KAJIAN KINERJA SURFAKTAN MES (METIL ESTER SULFONAT) DARI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) UNTUK ENHANCED WATERFLOODING

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN KINERJA SURFAKTAN MES (METIL ESTER SULFONAT) DARI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) UNTUK ENHANCED WATERFLOODING"

Transkripsi

1 KAJIAN KINERJA SURFAKTAN MES (METIL ESTER SULFONAT) DARI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) UNTUK ENHANCED WATERFLOODING SKRIPSI RIZTIARA NURFITRI F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 AN EXPERIMENTAL STUDY OF MES (METHYL ESTER SULFONATES) SURFACTANT FROM JATROPHA (Jatropha curcas L.) FOR ENHANCED WATERFLOODING 1) 2) Riztiara Nurfitri, 1) 2) Erliza Hambali and 3) Dadang Rukmana 1) Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia diademawinchester@yahoo.com 2) Surfactant and Bioenergy Research Centre, Bogor Agricultural University, IPB Baranang Siang Campus, Bogor, West Java, Indonesia 3) BP MIGAS, Wisma Mulia Building, PO Box 12710, Gatot Subroto, South Jakarta, Indonesia ABSTRACT Year by year, the production of petroleum decreases but its demand increases. The world will get the energy crisis if that condition happens continously. The main cause of low production of petroleum in Indonesia is the majority Indonesia s oil wells being mature field/brown field and the discovery of new oil field in small scale. Indonesia focuses on maximize oil recovery in brown field because its oil production decreases naturally up 15% in total production. In recent years, the field of enhanced oil recovery has grown became more popular due to a combination of stagnant oil production and low recoveries by conventional methods. Many fields use unconventional method like enhanced oil recovery (EOR) which is tertiary oil recovery phase. One way of EOR is chemical flooding which uses surfactant for injection. Surfactant is injected to water and it is known as enhanced waterflooding. Generally, surfactant of petroleum sulfonates is used for oil recovery. This surfactant has many weaknesses such as resistance to water hardness, susceptible detergency to high salinity and being imported with expensive price. Due to these weaknesses, therefore it trigger to get surfactant substitute like MES (methyl ester sulfonates) that is synthesized by biooil. One of biooil is Jatropha oil. The study was aimed to know experimental of surfactant formula for enhanced waterflooding in fluida sample of oil field and synthetic core sandstone. The result showed that injection of surfactant 0,2 PV gave the influence differently to oil recovery. The best condition was surfactant 0,2 PV with the soaking time of 12 hours. This formula gave the highest of incremental total oil recovery 61,07%. The number were resulted from 47,73% waterflooding and 13,34% surfactant injection. Surfactant formula gave the good performance of compatibility, thermal stability, phase behavior and filtration test. Keywords : Jatropha, Surfactant, Methyl Ester Sulfonates, Enhanced Oil Recovery, Waterflooding

3 RIZTIARA NURFITRI. F Kajian Kinerja Surfaktan MES (Metil Ester Sulfonat) dari Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) untuk Enhanced Waterflooding. Di bawah bimbingan Erliza Hambali dan Dadang Rukmana RINGKASAN Minyak bumi merupakan sumber energi yang masih menjadi primadona dan belum tergantikan oleh bahan lain hingga saat ini. Permintaan dunia pada minyak bumi diperkirakan akan terus meningkat. Sementara itu, produksi minyak bumi dunia terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Jika hal tersebut terus terjadi maka dunia akan mengalami krisis energi termasuk Indonesia. Faktor utama penyebab penurunan produksi minyak bumi di Indonesia adalah sumur-sumur minyak di Indonesia sebagian besar merupakan ladang minyak tua (brown field) dan penemuan ladang minyak baru dalam skala kecil. Produksi minyak dari brown field Indonesia mengalami penurunan sebesar 15 persen per tahun sehingga perlu dilakukan pengoptimalan recovery minyak pada brown field. Peningkatan recovery dapat dilakukan melalui metode EOR (enhanced oil recovery). Salah satu metode EOR yang dilakukan adalah chemical flooding dimana salah satunya dapat dilakukan dengan menggunakan surfaktan. Surfaktan dilarutkan dalam air dengan konsentrasi tertentu dan diinjeksikan ke dalam reservoar dimana metode ini dikenal dengan enhanced waterflooding. Surfaktan yang umum digunakan adalah petroleum sulfonat yang berasal dari minyak bumi. Kelemahan petroleum sulfonat adalah memiliki ketahanan yang buruk terhadap kondisi sadah dan sifat deterjensinya menurun dengan sangat tajam pada tingkat salinitas yang tinggi serta masih harus diimpor. Harga minyak bumi yang terus meningkat menyebabkan harga petroleum sulfonat juga meningkat.. Kelemahan yang dimiliki surfaktan petroleum sulfonat memicu pencarian alternatif surfaktan pengganti. Salah satu alternatif surfaktan pengganti adalah surfaktan MES. Surfaktan MES merupakan surfaktan anionik yang diperoleh dari hasil sintesa minyak nabati. Di Indonesia, pengembangan dan produksi surfaktan MES sangat prospektif untuk dilakukan karena Indonesia beriklim tropis, sehingga berbagai tanaman penghasil minyak seperti jarak pagar dapat tumbuh dengan baik. Salah satu komoditas yang prospektif sebagai bahan baku surfaktan MES adalah jarak pagar (Jatropha curcas L.). Jarak pagar memiliki kadar minyak yang tinggi, dapat tumbuh di daerah marjinal dan merupakan bahan non pangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja formula surfaktan MES dari jarak pagar untuk enhanced waterflooding pada contoh fluida dari lapangan minyak dan core sandstone sintetik. Sebelum diaplikasikan di Lapangan melalui enhanced waterflooding dilakukan terlebih dahulu di laboratorium melalui coreflooding test dengan dua kali ulangan. Coreflooding test dirancang dengan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 1 faktor yaitu volume larutan surfaktan dengan 3 taraf konsentrasi yaitu 0,1 PV, 0,2 PV dan 0,3 PV dengan lama perendaman 12 jam atau disesuaikan dengan karakteristik batuan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Paulina Mwangi (2008), lama perendaman selama 12 jam mampu memberikan tambahan recovery sebesar 8%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa formula surfaktan terpilih yaitu MES jarak pagar 0,3% dengan salinitas 1000 ppm NaCl dimana menghasilkan nilai IFT 7,45 x Fluida yang digunakan adalah dari Lapangan T. Formula tersebut diuji kinerja melalui uji compatibility, uji thermal stability, uji phase behavior dan uji filtrasi. Formula bernilai positif terhadap uji compatibility dan uji filtrasi dengan nilai Fr < 1,2. Selain itu, formula juga menunjukkan kinerja positif terhadap uji thermal stability dengan nilai IFT 6,73 x 10-3 dyne/cm hingga hari ke 30. Formula menunjukkan kinerja baik terhadap uji phase behavior dengan terbentuknya fase bawah hingga hari ke 30. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kondisi proses terbaik pada penelitian ini adalah 0,2 PV formula surfaktan dengan lama perendaman 12 jam yang menghasilkan total incremental recovery minyak 61,07%.

4 KAJIAN KINERJA SURFAKTAN MES (METIL ESTER SULFONAT) DARI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) UNTUK ENHANCED WATERFLOODING SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Oleh RIZTIARA NURFITRI F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

5

6 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Kajian Kinerja Surfaktan MES (Metil Ester Sulfonat) dari Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) untuk Enhanced Waterflooding adalah karya saya sendiri dengan arahan dari Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, November 2011 Yang membuat pernyataan, Riztiara Nurfitri F

7 Hak cipta milik Riztiara Nurfitri, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

8 BIODATA PENULIS Penulis memiliki nama lengkap Riztiara Nurfitri. Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 Juli 1989 dari pasangan Ridwan dan Betty. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dengan dua adik yang bernama Renny Oktari dan Ridha Aulia Putri. Pada tahun 2001, penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN Jati Asih III. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama di SLTPN 9 Bekasi pada tahun Kemudian penulis melanjutkan pendidikan sekolah menengah atas di SMAN 6 Bekasi dan lulus pada tahun Setelah lulus sekolah menengah atas, penulis melanjutkan pendidikan S1 di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui Jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama masa pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di sejumlah organisasi dan kepanitiaan, diantaranya anggota KEMSI (Kesatuan Mahasiswa Bekasi) IPB (2007-sekarang) dan divisi konsumsi Agroindustry Days Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB (2009). Selain itu, penulis juga menjadi asisten praktikum Analisis Bahan dan Produk Agroindustri pada semester ganjil tahun ajaran Selama menjalani perkuliahan di IPB, penulis mendapatkan beasiswa pendidikan Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) pada tahun 2010 dan Penulis melaksanakan Praktik Lapang pada tahun 2010 dengan judul Mempelajari Penerapan Good Manuffacturing Practices dan Pengelolaan Limbah di PT. Sinar Meadow International Indonesia. Untuk menyelesaikan pendidikan di Departemen Teknologi Industri Pertanian, penulis melakukan penelitian yang dituangkan dalam skripsi yang berjudul Kajian Kinerja Surfaktan MES (Metil Ester Sulfonat) dari Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) untuk Enhanced Waterflooding dengan dosen pembimbing Prof. Dr. Erliza Hambali dan Ir. Dadang Rukmana.

9 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Kajian Kinerja Surfaktan MES (Metil Ester Sulfonat) dari Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) untuk Enhanced Waterflooding. Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW serta para keluarga dan sahabatnya. Skripsi ini merupakan laporan hasil penelitian yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada : 1. Keluarga tercinta, yaitu Papa dan Mama tersayang Ridwan dan Betty serta kedua adik Renny Oktari dan Ridha Aulia Putri yang selalu menjadi sandaran baik suka maupun duka, yang telah memberikan segenap kasih sayang, doa, motivasi dan semangat kepada penulis. 2. Prof. Dr. Erliza Hambali dan Ir. Dadang Rukmana selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah mengarahkan dan membimbing dari awal hingga selesainya skripsi ini. 3. Dr. Endang Warsiki selaku Penguji Skripsi yang telah memberikan masukan dan arahan dalam perbaikan skripsi. 4. Mas Ari dan Mba Mira selaku Tenaga Ahli SBRC yang telah membimbing dari awal hingga selesainya penelitian penulis. 5. Seluruh staf dan teknisi SBRC khususnya Mas Encep, Mas Ferry, Mas Saeful, Mas Anas dan Mas Otto yang telah membantu kelancaran jalannya penelitian. 6. Eko Nopianto, Rizky Oktavian dan Rahman, teman satu bimbingan yang telah memberikan semangat, dukungan dan masukan kepada penulis. 7. Mba Nia, Epy dan Wardah, teman yang melakukan penelitian di SBRC yang telah memberikan semangat kepada penulis. 8. Teman seperjuangan TIN 44 khususnya Icha Bogor, Anza, Ditta, Gigi, Tyas, Eny dan Sabila serta teman Wisma Dwi Regina B yang telah memberi semangat kepada penulis. 9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang agroindustri. Bogor, Oktober 2011 Riztiara Nurfitri iii

10 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR LAMPIRAN... vii I. PENDAHULUAN LATAR BELAKANG TUJUAN RUANG LINGKUP... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA SURFAKTAN MES DARI JARAK PAGAR ENHANCED OIL RECOVERY... 8 III. METODE PENELITIAN BAHAN DAN ALAT METODE RANCANGAN PERCOBAAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN SURFAKTAN MES DARI JARAK PAGAR PEMBUATAN CORE SANDSTONE SINTETIK FORMULASI LARUTAN SURFAKTAN UJI KINERJA FORMULA UJI COMPATIBILITY UJI THERMAL STABILITY UJI PHASE BEHAVIOR UJI FILTRASI COREFLOODING TEST V. SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN iv

11 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Kisaran HLB dan aplikasi penggunaannya... 6 Tabel 2. Sifat fisiko-kimia minyak jarak pagar... 8 Tabel 3. Komposisi asam lemak dalam minyak jarak pagar... 8 Tabel 4. Kandungan garam air formasi / injeksi Tabel 5. Komposisi minyak bumi Tabel 6. Hasil analisis sifat fisiko-kimia minyak jarak pagar Tabel 7. Hasil analisis sifat fisiko-kimia metil ester jarak pagar Tabel 8. Hasil analisis sifat fisiko-kimia surfaktan MES jarak pagar Tabel 9. Porositas dan permeabilitas core sintetik Tabel 10. Hasil analisis air formasi dan air injeksi Tabel 11. Hasil analisis minyak Tx Tabel 12. Klasifikasi minyak bumi Tabel 13. Recovery minyak pada tiap perlakuan Tabel 14. Perbedaan porositas dan permeabilitas core terhadap recovery minyak v

12 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Molekul surfaktan... 4 Gambar 2. Struktur kimia MES... 5 Gambar 3. (a) Buah jarak pagar dan (b) Biji jarak pagar... 7 Gambar 4. Skema mekanisme recovery minyak... 9 Gambar 5. Diagram alir penelitian Gambar 6. Diagram alir pembuatan metil ester Gambar 7. Reaksi esterifikasi Gambar 8. Mekanisme transesterifikasi; (1) Mekanisme reaksi umum trigliserida dengan alkohol dari jenis metanol; (2) Tiga reaksi berurutan dan reversible [R 1,2,3 = asam lemak] MESA dan MES jarak pagar Gambar 9. Diagram alir proses sulfonasi ME menjadi MES Gambar 10. (a) MESA jarak pagar dan (b) MES jarak pagar Gambar 11. Core sandstone sintetik Gambar 12. (a) Sebelum uji aspaltine dan (b) Setelah uji aspaltine Gambar 13. Grafik hubungan antara IFT dengan konsentrasi NaCl Gambar 14. Grafik hubungan antara IFT dengan konsentrasi alkali Gambar 15. Grafik hubungan antara densitas dengan konsentrasi NaCl Gambar 16. Grafik hubungan antara densitas dengan konsentrasi alkali Gambar 17. (a) MES jarak pagar pada optimal salinitas; (b) MES jarak pagar pada optimal alkali (NaOH); (c) MES jarak pagar pada optimal alkali (Na 2 SO 3 ) Gambar 18. Grafik hubungan antara IFT dengan lama pemanasan Gambar 19. Grafik hubungan antara densitas dengan lama pemanasan Gambar 20. Grafik hubungan antara viskositas dengan lama pemanasan Gambar 21. Grafik hubungan antara ph dengan lama pemanasan Gambar 22. Pengamatan phase behavior hari ke-0 sampai hari ke Gambar 23. (a) Kelakuan fasa awal; (b) Terbentuk dua fasa; (c) Terbentuk tiga fasa Gambar 24. Grafik hubungan antara kelarutan minyak dengan lama pemanasan Gambar 25. Grafik filtrasi menggunakan filter 500 mesh Gambar 26. Grafik filtrasi menggunakan filter 21 µm Gambar 27. Grafik filtrasi menggunakan filter 0,45 µm Gambar 28. Grafik filtrasi menggunakan filter 0,22 µm Gambar 29. Nilai IFT setelah tahapan filtrasi Gambar 30. Nilai densitas setelah tahapan filtrasi Gambar 31. Penampakan molekul pada tiap tahapan filtrasi Gambar 32. Grafik hubungan antara PV dengan recovery minyak vi

13 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Prosedur Analisis Sifat Fisiko-Kimia Minyak Lampiran 2. Prosedur Analisis Sifat Fisiko-Kimia Metil Ester Jarak Pagar Lampiran 3. Prosedur Analisis Sifat Fisiko-Kimia MES Jarak Pagar Lampiran 4. Prosedur Uji Kinerja Formula Surfaktan MES (Metil Ester Sulfonat) Lampiran 5. Prosedur Analisis Air Injeksi T dan Air Formasi Tx Lampiran 6. Prosedur Analisis Minyak Lampiran 7. Diagram Alir Coreflooding Test Lampiran 8. Prosedur Perhitungan Porositas dan Permeabilitas Core Lampiran 9. Dimensi Core Sintetik Lampiran 10. Nilai IFT dan Densitas pada Berbagai Salinitas Lampiran 11. Penampakan Visual IFT pada Berbagai Salinitas Lampiran 12. Nilai IFT dan Densitas pada Berbagai Konsentrasi Alkali Lampiran 13. Penampakan Visual IFT pada Optimal Alkali Lampiran 14. Nilai Densitas, IFT, ph dan Viskositas pada Thermal Stability Lampiran 15. Perhitungan Kelarutan Minyak pada Phase Behavior Lampiran 16. Hasil Uji Filtrasi Lampiran 17. Nilai densitas dan IFT pada Filtrasi Lampiran 18. Data Hasil Penelitian Lampiran 19. Hasil Analisis Statistik vii

14 I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Minyak bumi merupakan sumber energi yang masih menjadi primadona dan belum tergantikan oleh bahan lain hingga saat ini. Permintaan dunia pada minyak bumi diperkirakan akan terus meningkat. Berdasarkan model OWEM (OPEC World Energy Model), permintaan minyak dunia pada periode jangka menengah ( ) diperkirakan tumbuh rata-rata 1,8% per tahun. Sedangkan pada periode berikutnya ( ), permintaan minyak mentah dunia masih akan meningkat dengan pertumbuhan rata-rata 1,7% per tahun. Permintaan minyak dunia hampir 75% dari kenaikan sebesar 38 juta bph selama periode tersebut diserap oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia. Sementara itu, produksi minyak bumi dunia terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP MIGAS) menyatakan bahwa produksi minyak Indonesia terus menurun pada kurun waktu Pencapaian produksi tertinggi (peak production) pertama tahun 1977 adalah sebesar 1,7 juta barrel per hari (million barrel oil per day / MBOPD) adalah puncak produksi minyak dari Lapangan-Lapangan dengan tenaga alamiah (primary). Peak production kedua tahun 1995 sebesar 1,6 MBOPD terjadi hasil kegiatan dari injeksi air (waterflood) di sebagian besar Lapangan-Lapangan Chevron dan berhasilnya injeksi steam (steam flood), setelah puncak produksi kedua, produksi minyak Nasional terus mengalami penurunan dengan rata-rata penurunan produksi sekitar 6% dan dapat stabil di tahun Tahun 2007 produksi minyak Indonesia total rata-rata BOPD (barel per hari / bph) dan pada Agustus dan September 2007 angka produksi merambah naik sedikit demi sedikit serta puncaknya pada Januari 2008, produksi minyak menembus satu juta BOPD lalu sempat turun tetapi naik kembali (BP MIGAS, 2009). Jika permintaan minyak bumi Indonesia terus meningkat sedangkan produksi minyak bumi dunia terus menurun maka dunia akan mengalami krisis energi. Krisis energi memacu kenaikan harga minyak bumi. Minyak bumi terus mengalami kenaikan harga dari USD 85 per barel menjadi 100 USD per barel pada pertengahan Juni Perusahaan petroleum terus berusaha memproduksi minyak bumi secara optimal hingga saat ini guna memenuhi permintaan dunia terhadap minyak dunia. Usaha yang dilakukan oleh perusahaan petroleum untuk meningkatkan produksi minyak bumi dapat berupa eksplorasi ladang minyak baru dan recovery secara optimal pada ladang minyak tua (mature field atau brown field). Faktor utama penyebab penurunan produksi minyak bumi di Indonesia adalah sumur-sumur minyak di Indonesia merupakan ladang minyak tua dan belum ditemukannya ladang minyak baru yang memiliki cadangan minyak dalam jumlah besar. Produksi minyak dari brown field Indonesia mengalami penurunan sebesar 15 persen per tahun sehingga perlu dilakukan pengoptimalan recovery minyak pada brown field. Menurut Willhite, et. al. (1998), banyak cara yang dapat dilakukan dalam meningkatkan recovery minyak seperti injeksi air ditambahkan dengan bahan kimia guna meningkatkan energi dorong pada reservoir melalui pendesakan minyak diantara batuan sehingga membentuk kondisi yang baik untuk memaksimumkan recovery minyak dimana proses tersebut dikenal dengan proses Enhanced Oil Recovery (EOR). Berdasarkan data Dirjen Migas (2010), status tahun 2010 volume minyak di tempat (OOIP / original oil in place) Indonesia mencapai BSTB dimana 31,80% berhasil diproduksikan secara kumulatif dan diperkirakan remaining reserves hanya sebesar 5,72%, sedangkan sisanya sebesar 62,48% merupakan minyak sisa di tempat (residual oil) yang merupakan target EOR. Metode EOR mampu mengoptimalkan pengurasan ladang minyak tua dimana mampu memproduksikan minyak 1

15 sebesar 30 60% sedangkan tahap konvensional (fase primer dan fase sekunder) hanya mampu memproduksi minyak sebesar 20 40%. Indonesia telah menerapkan fase sekunder berupa teknologi injeksi air (waterflooding). Teknologi tersebut menghasilkan kinerja produksi yang buruk karena memiliki water cut yang tinggi sebesar 95 99%. Untuk memperbaiki kinerja produksi minyak bumi maka dilakukan tahap lanjut (fase tersier) berupa EOR. Salah satu metode EOR yang dilakukan adalah chemical flooding. Chemical flooding dapat dilakukan dengan menggunakan surfaktan. Surfaktan dilarutkan dalam air kemudian diinjeksikan melalui sumur injeksi dimana metode ini dikenal dengan enhanced waterflooding. Saturasi air memperangkap minyak karena gaya kapilaritas yang menyebabkan air menutup pori-pori minyak dan membatasi pergerakan minyak. Sedangkan surfaktan menurunkan gaya kapilaritas secara efektif melalui penurunan tegangan antarmuka dan perubahan kebasahan. Melalui penurunan tegangan antarmuka, surfaktan mampu membentuk emulsi dengan minyak dan melepaskan minyak dari batuan sehingga residu minyak yang tertinggal dapat didesak dan diproduksi. Surfaktan yang umum digunakan adalah petroleum sulfonat yang merupakan turunan dari minyak bumi. Penggunaan surfaktan ini memiliki beberapa kelemahan yaitu memiliki ketahanan yang buruk terhadap kondisi sadah dan sifat deterjensinya menurun dengan sangat tajam pada tingkat salinitas yang tinggi, butuh biaya yang tinggi serta masih harus diimpor. Harga minyak bumi yang terus meningkat menyebabkan harga petroleum sulfonat juga meningkat. Akan tetapi, petroleum sulfonat juga memiliki beberapa kelebihan diantaranya memiliki kinerja maksimal dalam menurunkan tegangan antarmuka bahkan dilaporkan dapat mencapai 0,1 µn/m atau 10-4 dyne/cm (Salager, 2002). Kelemahan yang dimiliki surfaktan petroleum sulfonat memicu pencarian alternatif surfaktan pengganti. Salah satu alternatif surfaktan pengganti adalah surfaktan MES. Surfaktan MES merupakan surfaktan anionik dimana bagian aktif pada permukaannya mengandung muatan negatif. Surfaktan MES adalah surfaktan yang diperoleh dari hasil sintesa minyak nabati. Menurut Matheson (1996), surfaktan MES memiliki beberapa kelebihan seperti memiliki sifat dispersi yang baik, sifat deterjensi yang baik walaupun berada pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, daya deterjensi sama dengan petroleum sulfonat pada konsentrasi MES yang lebih rendah, dapat mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik serta toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium dan kandungan garam (disalt). Berdasarkan kelebihan tersebut, pengembangan dan produksi surfaktan MES semakin banyak dilakukan. Di Indonesia, pengembangan dan produksi surfaktan MES sangat prospektif untuk dilakukan karena Indonesia beriklim tropis, sehingga berbagai tanaman penghasil minyak seperti kelapa sawit, kelapa dan jarak pagar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Salah satu komoditas alternatif yang prospektif sebagai bahan baku surfaktan MES adalah jarak pagar (Jatropha curcas L.). Jarak pagar memiliki kadar minyak yang tinggi. Swern (1979) menyatakan bahwa kandungan minyak dalam jarak pagar sebesar 54%. Daerah penyebaran jarak pagar sangat luas yakni meliputi Lampung, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Tengah (Departemen Pertanian Indonesia, 2008). Selain itu, jarak pagar menghasilkan minyak yang merupakan minyak non-pangan sehingga minyak jarak pagar tidak akan bersinggungan dengan kebutuhan minyak pangan seperti minyak sawit dan minyak kelapa. Pemanfaatan surfaktan MES dari jarak pagar untuk enhanced waterflooding perlu dikaji lebih lanjut. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja formula surfaktan MES dari jarak pagar untuk enhanced waterflooding. 2

