SKENARIO GLOBAL PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR BAGI PENINGKATAN DAYA SAING NASIONAL. Oleh Bambang Tata Samiadji 1

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SKENARIO GLOBAL PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR BAGI PENINGKATAN DAYA SAING NASIONAL. Oleh Bambang Tata Samiadji 1"

Transkripsi

1 SKENARIO GLOBAL PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR BAGI PENINGKATAN DAYA SAING NASIONAL Oleh Bambang Tata Samiadji 1 Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan ekonomi suatu Negara banyak dipacu oleh kemantapan pembangunan infrastruktur di Negara yang bersangkutan, tetapi tidak selalu bahwa pembangunan infrastruktur kemudian dapat sesegera memacu kemajuan ekonominya. Ada faktor keunggulan lokasi yang juga mempengaruhi. Begitu pun terjadi bagi daerah-daerah. Ada daerah-daerah yang sangat sensitif terhadap kebutuhan pembangunan infrastruktur, dan ada juga daerah-daerah yang geming saja sehingga pembangunan infrastruktur sering underutilized. Indonesia adalah Negara besar dan berpulau-pulau dengan spektrum geografi yang luas dan kultur beragam serta keunggulan lokasi yang heterogen. Tidak dapat dielakkan terjadinya kesenjangan antar wilayah akibat keunggulan wilayah-wilayah tertentu dan ketertinggalan banyak bagian wilayah lain. Diferensiasi wilayah ini juga menjadi tantangan dalam pembangunan infrastruktur dikarenakan outcome atas pembangunannya tidak berdampak sama. Dalam kontek investasi beberapa wilayah unggul mempunyai daya saing tinggi dan sebaliknya bagi wilayah-wilayah lain dengan daya saing yang tertatih-tatih. Di tingkat global. keunikan (keberagaman) wilayah Indonesia di satu pihak memberi peluang untuk dipacu pembangunan infrastrukturnya sehingga mampu menjadi anchor kemajuan ekonomi nasional, sementara banyak wilayah lain yang harus dijaga agar tetap tumbuh dan menjadi bagian dari satuan nasional. Untuk itu Indonesia memerlukan skenario (scenario) strategi jitu dalam pembangunan infrastruktur agar tidak tertinggal di kancah global. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Indonesia sudah memiliki strategi yang dimaksud yang secara global dulu tercantum dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang seterusnya diwujudkan dalam jangka menegah dalam format Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Kemudian, setelah adanya perubahan politik dan sistem pemerintahan melalui Keketapan MPR yang diteruskan dengan amandemen UUD 1945, strategi global dirumuskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dalam bentuk Undang-undang No. 17/2007 dan diwujudkan dalam jangka lima tahunan dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) berupa Perpres. RPJP dan RPJM ini secara struktural diikuti sampai tingkat daerah (provinsi, kabupaten/kota) dalam format RPJP-Daerah dan RPJM-Daerah pada masing-masing daerah. Kendati Indonesia telah memiliki strategi yang dimaksud, berkenaan dengan perkembangan zaman, fokus dan titik berat pembangunan infrastruktur sangat berbeda. Dulu manakala pemerintahan masih bersifat sentralisme dengan kemajuan teknologi masih terbatas, melalui GBHN dan Repelita, pergaulan internasional juga masih terbatas pada lalu lintas barang dengan outlet/inlet pada titik-titik tertentu (utamanya Jakarta sebagai hub ). Namun manakala terjadi revolusi teknologi informasi dan komunikasi, serta sistem pemerintahan yang semakin liberal, RPJP dan RPJM memperoleh tekanantekanan baru yang mau tak mau harus mengikuti arus global. Dengan strategi global dalam pembangunan infrastruktur juga bergerak ikut dalam irama global yang lebih terbuka demikian strategi global dalam pembangunan infrastruktur juga bergerak ikut dalam irama global yang lebih terbuka. Tak bisa dielakkan dalam irama global terbuka ini semakin terangkai ketergantungan, saling isi, dan kompetisi. Dalam perdagangan, arena ketergantungan dan kompetisi sangat terasa, sampai kemudian diperlukannya organisasi semacam WTO dan institusi-institusi pembiayaan. 1 Penulis adalah konsultan free-lancer di bidang Infrastruktur dan Keuangan Publik. 1

