HUBUNGAN PRODUKTIVITAS FITOPLANKTON DENGAN KETERSEDIAAN UNSUR HARA BERKENAAN DENGAN BEBAN MASUKAN DARI SUNGAI DAN LAUT DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HUBUNGAN PRODUKTIVITAS FITOPLANKTON DENGAN KETERSEDIAAN UNSUR HARA BERKENAAN DENGAN BEBAN MASUKAN DARI SUNGAI DAN LAUT DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM"

Transkripsi

1 HUBUNGAN PRODUKTIVITAS FITOPLANKTON DENGAN KETERSEDIAAN UNSUR HARA BERKENAAN DENGAN BEBAN MASUKAN DARI SUNGAI DAN LAUT DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM FREDERIKA S. PELLO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

2

3 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Hubungan Produktivitas Fitoplankton dengan Ketersediaan Unsur Hara Berkenaan dengan Beban Masukan dari Sungai dan Laut di Perairan Teluk Ambon Dalam adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor,Febuari 2014 Frederika S. Pello NIM C

4

5 RINGKASAN FREDERIKA S. PELLO. Hubungan Produktivitas Fitoplankton dengan Ketersediaan Unsur Hara Berkenaan dengan Beban Masukan dari Sungai dan Laut di Perairan Teluk Ambon Dalam. Dibimbing oleh ENAN M.ADIWILAGA, NIETTE V.HULISELAN dan ARIO DAMAR Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi teluk, khususnya Teluk Ambon Dalam mendapat tekanan yang cukup berat, sehingga terjadi perubahan lingkungan perairan. Perubahan ini selanjutnya mempengaruhi organisme laut yang hidup di dalamnya. Salah satu organisme laut yang memegang peranan penting bagi produktivitas suatu perairan adalah komunitas plankton. Komunitas plankton memegang peranan penting dalam ekosistem di laut, karena plankton, khususnya fitoplankton merupakan dasar dari rantai makanan sehingga disebut produser primer. Sebagai produser primer, fitoplankton dapat membentuk materi organik dari materi anorganik melalui proses fotosintesis yang selanjutnya dapat dimanfaatkan secara langsung oleh organisme hidup lainnya. Tujuan dilakukan penelitian ini adalah 1) menganalisis perubahan musiman distribusi suhu, salinitas, dan densitas di perairan. 2) menganalisis hubungan antara tingkat intensitas cahaya dengan kekeruhan di perairan. 3) menganalisis tingkat beban masukan nutrien pada perairan dari sungai dan laut. 4) menganalisis distribusi spasial dan temporal komposisi dan kelimpahan fitoplankton di perairan. 5) menganalisis tingkat perubahan musiman produktivitas fitoplankton di perairan dan 6) mengkaji hubungan antara suksesi fitoplankton dengan perubahan rasio N dan P di perairan Teluk Ambon Dalam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa suhu, salinitas dan densitas pada Musim Timur lebih rendah. Pada Teluk Ambon Dalam terdapat stratifikasi suhu dan salinitas, sehingga tidak terjadi percampuran yang baik dari permukaan sampai dasar perairan. Musim sangat berpengaruh terhadap distribusi nutrien di perairan, lagi pula rata-rata konsentrasi amonia lebih tinggi pada Musim Timur yang mengindikasikan perairan tercemar limbah domestik. Rata-rata konsentrasi NO 3 -N terendah pada musim Barat (0,05 µm) dan tinggi pada musim Timur (0,55µM). Rata-rata konsentrasi nitrat di Musim Timur lebih rendah di Zona-1 dan tinggi di Zona-2. Pada Musim Timur konsentrasi fosfat tinggi, sehingga fosfat menstimulir pertumbuhan pesat (blooming) Trichodesmium di perairan. Rata-rata konsentrasi silika pada Musim Timur, Peralihan II, Barat dan Peralihan I berbeda sangat nyata, dengan konsentrasi terendah pada Musim Peralihan I (1,29 µm) dan tinggi pada Musim Timur (35,61 µm). Pada saat konsentrasi silika tinggi terdapat kelimpahan Bacillariophyceae yang rendah di Musim Timur. Pada Musim Peralihan II, Barat dan Peralihan I terjadi peningkatan kelimpahan Bacillariophyceae, bersamaan dengan menurunnya konsentrasi silika. Masukan nitrat dan fosfat dari Teluk Ambon Luar sangat besar pada Musim Timur dibandingkan dari sungai. Secara spasial dan temporal perairan Teluk Ambon Dalam berada dalam kondisi oligotrofik dan mesotrofik. Flushing time yang terjadi di Teluk Ambon Dalam selama 14 hari. Rata-rata konsentrasi klorofl-a pada Musim Timur, Peralihan II, Barat dan Peralihan I berbeda sangat nyata, konsentrasi terendah pada musim Barat ( 0,44

6 µg/l) dan tinggi pada musim Timur (0,94 µg/l). Pada musim Timur terjadi peningkatan klorofil-a tetapi kelimpahan fitoplankton rendah. Pada Musim Timur klorofil-a berkorelasi negatif dengan nitrat dan nitrit. Hal ini disebabkan peningkatan klorofil-a menyebabkan penurunan nitrat dan nitrit atau sebaliknya. Nilai produktivitas primer dipengaruhi oleh klorofil-a, sedangkan tidak dengan kelimpahan fitoplankton. Klorofil-a dengan produktivitas primer pada Musim Barat menunjukkan hubungan yang signifikan dengan nilai koefisien korelasi (r) sebesar Hal ini disebabkan saat pengambilan contoh fitoplankton maka fitoplankton yang berukuran ultra dan nano-fitoplankton lolos pada jaring plankton. Produktivitas primer sangat ditentukan oleh intensitas cahaya, suhu, unsur hara ( N, P, dan Si) serta klorofil-a. Pada Musim Barat, Peralihan I dan Peralihan II menunjukkan hubungan yang signifikan antara intensitas cahaya dengan produktivitas primer, hal ini menunjukkan bahwa peningkatan intensitas cahaya akan mempengaruhi produktivitas primer. Hubungan antara suhu dan produktivitas primer dengan nilai koefisien korelasi (r) adalah pada Musim Peralihan I. Pada Musim peralihan II terdapat hubungan yang signifikan antara DIN-N dan SiO 2 -Si dengan produktivitas primer dengan koefisien korelasi (r) berturut-turut sebesar dan 0.746; Sedangkan PO 4 -P dengan produktivitas primer menunjukkan hubungan yang tidak signifikan pada semua musim dengan nilai koefisien korelasi (r) lebih kecil dari 0.5. Hasil analisis terhadap komposisi fitoplankton ditemukan 4 kelas yaitu Bacillariophyceae dengan 38 genera, Dinophyceae dengan 12 genera, Cyanophyceae dengan 1 genus dan Chrysophyceae dengan 2 genera. Rata-rata kelimpahan fitoplankton pada Musim Timur, Peralihan II, Barat, dan Peralihan I berbeda sangat nyata, dengan kelimpahan terendah pada Musim Timur dan tinggi pada Musim Peralihan II. Peralihan dari Musim Timur ke Musim Peralihan II, Barat, dan Peralihan I terjadi suksesi jenis-jenis fitoplankton, yang disebabkan terjadinya perubahan rasio N dan P serta Si dan N. Kata kunci : produktivitas primer, fitoplankton, nutrien, suksesi, Teluk Ambon Dalam

7 SUMMARY FREDERIKA S PELLO. Relationship of Phytoplankton Productivity with Nutrient Availability Streaming Derived from the River and the Sea in Inner Ambon Bay. Supervised by ENAN M ADIWILAGA, NIETTE V HULISELAN, and ARIO DAMAR The development of increasingly rapid development resulted in bay conditions, particularly in Ambon bay gets heavy pressure, resulting in changes in the aquatic environment. These changes further affect marine organisms that live in it. One of the marine organisms playing an important role for productivity is a water plankton community. Plankton community plays great role in marine ecosystems, particularly because phytoplankton are the foundation of the food chain so called primary producers. As primary producers, phytoplankton can form organic matter from inorganic matter through photosynthesis which in turn can be used directly by other living organisms. The purposes of this study were 1) to analyze seasonal changes in the distribution of temperature, salinity and density in the water; 2) to analyze the inter-relationship between the light intensity and the level of turbidity water; 3) to analyze the load level of nutrients in water derived from river and sea; 4) to analyze the spatial and temporal distribution of phytoplankton composition and abundance in the water; 5) to analyze seasonal changes in the level of productivity of phytoplankton in the water; and 6) to examine the inter-relationship between the succession of phytoplankton to changes in N:P ratio in the water of the Ambon bay. The results of this study indicate that temperature, salinity and density were low in East Season. In the Bay of Ambon there was stratification in temperature and salinity, while mixing was not occur either from surface to bottom water. Season were great influence on the distribution of nutrients in the water, again the average ammonia concentration was higher in East Season that indicate domestic sewage polluted water. Average NO 3 -N concentration of the lowest in the Western season (0.05 µm) and high in East Season (0.55 µm). Average concentration of nitrate in the East Season in Zone-1 was low and Zone-2 was high. In East Season high phosphate concentrations, so that phosphate stimulates rapid growth (blooming) Trichodesmium in water. Average concentration of silica in the East, Transition II, Western and Transition I Season highly significant, with the lowest concentrations in Transition Season I (1.29 µm) and high in East Season (35.61 µm). At the moment there was a high concentration of silica Bacillariophyceae low abundance in the eastern season. In the Transition II, the West, and the Transition I Season occurred increased abundance of Bacillariophyceae, along with decrease in the concentration of silica. Input nitrate and phosphate in East Season was very large from outside Ambon Bay compared to from river. Spatial and temporal waters in the Inner Ambon Bay were found oligotrofik and mesotrofik state. Flushing time were occured in Ambon Bay within 14 days.

8 The average of chlorophyll-a concentration in the East, Transition II, West and Transition I Season were highly significant, the lowest concentration at West season (0.44 µg/l) and high in East season (0.94 µg/l). In the East Season, there was an increase of chlorophyll-a, but the low abundance of phytoplankton. In the East Season, chlorophyll-a negative correlation revealed in nitrate and nitrite, this is due to an increase in chlorophyll-a caused by decrease in nitrate and nitrite or instead. The value of primary productivity was influenced by chlorophyll-a, neither by abundance of phytoplankton. In addition, primary productivity in West Season showed a significant relationship with a correlation coefficient (r) of It is caused by passes of ultra- and nano-phytoplankton from plankton nets when sampling. Primary productivity is determined by the intensity of light, temperature, nutrients (N, P, and Si) and chlorophyll-a. In West, Transition II and Transition I Season showed a significant correlation between the intensity of light with primary productivity, this suggests that the increase in the intensity of light would affect primary productivity. The relationship between temperature and primary productivity with a correlation coefficient (r) is the Transition I Season. At the Transition II Season, there is a significant relationship between DIN-N and SiO2-Si with primary productivity with a correlation coefficient (r) for and 0.746, respectively; while PO 4 -P with primary productivity showed no significant relationship at all seasons with values correlation coefficient (r) were smaller than 0.5. Composition of the phytoplankton were found in 4 classes Bacillariophyceae with 38 genera, with 12 genera Dinophyceae, Cyanophyceae and Chrysophyceae with 1 genus with 2 genera. The average abundance of phytoplankton in East, Transition II, Western and Transition I Season were highly significant, with the lowest density in the high season in the East and Transition I. Transitionally, starting from East to Transition II, to West and to Transition I Season were revealed succession of phytoplankton species, due to changes in the N and P ratio, as well as Si and N. Keywords: primary productivity, phytoplankton, nutrients, succession, Inner Ambon Bay

9 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

10

11 HUBUNGAN PRODUKTIVITAS FITOPLANKTON DENGAN UNSUR HARA BERKENAAN DENGAN BEBAN MASUKAN DARI SUNGAI DAN LAUT DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM FREDERIKA S. PELLO Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

12 Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Alianto, SPi, MSi Dr.Ir. Niken Tunjung M. Pratiwi, MSi Penguji pada Ujian Terbuka: Dr. Yuliana, SPi, MSi Dr. Ir.Niken Tunjung M. Pratiwi, MSi

13 Judul Tesis : Hubungan Produktivitas Fitoplankton dengan Unsur Hara Berkenaan dengan Beban Masukan dari Sungai dan Laut di Perairan Teluk Ambon Dalam Nama : Frederika S. Pello NIM : C Disetujui oleh Komisi Pembimbing Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga Ketua Prof. Dr. Ir. N. V. Huliselan, MSc Anggota Dr. Ir. Ario Damar MSi Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Sigid Hariyadi MSc Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr Tanggal Ujian: 08 Januari 2014 Tanggal Lulus:

14

15 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala karunianya sehingga Penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul Hubungan Produktivitas Fitoplankton dengan Unsur Hara Berkenaan dengan Beban Masukan dari Sungai dan Laut di Perairan Teluk Ambon Dalam. Karya yang berhasil ditulis ini bukan merupakan hasil kerja penulis seorang, melainkan banyak tangan turut membantu baik sekedar memberikan semangat dan doa, turut membantu saat pengambilan contoh dan membantu menganalisis data hasil penelitian, maupun sumbangan pemikiran yang berharga. Oleh karena itu terima kasih Penulis sampaikan kepada : 1. Komisi pembimbing Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga, Prof. Dr. Ir. N. V. Huliselan, MSc dan Dr. Ir. Ario Damar MSi atas bimbingan, arahan dan sumbangan pikiran yang sangat berharga dalam penyelesaian penulisan disertasi 2. Dr. Ir. Hefni Effendi MPhil dan Dr. Ir. Niken T.M. Pratiwi MSi, atas saran dan pertanyaan yang sangat berharga yang diberikan saat ujian pra kualifikasi Doktor. 3. Dr Alianto SPi. MSi dan Dr. Ir. Niken T.M. Pratiwi MSi selaku penguji luar komisi pada ujian sidang tertutup, Dr. Sugeng Heri Suseno, SPi, MSi sebagai pimpinan sidang pada ujian tertutup. 4. Dr. Yuliana SPi. MSi dan Dr. Ir. Niken T.M. Pratiwi MSi selaku penguji luar komisi pada ujian sidang terbuka, Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, MSc sebagai pimpinan sidang pada ujian terbuka. 5. Dr. Ir. Kardiyo Praptokardiyo yang telah memberi saran-saran dan sumbangan pemikiran yang berharga 6. Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk belajar di IPB 7. Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB dan Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, atas fasilitas yang disediakan. 8. Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan SPs IPB beserta jajarannya, atas komentar, saran dan bantuan administrasi. 9. Staf pengajar pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan SPs IPB, atas bekal ilmu yang diberikan kepada penulis. 10. Rektor Universitas Pattimura atas pemberian ijin studi dan Pimpinan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan atas pemberian kesempatan dan dukungan dalam menyelesaikan studi di Institut Pertanian Bogor. 11. BPPS Dikti yang telah memberikan biaya untuk studi, Pemda Provinsi Maluku dan Universitas Pattimura yang telah membantu dalam pemberian dana penelitian dan penulisan disertasi 12. Teman-teman Persekutuan Mahasiswa Maluku (PERMAMA) dan temanteman angkatan 2009 (Pa Baktiar, Pa Udin, Pa Joga, Pa Yoyo, Pa Said, dan Ibu Ning), terima kasih atas persahabatan yang baik. 13. Dr Alianto, SPi, MSi yang membantu desain peralatan penelitian. Bapak Johanis Lekalete, Ibu Salomy Hehakaya, Bapak La Imu, Bapak Malik S. Abdul, Bapak Ferdimon Kainama dari LIPI Ambon, Dr.Tony Ongkers MSi, Ir. Bob Latumeten MSi, dan Jansen Piters SPi dari UNPATTI, Ibu Ani dari Laboratorium Kesehatan Lingkungan, Ibu Marwa dari Balai Budidaya Laut

16 Ambon dan Bapak Piter Siahaya yang telah membantu selama pengumpulan data. 14. Suami tercinta Drs George Laisina dan anak tersayang Gilbert Laisina, atas kasih sayang, doa dan semangat yang diberikan. 15. Mama Elizabeth Pello, Bapak Bram Laisina dan keluarga, Bapak Butje Laisina, kakak Roos Laisina, Bapak Wem Sihasale dan keluarga, Bapak Sven Loupatty dan keluarga, Bapak Wasis Suseno dan keluarga, Bapak Herman Pello dan keluarga, Bapak Risat Pello dan keluarga, Bapak Alfred Pello dan keluarga, adik Sofia Pello, atas doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkannya. Bogor, Febuari 2014 Frederika S. Pello

17 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Kerangka Pendekatan Masalah Tujuan dan Manfaat Penelitian Hipotesis Ruang Lingkup Penelitian Kebaruan (Novelty) POLA DISTRIBUSI DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM Pendahuluan Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Simpulan HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM Pendahuluan Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Simpulan PERUBAHAN MUSIM TERHADAP BEBAN MASUKAN NUTRIEN DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM Pendahuluan Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Simpulan PENGARUH MUSIM TERHADAP KOMPOSISI DAN KEPADATAN FITOPLANKTON DI TELUK AMBON DALAM Pendahuluan Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Simpulan PERUBAHAN MUSIMAN TERHADAP TINGKAT PRODUKTIVITAS FITOPLANKTON DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM Pendahuluan Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Simpulan vi vi vi

18 7 HUBUNGAN ANTARA SUKSESI FITOPLANKTON DENGAN PERUBAHAN RASIO N DAN P DI PERAIRAN TELUK DALAM AMBON Pendahuluan Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Simpulan PEMBAHASAN UMUM SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP DAFTAR TABEL 1 Rerata kecepatan arus (cm/det) di TAD Kisaran dan rerata suhu permukaan laut TAD pada Musim Timur dan Peralihan II Kisaran dan rerata suhu permukaan laut TAD pada Musim Barat dan Peralihan I Rerata suhu permukaan laut TAD pada setiap zona Kisaran dan rerata salinitas permukaan laut TAD pada Musim Timur dan Peralihan II Kisaran dan rerata salinitas permukaan laut TAD pada Musim Barat dan Peralihan I Rerata salinitas permukaan laut TAD pada setiap zona Kisaran dan rerata densitas permukaan laut TAD pada Musim Timur dan Peralihan II Kisaran dan rerata densitas permukaan laut TAD pada Musim Barat dan Peralihan I Rerata densitas (kg/m 3 ) permukaan laut TAD pada setiap zona Rerata kedalaman penetrasi cahaya (m) pada setiap zona Rerata kedalaman koefisien peredupan (m) pada setiap zona Kisaran dan rerata kekeruhan permukaan laut TAD pada Musim Timur dan Peralihan II Kisaran dan rerata kekeruhan permukaan laut TAD pada Musim Barat dan Peralihan I Rerata kekeruhan (FTU) permukaan laut pada setiap zona Sungai-sungai yang bermuara di TAD Rerata Rasio DNI:DIP dan Rerata Rasio DSi:DIN di Perairan TAD Rerata konsentrasi nutrien anorganik (µm/tahun) Masukkan nitrat dan fosfat ke TAD (Ton/Bulan) Jenis-jenis fitoplankton yang dominan pada keempat musim (%) Kedalaman masing-masing stasiun pada TAD

19 22 Rerata nilai produktivitas primer (mg C/m3/jam) pada setiap zona berdasarkan intensitas cahaya Rerata konsentrasi klorofil-a (µg/l) pada setiap zona Rerata kedalaman zona eufotik (m)pada TAD Rerata konsentrasi DIN (µm) pada setiap zona Rerata konsentrasi PO4-P (µm) pada setiap zona Rerata konsentrasi SiO2-Si (µm) pada setiap zona Rerata rasio DIN : DIP pada setiap zona di perairan TAD Rerata rasio DSi : DIN pada setiap zona di perairan TAD Rasio Cyanophyceae : (Diatom+Dinoflagellata) pada setiap zona di perairan TAD Rerata konsentrasi NH3-N (µm) pada setiap zona Rerata konsentrasi NO3-N (µm) pada setiap zona DAFTAR GAMBAR 1 Diagram hubungan antara produktivitas fitoplankton dengan peningkatan unsur N, P, dan Si Lokasi Penelitian di Perairan Teluk Ambon Peta kedalaman Teluk Ambon Dalam Peta Perspektif 3 dimensi Teluk Ambon Dalam Penampang Melintang Mulut Teluk Ambon Dalam (m) pada Ambang Galala-Rumah Tiga Peta Distribusi suhu di Perairan Teluk Ambon Dalam Peta Distribusi salinitas di Perairan Teluk Ambon Dalam Distribusi suhu secara vertikal di Teluk Ambon Dalam Peta Distribusu salinitas secara vertikaldi Teluk Ambon Dalam Fluktuasi Intensitas Cahaya rerata pada Musim Timur, Peralihan II, Barat dan Peralihan I di Permukaan TAD Fluktuasi Intensitas Cahaya pada setiap bulan di Permukaan Laut Profil Kedalaman penetrasi cahaya (secchi depth) dan koefisien peredupan padateluk Ambon Dalam(Juni s/d November 2011) Profil Kedalaman penetrasi cahaya (secchi depth) dan koefisien peredupan pada Teluk Ambon Dalam (Desember 2011 s/d Mei 2012) Rasio Zmix:Zeu (%) pada Perairan Teluk Ambon Dalam Rasio Zmix:Total depth (%) pada Perairan Teluk Ambon Dalam Rasio Zeu:Total depth (%) pada Perairan Teluk Ambon Dalam Peta Distribusi kekeruhan di Perairan Teluk Ambon Dalam Hubungan kekeruhan dengan intensitas cahaya Konsentrasi DIN yang terdiri dari amonia, nitrat, dan nitrit pada Musim Timur, Peralihan II, Barat dan Peralihan I Rerata Konsentrasi PO 4 -P di Permukaan Perairan Teluk Ambon Dalam Rerata Konsentrasi SiO 2 di Permukaan Perairan Teluk Ambon Dalam Rerata nilai TRIX secara temporal di Teluk Ambon Dalam Rerata nilai TRIX pada empat musim di Teluk Ambon Dalam Rerata nilai TRIX (Juni 2011 s/d Mei 2012) di Teluk Ambon Dalam

20 25 Kelimpahan Fitoplankton (sel/m3) pada Musim Timur (MT), Peralihan II (MPII), Barat (MB), dan Peralihan I (MPI) Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton pada Musim Timur, Peralihan II, Barat, dan Peralihan I Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton setiap bulan di TAD Grafik Triplot Hasil Ordinasi Kelimpahan Fitoplankton dengan parameter fisik-kimia di Teluk Ambon Dalam Rerata nilai Produktivitas Primer pada tiap kedalaman berdasarkan intensitas cahaya Rerata Kelimpahan Fitoplankton pada tiap kedalaman berdasarkan intensitas cahaya Hubungan produktivitas primer dengan intensitas cahaya Peta Distribusi klorofil-a secara horisontal di Perairan TAD Peta distribusi klorofil-a (µm) secara vertikal diperairan TAD Kelimpahan fitoplankton pada setiap zona Komposisi fitoplankton pada setiap zona Fitoplankton dominan pada Musim Timur Fitoplankton dominan pada musim Peralihan II Fitoplankton dominan pada musim Barat Fitoplankton dominan pada musim Peralihan I DAFTAR LAMPIRAN 1 Korelasi Pearson antar variabel di Teluk Ambon Dalam pada Musim Timur Korelasi Pearson antar variabel di Teluk Ambon Dalam pada Musim Peralihan II Korelasi Pearson antar variabel di Teluk Ambon Dalam pada Musim Barat Korelasi Pearson antar variabel di Teluk Ambon Dalam pada Musim Peralihan I