16 1.2. TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja formula surfaktan MES dari jarak pagar untuk enhanced waterflooding pada contoh fluida dari lapangan minyak dan contoh core sandstone sintetik RUANG LINGKUP Ruang lingkup dari penelitian ini meliputi 1. Pembuatan core sandstone sintetik 2. Formulasi larutan surfaktan MES dari jarak pagar 3. Uji kinerja formula larutan surfaktan MES dari jarak pagar meliputi uji IFT (interfacial tension), uji compatibility, pengukuran densitas, pengukuran viskositas, pengukuran ph, uji phase behavior, uji thermal stability dan uji filtrasi. 4. Aplikasi formula larutan surfaktan MES dari jarak pagar untuk enhanced waterflooding berupa coreflooding test pada contoh fluida dari lapangan minyak dan contoh core sandstone sintetik. 3

17 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SURFAKTAN MES DARI JARAK PAGAR Surfaktan (surface active agent) merupakan bahan kimia yang berpengaruh pada aktivitas permukaan. Surfaktan memiliki kemampuan untuk larut dalam air dan minyak. Molekul surfaktan terdiri dari dua bagian yaitu gugus yang larut dalam minyak (hidrofob) dan gugus yang larut dalam air (hidrofil). Surfaktan yang memiliki kecenderungan untuk larut dalam minyak dikelompokkan dalam surfaktan oil soluble sedangkan yang memiliki kecenderungan untuk larut dalam air dikelompokkan dalam surfaktan water soluble (Allen dan Robert, 1993). Kehadiran gugus hidrofobik dan hidrofilik yang berada pada satu molekul akan menyebabkan surfaktan berada pada antarmuka antara fasa yanag berbeda derajat polaritas dan ikatan hidrogen seperti minyak dan air (Geourgiou et. al., 1992). Menurut Hui (1996) dan Hasenhuettl (1997), peranan surfaktan yang berbeda dan beragam disebabkan oleh struktur molekul surfaktan yang tidak seimbang. Molekul surfaktan dapat divisualisasikan seperti berudu atau bola raket mini yang terdiri atas bagian kepala dan ekor. Bagian kepala bersifat hidrofilik (suka air) merupakan bagian yang sangat polar sedangkan bagian ekor bersifat hidrofobik (tidak suka air / suka minyak) merupakan bagian nonpolar. Kepala dapat berupa anion, kation atau nonion sedangkan ekor dapat berupa rantai linier atau cabang hidrokarbon. Struktur molekul surfaktan dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Molekul surfaktan (Gevarsio, 1996) Surfaktan berdasarkan gugus hidrofilnya dibagi menjadi empat kelompok penting yaitu surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan nonionik dan surfaktan amfoterik (Rosen, 2004). Menurut Matheson (1996), surfaktan anionik adalah molekul yang bermuatan negatif pada bagian hidrofilik atau aktif permukaan (surface-active). Sifat hidrofilik disebabkan oleh keberadaan gugus ionik yang sangat besar seperti gugus sulfat atau sulfonat. Surfaktan kationik adalah senyawa yang bermuatan positif pada gugus hidrofilnya atau bagian aktif permukaan (surface-active). Sifat hidrofilik umumnya disebabkan oleh keberadaan garam amonium seperti quaternary ammonium salt (QUAT). Surfaktan non ionik adalah surfaktan yang tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi molekul. Sifat hidrofilik disebabkan oleh keberadaan gugus oksigen eter atau hidroksil. Surfaktan amfoterik adalah surfaktan yang bermuatan positif dan negatif pada molekulnya dimana muatannya bergantung kepada ph, pada ph rendah akan bermuatan negatif dan pada ph tinggi bermuatan positif. Kelompok surfaktan yang penggunaannya terbesar (dalam jumlah) adalah surfaktan anionik. Karakteristiknya yang hidrofilik disebabkan karena adanya gugus ionik yang cukup besar, yang biasanya berupa grup sulfat atau sulfonat. Beberapa contoh surfaktan anionik yaitu linear alkilbenzen sulfonat (LAS), alkohol sulfat (AS), alkohol eter sulfat (AES), alfa olefin sulfonat (AOS), paraffin (secondary alkane sulfonate, SAS) dan metil ester sulfonat (MES) (Matheson, 1996). 4

18 Sifat-sifat surfaktan adalah mampu menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol sistem emulsi (misalnya oil in water (o/w) atau water in oil (w/o)). Di samping itu, surfaktan akan terserap ke dalam permukaan partikel minyak atau air sebagai penghalang yang akan mengarungi atau menghambat penggabungan (coalescence) dari partikel yang terdispersi (Rieger, 1985). Kemampuan surfaktan untuk meningkatkan kestabilan emulsi tergantung dari kontribusi gugus polar (hidrofilik) dan gugus non polar (lipofilik) (Swern, 1979). Menurut Piispanen (2002), bagian polar surfaktan dipengaruhi oleh gaya elektrostatik (ikatan hidrogen, ikatan ionik, interaksi dipolar) sehingga dapat berikatan dengan molekul seperti air dan senyawa ion. Gugus non polar surfaktan berikatan dengan dukungan gaya van der walls. Pada konsentrasi yang memadai, surfaktan yang awalnya merupakan elektrolit biasa, mulai membentuk asosiasi antar molekul/micelles. Keadaan ini terjadi pada konsentrasi yang disebut dengan Critical Micelle Concentration (CMC). Pada kondisi ini terjadi proses pembentukan emulsi yang menghasilkan analogi kelarutan/solubilization non equilibrium dan memberikan IFT yang rendah. Kondisi ini tidak akan terjadi jika konsentrasi di bawah kondisi CMC sedangkan jika konsentrasi surfaktan ditingkatkan setelah terjadi titik CMC maka akan terbentuk agregat dan tidak menurunkan nilai IFT lebih rendah lagi (Mitsui, 1997). Surfaktan metil ester sulfonat (MES) termasuk golongan surfaktan anionik yaitu surfaktan yang bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan (surface-active). Struktur kimia metil ester sulfonat (MES) dapat dilihat pada Gambar 2. (Watkins, 2001) : Gambar 2. Struktur kimia MES Menurut Swern (1979), panjang molekul sangat kritis untuk keseimbangan kebutuhan gugus hidrofilik dan lipofilik. Apabila rantai hidrofobik terlalu panjang, akan terjadi ketidakseimbangan, terlalu besarnya afinitas untuk gugus minyak atau lemak atau terlalu kecilnya afinitas untuk gugus air. Hal ini akan ditunjukkan oleh keterbatasan kelarutan di dalam air. Demikian juga sebaliknya, apabila rantai hidrofobiknya terlalu pendek, komponen tidak akan terlalu bersifat aktif permukaan (surfaceactive) karena ketidakcukupan gugus hidrofobik dan akan memiliki keterbatasan kelarutan dalam minyak. Pada umumnya panjang rantai terbaik untuk surfaktan adalah asam lemak dengan atom karbon. Kemampuan surfaktan dalam hubungannya untuk meningkatkan emulsi tergantung dari kontribusi gugus polar (hidrofilik) dan gugus non polar (lipofilik), yang dapat dilihat dari ukuran HLB (Hydrophile Lypophile Balance). Semakin rendah nilai HLB maka surfaktan semakin larut dalam minyak. Sebaliknya, semakin tinggi nilai HLB maka surfaktan semakin cenderung larut dalam air. Kisaran HLB dan aplikasi penggunaannya dapat dilihat pada Tabel 1. 5

19 Tabel 1. Kisaran HLB dan aplikasi penggunaannya Kisaran Aplikasi Penggunaan 3-6 Emulsifier water in oil (w/o) 7-9 Bahan pembasah 8-15 Emulsifier oil in water (o/w) Deterjen Bahan pelarut Sumber : Swern (1979) Menurut Matheson (1996), metil ester sulfonat (MES) telah mulai dimanfaatkan sebagai bahan aktif pada produk-produk pembersih (washing and cleaning products). Pemanfaatan surfaktan jenis ini pada beberapa produk adalah karena metil ester sulfonat memperlihatkan karakteristik dispersi yang baik, sifat deterjensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, ester asam lemak C 14, C 16, dan C 18 memberikan tingkat deterjensi terbaik serta bersifat mudah didegradasi (good biodegradability). Dibandingkan petroleum sulfonat, surfaktan MES menunjukkan beberapa kelebihan diantaranya yaitu pada konsentrasi MES yang lebih rendah daya deterjensinya sama dengan petroleum sulfonat, dapat mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik serta toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium dan kandungan garam (disalt). Namun demikian surfaktan MES memiliki kelemahan diantaranya warnanya yang gelap (Rosen, 2004). Proses produksi pembuatan surfaktan MES dimulai melalui proses esterifikasi atau/dan transesterifikasi menjadi metil ester (biodiesel) dengan metanol. Esterifikasi adalah reaksi asam karboksilat (asam lemak) dengan alkohol untuk menghasilkan ester sedangkan transesterifikasi adalah reaksi ester untuk menghasilkan ester baru yang mengalami penukaran posisi asam lemak (Swern, 1982). Reaksi tersebut bersifat reversibel dan menghasilkan alkil ester dan gliserol. Setelah dilakukan reaksi esterifikasi dan transesterifikasi ini, metil ester harus dimurnikan terlebih dahulu untuk menghilangkan gliserol, air, sisa metanol, katalis, dan bahan pengotor lainnya. Proses pemurnian dapat dilakukan dengan water washing dan dry washing. Metil ester yang telah terbentuk selanjutnya dilakukan konversi menjadi metil ester sulfonat. Metil ester sulfonat (MES) adalah zat yang disintesis dari bahan metil ester dan agen sulfonasi melalui proses sulfonasi. Proses sulfonasi dapat dilakukan dengan mereaksikan asam sulfat, sulfit, NaHSO 3 atau gas SO 3 dengan ester asam lemak (Watkins, 2001). Menurut Foster (1996), untuk menghasilkan kualitas produk terbaik, beberapa perlakuan penting yang harus dipertimbangkan adalah rasio mol, suhu reaksi, konsentrasi grup sulfat yang ditambahkan, waktu netralisasi, jenis dan konsentrasi katalis, ph dan suhu netralisasi. Proses produksi metil ester sulfonat dapat dilakukan dengan mereaksikan metil ester dan gas SO 3 dalam falling film reactor pada suhu o C (Watkins, 2001). Proses sulfonasi yang dilakukan oleh pihak SBRC (Surfactant and Bioenergy Research Centre) menggunakan reaktor STFR (Single Tube Film Sulfonation Reactor) memiliki tinggi 6 meter dan diameter tube 25 mm. Prinsip kerja reaktor ini adalah gas SO 3 dialirkan ke dalam tabung dimana pada dinding bagian dalam tabung dialirkan secara co-current metil ester dalam bentuk film (lapisan) tipis sehingga terbentuk tabung yang menyelimuti gas yang mengalir di bagian tengah tabung. Proses sulfonasi membentuk produk antara berupa MESA (methyl ester sulfonate acid). Suhu umpan (feed) berupa metil ester pada proses sulfonasi diatur konstan pada suhu o C. Pada proses sulfonasi dilakukan penambahan udara kering. Perbandingan metil ester, gas SO 3 dan udara kering adalah 1 : 1 : 2. Feed dipompa naik ke reaktor masuk ke liquid chamber lalu mengalir turun membentuk film (lapisan) tipis dengan ketebalan tertentu. Ketebalan yang dihasilkan sesuai dengan bentuk corong head pada reaktor. Proses sulfonasi 6

20 berlangsung selama 3 6 jam. Selanjutnya, MESA yang telah dihasilkan mengalami proses aging. Proses aging berlangsung dalam reaktor aging pada suhu o C selama 75 menit dengan kecepatan putaran pengaduk 150 rpm. Kemudian MESA mengalami proses netralisasi dengan penambahan NaOH 50%. Proses netralisasi pada suhu o C selama 40 menit. Setelah proses netralisasi, diperoleh surfaktan MES (metil ester sulfonat). Mekanisme reaksi yang terjadi selama reaksi sulfonasi dengan urutan proses adalah metil ester (I) bereaksi dengan gas SO 3 membentuk senyawa intermediet (II), pada umumnya berupa senyawa anhidrad. Dalam kondisi reaksi yang setimbang, senyawa intermediet (II) tersebut akan mengaktifkan gugus alfa (α) pada rangkaian gugus karbon metil ester sehingga membentuk senyawa intermediet (III). Selanjutnya, senyawa intermediet (III) tersebut mengalami restrukturisasi dengan melepaskan gugus SO 3. Gugus SO 3 yang dilepaskan bukanlah gugus yang terikat pada ikatan alfa. Dengan terlepasnya gas SO 3 selama proses post digestion tersebut, maka terbentuklah MESA (IV) (Mac Arthur et. al., 2001). Komoditas yang dapat diolah sebagai surfaktan MES adalah jarak pagar. Jarak pagar (Jatropha curcas L.) merupakan jenis tanaman yang berasal dari keluarga Euphorbiaceae yang banyak ditemukan di Afrika Tengah dan Selatan, Asia Tenggara dan India. Jarak pagar merupakan golongan pohon perdu dengan ketinggian mencapai 3 hingga 7 meter dan memiliki cabang yang tidak teratur. Jarak pagar dapat tumbuh dengan baik pada daerah dengan ketinggian m dpl dan suhu o C. Kisaran curah hujan daerah penyebarannya bervariasi antara mm/tahun, tetapi ada pula yang sampai lebih dari mm/tahun. Secara umum, jarak pagar dapat tumbuh pada daerah kurang subur (Hambali et. al., 2006). Jarak pagar memiliki buah yang terbagi menjadi tiga ruang dimana masing-masing ruang berisi satu biji. Biji jarak pagar berbentuk bulat lonjong, berwarna coklat kehitaman dan mengandung banyak minyak (Sinaga, 2006). Gambar buah dan biji jarak pagar dapat dilihat pada Gambar 3. (a) (b) Gambar 3. (a) Buah jarak pagar dan (b) Biji jarak pagar (SBRC, 2010) Tanaman jarak pagar menghasilkan biji yang memiliki kandungan minyak cukup tinggi, sekitar 30 50% sehingga sangat prospektif untuk digunakan sebagai bahan baku produk oleokimia seperti surfaktan. Kelebihan minyak jarak pagar apabila dibuat menjadi metil ester antara lain adalah minyak jarak pagar tidak termasuk kategori minyak makan (edible oil) sehingga pemanfaatannya tidak menganggu penyediaan kebutuhan minyak makan. Minyak jarak pagar tidak dapat dikonsumsi manusia karena mengandung senyawa forbol ester dan cursin yang bersifat toksik (Hambali et.al., 2006). Seperti halnya minyak yang lain, minyak jarak pagar juga tersusun dari beberapa asam lemak. Asam lemak dominan pada minyak jarak pagar adalah asam oleat, asam linoleat dan asam palmitat. 7

21 Sifat fisikokimia minyak jarak pagar dapat dilihat pada Tabel 2. dan komposisi asam lemak dalam minyak jarak pagar dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 2. Sifat fisiko-kimia minyak jarak pagar Analisis Satuan Nilai Kadar air c % 0.07 Bilangan asam a mg KOH/g lemak 3.21±0.21 Bilangan iod b mg iod/g lemak 96.5 Bilangan penyabunan a mg KOH/g lemak 198±0.5 Densitas a g/cm Sumber : Peace dan Aladesanmi (2008) a ; Hambali et. al. (2006) b ; Gubitz et. al. (1999) c Tabel 3. Komposisi asam lemak dalam minyak jarak pagar Kandungan asam lemak Sifat dan komponen Persentase (%) Asam miristat Jenuh, C 14: Asam palmitat Jenuh, C 16: Asam stearat Jenuh, C 18: Asam arachidat Jenuh, C 20: Asam behenat Jenuh, C 22: Asam palmitoleat Tidak jenuh, C 16: Asam oleat Tidak jenuh, C 18: Asam linoleat Tidak jenuh, C 20: Asam linolenat Tidak jenuh, C 22: Sumber : Gubitz et. al. (1999) 2.2. ENHANCED OIL RECOVERY Menurut Gomaa (1997), pengembangan Lapangan minyak dapat dikelompokkan atas tiga fase yaitu fase primer (primary phase), fase sekunder (secondary phase) dan fase tersier (tertiary phase). Pada fase primer, produksi dikontrol dari tenaga alami yang tergantung pada kandungan energi alam pada reservoir. Optimasi produksi pada fase primer antara lain stimulasi menggunakan metode asam (acidizing), metode fracturing dan metode sumur horizontal (horizontal wells). Pada fase sekunder diterapkan penambahan energi dari luar seperti gas flood dan water flood. Metode pada fase tersier sering juga disebut sebagai metode enhanced oil recovery (EOR). Metode Enhanced Oil Recovery (EOR) didefinisikan sebagai suatu metode yang melibatkan proses penginjeksian dengan penambahan material tertentu yang dapat menyebabkan perubahan fluida dalam reservoir seperti komposisi minyak, rasio mobilitas dan juga karakteristik interaksi batuan-fluida. Metode EOR dapat dikelompokkan berdasarkan material yang diijeksikan ke reservoir yaitu metode panas (air panas, steam stimulation, steamflood, fireflood), metode kimia (polimer, surfaktan, alkali), metode solventmiscible (pelarut hidrokarbon, CO 2, N 2, gas hidrokarbon, campuran gas alam) dan lainnya (busa, mikrobial). Meskipun metode EOR kadang disebut sebagai recovery tersier, namun bukan berarti metode EOR ini diterapkan setelah fase sekunder. Beberapa metode EOR dapat diterapkan setelah fase primer atau pada awal pengembangan. Menurut Haynes (1976), teknologi EOR sangat bergantung karakteristik reservoir. Metode primer dan sekunder pada recovery minyak bumi biasanya mencakup 1/3 bagian dari volume minyak awal (OOIP) karena gaya kapilaritas yang tinggi mampu memperangkap minyak 8

22 dalam pori-pori. Gaya kapilaritas merupakan hasil tegangan antar muka minyak-air menyebabkan terikatnya fluida dalam pori-pori batuan sehingga recovery hanya 1/3 bagian dari OOIP. Walaupun banyak metode yang telah dilakukan dalam metode EOR, tetapi metode dalam menurunkan tegangan antarmuka seperti surfactant flooding lebih memberikan harapan yang besar dalam peningkatan recovery (Zhang et. al., 2007). Menurut Wahyono (2009), waterflooding merupakan injeksi air yang dilakukan pada tahap kedua produksi (secondary recovery) yang menjadi salah satu pilihan EOR Pertamina saat ini. Penginjeksian air (waterflooding) ke dalam pori-pori reservoir bertujuan agar tekanan reservoir meningkat sehingga minyak terdorong yang mengakibatkan produksi naik atau penurunan produksi (decline) dapat diturunkan. Skema mekanisme recovery minyak dapat dilihat pada Gambar 4. Mekanisme Perolehan Minyak Perolehan Minyak Secara Konvensional Primer Tenaga alami Sekunder Pengangkatan buatan Injeksi air Tersier Penggunaan tekanan EOR Kimia Termal Miscible Lainnya : mikrobial, listrik, mekanis (getaran, pengeboran horizontal ) Surfaktan Polimer Alkali CO 2 Miscible solvent Gas inert Stimulasi uap panas atau injeksi uap panas secara siklik Uap panas atau air panas Pembakaran in-situ Pendesakan busa Gambar 4. Skema mekanisme recovery minyak (Wahyono, 2009) Menurut Gulick dan William (1998), waterflooding telah dikenal sejak tahun 1860 tetapi pada saat itu waterflooding sebagai upaya proses peningkatan recovery minyak bumi tidak dapat diterapkan secara luas. Hal ini dikarenakan karakteristik reservoir yang berbeda-beda tiap wilayah. Menurut Lake (1989), reservoir-reservoir minyak bumi berbeda dalam hal kondisi geologis alamnya, kandungan air dalam reservoir dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut, metode optimum untuk merecovery minyak bumi dalam jumlah yang maksimum pada suatu reservoir berbeda terhadap reservoir yang lain. 9

23 Menurut Salager (1977), chemical flooding dengan menggunakan formula surfaktan harus memperhatikan beberapa faktor seperti : Tahan terhadap temperatur dan tekanan reservoir. Tidak menyebabkan tersumbatnya pori-pori batuan. Dapat menurunkan saturation residu oil (SOR) dan dapat merubah sifat kebasahan (wettability) batuan Dapat meningkatkan efisiensi displacement minyak dimana formula surfaktan harus mampu menurunkan tegangan antarmuka antara minyak mentah dengan air formasi. Adsorpsi formula surfaktan yang rendah oleh batuan reservoir dan tanah lempung untuk mengurangi lose surfaktan. Kompatibilitas yang baik dengan fluida pada reservoir khususnya terhadap senyawa kation dua valen seperti Mg 2+ dan Ca 2+. Menurut Ayirala (2002) ketika surfaktan diinjeksikan, surfaktan menyebar ke dalam minyak dan air dan tegangan antar muka yang rendah meningkatkan nilai kapilaritas. Hasilnya, lebih banyak minyak yang tadinya dalam kondisi immobile berubah menjadi mobile. Menyebabkan perbaikan rasio mobilitas yang efektif. Reservoir minyak dan / atau gas bumi adalah suatu batuan yang berpori-pori dan permeable tempat minyak dan/atau gas bergerak serta berakumulasi. Secara teoritis semua batuan, baik batuan beku maupun batuan metamorf dapat bertindak sebagai batuan reservoir, tetapi pada kenyataan lebih dari 90% batuan reservoir adalah batuan sedimen. Jenis batuan reservoir akan berpengaruh terhadap besarnya porositas dan permeabilitas (Rachmat, 2009). Porositas menurut Levorsen (1954) adalah perbandingan antara volume total ruang pori-pori dan volume total batuan yang disebut porositas total atau absolut. 100% Permeabilitas menurut Koesoemadinata (1978) dapat dinyatakan dalam rumus sebagai berikut : atau dengan q adalah laju rata-rata aliran melalui media pori (cm 3 /dt), k adalah permeabilitas (Darcy), A adalah luas alas benda yang dilalui aliran (cm 2 ), µ adalah viskositas fluida yang mengalir (centipoise) dan adalah tekanan per panjang benda (atm/cm). Beberapa reservoir secara alami bersifat padat dan memperlihatkan permeabilitas yang rendah yang diakibatkan oleh kandungan endapan lumpur dan lempung yang tinggi serta ukuran butiran yang kecil. Pada beberapa kasus, permeabilitas yang rendah terjadi pada daerah sekitar sumur bor yang mengalami penyumbatan selama proses pengeboran (drilling) berlangsung. Sumur yang mengalami kerusakan akibat pengeboran dan ditambah dengan reservoir yang padat akibat kandungan mineralnya memperlihatkan laju produksi yang rendah sehingga sering menjadi tidak ekonomis. Kondisi ini tetap akan ada walaupun tekanan reservoir tinggi. Pada kondisi ini, pemberian tekanan menggunakan injeksi fluida tidak akan memberikan keuntungan. Injeksi tekanan akan menjadi terlalu tinggi akibat permeabilitas reservoir yang rendah (Economides dan Nolte, 1989). Menurut Rachmat (2009), fluida reservoir terdiri dari minyak, gas dan air formasi. Minyak dan gas kebanyakan merupakan campuran yang rumit berbagai senyawa hidrokarbon, yang terdiri dari golongan naftan, paraffin, aromatik dan sejumlah kecil gabungan oksigen, nitrogen, dan belerang. Air formasi merupakan fluida reservoir yang tercampur dan terangkat bersama minyak bumi ke permukaan. Sedangkan Air injeksi merupakan air yang telah diolah untuk diinjeksikan kembali ke 10

