PEMETAAN BANGUNAN TIGA DIMENSI UNTUK PEMODELAN JALUR EVAKUASI DARURAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMETAAN BANGUNAN TIGA DIMENSI UNTUK PEMODELAN JALUR EVAKUASI DARURAT"

Transkripsi

1 PEMETAAN BANGUNAN TIGA DIMENSI UNTUK PEMODELAN JALUR EVAKUASI DARURAT 1 Debby Nurliza Ulhaq1, Budhy Soeksmantono1, Ketut Wikantika1,2,3 Kelompok Keilmuan Penginderaan Jauh dan Sains Informasi Geografis, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung 2 Center for Remote Sensing, Institut Teknologi Bandung 3 ForMIND Institute (Indonesian Young Researcher Forum) 1 derlizau@gmail.com, 2budhy4771@gmail.com, 2wikantika.ketut@gmail.com Abstrak Mitigasi bencana merupakan salah satu hal penting yang harus dipertimbangkan terutama dalam konstruksi bangunan karena hal tersebut cukup rumit terlebih apabila dikaitkan dengan fakta tidak adanya informasi yang dapat digunakan untuk orang-orang menyelamatkan diri mereka sendiri. Maka dari itu, makalah ilmiah ini memperkenalkan mengenai network analysist untuk rute evakuasi darurat yang bertujuan untuk mencari rute terbaik menuju tempat aman seperti titik berkumpul tergantung pada situasi terkini. Pembuatan keputusan berdasarkan rute yang tepat akan dipilih berdasarkan kategori usia korban dan kondisi saat bencana terjadi, sehingga dapat mengurangi dampak buruk yang akan muncul. Algoritma Dijkstra menunjukan suatu algoritma perncarian rute terpendek antara gedung dan titik berkumpul dengan menghubungkan keduanya melalui data jalan. Model rute evakuasi ini dibentuk dengan menggunakan kombinasi antara model bangunan tiga dimensi yang dibangun dari data LiDAR, orthophoto, dan data lainnya yang berkaitan dengan pemodelan. Bangunan tiga dimensi dapat digunakan dalam manajemen bencana dan respon darurat karena dapat menyediakan informasi penting seperti lokasi bangunan. Evaluasi dari model yang diajukan meningkatkan kemampuan penyelamatan diri sendiri yang mengarah pada berkurangnya dampak buruk yang akan terjadi. Kata kunci: Evakuasi Darurat, Algoritma Dijkstra, LiDAR, pemodelan bangunan 3D Abstract Mitigation is an important thing to be considered especially in building construction because it is quite complicated due to the fact that much of the information is unavailable for people to rescue themselves. Hence, this paper introduces about network analysis for evacuation emergency route which aims at finding the best route to the secured place such as the closest assembly point depends on the situation. Thus, decision making regarding the proper route to be chosen depends of the victim age category and current condition to minimize impact that can be generated. Dijkstra s Algorithm is presented an algorithm for finding the shortest paths between building and assembly point by linking them through road data. This emergency evacuation route model is constructed by combining with three dimensional building model which constructed by using LiDAR data, orthophoto, and the other related data. Three dimensional geo data can be used in disaster management and emergency response because they may provide valuable information such as location of the building. The evaluation of the proposed model for a case study building improve self-sustaining which lead to chances of less adverse effects can appear. Keywords: Emergency Evacuation, Dijkstra s Algorithm, LiDAR, 3D building model 1. PENDAHULUAN Mitigasi merupakan usaha yang dilakukan untuk mengurangi kerugian baik properti maupun hilangnya nyawa dengan mengurangi dampak bencana, untuk mengurangi kerugian tersebut dilakukan analisis risiko, pengurangan risiko, dan pemastian penanggulangan risiko. Penting untuk diketahui bahwa bencana dapat terjadi kapan saja dan dimana saja dan jika persiapannya tidak baik, ini akan berakibat fatal (FEMA, 2017). Maka dari itu, mitigasi merupakan hal yang penting untuk diperhatikan terutama dalam pembangunan gedung karena cukup rumit dan berdasarkan fakta banyak informasi yang tidak tersedia bagi masyarakat untuk

2 menyelamatkan diri. Pengembangan infrastruktur bangunan merupakan indikator yang mengindikasikan bahwa bangunan mengalami peningkatan dalam hal kualitas dan juga harus didukung dengan perencanaan mitigasi yang lebih baik seperti pemodelan rute evakuasi darurat, oleh karena itu dampak pengembangan infrastruktur terhadap keselamatan masyarakat dapat diatasi (Tang et al., 2014). Hal tersebut dikarenakan walaupun sudah banyak penelitian yang mengkaji terkait evakuasi dalam bangunan, tidak hanya model evakuasi yang menyediakan informasi penting yang diabaikan, namun juga tidak seluruh orang mengetahui posisi mereka dan harus kemana saat bencana terjadi, terlebih miskomunikasi sering terjadi. Maka dari itu rute evakuasi ini diharapkan dapat membantu orang-orang mengevakuasi diri mereka menuju tempat aman dengan cepat karena faktanya kurangnya manajemen waktu dapat mengurangi kemampuan persiapan untuk bertindak cepat saat bencana terjadi (Tashakkori dkk. 2016), serta rute evakuasi tersebut dapat pula digunakan oleh regu penyelamat untuk mengevakuasi korban, sehingga hal tersebut dapat membuat evakuasi berjalan lebih cepat dan kesempatan untuk menyelamatkan lebih banyak korban akan meningkat (Tashakkori dkk. 2015). Model bangunan 3D dapat digunakan dalam manajemen bencana dan tanggap darurat karena dapat memberikan informasi yang berguna. Berdasarkan keuntungan penggunaan model bangunan 3D untuk pemodelan rute evakuasi darurat, makalah ilmiah ini diharapkan dapat digunakan untuk menggambarkan gagasan dan dapat dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan terkait dengan sistem pengembangan mitigasi atau mungkin dapat menjadi salah satu solusi yang disarankan untuk memodelkan masalah rute evakuasi darurat. 2. METODE DAN DATA Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemodelan 3D bangunan dengan menggunaka data LiDAR. Data LiDAR tersebut diklasifikasikan menjadi titik ground dan bangunan, lalu selanjutnya dilakukan pemodelan bangunan 3D dengan bantuan ortofoto. Bangunan hasil pemodelan 3D selanjutnya dikombinasikan dengan data jalan, titik berkumpul, kategori usia, dan Digital Terrain Model (DTM) untuk memodelkan rute evakuasi darurat menggunakan Algoritma Dijkstra. Alur dari metodologi penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

3 Gambar 1. Diagram alir penelitian 2.1 Light Detection and Ranging (LiDAR) LiDAR merupakan sensor aktif yang memancarkan pulsa laser dan mengukur waktu dari dipancarkannya pulsa hingga kembalinya pulsa tersebut kepada sensor menggunakan jam dengan akurasi sangat tinggi. Ketika laser dipantulkan oleh target, posisi horizontal dan vertikal dari laser dikunci dan koordinat vertikal akan dikoreksi selanjutnya. Prinsip kerja dari LiDAR sendiri adalah pulsa akan dikirimkan menuju objek dan waktu akan direkam dengan jam presisi, ketika pulsa mengenai objek maka pulsa akan dipantulkan balik menuju sensor dan selang waktu tersebut akan digunakan untuk menghitung jarak miring dari objek menuju sensor karena pemancaran pulsa menggunakan kecepatan yang konstan yaitu kecepatan cahaya, lalu akan dikonversikan menjadi jarak vertikal dengan bantuan Inertival Navigation System (INS). Jarak vertikal akan digunakan untuk mengoreksi koordinat Z dari GPS. Prinsip kerja dari LiDAR ditunjukan pada Gambar 2. Pulsa-pulsa hasil pantulan dari targetlah yang disebut dengan point clouds.

4 Gambar 2. Ilustrasi prinsip kerja LiDAR (Source: LIDAR.ihrc.fiu.edu) Sistem laser dapat mengakuisisi data siang dan malam dan dapat melakukan pengukuran pada area apapun selama cahaya dapat menembus area tersebut. Secara teori, LiDAR dapat digunakan selama 24 jam setiap harinya, namun LiDAR tidak dapat digunakan diatas awan yang tertutup oleh kabut, asap, hujan, dan badai salju. Kualitas dari sebaik apa representasi objek bergantung kepada resolusi. Resolusi LiDAR menunjukan jumlah pulsa per satuan meter persegi (densitas point cloud), semakin tinggi jumlah point clouds per satuan unit area maka semakin tinggi resolusi yang dihasilkan begitu pula sebaliknya. Laser scanner, Global Positioning System (GPS), dan Inertial Navigation System (INS) merupakan tiga komponen utama dari Airborne Laser Scanner (ALS). Laser scanner dipasang di pesawat, helikopter, atau satelit dan memancarkan pulsa menuju objek di permukaan bumi. INS digunakan untuk mengoreksi pergerakan wahana yaitu pitch, roll, dan yaw. Sehingga ketelitian dari koordinat masing-masing tinggi (koordinat Z) sangat dipengaruhi oleh seberapa teliti GPS dan INS. Perbedaan waktu antara waktu pemancaran pulsa dan kembalinya pulsa tersebut pada sensor akan dihitung menggunakan perangkat lunak khusus untuk mengonversi data tersebut menjadi jarak terukur (Center, 2012) dengan formula (1): D = c. Δt/2 (1) dimana D = jarak antara objek dan sensor di wahana; c= kecepatan cahaya (3x10 8m/s); t= total waktu tempuh. 2.2 Model Permukaan Digital Surface Model (DSM) yang sering disebut sebagai model permukaan bumi yang mencakup fitur medan, bangunan, vegetasi, dan saluran listrik dll, oleh karena itu DSM dapat merepresentasikan topografi dari permukaan bumi. Sedangkan, Digital Terrain Model (DTM) digunakan untuk mewakili permukaan terrain dari bumi atau permukaan tanah. DTM merupakan representasi statistik permukaan kontinu tanah dari sekumpulan besar titik yang terpilih dengan koordinat x, y, z dengan referensit tertentu (Kennie dan Petrie, 1990). Perbedaan antara DSM dan DTM dalam merepresentasikan objek di lapangan dapat dilihat pada Gambar 3. DSM merepresentasikan seluruh objek di atas permukaan tanah sedangkan DTM hanya merepresentasikan permukaan tanah saja.

5 Gambar 3. Ilustrasi dari DSM dan DTM (Source: Data dan Wilayah Studi Wilayah studi terletak di Institut Teknologi Bandung, Lebak Siliwangi, Coblong Jawa Barat, Indonesia seperti terlihat pada Tabel 1 dan Gambar 4, Gambar 4 menunjukkan data ortofoto daerah studi dengan format.ecw. Data diperoleh dari PT Karvak Nusa Geomatika yang diakuisisi pada bulan Mei 2013 dengan format.las, data terdiri dari titik mentah awan yang berarti belum diklasifikasikan. Kepadatan titik adalah ± 2-3 points/ m2. Tabel 1.Spesifikasi data LiDAR dan koordinat area penelitian Lintang Bujur Sumber data Densitas titik Waktu akuisisi Jumlah titik Datum Satuan Luas Rata-rata elevasi (ellipsoid) Koordinat Area Penelitian 6 53' 34.44" S ' 39.6"E Spesifikasi Data PT Karvak Nusa Geomatika ± 2-3 points/m2 Mei points WGS84 Meters 33,06 Hectare meter Gambar 4. Data orthofoto dari area studi 2.4 Pengolahan Data LiDAR Pengolahan data LiDAR terdiri dari dua tahapan pengolahan utama yaitu klasifikasi titik dan pemodelan bangunan 3D. Pengolahan tersebut dijelaskan sebaagai berikut: a. Klasifikasi point clouds Klasifikasi terbagi menjadi dua jenis yaitu klasifikasi semi otomatis dan manual. Klasifikasi semi otomatis dilakukan oleh perangkat lunak karenanya diperlukan input parameter. Klasifikasi semi otomatis memiliki kekurangan yaitu dapat terjadi kesalahan dalam pengklasifikasian titik sesuai kelas yang seharusnya, maka harus dilakukan klasifikasi manual. Klasifikasi manual dilakukan untuk memastikan bahwa setiap titik telah masuk ke dalam kelas yang seharusnya. Klasifikasi ground harus dilakukan pertama kali sebagai acuan dari klasifikasi bangunan. Hasil dari klasifikasi ground dan bangunan ditunjukan oleh Gambar 5.

6 (a). Hasil klasifikasi ground (b) Hasil klasifikasi bangunan Gambar 5. Hasil klasifikasi (a) ground dan (b) bangunan b. Model bangunan 3D Proses utama yang dilakukan dalam pembentukkan model bangunan tiga dimensi adalah dengan interseksi dari muka bidang, yang memiliki rangkain proses pendeteksian dari muka bidang atap, interseksi dari muka atap, penentuan kerangka atap (Maas dan Vosselman, 1999). Pendeteksian yang digunakan dengan menentukan cluster dari setiap muka bidang. Proses clustering didasarkan pada pembentukan dari TIN pada bidang atap. Semua TIN yang merupakan bagian dari muka atap yang sama merupakan sekelompok bidang yang sama, proses tersebut dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6. Clustering dan menghubungkan komponen dengan menggunakan TIN (Maas dan Vosselman, 1999) Terdapat dua garis besar dalam interseksi antar muka, yang pertama adalah menyatukan perpotongan tepi atap yang berada pada cluster berbeda dan tepi yang perpotongan langsung dengan objek yang lain atau biasa disebut kerangka atap. Untuk menggabungkan persimpangan antara tepi atap pada setiap cluster, persimpangan yang berisi titik yang terletak pada batas antar kelompok harus didefinisikan terlebih dahulu. Dari titik batas yang berada di tepi cluster akan terhubung ke cluster berikutnya. Setelah semua cluster saling terhubung satu sama lain, formasi rangka atap dilakukan dan karena diasumsikan bahwa tembok tersebut terletak persis di persimpangan antara atap tepi dan ujung tanah, model bangunan tiga dimensi sudah selesai.

7 Proses pembentukan rangka atap ditunjukkan pada Gambar 7, pada bagian kiri saat atap sudah terhubung, bagian tengah pada saat pendekatan dengan aproksimasi titik tepi, dan bagian kanan setelah dilakukan penghalusan titik kerangka atap menggunakan metode perataan kuadrat terkecil. Gambar 7. Ilustrasi aproksomasi pembentukan model atap (tampak atas) (Maas dan Vosselman, 1999) 2.5 Algoritma Dijkstra Algoritma Dijkstra adalah algoritma untuk mencari jalur terpendek antara node dalam grafik dengan nilai positif, yang dapat mewakili, misalnya jaringan jalan. Untuk sumber node dalam grafik, algoritma menemukan jalur terpendek antara node tersebut dan lainnya (Mehlhorn & Sanders, 2008) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8. Ini juga dapat digunakan untuk menemukan jalur terpendek dari node tunggal ke node tujuan tunggal dengan menghentikan algoritma setelah jalur terpendek ke node tujuan yang telah ditentukan. Dalam penelitian ini, algoritma ini digunakan untuk menentukan rute terpendek (rute evakuasi darurat) antara satu bangunan dan titik berkumpul terdekat. Jika node mewakili bangunan dan titik berkumpul dan garis mewakili jarak dan waktu antara bangunan dan titik berkumpul yang dihubungkan oleh jalan (garis) secara langsung. Gambar 8. Contoh pencarian rute dengan menggunakan Algoritma Dijkstra (Sumber: Wikipedia.com) Algoritma Dijkstra akan menetapkan beberapa nilai jarak awal dan akan mencoba memperbaikinya secara bertahap. Langkah-langkah dari algoritma Dijkstra sendiri ialah sebagai berikut: 1. Tetapkan nilai jarak tentatif dari setiap node: set ke nol untuk node awal dan tak terhingga untuk semua node lainnya. 2. Tetapkan node awal sebagai node terkini. Tandai semua node lain yang belum dikunjungi. Buat satu set node-node yang belum dikunjungi sebagai himpunan yang belum dikunjungi. 3. Untuk node terkini, pertimbangkan semua node tetangganya dan hitung jarak tentatifnya. Bandingkan jarak tentatif yang baru dihitung dengan nilai yang ditetapkan saat ini dan tetapkan yang lebih kecil. Misalnya, jika node terkini bernilai 3 ditandai dengan jarak 9, dan garis yang menghubungkannya dengan node tetangga 6 memiliki panjang 2, maka jarak ke 6 (sampai 3) akan menjadi = 11. Jika sebelumnya node 6 ditandai dengan jarak yang lebih besar dari 11 maka ubah menjadi 11. Jika tidak, simpan nilai saat ini..

8 4. Ketika telah selesai menentukan node lanjutan dari node terkini, tandai node lanjutan tersebut menjadi node terkunjungi dan hapus node tersebut dari himpunan node belum terkunjungi. 5. Jika node tujuan telah ditandai dikunjungi (saat merencanakan rute antara dua node tertentu) atau jika jarak tentatif terkecil diantara node dalam himpunan yang tidak dikunjungi tidak terhingga (saat merencanakan traversal yang lengkap; terjadi bila tidak ada hubungan antara node awal dan node yang belum dikunjungi), maka berhenti. Sebuah algoritma telah selesai. 6. Jika tidak, pilih node yang belum dikunjungi yang ditandai dengan jarak tentatif terkecil, tetapkan sebagai "node terkini" baru, dan kembali ke langkah Uji Cooper Uji Cooper adalah tes kebugaran fisik dan dirancang oleh Kenneth H. Cooper pada tahun 1968 untuk penggunaan militer AS (Cooper, 1969). Tes ini dimaksudkan untuk mengukur kondisi orang yang menjalani tes tersebut dan oleh karena itu seharusnya dijalankan dengan kecepatan tetap. Uji Cooper yang digunakan adalah 2,4 km lari dengan interpretasi tabel hasil ditunjukkan pada Tabel 2. Hasilnya akan digunakan sebagai kategori umur untuk parameter waktu kedatangan dalam analisis jaringan. Kategori umur dibagi menjadi 6 kelas (kategori usia A hingga kategori usia F) dan untuk kebutuhan perhitungan, nilai yang digunakan adalah kategori wanita dengan klasifikasi very poor karena untuk evakuasi darurat diasumsikan bahwa waktu kedatangan menunjukkan waktu terakhir untuk mengevakuasi orang sehingga digunakan klasifikasi terlama dan untuk faktor keamanan. Tabel 2. Cooper 2.4 km uji coba dengan unit menit dan detik (Sumber: Klasifikasi A (.... ) (13-19 y.o) B (.... ) (20-29 y.o) Pria C (.... ) (30-39 y.o) D (.... ) (40-49 y.o) E (.... ) (50-59 y.o) F (.... ) (>60 y.o) Very Poor Poor Average Good Very Good > > > > > Excellent > <08 37 <09 45 <10 30 <11 00 <11 15 Very Poor Poor Average Good Very Good Excellent > <11 50 > <12 30 <10 00 Wanita > <13 00 > <13 45 > <14 40 > <16 30 Untuk kebutuhan perhitungan, nilai waktu pada Tabel 2 harus diubah menjadi kecepatan dengan menggunakan persamaan (2) dan hasil kecepatan setiap kategori umur ditunjukkan pada Tabel 3. (2) Dimana c = kecepatan (meter / menit), d = jarak (2,4 km = 2400 meter), dan t = waktu (menit). Tabel 3. Hasil kecepatan setiap kategori umur Kategori Usia A B C D E F Waktu (..'..")

9 Waktu dalam desimal kecepatan (m/min) HASIL DAN PEMBAHASAN LiDAR Data Processing Result Hasil Klasifikasi Point Clouds Pada awalnya data point cloud LiDAR terklasifikasikan pada kelas default, baru selanjutnya diklasifikasikan menjadi kelas ground dan bangunan. Kelas default dari area penelitian ditunjukan pada Gambar 9. Gambar 9. Data LiDAR area studi dalam kelas default Hasil dari Pemodelan Bangunan 3D Setelah dilakukan klasifikaasi semi otomatis dan manual, dilakukan pemodelan bangunan 3D dengan menggunakan kelas bangunan. Input parameter untuk pemodelan 3D tergantung pada jenis bangunan pada area penelitian dan hasil dari pemodelan bangunan 3D (vektorisasi bangunan) ditunjukan pada Gambar 10. Gambar 10. Hasil dari vektorisasi bangunnan Tidak seluruh hasil vektorisasi bangunan pada Gambar 10 serupa dengan bentuk asli bangunan tersebut, maka harus dilakukan pemeriksaan secara manual dari masing-masing bangunan dengan manual checking. Kesalahan tersebut dapat dikarenakan oleh densitas titik yang kurang memadai, klasifikasi titik yang tidak cukup detail, parameter yang tidak sesuai dengan karakteristik bangunan, dan lain lain. Pemeriksaan secara manual dapat dilakukan dengan bantuan ortofoto untuk interpretasi bangunan. Proses dari pemeriksaan manual dapat dilihat pada Gambar 11.

10 Gambar 11. Proses Manual checking dari model bangunan Pembuatan Digital Terrain Model (DTM) Sebelum pembuatan DTM, produksi Triangulated Irregular Network (TIN) harus dilakukan sebelumnya. TIN dibentuk untuk menghubungkan data point clouds pada kelas ground, point clouds tersebut membentuk jaringan segi tiga untuk merepresentasikan permukaan rupa bumi (terrain). Hasil dari pembuatan TIN ditampilkan pada Gambar 12. Gambar 12. Hasil pembuatan TIN Hasil dari Tumpang Tindih DTM, Model Bangunan 3D, dan Ortofoto Hasil dari pembuatan DTM akan digunakan untuk proses tumpang tindih antara ortofoto dan model bangunan 3D. Tujuannya adalah untuk mengetahui kesesuaian antara model permukaan (terrain) dan model bangunan.hasil dari tumpang tindih data dapat dilihat pada Gambar 13 dan Gambar 14.

11 Gambar 13. Hasil dari tumpang tindih antara model bangunan dan model permukaan Gambar 14. Hasil dari tumpang tindih data DTM, ortofoto, dan model bangunan 3D 3.2 Hasil Pemodelan Rute Evakuasi Darurat Hasil akhir dari pemodelan bangunan 3D terdiri dari 4 layer yaitu titik, polyline, poligon, dan multipatch seperti yang ditampilkan pada Gambar 15. Namun untuk pemodelan rute, layer yang digunakan adalah multipatch karena menunjukan dimensi padat dari model bangunan 3D. Layer tersebut digabungkan dengan data DTM, data jalan, kategori usia, dan data titik kumpul terdekat untuk digunakan pada pemodelan rute evakuasi darurat. Pemodelan rute evakuasi darurat menggunakan network analyst tool dengan metode Dijkstra Algoritma. Pada penelitian ini, pemodelan rute evakuasi didasari oleh parameter jarak (panjang) dan waktu yang berasal dari kategori usia. Hasil dari pemodelan rute evakuasi adalah rute evakuasi dan waktu kedatangan di titik berkumpul, hasil dari rute evakuasi sendiri dapat dilihat pada Gambar 16. Pada satu rute yang sama dapat dihasilkan waktu kedatangan yang berbeda-beda seperti yang ditunjukan pada Tabel 4 dari rute pada Gambar 16.

12 (a) Model bangunan dengan layer lengkap (b) Model bangunan dengan multipatch layer Gambar 15. Model bangunan dengan layer (a) lengkap dan (b) multipatch (a) Hasil rute evakuasi dalam visualisasi 2D

13 (b) Hasil rute evakuasi dalam visualisasi 3D Gambar 16. Hasil rute evakuasi dalam visuaslisasi (a) 2D and (b) 3D Tabel 4. Waktu kedatangan berdasarkan kategori usia pada rute yang sama Kategori Usia Waktu kedatangan Akumulasi waktu (min) 3.3 A (13-19 tahun) B (20-29 tahun) C (30-39 tahun) D (40-49 tahun) E (50-59 tahun) F (>60 tahun) 08:05:43 AM 08:05:52 AM 08:06:01 AM 08:06:11 AM 08:06:20 AM 08:06:29 AM Pembahasan Pada penelitian ini, densitas point clouds yang digunakan adalah 2 points/m2, sedangkan untuk pemodelan bangunan 3D yang lebih detail atau pemodelan vegetasi densitas yang harus digunakan berada pada rentang 56 points/m2 (Vosselman dan Dijkman, 2001). Hal tersebut dikarenakan semakin rapat densitas point clouds yang digunakan maka semakin detail model yang dapat direpresentasikan sesuai dengan model asli di lapangan, terlebih dalam mengidentifikasi batas di sekitar bangunan atau vegetasi tinggi. Untuk menjaga kualitas dari hasil pemodelan, harus digunakan data tambahan yang dapat memudahkan dalam interpretasi objek seperti ortofoto dari daerah penelitian. Dalam pemodelan bangunan 3D terdapat kesulitan dalam pemodelan atap berbentuk kurva karena belum ada persamaan yang cukup baik dalam mendeskripsikan atap kurva terutama di area perkotaan, terkecuali geometri standar seperti silinder, kerucut, dan bola. Hingga sekarang belum ada solusi otomatis yang dapat digunakan, sehingga solusi satu-satunya adalah melakukan pemeriksaan secara manual (HUANG, 2013). Penggunaan data jalan harus sangat memerhatikan penggunaan segmen (arc). Hal tersebut dikarenakan node harus bertemu lagi dengan node lainnya dan tidak boleh ada percabangan yang tidak menggunakan node sebagai penghubung antar segmen karena hal tersebut dapat berdampak pada rute yang dihasilkan serta waktu kedatangan. Segmen sendiri terdiri dari 2 node yaitu pada bagian awal segmen dan akhir segmen. Setiap segmen memiliki nilai panjang masing-masing dan akan memengaruhi dalam perhitungan jarak total dari rute serta waktu kedatangan. Diasumsikan bahwa setiap bangunan telah memiliki titik berkumpul terdekat dengan radius 100 meter, namun bukan berarti bangunan yang memiliki lebih dari satu titik berkumpul memiliki rute yang harus melalui seluruh titik berkumpul tersebut, Algoritma Dijkstra dapat digunakan untuk mencari rute terpendek dari satu titik ke satu tujuan yang telah ditentukan dengan menghentikan algoritma ketika titik tujuan telah dilalui. Pemodelan rute evakuasi ini merupakan kelanjutan dari Search and Rescue Procedures (SRP). Prosedur pencarian dan penyelamatan didefinisikan sebagai rute optimum untuk jumlah minimum responden utama yang mencari dan menjelajahi semua titik di dalam gedung untuk menyelamatkan korban dalam waktu tercepat (Tashakkori, 2016). Jadi setelah berhasil keluar dari gedung, langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah pergi ke tempat aman terdekat seperti titik berkumpul. Hasil kedatangan waktu dalam satu rute akan berbeda di setiap kategori umur karena masing-masing kategori umur memiliki kecepatan sendiri, hasilnya dapat dijadikan pertimbangan pengambilan keputusan dimana titik berkumpul yang cukup sesuai untuk kondisi saat bencana terjadi.

14 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Data LiDAR dan ortofoto dapat digunakan dalam pemodelan bangunan 3D, untuk daerah perkotaan densitas point clouds sebaiknya dalam rentang 5-6 points/m2 dan pada penelitian ini digunakan densitas point clouds 2-3 point/m2. Hal tersebut yang menyebabkan pemodelan atap berbentuk kurva cukup sulit dilakukan, tidak hanya karena densitas titik yang tidak cukup rapat, namun juga karena belum ada model matematika yang dapat mendeskripsikan bentuk atap tersebut dengan baik. Disamping itu pemodelan bangunan 3D pada daerah penelitian ini dapat dikatakan cukup baik dikarenakan tata letak bangunan di daerah penelitian yang tidak terlalu padat, terstruktur, dan cukup besar. Sehingga dengan densitas point clouds 2 points/m2 dan bantuan ortofoto sudah cukup untuk memodelkan bangunan 3D pada daerah penelitian. Hasil dari pemodelan bangunan 3D digabungkan dengan data DTM, titik berkumpul, kategori usia, dan data jalan dari daerah penelitian. Hasil pemodelan rute evakuasi dapat dikatakan sebagai lanjutan dari SRP. Pemodelan rute pada penelitian ini menggunakan Algoritma Dijkstra, sehingga rute hasil pemodelan merupakan jalur terpendek dari bangunan menuju tempat aman seperti titik berkumpul. Jalur terpendek dipercaya dapat digunakan untuk membantu para korban mengevakuasi diri mereka masing-masing. Hasil dari model rute evakuasi sendiri ialah rute itu sendiri dan waktu keatangan. Waktu kedatangan untuk satu rute yang sama akan berbeda-beda tergantung kategori usia karena setiap kategori usia memiliki kecepatan yang berbeda-beda seperti yang ditunjukan oleh Tabel Saran Untuk mendapatkan hasil pemodelan bangunan 3D yang lebih detail terutama di daerah perkotaan disarankan menggunakan densitas point clouds 5-6 points/m2. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan resolusi, mempermudah konstruksi model, dan lebih merepresentasikan model bangunan 3D dengan bentuk asli di lapangan. Data tambahan juga dapat membantu dalam melakukan pemodelan yang lebih baik, tidak hanya ortofoto, namun juga dapat berupa peta 2D seperti peta kadaster, peta topografi atau data lainnya. Untuk data ortofoto, semakin besar resolusi dari data ortofoto maka semakin memudahkan dalam melakukan interpretasi objek. Untuk melengkapi pemodelan rute, Search and Rescue Procedures (SRP) atau model evakuasi dalam bangunan lainnya disarankan dilakukan sehingga dapat menjadi satu kesatuan model evakuasi yang utuh. Rute evakuasi dalam bangunan membutuhkan data lengkap terkait tangga, lantai bangunan, ruangan, jendela, and aspek lainnya di dalam bangunan dan koordinat presisi dari setiap objek tersebut. Maka dari itu Level of Detail dari model evakuasi dalam gedung adalah LoD 4. Sehingga, hasil dari pemodelan rute dapat akurat, terpercaya, dan dapat digunakan untuk menjadi salah satu pertimbangan terkait aspek mitigasi. 4.3 DAFTAR PUSTAKA Center, N. C. (2012). Lidar 101: An Introduction to Lidar Technology, Data, and Applications. Charleston: SC: NOAA Coastal Services Center. Cooper, Kenneth H. (1969). Aerobics. Bantam Books. ISBN FEMA. (2017). What is Mitigation?. Accessed at August, 12 th International Hurricane Research Center. (-). LiDAR Techology. LIDAR.ihrc.fiu.edu. Accessed at January, 20th Kennie, T.J., and Petrie, G. (1990). Engineering Survey Technology. Blackie, Glasgow. Mehlhorn, Kurt and Sanders, Peter (2008). Algorithms and Data Structures: The Basic Toolbox. Springer. Tashakkori, H., A. Rajabifard, and M. Kalantari. (2016). Facilitating the 3D Indoor Search and Rescue Problem: An Overview of the Problem and an Ant Colony Solution Approach. ISPRS Annals of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume IV-2/W1, th 3D Geoinfo Conference, October Athens, Greece. Tashakkori, H., A. Rajabifard, and M. Kalantari. (2015). A New 3D Indoor/ Outdoor Spatial Model for Indoor Emergency Response Facilitation. Building and Environment, 89,

15 Vosselman, G. (1999). Building Reconstruction using Planar Faces in Very High Density Height Data. International Archives of Photogrammetry and Remote Sensing, BIOGRAFI PENULIS Debby Nurliza Ulhaq Penulis lahir di Bandung, 10 Desember 1996 dan merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Pada tahun 2013, penulis lulus dari SMAN 11 Bandung dan pada tahun 2017 penulis menjadi lulusan Teknik Geodesi dan Geomatika Institut Teknologi Bandung. Penulis merupakan Ketua Divisi Hubungan Alumni Badan Pengurus Harian Ikatan Mahasiswa Geodesi (IMG)-ITB periode dan merupakan Ketua Divisi Acara pada Rangkaian Acara Wisuda IMG-ITB pada tahun Ketut Wikantika Ketut Wikantika adalah peneliti senior, Profesor dalam bidang Penginderaan Jauh Lingkungan di Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung (ITB). Bidang penelitiannya adalah pendekatan-pendekatan geospasial termasuk aplikasi penginderaan jauh untuk demografi, pertanian, kehutanan, tutupan lahan dan tata guna lahan serta perubahannya, biogeografi dan biodiversiti termasuk kebencanaan. Ketut Wikantika sudah melakukan kerjasama dengan institusi luar negeri seperti Universitas Chiba, Universitas Tottori, Universitas Nagoya, Universitas Kochi, JIRCAS Jepang, Universitas Oklahoma, AIT, Universitas Salzburg, UTM Malaysia, serta Pennsylvania State University. Kecintaannya terhadap bidang penelitian membuatnya menjadi pendiri Forum Peneliti Indonesia Muda (ForMIND).

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik 83 BAB VII ANALISIS 7.1 Analisis Komponen Airborne LIDAR Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik dengan memanfaatkan sinar laser yang ditembakkan dari wahana

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN MODEL DAN PARAMETER UNTUK ESTIMASI KELAPA SAWIT MENGGUNAKAN DATA LIGHT DETECTION AND RANGING

PEMBENTUKAN MODEL DAN PARAMETER UNTUK ESTIMASI KELAPA SAWIT MENGGUNAKAN DATA LIGHT DETECTION AND RANGING PEMBENTUKAN MODEL DAN PARAMETER UNTUK ESTIMASI KELAPA SAWIT MENGGUNAKAN DATA LIGHT DETECTION AND RANGING (LIDAR) (STUDI KASUS: PERKEBUNAN KELAPA SAWIT, SUMATRA SELATAN) TUGAS AKHIR Karya ilmiah yang diajukan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TEKNOLOGI LIGHT DETECTION AND RANGING (LIDAR) DALAM PEMODELAN BANJIR AKIBAT LUAPAN AIR SUNGAI

PEMANFAATAN TEKNOLOGI LIGHT DETECTION AND RANGING (LIDAR) DALAM PEMODELAN BANJIR AKIBAT LUAPAN AIR SUNGAI PEMANFAATAN TEKNOLOGI LIGHT DETECTION AND RANGING (LIDAR) DALAM PEMODELAN BANJIR AKIBAT LUAPAN AIR SUNGAI Nur Asriyah1, Agung Budi Harto1,2, Ketut Wikantika1,2 1 Kelompok Keilmuan Penginderaan Jauh dan

Lebih terperinci

ANALISIS KETINGGIAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL PADA DATA LiDAR (LIGHT DETECTION AND RANGING) (Studi Kasus: Sei Mangkei, Sumatera Utara)

ANALISIS KETINGGIAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL PADA DATA LiDAR (LIGHT DETECTION AND RANGING) (Studi Kasus: Sei Mangkei, Sumatera Utara) Geoid Vol. No., Agustus 7 (8-89) ANALISIS KETINGGIAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL PADA DATA LiDAR (LIGHT DETECTION AND RANGING) Agung Budi Cahyono, Novita Duantari Departemen Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang memiliki daerah pegunungan yang cukup luas. Tingginya tingkat curah hujan pada sebagian besar area pegunungan di Indonesia dapat menyebabkan

Lebih terperinci

BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR

BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR 51 BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR 5.1 Data Airborne LIDAR Data yang dihasilkan dari suatu survey airborne LIDAR dapat dibagi menjadi tiga karena terdapat tiga instrumen yang bekerja secara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan teknologi penginderaan jauh kini semakin berkembang sangat pesat dari waktu ke waktu, hal ini ditunjukan oleh aplikasi penggunaan teknologi penginderaan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 4 No. 4 Desember 2009 : 154-159 PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Susanto *), Atriyon Julzarika

Lebih terperinci

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA 3.1 Kebutuhan Peta dan Informasi Tinggi yang Teliti dalam Pekerjaan Eksplorasi Tambang Batubara Seperti yang telah dijelaskan dalam BAB

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN ANALISIS

BAB 4 HASIL DAN ANALISIS BAB 4 HASIL DAN ANALISIS 4.1 Analisis Hasil Proses Pengolahan Data LiDAR Setelah seluruh point clouds terklasifikasi ke dalam kelas yang sesuai. Maka dapat dilihat pada gambar di bawah ini, point clouds

Lebih terperinci

BAB 3 LIDAR DAN PENDETEKSIAN POHON

BAB 3 LIDAR DAN PENDETEKSIAN POHON BAB 3 LIDAR DAN PENDETEKSIAN POHON 3.1 Data dan Area Studi Dalam Tugas Akhir ini data yang digunakan didapat dari PT McElhanney Indonesia. Area tersebut merupakan area perkebunan kelapa sawit yang berada

Lebih terperinci

BAB VI TINJAUAN MENGENAI APLIKASI AIRBORNE LIDAR

BAB VI TINJAUAN MENGENAI APLIKASI AIRBORNE LIDAR 63 BAB VI TINJAUAN MENGENAI APLIKASI AIRBORNE LIDAR Survey airborne LIDAR terdiri dari beberapa komponen alat, yaitu GPS, INS, dan laser scanner, yang digunakan dalam wahana terbang, seperti pesawat terbang

Lebih terperinci

Gambar 4.1. Kemampuan sensor LIDAR untuk memisahkan antara permukaan tanah dengan vegetasi di atasanya [Karvak, 2007]

Gambar 4.1. Kemampuan sensor LIDAR untuk memisahkan antara permukaan tanah dengan vegetasi di atasanya [Karvak, 2007] BAB IV ANALISIS 4.1. Analisis Data LIDAR 4.1.1. Analisis Kualitas Data LIDAR Data LIDAR memiliki akurasi yang cukup tinggi (akurasi vertikal = 15-20 cm, akurasi horizontal = 0.3-1 m), dan resolusi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah yang sangat luas, kekayaan alam yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah yang sangat luas, kekayaan alam yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah yang sangat luas, kekayaan alam yang berlimpah, serta ditempati lebih dari 240 juta penduduk. Pembangunan di segala

Lebih terperinci

Pengukuran Kekotaan. Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng. Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering

Pengukuran Kekotaan. Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng. Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering Pengukuran Kekotaan Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering Contoh peta bidang militer peta topografi peta rute pelayaran peta laut

Lebih terperinci

BAB 2 TEKNOLOGI LIDAR

BAB 2 TEKNOLOGI LIDAR BAB 2 TEKNOLOGI LIDAR 2.1 Light Detection and Ranging (LiDAR) LiDAR merupakan sistem penginderaan jauh aktif menggunakan sinar laser yang dapat menghasilkan informasi mengenai karakteristik topografi permukaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat ini peta telah menjadi salah satu kebutuhan utama bagi masyarakat. Peta memuat informasi spasial yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi suatu objek di

Lebih terperinci

INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN

INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN Informasi geografis merupakan informasi kenampakan permukaan bumi. Sehingga informasi tersebut mengandung unsur posisi geografis, hubungan keruangan, atribut

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peta menggambarkan data spasial (keruangan) yang merupakan data yang berkenaan dengan lokasi atau atribut dari suatu objek atau fenomena di permukaan

Lebih terperinci

Geographic Information System (GIS) Arna Fariza TI PENS. Apakah GIS itu?

Geographic Information System (GIS) Arna Fariza TI PENS. Apakah GIS itu? Geographic Information System (GIS) Arna Fariza TI PENS Apakah GIS itu? Geographic Information Systems (GIS) adalah teknologi baru yang mengkombinasikan manajememen basis data dengan peta digital dan grafis

Lebih terperinci

BAB III PENGOLAHAN DATA Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini.

BAB III PENGOLAHAN DATA Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini. BAB III PENGOLAHAN DATA 3.1. Pengolahan Data LIDAR 3.1.1. Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini. Sistem LIDAR Jarak Laser Posisi

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) Remote Sensing didefinisikan sebagai ilmu untuk mendapatkan informasi mengenai obyek-obyek pada permukaan bumi dengan analisis data yang

Lebih terperinci

Tujuan. Model Data pada SIG. Arna fariza. Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 4/7/2016

Tujuan. Model Data pada SIG. Arna fariza. Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 4/7/2016 Model Data pada SIG Arna fariza Politeknik elektronika negeri surabaya Tujuan Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 1 Materi Sumber data spasial Klasifikasi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

BAB 3. Akuisisi dan Pengolahan Data

BAB 3. Akuisisi dan Pengolahan Data BAB 3 Akuisisi dan Pengolahan Data 3.1 Peralatan yang digunakan Pada pengukuran TLS, selain laser scanner itu sendiri, receiver GPS tipe geodetik juga digunakan untuk penentuan posisi titik referensi yang

Lebih terperinci

Pengumpulan dan Integrasi Data. Politeknik elektronika negeri surabaya. Tujuan

Pengumpulan dan Integrasi Data. Politeknik elektronika negeri surabaya. Tujuan Pengumpulan dan Integrasi Data Arna fariza Politeknik elektronika negeri surabaya Tujuan Mengetahui sumber data dari GIS dan non GIS data Mengetahui bagaimana memperoleh data raster dan vektor Mengetahui

Lebih terperinci

3/17/2011. Sistem Informasi Geografis

3/17/2011. Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis Pendahuluan Data yang mengendalikan SIG adalah data spasial. Setiap fungsionalitasyang g membuat SIG dibedakan dari lingkungan analisis lainnya adalah karena berakar pada keaslian

Lebih terperinci

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk

Lebih terperinci

PEMBUATAN MODEL TIGA DIMENSI (3D) SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK VISUALISASI WILAYAH KOTA

PEMBUATAN MODEL TIGA DIMENSI (3D) SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK VISUALISASI WILAYAH KOTA Model 3D CGIS untuk Visualisasi Wilayah Kota Silvester Sari Sai PEMBUATAN MODEL TIGA DIMENSI (3D) SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK VISUALISASI WILAYAH KOTA Silvester Sari Sai Dosen Teknik Geodesi

Lebih terperinci

Defry Mulia

Defry Mulia STUDI CLOSE RANGE PHOTOGRAMMETRY DALAM PENENTUAN VOLUME SUATU OBJEK Defry Mulia 35 09100011 PROGRAM STUDI TEKNIK GEOMATIKA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

Lebih terperinci

PENENTUAN RUTE TERPENDEK DENGAN METODE FLOYD WARSHALL PADA PETA DIGITAL UNIVERSITAS SUMATERA UTARA SKRIPSI DHYMAS EKO PRASETYO

PENENTUAN RUTE TERPENDEK DENGAN METODE FLOYD WARSHALL PADA PETA DIGITAL UNIVERSITAS SUMATERA UTARA SKRIPSI DHYMAS EKO PRASETYO PENENTUAN RUTE TERPENDEK DENGAN METODE FLOYD WARSHALL PADA PETA DIGITAL UNIVERSITAS SUMATERA UTARA SKRIPSI DHYMAS EKO PRASETYO 091402023 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI INFORMASI FAKULTAS ILMU KOMPUTER DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan 13.466 pulau yang sudah terdaftar dan berkoordinat (BIG, 2014). Indonesia memiliki luas wilayah kurang lebih

Lebih terperinci

Sumber Data, Masukan Data, dan Kualitas Data. by: Ahmad Syauqi Ahsan

Sumber Data, Masukan Data, dan Kualitas Data. by: Ahmad Syauqi Ahsan Sumber Data, Masukan Data, dan Kualitas Data by: Ahmad Syauqi Ahsan Data pada SIG Mendapatkan data adalah bagian yang sangat penting pada setiap proyek SIG Yang harus diketahui: Tipe-tipe data yang dapat

Lebih terperinci

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR III.1 Model Tinggi Digital (Digital Terrain Model-DTM) Model Tinggi Digital (Digital Terrain Model-DTM) atau sering juga disebut DEM, merupakan

Lebih terperinci

TEKNOLOGI RIMS (RAPID IMAGING AND MAPPING SYSTEMS)

TEKNOLOGI RIMS (RAPID IMAGING AND MAPPING SYSTEMS) TEKNOLOGI RIMS (RAPID IMAGING AND MAPPING SYSTEMS) MEMILIKI KEUNGGULAN: 1. LEBIH DETAIL, TAJAM, JELAS 2. PRODUKSI SKALA BESAR (1/1000) 3. BEBAS AWAN 4. MELAYANI LUAS AREA 5Ha 5000Ha 5. PROSES LEBIH CEPAT

Lebih terperinci

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS UNTUK SURVEI TERUMBU KARANG. Winardi Puslit Oseanografi - LIPI

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS UNTUK SURVEI TERUMBU KARANG. Winardi Puslit Oseanografi - LIPI PENENTUAN POSISI DENGAN GPS UNTUK SURVEI TERUMBU KARANG Winardi Puslit Oseanografi - LIPI Sekilas GPS dan Kegunaannya GPS adalah singkatan dari Global Positioning System yang merupakan sistem untuk menentukan

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

MILIK UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

MILIK UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Saat ini, teknologi komputer menjadi alat bantu yang sangat bermanfaat terutama untuk melakukan pekerjaan dalam hal kalkulasi, pendataan, penyimpanan berkas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pemantauan dan pemeliharaan infrastruktur khususnya bangunan dapat dilakukan dengan bentuk model tiga dimensi (3D) yang diukur dengan Terrestrial Laser Scanner (TLS).

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS 4.1 Analisis Prinsip Penggunaan dan Pengolahan TLS 4.2 Analisis Penggunaan TLS Untuk Pemantauan Longsoran

BAB 4 ANALISIS 4.1 Analisis Prinsip Penggunaan dan Pengolahan TLS 4.2 Analisis Penggunaan TLS Untuk Pemantauan Longsoran BAB 4 ANALISIS 4.1 Analisis Prinsip Penggunaan dan Pengolahan TLS Dasar dari prinsip kerja TLS sudah dijelaskan di Bab 3, pada pengambilan data dengan TLS, setiap satu kali pengambilan data pada satu tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan akan data batimetri semakin meningkat seiring dengan kegunaan data tersebut untuk berbagai aplikasi, seperti perencanaan konstruksi lepas pantai, aplikasi

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN 16/09/2012 DATA Data adalah komponen yang amat penting dalam GIS SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN Kelas Agrotreknologi (2 0 sks) Dwi Priyo Ariyanto Data geografik dan tabulasi data yang berhubungan akan

Lebih terperinci

Studi Perbandingan Total Station dan Terrestrial Laser Scanner dalam Penentuan Volume Obyek Beraturan dan Tidak Beraturan

Studi Perbandingan Total Station dan Terrestrial Laser Scanner dalam Penentuan Volume Obyek Beraturan dan Tidak Beraturan A723 Studi Perbandingan Total Station dan Terrestrial Laser Scanner dalam Penentuan Volume Obyek Beraturan dan Tidak Beraturan Reza Fajar Maulidin, Hepi Hapsari Handayani, Yusup Hendra Perkasa Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan akan data kebumian yang memberikan informasi geospasial terus berkembang. Real world yang menjadi obyek pemetaan juga cepat mengalami perubahan. Penyediaan

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI ALGORITMA DIJKSTRA UNTUK PENCARIAN RUTE TERPENDEK MENUJU PELABUHAN BELAWAN BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI

IMPLEMENTASI ALGORITMA DIJKSTRA UNTUK PENCARIAN RUTE TERPENDEK MENUJU PELABUHAN BELAWAN BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI 1 IMPLEMENTASI ALGORITMA DIJKSTRA UNTUK PENCARIAN RUTE TERPENDEK MENUJU PELABUHAN BELAWAN BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI DEFI RAKHMAWATI 091421023 PROGRAM STUDI EKSTENSI S1 ILMU KOMPUTER FAKULTAS

Lebih terperinci

Penerapan Algoritma A* (A Star) Sebagai Solusi Pencarian Rute Terpendek Pada Maze

Penerapan Algoritma A* (A Star) Sebagai Solusi Pencarian Rute Terpendek Pada Maze Penerapan Algoritma A* (A Star) Sebagai Solusi Pencarian Rute Terpendek Pada Maze 1 Rakhmat Kurniawan. R., ST, M.Kom, 2 Yusuf Ramadhan Nasution, M.Kom Program Studi Ilmu Komputer, Fakultas Sains dan Teknologi

Lebih terperinci

BAB 2 STUDI REFERENSI

BAB 2 STUDI REFERENSI BAB 2 STUDI REFERENSI Bab ini berisi rangkuman hasil studi referensi yang telah dilakukan. Referensi- referensi tersebut berisi konsep dasar pengukuran 3dimensi menggunakan terrestrial laser scanner, dan

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI 2.1 Populasi Penduduk 2.2 Basis Data

BAB II DASAR TEORI 2.1 Populasi Penduduk 2.2 Basis Data BAB II DASAR TEORI 2.1 Populasi Penduduk Populasi adalah sekelompok orang, benda, atau hal yang menjadi sumber pengambilan sampel; sekumpulan yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 23 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilakukan pada bulan Mei hingga September 2010 dan mengambil lokasi di wilayah DAS Ciliwung Hulu, Bogor. Pengolahan data dan analisis

Lebih terperinci

TAHAPAN STUDI. Gambar 3-1 Kamera Nikon D5000

TAHAPAN STUDI. Gambar 3-1 Kamera Nikon D5000 BAB 3 TAHAPAN STUDI Dalam bab ini akan dibahas rangkaian prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini yang dimulai dari peralatan yang digunakan, proses kalibrasi kamera, uji coba, dan pengambilan data

Lebih terperinci

BAB 3 PENANGANAN JARINGAN KOMUNIKASI MULTIHOP TERKONFIGURASI SENDIRI UNTUK PAIRFORM-COMMUNICATION

BAB 3 PENANGANAN JARINGAN KOMUNIKASI MULTIHOP TERKONFIGURASI SENDIRI UNTUK PAIRFORM-COMMUNICATION BAB 3 PENANGANAN JARINGAN KOMUNIKASI MULTIHOP TERKONFIGURASI SENDIRI UNTUK PAIRFORM-COMMUNICATION Bab ini akan menjelaskan tentang penanganan jaringan untuk komunikasi antara dua sumber yang berpasangan.

Lebih terperinci

PRESENTASI TUGAS AKHIR

PRESENTASI TUGAS AKHIR PRESENTASI TUGAS AKHIR KAJIAN DEVIASI VERTIKAL ANTARA PETA TOPOGRAFI DENGAN DATA SITUASI ORIGINAL TAMBANG BATUBARA Oleh : Putra Nur Ariffianto Program Studi Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat kita lihat betapa kompleksnya persoalan persoalan dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. dapat kita lihat betapa kompleksnya persoalan persoalan dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Perkembangan teknologi komputer saat ini sangat pesat sekali, dampaknya dapat kita lihat betapa kompleksnya persoalan persoalan dalam kehidupan perkantoran, pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi informasi saat ini sudah semakin maju, hal ini juga berkaitan erat dengan perkembangan peta yang saat ini berbentuk digital. Peta permukaan bumi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fungsi topografi selain menunjukkan karakteristik permukaan (relief) suatu daerah, juga dapat digunakan untuk mempelajari data selain elevasi. Suatu karakteristik

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN MENGENAI SENSOR LASER

BAB IV TINJAUAN MENGENAI SENSOR LASER 41 BAB IV TINJAUAN MENGENAI SENSOR LASER 4.1 Laser Laser atau sinar laser adalah singkatan dari Light Amplification by Stimulated Emission of Radiation, yang berarti suatu berkas sinar yang diperkuat dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Geomatika adalah suatu kajian keilmuan dan rekayasa yang mengacu kepada pendekatan terpadu dari kegiatan mengukur, menganalisis, mengelola, menyimpan, dan menyajikan

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) 24/09/2012 10:58 Sistem (komputer) yang mampu mengelola informasi spasial (keruangan), memiliki kemampuan memasukan (entry), menyimpan

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Geographical Information System (GIS) Geographical Information System (GIS) yang dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai Sistem Informasi Geografis (SIG) didefenisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Gambar situasi adalah gambaran wilayah atau lokasi suatu kegiatan dalam bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan atribut (Basuki,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permukaan bumi yang tidak rata membuat para pengguna SIG (Sistem Informasi Geografis) ingin memodelkan berbagai macam model permukaan bumi. Pembuat peta memikirkan

Lebih terperinci

APLIKASI CLOSE RANGE PHOTOGRAMMETRY DALAM PEMETAAN BANGUN REKAYASA DENGAN KAMERA DIJITAL NON METRIK TERKALIBRASI. Oleh:

APLIKASI CLOSE RANGE PHOTOGRAMMETRY DALAM PEMETAAN BANGUN REKAYASA DENGAN KAMERA DIJITAL NON METRIK TERKALIBRASI. Oleh: APLIKASI CLOSE RANGE PHOTOGRAMMETRY DALAM PEMETAAN BANGUN REKAYASA DENGAN KAMERA DIJITAL NON METRIK TERKALIBRASI TUGAS AKHIR Karya Tulis Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik

Lebih terperinci

3.3.2 Perencanaan Jalur Terbang Perencanaan Pemotretan Condong Perencanaan Penerbangan Tahap Akuisisi Data...

3.3.2 Perencanaan Jalur Terbang Perencanaan Pemotretan Condong Perencanaan Penerbangan Tahap Akuisisi Data... DAFTAR ISI 1. BAB I. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Masalah... 3 1.3 Pertanyaan Penelitian... 4 1.4 Tujuan Penelitian... 4 1.5 Manfaat Penelitian... 4 2. BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 2, (2017) ISSN: ( Print) A-534

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 2, (2017) ISSN: ( Print) A-534 JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 2, (2017) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) A-534 Rancang Bangun Sistem Navigasi Indoor Berbasis Integrasi Symbolik Location Model dan Wifi Based Positioning System Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Perkembangan teknologi yang semakin modern belakangan ini membuat teknologi survei dan pemetaan akan kebutuhan tentang data kebumian yang dapat memberikan suatu informasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a) Purwadhi (1994) dalam Husein (2006) menyatakan: perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), dan data, serta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a) Purwadhi (1994) dalam Husein (2006) menyatakan: perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), dan data, serta BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Informasi Geografis (SIG) 2.1.1 Pengertian Sistem Informasi Geografis Ada beberapa pengertian dari sistem informasi geografis, diantaranya yaitu: a) Purwadhi (1994) dalam

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) Sistem Informasi Geografis atau disingkat SIG dalam bahasa Inggris Geographic Information System (disingkat GIS) merupakan sistem informasi

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI A. MODEL DATA SPASIAL Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. a. Model Data Vektor

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Januari 2017

Jurnal Geodesi Undip Januari 2017 ANALISIS AKURASI TERHADAP PENGGUNAAN DATA POINT CLOUDS DARI FOTO UDARA DAN LAS LIDAR BERBASIS METODE PENAPISAN SLOPE BASED FILTERING DAN ALGORITMA MACRO TERRASOLID Dani Nur Martiana, Yudo Prasetyo, Arwan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang PERANGKAT LUNAK PENCARIAN RUTE TERPENDEK DENGAN MENGGUNAKAN METODE PEMROGRAMAN DINAMIS (FLOYD WARSHALL) Ulil Hamida Program Studi Sistem Informasi, STMI Jakarta ulil-h@kemenperin.go.id ABSTRAK Pencarian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sistem informasi adalah suatu sistem manusia dan mesin yang terpadu untuk menyajikan informasi guna mendukung fungsi operasi, manajemen, dan pengambilan keputusan. Tujuan dari sistem

Lebih terperinci

Gambar 7. Lokasi Penelitian

Gambar 7. Lokasi Penelitian III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6 56'49''-7 45'00'' Lintang Selatan

Lebih terperinci

Sistem Navigasi Indoor Menggunakan Sinyal Wi-fi dan Kompas Digital Berbasis Integrasi dengan Smartphone untuk Studi Kasus pada Gedung Bertingkat

Sistem Navigasi Indoor Menggunakan Sinyal Wi-fi dan Kompas Digital Berbasis Integrasi dengan Smartphone untuk Studi Kasus pada Gedung Bertingkat Sistem Navigasi Indoor Menggunakan Sinyal Wi-fi dan Kompas Digital Berbasis Integrasi dengan Smartphone untuk Studi Kasus pada Gedung Bertingkat A448 Alifa Ridho Musthafa, R.V. Hari Ginardi, dan F.X. Arunanto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Data spasial sangat dibutuhkan untuk menyediakan informasi tentang kebumian. Untuk memenuhi data spasial yang baik dan teliti, maka diperlukan suatu metode yang efektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Manusia hidup di bumi yang merupakan dunia 3D. Para peneliti dan insinyur kebumian telah lama mencoba membuat tampilan grafis tentang aspek spasial 3D dari dunia nyata

Lebih terperinci

Model Arus Jaringan. Riset Operasi TIP FTP UB Mas ud Effendi

Model Arus Jaringan. Riset Operasi TIP FTP UB Mas ud Effendi Model Arus Jaringan Riset Operasi TIP FTP UB Mas ud Effendi 1 Pokok Bahasan Masalah rute terpendek (The Shortest Route Problem) Masalah rentang pohon minimal (The Minimal Spanning Tree Problem) Masalah

Lebih terperinci

1. Pengantar Teori Graph

1. Pengantar Teori Graph 1. Pengantar Teori Graph Oleh : Ade Nurhopipah Pokok Bahasan : 1. Graph, Digraph dan Network 2. Klasifikasi Masalah 3. Pencarian Solusi Sumber : Aldous, Joan M.,Wilson, Robin J. 2004. Graph and Applications.

Lebih terperinci

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL Oleh : Syafril Ramadhon ABSTRAK Ketelitian data Global Positioning Systems (GPS) dapat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Alur Penelitian Pengambilan Data Koreksi Variasi Harian Koreksi IGRF Anomali magnet Total Pemisahan Anomali Magnet Total Anomali Regional menggunakan Metode Trend Surface

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan penulis adalah metode penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan penulis adalah metode penelitian BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode dan desain penelitian Metode penelitian yang digunakan penulis adalah metode penelitian deskriptif analitis. Penelitian geomagnet ini dilakukan bertujuan untuk mendapatkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Metode dan Desain Penelitian Data geomagnet yang dihasilkan dari proses akusisi data di lapangan merupakan data magnetik bumi yang dipengaruhi oleh banyak hal. Setidaknya

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Google Maps, travelling salesman problem, pencarian rute, Branch and Bound. vi Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Kata kunci: Google Maps, travelling salesman problem, pencarian rute, Branch and Bound. vi Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Google Maps adalah salah satu aplikasi yang dapat mengetahui pemetaan jalan, kondisi lalu lintas, dan penelusuran rute, jarak tempuh dan waktu tempuh ke tempat yang hendak kita tuju. Namun dengan

Lebih terperinci

Perbandingan Penentuan Volume Obyek Menggunakan Metode Close Range Photogrammetry- Syarat Kesegarisan dan Pemetaan Teristris

Perbandingan Penentuan Volume Obyek Menggunakan Metode Close Range Photogrammetry- Syarat Kesegarisan dan Pemetaan Teristris Perbandingan Penentuan Volume Obyek Menggunakan Metode Close Range Photogrammetry- Syarat Kesegarisan dan Pemetaan Teristris DISUSUN OLEH : Arif Nor Hidayat 3510100035 DOSEN PEMBIMBING DR-Ing. Ir. Teguh

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Tinjauan Umum Teknologi Pemetaan Tiga Dimensi

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Tinjauan Umum Teknologi Pemetaan Tiga Dimensi BB 2 DSR TEORI 2.1 Tinjauan Umum Teknologi Pemetaan Tiga Dimensi Pemetaan objek tiga dimensi diperlukan untuk perencanaan, konstruksi, rekonstruksi, ataupun manajemen asset. Suatu objek tiga dimensi merupakan

Lebih terperinci

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA Atriyon Julzarika Alumni Teknik Geodesi dan Geomatika, FT-Universitas Gadjah Mada, Angkatan 2003 Lembaga Penerbangan

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1. Kenaikan permukaan air laut dari waktu ke waktu [Mackinnon, 2004]

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1. Kenaikan permukaan air laut dari waktu ke waktu [Mackinnon, 2004] BAB II DASAR TEORI 2.1. Permasalahan Kenaikan Permukaan Air Laut Fenomena kenaikan muka air laut mengemuka seiring dengan terjadinya pemanasan global (global warming). Pemanasan global pada dasarnya merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang SUTET (Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi) yang berfungsi untuk menyalurkan tegangan listrik dari pusat tegangan yang memiliki jarak yang jauh. Menara SUTET terbuat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 28 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif analitik, yang bertujuan untuk mengetahui gambaran struktur geologi Dasar Laut

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI SUMBERDAYA LAHAN (Kuliah ke 12)

SISTEM INFORMASI SUMBERDAYA LAHAN (Kuliah ke 12) SISTEM INFORMASI SUMBERDAYA LAHAN (Kuliah ke 12) SISTEM MANAJEMEN BASIS DATA Oleh: Dr.Ir. Yuzirwan Rasyid, MS Beberapa Subsistem dari SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS 1. Subsistem INPUT 2. Subsistem MANIPULASI

Lebih terperinci

UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL 2013/2014

UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL 2013/2014 UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL 2013/2014 Matakuliah Waktu : Sistem Informasi Geografis / 3 SKS : 100 menit 1. Jelaskan pengertian Sistem Informasi Geografis (SIG). Jelaskan pula perbedaan antara SIG dan

Lebih terperinci

Model Data Spasial. by: Ahmad Syauqi Ahsan

Model Data Spasial. by: Ahmad Syauqi Ahsan Model Data Spasial by: Ahmad Syauqi Ahsan Peta Tematik Data dalam SIG disimpan dalam bentuk peta Tematik Peta Tematik: peta yang menampilkan informasi sesuai dengan tema. Satu peta berisi informasi dengan

Lebih terperinci

Pengaruh Penambahan Jumlah Titik Ikat Terhadap Peningkatan Ketelitian Posisi Titik pada Survei GPS

Pengaruh Penambahan Jumlah Titik Ikat Terhadap Peningkatan Ketelitian Posisi Titik pada Survei GPS Reka Geomatika Jurusan Teknik Geodesi Itenas No.2 Vol. 01 ISSN 2338-350x Oktober 2013 Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Pengaruh Penambahan Jumlah Titik Ikat Terhadap Peningkatan Ketelitian Posisi

Lebih terperinci

ORIENTASI PADA PRA PLOTTING PETA BERSISTEM KOORDINAT LOKAL TERHADAP SISTEM KOORDINAT FIX (TETAP)

ORIENTASI PADA PRA PLOTTING PETA BERSISTEM KOORDINAT LOKAL TERHADAP SISTEM KOORDINAT FIX (TETAP) Orientasi pada Pra Plotting... ORIENTASI PADA PRA PLOTTING PETA BERSISTEM KOORDINAT LOKAL TERHADAP SISTEM KOORDINAT FIX (TETAP) Yuwono 1), AdiKurniawan 2) 1) Jurusan Teknik Geomatika, ITS, 2) Jurusan Teknik

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN III.1. Area Penelitian Area penelitian didasarkan pada data LiDAR, antara koordinat 7 50 22.13 LS 139 19 10.64 BT sampai dengan 7 54 55.53 LS 139 23 57.47 BT. Area penelitian

Lebih terperinci

REMOTE SENSING AND GIS DATA FOR URBAN PLANNING

REMOTE SENSING AND GIS DATA FOR URBAN PLANNING REMOTE SENSING AND GIS DATA FOR URBAN PLANNING Jarot Mulyo Semedi disampaikan pada: Workshop Continuing Professional Development (CPD) Ahli Perencanaan Wilayah dan Kota Jakarta, 7 Oktober 2016 Isi Presentasi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian tugas akhir ini. Proses ini sangat berpengaruh terhadap hasil akhir penellitan. Pada tahap ini dilakukan

Lebih terperinci

EKSTRAKSI GARIS PANTAI MENGGUNAKAN HYPSOGRAPHY TOOLS

EKSTRAKSI GARIS PANTAI MENGGUNAKAN HYPSOGRAPHY TOOLS EKSTRAKSI GARIS PANTAI MENGGUNAKAN HYPSOGRAPHY TOOLS Danang Budi Susetyo, Aji Putra Perdana, Nadya Oktaviani Badan Informasi Geospasial (BIG) Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46, Cibinong 16911 Email: danang.budi@big.go.id

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencarian rute terpendek merupakan masalah dalam kehidupan sehari-hari, berbagai kalangan menemui masalah yang sama dalam pencarian rute terpendek (shortest path) dengan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Analisis Data DEM/DTM Untuk mengetahui kualitas, persamaan, dan perbedaan data DEM/DTM yang akan digunakan untuk penelitian, maka dilakukan beberapa analisis. Gambar IV.1.

Lebih terperinci