BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Euthanasia dan Hak Hidup Menurut Perspektif Sosiologis

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Euthanasia dan Hak Hidup Menurut Perspektif Sosiologis"

Transkripsi

1 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Euthanasia dan Hak Hidup Menurut Perspektif Sosiologis Masyarakat yang sedang mengalami perubahan karena upaya pembangunan, hukum juga akan mengalami perubahan sesuai dengan keadaan masyarakat. Karena itu hukum tidak dapat dilepaskan dari pengetahuan tentang kemasyarakatan dan kenegaraan. Dengan landasan pemikiran ini, untuk memahami hukum tidak cukup hanya mempelajari hukum dari aspek yang tertulis saja, melainkan juga perlu mempelajari hukum dalam konteks penerapan dalam kehidupan masyarakat atau sosial dan situasi negara yang menghasilkan hukum tertulis itu. 1 Beberapa tahun belakangan ini kasus euthanasia mulai bermunculan di masyarakat Indonesia yang sebagian besar belum mengetahui sama sekali apa itu euthanasia. Euthanasia merupakan budaya barat yang berasal dari luar Indonesia yang dilihat dan dicoba untuk diterapkan di Indonesia. 2 Namun secara sosiologis, fakta menunjukkan bahwa walaupun euthanasia merupakan hal yang awam bagi masyarakat Indonesia tetapi ada juga yang berkeinginan mengajukan permohonan euthanasia tersebut ke Pengadilan Negeri dengan alasan bahwa euthanasia merupakan jalan satu-satunya yang dapat ditempuh. Kasus euthanasia pertama di Indonesia terjadi pada tahun 2004 di Rumah Sakit Islam, Bogor. Data yang didapatkan dari Detik News menuliskan bahwa 1. Burhan Ashofa, 2001, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, hlm Zamroni Abdussamad, Dosen Ilmu Hukum, Wawancara, 21 Oktober

2 permohonan euthanasia tersebut diajukan oleh Panca Satrya Hasan Kusumo selaku suami dari pasien Ny. Agian Isna Nauli Siregar (33 tahun) yang menderita kerusakan saraf permanen di otak besar kanan dan kiri, otak kecil kanan dan kiri, batang saraf dan pusat saraf di otak setelah menjalani perawatan pasca melahirkan dan mengalami koma. 3 Permohonan euthanasia ini diajukan oleh Hasan karena tidak mampu lagi menyediakan dana untuk pengobatan dan perawatan istrinya juga merasa kasihan melihat penderitaan yang dialami oleh sang istri dimana kondisi kesehatan sang istri sudah tidak bisa pulih lagi. Hal inilah yang menjadi alasan Hasan untuk mengajukan permohonan euthanasia aktif yaitu suntik mati kepada dokter yang menangani istrinya agar penderitaan sang istri tidak berkepanjangan. Tetapi permohonan suntik mati tersebut ditolak oleh dokter. Kemudian pada tanggal 22 Oktober 2004 secara formal Hasan mengajukan permohonan euthanasia terhadap istrinya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 4 Pada hari itu juga Hasan meminta penetapan euthanasia kepada Menteri Kesehatan. Tetapi, pihak Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak permohonan tersebut karena dinilai menyalahi hukum. Atas permohonan tersebut diberikan solusi oleh Menteri Kesehatan yang menjabat saat itu yakni Siti Fadillah Supari bahwa untuk selanjutnya biaya perawatan dan pengobatan Ny. Agian akan ditanggung oleh pemerintah. Hal ini dianggap sebagai jalan terbaik dari pada 3. Suwarjono, Wawancara Suami Ny. Again : Pernah Minta Istri Disuntik Mati, Detik News Online, diakses tanggal 8 September Brian A. Prasetyo, Kompilasi Kasus Terkait Pelayanan Rumah Sakit : Sebuah Bahan Renungan Untuk Reformasi Pelayanan Rumah Sakit, sus-dan-kode-etik-serta.html, diakses tanggal 8 September

3 melakukan suntik mati terhadap Ny. Again. Tanpa diduga pada tanggal 6 Januari 2005 Ny. Agian yang berbulan-bulan koma telah sadar kembali. Beberapa bulan kemudian setelah kasus Ny. Again muncul kasus euthanasia baru yang terjadi di Rumah Sakit Pasar Rebo, Jakarta Timur sesuai dengan data yang didapat dari Bali Post, yaitu permohonan euthanasia yang diajukan oleh Rudi Hartono terhadap istrinya Siti Zulaeha yang sudah tidak sadarkan diri selama 6 bulan pasca menjalani operasi caesar anak keduanya. 5 Permohonan euthanasia aktif atau suntik mati tersebut diajukan Rudi Hartono ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang laporannya langsung diterima oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat I Made Karna. Alasan Rudi mengajukan permohonan suntik mati tidak jauh berbeda dengan alasan Hasan pada kasus Ny. Again sebelumnya, bahwa kondisi Siti Zulaeha saat itu dalam status vegetative state (kelumpuhan total) dan tidak ada cara lain untuk melepaskan sang istri dari penderitaan itu kecuali suntik mati seperti yang dituturkan Rudi kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 6 Kasus euthanasia aktif yang lainnya yaitu terjadi pada tahun 2011 lalu seperti yang telah disebutkan pada Sub Bab Latar Belakang di BAB I, yaitu permohonan suntik mati (euthanasia aktif) oleh keluarga miskin Kardjali Karsoud (69 tahun) berkaitan dengan sakit kanker payudara yang diderita istrinya, Samik 5. Bali Post, Mohon Suntik Mati, Bali Post Online, 2/22/n8.htm, diakses tanggal 8 September Ibid. 40

4 (52 tahun) di kota Surabaya tepatnya di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. 7 Namun permohonan euthanasia tersebut lagi-lagi tidak dikabulkan oleh Pengadilan. Permintaan euthanasia memang pernah diajukan di Indonesia tetapi belum pernah ditemukan kasus euthanasia di Gorontalo secara legal dan secara ilegal atau dilakukan secara diam-diam publikasinya belum ada baik di Gorontalo maupun di daerah lain. 8 Pasien yang meminta untuk dieuthanasia memang banyak tetapi untuk kasus pengajuan permohonan euthanasia yang dikabulkan belum ada. Pengajuan permohonan euthanasia ini biasa diajukan pada kasus-kasus penyakit tertentu salah satunya adalah pada kasus penderita penyakit kanker yang sudah tidak bisa menahan penderitaannya, baik kelelahan psikis, tidak tahan terhadap nyeri yang ditimbulkan oleh penyakit kanker tersebut dan juga kenyataan bahwa hasil diagnosis dokter menyatakan penyakit kanker yang diderita tidak dapat disembuhkan lagi karena sudah dalam stadium terminal yang jika diobati hanya bisa memperbaiki kualitas hidup pasien. Rata-rata yang mengajukan permohonan euthanasia adalah penderita kanker karena merasakan rasa sakit yang tidak dapat ditolerir lagi oleh si penderita. 9 Berdasarkan pernyataan dari dua dokter di atas maka dapat disimpulkan bahwa permintaan euthanasia ada dan pernah terjadi di Indonesia sesuai dengan beberapa kasus yang telah dipaparkan sebelumnya. Tetapi untuk Gorontalo belum pernah ditemukan kasus euthanasia dan permohonan yang dikabulkan pun belum 7. Joseph Henricus Gunawan, Euthanasia Vs. Etika, 8 September 2013, (11.26). 8. Dr. Muhamad Nur Syukriani Yusuf, Dokter, Wawancara, 17 Oktober Dr. Sri Manovita Pateda, Dokter dan Dosen Kesehatan Masyarakat, Wawancara, 10 Oktober

5 ada. Pengajuan permohonan euthanasia ini disebabkan oleh beberapa alasan yaitu antara lain karena pasien tidak sanggup lagi menahan sakit yang ditimbulkan oleh penyakit yang diderita serta kenyataan bahwa walaupun dilakukan perawatan dan pengobatan penyakit tersebut tidak dapat disembuhkan lagi dan harapan pasien untuk hidup sangat kecil. Permohonan euhanasia belum pernah terjadi di Gorontalo sesuai dengan pengalaman kerja Dr. Muhamad Nur Syukriani Yusuf dan Dr. Sri Manovita Pateda bahwa kedua dokter tersebut belum pernah menangani kasus euthanasia aktif. Dr. Muhamad menjelaskan bahwa selama menjadi dokter belum pernah ada pasien yang mengajukan suntik mati atau euthanasia aktif. Jika ada pasien yang mengajukan maka akan diberikan solusi lain selain suntik mati kepada pasien. Solusi tersebut adalah memperbaiki kualitas hidup pasien walaupun tindakan tersebut tidak dapat menyembuhkan sakit yang diderita oleh pasien. Caranya antara lain dengan memberikan obat penghilang nyeri bagi penderita kanker atau biasa disebut morfin, karena tugas seorang dokter untuk mengobati pasien dengan tujuan untuk meringankan dan menyembuhkan penderitaan pasien dengan segala usaha tanpa harus mematikan pasien dengan cara suntik amti atau euthanasia aktif, sampai pasien tersebut sembuh atau mati karena sesuai dengan takdir yang telah ditentukan oleh Allah SWT. 10 Hal serupa juga dijelaskan oleh Dr. Novi bahwa selama menjadi dokter belum pernah menangani pasien yang mengajukan permohonan euthanasia aktif dan dianjurkan agar tidak mengambil keputusan euthanasia ini. Karena masih 10. Dr. Muhamad Nur Syukriani Yusuf, Dokter, Wawancara, 17 Oktober