24 dalam batuan reservoir melalui sumur injeksi untuk meningkatkan perolehan minyak pada secondary phase pada sumur production well. Perbandingan kandungan air formasi dan air injeksi tersaji pada Tabel 4. Tabel 4. Kandungan garam air formasi / injeksi Jenis Air Kation Air Formasi mg/l Air Injeksi mg/l Sodium Kalsium Magnesium Ferrum Anion Klorida Bikarbonat Sulfat Karbonat - - Total 15, , Sumber : Sugiharjo et. al. (2001) Unsur pokok terbesar dalam minyak bumi adalah hidrokarbon dengan konsentrasi antara 50 95%. Unsur lainnya merupakan senyawa-senyawa non-hidrokarbon seperti nitrogen, belerang, oksigen dan logam. Hidrokarbon minyak bumi merupakan senyawa organik yang terdiri dari karbon dan hidrogen. Hidrokarbon digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu hidrokarbon alifatik, hidrokarbon alisiklik, dan hidrokarbon aromatik. Secara garis besar minyak bumi mempunyai komposisi seperti terlihat pada Tabel 5. Tabel 5. Komposisi minyak bumi Komponen % Bobot Karbon 83,9-86,8 Hidrogen 11,4-14,0 Belerang 0,06-0,08 Nitrogen 0,11-1,70 Oksigen ± 0,50 Logam ± 0,03 Sumber : Speight (1980) Irapati (2008) mengatakan bahwa secara umum komposisi hidrokarbon minyak mentah terdiri dari dua komponen yaitu komponen hidrokarbon dan non hidrokarbon. Berdasarkan sifat, susunan atau komposisi kimia dalam minyak mentah dapat digolongkan ke dalam tiga bagian yaitu komponen hidrokarbon dan non hidrokarbon. Berdasarkan sifat, susunan atau komposisi kimia dalam minyak mentah dapat digolongkan ke dalam tiga bagian yaitu minyak mentah alkana, minyak mentah siklo alkana dan minyak mentah campuran. Berikut adalah sifat dari jenis minyak mentah : Minyak mentah alkana mempunyai kerapatan relatif yang rendah, susunan hidrokarbonnya bersifat alkana, mengandung kadar wax yang tinggi dan sedikit mengandung komponen 11

25 asphaltic, menghasilkan bensin dengan kualitas kurang baik karena mempunyai angka oktan yang rendah, menghasilkan kerosine, solar dan wax yang bermutu baik. Minyak mentah sikloalkana mempunyai kerapatan relatif yang tinggi, susunan hidrokarbonnya bersifat siklo alkana, sedikit sekali mengandung kadar lilin dan mengandung komponen asphaltic, menghasilkan bensin dengan kualitas baik karena mempunyai angka oktan yang tinggi, menghasilkan kerosine yang kurang baik, solar bersifat ringan-berat sampai kurang baik, dapat diproses untuk pembuatan asphalt dan fuel oil. Minyak mentah campuran mempunyai kerapatan relatif diantara jenis parafinik dan naftenik, Susunan hidrokarbonnya mengandung parafinik, naftenik dan aromatik, tipe minyak ini dapat diproses menjadi berbagai jenis produk minyak bergantung dari tipe unit pengolahannya. Golongan parafinik merupakan senyawa HC jenuh alkana yang memiliki rantai lurus dan bercabang dimana golongan ini merupakan fraksi yang terbesar di dalam minyak mentah. Golongan naftenik merupakan senyawa HC jenuh siklo alkana yang memiliki lima cincin atau enam cincin. Golongan aromatik merupakan senyawa HC tidak jenuh yang memiliki enam cincin dimana golongan ini terdapat dalam jumlah kecil (Irapati, 2008). Kerusakan formasi sumur minyak bumi telah menyebabkan menurunnya produktivitas sumur minyak. Kerusakan formasi disebabkan oleh proses pemboran dan cara memproduksikan hidrokarbon yang menyebabkan menurunnya permeabilitas sekitar lubang sumur. Produktifitas sumur dapat dipengaruhi oleh sifat kebasahan batuan (wettability) menjadi oil wet, tekanan kapiler yang tinggi, water blocking, particle blocking dan emulsion blocking (Mulyadi, 2000). Wettability merupakan ukuran yang menjelaskan apakah permukaan dari batuan memiliki kemampuan lebih mudah terlapisi oleh film minyak atau oleh film air. Surfaktan dapat menyusup ke daerah antar muka antar cairan dengan batuan dan dapat mengubah kutub dari permukaan batuan sehingga akan mengubah wettability dari batuan tersebut (Ashayer et. al., 2000). Sifat batuan yang cenderung basah air disebut water wet sedangkan sifat batuan yang cenderung basah minyak disebut oil wet. Pada kondisi water wet, batuan diselubungi oleh air sedangkan pada kondisi oil wet, batuan cenderung diselubungi oleh minyak. Pada kondisi oil wet, keberadaan minyak yang menyelubungi batuan menyebabkan meningkatnya ketebalan dari lapisan film pada batuan reservoir sehingga menyebabkan berkurangnya laju alir. Sifat batuan oil wet dapat mengurangi produktivitas sumur hingga 15 85% (Mulyadi, 2000). Tekanan kapiler adalah tekanan yang timbul karena adanya perbedaan tegangan antar muka dari dua fluida yang immiscible (tidak saling melarut) pada daerah penyempitan pori-pori batuan. Tingginya tekanan kapiler berbanding terbalik dengan jari-jari kapilernya dan berbanding lurus dengan tegangan antar muka. Tekanan kapiler yang tinggi akan menghambat aliran fluida minyak sehingga minyak akan tertinggal di dalam pori-pori (Allen dan Robert, 1993). Water blocking merupakan kondisi dimana pori-pori reservoir tertutup oleh air formasi dalam jumlah yang banyak. Water blocking terjadi karena air yang bergerak akibat adanya gaya kapilaritas air. Sifat air ini menyebabkan air akan memby-passed minyak dan menyebabkan minyak tertinggal di dalam pori-pori sebagai by-passed oil. Salah satu cara dalam mengatasi water blocking adalah dengan menginjeksikan 1 3% surfaktan dalam formasi (Allen dan Robert, 1993). Particle blocking atau penyumbatan pori-pori oleh partikel-partikel tertentu (lempung halus dan lumpur) merupakan masalah umum yang sering dijumpai pada reservoir. Particle blocking dapat diatasi dengan melarutkan partikel-partikel penyumbat dengan menggunakan surfaktan jenis tertentu. Surfaktan anionik dapat melarutkan lempung pada larutan asam (Allen dan Robert, 1993). Menurut McCune (1976), melalui penginjeksian asam ke dalam formasi reservoir carbonate yang padat dan 12

26 mengalami kerusakan biasa disebut stimulasi, diharapkan asam tersebut akan bereaksi dengan beberapa mineral dan menciptakan pori-pori dan saluran pori yang lebih besar sehingga permeabilitas meningkat. Emulsion block merupakan emulsi kental minyak dan air yang terbentuk pada lubang reservoir dimana dapat mengurangi produksi minyak bumi (Mulyadi, 2000). Emulsion block dapat dihancurkan dengan cara menyuntikkan oil well stimulation agent ke dalam reservoir. Oil well stimulation agent mampu menghancurkan emulsi dengan cara menghilangkan kestabilan emulsi (Allen dan Robert, 1993). 13

27 III. METODE PENELITIAN 3.1. BAHAN DAN ALAT Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah surfaktan MES dari jarak pagar. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah minyak bumi mentah, air injeksi, air formasi, sandstone sintetik, toluene dan aquades. Peralatan yang digunakan adalah timbangan analitik, peralatan gelas, pipet, suntikan, magnetic stirrer, dan hotplate stirrer. Peralatan yang digunakan untuk analisa adalah spinning drop interfacial tensiometer, ph meter, coreflood apparatus, densitometer, viscosimeter, oven, filtration apparatus, stopwatch, desikator, pipet mohr, ampul dan filter METODE Pembuatan Core Sandstone Sintetik Core sandstone sintetik dibuat dengan menggunakan pasir kuarsa dan semen dengan perbandingan 5 : 2 dengan penambahan air 10% dari bobot total (pasir kuarsa dan semen). Core tersebut dicuci dengan menggunakan toluene melalui distilasi selama 4 jam. Core yang telah dicuci dikeringkan dalam oven bersuhu o C selama 1 hari lalu didinginkan dalam desikator selama minimal 30 menit. Selanjutnya, dilakukan pembungkusan core dengan menggunakan alumunium foil. Selanjutnya, core diukur panjang dan diameter dengan 3 kali ulangan serta ditimbang bobot kering lalu divakum dengan menggunakan Air Formasi T x selama 6 jam dan dijenuhkan dalam Air Formasi T x selama 1 3 hari Formulasi Surfaktan MES dari Jarak Pagar Surfaktan MES dari jarak pagar diformulasi dengan menggunakan bahan aditif. Formulasi dilakukan dengan menggunakan pelarut yaitu air injeksi dari Lapangan T. Formulasi ini bertujuan untuk memperoleh formula larutan surfaktan yang terbaik. Formula larutan surfaktan yang terbaik adalah formula yang memiliki IFT (interfacial tension) sebesar 10-3 dyne/cm dengan nilai terkecil. Formulasi yang dilakukan terbagi menjadi tiga tahapan yaitu optimal salinitas, optimal alkali dan optimal co-surfaktan Uji Kinerja Formula Surfaktan Tahapan ketiga adalah uji kinerja formula larutan surfaktan. Uji yang dilakukan meliputi uji IFT (interfacial tension), uji compatibility, pengukuran densitas, pengukuran viskositas, pengukuran ph, uji phase behavior, uji thermal stability dan uji filtrasi. Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran Coreflooding Test Tahapan terakhir adalah aplikasi formula larutan surfaktan untuk enhanced waterflooding berupa coreflooding test. Diagram alir coreflooding test dapat dilihat pada Lampiran 7. Coreflooding test dimulai dengan penginjeksian Air Injeksi T ke dalam batuan sandstone yang telah berisi minyak bumi mentah hingga tidak ada lagi minyak bumi mentah yang keluar. Selanjutnya, diinjeksikan formula larutan surfaktan dengan kombinasi 0,1 PV, 0,2 PV dan 0,3 PV. Kemudian batuan sandstone disoaking dengan lama perendaman 12 jam. Penentuan lama perendaman 12 jam merujuk pada penelitian yang telah dilakukan Paulina Mwangi (2008) dimana lama perendaman selama 12 jam 14

28 mampu memberikan tambahan recovery sebesar 8%. Setelah mengalami soaking, batuan sandstone diinjeksikan kembali dengan menggunakan air injeksi T hingga tidak ada lagi minyak bumi mentah yang keluar. Berikut ini merupakan gambar diagram alir penelitian : Surfaktan MES dari jarak pagar Persiapan core sandstone sintetik Formulasi Core sandstone sintetik Formula larutan surfaktan Uji kinerja meliputi uji ph, IFT, compatibility, densitas, viskositas, phase behavior, thermal stability dan filtrasi Aplikasi waterflooding berupa coreflooding test pada sumur injeksi dengan porevolume formula larutan surfaktan yaitu 0,1 PV, 0,2 PV dan 0,3 PV dengan lama soaking 12 jam Gambar 5. Diagram alir penelitian Perhitungan recovery (%) 3.3. RANCANGAN PERCOBAAN Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan satu faktor dengan dua kali ulangan. Faktor yang divariasikan adalah volume larutan surfaktan. Faktor volume larutan surfaktan terdiri dari tiga taraf yaitu 0.1 PV, 0.2 PV dan 0.3 PV. Model matematika yang digunakan adalah: Y ij = µ + α i + ε ij dengan : Y ij = Nilai pengamatan µ = Rata-rata α i = Pengaruh faktor volume larutan surfaktan pada taraf ke-i (i = 1,2,3) έ ij = Galat percobaan 15

29 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. SURFAKTAN MES DARI JARAK PAGAR Surfaktan yang digunakan dalam penelitian ini adalah surfaktan MES (Metil Ester Sulfonat) dari jarak pagar. Surfaktan MES dari jarak pagar ini diproduksi di Laboratorium Surfaktan SBRC IPB di Pulo Gadung yang berdampingan dengan PT. Mahkota Indonesia yang memproduksi produk kimia dari bahan sulfur. Lokasi produksi yang berdampingan tersebut bertujuan untuk mempermudah pasokan bahan baku berupa gas SO 3. Gas SO 3 merupakan agen sulfonasi yang digunakan pada proses pembuatan surfaktan MES. Tahapan pembuatan surfaktan MES dari jarak pagar adalah pembuatan metil ester dan proses sulfonasi metil ester. Pembuatan metil ester dari minyak jarak pagar diawali dengan analisis sifat fisiko-kimia minyak jarak pagar. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui sifat fisiko-kimia minyak jarak pagar dan untuk menentukan langkah selanjutnya yang dilakukan berupa pemurnian. Sifat fisiko-kimia yang dianalisis meliputi kadar air, bilangan asam, bilangan iod, bilangan penyabunan, kadar asam lemak bebas, densitas dan viskositas Prosedur analisis minyak jarak pagar dapat dilihat pada Lampiran 1. Berikut ini adalah hasil sifat fisiko-kimia minyak jarak pagar : Tabel 6. Hasil analisis sifat fisiko-kimia minyak jarak pagar No. Sifat Fisiko-Kimia Nilai Satuan 1 Kadar air 0.36 % 2 Bilangan asam 7.09 mg KOH/g minyak 3 Bilangan iod mg Iod/g minyak 4 Bilangan penyabunan mg KOH/g minyak 5 Kadar asam lemak bebas 3.57 % 6 Densitas 0.91 g/cm 3 7 Viskositas (30 o C) cp Kadar air minyak jarak pagar yang diperoleh cukup rendah yaitu sebesar 0,36%. Kandungan air pada bahan baku metil ester dapat ditolerir hingga 1% (Gerpen et. al., 2004). Lain halnya dengan nilai bilangan asam minyak jarak pagar yang diperoleh cukup tinggi yaitu sebesar 7,09 mg KOH/g minyak. Ketaren (1986) menyatakan bahwa bilangan asam merupakan jumlah milligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam-asam lemak bebas dari satu gram minyak atau lemak. Bilangan asam minyak jarak pagar yang diperoleh cukup tinggi. Hal ini dapat dikarenakan adanya kerusakan minyak baik pada saat pengepresan maupun selama penyimpanan. Nilai bilangan iod minyak jarak pagar yang diperoleh adalah sebesar 96,42 mg Iod/g minyak. Bilangan iod menunjukkan banyaknya ikatan rangkap atau derajat ketidakjenuhan suatu minyak atau lemak. Menurut Sinaga (2006), jenis asam lemak dominan pada minyak jarak adalah asam lemak oleat (C 18 H 34 O 2 ) dan linoleat (C 18 H 32 O 2 ) yang merupakan asam lemak tidak jenuh. Banyak ikatan rangkap pada asam lemaknya berpengaruh terhadap karakteristik fisik dan kimia minyaknya. Sementara itu, nilai bilangan penyabunan yang diperoleh sebesar 194,06 mg KOH/g minyak. Bilangan penyabunan mengukur bobot molekul atau panjang rantai karbon asam lemak dalam suatu minyak atau lemak. Menurut Sanford et. al. (2009), semakin tinggi bilangan penyabunan menunjukkan asam lemak penyusun trigliserida memiliki panjang rantai karbon yang pendek. Semakin pendek rantai karbon asam lemak maka semakin banyak kandungan asam lemak dalam satu gram lemak sehingga semakin banyak kebutuhan KOH untuk menyabunkannya. Demikian pula, semakin tinggi bobot molekul asam 16

30 lemak (semakin panjang rantai karbon) penyusun trigliserida maka semakin sedikit asam lemak penyusunnya sehingga KOH yang diperlukan untuk penyabunan semakin sedikit. Densitas yang diperoleh dari analisis fisiko-kimia minyak jarak adalah 0,91 g/cm 3. Densitas merupakan ukuran massa per unit volume suatu bahan atau zat. Sementara itu, nilai viskositas minyak jarak pagar adalah 52,60 cp. Viskositas berkaitan erat dengan kemampuan bahan untuk mengalir dimana semakin tinggi nilai viskositas (semakin kental suatu cairan) maka semakin sulit cairan tersebut untuk mengalir karena membutuhkan gaya yang makin besar untuk membuat cairan tersebut mengalir pada kecepatan tertentu. Kadar asam lemak bebas (FFA) dijadikan sebagai acuan dalam menentukan tahapan pada proses pemurnian minyak. Pemurnian minyak yang dilakukan berupa esterifikasi dan atau transesterifikasi. Minyak jarak pagar mengalami proses esterifikasi terlebih dahulu dan kemudian dilanjutkan dengan proses transesterifikasi atau langsung mengalami proses transesterifikasi tergantung analisis FFA awal. Jika FFA awal > 2% maka minyak jarak pagar mengalami proses esterifikasi terlebih dahulu dan kemudian proses transesterifikasi. Sedangkan jika FFA awal < 2% maka minyak jarak pagar langsung mengalami proses transesterifikasi. Berdasarkan Tabel 5., diketahui bahwa kadar asam lemak bebas (FFA) yang diperoleh cukup tinggi yaitu 3,57% > 2% sehingga minyak jarak pagar harus melalui dua tahap pemurnian yaitu esterifikasi dan transesterifikasi. Esterifikasi perlu dilakukan terlebih dahulu karena jika tidak dilakukan proses esterifikasi maka terjadi pembentukan sabun yang menyulitkan pemisahan metil ester dan gliserol sehingga berdampak terhadap penurunan rendemen metil ester yang dihasilkan. Pembentukan sabun terjadi karena asam lemak bebas bereaksi dengan sodium metoksida pada proses transesterifikasi. Proses pembuatan metil ester yang dilakukan SBRC IPB tersaji pada Gambar 6. Tingginya nilai kadar asam lemak bebas pada minyak jarak pagar karena terjadi reaksi hidrolisis asam lemak. Reaksi hidrolisis terjadi akibat adanya kandungan air dan enzim lipase yang dapat memecah trigliserida menjadi asam lemak bebas. Selain reaksi hidrolisis, peningkatan kadar asam lemak bebas minyak jarak pagar karena terjadi reaksi oksidasi asam lemak. Reaksi oksidasi terjadi akibat adanya kontak langsung dengan udara atau panas (cahaya matahari) pada saat proses pengepresan biji jarak pagar. Menurut Hamilton (1983), tingginya jumlah asam lemak tak jenuh pada minyak jarak juga menyebabkan semakin mudahnya minyak tersebut mengalami oksidasi. 17

31 Minyak Jarak Pagar Analisis FFA > 2% < 2% MeOH 225% H 2 SO 4 4% Esterifikasi Transesterifikasi MeOH 15% KOH 1% MeOH 15% KOH 1% Transesterifikasi Metil Ester Gliserol Pencucian Pengeringan Metil Ester Murni Gambar 6. Diagram alir pembuatan metil ester Pada proses esterifikasi, minyak jarak pagar direaksikan dengan metanol sebanyak 225% (b/b) dari FFA awal dan katalis asam sulfat (H 2 SO 4 ) sebanyak 4% (b/b) dari FFA awal. Proses esterifikasi membentuk ester dan air (H 2 O). Selanjutnya dilakukan proses transesterifikasi untuk mengubah trigliserida menjadi metil ester. Proses esterifikasi dilakukan bertujuan untuk menurunkan bilangan asam minyak jarak pagar. Interaksi antara asam lemak dan alkohol bersifat reversible dan prosesnya berlangsung sangat lambat. Mekanisme reaksi esterifikasi dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7. Reaksi esterifikasi (Khan, 2002) Proses transesterifikasi menggunakan metanol 15% (b/b) dan KOH 1% (b/b). Reaksi transesterifikasi (alkoholisis) merupakan tahap konversi trigliserida pada minyak nabati menjadi metil ester (biodiesel) melalui reaksi dengan menggunakan alkohol rantai pendek seperti metanol atau etanol dan katalis asam atau basa serta menghasilkan produk samping berupa gliserol. Berikut ini adalah mekanisme reaksi transesterifikasi umum trigliserida dengan alkohol dari jenis metanol (1): 18

32 KOH Gambar 8. Mekanisme transesterifikasi; (1) Mekanisme reaksi umum trigliserida dengan alkohol dari jenis metanol; (2) Tiga reaksi berurutan dan reversible [R 1,2,3 = asam lemak] Selanjutnya, dilakukan proses settling selama 24 jam untuk memisahkan gliserol. Metil ester yang telah dipisahkan mengalami proses pencucian sebanyak 3 4 kali. Proses pencucian dilakukan dengan menggunakan air (H 2 O). Kemudian dilakukan proses pengeringan melalui pemanasan pada suhu 110 o C. Setelah proses pengeringan, diperoleh metil ester. Metil ester yang telah diperoleh dilakukan analisis. Prosedur analisis metil ester jarak pagar dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil analisis fisiko-kimia metil ester dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil analisis sifat fisiko-kimia metil ester jarak pagar No. Sifat Fisiko-Kimia Nilai Satuan 1 Kadar air 0.02 % 2 Bilangan asam 2.79 mg KOH/g minyak 3 Bilangan iod mg Iod/g minyak 4 Bilangan penyabunan mg KOH/g minyak 5 Kadar asam lemak bebas 1.40 % 6 Densitas 0.88 g/cm 3 7 Viskositas (30 o C) 3.6 cp Nilai bilangan asam metil ester jarak pagar jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai bilangan asam minyak jarak pagar. Bilangan asam metil ester adalah 2,79 mg KOH/g minyak sedangkan bilangan asam minyak adalah 7,09 mg KOH/g minyak. Penurunan bilangan asam terjadi karena reaksi esterifikasi minyak jarak pagar telah mengubah asam lemak bebas menjadi metil ester sehingga jumlah milligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam lemak bebas dari satu gram minyak atau lemak menjadi lebih sedikit. Lain halnya dengan bilangan penyabunan dan bilangan iod metil ester jarak pagar yang tidak mengalami perbedaan signifikan dengan minyak jarak pagar. Bilangan penyabunan dan bilangan iod berturut-turut dari metil ester adalah 245,33 mg KOH/g minyak dan 95,71mg Iod/g minyak sedangkan dari minyak jarak pagar adalah 194,06 mg KOH/g minyak dan 96,42 mg Iod/g minyak. Bilangan iod yang tidak mengalami perbedaan signifikan karena baik proses esterifikasi maupun proses transesterifikasi tidak menyerang ikatan rangkap rantai karbon pada minyak jarak dalam konversi minyak menjadi asam lemak. 19

33 Nilai densitas dan nilai viskositas metil ester jarak pagar yang diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan nilai densitas dan nilai viskositas minyak jarak pagar. Nilai densitas metil ester adalah 0,88 g/cm 3 sedangkan nilai densitas minyak adalah 0,91 g/cm 3 serta nilai viskositas metil ester adalah 3,60 Cp sedangkan nilai viskositas minyak adalah 52,60 cp. Penurunan nilai densitas terjadi karena adanya pengikatan gugus OH dari metanol yang memiliki densitas yang lebih kecil sedangkan penurunan nilai viskositas terjadi karena adanya pengikatan gugus OH pada ester dan adanya proses pemisahan produk dengan gliserin. Metil ester (ME) tersebut selanjutnya mengalami proses sulfonasi. Proses sulfonasi metil ester dalam pembuatan MES melalui beberapa tahap yaitu reaksi sulfonasi, pengendapan, pemurnian, penguapan metanol dan penetralan. Diagram alir sulfonasi MES yang diterapkan oleh SBRC IPB dapat dilihat pada Gambar 9. Metil Ester Gas SO 3 Udara Kering Sulfonasi dalam STFR MESA Aging NaOH 50% Netralisasi MES Gambar 9. Diagram alir proses sulfonasi ME menjadi MES Metil ester yang telah didapatkan mengalami proses sulfonasi. Proses sulfonasi dilakukan dengan menggunakan reactor STFR (Single Tube Film Reactor). Reaktor STFR memiliki tinggi 6 meter dan diameter tube 25 mm. Prinsip kerja reaktor ini adalah gas SO 3 dialirkan ke dalam tabung dimana pada dinding bagian dalam tabung dialirkan secara co-current metil ester dalam bentuk film (lapisan) tipis sehingga terbentuk tabung yang menyelimuti gas yang mengalir di bagian tengah tabung. Suhu umpan (feed) berupa metil ester pada proses sulfonasi diatur konstan pada suhu o C. Kontak gas metil ester dengan gas SO 3 berlangsung pada laju alir 100 ml/menit. Pada proses sulfonasi dilakukan penambahan udara kering. Penambahan udara kering bertujuan untuk mengencerkan gas SO 3 dari konsentrasi 25 26% menjadi konsentrasi 4 7%. Perbandingan metil ester, gas SO 3 dan udara kering adalah 1 : 1 : 2. Feed dipompa naik ke reaktor masuk ke liquid chamber lalu mengalir turun membentuk film (lapisan) tipis dengan ketebalan tertentu. Ketebalan yang dihasilkan sesuai dengan bentuk corong head pada reaktor. Kontak metil ester dengan gas SO 3 pada puncak reaktor STFR harus berlangsung secara kontinyu sepanjang tube dengan aliran laminar dan ketebalan film harus konstan agar reaksi yang terjadi sepanjang tube merata. Reaksi sulfonasi berlangsung selama 3 6 jam. Reaksi sulfonasi membentuk produk antara berupa MESA (methyl ester sulfonate acid). Selanjutnya, MESA yang telah dihasilkan mengalami proses aging. Proses aging berlangsung dalam reaktor aging pada suhu o C selama 75 menit dengan kecepatan putaran pengaduk

