KAJIAN STOK IKAN SWANGGI Priacanthus tayenus (Richardson, 1846) DI PERAIRAN SELAT SUNDA YANG DIDARATKAN DI PPP LABUAN, PANDEGLANG BANTEN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN STOK IKAN SWANGGI Priacanthus tayenus (Richardson, 1846) DI PERAIRAN SELAT SUNDA YANG DIDARATKAN DI PPP LABUAN, PANDEGLANG BANTEN"

Transkripsi

1 KAJIAN STOK IKAN SWANGGI Priacanthus tayenus (Richardson, 1846) DI PERAIRAN SELAT SUNDA YANG DIDARATKAN DI PPP LABUAN, PANDEGLANG BANTEN TILLANA ADILAVIANA SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : Kajian Stok Ikan Swanggi Priacanthus tayenus (Richardson, 1846) di Perairan Selat Sunda yang Didaratkan di PPP Labuan Banten adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Juni 2012 Tillana Adilaviana C

3 RINGKASAN Tillana Adilaviana. C Kajian Stok Ikan Swanggi Priacanthus tayenus (Richardson, 1846) di Perairan Selat Sunda yang Didaratkan di PPP Labuan Banten. Dibimbing oleh Mennofatria Boer dan Yonvitner. PPP (Pelabuhan Perikanan Pantai) Labuan, Banten merupakan salah satu pelabuhan perikanan di Indonesia yang cukup berkembang. PPP Labuan terletak di Desa Teluk, Kecamatan Labuan Kabupaten Pandeglang, Banten. PPP Labuan, merupakan PPP terpenting di Kabupaten Pandeglang. Volume produksi hasil tangkapan didaratkan di PPP Labuan pada tahun 2005 adalah 2.150,2 ton yang merupakan produksi PPP terbesar dibanding PPP lainnya di Kabupaten Pandeglang; yaitu sekitar 71,4% dari jumlah volume produksi hasil tangkapan Kabupaten Pandeglang. Nilai produksi PPP ini juga tertinggi diantara PPP lainnya pada tahun yang sama yaitu sebesar Rp ,8 juta atau sekitar 82,3% dari jumlah nilai produksi hasil tangkapan kabupaten ini (Rakhmania 2008). Salah satu jenis ikan tangkapan yang didaratkan di PPP Labuan adalah ikan swanggi (Priacanthus tayenus). Ikan swanggi ditangkap di Selat Sunda, kegiatan penangkapan terjadi setiap hari sepanjang tahun dan termasuk dalam 5 besar jenis tangkapan dominan (Sukamto 2010), keberadaan ikan swanggi selalu tersedia setiap harinya di PPP Labuan. Ikan swanggi merupakan ikan ekonomis dan ekologis tinggi. Bernilai ekonomis karena banyak diperjualbelikan dengan harga jual sekitar Rp ,00/kg dan bernilai ekologis karena merupakan salah satu ikan karang yang berperan dalam struktur trofik (FAO 1999). Penangkapan yang dilakukan sepanjang tahun ini akan mempengaruhi kelestarian sumberdaya ikan swanggi di perairan Selat Sunda. Berdasarkan kondisi di atas, perlu dilakukan kajian kondisi stok ikan swanggi dengan mengamati parameter pertumbuhan populasi, pola pertumbuhan, sebaran kelompok umur, laju mortalitas (alami dan penangkapan), laju eksploitasi, upaya penangkapan optimal, dan tangkapan maksimum lestari (MSY) serta perubahan stok ikan swanggi. Data yang diambil meliputi data primer dan data sekunder. Waktu pengambilan data primer dilakukan mulai bulan Maret 2011 hingga Oktober 2011 dengan interval 1 bulan sekali. Pengumpulan data sekunder dilakukan dari bulan Maret 2011 hingga Oktober Analisis data yang dilakukan adalah identifikasi spesies, sebaran frekuensi panjang, identifikasi kelompok ukuran, pendugaan L, K, dan t 0, hubungan panjang bobot, mortalitas dan laju eksploitasi, model produksi surplus. Komposisi kelompok ukuran diperoleh dari software FISAT II dengan metode normal separation methode. Parameter pertumbuhan (L, K, dan t 0 ) dianalisis menggunakan metode Ford Walford. Analisis mortalitas menggunakan kurva hasil tangkapan yang dilinierkan berdasarkan data komposisi panjang. Model produksi surplus dianalisis dengan Model Gulland. Sebaran frekuensi panjang yang diperoleh selama penelitian untuk betina berkisar antara panjang 112 mm mm, untuk jantan berkisar antara 100 mm- 292 mm. Hubungan panjang bobot yang diperoleh untuk ikan swanggi betina, jantan, maupun secara keseluruhan bersifat allometrik negatif, yaitu pertumbuhan panjang lebih dominan dari pertumbuhan berat. Koefisien pertumbuhan (K) untuk ikan swanggi betina sebesar 0,30 sedangkan jantan sebesar 0,15. Panjang asimtotik

4 (L ) yang diperoleh untuk ikan swanggi betina sebesar 233,62 mm sedangkan jantan sebesar 319,09 mm. t 0 diperoleh dari persamaan Pauly, umur pada ikan betina sebesar -0,31 dan jantan sebesar -0,60. Laju mortalitas penangkapan (F) untuk ikan swanggi betina adalah 0,49/tahun dan jantan adalah 0,55/tahun. Laju eksploitasi (E) ikan swanggi betina sebesar 24% sedangkan jantan sebesar 61%. Laju eksploitasi untuk ikan jantan dan betina sebesar 42%. Kondisi perikanan ikan swanggi di Selat Sunda sekarang mencapai nilai tangkapan rata-rata sebesar ,75 kg ikan dan upaya rata-rata sebanyak 353 unit tangkapan, sementara upaya penangkapan optimum (f msy ) sebesar 578 trip penangkapan per tahun dengan jumlah tangkapan maksimum lestari (MSY) sebesar ,86 kg ikan/tahun dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC) sebesar ,69 kg ikan /tahun. Koefisiden determinasi dari persamaan model Gulland sebesar 57,8%. Kesimpulan yang diperoleh yaitu ikan swanggi memiliki 3 kelompok umur dengan panjang ikan tersebar antara mm. Ikan swanggi mengalami pertumbuhan alometrik negatif yang ditandai dengan banyaknya ikan swanggi tertangkap pada ukuran kecil. Umur ikan betina lebih pendek dari ikan jantan. Ikan swanggi diduga belum mengalami over eksploitasi, yaitu hasil tangkapan belum mencapai batas maksimum lestari. sehingga potensi perikanan swanggi dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan optimal dengan menambah jumlah trip penangkapan dan menangkap ikan swanggi lebih banyak. Rencana pengelolaan yang dilakukan yaitu tidak menambah jumlah trip penangkapan karena penambahan jumlah trip akan menurunakna produktivitas dari 31,93 kg ikan/trip menjadi hanya 23,44 kg ikan/trip. Nelayan disarankan menangkap ikan lebih lama di perairan Selat Sunda pada setiap trip agar produktivitas mencapai hasil sebesar 38,98 kg ikan/trip, sehingga mencapai nilai TAC yaitu ,69 kg..

5 KAJIAN STOK IKAN SWANGGI Priacanthus tayenus (Richardson, 1846) DI PERAIRAN SELAT SUNDA YANG DIDARATKAN DI PPP LABUAN, PANDEGLANG BANTEN TILLANA ADILAVIANA SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

6 PENGESAHAN SKRIPSI Judul Nama Nomor Pokok Program Studi : Kajian Stok Ikan Swanggi Priacanthus tayenus (Richardson 1846) Di Perairan Selat Sunda yang Didaratkan di PPP Labuan, Pandeglang Banten : Tillana Adilaviana : C : Manajemen Sumberdaya Perairan Menyetujui, Pembimbing I, Pembimbing II, Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr. Yonvitner, S. Pi, M.Si NIP NIP Mengetahui, Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP Tanggal lulus : 15 Mei 2012

7 PRAKATA Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul Kajian Stok Ikan Swanggi Priacanthus tayenus (Richardson, 1846) di Perairan Selat Sunda yang Didaratkan di PPP Labuan Banten. Skripsi ini merupakan hasil penelitian penulis yang dilaksanakan pada bulan Maret 2011 sampai dengan Oktober 2011 di Pangkalan Pendaratan Ikan Labuan Banten. Skripsi ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana perikanan pada program studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak atas waktu, saran, arahan, serta dukungan dalam penulisan skripsi ini. Penulis menyadari adanya kekurangan dalam penulisan skripsi ini dan mengharapkan saran dan kritik untuk penyempurnaan karya ilmiah ini selanjutnya. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan, bagi upaya pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan dan bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Bogor, Juni 2012 Tillana Adilaviana C

8 UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA dan Dr. Yonvitner, S. Pi, M.Si masingmasing sebagai pembimbing I dan pembimbing II skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, dan saran selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi. 2. Dr. Ir.Etty Riani, MS dan Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS sebagai penguji tamu dan komisi pendidikan atas bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi. 3. Charles PH Simanjuntak. S. Pi, M. Si, sebagai pembimbing akademik atas dukungannya kepada penulis selama menuntut ilmu di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. 4. Keluarga tercinta: mama, papa, dan saudara kandung (inet), serta seluruh keluarga besar atas doa, kasih sayang, semangat, perhatian, kesabaran, dan dukungan baik moril maupun materil yang telah diberikan kepada penulis. 5. Para staf PPP Labuan Banten atas segala bantuan dan kerja sama. 6. Ade Herman, atas bantuan dan dukungan moril dan materil, doa dan semangat selama penelitian dan penyusunan skripsi 7. Teman seperjuangan dalam penelitian ini, Rikza, Enni, Eel, Keloy, Hilda, Cia, Nimas, Rena, Ayu, Jawir, Doni, Yuli, Rani, Ami, Ria, Dila atas bantuan, semangat, dukungan, selama penelitian hingga penyusunan skripsi. 8. Teman-teman MSP 45: Dissil, Ibad, Eka, Dina, Jiwen, Dea, Kanti, Hendri, MOSI crew dan teman-teman yang lain yang tidak mungkin disebut satu-persatu. 9. Teman-teman angkatan 44: Kak Echi, Kak Austin, dan teman-teman dari departemen lain : Adi, Kak Rani, atas bantuan dan semangat dalam penyusunan skripsi

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cirebon pada tanggal 6 Mei 1990 sebagai putri pertama dari dua bersaudara dari pasangan Rudi Agus Hutria dan Anni Liuliawati. Pendidikan formal pernah dijalani penulis berawal dari TK Masyitoh ( ), SD Negeri Nagasari 3 Karawang ( ), SLTP Negeri 9 Karawang ( ), SMA Negeri 1 Karawang ( ). Pada tahun 2008 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI, kemudian diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selain mengikuti perkuliahan, penulis berkesempatan menjadi Asisten Praktikum Mata Kuliah Avertebrata Air (2010/2011), Asisten Praktikum Mata Kuliah Metode Statistika ( 2010/2011). Asisten Praktikum Mata Kuliah Dinamika Populasi ( 2011/2012) dan Asisten Mata Kuliah Pengkajian Stok Ikan (2011/2012). Penulis juga aktif di Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) sebagai anggota Keilmuan dan Advokasi Lingkungan ( ) serta turut aktif mengikuti seminar maupun berpatisipasi dalam berbagai kepanitiaan di lingkungan kampus IPB. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada program studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi dengan judul Kajian Stok Ikan Swanggi Priacanthus tayenus (Richardson, 1846) di Perairan Selat Sunda yang Didaratkan di PPP Labuan Banten.

10 i DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat TINJAUAN PUSTAKA Ikan Swanggi Klasifikasi Karakter biologi Habitat dan distribusi Alat tangkap Pertumbuhan Hubungan panjang bobot Sebaran frekuensi panjang Parameter pertumbuhan Mortalitas dan Laju Eksploitasi Pengkajian stok ikan Model Produksi Surplus Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan Kondisi Lingkungan Perairan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian Alat dan Bahan Pengumpulan Data Data primer Data sekunder Analisis Data Hubungan panjang bobot Sebaran frekuensi panjang Identifikasi kelompok ukuran Parameter pertumbuhan ( L, K, dan t 0 ) Mortalitas dan laju eksploitasi Model surplus produksi HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum PPP Labuan i iii iv v

11 ii 4.2. Kondisi Perikanan ikan Swanggi Hubungan Panjang Bobot Sebaran Frekuensi Panjang Kelompok Ukuran Pertumbuhan Hubungan panjang bobot Parameter pertumbuhan Mortalitas dan laju eksploitasi Model produksi Surplus KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ii

12 iii DAFTAR TABEL Halaman 1. Parameter pertumbuhan ikan swanggi di perairan India Hasil tangkapan (kg) ikan swanggi di Kabupaten Pandeglang ( ) Hubungan panjang bobot ikan swanggi (P. tayenus) betina Hubungan panjang bobot ikan swanggi (P. tayenus) jantan Sebaran kelompok ukuran ikan swanggi betina di perairan Selat Sunda Sebaran kelompok ukuran ikan swanggi jantan di perairan Selat Sunda Parameter pertumbuhan model von Bertalanffy (K, L, t 0 ) Ikan swanggi Analisis parameter dari beberapa peneliti ikan swanggi Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan swanggi iii

13 iv DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran Ikan swanggi (P. tayenus) Peta distribusi dan persebaran P. tayenus di dunia ( Cara pengoperasian jaring cantrang ( Peta lokasi penelitian (Dinas Perikanan Kecamatan Labuan) Hasil tangkapan per jenis ikan tahun 2010 di PPP Labuan (Ditjen-Tangkap KKP) Sebaran frekuensi panjang ikan swanggi (P. tayenus) jantan dan betina Pergeseran modus frekuensi panjang ikan swanggi (a) betina dan (b) jantan Hubungan panjang bobot ikan swanggi Kurva pertumbuhan ikan swanggi (a) betina dan (b) jantan Kurva hasil tangkapan ikan swanggi yang dilinearkan berbasis data panjang Hasil tangkapan ikan swanggi (P. tayenus) Upaya tangkap ikan swanggi (P. tayenus) Upaya penangkapan per upaya ikan swanggi (P. tayenus) Model produksi surplus dengan Metode Gulland Hubungan antara tangkapan (C) dengan upaya penangkapan (f) iv

