Patomekanisme Molekuler Faktor Virulensi Pili Vibrio alginolyticus Pada Ikan Kerapu Tikus Cromileptes altivelis

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Patomekanisme Molekuler Faktor Virulensi Pili Vibrio alginolyticus Pada Ikan Kerapu Tikus Cromileptes altivelis"

Transkripsi

1 Aquacultura Indonesiana (2006) 7 (1) : ISSN (Terakreditasi SK Nomor : 55/DIKTI/Kep/2005) Patomekanisme Molekuler Faktor Virulensi Pili Vibrio alginolyticus Pada Ikan Kerapu Tikus Cromileptes altivelis Uun Yanuhar * * Laboratorium Ilmu-ilmu Perairan dan Bioteknologi Kelautan Fak. Perikanan Universitas Brawijaya, uunyanuhar@yahoo.com Di terima 10 Januari 2006; Diterima Publikasi 25 Maret 2006 Abstract Uun Yanuhar The Molecular pathomechanism of virulence factor of Pili Vibrio alginolyticus on humpback grouper Cromileptes altivelis. Aquacultura Indonesiana, 7 (1) : Vibriosis in fish industry of humpback grouper still represent important problem with mortality level of fish at stadia larva till fingerling reach 80 90%. One of bacteria that cause vibriosis is Vibrio alginolyticus. The objective of this research was to study a role of virulence factor of V. alginolyticus in infection mechanism on humpback grouper Cromileptes altivelis. The method was an experimental laboratory by isolation of pili V. alginolyticus cultured in TCG medium, hereinafter characterize pili protein as colonization factor of virulence bacterium and test it to epithellial cell culture of intestinal of grouper in vitro. The result obtained that pili characterized from V. alginolyticus indicate protein character of pili virulens of 38,98 kda representing glikoprotein structure, composed by 17 kinds of amino acid. The finding of virulence factor of bacterium of pili 38,98 kda gave answer to molecular mechanism of vibriosis on Humpback grouper which was through mechanism of signal transduction at cell level through internalization V. alginolyticus into cell till spread to entire fish organ and tissue, penetrating into cell, inflammation process and infection acutely till necrosis, discolorise of colour and fish death. Conclusion is virulence factor of pili 38,98 kda represent adhesin protein bonding receptor protein C. altivelis and represent type IV pili. Keywords: Cromileptes altivelis; Virulence factor; Pili; Vibrio alginolyticus; Vibriosis Abstrak Vibriosis pada budidaya ikan kerapu hingga saat ini masih merupakan masalah penting dengan tingkat kematian ikan pada stadia larva hingga ukuran fingerling mencapai 80-90%. Mortalitas yang tinggi tersebut diantaranya disebabkan oleh bakteri Vibrio alginolyticus. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji secara molekuler peran faktor virulensi bakteri dalam mekanisme infeksi V. alginolyticus yang diantaranya adalah protein pili bakteri pada ikan kerapu tikus Cromileptes altivelis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen laboratorium dengan mengisolasi pili V. alginolyticus dari kultur V. alginolyticus pada media TCG, selanjutnya mengkarakterisasi protein pili dan mengujinya terhadap kultur sel epitel ikan in vitro dari intestinal ikan kerapu tikus. Hasil penelitian diperoleh pili yang dikarakterisasi dari V. alginolyticus menunjukkan karakter protein pili virulensi berbobot molekul 38,98 kda yang merupakan glikoprotein yang tersusun oleh 17 macam asam amino essensial. Ditemukannya faktor virulensi bakteri pili 38,98 kda memberikan jawaban terhadap mekanisme molekuler vibriosis pada ikan kerapu tikus. yang melalui mekanisme signal transduksi pada tingkat sel yaitu melalui internalisasi V.alginolyticus kedalam sel hingga terjadi penyebaran pada seluruh organ dan jaringan ikan, penetrasi kedalam sel, proses inflamasi dan infeksi yang menyebar secara akut hingga terjadi luka nekrotik, diskolorisasi warna dan kematian ikan. Kesimpulan : faktor virulensi pili 38,98 kda merupakan protein adesin yang mengikat protein reseptor C. altivelis dan merupakan pili tipe IV. Kata kunci: Cromileptes altivelis; Faktor virulensi; Pili; Vibrio alginolyticus; Vibriosis Pendahuluan Prevalensi penyakit infeksi ikan kerapu mulai terjadi pada saat larva yaitu berumur 1 4 hari dimana ikan masih memiliki kuning telur hingga ikan berukuran jari atau fingerling. Infeksi pada ikan ini berlanjut menjadi luka nekrosis akut yaitu luka yang disebabkan oleh adanya jaringan yang mati dan berwarna kehitam-hitaman, luka tersebut menyebar dan mengakibatkan kematian pada ikan (Hedge et al., 2002). Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia

2 Aquacultura Indonesiana, Vol. 7, No. 1, April 2006 : Gejala yang tampak pada ikan yang terinfeksi bakteri Vibrio ditunjukkan oleh ciri-ciri seperti warna tubuh kegelapan, nafsu makan berkurang, nekrosis, perut menggelembung dan mata menonjol (exopthalmia), terjadi perubahan perilaku, gerakan lamban, keseimbangan terganggu, dan berputarputar (whirling). Perubahan perilaku terjadi pada ikan yang diinjeksi Vibrio alginolyticus pada 3 12 jam setelah diinfeksi V. alginolyticus. Perubahan ini diikuti perubahan morfologi ikan seperti warna tubuh menjadi kegelapan dan erithema disekitar sirip ikan, perut dan mulut. Selanjutnya terjadi peradangan sampai abses pada bekas infeksi, timbul bercak merah pada pangkal sirip, perdarahan pada insang dan mulut, penggelembungan pada perut ikan karena berisi cairan, luka nekrotik pada otot perut, pada saluran intestinal dan rectum terbelah berisi cairan hingga kematian (Murjani, 2003). Hal ini merupakan peristiwa haemorrhagic septicemia yang berlanjut menjadi nekrotik dan gastroenter itis serta penyebaran secara sistemik. Salah satu gejala vibriosis dalam patogenesanya adalah adanya faktor virulensi, diantaranya adalah pili (fimbriae), curli, flagellar motor, autotransporter dan toksin extracellular product dan crystalin (Salyers and Whitt, 2002). Keberadaan faktor virulensi tersebut akan memicu kontak bakteri utuh dengan makrofag sel inang secara invivo. Pada bakteri Vibrio anguilarum saat menginfeksi ikan akan mengadakan perlekatan dan invasi pada berbagai sel lines ikan, yang ditunjukkan dengan kemampuan pengikatan yang kuat terhadap intestinal ikan. Perlekatan ini diperantarai oleh reseptor protein berupa glikoprotein pada permukaan sel bakteri, kemudian internalisasi bakteri yang merupakan mekanisme dependent actin-microfilament specific. Infeksi pada ikan kerapu tikus pada stadia larva dan benih yang yang diakibatkan oleh bakteri terjadi pada organ insang, kulit dan saluran gastrointestinal. Patogenesa infeksi bakteri vibrio adalah melalui sistem perlekatan yang dimulai dengan kontak pertama bakteri dengan reseptornya, baik yang diperankan oleh molekul adesi pili, outer membr an protein (Omp) maupun molekul reseptornya melalui mekanisme signal transduksi, yang melibatkan ikatan antara protein adesi dengan reseptornya. Proses perlelatan bakteri pada sel inang selanjutnya akan membentuk kolonisasi bakteri. Pada tahap ini biasanya bakteri melalui pilinya akan membentuk kumpulan benang-benang pili yang merupakan formasi hasil kolonisasi bakteri. Bakteri ini juga akan memproduksi toksin yang produksinya diregulasi oleh peran dan fungsi pili sebagai faktor virulensinya (Faruque et al., 2003). Penelitian terhadap V. anguilarum yang menginfeksi ikan rainbow trout diketahui bahwa virulensi bakteri diperankan oleh Outer membran protein (Omp) dengan berat molekul 38 kda. Omp dari V. anguilarum ini juga bereaksi silang dengan outer membran porin (OmpU) dari V. cholera. Faktor virulensi bakteri oleh Omp dari V. anguilarum ini juga berperan dalam menginfeksi ikan salmon dan manusia melalui ikan yang telah dikonsumsi (Wang et al., 2002). Pada V. parahaemolyticus yang juga merupakan bakteri patogen ikan laut dan patogen pada manusia, mekanisme patogenesanya diperankan oleh capsular polysaccharida. Hasil penelitian lain pada V. cholera menjelaskan bahwa patogenesa infeksi pada usus tikus putih diperankan oleh protein adesi pili dengan berat molekul 38 kda (Sumarno, 2000 dan Sperandio et al., 1996). Penelitian terhadap molekul reseptor pada Salmonella typhi pada Human Umbilical Vein Endothelial Culture (HUVECs) telah dilakukan dan diketahui berberat molekul 66 kda (Yanuhar, 2002) yang merupakan tempat ikatan dengan protein adhesi pili dari S. typhi pada berat molekul 38 kda (Sumarno, 2000) yang diketahui bahwa protein adesin pili 38 kda merupakan suatu haemagglutinin. Mekanisme infeksi pada ikan kerapu tikus C. altivelis oleh V. alginolyticus yang diperankan oleh ikatan antara protein adesi pili sebagai ligandnya dan molekul reseptornya menjadi topik menarik untuk dikaji secara molekuler dalam menjelaskan proses patogenesa bakteri Vibrio alginolyticus pada ikan kerapu tikus C. altivelis berdasarkan faktor virulensi bakteri. Materi dan Metode Materi dalam penelitian ini meliputi kultur bakteri V. alginolyticus yang diperoleh dari BBPAP Jepara, penentuan faktor virulensi V. alginolyticus dengan memotong pili atau fimbriae bakteri dengan alat potong omnimixer modifikasi dengan kecepatan rpm/30 detik selama 6 kali pemotongan dan dilakukan uji haemagglutinin 12 Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2006

3 Patomekanisme molekuler faktor virulensi pili Vibrio alginolyticus (Uun Yanuhar) sebagai identifikasi molekul adesi. Analisa protein dilakukan dengan elektroforesis SDS-Page dan elektroelusi untuk mendapatkan larutan protein murni. Pita protein yang diperoleh masing-masing diuji haemagglutinasi untuk menentukan titer protein tertinggi berdasarkan ikatannya terhadap eritrosit ikan kerapu. Identifikasi terhadap molekul reseptor pada sel epitel ikan kerapu tikus C. altivelis dilakukan dengan mengidentifikasi protein membran dari sel epitel ikan kerapu yang dikultur secara invitro, isolasi dilakukan dengan menggunakan deterjen N-octylbeta-D-Glucopyranoside yang selanjutnya didialisa untuk mendapatkan ekstrak protein dan dilakukan elektroforesis SDS-Page. Analisa protein dilakukan dengan analisa asam amino protein adhesin sebagai faktor virulensi bakteri menggunkan alat Ninhidrin Amino Acid Analyzer. Efek virulensi terhadap sel epitel ikan kerapu dilakukan dengan menguji adesi bakteri V.alginolyticus pada sel epitel ikan kultur in vitro setelah monolayer pada hari ke-3 dan dilakukan pemeriksaan dengan mikroskop perbesaran 1000x, selanjutnya dihitung indeks adesi bakteri, yaitu jumlah bakteri yang melekat tiap seratus sel. Hasil Hasil dan Pembahasan Hasil kajian secara molekuler faktor virulensi bakteri V. alginolyticus pada sel epitel ikan kerapu tikus C. altivelis menunjukkan bakteri Vibrio alginolyticus merupakan bakteri gram negatif yang menyebabkan infeksi dengan kejadian sepeticaemia, nekrosis pada sel epitel dan gastroenteritis. Identifikasi terhadap fimbriae Vibrio alginolyticus setelah dilakukan pemotongan dengan menggunakan omnimixer menunjukkan bahwa fimbr iae V. alginolyticus mer upakan suatu haemagglutinin Uji haemaglutinasi V. alginolyticus ditentukan dari isolat yang mempunyai titer aglutinasi positif tertinggi terhadap eritrosit ikan kerapu tikus C. altivelis. Isolat bakteri tersebut setelah ditumbuhkan pada media pengkaya pili yaitu TCG, dipanen dan dilakukan pemotongan pili dengan menggunakan omnimixer modifikasi (Sumarno, 2000). Hasil pemotongan pili dilakukan sebanyak lima kali cukuran dengan lama waktu cukur masingmasing 1 menit dalam kondisi dingin suhu 4 C, sehingga didapatkan Pili cukuran ke-1, 2, 3, 4, 5, dan 6 dan kontrol digunakan whole cell bakteri. Uji aglutinasi crude pili secara bertingkat terhadap eritosit ikan kerapu tikus C. altivelis tampak pada Gambar 1 dan Tabel 1. Hasil uji haemagglutinasi terhadap protein haemagglutinin menunjukkan bahwa fimbriae/pili pada potongan pertama mempunyai titer haemagglutinasi tertinggi sampai pengenceran 1/ 256. Berdasarkan hasil karakterisasi protein adhesin fimbriae V. alginolyticus terhadap pemotongan fimbriae secara bertingkat dengan menggunakan elektroforesis SDS-Page dengan acrylamide 12,5% diperoleh berat molekul protein seperti pada Gambar 2. Berdasarkan hasil elektroforesis crude fimbriae dari cukuran bertingkat ke-1, 2, 3, dan 4 memberikan pola pita protein yang tampak semakin menipis densitasnya dengan berat molekul 54,43 kda.,38,98 kda., 29,37 kda dan 22,67 kda. Peran fimbriae sebagai faktor virulensi bakteri dalam menyebabkan infeksi vibriosis pada sel ikan kerapu tikus C. altivelis ditunjukkan dengan perlakuan penyalutan sel epitel ikan kerapu dengan protein fimbriae bakteri V. alginolyticus dan adesi dengan bakteri V. alginolyticus. Proses infeksi yang ditunjukkan oleh infeksi bakteri pada sel epitel ikan kerapu tikus seperti pada Gambar 3. Adesi V. alginolyticus diuji pada sel epitel C. altivelis diuji berdasarkan lama inkubasi dan dosis protein adesi yang disalut pada sel epitel secara seri. Indeks adesi dipengaruhi juga oleh dosis protein yang disalutkan pada sel epitel. Semakin besar tingkat pengenceran protein adesi Vibrio alginolyticus terhadap sel epitel C. altivelis menggambarkan pola adesi yang meningkat dan menggambarkan tingkat infeksi pada level sel (Gambar 4). Semakin banyaknya jumlah bakteri V.alginolyticus pada sel epitel dapat mengakibatkan terjadinya nekrosis kar ena kerusakan sel oleh bakteri yang berakhir dengan kematian sel. Pola adesi V. alginolyticus pada sel epitel berdasarkan hasil penelitian menunjukkan pola adesi diffuse atau menyebar pada permukaan sel dan beberapa pola ada yang menunjukkan lokal atau hanya menempel pada beberapa bagian sel saja. Mekanisme pelekatan molekuler Vibrio alginolyticus pada sel epitel ikan kerapu tikus menunjukkan bahwa awal internalisasi bakteri masuk kedalam sel epitel adalah melalui perlekatan Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia

4 Aquacultura Indonesiana, Vol. 7, No. 1, April 2006 : A B C D E F G H Gambar 1. Hasil uji aglutinasi crude pili dan OMP yang dicukur secara bertingkat Keterangan : A : whole cell dengan titer aglutinasi positif sampai pengenceran 1/512; B : crude pili I dengan titer aglutinasi positif samapi pengenceran 1/256; C : crude pili II dengan titer aglutinasi positif sampai pengenceran 1/32; D : crude pili III dengan titer aglutinasi positif sampai pengenceran 1/4; E : crude pili IV dengan titer aglutinasi positif sampai pengenceran 1/8; F : crude pili V dengan titer aglutinasi positif sampai pengenceran 1/16; Tabel 1. Hasil uji haemaglutinasi dari potongan pili Vibrio alginolyticus secara bertingkat terhadap serum ikan kerapu tikus Cromileptes altivelis Sumur/ Materi 1/2 1/4 1/8 1/16 1/32 1/64 1/128 1/256 1/512 1/1024 1/2048 K Whole Cell Pili I Pili II Pili III Pili IV OMP Pelet Kontrol Keterangan: Titer tertinggi hasil uji hemaglutinasi pada potongan pili I (P I) dan II (PII) yaitu pengenceran hingga konsentrasi 1/256 pada membran plasma sel epitel. Pada mekanisme ini diperankan oleh protein adesin fimbriae (pili) dan reseptornya. Selain protein adesi pili dari bakteri tersebut terbentuk pula semacam bentukan bundle yang merupakan kumpulan dan pemanjangan dari struktur pili hingga membentuk satu ikatan yang menempel pada sel inang. Secara molekuler mekanisme tersebut melibatkan ekspresi protein melalui mekanisme signal transduksi. Hasil analisa berdasarkan frekuensi presentase asam amino dari masing-masing protein adesin pili V. alginolyticus ditunjukkan sebagai berikut: Asp, Thr, Ser, Glu, Gly, Ala, Cis, Val, Met,Ile,Leu, Tyr, Phe, Lys, His, Arg dan Pro. Karakter asam amino ini menunjukkan asam amino protein adhesin fimbriae/pili dalam mekanisme infeksi Vibriosis. Pembahasan Fungsi fimbriae atau pili V. alginolyticus pada reseptornya, yaitu sel epitel ikan kerapu tikus, adalah merupakan organ yang berperan awal dalam proses adesi. Interaksi antara pili dengan reseptor terjadi lebih lanjut melalui mekanisme signal transduksi yang melibatkan peran diantara kedua 14 Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2006

5 Patomekanisme molekuler faktor virulensi pili Vibrio alginolyticus (Uun Yanuhar) oleh protein adhesins, kemudian adhesins afimbriae yang merupakan reseptor protein yaitu nuraminic 66 kda 54,43 kda acid seperti pada M. pneumoniae. Setelah terbentuk ikatan antara ujung pili dengan 45 kda ujung reseptor maka akan terbentuk kolonisasi 38,98 kda bakteri dengan membentuk garis mukosa. Mekanisme ini merupakan mekanisme pili atau 29 kda fimbriae yang menonjol pada permukaan bakteri. 29,37 kda Kemudian bagian dari protein akan mengikat pada 24 kda permukaan sel inang dalam hal ini sel epitel yang biasanya berupa karbohidrat, atau protein adhesin 22,67 kda yang terletak pada ujung distal atau pilus/organel fibrillar. Struktur bakteri dan sel epitel ikan kerapu 17 kda tikus C. altivelis dengan pemeriksaan mikroskop Gambar 2. Elektroforesis protein adesi pili V. mendukung fakta bagaimana terjadinya vibriosis oleh V. alginolyticus yang diperankan oleh faktor alginolyticus pada cukuran bertingkat virulensi pili dan reseptornya pada ikan kerapu tikus. Keterangan : Lajur 1 : Protein perunut Low marker merk Sigma, berat molekul 66kDa; 55 kda; 45kDa; 36kDa; 29 kda; 24 kda dan 17 kda Lajur 2 : pita protein pili cukuran ke-1 Lajur 3 : pita protein pili cukuran ke-2 Lajur 4 : pita protein pili cukuran ke-3 Lajur 5: pita protein pili cukuran ke-4 masing-masing ditunjukkan berat molekul 54,43 kda; 38,98 kda; 29,37 kda, 22,67 kda organ tersebut. Berdasarkan hasil penelitian ini, pili bakteri berperan dalam mengadakan kontak awal yang ditangkap oleh reseptor sel inang melalui mekanisme seperti ditunjukkan oleh peneliti sebelumnya (Wizeman et al., 2000). Dijelaskan oleh Karp (1996) bahwa perlekatan bakteri diperantarai A Mekanisme tersebut memperjelas bahwa langkah awal infeksi mikroba dalam patomekanime molekuler adalah kolonisasi yang ditunjukkan oleh bakteri pada saat portal of entry. Bakteri biasanya berkolonisasi pada jaringan host dalam lingkungan eksternal. Perlekatan bakteri terhadap permukaan mukosa sel eukariot atau permukaan jaringan membutuhkan dua faktor yaitu reseptor dan suatu adhesin. Reseptor biasanya merupakan karbohidrat spesifik atau residu peptida pada permukaan sel eukariote. Adhesin bakteri secara tipikal merupakan komponen makromolekul pada permukaan sel bakteri yang berinteraksi dengan sel host. Adhesin dan reseptor biasanya berinteraksi dengan B Gambar 3. Perlekatan V. alginolyticus pada sel epitel kerapu tikus C. altivelis Keterangan : A. Infeksi V. alginolyticus pada sel epitel tampak gill blader pada ujung sel sebagai tempata internalisasi masuknya bakteri kedalam sel B. Infeksi V. alginolyticus pada sel epitel tampak bagian membran sitoplasma sel epitel hilang akibat nekrosis Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia

6 Aquacultura Indonesiana, Vol. 7, No. 1, April 2006 : Indeks Adhesi Indeks adhesi Expon. (Indeks adhesi) y = e x r = 0.970,p=0, Konsentrasi Protein (ug/l) Gambar 4. Grafik Indeks Adhesi V.alginolyticus pada reseptor sel epitel Ikan Kerapu Tikus C. altivelis yang disalut protein adhesin pili BM38,98 kda komplemen dan menunjukkan sesuatu ikatan yang spesifik. Spesifitas perlekatan bakteri terhadap jaringan atau sel host dipengaruhi oleh : (1) Tissue tropism merupakan partikel bakteri yang diketahui melakukan perlekatan pada selain jaringan, contoh Staphylococcus mutan yang jumlahnya melimpah pada plaque gigi tetapi tidak terjadi pada permukaan epitel dari lidah. (2) Spesifitas spesies yaitu bakteri patogen tertentu menginfeksi hanya spesies tertentu pada hewan, contoh Enteropathogenic E. coli K 88 hanya menginfeksi babi. (3) Spesifitas genetik dalam suatu spesies yaitu strain tertentu yang secara genetik kebal terhadap patogen, contoh babi tidak peka terhadap infeksi E. coli K 88. Kolonisasi bakteri merupakan sistem pertahanan bakteri pada sel inang. Kolonisasi dibutuhkan untuk perlekatan, nutrisi, motilitas, dan menghindar dari sistem imun ser ta invasi. Perlekatan bakteri melalui pili/fimbriae melalui ujung adhesif (adhesive tip). Adhesin afimbriae yang merupakan reseptor protein (M. pneumonia) yang merupakan muraminic acid. Gambaran organel bakteri gram negatif yang mempunyai faktor virulensi dalam perannya untuk perlekatan. Wizemann et al. (2000) menyebutkan perlekatan bakteri diperantarai oleh protein adhesins. Kolonisasi dengan perlekatan bakteri pada reseptor diekspresikan oleh sel inang membentuk garis pada mukosa. Proses patogenesa perlekatan antigen pada permukaan epitelial intestinal merupakan penentu utama faktor virulensi bakteri patogen. Adhesin pada permukaan bakteri memberikan spesifitas interaksi dengan sel inang. Sebagai contoh sel M pada epitelial intestinal mempunyai interaksi yang spesifik antara protein adhesin bakteri dengan reseptornya dalam menyebabkan terjadinya penyakit. Sebagai contoh V. cholera setelah melekat pada sel epitelial intestinal akan menetap membentuk mikrokoloni. Mikrokoloni bakteri ini akan menetap pada usus kecil baik pada villi maupun pada Payer s Patches. Kolonisasi akan menghasilkan toksin kolera, suatu enterotoksin yang menyebabkan sekresi elektrolit dan cairan dari epitel intestinal. Mikrokoloni merupakan jumlah dari sekelompok sel dan proses pembentukan mikrokoloni sangat sedikit diketahui. Diduga proses pembentukan mikrokoloni diperantarai oleh pili tipe IV (Parsek et al., 2000). Adhesin bakteri spesifik seperti pada E. coli secara umum adalah pili atau fimbriae, termasuk type-1 dan fimbriae tipe IV gen kode fimbriae mampu diekspresikan pada kromosom atau plasmids. Vibrio memiliki subunit protein fimbrial yang mengandung metylated phenylalanine pada terminal asam amino. Pili N-methylphenylanine merupakan penentu virulensi Pseudomonas aeruginosa yang menginfeksi paru pada penderita fibrosis sistemik. Tipe-1 fimbriae Eschericha coli mampu mengikat residu D-mannose pada permukaan sel eukariote. Type-1 fimbriae dikatakan sebagai mannose sensitive saat mannose eksogenos 16 Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2006

7 Patomekanisme molekuler faktor virulensi pili Vibrio alginolyticus (Uun Yanuhar) memblok ikatan reseptor pada sel darah merah. Sub unit fimbrial primer 17 kda merupakan komponen utama protein pada fimbriae type-1, bagian mannose mengikat bagian yang tidak terdapat pada lokasi ini tetapi residu protein minor (28 31 kda) terletak pada ujung atau bagian panjang dari fimbriae. Secara genetik berbagai minor tip protein adhesin, organisme mampu melekat pada reseptor yang berbeda. Pili Type IV bakteri gram negatif adalah polar dan berfungsi untuk perlekatan pada sel-sel eukariotik. Motilitas permukaan atau twitching motility melibatkan pemanjangan (extension) dan penarikan kembali (retraktion) pili. Ada sejumlah gen pada beberapa lokus kromosom dibutuhkan untuk biogenesis dan fungsi pili tipe IV. Mutanmutan nonpili mampu mengurangi virulensi pada beberapa model binatang. Pili tipe IV mutan juga defisien dalam perkembangan biofilin pada permukaan abiotik. Jelas bahwa pili tipe IV memainkan peran penting dalam infeksi-infeksi biofilin (Brogden et al., 2000). Dengan melihat proses infeksi, perlekatan bakteri V. alginolyticus pada pada sel epitel adalah menggunakan faktor virulensi adhesi pili, berdasarkan mekanismenya dapat digolongkan sebagai pili tipe IV yaitu dengan menggunakan pili sebagai alat untuk mengadakan kontak awal dan perlekatan pada sel inangnya. Kesimpulan Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa bakteri V.alginolyticus menggunakan faktor virulensi adesi fimbriae untuk mekanisme infeksi pada ikan kerapu tikus, protein adhesin tersebut diketahui sebagai haemagglutinin dengan komposisi asam amino terdiri dari 17 macam, dan fimbriae tersebut merupakan pili tipe IV. Daftar Pustaka Brogden, K.A, J.A. Roth, T.B. Stanton, C.A. Bolin, F.C. Minion and M.J. Wannemuehler Virulence Mechanisms of Bacterial Pathogens. American Society for Microbiology. ASM Press. Washington, DC. Hegde, A., C.L. Chen, Q.W. Qin, T.J. Lam and Y.M. Sin Characterization, pathogenicity and neutralization studies of a nervous necrosis virus isolated from grouper, Epinephelus tauvina, in Singapure. Aquaculture, 213 : Faruque, S.M., J. Zhu, Asadulghani, M. Kamruzzaman and J.J. Mekalanos Examination of diverse toxin-coregulated pilius-positif vibrio cholerae strains fails to demonstrate evidence for vibrio pathogenicity island phage. Infection and Immunity, pp Karp, G Cell and Molecular Biology. John Willey and Sons, New York. Murdjani Identifikasi dan patologi bakteri Vibrio alginolitycus pada ikan kerapu tikus. Disertasi, Program Pasca Sarjana, Universitas Brawijaya. Parsek, R. Matthew and E.P. Grrenberg Relationships Between Comunity Behavior and Pathogenesis Mechanisms of Bacterial Pathogens, third edition. Washington: ASM Press., pp Salyers, A. and D.D. Whitt Bacterial Pathogenesis. ASM Press, Washington, pp Sperandio, V., C. Bailey, J.A. Giron, V.J. DrRita, W.D. Silveira, A.L. Vettore and J.B. Kaper Cloning and characterization of the gene encoding the ompu outer membrane protein of vibrio cholerae. Infection and Immunity, pp Sumarno Karakterisasi molekuler protein adesi vibrio cholerae 01 m094 dan protein reseptornya pada sel epitel usus halus tikus putih (Wistar). Disertasi, Univ. Airlangga, Surabaya Wang, S-Y., J. Lauritz, J. Jass and D.L. Milton A toxr homolog from vibrio anguilarum serotype o1 regulates its own production, bile resistance, and biofilm formation. Journal of Bacteriology, 184 (6) : Wizemann, T.M., J.E. Adamou dan S. Langerman Adhesins as targets for vaccine development. Emerging Infectious Diseases, 5 (3) : Yanuhar, U Karakterisasi dan identifikasi molekul adhesi salmonella typhi dan reseptornya pada sel endothel HUVECs yang dipapar glukosa tinggi. Journal Biosains, Program pasca Sarjana. Universitas Brawijaya. Malang, 4 (1) : Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia

PROTEIN HEMAGLUTININ VILI Vibrio alginolyticus SEBAGAI MOLEKUL ADHESIN PADA RESEPTOR SEL EPITEL IKAN KERAPU TIKUS (Cromileptes altivelis)

PROTEIN HEMAGLUTININ VILI Vibrio alginolyticus SEBAGAI MOLEKUL ADHESIN PADA RESEPTOR SEL EPITEL IKAN KERAPU TIKUS (Cromileptes altivelis) PROTEIN HEMAGLUTININ VILI Vibrio alginolyticus SEBAGAI MOLEKUL ADHESIN PADA RESEPTOR SEL EPITEL IKAN KERAPU TIKUS (Cromileptes altivelis) The Characterization of Haemaglutinin Protein of Vili Vibrio alginolyticus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al.

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al. 2004). Penyakit

Lebih terperinci

PATOGENISITAS MIKROORGANISME

PATOGENISITAS MIKROORGANISME PATOGENISITAS MIKROORGANISME PENDAHULUAN Pada dasarnya dari seluruh m.o yg terdapat di alam, hanya sebagian kecil saja yg patogen maupun potensial patogen. Patogen adalah organisme yg menyebabkan penyakit

Lebih terperinci

ISOLASI DAN KARAKTERISASI BAKTERI Vibrio alginolitycus PADA IKAN KERAPU TIKUS (Cromileptes altivelis) SEBAGAI FAKTOR VIRULENSI BAKTERI PATOGEN

ISOLASI DAN KARAKTERISASI BAKTERI Vibrio alginolitycus PADA IKAN KERAPU TIKUS (Cromileptes altivelis) SEBAGAI FAKTOR VIRULENSI BAKTERI PATOGEN ISOLASI DAN KARAKTERISASI BAKTERI Vibrio alginolitycus PADA IKAN KERAPU TIKUS (Cromileptes altivelis) SEBAGAI FAKTOR VIRULENSI BAKTERI PATOGEN Absalom Luturmas 1, Agapery Y. Pattinasarany 2 1,2 Program

Lebih terperinci

MEKANISME INFEKSI VIBRIO PADA RESEPTOR IKAN KERAPU TIKUS Cromileptes altivelis

MEKANISME INFEKSI VIBRIO PADA RESEPTOR IKAN KERAPU TIKUS Cromileptes altivelis MEKANISME INFEKSI VIBRIO PADA RESEPTOR IKAN KERAPU TIKUS Cromileptes altivelis THE MECHANISM OF VIBRIO INFECTION TO GROUPER RESEPTOR Cromileptes altivelis Uun Yanuhar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

KAREKTERISASI PROTEIN ADHESIN Streptococcus pneumoniae( Pneumococcus ) SEBAGAI TARGET PENGEMBANGAN VAKSIN BERBASIS PROTEIN

KAREKTERISASI PROTEIN ADHESIN Streptococcus pneumoniae( Pneumococcus ) SEBAGAI TARGET PENGEMBANGAN VAKSIN BERBASIS PROTEIN ABSTRAK DAN EKSEKUTIF SUMMARY LAPORAN PENELITIAN FUNDAMENTAL KAREKTERISASI PROTEIN ADHESIN Streptococcus pneumoniae( Pneumococcus ) SEBAGAI TARGET PENGEMBANGAN VAKSIN BERBASIS PROTEIN Oleh : dr. Diana

Lebih terperinci

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING 1 I Gst Ayu Agung Suartini(38) FKH - Universitas Udayana E-mail: gaa.suartini@gmail.com Tlf : 081282797188 Deskripsi IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. disebut dengan kerapu bebek (Cromileptes altivelis). Ikan ini memiliki potensi

I. PENDAHULUAN. disebut dengan kerapu bebek (Cromileptes altivelis). Ikan ini memiliki potensi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budidaya perikanan banyak diminati masyarakat untuk meningkatkan pendapatan serta memperoleh keuntungan yang cukup banyak. Salah satu budidaya ikan yang bisa dijadikan

Lebih terperinci

Karakterisasi Antibodi Antipeptida Ujung C dan Ujung N Protein CarA Salmonella typhi

Karakterisasi Antibodi Antipeptida Ujung C dan Ujung N Protein CarA Salmonella typhi Karakterisasi Antibodi Antipeptida Ujung C dan Ujung N Protein CarA Salmonella typhi T 616.927 SUF Abstrak Salmonella typhi menyebabkan demam tifoid pada manusia. Gen cara S. typhi merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan manusia tidak dapat lepas dari keberadaan mikroorganisme. Lingkungan di mana manusia hidup terdiri dari banyak jenis dan spesies mikroorganisme. Mikroorganisme

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Diare adalah buang air besar (defekasi) yang berbentuk tinja cair atau

BAB 1 PENDAHULUAN. Diare adalah buang air besar (defekasi) yang berbentuk tinja cair atau BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diare adalah buang air besar (defekasi) yang berbentuk tinja cair atau setengah cair dengan kandungan air tinja lebih dari 200ml perhari atau buang air besar (defekasi)

Lebih terperinci

ABSTRAK. OPTIMASI AMPLIFIKASI GEN flic DENGAN METODE PCR UNTUK DETEKSI Salmonella typhi GALUR INDONESIA

ABSTRAK. OPTIMASI AMPLIFIKASI GEN flic DENGAN METODE PCR UNTUK DETEKSI Salmonella typhi GALUR INDONESIA ABSTRAK OPTIMASI AMPLIFIKASI GEN flic DENGAN METODE PCR UNTUK DETEKSI Salmonella typhi GALUR INDONESIA T. Robertus, 2007. Pembimbing I : Johan Lucianus, dr., M.Si. Pembimbing II : Ernawati Arifin Giri

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. motil, tidak membentuk spora, tidak membentuk kapsul, aerob, katalase positif,

II. TINJAUAN PUSTAKA. motil, tidak membentuk spora, tidak membentuk kapsul, aerob, katalase positif, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aeromonas salmonicida 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi A. salmonicida A. salmonicida merupakan bakteri Gram negatif, berbentuk batang pendek, tidak motil, tidak membentuk spora,

Lebih terperinci

Berk. Penel. Hayati: 15 (11 16), 2009

Berk. Penel. Hayati: 15 (11 16), 2009 PERAN PROTEIN MEMBRAN LUAR 55 kda Salmonella typhi ISOLAT JEMBER SEBAGAI PROTEIN HEMAGLUTININ DAN ADHESIN Diana Chusna Mufida*, Candra Bumi**, dan Heni Fatmawati** *Laboratorium mikrobiologi FK-Unej **Laboratorium,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Diare sampai saat ini masih menjadi masalah utama di masyarakat yang sulit untuk ditanggulangi. Dari tahun ke tahun diare tetap menjadi salah satu penyakit

Lebih terperinci

3.5.1 Teknik Pengambilan Sampel Uji Daya Hambat Infusa Rimpang Kunyit Terhadap E. coli dan Vibrio sp. Pada Ikan Kerapu Lumpur

3.5.1 Teknik Pengambilan Sampel Uji Daya Hambat Infusa Rimpang Kunyit Terhadap E. coli dan Vibrio sp. Pada Ikan Kerapu Lumpur ABSTRAK Ikan merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable food) karena mengandung protein dan air cukup tinggi, oleh karena itu perlakuan yang benar setelah ditangkap sangat penting peranannya.

Lebih terperinci

Respon Imunogenitas Antibodi Poliklonal IgY terhadap Protein Adhesi Pili 95 kda Shigella dysenteriae

Respon Imunogenitas Antibodi Poliklonal IgY terhadap Protein Adhesi Pili 95 kda Shigella dysenteriae Respon Imunogenitas Antibodi Poliklonal IgY terhadap Protein Adhesi Pili 95 kda Shigella dysenteriae (Immunogenicity Response of IgY Polyclonal Antibody on 95 kda Pili Adhesion Protein of Shigella dysenteriae)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi IgY Anti Salmonella Enteritidis pada Telur Ayam Antibodi spesifik terhadap S. Enteritidis pada serum ayam dan telur dideteksi dengan menggunakan uji agar gel presipitasi

Lebih terperinci

METODOLOGI UMUM. KAJIAN ECP BAKTERI S. agalactiae MELIPUTI

METODOLOGI UMUM. KAJIAN ECP BAKTERI S. agalactiae MELIPUTI 15 METODOLOGI UMUM Alur pelaksanaan penelitian Pelaksanaan penelitian secara skematis disajikan pada Gambar 2, yang merupakan penelitian secara laboratorium untuk menggambarkan permasalahan secara menyeluruh

Lebih terperinci

Rickettsia typhi Penyebab Typhus Endemik

Rickettsia typhi Penyebab Typhus Endemik Rickettsia typhi Penyebab Typhus Endemik (Manda Ferry Laverius/078114010) Penyakit typhus disebabkan oleh beragai macam bakteri. Meskipun penyakit ini memiliki kesamaan ciri secara umum, namun typhus dapat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. perikanan laut yang sangat besar. Sebagai negara maritim, usaha budidaya laut

PENDAHULUAN. perikanan laut yang sangat besar. Sebagai negara maritim, usaha budidaya laut PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia termasuk negara maritim yang mempunyai potensi hasil perikanan laut yang sangat besar. Sebagai negara maritim, usaha budidaya laut merupakan salah satu usaha yang dapat

Lebih terperinci

Identifikasi Molekul Adhesi Pili Pseudomonas aeruginosa pada Human Umbilical Vein Endothelial Cells (HUVECs) Culture

Identifikasi Molekul Adhesi Pili Pseudomonas aeruginosa pada Human Umbilical Vein Endothelial Cells (HUVECs) Culture Identifikasi Molekul Adhesi Pili Pseudomonas aeruginosa pada Human Umbilical Vein Endothelial Cells (HUVECs) Culture Dwi Yuni Nur Hidayati* Program Studi Biomedik, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya,

Lebih terperinci

KESEHATAN IKAN. Achmad Noerkhaerin P. Jurusan Perikanan-Untirta

KESEHATAN IKAN. Achmad Noerkhaerin P. Jurusan Perikanan-Untirta KESEHATAN IKAN Achmad Noerkhaerin P. Jurusan Perikanan-Untirta Penyakit adalah Akumulasi dari fenomena-fenomena abnormalitas yang muncul pada organisme (bentuk tubuh, fungsi organ tubuh, produksi lendir,

Lebih terperinci

Identifikasi Protein Adhesi Pili Proteus Mirabilis P355 dan Protein Reseptor pada Vesika Urinaria Kelinci

Identifikasi Protein Adhesi Pili Proteus Mirabilis P355 dan Protein Reseptor pada Vesika Urinaria Kelinci Identifikasi Protein Adhesi Pili Proteus Mirabilis P355 dan Protein Reseptor pada Vesika Urinaria Kelinci Diana Chusna Mufida 1*, Sumarno 2, Sanarto Santoso 3 1 Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Serum dan Kuning Telur Hasil AGPT memperlihatkan pembentukan garis presipitasi yang berwarna putih pada pengujian serum dan kuning telur tiga dari sepuluh ekor ayam yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Karakter Biologi Klebsiella pneumoniae K. pneumoniae tergolong dalam kelas gammaproteobacteria, ordo enterobacteriale, dan famili Enterobacteriaceae. Bakteri K. pneumoniae adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh protozoa Trypanosoma evansi. Penyakit ini juga menyerang hewan domestik dan hewan liar. Parasit ini

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sapi adalah hewan ternak terpenting sebagai sumber daging, susu, tenaga kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan daging

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mikroorganisme yang terbanyak dalam rongga mulut adalah bakteri. Bakteri yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mikroorganisme yang terbanyak dalam rongga mulut adalah bakteri. Bakteri yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rongga mulut manusia merupakan habitat aneka ragam mikroorganisme. Mikroorganisme yang terbanyak dalam rongga mulut adalah bakteri. Bakteri yang telah berhasil dideteksi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Sebanyak 173 dan 62 contoh serum sapi dan kambing potong sejumlah berasal dari di provinsi Jawa Timur, Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Barat, Jakarta dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Uji Serum (Rapid Test) Pada Ikan Mas Yang Diberikan Pelet Berimunoglobulin-Y Anti KHV Dengan Dosis rendah Ig-Y 5% (w/w) Ikan Mas yang diberikan pelet berimunoglobulin-y anti

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tomat dapat dijadikan sebagai bahan dasar kosmetik atau obat-obatan. Selain

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tomat dapat dijadikan sebagai bahan dasar kosmetik atau obat-obatan. Selain 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Tomat Tanaman tomat merupakan komoditas yang multiguna. Tidak hanya berfungsi sebagai sayuran dan buah saja, tomat juga sering dijadikan pelengkap bumbu, minuman

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan

BAB I. PENDAHULUAN. Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Munculnya strain bakteri yang resisten terhadap banyak antibiotik termasuk bakteri Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan

Lebih terperinci

HAEMAGGLUTINATION ACTIVITY OF Salmonella typhi FLAGELLIN PROTEIN BASED ON ABO BLOOD GROUP

HAEMAGGLUTINATION ACTIVITY OF Salmonella typhi FLAGELLIN PROTEIN BASED ON ABO BLOOD GROUP HAEMAGGLUTINATION ACTIVITY OF Salmonella typhi FLAGELLIN PROTEIN BASED ON ABO BLOOD GROUP Ragil Saptaningtyas 1, Sri Darmawati 2, Sri Sinto Dewi 3 1,2,3. Health and Nursing Faculty Muhammadiyah University

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kedokteran gigi adalah karies dan penyakit jaringan periodontal. Penyakit tersebut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kedokteran gigi adalah karies dan penyakit jaringan periodontal. Penyakit tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit gigi dan mulut yang menjadi fokus penelitian utama di bidang kedokteran gigi adalah karies dan penyakit jaringan periodontal. Penyakit tersebut tersebar luas

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Re-Karakterisasi Isolat Bakteri Re-karakterisasi bakteri pada biakan agar darah serta hasil uji gula-gula (biokimia) menggunakan Kit Microgen TM GN-ID Identification dapat dilihat

Lebih terperinci

Identifikasi Protein Hemaglutinin Pili Proteus Mirabilis P 355

Identifikasi Protein Hemaglutinin Pili Proteus Mirabilis P 355 Identifikasi Protein Hemaglutinin Pili Proteus Mirabilis P 355 Diana Chusna Mufida Departemen Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran,Universitas Jember, Jember Abstract Urinary tract infection represent one

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Campylobacter jejuni

TINJAUAN PUSTAKA Campylobacter jejuni 5 TINJAUAN PUSTAKA Campylobacter jejuni Taksonomi dan nomenklatur dari genus Campylobacter diperbaharui pada tahun 1991. Genus Campylobacter memiliki 16 spesies dan 6 subspesies (Ray & Bhunia 2008). Campylobacter

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Di zaman modern sekarang ini banyak hal yang memang dibuat untuk memudahkan manusia dalam melakukan aktivitasnya, termasuk makanan instan yang siap saji. Kemudahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Badan Ayam yang Diinfeksi C. jejuni Asal Kudus dan Demak Bobot badan merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan. Bobot badan ayam yang diinfeksi

Lebih terperinci

: Vibrio vulnificus. Klasifikasi

: Vibrio vulnificus. Klasifikasi Vibrio vulnificus Vibrio vulnificus merupakan bakteri yang relatif baru dalam identifikasinya sebagai bakteri yang patogen bagi manusia. Bakteri ini ditemukan sebagai patogen di tiram pada tahun1976 dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. infeksi dan juga merupakan patogen utama pada manusia. Bakteri S. aureus juga

BAB I PENDAHULUAN. infeksi dan juga merupakan patogen utama pada manusia. Bakteri S. aureus juga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang S.aureus merupakan salah satu bakteri yang dapat menyebabkan penyakit infeksi dan juga merupakan patogen utama pada manusia. Bakteri S. aureus juga merupakan flora

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Lele Dumbo 2.1.1. Taksonomi Klasifikasi atau pengelompokkan ikan lele dumbo menurut Bachtiar (2007) adalah sebagai berikut : Filum Kelas Sub kelas Ordo Sub ordo Famili

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid akut merupakan penyakit infeksi akut bersifat sistemik yang disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang dikenal dengan Salmonella

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan ikan konsumsi air

BAB I PENDAHULUAN. Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan ikan konsumsi air 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan ikan konsumsi air tawar dengan tubuh memanjang dan kulit licin. Ikan lele dumbo tidak ditemukan di air payau, atau

Lebih terperinci

Pertanyaan Diskusi Patogenesis Mikroba & Imunologi

Pertanyaan Diskusi Patogenesis Mikroba & Imunologi Pertanyaan Diskusi Patogenesis Mikroba & Imunologi Ratna Nindyarani 10407011 Fida Farhana 10407021 Andriani Oktadianti 10407022 Desy Suryani H 10407024 Arkasha 10407026 Waode Nurzara 10407030 Siti Amalia

Lebih terperinci

Reaksi Silang Antara Antibodi Adho36 Salmonella typhi dengan Outer Membrane Protein Vibrio cholerae Menggunakan Metode Western Blotting

Reaksi Silang Antara Antibodi Adho36 Salmonella typhi dengan Outer Membrane Protein Vibrio cholerae Menggunakan Metode Western Blotting Reaksi Silang Antara Antibodi Adho36 Salmonella typhi dengan Outer Membrane Protein Vibrio cholerae Menggunakan Metode Western Blotting Nyoman Artha Megayasa*, Sri Winarsih**, Sanarto Santoso** ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 0 BAB 5 HASIL PENELITIAN Berdasarkan pengamatan menggunakan mikroskop dengan pembesaran 4x dan 10x terhadap 60 preparat, terlihat adanya peradangan yang diakibatkan aplikasi H 2 O 2 10%, serta perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dwi Putri Ayuningtyas, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dwi Putri Ayuningtyas, 2015 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Vetiveria zizanioides merupakan tanaman dari famili Poaceae yang pertama kali ditemukan di India dengan nama Khas-khas. Tanaman ini sangat adaptif terhadap kondisi-kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di. negara-negara maju maupun berkembang, telah banyak penelitian

BAB I PENDAHULUAN. yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di. negara-negara maju maupun berkembang, telah banyak penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit jinak ginekologi yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di negara-negara maju maupun berkembang,

Lebih terperinci

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI Halaman : 1 dari 5 ISOLASI TOTAL DNA HEWAN DENGAN KIT EKSTRAKSI DNA 1. RUANG LINGKUP Metode ini digunakan untuk mengisolasi DNA dari sampel jaringan hewan, dapat dari insang, otot, darah atau jaringan

Lebih terperinci

AGENT AGENT. Faktor esensial yang harus ada agar penyakit dapat terjadi. Jenis. Benda hidup Tidak hidup Enersi Sesuatu yang abstrak

AGENT AGENT. Faktor esensial yang harus ada agar penyakit dapat terjadi. Jenis. Benda hidup Tidak hidup Enersi Sesuatu yang abstrak AGENT AGENT Faktor esensial yang harus ada agar penyakit dapat terjadi Jenis Benda hidup Tidak hidup Enersi Sesuatu yang abstrak Dalam jumlah yang berlebih atau kurang merupakan penyebab utama/ esensial

Lebih terperinci

ABSTRAK. OPTIMASI AMPLIFIKASI BAGIAN GEN parc DENGAN METODE PCR PADA ISOLAT Salmonella typhi DARI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 2006

ABSTRAK. OPTIMASI AMPLIFIKASI BAGIAN GEN parc DENGAN METODE PCR PADA ISOLAT Salmonella typhi DARI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 2006 ABSTRAK OPTIMASI AMPLIFIKASI BAGIAN GEN parc DENGAN METODE PCR PADA ISOLAT Salmonella typhi DARI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 2006 Hadi Sumitro Jioe, 2008. Pembimbing I : Ernawati Arifin Giri Rachman,

Lebih terperinci

ABSTRAK PENGARUH BAKTERI PROBIOTIK TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI INTESTINAL SECARA IN VITRO

ABSTRAK PENGARUH BAKTERI PROBIOTIK TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI INTESTINAL SECARA IN VITRO ABSTRAK PENGARUH BAKTERI PROBIOTIK TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI INTESTINAL SECARA IN VITRO Mikael Aditya, 2012, Pembimbing I : Fanny Rahardja, dr., M.Si Pembimbing II : Lisawati Sadeli, dr., M.Kes Gangguan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2006 hingga Agustus 2007. Penangkapan polen dilakukan di kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan dan analisa

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA

LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA LAPORAN II (ISOLASI DNA GENOM) KHAIRUL ANAM P051090031/BTK BIOTEKNOLOGI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 0 ISOLASI DAN IDENTIFIKASI DNA SEL MUKOSA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tawas dapat digunakan sebagai pengering / pengawet, juga membersihkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tawas dapat digunakan sebagai pengering / pengawet, juga membersihkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tawas(Al 2 (SO 4 ) 3 14H 2O ) Rahayu ( 2004 ) tawas adalah senyawa kimia berupa kristal bening. Tawas dapat digunakan sebagai pengering / pengawet, juga membersihkan sumur, sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air Susu Ibu (ASI) adalah cairan susu hasil sekresi dari payudara setelah ibu melahirkan. ASI eksklusif adalah pemberian ASI sedini mungkin setelah persalinan tanpa

Lebih terperinci

Kasus Penderita Diabetes

Kasus Penderita Diabetes Kasus Penderita Diabetes Recombinant Human Insulin Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB Sejak Banting & Best menemukan hormon Insulin pada tahun 1921, pasien diabetes yang mengalami peningkatan

Lebih terperinci

Bahan Kuliah. Genetika Molekular. disusun oleh : Victoria Henuhili, MSi FMIPA Jurdik Biologi UNY

Bahan Kuliah. Genetika Molekular. disusun oleh : Victoria Henuhili, MSi FMIPA Jurdik Biologi UNY Bahan Kuliah Genetika Molekular disusun oleh : Victoria Henuhili, MSi vhenuhili@uny.ac.id FMIPA Jurdik Biologi UNY 2013 victoria@uny.ac.id Page 1 1. PEMBUKTIAN DNA SEBAGAI PEMBAWA MATERI GENETIK Pada tahun

Lebih terperinci

ABSTRAK. EFEK ANTIMIKROBA EKSTRAK ETANOL BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP Staphylococcus aureus DAN Escherichia coli SECARA IN VITRO

ABSTRAK. EFEK ANTIMIKROBA EKSTRAK ETANOL BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP Staphylococcus aureus DAN Escherichia coli SECARA IN VITRO ABSTRAK EFEK ANTIMIKROBA EKSTRAK ETANOL BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP Staphylococcus aureus DAN Escherichia coli SECARA IN VITRO Maysella Suhartono Tjeng, 2011 Pembimbing: Yenni Limyati,

Lebih terperinci

TOKSIN MIKROORGANISME. Dyah Ayu Widyastuti

TOKSIN MIKROORGANISME. Dyah Ayu Widyastuti TOKSIN MIKROORGANISME Dyah Ayu Widyastuti Toksin bisa juga disebut racun Suatu zat dalam jumlah relatif kecil, bila masuk ke dalam tubuh dan bekerja secara kimiawi dapat menimbulkan gejala-gejala abnormal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di

BAB I PENDAHULUAN. Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Kuta Selatan sejak tahun 2013 masih mempunyai beberapa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Titrasi Virus Isolat Uji Berdasarkan hasil titrasi virus dengan uji Hemaglutinasi (HA) tampak bahwa virus AI kol FKH IPB tahun 3 6 memiliki titer yang cukup tinggi (Tabel ). Uji HA

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gejala Klinis Benih Lele Sangkuriang yang terinfeksi Aeromonas hydrophila Pengamatan gejala klinis benih lele sangkuriang yang diinfeksikan Aeromonas hydrophila meliputi

Lebih terperinci

KARAKTERISASI ADESIN FIMBRIAE STREPTOCOCCUS MUTANS LOKAL YANG BERPERAN DALAM PATO- GENESIS PENYAKIT KARIES GIGI

KARAKTERISASI ADESIN FIMBRIAE STREPTOCOCCUS MUTANS LOKAL YANG BERPERAN DALAM PATO- GENESIS PENYAKIT KARIES GIGI Karakterisasi Adesin Fimbriae Streptococcus mutans lokal yang Berperan Dalam Patogenesis Penyakit Karies Gigi (Indah Listiana Kriswandidi, Sumarno, I.G.A. Wahyu Ardani) KARAKTERISASI ADESIN FIMBRIAE STREPTOCOCCUS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. virus, bakteri, dan lain-lain yang bersifat normal maupun patogen. Di dalam

BAB I PENDAHULUAN. virus, bakteri, dan lain-lain yang bersifat normal maupun patogen. Di dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Flora mulut pada manusia terdapat berbagai mikroorganisme seperti jamur, virus, bakteri, dan lain-lain yang bersifat normal maupun patogen. Di dalam rongga

Lebih terperinci

KATAPENGANTAR. Pekanbaru, Desember2008. Penulis

KATAPENGANTAR. Pekanbaru, Desember2008. Penulis KATAPENGANTAR Fuji syukut ke Hadirat Allah SWT. berkat rahmat dan izin-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang beijudul "Skrining Bakteri Vibrio sp Penyebab Penyakit Udang Berbasis Teknik Sekuens

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis, BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak tiga jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), adalah salah satu komoditas

I. PENDAHULUAN. Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), adalah salah satu komoditas I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), adalah salah satu komoditas perikanan air laut yang digemari oleh masyarakat dan merupakan komoditas ekspor penting terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lebih banyak dibandingkan dengan Negara maju. Indonesia dengan kasus

BAB I PENDAHULUAN. lebih banyak dibandingkan dengan Negara maju. Indonesia dengan kasus BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Global Health Observatory (GHO) melaporkan bahwa pada tahun 2013 diare merupakan penyebab kematian balita diurutan kedua setelah pneumonia (WHO, 2014). WHO memperkirakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Uji pelarut DMSO terhadap kontraksi otot polos uterus

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Uji pelarut DMSO terhadap kontraksi otot polos uterus BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil penlitian dan pembahasan 1. Uji pelarut DMSO terhadap kontraksi otot polos uterus Senyawa 1-(2,5-dihidroksifenil)-(3-piridin-2-il)-propenon adalah senyawa sintetis

Lebih terperinci

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI ISOLASI TOTAL DNA TUMBUHAN DENGAN KIT EKSTRAKSI DNA PHYTOPURE Halaman : 1 dari 5 1. RUANG LINGKUP Metode ini digunakan untuk mengisolasi DNA dari sampel jaringan tumbuhan, dapat dari daun, akar, batang,

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI EKSPRESI PROTEIN RESEPTOR ORGAN OTAK IKAN KERAPU TIKUS (Cromileptes altivelis) PADA INFEKSI VIBRIOSIS

IDENTIFIKASI EKSPRESI PROTEIN RESEPTOR ORGAN OTAK IKAN KERAPU TIKUS (Cromileptes altivelis) PADA INFEKSI VIBRIOSIS Bimafika, 2011, 3, 216-224 IDENTIFIKASI EKSPRESI PROTEIN RESEPTOR ORGAN OTAK IKAN KERAPU TIKUS (Cromileptes altivelis) PADA INFEKSI VIBRIOSIS Inem Ode Staff Pengajar Fakultas kelautan dan Perikanan Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Al-Qur an merupakan sumber pedoman hidup manusia dan tidak ada satu kitabpun yang melebihi kesempurnaannya. Seluruh aspek kehidupan baik di dunia maupun di akhirat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan pada sistem pencernaan dapat disebabkan oleh pola makan yang salah, infeksi bakteri, dan kelainan alat pencernaan yang memberikan gejala seperti gastroenteritis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bakteremia didefinisikan sebagai keberadaan kuman dalam darah yang dapat berkembang menjadi sepsis. Bakteremia seringkali menandakan penyakit yang mengancam

Lebih terperinci

Discovering Living System Concept through Nano, Molecular and Cellular Biology. Dewan redaksi. Ketua Penyunting M. Sasmito Djati, Dr. Ir. MS.

Discovering Living System Concept through Nano, Molecular and Cellular Biology. Dewan redaksi. Ketua Penyunting M. Sasmito Djati, Dr. Ir. MS. ISSN. 2087-2852 The Journal of Experimental Life Science Discovering Living System Concept through Nano, Molecular and Cellular Biology Dewan redaksi Ketua Penyunting M. Sasmito Djati, Dr. Ir. MS. Aida

Lebih terperinci

ABSTRAK. ISOLASI, OPTIMASI AMPLIFIKASI DAN KLONING GEN phoq PADA Salmonella typhi

ABSTRAK. ISOLASI, OPTIMASI AMPLIFIKASI DAN KLONING GEN phoq PADA Salmonella typhi ABSTRAK ISOLASI, OPTIMASI AMPLIFIKASI DAN KLONING GEN phoq PADA Salmonella typhi Patrisia Puspapriyanti, 2008. Pembimbing I : Ernawati A.Girirachman, Ph.D. Pembimbing II : Johan Lucianus, dr., M.Si. Salmonella

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. dikenal orang karena lalat ini biasanya hidup berasosiasi dengan manusia.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. dikenal orang karena lalat ini biasanya hidup berasosiasi dengan manusia. BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lalat Rumah (Musca domestica) Lalat rumah (M. domestica) merupakan lalat yang paling umum dikenal orang karena lalat ini biasanya hidup berasosiasi dengan manusia. M. domestica

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. sehat, baik itu pasien, pengunjung, maupun tenaga medis. Hal tersebut

BAB II TINJAUAN TEORI. sehat, baik itu pasien, pengunjung, maupun tenaga medis. Hal tersebut BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Infeksi Nosokomial Rumah sakit adalah tempat berkumpulnya orang sakit dan orang sehat, baik itu pasien, pengunjung, maupun tenaga medis. Hal tersebut menyebabkan rumah sakit berpeluang

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan α-amilase adalah enzim menghidrolisis ikatan α-1,4-glikosidik pada pati. α-amilase disekresikan oleh mikroorganisme, tanaman, dan organisme tingkat tinggi. α-amilase memiliki peranan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan mas (Cyprinus carpio L.) sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Ikan air tawar yang bernilai ekonomis cukup penting ini sudah sangat dikenal luas oleh

Lebih terperinci

Protein Hemaglutinin 35,2 kda Pili Proteus mirabilis

Protein Hemaglutinin 35,2 kda Pili Proteus mirabilis 68 Protein Hemaglutinin (Diana Chusna M. dan Enny Suswati) Protein Hemaglutinin 35, kda Pili Proteus mirabilis P355 sebagai Adhesin pada Epitel Vesika Urinaria Kelinci (The 35, kda Hemaglutinin Protein

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu penyebab tingginya angka kematian di Indonesia maupun di dunia adalah penyakit infeksi (Priyanto, 2009). Penyakit infeksi dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dipisahkan dari kesehatan umum (Ramadhan dkk, 2016). Kesehatan gigi dan

BAB 1 PENDAHULUAN. dipisahkan dari kesehatan umum (Ramadhan dkk, 2016). Kesehatan gigi dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan gigi dan mulut merupakan komponen yang tidak bisa dipisahkan dari kesehatan umum (Ramadhan dkk, 2016). Kesehatan gigi dan mulut yang buruk berdampak pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ikan mas (Cyprinus carpio L) merupakan komoditas perikanan yang sangat

I. PENDAHULUAN. Ikan mas (Cyprinus carpio L) merupakan komoditas perikanan yang sangat I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan mas (Cyprinus carpio L) merupakan komoditas perikanan yang sangat populer dan termasuk jenis ikan konsumsi yang banyak diminati oleh masyarakat Indonesia karena mudah

Lebih terperinci

BAB I mengalami komplikasi karena infeksi ini (WHO, 2012). Prevalensi tertinggi infeksi nosokomial terjadi di Intensive Care Units

BAB I mengalami komplikasi karena infeksi ini (WHO, 2012). Prevalensi tertinggi infeksi nosokomial terjadi di Intensive Care Units BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pseudomonas aeruginosa dikenal sebagai bakteri yang sering menimbulkan infeksi, khususnya pada pasien imunokomprimis, penderita HIV, dan berperan pada infeksi paru kronis

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat E. ictaluri Ikan Lele ( Clarias sp.)

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat E. ictaluri Ikan Lele ( Clarias sp.) BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian telah dilaksanakan di Laboratorium Balai Uji Standar Karantina Ikan Departemen Kelautan dan Perikanan di Jakarta dan Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan nilem (Osteochilus vittatus) merupakan ikan air tawar yang termasuk kedalam famili Cyprinidae yang bersifat herbivore. Ikan ini menyebar di Asia Tenggara, di Indonesia

Lebih terperinci

Ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis, Valenciences) - Bagian 2: Benih

Ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis, Valenciences) - Bagian 2: Benih Standar Nasional Indonesia Ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis, Valenciences) - Bagian 2: Benih ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional BSN 2011 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang menyalin

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. sayap (terbang) yang berbentuk membran. Hanya sesekali bergerak

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. sayap (terbang) yang berbentuk membran. Hanya sesekali bergerak BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lalat Lalat adalah insekta yang lebih banyak bergerak menggunakan sayap (terbang) yang berbentuk membran. Hanya sesekali bergerak menggunakan kakinya. Oleh karenanya daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. rongga mulut. Kandidiasis oral paling banyak disebabkan oleh spesies Candida

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. rongga mulut. Kandidiasis oral paling banyak disebabkan oleh spesies Candida I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kandidiasis merupakan infeksi jamur oportunistis yang sering terjadi di rongga mulut. Kandidiasis oral paling banyak disebabkan oleh spesies Candida albicans (Neville dkk.,

Lebih terperinci

10/30/2015. Protein adalah makromolekul. Mereka dibangun dari satu atau lebih rantai asam amino. Protein dapat mengandung asam amino.

10/30/2015. Protein adalah makromolekul. Mereka dibangun dari satu atau lebih rantai asam amino. Protein dapat mengandung asam amino. Protein Struktur asam Asam essensial Metabolisme asam Pengaruh hormon dalam metabolisme asam Anabolisme asam Katabolisme asam Keseimbangan nitrogen Siklus urea Perubahan rangka karbon asam menjadi zat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 7. Bakteri Bacillus Sumber : Dokumentasi Pribadi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 7. Bakteri Bacillus Sumber : Dokumentasi Pribadi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembentukan Organisme Bioflok 4.1.1 Populasi Bakteri Populasi bakteri pada teknologi bioflok penting untuk diamati, karena teknologi bioflok didefinisikan sebagai teknologi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Produk yang dihasilkan oleh itik yang bernilai ekonomis antara lain: telur, daging,

I. PENDAHULUAN. Produk yang dihasilkan oleh itik yang bernilai ekonomis antara lain: telur, daging, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Itik merupakan salah satu unggas penting yang diternakkan di Indonesia. Ternak ini memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi dengan produk yang dihasilkannya. Produk yang

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Parameter pada penelitian pembesaran ikan lele ini meliputi derajat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan mutlak, laju pertumbuhan harian, perhitungan jumlah bakteri

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba

Lebih terperinci