BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG MEMBANTU MELAKUKAN TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG MEMBANTU MELAKUKAN TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA"

Transkripsi

1 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG MEMBANTU MELAKUKAN TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA A. Pembantuan Dalam Aturan Hukum Pidana 1. Doktrin Pembantuan dalam Hukum Pidana Dalam pembantuan akan terlibat lebih dari satu orang di dalam suatu tindak pidana. Ada orang yang melakukan tindak pidana yakni pelaku tindak pidana itu dan ada orang lain yang lagi membantu terlaksananya tindak pidana itu 40. Menurut Eddy O,S. Hiarief dalam bukunya Prinsip-prinsip Hukum Pidana yakni bahwa pembantuan haruslah dilakukan dengan suatu kesengajaan. Kendatipun demikian tidak berarti bahwa pembantuan hanya dapat dilakukan terhadap delik-delik yang mempunyai bentuk kesalahan berupa kesengajaan semata, namun juga dapat dilakukan terhadap delik-delik yang mempunyai bentuk kesalahan berupa kealpaan. Terkait pembantuan sebagai suatu kesengajaan, Simons berpendapat sebagai berikut, kesengajaan seorang pembantu harus ditujukan kepada semua unsur perbuatan pidana tersebut, bahkan juga terhadap unsur-unsur yang oleh undang-undang tidak disyaratkan bahwa kesengajaan pelaku itu harus pula ditujukan kepada unsur-unsur delik. Hal ini berbeda dengan Van Bemmelem dan Van Hattum yang menyatakan bahwa jika suatu delik mensyaratkan kesengajaan, maka pembantuan harus dilakukan dengan sengaja. Namun, jika suatu rumusan 40 H.Loebby Loqman, Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, (Jakarta : Universitas Tarumanegara UPT Penerbitan, 1995), hal. 59.

2 delik dapat dilakukan karena kealpaan, maka adanya kealpaan dalam pembantuan sudah cukup untuk memenuhi unsur delik. 41 Pendapat Simons lainnya adalah bahwa pembantuan hanya dapat dilakukan terhadap delik-delik yang menghendaki adanya kesengajaan dan tidak mungkin terjadi pada delik-delik yang cukup mensyaratkan kealpaan. secara tegas dinyatakan oleh Simons yakni pembantuan untuk melakukan suatu kejahatan culpa sangat jarang terjadi. Bahkan merupakan suatu yang tidak mungkin seperti halnya menggerakkan untuk melakukan suatu yang tidak mungkin seperti halnya menggerakkan untuk melakukan suatu kejahatan culpa. 42 Ciri-ciri dari masing-maing jenis pembantuan adalah sebagai berikut: Jenis pertama (pasal 56 ke-1): a. Bantuan diberikan berbarengan atau pada saat kejahatan dilakukan; b. Daya upaya yang merupakan bantuan tidak dibatasi, (dapat berupa apa saja, berwujud ataupun tidak). Jenis kedua (pasal 56 ke-2): a. Bantuan diberikan sebelum kejahatan dilakukan ; b. Daya upaya (yang merupakan bantuan) dibatasi atau tertentu, yaitu kesempatan, sarana atau keterangan. Pada masing-masing jenis pembantuan disyaratkan: a. Pembantu harus mengetahui macam kejahatan yang dikehendaki oleh petindak (pelaku utama); 41 Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi,(Yogyakarta:Cahaya Atma Pustaka, 2016), hal Ibid,hal.381

3 b. Bantuan yang diberikan oleh pembantu adalah untuk membantu petindak untuk mewujudkan kejahatan tersebut. Bukan untuk mewujudkan kejahatan lain. c. Kesengajaan membantu ditujukan untuk memudahkan atau memperlancar petindak melakukan kejahatan yang dikehendaki petindak. Dengan perkataan lain kesengajaan pembantu bukan merupakan unsur dari kejahatan tersebut Pertanggungjawaban Pembantuan Dalam Aturan Hukum Pidana Dilihat dari sudut ajaran bentuk pertanggungjawaban peserta mandiri dan peserta terkait, pembantu (sebagai peserta dalam arti luas/deelnemen) termasuk dalam bentuk pertanggungjawaban peserta terkait. Artinya pertanggungjawaban pembantu terkait / tergantung kepada pertanggungjawaban petindak / pelaku utama. Apabila misalnya petindak benar-benar, melakukan kejahatan yang dikehendakinya itu, maka tanggungjawab pembantu adalah sebagai pembantu pada petindak yang ancaman pidananya ditentukan pada pasal 57 ayat 1, 2 dan 3. Pada dasarnya maksimum dikurangi dengan sepertiga dari maksimum yang diancamkan untuk kejahatan tersebut. Apabila petindak hanya sampai pada percobaan saja, maka pembantu adalah merupakan pembantu bagi petindak untuk percobaan melakukan kejahatan. Apabila petindak tidak jadi melakukan kejahatan, atau baru saja pada persiapan melaksanakan yang tidak diancam dengan pidana, atau apa yang dilakukan oleh petindak bukanlah suatu kejahatan, 43 E.Y.Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika 2012), hal.373