34 rpm. Kemudian MESA mengalami proses netralisasi dengan penambahan NaOH 50%. Proses netralisasi pada suhu o C selama 40 menit. Setelah proses netralisasi, diperoleh surfaktan MES (metil ester sulfonat). Surfaktan MES yang diperoleh dianalisis. Analisis sifat fisiko-kimia surfaktan MES disajikan pada Tabel 8. Prosedur analisis sifat fisiko-kimia MES jarak pagar disajikan pada Lampiran 3. Tabel 8. Hasil analisis sifat fisiko-kimia surfaktan MES jarak pagar No. Karakteristik Nilai Satuan 1 Warna > 3,749 Klett 2 Densitas g/cm 3 3 Viskositas cp 4 ph Surfaktan MES yang diperoleh berwarna gelap. Warna gelap tersebut dikarenakan reaksi reaktif gas SO 3 terhadap metil ester jarak pagar pada ikatan rangkap. Berikut ini adalah penampakan visual dari MESA dan MES jarak pagar yang dihasilkan : (a) (b) Gambar 10. (a) MESA jarak pagar dan (b) MES jarak pagar 4.2. PEMBUATAN CORE SANDSTONE SINTETIK Reservoir merupakan suatu batuan yang berpori-pori dan permeable di bawah permukaan bumi yang merupakan tempat minyak dan atau gas bergerak serta berakumulasi. Tiap reservoir memiliki jenis batuan yang berbeda-beda dengan karakteristik yang berbeda pula. Jenis batuan dipengaruhi oleh fasa fluida yang mengisi pori-pori batuan berhubungan atau tidak satu sama lainnya. Di samping itu, jenis batuan berpengaruh terhadap porositas dan permeabilitas. Porositas merupakan perbandingan volume ruang pori-pori terhadap volume total batuan sedangkan permeabilitas merupakan kemampuan dari medium berpori untuk mengalirkan fluida yang dipengaruhi olah ukuran butiran, bentuk butiran serta distribusi butiran. Contoh batuan yang diambil dari reservoir pada saat pemboran kemudian batuan mengalami pengecilan ukuran dengan diameter 3 cm disebut core. Core yang digunakan pada penelitian merupakan core sintetik sehingga dibutuhkan formula core sintetik yang tepat agar menyerupai karakteristik core asli. Core asli berasal dari Lapangan T yang berjenis batuan pasir (sandstone). Sandstone pada Lapangan T tersusun dari sebagian besar pasir kuarsa dengan porositas 20%. Oleh karena itu, core sintetik yang dibuat terdiri dari pasir kuarsa dan 21

35 semen dengan porositas yang mendekati core asli. Menurut Lange et. al. (1991), batu pasir adalah batu-batu yang renggang (loose) tapi padat (compact) yang terdiri dari fragmen-fragmen yang menyatu dan mengeras (cemented). Persiapan core sintetik terdiri dari tiga tahap yaitu pembuatan core sintetik, pencucian core sintetik dan penjenuhan core sintetik. Pada tahap pertama, core sintetik dibuat dengan menggunakan perbandingan pasir kuarsa dan semen adalah 5 : 2 lalu ditambahkan air 10% dari bobot total (pasir kuarsa dan semen). Perbandingan tersebut mampu menghasilkan porositas yang paling mendekati dengan porositas core asli. Porositas yang dihasilkan dari core sintetik adalah 30 35%. Gambar 11. Core sandstone sintetik Porositas beberapa reservoir menurut Koesoemadinata (1978) dikelompokkan menjadi diabaikan (negligible) 0 5%, buruk (poor) 5 10%, cukup (fair) 10 15%, baik (good) 15 20%, sangat baik (very good) 20 25% dan istimewa (excellent) > 25 %. Permeabilitas beberapa reservoir dikelompokkan menjadi ketat (tight) < 5 md, cukup (fair) 5 10 md, baik (good) md, baik sekali md dan (very good) >1000 md. Berikut ini tersaji nilai porositas dan nilai permeabilitas dari tiap core pada Tabel 10. Prosedur pengukuran porositas dan permeabilitas core dapat dilihat pada Lampiran 8. Tabel 9. Porositas dan permeabilitas core sintetik No Kode core Porositas (%) Permeabilitas (mdarcy) 1 A B C D E F Core yang dibuat berbentuk tabung dengan diameter ±2,3 cm dan tinggi ±3,1 cm. Ukuran core ini disesuaikan dengan core holder yang terdapat pada alat coreflooding apparatus. Untuk lebih jelasnya, ukuran core dapat dilihat pada Lampiran 9. Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa nilai porositas berbanding terbalik dengan nilai permeabilitas dimana semakin besar nilai porositas maka semakin kecil nilai permeabilitas. Porositas yang dimiliki core sintetik termasuk reservoir yang istimewa (> 25%) sedangkan permeabilitas yang dimliki core sintetik termasuk reservoir yang baik ( md). Nilai porositas yang besar mengindikasikan lubang pada pori-pori core besar sehingga fluida dapat mengalir dengan cepat maka seharusnya nilai permeabilitas yang dihasilkan pun besar pula. Berdasarkan penelitian Nurwidyanto dan Noviyanti (2005) pada batupasir (study kasus formasi Kerek, Ledok dan Selorejo), korelasi atau hubungan yang nyata dan bersifat positif antara variabel porositas dan permeabilitas. Hasil yang dimiliki oleh core sintetik disebabkan oleh terdapatnya semen yang membentuk interpartikel pada core sintetik tidak sepenuhnya berbentuk bola sehingga berdampak 22

36 pada porositas yang besar tetapi permeabilitas yang kecil. Menurut Koesoemadinata (1978), jika bentuk butiran mendekati bentuk bola maka permeabilitas dan porositasnya akan lebih meningkat. Pada tahap kedua, core dicuci dengan menggunakan distilasi dengan pelarut toluene. Distilasi adalah proses mengekstrak bahan dengan menggunakan pelarut yang sesuai dengan bahan. Pillihan terhadap toluene sebagai pelarut karena toluene mampu mengikat kotoran yang terkandung pada core sintetik. Selain itu, penggunaan toluene sebagai pelarut didasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan Paulina Mwangi (2008) karena kemampuan toluene dalam menghilangkan hydrocarbons, termasuk aspal, dan pengotor lainnya dengan baik dan mengembalikan wettability batuan. Selanjutnya, core dikeringkan dalam oven pada suhu 70 o C. Pengeringan bertujuan untuk menguapkan pelarut toluene yang masih terkandung pada core. Setelah itu, core didinginkan dalam desikator guna menghilangkan uap panas akibat proses pengeringan. Kemudian core ditimbang bobotnya untuk mengetahui bobot kering dari core. Bobot kering digunakan pada perhitungan porositas core. Bobot kering yang dimiliki core berkisar antara gram. Pada tahap ketiga, dilakukan pemvakuman pada core. Pemvakuman dilakukan 2 tahap dimana tahap pertama dilakukan untuk memasukkan udara ke dalam pori-pori core dan tahap kedua dilakukan untuk menggantikan udara dengan fluida ke dalam pori-pori core. Fluida yang digunakan pada proses pemvakuman adalah Air Formasi (AF) Tx dari Lapangan T. Air formasi merupakan fluida reservoir yang tercampur dan terangkat bersama minyak bumi ke permukaan. Air formasi bersifat asin dengan salinitas rata-rata di atas air laut. Kandungan utama air formasi adalah unsur Ca (kalium), Na (natrium), dan Chlor (Cl) dalam jumlah besar. Air formasi yang digunakan untuk uji telah mengalami proses penyaringan terlebih dahulu. Penyaringan dilakukan sebanyak 4 kali yaitu penyaringan menggunakan filter 500 mesh, dilanjutkan dengan menggunakan filter 21 µm, dilanjutkan dengan menggunakan filter 0,45 µm dan terakhir dengan menggunakan filter 0,22 µm. Penyaringan hingga filter 0,22 µm dilakukan sesuai dengan prosedur yang dilakukan oleh Lemigas. Core yang telah divakum dijenuhkan dengan merendam core dalam AF Tx selama 1 3 hari. Penjenuhan bertujuan untuk memperoleh core sintetik semirip mungkin dengan kondisi core asli yang telah terendam dengan AF Tx selama berjuta-juta tahun. Semakin lama penjenuhan maka semakin mirip kondisi yang dimiliki oleh core sintetik dengan core asli FORMULASI LARUTAN SURFAKTAN Formulasi merupakan sebuah tahapan yang menentukan performa terbaik dari larutan surfaktan yang dihasilkan untuk aplikasi enhanced waterflooding. Performa terbaik yang dimaksud adalah formula surfaktan yang mampu menurunkan tegangan antar muka (IFT) antara minyak-larutan surfaktan dan merubah sifat batuan yang suka minyak (oil wet) menjadi suka air (water wet). Dengan performa terbaik tersebut diharapkan mampu memproduksi minyak secara optimal. Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan pihak SBRC IPB diketahui bahwa formula surfaktan dengan konsentrasi surfaktan 0,3% menghasilkan nilai IFT terkecil. Formulasi dilakukan dengan melarutkan surfaktan MES jarak pagar dengan konsentrasi 0,3% dalam Air Injeksi Tx. Air injeksi merupakan air yang memiliki komposisi dan konsentrasi yang berbeda dengan air formasi. Air injeksi adalah air yang telah mendapatkan treatment sehingga air injeksi dapat digunakan untuk diinjeksikan kembali ke dalam batuan reservoir melalui sumur injeksi. Penginjeksian ini bertujuan untuk meningkatkan perolehan minyak pada secondary phase pada sumur produksi. Pada formulasi, Air Injeksi dari Lapangan T yang digunakan adalah air injeksi yang telah mengalami proses penyaringan sebanyak 4 kali yaitu penyaringan menggunakan filter 500 mesh, dilanjutkan dengan menggunakan filter 21 µm, dilanjutkan dengan menggunakan filter 0,45 µm dan terakhir dengan menggunakan filter 0,22 µm. 23

37 Penyaringan hingga filter 0,22 µm dilakukan sesuai dengan prosedur yang dilakukan oleh Lemigas. Prosedur analisis Air Injeksi T dan Air Formasi Tx dapat dilihat pada Lampiran 5. Berikut ini adalah hasil analisis yang dilakukan pihak SBRC IPB terhadap Air Formasi Tx dan Air Injeksi dari Lapangan T : Tabel 10. Hasil analisis air formasi dan air injeksi Parameter Air Injeksi T Air Formasi Tx ph Viskositas (cp) Densitas (g/cm 3 ) Formulasi dilakukan melalui tahapan terstruktur yaitu optimal salinitas, optimal alkali dan optimal co-surfaktan. Tahapan terstruktur dilakukan untuk memperoleh data yang valid. Tahapan tersebut berhenti dilakukan jika setelah diperoleh formula surfaktan yang sesuai dengan karakteristik yang ditetapkan oleh BP MIGAS. Menurut BP MIGAS (2009), karakteristik formula yang diharapkan untuk EOR (enhanced oil recovery) adalah formula surfaktan yang memiliki karakteristik sebagai berikut: Compatibility : tidak ada endapan Adsorbsion : < 0.25% atau 0.4 mg/g IFT : 10-3 dyne/cm Thermal stability : tahan terhadap temperatur reservoir minimal 3 bulan ph : 6 8 Phase form : bawah atau tengah Filtrasi ratio : < 1.2 Recovery oil : > 10% incremental tergantung keekonomian Karakteristik utama yang harus dipenuhi untuk aplikasi EOR menggunakan surfaktan adalah nilai IFT dari fomula larutan surfaktan. Hal ini dikarenakan penggunaan surfaktan bertujuan untuk menurunkan tegangan antar muka antara fasa minyak dan fasa air. Pada tahap formulasi ini dilakukan uji kinerja dari formula surfaktan yang dihasilkan berupa pengukuran densitas dan uji IFT. Pada uji kinerja tersebut, digunakan minyak Tx dari Lapangan T untuk memperoleh nilai IFT dari larutan surfaktan. Minyak tersebut terlebih dahulu dianalisis. Prosedur analisis minyak Tx dapat dilihat pada Lampiran 6 Berikut ini adalah hasil analisis terhadap minyak Tx dari Lapangan T : Tabel 11. Hasil analisis minyak Tx Parameter Nilai Aspaltine Positif (+) Viskositas (cp) 2.43 Densitas (g/cm 3 ) Specific Gravity API Gravity Berdasarkan gravitas API atau kerapatan relatif, minyak mentah dibagi dalam 5 jenis minyak mentah, yaitu: minyak mentah ringan, minyak mentah ringan sedang, minyak mentah berat sedang, minyak mentah berat, minyak mentah sangat berat, seperti terlihat pada Tabel

38 Jenis Minyak Mentah Tabel 12. Klasifikasi minyak bumi Gravitas API Kerapatan Relatif Dari Sampai Dari Sampai Ringan >39,0 <0,830 Medium Ringan 39,0 35,0 0,830 0,850 Medium Berat 35,0 35,0 0,850 0,865 Berat 35,0 24,8 0,865 0,905 Sangat Berat <24,8 >0,905 Sumber : Kontawa (1995) Pada analisis dilakukan uji aspaltine dimana uji tersebut bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya kandungan aspal pada minyak dimana kandungan aspal mengindikasikan minyak tersebut bersifat polar. Berdasarkan uji aspaltine diketahui bahwa minyak Tx memiliki kandungan aspal sehingga minyak Tx bersifat polar. Hal ini dibuktikan dengan terdapatnya endapan pada bagian bawah minyak. Pada Gambar 12 disajikan gambar sebelum dan setelah uji aspaltine. (a) (b) Gambar 12. (a) Sebelum uji aspaltine dan (b) Setelah uji aspaltine Tahapan awal formulasi yaitu optimal salinitas. Optimal salinitas bertujuan untuk mengetahui performa terbaik dari larutan surfaktan pada kondisi salinitas yang optimum pada air injeksi. Pada tahapan ini, digunakan NaCl dengan variasi konsentrasi yaitu 1000 ppm, 3000 ppm, 5000 ppm, 7000 ppm, 9000 ppm, ppm, ppm dan ppm. Penentuan variasi konsentrasi NaCl didasari atas penelitian terdahulu yang dilakukan pihak SBRC IPB. Berikut ini adalah grafik yang menggambarkan hubungan antara nilai IFT yang dihasilkan dengan konsentrasi NaCl yang digunakan : 25

39 3.E 02 Nilai IFT (dyne/cm) 2.55E 02 2.E E E E E 02 1.E E E E E 03 0.E Konsentrasi NaCl (ppm) Gambar 13. Grafik hubungan antara IFT dengan konsentrasi NaCl Untuk lebih jelasnya, nilai densitas dan nilai IFT dapat dilihat pada Lampiran 10. Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa mula-mula nilai IFT menurun setelah larutan surfaktan dicampur dengan NaCl tetapi nilai IFT terus meningkat setelah konsentrasi NaCl diperbesar. Efektifitas surfaktan untuk menurunkan IFT akan berkurang dengan semakin tingginya kadar garam larutan (Ashrawi, 1984). Hasil uji coba laboratorium, nilai IFT terkecil yang dihasilkan terdapat pada MES jarak pagar 0,3% pada konsentrasi 1000 ppm NaCl dimana nilai IFT sebesar 7,45 x 10-3 dyne/cm. Hasil formula optimal salinitas digunakan pada tahapan selanjutnya. Hasil penampakan visual IFT pada optimal salinitas dapat dilihat pada Lampiran 11. Tahapan formulasi selanjutnya adalah optimal alkali. Optimal alkali bertujuan untuk menurunkan nilai IFT yang telah diperoleh dari formulasi awal. Alkali yang digunakan adalah NaOH (natrium hidroksida) dan Na 2 CO 3 (natrium karbonat). Tujuan penggunaan dua alkali adalah sebagai pembanding. Alkali merupakan zat aditif dengan penambahan konsentrasi maksimal 1% atau ppm. Baik NaOH maupun Na 2 CO 3 ditambahkan dengan variasi konsentrasi yaitu 1000 ppm, 3000 ppm, 5000 ppm, 7000 ppm dan 9000 ppm. Berikut ini adalah grafik yang menggambarkan hubungan antara nilai IFT yang dihasilkan dengan konsentrasi alkali yang digunakan : Nilai IFT (dyne/cm) 6.E 01 4.E 01 2.E E E E E E E E E E E E 02 0.E Konsentrasi alkali (ppm) Gambar 14. Grafik hubungan antara IFT dengan konsentrasi alkali Natrium karbonat Natrium hidroksida 26

40 Untuk lebih jelasnya, nilai densitas dan nilai IFT dapat dilihat pada Lampiran 12. Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa semakin besar konsentrasi alkali yang digunakan maka semakin besar nilai IFT yang dihasilkan. Penambahan alkali tidak mampu menurunkan nilai IFT yang telah dihasilkan pada formulasi awal malahan penambahan alkali makin menaikkan nilai IFT yang telah dihasilkan pada formulasi awal. Formulasi pun berhenti pada tahapan formulasi kedua karena penambahan unsur lain menaikkan nilai IFT yang dihasilkan sehingga tahapan terakhir yaitu optimal co-surfaktan tidak dilakukan. Hasil penampakan visual IFT pada optimal alkali dapat dilihat pada Lampiran 13. Jadi, formula larutan surfaktan yang digunakan pada aplikasi enhanced waterflooding adalah larutan surfaktan yang dihasilkan pada formulasi awal yaitu MES jarak pagar 0,3% pada konsentrasi 1000 ppm NaCl. Untuk memperoleh nilai IFT, terlebih dahulu dilakukan pengujian densitas. Densitas menyatakan kerapatan antar molekul dalam suatu material yang didefinisikan sebagai rasio (perbandingan) antara massa dan volume material (g/cm 3 ). Baik pada tahap optimal salinitas maupun tahap optimal alkali terjadi peningkatan nilai densitas. Peningkatan densitas mengindikasikan telah terjadinya peningkatan konsentrasi (massa) akibat adanya penambahan senyawa lain. Pada optimal salinitas, penambahan NaCl menyebabkan peningkatan konsentrasi (massa) pada larutan surfaktan. Sama halnya pada optimal alkali, baik penambahan NaOH maupun Na 2 SO 3 menyebabkan peningkatan konsentrasi (massa) pada larutan surfaktan. Grafik nilai densitas larutan surfaktan pada tahap optimal salinitas dan pada optimal alkali dapat dilihat pada Gambar 15 dan Gambar Densitas (g/cm 3 ) Konsentrasi NaCl (ppm) Gambar 15. Grafik hubungan antara densitas dengan konsentrasi NaCl Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa peningkatan konsentrasi NaCl berbanding lurus dengan nilai densitas yang dihasilkan oleh larutan surfaktan. Semakin tinggi konsentrasi NaCl yang digunakan maka semakin tinggi pula nilai densitas yang dihasilkan oleh larutan surfaktan. Peningkatan densitas terjadi akibat penambahan konsentrasi (massa) dari NaCl yang semakin meningkat. Hal ini juga terjadi pada optimal alkali dimana peningkatan konsentrasi alkali yang digunakan (Na 2 SO 3 dan NaOH) berdampak pada peningkatan densitas. Peningkatan densitas larutan surfaktan diakibatkan peningkatan konsentrasi (massa) dari alkali yang semakin meningkat pula. 27

41 Densitas (g/cm 3 ) Natrium karbonat Natrium hidroksida Konsentrasi alkali (ppm) Gambar 16. Grafik hubungan antara densitas dengan konsentrasi alkali 4.4. UJI KINERJA FORMULA Uji Compatibility Uji compatibility adalah uji untuk mengetahui kecocokan antara surfaktan dengan air injeksi. Maksudnya adalah surfaktan larut atau tidak dalam air injeksi. Uji bernilai positif jika surfaktan larut secara sempurna dalam air injeksi sedangkan uji bernilai negatif jika surfaktan tidak larut secara sempurna dalam air injeksi. Pengamatan uji ini dilakukan secara visual selama formulasi. Berdasarkan hasil formulasi diketahui bahwa uji compatibility bernilai positif baik pada surfaktan MES jarak pagar terhadap optimal salinitas maupun pada surfaktan MES jarak pagar terhadap optimal alkali. Berikut ini adalah hasil pengamatan secaraa visual : (a) ( b 1 ) (b 2 ) Gambar 17. (a) MES jarak pagar pada optimal salinitas (NaCl); (b 1 ) MES jarak pagar pada optimal alkali (NaOH); (b 2 ) MES jarak pagar pada optimal alkali (Na 2 CO 3 ) 28

42 Uji Thermal Stability Uji thermal stability merupakan uji untuk mengetahui ketahanan larutan surfaktan terhadap pengaruh suhu. Uji ini memiliki parameter-parameter penting yaitu densitas, IFT, ph dan viskositas. Nilai IFT merupakan parameter terpenting pada uji ini dimana perubahan nilai IFT tidak berubah secara signifikan. Pengujian dilakukan selama minimal 1 bulan. Grafikgrafik perubahan IFT, densitas, ph dan viskositas tersaji pada gambar di bawah ini sedangkan nilai densitas, IFT, ph dan viskositas tersaji pada Lampiran 14. Tegangan antar muka (IFT) pad uji thermal stability diharapkan tidak mengalami kenaikan yang signifikan seiring dengan lama pemanasan. Kenaikan yang terlalu signifikan mengindikasikan formula surfaktan tidak memiliki kinerja yang baik. Hasil IFT formula surfaktan dapat dilihat pada Gambar E 02 Nilai IFT (dyne/cm) 1.E E 02 5.E E E E 03 0.E E Hari ke Gambar 18. Grafik hubungan antara IFT dengan lama pemanasan Berdasarkan gambar di atas diketahui bahwa terjadi fluktuasi nilai IFT yang dihasilkan terhadap lama pemanasan. Seharusnya nilai IFT yang dihasilkan mengalami peningkatan seiring dengan lama pemanasan. Hal ini dikarenakan telah terjadi degradasi struktur formula surfaktan. Fluktuasi nilai IFT berdampak terhadap nilai densitas yang dihasilkan. Fluktuasi tersebut dapat terjadi disebabkan pemasukan sampel ke dalam alat pengujian tidak mengalami pengadukan. Sebaiknya sampel mengalami pengadukan sebelum sampel dimasukkan ke dalam alat pengujian. Grafik hubungan antara densitas yang dihasilkan dengan lama pemanasan disajikan pada Gambar

