VALUASI EKONOMI 3.1 Perkiraan Luas Tutupan Hutan 1

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VALUASI EKONOMI 3.1 Perkiraan Luas Tutupan Hutan 1"

Transkripsi

1 VALUASI EKONOMI Dalam menentukan kontribusi suatu sektor kegiatan ekonomi terhadap pembangunan nasional pada umumnya dinyatakan dalam nilai uang yang kemudian dikonversi dalam nilai persentase. Setiap sektor kegiatan ekonomi pasti menghasilkan produksi barang atau pun jasa yang diukur secara fisik. Untuk menyatakan seluruh hasil barang dan jasa kemudian menyatakannya dalam satu nilai diperlukan valuasi ekonomi yang menyatakan semua produksi barang dan jasa itu dalam nilai moneter. 3.1 Perkiraan Luas Tutupan Hutan Dalam melakukan valuasi ekonomi, langkah pertama yang harus ditempuh adalah mengidentifikasi fungsi hutan. Setelah semua fungsinya diidentifikasi dan diketahui, maka dilakukan pengukuran berapa besar volume atau besaran masing-masing. Selanjutnya dilakukan valuasi ekonomi baik per unit maupun secara keseluruhan. Demikian pula dalam kaitannya dengan pengukuran deplesi sumber daya hutan, dilakukan identifikasi fungsi apa sajakah yang hilang karena adanya deplesi sumber daya hutan, selanjutnya dilakukan pengukuran berapa banyak fungsi hutan yang hilang dan akhirnya dilakukan valuasi ekonominya. Data yang ada adalah data perubahan luas hutan secara keseluruhan. Karena data valuasi yang ada membedakan antara nilai perubahan dari hutan primer ke hutan sekunder dan dari hutan sekunder ke hutan rusak, maka perubahan luas hutan disesuaikan dengan perkiraan luas hutan tersebut di atas. Diperkirakan perubahan dari hutan primer ke sekunder sebesar 35% dari total perubahan luas hutan, sisanya 65% berupa perubahan hutan sekunder ke hutan rusak. Hal ini sesuai dengan perkembangan sektor kehutanan di mana pada awal 1970-an hampir seluruh hutan berupa hutan primer; sedangkan menjelang akhir tahun 1990-an sebagian hutan sudah menjadi hutan sekunder. Tabel 3.1 menyajikan luas tutupan hutan (forest cover) di Indonesia antara tahun 1998 sampai dengan tahun Tampak pada kolom pertama dari Tabel 3.1 itu bahwa dari tahun ke tahun luas tutupan hutan di Indonesia menurun terus dari Ha pada tahun 1998 menjadi Ha pada tahun 2004, dengan laju penurunan luas hutan yang semakin cepat yaitu mulai dari sekitar 2,53%/tahun pada tahun 1998 meningkat menjadi 4,82%/tahun pada tahun Secara rata-rata penurunan luas tutupan hutan itu mencapai 3,55% per tahun dalam kurun waktu 6 tahun sejak tahun 1998 sampai dengan tahun

2 Penurunan luas tutupan hutan paling tinggi terjadi pada tahun 2004 yaitu sebesar Ha pada tahun Tampak bahwa pengurangan luas tutupan hutan itu meningkat dengan cepat dimulai saat terjadinya krisis ekonomi di Indonesia dan menjadi semakin cepat lagi setelah berlakunya sistem pemerintahan dengan otonomi daerah yang secara efektif mulai berlaku pada tahun Dalam Tabel 3.1 itu dibedakan antara perubahan luas tutupan hutan dari hutan primer menjadi hutan sekunder, dan dari hutan sekunder menjadi hutan rusak (degraded). Tampak di situ bahwa luas tutupan hutan yang berubah dari hutan primer ke hutan sekunder relatif lebih sempit dibandingkan dengan luas tutupan hutan yang berubah dari hutan sekunder menjadi hutan rusak. Tabel 3.1 Proyeksi Luas Tutupan Hutan (Forest Cover) dan Perubahannya Indonesia (tidak termasuk reboisasi) Tahun Luas (ha) Primer ke Sekunder (ha) Perubahan Sekunder ke Total Degraded (ha) (ha) (%) , , , , , , Total Rata-rata perubahan ,55 per tahun Sumber: Departemen Kehutanan Dengan perkiraan produksi kayu di hutan primer yang berubah menjadi hutan sekunder sebanyak 40 m 3 /ha, dan dari hutan sekunder ke hutan rusak diperkirakan volume kayunya adalah setengahnya yaitu 20 m 3 /ha, maka atas dasar perkiraan ini dapat diperoleh angka deplesi sumber daya kayu hutan di Indonesia. Hasil penghitungan deplesi kayu hutan akan disajikan pada bagian berikut dan dibahas lebih dalam pada Bab IV dalam laporan ini. 2

3 3.2. Valuasi Ekonomi terhadap Deplesi dan Degradasi Selanjutnya seperti yang telah dikemukakan di atas untuk sumber daya alam yang mudah diukur kuantitasnya dan diketahui harganya di pasar baik melalui pasar yang sesungguhnya ataupun pasar tiruan (surrogate), valuasinya dapat menggunakan unit rent atau unit price. Untuk fungsi-fungsi hutan yang sifatnya tidak harus melalui penggunaan, valuasinya (non-use value) akan menggunakan benefit transfer, karena penghitungan secara langsung biasanya dengan menggunakan survei lapangan yang memakan banyak biaya dan hal ini tidak mungkin dilakukan sekarang. Data nilai ekonomi fungsi hutan salah satunya diadopsi dari perhitungan Natural Resources Management (NRM) seperti tampak pada Tabel 3.2. Nilai ekonomi dibedakan menjadi nilai guna (use value) dan nilai tanpa penggunaan (non-use value). Selanjutnya nilai guna dibedakan menjadi nilai guna langsung dan nilai guna tidak langsung. Contoh dari nilai guna langsung adalah nilai untuk kayu bulat, kayu bakar, dan hasil hutan lainnya seperti madu dan air. Nilai guna tidak langsung, di antaranya nilai terhadap konservasi lahan dan air, penyerap karbon, pencegah banjir, dan keanekaragaman hayati. Kemudian nilai tanpa penggunaan meliputi nilai pilihan dan nilai keberadaan. Tabel 3.2 menampilkan nilai rata-rata per hektar hutan untuk masing-masing jenis fungsi hutan. Tabel 3.2 Nilai Ekonomi Total Hutan Indonesia (US$/Ha/Thn) Macam nilai Hutan Produksi Hutan primer Hutan sekunder Hutan Konservasi Hutan Lindung Nilai guna 182,50 178,51 285,48 285,48 Nilai Guna langsung 100,20 84,94 123,36 123,36 Kayu 55,68 49,01 55,63 55,63 kayu bakar 0,14 0,14 0,14 0,14 hasil hutan non kayu 43,99 35,40 26,00 26,00 Penggunaan air 0,39 0,39 97,36 97,36 Nilai guna tak langsung 82,29 93,57 106,35 106,35 konservasi tanah dan air 37,97 36,64 37,97 37,97 serapan karbon 6,00 25,00 5,00 5,00 perlindung banjir 23,57 22,40 48,64 48,64 transportasi air 5,30 5,30 5,30 5,30 keanekaragaman hayati 9,45 4,24 9,45 9,45 3

