UJI KINERJA SURFAKTAN MES (METIL ESTER SULFONAT) DARI STEARIN SAWIT UNTUK ENHANCED WATER FLOODING SKRIPSI EKO NOPIANTO F

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UJI KINERJA SURFAKTAN MES (METIL ESTER SULFONAT) DARI STEARIN SAWIT UNTUK ENHANCED WATER FLOODING SKRIPSI EKO NOPIANTO F"

Transkripsi

1 UJI KINERJA SURFAKTAN MES (METIL ESTER SULFONAT) DARI STEARIN SAWIT UNTUK ENHANCED WATER FLOODING SKRIPSI EKO NOPIANTO F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 EKO NOPIANTO. F Uji Kinerja Surfaktan MES (Metil Ester Sulfonat) dari Stearin Sawit untuk Enhanced Water Flooding. Di bawah bimbingan Erliza Hambali dan Putu Suarsana RINGKASAN Produksi minyak bumi sebagian besar berasal dari lapangan tua (brown field) dimana dari tahun ke tahun mengalami penurunan secara alami mencapai 15% dari total produksi. Untuk meningkatkan daya recovery minyak bumi dari reservoir diperlukan langkah produksi tahap lanjut/enhanced Oil Recovery (EOR) yang dapat mengoptimalkan pengurasan ladang minyak tua. EOR merupakan penerapan teknologi yang memerlukan biaya, teknologi dan resiko tinggi. Untuk itu sebelum mengimplementasikan EOR di suatu lapangan harus mengevaluasi dengan teliti baik secara teknik maupun ekonomi untuk mendapatkan addition recovery yang optimal. Beberapa lapangan minyak di Indonesia yang telah menerapkan teknologi injeksi air/waterflooding, saat ini kinerja produksinya mempunyai water cut yang sangat tinggi mendekati 99%. Untuk memperbaiki tingkat pengurasan pada kondisi tersebut dapat dilakukan dengan menambahkan surfaktan dengan konsentrasi rendah ke dalam air injeksi, yang dapat memperbaiki mekanisme pendesakan setelah fase sekunder/waterflooding, tahapan tersebut disebut dengan injeksi air tahap lanjut/enhanced water flooding yang merupakan tahapan awal penerapan injeksi surfaktan. Surfaktan yang telah banyak digunakan dalam industri perminyakan adalah surfaktan berbasis petrokimia, surfaktan tersebut dihasilkan dari turunan produk minyak bumi yang saat ini semakin terbatas jumlahnya, karena itu dibutuhkan surfaktan yang berbasis renewable resources dan berkinerja baik seperti surfaktan MES. Pengembangan surfaktan MES sangat prospektif untuk dikembangkan di Indonesia karena melimpahnya sumber bahan baku yang dapat dijadikan surfaktan MES. Penelitian ini bertujuan untuk menguji kinerja surfaktan MES (Metil Ester Sulfonat) dari stearin sawit untuk enhanced waterflooding dalam usaha recovery minyak bumi. Untuk mencapai tujuan tersebut, surfaktan MES dari stearin sawit harus mampu memenuhi kriteria surfaktan untuk aplikasi teknologi EOR maka berbagai parameter dalam pengujian kinerja surfaktan dilakukan dengan metode yang telah ditetapkan dan peralatan yang memiliki spesifikasi tinggi. Penelitian ini diawali dengan melakukan uji kompatibilitas surfaktan MES dari stearin terhadap fluida reservoir lapangan Ty, hasil pengujian tersebut menyatakan surfaktan MES dari stearin sawit kompatibel/larut sempurna dalam air injeksi lapangan Ty yang mengindikasikan bahwa surfaktan MES dapat menjadi kandidat surfaktan yang digunakan untuk enhanced waterflooding. Setelah lolos uji kompatibilitas dilakukan formulasi larutan surfaktan MES dari stearin sawit untuk memperoleh nilai ultra-low interfacial tension (IFT) yang diharapkan untuk EOR (10-3 dyne/cm). Langkah formulasi yang dilakukan untuk mendapatkan nilai IFT terkecil adalah melakukan pencarian nilai optimal salinitas dan optimal alkali yang terbaik untuk surfaktan MES pada konsentrasi 0.3 %. Pemilihan konsentrasi 0.3% surfaktan MES didasari dari penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Hambali (2009) yang menyatakan bahwa nilai IFT terbaik diperoleh pada tingkat konsentrasi 0.3%. Nilai IFT terbaik dari pengujian optimal salinitas surfaktan MES diperoleh pada tingkat salinitas 3000 ppm NaCl, sedangkan nilai IFT terbaik dari pengujian optimal alkali diperoleh pada konsentrasi 0.1% Na 2 CO 3 dan nilai rataan IFT dari formula surfaktan MES tersebut sebesar 7.88 x 10-3 dyne/cm sehingga formula tersebut telah memenuhi nilai IFT yang diharapkan untuk EOR. Formula surfaktan selanjutnya melalui serangkaian uji kinerja formula surfaktan yang terdiri dari uji kelakuan fasa/phase behaviour, ketahanan panas/thermal stability, dan uji filtrasi. Dari

3 pengukuran IFT, formula larutan surfaktan MES stearin cenderung kurang stabil terhadap termperatur tinggi (thermal stability), nilai IFT mengalami peningkatan selama pemanasan. Kelakuan fasa surfaktan MES stearin dan minyak bumi memberikan hasil visual mikroemulsi bentuk fasa bawah/tipe II (-). Pengujian filtrasi surfaktan MES stearin dengan.menggunakan membran membran 0.45 µm, menghasilkan nilai FR larutan yang besar, dan penurunan IFT. Setelah itu formula surfaktan MES akan melalui uji core flooding test untuk mengetahui kinerja surfaktan MES pada batuan reservoir. Pengujian ini dilakukan dengan menerapkan tiga perlakuan injeksi formula surfaktan MES terhadap core sintetik yang telah disiapkan untuk pengujian core flooding masing-masing sebesar 0.1 PV (PV=pore volume/volume pori), 0.2 PV, dan 0.3 PV, setelah injeksi surfaktan core diberikan waktu perendaman (soaking) selama 12 jam. Soaking selama 12 jam ini dilakukan berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan Mwangi (2008) yang menyatakan bahwa dengan waktu soaking selama 12 jam mampu memberikan tambahan incremental recovery yang optimal sebesar 8%, soaking dalam penelitian ini merupakan perendaman core sintetik pada core holder. Hasil analisa statistik terhadap hasil perlakuan injeksi pore volume surfaktan pada coreflooding test pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0.05), menunjukkan bahwa injeksi pore volume formula surfaktan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap recovery minyak yang diperoleh. Namun additional recovery yang dihasilkan bertambah dengan semakin tingginya jumlah surfaktan yang diinjeksikan.

4 AN EXPERIMENTAL STUDY OF SURFACTANT MES (METHYL ESTER SULFONATES) FROM PALM STEARIN FOR ENHANCED WATER FLOODING Eko Nopianto 1)*, Erliza Hambali 1,2), Putu Suarsana 3) 1) Departement of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220 West Java, Indonesia 2) Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC), LPPM-Bogor Agricultural University. IPB Baranangsiang Campus, Jl. Raya Pajajaran No. 1, Bogor. West Java, Indonesia 3) PT. PERTAMINA EP. Standard Chartered Tower 21 st - 29 th Floor, Jl. Prof. Dr. Satrio No. 164, Jakarta Indonesia. ABSTRACT Surfactant has been widely used for the application of Enhanced Oil Recovery (EOR) by decreasing the interfacial tension. Recently, most of the surfactants that are still used are petrochemical surfactants. MES surfactant is a surfactant derived from renewable resources that can replace petrochemical surfactant and has many advantages. The study was conducted by formulating the surfactant solution, testing performance of the surfactant formula, and testing the core flooding. The results of the study showed that palm stearin MES surfactant was compatible to the water injection of Ty field. The formulation generated average number of interfacial tension formula up to 7.88E-03 dyne/cm, so the formulation met the expected number of IFT for EOR. The thermal stability test showed that palm stearin MES surfactant is heat resistant. It was proven by the low of IFT number increasing and the decreasing of both viscosity and density. Phase behavior showed that the phase between oil and surfactant were in the type II (-) or low phase. Core flooding test was done by differentiation of surfactant solution injection of 0.1PV, 0.2PV, 0.3PV and soaking for 12 hours. The Incremental recovery that is obtained after the surfactant solution injection was between 12-14% OOIP. Statistical analysis showed that the variation of pore volume that was injected has no significant effect to the oil recovery, but it increased with increasing of surfactant volume that was injected. Therefore, stearin MES surfactant has good performance to be applicated for enhanced waterflooding in the Ty field. Keywords: Methyl Ester Sulfonates, Chemical Injection, Core flooding, Enhanced Water Flooding, Enhanced Oil Recovery.

5 UJI KINERJA SURFAKTAN MES (METIL ESTER SULFONAT) DARI STEARIN SAWIT UNTUK ENHANCED WATER FLOODING SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Oleh EKO NOPIANTO F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

6 Judul Skripsi : Uji Kinerja Surfaktan MES (Metil Ester Sulfonat) dari Stearin Sawit untuk Enhanced Water Flooding Nama : Eko Nopianto NIM : F Menyetujui, Pembimbing I, Pembimbing II, (Prof. Dr. Erliza Hambali) NIP (Ir. Putu Suarsana, MT. Ph.D) Reservoir Manager PT. Pertamina EP Mengetahui: Ketua Departemen, (Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti) NIP Tanggal Lulus :

7 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Uji Kinerja Surfaktan MES (Metil Ester Sulfonat) dari Stearin Sawit untuk Enhanced Water Flooding adalah karya saya sendiri dengan arahan dari Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, November 2011 Yang membuat pernyataan Eko Nopianto F

8 Hak cipta milik Eko Nopianto, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.

9 BIODATA PENULIS Eko Nopianto. Lahir di Jambi, 8 November 1989 dari ayah Samuji dan ibu Sri Lestari sebagai putra pertama dari 3 bersaudara. Riwayat pendidikan penulis dimulai dari SDN 141/X Rantau Makmur, Kec. Berbak, Kab. Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi pada tahun , pendidikan menegah pertama di MTsN Bandar Jaya, Kec. Rantau Rasau, Kab. Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi pada tahun , pendidikan menengah atas di SMAN 1 Rantau Rasau (sekarang SMAN 1 Tanjung Jabung Timur), Provinsi Jambi dan lulus pada tahun Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi ke IPB melalui Jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) dari Pemerintah Daerah Provinsi Jambi melalui Dinas Pendidikan Provinsi Jambi pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama kuliah penulis aktif dalam berbagai kegiatan diantaranya sebagai ketua Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Jambi/Himpunan Mahasiswa Jambi (HIMAJA) IPB, anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (DPM-F), anggota Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa IPB (MPMKM-IPB), termasuk menjadi asisten mata kuliah Peralatan Industri Pertanian. Penulis melaksanakan Praktik Lapangan pada tahun 2010 di PT. Inti Indosawit Subur (Pabrik Tungkal Ulu/PTU) Asian Agri Group, Regional Jambi dengan judul Analisa Potensi Pemanfaatan Biomassa Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit. Sampai akhirnya penulis melaksanakan tugas akhir dengan judul Uji Kinerja Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) dari Stearin Sawit untuk Enhanced Water Flooding di bawah bimbingan Prof. Dr. Erliza Hambali dan Ir. Putu Suarsana, MT, PhD.

10 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Uji Kinerja Surfaktan MES (Metil Ester Sulfonat) dari Stearin Sawit untuk Enhanced Water Flooding dilaksanakan di Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (SBRC-IPB) sejak bulan Februari sampai Agustus Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Keluarga tercinta yang selalu menjadi sandaran baik suka maupun duka, yang telah memberikan segenap kasih sayang, doa, motivasi dan semangat kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di IPB. 2. Prof. Dr. Erliza Hambali sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini, selain itu juga membimbing penulis selama kuliah di IPB. 3. Ir. Putu Suarsana, MT, Ph.D sebagai pembimbing II yang telah memberi bimbingan kepada penulis dalam penyelesaian penelitian dan penyusunan skirpsi. 4. Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si sebagai dosen penguji skripsi yang telah menguji dan memberikan masukan pada penulis. 5. Pemerintah Daerah Provinsi Jambi, atas kesempatan dan beasiswa yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan di IPB melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah-IPB. 6. Mas Ari (staf ahli SBRC) yang telah membimbing dari awal hingga selesainya penelitian penulis. 7. Mbak Mira Rivai (kandidat doktor program pasca sarjana IPB) atas diskusi yang banyak memberi pengetahuan dan masukan selama penelitian dan penyusunan skripsi ini. 8. Seluruh staf dan teknisi Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi- LPPM IPB khususnya Mas Encep, Mas Ferry, Mas Saeful dan Mas Anas yang telah banyak membantu kelancaran jalannya penelitian. 9. Riztiara Nurfitri, Rizky Oktavian, dan Rahman, teman satu bimbingan dan teman-teman seperjuangan TIN 44 atas waktunya dalam saling membantu dan mengingatkan kelulusan. 10. Septiyanni, Rachmania Widyastuti, Wardah Nazripah, teman satu laboratorium atas kerjasama dan kebersamaannya dalam menyelesaikan penelitian di SBRC. 11. Dayu Dian Perwatasari, Silvia Mawarti Perdana, Novriyanti, Merita, Cantika Zaddana, Ana Agustina, teman-teman seperjuangan HIMAJA & BUD Pemda Jambi. 12. Sahabat-sahabatku Fiandra Adiyath M, Gustam S Andokke, Eki Hercules, Adi Nuryadi Parandica, Muhammad Iftor, teman kost yang selalu memberi motivasi dan semangat kepada penulis dalam susah maupun senang. 13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang agroindustri dan teknologi perminyakan. Bogor, 18 November 2011 Eko Nopianto iii

11 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR LAMPIRAN... vii I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Ruang Lingkup... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) Produksi Tahap Lanjut/Enhanced Oil Recovery (EOR) Formula Surfaktan untuk EOR Uji Kinerja Surfaktan Kestabilan Terhadap Panas (Thermal Stability) Kelakuan Fasa (Phase Behaviour) Uji Filtrasi (Filtration Test) Core Flooding Test Formasi Reservoir Fluida Reservoir III. METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Metode Penelitian Pembuatan Surfaktan MES dari Stearin Sawit Formulasi Larutan Surfaktan MES Stearin untuk EOR Uji Kinerja Formula Surfaktan MES Stearin Core Flooding Test Rancangan Percobaan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Surfaktan MES dari Stearin Sawit Formulasi Larutan Surfaktan MES Stearin Untuk EOR Uji Kinerja Formula Surfaktan MES Uji Kompatibilitas (Compatibility Test) Uji Kelakuan Fasa (Phase Behaviour) Uji Filtrasi (Filtration Test) Core Sandstone Sintetik dan Fluida Reservoir Lapangan Ty Persiapan Core Sandstone Sintetik Fluida Reservoir Lapangan Ty Core Flooding Test V. SIMPULAN DAN SARAN... 47

12 5.1 Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

13 DAFTAR TABEL Tabel 1. Perbandingan komposisi asam lemak pada ME dari beberapa jenis minyak... 6 Tabel 2. Hasil analisis sifat fisikokimia metil ester stearin... 7 Tabel 3. Karakteristik MES dari stearin sawit C 16 -C Tabel 4. Kandungan garam air formasi/injeksi Tabel 5. Komposisi minyak bumi Tabel 6. Karakteristik surfaktan MES stearin sawit Tabel 7. Nilai FR hasil uji filtrasi... 38

14 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Skematik ilustrasi molekul surfaktan Gambar 2. Reaksi transesterifikasi antar trigliserida dan methanol Gambar 3. Reaksi esterifikasi asam lemak dan alkohol Gambar 4. Struktur kimia MES Gambar 5. Mekanisme perolehan minyak bumi Gambar 6. Skematik enhanced water flooding pada aplikasi di lapangan minyak Gambar 7. Hubungan capillary number dengan oil recovery Gambar 8. Diagram ternery air-surfaktan-minyak Gambar 9. Penampang batu pasir/sandstone Gambar 10. Diagram alir penelitian Gambar 11. Stearin dan metil ester/biodiesel stearin Gambar 12. MESA dan MES stearin sawit Gambar 13. Pengaruh salinitas terhadap nilai IFT formula surfaktan MES dari stearin Gambar 14. Pengaruh salinitas terhadap densitas larutan surfaktan MES stearin dalam air injeksi Lapangan Ty Gambar 15. Pengaruh alkali NaOH pada berbagai konsentrasi terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES stearin pada salinitas 3000 ppm Gambar 16. Pengaruh alkali Na 2 CO 3 pada berbagai konsentrasi terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES stearin pada salinitas 3000 ppm Gambar 17. Grafik perbandingan penambahan alkali NaOH dan Na 2 CO 3 terhadap nilai IFT larutan MES stearin pada salinitas 3000 ppm Gambar 18. Pengaruh konsentrasi alkali terhadap densitas larutan surfaktan MES stearin Gambar 19. Tampilan hasil uji kompatibilitas surfaktan terhadap air injeksi Lapangan Ty Gambar 20. Hasil pengujian IFT pada uji thermal stability Gambar 21. Hasil pengujian viskositas formula dalam uji thermal stability Gambar 22. Hasil pengujian densitas formula dalam uji thermal stability Gambar 23. Uji phase behaviour T0, T7, T14, T21, T Gambar 24. Grafik kelarutan minyak-surfaktan dalam phase behaviour Gambar 25. Grafik filtrasi menggunakan filter 500 mesh pada suhu ruang Gambar 26. Grafik filtrasi menggunakan kertas saring 22 µm pada suhu ruang Gambar 27. Grafik filtrasi menggunakan membran 0.45 µm pada suhu ruang Gambar 28. Grafik filtrasi menggunakan membran 0.22 µm pada suhu ruang Gambar 29. Pengaruh perlakuan filtrasi terhadap IFT larutan surfaktan MES stearin Gambar 30. Hasil pengamatan molekul surfaktan MES stearin sawit setelah uji filtrasi Gambar 31. Core sintetik batu pasir/sandstone Gambar 32. Hasil uji asphaltin minyak bumi Lapangan Ty Gambar 33. Skematik peralatan core flooding yang digunakan dalam penelitian

15 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Pengujian Formula Surfaktan Lampiran 2. Diagram Alir Proses Transesterifikasi Stearin Lampiran 3. Diagram Alir Proses Sulfonasi Metil Ester Stearin Lampiran 4. Prosedur Persiapan Core Sintetik dan Fluida Reservoir Lapangan Ty untuk Core flooding Test Lampiran 5. Prosedur Perhitungan Porositas dan Permeabilitas Core Lampiran 6. Prosedur Core Flooding Test Lampiran 7. Reaktor Singletube Falling Film Reaktor (STFR) Lampiran 8. Peralatan/Instrument yang Digunakan Lampiran 9. Hasil Uji Formulasi Surfaktan Lampiran 10. Hasil Uji IFT Thermal Stability Lampiran 11. Tabel Hasil Uji Filtrasi Lampiran 12. Kelarutan Minyak pada Uji Kelakuan Fasa (Phase Behaviour) Lampiran 13. Dimensi dan porositas Core Sintetik Lampiran 14. Hasil Uji Core flooding Test Lampiran 15. Hasil Analisa Data Hasil Core Flooding Lampiran 16. Dokumentasi Hasil Core Flooding Test... 83

16 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampai saat ini minyak bumi masih memegang peranan penting sebagai sumber energi dunia, diperkirakan permintaan minyak dunia akan naik dari tingkat 84 juta barrel per hari saat ini menjadi 99 juta barrel per hari pada tahun 2015 dan 116 juta barrel per hari pada tahun Sementara itu, produksi minyak jauh lebih lambat daripada kebutuhan minyak dunia. Dari data statistik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Indonesia pada tahun 2004, produksi minyak bumi dan kondensat Indonesia tercatat sebesar juta barel dan produksi terus berfluktuatif dan cenderung menurun, sampai pada tahun 2010 produksi minyak bumi dan kondensat Indonesia tercatat sebesar juta barel. Menurut Evita Legowo, Dirjen Migas Kementerian ESDM, penurunan produksi minyak bumi terutama yang terjadi di Indonesia dikarenakan sebagian besar minyak bumi diproduksikan dari lapangan/sumur tua (brown field) dimana dari tahun ke tahun mengalami penurunan secara alamiah mencapai 15% dari total produksi. Pada kuartal pertama tahun 2011, produksi rata-rata minyak bumi dan kondesat Indonesia tercatat sebesar BOPD (barel per hari/bph) sedangkan kebutuhan total rata-rata mencapai 1.4 juta BOPD. Defisit kebutuhan minyak bumi tersebut membuat Indonesia mengimpor minyak bumi dari berbagai negara, yang mengindikasikan krisis minyak bumi telah terjadi di Indonesia. Krisis minyak bumi yang terjadi ini dapat diatasi dengan cara melakukan penghematan/menurunkan penggunaan minyak bumi sebagai sumber energi utama, mencari sumber energi alternatif, sumber energi alternatif yang telah digunakan antara lain: biodiesel, energi matahari, energi dari alam (geothermal/panas bumi, angin, mikrohidro, dan lain sebagainya) namun penggunaannya masih belum dapat optimal. Alternatif lain untuk mengatasi krisis energi adalah peningkatan produksi minyak bumi yang dapat dilakukan dengan cara eksplorasi sumur baru (cekungan hidrokarbon) dan meningkatkan perolehan kembali (recovery) minyak bumi yang terdapat pada lapangan minyak tua (brown field). Eksplorasi untuk menemukan lapangan/sumur baru cukup sulit karena daerah yang belum dieksplorasi kebanyakan berada di laut dalam (deep sea) yang beresiko tinggi. Oleh karena itu, pengembangan teknologi pengurasan tahap lanjut/enhanced oil recovery (EOR) menjadi suatu keharusan dalam usaha meningkatkan produksi/recovery minyak bumi dari lapangan minyak yang saat ini telah melewati tahap perolehan primer dan sekunder (water flooding). Beberapa lapangan minyak bumi di Indonesia yang telah menerapkan teknologi injeksi air/water flooding, saat ini kinerja produksinya mempunyai water cut yang sangat tinggi (95-99%). Sedangkan menurut Lake (1995) residu minyak bumi yang terdapat pada sumur yang telah diproduksi masih besar, berkisar 40-70% dari original oil in place (OOIP). Minyak bumi yang tertinggal tersebut merupakan minyak bumi yang terperangkap pada pori-pori batuan dan tidak dapat diproduksikan dengan teknologi konvensional (tahap primer dan sekunder/waterflooding). Oleh karena itu diperlukan penerapan metode produksi tahap lanjut/enhanced oil recovery untuk memperbaiki dan mengoptimalkan tingkat pengurasan pada kondisi tersebut, mengurangi water cut dan meningkatkan tenaga reservoir dari ladang minyak tua. Salah satu cara meningkatkan perolehan kembali adalah dengan menurunkan tegangan antarmuka minyak-air dengan menambahkan surfaktan dengan konsentrasi rendah ke dalam air injeksi yang dapat memperbaiki mekanisme pendesakan dan merubah sifat fisik fluida reservoir, metode ini merupakan injeksi air tahap lanjut/enhanced water flooding yang merupakan tahap awal penerapan injeksi surfaktan (chemical injection). Surfaktan yang biasa 1

17 digunakan dalam EOR adalah surfaktan berbasis petrokimia seperti alkil benzene sulfonat (ABS), linear alkilbenzene sulfonate (LAS), alpha-olefin sulfonat (AOS), petroleum sulfonate dan internal olefin sulfonate (IOS). Namun karena keterbatasan kinerja surfaktan dari petrokimia yang cenderung tidak tahan terhadap kesadahan dan salinitas yang tinggi dan cenderung tidak tahan terhadap kesadahan tinggi, hal itu mendorong perlunya pengembangan surfaktan dari sumber bahan baku yang memiliki ketersediaan, biaya bahan baku dan produksi yang jauh lebih rendah/ekonomis, dan memiliki kinerja yang baik seperti surfaktan metil ester sulfonat (MES). Pengembangan teknologi produksi dan aplikasi surfaktan MES untuk EOR di Indonesia memiliki prospek yang sangat baik karena melimpahnya ketersediaan bahan baku metil ester (minyak sawit, minyak kelapa, minyak jarak, dll), yang dapat disintesis menjadi surfaktan MES. Dari banyak sumber minyak nabati. Minyak sawit (olein dan stearin) merupakan sumber bahan baku metil ester yang memiliki produktifitas paling tinggi, didukung dengan semakin baiknya penguasaan teknologi pemurnian minyak membuat kapasitas produksi olein dan stearin dalam negeri juga terus meningkat. Stearin merupakan hasil proses fraksinasi yang padat pada suhu ruang dan banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan shortening dan margarine, namun dengan komponen kimia stearin dominan memiliki ikatan C 16 -C 18 berbanding 2:1 memungkinkan stearin untuk disintesis menjadi surfaktan MES yang memiliki daya deterjensi tinggi dan memiliki kinerja baik dalam menurunkan tegangan antarmuka. Harga stearin (US$ per ton) yang lebih murah dibanding olein (US$ per ton) membuat pengembangan dan produksi surfaktan MES dari metil ester stearin menjadi menarik untuk diteliti. 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mendapatkan formula terbaik surfaktan MES stearin yang optimal dalam menurunkan nilai tegangan antarmuka (IFT) antara air-minyak bumi pada lapangan Ty. 2. Mengetahui peforma surfaktan terhadap kestabilan nilai IFT terhadap suhu reservoir (thermal stability), kelakuan fasa (phase behaviour), uji filtrasi. 3. Mendeskripsikan batuan pasir sintetik yang memiliki porositas, permeabilitas dan karakteristik seperti native core Lapangan Ty. 4. Mendapatkan hasil perolehan minyak core flooding dari surfaktan MES stearin. 1.3 Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Formulasi larutan surfaktan MES dari stearin sawit untuk EOR. 2. Uji kinerja formula larutan surfaktan MES dari stearin sawit meliputi uji compatibility, uji IFT (interfacial tension), pengukuran densitas, pengukuran viskositas, uji phase behaviour, uji thermal stability dan uji filtrasi. 3. Persiapan core sandstone sintetik. 4. Core Flooding Test formula surfaktan MES dari stearin. 2