14 v DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Alat dan bahan yang digunakan selama melakukan penelitian di PPP Labuan, Selat Sunda Panjang total dan bobot ikan swanggi di PPP Labuan, Selat Sunda setiap pengambilan contoh Sebaran frekuensi panjang ikan swanggi (P. tayenus) betina yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) menggunakan program FiSAT II Sebaran frekuensi panjang ikan swanggi (P. tayenus) jantan yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) menggunakan program FiSAT II Uji t nilai b hubungan panjang bobot ikan swanggi betina Perhitungan pendugaan parameter pertumbuhan (L, K dan t 0 ) ikan Swanggi betina Perhitungan pendugaan parameter pertumbuhan (L, K dan t 0 ) ikan swanggi (P. tayenus) jantan Perhitungan pendugaan mortalitas ikan swanggi betina Perhitungan pendugaan mortalitas ikan swanggi jantan Perhitungan model produksi surplus ikan swanggi selama 10 tahun terakhir v

15 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PPP (Pelabuhan Perikanan Pantai) Labuan, Banten merupakan salah satu pelabuhan perikanan pantai di Indonesia yang cukup berkembang dan memiliki potensi perikanan yang besar. Lokasi PPP terletak di Desa Teluk, Kecamatan Labuan Kabupaten Pandeglang, Banten dan terdapata dua Tempat Pelelangan Ikan yaitu TPI I (lama) dan TPI 2 (baru). Permintaan ikan yang tinggi merupakan peluang bagi usaha penangkapan untuk dapat meningkatkan produksinya. Tangkapan lain selain ikan pelagis adalah ikan demersal seperti, swanggi, peperek, swanggi, dan kurisi. Salah satu jenis ikan yang didaratkan di PPP Labuan adalah ikan swanggi (P. tayenus). Ikan swanggi ditangkap di perairan Selat Sunda dengan musim penangkapan terjadi setiap hari sepanjang tahun dan yang termasuk dalam 5 besar jenis tangkapan dominan (Sukamto 2010). Ikan swanggi merupakan ikan ekonomis dan ekologis penting. Nilai ekonomis ikan swanggi mencapai Rp ,00/kg dan dalam konsep ekologis, ikan swanggi merupakan salah satu ikan karang yang berperan dalam struktur trofik (FAO 1999). Produksi ikan swanggi dari tahun 2001 hingga 2009 mengalami fluktuasi. Tangkapan tertinggi berada pada tahun 2004 dengan jumlah 18,32 ton dan tangkapan terendah berada padan tahun 2005 ssebesar 0,691 ton. Upaya penangkapan ikan swanggi di Selat Sunda menunjukkan fluktuasi tiap tahunnya. Jumlah trip terbanyak terdapat pada tahun 2004 sebanyak trip dan jumlah trip terendah terdapat pada tahun 2005 sebesar 25 trip. CPUE rata-rata tahunan menunjukkan bahwa jumlah CPUE tertinggi berada di tahun 2010 dengan nilai 0,043 ton per trip dan jumlah terendah berada di tahun 2004 dengan nilai 0,0087 ton per trip. Berdasarkan data statistik perikanan Labuan, produksi tangkapan ikan swanggi dari awal tahun 2011 sebesar 6.866,3 kg atau sebesar 8,25 % dari keseluruhan produksi perikanan di PPP Labuan. Penangkapan ikan swanggi yang dilakukan sepanjang hari selama setahun akan mempengaruhi kelestarian sumberdaya di daerah perairan Selat Sunda. Pertimbangan ini menjadi dasar dilakukannya kajian kondisi stok ikan swanggi.

16 2 Indikator populasi yang diamati yaitu parameter pertumbuhan populasi, pola pertumbuhan, sebaran kelompok umur, laju mortalitas (alami dan penangkapan), laju eksploitasi, upaya penangkapan optimal, dan tangkapan maksimum lestari (MSY) serta perubahan stok ikan swanggi Perumusan Masalah Sifat dasar sumberdaya ikan adalah milik bersama yang pemanfaatannya digunakan dalam waktu yang sama oleh lebih dari satu individu atau satuan ekonomi. Sumberdaya ikan bersifat terbatas dan dapat rusak maka diperlukan pengelolaan yang dapat menjamin permanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan dan bertanggung jawab. Permasalahan yang terjadi pada ikan swanggi yaitu ikan ini ditangkap setiap hari sepanjang tahun, kondisi tekanan penangkapan yang tinggi, volume produksi yang terus meningkat, dan belum adanya kegiatan budidaya. serta degradasi lingkungan dapat mengakibatkan adanya upaya tangkap lebih (overfishing) sehingga terjadi penurunan stok ikan di perairan Selat Sunda. Berdasarkan uraian diatas, maka perumusan masalah dapat digambarkan pada kerangkap pemikiran pengelolaan perikanan ikan Swanggi (P. tayenus) yang berkelanjutan seperti pada Gambar 1. Migrasi Mortalitas Alami Upaya Tangkap Pertumbuhan Stok Populasi Eksploitasi Hasil berkelanjutan Pengelolaan Daya Dukung Gambar 1. Kerangka Pemikiran

17 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1) Mengetahui pola struktur dinamika populasi ikan swanggi 2) Merumuskan pola pengelolaan berbasis informasi struktur dinamika yang sesuai dengan pola pertumbuhan ikan swanggi 3) Menentukan rekomendasi pengelolaan yang tepat di masa mendatang 1.4. Manfaat Penelitian ini diharapkan peneliti dapat mendalami konsep kajian stok sumberdaya ikan swanggi. Manfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan untuk mendorong peningkatan informasi sumberdaya ikan dengan kondisi lingkungan yang ada. Manfaat bagi masyarakat dan pemerintah yaitu sebagai bahan rujukan bagi pengelolaan dan dasar pengambilan keputusan.

18 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Swanggi Klasifikasi Menurut Richardson (1846) in FAO (1999), taksonomi ikan swanggi (Gambar 2) dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Subordo : Percoidei Famili : Priacanthidae Genus : Priacanthus Spesies : P. tayenus Richardson 1846 Nama FAO : Purple-spotted bigeye Nama Lokal :Ikan raja gantang (Banten). swangi/semerah padi (PPN Pemangkat), swanggi (Pelabuhan Perikanan Banjarmasin), swangi (PPP Tegalsari), mata bulan (PPN Ambon), camaul (PPN Palabuhanratu), belong (PPN Pekalongan), capa (PPN Sibolga), swanggi (PPS Jakarta), golok sabrang (PPN Brondong), swanggi (PPN Prigi) ( 2009). Gambar 2. Ikan Swanggi (P. tayenus) Karakter biologi Ikan swanggi memiliki badan agak tinggi, agak memanjang, dan tipis secara lateral. Profil anterior sedikit asimetrik, ujung rahang bawah biasanya sedikit di atas tingkat garis tengah yang menonjol tubuh. Gigi kecil terdapat pada

19 5 dentaries, vomer, palatines, dan premaxillaries. Spesies memiliki panjang maksimum 290 mm (FAO 1999). Tulang belakang pada sudut preoperkulum berkembang dengan baik. Jumlah tulang saring insang pada lengkung insang pertama 21 sampai 24. Duri sirip punggung dengan X dan 11 sampai 13 jari lemah. Duri sirip dengan III dan jari lemah. Sirip ekor truncate biasanya terdapat pada spesimen yang lebih kecil, tetapi menjadi lunate pada ikan jantan tapi tidak semua terdapat pada spesimen lebih besar. Jari sirip dada Sisik-sisik menutupi terutama bagian badan, kepala, dan dasar sirip kaudal (FAO 1999). Sisik-sisik termodifikasi, sisik-sisik pada bagian tengah lateral dengan bagian posterior atas hilang dan sedikit duri kecil pada spesimen yang lebih besar. Sisik-sisik pada seri lateral 56 sampai 73, sisik-sisik linear lateralis berpori 51 sampai 67. Sisik pada baris vertikal (dari awal sirip dorsal sampai anus) 40 sampai 50. Gelembung renang dengan penampang anterior dan posterior, bentuk menyerupai lubang yang termodifikasi dalam tengkorak. Warna tubuh, kepala, dan iris mata adalah merah muda kemerah-merahan atau putih keperak-perakan dengan merah muda kebiruan, sirip berwarna kemerah mudaan, sirip perut mempunyai karakteristik bintik kecil ungu kehitam-hitaman dalam membran dengan 1 atau 2 titik lebih besar di dekat perut (FAO 1999) Habitat dan distribusi Ikan swanggi tinggal di perairan pantai di antara bebatuan karang dan di area terbuka pada kedalaman antara 20 sampai 200 meter. Kumpulan ikan swanggi dewasa sering tertangkap oleh perikanan trawl di Laut Cina Selatan dan Andaman. Ikan ini memiliki daerah penyebaran yang kuat di perairan tropis dan kadang-kadang ditemukan secara soliter ataupun dalam gerombolan besar (Kuiter 1992 in Sukamto 2010). Distribusi ikan ini meliputi wilayah pesisir utara Samudera Hindia dari Teluk Persia bagian Timur dan wilayah Pasifik Barat dari Australia bagian Utara dan Pulau Solomon bagian utara sampai Provinsi Taiwan di China (FAO 1999). Berikut ini gambar penyebaran ikan swanggi di dunia (Gambar 3)

20 6 Gambar 3. Peta distribusi P. tayenus di dunia Ikan swanggi merupakan jenis ikan target tangkapan sehingga merupakan ikan ekonomis. Kegiatan penangkapannya dipengaruhi oleh cuaca dan musim. Namun demikian, musim penangkapan ikan ini terjadi setiap hari sepanjang tahun. Vijayakumaran & Naik (1988) in Sivakami et. al (2005) melaporkan bahwa hasil tangkapan Priacanthus hamrur tertinggi yang didaratkan di Karnataka, India didapatkan pada bulan Maret dan berasal dari kedalaman m dan m, sementara hasil tangkapan pada bulan September-November tergolong rendah Alat Tangkap Ikan swanggi dapat ditangkap menggunakan alat tangkap demersal seperti jaring arad, cantrang, jaring dogol, lampara dasar, jaring jogol, jaring insang, dan pukat pantai. Berdasarkan data yang diperoleh dari PPP Labuan, ikan swanggi ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang. Cantrang dapat diklasifikasikan menurut cara pengoperasiannya, bentuk konstruksi serta fungsinya, mempunyai banyak kemiripan dengan pukat harimau. Menurut Subani & Barus (1989): cantrang, dogol, paying, dan bundes diklasifikasikan ke dalam alat tangkap danish seine berbentuk panjang tetapi penggunaannya untuk menangkap Ikan Demersal terutama udang. Menurut Subani & Barus (1989), daerah penangkapan (fishing ground) cantrang tidak jauh dari pantai, pada bentuk dasar perairan berlumpur atau lumpur berpasir dengan permukaan dasar rata. Daerah tangkapan yang baik kelompok alat tangkap danish seine harus memenuhi syarat sebagai berikut :

21 7 a. Dasar perairan rata dengan substrat pasir, lumpur atau tanah liat berpasir. b. Arus laut cukup kecil (< 3 knot). c. Cuaca terang tidak ada angin kencang. Gambar 4. Cara pengoperasian jaring cantrang ( Pertumbuhan Hubungan panjang bobot Pendugaan suatu pertumbuhan memiliki dua model yang dapat digunakan yaitu model yang berhubungan dengan bobot dan model yang berhubungan dengan panjang. Hubungan panjang bobot ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Hubungan ini dapat digunakan untuk menduga bobot melalui panjangnya (Effendie 2002). Model pertumbuhan dengan pendekatan panjang berat dapat menjelaskan kondisi pertumbuhan ikan swanggi Sukamto (2010) mengemukan bahwa ikan swanggi memiliki pertumbuhan allometrik negatif. Hasil serupa diperoleh dari penelitian Joung et. al (1992) di perairan sekitar pulau Guei-Shan, Taiwan mengemukanan ikan swanggi (P. macracanthus) memiliki pola pertumbuhan alometrik negatif. Hasil yang berbeda ditunjukan oleh penelitian Awong et. al (2011) yang dilakukan di Perairan Malaysia menunjukan ikan swanggi memiliki pola pertumbuhan allometrik positif dengan nilai b sebesar 3,3525. Pada ikan swanggi, pola pertumbuhan allometrik negatif diduga dipengaruhi oleh faktor spesies dan tekanan penangkapan Pertumbuhan ikan tergantung dari ketersediaan makanan dan daya cernanya. Faktor eksternal yang sangat mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu suhu dan

22 8 makanan. Priyanie (2006) menyatakan bahwa kondisi lingkungan tempat hidup ikan memegang pengaruh yang kuat terhadap pertumbuhan ikan. Pada ikan tropik, makanan merupakan faktor yang lebih penting Sebaran frekuensi panjang Sebaran frekuensi panjang digunakan untuk memperoleh posisi dan perubahan kelompok umur. Metode numerik dikembangkan untuk melakukan analisis sebaran frekuensi panjang menggunakan data frekuensi panjang ikan total untuk stok spesies tropis, yang sering disebut sidik frekuensi panjang. Tujuan analisis data berdasarkan sidik frekuensi panjang untuk menentukan umur terhadap kelompok-kelompok panjang tertentu. Analisis tersebut bermanfaat dalam pemisahan suatu distribusi frekuensi panjang yang kompleks ke dalam sejumlah kelompok ukuran (Sparre & Venema 1999). Penelitian Awong et al. (2011) yang dilakukan di Teluk Darvel, Sabah Malaysia menghasilkan distribusi frekuensi panjang ikan swanggi (P. tayenus) memiliki panjang standar berkisar antara mm dengan panjang rata-rata 150 mm. Kelompok umur didapatkan sebanyak 3 kelompok, sementara penelitian yang dilakukan di Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, ikan swanggi memiliki sebaran frekuensi panjang antara mm (Badrudin et al. 2010). Penelitian ikan swanggi (P. hamrur) yang dilakukan di India menunjukan sebaran frekuensi yang berkisar antara mm dengan musim pemijahan pada bulan Maret dan April. Ikan swanggi betina berukuran lebih besar daripada ikan jantan (Premalatha 1997) Parameter pertumbuhan Pertumbuhan individu merupakan suatu pertambahan ukuran panjang atau berat pada periode waktu tertentu. Pertumbuhan populasi adalah pertambahan jumlah yang kemudian sering disebut bahwa pertumbuhan merupakan proses biologi kompleks yang secara umum dipengaruhi oleh banyak faktor yang berasal dari luar maupun dari dalam. Parameter pertumbuhan dievaluasi dari pertumbuhan panjang dan bobot.

