BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-Undang Nomor 38 tahun 2004 tentang jalan bahwa jalan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-Undang Nomor 38 tahun 2004 tentang jalan bahwa jalan"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Menurut Undang-Undang Nomor 38 tahun 2004 tentang jalan bahwa jalan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, mempunyai peranan penting terutama dalam mendukung bidang ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan dan dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antar daerah, membentuk dan memperkukuh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan keamanan nasional, serta membentuk struktur ruang dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan nasional. 2.1 Definisi dan Klasifikasi Jalan Wignall dkk (1999) mengatakan salah satu bagian dari sistem transportasi yang merupakan prasarana umum/infrastruktur adalah jalan, dan secara sederhana jalan didefinisikan sebagai jalur dimana masyarakat mempunyai hak untuk melewatinya tanpa diperlukannya izin khusus untuk itu. Menurut Undang-Undang Nomor 38 tahun 2004, definisi jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, diatas permukaan tanah, dibawah

2 permukaan tanah dan/atau air, serta diatas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel. Pada dasarnya pengelompokan jalan berdasarkan UU No. 38/2004 tentang jalan adalah sebagai berikut: 1. Berdasarkan sistem jaringan jalan terdiri dari: a. Sistem jaringan jalan primer (antar kota) b. Sistem jaringan jalan sekunder (dalam kota) 2. Berdasarkan fungsi jalan, dimana dalam setiap sistem jaringan tersebut peran jalan dipisahkan menjadi: a. Jalan arteri merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi. b. Jalan kolektor merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi. c. Jalan lokal merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.

3 d. Jalan lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat dan kecepatan rata-rata rendah. 3. Berdasarkan status jalan seperti yang disampaikan pada Gambar 2.1, menurut wewenang pengelolaan jalan tersebut akan dipisahkan statusnya menjadi: a. Jalan nasional, yaitu jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi, jalan strategis serta jalan tol. b. Jalan provinsi, yaitu jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota atau antar ibukota kabupaten/kota dan jalan strategis provinsi. c. Jalan kabupaten, yaitu jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antar ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antar pusat kegiatan kota, serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten dan jalan strategis kabupaten. d. Jalan kota adalah jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang menghubungkan antar pusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan antar persil, serta menghubungkan antar pusat permukiman yang berada dalam kota.

4 e. Jalan desa, yaitu jalan umum yang menghubungkan kawasan dan atau antar permukiman di dalam desa serta jalan lingkungan. Negara Tetangga Ibukota Propinsi Ibukota Kab/Kota Ibukota Kecamatan Jalan Negara/Nasional (Arteri Primer) Jalan Propinsi (Kolektor Primer) Jalan Kabupaten (Lokal Primer) Negara Tetangga Ibukota Propinsi Ibukota Kab/Kota Ibukota Kecamatan Gambar 2.1 Pembagian Status Pada Jaringan Jalan Primer (Tanan, 2005) 2.2 Pembagian Kewenangan Penyelenggaraan Jalan Dalam mekanisme penyelenggaraan jalan, adanya perubahan-perubahan pada era otonomi daerah juga turut mempengaruhi segala kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan jalan. Menurut Permen PU No.78 Tahun 2005 penyelenggara jalan nasional adalah menteri atau pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan jalan

5 nasional termasuk jalan tol. Dalam penyelenggaraan jalan terdapat 3 (tiga) tugas yang diemban oleh pemerintah untuk melayani kebutuhan perjalanan di wilayahnya, yakni pembinaan, pembangunan, dan pengawasan. UU No. 38 Tahun 2004 menyatakan tugas-tugas tersebut dibagi secara struktur sesuai tugas pokok dan fungsi jaringan jalannya, seperti pada Tabel 2.1. Secara umum penyelenggaraan jalan tidak dapat dipisahkan dari sejumlah kebijakan yang melatarbelakangi konsep penyelenggaraannya. Menurut Sinaga (2006) pada Gambar 2.2, alur pelaksanaan penyelenggaraan jalan dimulai dari ditetapkannya sejumlah undang-undang dan peraturan pemerintah tingkat pusat maupun daerah yang menjadi dasar kebijakan umum dan kebijakan teknis bagi penyelenggaraan jalan di Indonesia yang merupakan penentu bagi proses perencanaan baik jaringan maupun teknis, studi kelayakan, program dan anggaran, proses konstruksi, operasi dan pemeliharaan yang semuanya sangat berkaitan dengan hasil output, outcome serta dampak dari penyelenggaraan jalan tersebut. Gambar 2.2 Bagan Alir Penyelenggaraan jalan (Sinaga, 2006)

6 Tabel 2.1 Pembagian Tugas dan Penyelenggaraan Jalan No Tugas Penyelenggaraan Jalan Nasional PEMBINAAN 1.1. Pengaturan Perumusan kebijakan perencanaan Penyusunan kebijakan perencanaan umum dan pemrograman Penyusunan peraturan perundangan Penyusunan pedoman dan standar teknis Jalan Provinsi Jalan Kabupaten/K ota Jalan Desa Jalan Tol Jalan Khusus Pusat Provinsi Kab Kota Kab - Kota Pusat Pusat Pusat Provinsi Kab Kota Kab Kota/Desa Pusat Pusat Provinsi Kab Kota Kab Kota/Desa Pusat Pusat Provinsi Kab Kota Kab Pusat Kota/Desa 1.2. Pelayanan Perijinan Kab Kota Kab Kota Kab Kota Kab - Kota Pusat/Prov/Ka b Kota Instansi Terkait 1 Informasi Pusat Provinsi Kab Kota Kab Pusat/Korpora Instansi Kota/Desa si Terkait 1.3. Pemberdayaan Bimbingan dan Pusat Pusat/Provins Kab Kota Kab Pusat Pusat penyuluhan i Kota/Desa Pendidikan dan Pusat Pusat/Provins Kab Kota Kab Pusat Pusat pelatihan i Kota/Desa 1.4. Penelitian dan pengembangan Penelitian Pusat Pusat/Provins Provinsi- Kab Pusat Pusat/Korpor i Kab-Kota Kota/Desa asi Pengkajian Pusat Pusat/Provins Provinsi- Kab Pusat Pusat/Korpor i Kab-Kota Kota/Desa asi Pengembangan Pusat Pusat/Provins Provinsi- Kab Pusat Pusat/Korpor i Kab-Kota Kota/Desa asi PEMBANGUNAN Studi Kelayakan Pusat/Provi Provinsi Kab Kota Kab Korporasi Korporasi nsi Kota/Desa Perencanaan Teknis Pusat/Provi Provinsi Kab Kota Kab Korporasi Korporasi nsi Kota/Desa 2 Pelaksanaan Konstruksi Pusat/Provi Provinsi Kab Kota Kab Korporasi Korporasi nsi Kota/Desa Pengoperasian Pusat/Provi Provinsi Kab Kota Kab Pusat/ Korporasi nsi Kota/Desa Korporasi Pemeliharaan Pusat/Provi Provinsi Kab Kota Kab Korporasi Korporasi nsi Kota/Desa 3 PENGAWASAN Pusat Pusat Provinsi- Kab - Kota Pusat Pusat Kab-Kota Sumber : Tanan (2005) Pusat Pusat Pusat

7 Tanan (2005) dari tujuan penyelenggaraan jalan tersebut setidaknya terdapat beberapa kata kunci yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan jalan di Indonesia, yakni aspek yang berkaitan dengan pemerataan aksessibilitas ke seluruh wilayah, keselamatan dan pengoperasian jalan, efisiensi operasi, yang dalam hal ini cepat dan lancar, efektifitas jaringan jalan sebagai penunjang pembangunan, biaya yang seekonomis mungkin dan terjangkau serta keterpaduan antar moda. Wewenang penyelenggaraan jalan meliputi kegiatan-kegiatan yang mencakup siklus kegiatan dan perwujudan jalan yang terdiri dari pengaturan, pembinaan, pembangunan dan pengawasan yang dijelaskan sebagai berikut: 1. Pengaturan jalan adalah kegiatan perumusan kebijakan perencanaan, penyusunan perencanaan umum, dan penyusunan peraturan perundangan jalan. Khususnya untuk penyusunan peraturan perundang-undangan jalan hanya dilakukan oleh Menteri Pekerjaan Umum. 2. Pembinaan jalan adalah kegiatan penyusunan pedoman dan standar teknis, pelayanan, pemberdayaan sumber daya manusia, serta penelitian dan pengembangan jalan. 3. Pembangunan jalan adalah kegiatan pemograman, penganggaran, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi serta pengoperasian dan pemeliharaan jalan. 4. Pengawasan jalan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan tertib pengaturan, pembinaan dan pembangunan jalan. Pengawasan yang

8 dilakukan tersebut meliputi kegiatan evaluasi, pengkajian dan pengendalian. Sedangkan yang termasuk dalam kegiatan pengendalian adalah kegiatan pengamatan dan tindakan turun tangan. 2.3 Standar Pelayanan Minimal (SPM) di Bidang Jalan Untuk menjamin tersedianya pelayanan publik bagi masyarakat, maka berdasar pasal 3 ayat 3 PP No.25/2000 bahwa daerah wajib melaksanakan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Dalam hal ini standar pelayanan minimal merupakan kewenangan dari Pemerintah Pusat (pasal 2 ayat 4 butir b). Dengan kata lain bahwa untuk setiap bidang pelayanan harus ditetapkan suatu standar oleh Departemen Teknis terkait yang wajib dilaksanakan oleh daerah. Dalam hal ini untuk bidang jalan adalah Departemen Kimpraswil telah mengeluarkan draft Standar Pelayanan Minimal seperti yang tercantum dalam Tabel 2.2. SPM ini dikembangkan dalam sudut pandang publik sebagai pengguna jalan, dimana ukurannya merupakan common indicator yang diinginkan oleh pengguna. Ada 3 (tiga) keinginan dasar para pengguna jalan, yang kemudian dikembangkan menjadi dasar penentuan SPM yakni: 1. Kondisi jalan yang baik (tidak ada lubang). 2. Tidak macet (lancar setiap waktu). 3. Dapat digunakan sepanjang tahun (tidak banjir waktu musim hujan).

9 Tabel 2.2 Standard Pelayanan Minimum No. 1. Bidang Pelayanan Jaringan Jalan Cakupan Standar Pelayanan Kuantitas Konsumsi/Produksi Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) Kualitas Indeks Aksesibilitas Keterangan A. Aspek Aksesibilitas seluruh jaringan sangat tinggi >5000 >5 tinggi > 1000 >1.5 sedang > 500 >0.5 rendah > 100 >0.15 Panjang jalan/luas (km/km2) sangat rendah < 100 >0.05 PDRB per kapita (juta rp/kap/th) Indeks Mobilitas B. Aspek Mobilitas seluruh jaringan sangat tinggi >10 >5 tinggi > 5 >2 sedang > 2 >1 panjang jalan/ 1000 penduduk rendah > 1 >0.5 sangat rendah < 1 >0.2 pemakai jalan Indeks Kecelakaan 1 Kecelakaan/ km. kend. C. Aspek Kecelakaan seluruh jaringan Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) sangat tinggi >5000 tinggi > 1000 sedang > 500 rendah > 100 Indeks Kecelakaan 2 kecelakaan/ km/ tahun sangat rendah < Ruas Jalan Lebar Jalan Min. Volume Lalulintas (kend/hari) Kondisi Jalan 2x7m lhr > sedang; iri < 6; rci > 6.5 A. Kondisi Jalan 7m 8000 > lhr > sedang; iri < 6; rci > 6.5 6m 3000 >l hr > 8000 sedang; iri < 8; rci > m lhr < 3000 sedang; iri < 8; rci > 5.5 Fungsi Jalan Pengguna Jalan Kecepatan Tempuh Min arteri primer lalu lintas regional jarak jauh 25 km/jam B. Kondisi Pelayanan kolektor primer lalu lintas regional jarak sedang 20 km/jam lokal primer lalu lintas lokal 20 km/jam arteri sekunder lalu lintas kota jarak jauh 25 km/jam kolektor sekunder lalu lintas kota jarak sedang 25 km/jam lokal sekunder lalu lintas lokal kota 20 km/jam Sumber: Departemen Kimpraswil, 2001

10 2.4 Kegiatan Penanganan Jalan Tujuan penanganan jalan adalah untuk menjaga jalan agar fungsinya dalam sistem infrastruktur jalan (atau lebih dikenal sebagai jaringan jalan) dapat berjalan sebagaimana mestinya sesuai tujuan penyelenggaraan jalan itu sendiri. Secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa tujuan penanganan jalan adalah untuk menjaga kondisi fisik dan operasional dari jaringan jalan agar tetap dalam kondisi baik sehingga dapat dioperasikan atau memberikan pelayanan sebagaimana mestinya. Dalam kondisi penyediaan dana yang terbatas (constrained budget available) ini maka prioritas untuk kegiatan penanganan jalan yang sifatnya untuk mempertahankan aset yang ada (assets preservation) merupakan suatu langkah yang wajar untuk dilakukan, dan jika kondisi keuangan memungkinkan maka dapat dilakukan penyempurnaan terhadap kondisi yang ada (assets enchancement) dan jika benar benar dana yang tersedia sangat besar maka perlu adanya penambahan aset baru (assets expansion). Penanganan infrastruktur jaringan jalan nasional berdasarkan konsep wilayah kerja diusulkan dibagi dalam 2 kelompok besar yaitu preservasi dan pembangunan. Penanganan preservasi bersifat menjamin jaringan jalan tetap dalam kondisi optimal. Jenis pekerjaannya dibagi dalam 2 jenis pekerjaan, yaitu pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan rehabilitasi jalan. Sedangkan penanganan pembangunan bersifat menambah kuantitas sistem jaringan jalan baik dalam arah memanjang maupun dalam arah tranversal.

11 Departemen Kimpraswil memiliki definisi mengenai tujuan penanganan jalan yakni 100% jalan mantap. Tingkat kemantapan jalan ditentukan oleh dua kriteria yakni mantap secara konstruksi dan mantap dalam pelayanan lalu lintas. 2.5 Definisi Kemantapan Jalan Adapun definisi dari masing-masing istilah kemantapan jalan tersebut adalah sebagai berikut : a. Jalan Mantap Konstruksi adalah jalan dengan kondisi konstruksi di dalam koridor mantap yang mana untuk penanganannya hanya membutuhkan kegiatan pemeliharaan. Jalan mantap konstruksi ditetapkan menurut Standar Pelayanan Minimal adalah jalan dalam kondisi sedang, dimana dalam studi ini digunakan batasan dengan besar IRI < 6 m/km. b. Jalan Tak Mantap Konstruksi adalah jalan dengan kondisi di luar koridor mantap yang mana untuk penanganan minimumnya adalah pemeliharaan berkala dan maksimum peningkatan jalan dengan tujuan untuk menambah nilai struktur konstruksi. Konsep tingkat kemantapan jalan yang digunakan oleh Ditjen Bina Marga berdasarkan ketersediaan data dari sistem pendataan yang dimiliki maka parameter yang digunakan adalah: 1. Parameter kerataan jalan atau International Roughness Index (IRI).

12 2. Parameter lebar jalan dan Rasio Volume/Kapasitas (VCR). 3. Parameter lebar jalan dan Volume Lalulintas Harian (LHR). 2.6 Jenis Kegiatan Penanganan Jalan Banyaknya permasalahan yang harus ditangani dalam penanganan jalan, namun secara umum dapat dikelompokkan sebagai berikut: a. Pemeliharaan kerusakan jalan yang diakibatkan oleh pengaruh cuaca, waktu dan kelelahan akibat beban lalulintas. b. Penyesuaian lebar jalan untuk memenuhi peningkatan volume lalulintas. c. Penyesuaian kekuatan struktur jalan untuk memenuhi tuntutan perkembangan beban lalulintas dan teknologi kendaraan angkutan barang. d. Pembuatan jalan baru untuk meningkatkan aksesibilitas untuk wilayah yang berkembang cepat maupun untuk daerah yang masih terisolir. Penanganan jalan menurut PP No. 34 Tahun 2006 Tentang Jalan adalah kegiatan yang merupakan bagian dari penyelenggaraan pembangunan jalan yang mencakup penetapan rencana tingkat kinerja yang akan dicapai serta perkiraan biaya yang diperlukan. Program penanganan jaringan jalan disusun oleh penyelenggara jalan yang bersangkutan dengan mengacu pada rencana jangka menengah jaringan jalan dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan oleh menteri sesuai dengan

13 peraturan perundang-undangan. Penanganan jalan bertujuan untuk menjaga prasarana jalan sehingga fungsinya dalam sistem infrastruktur jalan dapat berjalan sebagaimana mestinya sesuai tujuan penyelenggaraan prasarana jalan itu sendiri. Dengan kata lain, secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa tujuan penanganan jalan adalah untuk menjaga kondisi fisik dan operasional dari jaringan jalan agar tetap dalam kondisi baik sehingga dapat dioperasikan atau memberikan pelayanan sebagaimana mestinya (Tanan, 2005). Di dalam Penjelasan PP No 34 Tahun 2006 Tentang Jalan disebutkan bahwa program penanganan jaringan jalan meliputi program pemeliharaan jalan, program peningkatan jalan, dan program konstruksi jalan baru. Menurut Ditjen Bina Marga (2005) dalam Mulyono (2007) lebih memfokuskan pengelolaan jalan pada kegiatan pemeliharaan berkala (periodic maintenance) dan peningkatan strukturnya (betterment). Berdasarkan hal tersebut, penanganan jalan yang ditinjau pada penelitian ini adalah program pemeliharaan jalan dan peningkatan jalan, tidak termasuk program konstruksi jalan baru Pemeliharaan Jalan (Maintenance) Sesuai dengan karakteristiknya, jalan akan mengalami penurunan kondisi semenjak pertama kali digunakan hingga berakhirnya umur rencana (Kodoatie, 2005). Sasaran penanganan jalan pada dasarnya mempertahankan kondisi dan tingkat pelayanan jalan sedemikian sehingga diperoleh biaya transportasi total yang

14 minimum. Masalah pemeliharaan saat ini mulai banyak mendapat perhatian karena dapat mengurangi atau menekan terjadinya kerusakan yang lebih parah dan terjaganya usia pelayanan sehingga pemeliharaan jalan merupakan program penanganan jalan yang berada dalam prioritas tertinggi. Infrastruktur yang dijaga atau dipelihara akan dapat memiliki usia pelayanan yang lebih lama dibandingkan dengan yang tidak dikenakan kegiatan pemeliharaan. Mahmud dkk (2002) prinsip pemeliharaan jalan dilakukan dengan azas keuntungan ekonomi yang efektif dan efisien, melalui anggaran yang minimum dapat dihasilkan kondisi jalan yang optimum sehingga masyarakat merasa bahagia karena biaya angkutan menjadi rendah. Biaya Biaya AngkutanKota Biaya Pemeliharaan Rendah Mutu Jalan Tinggi Gambar 2.3 Hubungan Mutu Jalan Dengan Biaya Pemeliharaan dan Biaya Pengguna (Mahmud dkk, 2002)

15 Gambar 2.3 menunjukkan hubungan mutu jalan dengan biaya pemeliharaan dan pengguna, dengan memperlihatkan semakin besar biaya pemeliharaan yang diinvestasikan maka kondisi jalan akan semakin baik dan semakin rendah biaya pengguna jalan dimana pada kondisi jalan tertentu (optimum) gabungan kedua biaya tersebut akan minimum. Jika kegiatan pemeliharaan diberikan secara teratur sesuai standar perencanaan dan tingkat pemeliharaan yang dibutuhkan maka secara tidak langsung kualitas pelaksanaan konstruksi dapat dievaluasi dan dapat menjamin pelayanan transportasi jalan yang teratur, tepat waktu dan aman, dan lingkungan yang bersih dan rapi. Pemeliharaan jalan menurut World Bank (1998) serta Schileser dan Bull (1993) dalam Zainuddin dkk (2009) adalah suatu proses untuk mengoptimalkan kinerja jaringan jalan sepanjang tahun yang secara umum bertujuan untuk menjaga agar jalan tersebut tetap berfungsi melayani kebutuhan ekonomi sosial masyarakat sepanjang tahun dan mengurangi tingkat kerusakan serta biaya operasi kendaraan. Menurut Mahmud dkk (2002) rencana pemeliharaan jalan meliputi sistem informasi, sistem manajemen aset, dan rencana penanganan pemeliharaan jalan yang meliputi pemeliharaan rutin, pemeliharaan berkala dan rehabilitasi. Pemeliharaan jalan dilakukan melalui tahap-tahap yang rasional dan terpadu yang dikenal dengan siklus pemeliharaan. Secara garis besar siklus tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.4. Perencanaan Umum Penyusunan Program Desain Pelaksana an Pangkalan Data

16 Gambar 2.4 Siklus Pemeliharaan Jalan (Mahmud dkk, 2002) Perencanaan umum yaitu menyangkut analisis jaringan jalan secara keseluruhan yang ditujukan untuk memperkirakan kebutuhan biaya jangka menengah sampai jangka panjang, sesuai dengan target yang ditetapkan. Penyusunan program menyangkut penyusunan anggaran tahunan sesuai dengan kebutuhan penanganan pada masing-masing ruas, baik berdasarkan biaya yang telah diperkirakan ataupun berdasarkan biaya yang ditetapkan (dialokasikan). Secara sederhana, desain dapat diartikan sebagai membangun suatu fasilitas diatas kertas. Oleh karena itu pada tahap akhir desain sudah harus terlihat wujud (dimensi) serta mutu bahan dan mutu produk akhir fasilitas (dikenal dengan gambar rencana dan spesifikasi) bahkan perlu termasuk juga cara membangun dan cara pengendalian mutu. Pelaksanaan merupakan operasi lapangan dalam rangka menerjemahkan atau mewujudkan desain menjadi bentuk fisik. Pangkalan data dalam penyelenggaraan jalan sangat penting, namun kadang-kadang kurang mendapat perhatian. Karena merupakan rekaman lengkap setiap kegiatan maka pangkalan data merupakan sumber pengkajian dalam rangka lebih menyempurnakan penyelenggaraan pemeliharaan Pemeliharaan Rutin

17 Pemeliharaan rutin merupakan kegiatan merawat serta memperbaiki kerusakan-kerusakan yang terjadi pada ruas-ruas jalan dengan kondisi pelayanan mantap. Pemeliharaan rutin hanya diberikan terhadap lapis permukaan yang sifatnya untuk meningkatkan kualitas berkendaraan (riding quality), tanpa meningkatkan kekuatan struktural dan dilakukan sepanjang tahun sedangkan pemeliharaan berkala dilakukan terhadap jalan pada waktu-waktu tertentu (tidak menerus sepanjang tahun) dan sifatnya meningkatkan kemampuan struktural Pemeliharaan Berkala Pemeliharaan berkala merupakan kegiatan penanganan terhadap setiap kerusakan yang diperhitungkan dalam desain agar penurunan kondisi jalan dapat dikembalikan pada kondisi kemantapan sesuai dengan rencana Rehabilitasi Rehabilitasi merupakan kegiatan penanganan terhadap setiap kerusakan yang tidak diperhitungkan dalam desain, yang berakibat menurunnya kondisi kemantapan pada bagian/tempat tertentu dari suatu ruas jalan dengan kondisi rusak ringan, agar penurunan kondisi kemantapan tersebut dapat dikembalikan pada kondisi kemantapan sesuai dengan rencana Peningkatan Jalan

18 Peningkatan jalan merupakan penanganan jalan guna memperbaiki pelayanan jalan yang berupa peningkatan struktural dan atau geometriknya agar mencapai tingkat pelayanan yang direncanakan atau dengan kata lain, peningkatan jalan dilakukan untuk memperbaiki kondisi jalan dengan kemampuan tidak mantap atau kritis menjadi jalan dengan kondisi mantap. Pekerjaan peningkatan jalan adalah pekerjaan yang ditujukan untuk menambah kemampuan struktur jalan ke Muatan Sumbu Tunggal (MST) yang lebih tinggi atau menambah kapasitas jalan. Program peningkatan jalan terdiri atas: 1. Peningkatan struktur merupakan kegiatan penanganan untuk dapat meningkatkan kemampuan ruas-ruas jalan dalam kondisi tidak mantap atau kritis agar ruas-ruas jalan tersebut mempunyai kondisi pelayanan mantap sesuai dengan umur rencana yang ditetapkan. 2. Peningkatan kapasitas merupakan kegiatan penanganan jalan dengan pelebaran perkerasan, baik menambah maupun tidak menambah jumlah lajur Pembangunan Konstruksi Jalan Baru Pengertian pembangunan konstruksi jalan baru adalah penanganan jalan dari kondisi belum tersedianya badan jalan sampai kondisi jalan dapat berfungsi. Pekerjaan konstruksi jalan baru juga berarti pekerjaan membangun jalan baru berupa jalan tanah atau jalan beraspal.

19 Pembangunan jalan yang biasa di lakukan di Indonesia menurut Sulaksono (2001) mempunyai tahapan dimulai dari tahap perencanaan (planning), selanjutnya dilakukan studi kelayakan (feasibility study) dan perancangan detail (detail design), kemudian tahap konstruksi (construction) dan diakhiri tahap pemeliharaan (maintenance). 2.7 International Roughness Index (IRI) International Roughness Index adalah parameter untuk menentukan tingkat ketidakrataan permukaan jalan. Parameter Roughness dipresentasikan dalam suatu skala yang menggambarkan ketidakrataan permukaan perkerasan jalan yang dirasakan pengendara. Ketidakrataan permukaaan jalan tersebut merupakan fungsi dari potongan memanjang dan melintang permukaan jalan. Disamping faktor-faktor tersebut, Roughness juga dipengaruhi oleh parameter-parameter operasional kendaraan, yang meliputi suspension roda, bentuk kendaraan, kedudukan kerataan kendaraan serta kecepatan. Wambold, dkk (`1981) dalam Tanan (2005) menyampaikan secara umum Roughness jalan dapat didefinisikan sebagai deviasi permukaaan jalan diukur dari satu bidang datar, ditambah parameter lain yang dapat mempengaruhi hal-hal sebagai berikut: gerakan dinamis kendaraan, kualitas perjalanan, beban dinamis konstruksi serta pengaliran air di permukaan jalan. International Roughness Index (IRI) digunakan untuk mengukur kekasaran permukaan jalan, kekasaran yang diukur pada setiap lokasi diasumsikan mewakili

20 semua fisik dilokasi tersebut. Kekasaran permukaan jalan adalah nama yang diberikan untuk ketidakrataan memanjang pada permukaan jalan. Ini diukur dengan suatu skala terhadap pengaruh permukaaan pada kendaraan yang bergerak diatasnya. Skala yang banyak digunakan di negara berkembang adalah International Roughness Index. Tingkat kerataan jalan (IRI) merupakan salah satu faktor/fungsi pelayanan (functional performance) dari suatu perkerasan jalan yang sangat berpengaruh pada kenyamanan pengemudi (riding quality). Nilai IRI adalah nilai ketidakrataan permukaan yaitu panjang kumulatif turun naik permukaan persatuan panjang yang dinyatakan dalam m/km. IRI adalah sebuah standar pengukuran kekasaran yang mengacu pada Response-Type Road Roughness Measurement System (RTRRMS). Metode pengukuran kerataan permukaan jalan yang dikenal pada umumnya antara lain metode NAASRA (SNI ). Metode lain yang dapat digunakan untuk pengukuran dan analisis kerataan perkerasan adalah Rolling Straight Edge, Slope Profilometer /AASHO Road Test, CHLOE Profilometer, dan Roughometer (Yoder and Witczak, 1975 dalam Suwardo dan Sugiharto, 2004). Menurut Saleh, dkk (2008) pada dasarnya penetapan kondisi jalan minimal adalah sedang, dalam Gambar 2.5 terlihat berada pada level IRI antara 4,5 m/km sampai dengan 8 m/km tergantung dari fungsi jalannya. Jika IRI menunjukkan dibawah 4,5 artinya jalan masih dalam tahap pemeliharaan rutin, sementara jika IRI antara 4,5 sampai 8, yang dikategorikan pada kondisi sedang, berarti jalan sudah

21 perlu dilakukan pemeliharaan berkala (periodic maintenance) yakni dengan pelapisan ulang (overlay). Sedangkan jika IRI berkisar antara 8 sampai 12, artinya jalan sudah perlu dipertimbangkan untuk peningkatan. Sementara jika IRI > 12 berarti jalan sudah tidak dapat dipertahankan, sehingga langkah yang harus dilakukan rekonstruksi. PEMILIHARAAN BERKALA 4,5 < IRI < 8 RUSAK RINGAN 8 < IRI < 12 RUSAK BERAT 12 < IRI Po PENINGKATAN Pt BATAS KONTRUKSI JALAN LINTASAN IDEAL BATAS KRITIS Iri < 4,5 Iri < 4,5 Iri < 4,5 Pemeliharaan Rutin Pemeliharaan Rutin Pemeliharaan Rutin JIKA TANPA PROGRAM PENINGKATAN JALAN BATAS MASA PELAYANAN TIDAK MAMPU LAGI MELAYANI LOS YANG ADA Keterangan: Po : Service Ability Indeks Awal (PHO) Pt : Service Ability Indeks Akhir (Batas Umur Pelayanan) Nilai Po dan Pt tergantung pada klasifikasi Jalan (N, P, K) dan LHR Gambar 2.5 Hubungan Antara Kondisi, Umur dan Jenis Penanganan ( Saleh dkk, 2008) Jalan Direktorat Jenderal Bina Marga menggunakan parameter International Roughness Index (IRI) dalam menentukan kondisi konstruksi jalan, yang dibagi atas 4 kelompok. Berikut ditampilkan Tabel 2.3 penentuan kondisi ruas jalan dan kebutuhan penanganannya: Tabel 2.3 Penentuan Kondisi Ruas Jalan dan Kebutuhan Penanganan

22 Kondisi Jalan IRI (m/km) Kebutuhan Penanganan Baik IRI rata-rata 4.5 Pemeliharaan Rutin Sedang 4.5 < IRI rata-rata 8.0 Pemeliharaan Berkala Rusak 8.0 < IRI rata-rata 12 Peningkatan Jalan Rusak Berat IRI rata-rata > 12 Peningkatan Jalan Sumber : IRMS 2.8 Konsep Dasar Penentuan Prioritas (Priority Setting) Penentuan prioritas (priority setting) dikembangkan sebagai dasar pembuatan keputusan. Penentuan prioritas perlu dikembangkan dengan memahami sumbersumber daya yang bermanfaat untuk mencapai hasil/outcomes dan pengaruh/impact yang diharapkan. Ketersediaan sumber daya dapat menjadi faktor utama dalam penentuan prioritas. Sembel (2003) dalam Sembiring (2008) menyatakan keterbatasan waktu, tenaga dan dana menyebabkan ketidakmungkinan untuk melakukan banyak hal dalam waktu yang bersamaan sehingga perlu untuk dilakukan prioritas. Faktor keterbatasan tersebut membuat prioritas menjadi penting, sehingga perlu dilakukan pembenahan dalam banyak hal yang semuanya harus dilakukan dengan waktu yang cepat, dana yang cukup serta kualitas yang utama sehingga perlu dilakukan suatu cara, yaitu dengan menyusun prioritas. Prioritas disusun berdasarkan tingkat kebutuhan dan disesuaikan dengan visi, misi, dan tujuan yang ingin dicapai. Pada umumnya, penyusunan prioritas akan memperhatikan masalah-masalah dasar yang dihadapi maupun faktor-faktor yang menghambat tercapainya suatu tujuan. Oleh karena itu,

23 pemahaman terhadap akar permasalahan yang dihadapi menjadi modal utama bagi pengambil keputusan, khususnya yang terkait dengan masalah fundamental. Efektifitas penentuan prioritas terkait erat dengan proses pengambilan keputusan. Dalam hal ini, pengambilan keputusan harus mempertimbangkan tujuan, baik jangka pendek maupun jangka panjang. 2.9 Manfaat Penentuan Prioritas Penentuan prioritas dipandang penting karena beberapa alasan sebagai berikut: a. Agar tetap fokus pada hal-hal yang berada pada prioritas utama atau menuntun perencanaan dan proses update program. b. Untuk mengawasi agar penggunaan sumber daya langka lebih efektif. c. Untuk membangun komunikasi mengenai aktivitas antar stakeholder. d. Untuk menghubungkan antara kebijakan dan tujuan ekonomi sosial pemerintah Kriteria Dalam Menentukan Prioritas Dalam menentukan prioritas diperlukan beberapa kriteria yang menjadi dasar dalam pemberian bobot pilihan. Peneliti sebelumnya menggunakan kriteria yang berbeda-beda dalam menentukan prioritas penanganan ruas jalan menurut kondisi daerah yang ditelitinya. Berikut ini adalah beberapa penelitian terdahulu yang memiliki relevansi sehingga dapat dijadikan pertimbangan maupun perbandingan

24 dalam penentuan prioritas penanganan jalan baik pemeliharaan, peningkatan dan pembangunan jalan. Tanan (2005) mengambil studi penanganan jalan provinsi dalam kondisi budget constrained (Studi Kasus Provinsi Nusa Tenggara Timur). Model alokasi dana yang dikembangkan dalam studi ini menggunakan pendekatan Analisis Multi Kriteria (AMK) dengan metode AHP. Bobot kriteria diberikan berdasarkan persepsi responden wakil stakeholders Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan masyarakat. Terlihat bahwa prosentase pencapaian jalan mantap sangat dipengaruhi oleh besarnya dana yang tersedia, kombinasi pengalokasian dana, serta laju penambahan nilai IRI (yang dipengaruhi oleh pemilihan metode prediksi). Simanullang (2009) menulis studi dengan judul Kajian Peningkatan Status Jalan Kabupaten Menjadi Jalan Provinsi di Humbang Hasundutan menggunakan lima kriteria yaitu pemerataaan aksessibilitas ke seluruh wilayah, kondisi dari ruas jalan, fungsi arus, efektifitas dampak terhadap pengembangan wilayah, dan efektifitas biaya pengembangan ruas jalan. Dari hasil analisis menunjukkan kriteria yang paling dominan adalah kriteria pengembangan wilayah dan kriteria peningkatan aksessibilitas. Sedangkan menurut Rochim, dkk (2007) adanya kebijakan pendanaan, dan kebijakan lainnya berakibat semua ruas jalan tidak dapat tertangani seluruhnya, untuk itu dalam penyusunan program penanganan jalan harus menghasilkan urutan prioritas/peringkat ruas-ruas jalan yang akan ditangani. Dengan memakai metode

25 seleksi untuk menentukan peringkat/prioritas tersebut yang dapat menampung berbagai kebijakan dan permasalahan yang terjadi, dalam hal ini metode yang diusulkan adalah Analitycal Hierarchy Process Method. Kriteria yang memperoleh intensitas kepentingannya/prioritas paling tinggi adalah kerusakan pada perkerasan jalan yaitu 56%, hal ini didukung dengan sub kriteria retak-retak (19%) dan deformasi/lubang-lubang (32%) yang mana bila kedua sub kriteria tersebut terjadi maka ruas jalan tersebut harus mendapat penanganan segera. Sedangkan untuk kriteria prilaku lalu lintas bobot tingkat pentingnya adalah pada posisi kedua yaitu 24%, ini karena terdapat sub kriteria derajat kejenuhan 14%. Untuk kriteria kerusakan pada samping jalan dan public complain walaupun ada sedikit pengaruhnya, dianggap kurang penting 6%. Hal yang sama dilakukan oleh Fataruba, dkk (2006) juga menggunakan metode AHP dalam penelitiannya. Kriteria yang digunakan adalah kriteria yang ada pada kondisi eksisting ditambah 6 kriteria baru (potensi ekonomi komoditi unggulan, manfaat pemakai jalan, penduduk pengguna ruas jalan, peranserta masyarakat, fasilitas umum, trayek angkutan) yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan daerah wilayah studi. Pada penelitian ini, urutan prioritas usulan ditentukan berdasarkan besarnya jumlah manfaat yang didapat dari jumlah perkalian antara bobot kepentingan kriteria dengan nilai kriteria untuk setiap ruas jalan. Hasil pembobotan tingkat kepentingan kriteria adalah kondisi ruas jalan (27,66%), LHR (21,37%), potensi ekonomi komuditi unggulan (15,86%), manfaat pemakai jalan

26 (12,26), trayek angkutan umum (9,60%), jumlah penduduk pengguna ruas jalan (5,56%), peran serta masyarakat (3,93%), dan jumlah fasilitas umum (3,76). Berdasarkan hasil evaluasi perbandingan, hasil urutan prioritas usulan dengan metode pembobotan dinilai lebih baik dan lebih lengkap. Anggreni dan Jennie (2009), dalam Penentuan Prioritas Perbaikan Jalan Untuk Jalan Beraspal Studi Kasus Jalan Jayapura-Sentani Provinsi Papua menggunakan Metode AHP dengan faktor pembanding Indeks Permukaan (erat kaitannya dengan nilai kerusakan jalan) yang berbobot 0.53, BCR (Benefit Cost Ratio) memperoleh bobot 0.05, kondisi drainase yang berbobot 0.10 dan LHR (Lalu Lintas Harian Ratarata) dengan bobot Penilaian pembobotan ditentukan berdasarkan atas perbandingan antara faktor yang satu dengan lainnya kemudian dianalisa untuk menentukan faktor mana yang paling tinggi dan paling rendah peranannya terhadap level atas di mana faktor tersebut berada. Penelitian ini menghasilkan urutan prioritas perbaikan 9 (sembilan) ruas jalan antara Jayapura dan Sentani. Hadi (2009) dalam Metode Analytical Hierarchy Process untuk Menentukan Prioritas Penanganan Jalan di Wilayah Balai Pemeliharaan Jalan Mojokerto menggunakan 4 kriteria, kriteria pertama yaitu kerusakan pada perkerasan jalan dengan sub kriteria keadaan permukaan jalan, crack/retak-retak, deformasi/lubanglubang. Kriteria kedua kerusakan samping jalan yang dibagi menjadi kerusakan pada bahu jalan, kondisi drainase dan kondisi trotoar. Kriteria ketiga prilaku lalu lintas dibedakan menjadi derajat kejenuhan, waktu tempuh dan LHR. Kriteria keempat

27 adalah public complain. Dari hasil kuisioner pada 30 orang responden dan analisa pembobotan maka diperoleh urutan kriteria yang menjadi prioritas yaitu kerusakan pada perkerasan jalan (56%), kriteria prilaku lalu lintas (24%), kriteria kerusakan pada samping jalan dan publik komplain bobotnya 14 % dan 6 %. Dari hasil urutan pembobotan disusun prioritas ruas jalan yang mendapat penanganan baik jalan perkotaan maupun jalan luar kota Konsep Analisis Multi Kriteria (AMK) Salah satu cara untuk memprioritaskan serangkaian alternatif kebutuhan penanganan jalan di setiap ruas jalan adalah dengan menggunakan Analisis Multi Kriteria (AMK), dimana diharapkan dengan pendekatan AMK ini pengambilan keputusan telah mempertimbangkan semua variabel sekomprehensif mungkin dengan tetap berada dalam koridor proses ilmiah dari proses pengambilan keputusan yang dilakukan. Bila dibandingkan dengan pendekatan pengambilan keputusan lain, AMK memiliki sejumlah keunggulan, yakni: a. Sudut pandang terhadap pemilihan bisa lebih dalam. b. Bisa mengakomodasikan berbagai interest yang berbeda. c. Pemilihan bisa lebih transparan serta hasil pemilihannya bisa diharapkan lebih baik.

28 Namun di lain pihak kerugian penggunaan metode ini adalah bahwa proses evaluasi lebih kompleks serta perlu data yang banyak dan kemungkinan sulit diinterpretasikan secara sederhana karena adanya bumbu scientific yang menutupi proses analisis Analytical Hierarchie Process Method Salah satu metode multi kriteria yang sering digunakan adalah Proses Hierarki Analitik (PHA) atau disebut Analytical Hierarchy Process (AHP), yang pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika dari Universitas Pittsburg, Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Metoda yang dikembangkan oleh Thomas Saaty ini pada dasarnya merupakan prosedur yang sistematik untuk merepresentasikan elemen masalah secara hirarki (memecahkan masalah ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil). Metode AHP adalah proses membentuk nilai secara numerik untuk menyusun peringkat dari setiap alternatif keputusan berbasis pada bagaimana sebaiknya alternatif tersebut dicocokkan dengan kriteria para pembuat keputusan. Menurut Saaty (1993) metode AHP memiliki beberapa aksioma yang harus diperhatikan, antara lain: 1. Reciprocal condition axiom Aksioma ini menyatakan bahwa bila suatu alternatif atau kriteria A lebih disukai sebesar n kali daripada B, maka B lebih disukai sebesar 1/n kali daripada A.

29 2. Homogenity Aksioma ini menjelaskan bahwa dalam membandingkan antara mobil dan apel, tetapi harus apel dan apel. 3. Dependence Aksioma ini mengijinkan perbandingan antara sekumpulan elemen dengan sekumpulan elemen lainnya pada tingkat bawah tergantung elemen di tingkat atas. 4. Expectations Aksioma ini menyatakan bahwa suatu perubahan pada struktur akan membutuhkan suatu evaluasi baru terhadap hirarki. Ukuran yang banyak digunakan dalam AHP menggunakan konsep perbandingan berpasangan, yaitu proses membandingkan antara dua kriteria yang perlu dipertimbangkan untuk melakukan suatu pengambilan keputusan. Di dalam AHP, penetapan prioritas kebijakan dilakukan dengan menangkap secara rasional persepsi orang, kemudian mengkonversi faktor-faktor yang intangible ke dalam aturan yang biasa sehingga dapat dibandingkan. Beberapa keuntungan menggunakan AHP sebagai metode analisis adalah (Saaty, 1993): 1. AHP memberi model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk beragam persoalan yang tidak berstruktur. 2. AHP memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks.

30 3. AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam satu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier. 4. AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan. 5. AHP memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak berwujud untuk mendapatkan prioritas. 6. AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas. 7. AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif. 8. AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka. 9. AHP tidak memaksakan konsensus tetapi mensinteis suatu hasil yang representatif dari penilaian-penilaian yang berbeda. 10. AHP memungkinkan orang memperhalus defenisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan. Disamping itu ada juga kelemahan metode AHP yaitu: 1. Ketergantungan model AHP pada input utamanya. Input utama ini merupakan persepsi seorang ahli sehingga dalam hal ini melibatkan

31 subyektifitas sang ahli selain itu juga model menjadi tidak berarti jika ahli tersebut memberikan penilaian keliru. 2. Metode AHP ini hanya metode matematis tanpa ada pengujian statistik sehingga tidak ada batas kepercayaan dari terbentuknya kebenaran model. Dalam pengerjaannya metode Analytical Hierarchy Process (AHP) menggunakan prinsip-prinsip yang meliputi: 1. Decomposition: suatu masalah yang kompleks dipecahkan ke level di bawahnya yang mempunyai elemen yang bisa ditangani. 2. Prioritization: dampak tiap elemen dinilai pada levelnya dan dibawa ke level di atasnya. 3. Synthesis: semua prioritas ditarik bersama untuk mendapatkan penilaian keseluruhan. 4. Sensitivity Analysis: kestabilan hasil terhadap perubahan-perubahan dicoba dengan apa yang akan terjadi jika dilakukan perubahan terhadap elemen analisis Decomposition Dekomposisi merupakan proses memecah persoalan yang utuh menjadi unsurunsurnya, sampai yang sekecil-kecilnya setelah mendefinisikan permasalahan yang terjadi. Sistem yang kompleks dapat dengan mudah dipahami jika memecahnya menjadi berbagai elemen pokok dan selanjutnya menusun elemen elemen tersebut secara hirarki.

32 Hirarki merupakan alat mendasar dari fikiran manusia yang melibatkan pengidentifikasian elemen-elemen suatu persoalan. Langkah pertama dalam menyusun hirarki adalah merumuskan tujuan dari suatu kegiatan penyusunan prioritas yang dilanjutkan dengan menentukan kriteria dari tujuan. Berdasarkan tujuan dan kriteria, maka beberapa pilihan perlu diidentifkasi agar pilihan tersebut merupakan pilihan yang potensial sehingga jumlah pilihan tidak terlalu banyak. Struktur hirarki AHP secara sederhana ditunjukkan dalam Gambar 2.6. TUJUAN KRITERIA I II III PILIHAN I II III Gambar 2.6 Skema Umum Susunan Hirarkhi/Proses Dekomposisi (Saaty, 1993) Comparative Judgement Prinsip comparative judgement ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan

33 tingkatan diatasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP, karena akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Dalam mengkuantifikasi pendapat kualitatif tersebut digunakan skala penilaian sehingga akan diperoleh nilai pendapat dalam bentuk angka (kuantitatif). Menurut Saaty (2003), untuk berbagai permasalahan, skala 1 sampai 9 merupakan skala yang terbaik dalam mengkualifikasikan pendapat, yaitu berdasarkan akurasinya berdasarkan nilai RMS (Root Mean Square Deviation) dan MAD (Median Absolute Deviation). Nilai dan definisi pendapat kualitatif dalam skala perbandingan Saaty ada pada Tabel 2.4. Tabel 2.4 Skala Banding Secara Berpasangan (Saaty,1993) INTENSITAS DEFINISI PENJELASAN PENTINGNYA 1 Kedua elemen sama pentingnya Dua elemen menyumbang sama besar pada sifat itu 3 Elemen yang satu sedikit lebih penting ketimbang yang lainnya Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas yang 5 Elemen yang satu esensial atau sangat penting ketimbang elemen-elemen yang lainnya 7 Satu elemen jelas lebih penting dari elemen yang lainnya 9 Satu elemen mutlak lebih penting ketimbang elemen yang lainnya 2,4,6,8 Nilai-nilai antara diantara dua pertimbangan yang berdekatan Kebalikan Jika untuk aktivitas I mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j, maka j lainya Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas elemen yang lainnya Satu elemen dengan kuat disokong, dan dominannya telah terlihat dalam praktik Bukti yang menyokong elemen yang satu atas yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan Kompromi diperlukan antara dua pertimbangan

34 Sumber : Saaty (1993) mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i Penggunaan penilaian skala banding berpasangan pada Tabel 2.4, maka perbandingan antar kriteria akan menghasilkan Tabel 2.5 berikut. Untuk memudahkan, dalam tabel diasumsikan hanya ada 4 (empat) kriteria. Dari tabel tersebut dapat dirangkum sebagai berikut: 1. c ij merupakan hasil penilaian/perbandingan antara kriteria i dengan j. 2. c i merupakan penjumlahan nilai yang dimiliki kriteria ke i. 3. c merupakan penjumlahan semua nilai c i. 4. Bobot kriteria ke i diperoleh dengan membagi nilai c i. dengan c. Tabel 2.5 Perbandingan Antar Kriteria Kriteria CR 1 CR 2 CR 3 CR 4 Jumlah Bobot CR 1 - c 12 c 13 c 14 c 1 bc 1 = c 1 / C CR 2 c 21 - c 23 c 24 c 2 bc 2 = c 2 / C CR 3 c 31 c 32 - c 34 c 3 bc 3 = c 3 /C CR 4 c 41 c 42 c 43 - c 4 bc 4 =c 4/ C Jumlah C Sumber : Susila dkk (2007) Tabel 2.6. Perbandingan Antar Pilihan Untuk Kriteria C 1 C 1 OP 1 OP 2 OP 3 OP 4 Jumlah Bobot OP 1 - o 12 o 13 o 14 o 1 bo 11 =o 1 /O OP 2 o 21 - o 23 o 24 o 2 bo 21 =o 2 / O

35 OP 3 o 31 o 32 - o 34 o 3 bo 31 = o 3 / O OP 4 o 41 o 42 o 43 - o 4 bo 41 = o 4 / O Jumlah O Sumber : Susila dkk (2007) Dengan menggunakan prosedur yang sama, maka dilakukan perbandingan antar pilihan (OP) untuk masing-masing kriteria. Tabel 2.6 mengilustrasikan perbandingan antar pilihan untuk kriteria 1 (C 1 ) dengan penjelasan sebagai berikut: 1. o ij merupakan hasil penilaian/perbandingan antara pilihan i dengan k untuk kriteria ke j. 2. o i merupakan penjumlahan nilai yang dimiliki pilihan ke i. 3. o merupakan penjumlahan semua nilai o i. 4. bo ij merupakan nilai pilihan ke i untuk kriteria ke j. Teknik perbandingan berpasangan yang digunakan dalam AHP berdasarkan judgement atau pendapat dari para responden yang dianggap sebagai key person. Mereka dapat terdiri atas pengambil keputusan, para pakar dan orang yang terlibat serta memahami permasalahan yang dihadapi. Pada umumnya jumlah ahli bervariasi, bergantung pada ketersediaan sumber daya. Penilaian dapat dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada masing-masing ahli ataupun dengan melakukan suatu pertemuan para ahli untuk melakukan penilaian Synthesis of Priority

36 Hasil yang diperoleh dari tahap Comparative Judgement lebih mudah disajikan dalam bentuk matriks Pairwise Comparison, yaitu perbandingan setiap elemen dengan elemen yang lainnya pada setiap tingkat hirarki secara berpasangan sehingga didapat nilai tingkat kepentingan elemen dalam bentuk pendapat kualitatif. Dan dari setiap matriks pairwise comparison dihitung vektor eigen untuk mendapatkan prioritas lokal, karena matriks pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk melakukannya secara global harus dilakukan dengan mensintesis diantara prioritas lokal (Synthesis of Priority). Susila dkk (2007) menegaskan bahwa, mensintesis hasil penilaian merupakan tahap akhir dari AHP yang prosedurnya berbeda menurut bentuk hirarki. Pada dasarnya, sintesis ini merupakan penjumlahan dari bobot yang diperoleh setiap pilihan pada masing-masing kriteria setelah diberi bobot dari kriteria tersebut. Secara umum, nilai suatu pilihan adalah sebagai berikut: bop i n i 1 bo ij bc j ( 2.1) dimana bop i = nilai/ bobot untuk pilihan ke i. Formula tersebut juga dapat disajikan dalam bentuk tabel. Untuk memudahkan, diasumsikan ada empat kriteria dengan empat pilihan seperti Tabel 2.7 berikut. Tabel 2.7 Matriks Sintesis CR 1 CR 2 CR 3 CR 4 Prioritas bc 1 bc 2 bc 3 bc 4 bop i

37 OP 1 bo 11 bo 12 bo 13 bo 14 bop 1 OP 2 bo 21 bo 22 bo 23 bo 24 bop 2 OP 3 bo 31 bo 32 bo 33 bo 34 bop 3 OP 4 bo 41 bo 42 bo 43 bo 44 bop 4 Sumber : Susila dkk (2007) Sebagai contoh nilai prioritas/bobot pilihan 1 (OP 1 ) diperoleh dengan mengalikan nilai bobot pada ktiteria dengan nilai yang terkait dengan kriteria tersebut untuk pilihan 1 sebagai berikut: bop i = bo 11 * bc 1 + bo 12 * bc 2 + bo 13 * bc 3 + bo 14 * bc 4 (2.2) Hal yang identik dilakukan untuk pilihan 2, 3 dan 4, dengan membandingkan nilai yang diperoleh masing-masing pilihan, prioritas dapat disusun berdasarkan besarnya nilai tersebut. Semakin tinggi nilai suatu pilihan, semakin tinggi prioritasnya, dan sebaliknya. Derajat kepentingan dapat dilakukan dengan pendekatan perbandingan berpasangan. Perbandingan berpasangan sering digunakan untuk menentukan kepentingan relatif dari elemen-elemen dan kriteria-kriteria yang ada. Perbandingan berpasangan tersebut diulang untuk semua elemen dalam tiap tingkat. Elemen dengan bobot paling tinggi adalah pilihan keputusan yang layak dipertimbangkan untuk diambil Logical Consistency

38 Konsistensi memiliki dua makna, yaitu bahwa obyek-obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai keseragaman dan relevansinya dan tingkat hubungan antara obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu Uji Konsistensi Konsistensi jawaban atau pembobotan setiap responden harus diperiksa untuk menjaga kualitas model secara keseluruhan. Dalam AHP tingkat konsistensi ini dinyatakan dengan besaran indeks konsistensi (CI). Jany dkk (2009) menyatakan bahwa, pada teori matriks diketahui bahwa kesalahan kecil pada koefisien akan menyebabkan penyimpangan kecil pula pada eigen value. Adapun penghitungan indeks konsistensi dilakukan dengan persamaan : CI = ( maks n)/(n-1) (2.3) maks = ( W in *W n )/n (2.4) dimana: maks = eigen value maksimum n W in W n = ukuran matriks = nilai perbandingan antar kriteria i terhadap kriteria n = tingkat kepentingan kriteria n Penetapan suatu matriks dianggap konsisten jika nilai Rasio Konsistensi (CR) lebih kecil atau sama dengan 0,1. Revisi pendapat, dapat dilakukan apabila nilai rasio konsistensi pendapat cukup tinggi ( 10%). Beberapa ahli berpendapat jika jumlah revisi terlalu besar,

39 sebaiknya responden tersebut dihilangkan. Jadi penggunaan revisi ini sangat terbatas mengingat akan terjadinya penyimpangan dari jawaban yang sebenarnya. Rasio konsistensi diperoleh dari persamaan: CI CR (2.5) RI Dimana CR = Consistency Ratio Ukuran Matriks CI = Consistency Index RI = Random Index (Tabel 2.8) Tabel 2.8 Nilai Indeks Random (RI) Indeks Random (Inkonsitensi) Ukuran Matriks Indeks Random (Inkonsitensi) 1, ,45 3 0, ,49 4 0,9 11 1,51 5 1, ,48 6 1, ,56 7 1, ,57 Sumber: Saaty,1993 Nilai rentang CR yang dapat diterima tergantung pada ukuran matriks-nya, sebagai contoh, untuk ukuran matriks 3 x 3, nilai CR = 0,03; matriks 4 x 4, CR = 0,08 dan untuk matriks ukuran besar, nilai CR = 0,1 (Saaty, 2000 dalam Apriyanto, 2008). Tabel 2.9 Nilai Rentang Penerimaan Bagi CR No Ukuran Matriks Rasio Konsistensi (CR) 1 3 x 3 0,03

40 2 4 x 4 0,08 3 > 4 x 4 0,1 Sumber : Saaty (2000) dalam Apriyanto (2008) Dari Tabel 2.9, jika nilai CR lebih rendah atau sama dengan nilai tersebut, maka dapat dikatakan bahwa penilaian dalam matriks cukup dapat diterima atau matriks memiliki konsistensi yang baik. Sebaliknya jika CR lebih besar dari nilai yang dapat diterima, maka dikatakan evaluasi dalam matriks kurang konsisten dan karenanya proses AHP perlu diulang kembali Proses Penetapan Prioritas Tahapan pengambilan keputusan dalam AHP, secara singkat diuraikan sebagai berikut: 1. Indikasi jumlah alternatif yang akan diperiksa. 2. Tinjau dominansi suatu pilihan terhadap pilihan lainnya, terjadi ketika kinerja suatu alternatif sama/lebih baik untuk semua kriteria terhadap alternatif lainnya. 3. Lakukan pembobotan, dengan menggunakan matrix pair wise comparison. 4. Skoring kinerja tiap alternatif dengan memberikan penilaian terukur terhadap variabel kriteria secara kualitatif ataupun kuantitatif. 5. Mengalikan bobot setiap kriteria dengan score/rangking kinerja alternatif pada kriteria tersebut.

41 6. Menjumlahkan nilai setiap kriteria sehingga didapat nilai total suatu alternatif. 7. Merangking nilai tersebut sehingga didapat prioritas alternatif. Penyimpulan prioritas untuk setiap alternatif ditentukan oleh besarnya nilai kinerja alternatif, dimana alternatif yang menunjukkan nilai yang lebih besar akan lebih diprioritaskan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-Undang Nomor 38 tahun 2004 tentang jalan bahwa jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-Undang Nomor 38 tahun 2004 tentang jalan bahwa jalan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Menurut Undang-Undang Nomor 38 tahun 2004 tentang jalan bahwa jalan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, mempunyai peranan penting terutama dalam mendukung bidang ekonomi,

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN JALAN DI KAWASAN KOTA BARU TEGALLUAR KABUPATEN BANDUNG

ANALISIS KEBUTUHAN JALAN DI KAWASAN KOTA BARU TEGALLUAR KABUPATEN BANDUNG bidang TEKNIK ANALISIS KEBUTUHAN JALAN DI KAWASAN KOTA BARU TEGALLUAR KABUPATEN BANDUNG MOHAMAD DONIE AULIA, ST., MT Program Studi Teknik Sipil FTIK Universitas Komputer Indonesia Pembangunan pada suatu

Lebih terperinci

PENENTUAN URUTAN PRIORITAS USULAN PENANGANAN RUAS-RUAS JALAN DI KOTA SAMARINDA

PENENTUAN URUTAN PRIORITAS USULAN PENANGANAN RUAS-RUAS JALAN DI KOTA SAMARINDA PENENTUAN URUTAN PRIORITAS USULAN PENANGANAN RUAS-RUAS JALAN DI KOTA SAMARINDA Desy Damayanti Mahasiswa Magister Manajemen Aset FTSP ITS Ria Asih Aryani Soemitro Dosen Pembina Magister Manajemen Aset FTSP

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. informasi dari kalangan aparat pemerintah dan orang yang berhubungan erat

III. METODE PENELITIAN. informasi dari kalangan aparat pemerintah dan orang yang berhubungan erat III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Data-data yang digunakan untuk penelitian ini merupakan gabungan antara data primer dan data sekunder. Data primer mencakup hasil penggalian pendapat atau

Lebih terperinci

BAB III METODE KAJIAN

BAB III METODE KAJIAN 47 BAB III METODE KAJIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Meningkatnya aktivitas perkotaan seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi masyarakat yang kemudian diikuti dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permen RI No. 34 Tahun 2006 menyatakan bahwa jalan merupakan prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya

Lebih terperinci

BAB III TEORI HIERARKI ANALITIK. Proses Hierarki Analitik (PHA) atau Analytical Hierarchy Process (AHP)

BAB III TEORI HIERARKI ANALITIK. Proses Hierarki Analitik (PHA) atau Analytical Hierarchy Process (AHP) BAB III TEORI HIERARKI ANALITIK 3.1 Pengertian Proses Hierarki Analitik Proses Hierarki Analitik (PHA) atau Analytical Hierarchy Process (AHP) pertama kali dikembangkan oleh Thomas Lorie Saaty dari Wharton

Lebih terperinci

Prioritas Pengembangan Jaringan Jalan Pendukung Kawasan Strategis Di Pulau Sumbawa

Prioritas Pengembangan Jaringan Jalan Pendukung Kawasan Strategis Di Pulau Sumbawa Prioritas Pengembangan Jaringan Jalan Pendukung Kawasan Strategis Di Pulau Sumbawa Rizal Afriansyah Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Email : rizaldi_87@yahoo.co.id Abstrak - Transportasi mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk pembuat keputusan, pengambil keputusan,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk pembuat keputusan, pengambil keputusan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk pembuat keputusan, pengambil keputusan, penentu atas sebuah pilihan dari sejumlah pilihan. Pengambilan keputusan terjadi setiap saat

Lebih terperinci

ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS

ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS Untuk memperkenalkan AHP, lihat contoh masalah keputusan berikut: Sebuah kawasan menghadapi kemungkinan urbanisasi yang mempengaruhi lingkungan. Tindakan apa yang harus dilakukan

Lebih terperinci

Perencanaan Geometrik & Perkerasan Jalan PENDAHULUAN

Perencanaan Geometrik & Perkerasan Jalan PENDAHULUAN PENDAHULUAN Angkutan jalan merupakan salah satu jenis angkutan, sehingga jaringan jalan semestinya ditinjau sebagai bagian dari sistem angkutan/transportasi secara keseluruhan. Moda jalan merupakan jenis

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Analytical Hierarchy Process (AHP) Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah salah satu metode dari Multi Criteria Decision Making (MCDM) yang dikembangkan oleh Prof. Thomas Lorie

Lebih terperinci

ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Amalia, ST, MT

ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Amalia, ST, MT ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Amalia, ST, MT Multi-Attribute Decision Making (MADM) Permasalahan untuk pencarian terhadap solusi terbaik dari sejumlah alternatif dapat dilakukan dengan beberapa teknik,

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Analytic Hierarchy Process (AHP) Sumber kerumitan masalah keputusan bukan hanya dikarenakan faktor ketidakpasatian atau ketidaksempurnaan informasi saja. Namun masih terdapat penyebab

Lebih terperinci

URUTAN PRIORITAS PEMELIHARAAN JALAN KOTA DI KOTA PONTIANAK DENGAN MENGGUNAKAN PROSES HIRARKI ANALITIK

URUTAN PRIORITAS PEMELIHARAAN JALAN KOTA DI KOTA PONTIANAK DENGAN MENGGUNAKAN PROSES HIRARKI ANALITIK URUTAN PRIORITAS PEMELIHARAAN JALAN KOTA DI KOTA PONTIANAK DENGAN MENGGUNAKAN PROSES HIRARKI ANALITIK Khafizan 1), Slamet Widodo 2), Siti Mayuni 2) Khafizan.apid@gmail.com Abstrak Jaringan jalan cenderung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup masyarakat secara keseluruhan (Munawar, 2004). Untuk tujuan tersebut, maka

BAB I PENDAHULUAN. hidup masyarakat secara keseluruhan (Munawar, 2004). Untuk tujuan tersebut, maka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor jalan merupakan salah satu penunjang yang sangat penting bagi kegiatan-kegiatan ekonomi yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi adalah suatu kerangka pendekatan pola pikir dalam rangka menyusun dan melaksanakan suatu penelitian. Tujuannya adalah untuk mengarahkan proses berpikir untuk menjawab

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan Pemerintah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan Pemerintah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 26 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir Kebijaksanaan Pemerintah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dimana Rencana Tata Ruang Propinsi/Kota

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI 19 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Analytic Hierarchy Process (AHP) Metode Analytic Hierarchy Process (AHP) dikembangkan oleh Thomas L. Saaty pada tahun 70 an ketika di Warston school. Metode AHP merupakan salah

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN 56 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dipaparkan mengenai perancangan penelitian yang digunakan untuk mencapai tujuan dalam penulisan ini. Penelitian ini memiliki 2 (dua) tujuan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan menerangkan bahwa Jalan sebagai bagian sistem transportasi nasional mempunyai peranan penting terutama dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan 2.1.1 Definisi dan Peranan Jalan Menurut Wignall dkk (1999) dalam Putri Wirdatun Nafiah (2011) salah satu bagian dari sistem transportasi yang merupakan prasarana umum/infrastruktur

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. benar atau salah. Metode penelitian adalah teknik-teknik spesifik dalam

BAB III METODOLOGI. benar atau salah. Metode penelitian adalah teknik-teknik spesifik dalam BAB III METODOLOGI Metodologi merupakan kumpulan prosedur atau metode yang digunakan untuk melakukan suatu penelitian. Menurut Mulyana (2001, p114), Metodologi diukur berdasarkan kemanfaatannya dan tidak

Lebih terperinci

PEMILIHAN LOKASI PERGURUAN TINGGI SWASTA DI JAWA BARAT BERDASARKAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Oleh : RATNA IMANIRA SOFIANI, SSi

PEMILIHAN LOKASI PERGURUAN TINGGI SWASTA DI JAWA BARAT BERDASARKAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Oleh : RATNA IMANIRA SOFIANI, SSi PEMILIHAN LOKASI PERGURUAN TINGGI SWASTA DI JAWA BARAT BERDASARKAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Oleh : RATNA IMANIRA SOFIANI, SSi ABSTRAK Tulisan ini memaparkan tentang penerapan Analitycal

Lebih terperinci

Pengertian Metode AHP

Pengertian Metode AHP Pengertian Metode AHP Metode AHP dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika. Metode ini adalah sebuah kerangka untuk mengambil keputusan dengan efektif atas persoalan yang kompleks dengan

Lebih terperinci

PRIORITAS PENANGANAN PENINGKATAN JALAN PADA RUAS-RUAS JALAN DI KABUPATEN KAPUAS DENGAN METODE AHP

PRIORITAS PENANGANAN PENINGKATAN JALAN PADA RUAS-RUAS JALAN DI KABUPATEN KAPUAS DENGAN METODE AHP PRIORITAS PENANGANAN PENINGKATAN JALAN PADA RUAS-RUAS JALAN DI KABUPATEN KAPUAS DENGAN METODE AHP Junaidi, Retno Indryani, Syaiful Bahri Laboratorium Manajemen Konstruksi Jurusan Teknik Sipil FTSP ITS

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI Analytial Hierarchy Process (AHP) Pengertian Analytical Hierarchy Process (AHP)

BAB 2 LANDASAN TEORI Analytial Hierarchy Process (AHP) Pengertian Analytical Hierarchy Process (AHP) BAB 2 LANDASAN TEORI 2 1 Analytial Hierarchy Process (AHP) 2 1 1 Pengertian Analytical Hierarchy Process (AHP) Metode AHP merupakan salah satu metode pengambilan keputusan yang menggunakan faktor-faktor

Lebih terperinci

STUDI PERBANDINGAN PRIORITAS PENANGANAN JALAN PROVINSI DI SUMATERA BARAT

STUDI PERBANDINGAN PRIORITAS PENANGANAN JALAN PROVINSI DI SUMATERA BARAT JURNAL REKAYASA SIPIL (JRS-UNAND) Vol. 13 No. 1, Februari 2017 Diterbitkan oleh: Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Andalas (Unand) ISSN (Print) : 1858-2133 ISSN (Online) : 2477-3484 http://jrs.ft.unand.ac.id

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI BAB II TINJAUAN TEORI Pada bab ini diuraikan beberapa kajian teoretis dari literature dan kajian normatif dari dokumen perundangan dan statutory product lainnya yang diharapkan dapat menjadi dasar pijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Transportasi sebagai urat-nadi berkehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional yang sangat penting perannya dalam ketahanan nasional.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang

Lebih terperinci

Spektrum Sipil, ISSN Vol. 3, No. 2 : , September 2016

Spektrum Sipil, ISSN Vol. 3, No. 2 : , September 2016 Spektrum Sipil, ISSN 1858-4896 196 Vol. 3, No. 2 : 196-207, September 2016 PERBANDINGAN KELAYAKAN JALAN BETON DAN JALAN ASPAL DENGAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) - STUDI KASUS JALAN MALWATAR-

Lebih terperinci

Tidak adanya metode khusus yang digunakan oleh Satuan Kerja Sementara Pemeliharaan Jalan Papua Barat dalam menentukan skala prioritas dalam

Tidak adanya metode khusus yang digunakan oleh Satuan Kerja Sementara Pemeliharaan Jalan Papua Barat dalam menentukan skala prioritas dalam Tidak adanya metode khusus yang digunakan oleh Satuan Kerja Sementara Pemeliharaan Jalan Papua Barat dalam menentukan skala prioritas dalam penyusunan usulan penanganan jaringan jalan Keterbatasan dana

Lebih terperinci

BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP,

BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP, BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP, Menimbang : a. bahwa jalan sebagai bagian sistem transportasi mempunyai

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. III. 2 Tahapan Penelitian Metodologi penelitian untuk studi ini diperlihatkan melalui bagan alir pada Gambar III.1.

BAB III METODOLOGI. III. 2 Tahapan Penelitian Metodologi penelitian untuk studi ini diperlihatkan melalui bagan alir pada Gambar III.1. BAB III METODOLOGI III.1. Umum Metodologi adalah suatu proses, prinsip dan prosedur yang akan digunakan untuk mendeteksi masalah dalam mencari jawaban. Metodologi adalah pendekatan umum untuk mengkaji

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Sistem Pendukung Keputusan Sistem pendukung keputusan ( decision support systems disingkat DSS) adalah bagian dari sistem informasi berbasis computer termasuk sistem berbasis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terbaru (2008), Evaluasi adalah penilaian. pelayanan adalah kemampuan ruas jalan dan/atau persimpangan untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terbaru (2008), Evaluasi adalah penilaian. pelayanan adalah kemampuan ruas jalan dan/atau persimpangan untuk 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Menurut Ahmad a.k muda dalam kamus saku bahasa Indonesia edisi terbaru (2008), Evaluasi adalah penilaian. Menurut Peraturan Menteri Perhubungan No. KM 14 Tahun

Lebih terperinci

MATERI PRAKTIKUM. Praktikum 1 Analytic Hierarchy Proses (AHP)

MATERI PRAKTIKUM. Praktikum 1 Analytic Hierarchy Proses (AHP) Praktikum 1 Analytic Hierarchy Proses (AHP) Definisi AHP (Analytic Hierarchy Process) merupakan suatu model pengambil keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty yang menguraikan masalah multifaktor

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Lokasi Penelitian dan Fokus penelitian Penelitian ini dilakukan di Provinsi Jawa Timur tepatnya Kota

BAB III METODE PENELITIAN. A. Lokasi Penelitian dan Fokus penelitian Penelitian ini dilakukan di Provinsi Jawa Timur tepatnya Kota BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian dan Fokus penelitian Penelitian ini dilakukan di Provinsi Jawa Timur tepatnya Kota Malang. Fokus penelitian ini meliputi Sub sektor apa saja yang dapat menjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. SEJARAH PERKEMBANGAN JALAN RAYA

I. PENDAHULUAN A. SEJARAH PERKEMBANGAN JALAN RAYA I. PENDAHULUAN A. SEJARAH PERKEMBANGAN JALAN RAYA Awal mulanya jalan hanya berupa jejak manusia dalam menjalani kehidupannya dan berinteraksi dengan manusia lain (jalan setapak). Baru setelah manusia menggunakan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB I. PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1 BAB I. PENDAHULUAN PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jalan merupakan infrastruktur transportasi darat yang berperan sangat penting dalam perkembangan suatu wilayah. Jalan berfungsi untuk mendukung kegiatan

Lebih terperinci

ANALISIS DATA Metode Pembobotan AHP

ANALISIS DATA Metode Pembobotan AHP ANALISIS DATA Data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan konsumen dan pakar serta tinjauan langsung ke lapangan, dianalisa menggunakan metode yang berbeda-beda sesuai kebutuhan dan kepentingannya.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Pujawan dan Erawan (2010) memilih supplier merupakan

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Pujawan dan Erawan (2010) memilih supplier merupakan BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pemilihan Supplier Menurut Pujawan dan Erawan (2010) memilih supplier merupakan kegiatan strategis terutama apabila supplier tersebut memasok item yang kritis atau akan digunakan

Lebih terperinci

AB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

AB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sepanjang 1316 Km, ruas jalan Pantai Utara Jawa (Pantura) merupakan urat nadi perekonomian nasional yang menghubungkan lima provinsi yaitu Banten, DKI Jakarta, Jawa

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 14 LANDASAN TEORI 2.1 Proses Hierarki Analitik 2.1.1 Pengenalan Proses Hierarki Analitik Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarchy Process AHP) dikembangkan oleh Dr. Thomas L. Saaty dari Wharton

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Umum Menurut Kamala (1993), transportasi merupakan fasilitas yang sangat penting dalam pergerakan manusia dan barang. Jalan sebagai prasarana transportasi darat memiliki

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. pengambilan keputusan baik yang maha penting maupun yang sepele.

BAB II LANDASAN TEORI. pengambilan keputusan baik yang maha penting maupun yang sepele. BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Manusia dan Pengambilan Keputusan Setiap detik, setiap saat, manusia selalu dihadapkan dengan masalah pengambilan keputusan baik yang maha penting maupun yang sepele. Bagaimanapun

Lebih terperinci

MATERI PRAKTIKUM. Praktikum 1 Analytic Hierarchy Proses (AHP)

MATERI PRAKTIKUM. Praktikum 1 Analytic Hierarchy Proses (AHP) Praktikum 1 Analytic Hierarchy Proses (AHP) Definisi AHP (Analytic Hierarchy Process) merupakan suatu model pengambil keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty yang menguraikan masalah multifaktor

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 JALAN Berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan, jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan

Lebih terperinci

MODUL 3 : PERENCANAAN JARINGAN JALAN DAN PERENCANAAN TEKNIS TERKAIT PENGADAAN TANAH

MODUL 3 : PERENCANAAN JARINGAN JALAN DAN PERENCANAAN TEKNIS TERKAIT PENGADAAN TANAH MODUL 3 : PERENCANAAN JARINGAN JALAN DAN PERENCANAAN TEKNIS TERKAIT PENGADAAN TANAH Diklat Perencanaan dan Persiapan Pengadaan Tanah KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT BADAN PENGEMBANGAN SUMBER

Lebih terperinci

Bab II Analytic Hierarchy Process

Bab II Analytic Hierarchy Process Bab II Analytic Hierarchy Process 2.1. Pengertian Analytic Hierarchy Process (AHP) Metode AHP merupakan salah satu metode pengambilan keputusan yang menggunakan faktor-faktor logika, intuisi, pengalaman,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Umum Transportasi merupakan kegiatan memindahkan atau mengangkut muatan (barang dan manusia) dari suatu tempat ke tempat lain. Kegiatan transportasi dibutuhkan manusia sejak

Lebih terperinci

PEMILIHAN SUPPLIER BAHAN BAKU DENGAN MENGGUNAKAN METODA ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) (STUDI KASUS DI PT. EWINDO BANDUNG)

PEMILIHAN SUPPLIER BAHAN BAKU DENGAN MENGGUNAKAN METODA ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) (STUDI KASUS DI PT. EWINDO BANDUNG) PEMILIHAN SUPPLIER BAHAN BAKU DENGAN MENGGUNAKAN METODA ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) (STUDI KASUS DI PT. EWINDO BANDUNG) Hendang Setyo Rukmi Hari Adianto Dhevi Avianti Teknik Industri Institut Teknologi

Lebih terperinci

PERBANDINGAN SKALA PRIORITAS PENANGANAN JALAN DI KABUPATEN BENGKAYANG ANTARA METODE AHP DENGAN METODE BINA MARGA

PERBANDINGAN SKALA PRIORITAS PENANGANAN JALAN DI KABUPATEN BENGKAYANG ANTARA METODE AHP DENGAN METODE BINA MARGA PERBANDINGAN SKALA PRIORITAS PENANGANAN JALAN DI KABUPATEN BENGKAYANG ANTARA METODE AHP DENGAN METODE BINA MARGA Agustinus Syawal 1) Abstrak Berdasarkan database jalan Kabupaten Bengkayang tahun 2012 terdapat

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Pertumbuhan PDRB Provinsi Sumbar Tahun (%) Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat (2015)

Gambar 1.1 Pertumbuhan PDRB Provinsi Sumbar Tahun (%) Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat (2015) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Barat terdiri dari 12 kabupaten yang terletak di pesisir barat bagian tengah pulau Sumatera yang terdiri dari dataran rendah di pantai barat dan dataran tinggi

Lebih terperinci

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU LINTAS

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU LINTAS BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

METHODE ANALITYCAL HIERARCHY PROCESS UNTUK MENENTUKAN PRIORITAS PENANGANAN JALAN DI WILAYAH BALAI PEMELIHARAAN JALAN MOJOKERTO

METHODE ANALITYCAL HIERARCHY PROCESS UNTUK MENENTUKAN PRIORITAS PENANGANAN JALAN DI WILAYAH BALAI PEMELIHARAAN JALAN MOJOKERTO METHODE ANALITYCAL HIERARCHY PROCESS UNTUK MENENTUKAN PRIORITAS PENANGANAN JALAN DI WILAYAH BALAI PEMELIHARAAN JALAN MOJOKERTO Saiful Rochim, A. Faiz Hadi Prajitno Program Studi Magister Manajemen Teknologi

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperkuat dan mendukung analisis penelitian adalah:

IV METODE PENELITIAN Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperkuat dan mendukung analisis penelitian adalah: IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di UPTD Balai Pengembangan Teknologi (BPT) Mekanisasi Pertanian Jawa Barat yang terletak di Jalan Darmaga Timur Bojongpicung, Cihea,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Jaringan Jalan Berdasarkan Undang-undang nomor 38 tahun 2004 tentang jalan, jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan

Lebih terperinci

Pengenalan Metode AHP ( Analytical Hierarchy Process )

Pengenalan Metode AHP ( Analytical Hierarchy Process ) Pengenalan Metode AHP ( Analytical Hierarchy Process ) A. Pengertian AHP ( Analitycal Hierarchy Process ) AHP merupakan suatu model pendukung keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. Model pendukung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berlangsung tanpa diduga atau diharapkan, pada umumnya ini terjadi dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berlangsung tanpa diduga atau diharapkan, pada umumnya ini terjadi dengan 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum Menurut Oglesby and Hicks (1988), kecelakaan kendaraan adalah kejadian yang berlangsung tanpa diduga atau diharapkan, pada umumnya ini terjadi dengan cepat. Selain itu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6, Pasal 7,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peraturan Perundangan di Bidang LLAJ. Pasal 3 yang berisi menyataan transportasi jalan diselenggarakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peraturan Perundangan di Bidang LLAJ. Pasal 3 yang berisi menyataan transportasi jalan diselenggarakan 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peraturan Perundangan di Bidang LLAJ Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan yaitu Pasal 3 yang berisi menyataan transportasi jalan diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ekonomi dan Produk Domestik Regional Bruto. Istilah ekonomi berasal dari bahasa Yunani, terdiri atas kata oikos dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ekonomi dan Produk Domestik Regional Bruto. Istilah ekonomi berasal dari bahasa Yunani, terdiri atas kata oikos dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. Ekonomi dan Produk Domestik Regional Bruto Istilah ekonomi berasal dari bahasa Yunani, terdiri atas kata oikos dan nomos. Oikos berarti rumah tangga, nomos berarti aturan. Sehingga

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN www.bpkp.go.id DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Jalan memiliki umur layan atau umur rencana. Jika umur layan telah terlampaui, maka perlu adanya suatu lapisan tambahan (overlay) untuk meremajakan struktur perkerasan.

Lebih terperinci

Outline. Klasifikasi jalan Dasar-dasar perencanaan geometrik Alinemen horisontal Alinemen vertikal Geometri simpang

Outline. Klasifikasi jalan Dasar-dasar perencanaan geometrik Alinemen horisontal Alinemen vertikal Geometri simpang Civil Engineering Diploma Program Vocational School Gadjah Mada University Nursyamsu Hidayat, Ph.D. Outline Klasifikasi jalan Dasar-dasar perencanaan geometrik Alinemen horisontal Alinemen vertikal Geometri

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6, Pasal 7,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6, Pasal 7,

Lebih terperinci

PENGGUNAAN METODE PROSES HIRARKI ANALITIK DALAM PENENTUAN LOKASI DERMAGA BONGKAR MUAT ANGKUTAN SUNGAI (STUDI KASUS: KOTA PONTIANAK)

PENGGUNAAN METODE PROSES HIRARKI ANALITIK DALAM PENENTUAN LOKASI DERMAGA BONGKAR MUAT ANGKUTAN SUNGAI (STUDI KASUS: KOTA PONTIANAK) PENGGUNAAN METODE PROSES HIRARKI ANALITIK DALAM PENENTUAN LOKASI DERMAGA BONGKAR MUAT ANGKUTAN SUNGAI (STUDI KASUS: KOTA PONTIANAK) Rudi S. Suyono 1) Abstrak Sungai merupakan salah satu prasarana yang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 132, 2004 (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444).

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 132, 2004 (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444). LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 132, 2004 (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2004 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2005 sampai Juli 2006. Lokasi penelitian meliputi empat wilayah kecamatan di Kabupaten Karanganyar, yaitu

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN JALAN DI INDONESIA TAHUN

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN JALAN DI INDONESIA TAHUN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN JALAN DI INDONESIA TAHUN 2005-2010 A. Latar Belakang Pembangunan jalan merupakan kebutuhan yang sangat vital sebagai pendukung utama dinamika dan aktivitas ekonomi baik di pusat maupun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN I.1. Umum Transportasi mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia, karena transportasi mempunyai pengaruh besar terhadap perorangan, masyarakat, pembangunan ekonomi, dan sosial

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. berupa jalan aspal hotmix dengan panjang 1490 m. Dengan pangkal ruas

II. TINJAUAN PUSTAKA. berupa jalan aspal hotmix dengan panjang 1490 m. Dengan pangkal ruas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Lalu Lintas Jalan R.A Kartini Jalan R.A Kartini adalah jalan satu arah di wilayah Bandar Lampung yang berupa jalan aspal hotmix dengan panjang 1490 m. Dengan pangkal

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 27 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pendahuluan Metode penelitian berkaitan erat dengan prosedur, alat serta desain penelitian yang digunakan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. MCDM (Multiple Criteria Decision Making) Multi-Criteria Decision Making (MCDM) adalah suatu metode pengambilan keputusan untuk menetapkan alternatif terbaik dari sejumlah alternatif

Lebih terperinci

Gambar 4. Tahapan kajian

Gambar 4. Tahapan kajian III. METODE KAJIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Kajian Survei lapangan dilakukan untuk menganalisa kinerja bisnis usaha tahu dan kebutuhan pasar. Hasil analisa kebutuhan pasar menjadi masukan dalam pengembangan

Lebih terperinci

JURNAL ILMIAH TEKNIK INDUSTRI

JURNAL ILMIAH TEKNIK INDUSTRI JURNAL ILMIAH TEKNIK INDUSTRI ANALISIS RISIKO PELAKSANAAN PEKERJAAN MENGGUNAKAN KONTRAK UNIT PRICE (Studi Kasus: Peningkatan dan Pelebaran Aset Infrastruktur Jalan Alai-By Pass Kota Padang Sebagai Jalur

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN APLIKASI SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN MENGGUNAKAN MODEL ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS UNTUK PEMBERIAN BONUS KARYAWAN

RANCANG BANGUN APLIKASI SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN MENGGUNAKAN MODEL ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS UNTUK PEMBERIAN BONUS KARYAWAN RANCANG BANGUN APLIKASI SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN MENGGUNAKAN MODEL ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS UNTUK PEMBERIAN BONUS KARYAWAN Yosep Agus Pranoto Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Industri

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metode Dasar Penelitian Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis, yaitu suatu metode penelitian mengenai gambaran lengkap tentang hal-hal

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian ini dilakukan di Dapur Geulis yang merupakan salah satu restoran di Kota Bogor. Penelitian ini dimulai dengan melakukan identifikasi bauran pemasaran

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENGAMBILAN KEPUTUSAN

BAB IV METODOLOGI PENGAMBILAN KEPUTUSAN BAB IV METODOLOGI PENGAMBILAN KEPUTUSAN 4.1. Objek Pengambilan Keputusan Dalam bidang manajemen operasi, fleksibilitas manufaktur telah ditetapkan sebagai sebuah prioritas daya saing utama dalam sistem

Lebih terperinci

METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN GALANGAN KAPAL UNTUK PEMBANGUNAN KAPAL TANKER DI PULAU BATAM

METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN GALANGAN KAPAL UNTUK PEMBANGUNAN KAPAL TANKER DI PULAU BATAM METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN GALANGAN KAPAL UNTUK PEMBANGUNAN KAPAL TANKER DI PULAU BATAM Oleh : Yuniva Eka Nugroho 4209106015 Jurusan Teknik Sistem Perkapalan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. artian yang lebih spesifik yakni pihak ketiga dalam supply chain istilah dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. artian yang lebih spesifik yakni pihak ketiga dalam supply chain istilah dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Vendor Dalam arti harfiahnya, vendor adalah penjual. Namun vendor memiliki artian yang lebih spesifik yakni pihak ketiga dalam supply chain istilah dalam industri yang menghubungkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jalan terbentuk atas beberapa lapisan perkerasan yang akan mengalami penurunan kondisi selama masa layannya. Menurunnya tingkat pelayanan jalan ditandai dengan adanya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi adalah keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia. Dewasa ini, Perkembangan teknologi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PENERAPAN FUZZY ANALYTICAL NETWORK PROCESS DALAM MENENTUKAN PRIORITAS PEMELIHARAAN JALAN

PENERAPAN FUZZY ANALYTICAL NETWORK PROCESS DALAM MENENTUKAN PRIORITAS PEMELIHARAAN JALAN PENERAPAN FUZZY ANALYTICAL NETWORK PROCESS DALAM MENENTUKAN PRIORITAS PEMELIHARAAN JALAN Oleh : Manis Oktavia 1209 100 024 Dosen Pembimbing : Drs. I Gusti Ngurah Rai Usadha, M.Si Sidang Tugas Akhir - 2013

Lebih terperinci

ANALISA KELAIKAN FUNGSI JALAN BERDASARKAN PENDEKATAN KUANTITATIF AHP (Studi Kasus : Jalan Lobak Kota Pekanbaru)

ANALISA KELAIKAN FUNGSI JALAN BERDASARKAN PENDEKATAN KUANTITATIF AHP (Studi Kasus : Jalan Lobak Kota Pekanbaru) ANALISA KELAIKAN FUNGSI JALAN BERDASARKAN PENDEKATAN KUANTITATIF AHP (Studi Kasus : Jalan Lobak Kota Pekanbaru) Sri Suciati Program Studi Pasca Sarjana Teknik Sipil Universitas Riau Jalan HR. Soebrantas

Lebih terperinci

PENERAPAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) GUNA PEMILIHAN DESAIN PRODUK KURSI SANTAI

PENERAPAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) GUNA PEMILIHAN DESAIN PRODUK KURSI SANTAI PENERAPAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) GUNA PEMILIHAN DESAIN PRODUK KURSI SANTAI Dwi Nurul Izzhati Fakultas Teknik, Universitas Dian Nuswantoro, Semarang 50131 E-mail : dwinurul@dosen.dinus.ac.id

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Kajian Kajian ini dilakukan di Kabupaten Bogor, dengan batasan waktu data dari tahun 2000 sampai dengan 2009. Pertimbangan pemilihan lokasi kajian antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN A. Latar Belakang Transportasi merupakan urat-nadi kehidupan politik, ekonomi, sosialbudaya dan pertahanan keamanan nasional yang sangat vital perannya dalam ketahanan nasional.sistem

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN TEORI BAB 2 TINJAUAN TEORI Dalam bab ini akan membahas mengenai teori-teori yang berhubungan dengan studi yang dilakukan, yaitu mengenai pebgertian tundaan, jalan kolektor primer, sistem pergerakan dan aktivitas

Lebih terperinci

Sistem Penunjang Keputusan Penetapan Dosen Pembimbing dan Penguji Skipsi Dengan Menggunakan Metode AHP

Sistem Penunjang Keputusan Penetapan Dosen Pembimbing dan Penguji Skipsi Dengan Menggunakan Metode AHP Sistem Penunjang Keputusan Penetapan Dosen Pembimbing dan Penguji Skipsi Dengan Menggunakan Metode AHP A Yani Ranius Universitas Bina Darama, Jl. A. Yani No 12 Palembang, ay_ranius@yahoo.com ABSTRAK Sistem

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI Bab ini menjelaskan mengenai metode Analytic Hierarchy Process (AHP) sebagai metode yang digunakan untuk memilih obat terbaik dalam penelitian ini. Disini juga dijelaskan prosedur

Lebih terperinci

Gambar 3. Kerangka pemikiran kajian

Gambar 3. Kerangka pemikiran kajian III. METODE KAJIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Kajian Usaha pengolahan pindang ikan dipengaruhi 2 (dua) faktor penting yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi aspek produksi, manajerial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Jalan merupakan prasarana infrastruktur dasar yang dibutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Jalan merupakan prasarana infrastruktur dasar yang dibutuhkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jalan merupakan prasarana infrastruktur dasar yang dibutuhkan manusia untuk dapat melakukan pergerakan dari suatu lokasi ke lokasi lainnya dalam rangka pemenuhan kebutuhan.ketersediaan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI. yang di lakukan oleh Agus Settiyono (2016) dalam penelitiannya menggunakan 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI. yang di lakukan oleh Agus Settiyono (2016) dalam penelitiannya menggunakan 7 BAB 2 2.1. Tinjauan Pustaka TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI Tinjauan pustaka yang dipakai dalam penelitian ini didapat dari penelitian yang di lakukan oleh Agus Settiyono (2016) dalam penelitiannya menggunakan

Lebih terperinci