4 Nilai bukan guna 8,76 6,93 16,37 16,37 Nilai pilihan 3,11 2,69 6,92 6,92 Nilai keberadaan 5,65 4,24 9,45 9,45 Nilai ekonomi total 191,25 185,44 301,85 301,85 Note: semua angka dalam US$ at 2000 prices Residual stand damage 0 0, Sumber : Perhitungan nilai ekonomi total dengan menjumlahkan nilai guna langsung hasil perkiraan NRM dan nilai jasa lingkungan yang hilang hasil perkiraan Simangunsong. Nilai kayu di hutan konversi dan hutan lindung ditambahkan oleh M.Suparmoko dengan mengadopsi nilai kayu di hutan hutan primer. Pada Tabel 3.2 di atas ditampilkan nilai hutan menurut penggunannya dan juga dibedakan antara hutan produksi, hutan konservasi dan hutan lindung. Menurut perhitungan NRM, hanya pada hutan produksi yang diberikan nilai untuk kayu dan kayu bakar yang dihasilkannya, sedangkan untuk hutan konservasi dan hutan lindung tidak diperhitungkan nilai kayu dan kayu bakarnya karena dianggap hutan konservasi dan hutan lindung tidak boleh ditebang dan dimbil kayunya. Namun demikian Suparmoko berpendapat bahwa dalam menilai hutan konservasi dan hutan lindung harus memasukkan nilai kayunya juga, sebab kalau ada penebangan kayu di hutan konservasi dan hutan lindung yang hilang tidak hanya jasa lingkungannya tetapi juga kayunya. Dengan logika valuasi/penghitungan demikian maka nilai hutan konservasi dan hutan lindung akan lebih tinggi daripada nilai hutan produksi, baik itu yang merupakan hutan primer maupun hutan sekunder; masing masing dengan urutan berikut: US$ 191,25/Ha/tahun untuk hutan primer, US$ 185,44/Ha/tahun untuk hutan sekunder; US$ 301,85/Ha/tahun untuk hutan konservasi, dan US$ 301,85 untuk hutan lindung. NRM memberikan nilai guna langsung yang lebih tinggi untuk hutan primer dibanding dengan hutan sekunder; tetapi memberikan nilai yang lebih tinggi untuk nilai guna tidak langsung (seperti untuk konservasi tanah dan air konservasi tanah dan air, serapan karbon, perlindung banjir, transportasi air, dan untuk keanekaragaman hayati) untuk hutan sekunder dibanding dengan untuk hutan primer. Hal ini dimengerti karena memang hutan primer biasanya sudah dikatakan sebagai hutan masak (mature) di mana fungsinya sebagai penyedia layanan atau jasa lingkungan lebih rendah dibanding dengan hutan yang sedang dan masih tumbuh menjadi besar. Walaupun demikian hutan primer tetap memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dibanding dengan hutan sekunder, karena sangat tingginya nilai guna dari produk-produk hutan yang ekstraktif seperti kayu dan lain sebagainya. Mengenai perkiraan nilai untuk deplesi dan degradasi lingkungan yang berkaitan dengan sumber daya hutan dilakukan 3 (tiga) macam skenario karena adanya perbedaan metode valuasi dan nilai yang diperoleh. Tiga metode atau pendekatan yang digunakan adalah pertama metode dan nilai yang diberikan 4

5 oleh Natural Resources Management yang merupakan proyek yang dikelola oleh BAPPENAS dan USAID yang kemudian disebut sebagai skenario pertama. Kemudian ada pendekatan yang telah dibuat oleh Bintang Simangunsong yang memberikan nilai yang berbeda terhadap berbagai fungsi hutan, dan ini merupakan skenario kedua. Selanjutnya metode ketiga yaitu pendekatan yang dibuat oleh Suparmoko dkk yang memperkirakan nilai deplesi dan degradasi atas dasar pungutan dana reboisasi dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) sebesar 15% dari nilai hutan secara keseluruhan. Nilai sumber daya hutan atas dasar perkiraan ini adalah 100/15 x (nilai PSDH dan nilai degradasi). Ini merupakan skenario ketiga. Hasil dari masing-masing skenario itu ditampilkan dalam Tabel 3.3 Tabel Skenario I: Valuasi Ekonomi dengan pendekatan NRM Dengan menggunakan pendekatan NRM diperoleh nilai deplesi dan degradasi sumber daya alam seperti tampak dalam Tabel 3.3. Tabel 3.3 Deplesi Sumber Daya Hutan dan Degradasi Lingkungan Hutan Primer ke Sekunder Indonesia Tahun (Rp trilyun) Tahun Deplesi Degradasi Depresiasi ,73 0,67 1, ,71 0,65 1, ,03 0,93 1, ,26 1,14 2, ,18 1,07 2, ,24 1,12 2,36 Total 6,15 5,58 11,73 Sumber: NRM, data diolah Nilai deplesi sumber daya hutan sebagai akibat perubahan hutan dari hutan primer menjadi hutan sekunder diperkirakan meningkat terus sesuai dengan laju penebangan kayu hutan di hutan primer yaitu meningkat dari Rp 0,73 trilyun pada tahun 1998 menjadi Rp 1,24 trilyun pada tahun Sedangkan degradasi lingkungan karena kegiatan kehutanan diperkirakan rata-rata lebih besar dibanding dengan nilai deplesi sumber daya hutan yaitu dari Rp 0,67 pada tahun 1998 menjadi Rp 1,12 trilyun pada tahun Kalau nilai deplesi sumber daya hutan ditambah dengan nilai degradasi lingkungan karena kegiatan kehutanan akan diperoleh nilai depresiasi (penyusutan) pada sektor 5

6 kehutanan dan nilai depresiasi itu mencapai Rp 2,36 trilyun pada tahun Secara keseluruhan dalam waktu 6 tahun dari 1998 sampai dengan 2003 telah terjadi depresiasi pada hutan primer menjadi hutan sekunder sebesar Rp 11,73 trilyun, atau rata-rata sebesar Rp 1,95 trilyun per tahun dalam kurun waktu 6 tahun Selanjutnya Tabel 3.4 menyajikan nilai deplesi sumber daya hutan dan juga nilai degradasi lingkungan karena kegiatan pada hutan sekunder. Tampak bahwa nilai deplesi sumber daya hutan maupun nilai degradasi lingkungan pada hutan sekunder lebih tinggi daripada nilai deplesi dan nilai degradasi lingkungan pada hutan primer. Hal ini karena luas penebangan di hutan sekunder ternyata lebih tinggi daripada luas hutan yang ditebang di hutan primer. Tabel 3.4 Deplesi Sumber Daya Hutan dan Degradasi Lingkungan Hutan Sekunder ke Hutan Rusak Indonesia Tahun (Rp trilyun) Tahun Deplesi Degradasi Depresiasi ,15 1,36 2, ,12 1,33 2, ,62 1,91 3, ,98 2,34 4, ,86 2,20 4, ,95 2,31 4,26 Total 9,68 11,45 21,13 Sumber: NRM, data diolah Di sisi lain nilai deplesi dan nilai degradasi per hektar antara hutan primer dan hutan sekunder tidak jauh berbeda. Akibatnya nilai depresiasi pada hutan sekunder hutan jauh lebih besar dibanding pada hutan primer. Tampak pada tabel 3.4 bahwa baik nilai deplesi dan nilai degradasi hutan dan lingkungan juga meningkat terus dari tahun ke tahun dan secara keseluruhan dalam waktu 6 tahun terjadi deplesi di hutan sekunder sebesar Rp 9,68 trilyun dan degradasi lingkungan sebesar Rp 11,45 trilyun. Akibatnya nilai depresiasi sumber daya dan lingkungan hutan mencapai Rp 21,13 trilyun selama 6 tahun. Nilai ini hampir dua kali lipat nilai depresiasi pada sumber daya hutan primer. 6

