EVALUASI EKONOMI PENGGUNAAN LAHAN EKS-AREAL HUTAN KONSESI DI SEKITAR DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT MUHAMMAD RIDWANSYAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EVALUASI EKONOMI PENGGUNAAN LAHAN EKS-AREAL HUTAN KONSESI DI SEKITAR DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT MUHAMMAD RIDWANSYAH"

Transkripsi

1 EVALUASI EKONOMI PENGGUNAAN LAHAN EKS-AREAL HUTAN KONSESI DI SEKITAR DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT MUHAMMAD RIDWANSYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

2 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul: EVALUASI EKONOMI PENGGUNAAN LAHAN EKS-AREAL HUTAN KONSESI DI SEKITAR DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT merupakan gagasan dan hasil penelitian saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Mei 2007 MUHAMMAD RIDWANSYAH NRP. A

3 ABSTRAK MUHAMMAD RIDWANSYAH. Evaluasi Ekonomi Penggunaan Lahan Eks- Areal Hutan Konsesi di Sekitar Daerah Penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (BUNASOR SANIM sebagai Ketua, MUHAMMAD NUR AIDI dan YUSMAN SYAUKAT sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Penelitian ini secara umum bertujuan mengetahui dampak ekonomi penggunaan lahan eks-areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di sekitar daerah penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Secara khusus penelitian ini bertujuan: (1) mengevaluasi perubahan tutupan hutan dan penggunaan lahan pada eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS, (2) mengetahui biaya imbangan total (total opportunity cost) yang diakibatkan oleh penggunaan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS, (3) mengevaluasi dampak ekonomi internalisasi biaya lingkungan terhadap penampilan usahatani tanaman komersial yang menggunakan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS, dan (4) mengevaluasi dampak ekonomi alternatif kegiatan penanganan kerusakan hutan dan lahan yang disebabkan oleh penggunaan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS mengalami pengurangan luasan tutupan hutan dari waktu ke waktu. Pola alih fungsi hutan bekas tebangan menjadi perkebunan kelapa sawit dan ladang/kebun masyarakat merupakan jenis-jenis penggunaan lahan yang paling dominan dilakukan. Biaya imbangan total penggunaan lahan menjadi perkebunan sawit yang dikelola swasta merupakan yang paling besar, yakni mencapai Rp /ha/tahun. Selanjutnya diikuti penggunaan lahan menjadi ladang/kebun masyarakat, yakni mencapai Rp /ha/tahun. Dari total biaya imbangan, kehilangan unsur hara merupakan kerugian paling besar, rata-rata 80 hingga 90%. Hasil analisis ekonomi menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit swasta memberikan dampak yang negatif, sedangkan pengusahaan kebun karet rakyat baik secara finansial maupun ekonomi menunjukkan penampilan yang baik. Penelitian ini merekomendasikan penerapan sistem agroforestri dalam upaya pengelolaan kerusakan hutan dan lahan di eks-areal hutan konsesi. Sistem ini, secara ekonomis menunjukkan kelayakan untuk dikembangkan, tidak saja karena memiliki potensi untuk meningkatkan jasa ekosistem kawasan hutan tetapi juga berpotensi meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar kawasan. Dalam upaya pengembangan sistem agroforestri ini, langkah-langkah yang perlu diupayakan antara lain mendorong rehabilitasi lahan kritis dengan areal yang lebih luas (ekstensifikasi), mengupayakan stabilitas harga output, mencegah peningkatan biaya produksi, dan mengupayakan penurunan suku bunga kredit pertanian. Kata Kunci: Hutan Konsesi, Penggunaan Lahan, Valuasi Ekonomi, Dampak Ekonomi, Jasa Ekosistem

4 ABSTRACT MUHAMMAD RIDWANSYAH. Economic Evaluation on Land Uses in Ex Forest Concession Areas Around Buffer Zone of Kerinci Seblat National Park (BUNASOR SANIM as Chairman, MUHAMMAD NUR AIDI and YUSMAN SYAUKAT as Members of Advisory Committee). This research generally aims at identifying economic land use effects in ex-forest concession areas around buffer zone of Kerinci Seblat National Park (KSNP). In particular, the objectives of this research are: (1) to evaluate the change of land cover and land uses on ex-area HPH around KSNP buffer zone, (2) to find out total opportunity cost resulted by land uses on ex-area HPH around KSNP buffer zone, (3) to evaluate the economic effects of environmental cost internalization on the performance of commercial crop farming which use land ex-area HPH around KSNP buffer zone, and (4) to evaluate economic effects of alternative activities for handling critical area as the impact of land use on exarea HPH around KSNP buffer zone. Research findings show that ex-area HPH around KSNP buffer zone has experienced reduction on forest coverage extent. Pattern of land uses from former extracting forest to palm plantation and public plantation are dominant types of land uses carried on. Total opportunity cost of land uses into palm plantation managed by private companies is the greatest, that is up to Rp /ha/year. It is then followed by land use into public farming land or plantation, that is up to Rp /ha/year. The reduction of the loss of fertile soil substance is the greatest loss which is about 80-90%. The economic analyses shows that palm plantation creates negative impact while the exertion of public rubber plantation financially or economically shows good performance. The research recommends application of agroforestry system in seeking for critical land management on former acceptable forest concession areas not only because of its potential to promote the service rendered by forest ecosystem but also for its potential to increase public income in the surrounding area. In the attempt of agroforestry system development, actions that are highly sought are (1) encouraging critical land rehabilitation through extensification, (2) seeking for output price stability, (3) preventing increase of production cost, and (4) seeking for decreasing of interest rate of agricultural credit. Key words: Forest Concession, Land Uses, Economic Effect, Economic Valuation, Ecosystem Services

5 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

6 EVALUASI EKONOMI PENGGUNAAN LAHAN EKS-AREAL HUTAN KONSESI DI SEKITAR DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT MUHAMMAD RIDWANSYAH Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

7 Judul Disertasi : Evaluasi Ekonomi Penggunaan Lahan Eks-Areal Hutan Konsesi Di Sekitar Daerah Penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat Nama Mahasiswa : Muhammad Ridwansyah Nomor Pokok : A Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, MSc. Ketua Dr. Ir. Muhamad Nur Aidi, MS. Anggota Dr. Ir. Yusman Syaukat, MEc. Anggota Mengetahui, 2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS. Tanggal Ujian: 31 Januari 2007 Tanggal Lulus:

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Sarolangun Bangko (sekarang Kabupaten Merangin), Provinsi Jambi pada tanggal 14 Juni Penulis adalah anak ketiga dari enam bersaudara dari pasangan H. Mohd Sareh (Ayah) dan Hj. Rohana (Ibu). Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) pada Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Jambi (1991). Penulis melanjutkan pendidikan di University of Philippines Los Banos (UPLB) dengan beasiswa ADB-SEARCA, Higher Education Project (HEP) ADB Loan INO dan memperoleh gelar Master of Science (M.Sc) dalam bidang Agricultural Economics (1998). Kesempatan melanjutkan S3 pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) diperoleh tahun 2002 dengan beasiswa penuh BPPS. Ketika penulis sebagai mahasiswa S1, penulis menerima penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I sebagai Mahasiswa Teladan/Berprestasi tingkat nasional dari Universitas Jambi (1990). Penulis menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Jambi (1990 s.d 1991). Ketika menempuh pendidikan di UPLB, penulis aktif sebagai pengurus Internasional Muslim Students Association (IMSA) sebagai koordinator social affair ( ). Selama menempuh pendidikan S3, penulis aktif berpartisipasi dalam kegiatan konservasi yang dikoordinir oleh beberapa LSM/NGO diantaranya: Birdlife Indonesia, Yayasan Mangrove dan Greenomics Indonesia. Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana hingga saat ini, penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Ekonomi, Universitas Jambi. Penulis banyak terlibat sebagai konsultan pada berbagai proyek konservasi sumberdaya alam dan lingkungan, diantaranya sebagai Resource Economist pada: Integrated Watershed

9 Rehabilitation and Environmental Development Project in Batanghari Watershed, Jambi Province Indonesia ( ); Project of the ICDP- KSNP (Kerinci Seblat National Park) Component C: Integrating Biodiversity Conservation and Non Timber Forest Product Utilization in Concession Area Management ( ); Conservation of Key Forests in Sangihe-Talaud Islands (2003); Resource Valuation of Lorentz National Park, Papua Province (2005). Pada tahun 2006 penulis dipercaya sebagai Lead Trainer pada Environmental Law Enforcement Training, Indonesia-Australia Spesialised Training Project, Phase III (IASTP III) yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan PT. Sucofindo Indonesia. Penulis telah berkeluarga dengan Linda Susanti, SE dan dikaruniai 2 orang anak yaitu: Achmad Farras Kanzil (7 tahun) dan Farren Athasari (2,5 tahun).

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga disertasi untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor ini dapat diselesaikan. Dengan tersusunnya disertasi ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada: 1. Prof. Dr. Ir. H. Bunasor Sanim, M.Sc sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang dengan tulus dan sabar telah banyak memberikan arahan akademik dan secara khusus bimbingan dalam penyusunan disertasi. 2. Dr. Ir. H. Muhammad Nur Aidi, M.S dan Dr. Ir. H. Yusman Syaukat, M.Ec sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan waktu dan pikirannya untuk membimbing dan mengarahkan disertasi penulis. 3. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA, yang sejak awal telah memotivasi penulis mengembangkan gagasan penelitian ini. Beliau juga telah memberikan masukan penting ketika bertindak sebagai penguji luar komisi baik pada ujian tertutup maupun terbuka. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada beliau selaku Ketua Progaram Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah mengakomodasi upaya penulis selama menimba ilmu di Program Studi ini. 4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional yang telah mendanai penelitian disertasi ini melalui program Hibah Pasca Sarjana HPTP (Hibah Pasca). 5. Dr. Ir. Parulian Hutagaol, M.S yang telah memberikan koreksi ketika bertindak sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup, Dr. Ir. Yetty Rusli, M.Sc dan Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Ec yang telah menyampaikan masukan

11 penting untuk penyempurnaan disertasi ini ketika bertindak sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka. 6. BPTIC Dataport (Biotrop), Forest Watch Indonesia (FWI) dan Badan Planologi, Departemen Kehutanan Republik Indonesia, yang telah memberikan kemudahan dalam pengadaan data spasial. 7. Rekan-rekan mahasiswa yang terlibat dalam penelitian Hibah Pasca antara lain: Saudara Idham Khalid, SP; Ir. Hutwan Syaifuddin, M.P; Samsuri, S.Hut; Sunarti, S.P M.P; Haryanto, S.Hut dan Dr. Ir. Ardi Novra, M.P, atas bantuannya dalam pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian dan sumbangan pemikiran yang telah diberikan. 8. Saudara Bambang Tetuko, S.Si dan Ambrosius Ari Waspodo, S.Si yang telah membantu dalam pengolahan data spasial. 9. Saudara Yeri Pasoma, Restuwardi, Ali dan Sefti yeng telah membantu dalam data entry. 10. Orang tua penulis Hj. Rohana (ibu), H. Mohd. Sareh (ayah), Hj. Fatmah (ibu mertua), dan istri penulis Nyonya Linda Susanti, SE serta anak-anak penulis Achmad Farras Kanzil dan Farren Athasari, atas dorongan motivasi dan pengertiannya selama penulis menyusun disertasi. 11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesian disertasi ini. Sulit kiranya penulis dapat membalas budi baik atas bantuan-bantuan tersebut, untuk itu dengan tulus hati penulis memohonkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih untuk membalasnya.

12 Mudah-mudahan hasil kajian dalam penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengelolaan eks-areal HPH di Indonesia, khususnya yang berdekatan dengan kawasan konservasi. Selain itu, temuan-temuan yang telah diperoleh dalam penelitian ini dapat bermanfaat pula bagi pengembangan ilmu ekonomi lingkungan, khususnya tentang integrasi sistem informasi geografi atau geographical informatian system (GIS) dengan penilaian atau valuasi kerusakan lingkungan. Disadari bahwa disertasi ini masih mengandung kekurangan-kekurangan, untuk itu saran dan arahan perbaikan sangat diharapkan. Terima kasih. Bogor, Mei 2007 Muhammad Ridwansyah

13 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... Halaman v DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... ix xi I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Definisi Operasional II. TINJAUAN PUSTAKA Pengukuran Dampak Lingkungan Nilai Ekonomi Hutan Tropika Eksternalitas dan Tindakan Penanggulangannya Analisis Biaya-Manfaat Lingkungan Telaah Penelitian Terdahulu III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS Penyusunan Model Teoritis Kerangka Pemikiran IV. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis Data yang Digunakan Data Spasial Data Sosial-Ekonomi Metode Pengumpulan Data Penentuan Sampel Metode Pengolahan Data i

14 Pengolahan Citra Pengolahan Data Sosial dan Ekonomi Metode Analisis Analisis Citra Valuasi Dampak Penggunaan Lahan Eks-Areal HPH Analisis Biaya-Manfaat Lingkungan V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber Letak dan Lokasi Sejarah Pengelolaan Kondisi Penutupan Lahan Kondisi Tanah, Kelerengan dan Kekritisan Lahan Kondisi Iklim Kondisi Sosial Ekonomi dan Kependudukan Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah Letak dan Lokasi Sejarah Pengelolaan Kondisi Penutupan Lahan Kondisi Tanah dan Kekritisan lahan Kondisi Iklim Kondisi Sosial Ekonomi dan Kependudukan VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Tutupan dan Penggunaan Lahan Eks HPH PT. Maju Jaya Raya Timber Eks HPH PT. Rimba Karya Indah Biaya Imbangan Penggunaan Lahan Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Untuk Perkebunan Kelapa Sawit Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Untuk Kebun/Ladang Masyarakat ii

15 Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Menjadi Semak Belukar Kerugian Ekonomi Penggunaan Hingga Menjadi Lahan Kosong/Tanah Terbuka Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Untuk Perkebunan Kelapa Sawit Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Untuk Kebun/Ladang Masyarakat Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Menjadi Semak Belukar Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Menjadi Lahan Kosong/ Tanah Terbuka Dampak Ekonomi Praktik Penggunaan Lahan Eks-Areal HPH Perkebunan Kelapa Sawit yang Dikelola Swasta Pengusahaan Kebun Kelapa Sawit yang Dikelola Masyarakat Pengusahaan Kebun Karet yang Dikelola Masyarakat Dampak Ekonomi Alternatif Rehabilitasi Eks-Areal HPH Alternatif Kegiatan Maksud dan Tujuan Lokasi Ketentuan Umum Kelayakan Finansial Kelayakan Ekonomi Penyesuaian Harga Finansial Menjadi Harga Ekonomi Nilai Manfaat Rehabilitasi Kriteria Kelayakan Hasil Analisis Sensitivitas VII. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan iii

16 7.2. Saran Implikasi dan Rekomendasi Penelitian Lanjutan DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN iv

17 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Areal Hak Pengusahan Hutan (HPH) dan Eks HPH di Sekitar Kawasan Penyangga TNKS Jenis-Jenis Ekosistem yang Utama dan Jasa Lingkungan yang Disediakan Perbedaan Prinsip Cost Benefit Analysis Konvensional dengan Environmental Cost Benefit Analysis Rekapitulasi Ground Control Point dari Seluruh Citra Landsat Tematik Mapper dan Enhance Tematic Mapper di Eks-Areal Maju Jaya Raya Timber dan Rimba Karya Indah Rancangan Skenario Analisis Sesitivitas Alternatif Pengelolaan Lahan Kritis di Eks-Areal HPH di Sekitar Daerah Penyangga TNKS Kondisi Penutupan Lahan Eks-Areal HPH. PT. Maju Jaya Raya Timber, Tahun Jenis Tanah di Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber Kondisi Kelerengan Lapangan Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber Kondisi Kekritisan Lahan di Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber, Tahun Jenis Penutupan Lahan Kritis di Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber, Tahun Data Curah Hujan, Suhu dan Kelembaban Rata-rata Tahun di Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber Luas Peruntukan Lahan yang Dimiliki Kepala Keluarga Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk dan Rumah Tangga di Desa Sekitar Lokasi Penelitian Fungsi hutan Eks-Areal Kerja HPH PT. Rimba Karya Indah Berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan Fungsi Hutan Eks-Areal Kerja HPH PT. Rimba Karya Indah Berdasarkan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi v

18 16. Fungsi Hutan pada Areal Kerja HPH PT. Rimba Karya Indah Berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Penyebaran Kelas Lereng di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah Kondisi Kekritisan Lahan di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah, Tahun Jenis Penutupan Lahan Kritis di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah, Tahun Data Curah Hujan, Suhu dan Kelembaban Rata-rata Tahun di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah Luas Peruntukan Lahan yang Dimiliki Kepala Keluarga Intensitas Kegiatan Pemeliharaan Kebun Karet Rakyat Perbandingan Sistem Pengelolaan Kebun dan Hutan Karet Rakyat Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk dan Rumah Tangga di Desa Sekitar Lokasi Penelitian Penutupan Lahan Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber, Tahun Rata-rata Perubahan Tutupan Lahan Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber, Tahun Perubahan Tutupan Lahan di Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber, Tahun Rata-rata Penggunaan Lahan di Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber, Tahun Perubahan Rata-rata Tutupan Hutan Eks-Areal PT. Rimba Karya Indah Perubahan Tutupan Lahan di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah, Tahun Perubahan Tutupan Lahan di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah, Tahun Perubahan Tutupan Lahan di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah, Tahun Rata-rata Penggunaan Lahan di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah, Tahun vi

19 34. Kerugian Ekonomi Akibat Penggunaan Lahan Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber Menurut Pola dan Periode Penggunaan Lahan yang Terjadi Kerugian Ekonomi Akibat Penggunaan Lahan Hutan Bekas Tebangan Eks-Areal Maju Jaya Raya Timber Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Swasta, Tahun Kerugian Ekonomi Akibat Penggunaan Lahan Hutan Primer Eks- Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Swasta, Tahun Kerugian Ekonomi Akibat Penggunaan Lahan Hutan Bekas Tebangan Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber Untuk Kebun\Ladang Masyarakat, Tahun Kerugian Ekonomi Akibat Penggunaan Lahan Hutan Primer Eks- Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber Untuk Kebun\Ladang Masyarakat, Tahun Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Hutan Bekas Tebangan Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber Menjadi Semak Belukar, Tahun Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Hutan Primer Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber Hingga Menjadi Semak Belukar, Tahun Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber Menjadi Tanah Terbuka, Tahun Kerugian Ekonomi Akibat Penggunaan Lahan Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah Menurut Periode Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Hutan Bekas Tebangan Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Swasta, Tahun Dampak Penggunaan Lahan Hutan Primer Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Swasta, Tahun Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Hutan Bekas Tebangan Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah Menjadi Kebun/Ladang Masyarakat, Tahun Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Hutan Primer Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah Menjadi Kebun/Ladang Masyarakat, Tahun vii

20 47. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah Menjadi Semak Belukar, Tahun Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Hutan Bekas Tebangan Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah Menjadi Lahan Kosong/Tanah Terbuka, Tahun Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Hutan Primer Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah Menjadi Lahan Kosong/Tanah Terbuka, Tahun Ringkasan Hasil Analisis Finansial dan Ekonomi Praktik Penggunaan Lahan Eks-Areal HPH Menjadi Usahatani Tanaman Komersial Respon dan Harapan Masyarakat Terhadap Rencana Pengelolaan Lahan Eks-Areal HPH. PT. Maju Jaya Raya Timber dan Rimba Karya Indah Partisipasi Masyarakat Tentang Sistem Pengelolaan Lahan Eks- Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber dan PT. Rimba Karya Indah Harapan Masyarakat dalam Sistem Pengelolaan Lahan Eks-HPH PT. Maju Jaya Raya Timber dan PT. Rimba Karya Indah Jenis Komoditi yang Diharapkan dapat Dikembangkan dalam Rencana Pengelolaan Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber dan PT. Rimba Karya Indah Ringkasan Kelayakan Hasil Analisis Finansial Alternatif Pengelolaan Lahan pada Eks-Areal HPH Nilai Ekonomi Rehabilitasi Eks-Areal HPH di Sekitar Daerah Penyangga TNKS, Gabungan Penyangga-1 & Penyangga Ringkasan Hasil Analisis Ekonomi Alternatif Pengelolaan Lahan Eks-Areal HPH di Sekitar Daerah Penyangga TNKS Ringkasan Hasil Analisis Sensitivitas Alternatif Pengelolaan Lahan Kritis di Eks-Areal HPH di Sekitar Daerah Penyangga TNKS viii

21 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Tipologi Barang dan Jasa Sistem Sumberdaya dan Lingkungan: Nilai Ekonomi Total Manfaat Sosial Hutan Tropis Keputusan Investasi Swasta dalam Melakukan Penebangan Kayu Keuntungan Penebangan Kayu dengan Penilaian Sosial yang Baik Definisi Ekonomi Eksternalitas yang Optimal Representasi Surplus Konsumen dan Produsen Representasi Diagram Surplus Sosial Hubungan antara Hak Kepemilikan dan Akses dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Penentuan Output Optimal dengan dan tanpa Biaya Eksternalitas pada Kasus Produksi Komolitas yang Menimbulkan Polusi Perbandingan Efektifitas Kebijaksanaan Standar dan Pajak (Studi Kasus: Kebijakan Pajak Lebih Efektif (ABD>BCE)) Perbandingan Efektifitas Kebijaksanaan Standar dan Pajak (Studi Kasus: Kebijakan Standar Lebih Efektif (ABD<BCE)) Kerangka Pemikiran Evaluasi Ekonomi Kegiatan Penggunaan Lahan Hutan Eks-Areal HPH di Sekitar Derah Penyangga TNKS Kerangka Penilaian Dampak Penggunaan Lahan Eks-Areal HPH di Sekitar Daerah Penyangga TNKS Kawasan Areal dan Eks Hutan Konsesi di Sekitar Daerah Penyangga TNKS dan Lokasi Penelitian Kerangka Sampel Skema Pengolahan dan Analisis Data Spasial Bagan A: Diagram Pengambilan Keputusan untuk Menentukan Nilai Ekonomi: Langkah-Langkah Utama Bagan B: Diagram Pengambilan Keputusan untuk Menentukan Nilai Ekonomi: Pembayaran Transfer Langsung Bagan C: Diagram Pengambilan Keputusan Untuk Menentukan Nilai Ekonomi: Komoditi yang Diperdagangkan Bagan D: Diagram Pengambilan Keputusan Untuk Menentukan Nilai Ekonomi: Komoditi yang Tidak Diperdagangkan ix

22 18. Perubahan Tutupan Lahan Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber, Tahun Perubahan Tutupan Lahan di Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber, Tahun Tutupan Lahan Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah, Tahun 1988, 1999 dan Perubahan Tutupan Lahan Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah, Tahun Perubahan Tutupan Lahan Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah, Tahun Perubahan Tutupan Lahan Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah, Tahun Perubahan Tutupan Lahan Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah, Tahun x

23 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) merupakan salah satu taman nasional di Indonesia yang memiliki peranan ekologi penting. Kawasan seluas 1.37 juta ha ini, membentang di tengah Pulau Sumatera, di empat wilayah Provinsi. Disamping berperan penting dalam melindungi flora dan fauna yang ada di dalamnya, kawasan yang telah menjadi warisan dunia (world heritage) ini berjasa dalam pengatur tata air, konservasi tanah, dan iklim bagi wilayah sekitarnya. Dalam kaitannya dengan pengaturan tata air, Purnajaya dalam BTNKS (2006), melaporkan ekosistem TNKS merupakan hulu air penting bagi Daerah Aliran Sungai (DAS) utama di Sumatera Bagian Tengah yang memberikan kontribusi hidrologis bagi areal persawahan seluas ± ha. Selain memiliki peranan ekologi yang tinggi, ekosistem TNKS memiliki peranan ekonomi bagi wilayah sekitarnya. Greenomics Indonesia (2001), mempublikasikan nilai jasa ekosistem yang diberikan kepada wilayah kabupaten perbatasan 1 mencapai 63 persen dari total nilai ekonomi utamanya atau sekitar Rp 5.9 trilyun selama 10 tahun. Sektor pertanian merupakan lapangan usaha yang memiliki ketergantungan paling tinggi terhadap jasa ekosositem TNKS yakni mencapai Rp milyar/tahun atau dengan nilai bersih sekarang atau net present value (NPV) sebesar Rp 3.84 trilyun. Konsekuensi logisnya, kerusakan pada ekosistem TNKS berdampak negatif terhadap kesejahteraan masyarakat, khususnya terhadap perekonomian lokal kabupaten yang berbatasan. 1 Ke-sebelas kabupaten yang berbatasan dengan TNKS, meliputi Kabupaten: Kerinci, Bungo, Sarolangun, Merangin (di Provinsi Jambi); Pesisir Selatan, Solok, Sawah Lunto/Sijunjung (di Provinsi Sumatera Barat); Bengkulu Utara, Muko Muko, Rejang Lebong (di Provinsi Bengkulu); dan Musi Rawas (Provinsi Sumatera Selatan).

24 2 Sayangnya, ekosistem TNKS hingga dewasa ini mendapat tekanan dari berbagai kegiatan ekstraktif yang berlangsung di sekitar kawasan ini. Tekanan yang paling menonjol berasal dari penggunaan lahan eks-areal hutan konsesi atau Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di daerah penyangga TNKS. Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) maupun kegiatan eksploitasi kayu yang telah dilakukan oleh perusahaan HPH, selanjutnya diikuti oleh penggunaan lahan eks-areal HPH. Seperti dilaporkan oleh Hernawan (2001), bahwa kasus PWH yang dilakukan oleh perusahaan HPH di Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu telah mengakibatkan tingkat mobilitas masyarakat ke dalam daerah penyangga TNKS untuk berusahatani, pasca pengelolaan HPH meningkat drastis. Indrizal (1995), menyatakan bahwa ladang/kebun tanaman komersial seperti di kawasan penyangga TNKS secara kompleks cepat atau lambat namun pasti memiliki kecenderungan mendorong ekspansi penduduk dan penetrasi perambahan lahan: maju terus ke arah hutan tanpa mengenal titik balik. Akibatnya, tekanan terhadap hutan dan degradasi ekosistem TNKS dapat terus berlanjut. Pasca diterapkannya kebijakan otonomi daerah, praktik penggunaan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS semakin meningkat. Pilihanpilihan pengelolaan beralih orientasi menyediakan lahan untuk para investor perkebunan setidaknya dimulai secara de facto di lapangan terhadap upayaupaya untuk mendapatkan penerimaan finansial dalam jangka pendek. Hal ini terlihat dari banyaknya Izin Pemanfaatan Kawasan (IPK) yang telah dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Namun, dalam praktiknya penerima izin atau perusahaan, melakukan kegiatan alih fungsi lahan menjadi areal perkebunan kelapa sawit, terdapat pula beberapa kasus dimana setelah pengambilan kayu (clear cutting)

25 3 dilakukan, pihak perusahaan meninggalkan begitu saja lahan yang sudah dibuka, sehingga menambah proporsi areal lahan kosong atau terbuka. Sesuai dengan ketentuan yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, maka hutan yang ada dalam kawasan eks-hph tersebut baik berupa hutan bekas tebangan maupun hutan primer seharusnya dipertahankan karena memiliki peranan ekologis yang penting. Selain dapat melindungi TNKS dari perambahan dan kebakaran, juga dapat berperan sebagai daerah tangkapan air yang sangat penting bagi wilayah sekitarnya. Keberadaan kawasan hutan di eks-areal HPH diharapkan dapat pula mendukung kehidupan keanekaragaman hayati yang memiliki nilai penting dalam skala global, yakni memiliki sisa-sisa ekosistem hutan hujan tropis Sumatra (yang saat ini sudah mulai menuju kepunahan). Tanpa adanya langkah-langkah nyata dan program yang konsisten dalam mengendalikan penggunaan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS tersebut dikhawatirkan akan mengakibatkan lenyapnya hutan alami di daerah penyangga TNKS. Secara ekologis hal ini tidak saja akan mengakibatkan masa depan beberapa bagian TNKS akan menghadapi ancaman serius tetapi juga berdampak negatif bagi perekonomian lokal dan kesejahteraan masyarakat di wilayah sekitarnya. Oleh karena itu diperlukan evaluasi yang seksama mengenai persoalan penggunaan lahan pada eks-areal HPH dimaksud dalam upaya pengambilan keputusan yang tepat dan bijaksana. Data dan informasi yang diperoleh dari kajian ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk menyusun alternatif pengelolaan eksareal HPH yang terdapat di sekitar daerah penyangga TNKS.

26 Perumusan Masalah Di sekitar daerah penyangga TNKS terdapat kawasan hutan produksi dengan jarak yang relatif dekat dengan kawasan TNKS. Pengelolaan kawasan ini diserahkan kepada sembilan perusahaan HPH dimana enam diantaranya sudah tidak aktif lagi melakukan kegiatan produksi yakni: PT. Duta Maju Timber, PT. Serestra I, PT. Rimba Karya Indah, PT. Maju Jaya Raya Timber, PT. Bina Samaktha, dan PT. Dirgahayu Rimba (lihat Tabel 1). Tabel 1. Areal Hak Pengusahan Hutan (HPH) dan Eks HPH di Sekitar Kawasan Penyangga TNKS Jarak ke Luas Nama HPH/Eks HPH Lokasi Status TNKS (Ha) PT. Duta Maju Timber Sumbar Non aktif < 1 km PT. Injapsin Jambi Aktif < 1 km PT. Serestra I Jambi Non aktif < 1 km PT. Serestra II Jambi Aktif < 1 km PT. Nursa Lease Timber Co Jambi Aktif < 1 km PT. Rimba Karya Indah Jambi Non aktif < 1 km PT. Maju Jaya Raya Timber Bengkulu Non aktif >3 km PT. Bina Samaktha Bengkulu Non aktif > 3 km PT. Dirgahayu Rimba Bengkulu Non aktif > 3 km Sumber: Laporan Teknis ICDP-TNKS, 2002 TNKS-ICDP, Komponen C1 (2002), melaporkan bahwa pada ke-enam eks areal HPH tersebut telah terjadi perubahan tutupan hutan yang cukup pesat terutama dari hutan bekas tebangan menjadi kawasan non-hutan. Pada eks-areal HPH di Provinsi Bengkulu, hingga tahun 2001 tercatat seluas ha telah dikonversi menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Mulyanto (2004), yang melakukan studi di areal konsesi PT. Duta Maju Timber (DMT) melaporkan bahwa selama kurun waktu 1999 sampai dengan 2002, sebagian besar (95 persen)

27 5 dari hutan primer yang ada pada tahun 1999, seluas ha telah berubah, diantaranya seluas ha mengalami degradasi (dari hutan primer menjadi hutan bekas tebangan). Sementara sisanya telah menjadi semak belukar, tanah kosong dan lahan pertanian dengan perubahan mencapai 4.6 persen atau sekitar 1.5 persen/tahun. Menurut Sunderlin dan Ida (1999), tindakan ekstraktif terhadap kawasan hutan, tidak terlepas dari persepsi yang melihat kawasan hutan hanya terbatas pada lahan dan tegakan kayu semata. Padahal kawasan hutan memiliki fungsi ekologis, seperti pengendali banjir dan erosi, hasil hutan non-kayu dan keanekaragaman hayati yang sangat diperlukan bagi pembangunan berkelanjutan. Manakala fungsi ekologis ini diabaikan akan mendorong terjadinya kegiatan ekonomi ekspansif yang menimbulkan kerusakan kawasan hutan dan fungsifungsi pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Persepsi seperti itu mengemuka dalam opsi penggunaan lahan (land use options) eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS. Selain untuk pembangunan perkebunan besar, penggunaan lahan eks-areal HPH yang banyak dilakukan antara lain adalah pembukaan ladang oleh masyarakat terutama untuk usahatani tanaman komersial. Pengembangan usahatani tersebut memanfaatkan kawasan hutan bekas tebangan maupun hutan primer dengan mengenyampingkan fungsi ekologis hutan. Dengan kata lain, praktik penggunaan lahan eks-areal HPH di daerah penyangga TNKS telah mengabaikan biaya imbangan (opportunity cost) 2 yang terkandung di dalamnya. 2 Opportunity cost adalah nilai yang dikorbankan apabila memilih satu pilihan atau apabila melakukan sesuatu tindakan tertentu. (Schmid, 1993).

28 6 Situasi ini merupakan faktor kuat yang menekan posisi tawar (bargaining position) eks-areal HPH berada pada posisi yang lemah jika dihadapkan dengan kepentingan konservasi. Artinya, manakala pilihan penggunaan lahan yang mengejar penerimaan finansial jangka pendek berhadapan dengan kepentingan untuk melindungi kawasan TNKS, maka keputusan untuk menggunakan lahan eks-areal HPH di daerah penyangga TNKS menjadi pilihan. Hal ini pada gilirannya mendorong terjadinya ekonomi ekspansif dimana target peningkatan produksi yang maksimal dilakukan melalui ekstensifikasi lahan tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Pada sisi yang lain, penanganan terhadap lahan kritis akibat praktik penggunaan lahan eks-areal HPH menyisakan masalah sosial ekonomi. Program rehabilitasi hutan dan lahan yang telah dilaksanakan ternyata belum mampu melakukan rekonsilitasi antara kepentingan rehabilitasi dengan kepentingan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitarnya dalam jangka pendek. Kurang diakomodasikannya akses dan preferensi masyarakat dalam pelaksanaan program kerap menjadi sumber penolakan dan konflik. Persoalan seperti ini mengakibatkan program kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan tidak efektif dalam menangani kerusakan hutan dan lahan termasuk pada eks-areal HPH yang terdapat di daerah penyangga TNKS. Pokok permasalahan yang dapat disarikan dari identifikasi masalah di atas adalah sebagai berikut: (1) meningkatnya perubahan tutupan lahan yang demikian cepat dikhawatirkan menimbulkan tekanan serius terhadap ekosistem TNKS, (2) penggunaan lahan eks-areal HPH telah mengakibatkan kehilangan nilai jasa ekosistem hutan di daerah penyangga TNKS, (3) penggunaan lahan tersebut lebih

29 7 mengutamakan penerimaan finansial dalam jangka pendek, namun tidak memperhitungkan biaya imbangan yang ditimbulkan, dan (4) kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang mengalami kerusakan sebagai akibat praktik alih fungsi belum mengakomodasi akses dan preferensi masyarakat sekitarnya. Sehubungan dengan pokok persoalan tersebut, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Apakah penggunaan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS, menimbulkan tekanan yang serius terhadap keutuhan kawasan ini? 2. Berapa biaya imbangan total (total opportunity cost) kegiatan penggunaan lahan eks- areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS? 3. Bagaimana dampak ekonomi praktik penggunaan lahan eks-areal tersebut, dilihat dari sudut pandang ekonomi lingkungan? 4. Bagaimana dampak ekonomi alternatif penanganan kerusakan hutan dan lahan yang disebabkan oleh penggunaan lahan eks-areal HPH tersebut? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui dampak ekonomi penggunaan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS. Sementara, secara khusus penelitian ini bertujuan: 1. Mengevaluasi perubahan tutupan hutan dan penggunaan lahan pada eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS. 2. Mengetahui biaya imbangan total (total opportunity cost) yang diakibatkan oleh penggunaan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS.

30 8 3. Mengevaluasi dampak ekonomi internalisasi biaya lingkungan terhadap penampilan usahatani tanaman komersial yang menggunakan lahan eks-areal HPH, di sekitar daerah penyangga TNKS. 4. Mengevaluasi dampak ekonomi alternatif kegiatan penanganan kerusakan hutan dan lahan yang disebabkan oleh penggunaan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS Kegunaan Penelitian Penelitian ini berguna untuk hal-hal berikut ini: 1. Hasil evaluasi perubahan tutupan lahan yang dilakukan dalam penelitian ini dapat digunakan oleh pihak-pihak seperti: Balai Taman Nasional Kerinci Seblat (BTNKS), Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten, Departemen Kehutanan dan Departemen Pertanian dalam menyusun rencana pengelolaan eks-areal HPH di daerah penyangga TNKS. 2. Biaya imbangan total penggunaan lahan eks-areal HPH yang didapatkan dari penelitian ini dapat digunakan untuk meningkatkan komitmen multi pihak dalam rangka rehabilitasi eks-areal HPH, sehingga mencegah terjadinya underpricing terhadap harga sumberdaya hutan dan memberikan kesadaran bahwa nilainya bukanlah sesuatu yang murah dan tak terbatas. Hal ini pada gilirannya akan lebih mendorong efisiensi dan sikap konservatif dalam menggunakan/mengalihfungsikan eks-areal HPH di daerah penyangga TNKS. 3. Menyajikan informasi kepada para pengambil kebijakan dan pengelola di bidang kehutanan dan pertanian mengenai kelayakan ekonomi pengusahaan alih fungsi lahan eks-areal HPH sehingga para pengambil kebijakan tersebut memiliki pertimbangan yang objektif dalam menghadapi derasnya tuntutan

31 9 masyarakat dan pemerintah daerah setempat untuk memanfaatkan sumberdaya eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS. 4. Memberikan informasi kepada para pengambil kebijakan dan pengelola hutan di tingkat operasional lapangan mengenai alokasi sumberdaya eks-areal HPH yang dapat dimanfaatkan dan dapat memberikan tingkat kepuasan tertentu pada berbagai kelompok yang saling berkepentingan. 5. Dari penelitian ini dapat disampaikan rekomendasi untuk meningkatkan ketepatan setiap penggunaan lahan eks-areal HPH, dengan demikian rencanarencana untuk pelaksanaan kegiatan dapat diperbaiki bilamana kegiatan sedang berjalan dan juga kegiatan-kegiatan yang akan datang dapat direncanakan lebih baik lagi jika kegiatan yang dievaluasi sudah selesai Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Secara umum, penelitian ini dapat dibagi atas dua bagian. Pada bagian pertama dilakukan evaluasi tutupan lahan terhadap eks-areal HPH di daerah penyangga TNKS yang meliputi kegiatan analisis perubahan tutupan lahan (land cover change) yang selanjutnya difokuskan pada kegiatan penggunaan lahan eksareal HPH. Evaluasi perubahan penutupan lahan dilakukan di dua eks-areal HPH, yakni di Kabupaten Bungo (Provinsi Jambi) dan Kabupaten Bengkulu Utara (Provinsi Bengkulu). Evaluasi dilakukan dengan menggunakan metode analisis citra digital untuk memperoleh hasil interprestasi citra satelit Landsat terhadap klasifikasi perubahan penggunaan eks-areal HPH dimaksud. Adapun klasifikasi perubahan tutupan lahan yang diteliti meliputi lima kegiatan alih fungsi lahan yang dominan, yakni: alih fungsi hutan primer dan hutan bekas tebangan (logged

32 10 over area atau LOA) menjadi perkebunan besar; kebun/ladang masyarakat; semak belukar, alang-alang dan lahan kosong atau tanah terbuka. Kegiatan penggunaan lahan yang diteliti meliputi kegiatan yang dilakukan oleh swasta dan masyarakat di sekitar kawasan yang memanfaatkan kawasan hutan yang terdapat pada eks-areal HPH di sekitar penyangga TNKS untuk dijadikan lahan perkebunan. Pada penelitian ini, areal perkebunan yang dievaluasi dibatasi pada studi kasus areal tanaman yang dominan diusahakan pada eks-areal HPH, yakni perkebunan kelapa sawit dan karet. Bagian kedua dari penelitian ini adalah evaluasi ekonomi, meliputi kegiatan valuasi ekonomi dan penentuan kelayakan ekonomi praktik penggunaan lahan. Valuasi ekonomi dalam penelitian ini meliputi kegiatan menghitung nilai kerugian yang ditimbulkan akibat praktik penggunaa lahan eks-areal HPH berupa kehilangan biaya sosial: (1) kehilangan nilai kegunaan langsung (direct use value losses), antara lain kehilangan kayu komersial dan hasil hutan non-kayu, (2) kehilangan nilai kegunaan tidak langsung (indirect use value losses), seperti: kehilangan pengontrol banjir, unsur hara tanah, karbon, (3) kehilangan nilai pilihan (option value losses), terdiri dari nilai pilihan dan nilai warisan, dan (4) nilai bukan kegunaan (non use value) yakni: nilai keberadaan (existence value). Mengingat manfaat dari usaha perkebunaan demikian beragam, maka dibatasi pada total nilai manfaat yang diterima dari usahatani (on farm). Sementara, pendugaan biaya meliputi: biaya investasi, biaya produksi, biaya pemeliharaan dan biaya sosial yang terjadi di lokasi penggunaan lahan (on site). Selanjutnya dilakukan estimasi dampak penggunaan lahan pada tataran proyek (project level) yang dibatasi pada dampak ekonomi (economic effects). Dampak

33 11 ekonomi meliputi tingkat pengembalian (rate of return) suatu kegiatan penggunaan lahan. Tingkat pengembalian ini diperoleh dari hasil analisis finansial dan analisis ekonomi meliputi: tingkat pengembalian internal atau internal rate return (IRR), rasio manfaat-biaya atau benefit-cost ratio (B/C ratio), dan nilai bersih sekarang atau net present value (NPV) Definisi Operasional (1) Evaluasi ekonomi merupakan suatu pendekatan yang didasarkan kepada biaya dan manfaat kegiatan/proyek terhadap ekonomi secara keseluruhan, diukur dengan nilai ekonomi. Evaluasi ini mengkaji seluruh dampak kegiatan ekonomi, termasuk konsekuensi lingkungan (Asian Development Bank, 1996). (2) Dampak ekonomi (economic effects) merujuk pada pengertian yang dikembangkan oleh Gittinger (1982). Dalam penelitian ini dampak ekonomi didefinisikan sebagai tingkat pengembalian (rate of return) suatu kegiatan alih fungsi lahan di eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS. (3) Valuasi ekonomi adalah proses mengenakan nilai (atau harga) kepada sumberdaya dan lingkungan eks-areal HPH di sekitar penyangga TNKS yang tidak diperjualbelikan di pasar atau tidak dihargai secara benar. (4) Perubahan tutupan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah keadaan lahan yang karena manusia, mengalami kondisi yang berubah pada waktu yang berbeda. (5) Pilihan penggunaan lahan (land use options) adalah tindakan yang secara sengaja dilakukan untuk memanfaatkan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS untuk dijadikan lahan perkebunan.

34 12 (6) Penutupan lahan (land cover) berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukan bumi. (7) Lahan perkebunan diartikan sebagai lahan yang penggunaannya untuk menghasilkan komoditas komersial, meliputi penggunaan lahan untuk tanaman kelapa sawit, karet, kopi, kayu manis dan sebagainya. (8) Lahan hutan merupakan daerah yang kepadatan tajuk pohonnya (persentase penutup tajuk) 10 persen atau lebih, batang pohonnya dapat menghasilkan kayu atau produksi kayu lainnya dan mempengaruhi iklim dan tata air lokal. Lahan yang tutupan tajuknya kurang dari 10 persen, tetapi lahan tersebut belum dimanfaatkan untuk penggunaan yang lain, maka lahan tersebut masih termasuk hutan. (Pengertian ini mengacu pada SK. Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Nomor: 041/Kpts/V/1998). (9) Biaya imbangan (opportunity cost) adalah manfaat yang dikorbankan apabila memilih melakukan alih fungsi lahan pada eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS (Schmid, 1993). (10) Pengertian daerah penyangga dalam penelitian ini mengacu pada pasal 16 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990, bahwa daerah penyangga TNKS adalah wilayah yang berada di luar kawasan TNKS, baik kawasan hutan lain, tanah negara bebas maupun tanah yang dibebani hak yang diperlukan dan mampu menjaga keutuhan TNKS. (11) Reboisasi adalah upaya penanaman pohon dalam rangka rehabilitasi lahan kritis pada eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS. (Pengertian ini mengacu pada SK. Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Nomor: 041/Kpts/V/1998).

35 13 (12) Reboisasi partisipatif adalah melibatkan peran serta masyarakat setempat dalam pengelolaan hutan dengan melakukan penanaman kembali pada lahan hutan yang rusak di dalam kawasan hutan dalam rangka meningkatkan penggunaan lahan kritis di eks-areal HPH. (13) Lahan kritis adalah lahan yang telah mengalami kerusakan, sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas yang ditentukan atau yang diharapkan. (Pengertian ini mengacu pada SK. Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Nomor: 041/Kpts/V/1998).

36 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengukuran Dampak Lingkungan Setiap kegiatan yang menggunakan sumberdaya alam, disamping menimbulkan manfaat, dapat pula menimbulkan biaya dalam bentuk penurunan aliran jasa lainnya atau disebut sebagai dampak dari kegiatan tersebut. Dikemukakan oleh Freeman III (1992), nilai dampak yang ditimbulkan dari suatu kegiatan ekonomi dapat diestimasi dengan menggunakan pendekatan nilai ekonomi total atau total economic value (TEV) 1. Pagiola, Ritter and Bishop (2004), menyusun representasi TEV seperti disajikan pada Gambar 1. Nilai penggunaan (use value) adalah nilai ekonomi yang dapat dimanfaatkan baik secara langsung maupun tak langsung. Nilai penggunaan langsung (direct use value) adalah barang dan jasa sumberdaya dan lingkungan yang digunakan langsung oleh manusia 2. Total Economic Value (TEV) Use value Non- use value Direct use value: 1. Consumptive 2. Non- consumptive Indirect use value Option Value 1. Option 2. Bequest Existence value Sumber: Pagiola, Ritter and Bishop, 2004 Gambar 1. Tipologi Barang dan Jasa Sistem Sumberdaya dan Lingkungan: Nilai Ekonomi Total 1 2 Freeman III (1992), mendefinisikan nilai ekonomi total sistem sumberdaya dan lingkungan merupakan penjumlahan dari nilai sekarang yang terdiskon (discounted present value) dari aliran semua jasa. Pagiola, Ritter and Bishop (2004), membedakan nilai penggunaan langsung menjadi consumptive use dan nonconsumptive use. Consumptive use misalnya adalah pemanenan produk makanan, kayu bakar, kayu untuk konstruksi, tanaman obat-obatan dan satwa buruan untuk dimakan, dan non-consumptive use seperti kegiatan wisata alam dan aktivitas budaya yang tidak memerlukan pemanenan produk.