18 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan (surface active agent) adalah suatu zat yang bersifat aktif permukaan yang dapat menurunkan tegangan antar muka, antara minyak dan air karena strukturnya yang amphifilik, yaitu adanya dua gugus yang memiliki derajat polaritas yang berbeda pada molekul yang sama. Gugus hidrofilik bersifat mudah larut dalam air, sedangkan gugus hidrofobik bersifat mudah larut dalam minyak (Pratomo 2005). Surfaktan biasanya senyawa organik yang amphifilik, berarti mereka terdiri dari hidrokarbon rantai (kelompok hidrofobik, "ekor") dan kelompok hidrofilik ("kepala"). Oleh karena itu, mereka larut dalam pelarut organik dan air. Mereka mengadsorpsi atau berkonsentrasi di permukaan atau antarmuka fluida/cairan untuk mengubah sifat permukaan secara signifikan, khususnya untuk mengurangi tegangan permukaan atau tegangan antar muka (IFT) (Sheng 2011). Surfaktan anionik adalah yang paling banyak digunakan dalam injeksi kimia untuk Enhanced Oil Recovery karena mereka menunjukkan adsorpsi yang relatif rendah pada batuan pasir yang permukaannya bermuatan negatif. Surfaktan non ionik terutama berfungsi sebagai co-surfaktan untuk memperbaiki kelakuan fasa. Meskipun surfaktan non ionik lebih toleran terhadap salinitas yang tinggi, tetapi sebagian besar tidak tahan terhadap panas yang tinggi, yang membuat IFT-nya naik pada suhu yang tinggi. Cukup sering, campuran anionik dan nonionik digunakan untuk meningkatkan toleransi terhadap salinitas. Surfaktan kationik jarang digunakan dalam reservoir batu pasir karena adsorpsinya yang tinggi pada bautan pasir, surfaktan kationik sering digunakan pada batuan digunakan dalam batuan karbonat untuk mengubah wettability dari oil wet menjadi water wet. Surfaktan zwitterionic mengandung dua kelompok aktif. Jenis surfaktan nonionik zwitterionic dapat-anionik, atau non ionic tergantung ph medianya. Surfaktan ini tahan terhadap suhu dan salinitas, tetapi harganya relatif mahal (Lake 1989). Molekul surfaktan dapat divisualisasikan seperti berudu yang terdiri atas bagian kepala dan ekor (Gambar 1). Bagian kepala bersifat hidrofilik (suka air), merupakan bagian yang polar, sedangkan bagian ekor bersifat hidrofobik (tidak suka air/suka minyak), merupakan bagian non polar. Kepala dapat berupa kation atau anion. Sedangkan ekor dapat berupa rantai linier atau cabang hidrokarbon (Hui 1996). Gambar 1. Skematik ilustrasi molekul surfaktan (Holmberg et al. 2003). Surfaktan berdasarkan gugus hidrofilnya dibagi menjadi empat kelompok yaitu surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan non-ionik, dan surfaktan amfoterik (Rosen 2004). Data jumlah konsumsi surfaktan dunia menunjukkan bahwa surfaktan anionik merupakan surfaktan yang paling banyak digunakan yaitu sebesar 50%, kemudian disusul non-ionik 45%, kationik 4%, dan amfoterik 1% (Watkins 2001). 3

19 Menurut Matheson (1996) surfaktan anionik adalah molekul yang bermuatan negatif pada bagian hidrofilik atau aktif permukaan (surface-active). Sifat hidrofilik disebabkan karena keberadaan gugus ionik yang sangat besar, seperti gugus sulfat atau sulfonat. Beberapa contoh surfaktan anionik yaitu linear alkilbenzen sulfonate (LAS), alkohol sulfat (AS), alkohol eter sulfat (AES), alfa-olefin sulfonate (AOS), parafin (secondary alkane sulfonate, SAS), dan metil ester sulfonat (MES). Menurut Sadi (1994) surfaktan pada umumnya dapat disintesis dari minyak nabati melalui senyawa antara metil ester dan fatty alcohol. Proses-proses yang diterapkan untuk menghasilkan surfaktan diantaranya, yaitu asetilasi, etoksilasi, esterifikasi, sulfonasi, sulfatasi, amidasi, sukrolisis, dan saponifikasi. Menurut Flider (2001) surfaktan berbasis bahan alami dapat dibagi ke dalam empat kelompok dasar, yaitu : (a) berbasis minyak-lemak, seperti monogliserida, digliserida, poligliserol ester, fatty alkohol sulfat, fatty alkohol etoksilat, Metil Ester Sulfonat (MES), dietanolamida, sukrosa ester, dan sebagainya, (b) berbasis karbohidrat, seperti alkil poliglikosida dan N-metil glukamida, (c) ekstrak bahan alami, seperti lesitin dan saponin, serta (d) biosurfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme, seperti rhamnolipida, sophorolipida, lipopeptida, threhaloslipida, dan sebagainya. Menurut Hui (1996) karena karakteristik detergensi yang cukup baik dari metil ester C 16 -C 18, maka fraksi stearin merupakan sumber bahan baku yang sesuai dan murah untuk memproduksi MES. Karakteristik deterjensi MES yang berbahan baku stearin diketahui mirip dengan LAS (linier alkylbenzene sulfonates). Metil ester stearin sawit memiliki rasio distribusi asam lemak dari C 16 hingga C 18 sebesar 2:1. Bahan ini menghasilkan produk MES dengan nilai merupakan nilai maksimum kelarutan dibandingkan dengan kombinasi C 16 dan C 18 lainnya. MES dengan karakteristik ini sangat berguna untuk menghasilkan deterjen pada suhu rendah (Sheat dan MacArthur 2002). Saat larutan surfaktan diinjeksikan kedalam sebuah sistem minyak dan air, surfaktan akan mendesak minyak bergerak hingga surfaktan terserap atau hilang karena adsorpsi batuan. Untuk memperoleh kondisi residual oil yang rendah dengan mengabaikan perubahan sifat kebasahan wettability oleh surfaktan, tegangan antarmuka antara minyak dan air formasi harus diturunkan dari mn/m ke mn/m (Schramm 2000). Surfaktan yang biasa digunakan dalam proses EOR adalah petroleum sufonate yang merupakan turunan dari minyak bumi. Kelemahan surfaktan tersebut adalah sifatnya yang tidak memiliki ketahanan terhadap kondisi sadah dan salinitas yang tinggi, sedangkan kelebihannya adalah mempunyai kinerja maksimal dalam menurunkan tegangan antar muka, bahkan dilaporkan mencapai 0.1 µn/m atau 10-4 dyne/cm (Salager 2002). Dengan semakin tingginya harga minyak dunia dan perhatian dunia terhadap persoalan-persoalan lingkungan maka diperlukan surfaktan yang berbasis renewable resources, seperti methyl ester sulfonate (MES) (Eka 2008). 2.2 Metil Ester Sulfonat (MES) Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) termasuk golongan surfaktan anionik, yaitu surfaktan yang bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan (surface-active). (Hui 1996). Surfaktan metil ester sulfonat (MES) diproduksi dengan mereaksikan antara metil ester dengan gas SO 3 (Rosen 2004). Penelitian pembuatan MES telah dilakukan oleh Chemiton Corporation, Inc. Sheats dan MacArthur (2002), menyampaikan bahwa metil ester sulfonat dapat disintesis dari beberapa minyak seperti minyak kelapa, minyak sawit (CPO dan PKO), tallow (lemak sapi), dan minyak kedelai. Metil Ester termasuk ke dalam golongan ester, ester dibuat dengan mereaksikan asam karboksilat dan alkohol. Cox dan Weerasoriya (2001) melaporkan bahwa sebagian besar metil ester diproduksi dari oleokimia. 4

20 Metil ester dapat diproduksi melalui esterifikasi dan transesterifikasi asam lemak dengan metanol. Reaksi transesterifikasi dapat dilihat di Gambar 2. Metil ester juga dapat diperoleh melalui reaksi esterifikasi antara asam lemak dengan alkohol, seperti pada reaksi yang terlihat pada Gambar 3. (Hart 1990). Minyak/Lemak Metanol Metil ester Gliserin Gambar 2. Reaksi transesterifikasi antar trigliserida dan methanol. RCOOH + R OH RCOOR + H 2 O Asam lemak Alkohol Ester Air Gambar 3. Reaksi esterifikasi asam lemak dan alkohol. MacArthur et al. (2001) menyatakan bahwa studi tentang MES dengan rantai C 16 -C 18 menunjukkan bahwa MES memiliki sifat yang lebih baik dari pada surfaktan LAS atau AS dalam hal pencucian di air dingin dan air sadah hingga 100 ppm. Hal tersebut menyebabkan metil ester sulfonat pada masa mendatang diindikasikan akan menjadi surfaktan anionik yang paling penting (Watkins 2001). Struktur kimia metil ester sulfonat dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Struktur kimia MES (Watkins 2001). Kelebihan surfaktan MES dibanding surfaktan yang berbasis petrokimia adalah sifatnya yang renewable, mudah didegradasi (good biodegradability), biaya produksi lebih rendah, karakteristik dispersi yang baik, sifat deterjensi yang baik walaupun berada pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, daya deterjensi sama dengan petroleum sulfonat pada konsentrasi MES yang lebih rendah, dapat mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik, toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium, dan kandungan garam (disalt) lebih rendah (Matheson 1996). Panjang molekul sangat kritis untuk keseimbangan kebutuhan gugus hidrofilik dan lipofilik. Apabila rantai hidrofobik terlalu panjang, akan terjadi ketidakseimbangan, terlalu besar afinitas untuk gugus minyak atau lemak atau terlalu kecilnya afinitas untuk gugus air. Hal ini ditunjukkan oleh keterbatasan kelarutan dalam air. Demikian juga sebaliknya, apabila rantai hidrofobiknya terlalu pendek, komponen tidak akan terlalu bersifat aktif permukaan (surface active) karena ketidakcukupan 5

21 gugus hidrofobik dan akan memiliki keterbatasan kelarutan dalam minyak. Pada umumnya, panjang rantai terbaik untuk surfaktan adalah asam lemak dengan atom karbon (Swern 1979). Menurut Hovda (1994) karakteristik bahan baku memberikan pengaruh terhadap kualitas produk MES yang dihasilkan. Adapun sifat fisikokimia metil ester stearin yang dapat diuji meliputi: bilangan asam, bilangan iod, kadar gliserol total, total kadar gliserol bebas, kadar gliserol terikat, bilangan penyabunan dan komposisi asam lemak metil ester stearin. Menurut Watkins (2001) komposisi asam lemak metil ester stearin didominasi oleh C 16 (ester asam lemak palmitat) dan C 18:1 (ester asam lemak oleat) yaitu 51.05% dan %. Asam lemak C 16 dan C 18 memiliki sifat deterjensi yang baik sehingga sesuai untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pada proses produksi surfaktan. Komposisi asam lemak metil ester seperti di atas dimiliki oleh stearin sawit seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan komposisi asam lemak pada ME dari beberapa jenis minyak Asam Lemak Kelapa Inti Sawit Stearin Sawit Tallow C 12 -C 14 C 8 -C 18 C 16 -C 18 C 16 -C 18 Kaplirat (C 8 ) Kaprat (C 10 ) Laurat (C 12 ) ,2 - Miristat (C 14 ) ,5 3.1 Palmitat (C 16 ) Stearat (C 18 ) Arakidat (C 20 ) Sumber: Sheat dan MacArthur (2002) Stearin merupakan produk hasil dari proses fraksinasi CPO, proses fraksinasi CPO menghasilkan 73% olein, 21% stearin, 5% destilat asam lemak minyak sawit (palm fatty acid destilate /PFAD) dan 0.5% losses. Saat ini stearin banyak digunakan sebagai bahan baku pembuat margarin dan shortening, dengan produktifitas CPO yang tinggi stearin prospektif untuk dikembangkan menjadi surfaktan MES karena memiliki availability/ketersedian bahan baku yang selalu tersedia dan terbaharui. Stearin termasuk ke dalam lemak nabati yang memiliki rantai ikatan C 16 -C 18 dominan, yang memiliki daya deterjensi tinggi sehingga memungkinkan akan berkemampuan tinggi dalam memperkecil nilai interfacial tension (IFT) apabila diproduksi menjadi surfaktan MES (LIPI 2008). Menurut MacArthur (2002) asam lemak yang mempunyai atom C 12 -C 14 berperan terhadap pembusaan, sedangkan asam lemak yang mempunyai C 16 -C 18 berperan terhadap kekerasan dan deterjensi. Metil ester palm stearin memiliki rasio distribusi asam lemak dari C 16 hingga C 18 sebesar 2:1. Bahan ini menghasilkan produk MES dengan nilai krafft point minimum 17 C dan ini merupakan nilai maksimum kelarutan dalam air dingin, dibandingkan dengan kombinasi C 16 dan C 18 lainnya. Proses produksi surfaktan MES dilakukan dengan mereaksikan metil ester dengan agen sulfonasi. Pereaksi yang dapat dipakai pada proses sulfonasi antara lain asam sulfat (H 2 SO 4 ), oleum (larutan SO 3 di dalam H 2 SO 4 ), sulfur trioksida (SO 3 ), NH 2 SO 3 H, dan ClSO 3 H (Bernardini 1983). Proses sulfonasi berbeda dengan proses sulfatasi, walaupun secara struktur memiliki kesamaan. Pada proses sulfonasi, SO 3 terikat langsung pada atom karbon C sedangkan pada sulfatasi membentuk ikatan karbon-oksigen-sulfur (Foster 1996). Dari penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Rahmi (2010) melaporkan analisis sifat fiskokimia dari metil ester dari stearin sawit adalah sebagai berikut: 6

22 Tabel 2. Hasil Analisis sifat fisikokimia metil ester stearin Sifat fisikokimia Metil Ester Stearin Referensi Bilangan asam (mg KOH/ g ME) 0.21 Maks. 0.5* Bilangan iod (mg I/g ME) Maks. 3.0 ** Kadar gliserol total (%b) 0.20 Maks. 0.5* Kadar gliserol bebas (%b) Kadar gliserol terikat (%b) Bilangan penyabunan (mg KOH/g ME) Komposisi ester asam lemak (%) C 12: C 14: C 16: C 18: C 18: C 18: Keterangan: *Moretti dan Adami (2001), ** Sheat dan MacArthur (2002) Menurut Speight (2002) dan Kucera (2001) reaksi sulfonasi adalah reaksi pembentukan asam sulfonat (SO 3 H) pada molekul organik dengan menggunakan agen sulfonasi. Agen sulfonasi didefinisikan sebagai komponen atau bahan yang dapat menggantikan ikatan hidrogen dalam suatu senyawa dengan gugus sulfonat (SO 3 H). Karakteristik MES dari stearin sawit C 16 -C 18 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Karakteristik MES dari stearin sawit C 16 -C 18 Analisa Nilai Metil ester sulfonat (MES) (%b/b) 83 Disodium karboksi sulfonat (di-salt) (%b/b) 3.5 Metanol (%b/b) 0.07 Hidrogen peroksida (% b/b) 0.13 ph 5.3 Klett color 5% aktif 310 Sodium metil sulfat (%) 7.2 Petroleum ether extractables (PEX) (% b/b)` 2.4 Sodium karboksilat (% b/b) 0.3 Sodium sulfat (% b/b) 7.2 Sumber: Sheats dan MacArthur (2002) Menurut Watkins (2001) proses produksi metil ester sulfonat dilakukan dengan mereaksikan metil ester dengan gas SO 3 dalam falling film reactor pada suhu C. Proses sulfonasi ini akan menghasilkan produk berwarna gelap, sehingga dibutuhkan proses pemurnian meliputi pemucatan dan netralisasi. Untuk mengurangi warna gelap tersebut, pada tahap pemucatan ditambahkan H 2 O 2 atau larutan methanol, yang dilanjutkan dengan proses netralisasi dengan menambahkan larutan alkali (KOH atau NaOH). Setelah melewati tahapan netralisasi, produk yang berbentuk pasta dikeringkan sehingga produk akhir yang dihasilkan berbentuk concentrated pasta, solid flake, atau granula. Menurut Hovda (1994) semakin tinggi suhu reaksi dalam reaksi sulfonasi maka produk yang dihasilkan menjadi semakin gelap warnanya. Selain itu warna gelap dikarenakan reaksi gas SO 3 7

23 terhadap ikatan rangkap metil ester stearin sehingga terbentuk senyawa polisulfonat yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi. Pada pembentukan warna, ikatan rangkap terkonjugasi berperan sebagai kromofor, yaitu gugus fungsi yang dapat menyerap gelombang elektromagnetik pada senyawa pemberi warna (Robert et al. 2008). Menurut Matheson (1996) metil ester sulfonat (MES) telah mulai dimanfaatkan sebagai bahan aktif pada produk-produk pembersih (washing and cleaning products). Pemanfaatan surfaktan jenis ini pada beberapa produk adalah karena metil ester sulfonat memperlihatkan karakteristik dispersi yang baik, sifat deterjensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, ester asam lemak C 14, C 16, dan C 18 memberikan tingkat deterjensi terbaik serta bersifat mudah didegradasi (good biodegradability). Dibandingkan petroleum sulfonat, surfaktan MES menunjukkan beberapa kelebihan diantaranya yaitu pada konsentrasi MES yang lebih rendah daya deterjensinya sama dengan petroleum sulfonat, dapat mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik, toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium, dan kandungan garam (disalt) lebih rendah. 2.3 Produksi Tahap Lanjut/Enhanced Oil Recovery (EOR) Peningkatan pengurasan minyak tahap lanjut/enhanced oil recovery merupakan usaha terkini untuk meningkatkan produksi minyak pada lapangan tua yang telah mengalami penurunan produksi yang signifikan, dimana water cut sudah sangat tinggi mendekati angka 99% di beberapa lapangan. Pada kondisi ini, harus dilakukan implementasi teknologi pengurasan tahap lanjut agar dapat menaikkan produksi minyak. Mengingat sebagian besar lapangan minyak di Indonesia telah mengalami penurunan produksi atau pada tahap akhir dari primary dan secondary recovery, sedangkan untuk menemukan lapangan-lapangan baru sangat sulit karena daerah yang belum dieksplorasi kebanyakan berada di laut dalam yang beresiko tinggi. Oleh karena itu, pengembangan teknologi pengurasan tahap lanjut merupakan keharusan (Eni et al. 2007). Menurut Rachmat (2009) terdapat berbagai cara perolehan minyak tahap lanjut, yaitu dengan cara injeksi fluida tak tercampur (non miscible flood); injeksi air, injeksi gas, injeksi fluida tercampur (miscible flood), injeksi gas CO 2, injeksi gas tak reaktif, injeksi gas yang diperkaya, injeksi gas kering, injeksi kimiawi (chemical injection), injeksi alkalin, injeksi polimer, injeksi surfaktan, injeksi termal (thermal injection); injeksi air panas, injeksi uap air, pembakaran di lubang sumur dan lain-lain. Proses recovery minyak bumi dapat dikelompokkan atas tiga fase, yaitu fase primer (primer phase), fase skunder (skunder phase), dan fase tersier (teritiary phase). Pada fase primer di terapkan proses alami yang tergantung pada kandungan energi alam pada reservoir dan proses stimulasi menggunakan asam (acidizing, metode fracturing, dan metode sumur horizontal), pada fase sekunder diterapkan proses immiscible gas flood dan waterflood. Metode pada fase tersier sering juga disebut sebagai metode enhanced oil recovery (EOR). Metode EOR didefinisikan sebagai suatu metode yang melibatkan proses penginjeksian material yang menyebabkan perubahan dalam reservoir seperti komposisi minyak, suhu, rasio mobilitas, dan karakteristik interaksi batuan fluida (Gomaa 1997). Menurut Emegwalu (2009) EOR mengacu pada recovery minyak yang tertinggal setelah metode pemulihan primer dan sekunder. Produksi primer adalah dimana pertama kali minyak keluar (easy oil). Setelah sumur dibor dan diselesaikan di zona reservoir hidrokarbon, tekanan alami pada kedalaman reservoir yang akan menyebabkan minyak mengalir melalui batuan menuju lubang sumur yang tekanan rendah, sehingga menyebabkan minyak terangkat ke permukaan dengan sendirinya. Recovery pada tahap ini berada pada kisaran 10-15% dari OOIP. 8

24 Metode recovery sekunder (secondary recovery)digunakan ketika ada tekanan bawah tanah cukup untuk memindahkan sisa minyak. Teknik yang paling umum adalah waterflooding, yang menggunakan sumur injektor untuk memasukkan air dalam jumlah besar ke dalam reservoir untuk menjaga tekanan dan menyapu minyak ketika air bergerak melalui reservoir. Recovery yang diperoleh adalah antara 10-30% dari OOIP. Proses tersier yang diperoleh setelah recovery sekunder menggunakan miscible gases, bahan kimia/termal recovery untuk mendapatkan additional oil setelah proses recovery sekunder menjadi tidak ekonomis. Menurut Wahyono (2009) EOR dilakukan pada tahap kedua dan ketiga. Karena dilakukan di lapangan-lapangan yang secara primary recovery sudah susah ditingkatkan. Untuk kepentingan ini maka dilakukanlah injeksi air/waterflooding dan kemudian injeksi kimia/chemical injection. Mekanisme perolehan minyak bumi dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Mekanisme perolehan minyak bumi (Wahyono 2009). Dalam metode injeksi kimia, surfaktan flooding merupakan proses yang sangat efektif untuk me-recovery sebagian besar minyak konvensional (25 API atau lebih tinggi) yang tersisa di reservoir setelah waterflood yang mampu mendapatkan sebanyak 60% OOIP. Prinsip dasar dari penggunaan surfaktan flooding adalah untuk memulihkan sifat kapiler minyak yang tersisa/residual oil yang masih terjebak saat waterflooding dengan menginjeksikan larutan surfaktan. Residual oil dapat didesak bergerak melalui pengurangan tegangan antarmuka (IFT) antara minyak dan air. Jika IFT dapat dikurangi antara minyak dan air, resistansi terhadap aliran pasti berkurang. Jika surfaktan yang dipilih adalah tepat, penurunan IFT dapat sebanyak 10-3 dyne/cm, dan recovery yang dihasilkan berkisar 10-20% dari OOIP, jika tidak producible oleh teknologi lainnya, secara teknis dan ekonomis layak dengan surfaktan flooding. Menurut Nummedal et al. (2003) peningkatan perolehan minyak bumi (oil recovery) dapat dilakukan dengan cara menambahkan surfaktan ke dalam air injeksi. Proses perolehan minyak bumi 9

25 menggunakan surfaktan disebut dengan surfaktan flooding, karakteristik air/fluida yang diinjeksikan ke dalam sumur minyak bumi harus sesuai dengan karakteristik air formasi yaitu air yang berada di dalam cekungan minyak bumi. Demikan pula dengan penginjeksian surfaktan (umumnya bahan kimia), disyaratkan tidak mengubah kondisi formasi yang telah ada di dalam reservoir minyak bumi. Menurut Ayirala (2002) ketika surfaktan diinjeksikan, surfaktan menyebar ke dalam minyak dan air dan tegangan antarmuka yang rendah meningkatkan capillary number. Hasilnya, lebih banyak minyak yang tadinya dalam kondisi immobile berubah menjadi mobile. Menyebabkan perbaikan rasio mobilitas yang efektif. Technology Assesment Board (1978) menyatakan bahwa surfactant flooding merupakan proses yang sangat kompleks, namun demikian mempunyai potensi peningkatan recovery minyak. Pemilihan surfaktan merupakan proses yang penting dalam mempengaruhi keberhasilan enhanced oil recovery. Sebelum proses implementasi, dibutuhkan penelitian laboratorium yang intensif untuk mendapatkan surfaktan yang cocok pada reservoir. Selain itu, parameter lain seperti konsentrasi optimal, laju injeksi, dan kelakuan surfaktan pada kondisi reservoir, harus telah diuji dengan baik. Beberapa percobaan yang dapat dilakukan dalam memilih surfaktan di antaranya adalah: uji kelarutan minyak, efek dari elektrolit, uji densitas dan uji viskositas larutan surfaktan, identifikasi formula optimal surfaktan-cosolvent, dan identifikasi formulasi optimal untuk percobaan core flood (Lake 1989). Ilustrasi injeksi surfaktan dalam EOR dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6. Skematik enhanced water flooding pada aplikasi di lapangan minyak (Gurgel et al. 2008). Ayirala (2002) menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi interaksi antara surfaktan dengan permukaan pori batuan yang berpengaruh terhadap wettability/sifat kebasahan adalah: struktur surfaktan, konsentrasi surfaktan, komposisi permukaan pori, stabilitas thermal surfaktan, co-surfaktan, elektrolit, ph dan temperatur, porositas dan permeabilitas batuan serta karakteristik reservoir. Adsorpsi surfaktan pada antar muka padat-cair merupakan kondisi yang tidak diperlukan tetapi dibutuhkan untuk perubahan kebasahan/wettability. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa wettability berubah dari oil-wet ke water-wet karena adsorpsi surfaktan. Water flooding merupakan injeksi air yang dilakukan pada tahap kedua produksi (secondary recovery) yang menjadi salah satu pilihan EOR Pertamina saat ini. Injeksi air merupakan salah satu metode peningkatan perolehan minyak yang banyak digunakan di industri perminyakan. Hal ini karena air mudah diperoleh, murah dan memiliki mobilitas yang cukup rendah sehingga diharapkan 10

26 pendesakannya baik.sedangkan yang menggunakan bahan kimia yang dicampur dengan air dilakukan pada tertiary recovery/eor (Wahyono 2009). 2.4 Formula Surfaktan untuk Enhanced Oil Recovery Pemilihan surfaktan merupakan proses terpenting yang mempengaruhi keberhasilan proses injeksi surfaktan. Sebelum proses implementasi, pengkajian laboratorium secara ekstensif diperlukan dalam rangka memastikan surfaktan yang dipilih tepat untuk suatu reservoir. Juga, parameter seperti konsentrasi surfaktan, laju injeksi, dan kelakuan surfaktan pada kondisi reservoir, harus diuji dan dipastikan. Ini memberikan pengetahuan terhadap kelebihan dan kekurangan surfaktan dengan memperhatikan keuntungan terhadap reservoir, dan dapat membantu dalam prediksi perolehan minyak. Beberapa uji dapat digunakan dalam rangka pemilihan surfaktan diantaranya: uji kelarutan minyak, pengaruh elektrolit, uji densitas larutan surfaktan, uji viskositas larutan surfaktan, uji waktu kelarutan, identifikasi formulasi optimal surfaktan-co-solvent, dan core flood (Lake 1989). Untuk mendapatkan gambaran peningkatan recovery minyak, sejumlah penelitian di laboratorium harus dilaksanakan, uji kompatibilitas, pengukuran IFT (sebagai parameter terpenting), uji kelakuan fasa, injektifitas, dan adsorbsi surfaktan oleh batuan, sebelum implementasi surfaktan di lapangan (Eni et al. 2007). Adapun karakteristik formula surfaktan yang diharapkan untuk EOR menurut BPMIGAS (2009) adalah sebagai berikut: Kompatibilitas Adsorpsion IFT Temperatur : Positif ph : 6-8 : < 400 µg/gr batuan : dyne/cm : stabil, sesuai suhu reservoir Bentuk fasa : tipe III (fasa tengah) atau minimal tipe II (-) Recovery oil Filtration Rate : < 1.2 : % incremental Subjek penting lainnya pada surfaktan untuk enhanced water flooding adalah adsorpsi surfaktan. Adsorpsi surfaktan merupakan pertimbangan penting dalam semua penerapan dimana surfaktan akan kontak dengan permukaan padat. Banyak surfaktan teradsorpsi pada sela batuan hingga terjadi interaksi elektrostatik antara lokasi aplikasi pada permukaan padat dan surfaktan. Faktor yang mempengaruhi adsorpsi surfaktan dalam sebuah reservoir meliputi temperatur, ph, salinitas, tipe surfaktan, dan tipe batuan. Seperti biasa, satu-satunya faktor yang dapat dimanipulasi untuk tujuan enhanced oil recovery adalah tipe surfaktan, yang disesuaikan dengan kondisi reservoir (Ayirala 2002). Surfaktan dapat menghasilkan ultra-low IFT antara air dan minyak, yang dapat menarik minyak yang terperangkap di batuan. Kinerja surfaktan tergantung pada berbagai kondisi seperti sifat minyak, temperatur reservoir dan kondisi ionik. Oleh karena itu formulasi surfaktan harus dirancang dan diuji secara spesifik pada kondisi reservoir, tidak kalah pentingnya adalah kemampuan untuk menyebarkan surfaktan dan bahan kimia lain yang diperlukan melalui media berpori dalam tekanan rendah dan mempertahankan kontrol mobilitas (Leviit 2006). Sugihardjo et al. (2002) menambahkan bahwa efektifitas surfaktan dalam menurunkan tegangan antar muka minyak-air dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya jenis surfaktan yang digunakan, konsentrasi surfaktan dan co-surfaktan yang digunakan, kadar garam larutan dan adsorpsi larutan co-surfaktan. Menurut Nuraini et al. (2004) dengan turunnya tegangan antarmuka minyak-air, maka tekanan kapiler yang bekerja pada daerah penyempitan pori-pori akan berkurang, sehingga sisa minyak yang 11