7 Selanjutnya dengan menjumlahkan nilai deplesi sumber daya hutan dan nilai degradasi lingkungan kehutanan pada Tabel 3.3 dan Tabel 3.4 akan diperoleh nilai deplesi dan nilai degradasi keseluruhan untuk semua jenis hutan di Indonesia dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2003 seperti tampak dalam Tabel 3.5 di bawah ini. Tabel 3.5 Total Nilai Deplesi dan Degradasi Hutan Indonesia Tahun (Rp trilyun) Tahun Deplesi Degradasi Depresiasi ,88 2,03 3, ,83 1,98 3, ,65 2,84 5, ,24 3,48 6, ,04 3,27 6, ,19 3,43 6,62 Total 15,83 17,03 32,86 Sumber: NRM, data diolah Dalam waktu 6 tahun dari 1998 sampai tahun 2003 telah terjadi depresiasi sumber daya hutan sebesar Rp 32,86 trilyun dengan laju yang semakin meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata sebesar Rp 6,57 trilyun / tahun untuk kurun waktu Dari tabel itu juga terlihat bahwa nilai degradasi lingkungan selalu lebih besar dibanding dengan nilai deplesi sumber daya hutan Skenario II: Valuasi Ekonomi dengan Pendekatan Simangunsong Bintang Simangunsong memperkirakan nilai ekonomi total (TEV) sumber daya hutan mencapai US$ sampai US$ /ha/tahun, atau kalau diambil nilai tengahnya menjadi US$ 1.349,5/Ha/tahun. Apabila hutan ditebang diperkirakan oleh Simangunsong akan terjadi kerusakan seperti dalam Tabel 3.6 di bawah ini. 7

8 Tabel 3.6 Forest Value Of Goods And Services Loss Due To Timber Cutting (US$/Ha) No. Services US$/Ha Non timber Residual stand damage Soil and water conservation service loss Carbon sink service Flood protection service The option values The existence value Total loss Sumber: Bintang Simangunsong Perhitungan Simangunsong hanya mencakup degradasi atau kehilangan nilai barang dan jasa hutan karena penebangan hutan. Nilai kayu yang ditebang belum diberikan nilai. Untuk mendapatkan nilai total deplesi dan degradasi hutan, dalam pendekatan ini akan dijumlahkan antara nilai deplesi atas dasar perhitungan NRM dan nilai degradasi atas dasar perhitungan Simangunsong. Hasil perhitungannya ditampilkan seperti yang tampak dalam Tabel 3.7 di bawah ini untuk nilai deplesi dan nilai degradasi serta penjumlahannya yaitu nilai depresiasi hutan primer. Tabel 3.7 Deplesi Sumber Daya Hutan dan Degradasi Lingkungan Hutan Primer ke Sekunder Indonesia Tahun (Rp trilyun) Tahun Deplesi *) Degradasi Depresiasi ,73 1,50 2, ,71 1,46 2, ,03 2,10 3, ,26 2,58 3, ,18 2,42 3, ,24 2,54 3,78 Total 6,15 12,60 18,75 Sumber: Bintang, data diolah *) Perhitungan dengan data NRM 8

9 Tampak dalam Tabel 3.7 tersebut bahwa nilai depresiasi sumber daya hutan dan lingkungan kehutanan di hutan primer jauh lebih besar yaitu Rp 18,75 trilyun dibanding nilai hasil perkiraan atas dasar nilai hutan NRM yang hanya sebesar Rp 11,73 trilyun. Hal ini terjadi karena Simangunsong memberikan nilai yang jauh lebih tinggi terhadap jasa lingkungan kehutanan khususnya dalam hal hutan sebagai penyerap karbon (carbon sink). Tabel 3.8 menyajikan nilai deplesi dan degradasi kehutanan untuk hutan sekunder yang berubah menjadi hutan yang rusak. Tampak bahwa nilai depresiasi hutan sekunder juga lebih tinggi dibanding dengan nilai depresiasi hutan primer untuk metode penilaian yang sama dan juga pada nilainya sebesar Rp 33,08 trilyun dimana nilai ini jauh lebih besar dibanding nilai yang didasarkan atas penilaian NRM sebesar Rp 21,13 trilyun. Tabel 3.8 Nilai Deplesi Sumber Daya Hutan dan Degradasi Lingkungan Hutan Sekunder ke Hutan Rusak Indonesia Tahun (Rp trilyun) Tahun Deplesi*) Degradasi Depresiasi ,15 2,79 3, ,12 2,71 3, ,62 3,90 5, ,98 4,78 6, ,86 4,50 6, ,95 4,72 6,67 Total 9,68 23,40 33,08 Sumber: Bintang, data diolah *) Perhitungan dengan data NRM Secara keseluruhan depresiasi sumber daya hutan Indonesia berdasarkan perhitungan Simangunsong tampak pada Tabel 3.9. Karena nilai depresiasi merupakan penjumlahan dari nilai deplesi sumber daya hutan dan nilai degradasi lingkungan hutan, maka secara keseluruhan nilai depresiasi hasil perhitungan Simangunsong (skenario II) Rp 51,83 trilyun tetap lebih besar dibanding dengan nilai depresiasi atas dasar perhitungan NRM (skenario I) yaitu sebesar Rp 32,86 trilyun. 9

10 Tabel 3.9 Total Nilai Deplesi Sumber Daya Alam dan Degradasi Lingkungan Hutan Indonesia Tahun (Rp trilyun) Tahun Deplesi Degradasi Depresiasi ,88 4,29 6, ,83 4,17 6, ,65 6,00 8, ,24 7,36 10, ,04 6,92 9, ,19 7,26 10,45 Total 15,83 36,00 51,83 Sumber: Bintang, data diolah *) Perhitungan dengan data NRM Skenario III: Valuasi Ekonomi dengan Pendekatan Suparmoko Satu pendekatan lain adalah dengan menggunakan nilai pungutan hutan sebagai proxy terhadap nilai hutan secara keseluruhan baik itu nilai guna dan nilai tanpa penggunannya. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa nilai pungutan hutan paling tidak sebesar 15% dari nilai dasar pungutan itu yaitu nilai hutan secara keseluruhan. Dengan pendekatan ini maka nilai hutan secara keseluruhan akan dapat diperkirakan. Tabel 3.10 menampilkan rata-rata besarnya beberapa pungutan hutan di Indonesia. Tabel 3.10 Nilai Pungutan Hutan di Indonesia Tahun 2000, (Rp/m 3 ) No. Pungutan Rp/m 3 Rp/Ha 1 PSDH Dana Reboisasi Dana Pihak Ketiga Total Pungutan Sumber: Departemen Kehutanan dan Dinas Kehutanan Kabupaten Berau. 10

11 Dengan pungutan Provisi Sumber Daya Hutan sebesar Rp per meter kubik, nilai dana reboisasi sebesar US$ atau Rp ,- 1 per m 3 dan dana pihak ketiga seperti yang dipraktekkan di Kabupaten Berau sebesar Rp 5.000,-/m 3. Karena pada umumnya nilai deplesi sumber daya hutan dan nilai degradasi lingkungan dinyatakan dalam satuan luas hutan (Ha), maka nilai-nilai pungutan di atas dikonversi dalam kolom terakhir dari Tabel Karena diperkirakan nilai pungutan sebesar 15% dari produk dan jasa hutan, maka nilai total produk dan jasa hutan adalah 100/15xRp = Rp /ha/th atau sebesar US$ 5,947/ha/th. Nilai ini jauh lebih besar dibanding dengan nilai hasil perkiraan NRM. NRM menilai kerusakan akibat perubahan dari hutan primer ke hutan sekunder sebesar Rp /ha/tahun, dan dari hutan sekunder ke hutan rusak senilai Rp /ha/tahun. Nilai pungutan yang berupa PSDH dan nilai sumbangan pihak ketiga dapat diartikan sebagai pungutan terhadap eksploitasi hasil hutan khususnya kayu hutan, sedangkan dana reboisasi dapat diartikan sebagai nilai yang ada kaitannya dengan kerusakan lingkungan (degradasi lingkungan). Oleh karena itu dengan menggunakan dasar pungutan PSDH dan dana reboisasi, perkiraan nilai deplesi dan degradasinya untuk hutan primer menjadi hutan sekunder dapat dilihat pada Tabel Dengan metode penghitungan nilai deplesi sumber daya hutan dan nilai degradasi hutan atas dasar nilai pungutan di sektor kehutanan yang dikenakan, terlihat bahwa nilai depresiasi sumber daya hutan dan lingkungan pada hutan primer yang dieksploitasi menjadi hutan sekunder menjadi jauh lebih tinggi daripada hasil perkiraan atas nilai ekonomi NRM dan nilai ekonomi Simangunsong. Tabel 3.11 Deplesi Sumber Daya Hutan dan Degradasi Lingkungan Hutan Primer ke Sekunder Tahun (Rp trilyun) Tahun Deplesi Degradasi Depresiasi ,27 5,77 8, ,50 6,35 8, ,75 6,98 9, ,02 7,68 10, ,33 8,45 11, ,66 9,29 12,95 Total 17,53 44,53 62,06 Sumber: Suparmoko, data diolah 1 Dengan asumsi nilai tukar Rp per US$ 1 pada tahun

12 Dalam penghitungan pada hutan primer selama 6 tahun didapatkan angka deplesi total sebesar 17,53 trilyun, angka deplesi hutan primer ini lebih besar dibandingkan penghitungan pada skenario I dan II yaitu sebesar 6,15 trilyun. Begitu juga untuk nilai degradasi total pada hutan primer didapatkan angka sebesar 44,53 trilyun, sehingga secara keseluruhan didapatkan angka depresiasi terhadap hutan primer mulai tahun 1998 hingga 2003 yaitu sebesar 62,06 trilyun. Demikian pula hasil penghitungan untuk nilai deplesi dan nilai degradasi hutan sekunder ke hutan rusak,. Hasil perkiraan atas dasar nilai pungutan kehutanan juga jauh lebih besar. (Lihat Tabel 3.12). Tabel.3.12 Nilai Deplesi Sumber Daya Hutan dan Degradasi Lingkungan Hutan Sekunder ke Hutan Rusak Tahun (Rp trilyun) Tahun Deplesi Degradasi Depresiasi ,22 10,72 14, ,64 11,79 16, ,11 12,97 18, ,62 14,26 19, ,18 15,69 21, ,80 17,26 24,06 Total 32,56 82,70 115,26 Sumber: Suparmoko, data diolah. Sebagai hasil akhir, estimasi nilai depresiasi sumber daya hutan Indonesia menjadi jauh lebih besar daripada nilai-nilai depresiasi sumber daya hutan yang dihitung menggunakan nilai hasil estimasi NRM dan Bintang Simangunsong. Estimasi depresiasi total ditampilkan pada Tabel 3.13 berikut ini: 12

13 Tabel 3.13 Total Nilai Deplesi Sumber Daya Alam dan Degradasi Lingkungan Hutan Indonesia Tahun (Rp trilyun) Tahun Deplesi Degradasi Depresiasi ,49 16,49 22, ,14 18,14 25, ,86 19,95 27, ,64 21,94 30, ,51 24,14 33, ,46 26,55 37,01 Total 50,09 127,23 177,32 Sumber: Suparmoko, data diolah 3.3 Ikhtisar Perhatikan hasil rekapitulasi nilai deplesi, nilai degradasi dan nilai depresiasi sumber daya hutan Indonesia hasil ke tiga skenario yang ditampilkan pada Tabel Tabel Tim Peneliti Kajian Analisis Kontribusi Sektor Kehutanan kepada Pembangunan Naional Indonesia yakin bahwa cara atau metode pendekatan yang terakhir yang lebih realistis walaupun tidak memperinci secara detail nilai-nilai sumber daya alam dan lingkungan untuk sumber daya kehutanan yang dikelola oleh Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Implikasi dari nilai deplesi, degradasi dan depresiasi sumber daya hutan itu adalah bahwa sektor kehutanan memerlukan dana untuk rehabilitasi hutan sebesar nilai depresiasinya. Seperti dalam hal sumber daya modal buatan manusia, depresiasi atau penyusutan diartikan sebagai penyisihan dana untuk keperluan investasi kembali pada saat umur teknis barang modal tersebut sudah habis. Pada saat itu nilai total dana hasil penyusutan dapat digunakan untuk membeli barang modal baru yang sejenis dengan barang modal yang disusut nilainya. Demikian pula untuk sumber daya hutan, hilangnya nilai hutan sebesar nilai depresiasi sumber daya hutan dan lingkungan harus digantikan dengan sumber daya hutan baru yang sesuai dengan hutan dan jasa-jasanya yang hilang. Siapa yang harus membayar nilai depresiasi tersebut? Nilai depresiasi tersebut sering pula disebut dengan royalti yaitu pungutan yang dikenakan oleh pemerintah kepada semua pemegang HPH atau sejenisnya yang 13

14 mengeksploitasi sumber daya hutan. Dengan kata lain royalti tersebut bisa dalam bentuk pungutan retribusi, PSDH ataupun dana reboisasi. Pada Tabel 3.14 berikut ini disajikan perbandingan nilai deplesi sumber daya hutan berdasarkan estimasi dari ketiga skenario. Tabel 3.14 Deplesi Sumber Daya Hutan Indonesia, (3 skenario) Tahun Skenario I Skenario II Skenario III ,88 1,88 6, ,83 1,83 7, ,65 2,65 7, ,24 3,24 8, ,04 3,04 9, ,19 3,19 10,46 Total 15,83 15,83 50,09 Sumber: Tabel 3.5, Tabel 3.9, Tabel 3.13 Catatan: Nilai deplesi pada skenario II merupakan asumsi dengan menggunakan estimasi nilai deplesi yang dilakukan oleh NRM Skenario III 8 Persentase Skenario I & Skenario II Tahun Gambar 3.1 Deplesi Sumber Daya Hutan Indonesia,

15 Tabel 3.15 menyajikan angka degradasi sumber daya hutan berdasarkan estimasi ketiga skenario. Pada tabel tersebut terlihat jelas bahwa hasil perhitungan degradasi mulai dari skenario I hingga skenario III angkanya semakin besar, terutama pada skenario III angka yang muncul cukup besar dibanding kedua skenario lainnya. Tabel 3.15 Degradasi Sumber Daya Hutan Indonesia, (3 skenario) Tahun Skenario I Skenario II Skenario III ,03 4,29 16, ,98 4,17 18, ,84 6,00 19, ,48 7,36 21, ,27 6,92 24, ,43 7,26 26,55 Total 17,03 36,00 127,23 Sumber: Tabel 3.5, Tabel 3.9, Tabel 3.13 Untuk lebih jelasnya maka angka pada tabel 3.15 tersebut diterjemahkan dalam bentuk grafik seperti yang disajikan pada Gambar 3.2 di bawah ini: 30 Persentase Skenario III Skenario II Skenario I Tahun Gambar 3.2 Degradasi Sumber Daya Hutan Indonesia,

16 Berikutnya Tabel 3.16 menyajikan pula secara bersamaan ketiga skenario estimasi terhadap depresiasi sumber daya hutan di Indonesia. Tabel 3.16 Depresiasi Sumber Daya Hutan Indonesia, (3 skenario) Tahun Skenario I Skenario II Skenario III ,91 6,17 22, ,81 6,00 25, ,49 8,65 27, ,72 10,60 30, ,31 9,96 33, ,62 10,45 37,01 Total 32,86 51,83 177,32 Sumber: Tabel 3.5, Tabel 3.9, Tabel 3.13 Dari skenario I diperoleh angka depresiasi sumber daya hutan dan lingkungan yang terlalu rendah, dan tampaknya kurang realistis, karena dalam waktu 6 tahun diperkirakan hanya terjadi depresiasi sumber daya hutan sebesar Rp trilyun, padahal hutan yang ditebang seluas Ha pada periode waktu yang sama, atau rata-rata hanya sebesar Rp per hektar. Nilai ini dianggap kurang wajar jika dibanding dengan nilai pungutan untuk dana reboisasi saja sudah sebesar U$ 16 per m 3 atau sekitar US$ 640 per hektar yang kalau dinyatakan dalam nilai rupiah sebesar Rp ,- Dalam skenario II di mana nilai penghitungan depresiasi atas dasar pendekatan nilai Simangunsong berada di posisi tengah yaitu sebesar Rp 51,83 trilyun untuk periode waktu 6 tahun Dengan luas tebang sebesar Ha untuk periode waktu yang sama, maka nilai depresiasi hutan dan lingkungan per hektar sebesar Rp ,60. Kemudian dalam Skenario III di mana nilai depresiasi diperkirakan atas dasar nilai pungutan kehutanan yang berlaku saat ini, nilai depresiasinya adalah yang paling tinggi yaitu sebesar Rp 177,32 trilyun untuk periode waktu 6 tahun dari 1998 sampai dengan Dengan luas tebang yang sama ( Ha) selama periode tersebut diperoleh nilai depresiasi hutan sebesar Rp ,62 per hektar. 16

17 Untuk lebih jelasnya angka-angka depresiasi pada Tabel 3.16 ditampilkan pula dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 3.3 di bawah ini. 40,00 Persentase 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 Skenario III Skenario II 5,00 Skenario I 0, Tahun Gambar 3.3 Depresiasi Sumber Daya Hutan Indonesia, Namun demikian angka-angka tersebut masih merupakan angka potensial. Untuk menjadi angka aktual masih memerlukan perjuangan, karena nilai royalti tersebut harus diperjuangkan dan menyangkut pembagian rejeki berbagai pihak. Tentu akan ada saling tarik menarik antar berbagai pihak yang berkepentingan. Misalnya apakah para pengusaha atau pemegang HPH akan rela begitu saja melepas sebagian dari keuntungan yang semula diterima dalam jumlah yang lebih banyak yang akan dikurangi dengan tambahan royalti yang tentu akan menurunkan jumlah penerimaan keuntungannya. 17

KONTRIBUSI HIJAU SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB DAN PEMBANGUNAN REGIONAL KABUPATEN BATANG HARI PROVINSI JAMBI 1

KONTRIBUSI HIJAU SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB DAN PEMBANGUNAN REGIONAL KABUPATEN BATANG HARI PROVINSI JAMBI 1 KONTRIBUSI HIJAU SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB DAN PEMBANGUNAN REGIONAL KABUPATEN BATANG HARI PROVINSI JAMBI 1 Oleh: Yugi Setyarko *) 1 Disarikan dari hasil penelitian, Penyusunan Kontribusi Hijau Sektor

Lebih terperinci

Pengertian Produk Domestik Bruto

Pengertian Produk Domestik Bruto KONTRIBUSI KEHUTANAN TERHADAP PRODUK DOMESTIK BRUTO 1 Dodik Ridho Nurrochmat 2 Pengertian Produk Domestik Bruto Neraca pendapatan nasional (national income accounting) merupakan salah satu inovasi penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi sumber daya alam Indonesia sangat melimpah, antara lain potensi

BAB I PENDAHULUAN. Potensi sumber daya alam Indonesia sangat melimpah, antara lain potensi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi sumber daya alam Indonesia sangat melimpah, antara lain potensi sumber daya alam dari kehutanan. Hasil hutan dapat dimanfaatkan sebesarbesarnya untuk kemakmuran

Lebih terperinci

PDRB HIJAU (KONSEP DAN METODOLOGI )

PDRB HIJAU (KONSEP DAN METODOLOGI ) PDRB HIJAU (KONSEP DAN METODOLOGI ) Oleh: M. Suparmoko Materi disampaikan pada Pelatihan Penyusunan PDRB Hijau dan Perencanaan Kehutanan Berbasis Penataan Ruang pada tanggal 4-10 Juni 2006 1 Hutan Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam lain yang terdapat di atas maupun di bawah tanah. Definisi hutan

Lebih terperinci

STIE Putra Perdana Indonesia. STIE Putra Perdana. Indonesia. STIE Putra Perdana. Indonesia. Indonesia

STIE Putra Perdana Indonesia. STIE Putra Perdana. Indonesia. STIE Putra Perdana. Indonesia. Indonesia KONTRIBUSI HIJAU SEKTOR KEHUTANAN KABUPATEN BLORA PROPINSI JAWA TENGAH TAHUN 2002 2004 = Oleh : Dr. M. Suparmoko., M.A. Gathot Widyantara., S.E., M.M. Dosen tetap SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI PUTRA PERDANA

Lebih terperinci

MENENTUKAN BESARNYA NILAI SEWA PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN M. Suparmoko Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Budi Luhur

MENENTUKAN BESARNYA NILAI SEWA PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN M. Suparmoko Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Budi Luhur MENENTUKAN BESARNYA NILAI SEWA PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN M. Suparmoko Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Budi Luhur Email: msuparmoko@yahoo.com Silvana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan salah satu kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire, yang mempunyai fungsi utama sebagai

Lebih terperinci

3.5.4 Analisis Skala Optimal Prosedur Analisis

3.5.4 Analisis Skala Optimal Prosedur Analisis DAFTAR ISI COVER HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii PRAKATA... iv DAFTAR ISI... x DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xv ABSTRACT... xvii INTISARI......

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Ketiadaan hak kepemilikan (property right) pada sumberdaya alam mendorong terjadinya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Permasalahan yang sering dihadapi dalam perencanaan pembangunan adalah adanya ketimpangan dan ketidakmerataan dalam pembangunan. Salah satu penyebabnya adalah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, 19 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Penelitian telah dilaksanakan di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur pada bulan April Mei 2013. Peta lokasi penelitian

Lebih terperinci

Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan

Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan Prof. Dr. Singgih Riphat Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan PENYUMBANG EMISI CO 2 TERBESAR DI DUNIA Indonesia menempati urutan ke 16 dari 25 negara penyumbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan memiliki peranan penting bagi kehidupan manusia, baik yang berupa manfaat ekonomi secara langsung maupun fungsinya dalam menjaga daya dukung lingkungan. Hutan

Lebih terperinci

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI Oleh Ir. H. BUDIDAYA, M.For.Sc. (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi) Disampaikan pada Focus Group

Lebih terperinci

Economic value analysis of mangrove forest ecosystems in Sorong, West Papua Province

Economic value analysis of mangrove forest ecosystems in Sorong, West Papua Province Aquatic Science & Management, Edisi Khusus 2, 39-43 (Oktober 2014) Pascasarjana, Universitas Sam Ratulangi http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jasm/index ISSN 2337-4403 e-issn 2337-5000 jasm-pn00068

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN I. 1. Perumusan Masalah

BAB I. PENDAHULUAN I. 1. Perumusan Masalah BAB I. PENDAHULUAN I. 1. Perumusan Masalah Hutan menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan wilayah yang terdiri dari tegakan pohon dan faktor-faktor abiotis seperti, air, udara, tanah,

Lebih terperinci

Lembar Fakta Kurva Biaya Pengurangan Emisi GRK (Gas Rumah Kaca) Indonesia

Lembar Fakta Kurva Biaya Pengurangan Emisi GRK (Gas Rumah Kaca) Indonesia Lembar Fakta Kurva Biaya Pengurangan Emisi GRK (Gas Rumah Kaca) Indonesia Keenam sektor; Kehutanan, pertanian, pembangkit listrik, transportasi, bangunan dan semen bersama-sama dengan emisi yang berhubungan

Lebih terperinci

NILAI HASIL HUTAN YANG HILANG BILA TERJADI PERUBAHAN FUNGSI HUTAN LINDUNG

NILAI HASIL HUTAN YANG HILANG BILA TERJADI PERUBAHAN FUNGSI HUTAN LINDUNG NILAI HASIL HUTAN YANG HILANG BILA TERJADI PERUBAHAN FUNGSI HUTAN LINDUNG Syahrir Yusuf Laboratorium Politik, Ekonomi dan Sosial Kehutanan Fakultas Kehutanan Unmul, Samarinda ABSTRACT. Lost Value of Forest

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pengolahan kayu merupakan salah satu sektor penunjang perekonomian di Provinsi Jawa Timur. Hal ini terlihat dengan nilai ekspor produk kayu dan barang dari

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan metode valuasi ekonomi. Konsep metode valuasi ekonomi ini merupakan suatu konsep penghitungan digunakan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BARITO UTARA, Menimbang : a. bahwa semangat penyelenggaraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

Kajian Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sektor Kehutanan 2015

Kajian Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sektor Kehutanan 2015 Ringkasan Eksekutif Kajian Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sektor Kehutanan 2015 Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terluas di dunia, dan sebagian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (DJR/DR) dan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH/IHH). Penerimaan ini

I. PENDAHULUAN. (DJR/DR) dan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH/IHH). Penerimaan ini 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam tiga dasawarsa terakhir sektor kehutanan memberikan kontribusi penting bagi perekonomian Indonesia. Selama periode tahun 1980-2005 penerimaan dari sektor kehutanan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

PDRB HIJAU SEKTOR KEHUTANAN MELALUI PENDEKATAN NILAI EKONOMI JASA LINGKUNGAN. Emi Roslinda

PDRB HIJAU SEKTOR KEHUTANAN MELALUI PENDEKATAN NILAI EKONOMI JASA LINGKUNGAN. Emi Roslinda PDRB HIJAU SEKTOR KEHUTANAN MELALUI PENDEKATAN NILAI EKONOMI JASA LINGKUNGAN Emi Roslinda Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak Email : eroslinda71@gmail.com ABSTRAK Secara konvensional

Lebih terperinci

BRIEF Volume 11 No. 01 Tahun 2017

BRIEF Volume 11 No. 01 Tahun 2017 PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN POLICY BRIEF Volume 11 No. 01 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai fungsi produksi, perlindungan dan pelestarian alam. Luas hutan

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai fungsi produksi, perlindungan dan pelestarian alam. Luas hutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam daerah pantai payau yang mempunyai fungsi produksi, perlindungan dan pelestarian alam. Luas hutan mangrove di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia. Dalam pelaksanaan proses pembangunan, manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan

Lebih terperinci

Pengaruh Pasar Terhadap Industri Kehutanan Nasional

Pengaruh Pasar Terhadap Industri Kehutanan Nasional Pengaruh Pasar Terhadap Industri Kehutanan Nasional Herry Suhermanto *) I Pendahuluan Hutan merupakan elemen alam yang dapat diperbaharui (renewable). Oleh karenanya, pemerintah memandang hutan sebagai

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

PEMERINTAH KABUPATEN POSO PEMERINTAH KABUPATEN POSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN POSO NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PEMANFAATAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI POSO, Menimbang : a. bahwa sumber

Lebih terperinci

Mencegah Kerugian Negara Di Sektor Kehutanan: Sebuah Kajian Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Penatausahaan Kayu

Mencegah Kerugian Negara Di Sektor Kehutanan: Sebuah Kajian Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Penatausahaan Kayu Mencegah Kerugian Negara Di Sektor Kehutanan: Sebuah Kajian Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Penatausahaan Kayu Kajian Sistem Pengelolaan PNBP Sektor Kehutanan, Tahun 2015 Direktorat Penelitian

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

BAB II. PERENCANAAN KINERJA

BAB II. PERENCANAAN KINERJA BAB II. PERENCANAAN KINERJA A. Rencana Strategis Organisasi Penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Sumatera Selatan telah mengalami perubahan paradigma, yaitu dari pengelolaan yang berorientasi pada

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI, PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. yang yang hanya memiliki luas Ha sampai Ha saja.

IV. GAMBARAN UMUM. yang yang hanya memiliki luas Ha sampai Ha saja. 43 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Produksi Kayu Bulat Produksi kayu bulat Indonesia saat ini jumlahnya terus menurun. Pada tahun 2009 produksi kayu bulat dari hutan alam hanya mencapai rata-rata sekitar 5 juta

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Peran dan fungsi jasa lingkungan ekosistem hutan makin menonjol dalam menopang kehidupan untuk keseluruhan aspek ekologis, ekonomi dan sosial. Meningkatnya perhatian terhadap

Lebih terperinci

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tropis merupakan sumber utama kayu dan gudang dari sejumlah besar keanekaragaman hayati dan karbon yang diakui secara global, meskupun demikian tingginya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN Noviana Khususiyah, Subekti Rahayu, dan S. Suyanto World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia jugalah yang melakukan kerusakan di muka bumi ini dengan berbagai

BAB I PENDAHULUAN. manusia jugalah yang melakukan kerusakan di muka bumi ini dengan berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lingkungan yang bersih adalah dambaan setiap insan. Namun kenyataannya, manusia jugalah yang melakukan kerusakan di muka bumi ini dengan berbagai macam kegiatan yang

Lebih terperinci

Silvia Irawan, Luca Tacconi, Irene Ring

Silvia Irawan, Luca Tacconi, Irene Ring Silvia Irawan, Luca Tacconi, Irene Ring Meneliti struktur insentif dari pemangku kepentingan pemerintah untuk memahami penyebab deforestasi dan mengembangkan sebuah kebijakan untuk merubah perilaku stakeholders

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 27 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Hutan alam dan hutan tanaman industri adalah penawaran utama bahan baku industri pengolahan kayu primer, yaitu industri kayu lapis, industri kayu gergaji

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang I. PENDAHUL'CJAN 1.1. Latar Belakang Selama tiga dekade terakhir, sumber daya hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional, yang memberi dampak positif terhadap peningkatan devisa, penyerapan

Lebih terperinci

NILAI EKONOMI AIR HUTAN LINDUNG SUNGAI WAIN DI BALIKPAPAN KALIMANTAN TIMUR

NILAI EKONOMI AIR HUTAN LINDUNG SUNGAI WAIN DI BALIKPAPAN KALIMANTAN TIMUR NILAI EKONOMI AIR HUTAN LINDUNG SUNGAI WAIN DI BALIKPAPAN KALIMANTAN TIMUR Syahrir Yusuf Laboratorium Politik, Ekonomi dan Sosial Kehutanan Fahutan Unmul, Samarinda ABSTRACT. Value of Water Economic of

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN tentang Kehutanan, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa

BAB I PENDAHULUAN tentang Kehutanan, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan kumpulan pepohonan yang tumbuh rapat beserta tumbuhtumbuhan memanjat dengan bunga yang beraneka warna yang berperan sangat penting bagi kehidupan di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang tinggi. Apabila dimanfaatkan secara bijaksana akan

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang tinggi. Apabila dimanfaatkan secara bijaksana akan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan tropis Indonesia merupakan kekayaan alam yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Apabila dimanfaatkan secara bijaksana akan terjamin kelestariannya dan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 18 TAHUN 2002 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN DALAM KAWASAN HUTAN (IPHHDKH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUARO

Lebih terperinci

AKUNTING SUMBERDAYA ALAM LAHAN DAN LINGKUNGAN: KABUPATEN KUTAI TIMUR

AKUNTING SUMBERDAYA ALAM LAHAN DAN LINGKUNGAN: KABUPATEN KUTAI TIMUR J. Tek. Ling Vol. 12 No. 2 Hal. 217-223 Jakarta, Mei 2011 ISSN 1441-318X AKUNTING SUMBERDAYA ALAM LAHAN DAN LINGKUNGAN: KABUPATEN KUTAI TIMUR Rony M. Bishry Peneliti di Pusat Teknologi Lingkungan Badan

Lebih terperinci

KODEFIKASI RPI 25. Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan

KODEFIKASI RPI 25. Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan KODEFIKASI RPI 25 Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan Lembar Pengesahan Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan 851 852 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor sosial budaya dan lingkungan. Salah satu sektor lingkungan yang terkait

BAB I PENDAHULUAN. sektor sosial budaya dan lingkungan. Salah satu sektor lingkungan yang terkait BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah di Indonesia sejak adanya otonomi daerah harus terintegrasi antar berbagai sektor. Pembangunan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini 57 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Hutan Indonesia Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini mencapai angka 120,35 juta ha atau sekitar 61 % dari luas wilayah daratan Indonesia.

Lebih terperinci

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun budaya. Namun sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, tekanan terhadap sumberdaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan. Kegiatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan adalah sumberdaya alam yang siap dikelola dan dapat memberikan manfaat ganda bagi umat manusia baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi. Manfaat hutan

Lebih terperinci

Memperhatikan pokok-pokok dalam pengelolaan (pengurusan) hutan tersebut, maka telah ditetapkan Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan Sumatera Selatan.

Memperhatikan pokok-pokok dalam pengelolaan (pengurusan) hutan tersebut, maka telah ditetapkan Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan Sumatera Selatan. BAB II. PERENCANAAN KINERJA A. Rencana Strategis Organisasi Penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Sumatera Selatan telah mengalami perubahan paradigma, yaitu dari pengelolaan yang berorientasi pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi prioritas dunia saat ini. Berbagai skema dirancang dan dilakukan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik dan Persepsi Masyarakat 5.1.1. Karakteristik dan Persepsi Responden Pantai Indah Kapuk Terhadap Lingkungan Hutan Angke Kapuk Jumlah responden untuk studi CVM

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkebunan merupakan salah satu subsektor strategis yang secara ekonomis, ekologis dan sosial budaya memainkan peranan penting dalam pembangunan nasional. Sesuai Undang-Undang

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAPORAN KEUANGAN PEMANFAATAN HUTAN PRODUKSI DAN PENGELOLAAN HUTAN (DOLAPKEU PHP2H)

PEDOMAN PELAPORAN KEUANGAN PEMANFAATAN HUTAN PRODUKSI DAN PENGELOLAAN HUTAN (DOLAPKEU PHP2H) PEDOMAN PELAPORAN KEUANGAN PEMANFAATAN HUTAN PRODUKSI DAN PENGELOLAAN HUTAN (DOLAPKEU PHP2H) Pelatihan APHI 18 MEI 2011 Dwi Martani & Taufik Hidayat Staf Pengajar Departemen Akuntansi FEUI Tim Penyusun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) TINJAUAN PUSTAKA Definisi Hutan Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undangundang tersebut, hutan adalah suatu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN - 1 - PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT DAN BIAYA SOSIAL TERHADAP PENGELOLAAN HASIL HUTAN DI PROVINSI ACEH

ANALISIS MANFAAT DAN BIAYA SOSIAL TERHADAP PENGELOLAAN HASIL HUTAN DI PROVINSI ACEH ISSN 2302-0172 8 Pages pp. 37-44 ANALISIS MANFAAT DAN BIAYA SOSIAL TERHADAP PENGELOLAAN HASIL HUTAN DI PROVINSI ACEH Finna Okta Akriana 1, Abubakar Hamzah 2, Muhammad Nasir 3 1) Magister Ilmu Ekonomi Program

Lebih terperinci

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan ISSN : 085-787X Policy Daftar Isi Volume 4 No. Tahun 010 Profil Emisi Sektor Kehutanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 50 TAHUN 2001 T E N T A N G IZIN PEMANFAATAN HUTAN (IPH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Iman Santosa T. (isantosa@dephut.go.id) Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan ISSN : 2085-787X Volume 5 No. 2 Tahun 2011 Transfer Fiskal antara Pemerintah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR : 53 TAHUN 2001 T E N T A N G IJIN USAHA HUTAN TANAMAN (IHT) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

Erwinsyah, Harianto, Bonar M. Sinaga & Bintang C.H. Simangunsong 1

Erwinsyah, Harianto, Bonar M. Sinaga & Bintang C.H. Simangunsong 1 DAMPAK KEBIJAKAN PROVISI SUMBERDAYA HUTAN DAN DANA REBOISASI TERHADAP KESEJAHTERAAN ( Impact of Forest Royalties and Reforestation Fund to the Welfare) 2, 1 2 4 Erwinsyah, Harianto, Bonar M. Sinaga & Bintang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Hutan tropis ini merupakan habitat flora dan fauna (Syarifuddin, 2011). Menurut

Lebih terperinci

LESTARI PAPER NO. 03 PERAN HPH DALAM MENJAGA KEBERLANJUTAN HUTAN ALAM. Nana Suparna

LESTARI PAPER NO. 03 PERAN HPH DALAM MENJAGA KEBERLANJUTAN HUTAN ALAM. Nana Suparna LESTARI PAPER NO. 03 PERAN HPH DALAM MENJAGA KEBERLANJUTAN HUTAN ALAM Nana Suparna Daftar Isi: 1. Pendahuluan 2. Prospek Hutan Produksi 3. Perkembangan Usaha IUPHHK-HA 4. Penutup 1 1 2-5 5-6 Publikasi

Lebih terperinci

INDIKASI KERUGIAN NEGARA AKIBAT DEFORESTASI HUTAN. Tim Penulis: Egi Primayogha Firdaus Ilyas Siti Juliantari Rachman

INDIKASI KERUGIAN NEGARA AKIBAT DEFORESTASI HUTAN. Tim Penulis: Egi Primayogha Firdaus Ilyas Siti Juliantari Rachman INDIKASI KERUGIAN NEGARA AKIBAT DEFORESTASI HUTAN Tim Penulis: Egi Primayogha Firdaus Ilyas Siti Juliantari Rachman INDIKASI KERUGIAN NEGARA AKIBAT DEFORESTASI HUTAN Hasil Pemantauan di Sektor Kehutanan

Lebih terperinci

KAJIAN SISTEM DAN KEBUTUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN

KAJIAN SISTEM DAN KEBUTUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN KAJIAN SISTEM DAN KEBUTUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN Oleh : Rachman Effendi 1) ABSTRAK Jumlah Industri Pengolahan Kayu di Kalimantan Selatan tidak sebanding dengan ketersediaan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di tiga kelurahan (Kelurahan Hinekombe, Kelurahan Sentani Kota, dan Kelurahan Dobonsolo) sekitar kawasan CAPC di Distrik

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekonomi tidak akan pernah ada tanpa sumberdaya alam dan lingkungan karena setiap aktivitas ekonomi pastilah bersentuhan dengan salah satu atau bahkan keduanya sekaligus.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di dunia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Hutan adalah suatu kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Hutan adalah suatu kesatuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI BERAU NOMOR 30 TAHUN 2005 TENTANG

PERATURAN BUPATI BERAU NOMOR 30 TAHUN 2005 TENTANG PERATURAN BUPATI BERAU NOMOR 30 TAHUN 2005 TENTANG PEMBERIAN IZIN PEMANFAATAN KAYU (IPK) PADA AREAL PENGGUNAAN LAIN (APL) ATAU KAWASAN BUDIDAYA NON KEHUTANAN (KBNK) KABUPATEN BERAU BUPATI BERAU Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 17 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN (IUPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUARO JAMBI, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Riau dengan luas 94.560 km persegi merupakan Provinsi terluas di pulau Sumatra. Dari proporsi potensi lahan kering di provinsi ini dengan luas sebesar 9.260.421

Lebih terperinci

lmplikasi Kebijakan Kenaikan DR.dan PSDH terhadap Laba Pengusaha Hutan Alam dan PNBP Sektor Kehutanan Ringkasan Rekomendasi

lmplikasi Kebijakan Kenaikan DR.dan PSDH terhadap Laba Pengusaha Hutan Alam dan PNBP Sektor Kehutanan Ringkasan Rekomendasi lmplikasi Kebijakan Kenaikan DR.dan PSDH terhadap Laba Pengusaha Hutan Alam dan PNBP Sektor Kehutanan Satria Astana, Soenarno, dan OK Karyono Ringkasan Rekomendasi 1. Kebijakan kenaikan DR dan PSDH sebagai

Lebih terperinci

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)

Lebih terperinci

Ekspansi Industri Pulp: Cara Optimis Penghancuran Hutan Alam

Ekspansi Industri Pulp: Cara Optimis Penghancuran Hutan Alam Ekspansi Industri Pulp: Cara Optimis Penghancuran *Contoh Kasus RAPP dan IKPP Ringkasan Sampai akhir Desember 27 realisasi pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) hanya 33,34 persen dari total 1.37 juta

Lebih terperinci

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah Negara Indonesia yang terdiri dari 17.058 pulau itu memiliki keanekaragaman tumbuhan, hewan jasad renik yang lebih besar daripada negara-negara tetangganya.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 51 TAHUN 2001 TENTANG IJIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Konversi Lahan Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh

II. TINJAUAN PUSTAKA Konversi Lahan Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konversi Lahan Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa

Lebih terperinci

Analisis Keuangan Taman Nasional di Indonesia:

Analisis Keuangan Taman Nasional di Indonesia: Analisis Keuangan Taman Nasional di Indonesia: Pendekatan Inovatif Penggalangan Dana Tambahan Konservasi dan Ide Penerapan Desentralisasi Sistem Pembiayaan Taman Nasional Oleh: Elfian Effendi NRM/EPIQ

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG Menimbang : a. bahwa dalam penjelasan pasal 11 ayat (1)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya hutan pada masa lalu banyak menimbulkan kerugian baik secara sosial, ekonomi, dan ekologi. Laju angka kerusakan hutan tropis Indonesia pada

Lebih terperinci

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan dan Hutan Gambut di Area PT Hutan Amanah Lestari Barito Selatan dan Barito Timur

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan dan Hutan Gambut di Area PT Hutan Amanah Lestari Barito Selatan dan Barito Timur Konservasi dan Rehabilitasi Lahan dan Hutan Gambut di Area PT Hutan Amanah Lestari Barito Selatan dan Barito Timur Program Skala Kecil ICCTF Tahun 2016 Universitas Muhammadiyah Palangkaraya Mitigasi Berbasis

Lebih terperinci

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Implikasi Kebijakan

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Implikasi Kebijakan Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor; Telp.: 0251 8633944; Fax: 0251 8634924; Email:

Lebih terperinci