6 banyak cara yang dapat dilakukan tanpa harus melakukan euthanasia dengan melihat tekhnologi pengobatan yang semakin berkembang dan setiap penyakit pasti akan ada obatnya dengan perkembangan tekhnologi. Bisa juga dengan memberikan morfin atau obat penghilang rasa sakit, tapi untuk morfin sendiri tidak bisa terlalu sering dikonsumsi oleh pasien karena dapat merusak organ tubuh lain. 11 Dr. Muhamad maupun Dr. Novi merupakan pihak yang tidak setuju dengan euthanasia terutama suntik mati atau euthanasia aktif berdasarkan pada pemaparan pendapat masing-masing di atas. Karena kematian seseorang bukanlah ditangan manusia termasuk dokter, kematian datangnya dari Allah dan tidak bisa didahului oleh manusia. Selain itu, euthanasia juga belum diperbolehkan dalam dunia medis tidak seperti kasus abortus yang sekarang sudah dilegalkan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Untuk euthanasia pasif Dr. Muhamad Nur Syukriani Yusuf dan Dr. Sri Manovita Pateda memiliki pendapat yang berbeda dari euthanasia aktif atau suntik mati. Pasien yang dalam keadaan koma dan hidupnya dibantu oleh alat pernapasan sebenarnya pasien tersebut sudah mati tetapi organ-organ di dalam tubuh pasien masih dapat difungsikan dan alat bantu pernapasan ini digunakan untuk mempertahankan jasad pasien serta organ-organ lain yang masih berfungsi 11. Dr. Sri Manovita Pateda, Dokter dan Dosen Kesehatan Masyarakat, Wawancara, 10 Oktober

7 tersebut. Apabila alat bantu ini dilepaskan maka secara otomatis pasien akan mati. 12 Alat bantu pernapasan tersebut digunakan untuk memperpanjang hidup pasien dengan menjaga fungsi otak dari pasien yang mengalami koma karena jantung dan paru-paru sudah tidak berfungsi. Alat bantu itulah yang menggantikan kerja jantung dan paru-paru agar pasien tersebut bisa bertahan hidup. Jika alat bantu pernapasan tersebut dikeluarkan atas permintaan keluarga pasien maka dokter selaku tenaga medis yang bertanggung jawab terhadap pengobatan pasien menyetujui permintaan keluarga pasien karena pada dasarnya pasien sudah dinyatakan mati secara biologis. 13 Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa euthanasia pasif bisa dilakukan karena kondisi pasien sebenarnya sudah dalam keadaan mati secara biologis berbeda halnya dengan euthanasia aktif yang menurut Dr. Muhamad diminta secara sadar oleh pasien agar dokter melakukan manipulasi-manipulasi medis yang dapat menyebabkan pasien tersebut mati sehingga mendahului kehendak Allah sebagai sang Pencipta dan hal itu tidak diperbolehkan. Euthanasia pasif dapat dilakukan karena memang pada dasarnya pasien tersebut sudah mati secara biologis dan kehidupannya hanya dibantu oleh alat bantu tersebut. Setiap manusia memiliki hak hidup yang telah diberikan sejak manusia berada di dalam kandungan dan hak hidup tersebut merupakan hak mutlak yang harus dihormati oleh setiap insan. Pada kasus euthanasia ini secara tidak langsung 12. Dr. Sri Manovita Pateda, Dokter dan Dosen Kesehatan Masyarakat, Wawancara, 10 Oktober Dr. Muhamad Nur Syukriani Yusuf, Dokter, Wawancara, 17 Oktober

8 menjelaskan bahwa hak hidup dari seorang pasien tidak dihargai. Hak hidup yang dimaksud disini adalah hak untuk mempertahankan hidupnya. Jika euthanasia atau suntik mati dilakukan pasien akan mati dan haknya untuk mempertahankan hidup telah dilanggar dan juga melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Hak hidup dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM diatur dalam Pasal 4 yang menjelaskan bahwa setiap manusia atau setiap orang tanpa kecuali memiliki hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Hak hidup yang dimaksud dalam Pasal 4 UU HAM ini merupakan hak yang sudah melekat sejak manusia berada di dalam kandungan setelah ditiupkan roh oleh Allah SWT. Hak hidup ini juga berkaitan dengan adanya larangan pengguguran kandungan atau biasa disebut abortus. Abortus diperbolehkan dalam dunia medis tetapi ada syarat-syarat tertentu antara lain jika kehamilan tersebut mengancam nyawa bayi itu sendiri atau mengancam nyawa ibu yang mengandung. 14 Abortus ini biasa disebut abortus teraupetik atau medis yaitu abortus yang dilakukan atas dasar pertimbangan-pertimbangan medis. Euthanasia dianggap berbeda dengan kasus abortus karena pada prinsipnya sebelum abortus dilakukan akan dilihat 14. Dr. Muhamad Nur Syukriani Yusuf, Dokter, Wawancara, 17 Oktober

9 terlebih dahulu usia bayi yang ada di dalam kandungan. 15 Jika bayi dalam kandungan masih berusia dibawah 4 minggu sebelum roh ditiupkan kedalam janin oleh Allah SWT maka aborsi dapat dilakukan. Selain itu alasan aborsi dilakukan apabila sang ibu mengalami pendarahan atau kehamilan terganggu artinya proses kehamilan terjadi di luar rahim yang nantinya bisa membahayakan nyawa sang ibu yang mengandung. Pada kasus euthanasia seolah-olah dokter telah mengambil alih hak Allas SWT untuk mengambil nyawa seseorang yang masih memiliki hak untuk hidup walaupun kesempatan untuk hidup dibawah 50%. Berdasarkan alasan di atas maka hingga saat ini para dokter belum sepakat untuk melakukan euthanasia atau suntik mati jika ada pasien yang mengajukan permohonan euthanasia. Pelanggaran HAM menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (6) adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Jika dikaitkan dengan euthanasia maka bisa dilihat dengan jelas bahwa euthansia melanggar ketentuan dalam pasal ini karena perbuatan euthanasia sama saja dengan mencabut hak asasi manusia dari si pasien yang telah dijamin oleh UU HAM yaitu hak untuk mempertahankan hidupnya. Hak hidup ini merupakan hak mutlak 15. Dr. Muhamad Nur Syukriani Yusuf, Dokter, Wawancara, 17 Oktober

10 yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun seperti yang terkandung dalam Pasal 4 UU HAM walaupun euthanasia atau suntik mati tersebut diminta oleh pasien yang bersangkutan atau oleh keluarga pasien. Dr. Muhamad dan Dr. Novi pun mengatakan hal yang sama bahwa euthanasia merupakan perbuatan yang melanggar HAM terutama hak hidup. Euthanasia merupakan pengakhiran hidup seseorang dengan alasan tertentu. 16 Pengakhiran hidup yang dilakukan dalam euthanasia ini merupakan pelanggaran terhadap hak mutlak yang dimiliki oleh pasien yaitu hak untuk mempertahankan hidupnya karena setiap orang memiliki hak untuk hidup. Selain melanggar hak hidup, euthanasia juga dilarang dalam agama terutama agama Islam. Euthanasia dikatakan dilarang dan diharamkan oleh agama Islam sebagaimana fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dipublikasikan pada NU Online bahwa MUI mengharamkan dilakukannya tindakan euthanasia atau tindakan mematikan seseorang untuk meringankan penderitaan sekarat. 17 Euthanasia diharamkan karena termasuk melakukan perbuatan pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain. Euthanasia boleh dilakukan dalam kondisi pasif yang sangat khusus, dimana seseorang yang tergantung oleh alat penunjang kehidupan tetapi ternyata alat tersebut lebih dibutuhkan oleh orang lain atau pasien lain yang memiliki tingkat peluang hidupnya lebih besar, dan pasien tersebut keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Kondisi aktif adalah kondisi orang yang tidak akan mati bila hanya 16. Dr. Sri Manovita Pateda, Dokter dan Dosen Kesehatan Masyarakat, Wawancara, 10 Oktober NU Online, Fatwa MUI Larang Euthanasia, Jakarta, 23 Oktober 2004, pukul 01:44 47

11 dicabut alat medis perawatan, tetapi memang harus dimatikan. 18 MUI menjelaskan bahwa pelarangan euthanasia secara umum yaitu tindakan membunuh orang dan karena faktor keputus-asaan yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Berkaitan dengan penjelasan MUI bahwa kematian adalah proses berpisahnya roh atau nyawa seseorang dengan jasadnya sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan Allah SWT sedangkan euthanasia melanggar ketentuan Allah SWT karena hidup atau mati seseorang sudah ditentukan sejak roh ditiupkan kedalam janin pada saat janin tersebut masih berada di dalam kandungan. 19 Kematian adalah suatu ketentuan dan takdir dari Allah SWT terhadap seluruh makhluknya termasuk manusia. Euthanasia menurut kajian hukum Islam bertentangan dengan ajaran agama Islam dan hukumnya haram. 20 Sesuai dengan firman Allah SWT pada surat An Nisa ayat 29 Hai orangorang beriman, jangan makan harta yang beredar diantaramu secara batil, kecuali ada transaksi yang disepakati diantaramu. Jangan membunuh dirimu (dengan melanggar ketentuan Allah). Allah sangat menyayangi kepadamu semuanya. 21 Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah SWT melarang umatnya untuk membunuh dirinya sendiri. Euthanasia dapat diartikan sebagai tindakan bunuh diri dengan bantuan orang lain dengan cara meminta dokter untuk menyuntik mati dirinya sendiri agar terlepas dari penderitaan penyakit dan tidak membebankan 18. Ibid. 19. Hasan A.Ibrahim, Tokoh Agama, Wawancara, 10 Otober Ando, Tokoh Agama, Wawancara, 11 Otober Zaini Dahlan (Penerjemah), 2008, Qur an Karim dan Terjemahan Artinya, Cetakan ke-7, Yogyakarta, UII Press, hlm

12 keluarganya. Menurut sebuah riwayat dari Anas bin Malik, suatu harus Rasulullah SAW bersabda kepada para sahabatnya, Janganlah salah satu dari kamu meminta mati karena kesulitan hidup yang menimpanya. Jika memang sangat perlu dia berbuat demikian, maka ucapkan doa sebagai berikut, Ya Allah, panjangkanlah umurku kalau memang hidup adalah lebih baik bagiku, dan matikanlah aku manakala memang kematian lebih baik bagiku. (HR Bukhari Muslim). 22 Berputus asa dalam hukum Islam tidak dibenarkan begitu halnya terhadap sebuah penyakit yang sedang diderita oleh seseorang sehingga euthanasia tidak seharusnya dilakukan demi mengakhiri penderitaan yang disebabkan oleh sakit yang sedang diderita tetapi mencari solusi lain agar mendapatkan kesembuhan dan tidak beputus asa. 23 Sebagaimana dalam firman Allah SWT surat Yusuf ayat 87...jangan berputus asa dari rahmat Allah karena hanya orang kafir yang berputus asa dari rahmat-nya, 24 jadi kita harus tetap berusaha mencari solusi terbaik dari pada melakukan euthanasia atau suntik mati. Euthanasia termasuk sebuah tindakan pembunuhan walaupun atas permintaan pasien itu sendiri dengan alasan ingin menghilangkan penderitaan pasien dan kesempatan hidup pasien yang kecil. Di Gorontalo sangat mempertimbangkan mengenai euthanasia ini karena mayoritas masyarakat Gorontalo beragama Islam dan tidak setuju adanya euthanasia ini karena euthanasia merupakan suatu hal yang melanggar hak-hak hidup seseorang yang mengharapkan bantuan dari medis, sehingga dari segi hukum adat tentu haruslah di upayakan kajian atau pembahasan dengan 22. Rafinza, Larangan Berputus Asa Dalam Islam, 9 Desember 2013, sul.blogspot.com/2012/12/larangan-berputus-asa-dalam-islam.html?m=1, (21.34). 23. Ando, Tokoh Agama, Wawancara, 11 Otober Zaini Dahlan (Penerjemah), Op. Cit, hlm

13 mengedepankan sendi-sendi adat seperti halnya yang ada di Gorontalo lebih mengedepankan pandangan agama itu sendiri. 25 Selain dokter dan tokoh agama beberapa masyarakat juga memiliki pemahaman sendiri mengenai euthanasia bahwa euthanasia adalah sesuatu yang dilarang oleh agama karena lebih mementingkan paham duniawi saja dan melangkahi kodrat manusia yang menjadi ciptaan Allah SWT dan juga bisa melanggar hak asasi manusia. 26 Seharusnya sebagai makhluk ciptaan Allah SWT manusia tidak berputus asa dalam mencari segala alternatif agar sakit yang dideritanya bisa disembuhkan karena segala penyakit pasti ada obatnya, pernyataan ini juga sesuai dengan hadits Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa euthanasia harus dipertimbangkan serta dikaji dan dibahas lebih lanjut untuk diterima dilingkungan sosial karena banyak menimbulkan pertentangan di dalam masyarakat maupun pada dokter sebagai tenaga medis karena lebih banyak mengedepankan paham duniawi tanpa memikirkan adanya solusi lain, sama halnya dengan firman Allah SWT surat Ar Ra d ayat 11 yang artinya Sungguh Allah tidak akan mengubah suatu kaum sampai mereka sendiri yang mengubah dirinya, 27 dengan kata lain segala penyakit separah apapun pasti ada jalan untuk mendapatkan kesembuhan asalkan manusia mau berusaha untuk mendapatkan kesembuhan tersebut kecuali jika memang Allah SWT sudah menentukan ajal dari 25. Musyakar Takaredas, Tokoh Agama, Wawancara, 12 Oktober Moh. Saferi Dunggio, Masyarakat, Wawancara, 23 September Zaini Dahlan (Penerjemah), Op. it, hlm

14 seorang manusia maka takdir tersebut tidak dapat karena sudah ditentukan oleh Allah SWT Sang Maha Pencipta. Menurut adat pun euthanasia atau suntik mati tidak dibenarkan dan dilarang, hidup dan mati seseorang merupakan ketentuan Allah SWT. 28 Apabila seorang pasien meminta untuk dieuthanasia dengan cara disuntik mati maka hal tersebut sama saja dengan melakukan bunuh diri atau membunuh orang walaupun diminta sendiri oleh pasien yang bersangkutan. Bunuh diri dilarang dalam agama begitupun dalam adat karena agama merupakan patokan dan panduan dari sebuah adat sehingga adat yang tumbuh di dalam masyarakat sejalan dan sesuai dengan ajaran agama. Bunuh diri adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh orang kafir sebab perbuatan bunuh diri tidak dibenarkan didalam agama Islam dan merupakan perbuatan dosa. Sama halnya dengan suntik mati. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa euthanasia aktif atau suntik mati dalam perspektif sosiologis sesuai dengan pendapat dari berbagai kalangan tidak disetujui dan dilarang untuk dilakukan di Indonesia. Hal ini dikarenakan tidak sejalan dengan ajaran agama bahwa hidup dan mati seseorang telah ditentukan oleh Sang Pencipta kehidupan sejak bayi berada di dalam kandungan, juga melanggar hak asasi manusia terutama hak hidup baik hak untuk mempertahankan hidup atau hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, yaitu hak hidup yang dihormati dan dijunjung tinggi oleh sesama makhluk ciptaan Allah SWT. 28. AR. Maksum dan Jumadi Botutihe, Tokoh Adat, Wawancara, 20 Oktober

15 Dalam praktiknya, dokter tidaklah mudah melakukan euthanasia meskipun dari sudut kemanusiaan dapat dibenarkan karena merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit akut. Akan tetapi dokter tidak dibenarkan melakukan upaya aktif untuk memenuhi keinginan pasien tersebut. Sebab, perbuatan menghilangkan nyawa orang lain disamping merupakan pelanggaran berat terhadap Kode Etik Kedokteran, juga merupakan tindak pidana. Alasan inilah yang hingga kini dijadikan dasar bagi larangan praktik euthanasia aktif yaitu suntik mati di berbagai belahan dunia (termasuk Indonesia), kecuali di negara-negara yang sudah melegalkan euthanasia seperti di Belanda dan Belgia. 4.2 Euthanasia dan Hak Hidup Menurut Perspektif Yuridis Secara yuridis formal, hukum di Indonesia tidak mengizinkan euthanasia. Pernyataan di atas sesuai dengan peraturan dalam KUHP Pasal 344 bahwa barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri dengan kesungguhan hati diancam hukuman penjara selama 12 tahun. Hal ini juga disampaikan oleh MenKes A Sujudi pada Detik News sebagai tanggapan terhadap permohonan pengajuan euthanasia atau suntik mati oleh Panca Satrya Hasan Kusuma terhadap istrinya Ny. Again 29 bahwa euthanasia di Indonesia tidak ada hukumnya dan tidak boleh dilakukan, apabila tetap dilakukan maka akan dikenakan sanksi karena telah melanggar hukum. Jika dianalisis lagi mengenai pernyataan MenKes pada saat itu bahwa euthanasia atau suntik mati di Indonesia tidak ada hukumnya maka sah-sah saja 29. Suwarjono, Wawancara Suami Ny. Again : Pernah Minta Istri Disuntik Mati, Detik News Online, diakses tanggal 8 September

16 apabila euthanasia dilakukan. Dikatakan bahwa euthanasia bisa dilakukan karena didasarkan pada Pasal 1 KUHP bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada atau KUHP. Pernyataan tersebut memberikan peluang kepada orang-orang yang ingin melakukan euthanasia walaupun pada kasus-kasus sebelumnya permohonan euthanasia semuanya ditolak oleh Pengadilan karena dianggap melanggar ketentuan dalam KUHP terutama pada Pasal 344 serta pasal-pasal pembunuhan lainnya karena euthanasia atau suntik mati sama dengan merampas nyawa orang lain walaupun hal itu atas kehendak korbang sendiri. Hal ini yang membuat para dokter dihadapkan pada sebuah dilema untuk melakukan euthanasia demi memenuhi permintaan pasien atau keluarga pasien ataukah menolak. Tugas seorang dokter adalah untuk menolong jiwa seorang pasien tetapi disisi lain apabila pengobatan diteruskan maka akan memperpanjang penderitaan pasien dan menjadi sia-sia karena diagnosis menunjukkan bahwa harapan hidup pasien sangat kecil. Penghentian pertolongan tersebut merupakan salah satu bentuk euthanasia. Euthanasia juga bisa diindikasikan sebagai sebuah tindakan pembunuhan berencana yang telah direncanakan dan diinginkan oleh pihak-pihak tertentu. Tidak selamanya euthanasia aktif diminta oleh pasien yang bersangkutan bisa saja euthanasia aktif atau suntik mati tersebut diajukan permohonannya oleh keluarga pasien yang tidak menutup kemungkinan menginginkan pasien mati walaupun didasari oleh alasan-alasan yang bisa diterima oleh akal sehat seperti ketidak mampuan untuk membiayai perawatan dan pengobatan pasien atau kasihan 53

17 melihat penderitaan yang dialami oleh pasien. Pembunuhan berencana sebagaimana telah diatur dalam KUHP Pasal 340 bahwa barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. Bisa saja dokter terjerat melakukan tindak pidana pembunuhan berencana karena mengabulkan permohonan euthanasia padahal dokter tidak memiliki maksud tersembunyi dalam tindakan tersebut. Oleh karena itu, sekiranya harus dipikirkan secara hati-hati mengenai kasus euthanasia aktif atau suntik mati untuk menghindari jatuhnya korban akibat keputusan yang tidak diputuskan secara hatihati dan seksama. Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 2 dijelaskan bahwa seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi. Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya sebagai seorang profesi dokter harus sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, hukum dan agama. Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 7d juga menjelaskan bahwa setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Jika dikaitkan dengan euthanasia atau suntik mati maka jelas euthanasia telah melanggar ketentuan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 7d di atas. Karena dalam kasus euthanasia aktif atau suntik mati berarti dokter memenuhi keinginan pasien untuk mematikan dirinya sendiri dengan cara menyuntikkan jenis obat yang dapat 54

18 menyebabkan seseorang mati. Jika hal tersebut dilakukan oleh dokter maka dokter tidak melakukan kewajibannya sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 7d yaitu melindungi kehidupan insani tetapi melanggar ketentuan tersebut. Kiranya persoalan euthanasia meskipun pelaksanaannya tidak harus dan tidak selalu dengan suntikan tetap merupakan sebuah persoalan dilematis. Selain hukum, praktik eutanasia tentu saja berbenturan dengan nilai-nilai etika dan moral yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kehidupan manusia seperti halnya Undang-Undang HAM yang mengatur mengenai hak hidup seseorang yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. Adanya indikasi-indikasi baik medis maupun ekonomis tidak secara otomatis melegitimasi praktik eutanasia mengingat eutanasia berhadapan dengan nilai hak dan kewajiban menghormati dan membela kehidupan yang terkandung dalam Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang HAM. Euthanasia masih belum mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan hukum positif Indonesia, euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Kasus euthanasia pertama kali dan paling banyak diketahui oleh masyarakat di Indonesia yaitu pengajuan permohonan euthanasia oleh Panca Satrya Hasan Kusumo suami dari Ny Agian Isna Nauli Siregar ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan tidak dikabulkan oleh pengadilan. Tetapi akhirnya korban yang mengalami koma dan gangguan permanen pada otaknya sempat dimintakan untuk dilakukan euthanasia tersebut sembuh dari komanya dan dinyatakan sehat oleh dokter. 30 Dari kasus di atas kita bisa melihat bahwa untuk melakukan euthanasia tidak gampang tetapi harus 30. Ibid. 55

19 melalui berbagai prosedur yang menjadi persyaratan wajib dalam pengajuan permohonan euthanasia seperti prosedur di negara lain yang sangat ketat dan rapi. Sehingga orang akan berpikir lagi untuk melakukan euthanasia. Di lihat dari aspek yuridis, euthanasia bersinggungan langsung dengan hukum pidana pada saat proses kematian. Berdasarkan hal itu, jika dilihat dari segi hukum jelas bahwa pengaturan euthanasia yang lengkap sampai saat ini belum ada, padahal masalah euthanasia ini menyangkut nyawa manusia di mana kasus-kasusnya mulai banyak bermunculan kepermukaan. Untuk itu penanggulangan masalah euthanasia, perlu diatur sedemikian rupa sehingga tidak bertentangan dengan hukum dan moral. Euthanasia berhubungan erat dengan tindak pidana menyangkut nyawa. Salah satu pasal yang dapat dipakai sebagai landasan hukum guna pembahasan selanjutnya adalah apa yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu Pasal 344 KUHP salah satu pasal yang membicarakan masalah kejahatan yang menyangkut tentang jiwa manusia. Pasal 344 menjelaskan bahwa barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyataksn atas kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Pencantuman Pasal 344 KUHP menunjukkan bahwa pembentuk undangundang telah menduga masalah euthanasia pernah dan akan terjadi di Indonesia sekalipun demikian pasal ini belum pernah menjaring perbuatan euthanasia sebagai tindak pidana. Hal ini disebabkan perumusan pasal yang menimbulkan 56

20 kesulitan dalam pembuktian, yakni adanya kata-kata " atas permintaan sendiri " yang disertai pula kalimat " yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati " Oleh karena dalam kenyataannya Pasal 344 KUHP sulit untuk diterapkan sehingga sebaiknya rumusan pada Pasal 344 KUHP dirumuskan kembali berdasarkan perkembangan zaman serta kenyataan-kenyataan yang terjadi sekarang. Dengan rumusan baru ini diharapkan dapat memungkinkan atau memudahkan penanganan kasus-kasus euthanasia dengan hukum pidana. Pasal 7 Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter kepada pasien bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Pasal 7d menjelaskan bahwa menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan berdasarkan hasil diagnosa pasien tidak akan sembuh lagi. Euthanasia memang tidak diperbolehkan dalam dunia medis karena sangat bertentangan dengan hak manusia apalagi hak untuk hidup sehingga dengan adanya perkembangan teknologi diharapkan masih banyak cara yang bisa dilakukan tanpa harus mengambil jalan pintas dengan melakukan euthanasia. 31 Manusia berhak dan harus berusaha untuk mendapatkan kesembuhan karena setiap orang memiliki hak untuk hidup dan tidak ada hak untuk mati. 32 Menyimak apa yang dijelaskan oleh beberapa orang yang ahli dibidang kesehatan maka dapat disimpulkan bahwa dari pandangan sosial keberadaan euthanasia tidak dianjurkan untuk dilakukan karena masih terdapat solusi akan tetapi dari keberlangsungan 31. Dr. Sri Manovita Pateda, Dokter dan Dosen Kesehatan Masyarakat, Wawancara, 10 Oktober Yunita Miu, S.KM, Masyarakat, Wawancara, 10 Oktober

21 keinginan dan harapan antara seorang dokter dan seorang pasien terjalin informasi dan penjelasan serta juga dilakukan hal yang penting bahwa adanya penandatanganan kesepakatan untuk harus dilakukannya euthanasia. Olehnya kondisi dunia kedokteran apabila pasien sudah dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut. Penghentian tindakan media harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri hidup pasien. Sampai saat ini, belum ada aturan hukum di Indonesia yang mengatur tentang euthanasia. Pasal-pasal KUHP justru menegaskan bahwa euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Hakikat profesi kedokteran adalah menyembuhkan dan meringankan penderitaan. Euthanasia justru bertentangan radikal dengan hakikat itu. Euthanasia termasuk dalam perbuatan pembunuhan yang telah diatur dalam KUHP Pasal 344 walaupun sulit dalam pembuktiannya dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM pun tidak memberikan ruang untuk melakukan euthanasia karena euthanasia bertentangan dengan ketentuan dalam 58

22 UU HAM terutama hak hidup seseorang. 33 Alasan apapun tidak dapat diterima walaupun euthanasia dilakukan dan didasarkan pada alasan sosial atau alasan ekonomi karena pemerintah Indonesia telah memfasilitasi masyarakat kurang mampu dengan jaminan sosial yang bisa meringankan beban masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak tanpa terbebani dengan biaya perawatan dan pengobatan yang mahal. Euthanasia di Indonesia tidak diperbolehkan berbeda dengan di Belanda. 34 Hal tersebut jelas diatur dalam Pasal 344 KUHP walaupun tidak disebutkan secara tertulis dalam pasal tersebut mengenai dilarangnya euthanasia tetapi jika dilihat secara prosedural makna dari Pasal 344 mengarah pada tindakan euthansia. Selain melanggar ketentuan dalam Pasal 344 KUHP, euthanasia juga melanggar ketentuan dalam Undang-Undang HAM terutama hak hidup yang merupakan hak dasar yang telah didapatkan oleh setiap manusia sejak berada dalam kandungan. Permohonan euthanasia bisa saja diajukan tetapi untuk di Negara Indonesia yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan pasti akan permohonan tersebut akan ditolak karena memang secara sosial dan yuridis euthanasia tidak diperbolehkan. Euthanasia tidak dapat dilegalkan di Indonesia karena sistem hukum di Indonesia berbeda dengan sistem hukum di Amerika yang telah melegalkan euthanasia. 35 Artinya, jika di Amerika seorang hakim memiliki hak untuk membuat hukum baru atau peraturan baru pada saat menyidangkan suatu perkara di pengadilan sedangkan di Indonesia tidak seperti itu. Di Indonesia, hakim dalam 33. Rajab, Jaksa, Wawancara, 25 Oktober Krido S. Sakali, Sarjana Hukum, Wawancara, 9 Oktober Amirudin Kaso, Sarjana Hukum, Wawancara, 9 Oktober

23 memutuskan suatu perkara dalam acara persidangan berdasarkan pada pedoman hukum yaitu KUHP. Jadi, setiap keputusan yang dibuat tidak boleh keluar dari peraturan tersebut. Termasuk masalah euthanasia yang belum diatur secara eksplisit dalam undang-undang yang lebih khusus. Sehingga jika permohonan euthanasia diajukan hakim akan menolak permohonan tersebut. Euthanasia adalah upaya bunuh diri dengan menggunakan perantara yang tidak dibenarkan dalam hukum di Indonesia. 36 Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Permohonan euthanasia boleh diajukan ke Pengadilan Negeri berdasarkan pada azas peradilan bahwa siapa saja bisa mengajukan permohonan perkara apa saja ke Pengadilan. Namun tidak serta merta pengajuan permohonan tersebut akan dikabulkan oleh Pengadilan tetapi materi yang diajukan akan dipertimbangkan terlebih dahulu oleh hakim apakah pengajuan permohonan tersebut akan diterima atau ditolak oleh hakim. Euthanasia adalah tindakan atau perbuatan untuk menghilangkan nyawa pasien yang sudah harapan untuk sembuh sangat kecil yang melibatkan tim medis tetapi hal ini tidak dibenarkan dalam hukum Indonesia. 37 Untuk euthanasia tidak ada alasan apapun yang bisa dijadikan dasar agar permohonannya diterima karena euthanasia telah melanggar hak hidup seseorang yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun dan pihak yang akan dikenakan sanksi nantinya adalah dokter yang melakukan euthanasia tersebut. Berdasarkan 36. Burhanudin Mokodompit, Hakim, Wawancara, 2 Desember Amin Umar, Sarjana Hukum, Wawancara, 4 Desember

24 penjelasan tersebut maka euthanasia tidak bisa dilegalkan berbeda dengan aborsi yang dapat dilakukan jika kehamilan tersebut mengancam nyawa ibu atau anak yang berada di dalam kandungan sebagai syarat utamanya dan memperhatikan usia kehamilan yaitu apabila usia kandungan dibawah 4 minggu. 38 Beberapa penjelasan di atas menjelaskan bahwa euthanasia secara yuridis telah diatur dalam Pasal 344 KUHP yang intinya adalah euthanasia dilarang di Indonesia walaupun peraturan dalam pasal tersebut belum secara eksplisit menyebukan tentang euthanasia tetapi maknanya mengarah pada masalah euthanasia. Untuk menerapkan euthanasia di Indonesia pun sulit karena akan berbenturan dengan peraturan lain seperti Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang HAM karena negara Indonesia sangat menjunjung tinggi HAM terutama hak hidup yang bertolak belakang dengan euthanasia aktif yang bertujuan untuk membuat seseorang mati dengan cara menyuntikkan obat berdosis tinggi. Berbeda dengan aborsi yang masih diperbolehkan sesuai pertimbangan medis. Walaupun euthanasia dilarang di Indonesia ada beberapa kalangan yang setuju apabila euthanasia dilegalkan di Indonesia. Euthanasia dapat dilakukan apabila benar-benar untuk kepentingan pasien dengan melihat kondisi pasien terlebih dahulu. 39 Jika pasien kesempatannya untuk hidup kecil dan dilain pihak keluarga pasien sudah tidak mampu lagi untuk membiayai segala biaya perawatan dan pengobatan pasien selama di Rumah Sakit maka euthanasia bisa dilakukan. Tetapi harus dengan pertimbangan dan persetujuan berbagai pihak agar tidak 38. Dr. Muhamad Nur Syukriani Yusuf, Dokter, Wawancara, 17 Oktober Krido S. Sakali, Sarjana Hukum, Wawancara, 9 Oktober

25 bertentangan dengan peraturan lain. 40 Euthanasia dapat dilakukan demi kepentingan pasien itu sendiri juga harus berdasarkan pertimbangan pasien, keluarga pasien dan juga tenaga medis yang merawat pasien tersebut disesuaikan dengan prosedur yang legal agar euthanasia tidak disalah gunakan oleh pihakpihak yang tidak bertanggung jawab. 41 Walaupun hak hidup dan hak atas tubuhnya merupakan hak individu itu sendiri tetapi tidak seharusnya disalahgunakan oleh orang yang bersangkutan untuk mengajukan permohonan euthanasia dengan alasan untuk mengakhiri penderitaan yang sedang dialami. 42 Karena dalam Undang-Undang HAM tidak mengatur tentang hak untuk mati seperti dengan melakukan euthanasia. 4.3 Euthanasia dan Hak Hidup Menurut Perspektif Filosofis Dasar filosofis negara Indonesia adalah Pancasila yang terdiri dari 5 sila yang dijadikan pedoman bagi ketetapan peraturan seperti halnya KUHP. Permasalahan euthanasia berhubungan erat dengan kebebasan manusia untuk menentukan sendiri kapan dan bagaimana ia akan mati (hak untuk mati) demi mengakhiri penderitaan disebabkan oleh sakit yang dideritanya. Jika euthanasia diizinkan maka cara ini bisa disalahgunakan demi kepentingan pribadi beberapa pihak juga bisa dipakai terhadap orang cacat, orang berusia lanjut, atau orang lain yang dianggap tidak berguna lagi sedangkan di dalam Pancasila kita harus menghormati kehidupan manusia begitu pula yang diatur dalam Undang-Undang 40. Amirudin Kaso, Sarjana Hukum, Wawancara, 9 Oktober Sudiar Pagau, Sarjana Hukum, Wawancara, 26 September Rajab, Jaksa, Wawancara, 25 Oktober

26 Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Sebagai sesama manusia kita seharusnya tidak mengorbankan hidup manusia lain untuk suatu tujuan tertentu. Kehidupan manusia adalah absolut dan merupakan hak mutlak yang dimiliki oleh setiap orang, oleh karena itu harus dihormati. Euthanasia bukan merupakan nilai esensi dari negara Indonesia karena nilai bangsa Indonesia tidak mengajarkan bahwa meninggal itu bisa dengan bantuan dari orang lain tidak terkecuali oleh bantuan dokter. Seseorang seharusnya meninggal secara alamiah atau sesuai dengan kehendak Allah SWT. Tidak seperti di Negara Belanda atau Amerika yang telah melegalkan euthanasia. Maka bisa dikatakan bahwa euthanasia tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi dan dijadikan landasan filosofis negara Indonesia. 43 Euthanasia bertentangan dengan nilai-nilai dalam Pancasila sebagai landasan filosofis negara dan Undang-Undang Dasar tahun Bertentangan dengan Pancasila artinya tidak sesuai dengan sila-sila yang ada terutama sila ke-1 yaitu ketuhanan Yang Maha Esa dan sila ke-2 yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila ke-1 apabila dikaitkan dengan euthanasia maka artinya adalah Tuhan sebagai dzat yang menentukan hidup dan mati seseorang. Jika seseorang mengajukan permohonan euthanasia untuk mengakhiri penderitannya maka telah mendahului ketetapan yang sudah ditentukan oleh Allah SWT. Sila ke-2 artinya setiap tindakan yang dilakukan oleh seseorang harus dengan mempertimbangkan perasaan orang lain dan melihat hak-hak yang melekat pada diri seseorang sesuai dengan hak-hak yang terdapat pada Undang-Undang HAM. Euthanasia jelas tidak 43. Zamroni Abdussamad, Dosen Ilmu Hukum, Wawancara, 21 Oktober Rajab, Jaksa, Wawancara, 25 Oktober

27 sesuai dengan makna dari sila ke-2 ini karena euthanasia bertujuan untuk mengakhiri hidup seseorang yang menurut pandapat sebagian besar masyarakat sangat tidak beradab walaupun pengakhiran hidup tersebut berdasarkan pada permintaan pasien itu sendiri atau oleh keluarga pasien. Euthanasia juga tidak sesuai dengan norma-norma yang ada di dalam masyarakat Indonesia baik itu norma agama, norma adat maupun norma hukum. Euthanasia akan sulit jika diterapkan di Indonesia karena bangsa Indonesia merupakan bangsa yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan sebagai dasar filosofis negara Indonesia sesuai dengan sila-sila Pancasila. 45 Sehingga Zamroni Abdussamad tidak setuju dengan euthanasia karena tidak sesuai dengan filosofis negara indonesia yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan juga melanggar nilai-nilai asasi HAM pada Undang-Undang HAM yaitu hak untuk hidup. Selain bertentangan dengan Undang-Undang Hidup 1945 euthanasia juga tidak sesuai dengan nilai keadilan sehingga euthanasia tidak dibenarkan baik dalam Undang- Undang Dasar 1945, peraturan perundang-undangan lain juga dalam Kode Etik Kedokteran. 46 Dapat disimpulkan bahwa euthanasia sangat bertentangan dengan filosofis negara Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan juga tidak sesuai dengan norma-norma dalam masyarakat yaitu norma agama, norma adat dan norma hukum. Meski demikian, tidak sedikit juga yang mendukung euthanasia. Argumentasi yang banyak dipakai adalah hak pasien untuk mati yang sudah dianggap sebagai hak asasi yang dimiliki setiap manusia sama halnya 45. Zamroni Abdussamad, Dosen Ilmu Hukum, Wawancara, 21 Oktober Amin Umar, Sarjana Hukum, Wawancara, 4 Desember

28 dengan hak hidup seseorang. Menurut mereka, jika pasien sudah sampai pada akhir hidupnya maka berhak meminta untuk mengajukan permohonan euthanasia agar penderitaannya segera diakhiri. Euthanasia atau bunuh diri dengan bantuan orang lain hanya sekedar mempercepat kematiannya tanpa penderitaan yang tidak perlu. Eutahanasia bisa diterapkan di Indonesia dengan syarat harus dilakukan kajian atau pertimbangan-pertimbangan hukum dengan melahirkan suatu regulasi bahwa hal tersebut dilegalkan dengan cara lebih banyak mensosialisasikan terhadap euthanasia dimasyarakat, membuat kajian-kajian dengan para pihak yang terkait terutama masyarakat agar nantinya regulasi yang lahir tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta realita dimasyarakat juga tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. 47 Kesimpulannya, euthanasia sulit untuk diterapkan di Indonesia selain menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan Pancasila, sistem hukum di Indonesia juga berbeda dengan sistem hukum di negara-negara lain yang telah melegalkan euthanasia salah satunya seperti negara Amerika. Sistem hukum di Indonesia mengharuskan para hakim selaku aparat hukum yang berperan penting dalam memutuskan suatu perkara di persidangan dimana keputusan tersebut didasari pada peraturan-peraturan yang ada. 47. Amirudin Kaso, Sarjana Hukum, Wawancara, 9 Oktober

29 4.4 Euthanasia dan Hak Hidup Menurut Perspektif HAM Euthanasia dalam perspektif HAM merupakan pelanggaran karena menyangkut hak hidup dari pasien yang harus dilindungi. Dilihat dari segi perundang-undangan belum ada pengaturan yang baru dan lengkap tentang euthanasia. Adapun pasal yang dapat dipakai sebagai landasan hukum pada euthanasia adalah apa yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia khususnya pasal-pasal yang membicarakan masalah kejahatan yang menyangkut jiwa manusia. Pasal yang paling mendekati dengan masalah adalah Pasal 344 KUHP juga pasal lain yang menyangkut jiwa manusia seperti pada Pasal 338, Pasal 339, Pasal 340 dan Pasal 359, Hak asasi manusia harus dilindungi oleh negara baik itu hak hidup, hak kebebasan dan hak-hak lain yang diakui, dihormati dan dijunjung tinggi oleh negara hukum. Tindakan euthanasia adalah perbuatan melanggar hak asasi manusia terutama hak hidup seseorang yang merupakan hak dasar dan mutlak yang dimiliki oleh setiap orang. Selain melanggar hak hidup euthanasia juga melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 yaitu pada Pasal 28A bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya, dan pada Pasal 28I ayat (1) bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Euthanasia juga 66

30 melanggar ketentuan dalam KUHP Pasal 344 dan melangkahi wewenang Yang Maha Kuasa. Euthanasia selain melanggar HAM juga melanggar Kode Etik Kedokteran dan Undang-Undang Kesehatan walaupun dari segi medis hidup pasien tersebut sudah tidak bisa tertolong lagi tetapi sebaiknya dilakukan upaya lain seperti memberikan morfin atau obat penghilang rasa nyeri atau memberikan semangat kepada pasien agar tidak putus asa dengan mengambil keputusan untuk euthanasia. 48 Berdasarkan Pasal 7c dalam Kode Etik Kedokteran yaitu dokter harus menghormati hak-hak pasien dimana hak pasien itu antara lain hak hidup dan hak atas tubuhnya sendiri. Hak hidup dan hak atas tubuhnya sendiri pada Pasal 7c bukan termasuk hak untuk mati dengan cara dieuthanasia tetapi hak yang dimaksud dalam pasal ini adalah persepektif pelayanan dokter terhadap pasien dengan menghormati hak-hak pasien tersebut seperti hak hidup dan hak atas tubuhnya sendiri. Pasal 7c ini untuk mencegah dokter melakukan tindakan semena-mena terhadap pasien atau bahkan memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan prosedur. Bukan berarti apabila seorang pasien meminta untuk dieuthanasia maka dokter akan mengabulkan permohonan tersebut. Euthanasia bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. 49 Jika permohonanya dikabulkan maka akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang HAM karena negara Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia termasuk hak hidup seseorang. Undang-Undang HAM tidak memberikan 48. Dr. Muhamad Nur Syukriani Yusuf, Dokter, Wawancara, 17 Oktober Krido S. Sakali, Sarjana Hukum, Wawancara, 9 Oktober

31 ruang untuk melakukan euthanasia karena bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang HAM itu sendiri. 50 Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa euthanasia merupakan tindakan yang keliru untuk dilakukan oleh seseorang walaupun dengan alasan untuk mengakhiri penderitaan yang dialami karena masih bisa diatasi dengan upaya lain tanpa harus melakukan euthanasia atau suntik mati. Perlu diingat bahwa di dalam Undang-Undang HAM tidak mengatur mengenai hak untuk mati. Maka dari itu tindakan euthanasia adalah sebuah tindakan yang bertentangan dan melanggar ketentuan Undang-Undang HAM. Dalam dunia medis yang serba canggih ternyata masih memerlukan tuntutan etika, moral, dan hukum dalam pelaksanaannya. Hal ini erat sekali kaitannya dengan penerapan hak asasi manusia pada praktek kedokteran. Begitu juga hakhak yang dimiliki oleh pasien maupun dokter dalam kaitannya dengan euthanasia karena biasanya dalam prakteknya pasien itu sendiri yang meminta untuk dieuthanasia, disebabkan oleh keadaan pasien yang sekarat dan juga didukung dengan keterangan medis dari pihak dokter yang menyatakan bahwa pasien sudah tidak dapat sembuh dan kasus seperti ini bisa dikaitkan dengan hak untuk menentukan nasib sendiri. Masalah euthanasia yang kemudian dikaitkan dengan hak untuk menentukan nasib sendiri kemudian juga menjadi problematika tersendiri dalam hal pelanggaran hak asasi manusia atau tidak. Hak untuk 50. Rajab, Jaksa, Wawancara, 25 Oktober

BAB I PENDAHULUAN. kepada seluruh makhluk hidup di jagad raya ini, termasuk pula manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. kepada seluruh makhluk hidup di jagad raya ini, termasuk pula manusia yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kematian merupakan suatu ketentuan yang telah digariskan oleh Tuhan kepada seluruh makhluk hidup di jagad raya ini, termasuk pula manusia yang telah ditentukan secara

Lebih terperinci

BAB III KASUS PERMOHONAN EUTHANASIA DARI PIHAK KELUARGA AGIAN ISNA NAULI DAN KASUS PERMOHONAN EUTHANASIA DARI PIHAK KELUARGA SITI JULAEHA

BAB III KASUS PERMOHONAN EUTHANASIA DARI PIHAK KELUARGA AGIAN ISNA NAULI DAN KASUS PERMOHONAN EUTHANASIA DARI PIHAK KELUARGA SITI JULAEHA BAB III KASUS PERMOHONAN EUTHANASIA DARI PIHAK KELUARGA AGIAN ISNA NAULI DAN KASUS PERMOHONAN EUTHANASIA DARI PIHAK KELUARGA SITI JULAEHA A. Kasus Posisi 1. Kasus Suami Agian Isna Nauli Ajukan Euthanasia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang tidak dapat menghindari adanya kemajuan dan perkembangan di bidang kedokteran khususnya dan bidang teknologi pada umumnya.

Lebih terperinci

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 40 BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 1. Pengertian Penganiayaan yang berakibat luka berat Dalam Undang-Undang tidak memberikan perumusan apa yang dinamakan penganiayaan. Namun menurut

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS DAN KAJIAN YURIDIS MENGENAI EUTHANASIA DIPANDANG DARI SEGI HAM

BAB III ANALISIS DAN KAJIAN YURIDIS MENGENAI EUTHANASIA DIPANDANG DARI SEGI HAM BAB III ANALISIS DAN KAJIAN YURIDIS MENGENAI EUTHANASIA DIPANDANG DARI SEGI HAM 3.1 Kronologi kasus Ayah Ana Widiana Kasus berikut merupakan kasus euthanasia yang terjadi pada ayah dari Ana Widiana salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan Yang Maha Esa tersebut tidak boleh dicabut oleh siapapun termasuk oleh

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan Yang Maha Esa tersebut tidak boleh dicabut oleh siapapun termasuk oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuhan Yang Maha Esa memberikan anugerah kepada manusia yaitu sebuah kehidupan yang harus dihormati oleh setiap orang. Kehidupan yang diberikan oleh Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN A. Analisa Yuridis Malpraktik Profesi Medis Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merumuskan banyak tindak pidana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063]

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063] UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063] BAB XX KETENTUAN PIDANA Pasal 190 (1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Memiliki anak adalah dambaan sebagian besar pasangan suami istri. Anak sebagai buah cinta pasangan suami-istri, kelahirannya dinantikan. Dalam usaha untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh segala aspek kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh segala aspek kehidupan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh segala aspek kehidupan yang ada di sekitarmya, seperti aspek ekonomi, sosial, politik, budaya, bahkan juga faktor

Lebih terperinci

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM OLEH : RAMADHAN SYAHMEDI SIREGAR, S.Ag, MA Dosen FK USU Dosen Tetap Fak. Syari`ahah Intitut Agama Islam Negeri (IAIN-SU) Medan Euthanasia berasal dari kata Yunani, eu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan berbagai permasalahannya, dan diakhiri dengan kematian. Dari proses

BAB I PENDAHULUAN. dengan berbagai permasalahannya, dan diakhiri dengan kematian. Dari proses BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap makhluk hidup termasuk manusia, akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu hal yang tidak menyenangkan dan kalau mungkin tidak dikehendaki. Namun

BAB I PENDAHULUAN. suatu hal yang tidak menyenangkan dan kalau mungkin tidak dikehendaki. Namun 8 A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Suatu keinginan kematian bagi sebagaian besar umat manusia merupakan suatu hal yang tidak menyenangkan dan kalau mungkin tidak dikehendaki. Namun demikian manusia

Lebih terperinci

BAB XX KETENTUAN PIDANA

BAB XX KETENTUAN PIDANA Undang-undang Kesehatan ini disyahkan dalam sidang Paripurna DPR RI tanggal 14 September 2009 1 PASAL-PASAL PENYIDIKAN DAN HUKUMAN PIDANA KURUNGAN SERTA PIDANA DENDA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, angka pembunuhan janin per tahun sudah mencapai 3 juta. 1 Angka yang

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, angka pembunuhan janin per tahun sudah mencapai 3 juta. 1 Angka yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini Aborsi menjadi salah satu masalah yang cukup serius, dilihat dari tingginya angka aborsi yang kian meningkat dari tahun ke tahun. Di Indonesia sendiri,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Terhadap Putusan Waris Beda Agama Kewarisan beda agama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, yang

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

Aborsi pada Kehamilan akibat perkosaan: Ketentuan perundangundangan dan Fikih Islam

Aborsi pada Kehamilan akibat perkosaan: Ketentuan perundangundangan dan Fikih Islam PIT PDFI, Balikpapan 9-10 September 2015 Aborsi pada Kehamilan akibat perkosaan: Ketentuan perundangundangan dan Fikih Islam Budi Sampurna amanat UU 36/2009 Frasa kesehatan reproduksi muncul di pasal 48

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan yang bernilai ibadah adalah perkawinan. Shahihah, dari Anas bin Malik RA, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan yang bernilai ibadah adalah perkawinan. Shahihah, dari Anas bin Malik RA, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW BAB I PENDAHULUAN Allah SWT menciptakan manusia terdiri dari dua jenis, pria dan wanita. dengan kodrat jasmani dan bobot kejiwaan yang relatif berbeda yang ditakdirkan untuk saling berpasangan dan saling

Lebih terperinci

Ringkasan Putusan.

Ringkasan Putusan. Ringkasan Putusan Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009 tanggal 19 April 2010 atas Undang- Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. problematika dan mengontrol perkembangan tersebut.salah satu problematika

BAB I PENDAHULUAN. problematika dan mengontrol perkembangan tersebut.salah satu problematika BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini banyak sekali berbagai permasalahan dan problematika yang sering muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang semakin berkembang dan tidak sedikit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia, selain dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia, selain dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pola hidup modern sekarang ini menimbulkan dampak yang besar dalam kehidupan manusia, selain dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam menjalankan aktifitasnya,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

C. Konsep HAM dalam UU. No. 39 tahun 1999

C. Konsep HAM dalam UU. No. 39 tahun 1999 6. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan Hak mendapatkan pengajaran Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat C. Konsep

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia pada umumnya tidak lepas dari kebutuhan baik jasmani maupun rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah SWT untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN [LN 1992/100, TLN 3495]

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN [LN 1992/100, TLN 3495] UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN [LN 1992/100, TLN 3495] BAB X KETENTUAN PIDANA Pasal 80 (1) Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 yang menjujung tingi hak dan kewajiban bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang pengguguran kandungan atau aborsi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 1, aborsi /abor.si/ berarti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN MENGENAI MALPRAKTEK YANG DILAKUKAN OLEH BIDAN. 1. Peraturan Non Hukum (kumpulan kaidah atau norma non hukum)

BAB II PENGATURAN MENGENAI MALPRAKTEK YANG DILAKUKAN OLEH BIDAN. 1. Peraturan Non Hukum (kumpulan kaidah atau norma non hukum) BAB II PENGATURAN MENGENAI MALPRAKTEK YANG DILAKUKAN OLEH BIDAN Peraturan tertulis maupun tidak tertulis, dilihat dari bidang pengaturannya, dibagi menjadi dua bentuk, yaitu: 25 1. Peraturan Non Hukum

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP PEMALSUAN MEREK SEPATU DI KELURAHAN BLIMBINGSARI SOOKO MOJOKERTO

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP PEMALSUAN MEREK SEPATU DI KELURAHAN BLIMBINGSARI SOOKO MOJOKERTO BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP PEMALSUAN MEREK SEPATU DI KELURAHAN BLIMBINGSARI SOOKO MOJOKERTO A. Analisis Hukum Islam Terhadap Pemalsuan Merek Sepatu di Kelurahan Blimbingsari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai moral yang ada di dalam masyarakat kita semakin berkurang. Pergaulan bebas dewasa

Lebih terperinci

Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Januari-Juni

Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Januari-Juni Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Januari-Juni 2010 26 PENDAHULUAN Pengertian aborsi menurut hukum adalah tindakan menghentian kehamilan atau mematikan janin sebelum waktu kelahiran, tanpa melihat

Lebih terperinci

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia adalah negara yang berdasar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk,

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi dewasa ini sudah semakin berkembang baik dilihat dari jenis, pelaku maupun dari modus operandinya. Masalah korupsi bukan hanya menjadi masalah nasional

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang biasa disebut dengaan istilah mengugurkan kandungan. Aborsi

BAB 1 PENDAHULUAN. yang biasa disebut dengaan istilah mengugurkan kandungan. Aborsi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Aborsi adalah pembunuhan janin yang di ketahui oleh masyarakat yang biasa disebut dengaan istilah mengugurkan kandungan. Aborsi dibedakan antara aborsi yang terjadi

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS PERBANDINGAN PENGANIYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENGAKIBATKAN KEGUGURAN JANIN ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF

BAB III ANALISIS PERBANDINGAN PENGANIYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENGAKIBATKAN KEGUGURAN JANIN ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF BAB III ANALISIS PERBANDINGAN PENGANIYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENGAKIBATKAN KEGUGURAN JANIN ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF Untuk mengetahui bagaimana persamaan dan perbedaan antara

Lebih terperinci

HAK ASASI MANUSIA. by Asnedi KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA KANWIL SUMATERA SELATAN

HAK ASASI MANUSIA. by Asnedi KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA KANWIL SUMATERA SELATAN HAK ASASI MANUSIA by Asnedi KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA KANWIL SUMATERA SELATAN HAK ASASI : - BENAR - MILIK /KEPUNYAAN - KEWENANGAN - KEKUASAAN UNTUK BERBUAT SESUATU : -

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan 1. Latar Belakang Anak merupakan generasi penerus keluarga. Anak juga merupakan aset bangsa yang sangat berharga; sumber daya manusia yang berperan penting

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG MEMBANTU MELAKUKAN TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG MEMBANTU MELAKUKAN TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG MEMBANTU MELAKUKAN TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA A. Pembantuan Dalam Aturan Hukum Pidana 1. Doktrin Pembantuan dalam Hukum Pidana Dalam pembantuan akan terlibat

Lebih terperinci

SKRIPSI DISUSUN O L E H. Nama NPM Program : : ILMU HUKUMM. studi HUKUM MEDAN Universitas Sumatera Utara

SKRIPSI DISUSUN O L E H. Nama NPM Program : : ILMU HUKUMM. studi HUKUM MEDAN Universitas Sumatera Utara 1 EUTHANASIAA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG N0. 39 TAHUN 1999 TENTANG HAM DAN DILIHATT DARI SEGII HUKUM PIDANA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas Hukum DISUSUN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan hukum dalam mendukung jalannya roda pembangunan maupun dunia usaha memang sangat penting. Hal ini terutama berkaitan dengan adanya jaminan kepastian hukum.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelahiran, kehidupan, serta kematian. Kematian adalah sebuah keniscayaan bagi

BAB I PENDAHULUAN. kelahiran, kehidupan, serta kematian. Kematian adalah sebuah keniscayaan bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan di dunia terdiri dari beberapa siklus, dimulai dari pembuahan, kelahiran, kehidupan, serta kematian. Kematian adalah sebuah keniscayaan bagi semua makhluk

Lebih terperinci

BAB IV. Setelah mempelajari putusan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 2355/Pdt.G/2011/PA.Sda tentang izin poligami, penulis dapat

BAB IV. Setelah mempelajari putusan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 2355/Pdt.G/2011/PA.Sda tentang izin poligami, penulis dapat BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN DAN DASAR HUKUM IZIN POLIGAMI DALAM PUTUSAN MAJELIS HAKIM DI PENGADILAN AGAMA SIDOARJO NO. 2355/Pdt.G/2011/PA.Sda A. Analisis Yuridis Pertimbangan Dan Dasar

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Segala bentuk kekerasan yang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang harus dapat ditegakkan hukumnya. Penghilangan nyawa dengan tujuan kejahatan, baik yang disengaja

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dibawah Umur Pengertian anak menurut Kamus Bahasa Indonesia yang dapat disimpulkan ialah keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dan seorang wanita yang

Lebih terperinci

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Oleh Sukhebi Mofea*) Abstrak

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Oleh Sukhebi Mofea*) Abstrak AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh *) Abstrak Perkawinan merupakan suatu kejadian yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Ikatan perkawinan ini, menimbulkan akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara berdasarkan hukum bukan semata-mata kekuasaan penguasa. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, maka seluruh warga masyarakatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Perkara Nomor 4/PUU-V/2007

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Perkara Nomor 4/PUU-V/2007 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Perkara Nomor 4/PUU-V/2007 I. PEMOHON dr. Anny Isfandyarie Sarwono, Sp.An., S.H. KUASA HUKUM Sumali, S.H. dkk II. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN - sebanyak 11 (sebelas) norma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. 1

BAB I PENDAHULUAN. bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada manusia secara alami sejak ia di lahirkan, bahkan jika kepentingannya dikehendaki, walaupun masih dalam kandungan

Lebih terperinci

A. Analisis Terhadap Tinjauan Aborsi Menurut PP. Nomor 61 Tahun Menurut ketentuan yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

A. Analisis Terhadap Tinjauan Aborsi Menurut PP. Nomor 61 Tahun Menurut ketentuan yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP TINDAKAN ABORSI KARENA KEDARURATAN MEDIS MENURUT PERATURAN PEMERINTAH (PP) NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI A. Analisis Terhadap Tinjauan Aborsi

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van

BAB V PENUTUP. putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van 138 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Kewenangan untuk menentukan telah terjadinya tindak pidana pemerkosaan adalah berada ditangan lembaga pengadilan berdasarkan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Abortus provocatus di Indonesia lebih populer disebut sebagai aborsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Abortus provocatus di Indonesia lebih populer disebut sebagai aborsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Abortus provocatus di Indonesia lebih populer disebut sebagai aborsi (pengguguran kandungan). Maraknya aborsi dapat diketahui dari berita di surat kabar atau

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa setiap

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM EUTHANASIA. By L. Ratna Kartika Wulan

ASPEK HUKUM EUTHANASIA. By L. Ratna Kartika Wulan ASPEK HUKUM EUTHANASIA By L. Ratna Kartika Wulan POKOK BAHASAN DEFINISI PERMASALAHAN EUTHANASIA HAK UNTUK MATI PANDANGAN HKM THD EUTHANASIA JENIS EUTHANASIA PRO & KONTRA EUTHANASIA DEFINISI SECARA HARAFIAH

Lebih terperinci

BAB 4 STUDI KASUS 4.1 Kasus Posisi Uni versitas Indonesia

BAB 4 STUDI KASUS 4.1 Kasus Posisi Uni versitas Indonesia BAB 4 STUDI KASUS 4.1 Kasus Posisi Kasus ini merupakan kasus gugatan perbuatan melawan hukum antara Penggugat Mesdiwanda Sitepu, seorang ibu rumah tangga, melawan Bidan Herawati sebagai tergugat I, Rumah

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 5-1991 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 67, 2004 POLITIK. KEAMANAN. HUKUM. Kekuasaaan Negara. Kejaksaan. Pengadilan. Kepegawaian.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi 14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi dalam menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap atas tindakan sendiri

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG IZIN POLIGAMI

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG IZIN POLIGAMI BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG IZIN POLIGAMI A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Tentang Alasan-Alasan Izin Poligami Di Pengadilan Agama Pasuruan Fitrah yang diciptakan Allah atas manusia mengharuskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. emosi harapan dan kekhawatiran makhluk insani. perjanjian terapeutik adalah Undang undang nomor 36 tahun 2009 tentang

BAB I PENDAHULUAN. emosi harapan dan kekhawatiran makhluk insani. perjanjian terapeutik adalah Undang undang nomor 36 tahun 2009 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak awal mengenai umat manusia sudah dikenal adanya hubungan kepercayaan antara dua insan, yaitu manusia penyembuh dan penderita yang ingin disembuhkan. Dalam zaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkosaan merupakan salah satu tindakan kekerasan pada perempuan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkosaan merupakan salah satu tindakan kekerasan pada perempuan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkosaan merupakan salah satu tindakan kekerasan pada perempuan. Sebenarnya kekerasan terhadap perempuan sudah lama terjadi, namum sebagian masyarakat belum

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SANKSI PIDANA PELANGGARAN HAK PEMEGANG PATEN MENURUT UU NO. 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SANKSI PIDANA PELANGGARAN HAK PEMEGANG PATEN MENURUT UU NO. 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SANKSI PIDANA PELANGGARAN HAK PEMEGANG PATEN MENURUT UU NO. 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN A. Analisis Terhadap Sanksi Pidana Pelanggaran Hak Pemegang Paten Menurut UU.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Miskin Menurut Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan jo.

BAB V PENUTUP. 1. Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Miskin Menurut Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan jo. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Miskin Menurut Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan jo. Undang- Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB III ABORSI PERSPEKTIF FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA DAN UNDANG-UNDANG NO.32 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN

BAB III ABORSI PERSPEKTIF FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA DAN UNDANG-UNDANG NO.32 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN BAB III ABORSI PERSPEKTIF FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA DAN UNDANG-UNDANG NO.32 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN A. Aborsi Dalam Perspektif Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) 1. Dasar-dasar dan Prosedur Penetapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah Negara yang berdiri berlandaskan Pancasila

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah Negara yang berdiri berlandaskan Pancasila BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdiri berlandaskan Pancasila yang dimana dalam sila pertama disebutkan KeTuhanan Yang Maha Esa, hal ini berarti bahwa Negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

BAB III KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA TENTANG EUTHANASIA. 1. Pengaturan Euthanasia dalam Hukum Pidana Indonesia (KUHP)

BAB III KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA TENTANG EUTHANASIA. 1. Pengaturan Euthanasia dalam Hukum Pidana Indonesia (KUHP) BAB III KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA TENTANG EUTHANASIA 1. Pengaturan Euthanasia dalam Hukum Pidana Indonesia (KUHP) Dilihat dari segi perundang-undangan dewasa ini, belum ada pengaturan yang baru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pergaulan bebas (free sex) yang semakin marak di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. pergaulan bebas (free sex) yang semakin marak di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Aborsi saat ini dilakukan bukan hanya untuk menyelamatkan jiwa sang ibu namun dapat dilakukan karna ibu tidak menghendaki kehamilan tersebut. Kehamilan yang

Lebih terperinci

Inform Consent. Purnamandala Arie Pradipta Novita Natasya Calvindra L

Inform Consent. Purnamandala Arie Pradipta Novita Natasya Calvindra L Inform Consent Purnamandala Arie Pradipta Novita Natasya Calvindra L 1 PENDAHULUAN Malpraktek pada dasarnya adalah tindakan tenaga profesional (profesi) yang bertentangan dengan Standard Operating Procedure

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa Negara Kesatuan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.02.PR.08.10 TAHUN 2004 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN ANGGOTA, PEMBERHENTIAN ANGGOTA, SUSUNAN ORGANISASI, TATA KERJA, DAN TATA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

LEMBARAN NEGARA PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.143, 2016 KEUANGAN BPK. Kode Etik. Pencabutan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 5904) PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 95, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419)

Lebih terperinci

Nomor : Fakultas : Angkatan / Semester : PETUNJUK PENGISIAN

Nomor : Fakultas : Angkatan / Semester : PETUNJUK PENGISIAN Nomor : Fakultas : Angkatan / Semester : PETUNJUK PENGISIAN 1. Bacalah pernyataan-pernyataan pada lembar berikut, kemudian jawablah dengan sungguh-sungguh sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. 2. Jawablah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hidup sebagai makhluk sosial, melakukan relasi dengan manusia lain karena

I. PENDAHULUAN. hidup sebagai makhluk sosial, melakukan relasi dengan manusia lain karena 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya kodrat manusia telah ditetapkan sejak lahir berhak untuk hidup dan diatur dalam hukum sehingga setiap manusia dijamin dalam menjalani hidup sebagai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Peradilan Pidana Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat terhadap profesi kedokteran di Indonesia akhir-akhir ini makin

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat terhadap profesi kedokteran di Indonesia akhir-akhir ini makin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya pengetahuan masyarakat seiring pesatnya perkembangan teknologi dan kemudahan dalam mendapatkan informasi, membuat masyarakat lebih kritis terhadap pelayanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seperti kita ketahui bahwa masalah kesehatan bukanlah merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Seperti kita ketahui bahwa masalah kesehatan bukanlah merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Seperti kita ketahui bahwa masalah kesehatan bukanlah merupakan hal yang baru dalam kehidupan, sebab hal tersebut banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1979 TENTANG PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1979 TENTANG PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1979 TENTANG PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa ketentuan-ketentuan mengenai pemberhentian Pegawai

Lebih terperinci