TATA LAKSANA TERKINI KOINFEKSI HIV DAN HEPATITIS C. Restuti S, Endang, Franciscus G, Tambar K, Armon R, Yosia G, Renti W

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TATA LAKSANA TERKINI KOINFEKSI HIV DAN HEPATITIS C. Restuti S, Endang, Franciscus G, Tambar K, Armon R, Yosia G, Renti W"

Transkripsi

1 TATA LAKSANA TERKINI KOINFEKSI HIV DAN HEPATITIS C Restuti S, Endang, Franciscus G, Tambar K, Armon R, Yosia G, Renti W Divisi Penyakit Tropik Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU RSUP. Haji Adam Malik PENDAHULUAN Hepatitis C merupakan masalah kesehatan yang serius di Indonesia dengan angka prevalensi dan komplikasi yang cukup tinggi. Diagnosis dan tatalaksana pasien hepatitis C dengan tepat dan menyeluruh dapat menekan angka morbiditas dan mortalitas secara bermakna. Meskipun begitu, banyak hambatan yang ditemukan sehubungan dengan tata laksana pasien hepatitis C, baik dari segi pasien sendiri seperti kepatuhan minum obat dan mahalnya biaya pengobatan, maupun dari segi tenaga kesehatan berupa masih tidak meratanya pengetahuan mengenai hepatitis C bagi para dokter, tenaga medis serta instansi terkait dalam penanganan kasus hepatitis C di Indonesia. Seiring dengan meningkatnya insidens HIV maka koinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan virus hepatitis C telah menjadi masalah yang semakin banyak dijumpai di dunia. Selama lebih dari satu dekade, pengobatan untuk hepatitis C adalah kombinasi peginterferon dan ribavirin (PegIFN/RBV), akan tetapi kombinasi ini dikaitkan dengan rendahnya respon imunologis menetap/sustained Virologic Response (SVR) terutama pada koinfeksi HIV dan hepatitis C. 1 Kemajuan pesat obat anti virus hepatitis C menghasilkan suatu penemuan kelas baru dari anti virus, yaitu Direct Acting Antiviral (DAA), suatu agen anti virus yang bekerja secara langsung pada fase replikasi virus hepatitis C. 1 Saat ini, DAA telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA). Pedoman baru telah dikeluarkan oleh American Association for the Study of Liver Diseases (AASLD) dan Infections Diseases Society of America (IDSA) bahwa agen DAA dapat diberikan dengan atau tanpa RBV. 2,3 DAA memiliki tingkat SVR yang lebih tinggi, mempunyai efek samping yang lebih sedikit dan jangka waktu terapi yang lebih pendek dari obat anti virus sebelumnya. 1 Reading assignment kali ini akan mengulas mengenai penanganan kasus koinfeksi HIV dan hepatitis C terbaru, harapannya dengan strategi terapi dan pengobatan yang baik dan 1

2 50%. 4 Berdasarkan laporan UNAIDS pada tahun 2013, Indonesia merupakan salah satu negara mengacu pada pedoman yang telah dibuat, dapat dicapai respon terapi yang optimal dengan efek samping obat yang minimal.. PREVALENSI INFEKSI VIRUS HEPATITIS C PADA HIV DI INDONESIA Adanya kesamaan cara penyebaran infeksi HIV dengan infeksi virus hepatitis C menyebabkan tingginya angka kejadian koinfeksi HIV dan hepatitis C. Beberapa studi di Eropa dan Amerika Serikat menunjukkan prevalensi koinfeksi HIV dan Hepatitis C berkisar antara, 30- dengan peningkatan kejadian infeksi HIV tertinggi di Asia, dan diperkirakan peningkatan ini akan terus terjadi hingga tahun Pada studi yang dilakukan oleh Yunihastu dkk pada klinik Pokdisus AIDS Rumah sakit Cipto Mangunkusomo menunjukkan angka kejadian koinfeksi HIV dan hepatitis C yang tinggi. Studi terhadap pasien yang baru terdeteksi HIV pada tahun 2004 hingga 2009, ditemukan HCV positif pada 67,9% pasien. 6,11 Sementara data yang ada pada RSUP Haji Adam malik mulai dari Januari 2015 hingga September 2016, terdapat 360 pasien yang terinfeksi HIV baru, dan sekitar 4% atau sebanyak 14 pasien yang mengalami koinfeksi HIV dan hepatitis C. PATOGENESIS PENYAKIT HATI Pada pasien hepatitis C kronik, adanya koinfeksi dengan HIV secara bermakna dapat mempengaruhi perjalanan alamiah virus hepatitis C. 13 Suatu meta analisis dari 29 studi yang melibatkan pasien menunjukkan bahwa pasien koinfeksi memiliki risiko tiga kali lebih tinggi terjadinya sirosis, penyakit hati dekompensata, kanker hati atau kematian. 6 Respon Imun Seluler Progresi menjadi fibrosis hati berhubungan dengan lemahnya respon imun seluler terhadap antigen hepatitis C pada pasien HIV. Infeksi HIV ditandai dengan penurunan jumlah sel CD4 didalam sirkulasi, gangguan fungsi dari sel CD4 dan CD8 serta down regulation dari 2

3 ekspresi CD28, sebuah molekul yang dibutuhkan untuk aktifasi dari limfosit. Pasien dengan kadar CD4 yang rendah akan mengakibatkan penurunan respon dari sel CD8 terhadap virus hepatitis C. Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan hubungan antara supresi imun dengan progresi penyakit hati, karena respon dari sel CD8 diketahui penting dalam respon imun terhadap infeksi virus. 4,12 HIV Terkait dengan Aktivasi Imun Hipotesis lain menduga bahwa aktivasi imun kronik yang disebabkan secara sekunder oleh infeksi HIV, dapat mempengaruhi progresi penyakit hati, melalui peningkatan sitokin proinflamasi di dalam sirkulasi. 4,12 Aktivasi imun kronik dimediasi oleh translokasi dari produk mikroba karena adanya kerusakan integritas mukosa usus. Rusaknya barier mukosa usus muncul bersamaan dengan menurunnya jumlah CD4 pada jaringan limfoid usus, pada awal terjadinya infeksi HIV. Pada satu studi pada pasien koinfeksi HIV dan hepatitis C, ditemukan bahwa penurunan limfosit CD4 berhubungan dengan penanda translokasi mikroba (LPS), dan penanda ini juga berhubungan dengan perkembangan suatu sirosis. 4,12 Aktivasi Sel Stelata Hati Aktivasi sel stelata hati memediasi formasi kolagen menjadi fibrosis hati pada infeksi virus hepatitis C. Satu studi menemukan bahwa aktivasi sel stelata hati berhubungan dengan aktivasi imun sel CD4 dan CD8 serta peningkatan ekspresi gen interleukin 15 (IL-15). 4,12 HIV dan Apoptosis Tumor necrosis factor-related apoptosis-inducing ligand (TRAIL) memediasi terjadinya apoptosis pada hepatosit normal pada infeksi virus hepatitis C. Satu studi invitro menduga bahwa glycoprotein HIV (gp120) dapat membuat hepatosit menjadi sel mati melalui upregulation dari TRAIL. 4,12 Virus Hepatitis C terkait Sitokin Proinflamasi 3

4 Infeksi hepatitis C itu sendiri dapat menginduksi regulasi imun dan jalur proinflamasi, sehingga berkontribusi terhadap progresi fibrosis hati. Sitokin proinflamasi ini dapat memberikan efek yang merugikan terhadap penyakit HIV. 4,12 PENILAIAN KOINFEKSI HIV DAN VIRUS HEPATITIS C (HCV) Diagnosis Koinfeksi HIV/HCV Semua pasien HIV harus dilakukan skrining untuk koinfeksi HCV dengan tes serologi, Begitu juga dengan pasien HCV, harus dievaluasi untuk koinfeksi HIV. 1,6,7 Pada individu dengan immune compromised, maka antibodi HCV dapat negatif palsu, dan perlu dipertimbangkan untuk pemeriksaan HCV RNA. 7,8 Dengan terdeteksinya antibodi HCV, tidak memastikan adanya infeksi yang aktif, sekitar 10-25% individu koinfeksi dan monoinfeksi akan secara spontan membersihkan virus. Pemeriksaan HCV RNA harus dilakukan sesudah ditemukannya positif HCV pada pemeriksaan skrining, untuk menyingkirkan adanya spontaneous clearance. 7 Individu dengan positif HCV RNA harus melakukan pemeriksaan genotipe, supaya dapat menentukan terapi selanjutnya. 1,6,7 Individu dengan data dasar HCV RNA negatif, harus dipertimbangkan untuk pemeriksaan ulang, untuk memastikan ada tidaknya infeksi kronik, paling tidak satu kali, terutama jika terjadi peningkatan ALT. 7 Semua individu harus melakukan skrining kekebalan hepatitis A (hepatitis A IgG) dan hepatitis B (HBsAg, AntiHBs dan anti HBc) dan harus dilakukan vaksinasi jika nonimmune. 1,6,7 Jika infeksi kronis hepatitis B, maka harus dinilai untuk dilakukan terapi. 7 Rekomendasi 1. Semua pasien dengan HIV positif, harus melakukan skrining antibodi HCV. Skrining harus dilakukan secara berulang, paling tidak setahun sekali, terutama untuk individu yang mempunyai risiko tinggi, namun antibodi HCV negatif. (1,C) 1,6,7 4

5 2. Pasien homoseksual dengan HIV positif, harus melakukan skrining antibodi HCV setiap tahun serta pemeriksaan enzim hati setiap 6 bulan, jika aktif secara seksual dan pengulangan pemeriksaan antibodi HCV harus dilakukan setiap terdapat peningkatan enzim hati yang tidak diketahui penyebabnya. (2a,C) 7 3. Pasien dengan antibodi HCV positif, harus melakukan pemeriksaan HCV RNA PCR. (1,C) 1,6,7,8 4. Pasien dengan HCV RNA positif, harus melakukan pemeriksaan genotipe HCV. (1,C) 1,6,7 5. Pasien dengan HCV RNA negatif, maka harus melakukan pemeriksaan ulangan, paling tidak satu kali, untuk memastikan adanya spontaneous clearance, jika terdapat peningkatan enzim hati. (1,C) 7 6. Semua pasien harus melakukan skrining untuk hepatitis A dan B dan harus di tawarkan pemberian vaksinasi jika nonimmune. (IC) 1,6,7 Penilaian Klinis dan Laboratorium Terhadap Penyakit Hati Dibutuhkan anamnesa dan pemeriksaan fisik yang teliti untuk menentukan penyakit hati. Pemeriksaan termasuk penilaian adanya splenomegali, asites, ginekomastia, spider nevi, serta manifestasi lain dari end stage liver disease. 7 Pemeriksaan darah rutin lengkap, enzim liver termasuk alanine aminotransferase (ALT) dan aspartate aminotransferase (AST), dan penanda dari fungsi sintesis (INR, albumin dan bilirubin) harus dilakukan sebagai data dasar, kemudian akan dilakukan pemeriksaan ulangan secara rutin (setiap 6 bulan sekali), pada individu yang mendapat antiretroviral therapy (ART). 7 Trombositopenia dapat sebagai penanda dari hipersplenisme dan advanced liver disease. Adanya gangguan pada fungsi sintesis menandakan adanya penyakit tahap lanjut. 7 Rekomendasi 7. Pasien harus dievaluasi untuk kondisi lain yang mengakibatkan penyakit kronis hati. (1,C) 7 Peran Biopsi Hati Meskipun telah diketahui bahwa peningkatan enzim hati merefleksikan aktifitas penyakit, namun telah dibuktikan bahwa individual yang terinfeksi HCV dapat berkembang jadi fibrosis dan juga sirosis tanpa peningkatan signifikan enzim hati. Pada studi retrospektif pasien koinfeksi 5