43 1.00 Densitas (g/cm 3 ) Hari ke Gambar 19. Grafik hubungan antara densitas dengan lama pemanasan Dari Gambar 19 diketahui bahwa secara garis besar semakin kecil nilai IFT maka semakin kecil pula nilai densitas. Hal ini berarti IFT berbanding lurus dengan densitas. Densitas menunjukkan besarnya bobot molekul yang terkandung pada suatu bahan. Suhu tinggi dengan waktu pemanasan yang lama menyebabkan degradasi ikatan antar molekul sehingga terjadi pemutusan ikatan antar molekul. Pemutusan ikatan molekul berdampak terhadap penurunan nilai densitas. Dengan kata lain, nilai densitas yang dihasilkan menurun seiring dengan lama pemanasan. Viskositas merupakan suatu sifat fluida yang dipengaruhi oleh ukuran dan gaya antar molekul fluida tersebut. Viskositas menunjukkan tingkat kekentalan suatu fluida. Semakin tinggi nilai viskositas maka semakin tinggi pula tingkat kekentalan suatu fluida. Terikatnya gugus sulfonat pada MES selama proses formulasi menyebabkan formula surfaktan memiliki ukuran molekul yang lebih besar. Ukuran molekul yang lebih besar berpengaruh terhadap nilai viskositas yang lebih tinggi dibandingkan dengan Air Injeksi T (sebagai pelarut). Grafik hubungan antara nilai viskositas yang dihasilkan dengan lama pemanasan dapat dilihat pada Gambar Viskositas (cp) Hari ke Gambar 20. Grafik hubungan antara viskositas dengan lama pemanasan 30

44 Dari Gambar 20 terlihat bahwa terjadi penurunan dan peningkatan kembali nilai viskositas. Pada hari ke-0, larutan surfaktan dibuat pada suhu ruang kemudian diukur nilai viskositasnya tanpa pemanasan. Larutan tersebut mengalami penurunan nilai vikositas pada hari ke-7 tetapi mengalami peningkatan nilai viskositas secara terus-menerus hingga hari ke-30. Sifat densitas suatu fluida memiliki korelasi positif dengan viskositas dimana semakin rendah nilai densitas maka semakin rendah pula nilai viskositas suatu fluida. Dengan kata lain, fluida tersebut semakin encer. Menurut Holmberg (2002), kenaikan viskositas disebabkan karena meningkatnya konsentrasi partikel. Suhu yang tinggi dengan waktu pemanasan yang lama menyebabkan degradasi ikatan antar molekul suatu bahan. Ikatan molekul yang terdegradasi berdampak terhadap pemutusan ikatan antar molekul sehingga mengakibatkan penurunan nilai densitas dan nilai viskositas suatu bahan. Peningkatan nilai viskositas yang terjadi disebabkan pemasukan sampel ke dalam alat pengujian tidak mengalami pengadukan. Sebaiknya sampel mengalami pengadukan sebelum sampel dimasukkan ke dalam alat pengujian. Pada uji thermal stability, dilakukan pula pengukuran nilai ph. Pengukuran tersebut dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu yang tinggi dengan waktu pemanasan yang lama terhadap tingkat derajat keasaman larutan surfatan. Nilai ph merupakan logaritma negatif dari konsentrasi ion hidrogen (Fessenden dan Fessenden, 1995). Pada umumnya, nilai ph suatu bahan berkisar antara Suatu bahan berada pada kondisi ph netral jika bahan dengan ph 7 sedangkan suatu bahan bersifat asam jika bahan dengan ph berkisar antara 0 6 serta suatu bahan bersifat basa jika bahan dengan ph berkisar antara Derajat keasaman (ph) formula surfaktan yang dihasilkan tersaji pada Gambar ph Hari ke Gambar 21. Grafik hubungan antara ph dengan lama pemanasan Dari Gambar 21 terlihat bahwa terjadi peningkatan derajat keasaman dan penurunan kembali derajat keasaman. Peningkatan nilai ph terjadi pada hari ke-7 sedangkan penurunan nilai ph terjadi dari hari ke 14 hingga hari ke 30. Penurunan nilai ph pada larutan surfaktan menunjukkan telah terjadi peningkatan konsentrasi asam akibat penurunan volume larutan surfaktan. Penurunan volume larutan terjadi karena penguapan air injeksi. Jadi, ketika sampel dikeluarkan dari alat pengujian maka uap air injeksi akan langsung terlepas ke udara bebas. 31

45 Uji Phase Behavior Uji phase behavior merupakan uji untuk mengetahui kinerja surfaktan dari terbentuknya fasa antara larutan surfaktan dengan minyak bumi. Fasa yang terbentuk terbagi menjadi tiga yaitu fasa atas, fasa tengah dan fasa bawah. Menurut Levitt (2006), mikroemulsi kelakuan fasa dideskripsikan sebagai Winsor tipe I, tipe II dan tipe III. Perubahan kelakuan fasa dapat terjadi akibat perubahan salinitas, suhu, struktur surfaktan atau equivalent alkane carbon number (EACN) pada minyak. Pada salinitas rendah, tipe I atau mikroemulsi minyak-dalam-air baru terjadi diakibatkan oleh kelebihan fasa air. Pada salinitas sangat tinggi, tipe II atau mikroemulsi air-dalam-minyak terbentuk diakibatkan oleh kelebihan fasa minyak. Tipe III atau fasa yang terbentuk di antara tipe I dengan tipe II dimana mikroemulsi minyak dan air terbentuk yang dikenal sebagai fasa tengah serta keseimbangan antara kelebihan fasa air dengan kelebihan fasa minyak terjadi. Secara umum kondisi fasa campuran yang terbentuk dan setelah dilakukan pengamatan secara kasat mata terbagi dalam 4 kategori. Emulsi fasa bawah: emulsi yang terbentuk dalam fasa air, dalam kondisi dua fasa, berwarna translucent (jernih tembus cahaya) pada umumnya terbentuk pada kadar salinitas rendah, dan Vw/Vs>Vo/Vs. Mikroemulsi atau emulsi fasa tengah: emulsi terbentuk di fasa tengah, dalam kondisi tiga fasa (air-mikroemulsiminyak), berwarna translucent, terbentuk pada kadar salinitas optimum, Vw/Vs=Vo/Vs. Emulsi fasa atas: emulsi yang terbentuk di fasa minyak, dalam kondisi dua fasa, berwarna jernih, pada kadar salinitas tinggi cenderung membentuk emulsi di fasa atas, Vw/Vs<Vo/Vs. Makroemulsi: emulsi yang terbentuk kental, berwarna putih susu (milky), ukuran makroemulsi sangat besar ( A). (Lemigas, 2002) Pengujian ini dilakukan secara visual dan perhitungan proporsi antara fasa larutan surfaktan dengan fasa minyak selama minimal 1 bulan. Pengamatan visual tersaji pada Gambar 22. sedangkan perhitungan proporsi antara fasa larutan surfaktan dengan fasa minyak tersaji pada Lampiran 15. I II I II I II T 0 T 7 T 14 32

46 I II I II T 21 T 30 Gambar 22. Pengamatan phase behavior hari ke-0 sampai hari ke-30 Jenis emulsi yang paling diharapkan dalam proses EOR/injeksi surfaktan adalah emulsi fasa tengah (Phase Form III) atau mikroemulsi atau paling tidak emulsi fasa bawah (Lemigas, 2002). Hal ini dikarenakan pada fasa tersebut menandakan kinerja surfaktan yang baik. Maksud kinerja yang baik adalah pada kondisi tersebut dihasilkan nilai IFT yang sangat rendah sehingga proses pendesakan minyak bumi dapat berjalan secara optimal. Berdasarkan Gambar 22 diketahui bahwa pada hari ke-0 belum terbentuk fasa antara larutan surfaktan dengan minyak. Proporsi jumlah larutan surfaktan dan minyak masih sama yaitu 2,5 ml. Lain halnya pada hari ke-7 dimana telah terjadi excess water yang ditandai dengan penambahan volume larutan surfaktan sebesar 0,05 ml dan pengurangan volume minyak sebesar 0,05 ml pula. Penambahan volume tersebut menandakan telah terbentuk fasa bawah. Pada pengamatan visual hari ke-14 tidak terjadi perubahan apapun dari hari ke-7 sehingga masih terbentuk fasa bawah hingga hari ke-14. Pada hari berikutnya yaitu hari ke-21 terjadi penambahan volume larutan surfaktan sebesar 0,05 ml kembali dan pengurangan volume minyak sebesar 0,05 ml pula. Jadi, penambahan volume larutan surfaktan terjadi sebanyak 1 ml dengan pengurangan volume minyak sebesar 1 ml pula. Pada pengamatan visual hari ke-30 tidak terjadi perubahan apapun dari hari ke-21 sehingga masih terbentuk fasa bawah hingga hari ke-21. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kinerja larutan surfaktan yang baik hingga hari ke-30. Pada uji ini juga dilihat kelarutan minyak terhadap lama pemanasan. Jika selama pengamatan hanya terbentuk dua fasa maka digunakan perhitungan sebagai berikut : Keterangan : Po = Kelarutan minyak Vo = Volume minyak awal Vo = Volume minyak selama pengamatan Vs = Volume surfaktan 33

47 Lain halnya terbentuk tiga fasa dimana dilihat kelarutan air terhadap lama pemanasan. Jika selama pengamatan terbentuk tiga fasa maka digunakan perhitungan sebagai berikut : Keterangan : Pw = Kelarutan air Vw = Volume air awal Vw = Volume air selama pengamatan Vs = Volume surfaktan Berikut ini adalah ilustrasi kelakuan fasa dalam perhitungan : Vo Vw Vo Vw Vo emulsi Vw (a) (b) (c) Gambar 23. (a) Kelakuan fasa awal; (b) Terbentuk dua fasa; (c) Terbentuk tiga fasa Selama 30 hari pengamatan yang telah dilakukan diketahui bahwa kelakuan fasa yang terbentuk adalah fasa bawah. Pada fasa bawah hanya terbentuk dua fasa yaitu fasa air dan fasa minyak. Oleh karena itu, diihat kelarutan minyak terhadap lama pemanasan. Grafik hubungan antara kelarutan minyak (Po) terhadap lama pemanasan dapat dilihat pada Gambar Po Hari ke Gambar 24. Grafik hubungan antara kelarutan minyak dengan lama pemanasan Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa kelarutan minyak (Po) meningkat seiring dengan lama pemanasan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa emulsi yang terbentuk berada pada fase air sehingga menambah volume air dan mengurangi volume minyak. Kelarutan minyak tersebut menunjukkan kinerja formula surfaktan yang baik karena formula surfaktan mampu membentuk emulsi. 34

48 Uji Filtrasi Uji filtrasi merupakan uji untuk mengetahui keberadaan butiran (precipitant) dalam larutan surfaktan. Selain itu, pengujian ini juga bertujuan untuk mengetahui laju alir dari bahan dan mengetahui filtration rate (Fr) dari tiap bahan. Perhitungan Fr dapat dilihat pada rumus di bawah ini : 1.2 Keterangan : t 100 = Waktu yang dibutuhkan untuk fluida mencapai 100 ml t 200 = Waktu yang dibutuhkan untuk fluida mencapai 200 ml t 400 = Waktu yang dibutuhkan untuk fluida mencapai 400 ml t 500 = Waktu yang dibutuhkan untuk fluida mencapai 500 ml Pengujian ini dilakukan terhadap dua bahan yaitu Air Injeksi dari Lapangan T dan formula surfaktan. Penggunaan Air Injeksi dari Lapangan T bertujuan sebagai pembanding dimana seharusnya laju alir formula surfaktan lebih cepat dibandingkan dengan laju alir Air Injeksi dari Lapangan T. Hal tersebut dikarenakan surfaktan mampu menurunkan tegangan antar muka sehingga lebih mudah mengalir pada suatu media. Uji filtrasi dilakukan melalui 4 tahap yaitu filtrasi menggunakan filter 500 mesh dilanjutkan dengan menggunakan filter 21 µm, dilanjutkan dengan menggunakan filter 0,45 µm dan terakhir dengan menggunakan filter 0,22 µm. Filtrasi hingga filter 0,22 µm dilakukan sesuai dengan prosedur yang dilakukan oleh Lemigas. Pengujian ini dilakukan pada suhu ruang. Pengujian ini memiliki parameter lain yaitu nilai IFT dari formula surfaktan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh filtrasi terhadap nilai IFT dari formula surfaktan. Filtrasi menggunakan filter 500 mesh pada suhu ruang tanpa menggunakan tekanan (hanya menggunakan gaya gravitasi) telah dilakukan. Grafik perbandingan antara Air Injeksi dari Lapangan T dan formula surfaktan tersaji pada Gambar 25. sedangkan tabel perbandingan antara Air Injeksi dari Lapangan T dan formula surfaktan tersaji pada Lampiran Volume (ml) Air Injeksi T Larutan surfaktan Waktu alir (detik) Gambar 25. Grafik filtrasi menggunakan filter 500 mesh Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa laju alir formula surfaktan lebih cepat dibadingkan dengan laju alir Air Injeksi dari Lapangan T dan berdasarkan tabel pada Lampiran 16 diketahui bahwa nilai Fr yang dimiliki oleh formula surfaktan lebih kecil dibandingkan dengan nilai Fr 35

49 yang dimiliki oleh Air Injeksi dari lapangan T serta nilai Fr yang dihasilkan formula surfaktan yaitu 0,85 sehingga formula surfaktan dikatakan memiliki kinerja baik karena nilai Fr yang dihasilkan < 1.2. Hal tersebut terjadi karena air injeksi yang digunakan masih mengandung pengotor sehingga meyumbat pori-pori filter. Penyumbatan filter mengakibatkan laju alir terhambat. Filtrasi menggunakan filter 21 µm pada suhu ruang tanpa menggunakan tekanan (hanya menggunakan gaya gravitasi) telah dilakukan. Grafik perbandingan antara Air Injeksi dari Lapangan T dan formula surfaktan tersaji pada Gambar 26. sedangkan tabel perbandingan antara Air Injeksi dari Lapangan T dan formula surfaktan tersaji pada Lampiran Volume (ml) Air Injeksi T Larutan surfaktan Waktu alir (detik) Gambar 26. Grafik filtrasi menggunakan filter 21 µm Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa laju alir formula surfaktan lebih lambat dibadingkan dengan laju alir Air Injeksi dari Lapangan T sedangkan berdasarkan tabel pada Lampiran 16 diketahui bahwa nilai Fr yang dimiliki oleh formula surfaktan lebih kecil dibandingkan dengan nilai Fr yang dimiliki oleh Air Injeksi dari lapangan T serta nilai Fr yang dihasilkan formula surfaktan yaitu 2,38 sehingga formula larutan surfaktan dikatakan memiliki kinerja kurang baik karena nilai Fr yang dihasilkan > 1.2. Laju alir formula surfaktan lebih lambat dikarenakan formula tersebut memiliki bobot molekul yang lebih besar daripada bobot molekul air injeksi. Bobot molekul memiliki korelasi positif terhadap ukuran molekul. Semakin besar bobot molekul suatu senyawa maka semakin besar pula ukuran molekul senyawa tersebut. Filtrasi menggunakan filter 0,45 µm pada suhu ruang dengan menggunakan tekanan vakum 0,5 bar telah dilakukan. Grafik perbandingan antara Air Injeksi dari Lapangan T dan formula surfaktan tersaji pada Gambar 27. sedangkan tabel perbandingan antara Air Injeksi dari Lapangan T dan formula surfaktan tersaji pada Lampiran

50 Volume (ml) Air Injeksi T Larutan surfaktan Waktu alir (detik) Gambar 27. Grafik filtrasi menggunakan filter 0,45 µm Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa laju alir formula surfaktan lebih lambat dibadingkan dengan laju alir Air Injeksi dari Lapangan T sedangkan berdasarkan tabel pada Lampiran 16 diketahui bahwa nilai Fr yang dimiliki oleh formula surfaktan lebih kecil dibandingkan dengan nilai Fr yang dimiliki oleh Air Injeksi dari lapangan T serta nilai Fr yang dihasilkan formula surfaktan yaitu 3,74 sehingga formula surfaktan dikatakan memiliki kinerja kurang baik karena nilai Fr yang dihasilkan > 1,2. Laju alir formula surfaktan lebih lambat dikarenakan formula tersebut memiliki bobot molekul yang lebih besar daripada bobot molekul air injeksi. Bobot molekul memiliki korelasi positif terhadap ukuran molekul. Semakin besar bobot molekul suatu senyawa maka semakin besar pula ukuran molekul senyawa tersebut. Filtrasi menggunakan filter 0,22 µm pada suhu ruang dengan menggunakan tekanan vakum 0,5 bar telah dilakukan. Grafik perbandingan antara Air Injeksi dari Lapangan T dan formula surfaktan tersaji pada Gambar 28. sedangkan tabel perbandingan antara Air Injeksi dari Lapangan T dan formula surfaktan tersaji pada Lampiran Volume (ml) Air Injeksi T Larutan surfaktan Waktu alir (detik) Gambar 28. Grafik filtrasi menggunakan filter 0,22 µm 37

51 Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa laju alir formula surfaktan lebih lambat dibadingkan dengan laju alir Air Injeksi dari Lapangan T sedangkan berdasarkan tabel pada Lampiran 16 diketahui bahwa nilai Fr yang dimiliki oleh formula surfaktan lebih besar dibandingkan dengan nilai Fr yang dimiliki oleh Air Injeksi dari lapangan T. Nilai Fr yang dihasilkan formula surfaktan yaitu 1,09 sehingga formula surfaktan dikatakan memiliki kinerja baik karena nilai Fr yang dihasilkan < 1,2. Laju alir formula surfaktan lebih lambat dikarenakan formula tersebut memiliki bobot molekul yang lebih besar daripada bobot molekul air injeksi. Bobot molekul memiliki korelasi positif terhadap ukuran molekul. Semakin besar bobot molekul suatu senyawa maka semakin besar pula ukuran molekul senyawa tersebut. Pada uji ini juga dilakukan uji lain berupa uji IFT dan uji densitas. Hal ini bertujuan untuk melihat pengaruh uji filtrasi terhadap nilai IFT dan nilai densitas. Untuk lebih jelasnya, nilai IFT dan nilai densitas pada uji filtrasi dapat dilihat pada Lampiran 17. Berikut ini adalah nilai IFT dan nilai densitas dari larutan surfaktan pada tiap tahap filtrasi : 6.E E 02 IFT (dyne/cm) 4.E 02 2.E E E E E 02 0.E+00 Tanpa saring Filter 500 mesh Filter 21 mikron Filter 0.45 mikron Filter 0.22 mikron Perlakuan Gambar 29. Nilai IFT setelah tahapan filtrasi Densitas (g/cm 3 ) Tanpa saring Filter 500 mesh Filter 21 mikron Filter 0.45 mikron Filter 0.22 mikron Perlakuan Gambar 30. Nilai densitas setelah tahapan filtrasi 38

52 Dari Gambar 29 diketahui bahwa nilai IFT terkecil berada setelah filtrasi dengan menggunakan filter 500 mesh sedangkan nilai IFT terbesar berada setelah filtrasi dengan 0,45 mikron. Nilai IFT meningkat seiring dengan filter yang semakin mengecil. Hal ini terjadi karena pada saat filtrasi tidak hanya kotoran yang tersaring melainkan bahan aktif surfaktan juga ikut tersaring. Lain halnya dengan nilai densitas dimana nilai densitas terkecil berada setelah filtrasi dengan menggunakan filter 500 mesh sedangkan nilai densitas terbesar berada setelah filtrasi dengan menggunakan filter 0,22 mikron. Nilai densitas meningkat seiring dengan filter yang semakin mengecil. Densitas menunjukkan bobot molekul yang terkandung dalam suatu bahan. Semakin besar densitas maka semakin besar bobot molekul yang terkandung dalam suatu bahan. Pada uji filtrasi, formula surfaktan diuji secara mikroskopik. Pengujian mikroskop ini bertujuan untuk mengetahui ukuran molekul yang terdapat pada larutan surfaktan. Penampakan secara visual pada tiap tahapan filtrasi disajikan pada Gambar 31. Tanpa filtrasi Filter 500 mesh Filter 21 µm Filter 0,45 µm Filter 0,22 µm Gambar 31. Penampakan molekul pada tiap tahapan filtrasi 39

53 Dari Gambar 31 diketahui bahwa molekul surfaktan semakin sedikit jumlahnya seiring dengan semakin rapatnya tahapan filtrasi. Selain molekul surfaktan, molekul lain juga terlihat seperti pengotor. Molekul pengotor semakin mengecil seiring dengan semakin rapatnya tahapan filtrasi. Molekul pengotor telihat paling jelas berada tahapan tanpa filtrasi sedangkan molekul surfaktan terlihat paling jelas berada pada tahapan filtrasi dengan menggunakan filter 21 µm. Molekul pengotor terlihat pada tiap tahapan filtrasi sedangkan molekul surfaktan sudah tidak terlihat secara jelas pada tahapan filtrasi dengan menggunakan filter 0,45 µm dan 0,22 µm. Hal tersebut mengindikasikan bahwa molekul surfaktan hampir sudah tidak ada sehingga berdampak terhadap nilai IFT yang dihasilkan pada tahapan filtrasi tersebut dimana mengalami kenaikan nilai IFT COREFLOODING TEST Coreflooding test merupakan simulasi penginjeksian fluida ke dalam reservoir dengan memperhatikan sifat batuan reservoir. Sifat batuan yang dimaksud adalah porositas dan permeabilitas batuan. Simulasi bertujuan untuk mengetahui proses pengambilan minyak bumi dengan melakukan pendesakan pada core sintetik. Pendesakan dilakukan dengan menggunakan air injeksi dan formula surfaktan. Dalam coreflooding test terdapat parameter-parameter input yang perlu diperhatikan yaitu batuan, sifat fluida yang diinjeksikan dan recovery factor. Batuan yang digunakan adalah batuan yang memiliki kesamaan dengan batuan di lapangan sedangkan sifat fluida disesuaikan dengan karakteristik reservoir (berupa suhu dan tekanan) dimana pada sumur Tx bersuhu 70 o C sehingga selama proses coreflooding test harus berada pada suhu 70 o C dan tekanan 10 psi. Sementara itu, recovery factor yang dimaksud adalah faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya recovery minyak yang diperoleh. Faktor-faktor tersebut adalah jenis surfaktan, konsentrasi surfaktan dan lama perendaman batuan dalam surfaktan. Pendesakan minyak pada enhanced waterflooding menggunakan konsep surfactant soaking. Hal yang mendasari konsep tersebut adalah pergerakan fluida dalam reservoir pada saat pendesakan minyak hampir sama dengan aliran fluida saat diproduksikan (aliran fluida ke lubang sumur). Surfactant soaking yang dilakukan menggunakan system soak injection methods (metode injeksi dan perendaman). Dengan adanya metode tersebut diharapkan surfaktan mampu bekerja secara optimal dimana waktu perendaman yang telah ditetapkan mampu membentuk IFT yang baru antara minyak-air dan saturasi surfaktan di dalam core sintetik sehingga minyak yang terperangkap dalam pori-pori akan terlepas dan akan terproduksikan dengan pergerakan yang sama pada saat pendesakan. Waktu perendaman surfaktan juga diharapkan mampu meningkatkan recovery minyak yang dilakukan oleh surfaktan. Alat yang digunakan untuk coreflooding test adalah core holder apparatus. Core holder apparatus terdiri dari pompa hidrolik, oven besar, core holder dan buret. Pompa hidrolik digunakan untuk mengingjeksikan fluida berupa minyak bumi, air injeksi dan larutan surfaktan dari dalam tabung masing-masing ke core holder. Tabung tersebut berada di dalam oven besar yang telah diatur suhu sesuai reservoir yaitu 70 o C dengan tekanan 10 psi yang didorong oleh pompa hidrolik. Pada core holder juga disetting suhu 70 o C dan diberi tekanan 100 psi dalam kondisi vakum. Pemberian tekanan bertujuan untuk mengikat core serta tutup atas dan bawah core holder. Pengkondisian vakum dalam core holder bertujuan untuk mencegah kebocoran fluida. Fluida diinjeksikan melewati pori-pori core sandstone sintetik yang berada di dalam core holder. Selanjutnya, fluida yang keluar ditampung pada buret yang tepat berada di bawah saluran keluar fluida pada core holder. Fluida yang keluar diukur volumenya sebagai hasil coreflooding. 40