37 15 Nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value) adalah nilai ekonomi yang diterima oleh masyarakat dari sumberdaya alam dan lingkungan secara tidak langsung, seperti manfaat ekologis dari hutan sebagai pengatur tata air, penyerapan karbon, iklim mikro dan pencegah erosi. Nilai pilihan (option value) diturunkan dari pilihan untuk melakukan preservasi bagi penggunaan barang dan jasa sumberdaya dan lingkungan di masa yang akan datang yang tidak dapat digunakan pada saat sekarang, baik bagi dirinya sendiri (option value) maupun bagi yang lainnya/ahli warisnya (bequest value). Nilai bukan penggunaan (non use value) merupakan nilai keuntungan yang dapat dinikmati manusia sehubungan dengan keberadaan sumberdaya alam dan lingkungan. Manusia dapat memberikan nilai pada sumberdaya hutan tanpa bermaksud untuk memanfaatkannya pada masa yang akan datang, yaitu mereka memberikan nilai secara murni pada sumberdaya alam, dengan harapan keberadaan sumberdaya hutan dapat dipertahankan terus-menerus. Nilai ini juga tercermin dari banyak pihak ingin memberi uang, waktu, ataupun barang untuk membantu melindungi jenis ekosistem yang langka dan akan terancam punah Nilai Ekonomi Hutan Tropika Kim (2002), menjelaskan hutan tropika sangat berperan terhadap keberadaan manusia di bumi ini, yaitu dapat menjamin dan meningkatkan kesejahteraan manusia. Karena pemanfaatan hutan tropika selama ini lebih banyak berorientasi pada kayu, memacu kerusakan dan kehilangan sumberdaya lainnya seperti keanekaragaman hayati dan penurunan fungsi hutan. Tabel 2 menjelaskan jenis-jenis ekosistem dan jasa lingkungan yang disediakan oleh masing-masing ekosistem. Namun, karena kawasan hutan

38 dikonversi menjadi peruntukan lainnya, mengakibatkan jasa ekosistem hutan terbatas atau tidak lengkap. Sebagai contoh konversi hutan menjadi ladang mengakibatkan kehilangan sumberdaya dan lingkungan antara lain: penyediaan air bersih, kayu dan hasil hutan non-kayu, serta pencegah bencana alam. Tabel 2. Jenis-Jenis Ekosistem yang Utama dan Jasa Lingkungan yang Disediakan Ekosistem 16 Jasa ekosistem Persawahan Ladang Hutan Perkotaan Airdalam tanah Pesisir Laut Polar Gunung pulau Air bersih Makanan Kayu dan hasil hutan non-kayu Produk baru (novel product) Pengaturan keanekaragaman hayati Konservasi tanah Kualitas udara dan Iklim Kesehatan manusia Penawar racun Mencegah bencana alam Budaya Sumber : Millenium Ecosystem Assesment dalam Pagiola, Ritter and Bishop, 2004 Suparmoko (2002), mengidentifikasi beberapa dampak negatif dari penebangan hutan tropika, diantaranya adalah hilangnya kayu hutan dan hasil ikutannya, dan ada kemungkinan timbulnya erosi tanah sehingga beberapa jenis tanaman ikut hilang atau menurun produktivitasnya. Untuk menghitung nilai kayu yang hilang digunakan angka volume kayu yang hilang dikalikan dengan rente ekonomi per unit (unit rent) 3. 3 Rente ekonomi (economic rent) adalah nilai yang harus dibayarkan kembali kepada pemerintah sebagai agen yang memperhatikan kepentingan umum dan menjaga terpeliharanya sumberdaya alam dan lingkungan (Suparmoko, 2002:45)

39 17 Untuk keperluan evaluasi penggunaan lahan hutan tropika, perlu diidentifikasi terlebih dahulu sumberdaya apa saja yang disediakan oleh suatu hutan tropis. Hutan tropis diibaratkan oleh Godoy (1992), sebagai kue lapis yang terdiri atas berbagai tipe manfaat. Pada Gambar 2, garis vertikal (aksis Y) merupakan nilai dollar untuk barang-barang dan jasa hutan meliputi: (1) rente kayu komersial, (2) hasil hutan non-kayu, (3) eksternalitas, (4) wisata, dan (5) keanekaragaman hayati. Garis horizontal (aksis X) menunjukkan dimensi waktu. $ (+) 0 5. Keanekaragaman hayati 4. wisata 3. Eksternalitas positif 2. Hasil hutan non-kayu 1. Kayu komersial waktu (-) Gambar 2. Manfaat Sosial Hutan Tropis Suatu perusahaan akan melakukan investasi untuk menggunakan lahan hutan jika nilai sekarang atau net present value (NPV) adalah positif yang ditunjukkan dalam Gambar 3 dimana area A lebih besar dari area B. Area B merepresentasikan biaya investasi awal seperti pembangunan jalan, pembelian mesin, dan lain sebagainya. A merepresentasikan manfaat finansial bersih yang diperoleh perusahaan dari satu kali produksi.

40 18 $ (+) A 0 B waktu (-) Gambar 3. Keputusan Investasi Swasta dalam Melakukan Penebangan Kayu Seperti diilustrasikan pada Gambar 4, perusahaan hanya akan menanamkan modalnya jika A >B+B merupakan biaya investasi dan B atau (X 1, X 5, X 6, X 4 ) merupakan pembayaran yang dilakukan oleh perusahaan kepada pemerintah sebelum produksi dimulai. Segi empat (X 5, X 2, X 3, X 6 ) merepresentasikan pemindahan manfaat dari perusahaan kepada pemerintah. Oleh karena itu, keuntungan bersih (net gain) perusahaan adalah sebesar A (keuntungan) dikurangi B (biaya investasi), sementara kerugian bersih (net losses) perusahaan sebesar B (pembayaran bersih kepada pemerintah). $ (+) b X 1 X 5 A X 2 5. Keanekaragaman hayati B 4. Wisata 3. Eksternalitas positif 2. Hasil hutan non-kayu X 4 X 6 1. Kayu komersial X 3 waktu B (-) Gambar 4. Keuntungan Penebangan Kayu dengan Penilaian Sosial yang Baik

41 Eksternalitas dan Tindakan Penanggulangannya Umumnya para ekonom menggunakan kriteria efisiensi untuk mengevaluasi alokasi sumberdaya dan prioritas kegiatan pada suatu proyek atau kebijakan. Konsep efisiensi yang menjadi dasar adalah pareto efficiency atau pareto optimal. Suatu kegiatan ekonomi atau proyek dikatakan memiliki alokasi sumberdaya yang efisien atau optimal menurut Just and Schmitz (1982), jika tidak ada lagi alternatif pengalokasian yang akan meningkatkan sekurangkurangnya satu orang menjadi lebih baik (better off) situasinya tanpa membuat pihak lainnya lebih buruk (worse off). Namun dalam kenyataannya kondisi optimal ini jarang ditemui, tetap saja ada pihak yang merasa dirugikan dari pelaksanaan suatu kegiatan ekonomi atau disebut juga dengan pareto-inferior. Keadaan ini dapat dilihat dari timbulnya eksternalitas atau dampak eksternal bagi pihak lain. Secara umum eksternalitas didefinisikan sebagai pengaruh yang diterima oleh pihak lain sebagai akibat dari kegiatan ekonomi. Lebih spesifik lagi disampaikan oleh Fauzi (2004), bahwa eksternalitas terjadi jika kegiatan ekonomi (produksi atau konsumsi) dari satu pihak mempengaruhi utilitas (kegunaan) pihak lain secara tidak diinginkan, dan pihak pembuat eksternalitas tidak menyediakan kompensasi terhadap pihak yang terkena dampak. Intervensi pemerintah paling tidak ditujukan untuk menghilangkan eksternalitas dan menciptakan alokasi sumberdaya dengan kondisi paretosuperior. Pada kondisi pareto-improvement ini paling tidak, terdapat seorang yang kedudukannya menjadi lebih baik, sedangkan tidak seorangpun yang kedudukannya menjadi lebih buruk (Panayotou, 1997).

42 20 Teori ekonomi standar mengenai ekternalitas diilustrasikan seperti Gambar 5 dimana Q merepresentasikan kegiatan ekonomi; MNPB (marginal net private benefit) merupakan tambahan manfaat bersih dari perubahan satu unit tingkat kegiatan ekonomi; dan MEC (marginal external cost) adalah nilai tambahan kerusakan lingkungan dari kegiatan ekonomi. Saat kegiatan ekonomi berada pada Q* merupakan kondisi sosial yang diinginkan dimana tingkat eksternalitas berada dalam kondisi yang optimal yakni sebesar area B. Namun, kondisi ini sulit dicapai karena pihak swasta sebagai operator kegiatan ekonomi, melakukan intensitas kegiatan ekonomi yang lebih tinggi, yakni pada tingkat Q Π. Pada tingkat ini manfaat bersih yang diperoleh swasta sebesar area A+B, namun menimbulkan tingkat eksternalitas yang merugikan (cost) sebesar area C + D. Cost, benefit X MNPB MEC A Y D B C O Q* Q Π Sumber: Pearce and Turner, 1990 Gambar 5. Definisi Ekonomi Eksternalitas yang Optimal Ilustrasi pada Gambar 5 ini memberikan proposisi penting bahwa konsep eksternalitas tidak lain adalah perbedaan antara biaya swasta (private cost) dan biaya sosial (social costs). Pearce and Turner (1990) mengatakan, jika perbedaan

43 21 ini tidak diatur, maka pihak yang menimbulkan kerusakan lingkungan (eksternalitas negatif) akan terus beroperasi pada titik Q Π dimana manfaat yang diterima sebesar area A + B + C, namun biaya eksternalitas (negative externality) yang ditimbulkan adalah sebesar area B + C + D, sehingga manfaat sosial bersih atau net social benefit (NSB) yang diterima = (A + B + C) (B + C + D). Panoyotou (1997), memahami bahwa NSB merupakan selisih antara manfaat kotor yang diterima dengan manfaat yang diabaikan (opportunity costs). Manfaat bersih yang diterima konsumen disebut dengan consumer surplus (CS). Sedangkan manfaat bersih yang diterima oleh produsen disebut dengan producer surplus (PS). Dengan demikian NSB adalah penjumlahan antara perubahan consumer surplus dan producer surplus Δ (CS + PS) yang disebut juga dengan social surplus (pengertian ini diringkas seperti terlihat pada Kotak 1). Kotak 1. Ringkasan: Net Social Benefit (Panayotou, 1997) Net Social Benefits: = Benefit gained (added) benefit given up (opportunity cost) = Δ(net benefit to consumer) + Δ (net benefit to producers) = Δ (willingness to pay actual payments)+ Δ (revenus opportunity cost) = Δ(CS) + Δ(PS) Dalam bentuk grafik, CS ditunjukkan dengan area di bawah kurva permintaan (demand curve) yang sekaligus mengekspresikan marginal benefit (MB) dari output kebijakan atau proyek. Sedangkan PS ditunjukkan dengan area di atas kurva penawaran (yang mengekspresikan marginal opportunity cost) dan di bawah tingkat harga (Gambar 6). Dari penjelasan di atas diperoleh pengetahuan penting bahwa dalam kaitannya dengan sumberdaya alam, biaya eksternalitas identik dengan total biaya imbangan atau total opportunity cost (diindikasikan dalam Gambar 6). Ini

44 22 diperkuat oleh Pearce and Turner (1990), yang menyatakan opportunity cost dan eksternalitas merupakan dua cara pandang yang berbeda dalam melihat masalah yang sama. Rp Rp Total willingnes to pay CS S=MC P Actual Payment D=MB=MWTP P PS Total opportunity cost 0 Q* Q 0 Q* Q Sumber: Panayotou, 1997 Gambar 6. Representasi Surplus Konsumen dan Produsen Jika kedua kurva pada Gambar 6 digabung, maka diperoleh diagram representasi surplus sosial (social surplus) seperti terlihat pada Gambar 7. Pada pasar persaingan yang berfungsi dengan baik dan tidak ada kegagalan pasar (market failure), pasar berada pada kondisi keseimbangan, yakni: (1) memaksimumkan surplus sosial, dan (2) mencapai pareto efisien. Q* adalah tingkat kegiatan ekonomi yang mengalami efisiensi alokatif. Gangguan terhadap proses keseimbangan ini akan merubah alokasi sumberdaya, selanjutnya akan menurunkan surplus sosial sehingga terjadi distorsi ekonomi. Sebaliknya, adanya eksternalitas negatif atau manfaat yang diabaikan menyebabkan terjadinya suatu alokasi yang tidak efisien.

45 23 Rp Net Social Benefit = Social Surplus = CS + PS S=MC P CS PS D=MB=MWTP Total opportunit Allocative Efficiency O Q* Q Sumber: Panayotou, 1997 Gambar 7 Representasi Diagram Surplus Sosial Secara konsepsual, alternatif pengendalian eksternalitas negatif yang ideal dikenal dengan the first best policy dimana pengendalian polusi dilakukan melalui bargaining dan negotiation antara pihak perusahaan yang menimbulkan dampak (pollutant) dengan masyarakat yang terkena polusi (suffer). Mekanisme yang digunakan dalam pelaksanaan kebijaksanaan ini adalah pemberian kompensasi sehingga kedua belah pihak tidak ada yang merasa dirugikan. Mengingat target the first best policy ini sulit dicapai, maka telah dikembangkan konsep the second best policy dimana pengendalian polusi dilakukan melalui intervensi pemerintah. Penerapan tindakan ini tidak akan menghilangkan dampak negatif polusi tetapi dalam konteks mengupayakan agar masyarakat menerima manfaat yang lebih besar dari dampak negatif yang ditimbulkan atau dikenal dengan prinsip society benefit > society cost. Dalam upaya menerapkan prinsip kemasyarakatan ini kedalam pengelolaan hutan, Fauzi (2004), mengedepankan pentingnya pengukuhan hak

46 kepemilikan (assigning property rights) 4 dan pemberian akses kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan. Pengukuhan hak akan meningkatkan manfaat dari pertukaran (gains from trade) atas eksternalitas. Pengukuhan hak kepemilikan akan efektif, hanya jika diketahui persis pihak mana yang melakukan eksternalitas. Dengan demikian, kerusakan lingkungan bisa dihitung dan tawarmenawar bisa dilakukan sehingga eksternalitas bisa dikurangi. Hal ini dimungkinkan karena pemberian hak akan meningkatkan gains (manfaat ekonomi) dari salah satu pihak dengan menurunkan gains dari pihak lain. Fauzi (2004), mengembangkan empat kemungkinan kombinasi yang dapat digunakan untuk memberikan akses dalam pengelolaan sumberdaya alam yang dapat menjamin pengelolaan sumberdaya alam yang lestari. Tipe pertama, hak kepemilikan sumberdaya berada pada komunal atau negara dengan akses yang terbatas. Kombinasi ini memungkinkan pengelolaan sumberdaya yang lestari; Tipe kedua, sumberdaya dimiliki secara individu (private) dengan akses yang terbatas. Pada tipe ini karakterteristik hak kepemilikan terdefinisikan dengan jelas dan pemanfaatan yang berlebihan bisa dihindari; Tipe ketiga adalah kombinasi antara hak kepemilikan komunal dan akses yang terbuka. Tipe ini akan melahirkan the tragedy of the common. Tragedi ini terjadi karena apa yang dihasilkan dari sumberdaya alam jangka panjang tidak lagi sebanding dengan apa yang dimanfaatkan oleh pengguna; Tipe keempat, suatu kombinasi yang jarang terjadi dimana sumberdaya dimiliki secara individu namun akses dibiarkan terbuka. Pengelolaan seperti ini tidak akan bertahan lama karena rentan terhadap 4 Hanley et al. (1997) dalam Fauzi (2004), menjelaskan bahwa hak kepemilikan akan terkukuhkan dengan baik (well-define property right) jika memenuhi karakteristik: (1) hak milik tersebut dikukuhkan pemilikannya baik secara individu maupun kolektif, (2) eksklusif, artinya seluruh keuntungan dan biaya penggunaan sumberdaya sepenuhnya menjadi hak (tanggung jawab) pemilik sumberdaya, (3) transferable (dapat dipindah-tangankan) karena hak pemilikan yang transferable akan menimbulkan insentif untuk mengkonservasi (melestarikan) sumberdaya tersebut, dan (4) terjamin (secure), dengan adanya jaminan memiliki maka akan timbul insentif untuk memperbaiki atau memperkaya sumberdaya tersebut selama masih dalam pemilikannya. 24

47 25 intrusi dan pemanfaatan yang tidak sah, sehingga sumberdaya akan cepat terkuras habis. Hubungan antara hak kepemilikan dan akses dalam pengelolaan sumberdaya alam digambarkan Fauzi (2204), dalam bentuk bagan. Sayangnya bagan yang ditampilkan belum sepenuhnya menggambarkan konsekuensi dari masing-masing akses (terbuka dan terbatas). Hal ini perlu diketengahkan karena setiap keputusan pengelolan yang dipilih harus mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan. Oleh karena itu dilakukan modifikasi gambar Fauzi (2004), menjadi sebagai berikut. Komunal Akses terbuka (Open acces) Kerusakan sumberdaya alam tidak terkendali Hak Kepemilikan Negara Individu Akses terbatas (Limited acces) Kerusakan sumberdaya alam terkendali Sumber: Fauzi, 2004 (dimodifikasi) Gambar 8. Hubungan antara Hak Kepemilikan dan Akses dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Selain mengupayakan pengukuhan hak kepemilikan, tindakan lainnya yang dapat dilakukan adalah menginternalkan dampak yang ditimbulkan, yakni memasukkan komponen biaya eksternal sehingga diperoleh output yang optimal. Teori ekonomi standar untuk menentukan ouput optimal adalah Coase Theorem (Coase, 1960 dalam Pearce and Turner, 1990). Pada kasus produksi komoditas yang menimbulkan eksternalitas negatif, dapat dijelaskan dalam Gambar 9.

48 26 Q Polusi Q of Polution Polusi yang belum mengeluarkan biaya eksternal untuk menghilangkan polusi yang sama dengan batas ambang polusi 0 Biaya bencana polusi Q 3 Q 2 Q 1 Q 3 =tingkat output yang polusinya belum memerlukan biaya eksternal Output= Q Total damage pollution Q 1 =tingkat output tanpa memperhitungkan biaya eksternal 0 Q 3 Q 2 Q 1 Output=Q MNPB, MEC MNPB MEC Q 2 =tingkat output optimal yang telah memperhitungkan biaya eksternal atau kondisi tercapainya polusi optimal 0 Q 3 Q 2 Q 1 Output=Q MEC 0 Q 3 Q 2 Q 1 Output Q Gambar 9. Penentuan Output Optimal dengan dan tanpa Biaya Eksternalitas pada Kasus Produksi Komolitas yang Menimbulkan Polusi Gambar 9 pada prinsipnya menjelaskan tentang pengaruh internalisasi biaya eksternal terhadap tingkat keluaran (output) suatu kegiatan ekonomi. Tanpa memasukkan biaya eksternal (internalisasi) tingkat output optimal terjadi pada saat MNPB=MEC atau pada tingkat Q 2. Namun jika biaya eksternal tidak diperhitungkan, tingkat output yang diusahakan pada tingkat Q 1. Hal inilah yang

49 pada gilirannya memicu terjadinya ekonomi ekspansif yang mengabaikan pelestarian sumberdaya alam. Intervensi pemerintah dalam pengendalian dampak negatif suatu kegiatan ekonomi dapat pula melalui koreksi pajak dengan menerapkan: kebijakan pajak dan kebijakan standar. Pada kebijakan pajak, diterapkannya strategi instrumen ekonomi atau economic instrument strategy, dimana setiap dampak yang ditimbulkan dikenakan pajak lingkungan (green tax), sedangkan pada kebijakan standar, pengendalian dampak negatif dilakukan melalui common and control (CAC) strategy. Pemerintah menetapkan standar emisi yang diperbolehkan, jika melebihi batas standar, polluter akan dikenakan sanksi/hukuman. Efektivitas kedua kebijakan ini tergantung dari magnitude kurva MNPB dan MEC. Jika kurva MNPB lebih curam dibanding kurva MEC, maka kebijakan standar akan lebih efektif. Sebaliknya, jika kurva MNPB lebih landai dibanding kurva MEC, maka kebijakan pajak akan terpilih (Gambar 10 dan 11). MNPB; MEC 27 MNPB1 Standard (S) MNPB2 MEC A B C Pajak (T) D E O Q 1 Q* Q 2 Output (Polusi) Gambar 10. Perbandingan Efektifitas Kebijaksanaan Standar dan Pajak (Studi Kasus: Kebijakan Pajak Lebih Efektif (ABD>BCE)

50 28 MNPB; MEC Standard (S) MEC MNPB1 MNPB2 Paja D A B C E O Q 1 Q* Q 2 Output (Polusi) Gambar 11. Perbandingan Efektifitas Kebijaksanaan Standar dan Pajak (Studi Kasus: Kebijakan Standar Lebih Efektif (ABD<BCE) 2.4. Analisis Biaya-Manfaat Lingkungan Panayotou (1997), menjelaskan bahwa Cost-Benefit Analysis (CBA) sebagai skenario yang meliputi perubahan yang diinginkan, penyusunan baselines, pengestimasian (prediksi) dampak fisik, penilaian dampak tersebut (untuk memperoleh manfaat), dan estimasi biaya untuk mencapai perubahan yang diinginkan. CBA bertujuan untuk membantu pembuatan keputusan sosial dan memfasilitasi alokasi sumberdaya yang lebih efisien. Karena sumberdaya terbatas, sementara kebutuhan tidak terbatas, maka CBA merupakan sangat diperlukan dalam rangka penyusunan prioritas menurut manfaat bersih suatu kebijakan atau proyek. CBA memiliki kelebihan dalam menyeimbangkan aspek-aspek manfaat suatu kebijakan atau proyek berkenaan dengan sumberdaya rill masyarakat yang harus dikorbankan untuk implementasi kebijakan atau proyek itu.

51 Pendekatan CBA yang paling mutakhir dalam banyak literatur disebut dengan extended CBA. Menurut Panayoutou (1997), extended CBA adalah pengintegrasian nilai lingkungan kedalam CBA. Tiwari (2000), menjelaskan perbandingan prinsip CBA konvensional dengan extended CBA yang ia sebut sebagai Environmental CBA 5, sebagaimana yang tersaji pada Tabel 3. Tabel 3. Perbedaan Prinsip Cost Benefit Analysis Konvensional dengan Environmental Cost Benefit Analysis 29 Cost Benefit Analysis Konvensional 1. Hanya total manfaat kegiatan ekonomi yang dihitung 2. Perubahan kesejahteraan ditentukan oleh perbedaan with dan without kegiatan ekonomi atau proyek 3. Pengukuran biaya didapat pada biaya opportunitas sosial, tetapi hanya biaya langsung yang dipertimbangkan 4. Manfaat produser diukur sebagai perubahan surplus produsen 5. Menggunakan suku bunga temporal aggregasi 6. Perubahan kesejahteraan tidak dinilai dengan uang (unmonetized) 7. Analisis sensitivitas dibuat dengan menggunakan asumsi yang berbeda Sumber: Tiwari, 2000 Environmental Benefit Cost Analysis 1. Total manfaat kegiatan ekonomi melampaui total biaya, tetapi juga mempertimbangkan kriteria lingkungan dan sustainabilitas sosial 2. Perubahan kesejahteraan ditentukan sebelum (before) dan setelah (after) proyek 3. Pengukuran biaya diperoleh dari biaya lingkungan dan harga kelangkaan sumberdaya yang secara bersamasama disebut dengan biaya imbangan sosial (social opportunity cost). 4. Manfaat produser diukur dari perubahan surplus produsen dan dalam waktu bersamaan dengan membandingkan WTP dengan harga supplai sumberdaya 5. Tingkat preferensi waktu atau suku bunga (discount rate) yang diterapkan biasanya lebih rendah dibandingkan CBA konvensional 6. Sedapat mungkin dampak-dampak dinilai dengan uang (monetized) 7. Analisis sensitifitas menggunakan NPV yang dihitung dari pespektif yang berbeda. 5 Untuk keperluan penjelasan yang praktis maka pada uraian selanjutnya sering digunakan E- CBA untuk menunjukkan Extended BCA atau Environmental BCA

52 Telaah Penelitian Terdahulu Kim (2002), dalam penelitiannya mengenai nilai ekonomi hutan tropika di Indonesia, memperhitungkan biaya sosial dalam analisis biaya manfaat eksploitasi hutan tropika. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan nilai ekonomi total dengan menggunakan teknik pemindahan manfaat (benefit transfer). Komponen dan besarnya biaya-biaya itu antara lain: biaya kerusakan tegakan tinggal (Rp /ha), biaya kerusakan hasil hutan non-kayu (Rp /ha/tahun), biaya penurunan jasa penyimpanan karbon (Rp /ha/tahun), biaya kehilangan nutrien tanah (hidro-orologis) sebesar Rp /ha/tahun), biaya penurunan indeks biodiversitas (Rp /ha/tahun), biaya penurunan nilai pilihan (Rp 3 000/ha/tahun), dan biaya penurunan nilai keberadaan (Rp 9 000/ha/tahun), sedangkan nilai warisan tidak dihitung oleh Kim dalam penelitiannya. Hodgson and Dixon (1988), menduga salah satu biaya imbangan non pasar penebangan kayu komersial, yakni potensi kehilangan manfaat perikanan dan daerah resapan air. Jonish (1992), mengevaluasi biaya imbangan penerapan pengelolaan hutan berkelanjutan di Malaysia, berupa potensi kehilangan pekerjaan pada industri kayu. Loomis et al. (1989), menghitung biaya imbangan konversi lahan menjadi perumahan di California, berupa kehilangan kesempatan berburu dan melihat rusa. Saastamoinen (1992), mengevaluasi kehilangan manfaaat kayu komersial dari preservasi hutan di Filipina. Howard (1995), melakukan evaluasi ekonomi terhadap pengelolaan kawasan lindung. Estimasi indirect benefits dihitungnya menggunakan data sekunder tentang produksi ikan, biaya penanaman hutan dan emisi karbon. Option value diestimasi dengan manfaat komersial dari genetic material. Data tambahan biaya diperoleh dari pengeluaran pemerintah dan kontribusi keuangan

53 31 internasional untuk kawasan lindung. Opportunity costs diperoleh dari estimasi keuntungan bersih terhadap pembangunan pedesaan dan pertanian. Indirect benefits dan non use benefits diestimasi dengan menggunakan pendekatan fungsi produksi untuk mengestimasi nilai jasa perlindungan daerah tangkapan air (watershed protection). Karena sumber air merupakan bagian penting dari sistem hidrologi dan mengatur volume dan kualitas air di daerah bawahan, maka hutan sangat mendukung industri perikanan. Nilai jasa perlindungan daerah tangkapan air ini diasumsikan sama dengan nilai kontribusi industri yang tergantung dengan sumber air tersebut. Jasa hutan sebagai penyerap karbon dinilai dengan menggunakan dua teknik: biaya kerusakan yang dihindari dan biaya pengganti. Pada pendekatan pertama, jasa dinilai sekitar US$ 17 juta/tahun. Penggunaan biaya penggantian jasa penyerapan karbon bernilai US$ 20 juta/tahun. Option value diduga dengan menggunakan pemanfaatan untuk keperluan farmasi (US$ 0.40 juta/ha hutan (rain forest)) dan US$ 0.20 juta/ha savannah dan wetland serta pemanfaatan untuk bahan genetik (US$ 1.5 juta). Untuk analisa ekonomi, biaya-manfaat non-pasar dan biaya imbangan dari area yang diproteksi diperhitungkan oleh Howard. Manfaat non-pasar dibaginya menjadi direct dan indirect use values dan option value. Direct use untuk kayu dan hasil hutan non kayu (HHNK) yang dimanfaatkan oleh penduduk lokal diperkirakan (berdasarkan hasil survei) sekitar US$ 74 juta/tahun. Direct use benefits dari turis menyediakan tambahan sebesar US$ 16 juta/tahun. Indirect benefits dari jasa lingkungan hutan yang dihitung untuk penyerapan karbon (carbon sequestration) mencapai US$ 17 juta/tahun dan watershed protection

54 32 (US$ 14 juta/tahun). Option value lebih dari US$ 2 juta, berdasarkan pada pengeluaran perusahaan farmasi dan agro-chemical untuk penggunaan materi genetik yang dilindungi. Dari sisi biaya, tambahan biaya yang harus dikeluarkan pemerintah (US$ 3 juta/tahun), opportunity cost per tahun dalam bentuk manfaat yang hilang dari kegiatan pertanian dan pedesaan (US$ 111 juta) dan biaya langsung dari kerusakan tanaman dan ternak (US$ 76 juta). Sebagai tambahan, dalam analisa ekonomi pengeluaran negara donor harus diperhitungkan sebagai biaya. Dengan memperhitungkan seluruh biaya dan manfaat, Howard mengestimasi total nilai sistem kawasan lindung menjadi negatif US$ 1.08 milyar, atau negatif US$ 332/ha. Howard juga menemukan bahwa masyarakat lokal yang tinggal di sekitar kawasan mengalami kerugian sekitar US$ 135/rumah tangga/tahun sedangkan maanfaat yang diperoleh berkisar antara US$ 30 hingga US$ 136/rumah tangga/tahun. Sedangkan manfaat dari ikan tidak ada biaya yang diestimasi, melainkan manfaat dari jasa proteksi daerah tangkapan air. Analisis finansial yang dilakukan oleh Howard menghasilkan NPV yang positif yakni US$ 37.2/ha, sedangkan analisa ekonomi menghasil NPV negatif yakni US$ 332.4/ha. Hasil ini memperlihatkan bahwa terjadi kerancuan dalam insentif finansial yang dihadapi oleh pemerintah dan opportunity cost yang besar berkenaan dengan kawasan lindung dengan kepadatan yang tinggi. Rekomendasi kebijakan yang diusulkan berkenaan dengan upaya bagaimana agar kesejahteraan yang diperoleh lebih besar dari biaya kawasan. Studi yang dilakukan oleh Howard ini mendapat respon dari Bishop (1999), bahwa analisis yang dilakukan oleh Howard hanya melihat hutan lindung

55 33 dari perspektif makro sehingga beberapa kawasan lindung lebih mudah dijustifikasi dalam bentuk ekonomi dibandingkan yang lainnya, misalnya manfaat yang hilang dari kegiatan pertanian yang mengakibatkan kesuburan lahan menjadi lebih rendah atau remote areas. Isu sustainability tidak dianalisis secara eksplisit, demikian pula kasus ekstraksi kayu dan HHNK, serta kasus perhitungan manfaat yang hilang dari kegiatan pertanian atau pedesaan. Degredasi tanah sebaiknya menjadi perhatian jika kawasan lindung dikonversi menjadi peruntukan lain, misalnya untuk pertanian. Elaborasi kemungkinan yang lain meliputi sensitivity analysis untuk menguji kesahihan hasil perubahan tertentu pada asumsi kunci, shadow pricing of marketted items dan penggunaan suku bunga sosial pada analisis ekonomi mempertimbangkan penggunaan langsung yang lainnya (misalnya air minum yang bersih) dari kawasan lindung. Untuk keperluan dugaan hasil hutan non-kayu, menarik untuk menyimak studi yang dilakukan oleh Chopra (1993), di hutan tropika di India. Dalam penelitiannya, Chopra mengetengahkan analisa finansial biaya-manfaat hutan non kayu terhadap hutan tropis basah dan hutan tropis kering dari hutan sekunder berdasarkan nilai total ekonomi. Analisa meliputi nilai manfaat langsung dan tak langsung, nilai pilihan dan nilai keberadaan. Suku bunga yang digunakan adalah 12 persen selama 30 tahun waktu perencanaan, digunakan untuk menghitung net present value (NPV). Metode valuasi yang digunakan adalah teknik pasar dan non-pasar (market and non market based techniques). Hasil studi ini menunjukkan bahwa jumlah nilai guna langsung dan tak langsung dari hutan yang diestimasi diperkirakan antara US$ 220/ha/tahun dan US$ 357/ha/tahun.

56 34 Berkaitan dengan peranan masyarakat dalam pengelolaan hutan, Gunatilake et al. (1993), menduga manfaat ekonomi hutan berdasarkan kegiatan masyarakat di sekitar kawasan hutan negara di Srilangka. Metode harga pasar produk atau harga barang substitusi digunanakan untuk menilai HHNK utama yang dieksploitasi oleh masyarakat lokal. Sementara itu pendekatan sistem bercocok tanam digunakan untuk menjelaskan seluruh kegiatan ekonomi masyarakat serta untuk menduga pendapatan bersih dan pendapatan non-moneter (tanpa memasukkan ongkos tenaga kerja dalam keluarga). Harga produk di lokasi usahatani dan hutan (farm and forest gate price) digunakan untuk mengestimasi pendapatan, disesuaikan dengan ongkos transpor ke lokasi. WTP digunakan untuk menilai tanaman obat-obatan. Hasil studi ini mengungkapkan bahwa HHNK (tidak termasuk rumput) menyediakan US$ 253/rumah tangga/tahun, atau sama dengan 16.2 persen dari total pendapatan. Return untuk kawasan dari pengambilan HHNK sekitar US$ 92/ha/tahun, dibandingkan US$ 399 dan US$ 1 034/ha/tahun, masing-masing untuk kegiatan bercocok tanam dan produksi kapulaga (cardamom). Hadker et al. (1997), yang menduga WTP penduduk untuk konservasi kawasan lindung Borivli menarik pula untuk disimak. Survei dilakukan di lima kawasan yang padat dan mengalami ancaman perambahan dan deforestasi yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Penelitian ini menggunakan metode Contingent Valuation dengan memakai formulasi pilihan double-bounded dichotomous (dimana responden ditawarkan dua jumlah penawaran secara berurutan), penawaran keduanya tergantung dari respon terhadap penawaran yang pertama). Hasil penelitian ini menemukan bahwa rata-rata WTP rumah tangga

57 35 yang diestimasi mencapai US$ 0.23/bulan atau secara agregat memiliki present value sekitar US$ 31.6 juta, dimana jauh di atas budget sekarang untuk memelihara kawasan yakni sebesar US$ juta. Sementara itu, Prasanthi et al. (1999), yang juga menggunakan CVM, melakukan dugaan nilai penggunaan dan bukan penggunaan hutan hujan tropis seluas ha di Srilangka. Nilai ekonomi yang dipertimbangkan meliputi nilai penggunaan dan nilai bukan penggunaan dalam upaya menghitung nilai total ekonomi hutan lindung. Nilai kegunaan meliputi manfaat langsung yang berasal dari ekstraksi produk hutan, non-consumptive uses seperti rekreasi, dan manfaat tidak langsung dari jasa lingkungan hutan lindung dan digabungkan dengan pertanyaan WTP tunggal. Dalam penelitian ini digunakan open-ended CVM yang merupakan bagian dari WTP individu terhadap nilai kegunaan dan bukan kegunaan termasuk nilai keberadaan (exiestence values). Walsh et al. (1990), menyajikan studi kasus manfaat pelestarian dari pemanfaatan hutan secara intensif di negara bagian Colorado, USA, termasuk isuisu penurunan kualitas. Nilai yang dihitung menggunakan CVM, dan hasilnya diuji dengan berbagai kemungkinan pengaruh atau bias. Nilai ekonomi yang dipertimbangkan antara lain nilai kegunaan langsung (rekreasi), nilai pilihan dan nilai bukan kegunaan (nilai keberadaan dan warisan). Total WTP per tahun ratarata US$ 47/rumah tangga dengan tingkat kepercayan 95 persen sebesar US$ 32 hingga US$ 62. Nilai bukan kegunaan pelestarian direpresentasikan mendekati ¾ dari total manfaat, dan keinginan mereka meningkatkan manfaat diestimasikan lebih dari 2 kali dan ½ kali dari nilai rekreasi itu sendiri.

58 36 Penelitian mengenai nilai manfaat hutan tropika juga dilakukan oleh Chomitz and Kumari (1998), yang melakukan dugaan terhadap perubahan nilai manfaat hidrologis dan hasil hutan non-kayu kawasan hutan. Nilai manfaat hidrologis yang diperhitungkan berasal dari dampak perubahan penggunaan lahan, diantaranya adalah: erosi dan sedimentasi, kerusakan dam, produksi ikan, suplai air dan kekeringan. Chomitz and Kumari menyimpulkan antara lain bahwa pelestarian hutan menghasilkan manfaat domestik yang substansial dalam mengurangi erosi yang dihasilkan dari berbagai perubahan seperti pembangunan jalan, tanaman tahunan, semak belukar, dimana kawasan yang dipengaruhi berdampak langsung terhadap arus/aliran, reservoir, dan daerah tangkapan air yang dipengaruhi adalah kecil, curam, dan rawan erosi. Cruz et al. (1988) dalam Chomitz and Kumari (1998), melaporkan erosi di sekitar dam Pantabangan, Filipina mengakibatkan kerugian sebesar US$ 4/ha/tahun sebagai akibat alih fungsi hutan. Proteksi hutan akan menyediakan manfaat lebih kurang US$ 80/ha pada tingkat suku bunga 5 persen. Mengenai nilai manfaat proteksi hutan ini juga dilaporkan oleh Shahwahid et al. (1997), yang melakukan penelitian di Hulu Langat Forest Reserve, Malaysia, bahwa proteksi hutan menghasilkan manfaat sebesar US$ 44/ha/tahun. Biaya imbangan larangan penebangan kayu komersial sekitar US$ 1 400/ha. Dengan demikian manfaat bersih dari proteksi hutan adalah US$ 1 356/ha. Eade and Moran (1996), dalam penelitiannya menyajikan aset lingkungan dalam dua dimensi, yakni dalam bentuk peta-peta nilai ekonomi termasuk nilai non-pasar. Tujuannya adalah untuk mengestimasi efek spasial perubahan nilai ekonomi pada peta-peta tersebut dan melakukan penilaian dengan menggunakan

59 37 geografical information system (GIS). Metode yang digunakan dalam menduga total nilai ekonomi kawasan konservasi Rio Bravo, Brazil ini adalah dengan memanfaatkan GIS dan menghitung nilai ekonomi aset lingkungan tersebut dengan menggunakan teknik benefit transfer. Nilai ratio, interval atau nominal aset lingkungan ini dikalikan dengan nilai manfaat aset lingkungan pada tempat lain (dengan menggunakan teknik benefit transfer) menghasilkan nilai aset lingkungan yang bersangkutan. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa total nilai ekonomi aset-aset lingkungan kawasan Rio Bravo adalah antara US$ sampai dengan US$ /sel.

60 III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS Daerah penyangga kawasan yang dilindungi (protected area) memiliki dua fungsi utama, yaitu: (1) penyangga perluasan, yang berfungsi memperluas kawasan habitat yang terdapat di kawasan yang dilindungi kedalam kawasan penyangga hutan produksi dengan tebang pilih di sekitar daerah penyangga merupakan contoh dari penyangga perluasan, dan (2) penyangga sosial, di mana pemanfaatan sumberdaya alam dari kawasan penyangga merupakan hal sekunder dan tujuan pengelolaannya adalah menyediakan produk yang dapat digunakan atau berharga bagi masyarakat setempat penggunaan tanah untuk tujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan tujuan utama dari kawasan yang dilindungi (Mackinnon et al., 1990). Dijelaskan lebih lanjut oleh Mackinnon et al. (1990), bahwa dalam pengelolaan daerah penyangga, prioritas pertama harus ditujukan bagi keperluan perlindungan kawasan yang dilindungi, kemudian untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekitarnya akan produk alam yang dapat dipungut hasilnya, dan terakhir adalah untuk tanaman perdagangan/komersial. Untuk menjembatani antara kepentingan konservasi dan peningkatan ekonomi masyarakat di sekitar daerah penyangga, Mackinnon et al. (1990), mengajukan dua tipe daerah penyangga yang utama, yakni: penyangga hutan dan penyangga ekonomi. Penyangga hutan dapat berupa hutan alami, hutan sekunder yang diperkaya atau bahkan perkebunan dimana penekanannya adalah memaksimalkan hasil yang berkelanjutan untuk digunakan oleh penduduk desa setempat, selain berfungsi melindungi air dan tanah. Penggalakkan hutan tanaman di daerah penyangga merupakan salah satu strategi pengelolaan sumberdaya lahan

61 39 yang efektif untuk menjamin keutuhan kawasan yang dilindungi dalam jangka panjang. Penyangga ekonomi merupakan daerah yang diperlukan untuk mengurangi keperluan masyarakat desa dari mengambil sumberdaya dari dalam kawasan konservasi. Penyangga ini dapat berbentuk bantuan khusus pertanian, sosial atau komunikasi, atau lahan produktif, perburuan terkendali di daerah penyangga dekat kawasan konservasi, bahkan uang tunai dari penghasilan kawasan konservasi. Dari penjelasan mengenai daerah penyangga tersebut, dapat ditarik tiga hal penting. Pertama, perlindungan terhadap ekosistem TNKS merupakan kepentingan yang utama, sehingga pemanfaatan lahan eks-areal HPH yang terdapat di sekitar daerah penyangga TNKS harus ditujukan untuk mendukung fungsi perlindungan. Kedua, keberadaan hutan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS diperlukan karena memberikan manfaat ekologis kepada masyarakat/wilayah sekitarnya, sehingga keberadaan hutan di kawasan ini seharusnya diupayakan. Ketiga, pemanfaatan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS untuk dijadikan kawasan budidaya tanaman komersial dimungkinkan untuk kepentingan meningkatkan perekonomian masyarakat di sekitarnya, sepanjang mendukung fungsi perlindungan terhadap TNKS. Menyimak ketiga hal tersebut, perhatian terhadap alokasi sumberdaya lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS menjadi isu yang sangat penting. Alokasi sumberdaya lahan dimaksud adalah terbukanya pilihan-pilihan penggunaan lahan (land use options) yang diharapkan mampu menjembatani antara kepentingan konservasi (jangka panjang) dengan penggunaan lahan untuk mendapatkan manfaat (dalam jangka pendek).

62 40 Paska penerapan kebijaksanaan otonomi daerah kepentingan untuk menggunakan lahan eks-areal HPH untuk dijadikan lahan usahatani tanaman komersial semakin meningkat. Alasan yang mengemuka karena daerah dihadapkan pada ketersediaan lahan produktif yang terbatas, sementara permintaan lahan sejalan dengan pertumbuhan penduduk terus bertambah. Persepsi yang berkembang terutama di tingkat elit lokal adalah penggunaan lahan eks-areal HPH, bukan hal yang buruk bila dilakukan dengan cermat dan mempertimbangkan kelestarian aset lingkungan hutan daripada lahan terlantar, lebih baik digarap selain memberikan pemasukan bagi daerah/negara juga akan membuka lapangan kerja. Dalam menghadapi situasi ini, proses pengambilan keputusan merupakan tahap yang sangat menentukan bagi penggunaan lahan eks-areal HPH yang terdapat di daerah penyangga TNKS. Sepanjang perlindungan terhadap TNKS diletakkan pada kepentingan yang utama, maka perlu diupayakan agar posisi tawar (bargaining position) kawasan hutan di eks-areal HPH meningkat. Caranya adalah dengan mempertimbangkan nilai kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat praktik penggunaan lahan. Identifikasi, kuantifikasi dan valuasi dampak memberikan informasi tentang komponen biaya dan manfaat yang terkandung dalam praktik penggunaan lahan. Hasil penilaiannya diperlukan untuk kepentingan internalisasi biaya sosial dalam analisis aliran kas. Dengan demikian, pilihan penggunaan lahan mana yang diambil, disamping harus mempertimbangkan manfaat dan biaya pengembangan, juga biaya sosial dari keputusan tersebut (biaya imbangan).

