KAPASITAS SIMPANG APILL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAPASITAS SIMPANG APILL"

Transkripsi

1 KAPASITAS SIMPANG APILL

2 Daftar Isi Daftar Isi i Prakata iv Pendahuluan 1 Ruang lingkup 1 2 Acuan normatif 1 3 Istilah dan definisi 1 4 Ketentuan Ketentuan umum Prinsip Pelaksanaan perencanaan Simpang APILL Ketentuan teknis Tipikal Simpang APILL dan sistem pengaturan Data masukan lalu lintas Penggunaan isyarat Penentuan waktu isyarat Tipe pendekat Penentuan lebar pendekat efektif, L E Arus jenuh dasar, S Arus jenuh yang telah disesuaikan, S Rasio arus/arus jenuh, R Q/S Waktu siklus dan waktu hijau Kapasitas Simpang APILL Derajat kejenuhan Kinerja lalu lintas Simpang APILL Panjang antrian Rasio kendaraan henti Tundaan Penilaian kinerja 23 5 Prosedur perhitungan kapasitas Langkah A : Menetapkan data masukan Langkah A.1. Data geometrik, pengaturan arus lalu lintas, dan kondisi lingkungan Simpang APILL Langkah A.2. Data kondisi arus lalu lintas Langkah B : Menetapkan penggunaan isyarat Langkah B.1. Fase sinyal Langkah B.2. Waktu antar hijau dan waktu hilang Langkah C : Menentukan waktu APILL 28 i iv

3 5.3.1 Langkah C.1. Tipe pendekat Langkah C.2. Lebar pendekat efektif Langkah C.3. Arus jenuh dasar Langkah C.4. Faktor penyesuaian Langkah C.5. Rasio arus per arus jenuh (R Q/S ) Langkah C.6. Waktu siklus dan waktu hijau Langkah D : Kapasitas Langkah D.1. Kapasitas dan derajat kejenuhan Langkah D.2. Keperluan perubahan geometrik Langkah E : Tingkat kinerja lalu lintas Langkah E.1. Persiapan Langkah E.2. Panjang antrian, PA Langkah E.3. Jumlah kendaraan terhenti Langkah E.4. Tundaan 34 Lampiran A (normatif): 35 Lampiran B (normatif): 42 Lampiran C (informatif): 53 Lampiran D (informatif): 79 Lampiran F (informatif): 84 Bibliografi 88 Daftar nama dan Lembaga 89 Gambar 1. Konflik primer dan konflik sekunder pada simpang APILL 4 lengan... 7 Gambar 2. Urutan waktu menyala isyarat pada pengaturan APILL dua fase... 8 Gambar 3. Pendekat dan sub-pendekat Gambar 4. Titik konflik kritis dan jarak untuk keberangkatan dan kedatangan Gambar 5. Penentuan tipe pendekat Gambar 6. Lebar pendekat dengan dan tanpa pulau lalu lintas Gambar 7. Bagan alir perhitungan, perencanaan, dan evaluasi kapasitas Simpang APILL. 26 Gambar 8. Jumlah antrian maksimum (N QMAX ), skr, sesuai dengan peluang untuk beban lebih (P OL ) dan N Q Gambar 9. Biaya Siklus Hidup per Arus Simpang total untuk jenis Simpang tak bersinyal, Simpang bersinyal (simpang APILL), Bundaran, dan Simpang Susun Gambar A. 1. Tipikal pengaturan fase APILL pada simpang Gambar A. 2. TIpikal pengaturan fase APILL simpang-4 dengan 2 dan 3 fase, khususnya pemisahan pergerakan belok kanan (4A, 4B, 4C) Gambar A. 3. Tipikal pengaturan fase APILL simpang-4 dengan 4 fase Gambar A. 4. panduan pemilihan tipe simpang yang paling ekonomis, berlaku untuk ukuran kota 1-3juta jiwa, q BKi dan q BKa masing-masing 10% Gambar A. 5. Kinerja lalu lintas pada simpang Gambar A. 6. Kinerja lalu lintas pada simpang Gambar A. 7. Penempatan zebra cross ii

4 Gambar B. 1. Tipikal geometrik simpang Gambar B. 2. Tipikal geometrik simpang Gambar B. 3. Arus jenuh dasar untuk pendekat terlindung (tipe P) Gambar B. 4. Arus jenuh untuk pendekat tak terlindung (tipe O) tanpa lajur belok kanan terpisah Gambar B. 5. Arus jenuh untuk pendekat tak terlindung (tipe O) yang dilengkapi lajur belok kanan terpisah Gambar B. 6. Faktor penyesuaian untuk kelandaian (F G ) Gambar B. 7. Faktor penyesuaian untuk pengaruh parkir (F P ) Gambar B. 8. Faktor penyesuaian untuk belok kanan (F BKa ), pada pendekat tipe P dengan jalan dua arah, dan lebar efektif ditentukan oleh lebar masuk Gambar B. 9. Faktor penyesuaian untuk pengaruh belok kiri (F BKi ) untuk pendekat tipe P, tanpa B KiJT, dan L e ditentukan oleh L M Gambar B. 10. Penetapan waktu siklus sebelum penyesuaian, c bp Gambar B. 11. Jumlah kendaraan tersisa (skr) dari sisa fase sebelumnya Gambar B. 12. Jumlah kendaraan yang datang kemudian antri pada fase merah Gambar B. 13. Penentuan rasio kendaraan terhenti, R KH Tabel 1. panduan pemilihan tipe Simpang APILL yang paling ekonomis... 9 Tabel 2. Perkiraan kinerja lalu lintas simpang-3 dan simpang-4, untuk ukuran kota 1-3juta jiwa dan rasio arus mayor dan arus minor 1: Tabel 3. Padanan klasifikasi jenis kendaraan Tabel 4. Tabel kinerja simpang Jalan Iskandarsyah Jalan Wijaya Tabel 5. Tabel kinerja simpang Jalan Martadinata Jalan A. Yani Tabel A. 1. Angka kecelakaan lalu lintas (laka) pada Jenis dan tipe Simpang tertentu sebagai pertimbangan keselamatan dalam pemilihan tipe Simpang Tabel A. 2. Detail Teknis yang harus menjadi pertimbangan dalam desain teknis rinci Tabel B. 1. Tipikal geometrik dan pengaturan fase Tabel B. 2. Ekivalen Kendaraan Ringan Tabel B. 3. Nilai normal waktu antar hijau Tabel B. 4. Faktor penyesuaian ukuran kota (F UK ) Tabel B. 5. Faktor penyesuaian untuk tipe lingkungan simpang, hambatan samping, dan kendaraan tak bermotor (F HS ) Tabel B. 6. Waktu siklus yang layak iii

5 Prakata Pedoman kapasitas Simpang APILL ini merupakan bagian dari pedoman kapasitas jalan Indonesia 2014 (PKJI'14), diharapkan dapat memandu dan menjadi acuan teknis bagi para penyelenggara jalan, penyelenggara lalu lintas dan angkutan jalan, pengajar, praktisi baik di tingkat pusat maupun di daerah dalam melakukan perencanaan dan evaluasi kapasitas Simpang APILL. Istilah kapasitas Simpang APILL yang dipakai dalam pedoman ini sebelumnya disebut Simpang bersinyal. Pedoman ini dipersiapkan oleh panitia teknis Bahan Konstruksi dan Rekayasa Sipil pada Subpanitia Teknis Rekayasa (subpantek) Jalan dan Jembatan 91-01/S2 melalui Gugus Kerja Teknik Lalu Lintas dan Lingkungan Jalan. Tata cara penulisan disusun mengikuti Pedoman Standardisasi Nasional (PSN) 08:2007 dan dibahas dalam forum rapat teknis yang diselenggarakan pada tanggal xx September 2014 di Bandung, oleh subpantek Jalan dan Jembatan yang melibatkan para narasumber, pakar, dan lembaga terkait. Pendahuluan iv

6 Pedoman ini disusun dalam upaya memutakhirkan Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997 (MKJI'97) yang telah digunakan lebih dari 12 tahun sejak diterbitkan. Beberapa pertimbangan yang disimpulkan dari pendapat dan masukan para pakar rekayasa lalu lintas dan transportasi, serta workshop permasalahan MKJI'97 pada tahun 2009 adalah: 1) sejak MKJI 97 diterbitkan sampai saat ini, banyak perubahan dalam kondisi perlalulintasan dan jalan, diantaranya adalah populasi kendaraan, komposisi kendaraan, teknologi kendaraan, panjang jalan, dan regulasi tentang lalu lintas, sehingga perlu dikaji dampaknya terhadap kapasitas jalan; 2) khususnya sepeda motor, terjadinya kenaikan porsi sepeda motor dalam arus lalu lintas yang signifikan; 3) terdapat indikasi ketidakakuratan estimasi MKJI 1997 terhadap kenyataannya, 4) MKJI 97 telah menjadi acuan baik dalam penyelenggaraan jalan maupun dalam penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan sehingga perlu untuk secara periodik dimutakhirkan dan ditingkatkan akurasinya; Indonesia tidak memakai langsung manual-manual kapasitas jalan yang telah ada seperti dari Britania Raya, Amerika Serikat, Australia, Jepang, sebagaimana diungkapkan dalam Laporan MKJI tahap I, tahun Hal ini disebabkan terutama oleh: a) komposisi lalu lintas di Indonesia yang memiliki porsi sepeda motor yang tinggi dan dewasa ini semakin meningkat, b) aturan right of way di Simpang dan titik-titik konflik yang lain yang tidak jelas sekalipun Indonesia memiliki regulasi prioritas. Pedoman ini merupakan pemutakhiran kapasitas jalan dari MKJI'97 tentang Simpang bersinyal yang selanjutnya disebut Pedoman Simpang APILL sebagai bagian dari Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia 2014 (PKJI'14). PKJI 14 keseluruhan melingkupi: 1) Pendahuluan 2) Kapasitas jalan luar kota 3) Kapasitas jalan perkotaan 4) Kapasitas jalan bebas hambatan 5) Kapasitas Simpang APILL 6) Kapasitas Simpang 7) Kapasitas jalinan dan bundaran 8) Perangkat lunak kapasitas jalan yang akan dikemas dalam publikasi terpisah-pisah sesuai kemajuan pemutakhiran. Pemutakhiran ini, pada umumnya terfokus pada nilai-nilai ekivalen satuan mobil penumpang (emp) atau ekivalen kendaraan ringan (ekr), kapasitas dasar (C 0 ), dan cara penulisan. Nilai ekr mengecil sebagai akibat dari meningkatnya proporsi sepeda motor dalam arus lalu lintas yang juga mempengaruhi nilai C 0. Pemutakhiran perangkat lunak kapasitas jalan tidak dilakukan, tetapi otomatisasi perhitungan terkait contoh-contoh (Lihat Lampiran D) dilakukan dalam bentuk spreadsheet Excell (dipublikasikan terpisah). Sejauh tipe persoalannya sama dengan contoh, spreadsheet tersebut dapat digunakan dengan cara mengubah data masukannya. Pedoman ini dapat dipakai untuk menganalisis Simpang APILL untuk desain Simpang APILL yang baru, peningkatan Simpang APILL yang sudah lama dioperasikan, dan evaluasi kinerja lalu lintas Simpang APILL. v

7 Kapasitas Simpang APILL 1 Ruang lingkup Pedoman ini menetapkan ketentuan perhitungan kapasitas Simpang APILL untuk perencanaan dan evaluasi kinerja lalu lintas Simpang APILL, meliputi penetapan waktu isyarat, kapasitas (C), dan kinerja lalu lintas yang diukur oleh derajat kejenuhan (D J ), tundaan (T), panjang antrian (PA), dan rasio kendaraan berhenti (R KB ), untuk Simpang APILL 3 lengan dan Simpang APILL 4 lengan yang berada di wilayah perkotaan dan semi perkotaan. 2 Acuan normatif Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.19 Tahun 2011, Persyaratan Teknis Jalan dan Kriteria Perencanaan Teknis Jalan Keputusan menteri perhubungan No.62 Tahun 1993, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas 3 Istilah dan definisi Untuk tujuan penggunaan dalam Pedoman ini, istilah dan definisi berikut ini digunakan: 3.1 akses terbatas (AT) akses terbatas bagi pejalan kaki atau kendaraan (contoh: karena ada hambatan fisik, maka tidak ada akses langsung ke jalur utama karena harus melalui jalur lambat) 3.2 alat pemberi isyarat lalu lintas (APILL) alat yang mengatur arus lalu lintas menggunakan 3 isyarat lampu yang baku, yaitu merah, kuning, dan hijau. Penggunaan 3 warna tersebut bertujuan memisahkan lintasan arus lalu lintas yang saling konflik dalam bentuk pemisahan waktu berjalan 3.3 angka henti (Ah) jumlah rata rata berhenti per kendaraan (termasuk berhenti berulang-ulang dalam antrian) 3.4 arus jenuh (S) besarnya arus lalu lintas keberangkatan antrian dari dalam suatu pendekat selama kondisi yang ada (skr/jam) 3.5 arus jenuh dasar (S 0 ) besarnya arus lalu lintas keberangkatan antrian di dalam suatu pendekat pada kondisi ideal (skr/jam) 3.6 arus lalu lintas (Q,q) 1 dari 89

8 jumlah kendaraan-kendaraan yang melalui suatu garis tak terganggu di hulu pendekat per satuan waktu, dalam satuan kend./jam atau ekr/jam. Notasi Q dipakai untuk menyatakan LHRT dalam satuan ekr/hari atau kend./hari. 3.7 arus lalu lintas belok kanan (q BKa ) arus lalu lintas yang membelok ke kanan dari suatu pendekat (kend./jam, skr/jam) 3.8 arus lalu lintas belok kanan melawan atau terlawan (q o BKa ) arus lalu lintas belok kanan dari pendekat yang berlawanan, kend./jam, skr/jam 3.9 arus lalu lintas belok kiri (q BKi ) arus lalu lintas yang membelok ke kiri dari suatu pendekat, kend./jam, skr/jam 3.12 arus lalu lintas melawan atau terlawan (qo) arus lalu lintas lurus yang berangkat dari suatu pendekat dan arus yang belok kanan dari arah pendekat yang berlawanan terjadi dalam satu fase hijau yang sama; atau arus yang membelok ke kanan dan arus lalu lintas yang lurus dari arah yang berlawanan terjadi dalam satu fase hijau yang bersamaan (contoh: lihat Gambar 4 kasus 42). Arus lalu lintas yang berangkat disebut arus terlawan, dan arus lalu lintas dari arah berlawanan disebut arus melawan 3.13 arus lalu lintas terlindung (qp) arus lalu lintas yang lurus diberangkatkan ketika arus lalu lintas belok kanan dari arah berlawanan sedang menghadapi isyarat merah; atau arus lalu lintas yang belok kanan diberangkatkan ketika arus lalu lintas lurus dari arah yang berlawanan sedang menghadapi isyarat merah, sehingga tidak ada konflik, kend./jam 3.14 belok kiri (Bki) indeks untuk arus lalu lintas belok ke kiri 3.15 belok kiri jalan terus (BkiJT) indeks untuk arus lalu lintas belok kiri yang pada saat isyarat merah menyala diizinkan jalan terus 3.16 belok kanan (Bka) indeks untuk arus lalu lintas belok kanan 3.17 derajat kejenuhan (D J ) rasio arus lalu lintas terhadap kapasitas untuk suatu pendekat 3.19 ekivalen kendaraan ringan (ekr) faktor konversi berbagai jenis kendaran dibandingkan dengan kendaraan ringan yang lain sehubungan dengan dampaknya pada kapasitas jalan. Nilai ekr untuk kendaraan ringan adalah satu 2 dari 89

9 3.20 hambatan samping (HS) interaksi antara arus lalu lintas dan kegiatan samping jalan yang menyebabkan menurunnya arus jenuh dalam pendekat yang bersangkutan 3.23 jumlah kendaraan terhenti (N KH ) jumlah kendaraan terhenti dan antri dalam suatu pendekat, skr 3.24 kapasitas (C) arus lalu lintas maksimum yang dapat dipertahankan selama waktu paling sedikit satu jam 3.25 kelandaian (G) kelandaian memanjang pendekat, jika menanjak ke arah simpang diberi tanda positif, dan jika menurun ke arah simpang diberi tanda negatif, dinyatakan dalam satuan % 3.27 kendaraan ringan (KR) kendaraan bermotor dengan dua gandar beroda empat, panjang kendaraan tidak lebih dari 5,5m dengan lebar sampai dengan 2,1m, meliputi sedan, minibus (termasuk angkot), mikrobis (termasuk mikrolet, oplet, metromini), pick-up, dan truk kecil lihat foto tipikal jenis KR dalam Lampiran F) 3.28 kendaraan sedang (KS) kendaraan bermotor dengan dua gandar beroda empat atau enam, dengan panjang kendaraan antara 5,5m s.d. 9,0m, meliputi Bus sedang dan truk sedang (lihat foto tipikal jenis KS dalam Lampiran F) 3.29 kendaraan tak bermotor (KTB) kendaraan yang tidak menggunakan motor, bergerak ditarik oleh orang atau hewan, termasuk sepeda, becak, kereta dorongan, dokar, andong, gerobak (lihat foto tipikal jenis KTB dalam Lampiran F) 3.30 komersial (KOM) lahan disekitar Simpang yang didominasi oleh kegiatan komersial (contoh: pertokoan, restoran, perkantoran) dengan akses langsung bagi pejalan kaki dan kendaraan 3.31 lalu lintas harian rata-rata (LHRT) volume lalu lintas harian rata-rata tahunan yang ditetapkan dari survei perhitungan lalu lintas selama satu tahun penuh dibagi jumlah hari dalam tahun tersebut, atau ditetapkan berdasarkan survei perhitungan lalu lintas yang lebih pendek sesuai ketentuan yang berlaku, dinyatakan dalam skr/hari lebar pendekat (L P ) lebar awal bagian pendekat yang diperkeras, digunakan oleh lalu lintas memasuki simpang, m 3 dari 89