6 yang dilakukan biopsi hati, maka sekitar 25% individu dengan persisten nilai normal ALT, ditemukan paling tidak sudah dalam keadaan fibrosis F2. Olehkarenanya, menggunakan kriteria ALT saja tidak dapat digunakan untuk memulai terapi pada pasien koinfeksi. 7 Biopsi hati merupakan gold standard untuk menilai progresi penyakit pada pasien HCV. Biopsi hati dapat menilai derajat aktifitas inflamasi dan fibrosis, serta dapat menentukan penyebab dari kerusakan hati. Dengan adanya penilaian fibrosis secara non invasif, maka biopsi hati dapat dijadikan cadangan apabila terdapat ketidakpastian dalam menentukan derajat fibrosis. 7 Menggunakan Pemeriksaan Non Invasif untuk Menentukan Derajat Fibrosis : Transient Elastography dan Penanda Laboratorium Transient Elastography (TE, Fibroscan) adalah tehnik non invasif, dalam menilai kekakuan hati (dengan menggunakan perhitungan kilopascal atau kpa), yang dapat digunakan sebagai penanda fibrosis hati. Sensitifitas dan spesifisitasnya dalam menentukan fibrosis 71,9% dan 82,4% serta 84,4% dan 94,6% untuk sirosis. TE telah dapat digunakan untuk pasien koinfeksi. Namun mempunyai keterbatasan dengan bentuk tubuh (obesitas dapat mengganggu kemampuan probe dalam menilai hati secara akurat) dan tingkat kesalahan menjadi meningkat ketika terjadi inflamasi hati. 7 Penggunaan penanda laboratorium dapat berguna dalam penilaian fibrosis pada pasien koinfeksi. Penggunaan indeks AST dengan trombosit (APRI) dapat digunakan pada pasien koinfeksi. Skor APRI >15, 100% spesifik dan 52% sensitif untuk menentukan fibrosis. 7 Rumus lain dalam menilai fibrosis, termasuk Skor Fib-4 dan Fibro Test. Namun, metode ini kurang sensitif untuk menentukan fibrosis jika dibandingkan dengan TE. 7 Pasien Sirosis Pasien dengan sirosis harus dimonitor kemungkinan adanya HCC. Diperlukan pemeriksaan skrining dengan USG setiap 6 bulan sekali dengan atau tanpa pemeriksaan serum alpha fetoprotein (AFP). Merujuk kepada ahli gastroenterologi diperlukan untuk dilakukan endoskopi, 6

7 guna skrining dan/atau monitor varises esofagus. Monitor akan adanya HCC juga dianjurkan pada pasien sirosis yang telah mengalami sustained virological response (SVR) dengan terapi HCV. 7 Rekomendasi 8. Kriteria ALT saja tidak dapat digunakan dalam menentukan terapi pada pasien koinfeksi. (2a,C) 7 9. USG abdomen dengan doppler harus dipertimbangkan penggunaannya pada semua pasien. (2a,B) Dianjurkan evaluasi fibrosis hati (Fibroscan, FibroTest dan APRI) untuk menentukan derajat fibrosis hati. (2a,B) Evaluasi fibrosis hati dengan biopsi hati dapat dipertimbangkan jika metode non invasif dalam menentukan fibrosis tidak tersedia, atau jika dipikirkan diagnose lain. (2a,C) Pasien dengan sirosis harus melakukan skrining setiap 6 bulan untuk HCC dengan menggunakan USG (1,B) Pasien dengan sirosis harus melakukan gastroskopi untuk skrining varises esofagus. (1,B) 7 Persiapan untuk Terapi HCV Selain penilaian laboratorium dalam menentukan status HCV, dibutuhkan penilaian kesehatan mental pasien serta lingkungan dan pola makan pasien. Adanya riwayat gangguan kesehatan mental pada pasien, dapat dieksaserbasi dengan terapi interferon, sehingga dibutuhkan regimen tanpa interferon. 7 Individu yang dipertimbangkan pemberian terapi HCV, harus dinilai apakah ada kontraindikasi. Kontraindikasi tersebut, termasuk : a. Kehamilan (merupakan kontraindikasi absolut, karena adanya efek teratogenik dari pegylated interferon/ribavirin serta data yang masih kurang dengan regimen DAA). 7 b. Penyakit hati dekompensasi Individu > 50 tahun dengan riwayat hipertensi, hipertensi atau retinopati, harus melakukan pemeriksaan mata sebelumnya jika dipertimbangkan mendapat regimen interferon, karena berhubungan dengan eksaserbasi/onset baru dari retinopati. 7 7

8 Individu yang sebelumnya telah berhasil menjalani terapi HCV, harus dilakukan evaluasi ulang HCV RNA jika terjadi peningkatan ALT, untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi berulang. 7 Rekomendasi 14. Semua pasien koinfeksi harus dilakukan evaluasi sebelum mendapat terapi HCV (1,A) 1,7 15. Evaluasi mengenai penggunaan zat adiktif, status kesehatan mental serta pola makan pasien merupakan hal yang penting ketika mempersiapkan terapi HCV (1,B) Perawatan multidisiplin dianjurkan untuk mengoptimalkan pasien dalam menjalani terapi HCV (1,B) Jika interferon akan digunakan, maka nilai secara detail mengenai hal-hal yang menjadi kontraindikasi dalam pemberian interferon. (I,C) 7 TATALAKSANA PASIEN KOINFEKSI HIV DAN HEPATITIS C Kunci dalam tata laksana pasien koinfeksi hepatitis C dan HIV adalah menentukan inisiasi terapi. Gangguan fungsi hati menjadi salah satu penyebab penting peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien koinfeksi hepatitis C dan HIV, khususnya setelah munculnya ARV sebagai terapi anti HIV. 6 Standar pengobatan untuk hepatitis C kronik pada tahun 2014 adalah pemberian pegylated interferon dan ribavirin. Walaupun tatalaksana pengobatan hepatitis C saat ini sudah mulai meninggalkan penggunaan interferon, namun pengobatan ini merupakan satu satunya pilihan untuk anak dan remaja, dan masih sebagai pilihan alternatif regimen pada beberapa genotipe. 14 Kombinasi ini meningkatkan kesintasan selama 8 tahun dan respon yang lebih baik secara signifikan dibandingkan terapi interferon standar. Meskipun demikian, pencapaian SVR pada pasien dengan koinfeksi hepatitis C dan HIV menurun sebesar 10-20% dibandingkan pasien monoinfeksi virus hepatitis C. Durasi pemberian terapi untuk virus hepatitis C pada koinfeksi virus hepatitis C dan HIV adalah 48 minggu, tidak melihat jenis genotipe yang menginfeksi. Adanya regimen obat baru untuk terapi hepatitis C, yaitu direct acting antiviral (DAA) meningkatkan keberhasilan presentase terapi. Akan tetapi harus dipertimbangkan interaksinya dengan obat ARV yang digunakan. 6 8

9 Sebanyak lebih dari 20 obat antiretrovirus yang terbagi dalam 6 kelas dapat menjadi pilihan kombinasi. Enam kelas tersebut adalah nucleoside/nucleotide reverse transcriptase inhibitors (NRTIs), non nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs), protease inhibitors (PIs), fusion inhibitors (FIs), CCR5 antagonists, dan integrase strand transfer inhibitors (INSTIs). Secara umum, kombinasi pengobatan terdiri atas 2 NNRTI dan 1 NNRTI/ PI. 6 Isu utama dalam pengobatan pasien koinfeksi HIV-HCV adalah interaksi obat yang diperkirakan dapat mengurangi efikasi pengobatan untuk salah satu pihak dan efek samping yang dapat ditimbulkan melalui interaksi obat. Beberapa studi yang dilakukan menunjukkan pemberian obat antivirus untuk virus hepatitis C tidak mengurangi efikasi dari ARV, hal ini dibuktikan dengan jumlah titer virus yang menurun. Pemberian pegylated interferon dan ribavirin pada beberapa studi bahkan terbukti membantu menurunkan jumlah virus RNA HIV sebesar 1 log. 6 Efek samping yang perlu diperhatikan pada terapi koinfeksi HIV-HCV adalah pemberian ribavirin meningkatkan fosforilasi didanosin, sehingga konsentrasi obat meningkat. Sebanyak 16% pasien dilaporkan mengalami toksisitas mitokondria dalam bentuk asidosis laktat atau pankreatitis pada studi RIBAVIC. Selain itu, dekompensasi hati juga dilaporkan terjadi pada studi APRICOT. Karena interaksi diatas, pada saat memulai terapi untuk HCV, diperlukan penggantian terapi didanosin menjadi obat antivirus lainnya. Selain itu, ribavirin bersama dengan zidovudin dapat menyebabkan eksaserbasi anemia yang dipicu oleh ribavirin, sehingga penggunaan keduanya secara bersamaan harus dihindari. Pengawasan ketat wajib dilakukan pada pasien sirosis. Adanya sirosis dekompensata menjadi tanda untuk menghentikan terapi HCV. Pasien dengan sirosis hati dekompensata (child pugh score B atau C) tidak menjadi indikasi terapi pegylated interferon (PegIFN) dan ribavirin (RBV), dan transplantasi hati dapat dipikirkan. Selain tanda sirosis, pengukuran laktat berkala juga perlu dilakukan terkait efek samping. 6 Terapi HIV dimulai ketika hitung jumlah CD4 kurang dari atau sama dengan 350 sel/mm 3. Namun beberapa studi terbaru menyebutkan penggunaan ARV dapat dimulai tanpa melihat hasil CD4 pada pasien dengan koinfeksi HIV dan HCV, 1,6,7 dengan adanya studi yang menyatakan penggunaan ARV pada jumlah CD4 diatas 500 sel/mm 3 menunjukkan aktivitas nekroinflamasi 9