63 41 Secara garis besar aturan yang dijadikan landasan dalam pengelolaan sumberdaya alam, adalah: (1) konversi dapat dilakukan jika: (B D C D B P )>0, yang berarti manfaat dari kegiatan tersebut lebih besar dari biaya pengembangan dan biaya imbangan; dan (2) konversi tidak dilakukan jika: (B D C D B P ) < 0 karena manfaat yang diperoleh jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan biaya pengembangan dan biaya imbangan yang ditimbulkan. B D berkenaan dengan manfaat kegiatan yang dikembangkan, C D berkenaan dengan biaya kegiatan, dan B P berkenaan dengan biaya imbangan atau biaya sosial yang ditimbulkan (Pearce and Turner, 1990). Kedua kriteria tersebut merupakan pendekatan umum yang digunakan dalam melakukan evaluasi ekonomi terhadap praktik penggunaan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS. Dilihat dari pelaksanaanya, evaluasi ekonomi yang dilakukan meliputi analisis ex-post maupun ex-ante. Analisis ex-post ditujukan untuk memberikan masukan yang objektif dan konstruktif dalam rangka memperbaiki dan mendukung dilaksanakannya aturan yang sudah disusun. Pada analisis ini, evaluasi dilakukan untuk praktik penggunaan lahan yang telah berlangsung atau sedang berjalan. Sementara, analisis ex-ante ditujukan untuk mengevalusi alternatif rehabilitasi hutan dan lahan yang mengalami kerusakan sebagai akibat dilakukannya praktik penggunaan lahan yang tidak lestari Peyusunan Model Teoritis Rumah tangga yang tinggal di sekitar daerah penyangga TNKS terdiri atas petani yang mengelola usahataninya secara tradisional dan petani plasma di perkebunan swasta. Mereka juga memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara mengambil berbagai hasil hutan dari hutan primer maupun hutan bekas tebangan di daerah penyangga TNKS. Hasil usahatni tanaman komersial yang mereka peroleh antara laian: kelapa sawit, getah karet dan kopi yang kesemuanya

64 42 ditujukan untuk dijual di pasar. Namun, untuk produk pertanian tanaman pangan digunakan mereka untuk memenuhi kebutuhan keluarga (subsystem). Dalam teori produksi sederhana, lahan dan tenaga kerja merupakan faktor produksi utama. Rumah tangga melakukan kegiatan bercocok tanam secara tradisional dengan cara menebang hutan bekas tebangan yang dilanjutkan dengan melakukan ekstensifikasi usahatani. Model teoritis yang disusun dalam bab ini merupakan model neo-klasik yang menyediakan suatu pemahaman mengenai prilaku petani yang melakukan praktik penggunaan lahan eks-areal HPH di daerah penyangga TNKS. Pada mulanya ketika masih dalam pengelolaan HPH, rumah tangga tidak dapat melakukan perluasan areal pertanian, mereka hanya memiliki akses T ha lahan. Kemudian, paska pengelolaan HPH, mereka mengambil kesempatan melakukan kegiatan produksi melalui penggunaan lahan (eks-area HPH) untuk dijadikan usahatani, sehingga mereka memiliki lahan yang lebih luas yakni T dimana (T T ). Dengan demikian, rumah tangga memiliki tambahan lahan seluas ΔT ha (ΔT 0) lahan. Areal yang digunakan berupa hutan bekas tebangan dan hutan primer. T T = ΔT = ΔTb+ ΔTp... (1) Bertambahnya lahan yang digunakan dalam kegiatan usahani, berdampak langsung terhadap tingkat penerimaan, pengeluaran, dan keuntungan bersih maksimum. Perubahan keuntungan yang diperoleh rumah tangga adalah: (ΔT) = (T t )- (T)... (2) (T t ) adalah keuntungan bersih maksimum yang diperoleh oleh rumah tangga setelah melakukan perluasan areal usahatani melalui penggunaan lahan eks-areal

65 43 HPH pada tahun t. (T) adalah keuntungan bersih maksimum yang diperoleh rumah tangga sebelum melakukan penggunaan lahan eks-areal HPH. Untuk menduga perubahan kesejahteraan rumah tangga tersebut, dilakukan dengan mempertimbangkan fungsi pengeluaran (expenditure function) rumah tangga di sekitar kawasan tersebut. Fungsi pengeluaran biasa digunakan dalam ekonomi kesejahteraan untuk mengkaitkan antara pendapatan dan utilitas melalui fungsi utilitas tidak langsung (indirect utility function). Fungsi ini adalah pengeluaran minimum yang diperlukan untuk memperoleh tingkat utilitas tertentu (Varian, 1992). Dalam kasus penggunaan lahan eks-areal HPH di daerah penyangga TNKS, fungsi pengeluaran diformulasikan sebagai berikut: e(pm, Pa, w, Pk,Uo,T ) = Min. PmXm + PaXa... (3) dimana, Pm adalah suatu vektor harga di pasar barang, Pa adalah suatu vektor harga barang sumberdaya eks areal HPH, w = upah, Pk adalah suatu vektor harga barang-barang modal, Uo = fungsi utilitas tidak langsung rumah tangga, T adalah luas lahan yang ditetapkan sebagai lokasi usahatani, Xm adalah suatu vektor dari barang yang dibeli oleh rumah tangga, dan Xa adalah suatu vektor dari barang sumberdaya yang dapat dihasilkan subject to, U(Xm, Xa) = Uo... (4) dimana: Uo merupakan fungsi utilitas tidak langsung rumah tangga, yakni Uo=V(Pm, Pa, Pk, w, T, Y)... (5) dimana: Y adalah tingkat pendapatan dan Uo adalah kepuasan maksimum yang diperoleh jika tidak ada hutan konsesi di daerah penyangga TNKS. Sehingga fungsi pengeluaran e(.) adalah jumlah pendapatan minimum yang diperlukan oleh rumah tangga untuk mendapatkan tingkat utilitas yang akan

66 44 diperoleh jika tidak ada fungsi perlindungan daerah penyangga TNKS. Biaya yang dikeluarkan rumah tangga sama dengan perubahan keuntungan yang dihasilkan dari perubahan akses terhadap lahan. Karena adanya perluasan lahan yang dapat diusahakan dalam kegiatan produksi dari T ke T melalui penggunaan lahan eks-areal HPH, mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap kepuasaan maksimum yang diperoleh oleh rumah tangga yang bersangkutan. Oleh karena itu diperlukan perubahan terhadap pengeluaran minimum yang diperlukan untuk mempertahankan kepuasaan yang sama sebagai akibat adanya perubahan luas lahan. Perubahan kesejahteraan tersebut dinyatakan sebagai Hicksian compensation surplus (Mitchael and Carson, 1989). Kondisi tersebut dapat ditulis sebagai berikut: e(pm, Pa, w, Uo, T ) e(pm, Pa, w, Uo, T)... (6) dimana: e(pm, Pa, w, Uo, T ) merupakan pengeluaran minimum yang diperlukan untuk memperoleh tingkat kepuasan (Uo) dengan dimanfaatkannya eks-areal HPH, sehingga persamaan menjadi: e(pm, Pa, w, Uo, T ) = e (Pm, Pa, w, Uo, T ) + (T )... (7) dimana: e (Pm, Pa, w, Uo, T ) + (T ) mencerminkan pendapatan minimum eksogen (exogenous income) yang diperlukan untuk memperoleh tingkat kepuasaan Uo pada luas lahan T, jadi e (Pm, Pa, w, Uo, T ) + (T ) = min(pmxm+paxa PaA w (La) Pk K)... (8) merupakan fungsi produksi rumah tangga, A = a(la, K, T ) dimana A adalah tingkat produksi, K adalah jumlah barang modal dan T adalah luas lahan setelah dimanfaatkannya eks-areal HPH melalui kegiatan penggunaan lahan subject to

67 45 U (Xm, Xa)... (9) Karena pada saat dalam pengelolaan HPH eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS tidak dapat dimanfaatkan, tingkat kepuasaan sama dengan kepuasan minimum, dengan pendapatan rendah, maka dualitas (duality) antara pengeluaran dan fungsi utilitas tidak langsung menghasilkan fungsi pengeluaran sama dengan pendapatan optimal (Y*) setelah dimanfaatkannya eks-areal HPH, sehingga e(pm, Pa, w, Uo, T ) = Y*... (10) Oleh karena kesejahteraan meningkat setiap tahunnya sebagai akibat dari perubahan penggunaan lahan, maka persamaan (10) dapat ditulis dengan: e(pm, Pa, w, Uo, T ) = Y* dimana T T... (11) Dengan memasukkan dimensi waktu terhadap nilai uang (time value of money) maka total kesejahteraan yang meningkat dapat dirumuskan: ΔSW = i t ( e ( Pm, Pa, Ps, Uo, T ') Y *) t (1 + r) t t... (12) dimana: e t (.) menyatakan pengeluaran minimum yang diperlukan untuk memperoleh kepuasan Uo pada tahun t, dan r merupakan tingkat suku bunga. Suatu rumah tangga yang melakukan kegiatan penggunaan lahan eks-areal HPH, disamping menghasilkan penerimaan dari usahatani juga menghasilkan barang-barang dan jasa lingkungan. Dengan kata lain, terdapat manfaat langsung (direct benefits) dan manfaat tidak langsung (indirect benefits) berupa manfaat lingkungan (+) yang dinotasikan b t dan eksternalitas (-), yang dinotasikan dengan e t. Sedangkan beberapa elemen lainnya bersifat negatif, yakni biaya langsung (direct cost) misalnya biaya produksi untuk membeli input atau biaya yang

68 dikeluarkan lainnya, dinotasikan c t. Dengan memasukkan elemen tersebut, maka persamaan (12) dapat dikembangkan menjadi 46 ΔSW = t bt (1 + r) t ct (1 + r) t et (1 + r) t... (13) Jika masing-masing b t, c t dan e t dikalikan dengan harga tertentu (Pt), maka didapat nilai manfaat langsung yang dinotasikan dengan B t, biaya langsung yang dinotasikan dengan C t dan manfaat dan biaya lingkungan yang dinotasikan dengan Et. Sehingga persamaan menjadi ΔSW = t Bt (1 + r) t Ct (1 + r) t Et (1 + r) t... (14) dimana: ΔSW adalah total perubahan kesejahteraan yang diperoleh oleh masyarakat (social gain) setelah mereka mendapatkan tambahan lahan ataupun akses terhadap pemanfaatan lahan di kawasan eks-areal HPH. Dalam upaya mengevaluasi kegiatan penggunaan lahan eks-areal HPH yang dilakukan di sekitar daerah penyangga TNKS, persamaan (14) dapat dikonversikan dalam bentuk kriteria Nilai Bersih Sekarang (Net Present Value atau NVP), seperti berikut ini: NPV = t Bt (1 + r) t Ct (1 + r) t Et (1 + r) t > 0... (15) dimana: B t merupakan manfaat langsung pada periode-t, C t adalah biaya langsung pada periode-t, E t adalah manfaat dan biaya lingkungan pada periode-t, r adalah tingkat suku bunga, dan t adalah discount period. Secara umum persamaan (15) dapat ditulis dalam model analisis biayamanfaat lingkungan atau Environmental Benefit-Cost Analysis (E-BCA) model sebagai berikut:

69 ( C E )(. 1+ r) t B t t t > 0... (16) 47 Persamaan (16) merupakan model utama yang digunakan dalam melakukan evaluasi ekonomi praktik penggunaan lahan eks-areal HPH di daerah penyangga TNKS. Tiwari (2000) menegaskan bahwa E-BCA model memiliki kemampuan mengevaluasi pengembalian ekonomi suatu investasi atau proyek pembangunan dengan memperhitungkan aspek lingkungan. Dalam penelitian ini, model E-BCA digunakan untuk mengevaluasi kelayakan ekonomi suatu pilihan penggunaan lahan (land use options) dengan cara internalisasi, yakni menginternalkan biaya eksternalitas dalam analisis ekonomi. Dengan cara ini, selain dapat diperoleh informasi mengenai kinerja usahatani yang telah menggunakan eks-areal HPH, juga informasi mengenai kelayakan alternatif penggunaan lahan eks-areal HPH yang ramah lingkungan. Pengoperasionalan model ini secara empiris dilakukan dengan menggunakan analisis aliran kas (casf flow analysis) Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran yang dikembangkan dalam penelitian ini direpresentasikan secara sistematis dalam Gambar 12. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan meliputi: (1) evaluasi perubahan penutupan hutan eks-areal HPH, (2) integrasi informasi dari GIS untuk perhitungan biaya imbangan, (3) estimasi biaya imbangan penggunaan lahan yang mencakup penilaian kerugian ekonomi dari kerusakan hutan sebagai akibat penggunaan lahan eks-areal HPH yang telah terjadi maupun yang potensial (existing and potential environmental effects), dan (4) evaluasi kelayakan pilihan penggunaan lahan.

70 Survei lapangan dan evaluasi ekonomi Pengintegrasian informasi dari analisis perubahan penutupan lahan untuk penghitungan biaya dan manfaat lingkungan Analisis perubahan penutupan lahan dan penggunaan eks-areal HPH menggunakan GIS 48 Pengumpulan informasi sekunder dan survei lapangan Pengumpulan data dan survei rumah tangga Pengumpulan dan digitasi peta penutupan lahan Pengumpulan peta penggunaan lahan Citra landsat Valuasi ekonomi dan estimasi biaya lingkungan Menggunakan secondary method Menggunakan primary method Data pengaruh lingkungan dan dampak Overlay Peta/Analisis Peta tematik Kerugian ekonomi penggunaan lahani eks areal hutan konsesi Penggunaan nilai yang berbeda Willingnss-to-pay (WTP) Biaya dan manfaat lingkungan Data perubahan penutupan lahan & alih fungsi lahan Representasi peta perubahan penutupan lahan Internalisasi biaya dan manfaat lingkungan dan preferensi masyarakat lokal Biaya dan manfaat langsung Internalisasi biayamanfaat lingkungan Menyusun alternatif pemanfaatan lahan eks-areal HPH Preferensi/pilihan rumah tangga Analisis biaya-manfaat alih fungsi eks-areal HPH dan analisis ekonomi Penggunaan suku bunga yang relevan Analisis finansial Analisis Ekonomi Pengaturan hak kepemilikan dan pemberian akses kepada masyarakat Analisis sensitivitas dan implikasi kebijakan Cost-benefit rules Ranking alternatif berdasarkan hasil analisis sensitivitas dengan menggunakan perubahan luas lahan, biaya produksi, suku bunga dan inflasi Implikasi dan rekomendasi terhadap program pengelolaan eks-areal hutan konsesi di sekitar daerah penyangga Gambar 12. Kerangka Pemikiran Evaluasi Ekonomi Kegiatan Penggunaan Lahan Hutan Eks- Areal HPH di Sekitar Derah Penyangga TNKS. 48

71 49 Perubahan penutupan lahan yang menjadi fokus perhatian adalah perubahan dari kawasan hutan (primer dan bekas tebangan) menjadi areal perkebunan (perusahaan), ladang/kebun (masyarakat) serta lahan yang sudah ditinggalkan (semak belukar, alang-alang dan tanah terbuka). Hal ini ditetapkan dengan pertimbangan perubahan ini merupakan situasi inherent dan dominan dalam praktik penggunaan lahan baik yang terjadi ketika HPH masih beroperasi maupun paska pengelolaan HPH. Hasil evaluasi ini diasumsikan sebagai representasi informasi dan data mengenai penggunaan lahan. Hasil evaluasi perubahan penutupan hutan ini selanjutnya dipakai untuk perhitungan biaya dan manfaat lingkungan. Integrasi dilakukan melalui tiga tahap. Pertama, informasi perubahan penutupan lahan yang diperoleh dari GIS digunakan sebagai basis untuk melakukan survei rumah tangga dan menentukan alternatif pemanfaatan lahan. Kedua, penggunaan teknik GIS untuk mengetahui luas eks-areal HPH dalam praktik penggunaan lahan sebagai dasar untuk melakukan kuantifikasi dampak lingkungan. Ketiga, informasi GIS merupakan landasan untuk melakukan valuasi dampak praktik penggunaan. Biaya imbangan dari penggunaan lahan didefinisikan sebagai kesempatan memperoleh manfaat yang dikorbankan apabila dilakukan praktik penggunaan lahan eks-areal HPH menjadi areal perkebunan. Definisi ini menekankan adanya keterbatasan sumberdaya yang menjadi kendala dari suatu aktivitas ekonomi, sehingga jika sumberdaya lahan berhutan dialokasikan untuk suatu kegiatan (perkebunan), maka manfaat ekologis sumberdaya hutan tidak lagi dapat diperoleh. Dengan demikian, biaya imbangan juga menunjukkan nilai ekonomi dampak penggunaan eks-areal HPH menjadi lahan perkebunan.

72 50 Untuk mengestimasi biaya imbangan, digunakan pendekatan nilai ekonomi total (lihat Gambar 13), meliputi: (1) kehilangan nilai manfaat langsung, yaitu nilai kerugian akibat musnahnya barang atau jasa yang dapat digunakan secara langsung seperti: kayu komersial, kayu bakar dan hasil hutan non kayu, (2) kehilangan nilai manfaat tidak langsung, seperti kehilangan pengendali banjir; unsur hara tanah; dan kehilangan karbon, (3) kehilangan nilai pilihan, meliputi nilai pilihan dan nilai warisan, dan (4) kehilangan nilai keberadaan, yaitu kerugian dari hilangnya nilai intrinsik hutan seperti spiritual, sosial dan budaya. Dampak penggunaan lahan eks-areal HPH Kehilangan nilai pemanfaatan (use value losses) Kehilangan kayu komersial Kehilangan kayu bakar Kehilangan HHNK Kehilangan karbon Kehilangan unsur hara tanah Kehilangan pengendasli banjr Kehilangan nilai pilihan Kehilangan nilai warisan Kehilangan nilai keberadaan Kehilangan bukan nilai pemanfaatan (non use value losses) Valuasi kehilangan nilai ekonomi total (Total economic value losses) Secondary method Primary method Benefit transfer Replacement cost CVM Based market price Gambar 13. Kerangka Penilaian Dampak Penggunaan Lahan Eks-Areal HPH di Sekitar Daerah Penyangga TNKS.

73 51 Komponen-komponen dampak yang tidak memiliki nilai pasar, diestimasi dengan menggunakan CVM dan replacement cost. Pada penerapan CVM, ditawarkan suatu nilai untuk merehabilitasi lahan melalui mekanisme dis-insentif, yakni dengan memperhitungkan nilai manfaat eks-areal HPH. Nilai ekonomi diukur dalam kaitannya dengan fungsi utilitas melalui konsep WTP. Responden dimintai pendapat dan persepsi mereka terhadap fungsi-eks areal HPH sebagai kawasan penyangga TNKS dan konservasi, serta kesediaan mereka membayar iuran konservasi untuk pembiayaan pengelolaan kawasan tersebut. Sementara, metode replacement cost digunakan untuk membandingkan nilai kehilangan nutrien tanah sebelum dan setelah dikonversi. Untuk sumberdaya hutan yang memerlukan keahlian diluar kompetensi penulis, seperti perhitungan nilai penyerapan karbon digunakan secondary method. Teknik yang digunakan adalah benefit transfer. Informasi yang dihasilkan dari metode ini strategis untuk mempengaruhi kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah. Dalam pengambilan keputusan terhadap penggunaan eks-areal HPH senantiasa didasarkan kepada konsep sustainabilitas. Tiwari (2000), membedakan dua kriteria sustainabilitas yakni sustainabilitas kuat (strong sustainability) dan sustainabilitas lemah (weak sustainability). Sustainabilitas kuat berkenaan dengan keseluruhan sumberdaya, lingkungan dan basis ekologi pembangunan. Sedangkan sustainabilitas lemah menunjukkan kemungkinan adanya substitusi antara sumberdaya yang dibuat oleh manusia (man-made) dengan sumberdaya alam (natural capital) untuk menjaga produktivitas dari waktu ke waktu. Namun dalam penelitian ini konsep yang digunakan adalah konsep sustainabilitas lemah karena untuk negara berkembang seperti di Indonesia, penerapan konsep sustainabilitas

74 52 lemah lebih relevan dalam memasukkan aspek sustainabilitas dalam analisis keputusan. Hal ini disebabkan di negara berkembang stok sumberdaya perkapita biasanya rendah atau sumberdaya alam mengalami penurunan. Disamping itu di negara berkembang memiliki tabungan relatif rendah yang menyebabkan kemampuan untuk menginvestasi kembali modal alam menjadi sangat terbatas. Ditinjau dari pelaksanaannya, penerapan E-BCA untuk mengevaluasi praktik penggunaan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS merupakan suatu analisis keputusan investasi yang lampau. Di sini, dibandingkan hasil-hasil yang yang diharapkan dari semua pengeluaran selama pelaksanaan kegiatan/proyek penggunaan lahan yang lalu dengan semua hasil yang didapatkan dan diharapkan dari kegiatan/proyek dimaksud. Gittinger (1986), mengatakan analisis seperti ini berguna untuk menentukan hasil dari kegiatan ekonomi yang lalu dengan harapan bahwa penilaian mengenai kegiatan/proyek yang akan datang mungkin lebih baik hasilnya. Namun, kurang menolong untuk menetapkan alternatif apa yang akan dilakukan pada sekarang ini. Untuk kepentingan pengembangan alternatif rehabilitasi eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS, dipertimbangkan dua hal: (1) internalisasi biaya eksternalitas; dan (2) preferensi masyarakat lokal berkaitan dengan pemberian akses pengelolaan kepada masyarakat. Segmen ini diperlukan untuk mendapatkan informasimasi penting mengenai kinerja alternatif penggunaan lahan dalam rangka mengusahakan rekonsiliasi antara kepentingan pengembangan ekonomi masyarakat dan konservasi-eks areal HPH di daerah penyangga TNKS. Analisis ditujukan untuk menguji kombinasi pengaturan hak kepemilikan sumberdaya lahan yang paling rasional dan dampak internalisasi eksernalitas

75 53 terhadap penampilan suatu alternatif pengelolaan. Kombinasi yang yang diuji adalah hak kepemilikan berada di tangan negara dimana pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat dengan akses yang terbatas. Kombinasi pengelolaan ini dipilih disamping memiliki landasan teori yang kuat juga untuk mengakomodasi preferensi masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya alam yang diperoleh dari kegiatan survei. Dalam rangka mengevaluasi alternatif tersebut, digunakan dua macam pendekatan analisis biaya-manfaat, yaitu analisis finansial dan analisis ekonomi. Analisis finansial merupakan langkah awal untuk mengestimasi biaya dan manfaat ekonomi penggunaan lahan. Tujuan dilakukannya analisis finansial adalah mengukur keuntungan individu yang diperoleh rumah tangga atau perusahaan dari suatu penggunaan lahan, berdasarkan biaya dan manfaat finansial. Pada analisis finansial harga yang digunakan adalah harga pasar yang tidak mencerminkan nilai ekonomi yang sesungguhnya karena adanya kegagalan pasar atau market failures dan kegagalan kebijaksanaan atau policy failures. Kegagalan pasar dalam pemanfaatan sumberdaya eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS meliputi terjadinya: open acces dalam pemanfaatan lahan, eksternalitas (misalnya terjadinya banjir di beberapa wilayah yang relevan) dan ketidaksempurnaan informasi (misalnya mengabaikan manfaat keanekaragaman hayati untuk masa yang akan datang). Sementara, kegagalan kebijakan terjadi ketika intervensi pemerintah tidak mampu memperbaiki kegagalan pasar (misalnya peraturan pemerintah tidak efektif dalam mengatur perambahan). Mengingat harga pasar bukan nilai sumberdaya yang sesungguhnya, maka dilakukan analisis ekonomi yang dimaksudkan untuk mengukur pengaruh

76 54 penggunaan lahan terhadap kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Dalam analisis ekonomi harga yang dipergunakan adalah harga bayangan (shadow price). Pada analisis ekonomi, apa saja yang menambah pendapatan nasional sehubungan dengan kegiatan ekonomi/proyek, digolongkan sebagai suatu manfaat. Sebaliknya, apa saja yang mengurangi persediaan barang-barang dan jasa termasuk jasa ekosistem eks-areal HPH, digolongkan sebagai suatu biaya. Secara umum, langkah-langkah dalam analisis finansial dan ekonomi, dikembangkan sebagai berikut: (1) identifikasi dan kuantifikasi tentang input dan output pada analisis finansial hanya dipertimbangkan input dan output secara finansial sedangkan pada analisis ekonomi, selain input dan output tersebut diperhitungkan input dan output yang tidak diperjual-belikan di pasar diperlukan penilaian input dan output sehingga arus kas (cash flow) yang disusun berdasarkan pada harga pasar (untuk analisis finansial) sedangkan pada analisis ekonomi, arus kas disusun berdasarkan harga bayangan, (2) menentukan kelayakan suatu kegiatan ekonomi, baik untuk analisis finansial maupun ekonomi digunakan kriteria NPV, IRR, dan B/C ratio, dan (3) melakukan analisis sensitivitas untuk menentukan rangking kekuatan suatu kegiatan karena adanya perubahan-perubahan, terutama dalam hal harga input dan suku bunga pinjaman. Dengan dilakukannya analisis finansial dan analisis ekonomi, tidak saja memberikan informasi penting tentang kelayakan alternatif penggunaan lahan eks-areal HPH, tetapi juga memberikan informasi mengenai distribusi manfaat yang dihasilkan oleh kegiatan penggunaan lahan. Kelayakan yang diperoleh dari analisis finansial mencerminkan bahwa manfaat dari praktik penggunaan lahan dinikmati hanya oleh individu atau perusahaan yang melakukan. Sedangkan

77 55 kelayakan dari hasil analisis ekonomi mencerminkan nilai sosial bersih yang dinikmati oleh suatu perekonomian. Informasi mengenai distribusi penggunaan lahan eks-areal HPH dan opsi lainnya sangat bermanfaat untuk menyusun implikasi dan rekomendasi kegiatan ekonomi yang dapat mendukung pengelolaan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS. Karena analisis ekonomi terhadap alternatif pengelolaan eks-areal HPH belum memperkirakan terjadinya hal-hal di luar jangkauan asumsi yang telah disusun, maka dilakukan analisis kepekaan (sensitivity analysis) terhadap ketidakpastian pada peristiwa-peristiwa dan nilai-nilai mendatang. Analisis dikerjakan dengan cara mengubah suatu variabel dan menentukan pengaruh dari perubahan tersebut pada ukuran nilai alternatif pengelolaan terutama nilai NPV. Analisis ini menggunakan empat variabel utama secara parsial, antara lain: luas lahan, biaya produksi, suku bunga nominal dan tingkat inflasi. Penggunaan secara parsial ini dimaksudkan untuk mengetahui persentase perubahan masing-masing variabel tersebut, sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan program pengelolaan. Dasar pemikiran menggunakan variabelvariabel tersebut antara lain: (1) Luas lahan. Variabel ini merupakan faktor produksi utama dalam suatu usahatani. Seringkali penggunaan lahan oleh masyarakat menimbulkan konflik kepentingan antara pemerintah dan masyarakat sekitarnya. Pada suatu sisi pemerintah yang mengedepankan aspek konservasi berusaha membatasi penggunaan lahan di sekitar zona penyangga TNKS, namun di sisi lain masyarakat berkeinginan mendapatkan lahan pertanian yang lebih luas sehingga memungkinkan mereka untuk hidup secara layak.

78 56 (2) Biaya produksi. Biaya produksi yang dimaksudkan adalah pengeluaran yang dilakukan atas penggunaan faktor produksi seperti: lahan, tenaga kerja, alatalat produksi, pupuk dan pestisida. Kecenderungan umum yang terjadi adalah biaya produksi cenderung mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Hal ini juga dialami oleh petani di sekitar lokasi penelitian terutama yang diakibatkan oleh pengurangan subsidi pemerintah dan kenaikan ongkos transportasi. Menghadapi situasi ini umumnya petani membatasi penggunaan faktor produksi khususnya dalam penggunaan tenaga kerja luar keluarga, pupuk dan pestisida sehingga dapat mengurangi biaya produksi mereka. (3) Suku bunga nominal. Suku bunga nominal merupakan faktor yang menentukan perusahaan/petani dalam melakukan pinjaman kredit ke perbankan. Kenaikan dan penurunan suku bunga nominal merupakan situasi yang sering dihadapi dalam perekonomian Indonesia. Kenaikan suku bunga dilakukan oleh pemerintah untuk meredam laju inflasi, sedangkan suku bunga yang tinggi terus-menerus akan berdampak negatif bagi perekonomian, sehingga perlu diturunkan. (4) Tingkat inflasi. Faktor inflasi merupakan faktor eksternal yang tanpa disadari oleh petani dapat berdampak positif maupun negatif bagi penampilan usahataninya. Ketika terjadi krisis moneter dan ekonomi tahun 1998 yang ditandai dengan inflasi tinggi, para petani yang mengusahakan tanaman perkebunan komersial memperoleh hasil penjualan output yang tinggi karena harga output meningkat sampai lima kali lipat. Melalui skenario ini ingin diperoleh informasi bagaimana pengaruh perubahan tingkat inflasi terhadap manfaat yang diterima oleh usahatani dan masyarakat secara keseluruhan.

79 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua lokasi eks-areal HPH yang terdapat di sekitar daerah penyangga TNKS. Lokasi pertama adalah eks-areal HPH. PT. Maju Jaya Raya Timber di Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu. Lokasi kedua adalah eks-areal HPH. PT. Rimba Karya Indah, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Waktu penelitian di lokasi pengamatan dan survei, berlangsung selama 3 bulan, mulai Juli sampai dengan September Empat kriteria digunakan dalam memilih lokasi penelitian, yaitu: (1) jarak eks-areal HPH dengan TNKS, (2) lamanya eks-areal HPH tidak aktif lagi (nonaktif), (3) spesifikasi aset alam, dan (4) intensitas penggunaan lahan eks-areal HPH menjadi areal pertanian. Kriteria (1) dimaksudkan untuk merepresentasikan tekanan kegiatan penggunaan lahan eks-areal HPH terhadap ekosistem TNKS semakin dekat jarak eks-areal HPH dengan TNKS, maka semakin besar resiko terjadinya tekanan terhadap kawasan TNKS di wilayah tersebut, begitu pula sebaliknya. Kriteria (2) merepresentasikan variasi lamanya areal HPH sudah tidak aktif lagi semakin lama suatu areal HPH tidak aktif, maka resiko terjadinya penggunaan lahan semakin tinggi, begitu pula sebaliknya, kriteria (3) digunakan untuk mempertimbangkan variasi jasa ekosistem yang disediakan eks-areal HPH, dan kriteria (4) dipertimbangkan untuk merepresentasikan variasi luasan penggunaan lahan yang terjadi pada eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS semakin luas kegiatan penggunaan lahan diakukan maka semakin besar biaya imbangan (opportunity cost) yang terkandung di dalamnya,.

80 58 Dengan menggunakan kriteria tersebut, ke-enam eks-areal HPH yang terdapat di daerah penyangga TNKS dapat dikategorikan menjadi dua kelompok (disebut Penyangga-1 dan Penyangga-2). Penyangga-1 merupakan kelompok lokasi eks-areal HPH yang memenuhi kriteria antara lain: relatif jauh dengan TNKS (berjarak > 3 km), relatif lama tidak aktif (sejak tahun 1998), memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi 1, dan terjadi intensitas penggunaan lahan yang tinggi. Lokasi Eks-areal HPH yang termasuk kedalam kelompok Penyangga- 1, meliputi eks-areal: PT. Maju Jaya Raya Timber (MJRT), PT. Bina Samaktha dan PT. Dirgahayu Rimba, semuanya terdapat di Provinsi Bengkulu. Penyangga-2 adalah kelompok lokasi eks-areal HPH yang memenuhi kriteria antara lain: relatif dekat dengan TNKS (berjarak < 1 km), relatif baru tidak aktif (sejak tahun 2004/2005), memiliki keanekaragaman hayati yang relatif rendah dan intensitas penggunaan lahan yang relatif rendah). Eks-areal HPH yang termasuk kedalam kelompok ini antara lain eks-areal: PT. Rimba Karya Indah (RKI) dan PT. Serestra I (di Provinsi Jambi), serta PT. Duta Maju Timber (di Provinsi Sumatera Barat). Setelah memperhatikan peta yang menggambarkan lokasi keberadaan eksareal hutan konsesi yang terdapat di daerah penyangga TNKS dan laporan hasil penelitian yang disusun oleh TNKS-ICDP Komponen C1, 2002, dari masingmasing kelompok, ditetapkan satu lokasi eks-areal HPH sebagai lokasi penelitian, yakni eks-areal HPH. PT. MJRT mewakili eks areal HPH yang berlokasi di Penyangga-1, dan eks-areal HPH. PT. RKI mewakili lokasi eks-areal yang terdapat di Penyangga-2 (lihat Gambar 14). 1 Informasi mengenai keanekaragaman hayati diperoleh dari ICDP-TNKS, Komponen C1 (2002), lebih lanjut dijelaskan pada Bagian V mengenai Gambaran Umum Lokasi Penelitian

81 4.2. Jenis Data yang Digunakan Data Spasial Data spasial yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi: 1. Citra Satelit Landsat. Dalam penelitian ini digunakan Citra Satelit Landsat (Thematic Mapper atau TM dan Enhanced Thematic Mapper atau ETM+) dari beberapa seri perekaman (multitemporal) yang dikemas dalam media CD-ROM yaitu citra perekaman ketika perusahaan HPH masih aktif berproduksi dan pasca pengelolaan. Penentuan tahun perekaman juga mempertimbangkan banyaknya awan yang terdapat pada citra. Untuk lokasi eks-areal MJRT yang sudah tidak aktif sejak tahun 1998, digunakan 4 Citra satelit Landat, meliputi: Landsat 5 (TM), path-126 dan row-62, akuisisi tanggal 13 Juni 1988; Landsat 7 (ETM+) akuisisi tanggal 22 April 2001, 6 Oktober 2003, dan 6 Juli Sementara, untuk lokasi eks-areal RKI yang sudah tidak aktif sejak tahun 2001, citra yang digunakan adalah Landsat 5 (TM), path-126 dan row-61, akuisisi tanggal 13 Juni 1988 dan akuisisi tanggal 15 Juni 1996; Landsat 7 (ETM+) akuisisi tanggal 15 Agustus Landsat 7 (ETM+) mulai tahun 2003 sampai 2005, sama sekali tidak bisa digunakan, karena awan yang menyelimuti lokasi penelitian melebihi 30%. 2. Beberapa data penunjang diantaranya: peta dasar/rupa bumi dari Bakosurtanal (WGS84) skala 1:25 000, Peta Penataan Areal Kerja Eks- HPH, Peta Pembukaan Wilayah Hutan (PWH), Peta Wilayah DAS/Sub DAS yang melingkungi kawasan HPH, Peta Klasifikasi Tanah terhadap potensi erosi yang diperoleh dari Pusat Penelitian Tanah Bogor, Peta Data

82 60 Curah Hujan, Peta Penggunaan Tanah di masing-masing Kabupaten dan Peta (Tata Guna Hutan Kesepakatan) TGHK, masing-masing dengan skala 1: yang diproduksi oleh Badan Koordinasi Survei Pertanahan Nasional (Bakosurtanal). Lokasi Penelitian: Eks-Areal PT. RKI (Bungo, Jambi) Lokasi Penelitian: Eks-areal HPH PT. MJRT (Bengkulu Utara) Sumber: TNKS-ICDP Komponen C1 (2002) Gambar 14. Kawasan Areal dan Eks Hutan Konsesi di Sekitar Daerah Penyangga TNKS dan Lokasi Penelitian

83 Data Sosial-Ekonomi 61 Data sosial dan ekonomi terdiri dari data primer maupun data skunder. 1. Data primer yang dikumpulkan meliputi: willingness-to-pay (WTP) masyarakat terhadap upaya konservasi, level kepentingan sumberdaya eksareal HPH di sekitar zona penyangga TNKS, dan pemanfaatan jasa ekositem kawasan tersebut. 2. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi: data kependudukan, ekonomi dan sosial pada masing-masing wilayah yang relevan, sumberdaya dan lingkungan eks-areal HPH PT. MJRT dan PT. RKI, profil desa penyangga TNKS, Kabupaten dan Kecamatan Dalam angka, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten dan Provinsi atau RTRWK (Bungo dan Bengkulu Utara) dan RTRWP (Jambi dan Bengkulu), Laporan Rencana Kerja Tahunan (RKT) HPH dan Laporan Pemeriksaan HPH Metode Pengumpulan Data Data spasial diperoleh dari BPITC Dataport (Biotrop), Bakosurtanal, Badan Planologi Departemen Kehutanan, Badan Perencanaan Daerah (Bapeda), dan Balai Taman Nasional Kerinci Seblat (BTNKS) serta Pusat Penelitian Tanah (Puslitanah) Bogor. Selanjutnya data tersebut digunakan untuk menganalisis perubahan penutupan lahan eks-areal HPH di daerah penyangga TNKS. Observasi lapangan untuk keperluan analisis spasial dilakukan dengan alat Global Positioning System (GPS) untuk mendapatkan titik kontrol di lokasi penelitian. Pengukuran titik kontrol tanah dengan teknik GPS dilakukan sedemikian rupa, sehingga diperoleh ketelitian hasil koordinat titik yang memadai untuk dipakai pada pemetaan dengan citra yang memiliki resolusi relatif tinggi.

84 62 Data mengenai WTP diperoleh melalui kegiatan survei dimana responden diberikan beberapa nilai tawaran kesediaan membayar dan meminta responden untuk memilih nilai tertinggi yang bersedia ia bayarkan untuk perbaikan eks-areal HPH yang sudah digunakan. Informasi mengenai pemanfaatan jasa ekosistem eksareal HPH diperoleh melalui observasi, yaitu mengadakan pengecekan ke lapangan. Selanjutnya informasi mengenai kebijakan pengelolaan kawasan diperoleh melalui diskusi dan konsultasi dengan para pihak yang relevan, seperti: pimpinan instansi pemerintah daerah (kabupaten dan provinsi), LSM, akademisi dan tokoh masyarakat. Dalam kegiatan survei, setiap rumah tangga diminta untuk menetapkan seorang juru bicara yang mengetahui banyak mengenai kondisi rumah tangga mereka yang telah memberikan informasi pada survei terdahulu ataupun kegiatan survei yang pernah dilakukan pemerintah. Juru bicara atau responden diberikan penjelasan mengenai survei secara umum; selanjutnya dilakukan wawancara dalam kurun waktu tertentu, surveyor hanya bertugas membantu perwakilan rumah tangga untuk menyelesaikan survei. Dalam survei ini terdapat dua tim yang masing-masing beranggotakan 4 orang pewawancara di mana mereka telah menghabiskan waktu selama empat minggu di desa-desa sekitar Zona-1 dan Zona-2. Dalam upaya meningkatkan pemahaman pewawancara terhadap substansi survei ini maupun dalam melakukan pekerjaan lapangan, pewawancara telah mengikuti latihan singkat di Kota Bengkulu dan Jambi. Dalam setiap tim, sekurang-kurangnya terdapat satu orang yang mengetahui kondisi desa-desa setempat dan lancar berbicara dengan dialek

85 63 lokal, sehingga komunikasi dalam survei ini berjalan lancar didukung pula oleh anggota tim yang umumnya berasal dari provinsi-provinsi di Sumatera. Eesponden ditanyakan mengenai individu dan karakteristik rumah tangga mereka. Selanjutnya, responden diberi pertanyaan mengenai pemanfaatan hutan di eks areal HPH. Ini termasuk pertanyaan apakah mereka memanfaatkan sumberdaya hutan yang bersangkutan atau tidak, berapa jauh mereka melakukan perjalanan hutan ke eks areal HPH, kegiatan apa saja yang mereka lakukan di dalam hutan, dan pengetahuan mereka mengenai eks areal MJRT dan RKI yang terdapat di sekitar kawasan penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat. Untuk mensosialisasi pengetahuan tentang manfaat sumberdaya dan lingkungan eks areal HPH kepada responden, maka disusun skenario dimana eksareal HPH yang terdapat di sekitar kawasan penyangga TNKS akan dipertahankan sebagai kawasan hutan melalui program pemeliharaan (preservasi) dan rehabilitasi. Dari hasil survei ditemukan bahwa kendatipun TNKS telah ditetapkan sebagai taman nasional sejak tahun 1997, responden kurang menyadari keberadaan eks-areal HPH yang terdapat di sekitar kawasan penyangga TNKS maupun konsekuensinya terhadap pengelolaan sumberdaya dan lingkungan TNKS. Oleh karena itu dibuat keputusan untuk mengembangkan skenario dari perspektif responden, bukan dari status legal formal kawasan. Hal ini memerlukan pemaparan tujuan dan implikasi penetapan kawasan khususnya yang berkenaan dengan akses dan pemanfaatan sumberdaya. Kepada responden diketengahkan suatu skenario yang dibagi dalam dua pilihan atau opsi skema pengelolaan eks-areal HPH. Opsi yang pertama adalah menetapkan eks-areal HPH sebagai daerah penyangga TNKS, dimana

86 64 pemeliharaan hutan secara luas dan pelarangan untuk melakukan konversi menjadi kawasan budidaya pertanian. Opsi yang kedua adalah eks-areal HPH tetap dipertahankan sebagai daerah penyangga, namun lebih moderat dimana kegiatan pertanian tidak dilarang. Kedua opsi dibuat dengan maksud mengakomodir kepentingan perlindungan kawasan TNKS dan preferensi masyarakat terhadap pemanfaatan eks areal HPH yang berada di sekitar TNKS. Bagian yang terakhir dari survei yang telah dilakukan adalah menanyakan responden mengenai sikap mereka terhadap kawasan hutan yang terdapat di eksareal HPH di daerah penyangga TNKS. Pertanyaan ini diajukan untuk mengetahui pendapat responden mengenai nilai guna (use value), nilai keberadaan (existence value), tanaman dan satwa langka (endangered plants and animals), keanekaragaman hayati (biodiversity), nilai spiritual (spiritual value) dari hutan, dan tentang pemanfaatan versus pemeliharaan (preservation) eks-areal HPH. Sementara itu, data sekunder dikumpulkan dari lembaga-lembaga pemerintah dan non pemerintah seperti: Balai Taman Nasional Kerinci Seblat (BTNKS), Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Alam (P3SDA) Universitas Bengkulu, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Jambi, Kantor Dinas Kehutanan, Kantor Dinas Perkebunan, Dinas Kehutanan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Kantor Biro Pusat Statistik (BPS), Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kantor Kecamatan yang wilayahnya berdekatan dengan lokasi eks-areal hutan konsesi RKI dan MJRT, PT. Sarbi Moerhani Lestari, dan LSM WARSI.

87 4.4. Penentuan Sampel 65 Dalam melaksanakan survei, populasi dalam penelitian ini adalah rumah tangga yang berada di sekitar kawasan HPH yakni mereka yang berada di desadesa sekitar eks-areal HPH dan berinteraksi dengan kawasan tersebut. Daftar jumlah rumah tangga tersebut diperoleh dari profil desa-desa penyangga TNKS yang telah disusun oleh BTNKS dan atau dari kepala desa setempat. Kerangka sampel (sample frame) penelitian ini mengikuti bagan (lihat Gambar 15). Berdasarkan informasi spasial dan administrasi pemerintahan terdapat dua wilayah kabupaten yang berbatasan langsung dengan eks-areal MJRT, yakni Kabupaten Muko-Muko dan Kabupaten Bengkulu Utara. Di eksareal RKI, juga terdapat dua kabupaten yang berbatasan, yakni Kabupaten Bungo dan Kabupaten Merangin. Dalam penelitian ini ditetapkan sebagai lokasi penelitian untuk eks-areal MJRT adalah di wilayah Kabupaten Bengkulu Utara. Sementara wilayah Kabupaten Bungo ditetapkan sebagai kabupaten sampel untuk eks-areal RKI. Di Kabupaten Bengkulu Utara, terdapat dua kecamatan yang berbatasan langsung dengan eks-areal MJRT, yakni Kecamatan: Putri Hijau dan Napal Putih. Namun hanya Kecamatan Putri Hijau ditetapkan sebagai kecamatan sampel. Di Kecamatan ini terdapat 10 desa yang secara ekologis berinteraksi langsung dengan jasa ekosistem eks-areal MJRT. Jumlah rumah tangga di desa-desa tersebut pada tahun 2003 terdapat sebanyak rumah tangga (BPS, 2003). Di Kecamatan Putri Hijau ini, dipilih 5 desa sebagai desa sampel, yakni: Suka Merindu, Suka Maju, Air Pandan, Air Putih dan Cipta Mulya. Jumlah rumah tangga di desa-desa tersebut pada tahun 2003 sebanyak 538 rumah tangga (BPS,

88 ). Mengingat homogennya karakteristik sosial ekonomi penduduk, maka ditetapkan sampel sebesar 10 persen dari masing-masing kelompok masyarakat (petani, eks pekerja HPH, pengumpul hasil hutan, guru dan pedagang). Dengan menggunakan teknik random sampling terpilih sebanyak 103 rumah tangga sebagai responden, atau lebih kurang 5 persen dari jumlah populasi di Kabupaten Bengkulu Utara. EKS-AREAL HPH DI SEKITAR DAERAH PENYANGGA TNKS Purposive Sampling Terletak di 2 kabupaten (Muko-Muko dan Bengkulu Utara = RT) EKS-AREAL MJRT EKS-AREAL RKI Terletak di 2 Kab. (Bungo dan Merangin)= RT Terletak di 2 kecamatan (Putri Hijau dan Napal Putih)=2 130 RT Kabupaten Bengkulu Utara Kabupaten Bungo Terletak di 3 Kec. (Pelepat, Rt. Pandan dan Lembur Lbk Mengkuang)= 878 RT Purposive Sampling Terdapat 10 desa =1 125 RT Kecamatan Putri Hijau Kecamatan Pelepat dan Lbr. L. Mengkuang Terdapat 3 Desa =584 RT Purposive Sampling Desa Sampel (5): Suka Merindu, Suka Maju, Air Pandan, Air putih, Cipta Mulya 538 RT 1. Petani 2. Eks pekerja HPH 3. Pengumpul HH 4. Guru 5. Pedagang Desa Sampel (3): Batu Kerbau, Pemunyian, Renah. S. Ipuh 584 RT 1. Petani 2. Eks pekerja HPH 3. Pengumpul HH 4. Guru 5. Pedagang Purposive Sampling 103 responden 83 responden Gambar 15. Kerangka Sampel

89 67 Sementara itu, di sekitar eks-areal RKI, terdapat dua kabupaten yang berbatasan langsung dengan eks-areal RKI, yakni Kabupaten Bungo dan Merangin. Namun, yang dijadikan sebagai lokasi adalah di Kabupaten Bungo dimana terdapat tiga kecamatan yang berbatasan langsung dengan kawasan ini, yakni Kecamatan Pelepat, Kecamatan Lembur Lubuk Mengkuang dan Rantau Pandan. Secara keseluruhan terdapat 10 desa yang betul-betul berinteraksi dengan eks-areal RKI dengan jumlah rumah tangga (populasi) mencapai 878 rumah tangga. Dalam penelitian ini, dipilih dua kecamatan sebagai kecamatan sampel, yakni Kecamatan Pelepat dan Kecamatan Lembur Lubuk Mengkuang. Dari Kecamatan Pelepat, dipilih dua desa sebagai desa sampel, yakni Desa Batu Kerbau, sementara dari Kecamatan Lembur Lubuk Mengkuang dipilih Desa Pemunyian dan Renag Sungai Ipuh sebagai desa-desa sampel. Besar sampel sebagai responden ditetapkan sebesar 10 persen dari masing-masing kelompok masyarakat. Dengan random sampling terpilih sampel sebanyak 83 rumah tangga atau lebih kurang 9.5 persen dari jumlah populasi di Kabupaten Bungo Metode Pengolahan Data Pengolahan Citra Pengolahan data spasial dilakukan dengan menggunakan metode pengolahan citra digital (digital image processing). Informasi perubahan penutupan lahan diperoleh dari hasil interpretasi citra penginderaan jauh (inderaja) dalam beberapa periode waktu perekaman yakni ketika HPH masih beroperasi dan pasca pengelolaan. Secara umum tahapan pengolahan data spasial adalah sebagai berikut (lihat Gambar 16).

90 68 Data Citra Satelit HPH operasi dan Pasca operasi Data Peta Tematik - Rupa Bumi/dasar - Jaringan jalan - Jaringan sungai - Administrasi - Peta kerja HPH - Peta blok RKT Data sosialekonomi HPH operasi Pasca Operasi Interpretasi visual Koreksi radiometrik Koreksi geometrik Penyekatan Landsat TM & ETM+ Gambaran awal, identifikasi Koreksi kesalahan sub sistem optik Koreksi kesalahan geometrik Lokasi penelitian Pengolahan awal citra (Pre-image Processing) Inspeksi Lapangan Modifikasi band Training area Klasifikasi (Supervised) Kondisi nyata lapangan Penajaman/perbedaan visual Acuan Kriteria Klasifikasi Statistik, Klas. Akhir, Pengolahan citra lanjutan (Image Processing) Evaluasi Klasifikasi Matrik kesalahan Vektorisasi, Evaluasi, Tabulasi = Data = Proses = Hasil Penutupan Lahan HPH operasi Penutupan Lahan Pasca HPH operasi Deteksi Perubahan Evaluasi Perubahan Penutupan lahan Evaluasi dan Analisis = Justifikasi proses = Proses utama = Penggunaan data pendukung Hasil Akhir Gambar 16. Skema Pengolahan dan Analisis Data Spasial

91 Pengolahan citra awal (Pre-image processing) Interpretasi visual citra (visual image interpretation). Kegiatan ini dilakukan untuk memberikan gambaran awal sebelum diadakan survei lapangan, mengidentifikasi pola sebaran, penutupan jumlah kelas penutupan lahan dan macam kelas penutupan lahan yang ada di wilayah penelitian. Untuk mempermudah dalam interpretasi visual, citra ditampilkan dalam format RGB (Red Green Blue) 542 untuk dapat menghasilkan warna komposit. 2. Koreksi radiometrik adalah koreksi terhadap kesalahan eksternal yang disebabkan oleh distorsi berupa pergeseran nilai piksel citra. Pergeseran ini terjadi karena kesalahan pada sub sistem optik yang kurang fokus dan power yang tidak stabil, gangguan atmosfer (hamburan dan serapan) dan sudut elevasi matahari (sudut pengamatan, radiansi dan refleksi permukaan obyek). Teknik koreksi radiometrik yang digunakan adalah pembetulan histogram (histogram adjusment) yang dilakukan pada band visble (TM 1,2 dan 3) yang memiliki digital number (DN) cukup besar. Efek scattering berkurang jika histogram digeser kekiri sehingga nilai DN minimum menjadi nol 3. Koreksi geometrik, ditujukan untuk memperbaiki kesalahan posisi obyekobyek yang terekam pada citra karena adanya distorsi-distorsi yang bersifat geometrik. Penyebab distorsi ini, antara lain: terjadinya rotasi pada waktu perekaman, pengaruh kelengkungan bumi, pengaruh sudut pandang, pengaruh topografi, dan pengaruh gravitasi bumi yang menyebabkan terjadinya perubahan kecepatan dan ketinggian satelit dan ketidakstabilan ketinggian platform. Koreksi geometrik disebut juga dengan proses rektifikasi yaitu proses memproyeksikan data suatu bidang datar sehingga memiliki proyeksi sama

92 70 dengan peta. Kegiatan ini dapat berupa rektifikasi citra ke citra (image to image rectification) maupun rektifikasi citra ke peta (image to map rectification). Proses rektifikasi dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode berdasarkan titik-tik kontrol lapangan (Ground Control Point atau GCP). Sebagai data acuan untuk pemilihan titik kontrol lapangan digunakan peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1: Secara ringkas, tahapan dari rektifikasi atau koreksi geometrik ini adalah: a. Penentuan sistem koordinat dan proyeksi peta. Tahapan ini bertujuan untuk mendefinisikan informasi yang digunakan dalam proses rektifikasi selanjutnya. Sistem koordinat yang dipilih adalah Universal Transverse Mercator (UTM). Proyeksi peta yang digunakan terhadap lokasi penelitian ditentukan berdasarkan standar geodetik peta Bakosurtanal yakni zone 47 untuk eks-areal HPH. MJRT dan 48 untuk eks-areal HPH. RKI. b. Pengumpulan titik-titik kontrol lapangan (ground control points / GCPs). Pengumpulan GCPs dilakukan dengan mengidentifikasi objek-objek yang sama yang terdapat di peta dan citra. Dalam penelitian ini digunakan 15 s.d 20 GCPs berupa persimpangan jalan HPH, jalan HPH dengan sungai dan pemotongan sungai 2 Masing-masing citra direktifikasi dengan menggunakan transformasi orde-1 (affine). c. Evaluasi nilai kesalahan rata-rata atau Root Mean Square Error (RMSE). Transformasi RMSE yang pertama memiliki nilai yang besar sehingga diperlukan pembuangan atau eliminasi GCP yang menyebabkan nilai tinggi 2 Mather (1987) dalam Hernawan (2001) menyatakan bahwa penggunaan 10 s.d 15 GCPs yang tersebar merata ke seluruh citra akan menghasilkan ketelitian yang cukup tinggi pada fungsi polinomial orde-1.

93 tersebut, hingga nilai RMSE<0,5 piksel 3. RMSE untuk setiap titik-titik kontrol menggunakan rumus sebagai berikut. RMSE = ( ) ( ) 2 x' x 2 origin + y' y origin x origin dan y origin = koordinat baris dan kolom GCP yang asli pada citra x dan y = koordinat yang dihitung atau diestimasi pada citra. RMS total dan rata-rata RMS dari seluruh citra dapat dilihat pada Tabel 4. Dari hasil transformasi koordinat, pada masing-masing citra pada dua lokasi eks-areal menghasilkan tingkat kesalahan rata-rata <0,5 piksel (15 m) yang menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik. Tabel 4. Rekapitulasi Ground Control Point dari Seluruh Citra Landsat Tematik Mapper dan Enhance Tematic Mapper di Eks-Areal Maju Jaya Raya Timber dan Rimba Karya Indah Tahun Jumlah GCP Rata-rata RMS Perekaman Eks-areal MJRT Eks-areal RKI Sumber: Analisis spasial, 2005 d. Agar supaya masing-masing citra mencakup areal yang sama, dilakukan registrasi antara citra yang satu dengan citra yang lain secara tepat, sehingga dapat menggambarkan deteksi perubahan yang akurat. Dalam penelitian ini, untuk lokasi eks-areal MJRT, citra ETM tahun 2005 diregistrasi dengan citra TM tahun 1988, ETM 2001 dan Sementara, 71 3 Menurut Mather (1987) dalam Hernawan (2001), RMSE yang baik dianjurkan < 0,5 piksel untuk citra berukuran 512 x 512 piksel. Jika RMSE masih lebih besar dari 0,5 maka eliminasi GCP yang memiliki kontribusi nilai terbesar perlu diulang atau dilakukan perhitungan kembali koefisien dan RMSE total

94 72 untuk eks-areal RKI, citra ETM tahun 2002 diregistrasi dengan citra TM tahun 1988 dan e. Transformasi koordinat yang telah dilakukan terhadap citra dapat mengakibatkan pergeseran posisi seluruh piksel dari posisi semula karena adanya proses penyesuaian dengan sistem koordinat peta. Untuk itu perlu dilakukan proses interpolasi DN piksel-piksel pada citra hasil transformasi sehubungan dengan adanya koordinat-koordinat piksel yang baru (Hernawan, 2001). 4. Penyekatan area penelitian. Setelah proses koreksi citra, dilakukan proses penyekatan citra sesuai dengan area penelitian yang diminati (area of interest) yakni eks-areal HPH. PT. MJRT dan RKI. Penyekatan area dilakukan untuk mengetahui lokasi penelitian sesuai dengan batas eks-areal HPH yang terakhir di lansir, sehingga memudahkan dalam inspeksi lapangan Pengolahan citra lanjutan 1. Pengecekan lapangan (Cround Check). Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai keadaan/kondisi lapangan secara nyata sebagai pelengkap informasi dan pembanding bagi analisis selanjutnya. Pemeriksaan lapangan dilakukan dengan menelusuri lokasi-lokasi pengamatan yang sudah ditentukan. Kegiatan yang dilakukan meliputi pengambilan titik pengamatan dan dokumentasi contoh-contoh penutupan/penggunaan lahan yang ada, pengambilan sampel tanah dan juga melakukan wawancara dengan responden yang memahami dan mengenali dengan baik kondisi daerah pengamatan.

95 73 2. Perbandingan band. Ini merupakan proses perbandingan band citra yang dilakukan untuk mempermudah dalam menginterpretasi obyek-obyek yang ada pada tampilan citra. 3. Penentuan/pemilihan area contoh (training area). Area contoh adalah rangkaian atau kumpulan piksel pada citra yang mewakili kelas penutupan lahan yang sebelumnya telah diidentifikasi. Piksel-piksel ini menggambarkan pola yang khas dari kelas potensial sebagai penutupan lahan dan sangat penting untuk memilih area contoh yang dapat mewakili semua kelas yang diidentifikasi. Pengambilan contoh dilakukan berdasarkan data yang didapat dari pemeriksaan lapangan, kemudian dilakukan penentuan dan pemilihan lokasilokasi area contoh (training area) untuk mengambil informasi statistik tipetipe penutupan lahan. Training area yang dipilih senantiasa memperhatikan obyek-obyek yang sudah dikenal, juga dari pengetahuan tentang keadaan lapangan dan kesan warna dari tiap-tiap penutupan lahan pada citra warna gabungan. Untuk membantu interpretasi jenis tutupan lahan, digunakan referensi penunjang berupa pembakuan kodefikasi tema peta digital NFI yang disusun oleh Badan Planologi Departemen Kehutanan. 4. Klasifikasi terbimbing (supervised classification). Proses klasifikasi dimaksudkan untuk mengelompokkan semua piksel pada suatu citra digital kedalam beberapa kelas penutupan lahan tertentu. Metode yang digunakan dalam kegiatan klasifikasi adalah metode kemungkinan maksimum (maximum likelihood method). Metode ini paling banyak digunakan, dimana DN pada band tertentu menunjukkan untuk setiap kelas mewakili

96 74 pengamatan yang bebas (independent) dan populasi yang digambarkan mengikuti distribusi normal-peubah ganda (multivariate-normal distribution). Metode ini memerlukan vektor rata-rata untuk sampel multivariat dan matrik ragam-peragam antar band dari setiap kelas atau kategori. Dalam penelitian ini tipe penutupan lahan diarahkan pada 5 klasifikasi sebagai berikut: a. Hutan, dibedakan menjadi : Hutan primer dan Hutan bekas tebangan b. Lahan perkebunan, dibedakan berdasarkan pemilik dan pengolahnya: Perkebunan besar milik perusahaan (tanaman sawit dan karet) dan Perkebunan rakyat atau ladang masyarakat c. Semak belukar d. Alang-alang e. Non-vegetasi, dipusatkan pada daerah yang berstatus tanah terbuka tanpa ada upaya suksesi atau termasuk lahan kritis. 5. Evaluasi hasil klasifikasi. Penetapan akurasi dari klasifikasi citra satelit dilakukan untuk mengevaluasi kualitas peta yang dibuat. Keakuratan klasifikasi dihitung dengan membagi total jumlah piksel yang diklasifikasi secara benar pada setiap kelas dengan jumlah contoh yang digunakan. Akurasi ini ditampilkan melalui penyajian matrik kontingensi, yang lebih sering disebut matrik kesalahan (confusion matrix). Matrik ini adalah matrik bujur sangkar yang berfungsi membandingkan antara data lapangan dan korespondesinya dengan hasil klasifikasi. Ukuran keakuratan hasil klasifikasi

97 yang digunakan, antara lain adalah nilai akurasi Kappa (Kappa Accuration), overall accuracy, producer s accuracy dan user s akurasi Pengolahan Data Sosial dan Ekonomi Jawaban atas survei dan data sekunder yang telah diperoleh diberi kode dan dimasukkan kedalam file elektronik data. Validasi data dan pengecekan kesalahan dalam pemberian kode diselesaikan dengan membandingkan dengan data asli. Pengolahan data diarahkan untuk beberapa kepentingan antara lain: estimasi nilai ekonomi, penyusunan cash flow, statistik deskriptif, dan analisis korelasi. Pengolahan data dilakukan dengan mengoptimalkan penggunakan perangkat lunak Microsoft excel dan SPSS versi Metode Analisis Analisis Citra Bagian ini merupakan rangkaian akhir dalam menentukan perubahan penutupan lahan (land cover change) pada eks-areal HPH. Analisis difokuskan pada dua kepentingan, yakni: 1. Menentukan perubahan penutupan lahan eks-areal HPH Metode yang digunakan untuk pendeteksian perubahan penutupan lahan adalah metode Image Differencing. Metode ini dianggap yang paling mudah, didasarkan pada prinsip-prinsip pengurangan jumlah piksel di antara dua citra pembanding. Hal ini lakukan dengan cara meng-overlay citra (yakni citra perekaman tahun ketika HPH beroperasi dan paska operasi) kemudian menjelaskan kawasan yang telah mengalami perubahan. Overlay antara satu kelas dengan yang lainnya dilakukan untuk menjelaskan perubahan satu tipe kelas menjadi tipe kelas yang lain. Di sini diketengahkan luas masing-masing

98 76 tipe kelas dan menyusun matriks perubahan penggunaan lahan eks-areal HPH. Langkah ini dilakukan dengan menggunakan GIS. 2. Deteksi perubahan penutupan lahan yang merupakan penggunaan lahan hutan menjadi lahan perkebunan. Langkah ini juga dilakukan dengan menggunakan analisis spasial dengan jalan membandingkan kelas penutupan lahan hutan pada perekaman tahun ketika HPH masih beroperasi dengan kondisi paska operasi HPH khususnya yang telah diklasifikasi menjadi lahan perkebunan. Untuk keperluan analisis maka diestimasi luas areal, lokasi dan kondisi areal dimaksud. Dari semua proses proyeksi dan rektifikasi baik citra ke peta atau citra ke citra, dilanjutkan dengan evaluasi perubahan penutupan lahan, maka dihasilkan data spasial mengenai penggunaan lahan eks-areal HPH dan peta-peta lainnya yang relevan untuk mendukung menjelaskan kondisi wilayah Valuasi Dampak Penggunaan Lahan Eks-Areal HPH Secara umum, metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini, didasarkan kepada pendekatan total nilai ekonomi eks-areal HPH yang hilang, sebagai akibat dilakukannya penggunaan lahan, meliputi:. 1. Kehilangan manfaat langsung, meliputi: nilai kayu komersial, kayu bakar dan hasil hutan non-kayu atau HHNK (rotan, madu, getah, buah-buahan, tanaman obat-obatan, dan lain-lain), atau diformulasikan dengan rumus: KDU = KKK + KNK dimana: KDU = kehilangan manfaat langsung KKK= kehilangan kayu komersial KNK= kehilangan non-kayu

99 77 Seluruh manfaat langsung eks-areal HPH yang hilang didekati/diprediksi dengan memanfaatkan hasil survei sampel maupun data sekunder. 2. Kehilangan manfaat tidak langsung, meliputi kehilangan jasa ekosistem hutan sebagai penyimpan karbon, pengendali banjir, unsur hara tanah. Manfaat tidak langsung yang hilang ini diperoleh melalui olahan data primer maupun sekunder, dengan formula: KIU = KPC + KKH + KUH dimana: KIU = kehilangan manfaat tidak langsung KPC = kehilangan nilai penyimpan karbon KKH= kehilangan nilai keanekaragaman hayati KUH= kehilangan nilai unsur hara tanah 3. Kehilangan nilai pilihan, meliputi kehilangan nilai pilihan dan nilai warisan yang diperoleh melalui olahan data hasil survei KOV = KNP + KNW dimana: KOV= kehilangan nilai pilihan KNP = kehilangan nilai pilihan KNW= kehilangan nilai warisan 4. Kehilangan nilai keberadaan, yang diperoleh melalui olahan data hasil survei WTP rumah tangga. Secara khusus, dalam penelitian ini digunakan metode penilaian utama (primary method), yakni metode hipotetik langsung (direct hypothetical method). Kegiatan yang dilakukan meliputi pertanyaan langsung kepada responden tentang nilai yang mereka berikan kepada jasa ekosistem eks-areal HPH. Secara spesifik, responden ditanyakan berapa nilai yang mereka berikan terhadap suatu perubahan

100 78 tertentu pada aset eks-areal HPH, atau berapa harga dari jasa lingkungan yang ingin mereka bayarkan pada tingkat harga tertentu dengan menggunakan metode penilaian kontingensi atau contingent valuation method (CVM). Kuisioner standar digunakan untuk mewawancarai responden dimana mereka dapat mengekspresikan nilai sumberdaya dan lingkungan secara baik. Pasar hipotetik yang dibentuk merupakan suatu pasar dengan kualitas lingkungan yang berbeda dengan kondisi saat ini. Untuk membentuk pasar hipotetik ini dilakukan melalui skenario sebagai berikut : 1) Setelah responden menjawab pertanyaan mengenai persepsinya tentang pentingnya eks-areal HPH sebagai penyangga TNKS, selanjutnya responden diinformasikan tentang pentingnya keberadaan jasa ekosistem kawasan ini terutama dengan mengusung isu tentang manfaat hidrologis kawasan. Dalam rangka konservasi dan rehabilitasi kawasan tersebut diperlukan upaya secara terintegrasi dan berkelanjutan, baik dalam bentuk pembangunan fisik maupun kegiatan yang bersifat vegetatif. 2) Kegiatan tersebut diperkirakan membutuhkan biaya yang besar, data mengenai biaya ini diperoleh dari interpretasi GIS dan atau pengeluaran pemerintah untuk program pengelolaan kawasan penyangga TNKS. 3) Untuk mendukung pendanaan kegiatan-kegiatan tersebut pemerintah merencanakan program konservasi dan rehabilitasi eks-areal HPH di sekitar kawasan penyangga TNKS. Diharapkan dengan program tersebut akan meningkatkan/memperbaiki fungs eks-areal HPH sebagai penyangga TNKS maupun dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk di wilayah sekitarnya.

101 79 Dalam penelitian ini, responden diberikan beberapa nilai tawaran kesediaan membayar dan meminta responden untuk memilih nilai tertinggi yang bersedia ia bayarkan untuk pengelolaan hutan konsesi. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa nilai WTP yang sebenarnya dari individu yang bersangkutan terletak dalam kelas atau interval antara nilai yang dipilih dengan nilai WTP berikutnya yang lebih tinggi. Disamping itu, responden dapat dengan mudah memilih nilai yang ingin ia bayarkan. Susunan nilai yang ditawarkan menggunakan rentang (range) atau interval tertentu. WTP i dapat diduga dengan menggunakan nilai tengah dari kelas atau interval WTP responden ke-i. Dari jawaban responden dapat diketahui bahwa WTP i yang benar adalah berada antara jawaban yang dipilih (batas bawah kelas WTP) dengan WTP berikutnya (batas atas kelas WTP). Selanjutnya dugaan rataan WTP dihitung dengan bantuan SPSS. WTP agregat atau WTP total dapat digunakan untuk menduga WTP secara keseluruhan dari sumberdaya tersebut, yakni total dari luas lahan yang digunakan untuk pengelolaan kawasan hutan konsesi. WTP agregat mencerminkan nilai ekonomi sumberdaya dan lingkungan areal hutan konsesi tersebut. Untuk mengetahui keakuratan nilai WTP yang diperoleh, dilakukan pengujian kemungkinan terjadinya bias 4. Pengujian dilakukan dengan tiga cara: (1) menguji adanya perbedaan yang signifikan dalam rata-rata dan median WTP, (2) membandingkan profil responden dengan populasi, dan (3) membandingkan dengan nilai yang diperoleh dari penggunaan teknik benefit transfer. 4 Terdapat tiga tipe bias yang terjadi pada CVM meliputi: strategic design bias yang bersumber dari kesalahan dalam menginterpretasi pertanyaan; hypothetical bias karena adanya perbedaan antara pasar aktual dengan pasar hipotetik yang ditetapkan; dan operational bias, yang bersumber dari adanya ketidak pastian pada pengoperasian pasar aktual (Pearce and Turner, 1990)

102 80 Sementara, penggunaan replacement cost digunakan untuk menghitung nilai unsur hara tanah yang hilang sebagai akibat penggunaan lahan. Dampak fisiknya diketahui berdasarkan hasil analisis tanah yang sampelnya diambil sewaktu survei lapangan. Sedangkan untuk produk hutan yang memiliki nilai pasar seperti kayu komersial, kayu bakar dan hasil hutan non-kayu digunakan teknik pasar dimana penilaian didasarkan kepada harga pasar (market based). Dalam mengestimasi dampak eksternal penggunaan lahan, juga digunakan metode pendukung (secondary method) di antaranya adalah teknik benefit transfer dan shadow price. Informasi yang dihasilkan dari teknik ini selain mudah dipahami juga digunakan untuk mengidentifikasi adanya bias yang dihasilkan dari perhitungan dengan menggunakan primary method Analisa Biaya-Manfaat Lingkungan Untuk mengevaluasi kelayakan ekonomi praktik penggunaan lahan yang sudah berlangsung di eks-areal HPHS, digunakan analisis biaya-manfaat lingkungan atau environmental benefit cost analysis (E-BCA). Model E-BCA untuk perhitungan NPV penggunaan lahan dihitung dengan menggunakan model sebagai berikut: ( B C E )(. 1+ r) t t t t > 0 dimana: B = Nilai manfaat langsung dari kegiatan penggunaan lahan (direct benefit) C = Biaya langsung penggunaan lahan (direct cost) E = Biaya imbangan (opportunity cost) dari penggunaan lahan. r = Tingkat suku bunga (discount rate) t = Waktu (time)

103 81 Dengan mengasumsikan bahwa pola penggunaan lahan merupakan single project, penampilan praktik penggunaan lahan pada eks-areal hutan konsesi, menggunakan variasi NPV: (1) Jika terdapat praktik penggunaan lahan yang telah menghasilkan komoditas tertentu, maka NPV yang terbesar menunjukkan kelayakan yang terbaik (2) Jika tidak ada pengaruh terhadap jasa ekosistem eks-areal HPH, maka NPV terbesar menunjukkan kelayakan yang baik (3) Kelayakan praktik penggunaan lahan yang baik harus bernilai NPV positif. Dalam rangka penerapan evaluasi ekonomi suatu alternatif penggunaan lahan (land use options) di eks-areal HPH yang diusulkan, digunakan analisis finansial dan analisis ekonomi, dengan menggunakan ketentuan sebagai berikut: 1. Prosedur analisis 1. Identifikasi faktor prasyarat, meliputi faktor-faktor seperti: jenis flora dan fauna yang terdapat di eks-areal HPH, pola penggunaan lahan yang berlangsung, nilai-nilai sosial/adat-istiadat, kepercayaan, pengetahuan, juga karakteristik sosial-ekonomi dan demografi masyarakat setempat. 2. Menjelaskan opsi alternatif penggunaan lahan yang diusulkan. 3. Menjelaskan barang-barang dan jasa yang dihasilkan dari masing-masing alternatif penggunaan lahan. 4. Mengidentifikasi dan mengukur perubahan produktivitas barang-barang dan jasa yang dihasilkan. 5. Mengukur perubahan dalam penggunaan barang-barang dan jasa 6. Menjelaskan dan mengkuantifikasi perubahan dalam bentuk dampak yang dihasilkan.

104 82 7. Mengukur dampak yang ditimbulkan, meliputi identifikasi keuntungan dan kerugian terhadap rumah tangga di sekitar kawasan 8. Dampak tersebut diukur (dalam nilai moneter) yang merupakan ringkasan manfaat dan biaya berkenaan dengan skema alternatif pengelolaan yang diajukan. 9. Dari manfaat dan biaya tersebut, dilakukan analisis ekonomi dengan menggunakan indikator ekonomi yang tepat dalam upaya menentukan pilihan pengelolaan yang paling efisien. 10. Mempersiapkan rekomendasi kebijakan berkenaan dengan perlindungan zona penyangga TNKS. 2. Pedoman identifikasi biaya dan manfaat pemanfaatan lahan 1. Identifikasi biaya langsung, meliputi biaya investasi, biaya operasional, biaya pemeliharaan tanaman dan penyusutan. 2. Identifikasi manfaat langsung, meliputi manfaat yang berkenaan dengan peningkatan penjualan ouput, pinjaman dari bank dan modal penyertaan. 3. Transfer payment, dalam analisis finansial masih diperhitungkan, akan tetapi dalam analisis ekonomi dikeluarkan dari perhitungan. 4. Biaya sosial, meliputi komponen dari nilai ekonomi total eks-areal HPH yang dikorbankan dari kegiatan penggunaan lahan. 3. Penentuan nilai ekonomi Harga-harga finansial disesuaikan menjadi harga bayangan (shadow prices) 5 guna menggambarkan nilai proyek bagi masyarakat secara keseluruhan, 5 Harga bayangan adalah setiap harga yang bukan merupakan harga pasar, sebagai perkiraan nilai ekonomi dari barang atau jasa yang dipermasalahkan, yang mungkin ditimbang untuk memberikan gambaran mengenai tujuan tentang distribusi pendapatan dan tabungan (Gittinger, 1986)

105 83 baik dari sisi input maupun output proyek. Terdapat tiga langkah untuk menyesuaikan harga finansial menjadi nilai ekonomi, meliputi (Gittinger, 1982): 1. Penyesuaian pembayaran transfer langsung, yaitu menghapuskan pembayaran transfer langsung yang meliputi: pembayaran untuk atau dari pemerintah (pajak dan subsidi); dan transaksi kredit (pinjaman, penerimaan, pembayaran kembali modal dan bunga). 2. Penyesuaian untuk penyimpangan harga pada barang yang diperdagangkan, meliputi barang-barang yang telah menjadi komoditas perdagangan internasional (ekspor-impor), dengan ketentuan sebagai berikut: a. barang yang di ekspor dimana harga ekspor atau harga Free on Board (F.o.B) 6 > biaya produksi domestik b. barang yang diimpor dimana biaya produksi domestik > Cost, Insurance and Freight (C.i.F) 7 c. untuk barang yang merupakan substitusi impor, nilainya bagi masyarakat menjadi devisa yang dihemat dengan jalan menggunakan hasil dalan negeri dengan harga batas (harga C.I.F.). d. untuk barang yang merupakan barang ekspor yang dialihkan, maka biaya imbangan bagi masyarakat dari barang-barang ini merupakan devisa yang hilang pada ekspor yang tidak jadi dan dinilai pada harga batas (harga F.O.B.). 6 7 Harga saat barang dimuat ke kapal atau dengan kedaraan lainnya yang akan mengangkut ke pembeli di liar negeri, meliputi: semua biaya untuk mendapatkan barang yang akan diekspor tetapi masih di pelabuhan Negara pegekspor, biaya-biaya di pelabuhan local seperti pajak, penyimpanan, pengangkutan ke kapal, fumigasi (fumigation), keagenan, dan biaya semacamnya, pajak dan subsidi ekspor, harga yang di lingkungan proyek, dan harga ditempat usaha (Gittinger, 1982). C.i.F meliputi biaya F.o.B pada saat ekspor, biaya pengangkutan ke tempat impor, biaya ansuransi dan biaya bongkar muat, namun tidak termasuk pajak impor dan subsidi dan biaya-biaya masuk pelabuhan impor seperti: pajak, pengangkutan local, penggudangan, biaya agen, dan semacamnya (Gittinger, 1982)

106 84 3. Penyesuaian untuk penyimpangan harga pada barang-barang yang tidak diperdagangkan. Barang-barang yang tidak diperdagangkan adalah barang-barang dimana CIF>biaya produksi domestik>harga FOB. Demikian pula dengan barang yang tidak diperdagangkan karena investasi pemerintah dengan kebijaksanaan larangan ekspor-impor, kuota dan sebagainya. Pada prinsipnya barang-barang yang tidak diperdagangkan adalah barang-barang yang cenderung lebih murah apabila dibuat di dalam negeri daripada diimpor, tetapi harga ekspornya lebih rendah daripada ongkos produksinya di dalam negeri. Penentuan nilai ekonomi ini dilakukan dengan mengikuti dan mengembangkan diagram pengambilan keputusan yang disusun oleh Gittinger (1986), untuk menentukan nilai ekonomi yang disajikan pada Gambar 17.1 sampai dengan Gambar Pembayaran transfer langsung Lihat Bagan B berwujud Diperdagangkan Lihat Bagan C Termasuk sumbernyata yang dipergunakan Komiditi yang dinilai Tidak Diperdagangkan Lihat Bagan D Tidak berwujud Diidentifikasi, dihitung dan nilai Gambar 17.1 Bagan A- Diagram Pengambilan Keputusan Untuk Menentukan Nilai Ekonomi: Langkah-Langkah Utama

107 85 Subsidi Diabaikan Pembayaran transfer langsung Pembayaran kepada/dari i h Transaksi Subsidi Penerimaan pinjaman Hutang Pembayaran kembali pokok Pembayaran bunga Diabaikan Diabaikan Diabaikan Gambar 17.2 Bagan B-Diagram Pengambilan Keputusan untuk Menentukan Nilai Ekonomi: Pembayaran Transfer Langsung Input Proyek Diimpor dgn. Proyek Diekspor tanpa proyek Harga varietas impor Harga varietas ekspor Diperdagangkan Output proyek Substitusi impor ekspor Harga varietas impor Harga varietas ekspor Gambar 17.3 Bagan C-Diagram Pengambilan Keputusan Untuk Menentukan Nilai Ekonomi: Komoditi yang Diperdagangkan Tidak diproduksi Tanah Tng. Kerja Bekerja penuh tanpa proyek Sewa Upah pasaran Input Proyek Tidak diperdagangkan Diproduksi secara domestik Memenuhi permintaan industri yang beroperasi dengan kapasistas penuh Memenuhi permintaan industri yang memiliki kelebihan kapasistas Tdk kerja penuh tanpa proyek Nilai produksi marginal Harga Pasar input Biaya Marginal memproduksi input Output proyek Mengganti posisi brg lain di pasar Memenuhi permintaan baru Proyek besar dalam hubungannya dengan harga; harga jatuh Sumber-sumber yang dihemat dari produksi lainnya Hrg tanpa + Hrg dengan 2 Proyek kecil dalam hubungan dgn pasar Harga Pasar tanpa Proyek Gambar 17.4 Bagan D-Diagram Pengambilan Keputusan untuk Menentukan Nilai Ekonomi: Komoditi yang Tidak Diperdagangkan

108 86 Berkenaan dengan kepentingan evaluasi alternatif pengelolaan lahan kritis akibat praktik penggunaan lahan, di telusuri beberapa jenis elemen pada diagram di atas yang banyak dijumpai dalam proyek pertanian. Subsidi atas pupuk merupakan pembayaran transfer langsung. Dengan demikian, subsidi diabaikan dari neraca ekonomi proyek. Pupuk adalah barang yang berwujud, menyangkut penggunaan sumber nyata, diperdagangkan, merupakan input proyek, telah diproduksi di dalam negeri, dan mungkin akan diekspor tanpa adanya proyek. Dengan demikian pupuk dinilai pada harga varietas ekspor. Tenaga kerja juga merupakan sumber nyata, tidak diperdagangkan, merupakan input bagi proyek, tidak dapat diproduksi, dan mungkin akan menganggur tanpa adanya proyek. Dengan demikian harus dinilai dengan mengambil nilai produksi marginal dari tenaga kerja di dalam pekerjaan tanpa proyek. Dalam penentuan nilai ekonomi, kurs resmi (official exchange rate) tidak digunakan secara langsung, melainkan menggunakan kurs premi (premium exchage rate). Hal ini dilakukan karena adanya kebijaksanaan pemerintah (termasuk tarif dan subsidi ekspor) dimana orang membayar premi untuk barang yang diperdagangkan melebihi apa yang harus mereka bayar untuk barang-barang yang tidak diperdagangkan. Premi ini tidak cukup digambarkan bila harga barangbarang yang diperdagangkan dikonversikan menjadi alat pembayaran domestik yang ekuivalen dengan kurs resmi. Kurs premi ditentukan dengan 2 (dua) cara : (1) Untuk barang-barang yang diperdagangkan, digunakan kurs bayangan (shadow exchage rate), yakni dengan cara mengalikan kurs resmi dengan kurs premi. Kurs bayangan kemudian di pergunakan untuk mengkonversikan

109 87 harga devisa dari barang-barang yang diperdagangkan pada alat pembayaran dalam negeri. Rumus yang digunakan adalah: Shadow exchange rate = OER x FXP dimana: OER = kurs resmi (official exchange rate) dan FXP = kurs premi (foreign exchange premium). (2) Untuk barang-barang yang tidak diperdagangkan digunakan faktor konversi standar (standard exchange rate), yaitu menurunkan nilai domestik atas barang-barang yang tidak diperdagangkan dengan suatu jumlah yang cukup untuk menggambarkan premi tersebut. Pendekatan faktor konversi digunakan untuk menentukan biaya oportunitas dari penggunaan barang-barang yang tidak diperdagangkan ke dalam alat pembayaran dalam negeri. Hubungan antara kurs resmi (OER), kurs premi (FXP), kurs bayangan (SER), dan faktor konversi standar (SCF) yaitu dengan rumus : dengan demikian OER ( 1+ FXP) = SER dan OER SER = dan SCF OER SCF = SER SCF 1 = 1 + FXP 4. Penggunaan ukuran kelayakan dan kriteria yang digunakan Kriteria kelayakan suatu kegiatan penggunaan lahan yang digunakan, antara lain: Net Present Value ( NPV ) atau Nilai Sekarang Netto, Internal Rate of Return (IRR) atau Tingkat Pengembalian Internal dan Benefit Cost Ratio ( B/C ) atau Ratio Biaya Manfaat. Ketiga ukuran ini memiliki kelebihan karena tidak mempermasalahkan sama sekali dalam hal apa perhitungan dilakukan (Gittinger, 1986). Dengan demikian, ukuran ini dapat mengakomodir perhitungan terhadap

110 88 manfaat dan biaya penggunaan lahan, baik di tingkat petani (kecil) maupun perkebunan (besar). Net Present Value (NPV), adalah ukuran nilai sekarang dari arus pendapatan yang ditimbulkan dari suatu kegiatan penggunaan lahan. NPV dihitung dengan terlebih dahulu mencari selisih antara nilai sekarang dari arus manfaat dikurangi dengan nilai sekarang dari arus biaya. Formulanya sebagai berikut : t=n B t - C t t=1 ( 1+r ) t dimana: B t adalah benefit kegiatan penggunaan lahan tiap tahun, C t merupakan biaya tiap tahun, r adalah suku bunga, t adalah tahun 1, 2,...,n dimana n jumlah tahun. Kriteria formal yang digunakan, jika NPV adalah positif, maka kegiatan ekonomi layak dilakukan, sebaliknya jika NPV adalah negatif, maka kegiatan ekonomi tidak layak dilakukan. Dalam analasis finansial, NPV merupakan nilai sekarang dari arus tambahan pendapatan untuk individu dilihat dari sudut pandang keluarga petani dan atau perusahaan perkebunan. Sedangkan dalam analisis ekonomi, NPV merupakan nilai sekarang dari tambahan pendapatan nasional yang ditimbulkan oleh kegiatan penggunaan lahan eks-areal HPH. Internal Rate of Return (IRR), merupakan ukuran tingkat bunga maksimum yang dapat dibayar oleh kegiatan ekonomi untuk sumberdaya yang digunakan karena kegiatan ekonomi membutuhkan dana lagi untuk biaya-biaya operasi dan investasi dan kegiatan ekonomi baru sampai pada tingkat pulang modal. IRR merupakan ukuran kemanfaatan kegiatan ekonomi/proyek yang

111 89 sangat berguna. Bank Dunia menggunakan ukuran ini dalam praktek analisis finansial dan analisis ekonomi dan merupakan ukuran digunakan oleh banyak badan-badan finansial internasional lainnya. Formulanya sebagai berikut : t=n B t - C t = 0 t=1 ( 1+r ) t Kriteria formal yang digunakan, jika IRR = 0, berarti tingkat bunga dimana kegiatan ekonomi dapat mengembalikan kapital dan biaya operasi yang dikeluarkan. IRR dalam analisis finansial menyatakan tingkat pengembalian finansial kegiatan penggunaan lahan; dan dalam analsis ekonomi menyatakan tingkat pengembalian ekonomi kegiatan yang sama. Benefit Cost Ratio (B/C), merupakan ukuran kemanfaatan proyek yang berdiskonto, dengan membandingkan nilai sekarang arus manfaat (B) dengan nilai sekarang arus biaya (C). Formulanya sebagai berikut: t=n B t t=1 ( 1+r ) t t=n C t t=1 ( 1+r ) t Kriteria formal yang digunakan, jika nilai B/C>1 maka kegiatan ekonomi dapat dilaksanakan karena akan menimbulkan keuntungan. Menurut Gittinger (1986), nilai rasio ini memiliki kelemahan karena nilai ini tergantung kepada selisih arus-arus manfaat dan biaya.

112 90 Dalam penelitian ini, sangat diperhatikan prinsip-prinsip penerapan analisis finansial dan analisis ekonomi dalam mengevaluasi kegiatan penggunaan lahan eks-areal HPH menjadi areal perkebunan. B (benefit) pada analisis finansial, merupakan pendapatan dari usahatani (perkebunan rakyat dan perusahaan), sedangkan pada analisis ekonomi meliputi pendapatan dari usahatani perkebunan ditambah dengan manfaat sosial yang dihasilkan dari ekosistem eks-areal HPH. Sedangkan C(Cost) pada analisis finasial meliputi semua biaya yang berkaitan dengan aktivitas penggunaan lahan, mulai dari perencanaan sampai dengan penjualan hasil, sedangkan pada analisis ekonomi dimasukkan biaya eksternalitas (biaya imbangan) sehubungan dengan adanya aktivitas penggunaan lahan. Akan tetapi dalam analisa ekonomi, pajak tidak termasuk biaya karena pajak dan subsidi hanyalah transfer. 5. Jangka waktu Mengingat evaluasi penggunaan lahan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah konversi eks-areal HPH menjadi areal perkebunan, maka jangka waktu yang digunakan disesuaikan dengan usia produktif tanaman yang diteliti dalam hal ini adalah tanaman kelapa sawit dan karet. Oleh karena itu jangka waktu analisis finansial dan analisis ekonomi ditetapkan selama 30 tahun. 6. Penentuan suku bunga Untuk analisis finansial, tingkat suku bunga atau tingkat diskonto yang digunakan adalah tingkat suku bunga pinjaman nominal (nominal interest rate) yang berlaku di perbankan. Sedangkan untuk analisis ekonomi digunakan tingkat suku bunga riil (riel interest rate) sebagaimana yang disarankan oleh Klempere (1996), dengan formula sebagai berikut

113 1+ i 1+ i 1+ r = atau r = f 1+ f 91 dimana: r adalah suku bunga riil, i suku bunga nominal dan f tingkat inflasi. Dalam perhitungan suku bunga riil digunakan asumsi-asumsi sebagai berikut: 1. Berdasarkan Laporan BI (2005) Rata-rata tertimbang tingkat diskonto SBI jangka waktu satu bulan = persen 2. Dalam penelitian ini digunakan sebagai suku bunga nominal = 16 persen (Bisnis Indonesia, 26 Desember 2005) 3. Inflasi = 9.06 persen (triwulan II 2005) (Indef, 2005) Perhitungan real interest rate, adalah sebagai berikut i (suku bunga nominal) = 0.16 f (inflasi) = 0.09 (1+ i) = 1.16 (1+f) = 1.09 (1+i)/(1+f) = 1.06 r = (1+I)/(i+f)-1 r = 0.64 atau 6.4 persen Dalam penelitian ini, digunakan dua tingkat suku bunga, yakni: 1. Untuk analisis finansial digunakan suku bunga nominal (i) = 16 persen 2. Untuk analisis ekonomi digunakan suku bunga riil (r) = 6.4 persen Dalam analisis yang telah dilakukan seluruh manfaat dan biaya didiskontokan didasarkan atas suku bunga periode tahun dimulainya investasi dan dikenakan sejak tahun pertama kegiatan ekonomi penggunaan lahan dilakukan.