10 3.34 lebar jalur masuk (L M ) lebar pendekat diukur pada garis henti, m 3.35 lebar jalur keluar (L K ) lebar pendekat diukur pada bagian yang digunakan lalu lintas keluar simpang, m 3.36 lebar jalur efektif (L E ) lebar pendekat yang diperhitungkan dalam kapasitas, yaitu lebar yang mempertimbangkan L P, L M, L K, dan pergerakan membelok, m 3.37 lurus (LRS) indeks untuk arus lalu lintas yang lurus 3.38 panjang antrian (PA) panjang antrian kendaraan yang mengantri di sepanjang pendekat, m 3.39 pendekat jalur pada lengan simpang untuk kendaraan mengantri sebelum keluar melewati garis henti 3.40 permukiman (KIM) lahan disekitar Simpang yang didominasi oleh tempat permukiman dengan akses langsung bagi pejalan kaki dan kendaraan 3.41 rasio arus lalu lintas (R q/s ) rasio arus lalu lintas (q) terhadap arus lalu lintas jenuh (S) dari suatu pendekat 3.42 rasio arus lalu lintas simpang (R AS ) jumlah dari rasio arus lalu lintas untuk semua fase yang berurutan dalam suatu siklus 3.43 rasio arus belok kanan (R BKa ) perbandingan arus belok kanan terhadap arus total dari pendekat yang ditinjau 3.44 rasio arus belok kiri (R BKi ) perbandingan arus belok kiri terhadap arus total dari pendekat yang ditinjau 3.45 rasio arus belok kiri jalan terus (R BKiJT ) perbandingan arus BkiJT terhadap arus total dari pendekat yang ditinjau 3.46 rasio arus mayor terhadap arus minor (R mami ) perbandingan arus lalu lintas total pada jalan mayor terhadap arus lalu lintas total pada jalan minor 4 dari 89

11 3.47 rasio fase (R F ) rasio antara rasio arus lalu lintas terhadap rasio arus lalu lintas simpang 3.48 rasio kendaraan tak bermotor (R KTB ) perbandingan arus kendaraan tak bermotor terhadap jumlah arus kendaraan bermotor dan kendaraan tak bermotor 3.49 rasio kendaraan terhenti (R KH ) rasio arus lalu lintas yang harus berhenti sebelum melewati garis henti akibat pengendalian isyarat lampu lalu lintas terhadap seluruh arus yang lewat 3.50 rasio waktu hijau (R H ) perbandingan antara waktu isyarat hijau terhadap waktu fase pada pendekat yang ditinjau 3.51 satuan kendaran ringan (skr) satuan arus lalu lintas, dimana arus dari berbagai tipe kendaraan disamakan menjadi kendaraan ringan, termasuk mobil penumpang dan kendaraan ringan lainnya, dengan menggunakan nilai ekr 3.52 sepeda motor (SM) kendaraan bermotor dengan dua atau tiga roda (lihat foto tipikal jenis KTB dalam Lampiran F) 3.57 tipe pendekat dengan arus berangkat terlawan (To) Tipe keberangkatan arus dengan konflik antara gerak belok kanan dari suatu pendekat dan gerak lurus dan/atau gerak belok kiri dari bagian pendekat yang berlawanan pada fase yang sama 3.58 tipe pendekat dengan arus berangkat terlindung (Tp) tipe keberangkatan arus tanpa konflik antara gerakan lalu lintas belok kanan dengan arus lurus dan/atau belok kiri 3.59 tipe simpang APILL kode simpang yang terdiri dari tiga angka, angka pertama menunjukkan jumlah lengan simpang, angka kedua menunjukkan jumlah lajur pada pendekat jalan minor, dan angka ketiga menunjukkan jumlah lajur pada pendekat jalan mayor, tambahan huruf L pada dijit ke 4 yang menunjukkan belok kiri jalan terus. Contoh 412 adalah simpang-4 lengan, jumlah lajur pendekat di jalan minor sebanyak 1 lajur, dan pada jalan mayor sebanyak 2 lajur 3.60 tundaan (T) waktu tempuh tambahan yang digunakan pengemudi untuk melalui suatu simpang apabila dibandingkan dengan lintasan tanpa simpang 3.61 tundaan geometrik (T G ) 5 dari 89

12 tundaan yang disebabkan oleh perlambatan dan percepatan kendaraan yang membelok di simpang dan/atau yang terhenti oleh lampu merah 3.62 tundaan lalu lintas (T L ) waktu menunggu yang disebabkan oleh interaksi lalu lintas dengan gerakan lalu lintas yang berlawanan 3.63 ukuran kota (UK) ukuran kota yang diukur dari jumlah penduduk dalam wilayah perkotaan tersebut 3.64 waktu antar hijau (H A ) periode waktu kuning ditambah waktu merah semua antara dua fase isyarat yang berurutan, detik 3.65 waktu hijau (H) waktu isyarat lampu hijau sebagai izin berjalan bagi kendaraan-kendaraan pada lengan simpang yang ditinjau, detik 3.66 waktu hijau maksimum (H maks ) waktu isyarat hijau terlama yang diizinkan untuk pendekatan yang ditinjau, detik 3.67 waktu hijau minimum (H min ) waktu isyarat hijau terpendek yang diperlukan dalam satu fase kendali lalu lintas kendaraan, detik 3.68 waktu hijau hilang total (H H ) jumlah semua periode antar hijau (H A ) dalam satu siklus lengkap, dapat juga diperoleh dari beda antara waktu siklus (c) dengan jumlah waktu hijau (H) dalam semua fase yang berurutan, detik 3.69 waktu isyarat kuning (K) waktu dimana lampu kuning dinyalakan setelah hijau dalam sebuah pendekat, detik 3.70 waktu isyarat merah (M) waktu isyarat lampu merah sebagai larangan berjalan bagi kendaraan-kendaraan pada lengan simpang yang ditinjau, detik 3.71 waktu isyarat merah semua (M semua ) waktu isyarat merah menyala bersamaan pada setiap pendekat, detik 3.72 waktu siklus (c) waktu untuk urutan lengkap isyarat APILL, misal waktu diantara dua permulaan hijau yang berurutan pada suatu pendekat, detik 6 dari 89

13 4 Ketentuan 4.1 Ketentuan umum Prinsip 1) APILL digunakan untuk tujuan: 1) mempertahankan kapasitas simpang pada jam puncak, dan 2) mengurangi kejadian kecelakaan akibat tabrakan antara kendaraankendaraan dari arah yang berlawanan. Prinsip APILL adalah dengan cara meminimalkan konflik baik konflik primer maupun konflik sekunder. Konflik primer adalah konflik antara dua arus lalu lintas yang saling berpotongan, dan konflik sekunder adalah konflik yang terjadi dari arus lurus yang melawan atau arus membelok yang berpotongan dengan arus lurus atau pejalan kaki yang menyeberang. Gambar 1. Konflik primer dan konflik sekunder pada simpang APILL 4 lengan 2) Untuk meningkatkan kapasitas, arus keberangkatan dari satu pendekat dapat memiliki arus terlawan dan arus terlindung pada fase yang berbeda khusus pada kondisi dimana arus belok kanan pada lengan pendekat yang berlawanan arah sangat banyak, sehingga berpotensi menurunkan kapasitas dan/atau menurunkan tingkat keselamatan lalu lintas di simpang. 3) Untuk meningkatkan keselamatan, pergerakan arus lurus dapat dipisahkan dari pergerakan belok kanan pada pendekat terlawan, tetapi hal ini akan menambah jumlah fase sehingga akan menurunkan kapasitas. Gambar A.1. hingga A.3. pada Lampiran A menampilkan tipikal pengaturan fase pada simpang-3 dan simpang-4. 4) Untuk memenuhi aspek keselamatan, lampu isyarat pada Simpang APILL harus dilengkapi dengan: - Isyarat lampu kuning untuk memperingati arus yang sedang bergerak bahwa fase sudah berakhir, dan - Isyarat lampu merah semua untuk menjamin agar kendaraan terakhir pada fase hijau yang baru saja berakhir memperoleh waktu yang cukup untuk keluar dari area konflik sebelum kendaraan pertama dari fase berikutnya memasuki daerah yang 7 dari 89

14 sama. Waktu ini berguna sebagai waktu pengosongan ruang simpang antara dua fase. Gambar 2 menjelaskan urutan perubahan isyarat pada sistem dua fase, meliputi waktu siklus, waktu hijau, dan waktu antar hijau. Jalan A Jalan B Tipikal Simpang 4 Fase 1 Fase 2 Fase 1 Fase 2 Antar hijau 2 ke 1 K Merah Semua Waktu Merah Waktu Hijau Antar hijau 1 ke 2 K Merah Semua Waktu Hijau Waktu Merah K Waktu Siklus Gambar 2. Urutan waktu menyala isyarat pada pengaturan APILL dua fase Pelaksanaan perencanaan Simpang APILL Analisis kapasitas untuk Simpang APILL eksisting atau yang akan ditingkatkan harus: 1) mempertahankan D J 0,85; dan 2) mempertimbangkan dampaknya terhadap keselamatan, kelancaran lalu lintas, lingkungan jalan, dan perwujudan desain teknis rinci. Pemilihan jenis Persimpangan baru (Simpang atau Simpang APILL atau Bundaran atau Simpang tak sebidang) harus didasarkan pada analisis biaya siklus hidup (BSH). Ikuti uraian pada Bagian I Pendahuluan (sebagai contoh, lihat contoh 4 dalam Lampiran C). Pemilihan tipe Simpang APILL harus: 1) Paling ekonomis. Untuk pemilihan tipe simpang baru, Tabel 1. atau Gambar A.4. Lampiran A dapat digunakan sebagai referensi, dengan masukan empat parameter, yaitu arus total simpang (kend./jam) tahun kesatu, rasio arus mayor dan rasio arus minor (R mami ), R Bka dan R BKi, dan Ukuran kota. Dari Tabel 1. atau A.4. tersebut dapat dipilih tipe simpang yang paling ekonomis berdasarkan analisis biaya siklus hidup untuk ukuran kota 1-3juta dan rasio arus belok kiri dan kanan masing-masing 10%. 8 dari 89

15 Tabel 1. panduan pemilihan tipe Simpang APILL yang paling ekonomis 2) Memiliki kinerja lalu lintas yang optimum. Tujuan analisis desain dan operasional simpang APILL eksisting adalah untuk menyelaraskan waktu isyarat dan geometrik agar kinerja lalu Iintas yang disyaratkan dapat tercapai. Dalam hal ini, kinerja diukur dari dua parameter, yaitu T dan rasio Q/C. Tabel 2 maupun Gambar A.5 dan Gambar A.6 pada Lampiran A menunjukkan perkiraan T rata-rata sebagai fungsi dari rasio Q/C. Tabel 2 juga menunjukkan perkiraan kapasitas, faktor-ekr, dan rentang kinerja lalu lintas untuk masing-masing tipe simpang. Tabel 2, Gambar A.5, dan Gambar A.6 dapat juga digunakan untuk desain atau menetapkan asumsi awal, misalnya dalam analisis desain dan operasional peningkatan simpang eksisting. Perlu konsistensi dalam melakukan analisis, agar nilai Q/C tidak melampaui 0,85 selama jam puncak rencana. 9 dari 89

16 Tabel 2. Perkiraan kinerja lalu lintas simpang-3 dan simpang-4, untuk ukuran kota 1-3juta jiwa dan rasio arus mayor dan arus minor 1:1 3) Mempertimbangkan keselamatan lalu lintas. Angka kecelakaan lalu lintas pada Simpang APILL diperkirakan sebesar 0,43 kecelakaan/juta kendaraan dibandingkan dengan 0,60 pada Simpang dan 0,30 pada bundaran (data MKJI 97 didasarkan pada data negara maju). Rekayasa lalu lintas di Simpang APILL, baik itu melalui penyediaan fasilitas fisik seperti kanalisasi untuk memfasilitasi pergerakan belok, maupun melalui pengaturan fase APILL, seperti penetapan tipe suatu pendekat tipe terlindung dan penambahan waktu antar hijau, dapat mengurangi jumlah kecelakaan. Tabel A.1 dalam Lampiran A dapat dijadikan acuan dalam pemilihan jenis persimpangan berdasarkan keselamatan lalu lintas. 4) Mempertimbangan dampaknya terhadap lingkungan. Emisi gas buang kendaraan dan kebisingan umumnya bertambah akibat percepatan atau perlambatan kendaraan, dan saat kendaraan berhenti. Dengan pemahaman ini, Simpang dengan tundaan rata-rata yang tinggi cenderung memiliki gas buang dan atau kebisingan yang lebih tinggi pula. Oleh karenanya, terkait dengan dampak terhadap lingkungan ini, perencanaan harus menghasilkan pengaturan isyarat yang efisien. Pengaturan isyarat terkoordinasi dan/atau pengaturan isyarat aktualisasi kendaraan dapat menghasilkan emisi yang lebih kecil daripada pengaturan isyarat tetap. 5) Mempertimbangkan hal-hal teknis, sebagaimana tercantum dalam Tabel A.2 pada Lampiran A dalam melaksanakan desain teknis rinci. 10 dari 89

17 6) Berdasarkan LHRT yang dihitung dengan metode perhitungan yang benar. Secara ideal, LHRT didasarkan atas perhitungan lalu lintas menerus selama satu tahun. Jika diperkirakan, maka cara perkiraan LHRT harus didasarkan atas perhitungan lalu lintas yang mengacu kepada ketentuan yang berlaku atau yang dapat dipertanggungjawabkan. Misal perhitungan lalu lintas selama 7 hari atau 40 jam per triwulan, perlu mengacu kepada ketentuan yang berlaku sehingga diperoleh validitas dan akurasi yang memadai. 7) Berdasarkan nilai q JD yang dihitung menggunakan nilai faktor k yang berlaku. 4.2 Ketentuan teknis Tipikal Simpang APILL dan sistem pengaturan Persimpangan, harus merupakan pertemuan dua atau lebih jalan yang sebidang. Pertemuan dapat berupa simpang-3 atau simpang-4 dan dapat merupakan pertemuan antara tipe jalan 2/2TT, tipe jalan 4/2T, tipe jalan 6/2T, tipe jalan 8/2T, atau kombinasi dari tipe-tipe jalan tersebut (Gambar B.1. dan B.2. dalam Lampiran B). Jenis fase (sistim pengaturan) ditentukan berdasarkan tipe simpang (lihat Tabel B.1.) dengan catatan semua simpang dianggap dilengkapi kereb dan trotoar, dengan R BKa dan R BKi masing-masing sebesar 10% atau 25%, dan dianggap terisolir dengan sistem kendali waktu tetap. Analisis kapasitas untuk setiap pendekat dilakukan secara terpisah. Satu lengan simpang dapat terdiri dari satu pendekat atau lebih (menjadi dua atau lebih sub-pendekat, termasuk pengaturan fasenya, lihat Gambar 3). Hal ini terjadi jika gerakan belok kanan dan/atau belok kiri mendapat isyarat hijau pada fase yang berlainan dengan lalu lintas yang lurus, atau jika dipisahkan secara fisik oleh pulau-pulau jalan. Untuk masing-masing pendekat atau subpendekat, lebar efektif (L E ) ditetapkan dengan mempertimbangkan lebar pendekat pada bagian masuk simpang dan pada bagian keluar simpang. Sub-Pendekat Pendekat Gambar 3. Pendekat dan sub-pendekat 11 dari 89

18 4.2.2 Data masukan lalu lintas Data masukan lalu lintas diperlukan untuk dua hal, yaitu pertama data arus lalu lintas eksisting dan kedua data arus lalu lintas rencana. Data lalu lintas eksisting digunakan untuk melakukan evaluasi kinerja lalu lintas, berupa arus lalu lintas per jam eksisting pada jam-jam tertentu yang dievaluasi, misalnya arus lalu lintas pada jam sibuk pagi atau arus lalu lintas pada jam sibuk sore. Data arus lalu lintas rencana digunakan sebagai dasar untuk menetapkan lebar jalur lalu lintas atau jumlah lajur lalu lintas, berupa arus lalu lintas jam desain (q JD ) yang ditetapkan dari LHRT, menggunakan faktor k. keterangan:..1) LHRT adalah volume lalu lintas harian rata-rata tahunan, dinyatakan dalam skr/hari. K adalah faktor jam rencana, ditetapkan dari kajian fluktuasi arus lalu lintas jam-jaman selama satu tahun. Nilai k yang dapat digunakan untuk jalan perkotaan berkisar antara 7% sampai dengan 12%. LHRT dapat ditaksir menggunakan data survei perhitungan lalu lintas selama beberapa hari tertentu sesuai dengan pedoman survei perhitungan lalu lintas yang berlaku (DJBM, 1992). Dalam survei perhitungan lalu lintas, kendaraan diklasifikasikan menjadi beberapa kelas sesuai dengan ketentuan yang berlaku, seperti klasifikasi di lingkungan DJBM (1992) baik yang dirumuskan pada tahun 1992 maupun yang sesuai dengan klasifikasi Integrated Road Management System (IRMS) (Tabel 3.). Untuk tujuan praktis, Tabel 3. dapat digunakan untuk mengkonversikan data lalu lintas dari klasifikasi IRMS atau DJBM (1992) menjadi data lalu lintas dengan klasifikasi MKJI 97. Klasifikasi MKJI 97, dalam pedoman ini masih juga digunakan. Dengan demikian, data yang dikumpulkan melalui prosedur survei yang dilaksanakan sesuai klasifikasi IRMS maupun DJBM 1992, dapat juga digunakan untuk perhitungan kapasitas. 12 dari 89