4 bahkan apabila pelaku dibebaskan dari tuduhan atau dilepaskan dari penuntutan, maka terhadap pembantu tiada persoalan pemidanaan. 44 Tentang pertanggungjawaban pembantu termasuk ancaman pidananya termuat dalam pasal 57 KUHP yang berbunyi: 1) Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dikurangi sepertiga. 2) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. 3) Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri. 4) Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkna hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya. Pertanggungjawaban pembantu dibatasi hanya terhadap tindak pidana yang dibantunya saja. Apabila dalam suatu peristiwa ternyata terjadi tindak pidana yang berlebih, maka tindak pidana yang lebih tersebut bukan merupakan tanggungjawab pembantu. Kecuali tindak pidana yang timbul tersebut merupakan akibat logis dari perbuatan yang dibantunya. 45 B. Aborsi Menurut KUHP Kejahatan adalah perbuatan yang melanggar atau bertentangan, dengan hukum, yang terhadap perbuatan ini bisa dikenakan pidana. Hukum Pidana Indonesia memandang tindakan aborsi tidak selalu merupakan perbuatan jahat atau merupakan tindak pidana, hanya abortus provocatus criminalis saja yang dikategorikan sebagai suatu perbuatan tindak pidana, adapun aborsi yang lainnya 44 Ibid. hal Juli 2017, 21: 16 WIB

5 terutama yang bersifat spontan dan medicalis, bukan merupakan suatu tindak pidana. 46 Aborsi juga disebut terminasi kehamilan, yang mempunyai dua macam yaitu: a. Bersifat Legal Aborsi legal dilakukan oleh tenaga kesehatan atau tenaga medis yang berkompeten berdasarkan indikasi medis, dengan persetujuan ibu yang hamil dan suami.aborsi legal sering juga disebut aborsi buatan atau pengguguran dengan indikasi medis. Meskipun demikian, tidak setiap tindakan aborsi yang sudah mempunyai indikasi medis ini dapat dilakukan aborsi buatan. Persyaratan lain yang harus dipenuhi dalam tindakan aborsi adalah : 1. Aborsi hanya dilakukan sebagai tindakan terapeutik. 2. Disetujui secara tertulis oleh dua orang dokter yang berkompetensi 3. Dilakukan ditempat pelayanan kesehatan b. Bersifat Ilegal Aborsi illegal oleh tenaga kesehatan atau tenaga medis yang tidak berkompeten, melalui cara-cara diluar medis (pijat,jamu, atau ramu-ramuan), dengan atau tanpa persetujuan ibu hamil dan suami. Aborsi illegal sering juga dilakukan oleh tenaga medis yang kompeten, tetapi tidak mempunyai indikasi medis Rukmini, M, Penelitian tentang aspek hukum pelaksanaan aborsi akibat perkosaan, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Ham RI, 2004, hal Notoadmojo, Etika dan Hukum Kesehatan(Jakarta:PT. Rineka Cipta, 2010), hal.136

6 Soal Aborsi telah diatur dalam beberapa undang-undang, antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan (UUK) kemudian diganti dengan UU no. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan, dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah lainnya (misalnya Sumpah dan Kode Etik Kedokteran Indonesia). 48 Kata Pengguguran Kandungan adalah terjemahan dari kata abortus Provocatus yang dalam kamus kedokteran diterjemahkan dengan kata membuat keguguran. Pengguguran dalam KUHP diatur oleh pasal-pasal 299, 346,347,34 dan 349. Pasal-pasal tersebut terdapat 3 unsur atau faktor pada kasus pengguguran, yaitu janin, ibu yang mengandung, dan orang ketiga yang terlibat pada pengguguran tersebut. Pengaturan KUHP mengenai Pengguguran Kandungan adalah : 1) Pasal 299 KUHP menyatakan: a. Barangsiapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh seorang wanita supaya diobati dengan memberitahu atau menerbitkan pengharapan bahwa oleh karena pengobatan itu dapat gugur kandungannya, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak empat puluh lima ribu rupiah. b. Kalau yang bersalah berbuat karena mencari keuntungan, atau melakukan kejahatan itu sebagai mata pencaharian atau kebiasaan atau ia seorang Dokter, Bidan atau Juru obat, pidana dapat ditambah sepertiganya. c. Kalau yang bersalah melakukan kejahatan itu dalam pekerjaannya, maka dapat dicabut haknya melakukan pekerjaan itu. 49 2). Pasal 346 KUHP menyatakan : Seorang perempuan yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyeluruh orang lain untuk itu maka diancam dengan hukuman penjara paling lama 4 (empat) tahun. hal Chrisdiono, Dinamika Etikan & Hukum Kedokteran, (Jakarta: EGC, 2007), hal Leden Marpaung, Kejahatan dan masalah Prevensinya, (Jakarta:Sinar Grafika, 2004.

7 Penjelasannya adalah : a. Perempuan yang sengaja menggugurkan atau membunuh kandungannya atau suruhan orang lain untuk itu, dikenakan pasal ini.orang dengan sengaja menggugurkan atau membunuh kandungan seorang perempuan dengan tidak izin perempuan itu dihukum menurut pasal 347, apabila dilakukan dengan seijin perempuan itu, dikenakan pasal 348. b. Cara membunuh atau menggugurkan kandungan itu, baik dengan obat yang diminum, maupun dengan alat-alat yang dimasukkan melalui anggota kemaluan. Menggugurkan kandungan yang sudah mati, tidak dihukum, demikian pula tidak dihukum orang yang membatasi kelahiran anak mencegah terjadinya hamil, c. Jika seorang tabib, bidan atau ahli obat membantu kejahatan dalam Pasal 346, berbuat atau membantu salah satu kejahatan dalam pasal 347 dan 348, maka bagi mereka hukumannya ditambah dengan sepertiganya dan dapat dipecat dari jabatannya. 3). Pasal 347 KUHP menyatakan : a. Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seseorang perempuan tanpa persetujuannya diancam dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun. b. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut maka diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. 4). Pasal 348 KUHP menyatakan : a. Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seseorang perempuan dengan persetujuannya diancam dengan pidana penjara paling 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan. b. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut maka diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. 5). Pasal 349 KUHP menyatakan : Jika seorang tabib, dukun beranak atau tukang obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterapkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambahkan dengan sepertiga dan dapat ia dipecat dari jabatannya yang digunakan untuk melakukan kejahatan itu R. Soesilo, KUHP, (Bogor,Politeia,1995), hal

8 Berdasarkan rumusan pasal 299 KUHP, pasal 346 KUHP, pasal 347 KUHP, pasal 348 KUHP dan pasal 349 tersebut di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa : a) Seorang perempuan hamil yang dengan sengaja melakukan aborsi atau ia menyuruh orang lain, diancam hukuman empat tahun penjara. b) Seseorang yang dengan sengaja melakukan aborsi terhadap ibu hamil dengan tanpa persetujuan ibu hamil tersebut, diancam hukuman penjara 12 tahun, & jika ibu hamil tersebut mati, diancam penjara 15 tahun penjara. c) Jika dengan persetujuan ibu hamil, maka diancam hukuman 5,5 tahun penjara & bila ibu hamil tersebut mati diancam hukuman 7 tahun penjara. d) Jika yang melakukan & atau membantu melakukan aborsi tersebut seorang dokter, bidan atau juru obat ancaman hukumannya ditambah sepertiganya & hak untuk berpraktik dapat dicabut. e) Setiap janin yang dikandung sampai akhirnya nanti dilahirkan berhak untuk hidup serta mempertahankan hidupnya C. Aborsi Menurut UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Leenen mengemukakan bahwa peraturan perundang-undangan yang secara spesifik diterapkan dalam pelayan kesehatan mempunyai landasan yang bersifat teori sendiri, khususnya yang menyangkut :hak dasar, yaitu: hak atas pelayanan kesehatan dan hak manusia untuk menentukan nasibnya sendiri. Diakuinya hukum kesehatan sebagai kesatuhan normative yang didasarkan pada

9 tiang-tiang konstitusi telah berpengaruh sekali terutama dalam pembentukan apa yang dikenal dengan hak-hak pasien. 51 UU Kesehatan No.36 tahun 2009, memberikan payung hukum bagi pelaksanaan abortus provokatus pada kehamilan akibat perkosaan yang mengalami trauma psikologi, sehingga pelaksanaan abortus provokatus pada kehamilan akibat perkosaan bisa dilakukan secara aman, akan tetapi undangundang ini juga memberikan syarat, bahwa abortus hanya boleh dilakukan sebelum kehamilan berumur enam minggu yang dihitung dari haid pertama haid terakhir. Adapun pasal yang berkaitan dengan aborsi adalah: 1. Pasal 75 a. Setiap orang dilarang melakukan aborsi b. Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan : 1) Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup diluar kandungan. 2) Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. c. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat b hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang. d. Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat b dan c diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2. Pasal Tengker.F. Hukum kesehatan kini dan disini, (Bandung: CV Mandar Maju, 2010) hal.

10 Aborsi sebagaimana dimaksud pada pasal 75 hanya dapat dilakukan : a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari haid pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis. b. Dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri. c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan d. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan. e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri Pasal 77 Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan. D. Aborsi Menurut PP No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi Pemerintah dalam rangka memberikan kepastian hukum, perlindungan hukum, serta menata konsep-konsep yang berhubungan dengan hukum yang mengatur penyelenggaraan reproduksi dengan bantuan, aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan perkosaan sebagai pengecualian atas larangan aborsi, pelayanan kesehatan ibu serta penyelenggaraan kehamilan diluar cara alamiah agar berjalan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat Indonesia yang berketuhanan Yang Maha Esa baik dari segi agama, moral, etika, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perlu mengatur penyelenggaraan Kesehatan Reproduksi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi sebagai peraturan pelaksana dari ketentuan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 52 UU. No.36 tahun Diakses dari ( contents/uploads/dara/pdju/pdfperaturan / pdf, 20 Mei 2017, 22:15 WIB

11 Peraturan Pemerintah (yang selanjutnya akan ditulis PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, secara khusus mengatur mengenai Aborsi yaitu pada Bab IV dengan judul Indikasi Kedaruratan Medis Dan Perkosaan Sebagai Pengecualian Atas Larangan Aborsi. Bab ini terdiri dari 4 Bagian dan dibagi lagi kedalam sub-sub bahasan, dimulai dari Pasal 31 sampai Pasal 39. Pasal 31 PP ini mengatakan bahwa salah satu pengecualian untuk dapat dilakukannya aborsi adalah terhadap kehamilan akibat perkosaan. Tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Jika melihat kembali aturan yang dirumuskan didalam UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, salah satu syarat dalam pelaksanaan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan dalam UU tersebut yaitu bahwa aborsi hanya dapat dilakukan sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir. Yang dimaksud dengan 6 (enam) minggu sama hal nya dengan 42 (empat puluh dua) hari. Hal ini berarti tidak terdapat perbedaan yang jauh apabila membandingkan rumusan aturan mengenai aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan ini dalam UU Kesehatan dengan PP Kesehatan Reproduksi. Salah satu sub bahasan yang dirumuskan dalam PP ini adalah mengenai Indikasi Perkosaan. Pasal 34 : (1) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. (2) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan :

12 a. Usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan b. Keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan. Peraturan Pemerintah ini menegaskan bahwa yang dimaksud dengan perkosaan adalah hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan dalam ayat ini yaitu pada frasa : hubungan seksual tanpa persetujuan dari perempuan, dan frasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Frasa hubungan seksual tanpa persetujuan pihak perempuan tidak dibatasi lebih lanjut dalam peraturan pemerintah ini. Hal ini berarti bahwa selain perkosaan yang di atur secara umum dalam Pasal 299, 346, 347, 348, dan 349 KUHP, maka hubungan seksual dalam lingkup rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya (kekerasan seksual dalam rumah tangga) juga termasuk dalam pengertian ayat ini yaitu merujuk kepada Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada Pasal 8 dan Pasal 46. Frasa selanjutnya yaitu frasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, hal ini setiap berarti merujuk kepada setiap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tindak pidana hubungan seksual tanpa persetujuan pihak perempuan itu sendiri. Pasal 34 ayat 2 (dua) menyatakan bahwa kehamilan tersebut dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter dan keterangan dari penyidik, psikolog dan atau ahli lain. Ahli lain yang dimaksud antara lain dokter spesialis psikiatri, dokter spesialis forensik, dan pekerja sosial. Wewenang masing-masing profesi dalam ayat ini berbeda. Dokter yang dimaksud pada huruf a, berwenang mengeluarkan

13 surat keterangan mengenai usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan. Yang dimaksud dalam huruf b yaitu penyidik, psikolog dan atau ahli lain, berwenang memberikan keterangan mengenai adanya dugaan perkosaan. Tidak dijelaskan lebih rinci dalam ayat ini apakah dokter wajib mensyaratkan korban membuat laporan pengaduan pidana telah benar terjadi perkosaan terlebih dahulu baru dapat mengeluarkan visum et repertum, atau hal tersebut dapat dilakukan secara seiring sejalan, atau bahkan visum et repertum dapat dikeluarkan terlebih dahulu baru kemudian laporan pengaduan pidana menyusul. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam ayat ini adalah kata dan yang artinya bahwa baik surat keterangan dari dokter maupun keterangan dari penyidik, psikolog dan atau ahli lain, keduanya wajib ada dan tidak dipilih salah satu. Berdasarkan hal tersebut tampak koneksitas antara penegak hukum dengan tenaga medis. Keakuratan hasil pemeriksaan oleh tenaga medis sangat dibutuhkan dalam hal ini. Pasal 35 : (1) Aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu, dan bertanggung jawab. (2) Praktik aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. dilakukan oleh dokter sesuai dengan standar; b. dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri; c. atas permintaan atau persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan; d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; e. tidak diskriminatif; dan f. tidak mengutamakan imbalan materi. (3) Dalam hal perempuan hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c tidak dapat memberikan persetujuan, persetujuan aborsi dapat diberikan oleh keluarga yang bersangkutan. (4) Dalam hal suami tidak dapat dihubungi, izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diberikan oleh keluarga yang bersangkutan.

14 Pasal 36 : (1) Dokter yang melakukan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) huruf a harus mendapatkan pelatihan oleh penyelenggara pelatihan yang terakreditasi. (2) Dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan anggota tim kelayakan aborsi atau dokter yang memberikan surat keterangan usia kehamilan akibat perkosaan. (3) Dalam hal di daerah tertentu jumlah dokter tidak mencukupi, dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari anggota tim kelayakan aborsi. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atur dengan Peraturan Menteri. Pasal 35 berlaku tidak hanya bagi aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan tetapi juga terhadap indikasi medis. Peraturan Pemerintah ini tidak menjabarkan lebih lanjut defenisi mengenai apa yang dimaksud dengan pelaksanaan aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggungjawab melainkan mencantumkan beberapa hal yang meliputi pelaksanaan aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggungjawab tersebut. Penjelasan Pasal 35 menyebutkan, yang dimaksud dengan tidak mengutamakan imbalan materi dalam Pasal 35 ayat (2) huruf f adalah biaya pelayanan sesuai dengan perhitungan unit cost. Pasal 36 ayat (1) menyatakan yang dimaksud dengan dokter dalam Pasal 35 ayat (2) huruf a adalah dokter yang telah mengikuti pelatihan oleh penyelenggara pelatihan yang terakreditasi. Penjelasan Pasal 36 menyebutkan, yang dimaksud dengan pelatihan adalah pelatihan yang diselenggarakan oleh penyelenggara terakreditasi dan dibuktikan dengan sertifikat. Dokter yang dimaksud bukan merupakan anggota tim kelayakan aborsi atau dokter yang memberikan surat keterangan usia kehamilan akibat perkosaan, hal ini dimaksudkan agar menghindari konflik kepentingan. Aturan tersebut dapat

15 dikecualikan bagi daerah yang tidak memiliki dokter yang jumlahnya mencukupi sehingga dapat dilakukan oleh dokter yang sama. Pasal 37 mengatakan bahwa tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling. Konseling yang dimaksud adalah meliputi konseling pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor. Konselor adalah setiap orang yang telah memiliki sertifikat sebagai konselor melalui pendidikan dan pelatihan. Konseling pra tindakan antara lain untuk menjajaki kebutuhan dari perempuan yang ingin melakukan aborsi, untuk mengetahui aborsi dapat atau tidak dapat dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang, untuk menjelaskan tahapan tindakan aborsi yang akan dilakukan dankemungkinan efek samping atau komplikasinya, untuk membantu perempuan yang ingin melakukan aborsi untuk mengambil keputusan sendiri untuk melakukan aborsi atau membatalkan keinginan untuk melakukan aborsi setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi, dan untuk menilai kesiapan pasien untuk menjalani aborsi. Konseling pasca tindakan antara lain untuk mengobservasi dan mengevaluasi kondisi pasien setelah tindakan aborsi, untuk membantu pasien memahami keadaan atau kondisi fisik setelah menjalani aborsi, untuk menjelaskan perlunya kunjungan ulang untuk pemeriksaan dan konseling lanjutan atau tindakan rujukan bila diperlukan, dan untuk menjelaskan pentingnya penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah terjadinya kehamilan. Pasal 38 ayat (1) menyebutkan, apabila setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) huruf d atau