21 PENDAHULUAN Latar Belakang Teluk Ambon merupakan areal penangkapan ikan yang potensial, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD) hingga awal tahun 1984 dikenal sebagai ladang ikan umpan (Wouthuyzen et al. 1984). Menurut Syahailatua (1999) Teluk Ambon merupakan salah satu daerah penangkapan ikan pelagis kecil di Maluku, selain sebagai ladang ikan umpan teri (Stelophorus sp) di teluk ini juga banyak tertangkap ikan make (Sardinella sp), lema (Rastreliger sp), layang (Decapterus sp) dan kawalinya (Selar sp). Perairan Teluk Ambon dari tahun ke tahun mengalami perubahan. Adanya sedimentasi mengakibatkan hilangnya terumbu karang di Teluk Ambon Dalam (Wouthuyzen, 2001). Menurut Latumeten (2004), kepadatan ikan pelagis kecil cenderung menurun dari waktu ke waktu. Diduga hal ini disebabkan oleh tingginya laju eksploitasi yang tidak sebanding dengan laju rekruitmen. Di samping itu TAD dan sekitarnya memiliki beberapa fungsi dan kegunaan yaitu sebagai daerah perikanan tangkap dan budidaya, pelabuhan pangkalan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Laut, dan Polisi Air (POLAIR), pelabuhan kapal tradisional antar pulau dan ferry penyeberangan, pelabuhan perikanan, jalur transportasi laut, tempat pembuangan limbah air panas oleh Perusahan Listrik Tenaga Disel (PLTD), darmaga tempat perbaikan kapal, daerah konservasi, tempat pendidikan dan penelitian, tempat rekreasi dan olah raga, serta pemukiman penduduk di sekitar teluk. Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD) mendapat tekanan yang cukup berat. Penekanan tersebut disebabkan oleh adanya pemanfaatan lahan atas untuk daerah pemukiman yang mengakibatkan sedimentasi di daerah pantai, aktivitas transportasi laut menyebabkan tumpahan minyak, pembuangan sampah rumah tangga dan industri, dan masukan nutrien dari darat melalui sungai-sungai. Pada musim Timur terjadi upwelling di Laut Banda berpengaruh ke TAD melalui TAL, sehingga terjadi perubahan lingkungan perairan. Perubahan ini selanjutnya mempengaruhi organisme laut yang hidup di dalamnya, salah satu organisme laut yang memegang peranan penting bagi produktivitas suatu perairan adalah komunitas plankton. Komunitas plankton memegang peranan penting dalam ekosistem di laut, karena plankton khususnya fitoplankton merupakan dasar dari rantai makanan sehingga disebut produser primer. Sebagai produser primer, fitoplankton dapat membentuk materi organik dari materi anorganik melalui proses fotosintesis yang selanjutnya dapat dimanfaatkan secara langsung oleh organisme hidup lainnya (Nontji, 2008). Menurunnya tangkapan ikan umpan di TAD disebabkan karena jaringan makanan (food web) yang berubah. Berdasarkan hasil penelitian Officer and Ryther 1980; Rocha et al. 2002, diacu dalam Lopes et al. (2007) pengkayaan/eutrofikasi dapat merubah jaringan makanan dari pemakan plankton diatom yang bergantung pada tersedianya silika, menjadi pemakan spesies fitoplankton non-diatom. Menurut Pello dan Huliselan (2007) di TAD dari 35

22 2 genera yang ditemukan, terdapat Trichodesmium (Cyanobacteria) sebesar % dari total sel fitoplankton yang ada. Perubahan spesies-spesies fitoplankton non diatom yang dominan dihubungkan dengan memburuknya kualitas perairan dan terutama blooming Cyanobacteria yang dapat berpengaruh pada kesehatan masyarakat setempat (Chorus dan Bartram 1999). Pada beberapa dekade terakhir, banyak perairan pantai dan laut mengalami masukan nutrien antropogenik yang tinggi yang disebut eutrofikasi (Hauxwell dan Valiela 2004, diacu dalam Lopes 2007). Menurut Qiu et al. (2010) eutrofikasi adalah salah satu faktor yang menyebabkan memburuknya lingkungan perairan. Selanjutnya menurut Domingues et al. (2010) perkembangan populasi penduduk di daerah pantai dan estuari menyebabkan eutrofikasi yang dapat dihubungkan dengan masalah seperti harmful algae bloom dan memburuknya kualitas perairan. Perkembangan pembangunan di Teluk Ambon dilaporkan oleh Wagey (2002), Tuahatu dan Pattiasina (2005), dan Tuhumury et al. (2007), daerah pesisir (coastal area) di Teluk Ambon menjadi pusat aktivitas ekonomi dan sosial masyarakat Ambon, dengan persentase terbesar untuk pemukiman. Laju perkembangan sepanjang daerah pantai dan sekitarnya, menghasilkan sedimentasi yang tinggi di TAD, terutama di daerah-daerah yang berdekatan dengan sungaisungai. Di samping sedimentasi dan partikel-partikel terlarut dari runoff, Teluk Ambon juga menerima materi-materi organik seperti buangan domestik dari kota. Masukan dari daratan ini secara umum dapat mempengaruhi kondisi kualitas perairan terutama adanya proses pengkayaan unsur hara (eutrofikasi) di perairan. Proses pengkayaan unsur hara di perairan dapat mempengaruhi keseimbangan ekologis perairan. Perubahan kualitas perairan dapat mengakibatkan terjadinya suksesi antar spesies fitoplankton yang ada di perairan (Sidabutar et al. 1996). Pengkayaan perairan dapat memicu terjadinya blooming spesies tertentu yang dapat mengakibatkan kerugian akibat terjadinya perubahan warna perairan atau fenomena Red tide di TAD, lagi pula terjadi blooming alga berbahaya dari species Pyrodinium bahamense pada tahun 1993 (Wiadnyana 1996), Alexandrium affine pada tahun 1997 (Wagey 2001), Pyrodinum spp dan Alexandrium spp (Tuhepaly 2012). Lalli dan Parsons (1993) menyatakan bahwa 90% produksi primer di laut disumbangkan oleh fitoplankton dan sisanya 10% oleh makro alga bentik. Produktivitas primer merupakan salah satu ukuran kualitas suatu perairan. Semakin tinggi produktivitas primer suatu perairan semakin besar pula daya dukungnya bagi kehidupan komunitas penghuninya. Sebaliknya produktivitas yang rendah menunjukkan daya dukung yang rendah pula. Struktur komunitas fitoplankton dan produksi primer pada ekosistem laut dipengaruhi oleh variasi nutrien secara temporal dan spasial (Tilman et al. 1982, Gong et al. 2003, Maranon et al. 2007, Glé et al. 2008, Zhu et al. 2010). Produktivitas primer sangat ditentukan oleh intensitas cahaya dan ketersediaan unsur hara anorganik. Parsons et al. (1984) dan Nybakken (1992) menyatakan bahwa dua faktor utama yang membatasi produktivitas primer fitoplankton pada perairan laut adalah cahaya dan unsur hara. Fitoplankton menghuni hampir setiap ruang dalam massa air yang dapat dicapai oleh sinar matahari atau zona eufotik. Tebalnya zona eufotik bervariasi mulai dari lapisan permukaan sampai kedalaman 150 m pada perairan oseanis

23 yang jernih atau hanya sekitar beberapa puluh centimeter pada perairan yang keruh (Lalli dan Parsons 1993). Menurut Wagey (2002) TAD adalah daerah yang dinamik yang berhubungan dengan laut Banda, lagi pula terjadi pertukaran air melalui TAL. Hal ini lebih diperjelas oleh Rebert dan Birowo (1985), air dari Laut Banda masuk dari TAL ke TAD melalui ambang yang dangkal. Sedangkan Wenno dan Anderson (1983) dan Wenno 1998 diacu dalam Wagey (2002), melaporkan bahwa selama periode upwelling di Laut Banda termoklin lebih rendah dari periode tidak terjadi upwelling yang menyebabkan perairan yang dingin dari TAL masuk ke TAD. Perumusan Masalah Morfologi dan hidrooseanografi perairan TAD diindikasikan terdapat beban masukan unsur hara, salinitas dan padatan tersuspensi dari beban masukan air sungai dan laut. Beban masukan tersebut sangat dinamik, pada Musim Timur beban masukan dari laut dan sungai meningkat. Pada musim tersebut terjadi upwelling di Laut Banda bersamaan dengan peningkatan beban dari sungai. Menjelang dan/atau selama Musim Timur tersebut di perairan TAD terdapat perkembangan atau pertumbuhan fitoplankton yang pesat atau blooming dari jenis fitoplankton dari kelompok Dinophyceae dan Cyanophyceae. Sumber penyebab dari peledakan fitoplankton tersebut antara lain : 1. Ketersediaan unsur hara (rasio N, P, dan Si) yang menunjang perkembangan atau pertumbuhan fitoplankton tersebut. Ketersediaan unsur hara secara mutlak dan relatif (N, P dan Si) menjadi faktor penentu potensi produktivitas serta faktor pembatas perkembangan atau pertumbuhan fitoplankton 2. Perubahan salinitas pada zona dan waktu tertentu menunjang jenis fitoplankton dari kelompok Dinophyceae dan Cyanophyceae Gambar 1 memperlihatkan bahwa pendekatan dan kerangka teoritis yang digunakan untuk menguraikan fenomena tersebut. Kerangka Pendekatan Masalah Keberadaan sumberdaya ikan teri (Stelophorus sp) di perairan TAD memerlukan ketersediaan zooplankton yang ditunjang oleh ketersediaan biomassa fitoplankton. Produktivitas pembentukan biomassa fitoplankton ditentukan oleh faktor intensitas cahaya, temperatur, ketersediaan unsur hara N, P, dan Si, terutama biomassa dari komunitas fitoplankton yang mampu berkembang dan beradaptasi terhadap salinitas suatu zona perairan. Intensitas cahaya, temperatur relatif kondusional sama, dengan demikian perkembangan maupun produktivitas fitoplankton ditentukan oleh keberadaan unsur hara yang mutlak dan relatif (N, P, dan Si). Distribusi spasial dan temporal unsur hara dipengaruhi oleh beban masukan sungai dan TAL. Keberadaan unsur hara N, P, dan Si pada musim atau zona tertentu potensial menunjang perkembangan atau blooming fitoplankton yang kurang bermutu bagi pertumbuhan ikan teri (Stelophorus sp) (Gambar 1). 3

24 4 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1). Menganalisis perubahan musiman distribusi suhu, salinitas, dan densitas di perairan, 2). Menganalisis tingkat beban masukan nutrien dari perairan sungai dan laut di perairan, 3). Menganalisis hubungan antara tingkat intensitas cahaya dengan kekeruhan di perairan, 4).Menganalisis distribusi spasial dan temporal komposisi dan kelimpahan fitoplankton di perairan, 5). Menganalisis tingkat perubahan musiman produktivitas fitoplankton di perairan dan 6). Mengkaji hubungan antara suksesi fitoplankton dengan perubahan rasio N dan P di perairan Teluk Ambon Dalam. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan TAD terutama kaitannya dengan suksesi jenis-jenis fitoplankton dan kondisi unsur hara pada setiap musim Hipotesis 1. Apabila ketersediaan unsur hara meningkat dengan rasio yang tidak sesuai maka struktur komunitas didominasi oleh jenis fitoplankton dari kelompok Dinophyceae dan Cyanophyceae, sehingga produktivitas fitoplankton tersebut meningkat atau meledak. 2. Apabila pada salinitas tertentu, ketersediaan unsur hara meningkat dengan rasio yang tidak sesuai, maka struktur komunitas fitoplankton yang beradaptasi didominasi oleh jenis (Dinophyceae dan Cyanophyceae) sehingga terjadi perkembangan atau peledakan fitoplankton Ruang Lingkup Penelitian Penelitian tentang hubungan antara produktivitas fitoplankton dengan ketersediaan unsur hara berkenaan dengan beban masukan dari sungai dan laut di perairan TAD mencakup distribusi suhu dan salinitas. Pada bagian ini dijelaskan mengenai distribusi suhu dan salinitas secara spasial dan temporal. Pada bagian selanjutnya juga dijabarkan tentang perubahan musim terhadap beban masukan nutrien di perairan TAD. TAD mendapat masukan nutrien dari darat dan dari TAL dengan pengaruh terbesar saat terjadi upwelling di Laut Banda. Hubungan antara intensitas cahaya dengan kekeruhan di perairan TAD meliputi kecerahan, koefisien peredupan, daerah tercampur, daerah eufotik, dan distribusi klorofil-a. Musim berpengaruh terhadap komposisi, dan kelimpahan fitoplankton di TAD yang meliputi distribusi, komposisi dan kelimpahan fitoplankton secara spasial dan temporal serta keterkaitannya dengan karakteristik variabel lingkungan. Hasil penelitian ini menggambarkan tentang perubahan musiman terhadap tingkat produktivitas fitoplankton di perairan TAD dan hubungan antara suksesi fitoplankton dengan perubahan rasio N dan P di perairan Teluk Ambon Dalam. Kedua bagian ini merupakan pembahasan umum dari seluruh rangkaian penulisan ini.

25 5 Kebaruan (Novelty) Kebaruan penelitian ini adalah model hubungan produktivitas primer dengan unsur hara (Rasio N, P, dan Si) yang signifikan berkenaan dengan beban masukan dari sungai dan Teluk Ambon Luar. Dari model tersebut dapat dijadikan dasar prediksi sumber penyebab blooming fitoplankton pada musim-musim tertentu.

26 6

27 POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM PENDAHULUAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran, serta kedalaman badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisik, kimia, dan biologi badan air (Effendi 2003). Musim Timur dengan hujan yang deras dan suhu udara yang rendah mempengaruhi lapisan permukaan Teluk Ambon. Pada Musim Barat dengan suhu udara yang tinggi dan angin yang kencang menyebabkan suhu air permukaan juga tinggi (Wenno 1979). Kondisi massa air di perairan Teluk Ambon pada Musim Timur (Juni sampai Agustus) sangat dipengaruhi oleh angin Musim Timur yang berhembus dari arah tenggara dengan suhu rendah dekat permukaan Laut Banda menyebabkan panas dari permukaan laut banyak dilepaskan ke atmofer (evaporasi). Keadaan ini menurunkan suhu permukaan laut dan kedalaman lapisan atas termoklin berkurang di sekitar perairan Laut Banda dan Teluk Ambon Luar (TAL). Pada Musim Timur terjadi penaikan air (upwelling) di Laut Banda yang mengangkat air dari lapisan dalam yang bersalinitas tinggi ke permukaan. Perbedaan suhu dan salinitas antara kolom air TAL dan Teluk Ambon Dalam (TAD) menyebabkan perbedaan densitas yang memicu terjadinya sirkulasi di Teluk Ambon. Penelitian bertujuan untuk menganalisis perubahan musiman terhadap distribusi suhu, salinitas, dan densitas di perairan Teluk Ambon Dalam. Tempat dan waktu METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di perairan TAD, Pulau Ambon, Provinsi Maluku. Secara geografis berada pada posisi 128 o BT dan LS (Gambar 2). Penelitian ini dilaksanakan dari Juni 2011 sampai dengan Mei 2012, mewakili ke empat musim (Musim Timur, Musim Peralihan II, Musim Barat, dan Musim Peralihan I). Musim Timur berlangsung dari bulan Juni sampai Agustus, Musim Peralihan II dari bulan September sampai November, Musim Barat dari bulan Desember sampai Februari dan Musim Peralihan I dari bulan Maret sampai Mei. Penelitian ini berlangsung dalam dua belas (12) kali sampling dengan interval waktu setiap satu bulan di dua belas (12) stasiun. Berdasarkan pertimbangan karakteristik perairan, maka perairan TAD dibagi atas 3 zona. Zona-1 sangat dipengaruhi oleh perairan dari Teluk Ambon Luar, Zona-2 yang terletak di bagian tengah teluk, dan Zona-3 yang sangat dipengaruhi oleh ekosistem mangrove dan sungai-sungai. Zona-1 terdiri atas Stasiun 1, 2, 3, dan 4; Zona-2 terdiri atas Stasiun 5, 6, dan 7; Zona-3 terdiri atas Stasiun 8, 9, dan 10.

28 8 Gambar 2 Lokasi penelitian di perairan Teluk Ambon Pengukuran suhu, salinitas, dan densitas menggunakan CTD-ALEC, Model ASTD-687. Penentuan posisi stasiun menggunakan GPS-Garmin, Model 76CSx. Selanjutnya untuk mengetahui distribusi suhu dan salinitas secara temporal dan spasial dianalisis dengan ANOVA satu arah. Apabila pada analisis ini terdapat perbedaan yang nyata, maka analisis dilanjutkan dengan uji Post-doc Duncan. Diskripsi lokasi penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Perairan Teluk Ambon terdiri dari perairan Teluk Ambon Dalam (TAD) dan Teluk Ambon Luar (TAL). Perairan TAD tergolong semi tertutup, dicirikan dengan ukuran yang relatif kecil dengan panjang garis pantai km, luas km 2 dan kedalaman maksimum 42 m, dengan volume air yang terdapat pada Teluk Ambon Dalam m 3. Pada peta kedalaman TAD (Gambar 3) dan peta perspektif 3 dimensi (Gambar 4), terlihat dasar TAD dengan daerah yang dangkal pada daerah Poka, Hunut, Waiheru, Nania, Negeri Lama, Passo, dan Lateri. Sedangkan di daerah Latta dan Halong terdapat daerah yang lebih dalam (> 15 meter), dan pada daerah bagian tengah teluk dan daerah yang mendekati ambang teluk kedalamannya > 35 m. Jarak melintang Galala Rumah Tiga sebesar m (garis putus-putus pada Gambar 5), kedalaman terdalam ambang Galala-Rumah Tiga 12 m saat air surut dan luas penampang melintang m 2 (Gambar 5). Arus di perairan TAD didominasi oleh arus pasang surut. Menurut Ongkers (2011) pasang surut di TAD adalah tipe pasang surut harian campuran dengan didominasi oleh pasang surut ganda. Pada TAD juga berkembang arus yang ditimbulkan angin permukaan laut dan arus induksi gelombang. Arus pada umumnya di permukaan lebih kuat dibandingkan dengan dasar perairan, lemahnya arus di dasar perairan TAD disebabkan karena memiliki topografi yang cukup halus mengakibatkan melemahnya arus dasar (Suwartana 1986).

29 9 Gambar 3 Peta kedalaman Teluk Ambon Dalam Gambar 4 Peta perspektif 3 dimensi Teluk Ambon Dalam Gambar 5 Penampang Melintang Mulut Teluk Ambon Bagian Dalam (meter) pada Ambang Galala-Rumah Tiga

30 10 Rata-rata kecepatan arus pada Musim Timur 2.79 sampai cm/det (4.61±2.19) lebih rendah dibandingkan dengan Musim Barat 2.55 sampai cm/det (6.89±3.11). Rata-rata kecepatan arus di Zona-1 lebih tinggi dibandingkan dengan zona bagian dalam teluk (Tabel 1), hal ini disebabkan Zona-1 terdapat di depan ambang yang sempit. Tabel 1 Rerata kecepatan arus (cm/det) di TAD Musim Zona Min Max Rerata SD Timur Peralihan II Barat Peralihan I Distribusi Suhu Permukaan pada Teluk Ambon Dalam Distribusi suhu permukaan laut (SPL) rata-rata pada Musim Timur di TAD bervariasi dari o C sampai o C (26.86±0.49). Pada Musim Timur terjadi penurunan SPL setiap bulan mulai dari bulan Juni, Juli, dan Agustus (Tabel 2 dan Gambar 6). Pada bulan Juni suhu terendah tercatat di daerah (St 2) antara Dermaga Galala dan Poka dan suhu tertinggi di daerah sekitar Passo (St 10). Pada daerah sekitar Dermaga Galala (St 1), (St 2) bagian tengah antara Dermaga Galala dan Poka, daerah Poka (St 3), daerah Halong (St 4), dan depan Dermaga Angkatan Laut (St 5) terjadi penurunan suhu di bawah rata-rata (27.20 o C). Sedangkan di daerah Hunut (St 6), Latta (St 7), (St 8) bagian tengah antara Lateri dan Waiheru, Nania (St 9) dan Passo (St 10) terjadi peningkatan suhu di atas ratarata. Terjadinya peningkatan suhu di atas rata-rata disebabkan stasiun-stasiun ini terdapat pada daerah yang dangkal (Gambar 6) sedangkan pada bulan Agustus suhu terendah di stasiun 3 dan tertinggi pada stasiun 10. Tabel 2 Kisaran dan rerata suhu permukaan laut TAD pada Musim Timur dan Peralihan II Suhu ( o C) Nilai Musim Timur Peralihan II Juni Juli Agustus September Oktober November Maksimum Minimum Rerata Standar Deviasi

31 Musim Timur suhu sangat berkorelasi positif dengan salinitas (Pearson s r =0.975;P<0.01) (Lampiran 1). Hal ini menunjukkan rata-rata curah hujan yang tinggi pada musim ini. Curah hujan di daerah Ambon dan sekitarnya pada bulan Juni sampai Agustus berkisar antara 12.9 sampai 27.6 mm (data BMG Stasiun Laha Ambon). Menurut Nontji (2007), Musim Timur angin bertiup dari arah tenggara dengan suhu yang rendah. Pada permukaan perairan suhu di bawah ratarata (26.79 o C) pada daerah sekitar Dermaga Galala (St 1), (St 2) bagian tengah antara Dermaga Galala dan Poka, daerah Poka (St 3) dan Halong (St 4) disebabkan oleh angin Musim Timur. Distribusi suhu permukaan laut di perairan TAD pada Musim Peralihan II bervariasi dari o C sampai o C (29.53±0.50). Suhu permukaan air menunjukkan peningkatan dari bulan September, Oktober, dan November masingmasing antara sampai o C (27.90±0.51), sampai o C (29.75±0.85), dan sampai o C (30.93±0.57) (Gambar 6). Pada bulan September suhu terendah terdapat di sekitar perairan Poka (St 3) dan tertinggi sekitar bagian tengah antara Dermaga Galala dan Poka (St 2). Pada Stasiun 1, 3, 5, 6. dan 10 terjadi penurunan suhu di bawah rata-rata (27.90 o C), sedangkan di Stasiun 2, 4, 7, 8, dan 9 terjadi peningkatan di atas rata-rata. Pada bulan Oktober suhu terendah pada Stasiun 3 dan tertinggi pada Stasiun 5 dan di bulan November suhu terendah di Stasiun 3 dan tertinggi di Stasiun 10. Nilai rata-rata suhu pada Musim Peralihan II terdapat suhu yang rendah pada daerah Poka (St 3) dan tertinggi pada depan Dermaga Angkatan Laut (St 5). Rendahnya suhu pada Stasiun 3 (Poka) disebabkan adanya sungai yang bermuara pada pantai Poka. Pada Musim Peralihan II, suhu berkorelasi dengan kekeruhan (Person s r = ;P<0.05) (Lampiran 2). Hal ini menunjukkan bahwa dengan meningkatnya suhu permukaan perairan, akan menurunkan kelimpahan fitoplankton dan sebaliknya yang mempengaruhi kekeruhan perairan. Peningkatan suhu di TAD, karena air yang masuk dari TAL dengan suhu yang rendah masuk ke dalam teluk yang sempit dan dangkal sehingga terjadi pemanasan yang meningkatkan suhu permukaan air dalam teluk. Cuaca pada waktu pengukuran berada pada kondisi mendung, angin bertiup lemah dengan kecepatan 4-5 knot dari arah Barat Laut sampai arah Utara (data BMG Stasiun Laha Ambon ). Distribusi suhu rata-rata di permukaan perairan di Musim Barat di TAD bervariasi dari sampai o C (30.51±0.20), suhu yang tinggi di bulan Desember berkisar antara sampai o C (30.99±0.40), cuaca yang cerah dan angin yang bertiup lemah dengan kecepatan 3 knot. Dengan demikian terjadi peningkatan suhu rata-rata sebesar 0.03 o C dari bulan November ke bulan Desember. Di bulan Januari dan Februari terjadi penurunan suhu (Tabel 3 dan Gambar 6). Pada bulan Desember dengan suhu terendah tercatat (St 8) bagian tengah antara Lateri dan Waiheru dan tertinggi di daerah sekitar Poka (St 3), di bulan Januari suhu terendah pada Stasiun 2 dan tertinggi pada sekitar Nania (St 9). Sedangkan bulan Februari suhu terendah pada Stasiun 1 dan tertinggi pada Stasiun 5. Suhu rata-rata terendah pada Musim Barat tercatat pada Stasiun 1 dan tertinggi di daerah sekitar Passo (St 10). 11

32 LS LS LS LS LS P.A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Neg. Lama Waiheru Lateri Latta Halong Passo U LS LS LS LS LS P. A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Neg. Lama Waiheru Lateri Latta Halong Passo U LS LS LS LS LS P. A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Neg. Lama Waiheru Lateri Latta Halong Passo U MT Tantui Juni 2011 Tantui Juli 2011 Tantui Agustus BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT LS LS LS LS LS P. A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Tantui Neg. Lama Waiheru Passo U Lateri Latta Halong September LS LS LS LS LS P. A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Tantui Neg. Lama Waiheru Passo U Lateri Latta Halong Oktober LS LS LS LS LS P. A M B O N Hunuth Poka R.Tiga Galala Tantui Neg. Lama Waiheru Passo U Lateri Latta Halong November 2011 MP BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT LS LS LS LS LS P. A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Tantui Neg. Lama Waiheru Passo U Lateri Latta Halong Desember LS LS LS LS LS P. A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Tantui Neg. Lama Waiheru Passo U Lateri Latta Halong Januari LS LS LS LS LS P. A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Tantui Neg. Lama Waiheru Passo U Lateri Latta Halong Februari 2012 MB BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT LS LS LS LS LS P. A M B O N P. A M B O N P. A M B O N Hunuth Poka R.Tiga Galala Tantui Waiheru Neg. Lama Passo U Lateri Latta Halong Maret LS LS LS LS LS Hunuth Poka R. Tiga Galala Tantui Waiheru Neg. Lama Passo U Lateri Latta Halong April LS LS LS LS LS Hunuth Poka R. Tiga Galala Tantui Waiheru Neg. Lama Passo U Lateri Latta Halong Mei 2012 MP BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT Suhu [ C] Tabel Gambar 6 Peta distribusi suhu di perairan Teluk Ambon Dalam Kisaran dan rerata suhu permukaan laut TAD pada Musim Barat dan Peralihan I. Suhu ( o C) Nilai Musim Barat Peralihan I Desember Januari Februari Maret April Mei Maksimum Minimum Rerata Standar Deviasi Saat pengukuran cuaca cerah disertai angin dengan kecepatan 4 knot dari arah Barat Daya, sehingga mempengaruhi kecepatan arus (13,64 cm/det) di daerah ambang Teluk dan analisis menunjukkan bahwa suhu berkorelasi dengan turbiditas (Pearson s r =0.946;P<0.01) (Lampiran 3).