19 IRMS (11 kelas) 1. Sepeda motor, Skuter, Kendaraan roda tiga Tabel 3. Padanan klasifikasi jenis kendaraan DJBM (1992) (8 kelas) 1. Sepeda motor, Skuter, Sepeda kumbang, dan Sepeda roda tiga MKJI 97 (5 kelas) 1. SM: Kendaraan bermotor roda 2 dan 3 dengan panjang tidak lebih dari 2,5m 2. Sedan, Jeep, Station 2. Sedan, Jeep, Station 2. KR:Mobil penumpang wagon wagon (Sedan, Jeep, Station 3. Opelet, Pickup-opelet, 3. Opelet, Pickup-opelet, wagon, Opelet, Minibus, Suburban, Kombi, dan Suburban, Kombi, dan Mikrobus),Pickup,Truk Minibus Minibus Kecil, dengan panjang 4. Pikup, Mikro-truk, dan Mobil hantaran 4. Pikup, Mikro-truk, dan Mobil hantaran tidak lebih dari atau sama dengan 5,5m 5a. Bus Kecil 5. Bus 3. KS: Bus dan Truk 2 sumbu, dengan panjang 5b. Bus Besar tidak lebih dari atau sama 6. Truk 2 sumbu 6. Truk 2 sumbu dengan 12,0m 7a. 7b. Truk 3 sumbu Truk Gandengan 7. Truk 3 sumbu atau lebih dan Gandengan 7c. Truk Tempelan (Semi trailer) 8. KTB: Sepeda, Becak, Dokar, Keretek, Andong. 8. KTB: Sepeda, Beca, Dokar, Keretek, Andong. Catatan: *) Dalam jalan perkotaan, KB dikatagorikan KS 4. KB: Truk 3 sumbu dan Truk kombinasi (Truk Gandengan dan Truk Tempelan), dengan panjang lebih dari 12,0m *). 5. KTB: Sepeda, Becak, Dokar, Keretek, Andong. Arus lalu lintas, Q, dinyatakan dalam skr per jam untuk satu atau lebih periode, misalnya pada periode jam puncak pagi, siang, atau sore. Q dikonversi dari satuan kendaraan per jam menjadi skr per jam dengan menggunakan nilai ekivalen kendaraan ringan (ekr) untuk masing-masing pendekat terlindung dan terlawan. Perlu diperhatikan, dalam satu pendekat kadang terdapat dua tipe pendekat yang berbeda pada masing-masing fasenya. Jika hal ini ditemui pada saat analisis, maka nilai ekr yang digunakan juga menjadi dua, sesuai tipe pendekat masing-masing fase tersebut. Nilai ekr untuk tiap jenis kendaraan pada tipe pendekat terlindung dan terlawan ditunjukkan dalam Tabel B.2. Lampiran B Penggunaan isyarat Pengaturan dua fase dapat pertimbangan pada awal analisis karena memberikan kapasitas terbesar dengan tundaan yang terendah dibandingkan dengan pengaturan fase lainnya (lihat Gambar A.1. dan A.2. dalam Lampiran A, sebagai contoh). Apabila pengaturan dua fase ini belum memadai, evaluasi arus belok kanan, apakah memungkinkan bila dipisahkan dari arus lurus?; dan apakah tersedia lajur untuk memisahkannya? Pengaturan arus belok kanan yang terpisah hanya dilakukan bila arusnya melebihi 200skr/jam, tetapi bisa saja dilakukan pemisahan ini, walaupun arus belok kanan lebih rendah dari 200skr/jam dengan pertimbangan peningkatan terhadap keselamatan lalu lintas. Perhitungan rinci nilai A H dan H H diperlukan saat analisis operasional dan desain peningkatan, untuk keperluan praktis, nilai normal A H dapat menggunakan nilai seperti yang ditunjukkan pada Tabel B.3. dalam Lampiran B. 13 dari 89

20 M semua diperlukan untuk pengosongan area konflik dalam simpang pada akhir setiap fase. Waktu ini memberikankesempatan bagi kendaraan terakhir (KBR pada Gambar 4.) melewati garis henti pada akhir isyarat kuning sampai dengan meninggalkan titik konflik. jarak ini adalah panjang lintasan keberangkatan (L KBR ) ditambah panjang kendaraan berangkat (P KBR ) sebelum kedatangan kendaraan pertama yang datang dari arah lain (KDT) pada fase berikutnya yang melewati garis henti pada awal isyarat hijau sampai dengan ke titik konflik yang sama dengan jarak lintasan L KDT. Jadi, M semua merupakan fungsi dari kecepatan dan jarak dari kendaraan yang berangkat dan yang datang dari garis henti masing-masing arah sampai ke titik konflik, serta panjang dari kendaraan yang berangkat (P KBR ).Dalam hal waktu lintasan pejalan kaki (L PK ) lebih lama ditempuh dibandingkan L KBR, maka L PK yang menentukan panjang lintasan berangkat. Gambar 4. Titik konflik kritis dan jarak untuk keberangkatan dan kedatangan Titik konflik kritis pada masing-masing fase (i) adalah titik yang menghasilkan M semua terbesar. M semua per fase dipilih yang terbesar dari dua hitungan waktu lintasan, yaitu kendaraan berangkat dan pejalan kaki. Hitung menggunakan persamaan 2). {..2) keterangan: 14 dari 89

21 L KBR, L KDT, L PK P KBR V KBR, V KDT, V PK adalah jarak dari garis henti ke titik konflik masing-masing untuk kendaraan yang berangkat, kendaraan yang datang, dan pejalan kaki, m adalah panjang kendaraan yang berangkat, m adalah kecepatan untuk masing-masing kendaraan berangkat, kendaraan datang, dan pejalan kaki, m/det Gambar 5. menunjukkan kejadian dengan titik-titik konflik kritis yang diberi tanda bagi kendaraan-kendaraan maupun para pejalan kaki yang memotong jalan. Nilai-nilai V KBR, V KDT, dan P KBR tergantung dari kondisi lokasi setempat. Nilai-nilai berikut ini dapat digunakan sebagai pilihan jika nilai baku tidak tersedia. V KDT = 10m/det (kendaraan bermotor) V KBR = 10m/det (kendaraan bermotor) 3m/det (kendaraan tak bermotor misalnya sepeda) 1,2m/det (pejalan kaki) P KBR = 5m (KR atau KB) 2m (SM atau KTB) Apabila periode M semua untuk masing-masing akhir fase telah ditetapkan, waktu hijau hilang total (H H ) untuk simpang untuk setiap siklus dapat dihitung sebagai jumlah dari waktu-waktu antar hijau menggunakan persamaan 3)..3) Panjang waktu kuning pada APILL perkotaan di Indonesia biasanya ditetapkan 3,0 detik Penentuan waktu isyarat Tipe pendekat Pada pendekat dengan arus lalu lintas yang berangkat pada fase yang berbeda, maka analisis kapasitas pada masing-masing fase pendekat tersebut harus dilakukan secara terpisah (misal, arus lurus dan belok kanan dengan lajur terpisah). Hal yang sama pada perbedaan tipe pendekat, pada satu pendekat yang memiliki tipe pendekat, baik terlindung maupun terlawan (pada fase yang berbeda), maka proses analisisnya harus dipisahkan berdasarkan ketentuan-ketentuannya masing-masing. Gambar 5. di bawah ini memberikan ilustrasi dalam penentuan tipe pendekat, apakah terlindung (P) atau terlawan (O). 15 dari 89

22 Gambar 5. Penentuan tipe pendekat Penentuan lebar pendekat efektif, L E Penentuan lebar pendekat efektif (L E ) berdasarkan lebar ruas pendekat (L), lebar masuk (L M ), dan lebar keluar (L K ). Jika B KiJT diizinkan tanpa mengganggu arus lurus dan arus belok kanan saat isyarat merah, maka L E dipilih dari nilai terkecil diantara L K dan (L M -L BKiJT ). Menentukan L M. Pada pendekat terlindung, jika L K < L M (1-R BKa -R BKiJT ), tetapkan L E = L K, dan analisis penentuan waktu isyarat untuk pendekat ini hanya didasarkan pada arus lurus saja. Jika pendekat dilengkapi pulau lalu lintas, maka L M ditetapkan seperti ditunjukkan dalam Gambar 6. sebelah kiri. Jika pendekat tidak dilengkapi pulau lalu lintas, maka L M ditentukan seperti ditunjukkan dalam Gambar 6. sebelah kanan. Maka L M = L-L BKiJT. 16 dari 89

23 Gambar 6. Lebar pendekat dengan dan tanpa pulau lalu lintas 1) Jika L BKiJT 2m, maka arus kendaraan B KiJT dapat mendahului antrian kendaraan lurus dan belok kanan selama isyarat merah. L E ditetapkan sebagai berikut: Langkah 1: Keluarkan arus B KiJT (q BKiJT ) dari perhitungan dan selanjutnya arus yang dihitung adalah q = q LRS +q BKa Tentukan lebar efektif sebagai berikut: {.4) Langkah 2: Periksa L K (hanya untuk pendekat tipe P), jika L K < L M (1-R BKa ), maka L E = L K, dan analisis penentuan waktu isyarat untuk pendekat ini didasarkan hanya bagian lalu lintas yang lurus saja yaitu q LRS 2) Jika L BKiJT < 2m, maka kendaraan B KiJT dianggap tidak dapat mendahului antrian kendaraan lainnya selama isyarat merah. L E ditetapkan sebagai berikut: Langkah 1: Sertakan q BKiJT pada perhitungan selanjutnya. { ( ).5) Langkah 2: Periksa L K (hanya untuk pendekat tipe P), jika L K < L M (1-R BKa -R BKiJT ), maka L E = L K, dan analisis penentuan waktu isyarat untuk pendekat ini dilakukan hanya untuk arus lalu lintas lurus saja Arus jenuh dasar, S 0 Arus jenuh (S, skr/jam) adalah hasil perkalian antara arus jenuh dasar (S 0 ) dengan faktorfaktor penyesuaian untuk penyimpangan kondisi eksisting terhadap kondisi ideal. S 0 adalah 17 dari 89

24 S pada keadaan lalu lintas dan geometrik yang ideal, sehingga faktor-faktor penyesuaian untuk S 0 adalah satu. S dirumuskan oleh persamaan 6)..6) keterangan: F UK adalah faktor penyesuaian S 0 terkait ukuran kota, (Tabel B.4. Lampiran B) F HS adalah faktor penyesuaian S 0 akibat HS lingkungan jalan (Tabel B.5. Lampiran B) F G adalah faktor penyesuaian S 0 akibat kelandaian memanjang pendekat (Gambar B.6. Lampiran B) F P adalah faktor penyesuaian S 0 akibat adanya jarak garis henti pada mulut pendekat terhadap kendaraan yang parkir pertama (Gambar B.7. Lampiran B) F BKa adalah faktor penyesuaian S 0 akibat arus lalu lintas yang membelok ke kanan (Gambar B.8. Lampiran B, dengan ketentuan tertentu) F BKi adalah faktor penyesuaian S 0 akibat arus lalu lintas yang membelok ke kiri (Gambar B.9. Lampiran B, dengan ketentuan tertentu) 1) Untuk pendekat terlindung, S 0 ditentukan oleh persamaan 7), sebagai fungsi dari lebar efektif pendekat. Selain itu, penetapan nilai S 0 untuk tipe pendekat terlindung, dapat ditentukan dengan menggunakan diagram yang ditunjukkan dalam Gambar B.3. dalam Lampiran B. keterangan: S 0 adalah arus jenuh dasar, skr/jam L E adalah lebar efektif pendekat, m.7) Catatan: Untuk pendekat terlawan, keberangkatan dari antrian sangat dipengaruhi oleh kenyataan bahwa pengemudi sering mengabaikan "aturan hak jalan". Arus kendaraan-kendaraan yang membelok ke kanan memaksa menerobos arus lalu lintas lurus dari arah yang berlawanan. Model kapasitas simpang dari negara Barat tentang tipikal keberangkatan arus lalu lintas seperti ini, tidak dapat diterapkan karena teori tersebut didasarkan pada teori gap acceptance ("waktu antara yang diterima"). Model lain yang telah dikembangkan dan dianggap sesuai didasarkan pada pengamatan perilaku pengemudi di Indonesia dan diterapkan dalam pedoman ini. Apabila terdapat gerakan belok kanan dengan rasio tinggi, umumnya menghasilkan kapasitas-kapasitas yang lebih rendah jika dibandingkan dengan model Barat. Nilai-nilai skr yang berbeda untuk pendekat terlawan juga digunakan seperti diuraikan di atas. 2) Untuk pendekat tak terlindung (tipe O), dan: Tidak dilengkapi lajur belok-kanan terpisah, maka S 0 ditentukan menggunakan Gambar B.4. Lampiran B. sebagai fungsi dari L E, Q BKa, dan Q BKa,O. dilengkapi dengan lajur belok kanan terpisah, maka gunakan Gambar B.5. Lampiran B, sebagai fungsi dari L E, Q BKa, dan Q BKaO. Gunakan gambar-gambar tersebut untuk mendapatkan nilai S 0 dan lakukan interpolasi seperlunya. Lihat contoh berikut terkait penanganan keadaan yang mempunyai q BKa lebih besar dari yang terdapat dalam diagram. Contoh: Lajur belok kanan terpisah: 18 dari 89

25 Q BKa = 125skr/jam dan arus dari arah berlawanan yang terlawan Q Bka,o = 100skr/jam; L E sesungguhnya = 5,4m. Maka, dari Gambar B.5. diperoleh S 6,0 = 3000; S 5,0 = 2440; dan dengan interpolasi diperoleh S 5,4 = (5,4-5,0) (S 6,0 - S 5,0 )+S 5,0 = 0,4x( )+2440 = Jika gerakan belok kanan lebih besar dari 250skr/jam, fase isyarat terlindung harus dipertimbangkan dan rencana fase isyarat harus diganti. Cara pendekatan berikut dapat digunakan untuk tujuan analisis operasional misalnya peninjauan kembali waktu isyarat suatu simpang. Lajur belok kanan tidak terpisah: a) Jika Q Bka,O > 250skr/jam, maka Q BKa < 250: 1. Tentukan S Bka,O pada Q Bka,O = Tentukan S sesungguhnya sebagai S = S Bka,O - {(Q Bka,O - 250) 8 } skr/jam QRT > 250: 1. Tentukan S BKa,o pada Q Bka,O and Q BKa = Tentukan S sesungguhnya sebagai S = S Bka,O - {(Q Bka,O + Q BKa - 500) 2 } skr/jam b) Jika Q Bka,O < 250 dan Q BKa > 250 skr/jam, maka tentukan S seperti pada Q BKa = 250. Lajur belok kanan terpisah: a) Jika Q Bka,O > 250skr/jam, maka: Q BKa < 250: Tentukan S dari Gambar B.5. dengan ekstrapolasi. Q BKa > 250: Tentukan S Bka,O pada Q Bka,O and Q BKa = 250 b) Jika Q Bka,O < 250 dan Q BKa > 250skr/jam, maka tentukan S dari Gambar B.5. dengan ekstrapolasi Arus jenuh yang telah disesuaikan, S Nilai S ditentukan dengan menggunakan persamaan 6) di atas. Dalam perhitungannya, perlu diperhatikan jika suatu pendekat mempunyai isyarat hijau lebih dari satu fase, yang arus jenuhnya telah ditentukan secara terpisah, maka nilai arus jenuh kombinasi harus dihitung secara proporsional terhadap waktu hijau masing-masing fase. Contoh, jika suatu pendekat berisyarat hijau pada kedua fase 1 dan 2 dengan waktu hijau H 1 dan H 2 dan arus jenuh S 1 dan S 2, nilai kombinasi S 1+2 dihitung sebagai berikut:..8) Jika salah satu dari fase tersebut adalah fase pendek, misalnya "waktu hijau awal", dimana satu isyarat pada pendekat menyala hijau beberapa saat sebelum mulainya hijau pada arah yang berlawanan, disarankan untuk menggunakan hijau awal ini antara 1/4 sampai 1/3 dari total waktu hijau pada pendekat yang diberi waktu hijau awal. Perkiraan yang sama dapat digunakan untuk "waktu hijau akhir" dimana nyala hijau pada satu pendekat diperpanjang beberapa saat setelah berakhirnya nyala hijau pada arah yang berlawanan. Lama waktu hijau awal dan akhir minimal 10 det. Contoh: Waktu hijau awal sama dengan 1/3 dari total waktu hijau dari pendekat dengan waktu hijau awal: 19 dari 89

26 .. 9) Rasio arus/arus jenuh, R Q/S Dalam menganalisis R Q/S perlu diperhatikan bahwa: a) Jika arus B KiJT harus dipisahkan dari analisis, maka hanya arus lurus dan belok kanan saja yang dihitung sebagai nilai Q. b) Jika L E = L K, maka hanya arus lurus saja yang masuk dalam nilai Q. c) Jika pendekat mempunyai dua fase, yaitu fase kesatu untuk arus terlawan (O) dan fase kedua untuk arus terlindung (P), maka arus gabungan dihitung dengan pembobotan seperti proses perhitungan arus jenuh pada sub bab RQ/S dihitung menggunakan persamaan 10) berikut ini:...10) Waktu siklus dan waktu hijau Waktu isyarat terdiri dari waktu siklus (c) dan waktu hijau (H). Tahap pertama adalah penentuan waktu siklus untuk sistem kendali waktu tetap yang dapat dilakukan menggunakan rumus Webster (1966). Rumus ini bertujuan meminimumkan tundaan total. Tahap selanjutnya adalah menetapkan waktu hijau (g) pada masing-masing fase (i). Nilai c ditetapkan menggunakan persamaan 11) atau dengan menggunakan Gambar B.10. dalam Lampiran B. 11) keterangan: c adalah waktu siklus, detik H H adalah jumlah waktu hijau hilang per siklus, detik R Q/S adalah rasio arus, yaitu arus dibagi arus jenuh, Q/S R Q/S kritis adalah Nilai R Q/S yang tertinggi dari semua pendekat yang berangkat pada fase yang sama Σ R Q/S kritis adalah rasio arus simpang (sama dengan jumlah semua R Q/S kritis dari semua fase) pada siklus tersebut. Catatan: c yang terlalu besar akan menyebabkan meningkatnya tundaan rata-rata. c yang besar terjadi jika nilai (R Q/S Kritis ) mendekati satu, atau jika lebih dari satu, maka simpang tersebut melampaui jenuh dan rumus Webster akan menghasilkan nilai c tidak realistik karena sangat besar atau negatif. H ditetapkan menggunakan persamaan 12)..12) keterangan: H i adalah waktu hijau pada fase i, detik i adalah indeks untuk fase ke i 20 dari 89

