia lain (Bab. III). Setelah mengetahui etiologi NSK isolat Indonesia, hal lain yang tidak kalah penting untuk diusahakan adalah mendapatkan formulasi pengendalian yang tepat untuk NSK Indonesia. Sampai saat ini penggunaan kultivar kentang resisten masih merupakan metode pengendalian yang paling banyak dilakukan di negara Eropa, tetapi di Indonesia belum tersedia informasi mengenai hal tersebut. Eksplorasi sifat ketahanan terhadap NSK yang mungkin dimiliki oleh beberapa kultivar kentang yang umum dibudidayakan di Indonesia perlu dilakukan. Sifat dormansi sista NSK yang sangat panjang menjadikan benih kentang yang terinfestasi berperan sangat penting dalam epidemiologi penyakit yang ditimbulkan di lapang. Tanaman Solanaceae yang dapat mengakhiri masa dormansi sista NSK akan sangat bermanfaat untuk menjadikan NSK masuk pada stadia rentan lingkungan. Untuk tujuan pengendalian, pada penelitian ini akan dilakukan evaluasi ketahanan kultivar kentang terhadap NSK dan eksplorasi spesies-spesies tanaman Solanaceae lainnya yang menghasilkan suatu senyawa yang dapat mengaktivasi sista NSK (Bab. V).

30 11 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang ada, perlu dilakukan penelitian ini yang bertujuan : (1) Mendapatkan sebaran geografi NSK di sentra-sentra pertanaman kentang di Pulau Jawa; (2) Mengetahui spesies dan patotipe NSK Indonesia dengan melakukan identifikasi berdasarkan karakter morfologi dan molekuler serta klon diferensial; (3) Mempelajari biologi NSK dengan mengamati perkembangan pascaembriogenik dan pengaruh temperatur terhadap faktor biologis; (4) Mengevaluasi ketahanan kultivar kentang dan kisaran inang NSK. Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, penelitian dilakukan melalui serangkaian percobaan sebagai berikut : (1) Survei nematoda sista kentang di sentra-sentra pertanaman kentang di Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah; (2a) Identifikasi spesies NSK berdasarkan karakter morfologi, yaitu dengan pengamatan dan pengukuran ciri-ciri morfologi (morfometri) dan karakter molekuler yaitu dengan menggunakan sidik jari DNA melalui teknik polymerase chain reaction (PCR); (2b) Pengujian klon diferensial untuk mengetahui patotipe NSK; (3). Mempelajari pengaruh temperatur terhadap faktor biologis dan mengamati perkembangan pascaembriogenik NSK; (4) Melakukan pengujian ketahanan kultivar kentang terhadap infeksi NSK dan uji kisaran inang untuk mendapatkan tanaman yang potensial sebagai tanaman perangkap NSK. Secara lengkap alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.1. Manfaat Penelitian Hasil yang diperoleh dari penelitian ini, akan memberikan informasi daerah penyebaran, spesies dan patotipe-patotipe nematoda sista kentang yang ada di Indonesia. Banyak pihak yang berkepentingan dengan ketersediaan informasi semacam ini. Karantina Tumbuhan misalnya, dapat menggunakan informasi ini sebagai dasar keilmuan untuk memberlakukan pembatasan lebih ketat pemasukan kentang dan penyebaran NSK ke daerah yang masih bebas NSK. Hasil penelitian juga akan memberikan informasi temperatur yang paling optimal bagi perkembangan NSK dan mengetahui pascaembriogenik dan siklus hiup NSK. Disamping itu akan diketahui respon ketahanan kultivar kentang dan kisaran inang yang berpotensi sebagai tanaman perangkap NSK. Pada akhirnya

31 12 semua informasi yang didapat, dapat digunakan untuk menentukan strategi pengendalian NSK yang tepat dan efektif di masa yang akan datang. Percobaan 1. Survei sebaran geografi NSK di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat Sampel tanah Sista Percobaan 2. Identifikasi spesies dan patotipe Percobaan 3. Kajian biologi Percobaan 4. Evaluasi ketahana kultivar kentang dan kisaran inang NSK Karakter morfologi a. Morfologi b. Morfometri Karakter molekuler PCR a. Faktor biologi b. Pascaembriogenik c. Siklus hidup G. rostochiensis G. pallida G. rostochiensis G. pallida Uji klon diferensial Analisis susunan DNA Patotipe Analisis hubungan kekerabatan Hasil : Informasi tentang : (1). Sebaran geografi NSK di Pulau Jawa, (2). spesies dan patotipe NSK, (3). temperatur optimum untuk faktor biologi, (4). pascaembriogenik dan siklus hidup, (5). kultivar kentang tahan dan (6). Solanaceae yang potensial sebagai tanaman perangkap Strategi pengendalian yang tepat dan efektif Gambar 1.1. Diagram alur penelitian

32 II. SURVEI DAN SEBARAN GEOGRAFI NEMATODA SISTA KENTANG INDONESIA Abstrak LISNAWITA. Survei dan Sebaran Geografi Nematoda Sista Kentang Indonesia. Dibimbing oleh MEITY SURADJI SINAGA, GUSTAF ADOLF WATTIMENA, SUPRAMANA dan GEDE SUASTIKA Nematoda sista kentang (NSK) merupakan patogen utama yang menginfeksi tanaman kentang dan mempunyai daerah sebaran yang sangat luas di seluruh dunia. Di Indonesia, NSK merupakan patogen baru, yang dapat menjadi kendala utama pada produksi kentang. Melalui metode survei dilakukan penelitian untuk mengetahui sebaran geografi NSK di beberapa sentra pertanaman kentang yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Survei dilakukan pada 30 lokasi tanaman kentang masing-masing 6 lokasi di Jawa Timur (survei pada Desember 2004), 4 lokasi di Jawa Tengah (survei pada Oktober 2005) dan 20 lokasi di Jawa Barat (survei pada Pebruari 2006 dan 2007). Hasil survei menunjukkan bahwa NSK telah tersebar luas di beberapa wilayah di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan kepadatan populasi bervariasi dari rendah hingga tinggi. Kepadatan populasi NSK pada saat survei dilakukan untuk 3 lokasi di Desa Tulung Rejo (Kabupaten Kota Batu, Jawa Timur) berturut-turut adalah 21, 44 dan 675 sista per 100 ml tanah. Untuk Jawa Tengah, kepadatan populasi tertinggi terdapat pada Desa Pawuhan (Kabupaten Banjarnegara), yaitu 400 sista, diikuti dengan Desa Karangtengah (Kabupaten Banjarnegara), yaitu 270 sista, Desa Kepakisan (Kabupaten Banjarnegara) dengan 21 sista dan Desa Petak Bateng (Kabupaten Wonosobo) dengan 2 sista per 100 ml tanah. Sedangkan kepadatan populasi untuk Jawa Barat untuk 3 lokasi di Desa Sukamanah (Kabupaten B&ung) adalah 28 sista, 19 sista dan 2 sista per 100 ml tanah, dan satu lokasi Desa Mekarsari (Kabupaten B&ung) adalah 17 sista per 100 ml tanah Kata kunci : Survei, sebaran geografi, nematoda sista kentang

33 14 II. SURVEY & GEOGRAPHICAL DISTRIBUTION OF INDONESIAN POTATO CYST NEMATODE Abstract LISNAWITA. Survey and Geographical Distribution of Indonesian Potato Cyst Nematode. Supervised by MEITY SURADJI SINAGA, GUSTAF ADOLF WATTIMENA, SUPRAMANA and GEDE SUASTIKA Potato cyst nematode (PCN) is a serious pathogen of potato and is found in most potato producing areas of the world. In Indonesia, PCN was only relatively recently discovered and new recognized as major constraint to potato production. A survey to determine the geographical distribution of PCN in Indonesia in 30 included potato production areas, i.e. 6 locations in East Java (survied in December 2004), 4 locations in Central Java (survied in October 2005) and 20 locations in West Java (survied in February 2006 and 2007). Based on this survey, PCN is widely established in East Java, Central Java and West Java, with population densities varying from low to high. In East Java, the highest population of PCN was found in Desa Tulung (Kota Batu District) with 675 cysts per 100 ml soil. However, two and three locations had only 44 and 21 cysts per 100 ml soil. In Central Java, PCN was detected in Pawuhan (Banjarnegara District) with the high population density 400 cysts per 100 ml soil. PCN was also found in Desa Karangtengah (Banjarnegara District), Desa Kepakisan (Banjarnegara District), and Desa Petak Bateng (Wonosobo District) with 270, 21 and 2 cysts per 100 ml soil, respectively. Populations of PCN were found in four locations in West Java, i.e. 3 locations in Desa Sukamanah (Bandung District) and one in Desa Mekarsari (Bandung District). The population densities from those four locations ranged from 2 to 28 cysts per 100 ml soil. Key woards : Survey, geographical distribution, potato cyst nematode

34 15 Pendahuluan Nematoda sista kentang (NSK), Globodera spp. merupakan patogen penting pada pertanaman kentang yang menyebabkan kerusakan dan kehilangan hasil yang cukup besar di dunia (Evans & Turner 1998). Di Indonesia, keberadaan NSK pertama kali ditemukan menyerang pertanaman kentang di Dusun Sumber Brantas Desa Tulung Rejo Kecamatan Bumi Aji Kota Batu Jawa Timur. Daerah ini merupakan salah satu sentra penghasil kentang di Indonesia, sehingga budidaya kentang dilakukan secara besar-besaran. Oleh karena itu diperlukan ketersediaan bibit dalam jumlah yang besar. Untuk memenuhi kebutuhan bibit tersebut, banyak dilakukan impor bibit karena ketersediaan bibit di Indonesia belum memadai, baik secara kuantitas maupun kualitas. Konsekuensi dari masuknya bibit kentang dari luar negeri ke wilayah Indonesia adalah masuknya organisme pengganggu tumbuhan yang belum ada di Indonesia, terutama yang bersifat tular bibit seperti NSK. NSK merupakan organisme pengganggu tanaman karantina (OPTK) karena potensi merusaknya yang sangat besar pada tanaman kentang, dan tersebar secara pasif bersama tanah atau umbi atau bahan pembiakan vegetatif yang lain. Selain itu, NSK merupakan salah satu patogen tanaman yang sulit dikendalikan, karena kemampuannya bertahan hidup yang sangat tinggi. Patogen ini mampu bertahan hidup di dalam tanah pada stadia dormansi yaitu berbentuk sista hingga mencapai 10 tahun (Taylor 1953 dalam Hamzah 2003) atau bahkan dapat mencapai lebih dari 20 tahun (Jones et al. 1998). Sifat dormansi sista NSK yang sangat panjang, juga dapat berimplikasi pada resistensi NSK di lahan-lahan yang telah terinfestasi. Sebelum tahun 2003, NSK merupakan OPTK kategori A1, yang berarti tidak boleh masuk ke wilayah Indonesia, tetapi sejak tanggal 27 Januari 2006 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 38/Kpts/HK.060/1/ 2006, NSK masuk kategori A2 yaitu OPTK yang sudah berada di dalam Wilayah Negara Republik Indonesia dan dicegah pemencarannya ke daerah/pulau lain yang masih bebas. Pada rapat kelompok kerja (Pokja) NSK pada 2-4 Mei 2007 di B&ung, dilaporkan saat ini penyebaran NSK semakin luas di Jawa Timur dan Jawa

35 16 Tengah. Di Jawa Timur saat ini petani tidak berani menanam kentang karena tanaman dapat mati pada umur satu bulan karena tingginya populasi NSK, sehingga terjadi penurunan luas pertanaman kentang dari 938,4 ha pada tahun 2003 menjadi 369 ha pada tahun 2006 (Anonimus 2007a). Di Jawa Tengah dilaporkan penyebaran NSK meluas dari 23 ha pada tahun 2003 menjadi 121 ha pada tahun 2006 (Suwardiwijaya et al. 2007). Walaupun penyebaran NSK semakin luas, tetapi informasi tentang lokasilokasi penyebaran dan kepadatan populasi NSK masih sangat terbatas. Oleh karena itu perlu dilakukan survei ke lokasi-lokasi pertanaman kentang di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat dan sehingga didapatkan pemetaan sebaran geografi NSK di Indonesia. Tujuan Penelitian Penelitian dengan metode survei ke sentra-sentra pertanaman kentang di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat bertujuan untuk menentukan daerah sebar geografi NSK di Indonesia. Metode Penelitian Tempat dan Waktu Survei dilaksanakan di sentra pertanaman kentang di di Jawa Timur (Kabupaten Pasuruan dan Kota Batu), Jawa Tengah (Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo) dan Jawa Barat (Kabupaten Bandung). Semua sampel tanah dan akar dibawa dan dianalisis di Laboratorium Nematologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai Maret Pengumpulan Sampel Tanaman Kentang yang Terinfeksi Sampel akar dan tanah diambil dari tanaman yang diduga terinfeksi NSK di lapangan dengan gejala daun menguning, layu dan pertumbuhan kerdil dari beberapa daerah pertanaman kentang di Jawa Timur (Kabupaten Pasuruan dan Kota Batu), Jawa Tengah (Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo) dan Jawa

36 17 Barat (Kabupaten Bandung). Pengambilan sampel tanah dan akar tanaman dilakukan dengan mengambil 100 ml contoh tanah pada kedalaman 0-20 cm. Lokasi hamparan pengambilan contoh tanah ditandai dengan GPS (Geo Positioning System) untuk mengukur posisi geografis dan elevasi tanah. Pada setiap lokasi diambil 5 (lima) contoh tanah yang mewakili kondisi lahan pada hamparan tersebut. Pengambilan contoh tanah dilakukan pada 30 lokasi hamparan yang tersebar di 3 (tiga) Propinsi yaitu Jawa Timur (6 lokasi), Jawa Tengah (4 lokasi), dan Jawa Barat (20 lokasi) (Gambar 2.2). Sampel tanah dan akar tanaman dimasukkan ke dalam kantung plastik, diberi label lokasi dan dimasukkan dalam kotak pendingin, selanjutnya dibawa ke Laboratorium Nematologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB. Sebagai informasi tambahan, dari setiap sampel dicatat kultivar kentang dan umur tanaman. Setiap sampel tanah diekstraksi dengan metode penyaringan (Shepherd 1985), sedangkan contoh akar dicuci dengan hati-hati kemudian dikeringanginkan. Selanjutnya sista yang ada pada sampel tanah dan akar dikumpulkan dengan kuas kecil atau jarum preparat dan jumlah sista per 100 ml tanah dihitung. Hasil Survei dan Pengambilan Sampel di lapangan Berdasarkan hasil survei yang dilakukan di sentra produksi kentang di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat diketahui NSK telah tersebar luas di beberapa wilayah survei. Di Jawa Timur NSK ditemukan pada 3 lokasi dari 6 lokasi yang diambil (50%), di Jawa Tengah NSK ditemukan pada ke-4 lokasi (100%), dan di Jawa Barat NSK ditemukan pada 4 lokasi dari 20 lokasi yang disurvei (20%). Hasil survei juga menunjukkan bahwa NSK tersebar pada ketinggian tempat yang berbeda yaitu mulai dari ketinggian 1400 m dpl sampai dengan 2100 m dpl. Disamping itu dari hasil survei diketahui NSK dapat menyerang semua kultivar kentang yang ditanam di lapangan, yaitu Granola, Granola Kembang dan Atlantik mulai dari tanaman muda hingga tanaman yang siap panen. Lokasi sebaran geografi NSK selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.1.

37 18 A B C Gambar 2.1 Gejala NSK di lapangan : A Spot-spot kerdil dan daun kekuningan (A dan C B). Betina dan sista pada permukaan akar tanaman kentang (C) Gambar 2.2 Lokasi pengambilan sampel pada pemetaan dan penyebaran NSK di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat

38 19 Tabel 2.1 Daerah sebar NSK di Pulau Jawa dan kode isolat No. Lokasi Ketinggian tempat (m dpl) 1. Desa Tulung Rejo Kota Batu Jawa Timur (lokasi 1) 2. Desa Tulung Rejo Kota Batu Jawa Timur (lokasi 2) 3. Desa Tulung Rejo Kota Batu Jawa Timur (lokasi 3) 4. Desa Pawuhan Banjarnegara Jawa Tengah 5. Desa Karangtengah Banjarnegara Jawa Tengah 6. Desa Patak Banteng Wonosobo Jawa Tengah 7. Desa Kepakisan Banjarnegara Jawa Tengah 8. Desa Sukamanah Pengalengan Jabar (lokasi 3) 9. Desa Sukamanah Pengalengan Jawa Barat (lokasi 4) 10. Desa Sukamanah Pengalengan Jawa Barat (lokasi 5) 11. Desa Mekarwangi Sindangkerta Jawa Barat (lokasi 1) Sista Umur tanaman Kultivar Kode isolat >100 Granola S1 kembang Granola S2 kembang Granola S3 kembang Siap panen Granola S Granola S Granola S Siap panen Granola S Granola S Granola dan Atlantik S Granola S Granola S11

39 20 Gejala tanaman yang terinfeksi di lapangan sama seperti gejala pada tanaman yang terinfeksi nematoda pada umumnya. Infeksi NSK pada tanaman m uda dengan populasi yang tinggi menyebab kan pertumb uhan tanaman terhambat, tanaman kekuningan, layu dan mati (Gambar 2.1A dan Gambar 2.1B), sedangkan infeksi yang terjadi pada masa generatif, tana man masih dapat menghasil kan umbi tetapi umbi yang dihasilkan berukuran kecil, dan bila tanaman dicabut akan terlihat nematoda betina dan sista yang menempel pada permu kaan akar tanaman kenta ng (Gambar 2.1C). Hasil ekstraksi tanah dan sampel akar yang diambil dari lapangan menunjukkan kepadatan NSK yang terendah (2 sista/100 ml tanah) sampai yang tertinggi (675 sista/100 ml tanah) dapat dilihat pada Tabel 2.1. Kepadatan populasi NSK tertinggi terdapat pada Desa Tulung Rejo (Kabupaten Kota Batu, Jawa Timur) (lokasi 1), yaitu 675 sista/100 ml tanah, dan yang terendah terdapat pada Desa Patak Banteng, (Kabupaten Wono sobo, Jawa Tengah dan Desa Sukamanah (Kabupaten Bandung, Jawa Barat) (lokasi 3) masing-masing (2 sista/100 ml tanah). Pembahasan Hasil survei menunjukkan NSK telah menyebar luas di beberapa wilayah pada pertanaman kentang di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Infeksi NSK dapat terjadi pada semua umur tanaman, mulai tanaman muda hingga tanaman siap panen. Infeksi yang terjadi pada masa vegetatif ditandai dengan gejala daun menguning, layu, pertumbuhan terhambat dan akhirnya tanaman mati muda, sedangkan infeksi pada tanaman yang telah memasuki fase generatif tanaman masih dapat menghasilkan, tetapi umbi yang dihasilkan kecil dengan produksi di bawah rata-rata produksi normal. Pada populasi NSK yang cukup tinggi seperti di Desa Tulung Rejo (Kabupaten Kota Batu, Jawa Timur) (lokasi 1), Desa Pawuhan dan Desa Karangtengah (Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah) masing-masing terdapat 675, 400 dan 270 sista per 100 ml tanah, sista dapat dilihat secara visual pada tanah dan tampak nematoda betina dengan warna keemasan menempel berderet pada akar tanaman. Stevenson et al. (2001) menyatakan NSK merupakan nematoda utama yang menyebabkan kerusakan pada

40 21 pertanaman kentang di seluruh dunia dan mempunyai sebaran geografi yang sangat luas. Sampai saat ini NSK telah menyebar sedikitnya di 65 negara di seluruh dunia, meliputi negara-negara di seperti Eropa, Asia, Afrika, Amerika Utara, Amerika Tengah, Amerika Selatan dan negara-negara lain. Lebih lanjut Stevenson et al. (2001) menyatakan pada kepadatan populasi NSK yang tinggi gejala pada tanaman ditandai dengan pertumbuhan tanaman terhambat, tanaman kerdil, menguning, layu dan mati muda. Pada akar tanaman yang terinfeksi dapat dijumpai nematoda betina yang berwarna putih hingga kekuningan dan sista yang berwarna coklat. Terdeteksinya NSK di sentra-sentra pertanaman kentang di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat diduga NSK sudah ada di daerah tersebut untuk waktu yang cukup lama. Seperti diketahui penggunaan bibit kentang impor di Jawa Timur sudah berlangsung dalam waktu yang sangat lama. Hal yang sama juga terjadi di Jawa Tengah. Di Jawa Tengah, petani telah menanam kentang sejak tahun 1985 dengan menggunakan bibit asal Jerman (Suwardiwijaya et al. 2007). Kondisi ini memungkinkan bagi NSK untuk mantap di daerah tersebut. Menurut Brodie (1984), untuk dapat terdeteksi dan menyebabkan endemik di suatu daerah, NSK memerlukan waktu sekitar 7 tahun. Hasil yang didapat dari survei ini, dapat menjadi ancaman serius bagi pertanaman kentang lain di Indonesia. Hal ini disebabkan karena NSK merupakan patogen yang sulit dikendalikan. Stevenson et al. (2001) menyatakan, sekali NSK terinfestasi pada suatu lahan, maka nematoda akan tetap ada di lahan tersebut dan tidak mungkin lahan tersebut dapat bersih dari NSK. Oleh karena itu, walaupun jumlah sista NSK di lokasi survei bervariasi dari rendah sampai tinggi, kondisi ini tidak menghalangi untuk terjadinya ledakan penyakit di lokasi tersebut. Di Inggris dilaporkan ambang ekonomi untuk G. rostochiensis adalah 15 telur/ gram tanah. Di Jerman dilaporkan infestasi G. rostochiensis menimbulkan kerugian 11, 27 dan 43% pada kepadatan populasi 100, dan larva/100 cm 3 tanah (CABI 2002). Untuk mencegah penyebaran NSK yang lebih luas, dibutuhkan monitoring kejadian penyakit secara intensif pada daerah-daerah yang sudah terinfestasi maupun yang belum terinfestasi NSK dan kerja sama dari berbagai pihak yang terkait. Mengingat NSK dapat tersebar secara pasif bersama tanah atau umbi atau bahan pembiakan

41 22 vegetatif yang lain, maka masuknya bibit ke suatu daerah perlu pengawasan yang lebih ketat oleh Badan Karantina. Jika tidak ada pengawasan yang ketat, dikhawatirkan penyebaran NSK akan semakin luas. Hasil survei menunjukkan bahwa semua kultivar kentang yaitu Granola, Granola Kembang dan Atlantik dapat terinfeksi NSK dengan berbagai ketinggian tempat. Hal ini menandakan bahwa sampai saat ini belum ada varietas kentang yang resisten NSK di Indonesia. Tingginya populasi NSK di Jawa Timur (lokasi 1) diduga disebabkan pola tanam petani kentang di daerah tersebut. Di Jawa Timur pola tanam yang digunakan petani adalah monokultur, tetapi lahan akan diberakan pada musim kemarau. Kondisi ini memungkinkan terputusnya siklus hidup patogen lain, tetapi NSK dapat berada dalam kondisi dorman di dalam tanah. Pada saat kentang ditanam kembali sista akan aktif dan menetas, kondisi ini akan meningkatkan populasi NSK. Di Jawa Tengah, petani menanam kentang di sepanjang tahun. Pola tanam seperti ini memungkinkan keberadaan patogen tanah yang lain berkembang baik, sehingga dapat menjadi kompetitor bagi NSK untuk mendapatkan nutrisi dan ruang untuk hidupnya. Kehadiran suatu spesies nematoda dapat mempengaruhi pertumbuhan spesies nematoda yang lain (Norton 1978). Secara umum, kompetisi yang lebih ketat terjadi antara spesies yang mempunyai kebiasaan makan yang sama. Miller & Wihrheim (1968) melaporkan infeksi yang disebabkan oleh Heterodera tabacum akan menurun bila di lokasi tersebut terdapat juga Pratylenchus penetrans atau Tylenchorhynchus claytoni. Esteros & Chen (1972) menemukan kepadatan P. penetrans dan Meloidogyne incognita lebih kecil bila mereka ditemukan bersama di dala m akar tanaman tomat dibandingkan jika mereka hidup secara tunggal. Kehadiran M. incognita dapat menghambat penetrasi P. penetrans jika kedua patogen ada bersama-sama pada akar tanaman. Walaupun kepadatan populasi NSK di Jawa Timur lebih tinggi dari Jawa Tengah, tetapi penyebaran NSK di Jawa Tengah lebih cepat dari Jawa Timur. Meurut laporan Rapat Kerja NSK Nasional (Pokja) 2007, saat ini ada sekitar 121 ha pertanaman kentang di Jawa Tengah yang terinfeksi NSK. Penyebaran ini sangat cepat, bila dibandingkan pada tahun 2003, luas lahan yang terinfeksi baru sekitar 23 ha. Hal ini diduga karena penggunaan pestisida oleh petani di Jawa

42 23 Tengah sangat tinggi, sehingga menyebabkan pengaruh yang tidak baik bagi organisme tanah lainnya. Penggunaan pestisida tanpa aturan menyebabkan organisme bukan sasaran terutama organisme tanah yang menguntungkan ikut mati. Kondisi ini menyebabkan kompetitor maupun musuh alami NSK di daerah tersebut berkurang, sehingga menyebabkan NSK menyebar cepat. Simpulan Hasil survei yang dilakukan di lapangan, membuktikan bahwa NSK telah tersebar luas di beberapa wilayah di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, dengan kepadatan populasi rendah hingga tinggi. Infeksi NSK dapat terjadi pada tanaman muda hingga tanaman menjelang panen, dari ketinggian tempat 1400 m dpl hingga 2100 m dpl. Kultivar kentang yang terinfeksi NSK pda saat survei dilakukan adalah Granola, Granola Kembang dan Atlantik. Kepadatan populasi NSK tertinggi (675 sista/100 ml tanah) terdapat di Desa Tulung Rejo (Kabupaten Kota Batu, Jawa Timur) Lokasi 1, sedangkan kepadatan populasi terendah (2 sista per 100 ml tanah)cterdapat di Desa Sukamanah (Kabupaten Bandung, Jawa Barat) (lokasi 3) dan Desa Petak Bateng, (Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah).

43 III. IDENTIFIKASI DAN KARAKTERISASI NEMATODA SISTA KENTANG INDONESIA MENGGUNAKAN KARAKTER MORFOLOGI, MOLEKULER DAN KLON DIFERENSIAL 1 Abstrak LISNAWITA. Identifikasi dan Karakterisasi Nematoda Sista Kentang Indonesia Menggunakan Karakter Morfologi, Molekuler dan Klon Diferensial. Dibimbing oleh MEITY SURADJI SINAGA, GUSTAF ADOLF WATTIMENA, SUPRAMANA dan GEDE SUASTIKA Di Indonesia, NSK adalah patogen baru yang dapat menjadi faktor penghambat produksi kentang. Pengendalian NSK yang efektif memerlukan informasi tentang spesies dan patotipe yang ada, apakah Globodera rostochiensis (patotipe Ro1, Ro2, Ro3, Ro4, Ro5, Ra1, Ra2, Ra3 dan Rb1) atau G. pallida (patotipe Pa1, Pa2, Pa3, Pa1, Pa2, Pa3, Pa4, Pa5 dan Pb1). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui spesies dan patotipe NSK dengan menggunakan karakter morfologi, molekuler dan klon diferensial. Empat populasi NSK, masing-masing 3 populasi dari Jawa Timur dan satu populasi dari Jawa Tengah digunakan untuk pengujian menggunakan karakter morfologi dan klon diferensial. Pengamatan dan pengukuran dilakukan pada sista, juvenil stadia dua (J2), betina, jantan dan telur. Sedangkan pada pengujian teknik molekuler digunakan teknik polymerase chain reaction yang berdasarkan pada amplifikasi daerah internal transcribed spacer dengan menggunakan dua primer spesifik. Sebelas populasi NSK, masing-masing 3 populasi dari Jawa Timur, 4 populasi dari Jawa Tengah dan 4 populasi Jawa Barat digunakan dalam penelitian ini. Hasil analisis berdasarkan pengamatan karakter morfologi berhasil diidentifikasi spesies tunggal G. rostochiensis. Teknik PCR memberikan hasil yang lebih cermat dengan terdeteksinya campuran spesies G. rostochiensis (238 bp) dan G. pallida (391 bp) dari populasi NSK Jawa Tengah. Sedangkan populasi NSK Jawa Timur dan Jawa Barat hanya terdeteksi satu spesies yaitu G. rostochiensis (238 bp). Berdasarkan analisis keragaman genetik dengan program Clustal-W 1,83 didapat isolat Indonesia berada pada kelompok yang berbeda dengan isolat NSK negara lain yang ada di GeneBank. Isolat Indonesia terbagi dalam dua kelompok, yaitu satu kelompok isolat Jawa Timur, dan satu kelompok isolat Jawa Tengah. Pengujian patotipe dengan klon diferensial didapat populasi NSK Jawa Timur menujukkan G. rostochiensis dengan patotipe baru spesifik Indonesia, sedangkan populasi NSK Jawa Tengah merupakan G. rostochiensis patotipe Ro1. Kata kunci : Nematoda sista kentang, Globodera rostochiensis, G. pallida, polymerase chain reaction, karakter morfologi 1. Bagian dari disertasi ini telah dipublikasikan dalam : 1). J. ISSAAS, Vol. 11, No. 3, December 2005 (Supplement), dengan judul : Species Identification of Indonesian Potato Cyst Nematode Using Polymerase Chain Reaction (PCR), 2). J. ISSAAS, Vol. 13, No. 1, June 2007, dengan judul : Technique Identification of Potato Cyst Nematode Populations Prevailing in East and Central Java, Indonesia, Based on Morphometric and Morphological Characteristics.

