STUDI DINAMIKA STOK IKAN BIJI NANGKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STUDI DINAMIKA STOK IKAN BIJI NANGKA"

Transkripsi

1 STUDI DINAMIKA STOK IKAN BIJI NANGKA (Upeneus sulphureus Cuvier, 1829) DI PERAIRAN UTARA JAWA YANG DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA BRONDONG, KABUPATEN LAMONGAN, PROVINSI JAWA TIMUR NIRA NUR SYAMSIYAH SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Studi Dinamika Stok Ikan Biji Nangka (Upeneus sulphureus Cuvier, 1829) di Perairan Utara Jawa yang Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Juli 2010 Nira Nur Syamsiyah C

3 RINGKASAN Nira Nur Syamsiyah. C Studi Dinamika Stok Ikan Biji Nangka (Upeneus sulphureus Cuvier, 1829) di Perairan Utara Jawa yang Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur. Dibawah bimbingan Mennofatria Boer dan Zairion. Ikan biji nangka (Upeneus sulphureus Cuvier, 1829) merupakan ikan demersal yang dominan ditangkap oleh nelayan di Kecamatan Brondong dan produksinya selalu mengalami peningkatan pertahunnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu studi dinamika stok yang bertujuan untuk menduga pertumbuhan, laju mortalitas, dan laju eksploitasi, menentukan upaya (effort) optimum, tangkapan maksimum lestari atau MSY, jumlah tangkapan yang diperbolehkan atau TAC (Total Allowable Catch), serta merumuskan alternatif pengelolaan sumberdaya ikan biji nangka. Penelitian ini dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur pada tanggal 7 Februari 2010 sampai 27 Maret Pengumpulan data primer mencakup pengukuran panjang dan bobot ikan contoh dengan interval waktu 8 hari selama 2 bulan. Data yang telah dikumpulkan dianalisis menggunakan regresi linier sederhana untuk menduga pola pertumbuhan ikan. Metode NORMSEP untuk mengidentifikasi kelompok umur, metode Ford Walford dengan program ELEFAN I digunakan untuk menduga pertumbuhan populasi dari persamaan von Bertalanffy, dan untuk analisis pendugaan mortalitas total (Z) didapatkan dengan kurva tangkapan yang dilinierkan berdasarkan data komposisi panjang, mortalitas alami (M) diduga dengan rumus empiris Pauly, mortalitas penangkapan (F) diperoleh dari hasil Z M, dan laju eksploitasi diperoleh dari F/Z. Analisis data sekunder berupa data hasil tangkapan dan upaya penangkapan dari PPN Brondong melalui metode produksi surplus, yaitu perbandingan antara model Schaefer dan Fox. Hubungan panjang bobot ikan biji nangka diperoleh persamaan W = L 2.47 dengan koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 93 %. Dan hasil uji t (uji parsial) terhadap nilai b yang dilakukan, pola pertumbuhan ikan biji nangka adalah allometrik negatif. Hasil analisis parameter pertumbuhan ikan biji nangka, yaitu koefisien pertumbuhan (K) sebesar 0.28 per tahun, dan panjang infinitif (L ) sebesar mm, serta umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol (t 0 ) sebesar tahun. Diperoleh persamaan pertumbuhan Von Bertallanfy ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa L t = [1 e (-0.28(t+0.55)) ]. Dugaan laju mortalitas total (Z) ikan biji nangka adalah 2.18 per tahun dengan laju mortalitas alami (M) adalah 0.32 per tahun, dan laju mortalitas penangkapan (F) yang didapatkan sebesar 1.85 per tahun serta laju eksploitasi (E) ikan biji nangka yang diperoleh sebesar 0.85 per tahun. Model stok ikan biji nangka mengikuti model Schaefer yaitu upaya penangkapan tidak lebih dari unit alat tangkap dogol per tahun dengan jumlah maksimum tangkapan lestari sebesar ton per tahun dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebesar ton per tahun. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan terdapat 2 garis besar metode pengelolaan pemanfaatan sumberdaya ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa bagian timur, yaitu pengontrolan ukuran ikan biji nangka yang tertangkap dan pengontrolan jumlah penangkapan.

4 Ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa bagian timur memilki pola pertumbuhan allometrik negatif dengan bentuk tubuh yang cenderung kurus. Penyebab mortalitas ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa sebagian besar akibat penangkapan dengan laju eksploitasinya 0.85 per tahun. Model stok ikan biji nangka mengikuti model Schaefer. Alternatif pengelolaan pemanfaatan sumberdaya ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa melalui pengontrolan ukuran ikan biji nangka yang tertangkap dengan dua pendekatan, yaitu pengaturan ukuran mata jaring bagian kantong pada alat tangkap dogol dan tidak melakukan kegiatan penangkapan pada musim pemijahan. Dalam penelitian selanjutnya disarankan untuk dilakukan penelitan dan kajian mengenai dinamika stok ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa dengan pendekatan bioekonomi, diperlukan adanya kajian yang sama pada musim yang berbeda yaitu mewakili musim timur. Kata kunci : Ikan biji nangka, Upeneus sulphureus, pertumbuhan, mortalitas, model produksi surplus

5 STUDI DINAMIKA STOK IKAN BIJI NANGKA (Upeneus sulphureus Cuvier, 1829) DI PERAIRAN UTARA JAWA YANG DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA BRONDONG, KABUPATEN LAMONGAN, PROVINSI JAWA TIMUR NIRA NUR SYAMSIYAH Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

6 PENGESAHAN SKRIPSI Judul Nama NIM Program Studi : Studi Dinamika Stok Ikan Biji Nangka (Upeneus sulphureus Cuvier, 1829) di Perairan Utara Jawa yang Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur : Nira Nur Syamsiyah : C : Manajemen Sumberdaya Perairan Menyetujui : Pembimbing I, Pembimbing II, Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Ir. Zairion, M.Sc NIP NIP Mengetahui : Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M. Sc NIP Tanggal Lulus : 28 Juni 2010

7 PRAKATA Syukur Alhamdullillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Studi dinamika stok ikan biji nangka (Upeneus sulphureus Cuvier, 1829) di Perairan Utara Jawa yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur. Skripsi ini merupakan hasil penelitian penulis yang dilaksanakan pada bulan Februari dan Maret 2010 di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Brondong dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari adanya ketidaksempurnaan dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangsih bagi ilmu pengetahuan dan bagi upaya pengelolaan sumberdaya perikanan dan lingkungan perairan khususnya bagi upaya pengelolaan kawasan Perairan Utara Jawa yang berkelanjutan. Bogor, Juli 2010 Penulis

8 UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA dan Ir. Zairion, M.Sc, masing-masing selaku ketua dan anggota komisi pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, dan saran selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini. 2. Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil selaku dosen penguji dari program studi dan Yonvitner, S.pi, M.Si selaku dosen penguji tamu yang telah memberikan saran yang sangat berarti bagi penulis dalam penyusunan skripsi ini. 3. Dr. Ir. Achmad Fahrudin, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan selama masa perkuliahan. 4. Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong atas dukungan dan bantuannya selama penulis melaksanakan penelitian. 5. My shining family ; Ibu (Nuril Hilaliyah), Ayah (Samsul Huda), Mas Nuha dan Dek Bety, serta semua keluarga besar Hj. Ma rifah atas kasih sayang, doa, dukungan dan semangatnya kepada penulis. 6. Mba Widar dan seluruh staf Tata Usaha, MOSI crew, serta seluruh sivitas Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. 7. Via as my partner yang telah menemani dalam suka dan duka. Danto, Friska, dan Genny atas masukan dan dukungan selama penyusunan skripsi. 8. GZBers (Siti, Intan, Via, Ria, Yani, Yesti) for the most beutifull moment when we passed together, ikhwah FKMC, Tim Asisten FHA dan SDPi, serta temanteman MSP 43 lainnya atas kebersamaan dan dukungan selama masa perkuliahan. 9. Starers as my second family (Mbo nya as my roommate, Nenek, Merry, Ary, Mb Hanum, Mb Rei, Mb Vidri, Mb Jane, Mb Vika, Novi, and others) atas cinta, semangat, dan dukungannya. 10. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis selama ini.

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lamongan (Jawa Timur), 7 April Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan suami isteri Samsul Huda dan Nuril Hilaliyah. Pada tingkat dasar, penulis bersekolah di SDN Sedayulawas II. Melanjutkan pendidikan ke SLTPN 1 Paciran. Kemudian melanjutkan ke SMA Unggulan BPPT Al-Fattah Lamongan. Setelah lulus dari SMA Unggulan BPPT Al-Fattah Lamongan, penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB. Penulis mengambil Mayor Manajemen Sumberdaya Perairan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama berada di IPB penulis aktif mengikuti berbagai keorganisasian dan kepanitiaan diantaranya anggota UKM FORCES, pengurus HIMASPER (Himpunan mahasiswa manajemen sumberdaya perairan), pengurus FKMC (Forum Keluarga Muslim FPIK), serta berbagai kepanitiaan pada acara PIMPIKNAS, PORIKAN, dan The Coastal and Marine Symposium yang diadakan oleh BEM C. Selain itu, penulis juga sempat menjadi asisten praktikum Mata Kuliah Fisiologi Hewan Air dan Mata Kuliah Sumberdaya Perikanan. Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul Studi Dinamika Stok Ikan Biji Nangka (Upeneus sulphureus Cuvier, 1829) di Perairan Utara Jawa yang Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur.

10 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Manfaat TINJAUAN PUSTAKA Ikan Biji Nangka Klasifikasi Karakter morfologi Biologi dan habitat Sebaran dan musim pemijahan Alat Tangkap Ikan Biji Nangka Sebaran Frekuensi Panjang Pertumbuhan Mortalitas dan Laju Eksploitasi Pengkajian Stok Ikan Model Produksi Surplus Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Bahan dan Alat Pengumpulan Data Analisis Data Hubungan panjang-bobot Sebaran frekuensi panjang Identifikasi kelompok umur Pendugaan parameter pertumbuhan (L, K) dan t Mortalitas dan laju eksploitasi Model produksi surplus HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kondisi umum Perairan Utara Jawa Kondisi perikanan biji nangka di PPN Brondong Hubungan panjang bobot Sebaran frekuensi panjang Parameter pertumbuhan Mortalitas dan laju eksploitasi Model stok ikan biji nangka xii xiii xiv x

11 xi 4.2. Pembahasan Hubungan panjang bobot Sebaran frekuensi panjang Parameter pertumbuhan Mortalitas dan laju eksploitasi Model stok ikan biji nangka Alternatif pengelolaan perikanan biji nangka KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 54

12 DAFTAR TABEL Halaman 1. Hasil tangkapan (C) dan upaya penangkapan (f) ikan biji nangka di PPN Brondong ( ) Hubungan panjang bobot ikan biji nangka pada setiap pengambilan contoh di Perairan Utara Jawa Sebaran kelompok ukuran ikan biji nangka Parameter pertumbuhan berdasarkan model von Bertalanfy (L, K dan t 0 ) ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa (Februari-Maret 2010) Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa Hasil tangkapan (C), upaya penangkapan (f), dan CPUE Parameter pertumbuhan ikan biji nangka dari beberapa hasil penelitian Laju mortalitas dan laju penangkapan ikan biji nangka dari beberapa hasil penelitian xii

13 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Ikan biji nangka (Upeneus sulphureus Cuvier, 1829) Peta penyebaran ikan biji nangka di dunia Alat tangkap dogol (Danish seine) Peta lokasi penangkapan ikan biji nangka Skema pengambilan contoh ikan biji nangka di PPN Brondong Diagram komposisi hasil tangkapan dogol di PPN Brondong tahun Sebaran frekuensi panjang ikan biji nangka Kelompok ukuran panjang ikan biji nangka Kurva pertumbuhan ikan biji nangka Kurva hasil tangkapan yang dilinierkan berbasis data panjang Grafik hubungan effort dan CPUE dengan pendekatan Schaefer Grafik hubungan effort dan CPUE dengan pendekatan Fox Hubungan upaya penangkapan dengan hasil tangkapan Grafik hubungan panjang bobot total ikan biji nangka Tangkapan per satuan upaya ikan biji nangka di PPN Brondong xiii

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Alat-alat dan bahan yang digunakan Teladan kuesioner nelayan ikan biji nangka yang telah diisi Data panjang total dan bobot ikan biji nangka pada setiap pengambilan contoh Uji statistik nilai b ikan biji nangka (Upeneus sulphureus) di Perairan Utara Jawa pada pengambilan contoh I Uji statistik nilai b ikan biji nangka (Upeneus sulphureus) di Perairan Utara Jawa pada pengambilan contoh II Uji statistik nilai b ikan biji nangka (Upeneus sulphureus) di Perairan Utara Jawa pada pengambilan contoh III Uji statistik nilai b ikan biji nangka (Upeneus sulphureus) di Perairan Utara Jawa pada pengambilan contoh IV Uji statistik nilai b ikan biji nangka (Upeneus sulphureus) di Perairan Utara Jawa pada pengambilan contoh V Uji statistik nilai b ikan biji nangka (Upeneus sulphureus) di Perairan Utara Jawa pada pengambilan contoh VI Uji statistik nilai b ikan biji nangka (Upeneus sulphureus) di Perairan Utara Jawa pada pengambilan contoh VII Sebaran frekuensi panjang dianalisis menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) yang dikemas dalam paket program FiSAT II (FAO-ICLARM Stok Assesment Tool) pada pengambilan contoh I Sebaran frekuensi panjang dianalisis menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) yang dikemas dalam paket program FiSAT II (FAO-ICLARM Stok Assesment Tool) pada pengambilan contoh II Sebaran frekuensi panjang dianalisis menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) yang dikemas dalam paket program FiSAT II (FAO-ICLARM Stok Assesment Tool) pada pengambilan contoh III Sebaran frekuensi panjang dianalisis menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) yang dikemas dalam paket program FiSAT II (FAO-ICLARM Stok Assesment Tool) pada pengambilan contoh IV Sebaran frekuensi panjang dianalisis menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) yang dikemas dalam paket program FiSAT II (FAO-ICLARM Stok Assesment Tool) pada pengambilan contoh V Sebaran frekuensi panjang dianalisis menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) yang dikemas dalam paket program FiSAT II (FAO-ICLARM Stok Assesment Tool) pada pengambilan contoh VI xiv

15 xv 17. Sebaran frekuensi panjang dianalisis menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) yang dikemas dalam paket program FiSAT II (FAO-ICLARM Stok Assesment Tool) pada pengambilan contoh VII Pendugaan parameter pertumbuhan (L, K, dan t 0 ) dengan metode Ford walford menggunakan program ELEFAN I dalam software FiSAT II Pendugaaan laju mortalitas dan laju eksploitasi Model produksi surplus... 87

16 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perairan Provinsi Jawa Timur dikenal sebagai penghasil ikan yang cukup tinggi. Ekspor ikan laut dan hasil laut lainnya dari Jawa Timur mencapai sekitar 25% dari ekspor ikan Indonesia pada tahun 2002 (Bambang 2004 in Setiawan 2005). Di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Brondong merupakan pangkalan pendaratan terbesar yang produksinya rata-rata mencapai 100 ton/hari dibandingkan dengan pangkalan pendaratan ikan lain di Kabupaten Lamongan yaitu Weru, Kranji, Labuhan, dan Loghung yang rata-rata mencapai 10 ton/hari. Hasil tangkapan yang didaratkan di PPN Brondong didominasi oleh ikan-ikan demersal, diantaranya ikan biji nangka (kuniran), ikan swanggi, dan ikan kapasan (BAPEDA Kabupaten Lamongan dan LPM UNIBRAW 2003 in Setiawan 2005). Lokasi Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong terletak di Kelurahan Brondong, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur (JICA 2009 a ). Pelabuhan perikanan ini sebagai basis utama perikanan laut di wilayah utara Jawa Timur karena daerah tangkapan (fishing ground) adalah Laut Utara Jawa yang menjangkau perairan laut lepas pantai yang sangat potensial dengan beragam jenis ikan baik pelagis maupun demersal. Daerah penangkapan nelayan di Kecamatan Brondong berada di Wilayah Pengelolaan Perikanan 712 (WPP 712) yaitu Laut Jawa yang meliputi daerah Masalembu, Matasiri, Kramean, dan sekitar Bawean. Ikan biji nangka (Upeneus sulphureus Cuvier, 1829) merupakan ikan demersal yang dominan ditangkap nelayan di Kecamatan Brondong dan sekitarnya. Hal ini dibuktikan statistik perikanan PPN Brondong yang menunjukkan bahwa produksi penangkapan ikan biji nangka mencapai angka tertinggi dibandingkan jenis ikan lainnya yang didaratkan di PPN tersebut (JICA 2009 a ). Para nelayan di Kecamatan Brondong dan sekitarnya menggunakan alat tangkap dogol atau cantrang dengan kapal motor untuk menangkap ikan biji nangka (Ditjen-Tangkap DKP 2008). Penangkapan ikan biji nangka oleh nelayan Brondong dan sekitarnya dilakukan sepanjang tahun dengan musim puncak penangkapan pada bulan Maret dan Oktober (Sumiono & Nuraini 2007).

17 2 Pemanfaatan sumberdaya perikanan tersebut harus dilakukan secara rasional agar sumberdaya ikan biji nangka tetap lestari. Sesuai dengan Undang-Undang Perikanan Nomor 45 tahun 2009 bahwa pengelolaan perikanan dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan serta terjaminnya keleestarian sumberdaya ikan. Jika dilakukan pengelolaan terhadap sumberdaya perikanan secara tepat, maka akan dapat memasok protein (hewani) secara stabil. Pada saat yang sama, juga memilki konstribusi ekonomi dan sosial yang besar seperti pengembangan sektor produk perikanan, penciptaan lapangan kerja, dan sebagainya yang kemudian akan memberikan dampak pada pengurangan jumlah kemiskinan. Dalam hal ini terdapat makna tentang pentingnya pengelolaan sumberdaya perikanan (JICA 2009 b ). Dalam rangka pengelolaan perikanan biji nangka yang berkelanjutan diperlukan informasi baik yang bersifat biologis maupun yang bersifat matematis. Menurut Widodo & Suadi (2006), langkah-langkah yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan mencakup kegiatan pengumpulan data dasar mengenai biologi, ekonomi, dan sosial perikanan. Kemudian data yang diperoleh diolah kedalam bentuk informasi yang berguna untuk membuat keputusan pengelolaan dan menetapkan, melaksanaan serta memantau pelaksanaan pelaksanaan keputusan pengelolaan tersebut. Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya mengenai sumberdaya ikan biji nangka di perairan Indonesia adalah Beberapa aspek biologi ikan biji nangka (Upeneus moluccensis Blkr.) di perairan Teluk Labuan, Banten (Sjafei & Susilawati 2001) dan Beberapa parameter biologi ikan kuniran (Upeneus sulphureus) hasil tangkapan cantrang yang didaratkan di Brondong Jawa Timur (Sumiono & Nuraini 2007) Perumusan Masalah Berdasarkan laporan Dinas Perikanan, Kelautan dan Peternakan Kabupaten Lamongan diketahui bahwa sampai dengan tahun 2003 usaha penangkapan ikan Lamongan terpusat di Perairan Utara Jawa pada wilayah Kecamatan Brondong dan Kecamatan Paciran. Hasil tangkapan ikan biji nangka di PPN Brondong (Tabel 1)

18 3 cenderung mengalami peningkatan dari tahun 2003 hingga 2009 (Ditjen-Tangkap DKP 2009). Tabel 1. Hasil tangkapan (C) dan upaya penangkapan (f) ikan biji nangka di PPN Brondong ( ) Tahun C (ton) f (unit) Sumber : Ditjen-Tangkap DKP (2009) Mengingat tingginya intensitas penangkapan ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa pada beberapa tahun terakhir ini, dikhawatirkan pemanfaatannya akan mengancam kelestarian dan keberlanjutan pemanfaatan sumber daya ikan biji nangka. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut dan agar pemanfaatannya berada dalam keadaan yang rasional, maka diperlukan data dan informasi dari hasil penelitian terutama mengenai dinamika stok untuk mendasari pengelolaannya. Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan pokok permasalahan dalam rangka pengelolaan perikanan biji nangka yang berkelanjutan. Yang dalam penelitian ini difokuskan pada studi dinamika stok ikan biji nangka dengan batasan daerah penangkapan yang berpangkalan di PPN Brondong yaitu : 1) Bagaimana dinamika stok ikan biji nangka yang mencakup pertumbuhan dan mortalitas? 2) Bagaimana tangkapan maksimum lestari atau Maximum Sustainable Yield (MSY) dan upaya (effort) optimum dari kegiatan penangkapan sumberdaya ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa yang didaratkan di PPN Brondong? 3) Berapa jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) atau Total Allowable Catch (TAC)?

19 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk : 1) Menduga pertumbuhan, laju mortalitas, dan laju eksploitasi ikan biji nangka. 2) Menentukan upaya (effort) optimum dan tangkapan maksimum lestari atau Maximum Sustainable Yield (MSY) serta jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) atau Total Allowable Catch (TAC) 3) Merumuskan alternatif pengelolaan sumberdaya ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi biologi berupa laju pertumbuhan, kisaran ukuran panjang ikan biji nangka yang tertangkap, hubungan panjang bobot, mortalitas serta status stok ikan biji nangka yang dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan pengelolaan perikanan ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa.

20 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Biji Nangka Klasifikasi Ikan biji nangka merupakan anggota dari famili Mullidae yang dikenal dengan nama goatfish. Menurut Cuvier (1829) in (2009) taksonomi ikan biji nangka (Gambar 1) diklasifikasikan sebagai berikut: Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Famili : Mullidae Genus : Upeneus Spesies : Upeneus sulphureus (Cuvier, 1829) Nama Umum : Beach goatfish, yellow goatfish, sulphur goatfish Nama Lokal : Ikan kuniran atau kuningan (Jawa), ikan biji nangka (Jakarta), ikan jenggot (Sulawesi Tengah) (Genisa 2003) Sumber : Dokumentasi pribadi Gambar 1. Ikan biji nangka (Upeneus sulphureus Cuvier, 1829)

21 Karakter morfologi Menurut Cuvier (1829) in (2009), pada sirip dorsal ikan biji nangka terdapat 8 jari-jari keras dan 9 jari-jari lemah, sirip anal terdapat 1 jari-jari keras dan 7 jari-jari lemah, sirip pektoral terdapat jari-jari lemah. Jumlah sisik pada lateral line sebanyak buah sisik (hingga pada pangkal ekor). Tubuh tertutup oleh sisik stenoid. Tinggi badan pada sirip pertama hingga sirip terakhir bagian dorsal kurang lebih % dari panjang standarnya (SL), tinggi pada bagian ekor hingga peduncle sekitar % dari panjang standarnya, dan tinggi maksimum kepala adalah % dari panjang standarnya. Panjang maksimum ikan biji nangka yang tertangkap di alam adalah 230 mm, sedangkan penelitian lain menyebutkan bahwa panjang maksimum ikan tersebut di alam adalah 300 mm (Munro 1967 in Fahmi 2002). Randall & Kulbicki (2005) menyatakan bahwa ikan biji nangka memiliki bentuk tubuh yang memanjang dengan ukuran kepala yang relatif kecil serta mulut ramping yang moncong dan terdapat sepasang sungut pada dagunya. Pada sirip dorsal berwarna coklat tua pada ujungnya. Pada tulang punggung kedua sampai keempat kira-kira setengah dari panjang tubuh berwarna merah muda, warna putih pada perut, dan terdapat dua garis kuning mengkilat pada kedua sisi tubuh. Sirip anus (anal) dan sirip dada berwarna pucat. Warna sirip ekor (caudal) kuning dan berbentuk cagak (Sumiono & Nuraini 2007) Biologi dan habitat Ikan biji nangka termasuk ikan demersal yang bersifat berkelompok (schooling), hidup di perairan payau dan laut pada kedalaman rata-rata m. Banyak ditemukan di perairan pantai hingga wilayah estuari ( 2009). Kebanyakan ikan biji nangka hidup di dasar perairan dengan jenis substrat berlumpur dengan pasir, namun ditemukan pula adanya ikan biji nangka yang mencari makan sampai di daerah karang (Burhanuddin et al in Sjafei & Susilawati 2001). Helfman (1986) in Sjafei & Susilawatei (2001) menyatakan bahwa ikan biji nangka dapat menjadi bottom feeder (pemakan biota yang berada di dasar perairan) yang baik dengan jenis substrat berpasir (white sand) atau bahkan sampai di sekitar gugusan karang.

22 7 Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Phraba & Manjulatha (2008), komposisi makanan ikan biji nangka diantaranya adalah udang, kepiting, dan bivalvia yang ukurannya relatif lebih kecil. Makanan yang paling pokok dan penting bagi ikan ini adalah udang, kepiting menjadi dominan selama bulan Oktober, sedangkan bivalvia menjadi makanan utama pada bulan Januari, Februari, Desember. Dilihat dari komposisi jenis makanannya, ikan biji nangka adalah karnivor (Sjafei & Susilawati 2001). Menurut Herianti & Subani (1993), di Perairan Utara Jawa ukuran pertama kali matang gonad Upeneus sulphureus jantan pada ukuran panjang 115 mm, sedangkan ikan betina pada ukuran panjang 120 mm Sebaran dan musim pemijahan Daerah penyebaran ikan biji nangka di seluruh perairan pantai dan karangkarang. Ikan ini menyebar hampir di seluruh perairan pantai di Indonesia, sedangkan di perairan manca negara meliputi Indo-Pasifik Barat : dari Afrika Timur sampai Asia Tenggara, utara sampai ke China, selatan sampai ke Australia Utara dan Fiji ( 2009). Peta penyebaran ikan biji nangka di dunia disajikan pada Gambar 2. Sumber : (2009) Gambar 2. Peta penyebaran ikan biji nangka di dunia ( : Konsentrasi daerah penyebaran ikan biji nangka)

23 8 Menurut Sabrah & Al-Ganainy (2009), ikan biji nangka memijah satu kali dalam setahun tepatnya pada musim semi di Terusan Suez, Mesir. Ikan biji nangka mempunyai sifat pemijahan total (total spawner), butir-butir telurnya yang sudah matang akan dikeluarkan sekaligus dalam jangka waktu singkat pada saat pemijahan berlangsung (Sjafei & Susilawati 2001). Musim pemijahannya terjadi pada bulan Januari hingga Februari (Sumiono & Nuraini 2007) Alat Tangkap Ikan Biji Nangka Ikan biji nangka banyak ditangkap dengan menggunakan alat tangkap trawl, bottom trawl, cantrang, dan sero (Genisa 2003). Bottom trawl banyak digunakan oleh para nelayan di Pantai Visakhapatnam (India) untuk menangkap ikan jenis ini (Phraba & Manjulatha 2008). Sedangkan nelayan di Kecamatan Brondong dan sekitarnya lebih dominan menggunakan alat tangkap dogol dengan kapal motor untuk menangkap ikan tersebut (Ditjen-Tangkap DKP 2008). Menurut Sudirman & Mallawa (2004), dogol termasuk kategori pukat kantong dan merupakan alat tangkap ikan demersal. Di Indonesia seine net biasa juga disebut pukat kantong, yaitu jaring yang mempunyai kantong dan dua buah sayap. Pada prinsipnya, alat tangkap ini terdiri dari bagian kantong yang berbentuk empat persegi panjang, bagian badan berbentuk seperti trapesium memanjang. Selanjutnya pada bagian-bagian tersebut ditautkan tali penguat dan dihubungkan pula dengan tali ris atas (head rope) dan tali ris bawah (foot rope) serta dilengkapi dengan pelampung dan pembobot. Spesifikasi alat tangkap dogol adalah tali selambar sepanjang 1200 m, jenis tali marlon dan jaring dengan ukuran panjang 36 m, lebar 8 m. Bagian kantong memilki diameter benang 1.20 mm dan diameter mata jaring 1.25 inchi. Bagian sayap memiliki diameter benang 1.20 inchi dan diameter mata jaring 20 cm. Jenis kapal motor yang dipakai untuk operasional alat tangkap ini adalah kapal motor dengan ukuran GT serta GT. Kekuatan daya dorong mesin ini cukup besar karena penggunaannya sebagai penarik serta penahan pada waktu menarik (hauling) jaring. Berdasarkan pendataan PPN Brondong, jumlah kapal motor yang berdomisili dan masih aktife mendaratkan ikan di PPN Brondong sebanyak 353

24 9 kapal motor yang masih aktif menggunakan alat tangkap dogol ini (Ditjen-Tangkap DKP 2008). Gambar alat tangkap dogol disajikan pada Gambar 3. Sumber : JICA 2009 c Gambar 3. Alat tangkap dogol (Danish seine) Penangkapan ikan biji nangka yang dilakukan nelayan di PPN Brondong terjadi sepanjang tahun dan hasilnya berfluktuasi naik turun berdasarkan musim penangkapan. Di daerah Brondong musim penangkapan selalu berubah ubah karena adanya produksi ikan yang tidak menentu. Musim penangkapan ikan biasanya terjadi ikan biasanya terjadi pada awal, puncak, dan akhir musim. Puncak musim penangkapan ikan biji nangka berlangsung pada bulan Maret dan Oktober (Sumiono & Nuraini 2007) Sebaran Frekuensi Panjang Semua metode pendugaan stok pada intinya memerlukan masukan data komposisi umur. Pada perairan beriklim sub-tropis, data komposisi umur biasanya dapat diperoleh melalui perhitungan terhadap lingkaran-lingkaran tahunan pada bagian keras ikan, yaitu sisik dan otolith. Lingkaran-lingkaran ini terbentuk karena

25 10 adanya fluktuasi yang kuat dalam berbagai kondisi perairan dari musim panas ke musim dingin dan sebaliknya (Sparre & Venema 1999). Busacker et al. (1990) menyatakan bahwa umur ikan bisa ditentukan dari sebaran frekuensi panjang melalui analisis kelompok umur karena panjang ikan dari umur yang sama cenderung membentuk suatu sebaran normal. Dengan mengelompokkan ikan dalam kelas-kelas panjang dan menggunakan modus panjang kelas tersebut bisa diketahui kelompok umur ikan. Untuk menghitung pertumbuhan atau laju pertumbuhan dapat digunakan hasil identifikasi kelompok umur. Penggunaan analisis frekuensi panjang dalam bidang perikanan, untuk memperoleh dugaan parameter pertumbuhan yaitu panjang teoritis, koefisien pertumbuhan, dan umur ikan (Boer 1996). Sparre & Venema (1999) juga menyebutkan bahwa analisis data frekuensi panjang bertujuan untuk menentukan umur terhadap kelompok-kelompok panjang tertentu, sehingga analisis tersebut bermanfaat dalam pemisahan suatu sebaran frekuensi panjang yang kompleks ke dalam sejumlah kelompok ukuran Pertumbuhan Pertumbuhan suatu individu merupakan penambahan bobot atau panjang, sedangkan pertumbuhan populasi merupakan penambahan jumlah. Akan tetapi jika ditelaah lebih lanjut pertumbuhan merupakan proses biologis yang komplek dimana banyak faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi dua bagian besar yaitu faktor dalam dan luar. Faktor dalam umumnya adalah faktor yang sukar dikontrol, antara lain keturunan sex, umur, parasit, dan penyakit. Sedangkan faktor luar yang utama mempengaruhi pertumbuhan adalah makanan dan suhu perairan (Effendie 2002). Menurut Ricker (1970) in Effendie (2002) menyatakan bahwasannya dalam studi pertumbuhan ikan, sering digunakan analisis hubungan panjang bobot untuk menjelaskan sifat dan pola pertumbuhannya. Bobot dianggap sebagai salah satu fungsi panjang. Hubungan panjang bobot hampir mengikuti hukum kubik, dimana bobot ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Hasil analisis tersebut menghasilkan suatu nilai konstanta (b), yang merupakan harga pangkat yang dapat menjelaskan pola pertumbuhan. Suatu pertumbuhan, dimana pertambahan panjang

26 11 ikan seimbang dengan pertambahan bobotnya (b = 3), maka pertumbuhan yang demikian itu disebut juga pertumbuhan isometrik. Sedangkan, jika pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan bobot (b 3), maka pertumbuhan yang demikian itu disebut juga pertumbuhan alometrik. Dikatakan pertumbuhan alometrik positif jika nilai b > 3, menunjukkan bahwa pertambahan bobot lebih cepat dibandingkan pertambeahan panjang. Sebaliknya, jika pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan bobot, maka dikatakan pertumbuhan alometrik negatif (b < 3). Pitter (1920) in Sparre & Venema (1999) telah mengembangkan suatu model pertumbuhan yang dapat dianggap sebagai dasar dari sebagian model pertumbuhan lainnya termasuk salah satu yang dikembangkan sebagai suatu model matematik bagi pertumbuhan individu oleh Von Bertalanfy (1914), dan ternyata cukup memadai untuk pertumbuhan yang telah diobservasi pada sebagian besar spesies ikan. Persamaan pertumbuhan Von Bertalanfy merupakan persamaan yang umum digunakan dalam studi pertumbuhan suatu populasi (King 1995) Mortalitas dan Laju Eksploitasi Mortalitas suatu kelompok ikan yang kesemuanya mempunyai umur yang kira-kira sama dan berasal dari stok yang sama atau yang sering disebut kohort terdiri atas mortalitas karena penangkapan dan mortalitas karena sebab-sebab lain yang disebut sebagai kematian alamiah (natural mortality) yang meliputi berbagai peristiwa seperti kematian karena predasi, penyakit dan umur (Sparre & Venema 1999). Laju mortalitas total (Z) adalah penjumlahan laju mortalitas penangkapan (F) dan laju mortalitas alami (M) (King 1995). Laju eksploitasi (E) merupakan bagian dari suatu kelompok umur yang akan ditangkap selama ikan tersebut hidup, sehingga laju eksploitasi juga didefinisikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati karena semua faktor baik faktor alami maupun faktor penangkapan. Stok yang dieksploitasi optimal maka laju mortalitas penangkapan (F) sama dengan laju mortalitas alami (M) atau laju eksploitasi (E) sama dengan 0.5 (Pauly 1984). Penentuan laju eksploitasi merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui untuk menentukan kondisi sumberdaya perikanan dalam pengkajian stok ikan (King 1995).

27 12 Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan von Bertallanffy yaitu K dan L. Ikan yang pertumbuhannya cepat (nilai K tinggi) mempunyai nilai M tinggi dan begitu juga sebaliknya. Nilai M berkaitan dengan karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil (Beverton & Holt 1957). Pauly (1984) menyatakan bahwa faktor lingkungan yang mempengaruhi nilai M adalah suhu rata-rata perairan selain faktor panjang maksimum secara teoritis (L ) dan laju pertumbuhan Pengkajian Stok Ikan Widodo & Suadi (2006) menyatakan bahwa pengkajian stok meliputi penggunaan berbagai perhitungan statistik dan matematik untuk membuat dugaan kuantitatif mengenai reaksi dari berbagai populasi ikan terhadap beberapa alternatif pengelolaan. Orientasi utama dari pengkajian stok adalah untuk melangkah lebih jauh dari berbagai prediksi kuantitatif dan harus mampu memprediksi produksi beserta kisaran nilainya, berbagai risiko yang mungkin ditimbulkan dari adanya penangkapan yang berlebihan terhadap berbagai populasi induk yang sedang memijah (spawning population), dan perlunya membiarkan ikan tumbuh sampai ukuran tertentu sebelum ditangkap. Menurut Wiyono (2005) bahwa pendugaan stok ikan di Indonesia dilakukan dengan beberapa metode pendekatan, seperti yang dijelaskan berikut ini : 1) Metode sensus atau transek digunakan untuk mengkaji stok ikan yang sifatnya tidak bergerak dengan cepat, seperti ikan hias dan ikan karang. 2) Metode swept area digunakan untuk menduga stok ikan dasar (demersal). Metode ini dilakukan dengan prinsip menyapu area perikanan dengan menggunakan alat tangkap trawl. 3) Metode akustik digunakan untuk menduga ikan pelagis maupun demersal. Prinsip kerja metode ini adalah menghitung potensi ikan dengan menggunakan alat yang dinamakan echosounder. 4) Metode produksi surplusdigunakan untuk menduga ikan dengan memanfaatkan data time series hasil tangkapan dan upaya penagkapan ikan di tempat pendaratan ikan.

28 13 Pengkajian stok dapat berperan penting dalam berbagai hal untuk perkembangan perikanan, diantaranya menyelaraskan (fine tunning) sistem perikanan dengan produksi yang lebih tinggi, mengembangkan berbagai rencana untuk rehabilitasi stok terutama bila tahap perkembangan awal menghasilkan penangkapan berlebihan, dan mengembangkan berbagai strategi untuk pengelolaan selama terjadi transisi teknologi kearah metode penangkapan yang lebih efisien (Widodo & Suadi 2006) Model Produksi Surplus Model produksi surplus merupakan model holistik yang menganggap suatu stok sebagai satu unit yang besar dari biomassa, dimana dalam model ini tidak perlu menentukan kelas umur seperti dalam model analitik. Metode ini menggunakan data hasil tangkapan (berdasarkan spesies) dan hasil tangkapan per satuan upaya per spesies atau CPUE (Catch per Unit Effort) sebagai masukan. Data yang digunakan tersebut merupakan data runtun waktu (time series data) tahunan dan berasal dari hasil sampling terhadap perikanan komersil (Sparre & Venema 1999). Sparre & Venema (1999) menyatakan bahwa metode produksi surplus yang dikembangkan Schaefer & Fox bertujuan untuk menentukan tingkat upaya optimum, yaitu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield) tanpa mempengaruhi produktivitas stok jangka panjang. Metode produksi surplus yang digunakan untuk menentukan MSY dan upaya penangkapan optimum ini menyangkut hubungan antara kelimpahan dari sediaan ikan sebagai massa yang seragam dan tidak berhubungan dan tidak berhubungan dengan komposisi dari proporsi ikan tua atau besar. Konsep dasar dari metode produksi surplus adalah meneningkatkan populasi ikan diperoleh dari sejumlah ikan-ikan muda yang dihasilkan setiap tahun, sedangkan penurunan dari populasi tersebut meruapakan akibat dari mortalitas. Mortalitas tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor baik kematian alamiah (natural mortality) diantaranya predasi dan penyakit maupun karena penangkapan ( fishing mortality) yang merupakan aktifitas penangkapan oleh manusia (Widodo & Suadi 2006).

29 Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan Peluang pengembangan perikanan di Indonesia ditunjukkan oleh sejumlah kelompok sumberdaya baik secara nasional maupun di tingkat wilayah pengelolaan perikanan tertentu. Namun demikian, dalam melakukan estimasi potensi serta tingkat pemanfaatannya mengandung banyak unsur ketidakpastian, maka setiap usaha pengembangannya harus dilakukan secara gradual, dengan berlandaskan pendekatan yang bersifat hati-hati (precautionary approach) untuk memenuhi azas perikanan yang bertanggung jawab bagi terwujudnya pembangunan perikanan yang berkesinambungan ( Boer & Azis 1995). Analisis produksi surplus juga dapat menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan atau Total Allowable Catch (TAC) dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan. Besarnya TAC biasanya dihitung berdasarkan nilai tangkapan maksimum lestari atau MSY suatu sumberdaya perikanan yang perhitungannya didasarkan atas berbagai pendekatan atau metode (Boer & Azis 1995) Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Sumberdaya perikanan sama seperti sumber daya pertambangan yaitu samasama mempunyai batasan, namun berbeda dengan sumber daya produk pertambangan seperti minyak bumi, sumberdaya perikanan memiliki daya reproduksi atau bersifat dapat diperbaharui, sehingga apabila dikelola dengan baik maka akan dapat digunakan secara berkesinambungan. Dengan kata lain, apabila dilakukan pengelolaan terhadap sumberdaya perikanan secara tepat, maka akan dapat memasok protein (hewani) secara stabil. Pada saat yang sama, juga memiliki kontribusi ekonomi dan sosial yang besar seperti pengembangan sektor produk perikanan, penciptaan lapangan kerja, dan sebagainya. yang jelas akan memberikan dampak pada pengurangan jumlah kemiskinan. Di sini terdapat makna tentang pentingnya pengelolaan sumber daya perikanan (JICA 2009 c ). JICA (2009 c ) juga menyebutkan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan menunjuk pada makna tanpa melakukan penangkapan sama sekali belum tentu dapat mengamankan stok sumberdaya ikan di lautan, akan tetapi dalam kondisi yang berkesinambungan dapat dilakukan penangkapan ikan dalam volume penangkapan terbesar (MSY : Total Potensi Lestari), sehingga kegiatan penangkapan dan kegiatan

30 15 pecegahan dalam rangka mempertahankan volume sumberdaya alam di lautan dapat berlangsung secara berkesinambungan. Untuk menghadapi penipisan sumberdaya perikanan dan untuk merumuskan progam pengelolaan yang berhasil diperlukan beberapa informasi. Beberapa informasi tersebut diantaranya, proses-proses biologi dan ekonomi dari setiap perikanan (JICA 2009 c ).

31 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Brondong, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur dengan posisi koordinat secara geografis pada LS dan BT (JICA 2009 b ). Pengumpulan data primer dilakukan pada tanggal 7 Februari 2010 sampai 27 Maret Sedangkan pengumpulan data sekunder dilaksanakan pada bulan Januari 2010 sampai dengan bulan Februari Peta lokasi daerah penangkapan ikan biji nangka (U. sulphureus Cuvier, 1829) di Perairan Utara Jawa yang didaratkan di PPN Brondong, Lamongan, Jawa Timur disajikan pada Gambar 4. Gambar 4. Peta lokasi penangkapan ikan biji nangka

32 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah ikan biji nangka yang didaratkan di PPN Brondong, statistik hasil tangkapan maupun upaya tangkapan yang didaratkan dari PPN Brondong serta kuesioner hasil wawancara dengan nelayan yang menangkap ikan biji nangka. Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain timbangan digital dengan ketelitian 0.1 gram untuk mengukur bobot ikan, meteran dengan ketelitian 1 milimeter untuk mengukur panjang total ikan, alat tulis dan alat dokumentasi Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer yang dilakukan mencakup pengukuran panjang dan bobot ikan contoh dengan interval waktu 8 hari selama 2 bulan, contoh ikan biji nangka yang digunakan sebanyak ekor. Ikan biji nangka diperoleh dari beberapa nelayan yang mendaratkan ikan tersebut di PPN Brondong. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada saat pengambilan contoh, ikan biji nangka yang ditangkap di daerah Bawean. Proses pengambilan ikan contoh dilakukan secara acak dari beberapa nelayan yang ada. Panjang ikan biji nangka yang diukur adalah panjang total menggunakan meteran dengan ketelitian 1 mm. Sedangkan bobot ikan biji nangka ditimbang dengan timbangan dengan ketelitian 0.1 gram. Pengambilan contoh ikan biji nangka di PPN Brondong disajikan pada Gambar 5. Pengumpulan data dan informasi lainnya dilakukan dengan cara observasi dan wawancara terhadap nelayan ikan biji nangka. Informasi yang diperoleh dari hasil wawancara berupa data unit penangkapan ikan biji nangka (pemilik, mesin, kapal, nelayan atau anak buah kapal dan alat tangkap), kegiatan operasi, penangkapan, daerah penangkapan, dan biaya operasi penangkapan. Informasi ini kemudian akan digunakan untuk mendeskripsikan kegiatan perikanan biji nangka di Pantai Utara Jawa yang didaratkan di PPN Brondong.

33 18 PPN Brondong Kapal dan Alat Tangkap Ikan Biji Nangka Kapal A Kapal B Kapal C Kapal D 3 Keranjang 3 Keranjang 3 Keranjang 3 Keranjang 150 ekor contoh ikan biji nangka Pengukuran panjang dan bobot Analisis data Gambar 5. Skema pengambilan contoh ikan biji nangka di PPN Brondong 3.4. Analisis Data Analisis data yang akan dilakukan pada penelitian ini meliputi analisis data primer dan sekunder. Analisis data primer antara lain untuk menduga pertumbuhan, mortalitas dan laju eksploitasi ikan biji nangka. Beberapa metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode NORMSEP untuk menganalisis data frekuensi panjang, metode Plot Ford walford digunakan untuk menduga pertumbuhan polpulasi melaui persamaan von Bertallanfy berdasarkan data yang telah dipisahkan menurut kelompok ukuran ikan, dan untuk analisis pendugaan mortalitas serta laju eksploitasi didapatkan dari kurva tangkapan yang dilinierkan berdasarkan data

34 19 komposisi panjang. Kemudian analisis panjang bobot digunakan untuk menduga pola pertumbuhan ikan. Analisis data sekunder melalui metode produksi surplus, yaitu perbandingan antara model Schaefer dan Fox. Berdasarkan hasil analisis regresi linier kedua model, kemudian dibandingkan nilai koefisien determinasi yang lebih mewakili dan dapat ditentukan tangkapan maksimum lestari dan upaya optimal. Selanjutnya analisis penetuan jumlah tangkapan yang diperbolehkan diperoleh dari tangkapan maksimum lestari Hubungan panjang-bobot Bobot dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjang. Hubungan panjang dan bobot hampir mengikuti hukum kubik yaitu bahwa bobot ikan sebagai pangkat tiga. Namun sebenarnya tidak demikian karena bentuk dan panjang ikan berbedabeda sehingga untuk menganalisis hubungan panjang-bobot masing-masing spesies ikan biji nangka digunakan rumus yang umum sebagai berikut (Effendie 2002) : W al (1) dengan W adalah bobot, L adalah panjang, a adalah konstanta dan b adalah penduga pola hubungan panjang-bobot. Rumus umum tersebut bila ditranformasikan ke dalam logaritma, akan diperoleh persamaan Log W = Log a + b Log L, yaitu persamaan linier atau persamaan garis lurus. Untuk mendapatkan parameter a dan b, digunakan analisis regresi sederhana dengan Log W sebagai y dan Log L sebagai x, demikian sehingga diperoleh pesamaan regresi : y i = β 0 + β 1 x i +ε i atau y b 0 + b 1 (2) konstanta b diduga dengan b 1 dan konstanta a diduga dengan 10 b0. Sedangkan b 1 dan b 0 masing-masing dihitung dengan (Dowdy et al. 2004): b 1 N i x iy i 1 n N i x i N i y i N x2 i i 1 n N x i i 2 (3)

35 20 dan b (4) Untuk menguji nilai β 1 = 3 atau β 1 3 dilakukan uji-t (uji parsial) (Sukimin et al. 2006), dengan hipotesis : H 0 : β 1 = 3, hubungan panjang dengan bobot adalah isometrik. H 1 : β 1 3, hubungan panjang dengan bobot adalah allometrik Hubungan allometrik terdapat dua macam, yaitu : Allometrik positif, jika b>3 (pertambahan bobot lebih cepat daripada pertambahan panjang) dan, Allometrik negatif, jika b<3 (Pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan bobot). Adapun statistik uji yang digunakan adalah : t S (5) S adalah simpangan baku dugaan b 1 atau b yang dihitung dengan : S s (6) sedangkan s 2 adalah kuadrat tengah sisa sebagai penduga 2, yang dapat dihitung dengan: s N b N N n (7) Selanjutnya, nilai t hitung dibandingkan dengan nilai t tabel pada selang kepercayaan 95%. Kemudian untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan, kaidah keputusan yang diambil yaitu : jika t hitung > t tabel maka tolak hipotesis nol (H 0 ) dan jika t hitung < t tabel maka gagal tolak hipotesis nol (H 0 ) (Dowdy et al. 2004).

36 Sebaran frekuensi panjang Penentuan sebaran frekuensi panjang menggunakan data panjang total dari ikan biji nangka yang ditangkap di Perairan Utara Jawa dan di daratkan di PPN Brondong. Sebaran frekuensi panjang yang telah ditentukan dalam selang kelas yang sama kemudian diplotkan dalam sebuah grafik. Berdasarkan grafik tersebut dapat terlihat pergeseran sebaran kelas panjang setiap pengambilan contoh, yang menggambarkan jumlah kelompok umur (kohort) yang ada. Bila terjadi pergeseran modus sebaran frekuensi panjang berarti terdapat lebih dari satu kohort Identifikasi kelompok ukuran Pendugaan kelompok ukuran dilakukan dengan menganalisis data frekuensi panjang. Data frekuensi panjang dianalisis menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) dalam paket program FiSAT II. Sebaran frekuensi panjang dikelompokkan kedalam beberapa kelompok umur yang diasumsikan menyebar normal, masing-masing dicirikan oleh rata-rata panjang dan simpangan baku. Menurut Boer (1996) jika f i adalah frekuensi ikan dalam kelas panjang ke-i (i = 1, 2,..., N), μ j adalah rata-rata panjang kelompok umur ke-j, j adalah simpangan baku panjang kelompok umur ke-j dan p j adalah proporsi ikan dalam kelompok umur ke-j (j= 1, 2,..., G) maka fungsi objektif yang digunakan untuk menduga { µ j, j, j } adalah fungsi kemungkinan maksimum (maximum likelihood function): N L = G log (8) sedangkan = 2π yang merupakan fungsi kepekatan sebaran normal dengan nilai tengah μ j dan simpangan baku j. x i adalah titik tengah kelas panjang ke-i. Fungsi objektif L ditentukan dengan cara mencari turunan pertama L masingmasing terhadap μ j, j, dan p j sehingga diperoleh dugaan j, j, dan j yang akan digunakan untuk menduga parameter pertumbuhan.

37 Pendugaan parameter pertumbuhan (L, K) dan t 0 Nilai L dan K diperoleh dari hasil perhitungan dengan metode Ford Walford menggunakan program ELEFAN I (Electronic Length Frequencys Análisis) yang terintegrasi dalam software FiSAT II. Berikut ini adalah persamaan pertumbuhan von Bertalanffy (Sparre & Venema 1999): L L 1 e K (9) L t adalah panjang ikan pada saat umur t (satuan waktu), L adalah panjang maksimum secara teoritis (panjang asimtotik), K adalah koefisien pertumbuhan (per satuan waktu), dan t 0 adalah umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol. Penurunan plot Ford-Walford didasarkan pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy dengan t 0 adalah umur teoritis pada saat panjang sana dengan nol. Untuk t 0 sama dengan nol, maka persamaannya dapat ditulis menjadi : L L 1 e K (10) atau L L L e K (11) jika persamaan (10) disubstisusikan ke persamaan (9) diperoleh L L L e K 1 e K (12) jika persamaan (11) disubstisusikan ke persamaan (12) diperoleh sehingga L L L L 1 e K (13) L L L 1 e K L e K (14) L t dan L t+1 merupakan panjang ikan pada saat t dan panjang ikan yang dipisahkan oleh interval waktu yang konstan (1= tahun, bulan, atau minggu) (Pauly 1984). Persamaan (7) dapat diduga dengan persamaan regresi linier dan jika L t sebagai absis diplotkan terhadap L t+1 sebagai ordinat maka garis lurus yang dibentuk

38 23 akan memiliki kemiringan (slope) sama dengan e -K dan titik potong dengan absis sama dengan L 1 e K. Dengan demikian, nilai K dan L diperoleh dengan cara sebagai berikut : K ln b (15) dan L (16) Umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol diduga secara terpisah menggunakan persamaan empiris Pauly (Pauly 1984) sebagai berikut. Log t Log L Log K (17) Mortalitas dan laju eksploitasi Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinierkan berdasarkan data komposisi panjang (Sparre & Venema 1999) dengan langkahlangkah sebagai berikut. a) Mengkonversikan data panjang ke data umur dengan menggunakan inverse persamaan von Bertalanffy. t L t L ln 1 (18) L b) Menghitung waktu yang diperlukan oleh rata-rata ikan untuk tumbuh dari panjang L 1 ke L 2 t t L t L ln L L L L (19) c) Menghitung ( t ) t L L t K ln 1 L L L (20)

39 24 d) Menurunkan kurva hasil tangkapan (C) yang dilinierkan yang dikonversikan ke panjang ln C L,L L,L c z t L L (21) Persamaan di atas adalah bentuk persamaan linear dengan kemiringan (b) = -Z Untuk laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1984) sebagai berikut. Ln M Ln L Ln K Ln T (22) Pauly (1984) menyarankan untuk memperhitungkan jenis ikan yang memiliki kebiasaan menggerombol ikan dikalikan dengan nilai 0,8 sehingga untuk spesies yang menggerombol seperti ikan biji nangka nilai dugaan menjadi 20% lebih rendah. M 0.8 e,, L L, L K, L T (23) M adalah mortalitas alami, L adalah panjang asimtotik pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy, K adalah koefisien pertumbuhan pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy, dan T adalah rata-rata suhu permukaan air ( 0 C). Laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan : F Z M (24) Laju eksploitasi (E) ditentukan dengan membandingkan laju mortalitas penangkapan (F) dengan laju mortalitas total (Z) (Pauly 1984) : E F F F M Z (25) Laju mortalitas penangkapan (F) atau laju eksploitasi optimum menurut Gulland (1971) in Pauly (1984) adalah : F optimum = M dan E optimum = 0.5 (26)

40 Model produksi surplus Pendugaan potensi sumberdaya ikan biji nangka dilakukan dengan cara analisis hasil tangkapan (catch) dan upaya penangkapan (effort) menggunakan model surplus produksi yang dikembangkan oleh Schaefer dan Fox. Model surplus produksi dapat diterapkan bila diketahui dengan baik tentang hasil tangkapan total (berdasarkan spesies) dan atau hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit effort/cpue) per spesies dan atau CPUE berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun. Upaya penangkapan harus mengalami perubahan substansial selama waktu yang dicakup (Sparre & Venema 1999). Tingkat upaya penangkapan optimum (f msy ) dan hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) dari unit penangkapan dengan model Schaefer (1954) in Boer & Azis (1995) dapat diketahui melalui persamaan berikut : Hubungan antara hasil tangkapan per satuan upaya ( C dengan upaya penangkapan (f) pada waktu ke-t adalah : atau C a bf (21) C af b f (22) Hubungan linear ini yang digunakan secara luas untuk menghitung dugaan MSY melalui penentuan turunan pertama C terhadap f dalam rangka menemukan solusi optimanl, baik untuk usaha maupun tangkapan. Turunan pertama C terhadap f adalah : C a 2bf 0 (23) sehingga diperoleh dugaan f (upaya tangkap optimum) : f (24)

41 26 dan tangkapan maksimum lestari atau Maximum sustainable yield (MSY) diperoleh dengan mensubtitusikan nilai upaya penangkapan optimum (f msy ) ke persamaan (22), sehingga : MSY (25) Dari berbagai penelitian terlihat bahwa tidak semua populasi ikan memilki laju pertumbuhan intrisik yang mengikuti model liniear seperti model Schaefer. Karena itu, Garrod (1969) & Fox (1970) in Boer & Azis (1995) mengajukan model alternatif untuk populasi ikan yang pertumbuhan instrisiknya mengikuti model logaritmik. Selanjutnya, model ini dikenal sebagai Model Fox yang menghasilkan hubungan tangkapan per satuan upaya ( C dengan upaya penangkapan (f) yang berbeda, yaitu : ln C a b f (26) sehingga atau C e (27) C f e (28) f msy dapat dihitung pada saat C = 0 sehingga : C e f e b 0 (29) sehingga diperoleh dugaan f (upaya tangkap optimum) : f (30)

42 27 untuk mendapatkan MSY, maka persamaan (30) disubstitusikan ke persamaan (28), yaitu : C e (31) sehingga MSY e (32) Kedua model tersebut kemudian dibandingkan nilai koefisien determinasinya (R 2 ) dari hasil regresi masing-masing. Model yang mempunyai nilai R 2 lebih besar menunjukkan model tersebut mempunyai hubungan yang lebih dekat dengan model sebenarnya. Koefisien determinasi merupakan bilangan yang menyatakan proporsi keragaman total nilai peubah y yang dapat dijelaskan oleh nilai-nilai peubah x melalui hubungan linier tersebut (Dowdy et al. 2004). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan atau Total Allowable Catch (TAC) dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan dapat ditentukan dengan analisis produksi surplus (FAO 1995). Hal ini berdasarkan prinsip kehati-hatian dalam pendugaan stok sehingga pemanfaatan sumberdaya ikan dapat terus lestari. PL 90% MSY (33) sehingga untuk menentukan TAC 80% PL (34) PL adalah potensi lestari, MSY adalah jumlah tangkapan maksimum lestari (ton), dan TAC adalah Jumlah tangkapan yang di perbolehkan.

43 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Kondisi umum Perairan Utara Jawa Perairan Utara Jawa dulu merupakan salah satu wilayah perikanan yang produktif dan memilki populasi penduduk yang padat. Panjang garis Pantai Utara Jawa sekitar km, perairan ini dikenal memilki sumberdaya ikan pelagis yang melimpah, terutama kelompok ikan pelagis kecil (Wijopriono & Genisa 2003). Namun hasil tangkapan utama yang didaratkan di PPN Brondong didominasi oleh ikan demersal. Daerah penangkapan nelayan di Kecamatan Brondong berada di Wilayah Pengelolaan Perikanan 712 (WPP 712) yaitu Laut Jawa yang meliputi daerah Masalimbu, Matasiri, Kramean, dan sekitar Bawean (Ditjen-Tangkap DKP 2009). Menurut Durand & Petit (1994) beberapa daerah tersebut merupakan area kepulauan dan terumbu karang yang menjadi habitat ikan bii nangka (U. sulphureus Cuvier, 1829). Oleh karena itu, ikan biji nangka banyak ditangkap di daerah-daerah tersebut. Durand & Petit (1994) juga menyatakan bahwa kedalaman rata-rata perairan Laut Jawa kurang lebih 40 m, kedalaman maksimal terdapat di sebelah utara Pulau Madura. Secara ekologis, perairan Pantai Utara Jawa kaya akan zooplankton. Jumlah zooplankton yang teridentifikasi pada tahun 2001 mencapai 35 taksa yang sebagian besar didominasi oleh Copepoda terutama genus Calanoida dengan kisaran antara ind m -3 dari ind m -3 total zooplankton yang ada. Suhu perairan relatif cukup tinggi karena termasuk dalam ekuator yaitu berkisar antara C dengan dua nilai maksimum dan dua nilai minimum dalam setahun. Nilai maksimum pertama berkisar antara C pada bulan April sampai Mei sedangkan nilai maksimum kedua antara C. pada bulan Oktober sampai November. Nilai minimum pertama berkisar antara C pada bulan Desember sampai Januari sedangkan nilai minimum kedua berkisar antara C pada bulan Agustus (Ilahalude 1979 in BRKP-DKP 2001). Salinitas perairan Laut Jawa juga memiliki dua nilai maksimum dan dua nilai minimum dalam setahun. Nilai maksimum pertama berkisar antara

44 29 pada bulan November, sedangkan nilai maksimum kedua berkisar antara pada bulan Mei. Nilai maksimum juga dipengaruhi oleh adanya musim kemarau. Nilai minimum pertama berkisar antara sedangkan nilai minimun kedua sebesar pada Bulan Juli (Suriaatmadja 1956 & Ilahude 1975 in BRKP-DKP 2001). Tertdapat dua pola musim di Perairan Utara Jawa tepatnya di wilayah Kecamatan Brondong yang berpengaruh terhadap aktifitas penangkapan ikan, yaitu musim timur dan musim barat. Musim timur berlangsung Juni hingga September, musim timur adalah ketika angin bertiup dari selatan ke tenggara dan terjadi pada musim kemarau. Kondisi perairan pada musim timur relatif tenang, angin serta gelombang tidak begitu besar sehingga aktifitas penangkapan ikan cukup tinggi pada musim ini. Pada musim barat, angin bertiup dari utara ke arah barat terjadi pada bulan November hingga Mei. Angin dan gelombang cukup tinggi pada musim ini, sehingga aktifitas penangkapan ikan menurun. Bulan Oktober merupakan musim peralihan (Widayanti 2006). Menurut Hanan (2006) musim penangkapan di Perairan Pantai Utara Jawa bagian timur yaitu di PPN Brondong terdapat dua musim penangkapan yaitu musim sedang pada bulan November sampai Juni dan musim puncak pada bulan Juli hingga Oktober Kondisi perikanan biji nangka di PPN Brondong Terdapat dua jenis nelayan di PPN Brondong, yaitu musiman dan penuh. Sebagian besar nelayan dogol termasuk jenis nelayan penuh, dengan lama melaut 5 sampai 15 hari. Nelayan jenis ini melakukan aktifitas penangkapan sepanjang tahun, dengan musim puncak penangkapan pada bulan Maret dan Oktober untuk ikan biji nangka (Ditjen-Tangkap DKP 2009). Di PPN Brondong alat tangkap yang paling dominan dipakai nelayan untuk menangkap ikan yaitu alat tangkap dogol. Ikan biji nangka sendiri ditangkap dengan alat tangkap dogol baik besar maupun kecil dengan kapal motor berukuran GT untuk dogol besar dan < 10 GT untuk dogol kecil. Berdasarkan hasil wawancara dengan para nelayan ukuran mata jaring dogol yang digunakan adalah 1.25 inchi, 2 inchi, 2.5 inchi, 3 inchi sampai 4 inchi. Alat tangkap ini dioperasikan pada kedalaman perairan m (Ditjen-Tangkap DKP 2008).

45 30 Alat tangkap dogol merupakan alat tangkap ikan demersal, ikan-ikan yang tertangkap didominasi oleh ikan-ikan demersal. Diantaranya ikan biji nangka, swanggi, kakap merah, beloso, manyung, serta terdapat jenis ikan pelagis seperti ikan layang dan layur. Komposisi hasil tangkapan dengan alat tangkap dogol di PPN Brondong disajikan pada Gambar 6. Sumber : Ditjen-Tangkap DKP (2009) Gambar 6. Diagram komposisi hasil tangkapan dogol di PPN Brondong tahun 2008 Daerah penangkapan nelayan di Kecamatan Brondong berada di Wilayah Pengelolaan Perikanan 712 (WPP 712) yaitu Laut Jawa yang meliputi daerah Masalimbu, Matasiri, Kramean, dan sekitar Madura. Namun, menurut nelayan Brondong, mereka hanya mampu menempuh daerah penangkapan Masalembu, Bawean, dan Madura karena keterbatasan daya tempuh kapal. Sedangkan daerah Matasiri dan Kramean jarang dijangkau oleh nelayan-nelayan yang kekuatan kapalnya >10 GT. Pemasaran ikan biji nangka tidak hanya dijual di pasar lokal saja. Bentuk produk yang dipasarkan selain dalam kondisi segar, serta sudah berupa produk olahan yaitu asap dan asin. Hal ini bertujuan agar ikan tetap awet dan aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Harga jual ikan biji nangka segar bervariasi menurut ukurannya, ikan yang berukuran kecil dijual dengan harga sangat murah bahkan seringkali dibuang lagi ke laut karena tidak memberikan keuntungan. Berdasarkan

46 31 Ditjen-Tangkap DKP (2008) rata-rata harga jual ikan biji nangka per kg adalah Rp 8 600, Hubungan panjang bobot Hubungan panjang bobot ikan sangat penting artinya dalam ilmu dinamika populasi, antara lain : memberikan pernyataan secara matematis hubungan antara panjang dan bobot ikan, mengukur variasi bobot harapan untuk panjang tertentu sebagai suatu petunjuk kegemukan, dan untuk mengetahui faktor koefisien kondisi ikan yang menunjukkan kegemukan relatif (Sumiono & Nuraini 2007). Berikut ini adalah hubungan panjang bobot ikan biji nangka pada setiap pengambilan contoh di PPN Brondong yang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Hubungan panjang bobot ikan biji nangka pada setiap pengambilan contoh di Perairan Utara Jawa. Pengambilan contoh ke- Waktu b R² Pola pertumbuhan 1 07 Februari allometrik negatif 2 15 Februari allometrik negatif 3 23 Februari allometrik negatif 4 03 Maret allometrik negatif 5 11 Maret allometrik negatif 6 19 Maret allometrik negatif 7 27 Maret allometrik negatif Berdasarkan tabel di atas, diperoleh pola pertumbuhan ikan biji nangka pada pengambilan contoh I hingga VII adalah allometrik negatif yang menunjukkan bahwa pertumbuhan panjang lebih cepat dari pada pertumbuhan bobot Sebaran frekuensi panjang Ikan biji nangka yang diamati selama penelitian berjumlah ekor. Hasil sebaran frekuensi panjang ikan biji nangka pada setiap pengambilan contoh disajikan pada Gambar 7.

47 Gambar 7. Sebaran frekuensi panjang ikan biji nangka 32

48 Parameter pertumbuhan Hasil analisis pemisahan kelompok ukuran ikan biji nangka menggunakan metode NORMSEP disajikan pada Gambar 8. Gambar 8. Kelompok ukuran panjang ikan biji nangka ( : Pertumbuhan populasi )

49 34 Berdasarkan Gambar 8 terlihat bahwa pada setiap waktu pengambilan contoh menghasilkan kelompok ukuran panjang ikan contoh yang berbeda-beda. Pengambilan contoh I diperoleh tiga kelompok ukuran panjang. Pengambilan contoh II, III, dan IV diperoleh empat kelompok ukuran panjang. Pengambilan contoh V dan VI diperoleh tiga kelompok ukuran panjang. Dan pada pengambilan contoh VII diperoleh empat kelompok ukuran panjang. Hasil analisis pemisahan kelompok ukuran ikan biji nangka yaitu panjang ratarata, jumlah populasi dan indeks separasi masing-masing kelompok ukuran disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Sebaran kelompok ukuran ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa Tanggal 07 Februari Februari Februari Maret Maret Maret Maret 2010 Kelompok Ukuran Nilai Tengah Indeks Sparasi ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±

50 35 Hasil analisis parameter pertumbuhan ikan biji nangka yaitu koefisien pertumbuhan (K) dan panjang infinitif (L,) serta umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol (t 0 ) disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Parameter pertumbuhan berdasarkan model von Bertalanfy (L, K) dan t 0 ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa (Februari-Maret 2010) Parameter Nilai K (per tahun) 0.28 L (mm) t o (tahun) Berdasarkan Tabel 4 diperoleh persamaan pertumbuhan Von Bertallanfy ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa Timur sebagai berikut. L t e 0.28 t 0.55 Kurva pertumbuhan ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa Timur (Gambar 9) diperoleh dengan memplotkan umur (bulan) dan panjang total ikan (mm) sampai ikan berumur 30 bulan. 350 L Panjang total (mm) L t e 0.28 t Umur (bulan) Gambar 9. Kurva pertumbuhan ikan biji nangka

51 Mortalitas dan laju eksploitasi Pada suatu stok yang telah dieksploitasi perlu untuk membedakan mortalitas penangkapan dan mortalitas alami. Laju mortalitas total (Z) adalah penjumlahan laju mortalitas penangkapan (F) dan laju mortalitas alami (M) (King 1995). Ketiga jenis mortalitas tersebut perlu dianalisis. Pendugaan mortalitas total (Z) ikan biji nangka dilakukan dengan kurva hasil penangkapan yang dilinierkan berbasis data panjang (length converted catch curve), seperti yang disajikan pada Gambar y = x R² = 0.72 Ln [C(L1,L2)/delta t] t (L1/L2)/2 Gambar 10. Kurva hasil tangkapan yang dilinierkan berbasis data panjang ( : titik yang digunakan dalam analisis regresi untuk menduga Z) Berdasarkan kurva hasil tangkapan yang dilinierkan berbasis data panjang diperoleh dugaan laju mortalitas total (Z) = -b. Dugaan mortalitas alami (M) ikan biji nangka dihitung menggunakan persamaan Pauly (1984) dengan nilai T yaitu rata-rata suhu perairan Pantai Utara Jawa Timur sebesar C (BRKP-DKP 2001). Menurut Pauly (1984), faktor lingkungan yang mempengaruhi nilai M adalah suhu rata-rata perairan selain faktor panjang maksimum secara teoritis (L ) dan laju pertumbuhan (K). Hasil analisis dugaan laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan biji nangka disajikan pada Tabel 5.

52 37 Tabel 5. Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan biji nangka di Peariran Utara Jawa Laju Nilai (per tahun) Mortalitas Total (Z) 2.18 Mortalitas Alami (M) 0.32 Mortalitas Penangkapan (F) 1.86 Eksploitasi (E) Model stok ikan biji nangka Di PPN Brondong, ikan biji nangka merupakan ikan yang dominan ditangkap menggunakan alat tangkap dogol. Menurut hasil wawancara dengan nelayan-nelayan di PPN Brondong, ikan biji nangka juga ditangkap dengan alat tangkap selain dogol yaitu payang. Alat tangkap payang merupakan alat tangkap ikan-ikan pelagis, oleh karena itu hasil tangkapannya lebih didominasi ikan-ikan pelagis seperti ikan layang, layur, tongkol, sedangkan ikan biji nangka sangat sedikit tertangkap, bahkan sering kali tidak tertangkap sama sekali. Pada penelitian ini, dikhususkan untuk sumberdaya ikan biji nangka yang ditangkap dengan alat tangkap dogol. Karena selain ikan ini lebih dominan ditangkap dengan alat tangkap tersebut, di PPN Brondong sendiri hanya menyediakan data hasil tangkapan ikan biji nangka dengan alat tangkap dogol, dengan asumsi ikan biji nangka sangat sedikit tertangkap dengan alat tangkap payang. Sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan standarisasi upaya penangkapan. Data hasil tangkapan (catch), upaya penangkapan (effort), dan CPUE (Catch per Unit Effort) di Perairan Utara Jawa dan didaratkan di PPN Brondong yang menggunakan alat tangkap dogol dengan perahu motor berukuran 10 GT dan GT berdasarkan Statistik Perikanan PPN Brondong dari tahun disajikan pada Tabel 6.

53 38 Tabel 6. Hasil tangkapan (C), upaya penangkapan (f), dan CPUE Tahun C (ton) f (unit) CPUE (ton/unit) Sumber : Ditjen Tangkap-DKP PPN Brondong ( ) Hubungan effort dan CPUE dengan pendekatan Schaefer dan Fox disajikan pada Gambar 11 dan Gambar 12, sedangkan hubungan upaya penangkapan denagn hasil tangkapan disajikan pada Gambar 13. CPUE (ton/unit) CPUE = Effort R² = Effort (unit) Gambar 11. Grafik hubungan effort dan CPUE dengan pendekatan Schaefer Ln CPUE (ton/unit) ln CPUE = effort R² = Effort (unit) Gambar 12. Grafik hubungan effort dan CPUE dengan pendekatan Fox

54 39 Hasil tangkapan (ton) MSY Effort (unit) Schaefer Gambar 13. Hubungan upaya penangkapan dengan hasil tangkapan f msy 4.2. Pembahasan Hubungan panjang bobot Berdasarkan grafik hubungan panjang bobot ikan biji nangka (Gambar 14) diperoleh persamaan W = L 2.47 dengan koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 93 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa model dugaan mampu menjelaskan data sebesar 93 % (Dowdy et al. 2004). Dan hasil uji t (uji parsial) terhadap nilai b yang dilakukan, pola pertumbuhan ikan biji nangka yang di tangkap di Pantai Utara Jawa Timur adalah allometrik negatif, artinya pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan pertumbuhan bobot menurut Ricker (1970) in Effendie (2002). Pertumbuhan allometrik merupakan perubahan yang bersifat sementara misalnya perubahan yang berhubungan dengan kematangan gonad (Effendie 2002). Sedangkan pola pertumbuhan allometrik negatif menunjukkan bentuk tubuh ikan yang cenderung kurus, hal ini diduga pada bulan Februari hingga Maret ikan biji nangka berada pada akhir siklus pemijahannya. Karena menurut Sumiono & Nuraini (2007) musim pemijahan ikan biji nangka terjadi pada bulan Januari hingga Februari. Hal tersebut juga dapat dilihat pada Tabel 2, nilai b yang diperoleh cenderung semakin menurun pada pengambilan contoh I hingga VII. Selain itu, faktor lain yang diduga mempengaruhi pola pertumbuhan ikan biji nangka di

55 40 Perairan Utara Jawa adalah perubahan kondisi lingkungan perairan terutama ketersediaan makanan ikan biji nangka yang semakin menurun dan perubahan suhu yang mempengaruhi tingkat konsumsi suatu biota air (Effendie 2002). Akan tetapi, untuk membuktikan hal tersebut perlu dilakukan suatu penelitian lanjutan tentang kualitas Perairan Utara Jawa dan aspek biologi kebiasaan makan ikan biji nangka W = L 2.47 R² = 0.93 n = 1050 ekor Bobot (g) Panjang total (mm) Gambar 14. Grafik hubungan panjang bobot total contoh ikan biji nangka Suatu penelitian mengenai pertumbuhan ikan biji nangka pernah dilakukan oleh Sumiono & Nuraini (2007) di lokasi yang sama menghasilkan persamaan W = 0.14 L 2.22 dengan pola pertumbuhan allometrik negatif setelah dilakukan uji t terhadap nilai b. Hal tersebut menunjukkan bahwa belum terjadi perubahan pada pola pertumbuhan ikan ini pada tahun 2007 hingga Penelitian lain pernah dilakukan oleh Sjafei & Susilawati (2001) di perairan Teluk Labuan, Banten dengan spesies Upeneus moluccensis Blkr. menyebutkan bahwa hasil dari regresi panjang dan bobot untuk ikan ini adalah W = L 2.93 dengan pola pertumbuhan isometrik. Perbedaan pola pertumbuhan tersebut diduga karena faktor internal berupa perbedaan spesies atau genetik dan faktor eksternal berupa kondisi perairan baik suhu, ketersediaan makanan, waktu penangkapan, kapal penangkapan, dan ketersediaan makanan di perairan tersebut (Osman 2004 in Lelono 2007). Menurut Moutopoulos & Stergiou (2002) in Kharat et al. (2008) menyatakan bahwa

56 41 perbedaan pola pertumbuhan juga dapat disebabkan adanya perbedaan jumlah dan variasi ukuran ikan yang diamati Sebaran frekuensi panjang Menurut Boer (1996), penggunaan histogram frekuensi panjang sering dianggap teknik yang paling sederhana diterapkan untuk mengetahui tingkatan stok ikan, tetapi yang perlu dicatat bahwa struktur data panjang sangat bervariasi tergantung letaknya baik secara geografis, habitat, maupun tingkah laku. Pada Gambar 7 terdapat pergeseran modus kelas panjang dari pengambilan contoh I hingga pengambilan contoh VII. Pergeseran yang terjadi cenderung ke arah kanan dan membentuk kelompok ukuran baru pada setiap pengambilan contoh yang dilakukan. Pergeseran tersebut menunjukkan adanya pertumbuhan pada setiap pengambilan contoh. Pada pengambilan contoh V hingga VII terlihat munculnya kelompok-kelompok ukuran baru di bagian kiri, hal ini diduga adanya individuindividu baru yang masuk (rekruitment) sehingga membentuk kelompok ukuran panjang yang baru. Karena menurut Sumiono & Nuraini (2007) bulan Januari- Februari merupakan musim pemijahan ikan biji nangka sehingga diduga pada bulan Maret sudah terbentuk individu-individu baru yang berupa ikan-ikan biji nangka berukuran kecil. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, sekitar 55 % dari jumlah total contoh ikan yang diambil berukuran 80 mm hingga 120 mm banyak tertangkap dan didaratkan di PPN Brondong, sedangkan ikan baru pertama kali matang gonad berukuran mm (Herianti & Subani 1993). Hal ini diduga karena masih ada nelayan yang menggunakan jaring dogol dengan mesh size 1.25 inchi hingga 1.50 inchi, sehingga diduga banyak ikan yang belum sempat memijah ikut tertangkap. Pada pengambilan contoh I hingga VII, panjang ikan yang dominan tertangkap berkisar mm dan mm, sedangkan panjang ikan yang paling sedikit tertangkap berkisar mm. Panjang maksimum ikan yang diamati berdasarkan pengambilan contoh di PPN Brondong adalah 300 mm, hal ini sesuai dengan Munro (1967) in Fahmi (2002) yang menyebutkan bahwa ikan biji nangka dapat mencapai panjang maksimum 300 mm.

57 Parameter pertumbuhan Dalam pemisahan kelompok ukuran ikan dengan metode Bhattacharya sangat penting untuk memperhatikan nilai indeks separasi yang diperoleh. Indeks separasi merupakan kuantitas yang relevan terhadap studi bila dilakukan kemungkinan bagi suatu pemisahan yang berhasil dari dua komponen yang berdekatan, bila indeks separasi kurang dari dua maka tidak mungkin dilakukan pemisahan di antara dua kelompok ukuran karena terjadi tumpang tindih yang besar antar kelompok ukuran tersebut ( Hasseblad 1996, McNew & Summerfelt 1978 serta Clark 1981 in Sparre & Venema 1999). Berdasarkan hasil analisis pemisahan kelompok ukuran (Tabel 3) terlihat nilai indeks separasi yang lebih dari dua (I > 2), hal ini menunjukkan bahwa hasil pemisahan kelompok ukuran ikan biji nangka dapat diterima dan digunakan untuk analisis selanjutnya. Panjang total maksimum ikan biji nangka yang yang ditangkap di Perairan Utara Jawa dan didaratkan di PPN Brondong adalah 300 mm, panjang ini lebih kecil dari panjang asimtotik (infinitif) ikan biji nangka yaitu mm. Koefisien pertumbuhan (K) ikan biji nangka tersebut adalah 0.28 per tahun. Hasil analisis serupa dari beberapa penelitian tentang ikan biji nangka disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Parameter pertumbuhan ikan biji nangka dari beberapa hasil penelitian Koefisien Sumber Lokasi pertumbuhan (K) L (mm) per tahun Ingles & Pauly (1984) Perairan Utara Jawa Syamsiyah (2010) Perairan Utara Jawa Penelitian lain menyebutkan bahwa nilai K ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa pada tahun 2010 menunjukkan angka yang lebih rendah dibandingkan pada tahun Dapat diinterpretasikan bahwa pertumbuhan ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa pada tahun 2010 lebih rendah dari pada tahun Semakin cepat laju pertumbuhannya maka akan semakin cepat pula ikan tersebut mencapai panjang teoritis (L ). Meskipun dua penelitian di atas menggunakan spesies ikan biji nangka yang sama, akan tetapi menghasilkan K dan L yang berbeda. Hal tersebut dipengaruhi

58 43 oleh adanya perbedaan panjang maksimum ikan yang diperoleh ketika melakukan pengambilan contoh. Selain itu, perbedaan waktu pengamatan serta perubahan kondisi perairan menjadi faktor eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan ikan biji nangka di perairan tersebut. Berdasarkan kurva pertumbuhan ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa (Gambar 9) ketika ikan berumur 30 bulan, secara teoritis panjang total ikan adalah mm. Pada kurva terlihat bahwa laju pertumbuhan ikan biji nangka tidak sama selama rentang hidupnya. Ikan berumur muda memilki laju pertumbuhan yang lebih cepat dari pada ikan yang berumur tua. Cepatnya pertumbuhan dan pendeknya umur ikan biji nangka menunjukkan laju kematian yang cukup tinggi. Hal tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pengelola sumberdaya perikanan dalam penyusunan rencana pengelolaan perikanan agar memperhatikan pemanfaatannya secara berkelanjutan (Suman et al. 2006) Mortalitas dan laju eksploitasi Laju mortalitas total (Z) ikan biji nangka adalah 2.18 per tahun dengan laju mortalitas alami (M) adalah 0.32 per tahun. Mortalitas alami dipengaruhi oleh pemangsaan, penyakit, kelaparan, dan usia. Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan von Bertallanffy yaitu K dan L. Ikan yang pertumbuhannya cepat (nilai K tinggi) mempunyai nilai M tinggi dan begitu juga sebaliknya. Ketika suhu rata-rata perairan meningkat nilai M juga akan meningkat, begitu juga sebaliknya. Namun semakin panjang L maka nilai M akan menurun, karena semakin lama ikan tersebut mencapai panjang maksimum diduga penyebab kematiannya yang paling dominan adalah penangkapan bukan mati secara alami. Menurut Pauly (1984), faktor lingkungan yang mempengaruhi nilai M adalah suhu rata-rata perairan selain faktor panjang maksimum secara teoritis (L ) dan laju pertumbuhan (K). Laju mortalitas penangkapan (F) yang didapatkan sebesar 1.86 per tahun, dimana nilai F jika dibandingkan nilai M, maka nilainya jauh lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa faktor kematian ikan biji nangka lebih besar disebabkan karena kegiatan penangkapan. Menurut Sparre & Venema (1999), mortalitas alami dipengaruhi oleh pemangsaan, penyakit, stress, pemijahan, kelaparan, dan usia tua.

59 44 Selanjutnya laju eksploitasi (E) ikan biji nangka yang diperoleh dari perbandingan mortalitas penangkapan (F) dan mortalitas total (Z) sebesar 0.85 artinya 85 % kematian ikan biji nangka di perairan Perairan Utara Jawa akibat penangkapan. Nilai laju eksploitasi ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa sudah melebihi nilai optimum. Laju eksploitasi optimum suatu sumberdaya adalah 0.5 (Gulland 1971 in Pauly 1984). Tabel 8. Laju mortalitas dan laju penangkapan ikan biji nangka dari beberapa hasil penelitian Sumber Lokasi M (tahun -1 ) F (tahun -1 ) E (tahun -1 ) Dwiponggo et al. (1979) Syamsiyah (2010) Perairan Utara Jawa Tengah Perairan Utara Jawa Timur Penelitian yang dilakukan oleh Dwiponggo et al. (1979) menunjukkan mortalitas ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa Tengah sebagian besar diakibatkan faktor alami seperti umur, penyakit, dan predator. Penelitian tersebut juga menunjukkan pada tahun 1979 aktivitas penangkapan ikan biji nangka tidak terlalu tinggi, hal tersebut ditunjukkan pula nilai laju eksploitasinya sebesar 0.34 per tahun, jauh di bawah nilai laju eksploitasi optimum yaitu E= 0.5 (Gulland 1971 in Pauly 1984). Berdasarkan kedua hasil penelitian di atas, diduga jumlah upaya penangkapan (effort) di Perairan Utara Jawa Timur pada tahun 2010 lebih banyak dibandingkan jumlah upaya penangkapan di Perairan Utara Jawa Tengah pada tahun Selain itu, seiring dengan berkembangnya teknologi penangkapan ikan maka teknologi alat tangkap yang digunakan oleh nelayanpun semakin berkembang dan jumlah unit atau trip upaya penangkapannya juga semakin bertambah Model stok ikan biji nangka Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa hasil tangkapan ikan biji nangka dan upaya penangkapan berupa alat tangkap dogol dari tahun cenderung mengalami peningkatan, jika dilihat dari hasil tangkapan per upayanya cenderung mengalami

60 45 penuruanan seperti yang disajikan pada Gambar 15. Peningkatan jumlah upaya penangkapan ini dikhawatirkan dapat mengancam kelestarian ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa khususnya wilayah Jawa Timur. Oleh karena itu, perlu dilakukan pendugaan lebih lanjut mengenai jumlah upaya penangkapan optimum sehingga dihasilkan penangkapan maksimum lestari atau disebut dengan istilah MSY. Berdasarkan grafik regresi linier antara effort per tahun dengan CPUE menggunakan model Schaefer dan Fox (Gambar 11 dan Gambar 12) didapatkan koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 50 % dan 44 %. Koefisien determinasi model Fox lebih kecil dari pada koefisien determinasi model Schaefer. Hal ini menunjukkan model Schaefer lebih cocok digunakan untuk menggambarkan dinamika stok ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa pada periode CPUE (ton/unit) Tahun Gambar 15. Tangkapan per satuan upaya ikan biji nangka di PPN Brondong Potensi lestari merupakan suatu parameter pengelolaan yang dihasilkan dalam pengkajian stok sumber daya perikanan dan merupakan suatu unsur penunjang bagi peluang pengembangan di suatu wilayah (Badrudin 1992 in Suman 2006). Hasil analisis model stok ikan biji nangka yang mengikuti model Schaefer memperoleh nilai upaya penangkapan optimum (f msy ) sebesar unit per tahun dengan jumlah tangkapan maksimum lestari (MSY) sebesar ton per tahun dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC) sebesar ton per tahun.

61 46 Berdasarkan Gambar 13 secara umum menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa bagian timur di bawah potensi lestarinya (MSY) kecuali pada tahun , sedangkan pada tahun 2007 hingga tahun 2009 jumlah tangkapan di PPN Brondong melebihi jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC) sebesar ton per tahun. Jumlah upaya penangkapan ikan biji nangka cenderung meningkat dari tahun ke tahun, namun jumlah tersebut belum melebihi jumlah upaya optimum kecuali pada tahun 2008 dan Menurut Widodo & Suadi (2006) beberapa ciri yang dapat menjadi patokan suatu perikanan sedang menuju kondisi upaya tangkap lebih adalah waktu melaut menjadi lebih panjang dari biasanya, lokasi penangkapan menjadi lebih jauh, ukuran mata jaring menjadi lebih kecil yang kemudian diikuti penurunan produktivitas (hasil tangkapan per satuan upaya). Berdasarkan tangkapan per satuan upaya ikan biji nangka di PPN Brondong (Gambar 15) menunjukkan adanya trend (kecenderungan) yang menurun. Menurut Sukamto (2010), analisis hasil tangkapan yang telah dilaksanakan di PPN Brondong terhadap sumberdaya ikan mata besar (Priacanthus tayenus Richardson, 1846) diperoleh model stok dengan pendekatan Fox. Dari model tersebut, upaya penangkapan optimum yang diperoleh sebesar unit lebih kecil dari upaya penangkapan optimum dengan pendekatan Schaefer. Oleh karena itu, untuk pengelolaan perikanan yang bersifat multispesies dengan alat tangkap yang sama digunakan pendekatan Fox. Pertimbangannya, jika dalam pelaksanaannya digunakan upaya penangkapan optimum dengan model Schaefer maka kelestarian sumberdaya ikan mata besar akan terancam Alternatif pengelolaan perikanan biji nangka JICA (2009 c ) menyebutkan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan menunjuk pada makna tanpa melakukan penangkapan sama sekali belum tentu dapat mengamankan stok sumberdaya ikan di lautan, akan tetapi dalam kondisi yang berkesinambungan dapat dilakukan penangkapan ikan dalam volume penangkapan terbesar (MSY : Total Potensi Lestari), sehingga kegiatan penangkapan dan kegiatan pecegahan dalam rangka mempertahankan volume sumberdaya alam di lautan dapat

62 47 berlangsung secara berkesinambungan. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan terdapat dua garis besar metode pengelolaan pemanfaatan sumberdaya ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa bagian timur, yaitu pengontrolan ukuran ikan biji nangka yang tertangkap dan pengontrolan jumlah penangkapan. a. Pengontrolan ukuran ikan biji nangka yang tertangkap Terdapat dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengontrol ukuran ikan biji nangka yang tertangkap. Pertama, memodifikasi alat tangkap yang digunakan agar lebih selektif sehingga ikan-ikan yang berukuran kecil dan ukuran pertama kali matang gonad tidak ikut tertangkap, penentuan mesh size mata jaring pada bagian kantong yang disarankan minimal 2.0 inchi. Penentuan ini berdasarkan kondisi di lapangan pada saat pengamatan, ikan biji nangka berukuran 110 mm hingga 120 mm banyak tertangkap dan didaratkan di PPN Brondong, secara ekonomi ikan yang berukuran tersebut tidak bernilai ekonomis bahkan sering kali para bakul dan nelayan membuangnya kembali ke laut. Selain secara ekonomis tidak memberikan keuntungan, secara ekologis ikan biji nangka berukuran mm merupakan ukuran pertama kali memijah sehingga ikan yang berukuran tersebut tidak sepatutnya ikut tertangkap menurut (Herianti & Subani 1993). Sekitar 55 % dari jumlah total contoh ikan yang diambil merupakan ukuran pertama kali matang gonad. Hal ini diduga karena masih terdapat nelayan yang menggunakan jaring dogol dengan mesh size 1.25 inchi hingga 1.50 inchi pada bagian kantong, sehingga banyak ikan berukuran kecil dan belum sempat memijah ikut tertangkap. Kedua, pemberlakuan waktu penangkapan dengan tidak melakukan penangkapan pada bulan Januari hingga Februari karena pada bulan-bulan tersebut merupakan musim pemijahan ikan biji nangka (Sumiono & Nuraini 2007). Dalam pengelolaan sumberdaya ikan, sehubungan dengan umur dan laju pertumbuhan serta kematian yang perlu diperhatikan adalah kapan waktu yang tepat untuk menangkap ikan biji nangka, baik ditinjau dari sumberdayanya maupun dari segi ekonominya. Jika terlambat melakukan penangkapan sumberdaya ikan biji nangka akan mati percuma, sedangkan jika terlalu cepat menangkap secara ekonomi dan kelestarian sumberdaya juga kurang menguntungkan (Suman et al. 2006).

63 48 b. Pengontrolan jumlah upaya penangkapan ikan biji nangka Laju eksploitasi ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa sudah mengindikasikan adanya over eksploitasi. Hal ini juga dapat dilihat pada hasil tangkapan per unit effort yang menunjukkan trend menurun sejak tahun Jumlah upaya penangkapan ikan biji nangka cenderung meningkat dari tahun ke tahun, pada tahun 2008 dan 2009 jumlah upaya penangkapan sudah melebihi jumlah optimumnya. Peningkatan upaya penangkapan diikuti dengan jumlah tangkapan yang melebihi nilai MSY pada tahun Strategi yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya pemanfaatan sumberdaya ikan biji nangka yang berlebihan dan bersifat destruktif perlu dilakukan suatu pengelolaan sehingga menjamin produktivitas serta pemanfaatan terhadap sumberdaya ikan biji nangka tetap lestari dan berkelanjutan. Untuk pengelolaan perikanan yang bersifat multispesies dengan satu jenis alat tangkap, pendekatan Fox akan lebih sesuai diterapkan dengan memberlakukan jumlah upaya penangkapan tidak lebih dari unit. Dengan demikian, selain ikan biji nangka sumberdaya ikan lainnya akan tetap terjaga kelestariannya. Dari dua garis besar metode pengelolaan pemanfaatan sumberdaya ikan biji nangka di atas, maka yang dapat diaplikasikan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan biji nangka secara berkelanjutan di Perairan Utara Jawa adalah pengontrolan ukuran ikan biji nangka yang tertangkap. Pengontrolan atau pembatasan jumlah upaya penangkapan ikan biji nangka sulit untuk dilaksanakan, karena akan timbul beberapa dampak terutama dari segi sosial ekonomi bagi kehidupan nelayan di PPN Brondong.

64 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Pada penelitian ini dapat disimpulkan : 1. Ikan biji nangka (U. sulphureus Cuvier, 1829) di Perairan Utara Jawa memilki pola pertumbuhan allometrik negatif yang menunjukkan bentuk tubuh yang cenderung kurus karena pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan pertumbuhan bobot. Persamaan pertumbuhan von Bertalanffy ikan biji nangka adalah L t = [1 e (-0.28(t+0.55)) ]. 2. Laju mortalitas ikan biji nangka sebagian besar disebabkan aktifitas penangkapan dengan laju eskploitasinya sebesar 0.85 per tahun yang menunjukkan adanya overeksploitasi. 3. Model stok ikan biji nangka mengikuti model Schaefer yaitu upaya penangkapan tidak lebih dari unit alat tangkap dogol per tahun dengan harapan jumlah maksimum tangkapan lestari sebesar ton per tahun dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebesar ton per tahun. 4. Alternatif pengelolaan pemanfaatan sumberdaya ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa melalui pengontrolan ukuran ikan biji nangka yang tertangkap dengan dua pendekatan, yaitu pengaturan ukuran mata jaring bagian kantong pada alat tangkap dogol dan tidak melakukan kegiatan penangkapan pada musim pemijahan Saran Dalam penelitian selanjutnya disarankan untuk dilakukan penelitan dan kajian mengenai dinamika stok ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa dengan pendekatan bioekonomi, diperlukan juga kajian yang sama pada musim berbeda yaitu mewakili musim timur.

65 DAFTAR PUSTAKA Beverton RJH & Holt SJ On the dynamics of exploited fish population. Her Majessty s Statinery Office. London. 533 p. [BRKP-DKP] Badan Riset Kelautan dan Perikanan Pengkajian stok ikan di perairan Indonesia. Pusat Riset Perikanan Tangkap, Puasat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, LIPPI. Jakarta. 124 hlm. Boer M Pendugaaan koefisien pertumbuhan (L, K, t 0 ) berdasarkan data frekuensi panjang. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia IV (1): Boer M & Azis KAA Prinsip-prinsip dasar pengelolaan sumberdaya perikanan melalui pendekatan bio ekonomi. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia III (2): Busacker GP, Adelman IR, & Goolish EM Growth. p in Schreck, C. B and P. B. Moyle (editor), Methods for Fish Biology. American Fisheries Society, Maryland. USA. [Ditjen Tangkap-DKP] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Laporan kegiatan pemantauan produktivitas alat tangkap tahun PPN Brondong. Lamongan. 103 hlm. [Ditjen Tangkap-DKP] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Laporan kegiatan pemantauan produktivitas alat tangkap tahun PPN Brondong. Lamongan. 103 hlm. Dowdy S, Weardon S, & Chiko D Statistics for reasearch third edition. A John Willey & Sons Inc. Hoboken, New Jersey. 627 p. Durand JR & Petit D The Java Sea environment. P In : Potier M & Nurhakim S. Biology, dynamics, exploitation of the small pelagic fishes in the Java Sea. 256 p. Dwiponggo A, Hariati T, Banon S, Palomares ML, & Pauly D Growth, mortality, and recruitment of commercially important fishes and Penaeid shrimps in Indonesian waters. ICLARM, Manila, Philippines p. Effendie MI Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 hlm. [FAO] Food and Agriculture Organization Code of conduct for responsible fisheries. FAO. Rome, Italy. 41p. Fahmi Fauna ikan demersal di Teluk Kwandang, Kecamatan Kwandang, Kabupaten Gorontalo, Sulawesi Utara. Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. 26 hlm. Genisa AS Komunitas ikan di Perairan Selat Sunda, Jawa Barat. Pesisir dan Pantai Indonesia X (8) :

66 51 Gulland JA Fish stock assessment: a manual of basic methods, volume 1. John Willey & Sons, inc. New York, USA. xii p. Hanan FA Kajian awal peningkatan status Pelabuhan Perikanan Nusantara (tipe B) di Brondong Lamongan menjadi Pelabuhan Perikanan Nusantara (tipe A) ditinjau dari teknis operasional [skripsi]. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 67 hlm. Herianti I & Subani W Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad beberapa jenis ikan demersal di Perairan Utara Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Laut (78) : Ingles J & Pauly D An atlas of the growth, mortality and recruitment of Philippines fishes. ICLARM, Manila, Philippines. 127 p. [terhubung berkala]. [7 April 2010]. [JICA] Japan International Cooperation Agency a. Indonesian fishing ports JICA, MMAF, DGCF. Jakarta. 209 hlm. [JICA] Japan International Cooperation Agency b. Indonesian fisheries book JICA, MMAF. Jakarta. 83 hlm. [JICA] Japan International Cooperation Agency c. Pengelolaan sumberdaya perikanan. JICA, DKP. Jakarta. 70 hlm. Kharat SS, Khillare YK & Dahanukar N Allometric scallingin growth and reproduction of a freshwater loach Nemacheilus mooreh (Sykes 1839). Electric Journal of Ichtiology, Volume1: April, p [terhubung berkala]. [7 April 2010]. King M Fishery biology, assessment, and management. Fishing News Books. London. 341p. Koeshendrajana S Tipologi sumberdaya kelautan dan perikanan : isu dan permasalahan. Dinamika pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, Bunga Rampai Hasil-Hasil Riset. BRKP, DKP. Jakarta. 78 hlm. Lelono TD Dinamika populasi dan biologi ikan lemuru (Sardinella lemuru) yang tertangkap dengan purse seine di Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi Trenggalek, p In:Isnansetyo A, Soeparno, Murwantoko, Yusuf IBL, Djumanto, Saksono H, Dewi IP, Setyobudi E, Prabasunu N, Budhiyanti SA, Ekantari N, Ptiyono SB (editor). Prosiding: Seminar nasional tahunan IV hasil penelitian perikanan dan kelautan 28 Juli Departemen Perikanan dan Kelautan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Pauly D Fish population dynamic in tropical waters : a manual for use with programmable calculators. ICLARM Manila. 325p. Phraba YS & Manjulatha C Food and feeding habits of Upeneus vittatus (Forskall 1755) from Visakhapatnam coast (Andhra Pradesh) of India. International Journal of Zoological Research 4 (1) :

67 52 Randall JE & Kulbicki M A review of the goatfishes of the genus Upeneus (perciformes: mullidae) from New Caledonia and the Chesterfield Bank, with a new species and four new records. [terhubung berkala]. [3 Desember 2009]. Satria H & Kartamihardja ES (2002). Sebaran panjang total dan kebiasaan makan yuwana ikan payangka (Ophiocara porocephala). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Edisi Sumberdaya dan Penangkapan VIII (1) : Setiawan I Studi pemanfaatan sumberdaya ikan dan analisa pendapatan nelayan Brondong, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan, Universitas Brawijaya. Malang. 70 hlm. Sjafei DS & Susilawati R Beberapa aspek biologi ikan biji nangka (Upeneus moluccensis Blkr.) di perairan Teluk Labuan, Banten. Jurnal Iktiologi Indonesia I (1) : Sparre P & Venema SC Introduksi pengkajian stok ikan tropis buku- i manual [Terjemahan dari Introduction to tropical fish stock assesment part I). Kerjasama Organisasi Pangan, Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penalitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 438 hlm. Sudirman & Mallawa A Teknik penangkapan ikan. PT Rineka Cipta. Jakarta. 167 hlm. Sukamto O Studi dinamika stok ikan mata besar (Priacanthus tayenus Richardson, 1846) di Pantai Utara Jawa yang didaratkan di Pelabuahan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur [skripsi ; dalam proses]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 80 hlm. Sukimin S, Andi IS, Vitner Y, Ernawati Y Modul praktikum biologi perikanan. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 48 hlm. Suman A, Monintja DR, Haluan J, & Boer M Pola pemanfaatan sumberdaya udang dogol (Metapenaeus ensis de haan) secara berkelanjutan di perairan Cilacap dan sekitarnnya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, edisi Sumberdaya dan Penangkapan XII (1) : Sumiono B & Nuraini S Beberapa parameter biologi ikan kuniran (Upeneus sulphureus) hasil tangkapan cantrang yang didaratkan di Brondong Jawa. Jurnal Iktiologi Indonesia VII (2) : Widayanti NR Implementasi pengawasan keamanan pangan hasil perikanan terhadap usaha ikan asin di Desa Brondong, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur [skripsi]. Departemen Sosial Ekonomi Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 61 hlm.

68 53 Widodo J & Suadi Pengelolaan sumberdaya perikanan laut. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 252 hlm. Wijopriono & Genisa AS Perikanan pelagis di Perairan Pantai Utara Pekalongan, Jawa Tengah. Pesisir dan Pantai Indonesia X (8) : Wiyono ES Optimalisasi manajemen perikanan skala kecil di Teluk Palabuhanratu, Jawa Barat [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 102 hlm. Upeneus sulphureus. [terhubung berkala]. com/ Summary/ species Summary. php? ID=4445& genusname= Upeneus& speciesname = sulphureus&lang =. [3 Desember 2009]. Upeneus sulphureus. [terhubung berkala]. aquamaps. org/ receive. php. [13 Desember 2009].

69 LAMPIRAN

70 55 Lampiran 11. Alat-alat dan d bahan yang y digunaakan Meeteran Tiimbangan Kamera digital d Ikan biji nangka n

71 56 Lampiran 2. Teladan kuesioner nelayan ikan biji nangka yang telah diisi Hari/Tanggal wawancara : 7 Februari 2010 Nama nelayan : M. Nursalim *(pemilik kapal / pekerja) Usia : 35 tahun Alamat : Brondong Jumlah tanggungan : - Jenis nelayan : Penuh / musiman Jenis alat tangkap : Dogol Spesifikasi panjang : Lebar : 15 m Tinggi : 50 m Ukuran mata jaring : 1.5 inchi 4 inchi Jenis perahu : Kapal motor Bobot perahu : 15 GT Jumlah ABK : 15 orang Daerah penangkapan : Masalimbu Biaya operasional : ± Rp ,- per trip Jenis ikan yang paling banyak ditangkap : ikan biji nangka, swanggi, cumicumi, kakap, layur. Info lain : - Nama kapal : Raja Jasa Musim penangkapan : Sepanjang tahun Keterangan : *Coret yang tidak perlu

72 57 Lampiran 3. Data panjang dan bobot ikan biji nangka pada setiap pengambilan contoh Minggu Senin Selasa Rabu Kamis Jum at Sabtu 7 Februari Februari Februari Maret Maret Maret Maret 2010 Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g) , ,

73 58 Lampiran 3 (Lanjutan) Minggu Senin Selasa Rabu Kamis Jum at Sabtu 07 Februari Februari Februari Maret Maret Maret Maret 2010 Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g) ,

74 59 Lampiran 3 (Lanjutan) Minggu Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu 07 Februari Februari Februari Maret Maret Maret Maret 2010 Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g)

75 60 Lampiran 3 (Lanjutan) Minggu Senin Selasa Sampling 4 Rabu Kamis Jum at 07 Februari Februari Februari Maret Maret Maret Maret 2010 Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g)

76 61 Lampiran 3 (Lanjutan) Minggu Senin Selasa Rabu Kamis Jum at Sabtu 07 Februari Februari Februari Maret Maret Maret Maret 2010 Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g)

77 e Lampiran 3 (Lanjutan) Minggu Senin Selasa Rabu Kamis Jum at Sabtu 07 Februari Februari Februari Maret Maret Maret Maret 2010 Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g) Panjang (cm) Bobot (g)

78 63 Lampiran 4. Uji statistik nilai b ikan biji nangka (Upeneus sulphureus) di Perairan Utara Jawa pada pengambilan contoh I Waktu pengambilan contoh : 7 Februari 2010 Ukuran contoh (n) : 150 ekor Diketahui: b (nilai pola pertumbuhan ikan biji nangka) : 2.52 Sb (standard eror nilai b) : yw= L 2.52 R² = 0.89 Bobot (g) Panjang total (mm) Contoh perhitungan pengambilan contoh I : H 0 : b = 3 H 1 : b 3 t t tabel untuk selang kepercayaan 95% dengan derajat bebas 148 = oleh karena t hitung > t tabel maka tolak hipotesis nol (H 0 ) dan terima (H 1 ): b 3 Artinya pola pertumbuhan ikan biji nangka bersifat allometrik negatif pada selang kepercayaan 95%

79 64 Lampiran 5. Uji statistik nilai b ikan biji nangka (Upeneus sulphureus) di Perairan Utara Jawa pada pengambilan contoh II Waktu pengambilan contoh : 15 Februari 2010 Ukuran contoh (n) : 150 ekor Diketahui: b (nilai pola pertumbuhan ikan biji nangka) : 2.68 Sb (standard eror nilai b) : W = 7E-05L 2.68 R² = 0.96 Bobot (g) Panjang total (mm) Contoh perhitungan pengambilan contoh II : H 0 : b = 3 H 1 : b t t tabel untuk selang kepercayaan 95% dengan derajat bebas 148 = oleh karena t hitung > t tabel maka tolak hipotesis nol (H 0 ) dan terima (H 1 ): b 3 Artinya pola pertumbuhan ikan biji nangka bersifat allometrik negatif pada selang kepercayaan 95%

80 65 Lampiran 6. Uji statistik nilai b ikan biji nangka (Upeneus sulphureus) di Perairan Utara Jawa pada pengambilan contoh III Waktu pengambilan contoh : 23 Februari 2010 Ukuran contoh (n) : 150 ekor Diketahui: b (nilai pola pertumbuhan ikan biji nangka) : 2.73 Sb (standard eror nilai b) : W = 5E-05L 2.73 R² = 0.93 Bobot (g) Panjang total (mm) Contoh perhitungan pengambilan contoh III : H 0 : b = 3 H 1 : b t t tabel untuk selang kepercayaan 95% dengan derajat bebas 148 = oleh karena t hitung > t tabel maka tolak hipotesis nol (H 0 ) dan terima (H 1 ): b 3 Artinya pola pertumbuhan ikan biji nangka bersifat allometrik negatif pada selang kepercayaan 95%

81 66 Lampiran 7. Uji statistik nilai b ikan biji nangka (Upeneus sulphureus) di Perairan Utara Jawa pada pengambilan contoh IV Waktu pengambilan contoh : 3 Maret 2010 Ukuran contoh (n) : 150 ekor Diketahui: b (nilai pola pertumbuhan ikan biji nangka) : 2.51 Sb (standard eror nilai b) : Bobot (g) W = L 2.51 R² = Panjang total (mm) Contoh perhitungan pengambilan contoh IV : H 0 : b = 3 H 1 : b t t tabel untuk selang kepercayaan 95% dengan derajat bebas 148 = oleh karena t hitung > t tabel maka tolak hipotesis nol (H 0 ) dan terima (H 1 ): b 3 Artinya pola pertumbuhan ikan biji nangka bersifat allometrik negatif pada selang kepercayaan 95%

82 67 Lampiran 8. Uji statistik nilai b ikan biji nangka (Upeneus sulphureus) di Perairan Utara Jawa pada pengambilan contoh V Waktu pengambilan contoh : 11 Maret 2010 Ukuran contoh (n) : 150 ekor Diketahui: b (nilai pola pertumbuhan ikan biji nangka) : 2.64 Sb (standard eror nilai b) : W = 8E-05L 2.64 R² = 0.95 Bobot (g) Panjang total (mm) Contoh perhitungan pengambilan contoh V : H 0 : b = 3 H 1 : b t t tabel untuk selang kepercayaan 95% dengan derajat bebas 148 = oleh karena t hitung > t tabel maka tolak hipotesis nol (H 0 ) dan terima (H 1 ): b 3 Artinya pola pertumbuhan ikan biji nangka bersifat allometrik negatif pada selang kepercayaan 95%

83 68 Lampiran 9. Uji statistik nilai b ikan biji nangka (Upeneus sulphureus) di Perairan Utara Jawa pada pengambilan contoh VI Waktu pengambilan contoh : 19 Maret 2010 Ukuran contoh (n) : 150 ekor Diketahui: b (nilai pola pertumbuhan ikan biji nangka) : 2.39 Sb (standard eror nilai b) : W = L 2.39 R² = 0.93 Bobot (g) Panjang total (mm) Contoh perhitungan pengambilan contoh VI : H 0 : b = 3 H 1 : b t t tabel untuk selang kepercayaan 95% dengan derajat bebas 148 = oleh karena t hitung > t tabel maka tolak hipotesis nol (H 0 ) dan terima (H 1 ): b 3 Artinya pola pertumbuhan ikan biji nangka bersifat allometrik negatif pada selang kepercayaan 95%

84 69 Lampiran 10. Uji statistik nilai b ikan biji nangka (Upeneus sulphureus) di Perairan Utara Jawa pada pengambilan contoh VII Waktu pengambilan contoh : 27 Maret 2010 Ukuran contoh (n) : 150 ekor Diketahui: b (nilai pola pertumbuhan ikan biji nangka) : 2.40 Sb (standard eror nilai b) : W= L 2.40 R² = 0.89 Bobot (g) Panjang total (mm) Contoh perhitungan pengambilan contoh VII : H 0 : b = 3 H 1 : b t t tabel untuk selang kepercayaan 95% dengan derajat bebas 148 = oleh karena t hitung > t tabel maka tolak hipotesis nol (H 0 ) dan terima (H 1 ): b 3 Artinya pola pertumbuhan ikan biji nangka bersifat allometrik negatif pada selang kepercayaan 95%

85 70 Lampiran 11. Sebaran frekuensi panjang dianalisis menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) yang dikemas dalam paket program FiSAT II (FAO-ICLARM Stok Assesment Tool) pada pengambilan contoh I a. Sebaran frekuensi panjang pada masing-masing kelas Selang kelas BB BA xi fi

86 71 Lampiran 11 (Lanjutan) b. Print screen sebaran frekuensi panjang menggunakan metode NORMSEP dengan program FiSAT II pada pengambilan contoh I

87 72 Lampiran 12. Sebaran frekuensi panjang dianalisis menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) yang dikemas dalam paket program FiSAT II (FAO-ICLARM Stok Assesment Tool) pada pengambilan contoh II a. Sebaran frekuensi panjang pada masing-masing kelas Selang kelas BB BA xi fi

88 73 Lampiran 12 (Lanjutan) b. Print screen sebaran frekuensi panjang menggunakan metode NORMSEP dengan program FiSAT II pada pengambilan contoh II

89 74 Lampiran 13. Sebaran frekuensi panjang dianalisis menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) yang dikemas dalam paket program FiSAT II (FAO-ICLARM Stok Assesment Tool) pada pengambilan contoh III a. Sebaran frekuensi panjang pada masing-masing kelas Selang kelas BB BA xi fi

90 75 Lampiran 13 (Lanjutan) b. Print screen sebaran frekuensi panjang menggunakan metode NORMSEP dengan program FiSAT II pada pengambilan contoh III

91 76 Lampiran 14. Sebaran frekuensi panjang dianalisis menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) yang dikemas dalam paket program FiSAT II (FAO-ICLARM Stok Assesment Tool) pada pengambilan contoh IV a. Sebaran frekuensi panjang pada masing-masing kelas Selang kelas BB BA xi fi

92 77 Lampiran 14 (Lanjutan) b. Print screen sebaran frekuensi panjang menggunakan metode NORMSEP dengan program FiSAT II pada pengambilan contoh IV

93 78 Lampiran 15. Sebaran frekuensi panjang dianalisis menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) yang dikemas dalam paket program FiSAT II (FAO-ICLARM Stok Assesment Tool) pada pengambilan contoh V a. Sebaran frekuensi panjang pada masing-masing kelas Selang kelas BB BA xi fi

94 79 Lampiran 15 (Lanjutan) b. Print screen sebaran frekuensi panjang menggunakan metode NORMSEP dengan program FiSAT II pada pengambilan contoh V

95 80 Lampiran 16. Sebaran frekuensi panjang dianalisis menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) yang dikemas dalam paket program FiSAT II (FAO-ICLARM Stok Assesment Tool) pada pengambilan contoh VI a. Sebaran frekuensi panjang pada masing-masing kelas Selang kelas BB BA xi fi

96 81 Lampiran 16 (Lanjutan) b. Print screen sebaran frekuensi panjang menggunakan metode NORMSEP dengan program FiSAT II pada pengambilan contoh VI

97 82 Lampiran 17. Sebaran frekuensi panjang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) yang dikemas dalam paket program FiSAT II (FAO-ICLARM Stok Assesment Tool) pada pengambilan contoh VII a. Sebaran frekuensi panjang pada masing-masing kelas Selang kelas BB BA xi fi

98 83 Lampiran 17 (Lanjutan) b. Print screen sebaran frekuensi panjang menggunakan metode NORMSEP dengan program FiSAT II pada pengambilan contoh VII

99 84 Lampiran 18. Pendugaan parameter pertumbuhan (L, K, dan t 0 ) dengan metode Ford walford menggunakan program ELEFAN I dalam software FiSAT III L = mm K = 0.28 per tahun Keterangan: L = Panjang maksimal (milimeter) K = Koefisien pertumbuhan ( per tahun) t 0 = Umur hipotesis ikan padapanjang nol (tahun)

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Perciformes

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Perciformes 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Biji Nangka 2.1.1. Klasifikasi Ikan biji nangka merupakan anggota dari famili Mullidae yang dikenal dengan nama goatfish. Menurut Cuvier (1829) in www.fishbase.org (2009)

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian. 14 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di PPI Labuan, Provinsi Banten. Ikan contoh yang diperoleh dari PPI Labuan merupakan hasil tangkapan nelayan disekitar perairan Selat

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1. 1.Kondisi umum Perairan Utara Jawa Perairan Utara Jawa dulu merupakan salah satu wilayah perikanan yang produktif dan memilki populasi penduduk yang padat. Panjang

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai dinamika stok ikan peperek (Leiognathus spp.) dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi

Lebih terperinci

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). 7 spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). Ikan kembung lelaki terdiri atas ikan-ikan jantan dan betina, dengan

Lebih terperinci

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004).

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004). 24 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2011 sampai dengan bulan Oktober 2011. Lokasi penelitian berada di Selat Sunda, sedangkan pengumpulan data dilakukan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis). 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kuniran 2.1.1 Klasifikasi Ikan Kuniran Upeneus moluccensis, Bleeker 1855 Dalam kaitan dengan keperluan pengkajian stok sumberdaya ikan, kemampuan untuk mengidentifikasi spesies

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran Klasifikasi dan tata nama

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran Klasifikasi dan tata nama 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran 2.1.1. Klasifikasi dan tata nama Menurut www.fishbase.org (2010) taksonomi ikan kuniran (Gambar 2) dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan Teluk Banten Perairan Karangantu berada di sekitar Teluk Banten yang secara geografis terletak pada 5 0 49 45 LS sampai dengan 6 0 02

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di TPI Cilincing, Jakarta Utara. Pengambilan data primer berupa pengukuran panjang dan bobot ikan contoh yang ditangkap

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU i ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU DESI HARMIYATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di PPN Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat (Gambar 2). Pengambilan data primer dilakukan selama tiga bulan dari tanggal

Lebih terperinci

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 9 dan MSY adalah: Keterangan : a : Perpotongan (intersept) b : Kemiringan (slope) e : Exponen Ct : Jumlah tangkapan Ft : Upaya tangkap (26) Model yang akan digunakan adalah model yang memiliki nilai korelasi

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi perairan pesisir Banten yaitu perairan PLTU-Labuan Teluk Lada dan Teluk Banten Bojonegara, Provinsi Banten.

Lebih terperinci

3.3 Pengumpulan Data Primer

3.3 Pengumpulan Data Primer 10 pada bagian kantong, dengan panjang 200 m dan lebar 70 m. Satu trip penangkapan hanya berlangsung selama satu hari dengan penangkapan efektif sekitar 10 hingga 12 jam. Sedangkan untuk alat tangkap pancing

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 32 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Ikan Kurisi di Perairan Teluk Banten Penduduk di sekitar Teluk Banten kebanyakan memiliki profesi sebagai nelayan. Alat tangkap yang banyak digunakan oleh para nelayan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakasanakan mulai awal bulan Maret sampai bulan Mei, dengan interval pengambilan data setiap dua minggu. Penelitian berupa pengumpulan

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun Kepulauan Seribu (Gambar 2). Lokasi pengambilan contoh dilakukan di perairan yang

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rajungan (Portunus pelagicus) Menurut www.zipcodezoo.com klasifikasi dari rajungan adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Malacostrata Ordo : Decapoda

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta, terletak di sebelah utara kota Jakarta, dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan dangkal Karang Congkak, Kepulauan Seribu, Jakarta. Pengambilan contoh ikan dilakukan terbatas pada daerah

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang 2.1.1. Klasifikasi dan tata nama Menurut www.fishbase.org (2009) taksonomi ikan tembang (Gambar 3) diklasifikasikan sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum :

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki

Lebih terperinci

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN IKAN KUNIRAN

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN IKAN KUNIRAN KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus Cuvier 1829) DENGAN MENGGUNAKAN SIDIK FREKUENSI PANJANG YANG DIDARATKAN DI TPI CILINCING JAKARTA AUSTIN EFFLIN WINDA RUTH SKRIPSI

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung TINJAUAN PUSTAKA Ikan Kembung (Rastrelliger spp.) Ikan Kembung merupakan salah satu ikan pelagis yang sangat potensial di Indonesia dan hampir seluruh perairan Indonesia ikan ini tertangkap dalam jumlah

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut :

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846)  (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut : 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) www.fishbase.org (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 2.2. Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 2.2. Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pengelolaan perikanan adalah proses terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 19 Dimana : Log m = logaritma dari panjang pada kematangan yang pertama Xt = logaritma nilai tengah panjang ikan 50% matang gonad x = logaritma dari pertambahan nilai tengah panjang pi = jumlah matang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas 30 mm 60 mm PENDAHULUAN Ekonomis & Ekologis Penting R. kanagurta (kembung lelaki) ~ Genus Rastrelliger spp. produksi tertinggi di Provinsi Banten, 4.856,7 ton pada tahun 2013, menurun 2.5% dari tahun 2010-2013

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii : Perciformes

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii : Perciformes 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Umum Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus) Ikan kurisi merupakan salah satu ikan yang termasuk kelompok ikan demersal. Ikan ini memiliki ciri-ciri tubuh yang berukuran

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Organ reproduksi Jenis kelamin ikan ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan dan selanjutnya ditentukan tingkat kematangan gonad pada tiap-tiap

Lebih terperinci

2. METODOLOGI PENELITIAN

2. METODOLOGI PENELITIAN 2. METODOLOGI PENELITIAN 2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian terdiri dari lokasi pengambilan udang mantis contoh dan lokasi pengukuran sumber makanan potensial udang mantis melalui analisis

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian 21 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan dan pengumpulan data di lapangan dilakukan pada Bulan Maret sampai dengan April 2009. Penelitian dilakukan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH 1,2) Urip Rahmani 1, Imam Hanafi 2, Suwarso 3 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR 1 PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR (Trichiurus sp.) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT Adnan Sharif, Silfia Syakila, Widya Dharma Lubayasari Departemen Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci

KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA, PROVINSI DKI JAKARTA

KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA, PROVINSI DKI JAKARTA KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA, PROVINSI DKI JAKARTA YOGI MAULANA MALIK PERDANAMIHARDJA SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT

STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT Umi Chodrijah 1, Agus Arifin Sentosa 2, dan Prihatiningsih 1 Disampaikan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan morfologi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan morfologi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang 2.1.1. Klasifikasi dan morfologi Menurut www.fishbase.org, klasifikasi ikan tembang (Gambar 1) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas

Lebih terperinci

MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN i MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN NURALIM PASISINGI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Pola reproduksi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) pada penelitian ini adalah tinjauan mengenai sebagian aspek reproduksi yaitu pendugaan ukuran pertama

Lebih terperinci

Febyansyah Nur Abdullah, Anhar Solichin*), Suradi Wijaya Saputra

Febyansyah Nur Abdullah, Anhar Solichin*), Suradi Wijaya Saputra ASPEK BIOLOGI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN KUNIRAN (Upeneus moluccensis) YANG DIDARATKAN DI TEMPAT PELELANGAN IKAN (TPI) TAWANG KABUPATEN KENDAL PROVINSI JAWA TENGAH Aspects of Fish Biology and Utilization

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan 5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan Hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian menunjukan bahwa sumberdaya ikan di perairan Tanjung Kerawang cukup beragam baik jenis maupun ukuran ikan yang

Lebih terperinci

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN SUMBERDAYA IKAN KURISI

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN SUMBERDAYA IKAN KURISI KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN SUMBERDAYA IKAN KURISI (Nemipterus furcosus, Valenciennes 1830) DI PERAIRAN TELUK BANTEN YANG DIDARATKAN DI PPN KARANGANTU ARMANSYAH DWI GUMILAR SKRIPSI DEPARTEMEN

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation)

Lampiran 1. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) 58 Lampiran 1. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) menggunakan program FiSAT II 59 Lampiran 1. (lanjutan)

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu 3.2 Teknik Pengambilan Data Pengumpulan Data Vegetasi Mangrove Kepiting Bakau

3 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu 3.2 Teknik Pengambilan Data Pengumpulan Data Vegetasi Mangrove Kepiting Bakau 19 3 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai dengan Mei 2011 pada kawasan mangrove di Desa Tongke-Tongke dan Kelurahan Samataring, Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten

Lebih terperinci

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Wilayah Sebaran Penangkapan Nelayan Labuan termasuk nelayan kecil yang masih melakukan penangkapan ikan khususnya ikan kuniran dengan cara tradisional dan sangat tergantung pada

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan selat sunda Selat Sunda merupakan selat yang membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya di ujung Barat Pulau Jawa atau Ujung Selatan

Lebih terperinci

KAJIAN STOK SUMBERDAYA IKAN TEMBANG (Sardinella maderensis Lowe, 1838) DENGAN MENGGUNAKAN SIDIK FREKUENSI PANJANG DI PERAIRAN TELUK JAKARTA

KAJIAN STOK SUMBERDAYA IKAN TEMBANG (Sardinella maderensis Lowe, 1838) DENGAN MENGGUNAKAN SIDIK FREKUENSI PANJANG DI PERAIRAN TELUK JAKARTA 1 KAJIAN STOK SUMBERDAYA IKAN TEMBANG (Sardinella maderensis Lowe, 1838) DENGAN MENGGUNAKAN SIDIK FREKUENSI PANJANG DI PERAIRAN TELUK JAKARTA GENNY DINA CHAIRA SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ikan Sardinella sp. merupakan kelompok ikan-ikan pelagis kecil, dari famili

TINJAUAN PUSTAKA. Ikan Sardinella sp. merupakan kelompok ikan-ikan pelagis kecil, dari famili TINJAUAN PUSTAKA Ikan Tamban (Sardinella albella) Ikan Sardinella sp. merupakan kelompok ikan-ikan pelagis kecil, dari famili Clupeidae yang lebih umum dikenal sebagai ikan herring. Famili Clupeidae terdiri

Lebih terperinci

KAJIAN STOK SUMBERDAYA IKAN SELAR (Caranx leptolepis Cuvier, 1833) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN MENGGUNAKAN SIDIK FREKUENSI PANJANG

KAJIAN STOK SUMBERDAYA IKAN SELAR (Caranx leptolepis Cuvier, 1833) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN MENGGUNAKAN SIDIK FREKUENSI PANJANG KAJIAN STOK SUMBERDAYA IKAN SELAR (Caranx leptolepis Cuvier, 1833) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN MENGGUNAKAN SIDIK FREKUENSI PANJANG Wenny Damayanti SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

STUDI DINAMIKA STOK IKAN LAYUR (Lepturacanthus savala) DI TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT

STUDI DINAMIKA STOK IKAN LAYUR (Lepturacanthus savala) DI TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT STUDI DINAMIKA STOK IKAN LAYUR (Lepturacanthus savala) DI TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT ADNAN SHARIF SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

KAJIAN STOK SUMBER DAYA IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) DI PERAIRAN SELAT SUNDA NUR LAILY HIDAYAT

KAJIAN STOK SUMBER DAYA IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) DI PERAIRAN SELAT SUNDA NUR LAILY HIDAYAT KAJIAN STOK SUMBER DAYA IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) DI PERAIRAN SELAT SUNDA NUR LAILY HIDAYAT DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh 14 Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2009. Lokasi pengambilan ikan contoh adalah tempat pendaratan ikan (TPI) Palabuhanratu. Analisis contoh dilakukan di Laboratorium Ekobiologi,

Lebih terperinci

Gambar 6 Peta lokasi penelitian.

Gambar 6 Peta lokasi penelitian. 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan dimulai dengan penyusunan proposal dan penelusuran literatur mengenai objek penelitian cantrang di Pulau Jawa dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Selat Sunda secara geografis menghubungkan Laut Jawa serta Selat Karimata di bagian utara dengan Samudera Hindia di bagian selatan. Topografi perairan ini secara

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. Gambar 2 Peta Selat Bali dan daerah penangkapan ikan lemuru.

3 METODOLOGI. Gambar 2 Peta Selat Bali dan daerah penangkapan ikan lemuru. 3 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama bulan Juli 009 di Pelabuhan Perikanan Pantai Muncar - Perairan Selat Bali, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Perairan Selat Bali terletak

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PPI Muara Angke, Jakarta Utara dari bulan Januaribulan Maret 2010. Analisis aspek reproduksi dilakukan di Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 26 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum PPP Labuan PPP (Pelabuhan Perikanan Pantai) Labuan, Banten merupakan pelabuhan perikanan pantai terbesar di Kabupaten Pandeglang yang didirikan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 14 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai bulan April tahun 2012. Pengambilan data primer dilakukan pada bulan April tahun 2012 sedangkan

Lebih terperinci

Length-Weight based Stock Assesment Of Round Scad ( Decapterus russelli ) From Mapur Fishing Ground and Landed at Pelantar KUD Tanjungpinang

Length-Weight based Stock Assesment Of Round Scad ( Decapterus russelli ) From Mapur Fishing Ground and Landed at Pelantar KUD Tanjungpinang KAJIAN STOK IKAN LAYANG (Decapterus russelli) BERBASIS PANJANG BERAT DARI PERAIRAN MAPUR YANG DIDARATKAN DI TEMPAT PENDARATAN IKAN PELANTAR KUD KOTA TANJUNGPINANG Length-Weight based Stock Assesment Of

Lebih terperinci

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5.1 Pendahuluan Pemanfaatan yang lestari adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan pada kondisi yang berimbang, yaitu tingkat pemanfaatannya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK BANTEN YANG DIDARATKAN DI PPN KARANGANTU, BANTEN

KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK BANTEN YANG DIDARATKAN DI PPN KARANGANTU, BANTEN KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK BANTEN YANG DIDARATKAN DI PPN KARANGANTU, BANTEN VISKA DONITA PRAHADINA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. Tabel 5 Jenis alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian

3 METODOLOGI. Tabel 5 Jenis alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian 3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Pembuatan kantong dan penutup kantong jaring dilaksanakan di laboratorium Alat Penangkap Ikan Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta pada bulan Juni sampai dengan Juli 2010.

Lebih terperinci

SKRIPSI. FLUKTUASI STOK IKAW KUMlRAN ( '%&efieus sulpkureus ) Dl PER AIR AN UY ARA SEMARAMG -KEMDAL JAWA TENGAH SOFYAN HUSEIN SIREGAR C 23.

SKRIPSI. FLUKTUASI STOK IKAW KUMlRAN ( '%&efieus sulpkureus ) Dl PER AIR AN UY ARA SEMARAMG -KEMDAL JAWA TENGAH SOFYAN HUSEIN SIREGAR C 23. FLUKTUASI STOK IKAW KUMlRAN ( '%&efieus sulpkureus ) Dl PER AIR AN UY ARA SEMARAMG -KEMDAL JAWA TENGAH SKRIPSI SOFYAN HUSEIN SIREGAR C 23.0917 FAKULTAS PERIKANAN INSTITUT PZRTANIAN BOGOR 1990 FLUKTUASI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Pengumpulan Data

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Pengumpulan Data 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Model dan Simulasi, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Institut Pertanian Bogor. Waktu pelaksanaan dimulai

Lebih terperinci

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu 24 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2012 yang meliputi: observasi lapang, wawancara, dan pengumpulan data sekuder dari Dinas

Lebih terperinci

Gambar 3 Peta Lokasi Penelitian

Gambar 3 Peta Lokasi Penelitian III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) tiga, yaitu Laut Jawa dari bulan Desember 2008 sampai dengan bulan Desember

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 3.4 Jenis dan Sumber Data

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 3.4 Jenis dan Sumber Data 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Pengambilan data dilakukan di wilayah Teluk Jakarta bagian dalam, provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Pengambilan data dilakukan pada Bulan Agustus 2010 dan Januari

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN MORTALITAS IKAN TAWES (Barbonymus gonionotus) DI DANAU SIDENRENG KABUPATEN SIDRAP Nuraeni L. Rapi 1) dan Mesalina Tri Hidayani 2)

PERTUMBUHAN DAN MORTALITAS IKAN TAWES (Barbonymus gonionotus) DI DANAU SIDENRENG KABUPATEN SIDRAP Nuraeni L. Rapi 1) dan Mesalina Tri Hidayani 2) PERTUMBUHAN DAN MORTALITAS IAN TAWES (Barbonymus gonionotus) DI DANAU SIDENRENG ABUPATEN SIDRAP Nuraeni L. Rapi 1) dan Mesalina Tri Hidayani 2) 1) Program Studi Budidaya Perairan STITE Balik Diwa Makassar

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN Edy H.P. Melmambessy Staf Pengajar Univ. Musamus-Merauke, e-mail : edymelmambessy@yahoo.co.id ABSTRAK Ikan tongkol termasuk dalam golongan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu isu penting perikanan saat ini adalah keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya dan lingkungannya. Upaya pemanfaatan spesies target diarahkan untuk tetap menjaga

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Perikanan Layur di PPN Palabuhanratu Secara geografis, Teluk Palabuhanratu ini terletak di kawasan Samudera Hindia pada posisi 106 10-106 30 BT dan 6 50-7 30 LS dengan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 6 0'0"S 6 0'0"S 6 0'0"S 5 55'0"S 5 50'0"S 28 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada Maret 2011. Penelitian dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH INTAN KUSUMA JAYANTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

Abstrak. Kata Kunci : Ikan ekor Kuning, pertumbuhan, laju mortalitas, eksploitasi. Abstract

Abstrak. Kata Kunci : Ikan ekor Kuning, pertumbuhan, laju mortalitas, eksploitasi. Abstract KAJIAN MORTALITAS DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) DARI LAUT NATUNA YANG DI DARATKAN PADA TEMPAT PENDARATAN IKAN BAREK MOTOR KELURAHAN KIJANG KOTA Study of mortality and the rate of

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan lemuru merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup penting. Berdasarkan data statistik perikanan Indonesia tercatat bahwa volume tangkapan produksi ikan lemuru

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

KAJIAN STOK IKAN SWANGGI Priacanthus tayenus (Richardson, 1846) DI PERAIRAN SELAT SUNDA YANG DIDARATKAN DI PPP LABUAN, PANDEGLANG BANTEN

KAJIAN STOK IKAN SWANGGI Priacanthus tayenus (Richardson, 1846) DI PERAIRAN SELAT SUNDA YANG DIDARATKAN DI PPP LABUAN, PANDEGLANG BANTEN KAJIAN STOK IKAN SWANGGI Priacanthus tayenus (Richardson, 1846) DI PERAIRAN SELAT SUNDA YANG DIDARATKAN DI PPP LABUAN, PANDEGLANG BANTEN TILLANA ADILAVIANA SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

KAJIAN STOK IKAN KUNIRAN Upeneus moluccensis (Bleeker, 1855) DI PERAIRAN SELAT SUNDA YANG DIDARATKAN DI PPP LABUAN, BANTEN NURUL HIKMAH AMALIA

KAJIAN STOK IKAN KUNIRAN Upeneus moluccensis (Bleeker, 1855) DI PERAIRAN SELAT SUNDA YANG DIDARATKAN DI PPP LABUAN, BANTEN NURUL HIKMAH AMALIA KAJIAN STOK IKAN KUNIRAN Upeneus moluccensis (Bleeker, 1855) DI PERAIRAN SELAT SUNDA YANG DIDARATKAN DI PPP LABUAN, BANTEN NURUL HIKMAH AMALIA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 010 di daerah pantai berlumpur Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Udang contoh yang

Lebih terperinci

STUDI PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN SELAR KUNING

STUDI PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN SELAR KUNING STUDI PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN SELAR KUNING (Selaroides leptolepis Cuvier, 1833) DI PERAIRAN SELAT MALAKA KECAMATAN MEDAN BELAWAN PROVINSI SUMATERA UTARA JESSICA TAMBUN 130302053 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

STATUS STOK SUMBERDAYA IKAN LEMURU (Sardinella lemuru) DI PERAIRAN SELAT SUNDA GAMA SATRIA NUGRAHA

STATUS STOK SUMBERDAYA IKAN LEMURU (Sardinella lemuru) DI PERAIRAN SELAT SUNDA GAMA SATRIA NUGRAHA STATUS STOK SUMBERDAYA IKAN LEMURU (Sardinella lemuru) DI PERAIRAN SELAT SUNDA GAMA SATRIA NUGRAHA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian penangkapan rajungan dengan menggunakan jaring kejer dilakukan di perairan Gebang Kabupaten Cirebon, Jawa Barat (Lampiran 1 dan Lampiran 2). Penelitian

Lebih terperinci

PEMANTAUN PARAMETER DINAMIKA POPULASI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger sp) DI PERAIRAN PESISIR PULAU TERNATE PROVINSI MALUKU UTARA

PEMANTAUN PARAMETER DINAMIKA POPULASI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger sp) DI PERAIRAN PESISIR PULAU TERNATE PROVINSI MALUKU UTARA PEMANTAUN PARAMETER DINAMIKA POPULASI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger sp) DI PERAIRAN PESISIR PULAU TERNATE PROVINSI MALUKU UTARA Umar Tangke Staf Pengajar Faperta UMMU-Ternate, e-mail: khakafart@yahoo.com

Lebih terperinci

POTENSI LESTARI IKAN LAYANG (Decapterus spp) BERDASARKAN HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA

POTENSI LESTARI IKAN LAYANG (Decapterus spp) BERDASARKAN HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan Vol. 6 No. 2 November 2015: 159-168 ISSN 2087-4871 POTENSI LESTARI IKAN LAYANG (Decapterus spp) BERDASARKAN HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI

Lebih terperinci

LEMBAR PENGESAHAN ARTIKEL JURNAL

LEMBAR PENGESAHAN ARTIKEL JURNAL LEMBAR PENGESAHAN ARTIKEL JURNAL ANALISIS PARAMETER DINAMIKA POPULASI IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) YANG DIDARATKAN DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN KELURAHAN TENDA KECAMATAN HULONTHALANGI KOTA GORONTALO

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kajian tentang konsep kapasitas penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting pada upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. The Code of

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 26 4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis Lamongan merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Jawa Timur. Secara astronomis Kabupaten Lamongan terletak pada posisi 6 51 54 sampai dengan

Lebih terperinci

Pola Rekrutmen, Mortalitas, dan Laju Eksploitasi Ikan Lemuru (Amblygaster sirm, Walbaum 1792) di Perairan Selat Sunda

Pola Rekrutmen, Mortalitas, dan Laju Eksploitasi Ikan Lemuru (Amblygaster sirm, Walbaum 1792) di Perairan Selat Sunda Pola Rekrutmen, Mortalitas, dan Laju Eksploitasi Ikan Lemuru (Amblygaster sirm, Walbaum 1792) di Perairan Selat Sunda Recruitment Pattern, Mortality, and Exploitation rate of Spotted Sardinella (Amblygaster

Lebih terperinci