16 karena tidak memenuhi ketentuan untuk dilakukan tindakan aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), korban perkosaan memutuskan membatalkan keinginan untuk melakukan aborsi, maka korban perkosaan dapat diberikan pendampingan oleh konselor selama masa kehamilan. Pendampingan yang dilakukan dapat berupa pendampingan psikologis, pendampingan sosiologis, dan pendampingan medis. Pasal 38 ayat (2) menambahkan bahwa anak yang dilahirkan dari ibu korban perkosaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 38 ayat (1) dapat diasuh oleh keluarga. Keluarga yang dimaksud adalah orang tua kandung atau anggota keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga. Apabila keluarga menolak untuk mengasuh anak yang dilahirkan dari korban perkosaan, anak tersebut menjadi anak asuh yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan karena keluarganya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar. Pasal 39 menegaskan bahwa setiap pelaksanaan aborsi wajib dilaporkan kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dengan tembusan kepala dinas kesehatan provinsi yang dilakukan oleh pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan.

BAB IV KETENTUAN DIBOLEHKANNYA ABORSI AKIBAT PERKOSAAN DALAM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI

BAB IV KETENTUAN DIBOLEHKANNYA ABORSI AKIBAT PERKOSAAN DALAM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI BAB IV KETENTUAN DIBOLEHKANNYA ABORSI AKIBAT PERKOSAAN DALAM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI A. Hukum Aborsi Akibat Perkosaan Aborsi akibat perkosaan merupakan permasalahan

Lebih terperinci

Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Januari-Juni

Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Januari-Juni Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Januari-Juni 2010 26 PENDAHULUAN Pengertian aborsi menurut hukum adalah tindakan menghentian kehamilan atau mematikan janin sebelum waktu kelahiran, tanpa melihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak diinginkan, meliputi abortus provocatus medicinalis dan abortus

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak diinginkan, meliputi abortus provocatus medicinalis dan abortus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Istilah Aborsi disebut juga dengan istilah Abortus Provocatus. Abortus provocatus adalah pengguguran kandungan yang disengaja, terjadi karena adanya perbuatan

Lebih terperinci

PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI

PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI Oleh : Putu Mas Ayu Cendana Wangi Sagung Putri M.E. Purwani Program Kekhususan Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pelayanan Kesehatan adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pelayanan Kesehatan adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian No.169, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KESEHATAN. Reproduksi. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5559) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2014

Lebih terperinci

PENGGUGURAN KANDUNGAN AKIBAT PEMERKOSAAN DALAM KUHP 1 Oleh : Freedom Bramky Johnatan Tarore 2

PENGGUGURAN KANDUNGAN AKIBAT PEMERKOSAAN DALAM KUHP 1 Oleh : Freedom Bramky Johnatan Tarore 2 PENGGUGURAN KANDUNGAN AKIBAT PEMERKOSAAN DALAM KUHP 1 Oleh : Freedom Bramky Johnatan Tarore 2 ABSTRAK Pengguguran kandungan (aborsi) selalu menjadi perbincangan, baik dalam forum resmi maupun tidak resmi

Lebih terperinci

BAB XX KETENTUAN PIDANA

BAB XX KETENTUAN PIDANA Undang-undang Kesehatan ini disyahkan dalam sidang Paripurna DPR RI tanggal 14 September 2009 1 PASAL-PASAL PENYIDIKAN DAN HUKUMAN PIDANA KURUNGAN SERTA PIDANA DENDA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...

Lebih terperinci

BAB II KETENTUAN TENTANG TINDAK PIDANA PENGGUGURAN KANDUNGAN. A. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

BAB II KETENTUAN TENTANG TINDAK PIDANA PENGGUGURAN KANDUNGAN. A. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan BAB II KETENTUAN TENTANG TINDAK PIDANA PENGGUGURAN KANDUNGAN A. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan juga mengatur mengenai masalah pengguguran

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van

BAB V PENUTUP. putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van 138 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Kewenangan untuk menentukan telah terjadinya tindak pidana pemerkosaan adalah berada ditangan lembaga pengadilan berdasarkan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkosaan merupakan salah satu tindakan kekerasan pada perempuan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkosaan merupakan salah satu tindakan kekerasan pada perempuan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkosaan merupakan salah satu tindakan kekerasan pada perempuan. Sebenarnya kekerasan terhadap perempuan sudah lama terjadi, namum sebagian masyarakat belum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063]

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063] UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063] BAB XX KETENTUAN PIDANA Pasal 190 (1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik

Lebih terperinci

Aborsi pada Kehamilan akibat perkosaan: Ketentuan perundangundangan dan Fikih Islam

Aborsi pada Kehamilan akibat perkosaan: Ketentuan perundangundangan dan Fikih Islam PIT PDFI, Balikpapan 9-10 September 2015 Aborsi pada Kehamilan akibat perkosaan: Ketentuan perundangundangan dan Fikih Islam Budi Sampurna amanat UU 36/2009 Frasa kesehatan reproduksi muncul di pasal 48

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan merupakan suatu anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan merupakan suatu anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kehidupan merupakan suatu anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Setiap orang berhak atas kehidupan. Berdasarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN A. Analisa Yuridis Malpraktik Profesi Medis Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merumuskan banyak tindak pidana

Lebih terperinci

BAB III ABORSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN

BAB III ABORSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN 52 BAB III ABORSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN A. Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Dalam pembukaan Undang-undang Dasar

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018 KAJIAN KRITIS DAN REKOMENDASI KOALISI PEREMPUAN INDONESIA TERHADAP RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (R-KUHP) YANG MASIH DISKRIMINATIF TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK SERTA MENGABAIKAN KERENTANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan Yang Maha Esa tersebut tidak boleh dicabut oleh siapapun termasuk oleh

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan Yang Maha Esa tersebut tidak boleh dicabut oleh siapapun termasuk oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuhan Yang Maha Esa memberikan anugerah kepada manusia yaitu sebuah kehidupan yang harus dihormati oleh setiap orang. Kehidupan yang diberikan oleh Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PELATIHAN DAN PENYELENGGARAAN PELAYANAN ABORSI ATAS INDIKASI KEDARURATAN MEDIS DAN KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PENANGGULANGAN ABORTUS PROVOCATUS CRIMINALIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

PENANGGULANGAN ABORTUS PROVOCATUS CRIMINALIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA PENANGGULANGAN ABORTUS PROVOCATUS CRIMINALIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA Oleh : Angga Indra Nugraha Pembimbing : Ibrahim R. Program Kekhususan: Hukum Pidana, Universitas Udayana Abstract: The rise of

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF BAGI TENAGA KESEHATAN DAN PENYELENGGARA FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN DALAM TINDAKAN

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 4 Perbedaan dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga? Undang Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang pengguguran kandungan atau aborsi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 1, aborsi /abor.si/ berarti

Lebih terperinci

ABORTUS PROVOCATUS DAN HUKUM SYAFRUDDIN, SH, MH. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

ABORTUS PROVOCATUS DAN HUKUM SYAFRUDDIN, SH, MH. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ABORTUS PROVOCATUS DAN HUKUM SYAFRUDDIN, SH, MH Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara A. Pendahuluan : Pengertian Abortus (aborsi). Di kalangan ahli kedokteran dikenal dua macam abortus (keguguran

Lebih terperinci

ASPEK JURIDIS TERHADAP TINDAKAN ABORSI PADA KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN 1 Oleh : Trisnawaty Abdullah 2

ASPEK JURIDIS TERHADAP TINDAKAN ABORSI PADA KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN 1 Oleh : Trisnawaty Abdullah 2 ASPEK JURIDIS TERHADAP TINDAKAN ABORSI PADA KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN 1 Oleh : Trisnawaty Abdullah 2 ABSTRAK Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah larangan melakukan aborsi

Lebih terperinci

Abortus Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 Oleh : Hj. Khusnul Hitamina

Abortus Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 Oleh : Hj. Khusnul Hitamina Abortus Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 Oleh : Hj. Khusnul Hitamina Masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia semakin mencapai tingkat

Lebih terperinci

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga

Lebih terperinci

BAB III LEGALISASI ABORSI KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN. A. Latar Belakang Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun

BAB III LEGALISASI ABORSI KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN. A. Latar Belakang Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun BAB III LEGALISASI ABORSI KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN A. Latar Belakang Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi Sebelum adanya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang berarti pengguguran kandungan karena kesengajaan. Abortus Provocatus merupakan salah

I. PENDAHULUAN. yang berarti pengguguran kandungan karena kesengajaan. Abortus Provocatus merupakan salah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Abortus provocatus yang dikenal di Indonesia dengan istilah aborsi berasal dari bahasa latin yang berarti pengguguran kandungan karena kesengajaan. Abortus Provocatus

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perilaku remaja di Indonesia mulai dari usia sekolah hingga perguruan tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. perilaku remaja di Indonesia mulai dari usia sekolah hingga perguruan tinggi. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pergaulan bebas sebagai pengaruh efek global telah mempengaruhi perilaku remaja di Indonesia mulai dari usia sekolah hingga perguruan tinggi. Pergaulan bebas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia, selain dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia, selain dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pola hidup modern sekarang ini menimbulkan dampak yang besar dalam kehidupan manusia, selain dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam menjalankan aktifitasnya,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. Urgensi politik hukum

I. PENDAHULUAN. pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. Urgensi politik hukum I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Politik hukum pada dasarnya merupakan arah hukum yang akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini, hamil di luar nikah sering terjadi. Hal ini dikarenakan anak-anak muda jaman sekarang banyak yang menganut gaya hidup seks bebas. Pada awalnya para

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Abortus provocatus di Indonesia lebih populer disebut sebagai aborsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Abortus provocatus di Indonesia lebih populer disebut sebagai aborsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Abortus provocatus di Indonesia lebih populer disebut sebagai aborsi (pengguguran kandungan). Maraknya aborsi dapat diketahui dari berita di surat kabar atau

Lebih terperinci

TINDAKAN ABORSI YANG DILAKUKAN OLEH DOKTER DENGAN ALASAN MEDIS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN Oleh : Clifford Andika Onibala 2

TINDAKAN ABORSI YANG DILAKUKAN OLEH DOKTER DENGAN ALASAN MEDIS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN Oleh : Clifford Andika Onibala 2 TINDAKAN ABORSI YANG DILAKUKAN OLEH DOKTER DENGAN ALASAN MEDIS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 1 Oleh : Clifford Andika Onibala 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa setiap

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 95, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Pasal 281 Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara berdasarkan hukum bukan semata-mata kekuasaan penguasa. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, maka seluruh warga masyarakatnya

Lebih terperinci

A. Analisis Terhadap Tinjauan Aborsi Menurut PP. Nomor 61 Tahun Menurut ketentuan yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

A. Analisis Terhadap Tinjauan Aborsi Menurut PP. Nomor 61 Tahun Menurut ketentuan yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP TINDAKAN ABORSI KARENA KEDARURATAN MEDIS MENURUT PERATURAN PEMERINTAH (PP) NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI A. Analisis Terhadap Tinjauan Aborsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai moral yang ada di dalam masyarakat kita semakin berkurang. Pergaulan bebas dewasa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang biasa disebut dengaan istilah mengugurkan kandungan. Aborsi

BAB 1 PENDAHULUAN. yang biasa disebut dengaan istilah mengugurkan kandungan. Aborsi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Aborsi adalah pembunuhan janin yang di ketahui oleh masyarakat yang biasa disebut dengaan istilah mengugurkan kandungan. Aborsi dibedakan antara aborsi yang terjadi

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi Pasal 31 kehamilan akibat perkosaan.

Peraturan Pemerintah No 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi Pasal 31 kehamilan akibat perkosaan. Tinjauan Hukum dan Etika Aborsi Akibat Perkosaan dalam Peraturan Pemerintah No 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi berkaitan Keputusan Medis dan Etis. Siswo P Santoso* LATAR BELAKANG Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Malpraktek Ditinjau Dari KUHP (Kitab

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Malpraktek Ditinjau Dari KUHP (Kitab BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. Pengaturan Tindak Pidana Malpraktek Ditinjau Dari KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Beberapa pasal yang tercantum dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ABORSI

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ABORSI 23 BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ABORSI A. Aborsi dari Sudut Pandang Hukum 1. Aborsi dan kejahatan Kejahatan adalah perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan hukum, yang terhadap perbuatan ini

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM ABORSI TERHADAP KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN. Aborsi merupakan masalah kompleks karena mencakup norma-norma agama,

BAB II PENGATURAN HUKUM ABORSI TERHADAP KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN. Aborsi merupakan masalah kompleks karena mencakup norma-norma agama, BAB II PENGATURAN HUKUM ABORSI TERHADAP KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN A. Sejarah Singkat Aborsi di Beberapa Negara di Dunia Aborsi merupakan masalah kompleks karena mencakup norma-norma agama, etika, moral,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

BAB III ABORSI DALAM KONTEKS KEDARURATAN MEDIS MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA

BAB III ABORSI DALAM KONTEKS KEDARURATAN MEDIS MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA BAB III ABORSI DALAM KONTEKS KEDARURATAN MEDIS MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. Karakteristik Aborsi 1. Pengertian Aborsi Aborsi menurut kamus besar Bahasa Indonesia berarti pengguguran. Aborsi atau

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN [LN 1992/100, TLN 3495]

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN [LN 1992/100, TLN 3495] UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN [LN 1992/100, TLN 3495] BAB X KETENTUAN PIDANA Pasal 80 (1) Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mampu melakukan penyaringan terhadap kebudayaan asing yang bersifat liberal. Para remaja

I. PENDAHULUAN. mampu melakukan penyaringan terhadap kebudayaan asing yang bersifat liberal. Para remaja I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Era globalisasi dan modernisasi pada saat ini berdampak negatif pada para remaja yang tidak mampu melakukan penyaringan terhadap kebudayaan asing yang bersifat liberal.

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi 6 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi? Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh segala aspek kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh segala aspek kehidupan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh segala aspek kehidupan yang ada di sekitarmya, seperti aspek ekonomi, sosial, politik, budaya, bahkan juga faktor

Lebih terperinci

PERBUATAN ABORSI DALAM ASPEK HUKUM PIDANA DAN KESEHATAN

PERBUATAN ABORSI DALAM ASPEK HUKUM PIDANA DAN KESEHATAN PERBUATAN ABORSI DALAM ASPEK HUKUM PIDANA DAN KESEHATAN Oleh : Bastianto Nugroho. SH., M.Hum 1, Vivin Indrianita, SST., M.Psi 2, Agung Putri Harsa Satya Nugraha, SST., M.P.H 3 Abstrak Aborsi atau lazim

Lebih terperinci

ABSTRAK. Oleh HERNIWATI, SH. A

ABSTRAK. Oleh HERNIWATI, SH. A MASA GESTASI DALAM HUBUNGAN LEGALITAS ABORSI AKIBAT PERKOSAAN BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI MENURUT TINJAUAN NORMATIF Oleh HERNIWATI, SH. A. 2021131026

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tingkat perkembangan kasus perkosaan yang terjadi di masyarakat pada saat ini dapat dikatakan bahwa kejahatan pemerkosaan telah berkembang dalam kuantitas maupun kualitas

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan; BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1.Diversi Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Pendekatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesengajaan. Pengertian aborsi atau Abortus provocatus adalah penghentian

BAB I PENDAHULUAN. kesengajaan. Pengertian aborsi atau Abortus provocatus adalah penghentian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Abortus provocatus yang dikenal di Indonesia dengan istilah aborsi berasal dari bahasa latin yang berarti pengguguran kandungan karena kesengajaan. Pengertian

Lebih terperinci

KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA. I. Pembocoran Rahasia Negara. Pasal 112. II. Pembocoran Rahasia Hankam Negara

KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA. I. Pembocoran Rahasia Negara. Pasal 112. II. Pembocoran Rahasia Hankam Negara Pasal-pasal Delik Pers KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA I. Pembocoran Rahasia Negara Pasal 112 Barang siapa dengan sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita atau

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Bab XXII : Pencurian Pasal 362 Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan

Lebih terperinci

Inform Consent. Purnamandala Arie Pradipta Novita Natasya Calvindra L

Inform Consent. Purnamandala Arie Pradipta Novita Natasya Calvindra L Inform Consent Purnamandala Arie Pradipta Novita Natasya Calvindra L 1 PENDAHULUAN Malpraktek pada dasarnya adalah tindakan tenaga profesional (profesi) yang bertentangan dengan Standard Operating Procedure

Lebih terperinci

Wajib Lapor Tindak KDRT 1

Wajib Lapor Tindak KDRT 1 Wajib Lapor Tindak KDRT 1 Rita Serena Kolibonso. S.H., LL.M. Pengantar Dalam beberapa periode, pertanyaan tentang kewajiban lapor dugaan tindak pidana memang sering diangkat oleh kalangan profesi khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, angka pembunuhan janin per tahun sudah mencapai 3 juta. 1 Angka yang

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, angka pembunuhan janin per tahun sudah mencapai 3 juta. 1 Angka yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini Aborsi menjadi salah satu masalah yang cukup serius, dilihat dari tingginya angka aborsi yang kian meningkat dari tahun ke tahun. Di Indonesia sendiri,

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN MALAPRAKTEK KEDOTERAN DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN MALAPRAKTEK KEDOTERAN DI INDONESIA BAB II PENGATURAN MALAPRAKTEK KEDOTERAN DI INDONESIA Semakin maraknya kasus malapraktek medik yang terjadi akhir-akhir ini semakin membuat masyarakat resah, sehingga mendorong masyarakat lebih kritis dan

Lebih terperinci

BAB II. PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana

BAB II. PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana 1. Jenis-jenis Tindak Pidana Kekerasan di dalam KUHP Kekerasan adalah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dibawah Umur Pengertian anak menurut Kamus Bahasa Indonesia yang dapat disimpulkan ialah keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dan seorang wanita yang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA : 40/PUU-X/2012

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA : 40/PUU-X/2012 RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 40/PUU-X/2012 Tentang Larangan Melakukan Praktek Yang Tidak Memiliki Surat Ijin Praktek Dokter atau Dokter Gigi I. PEMOHON H. Hamdani Prayogo.....

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Perbuatan cabul yang dilakukan orang dewasa kepada anak yang masih dibawah umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

Lebih terperinci

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus 1 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus Mengapa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Merupakan Aturan Khusus (Lex Specialist) dari KUHP? RUU Penghapusan Kekerasan

Lebih terperinci

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan Pendahuluan Kekerasan apapun bentuknya dan dimanapun dilakukan sangatlah ditentang oleh setiap orang, tidak dibenarkan oleh agama apapun dan dilarang oleh hukum Negara. Khusus kekerasan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak 7 Perbedaan dengan Undang Undang Perlindungan Anak Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Perlindungan Anak? Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 40 BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 1. Pengertian Penganiayaan yang berakibat luka berat Dalam Undang-Undang tidak memberikan perumusan apa yang dinamakan penganiayaan. Namun menurut

Lebih terperinci

Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan

Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan Pasal 359 Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang mati, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PRAKTEK DOKTER, PRAKTEK PERAWAT, PRAKTEK BIDAN DAN PRAKTEK APOTEKER

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PRAKTEK DOKTER, PRAKTEK PERAWAT, PRAKTEK BIDAN DAN PRAKTEK APOTEKER PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PRAKTEK DOKTER, PRAKTEK PERAWAT, PRAKTEK BIDAN DAN PRAKTEK APOTEKER DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Pilihlah satu jawaban yang benar pada pilihan di lembar jawaban.

Pilihlah satu jawaban yang benar pada pilihan di lembar jawaban. Pilihlah satu jawaban yang benar pada pilihan di lembar jawaban. 1. Pernyataan mana tentang Rekam Medik (RM) yang tidak benar: a. Pemaparan isi RM hanya boleh dilakukan oleh dokter yang merawat pasien

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 111 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT TIMUS KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. 1

BAB I PENDAHULUAN. bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada manusia secara alami sejak ia di lahirkan, bahkan jika kepentingannya dikehendaki, walaupun masih dalam kandungan

Lebih terperinci

ABORSI DALAM PERSFEKTIF HUKUM RIKA LESTARI 1. Anak merupakan generasi penerus keluarga, bahkan anak juga

ABORSI DALAM PERSFEKTIF HUKUM RIKA LESTARI 1. Anak merupakan generasi penerus keluarga, bahkan anak juga ABORSI DALAM PERSFEKTIF HUKUM RIKA LESTARI 1 PENDAHULUAN Anak merupakan generasi penerus keluarga, bahkan anak juga sebagai penerus bangsa. Baik hukum maupun masyarakat, membedakan antara anak sah dan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PRAKTEK DOKTER, PRAKTEK PERAWAT, PRAKTEK BIDAN DAN PRAKTEK APOTEKER

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PRAKTEK DOKTER, PRAKTEK PERAWAT, PRAKTEK BIDAN DAN PRAKTEK APOTEKER PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PRAKTEK DOKTER, PRAKTEK PERAWAT, PRAKTEK BIDAN DAN PRAKTEK APOTEKER DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TERHADAP ORANG TUA YANG TIDAK MELAKSANAKAN PENETAPAN UANG NAFKAH ANAK OLEH PENGADILAN PASCA PERCERAIAN

KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TERHADAP ORANG TUA YANG TIDAK MELAKSANAKAN PENETAPAN UANG NAFKAH ANAK OLEH PENGADILAN PASCA PERCERAIAN KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TERHADAP ORANG TUA YANG TIDAK MELAKSANAKAN PENETAPAN UANG NAFKAH ANAK OLEH PENGADILAN PASCA PERCERAIAN Oleh : Sumaidi ABSTRAK Negara Indonesia mengatur secara khusus segala sesuatu

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

BAB II ATURAN HUKUM YANG MENGATUR MENGENAI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. A. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

BAB II ATURAN HUKUM YANG MENGATUR MENGENAI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. A. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana BAB II ATURAN HUKUM YANG MENGATUR MENGENAI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Anggapan perilaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hanyalah masalah domestik rumah tangga

Lebih terperinci