44 25 III. IDENTIFICATION AND CHARACTERIZATION OF INDONESIAN POTATO CYST NEMATODE USING MORPHOLOGICAL CHARACTERS, MOLECULAR AND DIFFERENTIAL CLONES Abstract LISNAWITA. Identification and Characterization of Indonesian Potato Cyst Nematode Using Morphological Characters, Molecular, and Differential Clones. Supervised by MEITY SURADJI SINAGA, GUSTAF ADOLF WATTIMENA, SUPRAMANA and GEDE SUASTIKA Potato Cyst Nematode (PCN), a recently discovered a serious pathogen in some potato production areas in Indonesia, is a major constraint to production. To control PCN effectively, it is very important to identify its species and the pathotype in other countries too species with many pathotypes have been identified, Globodera rostochiensis (pathotypes Ro1, Ro2, Ro3, Ro4, Ro5, Ra1, Ra2, Ra3 and Rb1), and G. pallida (pathotypes Pa1, Pa2, Pa3, Pa1, Pa2, Pa3, Pa4, Pa5 and Pb1). Identification of PCN species was based on the morphological and molecular characters. Pathotype testing was conducted using differential clones. Four PCN populations were for morphology and host range, i.e. three populations from Sumber Brantas (Kota Batu District, East Java) and one from Karang Tengah (Banjarnegara District, Central Java). Observation and measurement were conducted on cysts, second stage juveniles (J2), females, and males. For molecular typing, 11 PCN populations from East Java, 4 populations from Central Java, and 4 populations from West Java were used. Polymerase Chain Reaction with specific structure (one for each Globodera species) used to amplify the internal transcribed spacer region of PCN ribosomal DNA. Based on morphological character, all specimens collected from research areas were identified as a single species of golden potato cyst nematode (G. rostochiensis). Whereas amplified DNA fragments, G. rostochiensis 238 bp and G. pallida 391 bp, indicated mixed populations occurred in Central Java. Only a single species, G. rostochiensis, indicated in samples from East Java and West Java by the molecular methods. Based on genetic character analysis with Clustal-W 1.83 program, it was found Indonesian populations had low similarity compared to PCN species lodged in GeneBank. Indonesian populations were separated into two groups, i.e. East Java and Central Java isolates. Clone differentials test showed that PCN population from East Java was G. rostochiensis of a previously undescribed Indonesian specific pathotype, while the population from Central Java was G. rostochiensis with pathotype similar to Ro1. Key woards : Potato cyst nematode, Globodera rostochiensis, G. pallida, polymerase chain reaction, morphology character 1. Part of the dissertation has been publishes in 1). J. of ISSAAS, Vol. 11, No. 3, December 2005 (Supplement), with title : Species Identification of Indonesian Potato Cyst Nematode Using Polymerase Chain Reaction (PCR), 2). J. of ISSAAS, Vol. 13, No. 1, June 2007, with title : Technique Identification of Potato Cyst Nematode Populations Prevailing in East and Central Java, Indonesia, Based on Morphometric and Morphological Characteristics.

45 26 Pendahuluan Spesies Globodera yang dilaporkan menyerang kentang, yaitu G. rostochiensis (nematoda sista kuning atau golden potato cyst nematode) dan G. pallida (nematoda sista putih atau pale potato cyst nematode) (Berg et al. 2000). Masing-masing spesies mempunyai patotipe-patotipe yang respon patologiknya terhadap kultivar kentang berlainan. Sampai saat ini diketahui ada 8 patotipe yang digunakan di Eropa, masing-masing 5 patotipe dari G. rostochiensis dan 3 patotipe dari G. pallida (Kort et al. 1977) dan 10 patotipe yang digunakan di Amerika Selatan, masing-masing 4 patotipe dari G. rostochiensis dan 6 patotipe dari G. pallida (Canto Saenz & Scurrah 1977). Penanaman bibit kentang dari berbagai negara oleh petani kentang di Indonesia menyebabkan peluang masuknya kedua spesies dengan beberapa patotipe cukup besar. Sayangnya, informasi spesies dan patotipe serta karakteristik patogenik dari nematoda sista kentang asal Indonesia sampai saat ini belum dilaporkan. Informasi spesies dan patotipe dibutuhkan sebagai dasar di dalam merancang strategi pengendalian yang tepat dan efektif. Ada beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk identifikasi spesies NSK, yaitu secara konvensional, misalnya dengan pengamatan dan pengukuran ciri-ciri morfologi (morfometri), uji serologi (Schots 1988) dan teknik molekuler misalnya dengan menggunakan sidik jari DNA melalui PCR-RFLP (Fleming & Powers 1998). Sedangkan untuk mengetahui patotipe-patotipe NSK dapat dilakukan dengan pengujian menggunakan klon diferensial. Morfologi dan morfometri masih digunakan bersama-sama dengan teknik molekuler untuk identifikasi spesies nematoda sista kentang (Baldwin & Mundoocampo 1991). G. rostochiensis dan G. pallida secara morfologi dan morfometri hanya memiliki sedikit perbedaan (Stone 1973a & 1973b). Oleh karena itu pengamatan beberapa karakter pada sista dan juvenil stadia dua (J2) merupakan kegiatan yang paling penting yang direkomendasikan untuk identifikasi spesies NSK secara konvensional. Kedua stadia ini selalu ditemukan pada sampel tanah yang telah terinfestasi NSK, di samping itu juga dilakukan pengamatan terhadap betina, jantan dan telur.

46 27 Klon diferensial atau tanaman indikator, merupakan salah satu cara untuk mengkarakterisasi masing-masing isolat berdasarkan kesesuaian pada suatu inang. Pada NSK klon diferensial mempunyai peranan yang sangat penting untuk membedakan patotipe. Patotipe tertentu hanya mampu bermultiplikasi pada inang tertentu, sehingga terdapat hubungan antara spesies yang resisten dengan patotipe NSK. Gen resisten pada tanaman kentang ada yang bersifat monogenik (gen major) atau poligenik (gen minor). Gen-gen monogenik tersebut adalah gen H1, H2, H3, gen A, B, dan gen Fa, Fb. Kespesifikan tanaman inang NSK menyebabkan pengujian klon diferensial sering dilakukan untuk karakterisasi spesies yang belum diketahui (Fleming & Powers 1998 ; Hull 2002). Saat ini untuk keperluan identifikasi lebih cepat dan akurat, telah dikembangkan teknik identifikasi dengan menggunakan pendekatan biologi molekuler. Metode ini menggunakan struktur asam nukleat sebagai dasar untuk mengkarakterisasi dan mengidentifikasi patogen tanaman. Identifikasi nematoda sista kentang banyak menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR). Polymerase chain reaction (PCR) adalah suatu metode in vitro untuk mensintesis asam nukleat berdasarkan cetakan DNA. Dengan teknik PCR masalah jumlah DNA yang rendah per individu dapat teratasi. Fragmen DNA genom nematoda yang menjadi sasaran analisa diamplifikasi terlebih dahulu dengan PCR. Hasil analisis genom nematoda, adalah informasi bahwa bagian internal transcribed spacer (ITS) dari rdna merupakan daerah yang sangat variabel sehingga dapat berfungsi sebagai penanda spesifik dalam studi taksonomi molekuler dan pilogenik sehingga sering digunakan untuk analisa patotipe suatu populasi nematoda (Thiery & Mugniery 1996). Pengujian dengan teknik PCR memerlukan dua primer oligonukleotida spesifik yang akan menginduksi pembentukan dan perbanyakan asam nukleat atau untai DNA dengan bantuan enzim Taq polymerase dalam mesin PCR atau thermocycler (Saiki 1990). Pemilihan primer yang tepat sangat menentukan keberhasilan identifikasi suatu patogen. Dalam bidang fitopatologi, teknik PCR banyak digunakan untuk tujuan deteksi patogen, identifikasi patogen, karekterisasai keanekaragaman patogen, maupun untuk diferensiasi patogen tumbuhan.

47 28 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi dan mengkarakterisasi spesies NSK dengan menggunakan karakter morfologi dan molekuler serta mengetahui patotipe NSK dengan menggunakan klon diferensial. Metode Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Nematologi Tumbuhan dan Laboratorium Virologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB serta rumah kassa Kebun Percobaan desa Cipelang Cijeruk, dengan ketinggian tempat 1250 m dpl. Penelitian dilaksanakan dari bulan Agustus 2005 sampai Maret Identifikasi Spesies NSK berdasarkan Karakter Morfologi Populasi nematoda sista kentang Untuk identifikasi spesies dengan menggunakan karakter morfologi dan morfometri tidak semua isolat NSK digunakan. Dari 11 isolat NSK yang ada, hanya 4 isolat NSK yang digunakan pada percobaan ini, yaitu isolat-isolat yang ditemukan pada survei tahun pertama (S1, S2, S3 dan S4). Sedangkan isolat-isolat lainnya tidak diidentifikasi dengan karakter morfologi karena kepadatan populasi yang rendah dan akan diidentifikasi dengan menggunakan karakter molekuler. Dua puluh lima betina dan 25 sista dikumpulkan pada tempat terpisah. Pembuatan preparat untuk betina dilakukan dengan memotong betina menjadi dua bagian, kemudian masing-masing bagian diletakkan pada gelas objek yang telah ditetesi dengan Hoyer (30 gram gum arabik, 200 gram kloral hidrat, 16 gram gliserol dan 200 ml akuades) lalu ditutup dengan gelas penutup. Pembuatan preparat untuk sista dilakukan dengan memotong bagian posterior sista dengan menggunakan pisau bedah, kemudian telur dan juvenil yang ada di dalamnya dibersihkan dengan jarum pancing nematoda, setelah itu

48 29 potongan sista dipindahkan ke atas gelas objek yang telah ditetesi dengan Hoyer dan ditutup dengan gelas penutup. Pembuatan preparat untuk juvenil stadia 2 (J2), jantan dan telur dilakukan dengan mengumpulkan masing-masing 50 J2, 50 jantan dan 50 telur pada tempat terpisah, kemudian nematoda dimatikan dengan pemanasan lalu diletakkan pada gelas objek yang telah ditetesi lactophenol cotton blue dan kemudian ditutup dengan gelas penutup. Pengamatan Pengukuran dilakukan dengan mengambil gambar setiap sampel di bawah mikroskop Olympus BX 51 dengan perbesaran 40x (10 x 4) untuk sista dan betina. Perbesaran 200x (10 x 20) untuk J2, jantan dan telur dengan menggunakan kamera digital mikroskop Olympus DP 11. Selanjutnya foto ditransfer menggunakan program morfometri tpsdig (Bennet & Hoffman 1998). Penentuan titik (digitasi) pada setiap gambar dilakukan dengan menentukan secara konsisten titik-titik masing-masing variabel. Setiap titik dari gambar pemotretan digitasi diubah dalam kordinat x dan y sehingga dapat diketahui jarak antar titiknya, kemudian dimasukkan dalam persamaan jarak dengan menggunakan program Microsoft Exel, sehingga diperolah jarak yang sesungguhnya, yaitu : D V (mm) = ((X 1 X 2 ) 2 + (Y 2 Y 2 ) 2 ) (persamaan jarak-1) D S (mm) = D V / D P (persamaan jarak-2) Dimana : D V (mm) = jarak vektor, D S (mm) = jarak sesungguhnya, D P = jarak perbesaran mikroskop, X 1, X 2, Y 1, Y 2 = titik-titik vektor pada sumbu X dan Y Hasil digitasi setiap variabel berbentuk vektor yang kemudian dikonversi dalam ukuran sesungguhnya dengan cara nilai vektor dibagi dengan 399,99. Nilai ini diperoleh dari penentuan titik skala mikrometer (sepanjang 1 mm) pada perbesaran yang sama saat pemotretan, yaitu 10 x 20 (200x) atau 10 x 4 (40x).

49 30 Konfirmasi spesies dilakukan berdasarkan kunci determinasi Fleming & Powers (1998) ; Stone (1973a) ; Stone (1973b). Pengamatan dan pengukuran dilakukan terhadap sista, betina, juvenil stadia 2 (J2), jantan dan telur dengan variabel seperti di bawah ini : Betina Pengamatan pada bagian anterior dilakukan dengan mengukur lebar kepala yang diukur pada dasar kepala dan panjang stilet, sedangkan pengamatan pada bagian posterior dilakukan dengan mengukur rata-rata diameter fenestra dan jarak dari anus ke fenestra. Sista Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop stereo dan kompaun dengan melakukan pengukuran terhadap lebar sista, panjang sista termasuk leher, panjang leher, jumlah tonjolan kutikula, rasio granek yaitu jarak antara fenestra dengan anus dibagi dengan diameter fenestra, diameter fenestra dan jarak dari anus ke fenestra. Juvenil stadia dua (J2) Pengamatan pada J2 dilakukan dengan mengukur panjang dan lebar tubuh, panjang dan lebar kepala, panjang stilet, bentuk tonjolan stilet, jarak dari kepala ke median bulb, panjang dan lebar ekor. Jantan Pengamatan pada jantan dilakukan dengan mengukur panjang tubuh, panjang dan lebar kepala, panjang stilet, panjang spikula dan panjang ekor. Telur Pengamatan pada telur dilakukan dengan mengukur panjang dan lebar telur. Analisis ragam dilakukan terhadap data hasil pengamatan dengan menggunakan uji F dan jika diantara perlakuan terdapat perbedaan dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada ά=0,05 dengan bantuan SAS 6.12.

50 31 Identifikasi Spesies NSK berdasarkan Karakter Molekuler Ekstraksi DNA Identifikasi NSK dengan menggunakan teknik PCR dilakukan untuk semua sampel yang positif NSK (Bab. II, Tabel 2.1). Metode ekstraksi DNA disusun berdasarkan metode Fullaondo et al. (1999) ; Subbotin et al. (2001) yang dimodifikasi. Dua puluh lima sista dikumpulkan secara acak dari setiap sampel, kemudian dimasukkan ke dalam eppendof steril yang berisi 150 μl buffer lisis (125 mm KCl ; 25 mm Tris-HCl, ph 8,0 ; 3,75 mm MgCl2 ; 2,5 mm DTT ; 1,125% Tween 20 dan 0,025% gelatin) dan ditambahkan 5 μl Proteinase K (600 μg/ml) (USB, UK). Sista digerus dengan pistil mikro plastik selama 2-3 menit, divorteks dan diinkubasi pada suhu 65 C selama 1 jam, dilanjutkan pada suhu 95 C selama 10 menit, setelah itu disentrifugasi dengan kecepatan rpm selama 10 menit. Supernatan dipindahkan pada tabung baru dan ditambahkan 1 volume kloroform : isoamil alkohol (24:1), divorteks dan disentrifugasi dengan kecepatan rpm selama 10 menit. Supernatan dipindahkan ke tabung baru dan ditambahkan 2.5 kali volume total supernatan NAOAc 3 M (ph 5.2), kemudian diinkubasi selama 20 menit pada suhu -20ºC. Supernatan dibuang setelah disentrifugasi rpm selama 10 menit. Pelet dicuci dengan 500 μl etanol 70% dan disentrifugasi rpm selama 10 menit. Etanol dibuang kemudian pelet dikeringkan di dalam pompa vakum selama 10 menit, selanjutnya pelet diresuspensi dengan 20 μl ddh 2 O. Jika DNA belum segera digunakan, dapat disimpan pada temperatur -20 C. DNA hasil ekstraksi diamplifikasi dengan teknik PCR berdasarkan metode Fullaondo et al. (1999). Setiap reaksi PCR (25 μl) terdiri atas 25 ng DNA template dari masingmasing sampel, yang terdiri dari 50 mm Tris-HCl (ph 9,0) ; 50 mm KCl ; 1,5 mm MgCl2 ; 0,1% Triton X-100 ; 0,2 mm setiap dntp (New England Biolabs) ; 50 ng setiap primer dan 0,5 unit Taq polymerase (New England Biolabs). Tiga primer digunakan, masing-masing primer spesifik untuk G. rostochiensis yaitu ITS-1 (5 - TGT TGT ACG TGC CGT ACC TT-3 ), primer spesifik untuk G. pallida yaitu ITS-1 (5 - GGT GAC TCG ACG ATT GCT GT-

51 32 3 ) dan primer universal untuk NSK yaitu 5,8S rrna (5 - GCA GAA GGC TAG CGA TCT TC-3 ) (Invitro gen) (Mulholland et al. 1996). Amplifikasi DNA dilakukan dengan denaturasi awal pada 96ºC selama 2 menit, kemudian dilanjutkan dengan 35 siklus yang melalui tiga tahapan, yaitu pemisahan utas DNA (denaturation) pada 94 C selama 1 menit, penempelan primer (anneling) pada 50 C selama 1 menit dan sintesis DNA (extention) pada 72 C selama 2 menit (Modifikasi Mulholland et al. 1996). Khusus untuk siklus terakhir ditambah tahapan sintesis selama 7 menit, kemudian siklus berakhir dengan suhu 4ºC. Tujuh μl fragmen DNA hasil amplifikasi PCR dianalisis dengan elektroforesis pada 2% gel agarose dalam buffer Trisborate EDTA (TBE) 1X dengan tegangan 100 Volt selama 70 menit (Subbotin et al. 2001) dan diamati dengan UV transiluminator setelah diberi warna dengan ethidium bromida (Maniatis et al. 1989). Sekuensing Sampel fragmen DNA hasil amplifikasi PCR disekuensing untuk melihat susunan DNA masing-masing populasi. Sekuensing dilakukan di Laboratorium Research and Development Centre PT. Charoen Pokhpand, Jakarta dengan menggunakan mesin sekuensing ABI-Prism 3100-Avant Genetic Analyzer. Analisis Filogenetik Hasil sekuensing populasi NSK yang digunakan dalam penelitian selanjutnya dianalisis tingkat kesamaannya dengan cara membandingkannya dengan sekuen NSK lain yang ada di GeneBank (Tabel 3.1). Analisis filogenetik dan jarak genetik dilakukan dengan menggunakan program Clustal-W 1.83.

52 33 Tabel 3.1 Lokasi geografi dan nomor asesi sekuen NSK pada GeneBank Identifikasi berdasarkan sekuen ITS Identifikasi original G. rostochiensis G. rostochiensis Populasi Akronim Sumber (no asesi Genebank) Desa Tulung Rejo, Kecamatan Bumi Aji, Kabupaten Batu, Jawa Timur (lokasi 1), Indonesia Desa Tulung Rejo, Kecamatan Bumi Aji, Kabupaten Batu, Jawa Timur (lokasi 2), Indonesia Desa Tulung Rejo, Kecamatan Bumi Aji, Kabupaten Batu, Jawa Timur (lokasi 3), Indonesia Desa Patak Banteng, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, Indonesia Desa Kepakisan, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Indonesia Gr1-JT1 Gr2-JT2 Gr3-JT3 Gr6-JTH Gr7-JTH Penelitian ini Penelitian ini Penelitian ini Penelitian ini Penelitian ini Kanada Falkland Islands, UK Cuapiaxtla, Meksiko New York, USA Allpachaka, Peru Peru Anta, Peru Liberice, Slovenia Gr-Kan Gr-FI Gr-Meks Gr-NY Gr-Peru1 Gr-Peru2 Gr-Peru3 Gr-SA Szalanski et al. (unpubli) (AFO16875) Szalanski et al. (unpubli) (AFO16876) Szalanski et al. (unpubli) (AFO16877) Szalanski et al. (unpubli) (AFO16878) Szalanski et al. (unpubli) (AFO16872) Szalanski et al. (unpubli) (AFO16873) Szalanski et al. (unpubli) (AFO16874) Szalanski et al. (unpubli) (AFO16874)

53 34 Pengujian Patotipe NSK dengan Klon Diferensial Untuk mengetahui patotipe NSK dari empat isolat yang digunakan pada identifikasi karakter morfologi di atas, dilakukan pengujian klon diferensial. Klon diferensial yang digunakan adalah klon diferensial komersil yang merupakan pengganti dari klon diferensial klasik (Kort et al. 1977), yaitu kultivar Maritta, Saturna, KTT , ODV 32731, S. verrnei hibrid , AM dan P55/7. Semua klon diferensial diperbanyak secara kultur jaringan dengan media perbanyakan MS0 (Lampiran 1). Planlet yang berumur dua minggu diaklimatisasi di rumah kassa Kebun Percobaan desa Cipelang, Cijeruk, dengan ketinggian tempat 1250 m dpl. Setelah itu tanaman dipindahkan ke dalam kantong plastik berukuran 30 cm x 30 cm dengan media tanah : pasir steril (1:1 / v:v). Untuk menjaga pertumbuhan tanaman dilakukan dengan pemberian pupuk NPK (15:15:15) (3 g/l) dan Bayfolan (2 ml/l) seminggu sekali dan disemprot insektisida (jika perlu). Inokulasi dilakukan setelah tanaman berumur dua minggu dengan menyebarkan 25 sista NSK di sekitar perakaran tanaman (Foot 1977). Pengamatan dilakukan 12 minggu setelah inokulasi dengan membongkar tanaman secara hati-hati. Tanah diekstraksi dengan metode penyaringan (Shepherd 1985), sedangkan akar dicuci dengan hati-hati kemudian dikeringanginkan. Pengamatan dilakukan dengan menghitung laju reproduksi sista (Rf) yaitu dengan membandingkan jumlah sista pada akhir penelitian (Pf) dengan jumlah sista pada awal penelitian (Pi). Hasil yang didapat dibandingkan dengan skema yang dikemukan Tabel 3.2 di bawah ini.

54 35 Tabel 3.2 Skema Internasional untuk identifikasi patotipe G. rostochiensis (Kort et al. 1977; Canto Saenz & de Scurrah 1977) pada klon diferensial komersil. Klon diferensial Patotipe komersil Tetua Ra1 Rb1 Ra2 Ra3 Ro1 Ro4 Ro2 Ro3 Ro5 Maritta S.t.tuberosum Saturna S.t.andigena CPC KTT S.kurtzianum hib ODV S.vernei hib /4 + + S.vernei hib S.vernei hib AM S.vernei hib /19 Keterangan : + = Pf/Pi >1 = Pf/Pi 1 Hasil Karakter Morfologi NSK Indonesia Hasil identifikasi menggunakan karakter morfologi pada S1, S2, S3 dan S4 dapat dilihat pada Gambar 3.1 dan 3.2. Juvenil stadia-2 (J2) (Gambar 3.1 A-G) Hasil identifiksi menggunakan karakter morfologi pada J2 menunjukkan tidak ada perbedaan bentuk tubuh dari ke-4 sampel NSK yang digunakan. Tubuh J2 berbentuk seperti cacing. Kepala berbentuk bulat dengan kerangka yang kuat. Stilet berkembang baik dan kuat dengan tonjolan stilet berbentuk bulat pada keempat sampel. Bentuk ekor makin ke ujung makin mengecil. Sebagian tubuh posterior tampak hialin. Tidak terlihat perbedaan yang jelas dari pengamatan secara morfologi diantara keempat sampel yang digunakan. Telur (Gambar 3.1 I-L) Telur berada di dalam sista. Jika sista dipecahkan, maka akan terlihat jumlah telur yang cukup banyak. Telur berbentuk oval. Dinding telur halus dan tidak terdapat mikrovilli.

55 36 A B C D E F G H I J K L Gambar 3.1 Daerah anterior (A-D) dan ekor (E-H) juvenile stadia-2 (J2) serta telur (I-L) nematoda sista kentang Indonesia. A, E, I. S1 (Jawa J Timur lokasi 1). B, F, J. S2 (Jawa Timur lokasi 2). C, G, K. S3 ( Jawa Timur lokasi 3). D, H, L). S4 (Pawuhan Jawa Tengah). I L I Betina (Gambar 3.2 C-D) Tubuh betina berbentuk bulat, sedikit ellips atau lonjong, tanpa vulval cone pada keempat sampel. Tubuh betina yang baru keluar dari korteks awalnya berwarna putih, kemudian berubah menjadi kuning keemasan. Permukaan tubuh

56 37 bagian posterior betina ditutupi tonjolan kutikula. Sama seperti sista tonjolan kutikula menyatu dengan lehernya yang pendek (Gambar 3.2 C-D). A B C cr vb vb a cr D E F a vb cr vb cr a a G H Gambar 3.2 Karakter morfologi nematoda sista kentang Indonesia. Sista (A-D) dan sidik pantat (perineal pattern) (E-H). A, E). S1 (Jawa Timur lokasi 1). B, F). S2 (Jawa Timur lokasi 2). C, G). S3 (Jawa Timur lokasi 3). D, H). S4 (Pawuhan Jawa Tengah). (vb = vulva basin, cr = cutcular ridges, a=anus,gr besar dari 3,2)

57 38 Sista (Gambar 3.2 A-B) Sama seperti betina, keempat sampel mempunyai sista dengan bentuk membulat, sedikit ellips atau ovoid. Tonjolan kutikula pada sista mempunyai pola yang sama seperti pada betina. Sista merupakan betina yang mati dengan kutikula yang keras, di dalamnya berisi telur yang akan menjadi generasi berikutnya. Sista berwarna coklat muda yang kemudian berubah menjadi coklat tua atau kehitaman. Tidak terdapat vulval cone, leher dan kepala kecil dan menonjol. Jantan Pada keempat sampel didapatkan jantan berbentuk cacing (vermiform). Tubuh jantan akan berbentuk C atau S jika dipanaskan atau difiksasi. Ekor terlihat tumpul dengan spikula di dekat ujung. Berdasarkan pengamatan morfologi dengan ciri-ciri seperti yang dijelaskan di atas, maka keempat sampel NSK tersebut adalah G. rostochiensis. Di samping pengamatan morfologi, dilakukan juga pengukuran pada beberapa variabel morfologi dari masing-masing isolat di atas. Hasil pengukuran dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 3.3. Berdasarkan uji jarak Duncan, semua karakter yang diukur pada sista tidak berbeda nyata pada keempat isolat uji. Hasil yang sama juga didapat pada betina. Sedangkan pada J2 didapat panjang stilet dan lebar tubuh S1 berbeda nyata dengan S2, S3 dan S4, tetapi pada karakter yang lain semua isolat tidak berbeda nyata, selain itu keempat isolat mempunyai tonjolan stilet yang berbentuk bulat. Pengukuran pada jantan dan telur juga didapat beberapa karakter berdasarkan uji jarak Duncan berbeda nyata antar isolat Selanjutnya dilakukan analisis berdasarkan wilayah yaitu membandingkan isolat Jawa Timur (S1, S2 dan S3) dengan isolat Jawa Tengah (S4) (Tabel 3.4). Berdasarkan uji jarak Duncan didapat isolat Jawa Timur (S1, S2 dan S3) secara umum tidak berbeda nyata dengan isolat Jawa Tengah (S4), dengan kata lain tidak ada perbedaan antara isolat Jawa Timur dan Jawa Tengah berdasarkan morfometrinya.

58 39 Tabel 3.3 Ukuran sista, juvenil, betina, jantan dan telur NSK isolat S1 (Jawa Timur lokasi 1), S2 (Jawa Timur lokasi 2), S3 (Jawa Timur lokasi 3) dan S4 (Pawuhan Jawa Tengah) (μm) Sampel NSK * No. Karakter S1 S2 S3 S4 Sista 1. Lebar 371,0 ± 103,8a 380,0 ± 96,5a 378,0 ± 95,0a 374,0 ± 66,5a 2. Panjang 456,0 ± 31,8a 457,0 ± 33,4a 470,0 ± 44,3a 450,0 ± 37,1a 3. Diameter fenestra 19,4 ± 4,8a 19,0 ± 4,6a 20,0 ± 4,2a 19,0 ± 4,6a 4. Jarak (anus fenestra) 65,0 ± 10,6a 66,0 ± 8,3a 65,0 ± 7,0a 66,0 ± 8,3a 5. Panjan g leher 104,0 ± 79,2a 104,0 ± 79,2a 110,0 ± 75,7a 105,0 ± 47,8a 6. Rasio granek 4,4 ± 1,8a 3, 8 ± 1,1a 3,6 ± 0,9a 3,9 ± 0,9a 7. Jumlah cuticular ridges 16,0 28,0a (rata-rata) ( 22,0 ) 15,0 30,0a 16,0 32,0a ( 20,0 ) ( 21, 0 ) 14,0 30,0a ( 23, 0 ) Juvenil stadia dua (J2) Panjang tubuh Lebar tub uh 457,0 ± 97,9a 17,5 ± 1,1ab 452,0 ± 96,9a 17,2 ± 0,9b 462,0 ±90,5a 17,8 ± 0,9a 460,0 ± 81,5a 17,7 ± 0,6a 10. Panjang stilet 24,2 ± 1,1a 23,0 ± 1,3b 23,0 ± 1,7b 22,0 ± 1,4c 11. Panjang ekor 45,4 ± 5,0a 44,0 ± 5,2a 45,0 ± 4,3a 45,0 ± 4,6a 12. Lebar ekor 11,5 ± 1,4a 11,7 ± 1,4a 12,0 ± 1,1a 11,8 ± 1,4a 13. Lebar kepala 4,3 ± 1,2a 4,3 ± 1,2a 4,5 ± 0,5a 4,7 ± 0,9a 14. Panjang bagian hialin (pada ekor) 15. Bentuk tonjolan stilet bulat bulat bulat bulat Betina 27,6 ± 4,1a 28,0 ± 3,5a 27,0 ± 4,2a 27,0 ± 3,9a 16. Diameter vul val basin 21,0 ± 4,0a 20,0 ± 3,4a 22,0 ± 3,1a 21,0 ± 3,8a Jantan 17. Panjang tubuh 898,0 ± 0,2b 875,0 ± 0,9b 1059,0 ± 0,4ab 1109,0 ± 0,3a 18. Lebar tubuh 28,0 ± 2,6a 27,9 ± 3,0a 27,2 ± 2,7a 27,4 ± 3,0a 19. Panjang stilet 24,3 ± 1,5b 25,3 ± 2,3a 25,4 ± 2,1a 25,0 ± 2,1a 20. Panjang ekor 5,7 ± 0,5a 5,5 ± 0,5a 5,8 ± 0,7a 5,6 ± 0,8a 21. Panjang kepala 6,5 ± 0,9b 6, 5 ± 0,9b 6, 8 ± 0,6 b 7,3 ± 0, 8a 22. Lebar kepala 12,0 ± 1,5a 11,7 ± 1,5a 13,1 ±1,3a 12,0 ±1,4a 23. Panjang spikula 36,0 ± 2,1a 32,4 ± 4,2b 30,0 ± 5,7b 31,0 ±5,5b Telur 24. Panjang 25. Lebar 105,0 ± 2,70a 47,0 ± 4,6bc 104,0 ± 4,2a 45,0 ± 3,0c 102,8 ± 1,3b 50,9 ± 0,9a * Ra ta-rata dari 25 (sista), 50 (J2), 25 (be tina), 50 (jantan), dan 25 (telur) Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji DMRT 103,8 ± 1,7b 48,4 ± 1,3a

59 40 Tabe l 3.4 Ukuran sista, j uvenil, betina, jantan dan telur NSK berdasarkan wilayah Jawa Timur (S1, S2 dan S3) dan Jawa Te ngah (S4) (μm) Sampel NSK * No. Karakter Jawa Timu r (S1, S2, S3) Jawa Tengah (S4) Sista 1. Lebar 376,3 ± 97,3a 374,0 ± 66,5a 2. Panjang 461,0 ± 37,0a 450,0 ± 37,1a 3. Diameter fenestra 19,5 ± 4,5a 19,0 ± 4,6a 4. Jarak (anus fenestra) 65,3 ± 8,7a 66,0 ± 8,3a 5. Panjang leher 106,0 ± 77,5a 105,0 ± 47,8a 6. Rasio granek 3,9 ± 1,4a 3,9 ± 0,9a 7. Jumlah cuticular ridges 15,0 32,0a 14,0 30,0a (rata-rata) (21,0) ( 23,0 ) Juvenil stadia dua (J2) Panjang tubuh Lebar tub uh 457,0 ± 94,6a 17,5 ± 1,0a 460,0 ± 81,5a 17,7 ± 0,6a 10. Panjang stilet 23,4 ± 1,5a 22,0 ± 1,4c 11. Panjang ekor 44,8 ± 4,9a 45,0 ± 4,6a 12. Lebar ekor 11,7 ± 1,3a 11,8 ± 1,4a 13. Lebar kepala 4,4 ± 1,0a 4,7 ± 0,9a 14. Panjang bagian hialin (pada ekor) 15. Bentuk tonjolan stilet Bulat Bulat Betina 16. Diameter vulval basin 21,0 ± 3,6a 21,0 ± 3,8a Jantan 21. Panjang kepala 6,6 ± 0,8a 7,3 ± 0,8a 22. Lebar kepala 12,3 ± 1,6a 12,0 ±1,4a 23. Panjang spikula 32,8 ± 4,9b 31,0 ±5,5b Telur 27,5 ± 3,9a 27,0 ± 3,9a 17. Panjang tubuh 1048,0 ± 130,9a 1109,0 ± 0,3a 18. Lebar tubuh 27,7 ± 4,8a 27,4 ± 3,0a 19. Panjang stilet 25,0 ± 2,0a 25,0 ± 2,1a 20. Panjang ekor 5,7 ± 0,6a 5,6 ± 0,8a 24. Panjang 103,9 ± 3,0b 103,8 ± 1,7b 25. Lebar 47,6 ± 4,0a 48,4 ± 1,3a * Ra ta-rata dari 25 (sista), 50 (J2), 25 (be tina), 50 (jantan), dan 25 (telur) Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji DMRT

60 41 Karakter Molekuler NSK Indonesia Amplifikasi rdna pada Daerah ITS Hasil amplifikasi DNA dengan teknik PCR menggunakan primer spesifik untuk G. rostochiensis dan G. pallida serta primer universal terhadap 11 populasi NSK menghasilkan 2 pola pita, masing-masing dengan ukuran 238 bp dan 391 bp. Ukuran pita 238 bp ditemukan pada semua populasi NSK, yaitu dari Jawa Timur (S1-S3), Jawa Tengah (S4-S7) dan Jawa Barat (S8-S11). Pita dengan ukuran ini merupakan spesies G. rostochiensis (Gambar 3.3). Ukuran pita 391 bp hanya ditemukan pada isolat Jawa Tengah (S4-S7). Pita dengan ukuran ini adalah spesies G. pallida (Gambar 3.4). Perunutan rdna pada Daerah ITS Perunutan DNA dilakukan terhadap fragmen DNA hasil amplifikasi PCR spesies G. rostochiensis dari isolat Jawa Timur (S1-S3) dan Jawa Tengah (S4-S7) sedangkan isolat Jawa Barat (S8-S11) belum dilakukan analisis perunutan DNA. Perunutan dilakukan dengan menggunakan mesin sekuensing ABI-Prism Avant Genetic Analyzer. Hanya data S1, S2, S3 (Jawa Timur), S6 dan S7 (Jawa Tengah) yang selanjutnya digunakan sebagai bahan analisis tingkat kesamaan genetik NSK yang telah dikoleksi dari daerah geografi lainnya, yaitu dengan memanfaatkan informasi perunutan DNA yang tersedia dalam GeneBank ( dan dan program Clustal-W 1,83. Hasil analisis 5 isolat NSK dengan menggunakan program Clustal-W 1,83 menunjukkan ada beberapa bagian pada sekuen gen NSK pada daerah ITS-1 yang memiliki homologi. Isolat NSK Jawa Timur (S1, S2 dan S3) mempunyai tingkat kesamaan (similarity) yang tinggi yaitu di atas 90% tetapi berbeda jauh dengan isolat Jawa Tengah (S6 dan S7).