27 terperangkap dalam pori-pori batuan mudah didesak dan diproduksikan. Surfaktan bila dilarutkan di dalam air atau minyak, akan membentuk micelle yang merupakan mikroemulsi dalam air atau minyak. Micelle berfungsi sebagai media yang bercampur (miscible) baik dengan minyak maupun air secara serentak. Untuk mendapatkan nilai tegangan antarmuka minyak-air yang lebih rendah, maka ditambahkan co-surfaktan. Pada umumnya co-surfaktan yang digunakan adalah alkohol/roh (C4, C5 dan C6). Menurut Ayirala (2002) co-surfaktan yang ditambahkan ke dalam surfaktan dapat berinteraksi dengan surfaktan didalam larutan untuk memperbaiki karakteristik surfaktan. Beberapa alkohol dapat menurunkan tegangan antarmuka. Pencampuran surfaktan seperti anionik dan non anionik dapat menurunkan adsorpsi surfaktan. Penurunan nilai IFT yang timbul dari penambahan surfaktan ke suatu larutan akan mengurangi pengaruh gaya kapiler. Jika IFT dapat diturunkan mencapai nilai yang cukup, mobilisasi minyak secara fisik dapat terjadi. Nilai IFT antar minyak dan air berada pada kisaran nilai 35-36mN/m (1mN/m = 1dyne/cm), dengan menambahkan surfaktan ke dalam system, nilai tersebut dapat diturunkan secara signifikan mencapai ultra-low IFT 1 x 10-3 mn/m (Nasiri 2011). Tegangan antarmuka (IFT) antara minyak/air merupakan salah satu parameter utama dalam EOR. Pengukuran nilai IFT menggunakan alat spiningdrop interfacial tension pada suhu sekitar 70 C. Indikasi dari kinerja surfaktan adalah menurunnya tegangan antar muka minyak-air, semakin rendah semakin baik. Nilai IFT yang diyakini agar surfaktan tersebut layak untuk diinjeksikan adalah sekitar 10-3 dyne/cm (Eni et al. 2007). Leviit (2006) menyatakan bahwa ultra-low IFT pada nilai 10-3 dyne/cm diperlukan untuk memobilisasi residual oil yang terdapat dalam batuan reservoir dan mengurangi jumlah residual oil yang jenuh menuju nol pada reservoir. Ditambahkankan oleh Drelich et al. (2002) produksi minyak dengan menggunakan proses surfactant flooding sangat dipengaruhi oleh kemampuan surfaktan dalam menurunkan tegangan antarmuka (IFT). Menurut Technology Assessment Board (1978) larutan yang diinjeksikan pada umumnya mengandung 95% air formasi/air injeksi (brine), 4% surfaktan, dan 1% aditif. Aditif biasanya berupa alkali yang ditambahkan untuk mengatur viskositas larutan. Sugihardjo et al. (2002) menyatakan bahwa alkali/aditif yang boleh dipergunakan adalah natrium hidroksida (NaOH) dan natrium karbonat (Na 2 CO 3 ) dengan batas maksimal penggunaan 1% untuk memaksimalkan kinerja surfaktan dalam menurunkan tegangan antarmuka. Menurut Jackson (2006) penggunaan alkali juga harus mempertimbangkan sifat kimia dari reservoir. Bahkan ketika natrium karbonat memiliki kinerja yang baik pada phase behaviour, tetap harus diuji dengan contoh batuan reservoir karena reaksi kimia yang rumit dapat terjadi dengan mineral-mineral batuan. Menurut Sheng (2011) terdapat 6 alkali yang dapat digunakan untuk menurunkan IFT adalah NaOH, Na 2 SiO 3, Na 4 SiO 4, Na 3 PO 4, NaHCO 3, dan Na 2 CO 3. Alkali dalam terkait injeksi kimia, penambahan alkali seperti natrium karbonat meningkatkan kekuatan ion (salinitas). Konsentrasi alkali meningkat, menyebabkan salinitas optimum menurun. Hal tesebut membuat anjuran untuk mengurangi salinitas optimal. Menurut Hirasaki dan Zhang (2009) alasan memilih natrium karbonat sebagai alkali dalam formulasi surfaktan diantaranya adalah: 1. ph yang cukup tinggi menghasilkan surfaktan alami dari reaksi penyabunan in situ dari kandungan asam naftenat dalam minyak mentah. 2. Natrium karbonat menekan konsentrasi ion kalsium (Ca 2+ ). 3. Natrium karbonat lebih dapat mengurangi tingkat pertukaran ion dan pelepasan mineral (dalam batu pasir) dibandingkan dengan natrium hidroksida. 4. Adsorpsi surfaktan anionik rendah dengan penambahan alkali, khususnya dengan natrium karbonat. 12

28 5. Endapan karbonat tidak mempengaruhi permeabilitas dibandingkan dengan hidroksida dan silikat. 6. Natrium karbonat adalah alkali yang tidak mahal. Selain itu Jackson (2006) juga menyatakan bahwa penambahan natrium karbonat/sodium carbonate digunakan karena dapat menurunkan adsorpsi surfaktan anionik pada batuan reservoir. Karenanya, perambatan/aliran surfaktan dapat lebih cepat dan memungkinkan lebih sedikit surfaktan yang diinjeksi. Besarnya nilai ph yang dihasilkan dari penambahan natrium karbonat telah membantu menjaga kestabilan beberapa surfaktan dan dapat pula digunakan dalam memperbaiki hidrasi polimer. Surfaktan diharapkan dapat menurunkan tegangan antar muka antara minyak dan air sehingga tekanan kapiler minyak dan batuan berkurang. Menurut Emegwalu (2009) tekanan kapiler yang tinggi menyebabkan recovery factor yang rendah. Tekanan kapiler yang rendah diperlukan untuk merecovery sebagian besar sisa minyak yang masih terjebak setelah waterflooding. Dengan turunnya tegangan antarmuka tersebut, minyak akan terkonsentrasi pada permukaan batuan. Pada akhirnya, surfaktan dapat mengikat minyak dan minyak dapat diproduksi. Pengaruh dari IFT dalam recovery minyak dimodelkan oleh kurva capillary desaturation, dimana saturasi residual oil berkorelasi dengan fungsi capillary number. Capillary number (Nc) didefinisikan sebagai rasio viskositas dan gaya kapiler. Capillary number secara umum dapat dihitung dari persamaan di bawah ini: Nc = Keterangan: v = laju alir efektif (cm/s) µ = viskositas larutan pendesak (cp) σ = tegangan antarmuka (dyne/cm) Ø= sudut kontak kebasahan/wetting angle vμ σ cos ø Menurut Emegwalu (2010) peningkatan nilai capilary number mengindikasikan peningkatan recovery minyak sisa/residual oil. Peningkatan viskositas dari fluida menyebabkan peningkatan kecepatan perpindahan yang tidak efektif. Namun, nilai Nc yang besar dapat dicapai dengan cara mengurangi tegangan antarmuka (IFT) antara air dan minyak dengan menggunakan surfaktan. Korelasi antara minyak yang dapat diperoleh dan nilai capillary number dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7. Hubungan capillary number dengan oil recovery (Chatzis dan Morrow 1994). 13

29 Waterflood pada kondisi water-wet biasanya memiliki nilai Nc berkisar antara Critical capillary number berada pada kisaran Namun pada kondisi desaturasi oil-wet nilai Nc berada pada kisaran (Emegwalu 2010). 2.5 Uji Kinerja Surfaktan Kestabilan Terhadap Panas (Thermal Stability) Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas formula surfaktan selama mengalir dalam media berpori adalah degradasi molekul surfaktan. Salah satu jenis degradasi surfaktan adalah degradasi thermal yang disebabkan oleh suhu yang tinggi (Sugihardjo et al. 2001). Menurut Ayirala (2002) secara normal dibutuhkan waktu yang lama untuk surfaktan berpindah melewati pori batuan reservoir dan mengubah wettability permukaan pori batuan. Surfaktan harus menjaga struktur kimia dan tegangan antarmuka. Stabilitas surfaktan pada temperatur reservoir dalam fluida reservoir dapat ditentukan melalui pengukuran interfacial tension di laboratorium Kelakuan Fasa (Phase Behaviour) Pengamatan di laboratorium terhadap kelakuan fasa fluida campuran antara surfaktan, air injeksi dan minyak dilakukan dengan cara uji tabung, yaitu mencampurkan masing-masing fluida tersebut kedalam tabung reaksi dengan perbandingan volume dan kombinasi konsentrasi tertentu. Campuran yang terbentuk tersebut dikocok dan kemudian dipanaskan dalam oven hingga mencapai suhu reservoir, sehingga terbentuk fasa yang stabil, yang kemudian diamati kondisi fasanya (Sugihardjo et al. 2002). Menurut Leviit (2006) transisi pada phase behaviour dapat disebabkan oleh perubahan variabel seperti salinitas, temperatur, struktur surfaktan, atau equivalen alkane carbon number (EACN) dari minyak. Penentuan kelakuan fasa campuran surfaktan-air-minyak merupakan faktor penting dalam memperkirakan kinerja peningkatan perolehan minyak dengan proses injeksi surfaktan. Proses emulsifikasi dapat menurunkan tegangan antar muka antara fluida pendorong dengan minyak. Pada dasarnya campuran surfaktan-air-minyak dapat membentuk beberapa macam jenis emulsi yang diantaranya dapat menurunkan tegangan antar muka ke tingkat yang sangat rendah, yaitu dengan orde 10-2 sampai dengan 10-4 dyne/cm, yang dapat digunakan dalam injeksi kimia (Sugihardjo et al. 2002). Kelakuan fasa larutan surfaktan sangat dipengaruhi oleh salinitas air formasi. Secara umum, meningkatkan kosentrasi salinitas menurunkan kelarutan surfaktan anionik dalam air formasi/injeksi. Surfaktan didorong keluar dari air formasi dengan meningkatnya konsentrasi elektrolit (Sheng 2011). Menurut Sugihardjo et al. (2002) secara umum kondisi fasa campuran yang terbentuk dan setelah dilakukan pengamatan secara kasat mata diklasifikasikan dalam 4 kategori. 1. Emulsi fasa bawah: emulsi yang terbentuk dalam fasa air, dalam kondisi dua fasa, berwarna translucent (jernih tembus cahaya) pada umumnya terbentuk pada kadar salinitas rendah, dan Vw/Vs>Vo/Vs. 2. Mikroemulsi atau emulsi fasa tengah: emulsi terbentuk di fasa tengah, dalam kondisi tiga fasa (air-mikroemulsi-minyak), berwarna translucent, terbentuk pada kadar salinitas optimum, Vw/Vs=Vo/Vs. 14

30 3. Emulsi fasa atas: emulsi yang terbentuk di fasa minyak, dalam kondisi dua fasa, berwarna jernih, pada kadar salinitas di atas optimal salinitas cenderung membentuk emulsi di fasa atas, Vw/Vs<Vo/Vs. (keterangan: Vw= volume air, Vs= volume surfaktan, Vo= volume minyak) 4. Makroemulsi: emulsi yang terbentuk kental, berwarna putih susu (milky), ukuran makroemulsi sangat besar ( A). Kelarutan fasa dan proses kelarutan dapat digambarkan dalam diagram ternery yang terdiri dari tiga komponen yaitu: minyak, surfaktan dan air injeksi/brine. Diagram ternery yang sederhana terdiri dari sistem tiga komponen (pseudoternary diagram): surfaktan-minyak-air. Dalam proses EOR, bagian penting diagram ternery adalah daerah tiga fasa. Bentuk umum diagram ternery tersebut dapat diklasifikasikan sebagai: tipe II (-), yaitu emulsi fasa bawah dan kelebihan fasa minyak; tipe II (+), yaitu emulsi fasa atas dengan kelebihan fasa air/larutan surfaktan; dan tipe III, yaitu mikroemulsi fasa tengah. Diagram ternery tersebut dapat dilihat pada Gambar 8. Salinitas rendah Salinitas optimum Salinitas tinggi Fasa bawah/tipe II (-) Fasa tengah/tipe III Fasa atas/tipe II (+) Gambar 8. Diagram ternery air-surfaktan-minyak (Pope 2007). Jenis emulsi yang paling diharapkan dalam proses EOR/injeksi surfaktan adalah emulsi fasa tengah (phase form III) atau mikroemulsi atau paling tidak emulsi fasa bawah (Sugihardjo et al. 2002). Pada kondisi tersebut nilai tegangan antar muka yang dihasilkan adalah nilai IFT yang sangat rendah sehingga proses pendesakan minyak bumi dapat dipastikan berjalan efektif. Pada penelitian ini digunakan uji tabung untuk mengetahui kelakuan fasa yang terjadi pada campuran minyak-air-surfaktan setelah perlakuan suhu. Sugihardjo et al. (2001) menyatakan dalam fasa campuran yang membentuk mikroemulsi, mempresentasikan kondisi pendesakan terbaur (miscible displacement). Sedangkan dalam fasa campuran yang membentuk emulsi (fasa atas atau fasa bawah), mempresentasikan kondisi pendesakan tak berbaur (immiscible displacement). Kelakuan fasa campuran tersebut, sangat dipengaruhi oleh: salinitas air pelarut, jenis dan konsentrasi alkohol, suhu, jenis dan konsentrasi surfaktan serta jenis minyak. 15

31 2.5.3 Uji Filtrasi (Filtration Test) Tujuan uji filtrasi adalah untuk memberikan gambaran apakah surfaktan yang akan dinjeksikan akan membentuk pluging atau tidak. Uji filtrasi dilakukan dengan melewatkan 500 ml larutan surfaktan melalui membran saring ukuran 0.22 mikron dengan diberi tekanan 1.5 bar. Setiap 50 ml larutan surfaktan yang melewati kertas saring, dicatat waktunya. Kemudian dibuat grafik volume (ml) versus waktu (detik) (Eni et al. 2000). 2.6 Core Flooding Test Formasi Reservoir Hampir semua aplikasi kimia EOR berada pada reservoir batu pasir, dan beberapa proyek stimulasi pada reservoir batu karbonat. Salah satu alasan sedikitnya aplikasi surfaktan di reservoir karbonat adalah karena surfaktan anionik memiliki adsorpsi yang tinggi dalam karbonat. Alasan lain adalah bahwa anhidrit sering ada di karbonat, yang menyebabkan presipitasi/endapan dan kebutuhan alkali yang tinggi (Sheng 2011). Kebanyakan formasi reservoir terdiri dari campuran silika, clays, batu gamping dan dolomit. Berdasarkan kecenderungan wettability dari komponen matrik silika, sering diasumsikan kebanyakan reservoir minyak bersifat suka air/water-wet. Walau begitu banyak reservoir yang bersifat oil wet ditemukan melalui analisis laboratorium dengan mengukur sudut kontak antara fluida dan batuan reservoir dari berbagai daerah di dunia (Ayirala 2002). Menurut Lake (1987) reservoir-reservoir minyak bumi berbeda dalam hal geologis alamnya, kandungan air dalam reservoir, dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut, metode optimum untuk me-recovery minyak bumi dalam jumlah yang maksimum pada suatu reservoir berbeda terhadap reservoir yang lain. Banyak hal yang mempengaruhi perolehan minyak dari sumur, diantaranya adalah porositas, dan permeabelitas dari batuan reservoir. Porositas adalah kemampuan untuk menyimpan, sedangkan permeabilitas yaitu kemampuan untuk melepaskan fluida tanpa merusak partikel pembentuk atau kerangka batuan. Porositas dan permeabilitias sangat erat hubungannyan sehingga dapat dikatakan bahwa permeabilitas tidak mungkin ada tanpa adanya porositas, walaupun sebaliknya belum tentu demikian (Nurwidiyanto et al. 2005). Gambaran struktur batu pasir dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9. Penampang batu pasir/sandstone (Loehardjo et al. 2007). Menurut Rachmat (2009) batuan reservoir didefinisikan sebagai suatu wadah yang di isi dan di jenuhi minyak dan/atau gas, merupakan lapisan berongga/berpori-pori. Secara teoritis semua batuan, baik batuan beku maupun batuan metaforf dapat bertindak sebagai batuan reservoir, tetapi pada kenyataan ternyata 99% batuan reservoir adalah batuan sedimen. 16

32 Batuan reservoir adalah wadah di bawah permukaan bumi yang mengandung minyak dan gas, sedangkan bila berisi air disebut aquifer. Batu pasir merupakan batuan yang penting pada reservoir maupun aquifer. Sekitar 60% dari reservoir minyak terdiri atas batu pasir dan 30% terdiri atas batu gamping dan sisanya adalah batuan lain. Menurut Rachmat (2008) temperatur reservoir merupakan fungsi dari kedalaman. Hubungan ini dinyatakan oleh gradient geothermal. Harga gradient geothermal itu berkisar antara 0.3 F/100 ft sampai dengan 4 F/100 ft. Tekanan reservoir didefinisikan sebagai tekanan fluida didalam pori-pori reservoir, yang berada dalam keadaan setimbang, baik sebelum maupun sesudah dilakukannya suatu proses produksi. Berdasarkan hasil penyelidikan, besar tekanan reservoir mengikuti suatu hubungan yang linear dengan kedalaman reservoir tersebut ke permukaan, sehingga reservoir menerima tekanan hidrostatis fluida pengisi formasi. Berdasarkan ketentuan ini, maka pada umumnya gradient tekanan berkisar antara psi/ft. Menurut Wahyono (2009) porositas adalah suatu besaran yang menyatakan perbandingan antara volume ruang kosong (pori-pori) di dalam batuan terhadap volume total batuan (bulk volume). Porositas dinyatakan dalam fraksi atau dalam persen (%). Permeabilitas didefinisikan sebagai suatu ukuran kemampuan batuan berpori untuk melalukan fluida (memindahkan dari suatu tempat ke tempat lain). Permeabilitas dinyatakan dalam Darcy atau mdarcy, 1 darcy adalah ukuran kemampuan batuan untuk melalukan fluida pada kecepatan 1cm 3 /detik dengan viskositas 1 centipoise melalui penampang pipa/pori 1 cm 2 sepanjang 1 cm, pada perbedaan tekanan sebesar 1 atmosfir. Beberapa reservoir secara alami bersifat padat dan memperlihatkan permeabilitas yang rendah yang diakibatkan oleh kandungan endapan lumpur dan lempung yang tinggi serta ukuran butiran yang kecil. Pada beberapa kasus, permeabilitas yang rendah terjadi pada daerah sekitar sumur bor yang mengalami penyumbatan selama proses pengeboran (drilling) berlangsung. Sumur yang mengalami kerusakan akibat pengeboran dan ditambah dengan reservoir yang padat akibat kandungan mineralnya memperlihatkan laju produksi yang rendah sehingga sering menjadi tidak ekonomis. Kondisi ini tetap akan ada walaupun tekanan reservoir tinggi. Pada kondisi ini, pemberian tekanan menggunakan injeksi fluida tidak akan memberikan keuntungan. Injeksi tekanan akan menjadi terlalu tinggi akibat permeabilitas reservoir yang rendah (Economides dan Nolte 1989). Menurut Koesoemadinata (1978) porositas dikelompokkan menjadi diabaikan (negligible) 0 5%, buruk (poor) 5 10%, cukup (fair) 10 15%, baik (good) 15 20%, sangat baik (very good) 20 25% dan istimewa (excellent) > 25 %. Permeabilitas beberapa reservoir dikelompokkan menjadi ketat (tight) < 5 md, cukup (fair) 5 10 md, baik (good) md, baik sekali md dan (very good) >1000 md. Menurut Allen and Robert (1993) selain porositas dan permeabelitas sifat reservoir juga dipengaruhi oleh sifat kebasahan/ wettability, wettability merupakan sifat kebasahan permukaan batuan. Batuan bersifat water-wet berarti batuan tersebut lebih mudah dibasahi oleh air daripada minyak. Demikian juga sebaliknya batuan oil-wet maksudnya batuan tersebut lebih mudah dibasahi oleh minyak daripada air. Hal ini menyebabkan batuan yang bersifat oil wet atau sifat kebasahan terhadap minyak besar menyebabkan minyak mudah terperangkap sehingga mengakibatkan residual oil. Boneau and Clampitt (1977) melakukan percobaan core flooding baik pada batuan pasir yang bersifat oil-wet dan water-wet dengan permeabilitas, porositas dan struktur pori yang sama menggunakan surfaktan dan mendapatkan recovery minyak tersier dalam range 55-65% pada batuan pasir yang bersifat oil-wet dan 90-95% pada batuan pasir yang bersifat water-wet. 17

33 Surfaktan mendesak lebih sedikit minyak dari batuan pasir yang bersifat sangat oil-wet karena tiga sampai lima kali lebih banyak jumlah sulfonat teradsorpsi pada batuan pasir yang bersifat oil-wet daripada batuan pasir yang bersifat water-wet. Menurut Kristanto (2010) prinsip dasar dari soaking surfaktan ini adalah menginjeksikan sejumlah tertentu chemical ke dalam reservoir dengan anggapan minyak yang dapat terdorong oleh air (waterflooding) akan bergerak menjauhi lubang sumur dan yang akan bereaksi hanya residual oil yang tidak terkuras/tersapu oleh air, setelah itu surfaktan yang diinjeksikan akan bekerja dan bereaksi dengan menurunkan tegangan antarmuka pada saat perendaman/soaking dilakukan karena surfaktan mempunyai kemampuan untuk menurunkan tegangan antarmuka (IFT) Fluida Reservoir Menurut Rachmat (2008) fluida reservoir terdiri dari minyak, gas dan air formasi. Minyak dan gas kebanyakan merupakan campuran rumit dari berbagai senyawa hidrokarbon, yang terdiri dari golongan naftan, paraffin, aromatik dan sejumlah kecil gabungan oksigen, nitrogen, dan belerang. Sheng (2011) menambahkan bahwa komposisi minyak sangat penting untuk alkali-surfaktan flooding karena surfaktan yang berbeda harus dipilih untuk minyak yang berbeda. Air formasi merupakan fluida reservoir yang tercampur dan terangkat bersama minyak bumi kepermukaan, bersifat asin dengan salinitas rata-rata diatas air laut, kandungan utama air formasi adalah unsur Ca (kalsium), Na (natrium), dan Chlor (Cl) yang dapat ditemukan dalam jumlah besar. Sedangkan air injeksi adalah air yang memiliki komposisi dan konsentrasi yang berbeda dengan air formasi. Air injeksi merupakan air yang telah diolah untuk diinjeksikan kembali ke dalam batuan reservoir melalui sumur injeksi untuk meningkatkan perolehan minyak pada fase sekunder/waterflooding. Perbandingan Air formasi dan air injeksi secara umum dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Contoh Kandungan Mineral Air Formasi/Injeksi Lapangan X Jenis Air Air Formasi Air Injeksi Kation mg/l mg/l Sodium Kalsium Magnesium Ferrum Anion Klorida Bikarbonat Sulfat Karbonat Total 15, , Sumber: Sugihardjo et al. (2002). Menurut Sugihardjo et al. (2002) air formasi sumur minyak di Indonesia memiliki kadar garam bervariasi antara 2000 sampai dengan ppm NaCl (b/b). Salinitas adalah besarnya kandungan garam-garam yang terdapat di dalam air formasi. Menurut Koesoemadinata dan 18

34 Speight (1980) secara garis besar minyak bumi mempunyai komposisi seperti terlihat pada Table 5. Tabel 5. Komposisi minyak bumi secara umum Komponen % Bobot Karbon 83,9-86,8 Hidrogen 11,4-14,0 Belerang 0,06-0,08 Nitrogen 0,11-1,70 Oksigen ± 0,50 Logam ± 0,03 Menurut Danesh (1998) fluida hidrokarbon minyak bumi pada reservoir dapat terdiri dari ribuan komponen. Komponen tersebut tidak bisa semua didentifikasi dan diukur. Namun, konsentrasi komponen hidrokarbon memiliki struktural kelas yang sama dan kadang-kadang di ukur dan dilaporkan sebagai suatu kelompok. 19

35 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Februari hingga Agustus 2011, dilakukan di Laboratorium Surfaktan dan Polimer - Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (Surfactant and Bioenergy Research Center-IPB), Bogor. 3.2 Alat dan Bahan Pada penelitian ini terdapat 3 pengelompokan alat yang digunakan yaitu peralatan formulasi larutan surfaktan, peralatan pengujian kinerja surfaktan, dan peralatan core flooding test. Pada tahapan formulasi surfaktan digunakan neraca analitik, sudip, magnetic stirrer, pipet, gelas piala, botol vial dan tabung erlenmeyer. Pada pengujian kinerja surfaktan peralatan yang digunakan adalah spinning drop interfacial tensiometer model TX500C, ph meter, density meter Anton Paar DMA 4500, viscometer brookfield DV-III Ultra, oven, vakum filter, pompa vakum 1.5 bar. Sementara itu pada pengujian core flooding peralatan yang digunakan adalah seperangkat core holder apparatus, soxhlet extraction cleaning system, pressure gauge, gelas ukur, pencetak core sintetik, labu pemisah, dan kompresor. Bahan yang digunakan adalah MES (metil ester sulfonat) dari stearin sawit, NaCl, NaOH, Na 2 CO 3, pasir kuarsa, semen, minyak mentah (crude oil) lapangan Ty, air formasi lapangan Ty, air injeksi lapangan Ty, toluene, core sintetik, gas nitrogen (N 2 ), filter 500 mesh, membran 0.45 µm, membran 0.22 µm. 3.3 Metode Penelitian Pembuatan Surfaktan MES dari Stearin Sawit Pembuatan surfaktan MES stearin ini mengacu pada metode sulfonasi yang telah dikembangkan oleh Hambali et al. (2009) dimana proses sulfonasi dilakukan dengan menggunakan Singletube Falling Film Reactor (STFR) dengan tinggi 6 meter dan sistem kontinyu. Gas SO 3 yang digunakan merupakan produk antara yang dihasilkan pada proses produksi di PT. Mahkota Indonesia. Produk antara yang dihasilkan ini memiliki konsentrasi 26%, sehingga dilakukan pencampuran gas SO 3 dengan udara kering (dry air) untuk menghasilkan campuran gas SO 3 dengan konsentrasi 5-7% (v/v), gas SO 3 dengan konsentrasi 5-7% diinputkan ke dalam reaktor. Proses sulfonasi dilakukan dengan rasio mol metil ester dan gas SO 3 yaitu 1:1.3 dan suhu sufonasi 100 C. proses sulfonasi ini berlangsung selama ± 3-4 jam. Kemudian dilanjutkan dengan proses aging pada suhu 90 C selama 60 menit dan pengadukan 150 rpm hingga diperoleh methyl ester sulfonic acid (MESA). MESA kemudian dinetralisasi dengan NaOH 50% hingga dihasilkan MES dengan ph netral. Diagram alir pembuatan MES dapat dilihat di Lampiran Formulasi Larutan Surfaktan MES Stearin untuk EOR Sampel surfaktan MES stearin yang diperoleh dari tahapan pembuatan surfaktan diformulasikan pada tahap ini. Formulasi ini ditujukan untuk memperoleh formula larutan 20