23 9 Penelitian ikan swanggi (P. hamrur) di perairan India oleh Sivakami et. al (2005) memiliki parameter pertumbuhan L sebesar 410 mm, K sebesar 0,59/tahun, dan L max sebesar 262 mm. Perbedaan antara panjang asimtotik dengan panjang maksimum ikan contoh yang sangat besar ini menandakan adanya faktor yang mengakibatkan pertumbuhan ikan ini cenderung lambat dibandingkan dengan penelitian lain yang dilakukan di perairan India ( Tabel 1 ). Tabel 1. Parameter pertumbuhan ikan swanggi di perairan India Lokasi L max (mm) L (mm) K Sumber NW coast ,70 Chackaborty, 1994 NW coast n.a 345 0,66 Chackaborty et al NW coast n.a 360 0,64 Chackaborty & vidyasagar 1996 West coast ,59 Sivakam et al Upper east coast ,37 Philip & Mathew 1996 Sumber : Sivakami et. al (2005) Sivakami (2005) mengatakan bahwa faktor yang menjadi penghambat pertumbuhan ikan swanggi yang diteliti yaitu habitat ikan yang sempit sehingga ruang gerak terbatas. Penelitian yang dilakukan di Taiwan oleh Joung (1992) diperoleh ikan betina memiliki L sebesar 620 mm, K sebesar 0,088/tahun, dan t 0 sebesar -1,05 tahun, dan ikan jantan memiliki memiliki L sebesar 482 mm, K sebesar 0,113/tahun, dan t 0 sebesar -0,75 tahun Mortalitas dan Laju Eksploitasi Mortalitas terdiri dari mortalitas alami dan mortalitas penangkapan. Mortalitas alami adalah mortalitas yang terjadi akibat selain penangkapan meliputi berbagai faktor seperti kematian, predasi, penyakit, dan usia. Ikan yang pertumbuhannya cepat memiliki nilai koefisien pertumbuhan dan mortalitas yang tinggi. Mortalitas penangkapan adalah mortalitas yang terjadi akibat adanya aktivitas penangkapan (Sparre dan Venema 1999). Laju eksploitasi didefinisikan sebagai bagian suatu kelompok umur yang akan ditangkap selama ikan tersebut hidup. Laju ekspliotasi adakah jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati baik karena faktor alam maupun faktor penangkapan (Pauly 1984). Gulland (1971) in Pauly

24 10 (1984) menduga bahwa suatu stok yang dieksploitasi secara optimal maka laju mortalitas penangkapannya (F) akan setara dengan laju mortalitas alaminya (M) atau dapat dinyatakan bahwa laju eksploitasi (E) sama dengan 0,5. Laju eksploitasi penting untuk diketahui sehingga dapat menduga kondisi dari perikanan dalam pengkajian stok ikan (King 1995) Penelitian ikan swanggi yang dilakukan di perairan India oleh Sivakami (2005) memiliki nilai mortalitas total beriksar antara 3,99 sampai 6,14, nilai mortalitas alami sebesar 1.14, nilai mortalitas penangkapan berkisar 3,32-5,00 dan nilai laju eksploitasi 0,73 0,78. Nilai tersebut menunjukan ikan swanggi P. harmur di Pantai Barat India telah mengalami eksploitasi. Inges & Pauly (1984) in Sivakami (2005) telah memperoleh mortalitas alami P. tayenus sebesar 8,09 di Laut Samar. Chakraborty et al. (1994) in Sivakami (2005) memperkirakan nilai M sebesar 1,10 untuk P. hamrur di pantai Maharashtra. Philip & Mathew (1996) in Sivakami (2005) telah melaporkan nilai M sebesar 0,9 dan 0,936 untuk ikan swanggi jantan dan betina 2.5. Pengkajian Stok Ikan Pengetahuan tentang stok berguna dalam memberikan saran tentang pemanfaatan sumberdaya ikan sehingga sumberdaya tersebut dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Konsep maximum sustainable yield (MSY), merupakan konsep pengelolaan sumberdaya ikan secara bertanggung jawab (responsible fisheries) dengan mempertahankan kelestarian atau keberlanjutan sumberdaya yang ada. Dalam pengelolaan sumberdaya ikan, pengetahuan tentang stok dan dinamikanya merupakan hal yang sangat penting. Gulland (1982) in Sparre & Venema (1989), menyatakan bahwa untuk keperluan pengelolaan perikanan, suatu sub kelompok dari satu spesies dapat dikatakan sebagai suatu stok jika perbedaan perbedaan dalam kelompok tersebut dan pencampuran dengan kelompok lain dapat diabaikan Tujuan pengkajian stok ikan dari stok yang dieksploitasi adalah untuk meramalkan apa yang akan terjadi dalam hal hasil di masa depan, tingkat sustainabilitas biomassa dan nilai dari hasil tangkapan jika upaya penangkapan tetap sama atau berubah karena faktor lain.

25 Model Produksi Surplus Menurut Sparre & Venema (1999), Model produksi surplus berkaitan dengan stok, upaya total, dan hasil tangkapan total tanpa dipengaruhi oleh parameter pertumbuhan dan mortalitas atau pengaruh dari ukuran mata jaring pada hasil tangkapan. Tujuan penggunaan Model produksi Surplus untuk menentukan tingkat upaya optimum yaitu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum lestari (maximum sustainable yield / MSY) tanpa mempengaruhi produktifitas stok jangka panjang. Model Produksi Surplus dapat diterapkan dengan memperkirakan hasil tangkapan total dan hasil tangkapan per upaya ( catch per unit effort/cpue) per spesies (Sparre & Venema 1999). Hal tersebut menjadi salah satu alasan bahwa model produksi surplus banyak digunakan untuk estimasi stok ikan di perairan tropis. Menurut Sparre &Venema (1999), asumsi yang digunakan dalam model produksi surplus yaitu asumsi dalam keadaan ekuilibrium, asumsi biologi, dan asumsi terhadap koefisien kemampuan menangkap. Pada penelitian Silvakami (2005), model produksi surplus menggunakan model Beverton & Holt (1957) dan memperoleh nilai MSY ikan swanggi sebesar ton dan produksi aktual sebesar ton. Hal ini menunjukan adanya eksploitasi untuk spesies P. hamrur 2.7. Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan Keadaan saat wilayah laut tersebut akan miskin karena penangkapan ikan lebih banyak dibandingkan kemampuan ikan memijah, dikenal sebagai kondisi upaya tangkap lebih (Poernomo 2009). Selain MSY, analisis surplus produksi juga dapat menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (Total allowable catch/tac). Besarnya TAC biasanya dihitung berdasarkan nilai MSY suatu sumberdaya perikanan yang perhitungannya didasarkan atas berbagai pendekatan (Boer & Aziz 1995). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan adalah 80% dari potensi maksimum lestarinya (FAO 1999).

26 Kondisi Lingkungan Perairan Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi badan air yang mampu mengendalikan kondisi ekosistem. Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai untuk menunjang pertumbuhannya. Peningkatan suhu akan meningkatkan kecepatan metabolism dan respirasi organisme akuatik yang kemudian meningkatkan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu 10 o C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 3-4 kali lipat. Amri (2008) mengatakan bahwa musim timur merupakan musim dengan kondisi suhu permukaan air laut relatif tinggi didominasi oleh masa air dengan suhu permukaan laut 29 0 C-30,5 0 C dan pada musim peralihan 1 dan 2 nilai sebaran suhu permukaan laut berkisar 27,0 0 C- 30,5 0 C Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Menurut FAO (1997) in Widodo & Suadi (2006), pengelolaan perikanan adalah proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementasi dari aturan-aturan lain di bidang perikananan dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas sumber,dan pencapaian tujuan perikanan lainnya. Pengelolaan sumberdaya perikanan saat ini menuntut perhatian penuh dikarenakan oleh semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan (Widodo & Suadi 2006). Widodo dan Suadi (2006) menyatakan bahwa model pengelolaan perikanan pertama kali disusun dengan berbasis pada data hasil tangkapan dan upaya penangkapan. Model yang dibangun dari data tersebut dikenal sebagai model hasil tangkapan lestari atau yang lebih dikenal sebagai model maximum sustainable yield (MSY). Model MSY memusatkan perhatiannya pada keperluan untuk membatasi aktivitas penangkapan agar dapat meningkatkan hasil tangkapan jangka panjang yang mengarah kepada keadaan yang lestari, berlangsung terusmenerus dan rasional Semua kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan harus ditentukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut : Pada tahap awal, kebijakan harus ditujukan terutama untuk mendorong

27 13 perkembangan perikanan. Kemudian setelah batas kemampuan (potensi, daya dukung) dari stok ikan telah tercapai, laju perkembangan harus mulai dikurangi. Selanjutnya, semua kebijakan akan lebih bersifat sebagai usaha pembatasan.

28 14 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Maret 2011 hingga Oktober 2011 dengan interval waktu pengambilan contoh 1 bulan. Penelitian dilakukan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Peta Lokasi Penelitian KKP Kecamatan Labuan (2011) Gambar 5 menunjukan lokasi penelitian dan daerah pnangkapan ikan swanggi. Daerah penangkapan ikan swanggi di Selat Sunda yaitu Pulau Rakata, Pulau Liwungan, Pulau Sumur, Pulau Carita, Pulau Panaitan, Pulau Tanjung Lesung, Pulau Tanjung Alang-alang, dan sekitar Pulau Sebesi Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain penggaris dengan ketelitian 1 mm, timbangan digital dengan ketelitian 1 gram, alat bedah, alat tulis, dan alat dokumentasi serta laptop. Bahan yang digunakan adalah ikan swanggi dari hasil tangkapan nelayan di perairan Selat Sunda yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan, Banten.

29 Pengumpulan Data Data primer Pengumpulan data primer diperoleh dari pengambilan contoh secara acak pada ikan swanggi yang tertangkap di Selat Sunda dan didaratkan di PPP Labuan, Banten, berupa data panjang, berat, dan jenis kelamin. Ikan contoh yang diambil diidentifikasi melalui pengamatan morfologi ikan. Metode yang digunakan dalam pengambilan contoh ikan adalah metode penarikan contoh acak sederhana (PCAS). Ikan contoh diperoleh dari kapal dengan alat tangkap cantrang yang memiliki fishing ground di sekitar Selat Sunda dan didaratkan di PPP Labuan. Contoh diamati sebanyak ekor ikan swanggi. Pengukuran panjang total mulai dari ujung mulut terdepan hingga ujung ekor terakhir menggunakan penggaris dengan ketelitian 1 mm, sedangkan bobot yang ditimbang adalah bobot basah total yang meliputi bobot total jaringan ikan serta air yang terkandung dalam tubuh ikan menggunakan timbangan dengan ketelitian 1 gram Data sekunder Data diperoleh dari KKP Labuan Banten yang meliputi data hasil tangkapan dan trip setiap hari yang dikumpulkan menjadi data 1 tahun. Data yang digunakan yaitu data selama 8 tahun (2001, 2002, 2004, 2005, 2007, 2009, 2010, dan 2011). Informasi lain yang diperoleh yaitu data hasil tangkapan ikan yang didaratkan di PPI Labuan, data unit operasi penangkapan ikan swanggi berupa kegiatan operasi penangkapan, daerah penangkapan, dan biaya operasi penangkapan serta pendapatan dari penangkapan tersebut. Data tersebut diperoleh dengan cara observasi langsung di lapang serta melakukan wawancara baik kepada nelayan sekitar maupun kepada pengelola PPI Labuan Analisis Data Hubungan panjang bobot Panjang berkaitan erat dengan bobot yang mengikuti hukum kubik. Namun tiap ikan memiliki pola pertumbuhan yang berbeda-beda sehingga analisis hubungan panjang dan bobot ikan dapat menggunakan rumus (Effendie 2002):

30 16 (1) W adalah bobot, L adalah panjang, a adalah intersep (perpotongan kurva hubungan panjang bobot dengn sumbu y), dan b adalah penduga pola pertumbuhan panjang-bobot. Pendugaan pola pertumbuhan (b) dilakukan dengan pendekatan regresi linear dari persamaan (1) yang diturunkan, sebagai berikut : (2) Bentuk hubungan panjang dan berat dievaluasi dari pola pertumbuhan (b), untuk mencapai pola pertumbuhan maka selanjutnya dilakukan uji hipotesis sebagai berikut : H 0 : b = 3, hubungan panjang dan bobot adalah isometrik H 1 : b 3, hubungan panjang dan bobot adalah alometrik positif/negatif Jika pertumbuhan tidak isometrik, maka selanjutnya dilakukan uji lanjut (t) dari koefisien pertumbuhan yang ada : t hitung b b 1 sb 1 0 (3) s 2 b 1 n i 1 x 2 i 2 s 1 ( n n i 1 x ) i 2 (4) b 1 adalah nilai b (dari hubungan panjang berat), b 0 sama dengan tiga, dan Sb 1 adalah simpangan koefisien b. untuk menentukan sebaran dari koefisien b dievaluasi dari selang kepercayaan 95% dengan formula sebagai berikut : t hitung > t tabel : tolak hipotesis nol (H 0 ) t hitung < t tabel : gagal tolak hipotesis nol (H 0 ) Sebaran frekuensi panjang Menurut Walpole (1995) analisis sebaran frekuensi panjang berdasarkan ukuran panjang dapat diketahui dengan melakukan analisa data sebagai berikut:

31 17 1. Menentukan lebar kelas, r = pb-pk (r = lebar kelas, pb = panjang tertinggi, pk = panjang terpendek) 2. Menentukan jumlah kelas 1 + 3,32 log N (N = jumlah data) 3. Menghitung lebar kelas, L = r / jumlah kelas (L = lebar kelas, r = wilayah kelas) 4. Memilih ujung bawah kelas interval 5. Menentukan frekuensi jumlah masing-masing selang kelas yaitu jumlah frekuensi dibagi jumlah total dikalikan 100. Frekuensi dari setiap kelas ukuran diplotkan dalam bentuk grafik. Grafik tersebut menunjukan pergeseran sebaran kelas panjang setiap pengambilan contoh, yang menggambarkan jumlah kelompok umur (kohort) yang ada dan perubahan posisi ukuran panjang kelompok umur yang sama Identifikasi kelompok ukuran Pendugaan kelompok ukuran dilakukan dengan data frekuensi panjang Ikan swanggi yang dianalisis dengan menggunakan salah satu metode yang terdapat di dalam program FISAT II (FAO-ICLARM Stok Assesment Tool) yaitu metode NORMSEP (Normal Separation). Sebaran frekuensi panjang dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok umur yang diasumsikan menyebar normal, masing-masing dicirikan oleh rata-rata panjang dan simpangan baku. Boer & Aziz (1995) menyatakan jika f i adalah frekuensi ikan dalam kelas panjang ke-i (i = 1, 2,, N), µ j adalah rata-rata panjang kelompok umur ke-j, σ j adalah simpangan baku panjang kelompok umur ke-j dan p j adalah proporsi ikan dalam kelompok umur ke-j (j= 1, 2,, G) maka fungsi objektif yang digunakan untuk menduga {µ j, σ j,p j ) adalah fungsi kemungkinan maksimum (maximum Likelihood function) dengan persamaan sebagai berikut : L N i 1 i G f log p q (5) j 1 j ij

32 18 dengan ketentuan q ij j exp 2 1 x i j 2 ( ) 2 1 j yang merupakan fungsi kepekatan peluang sebaran normal dengan nilai tengah µ j dan simpangan baku σ j. x i merupakan titik tengah dari kelas panjang ke-i. Fungsi objektif L ditentukan dengan cara mencari turunan pertama L masing-masing terhadap µ j, σ j,p j sehingga diperoleh dugaan µ j, σ j,p j yang akan digunakan untuk menduga parameter pertumbuhan Parameter pertumbuhan ( L, K, dan t 0 ) Pendugaan pertumbuhan dapat diketahui dari hasil analisis parameter pertumbuhan. Pendugaan Koefisien pertumbuhan (K) dan L dapat diduga dengan menggunakan model pertumbuhan Von Bartalanffy (Sparre & Venema 1999) : L t L (1 e [ 0 k( t t )] ) (6) Penurunan plot Ford-Walford didasarkan pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy, maka persamaannya menjadi sebagai berikut. (7) (8) Setelah L t+1 disubtitusikan ke dalam persamaan (8) maka diperoleh ) = ) (9) Persamaan (8) disubtitusikan ke dalam persamaan (9 sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut : (10)

33 19 Persamaan (10) merupakan bentuk persamaan linier yang merupakan L (t+1) sebagai peubah tak bebas (y) dan L t sebagai peubah bebas (x) sehingga diperoleh formula sebagai berikut : b = a = ( ) Umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol dapat diduga secara terpisah dengan menggunakan persamaan empiris Pauly (1984) sebagai berikut : (11) Keterangan : L = Panjang ikan asimtotik (mm) k = Koefisien pertumbuhan Lt = Panjang ikan saat mencapai umur t (mm) t 0 = umur ikan saat panjangnya 0 mm t = umur ikan pada panjang tertentu Mortalitas dan laju eksploitasi Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinearkan berdasarkan data komposisi panjang (Sparre & Venema 1999) menggunakan langkah-langkah sebagai berikut. Langkah 1 :Mengkonversikan data panjang ke data umur dengan menggunakan inverse persamaan von Bertalanffy. ( L ) (12) Langkah 2 :Menghitung waktu rata-rata yang diperlukan oleh ikan untuk tumbuh dari panjang L 1 ke L 2 ( t) ( L ) (13)

34 20 Langkah 3 : Menghitung (t+ t/2) yang diasumsikan sama dengan t(l 1 )+ t/2 sama dengan ( ) ( L ) (14) Langkah 4 : Menurunkan kurva hasil tangkapan (C) yang dilinearkan yang dikonversikan ke panjang (15) Persamaan di atas adalah bentuk persamaan linear dengan kemiringan (b) sama dengan -Z. Untuk laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1980) in Sparre & Venema (1999) sebagai berikut : M (16) ( 0,0152 0,279* LnL 0,6543* LnK 0,463* LnT) exp (17) Keterangan : T = rata-rata suhu permukaan air ( 0 C). Laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan : (18) Laju eksploitasi (E) ditentukan dengan membandingkan mortalitas penangkapan (F) terhadap mortaliatas total (Z) (Pauly 1984) : (19) Laju mortalitas penangkapan (F) atau laju eksploitasi optimum menurut Gulland (1971) in Pauly (1984) adalah: F optimum M E 0, 5 (20) optimum

35 Model Surplus Produksi Pendugaan model produksi surplus dianalisi menggunakan model Gulland. Model Gulland (1961) mengasumsikan bahwa terdapat suatu hubungan antara kelimpahan stok dan upaya masa lalu. Bila rekruitmen tetap stabil dengan berkembangnya penangkapan besar-besaran, ukuran rata-rata individu yang ditangkap akan menurun. Sebaliknya bila ukuran rata-rata ikan ditangkap tetap tidak berubah sedangkan kelimpahan atau CPUE t menurun, terdapat beberapa indikasi bahwa rekruitmen berpengaruh (Gulland 1961 in Pasisingi 2011). Sparre & Venema (1999) menyatakan bahwa metode ini hanya cocok digunakan untuk mendunga populasi yang belum dieksploitasi atau virgin biomass, model ini juga digunakan pada penelitian jarang dilaksanakan dan pada stok yang tingkat eksploitasinya masih rendah. Hubungan yang diperoleh antara CPUE t dan upaya rata-rata berbentuk melengkung. Hubungan linear model Gulland dapat dinyatakan sebagai berikut: (21) Sehingga : Keterangan : : upaya rata-rata tahun sebelumnya ke t -1 dengan tahun ke-t yang merupakan rentang hidup rata-rata individu dalam stok yang dieksploitasi (trip). CPUE t : Tangkapan (kg) per upaya tangkap (trip) a : perkiraan rentang hidup untuk q, parameter daya dukung lingkungan (K) dan pertumbuhan alami (r), serta nilai koefisien regresi. b : perkiraan untuk hasil ekuilibrium maksimum. Jumlah tangkapan yang diperbolehkan atau Total Allowable Catch (TAC) dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan dapat ditentukan dengan analisis produksi surplus dan berdasarkan prinsip kehati-hatian, sehingga :

36 22 (22) Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC) adalah 80% dari potensi maksimum lestarinya (FAO 2011). Agar kegiatan perikanan dapat dilakukan secara berkelanjutan maka jumlah hasil tangkap sebaiknya tidak melebihi TAC.

37 23 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum PPP Labuan PPP Labuan berada pada wilayah perairan Selat Sunda yang merupakan Alur Kepulauan Indonesia 1 (ALKI-1). Lokasi PPP Labuan berada pada titik koordinat LS dan BT (Irhamni 2009). PPP Labuan mencakup dua Tempat Pelelangan Ikan yaitu TPI 1 (lama) dan TPI 2 (baru). Maraknya kegiatan perikanan di Labuan ditandai dengan banyaknya jumlah armada yang melakukan kegiatan bongkar muat dan sentra produksi. Besarnya potensi yang ada memungkinkan PPP Labuan dapat dijadikan sentra pengembangan komoditas unggulan (Rahardjo et al, 1999 in Sjafei 2001). Aktivitas pendaratan hasil tangkapan sampai proses pendistribusiannya terjadi sepajang hari di PPP ini. Pada tahun 2005 jumlah armada penangkap ikan di PPP Labuan adalah unit atau sekitar 35,4% dari total armada penangkap ikan di Kabupaten Pandeglang berada di PPP ini (Rakmania 2008). Jenis alat tangkap yang beroperasi yaitu payang, purse seine, jaring rampus, gillnet, pancing, jaring arad, dan cantrang. Alat tangkap yang terbanyak yaitu jaring arad, pancing, dan gillnet masing-masing berjumlah 119 unit, 68 unit, dan 65 unit. Nelayan Labuan biasa melakukan operasi penangkapan sepanjang tahun baik musim barat maupun musim timur. Kondisi daerah penangkapan yang terhalang oleh pulau-pulau memudahkan nelayan melakukan operasi penangkapan karena pengaruh gelombang tidak terlalu besar (Kartika 2007). Pada tahun 2008, jumlah nelayan terbanyak di PPP Labuan berjumlah atau sekitar 42,68% dari total keseluruhan jumlah nelayan di Kabupaten Pandeglang (Irhamni 2009). Rakhmania (2008) menyebutkan volume produksi perikanan di PPP Labuan tahun mencapai 1.644, ,6 ton dan nilai produksi mencapai rupiah Kondisi Perikanan Ikan Swanggi PPP Labuan sebagai pelabuhan pendaratan ikan terbesar di Kabupaten Pandeglang. Ikan swanggi merupakan hasil tangkapan dominan kelima di Labuan

38 24 (8,25%) setelah ikan kuwe (24,70%), kurisi (23,43%), kuniran (23,04%), dan kapasan (13,70%) (Gambar 6). 8.25% 6.89% Kue 13.70% 23.04% 24.70% 23.43% Kurisi Kuniran Kapasan Swanggi Jolod Gambar 6. Hasil tangkapan per jenis ikan tahun 2010 di PPP Labuan Ditjen-Tangkap (KKP 2010). Jenis ikan swanggi yang tertangkap adalah P. tayenus dengan daerah penangkapan di Pulau Rakata, Pulau Liwungan,Pulau Sumur, Pulau Carita, Pulau Panaitan, Pulau Tanjung Lesung, Pulau Tanjung Alang-alang, dan sekitar Pulau Sebesi. Penangkapan ikan swanggi menggunakan alat tangkap jaring cantrang yang dioperasikan dengan menggunakan kapal motor berukuran 6-24 GT. Cantrang memilik ukuran mata jaring bagian kantong adalah 1,5 inchi 3,0 inchi dan ukuran mata jaring bagian selambar adalah 8 inchi. Spesies lain yang ditangkap dengan alat tangkap cantrang yaitu pepetek, kurisi, kuniran, kapasan. Ikan swanggi memiliki hasil tangkapan yang berfluktuasi dari tahun ke tahun seperti disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Hasil tangkapan (kg) ikan swanggi di Kabupaten Pandeglang Tahun Cantrang C(kg) f(trip) , , , , , , , , Rata-rata Catatan : C = produksi; f = upaya penangkapan ( trip )

39 25 Hasil tangkapan cantrang mencapai puncaknya pada tahun 2005, rata-rata produksi ikan swangi dari tahun mencapai kg. sementara itu upaya tangkap berfluktuasi dengan pennagkapan terbanyak pada tahun 2005, ratarata upaya tangkap ikan swanggi dari tahun mencapai 353 trip. Fluktuasi ini disebabkan oleh menurunnya jumlah alat tangkap cantrang serta kenaikan bahan bakar dari tahun Hubungan Panjang Bobot Hasil analisis hubungan panjang bobot ikan swanggi betina dan jantan selama Maret Oktober 2011 adalah alometrik, seperti telihat pada Tabel 3 dan 4 dibawah ini. Tabel 3. Hubungan panjang bobot ikan swanggi (P. tayenus) betina Pengambilan contoh n a b R 2 t hitung t tabel keterangan Maret 54 0,0010 2, ,3% 11,1070 2,3069 Alometrik negatif April 24 0,0001 2, ,4% 35,3539 2,3979 Alometrik negatif Mei 42 0,0001 2, ,6% 7,9506 2,3267 Alometrik negatif Juni 38 0,0001 2, ,2% 16,6992 2,3363 Alometrik negatif Juli 16 0,0001 2, ,9% 38,4510 2,4899 Alometrik negatif Agustus 31 0,2810 1, ,1% 33,9001 2,3979 Alometrik negatif September 12 0,0050 1, ,7% 12,6561 2,5931 Alometrik negatif Oktober 35 0,0001 2, ,9% 39,7676 2,3451 Alometrik negatif Tabel 4. Hubungan panjang bobot ikan swanggi (P. tayenus) jantan Pengambilan contoh n a b R 2 t hitung t tabel keterangan Maret 11 1,2890 0, ,20% ,6338 Alometrik negatif April 36 0,0030 1, ,30% ,3420 Alometrik negatif Mei 29 0,0001 2, ,90% ,3685 Alometrik negatif Juni 25 0,0001 2, ,40% ,3909 Alometrik negatif Juli 49 0,0001 2, ,40% ,3139 Alometrik negatif Agustus 26 0,0100 1, ,60% ,3638 Alometrik negatif September 38 1,5700 0, ,70% ,3363 Alometrik negatif Oktober 15 0,0640 1, ,30% ,5096 Alometrik negatif Catatan : n = jumlah contoh ikan; a = intersept; b = kemiringan/slope; R 2 = koefisien determinasi; T hitung = nilai t yang diperoleh dari perhitugan; t tabel = nilai t yang diperoleh dari tabel. Berdasarkan Tabel 3 dan 4, nilai b yang kurang dari 3 dan hasil uji-t menunjukan bahwa ikan jantan dan betina memiliki pola alometrik negatif, yaitu pertumbuhan panjang lebih dominan dari pertumbuhan bobot. Hal ini didukung

40 26 oleh penelitian Sukamto (2010) di Pantai Utara Jawa Timur mengemukan bahwa ikan swanggi memiliki pertumbuhan allometrik negatif. Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa ikan swanggi di Perairan Sunda dan Pantai Utara Jawa Timur memiliki pola pertumbuhan yang sama Sebaran Frekuensi Panjang Jumlah ikan yang diambil pada pengambilan data sebanyak 50 hingga 71 ekor dan jumlah ikan swanggi yang diamati selama penelitan mencapai 481 ekor. Gambar 7 dibawah ini adalah sebaran frekuensi panjang Ikan swanggi (P. tayenus) contoh selama 8 bulan : Frekuensi Betina Jantan Selang Kelas (mm) Gambar 7. Sebaran frekuensi panjang ikan swanggi jantan dan betina Hasil analisis frekuensi panjang dapat dilihat pada Gambar 7, sebaran frekuensi panjang yang diperoleh selama penelitian untuk betina antara 105 mm mm, untuk jantan berkisar antara 100 mm mm. Panjang maksimum ikan yang didaratkan di PPP Labuan Banten sebasar 288 mm, sedangkan menurut Starnes (1988) in (2011) panjang maksimum ikan swanggi (P. tayenus) adalah 350 mm. ikan swanggi betina paling banyak ditemukan dengan ukuran panjang antara mm, sedangkan ikan jantan paling banyak ditemukan dengan ukuran panjang antara mm. Ikan swanggi di perairan Selat Sunda didominasi oleh ikan berukuran kecil, ukuran ikan terkecil yang

41 27 tertangkap sebesar 105 mm. Hal ini membuktikan bahwa ikan swanggi jantan yang banyak tertangka berukuran kecil dan dalam masa pertumbuhan. Penelitian Awong et al. (2011) yang dilakukan di Teluk Darvel, Sabah Malaysia menghasilkan distribusi frekuensi panjang ikan swanggi memiliki panjang standar berkisar antara mm dengan rata-rata panjang 150 mm, sementara penelitian yang dilakukan di Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, ikan swanggi memiliki sebaran frekuensi panjang mm (Badrudin et al. 2010). Ikan swanggi di India memiliki sebaran frekuensi yang berkisar antara mm dengan musim pemijahan pada bulan Maret dan April (Premalatha 1997). Perbandingan antara hasil penelitian ini dengan penelitian lain menunjukan ikan swanggi di perairan Selat Sunda tidak memiliki pertumbuhan yang baik. Hal ini disebabkan adanya faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan seperti suhu air, kandungan oksigen terlarut, ammonia, dan salinitas Faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain dan bersama-sama dengan faktor lainnya seperti kompetisi, jumlah dan kualitas makanan, umur, dan tingkat kematian yang dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ikan. Faktor dalam yang umumnya sangat sulit dikontrol antara lain keturunan, umur, parasit, dan penyakit (Effendie 2002) Kelompok Ukuran Analisis kelompok ukuran dilakukan pada setiap contoh. Analisis ini dilakukan untuk melihat posisi dan perubahan posisi rata-rata masing-masing ukuran kelompok panjang. Analisis sebaran frekuensi panjang dapat digunakan untuk menduga umur ikan dan kelompok umur umur, karena frekuensi panjang ikan tertentu umumnya berasal dari umur yang sama dan cenderung membentuk sebaran normal. Pada Tabel 5 dan 6 disajikan hasil analisis sebaran kelompok ukuran ikan swanggi betina dan jantan setiap pengambilan contohnya. Berdasarkan Tabel 5 dan 6, hampir semua indeks separasi yang diperoleh lebih dari dua (>2). Hal ini menunjukkan bahwa hasil pemisahan kelompok umur ikan swanggi dapat diterima dan digunakan untuk analisis berikutnya.

42 28 Tabel 5. Sebaran kelompok ukuran ikan swanggi betina di Perairan Selat Sunda Pengambilan Kelompok Indeks Waktu n Nilai Tengah Contoh ukuran Sparasi 1 Maret ,30 ± 3,36 n.a. 179,49 ± 7,21 4, ,90 ± 10,44 n.a. 2 April ,50 ± 2,50 6, ,70 ± 2,59 2, ,69 ± 7,01 n.a. 3 Mei ,79 ± 9,41 4, ,47 ± 2,88 3,030 4 Juni ,11 ± 12,46 n.a. 5 Juli ,44 ± 10,03 n.a 141,29 ± 10,43 n.a. 6 Agustus ,76 ± 13,42 2, ,68 ± 2,50 2,210 7 September ,25 ± 2,50 n.a 8 Oktober ,43 ±12,750 n.a Tabel 6. Sebaran kelompok ukuran ikan swanggi jantan di Perairan Selat Sunda Pengambilan Contoh Waktu Kelompok ukuran n Nilai Tengah 1 Maret ,09 ±11,64 n.a 2 April ,61 ±13,62 n.a Indeks Sparasi 150,56 ± 7,45 n.a 182,54 ± 3,62 5,78 3 Mei ,17 ± 9,39 2, ,19 ± 9,58 6, ,60 ± 7,45 2,870 4 Juni ,60 ±23.10 n.a 5 Juli ,02 ± 7,62 n.a 6 Agustus ,71 ±11,89 n.a 181,11 ± 8,71 3,340 7 September ± 5.53 n.a ± Oktober ,00 ± 8,91 n.a Catatan : n = jumlah contoh ikan; n.a = Not available Menurut Hasselblad (1996) in Sparre & Venema (1999) menjelaskan bahwa indeks separasi menggambarkan kualitas pemisahan dua kelompok umur yang berdekatan. Apabila indeks separasi kurang dari dua (<2) maka tidak mungkin

43 29 dilakukan pemisahan kelompok umur karena akan terjadi tumpang tindih dengan kedua kelompok umur tersebut. Sebaran kelompok ukuran ikan swanggi betina (Tabel 5) mengambarkan ikan swanggi yang ditangkap pada bulan Juni, Juli, September, dan Oktober memiliki 1 kelompok ukuran dan pada bulan lain, ikan swanggi memiliki 2 hingga 3 kelompok ukuran. Sebaran kelompok ukuran ikan swanggi jantan (Tabel 5) mengambarkan ikan swanggi yang ditangkap pada bulan Maret, April, Juni, Juli, dan Oktober memiliki 1 kelompok ukuran, ikan swanggi yang ditangkap pada bulan Mei memiliki 5 kelompok ukuran, dan pada bulan lain, ikan swanggi memiliki 2 kelompok ukuran. Kelompok ukuran ikan swanggi dapat dilihat sebagai berikut (Gambar 8). Grafik pertumbuhan Ikan swanggi betina dan jantan mengalami pergeseran ke arah kiri dan ke arah kanan. Pergeseran ke arah kanan menunjukkan adanya pertumbuhan, sedangkan pergeseran ke arah kiri di duga menunjukkan adanya rekruitmen. Peningkatan jumlah ikan ditentukan dengan pertumbuhan badan individu ikan dalam populasi dan penambahan atau rekruitment dari generasi muda (Widodo & Suadi 2006). Rekruitmen ikan swanggi jantan dan betina diduga terjadi pada bulan April dan bulan Juli. Ikan yang ditangkap di bulan April, Juli, dan Agustus memiliki ukuran panjang yang kecil, dapat dikatakan ikan swanggi berusia muda tertangkap oleh nelayan, penangkapan ikan berusia muda sangat mempengaruhi keberadaan stok sumberdaya ikan swanggi ini. Faktor utama ikan berusia muda ini tertangkap yaitu ukuran mata jaring yang terlalu kecil sehingga penangkapan tidak selektif.

44 30 Maret n = 54 Maret n = 11 April n = 24 April n = 36 Mei n= 42 Mei n= 29 Juni n = 38 Juni n = 25 Juli n = 16 Juli n = 49 Agustus n= 31 Agustus n= 26 September n = 12 September n = 38 Oktober n = 35 Oktober n = 15 (a) (b) Gambar 8. Pergeseran modus frekuensi panjang ikan swanggi (a) betina dan (b) jantan

45 Pertumbuhan Hubungan panjang bobot Effendie (2002) menjelaskan bahwa jika nilai panjang dan bobot diplotkan dalam suatu gambar maka akan didapatkan persamaan W = al b atau bobot merupakan fungsi dari panjang. Berdasarkan analisis hubungan panjang bobot ikan total didapatkan fungsi pertumbuhan (Gambar 9) dengan nilai b sebesar 0,389 yang menunjukan bahwa ikan swanggi memiliki pola pertumbuhan alometrik negatif, artinya pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan bobot (Effendie 2002). Bobot (grr) W = 32,58L 0,398 R² = 86.3% Panjang ( mm ) Gambar 9. Hubungan panjang bobot ikan swanggi Koefisien determinasi sebesar 86,3% menyatakan bahwa model hubungan panjang berat ini menggambarkan keadaan pola pertumbuhan ikan swanggi di perairan Selat Sunda secara aktual. Sukamto (2010) mengemukan bahwa ikan swanggi memiliki pertumbuhan allometrik negatif setiap bulannya. Hasil serupa diperoleh dari penelitian Joung et al. (1992) di perairan sekitar pulau Guei-Shan, Taiwan mengemukanan ikan swanggi (P. macracanthus) memiliki pola pertumbuhan alometrik negatif. Hasil yang berbeda ditunjukan oleh penelitian Awong et al. (2011) yang dilakukan di Perairan Malaysia menunjukan ikan swanggi memiliki pola pertumbuhan alometrik positif dengan nilai b sebesar 3,3525. Pada ikan swanggi, pola pertumbuhan allometrik negatif diduga dipengaruhi oleh faktor spesies dan tekanan penangkapan, terlebih penangkapan ikan ini berlangsung sepanjang hari sepanjang tahun.

46 Parameter pertumbuhan Parameter pertumbuhan dengan metode Von Bertalanffy (parameter K dan L ) diduga dengan metode plot Ford Walford menunjukkan bahwa ikan swanggi di Selat Sunda memiliki nilai K dan nilai L yang disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Parameter pertumbuhan model von Bertalanffy (K, L, t 0 ) ikan swanggi Parameter Pertumbuhan Betina Jantan Total L (mm) 233,62 319,09 346,40 k 0,30 0,15 0,17 t 0-0,32-0,60 0,52 Catatan : L = Panjang asimtotik; k = koefisien pertumbuhan; t 0 =umur ikan saat panjang 0 mm Persamaan pertumbuhan von bartalanffy untuk ikan swanggi betina dan jantan di Selat Sunda memiliki fungsi Von Bartalanffy masing-masing adalah L t =233,62 (1-e -0,3(t+0,32) ) dan L t =319,09 (1-e -0,15 (t+0,60) ). Koefisien pertumbuhan (K) didefinisikan sebagai parameter yang menyatakan kecepatan pertumbuhan dalam mencapai panjang asimtotiknya (L ) dari pola pertumbuhan ikan (Sparre and Venema 1999). Jadi semakin tinggi nilai koefisien pertumbuhan, maka ikan semakin cepat mencapai panjang asimtotik dan beberapa spesies kebanyakan diantaranya berumur pendek. Sebaliknya ikan yang memiliki nilai koefisien pertumbuhan rendah maka umurnya semakin panjang karena memerlukan waktu lama untuk mencapai nilai asimtotiknya (Sparre &Venema 1999). Berdasarkan tabel diatas, ikan swanggi betina menunjukan pertumbuhan yang lebih cepat daripada ikan swanggi jantan. Hasil analisis beberapa peneliti mengenai parameter pertumbuhan ikan swanggi dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Analisis parameter dari beberapa peneliti ikan swanggi Sumber Lokasi Spesies K L Dwiponggo & Badrudin (1978) Pantai Utara Jawa Tengah P. macracanthus 1,30 237,50 Sukamto (2010) Pantai Utara Jawa Timur P. tayenus 0,19 330,75 Joung et. al (1992) Perairan Taiwan P. macracanthus 0,09 620,00 Sivakami et. al (2005) Perairan India P. hamrur 0,59 410,00 Penelitian (2012) Perairan Selat Sunda P. tayenus 0,17 346,40 K : Keofisien pertumbuhan pertahun ; L : Panjang asimtotik (mm)

47 33 Berdasarkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan, ikan swanggi di perairan yang berbeda memiliki parameter pertumbuhan yang berbeda-beda. Tabel 8 menjelaskan bahwa ikan swanggi di Indonesia memilki ukuran yang lebih kecil dari ikan swanggi di perairan luar Indonesia, sementara P. macracanthus yang diteliti oleh Dwiponggo dan Badrudin (1978) di Pantai Utara Jawa Tengah memperoleh nilai asimtotik yang paling rendah, sementara itu ikan swanggi di Pantai Utara Jawa Timur memilki koefisien pertumbuhan yang paling tinggi. Perbedaan nilai koefisien pertumbuhan dan panjang asimtotik ikan swanggi di suatu perairan dipengaruhi oleh perbedaan spesies dan lokasi penelitian. Menurut Priyanie (2006) Kondisi lingkungan tempat hidup ikan memegang pengaruh yang kuat terhadap pertumbuhan ikan. Keadaan lingkungan perairan yang buruk akan mempengaruhi kisaran ukuran ikan yang tertangkap dalam kaitannya dengan ketersediaan makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan ikan. Berdasarkan parameter pertumbuhan tersebut dilakukan analisis hubungan umur ikan (bulan) dan panjang ikan (mm) sehingga diperoleh kurva dugaan pertumbuhan pada gambar dibawah ini (Gambar 10). panjang (mm) Betina L t = 233,62 (1-e -0,3(t+0,32) ) Umur (bulan) panjang (mm) (a) (b) Gambar 10. Kurva pertumbuhan Ikan swanggi (a) betina dan (b) jantan jantan L t = 319,09 (1-e -0,15 (t+0,60) ) Umur (bulan) 150 Pada Gambar 10 dapat disimpulkan bahwa laju pertumbuhan ikan swanggi tidak sama setiap rentang kehidupannya. Ikan yang berumur muda memiliki laju pertumbuhan lebih cepat dibandingkan ikan berumur tua. Cepatnya laju pertumbuhan ikan swanggi saat muda akan menjadi pertimbangan untuk rencana pengelolaan dan pemanfaatan perikanan secara berkelanjutan. Data contoh ikan menunjukan panjang maksimum ikan swanggi contoh di PPP Labuan, Selat Sunda adalah 230 mm untuk ikan swanggi betina dan 288 mm

48 34 untuk ikan swanggi jantan. Hasil penelitian menunjukkan koefisien pertumbuhan (K) ikan swanggi betina sebesar 0,3, umur teoritis saat panjang nol (t 0 ) sebesar - 0,32 tahun, dan panjang asimtotik (L ) sebesar 233,62 mm sehingga hasil analisis menunjukkan bahwa ikan betina mencapai panjang asimtotik (L ) ketika berumur 37,5 bulan. Ikan jantan menunjukkan koefisien pertumbuhan alami (K) sebesar 0,15, umur teoritis saat panjang nol (t 0 ) sebesar -0,60 tahun, dan panjang asimtotik (L ) 319,09 sehingga hasil analisis menunjukkan bahwa ikan jantan mencapai panjang asimtotik (L ) ketika berumur 89,5 bulan Mortalitas dan laju eksploitasi Sparre & Venema (1999) menyatakan bahwa, mortalitas dapat terjadi karena adanya aktifitas penangkapan yang dilakukan manusia dan alami yang terjadi karena kematian karena predasi, penyakit, dan umur. Pendugaan konstanta laju mortalitas total (Z) ikan kurisi dilakukan dengan kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis data panjang (Gambar 11).. Ln(fi/ t) Betina t(l1/l2)/2 Ln(fi/ t) Jantan t(l1/l2)/2 Gambar 11. Kurva hasil tangkapan ikan swanggi yang dilinearkan berbasis data panjang ( : titik yang digunakan dalam analisis regresi untuk menduga Z)

49 35 Hasil regresi kurva hasil tangkapan pada Gambar 11 menunjukan terjadi penurunan jumlah ikan atau mortalitas total. Pendugaan laju mortalitas alami ikan swanggi digunakan rumus empiris Pauly (Sparre & Venema 1999). Amri (2008) menyatakan bahwa suhu rata-rata permukaan perairan Selat Sunda pada musim timur sebesar 29,75 o C (29,0 30,5 o C). Dugaan mortalitas dan laju eksploitasi seperti disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan swanggi Laju Nilai (per tahun) Betina Jantan Total Mortalitas Total (Z) 0,49 0,55 0,39 Mortalitas Alami (M) 0,37 0,22 0,23 Mortalitas Penangkapan (F) 0,12 0,33 0,16 Eksploitasi (E) 0,24 0,61 0,42 Laju eksploitasi penting untuk diketahui sehingga dapat menduga kondisi dari perikanan dalam pengkajian stok ikan (King 1995). Berdasarkan Tabel 9, Ikan jantan lebih terkesploitasi dibanding ikan betina. Laju mortalitas total (Z) ikan swanggi jantan mencapai 0,55 dan laju eksploitasi (E) sebesar 0,61 serta laju penangkapan (F) sebesar 0,33, sementara ikan betina belum mengalami eksploitasi, laju mortalitas total (Z) ikan swanggi betina mencapai 0,49 dan laju eksploitasi (E) sebesar 0,24 serta laju penangkapan (F) sebesar 0,12. Secara total, mortalitas akibat ekspoiltasi sebesar 42,00 % berarti jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah ikan total yang mati karena faktor alam maupun faktor penangkapan sebesar 42,00%. Angka tersebut menunjukan bahwa berdasarkan analisis mortalitas dan Laju eksploitasi, ikan swanggi belum mengalami overeksploitasi sesuai pernyataan Gulland (1971) in Pauly (1984) angka eksploitasi optimal hanya sebesar 50% (E optimum = 0,5). Walaupun ikan swanggi ditangkap setiap hari sepanjang tahun, kondisi ini menunjukan ikan masih bisa ditangkap dan dikelola dengan efektif.

50 Model produksi Surplus Pendugaan potensi sumberdaya ikan swanggi (P. tayenus) dilakukan dengan menggunakan data hasil tangkapan yang ditangkap dan didaratkan di PPP Labuan Banten serta upaya penangkapan yang menggunakan alat tangkap cantrang. Hasil tangkapan (produksi) serta upaya penangkapan ikan swanggi berdasarkan data tahunan Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) Provinsi Banten untuk Kabupaten Pandeglang dari tahun dapat dilihat Gambar 12, 13, dan 14.. Produksi (kg) Gambar 12 Hasil tangkapan ikan swanggi (P. tayenus) Upaya (trip) Tahun Tahun Gambar 13 Upaya penangkapan ikan swanggi (P. tayenus) CPUE (kg/trip) Tahun Gambar 14 Upaya tangkap per upaya ikan swanggi (P. tayenus) KKP Labuan Banten (2011) Berdasarkan Gambar 12, 13, dan 14, produksi tangkapan ikan swanggi selama 10 tahun ( ) berfluktuatif. Produksi tangkapan ikan swanggi

51 37 tertinggi terjadit pada tahun 2005 yang mencapai kg ikan dengan upaya tangkap sebesar 675 (trip penangkapan). Grafik Hubungan upaya dan hasil tangkapan per upaya (CPUE) dengan pendekatan Guland dapat dilihat pada Gambar 15. CPUE (kg/trip) CPUE = -0,05f R² = Upaya Rata-rata MSY = ,86 kg f msy = 587 trip Gambar 15. Model produksi surplus dengan Metode Gulland Berdasarkan analisis didapatkan nilai koefisien determinasi (R 2 ) hasil regresi antara upaya dengan hasil tangkapan per upaya (CPUE) sebesar 57,8%. Hal ini menunjukan model produksi surplus cukup dapat menjelaskan keadaan sebenarnya pada stok ikan swanggi di Perairan Selat Sunda pada tahun (Walpole 1995). Upaya penangkapan optimum (f msy ) sebesar 587 trip penangkapan per tahun dengan jumlah tangkapan maksimum lestari (MSY) sebesar ,86 kg ikan/tahun dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC) sebesar ,69 kg ikan /tahun. Berdasarkan data produksi dan upaya tangkap , nilai tangkapan rata-rata sebesar ,75 kg ikan dan upaya rata-rata sebanyak 353 unit tangkapan. Hasil perhitungan model produksi surplus pada (Gambar 15) menunjukkan stok ikan swanggi perairan Selat Sunda belum mengalami tangkap lebih (over fishing).hubungan antara tangkapan (C) dengan upaya penangkapan (f) dapat ditampilkan sebagai gambar berikut (Gambar 16).

52 38 Hasil tangkapan (kg) f Msy MSY Upaya tangkapan ( trip) Gambar 16. Hubungan antara tangkapan (C) dengan upaya penangkapan (f) Hasil tangkapan dan upaya penangkapan secara aktual sebesar ,75 kg dan 353 trip menunjukan ikan swanggi belum dimanfaatkan secara optimum, maka hasil tangkapan dan upaya tangkap dapat ditambah jumlahnya sampai 2.488,94 kg dan 234 trip. Penambahan ini dilakukan dalam pengelolaan sumberdaya ikan swanggi di perairan Selat Sunda agar pemanfaatan berjalan secara maksimal Rencana Pengelolaan Stok Ikan Swanggi Menurut Boer & Azis (1995) bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan bertujuan demi tercapainya kesejahteraan para nelayan, penyediaan bahan pangan, bahan baku indutri, penghasil devisa serta mengetahui porsi optimum pemanfaatan oleh armada penangkapan ikan. Selain itu pengelola perikanan juga bertugas untuk jumlah tangkapan yang diperbolehkan berdasarkan tangkapan maksimum lestari. Kondisi perikanan swanggi di Selat Sunda belum mengalami over eksploitasi. Pertama ikan swanggi ditangkap setiap hari sepanjang tahun menandakan keberadaan stoknya di perairan Selat Sunda cukup besar. Kedua, produksi ikan swanggi belum melewati nilai TAC. Pengelolaan perlu dilakukan untuk mengoptimalkan produksi sumberdaya ikan swanggi (P. tayenus) sehingga menjamin produktivitas serta pemanfaatan terhadap sumberdaya ikan ini tetap

53 39 lestari dan berkelanjutan. Alternatif pendekatan rencana pengelolaan pada penelitian upaya penangkapan yang digunakan yaitu : 1. Tidak menambah jumlah trip penangkapan namun menangkap ikan swanggi lebih lama di laut agar produktivitas meningkat sebesar 38,98 kg ikan/trip. 2. Menambah sebanyak 234 trip penangkapan dengan menangkap ikan swanggi sebanyak 23,44 kg ikan/trip. Kedua alternatif diatas dapat diaplikasikan pada perikanan ikan swanggi yang ditangkap di Selat Sunda agar tangkapan tidak melebihi tangkapan yang diperbolehkan yaitu ,69 kg ikan /tahun. Alternatif pengelolaan ini sangat penting untuk mengatasi keadaan perikanan ikan swanggi dan cuaca yang berfluktuasi. Pengelolaan akan lebih efisien jika rencana pengelolaan yang dilakukan mengikuti alternatif yang pertama, karena apabila menambah jumlah trip makan produktivitas akan menurun dari 31,93 kg ikan/trip menjadi hanya 23,44 kg ikan/trip. Nelayan disarankan menangkap ikan lebih lama di perairan Selat Sunda pada setiap trip agar produktivitas mencapai hasil sebesar 38,98 kg ikan/trip. Masalah penangkapan ikan swanggi yang berukuran kecil dapat dilakukan dengan pengaturan upaya penangkapan, pengaturan ukuran mata jaring dan penutupan musim atau daerah penangkapan (Widodo & Suadi 2006), seperti pada bulan April, Juli, Juli, dan Agustus ditemukan banyak ikan berukuran kecil dan berusia muda pada pengambilan contoh, maka ukuran mata jaring perlu diperbesar agar ikan-ikan berukuran kecil dan belum memijah tidak tertangkap. Pengaturan musim dan daerah penangkapan ikan swanggi serta pengoptimaliasi tangkapan dengan cara pembatasan seperti tidak mengijinkan perahu penangkap baru yang akan masuk ke perairan, penangkapan hanya boleh dilakukan penggunaan alat tangkap yang selektif sehingga tercapai pemanfaatan sumberdaya ikan swanggi (P. tayenus) tetap lestari dan berkelanjutan.

54 40 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah : 1. Ikan Swanggi (P. tayenus) di perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan memiliki memiliki 3 kelompok umur dan panjang ikan tersebar antara mm. Ikan ini memiliki pola pertumbuhan alometrik negatif yang artinya pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan pertumbuhan bobot. 2. Ikan swanggi betina memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dibanding ikan swanggi jantan, sehingga ikan swanggi betina memiliki umur yang lebih pendek dibanding ikan swanggi jantan. Ikan swanggi di Indonesia memiliki pertumbuhan yang lebih lambat dan panjang asimtotik lebih pendek dari ikan swanggi yang diteliti di Taiwan, India, dan Malaysia. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh faktor lingkungan. 3. Berdasarkan analisis mortalitas dan model poduksi surplus ikan swanggi di perairan Selat Sunda baik jenis kelamin jantan maupun betina belum mengalami overfishing, sehingga perikanan swanggi masih dapat dimanfaatkan dan dikelola lebih optimal. 4. Pengelolaan akan lebih efisien jika rencana pengelolaan yang dilakukan mengikuti alternatif yang pertama, karena apabila menambah jumlah trip makan produktivitas akan menurun dari 31,93 kg ikan/trip menjadi hanya 23,44 kg ikan/trip. Nelayan disarankan menangkap ikan lebih lama di perairan Selat Sunda pada setiap trip agar produktivitas mencapai hasil sebesar 38,98 kg ikan/trip. Pengelolaan penangkapan juga dapat dilakukan dengan memperbesar ukuran mata jaring yang disesuaikan, pengaturan musim dan daerah penangkapan ikan swanggi serta menambah peningkatan penangkapan secara optimum menggunakan alat tangkap yang selektif dan penambahan armada tangkap serta alat tangka sehingga tercapai pemanfaatan sumberdaya ikan swanggi (P. tayenus) tetap lestari dan berkelanjutan

55 Saran Ikan swanggi sebaiknya diteliti selama 2 kali dalam 1 bulan dan ikan contoh lebih dari 100 ekor agar sebaran frekuensi dan kelompok umur dapat terlihat dengan jelas serta pengambilan contoh dapat lebih mewakili sumberdaya ini pada keadaan sebenarnya. Selain itu dibutuhkan analisis mengenai aspek reproduksi, dan kebiasaan makan mengenai ikan swanggi untuk mendukung pengelolaan perikanan yang lebih tepat sasaran.

56 42 DAFTAR PUSTAKA Amri K Hubungan Kondisi Oseanografi (Suhu Permukaan Laut, Klorofil- A, dan Arus) dengan Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil di Perairan Selat Sunda. Jurnal. Lit Perikanan. Ind 14 (1): Awong H, Ibrahim S, Somo K, Ambak M A Observation on Weight- Length Relationship of Priacanth us tayenus (Richardson, 1846) Species in Darvel Bay, Sabah, Malaysia. World Joumal of Fish and Marine Sciences 3 (3): Badrudin A & Wiadnyana NN Laporan Akhir Indeks Kelimpahan Stok Dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Demersal Di WPP Laut Jawa. Dewan Riset Nasional. Kementerian Negara Riset dan Teknologi kerja sama dengan Kementerian Kelautan Dan Perikanan. Jakarta Boer M & Aziz KA Pendugaan koefisien pertumbuhan (L, K, dan t 0 ) berdasarkan data frekuensi panjang. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia 4 (1): Dwiponggo A & Badrudin M Demersal resources survey in the coastal area of the Java Sea in Special Report. Contrib. of the Dem.Fish.Project. No.5. RIMF-GTZ. Jakarta. 14 hal. Effendie MI Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 hal. FAO The Living Marine Resources od Western Central Pasific. FAO Species Identification Guide for Fishery Purpose. Department of Biological Sciences Old Dominion University Norfolk, Virginia, USA. FAO Code of Conduct For Responsible Fisheries. Rome 91 hal. Irhamni Potensi Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan di Kabupaten Pandeglang dan Dukungan PPP Labuan. [skripsi]. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. IPB. Bogor. Joung S J & Chen C T Age and Growth of the Big eye Priacanthus macracanthus from the Surrounding Water of Guei-Shan Island, Taiwan. Nippon Suisan Gakkaishi 58 (3): Kartika R Peningkatan Fungsionalisasi Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan Kabupaten Pandeglang. [skripsi]. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. King M Fisheries biology, assessment and management. Fishing News Books, Blackwell Science, Ltd., 341 hal.

57 43 Pasisingi N Model produksi surplus untuk pengelolaan sumberdaya rajungan (Portunus pelagicus) di Teluk Banten, kabupaten Serang, Provinsi Banten. [skripsi]. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Pauly D Fish population dynamics in tropical waters : a manual for use with programmable calculator. ICLARM. Manila. Filipina. 325 hal. Premalatha P On The Fishery And Biology Of Priacanthus Hamrur Forsskal Along The Southwest Coast Of India. Integrated fisheries project, cochin , india. Indian journal fish 44(3) : Poernomo S Langkah maju pengelolaan perikanan. Siaran Pers 02/02/2009, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. [terhubung berkala]. [20 Maret 2012]. Priyanie MM Pertumbuhan dan Karakteristik Morfometrik-Meristik Ikan Kurisi (Pritipomoides filamentosus, Valenciennes 1830) Diperairan Laut Dalam, Pelabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.Institut Pertanian Bogor. Rakhmania F Prospek Pendaratan Hasil Tangkapan Di PPP Labuan Kabupaten Pandeglang Banten. [Skripsi]. Departemen pemanfaatan sumberdaya perikanan, fakultas perikanan dan ilmu kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor Sjafei DS & Robiyani Kebiasaan Makanan dan Faktor Kondisi Ikan Kurisi, (Nemipterus tumbuloides Blkr) di Perairan Teluk Banten. lktiologi Indonesia, Vol. l. No. l. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor Subani W & Barus HR Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Jurnal Penelitian perikanan Laut Nomor: 50 Tahun 1988/1989. Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Sivakami S, Raje S G, Nair K V S, Kumar P P M & Ramani K Fishery potential of bullseyes along the west coast of India. Journal of Marine Biology Association of India, 47 (2) : Sparre P, Ursin E & Venema S C (1999). Introduction to tropical fish stock assessment. Part 1- Manual. FAO Fisheries Technical Paper No Rome, FAO. p. 438 hal.

58 44 Sukamto O Kajian Dinamika Stok Ikan Mata Besar (P. tayenus Ricardshon 1846) di Perairan Utara Jawa Timur yang Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur [skripsi]. Departemen manajemen sumberdaya perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 81 hal. Walpole R E. (1995), Pengantar Metode Statistika, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Widodo J & Suadi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 252 hlm. P. tayenus. [terhubung berkala]. /summary/spesiessummary.php?id=1144&genusname=priacanthus&speci esname=tayenus. [10 November 2011]

59 Lampiran 45

60 46 Lampiran 1. Alat dan bahan yang digunakan selama melakukan penelitian Penggaris dengan ketelitian 1 mm Ikan swanggi Pricanthus tayenus Alat tulis Baki Timbangan digital Alat bedah

61 47 Lampiran 2. Panjang total dan bobot ikan swanggi di PPP Labuan, Selat Sunda setiap pengambilan contoh 1. Pengambilan contoh ikan swanggi pada bulan 25 Maret 2011 Panjang (mm) Betina Berat (gr) Panjang (mm) Berat (gr) Jantan Panjang (mm) Berat (gr)

62 48 Lampiran. 2 (lanjutan) 2. Pengambilan contoh ikan swanggi pada bulan 28 April 2011 Betina Jantan Panjang (mm) Berat (gr) Panjang (mm) Berat (gr) Panjang (mm) Berat (gr)

63 49 Lampiran. 2 (lanjutan) 3. Pengambilan contoh ikan swanggi pada bulan 29 Mei 2011 Betina Jantan Panjang (mm) Berat (gr) Panjang (mm) Berat (gr)

64 50 Lampiran. 2 (lanjutan) 4. Pengambilan contoh ikan swanggi pada bulan 2 Juli 2011 Betina Jantan Panjang (mm) Berat (gr) Panjang (mm) Berat (gr)

65 51 Lampiran. 2 (lanjutan) 5. Pengambilan contoh ikan swanggi pada bulan 30 Juli 2011 Betina Jantan Panjang (mm) Berat (gr) Panjang (mm) Berat (gr)

66 52 Lampiran. 2 (lanjutan) 6. Pengambilan contoh ikan swanggi pada bulan 27 Agustus 2011 Betina Jantan Panjang (mm) Berat (gr) Panjang (mm) Berat (gr)

67 53 Lampiran. 2 (lanjutan) 7. Pengambilan contoh ikan swanggi pada bulan 30 September 2011 Betina Jantan Panjang (mm) Berat (gr) Panjang (mm) Berat (gr) Panjang (mm) Berat (gr)

68 54 Lampiran. 2 (lanjutan) 8. Pengambilan contoh ikan swanggi pada bulan 29 Oktober 2011 Betina Jantan Panjang (mm) Berat (gr) Panjang (mm) Berat (gr)

69 Lampiran 3. Sebaran frekuensi panjang ikan swanggi (P. tayenus) betina yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) menggunakan program FiSAT II 55

70 Lampiran 3 (lanjutan) 56

71 Lampiran 3 (lanjutan) 57

72 Lampiran 3 (lanjutan) 58

73 Lampiran 4. Sebaran frekuensi panjang ikan swanggi (P. tayenus) jantan yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) menggunakan program FiSAT II 59

74 Lampiran 4 (lanjutan) 60

75 Lampiran 4 (lanjutan) 61

76 Lampiran 4 (lanjutan) 62

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian. 14 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di PPI Labuan, Provinsi Banten. Ikan contoh yang diperoleh dari PPI Labuan merupakan hasil tangkapan nelayan disekitar perairan Selat

Lebih terperinci

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004).

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004). 24 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2011 sampai dengan bulan Oktober 2011. Lokasi penelitian berada di Selat Sunda, sedangkan pengumpulan data dilakukan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai dinamika stok ikan peperek (Leiognathus spp.) dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi

Lebih terperinci

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). 7 spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). Ikan kembung lelaki terdiri atas ikan-ikan jantan dan betina, dengan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman

Lebih terperinci

3.3 Pengumpulan Data Primer

3.3 Pengumpulan Data Primer 10 pada bagian kantong, dengan panjang 200 m dan lebar 70 m. Satu trip penangkapan hanya berlangsung selama satu hari dengan penangkapan efektif sekitar 10 hingga 12 jam. Sedangkan untuk alat tangkap pancing

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan Teluk Banten Perairan Karangantu berada di sekitar Teluk Banten yang secara geografis terletak pada 5 0 49 45 LS sampai dengan 6 0 02

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU i ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU DESI HARMIYATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 9 dan MSY adalah: Keterangan : a : Perpotongan (intersept) b : Kemiringan (slope) e : Exponen Ct : Jumlah tangkapan Ft : Upaya tangkap (26) Model yang akan digunakan adalah model yang memiliki nilai korelasi

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di TPI Cilincing, Jakarta Utara. Pengambilan data primer berupa pengukuran panjang dan bobot ikan contoh yang ditangkap

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis). 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kuniran 2.1.1 Klasifikasi Ikan Kuniran Upeneus moluccensis, Bleeker 1855 Dalam kaitan dengan keperluan pengkajian stok sumberdaya ikan, kemampuan untuk mengidentifikasi spesies

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 32 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Ikan Kurisi di Perairan Teluk Banten Penduduk di sekitar Teluk Banten kebanyakan memiliki profesi sebagai nelayan. Alat tangkap yang banyak digunakan oleh para nelayan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran Klasifikasi dan tata nama

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran Klasifikasi dan tata nama 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran 2.1.1. Klasifikasi dan tata nama Menurut www.fishbase.org (2010) taksonomi ikan kuniran (Gambar 2) dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 26 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum PPP Labuan PPP (Pelabuhan Perikanan Pantai) Labuan, Banten merupakan pelabuhan perikanan pantai terbesar di Kabupaten Pandeglang yang didirikan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum PPP Labuan PPP Labuan secara administratif terletak di Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang. PPP Labuan memiliki batas administratif,

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan dangkal Karang Congkak, Kepulauan Seribu, Jakarta. Pengambilan contoh ikan dilakukan terbatas pada daerah

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rajungan (Portunus pelagicus) Menurut www.zipcodezoo.com klasifikasi dari rajungan adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Malacostrata Ordo : Decapoda

Lebih terperinci

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Wilayah Sebaran Penangkapan Nelayan Labuan termasuk nelayan kecil yang masih melakukan penangkapan ikan khususnya ikan kuniran dengan cara tradisional dan sangat tergantung pada

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1. 1.Kondisi umum Perairan Utara Jawa Perairan Utara Jawa dulu merupakan salah satu wilayah perikanan yang produktif dan memilki populasi penduduk yang padat. Panjang

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Pola reproduksi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) pada penelitian ini adalah tinjauan mengenai sebagian aspek reproduksi yaitu pendugaan ukuran pertama

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di PPN Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat (Gambar 2). Pengambilan data primer dilakukan selama tiga bulan dari tanggal

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi perairan pesisir Banten yaitu perairan PLTU-Labuan Teluk Lada dan Teluk Banten Bojonegara, Provinsi Banten.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta, terletak di sebelah utara kota Jakarta, dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun Kepulauan Seribu (Gambar 2). Lokasi pengambilan contoh dilakukan di perairan yang

Lebih terperinci

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN IKAN KUNIRAN

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN IKAN KUNIRAN KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus Cuvier 1829) DENGAN MENGGUNAKAN SIDIK FREKUENSI PANJANG YANG DIDARATKAN DI TPI CILINCING JAKARTA AUSTIN EFFLIN WINDA RUTH SKRIPSI

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang 2.1.1. Klasifikasi dan tata nama Menurut www.fishbase.org (2009) taksonomi ikan tembang (Gambar 3) diklasifikasikan sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum :

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 2.2. Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 2.2. Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pengelolaan perikanan adalah proses terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum PPP Labuan, Banten Wilayah Kabupaten Pandeglang secara geografis terletak antara 6 0 21-7 0 10 Lintang Selatan dan 104 0 48-106 0 11 Bujur Barat dengan luas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Selat Sunda secara geografis menghubungkan Laut Jawa serta Selat Karimata di bagian utara dengan Samudera Hindia di bagian selatan. Topografi perairan ini secara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Swanggi Priacanthus tayenus Klasifikasi dan tata nama

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Swanggi Priacanthus tayenus Klasifikasi dan tata nama 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Swanggi Priacanthus tayenus 2.1.1. Klasifikasi dan tata nama Menurut Richardson (1846) in Starnes (1988) taksonomi ikan swanggi Priacanthus tayenus (Gambar 1) dapat diklasifikasikan

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas 30 mm 60 mm PENDAHULUAN Ekonomis & Ekologis Penting R. kanagurta (kembung lelaki) ~ Genus Rastrelliger spp. produksi tertinggi di Provinsi Banten, 4.856,7 ton pada tahun 2013, menurun 2.5% dari tahun 2010-2013

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR 1 PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR (Trichiurus sp.) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT Adnan Sharif, Silfia Syakila, Widya Dharma Lubayasari Departemen Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci

2. METODOLOGI PENELITIAN

2. METODOLOGI PENELITIAN 2. METODOLOGI PENELITIAN 2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian terdiri dari lokasi pengambilan udang mantis contoh dan lokasi pengukuran sumber makanan potensial udang mantis melalui analisis

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Perciformes

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Perciformes 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Biji Nangka 2.1.1. Klasifikasi Ikan biji nangka merupakan anggota dari famili Mullidae yang dikenal dengan nama goatfish. Menurut Cuvier (1829) in www.fishbase.org (2009)

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakasanakan mulai awal bulan Maret sampai bulan Mei, dengan interval pengambilan data setiap dua minggu. Penelitian berupa pengumpulan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut :

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846)  (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut : 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) www.fishbase.org (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata

Lebih terperinci

Lampiran 1. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation)

Lampiran 1. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) 58 Lampiran 1. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) menggunakan program FiSAT II 59 Lampiran 1. (lanjutan)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung TINJAUAN PUSTAKA Ikan Kembung (Rastrelliger spp.) Ikan Kembung merupakan salah satu ikan pelagis yang sangat potensial di Indonesia dan hampir seluruh perairan Indonesia ikan ini tertangkap dalam jumlah

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 14 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai bulan April tahun 2012. Pengambilan data primer dilakukan pada bulan April tahun 2012 sedangkan

Lebih terperinci

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5.1 Pendahuluan Pemanfaatan yang lestari adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan pada kondisi yang berimbang, yaitu tingkat pemanfaatannya

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii : Perciformes

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii : Perciformes 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Umum Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus) Ikan kurisi merupakan salah satu ikan yang termasuk kelompok ikan demersal. Ikan ini memiliki ciri-ciri tubuh yang berukuran

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kajian tentang konsep kapasitas penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting pada upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. The Code of

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan selat sunda Selat Sunda merupakan selat yang membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya di ujung Barat Pulau Jawa atau Ujung Selatan

Lebih terperinci

KAJIAN STOK IKAN SWANGGI (Priacanthus tayenus Richardson, 1846) DI PERAIRAN SELAT SUNDA YANG DIDARATKAN DI PPP LABUAN, BANTEN

KAJIAN STOK IKAN SWANGGI (Priacanthus tayenus Richardson, 1846) DI PERAIRAN SELAT SUNDA YANG DIDARATKAN DI PPP LABUAN, BANTEN KAJIAN STOK IKAN SWANGGI (Priacanthus tayenus Richardson, 1846) DI PERAIRAN SELAT SUNDA YANG DIDARATKAN DI PPP LABUAN, BANTEN RIVANY KEUMALA PUTRI SIAGIAN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

KAJIAN STOK SUMBER DAYA IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) DI PERAIRAN SELAT SUNDA NUR LAILY HIDAYAT

KAJIAN STOK SUMBER DAYA IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) DI PERAIRAN SELAT SUNDA NUR LAILY HIDAYAT KAJIAN STOK SUMBER DAYA IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) DI PERAIRAN SELAT SUNDA NUR LAILY HIDAYAT DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan 5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan Hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian menunjukan bahwa sumberdaya ikan di perairan Tanjung Kerawang cukup beragam baik jenis maupun ukuran ikan yang

Lebih terperinci

STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT

STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT Umi Chodrijah 1, Agus Arifin Sentosa 2, dan Prihatiningsih 1 Disampaikan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian 21 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan dan pengumpulan data di lapangan dilakukan pada Bulan Maret sampai dengan April 2009. Penelitian dilakukan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA, PROVINSI DKI JAKARTA

KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA, PROVINSI DKI JAKARTA KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA, PROVINSI DKI JAKARTA YOGI MAULANA MALIK PERDANAMIHARDJA SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN i MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN NURALIM PASISINGI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN SUMBERDAYA IKAN KURISI

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN SUMBERDAYA IKAN KURISI KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN SUMBERDAYA IKAN KURISI (Nemipterus furcosus, Valenciennes 1830) DI PERAIRAN TELUK BANTEN YANG DIDARATKAN DI PPN KARANGANTU ARMANSYAH DWI GUMILAR SKRIPSI DEPARTEMEN

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Pengumpulan Data

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Pengumpulan Data 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Model dan Simulasi, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Institut Pertanian Bogor. Waktu pelaksanaan dimulai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

STUDI DINAMIKA STOK IKAN BIJI NANGKA

STUDI DINAMIKA STOK IKAN BIJI NANGKA STUDI DINAMIKA STOK IKAN BIJI NANGKA (Upeneus sulphureus Cuvier, 1829) DI PERAIRAN UTARA JAWA YANG DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA BRONDONG, KABUPATEN LAMONGAN, PROVINSI JAWA TIMUR NIRA NUR

Lebih terperinci

LEMBAR PENGESAHAN ARTIKEL JURNAL

LEMBAR PENGESAHAN ARTIKEL JURNAL LEMBAR PENGESAHAN ARTIKEL JURNAL ANALISIS PARAMETER DINAMIKA POPULASI IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) YANG DIDARATKAN DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN KELURAHAN TENDA KECAMATAN HULONTHALANGI KOTA GORONTALO

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Organ reproduksi Jenis kelamin ikan ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan dan selanjutnya ditentukan tingkat kematangan gonad pada tiap-tiap

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan Selat Sunda Perairan Selat Sunda terletak di antara Pulau Sumatera dan Pulau Jawa sehingga perairan ini merupakan pertemuan antara perairan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Kondisi perairan Banten Melalui Undang-undang Nomor 23 tahun 2000, status Karesidenan Banten Provinsi Jawa Barat berubah menjadi Provinsi Banten. Posisi Geografis

Lebih terperinci

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

VI. ANALISIS BIOEKONOMI 111 VI. ANALISIS BIOEKONOMI 6.1 Sumberdaya Perikanan Pelagis 6.1.1 Produksi dan Upaya Penangkapan Data produksi yang digunakan dalam perhitungan analisis bioekonomi adalah seluruh produksi ikan yang ditangkap

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian Sumber Dinas Hidro-Oseanografi (2004)

Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian Sumber Dinas Hidro-Oseanografi (2004) 12 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini merupakan program penelitian terpadu bagian Manajemen Sumberdaya Perikanan yang dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan Oktober

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan morfologi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan morfologi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang 2.1.1. Klasifikasi dan morfologi Menurut www.fishbase.org, klasifikasi ikan tembang (Gambar 1) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Palabuhanratu merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang cukup tinggi di Jawa Barat (Oktariza et al. 1996). Lokasi Palabuhanratu

Lebih terperinci

KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK BANTEN YANG DIDARATKAN DI PPN KARANGANTU, BANTEN

KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK BANTEN YANG DIDARATKAN DI PPN KARANGANTU, BANTEN KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK BANTEN YANG DIDARATKAN DI PPN KARANGANTU, BANTEN VISKA DONITA PRAHADINA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

POLA MUSIMAN IKAN KURISI (Nemipterus japonicus, Bloach 1791) DI PERAIRAN SELAT SUNDA, KECAMATAN LABUAN, KABUPATEN PANDEGLANG, PROVINSI BANTEN

POLA MUSIMAN IKAN KURISI (Nemipterus japonicus, Bloach 1791) DI PERAIRAN SELAT SUNDA, KECAMATAN LABUAN, KABUPATEN PANDEGLANG, PROVINSI BANTEN POLA MUSIMAN IKAN KURISI (Nemipterus japonicus, Bloach 1791) DI PERAIRAN SELAT SUNDA, KECAMATAN LABUAN, KABUPATEN PANDEGLANG, PROVINSI BANTEN YULI HANDAYANI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ikan Sardinella sp. merupakan kelompok ikan-ikan pelagis kecil, dari famili

TINJAUAN PUSTAKA. Ikan Sardinella sp. merupakan kelompok ikan-ikan pelagis kecil, dari famili TINJAUAN PUSTAKA Ikan Tamban (Sardinella albella) Ikan Sardinella sp. merupakan kelompok ikan-ikan pelagis kecil, dari famili Clupeidae yang lebih umum dikenal sebagai ikan herring. Famili Clupeidae terdiri

Lebih terperinci

RIKA PUJIYANI SKRIPSI

RIKA PUJIYANI SKRIPSI KONDISI PERIKANANN TANGKAP DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI LEMPASING, BANDAR LAMPUNG RIKA PUJIYANI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH 1,2) Urip Rahmani 1, Imam Hanafi 2, Suwarso 3 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

Lebih terperinci

STUDI DINAMIKA STOK IKAN LAYUR (Lepturacanthus savala) DI TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT

STUDI DINAMIKA STOK IKAN LAYUR (Lepturacanthus savala) DI TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT STUDI DINAMIKA STOK IKAN LAYUR (Lepturacanthus savala) DI TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT ADNAN SHARIF SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus) (Dokumentasi pribadi)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus) (Dokumentasi pribadi) 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Swanggi 2.1.1. Klasifikasi dan tata nama Menurut Richardson (1846) taksonomi ikan swanggi (Gambar 1) dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum :

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kali Baru mulai dari bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan di

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 10 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Lokasi penelitian adalah di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Ikan yang didaratkan di PPP Labuan ini umumnya berasal

Lebih terperinci

PROPORSI HASIL TANGKAP SAMPINGAN JARING ARAD (MINI TRAWL) YANG BERBASIS DI PESISIR UTARA, KOTA CIREBON. Oleh: Asep Khaerudin C

PROPORSI HASIL TANGKAP SAMPINGAN JARING ARAD (MINI TRAWL) YANG BERBASIS DI PESISIR UTARA, KOTA CIREBON. Oleh: Asep Khaerudin C PROPORSI HASIL TANGKAP SAMPINGAN JARING ARAD (MINI TRAWL) YANG BERBASIS DI PESISIR UTARA, KOTA CIREBON Oleh: Asep Khaerudin C54102009 PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh 14 Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2009. Lokasi pengambilan ikan contoh adalah tempat pendaratan ikan (TPI) Palabuhanratu. Analisis contoh dilakukan di Laboratorium Ekobiologi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan selama enam bulan dari bulan Mei - Oktober 2011. Pengambilan ikan contoh dilakukan di perairan mangrove pantai Mayangan, Kabupaten

Lebih terperinci

KAJIAN POLA PERTUMBUHAN DAN CIRI MORFOMETRIK-MERISTIK BEBERAPA SPESIES IKAN LAYUR

KAJIAN POLA PERTUMBUHAN DAN CIRI MORFOMETRIK-MERISTIK BEBERAPA SPESIES IKAN LAYUR KAJIAN POLA PERTUMBUHAN DAN CIRI MORFOMETRIK-MERISTIK BEBERAPA SPESIES IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT Oleh : IRWAN NUR WIDIYANTO C24104077 SKRIPSI

Lebih terperinci

STATUS STOK SUMBERDAYA IKAN LEMURU (Sardinella lemuru) DI PERAIRAN SELAT SUNDA GAMA SATRIA NUGRAHA

STATUS STOK SUMBERDAYA IKAN LEMURU (Sardinella lemuru) DI PERAIRAN SELAT SUNDA GAMA SATRIA NUGRAHA STATUS STOK SUMBERDAYA IKAN LEMURU (Sardinella lemuru) DI PERAIRAN SELAT SUNDA GAMA SATRIA NUGRAHA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Perikanan Layur di PPN Palabuhanratu Secara geografis, Teluk Palabuhanratu ini terletak di kawasan Samudera Hindia pada posisi 106 10-106 30 BT dan 6 50-7 30 LS dengan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi Umum Perairan Teluk Banten Letak geografis Teluk Banten berada dalam koordinat 05 o 49 45-06 o 02 00 LS dan 106 o 03 20-106 o 16 00 BT. Teluk Banten

Lebih terperinci

KEBERADAAN FASILITAS KEPELABUHANAN DALAM MENUNJANG AKTIVITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN TANJUNGSARI, KABUPATEN PEMALANG, JAWA TENGAH NOVIANTI SKRIPSI

KEBERADAAN FASILITAS KEPELABUHANAN DALAM MENUNJANG AKTIVITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN TANJUNGSARI, KABUPATEN PEMALANG, JAWA TENGAH NOVIANTI SKRIPSI KEBERADAAN FASILITAS KEPELABUHANAN DALAM MENUNJANG AKTIVITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN TANJUNGSARI, KABUPATEN PEMALANG, JAWA TENGAH NOVIANTI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Perikanan Tangkap 4.1.1 Armada Kapal Perikanan Kapal penangkapan ikan merupakan salah satu faktor pendukung utama dalam melakukan kegiatan penangkapan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 13 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di perairan Cirebon yang merupakan wilayah penangkapan kerang darah. Lokasi pengambilan contoh dilakukan pada dua lokasi yang

Lebih terperinci

KAJIAN STOK SUMBERDAYA IKAN TEMBANG (Sardinella maderensis Lowe, 1838) DENGAN MENGGUNAKAN SIDIK FREKUENSI PANJANG DI PERAIRAN TELUK JAKARTA

KAJIAN STOK SUMBERDAYA IKAN TEMBANG (Sardinella maderensis Lowe, 1838) DENGAN MENGGUNAKAN SIDIK FREKUENSI PANJANG DI PERAIRAN TELUK JAKARTA 1 KAJIAN STOK SUMBERDAYA IKAN TEMBANG (Sardinella maderensis Lowe, 1838) DENGAN MENGGUNAKAN SIDIK FREKUENSI PANJANG DI PERAIRAN TELUK JAKARTA GENNY DINA CHAIRA SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

POTENSI LESTARI IKAN LAYANG (Decapterus spp) BERDASARKAN HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA

POTENSI LESTARI IKAN LAYANG (Decapterus spp) BERDASARKAN HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan Vol. 6 No. 2 November 2015: 159-168 ISSN 2087-4871 POTENSI LESTARI IKAN LAYANG (Decapterus spp) BERDASARKAN HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan lemuru merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup penting. Berdasarkan data statistik perikanan Indonesia tercatat bahwa volume tangkapan produksi ikan lemuru

Lebih terperinci

STUDI PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN SELAR KUNING

STUDI PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN SELAR KUNING STUDI PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN SELAR KUNING (Selaroides leptolepis Cuvier, 1833) DI PERAIRAN SELAT MALAKA KECAMATAN MEDAN BELAWAN PROVINSI SUMATERA UTARA JESSICA TAMBUN 130302053 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

Length-Weight based Stock Assesment Of Round Scad ( Decapterus russelli ) From Mapur Fishing Ground and Landed at Pelantar KUD Tanjungpinang

Length-Weight based Stock Assesment Of Round Scad ( Decapterus russelli ) From Mapur Fishing Ground and Landed at Pelantar KUD Tanjungpinang KAJIAN STOK IKAN LAYANG (Decapterus russelli) BERBASIS PANJANG BERAT DARI PERAIRAN MAPUR YANG DIDARATKAN DI TEMPAT PENDARATAN IKAN PELANTAR KUD KOTA TANJUNGPINANG Length-Weight based Stock Assesment Of

Lebih terperinci