61 42 M M 238 bp Gambar 3.3 Hasil amplifikasi DNA NSK dengan PCR menggunakan primer 1 spesifik G. rostochiensis dan primer universal (Muholland et al. 1988) NSK S1, S2 dan S3(Jawa Timur), 4-7. NSK S4, S5, S6 dan S7 (Jawa Tengah), NSK S8, S9, S10 dan S11 (Jawa Barat). M=marker 100 bp ladder Invitogen. M M 391 bp Gambar 3.4 Hasil amplifikasi DNA NSK dengan PCR menggunakan primer spesifik G. pallida dan primer universal (Muholland et al. 1988) NSK S4, S5, S6 dan S7 (Jawa Tengah). M=marker 100 bp ladder Invitogen.

62 43 GR1-JT TTGT 4 Gr6-JTH GR3-JT TTGT 4 GR2-JT TTGT 4 Gr-NY GAGCGGTTGTTGCGCCTTGCGCAGATATGCTAACATGGAGTGTAGGCTGCTACTCCATGT 60 Gr-SA GAGCGGTTGTTGCGCCTTGCGCAGATATGCTAACATGGAGTGTAGGCTGCTACTCCATGT 60 Gr-Meks GAGCGGTTGTTGCGCCTTGCGCAGATATGCTAACATGGAGTGTAG-CTGCTACTCCATGT 59 Gr-Peru1 GAGCGGTTGTTGCGCCTTGCGCAGATATGCTAACATGGAGTGTAG-CTGCTACTCCATGT 59 Gr-Kan GAGCGGTTGTTGCGCCTTGCGCAGATATGCTAACATGGAGTGTAG-CTGCTACTCCATGT 59 Gr-Peru2 GAGCGGTTGTTGCGCCTTGCGCAGATATGCTAACATGGAGTGTAG-CTGCTACTCCATGT 59 Gr-FI GAGCGGTTGTTGCGCCTTGCGCAGATATGCTAACATGGAGTGTAG-CTGCTACTCCATGT 59 Gr-Peru3 GAGCGGTTGTTGCGCCTTGCGCAGATATGCTAACATGGAGTGTAG-CTGCTACTCCATGT 59 Gr7-JTH GR1-JT1 TGTACGTGCCGTACCTTGCGGCATGTTTGCGCTTGTGTGCTACGTCCGTGGCCGTGATGA 64 Gr6-JTH GGGGCAACCCATCCCCTTTGAGATGCTACGCTCCGCAGGACGATG-AATAA 50 GR3-JT3 TGCACGTGCCGTACCTTGCGGCATGTCTGCGCTTGTGTGCTACGTCCGTGGCCGTGATGA 64 GR2-JT2 TGTACGTGCCGTACCTTGCGGCATGTCTGCGCTTGTGTGCTACGTCCGTGGCCGTGATGA 64 Gr-NY TGTACGTGCCGTACCTTGCGGCATGTCTGCGCTTGTGTGCTACGTCCGTGGCCGTGATGA 120 Gr-SA Gr-Meks Gr-Peru1 TGTACGTGCCGTACCTTGCGGCATGTCTGCGCTTGTGTGCTACGTCCGTGGCCGTGATGA 120 TGTACGTGCCGTACCTTGCGGCATGTCTGCGCTTGTGTGCTACGTCCGTGGCCGTGATGA 119 TGTACGTGCCGTACCTTGCGGCATGTCTGCGCTTGTGTGCTACGTCCGTGGCCGTGATGA 119 Gr-Kan TGTACGTGCCGTACCTTGCGGCATGTCTGCGCTTATGTGCTACGTCCGTGGCCGTGATGA 119 Gr-Peru2 TGTACGTGCCGTACCTTGCGGCATGTCTGCGCTTGTGTGCTACGTCCGTGGCCGTGATGA 119 Gr-FI TGTACGTGCCGTACCTTGCGGCATGTCTGCGCTTGTGTGCTACGTCCGTGGCCGTGATGA 119 Gr-Peru3 TGTATGTGCCGTACCTTGCGGCATGTCTGCGCTTGTGTGCTACGTCCGTGGCCGTGATGA 119 Gr7-JTH CGGGTTTTCGGTCCTTT----GTTGCTACGTCCCGTGTGCCCGTGTTGTGC 47 * * * * * * * ** * * * GR 1-JT1 GACGAC-GTGTTA---GGACCCGT--GCC-TGGCATTGG-CACGTGGTTTAAGACT-TGA 115 Gr6-JTH GACGAC-GTGTTA---GGACCCGT--GCC-TGGAAATGGACACGAGGATTAAGACTATGA 103 GR3-JT3 GACGAC-GTGTTA---GGACCCGT--GCC-TGGCATTGG-CACGTGGTTTAAGACT-TGA 115 GR2-JT2 GACGAC-GTGTTA---GGACCCGT--GCC-TGGCATTGG-CACGTGGTTTAAGACT-TGA 115 Gr-NY GACGAC-GTGTTA---GGACCCGT--GCC-TGGCATTGG-CACGTGGTTTAAGACT-TGA 171 Gr-SA GACGAC-GTGTTA---GGACCCGT--GCC-TGGCATTGG-CACGTGGTTTAAGACT-TGA 171 Gr-Meks GACGAC-GTGTTA---GGACCCGT--GCC-TGGCATTGG-CACGTGGTTTAAGACT-TGA 170 Gr-Peru1 GACGAC-GTGTTA---GGACCCGT--GCC-TGGCATTGG-CACGTGGTTTAAGACT-TGA 170 Gr-Kan GACGAC-GTGTTA---GGACCCGT--GCC-TGGCATTGG-CACGTGGTTTAAGACT-TGA 170 Gr-Peru2 GACGAC-GTGTTA---GGACCCGT--GCC-TGGCATTGG-CACGTGGTTTAAGACT-TGA 170 Gr-FI GACGAC-GTGTTA---GGACCCGT--GCC-TGGCATTGG-CACGTGGTTTAAGACT-TGA 170 Gr-Peru3 GACGAC-GTGTTA---GGACCCGT--GCC-TGGCATTGG-CACGTGGTTTAAGACT-TGA 170 Gr7-JTH GCTGACCGTGTTCTATGGACCCGTTGGCCGTGGGAACGGAGACGTGGTTTAAGACT-TGA 106 * *** ***** ******** *** *** * ** *** ** ******** *** GR1-JT1 TGAGTGCCCGCAGGCACC--GCCAGCTTTTTCCCATTTT-TATTTATTTTTTA-TGCAAT 171 Gr6-JTH TGAGTGCCCGCAGGCAACCGACCAGCTTTTTCCCATTTTATATTTATTTTTTA-TGCAAT 162 GR3-JT3 TGAGTGCCCGCAGGCACC--GCCAGCTTTTTCCCATTTT-TATTTATTTTTTA-TGCAAT 171 GR2-JT2 TGAGTGCCCGCAGGCACC--GCCAGCTTTTTCCCATTTT-TATTTATTTTTTA-TGCAAT 171 Gr-NY TGAGTGCCC-CAGGCACC--GCCAGCTTTTTCCCATTTT-TATTTATTTTTTAATGCAAT 227 Gr-SA TGAGTGCCCGCAGGCACC--GCCAGCTTTTTCCCATTTT-TATTTATTTTTTAATGCAAT 228 Gr-Meks TGAGTGCCGGCAGGCACC--GCCAGCTTTTTCCCATTTT-TATTTATTTTTTA-TGCAAT 226 Gr-Peru1 TGAGTGCCCGCAGGCACC--GCCAGCTTTTTCCCATTTT-TATTTATTTTTTA-TGCAAT 226 Gr-Kan TGAGTGCCCGCAGGCACC--GCCAGCTTTTTCCCATTTT-TATTTATTTTTTA-TGCAAT 226 Gr-Peru2 TGAGTGCCCGCAGGCACC--GCCAGCTTTTTCCCATCTT-TATTTATTTTTTA-TGCAAT 226 Gr-FI TGAGTGCCCGCAGGCACC--GCCAGCTTTTTCCCATTTT-TATTTATATTTTA-TGCAAT 226 Gr-Peru3 TGAGTGCCCGCAGGCACC--GCCAGCTTTTTCCCATTTT-TATTTATCTTTTA-TGCAAT 226 Gr7-JTH TGAGTGGCCGGAGGAAAGAAGGGGGCC ****** * *** * ** GR1-JT1 TCGATTGCTA-AAATATTCTAGTCTT--ATCGGTGGATCACTCGGCTC 216 Gr6-JTH TCGAATGCTA-AAATATTCTAGCCTTCAACAAAAGGATCACTCGGCTC 209 GR3-JT3 TCGATTGCTA-AAATATTCTAGTCTT--ATCGGTGGATCACTCGGCTC 216 GR2-JT2 TCGATTGCTA-AAATATTCTAGTCTT--ATCGGTGGATCACTCGGCTC 216 Gr-NY TCGATTGCTA-AAATATTCTAGTCTT--ATCGGTGGATCACTCGGCTC 272 Gr-SA TCGATTGCTA-AAATATTCTAGTCTT--ATCGGTGGATCACTCGGCTC 273 Gr-Meks TCGATTGCTA-AAATATTCTAGTCTT--ATCGGTGGATCACTCGGCTC 271 Gr-Peru1 TCGATTGCTA-AAATATTCTAGTCTT--ATCGGTGGATCACTCGGCTC 271 Gr-Kan TCGATTGCTA-AAATATTCTAGTCTT--ATCGGTGGATCACTCGGCTC 271 Gr-Peru2 TCGATTGCTA-AAATATTCTAGTCTT--ATCGGTGGATCACTCGGCTC 271 Gr-FI TCGATTGCTA-AAATATTCTAGTCTT--ATCGGTGGATCACTCGGCTC 271 Gr-Peru3 TCGATTGCTA-AAATATTCTAGTCTT--ATCGGTGGATCACTCGGCTC 271 Gr7-JTH Gambar 3.5 Perbandingan hasil perunutan nukleotida5 isolat `NSK spesies G. rostochiensis Indonesia. GR1-JT1 = S1, GR2-JT2 = S2, GR3-JT3 = S3, GR6-JTH = S6, dan GR7-JTH = S7. *) Menunjukkan nukleotida yang sama. Keragaman Genetik NSK Indonesia

63 44 Hasil perunutan DNA selanjutnya digunakan untuk analisis keragaman genetik dengan menggunakan program Clustal-W 1,83. Hasil analisis untuk nilai koefisien perbedaan jarak ketidaksamaan didapat isolat-isolat Indonesia terbagi dalam dua kelompok. Satu kelompok terdiri dari isolat-isolat NSK Jawa Timur (S1, S2 dan S3) dan satu kelompok lainnya terdiri dari isolat-isolat Jawa Tengah (S6 dan S7). Kedua kelompok ini terpisah dari isolat-isolat NSK asal negara lain (Gambar 3.6). S1 S2 S3 S6 S7 Pengujian Patotipe dengan Klon diferensial Gr-NY kdiferensial Gr-SA Gr-Peru1 Gr-SA Gr-Peru3 Gr-Meks Gr-Peru2 Gr-Kan Jarak Kesamaan Genetik Jawa Timur Jawa Tengah GeneBank Gambar 3.6 Dendogram isolat-isolat NSK asal Indonesia terhadap NSK dari lokasi geografi lain yang ada di GeneBank (AFO16873 ; AFO ; AFO ; AFO ; AFO ; AFO ; AFO ; AFO ) berdasarkan analisis menggunakan program Clustal-W 1,83 Patotipe NSK Indonesia

64 45 Hasil pengujian patotipe dengan menggunakan klon diferensial menunjukkan isolat 1, 2 dan 3 (S1, S2 dan S3) kemungkinan merupakan G. rostochiensis dengan patotipe yang spesifik Indonesia, berbeda dengan patotipe yang ada di Eropa maupun di Amerika Selatan karena terdapat hasil patogenisitas yang berbeda pada klon diferensial AM (S. vernei hib /19) pada ke-3 isolat. Berdasarkan uji patotipe yang terdapat di Eropa (Kort et al. 1977) maupun yang di Amerika Selatan (Canto Saenz & de Scurrah 1977), NSK tidak dapat menghasilkan sista baru atau sista baru yang dihasilkan sangat rendah bila diinokulasikan pada klon diferensial AM (S. vernei hib /19) sehingga diberi tanda negatif ( ) (Tabel 3.5). Pada pengujian ini sista baru yang terbentuk cukup tinggi maka diberi tanda positif (+). Sedangkan isolat S4 merupakan G. rostochiensis dengan patotipe Ro1 karena sesuai dengan patotipe yang ada di Eropa (Tabel 3.5). Tabel 3.5 Analisis patotipe isolat S1, S2, S3 (Jawa Timur) dan S4 (Pawuhan Jawa Tengah) pada klon diferensial komersil Isolat Klon diferensial komersil Tetua S1 S2 S3 S4 Maritta S.t.tuberosum Saturna S.t.andigena CPC KTT S.kurtzianum hib ODV S.vernei hib / S.vernei hib S.vernei hib AM Sin. S.vernei hib / Patotipe baru Baru baru Ro1 Pembahasan Identifkasi spesies berdasarkan karakter morfologi didapat keempat sampel yang digunakan (S1, S2, S3 dan S4) adalah G. rostochiensis. Hasil ini dapat dilihat dari setiap sampel (S1, S2, S3 dan S4) menunjukkan rata-rata peubah yang diamati relatif sama. Walaupun ada beberapa karakter yang mempunyai perbedaan antara satu isolat dengan isolat yang lain, tetapi umumnya karakter

65 46 yang diamati berdasarkan uji jarak Duncan tidak berbeda nyata. Pengamatan pada juvenil dua (J2) dan sista merupakan kegiatan yang paling penting dalam metode identifikasi secara konvensional, di samping pengamatan pada jantan, betina dan telur. Miller & Gray (1972) ; Mota & Ei senback ( 1993), menggunakan daerah antara anus dan fenestra sista untuk membedakan antara spesies Globodera tabacum, G. virginia e dan G. solanacearum. Pada pengamatan sista ditemukan tonjolan kutikula pada isolat S1, S2 dan S3 maupun S4. Semua isolat mempunyai pola paralel dengan jumlah rata-rata tonjolan kutikula pada S1, S2, S3 dan S4 berturut-turut sebanyak 22 ; 20 ; 21 dan 23. Rasio granek untuk masing-masing isolat adalah 4,2 ; 3,8 ; 3,6 dan 3,9. Nematoda sista kentang dengan karakter sista seperti ini merupakan NSK spesies G. rostochiensis. Fleming & Powers (1998) menjelaskan pola tonjolan stilet antara anus dan vulval basin dapat digunakan untuk membedakan spesies. Lebih lanjut Fleming & Powers (1998) melaporkan, G. rostochiensis mempunyai pola tonjolan kutikula yang paralel sedangkan G. pallida dan G. achilleae mempunyai pola tojolan kutikula mirip G. rostochiensis tetapi berukuran lebih besar, di samping itu G. rostochiensis mempunyai jumlah tonjolan kutikula di atas 14 dengan rasio granek lebih besar dari 3. Hasil identifikasi ini juga diperkuat dengan ciri-ciri morfologi seperti bentuk tonjolan stilet yang bulat, panjang stilet panjang tubuh J2 dan karakter lainnya, semua menunjukkan kepada G. rostochiensis. Banyaknya persamaan yang didapat pada keempat isolat berdasarkan karakter morfologi dipertegas dengan hasil uji jarak Duncan berdasarkan wilayah (Tabel 3.4). Berdasarkan wilayah secara um um tidak terdapat perbedaan antara NSK asal Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Hal ini disebabkan karena isolat Jawa Timur maupun Jawa Tengah sama-sama terindentifikasi sebagai G. rostochiensis, sehingga tidak didapatkan perbedaan yang nyata. Identifikasi spesies dengan berdasarkan karakter molekuler memberikan hasil yang lebih akurat. Hasil amplifikasi dengan teknik PCR pada daerah ITS dengan menggunakan pasangan primer ITS-1 (5 - TGT TGT ACG TGC CGT ACC TT-3 ) dengan 5,8S rdna (5 - GCA GAA GGC TAG CGA TCT TC-3 ) menghasilkan fragmen DNA berukuran 238 bp pada semua isolat-isolat Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, sedangkan pasangan primer ITS-1 (5 - GGT GAC TCG ACG ATT GCT GT-3 ) dengan 5,8S rdna (5 - GCA GAA

66 47 GGC TAG CGA TCT TC-3 ) menghasilkan fragmen DNA berukuran 391 bp hanya pada isolat-isolat Jawa Tengah. Menurut Muholland et al. (1996) ukuran fragmen DNA dengan pasangan primer di atas berturut-turut adalah G. rostochiensis dan G. pallida. Hasil ini menunjukkan isolat-isolat Jawa Timur dan Jawa Barat merupakan populasi tunggal G. rostochiensis, sebaliknya isolat Jawa Tengah terdiri dari populasi campuran G. rostochiensis dan G. pallida (Gambar 3.3 dan 3.4). Tingginya tingkat akurasi pada identifikasi spesies berdasarkan karakter molekuler, disebabkan pada metode ini perbedaan antara isolat dilacak pada tingkat gen, sehingga memiliki sensifitas yang tinggi untuk mengidentifikasi spesies campuran. Sebaliknya identifikasi spesies berdasarkan karakter morfologi hanya dapat mengidentifikasi spesies yang paling dominan dari rata-rata sampel yang digunakan pada pengamatan. Artinya, walaupun pada isolat S4 berdasarkan karakter molekuler merupakan spesies campuran, tetapi berdasarkan karakter morfologi rata-rata ukuran morfologinya masuk sebagai G. rostochiensis. Seperti diketahui ekspresi morfologi merupakan kombinasi antara genotipe tanaman dengan faktor lingkungan. Analisis perunutan DNA menggunakan hasil amplifikasi PCR menunjukkan isolat-isolat Indonesia tidak berada dalam satu kelompok dengan isolat NSK dari negara lain. Isolat-isolat Indonesia terbagi dalam 2 kelompok, masing-masing kelompok pertama terdiri dari isolat Jawa Timur (S1, S2 dan S3) dan kelompok kedua terdiri dari isolat Jawa Tengah (S6 dan S7). Ketiga isolat Jawa Timur mempunyai mempunyai persamaan jarak genetik yang sangat dekat yaitu di atas 90%, jarak genetik seperti ini dapat dikatakan populasi NSK Jawa Timur adalah sama. Pada pengujian ini ketiga isolat tersebut memberikan reaksi yang sama pada semua klon diferensial. Tingginya tingkat persamaan runutan nukleotida ini dapat disebabkan karena umbi kentang yang ditanam berasal dari sumber yang sama sehingga ada kemungkinan nematoda sista kentang yang terinfestasi di lokasi pengambilan sampel juga mempunyai karakter genetik yang sama.

67 48 Terpisahnya isolat Jawa Timur dengan isolat Jawa Tengah menunjukkan populasi NSK di Indonesia mempunyai keragaman genetik yang tinggi. Hasil yang didapat dari perunutan DNA ini sejalan dengan hasil pengujian patotipe dengan klon diferensial. Pada pengujian patotipe dengan klon diferensial didapat patotipe populasi NSK Jawa Timur berbeda dengan Jawa Tengah. Kondisi ini menunjukkan populasi NSK Indonesia mempunyai patotipe-patotipe yang berbeda. Tidak tertutup kemungkinan merupakan patotipe baru yang spesifik Indonesia. Hasil pengamatan uji tanaman klon diferensial menunjukkan bahwa keempat isolat NSK yang digunakan dapat menghasilkan sista baru pada semua klon diferensial, walaupun jumlah sista yang dihasilkan bervariasi pada masing- sering digunakan sebagai alternatif pengujian untuk melengkapi masing inang. Matthews (1991) mendefinisikan tanaman diferensial adalah tanaman yang mampu mengekspresikan reaksi yang khas sehingga dapat membedakan patotipe antara isolat yang digunakan. Tingginya sifat spesifik pada kultivar tanaman inang tertentu untuk NSK menyebabkan pengujian klon diferensial pengamatan yang berdasarkan karakter morfologi. Pada Tabel 3.5 terlihat isolat 4 (S4) memberikan hasil yang sama seperti skema yang didiskripsikan oleh Canto Saenz & de Scurrah (1977) ; Kort et al. (1977) (Tabel 3.2) untuk G. rostochiensis dengan patotipe Ro1. Sebaliknya pada S1, S2 dan S3 memberikan hasil yang berbeda pada klon AM (S. vernei hib /19). Hasil ini mengindikaskan S1, S2 dan S3 bukan seperti patotipe yang terdapatdi Eropa (Kort et al. 1977) maupun yang di Amerika Selatan (Canto Saenz & de Scurrah 1977). Patotipe pada S1, S2 dan S3 kemungkinan merupakan patotipe spesifik Indonesia, yang terjadi karena adanya mutasi pada isolat-isolat tersebut. Dugaan kuat telah terjadi variasi genetik pada isolat-isolat Jawa Timur adalah berhubungan erat dengan kultivar kentang yang diimpor dan negara asal impor. Sebelum adanya laporan keberadaan NSK pada Maret 2003 yang lalu (Daryanto 2003), petani daerah ini telah menggunakan bibit umbi kentang impor dari Eropa dan Australia untuk waktu yang cukup lama (petani, komunikasi pribadi). Seperti diketahui Granola dan Atlantik adalah dua kultivar kentang yang

68 49 paling banyak diimpor dan ditanam di Indonesia. Granola diimpor dari negara Eropa. Sedangkan kentang kultivar Atlantik diimpor dari Australia. Impor bibit kentang dalam jumlah yang cukup besar untuk waktu yang cukup lama tanpa prosedur karantina, memberi peluang besar masuknya NSK ke daerah ini. Mengingat Jawa Timur merupakan salah satu sentra pertanaman kentang di Indonesia, maka penanaman kentang pasti dilakukan dalam skala yang luas secara terus menerus sepanjang tahun. Hal ini merupakan kondisi yang sangat mendukung untuk terjadinya ledakan dan terbentuknya patotipe baru di daerah ini. Menurut Joosten (1991), Granola merupakan kultivar kentang yang resisten terhadap G. rostochiensis Ro1 dan Ro4, sedangkan Atlantik resisten terhadap G. rostochiensis Ro1. Hasil penelitian menunjukkan Granola dan Atlantik dapat diserang oleh NSK, bahkan di beberapa lokasi pertanaman kentang di Kota Batu, Jawa Timur tanaman kentang mati pada umur tanaman kurang dari satu bulan. Kondisi ini memperkuat dugaan NSK yang terdapat di Jawa Timur merupakan patotipe baru. Agrios (2005) mengemukan ada 3 faktor yang harus dimiliki oleh patogen untuk dapat menginfeksi tanaman yaitu 1) Kemampuan penetrasi dan menginfeksi tanaman, 2) Kemampuan untuk mengatasi ketahanan tanaman, 3) Kemampuan patogenisitas. Lebih lanjut dilaporkan salah satu aspek biologis yang sangat dinamis dan sangat menentukan adalah karakter individu dalam satu spesies yang selalu mengalami perubahan baik morfologis maupun fisiologisnya, kemampuan berubahnya bervariasi dari satu individu ke individu yang lain sebagai suatu kemampuan beradaptasi. Sinaga (2003) menyatakan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada patogen, dapat meningkatkan sifat patogenitasnya, sehingga suatu saat dapat membentuk suatu strain baru yang virulen dan dapat menyerang inang yang resisten. Selain alasan di atas, dugaan kuat terdapatnya patotipe baru spesifik Indonesia adalah adanya adaptasi lingkungan karena perbedaan temperatur tanah dan panjang hari, seperti yang terjadi pada negara Eropa. NSK merupakan patogen yang berasal dari Kepulauan Andes (Amerika Selatan), yang merupakan daerah berhari pendek yaitu panjang siang adalah 12 jam. Introduksi NSK melalui

69 50 bibit kentang ke negara Eropa yang mempunyai waktu siang yang lebih panjang (18 jam) memaksa NSK untuk beradaptasi dengan lingkungan di Eropa. Kondisi ini menyebabkan terjadinya perubahan genetik sehingga pada akhirnya terbentuk patotipe-patotipe Eropa (Evans et al. 1975). Hal yang sama kemungkinan terjadi pada NSK di Indonesia. Adaptasi lingkungan dalam waktu yang lama dengan perbedaan temperatur tanah dan waktu siang di Indonesia yang lebih pendek dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya patotipe spesifik Indonesia. Dugaan kuat terdapatnya patotipe baru isolat asal Jawa Timur juga karena NSK merupakan patogen yang memperbanyak diri secara seksual, yaitu dengan perkawinan antar jantan dan betina. Perkawinan hanya terjadi pada spesies yang sama, sebaliknya perkawinan tidak dapat terjadi antar spesies. Keturunan dari hasil perkawinan secara seksual akan menghasilkan keturunan yang tidak sama dengan induknya. Pada patogen dengan sifat seperti ini, variasi yang terjadi pada keturunannya (progeni) terutama diintroduksi melalui segregasi dan rekombinasi gen selama pembelahan meiosis. Selanjutnya terjadi pertukaran genlingkungan hidupnya yang selalu mengalami evolusi. gen antara individu yang berlangsung lambat, untuk dapat beradaptasi pada Simpulan Identifikasi spesies berdasarkan karakter morfologi berhasil mengidentifikasi keempat populasi NSK (S1, S2, S3 dan S4), yaitu G. rostochiensis. Identifikasi spesies berdasarkan karakter molekuler berhasil mengidentifikasi kedua spesies NSK, yaitu G. rostochiensis dengan produk PCR 238 bp dengan daerah penyebaran Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. sedangkan G. pallida dengan produk PCR 391 bp hanya terdapat di Jawa Tengah. Hasil analisis perunutan DNA hasil PCR menunjukkan adanya keragaman genetik antara isolat-isolat NSK asal Indonesia. Isolat Indonesia terbagi dalam dua kelompok, yaitu : isolat Jawa Timur berada dalam satu kelompok dan isolat Jawa Tengah berada dalam kelompok yang lain dan terpisah dengan isolat-isolat NSK negara lain.

70 51 Berdasarkan pengujian patotipe dengan menggunakan klon diferensial diketahui bahwa ketiga populasi NSK Jawa Timur (S1, S2 dan S3) kemungkinan patotipe baru yang spesifik Indonesia, sedangkan isolat Jawa Tengah (S4) merupakan G. rostochiensis patotipe Ro1.

71 IV. KAJIAN BIOLOGI NEMATODA SISTA KENTANG INDONESIA Abstrak LISNAWITA. Kajian Biologi Nematoda Sista Kentang Indonesia. Dibimbing oleh MEITY SURADJI SINAGA, GUSTAF ADOLF WATTIMENA, SUPRAMANA dan GEDE SUASTIKA Nematoda sista kentang (G. rostochiensis dan G. pallida/ NSK) merupakan patogen penting pada tanaman kentang. Perkembangan dan perilaku nematoda ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Oleh karena itu pengetahuan tentang biologi NSK sangat dibutuhkan, karena dapat memberikan informasi sebaran geografi dan dinamika populasi nematoda. Penelitian tentang pengaruh temperatur (12, 15, 18, 21 dan 24ºC) terhadap faktor biologi serta mengamati pascaembriogenik dan siklus hidup NSK telah dilakukan di growth chamber. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah sista, faktor reproduksi, daya tahan hidup, keperidian, multiplikasi, pascaembriogenik dan siklus hidup NSK. Hasil penelitian diperoleh temperatur optimum untuk menghasilkan sista baru dengan faktor reproduksi yang paling tinggi, daya tahan hidup, keperidian dan multiplikasi NSK adalah 15-21ºC. Nematoda sista kentang melengkapi siklus hidupnya dalam hari. Kata kunci : Kajian biologi, nematoda sista kentang, pascaembriogenik siklus hidup, temperatur optimum

72 53 IV. BIOLOGY STUDY OF INDONESIAN POTATO CYTS NEMATODE Abstract LISNAWITA. Biology Study of Indonesian Potato Cyts Nematode. Supervised by MEITY SURADJI SINAGA, GUSTAF ADOLF WATTIMENA, SUPRAMANA & GEDE SUASTIKA Potato cyst nematodes (PCN/ G. rostochiensis and G. pallida) are important pathogens of potato. The growth and behaviour of nematodes are affected by the environment. Therefore, determination of the biology of Indonesian populations is urgently needed, because it can give information about population dynamics of the nematodes and geographical distribution. Experiments of temperature effect (12, 15, 18, 21 and 24ºC) on biology factors, postembryonic and life cycle of PCN were carried in the growth chambers. Observation was conducted on number of cysts, reproduction factor (Rf), survival, fecundity, multiplication, postembryonic and life cycle of PCN. The optimum temperature range for maximum cysts production with the highest Rf, survival, fecundity and multiplication was 15-21ºC. PCN completed their life cycle within days. Key words : Biology study, potato cyst nematode, postembryonic, life cycle, optimum temperature

73 54 Pendahuluan Nematoda sista kentang (NSK), G. rostochiensis dan G. pallida merupakan nematoda parasit terpenting pada tanaman kentang (Jensen et al. 1979). Saat ini NSK telah tersebar di banyak negara subtropik dan tropik yang berudara sejuk. Kondisi lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan kentang, akan sesuai juga untuk hidup dan perkembangan NSK. Seperti nematoda parasit tumbuhan lainnya, faktor lingkungan seperti temperatur, kelembaban, aerasi dan jenis tanah mempengaruhi perkembangan NSK. Di antara faktor lingkungan tersebut, temperatur merupakan faktor abiotik yang paling penting. Nematoda sista kentang mempunyai temperatur optimum untuk metabolisme, pertumbuhan dan aktivitasnya (Vannier 1994). Di samping itu temperatur juga mempengaruhi dormansi (diapause) (Huang & Pereira 1994), siklus hidup, daya tahan hidup (survival) dan perilaku (behaviour) NSK (Wharton et al. 2002). Peningkatan atau penurunan temperatur dari temperatur optimum, menyebabkan laju metabolisme dan aktivitas nematoda menjadi lambat (Vannier 1994). Perbedaan aktivitas pada nematoda menyebabkan temperatur yang dibutuhkan akan berbeda, begitu juga perbedaan di dalam populasi pada spesies nematoda yang sama akan membutuhkan temperatur yang berbeda juga, seperti yang ditemukan pada G. rostochiensis. Perkembangan G. rostochiensis pada tanaman inang akan terhambat pada temperatur 29-32ºC, tetapi larva masih bisa keluar dari sista sampai suhu 37ºC. Temperatur optimum untuk invasi spesies ini adalah antara temperatur 21-25ºC, dan temperatur optimum untuk perkembangannya pada tanaman inang adalah antara temperatur 18-24ºC. Beberapa penelitian pengaruh temperatur terhadap aktivitas NSK telah dilakukan. Mc Kenna & Winslow (1972), mendapatkan bahwa pada temperatur 25ºC juvenil G. rostochiensis menetas lebih cepat dibandingkan G. pallida. Ellis & Hesling (1975) telah menguji 20 isolat G. rostochiensis dan G. pallida pada temperatur 18ºC, hasil penelitian menunjukkan G. pallida menetas lebih cepat daripada G. rostochiensis. Stone & Webley (1975) mendapatkan pada temperatur yang tinggi, sista G. pallida lebih sensitif dibandingkan G. rostochiensis.

74 55 Secara umum Robinson et al. (1987), menyatakan G. pallida mempunyai temperatur optimum yang lebih rendah untuk menetas dibandingkan G. rostochiensis. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari biologi NSK dengan mengetahui pengaruh temperatur terhadap faktor biologi dan mengamati perkembangan pascaembriogenik dan siklus hidup NSK. Metode Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di growth chamber dan Laboratorium Nematologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB. Penelitian dilaksanakan dari bulan September 2005 sampai Januari Persiapan Tanaman Inang Kajian biologi NSK terdiri dari 1) Pengujian pengaruh temperatur terhadap perkembangan dan perilaku NSK, 2) Pengamatan perkembangan pascaembriogenik NSK dan 3) Mendapatkan siklus hidup lengkap NSK, dilakukan dengan menggunakan kentang kultivar Desiree. Tanaman inang diperbanyak secara kultur jaringan dengan menggunakan media MS0 (Lampiran 2). Setelah berumur 2 minggu, planlet di aklimatisasi dengan memindahkannya ke dalam pot plastik (diameter 5 cm dan tinggi 9 cm). Media tanam yang digunakan adalah tanah : arang sekam steril (v/v : 1:1). Untuk membantu pertumbuhan, tanaman di pupuk sebanyak dua kali, yaitu 7 dan 30 hari setelah aklimatisasi, masing-masing dengan 0,25 gram Urea. Multiplikasi Nematoda Sista Kentang di Laboratorium Sebelum pengujian dilakukan terlebih dahulu dilakukan multiplikasi sista NSK sebagai sumber inokulum di laboratorium. Multiplikasi NSK dilakukan dengan menggunakan metode yang dikembangkan oleh Foot (1977) dengan sedikit modifikasi. Pot plastik bening dengan diameter 9 cm dan tinggi 15 cm disterilisasi

75 56 permukaan dengan 1% sodium hipoklorit selama 30 menit, kemudian dibilas dengan air steril sebanyak dua kali. Pot kemudian diisi dengan media tanah : pasir steril (v/v = 1:1). Selanjutnya umbi kentang yang telah siap ditanam diletakkan pada bagian tengah pot. Sepuluh sista NSK dari isolat S1, S2, S3 dan S4 disterilisasi permukaan dengan merendamkannya ke dalam 0,05% streptomisin sulfat selama 5 menit, dilanjutkan dengan 0,01% HgCl2 selama 5 menit dan dibilas dengan air steril sebanyak 2 kali, sista disebar di sekeliling umbi kentang. Tanaman dipelihara di ruang kultur dengan tempertur 20ºC. Sista yang berkembang digunakan sebagai sumber inokulum. Pengujian Pengaruh Temperatur terhadap NSK Populasi Nematoda Sista Kentang Sista dari ke-empat isolat (S1, S2, S3, dan S4) dikumpulkan dari multiplikasi NSK di laboratorium dengan mengekstraksi tanah menggunakan metode Sheperd (1985). Untuk mendapatkan pertumbuhan akar yang relatif seragam, delapan hari sebelum dinokulasi, semua tanaman uji di tempatkan pada growth chamber pada temperatur 18ºC (Foot 1977). Sepuluh sista NSK diinokulasi pada setiap tanaman dengan cara menaburkannya di sekitar akar (Foot 1978 ; Franco 1979). Tanaman dibiarkan di dalam growth chamber pada temperatur 12ºC, 15ºC, 18ºC, 21ºC dan 24ºC dengan kelembaban relatif (RH) 80%, pencahayaan dengan 12 jam terang dan 12 jam gelap selama 56 hari. Rancangan Percobaan Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial, yang terdiri dari dua faktor dengan 5 ulangan. Faktor pertama yaitu perlakuan isolat (S) dan faktor kedua adalah temperatur (T). Perlakukan isolat terdiri dari empat taraf, yaitu : S1, S2, S3 dan S4. Perlakuan temperatur terdiri atas 5 taraf temperatur yang berbeda, yaitu : T1 = 12ºC, T2 = 15ºC, T3 = 18ºC, T4 = 21ºC dan T5 = 24ºC. Kombinasi perlakuan adalah 4 x 5 = 20 kombinasi perlakuan. Total tanaman yang digunakan adalah 20 x 5 = 100 tanaman.

76 57 Model linear rancangan percobaan ini adalah : Yijk = μ + άi + βj + (άβ)ij + εijk i = 0, 1, 2, 3 j = 1, 2, 3,..., 5 k =1, 2, 3,..., 5 Yijk : nilai pengamatan (respon) dari faktor isolat nematoda taraf ke-i dan faktor temperatur taraf ke-j, ulangan ke-k μ : nilai rata-rata perlakuan, άi : pengaruh aditif dari taraf ke-i faktor isolat nematoda, βj : pengaruh aditif dari taraf ke-j faktor temperatur, (άβ)ij : pengaruh interaksi taraf ke-i faktor isolat nematoda dan taraf kej faktor temperatur, εijk : pengaruh galat pada ulangan ke-k untuk taraf ke-i faktor isolat nematoda dan taraf ke-j faktor temperatur Untuk mengetahui pengaruh perlakuan dilakukan dengan analisis ortogonal polinomial dan analisis korelasi antar variabel. Pengamatan Pengamatan dilakukan dengan mengeluarkan tanaman dari pot. Tanah dan akar diekstraksi dengan metode Sheperd (1985). Pengamatan dilakukan terhadap : (a) sista baru pada akhir pengamatan, (b) faktor reproduksi (Rf), yaitu dengan membandingkan jumlah sista pada akhir penelitian (Pf) dengan jumlah sista pada awal penelitian (Pi), (c) daya tahan hidup, yaitu jumlah sista baru dibandingkan dengan jumlah telur yang diinfestasikan, (c) keperidian, yaitu jumlah telur dibandingkan dengan jumlah sista baru, dan (d) multiplikasi nematoda, yaitu perkalian antara kemampuan bertahan hidup dengan keperidian. Perkembangan Pascaembriogenik Populasi Nematoda Sista Kentang Pengamatan perkembangan pascaembriogenik dilakukan dengan menggunakan satu isolat, yaitu isolat S1. Inokulum berasal dari multiplikasi NSK di

77 58 laboratorium. Tanah diekstraksi dengan metode Sheperd (1985), kemudian sista yang ada dikumpulkan sebagai inokulum. Perkembangan NSK pada Tanaman Kentang Pengamatan perkembangan pascaembriogenik NSK dipelajari dengan menginfestasikan 10 sista per pot tanaman kentang yang berumur delapan hari. Tanaman kemudian ditempatkan pada growth chamber pada temperatur 18ºC (Foot 1977). Fase perkembangan pascaembriogenik diamati setiap hari. Pengamatan dilakukan dengan membongkar lima batang tanaman kentang dengan hati-hati, kemudian akar dicuci bersih di bawah air mengalir, selanjutnya dengan 4% natrium hipoklorit (NaOH) dan diwarnai dengan asam fuchsin. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop stereo binokuler. Pengamatan dianggap selesai jika siklus hidup telah lengkap, yaitu telah menghasilkan sista baru pada tanaman kentang uji. Hasil Multiplikasi Nematoda Sista Kentang di Laboratorium A B Gambar 4.1 Metode multiplikasi nematoda sista kentang di laboratorium A. Tanaman kentang di dalam pot plastik B. Sista-sista NSK di sepanjang permukaan akar (tanda panah)

78 59 Semua isolat nematoda sista kentang yang diperbanyak di laboratorium dapat berkembang dengan baik. Hal ini dapat diketahui dengan terdapatnya nematoda betina yang berwarna putih hingga kuning keemasan di sepanjang akar tanaman kentang (Gambar 4.1). Akar tanaman dapat berkembang dengan baik, walaupun ukuran akar lebih kecil dibandingkan akar yang ditanam pada kondisi normal di lapang, tetapi kondisi ini tidak menghalangi nematoda untuk berkembang dengan baik. Metode multiplikasi di laboratorium dengan temperatur 20ºC telah cukup baik untuk multiplikasi NSK. Peremajaan dilakukan 2-3 bulan sekali dengan mengganti umbi kentang baru yang telah disterilkan. Sista-sista yang ada digunakan untuk pengujian-pengujian berikutnya. Pengaruh Temperatur terhadap NSK Gejala Tanaman yang Terinfeksi Nematoda Sista Kentang A B C D Gambar 4.2 Gejala tanaman yang terinfeksi NSK di growth chamber. A. Tanaman sehat, B.15 hari setelah inokulasi (hsi), C. 25 hsi, D. 50 hsi

79 60 Pengujian pengaruh temperatur terhadap NSK dilakukan di growth chamber dengan menggunakan 4 isolat NSK, yaitu S1, S2, S3 dan S4. Varietas kentang yang digunakan adalah varietas Desiree dari berbanyakan kultur jaringan. Pengujian dilakukan dengan menggunakan beberapa temperatur yang berbeda. Selama pengujian juga diamati gejala yang ditimbulkan karena infeksi NSK. Tanaman yang terinfeksi NSK ditandai dengan gejala daun menguning yang dimulai dari daun bagian bawah. Gejala ini menyerupai gejala pada tanaman yang kekurangan unsur N. (Gambar 4.2 B). Pada gejala lanjut semua daun akan menguning (Gambar 4.2 C) dan akhirnya tanaman mati (Gambar 4.2 D). a. Jumlah Sista Baru Pengaruh temperatur terhadap banyaknya sista baru yang dihasilkan dari setiap isolat bervariasi. Jumlah sista terendah terdapat pada isolat S4 dan yang tertinggi terdapat pada isolat S3. Hasil analisis ortogonal polinomial, menunjukkan bahwa temperatur sangat mempengaruhi jumlah sista baru yang dihasilkan pada 56 hari setelah inokulasi (hsi). Peningkatan temperatur akan diikuti dengan bertambahnya jumlah sista yang dihasilkan. Temperatur yang optimum untuk mendapatkan jumlah sista yang tinggi adalah antara 15-21ºC. Jumlah sista yang dihasilkan akan menurun secara nyata pada temperatur di bawah 15ºC dan di atas 21ºC. Pengaruh temperatur terhadap jumlah sista baru bersifat kuadratik dengan masing-masing persamaan dari setiap isolat dapat dilihat pada Gambar 4.3. b. Faktor Reproduksi (Rf) Hasil yang sama didapat pada faktor reproduksi (Rf). Jumlah sista baru yang dihasilkan mempunyai korelasi positif dengan faktor reproduksi. Semakin tinggi jumlah sista yang dihasilkan, maka semakin tinggi faktor reproduksi. Faktor reproduksi terendah terdapat pada isolat S4 dan yang tertinggi terdapat pada isolat S3. Hasil ortogonal polinomial didapat temperatur optimum untuk mendapatkan faktor reproduksi yang tinggi adalah 15-21ºC. Pengaruh temperatur bersifat kudratik terhadap faktor reproduksi, dengan masing-masing persamaan kuadratik seperti pada Gambar 4.4.

80 61 Jumlah sista 70,0 60,0 50,0 40,0 A Y= -0,7x 2 +24,847x-192,76 R 2 = 0,9488 y = -0,7x ,847x - 192,76 R 2 = 0,9488 Jumlah sista 70,0 60,0 50,0 40,0 B Y=-0,85x 2 +30,338x-238,18 R 2 = 0,9584 y = -0,8492x ,338x - 238,18 R 2 = 0, ,0 30,0 20,0 20,0 10,0 10,0 0, Temperatur (ºC) 0, Temperatur (ºC) Jumlah sista 70,0 60,0 50,0 40,0 C Y=-1,44x 2 +51,299x-402,39 R 2 = 0,9238 y = -1,4413x ,299x - 402,39 R 2 = 0,9238 Jumlah sista 70,0 60,0 50,0 40,0 D Y=-0,28x 2 +10,006x-75,309 R 2 = 0, ,0 20,0 30,0 20,0 y = -0,2857x ,006x - 75,309 R 2 = 0, ,0 10,0 0, Temperatur (ºC) 0, Temperatur (ºC) Gambar 4.3 Pengaruh temperatur terhadap jumlah sista NSK Indonesia A. S1 (Jawa Timur lokasi 1), B. S2 (Jawa Timur lokasi 2), C. S3 (Jawa Timur lokasi 3) dan D. S4 (Pawuhan Jawa Tengah) c. Daya Tahan Hidup Berdasarkan analisis ortogonal polinomial temperatur sangat mempengaruhi daya tahan hidup keempat isolat NSK. Isolat S3 merupakan isolat dengan kemampuan bertahan hidup yang paling lama, sedangkan S4 mempunyai kemampuan bertahan hidup yang paling singkat. Hal ini dapat diketahui dengan melihat Gambar 4.5, yang menunjukkan persamaan polinomial dengan pola kuadratik. Kemampuan bertahan hidup optimum dari setiap isolat NSK dicapai pada temperatur 15-21ºC. Kemampuan bertahan hidup akan menurun pada temperatur di bawah 15ºC atau di atas 21ºC.

81 62 Faktor reproduksi Faktor reproduksi RF 7,0 6,0 5,0 4,0 A Y=-0,07x 2 +2,48x-19,28 R 2 = 0,949 y = -0,07x 2 + 2,4847x - 19,276 R 2 = 0,9488 7,0 6,0 5,0 4,0 B Y=-0,085x 2 +3,03x-23,82 R 2 = 0,958 y = -0,0849x 2 + 3,0338x - 23,818 R 2 = 0,9584 3,0 3,0 2,0 2,0 1,0 1,0 0,0 0, Faktor reproduksi 7,0 RF 6,0 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 C Temperatur (ºC) Y=-0,144x 2 +5,130x-40,239 R 2 = 0,9238 y = -0,1441x 2 + 5,1299x - 40,239 R 2 = 0,9238 Faktor reproduksi 7,0 D 6,0 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 RF Temperatur (ºC) y = -0,0314x2 + 1,1034x - 8,3691 R2 = 0,7316 Y=-0,031x 2 +1,103x-8,369 R 2 = 0,7316 0, Temperatur (ºC) 0, Temperatur (ºC) Gambar 4. 4 Pengaruh temperatur terhadap faktor reproduksi NSK Indonesia A. S1 (Jawa Timur lokasi 1), B. S2 (Jawa Timur lokasi 2), C. S3 (Jawa Timur lokasi 3) dan D. S4 (Pawuhan Jawa Tengah) d. Keperidian Seperti halnya jumlah sista baru, faktor reproduksi dan daya tahan hidup, keperidian juga sangat dipengaruhi oleh temperatur. Berdasarkan analisis ortogonal polinomial temperatur sangat mempengaruhi keperidian nematods, dengan pola persamaan kuadratik (Gambar 4.6). Keperidian semakin meningkat dengan semakin tingginya temperatur. Keperidian mencapai optimum pada temperatur antara 15-21ºC, dan menurun pada temperatur di bawah 15ºC atau di atas 21ºC.

82 63 Daya tahan hidup Daya tahan hidup 0,045 0,040 0,035 0,030 0,025 0,020 0,015 0,010 0,005 0,000 0,045 0,040 0,035 0,030 0,025 0,020 0,015 0,010 0,005 0,000 A y = -0,00047x 2 + 0,01657x - 0,12857 R 2 = 0, Daya tahan hidup C Y=-0,0005x 2 +0,017x-0,128 R 2 = 0,950 Temperatur (ºC) Y=-0,00096x 2 +0,034x-0,270 R 2 = 0,923 y = -0,00096x 2 + 0,03430x - 0,26917 R 2 = 0, Temperatur (ºC) 0,045 0,040 0,035 0,030 0,025 0,020 0,015 0,010 0,005 0,000 B y = -0,00056x 2 + 0,02013x - 0,15787 R 2 = 0,95724 Y=-0,0006x 2 +0,020x-0,158 R 2 = 0, Daya tahan hidup 0,045 0,040 0,035 0,030 0,025 0,020 0,015 0,010 0,005 0,000 D Temperatur (ºC) y = -0,00019x 2 + 0,00660x - 0,04972 R 2 = 0,74616 Y=-0,0002x 2 +0,007x-0,050 R 2 = 0, Temperatur (ºC) Gambar 4. 5 Pengaruh temperatur terhadap daya tahan hidup NSK Indonesia A. S1 (Jawa Timur lokasi 1), B. S2 (Jawa Timur lokasi 2), C. S3 (Jawa Timur lokasi 3) dan D. S4 (Pawuhan Jawa Tengah) e. Multiplikasi Nematoda Berdasarkan analisis ortogonal polinomial didapat bahwa temperatur sangat mempengaruhi kemampuan nematoda untuk memperbanyak diri (Gambar 4.7). Peningkatan temperatur akan diikuti dengan peningkatan kemampuan NSK untuk memperbanyak diri. Temperatur optimum untuk NSK memperbanyak diri secara optimal adalah 15-21ºC. Kemampuan memperbanyak diri isolat S4 lebih rendah dib&ingkan dengan S1, S2 dan S3. Pada tempertur di bawah 15ºC dan di atas 21ºC kemampuan NSK untuk memperbanyak diri akan terhambat.

83 64 Keperidian A Y=-1,013x 2 +40,76x-276,97 R 2 = 0,816 y = -1,0127x ,764x - 276,97 R 2 = 0, Keperidian C Temperatur (ºC) y = -1,3317x2 + 50,83x - 352,87 R2 = 0,4352 Y=-1,33x 2 +50,83x-352,87 R 2 = 0, Keperidian B Y=-1,363x 2 +51,159x-340,23 R 2 = 0,777 y = -1,3635x ,159x - 340,23 R 2 = 0, Keperidian D Temperatur (ºC) y = -1,9333x ,613x - 488,08 R 2 = 0,9202 Y=-1,933x 2 +70,61x-488,08 R 2 = 0, Temperatur (ºC) Temperatur (ºC) Gambar 4. 6 Pengaruh temperatur terhadap keperidian NSK Indonesia A. S1 (Jawa Timur lokasi 1), B. S2 (Jawa Timur lokasi 2), C. S3 (Jawa Timur lokasi 3) dan D. S4 (Pawuhan Jawa Tengah)

84 65 Multiplikasi A Y=-0,047x 2 +1,683x-13,030 R 2 = 0,9097 y = -0,04744x 2 + 1,68301x - 13,02973 R 2 = 0, Temperatur (ºC) Multiplikasi B y = -0,09276x 2 + 3,33495x - 26,62777 R 2 = 0,84383 Y=-0,093x 2 +3,335x-26,628 R 2 = 0, Temperatur (ºC) Multiplikasi C y = -0,14510x 2 + 5,18207x - 41,05665 R 2 = 0,85142 Y=-0,145x 2 +5,182x-41,057 R 2 = 0,851 Multiplikasi D Y=-0,028x 2 +1,011x-8,005 R 2 = 0,600 y = -0,02825x 2 + 1,01103x - 8,00528 R 2 = 0, Temperatur (ºC) Temperatur (ºC) 27 Gambar 4.7 Pengaruh temperatur terhadap multiplikasi NSK Indonesia A. S1 (Jawa Timur lokasi 1), B. S2 (Jawa Timur lokasi 2), C. S3 (Jawa Timur lokasi 3) dan D. S4 (Pawuhan Jawa Tengah) Dari data jumlah sista baru, faktor reproduksi (Rf), daya tahan hidup, keperidian dan multiplikasi dapat dibuat korelasi antara faktor biologi seperti Tabel 4.1. Dari Tabel 4.1 dapat dilihat antara faktor biologi berkorelasi positif sangat nyata dengan faktor biologi yang lain. Hal ini men&akan antara faktor biologi yang satu dengan faktor biologi yang lain saling mempengaruhi. Seperti kemampuan nematoda untuk menghasilkan sista baru akan mempengaruhi keperidian, multiplikasi, Rf dan kemampuan bertahan hidup nematoda. Semakin tinggi jumlah sista yang dihasilkan maka semakin tinggi faktor reproduksi, kemampuan bertahan hidup, keperidian dan kemampuan nematoda untuk memperbanyak diri.

85 66 Tabel 4.1 Korelasi antara jumlah sista baru, faktor reproduksi (Rf), daya tahan hidup, keperidian dan multiplikasi NSK Indonesia Daya tahan hidup Keperidian Multiplikasi Rf Keperidian 0.286** Multiplikasi 0.908** 0.478** - - Rf 0.999** 0.294** 0.908** - Jumlah sista 1.000** 0.287** 0.908** 0.999** Keterangan : ** sangat nyata pada taraf ά = 1% Perkembangan Pascaembriogenik Nematoda Sista Kentang Telur nematoda sista kentang berada di dalam sista dalam keadaan satu sel, kemudian membelah menjadi 2 sel, 4 sel, 8 sel dan seterusnya sehingga terbentuk juvenil stadia-1 (J1) (Gambar 4.8 A), kemudian juvenil stadia-2 (J2). Juvenil stadia- 2 akan menetas dari telur jika ada rangsangan senyawa kimia yang dikeluarkan oleh tanaman inang dari famili Solanaceae. Setelah keluar dari kulit telur (Gambar 4.8 B), J2 akan bermigrasi mendekati akar dan melakukan penetrasi di dekat titik tumbuh ujung akar atau akar-akar lateral dengan menggunakan stiletnya. Tidak diketahui secara tepat kapan penetrasi terjadi karena sulit untuk mengamati interaksi inangpatogen di dalam tanah, tetapi pada penelitian ini J2 ditemukan di dalam jaringan akar tanaman kentang 8 hari setelah inokulasi (hsi) (Gambar 4.8 C dan D). Setelah masuk ke dalam akar, J2 akan menetap di dalam jaringan tersebut dan mulai terbentuk sinsitium. Nematoda akan tetap di dalam sinsitium hingga berkembang menjadi juvenil stadia-3 (J3) yaitu 18 hsi (Gambar 4.9A), dan juvenil stadia-4 yaitu hsi (Gambar 4.9 B). Setelah melewati J4, nematoda akan berkembang menjadi betina (Gambar 4.9 C), atau jantan (Gambar 4.9 D) pada 26 hsi. Jantan dewasa akan keluar dari dalam jaringan akar, dan masuk ke dalam tanah sedangkan betina tetap berada di dalam jaringan akar. Tubuh betina dewasa mulai membesar, selanjutnya bagian posterior tubuh akan keluar dari jaringan akar sehingga hanya bagian kepala dan leher yang tetap di dalam jaringan akar (Gambar 4.9 D).

86 67 A B C Gambar 4.8 D Perkembangan pascaembriogenik nematoda sista kentang. A. Telur dan J1. B. J2 menetas dari telur. C. J2 di dalam jaringan akar. D. Fase akhir J2.

87 68 A B C D E Gambar 4.9 Perkembangan pascaembriogenik nematoda sista kentang. A. J3. (B). J4. C. Betina. D. Jantan. E. Sista Pada tahap berikutnya, betina dewasa akan mengeluarkan sex pheromone untuk memanggil jantan dewasa yang berada di dalam tanah dan perkawinan segera terjadi. Jantan mampu melakukan perkawinan sebanyak 10 kali sebelum akhirnya mati. Embrio berkembang di dalam telur hingga J2 berlangsung di dalam tubuh betina. Setelah betina mati, kutikulanya akan membentuk sista dengan

88 69 sejumlah telur di dalamnya. Siklus hidup NSK dalam penelitian ini lengkap, yaitu dari sista hingga membentuk sista baru berlangsung dalam hari pada kondisi growth chamber dengan temperatur 18ºC (Gambar 4.9 E). Siklus hidup selengkapnya dapat dilihat pada Gambar Jantan, bebas di dalan tanah Juvenil stadia-4 (J4) Berkembang menjadi Betina Juvenil stadia-3 (J3) Gejala pada tanaman Betina Betina dengan dan berbagai sista stadia Sista E J2 penetrasi ke dalam akar Telur Gambar 4.10 Siklus hidup nematoda sista kentang Pembahasan Temperatur merupakan faktor abiotik penting yang mempengaruhi proses fisiologis dan perilaku nematoda Ferris et al. (1996) ; Gao & Becker (2002) ; Noe (1991) melaporkan perkembangan dan pertumbuhan nematoda secara langsung dipengaruhi oleh temperatur. Temperatur juga mempengaruhi masa dormansi atau diapause nematoda (Huang & Pereira 1994) yang selanjutnya akan mempengaruhi siklus hidup nematoda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh temperatur terhadap faktor biologi, yaitu jumlah sista baru, faktor reproduksi, daya tahan hidup, keperidian dan multiplikasi untuk keempat isolat NSK yang digunakan mempunyai pola kuadratik.

89 70 Masing-masing isolat mempunyai persamaan kuadratik dengan temperatur optimum antara 15-21ºC. Jumlah sista baru, faktor reproduksi, daya tahan hidup, keperidian dan multiplikasi akan mengalami penurunan pada temperatur di bawah 15ºC atau di atas 21ºC. Hasil ini sejalan dengan temperatur tanah yang didapat pada saat survei dilakukan. Pada lokasi survei Jawa Timur rata-rata temperatur tanah adalah 19ºC, Jawa Barat adalah 20ºC, sedangkan Jawa Tengah rata-rata temperatur tanah lebih rendah, yaitu 16ºC. Temperatur tanah yang didapat pada semua lokasi survei merupakan temperatur tanah yang optimum untuk perkembangan G. rostochiensis. Hal ini konsisten dengan hasil yang didapat pada Bab III bahwa keempat isolat NSK yang digunakan adalah G. rostochiensis, walaupun isolat Jawa Tengah (S4) adalah populasi campuran, tetapi jika dilihat dari temperatur optimum di atas jelas G. rostochiensis lebih dominan pada pengujian ini. Menurut Wharton (2004) setiap spesies mempunyai temperatur optimum yang berbeda untuk perkembangan dan aktivitas metabolismenya. Temperatur yang berada di bawah atau di atas temperatur optimum dapat menyebabkan laju dan aktivitas metabolisme menurun. Mulder (1988) melaporkan bahwa temperatur optimum untuk multiplikasi dan penetasan G. rostochiensis adalah mendekati 20ºC, dan proses ini akan menurun drastis pada temperatur di bawah 10ºC dan di atas 27ºC. Sedangkan G. pallida mempunyai temperatur optimum yang lebih rendah. Hasil yang sama dilaporkan oleh Castillo & Vovlas (2002), temperatur optimum untuk penetasan telur Heterodera mediterranea pada tanaman zaitun adalah 20-25ºC. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi positif yang sangat nyata antara jumlah sista baru, faktor reproduksi, daya tahan hidup, keperidian dan multiplikasi. Hal ini menunjukkan adanya interaksi diantara faktor-faktor biologi tersebut, dengan kata lain setiap faktor biologi mempunyai ketergantungan yang sangat erat dengan faktor biologi yang lain. Kemampuan daya tahan hidup sangat tergantung dari jumlah sista baru, faktor reproduksi, keperidian dan multiplikasi nematoda. Semakin banyak sista yang dihasilkan, semakin tinggi faktor reproduksi, keperidian dan multiplikasi nematoda hingga pada akhirnya nematoda mempunyai kemampuan mempertahankan hidup yang semakin besar. Menurut Patricia & Keith (2004) tidak banyak laporan mengenai interaksi biologi ini, karena nematoda hidup

90 71 di dalam tanah atau di dalam jaringan inang sehingga sulit untuk mengamatinya secara langsung. Gambar 4.3 sampai dengan 4.7 menunjukkan semua faktor biologi yang paling rendah didapat pada isolat S4 (Jawa Tengah). Hal ini disebabkan karena isolat Jawa Tengah merupakan populasi campuran yaitu G. rostochiensis dan G. pallida. Kehadiran kedua spesies NSK pada lokasi yang sama dapat menyebabkan terjadinya kompetisi diantara kedua spesies tersebut. Walaupun berdasarkan temperatur yang di dapat memberi peluang bagi G. rostochiensis untuk mendominasi lokasi tersebut. Foot (1977) menyatakan walaupun pada suatu lokasi teridentifikasi kedua spesies NSK, temperatur akan menentukan spesies yang akan dominan di lokasi tersebut. Siklus hidup G. rostochiensis dari sista ke sista berikutnya memerlukan waktu hari. Siklus hidup ini lebih pendek dibandingkan dengan siklus hidup yang dikemukan oleh Baldwin & Mundo-ocampo (1991) yaitu hari, dan peneliti lainnya yaitu hari (Anonimus 2007b) atau hari (Anonimus 2007c). Perbedaan panjang siklus hidup ini dapat disebabkan karena perbedaan kondisi lingkungan. Menurut Norton (1978) nematoda tergolong sebagai jasad renik yang perkembangan populasinya sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Dalam kondisi alami, populasi nematoda berfluktuasi mengikuti perubahan lingkungan. Seperti diketahui siklus hidup yang dilaporkan peneliti-peneliti di atas, merupakan siklus hidup pada daerah sub-tropik, hal ini akan sangat berbeda dengan Indonesia yang memiliki iklim tropik. Kemungkinan adanya perbedaan iklim ini menyebabkan siklus hidup di daerah tropik lebih pendek dibandingkan siklus hidup di daerah sub tropik. Kemungkinan lain dapat disebabkan karena impor bibit kentang ke Indonesia sudah berlangsung cukup lama. Kondisi ini memungkinkan masuknya NSK di Indonesia juga sudah berlangsung lama, walaupun laporan kehadirannya baru dilakukan pada Maret Hal ini menyebabkan NSK sudah cukup mantap dan telah beradaptasi dengan lingkungan di Indonesia, sehingga kondisi lingkungan terutama temperatur tanah dan panjang hari telah sangat sesuai bagi perkembangan NSK. Kondisi yang demikian, menyebabkan siklus hidup NSK di Indonesia lebih pendek daripada siklus hidup di negara-negara sub tropik.

91 72 Perbedaan siklus hidup ini juga dapat disebabkan karena perbedaan pada jenis dan kerentanan tanaman uji yang digunakan. Veech (1982) melaporkan jenis dan kerentanan tanaman inang sangat mempengaruhi perkembangan G. rostochiensis. Tiap jenis tanaman akan memberikan reaksi fisiologis yang berbeda terhadap infeksi tanaman. Di samping itu kandungan hara di dalam jaringan tanaman yang satu dengan yang lain dapat berbeda. Perbedaan tersebut diduga sebagai faktor yang sangat penting dalam menentukan panjang siklus hidup. Perbedaan asal usul nematoda juga dapat mempengaruhi siklus hidup nematoda. Menurut Dropkin (1980), spesies nematoda yang daerah sebarnya luas umumnya memiliki berbagai ekotipa dengan karakteristik biologi yang beragam. Daulton & Nusbaum (1962) membandingkan perkembangan dua ekotipa Meloidogyne javanica yang berasal dari Zimbabwe dan Georgia pada berbagai kondisi lingkungan. Perkembangan embriogenik telur M. javanica yang berasal dari Zimbabwe pada tanah kering dan basah di Carolina Utara lebih cepat dibandingkan embriogenik telur M. javanica dari Georgia. M. javanica ekotipa Zimbabwe telah beradaptasi secara fisiologis dengan kondisi lingkungan ekstrim dibandingkan dengan ekotipa Georgia. Simpulan Temperatur sangat mempengaruhi faktor biologi NSK, seperti jumlah sista baru, faktor reproduksi, daya tahan hidup, keperidian dan multiplikasi. Temperatur optimum untuk menghasilkan jumlah sista baru, faktor reproduksi, daya tahan hidup, keperidian dan multiplikasi antara 15-21ºC. Jumlah sista baru, faktor reproduksi, daya tahan hidup, keperidian dan multiplikasi berkorelasi positif yang sangat nyata satu dengan yang lainnya. Juvenil stadia-2 (J2) dijumpai dalam jaringan akar 8 hsi, dilanjutkan dengan J3 pada 18 hsi, J4 pada hsi, menjadi jantan atau betina 26 hsi dan menjadi sista hsi. NSK melengkapi siklus hidupnya dari sista hingga menjadi sista kembali adalah dalam hari.

92 V. EVALUASI KETAHANAN TANAMAN DAN KISARAN INANG NEMATODA SISTA KENTANG INDONESIA Abstrak LISNAWITA. Evaluasi Ketahanan Tanaman dan Kisaran Inang Nematoda sista Kentang Indonesia. Dibimbing oleh MEITY SURADJI SINAGA, GUSTAF ADOLF WATTIMENA, SUPRAMANA dan GEDE SUASTIKA Nematoda sista kentang (Globodera rostocheinsis dan G. pallida) (NSK) merupakan parasit utama kentang yang baru saja dilaporkan masuk ke wilayah Indonesia. Setelah dilaporkan ada di Bumi Aji (Jawa Timur), patogen kemudian ditemukan di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat. Pengalaman negara-negara Eropa dan Amerika, NSK dapat menyebabkan kehilangan hasil hingga mendekati 100%, sehingga dapat menjadi ancaman serius bagi produsen dan industri kentang di Indonesia bila tidak dilakukan penanganan secara tepat. Oleh karena itu perlu dicari strategi pengendalian yang tepat dan efektif untuk mengendalikan NSK di Indonesia. Penelitian tentang evaluasi ketahanan dan kisaran inang NSK Indonesia telah dilakukan di rumah kassa. Sembilan kultivar kentang digunakan untuk melihat reaksi ketahanan terhadap NSK, disamping itu 14 Solanaceae yang terdiri dari 12 varietas tomat, Leunca dan kentang kultivar Desiree (kontrol) digunakan untuk mendapatkan Solanaceae yang potensial sebagai tanaman perangkap NSK. Hasil penelitian didapat tiga tipe ketahanan pada kultivar kentang yaitu : rentan (Desiree, Atlantik, hps 7/67 klon 160 dan tps 340 klon 149), agak tahan (Astarte, Elkana, Granola dan Desiree transgenik ) dan resisten (Solanum stoloniferum). Solanaceae yang potensial sebagai tanaman perangkap berturut-turut adalah tomat varietas Dona, Money Maker, dan Maestro. Kata kunci: Ketahanan tanaman, kisaran inang, tanaman perangkap, nematoda sista kentang

93 74 V. PLANT RESISTANCE EVALUATION AND HOST RANGE OF INDONESIAN POTATO CYST NEMATODE Abstract LISNAWITA. Plant Resistance Evaluation and Host Range of Indonesian Potato Cyst Nematode. Supervised by MEITY SURADJI SINAGA, GUSTAF ADOLF WATTIMENA, SUPRAMANA and GEDE SUASTIKA Potato cyst nematodes (PCN/ Globodera rostocheinsis and G. pallida) are the main parasites on potato that have been reported recently in Indonesia. G. rostocheinsis was first detected in potato plantation in Sumber Brantas (Kota Batu District, East Java), and then G. rostocheinsis or G. pallida was found in several areas in Central and West Java. PCN has been reported to cause significant losses (nearly 100%) in several countries, particularly in Europe and the USA and represent a serious become a potential threat for potato industry in Indonesia. Consequently, it is important to look for the effective control strategies of PCN in Indonesia. Study on plant resistance and host ranges of Indonesian PCN were carried out in a screen house. Nine potato cultivars were tested for to resistance to PCN. In addition, fourteen (14) solanaceous species including 12 cultivars tomato, Leunca and Desiree (control) were also used to identyfy potential trap crops. The plant resistance study indicated three potato resistance types, Susceptible (Desiree, Atlantic, hps 7/67 clone 160 and tps 340 clone 149), medium resistance (Astarte, Elkana, Granola and Desiree transgenic ), and resistant (Solanum stoloniferum). Dona, Money Maker, and Maestro were three tomato cultivars that potential as trap crops. Key words: plant resistance, host range, trap crop, potato cyst nematode.

94 75 Pendahuluan Tanaman kentang merupakan komoditi hortikultura yang penting di Indonesia, namun dalam pengembangannya menghadapi beberapa kendala. Salah satunya adalah infeksi nematoda sista kentang (NSK) (Globodera rostochiensis dan G. pallida), yang dapat menyebabkan kehilangan hasil yang sangat besar. Setelah dilaporkan menyerang pertanaman kentang di dusun Sumber Brantas, Desa Tulung Rejo, Kecamatan Bumi Aji, Kota Batu, Jawa Timur (Daryanto, 2003), saat ini NSK juga ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Barat (Daryanto, 2003 ; Lisnawita et al ; Lisnawita et al. 2007). Pada rapat kelompok kerja (Pokja) NSK pada 2-4 Mei 2007 di Bandung, dilaporkan saat ini penyebaran NSK semakin luas di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di Jawa Timur saat ini petani tidak berani menanam kentang karena tanaman mati pada umur satu bulan karena tingginya populasi NSK, sehingga terjadi penurunan luas pertanaman kentang dari 938,4 ha pada tahun 2003 menjadi 369 ha pada tahun 2006 (Anonimus 2007a). Di Jawa Tengah dilaporkan penyebaran NSK meluas dari 23 ha pada tahun 2003 menjadi 121 ha pada tahun 2006 (Suwardiwijaya et al. 2007). Berdasarkan informasi tersebut, NSK berpotensi menjadi faktor pembatas utama pada produksi kentang di Indonesia pada masa-masa yang akan datang. Sampai saat ini belum ada teknik pengendalian yang efektif untuk mengendalikan NSK. Hal ini disebabkan karena NSK merupakan patogen baru di Indonesia. Selain itu karena NSK merupakan salah satu patogen tanaman yang sulit dikendalikan, karena kemampuannya bertahan hidup yang sangat tinggi. Patogen ini mampu bertahan hidup di dalam tanah pada stadia dormansi yaitu berbentuk sista hingga mencapai 10 tahun (Taylor 1953 dalam Hamzah 2003) atau bahkan dapat mencapai lebih dari 20 tahun (Jones et al. 1998). Sifat dormansi sista NSK yang sangat panjang, juga dapat berimplikasi pada resistensi NSK di lahan-lahan yang telah terinfestasi. Beberapa strategi pengendalian NSK yang telah dilakukan di negaranegara yang terinfestasi NSK adalah rotasi tanam, penggunaan kultivar resisten, penggunaan tanaman perangkap dan penggunaan nematisida. Penggunaan rotasi tanaman untuk mengendalikan NSK seringkali sulit dilakukan karena untuk

95 76 memperoleh hasil yang nyata rotasi tanaman membutuhkan waktu yang lama, yaitu sekitar 6-7 tahun (Urwin et al. 2001). Selain itu, umumnya tanaman yang digunakan untuk rotasi mempunyai nilai ekonomi yang lebih rendah dibandingkan kentang, sehingga petani tidak tertarik untuk melakukan rotasi tanam. Penggunaan nematisida untuk mengendalikan nematoda parasit tanaman dapat menurunkan populasi NSK hingga 80%, tetapi penggunaan nematisida membutuhkan biaya yang sangat besar. Kerugian penggunaan nematisida lainnya adalah nematisida dapat membunuh semua organisme di dalam tanah termasuk nematoda, cendawan, bakteri, serangga dan mikroorganisme bermanfaat lainnya (Lebbink et al. 1989). Nematisida bersifat persisten sehingga dapat menyebabkan kontaminasi air tanah, yang berdampak negatif bagi lingkungan dan kesehatan (Brodie & Mai 1989). Akhir-akhir ini beberapa peneliti melaporkan nematisida juga bersifat bioremediasi, yang berarti beberapa nematisida dapat menjadi sumber nutrisi bagi bakteri tanah, sehingga pemberian nematisida tidak berefek apapun pada nematoda yang akan dikendalikan. Oleh karena itu perlu dicari alternatif lain untuk mengendalikan NSK, seperti penggunaan kultivar resisten dan penggunaan tanaman perangkap (Halford et al ; Scholte 2000b ; Scholte & Vos 2000). Penggunaan kultivar resisten merupakan cara yang efektif dan ekonomis dalam mengendalikan nematoda parasit tanaman. Ketahanan suatu kultivar ditentukan oleh interaksi inang dan patogen. Flor (1942 dalam Keller et al. 2000) adalah orang yang pertama kali mengamati interaksi genetik antara tanaman dan patogen (gene-for-gene hypothesis). Interaksi spesifik patogen tanaman, ditentukan oleh sebuah gen avirulen yang disandi oleh gen dominan patogen dan produk gen resisten tanaman. Kultivar resisten dapat diartikan suatu tanaman yang mempunyai kemampuan untuk menekan perkembangan atau reproduksi nematoda. Beberapa kultivar kentang resisten NSK telah berhasil dirakit oleh pemulia tanaman di negara-negara yang terinfestasi NSK. Brodie (1993) telah melepas 27 kultivar kentang yang resisten G. rostochiensis patotipe Ro1 dan Ro4 tetapi tidak efektif untuk mengendalikan G. rostochiensis patotipe lainnya dan G. pallida. Hingga tahun 1995, National List melaporkan ada 135 kultivar kentang yang resisten terhadap G. rostochiensis dengan berbagai patotipe dan 22 kultivar kentang resisten terhadap G. pallida (Alan & Susan 1998).

96 77 Beberapa keuntungan menggunakan kultivar resisten adalah tidak perlu ada perlakuan khusus untuk aplikasi pengendalian. Selain itu kultivar resisten dan agak tahan bersifat selektif terhadap patogen dan secara ekologis aman dan dapat dikombinasikan dengan metode pengendalian lain seperti pengendalian hayati atau dengan pestisida sekalipun (Fraser 1992). Tanaman perangkap (trap crop) adalah tanaman yang digunakan untuk merangsang penetasan telur dari sista dengan eksudat yang dikeluarkan akar, tetapi mencegah terjadinya siklus hidup lengkap sehingga dapat menurunkan populasi nematoda di lapangan (Anonimus 2007c). Halford et al. (1999) ; Lamondia & Brodie (1986) menemukan bahwa penggunaan tanaman perangkap dapat menurunkan populasi NSK di lapangan lebih dari 87%. Scholte (2000b) melaporkan bahwa tanaman kentang sendiri dapat digunakan, tetapi tidak ideal sebagai tanaman perangkap. Scholte (1999) ; Scholte & Vos (2000) melaporkan bahwa Solanum sisymbriifolium merupakan tanaman perangkap yang efektif untuk menurunkan populasi NSK di negara Eropa. Supramana et al. (2006) mendapatkan bahwa tomat (Lycopersicon esculentum) merupakan Solanaceae yang paling berpotensi menjadi tanaman perangkap dibandingkan terung (S. melongena) dan cabai (Capsicum annum). Berbagai penelitian kultivar kentang resisten dan tanaman perangkap telah dilakukan di luar negeri, bahkan hingga sekarang eksplorasi masih terus dilakukan untuk mendapatkan kultivar kentang resisten dan tanaman perangkap baru untuk mengendalikan NSK. Akan tetapi, upaya tersebut belum dilakukan di Indonesia, sehingga strategi pengendalian NSK yang efektif belum dapat dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini penting dilakukan sebagai langkah awal untuk mendapatkan kultivar kentang yang resisten dan untuk mendapatkan inang NSK yang berpotensi sebagai tanaman perangkap yang efektif untuk mengendalikan NSK di Indonesia. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi ketahanan kultivar kentang terhadap infeksi NSK, dan mengetahui inang yang berpotensi sebagai tanaman perangkap yang efektif untuk mengendalikan NSK

97 78 Metode Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Nematologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB dan rumah kassa Kebun Percobaan desa Cipelang Cijeruk, dengan ketinggian tempat m dpl. Penelitian dilaksanakan dari bulan Pebruari sampai dengan Mei Evaluasi Ketahanan Kultivar Kentang terhadap NSK Persiapan Tanaman Uji Sembilan kultivar kentang, masing-masing kultivar Desiree (kontrol rentan), Astarte, Elkana, Granola, Atlantik, hps 7/67 klon 160, tps 340 klon 149, Desiree transgenik dan S. stoloniferum, diperbanyak dengan kultur jaringan menggunakan media MS0 (Lampiran 1). Setelah berumur 2 minggu, planlet diaklimatisasi dengan memindahkannya ke dalam pot plastik (diameter 10 cm dan tinggi 15 cm). Media tanam yang digunakan adalah tanah : pasir : pupuk kandang steril (v/v/v : 1:1:1). Untuk membantu pertumbuhan, tanaman dipupuk dengan Urea sebanyak dua kali, yaitu saat tanam dan 3 minggu setelah tanam, masing-masing dengan dosis 10 gram/tanaman. Populasi Nematoda Sista Kentang Pengujian hanya menggunakan satu isolat, yaitu isolat S1. Sista di kumpulkan dari perbanyakan NSK di laboratorium dengan mengekstraksi tanah menggunakan metode Sheperd (1985). Inokulasi NSK pada Tanaman Uji Inokulasi dilakukan seminggu setelah tanam. Sepuluh sista NSK diinokulasi pada setiap tanaman kentang dengan cara memasukkan sista ke dalam kantong nilon berukuran 2 cm x 2 cm, kemudian kantong nilon ditempatkan di dalam pot dengan jarak 0,5 cm dari pinggir pot dan 6 cm dari dasar pot. Delapan minggu setelah inokulasi, tanaman dikeluarkan dari pot dengan hati-hati. Untuk

98 79 memudahkan pencabutan tanaman, empat hari sebelum dicabut, tanaman tidak disiram sehingga tanah menjadi kering. Kantong nilon dikumpulkan dari setiap pot, kemudian semua sampel tanah diekstraksi dengan metode Sheperd (1985). Jumlah sista baru dihitung dengan menggunakan mikroskop stereo. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan 9 kultivar kentang dan 5 kelompok. Kultivar-kultivar tersebut adalah : 1) Desiree, 2) Astarte, 3) Elkana, 4) Granola, 5) Atlantik, 6) hps 7/67 klon 160, 7) tps 340 klon 149, 8) Desiree transgenik , 9) S. stoloniferum. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah sista baru dan faktor reproduksi (Rf) yaitu dengan membandingkan jumlah sista pada akhir penelitian (Pf) dengan jumlah sista pada awal penelitian (Pi). Selanjutnya ditentukan tipe ketahananan dari setiap kultivar kentang dengan menggunakan metode Gurr & Kerr (1987), yaitu : Tabel 5.1 Tipe ketahanan kultivar kentang terhadap nematoda sista kentang (Gurr & Kerr 1987) Jumlah sista Tipe ketahanan 0 10 Resisten Agak tahan 30 lebih dari 40 Rentan Model linear adalah : Yij = μ + τi + βj + εij i = 1, 2,..., 8 j = 1, 2, 3, 4, 5 Yij μ τi βj εij = nilai pengamatan dari perlakuan ke-i dalam kelompok ke-j = nilai tengah populasi = pengaruh aditif dari infeksi nematoda pada varietas ke-i = pengaruh aditif dari kelompok ke-j = pengaruh galat percobaan dari perlakuan varietas ke-i pada kelompok ke-j

99 80 Analisis ragam dilakukan terhadap data hasil pengamatan dengan menggunakan uji F dan jika di antara perlakuan terdapat perbedaan, dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada ά=0,05 dengan bantuan SAS Kisaran Inang Nematoda Sista Kentang Persiapan Tanaman Uji Empat belas spesies Solanaceae yang terdiri dari 12 varietas tomat (Money Maker, Marmande Extra, Marglobe, Maestro, Rossol VFN, Ace 55 VF, Presto, Dona, Marglobe ss, Perdana, San Marino dan Sakura), Leunca (Lampiran 4) dan kentang kultivar Desiree (kontrol rentan) digunakan dalam penelitian ini. Empat biji dari setiap tanaman uji kecuali kentang kultivar Desiree ditanam di dalam pot yang berukuran diameter 10 cm dan tinggi 15 cm dengan menggunakan media tanah : pasir : pupuk kandang steril (v/v/v = 1:1:1). Sedangkan kentang kultivar Desiree berasal dari perbanyakan kultur jaringan. Untuk membantu pemeliharaan tanaman di pupuk dengan Urea sebanyak dua kali, yaitu saat biji ditanam dan 3 minggu setelah tanam, masing-masing dengan dosis 10 gram/tanaman. Populasi Nematoda Sista Kentang Pada pengujian ini hanya digunakan satu isolat, yaitu isolat dari Jawa Timur (S1). Inokulasi NSK pada Tanaman Uji Setelah semua biji tumbuh, hanya satu tanaman yang ditinggal pada setiap pot. Inokulasi dilakukan seminggu setelah tanaman tumbuh di atas permukaan tanah, dengan cara memasukkan dua puluh sista ke dalam dua kantong nilon berukuran 2 cm x 2 cm. Kemudian kantong nilon ditempatkan di dalam pot dengan jarak 0,5 cm dari pinggir pot dan 6 cm dari dasar pot. Delapan minggu setelah inokulasi, tanaman dari setiap pot dicabut. Akar tanaman diberi pewarnaan

100 81 dengan pewarna asam fuchsin (Hooper 1985). Jumlah sista dan jumlah juvenil stadia-2 (J2) di dalam jaringan akar dihitung. Pengamatan Pengamatan dilakukan terhadap : (a) jumlah sista baru yang dihasilkan (Pf), (b) jumlah juvenil stadia-2 (J2) dan (c) faktor reproduksi (Rf). Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan 14 spesiescsolanaceae dan empat kelompok. Spesies Solanaceae tersebut adalah : 1) Desiree, 2) Money Maker, 3) Marmande Extra, 4) Marglobe, 5) Maestro, 6) Rossol, 7) Ace, 8) Presto, 9) Dona, 10) Marglobe ss, 11) Perdana, 12) San Marino, 13) Sakura, 14) Leunca. Model linear yang digunakan adalah : Yij = μ + τi + βj + εij i = 1, 2,..., 14 j = 1, 2, 3, 4 Yij μ τi βj εij = nilai pengamatan dari perlakuan ke-i dalam kelompok ke-j = nilai tengah populasi = pengaruh aditif dari infeksi nematoda pada Solanaceae ke-i = pengaruh aditif dari kelompok ke-j = pengaruh galat percobaan dari perlakuan Solanaceae ke-i pada kelompok ke-j Analisis ragam dilakukan terhadap data hasil pengamatan dengan menggunakan uji F dan jika di antara perlakuan terdapat perbedaan, dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada ά=0,05 dengan bantuan SAS 6.12.

101 82 Hasil Evaluasi Ketahanan Kultivar Kentang terhadap NSK Hasil evaluasi ketahanan sembilan kultivar kentang terhadp NSK, menunjukkan respon yang berbeda-beda. Sista baru ditemukan pada semua kultivar kentang yang diuji. Berdasarkan analisis ragam, kultivar kentang berpengaruh nyata terhadap jumlah sista yang dihasilkan. Jumlah sista tertinggi dihasilkan pada kultivar Desiree (66,60 sista), berbeda nyata dengan semua kultivar kentang lainnya dan yang terendah terdapat pada S. stoloniferum (9,60 sista) (Tabel 5.2). Berdasarkan kriteria Gurr & Kerr (1987) respon kultivar kentang yang digunakan dalam penelitian dapat digolongkan pada 3 tipe ketahanan, yaitu : tingkat ketahanan rentan (Desiree, Atlantik, hps 7/67 klon 160 dan tps 340 klon 149), tingkat ketahanan agak tahan (Astarte, Elkana, Granola dan Desiree transgenik ), dan tipe ketahanan resisten (S. stoloniferum). Tabel 5.2 Tipe ketahanan sembilan kultivar kentang terhadap infeksi nematoda sista kentang Kultivar Sista Rf Tipe ketahanan Desiree (kontrol rentan) 66,60 (8,19) a 3,33 a Rentan Astarte 24,20 (4,91) b 1,21 b Agak tahan Elkana 14,80 (3,71) c 0,74 c Agak tahan Granola 25,70 (5,12) b 1,28 b Agak tahan Atlantik 37,00 (6,11) b 1,85 b Rentan hps 7/67 klon ,80 (5,95) b 1,79 b Rentan tps 340 klon ,60 (6,04) b 1,83 b Rentan Desiree transgenik ,60 (4,93) b 1,23 b Agak tahan S. stoloniferum 9,60 (3,13) cd 0,48 d Resisten Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji DMRT Angka dalam tanda kurung merupakan angka transformasi X+0,5 dari data asli

102 83 Kisaran Inang Nematoda Sista Kentang Pengaruh inokulasi NSK terhadap jumlah sista dan J2 NSK pada berbagai spesies Solanaceae, dapat dilihat pada Tabel 5.3. Jumlah sista baru dan J2 tertinggi terdapat pada kentang kultivar Desiree yaitu 24,50 sista dan 61,50 J2. Hal yang sama juga didapat pada Rf. Faktor reproduksi tertinggi terdapat pada kentang kultivar Desiree yaitu 2,40, dan yang terendah adalah Leunca dengan Rf yaitu 0,00. Dari 12 varietas tomat yang digunakan dalam pengujian, jumlah sista dan J2 tertinggi terdapat pada varietas Dona, yaitu 16,75 sista dan 31,75 J2. Tabel 5.6 Pengaruh inokulasi NSK terhadap jumlah sista dan juvenil stadia-2 (J2) pada berbagai spesies Solanaceae Solanaceae Sista J2 Pf Kentang Desiree (kontrol 24,50 (4.99) a (7.87) a 2.40 a rentan) Tomat Money Maker 13,00 (3,67) bc 26,00 (5,11) bc 1,30 b Tomat Marmande Extra 5,25 (2,36) de 15,75 (4,01) cd 0,52 c Tomat Marglobe 3,25 (1,85) def 10,25 (3,12) de 0,32 c Tomat Maestro 12,00 (3,53) c 25,25 (5,07) bc 1,20 b Tomat Rossol VFN 4,50 (2,22) de 12,25 (3,55) de 0,45 c Tomat Ace 55 VF 2,00 (1,56) f 5,50 (2,39) ef 0,20 c Tomat Presto 3,75 (2,00) def 10,00 (3,09) de 0,37 c Tomat Dona 16,75 (4,15) b 31,75 (5,64) b 1,67 b Tomat Marglobe ss 5,25 (2,39) de 17,75 (4,27) cd 0,52 c Tomat Perdana 1,75 (1,41) f 3,50 (1,84) f 0,17 c Tomat San Marino 2,25 (1,57) f 8,00 (2,68) ef 0,22 c Tomat Sakura 2,75 (1,75) ef 9,75 (3,17) de 0,27 c Leunca* 0,00 (0,71) g 0,00 (0,71) g 0,00 d Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji DMRT Angka dalam kurungan merupakan angka transformasi X+0,5 dari data asli *Solanaceae yang biasa dikonsumsi masyarakat Jawa Barat (Lampiran 3)

103 84 Pembahasan Hasil evaluasi ketahanan pada sembilan kultivar kentang terhadap NSK, menunjukkan adanya respon ketahanan yang berbeda dari masing-masing kultivar kentang. Tipe ketahanan kentang yang diseleksi terbagi dalam tiga tipe ketahanan yaitu rentan, agak tahan dan resisten (Tabel 5.2). Hasil penelitian ini menggolongkan Desire, Atlantik, hps 7/67 klon 160, dan tps 340 klon 149 ke dalam kultivar rentan, Astarte, Elkana, Granola dan Transgenik ke dalam kultivar agak tahan dan S. stoloniferum ke dalam kultivar resisten. Hasil ini membuktikan bahwa kultivar kentang yang berbeda akan memberikan respon yang berbeda bila diinokulasikan dengan NSK. Respon yang berbeda dari setiap kultivar kentang mengindikasikan terdapatnya interaksi yang spesifik antara inang dengan patogen. Interaksi spesifik ini dapat bersifat compatible atau incompatible. Menurut Christopher et al. (1989), tanaman yang digolongkan sebagai tanaman resisten terhadap suatu patogen dikarenakan terbentuknya interaksi incompatible antara inang dengan patogen. Dalam hal ini tanaman inang membawa gen resisten dan patogen membawa gen avirulen, sehingga patogen tidak mampu menginfeksi inangnya dan penyakit tidak berkembang. Sebaliknya jika interaksi antara inang dan patogen bersifat compatible, maka tanaman dapat diinfeksi oleh patogen dan penyakit dapat berkembang. Dalam hal ini, gen resisten terhadap NSK umumnya dikendalikan oleh gen-gen tunggal seperti gen H1 dan H2. Brodie et al. (1993) menyatakan bahwa kultivar kentang yang resisten G. rostochiensis Ro1 dan Ro4 berarti kentang tersebut membawa gen tunggal H1. Tanaman dengan sifat ketahanan seperti ini dapat menghambat reproduksi NSK patotipe Ro1 dan Ro4, tetapi tidak dapat menghambat reproduksi G. pallida atau G. rostochiensis dengan patotipe lain. Lebih lanjut Rawsthorne & Brodie (1986) ; Turner & Stone (1984) menjelaskan bahwa pada tanaman yang resisten, juvenil tidak mampu berkembang menjadi betina, hal ini menyebabkan terjadinya penurunan keperidian, karena sinsitium tidak berkembang sempurna. Pada penelitian ini tidak ada kulivar kentang komersil yang bersifat resisten terhadap NSK. Satu-satunya kentang yang masuk ke dalam tipe resisten adalah S. stoloniferum (kentang liar). Walaupun tidak ada kentang komersil yang

104 85 resisten pada penelitian ini, informasi S. stoloniferum sebagai kentang resisten merupakan informasi awal yang cukup baik. Seperti diketahui, sumber ketahanan kultivar kentang terhadap NSK banyak diambil dari kentang-kentang liar. Oleh karena itu informasi ini dapat ditindak lanjut oleh pemulia tanaman sebagai sumber gen ketahanan untuk merakit atau mendapatkan kultivar kentang yang resisten NSK Indonesia di masa mendatang. Respon agak tahan beberapa kultivar kentang yang didapat pada penelitian ini, perlu dipastikan lebih lanjut melalui evaluasi yang lebih spesifik. Menurut Lapidot et al. (1997), evaluasi ketahanan tanaman adalah melalui analisis pengaruh infeksi terhadap komponen hasil tanaman dan kepadatan populasi patogen. Ada korelasi positif antara tingkat ketahanan yang dinyatakan dengan kehilangan hasil dengan kepadatan populasi nematoda. Tanaman agak tahan adalah tanaman yang rentan terhadap infeksi patogen, tetapi tidak menunjukkan gejala yang jelas. Keller et al. (2000) menyatakan bahwa tanaman agak tahan memiliki kemampuan untuk bertahan terhadap keberadaan dan multiplikasi patogen yang dapat ditunjukkan dengan berkurangnya gejala penyakit dan mampu membatasi kehilangan hasil. Pada kondisi lingkungan cukup sesuai bagi perkembangan patogen tersebut, maka dapat menyebabkan ledakan populasi. Oleh karena itu tanaman agak tahan tidak dianjurkan ditanam di lapangan secara tunggal. Penanaman kultivar agak tahan harus diikuti dengan strategi pengendalian seperti penggunaan nematisida atau bersama-sama dengan kultivar resisten. Biasanya penggunaan kultivar agak tahan ditujukan untuk pengendalian terpadu. Sebaliknya, penggunaan kultivar resisten secara terus menerus juga dapat mempercepat patahnya ketahanan tanaman terhadap patogen tersebut, dan mempercepat dominansi suatu spesies patogen. Kondisi ini pada akhirnya mempercepat terbentuknya patotipe baru dari spesies yang doniman di daerah tersebu. Oleh karena itu, penggunaan kultivar agak tahan maupun resisten harus dilakukan secara bijaksana. Pengujian kisaran inang terhadap 14 spesies Solanaceae didapat bahwa sista baru ditemukan pada semua varietas tomat yang digunakan pada penelitian ini (Tabel 5.6). Hasil ini memberikan gambaran bahwa semua varietas tomat tersebut dapat dijadikan inang alternatif bagi NSK. Walaupun demikian diantara

105 86 12 varietas tomat tersebut, tiga varietas tomat memberikan indikasi yang cukup baik sebagai tanaman perangkap, yaitu tomat varietas Dona, Money maker dan Maestro. Hal ini dapat dilihat dari tingginya faktor reproduksi, J2 dan sista yang ditemukan pada varietas ini. Hasil ini sejalan dengan hasil yang didapat pada penelitian yang dilakukan oleh Supramana et al. (2006) pada pengujian rumah kassa, bahwa tomat (Lycopersicon esculentum) merupakan Solanaceae yang paling berpotensi menjadi tanaman perangkap dibandingkan terung (S. melongena) dan cabai (Capsicum annum). Anonimus (2007c), menyatakan tanaman perangkap (trap crop) adalah tanaman yang digunakan untuk merangsang penetasan telur dari sista dengan eksudat yang dikeluarkan akar, tetapi mencegah terjadinya siklus hidup lengkap sehingga dapat menurunkan populasi nematoda di lapangan. Stelter (1987) dalam Scholte (1999) menyatakan bahwa tanaman yang berasal dari famili Solanaceae memiliki senyawa kimia yang dapat merangsang penetasan telur NSK. Lebih lanjut Devine et al. (1996) melaporkan bahwa senyawa kimia seperti glikoalkaloid, solanin dan ά-kakonin merupakan senyawa kimia yang mampu merangsang penetasan terlur NSK. Menurut Mulder & Van der Wal (1997) untuk dapat menetas sista sedikitnya membutuhkan sembilan senyawa kimia yang disebut hatching factors yang hanya ada pada famili Solanaceae. Selain senyawasenyawa kimia di atas, senyawa kimia lain yang diperlukan untuk penetasan telur NSK adalah solanoeclepin A. Scholte (2000a), melaporkan bahwa tanaman yang baik digunakan sebagai tanaman perangkap adalah apabila tanaman tersebut dapat mencegah multiplikasi NSK atau J2 terperangkap di dalam jaringan akar tanpa bisa menjadi betina dewasa. Suatu hal yang menarik ditemukan pada penelitian ini, yaitu sista maupun J2 tidak ditemukan pada tanaman Leunca. Hal ini diduga terdapatnya mekanisme ketahanan secara internal atau adanya senyawa kimia yang berfungsi sebagai penghambat (inhibitor) bagi NSK untuk penetrasi. Agrios (2005) menyatakan tanaman inang dapat bersifat imun terhadap suatu patogen, yaitu tanaman tidak dapat diserang oleh patogen walaupun dalam kondisi lingkungan yang mendukung. Ketahanan tanaman tersebut dapat disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal yang berperan menurunkan kesempatan dan tingkat infeksi.

106 87 Faktor yang paling penting dalam interaksi inang-patogen adalah pengenalan inang oleh patogen atau sebaliknya. Tanpa adanya faktor pengenalan tersebut dapat menyebabkan tanaman inang tidak dapat diserang patogen. Untuk memastikan faktor penghambat pada tanaman Leunca, diperlukan penelitian yang lebih lanjut tentang senyawa inhibitor tersebut. Simpulan Terdapat tiga tipe ketahanan pada kultivar-kultivar kentang uji, yaitu tipe rentan, agak tahan dan resisten. Desire, Atlantik, hps 7/67 klon 160, dan tps 340 klon 149 dikelompokkan sebagai kultivar rentan, Astarte, Elkana, Granola dan Transgenik dikelompokkan sebagai kultivar agak tahan dan S. stoloniferum dimasukkan dalam kultivar resisten. Dua belas varietas tomat yang digunakan, semua dapat terinfeksi oleh NSK. Varietas tomat yang potensial untuk dijadikan tanaman perangkap berturutturut adalah : Dona, Money Maker dan Maestro.

107 VI. PEMBAHASAN UMUM Nematoda sista kentang (G. rostochiensis dan G. pallida / NSK) adalah nematoda terpenting secara ekonomi, dan merupakan ancaman utama pada tanaman kentang yang dapat menyebabkan penurunan hasil yang cukup serius. Pengalaman negara-negara di Eropa, kehilangan hasil yang disebabkan infeksi NSK mendekati 100% (Brodie 1984). Oleh karena potensi merusak yang cukup besar, maka negara-negara penghasil kentang, termasuk Indonesia memasukkan NSK sebagai organisme pengganggu tanaman karantina (OPTK). Sampai sebelum tahun 2003, NSK termasuk OPTK kelas A1 yang berarti tidak boleh masuk ke wilayah Indonesia. Selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor 38/Kpts/HK.060/1/ 2006, tanggal 27 Januari 2006, saat ini NSK termasuk sebagai OPTK kelas A2 yaitu OPTK yang sudah berada di dalam Wilayah Negara Republik Indonesia, tetapi masih terbatas penyebarannya dan dalam pengendalian. Hasil survei yang dilakukan di 30 lokasi pertanaman kentang di Jawa Timur (Desember 2004), Jawa Tengah (Oktober 2005) dan Jawa Barat (Pebruari 2006 dan 2007) membuktikan bahwa nematoda sista kentang (NSK) telah tersebar di beberapa wilayah pertanaman kentang di Pulau Jawa. Infeksi pada tanaman kentang dapat terjadi pada berbagai ketinggian tempat. Infeksi juga dapat terjadi pada semua umur tanaman, mulai tanaman satu bulan hingga menjelang panen pada berbagai kultivar kentang (Bab. II). Hasil survei ini merupakan informasi yang sangat penting karena memberikan informasi secara detail mengenai sebaran geografi NSK di Indonesia. Dengan demikian, mungkin akan menjadi data kunci bagi pengambil kebijakan di tingkat nasional maupun regional dalam menyusun program penanggulangan penyakit ke depan dalam hal membatasi infestasi NSK ke wilayah yang masih bebas. Keberadaan NSK di Indonesia menjadi pertanyaan penting, terutama berkaitan dengan asal usulnya. NSK di Indonesia diyakini merupakan introduksi dari luar negeri, mengingat banyaknya bibit kentang yang diimpor dalam waktu yang cukup lama. Informasi negara asal bibit hanya didapat dari petani di lapangan, hal ini disebabkan sulitnya mendapatkan data negara pengimpor bibit kentang terutama untuk data yang sudah cukup lama. Berdasarkan wawancara langsung dengan petani kentang di Jawa Timur dan Jawa Barat diketahui bibit

108 89 kentang berasal dari Eropa, terutama Jerman dan Belanda. Petani telah menggunakan bibit kentang dari negara ini untuk waktu yang cukup lama. Masuknya bibit kentang dari berbagai negara ke sentra-sentra pertanaman kentang di Indonesia dalam waktu yang cukup lama, memungkinkan NSK telah mantap dan beradaptasi dengan lingkungan di daerah tersebut. Kemampuan beradaptasi yang cepat didukung oleh sifat intrinsik khusus yang dimiliki NSK. NSK merupakan patogen yang memperbanyak diri secara seksual, yaitu dengan perkawinan antar jantan dan betina (Evans & Stone 1977). Jantan NSK dapat melakukan perkawinan sebanyak 10 kali, sebelum akhirnya mati. Perkawinan dapat terjadi antar patotipe yang berbeda tetapi pada spesies yang sama, sebaliknya perkawinan tidak dapat terjadi antar spesies. Proses perkawinan seksual akan menghasilkan keturunan yang tidak sama dengan induknya. Pada patogen dengan sifat seperti ini, variasi yang terjadi pada keturunannya (progeni) terutama diintroduksi melalui segregasi dan rekombinasi gen selama pembelahan meiosis. Selanjutnya terjadi pertukaran gen-gen antara individu yang berlangsung lambat, untuk dapat beradaptasi pada lingkungan hidupnya yang selalu mengalami evolusi. Kondisi ini mengindikasikan NSK isolat Indonesia dapat membentuk patotipe baru spesifik Indonesia dan ada kemungkinan lebih ganas dibandingkan isolat yang ditemukan di belahan dunia lain. Adanya kedua spesies NSK dan kemungkinan terdapatnya patotipe NSK baru di Indonesia disebabkan karena masuknya bibit kentang dari beberapa negara subtropis, terutama Eropa. Masuknya bibit ini dapat menyebabkan terjadinya pertemuan berbagai isolat NSK di Indonesia. Persilangan antar NSK negara asal benih dan tekanan lingkungan baru (tropis Indonesia), serta adanya seleksi alam (suhu tinggi, jenis tanah, komposisi mikroba tanah, dan lain-lain), menyebabkan hanya individu-individu yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya saja yang akan membentuk populasi (baca: isolat) di daerah baru (Jawa). Di samping itu, proses seleksi dan suksesi alami ini tentu menciptakan koloni-koloni NSK baru di Indonesia yang mungkin sangat berbeda dari tetuanya Hasil yang didapat dari identifikasi spesies NSK berdasarkan karakter morfologi, telah berhasil mengidentifikasi spesies G. rostochiensis dari isolat Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Hasil yang lebih akurat didapat

109 90 melalui identifikasi spesies berdasarkan karakter molekuler yaitu dengan menggunakan teknik PCR dengan mengamplifikasi sekuen di daerah ITS-1 (Bab III). Dengan teknik ini telah didapat kedua spesies NSK, yaitu G. rostochiensis dan G. pallida dari isolat Jawa Tengah. Terdapatnya kedua spesies NSK di Indonesia menjadi ancaman yang sangat serius, khususnya dengan terdeteksinya G. pallida. Hal ini disebabkan karena spesies ini dikendalikan oleh beberapa gen virulen yang bersifat poligenik sehingga sulit untuk dikendalikan. Untuk mengetahui secara pasti asal-usul NSK Indonesia, dilakukan analisis filogenetik berdasarkan urutan DNA dari daerah ITS-1 (Bab. III). Hasil penelitian membuktikan adanya keragaman genetik yang tinggi pada NSK Indonesia. NSK Indonesia terbagi menjadi dua kelompok dan terpisah dengan NSK asal negara lain yang ada di GeneBank. NSK Jawa Timur berada dalam satu kelompok dan mempunyai jarak persamaan genetik yang sangat rendah dengan NSK Jawa Tengah yang berada dalam satu kelompok yang lain. Dilihat dari sejarah masuknya tanaman kentang di Indonesia diketahui bahwa introduksi tanaman kentang ke Indonesia dilakukan oleh bangsa Belanda pada tahun 1794 ke daerah Cisarua (Cimahi). Dari Cimahi, tanaman kentang menyebar ke berbagai daerah di Indonesia seperti Pengalengan, Wonosobo, Tawangmangu, Berastagi, Curup, Tumohon dan lain-lain. Sejak tahun 1905 kentang telah tersebar ke seluruh Indonesia (Koens 1948). Sampai tahun 1960 kultivar kentang yang ditanam di Indonesia adalah kultivar impor dari Belanda, yaitu kultivar Eigenheimer dan Bevelander. Pada tahun 1960 hingga 1970 diganti dengan kultivar Tes dan Voran. Saat ini kultivar yang banyak ditanam adalah kultivar Granola yang merupakan hasil pemuliaan di Jerman Barat dan baru dilepas pada tahun Berdasarkan sejarah di atas, walaupun penulis tidak mendapatkan sekuen NSK dari negara Belanda dan Jerman di GeneBank, tidak berlebihan jika dugaan terbesar NSK yang ada di Indonesia berasal dari Belanda dan Jerman. Hasil pengujian klon diferensial untuk mendapatkan informasi patotipe yang ada di Indonesia, menunjukkan bahwa kemungkinan patotipe yang terdapat di Jawa Timur merupakan patotipe baru spesifik Indonesia. Hal ini disebabkan karena terdapatnya reaksi patogenisitas yang berbeda pada klon diferensial AM

110 (S. vernei hib /19) pada ketiga isolat Jawa Timur, dibandingkan dengan patotipe yang terdapat di Eropa (Kort et al. 1977) maupun yang di Amerika Selatan (Canto Saenz & de Scurrah (1977). Sedangkan untuk Jawa Tengah merupakan patotipe Ro1 (Bab. III). Berdasarkan kenyataan bahwa NSK telah ada di Indonesia dan tersebar di sentra-sentra pertanaman kentang Indonesia, hal penting yang perlu segera diusahakan adalah mendapatkan formulasi pengendalian yang tepat dan efektif untuk NSK Indonesia. Untuk bisa mendapatkan strategi pengendalian yang tepat, pengetahuan tentang biologi NSK sangat diperlukan. Oleh karena itu penelitian tentang pascaembriogenik, siklus hidup dan pengaruh temperatur terhadap perilaku biologis NSK seperti jumlah sista, keperidian, multiplikasi, daya tahan hidup dan faktor reproduksi telah dilakukan (Bab IV). Hasil penelitian didapat temperatur optimum untuk menghasilkan sista baru, faktor reproduksi, daya tahan hidup, fekunditi dan perbanyakan G. rostochiensis adalah antara 15-21ºC dengan pola persamaan kuadratik. Semua faktor biologi mempunyai korelasi positif yang sangat nyata antara satu dengan yang lainnya. Hal ini membuktikan adanya ketergantungan di antara faktor-faktor biologi tersebut. Sebagai contoh, tingginya jumlah sista yang dihasilkan akan menyebabkan tingginya faktor reproduksi, hal ini akan meningkatkan keperidian dan multiplikasi nematoda sehingga akhirnya meningkatkan daya tahan hidup nematoda. Beberapa peneliti melaporkan bahwa temperatur merupakan faktor abiotik yang paling penting, yang mempengaruhi secara langsung proses fisiologis dan perilaku nematoda (Ferris et al ; Gao & Becker 2002 ; Noe 1991). Selain itu temperatur juga mempengaruhi masa dormansi, kemampuan bertahan hidup dan siklus hidup NSK (Huang & Pereira 1994 ; Wharton et al. 2002). Pengamatan siklus hidup NSK diketahui bahwa NSK melengkapi siklus hidupnya dari sista hingga menghasilkan sista lagi adalah hari (Bab. IV). Siklus hidup ini lebih pendek dibandingkan siklus hidup yang dilaporkan beberapa peneliti sebelumnya. Hal ini kemungkinan disebabkan karena perbedaan kondisi lingkungan khususnya temperatur tanah. Siklus hidup yang dilaporkan oleh peneliti sebelumnya, merupakan siklus hidup pada daerah sub-tropik, hal ini akan sangat berbeda dengan Indonesia yang memiliki iklim tropik. Pendeknya

111 92 siklus hidup NSK menyebabkan pengendalian NSK sulit dilakukan. Hal ini disebabkan karena patogen yang mempuyai siklus hidup pendek, akan menyebabkan laju perkembangan penyakit lebih cepat. Menurut Agrios (2005), patogen yang mempunyai siklus hidup pendek, tidak mempunyai reproduksi berulang dan hanya menyebabkan satu rangkaian infeksi dalam satu musim tanam, akan menyebabkan inokulum bertambah dari tahun ke tahun dan epidemi juga berkembang dari tahun ke tahun. Berdasarkan hasil yang didapat dari penelitian ini, perlu disusun strategi pengendalian yang paling tepat dan efektif. Mengingat bahwa NSK merupakan patogen yang unik, karena hanya dengan satu sista NSK dapat berkembang menjadi populasi yang tinggi, dan menimbulkan gejala penyakit yang cukup nyata di lapangan seperti tanaman kerdil. Maka semua strategi pengendalian yang bertujuan untuk menekan laju perkembangan patogen dan meniadakan sumber inokulum merupakan langkah yang paling tepat. Penggunaan kultivar kentang resisten masih merupakan metode pengendalian yang paling efekif dilakukan di Eropa, tetapi di Indonesia belum tersedia informasi mengenai hal tersebut. Oleh karena itu eksplorasi sifat ketahanan terhadap NSK yang mungkin dimiliki oleh beberapa kultivar kentang yang umum dibudidayakan di Indonesia perlu dilakukan. Melalui kegiatan evaluasi ketahanan, peta respon berbagai kultivar kentang terhadap NSK akan mudah didapatkan. Sembilan kultivar kentang, masing-masing kultivar Desiree (kontrol rentan), Astarte, Elkana, Granola, Atlantik, hps 7/67 klon 160, tps 340 klon 149, Desiree transgenik dan S. stoloniferum digunakan untuk mengevaluasi ketahanan kultivar kentang terhadap NSK isolat S1 (Bab V). Hasil penelitian didapat tiga tipe ketahanan, yaitu : rentan (Desiree, Atlantik, hps 7/67 klon 160 dan tps 340 klon 149), agak tahan (Astarte, Elkana, Granola dan Desiree transgenik ), dan resisten (S. stoloniferum). Dari hasil ini diketahui tidak satupun kultivar kentang komersil yang resisten terhadap NSK isolat S1. Isolat S1 adalah isolat asal Jawa Timur yang belum diketahui secara pasti patotipenya. Di dalam katalog kultivar kentang yang dikemukakan oleh Joosten (1991), beberapa kultivar kentang yang resisten terhadap NSK adalah : Granola resisten Ro1 dan Ro4, Atlantik resisten Ro1, Elkana resisten Ro1-Ro4, Astarte resisten Ro1,

112 93 Diamant resisten Ro1 dan Ro4, Karida resisten Ro1-Ro4, Ditta resisten Ro1, Remarka resisten Ro1, Karniko resisten Ro1-Ro4, Sante resisten Ro1-Ro4 dan lain sebagainya. Beberapa dari kultivar di atas digunakan dalam penelitian ini, seperti Granola, Atlantik, Astarte dan Elkana, tetapi semua kultivar ini masih dapat diinfeksi NSK. Hal ini dapat saja terjadi karena belum diketahui gen virulen yang ada pada isolat S1. Kemungkinan lain dapat disebabkan karena faktor lingkungan yang berbeda dengan daerah asal kultivar kentang dilepas. Perbedaan faktor lingkungan dapat menyebabkan perbedaan adaptasi dan reaksi yang ditimbulkan dalam interaksi inang dan patogen. Lebih lanjut dilaporkan salah satu aspek biologis yang sangat dinamis dan sangat menentukan adalah karakter individu dalam satu spesies yang selalu mengalami perubahan baik morfologis maupun fisiologisnya, kemampuan berubahnya bervariasi dari satu individu ke individu yang lain sebagai suatu kemampuan beradaptasi. Namun demikian, terdapatnya S. stoloniferum sebagai kentang yang resisten NSK dalam penelitian ini merupakan suatu informasi awal yang sangat penting. Hasil ini memberikan harapan bagi pemulia tanaman di Indonesia untuk mendapatkan sumber gen ketahanan NSK. Selanjutnya dapat digunakan untuk merakit kultivar kentang sehingga dapat diperoleh kultivar kentang yang resisten dengan NSK Indonesia. Pengujian kisaran tanaman inang NSK dengan menggunakan 14 spesies Solanaceae, yang terdiri dari 12 varietas tomat, Desiree (kontrol rentan) dan Leunca (Bab.V) untuk mendapatkan spesies Solanaceae yang potensial sebagai tanaman perangkap telah dilakukan. Hasil penelitian didapat, ada 3 varietas tomat yang memberikan respon paling baik sebagai tanaman perangkap, yaitu : Dona, Money Maker dan Maestro. Diantara ketiga varietas tomat ini, tomat varietas Dona mempunyai harapan sebagai tanaman perangkap paling yang potensial. Hasil ini sejalan seperti yang telah dilaporkan oleh Supramana et al. (2006) bahwa varietas Dona memberikan hasil yang terbaik sebagai tanaman perangkap NSK dibandingkan terung dan cabe. Beberapa keuntungan yang dimiliki oleh tanaman perangkap, yaitu : 1) beberapa pengujian di negara-negara lain dan pengujian yang peneliti lakukan pada skala rumah kaca didapat tanaman perangkap dapat menurunkan populasi NSK secara nyata, 2) tanaman perangkap dapat dikombinasikan bersama-sama

113 94 dengan teknik pengendalian lain, 3) waktu yang dibutuhkan relatif singkat yaitu sekitar 6-7 minggu, sehingga tidak merubah waktu tanam kentang petani, 4) teknik pengendalian ini merupakan lintas spesies dan patotipe, artinya untuk menggunakan tanaman perangkap tidak diperlukan identifikasi spesies dan patotipe NSK terlebih dahulu karena tanaman perangkap dapat efektif untuk semua spesies dan patotipe NSK dan 5) penggunaan tanaman perangkap aman bagi lingkungan dan kesehatan. Selain teknik pengendalian di atas, teknik pengendalian lain yang masih terus dikembangkan oleh beberapa peneliti adalah penggunaan agens biokontrol. Kerry (1988) mendapatkan lebih dari 150 spesies cendawan yang telah diisolasi dari sista, betina dan telur nematoda, tetapi kurang dari 10% yang bersifat sebagai parasit. Jacobs et al. (2003) melaporkan beberapa cendawan yang dapat menginfeksi betina dan telur NSK, yaitu Pochonia (sin. Verticillium) clamydosporia, Paecilomyces lilacinus dan Plectophaerella cucumerina. Ketiga spesies cendawan ini merupakan cendawan utama yang dikembangkan sebagai agens biokontrol di Inggris dan UK. Penggunaan ketiga cendawan secara nyata dapat menurunkan populasi NSK pada pengujian di rumah kaca. Sedangkan pemberian P. cucumerina secara tunggal dapat menurunkan populasi G. rostochiensis dan G. pallida hingga lebih dari 60%. Di alam P. clamydosporia secara alami akan memarasit sista NSK dan telur nematoda dari genus lain. Selain cendawan di atas, beberapa bakteri juga dapat digunakan sebagai agens biokontrol NSK, seperti Agrobacterium radiobacter, Bacillus subtilis dan Pseudomonas spp.. A. radiobacter strain G12 dapat digunakan untuk menginduksi ketahanan sistemik kentang dalam melawan infeksi G. pallida. Bakterium dapat menghambat penetrasi J2 di dalam akar sehingga menurunkan penetasan telur G. pallida pada pengujian secara in vitro (Anonimus 2007c). Pasteuria penetrans juga berpotensi untuk mengendalikan populasi NSK. Secara umum bakteri diaplikasikan ke dalam tanah sebelum umbi kentang ditanam atau dapat juga diberikan pada tanaman bukan kentang pada teknik rotasi tanaman. Pemberian P. penetrans dapat menurunkan laju perkembangan NSK. Pengendalian secara biologi tidak dapat bekerja sendiri. Teknik ini akan memberikan hasil yang lebih baik jika dikombinasikan dengan teknik pengendalian yang lain dalam pengendalian secara terpadu, yaitu bersama-sama dengan sterilisasi tanah, solarisasi, penggunaan nematisida, tanaman perangkap dan penggunaan kultivar resisten.

114 VII. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil survei yang dilakukan pada sentra-sentra pertanaman kentang membuktikan NSK telah tersebar luas di beberapa wilayah pertanaman kentang di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Nematoda dapat menginfeksi tanaman kentang pada berbagai ketinggian tempat, pada semua umur tanaman dan kultivar kentang yang ditanam di lapangan. Identifikasi spesies menggunakan karakter morfologi bersama-sama dengan karakter molekuler berhasil mengidentifikasi kedua spesies NSK, yaitu : G. rostochiensis (238 bp) dan G. pallida (391 bp). G. rostochiensis terdapat pada pertanaman kentang di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, sedangkan G. pallida terdapat pada pertanaman kentang di Jawa Tengah. Analisis perunutan asam nukleat dari fragmen DNA hasil amplifikasi NSK isolat Jawa Timur (S1, S2 dan S3) dan Jawa Tengah (S6 dan S7) menunjukkan adanya keragaman genetik yang cukup tinggi antara isolat Jawa Timur dengan isolat Jawa Tengah. Isolat Jawa Timur berada dalam satu kelompok dan isolat Jawa Tengah berada dalam kelompok lain. Pengujian klon diferensial didapat NSK isolat Jawa Timur merupakan G. rostochiensis dengan patotipe baru spesifik Indonesia, sedangkan NSK isolat Jawa Tengah merupakan G. rostochiensis patotipe Ro1. Studi biologi NSK Indonesia didapat temperatur optimum untuk menghasilkan jumlah sista, keperidian, daya tahan hidup, multiplikasi dan faktor reproduksi adalah 15-21ºC. Siklus hidup NSK Indonesia (dari sista menjadi sista) adalah hari. Tidak didapat kultivar kentang komersil yang resisten terhadap NSK isolat Jawa Timur (S1), tetapi kentang liar (S. stoloniferum) resisten terhadap NSK. Hasil ini memberikan harapan baru sebagai sumber gen tahan bagi pemulia tanaman untuk merakit kultivar yang resisten NSK Indonesia. Tiga variets tomat yaitu : Dona, Money maker dan Maestro mempunyai potensi sebagai tanaman perangkap yang baik bagi NSK.

115 96 Saran Perlu dilakukan survei yang berkesinambungan ke sentra-sentra pertanaman kentang di seluruh Indonesia, agar sebaran geografi NSK dapat dipetakan. Perlu dilakukan perbanyakan NSK dari satu sista, yang dilanjutkan identifikasi spesies dengan pengujian-pengujian lainya. Perlu dilakukan pengujian klon diferensial untuk mengetahui patotipe NSK pada isolat-isolat NSK Jawa Tengah (S5, S6 dan S7) dan Jawa Barat (S8, S9, S10 dan S11). Perlu dilakukan evaluasi ketahanan pada kultivar-kultivar kentang komersil lain sehingga dapat diperoleh kultivar kentang yang resisten NSK Indonesia spesifik lokasi. Pengujian lanjutan ke tiga varietas tomat yang berpotensi sebagai tanaman perangkap NSK pada skala demplot maupun lapangan.