36 surfaktan yang terbaik, yaitu formula yang memiliki nilai terkecil/terbaik ultra-low interfacial tension (10-3 dyne/cm). Formula terpilih adalah formula yang dapat menurunkan tegangan antarmuka mencapai ultra-low interfacial tension Uji Kompatibilitas Surfaktan MES terhadap Air Injeksi Lapangan Ty Tahap awal yang perlu dilakukan adalah melihat kompatibilitas surfaktan dengan fluida reservoir, dengan mencampurkan surfaktan dengan air injeksi lapangan Ty jika bernilai positif (tidak ada gumpalan ataupun endapan), hal tersebut menunjukkan surfaktan lolos screening dan dapat dilakukan formulasi lanjut untuk mendapatkan formula surfaktan yang optimal menurunkan IFT Penentuan Konsentrasi Optimal Surfaktan MES Penentuan konsentrasi MES 0.3% didasari dari penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Hambali et al. (2009) bahwa nilai interfacial tension (IFT) terbaik/terkecil dari MES diperoleh pada tingkat konsentrasi 0.3% pada tingkat salinitas/nacl air injeksi ppm Penentuan Salinitas Optimal Larutan Surfaktan MES Formulasi tahap pertama dilakukan dengan mendapatkan nilai optimal salinitas surfaktan MES stearin sawit dalam air injeksi lapangan Ty dengan variasi salinitas air injeksi ppm, dengan interval 1000 ppm. Analisis yang dilakukan meliputi nilai tegangan antarmuka dan densitas, sampel dengan nilai IFT terkecil terpilih untuk dijadikan nilai optimal salinitas surfaktan tersebut. Pada tahap ini analisis yang dilakukan adalah IFT dan densitas larutan Penentuan Optimal Alkali Jika nilai IFT belum memenuhi nilai IFT yang diharapkan, maka dapat dilakukan pemilihan/penambahan alkali maksimal 1%, pada tahapan ini digunakan dua jenis alkali yaitu NaOH dan Na 2 CO 3, dengan variasi konsentrasi %, dengan interval 0.1%. analisis yang dilakukan meliputi tegangan antarmuka, dan densitas Uji Kinerja Formula Surfaktan MES Stearin Pengujian kinerja formula larutan surfaktan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi uji IFT (interfacial tension), uji kelakuan fasa/phase behaviour, uji ketahanan panas/thermal stability dan uji filtrasi Tegangan Antarmuka (IFT) Dengan melakukan uji IFT, kinerja formula dalam menurunkan IFT minyak-air dapat diukur dan diketahui secara cepat, formula surfaktan MES stearin yang memiliki kinerja baik adalah formula yang mampu menurunkan tegangan antarmuka/ift mencapai nilai < 10-2 dyne/cm Kelakuan Fasa/Phase Behaviour Pengujian kelakuan fasa menunjukkan jenis emulsi yang terjadi antara surfaktan dan fasa minyak, fasa yang diharapkan adalah fasa tengah/fasa III (mikroemulsi) yang mengindikasikan rancangan fluida berbaur (misicible displacement). Kelarutan minyak terhadap fasa surfaktan (emulsi) juga menjadi indikasi kinerja surfaktan. 21

37 Kestabilan Terhadap Panas/Thermal Stability Pengujian ketahanan panas/themal stability merupakan simulasi suhu reservoir sumur yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu (± 1-3 bulan), surfaktan diharapkan mampu mempertahankan nilai IFT dengan kecenderungan stabil atau peningkatan nilai IFT yang kecil, selain itu dilakukan analisa terhadap nilai viskositas dan densitas larutan selama pemanasan Uji Filtrasi/Filtration Test Pengujian filtrasi diupayakan untuk melihat laju alir fluida (air injeksi & formulasi surfaktan) dalam melewati dinding permeable dengan ukuran celah/pori tertentu yang mempresentasikan keadaan formasi/batuan reservoir yang permeabel. Diharapkan laju alir surfaktan berada pada nilai filtration rate (FR) < 1.2. Prosedur uji kinerja formula surfaktan MES stearin secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran Core Flooding Test Tahapan akhir dari penelitian ini adalah aplikasi formula larutan surfaktan untuk injeksi air tahap lanjut/enhanced water flooding berupa core flooding test Persiapan Core Sintetik & Fluida Reservoir Lapangan Ty Core sintetik merupakan batuan buatan yang diupayakan memiliki sifat-sifat batuan reservoir (porositas, permeabelitas, wettability) sehingga dapat menggantikan keberadaan core asli (native core) yang sulit didapatkan untuk berbagai keperluan pengujian. Persiapan core sintetik dan fluida reservoir lapangan Ty yang terdiri dari pembuatan core sintetik, pencucian core, pengeringan dan saturasi core dengan air formasi, penghitungan porositas dan permeabelitas core sintetik serta settling minyak bumi untuk memisahkan minyak dan air formasi serta filtrasi air injeksi dan air formasi lapangan Ty Core Flooding Core flooding test diawali dengan penginjeksian minyak bumi kedalam core sintetik yang telah disaturasi (oil flood), hingga air formasi yang berada pada pori-pori batuan terdesak dan digantikan oleh minyak secara keseluruhan. Setelah core jenuh terhadap minyak, selanjutnya core sintetik diinjeksi air injeksi (waterflood), mencapai limit/minyak yang diperoleh ± 2%. Langkah selanjutnya adalah injeksi formula larutan surfaktan MES stearin ke dalam core dengan tiga perlakuan volume injeksi surfaktan yang berbeda yaitu sebesar 0.1 PV, 0.2 PV, dan 0.3 PV, kemudian core direndam/soaking dengan lama perendaman ± 12 jam. Penentuan lama perendaman 12 jam merujuk pada penelitian yang telah dilakukan Mwangi (2008), lama perendaman selama 12 jam mampu memberikan additional recovery yang optimal. Setelah mengalami soaking, core sintetik sandstone diinjeksikan kembali dengan menggunakan air injeksi untuk menyapu minyak sisa/residual oil di dalam core hingga minyak benar-benar tidak ada yang dihasilkan. Prosedur core flooding test dapat dilihat pada Lampiran 6. Secara keseluruhan tahapan penelitian ini dapat dilihat pada diagram alir penelitian pada Gambar

38 Persiapan core sandstone sintetik Surfaktan MES dari Stearin Formulasi Core sandstone sintetik Formula larutan surfaktan Uji kinerja meliputi uji kompatibilitas, IFT, ph, densitas, viskositas, phase behaviour, thermal stability dan filtrasi Coreflooding test dengan injeksi formula larutan surfaktan sebanyak 0.1 PV, 0.2 PV dan 0.3 PV dengan lama perendaman/soaking 12 jam Air Injeksi, dan Minyak bumi Lapangan Ty Perhitungan Recovery (%) Gambar 10. Diagram alir penelitian. 3.4 Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap. Faktor yang divariasikan adalah volume larutan surfaktan. Faktor volume larutan surfaktan terdiri dari tiga taraf yaitu 0.1 PV, 0.2 PV, dan 0.3 PV. Model matematika yang digunakan adalah: Y ij = µ + α i + ε ij dengan : Y ij = Nilai recovery minyak yang diperoleh dari injeksi formula surfaktan pada taraf ke-i dan ulangan ke-j, dengan i= 1,2,3; j= 1,2 µ = Rata-rata α i = Pengaruh faktor volume larutan surfaktan yang diinjeksikan pada taraf ke-i (i = 1,2,3) έ ij = Galat percobaan pada perlakuan level ke-i ulangan ke-j Hipotesis yang diuji: H 0 = α 1 = α 2 = α 3 = 0 Volume larutan surfaktan yang diinjeksikan memberikan pengaruh yang sama terhadap incremental recovery yang dihasilkan. H 1 = Setidaknya ada satu i dengan α i 0, i=1,2,3 23

39 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Surfaktan MES dari Stearin Sawit Pembuatan surfaktan MES melalui proses sulfonasi pada penelitian ini dilakukan dengan bahan baku metil ester dari fraksi stearin. Stearin sawit merupakan salah satu hasil fraksinasi RBDPO (refined bleached and deodorized palm oil) berbentuk padat pada suhu ruang dari CPO (crude palm oil). Fraksi stearin tersebut terlebih dahulu diproses melalui proses transesterifikasi dengan mereaksikan trigliserida (stearin sawit) dengan metanol dengan menggunakan katalis KOH untuk menghasilkan metil ester (ME) stearin sawit. Diagram alir proses transesterifikasi/esterifikasi dapat dilihat pada Lampiran 2. Setelah diperoleh ME stearin, kemudian dilakukan proses sulfonasi, untuk mengubah ME menjadi surfaktan MES. Molekul trigliserida pada dasarnya merupakan triester dari gliserol dan tiga asam lemak. RBD stearin dan ME (biodiesel) stearin hasil transesterifikasi dapat dilihat pada Gambar 11 dibawah ini. Gambar 11. Stearin dan metil ester/biodiesel stearin. Proses produksi surfaktan MES Stearin Sawit dalam penelitian ini dilakukan menggunakan singletube faling film reaktor (STFR) milik Laboratorium SBRC kapasitas 250 kg/hari, berukuran tinggi 6 m dengan diameter tube 25 mm, sulfonasi dilakukan dengan reaktan gas SO 3. Instalasi STFR milik Laboratorium SBRC ini berada di PT. Mahkota Indonesia, dimana reaktan gas SO 3 diperoleh dari proses produksi H 2 SO 4 oleh PT. Mahkota Indonesia, H 2 SO 4 diperoleh melalui proses pencairan sulfur pada suhu C, kemudian dilakukan pembakaran sulfur cair dengan udara kering pada suhu C untuk menghasilkan sulfur dioksida (SO 2 ), untuk merubahnya menjadi sulfur trioksida (SO 3 ) dilakukan reaksi oksidasi SO 2 dalam empat bed converter dengan menggunakan katalis V 2 O 5 pada suhu C dan dihasilkan gas SO 3 dengan konsentrasi 25-26%. Oleh karena itu diperlukan instalasi pensuplai udara kering untuk mengencerkan gas SO 3 menjadi 4-7% agar dapat digunakan dalam proses sulfonasi metil ester. Diagram alir sulfonasi MES dapat di lihat pada Lampiran 3. Proses sulfonasi metil ester stearin sawit dilakukan pada suhu C (suhu reaktor) dan suhu umpan (feed) berupa metil ester pada proses sulfonasi diatur konstan pada suhu C. Kontak gas metil ester dengan gas SO 3 berlangsung pada laju alir 100 ml/menit. Gas SO 3 yang telah di encerkan dengan udara kering disalurkan ke dalam reaktor. Feed dipompa naik ke reaktor masuk ke liquid chamber lalu mengalir turun membentuk film (lapisan) tipis dengan ketebalan tertentu. Ketebalan yang dihasilkan sesuai dengan bentuk corong head pada reaktor. Kontak metil ester dengan gas SO 3 pada puncak reaktor STFR harus berlangsung secara kontinyu sepanjang tube dengan aliran laminar dan ketebalan film harus konstan agar reaksi yang terjadi sepanjang tube merata. Reaksi sulfonasi 24

40 berlangsung selama 3 6 jam. Reaksi sulfonasi adalah tahapan utama dalam proses pembuatan MES dimana pada proses ini ME direaksikan menjadi MESA/MES. Reaksi sulfonasi melibatkan penyisipan ion SO 3 kedalam struktur ME. Rantai karbon pada ME akan berikatan langsung dengan gugus sulfur dari SO 3 sehingga membentuk gugus RCHSO 3 HCOOCH 3. Pada molekul RCHSO 3 HCOOCH 3, gugus SO 3 bertindak sebagai gugus aktif bersifat aktif permukaan yang suka air, sementara itu ester asam lemak bersifat hidrofobik. Reaksi sulfonasi membentuk produk antara berupa MESA (methyl ester sulfonate acid). Selanjutnya, MESA yang telah dihasilkan mengalami proses aging. Proses aging berlangsung dalam reaktor aging pada suhu C selama 75 menit dengan putaran reaktor 150 rpm. Kemudian MESA mengalami proses netralisasi dengan penambahan NaOH 50%. Proses netralisasi pada suhu C selama 40 menit. Setelah proses netralisasi, diperoleh surfaktan MES (metil ester sulfonat). Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) yang dihasilkan bersifat asam dan memiliki warna gelap dan kental. Hasil sulfonasi metil ester stearin disajikan pada Gambar 12. Pengukuran ph MESA stearin sawit terukur 1.3 dan setelah proses netralisasi ph MES terukur 7.7. Gambar 12. MESA dan MES stearin sawit Selama ini surfaktan MES dimanfaatkan untuk produk sabun dan deterjen, sehingga disyaratkan produk dengan warna pucat, namun untuk aplikasi EOR tidak disyaratkan warna surfaktan yang pucat, sehingga pemucatan surfaktan MES stearin untuk aplikasi EOR tidak diperlukan. Karakteristik surfaktan MES stearin sawit dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Karakteristik surfaktan MES stearin sawit No. Karakteristik Nilai Satuan 1 Warna > A 2 Densitas g/cm 3 3 Viskositas cp 4 ph Formulasi Larutan Surfaktan MES Stearin Untuk EOR Dalam penelitian ini, formula surfaktan MES stearin diformulasikan sepenuhnya menggunakan fluida (air injeksi, air formasi, dan minyak bumi) yang berasal dari Lapangan Ty untuk mendapatkan nilai IFT terbaik dan sesuai dengan kebutuhan reservoir Lapangan Ty. Hal tersebut dikarenakan rancangan formula akan berbeda-beda untuk tiap-tiap sumur/lapangan tergantung pada kondisi geologisnya, selain itu jika formulasi dilakukan menggunakan fluida yang bukan berasal dari lapangan Ty maka hasil pengujian tersebut akan memberi hasil yang tidak sesuai/tidak valid. 25

41 Pembuatan formula merupakan tahapan awal penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan formula surfaktan yang stabil dan memenuhi ketentuan untuk dapat diaplikasikan pada lapangan. Dalam formulasi larutan MES stearin, langkah pertama adalah mengamati kompatibilitas surfaktan terhadap air injeksi Lapangan Ty (uji kompatibilitas) dengan cara melarutkan sejumlah surfaktan kedalam air injeksi, apabila surfaktan larut sempurna dan tidak terdapat presipitasi/endapan yang terbentuk, menandakan surfaktan cocok/kompatibel terhadap air injeksi/formasi lapangan Ty. Dilanjutkan dengan tahapan terstruktur dalam penentuan optimal salinitas dan optimal alkali untuk formula surfaktan, diharapkan formula tersebut mampu menurunkan tegangan antar muka minyakdriving fluid (air formasi/injeksi) mencapai nilai terrendah yang mencapai nilai ultra-low interfacial tension (< 10-2 dyne/cm). Hal ini disyaratkan karena dengan nilai IFT yang sangat rendah akan memperbesar nilai capillary number, serta merubah kondisi batuan suka minyak (oil wet) menjadi suka air (water wet) agar produksi minyak dapat mencapai potensi yang optimal. Dalam formulasi, MES stearin dilarutkan dalam air injeksi lapangan Ty dengan konsentrasi MES 0.3%. Penentuan konsentrasi MES pada 0.3% ini didasari dari penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Hambali et al. (2009) bahwa nilai tegangan antarmuka (IFT) terbaik/terkecil dari MES diperoleh pada tingkat konsentrasi 0.3% di tingkat salinitas/nacl air injeksi ppm. Dalam tahap formulasi, konsentrasi MES 0.3% surfaktan MES dari stearin sawit dilakukan pengujian nilai optimal salinitas dengan menguji nilai IFT formula MES 0.3% pada tingkat salinitas pada ppm dengan interval 1000 ppm untuk mengetahui nilai optimal yang menurunkan tegangan antar muka formula pada nilai terkecil. Penentuan optimal salinitas ditujukan untuk mendapatkan nilai salinitas optimal NaCl untuk larutan surfaktan dalam mendapatkan nilai IFT terbaik/kecil. Penentuan salinitas optimal juga dilakukan untuk melihat sejauh mana ketahanan surfaktan MES stearin terhadap pengaruh salinitas. Dalam tahap formulasi diperbolehkan penambahan alkali, alkali yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah NaOH, dan Na 2 CO 3 dengan batas penggunaan maksimal 1%. Penggunaan alkali ini bertujuan untuk membantu penurunan nilai tegangan antar muka/ift pada formula MES 0.3% pada salinitas optimal air injeksi surfaktan dengan cara menekan konsentrasi ion Ca 2+ dalam larutan dan melalui pembentukan petroleum soap dari reaksi in situ dari asam naftenat minyak bumi. Dari kedua alkali yang digunakan, dilakukan pemilihan alkali yang paling baik dan cocok terhadap larutan surfaktan MES stearin, karena belum dapat dipastikan penambahan alkali akan memberikan reaksi menurunkan atau meningkatkan nilai IFT larutan surfaktan dan minyak lapangan Ty, jika alkali yang ditambahkan dapat menurunkan IFT mencapai nilai terendah yang dapat diperoleh, maka jenis alkali tersebutlah yang terpilih dan dapat digunakan sampai batas maksimal 1%. Formula dengan nilai ultralow interfacial tension (< 10-2 dyne/cm) merupakan formula yang diharapkan dalam aplikasi EOR, formula tersebut selanjutnya akan di uji dengan menggunakan beberapa uji kinerja formula surfaktan (kelakuan fasa/phase behaviour, thermal stability, filtration test, dan core flooding test). Pengujian salinitas optimal larutan surfaktan MES stearin sawit dilakukan pada tingkat salinitas air injeksi ppm NaCl dengan interval 1000 ppm, dan minyak bumi/crude oil lapangan Ty. Dari hasil pengukuran IFT didapati penurunan nilai IFT dihasilkan dengan penambahan konsentrasi NaCl/salinitas pada larutan surfaktan MES stearin 0.3%. Nilai IFT larutan surfaktan MES stearin sebelum penambahan NaCl adalah 2.97E-02 dyne/cm, berubah menjadi 1.43E-02 dyne/cm setelah penambahan tingkat salinitas 3000 ppm. Hasil pengukuran nilai IFT ini membuktikan bahwa nilai salinitas pada tingkat tertentu mempengaruhi nilai IFT suatu larutan surfaktan. Nilai IFT pada tingkat salinitas 3000 ppm merupakan tingkat salinitas optimal dengan nilai IFT rata-rata terrendah yang diperoleh dari pengujian, sehingga nilai salinitas optimal larutan surfaktan MES stearin berada 26

42 ditingkat salinitas 3000 ppm. Pengaruh tingkat salinitas terhadap dari nilai IFT dapat di lihat pada Gambar E E-02 IFT (dyne/cm) 2.50E E E E E E Salinitas (ppm) Gambar 13. Pengaruh salinitas terhadap nilai IFT formula surfaktan MES dari stearin. Pada konsentrasi 3000 ppm nilai IFT yang berada pada nilai terendah, diduga pada konsentrasi itu elektrolit dari NaCl (ion Na + dan Cl - ) yang ditambahkan mampu menstabilkan mikroemulsi dan mempengaruhi kelakuan fasa larutan surfaktan, sehingga nilai IFT optimal dapat dicapai. Peningkatan konsentrasi NaCl (ion monovalent) berhubungan erat dengan peningkatan kekuatan ikatan ionik surfaktan MES meningkat untuk mengikat dan mengadsorpsi ion divalent Ca 2+ dan Mg 2+ dari air injeksi kedalam micelle melalui pertukaran kation. Penambahan konsentrasi salinitas NaCl lebih tinggi dari 3000 ppm tidak menyebabkan nilai IFT surfaktan MES menjadi lebih rendah daripada nilai yang dicapai pada 3000 ppm, hal tersebut menandakan konsentrasi NaCl optimal pada 3000 ppm. Demikian pula dengan nilai densitas, penambahan tingkat salinitas yang makin besar akan meningkatkan nilai densitas formula. Nilai densitas menyatakan kerapatan antar molekul dalam suatu material yang didefinisikan sebagai rasio (perbandingan) antara massa dan volume material (g/cm 3 ). Grafik nilai densitas larutan surfaktan pada tahap salinitas optimal dapat dilihat pada Gambar Densitas (gram/cm 3 ) Salinitas (ppm) Gambar 14. Pengaruh salinitas terhadap densitas larutan surfaktan MES stearin dalam air injeksi Lapangan Ty. Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa peningkatan salinitas berbanding lurus dengan nilai densitas larutan surfaktan. Semakin tinggi tingkat salinitas yang digunakan maka semakin tinggi pula nilai densitas yang dihasilkan oleh larutan surfaktan. Peningkatan densitas mengindikasikan telah 27

43 terjadinya peningkatan bobot molekul akibat adanya pengikatan senyawa lain. Nilai densitas larutan surfaktan MES stearin 0.3% tanpa penambahan salinitas/nacl memiliki densitas gr/cm 3, dan terjadi kenaikan nilai densitas larutan pada penambahan salinitas pada ppm dengan interval 1000 ppm dihasilkan densitas larutan yang berada pada kisaran nilai gr/cm 3. Kenaikan densitas larutan surfaktan akibat penambahan salinitas berpengaruh terhadap peningkatan nilai IFT formula, dikarenakan perbedaan densitas antara larutan surfaktan dan densitas minyak yang semakin besar saat pengukuran nilai IFT. Perbedaan densitas antara fasa dua fasa tersebut menyebabkan nilai IFT yang terukur makin meningkat dengan mengikuti persamaan Y=1/4.w 2.D 3.Δρ, dimana y= IFT (dyne/m), w= kecepatan angular (rpm), D= radius droplet pada axis (m), dan Aρ=perbedaan densitas antara dua fasa (kg/m 3 ). Tahapan selanjutnya adalah tahap pemilihan alkali, dilakukan dengan mengkombinasikan alkali NaOH (natrium hidroksida) atau Na 2 CO 3 (natrium karbonat) ke dalam larutan MES stearin 0.3% pada optimal salinitas. Diharapkan dengan penambahan diantara kedua alkali tersebut, diharapkan menghasilkan nilai IFT formula surfaktan MES stearin yang sangat rendah yang mengindikasikan surfaktan MES memiliki kinerja yang baik. Kinerja yang baik tersebut didasarkan pada kombinasi dari alkali dan surfaktan (alkaline-surfactant flooding) yang memungkinkan surfaktan dan alkali yang mampu untuk bekerja dengan sinergis dalam menurunkan IFT. Dari hasil pengukuran nilai IFT, penambahan NaOH menghasilkan nilai IFT pada kisaran 2.67E E-01 dyne/cm, sementara penambahan Na 2 CO 3 menghasilkan kisaran IFT yang lebih rendah yaitu 7.88E E- 02 dyne/cm, berdasarkan nilai IFT yang dihasilkan, disimpulkan bahwa alkali baik yang cocok untuk dikombinasikan pada surfaktan MES stearin adalah Na 2 CO 3, grafik hasil pengukuran nilai IFT terhadap alkali NaOH dan Na 2 CO 3 dapat dilihat pada Gambar 15 dan Gambar E E-01 IFT (dyne/cm) 2.00E E E E E Konsentrasi NaOH (%) Gambar 15. Pengaruh alkali NaOH pada berbagai konsentrasi terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES stearin pada salinitas 3000 ppm. Dari hasil pengukuran diketahui bahwa nilai IFT seperti pada Gambar 15, dari grafik menunjukkan bahwa penambahan NaOH memberikan efek meningkatnya nilai IFT ketika penambahan konsentrasi NaOH dalam larutan surfaktan. Berbeda halnya dengan penambahan alkali Na 2 CO 3, pengukuran nilai IFT memberikan hasil yang lebih rendah nilai IFT tersebut telah memenuhi nilai IFT yang diharapkan untuk formulasi surfaktan untuk EOR (10-3 dyne/cm). Hasil pengujian terhadap larutan surfaktan MES stearin yang ditambahkan alkali Na 2 CO 3 dapat dilihat di Gambar 13 dibawah ini. 28

44 IFT (dyne/cm) 1.60E E E E E E E E E Konsentrasi Na 2 CO 3 (%) Gambar 16. Pengaruh alkali Na 2 CO 3 pada berbagai konsentrasi terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES stearin pada salinitas 3000 ppm. Grafik perbandingan pengukuran nilai IFT kedua alkali tersebut dapat dilihat pada Gambar E E-01 IFT (dyne/cm) 2.00E E E E-02 Natrium Hidroksida Natrium Karbonat 0.00E Konsentrasi (%) Gambar 17. Grafik perbandingan penambahan alkali NaOH dan Na 2 CO 3 terhadap nilai IFT larutan MES stearin pada salinitas 3000 ppm. Dari Gambar 17 di atas menunjukkan perbandingan pengaruh peningkatan konsentrasi alkali (Na 2 CO 3 /NaOH) pada larutan surfaktan MES stearin terhadap nilai IFT yang dihasilkan, hasil pengukuran IFT pada tingkat konsentrasi yang sama memberikan nilai IFT yang berbeda. Nilai IFT lebih rendah diperoleh dari penambahan Na 2 CO 3, sedangkan dengan penambahan NaOH nilai IFT cenderung meningkat pada tiap peningkatan konsentrasi. Dari hasil perbandingan nilai IFT tersebut dapat disimpulkan bahwa penambahan Na 2 CO 3 dapat membantu menurunkan nilai IFT larutan surfaktan MES stearin dalam air injeksi lapangan Ty. Nilai terendah yang didapat dari penambahan konsentrasi optimal Na 2 CO 3 berada pada konsentrasi 0.1 % dengan nilai IFT rata-rata yang dihasilkan mampu mencapai 7.88E-03 dyne/cm, lebih rendah dibanding nilai tegangan antarmuka terbaik sebelum penambahan alkali, yaitu sebesar 1.43E-02 dyne/cm. Penambahan konsentrasi Na 2 CO 3 lebih tinggi dari 0.1% tidak berdampak pada penurunan nilai IFT, bahkan nilai IFT cenderung mengalami peningkatan. Dari hasil pengukuran nilai IFT tersebut dapat disimpulkan bahwa konsentrasi optimal alkali Na 2 CO 3 berada pada 0.1%, dan formula larutan surfaktan MES stearin terpilih adalah larutan 29

