IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sifat Fisiko Kimia Minyak Jarak Pagar. Minyak jarak yang digunakan pada penelitian ini berasal dari tanaman jarak pagar (Jatropha curcas Linn) yang dihasilkan dari proses pengepresan menggunakan mesin screw press dengan kapasitas terpasang 300 kg per hari. Minyak yang dihasilkan dari proses pengepresan pada umumnya masih bercampur dengan sludge, sehingga diperlukan pemurnian melalui pengendapan. Sludge pada minyak berasal dari daging buah atau cangkang yang telah hancur, air maupun getah. Pengendapan dilakukan secara manual selama 1 minggu hingga minyak terpisah pada bagian atas dan sludge di bagian bawah. Perbedaan penampakan minyak jarak pagar sebelum dan setelah pemisahan sludge dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar 11 Minyak jarak pagar sebelum dan setelah diendapkan. Sebelum diolah menjadi metil ester, minyak jarak yang dihasilkan dianalisis terlebih dahulu untuk mengetahui sifat fisikokimianya. Data hasil analisis sifat fisiko kimia minyak jarak pagar diperlukan untuk menentukan tahapan proses yang akan digunakan dalam produksi metil ester serta untuk menentukan kebutuhan metanol dan katalis yang diperlukan. Beberapa sifat fisiko kimia yang dianalisis antara lain: bilangan asam, bilangan iod, kadar air, kandungan asam lemak bebas, densitas dan viskositas. Hasil analisis minyak jarak pagar disajikan pada Tabel 2.

2 24 Tabel 2 Hasil Analisis Sifat Fisiko Kimia Minyak Jarak Pagar. No. Sifat Fisiko Kimia Nilai Satuan 1 Bilangan asam 63,84 mg KOH / g minyak 2 Bilangan iod 97,24 mg Iod / g minyak 3 Bilangan penyabunan 211,09 mg KOH/g minyak 3 Kadar air 0,36 % 4 Kandungan asam lemak bebas 32,08 % 5 Densitas 0,91 g/cm 3 6 Viskositas (30 o C) 52,60 Cp Bilangan asam minyak jarak adalah sebesar 63,84 mg KOH/g minyak (Tabel 2). Bilangan asam merupakan jumlah milligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam-asam lemak bebas dari satu gram minyak atau lemak (Ketaren, 1986). Jika dibandingkan dengan CPO maupun produk turunan CPO lainnya seperti olein dan stearin, bilangan asam minyak jarak pagar relatif lebih tinggi. Hal ini dapat disebabkan karena adanya kerusakan minyak pada saat pengepresan maupun selama penyimpanan biji dan minyak sebelum diolah menjadi metil ester. Kandungan asam lemak bebas (FFA) minyak jarak pagar yang digunakan cukup tinggi yaitu 32,08 %. Tingginya nilai kandungan asam lemak bebas minyak tersebut terjadi karena adanya reaksi hidolisis asam lemak maupun oksidasi asam lemak. Reaksi hidrolisis asam lemak dapat terjadi pada saat masih dalam bentuk biji maupun saat proses pengendapan sludge. Pada umumnya biji jarak pagar dikeringkan dengan cara penjemuran di bawah sinar matahari. Adanya fluktuasi suhu pengeringan dan tidak seragamnya kualitas pengeringan pada biji jarak pagar serta kondisi penyimpanan konvensional diduga menjadi pemicu utama terjadinya peningkatan laju reaksi hidolisis pada biji jarak pagar. Kandungan asam lemak pada biji jarak pagar akan meningkat seiring dengan waktu penyimpanan. Selain hidrolisis, peningkatan kandungan asam lemak bebas pada minyak jarak juga dapat disebabkan karena adanya reaksi oksidasi asam lemak akibat cahaya maupun kontak dengan udara pada saat pengepresan dan pemisahan sludge.

3 25 Tingginya jumlah asam lemak tak jenuh pada minyak jarak juga menyebabkan semakin mudahnya minyak tersebut mengalami oksidasi (Hamilton, 1983). Kandungan asam lemak bebas (FFA) menjadi parameter utama dalam proses esterifikasi-transesterifikasi. Nilai asam lemak bebas (FFA) dijadikan acuan dalam menentukan tahapan proses produksi metil ester, jumlah pereaksi maupun katalis yang akan digunakan. Gerpen et al. (2004) menyatakan bahwa untuk mengkonversi minyak dengan kandungan asam lemak bebas tinggi (> 5%) menjadi metil ester harus melalui tahapan esterifikasi terlebih dahulu menggunakan katalis asam (asam sulfat). Proses ini mampu mengkonversi asam lemak menjadi metil ester secara cepat dan efektif. Walaupun terjadi pembentukan air dalam proses esterifikasi, namun dapat ditekan dengan menambahkan metanol berlebih, sehingga air akan terdilusi ke tingkat yang tidak membatasi reaksi. Menurut Gerpen et al. (2004) pada proses produksi metil ester, asam lemak bebas akan menyebabkan terjadinya deaktivasi katalis, sehingga mengganggu konversi minyak menjadi metil ester. Asam lemak bebas juga dapat bereaksi dengan sodium metoksida membentuk sabun yang menyulitkan pemisahan metil ester dan gliserol, sehingga terjadi penurunan metil ester yang dihasilkan (Sanford 2009; Formo 1954). Pelepasan air pada proses pembentukan sabun juga akan menyebabkan terjadinya reaksi hidrolisis trigliserida, sehingga pembentukan sabun menjadi lebih banyak Hasil analisis bilangan iod minyak jarak pagar adalah sebesar 97,24 mg Iod/g minyak. Bilangan iod menunjukkan derajat ketidakjenuhan atau jumlah ikatan rangkap yang terdapat pada minyak. Nilai bilangan iod minyak jarak pagar tersebut lebih tinggi jika dibadingkan dengan minyak sawit maupun turunannya. Bilangan iod minyak sawit (CPO) adalah 51,40, olein 56,10-60,60 dan stearin adalah 29,91 (mg I/g ME). Tingginya bilangan iod pada minyak jarak pagar menunjukkan banyaknya ikatan rangkap pada komponen penyusun minyak. Berdasarkan hasil analisa GC, komponen dominan asam lemak penyusun minyak jarak adalah asam oleat dengan ikatan rangkap pada rantai ke 1 dan 2 (C18:1 dan C18;2). Jumlah asam lemak oleat pada minyak jarak mencapai 63,30-90,00 % (Gubitz et al. 1999).

4 26 Kandungan air pada minyak jarak merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan sebelum proses ester-transesterifikasi. Kandungan air pada bahan baku metil ester masih dapat ditolelir hingga 1 % (Gerpen et al. 2004). Data hasil analisis pada Tabel 5 menunjukkan kadar air minyak jarak pagar adalah 0,36 %, sehingga tidak memerlukan proses pengeringan sebelum reaksi esterifikasi-transesterifikasi. Adanya air pada bahan baku metil etser tidak dikehendaki karena dapat menyebabkan hidrolisis trigliserida menjadi digliserida. Hidrolisis trigliserida menjadi digliserida akan terus berlanjut membentuk asam lemak bebas dan dapat membentuk sabun jika bereaksi dengan katalis basa. Selain menyebabkan terjadinya hidrolisis trigliserida, air yang terdapat pada minyak juga dapat bereaksi dengan katalis selama reaksi transesterifikasi membentuk sabun dan emulsi. Terbentuknya emulsi dan sabun yang berlebih akan menyebakan kesulitan pada saat pencucian metil ester serta menurunkan rendemen. Bilangan penyabunan merupakan miligram kalium hidroksida (KOH) yang diperlukan untuk menyabunkan 1 gram lemak atau minyak pada kondisi tertentu (SNI, 1992). Bilangan penyabunan dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis minyak atau lemak karena lemak atau minyak memiliki bilangan penyabunan tertentu. Berdasarkan hasil analisis, minyak jarak yang digunakan dalam penelitian ini memiliki bilangan penyabunan sebesar 211,09 mg KOH/g minyak. Bilangan penyabunan mengukur bobot molekul atau panjang rantai karbon asam lemak dalam suatu bahan. Menurut Sanford et al. (2009), semakin tinggi bilangan penyabunan menunjukkan asam lemak penyusun trigliserida memiliki panjang rantai karbon pendek. Semakin pendek rantai karbon asam lemak, maka semakin banyak kandungan asam lemak dalam 1 gram lemak, sehingga semakin banyak kebutuhan KOH untuk menyabunkannya. Demikian pula semakin tinggi bobot molekul asam lemak (semakin panjang rantai karbon) penyusun trigliserida, maka semakin sedikit asam lemak penyusunnya, sehingga KOH yang diperlukan untuk penyabunan semakin sedikit. Densitas dan viskositas merupakan karakter fisik dari minyak jarak yang diamati. Densitas merupakan ukuran massa per unit volume dari bahan atau zat. Nilai densitas minyak jarak pagar hasil analisa adalah 0,91 g/cm 3. Viskositas berkaitan erat dengan kemampuan bahan untuk mengalir. Makin kental suatu

5 27 cairan, makin besar gaya yang dibutuhkan untuk membuatnya mengalir pada kecepatan tertentu. Viskositas minyak jarak yang digunakan adalah 52,60 Cp Sifat Fisiko Kimia Metil Ester Jarak Pagar Metil ester yang digunakan dalam penelitian ini dihasilkan dari dua tahapan reaksi yaitu esterifikasi dan transesterifikasi. Esterifikasi merupakan konversi asam lemak bebas menjadi ester. Menurut Setyaningsih et al. (2007) nilai kandungan asam lemak bebas (FFA) pada minyak merupakan dasar dalam penentuan kebutuhan metanol dan katalis asam yang diperlukan dalam proses esterifikasi. Minyak jarak pagar dipanaskan pada suhu ± 55 0 C, kemudian ditambahkan methanol (225 % dari nilai FFA) dan katalis asam sulfat (5 % dari nilai FFA). Setelah dilakukan pengadukan selama 1 jam campuran tersebut dipisahkan dari bahan-bahan selain ester. Secara umum reaksi esterifikasi asamasam lemak ditunjukkan oleh persamaan berikut (Gambar 12). H 2 SO 4 Gambar 12 Reaksi esterifikasi asam lemak (Hui, 1996) Reaksi esterifikasi minyak jarak merupakan reaksi kesetimbangan yang lambat, walaupun telah dipercepat menggunakan katalis asam sulfat. Posisi kesetimbangan reaksi esterifikasi juga tidak berpihak kepada pembentukan metil ester, sehingga diperlukan reaktan metanol dalam jumlah berlebih, pemisahan produk ikutan air dari fase reaksi dan pengontrolan suhu reaksi di bawah C agar konversi asam lemak bebas menjadi metil ester sempurna. Selanjutnya dilakukan proses transesterifikasi untuk mengubah trigliserida menjadi alkil ester asam lemak. Proses transesterifikasi menggunakan alkohol sebesar 15 % dari bahan baku dan katalis basa (1% dari bahan baku). Beberapa faktor yang dapat berpengaruh diantaranya rasio mol alkohol/minyak, temperatur, kemurnian reaktan (khususnya kadar air dan kadar asam). Untuk meningkatkan pembentukan

6 28 alkil ester dan memudahkan pemisahan gliserol yang terbentuk, maka perlu memperhitungkan stokiometri reaksi transesterifikasi (Gambar 13). Kkkktalis Katalis Trigliserida Alkohol Alkil ester Gliserol Gambar 13 Proses transesterifikasi trigliserida (Gerpen et al. 2004) Mekanisme reaksi transesterifikasi terdiri dari beberapa tahapan yaitu reaksi basa dengan alkohol membentuk alkoksida dan katalis yang terprotonasi membentuk senyawa aktif. Pada saat terjadi reaksi basa dengan alkohol, nukleofilik menyerang alkoksida pada gugus karbonil trigliserida membentuk intermediet tetrahedral (persamaan reaksi 2), dari alkil ester dan anion digliserida terbentuk. Selanjutnya protonasi katalis membentuk senyawa aktif (persamaan reaksi 4) yang dapat bereaksi dengan molekul alkohol untuk memulai alur proses katalisis yang lain. Digliserida dan monogliserida diubah melalui mekanisme yang sama untuk menghasilkan campuran alkil ester dan gliserol. Secara rinci mekanisme proses transesterifikasi minyak dengan katalis basa disajikan pada Gambar 14. Data analisis sifat fisiko kimia metil ester diperlukan untuk mengetahui karakteristik metil ester yang dihasilkan. Beberapa sifat fisiko kimia metil ester yang dianalisis antara lain : bilangan penyabunan, bilangan asam, bilangan iod, kadar air, densitas, viskositas dan gliserol total. Data hasil analisa sifat fisiko kimia metil ester jarak pagar disajikan pada Tabel 3.

7 29 Gambar 14 Mekanisme transesterifikasi minyak dengan katalis basa (Schuchardta et al. 1998) Tabel 3 Hasil Analisis Sifat Fisikokimia Metil Ester Jarak Pagar No. Analisis sifat fisiko kimia Nilai Satuan 1 Bilangan penyabunan 198,12 mg KOH / g minyak 2 Bilangan asam 0,46 ml KOH / g minyak 3 Bilangan iod 92,60 mg Iod / g minyak 4 Kadar air 0,02 % 5 Densitas 0,88 g/cm 3 6 Viskositas (30 o C) 3,60 Cp 7 Gliserol total 0,92 % Bilangan asam metil ester jarak pagar mengalami penurunan secara drastis dibandingkan minyak jarak pagar. Reaksi esterifikasi minyak jarak pagar telah mengubah asam lemak bebas menjadi metil ester, sehingga jumlah milligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam-asam lemak bebas dari satu gram minyak atau lemak menjadi lebih kecil. Bilangan penyabunan dan bilangan iod metil ester jarak pagar tidak mengalami perbedaan secara signifikan.dengan minyak jarak pagar. Bilangan

8 30 penyabunan minyak jarak pagar adalah 211,09 mg KOH/g minyak, sedangkan setelah menjadi metil ester menjadi 198,12 mg KOH/g minyak. Bilangan iod metil ester jarak pagar berada pada kisaran 92,60 97,24 mg Iod/g minyak. Bilangan iod menunjukkan jumlah ikatan rangkap pada bahan. Konversi minyak jarak pagar menjadi metil ester, baik pada reaksi esterifikasi maupun transesterifikasi tidak menyerang ikatan rangkap rantai karbon pada minyak jarak. Salah satu parameter penting metil ester yang mempengaruhi proses sulfonasi adalah kadar air. Selain dapat menghidrolisis ester membentuk asam lemak bebas, air pada metil ester juga mempengaruhi pengikatan gugus sulfonat pada reaksi sulfonasi. Oleh karena itu kadar air metil ester harus lebih kecil daripada 0,05% sesuai dengan standar ASTM Nilai kadar air metil ester jarak pagar adalah 0,02 %, sehingga tidak memerlukan proses pengeringan. Densitas metil ester jarak pagar lebih kecil dibandingkan minyak jarak pagar. Jika densitas minyak jarak pagar adalah 0,91 g/cm 3, maka pada metil ester hanya sebesar 0,88 g/cm 3. Penurunan nilai densitas tersebut dapat diakibatkan karena adanya pengikatan gugus OH dari metanol yang memiliki densitas lebih kecil. Selain densitas, viskositas metil ester juga mengalami penurunan selama proses trans/esterifikasi. Viskositas metil ester jarak pagar hanya sebesar 3,60 Cp, sedangkan viskositas minyak jarak pagar mencapai 52,60 Cp. Adanya pengikatan gugus OH pada ester dan pemisahan produk dengan gliserin menyebabkan menurunnya viskositas metil ester jarak pagar. Gliserol total merupakan jumlah gliserol bebas dan gliserol terikat. Gliserol terikat merupakan gliserol yang terdapat atau terikat pada molekul mono-, di-, dan trigliserida, sedangkan Gliserol bebas merupakan gliserol dalam bentuk molekul gliserol pada metil ester yang disebabkan oleh pemisahan yang tidak sempurna antara ester dan gliserol setelah proses transesterifikasi. Hal ini terjadi karena pencucian dengan air yang tidak sempurna yang tidak secara efektif memisahkan gliserol dari metil ester. Standar total gliserol metil ester untuk bahan bakar (ASTM 6584) yakni 0,24%, sedangkan hasil analisis mencapai 0,92 %. Total gliserol yang tinggi merupakan indikator kurang sempurnanya proses esterifikasi/transesterifikasi.

9 Sulfonasi Metil Ester Jarak Pagar Reaksi sulfonasi terjadi karena molekul SO 3 dapat bereaksi dengan atom karbon dengan ikatan rangkap atau dengan oksigen pada gugus hidrofilik sesuai dengan kelakuan elektrofilik yang bisa ditentukan oleh struktur kimianya. Proses sulfonasi berlangsung secara cepat pada single tube falling film reactor (STFR). Umpan metil ester jarak pagar yang telah dipanaskan kemudian dipompakan naik ke head reactor kemudian masuk ke liquid chamber membentuk lapisan film tipis. Instalasi single tube falling film reactor (STFR) yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 15. a e b f c g h d i j k l Keterangan : a. Pipa input gas SO 3 g. Pipa bay pass b. Kepala reaktor h. Pipa pengumpan ME c. Pipa input ME i. Tabung penampung MESA d. Pipa output MESA j. Saluran output MESA e. Tube k. Heater f. Absorber gas SO 3 l. Thermo control. Gambar 15 Reaktor STFR sistem kontinyu.

10 32 Gas SO 3 yang digunakan pada instalasi single tube falling film reactor (STFR) milik Laboratorium SBRC diperoleh dari produk antara dalam proses produksi H 2 SO 4 di PT Mahkota Indonesia. H 2 SO 4 diperoleh melalui proses pencairan sulfur pada suhu o C. Selanjutnya sulfur cair tersebut beserta udara kering dibakar pada suhu o C untuk menghasilkan sulfur dioksida (SO 2 ). Kemudian sulfur dioksida (SO 2 ) tersebut dioksidasi menjadi SO 3 dalam empat bed konverter menggunakan katalis V 2 O 5 pada suhu o C. Absorpsi SO 3 oleh metil ester dalam reaktor falling film ditunjukkan oleh mekanisme reaksi cepat yang membentuk senyawa intermediet yang umumnya merupakan adduct (campuran) atau anhidrida. Selanjutnya senyawa intermediet (II) pada kondisi kesetimbangan akan mengaktivasi karbon α untuk tersulfonasi membentuk intermediet (III). Senyawa intermediet (III) merupakan methyl ester sulfonic acid (MESA) yang akan menjadi MES setelah proses netralisasi. Mekanisme reaksi sulfonasi metil ester disajikan pada Gambar 16. Gambar 16 Mekanisme reaksi pembentukan MESA pada reaktor falling film (Mac Athur et al. 1998) Sulfonasi metil ester menggunakan gas SO 3 merupakan reaksi eksotermis yang menghasilkan sekitar 40 kcal setiap reaksinya. Reaksi tersebut berlangsung spontan, sehingga gas SO 3 harus diencerkan terlebih dahulu pada udara kering untuk menghindari degradasi produk. Sulfonasi metil ester merupakan kombinasi dari reaksi fisikokimia, yaitu kontak fase gas dan liquid, absorpsi SO 3 dari fase gas dalam udara kering serta reaksi dalam fase liquid itu sendiri. Prinsip reaksi sulfonasi pada reaktor yang ideal mampu melakukan kontak dua reaktan secara sempurna dalam waktu singkat pada reaksi orde pertama, sehingga dapat memberikan kontrol terbaik pada antarmuka (interface) gas dan liquid.

11 33 Mekanisme pengontrolan kecepatan reaksi absorpsi SO 3 oleh metil ester pada reaktor sulfonasi adalah dengan menjaga ketebalan lapisan film dari umpan agar tetap konstan sepanjang tube selama proses sulfonasi. Turbulensi aliran ME pada tube harus dihindari karena akan menghambat reaksi sulfonasi. Turbulensi dapat mengakibatkan rasio umpan menjadi lebih besar terhadap gas SO 3, sehingga proses sulfonasi menjadi tidak sempurna. Pergerakan pada tube akibat lapisan umpan yang terlalu tipis juga akan menyebabkan terjadinya penyumbatan produk MESA karena terjadinya oversulfonated. Untuk menghindari masalah tersebut diperlukan flow control khusus yang dapat mengukur jumlah gas SO 3 yang masuk ke dalam reaktor. Rasio metil ester dengan gas SO 3 dapat dipertahankan pada nilai 1:1,2 (Mac Athur et al. 1998). Perhitungan rasio mol metil ester dengan gas SO 3 dapat dilihat pada Lampiran 4. Proses sulfonasi metil ester jarak pagar dilakukan selama 6 jam. Untuk mengetahui titik stasioner (proses sulfonasi mencapai kondisi stabil), maka dilakukan sampling tiap 1 jam. Beberapa faktor yang mempengaruhi dalam proses sulfonasi metil ester jarak pagar adalah pengaturan panas reaktor, kecepatan aliran bahan baku, sifat rheologi bahan baku serta lama reaksi sulfonasi. Oleh karena itu dilakukan penentuan kondisi proses sulfonasi metil ester. Penggunaan steam untuk pengaturan panas reaktor ternyata menyebabkan produk gosong (overheated) dan pembentukan kerak pada kolom reaktor. Kerak yang terbentuk pada kolom menyebabkan penyumbatan, sehingga proses sulfonasi harus segera dihentikan. Selain merusak pembentukan metil ester surfaktan, kerak tersebut juga menyulitkan proses pengeluaran produk dari reaktor sulfonasi. Oleh karena itu, pengaturan panas pada reaktor dilakukan dengan memanfaatkan proses pemanasan pada tangki umpan. Suhu umpan diatur pada temperatur 80 o C, 90 o C dan 100 o C Kecepatan aliran umpan diatur dengan menggunakan kran pada pipa saluran umpan dan kran pada pipa by pass, sedangkan jumlah SO 3 yang masuk ke dalam reaktor diatur menggunakan kran gas. Kecepatan aliran umpan yang digunakan pada penelitian ini adalah pada kisaran ±75 ml/ menit, sedangkan kran gas SO 3 dibuka penuh.

12 34 Reaksi sulfonasi ME menjadi MES pada reaktor falling film terjadi dalam beberapa tahap. Menurut Lewandowski dan Schwuger (2003), pada tahap pertama atom O pada gugus karbonil yang bersifat sangat elektromagnetik akan menarik semua elektron ke arahnya, sehingga atom C pada gugus karbonil menjadi kekurangan elektron. Atom O pada molekul SO 3 yang juga bersifat sangat elektronegatif akan mudah berikatan dengan C pada karbonil, sehingga atom S yang kekurangan elektron dengan mudah berikatan dengan gugus -OCH3 pada ester sehingga membentuk senyawa alfaketoenol berupa asam sulfat anhidrid (I). Senyawa berupa alfa keto enol dapat mengalami toutomerisasi sehingga senyawa anhidrid ini berada dalam keadaan setimbang dengan bentuk enolnya (II), dimana ikatan rangkapnya diserang oleh molekul SO 3 kedua. Molekul SO 3 terikat pada ikatan π di ikatan rangkap dan terbentuk ikatan hidrogen antara atom H dan atom O pada gugus SO 3 sebelumnya (III). Senyawa yang terbentuk merupakan senyawa anhidrid dengan dua gugus sulfonat yang terikat pada C-α dan pada gugus karboksil (IV). Reaksi pada tahap kedua berlangsung lebih lambat, dimana senyawa sulfonat anhidrid akan mengalami restrukturisasi membentuk ester sulfonat dan melepaskan satu molekul SO 3 yang pada awalnya terikat pada gugus karboksil. SO 3 yang dilepaskan tersebut akan mensulfonasi molekul ME yang lain dan menghasilkan MESA. Dengan demikian agen pensulfonasi yang sebenarnya pada proses sulfonasi ME adalah senyawa anhidrid sulfonat yang terbentuk. Mekanisme reaksi sulfonasi dapat dilihat pada Gambar 17.

13 35 Gambar 17 Mekanisme reaksi sulfonasi ME (Lewandowski dan Schwuger, 2003) 4.4. Pengaruh suhu dan waktu proses sulfonasi metil ester jarak pagar Densitas Densitas menyatakan kerapatan antar molekul dalam material yang didefinisikan sebagai rasio antara massa dan volume material. Pada umumnya densitas dikaitkan dengan viskositas, yaitu cairan yang lebih padat (densitasnya tinggi) memiliki viskositas lebih tinggi dibandingkan cairan yang densitasnya rendah. Pengukuran nilai densitas dilakukan dengan menggunakan gelas piknometer. Nilai densitas MESA jarak pagar berkisar antara 0,913 cp sampai

14 36 1,038 cp. Hasil analisis ragam (α= 0,05) pengaruh waktu pemanasan umpan terhadap densitas MESA menunjukkan bahwa pada ketiga waktu pemanasan bahan menunjukkan pengaruh yang nyata pada nilai densitas, sedangkan suhu dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata. Hasil analisis ragam suhu, waktu pemanasan bahan dan interaksinya terhadap nilai densitas MESA secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5. Hasil uji lanjut BNT (α= 0,05) menunjukkan bahwa densitas MESA pada lama proses sulfonasi 0 jam, 2-3 jam dan 6 jam saling berbeda nyata, sedangkan lama proses sulfonasi antara 1-5 jam tidak saling berbeda nyata. Nilai densitas MESA tertinggi diperoleh pada perlakuan suhu pemanasan umpan 80 o C pada jam ke 6. Lama pemanasan bahan berpengaruh terhadap gaya kohesi (tarik menarik) antar molekul pada cairan. Pemanasan secara terus menerus akan mengurangi gaya kohesi dan meningkatkan perubahan molekul di dalamnya termasuk melemahnya ikatan C-S, sehingga SO 3 terlepas yang mengakibatkan massa per satuan volume (densitas) berkurang. Pada umumnya nilai densitas MESA semakin meningkat seiring dengan lamanya waktu reaksi. Peningkatan nilai densitas tersebut menunjukkan reaksi sulfonasi menuju kesetimbangan. Walaupun secara statistik suhu input dan lama sulfonasi 4, 5, dan 6 jam tidak berpengaruh nyata, namun grafik nilai densitas pada suhu sulfonasi C terlihat menurun dari 0,98 g/cm 3 menjadi 0,96 g/cm 3. Hal ini dapat terjadi karena adanya fluktuasi input gas SO 3 yang masuk ke dalam reaktor. Gas SO 3 yang digunakan dalam penelitian ini diambil langsung dari proses produksi di PT. Mahkota Indonesia, sehingga perubahan walaupun dalam jumlah kecil di pabrik dapat menyebabkan perubahan yang signifikan pada hasil penelitian sulfonasi metil ester. Grafik nilai densitas MESA jarak pagar selama proses sulfonasi dapat dilihat pada Gambar 18. Peningkatan densitas dapat digunakan untuk menunjukkan adanya peningkatan bobot molekul akibat adanya pengikatan SO 3 pada gugus alfa atau rantai karbon lainnya. Reakasi metil ester dengan SO 3 akan membentuk senyawa intermediet berupa senyawa anhidrad, dimana pada kondisi kesetimbangan, senyawa tersebut akan mengaktifkan gugus alfa karbon metil ester, sehingga

15 37 membentuk MESA (Mac Arthur et al. 1998). Penambahan gugus sulfonat pada hidrokarbon tersebut menyebabkan peningkatan bobot molekul dan nilai densitas. Gambar 18 Grafik densitas MESA jarak pagar pada setiap suhu input sebagai akibat dari perbedaan waktu proses sulfonasi Sifat fisik densitas mempunyai korelasi dengan viskositas, dimana MESA yang mempunyai densitas rendah mempunyai viskositas yang encer. Menurut Holmberg (2002) kenaikan viskositas disebabkan karena meningkatnya konsentrasi partikel, demikian pula sifat alir bahan tergantung pada viskositas dan densitas cairan. Cairan yang mudah mengalir dikatakan memiliki viskositas rendah (encer) dan sebaliknya bahan-bahan yang sulit mengalir memiliki viskositas yang tinggi. Salah satu faktor yang mempengaruhi nilai densitas dan viskositas suatu bahan adalah pemanasan. Suhu bahan yang terlalu tinggi dalam waktu yang lama dapat menyebabkan melemahnya atau degradasi ikatan antar molekul yang mengakibatkan pemutusan ikatan antar molekul. Perubahan atau pemutusan ikatan molekul tersebut dapat menyebabkan terjadinya penurunan kerapatan massa yang menyebabkan menurunnya densitas dan viskositas Viskositas Viskositas merupakan salah satu sifat fluida yang dipengaruhi oleh ukuran dan gaya antar molekul. Terikatnya gugus sulfonat pada ME selama proses sulfonasi menyebabkan MESA cenderung memiliki ukuran molekul yang lebih

16 38 besar, sehingga memiliki viskositas yang lebih tinggi dibandingkan dengan ME. Hasil analisis viskositas methyl ester sulfonic acid (MESA) dari metil ester jarak pagar berkisar antara 11,45-466,50 cp. Hasil análisis ragam (α= 0,05) menunjukkan bahwa lama proses sulfonasi dan interaksi antara waktu dan suhu input bahan mempunyai pengaruh nyata terhadap nilai viskositas, sedangkan suhu bahan tidak berpengaruh nyata. Hasil uji lanjut BNT (α= 0.05) menunjukkan bahwa rata rata nilai viskositas suhu input 80 o C saling berbeda pada semua waktu proses kecuali viskositas pada lama proses sulfonasi 2, 3 dan 4 jam. Pada suhu input 90 o C, ratarata viskositas MESA yang diperoleh dari lama proses sulfonasi 0 dan 6 jam berbeda nyata dengan yang lainnya, sedangkan viskositas pada lama proses sulfonasi 1 sampai 5 jam tidak berbeda nyata. Pada suhu input 100 o C, rata-rata viskositas MESA yang diperoleh dari lama proses sulfonasi 0-1 jam, 2-3 jam dan 4-6 jam saling berbeda nyata dengan yang lainnya, sedangkan viskositas pada lama proses sulfonasi antara 0-1 jam, 2-3 jam dan 4-6 jam tidak berbeda nyata. Grafik viskositas MESA jarak pagar pada setiap suhu input disajikan pada Gambar 19. Gambar 19 Grafik viskositas MESA jarak pagar pada setiap suhu input sebagai akibat dari perbedaan waktu proses sulfonasi

17 39 Nilai viskositas berbanding terbalik dengan perubahan suhu. Kenaikan suhu akan melemahkan ikatan antar molekul suatu jenis cairan, sehingga menurunkan viskositasnya. Suhu sulfonasi yang semakin tinggi ( 80 o C) akan melemahkan ikatan antar molekul, khusunya ikatan antara C-S, sehingga mudah melepaskan SO 3. Pelepasan gas SO 3 akan menyebabkan berat molekulnya menurun, sehingga viskositasnya juga menurun. Rata-rata nilai viskositas MESA pada suhu 80, 90 dan 100 o C cenderung meningkat seiring dengan lama proses sulfonasi. Hal ini terjadi karena molekul semakin merapat sehingga molekul-molekul pada tiap bahan berkumpul dan menyebabkan masa memadat karena suhu yang digunakan rendah. Diduga suhu yang semakin tinggi selama proses sulfonasi mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas metil ester dan peningkatan kecepatan aliran bahan di dalam reaktor, sehingga reaksi bahan dengan gas SO 3 tidak optimal Warna MESA jarak pagar yang dihasilkan berwarna gelap dengan kisaran nilai adsorbansi antara 0,12-1,23 A. Warna gelap tersebut terjadi karena reaksi reaktif gas SO 3 terhadap metil ester jarak pagar sehingga terbentuk senyawa polisulfonat yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi. Perubahan warna tersebut sudah dapat dilihat secara visual sejak jam ke 1. Warna hitam merupakan sifat yang dihasilkan oleh proses sulfonasi ME. Metil ester yang mengandung asam lemak tidak jenuh menghasilkan produk berwarna hitam, karena terbentuknya senyawa polisulfonat yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi. Reaksi utama yang terjadi pada proses sulfonasi adalah konversi senyawa sulfonat anhidrid menjadi MESA dan reaksi SO 3 dengan ME yang belum terkonversi. Reaksi tersebut terjadi melalui reaksi bolak-balik pembentukan senyawa β-sulfonat anhidrid siklik dan metil sulfonat (CH 3 OSO 3 H). Selain reaksi tersebut, pada sulfonasi juga terjadi reaksi minor, yaitu senyawa β-sulfonat anhidrid siklik mengalami reaksi bolak-balik cincin unimolekular terbuka menjadi zwitterion dengan melepaskan karbon monoksida. Asam sulfonat alkena yang terbentuk pada reaksi tersebut berperan sebagai kromofor yang menyebabkan

18 40 warna gelap. Mekanisme reaksi terbentuknya senyawa kromofor dalam proses sulfonasi ME menurut Roberts et al. (2008) disajikan pada Gambar 20. Gambar 20 Mekanisme reaksi pembentukan senyawa kromofor (Roberts et al. 2008) Hasil análisis ragam (α= 0,05) menunjukkan bahwa lama proses sulfonasi dan interaksinya dengan suhu input mempunyai pengaruh nyata terhadap warna MESA, sedangkan suhu input tidak berpengaruh nyata. Hasil uji lanjut BNT (α= 0,05) menunjukkan bahwa rata rata warna MESA dengan suhu input 80 o C dengan lama proses sulfonasi 0 jam, 1 jam, 2-3 jam dan 4-6 jam saling berbeda nyata, sedangkan lama proses sulfonasi antara 2-3 jam dan 4-6 jam tidak saling berbeda nyata. Pada suhu input 90 o C, rata-rata warna MESA yang diperoleh dari lama proses sulfonasi 0 jam berbeda nyata dengan yang lainnya kecuali dengan lama proses sulfonasi 1 jam, sedangkan lama proses antara 1-4 jam tidak saling berbeda nyata. Rata-rata nilai warna MESA lama proses 1 jam dan 6 jam berbeda nyata dengan yang lainnya kesuali dengan lama proses 5 jam, sedangkan antara lama proses sulfonasi 4 dan 5 jam tidak berbeda nyata. Pada suhu input 100 o C, ratarata warna MESA yang diperoleh dari lama proses sulfonasi 0-4 jam berbeda nyata dengan 5 dan 6 jam, sedangkan antara 0-4 jam tidak saling berbeda nyata. Grafik hasil analisa warna MESA jarak pagar selama proses sulfonasi dapat dilihat pada Gambar 21.

19 41 Gambar 21 Grafik warna MESA jarak pagar pada setiap suhu input sebagai akibat dari perbedaan waktu proses sulfonasi ph Nilai ph atau derajat keasaman digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan suatu bahan. Menurut Fessenden (1995) nilai ph merupakan logaritma negatif dari kosentrasi ion hidrogen. Nilai ph juga berkaitan dengan konsentrasi ion hidrogen sebagai bagian komponen keasaman dan konsentrasi ion hidroksil sebagai bagian komponen kebasaan (Rondinini et al. 2001). Pada kondisi ph netral maka konsentrasi kedua ion tersebut seimbang namun jika konsentrasi ion hidrogen lebih besar dibanding ion hidroksil maka ph cenderung asam (rendah). Pada umumnya nilai ph suatu bahan berada pada kisaran nilai Kisaran nilai ph 0-6 menunjukkan bahan bersifat asam, sedangkan kisaran nilai ph 8-14 menunjukkan bahan bersifat basa. Hasil pengukuran ph MESA jarak pagar berkisar antara 1,365 hingga 0,673. Hasil analisa ragam (α= 0,05) menunjukkan bahwa lama waktu proses sulfonasi menunjukkan pengaruh nyata terhadap ph MESA, sedangkan suhu pemanasan bahan dan interaksi keduanya tidak menunjukkan pengaruh nyata. Hasil analisis ragam pengaruh suhu umpan dan lama proses sulfonasi terhadap nilai ph MESA secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 8. Hasil uji lanjut BNT menunjukkan bahwa ph MESA pada waktu pemanasan jam ke-0 sampai jam ke-3 tidak berbeda nyata, sedangkan waktu pemanasan pada jam ke -2, -4 hingga ke -6 berbeda nyata. Hal ini dapat dijadikan salah satu indikasi telah tercapainya kondisi tunak. Selama proses sulfonasi dari

20 42 jam ke 0 hingga ke 3 karakteristik MESA tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, sedangkan setelah proses sulfonasi berjalan 4 jam baru terbentuk produk MESA dengan karakteristik yang berbeda nyata. Pada umumnya derajat keasaman MESA untuk semua perlakuan suhu pada waktu proses sebelum jam ke 4 berkisar antara 1,04-1,37, sedangkan nilai derajat keasaman MESA setelah waktu proses jam ke 4 berkisar antara 0,67 0,89. Adanya penurunan nilai ph mulai jam ke 4 menunjukkan proses sulfonasi telah mencapai kesetimbangan. Penurunan nilai ph ini disebabkan karena adanya reaksi sulfonasi ME dengan gas SO 3 yang membentuk metil ester sulfonat bersifat asam. Semakin lama proses sulfonasi, maka pengikatan SO 3 oleh ME terjadi di dalam reaktor sulfonasi akan semakin banyak, sehingga ph semakin rendah. Grafik derajat keasaman (ph) MESA jarak pagar selama proses sulfonasi disajikan pada Gambar 22. Gambar 22 Grafik derajat kesaman (ph) MESA jarak pagar pada setiap suhu input sebagai akibat dari perbedaan waktu proses sulfonasi Nilai ph pada tiap perlakuan suhu cenderung menurun seiring dengan bertambahnya waktu reaksi sulfonasi. Penurunan nilai ph pada MESA menunjukkan telah terjadinya reaksi absorpsi gas SO 3 oleh metil ester pada proses sulfonasi. Pada proses sulfonasi, gugus sulfur pada SO 3 akan berikatan langsung pada rantai karbon ME membentuk methyl ester sulfonic acid (MESA) yang mengandung gugus SO 3 H. Dengan demikian, semakin lama proses sulfonasi,

21 43 maka akan semakin banyak gugus SO 3 H yang terikat pada molekul ME. Gugus - SO 3 H di dalam air akan terdisosiasi menjadi SO 3 dan H +, sehingga akan menurunkan nilai ph Bilangan Iod Nilai bilangan iod mencerminkan ketidakjenuhan asam lemak penyusun minyak. Bilangan iod mengukur jumlah ikatan rangkap/ketidakjenuhan pada minyak, dimana semakin sedikit jumlah ikatan rangkap maka bilangan iod akan menurun. Hasil analisa bilangan iod MESA jarak pagar berkisar antara 32,29-63,91 mg Iod/g bahan. Hasil analisa ragam (α= 0,05) menunjukkan bahwa lama proses sulfonasi dan interaksi suhu dan waktu pemanasan umpan berpengaruh nyata terhadap nilai bilangan iod MESA, sedangkan suhu bahan tidak berpengaruh nyata. Hasil uji lanjut BNT (α= 0,05) menunjukkan bahwa rata rata nilai bilangan iod pada suhu 80 o C lama proses sulfonasi ke 0 jam berbeda nyata dengan yang lainnya, sedangkan lama solfonasi antara 1-6 jam tidak saling berbeda nyata. Pada suhu input 90 o C, rata-rata nilai bilangan iod MESA yang diperoleh dari lama proses sulfonasi 6 jam berbeda nyata dengan yang lainnya kecuali dengan lama proses sulfonasi 2 jam, sedangkan lama proses antara 0-5 jam tidak saling berbeda nyata. Pada suhu input 100 o C, rata-rata nilai bilangan iod MESA yang diperoleh pada lama proses sulfonasi 0 jam, 1-3 jam dan 4-6 jam saling berbeda nyata, sedangkan lama proses sulfonasi antara 1-3 jam dan 4-6 jam tidak saling berbeda nyata. Hasil analisis ragam suhu pemanasan bahan terhadap nilai bilangan iod MESA secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 9. Berdasarkan hasil analisis, nilai bilangan iod cenderung menurun seiring dengan waktu reaksi. Hal ini diduga terjadi karena adanya reaksi SO 3 dengan rantai tidak jenuh, walaupun dalam produksi MES yang diharapkan adalah SO 3 terikat pada C-α. Semakin lama proses sulfonasi, maka kemungkinan adisi SO 3 pada ikatan rangkap juga semakin besar. Adanya proses oksidasi termal juga dapat menyebabkan jumlah ikatan rangkap pada bahan semakin menurun. Grafik bilangan iod MESA jarak pagar selama proses sulfonasi dapat dilihat pada Gambar 23.

22 44 Gambar 23 Grafik bilangan iod MESA jarak pagar pada setiap suhu input sebagai akibat dari perbedaan waktu proses sulfonasi Bilangan Asam Rata-rata nilai bilangan asam MESA pada suhu 80, 90 dan 100 o C berkisar antara 4,42-21,07 mgkoh/g. Hasil análisis ragam (α= 0,05) menunjukkan bahwa lama proses sulfonasi mempunyai pengaruh nyata terhadap nilai bilangan asam, sedangkan suhu dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata. Hasil uji lanjut BNT (α= 0,05) menunjukkan bahwa rata rata nilai bilangan asam selama proses sulfonasi saling berbeda kecuali bilangan asam pada lama proses sulfonasi 2-3 jam dan 4-5 jam. Hasil analisis ragam suhu pemanasan bahan terhadap nilai bilangan iod MESA secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 10. Nilai bilangan asam MESA cenderung meningkat seiring dengan lama proses sulfonasi. Hasil penelitian menunjukkan bilangan asam MESA dan ph MESA berhubungan dengan terikatnya SO 3 yang bersifat asam dalam struktur molekul produk yang tersulfonasi. Meningkatnya bilangan asam akan ditandai dengan meningkatnya jumlah SO 3 yang terikat pada molekul ME dan ditunjukkan dengan nilai ph yang rendah dan sebaliknya ketika jumlah SO 3 yang terikat pada ME ini berkurang, maka nilai ph menjadi tinggi. Grafik bilangan asam MESA jarak pagar pada setiap suhu input proses sulfonasi disajikan pada Gambar 24.

23 45 Gambar 24 Grafik bilangan asam MESA jarak pagar pada setiap suhu input sebagai akibat dari perbedaan waktu proses sulfonasi. Proses sulfonasi pada kisaran suhu o C akan meningkatkan jumlah molekul SO 3 yang terikat di Cα, ikatan rangkap dan gugus karboksil pada rantai karbon ME. Semakin banyak jumlah SO 3 terikat, maka akan semakin tinggi bilangan asam MESA. Berdasarkan hasil penelitian, bilangan asam MESA berkorelasi negatif dengan nilai ph MESA. Kedua parameter ini berhubungan dengan terikatnya SO 3 dalam struktur molekul produk. Peningkatan bilangan asam menunjukan meningkatnya jumlah SO 3 yang terikat pada molekul ME yang ditunjukkan dengan nilai ph yang rendah. Demikian pula jika jumlah SO 3 yang terikat pada ME berkurang akan ditunjukan dengan nilai ph yang tinggi Bahan Aktif Kinerja deterjensi surfaktan sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya jumlah bahan aktif yang terdapat di dalam surfaktan tersebut. Oleh karena itu, salah satu parameter penting surfaktan adalah nilai kandungan bahan aktifnya. Bahan aktif methyl ester sulfonic acid (MESA) dari metil ester jarak pagar memiliki kandungan bahan aktif pada kisaran antara 2,50 % sampai 15,01 %. Hasil analisis bahan aktif secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 11.

24 46 Hasil análisis ragam (α= 0,05) menunjukkan bahwa lama proses sulfonasi dan interaksi dengan suhu input mempunyai pengaruh nyata, sedangkan suhu input tidak berpengaruh nyata terhadap kadar bahan aktif. Hasil uji lanjut BNT (α= 0,05) menunjukkan rata rata kadar bahan aktif suhu input 80 o C dengan lama proses sulfonasi 0 jam dan 6 jam berbeda nyata dengan yang lainnya, sedangkan nilai bahan aktif lama sulfonasi antara 2-5 tidak berbeda nyata. Pada suhu 90 o C rata-rata bahan aktif yang diperoleh dari lama proses 0 jam, 2, jam dan 5-6 jam berbeda nyata dengan yang lainnya, sedangkan lama proses sulfonasi 3 jam dan 4 jam tidak berbeda nyata. Pada suhu 100 o C rata-rata bahan aktif yang diperoleh saling berbeda nyata, kecuali antara 0-3 jam dan 4-5 jam. Jika dibandingkan dengan methyl ester sulfonic acid (MESA) berbasis CPO, stearin dan olein, nilai bahan aktif MESA dari jarak pagar relatif lebih rendah. Pada umumnya nilai kandungan bahan aktif MESA jarak pagar cenderung meningkat seiring dengan lamanya proses sulfonasi (Gambar 25). Gambar 25 Grafik bahan aktif MESA jarak pagar pada setiap suhu input sebagai akibat dari perbedaan waktu proses sulfonasi Kadar bahan aktif MESA rata-rata meningkat selama proses sulfonasi. Menurut Moretti et al. (2001) total bahan aktif pada MES pasta berkisar antara

25 %. Untuk mencapainya diperlukan perbaikan proses diantaranya kontrol yang akurat terhadap rasio mol metil ester terhadap gas SO 3, konsentrasi gas SO 3, kualitas bahan baku dan kondisi reaktor. Rendahnya kadar bahan aktif yang diperoleh pada penelitian ini apabila dibandingkan dengan Moretti et al. (2001), diduga disebabkan tidak dilakukannya proses aging yang dapat menyempurnakan konversi senyawa sulfonat anhidrid menjadi MESA Penentuan Kondisi Terbaik dan Uji Kinerja MES Jarak Pagar Penetuan kondisi terbaik proses sulfonasi ME dilakukan dengan melihat peningkatan bahan aktif sebagai parameter utama dalam proses sulfonasi. Berdasarkan hasil penelitian, peningkatan kadar bahan aktif terbaik diperoleh pada suhu proses sulfonasi 80 o C dengan kondisi tunak dicapai setelah lama proses 4 jam. Nilai bahan aktif setelah proses sulfonasi berjalan selama 4 jam adalah 13,04 %. Selanjutnya MESA yang diperoleh dinetralkan menggunakan NaOH 50 % dan dilakukan pengukuran nilai tegangan permukaan (IFT). Aplikasi MES dari ME jarak pagar dalam penelitian ini adalah untuk mencari surfaktan yang dapat digunakan dalam aplikasi teknologi EOR minyak bumi. Salah satu parameter utama karakteristik sumur minyak bumi yang menjadi acuan utama kegiatan EOR antara lain salinitas (kadar garam). Sebelum diaplikasikan dalam kegiatan EOR, maka suatu surfaktan harus terlebih dahulu menjalani uji kesesuaian dan kinerja dalam recovery minyak bumi. Surfaktan yang digunakan harus mempunyai karakteristik tertentu yang sesuai dengan jenis sumur yang melakukan kegiatan EOR. Setelah surfaktan tersebut layak digunakan, selanjutnya akan diformulasikan sesuai dengan karakteristik sumur yang menjadi target aplikasi. Pengujian ketahanan terhadap salinitas dilakukan pada tingkatan salinitas , dan ppm. Level salinitas tersebut merupakan kisaran yang mewakili mayoritas sumur-sumur minyak bumi di Indonesia. Hasil pengujian ketahanan surfaktan MES terhadap faktor salinitas air formasi dapat dilihat pada Tabel 4.

26 48 Tabel 4 Nilai IFT pada berbagai tingkat salinitas Salinitas (ppm) Nilai IFT (dyne/cm) Blanko 7, , , ,492 Pada Tabel 4 terlihat bahwa salinitas memberikan pengaruh terhadap nilai IFT surfaktan MES dengan meningkatnya nilai IFT dari 0,327 dyne/cm sampai 0,492 dyne/cm. Hasil pengujian bahkan menunjukkan bahwa nilai IFT surfaktan MES pada kondisi salinitas lebih baik dibandingkan nilai IFT blanko. Tingkat salinitas yang diinginkan dalam aplikasi EOR harus rendah, karena dapat mempengaruhi proses recovery minyak bumi, seperti terbentuknya sedimen/endapan maupun korosi pada pipa dan peralatan lainnya. Hasil uji kinerja surfaktan MES dari ME jarak pagar pada air injeksi sumur minyak bumi dengan tingkat salinitas di bawah ppm dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Nilai IFT surfaktan MES jarak pagar pada salinitas ppm Tingkat Nilai IFT (dyne/cm) salinitas Sumur 1 Sumur 2 0 ppm 1.58E E ppm 1.52E E ppm 1.35E E-01 Berdasarkan Tabel 5, nilai kinerja surfaktan cenderung meningkat seiring dengan peningkatan salinitas. Namun demikian peningkatan salinitas yang terlalu tinggi harus dihindari pada aplikasi proses EOR dilapangan. Nilai IFT surfaktan MES dari jarak pagar yang dihasilkan dari penelitian ini masih pada kisaran nilai 1,2-1,5 E-01. Tingginya nilai IFT tersebut disebabkan karena belum sempurnanya proses sulfonasi, terutama karena tidak dilakukannya proses aging pada MESA, sehingga masih banyak produk antara yang tidak terkonversi menjadi MES. Selain menurunkan kinerja MES, produk antara tersebut dapat meningkatkan pembentukan disalt pada saat netralisasi yang akan menurunkan rendemen MES.

27 49 Pada proses aging, senyawa intermediet RCH(SO 3 H)COOSO 3 CH 3, akan bereaksi dengan residu metil ester sehingga konsentrasi metil ester yang tidak terkonversi akan menurun. Interpretasinya senyawa intermediet akan mengalami rearrangement sehingga diperoleh sulfonic acid (RCH(SO 3 )COOCH 3 ) dan residu intermediet yang jika dinetralkan akan menghasilkan disalt dan sodium metil sulfat. Menurut Susi (2010) proses aging secara teoritis menghasilkan sebagian besar produk MESA (RCH(SO 3 )COOCH 3 ) dan sisa campuran anhidrida (RCH(SO 3 )COOSO 3 CH 3 ). MESA jika dinetralkan maka akan menghasilkan MES (reaksi 1). Sedangkan campuran anhidrida ini jika langsung dinetralkan dengan NaOH maka akan menyebabkan terbentuknya disalt dan sodium metil sulfat (reaksi 2). Oleh karena itu untuk meningkatkan yield MES maka campuran anhidrida ini harus direaksikan dengan metanol untuk reesterifikasi membentuk MESA, sehingga jika dinetralkan dengan metanol akan dihasilkan MES (reaksi 3). Demikian pula menurut MacArthur et al. (1998) bahwa untuk menghindari terbentuknya disalt dilakukan proses aging pasca sulfonasi pada reaktor falling film dan penambahan metanol sebelum netralisasi. Reaksi netralisasi dan pembentukan disalt disajikan pada Gambar 26. Reaksi 1 1 Reaksi 2 Reaksi 3 Gambar 26 Reaksi pembentukan MES, di-salt dan reesterifikasi (Mac Arthur et al. 1998)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisikokimia ME Stearin Proses konversi stearin sawit menjadi metil ester dapat ditentukan dari kadar asam lemak bebas (FFA) bahan baku. FFA merupakan asam lemak jenuh

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SIFAT FISIKO-KIMIA BIJI DAN MINYAK JARAK PAGAR Biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) yang digunakan dalam penelitian ini didapat dari PT. Rajawali Nusantara Indonesia di daerah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Biji dan Minyak Jarak Pagar Biji jarak pagar yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari PT. Wellable Indonesia di daerah Lampung. Analisis biji jarak dilakukan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 29 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Sifat Fisikokimia Metil Ester Stearin Penelitian pembuatan surfaktan metil ester sulfonat (MES) ini menggunakan bahan baku metil ester stearin sawit. Stearin sawit

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN 1. Ekstraksi Biji kesambi dikeringkan terlebih dahulu kemudian digiling dengan penggiling mekanis. Tujuan pengeringan untuk mengurangi kandungan air dalam biji,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pada penelitian yang telah dilakukan, katalis yang digunakan dalam proses metanolisis minyak jarak pagar adalah abu tandan kosong sawit yang telah dipijarkan pada

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Biji dan Minyak Jarak Pagar Biji jarak pagar dari PT Rajawali Nusantara ini dikemas dalam kemasan karung, masing-masing karung berisi kurang lebih 30 kg. Hasil

Lebih terperinci

III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat 2. Bahan

III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat 2. Bahan III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat Peralatan yang digunakan untuk memproduksi MESA adalah Single Tube Falling Film Reactor (STFR). Gambar STFR dapat dilihat pada Gambar 6. Untuk menganalisis tegangan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Diagram alir pengepresan biji jarak dengan pengepres hidrolik dan pengepres berulir (Hambali et al. 2006).

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Diagram alir pengepresan biji jarak dengan pengepres hidrolik dan pengepres berulir (Hambali et al. 2006). 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Jarak Pagar Jarak Pagar (Jatropha curcas L) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak nabati non pangan yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia. Selain tidak

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis sifat fisiko-kimia CPO Minyak sawit kasar atau Crude Palm Oil (CPO) yang digunakan pada penelitian ini berasal dari Asian Agri Grup. Analisis sifat fisiko kimia CPO

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN MESA off grade merupakan hasil samping dari proses sulfonasi MES yang memiliki nilai IFT lebih besar dari 1-4, sehingga tidak dapat digunakan untuk proses Enhanced Oil Recovery

Lebih terperinci

A. Sifat Fisik Kimia Produk

A. Sifat Fisik Kimia Produk Minyak sawit terdiri dari gliserida campuran yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Dua jenis asam lemak yang paling dominan dalam minyak sawit yaitu asam palmitat, C16:0 (jenuh),

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada penelitian ini, proses pembuatan monogliserida melibatkan reaksi gliserolisis trigliserida. Sumber dari trigliserida yang digunakan adalah minyak goreng sawit.

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Penelitian penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan jenis penstabil katalis (K 3 PO 4, Na 3 PO 4, KOOCCH 3, NaOOCCH 3 ) yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Kelapa Sawit Sumber minyak dari kelapa sawit ada dua, yaitu daging buah dan inti buah kelapa sawit. Minyak yang diperoleh dari daging buah disebut dengan minyak kelapa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Bahan Baku, Pengepressan Biji Karet dan Biji Jarak Pagar, dan Pemurnian Minyak Biji karet dan biji jarak pagar yang digunakan sebagai bahan baku dikeringanginkan selama 7

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor)

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor) 23 Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Penyiapan Sampel Kualitas minyak kastor yang digunakan sangat mempengaruhi pelaksanaan reaksi transesterifikasi. Parameter kualitas minyak kastor yang dapat menjadi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 5. Reaksi Transesterifikasi Minyak Jelantah Persentase konversi metil ester dari minyak jelantah pada sampel MEJ 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ

Lebih terperinci

PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP. Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F

PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP. Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F34103041 2007 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN PERBANDINGAN MASSA ALUMINIUM SILIKAT DAN MAGNESIUM SILIKAT Tahapan ini merupakan tahap pendahuluan dari penelitian ini, diawali dengan menentukan perbandingan massa

Lebih terperinci

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit LAMPIRAN Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit 46 Lampiran 2. Diagram alir proses pembuatan Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) Metil Ester Olein Gas SO 3 7% Sulfonasi Laju alir ME 100 ml/menit,

Lebih terperinci

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi)

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi) Proses Pembuatan Biodiesel (Proses TransEsterifikasi) Biodiesel dapat digunakan untuk bahan bakar mesin diesel, yang biasanya menggunakan minyak solar. seperti untuk pembangkit listrik, mesinmesin pabrik

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran METDE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Sebagian besar sumber bahan bakar yang digunakan saat ini adalah bahan bakar fosil. Persediaan sumber bahan bakar fosil semakin menurun dari waktu ke waktu. Hal ini

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Pengaruh Variabel Terhadap Warna Minyak Biji Nyamplung Tabel 9. Tabel hasil analisa warna minyak biji nyamplung Variabel Suhu (C o ) Warna 1 60 Hijau gelap 2 60 Hijau gelap

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian kali ini terdiri dari bahan utama yaitu biji kesambi yang diperoleh dari bantuan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Lebih terperinci

4 Pembahasan Degumming

4 Pembahasan Degumming 4 Pembahasan Proses pengolahan biodiesel dari biji nyamplung hampir sama dengan pengolahan biodiesel dari minyak sawit, jarak pagar, dan jarak kepyar. Tetapi karena biji nyamplung mengandung zat ekstraktif

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet, dan bahan pembantu berupa metanol, HCl dan NaOH teknis. Selain bahan-bahan di atas,

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia yang begitu pesat telah menyebabkan penambahan banyaknya kebutuhan yang diperlukan masyarakat. Salah satu bahan baku dan bahan penunjang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. METIL ESTER CPO 1. Minyak Sawit Kasar (CPO) Minyak kelapa sawit kasar (Crude Palm Oil, CPO) merupakan hasil olahan daging buah kelapa sawit melalui proses perebusan (dengan steam)

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur analisis sifat fisikokimia minyak dan biodiesel. 1. Kadar Air (Metode Oven, SNI )

Lampiran 1. Prosedur analisis sifat fisikokimia minyak dan biodiesel. 1. Kadar Air (Metode Oven, SNI ) LAMPIRAN 39 Lampiran 1. Prosedur analisis sifat fisikokimia minyak dan biodiesel 1. Kadar Air (Metode Oven, SNI 01-3555-1998) Cawan aluminium dipanaskan di dalam oven pada suhu 105 o C selama 1 jam, kemudian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel) HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel) Minyak nabati (CPO) yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak nabati dengan kandungan FFA rendah yaitu sekitar 1 %. Hal ini diketahui

Lebih terperinci

METANOLISIS MINYAK KOPRA (COPRA OIL) PADA PEMBUATAN BIODIESEL SECARA KONTINYU MENGGUNAKAN TRICKLE BED REACTOR

METANOLISIS MINYAK KOPRA (COPRA OIL) PADA PEMBUATAN BIODIESEL SECARA KONTINYU MENGGUNAKAN TRICKLE BED REACTOR Jurnal Rekayasa Produk dan Proses Kimia JRPPK 2015,1/ISSN (dalam pengurusan) - Astriana, p.6-10. Berkas: 07-05-2015 Ditelaah: 19-05-2015 DITERIMA: 27-05-2015 Yulia Astriana 1 dan Rizka Afrilia 2 1 Jurusan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PROSES TRANSESTERIFIKASI OLEIN MENJADI BIODIESEL Pemilihan proses yang tepat dalam produksi metil ester berbahan baku olein sawit adalah proses transesterifikasi. Proses ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biodiesel Biodiesel merupakan bahan bakar rendah emisi pengganti diesel yang terbuat dari sumber daya terbarukan dan limbah minyak. Biodiesel terdiri dari ester monoalkil dari

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Hasil penentuan asam lemak bebas dan kandungan air Analisa awal yang dilakukan pada sampel CPO {Crude Palm Oil) yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Teknologi Hasil

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Teknologi Hasil III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui proses sulfonasi dengan menggunakan bahan baku dari minyak nabati seperti kelapa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Nabati Minyak nabati adalah cairan kental yang diambil atau diekstrak dari tumbuhtumbuhan. Komponen utama penyusun minyak nabati adalah trigliserida asam lemak, yang

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN PENELITIAN

BAB III RANCANGAN PENELITIAN BAB III RANCANGAN PENELITIAN 3.1. Metodologi Penelitian Surfaktan methyl ester sulfonat (MES) dibuat melalui beberapa tahap. Tahapan pembuatan surfaktan MES adalah 1) Sulfonasi ester metil untuk menghasilkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari Februari 2014.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari Februari 2014. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian 1. Waktu Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari Februari 2014. 2. Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Teknik Pengolahan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT Penelitian dilaksanakan mulai 1 Agustus 2009 sampai dengan 18 Januari 2010 di Laboratorium SBRC (Surfactant and Bioenergy Research Center) LPPM IPB dan Laboratorium

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat melalui proses sulfonasi. Jenis minyak yang dapat digunakan sebagai bahan baku

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Minyak Goreng 1. Pengertian Minyak Goreng Minyak goreng adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanya

Lebih terperinci

PEMBUATAN BIODIESEL SECARA SIMULTAN DARI MINYAK JELANTAH DENGAN MENGUNAKAN CONTINUOUS MICROWAVE BIODISEL REACTOR

PEMBUATAN BIODIESEL SECARA SIMULTAN DARI MINYAK JELANTAH DENGAN MENGUNAKAN CONTINUOUS MICROWAVE BIODISEL REACTOR PEMBUATAN BIODIESEL SECARA SIMULTAN DARI MINYAK JELANTAH DENGAN MENGUNAKAN CONTINUOUS MICROWAVE BIODISEL REACTOR Galih Prasiwanto 1), Yudi Armansyah 2) 1. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Goreng Curah Minyak goreng adalah minyak nabati yang telah dimurnikan dan dapat digunakan sebagai bahan pangan. Minyak goreng berfungsi sebagai media penggorengan yang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Bahan Kimia Dan Peralatan. 3.1.1. Bahan Kimia. Minyak goreng bekas ini di dapatkan dari minyak hasil penggorengan rumah tangga (MGB 1), bekas warung tenda (MGB 2), dan

Lebih terperinci

Bab III Pelaksanaan Penelitian

Bab III Pelaksanaan Penelitian Bab III Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas transesterifikasi in situ pada ampas kelapa. Penelitian dilakukan 2 tahap terdiri dari penelitian pendahuluan dan

Lebih terperinci

Bab III Metode Penelitian

Bab III Metode Penelitian Bab III Metode Penelitian Metode yang akan digunakan untuk pembuatan monogliserida dalam penelitian ini adalah rute gliserolisis trigliserida. Sebagai sumber literatur utama mengacu kepada metoda konvensional

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jarak Pagar Jarak pagar (Jatropha curcas L.) telah lama dikenal oleh masyarakat di berbagai daerah di Indonesia, yaitu sejak diperkenalkan oleh bangsa Jepang sekitar tahun 1942.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar.

I. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar. Hal ini dikarenakan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pendahuluan Proses pembuatan MCT dapat melalui dua reaksi. Menurut Hartman dkk (1989), trigliserida dapat diperoleh melalui reaksi esterifikasi asam lemak kaprat/kaprilat

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas utama yang dikembangkan di Indonesia. Dewasa ini, perkebunan kelapa sawit semakin meluas. Hal ini dikarenakan kelapa sawit dapat meningkatkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR

HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR Gliserol hasil samping produksi biodiesel jarak pagar dengan katalis KOH merupakan satu fase yang mengandung banyak pengotor.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lemak dan minyak adalah trigliserida yang berarti triester (dari) gliserol. Perbedaan antara suatu lemak adalah pada temperatur kamar, lemak akan berbentuk padat dan

Lebih terperinci

: Muhibbuddin Abbas Pembimbing I: Ir. Endang Purwanti S., MT

: Muhibbuddin Abbas Pembimbing I: Ir. Endang Purwanti S., MT KALOR BIODIESEL DARI HASIL ESTERIFIKASI DENGAN KATALIS PdCl 2 DAN TRANSESTERIFIKASI DENGAN KATALIS KOH MINYAK BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum Inophyllum) Oleh : Muhibbuddin Abbas 1407100046 Pembimbing I: Ir.

Lebih terperinci

Oleh : PABRIK BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG DENGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI (METODE FOOLPROOF)

Oleh : PABRIK BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG DENGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI (METODE FOOLPROOF) PABRIK BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG DENGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI (METODE FOOLPROOF) Oleh : Irma Ayu Ikayulita 2308 030 034 Yudit Ismalasari 2308 030 058 Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Soeprijanto,

Lebih terperinci

Sintesis Metil Ester dari Minyak Goreng Bekas dengan Pembeda Jumlah Tahapan Transesterifikasi

Sintesis Metil Ester dari Minyak Goreng Bekas dengan Pembeda Jumlah Tahapan Transesterifikasi Jurnal Kompetensi Teknik Vol. 2, No. 2, Mei 2011 79 Sintesis Metil Ester dari Minyak Goreng Bekas dengan Pembeda Jumlah Tahapan Transesterifikasi Wara Dyah Pita Rengga & Wenny Istiani Program Studi Teknik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Jelantah Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali. Minyak jelantah masih memiliki asam lemak dalam bentuk terikat dalam trigliserida sama

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI. Universitas Indonesia. Pemodelan dan..., Yosi Aditya Sembada, FT UI

BAB 2 DASAR TEORI. Universitas Indonesia. Pemodelan dan..., Yosi Aditya Sembada, FT UI BAB 2 DASAR TEORI Biodiesel adalah bahan bakar alternatif yang diproduksi dari sumber nabati yang dapat diperbaharui untuk digunakan di mesin diesel. Biodiesel mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan

Lebih terperinci

LAMPIRAN I DATA PENGAMATAN

LAMPIRAN I DATA PENGAMATAN LAMPIRAN I DATA PENGAMATAN 1.1 Data Analisis Bahan Baku Pembuatan Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) Analisis karakter minyak kelapa sawit kasar (CPO) sebelum dan setelah di pre-treatment (tabel 14).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Beberapa tahun ini produksi minyak bumi selalu mengalami penurunan, sedangkan konsumsi minyak selalu mengalami penaikan. Menurut Pusat Data Energi dan Sumber Daya

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dimulai pada bulan Mei hingga Desember 2010. Penelitian dilakukan di laboratorium di Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (Surfactant

Lebih terperinci

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan Tania S. Utami *), Rita Arbianti, Heri Hermansyah, Wiwik H., dan Desti A. Departemen Teknik

Lebih terperinci

Lampiran 1. Determinasi Tanaman Jarak Pagar

Lampiran 1. Determinasi Tanaman Jarak Pagar Lampiran 1. Determinasi Tanaman Jarak Pagar Lampiran 2. Penentuan Faktor Koreksi pada Pengukuran Tegangan Permukaan (γ) dengan Alat Tensiometer Du Nuoy Faktor koreksi = ( γ ) air menurut literatur ( γ

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI LIMBAH MINYAK Sebelum ditambahkan demulsifier ke dalam larutan sampel bahan baku, terlebih dulu dibuat blanko dari sampel yang diujikan (oli bekas dan minyak

Lebih terperinci

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Rita Arbianti *), Tania S. Utami, Heri Hermansyah, Ira S., dan Eki LR. Departemen Teknik Kimia,

Lebih terperinci

BAB II DISKRIPSI PROSES

BAB II DISKRIPSI PROSES 14 BAB II DISKRIPSI PROSES 2.1. Spesifikasi Bahan Baku dan Produk 2.1.1. Spesifikasi bahan baku a. CPO (Minyak Sawit) Untuk membuat biodiesel dengan kualitas baik, maka bahan baku utama trigliserida yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian dapat dilaporkan dalam dua analisa, yakni secara kuantitatif dan kualitatif. Data analisa kuantitatif diperoleh dari analisa kandungan gliserol total, gliserol

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Crude Palm Oil (CPO) CPO merupakan produk sampingan dari proses penggilingan kelapa sawit dan dianggap sebagai minyak kelas rendah dengan asam lemak bebas (FFA) yang tinggi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHAN 4.1 Data Bahan Baku Minyak Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak jarak. Minyak jarak sendiri memiliki karakteristik seperti Densitas, Viskositas, Flash

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.8. Latar Belakang Indonesia mulai tahun 2007 dicatat sebagai produsen minyak nabati terbesar di dunia, mengungguli Malaysia, dengan proyeksi produksi minimal 17 juta ton/tahun di areal

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU DAN LAMA PROSES AGING TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA SURFAKTAN MESA JARAK PAGAR SKRIPSI NUR HIDAYAT F

PENGARUH SUHU DAN LAMA PROSES AGING TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA SURFAKTAN MESA JARAK PAGAR SKRIPSI NUR HIDAYAT F PENGARUH SUHU DAN LAMA PROSES AGING TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA SURFAKTAN MESA JARAK PAGAR SKRIPSI NUR HIDAYAT F34061189 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PENGARUH SUHU DAN

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN PENELITIAN

BAB III RANCANGAN PENELITIAN BAB III RANCANGAN PENELITIAN 3.1. Metodologi Merujuk pada hal yang telah dibahas dalam bab I, penelitian ini berbasis pada pembuatan metil ester, yakni reaksi transesterifikasi metanol. Dalam skala laboratorium,

Lebih terperinci

BAB III RENCANA PENELITIAN

BAB III RENCANA PENELITIAN BAB III RENCANA PENELITIAN 3.1 Metodologi Penelitian Untuk pembuatan MCT yang memenuhi kualitas pangan dari asam lemak dan gliserol maka perlu dilakukan : a. Penelitian keefektifan metode Hartman dkk tentang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS II. 1 Tinjauan Pustaka II.1.1 Biodiesel dan green diesel Biodiesel dan green diesel merupakan bahan bakar untuk mesin diesel yang diperoleh dari minyak nabati

Lebih terperinci

METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Surya bagian Teknik Energi Terbarukan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB Bogor. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari 2011 Juni 2011.

Lebih terperinci

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN :

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN : PENGARUH PENAMBAHAN KATALIS KALIUM HIDROKSIDA DAN WAKTU PADA PROSES TRANSESTERIFIKASI BIODIESEL MINYAK BIJI KAPUK Harimbi Setyawati, Sanny Andjar Sari, Hetty Nur Handayani Jurusan Teknik Kimia, Institut

Lebih terperinci

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK TUJUAN : Mempelajari proses saponifikasi suatu lemak dengan menggunakan kalium hidroksida dan natrium hidroksida Mempelajari perbedaan sifat sabun dan detergen A. Pre-lab

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17. Tegangan Permukaan (dyne/cm) Tegangan permukaan (dyne/cm) 6 dihilangkan airnya dengan Na 2 SO 4 anhidrat lalu disaring. Ekstrak yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan radas uap putar hingga kering.

Lebih terperinci

Kadar air % a b x 100% Keterangan : a = bobot awal contoh (gram) b = bobot akhir contoh (gram) w1 w2 w. Kadar abu

Kadar air % a b x 100% Keterangan : a = bobot awal contoh (gram) b = bobot akhir contoh (gram) w1 w2 w. Kadar abu 40 Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat 1. Kadar air (AOAC 1995, 950.46) Cawan kosong yang bersih dikeringkan dalam oven selama 2 jam dengan suhu 105 o C dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang.

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1 Tahap Sintesis Biodiesel Pada tahap sintesis biodiesel, telah dibuat biodiesel dari minyak sawit, melalui reaksi transesterifikasi. Jenis alkohol yang digunakan adalah metanol,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat ini pemakaian bahan bakar yang tinggi tidak sebanding dengan ketersediaan sumber bahan bakar fosil yang semakin menipis. Cepat atau lambat cadangan minyak bumi

Lebih terperinci

III. METODA PENELITIAN

III. METODA PENELITIAN III. METODA PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium Proses Balai Besar Industri Agro (BBIA), Jalan Ir. H. Juanda No 11 Bogor. Penelitian dimulai pada bulan Maret

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dimetil Eter Dimetil Eter (DME) adalah senyawa eter yang paling sederhana dengan rumus kimia CH 3 OCH 3. Dikenal juga sebagai methyl ether atau wood ether. Jika DME dioksidasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan bakar fosil telah banyak dilontarkan sebagai pemicu munculnya BBM alternatif sebagai pangganti BBM

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU DAN LAMA PROSES SULFONASI DALAM PROSES PRODUKSI METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) MENGGUNAKAN SINGLE TUBE FALLING FILM REACTOR (STFR)

PENGARUH SUHU DAN LAMA PROSES SULFONASI DALAM PROSES PRODUKSI METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) MENGGUNAKAN SINGLE TUBE FALLING FILM REACTOR (STFR) PENGARUH SUHU DAN LAMA PROSES SULFONASI DALAM PROSES PRODUKSI METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) MENGGUNAKAN SINGLE TUBE FALLING FILM REACTOR (STFR) Effects of Temperature and Sulfonation Time on Methyl

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE 3.1 Kerangka Pemikiran 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian 3.3 Bahan dan Alat

3. BAHAN DAN METODE 3.1 Kerangka Pemikiran 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian 3.3 Bahan dan Alat 19 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Kerangka Pemikiran Proses produksi surfaktan MES dapat dilakukan dengan menggunakan agen pensulfonasi diantaranya H 2 SO 4, NaHSO 3, oleum, dan gas SO 3. Penggunaan SO 3 sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gliserol Gliserol dengan nama lain propana-1,2,3-triol, atau gliserin, pada temperatur kamar berbentuk cairan memiliki warna bening seperti air, kental, higroskopis dengan rasa

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU L1.1 KOMPOSISI TRIGLISERIDA BAHAN BAKU MINYAK SAWIT MENTAH CPO HASIL ANALISA GC-MS Tabel L1.1 Komposisi Trigliserida CPO Komponen Penyusun Komposisi Berat Mol %Mol %Mol x (%)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakterisasi Bahan Baku 4.1.2 Karet Crepe Lateks kebun yang digunakan berasal dari kebun percobaan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Ciomas-Bogor. Lateks kebun merupakan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN Bahan baku pada penelitian ini adalah buah kelapa segar yang masih utuh, buah kelapa terdiri dari serabut, tempurung, daging buah kelapa dan air kelapa. Sabut

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil & Pembahasan 22 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Biodiesel dari Mikroalga Chlorella sp Pada penelitian ini, digunakan mikroalga Chlorella Sp sebagai bahan baku pembuatan biodiesel. Penelitian ini

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. JARAK PAGAR Tanaman jarak pagar mempunyai nama latin Jatropha curcas L. (Linnaeus). Tanaman ini berasal dari Amerika Tengah yang kemudian menyebar ke daerah tropis. Tanaman ini

Lebih terperinci

II. DESKRIPSI PROSES

II. DESKRIPSI PROSES II. DESKRIPSI PROSES Usaha produksi dalam pabrik kimia membutuhkan berbagai sistem proses dan sistem pemroses yang dirangkai dalam suatu sistem proses produksi yang disebut teknologi proses. Secara garis

Lebih terperinci

PENGARUH STIR WASHING

PENGARUH STIR WASHING PENGARUH STIR WASHING, BUBBLE WASHING, DAN DRY WASHING TERHADAP KADAR METIL ESTER DALAM BIODIESEL DARI BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum) Dyah Ayu R. (2305100023), Ali Zibbeni (2305100104) Pembimbing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Minyak Nabati Minyak dan lemak adalah triester dari gliserol, yang dinamakan trigliserida. Minyak dan lemak sering dijumpai pada minyak nabati dan lemak hewan. Minyak umumnya

Lebih terperinci

SINTESIS SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) DARI METIL LAURAT. [Synthesis of Methyl Ester Sulfonic (MES) from Methyl Laurate]

SINTESIS SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) DARI METIL LAURAT. [Synthesis of Methyl Ester Sulfonic (MES) from Methyl Laurate] KOVALEN, 2(2):54-66, September 2016 ISSN: 2477-5398 SINTESIS SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) DARI METIL LAURAT [Synthesis of Methyl Ester Sulfonic (MES) from Methyl Laurate] Nur Iman 1*, Abdul Rahman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oksigen. Senyawa ini terkandung dalam berbagai senyawa dan campuran, mulai

BAB I PENDAHULUAN. oksigen. Senyawa ini terkandung dalam berbagai senyawa dan campuran, mulai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Silika merupakan unsur kedua terbesar pada lapisan kerak bumi setelah oksigen. Senyawa ini terkandung dalam berbagai senyawa dan campuran, mulai dari jaringan

Lebih terperinci

Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan.

Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan. Lampiran 1 Prosedur analisis surfaktan APG 1) Rendemen Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan. % 100% 2) Analisis

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisikokimia Minyak Jarak Pagar Sifat fisikokimia minyak jarak pagar merupakan salah satu informasi awal yang harus diperoleh untuk memproduksi biodiesel jarak pagar. Informasi

Lebih terperinci