2 Dalam pembangunan infrastruktur, RPJP mengamanatkan : 1. Terwujudnya pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan; 2. Terwujudnya Indonesia sebagai Negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional. Adapun pembangunannya pada prinsipnya diarahkan kepada : 1. Peningkatan pembangunan infrastruktur dengan sebanyak mungkin melibatkan pihak swasta; 2. Pembangunan prasarana sumber daya air diarahkan untuk mewujudkan fungsi sebagai sumber daya sosial (social goods) dan sumber daya ekonomi (economic goods); 3. Pembangunan transportasi diarahkan untuk mendukung kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya serta lingkungan dan dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antardaerah; 4. Pembangunan pos dan telematika diarahkan untuk mendorong terciptanya masyarakat berbasis informasi (knowledge-based society) melalui penciptaan landasan kompetisi jangka panjang penyelenggaraan pos dan telematika dalam lingkungan multioperator; 5. Pembangunan sarana dan prasarana energi dan ketenagalistrikan; 6. Pembangunan dan penyediaan air minum dan sanitasi diarahkan untuk mewujudkan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat serta kebutuhan sektor-sektor terkait lainnya. Berdasarkan arahan pembangunan infrastruktur di atas, tampak jelas diperlukan sistem jaringan nasional untuk memfasilitasi pembangunan infrastruktur jangka panjang dan sistematis. Sistem Jaringan Nasional Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) Untuk memfasiltasi jaringan bagi pembangunan infrastrukutur jangka panjang, telah dirumuskan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) melalui Peraturan Pemerintah No. 26/2007 dalam bentuk pengembangan struktur ruang yang meliputi : 1. Peningkatan akses pelayanan perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi wilayah; 2. Peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana. diperlukan sistem jaringan nasional untuk memfasilitasi pembangunan infrastruktur jangka panjang dan sistematis. Kedua lingkup pengembangan struktur ruang tersebut divisualisasikan dalam Peta Struktur Wilayah Nasional yang di dalamnya terdapat : 1. Jaringan prasarana transportasi, kelistrikan, dan telekomunikasi; dan 2. Simpul-simpul bandar udara, pelabuhan, kota-kota pusat kegiatan nasional (PKN), kota-kota pusat kegiatan wilayah (PKW), kota-kota pusat kegiatan strategis nasional (PKSN), dan metropolitan. Yang menjadi problem dalam membangun infrastruktur yang berwawasan jaringan dan ruang berjangka panjang tersebut adalah implementasinya. Prolem implementasi ini karena kurang adanya intermittent target jangka menengah sehingga sulit untuk dapat di-prognosis agar dapat dilakukan langkah-langkah praktis pembangunan dan penyediaan infrastruktur di kawasan nusantara ini sesuai dengan RTRWN. Langkah-langkah praktis selama ini berdasarkan prognosis linier, bercermin masa lalu dan kebutuhankebutuhan nyata jangka pendek sampai jangka menengah sesuai dengan kapasitas fiskal yang dimiliki secara nasional maupun daerah-daerah di Indonesia. Problem lain bahwasanya pembangunan infrastruktur dalam konteks struktur ruang selain dimensi waktu perencanaan yang terlalu lama, juga terlalu banyak bertumpu pada peran Pemerintah terutama untuk Dengan adanya RTRWN dengan segala arahan lokasi dan jaringannya, maka cukup jelas dan tegas ke mana strategi global sektor-sektor pem bangunan infrastruktur nasional kini dan masa mendatang. 2

3 jangkauan daerah-daerah yang kurang beruntung atau tertinggal. Sementara kapasitas fiskal Pemerintah juga terbatas yang tidak mungkin mampu mengatasi semuanya. Pembiayaan Infrastruktur Bagaimanapun pembangunan infrastruktur memerlukan banyak biaya. Pembiayaan pembangunan infrastruktur di Indonesia relatif masih sangat rendah. Sebelum krisis lalu (1998), rata-rata pembiayaan infrastruktur baru mencapai 2,2% terhadap GDP, kemudian meningkat menjadi 5-6% terhadap GDP. Berdasarkan kebutuhan RPJP bahwasanya total kebutuhan dana bagi pembangunan infrastruktur sebesar Rp 1400 triliun, sementara itu kemampuan Pemerintah maksimal hanya Rp 452 triliun sehingga masih ada kekurangan sekitar Rp 948 triliun. Dari mana kekurangan dana ini bisa diperoleh 2? Sudah menjadi wacana umum bahwa pembangunan infrastruktur dalam rangka meningkatkan daya saing global sesuai dengan struktur ruang nasional (RTRWN) memerlukan biaya besar yang tak mungkin bertumpu pada kapasitas fiskal Pemerintah. Untuk itu perlu kerja sama antara Pemerintah dengan pihak swasta maupun bersama masyarakat. Diharapkan peran swasta dan masyarakat mampu mengisi kekurangan dana sebesar Rp 948 triliun tersebut. Untuk itu Pemerintah mengeluarkan peraturan bagi terwujudnya kerja sama yaitu : 1. Perpres No. 67/2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur 2. Perpres No. 42/2005 tentang Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur (KKPPI) 3. Perpres No. 36/2005 jo Perpres No. 65/2006 ttg Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pada dasarnya kerja sama antara pemerintah dan swasta tersebut terkait dengan kerja sama pengadaan investasi. Secara konvesional kerja sama selama ini dalam bentuk kontrak layanan (Service Contract) yang hampir seluruhnya adalah investasi publik (dari Pemerintah), kemudian perlu pengembangan yang lebih banyak peranan investasi dari pihak swasta mulai dari semacam kontrak operasi dan pemliharaan (O&M Contract), BLT (Leasing), BOT/T, BOOT (DBFO)/T, BOO/, sampai dengan semua investasi dari swasta dalam bentuk privatization/divestiture (lihat gambar 1). Model Kerja Sama Pemerintah-Swasta 3 Investasi Pemerintah Service Contract O&M Contract BLT (Leasing) BOT ROT BOOT (DBFO) T BOO Privati- - zation Divesti ture Investasi Swasta Gambar 1. Model Kerja Sama Pemerintah-Swasta Keterangan : O&M Contract BLT (Leasing) BOT ROT BOOT DBFO BOO Operation and Maintenance Build and Transfer Build Operate Transfer Rehabilitate Operate Transfer Build Own Operate Transfer Develop Build Finance Operate Build Own Operate Rehabilitate Operate Own 2 Penjelasan Direktur Pengembangan Kerja Sama Pemerintah Swasta-Bappenas, Water Forum, 30 Maret Courtesy to Pak Bastary P. Indra (Dir. Peng. Kerja Sama Pemerintah-Swasta Bappenas). 3

