Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi."

Transkripsi

1 ANATOMI HIDUNG Hidung Luar Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian - bagiannya dari atas ke bawah : 1.Pangkal hidung, 2.Batang hidung (dorsum nasi), 3.Puncak hidung, 4. Ala nasi, 5. Kolumela dan 6.Lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1.Tulang hidung (os.nasal), 2.Processus frontalis os maksilla, 3.Processus nasalis os frontal; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1.Sepasang Kartilago nasalis lateral superior, 2.Sepasang Kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 4.Tepi anterior kartilago septum. Hidung Dalam Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut - rambut panjang yang disebut vibrise. 1

2 Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah : 1. Lamina prependikularis os etmoid, 2.Vomer, 3.Krista nasalis os maksila dan 4.Krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah : 1.Kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan 2.Kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil lagi ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior merupakan bagian dari labirin etmoid. Di antara konka - konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. 2

3 Batas Rongga Hidung Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang - lubang (kribrosa = saringan) tempat masuknya serabut - serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sphenoid. Pendarahan Hidung Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a.maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang - cabang a.fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang - cabang a.sfenopalatina, a.etmois anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus kiesselbach (Little s area). Pleksus kiesselbach letaknya superfisial dan mudah ceedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epitaksis (perdarahan hidung). Terutama pada anak. Vena - vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena - vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial. Persarafan Hidung 3

4 Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. Fungsi penghidu berasal dari n.olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. Sistem Limfatik Suplai limfatik hidung amat kaya dimana terdapat jaringan pembuluh anterior dan posterior. Jaringan limfatik anterior adalah kecil dan bermuara di sepanjang pembuluh fasialis yang menuju leher. Jaringan ini mengurus hampir seluruh bagian anterior hidung vestibulum dan daerah prekonka. Jaringan limfatik posterior mengurus mayoritas anatomi hidung, menggabungkan ketiga saluran utama di daerah hidung belakang saluran superior, media dan inferior. Kelompok superior berasal dari konka media dan superior dan bagian dinding hidung yang berkaitan, berjalan di atas tuba eustachius dan bermuara pada kelenjar limfe retrofaringea. Kelompok 4

5 media, berjalan di bawah tuba eustachius, mengurus konka inferior, meatus inferior, dan sebagian dasar hidung dan menuju rantai kelenjar limfe jugularis. Kelompok inferior berasal dari septum dan sebagian dasar hidung, berjalan menuju kelenjar limfe di sepanjang pembuluh jugularis interna. Mukosa Hidung Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia (ciliated pseudostratified collumner ephitelium) dan di antaranya terdapat sel sel goblet. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu tidak bersilia (pseudostratified collumner non ciliated ephitelium ). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna cokelat kekuningan. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa respiratori berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Di bawah epitel terdapat tunika propia yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid. Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propia dan tersusun secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan perdarahan pada anyaman kapiler periglanduler dan sub epitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusioid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa hidung menyerupai jaringan kavernosa yang erektil, yang mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom. 5

6 FISIOLOGI HIDUNG Hidung berfungsi untuk jalan napas, alat pengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, sebagai indra penghidu, untuk resonansi suara, turut membantu proses bicara dan refleks nasal. Silia/reseptor berdiri diatas tonjolan mukosa yang dinamakan vesikel olfaktorius dan masuk ke dalam lapisan sel-sel reseptor olfaktoria. Diantara sel-sel reseptor (neuron) terdapat banyak kelenjar Bowman penghasil mukus (mengandung air, mukopolisakarida, antibodi, enzim, garamgaram dan protein pengikat bau (G-protein). Sel-sel reseptor satu-satunya neuron sistem saraf pusat yang dapat berganti secara reguler ( 4-8 mgg) (tempat transduksi). Kecepatan aliran udara pada saat inspirasi sebesar 250 ml/sec. Inspirasi dalam menyebabkan molekul udara lebih banyak menyentuh mukosa olfaktorius dan sensasi bau tercium. Syarat zat-zat yang dapat menyebabkan perangsangan penghidu : Harus mudah menguap mudah masuk ke liang hidung Sedikit larut dalam air mudah melalui mukus Mudah larut dalam lemak sel-sel rambut olfaktoria dan ujung luar sel-sel olfaktoria terdiri dari dari zat lemak. Zat-zat yang ikut dalam udara inspirasi akan larut dalam lapisan mukus yang berada pada permukaan membran. 6

7 Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sam seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian akan melaui nares anterior dan sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi keadaan sebelumnya. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37 o C. fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus paru. Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembaban udara dan mengatur suhu. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir (mucous blanket). Menyaring udara berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan dilakukan oleh : rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, serta palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia. Faktor lain ialah enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, yang disebut lysozyme. Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran darah. Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. 7

8 Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas. POLIP HIDUNG Definisi Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan didalam rongga hidung. Sering kali berasal dari sinus dimana menonjol dari meatus ke rongga hidung. Berdasarkan hasil pengamatan, polip nasi terletak di dinding lateral cavum nasi terutama daerah meatus media. Paling banyak di sel-sel eithmoidalis. Dapat juga berasal dari mukosa di daerah antrum, yang keluar dari ostium sinus dan meluas ke belakang di daerah koana posterior (polip antrokoanal). Etiologi Etiologi yang pasti belum diketahui tetapi ada 3 faktor penting pada terjadinya polip, yaitu: o Adanya peradangan kronik yang berulang pada mukosa hidung dan sinus. o Adanya gangguan keseimbangan vasomotor. o Adanya peningkatan tekanan cairan interstitial dan edema mukosa hidung. Patofisiologi Epitel mukosa hidung secara terus menerus terekspos lingkungan luar melalui udara yang diinspirasi yang berpotensial menyebabkan kerusakan epitel dan infeksi. Polip nasi terjadi karena adanya peradangan kronis pada membran mukosa hidung dan sinus yang disebabkan oleh kerusakan epitel akibat paparan iritan, virus atau bakteri. Banyak faktor yang berperan dalam pembentukan polip nasi. Kerusakan epitel terlibat dalam patogenesis polip. Sel epitel dapat mengalami aktivasi dalam respon terhadap alergen, polutan maupun agen infeksius. Sel akan mengeluarkan berbagai faktor yang berperan dalam respon inflamasi dan pemulihannya, antara lain neuropeptide-degrading enzym, endothelin, nitric oxide, asam arakidonat, sitokin inflamasi yang mempengaruhi sel inflamasi. Faktor-faktor tersebut akan menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, adhesi leukosit, sekresi mukus, stimulasi fibroblas dan kolagen. 8

9 Beberapa faktor inflamasi telah dapat diisolasi dan dibuktikan dihasilkan pada polip nasi. Faktor-faktor tersebut meliputi endothelial vascular cell adhesion molecule (VCAM)-1, nitric oxide synthese, granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF), eosinophil survival enhancing activity (ESEA), cys-leukotrienes (Cys-LT) dan sitokin lainnya. Radikal bebas adalah molekul yang sangat reaktif yang kemungkinan berperan juga dalam terjadinya polip. Radikal bebas dapat mengyebabkan kerusakan selular yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan jaringan.tubuh menghasilkan endogenous oxidants sebagai respon dari bocornya elektron dari rantai transport elektron, sel fagosit dan sistem endogenous enzyme (MAO, P450, dsb) Epitel polip nasi terdapat hiperplasia sel goblet dan hipersekresi mukus yang kemungkinan besar berperan dalam menimbulkan obstruksi nasal dan rinorrhea. Sintesis mukus dan hiperplasia sel globet diduga terjadi karena peranan epidermal growth factors (EGF). Adanya proses peradangan kronis menyebabkan hiperplasia membran mukosa rongga hidung, adanya cairan serous di celah-celah jaringan, tertimbun dan menimbulkan edema, kemudian karena pengaruh gaya gravitasi. Akumulasi cairan edema ini menyebabkan prolaps mukosa. Keadaan ini menyebabkan terbentuknya tangkai polip, kemudian terdorong ke dalam rongga hidung oleh gaya berat. Struktur stroma polip nasi dapat mempunyai vasodilatasi pembuluh darah sedikit atau banyak, variasi kepadatan tipe sel yang berbeda, seperti eosinofil, neutrofil, sel mast, plasma sel dan lain-lain. Eksudasi plasma mikrovaskular berperan dalam perkembangan kronik edem pada polip nasi. Gambaran histopatologi dari polip nasi bervariasi dari jaringan yang edem dengan sedikit kelenjar sampai peningkatan kelenjar. Eosinofil dapat muncul, menandakan komponen alergi. Hal ini menunjukkan adanya proses dinamis yang nyata pada polip nasal yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti aliran udara, faktor lain yang dapat mempengarui epitel polip dan proses regenerasinya, perbedaan epitel dan ketebalannya, ukuran polip, infeksi dan alergi. Beberapa buku menyebutkan alergi sebagai penyebab utama polip nasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya penimbunan eosinofil dalam jumlah besar dari jaringan polip atau dalam sekret hidung. Polip hidung yang disebabkan oleh alergi seringkali dialami penderita asma dan rinitis alergi. infeksi virus dan bakteri juga dikatakan sebagai salah satu penyebab dari polip 9

10 nasi. Pada polip nasi yang disebabkan oleh infeksi ditemukan infiltrasi sel-sel neutrofil, sedangkan sel eosinofil tidak ditemukan. Menurut Ogawa dari hasil penelitiannya pada penderita polip hidung disertai deviasi septum, polip lebih sering didapatkan pada rongga hidung dengan septum yang cekung. Deviasi septum hidung akan menyebabkan aliran udara pada bagian rongga hidung dengan septum yang cekung, akan lebih cepat dari bagian cembung di rongga hidung sisi lain. Percepatan ini terjadi pada rongga hidung bagian atas dan menimbulkan tekanan negatif. Tekanan negatif ini merupakan rangsangan bagi mukosa hidung sehingga meradang dan terjadi edema Pada intoleransi aspirin, terjadinya polip nasi disebabkan karena inhibisi cyclooxygenase enzyme. Inhibisi tersebut menyebabkan pelepasan mediator radang, yaitu cysteinyl leucotrienes. Gejala dan Tanda Timbulnya gejala biasanya pelan dan insidius, dapat juga tiba-tiba dan cepat setelah infeksi akut. Sumbatan di hidung adalah gejala utama.dimana dirasakan semakin hari semakin berat. Sering juga ada keluhan pilek lama yang tidak sembuh-sembuh, sengau, sakit kepala. Pada sumbatan yang hebat didapatkan gejala hiposmia atau anosmia, rasa lendir di tenggorok. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior tampak adanya massa lunak, bertangkai, tidak nyeri jika ditekan, tidak mudah berdarah dan pada pemakaian vasokontriktor (kapas efedrin 1%) tidak mengecil. Pada pemeriksaan rhinoskopi posterior bila ukurannya besar akan tampak massa berwarna putih keabu-abuan mengkilat yang terlihat mengggantung di nasofaring Pemeriksaan Penunjang Dapat dilakukan pemeriksaan Endoskopi nasal dan sinus untuk memastikan adanya polip nasal maupun sinus dan untuk menentukan letak polip nasal tersebut. Dapat pula dilakukan pemeriksaan CT-scan, tes alergi, kultur tetapi hal ini dilakukan atas indikasi. Gambar dari suatu polip nasi yang tampak dengan endoskopi. Gambar: Polip Hidung 10

11 Pengelolaan Penderita Polip Nasi Prinsip pengelolaan polip adalah dengan operatif dan non operatif. Pengelolaan polip nasi seharusnya berdasarkan faktor penyebabnya, tetapi sayangnya penyebab polip nasi belum diketahui secara pasti. Karena penyebab yang mendasari terjadinya polip nasi adalah reaksi alergi, pengelolaanya adalah mengatasi reaksi alergi yang terjadi. Polip yang masih kecil dapat diobati dengan konservatif. Terapi Konservatif a. Kortikosteroid sistemik merupakan terapi efektif sebagai terapi jangka pendek pada polip nasal. Pasien yang responsif terhadap pengobatan kortikosteroid sistemik dapat diberikan secara aman sebanyak 3-4 kali setahun, terutama untuk pasien yang tidak dapat dilakukan operasi. b. Kortikosteroid spray Dapat mengecilkan ukuran polip, tetapi relatif tidak efektif unutk polip yang massif Kortikosteroid topikal, intranasal spray, mengecilkan ukuran polip dan sangat efektif pada pemberian postoperatif untuk mencegah kekambuhan c. Leukotrin inhibitor. Menghambat pemecahan asam arakidonat oleh enzyme 5-lipoxygenase yang akan menghasilkan leukotrin yang merupakan mediator inflamasi. Terapi operatif Terapi operasi dilakukan pada kasus polip yang berulang atau polip yang sangat besar, sehingga tidak dapat diobati dengan terpi konservatif. Tindakan operasi yang dapat dilakukan meliputi : a. Polipektomi intranasal b. Ethmoidektomi intranasal c. Ethmoidektomi ekstranasal d. Caldwell-Luc (CWL) e. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) 11

12 Komplikasi Operasi Komplikasi yang terbanyak meliputi : SSP Kerusakan LCS, meningitis, perdarahan intrakranial, abses otak, hernisasi otak Mata - Kebutaan, trauma nervus opticus, orbital hematoma, trauma otot-otot mata bisa menyebabkan diplopia, trauma yang mengenai duktus lakrimalis dapat menyebabkan epiphora Pembuluh darah trauma pada pembuluh darah dapat menyebabkan perdarahan. Kematian KELAINAN SEPTUM Bentuk septum normal ialah lurus ditengah rongga hidung tetapi pada orang dewasa biasanya septum nasi tidak lurus sempurna digaris tengah. Deviasi septum yang ringan tidak akan mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup berat, menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung dan menyebabkan komplikasi. Bentuk deformitas Bentuk deformitas septum ialah : o Deviasi, biasanya berbentuk huruf C atau S o Dislokasi yaitu bagian bawah kartilago septum ke luar dari Krista maksila dan masuk ke dalam rongga hidung o Penonjolan tulang atau tulang rawan septum, bila memanjang dari depan ke belakang disebut Krista, dan bila sangat runcing dan pipih disebut spina o Bila deviasi atau Krista septum bertemu dan melekat dengan konka dihadapannya disebut sinekia. Bentuk ini menambah beratnya obstruksi. 12

13 Gejala Klinik o Keluhan yang paling sering ialah sumbatan hidung, sumbatan bisa unilateral dapat pula bilateral, sebab pada sisi deviasi terdapat konka hipertrofi, sedangkan pada sisi sebelahnya terjadi konka yang hipertrofi, sebagai akibat mekanisme kompensasi. o Keluhan lain ialah rasa nyeri di kepala dan disekitar mata, selain dari itu penciuman bisa terganggu, apabila terdapat deviasi pada bagian septum. Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor presdisposisi terjadinya sinusitis. Terapi Bila tidak ada gejala atau keluhan sangat ringan tidak perlu dilakukan tindakan koreksi septum. Reseksi submukosa dan septoplasti RHINITIS ALERGI Definisi Adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan allergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (allergic Rhinitis and impact on asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala rhinorea, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar allergen yang diperantarai oleh IgE. Etiologi Penyebab rinitis alergi berbeda-beda bergantung pada apakah gejalanya musiman, perenial, ataupun sporadik/episodik. Beberapa pasien sensitif pada alergen multipel, dan mungkin mendapat rinitis alergi perenial dengan eksaserbasi musiman. 13

14 Klasifikasi Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu : o Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis) o Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial) Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya. Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi : o Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu o Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi : Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas Gejala o Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. o Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). o Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. 14

15 Diagnosis 1. Anamnesis Gejala rhinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebenarnya bersin merupakan gejala yang normall terutama pada pagi haru atau kontak dengan sejumlah besar debu. Bersin ini terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamine. Gejala lain ialah keluarnya igus (rhinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi) 2. Pemeriksaan Fisik Rhinoskopi anterior : tapak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid, disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena statis vena sekunder akibat obstruksi hidung ( gejala allergic shiner) Allergic salute keadaan dimana anak tampak menggosok gosok hidung karena gatal, dengan punggung tangan. Allergic crease timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah yang timbul lama kelamaan setelah menggosog gosok hidung. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granular dan edema. Dingding lateral faring menebal, lidah tampak seperti gambaran peta. 3. Pemeriksaan Penunjang Penatalaksanaan 1. Hindari kontak dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. Keduanya merupakan terapi paling ideal. Eliminasi untuk alergen ingestan (alergi makanan) 15

16 2. Simtomatis. Terapi medikamentosa yaitu antihistamin, obat-obatan simpatomimetik, kortikosteroid dan sodium kromoglikat. 3. Operatif. Konkotomi merupakan tindakan memotong konka nasi inferior yang mengalami hipertrofi berat. Lakukan setelah kita gagal mengecilkan konka nasi inferior menggunakan kauterisasi yang memakai AgNO 3 25% atau triklor asetat. 4. Imunoterapi. Imunoterapi atau hiposensitisasi digunakan ketika pengobatan medikamentosa gagal mengontrol gejala atau menghasilkan efek samping yang tidak dapat dikompromi. RINITIS VASOMOTOR Definisi : Suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, elergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid) dan pajanan obat. Digolongkan menjadi non-alergi bila adanya alergi/allergen yang tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang sesuai. Kelainan ini disebut vasomotor catarrh, vasomotor rhinorea atau nasal vasomotor instability. Etiologi dan patofisiologi Etiologi dan patofisiologi yang pesti belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan untuk menerangkan patofisiologi rhinitis vasomotor diantaranya : o Neurogenik (disfungsi sisitem otonom) o Neuropeptida o Nitric oksida o Trauma 16

17 Gejala klinik o gejala yang dominan adalah hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan tergantung posisi pasien. Selain itu terdapat rinore yang mukoid atau serosa. Keluhan ini jarang disertai dengan gangguan mata. o Gejala sering dicetuskan oleh berbagai rangsangan non-spesifik seperti asap/rokok, bau yang menyengat, parfum, minuman beralkohol, makanan pedas, udara dingin, perubahan suhu, stress dan emosi. Berdasarkan gejala yang menonjol dibedakan dalam 3 golongan : o Golongan bersin,gejala biasanya memberikan respon yang baik dengan terapi antihistamin dan glukokostiroid topical o Golongan rinore, gejala dapat diatasi dengan pemberian antikolinergik topical o Golongan tersumbat, kongesti umumnya member respon yang baik dengan terapi glukokortikosteroid topical dan vasokontriktor oral. Penatalaksanaan o Menghindari stimulus/faktor pencetus o Pengobatan simptomatis, dengan obat-obatan dekongestan oral, cuci hidung dengan larutan garam fisiologis, kauterisasi konka hipertrofi dengan larutan AgNO 3 25% atau triklor-asetat pekat.dapat juga diberi kortikostiroid topical mikrogramml. Dosis dapat ditingkatkan sampai 400 mirogram sehari. Hasilnya kan terlihat setelah pemakaian paling sedikit selama 2 minggu. Pada kasus rinore berat dapat ditambahkan antikolinergik topical (ipatropium bromida). o Operasi dengan cara bedah-beku, elektrokauter atau konkotomi parsial konka inferior. o Neurektomi n. vidianus yaitu dengan melakukan pemotongan pada n. vidianus bila dengan cara diatas tidak memberikan hasil optimal. Operasi ini dapat menimbulkan komplikasi seperti sinusitis, diplopia, buta, gangguan lakrimasi, neuralgia. Dapat juga dilakukan blocking ganglion sfenopalatina. 17

18 RINITIS MEDIKA MENTOSA Definisi Adalah suatu kelainan hidung berupa berupa gangguan respon normal vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian vasokonstriktor topical (tetes hidung atau semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. Gejala dan Tanda Pasien mengeluh hidung tersumbat terus menerus dan berair. Pada pemeriksaan tampak edema / hipertrofi konka dengan secret hidung yang berlebihan. Apabila diberi tampon adrenalin, edema konka tidak berulang. Penatalaksanaan 1. Hentikan pemakaian obat tetes atau semprot vasokonstriktor hidung. 2. Untuk mengatasi sumbatan berulang dapat diberikan kortikosteroid oral dosis tinggi jangka pendek dan dosis diturunkan secara bertahap dengan menurunkan dosis sebanyak 5 mg setiap hari. Dapat juga diberi kortikosteroid topical selama minimal 2 minggu untuk mengembalikan proses fisiologik mukosa hidung. 3. Obat dekongestan oral (biasanya mengandung pseudoefedrin). Apabila dengan cara ini tidak ada perbaikan setelah 3 minggu maka rujuk pasien ke dokter spesialis THT 18

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

Lebih terperinci

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal. HIDUNG Hidung adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar atau sesuatu dari aroma yang dihasilkan. Kita mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan yang masih segar

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis Alergi Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan alergi terhadap partikel, antara lain: tungau debu rumah, asap, serbuk / tepung sari yang

Lebih terperinci

REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI

REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI LANIRA ZARIMA N. H1A 008 038 DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROKAN RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,

Lebih terperinci

PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS. PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI

PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS. PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI & PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS ANDALAS FAKULTAS KEDOKTERAN PADANG 2016 Konstributor

Lebih terperinci

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL REFERAT ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL PEMBIMBING: Dr. H. Yuswandi Affandi Sp. THT-KL Dr. M. Ivan Djajalaga M.Kes, Sp. THT-KL DISUSUN OLEH: Noer Kamila Dedeh Asliah Bernadeta Rosa Diyana

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). 1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung dari luar berbentuk seperti piramid dengan bagian-bagiannya berupa pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (hip),

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai 8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis Sinusitis adalah proses peradangan atau infeksi dari satu atau lebih pada membran mukosa sinus paranasal dan terjadi obstruksi dari mekanisme drainase normal. 9,15

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya adalah bersin, hidung beringus (rhinorrhea), dan hidung tersumbat. 1 Dapat juga disertai

Lebih terperinci

INDERA PENCIUMAN. a. Concha superior b. Concha medialis c. Concha inferior d. Septum nasi (sekat hidung)

INDERA PENCIUMAN. a. Concha superior b. Concha medialis c. Concha inferior d. Septum nasi (sekat hidung) INDERA PENCIUMAN Indera penciuman adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar melalui aroma yang dihasilkan. Seseorang mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi dan Histologi Hidung Gambar 2.1 Anatomi Dinding Lateral Hidung (Netter, 2014) 20 Kavum nasi atau yang sering disebut sebagai rongga hidung memiliki bentuk seperti terowongan

Lebih terperinci

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik. LAPORAN KASUS RUMAH SAKIT UMUM YARSI II.1. Definisi Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik). II.2. Etiologi Epistaksis dapat ditimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rhinitis berasal dari dua kata bahasa Greek rhin rhino yang berarti hidung dan itis yang berarti radang. Demikian rhinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis. Setiap rongga sinus ini

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis alergi 2.1.1. Definisi Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang diinduksi oleh inflamasi yang diperantarai IgE (Ig-E

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Asma Dari waktu ke waktu, definisi asma mengalami perubahan beberapa kali karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai patologi, patofisiologi,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi 2.1.1. Anatomi Hidung Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah yaitu: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung

Lebih terperinci

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B RHINOVIRUS: Bila Anda sedang pilek, boleh jadi Rhinovirus penyebabnya. Rhinovirus (RV) menjadi penyebab utama dari terjadinya kasus-kasus flu (common cold) dengan presentase 30-40%. Rhinovirus merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hidung 2.1.1 Anatomi Hidung Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual Dari hasil tinjauan kepustakaan serta kerangka teori tersebut serta masalah penelitian yang telah dirumuskan tersebut, maka dikembangkan suatu kerangka

Lebih terperinci

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM TRAUMA MUKA DAN HIDUNG DEPT. THT FK USU / RSHAM PENDAHULUAN Hidung sering fraktur Fraktur tulang rawan septum sering tidak diketahui / diagnosis hematom septum Pemeriksaan dapat dilakukan dengan palpasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinusitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Sinusitis juga dapat disebut rinosinusitis, menurut hasil beberapa diskusi pakar yang

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia. Hidung. Faring. Laring. Trakea. Bronkus. Bronkiolus. Alveolus. Paru-paru

Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia. Hidung. Faring. Laring. Trakea. Bronkus. Bronkiolus. Alveolus. Paru-paru Exit Hidung Faring Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia Laring Trakea Bronkus Bronkiolus Alveolus Paru-paru Hidung Hidung berfungsi sebagai alat pernapasan dan indra pembau. Pada hidung

Lebih terperinci

RINITIS VASOMOTOR. Dr. Andrina Yunita Murni Rambe. Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Universitas Sumatera Utara

RINITIS VASOMOTOR. Dr. Andrina Yunita Murni Rambe. Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN RINITIS VASOMOTOR Dr. Andrina Yunita Murni Rambe Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Universitas Sumatera Utara Gangguan vasomotor hidung adalah terdapatnya gangguan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penelitian dilakukan sampai jumlah sampel terpenuhi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai 1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Rinitis alergi (RA) adalah manifestasi penyakit alergi pada membran mukosa hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai dengan

Lebih terperinci

Definisi Bell s palsy

Definisi Bell s palsy Definisi Bell s palsy Bell s palsy adalah penyakit yang menyerang syaraf otak yg ketujuh (nervus fasialis) sehingga penderita tidak dapat mengontrol otot-otot wajah di sisi yg terkena. Penderita yang terkena

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Definisi Epistaksis Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari penyakit lain yang

Lebih terperinci

BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH. berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7

BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH. berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7 BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH Sepertiga tengah wajah dibentuk oleh sepuluh tulang, dimana tulang ini saling berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7 2.1 Tulang-tulang yang

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin meningkat dengan pesat di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam perkembangan industrialisasi dan

Lebih terperinci

TUTORIAL 2 SISTEM TUBUH 2. Sistem Respirasi Manusia

TUTORIAL 2 SISTEM TUBUH 2. Sistem Respirasi Manusia TUTORIAL 2 SISTEM TUBUH 2 Sistem Respirasi Manusia Sistem Respirasi Manusia Isilah bernapas, seringkali diarikan dengan respirasi, walaupun secara hariah sebenarnya kedua isilah tersebut berbeda. Pernapasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinitis Alergi (RA) merupakan salah satu penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi alergen yang sama

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN 31 BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan leher 4.2. Rancangan Penelitian Desain penelitian

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Saluran Pernafasan Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berhubungan. Pada bagian anterior saluran pernafasan terdapat

Lebih terperinci

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5. L/O/G/O Buku pedoman ASMA DEFINISI : Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.Boalemo 11,0% Riskesdas

Lebih terperinci

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS Pembimbing: drg. Ernani Indrawati. Sp.Ort Disusun Oleh : Oktiyasari Puji Nurwati 206.12.10005 LABORATORIUM GIGI DAN MULUT RSUD KANJURUHAN KEPANJEN FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

PENGERTIAN Peradangan mukosa hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi / ransangan antigen

PENGERTIAN Peradangan mukosa hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi / ransangan antigen RSU. HAJI MAKASSAR RINITIS ALERGI PENGERTIAN Peradangan mukosa hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi / ransangan antigen TUJUAN Menembalikan fungsi hidung dengan cara menghindari allergen penyebab,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dikatakan sebagai mukosa mastikasi yang meliputi gingiva dan palatum keras.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dikatakan sebagai mukosa mastikasi yang meliputi gingiva dan palatum keras. 7 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jaringan lunak rongga mulut dilindungi oleh mukosa yang merupakan lapisan terluar rongga mulut. Mukosa melindungi jaringan dibawahnya dari kerusakan dan masuknya mikroorganisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis) 2012 adalah inflamasi hidung dan sinus paranasal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. MEKANISME YANG MENDASARI HUBUNGAN ANTARA ASMA DAN RHINITIS ALERGI 2.1.1. Hubungan Anatomis dan Patofisiologis Saluran napas manusia secara fungsional terbagi menjadi dua bagian,

Lebih terperinci

SMF Bagian Ilmu Penyakit THT-KL RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang Juni 2016 Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana RINITIS ALERGI

SMF Bagian Ilmu Penyakit THT-KL RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang Juni 2016 Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana RINITIS ALERGI SMF Bagian Ilmu Penyakit THTKL Laporan Kasus RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang Juni 2016 Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana RINITIS ALERGI Disusun Oleh Leonita Vivian Homalessy, S. Ked (1108012029)

Lebih terperinci

DAYA TAHAN TUBUH & IMMUNOLOGI

DAYA TAHAN TUBUH & IMMUNOLOGI DAYA TAHAN TUBUH & IMMUNOLOGI Daya Tahan tubuh Adalah Kemampuan tubuh untuk melawan bibit penyakit agar terhindar dari penyakit 2 Jenis Daya Tahan Tubuh : 1. Daya tahan tubuh spesifik atau Immunitas 2.

Lebih terperinci

dalam rhinitis akut diantaranya adalah rhinitis simpleks, rhinitis influenza, dan rhinitis bakteri akut supuratif. Rhinitis disebut kronik bila

dalam rhinitis akut diantaranya adalah rhinitis simpleks, rhinitis influenza, dan rhinitis bakteri akut supuratif. Rhinitis disebut kronik bila BAB I PENDAHULUAN Rinitis diartikan sebagai proses inflamasi yang terjadi pada membranmukosa hidung, yang ditandai dengan gejala-gejala hidung seperti rasa panas di rongga hidung, rinore, dan hidung tersumbat.

Lebih terperinci

BAB 8 SISTEMA RESPIRATORIA

BAB 8 SISTEMA RESPIRATORIA BAB 8 SISTEMA RESPIRATORIA PENDAHULUAN DESKRIPSI SINGKAT : Bab ini membicarakan tentang sistema respiratoria yang melibatkan organ-organ seperti hidung, pharynx, larynx, trachea, bronchus, bronchiale,

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

1. Sklera Berfungsi untuk mempertahankan mata agar tetap lembab. 2. Kornea (selaput bening) Pada bagian depan sklera terdapat selaput yang transparan

1. Sklera Berfungsi untuk mempertahankan mata agar tetap lembab. 2. Kornea (selaput bening) Pada bagian depan sklera terdapat selaput yang transparan PANCA INDERA Pengelihatan 1. Sklera Berfungsi untuk mempertahankan mata agar tetap lembab. 2. Kornea (selaput bening) Pada bagian depan sklera terdapat selaput yang transparan (tembus cahaya) yang disebut

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, RSUD Karanganyar, RSUD Sukoharjo, dan RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan PENGANTAR KESEHATAN DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY PENGANTAR Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan meningkatkan kesehatan, cara mencegah penyakit, cara menyembuhkan

Lebih terperinci

Yani Mulyani, M.Si, Apt STFB

Yani Mulyani, M.Si, Apt STFB Yani Mulyani, M.Si, Apt STFB Kegiatan menginhalasi dan mengekshalasi udara dengan tujuan mempertukarkan oksigen dengan CO2 = bernafas/ventilasi Proses metabolisme selular dimana O2 dihirup, bahan2 dioksidasi,

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013. 28 BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian pulmonologi Ilmu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka kejadian penyakit asma akhir-akhir ini mengalami peningkatan dan relatif sangat tinggi dengan banyaknya morbiditas dan mortalitas. WHO memperkirakan 100-150 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung selama minimal 12 minggu berturut-turut. Rinosinusitis kronis

Lebih terperinci

Etiologi penyebab edema dapat dikelompokan menjadi empat kategori umum:

Etiologi penyebab edema dapat dikelompokan menjadi empat kategori umum: Syifa Ramadhani (2013730182) 4. Jelaskan mekanisme dan etiologi terjadinya bengkak? Mekanisme terjadinya bengkak Secara umum, efek berlawanan antara tekanan hidrostatik (gaya yg mendorong cairan keluar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang disebabkan mediasi oleh reaksi hipersensitifitas atau alergi tipe 1. Rhinitis alergi dapat terjadi

Lebih terperinci

ANATOMI DAN FISIOLOGI

ANATOMI DAN FISIOLOGI ANATOMI DAN FISIOLOGI Yoedhi S Fakar ANATOMI Ilmu yang mempelajari Susunan dan Bentuk Tubuh FISIOLOGI Ilmu yang mempelajari faal (fungsi) dari Ilmu yang mempelajari faal (fungsi) dari alat atau jaringan

Lebih terperinci

DISTRIBUSI ALERGEN PADA PENDERITA RINITIS ALERGI DI DEPARTEMEN THT-KL FK USU / RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TESIS. Oleh PATAR L. H.

DISTRIBUSI ALERGEN PADA PENDERITA RINITIS ALERGI DI DEPARTEMEN THT-KL FK USU / RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TESIS. Oleh PATAR L. H. DISTRIBUSI ALERGEN PADA PENDERITA RINITIS ALERGI DI DEPARTEMEN THT-KL FK USU / RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TESIS Oleh PATAR L. H. LUMBANRAJA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PROGRAM PENDIDIKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara Fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur kondisi udara dengan mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru-paru, pengatur

Lebih terperinci

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan Bronkitis pada Anak 1. Pengertian Secara harfiah bronkitis adalah suatu penyakit yang ditanda oleh inflamasi bronkus. Secara klinis pada ahli mengartikan bronkitis sebagai suatu penyakit atau gangguan

Lebih terperinci

Nyeri. dr. Samuel Sembiring 1

Nyeri. dr. Samuel Sembiring 1 Nyeri Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang sedang terjadi atau telah terjadi atau yang digambarkan dengan kerusakan jaringan. Rasa sakit (nyeri) merupakan keluhan

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Poliklinik THT-KL RSUD Karanganyar, Poliklinik THT-KL RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

Laporan Kasus Besar. Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE

Laporan Kasus Besar. Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE Laporan Kasus Besar Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE 406117055 IDENTITAS PASIEN PEMERIKSAAN SUBJEKTIF AUTOANAMNESIS Rabu, 25 April jam 09.00 1. Keluhan Utama Benjolan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan penyakit umum pada masyarakat yang di tandai dengan adanya peradangan pada saluran bronchial.

Lebih terperinci

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN IX (SEMBILAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PERNAPASAN MANUSIA. A. Organ-Organ Pernapasan

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN IX (SEMBILAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PERNAPASAN MANUSIA. A. Organ-Organ Pernapasan JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMP IX (SEMBILAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PERNAPASAN MANUSIA A. Organ-Organ Pernapasan Bernapas merupakan proses yang sangat penting bagi manusia.

Lebih terperinci

SKENARIO 1: PILEK PAGI HARI BLOK RESPIRASI

SKENARIO 1: PILEK PAGI HARI BLOK RESPIRASI SKENARIO 1: PILEK PAGI HARI BLOK RESPIRASI Kelompok A-1 Ketua : Argia Anjani (1102013041) Sekertaris : Ayuningtyas Tri H. (1102013050) Betha Nurvia (1102010048) Bayu Segara Hoki (1102012041) Hanny Ardian

Lebih terperinci

Gambar 1 urutan tingkat perkembangan divertikulum pernapasan dan esophagus melalui penyekatan usus sederhana depan

Gambar 1 urutan tingkat perkembangan divertikulum pernapasan dan esophagus melalui penyekatan usus sederhana depan EMBRIOLOGI ESOFAGUS Rongga mulut, faring, dan esophagus berasal dari foregut embrionik. Ketika mudigah berusia kurang lebih 4 minggu, sebuah divertikulum respiratorium (tunas paru) Nampak di dinding ventral

Lebih terperinci

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah satu penyakit THT, Sinusitis adalah peradangan pada membran

Lebih terperinci

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN Sistem Imun merupakan semua mekanisme pertahanan yang dapat dimobilisasi oleh tubuh untuk memerangi berbagai ancaman invasi asing. Kulit merupakan

Lebih terperinci

LAPORAN KASUS (CASE REPORT)

LAPORAN KASUS (CASE REPORT) LAPORAN KASUS (CASE REPORT) I. Identitas Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Alamat : Amelia : 15 Tahun : Perempuan : Siswa : Bumi Jawa Baru II. Anamnesa (alloanamnesa) Keluhan Utama : - Nyeri ketika Menelan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumor rongga hidung dan sinus paranasal atau disebut juga tumor sinonasal adalah tumor yang dimulai dari dalam rongga hidung atau sinus paranasal di sekitar hidung.

Lebih terperinci

Gambar. Klasifikasi ukuran tonsil

Gambar. Klasifikasi ukuran tonsil TONSILEKTOMI 1. Definisi Tonsilektomi adalah tindakan mengangkat tonsil palatina seutuhnya bersama jaringan patologis lainnya, sehingga fossa tonsilaris bersih tanpa meninggalkan trauma yang berarti pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Patofisiologi Kelainan Paru akibat Paparan Uap/Gas BBM Secara fisiologis sebelum masuk ke paru udara inspirasi sudah dibersihkan dari partikel debu dan asap yang memiliki diameter

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 0 BAB 5 HASIL PENELITIAN Berdasarkan pengamatan menggunakan mikroskop dengan pembesaran 4x dan 10x terhadap 60 preparat, terlihat adanya peradangan yang diakibatkan aplikasi H 2 O 2 10%, serta perubahan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung Bentuk luar hidung sangat bervariasi dalam hal ukuran dan bentuk, terutama karena perbedaan tulang-tulang rawan hidung. Punggung hidung meluas dari akar hidung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika adalah suatu peradangan pada kulit yang didasari oleh reaksi alergi/reaksi hipersensitivitas tipe I. Penyakit yang berkaitan dengan reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma 3 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma tajam, tumpul, panas ataupun dingin. Luka merupakan suatu keadaan patologis yang dapat menganggu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur kondisi udara dengan mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru-paru,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang diperantarai IgE yang terjadi setelah mukosa hidung terpapar alergen. 1,2,3 Penyakit

Lebih terperinci

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung BILATERAL RECURRENT NASAL POLYPS STADIUM 1 IN MEN WITH ALLERGIC RHINITIS Pratama M 1) 1) Medical Faculty of Lampung University Abstract Background. Nasal polyps are soft period that contains a lot of fluid

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 3. Sistem Koordinasi dan Alat InderaLatihan Soal 3.2

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 3. Sistem Koordinasi dan Alat InderaLatihan Soal 3.2 1. Perhatikan gambar mata berikut! Image not readable or empty assets/js/plugins/kcfinder/upload/image/alat%20indrpng SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 3. Sistem Koordinasi dan Alat InderaLatihan Soal 3.2 Bagian

Lebih terperinci

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada BAB II Landasan Teori A. Penyesuaian Sosial 1. Pengertian Penyesuaian Sosial Hurlock (1999) menjelaskan bahwa penyesuaian sosial diartikan sebagai keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap

Lebih terperinci

Penatalaksanaan Epistaksis

Penatalaksanaan Epistaksis 1 Penatalaksanaan Epistaksis Dr. HARI PURNAMA, SpTHT-KL RSUD. Kabupaten Bekasi Pendahuluan Epistaksis merupakan salah satu masalah kedaruratanmedik yang paling umum dijumpai, diperkirakan 60 % dari populasi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hidung 2.1.1 Anatomi Hidung 2.1.1.1 Anatomi Hidung Luar Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum

Lebih terperinci

ORGAN PENYUSUN SISTEM SARAF MANUSIA

ORGAN PENYUSUN SISTEM SARAF MANUSIA ORGAN PENYUSUN SISTEM SARAF MANUSIA SEL SARAF, terdiri dari 1. Dendrit 2. Badan Sel 3. Neurit (Akson) Menerima dan mengantarkan impuls dari dan ke sumsum tulang belakang atau otak ORGAN PENYUSUN SISTEM

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. anterior hingga koana di posterior yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. anterior hingga koana di posterior yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi dan Fisiologi Hidung 2.1.1. Anatomi Hidung Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari nares anterior hingga koana di posterior yang memisahkan rongga

Lebih terperinci

HISTOLOGI SISTEM LIMFATIS

HISTOLOGI SISTEM LIMFATIS Judul Mata Kuliah : Biomedik 1 (7 SKS) Standar Kompetensi : Area Kompetensi 5 : Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran Kompetensi Dasar : Menerapkan ilmu kedokteran dasar pada blok biomedik 1 Indikator : Mampu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). Asma merupakan penyakit inflamasi

Lebih terperinci

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari sel-sel serta

Lebih terperinci

Sistem Saraf Tepi (perifer)

Sistem Saraf Tepi (perifer) SISTIM SYARAF TEPI Sistem Saraf Tepi (perifer) Sistem saraf tepi berfungsi menghubungkan sistem saraf pusat dengan organ-organ tubuh Berdasarkan arah impuls, saraf tepi terbagi menjadi: - Sistem saraf

Lebih terperinci

Pertukaran gas antara sel dengan lingkungannya

Pertukaran gas antara sel dengan lingkungannya Rahmy Sari S.Pd PERNAPASAN/RESPIRASI Proses pengambilan oksigen, pengeluaran karbondioksida (CO 2 ), dan menghasilkan energi yang dibutuhkan tubuh) Pertukaran gas antara sel dengan lingkungannya Pernapasan

Lebih terperinci

Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K)

Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K) TUMOR HIDUNG DAN SINUS PARANASAL Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K) Tumor jinak sering ditemukan, sedangkan tumor ganas jarang ± 3% dari tumor kepala leher & 1% dari seluruh keganasan. Gejala klinis tumor

Lebih terperinci

M.D. : Faculty of Medicine, University of Indonesia, Pulmonologist: Faculty of Medicine, Univ. of Indonesia, 2007.

M.D. : Faculty of Medicine, University of Indonesia, Pulmonologist: Faculty of Medicine, Univ. of Indonesia, 2007. Triya Damayanti M.D. : Faculty of Medicine, University of Indonesia, 2000. Pulmonologist: Faculty of Medicine, Univ. of Indonesia, 2007. Ph.D. :Tohoku University, Japan, 2011. Current Position: - Academic

Lebih terperinci

By: Kelompok 2 Amelia Leona Ayu Afriza Cindy Cesara Dety Wahyuni Fitri Wahyuni Ida Khairani Johan Ricky Marpaung Silvia Syafrina Ibrahim

By: Kelompok 2 Amelia Leona Ayu Afriza Cindy Cesara Dety Wahyuni Fitri Wahyuni Ida Khairani Johan Ricky Marpaung Silvia Syafrina Ibrahim By: Kelompok 2 Amelia Leona Ayu Afriza Cindy Cesara Dety Wahyuni Fitri Wahyuni Ida Khairani Johan Ricky Marpaung Silvia Syafrina Ibrahim Flu adalah suatu infeksi saluran pernapasan atas. Orang dengan daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Istilah asma berasal dari bahasa Yunani yang artinya terengahengah dan berarti serangan napas pendek. Meskipun dahulu istilah ini digunakan untuk menyatakan

Lebih terperinci