10 yang lebih perlahan pada jaringan hati. Hal lain yang mempengaruhi waktu memulai terapi adalah adanya penelitian lain menunjukkan efikasi terapi HCV yang berkurang pada pasien dengan CD4 kurang dari 500 sel/mm 3. 6 Pada kondisi dimana terapi HIV dan HCV dimulai bersama-sama, dianjurkan penggunaan ARV terlebih dahulu, menggunakan regimen yang tidak menyebabkan terjadinya hepatotoksik. Terapi HCV dimulai setelah 1-2 bulan setelah dimulainya terapi ARV. 6 Inisiasi Terapi Inisiasi terapi didasarkan atas pemeriksaan klinis dan laboratorium. Inisiasi terapi pada pasien koinfeksi HIV-HCV didasarkan pada hitung jumlah CD4. Terapi antar genotipe HCV dimulai dengan syarat yang berbeda pada koinfeksi HIV-HCV. 6 V.1.a Kondisi yang Tidak Membutuhkan Terapi untuk hepatitis C Pasien yang tidak membutuhkan terapi untuk hepatitis C adalah pasien dengan karakteristik sebagai berikut : antibodi HCV positif tetapi tidak ada tanda replikasi RNA HCV. Pasien yang tidak membutuhkan terapi tetap memerlukan monitoring yang ketat setiap 6 bulan, (pemeriksaan klinis dan fungsi hati) dan setiap 3 tahun untuk melihat histologi lesi hati. 6 V.1.b Kondisi yang Membutuhkan Terapi Hepatitis C Terapi dapat dimulai lebih awal pada pasien koinfeksi apabila didapati kondisi dimana progresivitas penyakit hati berjalan cepat dibandingkan dengan pasien dengan monoinfeksi hepatitis C, ataupun pasien dengan risiko tinggi mengalami hepatotoksisitas setelah inisiasi ARV. Terapi dapat dimulai tanpa melihat jumlah virus hepatitis C pada genotipe 2 dan 3. Sementara terapi untuk genotipe 1 dapat dimulai pada kondisi jumlah virus 8x10 5 IU/ml tanpa melihat hasil pemeriksaan histologi atau > 8x10 5 IU/ml dan dengan derajat fibrosis F3-F4 sesuai klasifikasi metavir. Pada genotipe 4, tatalaksana dilakukan pada jumlah virus > 8x10 5 IU/ml dan dengan derajat fibrosis F3-F4 sesuai klasifikasi metavir. Pasien dengan genotipe 2 atau 3, jumlah virus < 8x10 5 IU/ml, tidak ditemui sirosis, umur < 40 tahun, nilai ALT lebih dari 3 kali batas atas normal memiliki kemungkinan yang lebih baik untuk mencapai Sustained Virological Response (SVR). 6 10

11 Pada infeksi hepatitis C akut, terapi dilakukan untuk mencegah infeksi virus menjadi kronik. Terapi dimulai apabila dalam 3 bulan setelah awal munculnya tanda dan gejala klinik, HCV RNA tidak dapat dieliminasi secara spontan. Terapi terpilih untuk kondisi ini adalah pegylated interferon (α2a dan α2b) dan ribavirin. Dosis yang digunakan untuk pegylated interferon α2a adalah 180 µg satu kali seminggu atau 1,5 µg/kgbb perminggu untuk pegylated interferon α2b. Dosis ribavirin yang direkomendasikan untuk pasien koinfeksi hepatitis C dan HIV berbeda-beda, tergantung kepada jenis genotipe. Untuk genotipe 1 dan 4 dosis yang dianjurkan adalah mg/hari, sementara untuk genotipe 2 dan 3, dosis ribavirin yang digunakan adalah 800 mg. durasi terapi untuk semua genotipe adalah 48 minggu. Akan tetapi, terapi dihentikan, apabila pada minggu ke 12, hasil pemeriksaan HCV RNA kuantitatif, menunjukkan penurunan kurang dari 2 log. 6 V.1.c Kondisi yang Membutuhkan Terapi HIV Progresi menjadi fibrosis hati menjadi lebih cepat pada koinfeksi HIV-HCV, terutama pada individu dengan jumlah CD4 rendah ( 350 sel/mm 3 ). Data dari studi kohort retrospektif tidak konsisten mengenai pengaruh terapi anti retroviral (ART) terhadap perjalanan alamiah HCV. Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa ART dapat memperlambat perkembangan penyakit hati dengan menjaga atau memulihkan fungsi kekebalan tubuh dan dengan mengurangi inflamasi. 6 Oleh karena itu, ART harus dimulai pada semua pasien koinfeksi HIV-HCV, tanpa melihat jumlah CD4. 1,6,7 Namun pada pasien HIV yang naive, dengan jumlah CD4 >500 sel/mm 3, beberapa klinisi memilih untuk menunda ART sampai pengobatan HCV selesai, untuk menghindari interaksi obat. 1 Bila dibandingkan dengan pasien dengan jumlah CD4 >350 sel/mm 3, maka pasien dengan jumlah CD4 <200 sel/mm 3 mempunyai tingkat respon terapi yang lebih rendah dan memiliki tingkat toksisitas yang lebih tinggi disebabkan karena PegIFN/RBV. 6 Data yang ada masih sedikit mengenai respon terhadap terapi kombinasi dengan agen DAA pada pasien yang mengalami kondisi imunosupresi tahap lanjut. Untuk pasien dengan jumlah CD4 lebih rendah (<200 sel/mm 3 ), ART harus segera diberikan dan terapi HCV dapat ditunda sampai pasien stabil. 1,6 Rekomendasi 18. Regimen ART harus dimulai sesuai dengan pedoman yang ada saat ini, karena efektif dan dapat ditoleransi dengan baik pada pasien koinfeksi. (1,A) 7 11

12 19. Dimulainya ART dapat melambatkan progresi dari penyakit hati pada pasien koinfeksi. ART harus dimulai pada semua pasien koinfeksi HIV-HCV, tanpa memandang jumlah CD4. (1,A) Pada pasien naïve, CD4 diatas 500 sel/mm 3, beberapa klinisi memilih untuk menunda ART sampai terapi HCV selesai, untuk menghindari interaksi obat. (3,C) Pada pasien dengan CD4 dibawah 200 sel/mm 3, ART harus dimulai terlebih dahulu (1,A) 1 dan terapi HCV dapat ditunda sampai pasien stabil. (3,C) 22. Regimen terapi hepatitis C pada pasien dengan HIV-HCV meliputi pegylated interferon α2a atau α2b dan ribavirin selama 12 bulan Terapi umum tatalaksana HIV AIDS adalah 2 NRTI dengan 1 NNRTI/PI, kombinasi ARV yang disarankan adalah tenofovir dan emmtricitabin atau lamivudine ditambah dengan efavirens. 6 V.I.d Pengobatan Koinfeksi HIV-HCV dengan DAA Ditahun 2011, telepravir dan bocepravir telah disetujui penggunaanya untuk HCV genotipe 1, dan ini merupakan generasi pertama dari DAA. Keduanya harus diberikan bersamaan dengan pegylated interferon dan ribavirin. Terapi triple ini memang mencapai nilai SVR yang lebih baik daripada dual terapi (75% dengan 65%), namun mengingat efek samping dan biaya yang besar maka dicari pilihan lain yang lebih terjangkau dan toleransi yang lebih baik. 15 Kemudian pada tahun 2014 terdapat DAA baru yang disetujui penggunaannya di uni eropa sebagai bagian dari terapi untuk infeksi HCV, salah satu diantaranya adalah sofobusvir, simeprevir, daclatasvir. 15 Di Indonesia sendiri saat ini baru tersedia sofobusfir dan daclatasvir. Rekomendasi 24. Genotipe 1 (naïve individuals) Pilihan pertama : Sofobusfir 400 mg bersama dengan ledipasvir 90 mg, setiap hari untuk 12 minggu (I,B), atau ombitasvir/paritaprevir/ritonavir dengan dasabuvir dan ribavirin selama 12 minggu; atau grazaprevir-elbasvir selama 12 minggu (1,C) 2,3,7,8 25. Genotipe 1 (experienced patients) Pilihan pertama : Sofobusfir 400 mg setiap hari bersama dengan ledipasvir 90 mg sekali sehari selama 12 minggu (I,B). 7,8 Pasien sirosis harus diterapi selama 24 minggu, berdasarkan data monoinfeksi HCV (I,C) 7,8 atau ombitasvir/paritaprevir/ritonavir 12

13 ditambah dengan dasabuvir dan ribavirin selama 12 minggu (1,B) 7 (regimen ini dapat digunakan pada pasien yang gagal dengan dual terapi PEG-IFN/RBV (PR), tapi tidak direkomendasikan untuk pasien yang gagal terapi dengan NS3 protease inhibitor). 26. Regimen yang tidak direkomendasikan lagi untuk pilihan pertama (1) Terapi tripel dengan PEG-IFN/RBV (PR) ditambah dengan DAA untuk genotipe 1 HCV tidak lagi direkomendasikan. 7 (2) Sofobusvir dengan simeprevir untuk genotipe 1 (karena harga dan data minimal pada pasien koinfeksi) Genotipe 2 (naïve patients) Pilihan pertama : sofosbuvir 400 mg sehari sekali dengan ribavirin selama 12 minggu, dengan pertimbangan 16 minggu pada pasien sirosis. (1,B) 7,8 Pilihan kedua : Sofosbuvir 400 mg/hari dan daclatasvir 60 mg/hari selama 12 minggu (1,B) Genotipe 2 (experienced patients) Pilihan pertama : sofosbuvir 400 mg/hari dengan ribavirin selama 12 minggu atau 16 minggu pada sirosis (1,B) 7,8 Pilihan kedua : sofosbuvir 400mg/hari dengan ribavirin dan pegylated interferon 180 µg setiap minggu selama 12 minggu (1,B) 7 atau sofosbuvir 400 mg/hari dan daclatasvir 60 mg/hari selama 12 minggu (1,B) 7,8 29. Genotipe 3 (naïve patient) Pilihan pertama : sofosbufir 400 mg/hari dengan ribavirin dan pegylated interferon 180 µg setiap minggu selama 12 minggu (I,B) 7,8 atau sofosbuvir 400 mg/hari dengan ribavirin selama 24 minggu (non sirosis) (I,B) 7 atau sofosbuvir 400 mg/hari dan daclatasvir 60 mg/hari selama 12 minggu (non sirosis); 7,8 sofosbuvir 400 mg/hari dan daclatasvir 60 mg/hari dengan ribavirin selama 12 minggu (sirosis) (I,B) 7,8 30. Genotipe 3 (experienced patient) Pilihan pertama : sofosbuvir 400 mg/hari dengan pegylated interferon alpha 2a 180 µg setiap minggu dan ribavirin selama 12 minggu (I,C) 7 atau sofosbuvir 400 mg/hari dengan ribavirin selama 24 minggu (I,B) 7 atau sofosbuvir 400 mg/hari dan daclatasvir 60 mg/hari selama 12 minggu (non sirosis); 7 sofosbuvir 400 mg/hari dan daclatasvir 60 mg/hari dengan ribavirin selama 12 minggu (sirosis). (I,B) 7 13

14 31. Genotipe 4 (naïve dan experienced) Pilihan pertama : sofosbuvir 400 mg/hari dan ledipasvir 90 mg/hari selama 12 minggu (I,B) 7,8 atau paritaprevir 150 mg/hari, ritonavir 100 mg/hari, ombitasvir 25 mg/hari dan ribavirin selama 12 minggu (I,C) 7 atau sofosbuvir 400 mg/hari dengan pegylated interferon dan ribavirin selama 12 minggu (berdasarkan studi monoinfeksi HCV) (I,C) 7,8 atau sofosbuvir 400 mg/hari dan ribavirin selama 24 minggu. 7,8 Data yang ada masih belum cukup pada pasien koinfeksi HIV-HCV dengan genotipe 4-6, untuk menjelaskan mengenai efikasi dari sofosbuvir-simeprevir atau sofosbuvir-daclatasvir, dan juga untuk genotipe 5-6 mengenai efikasi sofosbuvir dengan pegylated interferon dan ribavirin. 7 Tabel 1. Rekomendasi Terapi Paien Koinfeksi HIV/HCV Tanpa Sirosis, Untuk Pasien Naïve 8 Tabel 2. Rekomendasi Terapi Pasien Koinfeksi HIV/HCV Dengan Sirosis Kompensata (Child Pugh A) untuk Pasien Naïve. 8 14

15 V.1.e Pengobatan Koinfeksi HIV-HCV Secara Bersamaan Pengobatan koinfeksi HIV-HCV secara bersamaan adalah mungkin, akan tetapi akan dipersulit dengan adanya beban meminum tablet yang banyak, interaksi obat dan toksisitas. Pada keadaan ini, maka tahap dari penyakit hepatitis C harus dipastikan, agar dapat menentukan pengobatan HCV serta membuat keputusan kapan dimulai pengobatan. Jika keputusannya adalah memberikan pengobatan HCV, maka regimen ART harus dimodifikasi sebelum pengobatan HCV dimulai, untuk mengurangi potensi interaksi obat dan/atau toksisitas yang mungkin timbul pada saat pengobatan HIV dan HCV dilakukan secara bersamaan (tabel 1). Pada pasien dengan kadar plasma HIV RNA tersupresi maka dengan pemberian modifikasi ART, HIV RNA harus dinilai dalam waktu 4 sampai 8 minggu sesudah merubah terapi HIV untuk mengkonfirmasi efektivitas dari regimen baru. Sesudah pengobatan HCV selesai, maka modifikasi regimen ART harus dilanjutkan sampai paling tidak 2 minggu sebelum memulai kembali regimen yang lama/original. Melanjutkan regimen modifikasi dibutuhkan, karena waktu paruh yang lama dari 15

16 beberapa obat HCV dan adanya potensi interaksi obat jika regimen lama dimulai kembali segera setelah pengobatan HCV selesai. 1 Tabel 3. Pilihan Penggunaan Obat HIV dan DAA Secara Bersamaan Pada Koinfeksi HIV-HCV 1 16

17 17

18 Keterangan : : ARV dapat diberikan secara bersamaan : ARV tidak dapat diberikan secara bersamaan? : data masih terbatas 18

19 VI. MONITORING TERAPI Monitoring terapi koinfeksi HIV-HCV diperlukan untuk menilai keberhasilan terapi, efek samping dan interaksi obat yang dapat terjadi. 6 VI.1 Respon Virologis Pemeriksaan untuk menilai respon virologis dilakukan menggunakan pemeriksaan HCV RNA kuantitatif pada awal terapi dan minggu ke 12 terapi. Pemeriksaan pada minggu ke 24 dan 48 setelah memulai terapi dan 24 minggu setelah terapi selesai dilakukan menggunakan pemeriksaan HCV RNA kualitatif. 6 Beberapa istilah yang perlu dipahami dalam penilaian respons virologis antara lain : a. Rapid Virological Response (RVR) Respons virologis cepat (RVR) merupakan hasil pemeriksaan HCV RNA pada minggu ke 4 setelah awal terapi. RVR bernilai positif apabila HCV RNA tidak terdeteksi. RVR juga digunakan untuk memprediksi respons terapi. 6 b. Early Virological Response (EVR) Respons virologis awal (EVR) merupakan hasil pemeriksaan HCV RNA pada minggu ke 24 setelah awal terapi. EVR bernilai positif apabila terjadi penurunan jumlah virus lebih dari 2 log dibandingkan hasil pemeriksaan HCV RNA awal sebelum terapi. EVR bernilai negatif apabila penurunan kurang dari 2 log. 6 c. End of Treatment Response (ETR) Respons akhir terapi (ETR) merupakan hasil HCV RNA pada akhir terapi. ETR bernilai positif apabila tidak ditemukan HCV RNA pada pemeriksaan. 6 d. Sustained Virological Response (SVR) Respons virologis menetap (SVR) merupakan hasil pemeriksaan HCV RNA pada 24 minggu setelah akhir terapi. SVR bernilai positif apabila tidak ditemukan HCV RNA pada pemeriksaan. 6 Pemeriksaan HCV RNA pada koinfeksi HIV-HCV dilakukan dengan jadwal sebagai berikut : 6 a. Awal terapi b. Minggu ke 4 terapi 19

20 c. Minggu ke 12 terapi Pada pasien dengan penurunan jumlah virus lebih dari 2 log, tatalaksana HCV dilanjutkan hingga minggu ke 48. Akan tetapi, pada penurunan kurang dari 2 log pada minggu ke 12, tata laksana dianjurkan untuk dihentikan, karena risiko kegagalan terapi cukup tinggi, dengan angka non SVR mencapai %. d. Minggu ke 24 terapi Pasien dengan HCV RNA yang tetap ada hingga minggu ke 24 dianjurkan untuk menghentikan pengobatan, karena tingginya angka non SVR mencapai 100%. e. Minggu ke 48 terapi f. Minggu ke 24 setelah selesai terapi Pemeriksaan HCV RNA pada minggu ke 24 setelah terapi menentukan kemungkinan terjadinya rekurensi. Pasien dengan HCV RNA negatif pada pemeriksaan HCV RNA di minggu ke 24 setelah terapi (SVR positif) memiliki tingkat rekurensi yang sangat rendah. VII. TATALAKSANA TERAPI JIKA TERAPI DENGAN DAA GAGAL VII.1 Gagal dengan Protease Inhibitor ditambah dengan Peginterferon dan Ribavirin Studi mengenai triple terapi, yaitu dengan peginterferon, ribavirin dan NS3 protease inhibitor menunjukkan bahwa lebih dari 80% kegagalan berhubungan dengan mutasi yang mengakibatkan resistensi terhadap NS3. 7 Pemberian terapi dengan sofosbuvir/ledipasvir selama 12 minggu, pada pasien yang sebelumnya gagal dengan regimen peginterfeon, ribavirin dan NS3 PI, mengalami SVR sebanyak 98%. 7 VII.2 Gagal dengan Sofosbuvir dan Ribavirin Dua puluh pasien dengan genotipe 1 HCV monoinfeksi, yang gagal mendapat terapi dengan sofosbuvir dan ribavirin, diberi terapi sofosbuvir/ledispavir ditambah ribavirin selama 12 minggu, semuanya mencapai SVR. 7 20

21 VII.3 Gagal dengan Peginterferon ditambah Ribavirin dan Sovosbuvir Dua puluh lima pasien dengan genotipe 1 HCV monoinfeksi, yang gagal mendapat terapi dengan peginterferon ditambah ribavirin dan sovosbuvir, diberi terapi sofosbuvir/ledispavir ditambah ribavirin selama 12 minggu, semuanya mencapai SVR. 7 VII.4 Gagal dengan Sofosbuvir/Ledipasvir Kegagalan virologi sangat jarang terjadi pada pasien genotipe 1 HCV yang diterapi dengan sofosbuvir/ledipasvir. Angka kejadian hanya 2,4%. Data terbatas mengenai pengulangan terapi pada pasien yang gagal terhadap sofosbuvir/ledipasvir. Satu pasien yang diterapi ulang dengan sofosbuvir/ledipasvir ditambah ribavirin selama 24 minggu, mencapai SVR. 7 VII.5 Gagal dengan Sofosbuvir dan Simeprevir Tidak terdapat data mengenai pengulangan terapi pada pasien yang gagal dengan sofosbuvir dan simeprevir. Meskipun begitu, data mengindikasikan bahwa pasien yang gagal dengan regimen ini, mungkin dengan pemberian terapi sofosbuvir/ledipasvir dapat efektif. 7 VII.6 Gagal dengan Paritaprevir/Ombitasvir/Ritonavir ditambah dengan Dasabuvir dengan atau tanpa Ribavirin Tidak terdapat data mengenai pengulangan terapi pada pasien yang gagal dengan Paritaprevir/Ombitasvir/Ritonavir ditambah dengan Dasabuvir dengan atau tanpa Ribavirin, karena sangat jarang ada yang gagal. Jika pasien yang gagal dengan Paritaprevir/Ombitasvir/Ritonavir ditambah dengan Dasabuvir dengan atau tanpa Ribavirin harus dilakukan terapi, tanpa ada data pendukung, maka disarankan memberikan triple terapi, yaitu dengan sofosbuvir ditambah dengan peginterferon dan ribavirin selama 12 minggu. 7 21

22 Tabel 4. Rekomendasi Terapi Pasien Koinfeksi HIV/HCV yang Gagal Mencapai SVR Setelah Mendapat Terapi yang Mengandung DAA. 8 22

23 VIII. INTERAKSI OBAT VIII.1 Direct Acting Antiviral dengan Antiretroviral Sofobusvir adalah termasuk HCV NS5B nucleotide polymerase inhibitor, yang tidak dapat dimetabolisme oleh sistem enzim sitokrom P450 dan, olehkarenanya dapat digunakan kombinasi dengan banyak obat ARV. Sofobusvir adalah substrat dari p-glycoprotein (P-gp). Induser P-gp, seperti tipranavir (TPV), dapat menurunkan konsentrasi plasma sofobusvir, sehingga tidak bisa diberikan bersamaan dengan sofobusvir. Tidak ada ditemukan interaksi farmakokinetik antara sofobusfir dan ARV. 1 Ledipasvir adalah sebuah inhibitor HCV NS5A dan merupakan bagian dari kombinasi obat fixed dose sofobusvir dan ledipasvir. Sama seperti sofobusvir, ledipasvir tidak dimetabolisme oleh sistem enzim P450 sitokrom dan merupakan substrat P-gp. Ledipasvir menghambat obat tansporters P-gp dan breast cancer resistance protein (BCRP) dan dapat meningkatkan absorpsi di usus, jika diberikan secara bersamaan. Penggunaan inducer P-gp secara bersamaan dengan ledipasvir/sovobusvir tidak direkomendasikan. Pemberian ledipasvir/sovosbufir secara bersamaan dengan regimen ARV yang mengandung tenofovir disoproxil fumarate (TDF) berhubungan dengan meningkatnya paparan TDF, terutama ketika TDF diberikan bersama dengan protease inhibitor (PI), baik ritonavir (RTV) maupun cobicistat (COBI). Pada beberapa pasien, pilihan alternatif obat HCV atau ARV harus dipertimbangkan 23

24 untuk menghindari meningkatnya paparan TDF. Namun jika obat tetap diberikan secara bersamaan, maka pasien harus dimonitor potensi adanya gangguan fungsi ginjal yang disebabkan oleh TDF, dengan menilai fungsi ginjal (klirens kreatinin, fosfor serum, glukosa urin dan protein urin) sebelum pengobatan HCV dimulai dan secara periodik selama pengobatan. 1 Rekomendasi 32. Untuk individu dengan genotipe 1 yang mendapat inisiasi terapi dengan sofosbuvir/ledipasvir, maka pilihan pertama antiretroviral dapat digunakan. Jika tenofovir digunakan, maka monitoring ketat terhadap fungsi ginjal diperlukan. (2b,B) 7 Daclatasvir adalah NS5A inhibitor yang disetujui penggunaannya bersama sofobusfir. 1 Daclatasvir adalah substrat dari CYP3A dan inhibitor dari P-gp, OATP1B1/3 dan BCRP. Induser kuat dari CYP3A, seperto evafirenz dan nevirapin, dapat menurunkan kadar daclatasvir didalam plasma dan menurunkan efek terapeutiknya. Pada kasus ini, maka dosis daclatasvir harus ditingkatkan dari 60 mg/hari menjadi 90 mg/hari. Sebaliknya inhibitor CYP3A yang kuat, dapat meningkatkan kadar daclatasvir didalam plasma, sehingga dosis harus diturunkan menjadi 30 mg/hari. 1 VIII.2 Interaksi antara DAA dengan Obat lain Banyak obat dari berbagai macam kelas, berisiko menjadi interaksi dengan DAAs.. Sebagai contoh, ledipasvir membutuhkan suasana asam supaya dapat secara optimal diabsorpsi Maka semua obat yang dapat mengubah ph gaster dapat menyebabkan terganggunya absorbsi ledipasvir. 7 Rekomendasi 33. Penilaian dan monitor interaksi obat antara direct acting agents dengan obat lain, harus dilakukan pada awal terapi dan pada saat dijalankan terapi (1,C) Semua medikasi yang tidak berguna, harus dihentikan selama terapi HCV, terutama ketika DAA digunakan (I,C) 7 24

25 IX. TATALAKSANA PADA POPULASI KHUSUS IX.1 Terapi Infeksi Akut HCV pada Pasien HIV Konsensus yang dikeluarkan oleh The European NEAT dalam tatalaksana infeksi akut HCV merekomendasikan pegylated interferon dengan ribavirin. Pada kasus dimana rapid virologic response (RVR) tercapai maka direkomendasikan terapi selama 24 minggu, untuk yang tidak mencapai RVR maka direkomendasikan terapi selama 48 minggu penuh. 7 Rekomendasi 35. Pasien yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapat infeksi HCV ataupun menunjukkan tanda dan gejala dari infeksi akut, maka harus dilakukan skrining untuk HCV (I,C) 7 IX.2 Kehamilan Pilihan terapi HCV untuk wanita hamil masih terbatas. Pegylated interferon tidak ditoleransi baik oleh wanita hamil, dan ribavirin dikontraindikasikan karena teratogenik. 7 Rekomendasi 36. Pegylated interferon dan ribavirin dikontraindikasikan selama kehamilan dan 6 bulan sebelum konsepsi (I,C) Wanita usia subur dan pria yang tidak dilakukan vasektomi, yang berpotensi memiliki keturunan dan sedang mendapat terapi ribavirin, maka diharuskan menggunakan 2 macam kontrasepsi selama mendapat terapi dan 6 bulan sesudah mendapat terapi (I,C) Wanita dengan positif HCV aman jika menyusui bayinya. Namun jika koinfeksi dengan HIV, maka dikontraindikasikan menyusui karena resiko transmisi HIV (2A,C) Wanita hamil dengan positif HCV, jangan dianjurkan pemberian terapi DAA. (2A,C) 7 IX.3 Koinfeksi HIV-HCV/HBV Untuk pasien koinfeksi HCV-HBV, dosis pemberian interferon untuk HCV sudah sekaligus mencukupi untuk terapi HBV sehingga kedua virus dapat diterapi bersama-sama, sehingga tidak diperlukan nukleosida analog yang khusus untuk HBV

26 X. EFEK SAMPING DAN TATALAKSANANYA Regimen terapi HCV dengan pegylated interferon dan ribavirin mempunyai sejumlah efek samping, dan banyak yang tumpang tindih dengan efek samping dari antiretroviral HIV. Dengan paradigma baru terhadap terapi HCV dimana tanpa interferon, maka efek samping menjadi berkurang. Regimen tanpa interferon tidak menunjukkan peningkatan efek samping, pada pasien koinfeksi, jika dibandingkan pasien monoinfeksi, namun interaksi obat merupakan hal yang kompleks dan pasien tetap harus dilakukan monitor secara ketat. 7 Rekomendasi 40. Monitoring ketat selama terapi HCV dibutuhkan (I,C) Anemia yang berhubungan dengan terapi HCV pegylatedinterferon/ribavirin atau DAA dengan ribavirin harus dilakukan penyesuaian dosis dengan cara mengurangi dosis ribavirin. Penggunaan eritropoietin tidak direkomendasikan sebagai tatalaksana pilihan pertama dalam penanganan anemia (2b,B) 7 XI. HIV DAN TRANSPLANTASI HATI Indikasi transplantasi hati pada pasien HIV, yaitu supresi viral load dengan jumlah CD4 > 200 sel/µl dan tidak ada infeksi oportunistik. Angka survival 5 tahun pada pasien koinfeksi HIV-HCV setelah transplantasi hati adalah berkisar 50-55% dibandingkan 71% pada kasus monoinfeksi HCV. Hal utama yang menjadi prediktor outcome adalah eliminasi viral HCV post transplantasi dengan terapi antiviral HCV. Pada yang mencapai SVR, maka angka survival 5 tahun berkisar antara 80%. Kesuksesan terapi DAA pada pasien koinfeksi HIV-HCV yang telah menjalani transplantasi hati, meningkatkan harapan meningkatnya angka survival. 7 Rekomendasi 42. Pasien koinfeksi HIV-HCV harus dipertimbangkan untuk dilakukan transplantasi hati, jika semua kriteria terpenuhi. (2a,C) Terapi antiviral HCV harus dipertimbangkan pemberiannya pada pasien yang telah menjalani transplantasi (I,C) 7 26

27 XII. WAKTU DIMULAINYA TERAPI HCV PADA ERA DAAs Individu dengan minimal fibrosis, dapat menunda terapi jika dibandingkan individu dengan tahap penyakit yang sudah lanjut. Jika dilakukan penundaan, maka harus selalu memeriksakan progresi dari derajat fibrosis setiap tahunnya, jika terdapat TE atau setiap 3 tahun, jika dengan biopsi hati. 7 XIII. KESIMPULAN Semua pasien HIV harus diskrining infeksi virus hepatitis C (HCV). Pasien dengan risiko tinggi infeksi hepatitis C, harus diskrining setiap tahun dan kapanpun ketika diduga infeksi HCV. Terapi antiretroviral dapat memperlambat progresi penyakit hati dengan cara menjaga atau mengembalikan fungsi imun dan mengurangi aktifasi imun dan inflamasi yang berkaitan dengan HIV. Untuk hampir semua pasien koinfeksi HIV-HCV, termasuk yang sirosis, ART lebih penting dibandingkan dengan DILI. Olehkarenanya, ART harus dimulai pada semua pasien koinfeksi HIV-HCV, tanpa memperhatikan nilai CD4. Regimen awal ART yang direkomendasikan untuk pasien dengan koinfeksi HIV-HCV adalah sama dengan individu tanpa infeksi HCV. Namun ketika pengobatan keduanya HIV dan HCV indikasi diberikan, maka regimen harus dipilih secara selektif, dengan beberapa pertimbangan potensi interaksi obat dan toksisitas obat. Pengobatan HIV dan HCV rumit, dengan adanya interaksi obat, dan toksisitas. Meskipun ART harus dimulai pada semua pasien koinfeksi HIV-HCV tanpa memperhatikan nilai CD4, namun pada pasien naif ART dengan CD4 >500 sel/mm 3, maka beberapa klinisi memilih untuk menunda ART sampai pengobatan HCV selesai. Pada pasien dengan nilai CD4 rendah (<200 sel/mm 3 ), maka ART harus dimulai dan pengobatan HCV ditunda sampai pasien stabil dengan pengobatan HIV Terapi DAA telah mengalami revolusi didalam tatalaksana HCV pada pasien koinfeksi HIV-HCV. Angka SVR pada pasien koinfeksi HIV-HCV dengan monoinfeksi hampir sama. Standard terbaru untuk pasien dengan genotipe 1 adalah kombinasi regimen DAA, tanpa interferon. 27

28 Standard terapi untuk pasien dengan genotipe 2 dan 3 adalah dual terapi dengan sofosbuvir dan ribavirin atau daclatasvir dan sofosbuvir VII. DAFTAR PUSTAKA 1. Panel on Antiretroviral Guidelines for Adults and Adolescents. Guidelines for the use of antiretroviral agents in HIV-1 infected adults and adolescents Available from: 2. American Association for The Study of Liver Diseases. Recommendations for testing, managing, and treating hepatitis C Available from: 3. Infectious Diseases Society of America. Recommendations for testing, managing, and treating hepatitis C Available from: 4. Uptodate Epidemiology, natural history, and diagnosis of hepatitis C in the HIVinfected patients. 5. Global Report. UNAIDS report on the global AIDS epidemic Available from: 6. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. Petunjuk klinis koinfeksi HIV-HCV Available from: 7. Hull M, Shafran S, Wong A, et al. CIHR Canadian HIV trial network coinfection and concurrent diseases core research group: 2016 updated canadian HIV/hepatitis C adult guidelines for management and treatment. Canadian Journal of Infectious Diseases and Medical Microbiology 2016: European Association for The Study of The Liver. EASL recommendations on treatment of hepatitis C Journal of Hepatology 2015;63: Peraturan Menteri Kesehatan. Pedoman pengobatan antiretroviral Gani R. Hepatitis C. Buku ajar ilmu penyakit dalam 6 th edition. InternaPublishing 2014;254: Yunihastuti E, Djoerban Z, Gani RA. Coinfection of hepatitis B and C among HIV infected patients: a database of HIV Clinic Ciptomangunkusumo Hospital, Jakarta ,

29 12. Bartensclager R, Lohmann V. Replication of hepatitis C virus. J Gen Virol 2000;81(7): Chen SL, Morgan TR. The natural history of hepatitis C virus infection. Int J Med Sci 2006;3(2): World Health Organization. Guidelines for the screening care and treatment of person with chronic hepatitis C infection Available from: Andrew O, Raja K. The role of direct acting antivirals in chronic hepatitis C treatment update. Journal Antivirals and Antiretrovirals. 2016:

HEPATITIS FUNGSI HATI

HEPATITIS FUNGSI HATI HEPATITIS Hepatitis adalah istilah umum untuk pembengkakan (peradangan) hati (hepa dalam bahasa Yunani berarti hati, dan itis berarti pembengkakan). Banyak hal yang dapat membuat hati Anda bengkak, termasuk:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Perumusan masalah Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di Amerika Serikat dan bertanggung jawab terhadap 1,2% seluruh

Lebih terperinci

M. ESHA FAHLUTHFI PEMBIMBING : DR. HJ. IHSANIL HUSNA, SP.PD

M. ESHA FAHLUTHFI PEMBIMBING : DR. HJ. IHSANIL HUSNA, SP.PD M. ESHA FAHLUTHFI PEMBIMBING : DR. HJ. IHSANIL HUSNA, SP.PD Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta

Lebih terperinci

Pemberian ARV pada PMTCT. Dr. Janto G. Lingga,SpP

Pemberian ARV pada PMTCT. Dr. Janto G. Lingga,SpP Pemberian ARV pada PMTCT Dr. Janto G. Lingga,SpP Terapi & Profilaksis ARV Terapi ARV Penggunaan obat antiretroviral jangka panjang untuk mengobati perempuan hamil HIV positif dan mencegah MTCT Profilaksis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Banyak pasien yang meninggal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Banyak pasien yang meninggal 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang penelitian Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan salah satu penyakit hati dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Banyak pasien yang meninggal pada dekade

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B terdistribusi di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B terdistribusi di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B terdistribusi di seluruh dunia. Penderita infeksi hepatitis B diperkirakan berjumlah lebih dari 2 milyar orang

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) semakin menjadi masalah kesehatan utama di seluruh dunia.

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN. tetapi sering tidak diketahui, karena tidak menunjukkan gejala untuk waktu

Bab 1 PENDAHULUAN. tetapi sering tidak diketahui, karena tidak menunjukkan gejala untuk waktu Bab 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Penyakit hati kronis merupakan masalah kesehatan masyarakat, tetapi sering tidak diketahui, karena tidak menunjukkan gejala untuk waktu yang sangat lama,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Hepatitis kronik virus B dan virus C adalah masalah kesehatan di seluruh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Hepatitis kronik virus B dan virus C adalah masalah kesehatan di seluruh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Hepatitis kronik virus B dan virus C adalah masalah kesehatan di seluruh dunia dan penyebab terjadinya proses fibrosis hati dan berakhir pada sirosis hati

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. infeksi Human Immunodificiency Virus (HIV). HIV adalah suatu retrovirus yang

BAB I. PENDAHULUAN. infeksi Human Immunodificiency Virus (HIV). HIV adalah suatu retrovirus yang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang AIDS (Accquired Immunodeficiency Syndrom) adalah stadium akhir pada serangkaian abnormalitas imunologis dan klinis yang dikenal sebagai spektrum infeksi Human Immunodificiency

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondiloma akuminata (KA) merupakan infeksi menular seksual yang disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa fibroepitelioma pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah gejala atau

I. PENDAHULUAN. Penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah gejala atau I. PENDAHULUAN Penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah gejala atau infeksi yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusiaakibat infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. etiologi berbeda yang ada dan berlangsung terus menerus, meliputi hepatitis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. etiologi berbeda yang ada dan berlangsung terus menerus, meliputi hepatitis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Istilah penyakit hati kronik merupakan suatu kondisi yang memiliki etiologi berbeda yang ada dan berlangsung terus menerus, meliputi hepatitis kronik dan

Lebih terperinci

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2PL) Kementerian Kesehatan RI (4),

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2PL) Kementerian Kesehatan RI (4), BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi dari virus HIV (Human Immunodeficiency

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan kriteria WHO, anemia merupakan suatu keadaan klinis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan kriteria WHO, anemia merupakan suatu keadaan klinis 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anemia Pada Pasien HIV/AIDS 2.1.1 Definisi Anemia Berdasarkan kriteria WHO, anemia merupakan suatu keadaan klinis dimana konsentrasi hemoglobin kurang dari 13 g/dl pada laki-laki

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan

BAB 1 PENDAHULUAN. dan berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan masalah utama pada beberapa negara dan berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. dipengaruhi epidemi ini ditinjau dari jumlah infeksi dan dampak yang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. dipengaruhi epidemi ini ditinjau dari jumlah infeksi dan dampak yang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Epidemi Human immunodeficiency virus (HIV) / Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) merupakan krisis global dan tantangan yang berat bagi pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat disebabkan oleh infeksi virus. Telah ditemukan lima kategori virus yang menjadi agen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. imuno kompromis infeksius yang berbahaya, dikenal sejak tahun Pada

I. PENDAHULUAN. imuno kompromis infeksius yang berbahaya, dikenal sejak tahun Pada 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan suatu penyakit imuno kompromis infeksius yang berbahaya, dikenal sejak tahun 1981. Pada tahun 1983, agen penyebab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) atau Sexually Transmited Infections (STIs) adalah penyakit yang didapatkan seseorang karena melakukan hubungan seksual dengan orang yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumber: Kemenkes, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Sumber: Kemenkes, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang merupakan penyebab dari timbulnya Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), masih menjadi masalah kesehatan utama secara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKAA. tertinggi dia Asia sejumlah kasus. Laporan UNAIDS, memperkirakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKAA. tertinggi dia Asia sejumlah kasus. Laporan UNAIDS, memperkirakan 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKAA 2.1 Epidemiologi HIV/AIDS Secara global Indonesia menduduki peringkat ketiga dengan kasusa HIV tertinggi dia Asia sejumlah 380.000 kasus. Laporan UNAIDS, memperkirakan pada tahun

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit epidemik di

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit epidemik di BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit epidemik di dunia, dimana penderita HIV terbanyak berada di benua Afrika dan Asia. Menurut World Health Organization

Lebih terperinci

Terapi antiretroviral untuk infeksi HIV pada bayi dan anak:

Terapi antiretroviral untuk infeksi HIV pada bayi dan anak: Terapi antiretroviral untuk infeksi HIV pada bayi dan anak: Menuju akses universal Oleh: WHO, 10 Juni 2010 Ringkasan eksekutif usulan. Versi awal untuk perencanaan program, 2010 Ringkasan eksekutif Ada

Lebih terperinci

XII. Pertimbangan untuk bayi dan anak koinfeksi TB dan HIV

XII. Pertimbangan untuk bayi dan anak koinfeksi TB dan HIV ART untuk infeksi HIV pada bayi dan anak dalam rangkaian terbatas sumber daya (WHO) XII. Pertimbangan untuk bayi dan anak koinfeksi TB dan HIV Tuberkulosis (TB) mewakili ancaman yang bermakna pada kesehatan

Lebih terperinci

ABSTRAK (STUDI PUST AKA) Interferon Sebagai Terapi Terhadap Penderita Hepatitis C Roni Aldiano, Pembimbing : dr. Fanny Rahardja, MSi.

ABSTRAK (STUDI PUST AKA) Interferon Sebagai Terapi Terhadap Penderita Hepatitis C Roni Aldiano, Pembimbing : dr. Fanny Rahardja, MSi. ABSTRAK (STUDI PUST AKA) Interferon Sebagai Terapi Terhadap Penderita Hepatitis C Roni Aldiano, 2004. Pembimbing : dr. Fanny Rahardja, MSi. Interferon (IFN) adalah salah satu jenis molekul sitokin yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan tahap akhir dari infeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan tahap akhir dari infeksi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan tahap akhir dari infeksi yang disebabkan oleh virus yang disebut HIV (Human Immunodeficiency Virus). Virus ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Human Immunodeficiency Virus(HIV) dan penyakitacquired Immuno

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Human Immunodeficiency Virus(HIV) dan penyakitacquired Immuno BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Infeksi Human Immunodeficiency Virus(HIV) dan penyakitacquired Immuno Deficiency Syndrome(AIDS) saat ini telah menjadi masalah kesehatan global. Selama kurun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit infeksi yang hingga saat

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit infeksi yang hingga saat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit infeksi yang hingga saat ini masih menjadi salah satu penyakit yang paling ditakuti dan memiliki insiden yang

Lebih terperinci

Apa itu HIV/AIDS? Apa itu HIV dan jenis jenis apa saja yang. Bagaimana HIV menular?

Apa itu HIV/AIDS? Apa itu HIV dan jenis jenis apa saja yang. Bagaimana HIV menular? Apa itu HIV/AIDS? Apa itu HIV dan jenis jenis apa saja yang HIV berarti virus yang dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Ini adalah retrovirus, yang berarti virus yang mengunakan sel tubuhnya sendiri

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya

BAB 1 PENDAHULUAN. merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang secara progresif merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya menjaga sistem kekebalan

Lebih terperinci

Etiology dan Faktor Resiko

Etiology dan Faktor Resiko Etiology dan Faktor Resiko Fakta Penyakit ini disebabkan oleh virus hepatitis C (HCV). Virus hepatitis C merupakan virus RNA yang berukuran kecil, bersampul, berantai tunggal, dengan sense positif Karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan salah satu. Penurunan imunitas seluler penderita HIV dikarenakan sasaran utama

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan salah satu. Penurunan imunitas seluler penderita HIV dikarenakan sasaran utama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan salah satu infeksi yang perkembangannya terbesar di seluruh dunia, dalam dua puluh tahun terakhir diperkirakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. 1.1 Latar Belakang Penyakit human immunodeficiency virus/acquired immunodeficiency syndrome (HIV/AIDS) disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu retrovirus yang berasal dari famili

Lebih terperinci

HIV dengan anemia (Volberding, dkk., 2002; Volberding, dkk 2004). Anemia juga

HIV dengan anemia (Volberding, dkk., 2002; Volberding, dkk 2004). Anemia juga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan masalah di seluruh dunia termasuk Indonesia. Laporan UNAIDS tahun 2010 menyatakan bahwa walaupun secara global

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN LABORATORIUM INFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS PADA BAYI DAN ANAK

PEMERIKSAAN LABORATORIUM INFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS PADA BAYI DAN ANAK PEMERIKSAAN LABORATORIUM INFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS PADA BAYI DAN ANAK Endang Retnowati Departemen/Instalasi Patologi Klinik Tim Medik HIV FK Unair-RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 15 16 Juli 2011

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1,2,3. 4 United Nations Programme on HIV/AIDS melaporkan

BAB I PENDAHULUAN 1,2,3. 4 United Nations Programme on HIV/AIDS melaporkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi dari virus Human Immunodeficiency

Lebih terperinci

iii KATA PENGANTAR dr. Wiendra Waworuntu, M.Kes NIP

iii KATA PENGANTAR dr. Wiendra Waworuntu, M.Kes NIP DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT KEMENTERIAN KESEHATAN RI 2017 iii KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat dan rahmatnya telah selesai tersusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Berdasarkan data yang diterbitkan oleh Joint United National Program on

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Berdasarkan data yang diterbitkan oleh Joint United National Program on BAB I PENDAHULUAN A.Latar belakang Infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) saat ini merupakan masalah kesehatan terbesar di dunia. Berdasarkan data yang

Lebih terperinci

Pengobatan Terkini Hepatitis Kronik B dan C

Pengobatan Terkini Hepatitis Kronik B dan C Pengobatan Terkini Hepatitis Kronik B dan C Rino A Gani, Dr, SpPD-KGEH Divisi Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN Cipto Mangunkusumo RS. Internasional Bintaro Jl. MH Thamrin No.1 Sektor 7,

Lebih terperinci

Hepatitis C: Bom Waktu didalam Hati

Hepatitis C: Bom Waktu didalam Hati Hepatitis C: Bom Waktu didalam Hati Apa hati itu? Hati adalah organ terbesar dalam tubuh manusia. Berat sekitar 1,5-3 kg pada orang dewasa. Apa saja fungsi hati? Membuat bahan yang diperlukan tubuh u/

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1.5 Hepatitis C Hepatitis C adalah penyakit hati yang disebabkan oleh virus hepatitis C (HCV). Terdiri dari hepatitis C akut dan kronik, dari tingkat keparahan yang ringan yang

Lebih terperinci

Mengenal Hepatitis C dan B. Buklet ini ditujukan untuk masyarakat agar lebih mengetahui informasi seputar Hepatitis C dan B.

Mengenal Hepatitis C dan B. Buklet ini ditujukan untuk masyarakat agar lebih mengetahui informasi seputar Hepatitis C dan B. Mengenal Hepatitis C dan B Buklet ini ditujukan untuk masyarakat agar lebih mengetahui informasi seputar Hepatitis C dan B. 1 3 Pengantar H E P A T I T I S C 4 5 5 5 6 7 8 10 11 13 14 14 15 15 16 16 17

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dan AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. AIDS didefinisikan

Lebih terperinci

4.6 Instrumen Penelitian Cara Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data Etika Penelitian BAB V.

4.6 Instrumen Penelitian Cara Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data Etika Penelitian BAB V. DAFTAR ISI SAMPUL DALAM... I LEMBAR PERSETUJUAN... II PENETAPAN PANITIA PENGUJI... III KATA PENGANTAR... IV PRASYARAT GELAR... V ABSTRAK... VI ABSTRACT... VII DAFTAR ISI... VIII DAFTAR TABEL... X Bab I.

Lebih terperinci

Kapankah waktu yang tepat penggunaan tripel terapi (fokus pada boceprevir) pada pasien ini dan efek samping apa saja yang mungkin muncul.

Kapankah waktu yang tepat penggunaan tripel terapi (fokus pada boceprevir) pada pasien ini dan efek samping apa saja yang mungkin muncul. PENDAHULUAN Sejak ditemukan pada tahun 1989, virus hepatitis C (VHC) telah menjadi salah satu penyebab utama penyakit hati kronik di seluruh dunia. World Health Organization (WHO) memperkirakan prevalensi

Lebih terperinci

X. Perubahan rejimen ARV pada bayi dan anak: kegagalan terapi

X. Perubahan rejimen ARV pada bayi dan anak: kegagalan terapi ART untuk infeksi HIV pada bayi dan anak dalam rangkaian terbatas sumber daya (WHO) X. Perubahan rejimen ARV pada bayi dan anak: kegagalan terapi Kepatuhan yang kurang, tingkat obat yang tidak cukup, resistansi

Lebih terperinci

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis B di Indonesia

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis B di Indonesia Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis B di Indonesia Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) 2012 x+56 Halaman 15 x 23 cm ISBN 978-602-18991-0-6 Cetakan Kedua Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

Lebih terperinci

Meyakinkan Diagnosis Infeksi HIV

Meyakinkan Diagnosis Infeksi HIV ART untuk infeksi HIV pada bayi dan anak dalam rangkaian terbatas sumber daya (WHO) IV. Meyakinkan Diagnosis Infeksi HIV Bagian ini merangkum usulan WHO untuk menentukan adanya infeksi HIV (i) agar memastikan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum HIV/AIDS HIV merupakan virus yang menyebabkan infeksi HIV (AIDSinfo, 2012). HIV termasuk famili Retroviridae dan memiliki genome single stranded RNA. Sejauh ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. varises pada pasien dengan sirosis sekitar 60-80% dan risiko perdarahannya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. varises pada pasien dengan sirosis sekitar 60-80% dan risiko perdarahannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perdarahan varises esofagus (VE) merupakan satu dari banyak komplikasi mematikan dari sirosis karena tingkat mortalitasnya yang tinggi. Prevalensi varises

Lebih terperinci

RINGKASAN. Penyakit hati kronis merupakan masalah kesehatan masyarakat, tetapi sering tidak diketahui, karena tidak menunjukkan gejala untuk

RINGKASAN. Penyakit hati kronis merupakan masalah kesehatan masyarakat, tetapi sering tidak diketahui, karena tidak menunjukkan gejala untuk RINGKASAN Penyakit hati kronis merupakan masalah kesehatan masyarakat, tetapi sering tidak diketahui, karena tidak menunjukkan gejala untuk waktu yang sangat lama, dan baru terdeteksi ketika fibrosis telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Infeksi dengue masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Infeksi dengue disebabkan oleh virus DEN 1,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. fosfolipid dan asam asetoasetat (Amirudin, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. fosfolipid dan asam asetoasetat (Amirudin, 2009). BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Hati adalah organ dari sistem pencernaan terbesar dengan berat antara 1,2-1,8 kg dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi yang sangat komplek. Beberapa fungsi

Lebih terperinci

SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan mencapai gelar Sarjana Farmasi ( S1 )

SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan mencapai gelar Sarjana Farmasi ( S1 ) STUDI PENGGUNAAN ANTIRETROVIRAL PADA PENDERITA HIV(Human Immunodeficiency Virus) POSITIF DI KLINIK VOLUNTARY CONSELING AND TESTING RSUD dr. SOEBANDI JEMBER Periode 1 Agustus 2007-30 September 2008 SKRIPSI

Lebih terperinci

V. Kapan mulai terapi antiretroviral pada bayi dan anak

V. Kapan mulai terapi antiretroviral pada bayi dan anak ART untuk infeksi HIV pada bayi dan anak dalam rangkaian terbatas sumber daya (WHO) V. Kapan mulai terapi antiretroviral pada bayi dan anak Proses pengambilan keputusan untuk mulai ART pada bayi dan anak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit HIV & AIDS merupakan suatu penyakit yang terus berkembang dan menjadi masalah global yang melanda dunia. Indonesia merupakan negara di ASEAN yang paling tinggi

Lebih terperinci

Sebanyak 70% pasien HIV terbukti mengalami infeksi hepatitis B akut maupun kronik

Sebanyak 70% pasien HIV terbukti mengalami infeksi hepatitis B akut maupun kronik Sebanyak 70% pasien HIV terbukti mengalami infeksi hepatitis B akut maupun kronik Didapatkan 5-10% pasien HIV terbukti mengalami infeksi hepatitis B kronik Angka bersihan spontan VHB pasien koinfeksi HIV-VHB

Lebih terperinci

PERANAN NON-VIRAL LOAD SURROGATE MARKER PADA PASIEN HIV(+) YANG DIMONITOR SELAMA PENGOBATAN ANTIRETROVIRAL

PERANAN NON-VIRAL LOAD SURROGATE MARKER PADA PASIEN HIV(+) YANG DIMONITOR SELAMA PENGOBATAN ANTIRETROVIRAL PERANAN NON-VIRAL LOAD SURROGATE MARKER PADA PASIEN HIV(+) YANG DIMONITOR SELAMA PENGOBATAN ANTIRETROVIRAL Dr. Donna Partogi, SpKK NIP. 132 308 883 DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FK.USU/RSUP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) semakin nyata menjadi masalah kesehatan utama diseluruh dunia (Yasin

Lebih terperinci

Cheaper HIV viral load in-house assay and simplified HIV Test Algorithm

Cheaper HIV viral load in-house assay and simplified HIV Test Algorithm Cheaper HIV viral load in-house assay and simplified HIV Test Algorithm Agnes R Indrati Clinical Pathology dept, Hasan Sadikin hospital/ University of Padjadjaran Bandung Diperesentasikan pada: 3 rd Bandung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. (2) Meskipun ilmu. namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. (2) Meskipun ilmu. namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. Tidak ada negara yang terbebas dari HIV/AIDS. (1) Saat ini

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kanker merupakan salah satu penyakit yang banyak menimbulkan morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab kematian nomor

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG. Sirosis hati (SH) menjadi problem kesehatan utama di

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG. Sirosis hati (SH) menjadi problem kesehatan utama di 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sirosis hati (SH) menjadi problem kesehatan utama di dunia. Sirosis hati dan penyakit hati kronis penyebab kematian urutan ke 12 di Amerika Serikat pada tahun 2002,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. KHS terjadi di negara berkembang. Karsinoma hepatoseluler merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. KHS terjadi di negara berkembang. Karsinoma hepatoseluler merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Perumusan Masalah Karsinoma hepatoseluler (KHS) merupakan kanker terbanyak kelima pada laki-laki (7,9%) dan ketujuh pada wanita 6,5%) di dunia, sebanyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentuk nodul-nodul yang abnormal. (Sulaiman, 2007) Penyakit hati kronik dan sirosis menyebabkan kematian 4% sampai 5% dari

BAB I PENDAHULUAN. bentuk nodul-nodul yang abnormal. (Sulaiman, 2007) Penyakit hati kronik dan sirosis menyebabkan kematian 4% sampai 5% dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PENELITIAN Sirosis hati adalah merupakan perjalanan akhir berbagai macam penyakit hati yang ditandai dengan fibrosis. Respon fibrosis terhadap kerusakan hati bersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kasus infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kasus infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Peningkatan kasus infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) memerlukan deteksi cepat untuk kepentingan diagnosis dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue I, II, III, dan IV yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedes albopticus.

Lebih terperinci

ABSTRAK. Adherence Scale (MMAS).

ABSTRAK. Adherence Scale (MMAS). iv ABSTRAK HIV positif merupakan kondisi ketika terdapat infeksi Human Immunodeficiency Virus di dalam darah seseorang. Sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.000 wanita didiagnosa dengan kanker ovarium di seluruh dunia dan 125.000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhasil mencapai target Millenium Development Goal s (MDG s), peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. berhasil mencapai target Millenium Development Goal s (MDG s), peningkatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menjadi tantangan global. Meskipun program pengendalian TB di Indonesia telah berhasil mencapai target

Lebih terperinci

INSIDENSI HEPATITIS B PADA PASIEN HIV- AIDS DI KLINIK VCT PUSYANSUS RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN DARI JANUARI TAHUN DESEMBER TAHUN 2012

INSIDENSI HEPATITIS B PADA PASIEN HIV- AIDS DI KLINIK VCT PUSYANSUS RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN DARI JANUARI TAHUN DESEMBER TAHUN 2012 INSIDENSI HEPATITIS B PADA PASIEN HIV- AIDS DI KLINIK VCT PUSYANSUS RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN DARI JANUARI TAHUN 2010- DESEMBER TAHUN 2012 KARYA TULIS ILMIAH Oleh: THILAKAM KANTHASAMY 100 100 415 FAKULTAS

Lebih terperinci

VIRUS HEPATITIS B. Untuk Memenuhi Tugas Browsing Artikel Webpage. Oleh AROBIYANA G0C PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN

VIRUS HEPATITIS B. Untuk Memenuhi Tugas Browsing Artikel Webpage. Oleh AROBIYANA G0C PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN 1 VIRUS HEPATITIS B Untuk Memenuhi Tugas Browsing Artikel Webpage Oleh AROBIYANA G0C015009 PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN UNUVERSITAS MUHAMADIYAH SEMARANG

Lebih terperinci

ABSTRAK KORELASI ANTARA TOTAL LYMPHOCYTE COUNT DAN JUMLAH CD4 PADA PASIEN HIV/AIDS

ABSTRAK KORELASI ANTARA TOTAL LYMPHOCYTE COUNT DAN JUMLAH CD4 PADA PASIEN HIV/AIDS ABSTRAK KORELASI ANTARA TOTAL LYMPHOCYTE COUNT DAN JUMLAH CD4 PADA PASIEN HIV/AIDS Ardo Sanjaya, 2013 Pembimbing 1 : Christine Sugiarto, dr., Sp.PK Pembimbing 2 : Ronald Jonathan, dr., MSc., DTM & H. Latar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus ribonucleic acid (RNA) yang termasuk family retroviridae dan genus lentivirus yang menyebabkan penurunan imunitas tubuh.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepatitis B adalah infeksi hati yang disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB) yang dapat menyebabkan penyakit akut maupun kronis (WHO, 2015). Penularan hepatitis virus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.A. Latar Belakang. Hepatitis B merupakan penyakit infeksi menular. berbahaya yang disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB).

BAB I PENDAHULUAN. I.A. Latar Belakang. Hepatitis B merupakan penyakit infeksi menular. berbahaya yang disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB). BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Hepatitis B merupakan penyakit infeksi menular berbahaya yang disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB). Virus ini menginfeksi melalui cairan tubuh manusia secara akut

Lebih terperinci

BAB II PENDAHULUANN. Syndromem (AIDS) merupakan masalah global yang terjadi di setiap negara di

BAB II PENDAHULUANN. Syndromem (AIDS) merupakan masalah global yang terjadi di setiap negara di 1 BAB II PENDAHULUANN 1.1 Latar Belakangg Humann Immunodeficiencyy Viruss (HIV) / Acquired Immuno Deficiency Syndromem (AIDS) merupakan masalah global yang terjadi di setiap negara di dunia, dimana jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah HIV/AIDS. HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang

BAB I PENDAHULUAN. masalah HIV/AIDS. HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan yang mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari masalah HIV/AIDS.

Lebih terperinci

Infeksi pada Pasien Hemodialisis: HIV, Hepatitis & MRSA

Infeksi pada Pasien Hemodialisis: HIV, Hepatitis & MRSA Infeksi pada Pasien Hemodialisis: HIV, Hepatitis & MRSA Widodo Divisi Ginjal & Hipertensi Departemen Penyakit Dalam RSUD Dr. Soetomo Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya Infeksi pada Pasien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Infeksi Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang menimbulkan masalah besar di dunia.tb menjadi penyebab utama kematian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Sirosis adalah suatu keadaan patologik yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. hepatitis virus B dan C. Selain itu, faktor risiko lain yang dapat bersama-sama atau berdiri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. hepatitis virus B dan C. Selain itu, faktor risiko lain yang dapat bersama-sama atau berdiri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyakit sirosis hati merupakan kelanjutan fibrosis hati yang progresif dengan gambaran hampir semua penyakit kronik hati. Etiologi paling sering adalah infeksi

Lebih terperinci

ABSTRACT. Yulian Rahmadini *, Retnosari Andrajati **, Rizka Andalusia *** *

ABSTRACT. Yulian Rahmadini *, Retnosari Andrajati **, Rizka Andalusia *** * ISSN : 1693-9883 Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. V, No. 2, Agustus 2008, 67-74 PERBANDINGAN EFIKASI BEBERAPA KOMBINASI ANTIRETROVIRAL PADA PASIEN HIV/AIDS DITINJAU DARI KENAIKAN JUMLAH CD4 RATA-RATA (ANALISIS

Lebih terperinci

Dampak Perpaduan Obat ARV pada Pasien HIV/AIDS ditinjau dari Kenaikan Jumlah Limfosit CD4 + di RSUD Dok II Kota Jayapura

Dampak Perpaduan Obat ARV pada Pasien HIV/AIDS ditinjau dari Kenaikan Jumlah Limfosit CD4 + di RSUD Dok II Kota Jayapura PLASMA, Vol. 1, No. 2, 2015 : 53-58 Dampak Perpaduan Obat ARV pada Pasien HIV/AIDS ditinjau dari Kenaikan Jumlah Limfosit CD4 + di RSUD Dok II Kota Jayapura Comparison of the Efficacy of ARV Combination

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menginfeksi sel-sel sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak

BAB I PENDAHULUAN. menginfeksi sel-sel sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan retrovirus yang menginfeksi sel-sel sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsi. Selama infeksi berlangsung,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai infeksi disebut dengan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS).

BAB I PENDAHULUAN. berbagai infeksi disebut dengan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) telah dikenal sejak tahun 1983 dan termasuk dalam golongan retrovirus. HIV menyerang sistem imun yang secara bertahap akan menimbulkan

Lebih terperinci

Pemutakhiran Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Ba

Pemutakhiran Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Ba Pemutakhiran Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Ba Dr. Muh. Ilhamy, SpOG Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Ditjen Bina Kesmas, Depkes RI Pertemuan Update Pedoman Nasional PMTCT Bogor, 4

Lebih terperinci

PrEP: HIV Pre exposure Prophylaxis

PrEP: HIV Pre exposure Prophylaxis PrEP: HIV Pre exposure Prophylaxis Yuda Hananta 29 mei 2017 Tujuan Memahami rekomendasi terbaru tentang PrEP Mengidentifikasi kelompok yang cocok mendapatkan PrEP Mempelajari bagaimana pengelolaan program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hangat dibahas dalam masa sekarang ini adalah penyakit HIV/AIDS (Human

BAB I PENDAHULUAN. hangat dibahas dalam masa sekarang ini adalah penyakit HIV/AIDS (Human 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan masalah kesehatan global yang menjadi perbincangan masyarakat di seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesembilan di Amerika Serikat, sedangkan di seluruh dunia sirosis menempati urutan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesembilan di Amerika Serikat, sedangkan di seluruh dunia sirosis menempati urutan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan salah satu penyakit dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Sirosis hati merupakan penyebab kematian kesembilan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Artritis Reumatoid Artritis reumatoid adalah penyakit autoimun dengan karakteristik adanya inflamasi kronik pada sendi disertai dengan manifestasi sistemik seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat kronis dan kompleks. Penyakit ini dapat menyerang segala usia dan jenis kelamin. Lesi yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemeriksaan rutin kesehatan atau autopsi (Nurdjanah, 2014).

BAB 1 PENDAHULUAN. pemeriksaan rutin kesehatan atau autopsi (Nurdjanah, 2014). BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sirosis hepatis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur

Lebih terperinci

HEPATITIS C VIRUS CO- INFECTION INCREASES THE RISK OF ANTI- TUBERCULOSIS DRUG- INDUCED HEPATOTOXICITY AMONG PATIENTS WITH PULMONARY TUBERCULOSIS

HEPATITIS C VIRUS CO- INFECTION INCREASES THE RISK OF ANTI- TUBERCULOSIS DRUG- INDUCED HEPATOTOXICITY AMONG PATIENTS WITH PULMONARY TUBERCULOSIS HEPATITIS C VIRUS CO- INFECTION INCREASES THE RISK OF ANTI- TUBERCULOSIS DRUG- INDUCED HEPATOTOXICITY AMONG PATIENTS WITH PULMONARY TUBERCULOSIS Ayu Novita Trisnawati 1111012047 Kelas B Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sel Cluster of differentiation 4 (CD4) adalah semacam sel darah putih

BAB 1 PENDAHULUAN. Sel Cluster of differentiation 4 (CD4) adalah semacam sel darah putih BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sel Cluster of differentiation 4 (CD4) adalah semacam sel darah putih atau limfosit. Sel tersebut adalah bagian terpenting dari sistem kekebalan tubuh, Sel ini juga

Lebih terperinci

Hepatitis: suatu gambaran umum Hepatitis

Hepatitis: suatu gambaran umum Hepatitis Hepatitis: suatu gambaran umum Hepatitis Apakah hepatitis? Hepatitis adalah peradangan hati. Ini mungkin disebabkan oleh obat-obatan, penggunaan alkohol, atau kondisi medis tertentu. Tetapi dalam banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahkan negara lain. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari masalah

BAB I PENDAHULUAN. bahkan negara lain. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah HIV merupakan masalah kesehatan yang mengancam Indonesia bahkan negara lain. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari masalah HIV/AIDS dan menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.A. LATAR BELAKANG MASALAH. Infeksi virus hepatitis B (VHB) merupakan salah. satu masalah kesehatan utama dengan tingkat morbiditas

BAB I PENDAHULUAN I.A. LATAR BELAKANG MASALAH. Infeksi virus hepatitis B (VHB) merupakan salah. satu masalah kesehatan utama dengan tingkat morbiditas 1 BAB I PENDAHULUAN I.A. LATAR BELAKANG MASALAH Infeksi virus hepatitis B (VHB) merupakan salah satu masalah kesehatan utama dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi di dunia meskipun vaksin

Lebih terperinci

Tata Laksana Koinfeksi Hepatitis C pada Infeksi Human Immunodeficiency Virus

Tata Laksana Koinfeksi Hepatitis C pada Infeksi Human Immunodeficiency Virus Tata Laksana Koinfeksi Hepatitis C pada Infeksi Human Immunodeficiency Virus Andreas Erick Haurissa 1, Darmadi 2, Theresia Ilyan 3 1 Dokter PTT Puskesmas Kecamatan Menjalin, Kabupaten Landak, Kalimantan

Lebih terperinci