114 7. Analisis sensitivitas 92 Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui kepekaan terhadap model Environment Benefit Cost Anlysis (E-BCA) sebagaimana yang telah diuraikan pada BAB III. Nilai kriteria kelayakan terutama nilai NPV setelah dilakukan simulasi perubahan pada variabel-variabel utama yang mempengaruhi keputusan investasi. Tahap awal dalam melakukan analisis sensitivitas adalah menyusun rancangan simulasi yang meliputi identifikasi variabel yang akan digunakan, menyusun skenario dan menetapkan besar perubahan yang relevan. Tabel 5 menyajikan rancangan simulasi untuk keperluan analisis sensitivitas terhadap hasil analisis ekonomi masing-masing alternatif pengelolaan. Analisis ini menggunakan empat variabel utama secara parsial, antara lain: luas lahan, biaya produksi, suku bunga nominal dan tingkat inflasi. Terhadap masing-masing variabel tersebut dilakukan simulasi dengan perlakukan sebagai berikut: (1) Luas lahan ditambah atau dikurangi seluas 1 ha. Skenario ini dibuat dengan harapan didapat informasi yang objektif mengenai dampak yang ditimbulkan jika dilakukan penambahan luas areal per ha yang diinginkan oleh masyarakat maupun pembatasan areal yang diinginkan oleh pemerintah. Dampak yang ditimbulkan ini tidak saja penerimaan dari usahatani melainkan juga dalam bentuk manfaat atau biaya lingkungan yang ditimbulkan. (2) Biaya produksi mengalami kenaikan atau turun sebesar 5 persen. Ditetapkannya proporsi 5 persen atas kenaikan biaya produksi didasarkan atas realita di lapangan dimana upah tenaga kerja mengalami peningkatan sebesar 5 persen per tenaga kerja setiap tahunnya. Sedangkan penurunan biaya

115 produksi 5 persen dibuat sekedar untuk mengetahui situasi sebaliknya dimana ongkos diproyeksikan mengalami penurunan 5 persen sejalan adanya bantuan stimulan yang diberikan oleh pemerintah. (3) Suku bunga nominal mengalami kenaikan atau turun sebesar 1 persen. Skenario ini didasarkan kepada perubahan suku bunga kredit usahatani yang umumnya berkisar antara 25 sampai dengan 100 basis poin. (4) Tingkat inflasi naik atau turun sebesar 2 persen. Simulasi ini didasarkan kepada perubahan tingkat inflasi yang umumnya berkisar antara 1 sampai dengan 2 persen per tahun. Tabel 5. Rancangan skenario analisis sensitivitas alternatif pengelolaan lahan kritis di eks-areal HPH di sekitar zona penyangga TNKS Alternatif Pengelolaan Perubahan Variabel Luas lahan Biaya produksi Suku bunga Nominal Inflasi Alternatif 1 Skenario-1A1 Naik 1 ha Skenario-1A2 Turun 1 ha Skenario-1B1 Naik 5% Skenario-1B2 Turun 5% Skenario-1C1 Naik 1% Skenario-1C2 Turun 1% Skenario-1D1 Naik 2% Skenario-1D2 Turun 2% Alternatif 2 Skenario-2A1 Naik 1 ha Skenario-2A2 Turun 1 ha Skenario-2B1 Naik 5% Skenario-2B2 Turun 5% Skenario-2C1 Naik 1% Skenario-2C2 Turun 1% Skenario-2D1 Naik 2% Skenario-2D2 Turun 2% Alternatif 3 Skenario-3A1 Naik 1 ha Skenario-3A2 Turun 1 ha Skenario-3B1 Naik 5% Skenario-3B2 Turun 5% Skenario-3C1 Naik 1% Skenario-3C2 Turun 1% Skenario-3D1 Naik 2% Skenario-3D2 Turun 2% 93

116 V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Eks- Areal HPH. PT. Maju Jaya Raya Timber (MJRT) Letak dan Lokasi Menurut administrasi pemerintahan, eks-areal HPH. PT. Maju Jaya Raya Timber (MJRT) terletak di dua wilayah kabupaten yakni Kabupaten Muko-Muko dan Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu. Lokasi eks-areal MJRT ini berdasarkan tercakup kedalam kelompok hutan Sungai Ipuh Sungai. Ketahun. Berdasarkan posisi geografis, areal HPH ini terletak antara: BT (bujur timur) dan LS (lintang selatan). Sementara batas-batas areal kerja eks-areal MJRT, meliputi: 1. Sebelah Utara : Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) 2. Sebelah Timur : TNKS dan eks areal kerja HPH. PT. Dirgahayu Rimba 3. Sebelah Selatan: Eks-areal HPH. PT. Dirgahayu Rimba 4. Sebelah Barat : Eks-areal HPH. PT. Bina Samakhta Lokasi penelitian memiliki aksesibilitas yang tinggi, yaitu dapat ditempuh dari Kota Bengkulu terus ke Kecamatan Putri Hijau (Kabupaten Bengkulu Utara) melalui jalan darat. Selanjutnya, dari Putri Hijau melalui darat dapat langsung menuju ke lokasi penelitian (eks-areal MJRT) dan bisa ditempuh dengan kendaraan darat selama kurang lebih satu jam. Peta-peta lokasi eks-areal MJRT secara lebih jelas dapat dilihat pada Lampiran 1 sampai dengan Lampiran Sejarah Pengelolaan Pengelolaan HPH oleh PT MJRT didasarkan pada Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian Nomor: 422/Kpts/UM/8/1974 tanggal 7 Agustus 1974 dengan luas areal ha. Izin pengelolaan HPH ini diberikan selama 20 tahun dan

117 95 telah berakhir sejak tanggal 7 Agustus 1994 yang lalu. Selama masa operasi pengolaan HPH (periode 1974/1975 sampai dengan 1992), PT. MJRT telah melakukan penebangan kayu seluas ha. Dengan demikian, seharusnya pada tahun 1992, dari ha luas izin konsesi, terdapat hutan lebat/hutan primer ha. Namun, berdasarkan data hasil klasifikasi citra landsat TM tahun 1992 yang dilakukan oleh Hernawan (2001), hutan primer yang tersisa hanya seluas ha dan telah dibuka lahan untuk perkebunan dan kebun rakyat seluas ha, berupa semak belukar ha dan tanah terbuka seluas ha. Berdasarkan SK. Menteri Kehutanan RI Nomor:1454/Menhut-IV/1994 tanggal 21 September 1994 mengenai permohonan perpanjangan a.n. PT. MJRT, izin pengelolaan diserahkan kepada perusahaan patungan antara PT. MJRT dengan PT. INHUTANI V yang mengikutsertakan BUMD/Pemda dan Koperasi. Luas areal yang direkomendasikan berdasarkan surat perpanjangan tersebut hanya seluas ha, sedangkan selebihnya ( ha) dikeluarkan dari areal kerja. Namun, berdasarkan fungsi Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), areal perpanjangan HPH PT. MJRT berupa areal Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas ha, Hutan Produksi Tetap (HP) seluas ha. Izin perpanjangan ini diberikan sampai dengan periode 1998/1999. Berdasarkan pemantapan fungsi hutan yang dipadukan dengan rencana pengelolaan wilayah Provinsi Bengkulu pada tahun 1998, eks-areal HPH PT. MJRT ( ha), seluas ha di antaranya merupakan Areal Penggunaan Lain (APL). Berdasarkan perkembangan pemanfaatan lahan di lapangan, sebagian APL tersebut telah dialih izinkan pengelolaannya kepada pihak ketiga lainnya yaitu perusahaan

118 96 swasta PT. Alno Algo Utama (PT. AAU) berdasarkan SK. Menhutbun No. 422/Menhutbun-IV/2000 tanggal 14 April 2000 dengan luas ha. Namun, berdasarkan perhitungan planimetris oleh Tim Independent Concession Audit pada tahun 2001, areal PT. AAU tersebut terdapat seluas ha diantaranya terletak di dalam eks-areal MJRT. Pada tahun 1999 Menteri Kehutanan dan Perkebunan telah mengeluarkan Surat No. 420/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Bengkulu seluas ha dimana di antaranya terdapat alokasi kawasan hutan yang diperuntukkan khusus sebagai Pusat Latihan Gajah (PLG) yaitu seluas ha. Lokasi PLG tersebut sebagian di antaranya, yaitu seluas ha terletak di dalam areal kerja eks-areal MJRT. Dengan adanya dua pelepasan sebagian areal kerja eks-areal MJRT di atas, luas areal kerja eks HPH PT. MJRT yang tersisa saat ini adalah seluas ha. Namun apabila melihat kondisi di lapangan, dari areal yang telah ditetapkan sebagai HPT dan HP berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Hutan terdapat areal HPT seluas ha dan HP seluas 135 ha yang telah digarap oleh perkebunan kelapa sawit PT AAU Kondisi Penutupan Lahan Vegetasi eks-areal HPH MJRT merupakan hutan tropika basah dengan jenis penutupan didominasi oleh kelompok meranti terutama dari spesies Dipterocarpaceae. Jenis-jenis dari kelompok ini yang sering dijumpai antara lain (Hernawan, 2001): damar (Shorea sp), merawan (Hopea dryobalanoides), kruing (Dipterocarpus sp), meranti (S.lefrosula), meranti putih (Shorea javanica), kelukung (Shorea sp) dan ketuko (S. ovalis). Untuk jenis non Dipterocarpaceae

119 yang sering ditemui adalah dari Famili Sapotaceae seperti durian (Durio zibethinus), Famili Apocaceae seperti jelutung (Dyra costulata), pulai (Alstonia pneumathopora), Famili Meliaceae seperti gelam (Xylocarpus granatum), Famili Stercaceae seperti bayur (Pterosepermum javanicum Jungh), Famili Sapindaceae seperti Kasai Gunung (Pometia pinnata Forst), Famili Lauraceae seperti medang (Dehaasia pauciflora) dan kisereh (Cinnamomum porthanoxylon Meissn), dan Famili Myrtaceae seperti jambu (Eugenia Clamyrtus) dan pelawan (Tristania maingayi Duthic). Hasil penapsiran Citra Landsat liputan tahun 2003, dari luas areal HPH ha, sebagian besar (52 persen) atau seluas ha berupa hutan bekas tebangan atau logged over area (LOA), sementara hutan primer (virgin forest) terdapat seluas ha (29.9 persen). Hasil penafsiran juga menunjukkan seluas ha (11.3 persen) berupa perkebunan (besar). Rincian keadaan penutupan lahan eks-areal MJRT disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6. Kondisi Penutupan Lahan Eks-Areal HPH. PT. Maju Jaya Raya Timber Tahun 2003 Penutupan Lahan/Vegetasi Luas (Ha) (%) Kebun Ladang Lahan Kosong/terbuka Hutan Sekunder (Logged Over Area) Semak/Belukar Hutan Lebat (Virgin Forest) Total Sumber: Analisis Spasial, 2005 Hasil pemeriksaan HPH yang dilakukan oleh Sarbi (2001), menunjukkan bahwa potensi tegakan jenis kayu komersial (diameter 50 cm) yang terdapat pada hutan primer maupun hutan bekas tebangan di eks-areal MJRT, rata-rata per hektar berjumlah batang dengan volume m 3. 97

120 98 Jenis hasil hutan non-kayu yang terdapat di eks-areal MJRT, antara lain: (1) getah damar yang berasal dari pohon merah (Hopea mengarawan), (2) getah jelutung yang berasal dari pohon jelutung/muai (Dyera costulata), (3) sarang burung wallet yang terdapat di bagian Tenggara areal konsesi, (4) rotan, jenis rotan yang ditemukan adalah rotan mensirai (Calamus sp) tetapi jumlahnya sangat sedikit/jarang, dan (5) bambu, banyak ditemukan di sebelah Selatan dan Tenggara areal konsesi. Saat ini jenis-jenis ini tidak terlalu banyak lagi ditemukan di eksareal HPH PT. MJRT sehingga untuk mendapatkannya, (informasi beberapa anggota masyarakat) masyarakat harus masuk ke areal TNKS Kondisi Tanah, Kelerengan dan Kekritisan Lahan Berdasarkan Peta Satuan Lahan Lembar Sungai Penuh dan Ketahun skala 1 : dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor, tahun 1990 terdiri atas Latosol, Podsolik Merah Kuning dan Aluvial (Independent Concession Audit, 2001). Jenis tanah Podsolik Merah Kuning merupakan jenis tanah terluas (lebih 90 persen) pada eks-areal MJRT. Jenis tanah ini merupakan tanah yang peka terhadap erosi, sedangkan tanah Latosol dan Aluvial merupakan tanah agak peka terhadap erosi. Jenis tanah di eks-areal HPH PT. MJRT dan tingkat kepekaannya terhadap erosi disajikan pada Tabel 7. Kondisi fisiografi lapangan eks-areal HPH MJRT bervariasi mulai dari dataran rendah sampai dengan perbukitan dengan ketinggian tempat berkisar dari 100 hingga 531 m dpl dan seluruhnya merupakan hutan tanah kering. Kemiringan lapangan eks-areal MJRT bervariasi dari datar sampai sangat curam. Areal datar sampai landai terletak di bagian Selatan berdekatan dengan daerah perkebunan dan pemukiman. Sedangkan kawasan yang merupakan areal agak curam sampai

121 curam dengan banyak perbukitan terletak di bagian Utara sampai dengan kawasan TNKS terutama di DAS Sebelat dan sub DAS Lalangi. Tabel 7. Jenis Tanah di Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber No Kode Tanah Luas Jenis Tanah (Soeprapto Harjo, 1961) Ha % 1. Had Podsolik Merah Kuning Had Podsolik Merah Kuning Mad Podsolik Merah Kuning Vad Podsolik Merah Kuning Aq 5 Aluvial Af Aluvial Pa 8.2 Latosol Pad 8.2 Latosol Jumlah Sumber: Sarbi, 2001 Kelerengan agak curam terutama di daerah hulu sungai seperti Sungai Ipuh, Sungai Sebelat dan Sungai Ketahun dengan fisiografi perbukitan pegunungan yang berbatasan kawasan TNKS. Di eks-areal HPH PT. MJRT terdapat areal sangat curam (lereng E) seluas ha yang terletak di DAS Sebelat dan Sub DAS Lalangi bagian Timur-Selatan. Rincian mengenai luasan kelerengan lapangan di eks-areal HPH PT. MJRT disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Kondisi Kelerengan Lapangan Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber Kisaran Lereng Luas Kelas Lereng Uraian (%) Ha % 0 8 A Datar B Landai C Agak Curam D Curam > 40 E Sangat Curam Jumlah Sumber: Sarbi, 2001 Jika dilihat dari aspek kekritisan lahan, kondisi lahan eks-areal MJRT sebagian besar masih dalam kategori baik dan normal alami dengan luas mencapai 99

122 ha atau sekitar 78 persen dari luas keseluruhan eks-areal MJRT. Sedangkan lahan kritis (agak kritis dan mulai kritis) terdapat seluas ha atau hanya sekitar 22 persen (Tabel 9 dan Lampiran 5 sampai dengan Lampiran 8). Hingga tahun 2005, lahan kritis dapat dijumpai di bagian barat dan selatan eksareal MJRT yang berjarak cukup jauh dari TNKS. Lahan kritis ini terkonsentrasi di tiga lokasi, yakni di Desa Semambung Makmur (Kecamatan Muko Muko Selatan, Kabupaten Muko Muko) serta sekitar Pusat Latihan Gajah (PLG), Desa Suka Baru (Kecamatan Putri Hijau, Bengkulu Utara) dan Desa Tanjung Harapan (Kecamatan Napal Putih, Kabupaten Bengkulu Utara). Tabel 9. Kondisi Kekritisan Lahan di Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber, Tahun 2005 Kategori Luas (Ha) (%) Agak kritis Baik Mulai kritis Normal Alami Total Sumber: Analisis Spasial, 2005 Sebagian besar jenis penutupan lahan kritis di eks-areal MJRT berupa hutan bekas tebangan dan hutan primer, masing-masing dengan proporsi 48.1 persen dan 36.2 persen. Sedangkan lahan kritis yang sudah mengalami alih fungsi meliputi areal perkebunan (11.7 persen), ladang/kebun masyarakat (3.5 persen) dan semak belukar dengan proporsi 0.6 persen (Tabel 10). Dengan demikian pengelolaan lahan kritis di eks-areal MJRT lebih diprioritaskan kepada pengendalian terhadap alih fungsi terhadap kawasan hutan karena memiliki areal yang paling luas.

123 Kondisi Iklim Menurut klasifikasi iklim Schmidt Ferguson, tipe curah hujan pada eksareal HPH PT. MJRT termasuk ke dalam tipe A, dengan nilai Q sebesar 0 persen (bulan basah sepanjang tahun dan tidak terdapat bulan kering), yang berarti daerah basah dengan tipe hutan hujan tropis. Curah hujan tahunan di eks-areal HPH ini tergolong tinggi berkisar antara mm. Suhu udara relatif panas dengan suhu rata-rata bulanan C, sedangkan kelembaban rata-rata tergolong tinggi yang berkisar persen. Kondisi iklim tersebut menyebabkan potensi peningkatan laju aliran permukaan (surface run-off) cukup besar. Pada akhirnya akan mempengaruhi parameter tanah dan hidrologi. Kondisi beberapa unsur penyusun iklim di eks-areal HPH PT. MJRT disajikan pada Tabel 11. Tabel 10. Jenis Penutupan Lahan Kritis di Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber, Tahun 2005 Luas (Ha) Jenis Penutupan Lahan Mulai Agak (%) Total Kritis Kritis Perkebunan Ladang/kebun masyarakat Hutan bekas tebangan Semak belukar Hutan primer Total Sumber: Analisis Spasial, Kondisi Sosial-Ekonomi dan Kependudukan 1. Sistem penguasaan lahan pada eks-areal MJRT Penguasaan lahan oleh masyarakat berdasarkan sistem pewarisan dari keluarga, membuka hutan, membeli lahan dari masyarakat yang lain. Lahan yang dikuasai masyarakat digunakan untuk daerah pemukiman penduduk, usaha pertanian dan perkebunan. Jenis usaha produktif pertanian dan perkebunan umumnya komoditi yang dikembangkan adalah padi ladang, singkong, kelapa sawit, kopi, jengkol dan lain-lain.

124 Tabel 11. Data Curah Hujan, Suhu dan Kelembaban Rata-rata Tahun di Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber No Bulan Rata-rata Curah Rata-rata Suhu Rata-rata Hujan (mm) Udara ( o C) Kelembaban (%) 1 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah Rata-rata Sumber: Sarbi, Pada eks-areal MJRT tidak terdapat adanya hak ulayat atas tanah dan hutan oleh masyarakat setempat. Sistem penguasaan tanah dan lahan oleh masyarakat mengikuti peraturan secara tradisi, yakni menganut sistem kepemilikan secara individu dan keluarga. Terlihat bahwa tanah yang kosong bagi masyarakat setempat dianggap tanah bebas. Masyarakat yang membuka hutan dan tanah kosong pertama kali akan menyatakan sebagai pemilik lokasi atau lahan tersebut. 2. Kegiatan usahatani dan perambahan Sebagian besar masyarakat mempunyai mata pencaharian pokok di bidang pertanian, perkebunan dan peternakan. Disamping itu, aktivitas penduduk juga banyak berinteraksi dengan hutan seperti menangkap ikan di sungai, memungut rotan, damar, madu serta mengusahakan balok kaleng. Perkiraan luas rata-rata kepemilikan lahan yang dimiliki masyarakat setempat berkisar antara 3 sampai 8 ha per kepala keluarga (KK).

125 103 Masyarakat desa mengembangkan usaha pertanian perladangan dengan memanfaatkan air hujan dan areal di pinggir sungai. Hal ini dilakukan karena ketiadaan sarana irigasi pada daerah tersebut. Umumnya untuk usaha pertanian masyarakat memanfaatkan lahan yang ada di sekitar sungai. Produksi pertanian tersebut digunakan untuk kebutuhan konsumsi keluarga sehari-hari (subsisten). Usahatani kebun kelapa sawit merupakan usaha andalan masyarakat desa untuk mendukung ekonomi keluarga. Sejak lima tahun terakhir sejak dikembangkannya perkebunan besar kelapa sawit di wilayah ini, masyarakat juga marak mengembangkan komoditas yang sama. Hasil perkebunan (tanpa diolah) dijual langsung kepada industri pengolahan kelapa sawit terdekat atau dijual kepada pedagang pengumpul yang datang langsung ke desa pada saat hari pasar. Hernawan (2001), melaporkan dalam pengembangan usaha perkebunan tanaman perkebunan tersebut, masyarakat desa cenderung memanfaatkan kawasan hutan (membuka hutan) dan memanfaatkan areal bekas tebangan PT. MJRT. Dari hasil survei diketahui peruntukan lahan yang dimiliki oleh responden, dimana luas lahan yang ditanami sawit menduduki peringkat pertama yaitu seluas 354 ha atau 64,5 persen dari total luas lahan yang dimiliki oleh petani. Sementara tanaman karet hanya terdapat seluas 62 ha atau 11.3 persen. Hal ini menunjukkan besarnya animo dan kebutuhan masyarakat dalam pengusahaan usahatani sawit bahkan telah menjadi suatu budaya bagi masyarakat setempat Tabel 12 menggambarkan klasifikasi kepemilikan lahan yang dimiliki oleh kepala keluarga. Sebagian besar responden memiliki tanaman karet dengan luas > 2 ha (54 persen). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani memiliki luas tanaman karet sesuai luas lahan yang direkomendasikan oleh Departemen

126 104 Kehutanan pada program hutan kemasyarakatan (HKm) seluas 2 ha/orang. Hasil survei juga mendapatkan sebagian besar (81 persen) usia tanaman sawit yang dimiliki respoden berumur antara 4 sampai 8 tahun. Dengan demikian usahatani responden adalah berada pada usia produktif. Tabel 12. Luas Peruntukan Lahan yang Dimiliki Kepala Keluarga Jenis Luas Kategori Luas Lahan Responden Tanaman (Ha) % 1 Ha 1< - 2 Ha > 2 Ha KK % KK % KK % KK % Karet Sawit Jeruk Kopi Kelapa Mangga Cempedak Sawah Alang-Alang Total Sumber: Hasil surve1, 2005 (diolah) Lahan-lahan yang dijadikan sebagai lahan pertanian dan perkebunan masyarakat merupakan kawasan hutan sekunder, termasuk dalam kawasan eksareal MJRT. Kawasan ini dimanfaatkan karena menurut masyarakat areal tersebut masih relatif subur. Selain itu menurut penduduk asli, lokasi itu sebelumnya merupakan areal ladang/kebun yang pernah dibuka oleh nenek moyang mereka. Disamping melakukan usaha budidaya pertanian dan perkebunan, masyarakat juga melakukan kegiatan pemungutan hasil hutan seperti rotan, damar, madu. Kegiatan tersebut telah dilakukan masyarakat setempat sejak sebelum beroperasinya HPH PT. MJRT. Frekuensi melakukan kegiatan ini tergantung dengan kesibukan mereka dalam melakukan usahataninya. Ancaman tekanan kegiatan perambahan kawasan penyangga TNKS di masa datang diperkirakan akan meningkat terutama kegiatan perambahan lahan untuk membuka ladang/kebun di areal bekas tebangan HPH. Faktor lain yang

127 105 mempercepat kegiatan perambahan lahan adalah faktor aksesibilitas penduduk yang kian terbuka karena adanya pembukaan jalan tembus di beberapa daerah kabupaten. 3. Kependudukan Secara umum, di sekitar eks-areal MJRT terdapat rumah tangga dengan jumlah pupulasi hingga tahun 2003 tercatat sebanyak jiwa serta sex-ratio sebesar 108. Dilihat dari sisi administrasi pemerintahan, dari tiga wilayah yang berbatasan langsung dengan eks-areal MJRT (Kecamatan: Muko- Muko Selatan, Napal Putih dan Putri Hijau), penduduk dan rumah tangga di Kecamatan Putri Hijau tercatat yang paling bayak. Secara rinci, variasi kependudukan di desa sekitar eks-areal MJRT disajikan pada Tabel 13. Dilihat dari tingkat kepadatan penduduk maupun rumah tangga, desa-desa sekitar MJRT tergolong memiliki kepadatan yang relatif rendah. Kepadatan rumah tangga tercatat hanya 4 rumah tangga tiap km 2, sementara kepadatan penduduk rata-rata 33 jiwa/km 2. Tingkat kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Desa Cipta Mulya, Kecamatan Putri Hijau, sedangkan kepadatan penduduk terendah ditemui di Desa Lubuk Talang, Muko-Muko Selatan. Khusus untuk lokasi penelitian di Kecamatan Putri Hijau, jumlah rumah tangga di sekitar eks-areal MJRT tercatat sebanyak rumah tangga, dengan jumlah penduduk hingga tahun 2005 sebanyak jiwa. Tingkat kepadatan rata-rata untuk penduduk dan rumah tangga juga tergolong relatif rendah, masingmasing adalah 34 jiwa/km 2 dan 3 rumah tangga/km 2. Kepadatan penduduk dan rumah tangga yang paling tinggi tercatat di Desa Cipta Mulya, yakni masingmasing 328 jiwa/km 2 dan 18 rumah tangga/km 2. Desa ini merupakan pemukiman

128 106 transmigrasi yang semua penduduknya mengusahakan perkebunan kelapa sawit. Desa ini hanya berjarak 5 km dari areal perkebunan kelapa sawit milik PT. Alno Agro Utama (PT AAU). Tabel 13. Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk dan Rumah Tangga di Desa Sekitar Lokasi Penelitian No Kecamatan/ Desa Luas (KM 2 ) Jumlah Pddk (Jiwa) Rumah Tangga (RT) Penduduk (Jiwa/KM 2 ) Kepadatan RT (RT/KM 2 ) Muko-muko Selatan 1 Gajah Makmur Semambang makmur Dusun Pulau Pulau Baru Sumundam Talang Baru Talang Arah Lubuk Talang Talang Rio Napal Putih 1 Tanjung harapan SP 7 Bangun Karya Tanjung Sari Bukit Berlian Tanjung Dalam Air Lelangi Air Tenang Pagardin Putri Hijau* 1 Karya Bakti Air Pandan** Suka Makmur Suka Baru Suka Medan Suka Merindu** Suka Maju** Karya Pelita Air Putih** Cipta Mulya** Total Keterangan : * dan ** adalah kecamatan dan desa-desa lokasi pengamatan Sumber : 1. Profil Desa, Kecamatan Napal Putih Dalam Angka, Kecamatan Putri Hijau Dalam Angka, 2003

129 Eks HPH. PT. Rimba Karya Indah (RKI) Letak dan Lokasi Lokasi penelitian pada eks-areal HPH PT. Rimba Karya Indah (PT. RKI) terletak pada areal kerja Unit-I (hutan tanah kering) di Kelompok Hutan Hulu Batang Tebo Batang Kemarau dan Batang Pelepat Hulu Batang Ole. Menurut admisnistrasi pemerintahan, areal kerja Unit-I termasuk kedalam tiga wilayah kecamatan, yakni: Kecamatan Pelepat, Lembur Lubuk Mengkuang dan Rantau Pandan (Kabupaten Bungo) serta Kecamatan Tabir Ulu (Kabupaten Merangin). Secara garis besar gambaran mengenai letak areal kerja HPH PT. RKI adalah sebagai berikut (Laporan Independent Concession Audit, 2001) Batas astronomi : BT dan LS Batas administrasi pemerintahan: 1. Kecamatan : Pelepat, Rantau Pandan, Lembur Lubuk Mengkuang dan Tabir Ulu 2. Kabupaten : Bungo dan Merangin 3. Provinsi : Jambi Kelompok hutan : Bt. Kemarau dan Bt. Pelepat Hulu Bt. Ole Batas Areal Kerja 1. Sebelah Utara : Eks. HPH PT. Mungitriman Intercontinental 2. Sebelah Timur : Eks. HPH PT Mungitriman Intercontinental 3. Sebelah Selatan : Hutan Lindung dan TNKS 4. Sebelah Barat : Hutan Lindung dan perkebunan PT Tidar Kerinci Agung dan HSAW Lokasi penelitian dapat ditempuh dari Kota Jambi terus ke Kota Bungo (Ibukota Kabupaten Bungo) melalui jalan darat. Selanjutnya, dari Kota Bungo ke

130 108 Kecamatan Pelepat untuk menuju lokasi penelitian dan bisa ditempuh dengan kendaraan darat, selama kurang lebih tiga jam. Gambaran yang lebih jelas mengenai eks-areal RKI disajikan pada Lampiran 22 sampai Lampiran Sejarah Pengelolaan Berdasarkan catatan yang ada, kawasan RKI Finger termasuk kedalam kawasan Hutan Lindung (RePPPRoT, 1988). Akan tetapi, kemudian dialihfungsikan menjadi hutan produksi yang hak pengelolaanya menjadi tanggung jawab PT. Rimba Karya Indah (PT. RKI). Areal kerja HPH PT. RKI semula bernama PT. Windu Karya Indah dengan perjanjian Pengusahaan Hutan (Forestry Agreement) nomor FA/N/008/IV/1983 tanggal 4 April Selanjutnya terjadi perubahan nama perusahaan dari PT. Windu Karya Indah (PT. WKI) menjadi Rimba Karya Indah (PT. RKI) berdasarkan Addendum FA No. Fa/N-AD/IV/1984 tanggal 10 April Luas areal yang diusahakan PT RKI sebagaimana tercantum dalam Forestry Agreement (FA) Nomor FA/N-AD/038/IV/1984 tanggal 30 April 1984 dan Surat Keputusan Menteri Pertanian (SK HPH) Nomor 13/Kpts-IV/87 tanggal 12 Januari 1987 adalah seluas ha. PT. Rimba Karya Indah (RKI), kemudian memperoleh penambahan areal kerja di Unit II (kelompok hutan Kumpeh dan Air Hitan Ulu) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 13/Kpts-IV/88 tanggal 29 Pebruari Dengan adanya penambahan ini, secara keseluruhan total luas areal kerja PT. RKI menjadi ha. Jangka waktu pengelolaan selama 20 tahun, terhitung sejak tanggal 12 Januari 1987 sampai dengan tahun 2007.

131 109 Berdasarkan fungsi hutan menurut TGHK areal pada lokasi penelitian (Unit-I) sebagian besar berfungsi sebagai Hutan Produksi tetap (HP) seluas ha (63.32 persen), sebagai Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas ha (27.95 persen) dan Areal Penggunaan Lain (APL) seluas ha (8.73 persen). Secara rinci luas areal HPH PT. RKI berdasarkan fungsi TGHK disajikan Tabel 14. Tabel 14. Fungsi Hutan Eks-Areal Kerja HPH PT. Rimba Karya Indah Berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan Fungsi Hutan Luas (Ha) (%) Hutan Produksi Terbatas (HPT) Hutan Produksi Tetap (HP) Hutan Produksi Konversi (HPK) Areal Penggunaan Lain (APL) Total Sumber: Sarbi, 2001 Selanjutnya, berdasarkan RTRWP Provinsi Jambi tahun 1996, areal Unit-I sebagian besar berubah menjadi HPT dan sebagian lagi berfungsi sebagai HP, Kawasan Budidaya Pertanian dan Non Pertanian (KBDPNP), Hutan Lindung (HL) dan menjadi kawasan TNKS. Secara rinci luas areal HPH PT. RKI berdasarkan Peta RTRWP disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Fungsi Hutan Eks-Areal Kerja HPH PT. Rimba Karya Indah Berdasarkan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Fungsi Hutan Luas (Ha) (%) Hutan Lindung (HL) Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) Hutan Produksi Terbatas (HPT) Hutan Produksi Tetap (HP) Kawasan Budidaya Pertanian dan Non Pertanian (KBDPNP) Jumlah Sumber: Sarbi, 2001

132 110 Berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Hutan Produksi Jambi, areal kerja HPH PT. RKI sebagian besar berfungsi sebagai hutan produksi tetap (71.49 persen) dan sisanya sebagai SAPA (22.37 persen) dan APL (6.15 persen). Rincian lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Fungsi Hutan Pada Areal Kerja HPH PT. Rimba Karya Indah Berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Fungsi Hutan Luas (Ha) (%) SAPA Hutan Produksi Terbatas/ HPT Hutan Produksi Tetap/ HP Areal Penggunaan Lain/APL Jumlah Sumber: Sarbi, 2001 Secara de-facto, sejak tahun 1997, PT. RKI telah berhenti beroperasi di areal kerja Unit-I di Kelompok Hutan Hulu Batang Tebo Batang Kemarau dan Batang Pelepat Hulu Batang Ole (Sarbi, 2001). Hal ini disebabkan oleh meluasnya penolakan dari masyarakat di sekitar kawasan. Sedangkan secara dejure, izin pengelolaan HPH PT. RKI berakhir sejak tanggal 25 November 2004, sejalan dengan dicabutnya izin pengelolaan melalui SK. Menteri Kehutanan No. 455/Menhut-II/2004 tanggal 25 November 2004 yang kemudian diperbaiki karena adanya kekeliruan dalam penetapan luas konsesi, melalui SK. 103/Menhut- II/2005 tanggal 25 April Kondisi Penutupan Lahan Informasi tentang potensi dan komposisi tegakan di areal HPH PT. RKI pada hutan primer maupun bekas tebangan bersumber dari hasil inventarisasi hutan (ITSP) pada beberapa blok yang dilakukan dengan intensitas 100 persen (Laporan Independent Concession Audit, 2001). Sedangkan informasi potensi dan

133 111 komposisi tegakan di areal bekas tebangan, bersumber dari hasil inventarisasi dengan luas sampel rata-rata 4 ha untuk setiap blok RKT bekas tebangan. Menurut komposisi jenisnya, tegakan siap tebang (di hutan primer) sebagian besar didominasi oleh jenis-jenis dari kelompok meranti terutama dari spesies Dipterocarpaceae, yaitu jenis meranti, keruing dan durian hutan. Sedang pada hutan bekas tebangan, sebagian besar didominasi oleh jenis-jenis dari kelompok meranti terutama dari suku Dipterocarpaceae, yaitu jenis meranti merah, meranti putih, mersawa dan nyatoh. Jenis hasil hutan non kayu adalah: (1) getah damar yang berasal dari pohon merah (Hopea mengarawan) dengan potensi pohon pada hutan bekas dan pada hutan primer, (2) getah jelutung yang berasal dari pohon jelutung/muai (Dyera costulata) pada hutan bekas tebangan, (3) madu yang banyak diambil oleh masyarakat terutama pada musimnya, (4) rotan, tidak banyak digunakan oleh masyarakat kecuali untuk keperluan tali-temali, jenis rotan yang ditemukan adalah rotan manau yang dijual kepada pedagang pengumpul dan jenis rotan mensirai (rotan cacing) tetapi jumlahnya sedikit, dan (5) bambu, dengan ukuran kecil-kecil dan tipis yang biasa disebut bambu saluang dan tidak banyak digunakan kecuali untuk membuat keranjang untuk keperluan sehari-hari Kondisi Tanah dan Kekritisan Lahan Jenis tanah di eks-areal RKI terdiri atas Podsolik Merah Kuning (PMK) seluas ha (30.29 persen), organosol seluas ha (40.24 persen), latosol seluas ha (18.44 persen), litosol seluas ha (10.46 persen), dan aluvial seluas 493 ha (0.57 persen). Hal ini sesuai dengan Peta Satuan Lahan

134 112 Lembar Sungai Penuh dan lembar Sarolangun, Sumatera skala 1: (Laporan Independent Concession Audit, 2001). Eks-areal kerja PT. RKI mempunyai topografi bervariasi dari datar sampai sangat curam dengan ketinggian bervariasi dari 190 m hingga m dpl. Areal kerja HPH PT. RKI sebagian besar mempunyai topografi datar (50.40 persen), dan selebihnya bertopografi landai hingga sangat curam. Penyebaran kelas lereng disajikan pada Tabel 17. Tabel 17. Penyebaran Kelas Lereng di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah Kelas Lereng Kisaran Lereng Unit-I (%) (Ha) % A B C D E > Jumlah Sumber : Sarbi, 2001 Jika dilihat dari aspek kekritisan lahan, kondisi lahan eks-areal RKI sebagian besar masih dalam kategori baik dan normal alami dengan luas mencapai ha atau sekitar 88.5 persen dari luas keseluruhan eks-areal MJRT. Sedangkan lahan kritis (agak kritis + mulai kritis) seluas ha atau hanya sekitar 11.4 persen (Tabel 18). Lahan kritis banyak terdapat di blok bagian atas yang berjarak relatif dekat dengan TNKS. Lahan kritis ini terkonsentrasi di tiga lokasi, yakni di Desa Renah Sungai Ipuh, Rantau Tipu (Kecamatan Lembur Lubuk Mengkuang, Kabupaten Bungo) serta Desa Batang Kibul, Telentam dan Sungai Tabir (Kecamatan Tabir Ulu, Kabupaten Merangin). Lahan kritis yang terdapat di eks-areal RKI adalah areal yang telah mengalami alih fungsi. Sebagian besar jenis penutupan lahan kritis di eks-areal RKI berupa ladang/kebun masyarakat dengan luas mencapai ha atau

135 113 sekitar 77 persen dari luas lahan kritis yang terdapat di eks-areal RKI. (Tabel 19 dan Lampiran 24 sampai Lampiran 26). Luas lahan kosong dan semak belukar masing-masing seluas ha dan 749 ha. Dengan demikian pengelolaan lahan kritis di eks-areal RKI lebih diprioritaskan kepada ladang/kebun masyarakat karena memiliki areal yang paling luas terutama yang berdekatan dengan TNKS. Tabel 18. Kondisi Kekritisan Lahan di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah Tahun 2005 Kategori Luas (Ha) (%) Agak Kritis Baik Mulai Kritis Normal Alami Total Sumber: Analisis Spasial, 2005 Tabel 19. Jenis Penutupan Lahan Kritis di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah Tahun 2002 Luas (Ha) Jenis Penutupan Lahan Mulai Agak (%) Total Kritis Kritis Ladang/Kebun Masyarakat Lahan Kosong Semak Belukar Total Sumber: Analisis Spasial Menggunakan Citra Landsat Akuisisi Tahun 2002, Iklim Menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, tipe iklim pada eks-areal HPH PT. RKI termasuk kedalam tipe A yang berarti daerah basah, dengan vegetasi hutan hujan tropis, dan bulan kering rata-rata bulan. Data curah hujan, hari hujan dan intensitas hujan dapat dilihat pada Tabel 20.

136 Tabel 20. Data Curah Hujan, Suhu dan Kelembaban Rata-rata Tahun di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah Bulan CH (MM) HH (Hari) Temperatur ( 0 C) Maks Min Rataan Kecepatan Angin (Knot) Arah angin 114 Kelembaban Nisbi (%) Januari NW 77 Februari NW 95 Maret NW 95 April NW 96 Mei SE 95 Juni S 97 Juli S-SE 94 Agustus S-SE 93 September SE 98 Oktober SE 94 November NW 93 Desember NW 95 Jumlah Rata-rata Keterangan : CH=Curah Hujan dan HH= Jumlah hari hujan Sumber : Stasiun Metereologi Sultan Thaha, Jambi ( ) Stasiun Metereologi Rimbo Bujang, Jambi ( ) dalam Laporan Independent Concession Audit, 2001 Curah hujan tahunan untuk Unit-I termasuk sedang berkisar mm/bulan dengan curah hujan rata-rata sebesar 222 mm. Suhu udara di areal ini termasuk relatif sedang dengan suhu rata-rata bulanan sebsar C. Kelembaban udara termasuk tinggi dengan kelembaban berkisar antara persen dengan rata-rata 94 persen (Unit-I) Kondisi Sosial-Ekonomi dan Kependudukan 1. Sistem penguasaan lahan dan perladangan Di desa sekitar eks-areal RKI, tidak ditemukan adanya hak ulayat atau hak persekutuan atas tanah dan hutan. Sistem penguasaan lahan oleh masyarakat desa berlangsung mengikuti peraturan hukum secara tradisional dengan menganut sistem kepemilikan secara individu dan keluarga. Bagi masyarakat desa, kawasan hutan dan tanah kosong merupakan tanah bebas (open acces). Seseorang atau

137 115 keluarga yang membuka hutan atau tanah kosong untuk pertama kalinya akan diakui sebagai pemilik lahan yang dibuka tersebut. Dalam hal penguasaan lahan dapat dipilah menjadi dua, yaitu: 1) sistem penguasaan lahan oleh masyarakat asli, dan 2) sistem penguasaan lahan oleh masyarakat pendatang. Dasar penguasaan lahan oleh masyarakat bersumber dari: sistem pewarisan, membuka hutan, ijin garap dari desa dan jual-beli. Rata-rata luas kepemilikan lahan masyarakat pendatang (yang terdiri dari etnis: minang, Rejang, Jawa dan dari Sumatera Selatan) bersumber dari surat ijin garap dari aparat desa dan Muspika serta membeli dari masyarakat asli. Luas kepemilikan lahan oleh masyarakat pendatang berkisar antara 2-6 ha/kk. 2. Kegiatan usaha tani dan perambahan Masyarakat sekitar eks-areal RKI banyak tergantung pada usaha pertanian lahan kering. Dalam usaha perkebunan, masyarakat desa umumnya mengusahakan tanaman karet disamping tanaman lainnya seperti: kopi, kayu manis, kelapa sawit dan durian. Hasil produksi dari budidaya tanaman perkebunan tersebut dijual dalam bentuk tanpa olahan kepada tauke atau pedagang pengumpul yang datang langsung ke desa pada saat hari pasar. Dalam usaha perkebunan tersebut, terdapat kecenderungan masyarakat memanfaatkan kawasan hutan dan memanfaatkan areal di tepi sungai yang relatif subur. Perambahan lahan dilakukan oleh masyarakat dengan memanfaatkan hutan bekas tebangan eks-areal RKI. Perambahan bahkan telah terjadi sewaktu perusahaan HPH masih beroperasi sebagai akibat lemahnya penjagaan kawasan konsesi yang dilakukan perusahaan meskipun secara hukum adalah tanggung jawab perusahaan masalah perambahan lahan tampaknya makin meluas ke

138 116 daerah-daerah yang mudah dimasuki. Masalah ini akan menjadi ancaman bagi keutuhan kawasan hutan yang masih tersisa di eks-areal RKI. Konversi lahan bekas tebangan menjadi ladang yang meluas saat ini menimbulkan perubahan landskap, yang tadinya hutan terganggu menjadi lahan marjinal yang tidak memiliki nilai konservasi keanekaragaman hayati sama sekali. Mengingat eks-areal RKI memiliki topografi yang terjal bergelombang dengan tipe-tipe tanah yang tidak potensial untuk dijadikan lahan pertanian atau perkebunan, maka konversi kawasan ini ke bentuk lahan lain, hanya akan membawa bencana banjir atau kekeringan di daerah-daerah hilirnya. Berdasarkan observasi di lapangan telah terdapat perladangan masyarakat dalam bentuk spot-spot kecil yang dilakukan tidak kurang dari 150 KK. Lokasi perambahan ini banyak terdapat di sekitar Desa Batu Kerbau. Disamping melakukan perambahan khususnya pada blok-blok tebangan, terjadi pencurian kayu yang dilakukan secara terkoordinir. Dari hasil survei diketahui bahwa pengelolaan kebun karet rakyat di desa sekitar eks-areal RKI sudah berlangsung secara turun temurun dan terus bertahan hingga sekarang. Hal ini bisa dilihat dari peruntukan lahan yang dimiliki oleh responden, dimana luas lahan yang ditanami karet menduduki peringkat pertama yaitu seluas 213 ha atau 71.2 persen dari total luas lahan yang dimiliki oleh petani. Hal ini menunjukkan besarnya animo dan kebutuhan masyarakat dalam pengusahaan usahatani karet, bahkan telah menjadi suatu budaya bagi masyarakat setempat. Tabel 21 berikut ini menggambarkan klasifikasi kepemilikan lahan yang dimiliki oleh kepala keluarga. Sebagian besar responden memiliki tanaman karet

139 117 dengan luas > 2 Ha (54 persen). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani memiliki luas tanaman karet sesuai luas lahan yang direkomendasikan oleh Departemen Kehutanan pada program hutan kemasyarakatan (HKm) seluas 2 ha/orang. Dari hasil survei juga didapatkan bahwa sebagian besar (82 persen) usia tanaman karet yang dimiliki respoden berumur antara 4-11 tahun. Dengan demikian usahatani responden adalah berada pada usia produktif. Tabel 21. Luas Peruntukan Lahan yang Dimiliki Kepala Keluarga Jenis Tanaman Luas (Ha) % Responden Kategori Luas Lahan 1 Ha 1 < - 2 Ha > 2 Ha KK % KK % KK % KK % Karet Sawit Jeruk Kopi Kelapa Mangga Cempedak Sawah Alang-Alang Jumlah Sumber: Hasil Survei, 2005 (diolah) 3. Model usaha tani karet Pola umum pendirian kebun karet rakyat di desa sebagai berikut: 1. Pembukaan lahan dan persiapan penanaman yang dilakukan pada tahun pertama, meliputi kegiatan : a. Penebasan semak belukar dan pohon diameter kecil (tingkat tiang dan pancang). b. Penebangan pohon diameter besar. c. Tutuh yaitu perecahan batang pohon kecil, cabang, dan ranting pohon besar. Hasil tutuh ini dikumpulkan untuk dibakar, sedangkan batang pohon besar dibiarkan tidak dipotong-potong. d. Kekas yaitu kegiatan pembersihan batas lahan.

140 118 e. Pembakaran hasil tutuh. f. Manduk yaitu membakar ulang sisa-sisa yang terbakar. g. Mengumpulkan kayu yang berasal dari batang pohon besar untuk bahan pagar dan dilanjutkan dengan membuat pagar. h. Pembuatan pondokan. 2. Penanaman yang dilakukan meliputi kegiatan : a. Pemasangan ajir. b. Penanaman padi dan tanaman sela. c. Penanaman karet. 3. Pemeliharaan yang dilakukan pada tahun I, II, dan III, meliputi kegiatan : a. Penyiangan yaitu membersihkan rumput. b. Pemupukan. 4. Pemanenan, yaitu penyadapan getah karet yang dimulai sekitar tahun ke 5-7. Intensitas responden dalam melakukan kegiatan pemeliharaan adalah sebagai berikut : 1. Responden yang melakukan penyiangan dan pemupukan satu kali baik pada tahun ke-1 atau tahun ke-2 adalah sebanyak persen. 2. Responden yang melakukan penyiangan dua kali baik pada tahun I dan II, atau II dan III adalah sebanyak persen. 3. Responden yang melakukan pemupukan dua kali baik pada tahun I dan III, atau tahun II dan III adalah sebanyak persen. 4. Responden yang tidak melakukan penyiangan dalah sebanyak 50 persen, dan yang tidak melakukan pemupukan adalah sebanyak persen.

141 119 Adapun intensitas pemeliharaan kebun karet rakyat yang dilakukan oleh petani karet di desa dapat dilihat pada Tabel 22 bawah ini. Lebih dari separoh responden tidak melakukan penyiangan dan pemupukan terhadap usahatani mereka. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kendala yang dialami petani karet dalam melakukan kegiatan pemeliharaan, antara lain masalah modal. Selain itu, petani karet juga tidak mendapat penyuluhan dari aparat pemerintah, sehingga ada kemungkinan petani karet belum mendapat informasi yang lengkap tentang teknik penanaman dan pemeliharaan tanaman karet. Tabel 22. Intensitas Kegiatan Pemeliharaan Kebun Karet Rakyat Jenis Kegiatan Pemeliharaan Responden Melakukan Kegiatan Tahun Ke- (%) dan 2 1 dan 3 2 dan 3 Tidak ada kegiatan Penyiangan Pemupukan Sumber: Hasil Survei, 2005 (diolah) Pola usahatani karet yang dikembangkan oleh penduduk, umumnya menerapkan sistem pengelolaan hutan karet rakyat ketimbang kebun karet rakyat yang notabene relatif lebih maju. Tabel 23 menyajikan ilustrasi perbandingan kedua sistem usahatani dimaksud. Sistem pengelolaan kebun karet pada prinsipnya lebih memerlukan intensitas modal dan tenaga kerja dibandingkan dengan hutan karet. Hal ini, tergambar dari penggunaan bibit unggul dan pengaturan jarak tanam serta kegiatan pemeliharaan. Perbedaan input tersebut berdampak pada output yang didapat. Produktifitas kebun karet lebih tinggi dari pada hutan karet, walaupun secara ekologi yang tercerminkan dari keragaman jenis pohon yang tumbuh, hutan karet lebih baik dari kebun karet.

142 Tabel 23. Perbandingan Sistem Pengelolaan Kebun dan Hutan Karet Rakyat Uraian Sistem Pengelolaan Hutan Karet Rakyat Kebun Karet Rakyat Bibit Lokal Unggul Jarak tanam Tidak teratur Teratur (4x4)m atau (4x5)m Pemeliharaan Tidak ada kegiatan pemeliharaan 1. Penyiangan tahun I, II, dan III 2. Pemupukan tahun I, II, dan III Produksi 1. Mulai disadap sekitar 10 tahun. 2. Rata-rata produksi getah setengah dari produksi kebun karet. 3. Masa produksi sekitar 30 tahun. 1. Mulai disadap pada tahun ke Rata-rata produksi getah 2 kali lipat dari produksi hutan karet. 3. Masa produksi sekitar 20 tahun. Keragaman jenis Heterogen, dengan kerapatan jenis karet pohon/ha, non karet pohon /ha 120 Homogen, dengan kerapatan pohon/ha Modal Lebih kecil Lebih besar Peremajaan Sisipan Tebas bakar Jarak lokasi Jauh dari tempat tinggal Jauh dari tempat tinggal Jenis tanaman Pisang, nanas, singkong, sayuran sela dan padi Sumber: Hasil Observasi, 2005 Perolehan Lahan Pisang, nanas, singkong, sayuran dan padi Secara umum ada tiga cara petani karet memperoleh kebun karet, yaitu warisan, membeli kebun karet yang sudah jadi, dan membuka lahan hutan. Berdasarkan pola perolehan lahan karet, sebagian lahan karet yang ada yaitu ha atau 60 persen lebih merupakan warisan dan ha atau persen diperoleh dari pembelian dan ha atau 5.75 persen dari membuka lahan kosong atau membuka hutan. Hal ini menunjukkan pola pertanian karet sudah menjadi tradisi yang turun temurun bagi masyarakat desa. Pembangunan Lahan Kebun Kegiatan pembangunan lahan kebun dimulai dengan melakukan tebas tebang yang pada umumnya dilakukan sendiri oleh si pemiliki lahan. Dilanjutkan dengan kegiatan persiapan pembakaran. Terdapat kebiasaan masyarakat di sana sebelum melakukan kegiatan pembakaran, yaitu si pemilik lahan tersebut akan

143 121 mengkonfirmasikan kepada para pemilik lahan di sekitarnya bahwa dia akan membuka lahan, dan menanyakan apakah di antara pemilik lahan tersebut ada yang akan membuka lahan. Jika di antara para pemilik lahan tersebut berniat membuka lahan, maka mereka melakukan kegiatan tersebut bersama-sama, sehingga dari segi biaya menjadi lebih murah karena mereka tidak perlu membuat pagar untuk membatasi lahan mereka. Sebelum kegiatan pembakaran dilakukan, areal di sekeliling lahan harus dibersihkan supaya api tidak menyebar. Kegiatan pembakaran biasanya dilakukan secara gotong-royong oleh petani pemilik lahan bersama kerabat dekat dan penduduk lainnya lebih kurang 20 orang, sedangkan waktunya adalah sore hari selama ± 2 3 jam. Setelah kegiatan pembakaran tersebut, ada kemungkinan lahan belum bersih, oleh karena itu dilakukan pembakaran ulang sehingga lahan menjadi benar-benar bersih. Kegiatan pembakaran ulang tidak dilakukan secara gotong-royong tetapi cukup dilakukan sendiri oleh petani pemilik lahan. Pembuatan Pagar Selesai kegiatan pembakaran, dilakukan pembuatan pagar di sekeliling kebun yang dibuat setinggi manusia. Tujuan pemagaran ini adalah untuk menghindari hama babi hutan. Pembuatan pagar dilakukan sendiri oleh petani karet pemilik lahan atau diupahkan. Sebagai bahan pagar digunakan batang pohon tegakan besar yang sengaja tidak potong-potong dalam kegiatan pembukaan lahan, dan sisa pembakaran dengan kawat serta paku sebagai bahan pelengkap. Penanaman Setelah pemagaran selesai, dilanjutkan dengan pemasangan ajir untuk tanaman karet. Kegiatan penanaman bibit karet dan padi dapat dilakukan

144 122 bersamaan waktunya, atau dapat juga menanam padi lebih dahulu baru menanam karet. Kegiatan ini dilakukan dengan cara bergotong-royong. Adapun jenis bibit karet yang ditanam tergantung dari kemampuan/modal yang dimiliki oleh pemilik lahan. Ada tiga macam bibit yang biasa digunakan yaitu : 1. Bibit lokal, yang dicabut dari kebun sendiri biasanya gratis. 2. Mata tidur, dimana petani membeli mata tidur seharga Rp 500/buah dan mereka melakukan okulasi sendiri. 3. Polybag, yaitu bibit karet siap tanam dalam polybag. Harganya relatif mahal jika dibandingkan dengan bibit lokal dan mata tidur sekitar Rp 2000/buah. Penanaman padi dilakukan sendiri oleh pemilik lahan atau kadang-kadang diupahkan. Setelah tanam padi dilakukan kegiatan pemeliharaan, yaitu penyiangan dan pemupukan yang dilakukan sendiri oleh pemilik lahan atau diupahkan. Penanaman padi dan tanaman sela dilakukan hingga tahun kedua atau ketiga. Pemanenan Pada karet teknis (klon) kegiatan pemanenan dilakukan setelah pohon pohon karet berumur 5-7 tahun, sedangkan untuk karet alam relatif lebih lama dari kebun karet. Kegiatan penyadapan getah karet dilakukan setiap hari dan dilakukan secara sendiri-sendiri. Terdapat pula sistim bagi hasil dalam pemanenan tergantung pada kondisi produksi getah. Sistem bagi hasil 2:1, jika kondisi produksi getah sudah lewat dari masa produksi optimum, 2 bagian untuk pemotong dan 1 bagian untuk pemilik. Dalam kondisi produksi getah optimum

145 123 dan karet teknis yang produksinya tinggi, sistem bagi hasil adalah 1:1, satu bagian untuk pemotong dan satu bagian untuk pemilik. Pengolahan Pengolahan getah karet yang dilakukan masih sederhana, yaitu dengan cara melakukan pemasakan dengan asam anti koagulasi kemudian merendamnya, hasilnya disebut slab. Di pasar, harga slab ini jauh lebih murah jika dibandingkan dengan karet sheet dan crepe. Namun kendala yang dihadapi dalam kegiatan pengolahan karet sheet dan crepe adalah jauhnya jarak antara rumah dengan lokasi kebun karet, karena untuk melakukan pengolahan karet sheet dan crepe hasil sadapan harus diangkut setiap hari. Pada tingkat pedagang pengumpul, harga karet sheet dan crepe tidak jauh berbeda dengan harga karet slab, sehingga tidak ada insentif bagi petani karet. Pemasaran Penjualan getah karet biasanya dilakukan pada hari Sabtu dan Minggu. Petani karet menjual hasil produksinya langsung kepada pedagang pengumpul yang datang ke desa sekitar eks-areal RKI. Petani karet mempunyai kebebasan untuk memilih pedagang pengumpul yang membeli dengan harga tinggi. Beberapa petani karet menjual hasil produksinya kepada pedagang pengumpul tertentu, hal ini terjadi karena pedagang pengumpul tersebut masih kerabat, atau mereka mempunyai perjanjian tersendiri dengan pedagang pengumpul tersebut, misalnya petani karet mempunyai hutang yang akan dibayar dengan hasil produksi getah karet selama satu atau dua minggu. Dalam kasus lain, pedagang pengumpul tersebut memiliki banyak kebun dan kebun karet tersebut dikelola sebagai sistem bagi hasil, sehingga bagi si

146 124 penyadap ada loyalitas kepada si pemilik kebun karet jika si pemilik kebun karet tersebut merangkap sebagai pedagang pengumpul. Namun demikian pemilik kebun karet tersebut membeli getah karet dengan harga yang relatif sama dengan pedagang pengumpul yang lain. 4. Kependudukan Secara umum, di sekitar eks-areal RKI terdapat rumah tangga yang tersebar di 9 desa pada empat wilayah kecamatan yang berbatasan langsung dengan eks-areal RKI (Kecamatan: Tabir Ulu (Kabupaten Merangin), Pelepat, Lembur Lubuk Mengkuang dan Rantau Pandan (Kabupaten Bungo). Hingga tahun 2003, secara keseluruhan jumlah penduduk di desa-desa tersebut sebanyak jiwa dengan sex-ratio sebesar 85. Secara terperinci, variasi kependudukan di desa sekitar eks-areal RKI dapat dilihat pada Tabel 24. Dilihat dari tingkat kepadatan penduduk maupun rumah tangga, desa-desa sekitar RKI tergolong memiliki kepadatan yang relatif rendah. Kepadatan rumah tangga tercatat antara 2-7 rumah tangga tiap km 2, sementara kepadatan penduduk antara 8-31 jiwa/km 2. Tingkat kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Desa Renah Sungai Ipuh, Kecamatan Lembur Lubuk mengkuang, sedangkan kepadatan penduduk terendah ditemui di Desa Sungai Tabir, Kecamatan Tabir Ulu. Pada lokasi lokasi survei yang dilakukan di Kecamatan Lembur Lubuk Mengkuang dan Pelepat, jumlah rumah tangga di sekitar eks-areal RKI tercatat sebanyak 492 rumah tangga, dengan jumlah penduduk hingga tahun 2003 sebanyak jiwa. Tingkat kepadatan rata-rata untuk penduduk dan rumah tangga juga tergolong relatif rendah, masing-masing adalah 27 jiwa/km 2 dan 1 rumah tangga/km 2.

147 Tabel 24. Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk dan Rumah Tangga di Desa Sekitar Lokasi Penelitian No Kecamatan/Desa Luas (KM 2 ) Jumlah Penduduk (Jiwa) Jumlah Rumah Tangga (RT) Kepadatan 125 Jiwa/KM 2 RT/KM 2 Tabir Ulu 1 Batang Kibul Telentam Sungai Tabir Air Liki Lembur Lubuk Mengkuang * 5 6 Pemunyian** Renah Sei Ipuh** Pelepat* 7 Batu Kerbau** Rantau Pandan 8 Muara Buat Lubuk Beringin Total Keterangan : * dan ** masing-masing merupakan kecamatan dan desa-desa lokasi survei Penelitian Sumber : 1. Kecamatan Tabir Ulu Dalam Angka, Kecamatan Pelepat Dalam Angka, Kecamatan Lembur Lubuk Mengkaung Dalam Angka, Kecamatan Rantau Pandan Dalam Angka, 2003

148 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Perubahan Tutupan dan Penggunaan Lahan Eks HPH PT. Maju Jaya Raya Timber Tutupan lahan di eks-areal Maju Jaya Raya Timber (MJRT) berdasarkan citra landsat tahun 1988, 2001, 2003 dan 2005 secara umum mengalami perubahan pada semua tipe tutupan lahannya. Seperti dapat dilihat pada Tabel 25 dan Gambar 18, hingga tahun 1988 ketika masih dalam pengelolaan HPH, belum terdapat adanya perkebunan besar maupun ladang/kebun masyarakat. Kedua jenis penutupan lahan ini baru muncul paska pengelolaan HPH (tahun 2001) 1. Hingga tahun 2005 tutupan lahan eks-areal MJRT didominasi oleh hutan bekas tebangan (logged over area) yakni seluas ha atau sekitar 50 persen dari total eksareal MJRT. Selanjutnya diikuti oleh jenis penutupan lahan lain, diantaranya: hutan lebat seluas ha (30 persen), perkebunan besar seluas ha (12 persen), ladang/kebun masyarakat dan semak belukar masing-masing ha dan ha atau dengan proporsi sekitar 4 persen. Untuk jenis penutupan lahan non-hutan (alang-alang, perkebunan besar, ladang/kebun masyarakat) mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Pada tahun 1988 luas lahan non hutan hanya 202 ha atau dengan proporsi 0.4 persen dari total luas lahan, namun pada tahun 2005 lahan non-hutan terdapat seluas ha atau 20 persen dari total luas tanah. Dengan demikian, paska pengelolaan HPH, kawasan hutan pada eks-areal MJRT mengalami pengurangan, sedangkan kawasan non hutan mengalami peningkatan. 1 Untuk kondisi tahun 2000 dilaporkan oleh Hernawan (2001), penutupan lahan tipe perkebunan dan ladang/kebun masyarakat terdapat ha. Khusus untuk perkebunan besar, diperkirakan telah dibangun begitu izin perpanjangan HPH berakhir (1999). Hal ini ditunjukkan dari hasil analisis yang dilakukan oleh TNKS-ICDP Komponen C1 (2002) dengan citra rekaman tahun 2000 dan 2001, dilaporkan bahwa perkebunan besar terdapat seluas 555 ha baik pada tahun 2000 maupun 2001.

149 127 Sampai dengan tahun 2005, jenis penggunaan lahan yang paling luas adalah untuk perkebunan besar, yakni seluas ha atau sekitar 12 persen dari total luas eks-areal MJRT. Sedangkan penggunaan lahan yang digunakan masyarakat untuk membuka ladang/kebun memiliki proporsi yang kecil seluas ha. Namun, terdapat bekas ladang masyarakat yang telah menjadi semak belukar dengan proporsi 4 persen atau seluas ha. (lihat Tabel 25). Tabel 25. Penutupan Lahan Eks-Areal HPH. PT. Maju Jaya Raya Timber, Tahun Tutupan Lahan Luas (Ha) 1988* 2001** 2003** 2005** Alang-alang (9%) (1%) Perkebunan besar (13%) (11%) (12%) Ladang/kebun masyarakat (3%) (0.0%) (0.0%) Lahan kosong/terbuka (17%) (1%) (0.0%) Hutan sekunder (39%) (48%) (52%) (50%) Semak/belukar (0.2%) Hutan lebat (61%) Luas lahan non-hutan 202 (0.4%) Luas lahan hutan (99.6%) (0.0%) (34%) (18%) (82%) (4%) (30%) (18%) (82%) (4%) (30%) (20%) (80%) Total luas lahan Keterangan : Angka yang di dalam kurung menunjukkan proporsi penutupan lahan terhadap total luas lahan yang di análisis * : merupakan periode ketika masih dalam pengelolaan HPH ** : merupakan periode paska pengelolaan HPH Sumber : Analisis Citra Landsat Akuisisi Tahun 1988, 2001, 2003 dan 2005 Perubahan tutupan lahan yang paling menyolok terjadi pada periode , yakni terjadi kehilangan hutan primer seluas ha atau sekitar ha/tahun. Pada periode yang merupakan paska pengelolaan konsesi, kehilangan hutan lebat di eks-areal MJRT mencapai ha atau rata-rata 704.8

150 128 ha/tahun. Secara kasar fenomena ini menunjukkan bahwa telah terjadi penebangan hutan secara liar (illegal logging) paska pengelolaan HPH (lihat Tabel 26). Namun, selama tiga tahun terakhir (periode ), tidak ada pengurangan luas hutan lebat yang berarti di eks-areal MJRT. Lokasi hutan lebat/primer yang masih tersisa ( ha) terletak di bagian utara sampai dengan kawasan TNKS terutama di DAS Seblat dan Sub DAS Lalangi, di Kabupaten Bengkulu Utara. Kawasan ini diselamatkan oleh kondisi topografi agak curam (kelerengan 15-25%) hingga sangat curam (kelerengan >40%) dan belum tersedianya jalan darat, sehingga sulit dieksploitasi. Tabel 26. Rata-rata Perubahan Tutupan Lahan Eks-Areal HPH. PT. Maju Jaya Raya Timber, Tahun Perubahan Tipe Tutupan Lahan (Ha) Alang-alang Perkebunan Ladang/kebun masy Lahan terbuka Hutan bekas tebangan Semak/Belukar Hutan Lebat Sumber: Analisis Citra Landsat Akuisisi Tahun 1988, 2001, 2003, 2003, 2005 Dari Tabel 26 juga dapat dilihat pada periode , penggunaan lahan untuk perkebunan besar dan ladang/kebun masyarakat merupakan yang paling luas, masing-masing dengan luas ha dan ha atau dengan pertambahan rata-rata setiap tahunnya seluas ha dan ha. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hernawan (2001), dilaporkan seluas ha areal perkebunan kelapa sawit telah dibuka oleh PT. Alno Argo Utama pada eks-areal MJRT yang telah diubah statusnya menjadi Areal Penggunaan Lain (APL). Paska pengelolaan HPH ( ), penggunaan lahan yang paling luas adalah

151 129 usahatani ladang atau kebun masyarakat yakni mencapai ha. Kemunculan semak belukar yang paling luas terjadi pada periode yakni seluas ha. Diperkirakan, pada mulanya semak belukar ini adalah usahatani kayu manis (casiavera) yang dikelola masyarakat, kemudian karena harga komoditas ini sangat rendah dan dinilai tidak menguntungkan selanjutnya ditinggalkan hingga menjadi semak belukar. Secaran keseluruhan, untuk mengetahui jenis penggunaan lahan dalam pengelolaan eks-areal HPH hingga paska pengelolaan HPH, digunakan perubahan tutupan lahan pada periode Penggunaan lahan hutan menjadi kawasan non-hutan terdapat seluas ha. Konversi hutan lebat atau hutan primer menjadi kawasan non-hutan terekam seluas ha atau hanya 0.7 persen dari luas total eks-areal MJRT yang dianalisis. Penggunaan lahan yang paling luas adalah untuk pembukaan ladang/kebun masyarakat yakni seluas ha, lalu diikuti untuk perkebunan besar hanya seluas 2.2 ha (lihat Tabel 27). Penggunaan lahan kawasan hutan lebat terjadi di sebelah barat di sekitar Desa Pulau, Kabupaten Muko-Muko. Namun demikian, penggunaan lahan di sekitar perbatasan dengan TNKS tidak ditemukan (lihat Gambar 20). Dalam kurun waktu ini, penggunaan lahan hutan bekas tebangan menjadi kawasan non-hutan lebih luas jika dibandingkan dengan penggunaan lahan hutan lebat atau hutan primer. Hutan bekas tebangan yang digunakan mencapai ha atau sekitar 19.1 persen dari keseluruhan eksareal MJRT, meliputi untuk perkebunan besar seluas ha (rata-rata 309 ha/tahun), untuk ladang atau kebun masyarakat seluas ha (rata-rata 91.9 ha/tahun) dan menjadi semak belukar seluas ha (rata-rata 97.9 ha/tahun). Sedangkan penggunaan lahan hutan lebat/primer terdapat seluas ha, meliputi penggunaan lahan untuk areal perkebunan besar seluas 2.2 ha (rata-rata

152 ha/tahun), untuk ladang/kebun produktif masyarakat seluas ha (rata-rata 15.5 ha/tahun) dan menjadi semak belukar seluas 47.7 ha (rata-rata 2.1 ha/tahun). informasi dapat dilihat pada Tabel 27 dan Tabel ,0 2005,0 Perubahan Jumlah (Ha) J enis Land Cover Gambar 18. Perubahan Tutupan Lahan Eks-Areal HPH. PT. Maju Jaya Raya Timber Tahun Hasil interpretasi GIS dan kunjungan lapangan menunjukkan bahwa lokasi penggunaan lahan hutan bekas tebangan untuk perkebunan sebagian besar terdapat di bagian selatan, di Kecamatan Putri Hijau, yakni lahan perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh PT. AAU dan di Kecamatan Napal Putih di dekat Desa Tanjung Harapan. Sementara penggunaan lahan untuk perladangan atau kebun masyarakat terkonsentrasi di sekitar Pusat Latihan Gajah (PLG) di Kecamatan Putri Hijau. Penggunaan lahan hingga menjadi semak belukar banyak terjadi di Kecamatan Muko-Muko Selatan, di sekitar Desa Semambung Makmur. Namun, penggunaan lahan eks-areal MJRT di sekitar perbatasan dengan TNKS tidak ditemukan.

153 Tabel 27. Perubahan Tutupan Lahan di Eks-Areal HPH. PT. Maju Jaya Raya Timber, Tahun Alang Perkebunan Ladang/ Lahan Hutan bekas Semak/be Hutan -alang kbn masy kosong tebangan lukar lebat Alang-alang Perkebunan Ladang/kebun masy Lahan kosong Hutan bks tebangan Semak/Belukar Hutan Lebat Sumber : Diolah dari Hasil Analisis Perubahan Tutupan Lahan yang Menggunakan Citra Landsat Akuisis Tahun 1988 dan 2005 Tabel 28. Perubahan Tutupan Lahan di Eks-Areal HPH. PT. Maju Jaya Raya Timber,Tahun Kawasan Non-Hutan (Ha/Tahun) Kawasan Hutan Perkebunan Besar Ladang/Kebun Masyarakat Tanah Kosong Semak Belukar Hutan Bekas Tebangan Hutan Primer Sumber : Diolah Dari Hasil Analisis Perubahan Tutupan Lahan yang Menggunakan Citra Landsat Akuisisi Tahun 1988 dan 2005 Dari evaluasi terhadap perubahan tutupan lahan eks-areal MJRT, dapat dibuat beberapa catatan penting, antara lain: (1) jenis penggunaan lahan eks-areal MJRT yang dominan adalah penggunaan kawasan hutan untuk areal perkebunan besar, ladang/kebun masyarakat dan semak belukar, (2) dari total luas penggunaan lahan ( ha), sebagian besar atau sekitar 96 persen dilakukan dengan cara memanfaatkan hutan bekas tebangan, sedangkan yang memanfaatkan hutan lebat sekitar 4 persen, (3) penggunaan lahan hutan bekas tebangan untuk areal perkebunan besar terdapat ha dan untuk ladang/kebun masyarakat (1 654 ha), sementara penggunaan lahan hutan primer untuk perkebunan hanya seluas 2.2 ha dan untuk kebun produktif masyarakat (278.9 ha), dan (4) penggunaan lahan yang dilakukan di sekitar perbatasan dengan TNKS tidak ditemukan.

154 Gambar 19. Perubahan Tutupan Lahan di Eks-Areal HPH. PT. Maju Jaya Raya Timber Tahun

155 Eks HPH PT. Rimba Karya Indah Seperti disajikan dalam Gambar 20 dan Tabel 29, tutupan lahan di eksareal Rimba Karya Indah (RKI) berdasarkan citra landsat tahun 1988, 1999 dan 2002 secara umum mengalami perubahan pada semua tipe tutupan lahannya. Hutan primer terus mengalami penurunan luas dari tahun , dimana pada tahun penurunan terjadi relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan penurunan dari tahun 1999 ke tahun 2002, yakni dengan penurunan rata-rata sekitar ha/tahun 2,035 3,382 3, ,661 25, ,524 20,000 18,901 Jumlah (Ha) 15,000 10,000 14,892 15,583 13,628 5,000 1,412 1,228 3, Kebun Ladang Lahan Kosong Hutan Sekunder (LOA) Semak Belukar Hutan Primer (VF) Jenis Land Cover Gambar 20. Tutupan Lahan Eks-Areal HPH.PT. Rimba Karya Indah Tahun 1988, 1999 dan 2002 Penurunan luas hutan bekas tebangan yang paling tinggi terjadi pada periode , yakni dengan rata-rata ha/tahun. Sebaliknya pada periode ini terjadi peningkatan pada jenis tutupan lain berupa perkebunan besar

156 134 dengan rata-rata peningkatan ha/tahun, ladang/kebun masyarakat (67.2 ha/tahun) dan semak belukar (483.9 ha/tahun). Penambahan luas kawasan non-hutan pada periode tersebut lebih besar dibanding periode lainnya. Secara akumulatif dalam kurun waktu , penambahan luas kawasan non-hutan di eks-areal RKI rata-rata mencapai 585 ha/tahun. Namun, penambahan secara pesat sebetulnya terjadi selama kurun waktu 4 tahun ( ) dengan peningkatan rata-rata ha/tahun (lihat Tabel 29). Tabel 29. Perubahan Rata-rata Tutupan Hutan Eks-Areal PT. Rimba Karya Indah Tipe Tutupan Lahan Perubahan Rata-rata (Ha/Tahun) Kebun Ladang/kebun masy Lahan Kosong Hutan bekas tebangan Semak Belukar Hutan Primer Kawasan non-hutan Keterengan : Nilai negatif mengindikasikan penurunan luas lahan Sumber : Diolah dari hasil analisis perubahan tutupan lahan yang menggunakan Citra Landsat akuisis tahun 1988, 1999 dan 2002 Penambahan kawasan non-hutan yang relatif pesat pada periode dimungkinkan karena didorong oleh adanya pembangunan perkebunan besar dalam kurun waktu yang sama terutama di blok bagian atas, yakni dengan peningkatan rata-rata ha/tahun. Di sisi yang lain juga terjadi penambahan semak belukar yang pesat (483.9 ha/tahun) dan lahan kosong (84.6 ha/tahun). Fenomena terjadinya peningkatan kawasan non-hutan (semak belukar dan lahan kosong) tersebut dimungkinkan mengingat RKI secara defacto telah menghentikan produksinya di kawasan ini menyusul adanya konflik dengan masyarakat di sekitar kawasan. Paska konflik ini terjadi ketidakpastian dalam

157 135 pengelolaan kawasan eks-areal RKI yakni lebih kurang selama 6 tahun, sampai dengan dikeluarkannya pencabutan izin pengelolaan HPH oleh pemerintah pada tahun 2004/2005. Dari perspektif kelembagaan ketidakpastian dalam pengelolaan suatu sumberdaya alam memicu terjadinya akses terbuka (open acces) yang mendorong eksploitasi sumberdaya secara tidak terkendali. Kondisi tutupan lahan dari tahun 1988 ke tahun 2001 berdasarkan interpretasi citra landsat (Gambar 21 dan 22) menunjukkan bahwa tutupan lahan berupa hutan primer (virgin forest) mengalami penurunan seluas ha. Selain hutan primer, jenis tutupan hutan semak belukar pada periode ini juga mengalami penurunan, yakni seluas ha. Sedangkan tutupan lahan yang mengalami penambahan luas adalah hutan bekas tebangan (6 631 ha) dan ladang/kebun masyarakat (2 629 ha). Sementara perkebunan besar dan lahan kosong baik pada tahun 1988 dan tahun 1999 belum teridentifikasi adanya lahan kosong. Pola penggunaan lahan pada periode dapat disimak dalam Tabel 30. Penggunaan lahan hutan bekas tebangan untuk ladang yang paling luas yakni seluas ha, diikuti dengan penggunaan lahan yang kemudian menjadi semak belukar seluas 312 ha. Sedangkan penggunaan lahan dari hutan primer menjadi semak belukar pada periode ini terdapat seluas 334 ha dan menjadi semak belukar 236 ha. Sama halnya dengan eks-areal MJRT, di eks-areal RKI pemanfaatan hutan bekas tebangan digunakan untuk usahatani tanaman komersial lebih besar jika dibandingkan dengan pemanfaatan hutan primer.

158 Perubahan Jumlah (Ha) , ,6-183, , J enis Land Cover Gambar 21. Perubahan Tutupan Lahan Eks-Areal HPH.PT. Rimba Karya Indah, Tahun Tabel 30. Perubahan Tutupan Lahan di Eks-Areal HPH. PT. Rimba Karya Indah Tahun Ladang Hutan Bekas Tebangan Semak Belukar Hutan Primer Ladang Hutan Bekas Tebangan Semak Belukar Hutan Primer Sumber: Diolah dari hasil analisis perubahan tutupan lahan yang menggunakan Citra Landsat akuisis tahun 1988 dan 1999 Seperti disajikan dalam Gambar 21, dalam kurun waktu tahun 1999 sampai dengan 2002 telah muncul jenis tutupan berupa perkebunan besar yakni seluas ha. Diperkirakan perkebunan ini dibangun sejak pertengahan tahun 2001 karena hasil analisis citra yang dilakukan oleh TNKS-ICDP Komponen C1 (2002) terhadap kawasan ini dengan menggunakan citra Landsat ETM7 perekaman bulan Maret 2001, belum terdeteksi adanya kawasan perkebunan.

159 Perubahan Jumlah (Ha) ,9 269,0 338, , , , J enis Land Cover Gambar 22. Perubahan Tutupan Lahan Eks-Areal HPH. PT. Rimba Karya Indah, Tahun Hasil kunjungan lapangan, diketahuai areal tersebut merupakan lahan perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh PT. Sumber Maju Agung. Pada periode ini juga terjadi peningkatan semak belukar seluas ha. Sementara ladang/kebun masyarakat hanya bertambah seluas 269 ha. Pada periode ini baik hutan primer maupun hutan sekunder mengalami penurunan luasan dimana hutan sekunder dan primer mengalami penurunan masing-masing seluas ha dan ha (lihat Gambar 22). Tabel 31 memperlihatkan pada periode , penggunaan lahan hutan bekas tebangan untuk perkebunan besar terdapat seluas ha, untuk ladang (2 354 ha), lahan kosong (290 ha) dan semak belukar (285 ha). Sedangkan penggunaan lahan hutan primer pada periode ini hanya teridentifikasi seluas 72 ha yang sudah menjadi semak belukar.

160 Tabel 31. Perubahan Tutupan Lahan di Eks-Areal HPH. PT. Rimba Karya Indah, Tahun Kebun Ladang Lahan Kosong Hutan Bks Tebangan Semak Belukar Hutan Primer Kebun Ladang Lahan Kosong Hutan Bks. Tebangan Semak Belukar Hutan Primer Sumber : Diolah dari hasil analisis perubahan tutupan lahan yang menggunakan Citra Landsat akuisis tahun 1999 dan 2002 Secara keseluruhan dengan menggunakan hasil analisis perubahan tutupan lahan pada periode (Tabel 31 dan Gambar 22), eks-areal RKI mengalami penurunan luas tutupan hutan primer mencapai ha. Dengan demikian selama 15 tahun terjadi penurunan luas tutupan hutan primer seluas ha/tahun. Sebaliknya, dalam kurun waktu yang sama, telah terjadi penambahan luas jenis tutupan hutan lainnya, meliputi perkebunan besar seluas ha, ladang/kebun masyarakat seluas ha, tanah kosong ha dan semak belukar seluas ha. Peningkatan luas jenis tutupan lahan ini menyebar di bagian barat wilayah HPH, sedangkan tutupan hutan yang tidak berubah terkonsentrasi di wilayah yang berbatasan dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (Gambar 24).

161 Gambar 23. Perubahan Tutupan Lahan di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah, Tahun

162 Perubahan Jumlah (Ha) , ,1 338, , , , Gambar 24. Perubahan Tutupan Lahan Eks-Areal HPH. PT. Rimba Karya Indah, Tahun Selama kurun waktu , penggunaan lahan hutan bekas tebangan terdapat seluas ha atau sekitar 70.8 persen dari total luas penggunaan lahan, sementara yang memanfaatkan hutan sekunder terdapat seluas ha atau sekitar 29.2 persen dari total penggunaan lahan di eks-areal RKI (Tabel 32 dan Tabel 33). J enis Land Cover Penggunaan lahan yang memanfaatkan hutan bekas tebangan untuk perkebunan besar seluas ha (dengan rata-rata peningkatan seluas 110 ha/tahun), untuk ladang/kebun masyarakat yang masih produktif seluas ha (dengan rata-rata peningkatan 143 ha/tahun), menjadi lahan kosong seluas 66 ha (dengan rata-rata peningkatan 5 ha/tahun) dan menjadi semak belukar seluas ha (dengan rata-rata peningkatan 77 ha/tahun). Peningkatan luas jenis tutupan dari hutan bekas tebangan ini menyebar di bagian barat wilayah eks-areal

163 141 RKI (Blok atas) yang berbatasan langsung dengan TNKS, di sekitar Desa Rantau Tipu, Kecamatan Lembur Lubuk Mengkuang. (Lampiran 11-13) Sedangkan penggunaan lahan hutan primer untuk perkebunan besar dalam kurun waktu terdeteksi seluas 501 ha (dengan rata-rata 36 ha/tahun). Penggunaan lahan lahan untuk ladang/kebun masyarakat seluas ha (dengan rata-rata peningkatan 105 ha/tahun), menjadi lahan kosong seluas 223 ha (dengan rata-rata peningkatan 16 ha/tahun) dan menjadi semak belukar seluas 238 ha (dengan rata-rata peningkatan 17 ha/tahun). Peningkatan luas jenis tutupan dari hutan primer ini menyebar di bagian barat wilayah eks-areal HPH (Blok atas), di sekitar Desa Rantau Tipu Kecamatan Lembur Lubuk Mengkuang (Gambar 23). Tabel 32. Perubahan Tutupan Lahan di Eks-Areal HPH. PT. Rimba Karya Indah, Tahun Kebun Ladang Lahan Hutan Bks Semak Hutan Kosong Tebangan Belukar Primer Kebun Ladang Lahan Kosong Hutan Bks. Tebangan Semak Belukar Hutan Primer Sumber : Diolah dari hasil analisis perubahan tutupan lahan yang menggunakan Citra Landsat akuisis tahun 1988 dan 2002 Tabel 33. Rata-Rata Penggunaan Lahan di Eks-Areal HPH. PT. Rimba Karya Indah, Tahun Kawasan Non-Hutan (Ha/Tahun) Kawasan Hutan Perkebunan Ladang/Kebun Tanah Semak Besar Masyarakat Kosong Belukar Hutan Bekas Tebangan Hutan Primer Sumber : Diolah dari hasil analisis perubahan tutupan lahan yang menggunakan Citra Landsat akuisis tahun 1988 dan 2002 Penggunaan lahan hutan primer untuk ladang/kebun masyarakat menunjukkan bahwa pada eks-areal RKI terjadi perambahan oleh masyarakat.

164 142 Perambahan ini umumnya terjadi di bagian timur, karena kawasan ini berdekatan dengan pemukiman penduduk. Kegiatan perambahan tersebut telah terdeteksi dalam citra satelit tahun Hasil pengamatan di lapangan yang dilakukan tahun 2002 oleh Componen C1 TNKS-ICDP mendapati bahwa kegiatan tersebut telah masuk ke kawasan TNKS dengan memanfaatkan fasilitas bekas jalan logging. Hal ini terlihat dari beberapa lokasi yang telah dikonversi untuk lahan perkebunan dan usahatani masyarakat. Dari hasil penelitian dan pembahasan mengenai perubahan tutupan lahan dan pola penggunaan lahan kedua eks-areal HPH, dapat dikemukakan beberapa catatan penting. Pertama, kedua eks-areal HPH mengalami pengurangan luasan tutupan hutan (hutan bekas tebangan dan hutan primer) dimulai sejak masih dalam pengelolaan HPH. Penurunan tersebut disebabkan oleh beberapa aktivitas diantaranya penebangan oleh pemegang konsesi, pembukaan kebun, perladangan dan pembangunan pemukiman. Berdasarkan data luas tutupan lahan, maka tutupan hutan cenderung terus mengalami penurunan; sedangkan penggunaan lahan lain mengalami kenaikan. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa pengelola HPH tidak efektif terutama dalam mengendalikan penggunaan lahan di kawasan yang menjadi konsesinya. Kedua, berdasarkan analisis citra landsat serta peta batas TNKS, terlihat bahwa penggunaan lahan untuk penggunaan lain umumnya berada jauh dari wilayah yang berbatasan dengan TNKS kecuali sebagian di blok atas eks-areal RKI. Di sekitar perbatasan antara taman nasional dan batas luar HPH sebagian besar masih berupa hutan primer dan tidak ada penggunaan lahan, secara detail ini dapat dilihat pada peta perubahan lahan.

165 143 Ketiga, penggunaan lahan pada kedua eks-areal HPH lebih banyak memanfaatkan hutan bekas tebangan dibanding hutan primer. Pada eks-areal MJRT, pola penggunaan lahan yang paling luas adalah dengan memanfaatkan hutan bekas tebangan untuk perkebunan besar terutama lahan perkebunan kelapa sawit (5 575 ha), sedangkan yang memanfaatkan hutan primer (2.2 ha). Sementara penggunaan pada eks-areal RKI yang paling luas adalah dengan memanfaatkan hutan bekas tebangan untuk ladang atau kebun masyarakat (1 998 ha), sedangkan yang memanfaat hutan primer (1 473 ha). Keempat, selain penebangan liar, perubahan tutupan lahan hutan juga disebabkan oleh perambahan hutan, bahkan kecepatan perambahan hutan melebihi kecepatan penebangan liar. Karena tersedia akses ke dalam hutan berupa jalan HPH, jalan setapak, maupun sungai; penyebaran perambahan hutan lebih luas. Perubahan tutupan lahan akibat perambahan hutan akan lebih tampak di citra sebagai semak berlukar maupun lahan terbuka Biaya Imbangan Penggunaan Lahan Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber Seperti tertera pada Tabel 34, kerugian ekonomi yang disebabkan oleh penggunaan lahan hutan bekas tebangan terjadi pada seluruh periode yang dianalisis, sedangkan kerugian yang ditimbulkan melalui penggunaan lahan hutan primer hanya terjadi pada periode tertentu. Kerugian ekonomi yang disebabkan oleh penggunaan lahan hutan bekas tebangan ini paling besar yang terjadi pada periode , yakni sebesar Rp /Ha/tahun.

166 144 Tabel 34. Kerugian Ekonomi Akibat Penggunaan Lahan Eks-Areal HPH. PT. Maju Jaya Raya Timber Menurut Pola dan Periode Penggunaan Lahan yang Terjadi Pola Penggunaan lahan Periode Kerugian Ekonomi (Rp 000/Ha/Tahun) LOA Hutan.Primer Untuk Perkebunan Kelapa Sawit Untuk Kebun\Ladang Masyarakat Menjadi Semak-Belukar Menjadi Tanah Terbuka Keterangan : LOA = hutan bekas tebangan (logged over area) Sumber : Hasil perhitungan atau valuasi, 2006 Berikut ini disajikan hasil dan pembahasan tentang biaya imbangan dari masing masing jenis penggunaan lahan eks-areal HPH MJRT Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Untuk Perkebunan Kelapa Sawit Swasta Kerugian ekonomi penggunaan lahan hutan untuk perkebunan kelapa sawit swasta yang paling besar terjadi dalam kurun waktu dengan memanfaatkan hutan bekas tebangan. Total kerugian diperkirakan mencapai Rp /ha/tahun (Tabel 34 dan 35). Dari total kerugian ini, kehilangan manfaat tidak langsung berupa kehilangan unsur hara merupakan yang tertinggi

167 145 dengan nilai Rp /ha/tahun; disusul kehilangan manfaat langsung berupa kehilangan kayu komersial Rp /ha/tahun. Akibat penggunan lahan hutan bekas tebangan, kehilangan nilai bukan kegunaan yang berupa nilai keberadaan mencapai Rp /ha/tahun. Nilai ini mencermikan keinginan rumah tangga di sekitar eks-areal MJRT untuk mempertahankan keberadaan kawasan hutan di eks-areal MJRT. Tabel 35. Kerugian Ekonomi Akibat Penggunaan Lahan Hutan Bekas Tebangan Eks- Areal Maju Jaya Raya Timber Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Swasta, Tahun Kerugian Ekonomi Kehilangan Sumberdaya dan Lingkungan Nilai Konstan PV(Rp 000) Rp 000/Tahun Rp 000/Ha/Tahun T=30 r=6.4% Direct Use value Kayu Komersial 1) Kayu Bakar 2) HHNK 3) Indirect Use value Penyerapan Karbon 4) Unsur Hara 5) Pengendali Banjir 6) Option Value Nilai pilihan 7) Nilai warisan 8) Non use value Nilai keberadaan 9) Total Kerugian Keterangan : 1) Menggunakan teknik berdasarkan pasar (based market) 2) Menggunakan teknik berdasarkan pasar (based market) 3) Menggunakan teknik transfer manfaat (benefit transfer) 4) Menggunakan teknik transfer manfaat (benefit transfer) 5) Menggunakan teknik biaya pengganti (replacement cost) 6) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 89.25% 7) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 85.27% 8) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 81.38% 9) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 81.79% Sumber: Hasil Perhitungan atau Valuasi (2006) Penggunaan lahan hutan primer untuk perkebunan kelapa sawit yang paling besar terjadi pada periode yakni seluas 727 ha. Penggunaan lahan hutan pola ini diperkirakan telah menimbulkan total kerugian mencapai Rp /ha/tahun (Tabel 36). Dari total kerugian tersebut, kehilangan

168 146 sumberdaya yang menyolok antara lain adalah kehilangan unsur hara terutama ketika dilakukan pembukaan wilayah hutan dan penyiapan lahan yang ditaksir mencapai Rp /ha/tahun. Penggunaan lahan juga mengakibatkan kehilangan kayu komersial (Rp /ha/tahun) dan kehilangan penyerapan karbon pada hutan tropis (Rp /ha/tahun). Tabel 36. Kerugian Ekonomi Akibat Penggunaan Lahan Hutan Primer Eks-Areal HPH. PT. Maju Jaya Raya Timber Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Swasta, Tahun Kehilangan Kerugian Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Nilai Konstan PV(Rp 000) Rp 000/Tahun Rp 000/Ha/Tahun t=30 r=6.4% Direct Use value Kayu Komersial 1) Kayu Bakar 2) HHNK 3) Indirect Use value Penyerapan Karbon 4) Unsur Hara 5) Pengendali Banjir 6) Option Value Nilai pilihan 7) Nilai warisan 8) Non use value Nilai keberadaan 9) Total Kerugian Keterangan : 1) Menggunakan teknik berdasarkan pasar (based market) 2) Menggunakan teknik berdasarkan pasar (based market) 3) Menggunakan teknik transfer manfaat (benefit transfer) 4) Menggunakan teknik transfer manfaat (benefit transfer) 5) Menggunakan teknik biaya pengganti (replacement cost) 6) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 89.25% 7) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 85.27% 8) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 81.38% 9) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 81.79% Sumber: Hasil Perhitungan atau Valuasi (2006) Kerugian Ekonomi Penggunaan lahan Lahan Untuk Kebun/Ladang Masyarakat Sebagai akibat dari penggunaan lahan hutan bekas tebangan pada eks-areal HPH MJRT, kerugian paling besar terjadi dalam kurun waktu dengan nilai rata-rata mencapai Rp /ha/tahun. Kerugian ekonomi yang paling

169 147 menyolok adalah kehilangan nilai kegunaan tidak langsung sebagai pengendali erosi dan penyerapan karbon. Akibat kehilangan pengendali erosi tersebut, kehilangan unsur hara ditaksir mencapai Rp /ha/tahun. Sementara kehilangan penyerapan karbon ditaksir bernilai Rp /ha/tahun (Tabel 37). Kehilangan nilai kegunaan langsung (direct use value) yang paling menyolok adalah kehilangan kayu komersial dengan nilai mencapai Rp /ha/tahun. Hasil survei menunjukkan kehilangan nilai warisan mencapai Rp /tahun dengan nilai sekarang dalam jangka waktu 25 tahun dan diskonto 6.4 persen sebesar Rp Tabel 37. Kerugian Ekonomi Akibat Penggunaan Lahan Hutan Bekas Tebangan Eks-Areal HPH. PT. Maju Jaya Raya Timber Untuk Kebun\Ladang Masyarakat, Tahun Kehilangan Kerugian Ekonomi Sumberdaya dan Nilai Konstan Lingkungan PV(Rp 000) Rp 000/Tahun Rp 000/Ha/Tahun t=30 r=6.4% Direct Use value Kayu Komersial 1) Kayu Bakar 2) HHNK 3) Indirect Use value Penyerapan Karbon 4) Unsur Hara 5) Pengendali Banjir 6) Option Value Nilai pilihan 7) Nilai warisan 8) Non use value Nilai keberadaan 9) Total Kerugian Keterangan : 1) Menggunakan teknik berdasarkan pasar (based market) 2) Menggunakan teknik berdasarkan pasar (based market) 3) Menggunakan teknik transfer manfaat (benefit transfer) 4) Menggunakan teknik transfer manfaat (benefit transfer) 5) Menggunakan teknik biaya pengganti (replacement cost) 6) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 89.25% 7) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 85.27% 8) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 81.38% 9) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 81.79% Sumber: Hasil Perhitungan atau Valuasi (2006)

170 148 Sementara itu, kerugian ekonomi akibat penggunaan lahan hutan primer menjadi kebun/ladang masyarakat yang paling besar terjadi dalam kurun waktu yang mencapai Rp /ha/tahun (Tabel 38). Pada periode ini terjadi kehilangan unsur hara setiap tahunnya sebesar Rp atau dengan kerugian ekonomi sekitar Rp /ha/tahun, disusul kemudian oleh kehilangan kayu komersial dan penyerapan karbon, masing-masing dengan kerugian ekonomi Rp dan Rp /ha/tahun (Tabel 38). Tabel 38. Kerugian Ekonomi Akibat Penggunaan Lahan Hutan Primer Eks-Areal HPH. PT. Maju Jaya Raya Timber Untuk Kebun\Ladang Masyarakat, Tahun Dampak/ Kehilangan Kerugian Ekonomi Nilai Konstan PV(Rp 000) Rp 000/Tahun Rp 000/Ha/Tahun t=30 r=6.4% Direct Use value Kayu Komersial 1) Kayu Bakar 2) HHNK 3) Indirect Use value Penyerapan Karbon 4) Unsur Hara 5) Pengendali Banjir 6) Option Value Nilai pilihan 7) Nilai warisan 8) Non use value Nilai keberadaan 9) Total Kerugian Keterangan : 1) Menggunakan teknik berdasarkan pasar (based market) 2) Menggunakan teknik berdasarkan pasar (based market) 3) Menggunakan teknik transfer manfaat (benefit transfer) 4) Menggunakan teknik transfer manfaat (benefit transfer) 5) Menggunakan teknik biaya pengganti (replacement cost) 6) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 89.25% 7) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 85.27% 8) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 81.38% 9) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 81.79% Sumber: Hasil Perhitungan atau Valuasi (2006)

171 Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Menjadi Semak Belukar Seperti disajikan pada Tabel 39 dan Tabel 40, kerugian ekonomi dari penggunaan lahan hutan bekas tebangan hingga menjadi semak belukar paling besar terjadi dalam kurun waktu , yakni Rp /ha/tahun. Kehilangan pengendali erosi yang diukur dari banyaknya unsur hara yang hilang merupakan kerugian yang paling besar, yakni sekitar Rp /ha/tahun. Kehilangan sumberdaya lainnya yang menyolok adalah kehilangan kayu komersial dengan kehilangan rata-rata Rp /ha/tahun dan kehilangan penyerapan karbon dengan nilai Rp /ha/tahun. Tabel 39. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Hutan Bekas Tebangan Eks-Areal HPH. PT. Maju Jaya Raya Timber Menjadi Semak Belukar, Tahun Kerugian Ekonomi Kehilangan Sumberdaya dan Lingkungan Nilai Konstan PV(Rp 000) Rp 000/Tahun Rp 000/Ha/Tahun t=30 r=6.4% Direct Use value Kayu Komersial 1) Kayu Bakar 2) HHNK 3) Indirect Use value Penyerapan Karbon 4) Unsur Hara 5) Pengendali Banjir 6) Option Value Nilai pilihan 7) Nilai warisan 8) Non use value Nilai keberadaan 9) Total Kerugian Keterangan : 1) Menggunakan teknik berdasarkan pasar (based market) 2) Menggunakan teknik berdasarkan pasar (based market) 3) Menggunakan teknik transfer manfaat (benefit transfer) 4) Menggunakan teknik transfer manfaat (benefit transfer) 5) Menggunakan teknik biaya pengganti (replacement cost) 6) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 89.25% 7) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 85.27% 8) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 81.38% 9) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 81.79% Sumber: Hasil Perhitungan atau Valuasi (2006)

172 150 Tabel 40. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Hutan Primer Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber Hingga Menjadi Semak Belukar, Tahun Kerugian Ekonomi Kehilangan Sumberdaya Nilai Konstan dan Lingkungan PV(Rp 000) Rp 000/Tahun Rp 000/Ha/Tahun t=30 r=6.4% Direct Use value Kayu Komersial 1) Kayu Bakar 2) HHNK 3) Indirect Use value Penyerapan Karbon 4) Unsur Hara 5) Pengendali Banjir 6) Option Value Nilai pilihan 7) Nilai warisan 8) Non use value Nilai keberadaan 9) Total Kerugian Keterangan : 1) Menggunakan teknik berdasarkan pasar (based market) 2) Menggunakan teknik berdasarkan pasar (based market) 3) Menggunakan teknik transfer manfaat (benefit transfer) 4) Menggunakan teknik transfer manfaat (benefit transfer) 5) Menggunakan teknik biaya pengganti (replacement cost) 6) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 89.25% 7) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 85.27% 8) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 81.38% 9) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 81.79% Sumber: Hasil Perhitungan atau Valuasi (2006) Seperti disajikan pada Tabel 40, kerugian ekonomi akibat penggunaan lahan hutan primer untuk kebun/ladang masyarakat yang paling besar terjadi dalam kurun waktu Kerugian ekonomi yang ditimbulkan mencapai Rp /ha/tahun. Pada periode ini terjadi kehilangan paling menyolok terhadap pengendali erosi yang mengakibatkan kehilangan unsur hara dengan nilai rata-rata mencapai Rp /ha/tahun. Kemudian disusul oleh kehilangan kayu komersial dan penyerapan karbon masing-masing dengan kerugian ekonomi Rp /ha/tahun dan Rp /ha/tahun.

173 Kerugian Ekonomi Penggunaan lahan Hingga Menjadi Lahan Kosong/Tanah Terbuka Tabel 41 menyajikan kerugian ekonomi akibat penggunaan lahan eks-areal MJRT menjadi lahan kosong/tanah terbuka pada periode Periode ini merupakan kerugian ekonomi paling menyolok jika dibandingkan dengan periode-periode lainnya. Kerugian akibat penggunaan lahan hutan bekas tebangan mencapai Rp /ha/tahun atau Rp /tahun dengan PV mencapai Rp Diantara kerugian tersebut, seperti yang dialami pada pola penggunaan lahan lainnya, kehilangan unsur hara dan kayu komersial merupakan nilai kerugian yang paling menyolok, masing-masing mencapai Rp /ha/tahun dan Rp /ha/tahun. Tabel 41. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber Menjadi Tanah Terbuka, Tahun Kehilangan Sumberdaya dan Lingkungan Konversi LOA Konversi Hutan Primer Nilai Ekonomi (Rp 000) Nilai Ekonomi (Rp 000) Nilai Konstan PV Nilai Konstan PV(Rp 000) Rp/Tahun Rp/Ha/Tahun t=30 r=6.4% Rp/Tahun Rp/Ha/Tahun t=30 r=6.4% Direct Use value Kayu Komersial 1) Kayu Bakar 2) HHNK 3) Indirect Use value Penyerapan Karbon 4) Unsur Hara 5) Pengendali Banjir 6) Option Value Nilai pilihan 7) Nilai warisan 8) Non use value Nilai keberadaan 9) Total Kerugian Keterangan : 1) Menggunakan teknik berdasarkan pasar (based market) 2) Menggunakan teknik berdasarkan pasar (based market) 3) Menggunakan teknik transfer manfaat (benefit transfer) 4) Menggunakan teknik transfer manfaat (benefit transfer) 5) Menggunakan teknik biaya pengganti (replacement cost) 6) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 89.25% 7) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 85.27% 8) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 81.38% 9) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 81.79% Sumber: Hasil Perhitungan atau Valuasi (2006)

174 152 Pada periode yang bersamaan, penggunaan lahan hutan primer telah menimbulkan kerugian mencapai Rp /ha/tahun. Kerugian yang paling menyolok berupa kehilangan kayu komersial yang mencapai lebih dari dua kali lipat jika dibandingkan dengan kehilangan kayu komersial pada hutan bekas tebangan yakni mencapai Rp /ha/tahun. Kehilangan sumberdaya lainnya yang juga cukup menyolok adalah kehilangan unsur hara dan penyerapan karbon masing-masing Rp /ha/tahun dan Rp /ha/tahun Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah Kerugian ekonomi paling besar adalah akibat penggunaan lahan hutan bekas tebangan untuk kebun/ladang masyarakat, khususnya yang terjadi dalam kurun waktu , yakni dengan kerugian ekonomi Rp /ha/tahun. Sedangkan penggunaan lahan terhadap hutan primer yang menimbulkan kerugian paling besar terjadi pada periode yang diakibatkan oleh penggunaan lahan hingga menjadi semak belukar, yakni mencapai Rp /ha/tahun (Tabel 42). Tabel 42. Kerugian Ekonomi Akibat Penggunaan Lahan Eks-Areal HPH. PT. Rimba Karya Indah Menurut Periode Pola Penggunaan lahan Periode Kerugian Ekonomi (Rp 000/Ha/Tahun) LOA Hutan Primer Untuk Perkebunan Sawit Untuk Ladang/Kebun Masyarakat Menjadi Lahan Kosong/Tanah Terbuka Menjadi Semak Belukar Sumber: Hasil Perhitungan atau Valuasi (2006)

175 Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Swasta Seperti dipresentasikan pada Tabel 43, kerugian ekonomi akibat penggunaan lahan hutan bekas tebangan untuk perkebunan kelapa sawit yang paling menyolok terjadi dalam kurun waktu dengan nilai kerugian mencapai Rp /ha/tahun. Kerugian yang paling besar berupa kehilangan nilai kegunaan tidak langsung, yakni kehilangan unsur hara dan pengendali banjir, masing-masing Rp /ha/tahun dan Rp Nilai kegunaan langsung yang hilang cukup besar adalah kehilangan kayu komersial dengan kerugian ekonomi Rp /ha/tahun. Tabel 43. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Hutan Bekas Tebangan Eks- Areal HPH PT. Rimba Karya Indah Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Swasta, Tahun Kehilangan Sumberdaya dan Lingkungan Kerugian Ekonomi Nilai Konstan PV(Rp 000) Rp 000/Tahun Rp 000/Ha/Tahun t=30 r=6.4% Direct Use value Kayu Komersial 1) Kayu Bakar 2) HHNK 3) Indirect Use value Penyerapan Karbon 4) Unsur Hara 5) Pengendali Banjir 6) Option Value Nilai pilihan 7) Nilai warisan 8) Non use value Nilai keberadaan 9) Total Kerugian , Keterangan : 1) Menggunakan teknik berdasarkan pasar (based market) 2) Menggunakan teknik berdasarkan pasar (based market) 3) Menggunakan teknik transfer manfaat (benefit transfer) 4) Menggunakan teknik transfer manfaat (benefit transfer) 5) Menggunakan teknik biaya pengganti (replacement cost) 6) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 81.75% 7) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 87.38% 8) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 98.69% 9) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 90.22% Sumber: Hasil Perhitungan atau Valuasi, 2006

176 154 Sementara itu, kerugian yang ditimbulkan dari penggunaan hutan primer untuk perkebunan kelapa sawit hanya terjadi dalam kurun waktu dengan kerugian mencapai Rp /ha/tahun (Tabel 44). Kerugian yang paling menyolok berupa kehilangan unsur hara Rp /ha/tahun dan kehilangan kayu komersial Rp /ha/tahun. Tabel 44. Dampak Penggunaan Lahan Hutan Primer Eks-Areal HPH. PT. Rimba Karya Indah Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Swasta, Tahun Dampak /Kehilangan Kerugian Ekonomi Nilai Konstan PV(Rp 000) Rp 000/Tahun Rp 000/Ha/Tahun t=30 r=6.4% Direct Use value Kayu Komersial 1) Kayu Bakar 2) HHNK 3) Indirect Use value Penyerapan Karbon 4) Unsur Hara 5) Pengendali Banjir 6) Option Value Nilai pilihan 7) Nilai warisan 8) Non use value Nilai keberadaan 9) Total Kerugian Keterangan : 1) Menggunakan teknik berdasarkan pasar (based market) 2) Menggunakan teknik berdasarkan pasar (based market) 3) Menggunakan teknik transfer manfaat (benefit transfer) 4) Menggunakan teknik transfer manfaat (benefit transfer) 5) Menggunakan teknik biaya pengganti (replacement cost) 6) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 81.75% 7) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 87.38% 8) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 98.69% 9) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 90.22% Sumber: Hasil Perhitungan atau Valuasi, Kerugian Ekonomi Penggunaan lahan Untuk Kebun/Ladang Masyarakat Penggunaan lahan hutan bekas tebangan menjadi ladang masyarakat pada eks-areal RKI juga telah menimbulkan kerugian ekonomi paling besar jika

177 155 dibandingkan dengan pola penggunaan lahan lainnya (Tabel 45). Kerugian paling menyolok terjadi pada periode dengan nilai kerugian mencapai Rp /ha/tahun. Kerugian paling besar berupa kehilangan unsur hara yang ditaksir bernilai Rp /ha/tahun. Kerugian lainnya yang cukup menyolok adalah kehilangan kayu komersial dan penyerapan karbon dengan nilai kerugian masing-masing Rp /ha/tahun dan Rp /ha/tahun. Tabel 45. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Hutan Bekas Tebangan Eks-Areal HPH. PT. Rimba Karya Indah Menjadi Kebun/Ladang Masyarakat, Tahun Kehilangan Kerugian Ekonomi Sumberdaya dan Nilai Konstan PV(Rp 000) Lingkungan Rp 000/Tahun Rp 000/Ha/Tahun t=30 r=6.4% Direct Use value Kayu Komersial 1) Kayu Bakar 2) HHNK 3) Indirect Use value Penyerapan Karbon 4) Unsur Hara 5) Pengendali Banjir 6) Option Value Nilai pilihan 7) Nilai warisan 8) Non use value Nilai keberadaan 9) Total Kerugian Keterangan : 1) Menggunakan teknik berdasarkan pasar (based market) 2) Menggunakan teknik berdasarkan pasar (based market) 3) Menggunakan teknik transfer manfaat (benefit transfer) 4) Menggunakan teknik transfer manfaat (benefit transfer) 5) Menggunakan teknik biaya pengganti (replacement cost) 6) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 81.75% 7) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 87.38% 8) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 98.69% 9) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 90.22% Sumber: Hasil Perhitungan atau Valuasi (2006) Akibat penggunaan lahan hutan primer, kerugian ekonomi paling besar terjadi pada periode , yakni mencapai Rp /ha/tahun. Kerugian ekonomi paling besar dari pola penggunaan lahan ini tetap disebabkan oleh kehilangan unsur hara (Rp /ha/tahun), disusul oleh kehilangan

178 156 penyerapan karbon (Rp /ha/tahun) dan kayu komersial (Rp /ha/tahun). Data selengkapnya mengenai kerugian ekonomi penggunaan lahan hutan primer ini dapat disimak pada Tabel 46. Tabel 46. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Hutan Primer Eks-Areal HPH. PT. Rimba Karya Indah Menjadi Kebun/Ladang Masyarakat, Tahun Kehilangan Sumberdaya dan Lingkungan Kerugian Ekonomi Nilai Konstan PV(Rp 000) Rp 000/Tahun Rp 000/Ha/Tahun t=30 r=6.4% Direct Use value Kayu Komersial 1) Kayu Bakar 2) HHNK 3) Indirect Use value Penyerapan Karbon 4) Unsur Hara 5) Pengendali Banjir 6) Option Value Nilai pilihan 7) Nilai warisan 8) Non use value Nilai keberadaan 9) Total Kerugian Keterangan : 1) Menggunakan teknik berdasarkan pasar (based market) 2) Menggunakan teknik berdasarkan pasar (based market) 3) Menggunakan teknik transfer manfaat (benefit transfer) 4) Menggunakan teknik transfer manfaat (benefit transfer) 5) Menggunakan teknik biaya pengganti (replacement cost) 6) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 81.75% 7) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 87.38% 8) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 98.69% 9) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 90.22% Sumber: Hasil Perhitungan atau Valuasi (2006) Kerugian Ekonomi Alih Fungsi Menjadi Semak Belukar Periode merupakan periode dimana penggunaan lahan hingga akhirnya menjadi semak belukar yang telah menimbulkan kerugian rata-rata sebesar Rp /ha/tahun. Adapun nilai kerugian yang menyolok disebabkan oleh kehilangan unsur hara dengan nilai kerugian mencapai Rp /ha/tahun (Tabel 47).

179 157 Tabel 47. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Eks-Areal HPH. PT. Rimba Karya Indah Menjadi Semak Belukar, Tahun Kehilangan Sumberdaya dan Lingkungan Direct Use value Konversi LOA Konversi Hutan Primer Nilai Ekonomi (Rp 000) Nilai Ekonomi (Rp 000) Nilai Konstan PV Nilai Konstan PV Rp/Tahun Rp/Ha/Tahun t=30 r=6.4% Rp/Tahun Rp/Ha/Tahun t=30 r=6.4% Kayu Komersial 1) Kayu Bakar 2) HHNK 3) Indirect Use value Penyerapan Karbon 4) Unsur Hara 5) Pengendali Banjir 6) Option Value Nilai pilihan 7) Nilai warisan 8) Non use value Nilai keberadaan 9) Total Kerugian Keterangan : 1) Menggunakan teknik berdasarkan pasar (based market) 2) Menggunakan teknik berdasarkan pasar (based market) 3) Menggunakan teknik transfer manfaat (benefit transfer) 4) Menggunakan teknik transfer manfaat (benefit transfer) 5) Menggunakan teknik biaya pengganti (replacement cost) 6) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 81.75% 7) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 87.38% 8) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 98.69% 9) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 90.22% Sumber: Hasil Perhitungan atau Valuasi (2006) Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Hingga Menjadi Lahan Kosong/Tanah Terbuka Kerugian ekonomi akibat penggunaan lahan hutan bekas tebangan menjadi lahan kosong/tanah terbuka yang paling besar terjadi selama periode dengan kerugian mencapai Rp /ha/tahun. Dalam periode ini kehilangan unsur hara tetap merupakan penyebab kerugian yang paling besar yakni mencapai Rp /ha/tahun. Kehilangan sumberdaya lainnya yang juga cukup menyolok adalah berupa kehilangan kayu komersial dan penyerapan karbon dimana nilai kerugian ekonomi masing-masing sumberdaya ditaksir mencapai Rp /ha/tahun dan Rp /ha/tahun (Tabel 48).

180 158 Tabel 48. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Hutan Bekas Tebangan Eks- Areal HPH. PT. Rimba Karya Indah Menjadi Lahan Kosong/Tanah Terbuka, Tahun Kehilangan Nilai Ekonomi Sumberdaya dan Nilai Konstan PV(Rp 000) Lingkungan Rp 000/Tahun Rp 000/Ha/Tahun t=30 r=6.4% Direct Use value Kayu Komersial 1) Kayu Bakar 2) HHNK 3) Indirect Use value Penyerapan Karbon 4) Unsur Hara 5) Pengendali Banjir 6) Option Value Nilai pilihan 7) Nilai warisan 8) Non use value Nilai keberadaan 9) Total Kerugian Keterangan : 1) Menggunakan teknik berdasarkan pasar (based market) 2) Menggunakan teknik berdasarkan pasar (based market) 3) Menggunakan teknik transfer manfaat (benefit transfer) 4) Menggunakan teknik transfer manfaat (benefit transfer) 5) Menggunakan teknik biaya pengganti (replacement cost) 6) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 81.75% 7) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 87.38% 8) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 98.69% 9) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 90.22% Sumber: Hasil Perhitungan atau Valuasi, 2006 Penggunaan lahan hutan primer hingga menjadi lahan terbuka, diketahui terjadi pada periode Praktik penggunaan lahan ini ditaksir menimbulkan kerugian sebesar Rp /ha/tahun. Lenyapnya vegetasi hutan primer pada lokasi eks-areal RKI selama periode ini telah mengakibatkan hilangnya sumberdaya yang sangat penting bagi pembangunan pertanian yang berkelanjutan, yakni kehilangan unsur hara dengan nilai mencapai Rp /ha/tahun. Sumberdaya lainnya yang lenyap adalah kayu komersial dan

181 159 penyerapan karbon yang masing-masing ditaksir telah menimbulkan kerugian mencapai Rp /ha/tahun dan Rp /ha/tahun (Tabel 49). Tabel 49. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Hutan Primer Eks-Areal HPH. PT. Rimba Karya Indah Menjadi Lahan Kosong/Tanah Terbuka Tahun Kehilangan Sumberdaya dan Lingkungan Kerugian Ekonomi Nilai Konstan PV(Rp 000) Rp 000/Tahun Rp 000/Ha/Tahun t=30 r=6.4% Direct Use value Kayu Komersial 1) Kayu Bakar 2) HHNK 3) Indirect Use value Penyerapan Karbon 4) Unsur Hara 5) Pengendali Banjir 6) Option Value Nilai pilihan 7) Nilai warisan 8) Non use value Nilai keberadaan 9) Total Kerugian Keterangan : 1) Menggunakan teknik berdasarkan pasar (based market) 2) Menggunakan teknik berdasarkan pasar (based market) 3) Menggunakan teknik transfer manfaat (benefit transfer) 4) Menggunakan teknik transfer manfaat (benefit transfer) 5) Menggunakan teknik biaya pengganti (replacement cost) 6) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 81.75% 7) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 87.38% 8) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 98.69% 9) Menggunakan teknik survei dengan tingkat akurasi = 90.22% Sumber: Hasil Perhitungan Atau Valuasi (2006) 6.3. Dampak Ekonomi Praktik Penggunaan lahan Eks-Areal HPH Pada bagian terdahulu dijelaskan bahwa pola penggunaan lahan yang dominan baik pada eks-areal MJRT maupun RKI adalah pola penggunaan lahan untuk perkebunan dan ladang/kebun masyarakat. Penggunaan lahan untuk perkebunan yang paling dominan baik di eks-areal MJRT maupun eks-areal RKI adalah jenis perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh swasta. Sementara itu,

182 160 untuk penggunaan lahan untuk kebun/ladang yang dominan diusahakan oleh masyarakat di kedua eks-areal HPH adalah usahatani kelapa sawit dan karet. Tabel 50 menyajikan hasil analisis biaya manfaat yang terdiri dari analisis finansial dan ekonomi masing-masing praktik penggunaan lahan eks-areal HPH, meliputi: (1) perkebunan kelapa sawit PT. Alno Agro Utama yang telah memanfaatkan eks-areal MJRT, (2) perkebunan kelapa sawit masyarakat di eksareal MJRT, dan (3) perkebunan karet masyarakat di eks-areal RKI. Dari hasil analisis finansial, ketiga praktik penggunaan lahan eks-areal HPH memperlihatkan penampilan yang baik. Sedangkan dari hasil analisis ekonomi dengan memasukkan biaya imbangan penggunaan lahan, ternyata hanya pengusahaan kebun karet yang dikelola oleh masyarakat memperlihatkan penampilan meyakinkan untuk dikembangkan lebih lanjut Perkebunan Kelapa Sawit yang Dikelola Swasta Berdasarkan hasil analisis finansial pada Tabel 50, terlihat bahwa pengusahaan perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh PT. Alno Agro Utama menunjukkan penampilan yang baik. Hal ini dapat dilihat dari nilai NPV yang positif, serta nilai IRR yang lebih besar dari suku bunga nominal (16 persen) dan nilai rasio B/C yang lebih besar dari satu. Perusahaan akan mendapat keuntungan bersih sebesar Rp , selama jangka waktu analisis (25 tahun) pada faktor diskonto (suku bunga nominal) sebesar 16 persen. Nilai IRR=20.23 persen menunjukkan sampai tingkat bunga tersebut kredit yang ditawarkan oleh perbankan masih menguntungkan. Nilai rasio B/C sebesar 1.21 berarti investasi satu rupiah pada suku bunga 16 persen akan memberikan pengembalian sebesar Rp Dengan demikian dari sudut pandang perusahaan (private), serta tanpa mempertimbangkan biaya lingkungan atau biaya sosial yang ditimbulkan,

183 161 perkebunan kelapa sawit PT. Alno Agro Utama memberikan dampak yang positif dalam bentuk keuntungan kepada perusahan dalam jumlah yang besar. Tabel 50. Ringkasan Hasil Analisis Finansial dan Ekonomi Praktik Penggunaan Lahan Eks-Areal HPH Menjadi Usahatani Tanaman Komersial Analisis Finansial NPV IRR (Rp 000) (%) Analisis Ekonomi NPV IRR (Rp 000) (%) No Pengelolaan B/C B/C 1 Perkebunan Kelapa Sawit , ( ,14) Kebun Kelapa Sawit Masyarakat , ( ,34) Kebun Karet Masyarakat , , Sumber: Hasil Analisis Finansial dan Ekonomi (2006) Namun, dari hasil analisis ekonomi yang menginternalisasi biaya lingkungan atau biaya sosial kedalam struktur biaya perusahaan (cash flow), pengusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Alno Agro Utama memberikan dampak yang negatif terhadap masyarakat atau perekonomian secara keseluruhan. Seperti terlihat pada Tabel 50, pengelolaan perkebunan kelapa sawit menunjukkan penampilan yang kurang baik karena nilai NPV tercatat sebesar minus Rp Hal ini menunjukkan bahwa dari sudut pandang ekonomi lingkungan, praktik penggunaan lahan eks-areal MJRT untuk perkebunan kelapa sawit akan memberikan kerugian ekonomi kepada masyarakat secara bersamasama dalam suatu perekonomian. Dampak negatif ini ditimbulkan dari praktik penggunaan lahan eks-areal MJRT untuk perkebunan kelapa sawit dengan luas areal mencapai ha yang telah dilakukan dalam kurun waktu Tingkat IRR perkebunan sawit sangat kecil yakni 3.21 persen yang menunjukkan tingkat pengembalian ekonomi jauh di bawah tingkat suku bunga nominal kredit yang berlaku dewasa ini (16 persen). Rasio B/C pada perkebunan kelapa sawit

184 162 sebesar 0.77 yang menunjukkan nilai sekarang arus manfaat lebih kecil dari nilai sekarang arus biaya Pengusahaan Kebun Kelapa Sawit yang Dikelola Masyarakat Berdasarkan hasil analisis finansial, pengusahaan kebun kelapa sawit yang dikelola masyarakat ternyata juga menunjukkan penampilan yang baik untuk seluruh kriteria investasi. Nilai NPV=Rp , artinya masyarakat mendapat keuntungan bersih sebesar nilai tersebut selama jangka waktu analisis (25 tahun) pada faktor diskonto (suku bunga nominal) sebesar 16 persen. Nilai IRR=36.12 persen menunjukkan sampai tingkat bunga tersebut, kredit usahatani masih menguntungkan. Nilai rasio B/C=2.74 yang berarti keseluruhan nilai manfaat bersih sekarang yang diterima masyarakat lebih besar dari keseluruhan nilai biaya sekarang yang dikeluarkan. Dengan melakukan internalisasi biaya lingkungan atau biaya sosial kedalam struktur biaya, hasil analisis ekonomi menunjukkan bahwa pengusahaan kebun kelapa sawit yang dikelola oleh masyarakat memberikan dampak yang negatif untuk masyarakat atau perekonomian secara keseluruhan. Dengan asumsi tidak ada perubahan dalam penggunaan faktor produksi, maka praktik pengelolaan kebun kelapa sawit masyarakat memiliki nilai NPV minus Rp Hal ini menunjukkan pengelolaan kebun kelapa sawit akan memberikan pengurangan nilai ekonomi kepada masyarakat secara bersama-sama dalam suatu perekonomian. Tingkat IRR perkebunan sawit sangat kecil yakni 2.54 persen yang menunjukkan tingkat pengembalian ekonomi yang jauh di bawah tingkat suku bunga nominal kredit yang berlaku (16 persen). Rasio B/C pada perkebunan

185 163 kelapa sawit sebesar 0.44 yang menunjukkan nilai sekarang arus manfaat lebih kecil dari nilai sekarang arus biaya Pengusahaan Kebun Karet yang Dikelola Masyarakat Berdasarkan hasil analisis finansial maupun analisis ekonomi seperti disajikan pada Tabel 50, pengusahaan kebun karet yang dikelola oleh masyarakat di sekitar eks-areal MJRT menunjukkan penampilan yang baik terutama dengan menggunakan kriteria NPV dan rasio B/C. Nilai NPV dari hasil finansial dan ekonomi masing masing adalah Rp dan Rp yang berarti secara keseluruhan usahatani ini dapat diterima karena tidak saja memberikan dampak yang positif kepada petani tetapi juga perekonomian secara keseluruhan. Nilai rasio B/C masing-masing hasil analisis adalah 1.57 dan 1.04 yang berarti keseluruhan nilai manfaat bersih sekarang yang diterima masyarakat lebih besar dari keseluruhan nilai biaya sekarang yang dikeluarkan. Nilai IRR hasil analisis finansial adalah persen sedangkan pada analisis ekonomi hanya 6.81 persen. Kendati nilai IRR hasil analisis ekonomi lebih kecil dari suku bunga nominal sekarang (16 persen), nilai positif NPV dan B/C pada hasil analisis ekonomi sudah cukup untuk menunjukkan bahwa dari perspektif sosial dan ekonomi, pengusahaan kebun karet telah memenuhi kriteria pembangunan pertanian yang berkelanjutan serta dapat dikembangkan lebih lanjut bagi pengelolaan eks-areal HPH pada masa yang akan datang. Dari pembahasan terhadap hasil analisis ekonomi terhadap praktik penggunaan lahan eks-areal MJRT untuk perkebunan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, perlu digaris bawahi bahwa usahatani tanaman kelapa sawit baik yang dikelola swasta maupun masyarakat memberikan dampak negatif. Hal ini

186 164 menunjukkan bahwa setelah dilakukan penyesuaian terhadap harga pasar menjadi nilai ekonomi serta internalisasi terhadap biaya imbangan penggunaan lahan pada saat persiapan, maka kedua usahatani tersebut memberikan dampak yang negatif kepada masyarakat atau perekonomian secara keseluruhan. Penyesuaian harga pasar menjadi nilai ekonomi menunjukkan bahwa usahatani kelapa sawit yang pengelolaannya relatif lebih intensif telah menimbulkan biaya produksi dan biaya imbangan yang lebih tinggi. Kedua faktor ini merupakan penyebab utama terhadap penampilan kedua usahatani yang tidak menguntungkan. Sedangkan pengusahaan kebun karet yang dikelola masyarakat tetap menunjukkan kelayakan ekonomi setelah dilakukan internalisasi biaya imbangan Dampak Ekonomi Alternatif Rehabilitasi Eks-Areal HPH Hasil-hasil yang diperoleh dari masing-masing tahap analisis finasial dan ekonomi terhadap beberapa alternatif kegiatan yang dapat dikembangkan bagi pengelolaan kerusakan hutan dan lahan sebagai akibat praktik penggunaan lahan eks-areal HPH, di sekitar zona penyangga TNKS adalah sebagai berikut Alternatif Kegiatan Alternatif pengelolaan ini disusun berdasarkan preferensi masyarakat di sekitar eks-areal HPH yang diperoleh dari kegiatan survei serta mempertimbangkan biaya imbangan yang ditimbulkan dari praktik penggunaan lahan eks-areal HPH. Dari hasil survei yang telah dilakukan menunjukkan bahwa masyarakat berkeinginan agar pengelolaan lahan di eks-areal HPH lebih dari sekedar program rehabilitasi, tetapi diharapkan masyarakat dapat dijadikan pengelola utama dan menjadi kegiatan alternatif untuk meningkatkan pendapatan.

187 165 Ditinjau dari hak kepemilikan, eks-areal HPH yang terdapat di daerah penyangga TNKS adalah milik negara (state property right). Namun sebagian besar masyarakat berharap agar mereka diberi akses untuk ikut mengelola lahan tersebut. Hasil survei yang terangkum dalam pada Tabel 51 menunjukkan sebagian besar masyarakat di sekitar eks-areal MJRT dan RKI (masing-masing dengan proporsi 65 persen dan 70 persen) menginginkan agar pengelolaan lahan dilakukan oleh masyarakat secara langsung. Tabel 51. Respon dan Harapan Masyarakat Terhadap Rencana Pengelolaan Lahan Eks-Areal HPH. PT. Maju Jaya Raya Timber dan Rimba Karya Indah Akses Pengelolaan Penggunaan Lahan No Nama Desa Masya- Pemerintah Hutan Kebun Tanaman Tanaman Swasta rakat Campuran Desa-desa di sekitar Eks-areal MJRT 1 Suka Merindu Suka Maju Air Pandan Air Putih Cipta Mulya Jumlah responden Persentase (%) Desa-desa di sekitar Eks-areal RKI 1 Batu Kerbau Pemunyian R. Sei. Ipuh Jumlah Responden (%) Sumber: Data Primer, 2005 (diolah) Sebagian besar masyarakat menginginkan pengelolaan lahan dapat melibatkan mereka. Dalam setiap program pemerintah, masyarakat berharap tidak hanya dilibatkan sebagai tenaga kerja ataupun hanya berupa sumbangan bina desa, melankan lebih memilih untuk ikut berpartisipasi aktif secara langsung dalam pengelolaan. Partisipasi masyarakat juga diharapkan oleh sebagian kecil responden dalam bentuk keterlibatan sebatas tenaga kerja saja (lihat Tabel 53).

188 166 Keinginan masyarakat untuk ikut terlibat secara aktif juga terlihat jika pengelolaan lahan diserahkan kepada swasta. Sebagian besar berharap terbentuknya kerjasama antara swasta dengan masyarakat melalui program kemitraan permanen seperti Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Masyarakat menginginkan adanya kerjasama yang saling menguntungkan baik masyarakat sebagai plasma maupun pihak perusahaan swasta sebagai inti dan aturan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak yang terlibat. Tabel 52. Partisipasi Masyarakat tentang Sistem Pengelolaan Lahan Eks-Areal HPH. PT. Maju Jaya Raya Timber dan PT. Rimba Karya Indah Desa-desa di Sekitar Eks-areal MJRT No Sistem Pengelolaan Suka Suka Air Air Cipta % Merindu Maju Pandan Putih Mulya 1 Tanpa Partisipasi Masyarakat Hanya Berupa Sumbangan Untuk Desa Pembentukan Kel. Masy. Pengelola Masy. Terlibat Sebatas Tenaga Kerja No Sistem Pengelolaan Desa-desa di Sekitar Eks-areal RKI Batu Kerbau Pemunyian Renah Sei Ipuh % 1 Tanpa Partisipasi Masyarakat Hanya Berupa Sumbangan Untuk Desa Pembentukan Kel. Masy. Pengelola Masy. Terlibat Sebatas Tenaga Kerja Sumber: Data Primer, 2005 (diolah) Sistem pengelolaan lahan menurut sebagian besar masyarakat sebaiknya dilakukan secara berkelompok dengan pembinaan masih diharapkan dari pemerintah melalui instansi terkait (Tabel 53). Kelompok masyarakat yang menginginkan pengelolaan lahan dilakukan secara sendiri-sendiri, cenderung tidak membutuhkan keterlibatan pihak lain dan lahan dikelola secara swadaya. Pengelolaan lahan oleh masyarakat menurut sebagian masyarakat lainnya sebaiknya diserahkan di bawah koordinasi prangkat desa agar lebih mudah dalam pengawasan.

189 167 Disamping dari pemerintah, sebagian masyarakat ada yang berharap agar mereka dibina oleh lembaga lain baik perguruan tinggi maupun lembaga nonpemerintah seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), namun dengan proporsi yang tidak besar. Menurut sebagian kecil masyarakat, pembinaan disamping oleh lembaga tersebut juga dapat dilakukan langsung oleh pihak swasta. Hal ini lebih memperkuat persepsi bahwa masyarakat masih membutuhkan pihak lain baik dalam bentuk permodalan maupun dalam pembinaan selama pelaksanaan program sampai masyarakat mandiri. Tabel 53. Harapan Masyarakat dalam Sistem Pengelolaan Lahan Eks-HPH. PT. Maju Jaya Raya Timber dan Rimba Karya Indah No Nama Desa Pengelolaan Pembinaan Pribadi Kelompok Desa Pemerintah Swasta LSM P.T Desa-desa di Sekitar Eks-areal MJRT 1 Suka Merindu Suka Maju Air Pandan Air Putih Cipta Mulya Jumlah (%) Desa-desa di Sekitar Eks-areal RKI 1 Batu Kerbau Pemunyian Renah Sei Ipuh Jumlah (%) Sumber: Data Primer, 2005 (diolah) Survei juga menanyakan jenis komoditi yang diinginkan masyarakat untuk dikembangkan. Hasil survei relatif beragam (Tabel 54), namun sebagian besar komoditas yang dinginkan antara lain adalah: perkebunan karet, tanaman sawit, tanaman meranti, durian, dan tanaman padi. Komoditi tanaman perkebunan kelapa sawit sebagian besar (65 persen) dipilih oleh masyarakat di sekitar desa-desa eksareal MJRT, sementara di desa-desa sekitar eks-areal RKI sebagian besar (65 persen) memilih tanaman karet sebagai jenis tanaman yang ingin dikembangkan.

190 168 Dengan demikian, alternatif kegiatan yang dapat dikembangkan merupakan pengusahaan tanaman yang terdiri atas kombinasi tanaman hutan, jenis tanaman perkebunan yang banyak diinginkan oleh masyarakat serta dapat meningkatkan jasa ekosistem eks-areal HPH dan pendapatan masyarakat. Konsep ini lebih dikenal dengan pengusahaan agroforestri, yakni usahatani yang memadukan antara tanaman perkebunan dan tanaman hutan. Tabel 54. Jenis Komoditi yang Diharapkan dapat Dikembangkan dalam Rencana Pengelolaan Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya dan PT. Rimba Karya Indah No Nama Desa Tanaman Hutan Tanaman Perkebunan Tanaman Pangan Meranti Jati Lainnya Karet Sawit Durian Plawija Buah Sayur Padi Desa-desa di Sekitar Eks-areal MJRT 1 Suka Merindu Suka Maju Air Pandan Air Putih Cipta Mulya (%) Desa-desa di Sekitar Eks-areal RKI 1 Batu Kerbau Pemunyian R. Sei Ipuh (%) Sumber: Data Primer, 2005 (diolah) Maksud dan Tujuan Maksud diadakannya kegiatan ini mengupayakan reboisasi pada eks-areal HPH dengan cara mengembangkan agroforestri pada lahan kritis di dalam kawasan hutan (eks-areal HPH). Kegiatan ini dilakukan dengan melibatkan peran serta masyarakat setempat, sehingga dalam jangka waktu tertentu diharapkan dapat meningkatkan pendapatan bagi masyarakat terutama bagi peserta reboisasi. Tujuan dari kegiatan ini meliputi: (1) tujuan ekonomis, yaitu membuka lapangan kerja baru dalam jangka pendek dan meningkatkan pendapatan dalam jangka panjang dan menengah, dan (2) tujuan ekologis yaitu membentuk hutan

191 169 kembali, atau luas areal hutan akan bertambah, sehingga nilai hutan di kawasan tersebut semakin tinggi Lokasi Alternatif kegiatan yang dikembangkan dilakukan pada lahan-lahan yang tidak berhutan di eks-areal HPH yang terdapat sekitar zona penyangga TNKS Ketentuan Umum Berdasarkan informasi yang dapat dirangkum dari hasil survei preferensi masyarakat, maka ditetapkan sejumlah ketentuan umum pengusahaan agroforestri di lokasi lahan kritis yang terdapat di sekitar eks-areal HPH, sebagai berikut: (1) Setiap orang dalam setiap kelompok tani hutan atau di setiap dusun yang ingin mengikuti program reboisasi harus mendaftarkan lebih dahulu, sesuai prosedur-prosedur pendaftaran. (2) Dalam pendaftaran harus ada prioritas yaitu pemilihan lokasi dan petani calon peserta kegiatan reboisasi disesuaikan dengan kriteria yang ditentukan. (3) Adanya perjanjian kerjasama yang berupa Surat Perjanjian Kerjasama (SPK) antara kelompok tani dengan pemerintah/penyedia dana. Untuk petani peserta dihimpun dalam kelompok, guna mempermudah pembinaan dan ada fungsi kontrol intern (sesama petani). (4) Lokasi lahan reboisasi diutamakan lahan kritis yang berada di eks-areal HPH. Lahan yang dipilih adalah tanah terbuka dan alang-alang. (5) Luas suatu lahan untuk reboisasi paling sedikit harus 1 ha jika perorangan, luas suatu hamparan reboisasi pada suatu lokasi paling sedikit harus 3 ha. (6) Pemilihan jenis tanaman disesuaikan dengan preferensi petani dan wilayah, yaitu jenis tanaman kayu atau buah lokal adalah jenis yang memiliki nilai komersial atau mempunyai manfaat bagi peserta dan untuk klon karet yang

192 170 ditanam adalah klon yang dapat memproduksi latek dan jika memungkinkan bahan kayu untuk meuble atau bahan kertas. Klon ini berasal dari anakan atau biji dari kebun karet lokal maupun karet unggul. (7) Luas lahan yang drehabilitasi paling sedikit 1 ha/orang (8) Komposisi tanaman pada setiap hektar, berisi tiga alternatif: Alternatif 1: 70 persen tanaman kayu+30 persen tanaman buah+tanaman sela Alternatif 2: 50 persen tanaman karet+50 persen tanaman buah+tanaman sela Alternatif 3: 50 persen tanaman karet+50 persen tanaman kayu+tanaman sela a. Semua peserta rehabilitasi harus membuat persemaian sesuai dengan petunjuk teknis yang ada. b. Peserta rehabilitasi yang membuat persemaian sistem berkelompok/ penangkar bisa mendapat imbalan tambahan. Imbalan itu hanya dapat diberikan atas dasar laporan dari pendamping yang memeriksa langsung persemaian tersebut. Petani/peserta reboisasi harus bertanggung jawab atas kegagalan dalam satu kelompok, tanpa terkecuali. Imbalan penangkar dibayar bertepatan dengan penerimaan insentif pemeliharaan tahap ke-1 c. Setiap lahan rehabilitasi harus termasuk bagian dari suatu hamparan reboisasi dengan luas paling sedikit 3 ha. Hal ini dapat dicapai kalau satu orang menanam 3 ha langsung. Tetapi biasanya ada beberapa orang yang punya lahan reboisasi yang berdekatan, misalnya 3 orang masing-masing menanam 1 ha, supaya terbentuk satu hamparan dengan luas 3 ha. d. Peserta rehabilitasi wajib melakukan penanaman sesuai petunjuk teknis. (9) Peserta rehabilitasi ini mendapat insentif, untuk jangka pendek mendapat insentif penangkar dan insentif pemeliharaan tanaman reboisasi, dengan

193 171 harga tanaman kayu atau buah pada petunjuk yang telah ditetapkan atau yang berlaku. (10) Insentif pemeliharaan tanaman reboisasi akan diberikan kepada peserta yang mempunyai tanaman hidup minimal 60 persen (jika 1 ha, terdapat 500 tanaman, maka yang hidup minimal 300 batang). (11) Besarnya insentif pemeliharaan ditentukan oleh: letak lokasi reboisasi, jenis tanaman dan sesuai tahap pemeliharaan. (12) Pembayaran insentif penangkar dan pemeliharaan tanaman melalui rekening kelompok. Untuk pengambilan uang sebaiknya diketahui oleh fasilitator. (13) Harus ada kesepakatan atau ada cara melindungi tanaman reboisasi dari kebakaran. Baik dibuat oleh kelompok tani dan peserta reboisasi harus patuh kepada hukum adat yang telah disepakati. (14) Kegiatan monitoring dan evaluasi dilakukan baik oleh petani peserta dalam kelompok, fasilitator dan pemerintah/penyedia dana Kelayakan Finansial Tabel 55 berikut ini menyajikan hasil analisis finansial terhadap alternatif pengelolaan eks-areal HPH. Dari sudut pandang individu atau perusahaan, secara umum dapat dilihat bahhwa seluruh alternatif kegiatan menunjukkan kelayakan secara finansial. Dengan menggunakan selouruh kriteria (NPV, IRR dan BCR) alternatif 2 memberikan nilai yang paling besar. Dengan demikian pengusahaan agroforestri dengan pola 50 persen tanaman karet dan 50 persen tanaman buah dengan kombinasi tanaman sela memiliki tingkat kelayakan paling tinggi jika dibandingkan dengan alternatif lainnya.

194 Tabel 55. Ringkasan Kelayakan Hasil Analisis Finansial Alternatif Pengelolaan Lahan pada Eks-Areal HPH. Analisis Finansial No Pengelolaan NPV IRR (Rp 000) (%) B/C 1 Alternatif Pengelolaan Alternatif Pengelolaan Alternatif Pengelolaan Sumber : Hasil Analisis Finansial, Kelayakan Ekonomi Penyesuaian Harga Finansial Menjadi Harga Ekonomi 1) Penyesuaian pembayaran transfer langsung 172 yakni menghapus pembayaran transfer langsung dalam budget, meliputi: pembayaran untuk atau dari pemerintah (pajak dan subsidi ) 2) Penyesuaian harga finansial menjadi harga ekonomi a. penyesuaian harga output alternatif pengelolaan, diasumsikan bahwa output yang dihasilkan merupakan komoditas yang diperdagangkan seperti: karet segar, kayu komersial, buah durian dan buah nenas dimana harga F.O.B>biaya produksi domestik. (cara penyesuaian beberapa barang dijelaskan pada Kotak 2). Sedangkan untuk penilaian produksi kelapa sawit tandan buah segar (TBS) diasumsikan sebagai barang yang tidak diperdagangkan dan menerima harga pasar secara langsung. b. Dalam penilaian tenaga kerja diasumsikan bahwa upah yang berlaku di pedesaan sekitar eks-areal HPH sama dengan nilai produksi marginalnya, yakni nilai tambahan produksi yang dapat dihasilkan oleh seorang tenaga kerja tambahan. c. Harga bayangan (shadow price) dari tanah adalah nilai sewa tanah

195 Kotak 2: Cara menyesuaikan harga finansial menjadi harga ekonomi 173 Dalam analisis ekonomi digunakan nilai devisa bayangan, dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Devisa bayangan = devisa resmi x ( 1 + premi devisa ) Dengan asumsi bahwa premi devisa adalah 20 persen dan kurs resmi adalah Rp 9 000/USD, maka diperoleh nilai devisa bayangan: Rp x ( ) = Rp Penyesuaian harga komoditas utama dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: Buah durian, dapat dikategorikan sebagai komoditas ekspor dimana harga f.o.b > harga produksi domestik Jika digunakan harga f.o.b durian (Jakarta, 2005) adalah US$ 2.78/kg, maka nilai ekonomi durian adalah: US$ 2.78 x devisa bayangan US$ 2.78 x Rp = Rp /kg Harga buah nenas, juga dapat dikategorikan sebagai komoditas ekspor dimana harga f.o.b > harga produksi domestik Jika digunakan harga f.o.b nenas US$ 1.42/kg (BPS; Subdit Analisa dan Informasi Pasar; Dit. PI, 2005), maka nilai ekonomi nenas adalah: US$ 1.42 x devisa bayangan US$ 1.42 x Rp = Rp /kg Harga getah damar juga dikategorikan sebagai komoditas ekspor dimana harga f.o.b > harga produksi domestik Jika digunakan harga f.o.b getah damar US$ 1.10/kg (PT. Javiar Cahaya Gemilang, 2006), maka nilai ekonomi getah damar adalah: US$ 1.10 x devisa bayangan US$ 1.10 x Rp = Rp /kg Nilai Manfaat Rehabilitasi Nilai manfaat rehabilitasi menunjukkan kesediaan individu membayar guna memulihkan ekosistem hutan yang terdapat di eks-area HPH bagi penggunaan di masa depan. Nilai ini menjadi sangat penting mengingat status eksareal HPH merupakan hutan produksi dimana alternatif pemanfaatan yang kuat, apakah di pertahankan atau dilakukan penggunaan lahan. Tanpa memperhitungkan nilai partisipasi kerja yang diberikan oleh responden, diperoleh WTP rata-rata tiap rumah tangga sebesar Rp 4 459/bulan. Jumlah ini merupakan porsi yang sangat kecil dari pendapatan setiap rumah tangga. Jika nilai WTP ini digunakan untuk mengestimasi total WTP populasi,

196 174 diperoleh nilai konstan sebesar Rp /tahun. Secara agregat, dalam jangka waktu 30 tahun dengan tingkat diskonto 5.4 persen, nilai sekarang atau present value (PV) rehabilitasi eks-areal HPH MJRT dan RKI mencapai Rp (Tabel 56). Tabel 56. Nilai Ekonomi Rehabilitasi Eks-Areal HPH di Sekitar Daerah Penyangga TNKS, Gabungan Penyangga-1 & Penyangga-2 Indikator Tanpa Dengan Partisipasi Kerja Partisipasi Kerja WTP Sampel Rata-rata (Rp/RT/Bln) 1) Nilai Konstan (Rp/Tahun) 2) Present Value (Rp) 3) Nilai Ekonomi per Ha (Rp) 4) Nilai Ekonomi per Ha (US$) 5) Keterangan : 1) diperoleh dari hasil survey, dengan tingkat akurasi mencapai 80.76%. 2) merupakan total WTP populasi yakni perkalian a) dengan jumlah populasi di kedua zona ( RT) dan 12 bulan 3) Present value selama 30 tahun dan tingkat diskonto 6.4 persen 4) Hasil c) dibagi dengan luas kawasan total eks-areal HPH (MJRT+RKI) yang dikategorikan sebagai lahan kritis yakni (hasil analisis spasial dengan menggunakan citra landsat tahun 2005 dan 2002) 5) Hasil d) dibagi dengan kurs US$ terhadap Rp, yakni Rp 9 000/US$ Sumber : Data Primer, 2005 (diolah) Sedangkan jika nilai partisipasi kerja dimasukkan dalam perhitungan, maka WTP rata-rata menjadi Rp /bulan. Penggunaan nilai ini untuk mengestimasi total WTP populasi maka diperoleh nilai konstan sebesar Rp /tahun dengan nilai sekarang (PV) dalam jangka waktu 30 tahun pada tingkat diskonto 6.4 persen sebesar Rp Nilai yang digunakan dalam perhitungan adalah nilai ekonomi per ha terhadap luas total lahan kritis di eks-areal MJRT dan RKI yang memperhitungkan partisipasi kerja, yakni sebesar Rp atau setara dengan US$ Nilai ini secara rasional sangat bisa diterima mengingat keterbatasan pendapatan (budget 2 Estimasi terhadap nilai preservasi hutan sekitar Bukit Baka-Bukit Raya, Kalimantan oleh NRMP (1996), mendapatkan nilai sebesar US$ 30/ha. Estimasi nilai preservasi hutan di Costa Rica memperoleh nilai US$ per ha. Demikian pula estimasi Taman National Khao Yai di Thailand yang menempatkan nilai preservasi sekitar US$ 400/ha.

197 175 constrain) sehingga masyarakat kurang memiliki keinginan untuk membayar kontribusi/iuran dalam bentuk uang kas (in cash) tapi lebih banyak memilih memberikan kontribusi dalam bentuk tenaga dalam suatu kegiatan partisipasi kolektif (in kind). Dalam menganalisis nilai sampel rata-rata terhadap populasi rumah tangga, asumsi kunci yang digunakan bahwa sampel merupakan representatif dari keseluruhan populasi. Hal ini berarti seluruh WTP rumah tangga, rata-rata memberikan jumlah yang sama untuk preservasi eks-areal HPH, walaupun secara spesifik estimasi dari keseluruhan survei rumah tangga dapat berbeda dari estimasi yang dilakukan. Dari kegiatan survei lapangan juga diperoleh masukan mengenai kesan mereka terhadap tingkat pemahaman responden tersebut. Berdasarkan pada semua faktor tersebut, dipercaya bahwa responden memahami apa yang ditanyakan kepada mereka mengenai nilai preservasi. Jawaban responden terhadap pertanyaan yang diajukan dalam survei, sebagaian besar cukup logis. Hal ini menunjukkan bahwa jawaban yang diberikan selama survei adalah konsisten dan dapat dipercaya. Perlu dicatat beberapa perbedaan penting antara WTP sampel gabungan dengan WTP masing-masing Zona. Sebagai contoh, responden di Zona-2 yang memiliki jarak yang lebih dekat dengan eks-area HPH dibandingkan dengan responden di Zona-1 secara umum memiliki WTP yang lebih kecil. Responden juga memiliki perbedaan dalam menyikapi kegiatan preservasi eks-area HPH di masing-masing zona, tergantung dari karakteristik sosial ekonomi responden.

198 Kriteria Kelayakan Pada Tabel 57 disajikan ringkasan hasil analisis ekonomi yang memperlihatkan kelayakan masing-masing alternatif pengelolaan lahan kritis yang berbasis preferensi masyarakat. Semua alternatif menunjukkan kriteria kelayakan yang dapat memberikan dampak positif. Hasil ini menunjukkan bahwa penerapan sistem agroforestri dalam upaya pengelolaan lahan kritis di eks-areal hutan konsesi dapat diterima, tidak saja memiliki potensi untuk meningkatkan jasa ekosistem kawasan hutan tetapi juga memberikan manfaat kepada masyarakat dan perekonomian secara keseluruhan.. Alternatif pengelolaan-2, yakni penerapan sistem agroforestri dalam pengelolaan lahan kritis di sekitar eks-areal HPH dengan komposisi tanaman 50 persen tanaman karet, 50 persen tanaman buah dan tanaman sela menunjukkan tingkat kelayakan paling tinggi. Nilai NPV selama jangka waktu 30 tahun pada suku bunga riil sebesar 6.4 persen adalah sebesar Rp artinya masyarakat mendapat keuntungan bersih sebesar nilai tersebut. Nilai IRR=34.47 persen menunjukkan sampai tingkat bunga tersebut, kredit utuk membiayai usahatani masih menguntungkan. Sedangkan nilai rasio B/C=4.16 yang berarti keseluruhan nilai manfaat bersih sekarang yang diterima masyarakat empat kali lebih besar dari keseluruhan nilai biaya sekarang yang dikeluarkan. Tabel 57. Ringkasan Hasil Analisis Ekonomi Alternatif Pengelolaan Lahan Eks-Areal HPH di Sekitar Daerah Penyangga TNKS Kriteria Investasi No Pengelolaan NPV IRR (Rp) (%) B/C 1 Alternatif Pengelolaan Alternatif Pengelolaan Alternatif Pengelolaan Sumber: Hasil Analisis Ekonomi, 2006

199 177 Alternatif pengelolaan-3, dengan komposisi tanaman 70 persen tanaman kayu, 30 persen tanaman buah dan tanaman sela menempati urutan kedua. nilai NPV=Rp artinya masyarakat mendapat keuntungan bersih sebesar nilai tersebut (selama jangka waktu analisis 30 tahun, pada suku bunga riil sebesar 6.4 persen). Sementara nilai rasio B/C=3.56 berarti keseluruhan nilai manfaat bersih sekarang yang diterima masyarakat lebih besar dari keseluruhan nilai biaya sekarang yang dikeluarkan. Nilai IRR=22.58 persen menunjukkan sampai tingkat bunga tersebut kredit usahatani masih menguntungkan. Berdasarkan nilai NPV pula alternatif pengelolaan-1 yakni pola usahatani dengan komposisi tanaman 50 persen karet, 50 persen kayu dan tanaman sela merupakan alternatif pengelolaan yang memberikan keuntungan bersih paling kecil yakni dengan NPV=Rp artinya masyarakat mendapat keuntungan bersih sebesar nilai tersebut (selama jangka waktu analisis 30 tahun, pada suku bunga riil sebesar 6.4 persen). Sementara nilai rasio B/C=2.06 berarti keseluruhan nilai manfaat bersih sekarang yang diterima masyarakat lebih besar dua kali lipat dari keseluruhan nilai biaya sekarang yang dikeluarkan. Namun nilai IRR=16.15 persen menunjukkan sampai tingkat bunga tersebut kredit usahatani masih menguntungkan. Jika menggunakan suku bunga nominal yang berlaku saat ini (16 persen), maka nilai IRR tersebut menunjukkan bahwa usahatani ini relatif lebih berat diusahakan melalui pembiayaan kredit Hasil Analisis Sensitivitas Hasil analisis ekonomi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa alternatif pengelolaan-2 memiliki kelayakan ekonomi yang paling tinggi. Namun, hasil ini belum cukup memberikan informasi mengenai pengaruh perubahan variabel-variabel ekonomi. Hasil analisis sensitivitas sangat membantu dalam memberikan rekomendasi ekonomi yang diperlukan untuk penerapan sistem

200 178 agroforestri dalam upaya rehabilitasi lahan kritis eks-areal HPH di sekitar zona penyangga TNKS. Hasil akhir analisis sensitivitas disajikan pada Tabel 59. Pada Tabel 58 dapat dilihat, jika menggunakan perubahan nilai NPV sebagai kriteria dalam pengambilan keputusan, maka sehubungan dengan penerapan alternatif pengelolaan-2, Skenario-2A1 menghasilkan peningkatan yang paling tinggi dibandingkan dengan skenario lainnya yakni sebesar persen. Hasil simulasi ini memiliki makna bahwa penambahan luas lahan seluas 1 ha akan memberikan peningkatan keuntungan bersih dalam jangka waktu 30 tahun pada tingkat suku bunga 6.4 persen sebesar persen. Penambahan luas lahan ini tidak begitu sulit dilakukan mengingat potensi lahan (kritis) di eks-areal HPH masih cukup luas, yakni sekitar ha. Alternatif pengelolaan-2 juga memiliki kepekaan terhadap resiko terjadinya inflasi bahkan berpengaruh positif bagi peningkatan NPV. Jika terjadi peningkatan inflasi sebesar 2 persen dari inflasi sekarang (9 persen) per tahun mengakibat kenaikan NPV sebesar persen. Kenaikan ini terutama disebabkan oleh peningkatan penerimaan usahatani karena adanya kenaikan harga secara umum termasuk harga output yang dihasilkan dari usahatani. Sebaliknya jika terjadi penurunan inflasi pada 2 persen mengakibatkan penurunan penerimaan yang pada gilirannya akan mengurangi NPV. Implikasinya adalah kebijakan pemerintah dalam menstabilkan perekonomian dimana inflasi sebagai indikatornya sangat membantu pengembangan agroforestri pada eks-areal HPH di sekitar zona penyangga TNKS. Sedangkan faktor yang dapat mengakibatkan penurunan NPV yang perlu diwaspadai adalah peningkatan biaya produksi Hasil analisis sensitivitas yang terangkum dalam Skenario-2A2 menunjukkan jika terjadi peningkatan total biaya produksi sebesar 5 persen akan mengakibatkan penurunan NPV sebesar 36.5

201 179 persen. Oleh karena itu ketersediaan faktor-faktor produksi seperti tanah, tenaga kerja dan pupuk sngat mendukung pengembangan alternatif pengelolaan-2. Tabel 58. Ringkasan Hasil Analisis Sensitivitas Alternatif Pengelolaan Lahan Kritis di Eks-Areal HPH di Sekitar Daerah Penyangga TNKS Alternatif Pengelolaan NPV Peningkatan/Penurunan (Rp) (%) Alternatif -1 Kondisi Sebelum Simulasi Skenario-1A Skenario-1A Skenario-1B Skenario-1B Skenario-1C Skenario-1C Skenario-1D Skenario-1D Alternatif -2 Kondisi Sebelum Simulasi Skenario-2A Skenario-2A Skenario-2B Skenario-2B Skenario-2C Skenario-2C Skenario-2D Skenario-2D Alternatif -3 Kondisi Sebelum Simulasi Skenario-3A Skenario-3A Skenario-3B Skenario-3B Skenario-3C Skenario-3C Skenario-3D Skenario-3D Keterangan : A1 : Skenario Jika Penambahan Luas Lahan Setiap Hektar A2 : Skenario Jika Pengurangan Luas Lahan Setiap Hektar B1 : Skenario Jika Biaya Produksi Meningkat 5% B2 : Skenario Jika Biaya Produksi Menurun 5% C1 : Skenario Jika Suku Bunga Nominal Naik 1% C2 : Skenario Jika Suku Bunga Nominal Turun 1% D1 : Skenario Jika Inflasi Naik 2% D2 : Skenario Jika Inflasi Turun 2% Sumber: Data Primer, 2006 (diolah)

202 180 Berikut ini dibahas penampilan masing-masing variabel berkaitan dengan hasil simulasi yang mengakibatkan perubahan nilai NPV: 1. Luas Lahan Penambahan luas lahan 1 ha mengakibatkan kenaikan nilai NPV pada semua alternatif pengelolaan. Dengan demikian variabel luas lahan memiliki kepekaan yang tinggi di mana penambahan luas lahan dalam program rehabilitasi lahan kritis di eks-areal HPH sekitar zona penyangga TNKS memberikan dampak yang positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Penambahan luas lahan dalam kegiatan rehabilitasi sangat memungkinkan mengingat ketersediaan lahan berupa alang-alang, lahan kosong dan semak belukar di eks-areal HPH di sekitar zona penyangga TNKS masih cukup luas dan bisa dimanfaatkan. Jika dilihat lebih seksama berkaitan dengan skenario penambahan luas lahan, skenario-2a1 merupakan skenario yang memberikan persentase peningkatan NPV paling tinggi yakni sebesar persen. Ini mengandung pengertian jika dilakukan penambahan luas lahan seluas 1 ha pada alternatif pengelolaan lahan kritis di eks-areal HPH di sekitar kawasan penyangga yakni sistem pengelolaan agroforestri dengan kombinasi 50 persen tanaman karet dan 50 persen tanaman buah akan memberikan peningkatan nilai bersih sekarang sebesar persen. Dengan demikian, skenario 2A1 akan memberikan dampak positif paling besar bagi masyarakat atau perekonomian secara keseluruhan jika dibandingkan dengan kedua alternatif lainnya. 2. Biaya Produksi Pengaruh perubahan biaya produksi tidak terlalu besar mempengaruhi perubahan NPV. Hasil analisis menunjukkan jika terjadi kenaikan atau penurunan

203 181 biaya produksi sebesar 5 persen akan mengakibatkan terjadinya kenaikan dan penurunan nilai NPV untuk setiap alternatif pengelolaan antara 1-5 persen. Hasil ini memberikan informasi bahwa pengunaan faktor-faktor produksi dalam penerapan sistem agroforestri relatif tidak terlalu intensif jika dibandingkan dengan usahatani lainnya yang menerapkan pola monokultur. Berkaitan dengan pengaruh perubahan biaya produksi, secara khusus dapat dijelaskan bahwa skenario-1b memiliki kepekaan yang relatif tinggi jika dibandingkankan dengan skenario lainnya yakni antara 4 hingga 5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa alternatif-1 yakni sistem pengelolaan agroforestri dengan kombinasi 70 persen tanaman kayu + 30 persen tanaman sela relatif lebih rentan terhadap kenaikan biaya produksi. Hal ini dimungkinkan mengingat pengusahaan tanaman kayu bukanlah kultur masyarakat sekitar eks-areal HPH sehingga biaya produksi yang dikeluarkan terutama biaya tenaga kerja lebih banyak digunakan. 3. Suku bunga nominal Kenaikan suku bunga nominal berpengaruh negatif terhadap pencapaian NPV masing-masing alternatif pengelolaan. Jika diasumsikan terjadi kenaikan suku bunga nominal sebesar 1 persen dari tingkat suku bunga yang berlaku ketika dilakukan penelitian yakni sebesar 16 persen, menunjukkan terjadi penurunan nilai NPV antara 18 persen hingga 27 persen untuk setiap alternatif pengelolaan. Dengan demikian kebijakan penurunan suku bunga nominal akan memberikan dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan dalam program rehabilitasi lahan kritis di eks-areal HPH di sekitar zona penyangga TNKS. Simulasi dengan menggunakan variabel suku bunga nominal menunjukkan bahwa skenario-1c pada alternatif-2 relatif lebih peka jika dibandingkan dengan

204 182 hasil yang diperoleh dari simulasi perubahan suku bunga pada 2 alternatif pengelolaan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan alternatif-1 relatif memiliki resiko yang lebih besar jika terjadi perubahan suku bunga nominal. Jika terjadi peningkatan suku bunga nominal sebesar 1 persen, maka akan mengakibatkan penurunan NPV sekitar 22 persen. 4. Tingkat Inflasi Jika terjadi peningkatan inflasi sebesar 2 persen dari tingkat inflasi yang terjadi sewaktu dilakukan penelitian yakni sebesar 9.06 persen, maka akan mengakibatkan nilai NPV untuk setiap alternatif pengelolaan mengalami peningkatan. Sebaliknya jika tingkat inflasi mengalami penurunan sebesar 2 persen, maka akan mengakibatkan nilai NPV mengalami penurunan. Dengan demikian peningkatan inflasi berpengaruh positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam upaya rehabilitasi lahan kritis eks-areal HPH di sekitar zona penyangga TNKS. Berkaitan dengan resiko inflasi, skenario-1d yakni kenaikan dan penurunan inflasi memberikan nilai kepekaan yang paling tinggi dibandingkan dengan skenario lainnya. Pada skenario-1d1, jika terjadi inflasi sebesar 2 persen, akan meningkatkan nilai NPV sebesar persen. Hal ini bisa terjadi karena kenaikan inflasi akan meningkatkan harga output yang pada gilirannya akan meningkatkan penerimaan. Namun, jika tingkat inflasi menurun (Skenario-1D2), maka akan mengakibatkan nilai NPV mengalami penurunan sebesar persen. Hasil ini menunjukkan bahwa alternatif-1 relatif lebih sensitif dan memiliki resiko lebih besar jika dibandingkan dengan kedua alternatif lainnya.

205 VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan 1. Perubahan fisik kawasan hutan eks-areal hutan konsesi di sekitar daerah penyangga TNKS telah mengakibatkan pengurangan luas tutupan hutan di kawasan ini tidak saja akibat penggunaan lahan paska pengelolaan HPH tetapi juga sejak masih dalam pengelolaan HPH. Jenis penggunaan lahan yang dominan antara lain adalah: perkebunan kelapa sawit swasta, ladang/kebun masyarakat, dan penggunaan lahan oleh masyarakat di sekitar kawasan yang memperbanyak luasan semak belukar, tanah terbuka dan alang-alang. 2. Kondisi topografi, terbukanya akses ke dalam kawasan hutan dan kurangnya pengawasan merupakan faktor utama yang mendorong terjadinya penggunaan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS. Hal ini terlihat dari jenis penggunaan lahan terhadap hutan bekas tebangan yang lebih banyak dibandingkan dengan hutan primer. 3. Pada eks-areal HPH yang berjarak relatif jauh dengan kawasan TNKS, tidak ditemukannya adanya penggunaan lahan yang telah memasuki kawasan TNKS. Sedangkan pada eks-areal HPH yang relatif dekat dengan kawasan TNKS, penggunaan lahan untuk perkebunan tanaman komersial dan ladang masyarakat telah masuk cukup jauh ke kawasan TNKS, sehingga menimbulkan tekanan terhadap kawasan lindung ini. 4. Biaya imbangan (opportunity cost) penggunaan lahan bekas tebangan menjadi perkebunan kelapa sawit yang dikelola swasta merupakan yang paling besar, yakni mencapai Rp /ha/tahun. Sementara biaya imbangan penggunaan lahan hutan bekas tebangan menjadi ladang/kebun masyarakat,

206 184 yakni mencapai Rp /ha/tahun. Dari biaya imbangan tersebut, kehilangan unsur hara merupakan kerugian ekonomi paling menyolok yakni rata-rata 80 hingga 90 persen. 5. Pengusahaan kelapa sawit yang menggunakan eks-areal HPH, baik yang dilakukan oleh swasta maupun masyarakat secara finansial menunjukkan kinerja yang baik. Namun secara ekonomi dengan melakukan internalisasi biaya lingkungan ke dalam cash flow usahatani, pengusahaan perkebunan kelapa sawit menunjukkan kinerja atau penampilan yang buruk. Sedangkan pengusahaan kebun karet yang dikelola oleh masyarakat di sekitar eks-areal HPH baik secara finansial maupun ekonomi menunjukkan kineja yang baik. Hal ini menunjukkan usahani ini memiliki kemampuan untuk menjembatani kepentingan konservasi dan peningkatan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan hutan. 6. Penerapan sistem agroforestri dalam upaya rehabilitasi lahan kritis di eks-areal hutan konsesi sejalan dengan preferensi masyarakat di sekitar kawasan eksareal HPH. Dari perspektif ekonomi sistem ini layak untuk dikembangkan karena karena memiliki potensi untuk meningkatkan jasa ekosistem kawasan hutan tetapi juga berpotensi meningkatkan pendapatan masyarakat, sehingga dapat mendukung konservasi lahan dan melindungi kawasan TNKS. 7. Penambahan luas lahan pada alternatif pengelolaan agroforestri memberikan memberikan dampak positif paling besar bagi masyarakat atau perekonomian secara keseluruhan jika dibandingkan dengan kedua alternatif lainnya. Selain itu, penurunan suku bunga kredit usahatani dan peningkatan harga juga memberikan dampak yang positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

207 Saran Implikasi dan Rekomendasi 1. Perubahan fisik kawasan hutan setelah ditinggalkan oleh HPH dan kemudian tidak mendapatkan pembinaan dan pengawasan yang sistematis telah menghasilkan kerusakan dan ketidakpastian. Salah satu kelemahan dari situasi ini adalah karena lemahnya perencanaan pengelolaan kawasan hutan setelah tidak lagi diusahakan oleh HPH, dan karena lemahnya koordinasi antar instansi pemerintah. Prinsip pengelolaan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS adalah tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan negara, tetapi pengelolaannya dapat dilaksanakan oleh masyarakat dengan seizin pemerintah. Kegiatan pengukuhan dan penataan hutan secara partisipatif merupakan program utama yang perlu dilakukan. 2. Berdasarkan pada periode dilakukannya penggunaan lahan, diketahui bahwa penggunaan lahan telah dilakukan sejak masih dalam pengelolaan HPH. Hal ini menunjukkan ketidak mampuan perusahaan HPH dalam mengendalikan penggunaan lahan yang menjadi tanggung jawabnya. Implikasinya adalah pemerintah harus mendorong setiap perusahaan pemegang izin konsesi agar meningkatkan komitmen dan kemampuannya dalam mengendalikan areal konsesinya dari kegiatan penggunaan lahan hutan bekas tebangan maupun hutan primer yang masih tersisa cukup luas. Langkah-langkah perbaikan yang perlu dilakukan oleh pemerintah antara lain: a. Melakukan kebijakan pemberian izin konsesi dengan prinsip kehati-hatian dan menuangkan kewajiban melakukan pengendalian penggunaan lahan secara ketat selama izin konsesi diberikan. Jika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan yang telah ditetapkan ini, maka segera diberikan sanksi hukum

208 186 b. Diperlukan langkah-langkah nyata agar tidak terjadi akses terbuka terhadap kawasan ini. Sehubungan dengan itu, rencana pembangunan akses jalan yang melintasi kawasan ini perlu penilaian secara terpadu untuk mencegah terbukanya akses baru tehadap eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS. c. Pengendalian penggunaan lahan eks-areal HPH di daerah penyangga TNKS seyogyanya melibatkan juga pihak perbankan dengan jalan mendorong perbankan menerapkan kriteria kelayakan yang mempertimbangkan aspek keberlanjutan (sustainability). Secara khusus perbankan dapat mensyaratkan pihak pengembang/investor melakukan analisis ekonomi yang memasukkan biaya imbangan dalam aliran kas (cash flow) perusahaan bukan hanya dari analisis finansial seperti yang selama ini dijalankan. 3. Mengingat biaya imbangan yang paling besar dalam suatu penggunaan lahan adalah kehilangan unsur hara, maka kebijakan pembangunan perkebunan dan pertanian di eks-areal HPH harus mempertimbangkan konservasi tanah. Oleh karena itu, analisis kesesuaian lahan harus benar-benar dilakukan secara cermat dan terintegrasi dengan memperhatikan faktor-faktor pemicu terjadinya erosi seperti kelerengan, curah hujan, serta struktur dan jenis tanah yang akan dijadikan lahan budidaya. Pengelolaan kebun kelapa sawit baik yang diusahakan oleh swasta maupun masyarakat seyogyanya tidak dilanjutkan, namun pengusahaan kebun karet diyakini dapat memenuhi kriteria pembangunan pertanian yang berkelanjutan serta dapat dikembangkan lebih lanjut bagi alternatif pengelolaan lahan kritis di eks areal HPH pada masa yang akan datang.

209 Alternatif pengelolaan lahan kritis sebagai akibat penggunaan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS adalah dengan menerapkan sistem agroforestri. Sistem ini tidak saja memiliki potensi untuk meningkatkan jasa ekosistem kawasan hutan di eks-areal HPH tetapi juga memberikan manfaat yang positif kepada masyarakat dan perekonomian secara keseluruhan. 5. Dari hasil analisa ekonomi terhadap alternatif pengelolaan lahan kritis akibat penggunaan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS, yang diukur dengan parameter NPV, BCR, dan IRR. Secara ringkas faktor-faktor yang mempengaruhi parameter tersebut, dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Penambahan luas lahan dalam program rehabilitasi lahan kritis di eks-areal HPH sekitar daerah penyangga TNKS memberikan dampak yang positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Penambahan luas lahan dalam kegiatan rehabilitasi sangat memungkinkan mengingat ketersediaan lahan berupa alang-alang, lahan kosong dan semak belukar di eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS masih cukup luas dan bisa dimanfaatkan. Penambahan luas lahan ini akan memberikan dampak positif paling besar bagi masyarakat atau perekonomian secara keseluruhan jika dibandingkan dengan kedua alternatif lainnya. b. Berkaitan dengan pengaruh perubahan biaya produksi, bahwa alternatif pengelolaan agroforestri dengan kombinasi 70 persen tanaman kayu + 30 persen tanaman buah + tanaman sela relatif lebih rentan terhadap kenaikan biaya produksi. Implikasinya adalah perlu dilakukan penyuluhan pertanian agar petani dapat menggunakan input produksi secara efisien.

210 188 c. Kebijakan penurunan suku bunga nominal akan memberikan dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan dalam program rehabilitasi lahan kritis di eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS. Implikasinya adalah pemberian kredit usahatani dengan suku bunga yang rendah perlu dilakukan dalam upaya pengembangan agroforestri di sekitar eks-areal hutan konsesi yang terdapat di sekitar daerah penyangga TNKS. d. Peningkatan inflasi secara moderat berpengaruh positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam upaya rehabilitasi lahan kritis eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS. Implikasinya adalah kebijakan penetapan harga komoditas harus benar-benar mengupayakan tingkat harga yang efisien Penelitian Lanjutan 1. Pada analisis spasial perlu digunakan produk citra yang terbaru serta memiliki skala besar. Ini sangat membantu dalam mengidentifikasi dan menghitung nilai sumberdaya eks-areal HPH melalui penerapan ekonomi spasial (spacial economics atau GIS economics) secara utuh. 2. Perlu dievaluasi besarnya total biaya imbangan penggunaan lahan eks areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS pada eks-areal hutan konsesi lainnya. Dengan demikian, kawasan ini memiliki posisi tawar yang tinggi ketika berhadapan dengan rencana alih fungsi lahan menjadi kawasan budidaya terutama sekali perkebunan kelapa sawit. Jenis penggunaan lahan ini banyak diajukan oleh pemerintah lokal kepada pemerintah pusat (Departemen Kehutanan) dengan alasan untuk peningkatan penerimaan daerah yang berbasis sumberdaya lokal.

211 Diperlukan penelitian lebih lanjut terhadap besarnya koefisien input dan output dalam rangka membangun model program tujuan ganda pengelolaan lahan kritis di eks-areal HPH yakni tujuan ekonomi dan konservasi sehingga diperoleh hasil yang aktual, lebih rasional, dan lebih managable. 4. Selain itu, perlu dilakukan penelitian mengenai penerapan sistem agroforestri terutama pada aspek teknis silvicultur di lapangan dalam rangka mengevaluasi potensinya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat sebagai pengelola utama baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

212 DAFTAR PUSTAKA Asian Development Bank Economic Evaluation Environmental Impact: Work Book Part I and II. Environment Division, Asian Development Bank, Manila. Balai Taman Nasional Kerinci Seblat The Introduction of Kerinci-Seblat National Park. Balai Taman Nasional Kerinci Seblat, Sungai Penuh. Bishop, J.T Valuing Forests: A Review of Methods and Applications in Developing Countries. International Institute for Environment and Development, London. Chopra, K The Value of Non-Timber Forest Products: An Estimating for Tropical Deciduous Forest in India. Economic Botany, 47(3): Chomitz, M.K. and K. Kumari The Domestic Benefits of Tropical Forests: A Critical Review. The World Bank Research Observer, 13(1): Eade, J.D.O. and D. Moran Spatial Economic Valuation: Benefit Transfer Using Geographical Information System. Journal of Environmental Management, 48(4): Fauzi, A Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Freeman III, M The Measurement of Environmental and Resource Values: Theory and Methods. Resource for the Future, Washington, D.C. Gittinger, J.P Economic Analysis of Agricultural Project. The Johns Hopkins University Press., London. Godoy, R Some Organizing Principles in the Valuation of Tropical Forests. Forest Ecology and Management, 50(4): Greenomics Ringkasan Kebijakan: Subsidi Ekologis Taman Nasional Kerinci Seblat, Memperkuat Pertumbuhan Ekonomi dan Menciptakan Efisiensi APBD Kabupaten. Balai Taman Nasional Kerinci Seblat, ICDP, Park Management Component A., Sungai Penuh. Gunatilake, H.M., D.M.A.H. Senaratne and P. Abeygunawardena Role of Non Timber Forest Products in the Economy of Peripheral Communities of Knuckles National Wilderness Area of Srilangka: A farming System Approach. Economic Botany, 47(3):

213 191 Hadker, N., S. Sharma, S. David and T.R. Muraleedharan Willingness-to- Pay for Borivli National Protected Area: Evidence from Contingent Valuation. Ecological Economics, 21(2): Hernawan, E Analisis Perubahan Penutupan Hutan di Areal Paska Pengelolaan HPH Menggunakan Teknik Penginderaan Jauh (Studi Kasus: Bekas HPH di Batas TNKS, Provinsi Bengkulu). Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hodgson, G. and J.A. Dixon Logging Versus Fisheries and Tourism in Palawan. Occasional Paper No. 7. East West Environment and Policy Institut, Honolulu. Howard, P The Economic of Protected Area in Uganda: Costs, Benefits, and Policy Issues. In Bagri, A., J. Blockhus, F. Grey and F. Vorhies (eds.) Economic Value of Protected Area: A Guide for Protected Area Managers. IUCN (International Union for Conservation of Nature), Gland. Indrizal, E Dinamika Sosial Ekonomi dan Pembangunan Pedesaan Hutan, Kasus Desa-Desa Perbatasan Taman Nasional Kerinci Seblat. Analisis. Centre for Strategic and International Studies, 24(1): Jonish, J Sustainable Development and Employment: Forestry in Malaysia. Working Paper. International Labour Office, Genewa. Just, R., D.L. Hueth and A. Schmitz Applied Welfare Economics and Public Policy. Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs, New Jersey. Kim, Y.C Pola Pengelolaan Hutan Tropika Berdasarkan pada Konsep Nilai Ekonomi Total. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Krieger, D.J Economic Value of Forest Ecosystem Services: A Review. The Wilderness Society, Washington, D.C. Klemperer, D.W Forest Resource Economics and Finance. McGraw-Hill Inc., Singapore. Loomis, J., M. Creel and J. Cooper Economics Benefits od Deer in California: Hunting and Viewing Values. Environmental Studies, UC Davis, California. MacKinnon, J., K. MacKinnon, G. Child and J. Thorsell Managing of Protected Areas in The Tropics. Dalam Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

214 192 Mitchell, R. and M.T. Carson Using Surveys to Value Public Goods. The Contingent Valuation Method. Resource for the Future, Washington, D.C. Mulyanto, L Pemodelan Spasial Perubahan Penutupan Hutan Menggunakan Citra Landsat TM dan Sistem Informasi Geografis: Studi Kasus di HPH PT. Duta Maju Timber Provinsi Sumatera Barat. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Natural Resource Management Program Value of Preserving Forest Near Bukit Baka-Bukit Raya Kalimantan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional-Ministry of Forestry, Jakarta. Pagiola, S., V.K. Ritter and J. Bishop Millennium Ecosystem Assessment. The International Bank for Reconstruction and Development, The World Bank, Washington, D.C. Panayotou, T Basic Concept and Common Valuation Errors in Cost- Benefit Analysis. International Environment Program, Harvard Institute for International Development, Harvard University, Cambridge. Pearce, D.W. and R.K. Turner Economics of Natural Resources and Environment. Harvester Wheatsheaf, London. Gunawardena, U.A.D.P., G.E. Jones, M.J. McGregor and P. Abeygunawardena A Contingent Valuation Approach for Tropical Rainforest: A Case Study of Sinharaja Rainforest Reserve in Srilanka. In Roper, C.S. and A. Park (eds.). The Living Forest: Non-Market Benefits of Forestry. Proceedings of An International Symposium. Forestry Commission, H.M Stationary Office, London. Sarbi Moerhani Lestari. 2001a. Laporan Pemeriksaaan HPH (Independent Concession Audit). PT. Maju Jaya Raya Timber, Provinsi Bengkulu. Bogor b. Laporan Pemeriksaaan HPH (Independent Concession Audit). PT. Rimba Karya Indah, Provinsi Jambi. Bogor. Saastamoinen, O Economic Evaluation of Biodiversity Value of Dipterocarp Forest in the Philippines. Second Meeting of The International Society of Ecological Economics (ISEE). Stockholm University, Stockholm. Schmid, A.A Analisis Biaya Manfaat: Pendekatan Ekonomi Politik. Terjemahan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Pusat Antar Universitas Universitas Indonesia, Jakarta.

215 193 Shahwahid, M., H.O. Noor Awang, A.G. Rahim, N. Abdul, Y. Zulkifli and U. Ragame Economic Benefits of Watershed Protection and Trade-off with Timber Production: A Case Study in Malaysia. EEPSEA (Economy and Environment Program For Southeast Asia), Singapore. Sunderlin, W.D. dan P.R. Ida Laju dan Penyebab Deforestasi di Indonesia Penelaahan Kerancuan dan Penyelesaiannya. Center for International Forestry Research, Bogor. Suparmoko Buku Pedoman Penilaian Ekonomi: Sumberdaya Alam dan Lingkungan (Konsep dan Metode Penghitungan). Badan Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Tiwari, D.N Sustainability Criteria and Cost-Benefit Analysis: An Analytical Framework for Environmental-Economic Decision Making at The Project Level. Environmental and Development Economics, 5(5): TNKS ICDP Komponen C Kawasan Hutan RKI Finger, Kabupaten Bungo Jambi. Laporan Teknis No. 04. Jaakko Poyry - Tritunggal, Sungai Penuh. TNKS ICDP Komponen C Penilaian Tutupan Hutan: Kondisi dan Masa Depan Kawasan HPH sekitar TNKS. Laporan Teknis No. 10. Jaakko Poyry - Tritunggal, Sungai Penuh. Varian Microeconomic Analysis. Third Edition. W.W. Norton & Company, New York. Walsh, R.G., R.D. Bjonback, R.A. Aiken and D.H. Rosenthal Estimating the Public Benefits of Protecting Forest Quality. Journal of Environmental Management, 30(4):

216 LAMPIRAN

217 Lampiran 1. Peta Perubahan Penutupan Lahan Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber, Periode

218 Lampiran 2. Peta Perubahan Penutupan Lahan Eks-Areal HPH. PT. Maju Jaya Raya Timber, Periode

219 Lampiran 3. Peta Perubahan Penutupan Lahan Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber, Periode

220 Lampiran 4. Peta Perubahan Penutupan Lahan Eks-Areal HPH. PT. Maju Jaya Raya Timber, Periode

221 Lampiran 5. Peta Perubahan Penutupan Lahan Eks-Areal HPH. PT. Maju Jaya Raya Timber, Periode

222 Lampiran 6. Peta Perubahan Lahan Eks-Areal HPH. PT. Rimba Karya Indah, Periode

223 Lampiran 7. Peta Perubahan Lahan Eks-Areal HPH. PT. Rimba Karya Indah, Periode

224 Lampiran 8. Peta Perubahan Penutupan Lahan Eks-Areal HPH. PT. Rimba Karya Indah, Tahun

EVALUASI EKONOMI PENGGUNAAN LAHAN EKS-AREAL HUTAN KONSESI DI SEKITAR DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT MUHAMMAD RIDWANSYAH

EVALUASI EKONOMI PENGGUNAAN LAHAN EKS-AREAL HUTAN KONSESI DI SEKITAR DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT MUHAMMAD RIDWANSYAH EVALUASI EKONOMI PENGGUNAAN LAHAN EKS-AREAL HUTAN KONSESI DI SEKITAR DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT MUHAMMAD RIDWANSYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

EKONOMI SPASIAL PENGGUNAAN LAHAN EKS AREAL HUTAN KONSESI DI KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT: STUDI KASUS EKS HPH PT.

EKONOMI SPASIAL PENGGUNAAN LAHAN EKS AREAL HUTAN KONSESI DI KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT: STUDI KASUS EKS HPH PT. EKONOMI SPASIAL PENGGUNAAN LAHAN EKS AREAL HUTAN KONSESI DI KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT: STUDI KASUS EKS HPH PT. RIMBA KARYA INDAH Muhammad Ridwansyah 1 ABSTRACT Kerinci-Seblat National

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun terakhir, produk kelapa sawit merupakan produk perkebunan yang. hampir mencakup seluruh daerah tropis (RSPO, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. tahun terakhir, produk kelapa sawit merupakan produk perkebunan yang. hampir mencakup seluruh daerah tropis (RSPO, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit bukan tanaman asli Indonesia, namun keberadaan tanaman ini telah masuk hampir ke semua sektor kehidupan. Kondisi ini telah mendorong semakin meluasnya

Lebih terperinci

VALUASI EKONOMI 3.1 Perkiraan Luas Tutupan Hutan 1

VALUASI EKONOMI 3.1 Perkiraan Luas Tutupan Hutan 1 VALUASI EKONOMI Dalam menentukan kontribusi suatu sektor kegiatan ekonomi terhadap pembangunan nasional pada umumnya dinyatakan dalam nilai uang yang kemudian dikonversi dalam nilai persentase. Setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan di Sumatera Utara memiliki luas sekitar 3.742.120 ha atau sekitar 52,20% dari seluruh luas provinsi, luasan kawasan hutan ini sesuai dengan yang termaktub

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. yang sangat strategis bagi pembangunan yang berkelanjutkan di Provinsi

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. yang sangat strategis bagi pembangunan yang berkelanjutkan di Provinsi 136 IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Pengembangan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser memiliki peran yang sangat strategis bagi pembangunan yang berkelanjutkan di Provinsi Sumatera Utara dan NAD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia. Dalam pelaksanaan proses pembangunan, manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan

Lebih terperinci

PENGARUH BANTUAN PINJAMAN LANGSUNG MASYARAKAT TERHADAP PENDAPATAN DAN EFISIENSI USAHATANI PADI SAWAH DI KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA KALIMANTAN TIMUR

PENGARUH BANTUAN PINJAMAN LANGSUNG MASYARAKAT TERHADAP PENDAPATAN DAN EFISIENSI USAHATANI PADI SAWAH DI KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA KALIMANTAN TIMUR PENGARUH BANTUAN PINJAMAN LANGSUNG MASYARAKAT TERHADAP PENDAPATAN DAN EFISIENSI USAHATANI PADI SAWAH DI KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA KALIMANTAN TIMUR Oleh: MARIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL KONVERSI TANAMAN KAYU MANIS MENJADI KAKAO DI KECAMATAN GUNUNG RAYA KABUPATEN KERINCI PROVINSI JAMBI

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL KONVERSI TANAMAN KAYU MANIS MENJADI KAKAO DI KECAMATAN GUNUNG RAYA KABUPATEN KERINCI PROVINSI JAMBI ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL KONVERSI TANAMAN KAYU MANIS MENJADI KAKAO DI KECAMATAN GUNUNG RAYA KABUPATEN KERINCI PROVINSI JAMBI OLEH SUCI NOLA ASHARI A14302009 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam lain yang terdapat di atas maupun di bawah tanah. Definisi hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Ketiadaan hak kepemilikan (property right) pada sumberdaya alam mendorong terjadinya

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN

STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN (Studi Kasus di Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau) RAHMAT PARULIAN

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING Oleh: BEDY SUDJARMOKO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK BEDY SUDJARMOKO. Analisis Efisiensi

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 22 PENDAHULUAN Latar Belakang Fenomena kerusakan sumberdaya hutan (deforestasi dan degradasi) terjadi di Indonesia dan juga di negara-negara lain, yang menurut Sharma et al. (1995) selama periode 1950-1980

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. angka-angka statistik sering dijadikan sebagai alat untuk memahami

III. KERANGKA PEMIKIRAN. angka-angka statistik sering dijadikan sebagai alat untuk memahami 44 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Perkembangan suatu wilayah dapat dinilai mengalami kemajuan atau mengalami kemunduran dengan melihat beberapa indikator tertentu. Struktur dan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p Resensi Buku

Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p Resensi Buku Resensi Buku Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p.33-38 Judul Buku: : Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) Tahun 2011-2030 Penyunting Akhir : Ir. Basoeki Karyaatmadja, M.Sc., Ir. Kustanta Budi Prihatno,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai fungsi produksi, perlindungan dan pelestarian alam. Luas hutan

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai fungsi produksi, perlindungan dan pelestarian alam. Luas hutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam daerah pantai payau yang mempunyai fungsi produksi, perlindungan dan pelestarian alam. Luas hutan mangrove di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun budaya. Namun sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, tekanan terhadap sumberdaya

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent BAGIAN 1-3 Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent 54 Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi PENDAHULUAN Kabupaten Bungo mencakup

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA LIRA MAI LENA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2 0 0 7 ABSTRAK Lira Mai Lena. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor

Lebih terperinci

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 KATA PENGANTAR Assalaamu alaikum Wr. Wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Buku

Lebih terperinci

VISI HIJAU UNTUK SUMATRA

VISI HIJAU UNTUK SUMATRA REPORT FEBRUARY 2O12 Ringkasan Laporan VISI HIJAU UNTUK SUMATRA Menggunakan informasi Jasa Ekosistem untuk membuat rekomensi rencana peruntukan lahan di tingkat provinsi dan kabupaten. Sebuah Laporan oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang mempunyai nilai ekonomis, ekologis dan sosial budaya. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya hutan secara bijaksana dan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN PUPUK TERHADAP KINERJA PERDAGANGAN PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA WIDARTO RACHBINI

DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN PUPUK TERHADAP KINERJA PERDAGANGAN PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA WIDARTO RACHBINI DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN PUPUK TERHADAP KINERJA PERDAGANGAN PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA WIDARTO RACHBINI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 Bacalah, dengan nama Tuhanmu

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan. Kegiatan

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah

PENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah PENDAHULUAN Latar Belakang Alih-guna lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Bab 5 5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan 5.2.1 Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Perhatian harus diberikan kepada kendala pengembangan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup seperti untuk membangun

Lebih terperinci

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Nasional Rencana Pembangunan Jangka

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove 1. Pengertian Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove mampu tumbuh

Lebih terperinci

Disampaikan Pada Acara :

Disampaikan Pada Acara : Disampaikan Pada Acara : Balancing Spatial Planning, Sustainable Biomass Production, Climate Change and Conservation (Menyeimbangkan Penataan Ruang, Produksi Minyak Sawit Berkelanjutan, Perubahan Iklim

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA LIRA MAI LENA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2 0 0 7 ABSTRAK Lira Mai Lena. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor

Lebih terperinci

Oleh : Sri Wilarso Budi R

Oleh : Sri Wilarso Budi R Annex 2. The Training Modules 1 MODULE PELATIHAN RESTORASI, AGROFORESTRY DAN REHABILITASI HUTAN Oleh : Sri Wilarso Budi R ITTO PROJECT PARTICIPATORY ESTABLISHMENT COLLABORATIVE SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis letak Indonesia berada di daerah tropis atau berada di sekitar

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis letak Indonesia berada di daerah tropis atau berada di sekitar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai 17.508 pulau. Indonesia terbentang antara 6 o LU - 11 o LS, dan 97 o BT - 141 o BT. Secara geografis

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Hutan tropis ini merupakan habitat flora dan fauna (Syarifuddin, 2011). Menurut

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No. 5794. KEHUTANAN. Hutan. Kawasan. Tata Cara. Pencabutan (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 326). PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara Opini Masyarakat Terhadap Fungsi Hutan di Hulu DAS Kelara OPINI MASYARAKAT TERHADAP FUNGSI HUTAN DI HULU DAS KELARA Oleh: Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jl. Perintis Kemerdekaan Km.16 Makassar, 90243,

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU SKRIPSI OLEH: BASA ERIKA LIMBONG 061201013/ MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan praktek model agroforestri yang mempunyai fungsi ekonomi dan ekologi, akhir-akhir ini menjadi perhatian khusus. Banyak kawasan hutan yang beralih fungsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang TAHURA Bukit Soeharto merupakan salah satu kawasan konservasi yang terletak di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara dengan luasan 61.850 ha. Undang-Undang

Lebih terperinci

Contoh Makalah Penelitian Geografi MAKALAH PENELITIAN GEOGRAFI TENTANG LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA

Contoh Makalah Penelitian Geografi MAKALAH PENELITIAN GEOGRAFI TENTANG LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA Contoh Makalah Penelitian Geografi MAKALAH PENELITIAN GEOGRAFI TENTANG LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA Disusun oleh: Mirza Zalfandy X IPA G SMAN 78 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam Hutan Tanaman adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dalam Hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pembangunan menimbulkan suatu dampak baik itu dampak terhadap ekonomi, kehidupan sosial, maupun lingkungan sekitar. DKI Jakarta sebagai kota dengan letak yang

Lebih terperinci

i:.l'11, SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI viii xii DAFTAR SINGKATAN ...

i:.l'11, SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI viii xii DAFTAR SINGKATAN ... itj). tt'ii;,i)ifir.l flni:l l,*:rr:tililiiii; i:.l'11, l,.,it: I lrl : SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI DAFTAR SINGKATAN viii tx xt xii... xviii BAB

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah

BAB I PENDAHULUAN. menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah hujan sekitar 2000-4000

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI Oleh Ir. H. BUDIDAYA, M.For.Sc. (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi) Disampaikan pada Focus Group

Lebih terperinci

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ii ABSTRACT MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN. Analysis of Northern

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Air merupakan kebutuhan dasar makhluk hidup dan sebagai barang publik yang tidak dimiliki oleh siapapun, melainkan dalam bentuk kepemilikan bersama (global commons atau common

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Riau dengan luas 94.560 km persegi merupakan Provinsi terluas di pulau Sumatra. Dari proporsi potensi lahan kering di provinsi ini dengan luas sebesar 9.260.421

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN.

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN. MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN Faisyal Rani 1 1 Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Riau 1 Dosen

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN 7 Latar Belakang Tekanan terhadap sumberdaya hutan menyebabkan terjadinya eksploitasi yang berlebihan, sehingga sumberdaya hutan tidak mampu lagi memberikan manfaat yang optimal. Tekanan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Fungsi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2012 yang

Lebih terperinci

ANALISIS LAJU DEFORESTASI HUTAN BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (STUDI KASUS PROVINSI PAPUA)

ANALISIS LAJU DEFORESTASI HUTAN BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (STUDI KASUS PROVINSI PAPUA) ANALISIS LAJU DEFORESTASI HUTAN BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (STUDI KASUS PROVINSI PAPUA) La Ode Muh. Yazid Amsah 1, Drs. H. Samsu Arif, M.Si 2, Syamsuddin, S.Si, MT 2 Program Studi Geofisika Jurusan

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

PENATAAN KORIDOR RIMBA

PENATAAN KORIDOR RIMBA PENATAAN KORIDOR RIMBA Disampaikan Oleh: Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Dalam acara Peluncuran Sustainable Rural and Regional Development-Forum Indonesia DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya Alam dan Lingkungan (SDAL) sangat diperlukan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila dilakukan secara berlebihan dan tidak

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE), Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus: Rumahtangga Nelayan Tradisional Di Kecamatan Kasemen Kabupaten Serang Propinsi Banten) RANTHY PANCASASTI SEKOLAH

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis merupakan sektor yang paling penting di hampir semua negara berkembang. Sektor pertanian ternyata dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan salah satu kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire, yang mempunyai fungsi utama sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap negara mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pembangunan. Pada negara berkembang pembangunan untuk mengejar ketertinggalan dari

Lebih terperinci

RINGKASAN. Berbagai Macam Kegiatan Pertanian Di Pesisir Pantai Timur Kecamatan Tulung

RINGKASAN. Berbagai Macam Kegiatan Pertanian Di Pesisir Pantai Timur Kecamatan Tulung ANALISIS EKONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN MANGROVE UNTUK BERBAGAl MACAM I

Lebih terperinci

TRIANDI CHANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

TRIANDI CHANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENERAPAN ISO 9001 DI PERUSAHAAN JASA KONSTRUKSI DAN KONTRIBUSINYA PADA PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) SERTA PENYERAPAN TENAGA KERJA KASUS DI KABUPATEN KAMPAR TRIANDI CHANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci