BAB I PENDAHULUAN. dan Belanja Negara (APBN) beberapa tahun belakangan. 1 Berdasarkan data

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sektor pajak merupakan sektor yang paling vital untuk sebuah negara. Hal ini dikarenakan pajak adalah salah satu sumber pendapatan negara. Dalam sejarah perjalanan Republik ini, telah kita ketahui bahwa sumber pendapatan negara dari pajak telah menjadi unsur utama dalam menunjang kegiatan perekonomian, menggerakkan roda pemerintahan dan penyediaan fasilitas umum bagi masyarakat. Secara persentase, setidaknya pajak memenuhi kurang lebih 70% pos penerimaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) beberapa tahun belakangan. 1 Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi pendapatan negara tahun anggaran 2015 tercatat mencapai Rp1.491,5 triliun (angka sementara), atau mencapai 84,7 persen dari target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 yang sebesar Rp1.761,6 triliun. Realisasi penerimaan perpajakan mencapai Rp1.235,8 triliun, atau 83 persen dari target APBN-P 2015 yang sebesar Rp1.489,3 triliun. 2 Sumber Penerimaan yang berasal dari pajak merupakan sumber tertinggi yang diterima oleh negara dibandingkan dengan penerimaan lainnya. Hal ini menunjukkan 1 2 Erikson Wijaya, Menyelami Arti Penting Pajak dan Kemandirian Bangsa. E-article yang diakses di pada tanggal 12 Juli Kementerian Keuangan, Realisasi Pendapatan Negara 2015 Capai Rp1.491,5 Triliun, yang diakses pada tanggal 13 November

2 bahwa peranan pajak dalam mewujudkan stabilitas roda kehidupan negeri ini sangatlah penting. Melihat betapa pentingnya sektor pajak, peranan pajak harus lebih ditingkatkan pengawasannya mengingat semakin kompleksnya upaya penggelapan dan penghindaran pajak, salah satunya dengan berinvestasi melalui kepemilikan saham di perusahaan cangkang atau offshore company untuk tujuan khusus yang dilakukan oleh Wajib Pajak baik orang perseorangan maupun perusahaan nasional dan multinasional yang memanfaatkan negara-negara suaka pajak atau tax heaven countries dan celah hukum di instrumen keuangan oleh pusat keuangan global. Isu offshore company semakin mengemuka pada tahun 2015, kasus yang membuat dunia pajak internasional tercengang, yaitu Panama Papers. Berdasarkan hasil investigasi dari Tempo dan wawancara yang dilakukan oleh Media Tempo kepada Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, dokumen The Panama Papers pertama kali diperoleh koran Jerman Suddeutsche Zeitung pada awal Data yang dikirimkan bertahap sampai mencapai 11,5 juta files ini mencakup nama lebih dari 200 ribu perusahaan cangkang di 21 kawasan suaka pajak. Ada hampir 900 individu dan perusahaan yang berdomisili di Indonesia dalam daftar itu. Nilai kekayaan orang Indonesia yang tersembunyi di negara-negara tax haven, 2

3 menurut Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, lebih dari Product Domestic Bruto (PDB) Indonesia yang sekarang sekitar Rp triliun. 3 Dunia internasional telah melakukan upaya terkait pemberantasan tax evasion dengan berupaya mendapatkan data/informasi terkait aset Wajib Pajak negara asalnya, sebagai contoh Amerika Serikat yang mengeluarkan peraturan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA). FATCA merupakan peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan Amerika Serikat yang merujuk pada ketentuan dalam Hiring Incentives to Restore Employment Act yang diundangkan pada tanggal 18 Maret 2010 dan mulai berlaku secara efektif pada 1 Januari FATCA mengatur kewajiban terhadap Foreign Financial Institution (FFI) untuk memberikan data informasi/laporan keuangan akun milik warga Amerika Serikat kepada International Revenue Service (IRS) yang terdapat dalam FFI. Tujuan utama dari dibentuknya FATCA adalah bukan untuk mengenakan witholding tax melainkan untuk mendeteksi, mencegah dan menanggulangi penggelapan pajak (tax evasion) oleh warga negara Amerika Serikat yang melakukan direct investment melalui lembaga keuangan di luar negeri ataupun indirect investment melalui kepemilikan perusahaan di luar negeri. 5 Permasalahan dan hambatan terhadap FATCA tersebut adalah ruang lingkup atas kewajiban memberikan data/informasi keuangan yang hanya Investigasi Tempo, Jejak Korupsi Global dari Panama, yag diakses pada tanggal 2 Juni 2016 Gregory C. Walsh dan Marnin J. Michaels, United States of America: FATCA and Foundations, Oxford Journals, Volume 20 Issue 6, Juni 2014, hlm Ibid. 3

4 terbatas warga Amerika Serikat dan negara pihak yang melakukan kerjasama dan hal ini tidak sesuai dengan status quo yang ada karena banyaknya pelaku ekonomi yang melakukan penanaman modal di negaranegara non-pihak seperti kasus Panama Papers. Terhadap permasalahan Panama Papers, Intelijen Direktorat Jenderal Pajak juga mengalami kesulitan dan hambatan dalam menangani masalah tersebut. Hambatan tersebut menurut Bambang Brodjonegoro adalah sulitnya mendapatkan data terhadap baik direct investment maupun indirect investment pelaku ekonomi dan/atau Wajib Pajak Indonesia. Oleh sebab itu, pada bulan April 2016 telah diadakan pertemuan forum yang dihadiri oleh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral dari negara-negara G20 untuk membahas tentang kasus Panama Papers. Salah satu agenda pertemuan tersebut adalah mengenai urgensi kerjasama internasional dalam melakukan pertukaran informasi untuk tujuan administrative tax atas data keuangan Wajib Pajak warga negara asalnya yang melakukan penanaman modal di negara asing guna menghindari adanya tax evasion. 6 6 Transparancy International Indonesia, Menunggu G20 Sikapi Panama Papers, yang diakses di pada tanggal 28 Mei

5 Sebenarnya dunia internasional telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi tax evasion, mulai dari OECD (1998) Harmful Tax Competition, OECD (2000) The Global Forum on Transparency and Exchange of Information, OECD (2002) Model Agreement Exchange of Information dan Tax Information Exchange Agreement, Global Forum (2009) menyusun standard peer-review dan mulai menyuarakan Exchange of Information dan Amerika Serikat menerbitkan aturan tentang FATCA (2010), Komitmen untuk merumuskan dan bekerjasama dalam AEOI oleh G20 dan OECD (2013) dan full version of AEOI + CRS (2014). Selengkapnya dapat dilihat dari bagan dibawah ini: 5

6 Selain itu, untuk Indonesia, Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi tax evasion melalui Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan negara-negara lain dan peraturan perundang-undangan. Berbagai peraturan telah dibuat oleh pemerintah guna menghindari tax evasion, yaitu: 1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2017 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Perjanjian Internasional; 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2016 tentang Perubahan Kelima Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2013 Tentang Rincian Jenis Data Dan Informasi Serta Tata Cara Penyampaian Data Dan Informasi Yang Berkaitan Dengan Perpajakan; 3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement); 4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 240/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure); 5. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 25/POJK.03/2015 Tahun 2015 tentang Penyampaian Informasi Nasabah Asing Terkait Perpajakan Kepada Negara Mitra Atau Yurisdiksi Mitra; 6

7 6. Surat Edaran Dirjen Pajak - SE - 19/PJ/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kegiatan Perpajakan Internasional; 7. Surat Edaran Dirjen Pajak - SE - 51/PJ/2009 tentang Pelaksanaan Permintaan Informasi Ke Luar Negeri Dalam Rangka Pencegahan Penghindaran Dan Pengelakan Pajak. yaitu: Namun peraturan-peraturan tersebut tersebut masih terdapat kelemahan, 1. Pertukaran informasi yang dilakukan berdasarkan permintaan (request); 2. Pertukaran informasi tersebut secara spontan; 3. Pertukaran informasi tersebut hanya bersifat bilateral, contohnya, untuk Tax Information Exchange Agreements (TIEAs), Indonesia hanya membuat perjanjian exchange information relating to tax matter dengan Bermuda dan Isle of Man pada tanggal 22 Juni Oleh sebab itu, dunia internasional terutama negara-negara G20 menginisiasikan upaya pertukaran informasi secara otomatis atau rutin yang disebut Automatic Exchange of Information (selanjutnya disebut AEOI ). Publikasi OECD per tanggal 14 April 2016 memberikan informasi bahwa sebanyak 94 yurisdiksi telah memberikan komitmen untuk melaksanakan 7 OECD, Tax Information Exchange Agreements (TIEAs), yang diakses di pada tanggal 1 September

8 AEOI melalui penerapan Common Report Standard (CRS). CRS adalah standar pertukaran informasi keuangan secara otomatis untuk kepentingan perpajakan termasuk penjelasan (commentaries) yang disusun oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) bersama dengan negara anggota Kelompok 20 (Group of Twenty atau G20). 8 Dari 94 yurisdiksi tersebut, 55 diantaranya berkomitmen untuk memulai mempertukarkan informasi secara otomatis di tahun 2017 termasuk yurisdiksi yang selama ini dikenal sebagai tax heaven seperti Bermuda, British Virgin Island, Caymand Islands, Luxemburg, dan lainnya, serta selebihnya, termasuk Singapura, Jepang dan Indonesia, di tahun Mekanisme CRS ini nantinya mewajibkan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) melaporkan data keuangan nasabah asing kepada competent authority Indonesia, yakni Direktorat Jenderal Pajak. Selanjutnya Direktorat Jenderal Pajak akan menerima dan mengirimkan data keuangan nasabah asing tersebut ke otoritas pajak asal negaranya. Begitupun sebaliknya, otoritas pajak dari negara Wajib Pajak Asing tersebut nantinya juga akan mengirimkan data keuangan Wajib Pajak Indonesia ke Direktorat Jenderal Pajak sehingga pertukaran informasi ini tidak hanya bersifat otomatis, tetapi juga bersifat resiprokal. 8 9 Lihat Penjelasan CRS pada ketentuan umum Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 16/SEOJK.03/2017 tentang Penyampaian Informasi Nasabah Asing terkait Perpajakan dalam Rangka Pertukaran Informasi Secara Otomatis Antarnegara dengan Menggunakan Standar Pelaporan Bersama (Common Reporting Standard. Kementerian Keuangan RI, Automatic Exchange of Information (AEOI), Siaran Pers Nomor 25/KLI/2016 tertanggal 2 Mei

9 Dengan adanya AEOI, diharapkan mampu untuk mengurangi adanya tax evasion karena negara yurisdiksi akan melakukan pertukaran informasi secara otomatis tanpa adanya permintaan terlebih dahulu terhadap akun finansial warga negara nya yang berada di luar negeri. mekanismenya Hal ini juga telah dinyatakan oleh OECD bahwa The new global standard on Automatic Exchange of Information (AEOI) reduces the possibility for tax evasion. It provides for the exchange of non-resident financial account information with the tax authorities in the account holders country of residence. Participating jurisdictions that implement AEOI send and receive pre-agreed information each year, without having to send a specific request. 10 Indonesia sendiri merupakan negara yang ikut mendukung kebijakan AEOI untuk mendeteksi adanya perbuatan atau rencana perbuatan tax evasion. Melihat sumber data, Indonesia berada di posisi ke-9 atas jumlah aset keuangan di tax heaven country dan posisi ke-7 atas jumlah total aliran dana ilegal dalam tahun Selengkapnya dapat dilihat dari tabel dibawah ini: 11 Tabel 1.1 Aset Keuangan di Tax Heaven pada tahun 2010 Peringkat Negara Jumlah Aset Keuangan di Tax Heaven (dalam Miliar USD) 1 China OECD, Automatic Exchange of Information, yang diakses di pada tanggal 1 September Data Didapatkan dari Central for Indonesia Taxation Analysis (CITA). 9

10 2 Rusia Korea Brazil Kuwait Meksiko Venezuela Argentina Indonesia Arab Saudi 308 Sumber: Tax Justice Network Tabel 1.2 Total Aliran Dana Ilegal dalam tahun Peringkat Negara Total (Miliar USD) 1 China 1,252 2 Russia Mexico India Malaysia Brazil Indonesia Thailand Nigeria South Africa 122 Sumber: Global Financial Integrity Intensi Indonesia untuk mengadopsi AEOI akan menimbulkan suatu dilema karena di satu sisi hal ini akan bertentangan dengan beberapa peraturan perundang-undangan di bidang perbankan dan perpajakan yang berlaku di Indonesia sedangkan di sisi lainnya hal ini dapat mencegah tax evasion dalam bentuk perusahaan cangkang. Menariknya, Indonesia tetap 10

11 ingin berkomitmen untuk mengadopsi AEOI pada bulan September 2018 meskipun terdapat peraturan perundang-undangan yang bertentangan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, lingkup permasalahan dibatasi dengan fokus pada pertanyaan-pertanyaan penelitian (research questions) sebagai berikut: 1. Apakah alasan sosiologis-yuridis Indonesia ingin mengadopsi AEOI? 2. Bagaimana kesiapan pemerintah Indonesia dalam menghadapi AEOI? 3. Apa saja potensi kendala yang akan dihadapi oleh Pemerintah Indonesia dalam mengadopsi AEOI? C. Tujuan Penulisan Sebagaimana latar belakang permasalahan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini ditetapkan sebagai berikut: 1. Memahami alasan sosiologi dan yuridis Indonesia mengadopsi AEOI dan kaitannya dengan peraturan perundang-undangan Indonesia. 2. Mengetahui kesiapan pemerintah Indonesia dalam menghadapi AEOI. 3. Mengetahui potensi kendala apa saja yang akan dihadapi oleh Pemerintah Indonesia dalam menghadapi AEOI. D. Keaslian Penelitian Untuk keaslian penelitian telah dilakukan penelusuran pustaka pada berbagai referensi dan hasil penelitian. Sebagai perbandingan pengusul 11

12 menemukan dua penelitian yang pernah dilakukan dan berkaitan dengan penelitian ini, yaitu: 1. Andryan Muryanto yang berjudul Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia dengan Amerika Serikat. Rumusan masalah dalam tesis ini berbeda dengan usulan penelitian ini, yaitu mengapa Indonesia gagal mempertahankan tarif pajak pada Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda dengan Amerika Serikat. Selain itu, perbedaan utama dengan penelitian yang diajukan terletak pada cara yang dilakukan untuk mengatasi tax evasion, yaitu dengan Perjanjian penghindaradan pajak berganda (P3B). 2. Angela Yona Aprilliani yang berjudul Pengaruh Keadilan Proseduran dan Moral Perpajakan Terhadap Persepsi Etis tentang Penggelapan Pajak Rumusan masalah dalam tesis ini berbeda dengan usulan penelitian ini, yaitu mengenai: (1) apakah keadilan prosedural mempengaruhi persepsi etis wajib pajak dalam hal penggelapan pajak; (2) apakah moral perpajakan mempengaruhi persepsi etis wajib pajak dalam hal penggelapan pajak; dan (3) apakah terdapat perbedaan pengaruh keadilan proseduran terhadap persepsi etis tentang penggelapan pajak antara wajib pajak berjenis kelamin pria dan wanita. 3. Wahyu Suminarsasi yang berjudul Pengaruh Keadilan, Sistem Perpajakan, Dan Diskriminasi Terhadap Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak (Tax Evasion). Rumusan 12

13 masalah dalam tesis ini berbeda dengan usulan penelitian ini, yaitu mengenai: (1) Apakah dimensi keadilan berpenagaruh terhadap persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak; (2) apakah dimensi sistem perpajakan berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak; dan (3) apakah dimensi diskriminasi berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak. Selain itu, perbedaan utama dengan penelitian yang diajukan terletak pada tujuan penelitian yakni membuktikan apakah keadilan, sistem perpajakan, dan diskriminasi berpengaruh terhadap persepsi wajip pajak mengenai etika penggelapan pajak di Indonesia khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan pemaparan di atas tampak ada perbedaan yang signifikan antara usulan penelitian ini dengan penelitian-penelitian terdahulu, meskipun penelitian yang telah ada akan dijadikan referensi untuk membantu. Uraian di atas sekaligus menunjukkan bahwa penelitian yang diusulkan ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, sehingga dapat dikatakan asli. 13

14 E. Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik untuk kepentingan akademis maupun untuk kepentingan praktis, yaitu: 1. Manfaat akademis Secara akademis, diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan ilmu Ilmu Hukum, khususnya mengenai Hukum Pajak Indonesia yang akan mengadopsi AEOI. 2. Manfaat praktis Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pemerintah dan legislaif yang saat ini tengah mempertimbangkan untuk mengadopsi AEOI 14