27 Catatan: Kinerja suatu Simpang APILL pada umumnya lebih peka terhadap kesalahankesalahan dalam pembagian waktu hijau daripada terhadap terlalu panjangnya waktu siklus. Penyimpangan kecil dari rasio hijau (H i /c) yang ditentukan dari rumus 12) di atas dapat berakibat bertambah tingginya tundaan rata-rata pada simpang tersebut Kapasitas Simpang APILL Kapasitas Simpang APILL (C) dihitung menggunakan persamaan 13). 13) keterangan: C adalah kapasitas simpang APILL, skr/jam S adalah arus jenuh, skr/jam H adalah total waktu hijau dalam satu siklus, detik c adalah waktu siklus, detik Derajat kejenuhan Derajat kejenuhan (D J ) dihitung menggunakan persamaan 14)...14) Kinerja lalu lintas Simpang APILL Panjang antrian Jumlah rata-rata antrian kendaraan (skr) pada awal isyarat lampu hijau (N Q ) dihitung sebagai jumlah kendaraan terhenti (skr) yang tersisa dari fase hijau sebelumnya (N Q1 ) ditambah jumlah kendaraan (skr) yang datang dan terhenti dalam antrian selama fase merah (N Q2 ), dihitung menggunakan persamaan 15). Jika D J >0,5; maka...15) { }...16) Jika D J 0,5; maka N Q1 =0...17) Nilai N Q1 dapat pula diperoleh dengan menggunakan diagram pada Gambar B.11. dan nilai N Q2 menggunakan diagram pada Gambar B.12. dalam Lampiran B. 21 dari 89

28 Panjang antrian (PA) diperoleh dari perkalian N Q (skr) dengan luas area rata-rata yang digunakan oleh satu kendaraan ringan (ekr) yaitu 20m 2, dibagi lebar masuk (m), sebagaimana persamaan 18) Rasio kendaraan henti...18) R KH, yaitu rasio kendaraan pada pendekat yang harus berhenti akibat isyarat merah sebelum melewati suatu simpang terhadap jumlah arus pada fase yang sama pada pendekat tersebut, dihitung menggunakan persamaan 19) atau dapat pula menggunakan diagram dalam Gambar B.13. Lampiran B....19) keterangan: N Q adalah jumlah rata-rata antrian kendaraan (skr) pada awal isyarat hijau c adalah waktu siklus, detik Q adalah arus lalu lintas dari pendekat yang ditinjau, skr/jam Jumlah rata-rata kendaraan berhenti, N H, adalah jumlah berhenti rata rata per kendaraan (termasuk berhenti terulang dalam antrian) sebelum melewati suatu simpang, dihitung menggunakan persamaan 20)....20) Tundaan Tundaan pada suatu simpang terjadi karena dua hal, yaitu 1) tundaan lalu lintas (T L ), dan 2) tundaan geometrikk (T G ). Tundaan rata-rata untuk suatu pendekat i dihitung menggunakan persamaan 21)....21) Tundaan lalu lintas rata-rata pada suatu pendekat i dapat ditentukan dari persamaan 22) (Akcelik 1988):...22) Catatan: Hasil perhitungan tidak berlaku jika kapasitas simpang dipengaruhi oleh faktorfaktor "luar" seperti terhalangnya jalan keluar akibat kemacetan pada bagian hilir, atau pengaturan oleh polisi secara manual, atau yang lainnya. Tundaan geometrik rata-rata pada suatu pendekat i dapat diperkirakan penggunakan persamaan 23). keterangan: P B adalah porsi kendaraan membelok pada suatu pendekat...23) 22 dari 89

29 Catatan: Nilai normal T Gi untuk kendaraan belok tidak berhenti adalah 6 detik, dan untuk yang berhenti adalah 4 detik. Nilai normal ini didasarkan pada anggapan-anggapan, bahwa: 1) kecepatan = 40km/jam; 2) kecepatan belok tidak berhenti =10km/jam; 3) percepatan dan perlambatan = 1,5m/det 2 ; 4) kendaraan berhenti melambat untuk meminimumkan tundaan, sehingga menimbulkan hanya tundaan percepatan Penilaian kinerja Tujuan analisis kapasitas adalah memperkirakan kapasitas dan kinerja lalu lintas pada kondisi tertentu terkait desain atau eksisting geometrik, pengaturan fase dan waktu isyarat, arus lalu lintas dan lingkungan Simpang APILL. Dengan perkiraan nilai kapasitas dan kinerja, memungkinkan dilakukan perubahan desain Simpang APILL untuk memperoleh kinerja lalu lintas yang diinginkan berkaitan dengan kapasitas dan tundaannya. Cara yang paling cepat untuk menilai hasil adalah dengan melihat nilai D J untuk kondisi yang diamati, dan membandingkannya dengan kondisi lalu lintas pada masa pelayanan terkait dengan pertumbuhan lalu lintas tahunan dan umur pelayanan yang diinginkan dari Simpang APILL tersebut. Jika nilai D J yang diperoleh terlalu tinggi (misal >0,85), maka perlu dilakukan perubahan desain yang berkaitan dengan penetapan fase dan waktu isyarat, lebar pendekat dan membuat perhitungan baru. 5 Prosedur perhitungan kapasitas Prosedur perhitungan kapasitas Simpang APILL ditunjukkan dalam bentuk bagan alir pada Gambar 7. Terdapat lima langkah utama yang meliputi: Langkah A: Data masukan, Langkah B: penggunaan Isyarat, Langkah C: penentuan waktu isyarat, Langkah D: Kapasitas, dan Langkah E: Kinerja lalu lintas. Untuk desain, baik desain Simpang APILL baru maupun desain peningkatan Simpang APILL lama dan evaluasi kinerja lalu lintas Simpang APILL, prosedur tersebut secara umum sama. Perbedaannya adalah dalam penyediaan data masukan. Untuk desain, perlu ditetapkan kriteria desain (contoh, D J maksimum yang harus diperuhi, T yang lebih kecil dari nilai tertentu) dan data lalu lintas rencana. Untuk evaluasi kinerja lalu lintas Simpang APILL, perlu data geometrik, pengaturan arus lalu lintas dan data arus lalu lintas eksisting. Sasaran utama dalam mendesain Simpang APILL baru adalah menetapkan jumlah fase dan waktu isyarat yang paling efektif untuk LHRT atau q JD masing-masing lengan pendekat dengan kriteria desain tertentu. Data masukan utama pada langkah A adalah data arus lalu lintas. Berdasarkan data lalu lintas tersebut, geometrik Simpang (Tipe Simpang) awal diperkirakan dengan pertimbangan nilai ekonomis menggunakan bantuan Tabel 1. atau diagram-diagram dalam Gambar A.4. Lampiran A, Tipikal geometrik Simpang APILL sendiri dapat dilihat dari Gambar B.1. dan Gambar B.2. dalam Lampiran B. Pemilihan Tipe Simpang awal, disesuaikan dengan kriteria desain yang ingin dicapai, misalnya tundaan rata-rata tiap kendaraan (dalam satuan kendaraan ringan) berdasarkan besar D J yang telah ditetapkan sebelumnya pula. Untuk desain simpang awal, Tabel 2. maupun Gambar A.5. dan Gambar A.6. dapat digunakan sebagai penentuan tipe simpang, berdasarkan kinerja lalu lintas dengan ketentuan ukuran kota 1-3juta jiwa dan rasio arus mayor dan arus minor 1:1. Langkah selanjutnya adalah menetapkan penggunaan isyarat, berupa penentuan fase isyarat dan waktu H A serta H H (Langkah B), gunakan Gambar A.1. sebagai acuan dalam penentuan pengaturan fase simpang-3, dan Gambar A.2. atau Gambar A.3. sebagai acuan dalam penentuan pengaturan fase simpang-4. Dalam menentukan H A dan H H, diperlukan data geometrik simpang dan perilaku lalu lintas, yang perlu diperhatikan dalam penentuannya yaitu jarak dan kecepatan kendaraan yang berangkat dan kendaraan yang datang, lihat Gambar 4. sebagai ilustrasi, kemudian tentukan M semua, dan H H menggunakan persamaan 2) dan 3). Langkah selanjutnya yaitu menentukan waktu APILL (Langkah C), 23 dari 89

30 langkah ini sangat penting dalam mencari nilai kapasitas simpang yang akan digunakan dalam analisis. Langkah ini meliputi penentuan enam hal, antara lain: 1) Tipe pendekat, 2) Lebar pendekat efektif, 3) Arus jenuh, 4) faktor penyesuaian, 5) Rasio arus terhadap arus jenuh, dan 6) waktu siklus dan waktu hijau. Dalam penentuan tipe pendekat, tentukan tipe masing-masing lengan pendekat simpang, yang merupakan bagian dari pengaturan fase simpang. Tipe pendekat dapat dikategorikan terlindung (Tipe P) atau terlawan (Tipe O), gunakan Gambar 5. sebagai acuan. Tipe pendekat ini akan mempengaruhi besaran nilai ekr dan faktor penyesuaian belok dalam proses analisis. Penentuan lebar efektif dipengaruhi oleh tipe pendekat, lebar masuk pendekat, lebar keluar pendekat, dan pergerakan B KiJT yang berlaku pada suatu pendekat simpang atau tidak. Penentuan arus jenuh dasar akan ditentukan oleh lebar efektif, tipe, dan pengaturan belok kanan masing-masing pendekat atau sub-pendekat (Langkah C-2). Persamaan 7) atau Gambar B.3. digunakan untuk mendapatkan nilai S 0 untuk pendekat dengan tipe P, sedangkan Gambar B.4. dan B.5. dipergunakan untuk menentukan nilai S 0 untuk pendekat dengan tipe O. Perlu diperhatikan untuk parameter-parameter yang diluar dari besar yang tersedia dalam diagram, agar mengikuti ketentuan yang dijelaskan pada sub bab Nilai S 0 ini kemudian disesuaikan terhadap F UK (Tabel B.4. dalam Lampiran B), F HS (Tabel B.5.), F G (Gambar B.6.), F P (Gambar B.7. atau persamaan 27), F BKa (Gambar B.8. atau persamaan 28), dan F BKi (Gambar B.9. atau persamaan 29) dan dihitung dengan menggunakan persamaan 6) untuk mendapatkan nilai arus jenuh yang disesuaikan (S). Langkah selanjutnya yaitu menetapkan waktu siklus sebelum penyesuaian (c bp ), yang didapat dari persamaan 11) maupun dari Gambar B.10. Untuk keperluan praktis, Tabel B.6 dapat dijadikan acuan dalam penentuan waktu siklus yang layak terkait dengan tipe pengaturan fase. Langkah selanjutnya yaitu menghitung Kapasitas (Langkah D) dan menganalisis kinerja lalu lintas Simpang awal ini (Langkah E) ikuti prosedur perhitungan sebagaimana diuraikan dalam 5.4.dan 5.5. Jika yang diperlukan hanya perhitungan kapasitas, maka hasil hitungan kapasitas adalah luarannya (pada Gambar 7. ditandai dengan garis terputus-putus satu titik). Jika yang diperlukan adalah evaluasi kinerja Simpang, maka lakukan langkah E dan hasilnya adalah luaran langkah E (pada Gambar 7. ditandai dengan garis terputus-putus dua titik). Jika yang diperlukan adalah perencanaan, setelah langkah E maka lanjutkan dengan langkah-langkah berikutnya. Jika kriteria desain telah dipenuhi, maka ketentuan fase isyarat dan Tipe Simpang awal adalah desain Simpang yang menjadi sasaran. Jika kriteria desain belum terpenuhi, maka desain awal perlu dirubah, misalnya dengan menambah jumlah fase, memisahkan arus belok kanan, memperlebar pendekat atau memperbaiki kondisi lingkungan jalan. Hitung ulang kapasitas Simpang APILL dan kinerja lalu lintasnya untuk desain yang telah diubah ini sesuai dengan Langkah C, Langkah D dan Langkah E. Hasilnya agar dievaluasi terhadap kriteria desain yang ditetapkan. Ulangi (iterasi) langkah-langkah tersebut sampai kriteria desain tercapai. Sasaran utama untuk peningkatan Simpang yang sudah ada adalah menetapkan fase dan Tipe Simpang yang memenuhi kriteria desain Simpang yang ditetapkan, misal D J <0,85 dengan Tundaan rata-rata <18det/skr. Data masukan untuk langkah A adalah data geometrik eksisting, pengaturan arus lalu lintas di simpang, kondisi lingkungan Simpang APILL, data arus lalu lintas masing-masing pendekat, dan umur rencana peningkatan untuk menghitung q JD dari masing-masing pendekat pada akhir umur rencana. Langkah berikutnya adalah menghitung kapasitas dan kinerja lalu lintas Simpang eksisting sesuai dengan langkan D dan langkah E. Bandingkan kinerja lalu lintas eksisting dengan kriteria desain. Umumnya, kinerja lalu lintas eksisting tidak memenuhi kriteria desain yang mana hal ini menjadi alasan untuk melakukan peningkatan. Perubahan desain ini misalnya dengan menerapkan manajemen lalu lintas seperti pemberlakuan waktu hijau awal pada pendekat yang arus belok kanannya tinggi atau merubah Tipe Simpang. Untuk desain Simpang yang sudah dirubah ini, hitung ulang kapasitas dan analisis kinerja lalu lintasnya, kemudian bandingkan 24 dari 89

31 hasilnya dengan kriteria desain. Jika kriteria desain telah dipenuhi, maka Tipe Simpang peningkatan tersebut adalah desain Simpang yang menjadi sasaran. Jika kriteria desain belum terpenuhi, maka desain peningkatan perlu ditingkatkan lagi. Ulangi (iterasi) langkahlangkah tersebut sampai kriteria desain Simpang tercapai. Sasaran utama dalam melakukan evaluasi kinerja lalu lintas Simpang APILL yang telah dioperasikan adalah menghitung dan menilai D J, PA, N KH, dan T, yang menjadi dasar analisis kinerja lalu lintas Simpang. Data utamanya adalah data geometrik, pengaturan arus lalu lintas, kondisi lingkungan Simpang APILL, dan data lalu lintas eksisting. Lakukan langkah B, hingga Langkah E sesuai prosedur yang diuraikan dalam butir 5.2. hingga 5.4., kemudian buat deskripsi kinerja lalu lintas berdasarkan nilai D J, PA, N KH, dan T, yang diperoleh. Masing-masing langkah diuraikan secara rinci dalam sub-bab ini dan untuk memudahkan pelaksanaan perhitungan, disediakan Formulir kerja yang terdiri dari 5 (lihat Lampiran E), yaitu: 1) Formulir-SIS I untuk penyiapan data geometrik, pengaturan lalu lintas, dan lingkungan; 2) Formulir-SIS II untuk penyiapan data arus lalu lintas; 3) Formulir SIS-III untuk menghitung A H dan H H ; 4) Formulir SIS-IV untuk menghitung waktu isyarat (c, H, M, K) dan C; dan 5) Formulir SIS-V untuk menghitung P A, N KH, dan tundaan T. 25 dari 89

32 Gambar 7. Bagan alir perhitungan, perencanaan, dan evaluasi kapasitas Simpang APILL 26 dari 89

33 5.1 Langkah A : Menetapkan data masukan Data masukan terdiri dari data geometrik, pengaturan lalu lintas, dan kondisi lingkungan jalan (A-1), serta data lalu lintas (A-2) Langkah A.1. Data geometrik, pengaturan arus lalu lintas, dan kondisi lingkungan Simpang APILL Gunakan Formulir SIS-I, lengkapi data Simpang dengan tanggal, bulan, tahun, nama kota, nama simpang (nama ruas jalan mayor - nama ruas jalan minor), ukuran kota, periode data lalu lintas, serta nama personil yang menangani kasus ini. Buat sketsa fase APILL, meliputi pergerakan lalu lintas dari pendekat pada tiap-tiap fase, cantumkan H, Ah, c, dan H H Untuk pendekat yang melayani BKiJT, beri keterangan pada pendekat tersebut dengan menuliskan BKiJT serta arah arusnya. Buat sketsa geometrik simpang, posisi pendekat, pulau jalan (jika ada), garis henti, marka (pembagi lajur, zebra cross, penunjuk arah), lebar pendekat (m), pemberhentian kendaraan umum, akses sepanjang pendekat (jika ada), panjang lajur yang terbatas (misal pada lajur khusus belok kanan atau belok kiri), dan arah Utara. Jika desain simpang dan fase belum ada, buat sketsa desain dan fase awal. Dalam sketsa geometrik simpang, tuliskan ukuran lebar lajur pada bagian pendekat pada ruas yang diperkeras mulai dari lajur di hulu (L), pada lajur BKiJT (L BKiJT ), pada garis henti (L M ), dan pada tempat keluar tersempit setelah melewati area konflik (L K ), lebar median (jika ada) dan jenisnya (apakah ditinggikan atau direndahkan). Tuliskan data-data kondisi lingkungan, hambatan samping, kelandaian pendekat, dan jarak ke kendaraan parkir pada tiap-tiap lengan pendekat, pada tabel isian di bawah sketsa geometrik simpang. Tuliskan kode untuk setiap pendekat, kode tersebut berdasarkan arah kompas (misal U untuk pendekat arah utara, B untuk Barat, dst.). satu lengan simpang dapat memiliki lebih dari satu pendekat yang dibatasi oleh pemisah lajur, masing-masing dapat memiliki fase yang berbeda, pengkodeannya dilakukan dengan indeks (misal Utara 1 (U1), Utara 2 (U2), dst.). Hal-hal lain (jika ada yang mempengaruhi terhadap kapasitas agar dicatat. Pada kriteria lingkungan, tentukan guna lahan masing-masing pendekat (KOM=komersial; KIM=permukiman; AT=Akses terbatas). Penentuan hambatan samping ditentukan dari terganggu atau tidaknya pergerakan arus berangkat pada tempat masuk dan keluar simpang, apakah terganggu atau berkurang akibat adanya aktivitas samping jalan di sepanjang pendekat (misal aktivitas menaik-turunkan penumpang ataupun kegiatan mengetem angkutan umum, pejalan kaki, pedagang kaki lima di sepanjang atau melintas pendekat, dan kendaraan yang keluar-masuk samping pendekat). Hambatan samping dapat dikatakan rendah jika arus keberangkatan pendekat tidak terganggu oleh aktivitas-aktivitas tersebut. Cantumkan persentase kemiringan masing-masing lengan pendekat (%), tandai dengan + untuk pendekat yang menanjak ke arah simpang, dan tanda - jika menurun. Cantumkan pula jarak ke kendaraan pertama yang parkir dari garis henti pada masing-masing pendekat (jika ada) di sebelah hulu pendekat Langkah A.2. Data kondisi arus lalu lintas Formulir kerja untuk langkah A-2 adalah Formulir SIS-II. Data arus lalu lintas meliputi: 27 dari 89

34 1) Arus lalu lintas per jenis kendaraan bermotor dan tak bermotor (q KR, q KB, q SM, q KTB ) dengan distribusi gerakan LRS, BKa, dan BKi. Tuliskan data arus ini pada masingmasing pendekat (U,S,T,B) ataupun sub-pendekat (U1,U2,dst.). 2) Konversikan arus kedalam satuan skr/jam. Gunakan nilai ekr pada Tabel B.2. Lampiran B. 3) Rasio arus kendaraan belok kiri (R BKi ) dan rasio arus belok kanan (R BKa ) untuk masingmasing pendekat. 24)...25) 4) Rasio kendaraan tak bermotor (R KTB ) untuk masing-masing pendekat....26) 5.2 Langkah B : Menetapkan penggunaan isyarat Langkah B.1. Fase sinyal Pilih fase isyarat: Lihat Gambar A.1. hingga A.3. sebagai acuan dalam penentuan pengaturan fase yang digunakan. Dalam analisis untuk kepentingan perencanaan, tentukan pengaturan fase awal dimana dapat memberikan kapasitas yang paling besar (dua fase), dengan penyesuaian-penyesuaian pada langkah berikutnya sesuai dengan kriteria perencanaan yang telah ditetapkan. Untuk kepentingan evaluasi Simpang APILL eksisting, sangat memungkinkan terjadi variasi pengaturan fase eksisting yang kompleks untuk kepentingan manajemen lalu lintas simpang, oleh karenanya gambar-gambar pada Gambar A.1. hingga A.3. hanya digunakan sebagai acuan dalam perencanaan dan pengaturan fase isyarat tersebut disesuaikan dengan kondisi eksisting di lapangan. Gambarkan sketsa fase APILL yang dipilih Langkah B.2. Waktu antar hijau dan waktu hilang Hitung waktu M semua, A H per fase, dan H H. Formulir kerja untuk langkah ini adalah Formulir SIS-III. Untuk analisis operasional dan desain peningkatan, hitung A H dan H H dengan menggunakan persamaan 2) dan 3). Untuk keperluan praktis, nilai normal A H dapat menggunakan nilai seperti ditunjukkan pada Tabel B.3. dalam Lampiran B. 5.3 Langkah C : Menentukan waktu APILL Formulir yang digunakan untuk penentuan waktu APILL adalah formulir SIS-IV Langkah C.1. Tipe pendekat 1) Identifikasi setiap pendekat berdasarkan ketentuan dalam sub bab ) tentukan nomor sebagai identitas fase untuk masing-masing fase, sesuai urutan fase yang akan digunakan dalam analisis. 3) Buatlah sketsa yang menunjukkan arah arus masing-masing. 28 dari 89

35 4) Tuliskan dalam sketsa, besarnya q LRS, q BKa, dan q BKi dalam satuan skr/jam untuk masingmasing pendekat (distribusi arus lalu lintas tiap lengan pendekat). 5) Buat sketsa pergerakan arus masing-masing fase. 6) Tuliskan kode pendekat berdasarkan mata angin yang konsisten dengan yang dicantumkan pada Formulir SIS-I. Untuk pendekat yang memiliki pergerakan arus lalu lintas lebih dari satu, tuliskan kode sub-pendekatnya. 7) Beri keterangan pada kolom sebelahnya, tiap-tiap kode pendekat dan sub-pendekat hijau dalam fase ke berapa sesuai dengan ketentuan yang telah dibuat sebelumnya. 8) Tentukan tipe arus pada setiap pendekat, terlindung (P) atau terlawan (O). Gunakan Gambar 5 sebagai referensi. 9) Masukkan nilai rasio kendaraan berbelok (R BKi / R BKiJT dan R BKa ) untuk setiap pendekat berdasarkan perhitungan dalam Formulir SIS-II. 10) Untuk pendekat yang bertipe O, masukkan besar q BKa dari pendekat yang ditinjau dan q BKa dari pendekat arah yang berlawanan (skr/jam) Langkah C.2. Lebar pendekat efektif Penentuan lebar pendekat efektif berdasarkan L, L M, dan L K yang terdapat pada Formulir SIS-I, adapun ketentuan-ketentuan dalam penetapan besaran nilainya harus berdasarkan penjelasan mengenai penentuan L E dalam sub bab Masukkan nilai L E yang telah ditetapkan kedalam Formulir SIS-IV sesuai dengan arah pendekat dan fase pergerakannya Langkah C.3. Arus jenuh dasar Tentukan arus jenuh dasar (S 0 ) untuk setiap pendekat dengan ketentuan yang telah dijelaskan pada sub bab Apabila tipe pendekat P, maka gunakan persamaan 7) atau bisa juga menggunakan diagram yang ditunjukkan pada Gambar B.3. dalam Lampiran B. Sedangkan untuk pendekat tipe O, gunakan Gambar B.4. dan B.5., dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku Langkah C.4. Faktor penyesuaian Faktor penyesuaian untuk S 0 meliputi enam faktor yaitu: 1) faktor penyesuaian untuk ukuran kota (F UK ), 2) faktor penyesuaian akibat hambatan samping (F HS ), 3) faktor penyesuaian akibat kelandaian jalur pendekat (F G ), 4) faktor penyesuaian akibat gangguan kendaraan parkir pada jalur pendekat (F P ), 5) faktor penyesuaian akibat lalu lintas belok kanan khusus untuk pendekat tipe P (F BKa ), dan 6) faktor penyesuaian akibat arus lalu lintas belok kiri (F BKi ). 1) Faktor penyesuaian untuk ukuran kota Pengkategorian ukuran kota ditetapkan menjadi lima berdasarkan kriteria populasi penduduk, besaran nilai F UK ditetapkan pada Tabel B.4. 2) Faktor penyesuaian akibat hambatan samping F HS dapat ditentukan dari Tabel B.5., sebagai fungsi dari jenis lingkungan jalan, hambatan samping, dan rasio kendaraan tak bermotor. Jika hambatan samping tidak diketahui, maka anggap hambatan samping tinggi agar tidak menilai kapasitas terlalu besar. 3) Faktor penyesuaian akibat kelandaian jalur pendekat F G dapat ditentukan dari Gambar B.6. sebagai fungsi dari kelandaian (G). 29 dari 89

36 [ ( ) ] 27) 4) Faktor penyesuaian akibat gangguan kendaraan parkir pada jalur pendekat F P ditentukan dari Gambar B.7., sebagai fungsi jarak dari garis henti sampai ke kendaraan yang diparkir pertama pada lajur pendekat. Faktor ini berlaku juga untuk kasus-kasus dengan panjang lajur belok kiri terbatas. Faktor ini tidak perlu diaplikasikan jika lebar efektif ditentukan oleh lebar keluar. F P dapat dihitung dari persamaan 27, yang mencakup pengaruh panjang waktu hijau: keterangan: L P adalah jarak antara garis henti ke kendaraan yang parkir pertama pada lajur belok kiri atau panjang dari lajur belok kiri yang pendek, m L adalah lebar pendekat, m H adalah waktu hijau pada pendekat yang ditinjau (nilai normalnya 26 detik) 5) Faktor penyesuaian akibat lalu lintas belok kanan khusus untuk pendekat tipe P Faktor penyesuaian belok kanan (F BKa ) dapat ditentukan menggunakan persamaan 28), sebagai fungsi dari rasio kendaraan belok kanan R BKa. Perhitungan ini hanya berlaku untuk pendekat tipe P, tanpa median, tipe jalan dua arah; dan lebar efektif ditentukan oleh lebar masuk. atau dapat diperoleh nilainya dari Gambar B ) Catatan: Pada jalan dua arah tanpa median, kendaraan belok kanan dari arus berangkat terlindung pada pendekat tipe P, cenderung memotong garis tengah jalan sebelum melewati garis henti ketika menyelesaikan belokannya. Hal ini menyebabkan peningkatan rasio belok kanan yang tinggi pada arus jenuh. 6) Faktor penyesuaian akibat arus lalu lintas belok kiri Faktor penyesuaian belok kiri (F BKi ) ditentukan sebagai fungsi dari rasio belok kiri R Bki. Perhitungan ini berlaku untuk pendekat tipe P tanpa B KiJT, lebar efektif ditentukan oleh lebar masuk dan dapat dihitung menggunakan persamaan 29). atau dapat diperoleh dari Gambar B.9..29) Catatan: Pada pendekat terlindung yang tidak diijinkan BKiJT, kendaraan-kendaraan belok kiri cenderung melambat dan mengurangi arus jenuh pada pendekat tersebut. Karena arus berangkat dalam pendekat-pendekat terlawan (tipe O) pada umumnya lebih lambat, maka tidak diperlukan penyesuaian untuk pengaruh rasio belok kiri. 7) Arus jenuh yang telah disesuaikan 30 dari 89

37 Setelah mendapatkan nilai S 0 dan menetapkan besaran faktor-faktor penyesuaian, tentukan S dengan menggunakan persamaan 6) Langkah C.5. Rasio arus per arus jenuh (R Q/S ) Tetapkan arus lalu Iintas masing-masing pendekat (Q) berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan pada sub bab Hitung Rasio Arus (Q) terhadap arus jenuh (R Q/S ) untuk masing masing pendekat menggunakan persamaan 10). Tandai Rasio arus tertinggi dengan tanda kritis (R Q/Skritis ) dari masing-masing fase. Hitung rasio arus simpang (R AS ) sebagai jumlah dari nilai-nilai R Q/S Kritis. 30) Hitung Rasio Fase (R F ) masing-masing fase sebagai rasio antara R Q/S Kritis dan R AS..31) Langkah C.6. Waktu siklus dan waktu hijau Hitung waktu siklus sebelum penyesuaian (c bs ) menggunakan persamaan 11) atau gunakan Gambar B.10. dalam Lampiran B. Jika alternatif rencana fase isyarat dievaluasi, maka yang menghasilkan nilai terendah dari (R AS +H H /c) adalah yang paling efisien. Tabel B.6. dalam Lampiran B memberikan waktu siklus yang disarankan untuk keadaan yang berbeda. Nilai-nilai yang rendah dalam Tabel B.6. dipakai untuk simpang dengan lebar jalur pendekat <10m dan nilai yang tinggi dipakai untuk pendekat yang lebih lebar. Waktu siklus yang lebih rendah dari nilai di atas, cenderung menyebabkan kesulitan bagi para pejalan kaki untuk menyeberang jalan. Waktu siklus yang melebihi 130 detik harus dihindari, kecuali pada kasus sangat khusus (simpang sangat besar), karena hal ini sering menyebabkan menurunnya kapasitas keseluruhan simpang. Jika perhitungan menghasilkan waktu siklus yang jauh lebih tinggi dari batas yang disarankan, maka hal ini menandakan bahwa kapasitas dari geometrik simpang tersebut tidak mencukupi. Persoalan ini dapat diselesaikan dengan melakukan perubahan, baik geometrik maupun pengaturan fasenya (lihat langkah E). Langkah berikutnya yaitu menghitung H tiap-tiap fase dengan menggunakan persamaan 12). Masukkan nilai c dan H kedalam Formulir SIS-IV sebagai parameter-parameter dasar penentuan nilai kapasitas (C) bersama dengan nilai S. 5.4 Langkah D : Kapasitas Langkah D meliputi penentuan kapasitas masing-masing pendekat dan pembahasan mengenai perubahan-perubahan yang harus dilakukan jika kapasitas tidak mencukupi. Formulir kerja untuk langkah D adalah Formulir SIS-IV. 31 dari 89

38 5.4.1 Langkah D.1. Kapasitas dan derajat kejenuhan Kapasitas masing-masing pendekat (C) dapat dihitung menggunakan persamaan 13) dan Derajat kejenuhan (D J ) masing-masing pendekat dihitung menggunakan persamaan 14). Jika penentuan waktu isyarat sudah dikerjakan secara benar, D J akan hampir sama untuk semua pendekat-pendekat kritis Langkah D.2. Keperluan perubahan geometrik Jika waktu siklus yang dihitung pada langkah C.6 lebih besar dari batas atas yang disarankan, D J umumnya juga lebih tinggi dari 0,85. Ini berarti bahwa arus lalu lintas pada simpang tersebut mendekati arus jenuhnya dan akan menyebabkan antrian panjang pada kondisi lalu lintas puncak. Kondisi ini memerlukan penambahan kapasitas simpang melalui salah satu perubahan simpang. Ada tiga perubahan simpang yang dapat dipertimbangkan berikut ini. 1) Penambahan lebar pendekat Menambah lebar pendekat, pengaruh terbaik dari tindakan ini akan diperoleh jika pelebaran dilakukan pada pendekat-pendekat dengan nilai rasio fase yang kritis (R Fkritis ). 2) Perubahan fase isyarat Jika pendekat dengan arus berangkat terlawan (tipe O) dan rasio belok kanan (R BKa ) tinggi dengan menunjukan nilai R Fkritis yang tinggi (R F >0,8), maka dapat dibuat satu fase tambahan terpisah untuk lalu lintas belok kanan. Penerapan fase terpisah untuk lalu lintas belok kanan ini dapat juga dilakukan dengan pelebaran jalur pendekat. 3) Pelarangan gerakan belok kanan Pelarangan bagi satu atau lebih gerakan belok kanan biasanya menaikkan kapasitas, terutama jika hal itu menyebabkan pengurangan jumlah fase yang diperlukan. Walaupun demikian perancangan manajemen lalu lintas yang tepat, perlu untuk memastikan agar perjalanan arus belok kanan yang akan dilarang tersebut dapat diselesaikan tanpa jalan pengalih yang terlalu panjang dan tidak mengganggu simpang yang berdekatan. 5.5 Langkah E : Tingkat kinerja lalu lintas Langkah E meliputi penentuan tingkat kinerja lalu lintas pada simpang APILL dengan mengevaluasi panjang antrian, jumlah kendaraan terhenti, dan tundaan. Formulir kerja untuk langkah E adalah Formulir SIS-V Langkah E.1. Persiapan Untuk langkah persiapan penentuan tingkat kinerja lalu lintas, periksa hal-hal sebagai berikut: 1) Kode pendekat; 2) Q untuk masing-masing pendekat (skr/jam); 3) C untuk masing-masing pendekat (skr/jam); 4) D J untuk masing-masing pendekat; 5) R H untuk masing-masing pendekat; 6) Q total dari seluruh gerakan B KiJT yang diperoleh dari jumlah seluruh gerakan B KiJT (skr/jam); 7) Beda antara arus masuk dan keluar pendekat (Qadj) yang lebar keluarnya menentukan lebar efektif. 32 dari 89

39 5.5.2 Langkah E.2. Panjang antrian, PA Dengan data yang telah dipersiapkan, hitung panjang antrian mengikuti prosedur pada subbab tentang kinerja lalu lintas pada bagian panjang antrian. Hitungan meliputi: 1) Jumlah kendaraan tersisa dari fase hijau sebelumnya. N Q1 dapat dihitung menggunakan persamaan 16 atau menggunakan Gambar B.11. dalam Lampiran B. 2) Jumlah kendaraan yang antri (skr) selama fase merah. N Q2 dapat dihitung menggunakan persamaan 17) atau menggunakan Gambar B.12., untuk nilai c = 80detik untuk R H = 0,7, dan c = 100detik untuk R H =0,8. 3) Jumlahkan N Q1 dan N Q2 untuk mendapatkan N Q (persamaan 15). Lakukan koreksi untuk mengevaluasi pembebanan yang lebih dari N Q. Jika diinginkan peluang untuk terjadinya pembebanan sebesar P OL (%), maka tetapkan nilai N QMAX menggunakan Gambar 8. Untuk desain dan perencanaan disarankan P OL 5%. Untuk analisis operasional, nilai P OL = 5% s.d. 10% masih dapat diterima. Gambar 8. Jumlah antrian maksimum (N QMAX ), skr, sesuai dengan peluang untuk beban lebih (P OL ) dan N Q Langkah E.3. Jumlah kendaraan terhenti Hitung rasio kendaraan terhenti (R KH ) untuk masing-masing pendekat menggunakan persamaan 19) atau gunakan Gambar B.13. untuk mendapatkannya. Rasio tersebut sebagai fungsi dari N Q dibagi dengan waktu siklus c, dan rasio waktu hijau (R H ). Jumlah kendaraan henti (N H ) dalam satuan skr, dihitung menggunakan persamaan 20). Rasio rata-rata kendaraan berhenti untuk seluruh simpang atau angka henti seluruh simpang (R KH Total), dihitung menggunakan persamaan ) 33 dari 89

40 5.5.4 Langkah E.4. Tundaan 1) Hitung tundaan lalu lintas rata-rata setiap pendekat (T L ) akibat pengaruh timbal balik antara gerakan-gerakan lainnya pada simpang menggunakan persamaan 22). 2) Hitung tundaan geometrik rata-rata masing-masing pendekat (T G ) akibat perlambatan dan percepatan ketika menunggu giliran pada simpang dan/atau ketika dihentikan oleh lampu merah. Gunakan persamaan 23. 3) Hitung tundaan geometrik untuk gerakan lalu lintas yang B KiJT 4) Hitung tundaan rata-rata akibat lalu lintas dan geometrik (det/skr) 5) Hitung tundaan total dengan mengalikan tundaan rata-rata dengan arus lalu lintas (detik) 6) Hitung tundaan rata-rata untuk seluruh simpang (T I ) dengan membagi jumlah nilai tundaan dengan arus total (Q Total ) dalam skr/jam seperti persamaan 33)...33) Tundaan rata-rata dapat digunakan sebagai indikator tingkat pelayanan dari masing-masing pendekat, demikian juga dari suatu simpang secara keseluruhan. 34 dari 89

41 Lampiran A (normatif): Diagram-diagram dan tabel-tabel ketentuan umum Gambar A. 1. Tipikal pengaturan fase APILL pada simpang-3 35 dari 89

42 Gambar A. 2. TIpikal pengaturan fase APILL simpang-4 dengan 2 dan 3 fase, khususnya pemisahan pergerakan belok kanan (4A, 4B, 4C) Gambar A. 3. Tipikal pengaturan fase APILL simpang-4 dengan 4 fase 36 dari 89

43 Gambar A. 4. panduan pemilihan tipe simpang yang paling ekonomis, berlaku untuk ukuran kota 1-3juta jiwa, q BKi dan q BKa masing-masing 10% 37 dari 89

44 Gambar A. 5. Kinerja lalu lintas pada simpang-4 38 dari 89

45 Gambar A. 6. Kinerja lalu lintas pada simpang-3 39 dari 89

46 Gambar A. 7. Penempatan zebra cross Tabel A. 1. Angka kecelakaan lalu lintas (laka) pada Jenis dan tipe Simpang tertentu sebagai pertimbangan keselamatan dalam pemilihan tipe Simpang No. Tipe/Jenis Persimpangan Keterangan 1 Angka laka pada Simpang 0,60 laka/10 6 kend. Angka laka pada Simpang APILL 0,43 laka/10 6 kend. Angka laka pada Bundaran 0,30 laka/10 6 kend. 2 Angka laka pada Simpang-3 T dibandingkan dengan 40% lebih rendah Simpang-4 3 Laka pada Simpang Y dibandingkan dengan 15-50% lebih tinggi Simpang-3 T 4 Laka pada median pada jalan mayor berkurang sedikit 5 Tingkat laka pada pengaturan mendahulukan lebih rendah dari 60% kendaraan dari arah lain (Yield) dibandingkan dengan memprioritas-kan dari kiri 6 Tingkat laka pada pengaturan dengan tanda Stop lebih rendah dari 40% diban-dingkan dengan tanda Yield 7 Tingkat laka Simpang APILL dibandingkan Simpang lebih rendahdari 20-50% Tabel A. 2. Detail Teknis yang harus menjadi pertimbangan dalam desain teknis rinci No Detail teknis 1 Area konflik simpang yang kecil 2 Simpang berbentuk simetris, artinya jarak dari garis henti terhadap titik perpotongan untuk gerakan lalu lintas yang berlawanan adalah simetris 3 Lajur bersama untuk lalu lintas lurus dan membelok digunakan sebanyak mungkin dibandingkan dengan lajur terpisah untuk lalu lintas membelok saja. 40 dari 89

47 4 Lajur terdekat dengan kereb sebaiknya dibuat lebih lebar dari lebar lajur baku menurut persyaratan teknis jalan, hal ini diperlukan untuk lalu lintas kendaraan tak bermotor. 5 Pada simpang tipe jalan Sedang atau jalan Kecil, median harus digunakan bila lebar jalur jalan per arah lebih dari 10m. Median dapat hanya sepanjang antrian yang paling panjang terjadi. Hal ini mempermudah pejalan kaki menyeberang dengan memperpendek jarak penyeberangan. Median juga digunakan untuk penempatan tiang APILL kedua (yang pertama di ujung kiri pendekat dan yang kedua pada median). 6 Pada pengaturan dua fase atau fase yang mengizinkan arus membelok bersamaan dengan ijin jalan bagi pejalan kaki, marka penyeberangan pejalan kaki (zebra cross) sebaiknya ditempatkan 3-4m mundur dari garis lurus perkerasan (Gambar A.7.) untuk mempermudah kendaraan yang membelok berhenti menunggu untuk mempersilahkan pejalan kaki menyeberang, dan tidak menghalangi kendaraan-kendaraan yang bergerak lurus. 7 Pada pengaturan fase yang tidak menimbulkan konflik antara arus belok kiri dengan pejalan kaki, sebaiknya marka zebra cross ditempatkan pada garis lurus perkerasan sehingga lintasan kendaraan melalui simpang mulai dari garis henti menjadi lebih pendek, memungkinkan arus menyelesaikan lintasan di simpang dengan lebih cepat. 8 Perhentian bus sebaiknya ditempatkan setelah simpang, yaitu pada jalur keluar dan bukan pada pendekat arus masuk, dan tidak menjadi penghalang arus keluar simpang. 9 Pada arus dengan komposisi sepeda motor yang tinggi (>50%), untuk menampung SM yang terhenti dan berakumulasi selama waktu isyarat merah, garis henti ditempatkan mundur sampai dengan 20m untuk penempatan Ruang Henti Khusus (RHK) bagi SM. RHK dapat mengurangi konflik antara kendaraan roda 4 atau lebih dengan SM. Pembuatan RHK agar mengacu pada pedoman yang berlaku. 41 dari 89

48 Lampiran B (normatif): Diagram-diagram dan tabel-tabel ketentuan teknis Gambar B. 1. Tipikal geometrik simpang-4 42 dari 89

49 S 0, skr/jam-hijau Gambar B. 2. Tipikal geometrik simpang L E, m Gambar B. 3. Arus jenuh dasar untuk pendekat terlindung (tipe P) 43 dari 89

50 Gambar B. 4. Arus jenuh untuk pendekat tak terlindung (tipe O) tanpa lajur belok kanan terpisah 44 dari 89

51 Gambar B. 5. Arus jenuh untuk pendekat tak terlindung (tipe O) yang dilengkapi lajur belok kanan terpisah 45 dari 89

52 Gambar B. 6. Faktor penyesuaian untuk kelandaian (F G ) Gambar B. 7. Faktor penyesuaian untuk pengaruh parkir (F P ) 46 dari 89

53 Gambar B. 8. Faktor penyesuaian untuk belok kanan (F BKa ), pada pendekat tipe P dengan jalan dua arah, dan lebar efektif ditentukan oleh lebar masuk Gambar B. 9. Faktor penyesuaian untuk pengaruh belok kiri (F BKi ) untuk pendekat tipe P, tanpa B KiJT, dan L e ditentukan oleh L M 47 dari 89

54 Gambar B. 10. Penetapan waktu siklus sebelum penyesuaian, c bp Gambar B. 11. Jumlah kendaraan tersisa (skr) dari sisa fase sebelumnya 48 dari 89

55 Gambar B. 12. Jumlah kendaraan yang datang kemudian antri pada fase merah 49 dari 89

56 Gambar B. 13. Penentuan rasio kendaraan terhenti, R KH Tipe simpang L L L 445L 455L L Tabel B. 1. Tipikal geometrik dan pengaturan jenis fase Pendekat jalan mayor Pendekat jalan minor Jenis fase median BKiJT jumlah median BKiJT BKi / BKa (%) lajur 10/10 25/25 1 Tanpa Tanpa 1 Tanpa Tanpa Ada Tanpa 1 Tanpa Tanpa Ada Tanpa 2 Ada Tanpa Ada Ada 2 Ada Ada Ada Tanpa 2 Ada Tanpa 43A 43C 3 Ada Tanpa 3 Ada Tanpa 44C 44B 3 Ada Ada 3 Ada Ada 44A 44B 4 Ada Tanpa 3 Ada Tanpa 44C 44B 4 Ada Tanpa 4 Ada Tanpa 44C 44B 4 Ada Ada 4 Ada Ada 44C 44B 5 Ada Ada 4 Ada Ada 44C 44B 5 Ada Ada 5 Ada Ada 44C 44B jumlah lajur Tanpa Ada Ada Ada Ada Ada Tanpa Tanpa Tanpa Ada Tanpa Ada Tanpa Tanpa Ada Ada Ada Ada Tanpa Tanpa Tanpa Ada Tanpa Ada Catatan:Lihat Gambar A.1.-A.3. dalam Lampiran A untuk kode pengaturan Jenis fase dari 89

57 Tabel B. 2. Ekivalen Kendaraan Ringan Jenis ekr untuk tipe pendekat kendaraan Terlindung Terlawan KR 1,00 1,00 KB 1,30 1,30 SM 0,15 0,40 Tabel B. 3. Nilai normal waktu antar hijau Ukuran simpang Lebar jalan rata-rata Nilai normal A H (detik/fase) (m) Kecil 6-<10 4 Sedang 10-<15 5 Besar 15 6 Tabel B. 4. Faktor penyesuaian ukuran kota (F UK ) Jumlah penduduk kota (Juta jiwa) Faktor penyesuaian ukuran kota (F UK ) >3,0 1,05 1,0-3,0 1,00 0,5 1,0 0,94 0,1 0,5 0,83 <0,1 0,82 Tabel B. 5. Faktor penyesuaian untuk tipe lingkungan simpang, hambatan samping, dan kendaraan tak bermotor (F HS ) Lingkungan Hambatan Tipe fase Rasio kendaraan tak bermotor jalan samping 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 Komersial Tinggi Terlawan 0,93 0,88 0,84 0,79 0,74 0,70 (KOM) Terlindung 0,93 0,91 0,88 0,87 0,85 0,81 Sedang Terlawan 0,94 0,89 0,85 0,80 0,75 0,71 Terlindung 0,94 0,92 0,89 0,88 0,86 0,82 Rendah Terlawan 0,95 0,90 0,86 0,81 0,76 0,72 Terlindung 0,95 0,93 0,90 0,89 0,87 0,83 Permukiman (KIM) Akses terbatas Tinggi Terlawan 0,96 0,91 0,86 0,81 0,78 0,72 Terlindung 0,96 0,94 0,92 0,99 0,86 0,84 Sedang Terlawan 0,97 0,92 0,87 0,82 0,79 0,73 Terlindung 0,97 0,95 0,93 0,90 0,87 0,85 Rendah Terlawan 0,98 0,93 0,88 0,83 0,80 0,74 Terlindung 0,98 0,96 0,94 0,91 0,88 0,86 Tinggi/ Terlawan 1,00 0,95 0,90 0,85 0,80 0,75 Sedang/ Rendah Terlindung 1,00 0,98 0,95 0,93 0,90 0,88 51 dari 89

58 Tabel B. 6. Waktu siklus yang layak Tipe pengaturan Waktu siklus yang layak (detik) Pengaturan dua-fase Pengaturan tiga-fase Pengaturan empat-fase dari 89

59 Lampiran C (informatif): Contoh-contoh perhitungan kapasitas Contoh 1: Pengaturan fase dan penilaian kinerja APILL yang ada di jalan Iskandarsyah jalan Wijaya (Jakarta), bekerja dengan pengaturan empat fase dan hijau awal pada pendekat Barat. Simpang: JI. Iskandarsyah - JI. Wijaya, Jakarta Tugas: a) Hitung waktu isyarat, derajat kejenuhan, panjang antrian, dan tundaan denganpengaturan empat fase (dengan hijau awal pada pendekat Barat) b) Hitung waktu isyarat, derajat kejenuhan, panjang antrian, dan tundaan dengan pengaturan tiga fase Data: Geometrik, pengaturan lalu lintas dan lingkungan, waktu kuning, serta waktu merah, semua lihat Formulir SIS-1, Formulir SIS-II, dan Formulir SIS-III. Hasil: Hasil perhitungan ditunjukkan pada Formulir SIS-IV dan Formulir SIS-V dan ditabelkan parameter kinerjanya dalam Tabel 11. Catatan: Pada Formulir SIS-II, ditunjukkan arus lalu lintas untuk semua jurusandalam skr/jam.gerakan BKiJTdari pendekat Timur diberangkatkantanpa meng-ganggu gerakan LRS dan BKa sehingga BKiJT tersebut tidak disertakan dalam perhitungan c, C, D J, dan P A, kecuali dalam perhitungan T dan N H. Hasil perhitungan kinerja untuk pengaturan empat fase dengan hijau awal pada pendekat barat dan perhitungan tiga fase, (lihat Formulir SIS-IV dan SIS-V pada halaman-halaman berikut), ditunjukkan dalam Tabel 4. Tabel 4. Tabel kinerja simpang Jalan Iskandarsyah Jalan Wijaya Parameter kinerja 4 fase 3 fase R AS c, detik H U, detik H S, detik H T, detik H B, detik D J P A-maksimum, m N KH, henti/skr T rata-rata, detik 0, , (pendekat timur) 0,78 44,1 0, (HT-TB) - 0,84 93 (pendekat selatan) 0,79 34,1 Pengaturan pada tiga fase menunjukkan nilai kinerja yang lebih baik, sekalipun nilai rata-rata kendaraan terhenti pada 3 fase lebih besar sedikit dari 4 fase. 53 dari 89

60 54 dari 89

61 55 dari 89

62 56 dari 89

63 57 dari 89

64 58 dari 89

65 59 dari 89

66 60 dari 89

67 Contoh 2: Pengaturan dua dan empat fase Simpang APILL di Jalan Martadinata Jalan Ahmad Yani, Bandung. Bekerja dengan pengaturan dua fase, waktu tetap, terisolir. Pertanyaan: a) Hitung c, D J, P A, dan T untuk pengaturan dua fase b) Hitung c, D J, P A, dan T untuk pengaturan dua fase, tidak termasuk fase belok kanan c) Diskusikan pengaruh pengaturan dua fase dan pengaturan empat fase Data masukan: a) Data geometrik, pengendalian lalu lintas, dan lingkungan dalam Formulir SIS-I; b) Data arus lalu lintas dalam Formulir SIS-II; dan c) Data K dan M semua dalam Formulir SIS-III. Hasil perhitungan: a) C, D J, ditunjukkan dalam Formulir SIS-IV b) PA dan T ditunjukkan dalam Formulir SIS-V c) Hasil perhitungan ditabelkan dalam Tabel 5 Pembahasan: Karena gerakan B KiJT dapat diberangkatkan tanpa mengganggu gerakan LRS dan BKa, dengan demikian B KiJT tidak disertakan dalam perhitungan penentuan c, C, D J dan PA, tetapi dalam perhitungan T dan N KH disertakan. Tabel 5. Tabel kinerja simpang Jalan Martadinata Jalan A. Yani Parameter kinerja 4 fase 3 fase R AS c, detik H U, detik H S, detik H T, detik H B, detik D J P A-maksimum, m N KH, henti/skr T rata-rata, detik 0,634 < 0,75 50 < < < 32 0, ,4 >17,2 0, , ,4 Perubahan dari pengaturan dua fase menjadi pengaturan empat fase sangat menurunkan kinerja lalu lintas simpang, tetapi sangat mengurangi jumlah titik konflik sehingga cenderung akan mengurangi kejadian kecelakaaan. 61 dari 89

68 62 dari 89

69 63 dari 89

70 64 dari 89

71 65 dari 89

72 66 dari 89

73 67 dari 89

74 68 dari 89

75 69 dari 89

76 70 dari 89

77 71 dari 89

78 Contoh 3: Desain simpang jalan baru Di bagian utara kota Medan (populasi > 1juta jiwa) akan dikembangkan suatu kawasan permukiman baru yang akan dihubungkan oleh jalan Baru ke jalan Sudirman. Buat desain simpang antara jalan-jalan tersebut dengan pertimbangan ruang yang tersedia terbatas oleh bangunan-bangunan di sisi jalan yang sukar dibebaskan. Soal: a) Tentukan tipe simpang mengikuti panduan yang diuraikan di muka dan perkirakan kinerja lalu lintasnya pada tahun ke-10 dengan anggapan bahwa pertumbuhan laluiintas tahunan sebesar 6,5% b) Buat desain simpang sementara berikut fase yang didapatkan dari analisis a c) Hitung c, D J,P A, dan T dengan pengaturan dua-fase dari rencana b Formulir SIS-1 terlampir memuat data geometrik, pengendalian lalu lintas, dan lingkungan; Formulir SIS-II memuat data arus lalu lintas tahun ke-1; LHRT simpang adalah: Jalan Baru: Jalan Sudirman: Penyelesaian soal a: LHRT pendekat Utara = kend./hari LHRT pendekat Selatan = kend./hari LHRT pendekat Timur = kend/hari LHRT pendekat Barat = kend/hari Arus lalu Iintas dalam LHRT diubah menjadi arus jam desain (q JD ) dengan faktor-k berdasarkan nilai normalnya sebesar 8,5%. q JD,U = x 0,085 = 640 kend./jam q JD,S = x 0,085 = 550 kend./jam q JD,T = x 0,085 = 980 kend./jam q JD,B = x 0,085 = 810 kend./jam Arus lalu lintas jalan mayor (T-B) = q ma = q JD,T + q JD,B = = kend./jam Arus lalu lintas jalan minor (U-S) = q mi = q JD,U + q JD,S = = kend./jam Jumlah total arus mayor dan arus minor = q JD = kend./jam Rasio belok Bki / Bka. = 15/15 Rasio arus mayor terhadap arus minor (R mami ) = 1.790/1.190 = 1,50 Berdasarkan kajian Biaya Siklus Hidup (BSH) untuk jenis-jenis simpang (lihat Gambar 9), jenis simpang yang paling ekonomis untuk memenuhi arus simpang sebesar kend./jam adalah bundaran, karena nilai BSH-nya paling kecil (sekitar Rp.0,05juta/kend.). Tetapi, dalam kasus ini, bundaran tidak dipilih karena dua sebab: 1) ruang simpang terbatas. Sebagai gantinya dipilih simpang APILL. Tabel 1 digunakan untuk memilih tipe simpang berdasarkan pertimbangan ekonomis. 72 dari 89

79 Gambar 9. Biaya Siklus Hidup per Arus Simpang total untuk jenis Simpang tak bersinyal, Simpang bersinyal (simpang APILL), Bundaran, dan Simpang Susun Untuk ukuran kota 1-3 juta, R mami 1,5/1, dan R BKi /R BKa 10/10, simpang tipe 422L adalah tipe simpang yang memadai untuk arus tahun-1 sebesar kend./jam. Kondisi ini diperkirakan juga memadai untuk R BKi dan R BKa sebesar 15/15. q JD tahun ke-5 adalah: (1,065) 5 x = kend./jam q ma tahun ke-5 adalah: x {1,5/(1+1,5)} = kend./jam Dari Gambar 13, untuk q ma =2.447 kend./jam, ukuran kota 1-3juta jiwa, R mami sebesar 1,5/1 dan R BKa /R BKi sebesar 10/10 memberikan tundaan sekitar 15 det/skr. Untuk rasio belok 25/25, grafik lainnya pada gambar yang sama menunjukkan tundaan sedikit dibawah 15 det/skr. Penyelesaian soal b dan c: Hasil perhitungan terlihat dalam Formulir SIS-IV dan Formulir SIS-V. Catatan: Formulir SIS-II menunjukkan arus lalu lintas dalam skr/jam untuk semua jurusan, dengan menggunakan nilai normal faktor LHRT dan komposisi lalu lintas. Formulir SIS-IV menunjukkan Rasio Arus Simpang (R AS ) adalah 0,361; c adalah 33 detik. D J simpang adalah 0,569. Formulir SIS-V menunjukkan panjang antrian. 73 dari 89

80 74 dari 89

81 75 dari 89

82 76 dari 89

83 77 dari 89

84 78 dari 89

85 Lampiran D (informatif): Formulir perhitungan kapasitas Simpang APILL 79 dari 89

86 80 dari 89

87 81 dari 89

88 82 dari 89

89 83 dari 89

90 Lampiran F (informatif): Tipikal kendaraan berdasarkan klasifikasi jenis kendaraan 84 dari 89

91 SM Matic KR Sedan Vespa Jeep Yamaha Kombi Honda Supra Angkot Tiger Minibus Kendaraan bermotor roda 3 Minibox Pickup 85 dari 89

92 KS Bus Kecil KB Truk 3 Sumbu Bus Truk Gandengan Truk 2 Sumbu Truk Tempelan Truk Kecil Truk Box Mikrobus 86 dari 89

93 KTB Sepeda Beca Dokar Andong 87 dari 89

BAB III LANDASAN TEORI. pada Gambar 3.1 di bawah ini. Terdapat lima langkah utama yang meliputi:

BAB III LANDASAN TEORI. pada Gambar 3.1 di bawah ini. Terdapat lima langkah utama yang meliputi: BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Prosedur Perhitungan Kapasitas Menurut PKJI (2014) tentang Kapasitas Simpang bersinyal, prosedur perhitungan dan analisa suatu Simpang APILL dapat diurutkan seperti bagan alir

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. 3.1 Tipikal Simpang Bersinyal dan Sistem Pengaturan

BAB III LANDASAN TEORI. 3.1 Tipikal Simpang Bersinyal dan Sistem Pengaturan BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Tipikal Simpang Bersinyal dan Sistem Pengaturan Persimpangan merupakan pertemuan dua atau lebih jalan yang sebidang (Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia 014). Pertemuan jalan dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memancar meninggalkan persimpangan (Hobbs F. D., 1995).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memancar meninggalkan persimpangan (Hobbs F. D., 1995). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persimpangan Persimpangan adalah simpul transportasi yang terbentuk dari beberapa pendekat dimana arus kendaraan dari beberapa pendekat tersebut bertemu dan memancar meninggalkan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. jalan 8/2T, atau kombinasi dari tipe-tipe jalan tersebut (PKJI, 2014) Tabel 3.1 Kode Tipe Simpang. Jumlah lengan simpang

BAB III LANDASAN TEORI. jalan 8/2T, atau kombinasi dari tipe-tipe jalan tersebut (PKJI, 2014) Tabel 3.1 Kode Tipe Simpang. Jumlah lengan simpang BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Tipikal Simpang APILL Persimpangan, harus merupakan pertemuan dua atau lebih jalan yang sebidang. Pertemuan dapat berupa simpang-3 atau simpang-4 dan dapat merupakan pertemuan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Tipikal Simpang

BAB III LANDASAN TEORI. A. Tipikal Simpang BAB III LANDASAN TEORI A. Tipikal Simpang Simpang merupakan pertemuan dua atau lebih jalan yang sebidang. Pertemuan bisa berupa simpang-3 maupun simpang-4 dan dapat berupa pertemuan antara tipe jalan 2/2TT,

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Teori Analisis Simpang

BAB III LANDASAN TEORI. A. Teori Analisis Simpang BAB III LANDASAN TEORI A. Teori Analisis Simpang Menurut PKJI (2014) untuk kerja simpang dibedakan atas simpang bersinyal dan simpang tak bersinyal. indikator untuk kerja simpang bersinyal antara lain

Lebih terperinci

b. Untuk pendekat dengan belok kiri langsung (LBKiJT)

b. Untuk pendekat dengan belok kiri langsung (LBKiJT) BAB III LANDASAN TEORI A. Analisis Data Untuk analisis kinerja simpang bersinyal Tamansiswa, Yogyakarta menggunakan Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia (2014). Kondisi lingkungan jalan ini antara lain menggambarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persyaratan Teknis Jalan Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (2011), persyaratan teknis jalan adalah ketentuan teknis yang harus dipenuhi oleh suatu ruas jalan agar jalan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jalan. Ketika berkendara di dalam kota, orang dapat melihat bahwa kebanyakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jalan. Ketika berkendara di dalam kota, orang dapat melihat bahwa kebanyakan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Simpang Persimpangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari semua sistem jalan. Ketika berkendara di dalam kota, orang dapat melihat bahwa kebanyakan jalan di daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Transportasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Transportasi BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Transportasi Transportasi adalah suatu proses pemindahan orang dan/atau barang dari suatu tempat asal menuju tempat tujuan yang dipisahkan oleh jarak geografis (Departemen Perhubungan,

Lebih terperinci

di kota. Persimpangan ini memiliki ketinggian atau elevasi yang sama.

di kota. Persimpangan ini memiliki ketinggian atau elevasi yang sama. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Persimpangan jalan adalah simpul transportasi yang terbentuk dari beberapa pendekat, dimana arus kendaraan dari berbagai pendekat bertemu dan memencar meninggalkan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. lebar lajur pendekat pada bagian pendekat yang tersempit atau paling tidak 10m

BAB III LANDASAN TEORI. lebar lajur pendekat pada bagian pendekat yang tersempit atau paling tidak 10m BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Kondisi Simpang 3.1.1. Kondisi geometrik Kondisi geometrik digambarkan dalam bentuk gambar sketsa yang memberikan informasi tanda kereb, lebar jalur pendekat, bahu dan median.

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. hal-hal yang mempengaruhi kriteria kinerja lalu lintas pada suatu kondisi jalan

BAB III LANDASAN TEORI. hal-hal yang mempengaruhi kriteria kinerja lalu lintas pada suatu kondisi jalan BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Kinerja Lalu Lintas Jalan Menurut PKJI 2014 derajat kejenuhan atau kecepatan tempuh merupakan hal-hal yang mempengaruhi kriteria kinerja lalu lintas pada suatu kondisi jalan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Analisis Kondisi Simpang PKJI (2014) Proses analisis data, dari hasil saat pengamatan dilapangan yang dapat dikumpulkan sebagai proses pengolahan data, selajutnya akan dilakukan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Proses Analisis Data Menurut pedoman kapasitas jalan Indonesia, PKJI (2014), proses analisa data sebagai berikut : Perhitungan Lebar Efektif Penentuan lebar pendekat efektif (LE)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kendaraan satu dengan kendaraan lainnya ataupun dengan pejalan kaki.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kendaraan satu dengan kendaraan lainnya ataupun dengan pejalan kaki. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Persimpangan Jalan Menurut Hobbs (1995), persimpangan jalan adalah simpul transportasi yang terbentuk dari beberapa pendekat, dimana arus kendaraan dari berbagai pendekat bertemu

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Proses Analisis Data Pada saat survei dilakukan pengumpulan data dan selanjutnya akan dilakukan proses perhitungan dengan menggunakan Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia (PKJI 2014).

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Proses Analisis Data Pada proses pengumpulan data dilakukan melalui proses analisis pengambilan data di lapangan dengan menggunakan analisis hitungan menurut Pedoman Kapasitas

Lebih terperinci

KAPASITAS JALAN LUAR KOTA

KAPASITAS JALAN LUAR KOTA KAPASITAS JALAN LUAR KOTA DAFTAR ISI DAFTAR ISI... i PRAKATA... v PENDAHULUAN... v 1. Ruang Lingkup... 1 2. Acuan normatif... 1 3. Istilah dan definisi... 1 4. Ketentuan... 8 4.1 Ketentuan umum... 8 4.1.1

Lebih terperinci

DAFTAR ISTILAH KARAKTERISTIK LALU LINTAS. Arus Lalu Lintas. UNSUR LALU LINTAS Benda atau pejalan kaki sebagai bagian dari lalu lintas.

DAFTAR ISTILAH KARAKTERISTIK LALU LINTAS. Arus Lalu Lintas. UNSUR LALU LINTAS Benda atau pejalan kaki sebagai bagian dari lalu lintas. 283 KARAKTERISTIK LALU LINTAS Arus Lalu Lintas DAFTAR ISTILAH UNSUR LALU LINTAS Benda atau pejalan kaki sebagai bagian dari lalu lintas. Kend KENDARAAN Unsur lalu lintas diatas roda LV HV KENDARAAN RINGAN

Lebih terperinci

KONDISI DAN KARAKTERISTIK LALU LINTAS

KONDISI DAN KARAKTERISTIK LALU LINTAS DAFTAR ISTILAH KONDISI DAN KARAKTERISTIK LALU LINTAS Emp smp Type 0 Type P EKIVALEN MOBIL PENUMPANG SATUAN MOBIL PENUMPANG ARUS BERANGKAT TERLAWAN ARUS BERANGKAT TERLINDUNG Faktor dari berbagai tipe kendaraan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Kinerja Lalu Lintas Jalan Kriteria kinerja lalu lintas dapat ditentukan berdasarkan nilai derajat kejenuhan atau kecepatan tempuh pada suatu kondisi jalan tertentu yang terkait

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. lebih sub-pendekat. Hal ini terjadi jika gerakan belok-kanan dan/atau belok-kiri

BAB III LANDASAN TEORI. lebih sub-pendekat. Hal ini terjadi jika gerakan belok-kanan dan/atau belok-kiri BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Simpang Bersinyal 3.1.1 Geometrik Perhitungan dikerjakan secara terpisah untuk setiap pendekat. Satu lengan simpang dapat terdiri lebih dari satu pendekat, yaitu dipisahkan menjadi

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. Menurut Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia (PKJI 2014) Ekr untuk kendaraan

BAB III LANDASAN TEORI. Menurut Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia (PKJI 2014) Ekr untuk kendaraan BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Ekivalen Kendaraan Ringan (ekr) Menurut Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia (PKJI 2014) Ekr untuk kendaraan ringan adalah satu dan ekr untuk kendaraan berat dan sepeda motor ditetapkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Persimpangan adalah simpul dalam jaringan transportasi dimana dua atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Persimpangan adalah simpul dalam jaringan transportasi dimana dua atau BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Simpang Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995), simpang adalah tempat berbelok atau bercabang dari yang lurus. Persimpangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. biasanya orang yang mengevaluasi mengambil keputusan tentang nilai atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. biasanya orang yang mengevaluasi mengambil keputusan tentang nilai atau BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Evaluasi Evaluasi adalah proses penilaian. Penilaian ini bisa menjadi netral, positif atau negatif atau merupakan gabungan dari keduanya. Saat sesuatu dievaluasi biasanya orang

Lebih terperinci

EVALUASI GEOMETRIK DAN PENGATURAN LAMPU LALU LINTAS PADA SIMPANG EMPAT POLDA PONTIANAK

EVALUASI GEOMETRIK DAN PENGATURAN LAMPU LALU LINTAS PADA SIMPANG EMPAT POLDA PONTIANAK EVALUASI GEOMETRIK DAN PENGATURAN LAMPU LALU LINTAS PADA SIMPANG EMPAT POLDA PONTIANAK Dian Idyanata 1) Abstrak Kemacetan merupakan suatu konflik pada ruas jalan yang menyebabkan antrian pada ruas jalan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. buah ruas jalan atau lebih yang saling bertemu, saling berpotongan atau bersilangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. buah ruas jalan atau lebih yang saling bertemu, saling berpotongan atau bersilangan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Pengertian Persimpangan Jalan Persimpangan menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997) adalah dua buah ruas jalan atau lebih yang saling bertemu, saling berpotongan atau

Lebih terperinci

Kata kunci : Tingkat Kinerja, Manajemen Simpang Tak Bersinyal.

Kata kunci : Tingkat Kinerja, Manajemen Simpang Tak Bersinyal. ABSTRAK Volume lalu lintas Kabupaten Badung mengalami peningkatan setiap tahunnya yang diakibatkan bertambahnya jumlah kepemilikan kendaraan. Kemacetan pada persimpangan Jalan Raya Denpasar Singaraja (KM-19)

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 UMUM

BAB III METODOLOGI 3.1 UMUM BAB III METODOLOGI 3.1 UMUM Secara umum, inti dari dibuatnya metode penelitian adalah untuk menjawab permasalahan dan tujuan penelitian sebagaimana disebutkan pada Bab I. Metodologi penelitian ini akan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kebutuhan pengguna jalan dalam berlalu lintas. Menurut peranan pelayanan jasa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kebutuhan pengguna jalan dalam berlalu lintas. Menurut peranan pelayanan jasa BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Jalan Jalan merupakan prasarana darat yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan pengguna jalan dalam berlalu lintas. Menurut peranan pelayanan jasa distribusi (PKJI,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. simpang terutama di perkotaan membutuhkan pengaturan. Ada banyak tujuan dilakukannya pengaturan simpang sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. simpang terutama di perkotaan membutuhkan pengaturan. Ada banyak tujuan dilakukannya pengaturan simpang sebagai berikut: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Simpang Simpang adalah suatu area yang kritis pada suatu jalan raya yang merupakan tempat titik konflik dan tempat kemacetan karena bertemunya dua ruas jalan atau lebih (Pignataro,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI A. Pengertian Transportasi Trasnportasi adalah untuk menggerakkan atau memindahkan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan sistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. entah jabatan strukturalnya atau lebih rendah keahliannya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. entah jabatan strukturalnya atau lebih rendah keahliannya. 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Evaluasi Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, evaluasi adalah penilaian. Layaknya sebuah penilaian (yang dipahami umum), penilaian itu diberikan dari orang yang lebih tinggi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Simpang Persimpangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari semua sistem jalan. Ketika berkendara di dalam kota, orang dapat melihat bahwa kebanyakan jalan di daerah

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Data Penelitian Berdasarkan survei yang dilakukan pada Simpang Gintung, maka diperoleh data geometrik simpang dan besar volume lalu lintas yang terjadi pada simpang tersebut.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Persimpangan Jalan Persimpangan jalan merupakan simpul transportasi yang terbentuk dari beberapa pendekat dimana arus kendaraan dari beberapa pendekat tersebut bertemu dan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. lintas (traffic light) pada persimpangan antara lain: antara kendaraan dari arah yang bertentangan.

BAB III LANDASAN TEORI. lintas (traffic light) pada persimpangan antara lain: antara kendaraan dari arah yang bertentangan. BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Simpang Bersinyal Simpang bersinyal adalah suatu persimpangan yang terdiri dari beberapa lengan dan dilengkapi dengan pengaturan sinyal lampu lalu lintas (traffic light). Berdasarkan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERSETUJUAN HALAMAN PERSEMBAHAN ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERSETUJUAN HALAMAN PERSEMBAHAN ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL i LEMBAR PENGESAHAN ii LEMBAR PERSETUJUAN iii HALAMAN PERSEMBAHAN iv ABSTRAK v ABSTRACT vi KATA PENGANTAR vii DAFTAR ISI viii DAFTAR TABEL xi DAFTAR GAMBAR xii DAFTAR ISTILAH

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pergerakan lalu lintas di dalamnya. Menurut Hobbs (1995), persimpangan jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pergerakan lalu lintas di dalamnya. Menurut Hobbs (1995), persimpangan jalan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Simpang Menurut Khisty (2005), simpang adalah daerah di mana dua jalan atau lebih bergabung atau bersimpangan, termasuk jalan dan fasilitas tepi jalan untuk pergerakan lalu

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Geometrik dan Lingkungan Simpang

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Geometrik dan Lingkungan Simpang BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Geometrik dan Lingkungan Simpang 1. Kondisi geometrik simpang Berdasar hasil pengamatan yang telah dilaksanakan pada simpang APILL Jalan Bantul Jalan Nasional III,

Lebih terperinci

SIMPANG BER-APILL. Mata Kuliah Teknik Lalu Lintas Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, FT UGM

SIMPANG BER-APILL. Mata Kuliah Teknik Lalu Lintas Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, FT UGM SIMPANG BER-APILL 1 Mata Kuliah Teknik Lalu Lintas Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, FT UGM PENDAHULUAN Lampu lalu lintas merupakan alat pengatur lalu lintas yang mempunyai fungsi utama sebagai pengatur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997, jalan perkotaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997, jalan perkotaan 21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jalan Perkotaan Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997, jalan perkotaan merupakan segmen jalan yang mempunyai perkembangan secara permanen dan menerus sepanjang

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 1.1 JENIS PENELITIAN Jenis penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif. Jenis penelitian deskriptif (Narbuko dan Achmadi, 2008) adalah jenis penelitian yang berusaha

Lebih terperinci

Pengaruh Pemberlakuan Rekayasa Lalulintas Terhadap Derajat Kejenuhan Pada Simpang Jalan Pajajaran dan Jalan Pasirkaliki

Pengaruh Pemberlakuan Rekayasa Lalulintas Terhadap Derajat Kejenuhan Pada Simpang Jalan Pajajaran dan Jalan Pasirkaliki Pengaruh Pemberlakuan Rekayasa Lalulintas Terhadap Derajat Kejenuhan Pada Simpang Jalan Pajajaran dan Jalan Pasirkaliki Jurusan Teknik Sipil, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012 E-mail: risnars@polban.ac.id

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Simpang Menurut Hobbs (1995), persimpangan jalan merupakan simpul transportasi yang terbentuk dari beberapa pendekat di mana arus kendaraan dari beberapa pendekat tersebut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kuantitatif yang menerangkan kondisi operasional fasilitas simpang dan secara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kuantitatif yang menerangkan kondisi operasional fasilitas simpang dan secara BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kinerja suatu simpang menurut MKJI 1997 didefinisikan sebagai ukuran kuantitatif yang menerangkan kondisi operasional fasilitas simpang dan secara umum dinyatakan dalam kapasitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berpotongan/bersilangan. Faktor faktor yang digunakan dalam perancangan suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berpotongan/bersilangan. Faktor faktor yang digunakan dalam perancangan suatu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Simpang Persimpangan adalah daerah di mana dua atau lebih jalan bergabung atau berpotongan/bersilangan. Faktor faktor yang digunakan dalam perancangan suatu persimpangan adalah

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Volume Lalu Lintas Volume lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melewati suatu titik tertentu pada pada ruas jalan persatuan waktu dinyatakan dalam kendaraan per jam atau satuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. saling berhubungan atau berpotongan dimana lintasan-lintasan kendaraan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. saling berhubungan atau berpotongan dimana lintasan-lintasan kendaraan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Simpang Persimpangan didefinisikan sebagai titik pertemuan antara dua atau lebih jalan yang saling berhubungan atau berpotongan dimana lintasan-lintasan kendaraan berpotongan.

Lebih terperinci

PENGARUH HAMBATAN SAMPING TERHADAP KINERJA RUAS JALAN RAYA SESETAN

PENGARUH HAMBATAN SAMPING TERHADAP KINERJA RUAS JALAN RAYA SESETAN PENGARUH HAMBATAN SAMPING TERHADAP KINERJA RUAS JALAN RAYA SESETAN TUGAS AKHIR Oleh : IDA BAGUS DEDY SANJAYA 0519151030 JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS UDAYANA 2016 PERNYATAAN Dengan ini

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI 15 BAB III LANDASAN TEORI A. Penggunaan dan Perlengkapan Jalan Berdasarkan Undang Undang Nomor Tahun 009 Tentang lalulintas dan Angkutan jalan, setiap jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum wajib

Lebih terperinci

REKAYASA TRANSPORTASI LANJUT UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAYA

REKAYASA TRANSPORTASI LANJUT UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAYA REKAYASA TRANSPORTASI LANJUT UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAYA Jl. Boulevard Bintaro Sektor 7, Bintaro Jaya Tangerang Selatan 15224 KOMPONEN SIKLUS SINYAL Siklus. Satu siklus sinyal adalah satu putaran penuh

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) tahun 1997, ruas jalan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) tahun 1997, ruas jalan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Istilah Jalan 1. Jalan Luar Kota Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) tahun 1997, ruas jalan merupakan semua bagian dari jalur gerak (termasuk perkerasan),

Lebih terperinci

tidak berubah pada tanjakan 3% dan bahkan tidak terlalu

tidak berubah pada tanjakan 3% dan bahkan tidak terlalu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum Analisis lalu lintas merupakan penentuan kinerja segmen jalan akibat kebutuhan lalu-lintas yang ada. Menurut Oglesby dan Hicks (1988) bahwa kecepatan mobil penumpang tidak

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA SIMPANG HOLIS SOEKARNO HATTA, BANDUNG

EVALUASI KINERJA SIMPANG HOLIS SOEKARNO HATTA, BANDUNG EVALUASI KINERJA SIMPANG HOLIS SOEKARNO HATTA, BANDUNG Marsan NRP : 9921019 Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Bambang I.S., M.Sc FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK SIPIL UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BANDUNG ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manfaatnya (http://id.wikipedia.org/wiki/evaluasi).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manfaatnya (http://id.wikipedia.org/wiki/evaluasi). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Evaluasi Evaluasi adalah proses penilaian. Penilaian ini bisa menjadi netral, positif, atau negatif atau merupakan gabungan dari keduanya. Saat sesuatu dievaluasi biasanya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ruas Jalan Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas,

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Data Masukan 1. Kondisi geometri dan lingkungan simpang Dari hasil survei kondisi lingkungan dan geometrik simpang APILL Condong Catur Sleman Yogyakarta dilakukan dengan pengukuran

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. terdapat di daerah perkotaan. Jenis simpang ini cocok untuk di terapkan apabila arus

BAB III LANDASAN TEORI. terdapat di daerah perkotaan. Jenis simpang ini cocok untuk di terapkan apabila arus BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Simpang Tak Bersinyal PKJI 2014, simpang tak bersinyal adalah jenis simpang yang paling banyak terdapat di daerah perkotaan. Jenis simpang ini cocok untuk di terapkan apabila

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebabkan kapasitas terganggu pada semua arah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebabkan kapasitas terganggu pada semua arah. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bundaran Pada umumnya bundaran dengan pengaturan hak jalan (prioritas dari kiri) digunakan di daerah perkotaan dan pedalaman bagi persimpangan antara jalan dengan arus lalu

Lebih terperinci

Nursyamsu Hidayat, Ph.D.

Nursyamsu Hidayat, Ph.D. Civil Engineering Diploma Program Vocational School Gadjah Mada University Nursyamsu Hidayat, Ph.D. Menghindari kemacetan akibat adanya konflik arus lalulintas Untuk memberi kesempatan kepada kendaraan

Lebih terperinci

EVALUASI PANJANG ANTRIAN PADA LENGAN SIMPANG BERSINYAL DENGAN METODE PKJI

EVALUASI PANJANG ANTRIAN PADA LENGAN SIMPANG BERSINYAL DENGAN METODE PKJI EVALUASI PANJANG ANTRIAN PADA LENGAN SIMPANG BERSINYAL DENGAN METODE PKJI 2014 (Studi Kasus : Jl.Daya Nasional - Jl.Prof.H.Hadari Nawawi - Jl.Ahmad Yani, Pontianak) Leonardus Lini Nugroho 1), Syafaruddin

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Sebelum dimulainya penelitian terlebih dahulu dibuat tahapan-tahapan dalam

BAB III METODE PENELITIAN. Sebelum dimulainya penelitian terlebih dahulu dibuat tahapan-tahapan dalam BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Berfikir Sebelum dimulainya penelitian terlebih dahulu dibuat tahapan-tahapan dalam pelaksanaan penelitian dari mulainya penelitian sampai selesainya penelitian yang

Lebih terperinci

DAFTAR ISTILAH DAN DEFINISI

DAFTAR ISTILAH DAN DEFINISI DAFTAR ISTILAH DAN DEFINISI 1. Simpang Tak Bersinyal Notasi, istilah dan definisi khusus untuk simpang bersinyal terdapat dibawah : KONDISI GEOMETRIK LENGAN SIMPANG-3 DAN SIMPANG-4 Bagian persimpangan

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA SIMPANG TIGA TAK BERSINYAL DENGAN METODE MKJI 1997 (Studi Kasus Simpang Tiga Jalan Ketileng Raya-Semarang Selatan)

EVALUASI KINERJA SIMPANG TIGA TAK BERSINYAL DENGAN METODE MKJI 1997 (Studi Kasus Simpang Tiga Jalan Ketileng Raya-Semarang Selatan) EVALUASI KINERJA SIMPANG TIGA TAK BERSINYAL DENGAN METODE MKJI 1997 (Studi Kasus Simpang Tiga Jalan Ketileng Raya-Semarang Selatan) Tugas Akhir untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat sarjana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ruas Jalan Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas,

Lebih terperinci

Kajian Kinerja Persimpangan Jalan Harapan Jalan Sam Ratulangi Menurut MKJI 1997

Kajian Kinerja Persimpangan Jalan Harapan Jalan Sam Ratulangi Menurut MKJI 1997 Kajian Kinerja Persimpangan Jalan Harapan Jalan Sam Ratulangi Menurut MKJI 1997 Monita Sailany Watuseke M. J. Paransa, Mecky R. E. Manoppo Universitas Sam Ratulangi Fakultas Teknik Jurusan Sipil Manado

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Judul Pengesahan Persetujuan Motto dan Persembahan ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI. Halaman Judul Pengesahan Persetujuan Motto dan Persembahan ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI Halaman Judul i Pengesahan ii Persetujuan iii Motto dan Persembahan iv ABSTRAK v ABSTRACT vi KATA PENGANTAR vii DAFTAR ISI ix DAFTAR TABEL xiii DAFTAR GAMBAR xv DAFTAR LAMPIRAN xvi DAFTAR NOTASI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Permasalahan Transportasi Perkotaan Permasalahan transportasi perkotaan umumnya meliputi kemacetan lalulintas, parkir, angkutan umum, polusi dan masalah ketertiban lalu lintas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Permasalahan Transportasi di Perkotaan Menurut Abubakar, dkk (1995) salah satu ciri kota modern ialah tersedianya sarana transportasi yang memadai bagi warga kota. Fungsi, peran

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia Pedoman kapasitas Jalan Indonesia 2014 merupakan pedoman untuk perencanaan, perancangan dan operasi fasilitas lalu lintas yang memadai (PKJI,2014).

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Simpang jalan merupakan simpul transportasi yang terbentuk dari beberapa

TINJAUAN PUSTAKA. Simpang jalan merupakan simpul transportasi yang terbentuk dari beberapa II. TINJAUAN PUSTAKA A. Persimpangan Simpang jalan merupakan simpul transportasi yang terbentuk dari beberapa pendekat, di mana arus kendaraan dari berbagai pendekat tersebut bertemu dan memencar meninggalkan

Lebih terperinci

BAB 3 PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

BAB 3 PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN BAB 3 PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN 3.1. Kendaraan Rencana Kendaraan rencana adalah kendaraan yang merupakan wakil dari kelompoknya. Dalam perencanaan geometrik jalan, ukuran lebar kendaraan rencana

Lebih terperinci

DAFTAR ISI JUDUL LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERSETUJUAN ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

DAFTAR ISI JUDUL LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERSETUJUAN ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN vii DAFTAR ISI JUDUL LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERSETUJUAN ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR NOTASI DAN SINGKATAN i ii iii iv v vi vii xii xiv

Lebih terperinci

KINERJA BEBERAPA RUAS JALAN DI KOTA PALEMBANG. Pujiono T. Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas IBA, Palembang.

KINERJA BEBERAPA RUAS JALAN DI KOTA PALEMBANG. Pujiono T. Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas IBA, Palembang. KINERJA BEBERAPA RUAS JALAN DI KOTA PALEMBANG Pujiono T. Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas IBA, Palembang. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja beberapa ruas

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. Data simpang yang dimaksud adalah hasil survey volume simpang tiga

BAB IV ANALISIS DATA. Data simpang yang dimaksud adalah hasil survey volume simpang tiga BAB IV Bab IV Analisis Data ANALISIS DATA 4.1 Data Simpang Data simpang yang dimaksud adalah hasil survey volume simpang tiga kaki RC Veteran yang telah dilakukan pada kedua simpang pada jam sibuk dan

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA RUAS JALAN IR. H. JUANDA, BANDUNG

EVALUASI KINERJA RUAS JALAN IR. H. JUANDA, BANDUNG EVALUASI KINERJA RUAS JALAN IR. H. JUANDA, BANDUNG Rio Reymond Manurung NRP: 0721029 Pembimbing: Tan Lie Ing, S.T.,M.T. FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK SIPIL UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BANDUNG ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. penelitian yang dijabarkan dalam sebuah bagan alir seperti gambar 3.1.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. penelitian yang dijabarkan dalam sebuah bagan alir seperti gambar 3.1. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Berfikir Sebelum dimulainya penelitian terlebih dahulu dibuat tahapan-tahapan dalam pelaksanaan penelitian dari mulainya penelitian sampai selesainya penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODA PENELITIAN

BAB III METODA PENELITIAN BAB III METODA PENELITIAN 3.1 Alur Kerja Gambar 3.1 Bagan Alir Tahapan Kegiatan III - 1 3.2 Pelaksanaan Survey Lalu Lintas 3.2.1 Definisi Survey Lalu Lintas Survey lalu lintas merupakan kegiatan pokok

Lebih terperinci

HALAMAN PERSEMBAHAN... vi. DAFTAR ISI... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN... vi. DAFTAR ISI... vii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING TUGAS AKHIR... ii LEMBAR PENGESAHAN PENDADARAN... iii KATA PENGANTAR... iv HALAMAN PERSEMBAHAN... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... xii DAFTAR

Lebih terperinci

Gambar 2.1 Rambu yield

Gambar 2.1 Rambu yield BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengaturan Simpang Tak Bersinyal Secara lebih rinci, pengaturan simpang tak bersinyal dapat dibedakan sebagai berikut : 1. Aturan Prioritas Ketentuan dari aturan lalu lintas

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. dijabarkan dalam sebuah bagan diagram alir seperti gambar 3.1. Gambar 3.1. Diagram alir pelaksanaan studi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. dijabarkan dalam sebuah bagan diagram alir seperti gambar 3.1. Gambar 3.1. Diagram alir pelaksanaan studi BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Berfikir Sebelum dimulainya penelitian terlebih dahulu dibuat tahapan-tahapan dalam pelaksanaan penelitian dari dimulainya penelitian sampai selesainya penelitian

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Tipikal Simpang APILL dan Sistem Pengaturan Berdasarkan Peraturan Kapasitas Jalan Indonesia tahun 2014, Persimpangan merupakan pertemuan dua atau lebih jalan yang sebidang. Pertemuan

Lebih terperinci

MANUAL KAPASITAS JALAN INDONESIA. From : BAB 5 (MKJI) JALAN PERKOTAAN

MANUAL KAPASITAS JALAN INDONESIA. From : BAB 5 (MKJI) JALAN PERKOTAAN MANUAL KAPASITAS JALAN INDONESIA From : BAB 5 (MKJI) JALAN PERKOTAAN 1.1. Lingkup dan Tujuan 1. PENDAHULUAN 1.1.1. Definisi segmen jalan perkotaan : Mempunyai pengembangan secara permanen dan menerus minimum

Lebih terperinci

SIMPANG TANPA APILL. Mata Kuliah Teknik Lalu Lintas Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, FT UGM

SIMPANG TANPA APILL. Mata Kuliah Teknik Lalu Lintas Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, FT UGM SIMPANG TANPA APILL 1 Mata Kuliah Teknik Lalu Lintas Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, FT UGM PENDAHULUAN Pada umumnya, simpang tanpa APILL dengan pengaturan hak jalan digunakan di daerah pemukiman

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Latar belakang kebutuhan akan perpindahan dalam suatu masyarakat, baik orang maupun barang menimbulkan pengangkutan. Untuk itu diperlukan alat-alat angkut, dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jalan Raya Jalan raya adalah jalan yang menghubungkan satu kawasan dengan kawasan yang lain. Biasanya jalan besar ini mempunyai ciri sebagai berikut: 1. Digunakan untuk kendaraan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Mulai. Pengamatan Daerah Studi. Tinjauan Pustaka

BAB IV METODE PENELITIAN. Mulai. Pengamatan Daerah Studi. Tinjauan Pustaka A. Tahapan Penelitian BAB IV METODE PENELITIAN Tahap tahap pelaksanaan penelitian pada ruas jalan dan simpang bersinyal yang dimulai dari awal hingga mendapatkan laporan hasil penelitian dapat dilihat

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 JALAN Berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan, jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISA

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISA BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISA 4.1 UMUM Analisa kinerja lalu lintas dilakukan untuk mengetahui tingkat pelayanan, dan dimaksudkan untuk melihat apakah suatu jalan masih mampu memberikan pelayanan yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. satu menuju daerah lainnya. Dalam ketentuan yang diberlakukan dalam UU 22 tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. satu menuju daerah lainnya. Dalam ketentuan yang diberlakukan dalam UU 22 tahun 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jalan Jalan merupakan salah satu instrument prasarana penghubung dari daerah yang satu menuju daerah lainnya. Dalam ketentuan yang diberlakukan dalam UU 22 tahun 2009 Jalan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II Bab II Tinjauan Pustaka TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hirarki jalan Jalan merupakan sarana yang paling penting dalam sebuah kota, karena dengan dilihat dari penataan jalan, sebuah kota dapat dikatakan sudah

Lebih terperinci

EVALUASI SIMPANG BERSINYAL ANTARA JALAN BANDA JALAN ACEH BANDUNG

EVALUASI SIMPANG BERSINYAL ANTARA JALAN BANDA JALAN ACEH BANDUNG EVALUASI SIMPANG BERSINYAL ANTARA JALAN BANDA JALAN ACEH BANDUNG Angga Hendarsyah Astadipura NRP : 0221055 Pembimbing : Ir. V. Hartanto, M.Sc FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK SIPIL UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

Lebih terperinci

Studi Kinerja Simpang Jalan Jakarta - Ibrahim Adjie Setelah Adanya Overpass Pelangi Antapani Kota Bandung

Studi Kinerja Simpang Jalan Jakarta - Ibrahim Adjie Setelah Adanya Overpass Pelangi Antapani Kota Bandung Reka Racana Jurusan eknik Sipil Itenas No. 4 Vol. 3 Jurnal Online Institut eknologi Nasional Desember 2017 Studi Kinerja Simpang Jalan Jakarta - Ibrahim Adjie Setelah Adanya Overpass Pelangi Antapani Kota

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. LEMBAR PERSEMBAHAN... iii. KATA PENGANTAR... iv. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. LEMBAR PERSEMBAHAN... iii. KATA PENGANTAR... iv. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR PERSEMBAHAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... x DEFINISI DAN ISTILAH... xii ABSTRAKSI... xvi

Lebih terperinci

STUDI KINERJA SIMPANG LIMA BERSINYAL ASIA AFRIKA AHMAD YANI BANDUNG

STUDI KINERJA SIMPANG LIMA BERSINYAL ASIA AFRIKA AHMAD YANI BANDUNG STUDI KINERJA SIMPANG LIMA BERSINYAL ASIA AFRIKA AHMAD YANI BANDUNG Oleh : Hendy NRP : 0021109 Pembimbing : Budi Hartanto S, Ir., M.Sc FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKHIK SIPIL UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan pesatnya pembangunan yang berwawasan nasional maka prasarana

BAB I PENDAHULUAN. dengan pesatnya pembangunan yang berwawasan nasional maka prasarana BAB I PENDAHULUAN I.1. UMUM DAN LATAR BELAKANG Jalan raya merupakan bagian dari sarana transportasi darat yang memiliki peranan penting untuk menghubungkan suatu tempat ke tempat yang lain. Sejalan dengan

Lebih terperinci

EVALUASI DAN PERENCANAAN LAMPU LALU LINTAS KATAMSO PAHLAWAN

EVALUASI DAN PERENCANAAN LAMPU LALU LINTAS KATAMSO PAHLAWAN EVALUASI DAN PERENCANAAN LAMPU LALU LINTAS KATAMSO PAHLAWAN Winoto Surya NRP : 9921095 Pembimbing : Prof. Ir. Bambang Ismanto S. MSc. Ph.D. FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK SIPIL UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Karakteristik Ruas Jalan 1. Volume lalu lintas Volume lalu lintas adalah jumlah kendaraan (mobil penumpang) yang melalui suatu titik tiap satuan waktu. Data volume dapat berupa

Lebih terperinci