33 Pada Musim Peralihan I (Gambar 6), di bulan Maret dan April suhu permukaan perairan tinggi (Tabel 3). Pada bulan Mei terjadi penurunan suhu permukaan laut yang disebabkan cuaca mendung dan hujan serta angin yang bertiup dengan kecepatan 5 knot dari arah Tenggara. Pada musim tersebut suhu berkorelasi dengan salinitas (Pearson s r = 0.813;P<0.01) (Lampiran 4). Pada bulan Maret suhu terendah pada Stasiun 3 dan tertinggi pada Stasiun 10, bulan April suhu terendah pada Stasiun 2 dan tertinggi pada Stasiun 5, sedangkan pada bulan Mei suhu terendah pada Stasiun 2 dan tertinggi pada Stasiun 9. Suhu ratarata terendah di Musim Peralihan I tercatat di (Stasiun 2) daerah bagian tengah antara Dermaga Galala dan Poka dan tertinggi di daerah sekitar Nania (Stasiun 9). Secara temporal dan spasial, distribusi suhu di permukaan perairan (Gambar 6) menunjukkan perbedaan sangat nyata (ANOVA, P<0.01), artinya musim sangat berpengaruh terhadap perubahan suhu permukaan. Analisis lanjutan menunjukkan bahwa rata-rata suhu Musim Timur lebih rendah (26.89 o C) sedangkan Musim Peralihan I dan Musim Barat lebih tinggi masing-masing o C dan o C. Menurut Selano (2010) rata-rata suhu Musim Timur 26 o C sedangkan Musim Barat rata-rata o C, hal ini menunjukkan ada peningkatan suhu rata-rata pada Musim Timur. Secara spatial rata-rata suhu Musim Timur, Peralihan II, Barat, dan Peralihan I, lebih rendah di Zona 1 dan tinggi pada Zona 3 (Tabel 4). Hal ini disebabkan pada zona 3 terdapat pada perairan yang dangkal (Gambar 3 dan 4). Tabel 4 Rerata suhu permukaan laut TAD pada setiap Zona Zona MUSIM Timur Peralihan II Barat Peralihan I Distribusi Salinitas Permukaan pada Teluk Ambon Dalam Distribusi salinitas rata-rata pada Musim Timur di TAD bervariasi dari sampai psu (29.37±2.46), Pada Musim Timur terjadi peningkatan salinitas, dari bulan Juni, Juli, dan Agustus (Tabel 5 dan Gambar 7). Hal ini disebabkan oleh penurunan curah hujan rata-rata dari bulan Juni, Juli, dan Agustus, masing-masing 27.6 mm, 24.8 mm, dan 12.9 mm (data BMG Stasiun Laha Ambon). Volume air tawar yang masuk ke dalam TAD sebanyak m 3 /hari yang bersumber dari 8 sungai di sekitar teluk. Menurut Selano (2010) variasi salinitas dipengaruhi oleh curah hujan serta run off dari sungai-sungai, akan tetapi secara keseluruhan pengaruh sungai relatif kecil, sehingga kontribusi air sungai terhadap pembentukan salinitas juga kecil, kecuali pada Musim Timur dengan curah hujan yang tinggi. Pada Juni, Juli, dan Agustus salinitas terendah pada Stasiun 3 dan tertinggi pada Stasiun 10. Angin bertiup dari arah Tenggara pada Musim Timur, sehingga air tawar dengan salinitas rendah bertumpuk pada Stasiun 3 (Poka) sehingga salinitas rendah (24.93 psu). Sedangkan kekosongan pada Stasiun 10 (Passo) diisi dengan air dari dasar perairan dengan salinitas yang tinggi (33.11psu). Pada musim tersebut salinitas berkorelasi dengan turbiditas (Pearson s

34 14 r = ;P<0.01) (Lampiran 1). Hal ini menunjukkan bahwa menurunnya salinitas akibat masukan air dari darat, akan meningkatkan turbiditas perairan. Tabel 5 Kisaran dan rerata salinitas permukaan laut TAD pada Musim Timur dan Peralihan II Salinitas (psu) Nilai Musim Timur Peralihan II Juni Juli Agustus September Oktober November Maksimum Minimum Rerata Standar Deviasi Distribusi salinitas pada Musim Peralihan II di TAD bervariasi dari sampai psu (31.68±0.91). Pada Musim Peralihan II (dari musim hujan ke musim panas) salinitas relatif tinggi, pada permukaan perairan di bulan September, Oktober, dan November (Tabel 5). Salinitas berkorelasi dengan densitas (Pearson s r = 0.933;P<0.01) (Lampiran 2). Hal ini menunjukkan bahwa dengan meningkatnya salinitas, akan meningkatkan densitas perairan (Lalli and Parsons 1993). Distribusi salinitas rata-rata pada Musim Barat di TAD bervariasi dari sampai psu (32.32±0.35). Peningkatan salinitas pada Musim Barat dari bulan Desember, Januari, dan Februari (Tabel 6), hal ini disebabkan karena penurunan rata-rata curah hujan dari bulan Desember, Januari, dan Pebruari masing-masing 6.9 mm, 6.6 mm, dan 6.3 mm (data BMG Stasiun Laha Ambon). Analisis menunjukkan bahwa salinitas berkorelasi dengan densitas (Pearson s r = 0.976;P<0.01) (Lampiran 3). Distribusi salinitas pada Musim Peralihan I (musim panas ke musim hujan) di TAD bervariasi dari sampai psu (32.11±0.47), Musim Peralihan I dari bulan Maret, April dan Mei terjadi fluktuasi salinitas. Pada bulan Mei salinitas menurun disebabkan karena mulai peningkatan curah hujan (39.5 mm). Tingginya salinitas pada musim Barat dan musim Peralihan I karena ratarata tingkat curah hujan yang rendah (4.0 sampai 13.5 mm). Tabel 6 Kisaran dan rerata salinitas permukaan laut TAD pada Musim Barat dan Peralihan I Salinitas (psu) Nilai Musim Barat Peralihan I Desember Januari Februari Maret April Mei Maksimum Minimum Rerata Standar Deviasi Secara temporal dan spasial, nilai salinitas di permukaan perairan (Gambar 7) menunjukkan perbedaan sangat nyata (ANOVA; P<0.01), dimana rata-rata

35 salinitas Musim Timur lebih rendah (29.37 psu) dibandingkan dengan ketiga musim yang lain LS LS LS LS LS P.A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Tantui Neg. Lama Waiheru Passo U Lateri Latta Halong LS LS LS LS LS P. A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Neg. Lama Waiheru Passo U Lateri Latta Halong Tantui Tantui Juni 2011 Juli 2011 Agustus LS LS LS L S LS P. A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Neg. Lama Waiheru Passo U Lateri Latta Halong MT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT LS LS LS LS LS P. A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Tantui Neg. Lama Waiheru Passo U Lateri Latta Halong LS LS LS LS LS P. A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Neg. Lama Waiheru Passo U Lateri Latta Halong Tantui Tantui September 2011 Oktober 2011 November LS LS LS LS LS P. A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Neg. Lama Waiheru Passo U Lateri Latta Halong MP BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT LS LS L S LS LS P. A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Tantui Neg. Lama Waiheru Passo U Lateri Latta Halong LS LS LS LS LS P. A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Neg. Lama Waiheru Passo U Lateri Latta Halong Tantui Tantui Desember 2011 Januari 2012 Februari LS LS LS LS LS P. A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Waiheru Neg. Lama Passo U Lateri Latta Halong MB BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT LS LS LS LS LS P. A M B O N P. A M B O N P. A M B O N LS LS LS LS LS Neg. Lama Neg. Lama Neg. Lama Waiheru Waiheru Waiheru Passo Passo Passo Hunuth Hunuth Hunuth U U U Poka Lateri Poka Lateri Poka Lateri Latta Latta Latta Halong Halong Halong R. Tiga R. Tiga R. Tiga Galala Galala Galala Tantui Tantui Tantui Maret 2012 April 2012 Mei LS LS LS LS LS MP BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT Salinitas [PSU] Gambar 7 Peta distribusi salinitas di perairan Teluk Ambon Dalam Hal ini disebabkan rata-rata curah hujan yang tinggi (12.9 sampai 27.6 mm) dengan masukkan air tawar dari darat. Secara spasial, di Musim Timur, Musim Peralihan I dan Musim Peralihan II nilai salinitas di permukaan perairan pada Zona-1 lebih rendah dan tinggi pada Zona-3, sedangkan Musim Barat rendah pada Zona-3 dan tinggi pada Zona-1 (Tabel 7). Salinitas tinggi pada Zona-1 di Musim Barat disebabkan oleh pengaruh masukan air laut dari TAL. Tabel 7 Rerata salinitas (psu) permukaan laut TAD pada setiap Zona Zona MUSIM Timur Peralihan II Barat Peralihan I

36 16 Distribusi Suhu dan Salinitas secara Vertikal Distribusi suhu dan salinitas permukaan dan dasar perairan TAD bervariasi dari musim ke musim. Livington (2003) dan Damar (2003) menyatakan bahwa zona mixing ditentukan berdasarkan kehomogenan distribusi salinitas, Laevastu dan Hela (1970) berdasarkan suhu. Kehomogenan salinitas dan suhu ditentukan berdasarkan pada distribusi perbedaan vertikal antara salinitas dan suhu permukaan dan dasar perairan secara berturut-turut kurang dari 2 psu (Livington 2003) dan 1 o C (Laevastu dan Hela 1970). Gambar 8 dan 9 menunjukkan bahwa setiap bulan terjadi stratifikasi suhu dan salinitas, sehingga tidak terjadi percampuran yang baik dari permukaan sampai di dasar perairan. Gambar 8 Distribusi Suhu Secara Vertikal di Teluk Ambon Dalam

37 Rata-rata suhu menunjukkan stratifikasi yang lemah pada Musim Timur, lagi pula suhu permukaan 26.89±0.49 dan dekat dasar 26.39±0.42, sedangkan pada Musim Peralihan II, Barat, dan Peralihan I rata-rata suhu menunjukkan stratifikasi yang kuat berturut-turut (permukaan suhu 29.54±0.45 dan dekat dasar 26.89±0.82), (permukaan suhu 30.49±0.20 dan dekat dasar 28.69±0.57), dan (permukaan suhu 30.14±0.17 dan dekat dasar 28.48±0.84) 17 Gambar 9 Distribusi Salinitas Secara Vertikal di Teluk Ambon Dalam Rata-rata salinitas menunjukkan stratifikasi yang kuat pada Musim Timur dan Musim Peralihan II, berturut-turut ( permukaan salinitas 29.37±2.46 dan dekat dasar 33.89±0.17), dan (permukaan salinitas 31.68±0.91 dan dekat dasar 34.09±0.08), sedangkan pada Musim Barat dan Peralihan I rata-rata salinitas

38 18 menunjukkan stratifikasi yang lemah berturut-turut (permukaan salinitas 32.32±0.35 dan dekat dasar 34.07±0.05) dan (permukaan salinitas 32.18±0.45 dan dekat dasar 32.67±0.39) Profil salinitas dari kesepuluh stasiun pengamatan memperlihatkan bahwa pada Musim Timur di bulan Juni, Juli dan Agustus diperoleh nilai salinitas ratarata lapisan teraduk (mix layer) berturut-turut psu, psu, dan psu, sedangkan nilai salinitas maksimum berturut-turut sebesar PSU, psu, dan psu pada kedalaman dekat dasar perairan (Gambar 9). Pada bulan September, Oktober, dan November (Musim Peralihan II) diperoleh nilai salinitas rata-rata lapisan teraduk (mix layer) berturut-turut psu, psu, dan psu, sedangkan nilai salinitas maksimum berturut-turut sebesar psu, psu, dan psu pada kedalaman dekat dasar perairan. Musim Barat di bulan Desember, Januari, dan Februari diperoleh nilai salinitas rata-rata lapisan teraduk (mix layer) berturut-turut psu, psu, dan psu, sedangkan nilai salinitas maksimum berturut-turut sebesar psu, psu, dan psu pada kedalaman dekat dasar perairan. Pada Musim Peralihan I (Maret, April, dan Mei) diperoleh nilai salinitas rata-rata lapisan teraduk (mix layer) berturut-turut psu, psu, dan psu, sedangkan nilai salinitas maksimum berturut-turut sebesar psu, psu, dan psu pada kedalaman dekat dasar perairan. Tingginya salinitas rata-rata pada dasar perairan disebabkan oleh masuknya air yang bersalinitas tinggi dari laut Banda. Menurut Sediadi (2004) salinitas pada Musim Peralihan I berkisar antara 33.1 sampai 34.2 psu. Sebaran Densitas Densitas adalah kerapatan massa air (kg/m 3 ) yang ditentukan berdasarkan suhu dan salinitas. Densitas massa air permukaan pada Musim Timur berkisar antara sampai kg/m 3 dengan rerata ±1.70. Pada Musim Timur terjadi peningkatan densitas permukaan air setiap bulan mulai dari bulan Juni, Juli, dan Agustus (Tabel 8). Menurut Tubalawony et al. (2009), bulan Juli densitas massa air permukaan pada TAD berkisar antara 3.87 sampai kg/m 3 dengan rerata 15.89±3.55, hal ini menunjukkan ada peningkatan densitas lagi pula densitas berhubungan dengan tingkat curah hujan. Tabel 8 Kisaran dan rerata densitas permukaan laut TAD pada Musim Timur dan Peralihan II Densitas (kg/m 3 ) Nilai Musim Timur Peralihan II Juni Juli Agustus September Oktober November Maksimum Minimum Rerata Standar Deviasi Musim Timur densitas massa air permukaan yang rendah pada stasiun 3 (Poka), sedangkan densitas yang tinggi pada stasiun 7 dan 10. Hal ini disebabkan

39 karena pada stasiun terjadi pengangkatan massa air dengan salinitas yang tinggi (32.85 sampai psu). Densitas massa air ditentukan oleh suhu dan salinitas, jika salinitas meningkat maka densitas juga meningkat, tetapi bila suhu meningkat maka densitas akan menurun (Lalli and Parsons 1993). Densitas massa air permukaan pada Musim Peralihan II berkisar antara sampai kg/m 3 dengan rerata 19.39±0.56. Pada Musim Peralihan II rata-rata densitas tertinggi pada bulan Oktober (Tabel 8). September dan Oktober densitas yang rendah pada Stasiun 4 dan tinggi pada Stasiun 9 dan 10. Densitas massa air pada Musim Barat berkisar antara sampai kg/m 3 dengan rerata 19.55±0.30, dan Musim Peralihan I berkisar antara sampai kg/m 3 dengan rerata 19.56±0.29. Musim Barat rata-rata densitas tertinggi di bulan Februari dan Musim Peralihan I di bulan April (Tabel 9). Bulan Mei terjadi penurunan densitas yang disebabkan rata-rata curah hujan yang tinggi 39.5 mm (data BMG Stasiun Laha Ambon) sehingga mempengaruhi suhu dan salinitas perairan. Tabel 9 Kisaran dan rerata densitas permukaan laut TAD pada Musim Barat dan Peralihan I Densitas (kg/m 3 ) Nilai Musim Barat Peralihan I Desember Januari Februari Maret April Mei Maksimum Minimum Rerata Standar Deviasi Secara temporal dan spasial, densitas massa air permukaan menunjukkan perbedaan sangat nyata (ANOVA; P<0.01), artinya musim sangat berpengaruh terhadap densitas massa air permukaan. Analisis lanjutan menunjukkan bahwa rata-rata densitas Musim Timur lebih rendah (18.52 kg/m 3 ) dan tinggi pada Musim Peralihan II, Barat dan Peralihan I masing-masing 19.39, 19.55, dan kg/m 3. Analisis lanjutan pada Musim Timur, Peralihan I dan Peralihan II rata-rata densitas rendah pada Zona-1 dan tinggi pada Zona-3. Sedangkan Musim Barat nilai densitas tinggi pada Zona-1 dan rendah pada Zona-3 (Tabel 10). Tabel 10 Rerata densitas (kg/m 3 )permukaan laut TAD pada setiap Zona Zona MUSIM Timur Peralihan II Barat Peralihan I

40 20 SIMPULAN Kondisi suhu, salinitas, dan densitas di TAD berdasarkan musim ditemukan lebih rendah pada Musim Timur (Juni sampai Agustus) dengan nilai rata-rata suhu o C, salinitas psu dan densitas kg/m3, dibandingkan dengan Musim Peralihan II (September sampai November), Musim Barat (Desember sampai Februari) dan Musim Peralihan I (Maret sampai Mei). Berdasarkan pembagian zona maka, pada Musim Timur rata-rata suhu (26.43 o C), salinitas psu, dan densitas (16.98 kg/m3) lebih rendah di Zona-1 dibandingkan dengan kedua zona yang lain. Pada Zona-3 rata-rata salinitas psu lebih tinggi yang menunjukkan bahwa terjadi pengangkatan massa air pada zona tersebut. Stratifikasi terbentuk berdasarkan perbedaan suhu dan salinitas antara permukaan dan dasar perairan, sehingga tidak terjadi percampuran yang baik.

41 HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM PENDAHULUAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD) mendapat tekanan yang cukup berat, dengan adanya pemanfaatan lahan atas untuk daerah pemukiman mengakibatkan sedimentasi di daerah pantai. Adanya sedimentasi dapat mengakibatkan hilangnya terumbu karang di Teluk Ambon Dalam (Wouthuyzen 2001). Sedimentasi menyebabkan peningkatan kekeruhan air yang menghalangi penetrasi cahaya yang masuk ke dalam air dan mengganggu organisme yang memerlukan cahaya. Menurut Dahuri (2003), sedimen yang berasal dari lahan pertanian yang mengandung nitrogen dan fosfat yang tinggi dapat menimbulkan eutrofikasi. Dengan tingginya kekeruhan akan mempengaruhi penetrasi cahaya ke dalam kolom perairan selanjutnya akan menurunkan produktivitas fitoplankton pada perairan. Cahaya matahari yang menembus laut mengalami dua perubahan penting. Pertama, energinya akan semakin berkurang secara eksponensial, dan kedua, lebar spektrumnya semakin menyempit. Di perairan samudera, makin dalam cahaya menembus makin menyempit spektrum ke arah warna biru (475 nm). Dengan kata lain telah diserap pada lapisan lebih atas. Di perairan pantai hal ini bergeser ke gelombang yang lebih panjang (hijau sampai kuning) bergantung pada banyaknya zat terlarut dan tersuspensi dalam air. Proses fotosintesis fitoplankton hanya dapat berlangsung bila ada cahaya pada kolom perairan (Nybakken 1992). Hasil fotosintesis yang cukup besar dapat diperoleh mulai dari lapisan permukaan sampai ke kedalaman dengan nilai intensitas cahaya tinggal 1% dari intensitas cahaya di permukaan air, dan kedalaman ini merupakan batas bawah zona eufotik. Selanjutnya Domingues et al. (2005) menyatakan cahaya dapat menjadi pembatas pertumbuhan fitoplankton, terutama sel-sel fitoplankton. Cahaya matahari yang memasuki suatu medium optik seperti air, intensitasnya akan berkurang atau mengalami peredupan bergantung pada materi yang terkandung dalam kolom air itu sendiri. Pada kolom air yang memiliki tingkat kekeruhan yang tinggi, tingkat peredupannya juga tinggi. Kekeruhan (turbidity) merupakan gambaran sifat optik air dari suatu perairan yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang dipancarkan dan diabsorpsi oleh partikelpartikel yang ada dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh bahan organik maupun anorganik tersuspensi dan terlarut seperti lumpur pasir halus, plankton, dan mikroorganisme (APHA 1989). Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan intensitas cahaya dengan kekeruhan di perairan Teluk Ambon Dalam. METODE PENELITIAN Pengukuran kekeruhan menggunakan CTD-ALEC, Model ASTD-687. Penentuan posisi stasiun menggunakan GPS-Garmin, Model 76CSx. Intensitas cahaya matahari permukaan diukur dengan alat Automatic Weather Station (AWS) tipe JY 106 dari Badan Meteorologi dan Geofisika Ambon. Besarnya 21

42 22 intensitas cahaya matahari di tiap kedalaman dihitung berdasarkan persamaan Beer-Lambert (Walsby 2001) sebagai berikut: I z = I o e -kz Dimana : I z adalah intensitas cahaya pada kedalaman z, I o adalah intensitas cahaya permukaan, k adalah koefisien peredupan. Koefisien peredupan dapat dihitung berdasarkan persamaan matematis yang dikemukakan oleh (Tillman et al. 2000): k = /S d Sd (dalam satuan meter) adalah kedalaman penetrasi cahaya yang diukur mempergunakan cakram sechi ( secchi disc ) berdiameter 30 cm Selanjutnya untuk mengetahui distribusi intensitas cahaya dan kekeruhan secara temporal dan spasial dianalisis dengan ANOVA satu arah. Apabila pada analisis ini terdapat perbedaan yang nyata, maka analisis dilanjutkan dengan uji Post-doc Duncan. Intensitas Cahaya Matahari HASIL DAN PEMBAHASAN Intensitas cahaya matahari permukaan perairan umumnya menunjukkan adanya fluktuasi pada setiap musim. Rata-rata intensitas cahaya terendah pada Musim Timur ( sampai µmol foton m -2 det -1 ) dan tertinggi pada Musim Peralihan II ( µmol foton m -2 det -1 ) (Gambar 10 dan 11). Hasil analisis secara temporal intensitas cahaya menunjukkan ada perbedaan antar musim (ANOVA ;P<0.01), dimana Musim Timur berbeda sangat nyata dengan musim-musim lainnya. Karena pada Musim Timur rata-rata intensitas cahaya rendah ( µmol foton m -2 det -1 ) dan tercatat hari-hari dengan curah hujan yang tinggi yaitu hari hujan 25 sampai 28 hari (data BMG Stasiun Laha Ambon). Sedangkan pada Musim Peralihan II didominasi hari-hari dengan ratarata intensitas cahaya matahari permukaan yang tinggi ( µmol foton m -2 det - 1 ) dan pada Musim Barat dan Musim Peralihan I, intensitas cahaya matahari relatif stabil dengan kisaran masing-masing sampai µmol foton m -2 det -1 dan sampai µmol foton m -2 det -1. Sedangkan intensitas cahaya maksimum pada daerah tropis berkisar dari sampai µmol foton m - 2 det -1 (Barnabe and Barnabe-Quet 2000). Gambar 11 memperlihatkan bahwa pada bulan Oktober dan November intensitas cahaya pada permukaan laut berada pada kisaran intensitas cahaya maksimum daerah tropis.

43 23 Gambar 10 Fluktuasi intensitas cahaya rata-rata pada Musim Timur, Peralihan II, Barat, dan Peralihan I di permukaan laut TAD (Sumber data : BMG Stasiun Ambon ) Gambar 11 Fluktuasi intensitas cahaya pada setiap bulan di permukaan laut (Sumber data : BMG Stasiun Laha Ambon ) Kedalaman Penetrasi Cahaya (Secchi Depth) dan Koefisien Peredupan Distribusi rata-rata kedalaman penetrasi cahaya (kecerahan) pada Musim Timur di TAD berkisar dari 2.83 sampai 5.83 m (4.60±0.96), dengan kedalaman penetrasi cahaya terendah sekitar daerah Poka (St 3) yang berdekatan dengan muara sungai. Sebaliknya tertinggi di (St 8) bagian tengah antara Lateri dan Waiheru. Menurut Mainassy et al. (2005) kecerahan perairan pada bulan Juli (musim Timur) berkisar dari 6.10 sampai 10.5 m. Pada Musim Peralihan II rata-rata kedalaman penetrasi cahaya berkisar dari 5.17 sampai 8.18 m (7.07±0.99), kedalaman penetrasi cahaya terendah di daerah Dermaga Galala (St 1) dan tertinggi di (St 8) sekitar bagian tengah antara

44 24 Lateri dan Waiheru. Distribusi rata-rata kedalaman penetrasi cahaya pada Musim Barat bervariasi dari 5.83 sampai 8.83 m (7.27±0.96), dengan kedalaman terendah di sekitar daerah Poka (St 3) dan tertinggi di daerah depan Dermaga Angkatan Laut (St 5). Kedalaman penetrasi cahaya di Musim Peralihan I berkisar dari 5.50 sampai 6.17 m (5.80±0.25), kedalaman terendah di sekitar daerah Poka (St 3), depan Dermaga Angkatan laut (St 5) dan Latta (St 7), sebaliknya yang tertinggi di (St 2) bagian tengah antara Dermaga Galala dan Poka. Kedalaman penetrasi cahaya tertinggi pada keempat musim terdapat di Stasiun 2, Stasiun 5 dan Stasiun 8 yang terletak pada bagian tengah teluk dengan kekeruhan yang rendah. Distribusi kedalaman penetrasi cahaya secara temporal memperlihatkan perbedaan nyata (ANOVA;P<0.01), artinya musim sangat berpengaruh terhadap kedalaman penetrasi cahaya. Analisis lanjutan menunjukkan bahwa Musim Timur berbeda nyata terhadap Musim Peralihan I dan sangat nyata terhadap Musim Peralihan II dan Musim Barat. Pada Musim Timur, Peralihan II, dan Barat kedalaman penetrasi cahaya terendah pada Zona-1 sedangakan pada Musim Peralihan I pada Zona-2 (Tabel 11) Musim Timur distribusi kedalaman koefisien peredupan berkisar antara 0.41 sampai 0.64 meter (0.49±0.08). Musim Peralihan II yaitu 0.36 sampai 0.49 meter (0.40±0.04), dan Musim Barat yaitu 0.34 sampai 0.41 meter (0.37±0.02) dan Musim Peralihan I yaitu 0.43 sampai 0.49 meter (0.45±0.02). Pada Musim Timur, Peralihan II dan Barat kedalaman penetrasi cahaya sangat berkorelasi dengan koefisien peredupan masing-masing (Pearson s r = , r = dan r = ;P<0.01) (Lampiran 1, 2, dan 3), hal ini menunjukkan bahwa dengan bertambahnya kedalaman penetrasi cahaya, maka koefisien peredupan semakin rendah atau sebaliknya Pada beberapa stasiun menunjukkan koefisien peredupan yang tinggi, tetapi cenderung intensitas cahaya matahari yang menembus kolom air relatif kecil, sebaliknya pada beberapa stasiun dengan koefisien peredupan yang rendah, cenderung intensitas matahari yang masuk ke kolom air relatif besar (Gambar 12 dan Gambar 13). Stewart (2002) menyatakan bahwa peredupan intensitas cahaya disebabkan oleh penyerapan pigmen-pigmen dan molekul-molekul serta partikelpartikel yang tersebar dalam air. Secara temporal distribusi kedalaman koefisien peredupan menunjukkan perbedaan nyata (ANOVA; P<0.01). Analisis lanjutan menunjukkan bahwa Musim Barat dan Musim Peralihan II berbeda dengan Musim Peralihan I dan Musim Timur. Rata-rata kedalaman koefisien peredupan lebih dalam pada Musim Timur, Peralihan II, Barat, dan Peralihan I di Zona-1 (Tabel 12). Tabel 11 Rerata kedalaman penetrasi cahaya (m) pada setiap zona Zona MUSIM Timur Peralihan II Barat Peralihan I

45 25 Tabel 12 Rerata kedalaman koefisien peredupan (m) pada setiap zona Zona MUSIM Timur Peralihan II Barat Peralihan I Gambar 12 Profil kedalaman penetrasi cahaya (secchi depth) dan koefisien peredupan pada Teluk Ambon Dalam (Juni s/d November 2011) Musim Timur, koefisien peredupan berkorelasi dengan kekeruhan (Pearson s r = 0.662;P<0.05), hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya kekeruhan maka akan meningkatkan koefisien peredupan. Sedangkan pada bulan Oktober dan November dengan intensitas cahaya yang tinggi masing-masing ( dan µmol foton m -2 det -1 ) (data BMG Stasiun Ambon) dengan rata-rata curah hujan yang rendah masing-masing (9.5 mm dan 4.4 mm) (data BMG Stasiun Laha Ambon), terdapat koefisien peredupan yang rendah tetapi

46 26 cenderung intensitas cahaya yang masuk ke kolom air relatif besar. Peningkatan intensitas cahaya dengan pengurangan kekeruhan (run off) akan mengurangi koefisien peredupan pada kolom air (Madhu et al. 2007). Gambar 13 Profil kedalaman penetrasi cahaya (secchi depth) dan koefisien peredupan pada Teluk Ambon Dalam (Desember 2011 s/d Mei 2012) Hal ini terlihat di bulan Juni pada daerah dari Dermaga Galala sampai daerah Poka (St 1, St 2, St 3) dan daerah Hunut (St 6) dengan kedalaman penetrasi cahaya 2.5 m, dan tercatat kedalaman koefisien peredupan 0.69 m. Hal ini disebabkan terdapat tingkat kekeruhan yang tinggi (1.76 sampai 3.27 FTU. Sedangkan di bulan Juli pada daerah Halong (St 4), (St 8) bagian tengah antara Lateri dan Waiheru dan Nania (St 9) dengan kedalaman penetrasi cahaya 6.5 m, tercatat kedalaman koefisien peredupan 0.38 m dan di bulan Oktober pada depan Dermaga Angkatan Laut (St 5) dan Stasiun 8, bulan Januari pada Stasiun 5 dan di bulan April pada Stasiun 2 dan Hunut (St 6) masing-masing dengan kedalaman penetrasi cahaya 10.5 m tercatat kedalaman koefisien peredupan 0.31 m. Hal ini

47 disebabkan dengan bertambahnya kedalaman penetrasi cahaya, maka koefisien peredupan semakin rendah. 27 Daerah Mixing dan Eufotik Rasio Zmix:Zeu secara spasial dan temporal diperoleh dari perbandingan antara kedalaman tercampur berdasarkan salinitas dengan kedalaman perairan dimana intensitas cahaya tinggal 1% (Gambar 14). Distribusi rasio Zmix:Zeu pada setiap musim relatif sama pada semua stasiun, pada saat terjadi percampuran vertikal hanya berlangsung dalam zona eufotik. Menurut Nybakken (1992) bila percampuran vertikal berlangsung dalam zona eufotik, sel-sel fitoplankton hanya diangkut ke bawah menempuh jarak yang pendek sehingga sel-sel masih tetap tinggal di suatu wilayah di mana cahaya cukup untuk fotosintesis. Musim Peralihan I rasio Zmix:Zeu cenderung memiliki nilai rata-rata yang lebih tinggi (45.97 %), sedangkan Musim Peralihan II dengan rata-rata nilai rasio yang lebih rendah (33.87 %). Pada Musim Peralihan I memiliki rasio Zmix:Zeu lebih tinggi, disebabkan karena rata-rata zona eufotik yang rendah, sedangkan pada Musim Peralihan II memiliki zona eufotik yang lebih dalam, disebabkan intensitas cahaya permukaan lebih tinggi. Berdasarkan hasil analisis, maka lapisan tercampur berlangsung dalam zona eufotik yang terjadi TAD. Gambar 14 Rasio Zmix:Zeu (%) pada perairan Teluk Ambon Dalam Rasio Zmix:Total Depth secara spasial dan temporal diperoleh dari perbandingan antara kedalaman tercampur dengan kedalaman total perairan (Gambar 15). Distribusi rasio pada setiap musim relatif sama, kecuali pada Stasiun 3, 9, dan 10, pada ketiga stasiun ini terdapat nilai rasio yang tinggi disebabkan lebih dalamnya zona mixing. Rata-rata rasio Zmix:Total Depth tertinggi terdapat pada Musim Peralihan I (21.67 %), sedangkan rata-rata rasio terendah pada Musim Timur (16.56%). Rendahnya rata-rata rasio Zmix:Total Depth pada Musim Timur disebabkan oleh lebih dangkal zona mixing. Hal ini menunjukan bahwa lapisan tercampur tidak sampai di dasar perairan.

48 28 Gambar 15 Rasio Zmix:Total Depth (%) pada perairan Teluk Ambon Dalam Rasio Zeu:Total Depth secara spasial dan temporal diperoleh dari perbandingan antara kedalaman eufotik dengan kedalaman total perairan (Gambar 16). Distribusi rasio pada setiap musim relatif sama, kecuali pada Stasiun 3, 9, dan 10, dengan kedalaman masing-masing 7 meter, 10 meter, dan 16 meter. Pada ketiga stasiun ini terdapat nilai rasio yang tinggi disebabkan lebih dalamnya zona eufotik, disamping itu zona eufotik mendekati atau sampai di dasar perairan. Rata-rata rasio Zeu:Total Depth tertinggi terdapat pada Musim Barat (52.96 %), sedangkan rata-rata rasio terendah pada Musim Timur (43.78%). Tingginya rata-rata rasio Zeu:Total Depth pada Musim Barat disebabkan oleh lebih dalamnya zona eufotik, sedangkan Musim Timur sebaliknya. Gambar 16 Rasio Zeu : Total Depth (%) pada perairan Teluk Ambon Dalam Hubungan Intensitas cahaya dengan Kekeruhan Kekeruhan (turbiditas) perairan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan suatu perairan dapat disebabkan oleh bahan-bahan organik, seperti plankton dan organisme lainnya, serta bahan anorganik seperti lumpur dan pasir halus. Tingkat kekeruhan perairan

49 mempengaruhi tingkat kedalaman pencahayaan matahari. Semakin keruh suatu badan air, sinar matahari yang masuk ke dalam air akan semakin terhambat. Berdasarkan distribusi kekeruhan rata-rata pada Musim Timur di TAD berkisar dari 0.78 sampai 3.27 FTU (1.61±0.72). Pada Musim Timur kekeruhan tertinggi pada bulan Juni (Tabel 13 dan Gambar 17). Kekeruhan tertinggi di Musim Timur di Zona-1 pada sekitar daerah Poka (St 3) dan terendah sekitar daerah Latta (St 7) dan Stasiun 5 pada Zona-2. Tingginya kekeruhan pada Stasiun 3 disebabkan karena stasiun tersebut berdekatan dengan muara sungai. Kekeruhan yang disebabkan oleh lumpur dan partikel yang dapat mengendap digunakan sebagai faktor pembatas, sedangkan kekeruhan yang disebabkan oleh organisme, merupakan indikasi produktivitas (Odum 1971) LS LS LS LS LS P.A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Tantui Neg. Lama Waiheru Passo U Lateri Latta Halong LS LS LS LS LS P. A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Neg. Lama Waiheru Passo U Lateri Latta Halong Tantui Tantui Juni 2011 Juli 2011 Agustus LS L S LS LS LS P. A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Neg. Lama Waiheru Passo U Lateri Latta Halong MT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT LS LS LS L S L S P. A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Tantui Neg. Lama Waiheru Passo U Lateri Latta Halong LS LS LS LS LS P. A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Neg. Lama Waiheru Passo U Lateri Latta Halong Tantui Tantui September 2011 Oktober 2011 November LS LS LS LS LS P. A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Waiheru Neg. Lama Passo U Lateri Latta Halong MP BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT LS LS LS LS LS P. A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Tantui Neg. Lama Waiheru Passo U Lateri Latta Halong LS LS LS LS LS P. A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Neg. Lama Waiheru Passo U Lateri Latta Halong Tantui Tantui Desember 2011 Januari 2012 Februari LS LS LS LS LS P. A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Neg. Lama Waiheru Passo U Lateri Latta Halong MB BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT LS LS LS LS LS P. A M B O N P. A M B O N P. A M B O N Waiheru Hunuth Poka Latta Halong R. Tiga Galala Tantui Neg. Lama Passo U Lateri LS LS LS LS LS Waiheru Hunuth Poka Latta Halong R. Tiga Galala Neg. Lama Passo U Lateri LS LS LS LS LS Hunuth Poka R. Tiga Galala Waiheru Neg. Lama Passo U Lateri Latta Halong Tantui Tantui Maret 2012 April 2012 Mei 2012 MP BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT Turbiditas [FTU] Gambar 17 Peta distribusi kekeruhan di perairan Ambon Dalam

50 30 Tabel 13 Kisaran dan rerata kekeruhan permukaan laut TAD pada Musim Timur dan Peralihan II Kekeruhan (FTU) Nilai Musim Timur Peralihan II Juni Juli Agustus September Oktober November Maksimum Minimum Rerata Standar Deviasi Distribusi kekeruhan pada Musim Peralihan II berkisar dari 0,60 sampai 1.17 FTU (0.81±0.20). Rata-rata kekeruhan pada bulan September lebih tinggi dari bulan Oktober dan November (Tabel 13). Pada bulan September rata-rata kekeruhan tinggi disebabkan oleh tingginya konsentrasi klorofil-a (1.46 µg/l). Pada musim ini, kekeruhan berkorelasi dengan nitrat dan nitrit masing-masing (Pearson s r = dan r = 0.808;P< 0.01) Hal ini menunjukkan bahwa dengan meningkatnya nitrat dan nitrit, akan meningkatkan kekeruhan atau konsentrasi klorofil-a. Distribusi kekeruhan pada Musim Barat berkisar dari 0.74 sampai 1.43 FTU (0.92±0.21). Pada Musim Barat rata-rata kekeruhan pada bulan Desember lebih tinggi (Tabel 14 dan Gambar 17), Kekeruhan yang tinggi pada bulan Desember disebabkan oleh rata-rata suhu tinggi (30.93 o C) sehingga meningkatkan proses dekomposisi. Dan kekeruhan berkorelasi negatif dengan densitas (Pearson s r = ;P<0.05), hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kekeruhan oleh proses dekomposisi yang disebabkan oleh suhu yang tinggi, akan menurunkan densitas dan sebaliknya. Pada musim ini rata-rata curah hujan yang sangat rendah (6.3 sampai 6.9 mm). Tabel 14 Kisaran dan rerata kekeruhan permukaan laut pada Musim Barat dan Musim Peralihan I Kekeruhan (FTU) Nilai Musim Barat Peralihan I Desember Januari Pebruari Maret April Mei Maksimum Minimum Rerata Standar Deviasi Distribusi kekeruhan pada Musim Peralihan I berkisar dari 0.81 sampai 1.44 FTU (1.05±0.17). Pada Musim Peralihan I rata-rata nilai kekeruhan yang tinggi pada bulan Mei (Tabel 14). Rata-rata kekeruhan yang tinggi pada bulan Mei (1.37 FTU) disebabkan oleh rata-rata konsentrasi klorofil-a tinggi (0.77 µg/l). Secara temporal dan spasial, rata-rata konsentrasi kekeruhan di permukaan perairan (Gambar 17) menunjukkan ada perbedaan nyata (ANOVA; P<0.01). Musim Timur kekeruhan lebih tinggi (1.61 FTU) dibandingkan dengan ketiga musim yang lain. Kekeruhan berkorelasi dengan klorofil-a (Pearson s r = 0.810;P<0.01) (Lampiran 1). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan klorofil-a

51 akan meningkatkan kekeruhan. Pada Musim Timur nilai kekeruhan lebih tinggi di Zona-1 dengan rata-rata konsentrasi klorofil-a tinggi (1.06 µg/l) dan rendah di Zona-2 dengan rata-rata konsentrasi klorofil-a (0.78 µg/l). Musim Peralihan II, Musim Barat dan Musim Peralihan I nilai kekeruhan tinggi pada Zona-3 dan rendah pada Zona-1(Tabel 15). Tabel 15 Rerata kekeruhan (FTU) permukaan laut pada setiap zona Zona MUSIM Timur Peralihan II Barat Peralihan I Gambar 18 menunjukkan hubungan antara intensitas cahaya dan kekeruhan. Hubungan intensitas cahaya dengan kekeruhan pada Musim Timur dan Barat tidak menunjukkan perbedaan (ANOVA;P=0.067,P=0.28), akan tetapi Musim Peralihan II dan Peralihan I menunjukkan perbedaan (ANOVA;P<0.001). Hasil analisis regresi pada Musim Peralihan I dan Peralihan II diperoleh berturut-turut nilai koefisien korelasi (r) adalah dan hal ini menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara intensitas cahaya dengan kekeruhan, lagi pula semakin tinggi intensitas cahaya, maka semakin rendah kekeruhan. Gambar 18 Hubungan kekeruhan dengan intensitas cahaya. Kekeruhan sangat berhubungan dengan konsentrasi klorofil-a, hal ini terlihat pada Musim Timur (Gambar 11) dengan rata-rata intensitas cahaya yang rendah (254 µmol foton /m 2 /det), kekeruhan berkorelasi sangat kuat dengan rata-rata konsentrasi klorofil-a (Pearson s r =0.810;P<0.01). Hal ini disebabkan konsentrasi klorofil-a yang tinggi (0.94 µg/l) meningkatkan kekeruhan di perairan. Pada musim-musim yang lain rata-rata intensitas cahaya tinggi, maka konsentrasi

52 32 klorofil-a menurun. Menurut Lalli and Parsons (1993) intensitas cahaya yang tinggi akan menurunkan fotosintesis. SIMPULAN Secara nyata rata-rata intensitas cahaya pada keempat musim berbeda, mulai dari tertinggi keterendah pada Musim Peralihan II, Musim Barat, Musim Peralihan I dan Musim Timur. Sedangkan rata-rata kekeruhan sebaliknya. Hubungan antara intensitas cahaya dan kekeruhan menunjukkan korelasi yang kuat hanya pada Musim Peralihan I dan Musim Peralihan II.

53 33 PERUBAHAN MUSIM TERHADAP BEBAN MASUKAN NUTRIEN DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM PENDAHULUAN Pusat perkembangan populasi manusia di daerah pantai, terutama di daerah estuari mempunyai pengaruh yang besar terhadap kualitas perairan. Perkembangan pembangunan di Teluk Ambon terutama daerah pesisir di Teluk Ambon menjadi pusat aktivitas ekonomi dan sosial masyarakat Ambon, dengan persentase terbesar untuk pemukiman. Laju perkembangan sepanjang daerah pantai dan sekitarnya, menghasilkan sedimentasi yang tinggi di TAD, disamping sedimentasi dan partikel-partikel terlarut dari run off, Teluk Ambon juga menerima materi-materi organik seperti buangan domestik dari kota (Wagey 2002, Tuahatu dan Pattiasina 2005, dan Tuhumury et al. 2007). TAD dan sekitarnya memiliki beberapa fungsi dan kegunaan yaitu sebagai daerah perikanan tangkap dan budidaya, pelabuhan pangkalan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Laut dan Polisi Air (POLAIR), pelabuhan kapal tradisional antar pulau dan ferry penyeberangan, pelabuhan perikanan, jalur transportasi laut, pembuangan limbah air panas oleh Perusahan Listrik Tenaga Disel (PLTD), darmaga tempat perbaikan kapal, daerah konservasi, tempat pendidikan dan penelitian, tempat rekreasi dan olah raga, serta pemukiman penduduk. Semua aktivitas tersebut menyumbangkan nutrien ke dalam teluk. Teluk Ambon luar juga menyumbangkan nutrien, terutama pada saat terjadi upwelling di Laut Banda berpengaruh ke dalam teluk melalui TAL. Eutrofikasi pada ekosistem pantai disebabkan oleh berlebihannya nutrien seperti nitrat dan fosfat (Xu et al. 2008), selanjutnya eutrofikasi adalah salah satu faktor utama yang menyebabkan memburuknya lingkungan akuatik di estuari (Qiu et al. 2010). Pusat perkembangan populasi manusia di daerah pantai, terutama di daerah estuari mempunyai pengaruh yang besar terhadap eutrofikasi yang dapat dihubungkan dengan masalah blooming algae berbahaya dan memburuknya kualitas perairan (Domingues et al. 2010). Teluk Ambon Dalam pada tahun 1993 terjadi blooming alga berbahaya dari species Pyrodinium bahamense yang menelan korban manusia (Wiadnyana 1996), Alexandrium affine pada tahun 1997 (Wagey 2001), Pyrodinum spp dan Alexandrium spp (Tuhepaly 2012). Peranan nutrien, terutama nitrogen dan fosfor sebagai faktor pembatas fitoplankton adalah aspek penting untuk mengurangi dan mengatur eutrofikasi (Paerl 2009). Tersedianya nutrien di estuari sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar dan pertukaran air laut, sumber air tawar berasal dari sungai, air tanah dan runoff dari darat yang mensuplai nutrien ke estuari dan pertukaran air laut melalui pasang surut yang mengencerkan konsentrasi nutrien (Gobler et al. 2005). Konsentrasi nitrat dan silika paling tinggi di perairan tawar dan menurun dengan meningkatnya salinitas (Maier et al. 2009). Biasanya di perairan tawar, fosfor (P) lebih bersifat faktor pembatas (Schindler 1971, diacu dalam Domingues et al. 2010) dan nitrogen (N) di ekosistem laut (Ryther dan Dunstan 1971, diacu dalam Domingues et al. 2010). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat beban masukkan nutrien dari perairan sungai dan laut di perairan TAD.

54 34 Tempat dan Waktu METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di perairan Teluk Ambon Dalam, Pulau Ambon, Provinsi Maluku. Secara geografis berada pada posisi 128 o BT dan o S (Gambar 2). Penelitian ini dilaksanakan dari Juni 2011 sampai dengan Mei 2012, mewakili ke empat musim (Musim Timur, Musim Peralihan II, Musim Barat dan Musim Peralihan I). Musim Timur berlangsung dari bulan Juni Agustus, Musim Peralihan II dari bulan September- November, Musim Barat dari bulan Desember- Februari, dan Musim Peralihan I dari bulan Maret- Mei. Penelitian ini berlangsung dalam dua belas (12) kali sampling dengan interval waktu setiap satu bulan di dua belas (12) stasiun. Untuk analisis DIN (ammonia nitrogen, nitrat nitrogen, nitrit nitrogen), DIP (ortofosfat) dan silika, diambil contoh air laut sebanyak satu (1) liter pada setiap stasiun dengan menggunakan Van Dorn. Sebelum dianalisis lanjutan di laboratorium terlebih dahulu dilakukan filtrasi dengan filter nukleopore (whatman GF/C diameter 47 mm dengan porositas 0.45 µm) dengan menggunakan pompa vakum (Tanaka dan Choo 2000). Air tersaring ini disimpan dalam botol plastik sebelum dianalisis. Analisis konsentrasi unsur hara dilakukan dengan metode standar ( Parson et al. 1984). Waktu Pembilasan Untuk mengetahui waktu pembilasan (flushing time) air, maka perlu diketahui jumlah air tawar yang masuk ke dalam teluk, untuk mengukur jumlah air tawar yang masuk dalam teluk, maka diukur debit air tawar dari 8 sungai yang bermuara di Teluk Ambon Dalam (Tabel 16) Tabel 16 Sungai-sungai yang bermuara di TAD SUNGAI Lokasi Bujur Lintang Guru-guru Besar Poka ' 03.5" 3 38' 17.7" Waihunut Hunuth ' 51.3" 3 37' 51.2" Waiheru Waiheru ' 11.7" 3 37' 36.7" Waitonahitu Passo ' 45.3" 3 37' 24.6" Air Besar Halong ' 23.7" 3 39' 28.8" Waireka Lateri ' 11.6" 3 38' 47.1" Waisala Waiheru ' 41.6" 3 37' 34.2" Wailata Poka ' 33.8" 3 38' 45.4" Mengukur flushing time dengan menggunakan formula menurut Bowden (1983) yaitu :

55 35 Dimana : FT = Flushing Time (waktu pembilasan) Sd = Salinitas dasar Sp = Salinitas permukaan V = Volume teluk TAD m 3 F = Debit air tawar (sungai) atau debit air laut (m 3 /detik) Masukan Beban nutrien Beban masukan nutrien jenis-jenis N dan P dari sungai Waitonahitu ke perairan dihitung dengan pengukuran debit air sungai, sedangkan beban masukan nutrien dari laut maka dihitung debit air laut yang masuk melalui ambang teluk melalui persamaan menurut Gordon et al. (1992) sebagai berikut : Q = debit (m 3 detik -1 ); A = luas penampang basah alur sungai atau luas penampang ambang teluk (m 2 ); V = kecepatan aliran (m detik -1 ). Untuk perhitungan beban nutrien dilakukan dengan mengikuti persamaan yang diberikan oleh (Mitsch dan Gosselink 1994): Kemudian, untuk mendapatkan jumlah beban nutrien dalam satuan ton per bulan, maka rumus di atas dikalikan dengan : Sehingga menjadi : L = beban masukan nutrien tiap bulan (ton bulan -1 ) = faktor konversi (bulan ke detik) = faktor konversi (ton ke gram) C = konsentrasi nutrien masing-masing jenis N dan P tiap bulan (mg L -1 ) Trophical Index for Marine System (TRIX) Untuk mengetahui status perairan digunakan Trophical Index (TRIX). Indeks ini tujuannya untuk mengetahui karakteristik status trofik perairan pantai, meliputi eutrofikasi dalam hubungan dengan parameter-parameter klorofil-a, oksigen saturasi, nitrogen anorganik terlarut dan fosfat. Status trofik tergantung pada tersedianya nitrogen dan fosfat untuk produksi primer, yang ditentukan oleh biomassa fitoplankton (klorofil-a) dan oksigen saturasi (Vollenweider et al diacu dalam Damar 2003). Untuk menghitung TRIX, nutrien diwakili oleh DIN dan fosfat, biomassa fitoplankton diwakili oleh klorofil-a dan oksigen saturasi

56 36 Analisis Data k = 10 (skala vektor) n = jumlah variabel (4) U = batas atas L = batas bawa M = nilai satu variabel Untuk megetahui distribusi konsentrasi nutrien inorganik terlarut dianalisis dengan ANOVA satu arah (one-way ANOVA). Apabila pada analisis ini terdapat perbedaan yang nyata, maka analisis dilanjutkan dengan uji Post-hoc Duncan. Untuk mengetahui hubungan antara nutrien inorganik terlarut serta rasio N:P dan rasio N:Si dengan parameter lingkungan dilakukan analisis korelasi Pearson s. HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan Dissolved Inorganic Nitrogen (DIN) dengan Musim Gambar 19 memperlihatkan bahwa pada Musim Timur, di Zona-1 (St 1, St 2, St 3, dan St 4) dan Zona-3 (St 8, St 9, dan St 10) didominasi oleh amonia (> 50%), komposisi DIN didominasi oleh amonia yang tinggi dapat merupakan indikasi bahwa perairan dengan konsentrasi amonium lebih tinggi dari konsentrasi nitrat, sangat dipengaruhi oleh limbah domestik (Damar 2003, Koropitan et al. 2009). sedangkan di Zona-2 (St 5, St 6, dan St 7) terdapat konsentrasi nitrat dan nitrit yang tinggi. Tingginya nitrat dan nitrit di Zona-2 disebabkan oleh limbah industri dari kapal-kapal ikan yang berlabuh di pesisir pantai dan aktivitas budidaya ikan pada Keramba Jaring Apung (KJA) oleh masyarakat setempat dan Balai Budidaya Laut Ambon, lagi pula penggunaan pellet untuk makanan ikan akan berpengaruh pada konsentrasi nitrat di perairan.. Pada Musim Peralihan II terdapat peningkatan yang menyolok di Stasiun 3, konsentrasi nitrat 59.72%, tingginya konsentrasi nitrat di stasiun ini disebabkan oleh nitrat dan nitrit berkorelasi dengan turbiditas berturut-turut (Pearson s r = 0.842, r = 0.808; P<0,01). Kekeruhan yang tinggi disebabkan oleh dekomposisi bahan organik. Pada Stasiun 10 terdapat amonia dengan konsentrasi 72.06%. (Gambar 19), tingginya amonia di stasiun ini disebabkan oleh Stasiun 10 berdekatan dengan muara sungai dan rumah penduduk yang padat, banyak menghasilkan limbah domestik dan limbah industri. Pada Musim Barat terdapat konsentrasi amonia yang tinggi di semua stasiun, dengan kisaran konsentrasi amonia 65.70% sampai 92.24% (Gambar 19). Tingginya konsentrasi amonia pada Musim Barat disebabkan oleh tingginya suhu rata-rata perairan sampai o C (30.51±0.20) dan rendahnya oksigen terlarut 3.38 sampai 7.10 (5.38±1.32). Peningkatan suhu menyebabkan terjadi peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba (Effendi 2003).

57 Konsentrasi amonia pada Musim Peralihan I > 50% pada Stasiun 1, 2, 5, 9, dan Stasiun 10. Konsentrasi amonia yang tinggi disebabkan oleh suhu perairan yang masih tinggi sampai o C (30.14±0.18) yang mempengaruhi dekomposisi bahan organik. Sedangkan pada Stasiun 5 terdapat konsentrasi nitrat yang tinggi yaitu 1.66 µm (32.96%), bila dibandingkan dengan Teluk Jakarta pada musim yang sama konsentrasi nitrat yang tinggi µm (Damar 2003), maka TAD terdapat konsentrasi nitrat yang rendah. Pada Stasiun 6 terdapat konsentrasi nitrit yang tinggi yaitu 3.11 µm (80.68%) (Gambar 19), dibandingkan dengan Teluk Jakarta konsentrasi nitrit yang tinggi 5.13 µm (Damar 2003) maka Teluk Ambon masih dalam katagori rendah. 37 Gambar 19 Konsentrasi DIN yang terdiri dari amonia, nitrat, dan nitrit pada Musim Timur, Peralihan II, Barat, dan Peralihan I Secara temporal, distribusi konsentrasi DIN di perairan menunjukkan perbedaan nyata (ANOVA; P<0.01), selanjutnya Musim Barat dan Musim Peralihan II berbeda dengan Musim Timur dan Musim Peralihan I, lagi pula Musim Timur dan Musim Peralihan I dengan konsentrasi DIN yang tinggi. Distribusi konsentrasi DIN pada Musim Timur secara spasial menunjukkan perbedaan nyata (ANOVA; P<0.01), selanjutnya Stasiun 10 dengan konsentrasi yang rendah (0.62µM) dan Stasiun 7 (5.75µM) dengan konsentrasi yang tinggi. Pada Musim Peralihan II secara spasial, konsentrasi DIN tidak menunjukkan perbedaan (ANOVA; P=0.124). Pada Musin Barat, secara spasial menunjukkan perbedaan nyata (ANOVA; P<0.01), lagi pula Stasiun 2 dengan konsentrasi DIN yang rendah (0.26 µm) dan Stasiun 10 yang lebih tinggi (1.17 µm). Pada Musim Peralihan I, konsentrasi DIN menunjukkan perbedaan (ANOVA; P<0.019), selanjutnya setiap stasiun mempunyai pengaruh yang sama terhadap konsentrasi

58 38 DIN di perairan. Kandungan amonia terendah Musim Barat 0.21 sampai 1.09 µm (0.52±0.31) dan tertinggi pada Musim Peralihan I 0.17 sampai 3.09 µm (1.60±1.19). Kandungan rata-rata amonia-nitrogen lebih rendah dibandingkan dengan kandungan amonia dalam baku mutu air laut untuk biota yaitu 0.3 mg/l (=16.67 µm) (MENLH 2004). Kandungan nitrat yang rendah pada Musim Barat 0.05 sampai 0.10µM (0.06±0.02) dan yang tinggi pada Musim Timur, Musim Peralihan II dan Musim Peralihan I berturut-turut 0.09 sampai 2.15 µm (0.55±0.69), 0.05 sampai 2.20 µm (0.36±0.67), dan 0.09 sampai 1.66 µm (0.59±0.47). Kandungan rata-rata nitrat pada Musim Timur, Musim Peralihan II dan Musim Peralihan I lebih tinggi sedangkan Musim Barat lebih rendah dibandingkan dengan baku mutu air laut untuk biota, yaitu mg/l (=0.13 µm) (MENLH 2004). Kandungan nitrit pada Musim Timur, Musim Peralihan II, Musim Barat dan Musim Peralihan I berturut-turut berkisar antara 0.04 sampai 2.36 µm (0.57±0.78), 0.04 sampai 0.78 µm (0.17±0.24), 0.04 sampai 0.05 µm (0.05±0.00), dan 0.09 sampai 3.11µM (0.60±0.91). Kandungan rata-rata nitrit tersebut masih berada di bawah ambang batas untuk perikanan, yaitu 0.06 mg/l (=1.30 µm) (Alaerts dan Santika 1984), kecuali pada bulan Juli dan Agustus pada stasiun 6, 7, dan 9 dengan kandungan nitrit berturut-turut 1.74 µm, 3.52 µm, dan 1.46 µm. Fosfat Inorganik Terlarut Kandungan PO 4 -P (ortofosfat) pada Musim Timur, Musim Peralihan II, Musim Barat dan Musim Peralihan I berturut-turut berkisar antara 0.50 sampai 2.93 µm (1.50±1.17), 0.16 sampai 2.50 µm (0.84 ±0.87), 0.16 sampai 2.92 µm (0,71±0,82), dan 0.07 sampai 0.33 µm (0.18±0.10). Menurut Dortch dan Whitledge (1992), P terbatas jika PO 4 <0.2 µm. Kandungan tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan baku mutu air laut, yaitu mg/l (=0.16 µm) (MENLH 2004). Kandungan fosfat yang tinggi, dapat menstimulir ledakan pertumbuhan fitoplankton di perairan. Secara temporal, distribusi konsentrasi fosfat di perairan menunjukkan perbedaan nyata (ANOVA; P<0.01), artinya musim sangat berpengaruh terhadap perubahan konsentrasi fosfat di perairan. Selanjutnya konsentrasi fosfat Musim Peralihan I lebih rendah (0.07 sampai 0.33 µm) dibandingkan dengan Musim Timur (0.50 sampai 2.93 µm), Musim Peralihan II (0.16 sampai 2.50 µm) dan Musim Barat (0.16 sampai 2.92 µm). Secara spasial distribusi konsentrasi fosfat di permukaan perairan berturut-turut tidak menunjukkan perbedaan (ANOVA, P=0.145), (ANOVA; P=.,358) dan (ANOVA; P=0.180). Sedangkan pada Musim Peralihan I, distribusi konsentrasi fosfat menunjukkan perbedaan (ANOVA; P<0.028), selanjutnya masing-masing stasiun memberi pengaruh yang sama terhadap konsentrasi fosfat. Pada Musim Timur terdapat konsentrasi fosfat yang tinggi, sedangkan yang paling rendah pada Musim Peralihan I ( 0.07 sampai 0.33 µm) (Gambar 20). Konsentrasi fosfat 0.44 µm dan 0.37 µm pada perairan pesisir Cirebon (Susana and Suyarso 2008). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsentrasi fosfat lebih tinggi pada Musim Timur, Musim Barat dan Musim Peralihan II di Teluk Ambon Dalam. Salinitas dengan fosfat memiliki hubungan yang sangat berbeda nyata (ANOVA; P<0.01), analisis regresi diperoleh nilai koefisien korelasi (r) adalah 0.53.

59 39 Gambar 20 Rerata konsentrasi PO 4 -P di permukaan perairan Teluk Ambon Dalam Silika Inorganik Terlarut Kandungan silika pada Musim Timur, Musim Peralihan II, Musim Barat dan Musim Peralihan I berturut-turut berkisar antara sampai µm (42.82±24.45), sampai µm (18.99±3.92), sampai µm (25.43±14.24), dan 4.28 sampai µm (14.99±10.33). Konsentrasi silika yang paling tinggi pada Musim Timur, dan terjadi penurunan pada setiap musim (Gambar 21). Tingginya silika pada Musim Timur disebabkan oleh tingginya curah hujan (12.9 sampai 27.9 mm), Hal ini ditunjang oleh (Damar 2013), ratarata nilai maksimum silika di estuari Porong pada musim hujan (12 µm) dan rendah pada musim panas (4 µm). Silika yang masuk dalam sistem perairan pantai terutama berasal dari darat yang dibawa oleh air hujan (Livingston 2001), pada musim hujan konsentrasi DSi lebih tinggi di perairan (Wang et al. 2006). Secara temporal, distribusi konsentrasi silika di perairan menunjukkan perbedaan nyata (ANOVA; P<0.01), artinya musim sangat berpengaruh terhadap perubahan konsentrasi silika di perairan. Selanjutnya konsentrasi silika pada Musim Peralihan I (4.28 sampai 37.97µM), Musim Peralihan II (13.23 sampai µm) dan Musim Barat (14.36 sampai µm) sangat berbeda terhadap Musim Timur (19.07 sampai µm). Secara spasial pada Musim Timur, Musim Peralihan II dan Musim Barat distribusi konsentrasi silika di permukaan perairan berturut-turut menunjukkan perbedaan nyata (ANOVA; P<0.01), selanjutnya masing-masing stasiun memberi pengaruh yang sama terhadap konsentrasi silika. Sedangkan pada Musim Peralihan I distribusi konsentrasi silika di permukaan perairan menunjukkan ada perbedaan nyata (ANOVA; P<0.01), selanjutnya Stasiun 8 (0.15µM) menunjukkan perbedaan terhadap Stasiun 5 (1.89µM) dan Stasiun 4 (2.10µM). Menurut Dortch and Whitledge (1992) diacu dalam Domingues et al. (2005), silika menjadi faktor pembatas jika DSi <2 µm. Salinitas dengan silika memiliki hubungan yang sangat berbeda nyata (ANOVA; P<0.01), namun analisis korelasi linear diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar 48%. Maier et al. (2009)

60 40 konsentrasi silika paling tinggi di perairan tawar dan menurun dengan meningkatnya salinitas Gambar 21 Rerata konsentrasi SiO 2 -Si di permukaan perairanteluk Ambon Dalam Rasio DIN dan DIP serta DSi dan DIN Tabel 17 menunjukkan bahwa pada Musim Timur, Peralihan II, dan Barat rata-rata rasio DIN/DIP di perairan rendah, sedangkan pada Musim Peralihan I rata-rata rasio DIN/DIP lebih tinggi, bila rasio DIN/DIP mendekati rasio Redfield (N/P=16) menunjukkan bahwa terjadi pertumbuhan fitoplankton yang optimum (Jie et al. 2013). Rendahnya rasio N/P diduga karena perbedaan kondisi dan proses yang terjadi di lingkungan perairan. Apabila laju pemakaian nitrogen oleh fitoplankton berlangsung cepat dan tidak sebanding dengan laju pemakaian fosfat maka rasio N/P akan mengecil. Hal lain juga dapat terjadi, dimana laju regenerasi fosfat dari bahan tersuspensi atau sedimen berlangsung lebih cepat dan tidak disertai penyediaan nitrogen yang cukup (Pirzan dan Pong-Masak 2008). Bila rasio DIN dan DIP tinggi atau lebih besar dari 16, maka yang menjadi pembatasan pertumbuhan fitoplankton adalah DIP. Selanjutnya bila rasio DIN dan DIP rendah atau lebih kecil dari 16, maka yang menjadi pembatas pertumbuhan fitoplankton adalah DIN. Selain rasio Redfield dapat pula digunakan sebagai indikator struktur komposisi komunitas fitoplankton (Sommer 1989). Pada umumnya Bacillariophyceae lebih dominan pada rasio DIN dan DIP yang rendah (Lagus et al. 2004). Rasio DSi dan DIN di perairan ini memperlihatkan nilai yang yang tinggi, kecuali pada Musim Peralihan I (Tabel 17). Rasio DSi:DIN dapat digunakan sebagai indikator pembatas pertumbuhan fitoplankton (Ragueneau et al. 1994). Si menjadi faktor pembatas jika Si:N < 1 dan DSi < 2 µm) (Dortch dan Whitledge (1992). Rasio normal DSi:DIN adalah 1:1, dan umumnya Bacilariophyceae menyerap DSi dan DIN pada rasio 1. Pada rasio DSi:DIN lebih kecil dari 1 menunjukkan DSi sebagai pembatas pertumbuhan fitoplankton khususnya Bacillariophyceae atau sebaliknya (Brzezinski et al. 2003).

61 41 Tabel 17 Rerata Rasio DIN:DIP dan Rerata Rasio DSi:DIN di Perairan TAD Tropik Indeks (TRIX) dan Waktu Pembilasan Analisis trofik indeks dilakukan untuk menjelaskan status nutrien pada suatu perairan, perhitungan didasarkan pada nilai minimum dan maksimum dari DIN, PO 4, biomassa fitoplankton (klorofil-a), dan oksigen saturasi. Pada Musim Timur, Musim Peralihan II, Musim Barat, dan Musim Peralihan I nilai trofik indeks berturut-turut berkisar dari 1.52 sampai 2.30 (1.90±0.29), 0.97 sampai 3.01 (2.13±0.65), 0.58 sampai 3.20 (1.85±0.92), dan 0.83 sampai 2.28 (1.53±0.50)) (Gambar 22 dan 23). Rata-rata nilai trofik indeks lebih rendah pada musim Peralihan I. Rendahnya rata-rata nilai trofik indeks pada musim Peralihan I disebabkan karena pengaruh rata-rata DIP yang rendah 0.07 sampai 0.33 µm (0.18±0.10). Konsentasi fosfat yang rendah, maka diatom yang berukuran besar seperti Skeletonema costatum tidak dapat bertumbuh (Qui et al. 2010), Hal ini akan mempengaruhi konsentrasi klorofil-a dalam kolom air dan juga mempengaruhi nilai trofik. Gambar 22 Rerata nilai TRIX secara temporal di Teluk Ambon Dalam

62 42 Gambar 23 Rerata nilai TRIX pada empat musim di Teluk Ambon Dalam Rata-rata nilai trofik indeks secara temporal berkisar dari 1.01 sampai Nilai terendah pada bulan Januari dan tertinggi pada bulan Februari (Gambar 24). Menurut Caiaffa (1999) diacu dalam Damar (2003), mengklasifikasi tingkat trofik yang terdiri dari oligotrofik (0-2), mesotrofik (2-4), eutrofik (4-6), dan hyper eutrofik (> 6 ). Jadi secara temporal dan spasial Teluk Ambon Dalam berada dalam kondisi oligotrofik dan mesotrofik. Konsentrasi nutrien Teluk Jakarta, Lampung dan Semangka, di bandingkan Teluk Ambon Dalam, maka konsentrasi TAD berada pada konsentrasi yang rendah (Tabel 18). Walaupun sumber nutrien yang masuk kedalam TAD bersumber dari teluk sendiri, sungai-sungai di sekitar TAD dan juga dari TAL terutama saat terjadi upwelling di Laut Banda, namun indeks trofik di TAD rendah disebabkan terjadinya pembilasan (flushing time) saat terjadi pasang surut. Tabel 18 Rerata konsentrasi nutrien anorganik (µm/tahun) Teluk Rerata konsentrasi nutrien (µm/tahun) DIN PO 4 SiO 2 Sumber Jakarta Damar et al Lampung sda Semangka sda Ambon Dalam

63 43 Gambar 24 Rerata nilai TRIX (Juni 2011 s/d Mei 2012) di Teluk Ambon Dalam Volume air tawar yang masuk ke dalam Teluk Ambon Dalam sebanyak m 3 /hari yang bersumber dari 8 sungai di sekitar teluk. Sungai Waetonahitu dengan debit air terbesar m 3 /hari, dan volume air laut yang masuk dari TAL ke dalam TAD sebanyak m 3 /8 jam saat air pasang yang membawa nitrat dan fosfat pada Musim Timur, Musim Peralihan II, Musim Barat dan Musim Peralihan I (Tabel 19). Tabel 19 Masukan Nitrat dan Fosfat ke Teluk Ambon Dalam (Ton/ Bulan) Musim Sungai Teluk Ambon Luar NO 3 PO 4 NO 3 PO 4 Timur Peralihan II Barat Peralihan I Tabel 19 memperlihatkan bahwa masukan nitrat dan fosfat dari TAD sangat besar pada Musim Timur dibandingkan dari sungai. Tingginya konsentrasi nitrat dan fosfat pada Musim Timur ada hubungannya dengan upwelling yang terjadi di Laut Banda. Menurut Wyrtki (1961) upwelling di Laut Banda berlangsung selama Musim Timur yakni dari bulan Juni sampai Agustus. Dengan demikian konsentrasi nitrat dan fosfat lebih tinggi di Musim Timur sebagai akibat adanya upwelling. Berdasarkan hasil analisis flushing time yang terjadi di Teluk Ambon Dalam selama 14 hari. Hal ini memungkinkan selalu terjadi pergantian massa air di dalam teluk, walaupun terdapat masukan beban nutrien yang banyak.

64 44 SIMPULAN Beban masukan di perairan TAD dari sungai dan TAL berdasarkan musim memperlihatkan perbedaan. Beban masukan nutrien (NO 3 -N dan PO 4 -P) dari TAL di Musim Timur lebih tinggi, dibandingkan musim lainnya disebabkan oleh pengaruh upwelling di Laut Banda. Rata-rata rasio DIN:DIP tinggi, dan DSI:DIN lebih rendah pada Musim Peralihan I dibandingkan dengan Musim Timur, Barat dan Peralihan II.

65 45 PENGARUH MUSIM TERHADAP KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN FITOPLANKTON DI TELUK AMBON DALAM PENDAHULUAN Perairan Teluk Ambon terdiri atas perairan Teluk Ambon Dalam dan Teluk Ambon Luar yang dibatasi oleh ambang yang dangkal, sehingga membatasi sirkulasi air di Teluk Ambon Dalam (Anderson dan Sapulete 1981). Kondisi massa air di perairan Teluk Ambon pada Musim Timur (musim penghujan) dengan suhu udara yang rendah mempengaruhi lapisan permukaan Teluk Ambon. Musim Barat dengan suhu udara yang tinggi dan angin yang kencang menyebabkan suhu air permukaan tinggi (Wenno 1979). Teluk Ambon Dalam dan sekitarnya memiliki beberapa fungsi dan kegunaan yaitu sebagai daerah perikanan tangkap dan budidaya, pelabuhan pangkalan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dan Polisi Air, pelabuhan kapal tradisional antar pulau dan ferry penyeberangan, pelabuhan perikanan, jalur transportasi laut, pembuangan limbah air panas oleh Perusahan Listrik Negara, darmaga tempat perbaikan kapal, daerah konservasi, tempat pendidikan dan penelitian, tempat rekreasi dan olah raga serta pemukiman penduduk. Teluk Ambon Dalam juga mendapat masukkan nutrien dari darat melalui sungai-sungai dan Teluk Ambon Luar. Menurut Tuhumury et al. (2007), akibat pembangunan perumahan di lahan atas telah berdampak hingga ke laut, pada saat curah hujan yang tinggi maka warna air laut berubah menjadi kecoklatan. Pusat perkembangan populasi manusia di daerah pantai, terutama di daerah estuari mempunyai pengaruh yang besar terhadap eutrofikasi yang dapat dihubungkan dengan masalah blooming algae berbahaya dan memburuknya kualitas perairan (Domingues et al. 2010). Teluk Ambon Dalam, terjadi blooming alga berbahaya dari species Pyrodinium bahamense pada tahun 1993 yang menelan korban manusia (Wiadnyana 1996), Alexandrium affine pada tahun 1997 (Wagey 2001), Pyrodinum spp, dan Alexandrium spp (Tuhepaly 2012). Menurut Qiu et al. (2010), eutrofikasi adalah salah satu faktor utama yang menyebabkan memburuknya lingkungan akuatik di estuari. Oleh karena itu peranan nutrien, terutama nitrogen dan fosfor sebagai faktor pembatas fitoplankton adalah aspek penting untuk mengurangi dan mengatur eutrofikasi (Paerl 2009). Menurut Pello dan Huliselan (2007) di Teluk Ambon Dalam fitoplankton terdiri atas 35 genera yang ditemukan, terdapat genus Trichodesmium (Cyanobacteria) dengan kepadatan sebesar 36.79% dari total sel yang ada. Menurut Mulholland et al. 1999b diacu dalam LaRoche and Breitbart (2005), Trichodesmium dapat tumbuh dengan baik pada temperatur 28 o C, tetapi dapat toleransi bertumbuh pada temperatur antara 20 sampai 34 o C. Penelitian ini bertujuan menganalisis komposisi dan sebaran fitoplanton dalam kaitannya dengan karakteristik perairan di Perairan Teluk Ambon Dalam.

66 46 METODE PENELITIAN Pengambilan contoh fitoplankton dilakukan secara vertikal pada zona eufotik dengan menggunakan net plankton tipe KITAHARA yang berdiameter mulut jaring 0.30 m, panjang 1 meter dan ukuran porositasnya 60 µm. Sampel plankton yang diperoleh diawetkan dengan menggunakan lugol 1%. Zona eufotik ditentukan berdasarkan persentase penetrasi intensitas cahaya matahari sampai kedalaman intensitas cahaya tinggal 1% dari cahaya permukaan air. Intensitas cahaya matahari permukaan diukur dengan alat Automatic Weather Station (AWS) tipe JY 106 dari Badan Meteorologi dan Geofisika Ambon. Besarnya intensitas cahaya di tiap kedalaman dihitung berdasarkan persamaan Beer-Lambert (Walsby 2001) sebagai berikut: I z = I o e -kz I z adalah intensitas cahaya pada kedalaman z, I o adalah intensitas cahaya permukaan, k adalah koefisien peredupan (attenuation coefficient). Koefisien peredupan dapat dihitung berdasarkan persamaan matematis yang dikemukakan oleh Tillman et al sebagai berikut : k = /S d Sd (dalam satuan meter) adalah kedalaman penetrasi cahaya yang diukur mempergunakan cakram sechi (secchi disc) berdiameter 30 cm. Suhu, salinitas, densitas, turbiditas dan biomassa fitoplankton (Chl-a) diukur menggunakan CTD-ALEC, Model ASTD-687. Penentuan posisi stasiun menggunakan GPS-Garmin, Model 76CSx. Sampel air yang digunakan untuk mengukur ph, oksigen terlarut, nitrat, nitrit, amonia, fosfat, dan silika diambil dengan botol Nansen. ph diukur dengan ph meter, oksigen terlarut dihitung dengan cara titrasi Winkler, sedangkan nitrat, nitrit, amonia, fosfat, dan silika menggunakan metode standar (Parson et al. 1984). Identifikasi fitoplankton dilakukan menurut Yamaji (1984) dan Newell and Newell (1977) hanya pada tingkat genus. Formula untuk menghitung kelimpahan fitoplankton adalah : D = C * V / V *V (sel/m 3 ) Dimana : D = Jumlah sel per m 3 C = Jumlah sel yang dihitung V = Volume sampel yang terkonsentrasi V = Volume yang dihitung V = Volume air yang tersaring oleh plankton net (m 3 ) Volume air yang tersering oleh plankton net (V ) dihitung menggunakan rumus : V = a.s Dimana, A = Luas penampang jaring S = Jarak penarikan plankton net (s = v.t) V = Kecepatan penarikan (ms-1) t = Lama waktu penarikan jaring

67 47 Selanjutnya untuk mengetahui distribusi fitoplankton secara temporal dan spasial dianalisis dengan ANOVA satu arah (one-way ANOVA), dan jika terdapat perbedaan yang nyata, maka analisis dilanjutkan dengan uji Post-doc Duncan. Untuk mendeterminasi variasi karakteristik variabel lingkungan dengan komunitas fitoplankton digunakan perhitungan ordinasi Canonical Correspondence Analysis (CCA) dilakukan dengan menggunakan software MVSP versi 3.1. Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis terhadap komposisi dan distribusi fitoplankton di 10 stasiun pengamatan ditemukan 4 kelas yakni Bacillariophyceae (Diatom), Dinophyceae, Cyanophyceae, dan Chrysophyceae. Fitoplankton terdiri atas 38 genera Bacillariophyceae, 12 genera Dinophyceae, 1 genus Cyanophyceae, dan 2 genera Chrysophyceae. Tabel 20 memperlihatkan bahwa kelimpahan sel fitoplankton yang mendominasi perairan pada Musim Timur, Musim Peralihan II, Musim Barat, dan Musim Peralihan I adalah kelas Cyanophyceae dari genus Trichodesmium dengan persentase tertinggi. Pello dan Huliselan (2007) menemukan bahwa Trichodesmium yang dominan di perairan Teluk Ambon Dalam pada Musim Timur. Dwiono dan Rahayu (1984) mendapatkan genus Chaetoceros mendominasi perairan pada keempat musim. Tabel 20 Jenis-jenis fitoplankton yang dominan pada ke empat musim (%). Secara temporal (antar musim), kelimpahan fitoplankton di perairan menunjukkan ada perbedaan nyata (ANOVA; P<0.01), lagi pula musim sangat berpengaruh terhadap kelimpahan fitoplankton. Kelimpahan fitoplankton pada Musim Peralihan II lebih tinggi sedangkan Musim Timur lebih rendah (Gambar 25). Tingginya kelimpahan fitoplankton pada musim ini, karena merupakan peralihan dari Musim Timur (musim hujan) ke Musim Barat (musim panas), lagi pula pada musim ini kondisi perairan tenang. Pada Musim Peralihan II dengan rata-rata intensitas cahaya µmol foton/m 2 /det dengan kedalaman zona eufotik 10.8 m, sehingga memicu fitoplankton untuk bertumbuh dan berkembang dengan pesat. Sementara distribusi kelimpahan fitoplankton secara spasial (antar stasiun) pada Musim peralihan II menunjukkan perbedaan nyata (ANOVA; P<0.01). Analisis lanjutan menunjukkan Stasiun 1 kelimpahan fitoplankton lebih rendah sedangkan Stasiun 4, 5, 6, 8, dan 9 kelimpahan fitoplankton lebih tinggi.

68 48 Rendahnya kelimpahan fitoplankton pada Stasiun 1 disebabkan oleh kecerahan dan zona eufotik yang lebih dangkat masing-masing 5.17 m dan 9.13 m. Gambar 25 Kelimpahan fitoplankton (sel/m 3 ) pada Musim Timur (MT), Peralihan II (MPII), Barat (MB) dan Peralihan I (MP I). Pada Musim Timur (musim hujan), di Teluk Ambon Dalam kelimpahan Trichodesmium (Cyanophyceae) 2.5x10 8 sel/m 3 (67.86% dari total sel yang ada), kemudian diikuti oleh Bacillariophyceae 21.49% dan Dinophyceae %, sedangkan Pello (2010) memperoleh kelimpahan Trichodesmium 1.4x10 4 sel/m 3 (46.96% dari total sel yang ada). Tingginya kelimpahan Trichodesmium sangat dipengaruhi oleh rata-rata intensitas cahaya yang rendah ( µmol foton/m 2 /det) yang mempengaruhi suhu permukaan perairan. Menurut Rodier and Borgne (2010), diatom muncul dengan kelimpahan yang lebih besar setelah blooming Trichodesmium pada musim hujan. Trichodesmium sp mulai berkembang pada temperatur 24.2 sampai 28.6 o C (Rodier and Borgne 2008). Terjadinya blooming Trichodesmium pada Musim Timur di TAD disebabkan oleh suhu perairan yang rendah (26.08 sampai o C) Musim Peralihan II, Musim Barat dan Musim Peralihan I terjadi suksesi dengan terjadi peningkatan Bacillariophyceae berturut-turut 47.11%, 48.19% dan 60,48% dengan kehadiran genus Chaetoceros berturut 22.63%, 31.21% dan 30.40%. Kelimpahan Chaetoceros yang tinggi pada Musim Peralihan II, Barat, dan Peralihan I disebabkan oleh rata-rata intensitas cahaya yang tinggi berturutturut µmol foton/m 2 /det, µmol foton/m 2 /det, dan µmol foton/m 2 /det, yang meningkatkan rata-rata suhu perairan pada Musim Peralihan II, Musim Barat, dan Musim Peralihan I berturut-turut (28.32 sampai o C, sampai o C dan sampai o C), akan tetapi di Teluk Jakarta marga Chaetoceros mendominasi perairan pada musim hujan (Sidabutar 2008). Gambar 26 memperlihatkan bahwa Musim Timur terjadi pertumbuhan yang pesat (blooming) dari genus Trichodesmium pada Stasiun 8 (bagian tengah antara Lateri dan Waiheru) dengan kelimpahan 1.3 x 10 9 sel/m 3 (1.3x 10 6 sel/l) dengan kelimpahan Trichodesmium 1.1 x 10 6 sel/l (83%), peristiwa blooming terjadi diperairan jika kelimpahan mencapai 10 6 sel/l (Sidabutar 2006). Sedangkan di perairan Laut Banda pada Musim Peralihan II (November) kelimpahan Trichodesmium thiebautii antara 0 sampai 8.8 x 10 2 sel/m 3 pada permukaan perairan (Sediadi 2004). Tingginya kelimpahan Trichodesmium pada Stasiun 8, disebabkan karena pada stasiun ini terdapat kedalaman penetrasi cahaya

69 (kecerahan) dan zona eufotik yang lebih dalam, masing-masing 6 m dan 10 m dan ditunjang dengan konsentrasi PO 4 -P yang tinggi (2.81 µm), sehingga memicu Trichodesmium untuk tumbuh dan berkembang. Menurut Effendi (2003) perairan yang miskin nitrogen tetapi tersedia fosfor maka beberapa jenis algae Cyanobacteria masih dapat tumbuh karena mampu mengikat nitrogen bebas, akan tetapi menurut Nontji (2007), Trichodesmium sering ditemukan di perairan Indonesia, kadang-kadang muncul dengan ledakan populasi yang amat besar dan tak lama kemudian menghilang lagi dengan cepat. Pada Musim Peralihan II, Musim Barat, dan Musim Peralihan I di setiap stasiun pada umumnya Bacillariophyceae dengan kelimpahan tertinggi, selanjutnya terjadi penurunan kelimpahan Cyanophyceae dan Dinophyceae. 49 Gambar 26. Komposisi dan kelimpahan fitoplankton pada Peralihan II, Barat dan Peralihan I Musim Timur, Gambar 27 memperlihatkan bahwa umumnya Bacillariophyceae dengan kelimpahan tertinggi kemudian diikuti Cyanophyceae dan Dinophyceae. Cyanophyceae (Trichodesmium) pada bulan Agustus, Oktober dan Maret masingmasing (7.3 x10 9 sel/m 3 ), (4.6 x 10 9 sel/m 3 ), dan (3.6 x 10 9 sel/m 3 ). Bacillariophyceae memiliki kelimpahan yang tinggi pada bulan September dengan kehadiran genus Chaetoceros 35.34%(4.3 x 10 9 sel/m3) dan Bacteriastrum 9.76%, November kehadiran Bacteriastrum 26.93% dan Chaetoceros 21.13% (2.8x10 9 sel/m 3 ), Februari kehadiran Chaetoceros 40.99% (43x10 9 sel/m 3 ) dan Bacteriastrum 17.54%, Maret kehadiran Chaetoceros 42.75% (4.2x10 9 sel/m 3 ) dan Bacteriastrum 17.54% dan pada bulan Mei kehadiran genus Chaetoceros 22.40% (2.5x10 9 sel/m 3 ) dan Thalassiothrix 15.59%. Selanjutnya, Dinoflagellata meningkat pada bulan September dengan kehadiran Alexandrium (3.0x10 9 sel/m 3 ) 24.48%, November dengan kehadiran Ceratium 13.57% (1.8x10 9 sel/m 3 ) dan Januari dengan kehadiran Alexandrium 35.41% (2.2x10 9 sel/m 3 ). Pada umumnya Dinoflagellata berada pada konsentrasi yang rendah dibandingkan dengan yang

70 50 lain. Menurut Madhu et al. (2007), komunitas dinoflagellata kurang melimpah di daerah estuari sepanjang tahun dibandingkan dengan diatom. Gambar 27. Komposisi dan kelimpahan fitoplankton setiap bulan di Teluk Ambon Dalam Hubungan Kelimpahan Fitoplankton dengan Parameter Fisik-Kimia Perairan Hubungan antara kelimpahan fitoplankton dengan parameter fisik-kimia perairan dijelaskan dengan menggunakan analisis korespondensi kanonikal (Canonical Correspondence Analysis) pada setiap musim dalam grafik triplot (Gambar 28). Pada tiga sumbu utama grafik triplot didapatkan nilai eigenvalue sebesar 0.111, dan dengan informasi persentasi kumulatif yang terjelaskan sebesar 61.54%. Pada grafik triplot secara umum memperlihatkan tiga kelompok fitoplankton berdasarkan musim. Kelompok I mewakili Musim Timur yang didominasi oleh Gonyaulax (Dinophyceae) dan Bellerochea (Bacillariophyceae) yang dipengaruhi oleh ph, fosfat, silika, amonia, turbiditas dan DIN:DIP. Kelimpahan genus Gonyaulax dan Bacillaria sangat ditentukan oleh fosfat dan Zhou et al. (2008) menyatakan pertumbuhan diatom dibatasi oleh rendahnya konsentrasi fosfat di laut, dengan fosfat yang terbatas dan peningkatan nitrogen akan terjadi blooming dinoflagellata. Kelompok II mewakili musim Peralihan I dan Musim Barat yang didominasi oleh Triceratium, Skeletonema, Bacillaria, Planktoniella, Ditylum, Diploneis dan Prorocentrum yang dipengaruhi oleh suhu, salinitas, nitrit dan DIN:DSi, kedalaman penetrasi cahaya (secchi depth) dan zona eufotik. Huang et al. (2004), Diatom (Skeletonema costatum) adalah spesies fitoplankton yang bersifat eurihalin dan euritermal, yang tumbuh dengan cepat pada kondisi eutrofik. Kelompok III mewakili Musim Peralihan II yang didominasi oleh Noctiluca, Streptotheca, dan Eucampia. Semakin panjang panah variabel yang mengarah pada genus dan stasiun pengamatan, maka kontribusi variabel tersebut pada genus maupun stasiun pengamatan semakin besar.

71 51 Gambar 28 Grafik triplot hasil ordinasi kelimpaham fitoplankton dengan parameter fisik-kimia di Teluk Ambon Dalam SIMPULAN Komposisi fitoplankton pada TAD terdiri dari 53 genera yang didominasi oleh Bacillariophyceae. Pertumbuhan yang pesat (blooming) Trichodesmium dari kelas Cyanophyceae dijumpai pada Musim Timur. Hasil analisis hubungan antara karakteristik fisik-kimia dengan kelimpahan fitoplankton menunjukkan bahwa genus Gonyaulax (Dinophyceae) dan genus Bellerochea (Bacillariophyceae) sangat dipengaruhi oleh fosfat, silika, amonia, turbiditas, ph, dan DIN:DIP pada Musim Timur, sedangkan genus Triceratium, Skeletonema, Bacillaria, Planktoniella, Ditylum, Diploneis (Bacillariophyceae), dan Prorocentrum (Dinophyceae) sangat dipengaruhi oleh suhu, salinitas, nitrit, DIN:DSi, secchi depth, dan zona eufotik pada Musim Peralihan I dan Musim Barat.

72 52 PERUBAHAN MUSIMAN TERHADAP TINGKAT PRODUKTIVITAS FITOPLANKTON DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM PENDAHULUAN Klorofil-a pada fitoplankton merupakan parameter yang sangat penting dalam menentukan produktivitas primer di laut. Sebaran dan tingkat konsentrasi klorofil-a berhubungan dengan kondisi oseanografi suatu perairan, lagi pula konsentrasi klorofil-a yang tinggi terdapat pada daerah yang salinitasnya mendekati 30 (Qiu et al. 2010). Sebaran klorofil-a di laut bervariasi secara geografis maupun berdasarkan kedalaman perairan. Lebih spesifik Nontji (2007) menyatakan bahwa cahaya sangat mempengaruhi distribusi vertikal fitoplankton di laut. Hal ini disebabkan oleh fitoplankton biasa ditemukan di seluruh massa air, mulai dari permukaan sampai pada kedalaman dengan intensitas cahaya masih memungkinkan terjadinya fotosintesis. Produktivitas primer ialah laju pembentukan senyawa-senyawa organik yang kaya energi dari senyawa-senyawa anorganik (Nybakken 1992), sedangkan Parsons et al. (1984) menyatakan bahwa produktivitas primer adalah jumlah bahan organik yang dihasilkan oleh organisme autotrop yaitu organisme yang mampu menghasilkan bahan organik (bahan berenergi tinggi) dari bahan anorganik dengan bantuan energi matahari. Reaksi fotosintesis dapat terjadi pada semua tumbuhan yang mengandung pigmen klorofil-a, dan dengan adanya cahaya matahari. Menurut Putri dan Suciaty (2009), produktivitas primer di perairan Teluk Ambon memiliki variasi musiman. Nilai produktivitas primer pada saat Musim Timur lebih tinggi dibandingkan saat musim barat. Selama periode upwelling di Laut Banda produktivitas primer berkisar dari gc.m -2 tahun -1 di laut terbuka sampai 2555 gc.m -2 tahun -1 di perairan pantai yang tertutup di Irian Jaya, sedangkan selama tidak terjadi upwelling rata-rata gc.m -2 tahun -1 (Gieskes et al. 1990). Nixon (1995) mengklasifikasi perairan berdasarkan produksi primer fitoplankton dimana oligotrofik: < 100 gc m -2 tahun -1, mesotrofik gc m - 2 tahun -1, eutrofik: gc m -2 tahun -1, dan hypertrofik: > 500 gc m -2 tahun -1. Produktivitas primer di perairan Teluk Ambon, baik di Teluk Ambon Dalam maupun Teluk Ambon Luar yang menghadap ke Laut Banda, memiliki nilai yang seragam. Hal ini menunjukkan bahwa perairan ini mendapat pengaruh dominan dari laut Banda. Penelitian ini bertujuan menganalisis tingkat perubahan musiman produktivitas fitoplankton pada Perairan Teluk Ambon Dalam. METODE PENELITIAN Berdasarkan pertimbangan karakteristik perairan, maka perairan TAD dibagi atas 3 zona. Zona-1 sangat dipengaruhi oleh perairan dari Teluk Ambon Luar, Zona-2 yang terletak dibagian tengah teluk, dan Zona-3 yang sangat dipengaruhi oleh ekosistem mangrove dan sungai-sungai.

73 53 Tabel 21 Kedalaman masing-masing stasiun (m) pada TAD Stasiun Kedalaman Tabel 21 memperlihatkan kedalaman total masing-masing stasiun, Stasiun 2 mewakili Zona-1, Stasiun 5 mewakili Zona-2 dan Stasiun 8 mewakili Zona-3. Setiap zona terdiri dari tiga titik kedalaman dengan persentase intensitas cahaya matahari 50%, 25% dan 1% dari cahaya permukaan. Penentuan zonasi secara vertikal berdasarkan pada metode standar inkubasi secara in situ (Gocke dan Lens 2004). Biomassa fitoplankton (Chl-a) diukur menggunakan CTD-ALEC, Model ASTD-687. Penentuan posisi stasiun menggunakan GPS-Garmin, Model 76CSx. oksigen terlarut dihitung dengan cara titrasi Winkler. Mengukur Fotosintesis Bersih Pengambilan contoh air laut untuk pengukuran fotosintesis bersih dilakukan pada Stasiun 2, Stasiun 5, dan Stasiun 8 yang terdapat pada bagian tengah teluk di setiap kedalaman dengan menggunakan botol Nansen, kemudian contoh air laut dimasukkan ke dalam botol BOD (botol terang dan gelap) 300 ml dengan menggunakan selang dengan terlebih dahulu disaring dengan plankton net dengan mesh size 200 µm untuk mencegah masuknya macro zooplankton ke dalam botol (Alpin dan Cloern 1988). Selanjutnya diinkubasi pada tiap kedalaman dengan intensitas cahaya 50%, 25%, dan 1% selama 4 jam. Waktu inkubasi terbaik adalah dari pukul sampai WIT (Tambaru 2000). Setelah diinkubasi dilakukan titrasi Winkler untuk mengetahui konsentrasi oksigen pada setiap botol. Pengukuran kandungan oksigen terlarut dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Strickland dan Parsons 1972) : Keterangan : -normalitas thiosulfat = N -reagen terpakai = 4 ml( 1 ml MnSO4dan NaOH +KI dan 2 ml H2SO4 untuk volume botol BOD 300 ml) Nilai produktivitas primer dihitung berdasarkan nilai oksigen pada botol terang dan botol gelap sebelum dan sesudah inkubasi dan mengkonversikannya ke dalam nilai gram karbon per volume selama waktu inkubasi mgc m -3 4 jam -1 (Umaly dan Cuvin 1988). Produktivitas primer bersih (Net Primary Productivity, NPP) dengan perhitungan sebagai berikut: Dimana: NPP = Net Primary Productivity (mgc m -3 4 jam -1 ) L = Oksigen pada botol terang setelah inkubasi (mg L -1 ) D = Oksigen pada botol gelap setelah inkubasi (mg L -1 )

74 54 A = Oksigen pada botol initial x1000 = Konversi liter menjadi m 3 PQ = Photosyntetic Quotien = 1.2, dengan asumsi bahwa hasil metabolisme sebagian besar disebabkan oleh fitoplankton = Koefisien konversi oksigen menjadi karbon (=12/32). Selanjutnya untuk mengetahui distribusi biomassa fitoplankton (klorofil-a) secara temporal dan spasial, data dianalisis dengan ANOVA satu arah (one-way ANOVA), dan jika terdapat perbedaan yang nyata, maka analisis dilanjutkan dengan uji Post-doc Duncan. Pengambilan contoh fitoplankton pada Stasiun 2 (Zona-1), Stasiun 5 (Zona -2), dan Stasiun 8 (Zona-3). Pada masing-masing stasiun diambil contoh air laut sebanyak 10 liter pada kedalaman intensitas cahaya matahari sebesar 50%, 25%, dan 1% dari permukaan laut. Contoh air laut yang telah disaring dimasukkan ke dalam botol sampel 100 ml kemudian diawetkan dengan lugol 1% (Rao dan Pan 1993) Penanganan sampel untuk pencacahan fitoplankton dilakukan dengan metode pengendapan yang dikembangkan oleh (Uthermol 1958 diacu dalam Damar 2003). Identifikasi fitoplankton dilakukan hanya pada tahap genera. Kelimpahan sel fitoplankton dihitung dengan persamaan menurut Utermohl 1958, diacu dalam Damar (2003) sebagai berikut: Dimana : N = Kelimpahan fitoplankton (sel ml -1 ) n = Jumlah sel yang tercacah (sel) Ls = Luas Sedgwick-rafter (mm 2 ) Lp = Luas Sedgwick-rafter yang diamati (mm 2 ) Vol.1 =Volume air contoh hasil pengendapan (ml) Vol.2 =Volume air contoh yang diendapkan (ml) Vol.S =Volume Sedgwick-rafter counting cell (ml) Produktivitas Primer HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai produktivitas primer bersih yang diperoleh selama waktu inkubasi di TAD dengan kisaran nilai produktivitas primer pada Musim Timur, Musim Peralihan II, Musim Barat dan Musim Peralihan I di Zona-1, 2, dan 3 (Tabel 22 dan Gambar 29). Nilai produktivitas yang tinggi pada Musim Timur pada zona 2 (562 mgc/m 3 /jam) dengan intensitas cahaya 25 % dan terendah pada Zona-1 (21 mgc/m 3 /jam) pada intensitas cahaya 1 %. Musim Peralihan II nilai tertinggi di Zona-2 pada intensitas cahaya 50 % dan terendah pada Zona-3 pada intensitas 1 %, Musim Barat nilai tertinggi pada Zona-2 pada intensitas cahaya 25 % dan rendah di Zona-3 pada intensitas cahaya 1 %, dan Musim Peralihan I tertinggi di Zona-2 pada intensitas cahaya 50 % dan rendah pada Zona-2 pada intensitas cahaya 1 %.

75 Tabel 22 Rerata nilai produktivitas primer (mg C/m 3 /jam) pada setiap zona berdasarkan intensitas cahaya. Zona Musim Timur Peralihan II Barat Peralihan I Nilai produktivitas yang tinggi pada keempat musim terdapat di Zona-2 pada kedalaman intensitas cahaya 25% dan 50%, hal ini disebabkan karena nilai kekeruhan yang rendah yang berkisar antara 0.82 sampai 1.18 FTU. Rendahnya nilai produktivitas primer pada kedalaman intensitas cahaya I % dari intensitas cahaya permukaan air, disebabkan karena pada daerah ini laju fotosintesis sama dengan laju respirasi. Berdasarkan hasil penelitian ini dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Alianto (2011) di perairan Teluk Banten dengan nilai rata-rata 7.95 sampai mgc/m 3 /jam, maka perairan TAD memiliki nilai produktivitas primer yang lebih tinggi. 55 Gambar 29 Rerata nilai produktivitas primer pada tiap kedalaman Berdasarkan intensitas cahaya. Kelimpahan fitoplankton tertinggi pada Musim Peralihan II sebesar 28.5x10 6 sampai 54.5x10 6 sel/m 3 dan terendah pada Musim Peralihan I sebesar 5.5x10 6 sampai 17.6x10 6 sel/m 3 (Gambar 30). Musim Timur dan Musim Barat di Zona-1 pada intensitas cahaya 1 % dari permukaan air dengan kelimpahan fitoplankton yang tinggi, sedangkan Musim Peralihan II di Zona-3 pada intensitas cahaya 50% dari permukaan air. Kelimpahan fitoplankton yang tinggi pada Musim Timur dan Musim Barat pada kedalaman intensitas cahaya 1 % disebabkan karena terjadi percampuran massa air yang masih berada pada zona eufotik, sehingga fitoplankton terseret oleh massa air ke kedalaman dengan intensitas cahaya 1 %.

76 56 Gambar 30 Rerata kelimpahan fitoplankton pada tiap kedalaman berdasarkan intensitas cahaya Kelimpahan fitoplankton dengan produktivitas primer pada Musim Timur, Peralihan II, Barat, dan Peralihan I tidak memiliki hubungan masing-masing (ANOVA;P=0.69,P=0.87,P=0.56, dan P=0.25), sebaliknya klorofil-a dengan produktivitas primer pada Musim Barat menunjukkan hubungan yang signifikan dengan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0.81, hal ini disebabkan saat pengambilan contoh fitoplankton maka fitoplankton yang berukuran ultra dan nano-fitoplankton lolos pada jaring plankton. Gambar 31 Hubungan produktivitas primer dengan intensitas cahaya

77 Gambar 31 menunjukkan hubungan antara intensitas cahaya dengan produktivitas primer. Hasil analisis regresi pada Musim Peralihan II, Barat dan Peralihan I diperoleh nilai koefisien korelasi (r) berturut-turut adalah 0.864, 0.998, dan Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara intensitas cahaya dengan produktivitas primer, lagi pula semakin tinggi intensitas cahaya maka semakin tinggi produktivitas sampai batas tertentu kemudian turun kembali seiring dengan kenaikan intensitas cahaya. Pada intensitas cahaya tertentu produktivitas akan mencapai maksimum, tetapi bila intensitas cahaya yang terlampau kuat akan menyebabkan produktivitas menurun (photo inhibition)( Parsons et al. 1984, Lalli and Parsons 1993,). Distribusi Klorofil-a di TAD Klorofil-a merupakan pigmen penting yang diperlukan fitoplankton dalam melakukan proses fotosintesis, konsentrasi klorofil-a di suatu perairan dapat menggambarkan besarnya produktivitas primer di suatu perairan. Distribusi klorofil-a pada Musim Timur di TAD bervariasi dari 0.71 sampai 1.22µg/L (0.94±0.17). Pada Musim Timur rata-rata konsentrasi klorofil-a tertinggi di Zona- 1 dan terendah di Zona-2 (Tabel 23 dan Gambar 32). Klorofil-a berkorelasi dengan nitrat, nitrit, suhu dan salinitas masing-masing (Pearson s r = ; P<0.05., ; P<0,05., ;P<0.05 dan r = ;P<0.01). Klorofil-a berkorelasi negatif dengan nitrat dan nitrit disebabkan karena peningkatan klorofil-a menyebabkan nitrat dan nitrit berkurang atau sebaliknya. Distribusi rata-rata klorofil-a pada Musim Peralihan II berkisar dari 0.55 sampai 1.17 µg/l (0.73±0.17). Distribusi konsentrasi klorofil-a pada Musim Barat berkisar dari 0.36 sampai 0.59 µg/l (0.44±0.08). Distribusi klorofil-a pada Musim Peralihan I berkisar dari 0.44 sampai 0.68 µg/l (0.56±0.07). Pada musim ini konsentrasi klorofil-a berkorelasi dengan salinitas (Pearson s r = ;P<0.05) (Lampiran 4). Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi klorofil-a meningkat jika salinitas turun atau sebaliknya. Pada Musim Peralihan I rata-rata salinitas 32,11 psu, sedangkan menurut Qui et al. (2010) konsentrasi klorofil-a tinggi pada stasiun dengan salinitas mendekati 30 psu, konsentrasi klorofil-a paling tinggi didominasi oleh mikro dan nano-fitoplankton dengan salinitas 28.9 dan 28.3 psu. Salinitas dengan klorofil-a memiliki hubungan yang sangat berbeda nyata (ANOVA; P<0.01), Hasil analisis regresi diperoleh nilai regresi (r) adalah Secara temporal dan spasial, klorofil-a di permukaan perairan (Gambar 32) menunjukkan ada perbedaan nyata (ANOVA; P<0.01), dan secara temporal tiaptiap musim memberikan pengaruh terhadap klorofil-a pada taraf nyata α = 5%, Pada Musim Barat nilai konsentrasi klorofil-a lebih rendah sedangkan Musim Timur lebih tinggi. Konsentrasi klorofil-a pada Musim Timur lebih tinggi di Zona-1 dan lebih rendah di Zona-2 (Tabel 23). Tabel 23 Rerata konsentrasi klorofil-a (µg/l) pada setiap Zona Zona MUSIM Timur Peralihan II Barat Peralihan I

78 58 Musim Timur konsentrasi klorofil-a tinggi di zona 1 (Tabel 23), disebabkan pada musim ini terjadi upwelling di Laut Banda yang berpengaruh langsung ke TAD dengan masukkan nitrat ( ton/bulan) dan fosfat (61.05 ton/bulan) yang berpengaruh langsung pada Zona-1. Musim Peralihan II dan Musim Barat konsentrasi klorofil-a lebih tinggi di Zona-3, disebabkan oleh masukkan fosfat yang tinggi dari sungai (11.5 ton/bulan) pada Musim Peralihan II dan nitrat (4.45 ton/bulan) pada Musim Barat LS LS LS LS LS P.A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Tantui Neg. Lama Waiheru Passo U Lateri Latta Halong LS LS LS LS LS P. A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Neg. Lama Waiheru Passo U Lateri Latta Halong Tantui Tantui Juni 2011 Juli 2011 Agustus LS LS LS LS LS P. A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Waiheru Neg. Lama Passo U Lateri Latta Halong MT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT LS LS LS LS LS P. A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Tantui Neg. Lama Waiheru Passo U Lateri Latta Halong LS LS LS LS LS P. A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Neg. Lama Waiheru Passo U Lateri Latta Halong Tantui Tantui September 2011 Oktober 2011 November LS LS LS LS LS P. A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Waiheru Neg. Lama Passo U Lateri Latta Halong MP BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT LS LS LS L S LS P. A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Tantui Waiheru Neg. Lama Passo U Lateri Latta Halong LS LS LS LS LS P. A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Neg. Lama Waiheru Passo U Lateri Latta Halong Tantui Tantui Desember 2011 Januari 2012 Februari LS LS LS LS LS P. A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Neg. Lama Waiheru Passo U Lateri Latta Halong MB BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT LS LS LS LS LS P. A M B O N P. A M B O N P. A M B O N Hunuth Poka R. Tiga Galala Tantui Waiheru Neg. Lama Passo U Lateri LS LS LS LS LS Neg. Lama Waiheru Hunuth Poka Lateri Latta Latta Halong Halong R. Tiga Galala Passo Hunuth U Poka R. Tiga Galala Tantui Tantui Maret 2012 April 2012 Mei LS LS LS LS LS Neg. Lama Waiheru Passo U Lateri Latta Halong MP BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT BT Klorofil [ug/l] Gambar 32. Peta distribusi klorofil-a secara horisontal di perairan TAD Tabel 24 Rerata kedalaman zona eufotik (M) pada TAD Zona MUSIM Timur Peralihan II Barat Peralihan I

79 59 Gambar 33. Peta distribusi klorofil-a (µg/l) secara vertikal di perairan TAD Gambar 33 dan Tabel 24 memperlihatkan bahwa distribusi klorofil-a secara vertikal dan kedalaman zona eufotik pada TAD bervariasi dari musim ke musim. Pada Musim Timur dan Musim Peralihan II di Zona-2 terdapat konsentrasi yang tinggi pada 2 kedalaman yaitu di zona eufotik dan di bawah zona eufotik. Penyebabnya pada zona ini terjadi pertemuan massa air dari Zona-1 dan Zona-3 yang menenggelamkan massa air dengan konsentrasi klorofil-a yang tinggi, sedangkan pada Musim Timur di Zona-3 konsentrasi klorofil-a tinggi pada kedalaman 6 m, jadi masih berada pada zona eufotik. Musim Barat konsentrasi klorofil-a tertinggi pada Zona-1 dan Zona-3 di kedalaman 6 m, sedangkan Musim Peralihan I terdapat pada Zona-3 di kedalaman 5 m yang masih berada pada zona eufotik. Pada keempat musim terlihat bahwa terjadi proses downwelling pada Zona-2 lagi pula fitoplankton terseret ke bawah zona eufotik. SIMPULAN Tingkat perubahan musiman produktivitas fitoplankton di perairan TAD menunjukkan bahwa konsentrasi klorofil-a lebih tinggi pada Musim Timur dibandingkan dengan musim lainnya. Tingginya konsentrasi klorofil-a dipengaruhi oleh upwelling yang terjadi dari Laut Banda. Korelasi antara klorofila dengan produktivitas primer menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan pada Musim Barat, hal ini disebabkan produktivitas primer tidak hanya dipengaruhi oleh biomassa fitoplankton (klorofil-a), tetapi juga oleh intensitas cahaya, suhu, dan nutrien.

80 60 HUBUNGAN ANTARA SUKSESI FITOPLANKTON DENGAN PERUBAHAN RASIO N DAN P DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM PENDAHULUAN Fitoplankton membutuhkan berbagai unsur untuk pertumbuhannya. Elemen - elemen makro nutrien seperti nitrogen, fosfor dan silika yang mengontrol laju pertumbuhan dan komposisi komunitas fitoplankton di estuari (Ryther dan Dunstan 1971, Malone et al. 1996, Richardson dan Jorgensen 1996, Mallin et al diacu dalam Gobler et al. 2005). Selanjutnya Gobler et al. (2005) menyatakan bahwa tersedianya nutrien di estuari sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar dan pertukaran air laut, sumber air tawar berasal dari sungai, air tanah dan runoff dari darat yang mensuplai nutrien ke estuari dan pertukaran air laut melalui pasang surut yang mengencerkan konsentrasi nutrien. Kebutuhan nutrien sangat berbeda antara fitoplankton yang hidup di perairan tawar maupun perairan laut. Sedangkan Maier et al. (2009) konsentrasi nitrat dan silika paling tinggi di perairan tawar dan menurun dengan meningkatnya salinitas. Biasanya di perairan tawar, fosfor (P) lebih bersifat faktor pembatas (Schindler 1971, diacu dalam Domingues et al. 2010) dan nitrogen (N) di ekosistem laut (Ryther dan Dunstan 1971, diacu dalam Domingues et al. 2010). Lagus et al. (2004) menyatakan N, P dan Si adalah yang paling sering dijumpai sebagai faktor pembatas (limiting factor) pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton baik pada perairan tawar, estuari, dan laut. Disebut sebagai faktor pembatas karena N dan P sangat dibutuhkan oleh fitoplankton dalam jumlah yang besar namun ketersediaannya sedikit dan tidak mencukupi, sedangkan Si dibutuhkan untuk pembentukan dinding sel (frustula) dari diatomae (Barnes dan Hughes 1988). Menurut Qiu et al. (2010) konsentrasi PO 4 yang rendah, maka diatom yang berukuran besar seperti Skeletonema costatum tidak dapat bertumbuh. Berdasarkan ambang batas DIN dan PO 4 untuk semua pertumbuhan fitoplankton diperkirakan 1.0 dan 0.1 µm (Justic et al. 1995). Perbandingan antara nitrogen dan fosfor yang diperlukan oleh fitoplankton berkisar antara 10:1 sampai 20:1 (Grahame 1987). Menurut Almo et al. 1997, diacu dalam Lopes et al. 2007) rasio molar Redfield antara DIN, P, dan Si untuk pertumbuhan fitoplankton yakni Si:N:P adalah 16:16:1. Bila rasio Si:N dan Si:P relatif tinggi dan Si tersedia, maka pertumbuhan fitoplankton baik, akan tetapi jika rasio Si:N dan Si:P menurun maka algae yang lain yang akan bertumbuh (Lopes et al. 2007). Menurut Xu et al. (2008) eutrofikasi pada ekosisitem pantai disebabkan oleh berlebihannya nutrien seperti nitrat dan fosfat. Selanjutnya di banyak perairan pantai, pengkayaan antropogenik N dan P menyebabkan ketidakseimbangan rasio nutrien dibandingkan dengan rasio Redfield yang menyebabkan perubahan fitoplankton alami. Rasio Si:N dan Si:P yang rendah di banyak perairan pantai yang terjadi eutrofikasi dapat dihubungkan dengan perubahan diatom yang dominan menjadi dinoflagellata berbahaya yang dominan (Smayda 1990, Moncheca et al. 2001, diacu dalam Varkitzi et al. 2010). Penelitian ini bertujuan mengkaji hubungan

81 antara suksesi fitoplankton dengan perubahan rasio N, P, dan Si di perairan Teluk Ambon Dalam. METODE PENELITIAN Pengambilan contoh fitoplankton dilakukan secara vertikal dari kedalaman dengan intensitas cahaya 1% sampai ke permukaan perairan di setiap stasiun. Contoh plankton yang diperoleh dengan menggunakan plankton net Kitahara dengan diameter mulut jaring 0.30 m, panjang 1 meter dan mesh size 60 µm. Contoh air laut yang telah disaring dimasukkan ke dalam botol sampel 100 ml kemudian diawetkan dengan lugol 1% (Rao dan Pan 1993). Kelimpahan sel fitoplankton dihitung dengan persamaan sebagai berikut : D = C * V / V *V (sel/m 3 ) Dimana : D = Jumlah sel per m 3 C = Jumlah sel yang dihitung V = Volume sampel yang terkonsentrasi V = Volume yang dihitung V = Volume air yang tersaring oleh plankton net (m 3 ) Volume air yang tersering oleh plankton net (V ) dihitung menggunakan rumus : V = a.s Dimana, A = Luas penampang jaring S = Jarak penarikan plankton net (s = v.t) V = Kecepatan penarikan (ms-1) t = Lama waktu penarikan jaring Identifikasi fitoplankton dilakukan dengan menggunakan literatur menurut Davis (1955), Newell and Newell (1977), Yamaji (1984), dan Tomas (1997). Analisis data Untuk mengetahui distribusi kelimpahan fitoplankton dan distribusi konsentrasi nutrien inorganik terlarut dianalisis dengan ANOVA satu arah (oneway ANOVA). Apabila pada analisis ini terdapat perbedaan yang nyata, maka analisis dilanjutkan dengan uji Post-hoc Duncan. Untuk mengetahui hubungan antara laju pertumbuhan dengan nutrien inorganik terlarut serta rasio N:P dan rasio N:Si dengan parameter lingkungan dilakukan dengan analisis korelasi Pearson s. 61

82 62 HASIL DAN PEMBAHASAN Konsentasi Unsur Hara di Perairan TAD Secara temporal, distribusi konsentrasi DIN di perairan menunjukkan perbedaan nyata (ANOVA; P<0.01), selanjutnya Musim Barat dan Musim Peralihan II berbeda dengan Musim Timur dan Musim Peralihan I, lagi pula Musim Timur dan Musim Peralihan I dengan konsentrasi DIN yang tinggi disebabkan oleh masukan DIN dari darat dan juga pengaruh upwelling dari Laut Banda. Pada Musim Peralihan I merupakan musim peralihan dari Musim Barat ke Musim Timur, sehingga rata-rata tingkat curah hujan mulai tinggi (19 mm) (data BMG Stasiun Laha Ambon). Distribusi konsentrasi DIN pada Musim Timur secara spasial menunjukkan perbedaan nyata (ANOVA; P<0.01), selanjutnya Zona-2 dengan konsentrasi DIN yang tinggi (Tabel 25), hal ini disebabkan terjadi akumulasi DIN dari Zona-1 dan Zona-3. Pada Musim Peralihan II secara spasial, konsentrasi DIN tidak berbeda nyata (ANOVA; P=0.186). Pada Musin Barat dan Peralihan I konsentrasi DIN lebih tinggi di Zona-3, hal ini disebabkan masukan DIN dari sungai-sungai di sekitar zona tersebut. Tabel 25 Rerata konsentrasi DIN (µm) pada setiap zona Zona Musim Timur Peralihan II Barat Peralihan I Secara temporal, distribusi konsentrasi fosfat di perairan menunjukkan perbedaan nyata (ANOVA; P<0.01), selanjutnya konsentrasi fosfat pada Musim Peralihan I berbeda dengan Musim Timur, lagi pula konsentrasi PO 4 -P pada Musim Peralihan I lebih rendah dibandingkan dengan Musim Timur. Musim Timur konsentrasi PO 4 P lebih tinggi pada Zona-1, disebabkan oleh pengaruh masukan PO 4 -P dari perairan TAD sebesar ton/bulan, sedangkan Musim Peralihan I tinggi pada Zona-3 disebabkan pengaruh masukan PO 4 -P dari sungaisungai pada zona tersebut (Tabel 26). Tabel 26 Rerata konsentrasi PO 4 -P (µm) pada setiap zona Zona Musim Timur Peralihan II Barat Peralihan I Secara temporal, distribusi konsentrasi silika di perairan menunjukkan perbedaan nyata (ANOVA; P<0.01), selanjutnya konsentrasi silika Musim Peralihan I sangat berbeda terhadap Musim Timur, lagi pula konsentrasi silika pada Musim Peralihan I lebih rendah dibandingkan dengan Musim Timur (Tabel 27). Tingginya silika pada Musim Timur akibat masukan dari darat. Secara spasial pada Musim Timur, Musim Peralihan II dan Musim Barat distribusi konsentrasi

83 silika di permukaan perairan menunjukkan perbedaan nyata (ANOVA; P<0.01), Musim Timur konsentrasi silika lebih tinggi pada Zona-1 (Tabel 27). Tingginya konsentrasi silika disebabkan masukan dari sungai dan run off dari darat. Tabel 27 Rerata konsentrasi SiO 2 -Si (µm) pada setiap zona Zona Musim Timur Peralihan II Barat Peralihan I Rasio DIN dan DIP serta DSi dan DIN Tabel 28 menunjukkan bahwa rasio DIN:DIP pada Musim Timur, Musim Peralihan II, dan Musim Barat rendah (< 16), kecuali Musim Peralihan I pada Zona-2 (>16). Menurut Pirzan dan Pong-Masak (2008) rendahnya rasio N/P, diduga karena perbedaan kondisi dan proses yang terjadi di lingkungan perairan. Apabila laju pemakaian nitrogen oleh fitoplankton berlangsung cepat dan tidak sebanding dengan laju pemakaian fosfat maka rasio N/P akan mengecil. Hal lain juga dapat terjadi, dimana laju regenerasi fosfat dari bahan tersuspensi atau sedimen berlangsung lebih cepat dan tidak disertai penyediaan nitrogen yang cukup. Bila rasio DIN dan DIP tinggi atau lebih besar dari 16, maka yang menjadi pembatasan pertumbuhan fitoplankton adalah DIP. Selanjutnya bila rasio DIN dan DIP rendah atau lebih kecil dari 16, maka yang menjadi pembatas pertumbuhan fitoplankton adalah DIN. Selain rasio Redfield dapat pula digunakan sebagai indikator struktur komposisi komunitas fitoplankton (Sommer 1989). Pada umumnya Bacillariophyceae lebih dominan pada rasio DIN dan DIP yang rendah (Lagus et al. 2004). Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada Musim Peralihan I pada Zona-2 rasio DIN dan DIP lebih besar dari 16 yang berarti fosfat menjadi pembatas pertumbuhan fitoplankton. Tabel 28 Rerata rasio DIN:DIP pada setiap zona di Perairan TAD Zona Musim Timur Peralihan II Barat Peralihan I Musim Barat rasio DSi dan DIN di perairan ini memperlihatkan nilai yang tinggi (Tabel 29). Rasio DSi:DIN dapat digunakan sebagai indikator pembatas pertumbuhan fitoplankton (Ragueneau et al. 1994) dan untuk menentukan struktur komposisi komunitas fitoplankton (Brzezinski 2003). Selanjutnya Brzezinski (2003) menyatakan bahwa rasio normal DSi:DIN adalah 1:1. Pada umumnya Bacilariophyceae menyerap DSi dan DIN pada rasio 1. Pada rasio DSi:DIN lebih kecil dari 1 menunjukkan DSi sebagai pembatas pertumbuhan fitoplankton khususnya Bacillariophyceae. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata

84 64 silika menjadi pembatas pertumbuhan fitoplankton hanya pada Musim Peralihan I di perairan Teluk Ambon Dalam. Tabel 29 Rerata Rasio DSi:DIN pada setiap zona di perairan TAD Zona Suksesi Jenis-Jenis Fitoplankton Musim Timur Peralihan II Barat Peralihan I Gambar 34 menunjukkan bahwa kelimpahan tertinggi pada Musim Peralihan II dan terendah pada Musim Timur. Zona-1 pada Musim Timur kelimpahan fitoplankton rendah tetapi konsentrasi klorofil-a tinggi (1.06 µg/l), hal ini disebabkan karena terdapat fitoplankton yang berukuran ultra dan nanofitoplankton dalam jumlah besar yang lolos dari jaring (plankton net) pada saat sampling, sedangkan Musim Peralihan II kelimpahan fitoplankton tinggi tetapi konsentrasi klorofil-a rendah (0.65 sampai 0.87 µg/l), hal ini disebabkan karena terdapat fitoplankton berukuran besar pada perairan. Menurut Nontji (2008) ukuran fitoplankton bervariasi dengan ukuran yang paling umum antara 2 sampai 200 µm. Hasil analisis terhadap komposisi fitoplankton di 10 stasiun pengamatan ditemukan 4 kelas yakni Bacillariophyceae (Diatom), Dinophyceae, Cyanophyceae, dan Chrysophyceae. Fitoplankton terdiri atas 38 genera Bacillariophyceae, 12 genera Dinophyceae, 1 genus Cyanophyceae dan 2 genera Chrysophyceae. Gambar 34. Kelimpahan fitoplankton pada setiap Zona Gambar 35 menunjukkan bahwa fitoplankton didominasi oleh Bacillariophyceae diikuti oleh Cyanophyceaea dan Dinophyceae. Musim Timur didominasi oleh Cyanophyceae, kemudian Musim Peralihan II dan Musim Barat terjadi suksesi, lagi pula Bacillariophyceae mendominasi perairan dan terjadi peningkatan Dinophyceae. Musim Peralihan I masih didominasi oleh Bacillariophyceae tetapi terjadi penurunan Dinophyceae. Pada Zona-3 di Musim

85 Timur terdapat kelimpahan Trichodesmium tertinggi, hal ini disebabkan kecepatan arus rendah (3,99 cm/det) dan rata-rata intensitas cahaya terendah (253.87µmol foton m -2 det -1 ). Menurut Nontji (2006) di Indonesia blooming Trichodesmium terjadi saat laut tenang dan penutupan awan minimal. 65 Gambar 35. Komposisi fitoplankton pada setiap Zona Gambar 36 menunjukkan bahwa distribusi fitoplankton secara spasial pada Musim Timur di Zona-1, 2, dan 3 berturut-turut dengan kehadiran 28 genera, 25 genera dan 21 genera. Trichodesmium dari kelas Cyanophyceae mendominasi ke 3 zona dengan persentase tertinggi, kemudian diikuti oleh Nitzschia, Dinophysis dan Chaetoceros. Stephanopysis terdapat pada Zona-2 dan Alexandrium terdapat pada Zona-3. Dan pada daerah tersebut terjadi blooming Alexandrium affine pada tahun 1997 (Wagey 2001), Pyrodinum spp dan Alexandrium spp (Tuhepaly 2012). Gambar 36. Fitoplankton yang dominan pada Musim Timur

86 66 Musim Peralihan II di Zona-1 dan 2 terdapat masing-masing 26 genera dan Zona-3 terdapat 25 genera. Pada musim ini terjadi penurunan kelimpahan Trichodesmium sp dari kelas Cyanophyceae, ketiga zona didominasi oleh kelas Bacillariophyceae yang terdiri dari Chaetoceros sp dan Bacteriastrum sp,diikuti oleh Dinophyceae yang terdiri dari Ceratium sp dan Alexandrium sp (Gambar 37). Pada Musim Barat di Zona-1 dan 2 masing-masing terdapat 27 genera dan zona 3 terdapat 24 genera yang didominasi oleh kelas Bacillariophyceae yang terdiri dari Chaetoceros sp, Bacteriastrum sp dan Climacodium sp dan diikuti oleh kelas Cyanophyceae (Trichodesmium sp) dan kelas Dinophyceae yang terdiri dari Alexandrium sp dan Ceratium sp. Zona-1 didominasi oleh Chaetoceros sp dengan persentase yang tinggi, Zona-2 dan 3 didominasi oleh Trichodesmium sp, dengan persentase yang tinggi dan di Zona-2 terdapat Alexandrium sp dengan persentase yang tinggi (Gambar 38), Musim Peralihan I di Zona-1, 2, dan 3 berturut-turut terdapat 26 genera, 28 genera dan 29 genera yang didominasi oleh kelas Bacillariophyceae yang terdiri dari Chaetoceros sp, Bacteriastrum sp, Thalassionema sp, Thalassiothrix sp dan Nitzschia sp dan diikuti oleh kelas Cyanophyceae (Trichodesmium sp). Pada Zona-1 terdapat Chaetoceros sp dengan persentase yang tinggi, sedangkan pada Zona-2 dan 3 terdapat Trichodesmium sp dengan persentase yang tinggi (Gambar 39). Menurut Lalli and Parsons (1993) fitoplankton yang paling dominan adalah Bacillariophyceae (Diatom) kemudian diikuti oleh Dinoflagellata, namun pada perairan TAD Musim Timur didominasi oleh kelas Cyanophyceae kemudian terjadi suksesi pada Musim Peralihan II, Musim Barat dan Musim Peralihan I yang didominasi oleh kelas Bacillariophyceae. Gambar 37 Fitoplankton yang dominan pada Musim Peralihan II Gambar 38 Fitoplankton yang dominan pada Musim Barat

87 67 Gambar 39 Fitoplankton yang dominan pada Musim Peralihan I Musim Peralihan II dan Musim Barat terjadi suksesi lagi pula diatom mendominasi perairan, hal ini ditunjang dengan rasio N:P yang rendah dan ratarata rasio Si:N tinggi. Pada Musim Peralihan II dan Musim Barat Chaetoceros sp dan Bacteriastrum sp yang mendominasi perairan. Musim Peralihan I rata-rata rasio Si:N menurun, tetapi didominasi oleh kelompok Bacillariophyceae (Diatom) yang terdiri dari Chaetoceros sp, Bacteriastrum sp, Thalassionema sp, Thalassiothrix sp dan Nitzschia sp. Musim Peralihan I masih didominasi oleh diatom tetapi terjadi penurunan dinoflagellata. Tabel 30 menunjukkan bahwa rasio Cyanophyceae :(diatom+dinoflagellata) lebih tinggi pada Musim Timur di Zona-3, kemudian diikuti dengan Zona-1. Sedangkan yang paling rendah di Musim Barat pada Zona-1. Tabel 30 Rasio Cyanophyceae:(Diatom+Dinoflagellata) pada setiap Zona di Perairan TAD Musim Zona Timur Peralihan II Barat Peralihan I SIMPULAN Suksesi musiman terhadap fitoplankton pada Musim Timur didominasi oleh Trichodesmium dari kelas Cyanophyceae. Sementara jenis ini cenderung mengalami penurunan pada Musim Peralihan II, Barat dan Peralihan I. Pada Musim Peralihan II mulai didominasi oleh Chaetoceros dari kelompok Bacillariophyceae. Rasio DIN dan DIP < 16 menunjukkan bahwa kelas Trichodesmium yang lebih dominan, karena konsentrasi fosfat ditemukan lebih tinggi pada Musim Timur. Rasio DSi dan DIN < 1 menunjukkan kelas Bacillariophyceae lebih dominan pada Musim Peralihan I, disebabkan oleh nitrogen yang lebih tinggi.

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA SUKSESI FITOPLANKTON DENGAN PERUBAHAN RASIO N DAN P DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM PENDAHULUAN

HUBUNGAN ANTARA SUKSESI FITOPLANKTON DENGAN PERUBAHAN RASIO N DAN P DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM PENDAHULUAN 60 HUBUNGAN ANTARA SUKSESI FITOPLANKTON DENGAN PERUBAHAN RASIO N DAN P DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM PENDAHULUAN Fitoplankton membutuhkan berbagai unsur untuk pertumbuhannya. Elemen - elemen makro nutrien

Lebih terperinci

PENGARUH MUSIM TERHADAP KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN FITOPLANKTON DI TELUK AMBON DALAM PENDAHULUAN

PENGARUH MUSIM TERHADAP KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN FITOPLANKTON DI TELUK AMBON DALAM PENDAHULUAN 45 PENGARUH MUSIM TERHADAP KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN FITOPLANKTON DI TELUK AMBON DALAM PENDAHULUAN Perairan Teluk Ambon terdiri atas perairan Teluk Ambon Dalam dan Teluk Ambon Luar yang dibatasi oleh ambang

Lebih terperinci

PERUBAHAN MUSIM TERHADAP BEBAN MASUKAN NUTRIEN DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM PENDAHULUAN

PERUBAHAN MUSIM TERHADAP BEBAN MASUKAN NUTRIEN DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM PENDAHULUAN 33 PERUBAHAN MUSIM TERHADAP BEBAN MASUKAN NUTRIEN DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM PENDAHULUAN Pusat perkembangan populasi manusia di daerah pantai, terutama di daerah estuari mempunyai pengaruh yang besar

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN MUARA JAYA TELUK JAKARTA USMAN MADUBUN

PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN MUARA JAYA TELUK JAKARTA USMAN MADUBUN PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN MUARA JAYA TELUK JAKARTA USMAN MADUBUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

JURNAL MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

JURNAL MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN JURNAL MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Volume, Nomor, April 00 VALUASI EKONOMI WISATA SANTAI BEACH DAN PENGARUHNYA DI DESA LATUHALAT KECAMATAN NUSANIWE STRUKTUR MORFOLOGIS KEPITING BAKAU (Scylla paramamosain)

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR

KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI 2 STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA

PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh: BETZY VICTOR TELAUMBANUA 090302053 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perairan pesisir merupakan wilayah perairan yang banyak menerima beban masukan bahan organik maupun anorganik (Jassby and Cloern 2000; Andersen et al. 2006). Bahan ini berasal

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisik Kimiawi dan Biologi Perairan Dari hasil penelitian didapatkan data parameter fisik (suhu) kimiawi (salinitas, amonia, nitrat, orthofosfat, dan silikat) dan

Lebih terperinci

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH Oleh : Helmy Hakim C64102077 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial 5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Hasil pengamatan terhadap citra SPL diperoleh bahwa secara umum SPL yang terendah terjadi pada bulan September 2007 dan tertinggi pada bulan Mei

Lebih terperinci

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA Oleh; Galih Kurniawan C64104033 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN karena sungai-sungai banyak bermuara di wilayah ini. Limbah itu banyak dihasilkan dari

PENDAHULUAN karena sungai-sungai banyak bermuara di wilayah ini. Limbah itu banyak dihasilkan dari PENENTUAN PARAMETER PALING DOMINAN BERPENGARUH TERHADAP PERTUMBUHAN POPULASI FITOPLANKTON PADA MUSIM KEMARAU DI PERAIRAN PESISIR MAROS SULAWESI SELATAN 1 Rahmadi Tambaru 1, Enan M. Adiwilaga 2, Ismudi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KARTIKA NUGRAH PRAKITRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

JURNAL MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

JURNAL MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN JURNAL MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Volume 7, Nomor 1, April 2011 ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PENGEMBANGAN KAWASAN PERIKANAN DI KABUPATEN MALUKU TENGAH TEKNOLOGI PROSES PEGARAMAN DI

Lebih terperinci

KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN PLANKTON DI PERAIRAN PULAU GUSUNG KEPULAUAN SELAYAR SULAWESI SELATAN SKRIPSI. Oleh: ABDULLAH AFIF

KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN PLANKTON DI PERAIRAN PULAU GUSUNG KEPULAUAN SELAYAR SULAWESI SELATAN SKRIPSI. Oleh: ABDULLAH AFIF KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN PLANKTON DI PERAIRAN PULAU GUSUNG KEPULAUAN SELAYAR SULAWESI SELATAN SKRIPSI Oleh: ABDULLAH AFIF 26020110110031 JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

VARIABILITY NET PRIMERY PRODUCTIVITY IN INDIAN OCEAN THE WESTERN PART OF SUMATRA

VARIABILITY NET PRIMERY PRODUCTIVITY IN INDIAN OCEAN THE WESTERN PART OF SUMATRA 1 VARIABILITY NET PRIMERY PRODUCTIVITY IN INDIAN OCEAN THE WESTERN PART OF SUMATRA Nina Miranda Amelia 1), T.Ersti Yulika Sari 2) and Usman 2) Email: nmirandaamelia@gmail.com ABSTRACT Remote sensing method

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Morotai yang terletak di ujung utara Provinsi Maluku Utara secara geografis berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik di sebelah utara, sebelah selatan berbatasan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

SEBARAN HORIZONTAL BIOMASSA FITOPLANKTON (Klorofila) DI PERAIRAN ESTUARI SUNGAI BRANTAS, JAWA TIMUR RESPATI ADI KATMOYO C

SEBARAN HORIZONTAL BIOMASSA FITOPLANKTON (Klorofila) DI PERAIRAN ESTUARI SUNGAI BRANTAS, JAWA TIMUR RESPATI ADI KATMOYO C SEBARAN HORIZONTAL BIOMASSA FITOPLANKTON (Klorofila) DI PERAIRAN ESTUARI SUNGAI BRANTAS, JAWA TIMUR RESPATI ADI KATMOYO C24102036 DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH What is a thermocline? A thermocline is the transition layer between warmer mixed water at the ocean's surface and

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi komunitas plankton sampai tingkat genus di Pulau Biawak terdiri dari 18 genus plankton yang terbagi kedalam 14 genera

Lebih terperinci

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT Martono Divisi Pemodelan Iklim, Pusat Penerapan Ilmu Atmosfir dan Iklim LAPAN-Bandung, Jl. DR. Junjunan 133 Bandung Abstract: The continuously

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta Hasil pengamatan lapangan nitrat, amonium, fosfat, dan DO bulan Maret 2010 masing-masing disajikan pada Gambar

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali Selat adalah sebuah wilayah perairan yang menghubungkan dua bagian perairan yang lebih besar, dan karenanya pula biasanya terletak diantara dua

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER DENGAN METODE KLOROFIL-a DI PERAIRAN BELAWAN SUMATERA UTARA AMANDA PARAMITHA

PRODUKTIVITAS PRIMER DENGAN METODE KLOROFIL-a DI PERAIRAN BELAWAN SUMATERA UTARA AMANDA PARAMITHA PRODUKTIVITAS PRIMER DENGAN METODE KLOROFIL-a DI PERAIRAN BELAWAN SUMATERA UTARA SKRIPSI AMANDA PARAMITHA 090302048 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Oseanografi. Suhu perairan selama penelitian di perairan Teluk Banten relatif sama di

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Oseanografi. Suhu perairan selama penelitian di perairan Teluk Banten relatif sama di HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Oseanografi Suhu Suhu perairan selama penelitian di perairan Teluk Banten relatif sama di seluruh kedalaman kolom air di stasiun A dan B yang berkisar dari 28 29 C (Tabel 3).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PLANKTON Plankton merupakan kelompok organisme yang hidup dalam kolom air dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas (Wickstead 1965: 15; Sachlan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Konsentrasi klorofil-a suatu perairan sangat tergantung pada ketersediaan nutrien dan intensitas cahaya matahari. Bila nutrien dan intensitas cahaya matahari cukup tersedia,

Lebih terperinci

KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN FITOPLANKTON DI PERAIRAN PANTAI DADAP TELUK JAKARTA

KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN FITOPLANKTON DI PERAIRAN PANTAI DADAP TELUK JAKARTA KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN FITOPLANKTON DI PERAIRAN PANTAI DADAP TELUK JAKARTA (Density and Diversity of Phytoplankton in Dadap Coastal Water, Jakarta Bay) ABSTRAK D. Djokosetiyanto 1 dan Sinung Rahardjo

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Oseanografi Pesisir Kalimantan Barat Parameter oseanografi sangat berperan penting dalam kajian distribusi kontaminan yang masuk ke laut karena komponen fisik

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) Oleh : HOLILUDIN C64104069 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS Firman Ramansyah C64104010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perairan Lhokseumawe Selat Malaka merupakan daerah tangkapan ikan yang

I. PENDAHULUAN. Perairan Lhokseumawe Selat Malaka merupakan daerah tangkapan ikan yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmiah Perairan Lhokseumawe Selat Malaka merupakan daerah tangkapan ikan yang subur dengan hasil laut yang bernilai ekonomi tinggi. Hal ini berhubungan dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi plankton sampai tingkat genus pada tambak udang Cibalong disajikankan pada Tabel 1. Hasil identifikasi komunitas plankton

Lebih terperinci

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT Oleh: Nurlaila Fitriah C64103051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

TINGKAT KESUBURAN PERAIRAN SITU CIGUDEG SERTA HUBUNGAN ANTARA PRODUKTIVITAS PRIMER DAN UNSUR HARA

TINGKAT KESUBURAN PERAIRAN SITU CIGUDEG SERTA HUBUNGAN ANTARA PRODUKTIVITAS PRIMER DAN UNSUR HARA TINGKAT KESUBURAN PERAIRAN SITU CIGUDEG SERTA HUBUNGAN ANTARA PRODUKTIVITAS PRIMER DAN UNSUR HARA Oleh: NUR INDRAYAN1 C02495009 SKRIPSI Sebagai Salah Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas

Lebih terperinci

Water Quality Black Water River Pekanbaru in terms of Physics-Chemistry and Phytoplankton Communities.

Water Quality Black Water River Pekanbaru in terms of Physics-Chemistry and Phytoplankton Communities. Water Quality Black Water River Pekanbaru in terms of Physics-Chemistry and Phytoplankton Communities Dedy Muharwin Lubis, Nur El Fajri 2, Eni Sumiarsih 2 Email : dedymuh_lubis@yahoo.com This study was

Lebih terperinci

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR Oleh: Sabam Parsaoran Situmorang C64103011 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi SPL secara Spasial dan Temporal Pola distribusi SPL sangat erat kaitannya dengan pola angin yang bertiup pada suatu daerah. Wilayah Indonesia sendiri dipengaruhi

Lebih terperinci

ANALISIS KUALITAS AIR LAUT DI PERAIRAN SELAT BANGKA BAGIAN SELATAN ANALYSIS OF SEA WATER QUALITY IN THE SOUTHERN OF BANGKA STRAIT

ANALISIS KUALITAS AIR LAUT DI PERAIRAN SELAT BANGKA BAGIAN SELATAN ANALYSIS OF SEA WATER QUALITY IN THE SOUTHERN OF BANGKA STRAIT MASPARI JOURNAL Januari 2017, 9(1):9-16 ANALISIS KUALITAS AIR LAUT DI PERAIRAN SELAT BANGKA BAGIAN SELATAN ANALYSIS OF SEA WATER QUALITY IN THE SOUTHERN OF BANGKA STRAIT Arsyat Sutarso Lumban Gaol 1),

Lebih terperinci

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR Oleh : MIRA YUSNIATI C06498067 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Tengah dan Selatan. Rata-rata SPL selama penelitian di Zona Utara yang pengaruh massa air laut Flores kecil diperoleh 30,61 0 C, Zona Tengah yang

Tengah dan Selatan. Rata-rata SPL selama penelitian di Zona Utara yang pengaruh massa air laut Flores kecil diperoleh 30,61 0 C, Zona Tengah yang 8 PEMBAHASAN UMUM Berdasarkan letaknya yang pada bagian selatan berbatasan dengan laut Flores, karakteristik perairan Teluk Bone sangat dipengaruhi oleh laut ini. Arus permukaan di Teluk Bone sangat dipengaruhi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut ini berada di Teluk Cikunyinyi, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta Rata-Rata Suhu Setiap Stasiun

Gambar 4. Peta Rata-Rata Suhu Setiap Stasiun BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika Perairan 4.1.1 Suhu Setiap organisme perairan mempunyai batas toleransi yang berbeda terhadap perubahan suhu perairan bagi kehidupan dan pertumbuhan organisme

Lebih terperinci

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 4, Tahun 2013, Halaman Online di :

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 4, Tahun 2013, Halaman Online di : JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 4, Tahun 2013, Halaman 406-415 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose SEBARAN NITRAT DAN FOSFAT SECARA HORIZONTAL DI PERAIRAN PANTAI KECAMATAN TUGU,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM 69 4. DESKRIPSI SISTEM SOSIAL EKOLOGI KAWASAN PENELITIAN 4.1 Kondisi Ekologi Lokasi studi dilakukan pada pesisir Ratatotok terletak di pantai selatan Sulawesi Utara yang termasuk dalam wilayah administrasi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Total Data Sebaran Klorofil-a citra SeaWiFS Total data sebaran klorofil-a pada lokasi pertama, kedua, dan ketiga hasil perekaman citra SeaWiFS selama 46 minggu. Jumlah data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai Negara maritim karena sebagian besar wilayahnya didominasi oleh perairan. Perairan ini meliputi perairan laut, payau, maupun perairan

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Laut Belawan Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia yang berjarak ± 24 km dari kota Medan berhadapan dengan Selat Malaka yang sangat padat lalu lintas kapalnya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

KAJIAN SEBARAN SPASIAL PARAMETER FISIKA KIMIA PERAIRAN PADA MUSIM TIMUR DI PERAIRAN TELUK SEMARANG

KAJIAN SEBARAN SPASIAL PARAMETER FISIKA KIMIA PERAIRAN PADA MUSIM TIMUR DI PERAIRAN TELUK SEMARANG KAJIAN SEBARAN SPASIAL PARAMETER FISIKA KIMIA PERAIRAN PADA MUSIM TIMUR DI PERAIRAN TELUK SEMARANG F1 08 Nurul Latifah 1)*), Sigit Febrianto 1), Churun Ain 1) dan Bogi Budi Jayanto 2) 1) Program Studi

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN OKSIGEN UNTUK DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI LAPISAN DASAR PERAIRAN ESTUARI SUNGAI CISADANE, TANGERANG

ANALISIS KEBUTUHAN OKSIGEN UNTUK DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI LAPISAN DASAR PERAIRAN ESTUARI SUNGAI CISADANE, TANGERANG ANALISIS KEBUTUHAN OKSIGEN UNTUK DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI LAPISAN DASAR PERAIRAN ESTUARI SUNGAI CISADANE, TANGERANG RIYAN HADINAFTA SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA 2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA Pendahuluan LCSI terbentang dari ekuator hingga ujung Peninsula di Indo-Cina. Berdasarkan batimetri, kedalaman maksimum perairannya 200 m dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al., I. PENDAHULUAN Segara Anakan merupakan perairan estuaria yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa, termasuk dalam wilayah Kabupaten Cilacap, dan memiliki mangroveestuaria terbesar di Pulau Jawa (7 o

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di

I. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Plankton adalah organisme mikroskopis yang hidup melayang bebas di perairan. Plankton dibagi menjadi fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton adalah organisme berklorofil

Lebih terperinci

DINAMIKA KOMUNITAS FITOPLANKTON DALAM KAITANNYA DENGAN PRODUKTIVITAS PERAIRAN DI PERAIRAN PESISIR MAROS SULAWESI SELATAN RAHMADI TAMBARU

DINAMIKA KOMUNITAS FITOPLANKTON DALAM KAITANNYA DENGAN PRODUKTIVITAS PERAIRAN DI PERAIRAN PESISIR MAROS SULAWESI SELATAN RAHMADI TAMBARU DINAMIKA KOMUNITAS FITOPLANKTON DALAM KAITANNYA DENGAN PRODUKTIVITAS PERAIRAN DI PERAIRAN PESISIR MAROS SULAWESI SELATAN RAHMADI TAMBARU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 DAFTAR

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG

ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG RYAN KUSUMO ADI WIBOWO SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

STUDI LEPASAN UNSUR HARA DARI SUBSTRAT ZEOCRETE DENGAN TINGKAT RASIO N:P YANG BERBEDA WIDIATMOKO

STUDI LEPASAN UNSUR HARA DARI SUBSTRAT ZEOCRETE DENGAN TINGKAT RASIO N:P YANG BERBEDA WIDIATMOKO STUDI LEPASAN UNSUR HARA DARI SUBSTRAT ZEOCRETE DENGAN TINGKAT RASIO N:P YANG BERBEDA WIDIATMOKO DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas 2.3 suhu 2.3.1 Pengertian Suhu Suhu merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan organisme di lautan. Suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut.

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR Oleh : Agus Dwi Jayanti Diah Cahyaningrum C64104051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221)

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu, Cahaya dan Warna Laut Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu Bersama dengan salinitas dan densitas, suhu merupakan sifat air laut yang penting dan mempengaruhi pergerakan masa air di laut

Lebih terperinci

KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT KERANG MUTIARA (STADIA SPAT ) DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT

KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT KERANG MUTIARA (STADIA SPAT ) DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT KERANG MUTIARA (STADIA SPAT ) DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT Oleh : H. M. Eric Harramain Y C64102053 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP Wiwid Prahara Agustin 1, Agus Romadhon 2, Aries Dwi Siswanto 2 1 Mahasiswa Jurusan Ilmu

Lebih terperinci

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA Umroh 1, Aries Dwi Siswanto 2, Ary Giri Dwi Kartika 2 1 Dosen Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian,Perikanan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arus Eddy Penelitian mengenai arus eddy pertama kali dilakukan pada sekitar tahun 1930 oleh Iselin dengan mengidentifikasi eddy Gulf Stream dari data hidrografi, serta penelitian

Lebih terperinci

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT DESSY NOVITASARI ROMAULI SIDABUTAR SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER

Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

KONDISI TERUMBU KARANG DAN KAITANNYA DENGAN PROSES EUTROFIKASI DI KEPULAUAN SERIBU ACHMAD DJAELANI

KONDISI TERUMBU KARANG DAN KAITANNYA DENGAN PROSES EUTROFIKASI DI KEPULAUAN SERIBU ACHMAD DJAELANI KONDISI TERUMBU KARANG DAN KAITANNYA DENGAN PROSES EUTROFIKASI DI KEPULAUAN SERIBU ACHMAD DJAELANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

KAJIAN AIR LIMBAH DOMESTIK DI PERUMNAS BANTAR KEMANG, KOTA BOGOR DAN PENGARUHNYA PADA SUNGAI CILIWUNG. Oleh : Muhammad Reza Cordova C

KAJIAN AIR LIMBAH DOMESTIK DI PERUMNAS BANTAR KEMANG, KOTA BOGOR DAN PENGARUHNYA PADA SUNGAI CILIWUNG. Oleh : Muhammad Reza Cordova C KAJIAN AIR LIMBAH DOMESTIK DI PERUMNAS BANTAR KEMANG, KOTA BOGOR DAN PENGARUHNYA PADA SUNGAI CILIWUNG Oleh : Muhammad Reza Cordova C24104056 DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF

PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF INNA FEBRIANTIE Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PERMEN-KP/2016 TENTANG PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Angin Di perairan barat Sumatera, khususnya pada daerah sekitar 2, o LS hampir sepanjang tahun kecepatan angin bulanan rata-rata terlihat lemah dan berada pada kisaran,76 4,1

Lebih terperinci

PENENTUAN TINGKAT KESEHATAN SUNGAI BERDASARKAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROAVERTEBRATA DI SUNGAI CIHIDEUNG, KABUPATEN BOGOR

PENENTUAN TINGKAT KESEHATAN SUNGAI BERDASARKAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROAVERTEBRATA DI SUNGAI CIHIDEUNG, KABUPATEN BOGOR PENENTUAN TINGKAT KESEHATAN SUNGAI BERDASARKAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROAVERTEBRATA DI SUNGAI CIHIDEUNG, KABUPATEN BOGOR RIRIN ANDRIANI SILFIANA C24104086 SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya

I. PENDAHULUAN. menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kualitas perairan merupakan faktor utama yang harus dipenuhi sebelum menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya perikanan tidak sekedar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam

I. PENDAHULUAN. besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Plankton merupakan salah satu jenis biota yang penting dan mempunyai peranan besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam air atau

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO), JAWA TIMUR FAJLUR ADI RAHMAN SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO), JAWA TIMUR FAJLUR ADI RAHMAN SKRIPSI STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO), JAWA TIMUR FAJLUR ADI RAHMAN SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati, diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia memiliki banyak hutan

Lebih terperinci

Pola Sebaran Salinitas dan Suhu Pada Saat Pasang dan Surut di Perairan Selat Bengkalis Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Oleh

Pola Sebaran Salinitas dan Suhu Pada Saat Pasang dan Surut di Perairan Selat Bengkalis Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Oleh Pola Sebaran Salinitas dan Suhu Pada Saat Pasang dan Surut di Perairan Selat Bengkalis Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau Oleh Riza Rizki 1), Musrifin Ghalib 2) dan Dessy Yoswaty 3) Email: rizarizki53@yahoo.com

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI RAISSHA AMANDA SIREGAR 090302049 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

PENCEMARAN ORGANIK DI PERAIRAN PESISIR PANTAI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA, PAPUA

PENCEMARAN ORGANIK DI PERAIRAN PESISIR PANTAI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA, PAPUA PENCEMARAN ORGANIK DI PERAIRAN PESISIR PANTAI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA, PAPUA TESIS Diajukan Kepada Program Studi Magister Biologi Universitas Kristen Satya Wacana Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains

Lebih terperinci

HIDRODINAMIKA FISIKA KIMIA PERAIRAN MUARA SUNGAI PORONG SIDOARJO

HIDRODINAMIKA FISIKA KIMIA PERAIRAN MUARA SUNGAI PORONG SIDOARJO HIDRODINAMIKA FISIKA KIMIA PERAIRAN MUARA SUNGAI PORONG SIDOARJO Indah Wahyuni Abida 1) 1) Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Abstract Lapindo mud loading in Porong river will cause change chemical

Lebih terperinci