116 DAFTAR PUSTAKA Agrios GN Plant Pathology. 5 th Eds. Academic Press, San Diego. Alan GW, Susan JT Management and Regulatory Control Strategies for Potato Cyst Nematodes (Globodera rostochiensis and Globodera pallida). hlm Anonimus. 2007a. Pengendalian nematoda sista kentang di Jawa Timur. Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Timur. Makalah pada Pertemuan Koordinasi Kelompok Kerja Penanganan NSK. Bandung, 2-4 Mei Anonimus. 2007b. Globodera rostochiensis. [1 Juni 2007]. Anonimus. 2007c. Potato root nematode, Potato cyst nematode. [1 Juni 2007]. AVRDC Vegetable research and development. Di dalam : The 1990s : A Strategic Plant Asian Vegetable Research and Development Center. Baldwin JG & M Mundo-ocampo Heteroderinae, cyst and non cyts forming nematodes. pp Di dalam : WR Nickle, editor. Manual Agricultural Nematology. New York, Marcel-Dekker. Bennet DM, Hoffmann AA Effect of size and fluctuating asymmetry on field fitness of parasitoid Trichogramma carverae (Hymenoptera : Trichogrammatidae. Annu Ecol 67: Berg G, Russell S, Peter M Developing a better way of managing PCN in Australia. IHD at Potatoes 2000 Linking research to practice. [BPS] Badan Pusat Statistik Production of Vegetables in Indonesia. [19 Januari 2006]. Brodie BB Nematode parasites of potato. Di dalam : Nickle WR, editor. Plant and Insects Nematodes. Marcell Dekker Inc, New York. hlm Brodie BB, WF Mai Control of the golden nematode in the United State. Annu Rev Phytopathol 27: Brodie BB The occurrence of second pathotype of potato cyst nematode in New York. J Nematol 27 :

117 98 Brodie BB, Evans K, Franco J Nematode Parasites of Potato. hlm Di dalam: K Evans, DL Tridgill, M Webster, editor. Plant Parasitic Nematodes in Temperate Agriculture. Publ. CAB International. Canto Saenz M, de Scurrah MM Races of the potato cyst nematode in the Andean Region and a new system of classification. Nematologic 23: CABI Crop Protection Compendium. Global Modul. (Compact Disk). CAB International. Castillo P, N Vovlas Factors affecting egg hatch of Heterodera mediterranea and differential responses of Olive cultivars to infestation. J Nematology 34 (2) : Chitwood BG, Buhrer EM Summary of Soil Fumigant Tests Made Against the Golden Nematode of Potatoes (Heterodera rostochiensis Wollenweber) Proceeding of the Helminthological Society of Washington. 12: Christopher JL, Lawton MA, Dron M, Dixon RA Signal and transduction mechanism for activation of plant defense against microbial attack. Cell Press 56: Clark, Hennessy Movement of Globodera rostochiensis (Wollenweber) juveniles stimulated by potato-root exudate. Nematologic 30: Daulton RA, CJ Nusbaum The effect of soil moisture and relative humadity on the root knot nematode Meloidogyne javanica. Nematologic 20 : Daryanto Status penyebaran dan kerugian nematoda sista kentang pada tanaman kentang. Disampaikan pada Lokakarya Nematoda sista kentang Desember 2003, Yogyakarta. 8 hal. Devine KJ, Jones PW Response of Globodera rostochiensis to exogenously applied hatching factors in soil. Ann App Biol. 137: Dropkin VH Introduction to Plant Nematology. John Wiley & Sons. New York. Dunnett JM Inheratance of resistance to potato-root eelworm in breeding lines stemming from Solanum multidissectum Hawkes. Re. Scottish Breed Stn Ellis PR, Hesling JJ Larval emergence from cysts of twelve isolates of Heterodera rostochiensis and H. pallida reared on resistant and susceptible tomatoes. Plant Pathol 24 :

118 99 Esteros RA, Chen TA Interactions of Pratylenchus penetrans and Meloidogyne incognita as coinhabitants in tomato. J Nematol 4: Evans K, Franco J, de Scurrah MM Distribution of species of potato cyst nematodes in South America. Nematologic 21: Evans K, Stone AR A review of the distribution and biology of the potato cyst nematode Globodera rostochiensis and G. pallida. PANS 23(2) : Evans K, BB Brodie The origin and distribution of the golden nematode and its potential in the USA. Am Potato J 57: Evans K & Turner JT The Origins, Global Distribution and Biology of Potato Cyst Nematodes (Globodera rostochiensis (Woll.) and Globodera Pallida Stone). pp Di dalam : Potato Cyst Nematode-Biology, Distribution and Control. Marks RJ, Brodie BB, editor. Publ. CAB International. Fenwick DW Methodes for the recovery and counting of cysts of Heterodera schachtii from soil. J Helminthol 18: Ferris JM Effect of soil temperature on the life cycle of the golden nematode in host and nonhost species. Phytopathol 47: Ferris H, Eyre M, Venette RC, Lau SS Population energetics of bacterial feeding nematodes : stage-specific development and fecundity rates. Soil and Biochemis 28 : Fleming CC, Powers TO Potato Cyst Nematode Diagnostics : Morphology, Differential Host and Biochemical Technique. hlm Di dalam : Potato Cyst Nematode-Biology, Distribution and Control. Marks RJ Brodie BB, editor. Publ. CAB International. Foot MA Laboratory rearing of potato cyst nematode; a method suitable for pathotyping and biological studies. N.Z. J Zool 4: Franco J Effect of temperature on hatching and multiplication of potato cyst nematodes. Nematologic 25 : Frasser RSS The genetic of plant virus interaction implication for plant breeding. Euphytic 63 : Fullaondo A, Salazar A, Barrena E, Ritter E Comparison of moleculer patterns and virulence behaviour of potato cyst nematodes. Fund and App Nematol 20 :

119 100 Gao X, Becker JO Population development of both sexes of Heterodera schachtii is diminished in a beet cyst nematode-suppressive soil. Biol Cont 25 : Goswami BK, HJ Rumpehorst Association of an unknown fungus with potato cyst nematodes, Globodera rostochiensis and G. pallida. Nematologic 24: Gurr GM, Kerr SP The Production of New Potato Varieties Technological Advance. Cambridge University Press. pp Hadisoeganda AWW Identifikasi, biogeografi dan pengendalian nematode sista kentang (Globodera spp. dan Globodera pallida). Lokakarya Inovasi Teknologi, Bogor, Desember Diselengggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Hague NGM and Gowen SR Chemical control of nematodes. Di dalam: RH Brown, Kerry BR, editor. Principles and Practices of Nematode Control in Crops. Academic Press, London. hlm 447. Halford PD, Russel MD, Evans K Use of resistant and susceptible potato cultivars in the trap cropping of potato cyst nematodes, Globodera pallida and G. rostochiensis. Ann App Biol 134: Hamzah A Program Tindakan Darurat Penyebaran OPT Karantina, Globodera rostochiensis (Wolienweber) Mulvey & Stone. Makalah Seminar Sehari Penaggulangan Nematoda Globodera sp. Pada Tanaman Kentang. Jakarta, 3 April Hawkes JG Origins of Cultivatated Potatoes and Species Relationship. Di dalam : Bradshaw JE, GR Mackay, editor. Potato Genetics. CAB International, Cambridge, UK. Hooper DJ Preserving and staining nematode in plant tissues. Di dalam. Southey JF (eds.). Laboratory Methods for Work with Plant and Soil Nematodes. London : Ministry of Agriculture, Fisheries & Food. pp Huang SP, AC Pereira Influence of inoculum density, host, and low temperature period on delayed hatch of Meloidogyne javanica eggs. J Nematology 26 : Hull R Matthew s Plant Virology. Fourth Ed. San Diego : Academic Press. Jacobs H, Gray SN, Crump DH Interactions between nematophagous fungi and consequences for their potential as biological agents for the control of potato cyst nematodes. Mycological Research 107:47-56.

120 101 Jensen HJ, J Amstrong, P Jatala Annotated bibliography of nematode pests of potato. Int. Potato Center, Lima, Peru. Joosten A Geniteu rslijst voor Aardappelrassen. Postbus 32, 6700 AA, Wageningen. 281 hal. Jones MGK, Northcote DH Nematode-induced syncytium-a multinucleate transfer cell. J Cell Scie 10 : Jones PW, Tylka GC, Perry RN Hatching. Di dalam : Perry RN, Wright D, editor. The Physiology and Biochemistry of free living and plant parasitic nematodes. CAB International, Wallingford, UK. hlm Kerry BR Fungal parasites of cyst nematodes. Agric, Ecosys and Envir24 : Keller B, Feuillet, Messmer Genetic of disease resistance. Di dalam : Slusarenko A, Fraser RSS and van Loon LC, editor. Mechanisms of Resistance to Plant Disease. Kluwer Academic Publishers. hlm Khan M Biological control of golden cyst nematode, Globodera rostochiensis in potato with the fungus Paecilomyces lilacinus. P Di dalam. MA Maqbool et al. (ed.). Advances in Plant Nematology. Natl. Nematol. Res. Centre, University Karachi, Pakistan Koens J De handbrow in Indishe Aechipel. Jilid IIA. Hall and Koppel. Kort J, Ross H, Rumpenhorst HJ, Stone AR An international scheme for identiying and classifying pathotypes of potato cyst-nematodes Globodera rostochiensis and G. pallida. Nematologic 23 : Lamondia JA, Brodie BB The effect of potato trap crop and fallow on decline of Globodera rostochiensis. Ann App Biol 108: Lapidot M, Paran I, Ben-Joseph R, Ben-Harush S, Pilowsky M, Cohen S, Shifriss C Agak tahance to cucumber mosaic virus in pepper : Development of advanced breeding lines and evaluation of virus level. Plant Dis 81: Lebbink G, Proper B, Nipshagen A Accelerated degradation of 1,3- dichloropropene. Act Hort 255: Lisnawita, Meity S S, G A Wattimena, Supramana and Gede Suastika Species identification of Indonesian potato cyst nematode using Polymerase Chain Reaction (PCR) technique. J ISSAAS 11 (3) : (Supplement)

121 102 Lisnawita, Meity SS, GA Wattimena, Supramana, G Suastika Kajian beberapa teknik pengendalian nematoda sista kentang di Indonesia. (Tidak dipublikasi). Maniatis T, Fritsch EF, Sambrook J Moleculer cloning : a laboratorium manual. United State of America : Cold Spring Harbor Laboratory Press. hlm Matthews REF Plant Virology. Academic Press. San Fransisco. McKenna LA, Winslow RD Differences in hatch and development rates of potato cyst nematode pathotypes. Ann Appl Biol 71 : Miller PM, Wihrheim SE Mutual antagonism between Heterodera tabacum and some other parasitic nematodes. Plant Dis Rep 52: Miller LI, BJ.Gray Heterodera solanacearum n. sp., a parasite of solanaceous plants. Nematologic 18 : Mota MM, JD Eisenback Morphology of femaled and cysts of Globodera tabacum, G. virginiae dan G. solanacearum (Nemata : Heteroderinae) J Nematology 25 (2) : Mulder A Temperature response of Globodera rostochiensis dan G. pallida (abstract). Nematologic 34 : 281. Mulholland V, Carde L, O Donnell KJ, Fleming CC, Powers TO Use of the polymerase chain reaction to discriminate potato cyst nematode at the species level. Di dalam. Marshall G, editor. Proceeding of Diagnostics in Crop Production Symposium. British Crop Production Council, Farnham UK. hlm Mulder JG, Van der Wal AF Relationship between potato cyst nematodes and their principal host. I. A literature review. Pot Res 40:, Norton DC Ecology of Plant Parasitic Nematodes. John Wiley, Toronto. Noe JP Development of Meloidogyne arenaria on peanut and soybean under two temperature cycle. J Nematol 23 : Rawsthorne D, Brodie BB Relationship between root growth of potato, root diffusate production, and hatching of Globodera rostochiensis. J Namatology 18 : Rukmana R Kentang, Budidaya dan Pasca Panen. Kanisius, Yogyakarta. Rubatzky VE, Yamaguchi M Sayuran dunia : prinsip, produksi dan gizi. [Jilid 1]. ITB Bandung. Penerjemah : Catur Herison.

122 103 Saiki RK Amplification of genomic DNA. Di Dalam : PCR protocols. A guide to methods and applications. Innis MA, Gelfand DH, Sninsky JJ, White TJ, editor. Toronto. Academic Press, Inc. Schots A A serological Approach to the Identification of Potato Cyst Nematodes. Wageningen, The Netherlands (Dissertation). Schomaker CH, Been TH A model for infestation foci of potato cyst nematodes Globodera rostochiensis and G. pallida. Phytopathol. 89: Scholte K Screening of non-tuber bearing Solanaceae for resistance to and induction of juvenile hatch of potato cyst nematodes and their potential for trap cropping. Ann App Biol 136: Scholte K, Vos J Effects of potential trap crops and planting date on soil infestation with potato cyst nematodes and root-knot nematodes. Ann App Biol 137: Scholte K. 2000a. Effect of potato used as trap crop on potato cyst nematode and other soil pathogens and on the growth of a subsequent main potato crop. Ann App Biol. 136: Scholte K. 2000b. Screening of non tuber bearing Solanaceae for resistance and induction of juvenile hatch of potato cyst nematodes and their potential for trap cropping. Ann App Biol 136: Scholte K. 2000c. Growth and development of plants with potential for use as trap crops for potato cyst nematodes and their effects on the number of juveniles in cysts. Ann App Biol 137: Shepherd AM Extraction and estimation of cyst nematodes. hlm Di dalam Southey, J.F. Laboratory Methods for Work with Plant and Soil Nematodes. Ministry of Agriculture, Fisheries & Food, London. Sinaga MS Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Penebar Swadaya. Jakarta. Spears JF The Golden Nematode Handbook Survey, Laaboratory, Control and Quarantine Procedurs. Washington, D.C. USDA. Agriculture Research Services. Stone AR. 1973a. Heterodera rostochiensis. C.I.H. Descriptions of Plant Parasitic Nematodes. Set 2, No. 16. Stone AR. 1973b. Heterodera pallida. C.I.H. Descriptions of Plant Parasitic Nematodes. Set 2, No. 17.

123 104 Stone LEW, Webley DP The effect of heat on the hatch of potato cyst eelworms. Plant Pathol 24: Stirling GR Biological Control of Plant Parasitic Nematode : Progress, Problems and Prospects. CAB International, Wallingford. Stevenson WR, Rosemary L, Gary DF, Weingartner DP Compendium of Potato Disease. Second Edition. The American Phytopathological Society. Subbotin SA, Deliang P, Maurice M A rapid method for the identification of the soybean cyst nematode Heterodera glycines using duplex PCR. Nematology 3(4): Supramana, Lisnawita dan G Suastika Potensi beberapa Solanaceae sebagai tanaman perangkap nematoda sista kentang di Indonesia. Laporan Akhir Penelitian Research Grant Program Hibah Kompetisi-B Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Suwardiwijaya E, I Nyoman Raga, Harsono Lanya Penyebaran vertikal dan horisontal sista Globodera sp., di sentra penanaman kentang di Pegunungan Dieng, Propinsi Jawa Tengah. Makalah pada Pertemuan Koordinasi Kelompok Kerja Penanganan NSK. Bandung, 2-4 Mei Thiery M, Mugniery D Interspesific rdna restriction fragment length polymorphism in Globodera species, parasites of Solanaceous plants. Fund and App Nem 19: Tjitrosoepomo Morfologi Tumbuhan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Turner SJ, Stone AR Development of potato cyst nematode in roots of resistant Solanum tuberosum spp. andigena and S. vernei hybrids. Nematologic 30: Trudgill DL, MS Phillips, TJW Alphey Integrated control of potato cyst nematode. Outlook Agric 16: Urwin PE, Troth KM, Zubko EL, Atkinson HJ Effective transgenic resistance to Globodera pallida in potato field trials. Mol Breed 8: Veech JA Phytoalexin and their role in the resistance of plants to nematodes. J Nematol 14 : 2-9. Vannier G The thermobiological limits of some freezing intolerant insects : the supercooling and thermostupor points. Acta Oecologica 15 : Di dalam : Randy Gaugler, AL Bilgrami Nematode Behaviour. CAB International, UK.

124 105 Wattimena GA Pengembangan propagul kentang bermutu dan kultivar kentang unggul dalam mendukung peningkatan produksi kentang di Indonesia. [Orasi Ilmiah]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wattimena GA, Purwito A, Mattjik NA Research in potato propagation and breeding at Bogor Agricultural University. Di dalam : Fuglie KO, editor. Progress in Potato and Sweetpotato Research in Indonesia. Proceedings of the CIP-Indonesia Research Review Workshop. Bogor, Internasional Potato Ceter. Whitehead AG Chemical and integrated control of cyst nematodes. P Di dalam. F. Lamberti & CE Taylor, editor. Cyst Nematodes. Plenum Press, New York and London. Wharton DA, Goodall G, Marshall Freezing rate affects the survival of a short-term freezing stress in Panagrolaimus davidi, an Antartic nematode that survives intracellular freezing. CryoLetters 23 : Di dalam : Randy Gaugler, AL Bilgrami Nematode Behaviour. CAB International, UK. Wharton DA Survival Strategies. P Di dalam. Nematode Behaviour. Randy G, Anwar LB (eds.). CABI, New Jersey, USA.

125 LAMPIRAN

126 107 Lampiran 1 Media MS0 Bahan : No. Stok Bahan Konsentrasi g/l ml stok media Pemakaian mg/l 1. A NH4NO B KNO C KH2PO H3BO Kl Na2MoO4.2H2O CaCl2.6H2O D CaCl2.H2O E MgSo4.7H2O MnSO4.4H2O ZnSO4.7H2O CuSO4.7H2O F Na2EDTA.5H2O FeSO4.7H2O Myo Myo-Inositol Vit Thiamine Nicotine Phiridoxine Glycine Sukrosa 21. Agar Kobalt 7.000

127 108 Lampiran 2 Skema Internasional untuk patotipe G. rostochiensis dan G. pallida pada klon diferensial Skema Internasional untuk patotipe G. rostochiensis pada klon diferensial (Kort et al. 1977; Canto Saenz & de Scurrah 1977) Patotipe Canto Saenz & de Scurrah Ra1 Rb1 Ra2 Ra3 Klon Differensial Kort et al. Ro1 Ro4 Ro2 Ro3 Ro5 S.tuberosum spp.tuberosum S.tuberosum spp. andigena CPC 1673 (gen H1) S.kurtzianum hib (gen A, B) S.vernei hib /4 S.vernei hib S.vernei hib /19 Keterangan : + = Pf/Pi >1 = Pf/Pi Skema Internasional untuk patotipe G. pallida pada klon diferensial (Kort et al ; Canto Saenz & de Scurrah ) Patotipe Canto Saenz & de Scurrah Pa1 Pb1 Pa2 Pa3 Pa4 Pa5 Klon Differensial Kort et al. Pa1 Pa2 Pa3 S.tuberosum spp.tuberosum S.tuberosum spp.multidissectum hib.p55/17 (gen H2) S.kurtzianum hib (gen A, B) S.vernei hib /4 S.vernei hib S.vernei hib /19 Keterangan : + = Pf/Pi >1 = Pf/Pi

128 Lampiran 3 Tingkat kesamaan populasi G. rostochiensis yang berasal dari geogafi yang berbeda berdasarkan sekuen gen ITS-1 Tingkat kesamaan (%) No Isolat *) GT1-JT GT2-JT GT3-JT GT6-JTH GT7-JTH Gr-Kan Gr-FI Gr-Meks Gr-NY Gr-Peru Gr-Peru Gr-Peru Gr-SA *) Isolat NSK yang digunakan berasal dari Jawa Timur lokasi 1 (GT1-JT1), Jawa Timur lokasi 2 (GT2-JT2), Jawa Timur lokasi 3 (GT3-JT3), Kab. Wonosobo, Jawa Tengah (GT6-JTH6), Kab. Banjarnegara (GT6-JTH6), Kanada (Gr- Kan), Falkland Islands (Gr-FI), Meksiko (Gr-Meks), New York (Gr-NY), Peru 1 (Gr-Peru1), Peru 2 (Gr-Peru2), Peru 3 (Gr-Peru3), Slovenia (Gr-SA)

129 Lampiran 4. Tanaman Leunca 110

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan tanaman pangan utama dunia yang menempati urutan keempat sesudah padi, gandum dan jagung (Rubatzky & Yamaguchi 1998 ; Tjitrosoepomo

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI, KAJIAN BIOLOGI DAN KETAHANAN TANAMAN TERHADAP NEMATODA SISTA KENTANG (Globodera spp.) INDONESIA LISNAWITA

IDENTIFIKASI, KAJIAN BIOLOGI DAN KETAHANAN TANAMAN TERHADAP NEMATODA SISTA KENTANG (Globodera spp.) INDONESIA LISNAWITA IDENTIFIKASI, KAJIAN BIOLOGI DAN KETAHANAN TANAMAN TERHADAP NEMATODA SISTA KENTANG (Globodera spp.) INDONESIA LISNAWITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kentang (Solanum tuberosum)

TINJAUAN PUSTAKA. Kentang (Solanum tuberosum) TINJAUAN PUSTAKA Kentang (Solanum tuberosum) Kentang (Solanum tuberosum) awalnya didomestifikasi di Pegunungan Andes Amerika Selatan sekitar 8000 tahun yang lalu. Beberapa jenis tanaman di Andes yang memiliki

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gejala Penyakit. (a) Gambar 7 Tanaman kentang di Dataran Tinggi Dieng tahun 2012 (a) terinfeksi NSK, (b) sehat.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gejala Penyakit. (a) Gambar 7 Tanaman kentang di Dataran Tinggi Dieng tahun 2012 (a) terinfeksi NSK, (b) sehat. HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Penyakit Gejala pada tajuk (bagian di atas permukaan tanah) Gejala penyakit yang ditimbulkan oleh NSK sangat khas. Tanaman akan mengalami kerusakan akar yang menyebabkan berkurangnya

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI PATOTIPE GLOBODERA ROSTOCHIENSIS MENGGUNAKAN KLON DIFERENSIAL

IDENTIFIKASI PATOTIPE GLOBODERA ROSTOCHIENSIS MENGGUNAKAN KLON DIFERENSIAL J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525 Lisnawita et al. Identifikasi Patotipe Globodera rostochiensis 105 Vol. 13, No. 2: 105 109, September 2013 IDENTIFIKASI PATOTIPE GLOBODERA ROSTOCHIENSIS MENGGUNAKAN KLON

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia setelah padi, gandum, dan jagung (Wattimena, 2000 dalam Suwarno, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. dunia setelah padi, gandum, dan jagung (Wattimena, 2000 dalam Suwarno, 2008). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan salah satu pangan utama dunia setelah padi, gandum, dan jagung (Wattimena, 2000 dalam Suwarno, 2008). Kentang juga merupakan

Lebih terperinci

II. SURVEI DAN SEBARAN GEOGRAFI NEMATODA SISTA KENTANG INDONESIA

II. SURVEI DAN SEBARAN GEOGRAFI NEMATODA SISTA KENTANG INDONESIA II. SURVEI DAN SEBARAN GEOGRAFI NEMATODA SISTA KENTANG INDONESIA Abstrak LISNAWITA. Survei dan Sebaran Geografi Nematoda Sista Kentang Indonesia. Dibimbing oleh MEITY SURADJI SINAGA, GUSTAF ADOLF WATTIMENA,

Lebih terperinci

SURVEI DAN IDENTIFIKASI NEMATODA SISTA KENTANG (Globodera spp.) ASAL WONOSOBO DAN BANJARNEGARA JAWA TENGAH T E S I S

SURVEI DAN IDENTIFIKASI NEMATODA SISTA KENTANG (Globodera spp.) ASAL WONOSOBO DAN BANJARNEGARA JAWA TENGAH T E S I S SURVEI DAN IDENTIFIKASI NEMATODA SISTA KENTANG (Globodera spp.) ASAL WONOSOBO DAN BANJARNEGARA JAWA TENGAH T E S I S Oleh DANI SUTANTA S 107001010/MAET PROGRAM MAGISTER AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berbentuk semak, termasuk Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae,

BAB I PENDAHULUAN. yang berbentuk semak, termasuk Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan tanaman semusim yang berbentuk semak, termasuk Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, Kelas Dicotyledonae, Ordo

Lebih terperinci

UJI KETAHANAN BEBERAPA NOMER KENTANG (Solanum tuberosum Linn.) TERHADAP SERANGAN NEMATODA SISTA KENTANG (Globodera rostochiensis Woll.

UJI KETAHANAN BEBERAPA NOMER KENTANG (Solanum tuberosum Linn.) TERHADAP SERANGAN NEMATODA SISTA KENTANG (Globodera rostochiensis Woll. UJI KETAHANAN BEBERAPA NOMER KENTANG (Solanum tuberosum Linn.) TERHADAP SERANGAN NEMATODA SISTA KENTANG (Globodera rostochiensis Woll.) SKRIPSI Oleh Rudal Agung Wahyudi NIM. 051510401063 JURUSAN HAMA DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan jagung yang mendapatkan prioritas dalam pengembangannya di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dan jagung yang mendapatkan prioritas dalam pengembangannya di Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kentang merupakan salah satu pangan utama dunia setelah padi, gandum dan jagung yang mendapatkan prioritas dalam pengembangannya di Indonesia (Wattimena, 2000 dalam

Lebih terperinci

SEBARAN SPESIES NEMATODA SISTA KENTANG

SEBARAN SPESIES NEMATODA SISTA KENTANG SEBARAN SPESIES NEMATODA SISTA KENTANG (Globodera pallida (Stone) Behrens dan Globodera rostochiensis (Woll.) Behrens) BERDASARKAN KETINGGIAN TEMPAT DI DATARAN TINGGI DIENG JAWA TENGAH NURJANAH SEKOLAH

Lebih terperinci

PEMANTAUAN DAN KAJIAN KEBERADAAN KUMBANG KHAPRA,

PEMANTAUAN DAN KAJIAN KEBERADAAN KUMBANG KHAPRA, PEMANTAUAN DAN KAJIAN KEBERADAAN KUMBANG KHAPRA, Trogoderma granarium Everts., (COLEOPTERA: DERMESTIDAE) DAN HAMA GUDANG LAINNYA DI WILAYAH DKI JAKARTA, BEKASI, SERANG, DAN CILEGON MORISA PURBA SEKOLAH

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Kentang

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Kentang 4 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Kentang Sejarah Awal mulanya kentang diintroduksi dari Amerika Selatan ke Spanyol sekitar tahun 1570. Penerimaan masyarakat Spanyol menyebabkan penanaman dan distribusi kentang

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mencapai Derajat Sarjana S-1. Disusun oleh : Adwin Baraji Nugraha

SKRIPSI. Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mencapai Derajat Sarjana S-1. Disusun oleh : Adwin Baraji Nugraha PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK GULMA DENGAN BERBAGAI FREKUENSI APLIKASI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN KENTANG (Solanum tuberosum L.) DI DAERAH ENDEMIK NEMATODA SISTA KUNING SKRIPSI Diajukan untuk

Lebih terperinci

PENGARUH TEMPERATUR TERHADAP PERKEMBANGAN NEMATODA SISTA KENTANG (GLOBODERA SPP.) INDONESIA

PENGARUH TEMPERATUR TERHADAP PERKEMBANGAN NEMATODA SISTA KENTANG (GLOBODERA SPP.) INDONESIA J. Lisnawita HPT Tropika. et al. ISSN 1411-7525 Pengaruh Temperatur Terhadap Perkembangan Nematoda 29 Vol. 1, No. 1: 29 34, Maret 21 PENGARUH TEMPERATUR TERHADAP PERKEMBANGAN NEMATODA SISTA KENTANG (GLOBODERA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai komoditas ekspor dan bahan baku industri pangan. Prioritas pengembangan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai komoditas ekspor dan bahan baku industri pangan. Prioritas pengembangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan salah satu komoditas sayuran umbi yang sangat potensial sebagai sumber karbohidrat dan mempunyai arti penting dalam perekonomian

Lebih terperinci

PREVALENSI SPESIES NEMATODA SISTA KENTANG (Globodera spp.) DI DATARAN TINGGI DIENG, JAWA TENGAH USHWANUURI RACHMADHANI LESTARI

PREVALENSI SPESIES NEMATODA SISTA KENTANG (Globodera spp.) DI DATARAN TINGGI DIENG, JAWA TENGAH USHWANUURI RACHMADHANI LESTARI PREVALENSI SPESIES NEMATODA SISTA KENTANG (Globodera spp.) DI DATARAN TINGGI DIENG, JAWA TENGAH USHWANUURI RACHMADHANI LESTARI DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terpenting ke-4 di dunia setelah gandum, jagung dan beras (Rowe, 1993 dalam

BAB I PENDAHULUAN. terpenting ke-4 di dunia setelah gandum, jagung dan beras (Rowe, 1993 dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan bahan pangan yang terpenting ke-4 di dunia setelah gandum, jagung dan beras (Rowe, 1993 dalam Fitriyani, 2009). Kentang mengandung

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN TOLERANSI MELASTOMA TERHADAP ANTIBIOTIK KANAMISIN DAN HIGROMISIN SECARA IN VITRO NANI SUMARNI

PERTUMBUHAN DAN TOLERANSI MELASTOMA TERHADAP ANTIBIOTIK KANAMISIN DAN HIGROMISIN SECARA IN VITRO NANI SUMARNI PERTUMBUHAN DAN TOLERANSI MELASTOMA TERHADAP ANTIBIOTIK KANAMISIN DAN HIGROMISIN SECARA IN VITRO NANI SUMARNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PENGARUH BENTUK DAN KETINGGIAN PERANGKAP STICKY TRAP KUNING TERHADAP LALAT BUAH

PENGARUH BENTUK DAN KETINGGIAN PERANGKAP STICKY TRAP KUNING TERHADAP LALAT BUAH PENGARUH BENTUK DAN KETINGGIAN PERANGKAP STICKY TRAP KUNING TERHADAP LALAT BUAH (Bactrocera spp.) (Diptera:Tephritidae) PADA TANAMAN TOMAT ( Solanum lycopersicum Mill.) DI DATARAN RENDAH SKRIPSI OLEH :

Lebih terperinci

HUBUNGAN NEMATODA PARASIT DENGAN TINGKAT KEPARAHAN PENYAKIT LAYU MWP (Mealybug wilt of pineapple) PADA NANAS (Ananas comosus L.

HUBUNGAN NEMATODA PARASIT DENGAN TINGKAT KEPARAHAN PENYAKIT LAYU MWP (Mealybug wilt of pineapple) PADA NANAS (Ananas comosus L. HUBUNGAN NEMATODA PARASIT DENGAN TINGKAT KEPARAHAN PENYAKIT LAYU MWP (Mealybug wilt of pineapple) PADA NANAS (Ananas comosus L. Merr) ISMAWARDANI NURMAHAYU PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertinggi kedua setelah sereal. Di Indonesia kentang juga merupakan komoditas

BAB I PENDAHULUAN. tertinggi kedua setelah sereal. Di Indonesia kentang juga merupakan komoditas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kentang (Solanum tuberosum) merupakan bahan pangan yang terpenting ke-4 di dunia setelah gandum, jagung dan beras dan mengandung nilai karbohidrat tertinggi kedua setelah

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN KUBIS PADA TIGA SISTEM BUDI DAYA A. MUBARRAK

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN KUBIS PADA TIGA SISTEM BUDI DAYA A. MUBARRAK PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN KUBIS PADA TIGA SISTEM BUDI DAYA A. MUBARRAK SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK A. MUBARRAK. Perkembangan Hama dan Penyakit Tanaman

Lebih terperinci

ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI

ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANGG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI YOLANDA FITRIA SYAHRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

SKRIPSI KELIMPAHAN POPULASI WERENG BATANG COKLAT PADA BEBERAPA VARIETAS PADI DENGAN PEMBERIAN ZEOLIT DAN PENERAPAN KONSEP PHT

SKRIPSI KELIMPAHAN POPULASI WERENG BATANG COKLAT PADA BEBERAPA VARIETAS PADI DENGAN PEMBERIAN ZEOLIT DAN PENERAPAN KONSEP PHT SKRIPSI KELIMPAHAN POPULASI WERENG BATANG COKLAT PADA BEBERAPA VARIETAS PADI DENGAN PEMBERIAN ZEOLIT DAN PENERAPAN KONSEP PHT Oleh Ndaru Priasmoro H0709078 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

FITOPATOLOGI. Ketua Program Studi / Koordinator Mayor: Sri Hendrastuti Hidayat. Staf Pengajar: Tujuan Pendidikan. Kompetensi Lulusan S2

FITOPATOLOGI. Ketua Program Studi / Koordinator Mayor: Sri Hendrastuti Hidayat. Staf Pengajar: Tujuan Pendidikan. Kompetensi Lulusan S2 Meraih masa depan berkualitas bersama Sekolah Pascasarjana IPB FITOPATOLOGI Ketua Program Studi / Koordinator Mayor: Staf Pengajar: Abdjad Asih Nawangsih Abdul Muin Adnan Abdul Munif Bonny Poernomo Wahyu

Lebih terperinci

CARA APLIKASI Trichoderma spp. UNTUK MENEKAN INFEKSI BUSUK PANGKAL BATANG (Athelia rolfsii (Curzi)) PADA BEBERAPA VARIETAS KEDELAI DI RUMAH KASSA

CARA APLIKASI Trichoderma spp. UNTUK MENEKAN INFEKSI BUSUK PANGKAL BATANG (Athelia rolfsii (Curzi)) PADA BEBERAPA VARIETAS KEDELAI DI RUMAH KASSA CARA APLIKASI Trichoderma spp. UNTUK MENEKAN INFEKSI BUSUK PANGKAL BATANG (Athelia rolfsii (Curzi)) PADA BEBERAPA VARIETAS KEDELAI DI RUMAH KASSA SKRIPSI OLEH: RAFIKA HUSNA 110301021/AGROEKOTEKNOLOGI PROGRAM

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ABSTRAK. : Capsicum annuum L, Chromoloena odorata L, Lantana camara L. Meloidoyne spp dan Piper betle L.

ABSTRAK. : Capsicum annuum L, Chromoloena odorata L, Lantana camara L. Meloidoyne spp dan Piper betle L. ABSTRAK Magna Dwipayana. NIM 1105105018. Uji Efektifitas Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L.),Kirinyuh (Chromoloena odorata L) Dan Tembelekan (Lantana camara L.)Terhadap Populasi Nematoda Puru Akar (Meloidogyne

Lebih terperinci

Strategi Pengendalian Terpadu Nematoda Sista Kentang (Globodera rostochiensis) pada Tanaman Kentang

Strategi Pengendalian Terpadu Nematoda Sista Kentang (Globodera rostochiensis) pada Tanaman Kentang Strategi Pengendalian Terpadu Nematoda Sista Kentang (Globodera rostochiensis) pada Tanaman Kentang Kentang (Solanum tuberosum L) merupakan komoditas hortikultura jenis sayuran umbi penting di Indonesia

Lebih terperinci

Ralstonia solanacearum

Ralstonia solanacearum NAMA : Zuah Eko Mursyid Bangun NIM : 6030066 KELAS : AET-2A Ralstonia solanacearum (Bakteri penyebab penyakit layu). Klasifikasi Kingdom : Prokaryotae Divisi : Gracilicutes Subdivisi : Proteobacteria Famili

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda Entomopatogen

TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda Entomopatogen 3 TINJAUAN PUSTAKA Nematoda Entomopatogen 1. Taksonomi dan Karakter Morfologi Nematoda entomopatogen tergolong dalam famili Steinernematidae dan Heterorhabditidae termasuk dalam kelas Secernenta, super

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi nematoda Meloidogyne spp. adalah sebagai berikut

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi nematoda Meloidogyne spp. adalah sebagai berikut TINJAUAN PUSTAKA Nematoda Puru Akar (Meloidogyne spp.) Klasifikasi Klasifikasi nematoda Meloidogyne spp. adalah sebagai berikut (Dropkin, 1991) : Filum Kelas Sub Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Nematoda

Lebih terperinci

PERANAN Pratylenchus spp. DALAM MENGINDUKSI PENYAKIT LAYU MWP (Mealybug Wilt of Pineapple) PADA TANAMAN NANAS (Ananas comosus L.

PERANAN Pratylenchus spp. DALAM MENGINDUKSI PENYAKIT LAYU MWP (Mealybug Wilt of Pineapple) PADA TANAMAN NANAS (Ananas comosus L. PERANAN Pratylenchus spp. DALAM MENGINDUKSI PENYAKIT LAYU MWP (Mealybug Wilt of Pineapple) PADA TANAMAN NANAS (Ananas comosus L. Merr) Oleh: AFIF FERDIANTO A44103058 PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beras, jagung dan gandum (Samadi, 1997). Mengacu pada program pemerintah akan

BAB I PENDAHULUAN. beras, jagung dan gandum (Samadi, 1997). Mengacu pada program pemerintah akan 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kentang merupakan salah satu jenis tanaman hortikultura yang bernilai ekonomis tinggi. Sebagai sumber karbohidrat, kentang merupakan sumber bahan pangan yang dapat

Lebih terperinci

SEBARAN SPESIES NEMATODA SISTA KENTANG

SEBARAN SPESIES NEMATODA SISTA KENTANG SEBARAN SPESIES NEMATODA SISTA KENTANG (Globodera pallida (Stone) Behrens dan Globodera rostochiensis (Woll.) Behrens) BERDASARKAN KETINGGIAN TEMPAT DI DATARAN TINGGI DIENG JAWA TENGAH NURJANAH SEKOLAH

Lebih terperinci

TUNGAU PADA TANAMAN STROBERI. Oleh: NURFITRI YULIANAH A

TUNGAU PADA TANAMAN STROBERI. Oleh: NURFITRI YULIANAH A TUNGAU PADA TANAMAN STROBERI Oleh: NURFITRI YULIANAH A44103045 PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ABSTRAK NURFITRI YULIANAH. Tungau pada Tanaman

Lebih terperinci

BALAI BESAR PERAMALAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN

BALAI BESAR PERAMALAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN Filum: Nematoda, Kelas: Secernentea, Ordo: Tylenchida, Superfamili: Heteroderoidae, Famili: Heteroderidae, Subfamili: Heteroderinae, Genus: Globodera, Spesies: G. rostochiensis Oleh: Edi Suwardiwijaya

Lebih terperinci

NARWIYAN AET PEMULIAAN TANAMAN

NARWIYAN AET PEMULIAAN TANAMAN SEBARAN NORMAL KARAKTER-KARAKTER PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI HASIL PERSILANGAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merril) VARIETAS ANJASMORO DENGAN GENOTIPA KEDELAI TAHAN SALIN PADA F2 SKRIPSI OLEH : NARWIYAN

Lebih terperinci

ISOLASI DAN UJI ANTAGONIS BAKTERI RESISTEN ANTIBIOTIK DARI TAMBAK UDANG TERHADAP BAKTERI PENYEBAB PENYAKIT VIBRIOSIS TESIS

ISOLASI DAN UJI ANTAGONIS BAKTERI RESISTEN ANTIBIOTIK DARI TAMBAK UDANG TERHADAP BAKTERI PENYEBAB PENYAKIT VIBRIOSIS TESIS ISOLASI DAN UJI ANTAGONIS BAKTERI RESISTEN ANTIBIOTIK DARI TAMBAK UDANG TERHADAP BAKTERI PENYEBAB PENYAKIT VIBRIOSIS TESIS Mariany Razali 087030016 Biologi / Mikrobiologi PROGRAM MAGISTER BIOLOGI FAKULTAS

Lebih terperinci

PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN PISANG (Musa paradisiaca L.) SECARA KULTUR TEKNIS DAN HAYATI MIFTAHUL HUDA

PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN PISANG (Musa paradisiaca L.) SECARA KULTUR TEKNIS DAN HAYATI MIFTAHUL HUDA PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN PISANG (Musa paradisiaca L.) SECARA KULTUR TEKNIS DAN HAYATI MIFTAHUL HUDA DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 ABSTRAK MIFTAHUL

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kentang

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kentang 4 TINJAUAN PUSTAKA Botani Kentang Tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) dikenal sebagai The King of Vegetable dan produksinya menempati urutan keempat dunia setelah beras, gandum dan jagung (The International

Lebih terperinci

UJI KETAHANAN BEBERAPA GENOTIPE TANAMAN KARET TERHADAP PENYAKIT Corynespora cassiicola DAN Colletotrichum gloeosporioides DI KEBUN ENTRES SEI PUTIH

UJI KETAHANAN BEBERAPA GENOTIPE TANAMAN KARET TERHADAP PENYAKIT Corynespora cassiicola DAN Colletotrichum gloeosporioides DI KEBUN ENTRES SEI PUTIH UJI KETAHANAN BEBERAPA GENOTIPE TANAMAN KARET TERHADAP PENYAKIT Corynespora cassiicola DAN Colletotrichum gloeosporioides DI KEBUN ENTRES SEI PUTIH SKRIPSI OLEH : INTAN PURNAMASARI 090301178 AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kacang panjang (Vigna sinensis L.) merupakan salah satu sayuran yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kacang panjang (Vigna sinensis L.) merupakan salah satu sayuran yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kacang panjang (Vigna sinensis L.) merupakan salah satu sayuran yang sering ditemui di pasar tradisional dan merupakan komoditas yang dapat dikembangkan untuk perbaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tuberosum dari family Solanaceae. Kentang juga termasuk salah satu pangan. pengembangannya di Indonesia (Suwarno, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. tuberosum dari family Solanaceae. Kentang juga termasuk salah satu pangan. pengembangannya di Indonesia (Suwarno, 2008). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Balakang Kentang merupakan bahan pangan dari umbi tanaman perennial Solanum tuberosum dari family Solanaceae. Kentang juga termasuk salah satu pangan utama dunia setelah padi,

Lebih terperinci

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL (Kasus di Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat) HENDRO ASMORO SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI

KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA PADA AREAL TANAMAN KELAPA SAWIT (STUDI KASUS DI PTPN III KEBUN BATANG TORU KABUPATEN TAPANULI SELATAN) TESIS

KEANEKARAGAMAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA PADA AREAL TANAMAN KELAPA SAWIT (STUDI KASUS DI PTPN III KEBUN BATANG TORU KABUPATEN TAPANULI SELATAN) TESIS KEANEKARAGAMAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA PADA AREAL TANAMAN KELAPA SAWIT (STUDI KASUS DI PTPN III KEBUN BATANG TORU KABUPATEN TAPANULI SELATAN) TESIS Oleh NABILAH SIREGAR 117030049/BIO PROGRAM PASCASARJANA

Lebih terperinci

KEEFEKTIVAN KOMUNIKASI MASYARAKAT ACEH DI BOGOR MENGENAI PENGELOLAAN DAMPAK TSUNAMI YUSNIDAR

KEEFEKTIVAN KOMUNIKASI MASYARAKAT ACEH DI BOGOR MENGENAI PENGELOLAAN DAMPAK TSUNAMI YUSNIDAR KEEFEKTIVAN KOMUNIKASI MASYARAKAT ACEH DI BOGOR MENGENAI PENGELOLAAN DAMPAK TSUNAMI YUSNIDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK YUSNIDAR. Keefektivan Komunikasi Masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tersebar di wilayah tropis dan subtropis. Dalam skala internasional, pisang

BAB I PENDAHULUAN. yang tersebar di wilayah tropis dan subtropis. Dalam skala internasional, pisang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman pisang (Musa spp.) merupakan tanaman monokotil berupa herba yang tersebar di wilayah tropis dan subtropis. Dalam skala internasional, pisang menduduki posisi

Lebih terperinci

MENGENAL LEBIH DEKAT PENYAKIT LAYU BEKTERI Ralstonia solanacearum PADA TEMBAKAU

MENGENAL LEBIH DEKAT PENYAKIT LAYU BEKTERI Ralstonia solanacearum PADA TEMBAKAU PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO DINAS PERKEBUNAN DAN KEHUTANAN JL. RAYA DRINGU 81 TELPON 0335-420517 PROBOLINGGO 67271 MENGENAL LEBIH DEKAT PENYAKIT LAYU BEKTERI Ralstonia solanacearum PADA TEMBAKAU Oleh

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK ORGANIK DAN ANORGANIK

ANALISIS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK ORGANIK DAN ANORGANIK ANALISIS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK ORGANIK DAN ANORGANIK FEBRIANI BANGUN 060307025 DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS

Lebih terperinci

DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010

DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010 PENGGUNAAN JAMUR ANTAGONIS Gliocladium virens Miller UNTUK MENGHAMBAT PERTUMBUHAN PENYAKIT Fusarium oxysporum f. sp. passiflora PADA PEMBIBITAN MARKISA DI RUMAH KASSA SKRIPSI OLEH: SULASTRY SIMANJUNTAK

Lebih terperinci

PENGUJIAN KETAHANAN KULTIVAR KENTANG TERHADAP NEMATODA SISTA KUNING (Globodera rostochiensis)

PENGUJIAN KETAHANAN KULTIVAR KENTANG TERHADAP NEMATODA SISTA KUNING (Globodera rostochiensis) LAPORAN PENELITIAN PENGUJIAN KETAHANAN KULTIVAR KENTANG TERHADAP NEMATODA SISTA KUNING (Globodera rostochiensis) OLEH : TOTO SUNARTO, IR., MP. LUCIANA DJAJA, IR. HERSANTI, IR., MP. DIBIAYAI OLEH DIREKTORAT

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN PUPUK KANDANG SAPI DENGAN BEBERAPA CARA PENGENDALIAN GULMA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI (Oryza sativa L.

PENGARUH PEMBERIAN PUPUK KANDANG SAPI DENGAN BEBERAPA CARA PENGENDALIAN GULMA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI (Oryza sativa L. PENGARUH PEMBERIAN PUPUK KANDANG SAPI DENGAN BEBERAPA CARA PENGENDALIAN GULMA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI (Oryza sativa L.) METODE SRI SKRIPSI OLEH : ADIFA OLAN I. SIMATUPANG 040301004 DEPARTEMEN

Lebih terperinci

PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING

PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING (Kasus Kelompok Tani Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok) DIARSI EKA YANI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

PEMANFAATAN KOMPOS DAN ZEOLIT UNTUK PENGENDALIAN BUSUK PANGKAL BATANG (BPB) PADA TANAMAN LADA JEKVY HENDRA

PEMANFAATAN KOMPOS DAN ZEOLIT UNTUK PENGENDALIAN BUSUK PANGKAL BATANG (BPB) PADA TANAMAN LADA JEKVY HENDRA PEMANFAATAN KOMPOS DAN ZEOLIT UNTUK PENGENDALIAN BUSUK PANGKAL BATANG (BPB) PADA TANAMAN LADA JEKVY HENDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Solanum tuberosum L. atau yang dikenal dengan kentang merupakan salah satu dari lima makanan pokok dunia sebagai sumber karbohidrat. Kelima makanan pokok tersebut adalah

Lebih terperinci

Universitas Gadjah Mada

Universitas Gadjah Mada 5. Bioekologi 5.1. Gerak (movement) Nematoda seringkali disebut sebagai aquatic animal, karena pada dasarnya untuk keperluan gerak sangat tergantung adanya film air. Film air bagi nematoda tidak saja berfungsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Cabai rawit (Capsicum frutescens) merupakan salah satu sayuran penting

I. PENDAHULUAN. Cabai rawit (Capsicum frutescens) merupakan salah satu sayuran penting I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cabai rawit (Capsicum frutescens) merupakan salah satu sayuran penting terutama daerah tropis dan subtropis. Tanaman ini dapat digunakan sebagai bahan bumbu masak (rempah-rempah),

Lebih terperinci

KOMPETENSI PETANI JAGUNG DALAM BERUSAHATANI DI LAHAN GAMBUT: KASUS PETANI JAGUNG DI LAHAN GAMBUT DI DESA LIMBUNG KABUPATEN PONTIANAK KALIMANTAN BARAT

KOMPETENSI PETANI JAGUNG DALAM BERUSAHATANI DI LAHAN GAMBUT: KASUS PETANI JAGUNG DI LAHAN GAMBUT DI DESA LIMBUNG KABUPATEN PONTIANAK KALIMANTAN BARAT KOMPETENSI PETANI JAGUNG DALAM BERUSAHATANI DI LAHAN GAMBUT: KASUS PETANI JAGUNG DI LAHAN GAMBUT DI DESA LIMBUNG KABUPATEN PONTIANAK KALIMANTAN BARAT M A L T A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA STRUKTUR UMUR INFEKSI VIRUS HIV DENGAN KOMBINASI TERAPI OBAT MUHAMMAD BUWING

MODEL MATEMATIKA STRUKTUR UMUR INFEKSI VIRUS HIV DENGAN KOMBINASI TERAPI OBAT MUHAMMAD BUWING MODEL MATEMATIKA STRUKTUR UMUR INFEKSI VIRUS HIV DENGAN KOMBINASI TERAPI OBAT MUHAMMAD BUWING SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS VIDEO INSTRUKSIONAL DALAM DISEMINASI INFORMASI PERTANIAN

EFEKTIVITAS VIDEO INSTRUKSIONAL DALAM DISEMINASI INFORMASI PERTANIAN EFEKTIVITAS VIDEO INSTRUKSIONAL DALAM DISEMINASI INFORMASI PERTANIAN (Eksperimen Lapangan : Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao (PBK) pada Petani Kakao di Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah) MUHAMMAD

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tanaman jagung yang dalam bahasa ilmiahnya disebut Zea mays L.,

PENDAHULUAN. Tanaman jagung yang dalam bahasa ilmiahnya disebut Zea mays L., 13 PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman jagung yang dalam bahasa ilmiahnya disebut Zea mays L., adalah salah satu jenis tanaman biji-bijian yang menurut sejarahnya berasal dari Amerika. Orang-orang Eropa

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption.

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption. ABSTRACT ESWA TRESNAWATI. The Life Cycle and Growth of Graphium agamemnon L. and Graphium doson C&R. Butterflies (Papilionidae: Lepidoptera) Fed by Cempaka (Michelia champaca) and Soursoup (Annona muricata).

Lebih terperinci

SELEKSI NEMATODA PARASIT SERANGGA DARI TANAH DIPERTANAMAN KAKAO DI LABORATORIUM SKRIPSI

SELEKSI NEMATODA PARASIT SERANGGA DARI TANAH DIPERTANAMAN KAKAO DI LABORATORIUM SKRIPSI SELEKSI NEMATODA PARASIT SERANGGA DARI TANAH DIPERTANAMAN KAKAO DI LABORATORIUM SKRIPSI Oleh HENDRIKA SAHAT MANGAPUL SIAGIAN NIM 061510401079 JURUSAN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PADA PRODUKSI BIODIESEL BERBAHAN BAKU CPO (Crude Palm oil) RISWANTI SIGALINGGING

ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PADA PRODUKSI BIODIESEL BERBAHAN BAKU CPO (Crude Palm oil) RISWANTI SIGALINGGING ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PADA PRODUKSI BIODIESEL BERBAHAN BAKU CPO (Crude Palm oil) RISWANTI SIGALINGGING SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 i PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010

DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010 PENGARUH PEMBERIAN FUNGISIDA BOTANI TERHADAP INTENSITAS PENYAKIT HAWAR DAUN (Phytophthora infestans (Mont.) de Barry) PADA TANAMAN KENTANG (Solanum tuberosum L.) DI LAPANGAN SKRIPSI OLEH: NOVA FRYANTI

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER LATHIFATURRAHMAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER

Lebih terperinci

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kentang (Solanum tuberosum L.) adalah tanaman pangan utama keempat dunia setelah

I. PENDAHULUAN. Kentang (Solanum tuberosum L.) adalah tanaman pangan utama keempat dunia setelah 18 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kentang (Solanum tuberosum L.) adalah tanaman pangan utama keempat dunia setelah gandum, jagung dan padi. Di Indonesia kentang merupakan komoditas hortikultura yang

Lebih terperinci

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

No. 03 Hasil Penelitian Tahun Anggaran 2010

No. 03 Hasil Penelitian Tahun Anggaran 2010 No. 03 Hasil Penelitian Tahun Anggaran 2010 Perakitan Varietas Kentang Berdaya Hasil Tinggi (> 30 ton/ha), Kualitas Olahan (Specific Gravity > 1.067), Adaptif di Dataran Medium (500 m dpl), dan Toleran

Lebih terperinci

HUBUNGAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN PERILAKU BERCOCOK TANAM PADI SAWAH

HUBUNGAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN PERILAKU BERCOCOK TANAM PADI SAWAH HUBUNGAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN PERILAKU BERCOCOK TANAM PADI SAWAH (Kasus Desa Waimital Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat) RISYAT ALBERTH FAR FAR SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp.

INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp. INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp. GENERASI F0 BAMBANG KUSMAYADI GUNAWAN SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Abstract. Thesis (2010), Master s program In Biology, School of Live Sciences and Technology-ITB,

Abstract. Thesis (2010), Master s program In Biology, School of Live Sciences and Technology-ITB, Virulence selection of Phytophthora infestans ( Mont. ) de Bary population in West Java to transformed potato plant (Solanum tuberosum L.) containing RB gene Student : Hani Susanti Thesis (2010), Master

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan tanaman asli daratan Cina dan telah dibudidayakan sejak 2500

1. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan tanaman asli daratan Cina dan telah dibudidayakan sejak 2500 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kedelai merupakan tanaman asli daratan Cina dan telah dibudidayakan sejak 2500 SM. Sejalan dengan makin berkembangnya perdagangan antarnegara yang terjadi pada

Lebih terperinci

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

TAHLIYATIN WARDANAH A

TAHLIYATIN WARDANAH A PEMANFAATAN BAKTERI PERAKARAN PEMACU PERTUMBUHAN TANAMAN (PLANT GROWTH- PROMOTING RHIZOBACTERIA) UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT MOSAIK TEMBAKAU (TOBACCO MOSAIC VIRUS) PADA TANAMAN CABAI TAHLIYATIN WARDANAH

Lebih terperinci

Diselenggarakan Oleh LPPM UPN Veteran Jawa Timur

Diselenggarakan Oleh LPPM UPN Veteran Jawa Timur APLIKASI TEKNOLOGI PRODUKSI MASSAL NEMATODA ENTOMOPATOGEN SEBAGAI BIOPESTISIDA HAMA WERENG PADA KELOMPOK TANI PADI DI KECAMATAN REMBANG, KABUPATEN PASURUAN Sri Rahayuningtias dan Nugrohorini Progdi Agroteknologi

Lebih terperinci

RESPONS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS UBI JALAR (Ipomoea batatas L. Lam) TERHADAP PEMBERIAN KOMPOS JERAMI PADI SKRIPSI OLEH:

RESPONS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS UBI JALAR (Ipomoea batatas L. Lam) TERHADAP PEMBERIAN KOMPOS JERAMI PADI SKRIPSI OLEH: RESPONS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS UBI JALAR (Ipomoea batatas L. Lam) TERHADAP PEMBERIAN KOMPOS JERAMI PADI SKRIPSI OLEH: ANDI SYAHPUTRA 110301004 BUDIDAYA PERTANIAN DAN PERKEBUNAN PROGRAM

Lebih terperinci

PENGARUH LAMANYA INOKULASI

PENGARUH LAMANYA INOKULASI PENGARUH LAMANYA INOKULASI Sturmiopsis inferens Town (Diptera: Tachinidae) TERHADAP JUMLAH INANG Phragmatoecia castaneae Hubner (Lepidoptera: Cossidae) DI LABORATORIUM SKRIPSI OLEH : TETRA FEBRYANDI SAGALA

Lebih terperinci

PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH

PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN BEBERAPA TEKNIK PENGENDALIAN HAMA TERPADU

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN BEBERAPA TEKNIK PENGENDALIAN HAMA TERPADU KELEBIHAN DAN KEKURANGAN BEBERAPA TEKNIK PENGENDALIAN HAMA TERPADU TUGAS Oleh RINI SULISTIANI 087001021 SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N 2 0 0 8 1. Pendahuluan Pengendalian hama

Lebih terperinci

SKRIPSI KETAHANAN BEBERAPA VARIETAS PADI TERHADAP HAWAR PELEPAH DI LEMPONG JENAWI KARANGANYAR. Oleh MAYANG SARI H

SKRIPSI KETAHANAN BEBERAPA VARIETAS PADI TERHADAP HAWAR PELEPAH DI LEMPONG JENAWI KARANGANYAR. Oleh MAYANG SARI H SKRIPSI KETAHANAN BEBERAPA VARIETAS PADI TERHADAP HAWAR PELEPAH DI LEMPONG JENAWI KARANGANYAR Oleh MAYANG SARI H0708127 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

Lebih terperinci

DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N POTENSI Trichoderma harzianum Rifai DAN KOMPOS UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT BUSUK DAUN (Phytophthora infestans (Mont.) de Barry) PADA TANAMAN TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill.) SKRIPSI OLEH: RIKA ESTRIA

Lebih terperinci

PENGARUH APLIKASI STARTER SOLUTION PADA TIGA GENOTIPE CABAI (Capsicum annuum L.) TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN SERTA KEJADIAN PENYAKIT PENTING CABAI

PENGARUH APLIKASI STARTER SOLUTION PADA TIGA GENOTIPE CABAI (Capsicum annuum L.) TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN SERTA KEJADIAN PENYAKIT PENTING CABAI PENGARUH APLIKASI STARTER SOLUTION PADA TIGA GENOTIPE CABAI (Capsicum annuum L.) TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN SERTA KEJADIAN PENYAKIT PENTING CABAI Triyani Dumaria DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KERAPATAN POPULASI Globodera spp. DENGAN TINGKAT KEPARAHAN PENYAKIT DAN HASIL UMBI PADA TANAMAN KENTANG SELAMET

HUBUNGAN ANTARA KERAPATAN POPULASI Globodera spp. DENGAN TINGKAT KEPARAHAN PENYAKIT DAN HASIL UMBI PADA TANAMAN KENTANG SELAMET HUBUNGAN ANTARA KERAPATAN POPULASI Globodera spp. DENGAN TINGKAT KEPARAHAN PENYAKIT DAN HASIL UMBI PADA TANAMAN KENTANG SELAMET SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

MOTIVASI PETANI DALAM MENERAPKAN TEKNOLOGI PRODUKSI KAKAO (KASUS KECAMATAN SIRENJA KABUPATEN DONGGALA, SULAWESI TENGAH) SYAMSYIAH GAFUR

MOTIVASI PETANI DALAM MENERAPKAN TEKNOLOGI PRODUKSI KAKAO (KASUS KECAMATAN SIRENJA KABUPATEN DONGGALA, SULAWESI TENGAH) SYAMSYIAH GAFUR MOTIVASI PETANI DALAM MENERAPKAN TEKNOLOGI PRODUKSI KAKAO (KASUS KECAMATAN SIRENJA KABUPATEN DONGGALA, SULAWESI TENGAH) SYAMSYIAH GAFUR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium cepa L. Aggregatum group) salah satu komoditas sayuran penting di Asia Tenggara karena seringkali

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium cepa L. Aggregatum group) salah satu komoditas sayuran penting di Asia Tenggara karena seringkali I. PENDAHULUAN 1. Latar belakang Bawang merah (Allium cepa L. Aggregatum group) merupakan salah satu komoditas sayuran penting di Asia Tenggara karena seringkali digunakan sebagai bahan penyedap masakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) tunggal, dengan

Lebih terperinci

HUBUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DENGAN PEMASARAN KERUPUK IKAN HASIL HOME INDUSTRY PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN TUBAN

HUBUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DENGAN PEMASARAN KERUPUK IKAN HASIL HOME INDUSTRY PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN TUBAN HUBUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DENGAN PEMASARAN KERUPUK IKAN HASIL HOME INDUSTRY PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN TUBAN NONO SAMPONO SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

ANALISIS KETAHANAN DAN APLIKASINYA UNTUK PEMODELAN INTERVAL KELAHIRAN ANAK PERTAMA HARNANTO

ANALISIS KETAHANAN DAN APLIKASINYA UNTUK PEMODELAN INTERVAL KELAHIRAN ANAK PERTAMA HARNANTO ANALISIS KETAHANAN DAN APLIKASINYA UNTUK PEMODELAN INTERVAL KELAHIRAN ANAK PERTAMA HARNANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI

MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tanaman jagung di Indonesia mencapai lebih dari 3,8 juta hektar, sementara produksi

I. PENDAHULUAN. tanaman jagung di Indonesia mencapai lebih dari 3,8 juta hektar, sementara produksi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan salah satu komoditas pertanian yang sangat penting. Lahan tanaman jagung di Indonesia mencapai lebih dari 3,8 juta hektar, sementara produksi jagung tahun

Lebih terperinci

PENGENDALIAN BIOLOGI NEMATODA PURU AKAR ( Meloidogyne spp. ) PADA TANAMAN TOMAT ( Lycopersicum esculentum Mill ) SKRIPSI. Oleh

PENGENDALIAN BIOLOGI NEMATODA PURU AKAR ( Meloidogyne spp. ) PADA TANAMAN TOMAT ( Lycopersicum esculentum Mill ) SKRIPSI. Oleh PENGENDALIAN BIOLOGI NEMATODA PURU AKAR ( Meloidogyne spp. ) PADA TANAMAN TOMAT ( Lycopersicum esculentum Mill ) SKRIPSI Oleh JOY W HASUDUNGAN P 040302030/HPT DEPARTEMEN ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013 UJI EFEKTIFITAS NEMATODA ENTOMOPATOGEN Steinernema spp. SEBAGAI PENGENDALI PENGGEREK PUCUK KELAPA SAWIT (Oryctes rhinoceros L.) (Coleoptera : Scarabaidae) DI LABORATORIUM SKRIPSI Oleh : SELLY KHAIRUNNISA

Lebih terperinci

PENGARUH KOMPOSISI MEDIA LIMBAH PLTU TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN TOMAT DAN INTENSITAS SERANGAN PENYAKIT LAYU FUSARIUM

PENGARUH KOMPOSISI MEDIA LIMBAH PLTU TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN TOMAT DAN INTENSITAS SERANGAN PENYAKIT LAYU FUSARIUM PENGARUH KOMPOSISI MEDIA LIMBAH PLTU TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN TOMAT DAN INTENSITAS SERANGAN PENYAKIT LAYU FUSARIUM KARYA ILMIAH TERTULIS (SKRIPSI) Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan

Lebih terperinci