45 surfaktan MES dengan konsentrasi 0.3%, pada salinitas 3000 ppm NaCl, dan alkali 0.1% Na 2 CO 3, karena memiliki nilai IFT terbaik. Salinitas optimal pada 3000 ppm membuat surfaktan MES stearin dapat digolongkan kedalam surfaktan yang memiliki kemampuan optimal pada tingkatan low salinity (< ppm), hal tersebut membuat surfaktan MES stearin tidak membutuhkan banyak NaCl untuk mengkondisikan formula pada salinitas optimalnya (ekonomis). Begitupula dengan pada optimal alkali, hasil pengujian menunjukkan bahwa penambahan 0.1% Na 2 CO 3 merupakan kombinasi konsentrasi optimal alkali untuk larutan surfaktan, sehingga formula dapat dikatakan merupakan formula yang ekonomis namun memiliki kinerja baik dalam menurunkan nilai IFT. Sama halnya dengan peningkatan nilai densitas yang terjadi pada peningkatan konsentrasi NaCl/salinitas, dengan peningkatan konsentrasi alkali yang digunakan (Na 2 SO 3 dan NaOH) berdampak pada peningkatan densitas. Peningkatan densitas larutan surfaktan diakibatkan penambahan bobot molekul formula dari konsentrasi alkali yang juga meningkat. Penambahan konsentrasi NaOH kedalam larutan MES stearin menyebabkan peningkatan ph yang cukup besar berkisar , hal tersebut dikarenakan NaOH merupakan basa kuat yang memiliki alkalinitas yang tinggi sehingga ketika dilarutkan akan meningkatkan kekuatan ionik larutan dan meningkatkan ph larutan, dan menghasilkan kisaran densitas berkisar gr/cm 3. Sementara itu penambahan Na 2 CO 3 menghasilkan larutan kisaran ph lebih rendah dari ph yang dihasilkan oleh NaOH pada larutan serta menghasilkan densitas larutan yang juga lebih kecil yang berkisar pada gr/cm 3. Hasil pengukuran densitas larutan surfaktan MES stearin terhadap konsentrasi penambahan alkali dapat dilihat pada Gambar 18. Densitas (gram/cm 3 ) Konsentrasi Alkali (%) Natrium Hidroksida Natrium Karbonat Gambar 18. Pengaruh konsentrasi alkali terhadap densitas larutan surfaktan MES stearin. Dari Gambar 18 diketahui bahwa penambahan NaOH menyebabkan kenaikan densitas yang lebih besar dibandingkan dengan penambahan Na 2 CO 3. Faktor densitas merupakan salah satu parameter yang dapat mempengaruhi nilai IFT antara fasa minyak dan larutan surfaktan, hal ini berkaitan dengan selisih densitas antara fasa minyak dan surfaktan. Semakin kecilnya perbedaan densitas kedua fasa maka nilai IFT cenderung menghasilkan nilai IFT yang rendah. 4.3 Uji Kinerja Formula Surfaktan MES Uji Kompatibilitas (Compatibility Test) Uji kompatibilitas merupakan uji kinerja paling awal untuk mengetahui apakah suatu jenis surfaktan compatible dengan air injeksi/formasi suatu reservoir dan menjadi salah satu pertimbangan terpenting dalam pemilihan surfaktan untuk aplikasi EOR. Idealnya, surfaktan akan larut sempurna dan membentuk larutan yang jernih dengan air injeksi. Uji kompatibilitas 30

46 dinyatakan positif/baik apabila surfaktan dan air injeksi dapat bercampur sempurna tanpa terjadi gumpalan pada larutan. Dan bernilai negatif/tidak dapat digunakan sebagai formula surfaktan pada EOR, jika terjadi presipitasi atau tidak bercampur. Hasil pengujian menunjukkan bahwa surfaktan MES stearin terhadap air injeksi Lapangan Ty memiliki hasil uji compatibility yang positif. Dibuktikan dengan tidak adanya presipitasi/endapan yang terbentuk, ini menunjukkan surfaktan dapat larut sempurna. Hasil pengujian kompatibilitas surfaktan MES stearin sawit dapat dilihat pada Gambar 19. (a) (b) (c) a) Surfaktan MES 0.3% pada air injeksi Lapangan Ty b) Surfaktan pada salinitas optimal 3000 ppm c) Surfaktan pada penambahan alkali 0.1% Na 2 CO 3 Gambar 19. Tampilan hasil uji kompatibilitas surfaktan terhadap air injeksi Lapangan Ty. Surfaktan yang tidak larut sempurna atau mengindikasikan terbentuknya endapan dengan sendirinya atau disebabkan oleh komponen lain dalam air injeksi yang membentuk padatan terlarut tidak dapat digunakan sebagai surfaktan untuk aplikasi EOR. Hal tersebut dikarenakan selain hilangnya materi yang berguna, beberapa endapan memungkinkan penyumbatan atau menyebabkan plugging pada sumur injeksi yang dapat menyebabkan kerusakan reservoir/formation damage. Oleh karena itu kompatibilitas surfaktan yang akan digunakan merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk menentukan surfaktan yang sesuai sebagai surfaktan untuk surfaktan enhanced water flooding, jika kompatibel/positif dan dapat dilakukan pengujian lebih lanjut terhadap larutan MES untuk mengetahui kinerjanya Uji Kestabilan terhadap Panas (Thermal Stability) Uji kestabilan panas/thermal stability dilakukan untuk mengetahui ketahanan formula surfaktan terhadap suhu terutama kestabilan nilai IFT formula surfaktan, densitas, serta viskositas pada temperatur reservoir Lapangan Ty. Uji ini dilakukan dalam temperatur reservoir lapangan Ty yaitu pada suhu 70 C. Nilai IFT yang cenderung stabil mengindikasikan bahwa formula surfaktan tersebut akan dapat mempertahankan kinerjanya dalam menurunkan tegangan antarmuka di dalam reservoir yang memiliki temperatur cukup tinggi seperti Lapangan Ty, disamping banyak faktor lain yang dapat mengurangi kinerja surfaktan ketika didalam reservoir, seperti adsorpsi batuan reservoir. Dalam pengujiannya larutan formula surfaktan MES stearin dimasukkan dalam tabung/ampul yang ditutup rapat dan dikondisikan pada suhu reservoir Lapangan Ty dengan menggunakan oven, dan sampel diambil pada hari ke 1, 3, 7, 14, 30 untuk diukur nilai IFT-nya. Hasil pengamatan nilai IFT formula selama uji thermal stability dapat dilihat pada Gambar

47 3.00E E-01 IFT (dyne/cm) 2.00E E E E E Durasi pengamatan (hari) Gambar 20. Hasil pengujian IFT pada uji thermal stability. Berdasarkan pada Gambar 20 di atas diketahui bahwa terjadi peningkatan nilai IFT dan peningkatan cukup besar pada hari ke 14 yang menyebabkan fluktuasi nilai IFT yang dihasilkan. Seharusnya nilai IFT yang dihasilkan memiliki kecenderungan stabil, penurunan atau peningkatan seiring dengan lama pemanasan, peningkatan IFT ini dikarenakan terjadinya kerusakan sampel yang di akibatkan oleh adanya oksigen didalam tabung sampel selama uji thermal stability. Fluktuasi hasil pengujian nilai IFT dapat disebabkan oleh sampel yang tidak homogen. Degradasi sampel surfaktan pada uji kestabilan terhadap panas dapat juga diketahui dengan melakukan uji viskositas. Viskositas merupakan suatu sifat fluida yang dipengaruhi oleh ukuran dan gaya antar molekul fluida tersebut. Viskositas menunjukkan tingkat kekentalan suatu fluida. Semakin tinggi nilai viskositas maka semakin tinggi pula tingkat kekentalan suatu fluida, yang mengindikasikan berubahnya struktur dan ikatan antar molekul surfaktan. Terikatnya gugus sulfonat pada MES selama proses formulasi menyebabkan formula surfaktan memiliki ukuran molekul yang lebih besar. Ukuran molekul yang lebih besar berpengaruh terhadap nilai viskositas yang lebih tinggi dibandingkan dengan air injeksi Ty (sebagai pelarut). Pengukuran nilai viskositas sampel dilakukan untuk mengetahui pengaruh nilai viskositas larutan surfaktan selama uji kestabilan panas dilakukan. Pengaruh lama pemanasan terhadap nilai viskositas dapat dilihat pada Gambar 21. Viskositas (cp) Durasi pengamatan (hari) Gambar 21. Hasil pengujian viskositas formula dalam uji thermal stability. Dari Gambar 16 terlihat peningkatan nilai viskositas cukup tinggi terjadi pada pengukuran nilai viskositas pada hari ke-7, dan kemudian nilai viskositas mulai stabil pada hari 32

48 ke 14 hingga hari ke 30. Peningkatan nilai viskositas menunjukkan hubungan terhadap nilai IFT larutan, peningkatan nilai IFT larutan surfaktan MES stearin terhadap pemanasan dibarengi dengan peningkatan nilai viskositas larutan yang menandakan struktur surfaktan MES stearin selama pemanasan mengalami perubahan. Sifat densitas suatu fluida juga memiliki hubungan dengan viskositas larutan, dimana semakin rendah nilai densitas maka semakin rendah pula nilai viskositas suatu fluida. Pengaruh pemanasan terhadap nilai densitas formula dalam uji thermal stability dapat dilihat pada Gambar 22. Densitas (g/cm 3 ) Durasi pengamatan (hari) Gambar 22. Hasil pengujian densitas formula dalam uji thermal stability. Dari Gambar 22 disimpulkan bahwa nilai densitas larutan surfaktan MES stearin cenderung stabil terhadap temperatur reservoir lapangan Ty, ditandai dengan nilai densitas larutan surfaktan MES stearin yang relatif konstan pada saat sebelum pemanasan hingga pengukuran densitas larutan pada hari ke 21, penurunan nilai densitas mulai terjadi pada pengukuran densitas pada pengamatan hari ke-30. Hal tersebut mengindikasikan tidak adanya perubahan bobot molekul yang dapat saja terjadi karena degradasi oleh panas Uji Kelakuan Fasa (Phase Behaviour) Berdasarkan pengamatan visual terhadap kelakuan fasa campuran antara minyak bumi dan formula surfaktan MES stearin pada suhu reservoir (70 C), disimpulkan bahwa terbentuk mikroemulsi fasa bawah/tipe II (-), seperti pada hasil pengamatan pada Gambar 23. T 0 T 7 T 14 T 21 T30 Gambar 23. Uji phase behaviour T0, T7, T14, T21, T30. 33

49 Dari hasil pengamatan visual diatas, dapat dilihat bahwa mikroemulsi terbentuk pada fasa bawah ditandai dengan berlebihnya larutan surfaktan pada campuran minyak dan surfaktan menunjukkan bahwa jenis mikroemulsi fasa bawah/tipe II (-), yang mengindikasikan bahwa larutan surfaktan berada pada tingkat salinitas rendah (low salinity), selain mengindikasikan tingkat salinitas yang rendah, hal tersebut juga diduga terjadi karena faktor karakteristik minyak dan surfaktan MES stearin itu sendiri. Dari gambar diketahui bahwa pada hari ke-0 dari kedua tabung A dan B yang diamati, belum terbentuk fasa antara larutan surfaktan dengan minyak. Proporsi jumlah larutan surfaktan dan minyak masih sama yaitu 2.5 ml. Lain halnya pada hari ke-7 dimana telah terjadi excess water yang ditandai dengan penambahan volume larutan surfaktan pada tabung A sebesar 0.15 ml dan pengurangan volume minyak sebesar 0.15 ml pula, sedangkan penambahan volume fasa surfaktan pada tabung B sebesar 0.05 ml begitu pula dengan pengurangan volume minyak. Penambahan volume tersebut menandakan telah terbentuk fasa bawah. Pada pengamatan visual hari ke-14 tidak terjadi perubahan apapun dari hari ke-7 sehingga masih terbentuk fasa bawah hingga hari ke-14 dan begitu pula pada pengamatan hari ke-21 dan ke-30. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kinerja larutan surfaktan yang kurang baik hingga hari ke-30. Pada uji ini juga dilihat rasio kelarutan minyak dan air terhadap lama pemanasan dari penghitungan tampak dari pipet-pipet pengujian phase behaviour. Kelarutan minyak ditentukan oleh volume minyak dari volume surfaktan dalam mikroemulsi. Rasio kelarutan minyak digunakan untuk kelakuan fasa tipe I dan tipe III. Selama 30 hari pengamatan yang telah dilakukan diketahui bahwa kelakuan fasa yang terbentuk adalah fasa bawah. Pada fasa bawah hanya terbentuk dua fasa yaitu fasa air dan fasa minyak. Oleh karena itu, diihat kelarutan minyak terhadap lama pemanasan. Berikut ini Gambar 24, yang menampilkan grafik hubungan antara kelarutan minyak (Po) terhadap lama pemanasan : Kelarutan (Po) Durasi pengamatan (hari) Gambar 24. Grafik kelarutan minyak-surfaktan dalam phase behaviour. Berdasarkan Gambar 24 di atas diketahui bahwa kelarutan minyak (Po) meningkat dan kemudian stabil. Kelarutan yang stabil tersebut mengindikasikan bahwa mikroemulsi telah optimal. Kelarutan minyak tersebut menunjukkan kinerja formula surfaktan yang baik karena formula surfaktan mampu membentuk mikroemulsi. 34

50 4.3.4 Uji Filtrasi (Filtration Test) Didalam reservoir surfaktan akan melewati membran permeabel pori-pori batuan reservoir untuk bergerak dan menyapu residual oil karena desakan dari sumur injeksi, hal tersebut memungkinkan surfaktan untuk melewati pori-pori batuan yang bersifat heterogen yang memiliki permeabilitas berbeda yang mempengaruhi kecepatan aliran atau memperlambat laju alir surfaktan dalam menyebar. Untuk mengantisipasi itu dilakukan uji filtrasi dalam upaya melihat kemampuan surfaktan dalam melewati membran semi permeabel yang dalam pengujian ini dilakukan dengan menggunakan instrument saring dan kertas saring membran dalam berbagai ukuran. Uji filtrasi yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan menggunakan filter 500 mesh, kertas saring 21 µm, membran 0.45 µm, dan terakhir kertas saring membran 0.22 µm, yaitu dengan cara mencatat waktu yang diperlukan untuk melewatkan sejumlah fluida melalui masing-masing media saring tersebut. Selain larutan formula surfaktan, air injeksi juga diukur sebagai pembanding. Pengujian ini dilakukan terhadap dua jenis fluida yaitu air injeksi dari lapangan Ty dan formula larutan surfaktan. Hasil pengujian dari kedua fluida tersebut dengan menggunakan filter 500 mesh, dapat dilihat pada Gambar Volume (ml) Air Injeksi Surfaktan Waktu Alir (detik) Gambar 25. Grafik filtrasi menggunakan filter 500 mesh pada suhu ruang. Berdasarkan grafik di atas garis air injeksi yang terbentuk cenderung mendatar yang mempunyai kemiringan tidak konstan, yang berarti memiliki kecendrungan penyumbatan. Sedangkan garis surfaktan menunjukkan kemiringan slope yang konstan hal ini berarti molekul-molekul surfaktan tidak menyumbat filter. Laju alir formula larutan surfaktan tercatat lebih cepat dibandingkan dengan laju alir air injeksi dari Lapangan Ty pada filter 500 mesh dan berdasarkan tabel pada Lampiran 9 diketahui bahwa nilai Fr yang dimiliki oleh formula larutan surfaktan lebih kecil dibandingkan dengan nilai Fr yang dimiliki oleh air injeksi dari lapangan Ty, nilai Fr yang dihasilkan air injeksi lapangan Ty sebesar sedangkan formula larutan surfaktan yaitu 2.39, walau begitu formula larutan surfaktan dikatakan masih memiliki kinerja kurang baik karena nilai Fr yang dihasilkan belum mencapai < 1.2. Kedua hal tersebut membuktikan bahwa surfaktan menurunkan tegangan antar muka sehingga lebih mudah mengalir pada suatu media. Selain itu, diketahui juga air injeksi dari lapangan Ty memiliki butiran yang lebih banyak dibandingkan dengan formula larutan surfaktan. 35

51 Filtrasi menggunakan kertas saring 21 µm pada suhu ruang telah dilakukan. Grafik perbandingan antara air injeksi dari lapangan Ty dan formula larutan surfaktan tersaji pada Gambar 26 sedangkan tabel perbandingan antara air injeksi dari lapangan Ty dan formula larutan surfaktan tersaji pada Lampiran Volume (ml) Air Injeksi Surfaktan Gambar 26. Grafik filtrasi menggunakan kertas saring 22 µm pada suhu ruang. Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa laju alir formula larutan surfaktan lebih lambat dibadingkan dengan laju alir air injeksi dari lapangan Ty sedangkan berdasarkan tabel pada Lampiran 10 diketahui bahwa nilai Fr yang dimiliki oleh formula larutan surfaktan lebih kecil dibandingkan dengan nilai Fr yang dimiliki oleh air injeksi dari lapangan Ty yaitu 3.17 serta nilai Fr yang dihasilkan formula larutan surfaktan yaitu 1.35 sehingga formula larutan surfaktan dikatakan memiliki kinerja baik telah mendekati nilai Fr yang diharapkan < 1.2. Filtrasi menggunakan membran 0.45 µm pada suhu ruang telah dilakukan. Grafik perbandingan antara air injeksi dari lapangan Ty dan formula larutan surfaktan tersaji pada Gambar 27 sedangkan tabel perbandingan antara air injeksi dari lapangan Ty dan formula larutan surfaktan tersaji pada Lampiran Waktu Alir (detik) Volume (ml) Air Injeksi Surfaktan Waktu Alir (detik) Gambar 27. Grafik filtrasi menggunakan membran 0.45 µm pada suhu ruang. Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa laju alir formula larutan surfaktan lebih lambat dibandingkan dengan laju alir air injeksi dari lapangan Ty sedangkan berdasarkan tabel pada Lampiran 11, nilai FR yang dimiliki oleh air injeksi dari lapangan Ty serta nilai Fr yang 36

52 dihasilkan formula larutan surfaktan hampir setara yaitu 6.42 dan 7.63 sehingga walau demikian kinerja formula surfaktan kurang baik karena nilai Fr yang dihasilkan masih > 1.2. Laju alir formula surfaktan lebih lambat dikarenakan formula tersebut memiliki miscella yang tidak tersaring pada kertas saring 21 µm. Miscella ini menempel dan menyumbat kertas saring yang berpori-pori lebih kecil sehingga memperlambat laju alir formula larutan surfaktan. Filtrasi menggunakan membran 0.22 µm pada suhu ruang telah dilakukan. Grafik perbandingan antara air injeksi dari lapangan Ty dan formula larutan surfaktan tersaji pada Gambar 28 sedangkan tabel perbandingan antara air injeksi dari lapangan Ty dan formula larutan surfaktan tersaji pada Lampiran Volume (ml) Air Injeksi Surfaktan Waktu Alir (detik) Gambar 28. Grafik filtrasi menggunakan membran 0.22 µm pada suhu ruang. Berdasarkan grafik pada Gambar 28 di atas diketahui bahwa laju alir formula larutan surfaktan lebih cepat dibandingkan dengan laju alir air injeksi dari lapangan Ty dan berdasarkan tabel pada Lampiran 9 diketahui bahwa nilai Fr yang dimiliki oleh air injeksi lapangan Ty adalah 0.98 lebih kecil dibandingkan dengan nilai Fr yang dihasilkan formula larutan surfaktan yaitu 1.49 sehingga formula larutan surfaktan dikatakan memiliki kinerja cukup baik karena mendekati nilai Fr yang diharapkan yaitu < 1.2. Kedua hal tersebut membuktikan bahwa surfaktan menurunkan tegangan antar muka sehingga lebih mudah mengalir pada suatu media. Selain itu, diketahui juga air injeksi dari lapangan Ty memiliki butiran yang lebih banyak dibandingkan dengan formula larutan surfaktan. Berdasarkan grafik hasil filtrasi menggunakan berbagai jenis ukuran membran seperti di atas diketahui bahwa hasil uji filtrasi terhadap air injeksi lapangan Ty dan surfaktan memiliki perbedaan, uji filtrasi air injeksi menunjukkan kemiringan garis (slope) yang relatif konstan. Hal ini berarti air injeksi tidak mengakibatkan adanya penyumbatan. Berbeda dengan formula surfaktan tidak sama dengan air injeksi, garis (slope) yang terbentuk cenderung mendatar, berarti mempunyai harga kemiringan yang tidak konstan, yang berarti ada kecenderungan terjadi penyumbatan molekul-molekul surfaktan saat melewati membran. Kemungkinan hal ini akan terjadi juga pada saat core flooding melewati batuan berpori yang tentunya sangat tidak diharapkan. Kemiringan slope tersebut juga berarti laju filtrasi terhadap surfaktan kecil, dan memiliki nilai FR (filtration rate) yang besar dibandingkan dengan nilai Fr yang dimiliki oleh air injeksi dari lapangan Ty. Nilai Fr yang dihasilkan formula larutan surfaktan dan air injeksi pada uji filtrasi dengan menggunakan kertas saring dapat dilihat pada Tabel 7. 37

53 Saring Tabel 7. Nilai FR hasil uji filtrasi Nilai Filtration Rate (FR) Air Injeksi Formula Surfaktan Filter 500 mesh Membran 21 µm Membran 0.45 µm Membran 0.22 µm Laju alir formula surfaktan lebih lambat dikarenakan formula surfaktan memiliki bahan terlarut/miscella yang tersaring dan menutupi pori membran, miscella ini menempel dan menyumbat membran yang berpori-pori sehingga laju alir formula larutan surfaktan sedikit terhambat. Untuk mengamati perubahan nilai IFT larutan setelah melewati membran maka dilakukan pengujian IFT, sampel surfaktan yang telah melewati membran menunjukkan nilai IFT yang cenderung meningkat ketika melewati membran yang memiliki ukuran pori lebih kecil. Hasil pengujian nilai IFT tersebut dapat dilihat pada Gambar E E E-01 IFT (dyne/cm) 3.00E E E E E E E E E E E-02 tanpa saring 500 mesh membran 21 µm membran 0.45 µm membran 0.22 µm Media Filtrasi Gambar 29. Pengaruh perlakuan filtrasi terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES stearin. Dari Gambar 29 menunjukkan bahwa nilai IFT semakin membesar dengan semakin kecilnya pori membran yang digunakan. Naiknya nilai IFT larutan surfaktan yang disaring dengan kertas saring membran 21 µm, 0.45µm, 0.22µm diduga karena penggunaan membran yang terbuat dari nitrat selulosa, yang memiliki kecenderungan untuk menyerap bahan-bahan yang berminyak seperti surfaktan. Membran nitrat selulosa memiliki karakteristik ukuran poripori yang homogen, kuat dan stabil yang mampu menyaring dan menahan bahan terlarut (extractables) dengan baik. Kemampuan membran tersebut memungkinkan sejumlah tertentu bahan terlarut yang terkandung didalam fluida tertahan pada membran. Pengujian ini dapat mengilustrasikan core sintetik yang memiliki permebilitas tertentu yang memiliki kemampuan meloloskan fluida dan bahan terlarut didalamnya. Jika penyumbatan terjadi pada membran yang digunakan dalam filtrasi sehingga membuat laju alir larutan terhambat, kemungkinan hal tersebut juga akan terjadi pada injeksi didalam reservoir dan dapat menjadi faktor kerusakan formasi/formation damage. Sehingga pengujian larutan surfaktan harus memiliki nilai laju alir penyaringan yang baik sebelum diaplikasikan. 38

54 Pengamatan terhadap perubahan ukuran dan bentuk molekul surfaktan dari perlakukan penyaringan dilakukan untuk mengetahui karakteristik dan bentuk molekul yang diambil pada tiap filtrasi yang dilakukan. Pengamatan molekul surfaktan dilakukan dengan menggunakan mikroskop, Hasil pengamatan tersebut dapat dilihat pada Gambar 30. (a) (b) (c) (d) (e) Gambar 30. Hasil pengamatan molekul surfaktan MES stearin sawit setelah uji filtrasi. (a) Sebelum penyaringan, (b) Setelah penyaringan 500 mesh. (c) Setelah penyaringan 0.45µm, (d) Setelah penyaringan 0.45µm. (e ) Setelah penyaringan 0.22 µm. Dari pengamatan larutan surfaktan MES hasil uji filtrasi menggunakan mikroskop, dapat diamati bahwa ukuran micelle/droplet emulsi larutan surfaktan MES stearin yang dapat diamati berkisar antara 24-78µm, micelle terjadi karena reaksi surfaktan-bahan berminyak. 4.4 Core Sandstone Sintetik dan Fluida Reservoir Lapangan Ty Untuk melakukan uji core flood diperlukan contoh/sampel minyak, batuan dan fluida reservoir dari struktur tersebut. Percontohan/sampel minyak, air formasi, dan air injeksi diambil dari sumur lapangan Ty. Sedangkan percontohan batuan dari struktur reservoir/native core tersebut tidak ada, oleh karena itu sebagai penggantinya dibuatkan batu buatan (core sintetik) yang dirancang dari 39

55 struktur yang terdekat untuk memiliki sifat/karakteristik yang hampir/mendekati native core. Komposisi dari sampel native core diketahui menunjukkan dominan kuarsa (sandstone) sehingga core sintetik dibuat dengan bahan pasir kuarsa. Sampel fluida dan batuan lapangan Ty dapat dilihat pada Table 8. Tabel 8. Batuan dan fluida reservoir Lapangan Ty Fluida pada suhu 70 C Salinitas Air Formasi 2526 mg/l Densitas Minyak gr/cm 3 Densitas Air Injeksi gr/cm 3 Densitas Air Formasi gr/cm 3 Viskositas Air Injeksi 1.08 cp Viskositas Minyak 0.66 cp Batuan Reservoir (Native core) Tipe Batuan Batu pasir/sandstone Porositas 20-24% Permeabilitas md Wettability Water-wet Persiapan Core Sandstone Sintetik Dalam penelitian ini core sintetik yang diperisapkan adalah core sintetik batu pasir (sandstone) yang diusahakan memiliki porositas berkisar 22-30%, kisaran porositas tersebut dibuat berdasarkan porositas batuan asli/native core dari reservoir lapangan Ty. Pada uji core flooding, formula surfaktan akan diinjeksikan untuk memperoleh/menyapu residual oil yang tersisa setelah tahap waterflood. Oleh karena pengukuran semakin akurat jika core sintetik dapat menyerupai batuan reservoir aslinya, sehingga pengujian dapat mendeskripsikan kondisi yang sebenarnya pada lapisan reservoir lapangan Ty. Dalam pembuatan core sintetik lapangan Ty digunakanlah pasir kuarsa sebagai bahan utama pembuat core sintetik, dibantu dengan perekat semen (perbandingan pasir kuarsa dan semen adalah 5:2). Core sintetik sandstone Lapangan Ty yang dicetak memiliki diameter ratarata 2.3 cm dan panjang 3.1 cm. Diagram alir pembuatan core sintetik dapat dilihat pada Lampiran 4. Contoh core sintetik yang telah dibuat dapat dilihat pada Gambar 31. Gambar 31. Core sintetik batu pasir/sandstone. Sebelum digunakan, core sintetik dicuci terlebih dahulu untuk menghilangkan pengotor dari core sintetik yang telah dibuat, pengotor-pengotor tersebut dapat berupa debu, silika, sisa 40

