BAB I PENDAHULUAN. adanya tradisi-tradisi yang telah dijalankan dari masa ke masa yang bersifat

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. adanya tradisi-tradisi yang telah dijalankan dari masa ke masa yang bersifat"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konflik dengan agenda adat yang terjadi di Bali banyak dipicu adanya ketidaksepakatan mengenai tata cara pelaksanaan keadatan dan hubungan sosial masyarakat dengan potensi konflik yang tinggi. Konflik antar desa adat maupun antar kelompok masyarakat dalam desa adat di Bali seringkali berupa perebutan aset desa yang memiliki nilai ekonomis, permasalahan tapal batas baik itu secara administratif maupun secara adat, pemekaran desa, dan konflik yang disebabkan adanya tradisi-tradisi yang telah dijalankan dari masa ke masa yang bersifat mengikat. Desa adat di Bali merupakan paguyuban hidup yang memiliki wilayah tertentu dengan kehidupan didalamnya diatur secara bersama-sama melalui batasan-batasan yang didasarkan atas ajaran agama Hindu dan memiliki berbagai jenis tanah ulayat serta objek batasnya. Konflik beraroma adat di Bali salah satunya disebabkan belum jelasnya batas antar desa adat yang disebabkan adanya tumpang tindih antara wilayah desa adat dengan desa dinas sehingga memunculkan masalah kepemilikan wilayah adat antar desa adat. Pada masa yang lampau, batas desa tidak banyak menjadi perhatian masyarakat desa adat atau desa pakraman karena tanah-tanah di sekitar batas desa belum memiliki nilai ekonomis dan hanya dimanfaatkan sebagai lahan lahan pertanian dan bahkan banyak berupa lahan dengan berbagai macam vegetasi yang disebut bengang atau pangkung. Perubahan wilayah karena berkembangnya 1

2 perekonomian menyebabkan adanya perluasan wilayah tempat tinggal maupun ruang-ruang aktivitas publik. Perubahan ini mengakibatkan batas-batas wilayah antar desa pakraman menjadi semakin kabur. Pada beberapa desa, benih-benih konflik masih dapat diredam sehingga tidak sampai muncul ke permukaan. Namun pada kasus tertentu, konflik kepemilikan wilayah desa pakraman justru sudah berkembang ke permukaan yang memunculkan konflik terbuka dan bahkan berujung pada terjadinya konflik kekerasan. Salah satu kasus mengenai sengketa kepemilikan wilayah adat antar desa pakraman yang menyita perhatian publik Bali adalah konflik antara Desa Pakraman Kemoning dengan Desa Pakraman Budaga yang berada di Kabupaten Klungkung. Dua desa pakraman yang terletak bersebelahan ini terlibat konflik dengan agenda sengketa kepemilikan Pura Dalem dan kuburan atau di Bali dikenal dengan istilah Setra. Dua desa pakraman ini terlibat konflik yang cukup panjang dan terakumulasi sehingga konflik menjadi terbuka. Masyarakat dua desa pakraman ini terlibat bentrokan dengan pengerahan masa dua desa yang memicu konflik kekerasan terjadi pada Perihal menggunakan Pura Dalem dan Setra di Bali secara bersama-sama tidak saja terjadi di dua desa pakraman ini. Menggunakan fasilitas publik adat ini juga dipraktikkan desa pakraman lainnya di Bali seperti Desa Pakraman Kerobokan yang berada di Kabupaten Badung dan Desa Pakraman Padang Sambian berada di Kota Denpasar. Kedua desa pakraman ini pernah terlibat konflik terkait penggunaan Pura Dalem dan Setra, namun hal tersebut dapat terselesaikan dengan damai dan kedua desa ini sepakat membagi tanah kuburan tersebut agar dapat digunakan secara bersama-sama dan membangun Pura Prajapati masing-masing namun tetap 2

3 menggunakan satu Pura Dalem bersama. Tetapi, hal yang berbanding terbalik terjadi pada Desa Pakraman Kemoning dan Desa Pakraman Budaga yang justru terlibat saling rebut dan saling klaim kepemilikan. Kejelasan dalam penentuan batas wilayah desa pakraman dan desa dinas serta adanya kesepakatan di antara para pihak mengenai perihal tersebut tentunya akan menjadi poin penting dalam mengelola konflik sehingga dapat menjadi batu pijakan terhadap penyelesaian permasalahan-permasalahan lainnya dalam kehidupan masyarakat desa pakraman yang semakin kompleks. Bentrokan yang terjadi antara masyarakat dua desa pakraman ini menimbulkan jatuhnya korban jiwa dan puluhan warga mengalami luka-luka serta kerusakan-kerusakan sejumlah fasilitas publik yang tentu saja merugikan semua pihak. Desa Pakraman Kemoning dan Desa Pakraman Budaga dulunya menggunakan Pura Dalem dan Setra secara bersama-sama dalam kegiatan ritual keagamaan sehari-hari maupun hari tertentu semisal upacara kematian atau yang dikenal dengan istilah ngaben di Bali. Selain itu, upacara-upacara besar dalam peringatan keberadaan dan berdirinya Pura Dalem tersebut juga dilakukan bersamasama. Namun seiring dengan perkembangan waktu dan perubahan-perubahan sosial di masyarakat, terjadilah sengketa kepemilikan Pura Dalem dan Setra dan berujung pada pemasangan tanda wawengkon atau batas wilayah masing-masing sesuai versi dua desa pakraman ini serta berakhir dengan bentrokan. 3

4 B. Pertanyaan Penelitian Penelitian ini mengajukan dua pertanyaan sebagai berikut: 1. Apa akar, dinamika, dan dampak dari sengketa kepemilikan Pura Dalem dan Setra antara Desa Pakraman Kemoning dan Desa Pakraman Budaga? 2. Bagaimana sengketa kepemilikan Pura Dalem dan Setra antara Desa Pakraman Kemoning dan Desa Pakraman Budaga diselesaikan? C. Kerangka Pemikiran a. Sengketa Wilayah Adat Pembentukan wilayah desa pakraman bukan merupakan kebijakan dari pemerintah melainkan atas usulan dari warga desa yang bersangkutan yang kemudian disetujui Majelis Desa Pakraman (MDP). Salah satu proses dalam pembentukan wilayah adalah pembuatan batas wilayah (boundary making). Hal ini diperuntukkan guna menetapkan maupun menegaskan batas-batas wilayah yang akan dibentuk. Pembuatan batas wilayah merupakan bagian dari proses yang penting yang memiliki aspek sosial, budaya, politik, hukum, dan teknis pemetaan (Chalid, 2005: 137). Selain itu pembentukan wilayah baru tentu saja akan menambah batas-batas wilayah baru dan apabila tidak dikelola dengan baik maka akan sangat berpotensi terjadinya konflik atau sengketa kepemilikan wilayah. Terlebih lagi di dalam wilayah yang disengketakan tersebut terdapat sumberdaya maupun kebutuhan-kebutuhan yang bersifat vital dan sangat dibutuhkan banyak orang. Problematika kepemilikan wilayah dalam lingkup desa pakraman di Bali menjadi sorotan meskipun selama ini tidak tampak, namun sebagian besar 4

5 permasalahan keadatan berasal dari kaburnya penentuan batas desa adat atau pakraman. Sengketa pada pengertiannya secara umum mengacu pada pengertian konflik yaitu adanya pertentangan, perselisihan, maupun percekcokan. Konflik kemudian berarti perwujudan berbagai pertentangan antara dua belah pihak baik itu berwujud individu maupun kelompok atau golongan. Menurut Coser (1956) konflik sosial dapat diartikan sebagai cara memperjuangkan nilai-nilai dan klaim terhadap kelangkaan status, kekuasaan, dan sumberdaya dengan tujuan dari para pihak adalah menetralisir, menyakiti maupun menyisihkan siapa yang menjadi lawan mereka (Coser, 1956: 8). Konflik juga dimaknai sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki tujuan yang tidak sejalan (Mitchell, 1981: 17). Dalam konteks sistem sosial, hubungan permusuhan antar unit dapat terjadi. Unit-unit yang berkonflik dalam sistem tersebut mungkin bersifat independen satu sama lain dan masing-masing unit mungkin berada dalam entitas yang lebih besar (Kriesberg, 1982: 14). Unit-unit yang berkonflik dalam penelitan ini adalah Desa Pakraman Kemoning dan Desa Pakraman Budaga yang masing-masing bersifat independen dan berada dalam entitas yang lebih besar yakni Kabupaten Klungkung. Keduanya berusaha mengklaim yurisdiksi atas kepemilikan wilayah yang didalamnya terdapat Pura Dalem dan Setra. Perselisihan merupakan aspek penting dalam konflik sosial, sebagai bagian dari upaya-upaya unit konflik membujuk musuh maupun sekutu potensial mengenai sifat perjuangan tersebut dan sebagai bagian dari upaya-upaya untuk memobilisasi dukungan serta mendapatkan sekutu guna menggerakkan musuh (Kriesberg, 1982: 5

6 14). Selain itu, dalam konflik sosial yang terjadi, karakteristik unit-unit yang berkonflik berada pada situasi dan kondisi yang mana unit-unit ini tidak saling sepakat. Konflik sosial terjadi ketika dua belah pihak atau lebih meyakini mereka memiliki tujuan dan keinginan yang berbeda (Kriesberg, 1982: 17). Disamping itu, adanya perbedaan sumberdaya diantara para pihak yang terlibat mempengaruhi alat berkonflik yang digunakan oleh masing-masing pihak. Sumberdaya yang dikontrol oleh salah satu pihak diinginkan oleh pihak lawan karena menjanjikan keuntungan yang besar (Kriesberg, 1982: 141). Konflik berpotensi untuk terjadi karena ada dua belah pihak atau lebih yang memperebutkan nilai, maupun kompetisi di antara para pihak untuk mendapatkan status kekuasaan dan sumberdaya yang langka atau terbatas (Moore, 1986: 16). Nilai tersebut merupakan sesuatu yang berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan menyangkut tentang kepercayaan atau religiusitas, etika, dan moral. Konflik yang berkaitan dengan nilai dapat terjadi apabila para pihak memiliki perbedaan nilai yang berbenturan dan menyebabkan atau memperburuk situasi (Furlong, 2005: 31). Sementara itu, terdapat lima penyebab konflik menurut Moore (1986) yakni pertama, persoalan mengenai data yang disebabkan sedikitnya informasi yang tersedia, informasi yang tidak tepat, perbedaan cara pandang mengenai data maupun interpretasi data, dan perbedaan dalam menaksirkan prosedur. Kedua, persoalan mengenai kepentingan yang disebabkan adanya kepentingan secara substantif, prosedural, dan psikologis. Ketiga, persoalan mengenai struktur yang disebabkan adanya pola yang merusak dari perilaku maupun interaksi, ketidakmerataan atas kontrol, kepemilikan dan distribusi dari sumberdaya, faktor 6

7 geografi, fisik maupun lingkungan yang menghalangi kerjasama. Keempat, persoalan mengenai nilai yang disebabkan adanya perbedaan kriteria dalam mengevaluasi gagasan-gagasan maupun perilaku, tujuan instrinsik yang bernilai ekslusif, dan perbedaan cara hidup ideologi dan agama. Kelima, persoalan mengenai hubungan antar orang perorangan maupun kelompok yang disebabkan kondisi emosional yang kuat, adanya persepsi yang tidak tepat maupun steoreotip, komunikasi yang buruk atau tidak tepat dan adanya perilaku negatif yang terjadi berulang-ulang (Moore, 1986: 27). Beberapa pendekatan yang dijelaskan sebelumnya dapat digunakan dalam menganalisis konflik terutama dalam menganalisis penyebab konflik. Pendekatan tersebut digunakan mencari akar konflik atau sengketa yang terjadi. Carpenter dan Kennedy (1988) mengatakan konflik atau sengketa bersifat dinamis dan apabila tidak dikelola dapat berkembang menjadi konflik spiral yang terjadi berlarut. Konflik spiral ini berawal dari munculnya permasalahan, terbentuknya faksi-faksi, penguatan posisi masing-masing pihak berkonflik, terhentinya komunikasi para pihak yang terhenti, dedikasi akan sumberdaya, konflik menyebar keluar, munculnya persepsi yang bias, krisis muncul, dan berujung pada hasil yang beragam. Keseluruhan proses tersebut dinamakan spiral konflik karena berkembang seperti bentuk spiral (Carpenter & Kennedy, 1988: 11-15). Konflik juga terbagi menjadi substantive conflict dan affective conflict. Substantive conflict adalah persepsi yang terdapat di antara anggota kelompok dengan terdapatnya sebuah ketidaksepakatan mengenai isu-isu yang menyangkut tujuan, keputusan kunci, prosedur untuk pencapaian tujuan dan ketepatan pilihan 7

8 tindakan. Sementara itu, affective conflict adalah persepsi yang terdapat di antara anggota kelompok yang menyebabkan terjadinya benturan antarpribadi yang dikarakteristikkan dengan kemarahan, ketidakpercayaan, ketakutan, rasa frustrasi, dan bentuk-bentuk dari pengaruh negatif lainnya (Pelled, 1996: 620). Kedua dimensi konflik ini tidaklah berdiri sendiri, substantive conflict dapat menjadi affective conflict dan pada kasus tertentu, ketika anggota kelompok memiliki perasaan yang kuat mengenai sebuah isu, mereka mungkin saja dapat menjadi emosional. Namun, affective conflict tidak memiliki kecenderungan mendorong substantive conflict karena terdapat perbedaan pendapat mengenai isu yang ada. Meskipun aktor-aktor individual dapat mengekspresikan permusuhan dengan menciptakan kritik-kritik yang tidak berguna terhadap isu-isu lainnya, interaksi ini akan menjadi bagian dari upaya menyamarkan affective conflict sebagai substantive conflict (Pelled, 1996: 620). Pada masyarakat sosial terdapat pemilihan struktur sosial yaitu masyarakat yang bersifat consolidated dan intersected. Pada tipe masyarakat consolidated lebih cenderung mengembangkan identitas kelompok yang kuat dan kohesi kelompok lebih mudah diciptakan bahkan lebih kokoh. Dalam tipe masyarakat ini kesadaran konflik cenderung tinggi sehingga bila terjadi konflik dengan kelompok lain maka intensitas berkonfliknya juga memiliki kecenderungan lebih tinggi. Sementara itu, pada tipe masyarakat yang intersected, kesadaran terhadap konflik lebih sulit dikembangkan sehingga intensitas berkonfliknya cenderung rendah (Mas oed dkk, 2000: 12-13). Pada masyarakat desa pakraman cenderung memiliki tipe masyarakat yang consolidated karena pengaruh agama, suku, ras, dan kelas sosial yang sama sehingga kohesi antar 8

9 kelompok masyarakat desa pakraman lebih kuat dan semakin mudah menciptakan kondisi kekerasan. Ketika terjadi ketidaksesuaian antara harapan mencapai tujuan dan keinginan dengan kemampuan mendapatkannya, kekecewaan muncul sehingga menimbulkan konflik kepentingan dengan intensitas tinggi dan berakhir pada kerusuhan. Pada kasus Desa Pakraman Kemoning dan Desa Pakraman Budaga, harapan mendapatkan status kejelasan wilayah terkait Pura Dalem dan Setra tidak sesuai dengan kemampuan menyelesaikannya, ditambah identitas kelompok adat yang menguat sehingga mudah menyulut api emosional. Konflik maupun sengketa, bukan sesuatu yang tidak dapat diperdamaikan, melainkan ketidaksepahaman dan pertentangan tersebut masih dapat diredakan mencapai kesepakatan guna kepentingan bersama. b. Penyelesaian Konflik Penyelesaian konflik diperlukan sebagai bagian dari pengelolaan konflik. Fisher (2001) mengatakan terdapat berbagai pendekatan dalam mengelola konflik yaitu (a) Pencegahan konflik, bertujuan mencegah timbulnya konflik yang keras; (b) Penyelesaian konflik, bertujuan mengakhiri perilaku kekerasan melalui suatu persetujuan damai; (c) Pengelolaan konflik, bertujuan membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku yang positif bagi pihak-pihak yang terlibat konflik; (d) Resolusi konflik, bertujuan menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan agar hubungan tersebut dapat bertahan lama diantara kelompok-kelompok yang saling bermusuhan; (e) Transformasi konflik, bertujuan mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan 9

10 politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif (Fisher dkk, 2001: 7). Pencegahan konflik merupakan proses yang mengacu pada strategi-strategi menangani konflik laten dengan harapan dapat mencegah situasi konflik meningkat menjadi kekerasan. Di sisi lain, resolusi konflik mengacu pada strategi-strategi yang dilakukan menangani konflik terbuka dengan harapan tidak hanya mencapai sebuah kesepakatan guna mengakhiri kekerasan seperti yang dimaksud pada proses penyelesaian konflik, tetapi juga mencapai suatu resolusi dari berbagai perbedaan sasaran yang menjadi penyebabnya. Selain itu, transformasi konflik merupakan proses yang lebih merujuk pada strategi yang mencakup keseluruhan proses dan tentunya lebih luas serta merupakan strategi yang membutuhkan komitmen yang paling lama. Intervensi yang tepat akan melibatkan strategi penyelesaian dan resolusi karena banyak upaya perdamaian hanya ditujukan semata-mata menyelesaikan konflik karena tingkat kekerasannya serius. Akan tetapi, terdapat pula inisiatif jangka panjang yang melibatkan kelompok masyarakat yang berbeda dalam membicarakan masa depan mereka. Proses ini juga merupakan sebuah transformasi konflik (Fisher dkk, 2001: 8). Dalam upayanya menyelesaikan konflik ataupun sengketa, para pihak yang bertikai dapat mengusahakan pemecahan masalah secara mandiri berupa negosiasi ataupun berunding. Proses ini dinamakan negosiasi tanpa bantuan pihak ketiga dan terdapat dua metode yaitu: (a) Pertemuan berbagi informasi, merupakan pertemuan para pihak yang dalam kegiatannya berbagi data dan saling memahami persepsi masing-masing mengenai isu, kepentingan, motivasi, dan posisi. Tujuannya adalah 10

11 mengurangi konflik yang tidak perlu mengenai fakta-fakta dalam suatu kasus atau insiden dan umumnya pertemuan ini tidak dirancang secara formal menyepakati suatu kesepakatan, melainkan memungkinkan para pihak merasa leluasa dan terbuka dalam membicarakan informasi yang relevan. Pertemuan ini seringkali dapat menjadi langkah pertama sebelum melakukan perundingan atau pemecahan masalah; (b) Negosiasi berbasis kepentingan, adalah proses perundingan yang memungkinkan para pihak mencapai suatu kesepakatan yang dapat mereka terima dan pada umumnya perundingan ini dilakukan wakil-wakil stakeholder yang memiliki otoritas membuat komitmen dan mencapai kesepakatan atas nama kelompok (Panggabean, 2014: 1). Namun, pada kondisi tertentu para pihak yang bertikai dapat saja tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya secara mandiri. Karena ketidakmampuan menyelesaikan permasalahan sengketa tersebut diperlukanlah pihak ketiga sebagai penengah guna membantu menyelesaikan permasalahan. Pihak ketiga merupakan pihak yang netral atau tidak memihak dalam penyelesaian sengketa dan biasanya bersifat sukarela yang ditunjuk oleh para pihak yang bertikai. Namun dalam kondisi tertentu, pihak ketiga dapat saja menjadi intervener karena keterlibatannya bertujuan merubah karakteristik individu maupun kelompok ataupun mempengaruhi pola-pola hubungan antar individu maupun kelompok. Asumsi dasar dari terlibatnya pihak ketiga sebagai intervener adalah adanya dugaan para pihak yang bertikai tidak mampu mengatasi permasalahan secara mandiri. Intervener tidak ikut menentukan tujuan tetapi menyediakan bantuan bersifat teknis yang dibutuhkan pihak-pihak yang bertikai guna mencapai tujuan sesuai dengan 11

12 apa yang diinginkan para pihak yang bertikai tersebut (Laue dan Cormick dalam Bermant, Kelman, dan Warwick (eds.), 1978: 208). Bentuk-bentuk ketertlibatan pihak ketiga dalam upaya penyelesaian konflik adalah berupa: (a) Mediasi, merupakan proses negosiasi berbasis kepentingan dengan bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga dalam proses ini bertindak sebagai mediator yang memimpin proses mediasi agar para pihak yang bertikai dapat menyetujui jalan keluar yang mereka terima. Keberadaan mediator dapat menciptakan suasana aman sehingga para pihak yang bersengketa dapat berbagi informasi dan menangani masalah mereka serta menyalurkan perasaan. Mediator hanya berwenang memimpin dan mengendalikan proses mediasi, sedangkan kewenangan dalam menentukan hasil mediasi maupun keputusan yang diambil berada ditangan pihak-pihak yang bertikai. Mediator dapat menawarkan rekomendasi tetapi hanya sebatas rekomendasi yang menyangkut proses mediasi; (b) Fasilitasi, merupakan pertemuan besar yang dipimpin fasilitator dengan tugas yang dimilikinya adalah memimpin jalannya pertemuan agar para pihak dapat berbicara dan didengar. Fasilitator aktif memimpin proses tetapi tidak aktif dalam melaksanakan mediasi dan tidak memihak terhadap masalah ataupun topik yang dibicarakan. Fasilitator hanya membantu merancang pertemuan yang bertujuan memecahkan masalah dengan agenda yang telah disepakati pihak-pihak yang bertikai dan memandu proses agar tetap terfokus pada agenda tersebut. Fasilitator juga dapat menawarkan prosedur yang lebih tepat guna mencapai jalan keluar, akan tetapi tidak diperkenankan mempengaruhi substansi keputusan yang akan dicapai (Panggabean, 2014: 1-2). 12

13 Kedua proses di atas tersebut merupakan bagian dari penyelesaian sengketa alternatif yang dinamakan negosiasi dengan bantuan pihak ketiga. Selain negosiasi dengan bantuan pihak ketiga, terdapat pula penyelesaian sengketa dengan menempatkan pihak ketiga sebagai pengambil keputusan. Proses tersebut yakni (a) Ajudikasi, merupakan proses pembuatan keputusan yang mengikat yang dilakukan pengadilan, badan pemerintah, atau arbitrator swasta; (b) Arbitrase, adalah pengambilan keputusan diluar pengadilan yang dilakukan arbitrator yang berasal dari kalangan pihak-pihak yang bertikai atau yang mereka tunjuk. Abitrator juga bersifat netral dan keputusan yang diambil berupa keputusan yang mengikat (Panggabean, 2014: 5). Konflik yang telah ter-eskalasi menjadi konflik terbuka, dapat memunculkan kekerasan di antara para pihak yang bertikai, sehingga diperlukan peran yang signifikan dari aparat penegak hukum seperti Kepolisian. Polisi adalah bagian dari aparat pemerintah yang memiliki peran besar dalam menciptakan suasana aman di masyarakat. Selain melayani masyarakat, polisi juga bertugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Bila timbul konflik di masyarakat, polisi dapat menjadi penengah di antara pihak-pihak yang bertikai (Panggabean 2009: 10). Peranan polisi dalam konflik salah satunya adalah tindakan pemolisian konflik. Tindakan ini meliputi tahapan preemptif, pencegahan, penanggulangan, dan pasca konflik. Tindakan pemolisian tersebut meliputi aspek intelijen, binmas, dalmas, dan reskrim. Sedangkan dalam melakukan tindakan pemolisian, sumberdaya yang dikerahkan mencakup unit, jumlah, dan tingkat serta 13

14 jenis tindakan yang meliputi tindakan persuasi, represi, perlindungan terhadap sasaran maupun korban (Panggabean dan Ali-Fauzi, 2014: 19). Dalam upaya de-eskalasi konflik, terdapat suatu kondisi yang dinamakan hurting stalemate yang dikembangkan William Zartman (1985). Argumen yang mendasarinya adalah pihak yang berlawanan akan lebih tertarik untuk mempertimbangkan sebuah solusi yang dinegosiasikan mengenai permasalahan yang mereka hadapi ketika mereka mengantisipasi periode panjang dari tindakan yang membuat mereka merugi secara terus-menerus dan dengan kemungkinan dalam mencapai tujuan-tujuan yang dirasa minim serta bencana tidak menentu yang secara tiba-tiba memberikan ancaman pada meningkatnya biaya apabila melanjutkan strategi-strategi koersif. Hurting stalemate kemudian berarti sebuah keadaan para pihak yang berlawanan akan mencari sebuah solusi yang dirundingkan atau resolusi dari konflik yang mereka hadapi dengan tidak ada satupun pihak yang dapat membayangkan jalan keluar yang berhasil melalui melanjutkan strategi-strategi yang dipakai saat ini (Mitchell, 1995: 39). Selain itu, Mitchell (1995) juga mempertegas upaya memulai proses deeskalasi konflik, dimulai dari para pembuat keputusan itu sendiri dengan adanya fenomena yang mempengaruhi para pemimpin kelompok yang bertikai dalam memikirkan perubahan strategi yang utama. Perubahan strategi tersebut dari strategi mengejar sebuah kemenangan menjadi mencari sebuah penyelesaian yang dirundingkan maupun dimediasi. Ini merupakan sebuah kemungkinan dari kebuntuan yang terus menerus dirasakan dan biaya yang tinggi yang terus berlanjut mempengaruhi mental para pemimpin kelompok dan membawa mereka pada 14

15 pemikiran mengenai kemungkinan sebuah tindakan guna meminimalkan kerusakan di masa mendatang. Penyelesaian terhadap kasus perkara adat, khususnya adat di Bali biasanya tercantum dalam awig-awig desa pakraman yang bersangkutan. Sengketa adat belum tentu dapat diselesaikan intern desa maupun permasalahan yang menyangkut desa pakraman satu dengan desa pakraman lainnya. Dalam konteks keduluan, apabila sengketa atau permasalahan adat tidak dapat diselesaikan prajuru (pengurus) desa, maka penyelesaian sengketa tersebut dapat diserahkan kepada sang rumawos (pihak berwenang). Pihak yang berwenang ini biasanya adalah Raja atau penguasa lainnnya. Namun dalam konteks kekinian, sang rumawos adalah Majelis Desa Pakraman (MDP) yang memiliki kepengurusan berjenjang baik di kabupaten maupun provinsi (Alitan, Madya, dan Utama). MDP merupakan wadah tunggal sekaligus payung satu langit bagi desa pakraman yang ada di seluruh Bali. Berdasarkan Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Nomor: 002/Skep/MDP Bali/IX/2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Penyelesaian Wicara. MDP Bali memberikan lima bentuk penyelesaian yakni (a) Bentuk penyelesaian secara kekeluargaan berupa kesepakatan bersama yang dituangkan dalam surat pernyataan yang ditanda tangani para pihak yang bersengketa dan diketahui Ketua MDP sesuai jenjang; (b) Bentuk penyelesaian dengan menggunakan pihak ketiga sebagai perantara, berupa kesepakatan bersama yang dituangkan dalam surat pernyataan yang ditanda-tangani para pihak yang bersengketa, pihak ketiga, dan diketahui Ketua MDP sesuai jenjang; (c) Bentuk penyelesaian dengan menggunakan MDP sebagai pihak ketiga, berupa kesepakatan 15

16 bersama yang dituangkan dalam surat pernyataan yang ditanda tangani para pihak yang bersengketa dan Ketua MDP sesuai jenjang; (d) Bentuk penyelesaian dengan cara diserahkan kepada MMDP (Majelis Madya Desa Pakraman) berupa Surat Keputusan Ketua MMDP dan semua anggota Sabha Kerta (kongres) MMDP; (e) Bentuk penyelesaian dengan cara diserahkan kepada MUDP berupa Surat Keputusan MUDP yang ditanda tangani Ketua MUDP dan semua anggota Sabha Kerta (kongres) MUDP. D. Reviu Literatur Kajian mengenai konflik ataupun sengketa adat di Bali telah menjadi perhatian dan banyak dilakukan penelitian mengenai persoalan tersebut. Pada bagian ini, penulis merangkum kajian yang pernah dilakukan. Penelitian mengenai konflik adat pernah dilakukan oleh Swadi dengan judul Konflik yang Menyangkut Tanah Adat Setelah Jaman Reformasi (Studi Kasus di Desa Culik, Kec. Abang, Kab. Karangasem, Bali) pada tahun Penelitian ini menjelaskan konflik yang terjadi antara Desa Adat Culik dengan salah satu warganya bernama I Gede Badung dan kedua pihak berdiri sama kuat mempertahankan haknya. I Gede Badung dengan bukti kepemilikan (sertifikat) atas tanah tersebut dan pihak desa adat menggunakan bukti pemunder (wasiat). Hasil penelitian ini menyebutkan, faktor ekonomi menjadi penyebab konflik, karena di wilayah tersebut merupakan lokasi pariwisata sehingga harga tanah cukup tinggi. Upaya penyelesaian konflik dilakukan melalui proses hukum formal dan juga dibantu oleh pemerintah. Upaya ini ditempuh karena apabila penyelesaian dilakukan oleh aparat desa adat, pihak warga menganggap putusan yang terjadi akan memihak desa adat. 16

17 Penelitian kedua dilakukan oleh Priyanto dkk pada tahun 2011 dengan judul Peranan Prajuru Desa Dalam Penyelesaian Sengketa Perebutan Tanah Kuburan (Setra) Studi Kasus di Desa Pakraman Kerobokan dan Desa Pakraman Padang Sambian. Penelitian ini menjelaskan mengenai penyebab terjadinya konflik yaitu adanya perebutan tanah kuburan atau setra yang merupakan harta kekayaan desa pakraman. Perebutan tanah kuburan atau setra antara Desa Pakraman Kerobokan dan Desa Pakraman Padang Sambian telah ada sejak 1999 dan diselesaikan pada Hasil penelitian ini mengatakan upaya penyelesaian konflik dilakukan dengan negosiasi antara kedua belah pihak dengan mengintensifkan peran dari prajuru adat atau pengurus desa adat. Kesepakatan yang tercapai adalah tetap menggunakan kuburan ini secara bersama-sama dengan ketentuan pembagian penggunaan tanah kuburan. Desa Pakraman Kerobokan menggunakan bagian utara dari tanah kuburan ini sementara Desa Pakraman Padang Sambian mempergunakan tanah bagian selatan. Pihak Desa Pakraman Kerobokan dapat menggunakan Pura Prajapati (Pura yang wajib ada di wilayah kuburan/setra) yang sudah ada, sedangkan Desa Pakraman Padang Sambian bersedia membangun Pura Prajapati baru dalam waktu kurang dari 40 hari sejak hari kesepatakan. Penelitian ketiga yang memiliki kemiripan dengan penelitian saat ini adalah penelitian yang dilakukan oleh D. Sures Kumar dengan judul Peran Kepemimpinan Majelis Madya Desa Pakraman Klungkung Dalam Resolusi Konflik Sosial Masyarakat (Studi Kasus Bentrok Antara Warga Kemoning dengan Warga Budaga Semarapura Klungkung Bali) pada tahun Penelitian ini menjelaskan mengenai konflik yang terjadi dikarenakan adanya perbedaan dalam menyikapi 17

18 keberadaan pura dan prosesi upacara di Pura Dalem. Dalam riset tesis ini, Kumar mengkaji peran kepemimpinan dari Majelis Madya Desa Pakraman Klungkung di masyarakat desa adat/pakraman. Upaya penyelesaian yang dilakukan oleh Majelis Madya Desa Pakraman Klungkung dalam mendamaikan kedua belah pihak yang bertikai dilakukan dengan mediasi dan melakukan musyawarah. Upaya tersebut tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak karena belum maksimalnya peran Majelis Madya Desa Pakraman Klungkung dalam menciptakan keharmonisan diantara warga masyarakat desa pakraman. Dari ketiga penelitian tersebut, penelitian pertama membahas isu persoalan kepemilikan lahan adat yang kemudian disengketakan karena memiliki nilai ekonomis. Pada penelitian, ini peran dari pemerintah daerah sangat signifikan dalam membantu menyelesaikan permasalahan, tetapi pada tingkatan masyarakat desa justru tidak dapat menyelesaikan secara mandiri karena adanya ketidakpercayaan dari masing-masing pihak. Pada penelitian kedua, pembahasan terletak pada lahan sengketa yang berupa lahan kuburan (setra). Peran pemerintah tidak begitu signifikan karena dapat diselesaikan pada tingkatan warga desa melalui kalkulasi menang-menang dengan solusi yang dimunculkan adalah membagi porsi penggunaan tanah kuburan tersebut. Pada penelitian ketiga, pembahasan terletak pada sengketa kepemilikan Pura Dalem dan Setra. Penyelesaian sengketa lebih terfokus pada peran dari majelis adat pada tingkatan kabupaten. Sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan karena tidak efektifnya peran dari majelis adat tersebut. Sementara itu, pada penelitian yang penulis lakukan akan berfokus pada pembahasan yang menyangkut soal penyebab konflik dan penyelesaiannya. 18

19 Penelitian sebelumnya baik itu penelitian pertama, kedua, maupun ketiga samasama belum memaparkan dan membahas soal akar, dinamika maupun dampak dari konflik yang terjadi. Selain itu pembahasan menyangkut penyelesaian konflik yang belum dijelaskan secara mendalam. Persoalan sengketa kepemilikan lahan adat sama-sama merupakan inti bahasan dalam penelitian, baik yang telah dilakukan maupun yang akan penulis lakukan saat ini namun pembahasan mengenai akar, dinamika, dan dampak dari konflik tersebut serta pemaparan mendalam soal penyelesaian konflik dan analisisnya akan menjadi pembeda dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. E. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan maksud memahami fenomena mengenai apa yang dialami oleh subyek penelitian seperti misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik serta disajikan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2007:6). Lokasi penelitian ini dilaksanakan adalah di Desa Pakraman Kemoning dan Desa Pakraman Budaga yang terletak di Kabupaten Klungkung, Bali. Sumber data yang penulis gunakan yakni sumber data primer yang di dapat melalui observasi yang dilakukan sebanyak dua kali dengan mengunjungi dan mengamati obyek sengketa yakni Pura Dalem dan Setra, pengamatan terhadap lokasi bentrokan dan kondisi desa tersebut. Selain itu, penulis melakukan wawancara di tiga tempat yakni Desa Pakraman Kemoning, Desa Pakraman Budaga dan Polres Klungkung. Di Desa Pakraman Kemoning dan Desa Pakraman 19

20 Budaga, penulis mewawancarai masing-masing mantan Bendesa atau kepala desa adat yang sekaligus merupakan aktor utama dalam konflik tersebut. Selain itu, penulis juga mewawancarai Kabag Ops Intelkam Polres Klungkung yang sekaligus juga menyaksikan konflik tersebut terjadi. Jenis wawancara yang penulis lakukan adalah wawancara mendalam semi terstruktur yang bertujuan menemukan permasalahan secara lebih terbuka dengan mengajak narasumber memberikan pendapat dan ide-idenya. Penulis juga menggunakan sumber data sekunder yang diperoleh dari buku, jurnal, dokumen, artikel, media massa elektronik, dan datadata yang berasal dari sumber relevan lainnya. F. Sistematika Penulisan Hasil penelitian ini disajikan dengan sistematika yang terdiri dari lima (5) bab dan tiap bab akan dirinci menjadi beberapa sub-bab. Sistematika penulisan ini dimulai dari Bab I yang memaparkan latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, kerangka pemikiran, reviu literatur, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Bab II berisi gambaran umum dan sejarah desa pakraman di Bali serta gambaran tentang Desa Pakraman Kemoning dan Desa Pakraman Budaga. Bab III berisi tentang akar, dinamika, dan dampak dari sengketa kepemilikan Pura Dalem dan Setra. Bab IV berisi tentang upaya penyelesaian sengketa kepemilikan Pura Dalem dan Setra. Bab V menyajikan kesimpulan dan saran dari penelitian itu sendiri. 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Konflik oleh beberapa aktor dijadikan sebagai salah satu cara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Konflik oleh beberapa aktor dijadikan sebagai salah satu cara 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konflik 1. Pengertian Konflik merupakan sesuatu yang tidak bisa terhindarkan dalam kehidupan manusia. Konflik oleh beberapa aktor dijadikan sebagai salah satu cara yang dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tersebut terkadang menimbulkan konflik yang dapat merugikan masyarakat itu. berbeda atau bertentangan maka akan terjadi konflik.

I. PENDAHULUAN. tersebut terkadang menimbulkan konflik yang dapat merugikan masyarakat itu. berbeda atau bertentangan maka akan terjadi konflik. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman sumber daya alam dan memiliki banyak suku yang berada diseluruh kepulauan Indonesia, mulai dari Aceh sampai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Penulisan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Penulisan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi

Lebih terperinci

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI BAB 9 KESIMPULAN Dari apa yang telah diuraikan dan dibahas pada bab-bab sebelumnya, tergambarkan bahwa perdesaan di Tabola pada khususnya dan di Bali pada umumnya, adalah perdesaan yang berkembang dinamis.

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Kesimpulan ini merupakan inti pembahasan yang disesuaikan dengan permasalahan penelitian yang dikaji. Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian tesis ini dilakukan untuk menganalisis sengketa batas wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian tesis ini dilakukan untuk menganalisis sengketa batas wilayah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian tesis ini dilakukan untuk menganalisis sengketa batas wilayah antara Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Pemprov Babel) dan Pemerintah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN IM PLIKASI. awal pemekaran Kabupaten Lingga, Provinsi Kepri, pada Kebijakan

BAB V KESIMPULAN DAN IM PLIKASI. awal pemekaran Kabupaten Lingga, Provinsi Kepri, pada Kebijakan BAB V KESIMPULAN DAN IM PLIKASI 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Masalah sengketa batas wilayah kawasan Pulau Tujuh memiliki

Lebih terperinci

Abstract. Balinese society are bound by two village system, they are village

Abstract. Balinese society are bound by two village system, they are village MENINGKATNYA INTENSITAS KONFLIK DESA PAKRAMAN DI BALI Anak Agung Istri Ngurah Dyah Prami Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana 1021005005 E-mail: dyahprami@yahoo.co.id

Lebih terperinci

MENGATASI KONFLIK, NEGOSIASI, PENDEKATAN KEAMANAN BERPERSPEKTIF HAM

MENGATASI KONFLIK, NEGOSIASI, PENDEKATAN KEAMANAN BERPERSPEKTIF HAM SEMINAR DAN WORKSHOP Proses Penanganan Kasus Perkara dengan Perspektif dan Prinsip Nilai HAM untuk Tenaga Pelatih Akademi Kepolisian Semarang Hotel Santika Premiere Yogyakarta, 7-9 Desember 2016 MAKALAH

Lebih terperinci

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 33 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 33 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 33 TAHUN 2015 TENTANG STANDAR OPERASIONAL PRUSEDUR PENCEGAHAN KONFLIK, PENGHENTIAN KONFLIK DAN PENYELESAIAN KONFLIK SOSIAL

Lebih terperinci

LEONARD PITJUMARFOR, 2015 PELATIHAN PEMUDA PELOPOR DALAM MENINGKATKAN WAWASAN KESANAN PEMUDA DI DAERAH RAWAN KONFLIK

LEONARD PITJUMARFOR, 2015 PELATIHAN PEMUDA PELOPOR DALAM MENINGKATKAN WAWASAN KESANAN PEMUDA DI DAERAH RAWAN KONFLIK BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia dalam interaksi berbangsa dan bernegara terbagi atas lapisanlapisan sosial tertentu. Lapisan-lapisan tersebut terbentuk dengan sendirinya sebagai

Lebih terperinci

Bimbingan dan Konseling Sosial

Bimbingan dan Konseling Sosial Bimbingan dan Konseling Sosial Situasi Sosial Situasi yang menggambarkan adanya interaksi antar individu, yang didalamnya terdapat sikap saling mempengaruhi. Situasi dalam keanekaragaman. Konflik Kata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ranah pemerintah daerah seperti Desa Pakraman kebijakan tentang hak-hak

BAB I PENDAHULUAN. ranah pemerintah daerah seperti Desa Pakraman kebijakan tentang hak-hak 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, hak-hak perempuan mulai dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan publik. Kebijakan tentang perempuan sekarang ini sudah

Lebih terperinci

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR ( SOP ) PENANGANAN KONFLIK SOSIAL

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR ( SOP ) PENANGANAN KONFLIK SOSIAL KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESOR SUMBAWA Nomor : SOP - 6 / I / 2016 / Sat.Intelkam STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR ( SOP ) PENANGANAN KONFLIK SOSIAL I. PENDAHULUAN Bangsa

Lebih terperinci

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/11.2009 TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. perusakan dan pembakaran. Wilayah persebaran aksi perkelahian terkait konflik

BAB VI PENUTUP. perusakan dan pembakaran. Wilayah persebaran aksi perkelahian terkait konflik BAB VI PENUTUP VI.1 Kesimpulan Konflik TNI-Polri selama periode pasca Reformasi, 80% merupakan aksi perkelahian dalam bentuk penganiayaan, penembakan, pengeroyokan dan bentrokan; dan 20% sisanya merupakan

Lebih terperinci

yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan

yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan Bab V Kesimpulan Hal yang bermula sebagai sebuah perjuangan untuk memperoleh persamaan hak dalam politik dan ekonomi telah berkembang menjadi sebuah konflik kekerasan yang berbasis agama di antara grup-grup

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bentrokan massa kembali terjadi di Kabupaten Lampung Selatan antara Desa

I. PENDAHULUAN. Bentrokan massa kembali terjadi di Kabupaten Lampung Selatan antara Desa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bentrokan massa kembali terjadi di Kabupaten Lampung Selatan antara Desa Agom Kalianda dan sekitarnya dengan massa Desa Balinuraga Kecamatan Way Panji Lampung Selatan pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bentrok antara kedua desa, yaitu Desa Balinuraga dengan Desa Agom, di

I. PENDAHULUAN. Bentrok antara kedua desa, yaitu Desa Balinuraga dengan Desa Agom, di 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bentrok antara kedua desa, yaitu Desa Balinuraga dengan Desa Agom, di sebabkan karena pelecehan seksual dimana adanya fitnah kepada warga masyarakat suku Bali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sengketa dengan orang lain. Tetapi di dalam hubungan bisnis atau suatu perbuatan

BAB I PENDAHULUAN. sengketa dengan orang lain. Tetapi di dalam hubungan bisnis atau suatu perbuatan BAB I PENDAHULUAN Pada dasarnya tidak ada seorang pun yang menghendaki terjadinya sengketa dengan orang lain. Tetapi di dalam hubungan bisnis atau suatu perbuatan hukum, masing-masing pihak harus mengantisipasi

Lebih terperinci

2017, No Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara

2017, No Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1035, 2017 OMBUDSMAN. Laporan. Penerimaan, Pemeriksaan, dan Penyelesaian. Pencabutan. PERATURAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENERIMAAN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jalan Tol dalam mengelola konflik. Konflik yang dimaksud yaitu menyangkut upaya

BAB I PENDAHULUAN. jalan Tol dalam mengelola konflik. Konflik yang dimaksud yaitu menyangkut upaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tesis ini bertujuan untuk melihat dinamika konflik serta membahas mengenai bagaimana upaya-upaya yang dilakukan peruahaan Jasa Marga sebagai pengelola jalan

Lebih terperinci

2012, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Penang

2012, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Penang LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.116, 2012 SOSIAL. Stabilitas Nasional. Konflik. Penanganan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5315) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL III - 1 III - 2 Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM III-9 BAB II TATACARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki struktur masyarakat majemuk dan multikultural terbesar di dunia. Keberagaman budaya tersebut memperlihatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan tanah yang jumlahnya tetap (terbatas) mengakibatkan perebutan

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan tanah yang jumlahnya tetap (terbatas) mengakibatkan perebutan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara Konstitusional dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 pada pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa: Bumi dan air dan kekayaan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA; Menimbang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu-isu tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, seperti air, tanah, hutan dan kelautan-perikanan, merupakan topik yang semakin penting dalam kajian akademik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sorotan masyarakat karena diproses secara hukum dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sorotan masyarakat karena diproses secara hukum dengan menggunakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyaknya kasus tindak pidana ringan yang terjadi di Indonesia dan sering menjadi sorotan masyarakat karena diproses secara hukum dengan menggunakan ancaman hukuman

Lebih terperinci

BAB VI INTERAKSI MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN WISATA ALAM DI KAWASAN GUNUNG SALAK ENDAH

BAB VI INTERAKSI MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN WISATA ALAM DI KAWASAN GUNUNG SALAK ENDAH 84 BAB VI INTERAKSI MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN WISATA ALAM DI KAWASAN GUNUNG SALAK ENDAH Interaksi sosial disebut juga sebagai proses sosial yang terjadi apabila terdapat kontak sosial dan komunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengadakan kerjasama, tolong menolong, bantu-membantu untuk

BAB I PENDAHULUAN. mengadakan kerjasama, tolong menolong, bantu-membantu untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia mempunyai sifat, watak dan kehendak sendiri-sendiri. Namun di dalam masyarakat manusia mengadakan hubungan satu sama lain, mengadakan kerjasama, tolong

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 116) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENANGANAN KONFLIK SOSIAL

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Dalam bab sebelumnya telah dibahas tentang konflik antara masyarakat dengan masyarakat dan masyarakat dengan swasta. Berdasarkan analisis atas kasus konflik

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN SARAN

8 KESIMPULAN DAN SARAN 8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dalam konteks kelembagaan pengelolaan hutan, sistem pengelolaan hutan bukan hanya merupakan representasi keberadaan lembaga regulasi negara, melainkan masyarakat

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Bab ini merupakan kesimpulan dari pembahasan skripsi yang berjudul Gejolak Politik di Akhir Kekuasaan Presiden: Kasus Presiden Soeharto (1965-1967) dan Soeharto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu di daerah Preah Vihear yang terletak di Pegunungan Dangrek. Di

BAB I PENDAHULUAN. yaitu di daerah Preah Vihear yang terletak di Pegunungan Dangrek. Di BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Thailand dan Kamboja merupakan dua negara yang memiliki letak geografis berdekatan dan terletak dalam satu kawasan yakni di kawasan Asia Tenggara. Kedua negara ini

Lebih terperinci

POKOK PIKIRAN TANWIR MUHAMMADIYAH 2012

POKOK PIKIRAN TANWIR MUHAMMADIYAH 2012 POKOK PIKIRAN TANWIR MUHAMMADIYAH 2012 UNTUK PENCERAHAN DAN SOLUSI PERMASALAHAN BANGSA Muhammadiyah merupakan bagian tak terpisahkan dari komponen bangsa. Oleh karena itu, Muhammadiyah sangat peduli atas

Lebih terperinci

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pernikahan merupakan hal yang dicita-citakan dan didambakan oleh setiap orang, karena dengan pernikahan adalah awal dibangunnya sebuah rumah tangga dan

Lebih terperinci

DINAMIKA PERUBAHAN & RESOLUSI KONFLIK

DINAMIKA PERUBAHAN & RESOLUSI KONFLIK DINAMIKA PERUBAHAN & RESOLUSI KONFLIK Memahami Konflik (2) Dr. Teguh Kismantoroadji Dr. Eko Murdiyanto 1 Kompetensi Khusus: Mahasiswa mampu memahami konflik sebagai suatu keniscayaan 2 TAHAPAN TERJADINYA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bali sebagai bagian dari Kebudayaan Indonesia yang bersifat Binneka Tunggal Ika (Berbedabeda

BAB I PENDAHULUAN. Bali sebagai bagian dari Kebudayaan Indonesia yang bersifat Binneka Tunggal Ika (Berbedabeda BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi yang cukup terkenal di Indonesia karena merupakan salah satu asset devisa Negara Indonesia yang cukup tinggi di bidang

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: harga tanah. Lembaga pertanahan berkewajiban untuk melakukan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: harga tanah. Lembaga pertanahan berkewajiban untuk melakukan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan hasil temuan dan pembahasan pada Bab IV, maka peneliti dapat mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Aktor Penyelenggara Pengadaan Tanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dian Ahmad Wibowo, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dian Ahmad Wibowo, 2014 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada bulan Pebruari merupakan titik permulaan perundingan yang menuju kearah berakhirnya apartheid dan administrasi minoritas kulit putih di Afrika Selatan.

Lebih terperinci

SOENARJO-ALI MASCHAN MUSA (SALAM): Sebuah Desa yang Teratur

SOENARJO-ALI MASCHAN MUSA (SALAM): Sebuah Desa yang Teratur SOENARJO-ALI MASCHAN MUSA (SALAM): Sebuah Desa yang Teratur Sebuah desa yang teratur dibayangkan sebagai suatu tempat yang sejuk, harmonis, dengan tata aturan (modern-rasional) yang jelas sehingga anggota-anggota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bernegara, agar tercipta kehidupan yang aman, tertib, dan adil.

BAB I PENDAHULUAN. bernegara, agar tercipta kehidupan yang aman, tertib, dan adil. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum (Pasal 1 ayat (3). Ketentuan tersebut merupakan landasan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO

PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 10 TAHUN 2008 TENTANG KERJASAMA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KULON PROGO, Menimbang : a. bahwa dalam upaya

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA TENURIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA TENURIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA TENURIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH, Menimbang : a. bahwa dengan wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu,

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan salah satu subjek hukum internasional. Sebagai subjek hukum internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, salah satunya

Lebih terperinci

BAB IV. PENUTUP. Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diajukan simpulan

BAB IV. PENUTUP. Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diajukan simpulan 128 BAB IV. PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diajukan simpulan sebagai berikut: 1. Penyebab terjadinya penyerobotan lahan perkebunan pada PT Gwang-Ju Palm Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan prinsip syari ah tidak mungkin dihindari akan terjadinya konflik. Ada yang berujung sengketa

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Pasal 1 Definisi. Untuk maksud-maksud Persetujuan ini, kecuali konteksnya mensyaratkan sebaliknya;

LAMPIRAN. Pasal 1 Definisi. Untuk maksud-maksud Persetujuan ini, kecuali konteksnya mensyaratkan sebaliknya; LAMPIRAN PERSETUJUAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERSETUJUAN KERANGKA KERJA MENGENAI KERJA SAMA EKONOMI MENYELURUH ANTAR PEMERINTAH NEGARA-NEGARA ANGGOTA PERHIMPUNAN BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan keadilan, Sehingga secara teoritis masih diandalkan sebagai badan yang

BAB I PENDAHULUAN. dan keadilan, Sehingga secara teoritis masih diandalkan sebagai badan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadilan merupakan salah satu kebutuhan dalam hidup manusia. kedudukan peradilan dianggap sebagai pelaksanaan kehakiman yang berperan sebagai katup penekan atas segala

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Berdasarkan paparan temuan dan analisa yang ada penelitian menyimpulkan bahwa PT. INCO mengimplementasikan praktek komunikasi berdasarkan strategi dialog yang berbasis

Lebih terperinci

A. Analisis Proses Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Purwodadi

A. Analisis Proses Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Purwodadi BAB IV ANALISIS A. Analisis Proses Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Purwodadi Berdasarkan apa yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya dapat diketahui bahwa secara umum mediasi diartikan sebagai

Lebih terperinci

DAFTAR ISI PERATURAN MEDIASI KLRCA SKEMA UU MEDIASI 2012 PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA. Peraturan Mediasi KLRCA. Bagian I. Bagian II.

DAFTAR ISI PERATURAN MEDIASI KLRCA SKEMA UU MEDIASI 2012 PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA. Peraturan Mediasi KLRCA. Bagian I. Bagian II. DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA Bagian I PERATURAN MEDIASI KLRCA Bagian II SKEMA Bagian III UU MEDIASI 2012 Bagian IV PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur Bagian

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA

DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA Bagian I PERATURAN MEDIASI KLRCA Bagian II SKEMA Bagian III UU MEDIASI 2012 Bagian IV PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur Peraturan

Lebih terperinci

Inisiatif penyelesaian konflik Sumber Daya Alam melalui Mediasi i

Inisiatif penyelesaian konflik Sumber Daya Alam melalui Mediasi i Inisiatif penyelesaian konflik Sumber Daya Alam melalui Mediasi i Disampaikan Oleh Ahmad Zazali ii Hasil study dan Monitoring konflik Sumber Daya Alam di Riau yang dilakukan Scale Up selama empat (4) tahun

Lebih terperinci

2013, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indone

2013, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indone No.421, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP. Sengketa Lingkungan Hidup. Penyelesaian. Pedoman. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 04 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

2012, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Ta

2012, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Ta BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.985, 2012 KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA. Mediasi Penyelenggaraan. Pedoman. Draft terbarmperaturan KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA NOMOR 59 A/KOMNAS HAM/X/2008

Lebih terperinci

BAB IV DAMPAK DARI KONFLIK DAYAK DAN MADURA DI SAMALANTAN. hubungan yang pada awalnya baik-baik saja akan menjadi tidak baik, hal

BAB IV DAMPAK DARI KONFLIK DAYAK DAN MADURA DI SAMALANTAN. hubungan yang pada awalnya baik-baik saja akan menjadi tidak baik, hal BAB IV DAMPAK DARI KONFLIK DAYAK DAN MADURA DI SAMALANTAN A. Dampak Negatif Dampak negatif antara kedua suku yang bertikai tentu membuat hubungan yang pada awalnya baik-baik saja akan menjadi tidak baik,

Lebih terperinci

Tugas : Perilaku Organisasi Nama : Erwin Febrian Nim : Pertanyaan:

Tugas : Perilaku Organisasi Nama : Erwin Febrian Nim : Pertanyaan: Tugas : Perilaku Organisasi Nama : Erwin Febrian Nim : 14121005 Pertanyaan: 1. Jelaskan pengertian konflik dan cara pandang konflik? 2. Jelaskan jenis, sebab dan proses terjadinya konflik? 3. Jelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan saluran-saluran komunikasi. Komunikasi massa akan. didefinisikan sebagai komunikasi kepada khalayak dalam jumlah besar

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan saluran-saluran komunikasi. Komunikasi massa akan. didefinisikan sebagai komunikasi kepada khalayak dalam jumlah besar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Komunikasi sering kita lakukan dalam sehari-hari, komunikasi merupakan kebutuhan yang paling dasar manusia. Komunikasi dapat dipahami sebagai proses penyampaian

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN PENANGANAN KONFLIK 1

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN PENANGANAN KONFLIK 1 KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN PENANGANAN KONFLIK 1 Oleh Herry Darwanto 2 I. PERMASALAHAN Sebagai negara yang masyarakatnya heterogen, potensi konflik di Indonesia cenderung akan tetap

Lebih terperinci

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU BAB VI KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU Konflik merupakan sebuah fenonema yang tidak dapat dihindari dalam sebuah kehidupan sosial. Konflik memiliki dua dimensi pertama adalah dimensi penyelesaian

Lebih terperinci

MANAJEMEN KONFLIK OLEH : PROF. DR. SADU WASISTIONO, MS

MANAJEMEN KONFLIK OLEH : PROF. DR. SADU WASISTIONO, MS MANAJEMEN KONFLIK OLEH : PROF. DR. SADU WASISTIONO, MS APA YANG DIMAKSUD DENGAN KONFLIK? BEBERAPA PENGERTIAN : *Konflik adalah perjuangan yang dilakukan secara sadar dan langsung antara individu dan atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONFLIK

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONFLIK BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONFLIK A. Pengertian Konflik Istilah konflik dalam ilmu politik seringkali dikaitkan dengan kekerasan seperti kerusuhan, kudeta terorisme, dan reformasi. Konflik mengandung

Lebih terperinci

MANAJEMEN KONFLIK. Disusun: Ida Yustina, Prof. Dr.

MANAJEMEN KONFLIK. Disusun: Ida Yustina, Prof. Dr. MANAJEMEN KONFLIK Disusun: Ida Yustina, Prof. Dr. Konflik: percekcokan; perselisihan; pertentangan (KBBI) Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan pendapat antara orang-orang, kelompok-kelompok,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta memiliki nilai sosio-kultural dan pertahanan keamanan. Secara ekonomi tanah merupakan aset (faktor)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sengketa atau konflik tersebut timbul disebabkan karena adanya hubungan antara satu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sengketa atau konflik tersebut timbul disebabkan karena adanya hubungan antara satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sengketa atau konflik tersebut timbul disebabkan karena adanya hubungan antara satu manusia dengan manusia lain sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri

Lebih terperinci

KONFLIK ORGANISASI. Rangkaian Kolom Kluster I, 2012

KONFLIK ORGANISASI. Rangkaian Kolom Kluster I, 2012 KONFLIK ORGANISASI Salah satu yang sering muncul dalam upaya melakukan inovasi organisasi adalah terjadinya konflik di dalam organisasi. Sebagaimana lazim diketahui bahwa suatu organisasi secara keseluruhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sistem sosial budaya harus tetap berkepribadian Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. sistem sosial budaya harus tetap berkepribadian Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Negara Republik Indonesia adalah negara yang berazazkan Pancasila dengan beragam kebudayaan yang ada. Dengan sistem sosial kebudayan Indonesia sebagai totalitas

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. upaya pemerintah dalam meningkatkan transportasi penerbangan untuk kawasan Jawa

BAB V PENUTUP. upaya pemerintah dalam meningkatkan transportasi penerbangan untuk kawasan Jawa BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berawal dari kebijakan pemerintah terkait dengan relokasi pembangunan bandara baru Internasional di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo merupakan upaya pemerintah dalam meningkatkan

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. Utopia.com..., Raditya Margi Saputro, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 5 PENUTUP. Utopia.com..., Raditya Margi Saputro, FIB UI, Universitas Indonesia BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan Bila ditarik garis besarnya maka di dalam skripsi ini saya telah mencoba memaparkan sebuah teori tentang kemungkinan baru di dalam memunculkan sebuah ranah publik melalui hubungan

Lebih terperinci

Oleh: I Nyoman Adi Susila I Ketut Wirta Griadhi A.A. Gde Oka Parwata. Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Udayana

Oleh: I Nyoman Adi Susila I Ketut Wirta Griadhi A.A. Gde Oka Parwata. Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Udayana PENYELESAIAN SENGKETA ADAT DI BALI (STUDI KASUS SENGKETA TANAH SETRA ANTARA DESA PAKRAMAN CEKIK DENGAN DESA PAKRAMAN GABLOGAN, KECAMATAN SELEMADEG, KABUPATEN TABANAN) Oleh: I Nyoman Adi Susila I Ketut

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. prespektif Identitas Sosial terhadap Konflik Ambon, maka ada beberapa hal pokok yang

BAB V PENUTUP. prespektif Identitas Sosial terhadap Konflik Ambon, maka ada beberapa hal pokok yang BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Bertolak dari pemaparan hasil penelitian dan penggkajian dengan menggunakan prespektif Identitas Sosial terhadap Konflik Ambon, maka ada beberapa hal pokok yang dapat disimpulkan

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PEMBINAAN LEMBAGA ADAT

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PEMBINAAN LEMBAGA ADAT BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PEMBINAAN LEMBAGA ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Agraris, menetapkan kedudukan tanah sebagai hal yang utama. Pasal 33 ayat 3

BAB I PENDAHULUAN. Agraris, menetapkan kedudukan tanah sebagai hal yang utama. Pasal 33 ayat 3 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Republik Indonesia sebagai Negara yang struktur perekonomiannya bersifat Agraris, menetapkan kedudukan tanah sebagai hal yang utama. Pasal 33 ayat 3 Undang-undang Dasar

Lebih terperinci

Nama: Anton Rahmat Riyadi NIM :

Nama: Anton Rahmat Riyadi NIM : Nama: Anton Rahmat Riyadi NIM : 14122059 1. Jelaskan pengertian konflik dan cara pandang konflik 2. Jelaskan jenis, sebab, dan proses terjadinya konflik 3. Jelaskan hubungan konflik dan kinerja di perusahaan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS. yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. 1 Menurut. perwujudannya secara mudah. 2

BAB II KAJIAN TEORITIS. yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. 1 Menurut. perwujudannya secara mudah. 2 21 BAB II KAJIAN TEORITIS A. Teori Konflik 1. Pengertian Konflik Menurut Webster, istilah conflict di dalam bahasa aslinya berarti suatu perkelaian, peperangan, atau perjuangan. Konflik adalah persepsi

Lebih terperinci

BEBERAPA CARA PENYELESAIAN SENGKETA PERBURUHAN DI DALAM DAN DI LUAR PENGADILAN

BEBERAPA CARA PENYELESAIAN SENGKETA PERBURUHAN DI DALAM DAN DI LUAR PENGADILAN BEBERAPA CARA PENYELESAIAN SENGKETA PERBURUHAN DI DALAM DAN DI LUAR PENGADILAN Pendahuluan Sejalan dengan perkembangan zaman era globalisasi sudah barang tentu tuntutan perkembangan penyelesaian sengketa

Lebih terperinci

PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN SENJATA API OLEH ANGGOTA TNI di DENPOM IV/ 4 SURAKARTA

PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN SENJATA API OLEH ANGGOTA TNI di DENPOM IV/ 4 SURAKARTA PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN SENJATA API OLEH ANGGOTA TNI di DENPOM IV/ 4 SURAKARTA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum

Lebih terperinci

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum Sejalan dengan perkembangan zaman era globalisasi sudah barang tentu tuntutan perkembangan penyelesaian sengketa perburuhan

Lebih terperinci

Bercumbu Dengan Konflik RUU Penanganan Konflik Sosial Sebagai Solusi Penanggulangan Konflik di Indonesia

Bercumbu Dengan Konflik RUU Penanganan Konflik Sosial Sebagai Solusi Penanggulangan Konflik di Indonesia Dipresentasikan pada The Indonesian Forum seri 3 The Indonesian Institute. Kamis, 3 Maret 2011 Bercumbu Dengan Konflik RUU Penanganan Konflik Sosial Sebagai Solusi Penanggulangan Konflik di Indonesia Ir.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan pasca- perang dingin ini juga mempunyai implikasi strategis baik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan pasca- perang dingin ini juga mempunyai implikasi strategis baik BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hubungan Internasional Runtuhnya Uni Soviet sebagai negara komunis utama pada tahun 1990-an memunculkan corak perkembangan Hubungan Internasional yang khas. Perkembangan pasca-

Lebih terperinci

mengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea

mengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea BAB V PENUTUP Tesis ini menjelaskan kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur yang berimplikasi terhadap program pengembangan senjata nuklir Korea Utara. Kompleksitas keamanan yang terjadi di kawasan Asia

Lebih terperinci

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK A. PENDAHULUAN Salah satu agenda pembangunan nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Mediasi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konflik merupakan fenomena yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Konflik merupakan fenomena yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konflik merupakan fenomena yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan manusia, karena konflik memang merupakan bagian yang mendasar dari eksistensi manusia itu

Lebih terperinci

ANALISA PENYEBAB TERJADINYA KONFLIK HORIZONTAL DI KALIMANTAN BARAT. Alwan Hadiyanto Dosen Tetap Program Studi Ilmu Hukum UNRIKA

ANALISA PENYEBAB TERJADINYA KONFLIK HORIZONTAL DI KALIMANTAN BARAT. Alwan Hadiyanto Dosen Tetap Program Studi Ilmu Hukum UNRIKA ANALISA PENYEBAB TERJADINYA KONFLIK HORIZONTAL DI KALIMANTAN BARAT Alwan Hadiyanto Dosen Tetap Program Studi Ilmu Hukum UNRIKA Sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945, tujuan bangsa Indonesia adalah menciptakan

Lebih terperinci

SENGKETA TANAH SETRA DAN PENYELESAIANNYA (STUDI KASUS SENGKETA BANJAR ADAT AMBENGAN DENGAN BANJAR ADAT SEMANA UBUD KABUPATEN GIANYAR)

SENGKETA TANAH SETRA DAN PENYELESAIANNYA (STUDI KASUS SENGKETA BANJAR ADAT AMBENGAN DENGAN BANJAR ADAT SEMANA UBUD KABUPATEN GIANYAR) SENGKETA TANAH SETRA DAN PENYELESAIANNYA (STUDI KASUS SENGKETA BANJAR ADAT AMBENGAN DENGAN BANJAR ADAT SEMANA UBUD KABUPATEN GIANYAR) oleh I Gusti Ayu Sri Haryanti Dewi Witari I Ketut Wirta Griadhi A.A

Lebih terperinci

DAFTAR ISI UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN Undang-undang Arbitrase Tahun (Direvisi tahun 2011)

DAFTAR ISI UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN Undang-undang Arbitrase Tahun (Direvisi tahun 2011) DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005 UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN 2005 (Direvisi tahun 2011) 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur SUSUNAN BAGIAN Bagian I Pendahuluan 1. Judul singkat

Lebih terperinci

Bercumbu Dengan Konflik RUU Penanganan Konflik Sosial Sebagai Solusi Penanggulangan Konflik di Indonesia

Bercumbu Dengan Konflik RUU Penanganan Konflik Sosial Sebagai Solusi Penanggulangan Konflik di Indonesia Bercumbu Dengan Konflik RUU Penanganan Konflik Sosial Sebagai Solusi Penanggulangan Konflik di Indonesia Ir. Basuki Tjahaja Purnama, MM. (Ahok) Anggota DPR RI Komisi II Dan Badan Legislasi Fraksi Partai

Lebih terperinci

KodePuslitbang : 3-WD

KodePuslitbang : 3-WD 1 KodePuslitbang : 3-WD LAPORAN PENELITIAN PEMETAAN DAERAH RAWAN BENCANA SOSIAL DI KABUPATEN MAHAKAM ULU PROVINSI KALIMANTAN TIMUR TIM PENELITI : 1. Nama Ketua : H. Ahmad Jubaidi, S.Sos, M.Si NIDN : 1129036601

Lebih terperinci

Beberapa Cara Penyelesaian Sengketa Perburuhan Di dalam Dan Di Luar Pengadilan

Beberapa Cara Penyelesaian Sengketa Perburuhan Di dalam Dan Di Luar Pengadilan Beberapa Cara Penyelesaian Sengketa Perburuhan Di dalam Dan Di Luar Pengadilan Kelelung Bukit Fakultas Hukum Program Studi Hukum Administrasi Negara Universitas Sumatera Utara Pendahuluan Sejalan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. * Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II *** Penulis. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. * Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II *** Penulis. A. Latar Belakang Adapun metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum sosiologis. Penelitian hukum normatif mengkaji data-data sekunder di bidang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk konfliktis (homo conflictus), yaitu makhluk yang

I. PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk konfliktis (homo conflictus), yaitu makhluk yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk konfliktis (homo conflictus), yaitu makhluk yang selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan baik sukarela maupun terpaksa.

Lebih terperinci

MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 06/PRT/M/2016 TENTANG PELAYANAN ADVOKASI HUKUM DI KEMENTERIAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 159, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4459) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peran Berita Politik Dalam Surat Kabar Pikiran Rakyat Terhadap Pengetahuan Politik Mahasiswa Ilmu Sosial se-kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. Peran Berita Politik Dalam Surat Kabar Pikiran Rakyat Terhadap Pengetahuan Politik Mahasiswa Ilmu Sosial se-kota Bandung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi ini, terutama teknologi informasi dan komunikasi yang semakin berkembang dengan cepat,

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 73 /POJK.05/2016 TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 73 /POJK.05/2016 TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 73 /POJK.05/2016 TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci