BAB II LANDASAN TEORI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Agresivitas Pengertian Agresivitas Definisi paling sederhana dari agresivitas adalah perilaku agresi yang dilakukan seseorang untuk melukai orang lain maupun untuk merusak sesuatu. Konrad Lorenz berpendapat berpendapat bahwa agresi adalah naluri untuk memperthankan hidup. Karena bersifat naluriah, maka setiap saat sifat itu bisa muncul lebih lebih dalam situasi hidup yang mengancam eksistensi hidup seseorang (Fuad, 2008). Sedangkan menurut Baron dan Richardson agresi didefenisikan sebagai segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain atau melukai makhluk hidup lain yang terdorong untuk menghindari perlakuan tersebut (Krahe, 2005). Menurut Berkowitz (1995) bahwa agresivitas merupakan keinginan yang relative melekat untuk menjadi agresif dalam berbagai situasi yang berbeda. Berkowitz salah seorang yang paling kompeten mengenasi studi tentang agresivitas, menambahkan bahwa agresi adalah segala bentuk perilaku yang dimaksud untuk menyakiti seseorang, baik fisik maupun mental. Karena itu secara sepintas, setiap perilaku yang merugikan dan dan menimbulkan korban pada pihak orang lain dapat disebut sebagai perilaku agresif. (Sarwono, 1997) dalam bukunya (Sobur, 2009). 13

2 14 Sedangkan Calhoun & Acocella (1990) mengatakan bahwa sikap agresi adalah penggunaan hak sendiri dengan cara melanggar hak orang lain. Apabila pribadi yang agresif bertindak demi diri sendiri, dia melakukan hal itu dengan tidak mmenghina dan merendahkan orang lain. (Sobur, 2009) Berdasarkan teori teori yang telah dipaparkan diatas, dapat penulis pahami bahwa agresivitas perilaku yang dilakukan seseorang yang bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik ataupun merusak benda yang ada disekelilingnya Jenis-jenis Agresivitas Menurut Berkoeitz agresi dibedakan dua macam yaitu : 1. Agresi instrumental Agresi instrumental adalah agresi yang dilakukan oleh seseorang sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. 2. Agresi benci (hostile aggression ). Agresi benci adalah agresi yang dilakukan semata-mata sebagai pelampiasan keinginan untuk melukai atau menyakiti, atau agresi tanpa tujuan selain untuk menimbulkan efek kerusakan, kesakitan, atau kematian pada sasaran atau korban (Kaswara, 1988). Sedangkan jika dikelompokan menurut norma atau masyarakat umum ada agresi dibedakan menjadi dua yaitu prososial dan agresi anti sosial. Agresi prososial adalah tindakan agresi yang sebenarnya diatur atau disetujui oleh norma sosial. Sedangkan agresi anti sosial adalah tindakan melukai orang lain dimana tindakan tersebut secara normative dilarang oleh norma masyarakat.

3 15 Selain pembagian diatas, Kenneth Moyer lebih kompleks lagi membagi jenis jenis agresi kedalam tujuh tipe, yaitu : a. Agresi Predator Agresi yang dibangkitkan oleh kehadiran obyek alamiah (mangsa) agresi ini biasaanya kerap terjadi pada spesies hewan. b. Agresi antar jantan. Agresi secara tipikal dibangkitkan oleh kehadiran sesame jantan pada suatui spesies. c. Agresi ketakutan Agresi yang dibangkitkan oleh tertutupnya kesempatan untuk menghindar dari ancaman. d. Agresi tersinggung Agresi yang dibangkitkan oleh perasaan tersinggung atau kemarahan; respon menyerang muncul tehadap stimulus yang luas (tanpa memilih sasaran), baik berupa obyek hidup ataupun mati. e. Agresi pertahanan Agresi yang dilakukan oleh individu untuk mepertahankan daerah kekuasaannya dari ancaman atau ganguan sesamanya. Agresi pertahanan ini disebut juga agresi territorial. f. Agresi maternal Agresi yang dilakukan oleh para wanita untuk melindungi anak-anak mereka dari berbagai ancaman.

4 16 g. Agresi instrumental Agresi yang dipelajari, diperkuat (reinforcement) dan dilakukan untuk memperoleh tujuan tertentu Faktor-faktor Agresivitas Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh banyak ahli tentang faktor faktor yang menyebabkan timbulnya agresi, faktor faktor tersebut dibedakan kedalam dua jenis, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor yang terkandung dalam dua jenis diatas dapat dijabarkan oleh para ahli sebagai berikut, yaitu : 1. Frustasi Dollar Miller dan para koleganya mengatakan bahwa frustasi bisa mengarahkan kepada agresi. Yang dimaksudkan frustasi itu sendiri adalah situasi dimana individu terhambat atau gagal dalam usaha mencapai tujuan tertentu yang diinginkannya, atau mengalami hambatan untuk bebas bertindak dalam rangka mencapai tujuan. Disamping itu kekuatan frustasi akan mempengaruhi kekuatan agresi, makin kuat frustasi makin kuat agresi yang akan terjadi (Kaswara, 1988). 2. Amarah Marah merupakan emosi yang memiliki ciri ciri aktifitas system saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang kuat yang biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin nyata-nyata salah atau mungkin juga tidak. Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang,meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam.

5 17 3. Kekuasaan dan ketaatan Penyalahgunaan kekuasaan menjadi kekuatan yang memaksa (coercive) memiliki efek langsung maupun tidak langsung dalam munculnya agresi. Kekuasaan adalah kesempatan dari seseorang atau kelompok orang untuk merealisasikan keinginan-keinginan dalam tindakan komunal bahkan meskipunharus berrhadapan dengan seseorang atau sekelompok orang lainnya (Kaswara, 1988). Milgram berpendapat bahwa kepatuhan Individu terhadap otoritas mengarahkan individu tersebut kepada perilaku agresi. 4. Provokasi Sejumlah teori percaya bahwa provokasi bisa mencetuskan kemunculan agresi. Karena provokasi oleh pelaku agresi dianggap sebagai ancaman atau bentuk serangan yang harus dihadapi dengan respon agresif. Dalam mengahadpi provokasi yang mengancam, para pelaku agresi agaknya cenderung berpegang para prinsip dari pada diserang lebih baik menyerang dahulu, atau dari pada dibunuh lebih baik membunuh duluan (Kaswara, 1988). 5. Obat obatan dan Alkohol Seseorang akan menjadi lebih agresif ketika mereka mengkonsumsi obatobatan dan lakohol yang sama- sama mengandung zat adiktif. Subyek yang menerima alkohol dalam takaran-takaran yang tinggi menunjukkan taraf agresivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan subyek yang tidak menerima

6 18 alkohol atau menerima alkohol dalam taraf yang rendah. Alkohol dapat melemahkan kendali diri peminumnya, sehingga taraf agresivitas juga tinggi. 6. Suhu udara panas Ada pandangan bahwa suhu suatu lingkungan yang tinggi memiliki dampak terhadap tingka h laku sosial berupa peningkatan agresivitas. Pada tahun 1968 US Riot Comision pernah melaporkan bahwa dalam musim panas, rangkaian kerusuhan dan agresivitas massa lebih banyak terjadi di Amerika Serikat dibandingkan dengan musim-musim lainnya. 7. Lingkungan Lingkungan yang sehat akan memberikan pengaruh yang sehat pula pada perilaku individu. 8. stress Stress merupakan reaksi terhadap ketidakmampuan individu dalam menghadapi ganguan fisik maupun psikis, karena itu lah stress juga dapat memicu munculnya perilaku agresi Aspek aspek Agresivitas Agresi dapat dikategorikan menjadi empat, yang mana hal ini dijadikan aspek aspek perilaku yang mengindikasikan tindakan agresivitas, diantaranya :

7 19 1. Menyerang pada fisik Melukai seseorang secara fisik, termasuk didalamnya adalah memukul, menendang dan merampas. 2. Menyerang pada benda atau obyek Maksudnya adalah menyerang benda mati yang tidak ada hubungannya dengan target yang memunculkan amarah, yang termasuk didalamnya adalah memukul, membanting, dan melempar. 3. Menyerang secara verbal atau simbolik Menyerang atau melukai orang lain secara verbal, mengejek, menghina, dan mengancam merupakan bentuk agresi. 4. Pelanggaran terhadap hak milik orang lain atau menyerang daerah orang lain Bentuk agresi yang dilakukan untuk melanggar hak milik orang lain, seperti memaksakan pendapat dan merusak barang atau hak milik orang lain. (Muhammad Taufik, 2011) 2.2 Konformitas Pengertian Konformitas Konformitas merupakan perilaku tertentu yang dilakukan, dikarenakan orang lain atau kelompoknya melakukan suatu peilaku atau tindakan yang sama. maka individu juga melakukanya walaupun individu tersebut menyukai atau tidak

8 20 menyukai apa yang terjadi (Sears, Freedman, dan Peplau, 1985). Konformitas tidak hanya sekedar bertindak sesuai dengan tindakan yangdilakukan oleh orang lain, tetapi juga berarti dipengaruhi oleh bagaimana mereka bertindak. Individu bertindak atau berpikir secara berbeda dari tindakan dan pikiran yang biasa kita lakukan jika kita sendiri. Konformitas adalah suatu bentuk pengaruh sosial dimana individu mengubah sikap dan tingkah lakunya agar sesuai dengan norma sosial.(sarlito, 2009). Konsep konformitas didefiniskan oleh Shepard sebagai bentuk interaksi yang didalamnya seorang berperilaku terhdapap orang lain sesuai harapan kelompok. Pada umumnya kita cenderung bersifat konformis. Berbagai studi memperlihatkan bahwa manusia mudah dipengaruhi orang lain. Salah satu diantaranya ialah studi Muzafer Sherif, yang membuktikan bahwa dalam situasi kelompok orang cenderung membentuk norma sosial. Jon M Shepard mendefinisikan konformitas (conformity) sebagai, the type of social interaction in which an individual behaves toward others in ways expected by the group, atau dengan bahasa yang lebih sederhana, konformitas adalah bentuk interaksi social yang di dalamnya seseorang berprilaku terhadap orang lain sesuai dengan harapan kelompok. Sementara Kesler memberikan pengertian; Conformity is a change in behavior or belief as a result of real or imagined group of pressure, Konformitas adalah sebuah perubahan dalam tingkah laku sebagai sebuah hasil nyata atau sesuai dengan apa yang dibayangkan dalam sebuah kelompok. Dan menurut Soerjono Soekamto, konformitas berarti penyesuaian diri

9 21 dengan masyarakat dengan cara mengindahkan norma dan nilai masyarakat. Konformitas adalah suatu bentuk pengaruh sosial dimana individu mengubah sikap dan tingkah lakunya agar sesuai dengan norma sosial.(sarlito, 2009). Konformitas dapat terjadi dalam beberapa bentuk dan mempengaruhi aspekaspek kehidupan remaja. Apakah remaja suka lari pagi karena orang lain juga melakukan hal yang sama, apakah remaja membiarkan rambutnya tumbuh panjang ataupun di potong dengan gaya-gaya tertentu.( Santrock, 2003). Konformitas muncul ketika individu meniru sikap atau tingkah laku orang lain dikarenakan tekanan yang nyata maupun yang hanya dibayangkan oleh mereka. Tekanan untuk mengikuti teman sebaya menjadi sangat kuat pada masa remaja. (Santrock, 2003). Tekanan yang ada dalam norma sosial sesungguhnya memiliki pengaruh yang besar. Tekanan-tekanan untuk melakukan konformasi sangat kuat, sehingga usaha untuk menghindari situasi yang menekan dapat menenggelamkan nilai-nilai personalnya (Baron, Byrne, 2008 dalam Sarlito, 2009). Dari berbagai teori yang mendefiniskan tentang konformitas diatas, penulis menyimpulkan bahwa konformitas adalah perilaku individu yang mengikuti atau meniru perilaku kelompok agar dapat diterima oleh kelompok tersebut. Dengan kata lain, individu yang melakukan konformitas bertujuan untuk mengikuti norma yang sesuai yang berlaku dalam suatu kelompok yang hendak dimasuki atau diikutinya Dimensi Konformitas Dalam pembentukan konformitas, terdapat dimensi-dimensi pembentuk di dalamnya. Di bawah ini merupakan dimensi konformitas menurut Sears (1999)

10 22 1. Kekompakan Kekuatan yang dimiliki kelompok yang membuat remaja tertarik dan ingin tetap menjadi bagian dari sebuah kelompok. Semakin besar rasa suka individu terhadap kelompoknya, akan semakin besar keinginan individu tersebut untuk kompak dengan kelompok dan konformitas akan menjadi tinggi (Sears, 1999). 2. Kesepakatan Pendapat kelompok merupakan acuan yang memiliki tekanan kuat, sehingga remaja harus menyesuaikan pendapat dengan kelompok (Sears, 1999). 3. Ketaatan Tekanan dan tuntutan dari kelompok yang membuat remaja rela untuk melakukan tindakan walaupun remaja tidak menginginkan perilaku tersebut. Semakin remaja taat pada kelompoknya, tingkat konformitas juga semakin tinggi (Sears, 1999) Prinsip dasar Konformitas Robert C. Cialdini, (Sarlito, 2009) dengan penelitiannya yang dilakukan melalui observasi langsung menyimpulkan prinsip dasar Konformitas adalah sebagai berikut : a. Pertemanan atau rasa suka, kita cenderung lebih mudah memenuhi permintaan teman atau orang yang kita sukai daripada permintaan orang yang tidak kita kenal atau yang kita benci.

11 23 b. Komitmen atau konsistensi, saat kita telah mengikatkan diri pada satu posisi atau tindakan, kita akan lebih mudah memenuhi permintaan akan suatu hal yang konsisten dengan posisi atau tindakan sebelumnya. c. Kelangkaan, kita lebih menghargai dan mencoba mengamankan objek yang langka atau berkurang ketersediaannya. Oleh karena itu, kita cenderung memenuhi permintaan yang menekankan kelangkaan daripada yang tidak. d. Timbal-balik, kita lebih mudah memenuhi permintaan dari seseorang yang sebelumnya sudah memberikan bantuan pada kita. Dengan kata lain, kita merasa wajib membayar utang-utang budi atas bantuannya. e. Validasi sosial, kita lebih mudah memenuhi permintaan untuk melakukan suatu tindakan jika tindakan itu konsisten dengan yang kita percaya orang lain akan lakukan juga. f. Otoritas, kita lebih mudah memenuhi permintaan orang lain yang memiliki otoritas diakui, atau setidaknya tampak memiliki otoritas DASAR-DASAR KONFORMITAS Seperti yang kita lihat ada beberapa faktor yang menentukan apakah konformitas akan terjadi atau tidak dan sejauh mana konformitas terjadi. Namun tetap saja hal ini tidak akan mengubah inti pokoknya yakni konformitas adalah fakta dasar dari kehidupan sosial (Baron, Byrne, 2005). Robert A. Baron dan Donn Byrne mengelompokkan menjadi dua dasar-dasar konformitas yakni: a. Pengaruh Sosial Normatif, keinginan untuk disukai dan rasa takut akan penolakan.

12 24 b. Keinginan untuk merasa benar, pengaruh sosial informasional Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konformitas Konformitas sebagai sebuah gejala sosial mempunyai faktor-faktor yang mempengaruhinya (Baron, Byrne, 2005) beberapa faktor yang tampak paling penting adalah : 1. Kohesivitas Derajat ketertarikan yang dirasakan oleh individu terhadap sebuah kelompok. Ketika kohesivitas tinggi maka tekanan tidak terlihat untuk melakukan konformitas akan semakin besar. Karena bagaimanapun juga kita tahu salah satu cara agar diterima oleh orang-orang tersebut adalah dengan menjadi sama dengan mereka. 2. Kurangnya Informasi Seringkali orang lain mengetahui sesuatu yang tidak kita ketahui; dengan melakukan apa yang mereka lakukan, kita akan memperoleh manfaat dari pengetahuan mereka. 3. Kepercayaan terhadap kelompok Individu ingin memberikan informasi yang tepat. Oleh karena itu, semakin besar kepercayaan individu terhadap kelompok sebagai sumber informasi yang benar, semakin besar pula kemungkinan untuk menyesuaikan diri terhadap kelompok. 4. Kepercayaan diri yang lemah Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi rasa percaya diri dan tingkat konformitas adalah tingkat keyakinan orang tersebut pada kemampuannya sendiri

13 25 untuk menampilkan suatu reaksi. Semakin lemah kepercayaan seseorang akan penilaiannya sendiri, semakin tinggi tingkat konformitasnya. Kepercayaan diri berbanding terbalik dengan konformitas seseorang. 5. Rasa takut terhadap celaan sosial dan penyimpangan Celaan sosial memberikan efek yang signifikan terhadap sikap individu karena pada dasarnya setiap manusia cenderung mengusahakan pesetujuan dan menghindari celaan kelompok dalam setiap tindakannya Rasa takut dipandang sebagai orang yang menyimpang merupakan faktor dasar hampir dalam semua situasi sosial. Kita tidak mau dilihat sebagai orang yang lain dari yang lain. Kita ingin agar kelompok tempat kita berada menyukai kita, memperlakukan kita dengan baik dan bersedia menerima kita. 6. Kekompakan dan kesepakatan kelompok Konformitas juga dipengaruhi oleh eratnya hubungan antara individu dengan kelompoknya. Kekompakan yang tinggi menimbulkan konformitas yang semakin tinggi. Orang yang dihadapkan pada keputusan kelompok yang sudah bulat akan mendapat tekanan yang kuat untuk menyesuaikan pendapatnya. Namun, bila kelompok tidak bersatu akan tampak adanya penurunan tingkat konformitas. 7. Norma sosial deskriptif dan norma sosial injungtif Norma deskriptif adalah norma yang hanya mendeskripsikan apa yang sebagian besar orang lakukan pada situasi tertentu. Norma injungtif sebaliknya menetapka yang harus dilakukan, tingkah laku apa yang dapat diterima dan tidak diterima dalam situasi tertentu.

14 26 8. Ukuran kelompok Konformitas akan meningkat bila ukuran mayoritas yang sependapat juga meningkat, setidak-tidaknya sampai tingkat tertentu. 2.3 Fanatisme Pengertian Fanatisme Sering kali terdengar kata fanatik atau fanatisme pada berita atau satu hal yang berhubungan dengan agama dan olah raga tetapi jarang yang mengetahui deskripsi secara jelas mengenai fanatik atau fanatisme. Jika ditelusuri lebih dalam, sebenarnya kata fanatisme berasal dari kata fanatik, yang dalam kamus bahasa Indonesia artinya adalah teramat kuat kepercayaan (keyakinan) terhadap ajaran (politik, agama, dsb). Ini diperkuat oleh pendapat dari J.P Chaplin mengenai fanatik yaitu satu sikap penuh semangat yang berlebihan terhadap satu segi pandangan atau satu sebab. Suatu sikap tersebut bisa berdasarkan pemikiran dan pemahamannya yang tidak berubah-ubah atau tetap terhadap satu segi pandangan, yang menurut Winston Churchill bahwa A fanatik is one who can't change his mind and won't change the subject dengan artian bahwa seseorang yang fanatik yang mana tidak bisa berubah pemikirannya dan tidak akan berubah pokok materi. Fanatisme sendiri diartikan sebagai suatu faham fanatik terhadap suatu hal, karena dalam EYD, kata yang berakhiran isme adalah merupakan faham. Fanatik berbeda dengan fanatisme, fanatik merupakan sifat yang timbul saat seseorang menganut fanatisme (faham fanatik), sehingga fanatisme itu adalah sebab dan fanatic

15 27 merupakan akibat. Lain halnya dengan yang dikatakan oleh Frankl, orang fanatik yaitu mengingkari kepribadian orang lain. Orang fanatik berpendapat bahwa tidak ada orang yang mengatasi dirinya dan tidak ada pendapat publik atau penguasa. Orang yang fanatik itu bukan saja tidak memiliki pendapat, melainkan juga dimiliki (dikuasai) pendapat. Dari penuturan Frankl, secara sederhananya bahwa orang fanatik adalah orang yang menguasai dan dikuasai oleh suatu pendapat, hingga dia tidak lagi dapat menerima pendapat dan bantuan dari orang lain. Dimana awal dari fanatik itu sendiri adalah dari konflik yang terjadi pada hati nurani atau moral seseorang. Bentuk-bentuk fanatisme terdiri beberapa bentuk yaitu fanatisme konsumen agama, ideologi dan politik, kesenangan, olahraga, etnik dan kesatuan. (Syafi I, 2008) Eysenck (dalam Chung, Beverland, Farrelly, dan kawan-kawan, 2008) yang menyatakan bahwa fanatisme adalah sikap dan pandangan yang sempit, sehingga ketat dan sifatnya menyerang.fanatisme menurut Orever adalah antusiasme yang berlebihan dan tidak rasional atau pengabdian kepada suatu teori, keyakinan atau garis tindakan yang menentukan sikap yang sangat emosional dan misinya praktis tidak mengenal batas batas. Fanatik cenderung bersikeras terhadap ide-ide mereka yang menganggap diri sendiri atau kelompok mereka benar dan mengabaikan semua fakta atau argumen yang mungkin bertentangan dengan pikiran atau keyakinan. Dari berbagai pendapat mengenai pengertian fanatik di atas, dapat peneliti pahami bahwa fanatik adalah kepercayaan atau keyakinan seseorang yang berlebihan

16 28 terhadap satu hal atau pandangan yang sukar diluruskan atau dirubah pemikirannya karena tidak memiliki sandaran kenyataan serta berada di sisi kemarahan orang Ciri -Ciri Fanatisme Suatu perilaku tidak terlepas dari ciri yang menjadikan perilaku tersebut dapat disebut sebagai perilaku fanatik, yaitu: a. Adanya antusiasme semangat berlebihan yang tidak berdasarkan pada akal sehat melainkan pada emosi tidak terkendali. Ketiadaan akal sehat itu mudah membuat orang yang fanatik melakukan hal-hal yang tidak proporsional, sehingga akhirnya melakukan hal-hal yang kurang waras. b. Pendidikan yang berwawasan luas dapat menimbulkan benih-benih sikap solider, sebaliknya indotrinasi yang kerdil dapat mengakibatkan benihbenih fanatisme. Yang dimaksud di sini adalah ketika seseorang memiliki pendidikan tinggi dan wawasan yang luas terhadap pengetahuan yang ada, maka rasa solidaritaslah yang timbul dalam diri orang tersebut, karena dapat mengerti dan memahami serta dapat menempatkan suatu hal pada tempatnya. Sedangkan lain halnya jika seseorang yang diberi doktrin terus menerus, karena tidak diimbangi dengan wawasannya yang luas, sehingga bukan pengembangan diri berdasarkan wawasan, pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki tetapi pembentukan diri yang dipaksakan berdasarkan doktrin yang diberikan secara terus menerus akan menimbulkan bibit fanatisme dalam dirinya.

17 Aspek dan Indikator Fanatisme Aspek fanatisme menurut Goddard Menurut Goddard, (2001) terdapat beberapa aspek fanatisme terhadap klub sepakbola diantara adalah: 1) Besarnya minat dan kecintaan pada satu jenis kegiatan. Fanatisme terhadap satu jenis aktivitas tertentu merupakan hal yang wajar. Dengan fanatisme, seseorang akan mudah memotivasi dirinya sendiri untuk lebih meningkatkan usahanya dalam mendukung klub favoritnya. 2) Sikap pribadi maupun kelompok terhadap kegiatan tersebut. Hal ini merupakan suatu esensi yang sangat penting mengingat ini adalah merupakan jiwa dari memulai sesuatu yang akan dilakukan tersebut. 3) Lamanya individu menekuni satu jenis kegiatan tertentu. Dalam melakukan sesuatu haruslah ada perasaan senang dan bangga terhadap apa yang dikerjakannya. Sesuatu itu lebih bermakna bila yang berbuat mempunyai kadar kecintaan terhadap apa yang dilakukannya. 4) Motivasi yang datang dari keluarga juga mempengaruhi seseorang terhadap bidang kegiatannya. Sedangkan indikator fanatisme sebagai berikut: Indikator fanatisme 1) Fanatik organisasi, mengklaim yang paling benar dan yang lain salah. 2) Fanatik pada keimanannya sendiri dengan tidak didukung rasa yang toleran dan hati yang lapang. 3) Fanatisme terhadap suatu pendapat tanpa mengakui adanya pendapat lain dan merasa benar sendiri atau tidak menghormati orang lain. (Iqni, 2013)

18 30 Ada beberapa faktor yang menyebabkan sikap fanatik itu muncul, antara lain sebagai berikut: a) Perbedaan warna kulit sehingga muncul fanatik warna kulit b) Perbedaan etnik atau kesukuan memunculkan fanatik suku c) Perbedaan kelas sosial memunculkan fanatik kelas sosial. 2.4 Kerangka Berfikir Pengaruh Antara Konformitas, Fanatisme, dan Agresivitas,Pada Suporter Sepak Bola Pada dasarnya manusia bersifat konformis. Hal itu dilakukannya untuk mendapat penerimaan dari suatu kelompok tersebut. Ketika sudah mencintai suatu kelompok maka individu akan melakukan apapun agar dapat diterima oleh kelompok tersebut. Rasa cinta yang besar itulah yang dinamakan fanatik. Semakin tinggi konformitas seseorang maka semakin tinggi pula fanatismenya (Anugrah et al, 2013). Seorang yang fanatik terhadap suatu kelompok biasanya akan mengikuti dan meyakini apa yang menjadi pedoman dari kelompok tersebut. Seperti halnya seorang suporter yang mencintai suatu klub sepak bola tertentu dia akan mendukung sepenuh hati klub nya tersebut karena dia berada di dalam suatu kelompok atau lingkungan yang juga membela tim yang sama. Jika dia tidak membelanya maka dia tidak akan mendapat pengakuan dari kelompoknya tersebut. Seperti yang telah penulis paparkan diatas tentang pengaruh antara fanatisme dan agresivitas, bahwa agresivitas yang dimunculkan oleh para suporter karena rasa cinta mereka terhadap klub yang didukungnya sangat besar. Rasa cinta yang besar itulah yang dinamakan fanatik.

19 31 Dindin Hasanudin (2011) mengatakan bahwa fanatisme biasanya tidak rasional, seseorang yang fanatik memiliki keyakinan yang terlalu kuat dan tidak menggunakan akal budi sehingga tidak menerima faham yang lain dan bertujuan untuk mengejar sesuatu. Selaras dengan yang dikatakan oleh Budi (2010) bahwa kefanatisan suporter seringkali berbuah pertikaian dan perkelahian. Pertikaian, dan perkelahian yang disertai distrukis biasa dinamakan agresif. Fanatisme juga dipandang sebagai penyebab menguatnya perilaku agresif. Konformitas merupakan perilaku tertentu yang dilakukan, dikarenakan orang lain atau kelompoknya melakukan suatu perilaku atau tindakan yang sama. maka individu juga melakukanya walaupun individu tersebut menyukai atau tidak menyukai apa yang terjadi (Sears, Freedman, dan Peplau, 1985). Individu yang konformis akan melakukan apapun agar dapat diterima oleh kelompoknya. Pengaruh kelompok tersebut dapat membuat seorang suporter berbuat agresiv. Seseorang akan mudah terpengaruh melakukan perilaku agresi pada saat mendapat provokasi secara langsung dari kelompoknya (Yulya, 2015). Dasar itulah yang tak jarang membuat para suporter berperilaku anarki, karena mereka berusaha mengikuti kelompoknya agar dapat diterima dalam kelompok tersebut. Sarwono (2010) mengatakan bahwa, adanya desakan dari kelompok dan identitas kelompok (kalau tidak ikut melakukan dianggap bukan angota kelompok) dapat menyebebkan seseorang melakukan perilaku agresi. (Yulya, 2015)

20 32 Konformitas H 1 Agresifitas Fanatisme H 2 H 3 Gambar Kerangka Berpikir 2.5. Hipotesis Berdasarkan latar belakang, permasalahan penelitian, dan tinjauan kepustakaan, maka variable bebas penelitian ini adalah Konformitas, dan Fanatisme. Sedangkan variable terikat pada penelitian ini adalah Agresivitas Dan berdasarkan gambar kerangka berpikir diatas, penelitian ini mengajukan hipotesis yaitu : X1 (Konformitas) Y (Agresivitas) X2 (Fanatisme) 1. Ada pengaruh antara X1 (Konformitas) terhadap Y (Agresivitas) 2. Ada pengaruh antara X2 (Fanatisme) terhadap Y (Agresivitas) 3. Ada pengaruh antara X1 (Konformitas), dan X2 (Fanatisme) terhadap Y (Agresivitas)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. AGRESIFITAS 1. Defenisi Agresif Perilaku merupakan sikap atau perangai yang dimiliki oleh setiap individu dan sifatnya berbeda antara individu satu dengan individu yang lainnya.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Perilaku Agresif 2.1.1. Pengertian Perilaku Agresif Perasaan kecewa, emosi, amarah dan sebagainya dapat memicu munculnya perilaku agresif pada individu. Pemicu yang umum dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebut sebagai pemain ke-12, sehingga suatu pertandingan tidak berarti tanpa

BAB I PENDAHULUAN. disebut sebagai pemain ke-12, sehingga suatu pertandingan tidak berarti tanpa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sepakbola tidak terlepas dari yang namanya supporter, supporter biasa disebut sebagai pemain ke-12, sehingga suatu pertandingan tidak berarti tanpa kehadiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1.Latar Belakang Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat dari sekolah bagi siswa ialah melatih kemampuan akademis siswa,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Agresivitas

BAB II LANDASAN TEORI. A. Agresivitas BAB II LANDASAN TEORI A. Agresivitas Semua orang seperti memahami apa itu agresi, namun pada kenyatannya terdapat perbedaan pendapat tentang definisi agresivitas. agresi identik dengan hal yang buruk.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Konsumtif adalah pemakaian atau pengonsumsian barang-barang yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Konsumtif adalah pemakaian atau pengonsumsian barang-barang yang BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Konsumtif 1. Pengertian Perilaku Konsumtif Konsumtif adalah pemakaian atau pengonsumsian barang-barang yang sifatnya karena tuntutan gengsi semata dan bukan menurut tuntutan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang diamati secara umum atau objektif. Hal tersebut senada dengan pendapat Sarwono (2001)

BAB II LANDASAN TEORI. yang diamati secara umum atau objektif. Hal tersebut senada dengan pendapat Sarwono (2001) BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Merokok 2.1.1 Pengertian Perilaku Merokok Chaplin (2001) memberikan pengertian perilaku terbagi menjadi 2: pengertian dalam arti luas dan pengertian sempit. Dalam pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Konformitas teman sebaya pada remaja yang masih bersekolah dapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Konformitas teman sebaya pada remaja yang masih bersekolah dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konformitas teman sebaya pada remaja yang masih bersekolah dapat berbentuk positif atau negatif. Konformitas menurut Brehm dan Kassin (dalam Sarwana, 2009) adalah kecenderungan

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA EGOSENTRISME DAN KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA. Skripsi

LAPORAN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA EGOSENTRISME DAN KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA. Skripsi LAPORAN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA EGOSENTRISME DAN KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sebagaimana yang kita ketahui, sepak bola merupakan olahraga yang paling

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sebagaimana yang kita ketahui, sepak bola merupakan olahraga yang paling BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana yang kita ketahui, sepak bola merupakan olahraga yang paling digemari oleh penduduk bumi. Cabang olahraga yang bisa dibilang sangat merakyat, itulah sebabnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia mencapai 243,8 juta jiwa dan sekitar 33,9 persen diantaranya adalah anakanak usia 0-17 tahun (Badan

Lebih terperinci

RINGKASAN SKRIPSI. dalam bentuk verbal juga ada. Tak jarang masing-masing antar anggota pencak

RINGKASAN SKRIPSI. dalam bentuk verbal juga ada. Tak jarang masing-masing antar anggota pencak RINGKASAN SKRIPSI A. PENDAHULUAN Sudah menjadi rahasia umum bahwa dunia persilatan memang sangat identik dengan perilaku kekerasan atau agresi. Mulai dari latihan pencak silat yang tampak terlihat memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proses timbulnya perilaku tersebut ialah ketika seseorang dalam suatu titik. perilaku yang dinamakan perilaku agresif.

BAB I PENDAHULUAN. Proses timbulnya perilaku tersebut ialah ketika seseorang dalam suatu titik. perilaku yang dinamakan perilaku agresif. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perilaku agresif seringkali diperbincangkan oleh masyarakat karena hal tersebut memicu kekhawatiran masyarakat sekitar, terutama di kalangan pelajar SMK. Hal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah self-esteem yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan. harga diri, coba dijabarkan oleh beberapa tokoh kedalam suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah self-esteem yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan. harga diri, coba dijabarkan oleh beberapa tokoh kedalam suatu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Self-Esteem 2.1.1 Pengertian Self-Esteem Istilah self-esteem yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan harga diri, coba dijabarkan oleh beberapa tokoh kedalam suatu pengertian.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi tentang variabel-variabel dimana didalamanya terdapat definisi, faktor dan teori dari masing-masing variabel dan juga berisi tentang hipotesis penelitian ini. 2.1

Lebih terperinci

AGRESI MODUL PSIKOLOGI SOSIAL I. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

AGRESI MODUL PSIKOLOGI SOSIAL I. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh MODUL PSIKOLOGI SOSIAL I AGRESI Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Fakultas Psikologi Psikologi 13 61016 Abstract Materi tentang pengertian agresi, teoriteori dan cara menguranginya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tawuran terjadi dikalangan pelajar sudah menjadi suatu hal yang biasa, sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi di tangerang,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. Manusia dalam perkembangannya, sebagai makhluk sosial tidak lepas dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. Manusia dalam perkembangannya, sebagai makhluk sosial tidak lepas dari 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyesuaian Diri 1. Definisi Penyesuaian Diri Manusia dalam perkembangannya, sebagai makhluk sosial tidak lepas dari berinteraksi dengan orang lain maupun lingkungannya. Berbicara

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. aturan dan norma sosial yang berlaku dikalangan masyarakat.

BAB II LANDASAN TEORI. aturan dan norma sosial yang berlaku dikalangan masyarakat. BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Vandalisme 2.1.1 Pengertian Vandalisme. Menurut Sarwono (2006) masa remaja merupakan periode yang penuh gejolak emosi tekanan jiwa sehingga remaja mudah berperilaku menyimpang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Konsumtif terhadap Produk Kosmetik. 1. Pengertian Perilaku Konsumtif terhadap Produk Kosmetik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Konsumtif terhadap Produk Kosmetik. 1. Pengertian Perilaku Konsumtif terhadap Produk Kosmetik BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Konsumtif terhadap Produk Kosmetik 1. Pengertian Perilaku Konsumtif terhadap Produk Kosmetik Kata konsumtif mempunyai arti boros, makna kata konsumtif adalah sebuah

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN EMOSI DAN KONFORMITAS DENGAN PERILAKU AGRESIF PADA SUPORTER SEPAK BOLA

HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN EMOSI DAN KONFORMITAS DENGAN PERILAKU AGRESIF PADA SUPORTER SEPAK BOLA HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN EMOSI DAN KONFORMITAS DENGAN PERILAKU AGRESIF PADA SUPORTER SEPAK BOLA Skripsi Diajukan guna memenuhi sebagian dari persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana-S1 Psikologi Diajukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Banyak sekali latar belakang kekerasan terhadap anak mulai dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Banyak sekali latar belakang kekerasan terhadap anak mulai dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyak sekali latar belakang kekerasan terhadap anak mulai dari ketidakpuasan seseorang terhadap kondisi hidupnya sehingga melihat anak yang tidak berdaya sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penggemarnya amat luas. Jika kita bicara di era globalisasi sepak bola,

BAB I PENDAHULUAN. penggemarnya amat luas. Jika kita bicara di era globalisasi sepak bola, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sepak bola merupakan salah satu cabang olahraga yang penggemarnya amat luas. Jika kita bicara di era globalisasi sepak bola, maka globalisasi yang paling sukses disepanjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pembentukan kepribadian akan sangat ditentukan pada masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pembentukan kepribadian akan sangat ditentukan pada masa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembentukan kepribadian akan sangat ditentukan pada masa perkembangan dimana manusia berada pada rentan umur 12 hingga 21 tahun. Masa transisi dari kanak-kanak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Balakang Masalah Remaja dipandang sebagai periode perubahan, baik dalam hal fisik, minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk mengubah cara

BAB 2 LANDASAN TEORI. terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk mengubah cara BAB 2 LANDASAN TEORI 2. 1. Self-Control 2. 1. 1. Definisi Self-control Self-control adalah tenaga kontrol atas diri, oleh dirinya sendiri. Selfcontrol terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pada berbagai kalangan, baik orang dewasa, remaja maupun anak-anak.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pada berbagai kalangan, baik orang dewasa, remaja maupun anak-anak. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persaingan masyarakat di zaman modern terus mengalami peningkatan pada berbagai kalangan, baik orang dewasa, remaja maupun anak-anak. Persaingan yang semakin

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. menyakiti, mengancam atau membahayakan individu-individu atau objek-objek

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. menyakiti, mengancam atau membahayakan individu-individu atau objek-objek BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agresi 2.1.1 Definisi Agresivitas adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun mental (Aziz & Mangestuti, 2006). Perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari

BAB I PENDAHULUAN. adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kekerasan yang terjadi saat ini sangat memprihatinkan, salah satunya adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari Komnas Perlindungan anak,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Siswa. belajarnya (dalam 2014). sebagai suatu pribadi atau individu.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Siswa. belajarnya (dalam  2014). sebagai suatu pribadi atau individu. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Siswa 1. Pengertian Siswa Siswa adalah salah satu komponen manusiawi yang menempati posisi sentral dalam proses belajar mengajar dimana di dalam proses belajar mengajar, siswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa depan, harapanya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa depan, harapanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa depan, harapanya mereka dapat menggantikan generasi terdahulu dengan sumber daya manusia, kinerja dan moral

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai kehidupan manusia dalam beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain, saling memberikan pengaruh antara satu dengan yang lain dan ingin

BAB I PENDAHULUAN. lain, saling memberikan pengaruh antara satu dengan yang lain dan ingin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu dengan yang lain, saling memberikan pengaruh antara satu dengan yang lain dan ingin berkumpul untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Persija (singkatan dari Persatuan Sepak Bola Indonesia Jakarta) adalah sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Persija (singkatan dari Persatuan Sepak Bola Indonesia Jakarta) adalah sebuah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persija (singkatan dari Persatuan Sepak Bola Indonesia Jakarta) adalah sebuah klub sepak bola Indonesia yang berbasis di Jakarta. Persija saat ini berlaga

Lebih terperinci

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO HUBUNGAN ANTARA KONFORMITAS TEMAN SEBAYA DENGAN INTENSI AGRESI PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN YAYASAN KEJURUAN TEKNOLOGI BARU (SMK YKTB) 2 KOTA BOGOR Oleh: Amalina Ghasani 15010113130113 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam masyarakat, seorang remaja merupakan calon penerus bangsa, yang memiliki potensi besar dengan tingkat produktivitas yang tinggi dalam bidang yang mereka geluti

Lebih terperinci

BENTUK AGRESIF REMAJA PELAKU KEKERASAN (SURVEY PADA SISWA KELAS 11 SMA NEGERI 2 KAB. TANGERANG)

BENTUK AGRESIF REMAJA PELAKU KEKERASAN (SURVEY PADA SISWA KELAS 11 SMA NEGERI 2 KAB. TANGERANG) 33 BENTUK AGRESIF REMAJA PELAKU KEKERASAN (SURVEY PADA SISWA KELAS 11 SMA NEGERI 2 KAB. TANGERANG) Oleh : Detria Nurmalinda Chanra 1 Prof. Dr. Dr. dr. Th. I. Setiawan 2 Herdi, M.Pd 3 Abstrak Tujuan penelitian

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA Kemandirian dalam pengambilan keputusan Pengertian kemandirian dalam pengambilan keputusan

BAB II KAJIAN PUSTAKA Kemandirian dalam pengambilan keputusan Pengertian kemandirian dalam pengambilan keputusan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kemandirian dalam pengambilan keputusan 2.1.1. Pengertian kemandirian dalam pengambilan keputusan Kemandirian menurut Elkind dan Weiner (Nuryoto, 1993) mencakup pengertian kebebasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress (santrock, 2007 : 200). Masa remaja adalah masa pergolakan yang dipenuhi oleh konflik dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alkohol, napza, seks bebas) berkembang selama masa remaja. (Sakdiyah, 2013). Bahwa masa remaja dianggap sebagai suatu masa dimana

BAB I PENDAHULUAN. alkohol, napza, seks bebas) berkembang selama masa remaja. (Sakdiyah, 2013). Bahwa masa remaja dianggap sebagai suatu masa dimana 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja merupakan periode perkembangan yang penting dalam kaitannya dengan keadaan sehat dan keadaan tidak sehat. Banyak perilaku sehat (misalnya; diet, dan olahraga)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. juga adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara langsung

BAB I PENDAHULUAN. juga adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara langsung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prilaku remaja pada hakekatnya adalah suatu aktivitas pada remaja itu sendiri, prilaku juga adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB V HASIL PENELITIAN BAB V HASIL PENELITIAN Pengujian terhadap hipotesis dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis korelasi Product Moment untuk mencari hubungan antara konformitas teman sebaya dengan perilaku agresif

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial

BAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial BAB II TINJAUAN TEORI A. Kenakalan Remaja 1. Pengertian Kenakalan Remaja Kenakalan remaja (juvenile delinquency) mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konformitas Negatif Pada Remaja 2.1.1 Pengertian Konformitas Negatif Pada Remaja Konformitas dapat timbul ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain. Apabila seseorang menampilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara individual maupun massal sudah menjadi berita harian. Aksi-aksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara individual maupun massal sudah menjadi berita harian. Aksi-aksi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekarang ini bagi masyarakat, aksi-aksi kekerasan baik yang dilakukan secara individual maupun massal sudah menjadi berita harian. Aksi-aksi kekerasan dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai bekal untuk hidup secara mandiri. Masa dewasa awal atau early health

BAB I PENDAHULUAN. sebagai bekal untuk hidup secara mandiri. Masa dewasa awal atau early health BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa dikenal sebagai pelaku utama dan agent of exchange dalam gerakan-gerakan pembaharuan. Mahasiswa memiliki makna yaitu sekumpulan manusia intelektual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. remaja (Hurlock, 2003). Di dalam masa remaja juga terdapat tahapan perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. remaja (Hurlock, 2003). Di dalam masa remaja juga terdapat tahapan perkembangan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja identik dengan masa pubertas, di masa ini terjadi perubahan fisik di semua bagian tubuh baik ekternal maupun internal yang juga mempengaruhi psikologis remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Siswa tunagrahita pada umumnya termasuk juga siswa tunagrahita ringan, memiliki hambatan dalam kepribadian dan emosinya. Karena mereka kurang memiliki kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan sekolah. Perkelahian tersebut sering kali menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan sekolah. Perkelahian tersebut sering kali menimbulkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini banyak terjadi kasus kekerasan baik fisik maupun non fisik yang melibatkan remaja sebagai pelaku ataupun korban. Kekerasan yang sering terjadi adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007). 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Seseorang bisa dikatakan anak jalanan apabila berumur dibawah 18 tahun, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan

BAB I PENDAHULUAN. Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan untuk terbawa arus adalah remaja. Remaja memiliki karakteristik tersendiri yang unik, yaitu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu BAB II LANDASAN TEORI A. Sibling Rivalry 1. Pengertian Sibling Rivalry Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu keluarga yang sama, teristimewa untuk memperoleh afeksi atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Siswa Sekolah Menengah

BAB I PENDAHULUAN. mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Siswa Sekolah Menengah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada siswa Sekolah Menengah Pertama berusia 12 tahun sampai 15 tahun, mereka membutuhkan bimbingan dan arahan dari pihak keluarga dan sekolah agar mereka dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu fenomena yang ada akhir-akhir ini yang sangat memprihatinkan adalah bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun masal sudah merupakan berita harian di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal sering kali kita dengar dan hal ini mungkin sudah merupakan berita harian. Saat ini beberapa televisi bahkan membuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja yang merupakan masa-masa dimana banyak terjadi perubahan dalam kehidupan seseorang. Berdasarkan fenomena yang diberitakan melalui berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB II. Landasan Teori. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar istilah agresif.

BAB II. Landasan Teori. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar istilah agresif. BAB II Landasan Teori A. PERILAKU AGRESI A.1 Pengertian Perilaku Agresi Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar istilah agresif. Mungkin terlintas dalam pikiran kita segala tindakan yang berbentuk

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Kemandirian 2.1.1 Pengertian Kemandirian Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap individu yang diperoleh selama masa perkembangan. Kemandirian seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah perilaku seksual pada remaja saat ini menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih menganggap tabu untuk

Lebih terperinci

MODUL PERKULIAHAN. Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi

MODUL PERKULIAHAN. Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi MODUL PERKULIAHAN AGRESI Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Fakultas Psikologi Psikologi 61119

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menghindari perlakuan itu (Krahe, 2005, pp ).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menghindari perlakuan itu (Krahe, 2005, pp ). A. Agresivitas 1. Pengertian Agresivitas BAB II TINJAUAN PUSTAKA Baron dan Richardson (1994, hlm. 7) mereka mengusulkan penggunaan istilah agresi untuk mendeskripsikan segala bentuk perilaku yang dimaksudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan dilingkungan institusi pendidikan yang semakin menjadi permasalahan dan menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan anak yang berbeda-beda. Begitu pula dengan pendidikan dan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan anak yang berbeda-beda. Begitu pula dengan pendidikan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penanganan untuk anak berkebutuhan khusus menjadi suatu tantangan tersendiri bagi penyelenggara pendidikan luar biasa mengingat karakteristik dan kebutuhan anak yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kecerdasan awalnya dianggap sebagai kemampuan general manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN. Kecerdasan awalnya dianggap sebagai kemampuan general manusia untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kecerdasan awalnya dianggap sebagai kemampuan general manusia untuk melakukan tindakan-tindakan yang mempunyai tujuan dan berpikir dengan cara yang rasional.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perilaku agresi, terutama di kota-kota besar khususnya Jakarta. Fenomena agresi

BAB 1 PENDAHULUAN. perilaku agresi, terutama di kota-kota besar khususnya Jakarta. Fenomena agresi BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Hampir setiap hari banyak ditemukan pemberitaan-pemberitaan mengenai perilaku agresi, terutama di kota-kota besar khususnya Jakarta. Fenomena agresi tersebut merupakan

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN. Sampel peneliti terbagi dalam 2 kelompok yaitu gamers DotA dan gamers

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN. Sampel peneliti terbagi dalam 2 kelompok yaitu gamers DotA dan gamers BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Simpulan Sampel peneliti terbagi dalam 2 kelompok yaitu gamers DotA dan gamers Ragnarok Online. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat perbedaan tingkat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penuh gejolak dan tekanan. Istilah storm and stress bermula dari psikolog

BAB 1 PENDAHULUAN. penuh gejolak dan tekanan. Istilah storm and stress bermula dari psikolog BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada umumnya masa remaja dianggap sebagai masa yang paling sulit dalam tahap perkembangan individu. Para psikolog selama ini memberi label masa remaja sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa remaja berlangsung proses-proses perubahan secara biologis,

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa remaja berlangsung proses-proses perubahan secara biologis, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa remaja berlangsung proses-proses perubahan secara biologis, psikologis, dan sosiologis. Remaja mengalami kebingungan sehingga berusaha mencari tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung pendidikan sepanjang hayat adalah diakuinya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). PAUD adalah pendidikan

Lebih terperinci

Perpustakaan Unika LAMPIRAN

Perpustakaan Unika LAMPIRAN LAMPIRAN LAMPIRAN A SKALA PENELITIAN A-1 Perilaku Agresif pada Anak A-2 Konformitas terhadap Teman Sebaya A-1 PERILAKU AGRESIF PADA ANAK Kelas / No. : Umur : Tanggal Pengisian : Sekolah : PETUNJUK PENGISIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ham p ir 40% tindak

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ham p ir 40% tindak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ham p ir 40% tindak kriminalitas dilakukan oleh remaja (Republika, 2 0 0 5 ). Tindak kriminal yang dilakukan oleh remaja sangat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orang Tua 1. Pengertian Orang tua adalah orang yang lebih tua atau orang yang dituakan, terdiri dari ayah dan ibu yang merupakan guru dan contoh utama untuk anakanaknya karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode untuk mendisiplinkan anak. Cara ini menjadi bagian penting karena terkadang menolak untuk

Lebih terperinci

PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA

PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA Oleh: Alva Nadia Makalah ini disampaikan pada Seminar Online Kharisma ke-3, dengan Tema: Kekerasan Pada Anak: Efek Psikis, Fisik, dan Tinjauan Agama Dunia Maya,

Lebih terperinci

BAB ll KAJIAN TEORI. bahkan pada dirinya sendiri. Definisi ini berlaku bagi semua makhluk vertebrata,

BAB ll KAJIAN TEORI. bahkan pada dirinya sendiri. Definisi ini berlaku bagi semua makhluk vertebrata, BAB ll KAJIAN TEORI 2.1 Perilaku Agresif 2.1.1 Pengertian perilaku agresif Pengertian secara umum agresi dapat diartikan sebagai suatu serangan yang di lakukan oleh suatu organisme terhadap oranisme lain,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijalankan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Seorang individu

BAB I PENDAHULUAN. dijalankan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Seorang individu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perilaku individu berkaitan erat dengan yang namanya peran dalam kehidupan bermasyarakat. Peran mengandung hal dan kewajiban yang harus dijalani oleh seorang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bullying 1. Definisi Bullying Bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang lebih kuat terhadap individu atau kelompok yang lebih lemah, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja adalah masa transisi antara anak-anak menuju orang dewasa sehingga banyak terjadi perubahan yang mencirikan sebagai anak remaja, diantaranya: Mengalami

Lebih terperinci

BAB ll LANDASAN TEORI. A. Perilaku Agresif. salah satunya adalah Freud (dalam Atkinson,1983) yang memandang agresif

BAB ll LANDASAN TEORI. A. Perilaku Agresif. salah satunya adalah Freud (dalam Atkinson,1983) yang memandang agresif 13 BAB ll LANDASAN TEORI A. Perilaku Agresif 1. Pengertian Perilaku Agresif Banyak para ahli yang berusaha untuk mendefinisikan tentang agresif, salah satunya adalah Freud (dalam Atkinson,1983) yang memandang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kompleks yang merupakan hasil interaksi berbagai penyebab dari keadaan

BAB I PENDAHULUAN. yang kompleks yang merupakan hasil interaksi berbagai penyebab dari keadaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang paling mendapat perhatian dalam rentang kehidupan manusia. Hal ini disebabkan banyak permasalahan yang terjadi dalam masa remaja.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masyarakat dari berbagai kalangan, baik anak-anak, remaja, dewasa, sampai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masyarakat dari berbagai kalangan, baik anak-anak, remaja, dewasa, sampai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sepak bola merupakan salah satu olah raga yang banyak digemari oleh masyarakat dari berbagai kalangan, baik anak-anak, remaja, dewasa, sampai orangtua. Seiring

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja dipandang sebagai periode perubahan baik dalam hal fisik, minat,

BAB I PENDAHULUAN. Remaja dipandang sebagai periode perubahan baik dalam hal fisik, minat, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja dipandang sebagai periode perubahan baik dalam hal fisik, minat, sikap, perilaku maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku masa remaja

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja adalah periode perkembangan disaat individu mengalami

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja adalah periode perkembangan disaat individu mengalami BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja adalah periode perkembangan disaat individu mengalami perubahan dari masa kanak kanak menuju masa dewasa perubahan ini terjadi diantara usia 13 dan 20 tahun

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KEPRIBADIAN EKSTROVERT DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA

HUBUNGAN ANTARA KEPRIBADIAN EKSTROVERT DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA HUBUNGAN ANTARA KEPRIBADIAN EKSTROVERT DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA SKRIPSI Disusun Untuk memenenuhi Sebagian Persyaratan Meraih Gelar Sarjana S1 Psikologi Oleh: Dony Sinuraya F. 100 030 142 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan manusia untuk mengubah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan manusia untuk mengubah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan manusia untuk mengubah sikap dan tata laku seseorang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock,

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock, BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Adolescence (remaja) merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia, karena masa remaja adalah masa transisi dalam rentang kehidupan manusia yang menghubungkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita serta mencapai peran sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keluaga mempunyai fungsi tidak hanya terbatas sebagai penerus keturunan

BAB I PENDAHULUAN. Keluaga mempunyai fungsi tidak hanya terbatas sebagai penerus keturunan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keluaga mempunyai fungsi tidak hanya terbatas sebagai penerus keturunan saja, dalam bidang pendidikan pun, keluarga merupakan sumber pendidikan utama karena

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Perilaku agresif suporter sepak bola. ingin mengetahui perilaku agresif beserta faktor-faktor yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Perilaku agresif suporter sepak bola. ingin mengetahui perilaku agresif beserta faktor-faktor yang 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku agresif suporter sepak bola Dalam penelitian ini. Peneliti tertarik meneliti Perilaku Agresif suporter sepak bola Persegres Gresik United dikarenakan peneliti ingin

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal sudah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal sudah 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu fenomena yang ada akhir-akhir ini yang sangat memprihatinkan adalah bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal sudah merupakan berita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan masa dimana seseorang akan mulai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan masa dimana seseorang akan mulai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa dimana seseorang akan mulai mempertanyakan tentang identitas dirinya, remaja merasa sebagai seseorang yang unik, seseorang dengan perubahan-perubahan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dalam bentuk pengerusakan terhadap orang atau benda dengan unsur

BAB II LANDASAN TEORI. dalam bentuk pengerusakan terhadap orang atau benda dengan unsur BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Perilaku Agresi 2.1.1. DefinisiPerilaku Agresi Menurut Scheneiders (1955) perilaku agresif merupakan luapan emosi sebagai reaksi terhadap kegagalan individu yang ditampilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pada dasarnya setiap manusia memiliki kecemasan masing-masing

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pada dasarnya setiap manusia memiliki kecemasan masing-masing BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada dasarnya setiap manusia memiliki kecemasan masing-masing dalam dirinya, baik untuk menghadapi masalah dalam dirinya sendiri atau dalam bersosialisasi dengan teman-teman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yudi Fika Ismanto, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yudi Fika Ismanto, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permainan bola voli di Indonesia merupakan salah satu cabang olahraga yang banyak digemari masyarakat, karena dapat dilakukan oleh anak-anak hingga orang dewasa,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. ketidaknyamanan fisik maupun psikologis terhadap orang lain. Olweus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. ketidaknyamanan fisik maupun psikologis terhadap orang lain. Olweus BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Bullying 1. Pengertian perilaku bullying Randall (2002) berpendapat bahwa Bullying dapat didefinisikan sebagai tindakan atau perilaku agresif yang disengaja untuk menyebabkan

Lebih terperinci

H, 2016 HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU BULLYING

H, 2016 HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU BULLYING BAB I PENDAHULUAN Pokok bahasan yang dipaparkan pada Bab I meliputi latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur organisasi penelitian. A.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Gaya Hidup Hedonis. Gaya hidup adalah pola tingkah laku sehari-hari segolongan manusia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Gaya Hidup Hedonis. Gaya hidup adalah pola tingkah laku sehari-hari segolongan manusia 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Gaya Hidup Hedonis 1. Pengertian Gaya Hidup Hedonis Gaya hidup adalah pola tingkah laku sehari-hari segolongan manusia dalam masyarakat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Berprestasi Pada Atlet Sepak Bola. Menurut McClelland (dalam Sutrisno, 2009), motivasi berprestasi yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Berprestasi Pada Atlet Sepak Bola. Menurut McClelland (dalam Sutrisno, 2009), motivasi berprestasi yaitu BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Motivasi Berprestasi Pada Atlet Sepak Bola 1. Pengertian Motivasi Berprestasi Menurut McClelland (dalam Sutrisno, 2009), motivasi berprestasi yaitu usaha pada tiap individu dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sepakbola merupakan olahraga yang paling terkenal di dunia, tidak hanya oleh orang dewasa, anak-anak, pria, bahkan wanita pun memainkan olahraga ini. Sepakbola adalah

Lebih terperinci