54 Penginjeksian fluida pertama berupa Minyak Tx dimana mendorong Air Formasi Tx yang telah tersaturasi pada core. Minyak menggantikan tempat air formasi yang keluar sehingga minyak yang masuk setara dengan air formasi yang keluar. Air Formasi Tx yang keluar diukur untuk mengetahui porevolume yang dimiliki oleh core. Penginjeksian fluida kedua berupa Air Injeksi T dimana mendorong Minyak Tx yang terkandung pada core. Penginjeksian kedua ini merupakan simulasi tahap sekunder dalam recovery minyak berupa waterflooding. Penginjeksian ini berhenti jika tidak ada lagi minyak yang keluar. Selanjutnya, penginjeksian fluida ketiga berupa formula surfaktan dimana surfaktan telah dilarutkan dalam air injeksi. Penginjeksian ini merupakan tahap lanjut atau EOR berupa enhanced waterflooding. Formula surfaktan yang diinjeksikan sebesar 0,1 PV, 0,2 PV dan 0,3 PV bertujuan untuk mendapatkan tambahan recovery minyak 10 20%. Pada penelitian ini digunakan analisis statistik berupa Rancangan Acak Lengkap dengan satu faktor. Analisis statistik bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor terhadap respon. Faktor yang dimaksud adalah porevolume formula surfaktan dan respon yang dimaksud adalah recovery minyak. Pada penelitian ini, total recovery minyak yang diperoleh 46,88% sampai 61,07%. Hasil analisis statistik menunjukkan adanya pengaruh porevolume formula surfaktan terhadap recovery minyak yang diperoleh. Pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05), porevolume formula surfaktan berpengaruh secara signifikan terhadap recovery minyak yang diperoleh. Hasil analisis statistik dapat dilihat pada Lampiran 19. Selanjutnya dilakukan uji Duncan untuk mengetahui porevolume formula surfaktan mana yang berpengaruh secara signifikan terhadap recovery minyak yang diperoleh. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95% formula surfaktan 0,2 PV memberikan pengaruh berbeda terhadap recovery minyak yang dihasilkan dimana 13,34%. Pada tingkat kepercayaan yang sama, formula surfaktan 0,1 PV dan 0,3 PV tidak memberikan pengaruh berbeda terhadap recovery minyak yang dihasilkan yaitu berturut-turut 1,79% dan 6,46%. Data hasil uji Duncan dapat dilihat pada Lampiran 19. Berikut ini adalah total recovery minyak yang diperoleh pada tiap perlakuan yang dapat dilihat pada Tabel 13 dan Gambar 32. Tabel 13. Recovery minyak pada tiap perlakuan Perlakuan Recovery minyak Recovery minyak setelah Total recovery minyak setelah waterflood injeksi dan soaking surfaktan 0.1PV 45.09% 1.79% 46.88% 0.2 PV 47.73% 13.34% 61.07% 0.3 PV 46.77% 6.46% 53.32% 100% Recovery minyak 80% 60% 40% 20% 0% Recovery minyak setelah injeksi dan soaking surfaktan Recovery minyak setelah waterflood Porevolume (PV) Gambar 32. Grafik hubungan antara PV dengan recovery minyak 41

55 Berdasarkan Gambar 32 dapat dilihat bahwa recovery minyak tertinggi diproduksi dengan 0,2 PV formula surfaktan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mwangi (2008), kondisi optimal recovery minyak dihasilkan oleh 0,2 PV dengan lama perendaman 12 jam. Besar recovery minyak ditentukan pula oleh karakteristik core sintetik yang digunakan. Karakteristik tersebut adalah porositas dan permeabilitas. Core yang digunakan pada 0,1 PV dan 0,3 PV memiliki porositas yang hampir sama yaitu 32,5 33,4% sedangkan core yang digunakan pada 0,2 PV memiliki porositas lebih besar dari core pada 0,1 PV dan 0,3 PV yaitu 34,4% dan 35,5%. Porositas menunjukkan seberapa banyak volume yang terdapat dalam core. Semakin besar porositas maka semakin besar volume yang terdapat dalam core. Sama halnya dengan porositas, permeabilitas core pada 0,1 PV dan 0,3 PV hampir sama yaitu 44, ,6682 mdarcy sedangkan permeabilitas core pada 0,2 PV lebih kecil dari core pada 0,1 PV dan 0,3 PV yaitu 40,8308 mdarcy dan 41,0749 mdarcy. Permeabilitas menunjukkan kemampuan fluida untuk mengalir. Semakin besar permeabilitas maka semakin mudah fluida untuk mengalir. Core pada 0,2 PV memiliki porositas yang paling besar sehingga volume yang terdapat dalam core juga yang paling banyak tetapi permeabilitas yang dimilikinya paling kecil sehingga fluida lebih sulit untuk mengalir. Hasil data penelitian dapat dilihat pada Lampiran 18. Perbedaan porositas dan permeabilitas menghasilkan nilai ulangan 1 dan ulangan 2 yang tidak berbeda secara signifikan tetapi nilai rata-rata yang berbeda secara signifikan. Kondisi proses terbaik dicapai pada formula surfaktan 0,2 PV dengan lama perendaman 12 jam yang menghasilkan total incremental recovery minyak tertinggi sebesar 61,07% dimana recovery minyak setelah waterflood 47,73% dan recovery minyak setelah injeksi surfaktan 13,34%. Berikut ini adalah hasil coreflooding test yang tersaji dalam Tabel 14. Tabel 14. Perbedaan porositas dan permeabilitas core terhadap recovery minyak Porositas Permeabilitas Total Recovery Perlakuan Ulangan core core Minyak (%) (mdarcy) (%) 0.1 PV PV PV

56 V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa surfaktan MES jarak pagar dapat digunakan pada enhanced waterflooding. Formula surfaktan yang terpilih adalah MES jarak pagar 0,3% dengan NaCl 1000 ppm pada kondisi optimal salinitas dengan nilai densitas dan nilai IFT berturut-turut adalah 0,9850 g/cm 3 dan 7,45 x 10-3 dyne/cm. Formula tersebut memberikan kinerja yang baik pada sebagian besar uji kinerja. Formula surfaktan memberikan kinerja yang baik pada uji compatibility dan uji filtrasi. Formula surfaktan memberikan nilai positif terhadap uji compatibility ditandai dengan surfaktan larut dalam air injeksi secara sempurna. Pada uji filtrasi, formula surfaktan memberikan kinerja yang baik. Secara garis besar formula surfaktan memiliki nilai Fr yang lebih kecil dibandingkan dengan Air Injeksi T (sebagai blanko) serta nilai Fr yang ditetapkan yaitu < 1,2. Semakin kecil nilai Fr maka semakin baik kinerja dari formula surfaktan. Padaa uji phase behavior, formula surfaktan juga menunjukkan kinerja yang baik ditandai dengan terbentuknya fasa bawah hingga hari ke-30 dengan excess water sebanyak 1 ml. Berdasarkan hasil analisis statistik dan uji Duncan dengan selang kepercayaan 95% (α = 0,05) diketahui bahwa porevolume formula surfaktan memberikan pengaruh berbeda terhadap recovery minyak yang dihasilkan. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa formula surfaktan 0,2 PV memberikan pengaruh berbeda terhadap recovery minyak yang dihasilkan sedangkan formula surfaktan 0,1 PV dan 0,3 PV tidak memberikan pengaruh berbeda terhadap recovery minyak yang dihasilkan. Kondisi proses terbaik pada penelitian ini adalah injeksi surfaktan 0,2 PV dengan lama perendaman 12 jam yang menghasilkan total incremental recovery minyak 61,07% dimana recovery minyak setelah waterflood 47,73% dan recovery minyak setelah injeksi surfaktan 13,34% SARAN 1) Sebaiknya formula surfaktan mendapatkan perlakuan filtrasi hingga menggunakan filter 500 mesh untuk memisahkan bagian molekul pengotor yang terdapat pada air injeksi. 2) Pada coreflooding test, sebaiknya digunakan native core sandstone agar dihasilkan gambaran recovery minyak yang lebih tepat. 43

57 DAFTAR PUSTAKA Allen, T. O. dan A. P. Robert Production Operation 2 : Well Completions, Workover and Stimulation. Oil & Gas Consultants International (OGCI) Inc., Tulsa, Oklohoma, USA. Ashayer, R., C. A. Grattoni dan P. F. Luckman Wettability Changes During Surfactant Flooding. Imperial College. London, UK. Ashrawi, S. S A Study of The Relationship Between Surfactant/Oil/Brine System Phase Behavior and Chemical Flood Recovery in Short Core. SPE/DOE : Ayirala S Surfactant-Induced Relative Permeability Modifications for Oil Recovery Enhancement. [tesis]. Lousiana State University and Agricultural and Mechanical College. Departemen Pertanian [02 Februari 2011] Economides, M. J. dan K. G. Nolte Reservoir Stimulation. Schlumberger Education Services. Di dalam : Gomaa, E. E Enhanced Oil Recovery. Paper for Kinanti Training and Conference Organizer (KTCO), Yogyakarta, Tanggal Agustus Fessenden, R. J. dan Fessenden J. S Kimia Organik 2. Penerbit Erlangga, Jakarta. Foster, N. C Sulfonation and Sulfation Process. In : Soap and Detergents : A Theoretical and Practical Review. Spitz, L. (Ed). AOCS Press, Champaign, Illinois. Georgeiou, G., S. C. Lin dan M. M. Sharma Surface Active Compounds from Microorganism. Bio/tech 10 : Gerpen, J. H. V., B. Shanks, R. Pruzko, D. Clements dan G. Knothe Biodiesel Production Technology. 106 p. National Renewable Energy Laboratory, Colorado. Gevarsio, G. C Detergency. In : Bailey s Industrial Oils and Fats Product, Wiley Interscience Publisher, New York USA. Gomaa, E. E Enhanced Oil Recovery : Modern Management Approach. Paper for IATMI- IWPL/MIGAS Conference. Surakarta, 28 Juli 1 Agustus Gubitz, G. M., M. Mittelbach., dan M. Trabi Exploitation of The Tropical Seed Plant Jatropha curcas L. Bioresource Technology 67 (1999) : 73-82, Austria. Gulick, K. dan D. William Waterflooding Heterogenous Reservoirs : An Overview of Industry Experiences and Practices. SPE 4004 MS Presented at The International Petroleum Conference and Exhibition of Mexico. Villahermosa, Mexico, Maret Hambali, E., A. Suryani, Dadang, Hariyadi, H. Hanafie, I. K. Rekwaedjojo, M. Rivai, M. Ihsanur, P. Suryadarma, S. Tjitrosenito, T. H. Soerawidjaja, T. Prawitasari, T. Prakosa dan W. Purnama Jarak Pagar : Tanaman Penghasil Biodiesel. Penebar Swadaya, Jakarta. Hamilton, R. J The Chemistry of Rancidity in Foods. Applied Science Publisher, London. Hasenhuettl, G. L Overview of Food Emulsifier. In : Food Emulsifier and Their Applications. G. L Hasensuettl and R. W. Hartel (Eds.). Chapman & Hall, New York. Haynes, H. J., L. W. Thrasher, M. L. Katzand dan T. R. Eck Enhanced Oil Recovery. National Petroleum Council. 44

58 Holmberg, K., B. Jonssson, B. Kronberg dan B. Lindman Surfactant and Polymers in Aqueous Solution. Jhon Wiley & Sons, Ltd., England. Hui, Y. H Bailey s Industrial Oil and Fat Products. Edisi ke 5, volume ke 2. Jhon Wiley & Sons Inc., New York. Irapati Minyak Bumi dan Produknya. Jakarta : PPPTMGB LEMIGAS. Ketaren, S Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press, Jakarta. Koesoemadinata, R. P Geologi Minyak Bumi. Penerbit ITB, Bandung. Kontawa A Minyak Bumi dan Pengklasifikasian pengolahan dan produk produknya. Jakarta: PPPTMGB LEMIGAS. Lake, L. W Enhanced Oil Recovery. Chapter 9 Micellar Polymer Flooding. Prentice Hall Inc., New Jersey. Lange, O., M. Ivanova. dan N. Lebedeva Geologi Umum. Gaya Media Pratama, Jakarta. Lemigas Studi Awal Implementasi Injeksi Kimia di Formasi Talang Akar Struktur Talang Akar Pendopo Lapangan Prabumulih : Penentuan Parameter Batuan, Fluida Reservoir dan Rancangan Fluida Injeksi. Lemigas, Jakarta. Levitt, D. B Experimental Evaluation of High Performance EOR Surfactants for a Dolomite Oil Reservoir. [Tesis]. Universitas Texas, Austin. Levorsen, A. J Geology of Petroleum. W. H. Freeman & Company, San Fransisco. MacArthur, B. W., B. Brooks, W. B. Sheats dan N C. Foster Meeting the Challenge of Methylester Sulfonation. Chemiton, USA. Matheson, K. L Surfactant Raw Materials : Classification, Synthesis, and Uses. In : Soap and Detergents : A Theoretical and Practical Review. Spitz, L. (Ed). AOCS Press, Champaign, Illinois. McCune, C. C Matrix Acidizing Model and Its Application to Different Sandstones. Research Report, COFRC, Chevron Corp., Oktober. Mitsui, T New Cosmetic Science. Elseveir Science B. V. Amsterdam, Netherlands. Mulyadi Surfactant for Oil Well Stimulation Agent. PT. Mulino Ciptanusa, Jakarta. Mwangi, P An Experimental Study Of Surfactant Enhanced Waterflooding. [Tesis]. University of Rochester, Texas. Nurwidyanto, M. I. dan I. Noviyanti Estimasi Hubungan Porositas dan Permeabilitas pada Batupasir (Study Kasus Formasi Kerek, Ledok, Selorejo). Penerbit UNDIP, Semarang. Peace, O. E. O. dan O. Aladesanmi Effect of Fermentation on Some Chemical and Nutritive Properties of Berlandier Nettle Spurge (Jatropha cathartica) and Physic Nut (Jatropha curcas). Pakistan Journal of Nutrition, Vol. 7 (2) : Piispanen, P Synthesis and Characterization of Surfactant Based on Natural Products. Kungl Tekniska Hogskolan, Stockholm. 45

59 Rachmat, S Reservoir Minyak dan Gas Bumi. [02 Februari 2011]. Rieger, M. M Surfactant In Cosmetics. Surfactant Science Series, Marcel Draker, Inc., New York. 488 p. Rosen, J. M Surfactant and Interfacial Phenomena. Third Edition. John Willey & Sons Inc., New York. Salager, J. L Physico-Chemical Properties Of Surfactant-Water-OilMixtures: Phase Behavior, Microemulsion Formation And Interfacial Tension. [Disertasi]. Universitas Texas, Austin Surfactant Types and Uses. Version 2. FIRP Booklet # E300-A : Teaching Aid in Surfactant Science & Engineering in English. Universidad De Los Andes, Merida- Venezuela. [07 Maret 2011]. Sanford, S. D., J. M. White, P. S. Shah, C. Wee, M. A. Valverde dan G. R. Meier Feedstock and Biodiesel Characterictics Report. Renewable Energy Group. Sinaga, E Jatropha curcas L., Jarak Pagar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tumbuhan Obat UNAS, Yogyakarta. Speight, J. G Chemical And Process Design Handbook. McGraw-Hill, New York. Sugiharjdo., E. Tobing dan S. W. Pratomo Kelakuan Fasa Campuran Antara Reservoar- Injeksi-Surfaktan Untuk Implementasi Enhanced Water Flooding. Prosiding Simposium Nasional IATMI. Yogyakarta 3-5 Oktober Swern, D Bailey s Industrial Oil and Fat Products. Vol. I 4 th Edition. John Willey & Sons Inc., New York Bailey s Industrial Oil and Fat Products 4 th. Volume ke-2. Jhon Willey & Sons Inc., New York. Technology Asessment Board Enhanced Oil Recovery Potential in The United States. [ ]. Wahyono, K Warta Pertamina. [02 Februari 2011]. Watkins, C Surfactant and Detergent : All Eyes are On Texas. Inform 12 : Willhite, D., W. Green dan G. Paul Enhanced Oil Recovery. Henry L. Doherty Memorial Fundof AIME. Society of Petroleum Engineers. Winkler, E., N. Foidl, G. M. Gubitz, R. Staubmann dan W. Steiner Enzyme-Supported Oil Extraction from Jatropha curcas Seed. Journal Applied Biochemistry and Biotechnology, Vol Zhang, Y. P., S. G. Sayegh dan S. Huang The Role of Effective Interfacial Tension in Alkaline/Surfactant/Polymer Flooding. Journal of Petroleum Science and Engineering Presented at The Canadian International Petroleum Conference. Calgary, Alberta, June

60 LAMPIRAN 47

61 Lampiran 1. Prosedur Analisis Sifat Fisiko-Kimia Minyak Jarak Pagar 1. Kadar Air (SNI ), Metode Oven Sampel ditimbang dengan seksama sebanyak 1 2 gram pada sebuah botol timbang tertutup yang sudah diketahui bobotnya. Untuk contoh yang berupa cairan, botol timbang dilengkapi dengan pengaduk dan pasir kuarsa atau kertas saring berlipat. Sampel dikeringkan dalam oven suhu 105 o C selama 3 jam. Kemudian sampel didinginkan dalam desikator. Lalu sampel ditimbang dan lakukan pengulangan hingga diperoleh bobot tetap. Perhitungan : 100% Keterangan : W = bobot sampel sebelum dikeringkan W = kehilangan bobot setelah dikeringkan 2. Bilangan Asam / Asam Lemak Bebas / Derajat Asam (SNI ) Sebanyak 2 5 gram contoh ditimbang dan kemudian dimasukan ke dalam erlenmeyer 250 ml, kemudian ditambahkan dengan 50 ml etanol netral 95%. Larutan dikocok lalu ditambahkan 3 5 tetes indikator PP dan dititer dengan larutan standar NaOH 0,1 N hingga warna merah muda tetap (tidak berubah selama 15 detik). Lakukan pekerjaan untuk blanko. Perhitungan : Keterangan : V = volume NaOH yang diperlukan dalam peniteran (ml) T = normalitas NaOH m = bobot contoh (gram) M = bobot molekul asam lemak 3. Bilangan Iod (AOAC, 1995) Contoh minyak yang telah disaring ditimbang sebanyak 0,5 gram di dalam Erlenmeyer 250 ml, lalu dilarutkan dengan 10 ml kloroform atau tetraklorida dan ditambahkan dengan 25 ml pereaksi Hanus. Semua bahan di atas dicampur merata dan disimpan di dalam ruangan gelap selama satu jam. Sebagian iodium akan dibebaskan dari larutan. Setelah penyimpanan, ke dalamnya ditambahkan 10 ml larutan KI 15%. Selanjutnya aquades yang telah dididihkan ditambahkan sebanyak 100 ml. Iod yang dibebaskan kemudian dititrasi dengan larutan Na 2 S 2 O 3 0,1 N sampai warna biru larutan tidak terlalu 48

62 pekat. Selanjutnya ditambahkan larutan kanji 1% dan titrasi kembali sampai warna biru hilang. Blanko dibuat dengan cara yang sama tanpa menggunakan minyak. Perhitungan : Keterangan : B = ml Na 2 S 2 O 3 blanko S = ml Na 2 S 2 O 3 contoh N = normalitas Na 2 S 2 O 3 G = berat contoh (gram) 12,69 = berat atom iod/ Bilangan Penyabunan (SNI ) Sebanyak dua gram contoh ditimbang dan dimasukan ke dalam labu Erlenmeyer 250 ml. Kemudian ditambahkan 25 ml KOH alkohol 0,5 N dengan menggunakan pipet dan beberapa butir batu didih. Erlenmeyer yang berisi larutan dihubungkan dengan pendingin tegak dan dididihkan di atas penangas air atau penangas listrik selama satu jam. Lalu ditambahkan 0,5 1 ml fenolftalein ke dalam larutan tersebut dan dititer dengan HCl 0,5 N sampai warna indikator berubah menjadi tidak berwarna. Lakukan juga untuk blanko. Perhitungan : Keterangan: T = normalitas HCl B = ml HCl blanko S = ml HCl contoh m = bobot contoh (gram) Densitas Hidupkan power alat densitometer. Pastikan sel pengukuran bersih dan kering. Masukkan larutan surfaktan ke dalam sel pengukuran yang terdapat pada alat. Tekan tombol start dan tunggu beberapa menit hingga hasil pengukuran terlihat pada monitor alat. Catat hasil pengukuran berupa densitas dan specific gravity yang diperoleh. 6. Viskositas Hidupkan power alat viscosimeter. Kalibrasi alat tersebut. Masukkan nomor spindle dengan memilih kunci spindle. Masukkan larutan surfaktan ke dalam spindle lalu spindle ditutup rapat dengan mur. Kecepatan putaran diset pada alat dimana kecepatan putaran sesuai dengan kebutuhan. Catat % tenaga putaran dan viskositas yang diperoleh. 49

63 Lampiran 2. Prosedur Analisis Sifat Fisiko-Kimia Metil Ester Jarak Pagar 1. Kadar Air (SNI ), Metode Oven Sampel ditimbang dengan seksama sebanyak 1 2 gram pada sebuah botol timbang tertutup yang sudah diketahui bobotnya. Untuk contoh yang berupa cairan, botol timbang dilengkapi dengan pengaduk dan pasir kuarsa atau kertas saring berlipat. Sampel dikeringkan dalam oven suhu 105 o C selama 3 jam. Kemudian sampel didinginkan dalam desikator. Lalu sampel ditimbang dan lakukan pengulangan hingga diperoleh bobot tetap. Perhitungan : 100% Keterangan : W = bobot sampel sebelum dikeringkan W = kehilangan bobot setelah dikeringkan 2. Bilangan Asam / Asam Lemak Bebas / Derajat Asam (SNI ) Sebanyak 2 5 gram contoh ditimbang dan kemudian dimasukan ke dalam erlenmeyer 250 ml, kemudian ditambahkan dengan 50 ml etanol netral 95%. Larutan dikocok lalu ditambahkan 3 5 tetes indikator PP dan dititer dengan larutan standar NaOH 0,1 N hingga warna merah muda tetap (tidak berubah selama 15 detik). Lakukan pekerjaan untuk blanko. Perhitungan : Keterangan : V = volume NaOH yang diperlukan dalam peniteran (ml) T = normalitas NaOH m = bobot contoh (gram) M = bobot molekul asam lemak 3. Bilangan Iod (AOAC, 1995) Contoh minyak yang telah disaring ditimbang sebanyak 0,5 gram di dalam Erlenmeyer 250 ml, lalu dilarutkan dengan 10 ml kloroform atau tetraklorida dan ditambahkan dengan 25 ml pereaksi Hanus. Semua bahan di atas dicampur merata dan disimpan di dalam ruangan gelap selama satu jam. Sebagian iodium akan dibebaskan dari larutan. Setelah penyimpanan, ke dalamnya ditambahkan 10 ml larutan KI 15%. Selanjutnya aquades yang telah dididihkan ditambahkan sebanyak 100 ml. Iod yang dibebaskan kemudian dititrasi dengan larutan Na 2 S 2 O 3 0,1 N sampai warna biru larutan tidak terlalu 50

64 pekat. Selanjutnya ditambahkan larutan kanji 1% dan titrasi kembali sampai warna biru hilang. Blanko dibuat dengan cara yang sama tanpa menggunakan minyak. Perhitungan : Keterangan : B = ml Na 2 S 2 O 3 blanko S = ml Na 2 S 2 O 3 contoh N = normalitas Na 2 S 2 O 3 G = berat contoh (gram) 12,69 = berat atom iod/ Bilangan Penyabunan (SNI ) Sebanyak dua gram contoh ditimbang dan dimasukan ke dalam labu Erlenmeyer 250 ml. Kemudian ditambahkan 25 ml KOH alkohol 0,5 N dengan menggunakan pipet dan beberapa butir batu didih. Erlenmeyer yang berisi larutan dihubungkan dengan pendingin tegak dan dididihkan di atas penangas air atau penangas listrik selama satu jam. Lalu ditambahkan 0,5 1 ml fenolftalein ke dalam larutan tersebut dan dititer dengan HCl 0,5 N sampai warna indikator berubah menjadi tidak berwarna. Lakukan juga untuk blanko. Perhitungan : Keterangan: T = normalitas HCl B = ml HCl blanko S = ml HCl contoh m = bobot contoh (gram) Densitas Hidupkan power alat densitometer. Pastikan sel pengukuran bersih dan kering. Masukkan larutan surfaktan ke dalam sel pengukuran yang terdapat pada alat. Tekan tombol start dan tunggu beberapa menit hingga hasil pengukuran terlihat pada monitor alat. Catat hasil pengukuran berupa densitas dan specific gravity yang diperoleh. 6. Viskositas Hidupkan power alat viscosimeter. Kalibrasi alat tersebut. Masukkan nomor spindle dengan memilih kunci spindle. Masukkan larutan surfaktan ke dalam spindle lalu spindle ditutup rapat dengan mur. Kecepatan putaran diset pada alat dimana kecepatan putaran sesuai dengan kebutuhan. Catat % tenaga putaran dan viskositas yang diperoleh. 51