4 Perkembangan kerja sama antara Pemerintah dan swasta belum menunjukkan gelagat yang lebih baik dalam arti masih banyak kendala-kendala, khususnya dalam penggalakan dana dari financier perbankan umum dengan harga uang dalam bentuk interest yang masih mahal. Kemahalan dana perbankan umum utamanya disebabkan pleh risiko yang masih tinggi berhubungan dengan kurang teguhnya peraturan perundangan, terutama berhadapan dengan kebutuhan masyarakat yang dinilai melalui tarif. Oleh karena itu Pemerintah terus berusaha menelorkan berbagai regulasi dan sekaligus bertindak sebagai operator (bila perlu) untuk meningkatkan akses pembiayaan ini antara lain melalui : 1. Peraturan Pemerintah No. 1/2008 tentang Investasi Pemerintah. Dalam konteks ini Pemerintah telah membentuk Pusat Investasi Pemerintah (PIP). PIP ini menyediakan dana yang cukup murah untuk keperluan pembangunan infrastruktur. 2. Pendirian PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) berupa persero. Kelak PT SMI ini akan mendirikan anak perusahaan dan joint venture dengan Bank Dunia dan ADB yang sudah mendirikan Indonesian Infrastructure Finance Facility (IIFF). 3. Penjaminan Pinjaman (untuk infrastruktur air minum dan kelistrikan) dan Unit Pengelolaan Risiko (Management Risk Unit) yang berada di Departemen Keuangan (Peraturan Menteri Keuangan No. 38/2006). Pada dasarnya, kelembagaan pembiayaan yang dibentuk tersebut sebagai katalisator bagi pembangunan prasarana nasional dalam rangka meningkatkan daya saing global dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri khususnya. Pada dasarnya, kelembagaan pembiayaan sebagai katalisator bagi pembangunan prasarana nasional dalam rangka meningkatkan daya saing global dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri khususnya. Peranan Daerah Apapun yang telah dilakukan oleh Pemerintah dengan RPJP, RTRWN, belanja APBN, kerja sama dengan swasta, maupun pembentukan lembaga-lembaga pembiayaan dan pengelolaan risiko tersebut merupakan langkah-langkah yang strategis, tetapi tetap dalam kapasitas yang masih terbatas dan masih banyak kendala. Akan lebih elok bila pembangunan infrastruktur itu juga didukung sepenuh hati oleh pemerintah daerah. Selama ini pemerintah daerah masih saja ada yang terus membebani Pemerintah dengan permintaan bantuan-bantuan langsung. Alasan daerah bahwasanya dana yang dimiliki sangat terbatas untuk memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur bagi daerahnya sendiri. Memang ada benarnya bahwa dana daerah berupa Belanja Modal bagi pembangunan infrastruktur masih sangat kecil. Rata-rata Belanja Modal daerah adalah sebesar 20% dari total APBD 4. Rendahnya Belanja Modal ini lebih karena sebagian besar APBD digunakan untuk Belanja Operasional seperti gaji pegawai, biaya perjalanan, ATK, dan banyak kebutuhan operasional lainnya yang mencapai 80% sehingga hanya tersisa 20% bagi pembangunan infrastruktur. Angka 20% ini semakin kecil bagi pemerintah kota yang rata-rata hanya 13% saja. Gambaran ini menunjukkan bahwa pemerintahan di daerah masih kurang efisien karena terlalu banyak dana yang dipakai untuk operasional ketimbang pembangunan infrastruktur yang mampu mengangkat ekonomi daerahnya. Terlepas dari persoalan ketidakefisienan pemerintah daerah sehingga kurangnya dukungan terhadap pembangunan prasarana, pemerintah daerah sebenarnya masih memiliki dana selain dari pendapatan, yaitu berupa Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA). SILPA umumnya berupa akumulasi Surplus (Pendapatan dikurangi Belanja) tiap tahun. Rata-rata Surplus daerah adalah 12,6% dari total APBD tiap tahun yang terkumpul dan sebagian digunakan untuk pembiayaan lain dan tersisa menjadi SILPA. Karena pembiayaan lain yang dilakukan daerah masih relatif kecil, sehingga jumlah SILPA jumlahnya semakin meningkat. Pada tahun 2006 yang lalu, dari sekitar 360 kabupaten/kota, jumlah SILPA ini 4 Penelitian Penulis dari 360 kabupaten/kota tahun pemerintahan di daerah masih kurang efisien karena terlalu banyak dana yang dipakai untuk operasional ketimbang pembangunan infrastruktur yang mampu mengangkat ekonomi daerahnya 4

5 mencapai Rp 33,6 triliun dan kabarnya pada tahun 2007 sudah mencapai Rp 45 triliun. Dan bila jumlah ini ditambah dengan SILPA milik provinsi (33 provinsi), maka bisa mencapai Rp 60 triliun lebih. SILPA ini umumnya disimpan dalam bentuk Deposito On call di Bank Pembangunan Daerah (BPD) setempat dan oleh karenanya banyak yang ditempatkan dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Jadi apabila daerah bekerja efisien dan mampu memanfaatkan dana-dananya, termasuk SILPA untuk penyertaan modal, pinjam meminjam, menutupi defisit, dan kegiatan pembiayaan lainnya yang ditujukan bagi pembangunan infrastruktur, maka sebenarnya akan sangat membantu Pemerintah dalam mewujudkan strategi pembangunan infrastruktur yang berdaya saing global. Kesimpulan Pembangunan infrastruktur merupakan kunci bagi kemajuan ekonomi suatu Negara walaupun pembangunan infrastruktur itu sendiri bukan faktor satu-satunya. Dari pembahasan di atas, sebenarnya secara formal Indonesia telah memiliki strategi pembangunan infrastruktur yang mampu meningkatkan daya saing nasional di kancah global sebagaimana komitmen yang ada dalam RPJP dan RTRWN serta Rencana-rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Pemerintah maupun di daerah. Dalam pelaksanaan strateginya masih ditemui banyak kendala, pelajaran, dan kekurangsinkronan dalam mengelola sumber-sumber yang ada. Sudah banyak upaya mulai dari regulasi dan kebijakan fiskal, tetapi masih dalam proses dan hasilnya belum tampak nyata. Beberapa upaya seperti diarahkan dalam RTRWN, khususnya dalam pembentukan struktur ruang, dan upaya kerja sama swasta, serta pembentukan lembaga-lembaga pembiayaan masih berjalan dan memerlukan pembelajaran. Potensi-potensi yang ada juga belum digunakan terutama potensi pemerintah daerah yang semestinya punya sumbangan besar. Tapi belum terjadi karena juga masih memerlukan pembelajaran. Pada akhirnya Pemerintah yang baru diharapkan mampu mengatasi dan memberi stimulus-stimulus yang memungkinan seluruh potensi dapat berkoalisi dalam rangka mendongkrak percepatan pembangunan infrastruktur agar berdaya saing kuat di kancah global. 5