56 semen, kandungan air, dll. Pencucian tersebut dilakukan dengan pelarut toluene, dengan menggunakan distilasi metode soxhlet, sehingga core sintetik yang dibersihkan terendam dan tercuci berulang kali untuk memastikan pengotor terbawa dengan toluene ke bawah dan lepas dari core. Penggunaan toluene sebagai pelarut didasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan Mwangi (2008) karena kemampuan toluene dalam menghilangkan senyawa hidrokarbon, silika, termasuk aspal, dan pengotor lainnya dengan baik dan mengembalikan wettability batuan. Pencucian ini memerlukan waktu kurang lebih 8 jam untuk menghasilkan core yang bebas pengotor. Setelah pencucian ini core sintetik tersebut dikeringkan di dalam oven, dan setelah itu diukur volumenya. Setelah diukur volume dan bobot keringnya, core kemudian dijenuhkan/saturasi, penjenuhan core dilakukan dua tahap, tahap pertama penjenuhan adalah tabung vakum yang telah diisi core di dalamnya selama 2 jam untuk menghilangkan kemungkinan adanya uap air di dalam tabung vakum, dan setelah itu core sintetik dijenuhkan/disaturasi dengan ditetesi oleh air formasi lapangan Ty untuk menghasilkan core yang jenuh/membuat tiap rongga (pore) dalam core terisi oleh air formasi, tujuannya agar core tersebut memiliki sifat batuan di dalam reservoir lapangan Ty yang jenuh terhadap air formasi. Pensaturasian membutuhkan waktu yang cukup lama, minimal 6 jam, semakin lama disaturasi maka core sintetik akan semakin jenuh dan baik. Dari hasil pengukuran volume, bobot kering dan bobot basah maka porositas core sintetik dapat diketahui, dan permeabilitas batuan juga dapat diukur dengan menggunakan instrument permeameter (lihat Lampiran 5). Core sintetik yang digunakan sebagai pengganti native core/batuan pasir asli, dan telah dibuat sedemikian rupa untuk memiliki porositas, permeabelitas, dan karakteristik core asli dengan berbagai pendekatan, diantaranya dalam pembuatan core sintetik digunakan bahan baku pasir kuarsa yang merupakan komponen dominan batuan pasir dengan ukuran 500 mesh yang homogen, adonan dan cetakan core yang sama, pembilasan core sintetik menggunakan toluene untuk menghilangkan pengotor, sampai dengan pensaturasian batuan dengan air formasi yang bertujuan untuk memberikan karakteristik batuan reservoir. Namun, walaupun begitu nilai porositas yang dihasilkan tidak mungkin identik sama. Dari hasil pengukuran porositas core sintetik yang telah dibuat, porositas masih cukup besar namun telah cukup mendekati porositas Lapangan Ty (22-30%). Hasil pengukuran porositas dan permeabilitas batuan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Data porositas dan permeabilitas core sintetik yang digunakan dalam penelitian. Kode Core Porositas (%) Permeabilitas (md) Fluida Reservoir Lapangan Ty Fluida reservoir lapangan Ty dalam penelitian ini meliputi, minyak bumi/crude oil, Air formasi, dan air injeksi. Persiapan fluida diperlukan untuk keperluan dalam uji formula, saturasi core sintetik, maupun untuk core flooding test. Minyak bumi lapangan Ty yang 41

57 diperlukan untuk berbagai keperluan pengujian haruslah minyak bumi yang telah dipisahkan dari kandungan air formasinya, pemisahan dapat dilakukan dengan cara settling menggunakan labu pemisah yang dipanaskan beberapa saat di dalam oven pada suhu reservoir lapangan Ty (70 C). Begitu pula dengan air formasi dan air injeksi yang diperlukan dalam pembuatan formula, saturasi core, maupun untuk keperluan core flooding. Penyaringan air formasi dan air injeksi yang telah dilakukan tidak terlepas dari kebutuhan akan air formasi yang bebas pengotor untuk saturasi core sintetik dan air injeksi untuk melarutkan dan membuat formula larutan surfaktan MES. Penyaringan dilakukan bertahap yaitu menggunakan filter saring 500 mesh, membran 0.45 µm dan membran 0.22 µm dan telah memenuhi standar yang ditetapkan Lemigas. Penyaringan menggunakan filter 500 mesh dilakukan pada ruang terbuka sedangkan dua penyaringan lainnya dilakukan secara vakum. Hasil analisis terhadap air formasi, air injeksi dan minyak bumi lapangan Ty secara umum dapat dilihat pada Tabel 9. Minyak bumi yang keluar dari perut bumi mengandung berbagai macam senyawa hidrokarbon, air dan mineral. Minyak bumi yang berasal dari berbagai sumur minyak bumi mempunyai komposisi yang berbeda. Minyak bumi lapangan Ty sebelum digunakan terlebih dahulu dianalisis menggunakan uji aspaltin, uji aspaltin merupakan uji yang dilakukan dengan melarutkan minyak dengan pelarut hexan dengan perbandingan minyak dan hexan berturutturut sebesar 1:10, 1:13, 1:15 dan kemudian dilakukan sentrifugasi pada 3000 rpm. Uji tersebut bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya kandungan aspal pada minyak, adanya kandungan aspal yang mengindikasikan bahwa minyak bersifat polar dan begitu sebaliknya. Minyak yang bersifat polar akan lebih banyak mengikat air dalam formasinya. Sehingga akan lebih mudah tersapu/terbawa oleh air. Berdasarkan uji aspaltin diketahui bahwa minyak Ty memiliki kandungan aspal (fraksi berat). Hal ini dibuktikan dengan terdapatnya endapan pada bagian bawah minyak. Berikut ini adalah gambar sebelum dan setelah uji aspaltin dengan sentrifugasi: (a) (b) (a) sebelum sentrifugasi (minyak larut sempurna dalam pelarut hexan) (b) setelah sentrifugasi (endapan aspal terlihat di bagian bawah tabung) Gambar 32. Hasil uji asphaltin minyak bumi Lapangan Ty Sebelum dilakukan sentrifugasi, minyak dan hexan telah dipastikan telah larut sempurna. Dari hasil sentrifugasi pada 3000 rpm selama ± 10 menit diperoleh endapan aspal yang relatif sama jumlahnya pada tiap-tiap tabung, hal tersebut menunjukkan bahwa minyak lapangan Ty mengandung fraksi aspal dan menandakan bahwa minyak lapangan Ty memiliki kepolaran tinggi. 42

58 4.5 Core Flooding Test Core flooding test dalam penelitian ini merupakan uji pendesakan fluida kedalam core sintetik, hal ini dilakukan untuk menguji kinerja formula surfaktan dalam proses pengambilan minyak/residual oil. Tujuan utama dari core flooding test di laboratorium ini adalah untuk menentukan perkiraan perolehan minyak yang akan dihasilkan dari penggunaan injeksi surfaktan. Dalam core flooding test terdapat parameter-parameter yang perlu diperhatikan yaitu core sintetik (porositas, permeabilitas), volume dan laju alir fluida yang diinjeksikan dan recovery factor. Bahan yang digunakan dalam core flooding test pada penelitian ini adalah contoh batuan (core sintetik), fluida lapangan Ty, dan formula surfaktan MES stearin. Contoh batuan yang digunakan adalah batuan yang memiliki kesamaan dengan batuan di lapangan sedangkan sifat fluida disesuaikan dengan karakteristik reservoir (berupa temperatur dan tekanan) dimana pada sumur Ty berada pada temperatur 70 o C sehingga selama proses core flooding test harus berada pada temperatur 70 o C dan tekanan 1.5 bar. Sementara itu, recovery factor yang dimaksud adalah faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya recovery minyak yang diperoleh. Faktor-faktor tersebut adalah jenis surfaktan, konsentrasi surfaktan dan lama soaking/perendaman surfaktan di dalam batuan. Rangkaian uji coreflooding yang dilakukan dalam penelitian ini berturut-turut adalah saturasi core sintetik dengan air formasi, injeksi minyak, injeksi air, dan penginjeksian surfaktan 0.1 PV, 0.2 PV, 0.3 PV (PV=pore volume/volume pori) lalu dilakukan perendaman/soaking selama 12 jam. Prosedur pengujian core flooding dapat dilihat pada Lampiran 6. Alat yang digunakan untuk coreflooding test pada penelitian ini adalah seperangkat coreflooding apparatus. Coreflooding apparatus terdiri dari pompa hidrolik, oven besar, core holder, silinder gas N 2 dan gelas ukur penampung hasil flooding. Peralatan ini dirancang untuk memberikan kondisi vakum dan memastikan fluida yang diinjeksikan melewati core yang jepit pada core holder, sehingga hasil pengujian memiliki akurasi yang baik. Skematik peralatan core flooding yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 33. Gambar 33. Skematik peralatan core flooding yang digunakan dalam penelitian. 43

59 Dari skematik bagan alir alat pengujian core flooding, transfer vessel terdiri dari dua tabung injeksi fluida yang berfungsi untuk menginjeksikan fluida minyak bumi, air injeksi dan surfaktan ke core holder. Penginjeksian dilakukan pada suhu 70 C dengan tekanan 1.5 bar (P2) dengan gas Nitrogen (N 2 ). Begitu pula tekanan untuk mencengkram core dalam core holder digunakan gas N 2 kedalam core holder, diberi tekanan 100 psi atau (± 7 bar) (P1) untuk mencegah kebocoran fluida. Core holder dalam pengoperasiannya dikondisikan pada suhu 70 C (temperatur reservoir lapangan Ty) dengan mengatur temperatur pada heater panel pada 70 C, maka filament pemanas akan membuat temperatur core holder konstan pada suhu 70 C. Fluida yang diinjeksikan akan melewati core sintetik yang berada di tengah core holder melalui pori-pori batuan dan fluida yang dikeluarkan akan ditampung pada gelas ukur yang tepat berada dibawah saluran keluaran fluida. Fluida yang keluar ini akan diukur volumenya sebagai hasil injeksi pada core flood. Secara berturut-turut rangkaian core flood yang dilakukan dijelaskan pada tiap point dibawah ini: Injeksi Minyak Penginjeksian minyak bumi terhadap core sintetik yang telah disaturasi air formasi memberikan fluida hasil desakan/flooding berupa air formasi yang terpindahkan keluar batuan karena minyak yang diinjeksikan, air formasi yang terdesak keluar dari core sintetik tersebut menjadi indikator bahwa minyak yang diinjeksikan telah memasuki atau mengisi pori-pori core sintetik yang sebelumnya terisi/tersaturasi oleh air formasi. Penginjeksian minyak bumi ke dalam core sintetik dalam penelitian ini dilakukan menggunakan core holder pada tekanan konstan (1.5 bar kedalam core) pada temperatur reservoir Lapangan Ty (70 C). Laju alir konstan ( ± 1 ml/menit) juga digunakan dimana diatur mengalir secara perlahan melalui saluran keluar menggunakan katup. Injeksi minyak diperlukan untuk membuat minyak bumi menggantikan keberadaan air formasi didalam core dari atas kebawah dan keluaran yang dihasilkan ditampung menggunakan gelas ukur. Volume keluaran diamati secara teliti untuk memastikan sampai tidak ada lagi air formasi yang keluar bersama minyak yang di injeksikan. Kejenuhan atau keberadaan minyak didalam core sintetik ditentukan dengan pengukuran volume air formasi yang dihasilkan pada gelas ukur. Injeksi minyak akan dihentikan ketika mencapai kondisi tetap dan mencapai hasil water cut kurang dari 2%, dengan kata lain jumlah minyak yang ada di dalam core adalah setara dengan air formasi yang terpindahkan/terdesak keluar oleh injeksi minyak, sehingga jumlah tersebut dapat menjadi jumlah minyak mula-mula (original oil in place/ooip) yang berada di dalam core sintetik Injeksi Air/Waterflooding Injeksi air/waterflooding dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan air injeksi Lapangan Ty, atau dapat juga mengunakan air formasi yang digunakan untuk saturasi core sintetik. Hal ini karena air formasi dianggap sebagai air dari reservoir yang digunakan untuk membentuk gradient salinitas di dalam core sintetik untuk mendapatkan karakteristik reservoir. Water flood dilakukan dengan laju (1 ml/menit) alir lambat dan diharapkan tidak melebihi tekanan reservoir sebenarnya. Injeksi air yang dilakukan akan dihentikan saat minyak yang dihasilkan telah menurun mencapai ± 2% oil cut dan tidak mengalami peningkatan. Perolehan minyak pada waterflooding menggunakan air injeksi Lapangan Ty terbukti produktif dengan diperolehnya hasil recovery waterflood yang tinggi mencapai kisaran 55-64% dari jumlah minyak mula-mula/ooip. Hasil recovery waterflood yang tinggi tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah porositas, permeabilitas yang baik dan karakteristik yang 44

60 homogen dari core sintetik yang digunakan. Minyak sisa/residual oil yang masih berada di dalam core dan tidak dapat diproduksikan melalui injeksi air ditentukan dengan mengukur volume minyak yang telah dihasilkan dalam gelas ukur Injeksi Surfaktan Perolehan minyak menggunakan metoda enhanced waterflooding merupakan metoda recovery dengan menambahkan surfaktan dengan konsentrasi rendah ke dalam air injeksi sehingga menggunakan/memerlukan konsep surfactant soaking. Hal yang mendasari konsep tersebut adalah pergerakan fluida reservoir pada saat pendesakan hampir sama dengan aliran fluida saat diproduksikan (aliran fluida ke lubang sumur) hal ini yang mendasari dari konsep dasar dari soaking surfactant yang dilakukan dengan system soak injection methods (metode injeksi dan perendaman), dimana melalui perendaman diharapkan surfaktan bekerja secara optimum dengan memberikan waktu untuk pembentukan interfacial tension (IFT) yang baru antara minyak dan air serta tersaturasi didalamnya sehingga minyak yang terperangkap dalam pori akan terlepas dan akan terproduksikan dengan pergerakan yang sama dengan saat pendesakan. Pemberian waktu soaking juga harus optimal (tidak berlebih/tidak kurang) sehingga surfaktan diharapkan mampu meningkatkan recovery minyak yang optimal. Lamanya perendaman sumur (soaking period) pada penelitian ini didasarkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh Mwangi (2008) dimana larutan surfaktan yang akan diinjeksikan setelah beberapa lama akan terjadi emulsi, perendaman yang terlalu singkat dapat menghasilkan penurunan IFT yang kurang maksimal dan apabila terlalu lama juga akan terjadinya emulsi yang akan menyebabkan plugging pada pori-pori batuan. Waktu ideal untuk merendam/soaking surfaktan dalam uji core flooding yaitu dengan waktu soaking 12 jam pada 0.1 PV, 0.2PV, 0.3 PV Rekap Hasil Uji Core Flooding Penginjeksian formula surfaktan MES stearin yang dilakukan pada 0.1 PV mampu meningkatkan additional recovery minyak dari pori-pori core sintetik mencapai 13.4% OOIP, begitu pula dengan penginjeksian 0.2 PV larutan formula surfaktan MES stearin mampu meningkatkan recovery sebesar 13.11% OOIP dan 0.3 PV sebesar 14.48% OOIP. Dari hasil tersebut, menunjukkan bahwa injeksi formula surfaktan MES stearin dengan jumlah tertentu mampu mendesak/menyapu minyak yang masih tersisa/residual oil dari dalam pori batuan core sintetik sehingga memberikan recovery minyak berkisar 13-14%. Hasil rekap data core flooding secara lengkap dapat dilihat di Lampiran 14 dan dokumentasi pengujian dapat dilihat pada Lampiran 17. Hasil rata-rata recovery waterflood dan injeksi surfaktan dapat dilihat pada Tabel 10 dan Gambar 32. Volume Injeksi Tabel 10. Recovery minyak rata-rata pada tiap perlakuan Recovery minyak waterflood (%) Recovery minyak setelah injeksi dan soaking surfaktan (%) Total recovery (%) 0.1PV PV PV

61 Untuk mengetahui pengaruh banyaknya injeksi surfaktan yang dilakukan terhadap recovery minyak yang diperoleh, maka dilakukan analisis statistik berupa rancangan acak lengkap (RAL) dengan satu faktor. Analisis statistik ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor terhadap respon. Faktor yang dimaksud adalah pore volume (PV) formula surfaktan yang digunakan dan respon yang dimaksud adalah recovery minyak yang dihasilkan. Analisis data ini dilakukan untuk mengetahui tingkat perbedaan yang diperoleh dengan sistem injeksi pore volume/volume pori yang diterapkan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan software SAS dengan melihat trend dan uji beda terhadap data yang dihasilkan. Hasil analisis statistik menunjukkan adanya pengaruh pore volume formula surfaktan terhadap recovery minyak yang diperoleh. Pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0.05), pore volume formula surfaktan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap recovery minyak yang diperoleh. Hasil recovery minyak mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya surfaktan yang diinjeksikan. Hasil analisis statistik dapat dilihat pada Lampiran

62 V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan: Campuran surfaktan MES stearin dan air injeksi/formasi dari Lapangan Ty bernilai positif atau kompatibel dengan tidak terbentuknya presipitasi/endapan pada larutan, sehingga surfaktan MES stearin dapat diaplikasikan sebagai surfaktan untuk keperluan EOR. Larutan surfaktan MES stearin 0.3% dalam air injeksi Lapangan Ty, 3000 ppm NaCl, dan alkali 0.1 % Na 2 CO 3 mampu menurunkan tegangan antarmuka (IFT) mencapai nilai rata-rata 7.88 x 10-3 dyne/cm, sehingga memenuhi kriteria IFT untuk EOR. Dari pengukuran IFT, formula larutan surfaktan MES stearin cenderung kurang stabil terhadap termperatur tinggi (thermal stability), nilai IFT mengalami peningkatan selama pemanasan. Kelakuan fasa surfaktan MES stearin dan minyak bumi memberikan hasil visual mikroemulsi bentuk fasa bawah/tipe II (-). Pengujian filtrasi surfaktan MES stearin dengan.menggunakan membran membran 0.45 µm, mennghasilkan nilai FR larutan yang besar, dan peningkatan nilai IFT. Recovery waterflood berkisar antara 54-64% OOIP. Perolehan yang sangat tinggi tersebut dapat dihubungkan dengan contoh core sintetik yang memiliki porositas dan permeabilitas yang baik, sehingga membuat pendesakan minyak sangat efisien. Incremental recovery setelah injeksi formula surfaktan dan soaking berkisar 12-14% OOIP. Recovery minyak mengalami peningkatan seiring peningkatan pore volume formula yang diinjeksikan, sehingga formula surfaktan MES stearin dapat dikategorikan memiliki kinerja yang baik untuk aplikasi enhanced waterflooding pada lapangan Ty. 5.2 Saran Perlu dilakukan pengujian menggunakan native core/batuan reservoir asli dari Lapangan Ty untuk memberikan gambaran yang lebih tepat tentang incremental recovery yang akan diperoleh, serta pengujian surfaktan MES stearin terhadap adsorbsi batuan. 47

63 DAFTAR PUSTAKA Allen TO, Robert AP Production Operation 2 : Well Completions, Workover and Stimulation. Oil & Gas Consultants International (OGCI) Inc., Tulsa, Oklohoma, USA. Ayirala S Surfactant-Induced Relative Permeability Modifications for Oil Recovery Enhancement.[tesis]. Lousiana State University and Agricultural and Mechanical College. Bernardini E Vegetable Oils and Fats Processing. Volume II. Interstampa, Rome. Boeau DF, dan Clampitt RL A Surfactant system for the Oil-Wet Sandstone of the North Burbank Unit. Paper SPE 5820, Journal Petroleum Technology. Danesh A PVT and Phase Behaviour of Petroleum Reservoir Fluids (Developments in Petroleum Science). Department of Petroleum Engineering, Heriot Watt University, Edinburgh, Scotland. Drelich J, Fang CH, White CL Measurement of Interfacial Tension in Fluid-Fluid Systems. Marcel Dekker, Inc. [ ]. Chatzis, Morrow Vicolastic Surfactant for EOR. Society of Petroleum Engineers [ ]. Economides MJ, Nolte KG Reservoir Stimulation. Schlumberger Education Services. Di dalam Gomaa, E. E Enhanced Oil Recovery. Paper for Kinanti Training and Conference Organizer (KTCO), Yogyakarta, Tanggal Agustus Eni H, Suwartiningsih, Sugihardjo Studi Penentuan Fluida Injeksi Kimia. Prosiding Simposium Nasional IATMI Juli 2007, UPN Veteran Yogyakarta. [ESDM] Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia Statistik Minyak Bumi. [ ]. Emegwalu CC Enhanced Oil Recovery: Surfactant Flooding As A Possibility For The Norne E- Segment. [tesis] Department Of Petroleum Engineering And Applied Geophysics. Norwegian University of Science and Technology. [ ]. Foster NC Sulfanation and Sulfation Processes. In : Spitz, L. (Ed). Soap and Detergents : A Theoretical and Practical Review, AOCS Press, Champaign, Illinois. Gardener JE, dan ME Hayes Spinning Drop Interfacial Tensiometer Instruction Manual. Department of Chemistry. The University of Texas, Austin. Georgeiou G Surface Active Compounds from Microorganism. Bio/tech 10 : Gomaa EE Enhanced Oil Recovery : Modern Management Approach. Paper for IATMI- IWPL/MIGAS Conference. Surakarta, 28 Juli 1 Agustus Gurgel A, Moura MCPA, Dantas TNC, Barros EL, Dantas AA A Review on chemical flooding Methods applied in Enhanced Oil Recovery. Brazilian Journal of Petroleum and Gas. v.2, n.2, p , ISSN [ ]. 48

64 Hambali E. Suarsana P, Sugihardjo, Rivai M, Zulchaidir E Peningkatan Nilai Tambah Minyak Sawit Melalui Pengembangan Teknologi Proses Produksi Surfaktan MES dan Aplikasinya untuk Meningkatkan Produksi Minyak Bumi Menggunakan Metode Huff and Puff. Laporan Hibah Kompetitif Penelitian Unggulan Strategis Nasional Batch I, Dikti, Jakarta. Hui YH Bailey s Industrial Oil and Fat Products. 5 th Edition. Volume 5. New York; John Wiley & Sons Inc. Hirasaki GJ Surfactant Based Enhanced Oil Recovery and Foam Mobility Control. 2 nd Annual Technical Report, Department of Chemical Engineering, Rice University, Houston. [ ]. Hirasaki GJ, Zhang DL Surface Chemistry of Oil Recovery From Fractured, Oil-Wet, Carbonate Formations. SPE International Symposium on Oilfield Chemistry held in Houston, Texas, U.S.A, 5-8 February [ ]. Holmberg K, Kronberg B, Lindman B Surfactant and Polimer in Aques Solution.Ed ke-2. Chichester: J Wiley. Jackson AC Experimental Study of the Benefits of Sodium Carbonate on Surfactant for Enhanced Oil Recovery. [tesis] The University of Texas at Austin. Kristanto D, Widiyarso A, Wibowo Pilot project implementasi injeksi surfactant di lapangan minyak X Sumatera Bagian Selatan. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Kejuangan Pengembangan Teknologi Kimia untuk Pengolahan Sumber Daya Alam Indonesia. Yogyakarta, 26 Januari ISSN [ ]. Koesoemadinata RP Geologi Minyak Bumi. Penerbit ITB, Bandung. Levitt DB Experimental Evaluation Of High Performance EOR Surfactants For A Dolomite Oil Reservoir. [tesis]. The University of Texas at Austin. [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Pembuatan Metil Ester Sulfonat dari Refined Bleached Dodorized Stearin Minyak Sawit Menggunakan Oleum. Jurnal Sains Materi Indonesia. Vol. 8, N0., Juni 2007, hal: ISSN: Loehardjo N, Xie X, Yin P, Norman Low Salinity Waterflooding of A Reservoir Rock. International Symposium of the society of Core Analysts held in Calgary, Canada, September, University of Wyoming. [ ]. MacArthur B Methyl Ester Sulfonate Products. [ ]. MacArthur B Meeting the Challenge of Methylester Sulfonation. Chemiton, USA. Matheson KL Surfactant Raw Materials : Classification, Synthesis, and Uses. In : Soap and Detergents : A Theoretical and Practical Review. Spitz, L. (Ed). AOCS Press, Champaign, Illinois. Mwangi P An Experimental Study Of Surfactant Enhanced Waterflooding. [tesis]. University of Rochester. Nasiri H Enzymes for Enhanced Oil Recovery (EOR). [disertasi]. University of Bergen, Norway. 49

65 Nuraini, Sugihardjo, Tjuwati Makmur Uji Kelakuan Fase dan Tegangan Antarmuka Minyak- Surfaktan-Kosurfaktan-Air Injeksi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi. [ ]. Nurwidiyanto MI, Noviyanti I, Widodo S Estimasi hubungan porositas dan permeabilitas Pada batupasir (study kasus formasi Kerek, Ledok, Selorejo). Berkala Fisika Vol.8, No.3, Juli 2005, hal ISSN: [ ]. Pratomo A Pemanfaatan Surfaktan Berbasis Minyak Sawit Pada Industri Perminyakan. Prosiding Seminar Nasional Pemanfaatan Oleokimia Berbasis Minyak sawit pada Berbagai lndustri. Bogor, 24 November Pore J Oil and Fats Manual. Intercept Ltd. Andover, New York. Pope GA Overview of Chemical EOR. Center for Petroleum and Geosystems Engineering. The University of Texas at Austin. [ ]. Rachmat S Reservoir Minyak dan Gas Bumi. [ ]. Rahmi ID Proses Aging Pasca Sulfonasi Metil Ester Stearin Sawit Dan Pengaruhnya Terhadap Sifat Fisikokimia Surfaktan yang di Hasilkan. [tesis] Bogor, Institut Pertanian Bogor. Rieger MM Surfactant In Cosmetics. Surfactant Science Series, Marcel Draker, Inc., New York. 488 p. Robert DW, L Giusti, A Forcella Chemistry of Methyl Ester Sulfonates. Biorenewable Resources 5: Rosen JM Surfactant and Interfacial Phenomena. Third Edition. John Willey & Sons Inc., New York. Sugiharjdo,Tobing E, Pratomo SW Kelakuan Fasa Campuran Antara Reservoir-Injeksi- Surfaktan Untuk Implementasi Enhanced Water Flooding. Prosiding Simposium Nasional IATMI. Yogyakarta 3-5 Oktober Speight JG Chemical And Process Design Handbook. McGraw-Hill. New York. Salager JL Physico-Chemical Properties Of Surfactant-Water-Oil Mixture: Phase Behaviour, Microemulsion Formation And Interfacial Tension. [disertasi]. Texas. The University of The Texas At Austin. Salager JL Surfactants Types and Uses. Version 2. FIRP Booklet#E300-A: Teaching Aid in Surfactant Science & Engineering in English. Universidad De Los Andes, Merida-Venezuela. [20 Maret 2011]. Swern D Bailey s Industrial Oil and Fat Products. Vol. I 4 th Edition. John Willey & Sons Inc., New York. Sheats WB, MacArthur BW Methyl Ester Sulfonate Products. The Chemithon Corporation. USA. [ ]. Sheng JJ Modern Chemical Enhanced Oil Recovery:Theory and Practice. Gulf Professional Publishing is an imprint of Elsevier. 30 Corporate Drive, Suite 400. Burlington, MA 01803, USA. 50

66 Technology Asessment Board Enhanced Oil Recovery Potential in The United States. [ ]. Wahyono K Warta Pertamina. [ ]. Watkins C Surfactant and Detergent : All Eyes are On Texas. Inform 12 : Zhang YP, Sayegh SG, dan Huang S The Role of Effective Interfacial Tension in Alkaline/Surfactant/Polymer Flooding. Journal of Petroleum Science and Engineering Presented at The Canadian International Petroleum Conference. Calgary, Alberta, June

67 LAMPIRAN 52

68 Lampiran 1. Prosedur Pengujian Formula Surfaktan 1. Tegangan Antar Permukaan Metode Spinning Drop (Gardener and Hayes, 1983) Cara kerja Spinning Drop Interfacial sebagai berikut : hidupkan power dan tombol lampu pada alat. Panaskan alat spinning drop, kemudian set pada suhu 70 o C (kondisi percobaan). Setelah kondisi tersebut stabil, ke dalam glass tube diisikan larutan surfaktan dengan konsentrasi yang telah dibuat. Ke dalam glass tube yang telah berisi larutan surfaktan, diberi tetesan minyak (crude oil). Dalam glass tube tidak boleh ada gelembung udara. Masukan glass tube ke dalam alat spinning drop, dengan permukaan glass tube menghadap ke arah luar, kecepatan putaran instrument diatur stabil pada 9000 rpm. Pembacaan radius tetesan dilakukan jika suhu alat telah mencapai 70 o C. Ulangi pembacaan ini sampai didapatkan harga yang konstan dari pembacaan radius tetesan. Bila pembacaan kurang jelas, fokus lensa dapat diatur. Perhitungan : IFT = 1 4. w2 D 3 ρ Keterangan : IFT = nilai tegangan antar muka (dyne/m) Δρ = perbedaan densitas fluida minyak dan larutan surfaktan (kg/m 3 ) D = radius drop (m) w = kecepatan angular (rpm) Fluida A= minyak bumi (sampel) Fluida B= larutan surfaktan Gambar. Skematik metode spinning drop. 2. Uji Kompatibilitas/Compatibility test Formula surfaktan dicampur dengan air injeksi/formasi sumur minyak. Selanjutnya sebanyak 8 10 ml larutan tersebut dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah diberi label. Seluruh tabung reaksi disimpan pada suhu reservoir. Setelah satu hari, larutan dalam seluruh tabung reaksi diamati secara visual (perubahan yang terjadi) dan didokumentasikan. 3. Pengukuran Densitas Hidupkan power alat densitymeter. Pastikan sel pengukuran bersih dengan membilasnya dengan aquades. Masukkan larutan surfaktan ke dalam sel pengukuran yang terdapat pada alat dengan alat suntik fluida yang tersedia. Tekan tombol start dan tunggu beberapa menit hingga hasil pengukuran terlihat pada monitor alat. Catat hasil pengukuran berupa densitas dan specific gravity yang diperoleh. 53

69 4. Pengukuran Viskositas Hidupkan power alat viscosimeter. Kalibrasi alat tersebut. Masukkan nomor spindle dengan memilih kunci spindle. Masukkan larutan surfaktan ke dalam spindle lalu spindle ditutup rapat dengan mur. Kecepatan putaran diset pada alat dimana kecepatan putaran sesuai dengan kebutuhan. Catat % tenaga putaran dan viskositas yang diperoleh. 5. Uji Kelakuan Fasa/Phase Behaviour Minyak mentah disaring dengan menggunakan filter berukuran 10 mikron untuk memisahkan partikel seperti pasir dari minyak mentah. Masukkan 2 ml surfaktan ke dalam graduated pipette berukuran 5 ml lalu ditambahkan 2 ml minyak mentah. Bagian bawah dan atas pipet diseal dengan bor api. Tempatkan pipet pada rak dan disimpan pada suhu reservoir selama 30 menit. Bolak-balikkan tiap pipet sebanyak 3 kali hingga cairan tercampur. Jangan dikocok. Selanjutnya, diamati perubahan pada antar muka cairan setelah dari hari ke 0, 7, 14, 21, dan 30 apakah terbentuk emulsi tipe II (-), tipe II (+), atau tipe III. Cairan dikatakan berada di titik keseimbangan ketika antar muka cairan tidak berubah secara signifikan. Volume kelarutan minyak dibaca dan diukur dari perubahan antara level air awal dan excess oil (top). Parameter kelarutan minyak dihitung dengan perhitungan sebagai berikut : Po = Vo Vo Vs Keterangan : Po = Kelarutan minyak Vo = Volume minyak awal Vo = Volume minyak selama pengamatan Vs = Volume larutan surfaktan Rasio kelarutan air ditentukan oleh volume air yang terbagi menjadi volume surfaktan dalam mikroemulsi. Rasio kelarutan air digunakan untuk Winsor tipe III dan tipe II. Volume kelarutan diketahui dengan membaca perubahan antara larutan dan excess water (bottom). Jika selama pengamatan terbentuk tiga fasa maka digunakan perhitungan sebagai berikut : Pw = Vw Vw Vs Keterangan : Pw = Kelarutan larutan surfaktan Vw = Volume larutan surfaktan awal Vw = Volume larutan surfaktan selama pengamatan Vs = Volume larutan surfaktan Berikut ini adalah ilustrasi kelakuan fasa dalam perhitungan : Vo Vw Vo Vw Vo mikroemulsi Vw (a) (b) (c) (d) (a) fasa awal, (b) terbentuk fasa II (-), (c) terbentuk fasa II (+), (d) terbentuk fasa III 54

70 6. Pengkuran ph Hidupkan power alat ph-meter. Pastikan sel pengukuran bersih dan kering. Masukkan larutan surfaktan ke dalam sel pengukuran yang terdapat pada alat. Tekan tombol start dan tunggu beberapa menit hingga hasil pengukuran terlihat pada monitor alat. Catat nilai ph yang diperoleh. 7. Uji Ketahanan Panas/Thermal Stability Sebanyak 25 ml formula surfaktan dimasukkan ke dalam botol yang telah diberi label. Selanjutnya dimasukkan ke dalam oven pada suhu reservoir. Setelah satu hari, diamati perubahan yang terjadi dan didokumentasikan serta diukur densitas, viskositas dan IFT dari masing-masing larutan. Seluruh botol disimpan kembali pada oven bersuhu reservoir lalu diamati dan didokumentasikan serta diukur densitas, viskositas dan IFT dari masing-masing larutan. Buatkan plot hubungan antara IFT dan perubahan yang terjadi akibat pemanasan. Uji termal dalam penelitian ini dilakukan selama 1 bulan dengan pengamatan dilakukan tiap minggu. 8. Uji Filtrasi Pengujian filtrasi dilakukan dengan menggunakan filter apparatus. Tetapi sebelumnya, pastikan seluruh bagian apparatus dalam keadaaan bersih. Hubungkan tangki nitrogen, pressure vessel, dan membrane filter holder dengan tabung dan valve. Selanjutnya hubungkan dengan tabung drain. Masukkan membran filter ke dalam membrane filter holder secara tepat. Basahi membran filter dan jangan sampai ada udara yang keluar. Masukkan ml larutan surfaktan dengan salinitas optimal ke dalam pressure vessel lalu tutup hingga rapat bagian atas dan bagian suplai. Selanjutnya valve ditutup dan diberikan tekanan 20 psig melalui regulator nitrogen. Tempatkan graduated cylinder di bawah outlet filter lalu valve pada dasar filter pressure vessel dibuka dan hitung waktu dengan menggunakan stopwatch. Tekanan yang digunakan (20 psig) harus konstan. Pastikan larutan dalam filter sesuai dengan suhu reservoir. Catat kumulatif waktu dari tiap kenaikan filter sebanyak 50 ml. Filtrasi dilanjutkan sampai 500 ml larutan sudah terfiltrasi atau filtrasi telah berhenti atau 600 detik kemudian. Periksa membran filter apakah terdapat sobekan atau kerusakan lainnya seperti bagian yang tidak terbasahi dari filter. Jika terdapat kerusakan maka prosedur harus diulangi. Adanya material lain pada filter dicatat. Ulangi prosedur untuk formula surfaktan lainnya. Untuk mengetahui laju alir dari bahan dan mengetahui filtration rate (Fr) dari fluida yang digunakan perhitungan Fr, perhitungannya dijabarkan pada rumus di bawah ini: Keterangan: Fr = t 500 t 400 t 200 t 100 < 1.2 t 500 = waktu yang dibutuhkan untuk filtrasi fluida mencapai 500 ml t 400 = waktu yang dibutuhkan untuk filtrasi fluida mencapai 400 ml t 200 = waktu yang dibutuhkan untuk filtrasi fluida mencapai 200 ml t 100 = waktu yang dibutuhkan untuk filtrasi fluida mencapai 100 ml 55

71 Lampiran 2. Diagram Alir Proses Transesterifikasi Stearin. RBD Stearin Pengukuran FFA Metanol (225% FFA minyak) Tidak FFA <2% Ya Mixing Esterifikasi (suhu C, 1 jam, pengadukan rpm) Pemanasan minyak hingga suhu C Asam sulfat (5% FFA minyak) Settling Pemisahan Sisa methanol, pengotor Campuran FAME dan minyak Transesterifikasi (suhu C 1 jam, pengadukan rpm) Mixing Metanol (15% v/v) minyak Recovery metanol Settling KOH (1% m/v minyak) Pemisahan Metil ester kasar Gliserin kasar Pemurnian Metil ester Murni 56

72 Lampiran 3. Diagram Alir Proses Sulfonasi Metil Ester Stearin Metil Ester Stearin Sulfonasi dengan reaktan gas SO 3 pada singletube faling film reaktor (STFR) dengan laju alir input 50 ml/menit dan suhu input 100 C Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) Aging selama 60 menit, pada suhu 80 C selama 45 menit MESA pasca aging Netralisasi MESA pasca aging (NaOH 50%) MES (MESA netral) 57

73 Lampiran 4. Prosedur Persiapan Core Sintetik dan Fluida Reservoir Lapangan Ty untuk Core flooding Test a. Persiapan Core Sintetik Pasir Kuarsa (500 mesh) Semen Air Pencampuran perbandingan (5 : 2 :1) Pencetakan Pengeringan Perataan/Pengecilan Ukuran Core Sintetik Kotor Toluene Pencucian Core (Soxhlet Destilation) Toluene + Silika, debu, dll Pengeringan dalam Oven 70 C Core Bersih Saturasi/penjenuhan dengan Air Formasi (AF) Pengukuran Dimensi & Penimbangan Berat Kering Core Sintetik Penimbangan Berat Basah Core Sintetik Core Sintetik siap digunakan Penentuan Porositas Core Sintetik 58

74 Lampiran 4. Prosedur Persiapan Core Sintetik dan Fluida Reservoir Lapangan Ty untuk Core flooding Test (Lanjutan) b. Persiapan Fluida Reservoir Lapangan Ty Minyak bumi Lapangan Ty di lakukan settling beberapa saat menggunakan labu pemisah untuk memisahkan air formasi yang mungkin masih terdapat pada minyak, sehingga setelah settling di dapat minyak bumi mentah/crude oil yang bebas dari keberadaan air formasi. 59

75 Lampiran 5. Prosedur Perhitungan Porositas dan Permeabilitas Core Core bersih yang telah dikeringkan dalam oven dengan suhu 70 o C diukur dimensinya. Dimensi yang diukur berupa panjang dan diameter dengan 3 kali ulangan menggunakan jangka sorong. Selanjutnya, dihitung volume dari core dengan menggunakan rumus volume tabung. Core tersebut juga diukur bobot kering dengan 3 kali ulangan menggunakan timbangan analitik. Selanjutnya, core dijenuhkan dengan menggunakan air formasi. Core yang telah dijenuhkan diukur bobot basah dengan 3 kali ulangan menggunakan timbangan analitik. Setelah itu, dilakukan perhitungan volume air formasi yang terdapat pada core dengan mengurangi bobot basah dengan bobot kering lalu dibagi dengan densitas air formasi. Perhitungan : Porositas % = Volume air formasi Volume core x 100 Core bersih yang telah dikeringkan dalam oven dengan suhu 70 o C diukur permeabilitasnya dengan menggunakan alat permeameter. Permeameter yang digunakan masih sangat sederhana yaitu berupa buret dengan skala 10 ml, bulb, core holder dan tabung gas nitrogen beserta pengukur tekanan. Buret dihubungkan dengan tabung gas nitrogen yang telah diberi pengatur tekanan dan yang telah dihubungkan dengan core holder. Buret juga dihubungkan dengan bulb yang telah berisi air sabun. Setelah rangkaian telah siap dipakai. Tempatkan core di dalam core holder. Buka valve pada tabung nitrogen untuk mengalirkan udara ke core lalu ke buret. Selanjutnya, buatlah gelembung udara dari air sabun dengan memencet bulb. Gelembung udara tidak boleh pecah selama dihembuskan gas nitrogen hingga mencapai volume buret. Hitung waktu yang dibutuhkan. Perhitungan : v x μ x L Permeabilitas k = x 1000 t x A x p Keterangan: k = permeabilitas (mdarcy) v = volume buret (ml) µ = viskositas nitrogen pada suhu ruang (cp) L = tinggi core (cm) t = waktu yang dibutuhkan gelembung udara mencapai volume buret (second) A = luas core (cm 2 ) Δp = perbedaan tekanan (atm) 60

76 Lampiran 6. Prosedur Core Flooding Test Minyak bumi Lapangan Ty Core Sintetik Air Injeksi Lapangan Ty Formula Surfaktan Injeksi Core oleh minyak Lapangan Ty pada suhu 70 o C Injeksi Core oleh Air Injeksi pada suhu 70 o C Injeksi Core 0.1 PV, 0.2 PV, 0.3 PV oleh Larutan Surfaktan pada suhu 70 o C Pengukuran Volume AF yang keluar (III) Pengukuran Volume Minyak yang keluar Air Injeksi Lapangan Ty Soaking/Perendaman 12 Jam Injeksi Core oleh Air Injeksi pada suhu 70 o C Pengukuran Volume Minyak yang keluar (Recovery Factor) 61

77 Lampiran 7. Reaktor Singletube Falling Film Reaktor (STFR) (Lab. SBRC Pulo Gadung) (Reaktor Tampak Atas) (Reaktor Tampak Bawah) (Reaktor Tampak samping) (Tube Atas) (Bagian Bawah Reaktor/Output) 62

78 Lampiran 7. Reaktor Singletube Falling Film Reaktor (STFR). (Lanjutan) (Saluran Gas SO3 dan udara kering) (Bak Umpan/Metil Ester) (Pemeriksaan Pompa) (Bypass dan Siklon Gas) 63

79 Lampiran 8. Peralatan/Instrument yang Digunakan Timbangan Analitik Spining Drop Interfacial Tension TX 500C Densti meter DMA 4500M ph Meter Schott Viskosimeter Brookfield Oven Soxhlet Saturasi/Penjenuhan Core. 64

80 Lampiran 8. Peralatan/Instrument yang Digunakan (Lanjutan) (Core Holder Apparatus) (Core Holder Apparatus)Bagian Dalam Filtrasi Vakum 65

81 Lampiran 9. Hasil Uji Formulasi Surfaktan Rekap Optimal Salinitas, (Densitas Minyak Lapangan Ty: 0,79183 gr/cm 3 ) Sampel Densitas Rata-Rata IFT Rata-Rata (g/cm 3 ) Densitas (dyne/cm) IFT MES STEARIN 0.3% (1) E MES STEARIN 0.3% (2) E E-02 MES STEARIN 0.3% (1000ppm) (1) Ty E MES STEARIN 0.3% (1000ppm) (2) Ty E E-02 MES STEARIN 0.3% (3000ppm) (1) Ty E MES STEARIN 0.3% (3000ppm) (2) Ty E E-02 MES STEARIN 0.3% (5000ppm) (1) Ty E MES STEARIN 0.3% (5000ppm) (2) Ty E E-02 MES STEARIN 0.3% (7000ppm) (1) Ty E MES STEARIN 0.3% (7000ppm) (2) Ty E E-02 MES STEARIN 0.3% (9000ppm) (1) Ty E MES STEARIN 0.3% (9000ppm) (2) Ty E E-02 MES STEARIN 0.3% (11000ppm) (1) Ty E MES STEARIN 0.3% (11000ppm) (2) Ty E E-02 MES STEARIN 0.3% (13000ppm) (1) Ty E MES STEARIN 0.3% (13000ppm) (2) Ty E E-02 MES STEARIN 0.3% (15000ppm) (1) Ty E MES STEARIN 0.3% (15000ppm) (2) Ty E E-02 Rekap Data Optimal Alkali % Alkali Densitas (g/cm 3 ) Rata-Rata Densitas IFT (dyne/cm) Rata-Rata IFT NaOH Na 2 CO 3 NaOH Na 2 CO 3 NaOH Na 2 CO 3 NaOH Na 2 CO 3 0.1% (I) E E % (II) E E % (I) E E % (II) E E % (I) E E % (II) E E % (I) E E % (II) E E % (I) E E % (II) E E E E E E E E E E E E-02 66

82 Lampiran 9. Hasil Uji Formulasi Surfaktan (Lanjutan) Visual Droplet Minyak-Larutan Surfaktan dalam pengujian IFT (Optimal Salinitas) 67

83 68

84 69

85 70

86 Lampiran 9. Hasil Uji Formula Surfaktan (Lanjutan) Visual Droplet Minyak-Larutan Surfaktan dalam pengujian IFT, Optimal Alkali NaOH 71

87 72

88 Lampiran 9. Hasil Uji Formula Surfaktan (Lanjutan) Visual Droplet Minyak-Larutan Surfaktan dalam pengujian IFT, Optimal Alkali Na 2 CO 3 73

89 74

90 Lampiran 10. Hasil Uji IFT Thermal Stability Pengamatan Hari ke IFT (dyne/cm) Densitas (g/cm3) Viskositas (Cp) E E Rata-Rata 4.63E E E Rata-Rata 1.06E E E Rata-Rata 2.58E E E Rata-Rata 2.13E E E Rata-Rata 1.99E

91 Lampiran 11. Tabel Hasil Uji Filtrasi Filter 500 mesh Volume (ml) WIP Tanjung Surfaktan Waktu Alir (detik) Waktu Alir (detik) Rerata Fr I II I II Rerata Fr 2.39 Filter WH 41 Volume (ml) WIP Tanjung Surfaktan Waktu Alir (detik) Waktu Alir (detik) Rerata Fr I II I II Rerata Fr 1.35 Filter 0.45 mikron Volume (ml) WIP Tanjung Surfaktan Waktu Alir (detik) Waktu Alir (detik) Rerata Fr I II I II Rerata Fr

92 Filter 0.22 mikron Volume (ml) WIP Tanjung Surfaktan Waktu Alir (detik) Waktu Alir (detik) Rerata Fr I II I II Rerata Fr 1.49 Hasil Uji IFT Sampel Densitas Diff. Densitas IFT Rerata MES STEARIN 0.3%, 0.1% Na 2 CO 3 (tanpa saring) E E-03 MES STEARIN 0.3%, 0.1% Na 2 CO 3 (tanpa saring) E-03 MES STEARIN 0.3%, 0.1% Na 2 CO 3 (saring 500 mesh) E-02 MES STEARIN 0.3%, 0.1% Na 2 CO 3 (saring 500 mesh) E-02 MES STEARIN 0.3%, 0.1% Na 2 CO 3 (Saring 21 µm) E-02 MES STEARIN 0.3%, 0.1% Na 2 CO 3 (Saring 21 µm) E-01 MES STEARIN 0.3%, 0.1% Na 2 CO 3 (Saring 0.45 µm) E-01 MES STEARIN 0.3%, 0.1% Na 2 CO 3 (Saring 0.45 µm) E-01 MES STEARIN 0.3%, 0.1% Na 2 CO 3 (Saring 0.22 µm) E-01 MES STEARIN 0.3%, 0.1% Na 2 CO 3 (Saring 0.22 µm) E E E E E-01 77

93 Lampiran 12. Kelarutan Minyak pada Uji Kelakuan Fasa (Phase Behaviour) Densitas: 0.98 gr/cm 3 Viskositas minyak: Hari ke Volume (ml) Po Keterangan Larutan Surfaktan Minyak Tx I II Rata-Rata I Fase atas II dengan excess Rata-Rata larutan surfaktan 0.5 ml I Tidak terjadi II perubahan Rata-Rata I II Rata-Rata I II Rata-Rata Tidak terjadi perubahan Tidak terjadi perubahan 78

94 Lampiran 13. Dimensi dan porositas Core Sintetik Core 1 Diameter (cm) Tinggi (cm) Volume (ml) Core a (gram) b (gram) Rata-Rata Rata-Rata Rata-Rata Rata-Rata Rata-Rata Rata-Rata Rata-Rata Rata-Rata Rata-Rata Rata-Rata Rata-Rata Rata-Rata b a (gram) Vol. (b-a) Kode Core Porositas (%) Permeabelitas (darcy) Volume Injeksi 0.2 PV 0.1 PV 0.3 PV 79

95 Lampiran 14. Hasil Uji Core flooding Test Surfaktan di Injeksi Kode Core a (gram) b (gram) b -a (gram) Densitas Air Formasi c (ml) d (ml) e (ml) Recovery setelah waterflooding (%) f (ml) Recovery setelah Injeksi Surfaktan (%) Total Recovery (%) PV (I) Rata-Rata PV (II) Rata-Rata PV (I) PV (II) Rata-Rata PV (I) Rata-Rata PV (II) Core Rata-Rata

96 Keterangan : a = berat kering core b = berat basah core b - a = berat air formasi c = volume air formasi d = volume air formasi yang keluar = volume minyak dalam core e = volume minyak yang keluar setelah air injeksi f = volume minyak yang keluar setelah larutan surfaktan 81

97 Lampiran 15. Hasil Analisa Data Hasil Core Flooding Data Hasil Coreflooding Test Perlakuan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata ± SD 0.1 PV ± PV ± PV ± Hasil Sidik Ragam Sumber F-Tabel db JK KT F-Hitung Variasi 0.05 Porevolume Kekeliruan Jumlah Keterangan : F -hitung lebih kecil dari F -tabel Terima H 0, hasil recovery minyak dengan variasi perlakuan injeksi surfaktan tidak berpengaruh nyata. 82

98 Lampiran 16. Dokumentasi Hasil Core Flooding Test 0.1 PV Ulangan PV Ulangan PV Ulangan

99 Lampiran 16. Dokumentasi Hasil Core Flooding Test (Lanjutan) 0.2 PV Ulangan PV Ulangan PV Ulangan Keterangan: 1= hasil injeksi minyak, 2= hasil injeksi air (waterflood), 3=hasil recovery menggunakan surfaktan. 84

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut BP Statistical Review 2011, sejak tahun 2003 untuk pertama kalinya Indonesia mengalami defisit minyak dimana tingkat konsumsi lebih tinggi dibanding tingkat produksi.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Surfaktan

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Surfaktan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan (surface active agent) adalah suatu zat yang bersifat aktif permukaan yang dapat menurunkan tegangan antar muka, antara minyak dan air karena strukturnya yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Inti Sawit (PKO) Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan Indonesia yang memiliki masa depan cukup cerah. Perkebunan kelapa sawit semula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Beberapa tahun ini produksi minyak bumi selalu mengalami penurunan, sedangkan konsumsi minyak selalu mengalami penaikan. Menurut Pusat Data Energi dan Sumber Daya

Lebih terperinci

A. Sifat Fisik Kimia Produk

A. Sifat Fisik Kimia Produk Minyak sawit terdiri dari gliserida campuran yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Dua jenis asam lemak yang paling dominan dalam minyak sawit yaitu asam palmitat, C16:0 (jenuh),

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. ALAT DAN BAHAN Peralatan yang digunakan adalah jangka sorong, destilator, pompa vacum, pinset, labu vacum, gelas piala, timbangan analitik, tabung gelas/jar, pipet, sudip,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baku baru yang potensial. Salah satu bahan yang potensial untuk pembuatan surfaktan adalah

BAB I PENDAHULUAN. baku baru yang potensial. Salah satu bahan yang potensial untuk pembuatan surfaktan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembuatan surfaktan tidak hanya dalam pencarian jenis surfaktan yang baru untuk suatu aplikasi tertentu di suatu industri, tetapi juga melakukan pencarian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Surfaktan MES dari Stearin Sawit Pembuatan surfaktan MES melalui proses sulfonasi pada penelitian ini dilakukan dengan bahan baku metil ester dari fraksi stearin.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Minyak bumi telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap ekonomi dunia hingga saat ini. Persediaan akan panas, cahaya, dan transportasi bergantung terhadap

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. METIL ESTER CPO 1. Minyak Sawit Kasar (CPO) Minyak kelapa sawit kasar (Crude Palm Oil, CPO) merupakan hasil olahan daging buah kelapa sawit melalui proses perebusan (dengan steam)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Jelantah Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali. Minyak jelantah masih memiliki asam lemak dalam bentuk terikat dalam trigliserida sama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar.

I. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar. Hal ini dikarenakan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Diagram alir pengepresan biji jarak dengan pengepres hidrolik dan pengepres berulir (Hambali et al. 2006).

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Diagram alir pengepresan biji jarak dengan pengepres hidrolik dan pengepres berulir (Hambali et al. 2006). 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Jarak Pagar Jarak Pagar (Jatropha curcas L) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak nabati non pangan yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia. Selain tidak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui proses sulfonasi dengan menggunakan bahan baku dari minyak nabati seperti kelapa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. SURFAKTAN

II. TINJAUAN PUSTAKA A. SURFAKTAN II. TINJAUAN PUSTAKA A. SURFAKTAN Surfaktan adalah molekul organik yang jika dilarutkan ke dalam pelarut pada konsentrasi rendah maka akan memiliki kemampuan untuk mengadsorb (atau menempatkan diri) pada

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia yang begitu pesat telah menyebabkan penambahan banyaknya kebutuhan yang diperlukan masyarakat. Salah satu bahan baku dan bahan penunjang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat melalui proses sulfonasi. Jenis minyak yang dapat digunakan sebagai bahan baku

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan (surface active agent) adalah senyawa amphiphilic, yang merupakan molekul heterogendan berantai panjangyang memiliki bagian kepala yang suka air (hidrofilik)

Lebih terperinci

STUDI LABORATORIUM PENGARUH KONSENTRASI SURFAKTAN POLIMER TERHADAP RECOVERY FACTOR DENGAN BERBAGAI SALINITAS

STUDI LABORATORIUM PENGARUH KONSENTRASI SURFAKTAN POLIMER TERHADAP RECOVERY FACTOR DENGAN BERBAGAI SALINITAS STUDI LABORATORIUM PENGARUH KONSENTRASI SURFAKTAN POLIMER TERHADAP RECOVERY FACTOR DENGAN BERBAGAI SALINITAS Ricky 1), Sugiatmo Kasmungin 2), M.Taufiq Fathaddin 3) 1) Mahasiswa Magister Perminyakan, Fakultas

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR. Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Menyelesaikan Pendididikan Diploma III Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Sriwijaya.

LAPORAN AKHIR. Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Menyelesaikan Pendididikan Diploma III Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Sriwijaya. LAPORAN AKHIR PENGARUH RASIO REAKTAN DAN KOMPOSISI KATALIS TERHADAP PEMBUATAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT BERBASIS CPO (CRUDE PALM OIL) MENGGUNAKAN AGEN SULFONAT NaHSO 3 Diajukan Sebagai Persyaratan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO)

LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO) LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO) Diajukan Sebagai Persyaratan untuk Menyelesaikan Pendidikan Diploma

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 29 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Sifat Fisikokimia Metil Ester Stearin Penelitian pembuatan surfaktan metil ester sulfonat (MES) ini menggunakan bahan baku metil ester stearin sawit. Stearin sawit

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SIFAT FISIKO-KIMIA BIJI DAN MINYAK JARAK PAGAR Biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) yang digunakan dalam penelitian ini didapat dari PT. Rajawali Nusantara Indonesia di daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Crude Palm il (CP) Minyak sawit kasar merupakan hasil ekstraksi dari tubuh buah (mesokarp) tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis JACQ).Minyak sawit digunakan untuk kebutuhan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PERSIAPAN CORE SINTETIK

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PERSIAPAN CORE SINTETIK IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PERSIAPAN CORE SINTETIK Reservoir adalah suatu tempat terakumulasinya minyak dan gas bumi. Pada umumnya reservoir minyak memiliki karakteristik yang berbeda-beda tergantung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SURFAKTAN MES DARI JARAK PAGAR

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SURFAKTAN MES DARI JARAK PAGAR II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SURFAKTAN MES DARI JARAK PAGAR Surfaktan (surface active agent) merupakan bahan kimia yang berpengaruh pada aktivitas permukaan. Surfaktan memiliki kemampuan untuk larut dalam

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisikokimia ME Stearin Proses konversi stearin sawit menjadi metil ester dapat ditentukan dari kadar asam lemak bebas (FFA) bahan baku. FFA merupakan asam lemak jenuh

Lebih terperinci

KAJIAN LABORATORIUM MENGENAI PENGARUH SALINITAS, PERMEABILITAS DAN KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PEROLEHAN MINYAK PADA PROSES INJEKSI SURFAKTAN

KAJIAN LABORATORIUM MENGENAI PENGARUH SALINITAS, PERMEABILITAS DAN KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PEROLEHAN MINYAK PADA PROSES INJEKSI SURFAKTAN Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : 2460-8696 Buku 1 ISSN (E) : 2540-7589 KAJIAN LABORATORIUM MENGENAI PENGARUH SALINITAS, PERMEABILITAS DAN KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PEROLEHAN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis sifat fisiko-kimia CPO Minyak sawit kasar atau Crude Palm Oil (CPO) yang digunakan pada penelitian ini berasal dari Asian Agri Grup. Analisis sifat fisiko kimia CPO

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU INPUT PADA PROSES PEMBUATAN SURFAKTAN METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) DARI METIL ESTER STEARIN RENNY UTAMI SOMANTRI

PENGARUH SUHU INPUT PADA PROSES PEMBUATAN SURFAKTAN METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) DARI METIL ESTER STEARIN RENNY UTAMI SOMANTRI PENGARUH SUHU INPUT PADA PROSES PEMBUATAN SURFAKTAN METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) DARI METIL ESTER STEARIN RENNY UTAMI SOMANTRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN MESA off grade merupakan hasil samping dari proses sulfonasi MES yang memiliki nilai IFT lebih besar dari 1-4, sehingga tidak dapat digunakan untuk proses Enhanced Oil Recovery

Lebih terperinci

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Rita Arbianti *), Tania S. Utami, Heri Hermansyah, Ira S., dan Eki LR. Departemen Teknik Kimia,

Lebih terperinci

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan Tania S. Utami *), Rita Arbianti, Heri Hermansyah, Wiwik H., dan Desti A. Departemen Teknik

Lebih terperinci

SINTESIS METIL ESTER SULFONAT MELALUI SULFONASI METIL ESTER MINYAK KEDELAI UNTUK APLIKASI CHEMICAL FLOODING

SINTESIS METIL ESTER SULFONAT MELALUI SULFONASI METIL ESTER MINYAK KEDELAI UNTUK APLIKASI CHEMICAL FLOODING Sintesis Metil Ester Sulfonat Melalui Sulfonasi Metil Ester Minyak Kedelai Untuk Aplikasi Chemical Flooding (Richie Adi Putra) SINTESIS METIL ESTER SULFONAT MELALUI SULFONASI METIL ESTER MINYAK KEDELAI

Lebih terperinci

Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia

Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia Simposium Nasional dan Kongres X Jakarta, 12 14 November 2008 Makalah Profesional IATMI 08-027 STUDI LABORATORIUM UNTUK REAKTIVASI LAPANGAN-X DENGAN INJEKSI KIMIA

Lebih terperinci

Kelompok B Pembimbing

Kelompok B Pembimbing TK-40Z2 PENELITIAN Semester I - 2006/2007 PEMBUATAN ESTER METIL SULFONAT DARI CPO UNTUK SURFACTANT FLOODING Kelompok Dwike Indriany (13003008) Jelita Alamanda (13003092) Pembimbing Dr. Ir. Retno Gumilang

Lebih terperinci

KAJIAN KINERJA SURFAKTAN MES (METIL ESTER SULFONAT) DARI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) UNTUK ENHANCED WATERFLOODING

KAJIAN KINERJA SURFAKTAN MES (METIL ESTER SULFONAT) DARI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) UNTUK ENHANCED WATERFLOODING KAJIAN KINERJA SURFAKTAN MES (METIL ESTER SULFONAT) DARI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) UNTUK ENHANCED WATERFLOODING SKRIPSI RIZTIARA NURFITRI F34070064 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENGARUH RASIO REAKTAN DAN WAKTU SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT

LAPORAN AKHIR PENGARUH RASIO REAKTAN DAN WAKTU SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT LAPORAN AKHIR PENGARUH RASIO REAKTAN DAN WAKTU SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT Diajukan sebagai persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan Diploma III

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jarak Pagar Jarak pagar (Jatropha curcas L.) telah lama dikenal oleh masyarakat di berbagai daerah di Indonesia, yaitu sejak diperkenalkan oleh bangsa Jepang sekitar tahun 1942.

Lebih terperinci

PROSES PENGEMBANGAN TEKNOLOGI SURFAKTAN MES DARI METIL ESTER MINYAK SAWIT UNTUK APLIKASI EOR/IOR : DARI SKALA LAB KE SKALA PILOT

PROSES PENGEMBANGAN TEKNOLOGI SURFAKTAN MES DARI METIL ESTER MINYAK SAWIT UNTUK APLIKASI EOR/IOR : DARI SKALA LAB KE SKALA PILOT PROSES PENGEMBANGAN TEKNOLOGI SURFAKTAN MES DARI METIL ESTER MINYAK SAWIT UNTUK APLIKASI EOR/IOR : DARI SKALA LAB KE SKALA PILOT Erliza Hambali* 1, Ani Suryani* dan Mira Rivai* *Surfactant and Bioenergy

Lebih terperinci

PROBLEM OPEN-ENDED OSN PERTAMINA 2014 BIDANG KIMIA

PROBLEM OPEN-ENDED OSN PERTAMINA 2014 BIDANG KIMIA PROBLEM OPEN-ENDED OSN PERTAMINA 2014 BIDANG KIMIA TOPIK 1 BIOMASSA SEBAGAI SUMBER ENERGI Biomasa merupakan bahan organik yang tersedia secara terbarukan, umumnya berasal dari tumbuhan yang digunakan sebagai

Lebih terperinci

PEMANFAATAN METIL ESTER JARAK PAGAR MENJADI SURFAKTAN MES UNTUK APLIKASI SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT

PEMANFAATAN METIL ESTER JARAK PAGAR MENJADI SURFAKTAN MES UNTUK APLIKASI SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, April 2012, hlm. 8-15 ISSN 0853 4217 Vol. 17 No.1 PEMANFAATAN METIL ESTER JARAK PAGAR MENJADI SURFAKTAN MES UNTUK APLIKASI SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT (UTILIZATION

Lebih terperinci

Sodium Bisulfite as SO 3 Source for Synthesis of Methyl Ester Sulfonate Using RBD Stearin as Raw Material

Sodium Bisulfite as SO 3 Source for Synthesis of Methyl Ester Sulfonate Using RBD Stearin as Raw Material 116 IPTEK, The Journal for Technology and Science, Vol. 18, No. 4, November 27 Sodium Bisulfite as S 3 Source for Synthesis of Methyl Ester Sulfonate Using RBD Stearin as Raw Material Dieni Mansur 1, Nuri

Lebih terperinci

KELAKUAN FASA CAMPURAN ANTARA RESERVOAR-INJEKSI-SURFAKTAN UNTUK IMPLEMENTASI ENHANCED WATER FLOODING

KELAKUAN FASA CAMPURAN ANTARA RESERVOAR-INJEKSI-SURFAKTAN UNTUK IMPLEMENTASI ENHANCED WATER FLOODING PROCEEDING SIMPOSIUM NASIONAL IATMI 2001 Yogyakarta, 3-5 Oktober 2001 KELAKUAN FASA CAMPURAN ANTARA RESERVOAR-INJEKSI-SURFAKTAN UNTUK IMPLEMENTASI ENHANCED WATER FLOODING Sugihardjo 1, Edward Tobing 1,

Lebih terperinci

KAJIAN PENGARUH SUHU DAN LAMA REAKSI SULFONASI PADA PEMBUATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID

KAJIAN PENGARUH SUHU DAN LAMA REAKSI SULFONASI PADA PEMBUATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID KAJIAN PENGARUH SUHU DAN LAMA REAKSI SULFONASI PADA PEMBUATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) DARI METIL ESTER MINYAK BIJI JARAK PAGAR (Jatropha Curcas L.) MENGGUNAKAN SINGLE TUBE FALLING FILM REACTOR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Crude Palm Oil (CPO) CPO (Crude Palm Oil) merupakan minyak kelapa sawit kasar yang berwarna kemerah-merahan yang diperoleh dari hasil ekstraksi atau pengempaan daging buah kelapa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tandan Buah Segar (TBS) 100 % Brondolan 66,05 % Olein 18,97 % Gambar 1. Neraca massa pengolahan kelapa sawit

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tandan Buah Segar (TBS) 100 % Brondolan 66,05 % Olein 18,97 % Gambar 1. Neraca massa pengolahan kelapa sawit II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Sawit Kelapa sawit menghasilkan dua macam minyak yang sangat berlainan sifatnya, yaitu minyak yang berasal dari sabut (mesokarp) dan minyak yang berasal dari inti/biji

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sifat Fisiko Kimia Minyak Jarak Pagar. Minyak jarak yang digunakan pada penelitian ini berasal dari tanaman jarak pagar (Jatropha curcas Linn) yang dihasilkan dari proses

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit adalah tanaman perkebunan/industri berupa pohon batang lurus dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit adalah tanaman perkebunan/industri berupa pohon batang lurus dari II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelapa Sawit Kelapa sawit adalah tanaman perkebunan/industri berupa pohon batang lurus dari famili Palmae. Tanaman tropis ini dikenal sebagai penghasil minyak sayur yang berasal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Sumber: Anonim, 2017) Gambar 1. Bagian-bagian Buah Kelapa Sawit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Sumber: Anonim, 2017) Gambar 1. Bagian-bagian Buah Kelapa Sawit BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Sawit Kelapa sawit menghasilkan dua macam minyak yang berlainan sifatnya, yaitu minyak yang berasal dari sabut (mesokarp) dan minyak yang berasal dari biji (kernel).

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU DAN RASIO REAKTAN DALAM PEMBUATAN METIL ESTER SULFONAT DENGAN AGEN PENSULFONASI NAHSO 3 BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT

PENGARUH SUHU DAN RASIO REAKTAN DALAM PEMBUATAN METIL ESTER SULFONAT DENGAN AGEN PENSULFONASI NAHSO 3 BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT PENGARUH SUHU DAN RASIO REAKTAN DALAM PEMBUATAN METIL ESTER SULFONAT DENGAN AGEN PENSULFONASI NAHSO 3 BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT Disusun Sebagai Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Diploma III pada

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas utama yang dikembangkan di Indonesia. Dewasa ini, perkebunan kelapa sawit semakin meluas. Hal ini dikarenakan kelapa sawit dapat meningkatkan

Lebih terperinci

PENGARUH RASIO MOL REAKTAN DAN LAMA SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METHYL ESTER SULFONIC (MES) DARI METIL ESTER MINYAK SAWIT

PENGARUH RASIO MOL REAKTAN DAN LAMA SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METHYL ESTER SULFONIC (MES) DARI METIL ESTER MINYAK SAWIT PENGARUH RASIO MOL REAKTAN DAN LAMA SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METHYL ESTER SULFONIC (MES) DARI METIL ESTER MINYAK SAWIT Methyl Ester Sulfonic Sri Hidayati 1, Pudji Permadi 2, Hestuti Eni 3 1 2 3

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan bakar fosil telah banyak dilontarkan sebagai pemicu munculnya BBM alternatif sebagai pangganti BBM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Ketertarikan dunia industri terhadap bahan baku proses yang bersifat biobased mengalami perkembangan pesat. Perkembangan pesat ini merujuk kepada karakteristik bahan

Lebih terperinci

PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP

PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP Eka Kurniasih Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Lhokseumawe Jl. Banda Aceh-Medan km. 280 Buketrata Lhokseumawe Email: echakurniasih@yahoo.com

Lebih terperinci

Seminar Nasional Cendekiawan 2015 ISSN:

Seminar Nasional Cendekiawan 2015 ISSN: STUDI LABORATORIUM MENGENAI PENGARUH PENINGKATAN KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI MINYAK PADA INJEKSI SURFAKTAN DENGAN KADAR SALINITAS AIR FORMASI YANG BERVARIASI Tommy Viriya dan Lestari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir, metode pengurasan minyak tahap lanjut

BAB I PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir, metode pengurasan minyak tahap lanjut BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dalam beberapa tahun terakhir, metode pengurasan minyak tahap lanjut atau EOR (Enhanced Oil Recovery) menjadi pokok bahasan yang ramai diperbincangkan. Metode EOR

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Penelitian penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan jenis penstabil katalis (K 3 PO 4, Na 3 PO 4, KOOCCH 3, NaOOCCH 3 ) yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketergantungan dunia pada minyak bumi dan pertumbuhan permintaan dunia diduga akan terus menyebabkan kenaikan harga sumber energi utama dunia ini. Diperkirakan permintaan

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN FORMULASI SURFAKTAN BERBASIS METIL ESTER SULFONAT DARI OLEIN SAWIT UNTUK APLIKASI ENHANCED OIL RECOVERY MIRA RIVAI

PRODUKSI DAN FORMULASI SURFAKTAN BERBASIS METIL ESTER SULFONAT DARI OLEIN SAWIT UNTUK APLIKASI ENHANCED OIL RECOVERY MIRA RIVAI PRODUKSI DAN FORMULASI SURFAKTAN BERBASIS METIL ESTER SULFONAT DARI OLEIN SAWIT UNTUK APLIKASI ENHANCED OIL RECOVERY MIRA RIVAI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU DAN LAMA PROSES SULFONASI DALAM PROSES PRODUKSI METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) MENGGUNAKAN SINGLE TUBE FALLING FILM REACTOR (STFR)

PENGARUH SUHU DAN LAMA PROSES SULFONASI DALAM PROSES PRODUKSI METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) MENGGUNAKAN SINGLE TUBE FALLING FILM REACTOR (STFR) PENGARUH SUHU DAN LAMA PROSES SULFONASI DALAM PROSES PRODUKSI METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) MENGGUNAKAN SINGLE TUBE FALLING FILM REACTOR (STFR) Effects of Temperature and Sulfonation Time on Methyl

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17. Tegangan Permukaan (dyne/cm) Tegangan permukaan (dyne/cm) 6 dihilangkan airnya dengan Na 2 SO 4 anhidrat lalu disaring. Ekstrak yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan radas uap putar hingga kering.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Surfaktan

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Surfaktan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surface active agent (surfactant) merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent) yang bersifat ampifatik, yaitu senyawa yang mempunyai gugus

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Biji dan Minyak Jarak Pagar Biji jarak pagar dari PT Rajawali Nusantara ini dikemas dalam kemasan karung, masing-masing karung berisi kurang lebih 30 kg. Hasil

Lebih terperinci

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit LAMPIRAN Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit 46 Lampiran 2. Diagram alir proses pembuatan Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) Metil Ester Olein Gas SO 3 7% Sulfonasi Laju alir ME 100 ml/menit,

Lebih terperinci

Lampiran 2. Prosedur Uji Kinerja Formula Surfaktan APG untuk Enhanced Water Flooding

Lampiran 2. Prosedur Uji Kinerja Formula Surfaktan APG untuk Enhanced Water Flooding LAMPIRAN 52 Lampiran 2. Prosedur Uji Kinerja Formula Surfaktan APG untuk Enhanced Water Flooding 1. Tegangan Antar Permukaan Metode Spinning Drop (Gardener and Hayes, 1983) Cara kerja Spinning Drop Interfacial

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SURFAKTAN DAN KINERJA SURFAKTAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SURFAKTAN DAN KINERJA SURFAKTAN II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SURFAKTAN DAN KINERJA SURFAKTAN Surfaktan merupakan senyawa kimia yang memiliki aktivitas pada permukaan yang tinggi. Peranan surfaktan yang begitu berbeda dan beragam disebabkan

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Bab 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak ribuan tahun yang lalu, minyak bumi telah digunakan oleh manusia untuk berbagai keperluan. Usaha pencarian sumber minyak di dalam bumi mulai dilakukan pada tahun

Lebih terperinci

KAJIAN PROSES PRODUKSI SURFAKTAN MES DARI MINYAK SAWIT DENGAN MENGGUNAKAN REAKTAN H 2 SO 4. Oleh : SAIFUDDIN ABDU F

KAJIAN PROSES PRODUKSI SURFAKTAN MES DARI MINYAK SAWIT DENGAN MENGGUNAKAN REAKTAN H 2 SO 4. Oleh : SAIFUDDIN ABDU F KAJIAN PROSES PRODUKSI SURFAKTAN MES DARI MINYAK SAWIT DENGAN MENGGUNAKAN REAKTAN H 2 SO 4 Oleh : SAIFUDDIN ABDU F03499037 2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR KAJIAN PROSES

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Biji dan Minyak Jarak Pagar Biji jarak pagar yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari PT. Wellable Indonesia di daerah Lampung. Analisis biji jarak dilakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan adalah zat yang dapat mengaktifkan permukaan, karena cenderung untuk terkonsentrasi pada permukaan (antar muka), atau zat yang dapat menaik dan menurunkan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR. PENGARUH SUHU DAN KATALIS CaO PADA SINTESIS METIL ESTER SULFONAT (MES) BERBASIS CRUDE PALM OIL (CPO) DENGAN AGEN H2SO4

LAPORAN AKHIR. PENGARUH SUHU DAN KATALIS CaO PADA SINTESIS METIL ESTER SULFONAT (MES) BERBASIS CRUDE PALM OIL (CPO) DENGAN AGEN H2SO4 LAPORAN AKHIR PENGARUH SUHU DAN KATALIS CaO PADA SINTESIS METIL ESTER SULFONAT (MES) BERBASIS CRUDE PALM OIL (CPO) DENGAN AGEN H2SO4 Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Menyelesaikan Pendidikan Diploma

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN BAHAN ALTERNATIF METIL ESTER DARI MINYAK JELANTAH PADA SINTESIS METIL ESTER SULFONAT (MES) SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT

PENGARUH PENGGUNAAN BAHAN ALTERNATIF METIL ESTER DARI MINYAK JELANTAH PADA SINTESIS METIL ESTER SULFONAT (MES) SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT PENGARUH PENGGUNAAN BAHAN ALTERNATIF METIL ESTER DARI MINYAK JELANTAH PADA SINTESIS METIL ESTER SULFONAT (MES) SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT (OWSA) Anisa Intanika Sari Klatatiana, Wario Gusti Widodo,

Lebih terperinci

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C Lipid Sifat fisika lipid Berbeda dengan dengan karbohidrat dan dan protein, lipid bukan merupakan merupakan suatu polimer Senyawa organik yang terdapat di alam Tidak larut di dalam air Larut dalam pelarut

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pada penelitian yang telah dilakukan, katalis yang digunakan dalam proses metanolisis minyak jarak pagar adalah abu tandan kosong sawit yang telah dipijarkan pada

Lebih terperinci

Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : Buku 1 ISSN (E) :

Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : Buku 1 ISSN (E) : Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : 2460-8696 Buku 1 ISSN (E) : 2540-7589 KAJIAN LABORATORIUM MENGENAI PENGARUH SALINITAS, JENIS SURFAKTAN DAN KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP RECOVERY

Lebih terperinci

PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP. Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F

PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP. Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F34103041 2007 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS

Lebih terperinci

FORMULASI SURFAKTAN SMES SEBAGAI ACID STIMULATION AGENT UNTUK APLIKASI DI LAPANGAN KARBONAT OK VERRY PURNAMA

FORMULASI SURFAKTAN SMES SEBAGAI ACID STIMULATION AGENT UNTUK APLIKASI DI LAPANGAN KARBONAT OK VERRY PURNAMA FORMULASI SURFAKTAN SMES SEBAGAI ACID STIMULATION AGENT UNTUK APLIKASI DI LAPANGAN KARBONAT OK VERRY PURNAMA DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

KAJIAN PENGARUH SUHU DAN LAMA REAKSI SULFONASI PADA PEMBUATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID

KAJIAN PENGARUH SUHU DAN LAMA REAKSI SULFONASI PADA PEMBUATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID KAJIAN PENGARUH SUHU DAN LAMA REAKSI SULFONASI PADA PEMBUATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) DARI METIL ESTER MINYAK BIJI JARAK PAGAR (Jatropha Curcas L.) MENGGUNAKAN SINGLE TUBE FALLING FILM REACTOR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Crude Palm Oil (CPO) CPO (Crude Palm Oil) merupakan minyak kelapa sawit kasar yang berwarna kemerah-merahan yang diperoleh dari hasil ekstraksi atau pengempaan daging buah kelapa

Lebih terperinci

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN :

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN : PENGARUH PENAMBAHAN KATALIS KALIUM HIDROKSIDA DAN WAKTU PADA PROSES TRANSESTERIFIKASI BIODIESEL MINYAK BIJI KAPUK Harimbi Setyawati, Sanny Andjar Sari, Hetty Nur Handayani Jurusan Teknik Kimia, Institut

Lebih terperinci

KARAKTERISASI SURFAKTAN POLIMER PADA SALINITAS PPM DAN SUHU 85 C

KARAKTERISASI SURFAKTAN POLIMER PADA SALINITAS PPM DAN SUHU 85 C Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : 2460-8696 Buku 1 ISSN (E) : 2540-7589 KARAKTERISASI SURFAKTAN POLIMER PADA SALINITAS 15.000 PPM DAN SUHU 85 C Radityo Danisworo 1, Sugiatmo Kasmungin

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SURFAKTAN Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent) yang mempunyai struktur bipolar. Bagian kepala bersifat hidrofilik dan bagian ekor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Surfaktan (surface active agent) merupakan bahan kimia yang dapat mengubah sifat permukaan bahan yang dikenainya. Sifat aktif dari surfaktan disebabkan adanya struktur

Lebih terperinci

PERBAIKAN PROSES PRODUKSI SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT DAN FORMULASINYA UNTUK APLIKASI ENHANCED OIL RECOVERY (EOR)

PERBAIKAN PROSES PRODUKSI SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT DAN FORMULASINYA UNTUK APLIKASI ENHANCED OIL RECOVERY (EOR) PERBAIKAN PROSES PRODUKSI SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT DAN FORMULASINYA UNTUK APLIKASI ENHANCED OIL RECOVERY (EOR) PROCESS IMPROVEMENT OF METHYL ESTER SULFONATE SURFACTANT PRODUCTION AND ITS FORMULATION

Lebih terperinci

III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat 2. Bahan

III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat 2. Bahan III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat Peralatan yang digunakan untuk memproduksi MESA adalah Single Tube Falling Film Reactor (STFR). Gambar STFR dapat dilihat pada Gambar 6. Untuk menganalisis tegangan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI MINYAK Sabun merupakan hasil reaksi penyabunan antara asam lemak dan NaOH. Asam lemak yang digunakan pada produk sabun transparan yang dihasilkan berasal dari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sabun mandi padat sangat akrab dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian besar masyarakat menggunakan sabun mandi padat untuk membersihkan badan. Hal ini karena sabun mandi

Lebih terperinci

Gambar 1. Kelapa Sawit dan Hasil Pengolahan Kelapa Sawit

Gambar 1. Kelapa Sawit dan Hasil Pengolahan Kelapa Sawit BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Sawit (Palm Oil) Dari gambar 1, kelapa sawit menghasilkan dua macam minyak yang sangat berlainan sifatnya, yaitu minyak yang berasal dari sabut (mesokarp) dan minyak

Lebih terperinci

Gambar 2 Molekul Surfaktan

Gambar 2 Molekul Surfaktan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Surfaktan Surfaktan atau surface active agent adalah molekul-molekul yang mengandung gugus hidrofilik (suka air) dan lipofilik (suka minyak/lemak) pada molekul yang sama (Sheat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Prarancangangan Pabrik HPAM dari Monomer Acrylamide Kapasitas ton/tahun

BAB I PENDAHULUAN. Prarancangangan Pabrik HPAM dari Monomer Acrylamide Kapasitas ton/tahun BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Untuk mencapai suatu struktur ekonomi yang kuat diperlukan pembangunan industri untuk menunjang kebutuhan masyarakat akan berbagai jenis produk. Selain berperan dalam

Lebih terperinci

Deterjen yang pertama dibuat adalah garam natrium dari lauril hidrogen sulfat. Saat ini : kebanyakan deterjen adalah garam dari asam sulfonat

Deterjen yang pertama dibuat adalah garam natrium dari lauril hidrogen sulfat. Saat ini : kebanyakan deterjen adalah garam dari asam sulfonat Sejarah Deterjen Deterjen sintetik yang pertama dikembangkan oleh Jerman pada waktu Perang Dunia II Fritz Gunther (Jerman) : penemu surfactant sintetis dalam deterjen tahun 1916 Tahun 1933 deterjen untuk

Lebih terperinci

KAJIAN DYNAMIC CORE ADSORPTION TEST PADA PROSES OIL WELL STIMULATION MENGGUNAKAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK SAWIT

KAJIAN DYNAMIC CORE ADSORPTION TEST PADA PROSES OIL WELL STIMULATION MENGGUNAKAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK SAWIT KAJIAN DYNAMIC CORE ADSORPTION TEST PADA PROSES OIL WELL STIMULATION MENGGUNAKAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK SAWIT Oleh RIA MARIA F34102004 2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

KEMAMPUAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT

KEMAMPUAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT KAJIAN PENGARUH SUHU, LAMA PEMANASAN DAN KONSENTRASI ASAM (HCl) TERHADAP KEMAMPUAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT Oleh ASTI LESTARI F34101020 2006 FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan akan sumber bahan bakar semakin meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk. Akan tetapi cadangan sumber bahan bakar justru

Lebih terperinci

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK TUJUAN : Mempelajari proses saponifikasi suatu lemak dengan menggunakan kalium hidroksida dan natrium hidroksida Mempelajari perbedaan sifat sabun dan detergen A. Pre-lab

Lebih terperinci

OPTIMASI PROSES PEMBUATAN METIL ESTER SULFONAT DARI MINYAK INTI SAWIT ABSTRACT

OPTIMASI PROSES PEMBUATAN METIL ESTER SULFONAT DARI MINYAK INTI SAWIT ABSTRACT S. Hidayati, A. Suryani, P. Permadi, E.Hambali, Kh. Syamsu dan Sukardi OPTIMASI PROSES PEMBUATAN METIL ESTER SULFONAT DARI MINYAK INTI SAWIT Sri Hidayati 1, Ani Suryani 2, Puji Permadi 3, Erliza Hambali

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN GARAM ANORGANIK, PELARUT ALKOHOL DAN ALKALI TERHADAP FORMULA SURFAKTAN MES AIR FORMASI MINYAK (STUDI KASUS LAPANGAN SANDSTONE)

PENGARUH PENAMBAHAN GARAM ANORGANIK, PELARUT ALKOHOL DAN ALKALI TERHADAP FORMULA SURFAKTAN MES AIR FORMASI MINYAK (STUDI KASUS LAPANGAN SANDSTONE) i PENGARUH PENAMBAHAN GARAM ANORGANIK, PELARUT ALKOHOL DAN ALKALI TERHADAP FORMULA SURFAKTAN MES AIR FORMASI MINYAK (STUDI KASUS LAPANGAN SANDSTONE) RISTA FITRIA DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

Lebih terperinci

4 Pembahasan Degumming

4 Pembahasan Degumming 4 Pembahasan Proses pengolahan biodiesel dari biji nyamplung hampir sama dengan pengolahan biodiesel dari minyak sawit, jarak pagar, dan jarak kepyar. Tetapi karena biji nyamplung mengandung zat ekstraktif

Lebih terperinci