65 Lampiran 3. Prosedur Analisis Sifat Fisiko-Kimia MES Jarak Pagar 1. Warna (Klett) Pengukuran warna surfaktan dilakukan dengan pembacaan absorbansi pada spektrofotometer. Surfaktan ditimbang sebanyak ±5 gram kemudian dilarutkan dengan etanol dengan menambahkan etanol 50% sebanyak 45 gram (catatan : perbandingan surfaktan dengan etanol adalah 1 : 9). Absorbansi sampel diukur pada panjang gelombang 420 nm. Nilai absobansi yang tertera dicatat. Perhitungan : Densitas Hidupkan power alat densitometer. Pastikan sel pengukuran bersih dan kering. Masukkan larutan surfaktan ke dalam sel pengukuran yang terdapat pada alat. Tekan tombol start dan tunggu beberapa menit hingga hasil pengukuran terlihat pada monitor alat. Catat hasil pengukuran berupa densitas dan specific gravity yang diperoleh. 3. Viskositas Hidupkan power alat viscosimeter. Kalibrasi alat tersebut. Masukkan nomor spindle dengan memilih kunci spindle. Masukkan larutan surfaktan ke dalam spindle lalu spindle ditutup rapat dengan mur. Kecepatan putaran diset pada alat dimana kecepatan putaran sesuai dengan kebutuhan. Catat % tenaga putaran dan viskositas yang diperoleh. 4. Pengkuran ph Masukkan kertas lakmus ke dalam sampel larutan. Amati perubahan warna yang terjadi. Cocokkan perubahan warna yang terjadi dengan indikator warna yang tertera pada kotak lakmus. 52

66 Lampiran 4. Prosedur Uji Kinerja Formula Surfaktan MES (Metil Ester Sulfonat) 1. Tegangan Antar Permukaan Metode Spinning Drop (Gardener and Hayes, 1983) Cara kerja Spinning Drop Interfacial sebagai berikut : hidupkan power dan tombol lampu pada alat. Panaskan alat spinning drop, kemudian set pada suhu 70 o C (kondisi percobaan) dengan kecepatan putaran 9000 rpm. Setelah kondisi tersebut stabil, ke dalam glass tube diisikan larutan surfaktan dengan konsentrasi yang telah dibuat. Ke dalam glass tube yang telah berisi larutan surfaktan, diberi tetesan minyak (crude oil). Dalam glass tube tidak boleh ada gelembung udara. Masukan glass tube ke dalam alat spinning drop, dengan permukaan glass tube menghadap ke arah luar. Pembacaan radius tetesan dilakukan jika suhu alat telah mencapai 70 o C. Ulangi pembacaan ini sampai didapatkan harga yang konstan dari pembacaan radius tetesan. Bila pembacaan kurang jelas, fokus lensa dapat diatur. Perhitungan : 4 Keterangan : σ = nilai tegangan antar muka (dyne/m) Δρ = perbedaan densitas fluida minyak dan larutan surfaktan (kg/m 3 ) D = radius drop (m) W = kecepatan angular 2. Uji Compatibility Surfaktan dilarutkan dalam air injeksi atau air formasi. Amati dan dokumentasikan kelarutan surfaktan dalam air injeksi atau air formasi. Uji bernilai positif jika surfaktan larut dalam air injeksi atau air formasi. Uji bernilai negatif jika surfaktan tidak larut dalam air injeksi atau air formasi. 3. Pengukuran Densitas Hidupkan power alat densitometer. Pastikan sel pengukuran bersih dan kering. Masukkan larutan surfaktan ke dalam sel pengukuran yang terdapat pada alat. Tekan tombol start dan tunggu beberapa menit hingga hasil pengukuran terlihat pada monitor alat. Catat hasil pengukuran berupa densitas dan specific gravity yang diperoleh. 4. Pengukuran Viskositas Hidupkan power alat viscosimeter. Kalibrasi alat tersebut. Masukkan nomor spindle dengan memilih kunci spindle. Masukkan larutan surfaktan ke dalam spindle lalu spindle ditutup rapat dengan mur. Kecepatan putaran diset pada alat dimana kecepatan putaran sesuai dengan kebutuhan. Catat % tenaga putaran dan viskositas yang diperoleh. 53

67 5. Pengukuran ph Masukkan kertas lakmus ke dalam sampel larutan. Amati perubahan warna yang terjadi. Cocokkan perubahan warna yang terjadi dengan indikator warna yang tertera pada kotak lakmus. 6. Uji Phase Behavior Minyak mentah disaring dengan menggunakan filter berukuran 10 mikron untuk memisahkan partikel seperti pasir dari minyak mentah. Masukkan 2 ml surfaktan ke dalam graduated pipette berukuran 5 ml lalu ditambahkan 2 ml minyak mentah. Bagian bawah dan atas pipet diseal dengan bor api. Tempatkan pipet pada rak dan disimpan pada suhu reservoir selama 30 menit. Bolak-balikkan tiap pipet sebanyak 3 kali hingga cairan tercampur. Jangan dikocok. Selanjutnya, diamati dan dicatat perubahan pada antar muka cairan setelah 24 jam. Cairan dikatakan berada di titik keseimbangan ketika antar muka cairan tidak berubah secara signifikan. Data yang telah diperoleh dicatat pada Phase Behavior Template. 7. Uji Thermal Stability Sebanyak 20 ml formula surfaktan dimasukkan ke dalam botol yang telah diberi label. Selanjutnya dimasukkan ke dalam oven pada suhu reservoir. Setelah satu hari, diamati perubahan yang terjadi dan didokumentasikan serta diukur densitas dan IFT dari masing-masing larutan. Seluruh botol disimpan kembali pada oven bersuhu reservoir lalu diamati dan didokumentasikan serta diukur densitas, IFT dan viskositas dari masing-masing larutan. Buatkan plot hubungan antara IFT, viskositas dan perubahan yang terjadi akibat pemanasan. Uji ini dilakukan selama 12 minggu dengan pengamatan dilakukan tiap minggu. 8. Uji Filtrasi Pengujian filtrasi dilakukan dengan menggunakan filter apparatus. Tetapi sebelumnya, pastikan seluruh bagian apparatus dalam keadaaan bersih. Hubungkan tangki nitrogen, pressure vessel, dan membrane filter holder dengan tabung dan valve. Selanjutnya hubungkan dengan tabung drain. Masukkan membran filter ke dalam membrane filter holder secara tepat. Basahi membran filter dan jangan sampai ada udara yang keluar. Masukkan ml larutan surfaktan dengan salinitas optimal ke dalam pressure vessel lalu tutup hingga rapat bagian atas dan bagian suplai. Selanjutnya valve ditutup dan diberikan tekanan 20 psig melalui regulator nitrogen. Tempatkan graduated cylinder di bawah outlet filter lalu valve pada dasar filter pressure vessel dibuka dan hitung waktu dengan menggunakan stopwatch. Tekanan yang digunakan (20 psig) harus konstan. Pastikan larutan dalam filter sesuai dengan suhu reservoir. Catat kumulatif waktu dari tiap kenaikan filter sebanyak 50 ml. Filtrasi dilanjutkan sampai 500 ml larutan sudah terfiltrasi. Periksa membran filter apakah terdapat sobekan atau kerusakan lainnya seperti bagian yang tidak terbasahi dari filter. Jika terdapat kerusakan maka prosedur harus diulangi. Adanya material lain pada filter dicatat. Ulangi prosedur untuk formula surfaktan lainnya. 54

68 Lampiran 5. Prosedur Analisis Air Injeksi T dan Air Formasi Tx 1. Pengukuran ph Hidupkan power alat ph-meter. Pastikan sel pengukuran bersih dan kering. Masukkan sampel larutan ke dalam sel pengukuran yang terdapat pada alat. Tekan tombol start dan tunggu beberapa menit hingga hasil pengukuran terlihat pada monitor alat. Catat nilai ph yang diperoleh. 2. Pengukuran Densitas Hidupkan power alat densitometer. Pastikan sel pengukuran bersih dan kering. Masukkan larutan surfaktan ke dalam sel pengukuran yang terdapat pada alat. Tekan tombol start dan tunggu beberapa menit hingga hasil pengukuran terlihat pada monitor alat. Catat hasil pengukuran berupa densitas dan specific gravity yang diperoleh. 3. Pengukuran Viskositas Hidupkan power alat viscosimeter. Kalibrasi alat tersebut. Masukkan nomor spindle dengan memilih kunci spindle. Masukkan larutan surfaktan ke dalam spindle lalu spindle ditutup rapat dengan mur. Kecepatan putaran diset pada alat dimana kecepatan putaran sesuai dengan kebutuhan. Catat % tenaga putaran dan viskositas yang diperoleh. 55

69 Lampiran 6. Prosedur Analisis Minyak Tx 1. Uji Aspaltine Masukkan minyak mentah dan heksan dengan perbandingan 1 : 10, 1 : 13 dan 1 : 15 ke dalam tabung ulir. Selanjutnya, tabung ulir tersebut dikocok hingga minyak mentah larut dalam heksan. Kemudian masukkan tabung ulir ke dalam sentrifuge selama 15 menit dengan kecepatan 200 rpm. Setelah itu, amati apakah terbentuk endapan di dasar tabung ulir. 2. Pengukuran Viskositas Hidupkan power alat viscosimeter. Kalibrasi alat tersebut. Masukkan nomor spindle dengan memilih kunci spindle. Masukkan larutan surfaktan ke dalam spindle lalu spindle ditutup rapat dengan mur. Kecepatan putaran diset pada alat dimana kecepatan putaran sesuai dengan kebutuhan. Catat % tenaga putaran dan viskositas yang diperoleh. 3. Pengukuran Densitas dan Specific Gravity Hidupkan power alat densitometer. Pastikan sel pengukuran bersih dan kering. Masukkan larutan surfaktan ke dalam sel pengukuran yang terdapat pada alat. Tekan tombol start dan tunggu beberapa menit hingga hasil pengukuran terlihat pada monitor alat. Catat hasil pengukuran berupa densitas dan specific gravity yang diperoleh. 4. Pengukuran API Gravity API Gravity minyak menunjukkan kualitas fluida hidrokarbon. Apakah hidrokarbon tersebut termasuk minyak ringan, gas atau minyak berat. Besaran ini dinyatakan dalam : 141,5 131,5 56

70 Lampiran 7. Diagram Alir Coreflooding Test Core yang telah dibersihkan Penimbangan berat kering core (a) Penjenuhan dengan Air Formasi (AF) Penyimpanan dalam jar berisi AF selama minimal 1 3 hari Penimbangan berat basah core (b) Injeksi core oleh minyak pada suhu 70 o C Pengukuran volume AF yang keluar (d) Injeksi Air Injeksi T pada suhu 70 o C Pengukuran volume minyak yang keluar (e) Injeksi larutan suraktan (0.1 PV, 0.2 PV dan 0.3 PV) pada suhu 70 o C Soaking selama 12 jam Injeksi Air Injeksi T pada suhu 70 o C Pengukuran volume minyak yang keluar (f) 57

71 Lampiran 8. Prosedur Perhitungan Porositas dan Permeabilitas Core Core bersih yang telah dikeringkan dalam oven dengan suhu 70 o C diukur dimensinya. Dimensi yang diukur berupa panjang dan diameter dengan 3 kali ulangan menggunakan jangka sorong. Selanjutnya, dihitung volume dari core dengan menggunakan rumus volume tabung. Core tersebut juga diukur bobot kering dengan 3 kali ulangan menggunakan timbangan analitik. Selanjutnya, core dijenuhkan dengan menggunakan air formasi. Core yang telah dijenuhkan diukur bobot basah dengan 3 kali ulangan menggunakan timbangan analitik. Setelah itu, dilakukan perhitungan volume air formasi yang terdapat pada core dengan mengurangi bobot basah dengan bobot kering lalu dibagi dengan densitas air formasi. Perhitungan : % 100 Core bersih yang telah dikeringkan dalam oven dengan suhu 70 o C diukur permeabilitasnya dengan menggunakan alat permeameter. Permeameter yang digunakan masih sangat sederhana yaitu berupa buret dengan skala 10 ml, bulb, core holder dan tabung gas nitrogen beserta pengukur tekanan. Buret dihubungkan dengan tabung gas nitrogen yang telah diberi pengatur tekanan dan yang telah dihubungkan dengan core holder. Buret juga dihubungkan dengan bulb yang telah berisi air sabun. Setelah rangkaian telah siap dipakai. Tempatkan core di dalam core holder. Buka valve pada tabung nitrogen untuk mengalirkan udara ke core lalu ke buret. Selanjutnya, buatlah gelembung udara dari air sabun dengan memencet bulb. Gelembung udara tidak boleh pecah selama dihembuskan gas nitrogen hingga mencapai volume buret. Hitung waktu yang dibutuhkan. Perhitungan : 1000 Keterangan: k = permeabilitas (mdarcy) v = volume buret (ml) µ = viskositas nitrogen pada suhu ruang (cp) L = tinggi core (cm) t = waktu yang dibutuhkan gelembung udara mencapai volume buret (second) A = luas core (cm 2 ) Δp = perbedaan tekanan (atm) 58

72 Lampiran 9. Dimensi Core Sintetik Core Diameter (cm) Tinggi (cm) Volume (ml) A Porositas (%) Permeabilitas (mdarcy) Rata-Rata B Rata-Rata C Rata-Rata D Rata-Rata E Rata-Rata F Rata-Rata

73 Lampiran 10. Nilai IFT dan Densitas pada Berbagai Salinitas Sampel Densitas Rata-Rata IFT Rata-Rata (g/cm 3 ) Densitas (dyne/cm) IFT MES Jarak 0.3% NaCl 0 ppm E MES Jarak 0.3% NaCl 0 ppm (II) E E-02 MES Jarak 0.3% NaCl 1000 ppm E MES Jarak 0.3% NaCl 1000 ppm (II) E E-03 MES Jarak 0.3% NaCl 3000 ppm E MES Jarak 0.3% NaCl 3000 ppm (II) E E-03 MES Jarak 0.3% NaCl 5000 ppm E MES Jarak 0.3% NaCl 5000 ppm (II) E E-03 MES Jarak 0.3% NaCl 7000 ppm E MES Jarak 0.3% NaCl 7000 ppm (II) E E-02 MES Jarak 0.3% NaCl 9000 ppm E MES Jarak 0.3% NaCl 9000 ppm (II) E E-02 MES Jarak 0.3% NaCl ppm E MES Jarak 0.3% NaCl ppm (II) E E-02 MES Jarak 0.3% NaCl ppm E MES Jarak 0.3% NaCl ppm (II) E E-02 MES Jarak 0.3% NaCl ppm E MES Jarak 0.3% NaCl ppm (II) E E-02 60

74 Lampiran 11. Penampakan Visual IFT pada Berbagai Salinitas MES Jarak 0.3% NaCl 1000 ppm MES Jarak 0.3% NaCl 3000 ppm MES Jarak 0.3% NaCl 5000 ppm MES Jarak 0.3% NaCl 7000 ppm MES Jarak 0.3% NaCl 9000 ppm MES Jarak 0.3% NaCl ppm MES Jarak 0.3% NaCl ppm MES Jarak 0.3% NaCl ppm 61

75 Lampiran 12. Nilai IFT dan Densitas pada Berbagai Konsentrasi Alkali % Alkali Densitas (g/cm 3 ) Rata-Rata Densitas IFT (dyne/cm) Rata-Rata IFT Na 2 CO 3 NaOH Na 2 CO 3 NaOH Na 2 CO 3 NaOH Na 2 CO 3 NaOH 0.00% E E % (II) E E E E % E E % (II) E E E E % E E % (II) E E E E % E E % (II) E E E E % E E % (II) E E E E % E E % (II) E E E E-01 62

76 Lampiran 13. Penampakan Visual IFT pada Optimal Alkali MES Jarak 0.3% NaCl 1000 ppm Na 2 CO ppm MES Jarak 0.3% NaCl 1000 ppm NaOH 1000 ppm MES Jarak 0.3% NaCl 1000 ppm Na 2 CO ppm MES Jarak 0.3% NaCl 1000 ppm NaOH 3000 ppm MES Jarak 0.3% NaCl 1000 ppm Na 2 CO ppm MES Jarak 0.3% NaCl 1000 ppm NaOH 5000 ppm MES Jarak 0.3% NaCl 1000 ppm Na 2 CO ppm MES Jarak 0.3% NaCl 1000 ppm NaOH 7000 ppm MES Jarak 0.3% NaCl 1000 ppm Na 2 CO ppm MES Jarak 0.3% NaCl 1000 ppm NaOH 9000 ppm 63

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SURFAKTAN MES DARI JARAK PAGAR

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SURFAKTAN MES DARI JARAK PAGAR II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SURFAKTAN MES DARI JARAK PAGAR Surfaktan (surface active agent) merupakan bahan kimia yang berpengaruh pada aktivitas permukaan. Surfaktan memiliki kemampuan untuk larut dalam

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut BP Statistical Review 2011, sejak tahun 2003 untuk pertama kalinya Indonesia mengalami defisit minyak dimana tingkat konsumsi lebih tinggi dibanding tingkat produksi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Beberapa tahun ini produksi minyak bumi selalu mengalami penurunan, sedangkan konsumsi minyak selalu mengalami penaikan. Menurut Pusat Data Energi dan Sumber Daya

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. ALAT DAN BAHAN Peralatan yang digunakan adalah jangka sorong, destilator, pompa vacum, pinset, labu vacum, gelas piala, timbangan analitik, tabung gelas/jar, pipet, sudip,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Diagram alir pengepresan biji jarak dengan pengepres hidrolik dan pengepres berulir (Hambali et al. 2006).

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Diagram alir pengepresan biji jarak dengan pengepres hidrolik dan pengepres berulir (Hambali et al. 2006). 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Jarak Pagar Jarak Pagar (Jatropha curcas L) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak nabati non pangan yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia. Selain tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baku baru yang potensial. Salah satu bahan yang potensial untuk pembuatan surfaktan adalah

BAB I PENDAHULUAN. baku baru yang potensial. Salah satu bahan yang potensial untuk pembuatan surfaktan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembuatan surfaktan tidak hanya dalam pencarian jenis surfaktan yang baru untuk suatu aplikasi tertentu di suatu industri, tetapi juga melakukan pencarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Minyak bumi telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap ekonomi dunia hingga saat ini. Persediaan akan panas, cahaya, dan transportasi bergantung terhadap

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SIFAT FISIKO-KIMIA BIJI DAN MINYAK JARAK PAGAR Biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) yang digunakan dalam penelitian ini didapat dari PT. Rajawali Nusantara Indonesia di daerah

Lebih terperinci

A. Sifat Fisik Kimia Produk

A. Sifat Fisik Kimia Produk Minyak sawit terdiri dari gliserida campuran yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Dua jenis asam lemak yang paling dominan dalam minyak sawit yaitu asam palmitat, C16:0 (jenuh),

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan (surface active agent) adalah senyawa amphiphilic, yang merupakan molekul heterogendan berantai panjangyang memiliki bagian kepala yang suka air (hidrofilik)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN MESA off grade merupakan hasil samping dari proses sulfonasi MES yang memiliki nilai IFT lebih besar dari 1-4, sehingga tidak dapat digunakan untuk proses Enhanced Oil Recovery

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Jelantah Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali. Minyak jelantah masih memiliki asam lemak dalam bentuk terikat dalam trigliserida sama

Lebih terperinci

KAJIAN PENGARUH SUHU DAN LAMA REAKSI SULFONASI PADA PEMBUATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID

KAJIAN PENGARUH SUHU DAN LAMA REAKSI SULFONASI PADA PEMBUATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID KAJIAN PENGARUH SUHU DAN LAMA REAKSI SULFONASI PADA PEMBUATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) DARI METIL ESTER MINYAK BIJI JARAK PAGAR (Jatropha Curcas L.) MENGGUNAKAN SINGLE TUBE FALLING FILM REACTOR

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PERSIAPAN CORE SINTETIK

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PERSIAPAN CORE SINTETIK IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PERSIAPAN CORE SINTETIK Reservoir adalah suatu tempat terakumulasinya minyak dan gas bumi. Pada umumnya reservoir minyak memiliki karakteristik yang berbeda-beda tergantung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui proses sulfonasi dengan menggunakan bahan baku dari minyak nabati seperti kelapa

Lebih terperinci

PEMANFAATAN METIL ESTER JARAK PAGAR MENJADI SURFAKTAN MES UNTUK APLIKASI SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT

PEMANFAATAN METIL ESTER JARAK PAGAR MENJADI SURFAKTAN MES UNTUK APLIKASI SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, April 2012, hlm. 8-15 ISSN 0853 4217 Vol. 17 No.1 PEMANFAATAN METIL ESTER JARAK PAGAR MENJADI SURFAKTAN MES UNTUK APLIKASI SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT (UTILIZATION

Lebih terperinci

STUDI LABORATORIUM PENGARUH KONSENTRASI SURFAKTAN POLIMER TERHADAP RECOVERY FACTOR DENGAN BERBAGAI SALINITAS

STUDI LABORATORIUM PENGARUH KONSENTRASI SURFAKTAN POLIMER TERHADAP RECOVERY FACTOR DENGAN BERBAGAI SALINITAS STUDI LABORATORIUM PENGARUH KONSENTRASI SURFAKTAN POLIMER TERHADAP RECOVERY FACTOR DENGAN BERBAGAI SALINITAS Ricky 1), Sugiatmo Kasmungin 2), M.Taufiq Fathaddin 3) 1) Mahasiswa Magister Perminyakan, Fakultas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Surfaktan MES dari Stearin Sawit Pembuatan surfaktan MES melalui proses sulfonasi pada penelitian ini dilakukan dengan bahan baku metil ester dari fraksi stearin.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar.

I. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar. Hal ini dikarenakan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus

Lebih terperinci

KAJIAN DYNAMIC CORE ADSORPTION TEST PADA PROSES OIL WELL STIMULATION MENGGUNAKAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK SAWIT

KAJIAN DYNAMIC CORE ADSORPTION TEST PADA PROSES OIL WELL STIMULATION MENGGUNAKAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK SAWIT KAJIAN DYNAMIC CORE ADSORPTION TEST PADA PROSES OIL WELL STIMULATION MENGGUNAKAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK SAWIT Oleh RIA MARIA F34102004 2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat 2. Bahan

III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat 2. Bahan III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat Peralatan yang digunakan untuk memproduksi MESA adalah Single Tube Falling Film Reactor (STFR). Gambar STFR dapat dilihat pada Gambar 6. Untuk menganalisis tegangan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR. Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Menyelesaikan Pendididikan Diploma III Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Sriwijaya.

LAPORAN AKHIR. Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Menyelesaikan Pendididikan Diploma III Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Sriwijaya. LAPORAN AKHIR PENGARUH RASIO REAKTAN DAN KOMPOSISI KATALIS TERHADAP PEMBUATAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT BERBASIS CPO (CRUDE PALM OIL) MENGGUNAKAN AGEN SULFONAT NaHSO 3 Diajukan Sebagai Persyaratan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Biji dan Minyak Jarak Pagar Biji jarak pagar dari PT Rajawali Nusantara ini dikemas dalam kemasan karung, masing-masing karung berisi kurang lebih 30 kg. Hasil

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17. Tegangan Permukaan (dyne/cm) Tegangan permukaan (dyne/cm) 6 dihilangkan airnya dengan Na 2 SO 4 anhidrat lalu disaring. Ekstrak yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan radas uap putar hingga kering.

