BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jangkauan Sistem peringatan dini / EWS Sektor Desa Luas Wilayah Desa (Km 2 )

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jangkauan Sistem peringatan dini / EWS Sektor Desa Luas Wilayah Desa (Km 2 )"

Transkripsi

1 BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN Bab ini membahas hasil analisis kelayakan sistem evakuasi Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunung Merapi di Kabupaten Sleman. Hasil pembahasan ini nantinya akan dapat menemukan atau menjawab rumusan masalah dan tujuan penelitian ini. Hasil pembahasan ini juga dapat memberikan suatu pedoman atau acuan dalam membuat sistem evakuasi atau acuan dalam pembuatan sistem evakuasi Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi Analisis Kapasitas Sistem Evakuasi Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi Kapasitas Sistem Peringatan Dini / EWS Tabel 5.1 Jangkauan Sistem peringatan dini / EWS Desa Luas Wilayah Desa (Km 2 ) Luas Desa Terjangkau EWS (Km 2 ) Prosentase Luas Desa Terjangkau EWS (%) A Merdikorejo Wonokerto Girikerto 723,74 303,97 42 Pondokrejo 116,7 0 0 Purwobinangun 245,23 223,15 91 Banyurejo Lumbungrejo 185, Sumberrejo 138, B Candibinangun 594,05 338,60 57 Pakembinangun 245, Hargobinangun 755,27 634,42 84 Umbulmartani 293,87 26,44 9 C Umbulharjo 948,72 654,61 69 Wukirsari 875,26 376,36 43 Widodomartani 64,63 9,04 14 Bimomartani 317,69 295,45 93 D Kepuharjo 777,18 777, Sebagian Argomulyo 414,74 414, Sebagian 235,08 235,08 Sindumartani 100 E Glagaharjo 806,68 677,6 84 Sebagian Argomulyo 254,21 254,

2 Sebagian Sindumartani 311,63 311, Sumber:analisis penulis, ) A Sistem peringatan dini (EWS) yang terdapat di sektor A yaitu ada di Desa Kemiri, Turgo, dan Pulowatu. EWS merupakan serangkaian sistem untuk memberitahukan akan timbulnya kejadian alam, dapat berupa tindakan memberikan informasi dengan bahasa yang mudah dicerna oleh masyarakat. Dalam keadaan kritis, secara umum EWS yang merupakan penyampaian informasi tersebut diwujudkan dalam bentuk sirine agar informasi diharapakan lebih cepat sampai ke masyarakat KRB di sektor A. EWS yang terdapat di sektor A memiliki fungsi masing-masing, meskipun saat terjadi status waspada EWS sudah berbunyi, dan masyarakat KRB dan ternak sudah mulai diungsikan. Untuk mempermudah proses evakuasi masyarakat KRB di sektor A ternak lebih awal diungsikan agar mempermudah masyarakat pemilik hewan ternak untuk evakuasi menuju barak pengungsian. Namun karena keterbatasan Pemerintah Daerah dalam meyediakan transportasi, ternak tidak semua ternak bisa diungsikan menuju barak ternak. Hal ini membuat mayoritas pemuda dan bapak-bapak kembali menuju dusun masing-masing saat terjadi bencana guna memberi makan ternak dan mengurus ladang maupun sawah yang ditinggal ke barak pengungsian. Untuk mengantisipasi terjadinya bahaya bencana Gunung Merapi, EWS juga difokuskan untuk tugas memberikan informasi saat terjadi banjir lahar melewati aliran sungai, maka dari itu empat perangkat EWS dipasang di dekat aliran Sungai Boyong. Namun jangkauan radius EWS di sektor saat terjadi kenaikan status menjadi waspada belum menjangkau seluruh wilayah di sektor A. Dari delapan desa yang masuk skenario evakuasi di sektor A baru dua yang terlayani jangkauan bunyi sirine, yaitu Desa Girikerto sebesar 42% dan Purwobinangun 91 %. Untuk Desa Merdikorejo, Wonokerto, Pondokrejo, Banyurejo, Lumbungrejo, Sumberrejo belum terlayani jangkauan bunyi sirine EWS, sedangkan menurut Ema (2005) seharusnya seluruh wilayah terjangkau sirine sistem peringatan dini. 2) B Belum terdapat sistem peringatan dini (EWS) yang terdapat di sektor B. B berada pada topologi yang jauh dari sungai yang rentan dilalui oleh bahaya letusan Gunung Merapi. Pada saat ini masih belum ada perangkat keras yang terpasang. Peringatan dini yang dilakukan pada daerah ini sangat mengandalkan koordinasi dari aparatur daerah setempat. Sosialisasi yang dilakukan di sektor ini dititikberatkan pada kepekaan masyarakat KRB setempat saat melihat reaksi dari sektor commit lain, salah to user satu hal yang terjadi ketika masyarakat 75

3 pada sektor ini melihat evakuasi dari sektor lain untuk yang terdekat adalah sektor A dan sektor C, hal itu menjadi awal evakuasi yang harus dilakukan oleh mereka. Beberapa desa di atas dan di bagian bawah sektor B mendengarkan bunyi sirine EWS, seperti di bagian atas diantaranya adalah dusun Boyong, Wonorejo, dan Tanen, sedangkan untuk bagian bawah diantaranya adalah dusun Dawung, Kumendung, Nepen. Pada bagian atas mendengarkan suara sirine dari EWS Turgo, EWS Kemiri yang berada di sektor A, sedangkan masyarakat bagian bawah sektor B sebagian mendengarkan bunyi sirine dari EWS Pulowatu. Saat sirine sistem peringatan dini sebagian masyarakat yang mengetahui ada gejala peningkatan aktivitas Gunung Merapi karena sudah terbiasa sehingga memahami maksud dari bunyi sirine EWS yang berada di sektor A, masyarakat yang mendengar bergegas menuju titik kumpul yang sudah disepakati warga pada setiap dusun. Untuk masyarakat yang tidak mendengar bunyi sirine dari sektor A di sektor B diantaranya seperti dusun Kemput, masyarakatnya mengandalkan informasi dari dusun-dusun sebelahnya yang mendengarkan bunyi sirine EWS dari sektor A.setelah mengetahui peningkatan aktivitas Gunung Merapi, masyarakat di sektor B berbondong-bondong menuju masing-masing titik kumpul yang diskenario pada masingmasing dusun. Berdasar tabel Desa yang terlayani jangkauan bunyi sirine EWS adalah Desa Candibinangun sebesar 57%, Desa Hargobinangun sebesar 84%, sedangkan Desa Umbulmartani sebesar 9%. Seharusnya menurut Ema (2005) seluruh wilayah terjangkau sirine sistem peringatan dini. 3) C Sistem peringatan dini (EWS) yang terdapat satu di sektor C, yaitu EWS lahar Teplok terdapat di Dusun Teplok. EWS di sektor C merupakan serangkaian sistem untuk memberitahukan akan timbulnya kejadian alam, dapat berupa tindakan memberikan informasi dengan mudah dicerna oleh masyarakat. Dalam keadaan kritis, secara umum EWS yang merupakan penyampaian informasi tersebut diwujudkan dalam bentuk sirine agar informasi diharapkan lebih cepat sampai ke masyarakat KRB di sektor C. EWS akan berbunyi saat status Gunung Merapi menjadi waspada. Saat EWS berbunyi maka masyarakat KRB di sektor C sudah harus evakuasi menuju barak pengungsian sesuai skenario evakuasi di sektor C. EWS yang terdapat di sektor C yaitu EWS lahar Teplok memiliki fungsi ayang fokusnya sebagai peringatan saat terjadi banjir lahar di Sungai Opak, pada saat-saat tertentu ketika terjadi aktivitas Gunung Merapi yang mengeluarkan lahar kemudian materialnya terbawa hujan sehingga menjadi banjir lahar dingin maka sirine EWS lahar Teplok berbunyi. Supaya menjadi antisipasi adanya korban jiwa saat terjadi bancana letusan Gunung Merapi. Karena pada saat terjadi evakuasi beberapa penngungsi khususnya bapak-bapak dan pemuda kembali ke dusun 76

4 mereka untuk memberi makan ternak dan mengurus sawah. Hal ini dikarenakan ternak belum bisa diangkut oleh Pemerintah Daerah secara keseluruhan dan Pemerintah daerah belum bisa menjamin kondisi ternak mereka yang masih berada di dusun mereka. Sebagian besar dusun di sektor C belum bisa mendengarkan suara sirine EWS diantaranya yang berada di sekitar raidus 10 km, seperti Dusun Pentingsari, Karanggeneng. Sebagian besar dusun-dusun yang berada di dalam radius 10 km di sektor C bisa mendengarkan suara bunyi sirine dari EWS Kopeng di sektor D. Berdasar tabel wilayah Desa Umbulharjo terlayani jangkauan EWS sebesar 69%, wilayah Desa Wukirsari sebesar 43%, wilayah Desa Widodomartani sebesar 14%, sedangkan wlayah Desa Bimomartani sebesar 93%. Sedangkan menurut Ema (2005) seharusnya seluruh wilayah terjangkau sirine sistem peringatan dini. 4) D Sistem peringatan dini (EWS) yang terdapat empat perangkat keras EWS di sektor D yaitu ada di Dusun Ngerdi, Jaranan, Bronggang, dan Batur. EWS di sektor D merupakan serangkaian sistem untuk memberkan informasi dengan bahasa yang mudah dicerna oleh masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk sirine. EWS di sektor D sirine akan berbunyi saat status Gunung Merapi menjadi waspada, sebagai peringatan masyarakat KRB yang masuk skenario evakuasi untuk segera melakukan evakuasi menuju barak pengungsian. Untuk langkah pertama Pemerintah Daerah mengangkut terlebih dahulu ternak, agar masyarakat lebih mudah melakukan evakuasi. Tidak dipungkiri mata pencaharian masyarakat KRB kebanyakan petani dan peternak. Namun karena keterbatasan tidak semua hewan ternak bisa diangkut menuju barak ternak. Keadaan ini membuat masyarakat kembali meuju dusun mereka saat malam hari dan siang hari tergantung prioritas mereka untuk memberi makan ternak, mengurus sawah, dan berpatroli pada saat malam hari agar harta benda mereka tidak dijarah. Kebanyakan yang kembali ke dusun adalah bapak-bapak dan pemuda, sedangkan ibuibu, lansia, maupun anak-anak tetap berada di barak pengungsian. Untuk menghindari bencana banjir lahar, pemerintah memberikan empat perangkat keras EWS yang dipasang di sekitar Sungai Gendol supaya bisa memberikan peringatan jika terjadi banjir lahar panas maupun dingin melewati aliran sungai, selain itu juga dipasang EWS yang khusus memberikan peringatan saat ada bahaya awan panas dari Gunung Merapi. Berdasar tabel wilayah Desa Kepuharjo terlayani jangkauan EWS sebesar 100 %, wilayah Desa Argomulyo yang masuk skenario evakuasi sektor D sebesar 100 %, sedangkan wilayah Desa Sindumartani yang masuk skenario evakuasi sektor D sebesar 100%. Desa yang berada di sektor D termasuk sektor yang memiliki Desa dekat dengan puncak Gunung Merapi. sehingga 77

5 prioritas terjangkau EWS memang sangat perlu. Kondisi di sektor D seluruhnya terlayani EWS karena menurut Ema (2005) seluruh wilayah evakuasi layaknya terlayani jangkauan EWS. 5) E Sisetem peringatan dini (EWS) di sektor E terdapat empat pernagkat keras EWS, yaitu di Dusun Kejambon Lor sebagai peringatan bahayan banjir lahar, Srunen sebagai peringatan awan panas, Kalitengah Kidul sebagai peringatan bahaya lahar, Kalitengah Lor sebagai peringatan bahaya lahar. EWS di sektor E memiliki fungsi khusus untuk peringatan adanya bahaya lahar panas maupun dingin dan adanya bahaya awan panas. Wilayah sektor E memiliki permukiman yang paling dekat dengan puncak Gunung Merapi dan memiliki jumlah permukiman paling banyak, untuk desa yang masuk skenario evakuasi. Sehingga sangat perlu seluruh wilayah di sektor E terlayani jangkauan EWS. Berdasar tabel wilayah Desa Glagaharjo terlayani jangkauan EWS sebesar 84%, wilayah Desa Argomulyo yang masuk skenario sektor E sebesar 100 %, sedangkan wilayah Desa Sindumartani yang masuk skenario sektor E sebesar 100%. Jangkauan EWS pada sektor E belum memenuhi seluruh wilayah yang masuk skenario evakuasi, seharusnya seluruh wilayah terjangkau pelayanan EWS (Ema, 2005). Untuk rata-rata dari total keseluruhan sektor yang terlayani sistem peringatan dini / early warning sistem pada kawasan rawan bencana letusan Gunung Merapi adalah 49%. 78

6 GAMBAR PETA JANGKAUAN EWS 79

7 Kapasitas Titik Kumpul Tabel 5.2 Kapasitas titik kumpul Jumlah dusun Persentase (%) Punya tanah Tidak punya lapang luas tanah lapang dan Desa Punya tanah lapang luas dan dan kendaraan kendaraan kendaraan evakuasi bisa manuver evakuasi bisa evakuasi tidak manuver bisa manuver A Girikerto Purwobinangun Wonokerto Pondokrejo Purwobinangun ,7 Wonokerto Merdikorejo B Hargobinangun C Umbulharjo Wukirsari Pakembinangun D Kepuharjo Wukirsari Argomulyo E Glagaharjo Argomulyo Sumber: analisis penulis, ) A Titik kumpul di sektor A merupakan area terbuka di dekat pusat-pusat lingkungan permukiman yang apabila terjadi bencana erupsi Gunung Merapi maka menjadi titik pertemuan penduduk yang hendak dingsikan menuju barak pengungsian yang ada di skenario evakuasi sektor A. Titik kumpul yang ada di skenario sektor A ditiikkan pada setiap dusun yang ada di KRB. Tidak ada masalah berarti dalam akses jalan dusun menuju titik kumpul yang ada di sektor A, bisa dikatakan jalan dusun menuju titik kumpul dalam keadaan yang rata dan beraspal dengan jalan yang cukup lebar, sehingga diperkirakan dalam keadaan panik keadaan kelancaran jalan di dusun masih lancar saat menuju titik kumpul evakuasi. Kepanikan terjadi karena biasanya penduduk ingin berkumpul dengan anggota keluarga mereka terlebih dahulu di rumah, pada saat bunyi sirine EWS berbunyi bila saat aktivitas sehari-hari terjadi sebagian penduduk masih commit berada to user di tempat kerja mereka, kalau petani atau peternak tidak jauh berada dari dusun mereka masing-masing namun masih berada di 80

8 peterakan, sawah maupun ladang. Saat sebagian penduduk menuju titik kumpul, penduduk yang dari bekerja di sawah, ladang maupun peternakan mereka ingin menuju ke rumah mereka masing-masing dahulu, sehingga menimbulkan kepanikan di akses jalan dusun. Berdasar tabel sebagian besar desa di sektor A sudah memiliki titik kumpul. Untuk wilayah Desa Girikerto sudah memiliki titik kumpul sebesar 100%, wilayah Desa Purwobinangun sudah memiliki titik kumpul sebesar 100%, wilayah Desa Wonokerto sudah memiliki titik kumpul sebesar 100%, wilayah Desa Pondokrejo sebesar 100%, wilayah Desa Purwobinangun sebesar 85,7 %, wilayah Desa Wonokerto sebesar 25%, dan wilayah Desa Merdikorejo memiliki titil kumpul sebesar 100%. Titik kumpul di sektor A belum bisa melayani pengungsi karena belum semua memiliki titik kumpul (Blong, 1984). 2) B Titik kumpul di sektor B merupakan area terbuka di dekat pusat-pusat lingkungan permukiman yang apabila terjadi bencana erupsi Gunung Merapi maka titik pertemuan penduduk yang hendak diungsikan menuju barak pengungsian yang ada di skenario evakuasi sektor B. Titik kumpul di sektor B memanfaatkan area terbuka yang dimiliki oleh masyarakat di masing-masing dusun KRB sektor B, sebagian besar menggunakan halaman dari rumah penduduk yang luas maupun berbentuk kebun, selain itu juga memanfaatkan halaman mushola. Jalan-jalan dusun yang digunakan saat terjadi proses dari rumah masing-masing penduduk menuju tititk kumpul maupun dari tempat bekerja penduduk dalam keadaan yang rata dan beraspal. Diperkirakan jalan dusun tetap lancar saat terjadi proses menuju titik kumpul dan disaat penduduk terjadi kepanikan menuju titik kumpul karena akses jalan dusun yang lebar dan bisa untuk bersimpangan dua kendaraan roda 4. Kepanikan biasa terjadi saat di jalan dusun menuju titik kumpul sektor B ketika proses pengungsian terjadi pada saat penduduk masih melakukan aktivitas sehari-hari mereka. Sebagian besar pekerjaan penduduk KRB di sektor B adalah petani dan peternak, saat sirine EWS berbunyi penduduk di sektor B yang masih berada di tempat kerja mereka, seperti di sawah, ladang maupun peternakan, penduduk ini ingin berkumpul terlebih dahulu dengan anggota keluarganya, sehingga pada saat sebagian penduduk menuju titik kumpul, penduduk yang dari beraktivitas / bekerja ingin menuju rumah mereka dahulu sehingga terjadi kepanikan di jalan dusun. Berdasar tabel titik kumpul di sektor B seluruh dusun di sektor B sudah memiliki titik kumpul. Wilayah Desa Hargobinangun yang masuk skenario evakuasi di sektor B sudah memiliki titik kumpul sebesar 100%, yang maksudnya setiap masing-masing dusun di sektor B sudah memiliki titik kumpul. Titik kumpul di sektor B bisa melayani pengungsi seperti yang dikatakan Blong (1984) bahwa seluruh wilayah harus memiliki titik kumpul. 81

9 3) C Titik kumpul di sektor C merupakan area terbuka di dekat pusat-pusat lingkungan permukiman yang apabila terjadi bencana erupsi Gunung Merapi maka menjadi titik pertemuan penduduk yang hendak diungsikan ke barak pengungsian. Sebagian besar kesepakatan penduduk di masing-masing dusun di sektor A dalam menentukan titik kumpul dengan memanfaatkan halaman rumah warga, kebun, maupun halaman failitas umum seperti halaman masjid dan sekanalisis, dengan pertimbangan titik kumpul seperti yang diinstruksikan oleh BPBD Kabupaten Sleman bahwa titik kumpul harus memiliki area yang luas dan sipertimbangkan mudah diakses oleh truk evakuasi dari Pemerintah Daerah saat dijemput di titik kumpul. Akses jalan dusun yang berada di sektor C dalam keadaan yang baik dan beraspal dengan lebar yang cukup luas bisa bersimpangan dua kendaraan roda empat, sehingga saat terjadi kepanikan diperkirakan tetap lancar. Aktivitas penduduk yang banyak terjadi di sektor C adalah pertanian, peternakan dan pariwisata. Jika terjadi evakuasi saat terjadi aktivitas akan menimbulkan kepanikan yang cukup tinggi. Berdasarkan tabel wilayah Desa Umbulharjo sudah memiliki titik kumpul pada masing-masing dusun sebesar 100%, wilayah Wukirsari sebesar 100%, dan wilayah Pakembinagun sebesar 100%. Titik kumpul di sektor C bisa melayani pengungsi seperti yang dikatakan Blong (1984) bahwa seluruh wilayah harus memiliki titik kumpul. 4) D Titik kumpul di sektor D merupakan area terbuka di dekat pusat-pusat lingkungan permukiman yang apabila terjadi bencana erupasi Gunung Merapi maka menjadi titik pertemuan penduduk yang hendak menuju barak pengungsian pada skenario evakuasi di sektor D. Sebagian besar penduduk di sektor D pada masing-masing dusun bersepakat memilih halaman rumah, halaman mushola untuk titik kumpul di sektor D. Aktivitas pertanian dan peternakan sangat tinggi di sektor D, jadi saat terjadi proses evakuasi masih ada penduduk yang berada di sawah maupun di kandang ternak mereka. Akses jalan dusun di sektor D beberapa mengalami kerusakan / jalan aspal rusak sedang hingga parah karena digunakan untuk jalur truk normalisasi Sungai Gendol, khususnya pada dusun yang berada di radius 10 km lebih banyak mengalami kerusakan pada jalan dusun. Bila terjadi kepanikan warga saat menuju titik kumpul dari rumah mereka masing-masing maupun dari tempat bekerja langsung menuju titik kumpul bisa menimbulkan kecelakaan yang berakibat fatal. Sangat krusial diperlukan adanya akses jalan dusun yang baik, lebar, dan lancar saat menuju barak pengungsian karena di sektor D permukiman berada di dekat dengan puncak Gunung Merapi. berdasar tabel seluruh desa sudah memiliki titik kumpul pada masing-masing dusun 82

10 di sektor D, untuk wilayah Desa Kepuharjo sudah memiliki titik kumpul sebesar 100%, wilayah Desa Wukirsari sebesar 100%, dan wilayah Desa Argomulyo memiliki titik kumpul sebesar 100%. Titik kumpul di sektor D bisa melayani pengungsi seperti yang dikatakan Blong (1984) bahwa seluruh wilayah harus memiliki titik kumpul. 5) E Titik kumpul merupakan area terbuka di dekat pusat-pusat lingkungan permukiman yang apabila terjadi bencana erupsi Gunung Merapi menjadi titik pertemuan penduduk yang hendak menuju barak pengungsian. Sebagian besar wilayah sektor E merupakan tanah sawah yang aktivitas tertinggi di sektor E adalah pertanian dan peternakan. Di sektor E banyak terdapat ternak-ternak yang menjadi harta benda dan merupakan mata pencaharian penduduk di sektor E. Saat bunyi sirine EWS berbunyi yang berarti harus ada evakuasi, penduduk ada yang masih di kandang ternak untuk menjaga ternak dan memberi makan, bila terjadi evakuasi sebelum petang penduduk masih banyak yang berada di sawah dan ladang. Peristiwa seperti ini biasa terjadi dan menimbulkan kepanikan penduduk yang masih bekerja, mereka biasanya ingin terlebih dahulu bertemu dengan anggota keluarga di rumah sebelum menuju ke titik kumpul, dengan harapan anggota keluarga masih di rumah dan belum melakukan evakuasi menuju barak pengungsian. Kepanikan penduduk yang ingin terlebih dahulu dengan anggota keluarga di rumah, saat berada di akses jalan dusun sebagian penduduk juga sudah melakukan perjalanan menuju titik kumpul yang juga panik dengan harapan segera ingin menyelamatkan diri ke tempat yang lebih aman. Keadaan seperti ini biasa menimbulkan kepanikan saat di akses jalan dusun mereka masing-masing menuju titik kumpul. Akses jalan dusun di sektor E banyak yang mengalami kerusakan berupa jalan aspal rusak sedang hingga parah, karena digunakan untuk jalur truk normalisasi Sungai Gendol. Ketika terjadi kepanikan saat menuju titik kumpul akses jalan yang rusak di sektor E bisa menyebabkan kecelakaan dan menghambat proses penduduk menuju titik kumpul. Desa Glagaharjo dan Argomulyo sudah memiliki titik kumpul 100%. Titik kumpul di sektor E bisa melayani pengungsi seperti yang dikatakan Blong (1984) bahwa seluruh wilayah harus memiliki titik kumpul. Untuk rata-rata dari total keseluruhan sektor yang memiliki titik kumpul dan tempat manuver kendaraan evakuasi, yang terlayani adalah 96,2%. 83

11 Kapasitas Jalur Evakuasi a) Keamanan Jalur Evakuasi KRB Gunung Merapi Tabel 5.3 Keamanan jalur evakuasi dari sungai Panjang ruas (Km) Prosentase (%) Radius kurang dari sama Radius lebih dari Radius kurang dari sama Radius lebih dari dengan 300m 300m dengan 300 m 300 m 8,5 149,9 5,4 94,6 A 3, ,6 97,4 B 1,6 102,5 1,5 98,5 C 5,2 132,7 3,8 96,2 D 0 69, E Sumber: analisis penulis, 2015 Tabel 5.4 Keamanan jalur evakuasi melewati jembatan Jumlah ruas Prosentase (%) Melewati jembatan Tidak melewati jembatan Melewati jembatan Tidak melewati jembatan sungai sungai sungai sungai A B C D E Sumber: analisis penulis, ) A Keamanan jalur evakuasi merupakan keamanan jalur yang menghubungkan hunian / titik kumpul dengan barak pengungsian. Jalur evakuasi di sektor A dapat berupa jalan lingkungan, lokal, dan kolekor. Jalan di sektor A KRB Gunung Merapi sudah dipersiapkan dengan tidak melewati jalan-jalan yang memotong sungai yang berhulu langsung dari Gunung Merapi, dimana pada waktu terjadi erupsi commit atau to aliran user lahar maka sungai-sungai tersebut yaitu Sungai Krasak dan Boyong yang berada melewati sektor A, berpotensi menjadi aliran 84

12 material vulkanik atau lahar yang sangat berbahaya bagi pengungsi yang melewati perpotongan jalan yang biasa berbentuk jembatan sungai. Berdasar tabel bahwa jalur evakusi di sektor A. Jalur evakuasi dari titik kumpul menuju barak pengungsian di sektor A beberapa ruas jalan melewati radius bahaya lahar melewati sungai. Sangat berbahaya jalur evakuasi yang melewati radius bahaya lahar melewati sungai bagi pengungsi. Aliran lahar melewati sungai yang berhulu di puncak Gunung Merapi, seperti Sungai Krasak dan Sungai Boyong sangat berbahaya karena juga berpotensi terjadi luberan aliran lahar panas maupun dingin yang melewati aliran sungai-sungai tersebut. Berdasar tabel bahwa jalur yang aman atau lebih dari radius bahaya lahar melewati sungai sebesar 94,6%, sedangkan jalur evakuasi tidak ada yang melewati perpotongan jalan melewati sungai / jembatan sungai. Seharusnya jalan di sektor A tidak melewati radius bahaya lahar melewati sungai (Blong, 1984). 2) B Jalur evakuasi di sektor B merupakan jalur yang menghubungkan hunian/titik kumpul dengan barak pengungsian yang ada di skenario evakuasi sektor B. Jalan evakuasi di sektor B merupakan jalan lingkungan, lokal, hingga kolektor. Jalan-jalan yang dipilih di sektor B dipersiapkan dengan tidak melewati perpotongan jalan evakuasi dengan sungai-sungai yang berhulu langsung dari lereng Gunung Merapi, sungai-sungai yang melewati sektor B adalah Sungai Boyong dan Sungai Kuning. Jalan-jalan yang masuk dalam skenario evakuasi sektor B menghindari perpotongan dengan sungai / jembatan sungai untuk menghindari bahaya luapan lahar panas maupun dingin melewati jembatan aliran sungai-sungai berhulu di lereng Merapi. Jalan evakuasi di sektor B sebagian masuk dalam radius bahaya luberan lahar melalui aliran sungai yang berhulu dari lereng Gunung Merapi. Walaupun hanya sebagian kecil dari total seluruh jalan evakuasi di sektor B tetap sangat berbahaya karena berhubungan langsung dengan keselamatan jiwa seseorang. Berdasar tabel bahwa jalur evakuasi yang tidak masuk radius bahaya lahar melewati sungai sebesar 97,4%, sedangkan jalan evakuasi tidak ada yang melewati perpotongan jalan melewati sungai / jembatan sungai. Seharusnya jalan di sektor B tidak melewati radius bahaya lahar melewati sungai (Blong, 1984). 3) C Jalur evakuasi di sektor C merupakan jalur yang menghubungkan titik kumpul dengan barak pengungsian yang ada dalam skenario evakuasi sektor C. Jalan yang digunakan untuk jalur evakuasi mulai dari jalan lingkungan, jalan lokal, hingga jalan kolektor, dengan memanfaatkan jalan eksisting yang ada di wilayah KRB sektor C. Jalan-jalan yang masuk ke dalam skenario evakuasi di sektor C telah memilih jalan yang tidak memotong sungai yang berhulu langsung di lereng Gunung Merapi, dimana Sungai Kuning dan Sungai Opak sangat 85

13 berpotensi menjadi aliran lahar panas maupun dingin yang membawa material vulkanik menjadi sangat berbahaya bila dilewati. Sebagian jalan yang masuk ke dalam skenario evakuasi masuk ke dalam radius bahaya lahar dingin maupun panas melewati sungai-sungai yang berhulu dari lereng Gunung Merapi, meskipun hanya beberapa kilometer saja dibanding total keseluruhan jalan evakuasi yang ada di sektor C, hal tersebut tetap sangat berbahaya karena berhubungan dengan keselamatan nyawa seseorang. Berdasar tabel bahwa jalan evakuasi yang masuk ke dalam skenario evakuasi, sebagian besar jalan aman dari radius bahaya lahar panas maupun dingin melewati sungai berhulu langsung dari Gunung Merapi sebesar 98,5 %, sedangkan jalan yang melewati perpotongan sungai / jembatan tidak terdapat jalan yang melewati jembatan. Seharusnya jalan di sektor C seluruhnya tidak melewati radius bahaya lahar melewati sungai (Blong, 1984). 4) D Jalur evakuasi di sektor D merupakan jalur yang menghubungkan titik kumpul/hunian dengan barak pengungsian yang ada di skenario evakuasi sektor D. Jalur evakuasi memanfaatkan jalan eksisting yang ada di sektor D KRB Gunung Merapi, yang dipilih dari berbagai kelas jalan seperti jalan lingkungan, jalan lokal dan jalan kolektor. Jalan-jalan yang dipersiapkan dalam jalur evakuasi memilih jalan yang tidak melewati perpotongan sungai yang berhulu di lereng Gunung Merapi, dimana pada saat terjadi erupsi sungai-sungai tersebut menjadi aliran lahar maupun material vulkanik sehingga sangat berbahaya. Jalur evakuasi di sektor D beberapa ruas jalan melewati perpotongan sungai / jembatan sungai sehingga sangat berbahaya bagi pengungsi yang melewatinya, ruas-ruas tersebut adalah ruas banjarharjongemplak, sembungan-kiyaran, kuwang-tegal balong, dan panggung-solorejo. Hal ini disebabkan di sektor D hanya memiliki satu barak pengungsian, sehingga untuk skenario diarahkan menuju barak-barak pengungsian yang lain diluar sektor D, akibatnya jalur evakuasi harus melauli perpotongan dengan sungai / melewati jembatan sungai yang berhulu di Gunung Merapi yaitu sungai Kuning. Hal ini sangat membahayakan keselamatan nyawa pengungsi, karena jembatan sungai berpotensi menjadi aliran lahar yang bisa meluap di jembatan dan bisa juga meruntuhkan jembatan sungai disaat pengungsi melewati jembatan tersbut. Selain itu, sebagian jalur evakuasi di sektor D masuk dalam radius bahaya lahar melewati sungai. Walaupun hanya sebagian kecil namun yang bila berhubungan langsung dengan keselamatan jiwa sseorang hal ini sangat berbahaya. Berdasar tabel bahwa jalan yang aman tidak masuk radius bahaya lahar melewati sungai sebesar 96,2 %, sedangkan jumlah ruas yang tidak melewati jembatan sungai yang berhulu langsung dari lereng Gunung Merapi sebesar 72%. Seharusnya menurut Blong (1984) seluruh jalan evakuasi dalam keadaan aman 86

14 dari bahaya lahar melewati sungai dan jembatan sungai yang biasa dijadikan aliran lahar panas maupun dingin. 5) E Jalur evakuasi di sektor E merupakan jalur yang menghubungkan hunian/titik kumpul dengan barak pengungsian. Jalur evakuasi yang dipilih untuk skenario evakuasi dari jalur eksisting sektor E KRB Gunung Merapi, dari kelas jalan lingkungan, jalan lokal, hingga jalan kolektor. E merupakan wilayah yang memiliki permukiman paling dekat dengan lereng Gunung Merapi maupun aktivitas paling tinggi sehingga paling krusial untuk diselamatkan. Jalur evakuasi yang terdapat di sektor E memilih jalan yang-jalan yang tidak memotong sungai / jembatan sungai yang berhulu langsung dari lereng Gunung Merapi, yaitu Sungai Gendol. Selain itu untuk keamanan jalur evakuasi, jalan-jalan yang ada di sektor E tidak melewati radius bahaya lahar melewati Sungai Gendol, sehingga aman dari potensi terkena luberan lahar panas maupun dingin melewati aliran Sungai Gendol. Berdasar tabel bahwa jalan evakuasi yang terdapat di sektor E aman dari radius bahaya lahar melewati sungai sebesar 100%, sedangkan untuk jalur evakuasi tidak melalui jembatan sungai sebesar 100%. Kondisi jalan di sektor E aman dari bahaya seperti yang dikatakan Blong (1984) yaitu jalan evakuasi aman dari bahaya bahaya lahar melewati sungai dan jembatan sungai. b) Kelancaran Jalur Evakuasi KRB Gunung Merapi Tabel 5.5 Jalan evakuasi bisa untuk bersimpangan dua truk evakuasi Lebar ruas jalur evakuasi Prosentase (%) Kurang dari 5 meter Lebih dari sama dengan 5 meter Kurang dari 5 meter Lebih dari sama dengan 5 meter A B C D E Sumber: analisis penulis,

15 Tabel 5.6 Kerataan jalan evakuasi Jumlah ruas jalur evakuasi Prosentase (%) Keadaan beraspal tidak rata Keadaan aspal rata Keadaan beraspal tidak rata Keadaan aspal rata A B C D ,5 78,5 E ,3 66,7 Sumber: analisis penulis, ) A Kelancaran jalur evakuasi di sektor A ditentukan dengan lebar jalan dan kondisi kerataan jalur evakuasi. Dengan asumsi lebar jalur evakuasi yang lancar bisa dilewati oleh dua kendaraan truk evakuasi dari Pemerintah Daerah yang bersimpangan, dengan lebar satu kendaraan truk evakuasi memiliki lebar 2,5 meter sehingga saat bersimpangan lebar menjadi 5 meter. Jalan yang kurang dari lima meter dianggap kurang lancar. Dilihat dari tabel bahwa jalan di sektor A sebagian ruas jalan masih memiliki lebar yang kurang dari 5 meter sehingga jalan tersebut dikatakan kurang lancar saat evakuasi. Berdasar tabel jalan yang lancar untuk evakuasi di sektor A sebesar 53 %, sedangkan untuk kerataan jalan evakuasi seluruh jalan di sektor A memiliki jalan yang beraspal dan dalam kondisi yang rata sebesar 100 %. Keadaan jalur evakuasi seharusnya seluruhnya mampu dilalui dua truk evakuasi bersimpangan (Blong, 1984). 2) B Kelancaran jalur evakuasi di sektor B ditentukan dengan lebar jalan evakuasi dan kondisi kerataan jalan. Jalan untuk evakuasi dijaga kondisinya selalu tetap baik, sebab evakuasi bisa dilakukan kapan saja sesuai dengan aktivitas Gunung Merapi yang karakter letusannya susah untuk diprediksi. Mengingat hal tersebut kondisi jalan evakuasi di sektor B tetap dijaga dalam keadaan yang seluruhnya memiliki kondisi yang baik baik dari Pemerintah Daerah maupun masyarakat KRB yang ada di sektor B, seperti halnya masyarakat menjaga agar jalan evakuasi yang ada di sektor B tidak dilalui oleh kendaraan truk normalisasi Sungai Gendol. Berdasar tabel bahwa jalan evakuasi dalam keadaan beraspal dan kondisi rata sebesar 100%. Kelancaran juga ditentukan oleh jalan yang bisa dilalui dua truk evakuasi yang bersimpangan dengan lebar jalan yang bisa dilalui 5 meter. Jalan evakuasi di sektor B sebagian masih belum bisa dilalui oleh dua truk evakuasi yang bersimpangan saat evakuasi. Berdasar tabel bahwa keseluruhan jalan commit evakuasi to user yang bisa dilalui truk evakuasi di sektor B 88

16 sebesar 65%. Keadaan jalur evakuasi di sektor B seharusnya seluruhnya mampu dilalui dua truk evakuasi bersimpangan (Blong, 1984). 3) C Kelancaran jalur evakuasi di sektor C bila jalan evakuasi bisa untuk bersimpangan dua truk evakuasi dan kondisinya dalam keadaan beraspal rata. Jalan evakuasi di sektor C sebagian masih memiliki lebar jalan yang belum bisa digunakan oleh dua truk evakuasi yang bersimpangan, dengan tidak bisa bersimpangan bisa menyebabkan evakuasi pengungsi menjadi tidak lancar. Berdasar tabel bahwa jalan-jalan di sektor C yang bisa dilalui dua truk kendaraan evakuasi untuk bersimpangan sebesar 95%. Walaupun sebagian besar jalan-jalan evakuasi di sektor C sudah bisa dilalui dua truk evakuasi bersimpangan, tidak lancarnya jalan evakuasi bisa menyebabkan kondisi tidak aman bagi pengungsi karena berhubungan dengan keselamatan nyawa seseorang, kondisi jalan evakuasi harus lancar (Blong, 1984). Untuk keadaan jalan beraspal dan rata di sektor C menjaga kondisi jalan supaya selalu dalam keadaan yang baik, mengingat evakuasi bisa terjadi sewaktu-waktu. Selain perawatan jalan evakuasi yang dilakukan dari Pemerintah Daerah, masyarakat KRB di sektor C juga berpartisipasi dalam menjaga jalan supaya tidak dilalui oleh truk yang membawa material batuan pasir dari kegiatan normalisasi Sungai Gendol. Berdasar tabel bahwa kondisi jalanjalan disektor C yang beraspal dan rata sebesar 100%. 4) D Kelancaran jalur evakuasi di sektor D bila jalan evakuasi bisa untuk bersimpangan dua truk evakuasi dan kondisinya dalam keadaan beraspal dan rata. Sebagian jalan-jalan di sektor D belum bisa dilalui dua truk evakuasi untuk bersimpangan. Jalan evakuasi yang tidak lancar menghambat perjalanan pengungsi dari titik kumpul menuju barak pengungsian sangat berbahaya karena berhubungan dengan keselamatan pengungsi, mengingat karakter letusan Gunung Merapi yang susah diprediksi. Berdasar tabel bahwa jalan-jalan di sektor D yang sudah bisa dilalui dua truk evakuasi bersimpangan sebesar 64 %. Keadaan jalur evakuasi seharusnya seluruhnya mampu dilalui dua truk evakuasi bersimpangan supaya lancar (Blong, 1984). Untuk keadaan jalan beraspal dan rata kondisi di sektor D sebagian jalan dalam keadaan yang rusak sedang hingga parah, karena kegiatan normalisasi Sungai Gendol. Truk pengangkut material pasir dan batu normalisasi Sungai Gendol melalui jalan yang tidak terkendali. Jalan evakuasi yang rusak parah adalah ruas cakran-kopeng, brongkol-plumbon, dan koroulon-joholanang. Jalan evakuasi yang tidak lancar sangat berbahaya di sektor D, letak permukiman yang berada di atas dekat dengan lereng Gunung Merapi harus diungsikan dengan cepat sehingga jalan evakuasi seluruhnya harus dalam keadaan lancar saat evakuasi 89

17 karena prioritas pengungsi yang harus diungsikan banyak terdapat di sektor D. Berdasar tabel jalan-jalan yang kondisinya beraspal dan rata sebesar 78,5%. Keadaan jalur evakuasi seharusnya seluruhnyadalam keadaan rata supaya perjalanan evakuasi lancar (Blong, 1984). 5) E Kelancaran jalur evakuasi di sektor E bila jalan evakuasi bisa untuk bersimpangan dua truk evakuasi dan kondisi jalan dalam keadaan beraspal rata. Sebagian jalan-jalan di sektor E keadaanya rusak, kondisi jalan evakuasi beraspal dan tidak rata. Kerusakan terjadi akibat aktivitas normalisasi Sungai Gendol, truk evakuasi tidak bisa dikendalikan rute dalam mengambil material pasir dan batu dari dan menuju Sungai Gendol. Pemerintah Daerah dan masyarakat KRB di sektor E sulit dalam mengantisipasi pergerakan truk normalisasi, akibatnya jalan-jalan evakuasi mengalami kerusakan sedang hingga parah. Kerusakan parah terjadi di ruas banjarsari-ngandong dan jambon-jlapan. Jalan-jalan evakuasi di sektor E yang memiliki kondisi beraspal dan rata sebesar 66,7%. Seharusnya seluruh kondisi jalan dalam keadaan rata supaya lancar (Blong,1984). Selain itu, kondisi lebar jalan yang bisa untuk bersimpangan dua truk evakuasi tidak semua jalan evakuasi di sektor E bisa untuk bersimpangan dua truk evakuasi. Berdasar tabel bahwa kondisi jalan bisa untuk bersimpangan dua truk evakuasi sebesar 95% dari keseluruhan jalan evakuasi di sektor E. Keadaan jalur evakuasi seharusnya seluruhnya mampu dilalui dua truk evakuasi bersimpangan supaya lancar (Blong, 1984). Kondisi jalan yang lancar dari titik kumpul/hunian menuju barak pengungsian sangat penting, mengingat letusan Gunung Merapi bisa terjadi sewaktu-waktu, perjalanan pengungsi menuju barak harus secepatnya dan lancar. Rata-rata dari total keseluruhan sektor pada kemanan jalur evakuasi dari bahaya lahar melewati sungai sebesar 97,%, untuk rata-rata kemanan jalur evakuasi dari jembatan sungai sebesar 94,4%, untuk rata-rata jalan bisa untuk bersimpangan dua truk evakuasi sebesar 74,4%, untuk rata-rata kondisi kerataan jalan evakuasi sebesar 89%. 90

18 PETA JALUR EVAKUASI 91

19 Kapasitas Rute Evakuasi KRB Gunung Merapi a) Kapasitas penanda / plang rute evakuasi KRB Gunung Merapi Tabel 5.7 Kapasitas plang evakuasi Adanya plang / penanda evakuasi Prosentase (%) Tidak ada plang Ada plang Tidak ada plang Ada plang A B C D E Sumber: analisis penulis, 2015 Masyarakat KRB telah diberikan pemahaman mengenai bentuk dan jenis ramburambu evakuasi yang dipasang sepanjang rute evakuasi, di KRB Gunung Merapi memiliki kurang lebih dari 1000 penanda yang berkaitan dengan rute evakuasi. Penanda/ plang yang berada di jalur evakuasi sudah diberi warna yang mencolok dan tulisan yang mudah dibaca. Hal tersebut dikarenakan kondisi masyarakat yang menuju barak pengungsian dalam keadaan panik. Penanda/ plang dibuat secara permanen dan mempunyai kualitas yang baik agar tetap dapat digunakan ketika bencana berlangsung.penenda yang dibuat oleh pemerintah telah memberikan informasi yang cukup jelas dan mudah dimengerti oleh masyarakat selama proses evakuasi berlangsung. Penanda/ plang terpasang pada persimpangan jalan, contohnya dipertigaan jalan. Rute evakuasi yang diletakkan pada kawasan rawan bencana akan lebih mempermudah masyarakat KRB Gunung Merapi saat menuju barak pengungsian. Berdasar tabel bahwa setiap sektor sudah diberikan penanda/plang evakuasi oleh PemerintahDaerah menuju barak pengungsian di setiap sektor, untuk sektor A disediakan berjumlah 150 plang, sektor B berjumlah 200 plang, sektor C berjumlah 200 plang, sektor D berjumlah 200 plang, sedangkan sektor E berjumlah 250 plang. Seluruh wilayah yang dievakuasi terlayani plang/penanda sesuai yang dikatakan Blong,1984 keberadaan plang evakuasi akan mempermudah pemahaman rute evakuasi pada pengungsi. Untuk rata-rata dari total ketersediaan plang/ penanda evakuasi sebesar 100%. 92

20 Kapasitas Komunikasi Dan Transportasi Evakuasi KRB Gunung Merapi a) Kapasitas Komunikasi Evakuasi KRB Gunung Merapi Tabel 5.8 Kapasitas Komunikasi evakuasi Adanya alat komunikasi evakuasi Prosentase (%) Tidak ada Handy Talky Ada Handy Talky Tidak ada Handy Talky Ada Handy Talky A B C D E Sumber: analisis penulis, 2015 Komunikasi di KRB Gunung Merapi merupakan alat komunikasi yang digunakan guna memperlancar evakuasi. Alat komunikasi yang disediakan oleh Pemerintah Daerah berupa Handy Talky (HT) diberikan kepada relawan,tokoh masyarakat seperti kepala dukuh, dan SAR. Alat komunikasi ini diberikan supaya proses evakuasi berjalan seefektif mungkin, tanpa kesalahan sedikitpun. Kesalahan yang sedikit saja bisa sangat berbahaya karena berhubungan dengan keselamatan jiwa seseorang. Alat komunikasi diberikan kepada masyarakat KRB supaya masyarakat mengetahui perkembangan informasi mengenai proses evakuasi, supaya tidak salah jalur evakuasi, dan mengetahui perkembangan aktivitas Gunung Merapi mengenai letusannya, luncuran awan panasnya, hingga arah aliran laharnya, sehingga Pemerintah Daerah bisa langsung menginformasikan langsung apa yang harus dilakukan masyarakat KRB pada saat itu. Informasi yang cepat harus segera diinformasikan kepada masyarakat KRB agar bisa segera mungkin menghindari bahaya letusan Gunung Merapi, sehingga evakuasi bisa berjalan efektif dan tidak menimbulkan korban jiwa. Berdasar tabel bahwa Pemerintah Daerah sudah memberikan alat komunikasi HT ke seluruh sektor yang ada di KRB Gunung Merapi, sektor A memiliki HT berjumlah 116, sektor B berjumlah 187, sektor C berjumlah 196, sektor D berjumlah 236, sedangkan sektor E berjumlah 278. Selain alat komunikasi dari Pemerintah Daerah, secara mandiri masyarakat KRB memiliki radio lokal di Dusun Turgo yang bernama Radio Turgo Asri, dengan frekuensi 14,96 Mhz yang dikelola secara swadaya dengan sistem paguyuban. Radio lokal Turgo Asri secara khusus memberikan informasi mengenai aktivitas Gunung Merapi. Radio ini sangat membantu masyarakat KRB terutama disaat Gunung Merapi memiliki aktivitas yang mulai tinggi, sedangkan disaat evakuasi radio Turgo Asri juga memberikan informasi perkembangan aktivitas Gunung Merapi sehingga masyarakat KRB bisa mengambil keputusa apa yang harus 93

21 dilakukan dengan perkembangan aktivitas Gunung Merapi yang diinformasikan oleh radio lokal ini. Seluruh wilayah terlayani komunikasi akan memudahkan evakuasi (Blong, 1984). b) Kapasitas Moda Transportasi Evakuasi KRB Gunung Merapi Tabel 5.9 Kapasitas moda transportasi Jumlah Jumlah Jumlah Kapasitas Kapasitas Jumlah Prosentase Persentase Moda pengungsi pengungsi truk dalam 2 mengangkut penduduk penduduk penduduk menggunakan jam orang yang yang tidak terlayani truk evakusi (diasumsikan (diasumsikan tidak terlayani (%) (asumsi 60% satu truk satu kali pp terlayani (%) dari seluruh menampung titik kumpul- pengungsi) 40 orang) barak pengungsian setengah jam) A B C D E Sumber: analisis penulis, 2015 Moda transportasi evakuasi merupakan kendaraan dari Pemerintah Daerah yang digunakan untuk evakuasi menuju barak pengungsian. Evakuasi yang terdapat di KRB Gunung Merapi saat terjadi bencana letusan ada dua, yaitu evakuasi dari pemerintah dan evakuasi mandiri. Evakuasi dari pemerintah menggunakan truk yang dikoordinasikan oleh BPBD Kabupaten Sleman ketika terjadi letusan, sedangkan evakuasi mandiri menggunakan kendaraan pribadi dari masyarakat KRB baik mobil maupaun sepeda motor. Pemerintah Daerah telah memberikan kendaraan evakuasi berupa truk evakuasi. Namun ketersediaan truk evakuasi masih belum bisa melayani jumlah pengungsi yang masuk ke dalam skenario evakuasi baik di sektor A, sektor B, sektor C, sektor D, dan sektor E. Kendaraan evakuasi sangatlah krusial keberadaannya karena digunakan untuk mengangkut pengungsi menuju barak pengungsian. Jumlah kendaraan evakuasi yang kurang jumlahnya akan sangat berbahaya bagi keselamatan masyarakat KRB. Masyarakat KRB sebagian besar petani dan peternak beberapa sudah memiliki kendaraan sepeda motor, namun bila evakuasi terjadi sepeda motor hanya mampu mengangkut dua orang. Anggota keluarga yang lain sangat bergantung pada truk evakuasi dari Pemerintah Daerah untuk diungsikan menuju barak pengungsian, begitu pula masyarakat KRB commit yang to tidak user memiliki kendaraan bermotor. Keadaan truk evakuasi yang belum bisa melayani seluruh masyarakat KRB sangat membahayakan 94

22 keselamatan pengungsi. Bila mereka jalan kaki atau menunggu anggota keluarganya secara bergantian menjemput ke hunian/titik kumpul kemudian menuju barak pengungsian bisa membutuhkan waktu yang sangat lama, dengan karakter Gunung Merapi yang bisa meletus sewaktu-waktu akan sangat berbahaya bagi pengungsi. Berdasar tabel bahwa truk evakuasi di wilayah KRB bisa melayani pengungsi untuk wilayah sektor A sebesar 4%, sektor B bisa melayani sebesar 3%, sektor C bisa melayani sebesar 3%, sektor D bisa melayani sebesar 3%, sedangkan sektor E bisa melayani sebesar 5%. Seharusnya moda transportasi harus bisa memenuhi pelayanan pengungsi (Blong, 1984). Rata-rata dari total keseluruhan sektor ketersediaan moda transportasi sebesar 3,6%, untuk rata-rata moda transportasi seluruh kawasan yang masuk skenario evakuasi sebesar 21,4% Kapasitas Barak Pengungsian KRB Gunung Merapi a) Kapasitas Daya Tampung Barak Pengungsian KRB Gunung Merapi Tabel 5.10 Kapasitas barak pengungsian Desa Barak Tujuan Daya Tampung Dusun Jumlah Pengungsi Terdampak Per Dusun Jumlah Penduduk Tidak Terlayani Jumlah Penduduk Terlayani Perse ntase Terlay ani (%) A Girikerto Barak Girikerto 500 Kemirikerto Skenari Kloposawit 412 o 10 Ngandong 897 km Nganggring 813 Purwobinangun Barak 500 Kemiri Purwobinangun Ngepring 909 Turgo 776 Wonokerto Barak 500 Gondoarum Wonokerto Manggungsari 638 tunggularum 579 Skenari Barak Girikerto Barak 500 Barak Girikerto o 15 Pondokrejo Babadan 850 km Bangunmulyo 453 Pancoh 525 Sukareja 583 Barak Barak Alternatif Purwobinangun (PBPTH Yogyakarta, 700 Barak Purwobinangun Sembung

23 BLK Sleman) Tawangrejo 617 Wringin 470 Glondong 599 Jamblangan 560 Ngelosari 351 Potro 315 Barak Barak 300 Barak Wonokerto Lumbungrejo Wonokerto Banjarsari 514 Imorejo 732 Jambusari 741 Sempu Merdikorejo Barak 300 Semua Dusun Merdikorejo di Merdikorejo B Hargobinangun Barak 500 Kaliurang Skenari o sektor Hargobinangun Timur Ngipikasari km Banteng 761 Tenan 550 Hargobinangun Shelter ACT 500 Kaliurang Barat Gondanglegi Boyong 769 Purworejo 431 Wonorejo 422 Skenari o 15 km C Skenari o 10 km Barak UII 2000 Barak Hargobinangun dan Shelter Hargobinangun Shelter ACT ACT Gondanglegi Gondanglegi Sawungan 579 Baratan 344 Cemoroharjo 773 Kemput 589 Kumendung 414 Nepen 616 Pakis Aji 215 Potrowangsan 221 Umbulharjo Barak Brayut 500 Pelemsari Pangukrejo 730 Dusun 305 Gondang Gambretan

24 Skenari o 15 km D Skenari o 10 km Skenari o 15 km perpustakaan.uns.ac.id Karanggeneng 528 Umbulharjo Barak 500 Gondang Plosokerep Balong 539 Plosorejo 439 Plosokerep 505 Huntap Pagerjurang Umbulharjo dan Barak 1000 Barak Brayut Wukirsari Umbulmartani Barak Plosokerep Pentingsari 377 Bedoyo 467 Cancangan 523 Glagahwero 425 Karangpakis 520 Selorejo 321 Sembungan 566 Surodadi 201 Tanjung 375 Pakembinangun UII 2000 Demen 883 Skenario Duwetsari Kertodadi Purwodadi Sambi km, sektor B menuju UII, kekurangan 8.061, ditambah menjadi Kepuharjo Barak Kiyaran 1000 Batur dan Balai Desa Huntap Batur 636 Wukirsari Kepuh 342 Kopeng 386 Pagerjurang 481 Petung 380 Kepuharjo dan Barak Kuwang 500 Barak Kiyaran Wukirsari dan Balai Desa Wukirsari Bulaksalak 626 Cakran

25 Duwet 302 Gondang 305 Gungan 596 Ngemplak 150 Ngepringan 312 Salam 265 Argomulyo Barak 400 Bakalan Bimomartani Jaranan 341 Jetis 461 Karanglo 278 Kebur Lor 335 Kuwang 481 Panggung 217 Suruh 497 Bronggang Teplok 246 E Glagaharjo Barak 200 Kalitengah Lor Skenari o 10 km Glagaharjo Kalitengah Kidul Srunen Glagaharjo Barak Gayam 500 Gading Glagahmalang 261 Jetis Sumur 239 Singlar 333 Skenari Barak Barak 200 Kalitengah Lor o 15 Glagaharjo Glagaharjo Kalitengah 321 km Kidul Srunen 412 Argomulyo Barak Koripan 500 Banaran Dliring 340 Gadingan 444 Gayam 400 Jiwan 305 Kauman 266 Mudal 372 Sumber: analisis penulis, ) A A merupakan wilayah yang dibatasi oleh Sungai Krasak dengan Sungai Boyong. Pada skenario 10 km, wilayah ini mencakup Desa Girikerto, Purwobinangun, dan 98

26 Wonokerto. Pada wilayah ini, secara keseluruhan terdapat 15 dusun terdampak. Adapun barak pengungsian yang dapat digunakan yaitu Barak Girikerto, Barak Purwobinangun, dan Barak Wonokerto. Penggunaan masing-masing barak tersebut dibagi berdasarkan wilayah administratif sehingga perkiraan penduduk terdampak barak tujuan evakuasi dapat dilihat dalam tabel. Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahu bahwa terdapat kekurangan kapasitas pada barak-barak yang menampung pengungsi. Pada barak Girikerto terdapat kekurangan kapasitas sebanyak orang, pada Barak Purwobinangun terdapat kekurangan orang, sedangkan pada Barak Wonokerto terdapat kekurangan kapasitas sebanyak orang. Skenario 15 km merupakan perluasan dari skenario 10 km. Pada dasarnya, prinsip evakuasi pada skenario ini adalah pengungsi yang menempati tempat-tempat evakuasi skenario 10 km dan penduduk yang tinggal pada rasius 15 km harus menjauh dan mengungsi di barak-barak radius aman. Untuk wilayah sektor A, barak-barak pengungsian yang dapat diaktifkan untuk skenario 15 km adalah Barak Pondokrejo dan Lumbungrejo. Pembagian penggunaan masing-masing barak adalah Barak Pondokrejo digunakan untuk menampung pengungsi dari Barak Girikerto, Dusun Babadan, Bangunmulyo, Pancoh, dan Sukareja. Barak Alternatif (BLK Sleman dan BPBPTH Yogyakarta) digunakan untuk menampung pengungsi dari Dusun Glondong, Jamblangan, Ngelosari, Potro, Sembung Tawangrejo, dan Wringin. Sedangkan Barak Merdikorejo digunakan untuk menampung penduduk-penduduk yang tinggal di Merdikorejo.Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa terdapat kekurangan kapasitas sebanyak orang, pada Barak Lumbungrejo terdapat kekurangan kapasitas sebanyak orang, sedangkan pada Barak Merdikorejo kekurangna kapasitas sebanyak orang. Seharusnya barak pengungsian bisa menampung seluruh pengungsi (Ema, 2005). 2) B B merupakan wilayah yang dibatasi oleh Sungai Boyong dan Sungai Kuning. Wilayah pada sektor ini mencakup satu desa yaitu Hargobinangun dan mencakup delapan dusun terdampak. Pada skenario 10 km, di wilayah sektor ini terdapat dua barak yang dapat diaktifkan untuk menampung pengungsi yaitu Barak Hargobinangaun dan Barak Gondanglegi. Pembagian barak dapat dilakukan berdasarkan faktor keterjangkauan dan aksesibilitas barak dari masing-masing dusun sehingga Barak Hargobinangun dapat digunakan untuk menampung pengungsi dari Dusun Kaliurang Timur, Ngipiksari, Banteng, dan Tanen sedangkan Barak Gondanglegi dapat digunakan untuk menampung pengungsi dari Dusun Kaliurang Barat, Boyong, Purworejo, dan Wonorejo. Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa terdapat kekurangan kapasitas pada barak-barak untuk menampung 99

27 pengungsi. Pada Barak Hargobinangun terdapat kekurangan kapasitas sebanyak orang dan pada Shelter ACT Gondanglegi terdapat kekurangan kapasitas sebanyak orang. Untuk skenario 15 km, pada sektor B terapat satu barak yang dapat digunakan untuk menampung penduduk. Barak tersebut adalah Kampus Universitas Islam Indonesia (UII) digunakan untuk menampung pengungsi dari Barak Hargobinangun dan Shelter ACT Gondanglegi ditambah pengungsi dari beberapa dusun yaitu Dusun Sawungan, Baratan, Cemoroharjo, Kemput, Kumendung, Nepen, Pakis Aji, dan Potrowangsan. Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa terdapat kekurangan kapasitas pada barak-barak untuk menampung pengungs. Pada kampus UII terdapat kekurangan sebesar orang. Seharusnya barak pengungsian di sektor B bisa menampung seluruh pengungsi (Ema, 2005). 3) C C mencakup wilayah yang dibatsi oleh Sungai Kuning dan Opak. Wilayah ini terutama mencakp Desa Umbulharjo. Untuk menampung pengungsi pada skenario area terdampak 10 km terdapat tiga barak yang dapat diaktifkan yaitu Barak Umbulharjo, Barak Brayut, dan Barak Plosokerep. Karena Barak Umbulharjo termasuk salah satu barak yang berlokasi paling di atas jika dibandingkan dengan barak-barak yang lain maka barak ini digunakan hanya sebagai titik kumpul atau apabila secara terpaksa akan digunakan untuk menampung pengungsi maka hanya bersifat sementara. Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa terdapat kekurangan kapasitas pada barak-barak pengungsi. Pada Barak Brayut terdapat kekurangan kapasitas sebanyak orang dan pada Barak Plosokerep terdapat kekurangan kapasitas sebanyak orang. Untuk skenario 10 km, pada wilayahsektor C, pengungsi dapat diarahkan untuk menuju Barak Umbulmartani dan UII. Pengungsi yang semula menempati Barak Brayut dan Barka Plosokerep, penduduk Dusun Pentingsari, dan sebagian penduduk Desa Wkirsari dapat diarahkan untuk mengungsi ke Barak Umbulmartani. Sementara itu penduduk Desa Pakembinangun dapat diarahkan mengungsi ke Kampus UII. Berdasar tabel dapat diketahui bahwa terdapat kekurangan kapasitas pada barak-barak untuk menampung pengungsi. Pada Barak Umbulmartani terdapat kekurangan kapasitas total sebanyak orang karena barak tersebut diarahkan sebagai lokasi pengungsian bagi penduduk dari dua desa yaitu Umbulharjo dan Wukirsari sedangkan penduduk Desa Pakembinangun pada skenario 15 km ini diarahkan untuk mengungsi ke Kampus UII sehingga pada kampus UII terdapat kekurangan kapasitas sebanyak orang, sehingga totalnya jika ditambahkan dengan B (Desa Hargobinangun dan Desa Candibinangun) sebanyak = orang. Seharusnya barak pengungsian di sektor C bisa menampung seluruh pengungsi (Ema, 2005). 100

Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sleman 2013

Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sleman 2013 Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sleman 2013 1 Kebijakan Teknis Evakuasi Kebijakan teknis evakuasi merupakan bagian dari Skenario Rencana Penanggulangan Bencana Erupsi Gunungapi Merapi Menyusun

Lebih terperinci

KELAYAKAN SISTEM EVAKUASI KAWASAN RAWAN BENCANA LETUSAN GUNUNG MERAPI DI KABUPATEN SLEMAN

KELAYAKAN SISTEM EVAKUASI KAWASAN RAWAN BENCANA LETUSAN GUNUNG MERAPI DI KABUPATEN SLEMAN KELAYAKAN SISTEM EVAKUASI KAWASAN RAWAN BENCANA LETUSAN GUNUNG MERAPI DI KABUPATEN SLEMAN Dicky Setya Adi W, Kusumastuti, Isti Andini Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5.1. Data Hasil Inventarisasi Setelah dilakukan inventarisasi data, maka didapatkan data berupa lokasi barak pengungsian di zona 1, data lokasi gudang penyimpanan logistik,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Metode dan Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian penilaian kelayakan sistem Kawasan Rawan Bencana (KRB) letusan Gunung Merapi di Kabupaten Sleman. Dalam pengamatan

Lebih terperinci

Tabel 7.1. Pembagian Kemompok Prioritas. Perlengkapan umum. Pangan non beras

Tabel 7.1. Pembagian Kemompok Prioritas. Perlengkapan umum. Pangan non beras BAB 7 PENUTUP 7.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis penelitian, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: a. Berdasarkan analisis jarak terpendek lokasi gudang penyalur menuju lokasi bencana serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk dijadikan permukiman sehingga muncul larangan bermukim. Merapi terletak antara dua provinsi yakni Daerah Istimewa

BAB I PENDAHULUAN. untuk dijadikan permukiman sehingga muncul larangan bermukim. Merapi terletak antara dua provinsi yakni Daerah Istimewa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia yang tidak dapat terelakkan. Semakin tinggi pertumbuhan penduduk semakin banyak kebutuhan lahan yang harus disiapkan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai Maluku (Wimpy S. Tjetjep, 1996: iv). Berdasarkan letak. astronomis, Indonesia terletak di antara 6 LU - 11 LS dan 95 BT -

BAB I PENDAHULUAN. sampai Maluku (Wimpy S. Tjetjep, 1996: iv). Berdasarkan letak. astronomis, Indonesia terletak di antara 6 LU - 11 LS dan 95 BT - 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai suatu negara kepulauan yang mempunyai banyak sekali gunungapi yang berderet sepanjang 7000 kilometer, mulai dari Sumatera, Jawa,

Lebih terperinci

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI JALAN DIPONEGORO NO. 57 BANDUNG 40122 JALAN JEND. GATOT SUBROTO KAV.49 JAKARTA 12950 Telepon: 022-7212834, 5228424 021-5228371

Lebih terperinci

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI JALAN DIPONEGORO NO. 57 BANDUNG 40122 JALAN JEND. GATOT SUBROTO KAV.49 JAKARTA 12950 Telepon: 022-7212834, 5228424 021-5228371

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan dengan masih aktifnya proses erupsi dan peningkatan aktifitas

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan dengan masih aktifnya proses erupsi dan peningkatan aktifitas BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Gunung Merapi merupakan salah satu gunungapi teraktif di dunia. Hal ini ditunjukkan dengan masih aktifnya proses erupsi dan peningkatan aktifitas vulkanik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Erupsi Gunung Merapi yang terjadi pada tahun 2010 merupakan salah satu letusan besar dalam catatan sejarah terjadinya erupsi Gunung Merapi. Letusan eksplosif yang terjadi

Lebih terperinci

7.2. Saran Penelitian Lanjutan

7.2. Saran Penelitian Lanjutan BAB 7 PENUTUP 7.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis penelitian, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Diperoleh model untuk meminimasi total rasio permintaan yang tidak terpenuhi. 2. Model

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari 30 gunung api aktif terdapat di Indonesia dengan lereng-lerengnya dipadati

BAB I PENDAHULUAN. dari 30 gunung api aktif terdapat di Indonesia dengan lereng-lerengnya dipadati BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia adalah negara yang kaya akan gunung api dan merupakan salah satu negara yang terpenting dalam menghadapi masalah gunung api. Tidak kurang dari 30

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang DAFTAR LAMPIRAN 1. Peta Lokasi Huntap Komunal Di Kecamatan Cangkringan, Sleman 2. Peta Persil Huntap Banjarsari, Desa Glagahharjo, Kecamatan Cangkringan 3. Peta Persil Huntap Batur, Desa Kepuhharjo, Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan letak astronomis, Indonesia terletak diantara 6 LU - 11 LS

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan letak astronomis, Indonesia terletak diantara 6 LU - 11 LS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dan memiliki kurang lebih 17.504 buah pulau, 9.634 pulau belum diberi nama dan 6.000 pulau tidak berpenghuni

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. a. Letak, Luas, dan Batas Wilayah. dengan batas-batas administratif sebagai berikut:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. a. Letak, Luas, dan Batas Wilayah. dengan batas-batas administratif sebagai berikut: 35 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Daerah Penelitian 1. Kondisi Fisik a. Letak, Luas, dan Batas Wilayah Desa Argomulyo merupakan salah satu desa di Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak

Lebih terperinci

BAB IV DATA DAN INFORMASI PEMBANGUNAN. Buku Profil BPBD Kabupaten Sleman Tahun

BAB IV DATA DAN INFORMASI PEMBANGUNAN. Buku Profil BPBD Kabupaten Sleman Tahun BAB IV DATA DAN INFORMASI PEMBANGUNAN Buku Profil BPBD Kabupaten Sleman 45 4.1. Data dan Informasi Hasil Pembangunan Kabupaten Sleman termasuk daerah yang rawan bencana karena terdapat Gunung Merapi dan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH. koorditat 07 º 40 42,7 LS 07 º 28 51,4 LS dan 110º 27 59,9 BT - 110º 28

KEADAAN UMUM WILAYAH. koorditat 07 º 40 42,7 LS 07 º 28 51,4 LS dan 110º 27 59,9 BT - 110º 28 IV. KEADAAN UMUM WILAYAH A. Keadaan Geografi 1. Letak dan Luas Wilayah Desa Desa Kepuharjo terletak di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Wilayah Desa Kepuharjo secara geografis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan berada di jalur cincin api (ring of fire). Indonesia berada di kawasan dengan

I. PENDAHULUAN. dan berada di jalur cincin api (ring of fire). Indonesia berada di kawasan dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan kepulauan Indonesia merupakan daerah pertemuan lempeng bumi dan berada di jalur cincin api (ring of fire). Indonesia berada di kawasan dengan curah hujan yang relatif

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Ringkasan Temuan Penahapan penanggulangan bencana erupsi Gunung Kelud terdapat lima tahap, yaitu tahap perencanaan penanggulangan bencana erupsi Gunung Kelud 2014, tahap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gunungapi Merapi merupakan jenis gunungapi tipe strato dengan ketinggian 2.980 mdpal. Gunungapi ini merupakan salah satu gunungapi yang masih aktif di Indonesia. Aktivitas

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR KELAYAKAN SISTEM EVAKUASI KAWASAN RAWAN BENCANA LETUSAN GUNUNG MERAPI DI KABUPATEN SLEMAN

TUGAS AKHIR KELAYAKAN SISTEM EVAKUASI KAWASAN RAWAN BENCANA LETUSAN GUNUNG MERAPI DI KABUPATEN SLEMAN TUGAS AKHIR KELAYAKAN SISTEM EVAKUASI KAWASAN RAWAN BENCANA LETUSAN GUNUNG MERAPI DI KABUPATEN SLEMAN (Studi Kasus : KRB Gunung Merapi Kabupaten Sleman DIY) Diajukan Sebagai Syarat untuk Mencapai Jenjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gunung Merapi merupakan gunung api tipe strato, dengan ketinggian 2.980 meter dari permukaan laut. Secara geografis terletak pada posisi 7 32 31 Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN LOKASI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN LOKASI PENELITIAN BAB II TINJAUAN LOKASI PENELITIAN 2.1 PROFIL KABUPATEN SLEMAN 2.1.1 Letak Wilayah Menurut Statistik Kebudayaan dan Pariwisata (2010: 3), secara geografis Kabupaten Sleman terletak diantara 107º 15ʹ 03ʺ

Lebih terperinci

BAB 3 ANALISIS PERENCANAAN

BAB 3 ANALISIS PERENCANAAN BAB 3 ANALISIS PERENCANAAN 3.1. ANALISIS KESESUAIAN ANTARA KEBUTUHAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI DENGAN PELAKSANAAN KEGIATAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI TAHUN 2011 2013 Analisis ini bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS 5.1 Analisis Evakuasi

BAB V ANALISIS 5.1 Analisis Evakuasi BAB V ANALISIS Pada bab ini dilakukan analisis terhadap proses dan hasil pengembangan model yang sudah dibuat. 5.1 Analisis Evakuasi Berdasarkan pengembangan model yang dilakukan untuk menentukan total

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH. A. Kondisi Geofisik. aksesibilitas baik, mudah dijangkau dan terhubung dengan daerah-daerah lain

KARAKTERISTIK WILAYAH. A. Kondisi Geofisik. aksesibilitas baik, mudah dijangkau dan terhubung dengan daerah-daerah lain III. KARAKTERISTIK WILAYAH A. Kondisi Geofisik 1. Letak Geografis Desa Kepuharjo yang berada sekitar 7 Km arah Utara Kecamatan Cangkringan dan 27 Km arah timur laut ibukota Sleman memiliki aksesibilitas

Lebih terperinci

PROPOSAL : PEMBANGUNAN RUMAH SAHABAT SALIMAH PW SALIMAH DIYOGYAKARTA 2010

PROPOSAL : PEMBANGUNAN RUMAH SAHABAT SALIMAH PW SALIMAH DIYOGYAKARTA 2010 PROPOSAL PROGRAM PEMBANGUNAN RUMAH SAHABAT PW DIYOGYAKARTA 2010 NAMA PROGRAM : PEMBANGUNAN RUMAH SAHABAT RASIONALISASI : 1. Erupsi Merapi Oktober November 2010 menimbulkan sekian banyak korban : ratusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk wilayah pacific ring of fire (deretan Gunung berapi Pasifik), juga

BAB I PENDAHULUAN. termasuk wilayah pacific ring of fire (deretan Gunung berapi Pasifik), juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak pada zona rawan bencana. Posisi geografis kepulauan Indonesia yang sangat unik menyebabkan Indonesia termasuk

Lebih terperinci

TENTANG KAWASAN RAWAN BENCANA GUNUNGAPI MERAPI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN,

TENTANG KAWASAN RAWAN BENCANA GUNUNGAPI MERAPI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, PERATURAN BUPATI SLEMAN NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG KAWASAN RAWAN BENCANA GUNUNGAPI MERAPI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, Menimbang : a. bahwa salah satu upaya penyelamatan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 86 desa sebagian besar berada pada kawasan rawan bencana baik. yang berasal dari Gunung Merapi, gempa bumi, banjir lahar maupun

BAB I PENDAHULUAN. 86 desa sebagian besar berada pada kawasan rawan bencana baik. yang berasal dari Gunung Merapi, gempa bumi, banjir lahar maupun BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Wilayah Kabupaten Sleman meliputi 17 kecamatan terdiri atas 86 desa sebagian besar berada pada kawasan rawan bencana baik yang berasal dari Gunung Merapi, gempa bumi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bencana. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

BAB I PENDAHULUAN. bencana. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semua daerah tidak pernah terhindar dari terjadinya suatu bencana. Bencana bisa terjadi kapan dan dimana saja pada waktu yang tidak diprediksi. Hal ini membuat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pelaksanaan Hak Magersari di Atas Tanah Sultanaat Ground di

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pelaksanaan Hak Magersari di Atas Tanah Sultanaat Ground di BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Hak Magersari di Atas Tanah Sultanaat Ground di Cangkringan Sleman 1. Deskripsi Lokasi Penelitian a. Lokasi Penerlitian Cangkringan adalah sebuah kecamatan

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN

BAB II DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN A. Profil Kabupaten Sleman BAB II DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN Gambar 2.1 Peta Kabupaten Sleman Sumber: Peta Tematik Indonesia diakses pada tanggal 12 Juli 2016, Pukul 22.00 WIB 1. Sejarah Sejarah Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hindia dan Samudera Pasifik. Pada bagian Selatan dan Timur Indonesia terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Hindia dan Samudera Pasifik. Pada bagian Selatan dan Timur Indonesia terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik, yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia dan Samudera

Lebih terperinci

Kajian Struktur Ruang Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Merapi Kabupaten Sleman

Kajian Struktur Ruang Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Merapi Kabupaten Sleman Kajian Struktur Ruang Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Merapi Kabupaten Sleman Septiana Fathurrohmah, Ayu Candra Kurniati septianafath@gmail.com Abstrak Di Indonesia, korban jiwa akibat bencana gunungapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Definisi banjir ialah aliran air sungai yang tingginya melebih muka air normal, sehinga melimpas dari palung sungai menyebabkan adanya genangan pada lahan rendah di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Letusan Gunung Merapi pada tanggal 26 Oktober sampai 5 Nopember

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Letusan Gunung Merapi pada tanggal 26 Oktober sampai 5 Nopember 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Letusan Gunung Merapi pada tanggal 26 Oktober sampai 5 Nopember 2010 tercatat sebagai bencana terbesar selama periode 100 tahun terakhir siklus gunung berapi teraktif

Lebih terperinci

PERUBAHAN KONDISI FISIK PASCA ERUPSI GUNUNGAPI MERAPI TAHUN 2010 DI DESA GLAGAHARJO PROVINSI DIY

PERUBAHAN KONDISI FISIK PASCA ERUPSI GUNUNGAPI MERAPI TAHUN 2010 DI DESA GLAGAHARJO PROVINSI DIY ISSN 0126-8138 15 PERUBAHAN KONDISI FISIK PASCA ERUPSI GUNUNGAPI MERAPI TAHUN 2010 DI DESA GLAGAHARJO PROVINSI DIY Oleh I Putu Ananda Citra Jurusan Pendidikan Geografi Universitas Pendidikan Ganesha ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Pasca erupsi Gunung Merapi tahun 2010, Pemerintah Pusat melalui Badan

BAB VI PENUTUP. Pasca erupsi Gunung Merapi tahun 2010, Pemerintah Pusat melalui Badan BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan Pasca erupsi Gunung Merapi tahun 2010, Pemerintah Pusat melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengeluarkan kebijakan relokasi atas dasar pertimbangan Peta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Di Indonesia banyak sekali terdapat gunung berapi, baik yang masih aktif maupun yang sudah tidak aktif. Gunung berapi teraktif di Indonesia sekarang ini adalah Gunung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terbanyak di dunia dengan 400 gunung berapi, terdapat sekitar 192 buah

BAB I PENDAHULUAN. terbanyak di dunia dengan 400 gunung berapi, terdapat sekitar 192 buah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan salah satu negara dengan gunung berapi terbanyak di dunia dengan 400 gunung berapi, terdapat sekitar 192 buah gunung berapi yang masih aktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi yang masih ada hingga sampai saat ini. Kerugian material yang ditimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi yang masih ada hingga sampai saat ini. Kerugian material yang ditimbulkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Erupsi Merapi yang terjadi pada bulan Oktober 2010 telah memberikan banyak pelajaran dan meninggalkan berbagai bentuk permasalahan baik sosial maupun ekonomi yang masih

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Penelitian bertujuan untuk menganalisis tingkat risiko kesehatan masyarakat di Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunungapi Merapi dengan menggunakan variabel dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gunungapi Merapi, berdasar sumber informasi dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, merupakan gunungapi aktif yang dipadati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Ring of fire) dan diapit oleh pertemuan lempeng tektonik Eurasia dan

BAB I PENDAHULUAN. (Ring of fire) dan diapit oleh pertemuan lempeng tektonik Eurasia dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang dilintasi oleh jalur api (Ring of fire) dan diapit oleh pertemuan lempeng tektonik Eurasia dan Australia. Letak wilayah

Lebih terperinci

PERUBAHAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA GLAGAHARJO PASCA ERUPSI GUNUNGAPI MERAPI TAHUN 2010 ABSTRAK

PERUBAHAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA GLAGAHARJO PASCA ERUPSI GUNUNGAPI MERAPI TAHUN 2010 ABSTRAK ISSN 1412-8683 60 PERUBAHAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA GLAGAHARJO PASCA ERUPSI GUNUNGAPI MERAPI TAHUN 2010 Oleh I Putu Ananda Citra Jurusan Pendidikan Geografi Universitas Pendidikan Ganesha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan provinsi yang terletak di bagian tengah-selatan Pulau Jawa, berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah dan berhadapan langsung dengan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang

BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Indonesia rawan akan bencana yang diakibatkan oleh aktivitas gunungapi. Salah satu gunungapi aktif yang ada di Indonesia yaitu Gunungapi Merapi dengan ketinggian 2968

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan 1

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Gunungapi Merapi dikenal sebagai gunungapi teraktif dan unik di dunia, karena periode ulang letusannya relatif pendek dan sering menimbulkan bencana yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Artinya, bagaimana partisipasi/keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan bencana

BAB I PENDAHULUAN. Artinya, bagaimana partisipasi/keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan bencana BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Skripsi ini menganalisis tentang partisipasi masyarakat dalam mitigasi bencana. Artinya, bagaimana partisipasi/keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan bencana terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki lebih dari 17.000 pulau. Indonesia terletak diantara 2 benua yaitu benua asia dan benua australia

Lebih terperinci

BUKU SISWA ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

BUKU SISWA ILMU PENGETAHUAN SOSIAL BUKU SISWA ILMU PENGETAHUAN SOSIAL KELAS VI SEMESTER 2 CARA- CARA PENANGGULANGAN BENCANA ALAM A. CARA- CARA MENGHADAPI BENCANA ALAM 1. Menghadapi Peristiwa Gempa Bumi Berikut adalah upaya yang dapat dilakukan

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL UJICOBA LAPANGAN CHILD PROTECTION RAPID ASSESMENT dalam Situasi Darurat Kabupaten Sleman, Yogyakarta - Juli 2011

LAPORAN HASIL UJICOBA LAPANGAN CHILD PROTECTION RAPID ASSESMENT dalam Situasi Darurat Kabupaten Sleman, Yogyakarta - Juli 2011 Gedung Nusantara II (Gedung Ex-PAU Ekonomi) Lantai 1 FISIP UI, Kampus UI Depok. Depok 16424 T: (021) 788 49181 F: (021) 788 49182 LAPORAN HASIL UJICOBA LAPANGAN CHILD PROTECTION RAPID ASSESMENT dalam Situasi

Lebih terperinci

SISTEM PENANGGULANGAN BENCANA GUNUNG API GAMALAMA DI PERMUKIMAN KAMPUNG TUBO KOTA TERNATE

SISTEM PENANGGULANGAN BENCANA GUNUNG API GAMALAMA DI PERMUKIMAN KAMPUNG TUBO KOTA TERNATE SISTEM PENANGGULANGAN BENCANA GUNUNG API GAMALAMA DI PERMUKIMAN KAMPUNG TUBO KOTA TERNATE Annastasia Gadis Pradiptasari 1, Dr. Judy O. Waani, ST. MT 2, Windy Mononimbar, ST. MT 3 1 Mahasiswa S1 Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Merapi ditingkatkan dari normal menjadi waspada, dan selanjutnya di tingkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Merapi ditingkatkan dari normal menjadi waspada, dan selanjutnya di tingkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Menurut Gema Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) (2011:14), Gunung Merapi merupakan salah satu gunung berapi yang paling aktif di dunia. Erupsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan lebih dari pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.

BAB I PENDAHULUAN. dengan lebih dari pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan lebih dari 13.466 pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Wilayah Indonesia terbentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. letusan dan leleran ( Eko Teguh Paripurno, 2008 ). Erupsi lelehan menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. letusan dan leleran ( Eko Teguh Paripurno, 2008 ). Erupsi lelehan menghasilkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gunungapi Merapi merupakan gunung yang aktif, memiliki bentuk tipe stripe strato yang erupsinya telah mengalami perbedaan jenis erupsi, yaitu erupsi letusan dan leleran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia yang merupakan daerah katulistiwa mempunyai letak geografis pada 80 LU dan 110 LS, dimana hanya mempunyai dua musim saja yaitu musim hujan dan musim kemarau.

Lebih terperinci

Kemampuan Tampungan Sungai Code Terhadap Material Lahar Dingin Pascaerupsi Gunungapi Merapi Tahun 2010

Kemampuan Tampungan Sungai Code Terhadap Material Lahar Dingin Pascaerupsi Gunungapi Merapi Tahun 2010 Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan Volume 3, Nomor 2, Juni 2011, Halaman 81 87 ISSN: 2085 1227 Kemampuan Tampungan Sungai Code Terhadap Material Lahar Dingin Pascaerupsi Gunungapi Merapi Tahun 2010

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara dengan jumlah dan variasi bencana

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara dengan jumlah dan variasi bencana 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara dengan jumlah dan variasi bencana terbanyak di dunia. Dari mulai gempa bumi, tsunami, gunung berapi, puting beliung, banjir, tanah longsor

Lebih terperinci

Contents BAB I... 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pokok Permasalahan Lingkup Pembahasan Maksud Dan Tujuan...

Contents BAB I... 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pokok Permasalahan Lingkup Pembahasan Maksud Dan Tujuan... Contents BAB I... 1 PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2 Pokok Permasalahan... 2 1.3 Lingkup Pembahasan... 3 1.4 Maksud Dan Tujuan... 3 1.5 Lokasi... 4 1.6 Sistematika Penulisan... 4 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Kondisi Fisiografi 1. Letak Wilayah Secara Geografis Kabupaten Sleman terletak diantara 110 33 00 dan 110 13 00 Bujur Timur, 7 34 51 dan 7 47 30 Lintang Selatan. Wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Erupsi Gunung Merapi tahun 2010 yang lalu adalah letusan terbesar jika dibandingkan dengan erupsi terbesar Gunung Merapi yang pernah ada dalam sejarah yaitu tahun 1872.

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1046, 2014 KEMENPERA. Bencana Alam. Mitigasi. Perumahan. Pemukiman. Pedoman. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ABSTRAK UCAPAN TERIMA KASIH

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ABSTRAK UCAPAN TERIMA KASIH DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ABSTRAK i UCAPAN TERIMA KASIH ii DAFTAR ISI iii DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR TABEL viii BAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Rumusan Masalah 2 1.3 Tujuan Penelitian 3 1.4 Manfaat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara Indonesia yaitu dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara

BAB I PENDAHULUAN. negara Indonesia yaitu dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah sebagai pelaksana roda pemerintahan dalam suatu Negara wajib menjamin kesejahteraan dan keberlangsungan hidup warga negaranya. Peran aktif pemerintah diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kondisi geografis Indonesia terletak pada busur vulkanik Circum Pacific and

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kondisi geografis Indonesia terletak pada busur vulkanik Circum Pacific and BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi geografis Indonesia terletak pada busur vulkanik Circum Pacific and Trans Asiatic Volcanic Belt dengan jajaran pegunungan yang cukup banyak dimana 129 gunungapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Erupsi Gunung Merapi merupakan fenomena alam yang terjadi secara

BAB I PENDAHULUAN. Erupsi Gunung Merapi merupakan fenomena alam yang terjadi secara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Erupsi Gunung Merapi merupakan fenomena alam yang terjadi secara periodik setiap tiga tahun, empat tahun atau lima tahun. Krisis Merapi yang berlangsung lebih dari

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. menjadi dua yaitu bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer

BAB I PENGANTAR. menjadi dua yaitu bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki 129 gunungapi yang tersebar luas mulai dari Pulau Sumatra, Pulau Jawa, Kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan Banda, Kepulauan Halmahera dan Sulawesi

Lebih terperinci

PREDIKSI KAPASITAS TAMPUNG SEDIMEN KALI GENDOL TERHADAP MATERIAL ERUPSI GUNUNG MERAPI 2006

PREDIKSI KAPASITAS TAMPUNG SEDIMEN KALI GENDOL TERHADAP MATERIAL ERUPSI GUNUNG MERAPI 2006 PREDIKSI KAPASITAS TAMPUNG SEDIMEN KALI GENDOL TERHADAP MATERIAL ERUPSI GUNUNG MERAPI 2006 Tiny Mananoma tmananoma@yahoo.com Mahasiswa S3 - Program Studi Teknik Sipil - Sekolah Pascasarjana - Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan wilayah yang mempunyai keunikan dan keistimewaan yang khas di dunia. Dengan jumlah pulau lebih dari 17.000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakat untuk bertani sayur guna memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakat untuk bertani sayur guna memenuhi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Desa Sengi yang terletak di lereng Gunung Merapi memiliki banyak potensi sumber daya alam. Kesuburan tanah dan ketersediaan debit air yang melimpah dimanfaatkan oleh

Lebih terperinci

MASYARAKAT DAS GENDOL DALAM MENGHADAPI BENCANA ERUPSI MERAPI

MASYARAKAT DAS GENDOL DALAM MENGHADAPI BENCANA ERUPSI MERAPI J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN, Vol. 21, No.1, Maret. 2014: 106-113 COPING CAPACITY MASYARAKAT DAS GENDOL DALAM MENGHADAPI BENCANA ERUPSI MERAPI (Coping Capacity of Watershed Gendol Community in Facing The

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. aspek fisik, psikis, dan psikososial (Dariyo, 2004). Jika dilihat dari

BAB 1 PENDAHULUAN. aspek fisik, psikis, dan psikososial (Dariyo, 2004). Jika dilihat dari BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Adolesen (remaja) adalah masa transisi/peralihan dari masa kanak kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis, dan psikososial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai merupakan torehan di permukaan bumi yang merupakan penampung dan penyalur alamiah aliran air, material yang dibawanya dari bagian hulu ke bagian hilir suatu daerah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. a. Letak, Luas dan Batas Wilayah. batas-batas administratif sebagai berikut:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. a. Letak, Luas dan Batas Wilayah. batas-batas administratif sebagai berikut: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Daerah Penelitian 1. Kondisi Geografis a. Letak, Luas dan Batas Wilayah Desa Jumoyo merupakan salah satu desa di Jawa Tengah yang terletak di wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai adalah aliran air di permukaan tanah yang mengalir ke laut. Sungai merupakan torehan di permukaan bumi yang merupakan penampung dan penyalur alamiah aliran air,

Lebih terperinci

KONDISI LINGKUNGAN PERMUKIMAN PASCA RELOKASI

KONDISI LINGKUNGAN PERMUKIMAN PASCA RELOKASI BAB 4 KONDISI LINGKUNGAN PERMUKIMAN PASCA RELOKASI Program Relokasi di Kelurahan Sewu dilatar belakangi oleh beberapa kondisi, diantaranya kondisi banjir yang tidak dapat di prediksi waktu terjadi seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam banjir bandang yang terjadi di daerah Batu Busuk Kelurahan Lambuang Bukit Kecamatan Pauh Kota Padang pada Bulan Ramadhan tanggal Selasa, 24 Juli 2012

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang, Bendung Krapyak berada di Dusun Krapyak, Desa Seloboro, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Secara geografis terletak pada posisi 7 36 33 Lintang Selatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Ancaman Bencana Gunung Api Di Indonesia (Sumber : BNPB dalam Website, 2011)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Ancaman Bencana Gunung Api Di Indonesia (Sumber : BNPB dalam Website,  2011) BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Gunung Merapi secara geografis terletak pada posisi 7º 32.5 Lintang Selatan dan 110º 26.5 Bujur Timur, dan secara administrasi terletak pada 4 (empat) wilayah kabupaten

Lebih terperinci

BUPATI SLEMAN PERATURAN BUPATI SLEMAN NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENGEMBANGAN PERUMAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN,

BUPATI SLEMAN PERATURAN BUPATI SLEMAN NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENGEMBANGAN PERUMAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, BUPATI SLEMAN PERATURAN BUPATI SLEMAN NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENGEMBANGAN PERUMAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, Menimbang : a. bahwa perkembangan perumahan di wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh bahan dari alam yang kemudian dapat digunakan untuk kepentingan

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh bahan dari alam yang kemudian dapat digunakan untuk kepentingan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penambangan adalah salah satu aktivitas yang dilakukan manusia guna memperoleh bahan dari alam yang kemudian dapat digunakan untuk kepentingan manusia, seperti menjadi

Lebih terperinci

Vulnerability. (Kerentanan) Praktikum Lapangan Gunung Merapi Mata Kuliah Mitigasi Bencana

Vulnerability. (Kerentanan) Praktikum Lapangan Gunung Merapi Mata Kuliah Mitigasi Bencana Vulnerability (Kerentanan) Praktikum Lapangan Gunung Merapi Mata Kuliah Mitigasi Bencana Aria Gumilar Rachmat Arie Prabowo M. Kurniawan Rama Irawan Program Studi Kependudukan dan Lingkungan Hidup Program

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN. dijangkau dan terhubung dengan daerah-daerah lain di sekitarnya oleh jalur transportasi

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN. dijangkau dan terhubung dengan daerah-daerah lain di sekitarnya oleh jalur transportasi 24 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak Geografis Desa Kepuharjo yang berada sekitar 7 Km arah Utara Kecamatan Cangkringan dan 27 Km arah timur laut ibukota Sleman memiliki aksesibilitas baik, mudah

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bendung, embung ataupun bendungan merupakan bangunan air yang banyak dibangun sebagai salah satu solusi dalam berbagai masalah yang berhubungan dengan sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Salah satu fase penting dalam penanggulangan bencana adalah fase respon atau fase tanggap darurat. Fase tanggap darurat membutuhkan suatu sistem yang terintegritas

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Masyarakat Tangguh Bencana Berdasarkan PERKA BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana, yang dimaksud dengan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana adalah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis kemukakan pada bab

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis kemukakan pada bab 134 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis kemukakan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Persepsi masyarakat terhadap

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI BAHAYA ERUPSI UNTUK PENGELOLAAN KEBENCANAAN DI LERENG SELATAN GUNUNGAPI MERAPI

PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI BAHAYA ERUPSI UNTUK PENGELOLAAN KEBENCANAAN DI LERENG SELATAN GUNUNGAPI MERAPI ISSN 0125-1790 MGI Vol. 27, No. 2, September 2013 (138-148) 2013 Fakultas Geografi UGM dan Ikatan Geograf Indonesia PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI BAHAYA ERUPSI UNTUK PENGELOLAAN KEBENCANAAN DI LERENG SELATAN

Lebih terperinci

Rapid Assessment Terhadap Kerusakan Bangunan Akibat Erupsi Merapi Tahun 2010

Rapid Assessment Terhadap Kerusakan Bangunan Akibat Erupsi Merapi Tahun 2010 Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan Volume 3, Nomor 2, Juni 2011, Halaman 115 124 ISSN: 2085 1227 Rapid Assessment Terhadap Kerusakan Bangunan Akibat Erupsi Merapi Tahun 2010 Any J., 1, 2 Widodo B.,

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL BAB 7

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL BAB 7 SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL BAB 7 1. Usaha mengurangi resiko bencana, baik pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. memiliki aksesibilitas yang baik sehingga mudah dijangkau dan terhubung dengan

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. memiliki aksesibilitas yang baik sehingga mudah dijangkau dan terhubung dengan IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak Geografis Desa wukirsari merupakan salah satu Desa dari total 4 Desa yang berada di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Desa Wukirsari yang berada sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tahun 2000 sekitar 500 juta jiwa penduduk dunia bermukim pada jarak kurang dari 100 m dari gunungapi dan diperkirakan akan terus bertambah (Chester dkk., 2000). Indonesia

Lebih terperinci

Oleh Iis Prasetyo, S.Pd

Oleh Iis Prasetyo, S.Pd Program Pendampingan Korban Bencana Merapi di Desa Girikerto dan Wonokerto Kecamatan Turi Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta Oleh Iis Prasetyo,

Lebih terperinci

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI JALAN DIPONEGORO NO. 57 BANDUNG 40122 JALAN JEND. GATOT SUBROTO KAV.49 JAKARTA 12950 Telepon: 022-7212834, 5228424 021-5228371

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beberapa pulau utama dan ribuan pulau kecil disekelilingnya. Dengan 17.508 pulau, Indonesia menjadi negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. langsung maupun tidak langsung mengganggu kehidupan manusia. Dalam hal

BAB I PENDAHULUAN. langsung maupun tidak langsung mengganggu kehidupan manusia. Dalam hal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bencana alam merupakan suatu fenomena alam yang terjadi secara langsung maupun tidak langsung mengganggu kehidupan manusia. Dalam hal ini, bencana alam dapat menyebabkan

Lebih terperinci