BAB I PENDAHULUAN. yang adil dan makmur, merata baik materil maupun spiritual. Negara yang

BAB I PENDAHULUAN. yang adil dan makmur, merata baik materil maupun spiritual. Negara yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan nasional adalah mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur, merata baik materil maupun spiritual. Negara yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Dalam rangka

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2007 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG NASIONAL TAHUN 2005 2025

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2007 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG NASIONAL TAHUN 2005 2025 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2007 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG NASIONAL TAHUN 2005 2025 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan bahwa setiap daerah harus menyusun rencana pembangunan daerah secara

Lebih terperinci

BAB II EKONOMI MAKRO DAN KEBIJAKAN KEUANGAN

BAB II EKONOMI MAKRO DAN KEBIJAKAN KEUANGAN BAB II EKONOMI MAKRO DAN KEBIJAKAN KEUANGAN 2.1 EKONOMI MAKRO Salah satu tujuan pemerintah adalah meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat, sehubungan dengan itu pemerintah daerah berupaya mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1995 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1995/1996

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1995 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1995/1996 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1995 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1995/1996 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

PENJELASAN SUBTEMA IDF. Pathways to Tackle Regional Disparities Across the Archipelago

PENJELASAN SUBTEMA IDF. Pathways to Tackle Regional Disparities Across the Archipelago PENJELASAN SUBTEMA IDF Pathways to Tackle Regional Disparities Across the Archipelago 2018 DISPARITAS REGIONAL Dalam Nawacita, salah satu program prioritas Presiden Joko Widodo adalah membangun Indonesia

Lebih terperinci

KAJIAN JARINGAN TRAYEK ANGKUTAN LAUT NASIONAL UNTUK MUATAN PETIKEMAS DALAM MENUNJANG KONEKTIVITAS NASIONAL

KAJIAN JARINGAN TRAYEK ANGKUTAN LAUT NASIONAL UNTUK MUATAN PETIKEMAS DALAM MENUNJANG KONEKTIVITAS NASIONAL KAJIAN JARINGAN TRAYEK ANGKUTAN LAUT NASIONAL UNTUK MUATAN PETIKEMAS DALAM MENUNJANG KONEKTIVITAS NASIONAL Andi Sitti Chairunnisa Mappangara 1, Misliah Idrus 2, Syamsul Asri 3 Staff Pengajar Fakultas Teknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami krisis yang berkepanjangan. Krisis ekonomi tersebut membuat pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. mengalami krisis yang berkepanjangan. Krisis ekonomi tersebut membuat pemerintah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi tahun 1997 di Indonesia telah mengakibatkan perekonomian mengalami krisis yang berkepanjangan. Krisis ekonomi tersebut membuat pemerintah Indonesia terbelit

Lebih terperinci

INOVASI BIROKRASI DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

INOVASI BIROKRASI DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR INOVASI BIROKRASI DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR Ir. M. Saiful Imam, MM. Mantan Direktur Utama PT Adhi Karya Tbk email: m.saiful.imam@gmail.com; saiful@adhi.co.id ABSTRAK Pada makalah ini akan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

Catatan : Kebijakan Transfer ke Daerah Dalam rangka RAPBNP Tahun 2011 Kebijakan belanja daerah atau transfer ke daerah dalam APBN 2011

Catatan : Kebijakan Transfer ke Daerah Dalam rangka RAPBNP Tahun 2011 Kebijakan belanja daerah atau transfer ke daerah dalam APBN 2011 Catatan : Kebijakan Transfer ke Daerah Dalam rangka RAPBNP Tahun 2011 Kebijakan belanja daerah atau transfer ke daerah dalam APBN 2011 Belanja daerah atau transfer ke daerah dalam APBN 2011 diarahkan untuk:

Lebih terperinci

Strategi Pemberdayaan Lembaga Keuangan Rakyat BPR

Strategi Pemberdayaan Lembaga Keuangan Rakyat BPR Strategi Pemberdayaan Lembaga Keuangan Rakyat BPR Oleh : Marsuki Disampaikan dalam Seminar Serial Kelompok TEMPO Media dan Bank Danamon dengan Tema : Peran Pemberdayaan dalam Pengembangan Ekonomi Daerah.

Lebih terperinci

UPAYA UNTUK MENEROBOS HAMBATAN INVESTASI JALAN TOL

UPAYA UNTUK MENEROBOS HAMBATAN INVESTASI JALAN TOL UPAYA UNTUK MENEROBOS HAMBATAN INVESTASI JALAN TOL Oleh FRANS S. SUNITO DIREKTUR UTAMA PT JASA MARGA (PERSERO) KONFERENSI NASIONAL TEKNIK JALAN KE-8, HOTEL MERCURE,JAKARTA, 4-5 SEPTEMBER 2007 DAFTAR ISI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1995 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1995/96

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1995 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1995/96 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1995 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1995/96 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DAN LANGKAH-LANGKAH PENYUSUNAN PERATURAN PELAKSANAANNYA

UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DAN LANGKAH-LANGKAH PENYUSUNAN PERATURAN PELAKSANAANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DAN LANGKAH-LANGKAH PENYUSUNAN PERATURAN PELAKSANAANNYA Disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Dalam acara Rapat Kerja Kementerian Perindustrian tahun

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH I. UMUM Berdasarkan amanat Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sebagaimana cita-cita kita bangsa Indonesia dalam bernegara yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan menjadi

Lebih terperinci

RENCANA DETAIL TATA RUANG (RDTR) IBUKOTA KECAMATAN TALANG KELAPA DAN SEKITARNYA

RENCANA DETAIL TATA RUANG (RDTR) IBUKOTA KECAMATAN TALANG KELAPA DAN SEKITARNYA BAB 4 4.1 INDIKASI PROGRAM Indikasi program merupakan penjabaran lebih lanjut kebijakan dan strategi pengembangan kawasan perencanaan ke dalam program-program atau proyek-proyek pembangunan. Penyusunan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. pelayanan masyarakat, menciptakan keadilan dan pemerataan, serta mendorong

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. pelayanan masyarakat, menciptakan keadilan dan pemerataan, serta mendorong 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah memberiksan wewenang kepada daerah untuk dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. Dengan otonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuntutan reformasi di segala bidang yang didukung oleh seluruh masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir akhir ini membawa dampak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2007 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG NASIONAL TAHUN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2007 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG NASIONAL TAHUN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2007 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG NASIONAL TAHUN 2005-2025 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disamping fungsinya sebagai alat pemersatu bangsa. Dalam kaitannya dengan sektorsektor

BAB I PENDAHULUAN. disamping fungsinya sebagai alat pemersatu bangsa. Dalam kaitannya dengan sektorsektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infrastruktur Transportasi baik transportasi darat, laut maupun udara merupakan sarana yang sangat berperan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan wilayah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Modal Belanja Modal merupakan salah satu jenis Belanja Langsung dalam APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah pengeluaran

Lebih terperinci

2015, No Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

2015, No Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1915, 2015 KEMENKEU. Penyertaan Modal Negara. PT. Sarana Multi Infrastruktur. Pengalihan. Investasi Pemerintah. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 232

Lebih terperinci

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER PANDANGAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA PANITIA ANGGARAN DPR RI MENGENAI LAPORAN SEMESTER I DAN PROGNOSIS SEMESTER II APBN TA 2006 2006 Anggota Dewan yang terhormat, 1. Pertama-tama perkenankanlah

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN. Kebijakan Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN. Kebijakan Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 1 Kebijakan Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah Rp LATAR BELAKANG PINJAMAN DAERAH Kebutuhan pendanaan infrastruktur sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan diberlakukannya sistem otonomi daerah di Indonesia, pemerintah daerah memiliki hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengelola sendiri pengelolaan pemerintahannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KAWASAN EKONOMI KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KAWASAN EKONOMI KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KAWASAN EKONOMI KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk meningkatkan investasi

Lebih terperinci

CANN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR :_3 TAHUN 2010 TAHUN TENTANG PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN TAHUN JAMAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

CANN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR :_3 TAHUN 2010 TAHUN TENTANG PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN TAHUN JAMAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NO. 3 2010 SERI. E CANN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR :_3 TAHUN 2010 TAHUN TENTANG PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN TAHUN JAMAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor B A B BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini bangsa Indonesia menghadapi situasi yang selalu berubah dengan cepat, tidak terduga dan saling terkait satu sama lainnya. Perubahan yang terjadi di dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adanya ketimpangan dan ketidakmerataan. Salah satu penyebabnya adalah

I. PENDAHULUAN. adanya ketimpangan dan ketidakmerataan. Salah satu penyebabnya adalah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan yang sering dihadapi dalam perencanaan pembangunan adalah adanya ketimpangan dan ketidakmerataan. Salah satu penyebabnya adalah penyebaran investasi yang

Lebih terperinci

vii Tinjauan Mata Kuliah

vii Tinjauan Mata Kuliah vii Tinjauan Mata Kuliah P embangunan merupakan suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik dalam lingkungan masyarakat. Pembangunan ekonomi sebagai suatu proses multidimensional mencakup perubahan

Lebih terperinci

BAB III PENGELOLAAN KEUANGAN DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB III PENGELOLAAN KEUANGAN DAN KERANGKA PENDANAAN BAB III PENGELOLAAN KEUANGAN DAN KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Perkembangan kinerja keuangan pemerintah daerah tidak terlepas dari batasan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2011 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2011 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2011 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR :_3 TAHUN 2010 TAHUN TENTANG PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN TAHUN JAMAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR :_3 TAHUN 2010 TAHUN TENTANG PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN TAHUN JAMAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR :_3 TAHUN 2010 TAHUN TENTANG PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN TAHUN JAMAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa kondisi infrastruktur

Lebih terperinci

STRATEGI MEMBANGUN INFRASTRUKTUR PEMERINTAH DAERAH

STRATEGI MEMBANGUN INFRASTRUKTUR PEMERINTAH DAERAH STRATEGI MEMBANGUN INFRASTRUKTUR PEMERINTAH DAERAH Oleh : Marsuki Disampaikan dalam acara Workshop Inn Red International dengan Tema : Manajemen Pembiayaan Infrasturktur Regional Pemerintah Daerah. Hotel

Lebih terperinci

BAB VI PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

BAB VI PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH -100- BAB VI PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH 6.1. Arah Kebijakan Pendanaan Pembangunan Daerah Arah kebijakan pembangunan daerah diarahkan dengan memanfaatkan kemampuan keuangan daerah secara efektif, efesien,

Lebih terperinci

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH A. Pendahuluan Kebijakan anggaran mendasarkan pada pendekatan kinerja dan berkomitmen untuk menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Anggaran kinerja adalah

Lebih terperinci

Pembangunan Infrastruktur Untuk Memacu Pertumbuhan Ekonomi dan Mengurangi Kesenjangan

Pembangunan Infrastruktur Untuk Memacu Pertumbuhan Ekonomi dan Mengurangi Kesenjangan Rilis PUPR #1 18 Juli 2017 SP.BIRKOM/VII/2017/352 Pembangunan Infrastruktur Untuk Memacu Pertumbuhan Ekonomi dan Mengurangi Kesenjangan Yogyakarta--Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJM-D) KOTA PANGKALPINANG TAHUN 2008-2013 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Penyelenggaraan Kewenangan dalam Konteks Otonomi Daerah

Penyelenggaraan Kewenangan dalam Konteks Otonomi Daerah Deddy Supriady Bratakusumah * Penyelenggaraan Kewenangan dalam Konteks Otonomi Daerah I. Pendahuluan Sejak beberapa dekade yang lalu beberapa negara telah dan sedang melakukan desentralisasi, motivasi

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 217/PMK.05/2014 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 217/PMK.05/2014 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 217/PMK.05/2014 TENTANG PERKIRAAN DEFISIT YANG MELAMPAUI TARGET DEFISIT ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting. Investasi dapat berasal dari luar negeri berupa penanaman modal asing. pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

BAB I PENDAHULUAN. penting. Investasi dapat berasal dari luar negeri berupa penanaman modal asing. pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menciptakan suatu pertumbuhan ekonomi sebuah negara, penanaman modal atau investasi merupakan salah satu kata kunci yang memiliki peranan penting. Investasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dilakukan dengan cara pembangunan infrastruktur sebagai pendorong

BAB I PENDAHULUAN. dapat dilakukan dengan cara pembangunan infrastruktur sebagai pendorong BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menjalankan pembangunan ekonomi, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan oleh Indonesia. Untuk mencapai sasaran pembangunan yang berkelanjutan ditetapkan

Lebih terperinci

BUPATI SUMBA BARAT DAYA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI SUMBA BARAT DAYA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI SUMBA BARAT DAYA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA TAHUN 2014

Lebih terperinci

Sumber: Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 12, No. 3, 2010

Sumber: Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 12, No. 3, 2010 A. Public Private Partnership (PPP) 1. Pengertian Public Private Partnership (PPP) Public Private Partnership (PPP) atau Kemitraan Pemerintah Swasta (KPS) dapat diterjemahkan sebagai: Sebuah perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I - 1

BAB I PENDAHULUAN I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perencanaan pembangunan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan Undang-undang

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak. Juni 2010

PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak. Juni 2010 PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak Juni 2010 viii Ringkasan Eksekutif: Keberlanjutan di tengah gejolak Indonesia terus memantapkan kinerja ekonominya yang kuat,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi-provinsi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2000 TANGGAL 21 DESEMBER 2000 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2000 TANGGAL 21 DESEMBER 2000 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2000 TANGGAL 21 DESEMBER 2000 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2000 TENTANG KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN

Lebih terperinci

Mandatory Spending, SAL dan Kelebihan Pembiayaan (overfinancing) APBN

Mandatory Spending, SAL dan Kelebihan Pembiayaan (overfinancing) APBN Mandatory Spending, SAL dan Kelebihan Pembiayaan (overfinancing) APBN Pendahuluan Dalam penyusunan APBN, pemerintah menjalankan tiga fungsi utama kebijakan fiskal, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi,

Lebih terperinci

MODEL PENDANAAN KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN WISATA TELAGA SARANGAN MAGETAN

MODEL PENDANAAN KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN WISATA TELAGA SARANGAN MAGETAN MODEL PENDANAAN KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN WISATA TELAGA SARANGAN MAGETAN DOSEN PEMBIMBING : CHRISTIONO UTOMO, ST, MT, Ph.D. Ir. RETNO INDRYANI, MT. Oleh : ROKHMAT ZAINUDDIN NRP. 3109207701 ISI 1. Pendahuluan:

Lebih terperinci

Perkembangan Infrastruktur Indonesia

Perkembangan Infrastruktur Indonesia Perkembangan Infrastruktur Indonesia I. Kondisi Umum Infrastruktur Indonesia Kebutuhan infrastruktur di Indonesia semakin meninggi bersamaan dengan bertambah pesatnya jumlah penduduk dan kurangnya investasi

Lebih terperinci

ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR

ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL ALTERNATIF PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR Oleh: Menteri PPN/Kepala Bappenas Jakarta, Desember 2012 PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. rahim kedaulatan internal sebuah negara pantai / kepulauan atas territorial laut dan

BAB V PENUTUP. rahim kedaulatan internal sebuah negara pantai / kepulauan atas territorial laut dan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Implementasi asas Cabotage merupakan sebuah prinsip yang lahir dari rahim kedaulatan internal sebuah negara pantai / kepulauan atas territorial laut dan udaranya. Dalam konteks

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

OSWAR MUNGKASA DIREKTUR TATA RUANG DAN PERTANAHAN

OSWAR MUNGKASA DIREKTUR TATA RUANG DAN PERTANAHAN OSWAR MUNGKASA DIREKTUR TATA RUANG DAN PERTANAHAN Disampaikan dalam Sosialisasi Perpres No. 13 Tahun 2012 tentang RTR Pulau Sumatera Padang, 16 April 2014 OUTLINE Definisi, Peran dan Fungsi RTR Pulau Sumatera

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1860, 2014 KEMENKEU. Anggaran. Detisit. Apen. Perkiraan PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 217/PMK.05/2014 TENTANG PERKIRAAN DEFISIT YANG MELAMPAUI

Lebih terperinci

I. Permasalahan yang Dihadapi

I. Permasalahan yang Dihadapi BAB 34 REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI DI WILAYAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN KEPULAUAN NIAS PROVINSI SUMATRA UTARA, SERTA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DAN PROVINSI JAWA TENGAH I. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Perimbangan Keuangan Pusat dan Pemerintah daerah menjadi

Lebih terperinci

Alternatif Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur Daerah

Alternatif Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur Daerah KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO Alternatif Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur Daerah Jakarta, 26 Oktober 2017 Outline o Kebutuhan Pembiayaan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2000 TENTANG KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2000 TENTANG KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2000 TENTANG KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam menghadapi perkembangan keadaan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HAND BOOK Hal. Daftar Isi.. 1. Pendahuluan.2. Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah...4

DAFTAR ISI HAND BOOK Hal. Daftar Isi.. 1. Pendahuluan.2. Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah...4 HAND BOOK 2008 DAFTAR ISI Hal Daftar Isi.. 1 Pendahuluan.2 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah...4 RKP dan Kebijakan Anggaran 2008 8 Dukungan Infrastruktur Dalam Percepatan Pembangunan

Lebih terperinci

Pemetaan Pendanaan Publik untuk Perubahan Iklim di Indonesia

Pemetaan Pendanaan Publik untuk Perubahan Iklim di Indonesia Pemetaan Pendanaan Publik untuk Perubahan Iklim di Indonesia Juli 2014 Komitmen Pemerintah Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus mengurangi risiko perubahan iklim tercermin melalui serangkaian

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2011 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2011 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2011 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

OBLIGASI DAERAH MEMBERI PELUANG MEMBANGUN PRASARANA TRANSPORTASI DALAM MEMAJUKAN PEREKONOMIAN DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA

OBLIGASI DAERAH MEMBERI PELUANG MEMBANGUN PRASARANA TRANSPORTASI DALAM MEMAJUKAN PEREKONOMIAN DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA OBLIGASI DAERAH MEMBERI PELUANG MEMBANGUN PRASARANA TRANSPORTASI DALAM MEMAJUKAN PEREKONOMIAN DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA Ramli Abstrak Implementasi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak, wewenang, dan kewajiban daerah

Lebih terperinci

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE - TAHUN ANGGARAN 2013 - TRIWULAN III

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE - TAHUN ANGGARAN 2013 - TRIWULAN III LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE - 1 LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE TAHUN 2013 TRIWULAN III KATA PENGANTAR Kualitas belanja yang baik merupakan kondisi ideal yang ingin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi

Lebih terperinci

- 1 - DOKUMEN STANDAR KSNP SPAM, JAKSTRA SPAM PROVINSI, DAN JAKSTRA SPAM KABUPATEN/KOTA

- 1 - DOKUMEN STANDAR KSNP SPAM, JAKSTRA SPAM PROVINSI, DAN JAKSTRA SPAM KABUPATEN/KOTA - 1 - LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 27/PRT/M/2016 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM DOKUMEN STANDAR KSNP SPAM, JAKSTRA SPAM PROVINSI, DAN JAKSTRA

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS

RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS REPUBLIK INDONESIA RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN

Lebih terperinci

PINJAMAN LUAR NEGERI DAN KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH. Oleh : Ikak G. Patriastomo 1

PINJAMAN LUAR NEGERI DAN KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH. Oleh : Ikak G. Patriastomo 1 PINJAMAN LUAR NEGERI DAN KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH Oleh : Ikak G. Patriastomo 1 PENDAHULUAN Bantuan luar negeri dapat berupa pinjaman maupun hibah luar negeri. Pinjaman luar negeri lebih mendesak dibahas

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MURUNG RAYA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MURUNG RAYA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MURUNG RAYA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG KERJASAMA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN MURUNG RAYA DENGAN PIHAK KETIGA DALAM PENGELOLAAN POTENSI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE TAHUN 2013 SEMESTER I

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE TAHUN 2013 SEMESTER I 1 KATA PENGANTAR Kualitas belanja yang baik merupakan kondisi ideal yang ingin diwujudkan dalam pengelolaan APBD. Untuk mendorong tercapainya tujuan tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh penyerapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dasa warsa terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup stabil

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dasa warsa terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup stabil 11 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam dasa warsa terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup stabil dengan pertumbuhan rata-rata Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 5.8%. Untuk meningkatkan

Lebih terperinci

POKOK-POKOK PIKIRAN TANGGAPAN ATAS : PEMAPARAN HASIL KAJIAN ANALISA KEBIJAKAN PERENCANAAN PENDANAAN PEMBANGUNAN

POKOK-POKOK PIKIRAN TANGGAPAN ATAS : PEMAPARAN HASIL KAJIAN ANALISA KEBIJAKAN PERENCANAAN PENDANAAN PEMBANGUNAN POKOK-POKOK PIKIRAN TANGGAPAN ATAS : PEMAPARAN HASIL KAJIAN ANALISA KEBIJAKAN PERENCANAAN PENDANAAN PEMBANGUNAN Oleh : Marsuki Bappenas RI, Jakarta, 1 Desember 2009 Outline Tanggapan Pengantar Perkembangan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 185 TAHUN 2014 TENTANG PERCEPATAN PENYEDIAAN AIR MINUM DAN SANITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 185 TAHUN 2014 TENTANG PERCEPATAN PENYEDIAAN AIR MINUM DAN SANITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 185 TAHUN 2014 TENTANG PERCEPATAN PENYEDIAAN AIR MINUM DAN SANITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa air minum

Lebih terperinci

Frequently Asked Questions (FAQ)

Frequently Asked Questions (FAQ) Frequently Asked Questions (FAQ) Subdit Evaluasi Keuangan Daerah No Pertanyaan Jawaban 1. 2. 3. Bagaimana gambaran umum pendapatan daerah dalam APBD 2017? Bagaimana gambaran umum belanja daerah dalam APBD

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG DANA DESA YANG BERSUMBER DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG DANA DESA YANG BERSUMBER DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG DANA DESA YANG BERSUMBER DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Hal mendasar dalam perencanaan pembangunan tahunan adalah kemampuannya dalam memproyeksikan kapasitas riil keuangan daerah secara

Lebih terperinci

KAJIAN KAPASITAS KABUPATEN SEMARANG DALAM MELAKUKAN PINJAMAN (STUDI KASUS : PEMDA DAN PDAM KABUPATEN SEMARANG) TUGAS AKHIR

KAJIAN KAPASITAS KABUPATEN SEMARANG DALAM MELAKUKAN PINJAMAN (STUDI KASUS : PEMDA DAN PDAM KABUPATEN SEMARANG) TUGAS AKHIR KAJIAN KAPASITAS KABUPATEN SEMARANG DALAM MELAKUKAN PINJAMAN (STUDI KASUS : PEMDA DAN PDAM KABUPATEN SEMARANG) TUGAS AKHIR Oleh: WIBYCA FUISYANUAR L2D 003 379 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60 TAHUN 2014 TENTANG DANA DESA YANG BERSUMBER DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60 TAHUN 2014 TENTANG DANA DESA YANG BERSUMBER DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60 TAHUN 2014 TENTANG DANA DESA YANG BERSUMBER DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. puluh tahun yang lampau pemerintah Indonesia telah mengunakan pola Build

BAB I PENDAHULUAN. puluh tahun yang lampau pemerintah Indonesia telah mengunakan pola Build BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam rangka melaksanakan pembangunan di Indonesia, maka beberapa puluh tahun yang lampau pemerintah Indonesia telah mengunakan pola Build Operate and Transfer

Lebih terperinci

2011, No.70 2 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5167); 3. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010; 4. Peraturan Menteri Ke

2011, No.70 2 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5167); 3. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010; 4. Peraturan Menteri Ke BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.70, 2011 KEMENTERIAN KEUANGAN. Dana Penyesuaian Infrastruktur. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25/PMK.07/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM DAN ALOKASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saing global, dan memperbaiki iklim investasi secara keseluruhan.

BAB I PENDAHULUAN. saing global, dan memperbaiki iklim investasi secara keseluruhan. BAB I PENDAHULUAN I.1 Umum Infrastruktur berperan penting, tidak hanya sebagai penunjang ekonomi, tetapi juga merupakan bagian dari penyediaan pelayanan dasar yang diperlukan dalam rangka mencapai standar

Lebih terperinci

No. Program Sasaran Program Instansi Penanggung Jawab Pagu (Juta Rupiah)

No. Program Sasaran Program Instansi Penanggung Jawab Pagu (Juta Rupiah) E. PAGU ANGGARAN BERDASARKAN PROGRAM No. Program Sasaran Program Instansi Penanggung Jawab Pagu (Juta Rupiah) Sub Bidang Sumber Daya Air 1. Pengembangan, Pengelolaan, dan Konservasi Sungai, Danau, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan proses perubahan kearah yang lebih baik, mencakup seluruh dimensi kehidupan masyarakat suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

OBLIGASI PEMERINTAH (GOVERNMENT BOND) VS OBLIGASI DAERAH (MUNICIPAL BOND)

OBLIGASI PEMERINTAH (GOVERNMENT BOND) VS OBLIGASI DAERAH (MUNICIPAL BOND) OBLIGASI PEMERINTAH (GOVERNMENT BOND) VS OBLIGASI DAERAH (MUNICIPAL BOND) Oleh: Mangasa Simatupang Tulisan dengan judul obligasi pemerintah vs obligasi daerah diatas dilatar belakangi rasa penasaran penulis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Rancangan Akhir RPJMD Tahun Hal. I LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Rancangan Akhir RPJMD Tahun Hal. I LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Provinsi DKI Jakarta merupakan kota dengan banyak peran, yaitu sebagai pusat pemerintahan, pusat kegiatan perekonomian, pusat perdagangan, pusat jasa perbankan dan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR: 9 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR: 9 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NO. 8 2008 SERI. E PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR: 9 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2005-2025 DENGAN

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang I - 1. Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi Jawa Barat Tahun 2010

1.1 Latar Belakang I - 1. Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi Jawa Barat Tahun 2010 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perencanaan Pembangunan Daerah dibagi menjadi beberapa tahapan mulai dari Perencanaan Jangka Panjang, Jangka Menengah, dan Tahunan. Dokumen perencanaan jangka panjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya penurunan. Pertumbuhan ekonomi suatu negara dipengaruhi oleh

BAB I PENDAHULUAN. adanya penurunan. Pertumbuhan ekonomi suatu negara dipengaruhi oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang positif menunjukkan adanya peningkatan perekonomian. Sebaliknya pertumbuhan ekonomi yang negatif menunjukkan adanya penurunan. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem otonomi daerah. Awal dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah sejak diberlakukannya Undang-undang

Lebih terperinci

KERJASAMA PEMERINTAH DAN BADAN USAHA DIREKTORAT PENGELOLAAN DUKUNGAN PEMERINTAH DAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR

KERJASAMA PEMERINTAH DAN BADAN USAHA DIREKTORAT PENGELOLAAN DUKUNGAN PEMERINTAH DAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR KERJASAMA PEMERINTAH DAN BADAN USAHA DIREKTORAT PENGELOLAAN DUKUNGAN PEMERINTAH DAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR Direktorat Pengelolaan Dukungan Pemerintah dan Pembiayaan Infrastruktur DJPPR Kebutuhan Pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi global lebih dari 12 tahun yang lalu telah mengakibatkan lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan hanya dengan upaya

Lebih terperinci