Lebih terperinci

Lampiran 2. Prosedur Uji Kinerja Formula Surfaktan APG untuk Enhanced Water Flooding

Lampiran 2. Prosedur Uji Kinerja Formula Surfaktan APG untuk Enhanced Water Flooding LAMPIRAN 52 Lampiran 2. Prosedur Uji Kinerja Formula Surfaktan APG untuk Enhanced Water Flooding 1. Tegangan Antar Permukaan Metode Spinning Drop (Gardener and Hayes, 1983) Cara kerja Spinning Drop Interfacial

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. SURFAKTAN

II. TINJAUAN PUSTAKA A. SURFAKTAN II. TINJAUAN PUSTAKA A. SURFAKTAN Surfaktan adalah molekul organik yang jika dilarutkan ke dalam pelarut pada konsentrasi rendah maka akan memiliki kemampuan untuk mengadsorb (atau menempatkan diri) pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Inti Sawit (PKO) Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan Indonesia yang memiliki masa depan cukup cerah. Perkebunan kelapa sawit semula

Lebih terperinci

KAJIAN LABORATORIUM MENGENAI PENGARUH SALINITAS, PERMEABILITAS DAN KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PEROLEHAN MINYAK PADA PROSES INJEKSI SURFAKTAN

KAJIAN LABORATORIUM MENGENAI PENGARUH SALINITAS, PERMEABILITAS DAN KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PEROLEHAN MINYAK PADA PROSES INJEKSI SURFAKTAN Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : 2460-8696 Buku 1 ISSN (E) : 2540-7589 KAJIAN LABORATORIUM MENGENAI PENGARUH SALINITAS, PERMEABILITAS DAN KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PEROLEHAN

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO)

LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO) LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO) Diajukan Sebagai Persyaratan untuk Menyelesaikan Pendidikan Diploma

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pada penelitian yang telah dilakukan, katalis yang digunakan dalam proses metanolisis minyak jarak pagar adalah abu tandan kosong sawit yang telah dipijarkan pada

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis sifat fisiko-kimia CPO Minyak sawit kasar atau Crude Palm Oil (CPO) yang digunakan pada penelitian ini berasal dari Asian Agri Grup. Analisis sifat fisiko kimia CPO

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. METIL ESTER CPO 1. Minyak Sawit Kasar (CPO) Minyak kelapa sawit kasar (Crude Palm Oil, CPO) merupakan hasil olahan daging buah kelapa sawit melalui proses perebusan (dengan steam)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jarak Pagar Jarak pagar (Jatropha curcas L.) telah lama dikenal oleh masyarakat di berbagai daerah di Indonesia, yaitu sejak diperkenalkan oleh bangsa Jepang sekitar tahun 1942.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat melalui proses sulfonasi. Jenis minyak yang dapat digunakan sebagai bahan baku

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sifat Fisiko Kimia Minyak Jarak Pagar. Minyak jarak yang digunakan pada penelitian ini berasal dari tanaman jarak pagar (Jatropha curcas Linn) yang dihasilkan dari proses

Lebih terperinci

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan Tania S. Utami *), Rita Arbianti, Heri Hermansyah, Wiwik H., dan Desti A. Departemen Teknik

Lebih terperinci

PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP. Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F

PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP. Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F34103041 2007 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia yang begitu pesat telah menyebabkan penambahan banyaknya kebutuhan yang diperlukan masyarakat. Salah satu bahan baku dan bahan penunjang

Lebih terperinci

Kelompok B Pembimbing

Kelompok B Pembimbing TK-40Z2 PENELITIAN Semester I - 2006/2007 PEMBUATAN ESTER METIL SULFONAT DARI CPO UNTUK SURFACTANT FLOODING Kelompok Dwike Indriany (13003008) Jelita Alamanda (13003092) Pembimbing Dr. Ir. Retno Gumilang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Crude Palm il (CP) Minyak sawit kasar merupakan hasil ekstraksi dari tubuh buah (mesokarp) tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis JACQ).Minyak sawit digunakan untuk kebutuhan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran METDE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Sebagian besar sumber bahan bakar yang digunakan saat ini adalah bahan bakar fosil. Persediaan sumber bahan bakar fosil semakin menurun dari waktu ke waktu. Hal ini

Lebih terperinci

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C Lipid Sifat fisika lipid Berbeda dengan dengan karbohidrat dan dan protein, lipid bukan merupakan merupakan suatu polimer Senyawa organik yang terdapat di alam Tidak larut di dalam air Larut dalam pelarut

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENGARUH RASIO REAKTAN DAN WAKTU SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT

LAPORAN AKHIR PENGARUH RASIO REAKTAN DAN WAKTU SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT LAPORAN AKHIR PENGARUH RASIO REAKTAN DAN WAKTU SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT Diajukan sebagai persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan Diploma III

Lebih terperinci

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Rita Arbianti *), Tania S. Utami, Heri Hermansyah, Ira S., dan Eki LR. Departemen Teknik Kimia,

Lebih terperinci

Tinjauan Pustaka. Enhanced oil recovery adalah perolehan minyak dengan cara menginjeksikan bahanbahan yang berasal dari luar reservoir (Lake, 1989).

Tinjauan Pustaka. Enhanced oil recovery adalah perolehan minyak dengan cara menginjeksikan bahanbahan yang berasal dari luar reservoir (Lake, 1989). Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Enhanced Oil Recovery (EOR) Enhanced oil recovery (EOR) adalah metode yang digunakan untuk memperoleh lebih banyak minyak setelah menurunnya proses produksi primer (secara

Lebih terperinci

4 Pembahasan Degumming

4 Pembahasan Degumming 4 Pembahasan Proses pengolahan biodiesel dari biji nyamplung hampir sama dengan pengolahan biodiesel dari minyak sawit, jarak pagar, dan jarak kepyar. Tetapi karena biji nyamplung mengandung zat ekstraktif

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Bab 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak ribuan tahun yang lalu, minyak bumi telah digunakan oleh manusia untuk berbagai keperluan. Usaha pencarian sumber minyak di dalam bumi mulai dilakukan pada tahun

Lebih terperinci

SINTESIS METIL ESTER SULFONAT MELALUI SULFONASI METIL ESTER MINYAK KEDELAI UNTUK APLIKASI CHEMICAL FLOODING

SINTESIS METIL ESTER SULFONAT MELALUI SULFONASI METIL ESTER MINYAK KEDELAI UNTUK APLIKASI CHEMICAL FLOODING Sintesis Metil Ester Sulfonat Melalui Sulfonasi Metil Ester Minyak Kedelai Untuk Aplikasi Chemical Flooding (Richie Adi Putra) SINTESIS METIL ESTER SULFONAT MELALUI SULFONASI METIL ESTER MINYAK KEDELAI

Lebih terperinci

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit LAMPIRAN Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit 46 Lampiran 2. Diagram alir proses pembuatan Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) Metil Ester Olein Gas SO 3 7% Sulfonasi Laju alir ME 100 ml/menit,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir, metode pengurasan minyak tahap lanjut

BAB I PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir, metode pengurasan minyak tahap lanjut BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dalam beberapa tahun terakhir, metode pengurasan minyak tahap lanjut atau EOR (Enhanced Oil Recovery) menjadi pokok bahasan yang ramai diperbincangkan. Metode EOR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Polimer Emulsi 2.1.1 Definisi Polimer Emulsi Polimer emulsi adalah polimerisasi adisi terinisiasi radikal bebas dimana suatu monomer atau campuran monomer dipolimerisasikan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Biji dan Minyak Jarak Pagar Biji jarak pagar yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari PT. Wellable Indonesia di daerah Lampung. Analisis biji jarak dilakukan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN 1. Ekstraksi Biji kesambi dikeringkan terlebih dahulu kemudian digiling dengan penggiling mekanis. Tujuan pengeringan untuk mengurangi kandungan air dalam biji,

Lebih terperinci

PROBLEM OPEN-ENDED OSN PERTAMINA 2014 BIDANG KIMIA

PROBLEM OPEN-ENDED OSN PERTAMINA 2014 BIDANG KIMIA PROBLEM OPEN-ENDED OSN PERTAMINA 2014 BIDANG KIMIA TOPIK 1 BIOMASSA SEBAGAI SUMBER ENERGI Biomasa merupakan bahan organik yang tersedia secara terbarukan, umumnya berasal dari tumbuhan yang digunakan sebagai

Lebih terperinci

KELAKUAN FASA CAMPURAN ANTARA RESERVOAR-INJEKSI-SURFAKTAN UNTUK IMPLEMENTASI ENHANCED WATER FLOODING

KELAKUAN FASA CAMPURAN ANTARA RESERVOAR-INJEKSI-SURFAKTAN UNTUK IMPLEMENTASI ENHANCED WATER FLOODING PROCEEDING SIMPOSIUM NASIONAL IATMI 2001 Yogyakarta, 3-5 Oktober 2001 KELAKUAN FASA CAMPURAN ANTARA RESERVOAR-INJEKSI-SURFAKTAN UNTUK IMPLEMENTASI ENHANCED WATER FLOODING Sugihardjo 1, Edward Tobing 1,

Lebih terperinci

D. Tinjauan Pustaka. Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam

D. Tinjauan Pustaka. Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam JURNAL KELARUTAN D. Tinjauan Pustaka 1. Kelarutan Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam bagian tertentu pelarut, kecuali dinyatakan lain menunjukkan bahwa 1 bagian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SURFAKTAN Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent) yang mempunyai struktur bipolar. Bagian kepala bersifat hidrofilik dan bagian ekor

Lebih terperinci

SIFAT PERMUKAAN SISTEM KOLOID PANGAN AKTIVITAS PERMUKAAN

SIFAT PERMUKAAN SISTEM KOLOID PANGAN AKTIVITAS PERMUKAAN SIFAT PERMUKAAN SISTEM KOLOID PANGAN AKTIVITAS PERMUKAAN SIFAT PERMUKAAN Terdapat pada sistem pangan yang merupakan sistem 2 fase (campuran dari cairan yang tidak saling melarutkan immiscible) Antara 2

Lebih terperinci

Lampiran 1. Determinasi Tanaman Jarak Pagar

Lampiran 1. Determinasi Tanaman Jarak Pagar Lampiran 1. Determinasi Tanaman Jarak Pagar Lampiran 2. Penentuan Faktor Koreksi pada Pengukuran Tegangan Permukaan (γ) dengan Alat Tensiometer Du Nuoy Faktor koreksi = ( γ ) air menurut literatur ( γ

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Surfaktan

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Surfaktan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surface active agent (surfactant) merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent) yang bersifat ampifatik, yaitu senyawa yang mempunyai gugus

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR

HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR Gliserol hasil samping produksi biodiesel jarak pagar dengan katalis KOH merupakan satu fase yang mengandung banyak pengotor.

Lebih terperinci

Seminar Nasional Cendekiawan 2015 ISSN: STUDI LABORATORIUM PENGARUH KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PENINGKATAN PEROLEHAN MINYAK

Seminar Nasional Cendekiawan 2015 ISSN: STUDI LABORATORIUM PENGARUH KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PENINGKATAN PEROLEHAN MINYAK STUDI LABORATORIUM PENGARUH KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PENINGKATAN PEROLEHAN MINYAK Widya Pratama Kesuma, Sugiatmo Kasmungin Program Studi Teknik Perminyakan, Universitas Trisakti Abstrak Salah satu

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU DAN RASIO REAKTAN DALAM PEMBUATAN METIL ESTER SULFONAT DENGAN AGEN PENSULFONASI NAHSO 3 BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT

PENGARUH SUHU DAN RASIO REAKTAN DALAM PEMBUATAN METIL ESTER SULFONAT DENGAN AGEN PENSULFONASI NAHSO 3 BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT PENGARUH SUHU DAN RASIO REAKTAN DALAM PEMBUATAN METIL ESTER SULFONAT DENGAN AGEN PENSULFONASI NAHSO 3 BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT Disusun Sebagai Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Diploma III pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan terhadap Bahan Bakar Minyak (BBM) pertama kali muncul pada tahun 1858 ketika minyak mentah ditemukan oleh Edwin L. Drake di Titusville (IATMI SM STT MIGAS

Lebih terperinci

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN :

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN : PENGARUH PENAMBAHAN KATALIS KALIUM HIDROKSIDA DAN WAKTU PADA PROSES TRANSESTERIFIKASI BIODIESEL MINYAK BIJI KAPUK Harimbi Setyawati, Sanny Andjar Sari, Hetty Nur Handayani Jurusan Teknik Kimia, Institut

Lebih terperinci

KAJIAN PENGARUH SUHU DAN LAMA REAKSI SULFONASI PADA PEMBUATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID

KAJIAN PENGARUH SUHU DAN LAMA REAKSI SULFONASI PADA PEMBUATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID KAJIAN PENGARUH SUHU DAN LAMA REAKSI SULFONASI PADA PEMBUATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) DARI METIL ESTER MINYAK BIJI JARAK PAGAR (Jatropha Curcas L.) MENGGUNAKAN SINGLE TUBE FALLING FILM REACTOR

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada penelitian ini, proses pembuatan monogliserida melibatkan reaksi gliserolisis trigliserida. Sumber dari trigliserida yang digunakan adalah minyak goreng sawit.

Lebih terperinci

PENGARUH RASIO MOL REAKTAN DAN LAMA SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METHYL ESTER SULFONIC (MES) DARI METIL ESTER MINYAK SAWIT

PENGARUH RASIO MOL REAKTAN DAN LAMA SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METHYL ESTER SULFONIC (MES) DARI METIL ESTER MINYAK SAWIT PENGARUH RASIO MOL REAKTAN DAN LAMA SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METHYL ESTER SULFONIC (MES) DARI METIL ESTER MINYAK SAWIT Methyl Ester Sulfonic Sri Hidayati 1, Pudji Permadi 2, Hestuti Eni 3 1 2 3

Lebih terperinci

APLIKASI ADSORBEN DALAM PROSES PEMURNIAN BIODIESEL JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) MENGGUNAKAN METODE KOLOM

APLIKASI ADSORBEN DALAM PROSES PEMURNIAN BIODIESEL JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) MENGGUNAKAN METODE KOLOM APLIKASI ADSORBEN DALAM PROSES PEMURNIAN BIODIESEL JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) MENGGUNAKAN METODE KOLOM Oleh IRA AYUTHIA HERDIANI F34104043 2009 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP

PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP Eka Kurniasih Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Lhokseumawe Jl. Banda Aceh-Medan km. 280 Buketrata Lhokseumawe Email: echakurniasih@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Surfaktan merupakan suatu molekul yang sekaligus memiliki gugus hidrofilik dan gugus lipofilik sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan minyak.

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas utama yang dikembangkan di Indonesia. Dewasa ini, perkebunan kelapa sawit semakin meluas. Hal ini dikarenakan kelapa sawit dapat meningkatkan

Lebih terperinci

KEMAMPUAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT

KEMAMPUAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT KAJIAN PENGARUH SUHU, LAMA PEMANASAN DAN KONSENTRASI ASAM (HCl) TERHADAP KEMAMPUAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT Oleh ASTI LESTARI F34101020 2006 FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : Buku 1 ISSN (E) :

Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : Buku 1 ISSN (E) : Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : 2460-8696 Buku 1 ISSN (E) : 2540-7589 KAJIAN LABORATORIUM MENGENAI PENGARUH SALINITAS, JENIS SURFAKTAN DAN KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP RECOVERY

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 5. Reaksi Transesterifikasi Minyak Jelantah Persentase konversi metil ester dari minyak jelantah pada sampel MEJ 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan bakar fosil telah banyak dilontarkan sebagai pemicu munculnya BBM alternatif sebagai pangganti BBM

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT Penelitian dilaksanakan mulai 1 Agustus 2009 sampai dengan 18 Januari 2010 di Laboratorium SBRC (Surfactant and Bioenergy Research Center) LPPM IPB dan Laboratorium

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Penelitian penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan jenis penstabil katalis (K 3 PO 4, Na 3 PO 4, KOOCCH 3, NaOOCCH 3 ) yang

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN PENELITIAN

BAB III RANCANGAN PENELITIAN BAB III RANCANGAN PENELITIAN 3.1. Metodologi Penelitian Surfaktan methyl ester sulfonat (MES) dibuat melalui beberapa tahap. Tahapan pembuatan surfaktan MES adalah 1) Sulfonasi ester metil untuk menghasilkan

Lebih terperinci

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK TUJUAN : Mempelajari proses saponifikasi suatu lemak dengan menggunakan kalium hidroksida dan natrium hidroksida Mempelajari perbedaan sifat sabun dan detergen A. Pre-lab

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisikokimia ME Stearin Proses konversi stearin sawit menjadi metil ester dapat ditentukan dari kadar asam lemak bebas (FFA) bahan baku. FFA merupakan asam lemak jenuh

Lebih terperinci

PERCOBAAN II PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KELARUTAN A. Tujuan 1. Mengetahui dan memahami pengaruh penambahan surfaktan terhadap kelarutan suatu zat 2.

PERCOBAAN II PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KELARUTAN A. Tujuan 1. Mengetahui dan memahami pengaruh penambahan surfaktan terhadap kelarutan suatu zat 2. PERCOBAAN II PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KELARUTAN A. Tujuan 1. Mengetahui dan memahami pengaruh penambahan surfaktan terhadap kelarutan suatu zat 2. Mengetahui dan memahami cara menentukan konsentrasi

Lebih terperinci

UJI KINERJA SURFAKTAN MES (METIL ESTER SULFONAT) DARI STEARIN SAWIT UNTUK ENHANCED WATER FLOODING SKRIPSI EKO NOPIANTO F

UJI KINERJA SURFAKTAN MES (METIL ESTER SULFONAT) DARI STEARIN SAWIT UNTUK ENHANCED WATER FLOODING SKRIPSI EKO NOPIANTO F UJI KINERJA SURFAKTAN MES (METIL ESTER SULFONAT) DARI STEARIN SAWIT UNTUK ENHANCED WATER FLOODING SKRIPSI EKO NOPIANTO F34070102 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 EKO NOPIANTO.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketergantungan dunia pada minyak bumi dan pertumbuhan permintaan dunia diduga akan terus menyebabkan kenaikan harga sumber energi utama dunia ini. Diperkirakan permintaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan adalah zat yang dapat mengaktifkan permukaan, karena cenderung untuk terkonsentrasi pada permukaan (antar muka), atau zat yang dapat menaik dan menurunkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN PERBANDINGAN MASSA ALUMINIUM SILIKAT DAN MAGNESIUM SILIKAT Tahapan ini merupakan tahap pendahuluan dari penelitian ini, diawali dengan menentukan perbandingan massa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Jumlah cadangan minyak bumi dunia semakin menipis. Sampai akhir tahun 2013, cadangan minyak bumi dunia tercatat pada nilai 1687,9 miliar barel. Jika tidak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Surfaktan

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Surfaktan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan (surface active agent) adalah suatu zat yang bersifat aktif permukaan yang dapat menurunkan tegangan antar muka, antara minyak dan air karena strukturnya yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Kelapa Sawit Sumber minyak dari kelapa sawit ada dua, yaitu daging buah dan inti buah kelapa sawit. Minyak yang diperoleh dari daging buah disebut dengan minyak kelapa

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 29 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Sifat Fisikokimia Metil Ester Stearin Penelitian pembuatan surfaktan metil ester sulfonat (MES) ini menggunakan bahan baku metil ester stearin sawit. Stearin sawit

Lebih terperinci

Seminar Nasional Cendekiawan 2015 ISSN:

Seminar Nasional Cendekiawan 2015 ISSN: STUDI LABORATORIUM MENGENAI PENGARUH PENINGKATAN KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI MINYAK PADA INJEKSI SURFAKTAN DENGAN KADAR SALINITAS AIR FORMASI YANG BERVARIASI Tommy Viriya dan Lestari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat ini pemakaian bahan bakar yang tinggi tidak sebanding dengan ketersediaan sumber bahan bakar fosil yang semakin menipis. Cepat atau lambat cadangan minyak bumi

Lebih terperinci

FORMULASI SURFAKTAN SMES SEBAGAI ACID STIMULATION AGENT UNTUK APLIKASI DI LAPANGAN KARBONAT OK VERRY PURNAMA

FORMULASI SURFAKTAN SMES SEBAGAI ACID STIMULATION AGENT UNTUK APLIKASI DI LAPANGAN KARBONAT OK VERRY PURNAMA FORMULASI SURFAKTAN SMES SEBAGAI ACID STIMULATION AGENT UNTUK APLIKASI DI LAPANGAN KARBONAT OK VERRY PURNAMA DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB II INJEKSI UAP PADA EOR

BAB II INJEKSI UAP PADA EOR BAB II INJEKSI UAP PADA EOR Enhanced Oil Recovery (EOR) adalah istilah dari kumpulan berbagai teknik yang digunakan untuk meningkatkan produksi minyak bumi dan saat ini banyak digunakan pada banyak reservoir

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR. PENGARUH SUHU DAN KATALIS CaO PADA SINTESIS METIL ESTER SULFONAT (MES) BERBASIS CRUDE PALM OIL (CPO) DENGAN AGEN H2SO4

LAPORAN AKHIR. PENGARUH SUHU DAN KATALIS CaO PADA SINTESIS METIL ESTER SULFONAT (MES) BERBASIS CRUDE PALM OIL (CPO) DENGAN AGEN H2SO4 LAPORAN AKHIR PENGARUH SUHU DAN KATALIS CaO PADA SINTESIS METIL ESTER SULFONAT (MES) BERBASIS CRUDE PALM OIL (CPO) DENGAN AGEN H2SO4 Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Menyelesaikan Pendidikan Diploma

Lebih terperinci

METANOLISIS MINYAK KOPRA (COPRA OIL) PADA PEMBUATAN BIODIESEL SECARA KONTINYU MENGGUNAKAN TRICKLE BED REACTOR

METANOLISIS MINYAK KOPRA (COPRA OIL) PADA PEMBUATAN BIODIESEL SECARA KONTINYU MENGGUNAKAN TRICKLE BED REACTOR Jurnal Rekayasa Produk dan Proses Kimia JRPPK 2015,1/ISSN (dalam pengurusan) - Astriana, p.6-10. Berkas: 07-05-2015 Ditelaah: 19-05-2015 DITERIMA: 27-05-2015 Yulia Astriana 1 dan Rizka Afrilia 2 1 Jurusan

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU DAN LAMA PROSES AGING TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA SURFAKTAN MESA JARAK PAGAR SKRIPSI NUR HIDAYAT F

PENGARUH SUHU DAN LAMA PROSES AGING TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA SURFAKTAN MESA JARAK PAGAR SKRIPSI NUR HIDAYAT F PENGARUH SUHU DAN LAMA PROSES AGING TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA SURFAKTAN MESA JARAK PAGAR SKRIPSI NUR HIDAYAT F34061189 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PENGARUH SUHU DAN

Lebih terperinci

KARAKTERISASI SURFAKTAN POLIMER PADA SALINITAS PPM DAN SUHU 85 C

KARAKTERISASI SURFAKTAN POLIMER PADA SALINITAS PPM DAN SUHU 85 C Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : 2460-8696 Buku 1 ISSN (E) : 2540-7589 KARAKTERISASI SURFAKTAN POLIMER PADA SALINITAS 15.000 PPM DAN SUHU 85 C Radityo Danisworo 1, Sugiatmo Kasmungin

Lebih terperinci

KINERJA SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT AKIBAT PENGARUH SUHU, LAMA PEMANASAN, DAN KONSENTRASI ASAM (HCl)

KINERJA SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT AKIBAT PENGARUH SUHU, LAMA PEMANASAN, DAN KONSENTRASI ASAM (HCl) E. Hambali, A.Suryani, A. Pratomo, P. Permadi, KINERJA SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT AKIBAT PENGARUH SUHU, LAMA PEMANASAN, DAN KONSENTRASI ASAM (HCl) Erliza Hambali

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS DAN KONSENTRASI ANTIOKSIDAN TERHADAP KETAHANAN OKSIDASI BIODIESEL DARI JARAK PAGAR (Jatropha Curcas, L.) Oleh ARUM ANGGRAINI F

PENGARUH JENIS DAN KONSENTRASI ANTIOKSIDAN TERHADAP KETAHANAN OKSIDASI BIODIESEL DARI JARAK PAGAR (Jatropha Curcas, L.) Oleh ARUM ANGGRAINI F PENGARUH JENIS DAN KONSENTRASI ANTIOKSIDAN TERHADAP KETAHANAN OKSIDASI BIODIESEL DARI JARAK PAGAR (Jatropha Curcas, L.) Oleh ARUM ANGGRAINI F34103057 2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci